MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
ISSN 0216-2482
The Indonesian Journal of Public Health Volume 9, Nomor 1, 2013 Studi Perilaku Siswa SMA Ronevan Tual Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kelurahan Dullah Selatan Kota Tual Tahun 2011 Methilda Meische Sambono Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011 Ludia Fin Laipeny Strategi Positioning Dalam Rangka Mempertahankan Dan Meningkatkan Pangsa Pasar Pada RSIA St Fatimah Makassar Nurbani Bangsawan, Abd. Rahman Kadir, Rasyidin Abdullah Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Merkuri Pada Masyarakat Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolangoprovinsi Gorontalo Siprianus Singga, Anwar Daud, Ida Leida M.Thaha Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011 Nisgunawan Sidiq, Wahiduddin, Dian Sidik Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Higiene Menstruasi Pada Siswi SMA Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012 Mariene W. Dolang, Rahma, Muhammad Ikhsan Persepsi Staf Manajemen Tentang Manajemen Pemasaran Rumah Sakit Di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Nurhikmah, Indahwaty Sidin Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Asuransi Kesehatan Di PT. Asuransi Jiwa Inhealth Makassar Tahun 2012 Muhammad Rizki Ashari, Nurhayani Introducing A Smokeless Community In the Bone-Bone Area the District Of Enrekang Indonesia Mappeaty Nyorong
MKMI
Volume 9
Diterbitkan oleh Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
No. 1
Hal. 1 - 62
Makassar ISSN Januari 2013 0216-2482
MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesian Journal of Public Health Volume 9, Nomor 1, Januari 2013
ISSN 0216-2482
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah di bidang kesehatan, baik laporan penelitian (original article research paper), makalah ilmiah (review paper) maupun laporan kasus (case report) dalam bahasa Indonesia atau Inggris.
Penanggung Jawab M. Alimin Maidin (Dekan FKM UNHAS) Pemimpin Redaksi Ida Leida M. Thaha Wakil Pemimpin Redaksi Wahiduddin Redaksi Pelaksana Lalu M.Saleh Devintha Virani Redaksi Kehormatan Veni Hadju (Ketua) A. Razak Thaha Amran Razak Asiah Hamzah Ridwan Thaha Hasanuddin Ishak Tahir Abdullah Mitra Bestari Peter Davey (Griffith University) Tomoyuki Shibata (Northern lllinois University) Umar Fahmi Achmadi (FKM Universitas Indonesia) Bambang Sutrisna (FKM Universitas Indonesia) Kuntoro (FKM Universitas Air Langga) Purnawan Djunadi (FKM Universitas Indonesia) Irawan Yusuf (FK Universitas Hasanuddin)
Penerbit Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Triwulan) (Maret, Juni, September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat dialamatkan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697) d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013 E-mail:
[email protected]
MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesian Journal of Public Health Volume 9, Nomor 1, Januari 2013
ISSN 0216-2482
DAFTAR ISI Studi Perilaku Siswa Sma Ronevan Tual Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kelurahan Dullah Selatan Kota Tual Methilda Meische Sambono Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011 Ludia Fin Laipeny Strategi Positioning Dalam Rangka Mempertahankan Dan Meningkatkan Pangsa Pasar Pada RSIA St. Fatimah Makassar Nurbani Bangsawan, Abd. Rahman Kadir, dan Rasyidin Abdullah Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Merkuri Pada Masyarakat Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango Gorontalo Siprianus Singga, Anwar Daud, Ida Leida M.Thaha Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011 Nisgunawan Sidi1, Wahiduddin1 Dian Sidik Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Pada Siswi Sma Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012 Mariene W. Dolang, Rahma, Muhammad Ikhsan Persepsi Staf Manajemen Tentang Manajemen Pemasaran Rumah Sakit di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Nurhikmah, Indahwaty Sidin Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Asuransi Kesehatan Di PT. Asuransi Jiwa Inhealth Makassar Tahun 2012 Muhammad Rizki Ashari, Nurhayani Memperkenalkan Komunitas Anti Rokok Di Daerah Bone- Bone Kawasan EnrekangIndonesia Mappeaty Nyorong
1-6
7 - 14
15 – 20
21 - 29
30 - 34
35 - 42
43 - 50
51 - 57
58 – 62
PEDOMAN UNTUK PENULIS
Pengiriman Naskah Makalah yang dikirimkan untuk dimuat dalam Media Kesehatan Masyarakat Indonesia belum pernah dipublikasikan dan tidak dikirimkan ke penerbitan lain pada waktu yang bersamaan. Naskah diketik dalam format *.doc/ *.docx (Microsoft Office Word) dan dikirimkan dalam bentuk Print Out sebanyak rangkap 2 (dua), dengan file yang tersimpan dalam CD. Persiapan Teknis Makalah Naskah diketik pada kertas berukuran 8,27” x 11,69” (A4), dengan batas tepi (margin) 1” (2,5 cm), huruf (font) Times New Roman, besar huruf (font size) 12 point dan menggunakan spasi 2 (double space). Setiap bagian/ komponen dari naskah dimulai pada halaman baru, dengan urutan sebagai berikut: halaman judul, abstrak, kata kunci (key words), teks keseluruhan, ucapan terima kasih, daftar pustaka, table dan gambar (setiap tabel dan gambar pada halaman terpisah). Nomor halaman dicantumkan secara ber-urutan dimulai dari halaman judul pada sudut sebelah kanan bawah. Halaman Judul Halaman judul (halaman pertama) harus mencakup: a. Judul makalah yang dibuat sesingkat mungkin, spesifik dan informatif b. Nama dan alamat setiap penulis, nama departement dan lembaga afiliasi penulis c. Nama dan alamat penulis untuk korespondensi serta nomor telpon, nomor faximile dan alamat e-mail. Abstrak dan Kata Kunci (Key Word) Halaman kedua memuat abstrak yang tidak terstruktur dalam 1 (satu) paragraph dan tidak lebih dari 200 kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak laporan penelitian harus berisi latar belakang, tujuan penelitian, metode, hasil dan kesimpulan. Abstrak dibuat singkat, informative dengan menekankan aspek baru dan penting dari laporan penelitian. Kata kunci (key word) dicantumkan dibawah abstrak pada halaman yang sama sebanyak 3 – 10 kata. Gunakanlah kata-kata yang sesuai dengan daftar pada Index Medicus. Teks Teks makalah laporan penelitian dibagi dalam beberapa bagian dengan judul sebagai berikut: Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (materials and Methods), Hasil (Result), dan Diskusi (Discussion). Uraikan teknik statistic secara rinci pada metode untuk memudahkan para pembaca memeriksa kembali hasil yang dilaporkan. Teks makalah ilmiah dibagi dalam Pendahuluan, Isi, Pembahasan dan Kesimpulan. Ucapan Terima Kasih Terutama ditujukan kepada 1) pihak-pihak yang memberikan bantuan dana dan dukungan, 2) dukungan dari
bagian dan lembaga, 3) para professional yang memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis sesuai dengan cara penulisan menurut Vancouver dan hanya mencantumkan kepustakaan yang dipakai dan relevan. Rujukan diberi nomor urut dengan menggunakan angka arab dan dalam teks nomor urut dituliskan dengan tanda kurung. Table dan gambar diberi nomor sesuai dengan urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka arab. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Rujukan yang telah diterima suatu jurnal tetapi belum dipublikasikan harus di tambah perkataan ”in press” a. Artikel dalam Jurnal 1. Artikel Standar Hadju V. Hubungan Helminthiasis Dengan Belajar pada Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Mariso, Ujungpandang. Jurnal Medika Nusantara 1997; 18:115-22 2. Organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and Performance Guidelines. Medical Journal of Australia 1996 ; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Management of Acute Diarrhea (editorial).Lancet 1983;1:623-5 b. Buku atau Monografi Lainnya 1. Penulis Perorangan Notoatmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2002 2. Editor sebagai penulis Tawali A, Dachlan DM, Hadju V, dan Thaha Ar, editors. Pangan dan Gizi: Masalah, Program Intervensi dan Teknologi Tepat Guna. Makassar: DPP pergizi Pangan dan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan; 2002. 3. Organisasi sebagai penulis World Health Organisation (WHO). Measuring Change in Nutritional Status; Guidelines for Assessing the Nutritional Impact of Vulnerable Groups. Genewa: World Health Organization;1983 4. Bab dalam buku Lewis BA. Structure and Properties of Carbohydrates. In: Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 2000. P.3-18. 5. Prosiding konferensi Jalal F dan Atmojo SM. Peranan Fortifikasi dalam Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI; Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1998.
6. Makalah dalam konferensi Hadju V, abadi K dan Zulfikar. Effect of Deworing on Growth and Appetite in Schoolchildren in Ujungpandang. Dibawakan pada 7th World Federation of Public Health Association International Congress, Hotel Nusa Dua Bali, Indonesia, 4-8 desember 1994. 7. Laporan ilmiah atau teknis Badan Pusat Statistic. Laporan Hasil Survey Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga. Jakarta: Badan Pusat Statistic;2003 8. Skripsi, thesis atau disertasi Rochimiwati SN. Dampak Pemberian Produk Ma-kanan Kaya Protein Kedelai Terhadap Perubahan Status Gizi Penderita TB di BP4 Makassar (thesis). Makassar: Universitas Hasanuddin;2003 9. Artikel dalam Koran Yahya M. Sulsel Lumbung Pangan, tapi Kekurangan Gizi. Fajar, selasa 14 September 1999
c. Materi Elektronik Rosenthal S, Chen R, Hadler, S. The Safety of Acellular Pertusis Vaccine vs Whole Cell Pertussin Vaccine. Arch Pediart Adolesc Med. 1996; 150:457-60. Available at: http://www.amu.assn.org/sci_pubs/journals/arcive/ajdc/vol150/no5/abstract/httm diakses pada 10 November, 1996 Tabel, Gambar dan Grafik Cetak setiap table pada halaman terpisah dan diketik spasi 2 (double space). Nomor urut table dan gambar sesuai urutan penampilannya dalam teks. Untuk catatan kaki (footnotes) pada table gunakan symbol dengan urutan sebagai berikut *, †, ‡, §, , ¶, **, ††, ‡‡. Naskah yang diterima redaksi akan dibahas oleh pengasuh dan redaksi berhak memperbaiki susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Penggunaan istilah asing non medis sedapat mungkin dihindari atau disertai terjemahan penjelasannya. Usulan perbaikan naskah (terutama menyangkut substansi) akan disampaikan kepada penulis yang bersangkutan.
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 1-6
Artikel I
STUDI PERILAKU SISWA SMA RONEVAN TUAL TERHADAP PENCEGAHAN HIV/AIDS DI KELURAHAN DULLAH SELATAN KOTA TUAL Behavioral Studies Ronevan Tual High School Students Against Hiv / Aids In Sub-District Of South Dullah Tual Methilda Meische Sambono Dinkes Kabupaten Tual Provinsi Maluku (
[email protected]) ABSTRAK Kecepatan penyebaran virus HIV/AIDS terutama dipengaruhi oleh perilaku tanpa menggunakan kondom, pengguna alat suntik bersama untuk napza dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seks di luar nikah serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakaian narkoba. Tujuan penelitian ini untuk diperoleh informasi tentang pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SMA Ronevan Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dari penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas XI dan XII SMA Roneva Tual yang berjumlah 140 responden dan sampel penelitian yaitu 140 responden. Selanjutnya data diolah, dan dianalisa secara univariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 87 orang (62,1%) responden yang memiliki pengetahuan yang cukup sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 53 orang (37,9%). Sebanyak 91 orang (65,0%) yang memiliki sikap positif terhadap pencegahan HIV/AIDS, sedangkan 49 orang lainnya (35,0%) memiliki sikap yang negatif. Terdapat 78 orang (55,7%) yang tindakannya positif dan 62 orang (44,3%) yang tindakannya negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS. Menyarankan kepada kepala sekolah SMA Ronevan Tual beserta staf agar senantiasa memberikan penyuluhan kepada siswa SMA tentang pencegahan dini tentang penyakit infeksi menular seperti HIV/AIDS.
Kata kunci : Pengetahuan, Sikap, Tindakan, HIV/AIDS ABSTRACT The increasing of HIV distribution is influence by behavior that has not use condom, and needle uses. Prevention to change the habit which is use condom and decreasing of sexsual partner they change of needle that has been use before and consum of drugs.Velocity spread of HIV / AIDS is primarily affected by the behavior without the use of condoms, syringes users together to drugs and prevention efforts are also directed primarily at behavior change include the increased use of condoms and reduction in the number of sexual partners outside marriage as well as decrease the use of joint or alternate means / syringes in drug use. The purpose of this study is to obtain information about knowledge, attitudes and actions of high school students Ronevan Against HIV / AIDS in the District of South Dullah Tual. The research method used is descriptive research. The population of this study are all students in grade XI and XII SMA Roneva Tual totaling 140 respondents and the sample is 140 respondents. Once the data is collected, then the data is processed, edited, and tabulated and analyzed in univariate data. The results showed that most respondents have sufficient knowledge on the prevention of HIV - AIDS is 87 people (62.1%) of respondents who have sufficient knowledge while respondents who have less knowledge of as many as 53 people (37.9%). A total of 91 people (65.0%) having a positive attitude towards prevention of HIV / AIDS, whereas 49 others (35.0%) had a negative attitude. There are 78 people (55.7%) of positive actions and 62 people (44.3%) of negative actions on the prevention of HIV / AIDS. Suggested to the school principal and his staff Ronevan Tual to always provide counseling to high school students about the early prevention of infectious diseases such as hiv/aids. Keyword : Knowledge, Behavior, Action, HIV/AIDS 1
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
tahun belum pernah mendengar tentang HIV/AIDS (KPA,2009). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan 20.564 kasus HIV/AIDS di 32 provinsi pada 300 kabupaten/kota hingga 31 Maret 2010. Rasio kasus HIV/AIDS yang di laporkan tersebut adalah 3 banding 1 antara laki-laki dan perempuan, dengan penularan terbanyak heteroseksual 50,3%, pecandu napza suntik (penasun) 40,2%, dan lelaki hubunan seks dengan lelaki(LSL) 3,3%. Proporsi kumulatif kasus HIV/AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok 20-29 tahun (49,07%), 30-39 tahun (30,14%), dan 40-9 tahun (8,82%). Seks bebas adalah salah satu faktor utama yang membuat peningkatan penularan HIV/AIDS. Survei terbaru Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengungkap fakta bahwa separuh remaja perempuan lajang di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi disebut tidak perawan karena melakukan hubungan seks pranikah dan tidak sedikit yang hamil di luar nikah. Selain di Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia. Di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54%, Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37% (BKKBN, 2010) Menurut data Dinkes Provinsi Maluku kasus HIV/AIDS data yang diperoleh dari Kabupaten/Kota Jumlah penderita HIV 124 orang, AIDS 92 orang dan IMS tercatat 232 kasus (Dinkes Provinsi Maluku, 2007). Data Dinkes kota Tual jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun 1994-2010 sebanyak 199 orang, pada umur 20-29 tahun. Menurut jenis kelamin terdapat 71 orang dengan kasus yang paling banyak terjadi pada perempuan 37 orang dan lakilaki 34 orang dan paling banyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan jumlah yang meninggal akibat HIV/AIDS sebanyak 17 orang (Dinkes Kota Tual, 2010). Pemilihan lokasi penelitian di SMA Ronevan Tual karena merupakan sekolah yang diunggulakan atau difavoritkan oleh masyarakat Kota Tual . Karena hal diatas, maka peneliti tertarik untk melihat gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SMA Ronevan Tual tentang HIV/AIDS, baik dari segi penularan maupun pencegahan.
PENDAHULUAN Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebebkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyakit ini merupakan endemik yang menyerang seluruh dunia dan menjadi pembunuh nomor tiga di dunia setelah TB dan Malaria (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2009). Data UNAIDS/WHO 2006 dalam AIDS Epidemic Update, diperkirakan 39,5 juta orang hidup dengan HIV. Terhitung sebanyak 4,3 juta infeksi baru pada tahun 2006 dengan 2,8 juta (65%) dari Sub-Sahara Afrika dan peningkatan pesat di Eastern Europe and Central Asia, ada indikasi bahwa infeksi tersebut telah meningkat lebih dari 50% sejak 2004. Tahun 2006 sebanyak 2,9 juta orang meninggal karena AIDS. UNAIDS memperkirakan 8,3 juta orang meninggal pada tahun 2005. Di India sekitar 5,1 juta penduduk yang terinfeksi dimana kalangan wanita lebih banyak tertular oleh suaminya. Prevalensi HIV di negara-negara Asia-Pasifik yang paling tinggi adalah Kamboja, Thailand, Myanmar dan beberapa bagian negara India. Prevalensi HIV meningkat pada IDU dialami di sebagian China, Napel, Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Di Asia, para pasien AIDS lebih banyak ditemukan di kalangan pekerja seks, kaum homoseksual dan pengguna obat suntik. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PPM dan PL Depkes RI secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dari tahun 1987 sampai 2005 berjumlah 9565 yang terdiri dari 4244 HIV dan 5321 AIDS di seluruh propinsi di Indonesia. Tahun 2005 berjumlah 13.424 kasus yang terdiri dari 5.230 HIV dan 8.194 HIV/AIDS di seluruh provinsi di Indonesia Sebanyak 1.871 orang meninggal akibat HIV/AIDS. Ibukota Jakarta menduduki peringkat tertinggi 33% kasus, Papua menduduki peringkat kedua, kemudian Jawa Timur, Jawa Barat-Banten dan Bali. Kalau dilihat dari jumlah kasus per penduduk maka Papua sangat tinggi, 51% dari 100 ribu penduduknya mengidap HIV/AIDS. Data terakhir Dinas Kesehatan Propinsi Papua 30 September 2005, menyebutkan angka HIV/AIDS di Papua mencapai 2.134 kasus. Sebanyak 1202 kasus HIV dan 932 kasus AIDS, serta 289 diantaranya sudah meninggal. Satu hal yang mengkhawatirkan adalah kasus HIV/AIDS terbanyak justru ada pada usia produktif ( 15–39 tahun ), yakni sekitar 79%, pada kelompok umur 20– 29 tahun yaitu 879 kasus, umur 30–39 tahun 530 kasus dan umur 15–19 tahun 189 kasus. Pada tahun 2002–2003 Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menemukan sekitar 34% remaja putri dan 21% remaja pria berusia 15–24
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian yaitu SMA Ronevan Tual yang berada di kota Tual Kepulauan Provinsi Maluku. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI dan XII. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 140 responden dengan teknik pengambilan sampel adalah total sampling. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung 2
Jurnal MKMI, Januari 2013, 1-6
kepada responden pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner penelitian. Data sekunder didapat dari kantor Dinas Kesehatan kota Tual yang digunakan sebagai data pendukung dan pelengkap dari data primer untuk keperluan penelitian. Pengolahan menggunakan program aplikasi komputer SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi
komunitas. Banyak kelompok berisiko yang dapat tertular maupun terpapar HIV/AIDS. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa dari 140 responden yang diteliti terdapat 62,1% yang mempunyai pengetahuan cukup terhadap penceghan HIV/AIDS dan 37,9% yang memiliki Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Siswa SMA Ronevan Tual Tahun 2011 Karakteristik n % Responden Umur 14-15 25 17,9 16-17 92 65,7 18-19 23 16,4 Jenis kelamin Laki-laki 75 53,6 Perempuan 65 46,4 Kelas Kelas XI IPA1 35 25,0 Kelas XI IPA2 35 25,0 Kelas XII IPA1 35 25,0 2 Kelas XII IPA 35 25,0
HASIL Jumlah responden terbanyak berada pada umur 16-17 tahun yaitu 92 responden (65,7%), responden laki-laki lebih banyak yaitu 53,6% di banding jumlah responden perempuan 46,4%. Kelas XI IPA1, XI IPA2, XII IPA1 dan XII IPA2 memiliki jumlah responden yang sama, yaitu sebanyak 35 responden (25%) dari tiap kelas. Tabel 2 menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang pencegahan HIV/AIDS yaitu sebanyak 87 responden (62,1%) dan yang memiliki pengetahuan yang kurang sebanyak 53 responden (37,9%). Responden pada umumnya memiliki sikap positif mengenai pencegahan HIV/AIDS sebesar 91 responden (65,0%) sedangkan sikap negatif hanya 49 responden (35,0%). Responden umumnya memiliki tindakan positif dalam pencegahan HIV/AIDS yaitu 78 responden (55,7%) sedangkan yang mempunyai tindakan negatif sebanyak 62 responden (44,3%).
Total
140
100
Sumber: Data Primer Tabel 2. Distribusi Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Responden Terhadap Pencegahan HIV/AIDS di Siswa SMA Ronevan Tual Tahun 2011
PEMBAHASAN Pengetahuan Salah satu sifat dari manusia adalah keingintahuan tentang sesuatu dorongan untuk memenuhi keingintahuan tersebut menyebabkan seseorang melakukan uapaya-upaya pencaharian serangkaian pengalaman-pengalaman selama proses interaksi dengan lingkungannya yang intinya akan menghasilkan suatu pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya adalah sesuatu yang diketahui setelah melihat, menyaksikan, mengalami atau diajarkan. Tindakan seseorang biasanya didasarkan pada apa yang telah diketahuinya terlebih lagi jika keterangan itu dianggap bermanfaat baginya (Notoatmodjo, 2003). Penelitian Rogers (1974) bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial dan adoption (Efendi dan Makhfudli, 2009). Penyakit HIV/AIDS yang belakangan ini telah menjadi pusat perhatian dunia kesehatan oleh karena merupakan pandemik global, telah menyerang orang dari berbagai tingkatan umur, pekerjaan, profesi dan
Variabel Pengetahuan Cukup Kurang Sikap Positif Negatif Tindakan Positif Negatif Total
n
%
87 53
62,1 37,9
91 49
65,0 35,0
78 62
55,7 44,3
140
100
Sumber: Data Primer pengetahuan kurang terhadap HIV/AIDS. Data ini memperlihatkan bahwa masih ada 37,9% responden yang dalam hal ini adalah siswa-siswi yang merupakan generasi bangsa, yang kurang mengetahui tentang HIV/AIDS ini. Gambaran pengetahuan ini hanya pada segelintir masyarakat yang jumlahnya jauh dari populasi masyarakat kita, dimana pada sampel penelitian ini ada sekitar 37,9% responden 3
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
yang kurang mengetahui penyakit mematikan ini. Begitu banyak korban jiwa yang nantinya akan terjangkit penyakit ini jika tidak sedini mungkin tidak dibekali dengan pengetahuan yang jelas, apa dan bagimana HIV/AIDS itu. Perbedaan pengetahuan ini dipengeruhi oleh daya penyerapan informasi antara masing-masing responden baik melalui media maupun penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan secara langsung baik di sekolah-sekolah ataupun dilingkungan sekitar mereka tumbuh dan berkembang. Hasil penelitian yang yang telah dilakukan oleh Marola (2003) tentang pengetahuan dan sikap siswa SMU Negeri 1 Barru mendapatkan pengetahuan responden dengan ketegori cukup sebanyak 96,3% tentang defenisi, gejala, cara penularan, resiko terpapar, pecegahan dan pengobatan. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dimana responden yang memiliki pengetahuan cukup sebesar 62,1 % tentang defenisi, gejala, cara penularan, resiko terpapar, pecegahan dan pengobatan. Hal ini tentu disebabkan karena kurangnya sumber informasi yang di dapatkan oleh siswa. Dalam tingkatan pengetahuan yang menjadi tingkatan dasar atau tingkatan pertama adalah tahu. Kata tahu ini diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterma, sehingga suatu pengetahuan tentang sesuatu dalam hal ini mengenai kesehatan yang dapat terganggu oleh berbagai macam penyakit yang berasal dari lingkungan maupun berasal dasi diri sendiri, akan selalu diingat apabila pengetahuan yang diperoleh selalu diingat kembali melalui pengulanganpengulangan materi. Hal ini sejalan dengan akumulasi yang di peroleh dari sekolah yang merupakan lokasi penelitan. Untuk meningkatkan dan mempertahankan pengetahuan siswa yang cukup mengenai pencegahan HIV/AIDS maka diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak terutama bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan agar melakukan sosialisasi tentang penyakit HIV/AIDS bagi seluruh pihak sekolah (pegawai, guru dan siswa) agar dapat terhindar dari penularan penyakit ini. Tingginya tingkat pengetahuan responden tentang pencegahan penularan HIV/AIDS diharapkan akan mampu menghasilkan perilaku-perilaku positif. Perubahan pengetahuan diharapkan akan merubah sikap dan bila sikap telah dirubah ini merupakan modal untuk merubah perilaku, dan bekal pengetahuan yang cukup, besar kemungkinan orang bersikap positif terhadap suatu objek.
Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku dan sikap juga merupakn efek positif atau negatif terhadap objek psikologis (Notoatmodjo, 2003). Sikap seseorang terhadap suatu objek atau subjek dapat positif atau negatif. Manifestasi sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap objek atau subjek. Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi seseorang melakukan tindakan yang bertantangan dengan sikap. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukan responden yang mempunyai sikap positif tehadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 65,0% dan responden yang mempunyai sikap negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 35,0%. Bloom dan Notoatmodjo (2003), mengemukakan bahwa pengetahuan memegang peranan penting dalam memberikan wawasan terhadap sikap dan perbuatan seseorang. Sikap seseorang lebih banyak dipengaruhi melalui proses belajar dibandingkan dengan proses pembawaan atau hasil perkembangan dan kematangan. Pada dasarnya seseorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup seharusnya juga memberikan respon atau sikap yang positif terhadap suatu permasalahan. Karena dengan pengetahuan yang cukup seseorang sudah dapat memahami dengan baik pokok permasalahan yang ada, sehingga sudah dapat memikirkan baik buruknya sikap yang di ambil . Hal ini dapat disimpulkan bahwa responden nyang mempunyai pengetahuan cukup cenderung bersikap positif dan sebaliknya responden dengan pengetahun kurang cenderung bersikap negatif. Responden yang mempunyai pengetahuan cukup cenderung bersikap positif terhadap pencegahan HIV/AIDS, karena dengan bekal pemahaman yang baik maka mereka sudah dapat memperkirakan bahwa sikap yang diambilnya tidak menimbulkan efek negatif bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Berbeda halnya dengan mereka yang berpengetahaun kurang bersikap negatif dengan alasan yang lebih mengarah pada faktor pribadi. Sikap reponden biasanya terkait dengan keuntungan diri sendiri, jika merugikan diri maka tidak akan setuju, tetapi jika menguntungkan maka cenderung sikapnya setuju. Dalam rangka meningkatkan sikap siswa terhadap pentingnya 4
Jurnal MKMI, Januari 2013, 1-6
pencegahan HIV/AIDS, maka perlu dilakukan pemberian informasi dan motivasi dengan cara melakukan penyuluhan yang melibatkan seluruh warga sekolah secara aktif agar mereka tetap memiliki keterbukaan dan tanggapan positif terhadap program-program kesehatan guna terhindar dari bahaya HIV/AIDS. Tindakan Tindakan manusia pada hakikatnya merupakan aktivitas dari manusia itu sendiri. Tindakan adalah perbuatan yang nyata sebagai perwujudan sikap seseorang terhadap suatu hal. Tindakan mempunyai tingkatan-tingkan yaitu presepsi, respon terpimpin, mekanisme adaptaasi. Tindakan dimaksudkan untuk melihat respon atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal dari dirinya. Pengetahuan yang cukup pada seseorang tentu saja dapat melakukan tindakan yang positif dan sebaliknya. Tetapi bisa saja seseorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup dapat bertindak negatif (Notoatmodjo, 2003). Menurut Foster dan Anderson (1978) dan Salita Sarwono(1993) bahwa melakukan suatu tindakan seseorang terlebih dahulu mengkomunikasikan rangsangan yang diterimanya dengan keadaan dalam diri yang dimaksud adalah pengetahaun, kepercayaan dan sikap. Selanjutnya komunikasi ini yang disebut sebagai proses mental dan hasil dari proses mental tersenut akan terwujud pada apakah ia melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 1993) Responden dalam penelitian ini pada umumnya mempunyai tindakan positif terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 55,7% dibandingkan tindakan negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 44,3%. Hal ini menunjukan bahwa dengan pemahaman yang mereka ketahui dapat memotivasi mereka untuk bertindak positif terhadap pencegahan HIV/AIDS, namun pemahaman tersebut bukanlah jaminan untuk bertindak positif, karena dengan pemahaman yang kurang namun pengaruh lingkungan sekitar membawa efek yang positif maka akan memotivasi seseorang untuk bertindak positif pula terutama bagi diri mereka secara pribadi. Tindakan positif yang dilakukan dengan dasar pengetahuan yang kurang sebenarnya bukan karena mereka paham atau dengan kata lian bahwa seseorang kadang melakukan tindakan positif atau berperilaku sehat tetapi mereka
tidak tahu bahwa tindakan yang dilakukanya adalah perilaku yang sehat. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentunya akan mencerminkan pula tindakan yang positif. Sebab, dengan pengetahun yang cukup mereka sudah tahu bahwa tindakan yang dilakukannya benar atau salah. Jika apa yang dilakukannya merupakan tindakan yang salah dengan pengetahuan yang baik mereka berusaha untuk merubahnya dan apabila tindakan yang mereka lakukan selama ini sudah benar, maka dengan pengetahuan yang baik pula mereka berusaha untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan lagi menjadi lebih baik. Dalam suatu perilaku terdapat pengetahuan yang cukup tetapi melakukan tindakan negatif, sebenarnya mereka tahu bahwa tindakan yang dilakukan adalah salah. Namun, tindakan tersebut sudah menjadi kebiasaan yang susah untuk dirubah. Dan harus diakui bahwa unutk melakukan suatu perubahan perilaku bukanlah hal yang mudah. Secara teori memang untuk menadopsi perilaku baru atau melakukan perubahan perilaku tentunya harus diawali oleh perubahan sikap, pengetahuan, tindakan. Hal ini diperkuat juga oleh teori Lawrence Green yang mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Azrul dan Joedo Prihartono.2003. Metodologi Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Binapura Akara : Jakarta.
