nasi
o
l
de
an
na
w
m
pe
ru i bahan ikl
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR .................................................
i
KATA PENGANTAR ................................................
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF .........................................
iv
KONTRIBUTOR ......................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................
v
Pendahuluan ........................................................
1
Mengurangi Emisi: DUA SOLUSI ..........................................................
2
Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca: PERSAMAAN KAYA ...............................................
3
Solusi Pertama: MENUJU EKONOMI HIJAU .....................................
5
Solusi Kedua: MENUJU MASYARAKAT HIJAU...............................
9
Kesimpulan .......................................................... 18 Referensi ............................................................. 20
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Perbandingan skenario pembangunan konvensional dan pembangunan berwawasan lingkungan (Green development) .................
2
Gambar 2. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (MtCO2), Indonesia dan negara - negara yang dipilih di Dunia dan Asia Tenggara, 1971-2009 ......
4
Gambar 3. Energi / PDB (juta joule per dollar AS thn 2000), Indonesia dan negaranegara yang dipilih, 1971-2009 ...............................................................
5
Gambar 4. CO2/Energi (tCO2 per triliun joule), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 ...................................................................................
6
Gambar 5. Persentase penduduk perkotaan, estimasi dan proyeksi, Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1950-2050 ...................................................
7
Gambar 6. PDB menggunakan PPP (milyar dollar AS thn 2000) untuk Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 ...................................................
10
Gambar 7. Populasi (dalam juta), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 ..............................................................................................
11
Gambar 8. Populasi (dalam ribuan) dan laju pertumbuhan (persen per tahun), estimasi dan proyeksi, Indonesia, 1970-2050 ...........................................
12
Gambar 9. PDB/Populasi (dalam ribu dollar AS thn 2000, US per kapita), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009.............................
14
Gambar 10. Persentase populasi 15-64, estimasi dan proyeksi, Indonesia, 1970-2050 ..............................................................................................
15
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
i
KATA PENGANTAR Indonesia mulai merasakan dampak terjadinya perubahan iklim, sebagaimana disebutkan dalam laporan “Indonesia Country Report on Climate Variability and Climate Change/ Laporan Nasional Variabilitas Iklim dan Perubahan Iklim Indonesia” (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007) yang dirilis baru-baru ini. Laporan yang disusun oleh para ahli terkemuka Indonesia dari berbagai sektor dan lembaga ini, memaparkan kajian analitis mengenai dampak iklim di Indonesia. Hasil yang disajikan dalam laporan ini sesuai dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Ahli Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim. Dampak perubahan iklim merupakan tantangan bagi lingkungan hidup Indonesia sekaligus bagi pencapaian tujuan dan keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi. Kita harus menyiapkan masyarakat agar memiliki ketahanan terhadap risiko akibat terjadinya perubahan iklim. Untuk dapat menangkal ancaman di masa kini sekaligus merencanakan masa depan yang lebih terjamin, kita harus menanamkan langkah-langkah terencana dalam sistem pembangunan kita untuk membantu masyarakat mengurangi serta membiasakan diri menghadapi dampak perubahan iklim. UNFPA akan terus menekankan prinsip-prinsip ICPD mengenai keterkaitan pembangunan berkelanjutan, kependudukan dan lingkungan hidup: “Pembangunan berkelanjutan sebagai instrumen untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, yang dibagi secara merata oleh masyarakat dunia di masa kini dan di masa yang akan datang, harus dapat memahami adanya keterhubungan antara kependudukan, sumber daya, lingkungan hidup dan pembangunan, yang selanjutnya harus dikelola dengan baik demi tercapainya keseimbangan yang dinamis dan harmonis. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan kualitas hidup yang tinggi bagi seluruh rakyat, Negara harus dapat mengurangi dan menghapuskan pola produksi dan konsumsi yang tak berkelanjutan serta mengembangkan kebijakan yang sesuai termasuk kebijakan terkait kependudukan, dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka” (Program Aksi ICPD, Bab II, Prinsip 6). Para ahli sepakat bahwa masalah kependudukan sangat terkait dengan perubahan iklim. Keprihatinan dinamika kependudukan telah disampaikan melalui forum internasional seperti United Nations Conference on Sustainable Development/Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan - Rio+20 pada bulan Juni 2012. Dalam konferensi ini, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, turut menyampaikan pentingnya mengemukakan isu kependudukan dalam konteks pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, termasuk di dalamnya perubahan iklim. Namun, dialog kebijakan tentang perubahan iklim saat ini—baik di tingkat internasional maupun nasional—belum memasukkan pertimbangan dinamika kependudukan. Kalaupun telah dikemukakan, persoalan kependudukan biasanya hanya ditanggapi sebagai persoalan dalam lingkup sempit sehingga mengecilkan masalah ‘kependudukan’ dalam satu poin saja yaitu sebagai salah satu faktor penyebab perubahan iklim. Untuk lebih memahami peran kependudukan dalam perubahan iklim, maka persoalan dimensi manusianya juga harus diperhatikan. Sudut pandang demikian memberikan bahan informasi bagi pembahasan perubahan iklim terkait
ii
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
‘dinamika’ kependudukan, termasuk di dalamnya perubahan struktur usia, migrasi dan pola urbanisasi. Dengan memasukkan isu-isu ini dalam strategi mitigasi dan adaptasi, maka akan lebih memantapkan efektifitas dan efisiensi langkah-langkah tersebut. Kerjasama antara DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), and UNFPA (Dana Kependudukan PBB) telah menghasilkan memo kebijakan berjudul: “Dinamika Penduduk dan Dimensi Manusia pada Perubahan Iklim di Indonesia.” Memo tersebut ditujukan kepada khalayak luas agar terbentuk kesadaran masyarakat umum dan para pembuat kebijakan, sehingga tercipta dukungan dari mereka. Memo kebijakan ini menggambarkan dengan ringkas bagaimana dinamika kependudukan memengaruhi sebab maupun akibat dari perubahan iklim, melalui analisis yang mengkaji struktur kependudukan dan distribusi geografis sekaligus ukuran dan kecepatan pertumbuhan populasi. Dokumen ini menggambarkan pemikiran inovatif dan memberi kontribusi penting dalam agenda perubahan iklim, mendesak kita agar memperhatikan masalah dinamika kependudukan sejalan dengan langkah Indonesia yang sedang merumuskan respon nasional terhadap perubahan iklim.
Rachmat Witoelar
Sugiri Syarif
Jose Ferraris
Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Republik Indonesia dan Kepala Eksekutif Dewan Nasional Perubahan Iklim
Kepala BKKBN
Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF Perubahan iklim berkaitan dengan manusia sekaligus iklim itu sendiri. Memo Kebijakan ini memaparkan pemahaman awal berbasis bukti mengenai bagaimana dinamika penduduk yang perkembangan jumlah dan komposisinya saling berkait - mungkin ikut andil dalam percepatan pertambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia akibat penggunaan bahan bakar fosil (BBF). Berbagai diskusi populer hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan penduduk namun kita masih yakin bahwa komposisi penduduk juga sama pentingnya; karena memperhatikan satu segi saja tanpa segi yang lain akan memberikan gambaran yang salah. Sudut pandang kependudukan turut membantu mengintegrasikan semua dimensi perubahan iklim—baik
ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun demografi—ke dalam
sebuah kerangka kerja yang sama yang digunakan dalam proses perumusan kebijakan. Kami memandang keterkaitan tren urbanisasi, pertumbuhan populasi, struktur usia, dan pertumbuhan kelas menengah sebagai perubahan iklim antropogenik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan bahwa negara berkomitmen mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun 2020 dalam skenario BAU (Business as Usual/ bisnis seperti biasa–tanpa tindakan baru), lalu ditambah 15 persen bila bantuan internasional yang sesuai dapat diperoleh. Mengangkat masalah dinamika penduduk tidak akan dengan sendirinya bisa mencapai target ambisius tersebut, namun pasti akan mempermudah proses pencapaiannya, khususnya dalam jangka panjang. Berdasarkan pemahaman kami mengenai hubungan sebab akibat antara dinamika kependudukan dan emisi GRK, kami merumuskan beberapa opsi kebijakan berbasis kependudukan dalam rangka menurunkan emisi GRK sebagai berikut: •
Meningkatkan efisiensi energi di daerah perkotaan dengan menciptakan tata kota yang lebih baik, memperbaiki infrastruktur dan melakukan intervensi gabungan; kebijakan ini juga memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Peluang emas bagi pelaksanaan kebijakan ini dipaparkan dalam peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
•
Revitalisasi program keluarga berencana nasional memiliki andil besar dalam upaya pengurangan GRK Indonesia selama 40 tahun ke depan dan seterusnya. Program keluarga berencana perlu direvitalisasi untuk melindungi hak kesehatan dan reproduksi warga negara; di sisi lain langkah ini juga bisa memberikan manfaat lain karena andilnya dalam pengurangan emisi GRK.
