MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN EFEKTIF MELALUI APERSEPSI
Oleh Mansur HR Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pendidik tentang konsep pembelajaran efektif, konsep apersepsi dan cara melakukan apersepsi dalam menciptakan pembelajaran efektif. Apersepsi yang dilakukan pada tahap awal pembelajaran pada umumnya dianggap hal yang kecil dan terkadang terlupakan sehingga banyak kegiatan pembelajaran bermuara pada kegagalan. Apersepsi dapat menciptakan pembelajaran efektif karena apersepsi dapat mengantarkan peserta didik pada kondisi (zona) alfa, yaitu kondisi terbaik untuk belajar sehingga peserta didik lebih mudah menyerap materi pelajaran. Apersepsi dapat dilakukan melalui: ice breaking, fun story, musik, brain gym, serta bisa pula disisipi dengan cerita motivasi, review materi pelajaran sebelumnya, sekilas info ataupun berita kondisi aktual yang kesemuanya itu bertujuan untuk menarik perhatian peserta didik. Kata kunci: Pembelajaran efektif, Apersepsi, Zona Alfa
ABSTRACT This paper aims to provide information to educators on the effective learning concept, the concept of apperception and how to do apperception in creating effective learning . The apperception conducted in the early stages of learning is generally considered to be a small thing and sometimes forgotten that many learning activities leads to failure. The apperception can create effective learning because the apperception can lead learners to condition (zone) alpha, which is the best condition for learning so that learners more easily absorb the lesson material. The apperception can be done through: ice breaking, fun story, music, brain gym, and can also be inserted with motivational stories, review previous course material , quick info or news of actual conditions, all of them were intended to draw the attention of learners . Keywords: Effective learning, Apperception, Alfa zone 1 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
Pendahuluan Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan jantungnya kurikulum, karena keberhasilan satuan pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum sangat ditentukan oleh keberhasilan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian hasil pembelajaran harus dikelola secara sistematis dan terarah untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik. Dalam
peraturan
menteri
pendidikan
dan
kebudayaan
(Permendikbud)
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran yang merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) meliputi kegiatan pendahulun, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan kegiatan inti merupakan serangkaian kegiatan utama dalam pembelajaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara kegiatan penutup adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran, yang meliputi pembuatan rangkuman atau kesimpulan, refleksi, penilaian, umpan balik, dan tindak lanjut. Ketiga kegiatan tersebut yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup merupakan satu rangkaian kegiatan pembelajaran dalam satu pertemuan (tatap muka) yang tidak boleh terputus dalam upaya menciptakan pembelajaran efektif. Karena ketiga kegiatan tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan berkontribusi dalam menciptakan pembelajaran efektif. Dari hasil pengamatan penulis di beberapa sekolah tentang pelaksanaan proses pembelajaran di kelas maupun dalam peer teaching yang dilakukan guru dalam setiap pendidikan dan pelatihan (diklat),
diperoleh fakta bahwa masih banyak guru dalam
kegiatan pembelajaran tidak mengawalinya dengan apersepsi yang merupakan inti dari kegiatan pendahuluan. Beberapa diantara mereka belum memahami konsep apersepsi itu sendiri. Mereka menganggap bahwa menyampaikan salam, mengecek kehadiran siswa atau menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai di awal pembelajaran sebagai apersepsi. Padahal tidak semua kegiatan yang dilakukan pada tahap pendahuluan itu adalah
2 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
apersepsi. Sebagian pendidik yang lain sudah paham apersepsi secara konseptual, namun belum tahu cara melakukan apersepsi secara konstekstual dalam kegiatan pembelajaran. Ciri guru yang tidak melakukan apersepsi dalam kegiatan pembelajaran, yakni ketika guru tersebut masuk kelas, dan sesaat setelah menyampaikan salam dan mengecek kehadiran siswa,