BKKBN.2010. Seks Bebas di Kalangan Remaja. Available at http://www.kepri.bkkbn.go.id. Diakses tanggal 8 Maret 2011. Ditjen PPM dan PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia 2009. Available at http://spiritia.or,id/Stats/Ststcurr.pdf. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2010.
KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian besar siswa SMA Ronevan Tual mempunyai pengetahuan cukup mengenai pencegahan HIV/AIDS, sikap mengenai pencegahan HIV/AIDS positif, mempunyai tindakan positif mengenai HIV/AIDS. Kepala sekolah SMA Ronevan Tual beserta staf, kiranya dapat memberikan arahan dan nasehat kepada siswa tentang bahaya dari pergaulan bebas serta membuka diri dalam berpartisipasi dengan pihak kesehatan dalam meningkatkan dan mencegah penyebaran penularan HIV/AIDS. Petugas kesehatan dalam hal ini petugas Puskesmas setempat agar senantiasa memberikan pendidikan kesehatan kepada siswa SMA, khususnya tentang penyakit HIV/AIDS yang merupakan penyakit infeksi yang dapat ditularkan oleh virus melalui perantaran manusia yang terinfeksi HIV positif.
5
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Efendi, Ferry dan Makhfudli.2003. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta. KPA. Data HIV dan AIDS. Available at http://www.aidsindonesis.or.id. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2009. Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. PT. Rineka Cipta : Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
Kemenkes RI. Penuntun Hidup Sehat Edisi Keempat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dinkes Maluku Tenggara. Provil Kesehatan Provinsi Maluku Tahun 2007. http://
[email protected]. Diakses tanggal 02 Maret 2011. Dinkes Maluku Tenggara. Profil Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2010. Diakses pada tanggal 26 Februari 2011. WHO.2006. Global AIDS Epidemic Continues To Grow. Available at http.WHO.com. Diakses pada tanggal 18 September 2010.
6
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, januari 2013, hal 7-14
Artikel II
HUBUNGAN TINDAKAN PENCEGAHAN MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAIHOKA KECAMATAN SIRIMAU KOTA AMBON TAHUN 2011 Relations With Public Event Precautions Malaria In Sub Area Working Puskesmas Waihoka Sirimau Ambon City 2011 Ludia Fin Laipeny Dinas Kesehatan Kota Ambon (
[email protected]) ABSTRAK Propinsi Maluku yang tergolong daerah endemis malaria tinggi kemudian diperparah dengan merebaknya konflik sosial yang mengakibatkan sebagian daerah / desa ditinggalkan oleh penduduknya dan menjadi eksodus ke daerah lain sehingga dalam waktu tersebut, daerah yang di tinggal menjadi sarang berbagai vektor penyakit terutama nyamuk malaria. Diantara kemungkinan yang menjadi penyebab tingginya angka kejadian malaria di Kota Ambon adalah perilaku masyarakat yang memberikan probabilitas besar terhadap penyebaran penyakit malaria. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tindakan pencegahan masyarakat dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon tahun 2011. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode cross sectional dan menggunakan uji square dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik umum dan variable yang relevan dengan tujuan penelitian, dengan jumlah sampel sebanyak 94 kepala keluarga. Ada hubungan antara kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,035. Ada hubungan antara Penggunaan kawat kasa dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,036. Ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,022. Ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,036. Ada hubungan antara membersihan semak belukar dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p=0,011 Kata Kunci : Tindakan, Pencegahan Malaria, Puskesmas ABSTRACT Maluku province is considered malaria-endemic areas of high and aggravated by widespread social conflicts that resulted in some areas / villages to be abandoned by its inhabitants and the exodus to other regions so that in time, in the living area into a den of various vector-borne diseases, especially malaria mosquitoes. Among the possibilities is the cause of the high incidence of malaria in the city of Ambon is the behavior of people who give great probability to the spread of malaria. The purpose of this study was to determine the relationship with the community preventive measures of malaria incidence in the region of sub-district health centers Sirimau Waihoka Ambon City in 2011. This type of study is a cross sectional method with the descriptive approach is intended to identify common characteristics and variables that are relevant to the purpose of the study, a sample of as many as 94 people. There is a relationship between habits are out of the house at night with the incidence of malaria in the region of Waihoka health center. There is a relationship between habits are out of the house at night with the incidence of malaria in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.035. There is a relationship between the use of wire netting with the incidence of malaria in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.036. There is a relationship between the use of anti-mosquito with malaria incidence in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.022. There is a relationship between the use of bed nets by the malaria incidence in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.036. There is a relationship between the wash scrub with the incidence of malaria in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.011. Keywords: Measures, Prevention of Malaria, Health Center 7
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
perlu penanganan secara serius dan semua itu merupakan peran serta yang aktif dari masyarakat.
PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh pararasit dari jenis Plasmodium (Klas Sporozoa) yang menyerang sel darah merah. Di Indonesia dikenal 4 (empat) macam spesies parasit malaria yaitu P. vivax sebagai penyebab malaria tertiana, P. falciparum sebagai penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria otak dengan kematian, P. malariae sebagai penyebab malaria quartana, P.ovale sebagai penyebab malaria ovale yang sudah sangat jarang ditemukan. Kasus malaria pada tahun 2006 terdapat 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,7 juta kasus. Berdasarkan The World Malaria Report 2005, di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal dunia, di mana 80% kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia (termasuk Eropa Timur). Secara keseluruhan terdapat 3,2 miliar penderita malaria di dunia yang terdapat di 107 negara ( Depkes RI, 2008). Propinsi Maluku yang tergolong daerah endemis malaria tinggi kemudian diperparah dengan merebaknya konflik sosial tahun 1999 – 2003 yang mengakibatkan sebagian daerah / desa ditinggalkan oleh penduduknya dan menjadi eksodus ke daerah lain sehingga dalam waktu tersebut, daerah yang di tinggal menjadi sarang berbagai vektor penyakit terutama nyamuk malaria. Tahun 2003 tercatat kasus malaria klinis 52.106 kasus dengan AMI: 37,4 % dan meningkat pada tahun 2005 sebesar 62.296 kasus dengan AMI: 45,92 % dan sampai pada tahun 2009 tercatat malaria klinis 66.499 kasus dengan AMI: 48,4%. (Profil Dinkes Propinsi Maluku Tahun 2010). Diantara kemungkinan yang menjadi penyebab tingginya angka kejadian malaria di Kota Ambon adalah perilaku masyarakat yang memberikan probabilitas besar terhadap penyebaran penyakit malaria. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji tindakan pencegahan masyarakat yang berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Puskesmas Waihoka terletak di Kota Ambon, tepatnya di wilayah waihoka dengan wilayah kerja meliputi 2 daerah, yaitu Ahuru dan waihoka. Dari data yang diperoleh pada tahun 2009 dan 2010 di wilayah kerja Puskesmas waihoka mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 AMI 24,37 per seribu dan API 26,36 per seribu sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi AMI 25,97 per seribu dan API 28,16 per seribu. (Dinkes Kota Ambon Puskesmas Waihoka tahun 2010). Dari data di atas, terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas Waihoka
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kota Ambon, pada tanggal 9-21 Mei 2011. Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode cross sectional dan menggunakan uji square dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik umum dan variable yang relevan dengan tujuan penelitian. Metode yang di gunakan untuk memperoleh data adalah teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner dipadukan dengan observasi untuk memperoleh informasi yang lebih akurat. Populasi dalam penelitian adalah kepala keluarga yang berada di wilayah kerja Puskesmas Waihoka pada tahun 2010 sebanyak 1.493 KK. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling (secara acak). Pengumpulan data ini akan diperoleh melalui pengumpulan langsung dari hasil wawancara terhadap responden yaitu dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner. Data primer yang dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variable independent dan dependent. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Waihoka berupa rekapan laporan malaria tahun 2009-2010. Pengolahan data dilakukan secara elekronik dengan bantuan computer program SPSS versi 15,00 dan disajikan dalam bentuk table yang disertai penjelasannya. HASIL Karakteristik Responden Hasil analisis data menunjukan bahwa frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin, persentase jenis kelamin laki-laki sebesar 53 orang (56.4%) dan perempuan 41 orang (43.6%.). Selanjutnya frekuensi jumlah responden berdasrkan kelompok umur terbesar berada pada kelompok umur muda sebanyak 88 responden. sedangkan yang terendah adalah kelompok umur tua sebanyak 6 responden. Hasil pembagian umur ini sesuai dengan standar WHO pada suatu penelitian yaitu dapat dibagi berdasarkan tingkat kedewasaan antara usia 15-49 tahun dimana berada pada tahap dewasa (muda), dan usia >50 tahun termasuk kelompok umur tua. Hasil penelitian mengenai distribusi responden menurut Tingkat Pendidikan pada wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon menunjukan responden terbanyak berpendidikan tamat SMA yakni 53 orang (56.4%), sedangkan yang tidak sekolah atau tidak tamat SD sebanyak 1 orang (1,1%). Kemudian distribusi responden bedasarkan pekerjaan terbanyak bekerja sebagai PNS dan Wiraswasta yaitu sebanyak 24 orang (25,5%), sedangkan responden yang bekerja 8
Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14
sebagai TNI/Polri dan Petani sebanyak 3 orang (3,2%) dan 11 responden (11,7%) bekerja sebagai
buruh kasar, honorer dan pegawai swasta.
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Umum di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011 Karakteristik n % Jenis Kelamin laki-laki 53 56,4 perempuan 41 43,6 Kelompok Umur tua 6 6,4 muda 88 93,6 Tingkat Pendidikan tamat SD 1 2,2 tamat SMP 18 19,1 tamat SMA 53 56,4 tamat PT 22 23,4 Pekerjaan PNS 24 25,5 TNI/POLRI 3 3,2 pedagang 10 10,6 petani 3 3,2 wiraswasta 24 25,5 IRT 19 20,2 lainnya 11 11,7 Total Sumber : Data Primer
94
100
sebanyak 27 responden (28.7%) sedangkan yang tidak menggunakan kelambu sebesar 67 responden (71.3%). Berdasarkan distribusi pembersihan semak belukar, diketahui bahwa jumlah responden yang selalu membersihkan semak belukar di sekitar rumahnya sebanyak 83 responden (88.3%) sedangkan yang tidak rutin melakukan pembersihan semak belukar sebesar 11 responden (11.7%). Distribusi responden bedasarkan kejadian malaria diketahui bahwa jumlah responden yang menderita/pernah menderita malariasebanyak 42 responden (44.7%) sedangkan yang tidak pernah menderita malaria sebesar 52 responden (55.3%). Sedangkan distribusi responden berdasarkan hasil observasi yang diperoleh bahwa dinyatakan tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang disampaikan responden. Seperti pada hasil observasi obat anti nyamuk, 74 responden (78.4%) yang memilikinya tetapi yang rutin menggunakan hanya 60 responden (63.8%). Dari 29 responden (30.9%) yang memiliki kelambu, hanya 27 responden yang biasa memakainya setiap malam menjelang tidur. Dan dari hasil observasi semak belukar, 92 responden (97.9%) yang ada semaknya tetapi hanya 83 responden (88.3%) yang biasa membersihkan.
Analisis Univariat Variabel yang diteliti dalam penelitian ini mencangkup 7 aspek yaitu kebiasaan berada diluar rumah malam hari, yang dimana diketahui bahwa jumlah responden yang selalu beraktivitas di luar rumah pada malam hari sebanya 17 responden (18.1%) sedangkan yang tidak beraktivitas sebesar 77 responden (81.9%). Penggunaan kawat kasa, Dari tabel 2 diketahui bahwa jumlah responden yang memasang kawat kasa di rumahnya sebanya 46 responden (48.9%) sedangkan yang tidak memiliki kawat kasa sebesar 48 responden (51.1%). Penggunaan obat anti nyamuk, diketahui bahwa jumlah responden yang selalu menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 60 responden (63.8%) sedangkan yang tidak menggunakan obat anti nyamuk sebesar 34 responden (36.2%). Berdasarkan penggunaan obat anti nyamuk, diketahui bahwa jumlah responden yang selalu menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 60 responden (63.8%) sedangkan yang tidak menggunakan obat anti nyamuk sebesar 34 responden (36.2%). Berdasarkan kebiasaan penggunaan kelambu, diketahui bahwa jumlah responden yang selalu menggunakan kelambu 9
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan variabel penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011 Variabel Kebiasaan Berada Di Luar Rumah Pada Malam Hari ya tidak Penggunaan Kawat Kasa ya tidak Obat Anti Nyamuk ya tidak Penggunaan Kelambu ya tidak Kebisaan Membersihkan Semak Belukar ya tidak Kejadian Malaria ya tidak Total Sumber : Data Primer
n
%
17 77
18,1 81,9
46 48
48,9 51,5
60 34
63,8 36,2
37 67
28,7 71,3
83 11
88,3 11,7
42 52 94
44,7 55,3 100
wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011. Hubungan antara penggunaan kelambu dengan riwayat penyakit malaria pada tabel 3 menunjukan bahwa dari 35 responden (52.2%) yang tidak menggunakan kelambu pernah/menderita malaria sedangkan 7 responden (25.9%) yang menggunakan kelambu pernah/menderita malaria. Dari hasil uji chisquare diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011. Hubungan antara membersihkan semak belukar dengan riwayat penyakit malaria menunjukan bahwa 9 responden (81.8%) yang tidak membersihkan semak belukar pernah/menderita malaria sedangkan 33 responden (39.8%) yang menggunakan rutin membersihkan semak belukar di sekitar rumah pernah/menderita malaria. Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa ada hubungan antara membersihkan semak belukar dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011.
Analisis Bivariat Tabel 3 tentang hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan riwayat penyakit malaria menunjukkan bahwa dari 94 responden yang biasa keluar rumah pada malam hari, ada 12 orang (70.6%) yang pernah menderita malaria dan 30 orang (39.0%) menderita malaria tetapi tidak pernah keluar rumah pada malam hari. Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011. Selanjutnya hubungan antara penggunaan kawat kasa pada ventilasi kamar tidur dengan riwayat penyakit malariapada Tabel 3 menunjukan bahwa 27 responden (56.2%) yang tidak menggunakan kawat kasa pada ventilasi tidur pernah/menderita malaria sedangkan 15 responden (32.6%) yang menggunakan kawat kasa pernah/menderita malaria.Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa ada hubungan antara penggunaan kawat kasa ada ventilasi tidur dengan kejadian malaria di
10
Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14
Tabel 3. Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011 Pernah menderita penyakit malaria
Variabel Independen
Ya Kebiasaan Keluar Rumah ya tidak Penggunaan Kawat Kasa ya tidak Penggunaan Kelambu ya tidak Membersihkan Semak Belukar ya tidak Penggunaan Obat Anti Nyamuk ya tidak Total Sumber : Data Primer
Tidak n %
n
%
12 30
70,6 39,0
5 47
15 27
32,6 56,2
35 7
Jumlah n
%
29,4 61,0
17 17
100 100
31 21
67,4 43,8
46 48
100 100
52,2 25,9
32 20
47,8 74,1
67 27
100 100
6 33
81,8 39,8
2 50
18,2 60,2
11 83
100 100
21 21 42
61,8 35,0 44,7
13 39 52
38,2 65,0 55,3
34 60 94
100 100 100
p value
0,035
0,036
0,036
0,011
0,022
tidak mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 17 responden (18,1 %) yang berada di luar rumah pada malam hari dan yang tidak berada di luar rumah pada malam hari adalah 77 (81,9%) hasil ini lebih rendah di bandingkan Hasil penelitian Lamaka (2005) di wilayah kerja Puskesmas Momunu Kecamatan Momunu Kabupaten Buol sebesar 84,2% responden yang berada di luar rumah pada malam hari. Dari hasil analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada α = 0,05 dengan p (value) = 0,035. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thaharuddin, dkk tahun 2004 di Sabang yang menyatakan bahwa variable keluar rumah pada malam hari mempengaruhi angka kejadian penyakit malaria. Melakukakan aktifitas di luar rumah pada malam ataupun subuh hari merupakan pilihan hidup sebagaian masyarakat yang tidak dapat dihalangkan sama sekali, namun demikian upaya pencegahan
PEMBAHASAN Kebiasaan Berada di Luar Rumah pada Malam Hari Menurut Harijanto (2000), Kebiasaan berada di luar rumah untuk beraktifitas misalnya untuk bekerja di kebun ataupun melaut dan aktifitas lainnya, sangat logis sebagai factor resiko kejadian malaria karena aktifitas nyamuk Anopheles dalam mencari darah dan mengeluarkan sporozoit pada manusia lain terjadi pada malam hari. Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon pada 94 responden, memperlihatkan kelompok umur muda yang paling banyak berada di luar rumah. Praktek masyarakat ini menunjukan resiko digigit nyamuk malaria karena masyarakat di lokasi tersebut banyak melakukan aktifitas di malam hari. Contoh: mereka yang kerja pulang sampai malam hari, jaga malam karena bekerja sebagai TNI/Polri, berjualan di pasar, ojek, berbincang-bincang di luar rumah dan kegiatan keagamaan. Sunarsih dkk (2009) memprediksi bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan keluar malam pada malam hari mempunyai resiko terkena malaria 4,4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang 11
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
untuk mengurangi kontak dengan manusia sangat penting untuk di lakukan. Orang yang terpaksa keluar pada malam hari untuk berjualan ataupun ojek, bisa menggunakan pakaian yang menutup lengan dan kaki secara sempurna, seperti baju lengan panjang dan celana panjang untuk mencegah gigitan nyamuk Penggunaan Kawat Kasa Adanya kejadian malaria disebabkan rumah yang tidak terpasang kawat kasa akan mempermudah masuknya nyamuk ke dalam rumah. Pemasangan kawat kasa pada setiap lubang yang ada dirumah bertujuan agar nyamuk tidak masuk kedalam rumah dan menggigit manusia sebagai host (Lestari dkk,2007). Pemasangan kawat kasa pada jendela dan ventilasi rumah merupakan salah satu upaya pencegahan dalam menghindari gigitan nyamuk malaria, Prabowo (2004). Rumah penduduk yang dilengkapi lubang angin atau ventilasi namun tidak dipasang kawat kasa atau lainya memungkinkan celah-celah rumah dapat di masuki nyamuk dan mengigit manusia yang sedang tidur hal ini dapat menimbulkan kejadian malaria. Kondisi ventilasi rumah yang tidak terpasang kawat kasa seperti pada Tabel 13 menunjukkan bahwa kejadian malaria pada rumah dengan kondisi ventilasi yang tidak terpasang kawat kasa sebesar 56.2% dan 32.6% pada responden yang pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah yang tidak terpasang kawat kasa dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada α = 0,05 dengan p (value) = 0,036. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Darmadi (2002) di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa kondisi ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa mempunyai kecenderungan untuk terjadinya penyakit malaria dengan p (value) = 0,021. Sesuai juga dengan pernyataan subdit malaria bahwa pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah akan memperkecil kontak dengan nyamuk. Upaya penggunaan kawat kasa pada responden yang diteliti baru mencapai 46 responden (48,9 %) sedangkan yang tidak menggunakan kawat kasa adalah 48 (51,5 %) hal ini lebih baik jika di bandingkan dengan hasil penelitian Rieke Uloli di gorontalo pada tahun 1999 dengan hasil 5,91 % yang menggunakan kawat kasa. Kurangnya pemakaian kawat kasa ini disebabkan oleh karena pengetahuan masyarakat tentang kegunaan/fungsi tersebut untuk mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah. Namun sebagian reponden juga mengakui bahwa penggunanan kawat kasa adalah merusak pemandangan. Selain itu
kondisi rumah responden, sebagian terbuat dari papan sehingga jendela di kamar merekapun tidak dipasang kawat kasa karena tidak ada ventilasi. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Perilaku responden mengenai penggunaan obat anti nyamuk seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian malaria pada rumah dimana responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk sebesar 61.8% dan 35.0% pada responden yang menggunakan obat anti nyamuk tetapi pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada α = 0,05 dengan p (value) = 0,022. Dari hasil penelitian di wilayah Puskesmas Waihoka diketahui bahwa proporsi responden yang mempunyai kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk lebih besar pada kelompok penderita (61.8%) dibanding yang menggunakan obat anti nyamuk tetapi merupakan penderita juga (35.0 %). namun tidak cukup bukti adanya hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk yang berisiko dengan kejadian malaria. Alasan yang dapat diberikan adalah berdasarkan hasil wawancara di lapangan, dimana responden biasanya menggunakan obat anti nyamuk bakar yang diletakkan di dalam kamar tidur. Sedangkan peluang terjadinya kontak antara nyamuk dengan orang sehat tidak hanyadi dalam kamar tidur tetapi juga diruangan lain. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Kholis Ernawati Tahun 2010 yang terkait dengan penggunaan obat anti nyamuk, pada penelitian ini menunjukkan bahwa makin rendah tingkat penggunaan obat nyamuk, semakin besar risiko untuk terinfeksi malaria. Hasil penelitian Masra, kebiasaan tidak memakai obat nyamuk setiap malam memberikan risiko mendapatkan malaria 1,75 kali dibandingkan mereka yang memakai obat nyamuk setiap malam. Efek yang biasa ditimbulkan oleh obat anti nyamuk ini sangat bervariasi yaitu dari sesak nafas, batuk-batuk, sakit kepala, iritasi mata dan pusing hal ini yang umumnya dirasakan oleh masyarakat sesuai dengan hasil wawancara yang berlangsung selama penelitian. Walaupun demikian, disadari bahwa keberadaan obat anti nyamuk secara bebas dengan berbagai jenis dan wujudnya di masyarakat tidak selalu aman untuk digunakan, terkadang mengandung bahan-bahan aktif yang tidak diperkenankan sehingga dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan masyarakat. Untuk itu, pengawasan dan penertiban dari instansi terkait perlu di maksimalkan, guna memberi 12
Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14
jaminan keamanan bagi masyarakat dalam rangka mengurangi dan menanggulangi penyakit malaria yang begitu berbahaya. Penggunaan Kelambu Perilaku responden mengenai penggunaan kelambu seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian malaria pada rumah dimana responden yang tidak menggunakan kelambu sebesar 52.2% dan 25.9% pada responden yang menggunakan kelambu tetapi pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada α = 0,05 dengan p (value) = 0,036. Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan orang sehat disaat tidur malam, disamping pemakaian obat penolak nyamuk. Karena kebiasaan nyamuk Anopheles untuk mencari darah adalah pada malam hari, dengan demikian selalu tidur menggunakan kelambu yang tidak rusak atau berlubang pada malam hari dapat mencegah atau melindungi dari gigitan nyamuk Anopheles spp. Hasil wawancara diperoleh alasan responden tidak memakai kelambu antara lain dikarenakan kondisi ekonomi yang rendah, kelambu terasa panas dan gerah, kelambunya rusak dan sudah memakai obat nyamuk pada waktu tidur. selain itu walaupun terdapat kelambu pada rumah mereka tetapi kondisi dan cara memasangnya tidak baik dan berpeluang untuk masuknya nyamuk. Walaupun demikian, pemakaian kelambu masih jauh lebih baik dari pada tidak memakai kelambu, hal ini merupakan salah satu cara yang efektif karena tidak menggunakan bahan kimia jadi tidak menyababkan resistensi dari nyamuk juga tidak mengganggu kesehatan selain itu pemakaian kelambu juga sangat efisien karena cukup hemat dengan membeli satu kali saja dapat di pakai dalam jangka waktu yang relaif lama. Hasil penelitian yang dilakukan Neal Alexander (et al) di Colombia menunjukkan bahwa menggunakan kelambu berinsektisida saat tidur malam hari mampu mencegah risiko terkena malaria dibanding yang tidak menggunakan dengan nilai OR (95% CI ) = 0,44 (0,20-0,98). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Estifanos B. Shargie (et al) di Ethiopia juga menunjukkan bahwa penggunaan kelambu mampu menurunkan kejadian malaria. Pada awal (2005) insidens malaria sebesar 8/1000/tahun (wilayah Oromia dan 32,2/1000/tahun (wilayah SNNPR) menjadi 5/1000/tahun (wilayah Oromia) dan 28/1000/tahun (wilayah SNNPR). Menurunnya insidens malaria ini terjadi karena adanya intervensi distribusi kelambu dari UNICEF sebanyak 2 juta
kelambu (tahun 2005), kemudian pada tahun 2006 The Global Fund memprioritaskan untuk meningkatkan cakupan pemakaian kelambu oleh masyarakat. Dengan program tersebut, maka proporsi orang yang tidur menggunakan kelambu meningkat 10 kali dari 3,5% (tahun 2005) menjadi 35% (tahun 2007). Hasil penelitian ini sesuai juga dengan penelitian Husin (2007) menyatakan kebiasaan tidur menggunakan kelambu pada malam hari mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria di wilayah Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut, dimana risiko terkena malaria pada orang yang tidak memakai kelambu saat tidur malam 5,8 kali dibandingkan dengan yang mempunyai kebiasaan memakai kelambu saat tidur malam. Hasil ini diperkuat lagi dari penelitian Munawar (2004) di Desa Sigeblog Wilayah Puskesmas Banjarmangu I Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, dimana orang yang tidur malam tidak menggunakan kelambu punya risiko terkena malaria 8,09 kali lebih besar dari orang yang tidur menggunakan kelambu pada malam hari. Untuk membiasakan suatu hal agar menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat membutuhkan waktu yang relative lama. Tetapi hal ini tidak berarti tidak bisa sama skali diterapkan. Untuk itu, pemakaian kelambu yang pada awalnya masih dianggap tidak nyaman dan panas bagi sebagian masyarakat, harus selalu mendapat sosialisasi yang selalu intensif dari pihak-pihak terkait, disamping dukungan ketersediaan di pasaran sehingga memudahkan masyarakat dalam memperolehnya. Pembersihan Semak Belukar Perilaku responden mengenai membersihkan semak secara rutin seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa 81.8% yang tidak membersihkan semak belukar tetapi pernah/menderita malaria dan 39.8% yang membersihkan semak belukar tetapi pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan semak dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada α = 0,05 dengan p (value) = 0,011. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sarah Hustache di French Guinea menyatakan bahwa pembersihan vegetasi/semak di sekitar rumah mempunyai asosiasi yang kuat dengan penurunan risiko kejadian malaria. Keberadaan semak (vegetasi) yang rimbun akan mengurangi sinar matahari masuk/ menembus permukaan tanah, sehingga lingkungan sekitarnya akan menjadi teduh dan lembab. Kondisi ini merupakan tempat yang baik untuk beristirahat bagi nyamuk dan juga tempat perindukan nyamuk yang di bawah semak tersebut terdapat air yang tergenang. 13
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas Waihoka menunjukkan hampir semua rumah responden terdapat semak, dimana responden rumahnya yang ada semak (97.9%). Dan dari hasil wawancara, yang tidak membersihkan semak di sekitar rumah ini dikarenakan responden mengaku repot, sibuk dan tidak sempat sebagai alasan padahal semak belukar merupakan tempat peristirahatan nyamuk atau sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles.
