Membandingkan SDG 13 dan RPJMN: Perubahan Iklim Diana Gultom (debtWATCH Indonesia) 1. Pendahuluan Isu perubahan iklim menjadi sangat relevan bagi Indonesia untuk diperhatikan, karena dua hal utama.Pertama, Indonesia adalah Negara terbesar ketiga dengan kekayaan hutan yang tinggi (sesudah amazon dan Kongo) disamping kekayaan sumber-sumber daya alam lainnya.Indonesia adalah Negara kepulauan mana ribuan pulau-pulau kecil membentuk Negara kesatuan republik Indonesia.Kedua kondisi itu membawa Indonesia dalam kondisi sebagai pelaku ‘penyelamat’ maupun korban dari perubahan iklim. Dengan kekayaan hutannya, maka Indonesia diharapkan menjadi penyerap karbon (carbon-sink) dunia, di pihak lain dengan kondisi Negara kepulauan membuat Indonesia rentan terhadap setiap gejala perubahan iklim (kekeringan, banjir, perubahan siklus iklim) yang membahayakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Goal ke-13 SDGs menyerukan untuk mengambil langkah konkrit dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya.Sembari tetap menghargai dan mengakui perjuangan yang dilakukan melalui kerangka konvensi PBB tentang perubahan iklim.Ada tiga hal utama yang disasar.Pertama,memperkuat kapasitas resiliensi dan adaptasi terhadap bahaya iklim dan bencana alam di semua Negara. Kedua, mengintegrasikan ukuranukuran perubahan iklim dalam kebijakan, perencanaan, dan strategi nasional, serta ketiga; peningkatan pendidikan dan kesadaran serta peningkatan kapasitas institusi dan manusia terhadap mitigasi perubahan iklim, adaptasi pengurangan dampak dan kehatihatian dini.1 Selain itu meminta implementasi atas komitmen Negara-negara maju atas pendanaan sebesar 100 miliar USD setiap tahunnya sampai tahun 2020 untuk aksi-aksi mitigasi dan beroperasinya Green Climate Fund (GCF). Kemudian, mempromosikan mekanisme untuk meningkatkan kapasitas bagi efektif perubahan iklim yang berhubungan dengan perencanaan dan manajemen di Negara-negara belum berkembang, termasuk fokus kepada perempuan, kaum muda dan komunitas yang termarjinalkan. 2 2. Pokok-pokok arah dan target di dalam RPJMN yang sesuai dengan tujuan (goal) yang dianalisa. 1
TRANSFORMING OUR WORLD: THE 2030 AGENDA FOR GLOBAL ACTION Final draft of the outcome document for the UN Summit to adopt the Post-2015 Development Agenda, Permanent Representatives to the UN, hal. 15 2 Ibid
1
Dalam RPJMN 2014 – 2019 isu Perubahan Iklim masuk dalam Buku I tentang Agenda Pembangunan dan Buku II tentang Agenda Pembangunan Bidang, Bab I (Pengarusutamaan dan Pembangunan Lintas bidang) dan Bab I0 (Bidang pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup) .Berikut, kutipan dari RPJMN yang berhubungan dengan Perubahan Iklim. Dalam kaitan dengan penyusunan RPJMN 2015-2019, maka perkembangan substansi dalam berbagai forum global Paska 2015 diselaraskan di mana isu Perubahan iklim yang menjadi salah satu focus dari SDG juga telah memberi warna penting dalam Agenda Pembangunan Paska 2015, yaitu “pembangunan lingkungan yang tercermin pada fokus mitigasi kepada perubahan iklim, konservasi sumberdaya alam dan perlindungan ekosistem serta keanekaragaman hayati; dan terakhir adalah adanya rumusan cara pencapaian (means of implementation). “ 3 Dalam kaitan dengan perubahan iklim, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak diwajibkan menentukan target penurunan emisi gas rumah kaca secara kuantitatif. Namun, Indonesia secara sukarela telah memberikan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.Komitmen ini dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional penurunan gas rumah kaca (RAN GRK) melalui Perpres No. 61/2011 dan 33 Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) yang ditetapkan melalui peraturan gubernur.Langkah penurunan emisi diiringi dengan langkah adaptasi yang rencana aksinya sudah selesai disusun pada tahun 2013. 