MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
ISSN 0216-2482
The Indonesian Journal of Public Health Volume 8, Nomor 4, 2012 Pengaruh Edukasi Terhadap Perubahan Pengetahuan Dan Sikap Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Hamil Di Kota Parepare Haniarti Uji Daya Hambat Dan Analisis KLT-Bioautografi Perasan Buah Sawo Manila (Achras zapota Linn) Terhadap Bakteri Uji Salmonella Thyposa Mardiyah Mustary, M.Natsir Djide, Ilham Mahmud, Nursiah Hasyim Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Karies Gigi Pada Pasien Peserta Jamsostek di Tempat Praktek Dokter Gigi Swasta Kota Gorontalo Faisal Idrus Faktor yang Berhubungan dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) di RSIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2011 Alia Faradilah Issyaputri Hubungan Partisipasi Jumantik Dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Kecamatan Rappocini Tahun 2011 Fuji Zulviana, Hasanuddin Ishak Gambaran Kesenjangan (GAP) Dimensi Kualitas Pelayanan Berdasarkan Persepsi Manajemen Dan Persepsi Pasien Di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2012 Rosmaida Nasrul, Alimin Maidin, Syahrir A. Pasinringi Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Voluntary Counseling And Testing (VCT) Di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012 Jirana Nurul Ananda, Ridwan Amiruddin, Rismayanti Faktor Risiko Kejadian Abortus Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Pertiwi Makassar Tahun 2011 Wiwian Wulandari, Zulkifli Determinan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Andi Dian Puji Lestari, Jumriani Ansar
MKMI
Volume 8
Diterbitkan oleh Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Makassar ISSN No. 4 Hal. 191-246 Oktober 2012 0216-2482
MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesian Journal of Public Health Volume 8, Nomor 4, Oktober 2012
ISSN 0216-2482
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah di bidang kesehatan, baik laporan penelitian (original article research paper), makalah ilmiah (review paper) maupun laporan kasus (case report) dalam bahasa Indonesia atau Inggris.
Penanggung Jawab M. Alimin Maidin (Dekan FKM UNHAS) Pemimpin Redaksi Ida Leida M. Thaha Wakil Pemimpin Redaksi Wahiduddin Redaksi Pelaksana Lalu M.Saleh Devintha Virani Redaksi Kehormatan Veni Hadju (Ketua) A. Razak Thaha Amran Razak Asiah Hamzah Ridwan Thaha Hasanuddin Ishak Tahir Abdullah Mitra Bestari Peter Davey (Griffith University) Tomoyuki Shibata (Northern lllinois University) Umar Fahmi Achmadi (FKM Universitas Indonesia) Bambang Sutrisna (FKM Universitas Indonesia) Kuntoro (FKM Universitas Air Langga) Purnawan Djunadi (FKM Universitas Indonesia) Irawan Yusuf (FK Universitas Hasanuddin)
Penerbit Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Triwulan) (Maret, Juni, September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat dialamatkan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697) d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013 E-mail:
[email protected]
MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesian Journal of Public Health Volume 8, Nomor 4, Oktober 2012
ISSN 0216-2482
DAFTAR ISI Pengaruh Edukasi Terhadap Perubahan Pengetahuan Dan Sikap Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Hamil Di Kota Parepare Haniarti
192 –197
Uji Daya Hambat Dan Analisis Klt-Bioautografi Perasan Buah Sawo Manila (Achras Zapota Linn) Terhadap Bakteri Uji Salmonella Thyposa Mardiyah Mustary, M.Natsir Djide, Ilham Mahmud, Nursiah Hasyim
198 – 200
Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Pasien Peserta Jamsostek Di Tempat Praktek Dokter Gigi Swasta Kota Gorontalo Faisal Idrus
201 - 205
Faktor Yang Berhubungan Dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (Imd) Di Rsia Siti Fatimah Makassar Tahun 2011 Alia Faradilah Issyaputri
206 - 212
Hubungan Partisipasi Jumantik Dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini Fuji Zulviana, Hasanuddin Ishak
213 - 218
Gambaran Kesenjangan (GAP) Dimensi Kualitas Pelayanan Berdasarkan Persepsi Manajemen Dan Persepsi Pasien Di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar Rosmaida Nasrul, Alimin Maidin, Syahrir A. Pasinringi
219 - 224
Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Voluntary Counseling And Testing (VCT) Di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012 Jirana Nurul Ananda, Ridwan Amiruddin, Rismayanti
225 - 232
Faktor Risiko Kejadian Abortus Spontan Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Pertiwi Makassar Tahun 2011 Wiwian Wulandari, A. Zulkifli Abdullah
233 - 239
Determinan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di Kota Makassar Andi Dian Puji Lestari, Jumriani Ansar
240 – 246
PEDOMAN UNTUK PENULIS
Pengiriman Naskah Makalah yang dikirimkan untuk dimuat dalam Media Kesehatan Masyarakat Indonesia belum pernah dipublikasikan dan tidak dikirimkan ke penerbitan lain pada waktu yang bersamaan. Naskah diketik dalam format *.doc/ *.docx (Microsoft Office Word) dan dikirimkan dalam bentuk Print Out sebanyak rangkap 2 (dua), dengan file yang tersimpan dalam CD. Persiapan Teknis Makalah Naskah diketik pada kertas berukuran 8,27” x 11,69” (A4), dengan batas tepi (margin) 1” (2,5 cm), huruf (font) Times New Roman, besar huruf (font size) 12 point dan menggunakan spasi 2 (double space). Setiap bagian/ komponen dari naskah dimulai pada halaman baru, dengan urutan sebagai berikut: halaman judul, abstrak, kata kunci (key words), teks keseluruhan, ucapan terima kasih, daftar pustaka, table dan gambar (setiap tabel dan gambar pada halaman terpisah). Nomor halaman dicantumkan secara ber-urutan dimulai dari halaman judul pada sudut sebelah kanan bawah. Halaman Judul Halaman judul (halaman pertama) harus mencakup: a. Judul makalah yang dibuat sesingkat mungkin, spesifik dan informatif b. Nama dan alamat setiap penulis, nama departement dan lembaga afiliasi penulis c. Nama dan alamat penulis untuk korespondensi serta nomor telpon, nomor faximile dan alamat e-mail. Abstrak dan Kata Kunci (Key Word) Halaman kedua memuat abstrak yang tidak terstruktur dalam 1 (satu) paragraph dan tidak lebih dari 200 kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak laporan penelitian harus berisi latar belakang, tujuan penelitian, metode, hasil dan kesimpulan. Abstrak dibuat singkat, informative dengan menekankan aspek baru dan penting dari laporan penelitian. Kata kunci (key word) dicantumkan dibawah abstrak pada halaman yang sama sebanyak 3 – 10 kata. Gunakanlah kata-kata yang sesuai dengan daftar pada Index Medicus. Teks Teks makalah laporan penelitian dibagi dalam beberapa bagian dengan judul sebagai berikut: Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (materials and Methods), Hasil (Result), dan Diskusi (Discussion). Uraikan teknik statistic secara rinci pada metode untuk memudahkan para pembaca memeriksa kembali hasil yang dilaporkan. Teks makalah ilmiah dibagi dalam Pendahuluan, Isi, Pembahasan dan Kesimpulan. Ucapan Terima Kasih Terutama ditujukan kepada 1) pihak-pihak yang memberikan bantuan dana dan dukungan, 2) dukungan dari
bagian dan lembaga, 3) para professional yang memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis sesuai dengan cara penulisan menurut Vancouver dan hanya mencantumkan kepustakaan yang dipakai dan relevan. Rujukan diberi nomor urut dengan menggunakan angka arab dan dalam teks nomor urut dituliskan dengan tanda kurung. Table dan gambar diberi nomor sesuai dengan urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka arab. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Rujukan yang telah diterima suatu jurnal tetapi belum dipublikasikan harus di tambah perkataan ”in press” a. Artikel dalam Jurnal 1. Artikel Standar Hadju V. Hubungan Helminthiasis Dengan Belajar pada Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Mariso, Ujungpandang. Jurnal Medika Nusantara 1997; 18:115-22 2. Organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and Performance Guidelines. Medical Journal of Australia 1996 ; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Management of Acute Diarrhea (editorial).Lancet 1983;1:623-5 b. Buku atau Monografi Lainnya 1. Penulis Perorangan Notoatmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2002 2. Editor sebagai penulis Tawali A, Dachlan DM, Hadju V, dan Thaha Ar, editors. Pangan dan Gizi: Masalah, Program Intervensi dan Teknologi Tepat Guna. Makassar: DPP pergizi Pangan dan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan; 2002. 3. Organisasi sebagai penulis World Health Organisation (WHO). Measuring Change in Nutritional Status; Guidelines for Assessing the Nutritional Impact of Vulnerable Groups. Genewa: World Health Organization;1983 4. Bab dalam buku Lewis BA. Structure and Properties of Carbohydrates. In: Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 2000. P.3-18. 5. Prosiding konferensi Jalal F dan Atmojo SM. Peranan Fortifikasi dalam Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI; Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1998.
6. Makalah dalam konferensi Hadju V, abadi K dan Zulfikar. Effect of Deworing on Growth and Appetite in Schoolchildren in Ujungpandang. Dibawakan pada 7th World Federation of Public Health Association International Congress, Hotel Nusa Dua Bali, Indonesia, 4-8 desember 1994. 7. Laporan ilmiah atau teknis Badan Pusat Statistic. Laporan Hasil Survey Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga. Jakarta: Badan Pusat Statistic;2003 8. Skripsi, thesis atau disertasi Rochimiwati SN. Dampak Pemberian Produk Ma-kanan Kaya Protein Kedelai Terhadap Perubahan Status Gizi Penderita TB di BP4 Makassar (thesis). Makassar: Universitas Hasanuddin;2003 9. Artikel dalam Koran Yahya M. Sulsel Lumbung Pangan, tapi Kekurangan Gizi. Fajar, selasa 14 September 1999
c. Materi Elektronik Rosenthal S, Chen R, Hadler, S. The Safety of Acellular Pertusis Vaccine vs Whole Cell Pertussin Vaccine. Arch Pediart Adolesc Med. 1996; 150:457-60. Available at: http://www.amu.assn.org/sci_pubs/journals/arcive/ajdc/vol150/no5/abstract/httm diakses pada 10 November, 1996 Tabel, Gambar dan Grafik Cetak setiap table pada halaman terpisah dan diketik spasi 2 (double space). Nomor urut table dan gambar sesuai urutan penampilannya dalam teks. Untuk catatan kaki (footnotes) pada table gunakan symbol dengan urutan sebagai berikut *, †, ‡, §, , ¶, **, ††, ‡‡. Naskah yang diterima redaksi akan dibahas oleh pengasuh dan redaksi berhak memperbaiki susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Penggunaan istilah asing non medis sedapat mungkin dihindari atau disertai terjemahan penjelasannya. Usulan perbaikan naskah (terutama menyangkut substansi) akan disampaikan kepada penulis yang bersangkutan.