obat anti nyamuk (p= 0,022), penggunaan kelambu (p= 0,036), membersihan semak belukar (p=0,011) dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka. SARAN Hasil penelitian menyarankan perlunya peningkatan upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk Anopheles khususnya pada saat berada diluar rumah pada malam hari dengan menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang untuk menghindari gigitan nyamuk serta masyarakat diminta agar tetap mempertahankan kebiasaan membersihkan semak belukar di sekitar rumah untuk menghindari tempat berkembang biaknya nyamuk.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan antara kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari (p= 0,035), penggunaan kawat kasa (p= 0,036 ), penggunaan
Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Semarang. Harijanto, P.N. 2000. Malaria Epedemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Hasan, husin. 2007. Analisis factor resiko kejadian malaria. Bengkulu Hustache, Sarah. 2007. Malaria resk factor in Amerindian children in French Guinea. Am.J.Trop. meg. Hyg, 76(4), pp.619-625. Kholis, Ernawati. 2010. Hubungan factor resiko individu dan lingkungan rumah dengan malaria. Lampung Lestari, EW., Sukowati S., Soekidjo., dan Wigati. Vektor Malaria di Daerah Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol. 17. No. 1. 2007:30-35. Masra, F. 2002. Hubungan Tempat Perindukan Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Teluk Betung Barat. Bandar Lampung. Ermi, Ndoen Ml. 2006. Pembunuh Terbesar Sepanjang Abad. http:www.freelist.org/achivest/ppi/05.2006m s00201.html.Diakses tanggal 29 Desember 2010 Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta Jakarta. Prabowo, Arlan. 2004. Malaria , Mencegah dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta Shargie E.B,et al.2008. malaria prevalence and musquito nets coverage in oromia and SNNPR region of Ethiopia. Thaharuddin, Soeyoko, dan Adi Heru Sutomo, 2004. Manusia dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Fahmi, Achmadi Umar. 2008. Horison Baru Kesehatan Masyarakat Indonesia. Rineka cipta : Jakarta. Munawar, Akhsin. 2005. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Malaria di Desa Sigeblog, Jawa Tengah. Alexander N, et al. 2005. Case-control study of mosquito nets against malaria in the Amazon region of Colombia. Am J. Trop. Med. Hyg., 73(1), pp. 140-148. Anies. 2006. Manajement berbasis lingkungan, solusi mencegah dan menanggulangi penyakit menular, seri lingkungan dan penyakit. Elex Media Komputindo : Jakarta Depkes RI. 2004. Profil Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) Tahun 2003. Departemen Kesehatan : Jakarta. Depkes RI, 2006. Modul Parasitologi Malaria. Salatiga: B2P2VRP. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. 2009. Profil Kesehatan Provinsi Maluku. Dinas Kesehatan, 2009. Profil Kesehatan Puskesmas Waihoka Kota Ambon. Elvi Sunarsih, Nurjasuli, Sulistyani. 2009. Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku yang Berkaitan Dengan Kejadian Malaria Pangkalbalam. Pangkalpinang. Gunawan. 2000. Epidemiologi Malaria Dalam Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manisfestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC Laihad, F. 2005. Malaria Di Indonesia Dalam Malaria Epidemiologi, Pathogenesis, Manisfestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC Darmadi. 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah serta Praktik 14
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 15-20
Artikel III
STRATEGI POSITIONING DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN PANGSA PASAR PADA RSIA ST FATIMAH MAKASSAR Positioning Strategy In The Framework Of Sustaining And Improving Market Share In Mother And Child Hospital St. Fatimah Makassar Nurbani Bangsawan1, Abd. Rahman Kadir2, dan Rasyidin Abdullah3 1 RSIA Sitti Fatimah Makassar 2 Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin 3 Dinas Kesehatan Kota Makassar ABSTRAK Positioning RSIA St Fatimah cenderung untuk pasien rawat inap dibawah program perlindungan sosial daripada pasien rawat inap umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi positioning RSIA St Fatimah. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui respon terhadap tujuan penelitian dari responden yang berjumlah 150 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat variabel independen yaitu strategi pelayanan, strategi promosi, strategi harga dan strategi proses yang mempengaruhi secara signifikan dan serentak untuk positioning RSIA St Fatimah Makassar. Strategi layanan dan strategi proses mempengaruhi sebagian positioning RSIA St Fatimah Makassar, variabel yang mempengaruhi dominan adalah strategi pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan agar manajemen rumah sakit meningkatkan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana di RSIA St Fatimah dan diharapkan dapat meningkatkan positioning RSIA St Fatimah Makassar. Kata Kunci: positioning, strategi pelayanan, strategi promosi, strategi harga dan strategi proses ABSTRACT Positioning of RSIA St. Fatimah tended for staying overnight care patient in Social Protection Program than public staying overnight care patient. This research aimed to know the factors affecting to positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar. The used research design in this research was cross sectional method by using survey that aims to know response for the research objects from respondents that amounts of 150 patients. The research results showed that the four independent variables those are service strategy, promotion strategy, price strategy and process strategy affecting significantly and simultaneously to positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar. Service strategy and process strategy had affected partially to the positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar, the dominant affecting variable was service strategy. Based on research result, so it was suggested in order to the hospital management to increase human resources and facility and infrastructure in St. Fatimah Child and Mother Hospital and it is expected to increase the positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar. Key Words : Positioning, Service Strategy, Promotion Strategy, Price Strategy And Process Strategy meningkatkan profitabilitas organisasi. Positioning memiliki peran penting dalam sebuah organisasi (Tandirering, 2005). Hal senada dikemukakan oleh Lamb, dkk (2001) yang menyatakan bahwa penempatan posisi (positioning) di pasaran suatu perusahaan ataupun organisasi memiliki peran penting dalam mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar. Yang tentunya akan bermanfaat dalam
PENDAHULUAN Pada hakikatnya setiap organisasi yang berorientasi profit maupun nonprofit saat ini tidak dapat memandang remeh mengenai positioning dirinya di hati pelanggan. Karena dengan positioning yang tepat maka organisasi tersebut dapat mempertahankan dan mampu mengembangkan pangsa pasarnya, yang pada akhirnya juga akan 15
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
dunia persaingan saat ini. Positioning merupakan pengembangan bauran pemasaran spesifik untuk mempengaruhi keseluruhan persepsi pelanggan potensial terhadap merek, lini produk, atau organisasi secara umum. Sementara itu posisi adalah tempat sebuah produk, merek atau kelompok produk dalam benak konsumen, dibandingkan dengan penawaran dari para pesaing (Tjiptono, 2009). Masalah positioning di era informasi saat ini yang didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat menjadi sesuatu hal yang sangat urgen, dikarenakan alih informasi yang cepat sehingga penyebaran informasi untuk kepentingan strategi positioning dapat dengan mudah diakses oleh rumah sakit pesaing. Tantangan inilah yang memicu kinerja dalam positioning senantiasa dipertahankan dan ditingkatkan untuk menjalankan dan mencapai visi rumah sakit (Rangkuti, 2004). Untuk merespon tantangan ini tentunya pihak manajemen harus mengantisipasi dengan meningkatkan kemampuan individu-individu dalam rumah sakit tersebut, sehingga dengan adanya peningkatan individu maka akan memudahkan pihak manajemen dalam mengarahkannya dalam strategi
positioning yang diharapkan (Suprihanto,1997). Realita saat ini RSIA. St. Fatimah Makassar sudah mendapatkan tempat bagi masyarakat Kota Makassar hal ini dapat dilihat berdasarkan data kunjungan pasien mulai tahun 2005 sampai dengan 2007 seperti yang terlihat pada Tabel 1. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode cross sectional dengan survei yang dilaksanakan di RSIA ST Fatimah Makassar selama empat bulan (AgustusNovember 2008), dengan jumlah responden sebanyak 150 pasien yang diambil menggunakan teknik probability sampling. Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk melihat tampilan distribusi frekuensi, analisis bivariat yang dilakukan terhadap tiap-tiap variabel independen dan dependen dengan menggunakan chi square, dan analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor independen yang berpengaruh terhadap strategi positioning RSIA ST Fatimah Makassar. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS versi 15.0.
Tabel 1. Data Kunjungan Tahun 2005-2007 RSIA ST Fatimah Makassar 2005 2006 RAWAT RAWAT IRJ IRJ URAIAN INAP INAP n % n % n % N % 569 23.3 7669 85.3 644 22.3 9234 80.5 Umum 384 15.7 898 10 850 29.5 850 7.4 Askes
2007 RAWAT IRJ INAP n % n % 1266 36 5681 72.7 344 9.8 875 11.2
JPS
1493
61
421
4.7
1388
48.2
1388
12.1
1903
54.2
1255
16.1
Total
2446
100
8988
100
2882
100
11472
100
3514
100
7811
100
Sumber : Data base kunjungan pasien RSIA ST Fatimah Makassar antara strategi layanan dengan positioning RSIA ST Fatimah berdasarkan nilai p = 0,000 < 0,05 pada CI (95 %) = 8,393 – 250,462 dengan nilai chi square 41,784 yang lebih besar dari nilai chi square tabel sebesar 3,841. Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas responden atas strategi promosi tinggi dalam positioning yang tinggi adalah sebanyak 128 orang atau 85,3% dan yang paling sedikit adalah pada strategi layanan rendah dalam postioning yang tinggi dan strategi promosi rendah dalam positioning yang rendah masing-masing sebanyak 5 orang atau 3,3%. Selanjutnya pada variabel strategi promosi yakni dengan indikator jalur informasi promosi perorangan, ekuitas merek yang memiliki total skor yang tinggi (>47,5) berpotensi meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah sebesar 10,667 kali dibandingkan dengan
HASIL Analisis Bivariat Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas responden atas strategi layanan tinggi dan positioning yang tinggi adalah sebanyak 131 orang atau 87,3% dan yang paling sedikit adalah pada strategi layanan rendah dalam positioning yang tinggi hanya 2 orang atau 1,3%. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 2 memperlihatkan bahwa strategi layanan (yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal, dan post natal) yang tinggi yakni dengan skor >47,5 akan meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah 45,850 kali dibandingkan dengan strategi layanan yang rendah yakni dengan nilai skor <47,5, hal ini didasarkan pada hasil bivariat dengan nilai Odds Ratio (OR) = 45,850. Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan yang bermakna 16
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 15-20
strategi promosi yang rendah (<47,5). Dari hasil analisis bivariat lebih lanjut memperlihatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara variabel strategi promosi dengan positioning RSIA ST Fatimah
berdasarkan nilai p = 0,002 < 0,05 pada CL (95 %) 2,701 – 42,128 dengan nilai chi square 15,835 yang lebih besar dari nilai chi square tabel sebesar 3,841.
Tabel 2.
Hubungan Variabel Strategi Layanan, Promosi, Harga dan Proses Terhadap Positioning RSIA ST Fatimah Makassar tahun 2008 Positioning Jumlah OR Variabel Tinggi Rendah CI95% n % n % N % LL-UL = 8,393-250,462 Strategi layanan Tinggi 131 87,3 10 6,7 141 94,0 X2=41,784 Rendah 2 1,3 7 4,7 9 6,0 P = 0,000 OR =45,850 LL – UL = 2,701 - 42,128 Strategi promosi Tinggi 128 85,3 12 8,0 140 93,3 X2=15,835 Rendah 5 3,3 5 3,3 10 6,7 P = 0,002 OR = 10,667 LL – UL =2,257 - 25,027 Strategi harga Tinggi 124 82,7 11 7,3 135 90,0 X2=13,539 Rendah 9 6,0 6 4,0 15 10,0 P =002 OR =7,515 LL – UL = 6,433 - 198,426 Strategi proses Tinggi 131 87,3 11 7,4 142 94,7 X2=33,861 Rendah 2 1,3 6 4,0 8 5,3 P =0,000 OR = 35,727 Jumlah 133 88,7 17 11,3 150 100,0 Sumber: Data Primer
Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas responden atas strategi harga tinggi dalam positioning yang tinggi adalah sebanyak 124 orang atau 82,7% dan yang paling sedikit adalah pada strategi harga yang rendah dalam postioning yang rendah sebanyak 6rang orang atau 4,0%. Strategi harga (penetapan posisi harga dan sasaran) yang tinggi atau yang memiliki nilai skor >15 mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah sebesar 7,515 kali dibandingkan dengan strategi promosi yang rendah, hal ini diperoleh dari hasil analisis secara bivariat dengan OR sebesar 2,566. Hasil analisis lebih lanjut diperoleh nilai p = 0,009 < 0,05 pada CI (95 %) = 2,257- 25,027 dengan nilai chi square 13,539 yang lebih besar dari nilai chi square tabel sebesar 3,841 menunjukkan ada hubungan yag signifikan antara strategi harga dengan positioning RSIA ST Fatimah Makassar. Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas responden atas strategi proses tinggi dalam positioning yang tinggi adalah sebanyak 131 orang atau 87,3% dan yang paling sedikit adalah pada strategi prose yang rendah dalam postioning yang tinggi hanya 2 orang atau 1,3%. Strategi proses yang terdiri dari prosedur penerimaan pasien dan prosedur pelayanan pasien yang memiliki nilai skor tinggi
(>25) merupakan faktor yang mempunyai potensi besar untuk meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah yang dengan berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR = 35,727). Hal ini menunjukkan bahwa strategi proses mampu meningkatkan sebesar 35,727 kali terhadap positioning RSIA ST Fatimah dibandingkan dengan strategi proses yang rendah (dengan nilai skor <25). Dari hasil analisis lebih lanjut dimana diperoleh nilai p = 0,000 < 0,05 pada CI (95 %) = 6,433 – 198,426 dengan nilai chi square 33,861 yang lebih besar dari nilai chi square tabel sebesar 3,841 menunjukkan ada hubunga yang signifikan antara strategi proses positioning RSIA ST Fatimah. Dari hasil analisis bivariat di atas menunjukkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa semua variabel bebas secara signifikan berhubungan dengan positioning RSIA Siti Fatimah dapat diterima. Analisis Multivariat Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa semua variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah tidak terbukti dalam penelitian ini karena hanya ada dua variabel yang signifikan yaitu strategi layanan dan proses. Dari hasil analisis secara multivariat yang menggunakan regresi logistic pada tabel 3 di atas 17
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
untuk 4 variabel independen terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap positioning RSIA ST Fatimah adalah strategi layanan dengan tingkat signifikansi nilai p = 0,007 < 0,05 yakni sebesar 3,435 hal ini berdasarkan pada koefisien regresinya. Variabel independen lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah Tabel 3.
adalah strategi proses yakni dengan tingkat signifikansi nilai p = 0,15 yakni sebesar 2,632 yang berdasarkan nilai koefisien regresinya. Sementara variabel strategi promosi dan harga tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan karena tingkat signifikansinya >0,05.
Analisis Multivariat yang berpotensi meningkatkan Positioning RSIA ST Fatimah Makassar Tahun 2008
Variabel Strategi Layanan Strategi Promosi Strategi Harga Strategi Proses Constant Sumber: Data Primer
95 % CI
Koefisien Regresi
Kemaknaan (nilai p)
OR
3,435 -1,271 0,258 2,632 -7,767
0,007 0,456 0,808 0,015 0,000
31,022 0,281 1,295 13,898 0,000
Variabel strategi promosi dan harga tidak berpengaruh signifikan, hal ini ditunjukkan dengan nilai nilai p = 0,456 untuk strategi promosi dan p = 0,808 untuk strategi harga yang lebih besar dari 0,05. Pada analisis multivariat ini terjadi perubahan nilai OR untuk kedua variabel independen yang berpengaruh signifikan (strategi layanan dan strategi proses). Nilai OR untuk strategi layanan dari OR =45,850 menjadi OR = 31,022 yang menunjukkan bahwa variabel strategi layanan yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal dan post natal yang memiliki nilai skor >47,5 merupakan faktor yang mampu memberikan peningkatan terhadap positioning RSIA ST Fatimah sebesar 31,022 kali lebih besar dibandingkan strategi layanan yang rendah (nilai skor <47,5). Hal ini juga ditandai dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %) = 2,594 371,033 dengan nilai p = 0,007 <0,05 menunjukkan bahwa hubungan tersebut bermakna bila dilakukan pengujian secara bersama-sama variabel lainnya. Nilai OR untuk strategi proses dari OR = 35,727 menjadi OR = 13,898 yang menunjukkan bahwa variabel strategi proses yang terdiri dari layanan prosedur penerimaan pasien dan prosedur pelayanan pasien yang memiliki nilai skor >25 merupakan faktor yang mampu memberikan peningkatan terhadap positioning RSIA ST Fatimah sebesar 13,898 kali lebih besar dibandingkan strategi proses yang rendah (nilai skor <25). Hal ini juga ditandai dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %) = 1,655 – 116,683 dengan nilai p = 0,015 < 0,05 menunjukkan bahwa hubungan tersebut bermakna bila dilakukan pengujian secara bersama-sama variabel lainnya.
Lower
Upper
2,594 0,010 0,161 1,655
371,033 7,911 10,391 116,683
PEMBAHASAN Pengaruh Strategi Layanan Terhadap Positioning RSIA ST Fatimah Makassar Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa jika dilihat dari nilai konversi kesemua indikator menunjukkan nilai 4 yang berarti rata-rata jawaban responden setuju dengan pertanyaan dan atau pernyataan yang diberikan melalui kuesioner. Jadi hal ini dapat dikatakan bahwa layanan antenatal, intranatal dan postnatal sudah dirasakan positif oleh pasien RSI ST Fatimah. Analisis bivariat menunjukkan bahwa strategi layanan (yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal, dan post natal) yang tinggi yakni dengan skor >47,5 akan meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah 45,850 kali dibandingkan dengan strategi layanan yang rendah yakni dengan nilai skor <47,5, hal ini didasarkan pada hasil bivariat dengan nilai Odds Ratio (OR) = 45,850. Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara strategi layanan terhadap positioning RSIA ST Fatimah berdasarkan nilai p = 0,000 < 0,05 pada CI (95 %) = 8,393 – 250,462. Selanjutnya setelah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap positioning RSIA ST Fatimah adalah strategi layanan dengan tingkat signifikansi nilai p = 0,007 < 0,05 yakni sebesar 3,435 hal ini berdasarkan pada koefisien regresinya. Pada analisis multivariat ini terjadi perubahan nilai OR untuk kedua variabel independen yang berpengaruh signifikan (strategi layanan dan strategi proses). Nilai OR untuk strategi layanan dari OR =45,850 menjadi 18
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 15-20
OR = 31,022 yang menunjukkan bahwa variabel strategi layanan yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal dan post natal yang memiliki nilai skor >47,5 merupakan faktor yang mampu memberikan peningkatan terhadap positioning RSIA ST Fatimah sebesar 31,022 kali lebih besar dibandingkan strategi layanan yang rendah (nilai skor <47,5). Hal ini juga ditandai dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %) = 2,594 - 371,033 dengan nilai p = 0,007 <0,05 menunjukkan bahwa hubungan tersebut tetap bermakna bila dilakukan pengujian secara bersamasama variabel lainnya. Hasil temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa layanan yang merupakan jasa RSIA ST Fatimah yang diberikan kepada pasien yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal dan postnatal adalah faktor utama yang harus dipertahankan dan ditingkatkan. Karena tiga layanan ini termasuk sebagai core business dari RSIA ST Fatimah yang selama ini memang sudah dikenal sebagai rumah sakit yang melayanai pelayanan ibu dan anak dengan tiga jenis pelayanan tersebut bagi masyarakat Makassar. Ketiga jenis pelayanan ini sudah melekat atau sudah dipersepsikan dibenak para pasien yang sulit untuk dilepaskan Temuan ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Ries, et al (1982) tentang positioning, yang menyatakan bahwa posotining dalam konteks pemasaran adalah cara produk (jasa), merek atau organisasi perusahaan dipersepsikan secara relatif oleh pelanggan maupun calon pelanggan dibanding dengan pesaing saat ini (Kotler, 1997). Pengaruh Strategi Promosi Terhadap Positioning RSIA ST Fatimah Makassar Setelah dilakukan analisis univariat menunjukkan bahwa penelitian ini menemukan bahwa jawaban rata-rata responden lebih bervariasi dibandingkan dengan strategi layanan, yang mana dari 19 indikator, 5 sub indikator yang memiliki nilai rasio (1) Layanan di ruang perawatan merupakan kategori layanan yang paling saya ingat karena saya pernah mengalami layanan tersebut (EK3); (2) RSIA ST Fatimah menjadi pertimbangan saya sebagai pilihan untuk berobat, mendapatkan pelayanan ibu dan anak karena sudah dikenal cukup lama (EK4), (3) Kualitas interaksi saya dengan para dokter, bidan dan perawat RSIA ST Fatimah adalah bagus sekali (EKU1); (4) Dokter RSIA ST Fatimah Makassar bersikap bersahabat terhadap saya (EKU2); (5) Bidan dan perawat RSIA ST Fatimah Makassar bersikap bersahabat terhadap saya (EKU3) memiliki nilai konversi 3 yang berarti responden menanggapi ke lima indikator ini dengan netral dan 14 sub indikator lainnya memiliki nilai konversi 4 yang berarti responden menjawab setuju atas pertanyaan dalam kuesioner.
Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa strategi promosi memperoleh tanggapan yang beragam dari responden sehingga secara multivariat variabel ini tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan yang ditandai dengan nilai p = 0,456. Kondisi nyata di rumah sakit menunjukkan bahwa promosi masih kurang dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit. Hasil temuan ini ini didukung oleh Tura (2003) yang menyatakan bahwa kurangnya promosi layanan RSIA ST Fatimah dapat dilihat dari kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai sarana dan prasarana serta sumber daya manusia rumah sakit yang ada saat ini. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiwijaya (2005). Pengaruh Strategi Harga Terhadap Positioning RSIA ST Fatimah Makassar Analisis univariat menunjukkan bahwa rata-rata jawaban responden setuju atas pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner yang ditunjukkan dengan hasil analisi nilai konversi 4. Sikap setuju responden ini membuktikan bahwa penetapan tarif dan sasaran tarif layanan RSIA ST Fatimah sudah tepat bagi pasien yang selama ini berobat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pasien sudah memaklumi bahwa posisi harga dan sasaran harga saat ini sudah tepat bagi pasien yang ada saat ini. Jika dilihat dari hasil temuan deskripsi karakteristik responden menunjukkan penghasilan keluarga kurang dari 750.000 per bulan sebanyak 86 orang atau 57,6%. Keluarga yang berpenghasilan 750.000 sampai dengan 1.500.000 per bulan sebanyak 51% atau 34% sementara keluarga yang berpenghasilan lebih dari 1.500.000 per bulan sebanyak 13 atau 8,7%. Keadaan ini membuktikan bahwa mayoritas pasien RSIA ST Fatimah adalah pasien yang berpenghasilan menengah ke bawah. Dari hasil univariat ini juga mendukung analisis multivariat yang menguatkan kurang baiknya posisitioning rumah sakit terhadap pesaing lainnya. Hal ini juga dibuktikan bahwa strategi harga tidak berpengaruh signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai kemaknaan p = 0,808. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2007). Pengaruh Strategi Proses Terhadap Positioning RSIA ST Fatimah Makassar Rata-rata tanggapan responden atas pertanyaan mengenai strategi proses pada nilai konversi 4, hal ini menunjukkan bahwa responden setuju dengan proses penerimaan dan pelayanan yang ada saat ini. Secara analisis multivariate menunjukkan bahwa strategi proses yang terdiri dari (1) prosedur penerimaan dan (2) proses pelayana mampu memberikan pengaruh secara signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai p=0,015. 19
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Walaupun secara multivariate hanya dua varaibel (strategi layanan dan proses) yang berpengaruh signifikan, namun analisis secara bivariat keempat variabel independen dalam peneltian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah. Hasil temuan ini sejalan dengan Bahren (2006) dalam penelitian mengenai analisis strategi positioning untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar dalam memenangkan persaingan dalam studi kasus PT. Telkom Kawasan Timur Indonesia yang menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi positioning adalah strategi produk/jasa, distribusi, harga, promosi, pelayanan dan orang yang diberikan kepada pelanggan. Temuan peneltian ini juga memperkuat teori yang ditulis Staton (1984) dalam Bahren (2006) tentang bauran pemasaran yakni 4P (product, price, place dan promotion) dijadikan strategi oleh para pemasar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap produk-produk yang dimiliki oleh suatu persuhaan. KESIMPULAN DAN SARAN
Keempat variabel independen yakni strategi layanan dengan nilai p = 0,000 strategi promosi dengan nilai p = 0,002 strategi harga dengan nilai p = 0,002 dan strategi proses dengan nilai p = 0,000 berhubungan positif dan signifikan dengan positioning RSIA St. Fatimah Makassar. Strategi promosi tidak berpengaruh signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai p=0,456. Strategi harga tidak berpengaruh signifikan dengan nilai p=0.808. Strategi proses berpengaruh signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai p=0,015 dan besar pengaruh 2,632. Variabel yang dominan berpengaruh terhadap positioning RSIA ST Fatimah Makassar adalah strtaegi layanan dengan nilai p = 0,007 dan besar pengaruhnya adalah 3,435 atau 34%. Diharapkan dapat meningkatkan positioning rumah sakit pada tingkatan masyarakat menengah keatas yang senantiasa akan memilih RSIA St. Fatimah sebagai pilihan pertama untuk mendapatkan layanan. Perlu adanya upaya yang sinergi dari keempat strategi tersebut sehingga diharapkan dapat menaikkan posisi RSIA St. Fatimah Makassar yang sejajar dengan posisi rumah sakit pesaing lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Nusratuddin. 2007. Hubungan Bauran Pemasaran Jasa Terhadap Minat Memanfaatkan Kembali Poli Kebidanan RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar. Tesis tidak diterbitkan. Magister Administrasi Rumah Sakit-Program Pascasarjana Unhas Adiwijaya. 2005. Analisis Hubungan Antara Marketing Mix Dengan Keputusan Pasien Memanfaatkan Rawat Jalan Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar Tesis tidak diterbitkan. Magister Administrasi Rumah Sakit-Program Pascasarjana Unhas. Bahren, Zul. 2006. Analisis Faktor-Faktor Penentu strategi Positioning untuk Mempertahankan dan Meningkatkan Pangsa Pasar PT. Telkom Divre VII. Disertasi tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Hasanuddin Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol. Edisi Kesembilan. Terjemahan. Prenhalindo: Jakarta
Lamb, Hair, dkk. 2001. Pemasaran. Terjemahan. Salemba Empat: Jakarta Rangkuti, Freddy. 2004. The power of Brands Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek, Plus Analisis Kasus dengan SPSS. PT. Gramedia Utama: Jakarta Suprihanto, John. 1997. Marketing for Health Care Organization. Terjemahan. Yogyakarta: Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Tandirerung, Erwina. 2005. Hubungan Brand Equity Dengan Keputusan Pemanfaatan Jasa Pelayanan Perawatan Paviliun Sawit Rumah sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar. Tesis tidak diterbitkan. Magister Administrasi Rumah Sakit-Program Pascasarjana Unhas. Tjiptono, Fandy. 2009. Pemasaran Jasa. Bayumedia: Malang Tura. 2003. Upaya Pemasaran Instalasi Rawat Inap Di Rumah Sakit Bersalin Siti Fatimah Makassar. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya.
20
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 21-28
Artikel IV
ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN MERKURI PADA MASYARAKAT KECAMATAN BULAWA KABUPATEN BONE BOLANGO GORONTALO Health Risk Analysis Of Mercury Exposure Of District Bulawa District Regency Bone Bolango Province Gorontalo Siprianus Singga1, Anwar Daud2, Ida Leida M.Thaha 3 1 Poltekkes Kupang 2 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS 3 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran risiko kesehatan pajanan merkuri pada masyarakat dan manajemen risiko yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat pajanan merkuri tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan analisis risiko kesehatan lingkungan. Sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak 100 sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Selain wawancara, juga dilakukan pengambilan darah dan rambut, serta pengambilan sampel air minum dan ikan dari sumber yang dikonsumsi. Data dianalisa dengan formula analisis risiko kesehatan lingkungan. Hasil penelitian menunjukan, nilai median konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut adalah 101,665 µg/L dan 4,0750 µg/g. Rata-rata konsentrasi merkuri dalam sampel ikan dan air minum adalah 0,0298 mg/kg dan 0,000478 mg/L. Nilai median laju konsumsi ikan 0,2098 kg/hari. Nilai median durasi pajanan 30 tahun. Nilai median RQ untuk pajanan 30 tahun dan 70 tahun adalah 1,1477 dan 0,4919. Jumlah responden yang berisiko terhadap efek non karsinogen dan karsinogen adalah 55 orang dan 5 orang. Secara deskriptif, laju konsumsi ikan dan durasi pajanan berpengaruh pada tingkat risiko kesehatan responden. Kata Kunci : Analisis Risiko Kesehatan, Merkuri, Masyarakat. ABSTRACT This study aims to obtain a description of health risk of mercury exposure in the community and find out the risk management that can be conducted to reduce the health risk. The method used in this research was the observational study method with an analysis design of environmental health risk. There were 100 sampels selected by using the purposive sampling technique. Beside interviews, the researcher took samples of blood and hair, as well as samples of drinking water and fish from sources that were consumed. The data were analyzed by using the formula of environmental health risk analysis. The results revealed that the median values of mercury concentration in blood and hair were 101.665 µ/L and 4.0750 µg/g respectively, while the average of mercury concentration in the samples of fish and drinking water were 0.0298 mg/kg and 0.000478 mg/L respectively. Furthermore, the median value of fish consumption rate rate was 0.0298 kg/day, while the median value exposure duration was 30 years. The values of median RQ were 1.1477 for exposure of 30 years and 0.4919 for exposure of 70 years. The numbers of respondents at risk for non-carcinogenic and carcinogenic effects were 55 and 5 persons respectively. Descriptively, fish consumption rate and exposure duration affect the level of respondents’ health risk level. Key words : health risk analysis, mercury, society. ribuan ton limbah yang mengandung merkuri ke pantai Minamata Jepang (WHO,2006). Senyawa merkuri ini lalu berubah methyl merkuri oleh bakteri dan masuk ke laut serta mencemari ikan di teluk Minamata yang dikonsumsi oleh penduduk di wilayah tersebut. Dampaknya pada penduduk yang mengkonsumsi ikan dari wilayah tersebut adalah kematian, tuli, penglihatan kabur, wicara tidak jelas dan cacat lahir pada anak yang
PENDAHULUAN Merkuri adalah salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Bahaya merkuri bagi kesehatan secara luas diketahui manusia sejak terkuaknya kasus Minamata di Jepang pada 19531960 yang lebih dikenal dengan sebutan Minamata disease. Penyakit minamata ini disebabkan oleh pembuangan limbah industri Nihon Cisso Co. Sejak tahun 1920-1960-an, perusahaan ini membuang 21
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
ibunya terpapar merkuri dari ikan tersebut (Alfian, 2006). Secara teoritis, manusia dapat terpapar merkuri dari lingkungan melalui tiga jalan masuk yaitu kontak kulit, oral atau saluran pencernaan dan inhalasi atau saluran pernapasan. Paparan melalui kulit dan inhalasi merupakan jalur terpenting secara okupasional, terutama untuk merkuri anorganik (Malaka, 1996). Sedangkan paparan merkuri organik lebih sering terjadi melalui saluran pencernaan, dimana kandungan merkuri organik masuk bersamaan dengan makanan yang dikonsumsi. Dasar biologik pengaruh merkuri terhadap kesehatan adalah kemampuannya untuk menghambat kerja enzim dalam mitokondria dan kromosom (WHO, 2003). Walaupun deposit Hg banyak didapati pada ginjal, tetapi gangguan utamanya tercermin dari gangguan sistem saraf. Gejala utama keracunan merkuri adalah erethism (irritability dan memory loss), tremordan gingivitis. Selain gangguan pada sistem saraf, psikomotor dan memori, terdapat juga gangguan pada organ lain yaitu mata, kulit dan ginjal (ATSDR, 1999) Pencemaran merkuri banyak ditemukan pada daerah penambangan emas tradisional dan tanpa izin. Dalam memisahkan emas dari kotoran lainnya, para penambang melakukan proses amalgamasi yang menggunakan merkuri. Tailing atau sisa tambang yang mengandung merkuri sering dibuang ke aliran sungai yang digunakan dalam proses pendulangan emas. Jumlah merkuri yang digunakan setiap unit pengolahan (tromol) adalah 1 kg merkuri untuk setiap 120 kg batuan, dengan jumlah merkuri yang jumlah terbuang ke lingkungan dari tiap tromol tersebut mencapai 30 kg/bulan. Bila di Provinsi Gorontalo menurut data tahun 2008 mempunyai lebih dari 200 tromol pengolahan emas tanpa ijin, maka jumlah merkuri yang dibuang ke lingkungan mencapai lebih dari 6.000 kg/bulan (Balistri,2006). Sedangkan menurut UNEP, jumlah merkuri yang dibuang ke lingkungan dari seluruh pertambangan emas tradisional di Indonesia mencapai 1.400 ton/tahun (UNEP,2008) Data Balihristi Gorontalo menyatakan bahawa pada tahun 2008, jumlah penambang emas tanpa izin di Provinsi Gorontalo mencapai 6.300 orang yang tersebar pada kurang lebih 9 lokasi penambangan. Data Balihristi Gorontalo tahun 2008 juga menyatakan bahwa jumlah penambang emas tanpa izin di Bone Bolango mencapai 1.550 orang yang tersebar di tiga lokasi penambangan yaitu desa Tambulilato Kecamatan Bone Raya, desa Mopuya Kecamatan Bulawa dan lokasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Kecamatan Suwawa Timur.