4 Rencana pelaksanaan rencana mitigasi dan rencana adaptasi perubahan iklim pada berbagai bidang terkait dituangkan di dalam program lintas bidang dalam RPJMN 20152019 dengan target penurunan emisi GRK sekitar 26 persen pada tahun 2019 dan peningkatan ketahanan perubahaniklim di daerah. RAD-GRK dari 33 propinsi sebagian besar sudah dimasukkan dalam perencanaan daerah, atau RPJMD. 5 Permasalahan dan Isu Strategis 6 1. Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca/mitigasi (GRK) Sebagai pelaksanaan RAN GRK sesuai Perpres No. 61/2011 sampaidengan tahun 2013 telah diselesaikan: (i) Penerbitan Peraturan Gubenurtentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RADGRK)di 33 provinsi, serta Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan (PEP)pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK; (ii) Penyelenggaraan InventarisasiGas Rumah Kaca Nasional melalui Perpres No. 71/2011; (iii) PembentukanTim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim di tingkat nasional yangdidukung oleh unit Sekretariat Perubahan Iklim melalui KeputusanMenteri PPN/Kepala Bappenas No. 38/M.PPN/HK/2012; dan (iv)Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.15/2013 tentangPengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi 3
RPJMN 2014 – 2019, Buku I: Agenda Pembangunan Nasional, Hal. 3-15 Ibid, Hal. 3-16 5 Ibid, Hal. 3-17 6 RPJMN 2014 – 2019, Buku II: Agenda Pembangunan Bidang, Hal. I-87 4
2
Mitigasi Perubahan Iklim,serta pembentukan Sistem Inventarisasi GRK Nasional (SIGN Center)untuk inventarisasi GRK. Sejalan dengan itu, di tingkat lapangan telah dilaksanakan berbagaikegiatan rendah emisi, sebagai contoh di pertanian, kehutanan dan lahangambut telah dilakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangankebakaran hutan, perambahan hutan, dan penebangan liar; penerapanpola Reduce Impact Logging (RIL) dalam industri hulu kehutanan;penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB); penerapan System ofRice Intensification (SRI); pengembangan biogas untuk pemanfaatanlimbah domestik dan peternakan. Untuk mengurangi kandungan karbondi atmosfir (carbon sequestration) telah dilakukan kegiatan reboisasikawasan hutan dan gambut terdegradasi, penghijauan lahan kritis, danSelanjutnya, untuk menampung dukungan masyarakatinternasional dalam melakukan penurunan emisi, KementerianPPN/Bappenas bersama-sama dengan Kementerian Keuangan pada tahun2009 telah mendirikan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). 2. Peningkatan Ketahanan Masyarakat/adaptasi terhadap Perubahan Iklim Kekuatan mitigasi/penurunan emisi GRK sangat dipengaruhi olehkemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.Sehubungan dengan itu, untuk melindungi ketahanan ekonomi khususnyapangan dan energi, serta ketahanan masyarakat terutama petani, nelayandan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan rentan terhadapperubahan iklim, maka pada tahun 2013 telah disusun Rencana AksiNasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). RAN API berisi: (i) rencanaaksi adaptasi prioritas sektor dan lintas sektor dalam jangka pendek(2013-2014); (ii) upaya pengarusutamaan rencana aksi adaptasi ke dalamRPJMN 2015-2019; dan (iii) arah kebijakan adaptasi dalam jangka panjang(2020-2025). RAN-API merupakan