•
Melakukan investasi besar untuk pendidikan generasi muda saat ini sangat penting untuk memastikan modal sumber daya manusia yang jauh lebih baik dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang diperlukan dalam memperlancar proses transisi menuju ekonomi hijau.
•
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mempromosikan - terutama kepada kelompok kelas menengah muda yang sedang bangkit - manfaat pilihan hidup ramah lingkungan dan gaya hidup yang berkelanjutan untuk membantu membalikkan arah pergerakan intensitas karbon negara yang saat ini semakin ke atas.
iv
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
Data yang lebih lengkap perlu dikumpulkan lagi agar analisis yang lebih komprehensif bisa diperoleh, namun kami berharap analisis awal dalam Memo ini cukup untuk mengawali proses penggabungan dinamika penduduk secara sistematis ke dalam formula respon nasional Indonesia terhadap perubahan iklim.
KONTRIBUTOR Adrian Hayes (Penulis Utama) – Australian National University Farhan Helmy, Agus Purnomo dan Doddy Sukadri –DNPI/ Dewan Nasional Perubahan Iklim Wendy Hartanto dan Eddy Hasmi – BKKBN/ Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Jose Ferraris dan Richard Makalew – UNFPA Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang penulis terima dari banyak pihak di Indonesia yang dengan senang hati memberikan informasi dan wacanawacana selama proses penyusunan Memo Kebijakan ini, terutama kepada para anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), para pejabat BKKBN, dan para pejabat lain di lingkungan lembaga pemerintah. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Jose Ferraris dan para staf di UNFPA atas dukungan dan petunjuk yang telah diberikan. Secara khusus, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada mereka yang telah memberikan komentar-komentar yang membantu terhadap rancangan Memo Kebijakan ini: William Butz, Jose Ferraris, Wendy Hartanto, Eddy Hasmi, Farhan Helmy, Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Richard Makalew, dan peserta lain dalam rapat teknis yang diselenggarakan di DNPI pada tanggal 7 Mei 2012. Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan Australian National University dan Australian Research Council: beberapa analisis yang digunakan dalam Memo Kebijakan ini diambil dari temuan-temuan dalam penelitian yang telah saya lakukan namun belum dipublikasikan sebagai bagian dari ARC Discovery Grant yang diberikan kepada Prof. Terry Hull, Prof. Zhongwei Zhao dan saya sendiri. Pandangan-pandangan yang disampaikan dalam memo kebijakan ini berasal dari saya sendiri, kecuali disebutkan lain, dan belum tentu mencerminkan pandangan UNFPA, DNPI, atau pemangku kepentingan lainnya. Adrian C Hayes Australian Demographic and Social Research Institute (ADSRI) Australian National University Canberra ACT 0200 Australia
[email protected]
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
v
vi
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
Memo ini menyajikan pilihan-pilihan kebijakan berbasis kependudukan yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil.
1 Pendahuluan Perubahan iklim berkaitan dengan manusia serta iklim itu sendiri. Selama 20 tahun terakhir para ilmuwan telah mengkonfirmasi bahwa pemanasan global dalam satu abad terakhir adalah “nyata” dan bahwa aktivitas manusia “sangat mungkin” adalah penyebab utamanya (IPCC 2007). Saat ini penting untuk mempelajari secara lebih mendalam penyebab-penyebab antropogenik dan akibat-akibat dari perubahan iklim. Banyak di antaranya yang bersumber dari perubahan demografis (O’Neill dkk 2010). Memo Kebijakan ini menyajikan pemahaman berbasis bukti awal mengenai bagaimana dinamika penduduk dapat berkontribusi terhadap perkembangan pesat tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF)1. Banyak diskusi populer yang berfokus pada pertumbuhan penduduk, tetapi kami berpendapat bahwa struktur penduduk sama pentingnya; bahkan, berfokus hanya pada salah satu tanpa yang lainnya akan memberikan gambaran yang terdistorsi. Kami menggunakan istilah “dinamika penduduk” untuk merujuk pada bagaimana ukuran maupun struktur (atau komposisi) penduduk berubah dari waktu ke waktu. Secara khusus, kami mempertimbangkan perubahan dalam urbanisasi, pertumbuhan penduduk, struktur umur, dan pertumbuhan kelas menengah. Penyebab (dan konsekuensi) antropogenik dari perubahan iklim memiliki banyak dimensi, termasuk ekonomi, politik, sosiologis dan
budaya.
Sebuah
perspektif
kependudukan
membantu
mengintegrasikan dimensi-dimensi tersebut dalam kerangka umum yang dapat digunakan dalam perubahan kebijakan. Berdasarkan pemahaman awal kami tentang hubungan antara dinamika penduduk dan emisi gas rumah kaca, kami menyarankan cara-cara yang dapat memperkuat strategi mitigasi di Indonesia dengan mempertimbangkan keterkaitan-keterkaitan tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengukuhkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen 1
Memo ini berfokus pada emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil. Mengurangi emisi berdasarkan skema REDD+ telah dimuat dalam Memo Kebijakan sebelumnya (Busch et al. 2010). Memo terkini dibuat berdasarkan Hayes (2011).
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
1
pada tahun 2020 terhadap skenario bisnis-seperti-biasanya (businessas-usual), dan 15 persen tambahan jika mendapatkan bantuan internasional yang sesuai. Menangani dinamika penduduk tidak dapat mencapai target ambisius itu sendiri, namun dapat membuat upayanya lebih mudah, terutama dalam jangka panjang.
2 Mengurangi emisi: DUA SOLUSI Manusia di mana pun ia berada berusaha untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan tujuan pembangunan biasanya diartikan sebagai mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan. Line 1a (panel kiri) merepresentasikan apa yang biasanya terjadi dalam proses pembangunan nasional. Line 1 merupakan kenaikan keseluruhan well-being (kesejahteraan) penduduk dari waktu ke waktu. Perbaikan kesejahteraan (yaitu rakyat hidup lebih lama, makan lebih baik, menikmati manfaat perumahan dan sanitasi yang lebih baik, pendidikan, kebebasan pribadi yang lebih besar, dll) selalu memerlukan produksi dan konsumsi barang dan jasa yang lebih banyak, dengan kata lain, pembangunan ekonomi. Kenaikan yang terakhir ini diwakili oleh Line 22. Gambar 1. Perbandingan skenario pembangunan konvensional dan pembangunan berwawasan lingkungan (Green development) (a) Konvensional
L1 Well-being
L2 Economic dev
L3 Throughput
(b) Hijau
L1 Well-being
L2 Economic dev
L3 Throughput
Sumber: Terinspirasi oleh Raskin dkk (2002: 48) dan Robinson dan Tinker (1996).
Akhirnya, pembangunan ekonomi sebagian besar didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam dan menghasilkan dampak lingkungan dan polusi yang lebih besar. Kenaikan pada “keluaran” bahan dan energi ini diwakili oleh Line 3. 2
2
Empat puluh tahun yang lalu hubungan antara peningkatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi begitu kuat menancap di pikiran banyak ahli sehingga definisi “pembangunan” sering identik dengan pembangunan ekonomi. Saat ini pembangunan ekonomi lebih cenderung dilihat sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak mencukupi untuk meningkatkan kesejahteraan.