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 192-197
Artikel I
PENGARUH EDUKASI TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP INISIASI MENYUSU DINI (IMD) PADA IBU HAMIL DI KOTA PAREPARE Effect Of Education On Knowledge And Attitudes Change Early Initiation Of Breastfeeding (Imd) In Pregnant Women In Parepare Haniarti1 1 Dosen Universitas Muhammadiyah Parepare (
[email protected]/082187347533) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh perubahan pengetahuan dan sikap IMD pada Ibu hamil sebelum dan sesudah edukasi pada ibu hamil di Kota Parepare. Penelitian ini bersifat quasi ekeperimen dengan desain one group pretest-postest. Sampel yang diambil sebanyak 143 ibu hamil dengan menggunakan lembar balik. Pengambilan sampel dilakukan melalui sampel accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, kuesioner, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan skor pengetahuan yang bermakna sebelum dan sesudah edukasi IMD sebesar 4,38. Dan peningkatan skor bermakna pada sikap sebelum dan sesudah edukasi IMD sebesar 3,16. Kata kunci: IMD, ibu hamil, edukasi ABSTRACT The research aimed to find out the impact of the changes of knowledge and attitude of EBI before and after the education to the pregnant mothers in Parepare City. This was a Quasi experiment research with a design of one pretest-posttest group. Samples were taken by using an Accidental Sampling. The number of samples was 143 pregnant mothers by using a flipchart. Data collection used a questionnaire, the data analysis used Wilcoxon test. The result of the research reveals that there is the improvement of the significant knowledge score before and after the education of EBI of 4.38 .Whereas on the attitude, there is the significant score improvement before and after the education of EBI of 3.16 Keywords: EBI, pregnant mother, education. Sebuah survey di Indonesia menunjukkan bahwa hanya 8% wanita Indonesia yang menerapkan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama usia bayi. Survey yang sama menyatakan bahwa hanya 4% wanita di Indonesia yang melaksanakan IMD sedangkan 96% lainnya tidak mempraktekkannya (Verayanti, 2010). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dan 2006 menunjukkan telah terjadi peningkatan cakupan pemberian ASI secara eksklusif sampai 6 bulan. Jika pada tahun 2005 cakupan ASI eksklusif 6 bulan sebesar 18,1%, cakupan tersebut meningkat menjadi 21,2% pada tahun 2006. Sedangkan cakupan ASI eksklusif pada seluruh bayi dibawah 6 bulan (0–6 bulan) meningkat dari 49,0% pada tahun 2005 menjadi 58,5% pada tahun 2006 (Depkes, 2007). Kemudian data terbaru, hasil Riskesdas 2010 menunjukkan penurunan presentase bayi yang menyusu eksklusif sampai dengan 6 bulan dimana untuk tahun 2010 ASI Eksklusif hanya 15.3%.
PENDAHULUAN Setiap bayi baru lahir berhak mendapatkan air susu ibunya, karena dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) dalam satu jam pertama kehidupannya, maka bayi akan mendapat sumber gizi terbaik dan dapat menyelamatkan jiwa bayi pada bulan-bulan pertama yang rawan (Depkes,2002). Sekitar empat juta bayi di seluruh dunia meninggal setiap tahun dalam empat minggu pertama kehidupan yaitu pada periode neonatal. Sebagian besar dari kematian neonatal terjadi di negara berkembang, jumlah kematian bayi tertinggi diamati di negara- negara Asia Selatan dan Asia Tengah dan tingkat tertinggi umumnya di Sahara Afrika Tengah. (Elizabeth, 2006). Suatu penelitian di Ghana yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics menunjukkan, 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22% jika pemberian ASI dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran bayi (Roesli, 2008). 192
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 192-197
Inisiasi dini menyusui kurang dari 1 jam setelah bayi lahir adalah 29.3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56.2% dan terendah di Maluku 13%. Sebagian besar proses menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1 – 6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam (Riskesdas 2010). Sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan inisiasi dini menyusui kurang dari 1 jam adalah 30,1 % dan pada kisaran 1 – 6 jam yaitu 34.9% (Riskesdas 2010). Sayangnya perilaku menyusui bayi sendiri dianggap sebagian orang sebagai suatu tingkah laku yang tradisional sehingga sedikit demi sedikit ditinggalkan. Kalau sudah begitu, jalan keluarnya adalah dengan memberikan susu formula. Padahal pemberian susu formula bagi bayi berumur di bawah 1 tahun tidak dianjurkan. Dokter menyarankan agar bayi diberi ASI sampai berusia 6 bulan, yang disebut dengan ASI eksklusif, dan tetap dilanjutkan sampai 2 tahun jika masih menyusui. Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Edukasi terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap IMD pada ibu hamil di kota Parepare.
dilakukan analisis variable yang terkait dengan penelitian dengan melakukan tabulasi silang antara variable. Kemudian dilakukan uji Wilcoxon untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS. Keputusan uji statistic menggunakan taraf signifikan p<0,05. HASIL Karakteristik Responden Karakteristik umum responden dapat di lihat pada tabel 1 yang menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan kelompok umur sebagian besar ibu hamil yang menjadi responden berumur < 20 tahun sebanyak 18 orang (12,6%), umur 20 - 35 tahun sebanyak 106 orang (74,2%), umur > 35 sebanyak 19 orang (13,2%). Berdasarkan pendidikan terakhir responden adalah SMA sebanyak 71 orang (49,6%) dan terendah adalah SD sebanyak 27 orang (18,9%). Untuk karakteristik pekerjaan, pada umumnya responden bekerja sebagai IRT yaitu sebanyak 137 orang (95,8%) dan terendah bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 2 orang (1,4%). Sedangkan berdasarkan pendapatan keluarga yang tertinggi adalah Rp 700.000 – Rp 1.400.000 sebanyak 104 orang (72,7%) dan terendah < Rp 700.000 sebanyak 12 orang (8,4%).
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperiment dimana bentuk desain yang digunakan adalah desain one group pretest-postest untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang IMD sebelum dan sesudah edukasi. Penelitian ini dilaksanakan di 6 puskesmas di Kota Parepare yaitu Puskesmas Lapadde, Cempae, Lakessi, Lompoe, Madising Na Mario dan Puskesmas Lumpue pada tanggal 13 Mei 2011 sampai tanggal 25 Juli 2011. Populasi dalam penelitian ini semua ibu hamil yang datang memeriksakan kehamilannya di puskesmas kota Parepare pada bulan Mei - Juli. Sedangkan jumlah sampel sebanyak 143 ibu hamil. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang IMD yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden sebelum dan sesudah edukasi. Pengisian kuesioner dilakukan sebenyak 3x, yaitu pre-test 1 kali, post-test 2 kali dilaksanakan yaitu post-test 1 pada saat setelah edukasi dan 2 minggu kemudian diberikan lagi post-test 2 tentang pengetahuan dan sikap responden tentang IMD. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan computer program SPSS. Analisis univariat untuk mendeskripsikan usia responden, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang IMD sebelum dan sesudah edukasi. Pada data
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Kota Parepare Tahun 2011 Karakteristik n % Kelompok Umur (Tahun) <20 18 12.6 20-35 106 74.2 >35 19 13.2 Pendidikan SD 27 18.9 SMP 45 31.5 SMA 71 49.6 Pekerjaan IRT 137 95.8 Wiraswasta 4 2.8 Pegawai Negeri 2 1.4 Pendapatan Keluarga < 700.000 12 8.4 700.000-1.400.000 104 72.7 > 1.400.000 27 18.9 Sumber: Data Primer, 2011 Pengetahuan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Grafik 1 menunjukkan setelah dilakukan edukasi tahap I (post-test I) terjadi peningkatan pengetahuan pada ibu hamil dengan kategori baik sebanyak 131 orang (91,6%) dan hanya 12 orang (8,4%) yang pengetahuannya cukup, bahkan tidak ada ibu hamil 193
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
yang pengetahuannya masih kurang mengenai IMD. Ini membuktikan bahwa pemberian edukasi memberikan pengaruh terhadap perubahan pengetahuan IMD pada ibu hamil di kota Parepare. Setelah dilakukan post-test I, maka dilakukan posttest II pada responden dan dengan kuesioner yang sama untuk melihat perubahan pengetahuan IMD ibu hamil setelah dua minggu pemberian edukasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan pengetahuan ibu hamil, dimana jumlah ibu hamil yang dalam kategori pengetahuan baik sebanyak 88 orang (61,5%), cukup sebanyak 54 orang (37,8%) dan ada 1 orang (0,7%) yang pengetahuannya masih kurang. Tabel 2 menunjukkan bahwa perubahan rerata skor pengetahuan sebelum edukasi (pre-test) sebesar 4,05 dan setelah edukasi (post-test I) sebesar 9,47 dengan nilai probabilitas (p) yaitu 0,004. Dengan kesimpulan bahwa ada perbedaan secara nyata antara pengetahuan ibu hamil sebelum dilakukan edukasi dan setelah dilakukan edukasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan rerata pengetahuan sebelum edukasi (pre-test) sebesar 4,05 dan setelah edukasi (post-test II) sebesar 8,43 dengan probabilitas (p) yaitu 0,000. Dengan kesimpulan bahwa pengetahuan IMD ibu hamil masih meningkat meskipun edukasi telah dilakukan dua minggu
sebelum post-test II yang artinya ibu hamil telah memahami IMD. Grafik 1. Distribusi Responden Berdasarkan kriteria skor Pengetahuan IMD sebelum dan sesudah Edukasi. Tabel 3 menunjukkan hasil uji Wilcoxon terhadap pengetahuan responden menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap responden sebelum dan sesudah edukasi. Dimana pada saat post-test ada 142 responden yang mengalami peningkatan skor pengetahuan. 140
131
120 100 80
88 Kurang
70 66 54
60
Cukup Baik
40 20
7
0 Pre
12 1
0 Post I
Post II
Tabel 2. Perubahan Skor Pengetahuan dan Sikap Inisiasi Menyusu Dini (Imd) Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Edukasi (Pre – Post I – Post II) Pre (1) Post I (2) Beda (2-1) Nilai p Post II (3) Beda Nilai Variabel (3-1) p Pengetahuan 4,05 9,47 5,42 0,004 8,43 4,38 0,000 Sikap 5,87 9,65 3,77 0,014 9,06 3,16 0,000 Sumber: Data Primer, 2011 Sebelum dilakukan edukasi (penyuluhan), sikap ibu hamil mengenai IMD masih rendah dalam kategori cukup dan kurang. Hasil penelitian pada grafik 2 yang dilakukan pada 143 ibu hamil menunjukkan bahwa sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar ibu hamil memiliki sikap yang cukup sebanyak 108 orang (75,5%), sikap dalam kategori kurang sebanyak 17 orang (11,9%) dan yang sikapnya dalam kategori baik sebanyak 18 orang (12,6%). Hasil penelitian setelah dilakukan penyuluhan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sikap pada ibu hamil. Perubahan sikap ibu hamil setelah edukasi (post-test I) dimana jumlah ibu hamil yang dalam kategori baik sebanyak 135 orang (94,4%), hanya ada 8 orang (5,6%) yang mempunyai sikap cukup dan tidak ada ibu hamil yang kurang mengetahui IMD. Perubahan sikap ibu hamil setelah edukasi (post-test II) menunjukkan bahwa jumlah ibu hamil yang dalam kategori sikap baik sebanyak 118
Sikap Inisiasi Menyusu Dini (IMD) 160
135
140 120
118
108
100
Kurang
80
Cukup
60
40 20
25
17 18 0
0
Pre
8
Post I
Baik
0
Post II
Grafik 2. Distribusi Responden Berdasarkan kriteria skor Sikap IMD sebelum dan sesudah edukasi
194
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 192-197
orang (82,5%), cukup sebanyak 25 orang (17,5%) dan tidak ada ibu hamil yang memiliki sikap kurang mengenai IMD. Ini membuktikan bahwa pemberian edukasi memberikan pengaruh terhadap perubahan sikap IMD ibu hamil di Kota Parepare. Hasil analisis pada tabel 2 menunjukkan perubahan sikap ibu hamil antara pre-test dan post-test I dengan rata-rata dari 5,87 point menjadi 9,65 point dan nilai probabilitas (p) yaitu 0,014. Dari hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan yang secara nyata antara sikap ibu hamil sebelum dan setelah dilakukan edukasi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah rata-rata skor sikap IMD ibu hamil
pada pre-test sebesar 5,90 point dan post-test II sebesar 9,06 point dengan nilai probabilitas (p) yaitu 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan secara nyata rata-rata sikap IMD ibu hamil antara sebelum dan setelah edukasi (post-test II). Selain itu, dapat diartikan bahwa ada pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu hamil mengenai IMD sesudah diberikan edukasi. Tabel 3 menunjukkan hasil uji Wilcoxon terhadap sikap responden menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap responden sebelum dan sesudah edukasi. Dimana pada saat post-test ada 140 responden yang mengalami peningkatan skor sikap.
