www.parlemen.net
MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)
I
Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami model atau bentuk lembaga legislatif dalam system ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Karena itu tidak dapat tidak pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dari sudut pandang konstitusi, yakni dari ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh UUD 1945. Lembaga legislatif adalah lembaga pembuat Undang-Undang dan dalam system ketatanegaraan Indonesia fungsi legislatif tidak hanya dijalankan oleh DPR saja sebagaimana sering diasumsikan selama ini oleh masyarakat kita. Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa fungsi legislatif dilaksanakan bersama oleh DPR dan Presiden. Tegasnya formulasi Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sekarang adalah "Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat". Rumusan Pasal 5 ayat 1 dipertegas lagi oleh Pasal 20 ayat 1 yang menggariskan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang". Pasal 20 ayat 2 menentukan bahwa "Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama". Pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang". Dari ketentuan Pasal 5 (1), Pasal 20 (1), Pasal 20 (2) dan Pasal 21 ayat 1 tergambar dengan jelas peran legislatif DPR, tetapi dalam waktu yang sama terlihat juga peran legislatif Presiden. *
**
Disampaikan dalam acara Workshop dan Fokus Group Discussion Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai politik pembangunan Hukum Nasional, Jakarta 21-22 Mei 2008. Guru Besar HTN Fak. Hukum U11 Yogyakarta
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Selanjutnya peran legislatif secara berimbang juga dimiliki oleh Presiden karena Pasal 20 ayat 4 mensyaratkan perlunya Pengesahan Presiden sebelum RUU menjadi UU. Dari Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 1 kita lihat adanya kekuasaan DPR untuk membentuk Undang-Undang dan hak yang dimiliki oleh DPR untuk mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Dengan demikian apabila kita berbicara tentang membangun kualitas produk legislasi maka kekuasaan dan hak konstitusional inilah yang seharusnya digunakan oleh DPR untuk meningkatkan
kualitas
produk
legislasi
dalam
rangka
perwujudan
tujuan
Negara
sebagaimana dirumuskan oleh konstitusi UUD 1945.
II
Membangun kualitas produk legislasi nasional dan daerah dalam rangka perwujudan tujuan Negara kesejahteraan (welfare state) merupakan amanat konstitusi yang harus dirumuskan dan dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan. Karenanya tugas Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera campur tangan Negara atau pemerintah terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari. Dan campur tangan pemerintah haruslah dirumuskan dalam bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa baik peraturan perundangan di tingkat nasional maupun daerah. Dengan demikian dalam praktek penyelenggaraan Negara tidak dapat lepas dari apa yang disebut kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam peraturan perundangundangan dan diimplementasikan dalam tindakan-tindakan. Banyak alasan yang dipandang perlu mengapa kualitas produk legislasi baik nasional maupun daerah perlu dibangun. Hal ini antara lain mengingat dinamika perkembangan masyarakat Indonesia sangat pesat hampir disemua bidang ; sosial, ekonomi, politik, hukum, Iingkungan hidup, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Perubahan UUD 1945 yang telah dituntaskan oleh MPR pada tahun 2002 telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan system hukum dan perundangundangan dalam konstelasi ketatanegaraan Indonesia. Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang telah digantikan dengan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir digantikan pula oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh terhadap system hukum dan perundang-undangan akibat adanya perubahan Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut. Dibidang perundang-undangan, perubahan telah terjadi pula karena dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan mulai berlaku sejak tanggal 1 November 2004. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang perundang-undangan baik dalam jenis dan hierarkhi, materi muatan peraturan perundang-undangan maupun teknik pembentukannya. Dari apa yang disebutkan diatas merupakan suatu gambaran tentang alasan mengapa semakin mendesaknya upaya untuk mendorong peningkatan kualitas produk legislasi (perundang-undangan) di pusat maupun daerah. Pembuatan peraturan perundangundangan saat ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 telah memberikan
bentuk
yuridis
terhadap
campur
tangan
masyarakat
dalam
proses
perumusannya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara. Dengan demikian pembentukan Undang-Undang akan Iebih legitimate serta dapat berlaku sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat dan hukum dapat diharapkan menjadi panglima dan pedoman dalam bernegara.