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
Dalam Memo ini “polusi” yang kita fokuskan adalah emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer, dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) termasuk batubara, minyak, dan gas alam. Mengurangi emisi ini merupakan tantangan yang luar biasa besar karena masyarakat industri modern secara historis dibangun atas dasar energi murah dari batu bara (dan kemudian minyak bumi dan gas), dan sebagian besar pembangunan ekonomi saat ini terus bergantung pada ketersediaan energi murah dari BBF. Dari Gambar 1a kita dapat melihat bahwa jika kita ingin mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa mengorbankan peningkatan kesejahteraan, kita harus mengeksplorasi salah satu atau kedua solusi (Gambar 1b, panel kanan). Solusi pertama adalah membelah bagian antara Line 2 dan 3, sehingga Line 3 turun bahkan saat Line 2 naik. Solusi kedua adalah dengan membelah Line 1 dan 2, sehingga Line 2 turun sementara Line 1 terus meningkat. Dalam bagian berikut kita akan membahas peran dinamika penduduk dalam setiap solusi, dan menjelaskan bagaimana mengambil perspektif kependudukan membantu untuk memperjelas dimensi sosial dari upaya mitigasi.
3 Pengukuran emisi gas rumah kaca: PERSAMAAN KAYA Untuk menilai solusi dan peran dinamika penduduk ini secara kuantitatif, kita membutuhkan sebuah kerangka kerja yang dapat digunakan untuk memilah-milah total emisi sehingga dapat membantu mengatribusikan masing-masing bagian yang berbeda ke penyebab atau determinan yang berbeda. Salah satu pendekatan yang berguna adalah apa yang disebut persamaan Kaya3: dalam kasus karbon dioksida, GRK terpenting rumusnya adalah sebagai berikut: CO2 = Populasi x PDB/Populasi x Energi/PDB x CO2/Energi Penjelasan: Jumlah karbon dioksida yang diemisikan adalah sama dengan ukuran populasi, kali PDB per kapita (sebagai ukuran dari kemakmuran rata-rata populasi), kali jumlah energi yang digunakan untuk memproduksi satu unit PDB (ukuran “intensitas energi” dari ekonomi tersebut), kali jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer per unit energi (“intensitas karbon” dari pasokan energi). Persamaan Kaya berasal dari tradisi panjang dalam penelitain populasidan-lingkungan yang melihat dampak lingkungan dari suatu populasi sebagai produk dari total aktivitas ekonomi kali dampak lingkungan per 3
Pendekatan ini banyak digunakan dalam diskusi IPCC yang berjudul Special Report on Emissions Scenarios (Nakićenović dkk 2000). DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
3
unit aktivitas (Ehrlich dan Holdren 1971). PDB dapat dianggap sebagai ukuran kegiatan ekonomi, sehingga dua variabel pertama pada sisi kanan dari persamaan Kaya dapat diartikan sebagai penjabaran total dari kegiatan ekonomi menjadi aktivitas rata-rata per kapita dikalikan jumlah penduduk, dan dua variabel terakhir sebagai penjabaran dampak lingkungan per unit aktivitas (CO2 per unit PDB) menjadi intensitas energi dan intensitas karbon. Jadi apa yang digambarkan sebagai Solusi 1 di bagian sebelumnya membutuhkan manipulasi dua variabel terakhir di sisi kanan persamaan Kaya sementara Solusi 2 membutuhkan manipulasi dua variabel pertama. Gambar 2. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (MtCO2), Indonesia dan negaranegara yang dipilih di Dunia dan Asia Tenggara, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara
8000
400
7000
850 Indonesia
6000
Australia
5000
Brazil
4000
China
3000
1000 0
Indonesia
250
Malaysia
200
Philippines
150
Thailand
India
100
Vietnam
USA
50
Germany
2000
800
0 1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011).
Emisi gas rumah kaca dari pembakaran BBF meningkat pesat di banyak negara di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Panel sisi kiri Gambar 2 menunjukkan garis tren selama 40 tahun terakhir untuk Indonesia, tiga negara BRICS (Brazil, China dan India) dan tiga negara OECD (Australia, Jerman dan Amerika Serikat), panel sisi kanan membandingkan Indonesia dengan empat negara Asia Tenggara lainnya. Semua negara yang ditampilkan kecuali satu negara telah meningkatkan emisi BBF mereka selama 40 tahun terakhir, di mana peningkatan di Indonesia adalah yang paling dramatis secara relatif - dari 25,1 MtCO2 di tahun 1971 menjadi 376,3 MtCO2 di tahun 2009, suatu peningkatan 15 kali lipat dalam 38 tahun. Secara absolut peningkatan China dan India jauh lebih besar, tetapi mereka bertolak dari basis yang jauh lebih besar: kenaikan China dengan faktor 8,5, dari 809,6 MtCO2 di tahun 1971 menjadi 6877,2 MtCO2 di tahun 2009, dan India meningkat dengan faktor 7,9 dari 200,2 menjadi 1.585,8 MtCO2. Jerman adalah salah satu dari sejumlah kecil negara Eropa yang telah berhasil mengurangi emisi mereka selama 40 tahun terakhir4. Di antara negara-negara Asia Tenggara yang ditunjukkan 4
4
Krisis keuangan global saat ini telah berdampak pada tren emisi sejak 2008, tetapi tahun 2009 adalah tahun terkini dalam data seri yang diterbitkan sampai saat ini oleh Badan Energi Internasional.
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
pada Gambar 2, peningkatan Indonesia dalam emisi CO2 adalah yang terbesar baik secara absolut maupun relatif. Aritmatika sederhana mengatakan bahwa jika kita ingin mengurangi variabel di sisi kiri persamaan (yaitu emisi CO2) kita harus mengurangi setidaknya satu dari beberapa variabel di sisi kanan. Pada bagian berikut kita meneliti bagaimana dinamika penduduk di Indonesia dapat mempengaruhi determinan Kaya, dan menyarankan cara-cara bagi pembuat kebijakan untuk mengambil manfaat dari hubunganhubungan tersebut guna memperkuat upaya-upaya mitigasi dan pengurangan emisi karbon.
4 Solusi Pertama: MENUJU EKONOMI HIJAU Solusi pertama mensyaratkan bahwa polusi (dalam hal ini CO2) yang dihasilkan oleh produksi energi dari BBF (yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi) berkurang meskipun tingkat pembangunan ekonomi terus meningkat. Hal ini dapat dilakukan dengan satu atau kedua cara: (i) dengan mengurangi jumlah energi yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit pembangunan ekonomi (di sini diukur dengan Energi/PDB), dan (ii) dengan mengurangi jumlah polusi yang dihasilkan dari produksi dan penggunaan energi yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi (di sini diukur dengan CO2/Energi). Kedua jalur membuat perekonomian lebih “hijau.” Gambar 3. Energi / PDB (juta joule per dollar AS thn 2000), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara
40
20 18
35 30 25 20
Indonesia
16
Australia
14
Brazil
12
China
15
Germany
10
India
5
USA
0
Indonesia Malaysia
10
Philippines
8
Thailand
6
Vietnam
4 2 0
1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011).
Gambar 3 menunjukkan Energi / PDB (yaitu intensitas energi) untuk Indonesia dan negara-negara yang dipilih. Sebuah tren yang hampir universal adalah bahwa ketika negara semakin maju, mereka belajar
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
5
untuk menggunakan energi secara lebih efisien dan intensitas energi menurun. Negara OECD masih meningkatkan efisiensi energi mereka: di Amerika Serikat pada tahun 1971 diperlukan rata-rata 17,2 juta joule untuk memproduksi setiap dollar PDB (dalam paritas daya beli yang dipatok dengan nilai dollar tahun 2000), pada tahun 2009 hanya dibutuhkan 8 juta joule. Sebagian dari perubahan ini adalah karena adanya pergeseran struktural dalam perekonomian yaitu dari manufaktur ke industri jasa (“de-industrialisasi”) yang membutuhkan energi lebih sedikit dalam memproduksi kekayaan. Ketika negaranegara melakukan industrialisasi awalnya dengan cepat, pada mulanya mereka mungkin cenderung untuk menggunakan energi dengan sangat tidak efisien, akan tetapi mereka segera belajar untuk menghemat: Peningkatan efisiensi energi China pada Gambar 3 tampak mencolok, dari 35,1 juta joule per dollar pada 1971 menjadi 7,7 juta joule pada 2009. Di antara negara-negara Asia Tenggara yang ditampilkan, Vietnam telah mengalami peningkatan efisiensi energi yang serupa, dari 17,8 juta joule per dollar menjadi 9 juta joule. Kecenderungan di Indonesia adalah perbaikan bertahap dari 13,7 pada 1971 menjadi 9 juta joule per dollar pada 2009. Malaysia merupakan pengecualian karena saat ini memerlukan lebih banyak energi per unit PDB dibandingkan pada tahun 1971. Gambar 4. CO2/Energi (tCO2 per triliun joule), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara
90
70
80
60
70
Indonesia
60
Australia
50
Brazil
40
China
30
Germany India
20
USA
10 0
50
Indonesia
40
Malaysia Philippines
30
Thailand
20
Vietnam
10 0
1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011).