Tabel. 3. Hasil uji efek edukasi IMD Sesudah Intervensi I dan II Variabel Intervensi I Pengetahuan IMD Tahu sesudah intervensi ke-1 < tahu sebelum Tahu sesudah intervensi ke-1 > tahu sebelum Tahu sesudah intervensi ke-1 = tahu sebelum Sikap IMD Sikap sesudah intervensi ke-1 < sikap sebelum Sikap sesudah intervensi ke-1 > sikap sebelum Sikap sesudah intervensi ke-1= sikap sebelum Intervensi II Pengetahuan IMD Tahu sesudah intervensi ke-2 < tahu sebelum Tahu sesudah intervensi ke-2 > tahu sebelum Tahu sesudah intervensi ke-2 = tahu sebelum Sikap IMD Sikap sesudah intervensi ke-2 < sikap sebelum Sikap sesudah intervensi ke-2 > sikap sebelum Sikap sesudah intervensi ke-2= sikap sebelum Sumber : Data primer, 2011
n
Nilai P
1 142 0
0,000
3 140 0
0,000
3 140 0
0,000
2 138 3
0,000
banyak yang mempunyai pengetahuan baik. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, wawasan dan usaha untuk mencari informasi akan lebih luas karena orang yang ,memiliki tingkat pendidikan yang tinggi lebih mudah mengerti dan memahami informasi yang diterimanya bila dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Hasil uji Wilcoxon terhadap pengetahuan responden menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan responden sebelum dan sesudah edukasi. Pemberian informasi dalam bentuk penyuluhan dengan metode ceramah (penyuluhan) dan pemberian lembar balik ternyata mampu meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Hal ini sesuasi dengan hasil penelitian Supardi (2002) yang membuktikan adanya pengaruh metode ceramah dan pemberian lembar balik
PEMBAHASAN Pengetahuan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pendidikan dan umur ibu hamil dapat mempengaruhi proses perubahan perilaku. Umur ibu hamil yang masih tergolong muda (<20 tahun) memungkinkan mereka masih mampu menerima informasi yang diberikan dan bisa mengingatnya kembali. Pengetahuan ibu hamil yang tamat SD, SMP dan SMA saling berbeda dan mempengaruhi proses perubahan perilaku. Menurut Koentjoroningrat (1997) pendidikan adalah kemahiran menyerap pengetahuan dan pengetahuan akan meningkat sesuai dengan pendidikan seseorang. Semakin tinggi pendidikan maka semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan. Hasil tabulasi antara pengetahuan dengan tingkat pendidikan setelah edukasi yang ditunjukkan bahwa responden dengan pendidikan SMA lebih 195
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang pengobatan sendiri. Hasil penelitian Pulungan (2007) juga membuktikan bahwa metode pendidikan kesehatan dengan penyuluhan (ceramah) dapat meningkatkan pengetahuan setelah dilakukan post-test dibandingkan dengan pre-test. Hal ini sependapat dengan Green L.W (1980) bahwa dengan pendekatan edukasional dapat merubah perilaku seseorang termasuk pengetahuan, dimana intervensi yang diberikan dipengaruhi banyak faktor. Salah satu faktor masukan adalah metode yang diberikan pada waktu penyuluhan seperti ceramah dan sebagainya. Sikap Inisiasi Menyusui Dini (IMD) Setelah seseorang mengetahui objek atau stimulus, proses selanjutnya adalah memiliki atau bersikap terhadap stimulus atau objek tersebut. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dengan kata lain sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Hal ini berkaitan dengan pengetahuan IMD ibu hamil. Pengetahuan IMD ibu hamil yang kurang menyebabkan sikap IMD ibu hamil rendah. Sikap ibu hamil sebelum dilakukan penyuluhan, menganggap bahwa IMD bukanlah metode yang penting dalam proses pemberian Air Susu Ibu. Hal ini terlihat dari hasil pengumpulan data melalui kuesioner, sebagian besar ibu hamil tidak setuju dalam melakukan Inisiasi Menyusu Dini dengan meletakkan bayi di dada ibu dengan membiarkan bayi mencari putting payudara ibu dan berlangsung selama satu jam setelah kelahiran bayi. Perubahan sikap ini pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, dan keyakinan/kepercayaan yang didapatkan dari hasil penginderaan, yang salah satunya didapatkan pada pendidikan atau proses belajar. Berubahnya pengetahuan IMD ibu hamil mempengaruhi perubahan sikap ibu hamil yang merupakan suatu perubahan yang signifikan. Pada post-test II yang dilakukan dua minggu setelah pemberian edukasi menunjukkan perubahan
sikap IMD ibu hamil yang dibandingkan dari pretest. Akan tetapi, peningkatan ini tidak sama dengan peningkatan yang terjadi pada post-test I. Hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor waktu antara setelah edukasi dengan waktu dilakukannya post-test II, dan daya ingat yang dimiliki oleh ibu hamil. Banyak metode penyampaian informasi yang bisa dilaksanakan salah satunya adalah dengan metode penyuluhan dan pemberian lembar balik. Penggunaan metode ini harus diawali dahulu dengan analisa situasi dengan demikian informasi yang diberikan nantinya dapat diterima dengan baik oleh ibu hamil. Hasil penelitian Maya (2009) juga membuktikan bahwa terdapat perubahan sikap setelah dilakukan penyuluhan pada suatu objek dan perubahan sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh perubahan pengetahuan. Menurut Purwanto (1993) sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut dalam hubungan dengan objeknya. Dalam hal ini pengetahuan yang diberikan melalui penyuluhan kepada ibu hamil dapat mempengaruhi peningkatan sikap ibu hamil mengenai Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
DAFTAR PUSTAKA Anton Baskoro. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu menyusui. Banyu media. Amin, dkk. 2004. Hubungan Pola Asuh dan Asuhan Gizi Terhadap status Gizi anak umur 6 – 25 bulan di kelurahan Mangempang, kecamatan Barru, kabupaten Barru. Aisyah, Dewi. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian ASI Eksklusif pada Ibu bekerja (Studi Kualitatif di
TPA Dian Dharma Putra, Provinsi Jawa Tengah tahun 2009. Diponegoro University. Aprilia, Yessi. 2009. Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif kepada Bidan di Kabupaten Klaten. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Arun, Gupta. 2007. Initiating Breastfeeding within one hour of Birth : A Scientific Brief, Family & Reproductive health. Division of Child Health an Development. WHO. Geneva.
KESIMPULAN DAN SARAN Terjadi peningkatan skor pengetahuan yang bermakna sebelum dan sesudah edukasi IMD sebesar 4,38 dan terjadi peningkatan skor sikap yang bermakna sebelum dan sesudah edukasi IMD sebesar 3,16. Perlunya diadakan pelatihan – pelatihan pada petugas kesehatan sebagai konselor IMD, terutama kader kesehatan sehingga mampu memberikan edukasi IMD kepada masyarakat terutama ibu hamil. Diharapkan setelah pemberian edukasi ini, pengetahuan ibu hamil tentang IMD semakin bertambah dan dapat meminta kepada rumah sakit yang akan membantu kelahiran supaya diperbolehkan melakukan IMD. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang perilaku IMD pada petugas kesehatan.
196
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 192-197
Berg, A. 1996. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. CV Rajawali : Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Manajemen Puskesmas Peningkatan Kesehatan Keluarga dan Gizi. Depkes RI : Jakarta. Juwono, L. 2003. Pemberian Makanan Tambahan, makanan untuk Anak Menyusui., Departemen of nutrition for Health and Development, WHO. EGC : Jakarta.
Nur Afifah, Diana. 2007. Faktor- faktor yang berperan dalam Kegagalan Praktek Pemberian ASI Eksklusif (Studi Kualitatif Di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun 2007). Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta. Siregar Arifin, Dr.MHD. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI oleh Ibu melahirkan. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara.
197
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 198-200
Artikel II
UJI DAYA HAMBAT DAN ANALISIS KLT-BIOAUTOGRAFI PERASAN BUAH SAWO MANILA (ACHRAS ZAPOTA LINN) TERHADAP BAKTERI UJI SALMONELLA THYPOSA Inhibition Test And Analysis Klt-Bioautografi Sapodilla Fruit Juice (Achras Zapota Linn) To Test Bacteria Salmonella Thyposa Mardiyah Mustary1, M.Natsir Djide1, Ilham Mahmud1, Nursiah Hasyim1 1 Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin (
[email protected]) ABSTRAK Efek penghambatan jus Sawo Manila (Achras zapota Linn) buah pada pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa diuji Linn dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT)bioautografi Metode telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan jus sebagai senyawa antibakteri dalam pertumbuhan bakteri hambat dan juga untuk mengetahui yang merupakan senyawa kimia dalam pertumbuhan bakteri hambat dan juga untuk mengetahui senyawa kimia yang dipisahkan oleh TLC yang masih berlaku sebagai antibakteri setelah dilakukan TLC bioautografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah Sawo manila berpotensi untuk menghambat pertumbuhan Salmonella thyposa dengan diameter zona hambat yang besar. TLC-bioautografi menunjukkan dua senyawa aktif dari tiga. Kata kunci: hambat, Sawo Manila, TLC-bioautografi, Salmonella thyposa ABSTRACT The inhibitory effect of juice of Sawo Manila’s (Achras zapota Linn) fruit on the growth of tested bacteria Salmonella thyposa Linn by using Thin Layer Chromatography (TLC) –Bioautography Method had been done. The aim of this research was to test the ability of the juice as an antibacterial compound in inhibitory bacterial growth and also to know which are the chemical compound in inhibitory bacterial growth and also to know which are of the chemical compound separated by TLC still have antibacterial effect after done TLC Bioautography. The result was show that Sawo manila’s fruit was potensially to inhibit the growth of Salmonella thyposa with a large diametric inhibitor zone. The result of TLCBioautography ware shown 2 active compound of three. Key words: inhibitory, Sawo Manila, TLC-Bioautography,Salmonella thyposa PENDAHULUAN
dalam bentuk perasan (jus) untuk diminum. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak/ orang muda, penyebabnya kuman Salmonella thyposa kuman ini terdapat didalam kotoran, urin manusia dan juga pada makanan dan minuman yang tercemar kuman disebarkan oleh lalat. Jadi penyakit ini bersumber pada lingkungan yang kotor dan tidak sehat (Hidayat, 2002). Penyakit tipus menyerang usus dan menyebabkan luka pendarahan, serta bisa juga terjadi kebocoran usus. Salah satu gejalanya mula-mula meningginya suhu tubuh secara bertahap setiap harinya, menggigil dan demam tinggi. Infeksi ini harus diobati secara serius dengan antibiotik untuk menghindari kontra indikasi setempat dan spesies yang dapat berpindah dari bagian tubuh ke bagian tubuh lain pada usus bagian luar (Prabu, 2003).
