Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia Dihadapkan dengan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya (Pandangan Kepala Daerah terhadap Tuntutan Otonomi Daerah) Oleh: Edie Toet Hendratno, SH. MSi. 1 Abstract The multi dimensional crisis are still happening in Indonesia have created much problems which have significant impacts towards the way of living. Those crisis not only have effected the political, economical, and social instability, but also problems in the regional development sector. The formulation of ordinance number 22 year 1999 regarding the regional government and its replacement which is the ordinance number 32 year 2004 regarding the regional government have given major changes in the regional government system. However in accordance with these changes, there are many different perception regarding the government’s policy. Keywords: power distribution, the kind of state, the function of the state, decentralization, federalism, and regional self governing. 1. Berbagai Persoalan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Ketidakmerataan hasil pembangunan nasional sejak awal masa kemerdekaan Negara Indonesia telah menumbuhkan perasaan tidak adil bagi masyarakat di berbagai daerah. Di dalam tulisannya tentang ketimpangan pembangunan di Indonesia, Selo Soemardjan (1976: 165-167) menggambarkan sejak awal masa kemerdekaan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Indonesia semakin sentralistik akibat dominasi peranan pemerintah pusat dalam setiap sektor pembangunan. Sentralisasi kekuasaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan geografis dalam pembangunan perekonomian nasional. Pembangunan lebih terpusat di Jakarta dibandingkan daerah lainnya terutama daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa. Seiring dengan berjalannya waktu perasaan tidak adil tersebut tumbuh semakin membesar. Timbul berbagai gejolak dan tuntutan masyarakat di beberapa daerah sebagai bentuk reaksi atas ketidakpuasan tersebut. Momentum jatuhnya Pemerintah Orde Baru pada tahun 1998 telah dimanfaatkan oleh Gerakan Reformasi di beberapa daerah untuk menggulirkan berbagai tuntutan, mulai dari permintaan otonomi yang lebih luas, pembentukan negara federal, hingga tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 1
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kandidat doktor dalam Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, juga mengajar di Universitas Pancasila Jakarta.
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
1
Pada awal masa reformasi tersebut Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat-RI membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinilai telah membuka cakrawala baru dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia dan menggeser cara pandang sentralistis menjadi desentralistis
dengan
memberikan
kewenangan
yang
luas,
nyata,
dan
bertanggungjawab kepada daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Daerah diberikan kewenangan otonomi yang luas di dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, hingga evaluasi. Termasuk di dalamnya pengembangan local content daerah dengan tujuan agar kesejahteraan masyarakat di daerah semakin baik. Namun pada tahun-tahun awal pelaksanaannya bahkan masih dalam rentang masa transisinya, implementasi undang-undang ini dianggap telah melahirkan berbagai masalah karena menimbulkan kerancuan persepsi dan ketidakpastian hukum. Anwar Suprijadi (2003) menyebutkan beberapa permasalahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, antara lain: (1) Masih belum terselesaikannya konflik dan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi dan Kabupaten atau Kota. (2) Berkembangnya disharmoni antara Pusat dengan Daerah, serta antara Provinsi dengan Kabupaten atau Kota, bahkan telah mengarah menjadi gerakangerakan pemisahan diri yang dilakukan beberapa daerah dari tatanan NKRI. (3) Kurang terkendalinya penerbitan produk hukum daerah, baik Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah, antara lain cenderung duplikatif serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berorientasi kepada penggalian pendapatan asli daerah (PAD) secara berlebihan yang cenderung menambah beban masyarakat. Masalah-masalah yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 belum memenuhi harapan perbaikan penyelenggaraan otonomi daerah. Kondisi ini disadari oleh semua pihak, sehingga kemudian diterbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang menyebutkan:
Bahwa
penyelenggaraan otonomi daerah selama
ini belum
dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan sehingga banyak mengalami kegagalan Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
2