Jalur kedua untuk ekonomi bersih adalah dengan mengganti sumber energi kotor dengan energi yang lebih bersih dan lebih mengandalkan energi surya, air, panas bumi, bio-fuel, dll. Gambar 4 menunjukkan garis tren untuk negara-negara tertentu dalam jumlah CO2 yang dihasilkan per unit energi yang diproduksi (yaitu intensitas karbon). Negara-negara OECD pada umumnya telah menurunkan intensitas karbon dalam produksi energi mereka selama 40 tahun terakhir: Amerika Serikat melepaskan 64,6 ton CO2 untuk setiap triliun (yaitu
6
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
juta juta, atau 1012) joule pada 1971, sedangkan angkanya pada 2009 adalah 57,4. Angka yang sama untuk Jerman adalah masing-masing 76,6 dan 56,3. Australia tidak biasa di antara negara-negara OECD dengan tren ke arah yang berlawanan: 66,7 ton CO2 untuk setiap 1.012 joule pada tahun 1971, sampai dengan 72 pada tahun 2009. Intensitas karbon dari produksi energi di Indonesia telah meningkat tajam dari 17,1 ton CO2 untuk setiap 1012 joule pada 1971 menjadi 44,5 ton pada 2009. Pada tahun 2009 intensitas karbon sudah sangat menurun di China (72,3 ton CO2 untuk setiap 1012 joule), India (56,0t), Malaysia (58,7t) dan Thailand (52.7t). Dalam sisa bagian ini kami akan menunjukkan bagaimana dinamika penduduk saling berhubungan dengan tren intensitas energi dan intensitas karbon.
Urbanisasi Insentif utama untuk mengurangi intensitas energi (atau meningkatkan efisiensi energi) adalah ekonomi - yaitu menghasilkan kekayaan dengan biaya yang lebih kecil - namun dimensi manusia lainnya juga berperan. Misalnya, ada alasan kesehatan dan kenyamanan yang signifikan untuk mengurangi pembakaran BBF guna mengurangi polusi yang dihasilkan, terutama di daerah padat penduduk. Ketahanan energi merupakan pertimbangan politik penting, dan subsidi bahan bakar dan energi tertentu hadir di banyak negara, termasuk Indonesia, seolah-olah demi keadilan sosial. Faktor demografi juga penting dalam mempengaruhi tren intensitas energi, hal ini terutama berlaku dalam kasus urbanisasi. Gambar 5. Persentase penduduk perkotaan, estimasi dan proyeksi, Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1950-2050 Dunia
Asia Tenggara 100
100
80
80 Indonesia Australia
60
Brazil
Indonesia
60
Malaysia Philippines
China
40
Germany
40
Thailand Vietnam
India
20
USA
20
0
0 1950 1970 1990 2010 20302050
1950197019902010 20302050
Sumber: UN Pop. Div. (2012).
Urbanisasi merupakan tren global utama saat ini, terutama di negara-negara berkembang (Gambar 5), dan diperkirakan bahwa
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
7
pada tahun 2010 lebih dari 50 persen dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan (Div. Populasi PBB, 2012). Di sebagian besar negara, laju pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan penduduk secara keseluruhan. Menurut Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, penduduk di perkotaan telah mencapai 50 persen; PBB memperkirakan bahwa bahkan jika laju pertumbuhan penduduk di Indonesia turun menjadi 0,1 persen per tahun pada tahun 2050 (seperti yang diharapkan menurut proyeksi jangka menengah PBB), penduduk perkotaan masih akan tumbuh sekitar 1 persen per tahun (yaitu sekitar 8 atau 9 juta orang per tahun). Pertumbuhan penduduk perkotaan bertanggung jawab terhadap peningkatan proporsi emisi gas rumah kaca suatu negara. Efisiensi penggunaan energi di daerah perkotaan sangat tergantung pada desain infrastruktur perkotaannya. Pada saat yang sama, urbanisasi yang pesat juga meningkatkan dengan cepat jumlah bangunan dan infrastruktur perkotaan. Jika pembuat kebijakan dapat memastikan bahwa daerah perkotaan baru dirancang dan dibangun untuk menjadi lebih hemat energi dibandingkan dengan daerah perkotaan yang lama, maka hal itu dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi emisi di masa depan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan bangunan baru; tempat kerja, tempat tinggal dan rekreasi yang lebih hemat energi, dan dengan mengembangkan lebih banyak pilihan mobilitas pribadi yang tidak tergantung pada mobil pribadi (Rosenzweig dkk 2011). Pola sebaran wilayah di sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya saat ini sangat tidak efisien dari sudut pandang penggunaan ruang dan energi. (Dick dan Rimmer 1998)5. Ada banyak manfaat kesejahteraan lainnya dari pengurangan penggunaan BBF dalam hal kesehatan, kenyamanan dan kualitas hidup; misalnya, pengurangan emisi dari BBF menyebabkan udara yang lebih bersih dan pengurangan penyakit yang disebabkan karena polusi udara. Jika reformasi ini tidak diimplementasikan ketika daerahdaerah perkotaan baru direncanakan dan dikembangkan—misalnya dalam koridor ekonomi baru yang digambarkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia/ MP3EI 2011-2025 (Pemerintah Indonesia 2011)–maka akan menjadi jauh lebih sulit dan mahal untuk menerapkannya kemudian melalui perbaikan. Lingkungan yang terbangun adalah kebijakan publik yang sudah terwujud dan tidak mudah diubah6.
5 6
8
Subsidi bahan bakar terus berkontribusi terhadap inefiesiensi. Pemikiran yang seksama perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan kependudukan yang melengkapi MP3EI untuk memastikan bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi bersifat ramah iklim dan lingkungan dan manfaatnya tersebar secara merata.
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
Kemiskinan dan pembangunan yang inklusif Hal lain yang juga penting adalah memperhatikan dinamika populasi ketika menimbang alternatif-alternatif jalur pembangunan dengan meningkatkan penggunaan energi yang lebih bersih (yaitu mengurangi intensitas karbon), namun demikian, topik ini membutuhkan analisis yang lebih mendalam. Banyak pengamat yang hanya melihat pergeseran ke energi bersih sebagai masalah teknologi, namun sebenarnya ada dimensi demografis dan manusia yang perlu diatasi. Perubahan teknologi selalu melibatkan beberapa perubahan dalam perilaku dan organisasi sosial, dan bahkan jika perubahan itu membawa manfaat bagi sebagian besar orang, akan selalu ada sebagian lain yang dirugikan. Adalah penting untuk memastikan bahwa jalur yang dipilih bersifat inklusif secara sosial dan bahwa rakyat miskin tidak termasuk dalam kelompok yang dirugikan. Masyarakat miskin biasanya menggunakan lebih sedikit energi daripada yang tidak miskin, dan mengentaskan mereka dari kemiskinan membutuhkan penggunakan energi lebih banyak dan bukan lebih sedikit (Royal Society 2012). Waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk beralih ke sumber energi bersih tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak segera memperbaiki akses masyarakat miskin ke sumber energi yang dapat diandalkan7. Pada umumnya telah disepakati bahwa kekuatan pasar semata tampaknya tidak akan cukup dalam waktu dekat untuk mendukung pengembangan teknologi energi baru ke tingkat yang kompetitif secara ekonomi, dan bahwa penggunaan dana pemerintah secara bijaksana diperlukan untuk melengkapi dana swasta (Stern 2007). Mobilisasi dana tersebut pasti memerlukan transfer kekayaan dalam dan antar masyarakat, dan dalam dan antar generasi. Hal ini merupakan masalah yang pelik bagi para politisi (dan komunitas diplomasi internasional), dan aspek populasi dari masalah saat ini kurang diapresiasi dan diteliti. Seorang pemimpin politik visioner akan sangat dimudahkan dengan analisis yang jelas tentang siapa yang diuntungkan oleh teknologi baru, seberapa banyak, kapan dan di mana, dan siapa yang dirugikan, seberapa banyak, kapan dan di mana.
