BAB V PENUTUP
Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur diuraikan dengan menjelaskan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat, Jepang dan Amerika Serikat, serta Cina dengan Jepang serta pola aksi-reaksi atas berbagai kebijakan dari negara-negara tersebut di kawasan. Konstelasi keamanan kawasan sangat mempengaruhi perilaku politik luar negeri dan membentuk pola dan skema interaksi antarnegara. Berakhirnya Perang Dingin memunculkan kondisi ketidakstabilan sistem internasional dan berkembangnya isu keamanan, termasuk di kawasan Asia Timur. Negara-negara di Asia Timur mulai mengarahkan perhatian kepada perkembangan keadaan sekitar yang dianggap dapat menjadi sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya. Sejarah Perang Dingin memberikan suatu kondisi di mana rivalitas antarnegara dalam kawasan tertentu masih berlangsung. Potensi konflik kawasan juga dirasakan oleh negara-negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar. Semua hal ini mendorong negaranegara di kawasan Asia Timur untuk lebih memikirkan urusan keamanan kawasan. Dalam konteks ini, kompleksitas keamanan kawasan berfokus pada unsur-unsur penting berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan, dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan). Kedekatan geografis merupakan tempat di mana hubungan keamanan antanegara saling memiliki keterikatan. Ancaman akan terasa semakin besar karena faktor kedekatan jarak. Di Asia Timur, letak geografis Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang sangat dekat. Posisi perbatasan ini menjadi tempat yang sangat potensial untuk terjadinya konflik bersenjata. Selain kekhawatiran dan rasa takut akan ancaman serangan dari negara lain, minimnya kerja sama keamanan antarnegara juga menjadikan keamanan kawasan semakin kompleks. Pengaturan kerja sama kawasan sangat membantu sebagai sarana untuk merespon tantangan-tantangan keamanan dan mengkoordinasikan kebijakan antarnegara di kawasan. Selain itu, kerja sama kawasan juga berguna dalam proses penyelesaian apabila terjadi konflik antarnegara kawasan. Pembentukan kerja sama keamanan yang efektif perlu dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan keamanan di kawasan. Minimnya pengaturan kerja sama keamanan kawasan bisa 88
mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Total pengeluaran anggaran militer Cina, Jepang, dan Korea Selatan terus mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Peningkatan anggaran militer suatu negara di kawasan akan selalu dipandang sebagai ancaman bagi negara lain, begitu pula sebaliknya. Dilema keamanan yang terlihat dari kenaikan anggaran militer ini akan menciptakan situasi keamanan yang semakin kompleks karena terdapat polaritas kekuatan yang tidak seimbang antarnegara di kawasan. Polaritas kekuatan di Asia Timur terlihat ketika dukungan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan dan Jepang menjadikan Korea Utara dan Cina berupaya meningkatkan kekuatan untuk mengimbangi mereka. Aliansi Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan membuat interaksi di kawasan mengarah pada pola permusuhan (enmity). Ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan antara negara aliansi dengan negara lain, seperti Korea Utara. Konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan ini akhirnya berujung kepada hubungan kedekatan negara dalam suatu kawasan yang kemudian berimplikasi terhadap persepsi ancaman. Terdapat beberapa alasan yang mendasari hubungan amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) merupakan aspek yang paling berpengaruh dalam pembentukan dilema keamanan. Pertama, konstruksi sosial amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) akan berujung kepada formulasi kedekatan negara dalam suatu kawasan. Pola persahabatan dan permusuhan ini memicu keterlibatan pihak eksternal, yakni Amerika Serikat. Kedua, konstruksi sosial amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) menjadikan sejarah merupakan faktor penting dalam terbentuknya dilema keamanan. Ketiga, konstruksi sosial amity dan enmity menyebabkan terjadinya pola permusuhan yang tercipta antaranegara sehingga masing-masing negara berupaya mengembangkan kekuatan militernya. Dalam kondisi tersebut, aliansi militer Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan semakin memperkuat kekuatan militer masing-masing negara di kawasan, kecuali Korea Utara. Korea Utara mengalami kesulitan untuk menjalin aliansi dengan negara lain ataupun meningkatkan kekuatan militernya sehingga ia meningkatkan kemampuan nuklir sebagai upaya untuk mempertahankan keamanan nasional. Strategi pengembangan nuklir dinilai memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan kekuatan. Bagi Korea Utara, pengembangan nuklir dan peluru kendali merupakan strategi penangkalan yang lebih efektif dari sistem persenjataan lainnya. Korea Utara senantiasa merasa 89