langsung menyajikan materi pelajaran yang akan diajarkan pada
pertemuan itu tanpa menyiapkan terlebih dahulu siswa secara fisik dan psikis untuk mengikuti pelajaran. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya kegiatan pembelajaran yang bermuara pada kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Indikasinya, banyak siswa yang tidak bisa menjawab soal-soal formatif, yakni soal-soal yang diujikan di akhir kegiatan pembelajaran karena siswa tidak siap menerima materi pelajaran saat itu. Jika demikian halnya, maka pembelajaran itu menjadi tidak efektif. Oleh karena itu dipandang perlu adanya informasi yang utuh buat para pendidik tentang konsep apersepsi sebagai salah satu variabel dalam kegiatan pembelajaran yang tidak boleh diabaikan karena turut berpengaruh terhadap terciptanya pembelajaran yang efektif. Tentu menjadi hal yang sia-sia jika pendidik sudah bersusah payah merancang dan melakukan kegiatan pembelajaran, namun pada akhirnya peserta didik tidak bisa menyerap materi pembelajaran yang disajikan hanya karena mengabaikan apersepsi. Hal tersebut tentu akan berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik. Mencermati uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat dirangkum dalam tulisan ini adalah: (1) apakah pembelajaran efektif itu? (2) apakah apersepsi itu?; (3) apakah apersepsi dapat menciptakan pembelajaran efektif?; (4) bagaimanakah cara melakukan apersepsi agar dapat menciptakan pembelajaran efektif? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui bahwa tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi secara teoretis kepada pendidik tentang konsep pembelajaran efektif dan konsep apersepsi serta peranannya dalam menciptakan pembelajaran efektif. Selain itu juga memberikan pemahaman kepada pendidik tentang cara-cara melakukan apersepsi agar dapat menciptakan pembelajaran efektif. Manfaat yang dapat diperoleh dari tulisan ini adalah: (1) bagi pendidik, sebagai salah satu acuan dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran efektif; (2) bagi satuan pendidikan, sebagai informasi dan masukan untuk dijadikan referensi dalam mengelola pembelajaran secara efektif
di satuan pendidikan;
(3) bagi peserta didik, akan
mendapatkan pelayanan dan pengalaman belajar yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar. 3 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
Konsep Pembelajaran Efektif Dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana mengelola proses pembelajaran itu secara efektif. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sesuai dengan isi peraturan pemerintah di atas, maka ada sejumlah prinsip khusus dalam pengelolaan pembelajaran, yakni: Pertama, Interaktif, artinya bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, akan tetapi sebagai proses mengatur lingkungan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar. Dengan demikian proses pembelajaran adalah proses interaksi, baik interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan peserta didik, antara peserta didik dan media pembelajaran, maupun antara peserta didik dan lingkungannya. Melalui proses interaksi memungkinkan kemampuan peserta didik akan berkembang baik mental maupun intelektual. Kedua, Inspiratif, artinya bahwa pembelajaran itu merupakan suatu proses yang memungkinkan peserta didik untuk mencoba dan melakukan sesuatu. Dengan demikian informasi dan proses pemecahan masalah yang disampaikan pendidik dalam pembelajaran bukanlah harga mati yang bersifat mutlak, akan tetapi merupakan hipotesis yang merangsang peserta didik untuk mencoba dan mengujinya. Oleh karena itu pendidik harus membuka berbagai kemungkinan yang dapat dikerjakan peserta didik. Biarkanlah peserta didik berbuat dan berpikir sesuai dengan inspirasinya sendiri. Dengan demikian, idealnya pembelajaran itu harus berbasis aktivitas melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis projek, pembelajaran discovery, pembelajaran inquiri, serta model pembelajaran berbasis aktivitas lainnya. Ketiga,
Menyenangkan.