5 Solusi 2: MENUJU MASYARAKAT HIJAU Kesimpulan Stern adalah bahwa pasar dan peraturan pemerintah saja tidak mungkin dapat melakukan mitigasi perubahan iklim 7
Imperatif terpenting mengenai penduduk miskin dan perubahan iklim, tentu saja, adalah harus ada upaya-upaya untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap dampak perubahan iklim, namun Memo Kebijakan ini berfokus pada dinamika penduduk dalam kaitannya dengan sebab-sebab dan mitigasi perubahan iklim, bukan adaptasi.
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
9
secara memadai, setidaknya dalam waktu dekat. Hal ini sangat perlu melibatkan perubahan sikap dan “preferensi” masyarakat: “Perubahan iklim yang berbahaya tidak dapat dihindari hanya melalui perjanjian tingkat tinggi internasional, tetapi perlu melibatkan perubahan perilaku oleh individu dan masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan keputusan konsumsi mereka untuk perumahan, transportasi dan makanan” (Stern 2007: 448). Ini adalah ranah dari Solusi 2. SSolusi 2 mensyaratkan bahwa pergeseran bersama Line 1 dan 2 pada Gambar 1 dilepaskan, sehingga terus meningkatnya kesejahteraan penduduk tidak memerlukan terus meningkatnya aktivitas ekonomi (setidaknya tidak dalam arti yang dipahami saat ini). Kebanyakan yang mengusulkan solusi jenis ini berpendapat bahwa tingkat tertentu dari kegiatan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan; tetapi setelah titik tersebut, pertumbuhan lanjutan tidak diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan lebih lanjut, dan bahwa pola pertumbuhan ekonomi di negara maju sudah terbukti tidak berkelanjutan (Jackson 2009). Pada dasarnya solusi ini mencakup transformasi masyarakat dan membawa mereka ke gaya hidup yang lebih berkesinambungan sehingga peningkatan kemajuan dalam masyarakat tidak selalu memerlukan kuantum tambahan pembanguna ekonomi8. Gambar 6. PDB menggunakan PPP (milyar dollar AS thn 2000) untuk Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara 1000
14000 12000 Indonesia
10000
Australia
8000
Brazil
800
Indonesia Malaysia
600
Philippines
China
6000
Germany
4000
400 Thailand
India USA
2000
Vietnam
200
0
0 1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011).
Gambar 6 menunjukkan tren dalam PDB. Peningkatan PDB Indonesia (menggunakan PPP) dari 107,2 milyar dollar (harga tahun 2000) pada 1971 menjadi 938,7 milyar dollar pada 2009 sangat mengesankan. Kita 8
10
Masih banyak yang perlu dilakukan dalam pendekatan ini, tetapi sekelompok ekonom dan kritikus sosial terkemuka berpendapat bahwa PDB per kapita bukan merupakan ukuran yang baik dari “pembangunan” dan bahwasanya di tingkat tertentu, ukuran kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan tidak berkorelasi kuat pada pendapatan, baik pada tingkat kelompok maupun individu. Karya Sen (1999) dan Laporan Pembangunan Manusia tahunan UNDP disusun berdasarkan wawasan ini. Pada prinsipnya peningkatan kesejahteraan penduduk tidak selalu harus bergantung pada peningkatan PDB per kapita, tentu saja setelah batas tertentu dicapai (Jackson 2009).
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
dapat menguraikannya ke dalam pertumbuhan penduduk (Gambar 7) dan pertumbuhan PDB per kapita (Gambar 9), sesuai dengan persamaan dalam persamaan Kaya. Selama 1971-2009 penduduk Indonesia tumbuh dari 119,7 juta orang menjadi 230 juta (menggunakan angka yang digunakan oleh IEA), dan PDB per kapita meningkat dari US$ 900 menjadi US$ 4.100 (menggunakan PPP dan dollar tahun 2000). Pertanyaannya adalah apakah kita dapat mengurangi tingkat di mana salah satu atau kedua variabel ini meningkat tanpa mengorbankan perbaikan yang nyata atau direncanakan pada kesejahteraan penduduk.
Pertumbuhan penduduk Pertama, kita meninjau pertumbuhan penduduk. Ukuran populasi ditentukan oleh keseimbangan antara kelahiran dan kematian dan imigrasi dan emigrasi. Dalam kasus Indonesia, migrasi internasional merupakan faktor kecil; pertumbuhan penduduk tahunan sangat disebabkan oleh kelahiran yang lebih banyak terjadi setiap tahun daripada kematian. Gambar 7 menunjukkan kontinuitas pertumbuhan penduduk di sebagian besar negara (meskipun tingkat pertumbuhannya menurun); Jerman adalah satu-satunya negara di antara negara-negara yang dipilih yang hampir tidak tumbuh jumlah penduduknya selama periode ini (dari 78,3 juta pada 1971 menjadi 81,9 juta pada tahun 2009) dan sekarang menunjukkan pertumbuhan negatif (yang bahkan lebih tinggi jika bukan karena imigrasi netto yang signifikan). Gambar 7. Populasi (dalam juta), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara 250
1600 1400 Indonesia
1200
200 Indonesia
Australia
1000
Brazil
800
150
Malaysia Philippines
China
600
Germany
400
India USA
200
100
Thailand Vietnam
50
0
0 1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011).
Gambar 8 menyajikan statistik PBB yang menunjukkan tren Indonesia dalam ukuran populasi (diplot terhadap sumbu vertikal kiri) dan tingkat pertumbuhan tahunan populasi (sumbu vertikal kanan) selama 40 tahun terakhir, tetapi juga mencakup proyeksi varian rendah, menengah dan
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
11
tinggi PBB sampai tahun 2050. Sebagai hasil dari pembangunan sosial dan ekonomi berbasis luas dan keluarga berencana yang didukung pemerintah (KB) dan program kesehatan reproduksi (KR), tingkat kelahiran total (TKT) telah turun dari perkiraan 5,6 kelahiran hidup per perempuan seumur hidup selama 1965-1970 menjadi 2,2 selama 2005-10, dan laju pertumbuhan penduduk turun dari 2,4 persen per tahun menjadi sekitar 1,2 persen selama periode yang sama9. Penduduk Indonesia akan terus tumbuh di masa mendatang: dengan asumsi proyeksi varian menengah, kita dapat memperkirakan bahwa jumlah penduduk akan meningkat sebanyak 56 juta selama 20102050. Setiap kebijakan penting yang dikeluarkan untuk “mengelola” pertumbuhan ini harus didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai penyebabnya: sebagian besar pertumbuhan akan terjadi karena “momentum populasi” (yaitu fakta bahwa ada sejumlah besar orang yang berada di usia pengasuhan anak karena kesuburan tinggi di masa lalu), bukan karena kesuburan yang sangat tinggi saat ini. Angka kesuburan sudah turun di Indonesia, dan tingkat fertilitas total saat ini mungkin sekitar 2,3 atau 2,4 kelahiran hidup per wanita (yaitu relatif mendekati tingkat keseimbangan/ replacement level). Rencana pembangunan Pemerintah harus mengakui bahwa sejumlah besar pertumbuhan penduduk tidak bisa dihindari dan kebijakan-kebijakan pemerintah perlu menyesuaikan diri dengan fakta ini. Dalam proyeksi varian menengah PBB, populasi akan terus tumbuh sampai sekitar
350000
2.5
300000
2
250000
1.5
200000
1
150000
0.5
100000
0
50000
Growth rate
PopulaƟon
Gambar 8. PDB menggunakan PPP (milyar dollar AS thn 2000) untuk Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009
-0.5
0
-1 1970
1980
1990
2000
2010
2020
2030
2040
Population - HV
Population - MV
Population - LV
Growth rate - HV
Growth rate - MV
Growth rate - LV
2050
Sumber: UN Pop. Div. (2009). 9
12
Analisis rinci dari hasil Sensus Penduduk 2010 dapat menyebabkan penyesuaian sederhana dari beberapa perkiraan, tetapi tidak mungkin mengubah gambaran umum yang disajikan di sini. Kesuburan mungkin memang sedikit lebih tinggi daripada yang disebutkan dalam PBB (2009). Survei Demografi dan Kesehatan 2007 mengukur TFR rata-rata 2,6 kelahiran hidup per wanita (15-49 tahun) selama 5 tahun sebelumnya; Hartanto dan Hull (2009) berpendapat atas dasar teknis bahwa pengukuran ini mungkin bias ke atas dan bahwa nilai yang benar mendekati 2,3. Analisis awal atas hasil Sensus 2010, menggunakan teknik estimasi tidak langsung, memberikan TFR antara 2,3 atau 2,4.
