BERITA
w w w. k o m n a s p e r e m p u a n . o r . i d
KOMNAS PEREMPUAN EDITORIAL
Edisi 19 MEI 2016
Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan dan Libatkan Keterwakilan Mekanisme HAM Perempuan di Forum Internasional
J
Dok. Komnas Perempuan
catatan kritis, apabila NHRI anuari 2016, kembali marak terlibat di CSW. Catatan ini diberitakan pewacanaan harus menjadi perhatian hukuman kebiri untuk CSW dan ICC (International mencegah kekerasan seksual, Coordinating Committee) sehingga Komisi Nasional Anti yaitu sebuah komite yang Kekerasan terhadap Perempuan mengkoordinasi NHRI. Catatan (Komnas Perempuan) dari Komnas Perempuan antara mengeluarkan Pernyataan lain: (1) Apabila satu negara Sikap: “Argumentasi Penolakan hanya direpresentasi oleh 1 Komnas Perempuan Atas NHRI dengan status A dalam Rencana Perpu Hukuman forum strategis internasional, Kebiri”(19/01/2016). Komnas termasuk dalam CSW 60, Perempuan memiliki sejumlah maka administrasi ICC ini temuan yang hendaknya akan memarginalkan institusi menjadi pertimbangan, seperti: HAM yang lebih spesifik atau “Kekerasan seksual tidak specified institution, termasuk selalu terjadi karena Konferensi Pers Peluncuran Catahu 2016 (07/03/2016) lembaga HAM Perempuan dorongan seksual. Temuan untuk hadir secara formal merepresentasikan dirinya; (2) Pengakuan selama 17 tahun memantau kekerasan seksual di publik dan domestik, personal status A karena mandat general, secara intrinsik menutup dan maupun komunal, menemukan bahwa kekerasan seksual justru disebabkan tidak mengakui lembaga spesifik tersebut, termasuk kelembagaan oleh relasi kuasa sebagai ekspresi penaklukan, inferioritas, teror, kontrol yang perempuan. Penilaian seharusnya ditekankan kepada kinerja. Soal berhubungan dengan dorongan psikis daripada desakan genital”. Selain itu, representasi, biarkan masing-masing negara yang tentukan siapa yang hukuman kebiri mencabut hak seksual manusia sebagai akan merepresentasi sesuai isu, namun penting ada collected reports hak dasar untuk melakukan aktivitas reproduksi dan antar lembaga HAM; (3) Keterlibatan NHRI dalam CSW harus hukuman kebiri akan merusak integritas konstitusi, karena dieksplisitkan untuk diwakili oleh mekanisme HAM Perempuan atau membuka peluang bentuk-bentuk penghukuman yang mengamputasi Komisi HAM Perempuan; (4) Indonesia telah memiliki koordinasi dan membuat disfungsi organ manusia. yang baik antar NHRI untuk berbagi peran dan kesempatan bicara Penolakan Komnas Perempuan terhadap Hukuman Kebiri juga dengan di mekanisme HAM Internasional, terutama dalam Universal Periodic merespon agar disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Review (UPR). Mengenai Kesepakatan Bersama dari CSW 60, dapat Seksual. Setelah Sidang Paripurna DPR RI, tanggal 26 Januari 2016, dibaca pada Rubrik Pantau. maka DPR menetapkan Penambahan Program Legislasi Nasional Sudahkah kalian mengunjungi TPU Pondok Ranggon? Terutama (Prolegnas) Tahun 2015-2019, dan RUU Penghapusan Kekerasan pasca peresmian Prasasti Mei ’98? Saat ini di Makam Massal Korban Seksual salah satu di dalamnya. Terkait mengenai ini, maka Komnas Tragedi Mei ’98 telah ada penambahan beberapa prasarana: taman, Perempuan telah mengeluarkan siaran pers: “Prolegnas 2016: Perlu pengerasan jalan tapak, dan plaza kecil yang dapat digunakan untuk Prioritaskan Pembahasan RUU Yang Melindungi Perempuan dan Kelompok Rentan (03/02/2016). kegiatan kesenian dan kebudayaan pada peringatan Mei ’98. Nantinya publik dapat menggunakan tempat ini. Masih ingat dengan Dewi Ada kegiatan besar Komnas Perempuan sepanjang Januari-April Anggraeni? Beliau pernah menulis buku “Tragedi Mei 1998 dan 2016, yaitu: Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) 2016 dan peserta Lahirnya Komnas Perempuan”. Pada rubrik Pendapat Pakar, redaksi Commission on the Status of Women (CSW) ke 60. Peluncuran Catahu akan memuat pendapatnya mengenai “Energi Pencetus Komnas 2016, beritanya ada di rubrik Fokus Utama. Perempuan, Dulu dan Sekarang”. Komnas Perempuan kembali menjadi peserta CSW 60/ Komisi Status Redaksi berharap, newsletter edisi 19 ini dapat menyelami khasanah Perempuan yang berlangsung 14-25 Maret, di markas besar PBB, pembaca untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. New York. Pada side event tentang NHRI (National Human Rights Arkian, Selamat membaca. n Institutions), maka Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 1
AKTIVITAS Audiensi Komnas Perempuan dengan Menko Polhukam Luhut Panjaitan
Dok. Komnas Perempuan
Audiensi dengan Menko Polhukam (24/02/2016)
K
omnas Perempuan mengadakan audiensi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia/ Kemenko Polhukam (24/02/2016). Komnas Perempuan yang turut hadir: Azriana (Ketua), Yuniyanthi Chuzaifah (Wakil Ketua), Lily Danes (Sekretaris Jendral), Mariana Amiruddin (Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat), Khariroh Ali (Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional/ GK-PKHN), diterima langsung oleh Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia). Pada pertemuan yang berlangsung cukup singkat tersebut,
DAFTAR ISI
Mengenai kebijakan diskriminatif, maka Azriana menyampaikan bahwa ini merupakan hal yang paling mendesak,“Karena kami melihat persoalan peraturan diskriminatif ini, sebenarnya bukan sekedar persoalan diskriminatif terhadap perempuan atau kelompok minoritas, tetapi ini persoalan ketahanan bangsa, dimana kita harus memastikan agar konstitusi tegak di seluruh Indonesia, terutama di era otonomi daerah ini.” Kesamaan pandangan inilah yang akhirnya membuat Menkopolhukam meminta agar Komnas Perempuan memberikan semua list/daftar peraturan daerah diskriminatif, yang jumlahnya telah mencapai 389 kebijakan diskriminatif, merupakan hasil pemantauan Komnas Perempuan sejak tahun 2008 sampai bulan Oktober 2015. Nantinya akan disampaikan kepada Presiden dan Presiden yang akan bertemu dengan Mendagri. n (Chrismanto Purba, Redaksi).