Proses
pembelajaran
adalah
proses
yang
dapat
mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Seluruh potensi itu hanya mungkin dapat 4 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
berkembang manakala peserta didik terbebas dari rasa takut, dan menegangkan. Oleh karena itu perlu diupayakan agar proses pembelajaran merupakan proses yang menyenangkan (enjoyful learning). Proses pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan dengan menata ruangan yang menarik serta mengelola pembelajaran yang hidup dan bervariasi. Keempat, Menantang. Proses pembelajaran adalah proses yang menantang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir, yakni merangsang kerja otak secara maksimal. Kemampuan tersebut dapat ditumbuhkan dengan cara mengembangkan rasa ingin tahu peserta didik melalui kegiatan mencoba, atau bereksplorasi. Apapun yang diberikan dan dilakukan pendidik harus dapat merangsang peserta didik untuk berpikir dan melakukan. Apabila pendidik akan memberikan informasi, hendaknya tidak memberikan informasi yang sudah jadi, akan tetapi informasi yang mampu membangkitkan peserta didik untuk mau mengolahnya, memikirkannya sebelum dia mengambil kesimpulan. Kelima, Memotivasi. Motivasi adalah aspek yang sangat penting untuk membelajarkan peserta didik. Tanpa adanya motivasi tidak mungkin peserta didik memiliki kemauan untuk belajar. Oleh karena itu, membangkitkan motivasi merupakan salah satu peran dan tugas pendidik dalam setiap proses pembelajaran. Motivasi itu hanya mungkin muncul dalam diri peserta didik manakala peserta didik merasa membutuhkan. Peserta didik yang merasa butuh akan bergerak dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu dalam rangka membangkitkan motivasi, pendidik harus dapat menunjukkan pentingnya pengalaman dan materi pelajaran dalam kehidupan peserta didik.
Dengan
demikian peserta didik akan belajar bukan sekadar untuk memperoleh nilai akan tetapi didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Penerapan prinsip pembelajaran tersebut diharapkan akan bermuara pada terciptanya pembelajaran yang efektif. Pembelajaran efektif menurut Yusuf Hadi Miarso (dalam Uno dan Mohamad, 2012:173) adalah pembelajaran yang dapat memberikan hasil belajar yang bermanfaat dan terfokus pada peserta didik (student centered) melalui penggunaan prosedur yang tepat. Definisi ini mengandung arti bahwa dalam pembelajaran efektif terdapat dua hal penting, yaitu terjadinya belajar pada peserta didik dan apa yang dilakukan oleh pendidik untuk membelajarkan peserta didiknya. Sedangkan menurut Dick dan Reiser (dalam Sutikno, 2005:33) bahwa pembelajaran efektif adalah
suatu
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, dan sikap serta yang membuat peserta didik senang. 5 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
Menurut Reigeluth (dalam Uno dan Mohamad, 2012:173) bahwa pembelajaran dianggap efektif apabila skor yang dicapai peserta didik memenuhi batas minimal kompetensi yang telah dirumuskan. Misalnya seorang pendidik merumuskan salah satu mata pelajaran dengan standar kompetensi minimal 90%. Artinya semua upaya pembelajaran yang dilakukan peserta didik pada akhirnya akan diupayakan peserta didik yang belajar dapat mencapai tujan belajar minimal 90% penguasaannya. Jika hal ini diberikan skor angka dengan rentang 1-100, maka setiap peserta didik harus mencapai skor 90. Pencapaian skor ini dianggap pembelajaran efektif. Dari beberapa pengertian pembelajaran efektif sebagaimana uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran efektif adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat tercapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Hasil penelitian dan pengkajian Wotruba dan Wright dalam Uno dan Mohamad (2012:174), menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) indikator pembelajaran yang efektif, yaitu; Pertama, Pengorganisasian materi yang baik. Pengorganisasian adalah bagaimana cara mengurutkan materi yang akan disampaikan secara logis dan teratur, sehingga dapat terlihat kaitan yang jelas antara topik satu dengan topik lainnya selama pertemuan berlangsung. Pengorganisasian materi terdiri dari: a) perincian materi; b) urutan materi dari yang mudah ke yang sukar; c) kaitannya dengan tujuan. Kedua, Komunikasi yang efektif. Kecakapan dalam penyajian materi termasuk pemakaian media dan alat bantu atau teknik lain untuk menarik perhatian peserta didik, merupakan salah satu karakteristik pembelajaran yang baik. Komunikasi yang efektif dalam pembelajaran mencakup penyajian yang jelas, kelancaran