Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
KOLABORASI PENDEKATAN SUFISTIK DAN SAINTIFIK DALAM MEMBINA GENERASI YANG CERDAS DAN BERAKHLAK MELALUI PROSES PENDIDIKAN Oleh : Dr. Emah Khuzaemah, M.Pd
Abstrak
حيتج عامل التعليم والرتبية اإلسالمية الفكر التكامل بني العلم والدين هو الدين الذي اقرتب ابلنظرة لصوفية الذي يقصد به خطوة ألن يكون املتعلم ذاكيا ومسؤوليا كامال .إىل هللا وليكون التوازن بني القدرة على الشعور والعقل فيجب عليهما أن تطويرمها بشكل وبسبيل االشرتاك بني النظرة الصوفية واملعرفية يف عملية تعليم اللغة.صحيح .اإلندونيسية يرجى للمتعلمني أن ميلكوا التوازن بني الشعور والعقل Kata Kunci: Sufistik, Saintifik, Akhlak, Pendidikan. A. Pendahuluan Penerapan kurikulum 2013 menekankan agar dalam proses pembelajaran di kelas, guru mampu menanamkan sikap sosial dan sikap spiritual. Hal ini tentunya menuntut guru untuk dapat menerapkan proses pembelajaran yang mampu melatih siswa memiliki kedua sikap itu dengan baik. Pemerintah rupanya sudah menyadari bahwa kunci pembenahan moral generasi muda adalah melalui pembinaan kedua sikap itu. Namun, teknik pembinaan kedua sikap itu belum ada penjelasan yang memadai. Hasil survai di lapangan, setelah guru mengikuti pendalaman Kurikulum 2013, mereka masih kebingunan bagaimana kedua sikap itu dilatihkan kepada peserta didik. Kalau penanaman kedua sikap itu hanya dilatihkan melalui pembiasaan, misalnya siswa dibiasakan untuk berdoa sebelum dan setelah belajar, kemudian guru mengamati prilaku siswa, tampaknya langkah ini belum
160
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
maksimal dalam membuka kesadaran siswa untuk memiliki sikap sosial dan spiritual. Makna dari pentingnya memiliki sikap itu belum dapat dihayati siswa dengan baik. Melalui pendekatan sufistik diharapkan akan terbuka kesadaran siswa untuk memiliki kedua sikap itu dengan baik. Pada hakikatnya, tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar dapat menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat terhindar dari bebagai macam belenggu kehidupan manusia, dan mencapai kebahagiaan dalam kehidupan akhirat. Manusia yang mengedepankan kehidupan akhirat, dia akan berhati-hati dalam bertindak. Tentunya akan berupaya mendalami Alquran sebagai pedoman hidupnya. Akan tetapi tujuan ideal tersebut masih jauh dari harapan. Adanya kekeliruan dalam memahami Islam, yang salah satu diantaranya adalah pendidikan yang mengesampingkan sisi kehidupan dunia, sehingga seseorang akan menjadi makhluk yang gagap dengan teknologi. Gambaran seseorang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terlahir orang-orang yang dapat merasakan dengan hatinya, akan tetapi dia tidak cermat dalam memanfaatkan rasionya. Maka dalam hal ini sangatlah diperlukan suatu langkah pendidikan yang memperhatikan potensi rasa dan rasio. Selain itu, di lain sisi yang berhubungan dengan zaman modern juga terdapat ilmu pengetahuan yang kering dari cita rasa, yang dapat dilihat dari banyak terjadinya dekadensi kehidupan, emosi, dan moral. Hal ini menjadikan lenyapnya kekayaan ruhaniyah yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkokoh derajat mulia manusia di bumi ini. Maka dalam dunia pendidikan dan khususnya pendidikan Islam sangat diperlukan sebuah pemikiran ke arah integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama yaitu agama yang didekati dengan pandangan sufistik, yang dimaksudkan sebagai langkah menjadikan peserta didik seorang yang pandai dan penuh tanggung jawab terhadap Allah Swt.
161
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Agar ada keseimbangan antara kemampuan rasa dan rasio, kedua potensi ini harus dapat dikembangkan dengan baik. Melalui kolaborasi pendekatan sufistik dan saintifik dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia diharapkan peserta didik memiliki keseimbangan rasa dan rasio.
B. Penerapan Pendekatan Sufistik Dalam hal ini, muncul pandangan untuk dilakukannya rekonstruksi paradigma pendidikan ke arah sufistik-alternatif, yaitu sebagai berikut: 1.
Landasan Filosofi, kehidupan manusia pada hakikatnya adalah
menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt., dan Dia hanya dapat didekati dengan pribadi yang berhati jernih. Hati yang jernih dapat dicapai melalui riyadlah, yang pada akhirnya seseorang dapat mencapai kesempurnaan sebagai manusia. 2. Proses Pendidikan, berdasar pada landasan filosofis di atas, proses pendidikan diharapkan mampu membuka pintu kesadaran manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan dalam proses pendidikan tidak hanya memperdulikan terhadap pengembangan pada dimensi fisik, tetapi juga memperhatikan dimensi non fisik. Dengan demikian diharapkan ada keseimbangan antara rasa dan rasio, serta ada pemahaman konsep-konsep maqamat secara tepat. Kenyataan bahwa modernitas beserta kemajuan teknologi
dan
industrialisasinya telah membawa banyak kemudahan bagi manusia. Namun di sisi lain modernitas juga telah membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Salah satu indikator nyata adalah tumbuhnya dekadensi moral, kecenderungan masyarakat berpikir pragmatis, materialistis dan konsumeristis, rapuhnya solidaritas sosial dan mengecilnya nilai-nilai kemanusiaan, serta kurangnya kesadaran keagamaan menjadi realitas yang semakin menggejala.