Penggunaan bahan yang berasal dari tumbuhan sebagai bahan obat tradisional maka perlu upaya peningkatan dengan diadakan penelitian terhadap tumbuhan yang bermanfaat dikalangan masyarakat, khususnya yang berkhasiat didalam bidang pengobatan dimana pengobatan dan pendayagunaan obat tradisional tersebut merupakan salah satu komponen program pelayanan kesehatan dasar, serta merupakan suatu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk dibidang kesehatan (Adnan et al, 2002). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan adalah Sawo Manila (Achras zapota L) dari suku sapotaceae yang menurut informasi dari penduduk dan beberapa literatur buah ini digunakan sebagai obat penyakit tipus yang menyebabkan demam tipoid. Masyarakat menggunakan buah ini 198
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 198-200
BAHAN DAN METODE
(konsentrasi 15%, 25%, 35% dan 45%) kemudian medium GNA steril diinginkan hingga suhu 400-450 kemudian diisikan kecawan petri sebanyak 15 ml dan dibiarkan membeku ini sebagai lapisan dasar. Setelah itu 10 ml medium GNA dicampur dengan 1 ml suspensi bakteri dan dibiarkan membeku.Pencadang dengan diameter 6 mm, danm tinggi 10 ml diletakkan diatas medium tiap pencadang diisi dengan peraan buah sawo manila yang telah disiapkan dan air suling steril sebagai kontrol negatif dan kloramfenikol sebagai kontrol positif. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam dan diukur daya hambatnya. Pemisahan senyawa secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Dari 4 konsentrasi perasan sampel yang diujikan dipilih konsentrasi yang memiliki ona hambatan terbesar kemudian dipisahkan secara KLT, perasan tersebut ditotolkan pada lempeng KLT ukuran 8 x 3 cm menggunakan tabung kapiler. Ditotolkan pula larutan kloramfenikol sebagai pembanding. Kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromotografi yang dijenuhkan dengan cairan pengelusi, dibiarkan terelusi lalu dikeluarkan dari bejana dan diamati dibawah sinar UV 254 nm diperhatikan floresensi, lalu dibuat kromatogramnya. Pengujian secara KLT-Bioautografi Kedalam cawan petri dituang medium GNA sebagai lapisan dasar setelah itu medium GNA dicampur dengan suspensi bakteri dituangkan keatas lapisan dasar. Setelah memadat lempeng KLT, yang telah dielusi diletakkan diatas permukaan media agar. Setalah 30 menit lempeng tersebut diangkat dan dipindahkan kemudian medium yang telah ditempeli lempeng KLT diinkubasi pada suhu 370 selama 24 jam, diamati zona hambatan yang terbentuk .
Pengambilan Sampel Sampel buah Sawo Manila diambil dari kabupaten Maros diambil buah yang muda berwarna coklat kehijauan dan keras. Pengolahan Sampel Sampel yang telah diambil dicuci dengan bersih dengan air dan ditiriskan kemudian dipotong-potong kecil setelah itu dihaluskan menggunakan blender. Pembuatan Perasan Sampel Perasan sampel Sawo manila konsentrasi 5% dibuat dengan cara sampel yang telah dipotongpotong, ditimbang sebanyak 5 gram lalu dimasukkan kedalam blender dan dihaluskan kemudian ditambahkan air suling hingga 100 ml lalu diperas dengan menggunakan kain plannel dan bila perasan yang diperoleh kurang dari 100 ml maka ditambahkan air secukupnya melalui ampas hingga diperoleh pvolume 100 ml. Untuk membuat perasan 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dibuat dengan menimbang 10 gram ,15 gram, 20 gram, 25 gram, 30 gram, 35 gram, 40 gram, 45 gram buah sawo manila dan dilakukan cara yang sama seperti untuk pembuatan 5% untuk pengukuran daerah hambatan. Pembuatan larutan kontrol Ditimbang 0,00030 g kloramfenikol, dilarutkan dalam Na CMC steril sampai 10 ml dalam labu ukur 10 ml sehingga diperoleh konsentrasi 30 ug/ml Peremajaan Bakteri Bakteri uji Salmonella thyposa yang berasal dari biakan murni diinokulasikan dengan cara digoreskan dalam medium Nutrien Agar (NA) miring selama 1 x 24 jam. Pembuatan Suspensi Bakteri Mikroba uji yang telah diremajakan disuspensikan dengan larutan garam fisiologis steril lalu diukur transmittannya pada 25% menggunakan spektropotometer, sebagai blanko digunakan larutan garam fisiologis 0,9% dengan panjang gelombang 580 nm. Pengujian Perasan Sampel Medium MB steril dituang secara aseptis kedalam sembilan buah tabung reaksi steril masingmasing sebanyak 5 ml dan ditambahkan perasan buah dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% masing-masing 5 ml dalam masing-masing tabung. Ditambahkan 0,2 ml bakteri uji Salmonella thyposa yang berumur 24 jam kedalam masing-masing tabung kemudian diinkubasi pada suhu 370 selama 24 jam dan dilihat tingkat kekeruhan yang terbentuk untuk menentukan nilai hambatya. Penentuan Daerah Hambatan Dipilih 4 konsentrasi setelah penentuan hambatan untuk pengukuran daerah hambatan
HASIL
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sawo manila (Achras zapota L) mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji Salmonella thyposa dengan diameter hambatan terbesar 18,68 mm pada konsentrasi 45%. Dari hasil KLT menggunakan eluent kloroform : methanol : air (15 : 6:1) dengan penampak muda sinar UV 366 nm menunjukka 3 noda dengan Rf 0,77 0,62, 0,37. Sedangkan larutan pembanding kloramfenicol dengan menggunakan eluent yang sama memiliki noda dengan Rf 0,85. PEMBAHASAN
Analisa KLT- Bioautografi diperoleh 2 noda yang aktif dengan Rf 0,77 dengan diameter hambatan 9,27 mm dan Rf 0,62 dengan diameter hambatan 9,12 mm dalam menghambat pertumbuhan bakteri pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa . Dari hasil 199
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
ini dapat diketahui bahwa buah sawo manila ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri bakteri Salmonella thyposa karena adanya kandungan saponin. Senyawa ini memiliki sifat aktif permukaan yang mampu menghambat pertumbuhan sel mikroba dengan cara menghambat sintesa protein sel mikroba, selain itu kandungan tannin dan flavanoid dari sampel memiliki kemampuan mendenaturasikan protein sel mikroba sehingga dapat mengganggu keutuhan sel mikriba. Perbedaan besarnya daya hambat untuk masing-masing konsentrasi perasan diakibatkan karena perbedaan besarnya kandungan zat aktif, dimana makin besar konsentrasi makin besar pula hambatannya.
Pada pengujian senyawa anti bakteri dengan menggunakan metode KLT-bioautografi dipilih metode bioautografi kontak agar diperoleh proses pemindahan senyawa aktif kedalam medium agar sehingga menghasilkan zona hambatan yang lebih besar dengan berkurangnya sensifitas dan kemampuan membedakan antara senyawa aktif dengan nilai Rf yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Syamsul dan Hutapea J.R. 2002. Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia. Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan : Jakarta. Prabu, BDR. 2003. Penyakit infeksi Umum. Wijaya Medika : Jakarta. Sastrohamijodjo,H. 2002. Kromatografi. Liberti : Yogyakarta. Sommers, Shutman Phar. 2002. Dasar Biologi dan Klinis, penyakit infeksi, Penerjemah Ratna Sri Hadioetomo dkk. Universitas Indonesia Press : Jakarta.
KESIMPULAN
Hasil analisa yang telah dilakukan dengan metode uji daya hambat dan analisis secara KLTBioautografi dapat disimpulkan bahwa perasan buah (jus) sawo manila dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa secara signifikan.
Adnan, A.Z.,et al. 2002. Penelitian Farmasi Dalam Tantangan Masa Depan,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Andalas : Padang. Dwidjosaputra. 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jambatan: Surabaya. Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Direktorat Pengembangan Hutan,Departemen Kehutanan RI.
200
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 201-205
Artikel III
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI PADA PASIEN PESERTA JAMSOSTEK DI TEMPAT PRAKTEK DOKTER GIGI SWASTA KOTA GORONTALO Related Factor To Occurence Of Dental Caries At Participant Jamsostek Patient At Practical Private Dentistry In Gorontalo District Faisal Idrus1 Dinas Kesehatan Kota Gorontalo (
[email protected])
1
ABSTRAK Karies dapat menyerang semua manusia orang. Terlalu banyak data tentang tentang praktek dokter gigi swasta yang ditunjuk oleh Jamsostek, pada tahun 2007 sampai juli 2008, kunjungan pasien sebanyak 1.433 orang dengan keluhan karies sebanyak 305 orang. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan faktor jenis makanan kariogenik, anatomi gigi, tingkat air liur, status dan status plak stres dengan kejadian karies gigi pada pasien peserta jamsostek di tempat praktek dokter gigi swasta Kota Gorontalo. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain cross sectional study. Untuk mempelajari dinamika korelasi antara kejadian karies gigi dengan faktor internal dan eksternal yang stres. Populasi adalah peserta jamsostek, sampel peserta jamsostek yang berkunjung ke praktek dokter gigi usia berusia 15 tahun ke atas. Teknik pengambilan sampling adalah simple random sampling, dimana jumlah sampel 196 orang. Analisis bivariat menerapkan uji statistik chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel status plak berhubungan dengan kejadian karies gigi dimana X ² = 5.588> 3,84, p = 0,018, Phi = 0.169, sifat hubungan lemah. Makanan jenis kariogenik, anatomi gigi, air liur dan tingkat stres (p> 0,05) merupakan faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian karies gigi. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan plak tidak sebagai variabel antara dengan kejadian karies gigi dari makanan kariogenik jenis konsumsi, anatomi gigi, tingkat air liur dan stres status. Kesimpulan, dalam upaya kasus pelayanan kesehatan lebih optimal dan mulut gigi dan sesuai dengan langkah pencegahan terdiri dari peningkatan kesehatan (promosi), perlindungan (proteksi), mendeteksi dini demarkasi (proteksi awal), dari cacat (kecacatan pembatasan) dan direhabilitasi. Keyword: Karies, Peserta Jamsostek. ABSTRACT Caries concerning all man. Too many data about concerning practice of private sector dentist appointed by Jamsostek, in the year 2007 until juli 2008 , visit of patient counted 1433 people with sigh of caries counted 305 people. This study aim to know relation of food type factor cariogenic, tooth anatomy, rate saliva, status and plaque status stres with occurence of dental caries at participant patient jamsostek in place practice of town private sector dentist Gorontalo. Research type is observasional analytic with design cross sectional study. Studying correlation dynamics between occurence of dental carieses with internal factors and eksternal that is stres. Population is participant jamsostek, sample is participant jamsostek that visit to practice of dentist 15 year old to the above. Technique sampling is simple random sampling, where amount of 196 people. Bivariate analysis apply statistic test chi square. Research result indicate that plaque status variable related to occurence of dental caries where X²=5,588>3,84, p=0,018, Phi=0,169 , nature of weak relationship. Food type consumption cariogenic, tooth anatomy, rate saliva and stres ( p>0.05) is factor which don't relating occurence dental caries. Further analysis result of plaque is not as variable between to occurence of dental carieses from foods types consumptions cariogenic, tooth anatomy, rate saliva and status stres. Conclusion, in this case effort of service of health of more optimal mouth and tooth and as according to step preventive (preventive) consist of increasing of health (promotion), protection (protection), detect early (early protection), demarcation of handicap ( disability limitation) and rehabilitated. Keyword: Dental Caries, Participant Jamsostek. 201
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
variabel independen yang meliputi konsumsi jenis makanan kariogenik, anatomi gigi, kadar saliva, status plak dan status stres dengan variabel dependen yaitu kejadian karies gigi.
PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya sebab kesehatan gigi dan mulut akan mempengaruhi kesehatan tubuh keseluruhan. Perkembangan penyakit karies gigi di Indonesia cenderung meningkat pada setiap dasawarsa, terlihat pada tahun 1970 DMF-T= 0,70, tahun 1980 DMF-T= 2,30, dan tahun 1990 DMFTT= 2,70. Prevalensi karies gigi di Kota Gorontalo masih cukup tinggi. Hal ini dapat dlihat dari banyaknya jumlah kunjungan pasien pada unit rawat jalan pelayanan kesehatan gigi di Rumah Sakit Aloe Saboe sebanyak 2626 pada tahun 2005 dengan kunjungan rata-rata setiap hari adalah 20 pasien (Profil RSU Aloei Saboe, 2005). Sejumlah data yang diperoleh dari praktek dokter gigi swasta yang ditunjuk oleh Jamsostek, pada tahun 2007 sampai juli 2008 jumlah kunjungan pasien sebanyak 1433 orang dengan keluhan karies sebanyak 305 orang. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 2 bulain selang Desember 2008-Januari 2009. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional study. Populasi adalah semua peserta jamsostek yang berkunjung ke praktek dokter gigi swasta yang ditunjuk oleh jamsostek dan sampel adalah semua peserta jamsostek yang berumur 15 tahun ke atas. Penentuan sampel menggunakan teknik simple random sampling, dengan besar sampel 196 orang. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat, analisis bivariat dalam uji X2 (Chi square), dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistic. Data diolah secara komputerisasi dengan menggunakan aplikasi SPSS. Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
HASIL Analisis Bivariat Tabel 1. Hubungan Konsumsi Jenis Makanan Kariogenik dengan kejadian karies gigi pada peserta jamsostek di Gorontalo Tahun 2009. Kejadian Karies Tidak Jumlah X2 Variabel Karies p Value Karies Hitung n % N % n % Konsumsi Jenis Makanan Kariogenik 3,787 0,052 > 3 kali sehari 67 72,8 25 27,2 92 100 < 3 kali sehari 62 59,6 42 40,4 104 100 Anatomi Gigi Fisur Dalam 32 78 9 22 41 100 3,448 0,063 Fisur Datar 97 62,6 58 37,4 155 100 Kadar Saliva < 2ml/menit 58 65,9 30 34,1 88 100 0,001 0,980 > 2ml/menit 71 65,7 37 34,3 108 100 Status Plak Berdasarkan Indeks BFI 5,588 0,018 Ada 109 69,9 47 30,1 156 100 Tidak ada 20 50 20 50 40 100 Status Stres Stres 16 59,3 11 40,7 27 100 0,598 0,439 Tidak Stres 113 66,9 56 33,1 169 100 Sumber: Data Primer, 2009 Hubungan konsumsi jenis makanan kariogenik dengan kejadian karies gigi terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 196 responden yang mengalami karies gigi pada peserta Jamsostek di Gorontalo dengan mengkonsumsi jenis makanan
kariogenik > 3 kali sehari sebanyak 67 orang (72,8%) dan < 3 kali sehari sebanyak 62 orang (59,6%). Sedangkan yang tidak mengalami karies gigi dengan mengkonsumsi makanan kariogenik > 3 kali sehari sebanyak 25 orang (27,2%) dan < 3 kali sehari 202
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 201-205
sebanyak 42 orang (40,4%). Berdasarkan hasil uji chi-square variabel konsumsi jenis makanan kariogenik terhadap kejadian karies gigi di peroleh hasil X2 hitung (3,787) lebih kecil dari X2 tabel (3,841) dan p value (0,052) lebih besar dari α (0,05) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara konsumsi jenis makanan kariogenik terhadap kejadian karies gigi. Hubungan anatomi gigi dengan kejadian karies gigi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi yang mengalami karies gigi pada peserta Jamsostek dari 196 responden yang memiliki fisur dalam yang mengalami karies gigi adalah sebanyak 32 orang (78%) dan yang tidak mengalami karies sebanyak 9 orang (22%). Untuk fisur datar atau tidak berisiko terkena karies gigi adalah sebanyak 155 orang dengan kejadian karies gigi sebanyak 97 orang (62,6) dan yang tidak mengalami karies adalah sebanyak 58 orang (37,4%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square diperoleh hasil X2 hitung (3,448) lebih kecil dari X2 tabel (3,841) dan p value (0,063) lebih besar dari α (0,05) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara anatomi gigi terhadap kejadian karies gigi. Hubungan kadar saliva dengan kejadian karies gigi pada tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi yang mengalami karies gigi pada peserta Jamsostek dari 196 responden dengan kadar saliva < 2 ml/menit yang mengalami karies gigi yaitu sebanyak 58 orang (65,9%) dan yang tidak mengalami karies sebanyak 30 orang (34,1%). Untuk kadar saliva > 2ml/menit atau tidak berisiko terkena karies gigi adalah sebanyak 71 orang (65,7%) dan yang tidak mengalami karies gigi sebanyak 37 orang (34,3%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square diperoleh hasil X2 hitung (0,001) lebih kecil dari X 2 tabel (3,841) dan p value (0,980) lebih besar dari α (0,05) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar saliva terhadap kejadian karies gigi. Hubungan status plak dengan kejadian karies gigi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi status plak berdasarkan indeks BFI terhadap kejadian karies gigi pada peserta Jamsostek dari 196 responden yang terdapat plak dan mengalami karies gigi yaitu sebanyak 109 orang (69,9%) dan yang tidak mengalami karies sebanyak 47 orang (30,1%). Responden yang tidak terdapat plak atau tidak berisiko terkena karies gigi adalah sebanyak 20 orang (50%) dan yang tidak mengalami karies gigi sebanyak 20 orang (50%). Berdasarkan hasil uji ChiSquare diperoleh hasil X 2 hitung (5,588) lebih besar dari X2 tabel (3,841) dan p value (0,018) lebih kecil dari α (0,05) berarti bahwa terdapat hubungan antara status plak berdasarkan Indeks BFI terhadap kejadian karies gigi. Hasil Phi Cramer’s V = 0,169, maka hubungan antara status plak dengan kejadian karies gigi adalah berhubungan tetapi bersifat lemah.
Hubungan status stres dengan kejadian karies gigi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi status stres terhadap kejadian karies gigi pada peserta Jamsostek dari 196 responden dengan status stres dan mengalami karies gigi yaitu sebanyak 16 orang (59,3%) dan yang tidak mengalami karies sebanyak 11 orang (40,7%). Responden dengan status tidak stres atau tidak berisiko terkena karies gigi adalah sebanyak 113 orang (66,9%) dan yang tidak mengalami karies gigi sebanyak 56 orang (33,1%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square diperoleh hasil X2 hitung (0,598) lebih kecil dari X 2 tabel (3,841) dan p value (0,439) lebih besar dari α (0,05) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara status stres terhadap kejadian karies gigi. Analisis Multivariat Pada hasil uji analisis bivariat diatas hanya satu faktor yang berhubungan dengan kejadian karies gigi yakni variabel status plak (Indeks BFI) maka untuk melihat faktor yang paling berhubungan terhadap kejadian karies gigi (analisis multivariat) tidak dilakukan. Analisis Lanjutan Hasil analisis bivariat diketahui bahwa hanya variabel status plak yang mempunyai hubungan dengan kejadian karies gigi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sampai sejauh mana status plak memberikan hubungan dengan kejadian karies gigi. Status plak sebagai variabel antara dari variabel konsumsi jenis makanan kariogenik, anatomi gigi, kadar saliva dan status stres terhadap kejadian karies gigi dan ditemukan hasil penelitian bahwa tidak ada hubungan antara variabel independen yaitu konsumsi jenis makanan kariogenik, anatomi gigi, kadar saliva dan status stres dengan variabel intervene yaitu status plak dimana X² hitung < X² tabel dan p value > α=0,05. PEMBAHASAN Masalah karies gigi merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat Indonesia, serta cenderung mengalami peningkatan. Usaha untuk mengatasi masalah karies gigi belum terlihat hasilnya. Karies gigi merupakan penyakit yang berhubungan dengan banyak faktor (multiple factor), merupakan interaksi antara faktor-faktor tersebut. Interaksi antara faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya karies tersebut adalah interaksi yang saling mempengaruhi, yang mana jika tanpa salah satu faktor, maka karies tidak akan terjadi (Tarigan, 1990). Karbohidrat oleh bakteri plak dapat dibentuk asam. Pembawa karbohidrat ini adalah makanan. Makanan tidak ditelan semuanya, sebagian kecil tertinggal didalam rongga mulut dan digunakan 203
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
sebagai substrat bagi bakteri setempat (Koswara, 2006) Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hampir sama jumlah yang mengalami karies dan tidak karies. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Houwink, dkk (1993) yang mengatakan bahwa makanan kariogenik yang mudah melengket dan mudah hancur di dalam mulut lebih memudahkan timbulnya karies gigi seperti kuekue, es krim, susu, coklat, dan lain-lain. Faktor makanan mempengaruhi kejadian karies gigi. Gula adalah faktor yang memegang peranan penting. Semakin sering mengkonsumsinya semakin menyebabkan terjadinya penurunan pH dalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya demineralisasi. Selain faktor tersebut maka waktu memegang peranan penting. Waktu disini jika seseorang dapat mengantisipanya dengan memelihara kebersihan gigi dengan menyikat gigi yang benar baik dari waktu menyikat serta frekuensi menyikat maka pengaruh jenis makanan ini tidak akan mempengaruhi kejadian karies gigi. Sebaiknya penelitian ini juga melihat frekuensi menyikat serta waktu menyikat gigi untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. (Sripriya, 2007) Penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang dikemukakan oleh Ford T.R.Pitt (1993) bahwa fisur merupakan sarang plak yang baik dan akan susah sekali membuang plak tersebut dari tempat ini. Bulu sikat gigi tak akan dapat mencapainya kecuali pada fisur yang lebar. Karies dimulai pada semua dinding tegak, tidak dimulai dari dasar fisur yang selama ini diduga menyebar ke email. Meskipun fisur memberikan peran yang besar terhadap kejadian karies gigi namun ada faktor lain yang sangat mudah menyebabkan karies gigi ditinjau dari letak karies yaitu: permukaan email halus, permukaan akar dan sekitar tumpatan.yang pada penelitian ini tidak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Flink, dkk (2008) di Swedia dalam judulnya ”Prevalensi Hiposalivasi sehubungan dengan kesehatan umum, indeks massa tubuh dan gigi yang masih ada pada orang dewasa”, dari kelompok usia berbeda menunjukkan hubungan antara karies dan hiposalivasi sulit untuk dipastikan dalam penelitian cross sectional, kecuali jika kecepatan aliran saliva adalah sangat rendah. Kesulitan dalam penelitian jenis ini adalah kurangnya informasi mengenai kecepatan aliran saliva yang sebenarnya selama perkembangan kavitas karies gigi. Perlu dilakukan untuk mengawasi perkembangan berkala dari karies sehubungan dengan hiposalivasi. Akan tetapi ada beberapa bukti yang telah ditemukan mengenai hubungan antara hiposalivasi dengan indeks DMFT.