terancam oleh dominasi Amerika Serikat sehingga ia bersikeras untuk mempertahankan kebijakan nuklirnya. Korea Utara menghendaki agar Amerika Serikat menghentikan kerja sama keamanan dengan Jepang dan Korea Selatan, yang selama ini memberikan potensi ancaman terhadap keamanan Korea Utara. Akibat situasi kawasan yang rentan dengan konflik tersebut, Korea Utara berharap bisa menyeimbangkan kekuatan militernya dengan negara lain dengan melakukan pengembangan senjata nuklir. Kompleksitas keamanan kawasan di Asia Timur pada dasarnya menjelaskan tentang kondisi keamanan Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara yang tidak stabil karena terjadi persaingan di kawasan, yang juga melibatkan negara di luar kawasan, dalam hal ini Amerika Serikat. Keberadaan negara adidaya di kawasan Asia Timur memberikan risiko tersendiri bagi negara-negara di Asia Timur. Potensi kompetisi antarnegara ini terlihat ketika Amerika Serikat, Jepang, dan Cina saling berebut pengaruh di kawasan dan memungkinkan benturan kepentingan yang dapat memicu terjadinya konflik dan ketidakstabilan kawasan Asia Timur. Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur menyebabkan terjadinya dilema keamanan, yaitu ketika satu atau sekelompok negara meningkatkan kapabilitas dan kemampuan militer demi tujuan keamanan dengan mengurangi tingkat keamanan negara lainnya di sekitarnya. Aliansi militer dan peningkatan anggaran militer merupakan bukti bahwa dilema keamanan menyebabkan perasaan takut dan terancam bagi negara-negara di kawasan Asia Timur. Korea Utara menganggap keamanan kawasan yang kompleks membahayakan keamanannya sehingga ia mengembangkan senjata nuklir untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan militer negara-negara lainnya di Asia Timur. Pada akhirnya, pengembangan senjata nuklir Korea Utara telah membuat keamanan di kawasan Asia Timur semakin kompleks. Pengembangan nuklir bisa menimbulkan reaksi berantai yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan. Upaya Korea Utara untuk mempertahankan program nuklirnya bisa memicu perlombaan senjata di Asia Timur. Dinamika perlombaan senjata akan semakin tidak terkendali dan akan menciptakan dilema keamanan yang semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan. Pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara tersebut juga bisa menjadi pembenaran bagi Korea Selatan dan Jepang untuk mengembangkan senjata nuklir sebagai bagian dari upaya meningkatkan pertahanan dan kapabilitas nuklir mereka. Langkah ini kemudian akan dianggap sebagai ancaman yang terus
90
berlangsung bagi Korea Utara. Dapat dipahami bahwa dilema keamanan masih terus terjadi di kawasan Asia Timur. Berdasarkan teori dan data yang dianalisis dalam tesis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Korea Utara mengembangkan senjata nuklir karena kompleksitas keamanan kawasan. Kompleksitas keamanan kawasan berimplikasi pada terjadinya dilema keamanan yang mengancam keamanan Korea Utara. Dari penelitian ini, ditemukan tiga hal menarik. Pertama, kompleksitas keamanan kawasan khususnya konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui hubungan amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) menyebabkan terjadinya dilema keamanan. Kedua, dilema keamanan di kawasan menciptakan perasaan takut dan terancam bagi suatu negara, sehingga ia akan berupaya meningkatkan kapabilitas militernya untuk melindungi kepentingan nasional akibat ancaman dari kekuatan militer negara lain. Korea Utara menganggap keamanan
kawasan
yang kompleks
membahayakan keamanan
nasionalnya
sehingga
mengembangkan persenjataan nuklir dianggap sebagai jawabannya. Ketiga, pengembangan nuklir Korea Utara menimbulkan aksi-reaksi yang semakin meningkatkan ketegangan di Asia Timur. Perlombaan senjata akan semakin tidak terkendali akibat dampak dari pengembangan nuklir Korea Utara. Konstelasi politik global dewasa ini menciptakan suatu kondisi di mana keamanan kawasan sangat mempengaruhi perilaku politik luar negeri negara-negara dalam kawasan tersebut. Potensi konflik kawasan, khususnya yang dipicu oleh senjata nuklir, dinilai sebagai ancaman yang besar. Kepemilikan senjata nuklir menjadi permasalahan sendiri bagi keamanan ketika ditujukan sebagai strategi untuk mengimbangi lawan-lawan yang dinilai memiliki kemampuan militer yang lebih baik. Faktor yang paling fundamental dalam konteks ini adalah bahwa negara merupakan organisasi politis yang berdasarkan wilayah tertentu. Lokasi negara mempengaruhi perilakunya terhadap negara lain dan batas-batasnya menetapkan wilayah yang biasanya diakui sebagai bagian yang ia kontrol. Isu-isu yang mengancam kelangsungan hidup akan dipandang sebagai ancaman yang eksistensial. Hubungan-hubungan antarnegara merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi konflik dan cara negara berurusan satu sama lain. Konflik tidak harus selalu diartikan sebagai pertempuran antarnegara secara terbuka, tetapi juga dapat dimaknai sebagai non-combat conflict, di mana terdapat perlombaan senjata, konflik wilayah, dan ancaman kekuatan militer. Dalam kasus Korea Utara, pengembangan senjata nuklir