162
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Kemajuan teknologi dan sains modern yang tidak diimbangi oleh nilainilai kemanusiaan (humanisasi) ini pada akhirnya hanya merugikan manusia. Manusia zaman ini ibarat sebuah mesin yang terus bekerja demi mengejar kehidupan materi, hingga melupakan eksistensi serta hakikat dirinya sebagai manusia yang terdiri dari jasmani dan rohani. Akhirnya manusia mengalami kekosongan jiwa, kebekuan hati, serta hilangnya orientasi hidup. Untuk itu, fungsi didaktis di dalam pembelajaran bahasa dan sastra dewasa ini semakin penting. Pada era globalisasi ini manusia semakin dihadapkan kepada Problematika kehidupan yang mengarah pada krisis nilai-nilai kehidupan akibat dari kemajuan sains dan teknologi modern. Sastra merupakan salah satu penghalus budi, yang mampu mengangkat kembali status humanitasnya untuk menyadari arti keagungan alam semesta (universe), keindahan nilai-nilai kehidupan dan kekuasaan Tuhan.Sastra dapat dikatakan merupakan ajaran moral (penghalus budi). Moral secara umum pengertiannya diketahui sebagai perilaku manusia yang terlihat secara fisik dan mengarah kepada baik-buruk menurut etika formal. Sedang moral pada dimensi tasawuf lebih menekankan pada hakikat moralitas itu sendiri, yakni yang menunjuk pada kedalaman batin, ketulusan dan keikhlasan yang bersifat keilahian demi mengharap ridlo-Nya. Tasawuf merupakan kesadaran hati dalam bermahabbah (cinta) kepada Allah yang tercurah lewat ibadahnya dan tercurah dalam laku kehidupan sosial yang bermoral, sehingga tercipta kehidupan yang indah, penuh makna, dan seimbang, serta siap menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian tasawuf tidak hanya dipandang sebatas estetika belaka, namun juga sebagai etika dalam karya sastra dan dalam keseharian hidup. Karena, ada keterkaitan langsung antara puisi dan penyairnya, sebab si penyair sendiri merupakan pelaku dari ajaran tasawuf (sufi). Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman dalam perjalanan spiritualitas atau laku tasawuf.
163
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Yang dimaksud sufistik dalam tulisan ini adalah konsep-konsep tasawuf dalam khasanah pemikiran Islam dijadikan sebagai tolok ukur dan acuan untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Konsep-konsep tersebut meliputi: a. Definisi Tasawuf Terdapat beberapa pendapat mengenai tasawuf. Secara etimologi, Hamka menyebutkan bahwa tasawuf diantaranya diambil dari kata : shifa’ yang artinya bersih suci, ibarat kaca; shuf artinya bulu binatang, pakaian sederhana dari bulu binatang; shuffah ialah segolongan sahabat Nabi yang menyisihkan diri di satu tempat samping masjid; dan kata theosofie bahasa Yunani lama yang artinya ilmu ke-Tuhanan, kata ini kemudian di arabkan menjadi Tasauf. Untuk memperjelas pengertian tasawuf dari segi etimologi maka terdapat beberapa pengertian tasawuf secara definitif yang dikemukakan para ahli, antara lain: Junaid Al- Baghdadi, bahwa tasauf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Abul Qosim Qusyairi berpendapat bahwa tasawuf adalah penerapan secara konsekuen terhadap ajaran alquran dan Sunnah Nabi, berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah dan tidak meringan-ringankan ibadah. Al Ghazali berpendapat, tasawuf adalah memakan yang halal, mengikuti ahlak, perbuatan dan perintah rasul yang tercantum dalam sunnahnya. Karena ajaran tasawuf adalah berdasarkan Al-quran dan hadist.Harun Nasution menulis bahwa tasawuf merupakan ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan suatu jalan pendekatan diri kepada Allah dengan
164
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
berdasarkan pada Alquran dan Hadist. Pendekatan ini lebih memusatkan perhatiannya pada pembersihan aspek rohani dan kesucian hati.
b. Konsep Maqam dan Hal Dalam tasawuf, para sufi dikenal memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqah) menuju Allah. Jalan tersebut yakni maqam dan hal. Maqam (jamaknya maqamat) berarti kedudukan atau tingkatan (station) spiritual. Secara terminologis Abu Nasr As-Sarraj menyatakan bahwa maqamat adalah kedudukan manusia dihadapan Allah yang disebabkan karena ibadahnya, mujahadat-nya, riyadhah-nya, dan pencurahan hatinya kepada Allah. Sebuah maqam hanya dapat dicapai dan diperoleh melalui usaha dan ketulusaan sang penempuh jalan spiritual. Dalam maqamat terdapat beberapa maqam - maqam yang harus dilalui secara urut, sepeti dikemukakan Abu Nasr al-Sarraj al Tusi dalam bukunya Kitab al-luma’ fi’t Tashawwuf, yaitu; maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridho (rela). Sementara hal (keadaan, situasi, jamaknya ahwal). Keadaan spiritual yang menguasai hati. Sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal adalah sesuatu yang datang dari Tuhan ke dalam hati seseorang, tanpa ia mampu menolaknya bila ia datang, atau menariknya bila ia pergi, dengan ikhtiar sendiri. Hal dapat dimengerti sebagai anugerah dan karunia dari rahmat Allah, karena itu hal tidak dapat dicapai melalui usaha, keinginan atau undangan. Abu Nashr As-Sarraj Ath-Thusi menyebutkan bahwa keadaan (al-ahwal) adalah seperti al-muraqabbah, al-qurb (kedekatan), al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa takut), ar-raja’ (harapan), asysyauq (kerinduan), al-uns (kesenangan), ath-thuma’ninah (ketenangan), al-musyahadah (penyaksian), al-yaqiin (keyakinan), dan sebagainya.