rencana tematik lintas bidang yanglebih spesifik dalam mempersiapkan rencana pembangunan yangmemiliki daya tahan terhadap perubahan iklim (climate proof/resilientdevelopment) di tingkat nasional. Langkah konkrit yang akan dilakukan pada lima tahun kedepan adalah menerapkan rencana aksi adaptasi di 15 (lima belas) daerahrentan perubahan iklim, sebagai daerah percontohan penerapan RAN-API. Sasaran Bidang 1. Menurunnya emisi GRK untuk lima sektor prioritas: kehutanan danlahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah,mendekati 26% pada tahun 2019. 2. Meningkatnya ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahaniklim, khususnya terlaksananya langkah-langkah di 15 (lima belas)daerah rentan, yang merupakan daerah percontohan pelaksanaanRAN-API. Kerangka Pendanaan
3
Dalam upaya penanganan perubahan iklim, masing-masing kementerian/ Lembaga melakukan identifikasi kegiatan dan pendanaanyang spesifik untuk menangani perubahan iklim.Upaya tersebut mengacupada rencana aksi yang tertuang dalam RANGRK dan diperkuat denganrencana aksi adaptasi (RAN-API). Pada dokumen perencanaan pembangunan, pendanaan untuk perubahan iklim dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu: (i) bidang mitigasi; (ii) bidang adaptasi; dan(iii) bidang pendukung untuk memperkuat upaya mitigasi dan adaptasiseperti penguatan data dan informasi, peningkatan iptek, kajian, dankoordinasi pelaksanaan. Pendanaan untuk penanganan perubahan iklimbersumber dari APBN (anggaran kementerian/lembaga, DAK,Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Hibah dari APBN), APBD, hibah luarnegeri, dana perwalian, dan swasta/masyarakat. 7 Padasaat ini ICCTF telah membantu pelaksanaan RAN/RAD GRK denganmembantu berbagai pilot kegiatan untuk dapat diperluas penerapannyamelalui K/L terkait. Pada saat ini sesuai dengan semangat kemandiriannasional, ICCT telah menjadi Lembaga Wali Amanah (LWA) Nasional,sesuai dengan Perpres No. 80/2011. Kerangka Kelembagaan Penanganan perubahan iklim dilaksanakan dengan koordinasi yangerat antar pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah,masyarakat, maupun swasta.Di tingkat pusat, telah dibentuk TimKoordinasi Penanganan Perubahan Iklim yang dibentuk berdasarkanKeputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas No.KEP.38/M.PPN/HK/03/2012 tanggal 1 Maret 2012, untuk mengoptimalkanpelaksanaan RAN-GRK dan memudahkan koordinasi dalampenanganan perubahan iklim (mitigasi dan adaptasi). Tim tersebutterdiri atas Kelompok-kelompok Kerja yang beranggotakanperwakilan dari Kementerian/Lembaga lain, yakni kelompok kerjaBidang Pertanian, Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut; BidangEnergi, Transportasi, dan Industri; Bidang Pengelolaan Limbah;Bidang Pendukung Lainnya dan Lintas Bidang; serta Bidang AdaptasiPerubahan Iklim. Di tingkat daerah/Provinsi, terdapat pula TimPenyusun RAD-GRK yang terdiri atas Tim Koordinasi dan KelompokKerja (Pokja I-IV) sesuai dengan bidang dalam RAN/RADGRK. Adapun untuk dana perwalian, telah diterbitkan Peraturan MenteriPerencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan PerencanaanPembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2013 tentang PembentukanLembaga Wali Amanat Dana Perwalian Perubahan IklimIndonesia/Indonesia Climate Change Trust Fund, dan KeputusanMenteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BadanPerencanaan Pembangunan Nasional NomorKEP.33/M.PPN/HK/03/2014 tentang Pembentukan Majelis WaliAmanat Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia/IndonesiaClimate Change Trust Fund.