Kegiatan pertambangan emas tersebut diindikasikan telah memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas air sungai di Provinsi Gorontalo.Untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango sendiri dari pantauan Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango, diketahui terdapat beberapa titik pencemaran pada empat sungai di kabupaten Bone Bolango, yaitu tiga titik pencemaran merkuri di sungai Tulabolo, satu titik di sungai Mohutango, tiga titik di sungai Bone dan satu titik di sungai Tapa Daa satu titik. Dari hasil pantauan BLH Provinsi Gorontalo diketahui bahwa kualitas air sungai-sungai tersebut dari tengah sampai hilir tercemar merkuri. Hal ini dapat terlihat dari hasil pengujian konsentrasi merkuri padaSungai Mopuya (Bone Bolango), konsentrasi merkuri dalam air sungai di lokasi tambang 2,6522 ppm, dan meningkat menjadi 5,8737 ppm di muara (Balihistri, 2008). Kecamatan Bulawa termasuk salah satu kecamatan dengan potensi bahaya pencemaran merkuri. Potensi bahaya merkuri di kecamatan Bulawa berasal dari adanya kagiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di desa Kaidundu, Mopuya,Bunga Hijau, Mamungaa dan Mamungaa Timur. Posisi lokasi penambangan yang terletak pada hulu sungai-sungai yang melewati desa, menyebabkan desa-desa yang ada dibawahnya berpotensi untuk tercemar merkuri dari kegiatan PETI tersebut. Rembesan merkuri melalui air tanah tanah, dapat mencemari air sumur warga, sedangkan merkuri yang terbawa aliran air sungai akan berubah menjadi methyl merkuri dan mencemari laut dan ikan dipesisir Kecamatan Bulawa. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Kecamatan Bulawa berisiko terpapar merkuri baik dari air minumnya, maupun dari ikan yang dikonsumsi sehari-hari. BAHAN DAN METODE Penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan rancangan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Secara analitik, data hasil pengukuran variabel dilakukan analisis menggunakan formula Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan untuk mengetahui tingkat risiko dari pencemaran merkuri terhadap kesehatan masyarakat di Kecamatan Bulawa dan manajemen risiko dari pencemaran merkuri tersebut. Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Lokasi penelitian ini terdiri atas 9 desa, yaitu desa Bukit Hijau, Nyiur Hijau, Kaidundu Barat, Kaidundu, Mopuya, Bunga Hijau, Patoa, Mamungga dan Mamungaa Timur. Lamanya waktu penelitian dilakukan adalah 4 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan Juli 2011. 22
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28
Jumlah Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kecamatan Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone yang terpajan merkuri baik melalui air minum maupun melalui ikan. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kecamatan Bulawa yang menggunakan air sungai dan air tanah yang tercemar merkuri sebagai sumber air minum dan mengkonsumsi ikan yang ditangkap dari perairan Bulawa, dengan kriteria penduduk yang telah tinggal di daerah tersebut minimal 1 (satu) tahun serta menggunakan air sungai dan air tanah untuk sebagai sumber air minum dan mengkonsumsi makanan ikan yang ditangkap di perairan Bulawa. Jumlah sampel dalam penelitian adalah 100 orang dengan total sampel dalam penelitian ini dibagi 80 70 60 50 40 30 20 10 0
secara merata ke semua desa dalam wilayah penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, Unit analisis dalam penelitian ini adalah kadar merkuri pada air minum dan ikan laut yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas data pemeriksaaan laboratorium untuk konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut serta konsentrasi merkuri pada ikan dan air minum. Selain data lab juga dikumpulkan data berat badan responden dan data wawancara kuesioner berupa data karakteristik responden, frekwensi pajanan, durasi pajanan dan laju konsumsi. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua yaitu : metode analisis risiko kesehatan lingkungan 73 57
52 33
28
12
Darah
Rambut
Darah dan atau Rambut
Kandungan merkuri dibawah standar
melebihi standar
Gambar 1. Distribusi Konsentrasi Merkuri Pada Darah dan Rambut Responden Menurut Kategori Standar WHO menunjukan konsentrasi rata-rata merkuri dalam darah responden adalah 125,4939µg/L dengan nilai median 101,665 µg/L. Konsentrasi merkuri dalam darah minimum adalah 2,92 µg/L dan maksimum adalah 378,90 µg/L. Standar konsentrasi merkuri dalam darah adalah 8,0 µg/L. Konsentrasi Merkuri Pada Ikan dan Air Minum Rata-rata konsentrasi merkuri pada ikan yang selalu dikonsumsi penduduk kecamatan Bulawa adalah 0,0298 mg/kg. Distribusi konsentrasi merkuri tertinggi terdapat pada ikan Laligo pealii yaitu 0,04103 mg/kg dan terendah terdapat pada ikan Decapterus muroadsi yaitu 0,01880 mg/kg. Dari hasil ini diketahui bahwa konsentrasi merkuri pada ikan yang dikonsumsi responden dan masyarakat di kecamatan Bulawa masih dibawah standar nasional untuk kosentrasi merkuri pada ikan yaitu 0,3 mg/kg (BSN,2009). Rata-rata konsentrasi merkuri dalam air minum responden di kecamatan Bulawa adalah 0,000478 mg/L. Rata-rata konsentrasi tertinggi
HASIL Karakteristik Umum Responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 100 orang dengan karakteristik sebagai berikut : umur responden antara 15-60 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki 91 orang dan perempuan 9 orang. Pendidikan responden antara tidak sekolahperguruan tinggi dengan jumlah terbanyak berpendidikan SD yaitu 74 orang. Pekerjaan responden terdiri atas wiraswasta, nelayan, petani, penambang dan pekerjaan lainnya, dengan jumpah terbanyak adalah penambang yaitu 62 orang. Sebanyak 85 orang dari 100 responden bersedia diambil darah dan rambutnya untuk pemeriksaan merkuri. Konsentrasi Merkuri Pada Darah dan Rambut Biomarker digunakan untuk mengetahui pajanan risk agent pada kesehatan. Biomarker yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrasi darah dan rambut responden. Hasil penelitian 23
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
terdapat di Kaidundu Barat yaitu 0,00065 mg/L dan terendah terdapat di desa Mamungaa yaitu 0,000285 mg/L. Durasi Pajanan Hasil perhitungan RQ total diketahui, responden dengan nilai durasi pajanan besar mempunyai nilai RQ yang lebih tinggi dari pada responden dengan nilai durasi pajanan yang kecil. Perbandingan nilai RQ pajanan 30 tahun berikut ini, responden asal desa Nyiur Hijau dengan rata-rata durasi pajanan 6 tahun mempunyai rata-rata nilai RQ 0,2113, responden dari desa Mamungga dengan rata-rata durasi pajanan 27,36 tahun mempunyai rata-rata RQ 1,0138, serta responden dari desa Kaidundu dengan rata-rata durasi pajanan 37,45 tahun mempunyai rata-rata nilai RQ 1,5429. Laju Konsumsi Ikan dan Air Minum Hasil analisa diperoleh nilai median laju konsumsi ikan responden adalah 0,2 kg/hari. Laju konsumsi ikan berpengaruh terhadap nilai RQ responden. Perbandingan pada rata-rata nilai RQ pajanan 30 tahun berikut ini. Pada responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak 0,12 kg/hari mempunyai rata-rata nilai RQ 0,7114, pada responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak 0,2 kg/hari mempunyai rata-rata nilai RQ 1,0749, dan pada responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak 0,32 kg/hari mempunyai rata-rata nilai RQ 1,3093. Tingkat Risiko RQ pada penelitian ini secara umum terbagi atas 2 bagian yaitu RQ gabungan ikan dan air minum untuk efek non karsinogen (pajanan 30 tahun) dan RQ gabungan ikan dan air minum untuk efek karsinogen (pajanan 70 tahun). Responden dengan RQ ≤ 1 dikategorikan dalam kelompok yang aman dari efek pajanan, sedangkan responden dengan RQ > 1 dikategorikan dalam kelompok yang berisiko terhadap efek dari pajajan US-EPA,1997). Rata-rata nilai RQ untuk pajanan 30 tahun pada seluruh responden adalah 1,1422 dengan nilai median 1,1477. Nilai RQ pajanan 30 tahun terendah adalah 0,0783 dan tertinggi 3,1754. Dari analisa diketahui sebanyak 45 responden (45%) mempunyai nilai RQ ≤ 1. Sedangkan 55 responden lainnya (55%) mempunyai nilai RQ > 1. Rata-rata nilai RQ untuk pajanan 70 tahun pada seluruh responden adalah 0,4895 dengan nilai median 0,4919. Nilai RQ pajanan 70 tahun terendah adalah 0,0336 dan tertinggi adalah 1,3609. Dari analisa diketahui sebanyak 95 responden (95%) mempunyai nilai RQ ≤ 1. Sedangkan 5 responden lainnya (5%) mempunyai nilai RQ > 1. Dengan demikian, 95 responden dinyatakan aman dari efek karsinogen, sedangkan 5 responden lainnya berisiko terhadap
efek karsinogen dari pajanan merkuri di kecamatan Bulawa. Manajemen Risiko Pengendalian terhadap nilai RQ dalam penelitian ini dilakukan dengan 3 cara yaitu menurunkan konsentrasi merkuri dalam ikan, mengurangi laju konsumsi ikan dan membatasi durasi pajanan dengan jenis-jenis ikan tersebut. Dalam penelitian ini, pengendalian terhadap nilai intake dan nilai RQ dari ikan lebih diperhatikan karena dari hasil perhitungan diketahui bahwa ikan lebih berisiko dari air minum. Hasil perhitungan manajemen risiko diketahui bahwa konsentrasi merkuri dalam ikan maksimal yang dapat dikonsumsi responden dengan berat badan 40 kg adalah 0,01350 mg/kg. Sedangkan pada responden dengan berat badan 70 kg, konsentrasi merkuri dalam ikan maksimal yang dapat dikonsumsi adalah 0,02800 mg/kg Manajemen risiko diketahui bahwa, jenis ikan yang paling besar risikonya dalam penelitian ini adalah Laligo pealii. Sedangkan jenis ikan yang paling kecil risikonya adalah ikan Decapterus muroadsi, dimana laju konsumsi yang diperbolehkan untuk orang dengan berat badan 40 kg adalah 0,160 kg/hari, dan orang dengan berat badan 70 kg sebanyak 0,316 kg/hari. Manajemen risiko juga diketahui bahwa, durasi pajanan yang aman dari efek non karsinogen paling sedikit terdapat pada ikan Laligo pealii yaitu maksimal adalah 13 tahun pada orang dengan berat badan 40 kg dan 22 tahun untuk orang dengan berat badan 70 kg. Durasi pajanan aman yang paling lama dari efek non karsinogen terdapat pada ikan Decapterus muroadsi, yaitu 25 tahun untuk orang dengan berat badan 40 kg dan 43 tahun untuk orang dengan berat badan 70 kg. PEMBAHASAN Konsentrasi Merkuri pada Darah dan Rambut Nilai rata-rata dan median konsentrasi merkuri dalam darah responden telah melewati standar yang ditetapkan. Sedangkan konsentrasi rata-rata merkuri dalam rambut responden adalah 5,0480µg/g dengan nilai median 4,0750 µg/g. Konsentrasi merkuri dalam rambut konsentrasi minimum adalah 0,48 µg/g dan konsentrasi maksimum adalah 260,20 µg/g. Standar konsentrasi merkuri pada rambut adalah 2,0 µg/g4. Ini berarti bahwa nilai rata-rata dan median konsentrasi merkuri pada rambut responden juga telah melewati standar yang ditetapkan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, nilai median konsentrasi merkuri pada rambut 40,083 kali lebih tinggi dari nilai median konsentrasi merkuri pada darah. Dari hasil analisa dengan menggunakan standar WHO, diketahui sebanyak 52 responden memiliki 24
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28
kandungan merkuri dalam darah yang melebihi standar. Serta sebanyak 57 responden memiliki kandungan merkuri pada rambut yang melebihi standar. Bila perbandingan standar konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut digabung, diketahui bahwa sebanyak 73 responden memiliki kandungan merkuri pada darah dan atau rambut yang melebihi standar. Dari perbandingan ini diketahui bahwa hanya 12 responden yang kandungan merkurinya sesuai standar baik pada darah maupun rambutnya. Menurut WHO, pada pemaparan dalam jangka waktu yang lama, konsentrasi merkuri pada rambut sekitar 250 kali lebih tinggi dari konsentrasi merkuri dalam darah. Individu yang biasa mengkonsumsi ikan dalam jangka waktu yang lama dengan asupan merkuri 200 µg/hari, dalam darahnya akan terdapat merkuri dengan konsentrasi sekitar 200 µg/L atau setara dengan 50 µg/g merkuri pada rambut. Konsentrasi Merkuri Pada Ikan dan Air Minum Pengukuran konsentrsi merkuri dalam ikan dan air minum bertujuan untuk mengetahui penyebaran merkuri di lingkungan. Merkuri yang tersebar di lingkungan dan masuk dalam rantai makanan seperti ikan dan air minum dengan sendirinya akan
mempengaruhi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi ikan dan air minum tersebut. Konsentrasi merkuri pada air minum ini masih dibawah standar konsentrasi merkuri untuk air minum yaitu 0,001 mg/L (Depkes,2002). Konsentrasi merkuri pada ikan laut sangat ditentukan oleh beban pencemar yang masuk ke laut tersebut. Daerah yang banyak industri atau penambangan menggunakan merkuri dan limbahnya dibuang kelaut, cenderung akan tinggi konsentrasi merkuri pada air minum dan ikannya bila dibanding dengan ikan pada daerah yang bebas dari pencemaran. Penelitian yang dilakukan oleh Hartono di teluk Buyat dan teluk Ratatotok Kabupaten Minahasa Selatan yang berdekatan dengan tambang PT NMR, mendapatkan hasil rata-rata konsentrasi merkuri dalam ikan berkisar antara 0,02 – 0,6 mg/kg, dengan konsentrasi merkuri pada air minum antara 0,0001 mg/L sampai 0,012 mg/L. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa konsentrasi merkuri pada ikan dan air minum berhubungan secara positif terhadap nilai RQ responden, hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi merkuri dalam ikan semakin tinggi pula tingkat risiko untuk terjadinya gangguan kesehatan (Hartono,2006).
Tabel 1. Durasi Pajanan yang Aman Bagi Responden Untuk Mengkonsumsi Ikan Sejumlah 0,2 kg/hari Dengan Konsentrasi Merkuri 0,0298 mg/kg dan Frekuensi Pajanan 363 Hari/Tahun Berat badan Durasi pajanan aman dari Durasi pajanan aman dari (kg) efek non karsinogen (tahun) efek karsinogen (tahun) 40 17 40 45 19 45 50 21 50 55 23 55 60 25 60 65 27 65 70 29 70 Sumber: Data Primer semakin besar tingkat risiko kesehatan yang akan dialaminya. Hal ini sesuai dengan penelitian Hartono pada masyarakat teluk Buyat dan Ratatotok menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama tinggal (durasi pajanan) dengan nilai RQ responden dan mempunyai pola hubungan yang positif. Hal ini juga berarti semakin lama responden tinggal di lokasi penelitian tersebut, semakin tinggi pula tingkat risiko kesehatan yang akan dialami responden tersebut (Hartono,2006). Namun pada penelitian Sukman pada masyarakat desa Ratatotok Kecamatan Belang
Durasi Pajanan Durasi pajanan diartikan sebagai lama tinggal responden dilokasi penelitian dalam hitungan tahun.Nilai mediandurasi pajanan responden adalah 30 tahun. Besar nilai median durasi pajanan ini sesuai dengan nilai default durasi pajanan (tavg) yang ditetapkan oleh US-EPA untuk risiko non karsinogen yaitu 30 tahun (US-EPA,1997). Secara keseluruhan, nilai RQ responden juga sangat dipengaruhi oleh berat badan, laju konsumsi dan frekwensi pajanan responden. Dengan kata lain, semakin lama responden tinggal dilokasi tersebut,
25
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Minahasa, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lama tinggal (durasi pajanan) dengan konsentrasi merkuri dalam darah Sukman,2003). Hal ini dapat dipahami karena menurut penelitian Sheerlock et al dalam WHO disebutkan bahwa seseorang yang mendapat intake merkuri dari ikan akan mempunyai kandungan merkuri dalam darahnya selama 42-70 hari dengan rata-rata masa paruh waktu sekitar 52 hari dari awal terpapar merkuri (WHO,1990) Laju Konsumsi Ikan dan Air Minum Laju konsumsi ikan dan air minum responden sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi. Semakin banyak ikan yang dikonsumsi responden, semakin tinggi pula risiko kesehatan responden tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Hartono pada masyarakat teluk Buyat dan Ratatotok, diperoleh hasil bahwa pola makan berhubungan dengan nilai RQ total. Hartono menyimpulkan bahwa semakin banyak ikan yang dimakan, maka semakin tingkat risiko yang dialami penduduk. Kolluru dalam Hartono (2006) mengungkapkan teori bahwa semakin besar asupan atau intake suatu risk agent, semakin besar tingkat risiko yang dihasilkan. Pada penelitian Sukman yang meneliti pada penduduk Ratatotok, dari hasil uji statistik mkenunjukan ada hubungan yang bermakna antara pola konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri dalam darah penduduk. Penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin banyak jumlah ikan yang dikonsumsi responden, maka semakin tinggi konsentrasi merkuri dalam darah responden tersebut (Sukman,2003). Demikian pula dengan penelitian Sudarmaji yang meneliti pada nelayan di pantai Kenjeran Surabayapada variabel yang sama, dari hasil uji statistik diperoleh nilai p ≤ 0,05. Hal ini menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara laju konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri pada rambut responden (Sudarmaji,2004). Dalam hal ini, keakuratan informasi tentang laju konsumsi ikan oleh responden dan adanya sumber pemajanan lain yang tidak diteliti akan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi merkuri dalam darah maupun rambut responden. Tingkat Risiko Tingkat risiko (RQ) merupakan karakterisasi risiko yang mungkin dialami responden sebagai akibat dari mengkonsumsi ikan dan air minum yang mengandung merkuri. Hasil penelitian menunjukkan 45 responden dinyatakan aman dan 55 responden lainnya dinyatakan berisiko terhadap efek non karsinogen dari pajanan merkuri di kecamatan Bulawa. Secara deskriptif, terlihat bahwa tidak ada hubungan antara nilai RQ responden dengan
konsentrasi merkuri pada darah dan rambut. Hal ini dapat terlihat pada, responden dengan nilai RQ >1 mempunyai konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut hampir sama dengan responden yang mempunyai nilai RQ ≤ 1. Hal ini sejalan dengan penelitian Hartono di teluk Buyat dan Ratatotok, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara nilai RQ dengan konsentrasi merkuri dalam darah. Dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa RQ responden dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi merkuri pada ikan, konsentrasi merkuri pada air minum, laju konsumsi ikan dan durasi pajanan atau lama tinggal responden (Hartono,2006) Manajemen Risiko Manajemen risiko untuk pengendalian nilai RQ pada dasarnya dilakukan dengan cara menyamakan nilai intake dengan Rfd (Rahman,2007). Manajemen risiko diketahui bahwa, jenis ikan yang paling besar risikonya dalam penelitian ini adalah Laligo pealii. Sehingga laju konsumsi yang disarankan hanya 0,145 kg/hari pada orang yang memiliki berat badan 70 kg dan 0,073 kg/hari untuk orang yang memiliki berat badan 40 kg. Sedangkan jenis ikan yang paling kecil risikonya adalah ikan Decapterus muroadsi, dimana laju konsumsi yang diperbolehkan untuk orang dengan berat badan 40 kg adalah 0,160 kg/hari, dan orang dengan berat badan 70 kg sebanyak 0,316 kg/hari. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis ikan yang paling berisiko dan disarankan untuk dikurangi laju dan frekuensi konsumsinya adalah ikan Laligo pealii. Sedangkan jenis ikan yang paling aman untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi. KESIMPULAN Hasil penelitian menyimpulkan rata-rata konsentrasi merkuri pada rambut responden di Kecamatan Bulawa adalah 125,4939 µg/L dengan nilai median 101,6650µg/L dan rata-rata konsentrasi merkuri pada rambut responden adalah 5,0480 µg/g dengan nilai median4,0750µg/g. Rata-rata konsentrasi merkuri dalam ikan yang dikonsumsi responden adalah 0,0298 mg/kg dan dalam air minum adalah 0,000478 mg/L. Rata-rata laju konsumsi ikan oleh responden adalah 0,2098 kg dengan nilai median 0,200 kg/hari, sedangkan laju konsumsi air digunakan angka standar yaitu 2 L/hari.Secara deskriptif, laju konsumsi ikan berpengaruh terhadap tingkat risiko kesehatan responden. Rata-rata durasi pajanan responden adalah 26,62 tahun dengan nilai median 30 tahun. Secara deskriptif, durasi pajanan berpengaruh terhadap tingkat risiko kesehatan responden. Rata-rata RQ pajanan 30 tahun adalah 1,1422 dengan nilai median 1,1477, dengan jumlah responden berisiko terhadap 26
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28
efek non karsinogen adalah 55 orang. Sedangkan rata-rata RQ pajanan 70 tahun adalah 0,4895 dengan nilai median 0,4919, dengan jumlah responden berisiko terhadap efek karsinogen adalah 5 orang. Manajemen pengurangan yang dapat dilakukan adalah menurunkan konsentrasi merkuri pada ikan, mengurangi laju konsumsi ikan dan membatasi durasi pajanan. Jenis ikan yang disarankan untuk dikurangi laju konsumsi dan durasi pajanannya adalah ikan Laligo peali, sedangkan jenis ikan yang paling aman untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi.
kesehatannya dapat dikurangi. Dan bagi pemerintah dan instansi terkait dapat melakukan pangawasan yang ketat terhadap kegiatan–kegiatan di lokasi penambangan emas yang dapat mencemari lingkungan, melakukan pemantauan secara rutin tentang konsentrasi merkuri dalam air minum dan ikan yang dikonsumsi masyarakat serta melakukan penyuluhan secara rutin tentang bahaya merkuri dan dampaknya bagi kesehatan, sehingga masyarakat mengetahui dan menyadari bahaya yang dihadapinya. Manajemen pengurangan yang dapat dilakukan adalah menurunkan konsentrasi merkuri pada ikan, mengurangi laju konsumsi ikan dan membatasi durasi pajanan. Jenis ikan yang disarankan untuk dikurangi laju konsumsi dan durasi pajanannya adalah ikan Laligo peali, sedangkan jenis ikan yang paling aman untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi.
SARAN Penelitian ini menyarankan kepada masyarakat kecamatan Bulawa, agar membatasi laju konsumsi dan frekwensi konsumsi ikan laut terutama ikan Laligo pealii yang ditangkap di perairan Bulawa, sehingga risiko pajanan merkuri terhadap
Malaka
T.1996.Biomonitoring, Proceeding Simposium Pemantauan Biologik Dalam Proteksi Kesehatan Tenaga Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rahman A. 2007.PUBLIC HEALTH ASSESSMENT: Model Kajian Prediktif Dampak Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. Jakarta: Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri Universitas Indonesia. Sukman. 2003. Hubungan Pola Konsumsi Ikan Dengan Kadar Merkuri Dalam Darah Masyarakat Desa Ratatotok Kecamatan Belang Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Jakarta: Universitas Indonesia. Sudarmaji. 2004.Konsumsi Ikan Laut, Kadar Merkuri Dalam Rambut, dan Kesehatan Nelayan di Panati Kenjeran Surabaya. Jurnal Manusia dan Lingkungan November 2004;XI(3). UNEP. 2008. Mercury Fate and Transport in the Global Atmosphere : Measurements, Models and Policy Implications. Italy: United Nation Environment Programme US-EPA.1997.Exposure Factor Handbook: National Center for Environmental Assesment United States Environmetal Protection Agency. WHO. 1990.Environmental Health Criteria 101 : Methyl Mercury Geneva: International Programe on Chemical Safety (IPCS) World Heath Organization. WHO. 2003.Elemental Mercury and Inorganic Mercury Compounds : Human Health Aspects. Geneva: International Programe on
DAFTAR PUSTAKA Alfian Z.2006 Merkuri : Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kimia Analitik Fakultas MIPA; Universitas Sumatera Utara. ATSDR. 1999.Toxicological Profile for Mercury. Atlanta: U.S. Departement of Health and Human Sevices : Public Health Services Agency for Toxic Substances and Disease Registry; 1999. Available from: http://www.atsdr.cdc.gov/ToxProfiles/TP.asp ?id=115&tid=24. Balihristi. 2008a.Profil Sungai Gorontalo. Gorontalo: Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo Balihristi.2008b.Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Provinsi Gorontalo. Gorontalo: Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo. BSN. 2009.Standar Nasional Indonesia : Batas Maksimus Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Depkes. 2002. Permenkes 907 tahun 2002 : Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hartono B. 2006. Distribusi Risiko Kesehatan Logam Merkuri di Lokasi Pertambangan Emas Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2004. Jakarta: Universitas Indonesia. 27
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Chemical Safety (IPCS) World Health Organization. WHO. 2006.Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan (Hazardous
Chemicals in Human and Environmental Health). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
28
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 29-34
Artikel V
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOMBA OPU KABUPATEN GOWA TAHUN 2011 Enviromental Risk Factors For Incident Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Local Goverment Clinic Of Somba Opu, Gowa Regency 2011 Nisgunawan Sidiq1, Wahiduddin1 Dian Sidik1 1 Jurusan Epidemiologi FKM Unhas, Makassar (
[email protected]) ABSTRAK Lingkungan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian TB paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko kondisi lingkungan terhadap kejadian TB paru di Kabupaten Gowa. Kabupaten Gowa, khususnya Puskesmas Somba Opu mencatat dari tahun 2009 mengalami BTA positif sebanyak 84 orang. Tahun 2010 mengalami BTA positif sebanyak 101 orang. Sedangkan tahun 2011 tercatat dari Januari sampai September jumlah penderita TB paru dengan BTA positf sebanyak 116 orang. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan pendekatan Case Control Study. Populasinya adalah penderita TB paru yang tercatat di kartu registrasi pasien di Puskesmas Somba Opu Tahun 2011. Sampel penelitian ini adalah penderita TB paru dan tetangga pasien TB paru yang pernah berkunjung ke Puskesmas Somba Opu. Pengambilan sampel pada kelompok kasus menggunakan Exhaustive Sampling dan pada kelompok kontrol menggunakan Purposive sampling dengan besar sampel 130. Perbandingan kasus dengan kontrol 1 : 1. Analisis data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji odds ratio (OR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 4 variabel yang diteliti rumah yang padat bukan merupakan faktor risiko (OR = 0.775), kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko (OR= 2.974), pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat bukan merupakan faktor risiko (OR= 1.070),ventilasi rumah yang kurang bukan merupakan faktor risiko (OR= 1.220). Disarankan perbaikan ventilasi udara guna mengurangi risiko dari faktor lingkungan lainnya (kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian rumah), khususnya kelompok kasus yang tidak memenuhi syarat kesehatan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa. Kata Kunci : Tuberkulosis, Lingkungan Rumah dan Ventilasi. ABSTRACT Environment is one factors that led to the cases of pulmonary TB. This research aimed to determine the risk of environmental conditions on the case of pulmonary tuberculosis in Gowa. Gowa Regency, especially in Local Government of Sombu Opu reported that from 2009 it had been 85 people with BTA positive. In 2010, there were 101 people with BTA positive. While in 2011, it was reported that from January to September there were 116 people with BTA positive. This study used observational method with Case Control Study. Populations of research were pulmonary tuberculosis patients registered in the patient registration card at the Local Government Clinic of Somba Opu in 2011. Samples of this research were pulmonary tuberculosis patients and their neighbors who had been to the Local Government Clinic of Somba Opu. Samples were selected through Exhaustive Sampling for the case group and Purposive Sampling for the control group with 130 samples. Ratio between both groups were 1:1. Data analysis was done through univariate and bivariate analysis with Odds Ratio (OR) test. The result of research shows that 4 variables observed, a house with high density is not included as a risk factor (OR=0775), house humidity does not qualify as a risk factor (OR=2974), home lighting is not a risk factor (OR=1070), and the lack of home ventilation is not a risk factor (OR=1220). This research suggest the reparation of air ventilation in order to decrease other environmental factors (humidity, lighting, house density), especially for case group that dont fulfill the health condition for pulmonary tuberculosis case in Local Government Clinic of Somba Opu, Gowa Regency. Keyword : Tuberculosis, Residential Environment and Ventilation 29
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
= 4,921), jenis lantai (OR = 2,890), dan kontak dengan penderita (OR = 4,957). Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah faktor risiko lingkungan tersebut berperan dalam peningkatan kejadian TB paru di wilayah yang berbeda.