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
tahun 2050, di mana saat itu tingkat pertumbuhan akan berkurang menjadi hampir nol. Namun demikian, tren kesuburan masa depan masih penting dan perlu dipantau dengan ketat. Proyeksi varian menengah mengasumsikan bahwa TFR akan berada di bawah tingkat keseimbangan pada tahun 2020 dan akan tetap konstan pada 1,9 sampai tahun 2050. Skenario ini mungkin dapat terbukti terlalu “optimistik”. Jika, misalnya, analisis lebih lanjut atas Sensus Penduduk 2010 dan data lain menegaskan bahwa TFR tersebut saat ini masih sedikit di atas tingkat keseimbangan pada sekitar 2,3 atau 2,4, dan jika TKT pada kenyataannya terus mendatar pada tingkat ini di masa mendatang, maka tren masa depan akan sangat mendekati proyeksi PBB varian tinggi, dalam hal ini penduduk bukannya bertambah 56 juta selama 2010-2050 tetapi bertambah 100 juta dan penduduk masih akan tumbuh pada tahun 2050 sekitar 0,6 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk sebesar ini kemungkinan besar akan berdampak negatif pada pembangunan bangsa dan upaya pengurangan kemiskinan. Hal ini hampir pasti akan mempersulit upaya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi emisi gas rumah kaca pada saat yang sama. Oleh karena itu, revitalisasi program nasional KB sukarela dan KR (Kesehatan Reproduksi) (Hull dan Mosley 2009) dapat berkontribusi besar bagi upaya mitigasi GRK Indonesia, selain berkontribusi terhadap semua manfaat KB/KR lain yang telah terdokumentasi dengan baik untuk status kesehatan dan kesejahteraan keluarga (Hayes 2005). Data Survei Demografi dan Kesehatan (BPS dan Macro 2008) menunjukkan bahwa tingkat pemakaian kontrasepsi telah stagnan pada sedikit di atas 60 persen dalam satu dekade terakhir ini dan bahwa masih ada “kebutuhan KB yang tidak terpenuhi” untuk masyarakat (dengan variasi antar provinsi yang lebar). Program KB yang direvitalisasi, ditargetkan dengan baik untuk memenuhi proporsi yang wajar dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, bisa sangat bermanfaat untuk memastikan bahwa tren populasi yang sebenarnya di Indonesia selama 40 tahun ke depan tetap jauh lebih mendekati proyeksi varian menengah daripada varian tinggi.
Kami tidak menyarankan di sini bahwa program KB di Indonesia harus direvitalisasi hanya karena kebutuhan untuk mengatasi perubahan iklim; program KB harus direvitalisasi karena rakyat Indonesia memiliki hak dasar untuk mengakses berbagai macam informasi dan layanan KB/KR, dan mengurangi jumlah kebutuhan yang belum terpenuhi ke tingkat minimum akan membantu rakyat untuk dapat menikmati hak itu (PBB 1994). Sebaliknya, kami menunjukkan bahwa revitalisasi program KB tidak hanya akan memberikan semua manfaat kesehatan dan kesejahteraan yang sudah diketahui umum, tetapi juga
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
13
berkontribusi pada tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pembuat kebijakan harus menemukan cara-cara untuk membangun sinergi ini10.
Struktur umur Kita sekarang beralih ke pertumbuhan PDB per kapita, dan hubungannya dengan dinamika populasi dan perubahan iklim. Semua negara yang ditunjukkan pada Gambar 9 memiliki pertumbuhan PDB per kapita yang signifikan, yang menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB mereka telah melampaui pertumbuhan populasi. Kenaikan PDB per kapita di China selama dekade terakhir terlihat dengan jelas. PDB per kapita di Indonesia meningkat lebih dari empat kali lipat selama 1971-2009, sementara jumlah penduduk kurang dari dua kali lipat. Dinamika penduduk terkait dengan pembangunan ekonomi dalam berbagai cara dan topik ini telah dipelajari secara ekstensif (Kelley dan Schmidt 2001). Menurut Williamson (2001: 111), “Hal terpenting dalam mengidentifikasi dampak perubahan demografis terhadap kinerja ekonomi adalah perubahan distribusi usia”. Ketika suatu negara melewati transisi demografis, perubahan yang dihasilkan pada struktur usia memberikan sebuah “jendela kesempatan,” yang biasanya berlangsung beberapa dekade, yaitu ketika rasio ketergantungan sangat menguntungkan bagi investasi pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Gambar 9. PDB/Populasi (dalam ribu dollar AS thn 2000, US per kapita), Indonesia dan negara-negara yang dipilih, 1971-2009 Dunia
Asia Tenggara 12.0
40.0
10.0 30.0
Indonesia Australia
8.0
Indonesia Malaysia
Brazil
20.0
China Germany
6.0
Philippines Thailand
4.0
India
10.0
USA
Vietnam
2.0 0.0
0.0 1971 1980 1990 2000 2009
1971 1980 1990 2000 2009
Sumber: IEA (2011). 10 Sebuah pertanyaan yang penting adalah berapa banyak pengurangan emisi gas rumah kaca dapat dikaitkan dengan pengurangan tingkat kebutuhan KB yang belum terpenuhi? Jawaban yang jelas untuk pertanyaan ini—atau lebih tepatnya, sekumpulan jawaban dalam berbagai asumsi—membutuhkan pemodelan rinci yang berada di luar lingkup Memo ini, namun persamaan Kaya dapat digunakan untuk memberikan gambaran besarannya. Jika kita mengasumsikan bahwa proyeksi varian menengah adalah skenario populasi yang disukai dan bahwa mengatasi kebutuhan KB yang tidak terpenuhi mencegah penambahan 25 juta orang dalam pertumbuhan penduduk tahun
14
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
Pada tahap pertama transisi demografis, tingkat kematian menurun, dan biasanya terutama terjadi pada bayi dan anak-anak, yang menyebabkan rasio ketergantungan penduduk usia muda terhadap usia kerja akan meningkat. Ini adalah masa pertumbuhan penduduk yang cepat, ketika jumlah kelahiran secara signifikan melebihi jumlah kematian dan jumlah penduduk tumbuh dengan pesat. Selama tahap kedua, tingkat kesuburan mulai turun; rasio ketergantungan secara bertahap menjadi lebih menguntungkan bagi pembangunan ketika rasio penduduk usia kerja terhadap usia muda meningkat. Tentu saja, “bonus demografi” ini hanya akan terwujud menjadi pertumbuhan ekonomi yang nyata jika terdapat kebijakan ekonomi yang sesuai dan penduduk usia kerja yang produktif bekerja. Hal yang juga penting bagi negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia adalah bahwa penduduk usia kerja semakin berpendidikan tinggi dan terampil. Akhirnya “generasi baby-boom”, yang lahir pada saat tingkat kematian menurun namun kesuburan tinggi, melewati tahun-tahun bekerja dan populasi menua. Populasi usia kerja akhirnya berhenti tumbuh, dan meskipun rasio ketergantungan penduduk muda masih rendah, namun rasio ketergantungan penduduk tua mulai meningkat. Jendela kesempatan itu menutup ketika rasio penduduk usia kerja terhadap tanggungan meninggi. Gambar 10. Persentase populasi 15-64, estimasi dan proyeksi, Indonesia, 1970-2050 75 70 Percent 15-64
65 60 55 50 45 40 1970
1980
1990
High Variant
2000
2010
Medium Variant
2020
2030
2040
2050
Low Variant
Sumber: UN Pop. Div. (2009).