berbicara, interpretasi gagasan abstrak dengan contoh-contoh, kemampuan wicara yang baik (nada, intonasi, ekspresi), dan kemampuan untuk mendengar. Ketiga, Penguasaan dan antusiasme terhadap materi pelajaran. Seorang peserta didik dituntut untuk menguasai materi pelajaran dengan benar, jika materi telah dikuasainya maka materi dapat diorganisasikan secara sistematis dan logis. Seorang pendidik harus mampu menghubungkan materi yang diajarkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki para peserta didiknya, mampu mengaitkan materi dengan perkembangan yang sedang terjadi sehingga kegiatan pembelajaran menjadi hidup Keempat, Sikap positif terhadap peserta didik. Sikap positif terhadap peserta didik dapat tercermin dalam beberapa hal, antara lain: a) pendidik memberi bantuan jika peserta 6 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
didik mengalami kesulitan dalam memahami materi yang diberikan; b) pendidik mendorong para peserta didiknya untuk mengajukan pertanyaan atau memberi pendapat; c) pendidik dapat dihubungi oleh peserta didiknya di luar jam pelajaran; d) pendidik menyadari dan peduli dengan apa yang dipelajari peserta didiknya. Secara lebih rinci Robert M Sager (dalam Uno dan Mohamad, 2012:183) mengemukakan tentang sikap positif terhadap peserta didik, yaitu: a) menerima respon peserta didik, baik yang benar maupun yang salah sebagai usaha untuk belajar, kemudian diikuti dengan komentar “Anda dapat mencoba kembali” dan menghindari komentar yang bisa mematikan kreativitas anak misalnya “Saya heran Anda bisa melakukan kesalahan seperti ini”; b) memberi ganjaran atau penguatan terhadap respon yang tepat, setiap kesempatan dapat digunakan untuk mendorong peserta didik yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan bukan hanya kepada peserta didik yang berhasil; c) memberi tugas yang memberikan peluang memperoleh keberhasilan; d) menyampaikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik, sehingga sejak awal mereka sudah memahaminya; e) mendeteksi apa yang telah diketahui peserta didik, sehingga peserta didik tidak merasa bosan; f) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk dapat terlibat secara aktif; g) mengendalikan perilaku peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Kelima, Pemberian nilai yang adil. Keadilan dalam pemberian nilai tercermin pada: a) kesesuaian soal tes dengan materi yang diajarkan;
b) sikap konsisten terhadap
pencapaian tujuan pembelajaran; c) usaha yang dilakukan peserta didik untuk mencapai tujuan; d) kejujuran peserta didik dalam memperoleh nilai; e) pemberian umpan balik terhadap hasil pekerjaan peserta didik. Keenam, Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang luwes dalam pembelajaran dapat tercermin dengan adanya kesempatan waktu yang berbeda diberikan kepada peserta didik yang memang mempunyai kemampuan yang berbeda. Kepada peserta didik yang mempunyai kemampuan yang rendah diberikan kesempatan untuk memperoleh tambahan waktu dalam kegiatan remedial. Sebaliknya, kepada peserta didik yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata diberikan kegiatan pengayaan. Dengan demikian, peserta didik memperoleh pelayanan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Ketujuh, Hasil belajar peserta didik yang baik. Evaluasi adalah satu-satunya cara untuk menentukan ketepatan dan keberhasilan pembelajaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa indikator pembelajaran efektif dapat diketahui dari hasil belajar peserta didik yang baik. Petunjuk keberhasilan belajar peserta didik dapat dilihat bahwa peserta 7 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
didik tersebut menguasai materi pelajaran yang diberikan. Namun karena kemampuan peserta didik bervariasi menyebabkan tidak semua peserta didik dapat menguasai materi secara tuntas. Tingkat penguasaan materi dalam konsep belajar tuntas ditetapkan antara 75% - 90%. Berdasarkan konsep belajar tuntas tersebut, maka pembelajaran yang efektif adalah apabila setiap peserta didik sekurang-kurangnya dapat menguasai 75% dari materi yang diajarkan. Untuk menciptakan pembelajaran efektif, maka seorang pendidik harus memahami dan mampu menerapkan azas-azas didaktik (ilmu mendidik) dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Azas didaktik yang dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh Sukarman (2003:11) meliputi azas apersepsi, azas peragaan, azas motivasi, azas belajar aktif, azas kerjasama, azas penyesuaian dengan individu peserta didik, azas korelasi, dan azas evaluasi yang teratur.