165
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
c. Tujuan Tasawuf Secara umum, tujuan terpenting para sufi dalam bertasawuf adalah agar dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan Allah. Akan tetapi, secara terperinci pada dasarnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai, yakni: 1) Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. 2) Tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode Al-Kasyf Al-hijab. 3) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana system pengenalan dan pendekatan diri kapada Allah secara mistis filosofis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran membaca dan menulis puisi, pembelajar dapat dikembangkan kecerdasan spiritualnya. Puisi yang dijadikan sebagai sumber bahan pembelajaran adalah puisi-puisi yang mampu menggugah kesadaran ruhani manusia akan hakikat kehidupan. Selain itu, melalui membaca kisah-kisah tokohtokoh sufi juga dapat menginspirasi peserta didik dalam memahami tujuan hidupnya. setelah membaca kisah-kisah filosof misalnya, beri kesempatan pada mereka untuk menuliskan kesadaran atau perasaan apa yang muncul dalam diri mereka setelah membaca kisah-kisah seperti itu. Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa pendekatan sufistik dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran seperti itu diharapkan kesadaran spiritual siswa dapat dibina.
C. Peran Teori Sufistik dalam Pendidikan
166
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan ini, juga tidak selalu dilambangkan Kualitas pemahaman kita atas sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan kearifan. Tujuan dari penciptaan manusia oleh Allah swt. adalah sebagai ‘abd (hamba) dan sekaligus khalifah (pemimpin) di muka bumi, yang di dalamnya terdapat berbagai persoalan hidup yang harus dihadapi. Akan tetapi berbagai permasalah kehidupan akan dapat dengan mudah diatasi apabila ada kedekatan seseorang dengan-Nya. Dalam hal ini, pengembangan kepribadian dapat dilakukan dalam proses pencapaian qalbun salim, karena Allah swt. hanya dapat dekat dengan hati yang jernih. Dalam proses pencapaian qalbun salim inilah, diperlukan pendidikan yang responsif terhadap pengembangan hati nurani. Maka pendekatan sufistiklah yang mampu memerankan sebagai pendidikan yang memperhatikan terhadap aspek ruhani. Dalam buku “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer” yang mengambil dari buku “psikologi sufi” menyebutkan bahwa perspektif para sufi mengatakan hakikat realitas adalah spiritual karena segala sesuatu berasal dari sang pencipta. Dalam hal ini, ada hubungan paralel yang dapat dijelaskan lebih spesifik antara realitas makrokosmos dan mikrokosmos, yaitu; dalam dunia makrokosmos terdapat tingkatan-tingkatan realitas (alam materi, alam nasut, alam malakut, alam jabarut, dan alam lahut). Sedangkan dalam dunia mikrokosmos (diir manusia) juga terdapat lapisanlapisan (lapisan fisikal, nafs, qalb, ruh, kesadaran batin, dan kesadaran batin
167
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
terdalam). Beberapa lapisan tersebut harus dilalui oleh jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan (kedekatan dengan Allah swt.). Sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern memandang hakikat realitas adalah material. Teori modern mengatakan bahwa dunia yang dapat dikaji adalah dunia yang secara valid hanyalah realitas objektif (alam materi/ lapis fisikal atau yang memiliki sifat kebendaan). Dalam hal ini, dapat dikatakan dengan sudut pandang yang sangat dangkal, karena pada hakikatnya bahwa realitas itu memiliki multi aspek, baik aspek indrawi maupun supra indrawi. Dengan demikian, perlu adanya keseimbangan antara aspek material yang sangat rasional dengan aspek spiritual yang irasional, dengan tujuan akhir maju dalam ilmu pengetahuan modern dengan tetap membawa tanggung jawab sebagai hamba Allah swt.
D. Pola Pendekatan Sufistik dalam Proses Pendidikan Upaya penanaman nilai-nilai keagamaan berbasis kesadaran ketuhanan (pendidikan sufistik) bisa ditempuh melalui tiga cara: (1) Penanaman nilai secara bertahap, dari inderawi sampai ke rasional, dari parsial sampai universal. (2) Penerapan jiwa khusyu’, taqwa, dan ibadah. Cara ini disadari sulit untuk dilaksanakan, tetapi bila anak sudah diberi peringatan, ia akan berubah karakternya. (3) Penyadaran akan pengawasan Allah SWT terhadap setiap tingkah laku dan situasi melalui latihan dan keyakinan. Adapun metode pendidikan sufistik menurut Munir Mulkhan adalah: (1) Kegiatan pembelajaran dimulai dengan usaha agar peserta didik mendefinisikan siapa dirinya, apa yang akan dipilih, dan menyadari resiko yang akan dihadapi dengan pilihannya itu. Berikutnya, peserta didik menyusun sendiri konsep tentang kebenaran dan kebaikan menurut pandangannya sehingga bisa menjadi miliknya sendiri. Dari sini diharapkan bisa berkembang kepekaan sosial dalam kesediaan berbagi rasa dengan orang
168
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