dan tidak mencapai sasaran yang ditetapkan. Kegagalan itu menimbulkan ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan yang melahirkan antara lain tuntutan keras agar otonomi daerah ditingkatkan pelaksanaannya. Berdasarkan Rekomendasi Nomor 7 Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Peningkatan Derajat Desentralisasi Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terlihat adanya peningkatan porsi penyerahan kewenangan atau derajat desentralisasi penyelenggaraan otonomi daerah yang membedakannya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, antara lain: (1) Prinsip pemberian kewenangan yang semakin luas. Prinsip pemberian kewenangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional (Konsideran Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan prinsip pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah (Konsideran Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). (2) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur bahwa Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dipilih oleh DPRD (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Melihat latar belakang pembentukannya dan prinsip pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di samping berusaha memperbaiki tata hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, juga menjadi strategi bagi Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
3
Pemerintah untuk mencegah atau meredam berbagai tuntutan dan gerakan di daerah yang tidak berhasil diantisipasi oleh undang-undang sebelumnya, yaitu UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999. Peningkatan derajat desentralisasi (the degree of decentralization) dalam sistem pemerintahan NKRI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinilai beberapa pengamat telah mengarah ke sistem federal (Jimly Asshiddiqie, 2001: 28; Faisal H. Basri, 2003: xivxv; dan Andi S. Thahir, 2002: 112). Indikasi bahwa desentralisasi di Indonesia diselenggarakan dengan menerapkan beberapa prinsip sistem federal (federal arrangements), antara lain ditunjukkan oleh pengaturan penyelenggaraan otonomi yang seluas-luasnya, penerapan mekanisme penyerahan sisa atau residu kewenangan (reserve of powers) kepada Daerah, dan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Terlepas dari kemajuan yang dicapai oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, peningkatan derajat desentralisasi dalam kedua undang-undang tersebut telah menimbulkan beragam pandangan dan pemahaman di berbagai Daerah. 3. Pandangan Kepala Daerah terhadap Isu-isu Penyelenggaraan Otonomi Daerah Beragamnya isu dan pandangan mengenai penyelenggaraan pemerintahan Negara RI mulai dari masalah tentang pemerintahan negara hingga kepada isu federalisme dan ancaman disintegrasi NKRI sebagaimana dikemukakan di atas, mendorong Penulis untuk menelaah secara empiris bagaimana pandangan para Kepala Daerah sebagai pemegang fungsi eksekutif terhadap isu-isu penyelenggaraan otonomi daerah. Secara garis besar tulisan ini akan memaparkan hasil jajak pendapat dari para Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) di Indonesia terhadap isu-isu yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu pembagian kekuasaan, bentuk negara, fungsi negara, desentralisasi, federalisme, dan otonomi daerah. Kuesioner disebar kepada semua Gubernur, Bupati, dan Walikota di Indonesia dengan jumlah keseluruhan 378 responden, terdiri dari 30 Provinsi dan 348 Kabupaten dan Kota. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan mengirim kuesioner melalui pos kepada
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
4
responden (mailed questionnaire). Jawaban kuesioner yang kembali kepada penulis berjumlah 190 responden. a. Pembagian Kekuasaan Lord Acton mengatakan dalam dalilnya yang terkenal: Powers tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya. Dalil tersebut yang melatarbelakangi timbulnya demokrasi konstitusional pada akhir abad 19, yang berpandangan bahwa pembatasan atas kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis (Miriam Budiardjo, 2005: 52). Berdasar hasil pengolahan data mengenai pandangan responden tentang Pembagian Kekuasaan pada tabel-1 (1) terlihat bahwa pandangan kepala daerah tentang dominasi kekuasaan menunjukan komposisi yang hampir berimbang antara penilaian setuju dan penilaian tidak setuju. Tabel – 1 Pandangan Kepala Daerah tentang Pembagian Kekuasaan No.
Pertanyaan STS
1 2
3 4
5
Pemerintah negara memegang dominasi kekuasaan Pembatasan kekuasaan dengan konstitusi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan Dalam suatu negara perlu dilakukan pembagian kekuasaan Dalam negara kesatuan, kekuasaan pemerintah negara tidak akan berkurang dengan adanya daerahdaerah otonom Dalam negara kesatuan, pemerintah negara membawahi segala kekuasaan secara total
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
Tot.