Penanggung Jawab:
Editorial
1
Aktivitas
2, 4, 6, 9
Fokus Utama
3
Pendapat Pakar
5
Info Hukum
7
Pantau
8
Profil
10
Resensi
11
Glosarium/Terobosan Hukum
12
2
Komnas Perempuan menyampaikan beberapa hal penting yang mendesak untuk disikapi, seperti: penanganan pengungsi Rohingya di Aceh, jaminan ketidakberulangan pengusiran kepada para kelompok Gafatar, kebijakan diskriminatif terhadap perempuan termasuk yang tidak sejalan dengan konstitusi Indonesia, dan temuan lainnya.
| Berita Komnas Perempuan
Sub Komisi Partisipasi Masyarakat: Mariana Amiruddin, Magdalena Sitorus, Indriyati Suparno Redaktur Pelaksana: Chrismanto Purba Kontributor:
Aflina Mustafainah, Christina Yulita, Dewi Winu Wulan, Indraswari, Salamun Ali Mafaz, Yuniyanthi Chuzaifah, Yuni Asriyanti Alamat Redaksi: Jl. Latuharhary No. 4B, Jakarta 10310, Telp. (021) 3903963, Fax. (021) 3903922 www.komnasperempuan.or.id @KomnasPerempuan Komnas Perempuan-Group Silakan kirim masukan dan kritik Anda ke:
[email protected]
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
FOKUS UTAMA Kekerasan terhadap Perempuan: Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik, Komunitas dan Negara Oleh Chrismanto Purba Redaksi Komnas Perempuan
Pengantar Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan rutin diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Catahu tepatnya diluncurkan satu hari sebelumnya, tanggal 7 Maret. Catahu 2016 telah diluncurkan dengan kegiatan konferensi pers di Komnas Perempuan (07/03/2016), dengan narasumber: Azriana, (Ketua), Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua), Mariana Amiruddin (Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat) dan Indraswari (Komisioner Subkomisi Pemantauan). Menurut Azriana, maka pola, bentuk dan angka kekerasan terhadap perempuan semakin meluas, tidak hanya terjadi di wilayah domestik, namun juga di berbagai ranah termasuk di wilayah publik. ”Ini ada kaitannya dengan peraturan daerah yang diskriminatif, peristiwa intoleransi agama, kebijakan hukuman mati, penggusuran, konflik politik,” kata Azriana. Pada akhir peluncuran Catahu 2016 dilanjutkan dengan pembukaan “Garage Sale: 100% Donasi untuk Pundi Perempuan”. Garage sale ini berlangsung tanggal 8-10 Maret, bertempat di kantor Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa). Pembukaannya dimeriahkan oleh Sisterhoodgigs (Komunitas Seniman Perempuan yang dipelopori oleh Tere Penyanyi Pop Indonesia), SIMPONI (Band Indie Anak Muda yang membawakan isu Lingkungan, Anti Korupsi, dan Anti Diskrimnasi/Kekerasan terhadap Perempuan), serta pembacaan puisi berantai oleh Komunitas Perempuan Berbagi, Olin Monteiro, Ririn Sefsani, Lini Zurlia, dan lainnya. Data dan Temuan Untuk Catahu 2016, maka Komnas Perempuan memberikan catatan penting dan menyimpulkan bahwa pada tahun 2015 kekerasan terhadap perempuan memperlihatkan pola meluas, sehingga penting agar negara hadir secara maksimal untuk terlibat dalam pencegahan, penanganan, serta tindakan strategis untuk menjamin rasa aman perempuan korban. Komnas Perempuan membagi persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi 3 wilayah/ ranah, yaitu: Kekerasan Personal (KDRT/Relasi Personal), Ranah Komunitas, dan Ranah Negara dengan penjelasan sebagai berikut:
Dok. Komnas Perempuan
“Temuan Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah domestik atau rumah tangga maupun dalam relasi perkawinan, tetapi juga terjadi meluas di masyarakat umum maupun yang berdampak dari kebijakan negara”
Pembacaan puisi berantai (07/03/2016)
Ranah Personal: Berdasarkan jumlah kasus sebesar 321.752 tersebut, maka sama seperti tahun sebelumnya, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling besar adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal. Sementara bentuk kekerasan yang terbesar adalah kekerasan dalam bentuk fisik dan seksual. Hal ini berbeda dari tahun sebelumnya yang menemukan bentuk kekerasan yang terbesar adalah fisik dan psikis. Artinya terjadi kenaikan data kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dibandingkan tahun sebelumnya. Bila tahun lalu kekerasan seksual menempati peringkat ketiga, tahun ini naik di peringkat dua, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus). Beberapa kasus yang direkam oleh Komnas Perempuan adalah terjadi kekerasan terhadap perempuan (pekerja rumah tangga dan istri) yang diduga dilakukan oleh pejabat publik dari anggota parlemen, serta kejahatan perkawinan yang dilakukan artis. Ranah Komunitas: Sebanyak 31% (5.002 kasus), dan jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%), sama seperti tahun sebelumnya (data 2014 dan data 2013). Untuk tahun ini jenis dari bentuk kekerasan ini adalah perkosaan (1.657 kasus), pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (6 kasus). Di luar persoalan perkawinan dan rumah tangga Komnas Perempuan memberi perhatian serius tentang meluasnya tema kekerasan seksual yang muncul dalam pemberitaan media, yaitu: pekerja seks online, mucikari, artis pekerja seks, kasus cyber crime, iklan biro jodoh berkedok syariah dan penyedia jasa pelayanan perkawinan siri, kasus perbudakan seks seorang anak perempuan oleh ayah mertua di Tapanuli Selatan. Terdapat juga pelarangan diskusi dengan tema LGBT di Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Lampung. Demikian pula pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang dilakukan oleh seorang dosen di sebuah universitas.