Salah satu dari kelemahan penelitian yang berhubungan dengan ludah ini adalah tidak melihat/tidak meneliti tentang tingkat buffer dalam hal ini adalah pH ludah dimana bila < 5 berada dibawah pH ludah fisiologis yang berakibat kejenuhan dalam ludah sebagai akibat hidroksit apatit, sehingga kalsium dan fosfat akan larut dari email. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya remineralisasi dengan baik dan memudahkan pembentukan karang gigi (Cornelius, 2008). Dibutuhkan waktu minimum tertentu bagi plak dan karbohidrat yang menempel pada gigi untuk membentuk asam. Salah satunya apabila orang mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula akan menyebabkan terjadinya penurunan pH plak. Dan untuk mengembalikan ke keadaan normal dimana pH plak mencapai 7, waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 30-60 menit. Apabila ini berlangsung secara terus menerus maka tidak diragukan lagi proses demineralisasi akan berlangsung dan akan menyebabkan terjadinya karies (Fianka, 2008). Penelitian lain juga yang melibatkan 1550 orang dewasa menunjukkan bahwa stress karena perubahan hidup seperti kesulitan ekonomi dan depresi, berhubungan dengan penyakit periodontal yang lebih berat. Banyaknya variabel stres yang digunakan pada Skala Holmes tentu tidaklah berarti secara keseluruhan untuk menilai stres berdasarkan penelitian yang telah dilakukan seperti diatas. Faktor penyebab stres seperti kesulitan ekonomi sudah dapat menunjukkan stres atau tidaknya sesorang. Persoalan hubungan keluarga juga menyebabkan orang stres. Variabel untuk mengukur ekonomi seseorang yang terdapat dalam Skala Holmes adalah mencegah terjadinya pinjaman dari 196 responden yang menjawab ya sebanyak 120 orang dan menjawab tidak sebanyak 76 orang. Kemudian dalam perubahan status keuangan yang menjawab ya sebanyak 75 orang dan yang menjawab tidak sebanyak 121 orang. Dari kedua variabel ini perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang masalah ekonomi (penyebab stres) terhadap kejadian karies gigi (Jos, 2003). Hasil analisis bivariat variabel dependen dengan variabel interven dalam hal ini status plak ditemukan bahwa variabel jenis makanan konsumsi kariogenik, anatomi gigi, kadar saliva, status stres adalah tidak ada hubungan dengan status plak. KESIMPULAN DAN SARAN Konsumsi jenis makanan kariogenik, anatomi gigi dengan melihat fisur dalam dan terdapat bercak putih atau coklat dan fisur datar dan tidak terdapat bercak putih atau coklat, kadar saliva dengan viskositas < 2ml/menit dan > 2ml/menit, status stres 204
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 201-205
adalah faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian karies gigi pada peserta jamsostek di Gorontalo. Status plak adalah faktor yang berhubungan dengan kejadian karies gigi pada peserta jamsostek di Gorontalo. Plak sebagai variebel antara terhadap kejadian karies gigi setelah dilakukan analisis bivariat dengan variabel konsumsi jenis makanan kariogenik, anatomi gigi, saliva dan stres diperoleh hasil tidak ada hubungan yang berarti ada
variabel lain yang mempengaruhi terbentuknya plak untuk selanjutnya terjadi karies. Perlunya pihak jamsostek bekerjasama dengan dokter gigi yang ditunjuk oleh jamsostek untuk mengadakan sosialisasi tentang arti pentingnya kesehatan gigi dan mulut dan perlunya peserta jamsostek berkunjung secara teratur untuk memeriksakan gigi dan membersihkan karang gigi setiap 6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA Cornelius, T, et al. 2008. An Analysis of the Etiological and Predisposing Factors Related to Dentin Hipersensitivity. Jurnal terbit available at http://The-journal-of-Contemporary-DentalPractictice-Vol.9-No-5. Diakses 9 Oktober 2008. Fianka, Vandana. 2008. Karies Gigi. Online, http://www.wikipedia.com. Diakses 26 Agustus 2008. Ford, T.R. Pitt. 1993. Restorasi Gigi. EGC : Jakarta. Flink, Hakan, et al. 2008. Prevalence of hyposalivation in relation to general health, body mass index and remaining teeth in different age groups of adults. Online. http:/Community Dentistry-and-Oral-Epidemiology. Diakses 9 oktober 2008 Houwink, B,Dirks O.B, et.al. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Jos, A. Bosch, et.al. 2003. Stress a determinant of saliva-mediated adherence and coaddherence of oral and nonoral microorganism. Online. http://journal-Psychomatic-Medicine. Diakses 21 Juli 2008. Koswara, Sutrisno. 2006. Makanan Bergula dan Kerusakan Gigi. Online. http://www.ebookpangan.com. Diakses 26 Agustus 2008. Sripriya N. and Shaik Hyder Ali K. 2007. A. Comparative study of the efficacy of four different bristle design of tooth brushes in plaque removal. Online. http:// journal Indian Soc Pedod Prev Dent. Diakses 9 oktober 2008. Tarigan, Rasinta. 1990. Karies Gigi. Hipokrates : Jakarta
205
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 206-212
Artikel IV
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN IBU MELAKUKAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) DI RSIA SITI FATIMAH MAKASSAR TAHUN 2011 Factors Related To Nursing Mothers Do Early Initiation Of Breast Feeding (Imd) In Rsia Siti Fatimah Makassar Year 2011 Alia Faradilah Issyaputri1 Dinas Kesehatan Sumbawa NTB (
[email protected]/085255807609) 1
ABSTRAK Setiap tahun diperkirakan hampir 3,3 juta bayi lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalam 28 hari pertama kehidupannya. Salah satu intervensi yang dapat mengurangi angka kematian bayi (AKB) adalah memberikan sesegera mungkin air susu ibu (ASI). Pemberian ASI sedini mungkin dikenal dengan istilah inisiasi menyusu dini (IMD). Di Indonesia hanya 8% ibu memberi ASI eksklusif kepada bayinya sampai berumur enam bulan dan hanya 4% bayi disusui ibunya dalam waktu satu jam pertama setelah kelahirannya. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dengan ibu melakukan IMD di RSIA Siti Fatimah Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Populasi adalah semua ibu yang melahirkan bayinya di RSIA Siti Fatimah Makassar. Sampel diambil secara Accidental Sampling. Jumlah sampel 94 orang ibu melahirkan normal dalam kurun waktu penelitian. Analisis data menggunakan uji Chi Square (α = 0,05) dan uji Phi. Pada penelitian ini variabel yang memiliki hubungan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini adalah pengetahuan (p = 0,015 < α = 0,05) dengan kuat hubungan sedang (φ = 0,274) dan dukungan tenaga kesehatan (p = 0,000 < α = 0,05) dengan kuat hubungan sedang (φ = 0,457). Adapun untuk variabel yang tidak ada hubungan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini adalah sikap (p = 0,271 > α = 0,05) dan dukungan keluarga (p = 0,051 > α = 0,05). Disarankan agar tenaga kesehatan lebih aktif dalam mempraktikkan pelayanan IMD dan ibu bersalin dan pihak keluarga tidak segan untuk meminta kepada tenaga kesehatan agar dilaksanakan IMD. Kata Kunci : Inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif, ibu bersalin normal. ABSTRACT Every year estimated that nearly 3.3 million babies were born dead and more than 4 million others die within the first 28 days of life. One intervention that can be reduce the infant mortality rate (IMR) is to provide breast milk as soon as possible. Breastfeeding also known as early initiation of breastfeeding. However, in Indonesia, only 8% of mothers exclusively breast feed their babies until the age of six months and only 4% of mothers breastfed infants during the first hour after birth. This study aimed to identify factors associated with mothers did early initiation of breastfeeding in RSIA Siti Fatimah Makassar. This type of research is observational analytic with Cross Sectional Study. The population is all women who give birth in RSIA Siti Fatimah Makassar. Samples taken by Accidental Sampling. The number of samples of 94 mothers gave birth to normal within a period of research. Data analysis using Chi Square test (α = 0.05) and test the strength of the relationship Phi test. In this research, variables that related to mothers did early initiation of breastfeeding were knowledge (p = 0,015 < α = 0,05) with strength relation was moderate (φ = 0,274) and health workers support (p = 0,000 < α = 0,05) with strength relation was moderate (φ = 0,457). As for variables not related with early mothers initiation of breastfeeding were attitude (p = 0,271 > α = 0,05) and family support (p = 0,051 > α = 0,05). It is recommended that health workers are more active in practice the ministry of early initiation of breastfeeding and birth mother and the family did not hesitate to ask for health workers carried out an early initiation of breastfeeding. Keyword : Early breastfeeding initiation, exclusive breastfeeding, normal birth mother.
206
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 206-212
PENDAHULUAN Setiap ibu menghasilkan air susu yang kita sebut ASI sebagai makanan alami yang disediakan untuk bayi. Pemberian ASI eksklusif serta proses menyusui yang benar merupakan sarana yang dapat diandalkan untuk membangun SDM yang berkualitas. ASI adalah makanan satu-satunya yang paling sempurna untuk menjamin tumbuh kembang bayi pada enam bulan pertama. Selain itu, dalam proses menyusui yang benar, bayi akan mendapatkan perkembangan jasmani, emosi, maupun spiritual yang baik dalam hidupnya (Saleha, 2009). Setiap tahun di dunia diperkirakan hampir 3,3 juta bayi lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalam 28 hari pertama kehidupannya. Jumlah terbesar kematian bayi terjadi di wilayah Asia Tenggara (1,4 juta kematian bayi dan 1,3 juta lahir mati) (Eman, 2008). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 diperoleh estimasi Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2008). AKB di Sulsel sebesar 41 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Sulsel, 2008). Khusus di Kota Makassar AKB sebesar 5 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Kota Makassar, 2007) Berdasarkan data dari rekam medik Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Siti Fatimah Makassar tahun 2009 terdapat 63 (1,71%) bayi lahir mati dari 3676 persalinan dan pada Januari-September 2010 terdapat 45 (1,41%) bayi lahir mati dari 3171 persalinan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi AKB yaitu dengan beberapa intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. Salah satu intervensinya adalah memberikan sesegera mungkin air susu ibu (ASI). Pemberian ASI sedini mungkin dikenal dengan istilah inisiasi menyusu dini (Suari, 2008). Namun, di Indonesia hanya 8% ibu memberi ASI eksklusif kepada bayinya sampai berumur enam bulan dan hanya 4% bayi disusui ibunya dalam waktu satu jam pertama setelah kelahirannya. Padahal, sekitar 21.000 kematian bayi baru lahir (usia di bawah 28 hari) di Indonesia dapat dicegah melalui pemberian ASI pada satu jam pertama setelah lahir. Pemberian ASI dini juga meningkatkan kemungkinan 2-8 kali lebih besar untuk ibu memberi ASI eksklusif (Eman, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu, sikap ibu, dukungan keluarga, dan dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di RSIA Siti Fatimah Makassar dari tanggal 18 Januari sampai 8 Februari 2011. Penelitian dilakukan di rumah sakit tersebut karena melihat kenyataan bahwa RSIA Siti Fatimah merupakan salah satu rumah sakit bersalin pemerintah terbesar di kota Makassar dan merupakan rumah sakit rujukan yang dapat dijangkau oleh masyarakat dari berbagai jenjang ekonomi. Populasi dari penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan bayinya di RSIA Siti Fatimah Makassar. Sampel adalah ibu melahirkan normal dalam kurun waktu penelitian yang diambil dengan teknik accidental sampling. Besar sampel 94 orang yang diperoleh berdasarkan rumus besar sampel untuk rancangan penelitian cross sectional study dengan perkiraan jumlah populasi 3676, tingkat ketelitian 0,1, dan proporsi inisiasi menyusu dini yaitu 0,38 (Lemeshow, 1997). Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat) sekaligus pada waktu yang sama. Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer (wawancara langsung antara peneliti dengan responden yang terpilih sebagai sampel dengan menggunakan kuesioner) dan data sekunder diperoleh dari Bagian Rekam Medik RSIA Siti Fatimah Makassar. Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS melalui editing, coding, dan tabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan kelompok umur tertinggi yaitu kelompok umur 20-35 tahun sebanyak 76 orang (80,9%), terendah yaitu kelompok umur <20 tahun sebanyak 8 orang (8,5%). Berdasarkan pendidikan terakhir responden yang tertinggi adalah SMA sebanyak 44 orang (46,8%) dan terendah adalah SD sebanyak 11 orang (11,7%). Pada umumnya responden memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yakni sebanyak 75 orang (79,8%), responden yang bekerja sebagai PNS dan Wiraswasta masingmasing sebanyak 7 orang (7,5%), dan pekerjaan lainlain (dalam hal ini pegawai BUMN dan karyawan swasta) yaitu sebanyak 5 orang (5,3%). Sedangkan paritas responden yang terbanyak yaitu paritas ≥dua sebanyak 54 orang (57,4%).