Angka usia ketergantungan total di Indonesia telah menurun dalam 40 tahun terakhir, yang memberikan kondisi menguntungkan bagi pembangunan ekonomi, namun jendela kesempatan itu akan berlalu. Gambar 10 menunjukkan penduduk usia 15-64 tahun telah berkembang sebagai persentase dari total penduduk sejak tahun 1970-an dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada sekitar 70 persen (menurut proyeksi varian menengah PBB) sekitar tahun tahun
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
15
2020-an (atau sedikit lebih rendah dan sebelumnya menurut varian tinggi, atau sedikit lebih tinggi dan setelahnya menurut varian rendah). Angka usia ketergantungan akan mencapai titik terendah sepanjang waktu selama tahun 2020-30, dan kemudian perlahan-lahan akan naik kembali saat populasi menua. Setelah tahun 2030 perubahan struktur umur dan hal-hal lain yang dianggap sama, akan cenderung menahan pembangunan ekonomi. Menurut persamaan Kaya, hambatan yang terjadi terutama melalui determinan kedua ini, diharapkan dapat berdampak dalam meningkatkan emisi. Penduduk Indonesia, seperti di tempat lainnya, tidak ingin mengurangi emisi gas rumah kaca dengan memperlambat pembangunan atau mengurangi standar hidup mereka. PDB per kapita biasanya tidak dianggap sebagai dasar kebijakan (policy lever) untuk mitigasi emisi gas rumah kaca. Namun jika dinamika populasi, yang bertindak melalui struktur umur, memiliki efek pada PDB per kapita, penting untuk mempertimbangkannya ketika melakukan modeling pada jalur pembangunan masa depan dan skenario emisi. Meskipun bonus demografi akan berdampak positif pada pertumbuhan PDB dan emisi gas rumah kaca apabila terdapat kebijakan yang tepat dan adanya penyediaan lapangan kerja, namun para pembuat kebijakan Indonesia yang terkait dengan mitigasi masih bisa mengambil keuntungan dari situasi ini. Sebagian kekayaan yang diciptakan perlu untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk pendidikan dan pelatihan kerja untuk meningkatkan produktivitas, dan sebagian lainnya digunakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan hijau baru dan mempercepat transisi menuju ekonomi hijau (Zaituni et al. 2010). Orang-orang terdidik merangsang inovasi, dan sering kali lebih siap untuk beradaptasi dengannya.11 Perubahan dalam struktur usia yang meningkatkan emisi dalam jangka pendek juga dapat membantu meletakkan fondasi untuk mitigasi substansial dalam jangka panjang jika ada investasi yang cukup dalam modal manusia. Keuntungan demografi dapat digunakan untuk merangsang pembangunan yang berkelanjutan. Perubahan struktur umur juga berdampak pada emisi gas rumah kaca dengan cara lain. Ukuran rumah tangga dan pola konsumsi para orang tua biasanya sangat berbeda dengan kaum muda. Lingkungan yang dibangun menurut MP3EI perlu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan lansia yang jumlahnya meningkat.
Pertumbuhan kelas menengah Perubahan demografi utama lain di Indonesia yang berpotensi 11 Lihat juga penekanan pada sumberdaya manusia, sains dan teknologi dalam MP3EI (Pemerintah Indonesia (2011)).
16
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
memengaruhi peluang untuk memisahkan kesejahteraan dengan pembangunan ekonomi (Line 1 dan 2 pada Gambar 1) adalah perubahan dalam distribusi karakteristik sosial ekonomi dalam populasi; khususnya “kelas menengah” yang meningkat dalam ukuran, kemakmuran dan pengaruh (Robinson 1996, Gerke 2000).12 Kelas-kelas menengah ini membawa nilai-nilai, sikap dan preferensi baru. Seringkali dipahami bahwa ketika negara menjalani industrialisasi, maka tingkat polusinya akan mengikuti “kurva Kuznets” (UNEP 1997): pada tahap awal industrialisasi, polusi meningkat dengan cepat; begitu negara tersebut mencapai tingkat kemakmuran tertentu, maka warganya akan menuntut lingkungan yang bersih dan dengan kekayaan barunya mereka mampu untuk menyelenggarakan kontrol kualitas lingkungan; Apabila masyarakat semakin kaya, maka tingkat polusi pun mulai turun lagi. Menurut UNEP (1997), laju polusi dan degradasi lingkungan berlangsung lebih lambat di beberapa negara berkembang saat ini dibandingkan dengan negara-negara industri Barat ketika mereka berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang sama. Di Indonesia kita sudah melihat LSM-LSM yang bekerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang polusi dan melakukan lobi-lobi untuk reformasi. Oleh karenanya, tidak realistis untuk mempertimbangkan penyusunan kebijakan intervensi yang mendorong pola konsumsi ramah lingkungan di kalangan kelas menengah yang tengah meningkat itu, terutama di daerah perkotaan. Peneliti dan pembuat kebijakan perlu lebih memperhatikan perubahan gaya hidup dan bagaimana gaya hidup itu dapat dibuat lebih berkelanjutan. Dengan semakin makmurnya Indonesia, maka dengan sendirinya masyarakatnya akan cenderung menjadi lebih ramah lingkungan, namun kebijakan intervensi yang dirancang dengan baik dapat mempercepat proses itu. Contoh sederhana bahwa kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan relatif murah dan cepat adalah dengan melarang penggunaan kantong plastik (setidaknya yang nonbiodegradable dan non-daur ulang), memastikan bahwa persetujuan pemukiman baru mensyaratkan ketersediaan akses ke toko-toko dan prasarana umum dengan menyediakan trotoar bagi pejalan kaki dan jalur khusus sepeda, dan mempercepat pengembangan transportasi umum. Kampanye pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk mengurangi jejak ekologis melalui perubahan nilai-nilai gaya hidup dan konsumsi perlu memperhitungkan aspek demografi dan bertujuan untuk memfasilitasi perubahan di sepanjang alur generasi.
12 Yang sedikit mengejutkan yaitu penelitian tentang perubahan struktur sosial ekonomi dan preferensi di kalangan generasi muda Indonesia.
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
17
6 Kesimpulan Kami telah menunjukkan dalam Memo Kebijakan ini bagaimana dinamika penduduk sangat terkait erat dengan penyebab-penyebab emisi gas rumah kaca dari penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia. Hubungan ini dapat rumit dan tidak langsung, dan sering bersifat lintas sektor dan lintas dimensi manusia yang berbeda dari perubahan iklim. Perubahan demografis utama yang telah kita telaah adalah (i) urbanisasi yang cepat, yang dapat mengakibatkan 65 persen dari penduduk tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2050, (ii) pertumbuhan penduduk, yang akan berlanjut selama setidaknya beberapa dekade, tetapi pada tingkat yang semakin lambat; (iii) perubahan struktur umur, yang dalam beberapa dekade terakhir telah menghasilkan lonjakan pertumbuhan usia bekerja, tetapi di masa depan akan menyebabkan proporsi lansia semakin besar, dan (iv) perubahan komposisi sosial ekonomi penduduk dengan terus bertambahnya “kelas menengah.” Perubahan ini harus diperhitungkan dalam membangun skenario bisnis-seperti-biasa (BAU) dan dalam mengembangkan kebijakan mitigasi. Berdasarkan pemahaman kami tentang hubungan sebab-akibat antara dinamika populasi dan emisi gas rumah kaca, kami telah mengidentifikasi sejumlah pilihan kebijakan berbasis populasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang kami percaya layak untuk dikembangkan dan diimplementasikan lebih lanjut: •
Meningkatkan efisiensi energi di daerah perkotaan dengan perencanaan tata ruang yang lebih baik, infrastruktur dan intervensi terpadu; kebijakan ini juga memiliki manfaat yang signifikan bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sebuah kesempatan emas bagi penerapannya hadir dengan diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112025.
•
Revitalisasi
program
keluarga
berencana
nasional
dapat
berkontribusi besar bagi upaya mitigasi gas rumah kaca di Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun ke depan, dan setelahnya. Program keluarga berencana perlu direvitalisasi untuk melindungi hak-hak kesehatan dan reproduksi masyarakat, yang juga akan berkontribusi bagi pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai manfaat tambahannya. •
Investasi besar dalam pendidikan pemuda saat ini sangat penting untuk memastikan modal manusia yang lebih baik dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang diperlukan bagi transisi ke ekonomi hijau.