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobaterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru-paru, namun dapat juga menyerang organ lain yang ada pada tubuh manusia. Sumber penularan adalah dahak dari penderita yang mengandung kuman TB dengan BTA positif. Bila tidak segera ditangani akan menyebabkan penderita meninggal dunia. Di Indonesia, penanganan sejak dini sudah dilakukan dengan memberikan paket imunisasi BCG pada balita. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga bermingguminggu tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah (Nurhidayah dkk., 2007). Kabupaten Gowa, khususnya Puskesmas Somba Opu mencatat dari tahun 2009 jumlah suspek TB sebanyak 825 orang dan yang mengalami BTA positif sebanyak 84 orang dengan jumlah kematian (mortaliti) sebanyak 2 orang. Tahun 2010 dari hasil pencatatan dan pelaporan jumlah suspek TB sebanyak 1.021 orang namun yang mengalami BTA positif sebanyak 101 orang dan meninggal sebanyak 3 orang. Sedangkan tahun 2011 tercatat dari bulan Januari sampai September jumlah penderita TB paru dengan BTA positf sebanyak 116 orang dengan jumlah yang sembuh sebanyak 37 orang, drop out 4, meninggal dunia sebanyak 2 orang dan masih dalam tahap pengobatan sebanyak 73 orang. Hasil penelitian Firdiana (2007) di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Semarang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap luas ventilasi keluarga (OR = 2,33), luas ventilasi ruang tidur (OR = 3), pencahayaan ruang tidur ( OR = 4). Pada penelitian Simbolom (2006) di Kabupaten Rejang lebong menyatakan bahwa adanya sumber kontak (OR = 2,263), luas ventilasi rumah kurang dari 10% luas lantai (OR = 4,907), tidak adanya pencahayaan yang masuk ke rumah (OR = 5,008). Sedangkan pada penelitian Ruswanto (2010) dalam tinjauan TB paru dari faktor lingkungan dalam dan luar rumah di Kabupaten Pekalongan menyatakan hasil analisis multivariat menunjukkan faktor risiko tuberkulosis paru yaitu kepadatan penghuni (OR = 2,989), suhu dalam rumah (OR = 3,471), pencahayaan alami (OR
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai Januari 2012. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan case control study. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa. Jenis penarikan sampel pada penelitian ini terdiri atas dua penarikan, dimana kelompok kasus dengan menggunakan penarikan sampel Exhaustive sampling dan kelompok kontrol dengan menggunakan Purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah 130 responden yang terdiri atas 65 kasus dan 65 kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung terhadap sampel yang terpilih baik untuk kasus maupun kontrol dengan menggunakan kuesioner yang tersedia. Selain itu dilakukan pengukuran kelembaban dan pencahayaan rumah penderita TB paru dengan alat Hygrometer dan Luxmeter. Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis awal pasien, lama pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik atau kartu pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Somba Opu. Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan komputer program SPSS (Statistical Package and Social Siences). Model analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi, grafik dan narasi untuk mengetahui besar risiko kondisi lingkungan rumah penderita TB paru terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu. HASIL Pada penelitian ini ada perubahan jumlah sampel yang awalnya 146 (kasus dan kontrol) menjadi 130 jumlah sampel, hal ini disebabkan karena 8 respon kasus mengalami Drop Qut (DO) dengan alasan 2 orang yang meninggal, 1 orang yang pindah, 2 responden kasus bertempat tinggal dalam satu rumah serta 3 orang responden tidak diketahui alamatnya dan tidak melakukan pengobatan dengan berkunjung ke Puskesmas tersebut.
30
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 29-34
orang (53,8%) dibandingkan perempuan yaitu 60 orang (46,2%). Dari responden yang diwawancarai baik yang TB Paru Positif dan yang tidak TB Paru sebagian diantaranya berada pada rentang umur 4044 tahun sebanyak 20 orang (15,4%) dan terendah yaitu rentang umur 15-19 tahun sebanyak 3 orang (2,3%). tingkat pendidikan terakhir responden yang diwawancarai paling banyak SLTA yaitu sebanyak 58 orang atau 44,6 % sedangkan paling sedikit yang berpendidikan tidak tamat SD yaitu 4 orang atau 3,1%. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari beberapa responden baik kasus dan kontrol terhadap kejadian TB Paru menunjukkan kebanyakan tidak bekerja yaitu 51 orang (39.2%). Diikuti oleh wiraswasta sebanyak 21 orang (16.2%) dan paling sedikit jenis pekerjaannya sebagai petani sebanyak 2 orang (1.5%). sebagian besar responden memiliki jenis rumah permanen sebanyak 126 orang (96,9%) terdiri dari 62 orang (95.4%) responden kasus dan 64 orang (98.5%) responden kontrol. Dan diikuti jenis rumah semi permanen sebanyak 4 orang (3.1%) yang dimana kasus sebanyak 3 orang (4.6%) dan kontol sebanyak 1 orang (1.5%). Sebagian Responden telah lama tinggal di rumahnya selama lebih dari 10 tahun sebanyak 97 orang (74.6%) yang dimana terdiri dari 48 orang (73.8%) responden kasus dan 49 orang (75.4%) responden kontrol. 8 sebagian besar responden memiliki jumlah kamar sebanyak dua yakni sebesar 85 orang (66.2%) terdiri 39 orang (60.0%) responden kasus dan 47 orang (72.3%) responden kontrol. Sedangkan yang paling sedikit adalah jumlah kamar sebanyak satu yaitu 1 orang (0.8%) dan 1 orang (0.8%) tidak memiliki kamar,semuanya merupakan responden kasus. Analisis Univariat Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok kasus hampir sebagian besar memilki hunian yang padat yaitu 48 orang (73.8%) dan memiliki hunian tidak pada yaitu sebanyak 17 orang (26.2%). Pada kelompok kontrol hampir sama dengan kelompok kasus sebagian besar memiliki hunian yang padat yaitu 51 orang (78.5%) dan memiliki hunian tidak padat sebanyak 14 orang (21.5%). Menunjukkan bahwa paling banyak responden yang tinggal pada rumah dengan kelembaban ruangan yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 95 orang (73.1%). Terdapat 35 (26.9%) yang tidak memenuhi syarat dimana kelompok kasus sebanyak 24 orang (36.9%) dan kelompok kontrol sebanyak 11 orang (16.9%) yang dimaksudkan tidak memenuhi syarat jika kelembaban kurang dari 40% atau lebih dari 70%. menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki intensitas pencahayaan rumah yang kurang sebanyak 85 orang (65.4%). Dimana kelompok kasus sebanyak 43 (66.2%) dan kelompok kontrol sebanyak
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011 Karakteristik n % Kelompok Umur (Tahun) 15-19 3 2.3 20-24 9 6.9 25-29 15 11.5 30-34 14 10.8 35-39 13 10.0 40-44 20 15.4 45-49 11 8.5 50-54 13 10.0 55-59 15 11.5 60-64 10 7.7 > 65 7 5.4 Jenis Kelamin Laki-laki 70 53.8 Perempuan 60 46.2 Pendidikan Tidak Tamat SD 4 3.1 Tamat SD 14 10.8 SLTP 34 26.2 SLTA 58 44.6 Perguruan Tinggi 20 15.4 Pekerjaan PNS 16 12.3 Pegawai Swasta 14 10.8 Wiraswasta 21 16.2 Pensiunan 15 11.5 Pelajar/Mahasiswa 7 5.4 Petani 2 1.5 Buruh 3 2.3 Tidak kerja 51 39.2 Lainnya 1 0.8 Jenis Rumah Panggung Permanen Semi Permanen Lama Tinggal < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun Jumlah Kamar Tidak Ada Satu Dua Tiga Empat
0 126 4
0 96.9 3.1
1 32 97
0.8 24.6 74.6
1 1 85 36 6
0.8 0.8 66.2 27.7 4.6
Sumber : Data Primer, 2011 Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah responden yang diwawancarai lebih banyak laki-laki yaitu 70 31
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
42 (64.6%). Maksud dari kurang yaitu ketika intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah kurang dari 60 lux.menunjukkan bahwa pada kelompok kasus 7.7% responden memiliki ventilasi udara yang cukup. Persentase tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi yang kurang. Begitupun pada kelompok kontrol lebih banyak keadaan ventilasi yang kurang yaitu sebanyak 90.8%. Analisis Bivariat Tabel 2 menunjukkan Hasil analisis bivariat untuk variabel kepadatan hunian terhadap kejadian TB paru pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% diperoleh hasil lower limit = 0.345 dan upper limit = 1.742 (0.345
Tabel 2 Hasil analisis bivariat untuk variabel pencahayaan terhadap kejadian TB paru pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% diperoleh hasil lower limit = 0.520 dan upper limit = 2.205 (0.520
Tabel 2. Faktor Risiko Kondisi Lingkungan Rumah Terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011 Kejadian TB Paru Resisten Uji Statistik Jumlah Variabel Kasus Kontrol CI 95% Penelitian n % n % n % LL-UL OR = 0.77 Kepadatan Hunian Rumah Padat 48 73.8 51 78.5 99 40,0 (0.345-1.742) Tidak Padat 17 26.2 14 21.5 31 60,0 Kelembaban Rumah Tidak Memenuhi Syarat 24 36.9 11 16.9 35 26.9 OR= 2.874 Memenuhi Syarat 41 63.1 54 83.1 95 73.1 (1.264-6531) Pencahayaan Rumah Tidak Memenuhi Syarat 43 66.2 42 64.6 85 65.4 OR = 1.070 Memenuhi Syarat 22 33.8 22 35.4 45 34.6 (0,520-2.205) Ventilasi Udara Kurang 60 92.3 59 90.8 119 91.5 OR = 1.220 Cukup 5 7.7 6 9.2 11 8.5 (0.353-4.217) Sumber : Data Primer, 2011 Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sugiharto tahun 2004 yang menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai OR=3.161, p=0.001. Begitupun dengan
penelitian yang dilakukan Tobing tahun 2009 di Medan yang membuktikan bahwa kepadatan hunian mempunyai hubungan yang signifikan terhadap peningkatan potensi penularan TB paru dimana nilai OR sebesar 3.3 artinya potensi penularan TB paru 3.3 32
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 29-34
kali lebih besar pada penderita yang padat hunian rumahnya. Kelembaban Udara Berdasarkan hasil penelitian di lapangan penderita TB paru yang lebih banyak yang tinggal dirumah dengan kelembaban rumah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 95 orang (73.1%) dimana kelompok kasus sebanyak 41 orang (63.1%) dan kelompok kontrol sebanyak 54 orang (83.1%). Hal ini disebabkan karena luas rumah dan jumlah kamar yang mempengaruhi kelembaban yang terjadi di dalam rumah tersebut dan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru karena nilai OR > 1. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mulyadi (2003) dalam Suarni (2009) di Kota Bogor yang menunjukkan bahwa penghuni rumah yang memiliki kelembaban ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat berisiko secara signifikan terkena TB paru 10.7 kali di banding penghuni rumah yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban memenuhi syarat. Pencahayaan Rumah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pencahayaan rumah memiliki faktor risiko (OR = 1.070) terhadap kejadian TB paru. Namun secara statistik tidak signifikan karena nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai satu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan pencahayaan antara kelompok kasus dan kontrol yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru secara umum. Hasil ini dipengaruhi oleh frekuensi pengukuran yang dilakukan hanya sebanyak 3 titik pada setiap tiap titik ruangan dengan ukuran (90 x 90) cm2. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan terhadap responden ketika rumah dilakukan pengukuran. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Atmosukarto dan Soeswati (2000) yang membuktikan bahwa rumah dengan pencahayaan yang kurang baik secara signifikan mempunyai risiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang pencahayaan baik. Begitupun dengan penelitian Pertiwi (2004) dalam Adnani (2006) menunjukkan juga bahwa penghuni rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat secara signifikan akan mempunyai risiko 2,5 kali terkena TB paru dibanding penghuni yang pencahayaan rumahnya memenuhi persyaratan di Jakarta Timur. Ventilasi Rumah Pada penelitian ini secara umum penderita TB paru yang berobat ke Wilayah Puskesmas Somba
Opu Kabupaten Gowa memiliki ventilasi udara yang cukup dengan jumlah 11 orang (8.5%) dimana kelompok kasus 5 orang (7.7%) dan kelompok kontrol 6 orang (9.2%).Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan namun merupakan faktor risko karena nilai OR = 1.220 atau >1. Hal ini disebabkan pada waktu dilakukan observasi langsung hampir seluruh responden keadaan jendela rumah mereka kebanyakan ditutupi oleh gorden dan sebagainaya, meskipun secara pengukuran luas ventilasi telah memenuhi syarat. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara mendapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru diperoleh nilai OR = 6,176, p=0,003 (Tobing, 2009). Penelitian lain yang telah dilakukan Tobing tahun 2009 di Tapanuli juga mendapatkan bahwa ventilasi yang kurang berisiko 2,4 kali lebih besar untuk potensi penularan TB.
DAFTAR PUSTAKA Adnani, H dan Asih Mahastuti. Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian beberapa faktor risiko kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa tahun 2011, maka dapat disimpulkan bahwa rumah yang padat bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru, kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru, pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru,ventilasi rumah yang kurang bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru. Pentingnya penyuluhan tentang ventilasi yang cukup terutama penderita TB paru yang tinggal dirumah yang padat huniannya, pencahayaan dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat guna mencegah terjadinya keparahan penyakit TB paru yang dapat mengakibatkan pengobatan yang berlangsung lama atau menyebabkan kematian. Selain itu ventilasi atau jendela harus selalu terbuka setiap harinya terutama pagi hari agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah guna membunuh kuman-kuman TB. . Penderita TB paru harus menjaga kontak terhadap keluargannya yang sehat yaitu mengurangi kontak dengan keluarga lainnya untuk sementara selama pengobatan terutam kelompok yang rentan terhadap penularan yaitu bayi dan lansia.
33
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Afnal.
2007. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program TB Paru Melalui Strategi DOTS di Wilayah Kerja Puskesmas Caile Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba. Makassar: Universitas Hasanuddin. Ashari. 2011. Analisis Kondisi Lingkungan Rumah Penderita Tuberkulosis Paru Resisten di Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin. Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta : Media Litbang Kesehatan, Vo. 9 (4), Depkes RI. Depkes RI. 1989. Pedoman petugas Pelaksanaan pengobatan dalam program pemberantasan penyakit TB paru. Jakarta: Dep. Kes RI, Ditjen PPM & PLP. Depkes RI. 1994. Pedoman pemeriksaan kuman TB paru secara Mikroskopis dalam Program Pemberantasan Penyakit TB paru. Jakarta: Dep.Kes RI, Dirjen PPM & PLP. Depkes RI. 2000. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Depkes RI. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Dinkes Sulawesi Selatan. 2010. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2009. Dinkes Propinsi Jawa Tengah. 2000. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kesembuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Jawa Tengah, Laporan hasil penelitian (tahap II), Dinkes Prop, Jawa tengah : Semarang. Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantasari). Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Firdiana, Cahyati Hary W. 2007. Hubungan Antara Luas Ventilasi dan Pencahayaan Rumah dengan Kejadian Tuberculosis Paru Anak di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Karno. 2010. Studi Tentang Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru di Desa Banjarejo Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume 1 Nomor 2. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta : Jakarta Nurhidayah, Ikeu. Lukman, Mamat. Rakhmawaty, Windy. 2007. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. Bandung: Universitas Padjajaran. Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A. 2006. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tb Paru pada Usia Dewasa. Kabupaten Pati: Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru (BP4). Ruswanto, Bambang. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro : Semarang. Suarni, Helda. 2009. Faktor Risiko Lingkungan terhadap Kejadian Tuberkulosis di Kecamatan Pancoran Mas Tahun 20082009. Universitas Indonesia. Jakarta Teguh, M, dkk. 2008. Pengkajian Faktor Risiko Lingkungan Perumahan Penderita TB Paru di Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang Tahun 2007. Surabaya: Buletin Human Media Vol. 03 Nomor 01. Tobing, Tonny Lumban. 2009. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008. Universitas Sumatera Utara. Medan. WHO, 1998. Global Tuberculosis Control, WHO Report, Geneva.
34
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 35-42
Artikel VI
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK HYGIENE MENSTRUASI PADA SISWI SMA NEGERI 1 SESEAN KABUPATEN TORAJA UTARA TAHUN 2012 Related Factors To Menstrual Hygiene Practices On Students In Sesean High School North Toraja Regency 2012 Mariene W. Dolang 1, Rahma1 , Muhammad Ikhsan1 1 Bagian Biostatistik/KKB FKM Unhas Makassar (Email :
[email protected]) ABSTRAK Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak dan masa dewasa. Pada masa ini banyak perubahan yang terjadi, salah satunya menstruasi. Praktik hygiene menstruasi yang baik perlu dilakukan ketika remaja mengalami menstruasi agar dapat terhindar dari penyakit yang dapat mengganggu organ reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik hygiene menstruasi. Jenis penelitian adalah penelitian Observational Analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Sampel penelitian ini adalah siswi SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara sebanyak 174 siswi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proporsional stratified random sampling. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 50,6% yang memiliki praktik hygiene yang cukup dan yang memiliki praktik hygiene kurang sebanyak 49,4%. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu (p=0,000; 𝜑 =0,528), pengetahuan (p=0,000; 𝜑 =0,444), peran media massa (p=0,010; 𝜑 =0,207), dan status sosial ekonomi (p=0,000; 𝜑 = 0,488) dengan personal praktik hygiene menstruasi, sedangkan faktor jenis pembalut (p=1,000) dan usia menarche (p=0,954) tidak memiliki hubungan dengan praktik hygiene menstruasi. Penelitian ini menyarankan agar para remaja dapat meningkatkan praktik hygiene saat menstruasi dengan cara membekali diri sebanyak-banyaknya dengan pengetahuan yang diperoleh baik dari pencarian informasi melalui media massa, orang tua, keluarga, buku. Bagi orang tua (ibu) untuk memberikan informasi mengenai praktik hygiene menstruasi saat anak memasuki usia menarche. Kata kunci : Remaja, Praktik Hygiene, dan Menstruasi ABSTRACT Teenage period is a phase of development from child period become mature period. On this period many changing happened, one of that is menstruation. Good hygiene practice of menstruation heed to applied when the teenager having menstruation so the disease which can disturb the reproductive organs will be spared. This aim of the study to know the factors which have a relation with the menstrual hygiene practices of students in sma negeri 1 sesean District Sesean Regency North Toraja. Types of research is analytical observational with cross sectional study. Samples are 174 students of sesean high school north toraja regency. Sampling method of proporsional stratified random sampling. The result from research show that 50,6% have sufficient hygiene practice and 49,4% have less hygiene practice. There is a relation between level of mother education (p=0,000; 𝜑 =0,528), knowledge (p=0,000; 𝜑 =0,444), the role of advertisement (p=0,010; 𝜑 =0,207), and socio economic status (p=0,000; 𝜑 = 0,488) with the personal menstrual hygiene practices, while the factors like kind of sanitary pad (p=1,000) and age of menarche (0,954) have no relation with the menstrual hygiene practices. This research suggested that teenagers can increase hygiene practices when menstruation by as much as possible to equip them selves wich knowledge gained from searching the information the information through mass media, parents, families, and book. For the parents (mother) to give the information about menstrual hygiene practices when their child will be enter the age of menarche. Keywords: Teenage, Hygiene Practices, dan Menstrual
35
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
dan kekurangan yang berpengaruh terhadap praktik kebersihan saat menstruasi. Informasi tentang menstruasi dan praktik hygiene menstruasi sangat penting bagi seorang reamaja putri. Anak perempuan yang tidak diajari untuk menganggap menstruasi sebagai fungsi tubuh normal dapat mengalami rasa malu dan dapat menganggap bahwa hal tersebut adalah kotor sampai masa dewasa (Ariyani, 2009). Banyak cara yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan informasi tentang menstruasi dan praktik hygiene saat menstruasi, salah satunya media massa. Dengan adanya informasi yang diperoleh dari media massa maka sangat mempengaruhi praktik hygiene menstruasi. Maka perlu dilakukan penelitian dengan judul faktor yang berhubungan dengan praktik hygiene menstruasi pada siswi SMA Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara.
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak dan masa dewasa yang berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun. Pada masa ini banyak perubahan yang terjadi, seperti perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial (Sarwono, 2011). Hasil sensus penduduk, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.326, sedangkan jumlah penduduk yang tergolong remaja adalah 43.548.576 atau 18,33% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan untuk Pulau Sulawesi jumlah penduduknya 17.371.782 dengan jumlah penduduk yang tergolong remaja sebanyak 3.380.547 atau 19,46% dari seluruh penduduk Sulawesi (BPS, 2011). Menstruasi/haid adalah keluarnya darah dari kemaluan. Pada saat menstruasi, pembuluh darah dalam rahim sangat mudah terkena infeksi. Di daerah yang cukup panas membuat tubuh berkeringat, keringat ini meningkatkan kadar kelembaban tubuh, terutama pada organ seksual dan reproduksi yang tertutup dan berlipat. Akibatnya bakteri mudah berkembang biak dan ekosistem vagina terganggu sehingga menimbulkan bau tak sedap dan infeksi (Sari, 2009). Menjaga kesehatan organ reproduksi pada wanita diawali dengan menjaga kebersihan organ kewanitaan (Wardhani, 2011). Masalah kebersihan yang terkait dengan menstruasi umumnya lebih parah terjadi di negara-negara berkembang. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa kurangnya kebersihan saat menstruasi banyak terjadi pada negara di Afrika dan Asia (Ten, 2007). Sampai saat ini fenomena praktik hygiene menstruasi pada remaja masih tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa menstruasi adalah hal yang sangat pribadi dan jarang dibahas di depan umun atau diajarkan secara terbuka (Aniebue, 2009). Praktik hygiene saat menstruasi yang buruk dapat meningkatkan kerentanan terjadinya Infeksi saluran reproduksi dan dapat timbul penyakit-penyakit yang berkaitan dengan infeksi alat reproduksi, seperti kandidosis, vaginitis, trichomoniasis, leukorea, pedikulosis, dan toxic syok syndrome (TSS). Penggunaan kain bekas yang tidak tepat sebagai bahan penyerap yang digunakan saat menstruasi juga mempengaruhi infeksi pada alat reproduksi wanita (Dhingra, 2009). Pembalut adalah alat untuk yang digunakan untuk menampung darah yang keluar dari dalam organ reproduksi yang terdiri dari dua jenis pembalut tradisional dan pembalut modern (Wardhani, 2011). Kedua jenis pembalut tersebut memiliki kelebihan
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara. Jumlah siswa sebanyak 457 Siswa, dimana jumlah perempuan sebanyak 304 dan laki-laki sebanyak 153 siswa. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 3 Februari sampai dengan 13 Februari 2012. Penelitian ini merupakan penelitan observational analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswi SMA Negeri 1 Sesean Makassar masih aktif mengikuti proses belajar-mengajar, yaitu sebesar 304 siswi. Penarikan sampel dengan metode proporsional stratified random sampling, yaitu teknik yang digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Menentukan jumlah sampel untuk masing-masing tingkatan kelas, yaitu sebesar 174 siswi. Model analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan komparatif dua sampel dengan data berskala nominal dalam bentuk tabulasi silang yang dihitung dengan menggunakan rumus Yates Correction (Hasan, 2010). HASIL Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini mencakup, umur, tingkatan kelas, pekerjaan orang tua. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan sebaran umur dengan persentase tertinggi berada pada umur 16 tahun yaitu sebanyak 53 siswi sedangkan yang terendah berada pada umur 16 dan 19 tahun yaitu sebanyak 1 siswi. Untuk tingkatan kelas didapatkan bahwa responden 36
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33
terbanyak terdapat di kelas XI sebesar 35,6% dan Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Umum di SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012 Karakteristik n % Umur Responden (Tahun) 7 4,0 14 50 28,7 15 53 30,5 16 46 26,4 17 17 9,8 18 1 0,6 19 Tingkatan Kelas X 60 34,5 XI 62 35,6 XII 52 29,9 174 100 Total Sumber: Data Primer 2012
tersedikit pada kelas XII sebesar 29,9%. Menarche adalah usia saat pertama kali mendapatkan menstruasi. Usia menarche pada setiap remaja berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Remaja yang mengalami menarche di usia reamaja awal dan mempunyai pengetahuan yang masih kurang tentang menstruasi dapat menyebabkan kurangnya kesadaran mengenai pentingnya perilaku hygiene menstruasi. Sedangkan Remaja yang mengalami menarche di usia lebih tua dan mungkin sudah mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai hygiene menstruasi dapat menyebabkan perilaku hygiene menstruasi yang lebih baik. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 56 responden yang memiliki usia menarche cepat/normal terdapat sebesar 51,8% yang memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup dan hasil ini hampir sama dengan responden yang memiliki usia menarche lambat dan praktik hygiene menstruasi yang cukup, yaitu sebesar 50,0% dari 118 responden. Dari hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan usia menarche menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction dengan nilai p = 0,954. Karena nilai p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan antara usia menarche yang digunakan dengan praktik hygiene menstruasi. Tingkat pendidikan ibu dalam penelitian ini adalah menyelesaikan jenjang pendidikan di suatu sekolah sampai akhir dan mendapatkan tanda tamat atau ijazah. pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu dapat mempengaruhi banyaknya informasi yang dapat diberikan kepada remaja tentang praktik hygiene tentang menstruasi. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 58 responden yang mempunyai tingkat pendidikan ibu yang tinggi terdapat sebanyak 89,7% yang memiliki praktik hygiene menstruasi cukup dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pendidikan ibu yang rendah hanya terdapat sebesar 31,9% yang memiliki praktik hygiene menstruasi cukup dari 116 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene menstruasi dengan tingkat pendidikan ibu menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction diperoleh nilai p = 0,000. Karena nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi. Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi diperoleh nilai 𝜑 = 0,528 (52,8%) yang berarti hubungan kuat. Pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden yang berhubungan dengan menstruasi, hygiene menstruasi, dan akibat jarang
Analisis Univariat Tabel 2 menunjukkan bahwa responden memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup (50,6%). Berdasarkan jenis pembalut yang digunakan oleh responden, yang paling banyak adalah menggunkan pembalut modern (86,8%). Usia menarche terbanyak adalah usia menarche lambat (67,8%). Pada tingkat pendidikan ibu lebih dari setengah responden memiliki ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah (66,7%). Kebanyakan responden memiliki tingkat pengetahuan yang kurang (58,0%). Berdasarkan peran media massa, responden yang memiliki peran media massa yang kurang (51,1%) hampir sama dengan responden yang memiliki peran media massa yang cukup (48,9%). Sedangkan untuk tingkat sosial ekonomi keluarga, lebih banyak responden berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah (73,6%). Analisis bivariat Tabel 3 menunjukkan bahwa dari dari 151 responden yang menggunakan pembalut modern terdapat sebesar 50,3% yang memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup dan hasil yang tidak jauh beda dengan responden yang menggunakan pembalut tradisional/kombinasi dan memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup, yaitu sebesar 52,2% dari 23 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan jenis pembalut menggunakan uji statistik dengan Continuity Correction dengan nilai p = 1,000. Karena nilai p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya tidak ada hubungan antara jenis pembalut yang digunakan dengan praktik hygiene menstruasi. 37
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
mengganti pembalut. Sebuah teori diketahui bahwa memungkinkan orang tersebut melakukan hal-hal pengetahuan mempunyai kontribusi yang besar yang menguntungkan dan mendatangkan manfaat dalam mengubah perilaku seseorang untuk berbuat bagi dirinya dari informasi yang didapatkannya. sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Deskriptif Variabel Penelitian Pada Siswi di SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012 Deskriftif Variabel Penelitian Jumlah Persen Praktik Hygiene Menstruasi Cukup 88 50,6 Kurang 86 49,4 Jenis Pembalut yang Digunakan Pembalut Modern 151 86,8 Pembalut Tradisional 4 2,3 Pembalut Kombinasi 19 10,9 Usia Menarche Cepat 1 0,6 Normal 55 31,6 Lambat 118 67,8 Tingkat Pendidikan Ibu Tinggi 58 33,3 Rendah 116 66,7 Pengetahuan Cukup 73 42 Kurang 101 58 Peran Media Massa Cukup 85 48,9 Kurang 89 51,1 Status Sosial Ekonomi Keluarga Tinggi 46 26,4 Rendah 128 73,6 Sumber: Data Primer 2012 Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 73 responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup terdapat sebesar 76,7% memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup sedangkan dari 101 responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang hanya terdapat sebesar 31,7% memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene menstruasi dengan pengetahuan menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction diperoleh nilai p = 0,000. Karena nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara pengetahuan responden dengan praktik hygiene menstruasi. Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara pengetahuan dengan praktik hygiene menstruasi diperoleh nilai 𝜑 = 0,444 (44,4%) yang berarti hubungan sedang. Media massa adalah media yang digunakan oleh responden untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai praktik hygiene menstruasi serta dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik yang dibaca, ditonton maupun yang didengar. Jenis media massa ini adalah radio, televisi, internet, dan media
cetak (majalah, tabloid, koran, buku, dll). Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 85 responden yang mempunyai peran media massa yang cukup terdapat sebesar 61,2% yang memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup dan hasil ini lebih besar dari responden yang mempunyai peran media massa yang kurang dan memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup, yaitu sebesar 40,4% dari 89 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan peran media massa menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction diperoleh nilai p = 0,010. Karena nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada hubungan antara peran media massa dengan praktik hygiene menstruasi. Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara peran media massa dengan praktik hygiene menstruasi diperoleh nilai 𝜑 = 0,207 (20,7%) yang berarti hubungan lemah. Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi. Status sosial ekonomi memegang peran penting dalam kempuan 38
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33
untuk memenuhi kebutuhan keluaraga, khususnya kebutuhan saat menstruasi Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 46 responden yang mempunyai status sosial ekonomi keluarga yang tinggi terdapat sebesar 91,3% yang memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup dibandingkan
dengan responden yang mempunyai status sosial ekonomi keluarga yang rendah hanya terdapat sebesar 35,9% yang memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup dari 128 responden.