207
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
Tabel 1. Distribusi Responden Karakteristik di RSIA Makassar Tahun 2011 Karakteristik Kelompok Umur (Tahun) <20 20-35 >35 Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Akademi/Perguruan Tinggi Pekerjaan PNS Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Lain-lain (Pegawai BUMN dan Karyawan Swasta) Paritas Satu ≥ Dua Sumber: Data Primer, 2011
dukungan keluarga yaitu 83 orang (88,3%), sedangkan responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga hanya 11 orang (11,7%). Tabel 2. Distribusi Responden yang Melakukan Inisiasi Menyusu Dini di RSIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2011 Variabel n % Melakukan IMD Ya 28 29,8 Tidak 66 70,2 Pengetahuan Cukup 58 61,7 Kurang 36 38,3 Sikap Positif 61 64,9 Negatif 33 35,1 Dukungan Keluarga Ada dukungan 83 88,3 Tidak ada dukungan 11 11,7 Dukungan Tenaga Kesehatan Ada dukungan 63 67,0 Tidak ada dukungan 31 33,0 Jumlah 94 100 Sumber: Data Primer, 2011
Berdasarkan Siti Fatimah n
%
8 76 10
8,5 80,9 10,6
11 25 44 14
11,7 26,6 46,8 14,9
7 7 75 5
7,5 7,5 79,7 5,3
40 54
42,6 57,4
Analisis Univariat Responden melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segera setelah lahir bayi diletakkan di dada/perut ibu dan dibiarkan untuk menemukan puting payudara ibu dengan sendirinya sehingga bayi yang baru lahir langsung mendapatkan ASI yang memiliki kadar kolostrum tinggi (pada <2 jam pertama kelahiran). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa responden yang melakukan inisiasi menyusu dini adalah 28 orang (29,8%), sedangkan yang tidak melakukan adalah 66 orang (70,2%). Pengetahuan dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang ibu ketahui tentang ASI, IMD, dan manfaat IMD. Tabel 2 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup yaitu sebesar 61,7% (58 orang) sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan kurang sebanyak 36 orang (38,3%). Sikap dalam penelitian ini adalah tanggapan setuju atau tidak setuju responden terhadap beberapa pernyataan yang diberikan berkaitan dengan inisiasi menyusu dini. Tabel 2 menunjukkan responden yang memiliki sikap positif sebesar 64,9% (61 orang), sedangkan responden yang mempunyai sikap negatif sebanyak 33 orang (35,1%). Dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah segala dukungan yang diberikan oleh suami atau anggota keluarga kepada responden yang berkaitan dengan inisiasi menyusu dini. Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua responden mendapatkan
Dukungan tenaga kesehatan dalam penelitian ini adalah segala aktivitas tenaga kesehatan (dokter/bidan) yang mendorong responden untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan dukungan tenaga kesehatan yaitu 63 orang (67,0%), sedangkan responden yang tidak mendapatkan dukungan tenaga kesehatan sebanyak 31 orang (33,0%). Analisis Bivariat Hubungan Pengetahuan dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa responden yang berpengetahuan cukup dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini lebih banyak yaitu sebesar 60,3% (35 orang) dibandingkan dengan yang berpengetahuan cukup dan melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebesar 39,7% (23 orang). Sedangkan reponden yang berpengetahuan kurang cenderung tidak melakukan inisiasi menyusu dini yaitu 31 orang (86,1%) dibandingkan dengan yang melakukan yaitu 5 orang (13,9%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai X2 = 5,873 (X2 > X2tabel = 3,841) dan nilai p = 0,015 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011. Hasil uji statistik dengan koefisen φ (phi) diperoleh nilai φ = 0,274, berarti terdapat hubungan sedang antara pengetahuan dengan ibu melakukan 208
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 206-212
inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011. Hubungan Sikap dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Tabel 3 terlihat bahwa responden yang bersikap positif dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini lebih banyak yaitu sebesar 65,6% (40 orang) dibandingkan dengan yang bersikap positif dan melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebesar 34,4% (21 orang). Sedangkan reponden yang bersikap negatif cenderung tidak melakukan inisiasi menyusu dini yaitu 26 orang (78,8%) dibandingkan dengan yang melakukan yaitu 7 orang (21,2%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai X2 = 1,212 (X2 < X2tabel = 3,841) dan nilai p = 0,271 (p > 0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan antara faktor sikap dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Tabel 3 terlihat bahwa responden yang mendapatkan dukungan keluarga dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini lebih banyak yaitu sebesar 66,3% (55 orang) dibandingkan dengan yang mendapatkan dukungan keluarga dan melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebesar 33,7% (28 orang). Namun, semua reponden yang melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebanyak 28 orang mendapatkan dukungan keluarga sehingga responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini yaitu 11 orang (100,0%).
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai X2 = 3,795 (X2 < X2tabel = 3,841) dan nilai p = 0,051 (p > 0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan antara faktor dukungan keluarga dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011. Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa responden yang mendapatkan dukungan tenaga kesehatan dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini lebih banyak yaitu sebesar 55,6% (35 orang) dibandingkan dengan yang mendapatkan dukungan keluarga dan melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebesar 44,4% (28 orang). Namun, semua reponden yang melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebanyak 28 orang mendapatkan dukungan tenaga kesehatan sehingga responden yang tidak mendapatkan dukungan tenaga kesehatan dan tidak melakukan inisiasi menyusu dini yaitu sebanyak 31 orang (100,0%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai X2 = 17,555 (X2 > X2tabel = 3,841) dan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan antara faktor dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011. Hasil uji statistik dengan koefisen φ (phi) diperoleh nilai φ = 0,457, berarti terdapat hubungan sedang antara dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011.
Tabel 3. Hubungan Pengetahuan dengan Ibu Melakukan Inisiasi Menyusu Dini di RSIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2011 Melakukan IMD n % Variabel Ya Tidak Uji Statistik n % n % Pengetahuan Cukup Kurang Sikap Positif Negatif Dukungan Keluarga Ada dukungan Tidak ada dukungan Dukungan Tenaga Kesehatan Ada dukungan Tidak ada dukungan Jumlah Sumber: Data Primer, 2011
23 5
39,7 13,9
35 31
60,3 86,1
58 36
100,0 100,0
X2= 5,873 ρ = 0,015 φ = 0,274
21 7
34,4 21,2
40 26
65,6 78,8
61 33
100,0 100,0
X2= 1,212 ρ = 0,271
28 0
33,7 0,0
55 11
66,3 100,0
83 11
100,0 100,0
X2= 3,795 ρ = 0,051
28 0
44,4 0,0
35 31
55,6 100,0
63 31
100,0 100,0
28
29,8
66
70,2
94
100,0
209
X2= 17,555 ρ = 0,000 φ = 0,457
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
chi square didapat X2 = 33,033 dengan p value = 0,000 (p < 0,05) yang berarti menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang IMD dengan praktik inisiasi menyusu dini di RB Harapan Bunda Pajang Surakarta (Kusumawati, 2010). Terdapat 6 tingkatan pengetahuan di mana pada tingkat ke-3 yaitu aplikasi, yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya) (Notoatmodjo, 2007). Sikap Ibu Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara faktor sikap dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011 (nilai X2 = 1,212 < X2tabel = 3,841 dan p = 0,271 > 0,05). Hasil ini membuktikan bahwa tidak menjamin seseorang termasuk ibu bersalin di RSIA Siti Fatimah Makassar yang hampir seluruhnya memiliki sikap positif terhadap inisiasi menyusu dini akan melakukan inisiasi menyusu dini. Hal ini bisa saja dapat dipengaruhi oleh kurang/tidak adanya dukungan tenaga kesehatan dan motivasi dari dalam diri sendiri, serta faktor lain juga diperkirakan mempengaruhi sehingga ibu yang memiliki sikap positif tidak melakukan inisiasi menyusu dini dan sebaliknya ibu yang memiliki sikap negatif akan tetapi melakukan inisiasi menyusu dini karena faktor lain yang mendukung. Dukungan Keluarga Penelitian ini menemukan tidak ada hubungan antara faktor dukungan keluarga dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011 (nilai X2 = 3,795 < X2tabel = 3,841 dan p = 0,051 > 0,05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afifah (2009) tentang faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan IMD dan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian Afifah (2009) menyatakan bahwa salah satu penghambat pelaksanaan IMD yaitu kurang/tidak ada dukungan keluarga karena keluarga tidak memahami tentang maksud dan tujuan IMD. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan oleh Afifah adalah penelitian kualitatif dengan subjek dan tempat penelitian juga berbeda. Hasil ini membuktikan bahwa tidak menjamin seseorang termasuk ibu bersalin di RSIA Siti Fatimah Makassar yang cenderung mendapatkan dukungan keluarga terhadap inisiasi menyusu dini akan melakukan inisiasi menyusu dini. Ada beberapa hal yang menghambat IMD di antaranya adalah takut bayinya kedinginan, ibu terlalu lelah untuk segera menyusu bayinya pada 1 jam pertama, tenaga kesehatan kurang tersedia dan kurang merespon adanya praktik IMD, kamar bersalin yang sibuk, ibu
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa kelompok umur responden tertinggi yaitu 20-35 tahun sebesar 80,9% (76 orang). Hal ini karena kelompok umur 2035 tahun merupakan usia subur bagi seorang wanita untuk bereproduksi. Kelompok umur 20-35 tahun juga bukan merupakan kelompok berisiko tinggi (highrisk) untuk wanita hamil dan melahirkan. Pendidikan terakhir responden yang terbanyak yaitu SMA sebesar 46,8% (44 orang). Menurut Notoatmodjo (2007) salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang adalah tingkat pendidikan, dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan akan merangsang seseorang untuk mempelajari masalah ASI dan IMD. Pada umumnya pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yaitu 75 orang (79,7%). Seorang ibu rumah tangga dapat mempunyai waktu lebih banyak untuk bersosialisasi dengan ibu-ibu dari balita yang mengikuti posyandu, kegiatan RT dan RW, arisan PKK untuk dapat menambah informasi atau saling bertukar pengetahuan dan pengalaman tentang IMD dan pemberian ASI sedini mungkin. Paritas responden lebih banyak ≥dua yaitu sebesar 57,4% (54 orang). Ibu yang berparitas ≥dua berarti sudah mempunyai pengalaman melahirkan dan menyusui sebelumnya. Penelitian ini menemukan bahwa ibu yang melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar masih tergolong rendah yaitu 29,8% (28 orang). Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi ibu melakukan inisiasi menyusu dini. Setelah dilakukan analisis data maka akan dibahas sebagai berikut: Pengetahuan Ibu Pengetahuan ibu menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin di RSIA Siti Fatimah Makassar yaitu 61,7% mempunyai pengetahuan cukup. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan dasar untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011 (nilai X2 = 5,873 > X2tabel = 3,841 dan p = 0,015 < 0,05). Pengetahuan memberikan kontribusi terhadap ibu melakukan inisiasi menyusu dini sebesar 27,4% dengan kuat hubungannya “sedang”. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2010) dengan hasil uji 210
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 206-212
bersalin yang harus dijahit, pemberian suntikan vitamin K dan tetes mata segera setelah bayi baru lahir (Roesli, 2008). Dukungan Tenaga Kesehatan Penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan antara faktor dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2011 (nilai X2 = 17,555 > X2tabel = 3,841 dan p = 0,000 < 0,05). Dukungan tenaga kesehatan memberikan kontribusi terhadap ibu melakukan inisiasi menyusu dini sebesar 45,7% dengan kuat hubungannya “sedang”. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Virarisca, dkk (2010) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05) sehingga ada hubungan antara faktor dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini dan berdasarkan hasil wawancara mendalam terlihat bahwa bila ada dukungan dari tenaga kesehatan, maka IMD dapat terlaksana baik pada postpartum normal maupun pada postpartum seksio sesarea (Virarisca, 2010). Demikian pula halnya dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta oleh Fika dan Syafiq (2003) menyimpulkan bahwa keberhasilan IMD terletak pada penolong persalinan karena pada 30 menit pertama setelah lahir peran penolong persalinan sangat dominan. Bila ibu difasilitasi oleh penolong persalinan untuk memeluk bayinya, maka interaksi antara ibu dan bayi segera terjadi sehingga IMD dapat terlaksana dengan baik (Virarisca, 2010). Walaupun dalam penelitian ini tidak mencakup peran tenaga kesehatan pada masa kehamilan ibu, tetapi tenaga kesehatan sudah harus memperkenalkan kepada ibu tentang IMD sejak masa kehamilan. Saat ibu memeriksakan kehamilannya pada pelayanan antenatalcare, tenaga kesehatan harus sudah menginformasikan kepada ibu tentang manfaat
melakukan IMD. Tenaga kesehatan harus dapat memberikan motivasi dan menyarankan kepada ibu hamil agar mau melaksanakan IMD saat persalinannya kelak. Tenaga kesehatan (dokter/bidan) sebagai penolong persalinan harus memiliki keterampilan yang baik dalam melakukan IMD sehingga dalam praktiknya IMD dapat berjalan dengan baik pula.