7
Ibid., Hal. I-90
4
Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Dalam periode 2015-2019, fokus penanganan perubahan iklim danpeningkatan kualitas informasi iklim dan kebencanaan mencakupbeberapa hal sebagai berikut: 8 1. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih perluditingkatkan untuk mencapai target penurunan emisi GRKmendekati 26 persen pada tahun 2019, dan peningkatan ketahananmasyarakat terhadap dampak perubahan iklim di daerah rentan 2. Masih perlunya penguatan sistem peringatan dini: cuaca dan iklimekstrim serta gempa dan tsunami, untuk mendukung upaya mitigasidan adaptasi perubahan iklim, serta upaya penanganan bencana 3. Perlunya peningkatan penggunaan alat pengamatan otomatis(persyaratan World Meteorological Organization/WMO) untukmeningkatkan akurasi proyeksi/perkiraan cuaca, iklim, dan analisisgempa dan tsunami 4. Perlunya peningkatan cakupan dan akurasi data dan informasi yangmendukung pemanfaatan energi baru terbarukan, seperti angin dangelombang laut. 5. Perlunya peningkatan kualitas data dan informasi meteorologi,klimatologi, dan geofisika (MKG), terutama untuk mendukungkeselamatan penerbangan dan maritim 6. Perlunya penyempurnaan model proyeksi perubahan iklim dalampenanganan perubahan iklim. Kerangka pendanaan untuk penanganan perubahan iklim danpeningkatan kualitas informasi iklim dan kebencanaan bersumber daripendanaan pemerintah pusat (APBN) dan daerah (APBD), serta sumber-sumberdana lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang tidakmengikat.Untuk penanganan perubahan iklim, pengembangan DanaPerwalian melalui Indonesia Climate Change Trust Fund dan danadanainternasional lainnya perlu terus ditingkatkan pemanfaatannya. Kerangka Regulasi dan lembagaPenanganan Perubahan Iklim dan Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Kebencanaan Dalam upaya peningkatan pengelolaan data dan informasiMeteorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG), maka diperlukanpenyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU No.31/2009tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, yaitu PP yang mengaturtentang: (1) Pelayanan MKG; dan (2) Rekayasa dan Penelitian MKG.Selain itu, diperlukan juga penyelesaian dari Rancangan PeraturanPresiden mengenai Rencana Induk MKG tahun 2015-2045.Dalam memperkuat peran dan koordinasi BMKG di tingkat daerah,maka diperlukan penguatan kelembagaan Unit Pelayanan Teknis (UPT)yang ada di daerah.Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaanprogram/kegiatan perubahan iklim, perlu penguatan dan pengembanganLembaga Wali Amanah ICCTF. 3. Analisa 8
Ibid., Hal. 10-36
5
a. Yang tidak ada dalam SDGs maupun RPJMN Baik SDGs maupun RPJMN, tidak menyebutkan secara eksplisit soal kerentanan dari negara kepulauan terhadap perubahan iklim. Padahal untuk Indonesia yang senyatanya adalah Negara kepulauan seharusnya segera memiliki perencanaan/ roadmap/blue print bagaimana mitigasi dan adaptasi Negara kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, termasuk membangun data soal daya lenting (resilience) Negara kepulauan. Jikapun ingin dikatakan dalam RPJMN bahwa isu kerentanan Negara kepulauan terhadap perubahan iklim temlah menjadi perhatian RPJMN, maka jejak itu hanya dapat ditemui dalam sepotong kalimat yang menyatakan “Upaya adaptasi perubahan iklim diarahkan untuk meningkatkan ketahanan di bidang: (i) ekonomi; (ii) sistem kehidupan; (iii) ekosistem; (iv) wilayah khusus; dan didukung oleh sistem pendukung adaptasi perubahan iklim. Ketahanan ini diwujudkan melalui upaya di berbagai sektor, yaitu: (i) ketahanan pangan; … (vi) ketahanan ekosistem; (vii) ketahanan perkotaan; dan (viii) ketahanan pesisir dan pulau kecil.” (garis tebal oleh penulis) 9 Fakta di lapangan malah menunjukkan sebaliknya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah malah memiliki rencana yang jelas untuk melakukan reklamasi pantai, setidaknya ditemui 14 kota sedang dan akan melakukan itu. Dalam konteks ‘janji’ untuk turut serta menangani masalah perubahan iklim kasus rencana reklamasi teluk Benoa di Bali menunjukkan inkonsisten pemerintah pusat, di mana hanya dengan sebuah produk hukum Peraturan Presiden (Perpres) yang