Tabel 3. Hubungan Antara Variabel Dengan Praktik Hygiene Menstruasi di SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012 Praktik Hygiene Jumlah Variabel Cukup Kurang Uji Statistik Jenis Pembalut Modern Tradisional/kombinasi Usia Menarche Cepat/normal Lambat Tingkat Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Pengetahuan Cukup Kurang Peran Media Massa Cukup Kurang Status Sosial Ekonomi Keluarga Tinggi Rendah Sumber : Data Primer, 2012
n
%
nnn
%
nnn
%
76 12
50,3 52,2
75 11
49,7 48,7
151 23
100 100
p = 1,000
29 59
51,8 50,0
27 59
48,2 50,0
56 118
100 100
p = 0,954
51 37
87,9 31,9
7 79
12,1 68,1
58 116
100 100
p = 0,000 phi = 0,528
56 32
76,7 31,7
17 69
23,3 68,3
73 101
100 100
p = 0,000 phi= 0,444
52 36
61,2 40,4
33 53
38,8 59,6
85 89
100 100
p = 0,010 phi= 0,207
42 46
91,3 35,9
4 82
8,7 64,1
46 128
100 100
p = 0,000 phi= 0,488
bahwa dari 387 responden 49,35% menggunakan pembalut softex, 45,74% menggunakan kain lama, dan 4,90% yang menggunakan kain baru saat menstruasi. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Allah (2011) didapatan bahwa 24,0% anak perempuan yang menggunakan kain hanya selama menstruasi dan 32,0% yang menggunakan pembalut selama menstruasi. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa masih terdapat beberapa responden yang masih menggunakan pembalut tradisional atau kain pada saat menstruasi. Mereka masih menggunakan pembalut tradisional tersebut dengan beberapa alasan, yaitu karena lokasi tempat tinggal yang tidak memungkinkan menggunakan pembalut modern, penggunaan pembalut tradisional dapat menghemat biaya karena dapat dipakai kembali, dan penggunaan pembalut modern dampat berdampak kepada kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh El-Gilany (2005) mengatakan bahwa penggunaan pembalut yang terbuat dari bahan yang dapat
Hubungan Antara Jenis Pembalut Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Jenis pembalut pada penelitian ini adalah jenis pembalut yang digunakan responden pada saat mengalami menstruasi. Pembalut merupakan alat untuk yang digunakan untuk menampung darah yang keluar dari dalam organ reproduksi setiap bulannya. Pembalut terdiri atas dua yaitu pembalut modern dan tradisonal. Pembalut tradisional merupakan pembalut yang terbuat dari kain sedangkan pembalut modern merupakan pembalut sekali pakai. Adapun hasil analisis yang diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara jenis pembalut yang digunakan dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pembalut yang digunakan tidak dapat menentukan praktik hygiene menstruasi seseorang. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thakre (2011), yang mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis pembalut dengan sikap terhadap menstruasi dan praktek kebersihan. Dalam penelitian ini didapatkan 39
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
digunakan kembali, bisa mengakibatkan infeksi jika cara membersihkan dan menyimpannya salah. Hubungan Antara Usia Menarche Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Usia menarche dalam penelitian ini adalah usia responden saat pertama kali mendapatkan haid/menstruasi. Menarche adalah siklus haid pertama bagi seorang wanita. Menarche merupakan hal yang sangat penting bagi seorang wanita dan perlu mendapat perhatian khusus karena menarche merupakan hal yang menandai awal kedewasaan biologis seorang wanita. Usia menarche dapat bervariasi pada setiap individu tergantung faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Adapun hasil analisis yang diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara usia menarche dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa usia menarche seseorang tidak dapat menentukan praktik hygiene menstruasinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anibue (2009) yang melihat hubungan antara usia menarche dengan praktek menstruasi dan kebersihan. Dan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Omdivar (2010) di India Selatan yang menyatakan bahwa ada hubungan antara usia menarche dengan praktik kebersihan saat menstruasi. Hasil penelitian Indriastuti (2009) pendidikan seputar menstruasi disarankan untuk diterapkan bagi anak remaja perempuan yang belum mengalami menstruasi sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan kesiapan menghadapi menarche. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Dasgupta (2008) yang mengatakan bahwa pengetahuan mengenai kebersian saat menstruasi sebaiknya diberikan kepada remaja putri sebelum mereka memasuki usia menarche. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Tingkat pendidikan ibu pada penelitian ini adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh ibu responden. Pendidikan sangatlah penting peranannya dalam kehidupan bermasyarakat karena pendidikan bertujuan untuk mengubah pengetahuan, pendapat, sikap dan persepsi. Pendidikan juga sangat mempengaruhi daya nalar seseorang sehingga memungkinkan untuk menanggapi informasi yang ada. Dengan memiliki pendidikan yang cukup maka seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang dapat menjadikan seseorang menjadi berguna baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain yang membutuhkannya. Untuk itu pendidikan yang dimiliki oleh ibu sangat dibutuhkan oleh anak, khususnya yang baru memasuki usia remaja. Sebab orang tua dianggap sebagai panutan bagi remaja dalam menghadapi
kehidupan ke depan dan juga dapat memberikan berbagai pengetahuan dan juga informasi kepada anak-anaknya mengenai praktek kebersihan saat menstruasi. Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dapat menentukan praktik hygiene menstruasi anaknya. Selain itu, terdapat juga hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi Kuatnya hubungan antara praktik hygiene menstruasi dengan tingkat pendidikan ibu karena tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu dapat mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki seorang anak karena ibu dianggap sebagai orang yang paling dekat, sehingga menyebabkan praktik hygiene menstruasi menjadi baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oche (2012) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kebersihan saat menstruasi. Dan tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basir (2011), yang melihat faktor yang berhubungan dengan personal hygiene tentang menstruasi pada anak usia menarche di SMP Negeri 8 Makassar. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa setengah dari jumlah responden memiliki ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang cukup (52,8%). Akan tetapi hal tersebut tidak berhubungan dengan personal hygiene tentang menstruasi yang dimiliki responden. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang diketahui dan dipahami oleh responden yang berhubungan dengan menstruasi, hygiene menstruasi, dan akibat jarang mengganti pembalut. Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan indra penglihatan. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbedabeda. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang merupakan ukuran dalam memulai suatu tindakan. Selain itu, pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Berbagai faktor- baik fisik maupun non fisik yang kemudian pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan bersikap sehingga pada akhirnya terjadi perwujudan niat berupa perilaku. Untuk itu, pengetahuan mempunyai kontribusi yang besar dalam mengubah perilaku seseorang untuk 40
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33
melakukan sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki seseorang memungkinkan orang tersebut akan melakukan hal yang bermanfaat bagi dirinya dari informasi yang didapatkannya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner, kebanyakan siswa menjawab salah pada peranyaan mengenai apakah pernah mendengar tentang praktik hygiene menstruasi, pengertian praktik hygiene menstruasi, frekuensi mengganti pembalut pada hari deras, frekuensi mengganti pembalut pada hari terakhir, dan pembersih apa digunakan untuk membasuh vagina saat menstruasi. Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan pengetahuan yang dimiliki oleh responden dapat menentukan praktik hygiene menstruasinya. Selain itu, terdapat juga hubungan yang sedang antara tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi. Sedangnya kekuatan hubungan yang dimiliki kerena kebanyakan para responden hanya tahu tentang praktik hygiene menstruasi dan belum memahami serta mengaplikasikannya pada saat terjadinya menstruasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Egong (2005) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik hygiene menstruasi. Pada penelitianya disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki, maka semakin baik hygiene menstruasinya. Hubungan Antara Peran Media Massa Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Media massa dalam penelitian ini adalah media yang digunakan oleh responden untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai praktik hygiene menstruasi serta dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik yang dibaca, ditonton maupun yang didengar. Jenis media massa ini adalah radio, televisi, internet, dan media cetak. Era globalisasi informasi saat ini, media massa tidak dapat ditinggalkan untuk ikut serta dalam menyampaikan informasi penting kepada masyarakat umumnya dan remaja khususnya. Media massa sangat efektif untuk menyampaikan informasi, terutama juga untuk mempromosikan hal-hal yang bersifat spesifik (Duarsa dalam Soetjiningsih, 2004). Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa ada hubungan antara peran media massa dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa peran media massa dapat menentukan praktik hygiene menstruasi responden. Selain itu, terdapat juga hubungan yang lemah antara peran media massa dengan praktik hygiene menstruasi Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Egong (2005) yang melihat
hubungan antara sumber informasi dari media masa dengan praktik hygiene menstruasi. Dalam penelitiannya juga disimpulkan semakin sering responden mendapatkan informasi dari media masa maka hygiene menstruasinya akan lebih baik pula. Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Basir (2011) yang melihat hubungan antara pemanfaatan media massa terhadap personal hygiene tentang menstruasi pada anak usia menarche. Iya juga mengatakan bahwa semakin semakin banyak media massa yang dimanfaatkan oleh responden maka semakin cukup pula personal hygiene mengenai menstruasi yang dimiliki oleh responden. Lemahnya kekuatan hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan peran media massa disebabkan karena letak lingkungan responden yang berada di pedesaan sehingga mengakibatkan kurangnya responden yang memanfaatkan media massa sebagai sumber informasi mengenai praktik hygiene menstruasi. Media massa dapat membentuk karakter seseorang yang dapat memuaskan rasa ingin tahu dan minat terhadap media, memberikan pembelajaran dan pendidikan, menemukan model perilaku, memperoleh penetahuan dan perubahan sikap (Nurrachmwati, 2011). Jadi dapat disimpulkan bahwa media massa merupakan sumber informasi yang sangat berperan dalam praktik hygiene saat menstruasi. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Status sosial ekonomi dalam penelitian ini adalah kondisi/keadaan ekonomi keluarga yang dapat dilihat dari pendapatan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anaknya (responden) pada saat ini. Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Status sosial ekonomi pada suatu keluarga akan mempengaruhi perilaku anak saat menstruasi. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan tingkat pendidikan ibu menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction diperoleh bahwa ada hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dengan praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi keluarga dapat menentukan praktik hygiene menstruasi responden. Selain itu, juga terdapat hubungan yang sedang antara status sosial ekonomi dengan praktik hygiene menstruasi. Sedangnya kekuatan hubungan disebabkan karena status sosial ekonomi keluarga responden kebanyakan dari status sosial ekonomi yang rendah, 41
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
sehingga sehingga berdampak pada jrnis dan banyaknya pembalut yang digunakan pada saat menstruasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Omdivar dan Begum (2010) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan praktik kebersihan saat menstruasi dan tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kurniasih (2001) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan perkapita keluarga dengan praktik hygiene menstruasi. Menurut Notoatmodjo (2007) sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan biaya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup dan juga dapat menyebabkan rendahnya pengetahuan yang dimiliki.
ekonomi keluarga dengan praktik hygiene menstruasi pada siswi SMA Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara. Tidak ada hubungan antara jenis pembalut yang digunakan dan usia menarche dengan praktik hygiene menstruasi pada siswi SMA Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara. Praktik hygiene menstruasi pada remaja dapat lebih ditingkatkan dengan cara membekali diri sebanyak-banyaknya dengan pengetahuan yang diperoleh baik dari pencarian informasi melalui media massa, orang tua, keluarga, dan buku. Diharapkan kepada orang tua untuk memberikan informasi mengenai menstruasi dan praktik hygiene menstruasi sebelum anak memasuki usia menarche. Diharapkan kepada ibu untuk banyak belajar mengenai kesehatan reproduksi khususnya praktek kebersihan saat menstruasi sehingga dapat diberikan kepada anak disarankan bagi remaja untuk dapat memilih media informasi yang lebih bermanfaat sehingga dapat meningkatkan praktik hygiene saat menstruasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan antara tingkat pendididkan ibu, pengetahuan, peran media massa, status sosial
http//www.krepublishers.com, diakses tanggal 2 November 2012. Hasan, Iqbal. 2010. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. PT. Bumi Aksara : Jakarta. Omdivar, Shabnam dan Khyrunnisa Begum. 2010. Factors Influencing Hygienic Practices During Menses Among Girls From South India. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health. Vol. 2 No. 2 : pp. 411-423. Sari, Indah Dewi. 2009. Pengetahuan remaja Putri Tentang Kebersihan Alat Kelamin Saat Menstruasi di SMA Al- Washliyah 3 Medan. Karya Tulis Ilmiah Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan USU. Sarwono, Sarlito W. 2011. Psikologi Remaja. PT. Grafindo Persada : Jakarta. Ten, Variana Tjon A. 2007. Menstrual Hygiene. EEPA (Europe External Policy Advisors), available at http://www.who.int, diakses tanggal 26 Januari 2011. Wardhani, Ernawati Heru dan Ana Bilana. 2011. Remaja Puber Remaja Super. PT. Tiga Serangaki Pustaka Mandiri : Solo.
DAFTAR PUSTAKA Aniebue, Uzochukwu Uzoma. et al. 2009. The impact of pre-menarcheal training on menstrual practices and hygiene of Nigerian School Girl. Pan Afrika Medical Journal. Vol. 2: Edisi 9. Available at http//www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses tanggal 11 November 2011. Ariyani, Irmatri. 2009. Aspek Biopsikososial Hygiene Menstruasi Pada Remaja di Pesantren Putri As-Syafi'iyah Bekasi. Skripsi diterbitkan FKM UI. Available at http//lontar.ui.ac.id BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Kalatog Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. Dasgupta, Aparajita dan M. Sakar. 2008. Menstrual Hygiene: How Hygienic is the Adolescent Girl. Indian Journal Of Community Medicine. Vol. 33 (2). Available at http//www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses tanggal 2 November 2012. Dhingra. et al., 2009. Knowledge and Practices Related to Menstruation Among Tribal (Gujjar) Adolescent Girl. Etno-Med, 1(3) : hal. 43-48. Available at
42
Jurnal MKMI, Vol 9No.1, Januari 2013, hal 43-50
Artikel VII
PERSEPSI STAF MANAJEMEN TENTANG MANAJEMEN PEMASARAN RUMAH SAKIT DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR TAHUN 2012 Perception Of Management Staff About Marketing Management At Dr. Wahidin Sudirohusodo Public Central Hospital Makassar 2012 Nurhikmah1, Indahwaty Sidin1 1 Bagian Manajemen Rumah Sakit FKM Universitas Hasanuddin Makassar (
[email protected]) ABSTRAK Persepsi merupakan faktor psikologis yang mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Manajemen pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi rumah sakit, karena manajemen pemasaran merupakan salah satu solusi terbaik rumah sakit dalam menghadapi dampak globalisasi dan persaingan. Manajemen pemasaran terdiri atas riset pasar, strategi pemasaran, bauran pemasaran, implementasi pemasaran, dan kontrol pemasaran. Kegiatan pemasaran RSUP Dr. Wahidin Sudirohusudo selama tiga tahun terakhir berorientasi pada kegiatan promosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi staf manajemen tentang manajemen pemasaran rumah sakit. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner pada 111 orang responden dan wawancara dengan beberapa responden. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar riset pasar dipersepsikan secara positif oleh middle management yaitu sebanyak 14 orang (73.7%). Untuk strategi pemasaran yang terdiri atas segmentasi dan target pasar yang dipersepsikan secara positif oleh middle management sebanyak 84.2% sedangkan posisi produk sebagian besar dipersepsikan negatif oleh frontline people sebanyak 51.1%. Bauran pemasaran yang terdiri atas produk, harga, lokasi, promosi, orang, proses, dan penampilan fisik telah dipersepsikan secara positif oleh middle management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan negatif seperti produk (52.2%), harga, lokasi dan orang (50%), serta promosi (51.1%). Demikian halnya dengan implementasi dan kontrol sebagian besar telah dipersepsikan secara positif oleh middle management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan secara negatif yaitu masing-masing sebanyak 52.2% dan 51.1%. Disarankan agar RSUP Dr. Wahidin Sudirohusudo untuk melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pemasaran kepada seluruh staf manajemen (frontline people) dan memanfaatkan persepsi dan pengetahuan middle management untuk meningkatkan kegiatan pemasaran di rumah sakit.
Kata Kunci
: Persepsi, Staf Manajemen, Pemasaran
ABSTRACT Perception is a psychological factor whose plays an important role in influencing of person behavior. Marketing management is one of the most essential activities for hospitals, because of it is one of the best solution for hospitals in facing the globalization effects and the impacts of the hospitals’ competition. Marketing management consists of market research, marketing strategies, marketing mix, marketing implementation, and marketing control. The marketing activities at Public Central Hospital (RSUP) Wahidin Sudirohusudo since last three years only oriented in promotional activities. The aim of this research, to know the description of the management staff perceptions of hospital marketing management. The research was conducted descriptively. The primary data were obtained use a questionnaire to 111 respondents and the results of interviews with some respondents. Furthermore, the data were analyzed descriptively. The results of this research, obtained that from 111 respondents which the majority of market research are perceived positively by the middle management as many as 14 people (73.7%). For marketing strategy consists of segmentation and target market is positively perceived by middle management positions as much as 84.2% while the majority of products are perceived negatively by the frontline people as much as 51.1%. Marketing mix consists of product, price, location, promotion, people, processes, and physical appearance was perceived positively by middle management, but most of the 43
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
frontline people still perceive as negative as the product (52.2%), price, location and people (50 %), and promotion (51.1%). So it is with the implementation and control have largely been perceived positively by middle management, but most people still perceive frontline negatively respectively as much as 52.2% and 51.1%. It is recommended to the Public Central Hospital (RSUP) Dr. Wahidin Sudirohusudo to do socialization and marketing training to all management staff (frontline people) and take the advantage of the perception and knowledge of middle management to improve marketing activities in the hospital.
Keywords
: Perception, Staff Management, Marketing pandangan atau persepsi yang keliru tidak hanya tentang kegiatan pemasaran, tetapi juga tentang tugas seorang tenaga pemasaran (Assauri, 2011). Salah satu rumah sakit di Makassar yang telah melaksanakan kegiatan pemasaran adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Wahidin Sudirohusodo. Hal ini terlihat dari struktur organisasi rumah sakit yang telah memiliki bidang pemasaran dan dari buku tahunan RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo telah melaksanakan berbagai program pemasaran yang sebagian besar adalah kegiatan promosi rumah sakit.
PENDAHULUAN Perkembangan dunia kesehatan terus mengalami peningkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas dan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hal ini membuat instansi atau pihak yang berhubungan dengan dunia kesehatan, salah satunya rumah sakit mengalami perkembangan yang pesat. Era globalisasi saat ini rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai misi sosial, dituntut pula untuk mempunyai misi bisnis yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented) karena kemampuan mendanai kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang dihasilkannya. Semakin banyaknya jumlah rumah sakit dengan layanan beragam yang menawarkan bermacam keunggulan, baik dari segi teknologi, harga maupun pelayanan membuat rumah sakit harus memiliki strategi yang efektif dalam menciptakan nilai unggul. Disamping itu, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit telah menjadi masalah mendasar yang dihadapi sebagian besar rumah sakit di berbagai Negara (Utama, 2003). Oleh karena itu, rumah sakit memerlukan pemasaran untuk menciptakan nilai ungul. Hal ini disebabkan karena rumah sakit harus menggunakan analisis pemasaran agar posisi organisasinya dapat lebih baik dan bisa mempertahankan eksistensinya di lingkungan yang sangat kompetitif (Mursid, 1997). Disamping itu, beberapa pakar pemasaran menyatakan dalam pengelolaan rumah sakit dari waktu ke waktu semakin terasa akan kebutuhan pentingnya pemasaran rumah sakit (Supriyanto dan Ernawaty, 2010). Namun, kenyataan yang terjadi saat ini kebanyakan pemasaran di rumah sakit masih dianggap sebagai proses penjualan atau hanya diartikan sebagai sebuah proses kegiatan promosi. Timbulnya penafsiran yang tidak tepat tentang pemasaran disebabkan karena masih banyaknya yang belum mengetahui dengan tepat definisi dari pemasaran. Kesalahan pengertian ini menimbulkan
BAHAN DAN METODE Penelitian ini akan dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan februari – Mei 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah staf manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Tahun 2012 sebanyak 155 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Lameshow yang diperoleh sebanyak 111 sampel yang penarikan sampelnya dilakukan dengan teknik accidental sampling. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2002). Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer (melalui pengisian kuesioner oleh responden, dan wawancara langsung terhadap beberapa responden) dan data sekunder berupa data jumlah staf manajemen RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, struktur organisasi rumah sakit serta data lainnya yang terkait dengan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif. Statistik deskriptif hanya berhubungan dengan hal yang menguraikan atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data atau keadaan. Penarikan kesimpulan pada statistik deskriptif hanya ditujukan pada kumpulan data yang ada (Husain, 1997).
44
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan karakteristik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Karakteristik n % Jenis kelamin Laki-laki 46 41,4 Perempuan 65 58,6 Kelomok Umur 20 – 29 23 20,7 30 –39 44 39,6 40 – 49 34 30,6 50 – 59 10 9,0 Pendidikan Terakir S3 3 2,7 S2 15 13,5 S1 63 56,8 D3 11 9,9 SMA 19 17,1 Tingkat Manajemen Middle Management 19 17,1 Frontline People 92 82,9 Masa Kerja 1-5 17 15,3 6-10 40 36 >10 54 48,6 Pelatihan Belum 97 87,4 Ya 14 12,6 Total Sumber : Data Primer, 2012
111
100
middle management yang terdiri atas kepala bidang, kepala bagian, kepala seksi dan kepala sub bidang dan sub bagian. Frontline people sebanyak 92 orang (82.9%) dan middle management sebnyak 19 orang atau 17.1%. Adapun berdasarkan masa kerja responden yang masa kerjanya > 10 tahun lebih banyak yaitu 54 orang (48.6%) dibandingkan dengan yang memiliki masa kerja 1-5 tahun yaitu 17 orang ( 15.3%). Sedangkan untuk pelatihan pemasaran yang pernah diikuti hanya terdapat 14 orang (12.6%) responden yang telah mengikuti pelatihan pemasaran dari 111 responden dan 97 atau 87.4 % responden belum pernah mengikuti pelatihan pemasaran. Analisis Univariat Riset Pasar Pada tabel 2 diketahui bahwa tingkat middle management yang memiliki persepsi positif lebih banyak yaitu 73.7% dibandingkan dengan yang mempersepsikan secara negatif sedangkan untuk frontline people, responden yang mempersepsikan positif sebanding dengan yang mempersepsikan secara negatif yaitu sebanyak 50 %.
HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden, yaitu kelompok umur, jenis kelamin responden, tingkat pendidikan, tingkat manajemen, masa kerja, dan pelatihan pemasaran yang pernah diikuti. Untuk distribusi responden menurut kelompok umur yang paling banyak berada pada kelompok umur 30 – 39 tahun, yaitu sebanyak 44 orang (39.6%) dan yang paling sedikit berada pada kelompok umur 50 – 59 tahun sebanyak 10 orang (9%). Adapun jumlah responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dari jumlah responden dengan jenis kelamin laki-laki. Responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 65 orang (58.6%), sedangkan responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (41.4%). Responden berdasarkan tingkat pendidikannya lebih banyak yang S1 yaitu sebanyak 63 orang (56.8%) dan yang paling sedikit adalah S3 yaitu 3 orang (2.7%). Berdasarkan tingkatan manajemen, responden dengan tingkat manajemen frontline people atau staf lebih banyak dibandingkan dengan 45
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
management menunjukkan sebagian besar mempersepsikannya secara positif yaitu sebanyak 15 orang atau 78.9% dan 45 orang atau 48.9% yang mempersepsikan positif pada tingkat frontline people. Bauran Pemasaran Menurut Zeithaml (2000), bauran pemasaran jasa dibedakan atas 7P yaitu produk, harga, lokasi, promosi, orang, proses dan penampilan fisik. Pada Tabel 4, tingkat middle management lebih banyak mempersepsikan bauran produk secara positif dibandingkan dengan yang mempersepsikan secara negatif yaitu sebanyak 12 orang atau 63.2% sedangkan untuk frontline management lebih banyak yang mempersepsikan secara negatif dibandingkan dengan yang positif yaitu sebanyak 48 orang atau 52.2%. Tingkat middle management lebih banyak mempersepsikan harga secara positif yaitu 16 orang atau 84.2% sedangkan frontline management, responden yang mempersepsikan secara positif dan negatif masing-masing sebanyak 46 orang atau 50 %. Pada tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 13 orang atau 68.4% yang mempersepsikan secara positif. Sedangkan responden frontline people mempersepsikan bauran lokasi secara positif yaitu sebanyak 46 orang atau 50%. Terdapat perbedaan persepsi antara tingkat middle management dan frontline people pada tabel 4. Sebagian besar middle management mempersepsikan secara positif tentang bauran promosi sedangkan sebagian besar frontline people mempersepsikan secara negatif tentang bauran promosi yaitu 47 orang atau 51.1 %.
Strategi Pemasaran Strategi pemasaran menurut kotler (2001) menyatakan bahwa strategi pemasaran terdiri atas tiga langkah yaitu segmentasi pasar, target pasar dan posisi produk (Rustiati dan Rochmah, 2005). Tabel
2. Distribusi Persepsi Riset Pasar Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Tingkat Manajemen Middle Frontline Persepsi Riset Management People n % n % Positif 14 73,7 46 50 Negatif 5 26,3 46 50 Total 19 100 92 100 Sumber : Data Primer, 2012 Pada tabel 3 diketahui bahwa responden middle management lebih banyak mempersepsikan segmentasi pasar secara positif dibandingkan dengan yang mempersepsikannya secara negatif yaitu sebanyak 16 orang atau 84.2%. Demikian pula untuk frontline people, responden yang mempersepsikan positif lebih banyak dibandingkan dengan yang mempersepsikan segmentasi pasar secara negatif yaitu 54 orang atau 58.7%. Untuk persepsi tentang target pasar, tingkat middle management dan frontline people sebagian besar mempersepsikannya secara positif yaitu 84.2 % atau 16 orang untuk middle management dan 49 orang atau 53.3% untuk fronline people. Pada tabel 3 diketahui bahwa responden yang mempersepsikan posisi produk (positioning) pada tingkat middle
Tabel 3. Distribusi Strategi Pemasaran Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Tingkat Manajemen Strategi Pemasaran Middle Management Frontline People Persepsi Segmentasi Pasar Positif Negatif Persepsi Target Pasar Positif Negatif Persepsi Posisi Produk Positif Negatif Total Sumber : Data Primer, 2012 46
n
%
n
%
16 3
84,2 15,8
54 38
58,7 41,3
16 3
84,2 15,8
49 43
53,3 46,7
15 4 19
78,9 21,1 100
45 47 92
48,9 51,1 100
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50
Pada tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar middle management mempersepsikan bauran orang secara positif yaitu sebanyak 11 orang atau 57.9% sedangkan untuk frontline people responden yang mempersepsikan positif sama banyak dengan yang mempersepsikan secara negatif yaitu 46 orang atau 50%. Sedangkan responden middle management dan frontline people sebagian besar mempersepsikan bauran proses secara positif yaitu masing-masing 68.4% atau 13 orang dan 53.3% atau 49 orang. Dan untuk bauran bukti fisik sebagian besar tingkat middle management mempersepsikan penampilan fisik secara positif yaitu sebanyak 11 orang atau 57.9%. Demikian pula untuk frontline people sebagian besar mempersepsikannya secara positif yaitu sebanyak 49 orang atau 53.3%.