www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 3
Ranah Negara: Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) negara, artinya aparat negara sebagai pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelanggaran HAM Perempuan terjadi. Ditemukan adanya 8 kasus, diantaranya 2 kasus pemalsuan akta nikah dilaporkan terjadi di Jawa Barat, kemudian 6 kasus lainnya dilaporkan terjadi di NTT, seperti kasus trafficking yang menemui hambatan di kepolisian dan kasus penganiayaan oleh oknum polisi. Komnas Perempuan juga mencatat pembiaran pada kasus peristiwa pelanggaran HAM Masa Lalu yang berdampak pada perempuan korban. Pada kasus pelanggaran HAM Masa Lalu, terdapat kasus kekerasan seksual, dan stigmatisasi terhadap perempuan yang masih berlangsung sampai kini. Demikian pula
peraturan daerah yang mengkriminalisasi perempuan seperti penangkapan 2 (dua) orang perempuan oleh petugas Wilayatul Hisbah di Aceh. Hal lain adalah kasus perempuan dalam tahanan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap seorang perempuan warga binaan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur yang dilakukan oleh seorang sipir laki-laki. Temuan kasus lainnya adalah tes keperawanan di institusi militer, wacana pengesahan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, seorang LBT dihukum penjara karena penipuan perkawinan di Sulawesi Barat. Catahu ini juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara: Presiden, Kementerian, DPR-RI, Aparat Penegak Hukum, dan lembaga non negara yang strategis *)n
AKTIVITAS
Dok. Komnas Perempuan
Audiensi Komnas Perempuan dengan Mendikbud Anies Baswedan Komnas Perempuan disambut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (02/03/2016)
K
omnas Perempuan melakukan audiensi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (02/03/2016). Azriana (Ketua Komnas Perempuan) menyampaikan kekerasan seksual yang banyak dialami oleh remaja di lingkungan lembaga pendidikan. Oleh karenanya, Komnas Perempuan mengembangkan modul pendidikan HAM Berperspektif Gender untuk mengenalkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia di lingkungan pendidikan. Komnas Perempuan disambut oleh Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) didampingi oleh Ananto Kusuma Seta (Staf Menteri Bidang Inovasi), Irsa (Kepala Sekretariat dan Sinkronisasi Kebijakan), M. Chozin (Staf Khusus Menteri). Mendikbud telah mengeluarkan Surat Edaran yang menyatakan bahwa siswi hamil tetap boleh mengikuti ujian, meskipun demikian informasi ini harus terus disosialisasikan ke semua sekolah, sehingga pihak sekolah 4
| Berita Komnas Perempuan
tidak ada alasan untuk melarang. Temuan Komnas Perempuan dari mitra di region timur dan barat, hal ini masih menjadi isu sensitif, karena banyak siswi hamil adalah korban perkosaan, ada juga kasus pemaksaan aborsi, selain itu banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi di lingkungan pendidikan. Mendikbud akan membuat peraturan pengendalian kekerasan di sekolah dan menurut Presiden aturan ini sebaiknya dibuat menjadi Peraturan Presiden. Aturan ini nantinya lebih tepat ditempatkan di Pemerintah Daerah (Pemda), karena berkaitan dengan alokasi APBD. Perpres ini merupakan perluasan sekaligus juga pendalaman, karena lingkup yang ada di Perpres jauh lebih besar daripada Peraturan Menteri, sehingga perlu ditambahkan dengan komponen-komponen lain.n (Salamun Ali Mafaz, Asisten Koordinator Divisi Pendidikan)
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
PENDAPAT PAKAR Dewi Anggraeni: “Energi Pencetus Komnas Perempuan, Dulu dan Sekarang”
K
Menurut Ibu Dewi Anggraeni, energi apa saja yang membidani lahirnya Komnas Perempuan? Ada 4 energi yang membidani lahirnya Komnas Perempuan. Energi pertama adalah a sense of outrage, rasa marah yang mendalam dan tidak percaya bahwa elemen-elemen dari bangsa Indonesia bisa melakukan kejahatan seperti itu. Kejahatan di Mei ‘98 harus diselidiki, sehingga sumber permasalahannya bisa diuraikan. Energi kedua, a sense of decency, naluri dasar norma-norma kelayakan. Hati nurani masyarakat tidak lagi mampu melihat penghancuran properti milik orang-orang Tionghoa dan kejahatan seksual yang begitu keji terhadap perempuan Tionghoa. Energi berikutnya adalah basic humanity, naluri dasar kemanusiaan yang muncul berbarengan dengan tergugahnya rasa nurani masyarakat. Naluri dasar kemanusiaan kian lama kian kuat sampai hari ini. Energi terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah a colletive sense of shame, naluri rasa malu kolektif. Energi ini menghasilkan keberanian moral untuk mengambil hikmat dari kejadian ini agar tidak terjadi keberulangan. Di sisi lain, energi ini juga mendorong sebagian orang untuk menyangkal apa yang terjadi. Energi-energi ini terus berkembang dan berevolusi sampai sekarang. Menurut Ibu, seberapa penting Komnas Perempuan dibentuk pada waktu itu? Pembentukan Komnas Perempuan sangat penting pada
Dok. Komnas Perempuan
omisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) lahir sebagai respon pertanggungjawaban Negara terhadap tuntutan masyarakat yang marah, atas maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada Tragedi Mei ‘98. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan ada 85 perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual, 52 di antaranya adalah korban perkosaan massal (gang rape). Komnas Perempuan juga merupakan Lembaga Negara pertama yang lahir pasca reformasi digulirkan. Sebagai putri sulung reformasi, tentu semangat yang membidani lahirnya Komnas Perempuan berbeda dari Lembaga Negara lainnya. Untuk mengetahui energi pencetus lahirnya Komnas Perempuan, baik yang dulu maupun sekarang, Dewi Winu Wulan, relawan di divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan berkorespondensi dengan Dewi Anggraeni. Beliau adalah kontributor Tempo dan juga penulis buku “Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan”
waktu itu. Pasca Tragedi Mei ‘98, banyak orang Tionghoa merasa menjadi kaum yang termarjinalkan. Mereka merasa tidak ada yang peduli pada mereka. Bahkan, banyak para korban dan keluarganya yang merasa tidak ada gunanya lagi untuk tinggal di Indonesia. Terbentuknya Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa anggapan itu tidak benar. Tragedi Mei ‘98 adalah rekayasa permainan politik belaka. Pembentukan Komnas Perempuan juga menunjukkan gerakan perempuan yang begitu besar dan kuat, yang mampu meyakinkan presiden untuk membentuk suatu komisi independen sebagai respon terhadap Tragedi Mei ‘98. Bagaimana pro dan kontra yang terjadi pada awal pembentukan Komnas Perempuan? Ada banyak yang kontra saat presiden Habibie ingin membentuk Komnas Perempuan. Kalangan yang kontra berasal dari sejumlah menteri dan ajudan presiden pada waktu itu. Akan tetapi, Presiden dengan tegas mengatakan bahwa beliau memiliki pendapat sendiri.