Dalam tulisan ini secara kuhusus diuraikan azas apersepsi dalam
mengelola kegiatan pembelajaran yang efektif. Konsep Apersepsi dalam Pembelajaran Secara umum ada dua tipe pendidik ketika menyajikan materi pelajaran di kelas. Tipe pendidik pertama adalah pendidik yang langsung menyajikan materi pelajaran yang akan diajarkan tanpa terlebih dahulu menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti pelajaran. Ciri pendidik semacam ini ketika masuk kelas, menyampaikan salam, mengecek kehadiran peserta didik kemudian langsung menyajikan materi pelajaran yang akan diajarkan pada pertemuan itu. Tipe pendidik kedua adalah pendidik yang sebelum menyajikan materi pelajaran hari itu terlebih dahulu menyampaikan pengalaman atau cerita menarik, ada pula pendidik yang menyajikan permainan menarik seperti tebaktebakan dan ada juga yang melakukan yel-yel penyemangat dan seterusnya. Kelas dari pendidik tipe kedua tersebut tentu akan ramai, bersemangat, dan muncul energi positif dari setiap peserta didik. Dalam teori psikologi belajar, pendidik tipe pertama di atas merupakan pendidik yang melakukan kegiatan pembelajaran tanpa didahului dengan apersepsi. Sedangkan pendidik tipe kedua adalah pendidik yang melakukan kegiatan pembelajaran yang diawali dengan apersepsi yang merupakan inti dari kegiatan pendahuluan. Pembelajaran yang diawali dengan apersepsi tentu lebih menyenangkan dan menginspirasi dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran tanpa apersepsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2003: 60) bahwa apersepsi adalah pengamatan secara sadar (penghayatan) tentang segala sesuatu di jiwanya (dirinya) 8 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
sendiri yang menjadi dasar perbandingan serta landasan untuk menerima ide baru. Dapat pula dikatakan bahwa apersepsi berarti menyatupadukan atau mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki. Menurut Herbart dalam Sukarman (2003:11) apersepsi adalah memperoleh tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan yang telah ada. Jadi menurut Herbart bahwa apa yang telah diketahui dapat digunakan untuk memahami sesuatu yang belum diketahui. Dengan kata lain bahwa apersepsi adalah menghubungkan pelajaran lama dengan pelajaran baru, sebagai batu loncatan sejauh mana peserta didik menguasai pelajaran lama sehingga dengan mudah menyerap pelajaran baru. Dengan demikian fungsi apersepsi dalam kegiatan pembelajaran adalah untuk mengaitkan apa yang telah diketahui atau di alami peserta didik dengan apa yang akan dipelajari. Pengertian yang lebih luas tentang apersepsi sebagaimana dikemukakan oleh Chatib (2012:92) adalah stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan meraih perhatian dari peserta didik. Jadi apersepsi itu membangkitkan minat dan perhatian untuk sesuatu. Apersepsi juga dimaknai sebagai menciptakan kondisi (zona) alfa, yaitu kondisi terbaik untuk belajar peserta didik sebab pada kondisi alfa, neuron (sel saraf) sedang berada dalam suatu harmoni (keseimbangan). Menurut Chatib (2012:81), orang yang pertama mengenalkan teori apersepsi adalah Johan Friedrich Herbart (1776 - 1841). Awalnya Herbart merasakan bahwa dalam interaksi antara pendidik dan peserta didik terjadi proses yang sangat dinamis dan kompleks sehingga sulit dijelaskan secara sederhana. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya proses belajar yang bermuara pada kegagalan belajar. Filosofi mendasar pandangan Herbart tentang teori apersepsi, yakni (1) manusia adalah makhluk pembelajar, (2) sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri, (3) manusia bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungannya jika dia dibekali dorongan (stimulus) khusus. Apabila semua pendidik memahami bahwa manusia adalah makhluk pembelajar, maka akan muncul sebuah paradigma bahwa para peserta didik di kelas sebenarnya siap untuk belajar. Oleh karena itu, ketika peserta didik tidak mau melakukan pembelajaran di kelas tentu tidak sepenuhnya berangkat dari kesalahan mereka, tetapi pendidiklah yang belum mampu membangkitkan sifat dasar manusia sebagai makhluk pembelajar. Jadi, bukan peserta didik yang tidak mau belajar tetapi pendidiklah yang belum menemukan cara yang tepat untuk membelajarkan peserta didiknya. 9 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