III
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka dalam konteks membangun kualitas produk legislasi nasional dan daerah perlu dipahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. A. Asas yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain : (Harry Alexander, 2004: 21-24) 1. Asas kejelasan tujuan, adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat mempunyai tujuan jelas, seperti membentuk baru, menggantikan atau melakukan perubahan peraturan perundang-undangan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
2. Asas manfaat, adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan yang dibuat harus mempunyai tujuan manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Asas kewenangan, adalah setiap jenis peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibuat harus oleh organ pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang. 4. Asas kesesuaian, jenis dan materi muatan adalah dalam membentuk setiap peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan dan materi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 5. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut akan dapat berlaku secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. 6. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa dalam membentuk setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga sistematikanya maupun terminology dan bahasa hukumnya jelas, sehingga tidak menimbulkan interpretasi ganda. 7. Asas keterbukaan (transparansi), adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan. 8. Asas efisiensi, adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan sumber daya yang seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
B. Asas-asas Materi Peraturan Perundang-undangan Materi peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya peraturan daerah, dibentuk berdasarkan beberapa asas-asas sebagai berikut : 1. Asas tata susunan peraturan perundang-undangan (lex superior derogate lex inferiori), adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
2. Asas lex specialis derogate lex generalis, adalah bahwa peraturan perundangundangan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum. 3. Asas lex posterior derogate lex priori, adalah bahwa peraturan perundangundangan yang lahir kemudian mengesampingkan peraturan perundangundangan yang lahir terlebih dahulu jika materi yang diatur peraturan perundangundangan tersebut sama. 4. Asas kepastian hukum, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dapat menjamin kepastian hukum dalam upaya menciptakan ketertiban dalam masyarakat. 5. Asas pengayoman, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. 6. Asas mengutamakan kepentingan umum adalah bahwa dalam peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan dengan mengutamakan kepentingan umum. 7. Asas kenusantaraan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari system hukum nasional berdasarkan kesatuan wilayah Indonesia atau wilayah tertentu sesuai jenis peraturan perundang-undangan dalam konteks perda berdasarkan wilayah daerah. Relevan dengan asas-asas yang dikemukakan diatas dapat ditambahkan bahwa dari sudut pandang teoritis suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi 4 (empat) unsur sebagai berikut 1. Unsur Yuridis : artinya bahwa suatu Peraturan Perundang-Undangan harus jelas kewenangan pembuatannya; keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; keharusan mengikuti tata cara tertentu. 2. Unsur Sosiologis; artinya bahwa suatu Peraturan Perundang-undangan yang dibuat materi muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. 3. Unsur Filosofis; artinya bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibuat harus memperhatikan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan sebagainya. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
4. Unsur Teknik Perancangan; artinya bahwa dalam menyusun Peraturan Perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas dan tepat. Dalam menyusun Peraturan Perundang-undangan tidak boleh menggunakan rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit dan lain-lain. Selanjutnya berkaitan dengan proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan pembuatan naskah akademik perlu dilakukan, agar semua produk legislatif dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Melalui kajian naskah akademik dalam pembuatan RUU dapat dipandang sebagai kebutuhan di bidang perundang-undangan, agar keberlakuan UU tersebut bisa diterima di dalam masyarakat. Sejauh pengetahuan penulis tidak semua Peraturan Perundang-undangan yang telah disahkan disusun dengan dukungan naskah akademik, walaupun dalam permohonan pemrakarsa
telah
dirumuskan
hal-hal
yang
menjelaskan
tentang
latar
belakang
permasalahan dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin dicapai , pokok-pokok pikiran, obyek yang akan diatur serta jangkauan dan arah pengaturannya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak merumuskan suatu kewajiban untuk menyusun naskah akademik dan pembentukan RUU sesudah berlakunya UU No. 10 tahun 2004 tersebut, pengaturan tentang naskah akademik mulai dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, PERPU, RPP dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pasal 5 PERPRES No. 68 Tahun 2006 menyatakan : 1. Pemrakarsa dalam penyusunan RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. 2. Penyusunan naskah akademik sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa
bersama-sama
dengan
Departemen
yang
tugas
dan
tanggungjawabnya dibidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan yang dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau pihak ke tiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu. 3. Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat daftar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Selain itu dalam pasal 121 Surat keputusan DPR - RI Nomor 081 DPR RI/2005-2006 tentang Tata Tertib DPR - RI dirumuskan sebagai berikut : (Maria Farida 2007:247) : 1. DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. 2. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 3. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD. 4. DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran wilayah, pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi Iainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan Pusat dan Daerah. 5. RUU sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diajukan beserta penjelasan, keterangan dan/atau naskah akademis. Untuk melengkapi apa yang disampaikan di atas maka dalam rangka membangun kualitas produk legislasi Nasional dan daerah, perlu diperhatikan pembuatan peraturanperaturan yang mengacu pada sumber hukum yang menjadi dasar peraturan perundangundangan Indonesia yakni Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum (rechtsIdee); karena itu untuk terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara haruslah ditemukan atau dipakai asas-asas hukum berdasarkan cita hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ke depan, yaitu : 1. Asas Ketuhanan 2. Asas Pengayoman 3. Asas Kebangsaan 4. Asas Kebhinekatunggal Ikaan 5. Asas Keadilan yang merata 6. Asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan 7. Asas ketertiban dan kepastian hukum Karena itu anggota-anggota DPR harus benar-benar memahami dan memiliki pengertian serta keyakinan tentang cita hukum tersebut. Dengan demikian tidak dapat tidak
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
perlu ditingkatkan peran DPR dalam rangka proses membangun kualitas legislasi dalam praktek ketatanegaraan.
IV
Untuk mempertegas apa yang disampaikan di atas dan sesuai dengan ketentuan konstitusional (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) yang menegaskan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum", maka untuk mewujudkan Negara Hukum, upaya membangun kualitas produk legislasi Nasional dan daerah adalah suatu keharusan. Membangun kualitas peraturan perundang-undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Pembuatan peraturan perundang-undangan baik Nasional maupun daerah yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknis penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan bukanlah pekerjaan yang mudah. Disamping diperlukan tenaga perancangan / legal drafter yang memiliki kompetensi dan memahami substansi materi, diperlukan pula koordinasi lintas bidang, penampungan aspirasi masyarakat, hingga terjadi pembulatan pemahaman dan perumusannya. Disisi lain paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya untuk mewujudkan civil society menjadi pertimbangan utama dalam proses penyusunan perundang-undangan untuk dapat menghasilkan produk legislasi yang berkualitas, aspiratif, akuntabel dan transparansi dalam era reformasi, era globalisasi dan era otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan konsep Negara Hukum / Negara Hukum Kesejahteraan, kewenangan atau hak legislatif (legislatif power) untuk membangun kualitas produk legislasi harus didasarkan pada ketentuan UUD 1945, UU No.32 Tahun 2004 maupun UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari ketentuan perundang-undangan tersebut salah satu yang dapat disimpulkan adalah proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjamin materi muatannya tetap konstitusional dan mampu menampung aspirasi rakyat.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Era reformasi dewasa ini mulai tumbuh harapan baru bagi rakyat untuk berperan aktif dalam proses politik. Semaraknya keterlibatan masyarakat dalam berbagai arena setidaktidaknya menjadi petunjuk awal bahwa partisipasi masyarakat nampaknya jauh melebihi keadaan masa lalu. Reformasi mempunyai tujuan untuk mengubah struktur kekuasaan menuju demokrasi dan memperkuat civil society, karenanya segala bentuk kebijakan publik dikaitkan dengan partisipasi warga masyarakat. Partisipasi masyarakat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dapat dikategorikan partisipasi politik. Senada dengan hal tersebut oleh (Hungtington dan Nelson : 1994) partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga Negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh Negara. Persoalannya adalah bagaimana membuat strategi untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses politik khususnya dalam ikut serta memberikan warna dan kontribusi dalam rangka membangun kualitas produk legislasi Nasional dan daerah.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net