www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 5
Bagaimana media memberitakan pembentukan Komnas Perempuan waktu itu? Tidak ada media yang meliput pembentukan Komnas Perempuan secara besar, sehingga banyak orang yang tidak tahu apa sebab dan tujuan pembentukan Komnas Perempuan. Ini juga yang membuat saya menuliskan buku “Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan.” Bagaimana kinerja Komnas Perempuan saat ini? Apakah sudah sesuai dengan energi pada awal berdirinya? Ada keterbatasan yang saya lihat dalam Komnas Perempuan, yaitu Komnas Perempuan tidak mau menjadi badan eksekutif, sehingga kewenangannya (dalam menangani kasus) sangat terbatas.
Apa harapan Ibu Dewi Anggraeni tentang Komnas Perempuan kedepannya? Komnas Perempuan harus berstrategi dua arah. Pertama ke pemerintah, Komnas Perempuan harus meloby pemerintah (presiden) agar diberi wewenang yang lebih besar. Yang kedua ke masyarakat. Pencerahan ke masyarakat harus digalakkan dengan strategi yang lebih baik. Komnas Perempuan harus bisa menarik kelompok masyarakat yang lebih muda dan belum tahu tentang Komnas Perempuan. Apa pesan yang ingin Ibu sampaikan untuk anggota Komnas Perempuan periode ini? Pelajari kembali semangat yang melahirkan Komnas Perempuan. Bila semangat yang membentuk Komnas Perempuan tidak dihayati oleh komisioner Komnas Perempuan yang sekarang, maka kerja-kerjanya akan menjadi rutinitas saja. Saya pikir harus ada orientasi berkala untuk menanamkan semangat lahirnya Komnas Perempuan.*)n
AKTIVITAS
K
omnas Perempuan mengadakan audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri (08/03/2016). Mewakili dari Komnas Perempuan yang turut hadir adalah: Azriana (Ketua), Lily Danes (Sekretaris Jenderal), beberapa komisioner lainnya, seperti Masruchah, Sri Nurherwati, Saur Tumiur Situmorang, Nina Nurmila, Khariroh Ali, Nakhei. Komnas Perempuan disambut oleh Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri) didampingi dengan Kepala Biro Hukum dan Bagian Perencanaan dan Pembangunan Desa. Komnas Perempuan menyampaikan beberapa hal terkait dengan: kebijakan diskriminatif dan mekanisme pembatalannya, isu Papua, pekerja migran, Pilkada, Undang Undang Desa, dan pelayanan pada perempuan korban. Mengawali pertemuan ini, Komnas Perempuan menyampaikan terimakasih dan apresiasi atas langkah yang dilakukan Kemendagri dalam membatalkan perdaperda yang diskriminatif. Pada kepemimpinan Mendagri saat ini, ada pembatalan kebijakan, sehingga akan mendorong inisiatif bagi kepala daerah untuk melakukan mekanisme yang sama sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 6
| Berita Komnas Perempuan
Dok. Komnas Perempuan
Audiensi Komnas Perempuan dengan Mendagri Tjahjo Kumolo
Komnas Perempuan disambut oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (08/03/2016)
Pada pertemuan ini, Komnas Perempuan juga ingin mendapatkan informasi mengenai berapa jumlah kebijakan diskriminatif yang akan ditinjau ulang atau dibatalkan. Kepala Biro Hukum Mendagri menyatakan bahwa, “Sekarang ada 23 perda yang akan dikeluarkan Permendagri. Dan kalau ada perda diskriminatifnya di kabupaten, maka akan kami panggil pihak provinsi dan akan kita cabut. “Kami akan pastikan perintah presiden sampai pertengahan tahun ini, 3000 perda yang terindikasi, akan dibatalkan. Minggu ini sudah 23 perda yang akan dibatalkan,“ ujarnya. Selanjutnya untuk menjalin komunikasi yang lebih erat dengan Komnas Perempuan, maka Tjahjo Kumolo merespon,”Menteri akan menunjuk liaison officer dari sekretariat untuk datang ke Komnas Perempuan setiap minggu. Jika ada masalah, dan masalahnya apa? maka akan ditindaklanjuti. Mendagri akan jemput bola.” n(Chrismanto Purba, Redaksi)
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
INFO HUKUM Tanggapan Komnas Perempuan terhadap Draft RUU Perlindungan Pekerja di Luar Negeri 1 Oleh Yuni Asriyanti Koordinator Gugus Kerja Pekerja Migran yang selalu dihadapi pekerja migran Indonesia belum menjadi prioritas kerja dalam materi muatan undang-undang;
Pendapat Umum
K
omnas Perempuan mengapresiasi inisiatif DPR untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) dengan membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Beberapa langkah maju dalam RUU PPILN memang patut diapresiasi, demikian pula dengan diakomodirnya beberapa usulan masyarakat sipil dan lembaga HAM Nasional. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Migran 1990 dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Komnas Perempuan membuat catatan kemajuan yang penting, terutama jika dibandingkan dengan Undang-Undang PPTKILN adalah: a. Paradigma perlindungan dan non diskriminatif terhadap pekerja migran dan keluarganya sudah mulai digunakan, dengan beberapa catatan. Upaya perlindungan dapat dilihat pada bagian khusus mengenai perlindungan hukum, sosial dan ekonomi; b. Pendidikan dan pelatihan diletakkan sebagai kegiatan prioritas; c. Pelibatan pemerintah daerah; d. Pembagian kewenangan dan tanggungjawab antar lembaga kementerian lebih jelas; e. Pembiayaan lebih jelas; f. Mengakui pentingnya perlindungan bagi anggota keluarga Pekerja Migran. Namun demikian, Komnas Perempuan masih melihat beberapa kelemahan. Terlebih lagi Daftar Isian Masalah (DIM) dan tanggapan Pemerintah terhadap RUU PPILN, merupakan kemunduran (set back) atas draft RUU PPILN itu sendiri. Secara umum kelemahan RUU PPILN ini terlihat pada: a. RUU PPILN ini belum sepenuhnya merujuk pada standar baku perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Ratifikasi Konvensi Migran 1990, seharusnya baik dalam Naskah Akademis maupun dalam RUU harus mengintegrasikan komitmen negara dalam undang undang yang organik ini, demi percepatan implementasinya; b. RUU PPILN ini belum menggunakan analisis gender dalam penyusunan pasal per pasal. Artinya fakta ketidakadilan gender
1 Tulisan ini merupakan resume dari tulisan yang terdapat di http://www.komnasperempuan.go.id/tanggapan-komnas-perempuan-terhadap-draft-ruu-perlindungan-pekerja-indonesia-di-luarnegeri-alur-migrasi-aman-dan-bermartabat/
c. RUU PPILN masih memandang pekerja migran sebagai satu entitas secara parsial karena memandang pekerja migran hanya sebagai “pekerja”, tidak memandang bekerja dan pekerja sebagai bagian dari pemenuhan dirinya sebagai manusia dengan segala harkat dan martabat kemanusiaannya, termasuk dirinya dalam berkeluarga, memiliki hasrat dan kebutuhan manusiawi yang perlu dipenuhi selain kebutuhan dan hak sebagai pekerja; d. Terdapat ketimpangan antara Naskah Akademik RUU PPILN dengan isi RUU PPILN, sehingga persoalan dan kebutuhan perbaikan kebijakan yang diuraikan dalam Naskah Akademik tidak terjewantahkan secara komprehensif pada muatan materi RUU PPILN; e. RUU PPILN masih berorientasi bisnis. Peran PPPILN/ PPTKIS, Asuransi dan Perbankan masih dominan. Pengaturan terhadap PPPILN/PPTKIS tidak jauh berbeda dengan UU No. 39/2004 tentang PPTKILN; f.