lain. Selanjutnya akan tumbuh kecerdasan yang utuh dan bulat sebagai dasar baginya dalam melatih intuisi dan imaginasi ketuhanannya, serta melatih kemampuan kecerdasan rasionalnya. (2) Metode pembelajaran berorientasi penciptaan situasi belajar ketuhanan. Dari sini diharapkan peserta didik bisa menjalani proses kreatifnya sendiri dalam ber-Tuhan dan ber-Islam. Dari sini peserta didik bisa menemukan sendiri dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kelas atau kehidupan sehari-hari. Kesadaran personal seperti itu adalah kunci utama proses pembelajaran bagi penumbuhan daya kreatif yang bebas dan mandiri dari setiap peserta didik. Harapannya, peserta didik terus berusaha menyempurnakan pengetahuan tentang ajaran Tuhan dan pemenuhannya sehingga menjadi kaffah baik selama proses pembelajaran dalam kelas atau diluar lingkungan sekolah dan dalam kehidupan sosial usai sekolahnya nanti. (3) Melibatkan peserta didik di setiap proses berpengetahuan melalui studi alam dan kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah agar peseta didik menemukan dan mengenal sendiri Tuhan. (4) Praktikum ritual dan pelatihan akhlak terprogram. Sesuai ajaran agama meliputi iman, akhlak, dan ibadah, lebih strategis jika pendidikan agama difokuskan pada pengayaan pengalaman ketuhanan (iman), ritual (ibadah), dan akhlak, bukan hanya ilmu. Pengayaan pengalaman ritual bisa ditempuh melalui Pengayaan pengalaman ketuhanan melalui studi sejarah tentang kisah-kisah sukses dan gagal dari kehidupan sehari-hari atau sejarah bangsa-bangsa didunia. Selain itu juga melalui studi fisika, biologi, kimia yang difokuskan pada kehebatan Tuhan menciptakan alam dan seluruh makhluk hidup daritingkatan paling rendah hingga energi dan manusia. Pendidikan sufistik yang berbasis kesadaran ilahiah juga sebagai landasan semua dimensi perilaku peserta didik dalam hubungan sosial. Untuk merealisasikan tataran sosial tersebut terdapat beberapa cara:
169
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
(1) Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia berupa; (a) Ketakwaan pada Allah SWT sebagai hasil hakiki dan alami dari emosi iman yang menjadi benteng guna menangkal kehendak perbuatan jahat. (b) Persaudaraan (ukhuwwah) yang bisa melahirkan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. (c) Kasih sayang terhadap sesama manusia yang merupakan kepekaan untuk bisa merasa senasib sepenanggungan terhadap problem orang lain. (d) Toleran, berani membela, dan menyatakan kebenaran serta tidak egois yang berpengaruh penting bagi integritas dan solidaritas serta kebaikan manusia. (2) Pemeliharaan hak orang lain dengan dasar kejiwaan yang mulia. Dasar-dasar kejiwaan itu merupakan ruh dari fenomena dalam berinteraksi dengan orang lain yang bersumber dari spirit kejiwaan itu. Hak orang lain meliputi: (a) Hak orang tua untuk ditaati segala perintahnya yang baik yang menjadi pangkal tolak segala hak kemasyarakatan. (b) Hak kerabat untuk selalu mendapat jalinan persaudaraan dengan jalan silaturahmi yang dapat mendorong anak untuk cinta kepada kerabat. (c)Hak tetangga mendapatkan rasa aman dan ketentraman supaya dalam diri anak bisa tumbuh semangat memperhatikan orang lain sehingga menjadi insane sosial yang tidak mengisolasi diri.
(d) Hak guru untuk memperoleh penghormatan akan
kemuliaannya yang merupakan kewajiban seorang murid.(e) Hak teman sebagai mitra dalam pergaulan dan berinteraksi yang darinya dapat dikenali watak seseorang. (f) Hak orang dewasa mendapatkan perlakuan yang sopan yang termasuk indikator keikhlasan dan loyalitas terhadap agama. (3) Disiplin etika sosial supaya anak dapat menangkap esensi problematika dalam pergaulan dimasyarakat dengan kebaikan dan cinta kasih dan budi luhur. Karena itu, disiplin etika sosial menjadi dasar pendidikan yang sebenarnya. Keberhasilannya pun berkaitan erat dengan penanaman dasar kejiwaan. Islam meletakkan system pendidikan itu untuk membentuk akhlak
170
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
anak, mempersiapkan tingkah laku dan sikap sosialnya yang disebut etika sosial. Dengan bekal itu, diharapkan seorang anak dalam pergaulannya bisa bersikap dan berperilaku secara bijak seperti orang dewasa. Disiplin etika itu meliputi: etika makan dan minum, memberi salam, meminta izin masuk rumah, duduk dalam pertemuan, berbicara, bergurau, memberikan ucapan selamat, menjenguk orang sakit, melawat kematian, bersin, dan menguap. Semua diatur secara terinci guna merealisasikan akhlak yang diajarkan islam untuk dilaksanakan semua orang dalam segala jenis, tingkatan dan statusnya. Meski ajaran etika ini diberikan Nabi Muhammad pada zaman dahulu, nilainilai moralnya tetap relevan untuk dilaksanakan pada masa kini dan datang. Disiplin etika menunjukkan bahwa islam merupakan agama sosial
yang
datang untuk memperbaiki masyarakat manusia. (4) Kontrol dan kritik sosial itu menjadi sarana dalam mewujudkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini oleh Qardlawi dipandang sebagai pendidikan politik yang menjadi inti dari pendidikan sosial. Tujuannya untuk memberikan kesadaran sosial kepada anak. Karena itu, control dan kritik ini menjadi dasar pokok ajaran islam guna mengawasi dan memerangi kejahatan, dekadensi moral, kezaliman dan memelihara nilai, idealisme dan moralitas islam. Oleh karena itu, kontrol dan kritik ini harus memperhatikan prinsip bahwa: a. Kontrol pendapat umum merupakan tugas sosial yang tak kenal kompromi sehingga semua orang harus melaksanakan kegiatan ini. Dengan tugas sosial ini diharapkan akidah dan moralitas umat bisa tetap eksis sehingga menjadi kenyataan dan selalu terhindar dari perilaku zalim. b. Pelaksanaannya harus bertahap, sesuai kesepakatan ulama, kebal terhadap cercaan dan berwawasan luas. Untuk itu pendidik harus mengetahui perilaku, akhlak, dan emosi anak guna membentuk pribadi muslim menuju martabat yang tinggi.
171
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
c.