6.6
23.4
-
8.8
7.3
38.0
16.1
100
0.7
0.7
-
2.2
9.4
28.1
59.0
100
1.4
5.0
1.4
4.3
12.9
51.8
23.0
100
3.6
17.9
1.2
9.5
9.5
35.7
22.6
100
10.9
30.7
2.2
10.9
5.8
32.1
7.3
100
Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju; S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
Demikian halnya pada tabel-1 (5) tentang penyelenggaraan kekuasan pemerintahan negara secara total, terlihat perbandingan penilaian setuju dan penilaian tidak setuju yang juga hampir berimbang. Komposisi ini mengindikasikan cara
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
5
pandang yang hampir berimbang antara kepala daerah yang berorientasi dominasi kekuasaan (sentralistik) dan yang berorientasi pembagian kekuasaan (desentralistik). Menurut penulis kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh pola pemerintahan sentralistik yang pernah dilaksanakan begitu lama sebelum masa berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999. Sedangkan pada penilaian tentang pembatasan kekuasan dengan konstitusi dan kontrol oleh masyarakat (tabel-1 (2)); perlunya pembagian kekuasan negara (tabel-1 (3)); dan penilaian tentang tidak adanya kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengurangi kekuasaan Pemerintah Pusat dalam otonomi daerah (tabel-1 (4)) pada umumnya responden memberikan pandangan setuju. b. Bentuk Negara Di dalam bukunya yang mengupas tentang sejarah konstitusi-konstitusi moderen dan bentuk-bentuknya di dunia, C.F. Strong (1952: 78) mengatakan There is no state that we know today which has not been built into its existing form by a process of integration or knitting together. Semua negara yang dikenal di masa kini didirikan menjadi bentuknya sekarang (existing form) melalui proses integrasi atau penggabungan bersama. Tabel – 2 Pandangan Kepala Daerah tentang Bentuk Negara No.
Pertanyaan STS
1 2
3
4
Negara merupakan suatu integrasi dari masyarakat atau golongan
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
Tot.
0.7
2.2
-
-
14.4
48.2
34.5
100
Negara RI merupakan negara yang berbentuk kesatuan, oleh karena itu di dalam negara tidak ada negara lainnya (negara bagian)
-
0.7
-
0.7
2.9
22.5
73.2
100
Negara Kesatuan RI menghormati kedudukan serta hak asal-usul yang terdapat di daerah-daerah yang bersifat istimewa
-
1.4
0.7
1.4
10.8
34.5
51.1
100
2.2
10.1
1.4
7.2
5.1
22.5
51.4
100
Bentuk Negara Kesatuan RI adalah pilihan final yang tidak mungkin diubah lagi.
Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju;S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
Pada tabel-2 tentang pandangan responden terhadap bentuk negara umumnya menunjukan penilaian setuju dan penilaian sangat setuju, yang meliputi pandangan
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
6
terhadap negara merupakan integrasi dari masyarakat atau golongan (tabel-2 (1)); Negara Kesatuan RI tidak memiliki negara bagian (tabel-2 (2)); Negara Kesatuan RI menghormati kedudukan hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa (tabel-2 (3)); dan bentuk Negara Kesatuan RI yang tidak mungkin diubah lagi (tabel-2 (4)). c. Fungsi Negara Tujuan negara (staatswill) menunjukkan apa yang ideal hendak dicapai oleh negara itu, sedangkan fungsi negara adalah pelaksanaan tujuan ideal itu dalam kenyataan konkret. Sementara itu, tugas adalah pelaksanaan lebih lanjut dari fungsifungsi. Secara terminologis, tugas dapat disamakan dengan fungsi (function). Jadi, secara umum boleh disifatkan bahwa ’fungsi’ itu adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ’tujuan’ (Hendra Nurtjahjo, 2005: 71). Tabel – 3 Pandangan Kepala Daerah tentang Fungsi Negara No.
Pertanyaan STS
1
Fungsi pemerintahan negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan. Kekuasaan negara digunakan untuk memenuhi kepentingan bersama dan tanpa ada diskriminasi.
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
Tot.
-
-
-
-
12.2
33.8
54.0
100
-
0.7
-
0.7
9.4
22.3
66.9
100
Negara hanyalah sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
2.2
10.1
0.7
4.3
10.8
40.3
31.7
100
4
Aparatur negara hanya sekedar alat untuk mensejahterakan rakyat.
-
6.5
1.4
6.5
13.8
37.0
34.8
100
5
Negara yang mantap dibangun dari bawah oleh rakyatnya sendiri.
-
-
1.5
7.3
13.1
32.1
46.0
100
6
Kekuasaan negara harus ditekan sampai taraf yang minimum
2.2
26.3
2.2
13.1
9.5
38.0
8.8
100
Sistem yang sentralistik tidak dapat merealisasikan secara optimal seluruh fungsi negara.