Pembagian peran, fungsi, hak dan kewajiban pelaksanaan, pemenuhan hak pekerja migran, termasuk perlindungan belum memenuhi prinsip kewajiban negara, karena justru didelegasikan pada pihak swasta;
g. Sanksi dan penghukuman terhadap setiap orang dan badan hukum negara maupun swasta yang terkait penyelenggaraan migrasi pekerja Indonesia belum diatur secara jelas. Hal ini dapat berpotensi RUU ini akan menyalahi prinsip imperatif dari sebuah kebijakan. Posisi dan Tanggungjawab Sektor Swasta dalam Tata Kelola Migrasi Tenaga Kerja Negara, selain memiliki kewajiban dalam Tata Kelola Migrasi Tenaga Kerja, maka negara juga memiliki kewajiban dalam pengaturan korporasi/ pihak swasta untuk menghormati HAM. Peran sektor swasta dalam proses migrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri selama ini sangat dominan. Komnas Perempuan berpendapat bahwa kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak pekerja migran dan anggota keluarganya merupakan tugas utama pemerintah, sedangkan untuk beberapa bidang dapat melibatkan atau didelegasikan pada pihak swasta dan masyarakat. Demikian juga tidak semua bagian dalam tata kelola migrasi dan perlindungan pekerja migran dapat didelegasikan kepada pihak swasta. Standar Internasional yang secara khusus terkait dengan posisi agen penyalur tenaga kerja adalah Konvensi ILO 181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta. Konvensi ini semestinya harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penyalur tenaga kerja swasta. Komnas Perempuan berpandangan bahwa peran sektor swasta dalam sistem migrasi tenaga kerja tidak bisa dihapus begitu saja, namun tidak boleh juga mendapat peran besar sebagaimana yang terjadi sebelumnya *)n
www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 7
PANTAU Kesepakatan Bersama dan Catatan Komnas Perempuan dari CSW 60 Oleh Yuniyanthi Chuzaifah dan Indraswari Mewakili Komnas Perempuan di CSW 60
K
omnas Perempuan menjadi peserta pada Commission on the Status of Women (CSW) ke 60/ Komisi Status Perempuan yang berlangsung pada 14-25 Maret di markas besar PBB, New York. Kegiatan CSW ke-60 ini, setidaknya diikuti ratusan negara, 1.035 NGO, dengan total jumlah peserta yang terdaftar 8.100 delegasi/peserta dari seluruh dunia. 1 Agenda pembangunan global sustainable development goals (SDG’s) adalah tema sentral CSW ke-60. Butir-butir penting kesepakatan bersama (agreed conclusion) CSW 60 adalah sebagai berikut: - Feminisasi kemiskinan terus terjadi sehingga penghapusan segala bentuk dan dimensi kemiskinan merupakan syarat mutlak pembangunan berkelanjutan. Perempuan dan anak perempuan penting mendapatkan standar hidup yang layak dalam seluruh tahap kehidupan (life cycle), termasuk jaminan sosial; - Tentang hak pendidikan, pentingnya memastikan perempuan dan anak perempuan mengakses pendidikan berkualitas di semua tingkatan, mengingat minimnya perempuan yang lulus sekolah menengah, termasuk untuk mendapatkan kesempatan untuk belajar terus menerus; - Tentang kesehatan seksual dan reproduksi serta hak reproduksi, pentingnya memastikan informasi, pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, termasuk hak untuk mengontrol dan memutuskan dengan bebas dari paksaan, diskriminasi, kekerasan dan bertanggungjawab tentang seksualitasnya; - Keluarga, keterlibatan laki-laki, pemimpin komunitas penting dalam mencapai kesetaraan gender dan penghapusan segala bentuk diskriminasi kekerasan terhadap perempuan di ruang privat dan publik, termasuk dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s); - Dalam hal pemberdayaan dan kemandirian ekonomi, hakhak ekonomi perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Dalam konteks tersebut perlu dipastikan perempuan memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, hak waris dan hak kerja layak dan mendapatkan upah yang setara dengan 1 Tulisan ini merupakan rangkuman dari siaran pers, dan catatan kritis dari Komnas Perempuan. Untuk mengetahui lebih lengkap dapat dibaca di: Siaran Pers (http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnasperempuan-menyambut-penyelenggaraan-komisi-status-perempuancommission-on-the-status-of-women-ke-60-di-pbb/); Butir Kesepakatan Bersama ; Catatan Kritis (http://www.komnasperempuan. go.id/catatan-komnas-perempuan-dari-commission-on-the-statusof-women-csw-60-atau-komisi-status-perempuan-di-pbb-14-25maret-2016/0 8
| Berita Komnas Perempuan
-
-
-
-
-
-