Emah K
Selalu mengenang ulama termasuk faktor yang memantapkan peribadi
muslim dalam menumbuhkan keberanian dan wibawa dalam mengontrol pendapat umum dan mewujudkan sikap tegas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kemenangan sejarah masa lalu itu bisa menjadi dorongan untuk berani maju dalam menumpas pembangkang yang dengan sengaja tidak memelihara kehormatan islam dan tidak menghargai moral yang luhur. Dengan demikian, pendidikan nilai sosial itu diarahkan
untuk
membentuk kepribadian sehingga terbentuk masyarakat yang damai dan tenteram. Masyarakat seperti itu menjadi tujuan pendidikan islam. Mereka adalah manusia yang sesuai dengan eksistensi sebagai manusia beradab yang akhirnya membetuk masyarakat ideal. Nasih Ulwan berpendapat, Cara atau metode dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan Islam bisa diklasifikasi menjadi lima macam. 1. Keteladanan Metode ini sangat efektif dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual, dan sosial, sebab guru menjadi contoh ideal bagi anak. Semua tingkah laku, sikap dan ucapan akan melekat pada diri dan perasaan anak. Ini menjadi faktor penentu keberhasilannya. Dengan keteladanan ini akan menjadi imitasi dan di ikuti dengan identifikasi nilai-nilai kebaikan untuk dipilih dan dilakukan. Metode ini memiliki nilai persuasif sehingga tanpa disadari akan bisa terjadi perembesan dan penularan nilai-nilai kebaikan. Metode keteladanan ini bisa dilaksanakan melalui pelajaran agama dan pendidikan moral atau yang lain. Sehingga perlu peningkatan kualitas atau performance yang memiliki nilai islam.
172
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
2. Kebiasaan Manusia meiliki potensi baik dan buruk. Bila lingkungannya baik dia akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Karena itu, dalam pendidikan perlu ada praktik nyata dalam dilakukan oleh anak sehingga menjadi kebiasaan yang pola sikap dan perilaku sehari-hari. Asy-Syaibani memandang metode pembiasaan ini mencakup juga tujuan pendidikan nilai itu sendiri, sebab kebiasaan anak yang berupa bentukan sikap diri itu juga menjadi salah satu tujaun pendidikan itu sendiri. Meskipun demikian, pembiasaan itu bisa dilaksanakan jika anak segan terhadap orang lain yang dihormati dan ditaati perintahnya. 3. Nasihat Keperluan metode ini adalah karena dalam kenyataan tidak semua orang bisa menangkap nilai-nilai kebaikan dan keburukan yang telah menjadi kebiasaan dan keteladanan. Karena itu, dalam upaya menanamkan nilai itu diperlukan pengarahan atau nasihat yang berfungsi untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan. Dalam metode ini bisa memungkinkan terjadinya dialog sebagai usaha mengerti sistem nilai yang dinasihatkan. Nasihat berperan dalam menunjukkan nilai kebaikan untuk selanjutnya diikuti dan dilaksanakan serta menunjukkan nilai kejahatan untuk dijauhi. Karena persoalan nilai merupakan realitas kompleks dan bukan hasil kreativitas yang tertutup dan berdikari, pemberian nasihat itu sama halnya menjadi proses sosialisasi. 4. Pengawasan Metode ini dilaksanakan dengan cara mendampingi anak dalam membentuk nilai psikis dan sosial. Pengawasan ini berperan mengetahui perkembangan atau kebiasaan anak supaya diketahui penyimpangan yang harus diluruskan. Bila metode pengawasan ini tidak dilaksanakan, berarti di dunia pendidikan telah memberi peluang kepada anak untuk berbuat
173
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
semaunya tanpa mempertimbangkan nilai baik dan buruknya. Peranan pengawasan ini sangat dominan dalam membentuk kepribadian mulia pada diri anak yang menjadi tujuan dari pendidikan sendiri. 5. Hukuman Dasar penggunaan metode ini adalah adanya potensi membangkang dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan. Pembangkangan terhadap kejahatan ini berlanjut terus-menerus meski telah diberi nasihat. Karena itu, perlu hukuman atau sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan yang diperbuatnya. Dengan sanksi itu anak diharapkan bisa tumbuh kesadaran untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Ibnu Maskawih menyatakan bahwa hukuman itu perlu dilaksanakan supaya anak terbiasa menjalankan hidup beragama. Pengulangan dan pelaksanaan pendidikan nilai akan menjadi penghayatan, dengan syarat : 1) Nilai harus memiliki teladan yang menjadi tempat melekatnya nilai itu, 2) Teladan itu harus berupa manusia biasa yang dengan kekurangannya bisa menjadi model, dan 3) Semua guru menjadi pengajar nilai sebab semua memiliki pengaruh terhadap terwujudnya nilai itu. Jadi, pendidikan sufistik dimaksud disini adalah integrasi antara iman, ilmu dan realisasi amal. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa ilmu yang utama adalah ilmu yang dilahirkan dari dorongan iman, iman yang dimaksud disini adalah iman yang memiliki kepekaan dan sekaligus kekuatan untuk memahami dan berbuat. Selain itu, ilmu yang utama adalah ilmu yang membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang diabdikan untuk kemaslahatan manusia dalam bentuk amal saleh dan penghambaan diri kepada Tuhan. Sementara amal itu sendiri merupakan proses aktualisasi diri manusia dalam membangun budaya islami, memajukan peradaban, memcahkan
174
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
problem kehidupan, dan meneguhkan eksistensi harkat kemanusiaan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
E. Penerapan Pendekatan Saintifik Pembelajaran dengan pendekatan
saintifik
adalah
proses
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai
teknik,
menganalisis
data,
menarik
kesimpulan
dan
mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”. Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses
seperti
mengamati,
mengklasifikasi,
mengukur,
meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan. Dalam melaksanakan prosesproses tersebut, bantuan guru diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin tingginya kelas siswa. Metode saintifik sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin & Sund, 1975). Pertama, individu hanya belajar dan
175
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatau penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode saintifik. Pembelajaran dengan metode saintifik memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) berpusat pada siswa. 2)
melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip.
3) melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. 4) dapat mengembangkan karakter siswa. F. Kolaborasi Sufistik dan Saintifik Dalam kajian keilmuan pembagian adanya ilmu agama dengan ilmu umum adalah kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan
ilmu
berdasarkan objek kajian. Tetapi ketika kita melihat bahwa Al-qur’an dan Sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama dengan ilmu umum, bahkan menurut Imam Suprayogo dalam bukunya Rekonstruksi Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam menyetakan bahwa posisi ilmu agama dan umum digambarkan dalam bentuk pohon ilmu, Al-qur’an dan sunnah diposisikan sebagai hasil eksperimen dan penalaran logis atau menjadi
176
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
sumber keilmuan. Maka makna integrasi keilmuan dalam bingkai lembaga pendidikan setidaknya meliputi lima objek kajian: 1. Jika objek antologis yang dibahasnya adalah wahyu (al-qu’an) termasuk penjelasan Nabi saw berupa hadist dengan menggunakan metode ijtihad maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu agama seperti teologi Islam, fiqih, tafsir, hadist dan tasawuf. 2. Jika objek antologis yang dibahasnya adalah alam semesta, jagat raya termasuk Galaxi bima sakti seperti langit bumi berserta segala isinya maka ilmu yang dihasilkan adalah Natural Sciences (ilmu alam) yaitu astronomi, astrologi, geologi, fisika, kimia, matematika, biologi dan lain sebagainya. 3. Jika objek kajian antologisnya perilaku ekonomi, perilaku budaya, agama, sosial dengan menggunakan penelitian, eksperiment di Laboratorium seperti wawancara, observasi, penelitian terlibat (ground Research) maka yang dihasilkan adalah ilmu-ilmu sosial, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu budaya, sosiologi agama dan lain sebagainya. 4. Jika objek pemikirannya adalah akal pikiran dan pemikiran yang mendalam dengan menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing, maka yang dihasilkan adalah filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. 5. Jika objek kajiannya berupa intuisi batin dengan menggunakan mentode pencucian batin (tazkiyah an-nafs) maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma’rifah. Inilah objek kajian yang kita kenal dalam lembaga pendidikan kita, sehingga
basis keilmuan (ontologis), batas-batas dan dasar pengetahuan
(epistimologis) dan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia termasuk kajian tentang nilai, etika dan estetika (aksiologi) merupakan program integrasi keilmuan. Karena bangunan keilmuan yang telah terintergrasi tidak mempunyai arti jika didominasi oleh ilmu yang tidak
177
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
bermoral (bernilai spriktual), sehingga diperlukan integrasi keduanya (ilmu agama dan ilmu umum). Jika seorang ilmuwan tidak mampu memahami dan mengintegrasi ilmu yang telah diturukan di Bumi (sesuai dengan keadaan dan permintaan penghuni Bumi) maka sebaiknya ilmu tersebut di kembalikan ke Langit saja agar langit tidak repot lagi memikirkan keadaan Bumi. G. Antara Sains dan Agama Ilmu sains tergolong dalam kumpulan sains terapan yang dikaitkan dengan teori dan dasar untuk menciptakan suatu hasil atau sesuatu yang dapat member manfaat kepada manusia. Jelasnya sains merupakan pemahaman ilmu tentang fenomena fisik yang sesuai dengan perspektif Islam yang digunakan di dalam teknologi dengan menggunakan kaidah yang paling efisien dan tepat di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Sains adalah produk manusia seperti halnya musik, film, lukisan, bangunan dan lain sebagainya. Begitu mendengar suara alunan musik, seseorang dapat langsung mengenali apakah ini tipe music keconcong, pop, dangdut, jaz atau yang lainnya. Demikian pula melihat film, lukisan, bangunan dan lain sebagainya, bisa kita identifikasi objek apa yang kita lihat. Secara sederhana, sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyimak realitas. Terkait dengan penyertian ini, maka sains juga tidak menjadi tunggal atau dengan kata lain aka nada lebih dari satu sains dan satu dengan yang lain dibedakan pada apa makna relitas dan cara apa yang dapat diterima untuk mengetahui realitas tersebut. Tujuan sains dalam perspektif agama adalah untuk mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang telah diberikan tuhan dan memperlihatkan kesatuan hukum alam, hubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahiah. Prinsip ilahiah (ayat-ayat kauniyah) yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah lebih istimewa dari mukjizat nabi-nabi sebelumnya dapat dinikmati dari zaman Rasulullah saw sampai akhir jaman. Prinsip ilahiyah
178
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
inilah yang meliputi bidang kajian ilmu pengetahuan dan ilmu sosial hingga ilmu alam yang bersifat empiris, prinsip ini sesuai dengan perubahan jaman yang mengagungkan kecerdasan akal serta sains dan teknologi. H. Proses dan Hasil Pendidikan yang Diharapkan Melalui proses pembelajaran yang mengkolaborasikan antara pendekatan saintifik dan sufistik, diharapkan lahir individu-individu yang memiliki iman yang kokoh dan penguasaan iptek yang baik. Dengan penguasaan iptek dan iman yang teguh, seseorang akan berupaya keras untuk membedah Alquran. Al-Qur’an telah menambahkan dimensi baru dalam studi mengenai fenomena fisik dan membantu pikiran manusia untuk melampaui batasan-batasan alam materi. Alquran sama sekali tidak memandang bahwa dunia materi adalah sesuatu yang lebih rendah. Bahkan sebaliknya, Alquran dengan tegas menyatakan bahwa dalam dunia materi terdapat tanda-tanda yang dapat membimbing manusia kepada Allah, membuka misteri kegaiban dan sifat-sifat keagungan-Nya. Alam semesta yang sedemikian luas ini adalah ciptaan Allah swt dan Al-qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap misteri keajaiban dan rahsianya serta memerintahkan manusia untuk menyaksikan eksistensi Tuhan melalui ciptaan-Nya, menyingkap tabir kegaiban-Nya melalui perhatian mendalam akan realitas kongkrit yang terhampar luas di langit dan di bumi. Inilah yang harus dilakukan oleh ilmu pengetahuan yakni melakukan observasi untuk kemudian menarik dana menemukan hukumhukum alam yang dpeeoleh dari hasil observasi dan eksperimen. Dengan kata lain dapat sampai ke sang pencipta melalui observasi yang diteliti dan tepat tentang hokum-hukum yang mengatur fenomena alam semesta. Dalam hal ini Alquran menunjukan adanya realitas intelektual yang agung yaitu Allah Swt lewat penelitian yang cermat dan mendalam akan semua ciptaan-Nya.