Implementasi Pemasaran Pada tabel 5 diketahui bahwa terdapat gap persepsi antara middle management dan frontline people. Sebagian besar middle management mempersepsikan implementasi pemasaran secara positif yaitu sebanyak 14 orang atau 73.7% sedangkan frontline people lebih banyak mempersepsikan secara negatif yaitu sebanyak 48 orang atau 52.2%. Serta untuk kontrol pemasaran diketahui bahwa sebagian besar responden middle management mempersepsikan secara positif yaitu sebanyak 15 orang atau 78.9% sedangkan frontline people sebagian besar mempersepsikan kontrol pemasaran secara negatif yaitu 47 orang atau 51.1%.
Tabel 4. Distribusi Bauran Pemasaran Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Bauran Pemasaran
Tingkat Manajemen Middle Management Frontline People
Persepsi Bauran Produk Positif Negatif Persepsi Bauran Harga Positif Negatif Persepsi Bauran Lokasi Positif Negatif Persepsi Bauran Promosi Positif Negatif Persepsi Bauran Orang Positif Negatif Persepsi Bauran Proses Positif Negatif Persepsi Bauran Bukti Fisik Positif Negatif Total
n
%
n
%
12 7
63,2 36,8
44 48
47,8 52,2
16 3
84,2 15,8
46 46
50 50
13 6
68,4 31,6
46 46
50 50
12 7
63,2 36,8
45 47
48,9 51,1
11 8
57,9 42,1
46 46
50 50
13 6
68,4 31,6
49 43
53,3 46,7
11 8
57,9 42,1
49 43
53,3 46,7
19
100
92
100
Sumber : Data Primer, 2012 rumah sakit tersebut dapat dilihat dari kegiatan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo yang telah melaksanakan riset pasar. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa rumah sakit pada dasarnya telah melakukan kegiatan riset pasar yang dilaksanakan bersamaan dengan survei kepuasan pasien. Pelaksanaan riset
PEMBAHASAN Riset Pasar Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar middle management memiliki persepsi yang baik tentang riset pasar. Persepsi baik dari middle management tersebut sebagai pihak yang banyak berperan dalam pengambilan keputusan kegiatan 47
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
pasar yang dilakukan di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo masih dilakukan oleh pihak ketiga. Pelaksanaan riset pasar yang dilakukan di rumah sakit tersebut ditujukan sebagai bahan dasar dalam pembuatan renstra rumah sakit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsawati Taan dalam Anditasari (2010) tentang ―peran riset pemasaran dalam pengambilan keputusan manajemen‖. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa riset pemasaran sangat membantu pihak manajemen untuk mendukung suatu pengambilan keputusan dalam bidang manajemen pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa middle management lebih banyak mempersepsikan segmentasi pasar secara positif. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa pada dasarnya RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo tidak melakukan kegiatan segmentasi pasar secara umum. Hal ini disebabkan karena rumah sakit tersebut adalah rumah sakit rujukan yang pada dasarnya harus memberikan pelayanan kepada seluruh pasien yang datang berobat di rumah sakit tersebut. Adapun segmentasi yang terbentuk adalah segmentasi yang terbentuk secara alami berdasarkan jenis rujukan pasien yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitin yang dilakukan oleh Darmawansyah, dkk (2009) yang menyatakan bahwa segmen pasar yang terbentuk di rumah sakit Stella Maris berdasarkan karakteristik pengguna pelayanan yang memanfaatkan pelayanan di rumah sakit tersebut. Strategi Pemasaran Segmentasi Pasar Target Pasar
dalam pengambilan keputusan rumah sakit. Rumah sakit saat ini ingin membangun citra di mata masyarakat sebagai rumah sakit yang berstandar internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari visi rumah sakit yaitu menjadi rumah sakit dengan standar layanan internasional. Dalam pembuatan visi rumah sakit tersebut responden dalam kelompok frontline people tidak dilibatkan dalam pembuatan visi rumah sakit. Hal ini menyebabkan masih banyaknya responden frontline people yang mempersepsikan negatif tentang pembentukan posisi produk rumah sakit. Bauran Pemasaran Bauran Produk Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang lebih banyak mempersepsikan produk secara positif adalah kelompok middle management. Hal ini disebabkan karena peran serta responden kelompok middle management dalam menetapkan produk rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan Frontline people. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soemanagara (2006) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi adalah partisipasi atau peran seseorang terhadap objek tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen rumah sakit telah menyediakan berbagai produk unggulan, diantaranya adalah Intensive Care Center, Mother and Child Center, Cardiac Center dan Private Care Center. Bauran Harga Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mempersepsikan bauran harga secara positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga merupakan salah satu bauran yang dipersepsikan penting bagi responden di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Hal ini sejalan dengan pendapat Kotler dalam Zeithalm dan Bitner (2000) yang menyatakan bahwa penentuan harga merupakan hal penting dalam bauran pemasaran jasa karena harga menentukan pendapatan dari suatu usaha. Selain itu, Adiwijaya (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara harga pelayanan kesehatan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan minat masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut Bauran Lokasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempersepsikan bauran lokasi secara positif. Artinya bahwa sebagian responden telah menganggap lokasi sebagai salah satu bauran yang penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Ratih Hurriyati dalam bukunya yang berjudul Bauran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempersepsikan positif tentang target pasar. Persepsi tersebut berpengaruh terhadap keputusan rumah sakit dalam menetapkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa meskipun rumah sakit tidak melakukan segmentasi pasar, namun rumah sakit tetap mempertimbangkan target pasar dengan mempertimbangkan peluang dan hambatan rumah sakit. Salah satu strategi yang ditempuh rumah sakit untuk meraih target pasar rumah sakit membangun PCC (Private Care Center) dan menyiapkan beberapa produk unggulan lainnya seperti Cardiac Center, Infection Center, Intensive Care Center, dan Gastro enterohepatology Center Posisi Produk Hasil penelitian menunjukkan diketahui bahwa terdapat perbedaan persepsi antara middle management dan frontline people. Hal ini sesuai dengan peran dari responden yang lebih terlibat 48
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50
Pemasaran (2005) yang menyatakan bahwa lokasi berhubungan dengan keputusan konsumen dalam memanfaatkan pelayanan. Disamping itu, Adiwijaya (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tempat mempengaruhi konsumen dalam
memanfaatkan fasilitas rawat jalan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Oleh karena itu, rumah sakit menganggap lokasi sebagai salah satu bauran yang penting untuk diperhatikan
Tabel 5. Distribusi Implementasi dan Kontrol Pemasaran Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012 Tingkat Manajemen Variabel Middle Management Frontline People Implementasi Pemasaran Positif Negatif Kontrol Pemasaran Positif Negatif Total Sumber : Data Primer, 2012
n
%
n
%
14 5
73,7 26,3
44 48
47,8 52,2
15 4 19
78,9 21,1 100
45 47 92
48,9 51,1 100
Sehingga peran serta responden mempengaruhi persepsinya terhadap proses pemasaran. Persepsi staf tersebut sangat berpengaruh terhadap kegiatan pemasaran rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diperoleh pula informasi bahwa untuk memudahkan proses pelayanan, manajemen rumah sakit menyediakan alur pelayanan Bauran Penampilan Fisik Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki persepsi yang positif tentang penampilan fisik rumah sakit. Hal ini disebabkan karena penampilan fisik mempengaruhi rumah sakit dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan serta membutuhkan kondisi dan situasi yang nyaman membuat rumah sakit perlu memperhatikan suhu ruangan untuk memberikan kenyamanan pada pasien. Implementasi Pemasaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa middle management mempersepsikan implementasi pemasaran secara positif. Sedangkan frontline people sebagian besar mempersepsikan negatif tentang implementasi pemasaran. Hal ini disebabkan karena dipengaruhi oleh keterlibatan dan pemahaman yang baik tentang implementasi pemasaran. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang menyatakan bahwa rumah sakit telah melaksanakan berbagai kegiatan pemasaran meskipun pada umumnya kegiatan pemasaran yang dilakukan masih berorientasi pada kegiatan promosi. Kontrol Pemasaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi antar kelompok middle
Bauran Promosi Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar middle management mempersepsikan secara positif tentang bauran promosi sedangkan untuk frontline people sebagian besar mempersepsikan bauran promosi secara negatif. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dan data sekunder yang diperoleh yang menunjukkan bahwa RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo telah banyak melakukan berbagai kegiatan promosi baik melalui media cetak maupun media elektronik. Dari Buku tahunan rumah sakit diketahui bahwa sebagian besar kegiatan pemasaran yang dilakukan rumah sakit adalah promosi, diantaranya pembuatan leaflet PCC, press release kegiatan rumah sakit, melakukan wawancara live di media elektonik, dan lain-lain. Bauran Orang Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kelompok middle management mempersepsikan penampilan karyawan rumah sakit sebagai sesuatu yang penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Ratih Hurriyati (2005) yang menyatakan bahwa semua sikap dan tindakan karyawan, cara berpakaian dan penampilannya berpengaruh terhadap persepsi konsumen dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Bauran Proses Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar staf baik middle management dan frontline people mempersepsikan secara positif tentang proses manajemen pemasaran. Hal ini disebabkan karena proses pemasaran yang berlangsung di rumah sakit melibatkan seluruh pelanggan internal rumah sakit. 49
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
management dengan kelompok frontline people Hal ini didukung oleh wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa staf rumah sakit dalam hal ini kepala bidang dan kepala bagian serta kepala sub bidang melakukan pertemuan rutinan setiap bulannya dalam rangka membahas kegiatan pemasaran yang akan dan telah dilaksanakan di rumah sakit.
penampilan fisik telah dipersepsikan secara positif oleh middle management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan negatif seperti produk (52.2%), harga, lokasi dan orang (50%), serta promosi (51.1%). Demikian halnya dengan implementasi dan kontrol sebagian besar telah dipersepsikan secara positif oleh middle management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan secara negatif yaitu masingmasing sebanyak 52.2% dan 51.1%. Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo hendaknya memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang pemasaran kepada seluruh staf rumah sakit dan sebaiknya memanfaatkan persepsi yang positif akan manajemen pemasaran pada kelompok middle manajemen untuk meningkatkan kegiatan pemasaran rumah sakit sehingga tidak hanya berorientasi pada kegiatan promosi.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar riset pasar dipersepsikan secara positif oleh middle management yaitu sebanyak 14 orang (73.7%). Untuk strategi pemasaran yang terdiri atas segmentasi dan target pasar yang dipersepsikan secara positif oleh middle management sebanyak 84.2% sedangkan posisi produk sebagian besar dipersepsikan negatif oleh frontline people sebanyak 51.1%. Bauran pemasaran yang terdiri atas produk, harga, lokasi, promosi, orang, proses, dan
Robbins. 2001. Psikologi Organisasi, Edisi Ke delapan, PT. Prenhellindo, Jakarta. Rustiati dan Rochmah. 2005. Strategi dan Taktik Pemasaran dalam Rangka Peningkatan BOR Ruang Utama Puri Rahayu RSU Negara Kabupaten Jembrana Bali, diakses 1 Desember 2011,
. Soemanegara, R. 2006. ‗Persepsi Peran, Konsistensi Peran dan Kinerja‘, Jurnal Ilmu Administrasi, Desember, p.280-294. Supriyanto, S dan Ernawaty. 2010. Pemasaran Industri Jasa Kesehatan, Edisi I, Penerbit Andi, Yogyakarta. Thoha. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit PT. Mandar Maju, Bandung Utama. Surya. 2003. Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara. Zeithaml, Valarie A. dan Bitner. 2000. Service Marketing 2nd edition : Integrating Customer Focus. New York : Mc Graw Hill Inc.
DAFTAR PUSTAKA Anditasari, P. 2010. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Konflik Peran Dengan Semangat Kerja Karyawan Divisi Teknik Pt. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Mrica Banjarnegara, Skripsi Sarjana, Universitas Diponegoro, Fakultas Psikologi, , Semarang. Assauri, Sofjan. 2011. Manajemen Pemasaran, Edisi XI, Penerbit PT Rajagrafindo, Jakarta. Hurriyati, Ratih Dr. 2008. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen, Penerbit Alfabeta, Bandung. Husain, Umar. 1997. Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Kotler, Philip. 1996. Manajemen Pemasaran: Analisa Perencanaan dan Pengendalian, Edisi Kelima, PT Indeks, Jakarta. Mursid, M. 1997. Manajemen Pemasaran, Edisi II, Bumi Aksara, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Cetakan III, Rineka Cipta, Jakarta.
50
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 51-57
Artikel VIII
PERMINTAAN (DEMAND) MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN ASURANSI KESEHATAN DI PT. ASURANSI JIWA INHEALTH MAKASSAR TAHUN 2012 Public Demand On Health Insurance Utility In Pt. Asuransi Jiwa Inhealth Makassar 2012 Muhammad Rizki Ashari 1, Nurhayani1 1 Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM Unhas ([email protected]) ABSTRAK Salah satu indikator pengembangan sistem asuransi kesehatan adalah jumlah atau proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor formal, Makassar mempunyai porsi tenaga kerja sektor formal yang cukup tinggi yaitu di atas 70% dari semua tenaga kerja. Namun demikian cakupan atau kepesertaan masyarakat terhadap berbagai jaminan kesehatan masih sangat rendah, masyarakat (tenaga kerja) yang tercakup jaminan pembiayaan kesehatan baru 11,35%, sebagian besar tercakup dalam askes, kemudian kartu sehat, Jamsostek dan Askes lain. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui hubungan permintaan (demand) masyarakat terhadap pemanfaatan asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah karyawan PT. Catur Putra Harmonis yakni sebanyak 95 responden yang ditentukan dengan simple random sampling. Pengumpulan data penelitian dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan premi asuransi, (p=0,020), tingkat pendapatan (p=0,000), besar kerugian finansial (p=0,022), persepsi terhadap risiko sakit (p=0,002), perilaku terhadap risiko sakit (p=0,025) dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth. Disarankan pihak PT. Asuransi Jiwa InHealth kiranya memberi informasi yang jelas pada peserta asuransi kesehatan tentang penggunaan asuransi kesehatan agar peserta yang sudah berobat tidak mendapati bahwa jenis pengobatan yang dijalani tidak ditanggung asuransi. Kata Kunci : Permintaan, Asuransi Kesehatan ABSTRACT One indicator of the health insurance system development is the number or proportion of workers who work in the formal sector, Makassar has a share of formal sector employment is high at over 70% of all workersHowever, coverage or membership in the community on various health insurance is still very low, people (labor) are covered by the new health financing 11.35%, mostly covered by health insurance and health cards, Social Security and other Askes. This study aims to find out the relationship of demand of public against health insurance utilization in the PT. InHealth Life Insurance. This type of study is a quantitative research with cross sectional study. Samples were employees of PT. Chess is as much as 95 respondents was determined by simple random sampling. Research data collection using questionnaires. The results showed that there is a relationship of insurance premiums, (p = 0.020), income level (p = 0.000), large financial loss (p = 0.022), perception of risk of illness (p = 0.002), behavior on the risk of illness (p = 0.025 ) with a demand of health insurance in PT. InHealth Life Insurance. Through this study suggested the PT. InHealth Life Insurance would provide clear information to participants about the use of health insurance health insurance for participants who are treated do not have that kind of treatment is doing is not covered by insurance. Keywords: Demand, Health Insurance
51
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
semakin berat bagi penduduk miskin dibandingkan penduduk yang tergolong ekonomi menengah ke atas karena dapat berdampak tidak meratanya atau kesenjangan dalam perolehan pelayanan kesehatan antara masyarakat miskin dengan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Untuk mengatasi hal tersebut , porsi pendanaan publik atau asuransi kesehatan publik. (Thabrany dalam Sistem Kesehatan Adisasmito, 2010 ) Kelambatan perkembangan asuransi kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan di indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek seperti aspek masyarakat, penyedia layanan kesehatan, organisasi penyelenggara asuransi kesehatan (JPKM), dan pemerintah. Dari aspek masyarakat, asuransi dihadapkan dengan permasalahan pengetahuan kesehatan masyarakat yang masih jauh dari cukup, kesehatan masih bukan merupakan prioritas utama masyarakat, budaya masyarakat dalam menghadapi risiko sakit yang masih kurang menguntungkan, dan diperparah dengan keterbatasan kondisi kemampuan ekonomi masyarakat. Dari aspek pemberi layanan kesehatan dapat dilihat bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan di indonesia masih belum efisien ,komitmen para pemberi layanan kesehatan masih belum memuaskan, dan mutu pelayanan kesehatan masih di pertanyakan. Sementara itu dari aspek organisasi asuransi kesehatan (JPKM) belum ditemukan rancangan besar tentang jumlah, sifat, dan bentuk badan penyelenggara asuransi kesehatan (JPKM) yang lebih efisien dan efektif dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat yang sekaligus mempercepat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan agar permasalahan tersebut dapat diminimalisasi atau diatasi. ( Adisasmito, 2010) Pada tahun 2010, total anggaran program kesehatan gratis Sulawesi selatan sebesar Rp 240 miliar. Sikap pemerintah kabupaten/kota itu dinilainya melanggar Nota Kesepahaman (MOU) tentang pembiayaan kesehatan gratis 40 persen ditanggung kabupaten dan 40 persen ditanggung provinsi. (kompas.com). Namun demikian cakupan atau kepesertaan masyarakat terhadap berbagai jaminan kesehatan masih sangat rendah, masyarakat (tenaga kerja) yang tercakup jaminan pembiayaan kesehatan baru 11,35%, sebagian besar tercakup dalam askes, kemudian kartu sehat, Jamsostek dan Askes lain. (Lembaga kajian pembangunan Kesehatan, 2009). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa (BPS,2010) sedangkan jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mencapai 109,7 juta jiwa
PENDAHULUAN Salah satu kunci utama dalam sistem kesehatan dari berbagai negara adalah pendanaan kesehatan. Sistem pendanaan kesehatan yang adil dan merata (equity) mempunyai arti bahwa beban pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan dari kantong perseorangan tidak memberatkan masyarakat. Sebagian besar negara maju telah menerapkan konsep adil dan merata tersebut pada seluruh penduduknya berdasarkan sistem pelayanan kesehatan nasional (National Health Service, NHS), sistem asuransi kesehatan nasional atau sosial, atau melalui sistem jaminan sosial. (Thabrany dalam Sistem Kesehatan Adisasmito, 2010). Berbagai belahan dunia, belanja pemerintah atau belanja sektor publik termasuk melalui suatu sistem asuransi sosial untuk kesehatan rakyatnya, baik dalam bentuk belanja untuk program kesehatan masyarakat maupan belanja untuk pelayanan kesehatan perorangan, merupakan bagian terbesar dari dari belanja kesehatan suatu negara. Adapun alasan pemerintah untuk mengambil peran yang lebih besar adalah karena sifat pelayanan kesehatan yang merupakan pelayanan dasar dari sebuah negara, sifat kebutuhan pelayanan kesehatan yang tidak bisa dipastikan besar biayanya, dan kebijakan publik yang memihak rakyat yang telah lama berkembang. (Pujiyanto, 2005). Kenyataannya bahwa sering tidak tersedianya uang tunai ketika seseorang jatuh sakit menjadi bahan pemikiran yang serius. Menghadapi permasalahan ini, banyak negara terutama justru negara maju memanfaatkan sistem asuransi sedemikian rupa sehingga setiap warga negara atau bahkan setiap penduduk dijamin oleh asuransi untuk keperluan pelayanan medisnya. Sekarang hampir semua negara Eropa sudah menganut sistem asuransi meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Amerika serikat juga menganut sistem asuransi, namun sesuai dengan prinsip hidup mereka bahwa ―setiap individu boleh memilih perusahaan asuransi sendiri dan setiap orang jika mampu boleh mendirikan perusahaan asuransi‖. Jepang dan Singapura juga menganut sistem asuransi yang berbeda dengan yang lain. Korea selatan juga sudah menganut sistem asuransi dan Thailand pun demikian. Indonesia sendiri juga sudah menganut asuransi, tetapi baru bagi sebagian kecil dari warganya. (Basuki dalam Sistem Kesehatan Adisasmito, 2010) Pemerintah berkontribusi sekitar 20% - 30% untuk pendanaan kesehatan secara keseluruhan. Sementara itu, pendanaan oleh sektor swasta yang pada umumnya merupakan pengeluaran dari kantong yang di bayar langsung (Out of pocket/OOP) kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60% 70%. Tingginya pengeluaran OOP ini dirasakan 52
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57
(Agustus 2011) dari 111,3 juta jiwa (Februari 2011). Sehingga jumlah tenaga kerja di Indonesia yang hanya tercakup asuransi kesehatan sebanyak 12.450.950 jiwa (11,35%) yang seharusnya seluruh tenaga kerja tersebut dilindungi oleh asuransi kesehatan (UUD 1945 pasal 28 H-Amandemen ke 2 tentang Jaminan sosial). Salah satu indikator pengembangan sistem asuransi kesehatan adalah jumlah atau proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor formal, Makassar mempunyai porsi tenaga kerja sektor formal yang cukup tinggi yaitu di atas 70% dari semua tenaga kerja (www.bappenas.go.id , 20 November 2011). UU No 13 Tahun 2003 menggunakan sistem outsorcing dan kontrak. Hingga saat ini jumlah tenaga kerja di Indonesia yang menjadi pekerja outsourcing dan kontrak kerja mencapai 65% dari total pekerja formal. Menurut hasil penelitian Rabiah (2002) di Kelurahan Togo – Togo dan Desa Camba – Camba Kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto mengatakan terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan permintaan (demand) masyarakat terhadap program JPKM, yakni semakin tinggi pendapatan maka demand mereka terhadap JPKM akan tinggi. Hasil penelitian Rasyidah (2008) menyimpulkan ada lima faktor yang berhubungan dengan permintaan terhadap asuransi kesehatan di PT. Asuransi Takaful perwakilan Makassar yaitu premi asuransi, persepsi terhadap risiko sakit, besarnya kerugian finansial, pendapatan, dan perilaku terhadap risiko sakit. Menurut data yang di peroleh dari PT. Asuransi Jiwa InHealth saat ini jumlah pengguna asuransi InHealth di Makassar telah mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu pada Tahun 2009 sebanyak 24.000 orang dan pada tahun 2010 sebanyak 3100 orang. Faktor – faktor tersebut di atas merupakan faktor penting yang berhubungan secara langsung dan mempengaruhi permintaan asuransi kesehatan termasuk pada PT. Asuransi Jiwa InHealth.