Selanjutnya, sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri. Hal tersebut mengandung arti bahwa ketika pendidik memberikan instruksi kepada peserta didiknya, dan peserta didik tidak mau melakukannya juga bukan sepenuhnya kesalahan peserta didik. Sebab pada hakikatnya setiap manusia melakukan sesuatu adalah karena diperintah oleh dirinya sendiri. Artinya, ketika mereka tidak melakukan instruksi tersebut mungkin karena kesalahan komunikasi yang dilakukan pendidik sehingga belum bisa membangkitkan sifat dasar tersebut. Ketika komunikasi tersambung
maka otomatis mereka akan
memerintahkan dirinya sendiri untuk melakukan instruksi itu. Herbart menegaskan pula bahwa manusia bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungannya, jika dia dibekali dorongan (stimulus) khusus. Artinya, bahwa peserta didik akan menjalankan instruksi pendidik dalam kegiatan pembelajaran, jika instruksi tersebut disertai dengan stimulus yang membuat peserta didik termotivasi untuk mengikuti pembelajaran. Sebagai contoh ada dua orang pendidik di suatu sekolah mengajarkan materi yang sama yakni “Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia”. Pendidik pertama setelah menuliskan topik pembelajaran di papan tulis langsung menjelaskan materi pelajaran tanpa diawali dengan stimulus khusus. Sementara pendidik kedua yang mengajar
materi
pelajaran yang sama di kelas sebelah, terlebih dahulu memberikan stimulus khusus berupa penyampaikan cerita menarik yang berkaitan dengan materi yang akan dijelaskan, atau menampilkan gambar tentang keanekaragaman suku bangsa di Indonesia lalu peserta didik diminta untuk mengomentari gambar tersebut. Setelah itu barulah pendidik menjelaskan materi tersebut sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah dibuat. Dari illustrasi tersebut maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik yang kedua lebih menarik dan lebih direspon oleh peserta didik dibandingkan dengan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik yang pertama. Mengapa? Karena pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik kedua diawali dengan stimulus khusus sehingga peserta didik lebih siap secara psikis dan fisik mengikuti pelajaran, sedangkan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik pertama tidak diawali dengan stimulus khusus, sehingga peserta didikpun tidak meresponnya secara memadai. Oleh karena itu untuk membangkitkan gairah belajar peserta didik, ada tiga hal yang perlu diperhatikan sebagaimana dikemukakan oleh Herbert dalam uraian di atas, yakni manusia adalah makhluk pembelajar, sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri, dan manusia bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungannya jika dia 10 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
dibekali stimulus khusus. Di sinilah pentingnya dilakukan stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan meraih perhatian dari peserta didik yang disebut dengan apersepsi. Terkait dengan apersepsi, Hans Berger dalam Chatib (2012: 88) mengemukakan bahwa terdapat empat macam gelombang otak yang merekam aktivitas manusia sepanjang hari, yakni gelombang delta, gelombang teta, gelombang alfa, dan gelombang beta. Kondisi seseorang dalam gelombang delta adalah ketika tidur tanpa mimpi, sedangkan kondisi seseorang dalam gelombang teta adalah saat melamun, mengantuk dan akhirnya tertidur. Sementara seseorang yang sedang masuk dalam gelombang alfa adalah ketika mengalami kondisi yang rileks (senang) tapi waspada, seperti sedang melamun tetapi sebenarnya sedang berpikir. Intinya pada gelombang alfa otak bekerja dengan relaks. Adapun kondisi seseorang dalam gelombang beta adalah ketika sedang marah, stres, ngobrol dengan teman-temannya atau sedang fokus mengerjakan sesuatu. Lebih lanjut Chatib (2012: 90) mengemukakan bahwa dari keempat gelombang otak tersebut, zona alfa adalah kondisi terbaik bagi peserta didik untuk belajar, sebab neuron
(sel saraf) berada dalam suatu harmoni (keseimbangan) yang mengakibatkan
relaksasi seseorang. Oleh karena itu jika dalam kegiatan pembelajaran, pendidik menjumpai peserta didik sedang marah, stress, mengobrol dengan teman-temannya, atau sedang fokus mengerjakan sesuatu yang lain, maka sebaiknya pembelajaran tidak diteruskan, sebab mereka masih berada pada kondisi beta. Demikian halnya jika peserta didik melamun, lalu mengantuk, apalagi tertidur, pembelajaran juga tidak baik diteruskan, sebab mereka sedang dalam kondisi teta atau bahkan delta.