179
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Alquran menegaskan bahwa pikiran yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan sebagai sebuah permainan belaka hanya timbul dari orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Seharusnya kita menyadari bahwa alam semesta yang sedemikian luas ini, dengan keajaiban dan rahasia yang tersimpan di dalamnya, bukanlah diciptakan oleh seorang untuk tujuan bermain-main melainkan diciptakan oleh Tuhan yang maha bijaksana dan yang maha adil. Sungguh tidak wajar anggapan yang menyatakan bahwa Allah pencipta alam semesta ini, menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia sebab perbuatan baik dan buruk, kebaikan dan keburukan masing-masing akan mempeoleh balasan. Anggapan penciptaan alam semesta sebagai permainan belaka merupakan khayalan sia-sia dari orang kafir karena seluruh alam semesta beserta isinya itu diciptakan dalam kebenaran dan keadilan sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Alquran berikut ini. Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi beserta apa yang ada diantara keduanya dengan bermain-main. kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan tujuan yang hak (benar) tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Al-Dukhan 44:38-39) Dengan demikian, orang yang beriman akan tetap berdiri di atas landasan yang kukuh, memahami dan menyadari alasan-alasan penciptaan yang ditentukan oleh Allah sang pencipta. Dalam penilaianya, Allah adalah pencipta alam semesta, Allah adalah kebenaran tertingi dan sebab dari semua sebab, dia tetap ada pada saat tidak ada sesuatupun dan Dia akan tetap ada pada saat segala sesuatu akan kehilangan keberadaanya. Sebaliknya kaum kafir berdiri di atas landasan yang rapuh dan berbicara hanya berdasarkan pada dugaan, ramalan dan prasangka yang tidak pasti. Pandangan sedemikian sempit dan dibatasi oleh tabir struktur materi, sehingga ia tidak mampu melihat hakikat sesuatu yang berada dibalik materi itu. Inilah perbedaan yang paling mendasar antara orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman.
180
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Orang yang beriman berpikir bebas dan melihat hidup sebelum dan sesudah berakhirnya alam semesta sebagai dua sisi dari gambar yang sama. Sedangkan orang kafir berdiri sebagi orang yang terpenjara oleh alam semesta, mereka melihat dunia ini seolah-olah kekal dan abadi. Mereka tidak mampu memahami bahwa kekekalan dan keabadian itu sesungguhnya hanya ada pada sifat-sifat Allah tuhan yang menguasai alam semesta ini. Allah berfirman: Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia yang menghidupkan dan mematikan dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang awal dan yang akhir, yang dzahir dan yang batin dan Dia maha mengetahui segal sesuatu. (QS Al-Hadid 57:2-3). Alqur’an berusaha mengangkat derajat manusia pada kedudukan yang tinggi dengan menunjukan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk melihat dan memahami sifat-sifat sejati Allah dan kemudian merenungkan kemuliaan dan kebesara-Nya. Jadi, Alqur’an memberikan kepada manusia kunci ilmu pengetahuan tentang bumi dan langit seta menyediakan peralatan untuk mencari dan meneliti segala sesuatu agar dapat mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua dunia itu. Al-qur’an juga mendorong manusia untuk memperoleh sesuatu dari dunia ini yang bermanfaat bagi kesejahteraan. Al-qur’an juga mengajarkan agar manusia tidak khawatir atau takut trhadap kekuatan itu secara tepat karena semua itu diciptakan bagi kepentingan hidup manusia. Sumbangsih Islam terhadap Perkembangan Sains dan Teknologi Terdapat beberapa faktor yang menggerakkan penemuan baru dalam teknologi Islam terutama pada abad VIII M hingga XII M yaitu puncaknya perkembangan teknologi dan peradaban Islam. Peranan yang dimainkan Islam melalui ajaran merupakan gaya baru momentum yang tinggi dalam pencapaian teknologi pada waktu tersebut. Al-qur’an banyak sekali menyebut
181
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
tentang seruan Allah agar manusia terus tekun menimba ilmu pengetahuan dan berusaha dalam mencapai penemuan-penemuan baru dengan memikirkan tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam menciptakan alam ini. Bahkan surat yang pertama yang diturunkan kepada Muhammad saw adalah seruan tuhan kepada manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Peradaban sains dan teknologi serta kebudayaan dalam perkembangan Islam disebabkan oleh meningkatnya taraf kehidupan di kota-kota yang dihuni oleh pemeluk agama Islam. Peradaban kota tersebut disebabkan oleh ajaran Islam yang diamalkan oleh penduduknya maka secara tidak langsung, Islamlah yang telah mendorong, mengembangkan dan meningkatkan kemajuan teknnologi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh George Sarton (ilmuan sains Barat) bahwa: “Para pengkaji yang berhubungan dengan zaman pertengahan telah memberikan kepada kita ide
palsu sama sekali tentang pemikiran sains zaman
pertengahan karena kemampuan mereka yang terlalu eksklusif kepada pemikiran barat, sedangkan pencapaian tertinggi telah diperoleh oleh orangorang timur…… sebutan orang ini kepada mereka……Al-Kindi, AlKhawarizmi, Thabit Ibnu-Qura, Al-Kharkhi, Omar Khayam dll, yang semuanya lebih tinggi dari sarjana-sarjana yang dipuja dibarat” Kemudian Sarton menegaskan lagi bahwa :