Teknik ini dipilih karena seluruh populasi mempunyai kualitas relevansi yang sama untuk dijadiikan sampel. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. Uji analisis menggunakan uji Chi-square dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05. HASIL Tabel 1. Distribusi Petani Binaan Dan Non Binaan Menurut Variabel Yang Diteliti Total Variabel Kategori n % Umur 20-29 thn 20 10.1 30-39 thn 56 28.3 > 40 thn 122 61.6 Pengetahuan Kurang 109 55.1 Cukup 89 44.9 Penggunaan Tidak lengkap 150 75.8 Alat Pelindumg Lengkap 48 24.2 Diri (APD) Cara Salah 40 20.2 Penyemprotan Benar 158 79.8 Masa Kerja Lama 198 100 Baru 0 0 Lama Kerja Memenuhi 163 82.3 syarat Tidak memenuhi 35 17.7 syarat Sumber : data primer Karakteristik Responden Sebagian besar responden berusia 31-40 tahun sebanyak 34,7% dan yang terendah responden yang berumur 51-60 tahun sebanyak 7,4%. Berdasarkan jenis kelamin responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 51 orang (53,7%) dan yang berjenis kelamin perempuan sebesar 44 orang yaitu 46,3%. Berdasarkan tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SMA sebanyak 67 orang (70,5%) dan terendah adalah SMP sebanyak 3 orang (3,2%).Berdasarkan lama kerja responden terbanyak sudah bekerja 11 – 20 tahun yaitu 49 responden (51,5%) dan yang paling sedikit responden yang sudah bekerja > 30 tahun yaitu 1 orang (1,1%). Analisis Univariat Tabel 6 menujukkan bahwa umumunya responden memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan tinggi yaitu sebanya 74 orang (77,9%) sedangkan permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah sebanyak 22 orang (33,1%). Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa umumnya responden menyatakan premi asuransi kesehatan rendah yaitu 59 responden (62,1%) sedangkan
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional study yang menggunakan kuisioner sebagai instrumen pengumpulan data. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Asuransi Jiwa InHealth. Populasi penelitian adalah peserta asuransi kesehatan PT.Asuransi jiwa InHealth di PT.Catur Puta Harmonis sebanyak 127 orang. Sampel penelitian merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yaitu sebanyak 95 orang. Pemilihan sampel dengan menggunakan teknik simple random sampling. 53
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
responden yang menyatakan premi asuransi kesehatan tinggi yaitu 36 responden (37,9%). Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan tinggi yaitu 54 responden (56,8%). Sedangkan 41 responden (43,2%) memiliki tingkat pendapatan rendah. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menganggap kerugian finansial yang dialami ketika sakit tinggi yaitu 79 responden (83,2%). Sedangkan 16 responden (16,8%) menganggap kerugian finansial yang dialami ketika sakit rendah. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai persepsi yang baik terhadap risiko sakit yaitu 85 responden (89,5%). Sedangkan sebagian kecil responden mempunyai persepsi yang buruk terhadap risiko sakit yaitu 100 responden (10,5%). Pada Tabel 11 Menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku yang baik terhadap risiko sakit yaitu 57 responden (60,05). Sedangkan sebagian kecil responden mempunyai perilaku yang buruk terhadap risiko sakit yaitu 38 responden (40,0%). Analisis Bivariat Tabel 12 diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak menyatakan harga premi rendah yaitu 51 responden (86,4%). Sedangkan responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak menyatakan harga premi tinggi yaitu 13 responden (36,1%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chisquare diperoleh nilai p = 0.020, Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara premi asuransi dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan Tabel 13 diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak menyatakan tingkat pendapatannya tinggi yaitu 51 responden (94,4%). Sedangkan responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan rendah lebih banyak menyatakan tingkat pendapatannya rendah yaitu 18 responden (43,9%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.000, Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan. Tabel 14 diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak menyatakan kerugian finansial ketika sakit tinggi yaitu 65 responden (82,3%). Sedangkan responden yang mempunyai
permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak menyatakan kerugian finansial ketikka sakit rendah yaitu 7 responden (43,8%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.022, Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara besar kerugian finansial dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan. Tabel 15 diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang baik yaitu 70 responden (82,4%). Sedangkan responden yang mempunyai permintaan asuransi kesehatan rendah lebih banyak mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang buruk yaitu 6 orang (60,0%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.002, Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara persepsi terhadap risiko sakit dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan. Tabel 16 diperoleh hasil bahwa responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak mempunyai perilaku yang baik terhadap risiko sakit yaitu 49 responden (86,0%). Sedangkan responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak mempunyai perilaku yang buruk terhadap risiko sakit yaitu 13 responden (34,2%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.025, Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara perilaku terhadap risiko sakit dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan. PEMBAHASAN Hubungan Premi Asuransi Dengan Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan. Premi asuransi adalah sejumlah uang yang harus dibayar secara berkala oleh seseorang setelah mendaftarkan diri sebagai peserta. Jumlah dan waktu pembayarannya ditetapkan atas dasar kesepakatan antara peserta dan badan penyelenggara asuransi. Terdapat hubungan antara premi asuransi dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak menyatakan harga premi rendah yaitu 51 responden (86,4%). Hal ini disebabkan karena karyawan di PT. Catur Putra Harmonis mempunyai perbandingan dengan asuransi kesehatan lain di perusahaan tersebut. Karena perusahaan memberi dua macam asuransi kesehatan untuk dipilih. Sedangkan responden yang 54
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57
mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak menyatakan harga premi tinggi yaitu 13 responden (36,1%). Hal ini karena umumnya responden mempunyai tingkat pendapatan yang rendah sehingga paket pemeliharaan yang didapatkan tidak selengkap karyawan yang mempunyai jabatan di perusahaan. Premi yang terjangkau dengan sistem pembayaran yang mudah tidak akan membuat karyawan segan untuk ikut asuransi kesehatan. Begitupula sebaliknya, premi yang telalu tinggi akan membuat orang enggan untuk ikut asuransi kesehatan. Mereka juga kemungkinan tidak akan lagi meneruskan kepesertaan asuransi pada tahun berikutnya jika mendapati harga premi yang dibayar tidak sesuai dengan pelayanan baik dari rumah sakit rekanan maupun dari perusahaan penyelenggara asuransi. Salah satu hal yang menjadi keunggulan dari sistem pembayaran premi di PT. Asuransi jiwa InHealth adalah kemudahan pembayarannya. Namun, peserta mengeluhkan pihak rumah sakit rekanan yang hanya mau menerima paket pemeliharaan tertentu saja. Premi yang tidak terlalu tinggi dan pendapatan cukup untuk pembayaran premi mempengaruhi permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi jiwa InHealth. Hubungan Tingkat Pendapatan Dengan Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan. Tingkat Pendapatan adalah sejumlah nilai yang diperoleh dari usaha, kerja, atau imbalan dari hasil usaha yang biasanya dapat diukur pada tingkatan tertentu. Tingkat pendapatan suatu keluarga banyak ditentukan oleh mata pencaharian keluarga tersebut, disamping kecakapan (skill) yang dimiliki. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang mempunyai permintaan(demand) asuransi kesehatan yang tinggi sebagian besar menyatakan tingkat pendapatannya tinggi yaitu 51 responden (94,4%). Sedangkan responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan rendah menyatakan tingkat pendapatannya rendah yaitu 18 responden (43,9%). Seseorang dengan tingkat pendapatan yang tinggi akan cenderung memilih pelayanan apa yang digunakan. Namun tidak demikian dengan responden yang mempunyai tingkat pendapatan rendah. Kebutuhan pokok adalah yang utama dan menjadikan asuransi kesehatan adalah kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan pokok tertutupi. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasyidah (2002) di kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto yang menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat
pendapatan dengan permintaan (demand) masyarakat terhadap jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM). Hal ini pula sejalan dengan penelitian Rabiah (2002) di PT. Asuransi Takaful Makassar yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan Permintaan (demand) asuransi kesehatan. Menurut Murti (2000), peningkatan pendapatan meningkatkan kemampuan membayar (ability to pay) dengan harga lebih tinggi untuk kualitas permintaan yang sama. Sebaliknya meningkatnya pendapatan, makin rendah permintaan akan barang inferior pada semua tingkat harga. Di sektor kesehatan, contoh barang inferior adalah pelayanan kesehatan di Puskesmas. Hubungan Besar Kerugian Finansial Dengan Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan Besar kerugian finansial adalah suatu kuantitas untuk mengukur jumlah kerusakan atau kerugian materil/ekonomi yang ditimbulkan oleh peristiwa sakit atau kecelakaan yang terjadi. Dalam penelitian ini di definisi operasionalkan menjadi perkiraan peserta terhada risiko-risiko finansial yang harus ditanggung ketika sakit. Hasil analisis diketahui bahwa terdapat hubungan antara besar kerugian finansial dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehtan yang tinggi lebih banyak menyatakan besar kerugian finansial ketika sakit tinggi yaitu 65 responden (82,3%). Hal ini disebabkan karena pengalaman responden yang telah mengalami tingginya biaya pengobatan tanpa asuransi. Sedangkan responden yang mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak menyatakan besar kerugian finansial ketika sakit rendah yaitu 7 responden (43,8%). Sebagian besar responden yang memperkirakan kerugian finansial mereka rendah ketika sakit karena sakit yang biasa mereka alami hanya memperbesar pengeluaran saja, tidak sampai harus menguras tabungan apalagi harus menjual aset. Dan juga tidak adanya sistem potong gaji jika tidak masuk kantor saat sakit. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan rumah sakit akan terasa berat jika tidak mempunyai persediaan uang atau orang yang ditempati untuk meminjam. Responden yang sadar akan hal itu memperkirakan kerugian finansial mereka saat sakit tinggi. Dan karena pengalaman mereka atau salah satu anggota keluarga yang mengalami jenis pengobatan rawat inap atau operasi dan rawat jalan di dokter ahli. Hubungan Persepsi Terhadap Risiko Sakit Dengan Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan 55
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
Persepsi terhadap risiko sakit adalah persepsi individu tentang kemungkinan atau ketidakpastian seseorang mengalami sakit yanag mendorongnya untuk melakukan tindakan antisipatif dengan memanfaatkan jasa asuransi. Hasil analisis diketahui bahwa terdapat hubungan antara persepsi terhadap risiko sakit dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi lebih banyak mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang baik yaitu 70 responden (82,4%). Sedangkan respoonden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih banyak mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang buruk yaitu 6 responden (60,0%). Sebagian persepsi responden terhadap risiko sakit cukup baik. Hal ini disebabkan karena mereka memahami risiko sakit yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja yang bisa menyebabkan berbagai kerugian (fisik, waktu, aktivitas, finansial, pekerjaan, dsb. Juga karena faktor umur dengan kelompok terbanyak antara 30 – 50 tahun yang merupakan umur produktif dan sudah mulai mudah terserang penyakit degeneratif seperti diabetes, kolesterol, hipertensi, dll. Sedangkan responden yang mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang buruk sehingga permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatannya rendah disebabkan karena jarangnya penggunaan asuransi kesehatan (jarang mengalami jenis pengobatan seperti rawat inap/operasi) dan kebiasaan menguras tabungan saat berobat. Umur yang masih muda, tidak mempunyai tanggungan, dan status yang masih lajang terkadang tidak terlalu memperdulikan risiko sakit. Jika selama menjadi peserta karyawan menilai asuransi kesehatan memberi manfaat lebih banyak dari uang yang dikeluarkan maka mereka memilih untuk meneruskan kepesertaan mereka tahun berikutnya. Namun disini perusahaan memberikan kebebasan kepada karyawan untuk memilih mau mengambil/meminta jasa asuransi kesehatan InHealth atau hanya menggunakan Jamsostek saja. Hubungan Perilaku Terhadap Risiko Sakit Dengan Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan. Perilaku terhadap risiko sakit adalah sikap individu terhadap hal-hal merugikan dan tidak diharapkan yang terjadi akibat sakit. Perilaku ini menunjukkan bagaimana individu menyikapi kemungkinan risiko yang terjadi setelah sakit. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku terhadap risiko sakit dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan tinggi lebih banyak mempunyai perilaku terhadap risiko sakit yang baik yaitu 49 responden (86,0%). Pada umumnya responden memilih asuransi kesehatan untuk mengatasi risiko yang ditimbulkan sewaktu – waktu ketika sakit. Juga kecenderungan apabila sakit langsung berobat ke dokter daripada mengobati diri sendiri dengan cara tradisional atau membeli obat di apotek. Makin besar bersifat penghindar risiko, makin besar biaya risiko murni, dan makin besar kemauan membayar premi asuransi. Karena dengan membeli asuransi, seorang penghindar risiko tidak hanya mengubah kondisi yang tak pasti menjadi pasti berkenaan dengan peristiwa sakit, tetapi juga memperoleh kepuasan yang lebih tinggi daripada tidak telindungi asuransi.(Bhisma murti, 2000). Kesibukan dan aktivitas yang terganggu ketika sakit membuat mereka berusaha untuk cepat sembuh. Bagi karyawan swasta, secara profesional ketidakhadiran di kantor satu hari membuat pekerjaan menumpuk. Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan Permintaan (demand) asuransi kesehatan adalah kemauan dan kemampuan peserta untuk membayar harga asuransi kesehatan sehingga tetap terdaftar sebagai peserta aktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang tinggi yaitu 74 responden (77,9%). Sedangkan responden yang memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah yaitu 21 responden (22,1%). Hal ini menunjukkan bahwa peserta asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth sadar dan berminat akan asuransi kesehatan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi tersebut. Tingginya permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth sendiri karena sebagian besar responden penelitian ini adalah karyawan PT. Catur Putra Harmonis dimana untuk asuransi kesehatan disubsidi oleh perusahaan. Tunjangan kesehatan ini disatukan paketnya dengan total keseluruhan gaji. Hal ini juga tak lepas dari kebijakan perusahaan untuk mengikat kontrak atau melepas kontrak dengan perusahaan asuransi tersebut. Namun dalam hal ini karyawan diberi kebebasan memilih untuk mengambil/meminta jasa asuransi kesehatan InHealth atau hanya menggunakan Jamsostek saja. Seorang pasien yang telah memutuskan untuk membeli produk asuransi kesehatan sebelumnya telah melalui suatu proses yaitu proses pengambilan keputusan pembelian preoduk asuransi kesehatan. Proses pembelian yang spesifik terdiri dari pengenalan masalah kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian.
56
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57
KESIMPULAN Hasil penelitian menyimpulkan terdapat hubungan antara Premi asuransi, tingkat pendapatan, besar kerugian financial, persepsi terhadap risiko sakit, perilaku terhadap risiko sakit dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth.
SARAN Pihak PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar kiranya memberi informasi yang jelas pada peserta asuransi kesehatan tentang penggunaan asuransi kesehatan. Perlu adanya evaluasi kontinyu mengenai kualitas pelayanan rumah sakit rekanan yang ditunjuk oleh pihak perusahaan asuransi.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito wiku. 2010 Sistem Kesehatan. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Ahmad, Rasyidah.2007.Analisis Permintaan Asuransi Kesehatan Oleh Peserta Asuransi Kesehatan PT.Asuransi Takaful Perwakilan Makassar. Makassar : Skripsi Tidak Diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Tjiptoherjanto, Prijono dan Budhi Soestoyo. 2008 Ekonomi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Rahardja,Prathama dan Manurung. 2002 Pengantar Ilmu Ekonomi, Edisi Pertama. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Profil Kesehatan Kota Makassar. 2008. Data dan Informasi Kesehatan. Diakses Tanggal 25 November 2011 Melalui Data Kesehatan.2010. Program Pelayanan Kesehatan Gratis. Diakses tanggal 28 November 2011 melalui http://datinkessulsel.files.wordpress.com/2009/ 01/profil-makassar-07.pdf Murti, Bhisma. 2000. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan. Yogyakarta : Kanisius. Rabiah. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Demand Masyarakat Terhadap Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Di Kecamatan Batang Kabupaten
Jeneponto, Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Pujiyanto, 2005. Strategi Pemasaran dalam Iklan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Razak Amran. 2010. Asuransi Kesehatan (Health Insurance). Makassar : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. TribunNews.2011.Jumlah Angkatan Kerja di Indonesia Turun 2 Juta Orang.Diakses tanggal 29 November 2011 melalui http://www.tribunnews.com/bisnis Bappenas.2007. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan. Online:Http://www.Bappenas.go.id. 2007. Diakses tanggal 20 November 2011 Inhealth.2011. Media Inhealth.Online:Http://www.Inhealth.Co.id . 2010. Diakses Tanggal 20 November 2011 LKPK.2009. Program Sistem Penjaminan Biaya Pelayanan Medik seharusnya Menjadi Fokus Kegiatan Depkes 5 tahun mendatang.Online:Http://www. LembagakajianPembangunankesehatan . 2009. Diakses Tanggal 28 November 2011
57
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 58-62
Artikel IX
MEMPERKENALKAN KOMUNITAS ANTI ROKOK DI DAERAH BONEBONE KAWASAN ENREKANG- INDONESIA Introducing A Smokeless Community In The Bone-Bone Area The District Of Enrekang - Indonesia Mappeaty Nyorong Tenaga Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas Makassar ABSTRAK Perilaku merokok masyarakat Indonesia sudah menjadi hal yang umum, sehingga seolah-olah tidak ada lagi ruang atau komunitas yang bebas asap rokok. Namun, dalam kenyataannya bahwa terdapat sebuah desa yang komunitasnya tidak ada satupun orang yang merokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkenalkan desa bebas asap rokok yang melibatkan seluruh penduduk. Desa Bone-Bone Bebas Asap Rokok lahir dari seorang penduduk bernama Idris yang memulai melakukan pendekatan kepada pemangku adat di Bone-Bone agar berhenti merokok. Lama-kelamaan gagasan itu merambah ke seluruh warga dan akhirnya diterima gagasan itu sebagai sebuah perilaku berhenti merokok. Kata kunci : Merokok, Indonesia ABSTRACT Indonesian’s people smoking behavior has become a coomon thing, that as if there no more room or community were smokeless. However, in reality there is a village with none smoker. This research aims to introduce smokeless village that involved all of the population. Bone- bone smokeless village born from a resident named Idris who approach the indigenous stakeholder in Bone- bone so that they could stop smoked. By time, that idea became overspread among those population and finally accepted as stop smoking behavior. Key Words : Smoking, Indonesia INTRODUCTION According to Reid (1985) tobacco was introduced in Indonesia in the 16th century. In traditional Indonesian society, being offered a cigarette during wedding party, or celebration. Tobacco use has been identified as an important risk factor for many non-communicable diseases both in developed and developing countries. To date, about one-third of the world‘s population smokes, mostly in China, India and Indonesia. These three Asian countries with large populations have been the main target for tobacco companies‘ expansion. The three leading tobacco company in Indonesia, Gudang Garam, Ji Sam Su and Bentoel, produced 146 billion cigarettes in 2004. The acquisition of 97 % of HM Sampoerna, Indonesia‘s third largest tobacco company in 2004, by Philip Morris International in 2005 intensifies the threat to tobacco control efforts in Indonesia. Indonesian Government Regulation Indonesian government under Megawati Soekarnoputri‘s administration, declared the Government Regulation No. 19/2003, that smoking was banned in such areas as (1) children‘s areas, (2) schools, (3) places of worship, and (4) public
transportation stations. The regulation has not worked because most of those areas have many smokers. For example, in children‘s areas, when someone wants to pick up his child, he will smoke a cigarette while waiting to ease the boredom. In schools, many teachers are smokers and will smoke while teaching class. At school, students often see the teachers smoking in their offices, in the schoolyard or even in the classroom. In places of worship, such as mosques, many Imams and others mosques‘ officers are smokers. In public transportation, many bus drivers are smokers. Smoking is culturally accepted Let see, if you visit to the Indonesian house, especially in rural areas, you will find on the table guest lay of an ash tray, and very common people with their guest engaged in speaking while they are smoking in the guest room. Male villagers smoke during social gatherings and during the traditional dance or musical shows that are occasionally performed in villages, for example during birth and wedding ceremonies, as well as religious festivals. In grieving ceremonies, villagers come together and spend the night praying 58
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 58-62
and sharing feelings, snacks, coffee, and cigarettes. In addition, cigarettes were often used as a ‗gift‘ to friend, visitors, or guests In traditional or religious ceremonies. Many people shared the same social norms as the community as whole; when you are offered a gift, it is impolite to refuse it. Meet with a friend by chance at any places, they offered cigarette, as a greeting, to be friendly. Cigarettes were used to increase the boys‘ social status among their friends. If they smoked a ‗good‘ expensive and popular cigarette brand, they felt more confident, more mature and richer than their peers. For them, tobacco and smoking play important roles in making friends. Smoking is reflection of being in a group and being a smoker among their smoking peers is a sign of solidarity. The overwhelming majority of smokers begin tobacco use before they reach adulthood. Among those young people who smoke, nearly one-quarter smoked their first cigarette before they reached the age of ten. Several factors increase the risk of youth smoking. These include tobacco industry advertising and promotion, easy access to tobacco products, and low prices. Peer pressure plays an important role through friends‘ and siblings‘ smoking. Other risk factors associated with youth smoking include having a lower self-image than peers, and perceiving that tobacco use is normal or ―cool‖ . Many studies show that parental smoking is associated with higher youth smoking. While the most serious effects of tobacco use normally occur after decades of smoking, there are also immediate negative health effects for young smokers. Most teenage smokers are already addicted while in adolescence. According to F. Moeloek (2002), the majorities‘ of smoker families spent about 10 % of their income for cigarettes. While in Sukabumi, West of Java found that about 13% of the total income was spent for cigarettes. People known cigarettes as either white cigarette, or clove cigarette. The white cigarette includes Marlboro, Salem, U mild, and clove cigarette, like Bentoel, Ji Sam Su, Gudang Garam. the factory of that cigarette in Java. In fact that a lot of people use clove cigarette for smoking it might be cause of the availability of cigarettes in the all countries of Indonesia. Tobacco is an important part of the society Global consumption of cigarettes has been rising steadily since manufactured cigarettes were introduced at the beginning of the 20th century. While consumption is leveling off and even decreasing in some countries, worldwide more people are smoking, and smokers are smoking more cigarettes. The numbers of smokers will increase mainly due to expansion of the world‘s population
Smoking takes on particular meaning during culturally significant life events such as wedding party, circumcision of boys aged 10-12 years in rural areas. In traditional Indonesian society, being offered a cigarette during circumcision ceremonies signal a young man‘s entry into adulthood and maturity. This is a symbolic act that also serves to introduce smoking as a normative behavior among adult males. the height of the relationship between respectable masculinities and smoking. Male smokers saw themselves as having self-control and as being connoisseurs. Smoking brought men of different backgrounds together. It gave odour and visible shape to spaces socially constructed as male. Women who entered such space not only risked infusing their clothes with its smell; they put their respectability into question. As the immediate preFirst World War period saw increasing challenges from women's groups who demanded citizenship rights, smoking was more and more used as a ritual to exclude women from the public sphere and fuller rights. Yet even during this period when smoking by women was culturally outlawed, an emergent group of women appropriated the liberal symbolism of the ritual to challenge the limits that separate spheres ideology placed on female citizenship and demanded the "right" to smoke. Greater acceptance of women smoking occurred after the war as they gained more citizenship rights and increasingly worked in public places. Though the concepts were often inseparable, class and gender related differently to notions of the liberal individual. Once again, smoking provides insights. In the late nineteenth century, tobacco was inexpensive enough that almost all men could smoke, regardless of class. However, not all men could afford to smoke highly esteemed tobacco, and the value placed on the tobacco reflected on the character of the smoker. The symbolic consequences of smoking poorly regarded tobacco worked differently for the rich and the poor. A wealthy man could smoke a low-quality tobacco and in the end still be rich, whereas for a poor man to smoke an inferior tobacco was seen as a reflection of his character and a cause of his class position. Similarly, there were considerable material barriers to following the gender prescriptions of space around smoking. Not everyone could provide a separate space for male smokers, and the consequences of being unable to segregate the sexes by smoking reflected on the character of the smoker and any women present. Yet men could demonstrate their class by exhibiting self-control in public situations and refraining from smoking when in the presence of women. Self-control also became a class issue since the amount of time a man could spend smoking was limited by his job, making it difficult for him to live 59
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
up to the ideal of the leisurely, self-controlled smoker. Conversely, working-class poverty could be blamed on a man's excessive smoking. Religious Views On Smoking In most major religions in Indonesia, Islam, Christian, Hinduism, Buddhist and Confucianism, tobacco smoking is not specifically prohibited, although it may be discouraged as an immoral habit. The major countries of Southeast Asia, However, in some areas like in Brunei, Indonesian neighbor, the majority of Islamic leaders stated that smoking is prohibited for the Muslim; therefore, smoking in Brunei is banned. To day, the Islamic leaders of Indonesia still debated about smoking in Islamic view. Whether smoking is discouraged or prohibited for Muslims remains debatable worldwide. I read Kompas yesterday; stated that the Indonesian Islamic Council meeting on January 23-26, 2009, finally makes a decision dealing with cigarette smoking. The conclusion of that meeting was that smoking is banned for children, youth and pregnant women. Therefore, Islamic followers will not be confused in the next coming year. The community of Bone-Bone The community under examination is a community of people who are located in Bone-Bone. This is one of the villages in the sub district of Baraka, in the District of Enrekang. This community, some time ago, was not yet known as a community, which had special characteristics. However, as the thoughts of individuals have developed in modern times, the social behavior of its citizens is changing. Approaching the sub village of Bone-Bone, there is a sign on the left hand side of the road that states ―Dusun Bone-Bone Dusun Sehat‖ (The BoneBone sub village is a healthy sub village). And also ―Enjoy the beautiful scenery and the fresh of air of our sub village‖. This sign made of a big billboard. Another billboard states that ―Thank you for not smoking at Bone-Bone area‖. Those billboards placed at about 2 km away from the Bone-Bone, which also as place for everyone who want to smoking. As usually visitor comes to this place to have smoking and back again to Bone-Bone. This area marked as the border between smoker and non smoker people. Before 2001, only a portion of the village inhabitants in the Bone-Bone sub district of Baraka Kabupaten Enrekang smoked, with various reasons and views about smoking. Various Psychological aspects also go along in coloring the reasons for smoking. Such as smoking has its own enjoyment, one appears manly and looks macho. The boys emphasized that smoking is common everywhere among men and that this has been the case ever since
tobacco was first smoked. At home at least one of their family members smoked and in their social life of their friends were smokers. However, it seems as if the non-smokers perceived fewer smoker around them, whereas the smokers stressed that ‗everybody smokes‘. The people of Bone-Bone who smoked at that time started from school kids to old people. There is no choice place to smoke, one can smoke anywhere except the Mosque. There is smoking in village meetings, if there is a ceremony such as a wedding, a death, or a circumcision. The point is one can smoke anywhere—at the house, in the garden or in the rice fields. When smoking, also there is no choice time, a person starts in the morning, continues through the afternoon and into the evening. Smoking is something that cannot be left behind in everyday life, many people smoke after they eat, drink coffee, or work in the rice fields. This theme reflect the norms and values relating to smoking in most Indonesian society as described by the boys, the reasons for their smoking, their perceptions of health risks and their beliefs on addiction and on quitting. The rise of the changing behavior In 2000, there emerged a new tendency about smoking, that is—smoking causes more harm than good—was born out of a religious lecture during the month of Ramadan by Chairuddin, the imam at the Al Hamra Cakke Mosque. It was evident that the citizens were struck with this view, and then Idris the village head took initiatives to survey the opinions of some of the citizens concerning smoking. After planning with various community leaders, an announcement was made saying ―Dusun BoneBone Bebas Asap Rokok‖ or ―The village of BoneBone is Smoke-Free‖. On Friday, where all the male citizens were at the Nurul Huda Mosque for Friday prayer, there was not one male who did not hear this announcement. People who smoke of course had other opinions about the agreement of the announcement. Various views in opposition or support arose; however, it has become clear that currently, not one person in the village of Bone-Bone smokes. If there is a person who must smoke, especially visitors, they may smoke outside of the village, under the billboard that says Dusun Bone-Bone, Dusun Sehat or the Sub Village of Bone-Bone is a Healthy Sub Village. This billboard was brought by the Republic of Indonesia‘s Department of Health, to begin promoting health. The cold weather in Bone-Bone makes many people chase away the feeling of coldness by taking cigarettes because of the cold weather. In 2000, Surip Mawardi, a researcher from Jember, East Java and Blair Krueger from Hayward California USA a coffee specialist from Atlantic specially Coffee 60
Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 58-62
Incorporated, measured Bone-Bone‘s sea level and confirmed that Bone-Bone is 1.500 meter above sea level. Currently there are over 600 people in BoneBone and about 108 households. The Bone-Bone settlement, in terms of the local government‘s stance, is a sub-village; however, in 2007 its status rose, so the local government became a village. In 2008, there was a village level election to choose a leader. The majority of Bone-Bone voters elected Idris as the village head. The village of BoneBone covered three areas: Buntu Billa, BunginBungin and Pendokesan, with a total number of 134 households. In 1999, Idris, the head of sub-village, before the risen status as a village, graduated from the State Islamic Religious Institute ―Alauddin‖ in Makassar, from the faculty of Ushuluddin, Department of Da‘wah appointed by the Bone-Bone villager as the head of the sub-village. He always paid close attention to the every-day lives of the population of Bone-Bone, particularly to the aspects of education and Islamic life. All the inhabitants of the village of Bone-Bone are from the religion of Islam and adhere to the five daily prayer schedules. Moreover, villagers also follow the Islamic code. For women who have matured and even female children, it is necessary to wear the jilbab, like a hat which covered the whole head, on their heads, according to the villagers, if women is not wearing jilbab, then she must be from outside the village. The people of Bone-Bone are Muslims and must memorize at least ten short verses from the AlQuran. The children must memorize at least the last part of the Al-Quran so it is certain that the entire population is not illiterate in terms of reading the AlQuran. The whole populations are literate in Latin character; therefore all citizens can read both Al Quran and reading materials in Latin character. The emerging of smoke-free village Chairuddin is an Imam in two Mosques; the Alhamra Mosque and the Haji Andi Liu Mosque, both are located in Cakke. While he holds his Imam positions, he is also a teacher at a secondary school, who had come to Bone-Bone to give lectures in 2000. His lectures discussed the importance of fasting during Ramadan in 2000 and also gave lectures about the dangers of smoking on the last fasting day. Those religious lectures are what inspired Idris to implement a Free-smoking sub-village. In fact, Idris was not alone, one by one friends and colleagues came to Idris to discuss the smoking issue. Discussions dealing with smoking were held at the Nurul Huda Mosque in Bone-Bone after completing the 6 pm prayer. Not long after the process of
convincing the population of the dangers of smoking, the sub village became smoke free because the population, schoolteachers, and Imams also supported the notion of ―dusun bebas rokok‖. It is clear who was supporting Idris‘s ideas, who came to be called the Idris‘s team: Firdaus, imam of Nurul Huda Mosque, Bone-Bone; Amiruddin, Community Leader; Abdul Wahid; Aris; Idris, Village Head; Darwis; Tamrin, a Islamic schoolteacher; Arifin, a grade school teacher .These eight people pushed the program to the population and influenced the entire community. In 2001, the announcement in the Nurul Huda Mosque in Bone-Bone said that Bone-Bone would become smoke-free for the following reasons: Smoking impedes on ones education; Smoking is harmful to your health and others; Smoking is not a productive way to spend your money and time; Verses in the Al-Quran forbid smoking, according to Ibn Taimiyah‘s interpretation, an Islamic scholar. The risen of problem The commitment has been announced and there has been a positive response from the villagers, which was fine for those who do not smoke. However, what about those who do smoke? What are their views? Theoretically, according to Aditama (1997: 62) it is not easy for a person to stop smoking because, ―there is an addiction to the nicotine in cigarette smoke‖ and a ―psychological factor that leaves a sense of loss, if the person is not smoking‖. For those who are smokers, there were a variety of reactions to the announcement ―Bone-Bone dusun bebas asap rokok‖; most of the reactions were light. Although smokers did not agree, some remained silent while others protested. In fact, in the year of 2005, all of the inhabitants were no longer smoking, that means the program of the village head was successful. Today he tries to improve his village by using skills training, such as how to grow coffee beans properly, instead of traditionally. The overarching question is why are all the citizens in Bone-Bone submissive to the nonsmoking commitment agreement? More specific my questions include: What is the role of the Idris team‘s as charismatic leaders? Are non-smoking people in Bone-Bone the norm of the village system? What is the punishment for those who decide to smoke? The last, finally Let me telling you a story, in the year of 2007, when the Head of the District of Enrekang, let say, named La Tinro, he was a heavy smoker. One day, while speaking to his staffs about Bone-Bone, the staff said that you couldn‘t go to the Bone-Bone sir. Why? he asked, because you are a heavy smoker, in fact people of Bone-Bone banned smoking in their 61
Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013
area. Ok, the Head of the District says, I quit smoking right now. He putts his butt and order to clean up off his office, take out all of my cigarettes. Now, it seems like hypnosis, as Mettlin‘s consider, one of the techniques for modifying smoking behavior. The success of La Tinro, quit smoking should be a model, or become a local government
tobacco control policy should emphasize a smoking free society as norm, especially (1) children‘s area (2) schools, (3) place of worship and (4) public transportation station and regulations regarding the banning of smoking should be enforced at all levels and areas of community. Of course, it will be risen a protest.
DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga, (1997). Rokok dan Kesehatan. Edisi ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia Press Basyir, Abu Umar, (2005), Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok?, Jakarta: Pustaka AtTazkia Bouman, P. J. (1980). Ilmu Masyarakat Umum: Pengantar Sosiologi. Cetakan ke 16. Jakarta: P.T. Pembangunan. Hans H. Gerth dan C. Wright Mills (1946). Max Weber: Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Henslin, James M. (2006), Sosiologi: dengan Pendekatan Membumi. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jarrett, Rudy. (2005). Freedom to Smoke. Worldwide, PQ, CAN: McGill-Queen's University Press Mackay, Judith and Eriksen, Michael (2002). The Tobacco Atlas. Geneva: WHO
Kompas, (2009), Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang merokok. Surat Kabar Harian Kompas, Jakarta, tgl. 27 Januari 2009. Reid A., (1985), From betel-chewing to tobacco in Indonesia. J Asian Stud 1985; 44: 529-547. Strauss, Anselm and Corbin, Juliet, (1990). Basis of qualitative research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Newbury Park: Sage Publications Wolinsky, Fredric D. (1988). The Sociology of Health: Principles, Practitioners, and Issues. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Traquet, Claire Chollat. (1996). Evaluating Tobacco Control Activities: Experiences and Guiding Principles. Geneva: World Health Organization Twaddle, Andrew C. and Hessler, Richard M. (1987). A Sociology of Health. 2th edition. New York: Macmillan Publishing Company.
62
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL MKMI Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: ………………………………………………………………………………..
Alamat
: ……………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………..
Wilayah *lingkari
: 1. Dalam Kota Makassar 2. Luar Kota Makassar
Telepon
: ………………………………………………………………………………..
Email
: ………………………………………………………………………………..
bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) : Rp. 200.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Luar Kota Makassar, ongkos kirim) Rp. 150.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Dalam Kota Makassar)
…………….…………………,2013
(………………………………………)
Pembayaran ditransfer ke: NO. Rek BNI. 0277269148 a.n. Ibu Ida Leida Maria, SKM Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697) d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013. E-mail: [email protected]