kerjanya (equal pay for equal work), termasuk kerja-kerja yang tidak dibayar dan kerja rumah tangga diakui. CSW 60 mengakui kontribusi pekerja migran, termasuk pekerja migran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan serta upaya penghapusan dan diskriminasi terhadap mereka. CSW 60 juga mendukung pemberdayaan pekerja migran perempuan melalui kerjasama bilateral, regional dan internasional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di negara asal, transit dan negara tujuan; Pada situasi darurat kemanusiaan (humanitarian emergency), penanganan konflik, bencana alam, trafficking, terorisme, ektremisme yang penuh kekerasan dan krisis kemanusiaan lain, penting menerapkan perspektif gender dan hak asasi untuk menjamin kebutuhan perempuan dan anak perempuan. Dalam situasi paska konflik, penting untuk memperkuat ketahanan dan dukungan bagi komunitas yang menampung pengungsi; Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah penghambat dalam pemenuhan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s). CSW 60 sepakat memastikan kekerasan berbasis seks dan gender, praktik-praktik yang menyakitkan bagi perempuan seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa, pelukaan genital perempuan (female genital mutilation - FGM) dihapuskan; Dalam rangka menghapuskan ketidaksetaraan dan diskriminasi gender, perlu diterapkan prinsip responsif gender (gender responsiveness) dalam pelaksanaan seluruh tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s), termasuk penting untuk mengkaji ulang hukum yang mengkriminalkan kekerasan terhadap perempuan serta mentransformasi stereotype gender dan perilaku sosial yang diskriminatif; Pembangunan tidak terlepas dari isu pembiayaan (financing) dan oleh sebab itu penting memastikan ketersediaan dana pembangunan dan investasi, guna mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, memperkuat kerjasama internasional terutama kerjasama Selatan-Selatan dan melibatkan masyarakat sipil dan sektor swasta, serta mengimplementasikan kebijakan sosial dan makro ekonomi yang memaksimalkan kontribusi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan; Dalam hal kerangka kebijakan dan hukum, pelaksanaan pembangunan berkelanjutan perlu menerapkan dengan efektif semua kerangka kebijakan internasional tentang perempuan antara lain: Deklarasi Beijing serta seluruh hasil evaluasinya, International Conference on the Population and Development (ICPD) dan Program Aksinya serta seluruh hasil evaluasinya, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination aganst Women (CEDAW) dan Protokol Opsionalnya, sebagai landasan pelaksanaan tujuan
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
-
-
pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Di semua tingkat, menghapuskan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan adalah keharusan, termasuk menjamin akses keadilan dan akuntabilitas bagi pelanggaran Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan; Perubahan iklim (climate change) adalah keniscayaan. Perspektif gender perlu diintegrasikan dalam kebijakankebijakan terkait lingkungan dan perubahan iklim dan memastikan partisipasi perempuan, termasuk perempuan adat, dalam partisipasi di masyarakat, ekonomi dan pengambilan keputusan politik terkait lingkungan dan perubahan iklim serta dalam memperkuat kapasitas dan kepemimpinan organisasi perempuan adat; Memastikan jaminan hak dan kebutuhan perempuan dan anak perempuan yang terdampak dari konflik, trafficking, terorisme, ekstremisme penuh kekerasan (violent extremism), termasuk partisipasi dalam segala proses dan pengambilan
keputusan dalam rekonstruksi, resolusi konflik dan membangun perdamaian; - Pengakuan terhadap peran penting dan kontribusi perempuan dan anak perempuan pedesaaan terhadap ketahanan pangan, penghapusan pemiskinan, pembangunan dan lingkungan yang berkelanjutan, termasuk partisipasi penuh dan setara dalam masyarakat ekonomi dan pengambilan keputusan politik; - Implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan penting melibatkan organisasi perempuan, kelompok feminis, pembela HAM, lembaga HAM Nasional (national human rights institution), dan kelompok muda. Dalam CSW 60 belum dibahas mekanisme konkrit pelibatan lembaga HAM Nasional karena tidak semua negara memiliki NHRI.n
AKTIVITAS Mencari Model Kampanye dengan Seniman
K
Mereka yang hadir adalah Faiza Mardzoeki (Institut Ungu), Berkah Gumulya (Simponi), Arief Adityawan (FSRD Untar), Dhyta Caturani (Purple Code), Naomi Srikandi (Teater Garasi, Koalisi Seni Indonesia), Yulia Ervina (Partisipasi Indonesia), Enrico Halim (Aikon), Camelia Jonathan (Sisterhoodgigs). Pada hari pertama, setelah presentasi dari Magdalena Sitorus (Komisioner Subkom Parmas), dan Mariana Amiruddin (Ketua Subkom Parmas) mengenai capaian kampanye yang telah dilakukan sebelumnya, maka Komnas Perempuan mendapatkan banyak respon, tanggapan, dan kritik dari seniman. “Kenapa seniman? Karena lembaga negara kering dengan ide dan kreativitas. Seniman menyampaikan hal yang menarik untuk masyarakat yang
Dok. Komnas Perempuan
omnas Perempuan, melalui Subkomisi Partisipasi Masyarakat mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan seniman (22-23/03/2016). FGD yang dilaksanakan selama 2 hari ini dilakukan untuk mendapatkan masukan, terutama 4 kampanye, yaitu: “Pundi Perempuan” (penggalangan dana publik untuk rumah aman bagi perempuan korban), “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan”, “Bhinneka Itu Indonesia” (mengingat posisi perempuan yang rentan kekerasan dari identitas yang melekat), dan “Mari Bicara Kebenaran” (mendengarkan sejarah kelam Indonesia dari perempuan korban dan memastikan pelanggaran HAM Masa Lalu tidak terjadi lagi). Terkhusus untuk Kampanye “Mari Bicara Kebenaran” dilaksanakan pada hari kedua.
Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan seniman (22-23/03/2016)
butuh keahlian khusus dan untuk itu penting keterlibatan seniman,” kata Mariana Amiruddin. Selain itu Catherine Emily, relawan dari AVI (Australian Volunteers International) yang setahun berproses di Parmas, juga menyampaikan presentasinya “I Say No Campaign”. Pada hari kedua, terkait kampanye “Mari Bicara Kebenaran”, maka Komnas Perempuan menyampaikan akan kembali bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menindaklanjuti beberapa kegiatan memorialisasi yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu Komnas Perempuan juga mengupayakan kerjasama dengan Dirjen Kebudayaan n (Chrismanto Purba, Redaksi)
www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 9
PROFIL Wachyani: “Memulai Misi Kemanusiaan Sebagai Kader Puskesmas”
W
achyani, yang akrab disapa Ibu Yani, adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak ingin hanya tinggal diam di rumah. Ibu Yani ingin aktif di masyarakat, terutama setelah beliau mempunyai pengalaman kehilangan keponakannya yang mengidap AIDS. Itulah yang mendorong Ibu Yani bekerja untuk kemanusiaan. Pilihan memulai misi kemanusiaannya adalah dengan menjadi kader Puskesmas, di Citeureup, Bogor. Bertemu dengan teman-teman ODHA (Orang Dengan HIV/ AIDS), perempuan pekerja seks, serta baru-baru ini dengan komunitas waria yang menjadi pekerja seks membuat Ibu Yani semakin memahami, bahwa mereka semua memiliki kerentanan terhadap diskriminasi dan kekerasan di masyarakat. Selama 13 tahun, beliau terus menjelaskan kepada masyarakat agar tidak melakukan stigma kepada kelompok rentan tersebut, karena mereka juga manusia. Hal ini terbilang bukan waktu yang sebentar dan tidak selalu berjalan dengan mulus. “Misinya adalah bagaimana agar AIDS tidak semakin meningkat di desanya. Hanya itu yang saya inginkan,” ujarnya. Oleh karenanya, beliau terus giat melakukan sosialisasi di desa kepada kelompok-kelompok rentan.
Keluh kesah lainnya, beliau curahkan pada pertemuan audiensi dengan Komnas Perempuan (17/02/2016), termasuk tidak adanya jaminan keselamatan kepada Ibu Yani sebagai kader puskesmas dan pendamping kelompok rentan. “Misalnya, permintaan saya untuk dibuatkan ID CARD pendamping belum terpenuhi hingga sekarang, padahal kalau saya sedang menjalankan tugas ini, kalau ada razia pekerja seks, maka saya juga bisa ikut diciduk aparat,” ucap Ibu Yani. “Belum lagi untuk hal teknis, dana Triwulan yang minim dan harus dibagi-bagi untuk 3-6 pendamping pada tiap puskesmas,” tambahnya. Di tengah keterbatasan tersebut, tetap tidak menghalangi Ibu Yani untuk tetap menjalani misi kemanusiaannya sambil terus bersuara tentang jaminan keselamatan dan perlindungan bagi perempuan pendamping kader Puskesmas n (Christina Yulita, Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat)
Selang waktu akhir–akhir ini, Ibu Yani banyak bekerja dan bertemu dengan komunitas waria di Bogor. Penyuluhan demi penyuluhan dilakukan untuk mensosialisasikan kerentanan sebagai pekerja seks dan upaya pencegahan HIV/AIDS di komunitas waria ini. “Saya tidak ingin mereka (teman-teman waria) menjadi pekerja seks. Saya ingin mereka punya skill untuk menghidupi diri mereka,” harapan Ibu Yani ini mendapat dukungan dari keluarganya.
10
| Berita Komnas Perempuan
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
Dok. Komnas Perempuan
Tak banyak kader Puskesmas yang mau mengambil tanggung jawab seperti dirinya, karena pasti akan menghadapi stigma dari masyarakat, ketika bergaul dengan komunitas waria. “Sebagai contoh ketika saya mengundang salah seorang teman waria untuk main ke rumah dengan maksud mengajarkan skill menjahit, setelahnya saya ditegur oleh wakil RW,” keluhnya. Ibu Yani menyadari betul bahwa pekerjaan ini memiliki banyak resiko termasuk berhadapan dengan masyarakat dan aparat setempat.
GALERI FOTO RESENSI 17 Tahun Komnas Perempuan “Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan” Oleh Aflina Mustafainah Asisten Koordinator Divisi Pemantauan Masyarakat Hukum Adat (MHA) secara umum berhadapan dengan para pihak di kawasan hutan adat mereka. Dalam DKU, MHA membuktikan hubungan yang jelas antara tanah yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya yang diatur dalam sistem pengelolaan kelembagaan adat, hukum adat, bukti-bukti fisik, serta batas-batas dan luasan wilayah yang jelas.
Kami tidak tau siapa yang menanam durian dan mangga di hutan, tapi kami biasa ambil untuk makan kami… memungut buah-buah yang jatuh adalah kebiasaan perempuan untuk makan keluarga… sekarang sudah tidak ada lagi, sejak hutan kami rusak… (DKU Region Papua)
P
ernahkah kita membayangkan bagaimana nasib perempuan adat yang kehilangan perannya sebagai penjaga pangan? Dan penjaga ritual adat? Lemahnya partisipasi perempuan adat dalam pengambilan keputusan? Hilangnya pengetahuan asli perempuan adat? Dan musnahnya peran perempuan sebagai agen perdamaian? Jika kita masih kabur dengan istilah ini, maka buku 2 (dua) Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang “Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan: Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan” dapat mencerahkan kita. Lima utas pertanyaan di atas merupakan temuan khusus Komnas Perempuan dalam Dengar Keterangan Umum (DKU) atas 40 kasus di 7 Region seluruh Indonesia.