“Abad ke-9 hampir
sepenuhnya berupa abad orang Islam,… kegiatan sarjana-sarjana Islam dan orang sainsnya, amatlah superior. Merekalah yang menjadi pemegang piwai sebenarnya bagi peradaban masa itu”. Sebelum Salton mengemukakan ini, Smith telah lebih dulu menegaskan
dalam bukunya “The History of
Mathematics” bahwa : “Eropa telah berhutang atas Renaissancenya (Pembaharuanya) Kepada zaman keemasan Islam ini. Dalam bidang sains dan teknologi meliputi matematika, kimia, fisika, geologi, astronomi dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak seperti
182
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
bidang-bidang sains lain penemuan teknologi dibidang sains hasil sumbangan pengkaji Islam tidak banyak yang dapat diperoleh untuk dijadikan rujukan masa kini. Ini bukan berarti pengkaji Islam tidak banyak menyumbangkan teknologi dalam bidang sains, akan tetapi sebab utamanya terjadi keadaan demikian didasarkan dua factor sabagai berikut: 1. Pakar-pakar sains dan teknologi pada masa itu lebih banyak menfokuskan usaha-usaha mereka ke arah penggunaan teknologi yang diciptakan dari penemuan mereka, bidang penulisan tidak difokuskan sepenuhnya oleh karena desakan yang kuat dan keperluan yang penting untuk menciptakan dan menggunakan teknologi yang dihasilkan. 2. Memang tidak tidak bisa dipungkiri bahwa ketika jatuhnya satu demi satu negeri-negeri muslim ditangan penjajah, banyak buku-buku dan manuskripsi yang dihasilkan oleh ilmuan-ilmuan muslim telah musnah dan binasa. Antara buku-buku yang masih tertinggal dan dapat diselamatkan ialah kitab al-Hiyal yang ditulis oleh Al-Jazari, Book of Artifinces yang ditulis oleh Banu Musa dan The Sublime Methods Of Spritual Mechines yang ditulis oleh Taqi Al-Din. Sumbangan sains mekanikal yang utama dalam teknologi Islam ialah alat mengangkut air untuk digunakan untuk pengairan, perumahan, industry dan lain sebagainya. Mesin pengangkut air yang pertama disebut shaduf yang digunakan Mesir dan Syria, alat yang murah dan mudah ini masih digunakan di Mesir hingga sekarang. Dua lagi alat pengangkut air yaitu Saqiya dan Nauja. Saqiya digerakan oleh tenaga seekor binatang ternak digunakan untuk memutarkan roda sehingga air bisa diangkut sedangkan Nauja yaitu perbaikan mesin yang pertama dengan menggunakan empat pencedok untuk meningkatkan kuantitas air ynag diangkat. Oleh karena itu, benar yang dikatakan oleh Dr-Ing Fahmi Amhar (2010) dalam bukunya TSQ Stories: Kisah-kisah penelitian dan pengembangan sains dan teknologi di masa
183
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Peradaban Islam bahwa negeri kincir angin yang pertama bukan Belanda. Dia melanjutkan bahwa negeri kincir Angin pertama-tama pastilah suatu wilayah dalam Daulah Khilafah. Daulah Islam banyak wilayah yang kering, air langka, apalagi sungai yang dimanfaatkan sebagai sumber energi. Karena itu, di daerah kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin dapat dikembangkan sebagai altenatif sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat dengan jelas dalam kitab Al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara dan kincir angin pertama kali digunakan dipropinsi Sistan, Iran timur sebagai mana dicatat oleh geographer Istakhri pada abad ke-9 M. Jadi masuk diakal jika sejarahwan Joseph Needham (1986) menulis bahwa “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam”.
184
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015
Kolaborasi Pendekatan Sufistik Dan Saintifik Dalam Membina Generasi Yang Cerdas Dan Berakhlak Melalui Proses Pendidikan
Emah K
Daftar Pustaka Abdullah Nasih Ulwan. 1981. Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam. Beirut: dar alSalam, cet II. Abuddin Nata. 1999. Metodologi Studi Islam. Cet. III. Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada AK Scott. 1997. Sufisme and New Physics, Sufisme, 8 No. 1, 29-33 Asmaran. 2001. Pengantar Studi Tasawuf . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Dakir dan Sardimi. 2011. Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil. Semarang: RaSAIL Media Group. Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ (Komparasi-Integrasi Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011) Ibrahim B. Syed, Sufism and Quantum Physics, Etudes orientales Nos 23/24, 2005 Iskandar, Yul, Test Personaliti, Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 2002, h.58. John P. Miller, oleh Abdul Munir Mukhan. Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian: Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas. Yogyakarta: Kreasi Wacana Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany. 1979. Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Laguulung. Jakarta: Bulan Bintang Muhammad Abdul Haq Ansari. 1990. Antara Sufisme Dan Syari’ah. Jakarta: CV. Rajawali Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang Samsiah, Nur Siti .2010. Dimensi Sufistik dalam Puisi A. Musthofa Bisri. Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. http://digilib.uinsuka.ac.id/3919/ Yusuf Qardlawi. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami Abdul Gani. Jakarta: Bulan Bintang
185
El-Ibtikar Volume 04, nomor 02, Desember 2015