dikeluarkan di era pemerintahan SBY, dapat merubah sebuah kawasan konservasi menjadi kawasan produksi. Ironis, karena teluk Benoa sempat menjadi etalase komitmen SBY akan penanganan perubahan iklim ketika Bali menjadi tuan rumah Pertemuan Para Pihak (COP) Konvensi Perubahan Iklim tahun 2009. Baik SDGs maupun RPJMN tidak secara eksplisit pentingnya menjalankan Padiatapa (Persetujuan atas Dasar Informasi di awal tanpa paksaan/FPIC) sebagai bagiandari hak rakyat atas karbon- dalam cara peningkatan kesadaran (awareness raising). Padahal untuk sebuah fenomena alam yang masif dan berdampak luas, namun berbeda, kepada masyarakat, sangat diperlukan konsen masyarakat agar bukan saja dalam konteks terlibat aktif, namun juga dapat mendorong adanya inisiatif lokal/masyarakat adat dalam pengurangan gas rumah kaca dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Inisiatif inilah bentuk partisipasi dan penerimaan masyarakat lokal/adat yang seharusnya kemudian diadopsi dalam kebijakan nasional.Mengingat yang menghitung karbon adalah proyek arus utama yang menuntut masyarakat harus turut serta dalam pengurangan emisi melalui skema karbon yang ditawarkan oleh dunia internasional. Seharusnya masyarakat bisa sadar haknya dan memutuskan dengan berdaulat dengan proses padiatapa di tingkat tapak. 9
Buku II, Hal. I - 89
6
Baik SDG 13 maupun RPJMN tidak mengatur mengenai masalah masalah tanggung jawab lintas batas Negara (extraterritorial responsibility). Padahal dampak perubahan iklim tidak mengingat akan perbatasan antar Negara. b. Konvergensi antara SDGs dan RPJMN Titik Temu (konvergensi) antara SDG 13 dan RPJMN terjadi di area pendanaan, kelembagaan, adaptasi, mitigasi dan perlunya untuk memikirkan cara-cara penerapan (means of implementation). Walaupun SDG 13 dan RPJMN keduanya mengangkat isu pendanaan, namun RPJMN membicarakan lebih rinci melalui Perpres No 80 thn 2011.Perpres tersebut membuka peluang setiap K/L untuk membuat Lembaga Wali Amanat sendiri. Kondisi ini membuka peluang setiap K/L dapat mengelola keuangan sendiri, namun dibutuhkan adanya konsolidasi aktivitas pengarusutamaan perubahan iklim yang terintegrasi agar menghindari setiap K/L membangun agenda sendiri atas nama perubahan iklim. c. Tidak ada Kovergensi Perempuan, pemuda dan kelompok marginal lainnya—kelompok rentan terhadap dampak perubahan iklim disebutkan dalam SDG 13, namun tidak ada dalam RPJMN.Sebaliknya SDGs tidak menentukan antara target penurunan emisi GRK. Matriks Konvergensi SDGs dengan RPJMN Isu/ Materi SDG 13 Perempuan, Pemuda, Mempromosikan mekanisme Masyarakat Lokal dan untuk peningkatan kapasitas perencanaan dan Masyarakat Marginal
RPJMN
manajemen perubahan iklim yang efektif di negara-negara LDCs, termasuk memfokuskan pada perempuan, pemuda dan komunitas lokal dan marjinal
Kerentanan kepulauan Extraterritorial responsibility Pendanaan
Negara
-
-
-
-
Penerapan komitmen Negara PengembanganLembaga maju untuk mengalokasikan Wali Amanah ICCTF 100 milyar USD setiap tahun
7
Kelembagaan
pada tahun 2020 (Green (Indonesia Climate Change Climate Fund) Trust Fund)
-
Di tingkat pusat, telah dibentuk TimKoordinasi Penanganan Perubahan Iklim yang dibentuk berdasarkanKeputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. KEP.38/M.PPN/HK/03/2012 tanggal 1 Maret 2012, untuk mengoptimalkanpelaksanaan RAN-GRK
Resiliensi dan adaptasi Memperkuat kapasitas Strategi Resiliensi dan serta penanggulangan adaptasi dan resiliensi adaptasi serta bencana terhadap iklim yang penanggulangan bencana berhubungan dengan kerusakan dan bencana alam di semua Negara Strategi dan perencanaan Mengintegrasikan cara perubahan iklim dan ukuran perubahan iklim dalam kebijakan, strategi dan perencanaan nasional Peningkatan kesadaran Meningkatkan masyarakat pendidikan, dan kesadaran masyarakat serta kapasitas institusi dan manusia dalam mitigasi, adaptasi dan pengurangan dampak, serta peringatan dini dalam perubahan iklim. (garis tebal oleh penulis) Target penurunan emisi Tidak ada target eksplisit GRK dalam SDG 13.
Mitigasi dan Adaptasi
Strategi dan perencanaan termuat dalam RPJMN
Telah masuk dalam strategi di RPJMN hanya dalam level awareness raising(tanpa padiatapa).