91
sangat dipengaruhi oleh latar belakang keamanan kawasan Asia Timur dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Fenomena kompleksitas keamanan kawasan yang berimplikasi pada terbentuknya dilema keamanan terhadap suatu negara yang akhirnya mempengaruhi perkembangan nuklir negara tersebut juga terjadi di kawasan lain, misalnya Timur Tengah dan Asia Selatan. Kompleksitas keamanan kawasan memberikan dampak terhadap perkembangan nuklir Iran di Timur Tengah dan perkembangan nuklir Pakistan di Asia Selatan. Di kawasan Timur Tengah, letak geografis Iran, Irak, Afghanistan, Suriah, dan Israel sangat dekat. Posisi perbatasan yang rentan dengan konflik ini menjadi tempat yang sangat potensial untuk terjadinya konflik bersenjata. Di kawasan Asia Selatan, posisi strategis Pakistan juga berdekatan dengan India, Afghanistan, Iran, dan Cina. Hal ini menyebabkan hubungan Pakistan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Selatan, khususnya dengan India, selalu rentan untuk terjadinya konflik. Selain itu, polaritas kekuatan antarnegara di kawasan-kawasan tersebut juga tidak seimbang. Iran khawatir terhadap perkembangan sistem persenjataan yang dimiliki oleh Israel, sementara Pakistan merasa bahwa perkembangan persenjataan yang dimiliki oleh India mengancam keamanan nasionalnya. Ketidakseimbangan kekuatan dalam hubungan antarnegara di kawasan-kawasan ini memunculkan dilema keamanan. Keterlibatan pihak eksternal dalam interaksi negara kawasan sangat mempengaruhi kompleksitas keamanan. Menurut konsep balance of power, kemunculan kekuatan yang dominan potensial di kawasan cenderung akan membuat tatanan sistem menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian menyebabkan tindakan penyeimbangan kekuatan oleh negara-negara lain dalam sistem. Keterlibatan Amerika Serikat dalam program nuklir Iran dan Pakistan melahirkan “struktur bipolar” yang memperumit polapola hubungan antarnegara di kawasan-kawasan tersebut. Pola hubungan amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) terlihat di kawasan Timur Tengah ketika Amerika Serikat memberikan dukungan terhadap pengembangan nuklir Israel dan mengecam keras program nuklir Iran. Di kawasan Asia Selatan, keterlibatan Amerika Serikat juga sangat mempengaruhi kebijakan nuklir Pakistan dan India. Amerika Serikat cenderung menjadikan komitmen melawan “negara poros setan” (axis of evil) dan „negara pembangkang” (rogue state) sebagai pembenaran dalam memposisikan hubungan amity dan enmity dalam kebijakan keamanannya. Berdasarkan persepsi tersebut, Amerika Serikat mengkategorikan Korea Utara sebagai “negara poros setan” (axis of evil) dan Iran sebagai salah satu dari “negara 92
pembangkang” (rogue state) dan menganggap bahwa negara-negara tersebut merupakan ancaman bagi keamanan internasional. Ini merupakan bagian dari agenda strategi politik Amerika Serikat dalam membangun opini internasional untuk menjatuhkan kredibilitas Korea Utara dan Iran. Dalam menghadapi pola permusuhan di kawasan-kawasan tersebut, Korea Utara, Iran, dan Pakistan membangun sebuah kekuatan persenjataan nuklir yang ditujukan sebagai langkah mengamankan posisi masing-masing dari ancaman kredibilitas kekuatan militer eksternal. Korea Utara memulai program pengembangan nuklir akibat kekuatan militer yang tidak seimbang antara negara-negara di Asia Timur, khususnya antara ia dengan Amerika Serikat dan negara-negara aliansinya. Pengembangan senjata nuklir merupakan kebijakan keamanan Korea Utara, Iran, dan Pakistan untuk menghadapi rasa ketidakamanan dan ketakutan atas serangan negara lain yang memiliki kepentingan di kawasan serta kemampuan militer yang lebih kuat. Upaya untuk terus mempertahankan program nuklir bisa memicu perlombaan senjata dan mengakibatkan keamanan kawasan semakin kompleks. Pengembangan nuklir negara-negara tersebut bisa menimbulkan aksi-reaksi yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan. Meskipun terdapat kesamaan dalam fenomena kompleksitas keamanan kawasan, tetapi juga ada beberapa perbedaan antara tiga kawasan tersebut. Di kawasan Timur Tengah, Iran kini sudah melunak dan bersedia untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat. Kesepakatan Amerika Serikat dengan Iran tersebut merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat dalam kebijakan proliferasi nuklir di kawasan Timur Tengah. Di Asia Selatan, kesediaan Pakistan mendukung kebijakan anti-terorisme, membuat tekanan Amerika Serikat terhadap program nuklirnya semakin berkurang. Sementara itu, Korea Utara tetap keras menentang intervensi Amerika Serikat dalam pengembangan senjata nuklirnya. Kebijakan Korea Utara untuk mempertahankan program senjata nuklir dan uji coba rudal balistik menandakan bahwa ia memiliki tujuan jangka panjang dalam pertahanan keamanannya dan sebagai respon dari kompleksitas keamanan kawasan dengan segala dinamikanya.
93