Lalu bagaimana cara
mengatasinya? Kembalikan mereka pada kondisi alfa dengan cara memberikan stimulus khusus. Pentingnya Apersepsi dalam Kegiatan Pembelajaran Menurut teori belajar Koneksionisme oleh Thorndike (dalam Sanjaya,2007:115) dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang melirik setangkai bunga melati yang indah dan harum di taman, dapat menjadi sebuah stimulus yang dapat mengakibatkan munculnya respons untuk memetiknya. Atau ketika seseorang mengendarai sepeda motor tiba-tiba lampu merah menyala, maka dengan seketika orang tersebut mengerem motornya dan kemudian 11 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
berhenti. Dalam kasus ini lampu merah merupakan stimulus bagi orang yang mengendarai sepeda motor, dan mengerem untuk menghentikan motornya adalah respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respons sebanyakbanyaknya. Dalam koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut: Pertama, hukum kesiapan (law of readiness). Menurut hukum ini hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan belajar; Kedua, hukum latihan (law of exercise). Hukum ini menjelaskan bahwa hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat manakala terus menerus dilatih atau diulang, sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai pelajaran itu; Ketiga, hukum akibat (law of effect). Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons, tergantung pada akibat yang ditimbulkannya. Apabila respons yang diberikan seseorang mendatangkan kesenangan, maka respons tersebut akan dipertahankan atau diulangi, dan apabila respons yang diberikan mendatangkan akibat yang tidak mengenakkan, maka respons tersebut akan dihentikan dan tidak akan diulangi lagi. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respon yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, contoh dengan memberikan hadiah atau pujian. Sebaliknya apabila kita mengharapkan seseorang untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberikan sesuatu yang tidak menyenangkan, contohnya dengan memberi hukuman. Hukum kesiapan (law of readiness) dalam belajar dari teori belajar koneksionisme sebagaimana uraian di atas, merupakan salah satu landasan teori pentingnya apersepsi dalam kegiatan pembelajaran. Hukum kesiapan
dalam belajar intinya
bahwa setiap
peserta didik akan merespons dengan cepat dari setiap stimulus manakala dalam dirinya sudah memiliki kesiapan. Sebaliknya, tidak mungkin setiap peserta didik akan merespon setiap stimulus yang muncul manakala dalam dirinya belum memiliki kesiapan. Yang dapat dipetik dari hukum kesiapan dalam belajar tersebut adalah, agar peserta didik dapat menerima informasi sebagai stimulus yang diberikan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus memosisikan peserta didik dalam keadaan siap, baik secara fisik 12 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
maupun psikis untuk menerima pelajaran. Jangan memulai penyajian materi pelajaran, manakala peserta didik belum siap menerimanya. Di sinilah pentingnya apersepsi sebagai stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan untuk meraih perhatian dari peserta didik. Menurut Chatib (2012:92) apersepsi juga dipahami sebagai menciptakan kondisi (zona) alfa, yaitu kondisi paling iluminasi (cemerlang) proses kreatif otak seseorang. Kondisi ini dikatakan sebagai kondisi paling baik untuk belajar sebab neuron (sel saraf) sedang berada dalam suatu harmoni (keseimbangan) yang mengakibatkan kondisi relaksasi seseorang. Oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran seharusnya selalu dimulai dengan apersepsi untuk memosisikan peserta didik pada kondisi (zona) alfa sebelum masuk pada kegiatan inti pembelajaran. Pada kondisi alfa peserta didik dalam keadaan siap menerima instruksi atau materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik sehingga peserta didik lebih mudah menyerap materi pelajaran. Dengan demikian maka target pencapaian kompetensi atau tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan lebih mudah tercapai sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif. Cara melakukan apersepsi Chatib (2012: 92) mengemukakan bahwa untuk melakukan apersepsi atau membawa peserta didik ke kondisi zona gelombang alfa, ada 4 (empat) cara yang bisa dilakukan , yakni: Pertama:
Ice
breaking,
yaitu
kegiatan
untuk
memecahkan
kebekuan,
membangkitkan semangat, bahkan bisa digunakan untuk pemantapan konsep dan kembali masuk ke kondisi alfa. Ice breaking yang bisa diterapkan di kelas yang berfungsi untuk menciptakan atau mengembalikan kondisi alfa harus memenuhi beberapa syarat, yakni: (1) Ice breaking dilakukan dalam waktu singkat, makin singkat semakin baik; (2)
Ice
breaking diikuti seluruh siswa (kolosal); (3) Pengajar dapat menjelaskan dengan singkat teaching-point atau maksud ice breaking dalam waktu tidak terlalu lama; (4) Apabila target sudah terpenuhi, yaitu peserta sudah kembali senang (zona alfa), maka harus segera kembali ke materi. Kedua: Fun Story. Mengawali sebuah pembelajaran dengan cerita yang menyenangkan apalagi berhubungan dengan materi pelajaran yang akan disampaikan adalah sebuah apersepsi yang akan menarik minat kelas. Fun Story dapat berupa cerita 13 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
lucu, gambar lucu, video lucu, atau teka-teki. Semua itu dapat diperoleh dari pengalaman pribadi, cerita dari pengalaman orang lain, buku-buku humor, dan lain-lain. Ketiga: Musik. Musik juga diyakini dapat mengembalikan gelombang otak kembali ke zona alfa. Sudah banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa musik berpengaruh terhadap kekuatan otak manusia. Misalnya hasil penelitian Martin Gardiner dan Daniel Goleman (dalam Munif Chatib, 2012:103) yang mengatakan bahwa seni dan musik dapat membantu otak untuk fokus pada hal yang dipelajari sehingga musik dapat membuat siswa lebih pintar. Oleh karena itu, musik merupakan salah satu instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam melakukan apersepsi untuk mengantarkan siswa pada suasana yang menyenangkan, memotivasi dan menginspirasi. Keempat: Brain gym. Senam otak atau brain gym adalah serangkain latihan berbasis gerakan tubuh sederhana. Gerakan ini dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan, meringankan atau merelaksasi bagian belakang dan bagian depan otak (dimensi kerja untuk fokus perhatian) serta merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosional, yakni otak tengah (limbis) dan otak besar (dimensi pemusatan). Brain gym sangat baik dilakukan untuk apersepsi, sebab dengan brain gym siswa dapat terbantu melepas stres, menjernihkan pikiran, dan meningkatkan daya ingat. Bahkan, saat ini hampir semua sekolah terbaik di seluruh dunia menggemari brain gym. Agar memiliki nilai pembelajaran lebih, menurut penulis apersepsi bisa pula disisipi dengan cerita motivasi atau kisah inspiratif, review materi pelajaran sebelumnya, sekilas info ataupun berita kondisi aktual yang kesemuanya itu bertujuan untuk menarik perhatian peserta didik. Simpulan Mencermati uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1) pembelajaran efektif adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat tercapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, 2) apersepsi adalah stimulus khusus pada awal belajar yang bertujuan meraih perhatian dari peserta didik; 3) Apersepsi dapat menciptakan pembelajaran efektif karena apersepsi dapat mengantarkan peserta didik pada zona (kondisi) alfa, yaitu kondisi terbaik untuk berlajar sehingga peserta didik lebih mudah menyerap materi pelajaran; 4) apersepsi dapat dilakukan melalui; ice breaking, fun story, musik, brain gym, serta bisa pula disisipi dengan cerita motivasi atau kisah inspiratif, review materi pelajaran sebelumnya, sekilas 14 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189
info ataupun berita kondisi aktual,
yang kesemuanya itu bertujuan untuk menarik
perhatian peserta didik. Daftar pustaka Chatib, Munif. 2012. Gurunya Manusia. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sukarman, Herry. 2003. Dasar-Dasar Didaktik dan Penerapannya dalam Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Tenaga kependidikan Dikdasmen Depdiknas. Sutikno, M.Sobry. 2005. Pembelajaran Efektif. Mataram: NTP Press Uno. B, Hamzah dan Mohammad Nurdin. 2012. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
15 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=327:pembelajaran‐efektif‐ apersepsi&catid=42:ebuletin&Itemid=215 Artikel E‐Buletin Edisi Februari 2015 ISSN.2355‐3189