-
1.5
-
6.6
18.2
51.8
21.9
100
Pelaksanaan fungsi negara belum menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan Negara RI.
-
12.4
0.7
15.3
13.9
39.4
18.2
100
2
3
7
8
Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju; S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
Pandangan responden tentang fungsi negara pada tabel-3 secara umum menunjukan penilaian setuju dan penilaian sangat setuju(tabel-3 (1,2,3,4,5, 7, dan 8)). Kecuali pada pandangan tentang pembatasan kekuasaan negara sampai taraf yang
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
7
minimum dan fungsi-fungsi substantif untuk mencapai kesejahteraan diemban oleh masyarakat sendiri (tabel-3 (6)) menunjukan penilaian yang relatif berimbang antara penilaian setuju dan penilaian tidak setuju. d. Desentralisasi Desentralisasi bukan hal yang baru dalam perkembangan sistem pemerintahan Negara RI, namun demikian masih terdapat berbagai perbedaan pemahaman tentang implementasinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Tujuan dari desentralisasi antara lain adalah agar pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal sebagaimana dikemukakan oleh Eric Barendt, (1998: 59) bahwa: One common motive is the desire to decentralize political authority so that it is more responsive to the needs of local communities. Tabel – 4 Pandangan Kepala Daerah tentang Desentralisasi No.
Pertanyaan STS
1 2 3 4
5
6 7
8
Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat atas keadaan daerah dan kemajemukan masyarakat Desentralisasi dapat lebih mempercepat pengambilan keputusan Desentralisasi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Desentralisasi dapat memperkecil beban pemerintah atas perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. Desentralisasi mendorong keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan pembangunan Desentralisasi dapat lebih meningkatkan tanggung jawab Pejabat Daerah Desentralisasi dapat lebih mengefisienkan pelaksanaan tugas pemerintah Desentralisasi lebih mencerminkan demokrasi.
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
Tot.
-
0.7
-
2.2
17.3
26.6
53.2
100
-
-
-
2.9
15.8
29.5
51.8
100
-
-
-
2.2
10.1
24.5
63.3
100
0.7
0.7
-
7.9
19.4
33.1
38.1
100
-
-
0.7
0.7
13.8
29.7
55.1
100
-
-
0.7
4.3
13.8
38.4
42.8
100
0.7
-
-
4.3
21.7
34.1
39.1
100
-
-
-
4.4
21.9
32.8
46.3
100
Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju; S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
Pandangan responden tentang desentralisasi pada tabel-4, terlihat bahwa untuk semua aspek penilaian terhadap manfaat sistem desentralisasi umumnya mendapat penilaian setuju. Penilaian tersebut meliputi pernyataan bahwa desentralisasi dapat:
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
8
memberi penilaian yang lebih tepat atas keadaan daerah dan penduduk yang sifatnya beranekaragam (tabel-4 (1)); mempercepat pengambilan keputusan (tabel-4 (2)); mempercepat pemberian pelayanan kepada masyarakat (tabel-4 (3)); memperkecil beban pemerintah atas perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan (tabel-4 (4)); mendorong keikutsertaan masyarakat banyak dalam meningkatkan pembangunan (tabel-4 (5)); meningkatkan tanggung jawab Pejabat Daerah (tabel-4 (6)); mengefisienkan pelaksanaan tugas pemerintah (tabel-4
(7)); mencerminkan
demokrasi, karena lebih banyak menyebarkan kewenangan (tabel-4 (8)). e. Federalisme Mengenai indikasi adanya peningkatan derajat desentralisasi dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan adanya pandangan bahwa penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia mengarah ke sistem federal, tidaklah mengherankan hal tersebut terjadi sebagaimana pendapat Hans Kelsen (1973: 316-317) yang mengatakan Only the degree of decentralization distinguishes a unitary State divided into autonomous provinces from a federal State. Ditinjau dari sisi penyerahan kewenangan atau kekuasaan, perbedaan negara federal dengan negara kesatuan ditentukan oleh derajat desentralisasinya. Perbedaan antara suatu Negara Kesatuan yang terbagi atas Daerah-daerah Otonom (Negara Kesatuan yang didesentralisasikan) dengan suatu Negara Federal hanyalah pada kadar atau derajat desentralisasinya (the degree of decentralization). Umumnya responden memberikan penilaian setuju dan penilaian sangat setuju dari hasil tabulasi silang pandangan responden berdasarkan jabatannya tentang federalisme (tabel-5), yaitu pada pernyataan tentang: wacana negara federal Indonesia yang dalam perkembangannya banyak meninggalkan prasangka karena secara historis federalisme menjadi alat musuh untuk memecah belah persatuan bangsa (tabel-5 (1)); perlu dibentuk sistem check and balance of power antara kekuasaan pemerintahan pusat dan daerah (tabel-5 (3)); dan kewenangan pemerintahan daerah harus ditetapkan oleh undang-undang/ konstitusi (tabel-5 (4)). Komposisi penilaian yang berbeda terlihat pada pandangan responden terhadap pernyataan: sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia hanya sebagai alat untuk melahirkan uniformitas (keseragaman) struktur pemerintahan (tabel-5 (2)),
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
9
yang menunjukan pandangan yang relatif berimbang dan menyebar antara penilaian tidak setuju, penilaian antara setuju dan tidak setuju, dan penilaian setuju. Tabel – 5 Pandangan Kepala Daerah tentang Federalisme No.