18
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
•
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk menggalakkan manfaat memilih gaya hidup hijau dan berkelanjutan–terutama di kalangan kelas menengah muda yang sedang meningkat—untuk membantu membalikkan laju kenaikan intensitas karbon yang tajam saat ini.
Pengumpulan data lebih lanjut dibutuhkan bagi analisis yang lebih komprehensif, namun semoga analisis awal yang disajikan dalam Memo ini cukup memadai untuk memulai proses yang secara sistematis akan mengintegrasikan dinamika penduduk dalam perumusan respon nasional Indonesia terhadap perubahan iklim.
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
19
7 Referensi BPS (Statistics Indonesia) and Macro International, 2008. Indonesia Demographic and Health Survey 2007. Calverton, USA: BPS and Macro International. Busch, Jonah, Muhammad Farid, Fred Boltz, Farhan Helmy, Doddy Sukardi and Ruben Lubowski, 2010. Economic Incentive Policies for REDD+ in Indonesia: Findings from OSIRIS Model. Jakarta: DNPI. Dick, Howard W, and Peter J Rimmer, 1998. “Beyond the Third World City: The New Urban Geography of Southeast Asia.” Urban Studies 35, 12: 2303-2321. Ehrlich, Paul A, and John P Holdren, 1971. “Impact of Population Growth.” Science 171: 1212-1217. Gerke, Solvay, 2000. “Global Lifestyles under Local Conditions: The New Indonesian Middle Class.” In Consumption in Asia: Lifestyles and Identities, ed. Chua Beng-Huat. London: Routledge. Government of Indonesia, 2011. Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development 2011-2025. Jakarta: GOI, Coordinating Ministry for Economic Affairs. Hartanto, Wendy, and Terence H Hull, 2009. Fertility Estimates of Indonesia for Provinces Adjusting Under-Recording of Women in 2002-3 and 2007 IDHS. Jakarta: BPS and UNFPA. Hayes, Adrian C, 2005. The Role of Population and Reproductive Health Policy in Reaching the Millennium Development Goals in East and South-East Asia. Bangkok: UNFPA. Hayes, Adrian C, 2011. Population Dynamics and Climate Change in Indonesia: Mobilizing for a Sustainable Future. Jakarta: UNFPA. Hull, Terence H, and Henry Mosley, 2009. Revitalization of Family Planning in Indonesia. Jakarta: BKKBN and UNFPA. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report: Summary for Policymakers. Available at www.ipcc.ch International Energy Agency, 2011. CO2 Emissions From Fuel Combustion – Highlights. Paris: IEA. Jackson, Tim, 2009. Prosperity without Growth: Economics for a Finite Planet. London: HMG, Sustainable Development Commission. Kelley, Allen C, and Robert M Schmidt, 2001. “Economic and Demographic Change: A Synthesis of Models, Findings, and Perspectives.” In Population Matters: Demographic Change, Economic Growth, and Poverty in the Developing World, ed. Nancy Birdsall, Allen C Kelley and Steven W Sinding. New York: Oxford University Press. Nakićenović, Nebojša, et al., 2000. Special Report on Emissions Scenarios. A Special Report of Working Group III of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge UK: Cambridge University Press.
20
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
O’Neill, Brian C, Michael Dalton, Regina Fuchs, Leiwen Jiang, Shonali Pachauri and Katrina Zigova, 2010. “Global Demographic Trends and Future Carbon Emission.” Proceedings of the National Academy of Sciences 107, 41: 17521-17526. Raskin, Paul, Tariq Banuri, Gilberto Gallopín, Pablo Gutman, Al Hammond, Robert Kates and Rob Swart, 2002. Great Transition: The Promise and Lure of the Times Ahead. Boston: Stockholm Environment Institute. Robinson, J, and J Tinker, 1996. Reconciling Ecological, Economic and Social Imperatives: Towards an Analytical Framework. Vancouver: Sustainable Development Research Institute, University of British Columbia. Robinson, Richard, 1996. “The Middle Class and the Bourgeoisie in Indonesia.” In The New Rich in Indonesia: Mobile Phones, McDonald’s and Middle-class Revolution, ed. Richard Robinson and David S G Goodman. London: Routledge. Rosenzweig, Cynthia, William D Solecki, Stephen A Hammer and Shagun Mehrotra, eds., 2011. Climate Change and Cities: First Assessment Report of the Urban Climate Change Research Network. Cambridge: Cambridge University Press. Royal Society, 2012. People and the Planet. London: Royal Society. Sen, Amartya, 1999. Development as Freedom. Oxford and New York: Oxford University Press. Stern, Nicholas, 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge: Cambridge University Press. United Nations, 1994. Programme of Action of the International Conference on Population and Development, Cairo, 5-13 September. New York: United Nations. United Nations, Population Division, 2009. World Population Prospects: The 2008 Revision. New York: UN. United Nations, Population Division, 2012. World Urbanization Prospects: The 2011 Revision. New York: UN. United Nations Environment Programme (UNEP), 1997. Global Environmental Outlook 1997. New York: UNEP. Williamson, Jeffrey G, 2001. “Demographic Change, Economic Growth, and Inequality.” In Population Matters: Demographic Change, Economic Growth, and Poverty in the Developing World, ed. Nancy Birdsall, Allen C Kelley and Steven W Sinding. New York: Oxford University Press. Yudhoyono, Susilo Bambang, 2012. Plenary Meeting Statement, United Nations Conference on Sustainable Development (Rio+20 Summit). Rio de Janeiro, Brazil. 20 June 2012. Zaituni, Farida, Arthus Ronald Samuel, Henriette Imelda, and Olivia Tanujaya, 2010. Skills for Green Jobs in Indonesia. Unedited background country study. Geneva: ILO.
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
21
22
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
23
24
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
UNFPA, the United Nations Population Fund atau Dana Kependudukan PBB, merupakan lembaga pembangunan internasional yang mempromosikan hak wanita, pria dan anak-anak untuk dapat menikmati hidup yang sehat dan mendapatkan kesempatan yang adil. UNFPA membantu negara-negara dalam menggunakan data kependudukan untuk menyusun kebijakan dan program pengurangan kemiskinan dan menjamin bahwa setiap kehamilan dikehendaki, setiap kelahiran aman dan potensi setiap remaja dipenuhi.
w
an
nasi
merupakan lembaga pemerintah yang mendapatkan mandat dari Presiden untuk
o na
l
de
DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), didirikan pada bulan Juli 2008, merumuskan kebijakan, strategi, program dan kegiatan nasional terkait perubahan iklim; mengkoordinasi kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas perubahan iklim; merumuskan kebijakan nasional, mekanisme dan prosedur perdagangan
m
pe
ru i bahan ikl
karbon; memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dalam pengelolaan dan pengendalian perubahan iklim; dan mendukung negosiasi UNFCCC serta menghimpun posisi Indonesia dalam setiap pertemuan negosiasi internasional. BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), merupakan lembaga pemerintah yang memiliki misi mempromosikan pembangunan berbasis kependudukan dan mencapai cita-cita keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Tanggung jawab lembaga ini meliputi pembuatan rencana dan strategi nasional dalam bidang kependudukan dan keluarga berencana, perumusan kebijakan makro bagi penurunan angka kehamilan dan kematian, dan perumusan pedoman pembangunan keluarga berkualitas.
DINAMIKA PENDUDUK DAN DIMENSI MANUSIA PADA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
25
nasi
o
l
de
Printed on Recycle Paper
an
na
w
m
pe
ru i bahan ikl
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)/ National Council on Climate Change BUMN Building 18th Floor Jl. Medan Merdeka Selatan no.13 Jakarta 10110 – Indonesia Ph. +6221 3511 400 Fax. +6221 3511 403 Website: www.dnpi.go.id
26
POLICY MEMO AGUSTUS 2012
7th Floor Menara Thamrin Jl. M.H. Thamrin Kav. 3 Jakarta 10250 Indonesia Ph. +6221 3141308 Fax. +6221 31927902 Website: http://indonesia.unfpa.org
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)/ National Population and Family Planning Board Jl. Permata No.1 Halim Perdanakusuma Jakarta 13650, Indonesia Ph. +6221 8004981 Website: http://www.bkkbn.go.id