Komnas Perempuan berhasil memotret pelanggaran HAM yang terjadi pada MHA dalam peristiwa eksploitasi SDA dan penggusuran MHA dari sumber kehidupannya dengan melihat bentuk hak yang dilanggar dalam pasalpasal UU No. 39 Tahun 1999, Kovenan Sipol, Kovenan EKOSOB, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat~UNDRIP, Konvensi ILO 169, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325, dan Komentar Umum Nomor 30 CEDAW. Di buku ini, Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa perempuan adat mengalami diskriminasi dan kekerasan berlapis, baik dari komunitas adatnya, masyarakat umum, maupun di mata negara. Perempuan adat juga kehilangan berbagai haknya sebagai warga negara yang turut mencerabut mereka dari sumbersumber kehidupannya. Tawaran khusus Komnas Perempuan, perlu dilakukan upaya pemulihan dalam makna luas bagi korban-korban masyarakat hukum adat, dan perempuan adat dalam konflik sumber daya alam, antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat hukum adat. Pemulihan (remedy) adalah mengembalikan–sebisa mungkin-kondisi korban pada kondisi sebelum mengalami kerusakan (damages) yang dilakukan bersama komunitas, dan diakui Negara. Hak itu meliputi kepuasan korban, seperti pengungkapan kebenaran, membawa pelaku ke pengadilan dan memastikan peristiwa pelanggaran HAM tidak berlanjut lagi. Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM ini terdiri dari 5 dokumen:1) Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan; 2) Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan; 3) Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan; 4) Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional; 5) Ringkasan Temuan dan Rekomendasi untuk Perbaikan Hukum dan Kebijakan tentang Penghormatan, Perlindungan, Pemenuhan dan Pemulihan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM ini telah diluncurkan pada tanggal 16 Maret 2016 di Komnas HAM. *) n
www.komnasperempuan.go.id 2016 EDISI 19 Berita Komnas Perempuan
| 11
Pundi Perempuan Jadilah Sahabat Pundi Perempuan
Pundi Perempuan adalah wadah dana solidaritas dari publik untuk perempuan korban kekerasan. Dana diperuntukkan bagi pendampingan korban dan rumah aman, dukungan pemulihan perempuan korban dan keluarganya, dan dukungan akses untuk kesehatan perempuan pembela HAM. Program ini dimulai pada tahun 2003 kerjasama Komnas Perempuan dan Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK/IKA). Hingga saat ini Pundi Perempuan telah memberikan dukungan kepada 3 perempuan pembela HAM, 3 organisasi korban dan 52 organisasi penyedia layanan bagi korban perempuan, yang tersebar di 18 propinsi di Indonesia. Jadilah Sahabat Pundi Perempuan dan mendukung dengan cara: 1. Berpartisipasi dalam kegiatan publik Pundi Perempuan 2. Membeli alat kampanye Pundi Perempuan berupa, payung, kaos atau mug 3. Menyumbang secara tunai melalui kegiatan publik Pundi Perempuan atau dengan mentransfer ke rekening Pundi Perempuan atas nama Yayasan Sosial Indonesia Untuk Kemanusiaan: a. Bank Niaga Cabang Jatinegara – Jakarta Timur No. Rek: 025-01-00098-00-3 A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan b. Bank. BCA Cab. Matraman No. Rek. 3423059008, A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan c. Bank Mandiri Cab. Salemba Raya No. Rek. 1230005290004, A/n. Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan Informasi lebih lanjut silakan hubungi: • Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) • Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKA)
Jl. Cikini Raya No. 43 Jakarta Pusat 10330 Telp. +62 21 3152726 • Fax. +62 21 31937315 Email:
[email protected], Twitter: sahabatysik website: www.ysik.org Sahabat ysik
12
| Berita Komnas Perempuan
GLOSARIUM Commission on the Status of Women (CSW) atau Komisi Status Perempuan adalah mekanisme tahunan yang diselenggarakan oleh PBB untuk pemutakhiran dan pembaruan (update) perkembangan persoalan dan pemajuan hak perempuan dari berbagai negara, dan membangun kesepakatan global serta agenda prioritas untuk pembahasan tahun berikutnya. Pada 4 tahun terakhir, CSW banyak membahas isu Millennium Development Goals (MDG’s), Sustainable Development Goals (SDG’s), dan kekerasan terhadap perempuan menjadi tema sentral, termasuk yang dievaluasi pada CSW ke-60, yang diselenggarakan pada 14-25 Maret di markas besar PBB New York. Pada side event tentang NHRI, Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah catatan penting, apabila NHRI akan terlibat dalam CSW. Catatan ini harus menjadi perhatian CSW dan ICC (International
Coordinating Committee) yaitu sebuah komite yang mengkordinasi NHRI. Ad apun kritik dan catatan dari Komnas Perempuan ant ara lain:
1. Apabila satu negara han ya direpresentasi oleh 1 NHRI dengan status A dalam forum strategis internasional, terma suk dalam CSW, maka administrasi ICC ini akan memarginalkan institusi HA M yang lebih spesifik atau specified institut ion, termasuk lembaga HAM Perempuan untuk hadir secara formal merepresentasikan dirinya; 2. Pengakuan status A kar ena mandat general, secara intrinsik menutup dan tidak mengakui lembaga spesifik tersebut, termasuk kelembagaan perempuan. Padahal penilaian seharusnya ditekankan kep ada kinerja. Soal representasi, biarkan masin g-masing negara yang tentukan siapa yang aka n merepresentasi sesuai isu, tetapi penting ada collected reports antar lembaga HAM; 3. Keterlibatan NHRI dal am CSW harus dieksplisitkan untuk diwaki li oleh mekanisme HAM Perempuan atau Ko misi HAM Perempuan. 4. Indonesia telah memiliki koordinasi yang baik antar NHRI untuk me mbagikan peran dan kesempatan bicara di me kanisme HAM Internasional, terutama dal am UPR.
TEROBOSAN KEBIJAKAN 1. Sidang Paripur na DPR RI tang ga l 26 Januari 2016 menetapkan Pena mbahan Prog ram Legislasi Nasional (Proleg nas) Tahun 2015-2 01 9. Dari 7 (tujuh) Rancangan Undan g-Undang tambaha n, salah satu di antaranya adalah RUU Penghapusa n Kekerasan Seksua l. Masukny a RUU Penghapu san Kekerasan Seksual dalam Prol egnas Tambahan Ta hun 2015-2019, menunjukkan bahw a urgensi hadirnya RUU ini telah menjadi perhatian Legislatif dan Ekse kutif dan sebagai indikasi komitmen negara untuk mem berikan perlindunga komprehensif bagi n korban kekerasan seksual, khususnya perempuan dan an ak yang rentan men jadi korban. 2. Sementara itu , sekalipun sejum lah Rancangan U nd an g- U nd an g te rk ai t pe rli nd un ga n h ak a sa si perempuan tidak masuk dalam Daf tar Prolegnas Prioritas 2016, ha l itu sekalipun men unda peluang dilakukannya pemba hasan Rancangan U ndang- Undang yang terkait deng an upaya pengha pu san kekerasan terhadap perempu an tersebut, di sisi lain perlu menjadi ruang yang diman faatkan oleh gera kan perempuan da n be rb ag ai pi ha k un tu k m em pe rk ua t dr af t pe raturan perund ang-undangan yang ak an diusulkan. Khususnya terkai t Rancangan Und an g-Undang Penghapusan Kek erasan Seksual dan Rancangan Undang-Undang Pe rlindungan Pekerja Rumah Tang ga, yang keduanya m asuk dalam Dafta r RU U Usulan Perubahan Proleg nas Prioritas Tahu n 2016.n
EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id