Pertanyaan STS
1
2 3
4
5
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
14.4
41.0
23.7
100
23.7
5.0
26.6
5.8
100
0.7
4.3
10.8
41.0
36.0
100
-
3.6
15.1
37.4
41.7
100
Sejarah Negara Republik Indonesia Serikat telah menumbuhkan prasangka federalisme menjadi alat musuh untuk memecah belah persatuan bangsa
2.2
9.4
0.7
8.6
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan untuk melahirkan uniformitas (keseragaman) struktur pemerintahan
1.4
36.0
1.4
Perlu dibentuk sistem check and balance of power dalam penyelenggaraan pemerintahan
0.7
6.5
-
2.2
Pemerintahan daerah harus memiliki kewenangan yang telah ditetapkan oleh undang-undang/ konstitusi
Tot.
Pemerintahan Negara RI seharusnya diselenggarakan dengan sistem federal 7.2 47.8 1.4 21.7 5.8 11.6 4.3 100 untuk menghindari terjadinya disintegrasi Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju; S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
Demikian halnya terhadap pernyataan Pemerintahan Negara RI seharusnya diselenggarakan dengan sistem federal untuk menghindari terjadinya disintegrasi (tabel-5 (5)) pandangan responden relatif tersebar antara penilaian tidak setuju, penilaian antara setuju dan tidak setuju, dan penilaian setuju, namun sebagian besar responden memberikan pandangan tidak setuju. Komposisi ini mengindikasikan beragamnya tingkat kesetujuan kepala daerah terhadap wacana penerapan sistem federal dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara RI. Hal yang paling menarik dari muatan Tabel-5 di atas adalah terkait pandangan kepala daerah yang umumnya setuju dan sangat setuju bahwa Pemerintahan Daerah harus memiliki kewenangan yang telah ditetapkan oleh undang-undang/konstitusi (tabel-5 (4)). Pandangan kepala daerah ini tidak sejalan dengan prinsip penyerahan sisa atau residu kewenangan (reserve of powers) kepada Daerah sebagaimana diterapkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 7 yang mengatur kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
10
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain; dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 10 yang mengatur Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Demikian halnya ketentuan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 hasil amandemen bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah. f. Otonomi Daerah Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan pengertian otonomi daerah dan daerah otonom. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah Otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Mengacu pengertian tersebut, maka sesungguhnya makna otonomi bukan sebatas penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tetapi dari Pemerintah kepada masyarakat. Tujuan kebijakan otonomi daerah sesungguhnya adalah memberikan keleluasaan yang lebih luas kepada masyarakat dalam membangun daerahnya atas dukungan dan fasilitas pemerintah daerahnya sendiri. Dalam pemahaman ini, posisi pemerintah adalah pemegang kewenangan subsidiaritas, yang hanya membantu memfasilitasi, memberi subsidi dan menciptakan iklim yang kondusif bagi berperannya masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan daerah (Nyoman Sumaryadi, 2005: 115). Namun di dalam prakteknya terjadi distorsi terhadap makna otonomi daerah sehingga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan masyarakat. Secara umum pandangan responden tentang otonomi daerah pada tabel-6, menunjukan penilaian setuju yaitu pada penilaian terhadap pernyataan tentang: gagasan dan konsep desentralisasi serta otonomi daerah yang ada saat ini masih belum dapat diterapkan secara konkrit, sehingga menimbulkan ketidakpuasan daerah (tabel-6 (1)); masih ada tarik menarik kepentingan dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara Pusat dan Daerah (tabel-6 (2)); otonomi daerah dalam perkembangannya Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
11
mengalami berbagai distorsi (tabel-6 (3)); kesenjangan pembangunan menimbulkan tuntutan dan gejolak di daerah (tabel-6 (4)). Tabel – 6 Pandangan Kepala Daerah tentang Otonomi Daerah No.