Target penurunan emisi GRK sekitar 26 persen pada tahun 2019 dan peningkatan ketahanan perubahaniklim di daerah
Meningkatkan pendidikan, RAN GRK- RAN API dan kesadaran masyarakat serta kapasitas institusi
8
dan manusia dalam mitigasi, adaptasi dan pengurangan dampak, serta peringatan dini dalam perubahan iklim.
4. Kesimpulan • Isu kerentanan di Negara kepulauan, isu extra territorial responsibility, juga Hak rakyat atas karbon tidak disebutkan secara eksplisit dalam SDGs maupun dalam RPJMN. Ketiga isu ini seharusnya diatur dalam RPJMN. •
RPJMN perlu mengakomodir isu perempuan, pemuda, masyarakat lokal dan masyarakat marginal sebagaimana telah diakomodir dalam SDGs. Karena kelompok ini termasuk kelompok yang mmemerlukan perhatian dan pendekatan khusus baik dalam strategi maupun implementasinya, sehingga mereka tidak terabaikan dalam proses pembangunan.
•
Untuk hal-hal di mana RPJMN telah mengakomodir SDGs, RPJMN perlu segera menjalankan rencana adaptasi, resiliensi dan mitigasi dengan proses yang partisipatif dan menjalankan padiatapa. Termasuk membangun perencanaan strategis mengenai kerentanan Negara kepulauan, khususnya pulau-pulau kecil.
•
RPJMN sebagai dokumen resmi Negara seharusnya menggunakan kerangka HAM, sehingga pencapaian diukur dalam rangka pemenuhan tanggung jawab Negara.Dalam konteks perubahan iklim konteks pertanggungjawaban Negara dalam perlindungan warga negaranya haruslah diukur dari pemenuhan hak-hak warga negara, bukan sekedar pencapaian angka-angka teknokratik. Apalagi untuk isu perubahan iklim banyak area sudah termasuk isu kritis, seperti penatagunaan lahan kehutanan, pertanian, ketersediaan air, jaminan pangan dan lain-lain. Karena itu indikator rehabilitasi fungi sumber daya alam ke fungsi semula menjadi penting, termasuk perlindungan fungsifungsi tersebut agar bagi pemenuhan hak warga Negara akan penghidupan yang layak.
•
Menempatkan isu perubahan iklim sebagai pembangunan lintas bidang dalam RPJMN patutlah dihargai. Namun RPJMN tidak cukup dalam dan komprehensif dalam perencanaan, cara implementasi yang berhubungan dengan isu lainnya secara signifikan. Bahkan terjadi kontradiksi dalam respon RPJMN terhadap perubahan iklim dan pola pembangunan yang masih tidak sensitifperubahan iklim, di satu pihak menganjurkan perubahan bentang alam secara masif, di lain pihak berjanji untuk menurunkan GRK sebesar 26 persen. Beberapa contoh seperti pola pembangunan Sarbagita di Bali yang mendorong terbukanya eksploitasi ekosistem Bali sebagai kepulauan; juga belum ada kebijakan moratorium atas usaha-usaha eksplotasi sumber
9
daya alam yang berpotensi besar menghasilkan karbon, seperti moratorium batu bara/ pertambangan. RPJMN tidak secara eksplisit melakukan kontrol terencana kepada emitter, seperti kebakaran hutan, perusahaan-perusahaan yang aktif memproduksi karbon, investor yang potensi merusak/memperparah dampak perubahan iklim. Kondisi ini haruslah menjadi perhatian utama dalam RPJMN dengan strategi dan perencanaan yang jelas.Yang terjadi hari ini, target nol terhadap kebakaran hutan dan kabut asap tidak terjadi. Pada Agustus 2015, kebakaran hutan di Riau dan Jambi masih terjadi (data WALHI). •
Kegiatan rendah emisi seperti yang ada dalam RPJMN seharusnya juga memastikan terjadinya Padiatapa dari masyarakat. Sebagai contoh, penerapan System of Rice Intensification (SRI) atas nama pembangunan rendah karbon memiliki potensi penghilangan bibit-bibit padi lokal yang tidak terlindungi oleh Negara. Perlindungan terhadap aset dan pengetahuan masyarakat lokal/adat sangat penting dalam penerapan pembangunan rendah karbon.
10