Pertanyaan STS
1 2
3
4
TS
(%) N= 190 ASTS CS
CTS
S
SS
10.1
52.5
26.6
100
4.3
15.8
48.9
27.3
100
0.7
19.4
11.5
47.5
10.1
100
0.7
6.5
16.5
36.7
36.0
100
Konsep otonomi daerah yang ada saat ini masih belum dapat diterapkan secara konkrit.
-
2.9
-
7.9
Masih ada tarik menarik kepentingan dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara Pusat dan Daerah.
-
2.9
0.7
Otonomi daerah dalam perkembangannya mengalami berbagai distorsi.
-
10.8
Kesenjangan pembangunan menimbulkan tuntutan dan gejolak di daerah.
-
3.6
Tot.
Sumber : Hasil Penelitian Edie Toet Hendratno, SH. MSi., Thn. 2004-2005. Keterangan : STS=Sangat Tidak Setuju; CTS=Cukup Tidak Setuju; TS=Tidak Setuju; ASTS=Antara Setuju dan Tidak Setuju; S= Setuju; CS=Cukup Setuju; SS=Sangat Setuju Jbtn.=Jabatan; Gbnr.=Gubernur; Wlkt.=Walikota; Bpt.=Bupati; Tot.=Total
4. Penutup Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah wujud nyata dari tanggapan Pemerintah NKRI terhadap aspirasi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah Daerah mengharapkan otonomi daerah dan desentralisasi diselenggarakan secara optimal. Pemerintah Daerah pada dasarnya senantiasa ingin mempertahankan beberapa pokok-pokok fundamental dari NKRI. Namun dalam kenyataannya gagasan dan konsep desentralisasi serta otonomi daerah masih belum dilaksanakan secara konkrit, sehingga menimbulkan ketidakpuasan daerah. Bentuk negara kesatuan menurut pandangan sebagian besar Kepala Daerah adalah pilihan final yang tidak mungkin berubah lagi. Sebagian besar Kepala Daerah menyetujui bahwa dalam negara kesatuan, penyelenggaraan pemerintahan negara hanya satu. Artinya tidak ada penyelenggara pemerintahan negara yang lain di wilayah Negara Indonesia selain Pemerintahan NKRI. Pandangan Kepala Daerah secara umum ini menunjukkan keselarasan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) Pasal 1 ayat (1) yang menentukan ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik” dan Pasal 37 ayat (5) yang menentukan ”Khusus
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
12
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Artinya walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengandung atau menerapkan beberapa prinsip sistem federal (federal arrangements) dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan mempertahankan integritas NKRI, namun bentuk dan susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan.
Daftar Bacaan Andi Samad Thahir, Otonomi Daerah, Pemilu, dan Pembangunan Politik Bangsa, Editor: M. Sarief Arief dan A. Toha Almansur, Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, Jakarta, 2002. Anwar Suprijadi, Makalah Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara yang disampaikan pada Pembukaan Lokakarya Nasional Implementasi dan Revitalisasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintah Daerah, dalam: Desentralisasi Pemerintahan NKRI: Implementasi dan Revitalisasi, Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 2003. C.F. Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study of Their History and Existing Form, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1952. Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, Oxford University Press, New York, 1998. Faisal H. Basri, Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah, dalam: Indra J. Pilliang dkk. (Eds.), Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa, 2003. th
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, 20 Century Legal Philosophy Series: Vol. I, Translated by Anders Wedberg, Russell & Russell, New York, 1973. Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara – Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Jimly Asshiddiqie, Pengaturan Pemikiran Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2001. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. Nyoman Sumaryadi, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Depok, 2005 Selo Soemardjan, Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan - Pengalaman di Indonesia, dalam: Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Editor: Juwono Sudarsono, PT. Gramedia, Jakarta, 1976
Jurnal Bisnis & Birokrasi No.04/Vol. XIV/Desember/2006
13