DAFTAR PUSTAKA Afifah. 2009. Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif di Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Tesis diterbitkan. FKM USU Medan. Available at http://www.repository.usu.ac.id, diakses pada Maret 2011. Eman. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Untuk Awali ASI Eksklusif. Available at http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1221548709,577 34, diakses pada 4 Oktober 2010. Kusumawati, Anita. 2010. Hubungan antara Pengetahuan Ibu tentang IMD dengan Praktek Inisiasi Menyusu Dini di RB Harapan Bunda Pajang Surakarta. KTI diterbitkan. DIV Kebidanan FK UNS. Available at
http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/154022 108201006071.pdf, diakses pada Maret 2011. Lemeshow, Stanley, dkk. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta. Profil Kesehatan Indonesia. 2008. Available at http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/P rofilKesehatanIndonesia2008.pdf, diakses pada 4 Oktober 2010 Profil Kesehatan Kota Makassar. 2007. Available at http://datinkessulsel.files.wordpress.com/2009/0 1/profil-makassar-07.pdf, diakses pada 29 November 2010 .
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar, maka dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan antara pengetahuan dan dukungan tenaga kesehatan dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar dengan tingkat kekuatan hubungan yang “sedang”, tidak terdapat hubungan antara sikap dan dukungan keluarga dengan ibu melakukan inisiasi menyusu dini di RSIA Siti Fatimah Makassar. Disarankan bagi RSIA Siti Fatimah Makassar diharapkan dapat menetapkan peraturan untuk dilaksanakannya program IMD bagi semua ibu bersalin. Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk meningkatkan pengetahuan tentang IMD dan lebih aktif dalam mempraktikkan pelayanan IMD kepada ibu bersalin. Bagi ibu bersalin dan pihak keluarga diharapkan untuk selalu mencari informasi tentang IMD dan tidak segan untuk meminta kepada tenaga kesehatan agar dilaksanakan IMD. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah referensi tentang IMD dan sebaiknya melakukan penelitian dengan rancangan yang berbeda (seperti case control) sehingga dapat diperoleh informasi lebih banyak dari sejak kehamilan hingga persalinan ibu yang melakukan IMD atau tidak.
211
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, 2012
Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2008. Available at http://dinkessulsel.go.id/new/images/pdf/profil/profilkesehat ansulsel2008narasi29.pdf, diakses pada 4 Oktober 2010. Roesli, Utami. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda: Jakarta. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Salemba Medika: Jakarta.
Suari, NRM. 2008. Inisiasi Menyusu Dini, Apa Manfaatnya?. Available at http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2008/1/ 13/ink2.html, diakses pada 29 November 2010 Virarisca, Sheilla, dkk. 2010. Metode Persalinan dan Hubungannya dengan Inisiasi Menyusu Dini di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Available at http://ilib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?datald=1087 9, diakses pada Maret 2011.
212
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 213-218
Artikel V
HUBUNGAN PARTISIPASI JUMANTIK DENGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KASSI-KASSI KECAMATAN RAPPOCINI Relation Between Participation Of Jumantik With Angka Bebas Jentik (Abj) In The Work Area Of Puskesmas Kassi-Kassi Rappocini District Fuji Zulviana1, Hasanuddin Ishak1 1 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas (
[email protected]) ABSTRAK Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas daerah penyebarannya. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan kasus DBD adalah keterbatasan petugas-petugas kesehatan khususnya jumantik untuk melakukan penyuluhan secara berkesinambungan dan kepedulian rakyat terhadap kesehatan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan partisipasi jumantik dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi di Kecamatan Rappocini Tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survei analitik dengan rancangan cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 69 orang jumantik yang tersebar di sembilan kelurahan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan (p=1,000), jenis pekerjaan utama (p=0,544) tidak berhubungan dengan partisipasi jumantik. Partisipasi jumantik berdasarkan kelengkapan alat dan bahan (100%) tidak berhubungan dengan densitas larva Aedes aegypti (p=1,000), meskipun seluruh jumantik mendapatkan reward (100%) berupa uang. Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada hubungan antara partisipasi jumantik dengan ABJ sehingga disarankan kepada pihak puskesmas dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap partisipasi jumantik dengan ABJ. Kata kunci : Partisipasi, Jumantik, Angka Bebas Jentik (ABJ) ABSTRACT Disease Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the environmental health problems tend to increase the number of patients and the wider regional spread. One factor driving the increase of dengue cases is limited, especially health officers jumantik to do counseling on an ongoing basis and concern of the people against it, it was need for increased education of health workers to the community. This study was to determine the relation of participation jumantik with larva free rate in the working area health centers in the Kassi-Kassi Rappocini District Year 2011. This type of research is a quantitative study using the analytic survey with cross sectional design. The number of samples in this study were 69 people of jumantik in nine area . Data analysis was performed using chi square test. The results showed that knowledge (p = 1.000), the main type of work (p = 0.544) are not related with participation of jumantik. Jumantik participation based on the completeness of equipment and materials (100%) not related to the density of Aedes aegypti larvae (p = 0.614), although all jumantik get reward (100%) of money. Based on the results, Jumantik participation are not related with larva free rate so to the clinic are advised to conduct monitoring and evaluation of jumantik participation with larva free rate. Keyword: Participation, Jumantik, Angka Bebas Jentik (ABJ) lain faktor hospes (host), lingkungan (environment), dan faktor virus itu sendiri (Soegijanto, 2006). Setiap tahun di seluruh dunia terjadi lebih dari 100 juta kasus penyakit demam dengue dan lebih dari 100.000 kasus DBD. Hanya Afrika dan Timur Tengah yang
PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas daerah penyebarannya. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD antara 213
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
jauh dari peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Sopotammarak, 2003 ; Josef, 2010). Kasus DBD di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007, kembali meningkat dengan jumlah kasus sebanyak 5.333 kasus dan jumlah kasus yang terbesar berada di Kabupaten Bone 1030 kasus, Kota Makassar 452 kasus, Kabupaten Bulukumba 376 kasus dan Kabupaten Pangkep 358 kasus. Dari kejadian tersebut telah dilakukan penanggulangan fokus berupa pengasapan, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) termasuk abatisasi (Dinkes Propinsi Sulsel, 2010). Pada tahun 2008 di kota Makassar, angka kejadian DBD 262 dengan kematian 3 orang, tahun 2009 angka kejadian DBD kembali turun menjadi 255 dengan kematian 1 orang dan pada tahun 2010 angka kejadian DBD menjadi 161 dengan kematian 3 orang (Dinkes Kota Makassar, 2010). Salah satu kecamatan dengan angka kejadian DBD tertinggi di Kota Makassar adalah Kecamatan Rappocini. Terjadi peningkatan kejadian DBD dari tahun ke tahun, data Puskesmas Kassi-Kassi menunjukkan pada tahun 2008 sebanyak 50 kasus, tahun 2009 sebanyak 55 kasus dan tahun 2010 sebanyak 85 kasus. Puskesmas Kassi-kassi yang terdapat di Kecamatan Rappocini memiliki wilayah kerja sembilan kelurahan. Beberapa kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi mengalami peningkatan kasus kejadian DBD. (Dinkes Kota Makassar, 2010). Upaya pemberantasan DBD di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi seperti program pemberantasan DBD di Indonesia dengan mengaktifkan gerakan 3M plus dan melakukan penyemprotan insektisida di fokus area dan pembagian bubuk abate. Peran serta masyarakat dalam mendukung upaya pemberantasan DBD dilakukan dengan pembentukan Kader Pemantau Jentik yang sampai saat ini mencapai 78 orang kader yang tersebar di 9 kelurahan di Puskesmas KassiKassi. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan kasus DBD adalah keterbatasan petugas-petugas kesehatan khususnya jumantik untuk melakukan penyuluhan secara berkesinambungan dan kepedulian rakyat terhadap hal tersebut, bagaimanapun perilaku masyarakat dalam upaya mencegah DBD di lingkungannya tidak bisa terlepas dari peranan kader kesehatan, karena kader merupakan faktor reinforcing yang bisa memberikan dukungan/pengaruh bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan DBD (Salawati, 2008). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar partisipasi jumantik dalam menurunkan angka kejadian DBD sehingga dapat mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada sembilan kelurahan yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi. Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari 2012-Maret 2012. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan jumantik di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini Kota Makassar dengan jumlah 74 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara exhaustive sampling yaitu dengan cara mengambil seluruh populasi yang tercantum sebagai jumantik di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini sebanyak 74 orang. Namun ada satu orang jumantik yang tidak bersedia diwawancarai dan empat orang yang tercatat sebagai jumantik sudah tidak aktif lagi menjadi jumantik sehingga sampel menjadi 64 orang. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS . Model analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi, narasi dan tabulasi silang (crosstab) untuk mengetahui hubungan partisipasi jumantik dengan angka bebas jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini Tahun 2011. HASIL Karakteristik Sampel Karakteristik sampel berdasarkan umur menunjukkan bahwa kelompok umur responden tertinggi adalah kelompok umur 41-50 tahun sebanyak 26 orang (37,7%) dan kelompok umur terendah adalah kelompok umur 71-80 tahun sebanyak 1 orang (1,4%). Karakteristik sampel berdasarkan pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan tertinggi adalah tamat SMA sebanyak 47 orang (68,1%) dan pendidikan terendah adalah tamat SD sebanyak 4 orang (5,8%). Karakteristik berdasarkan jenis pekerjaan utama menunjukkan bahwa pekerjaan utama tertinggi adalah ibu rumah tangga sebanyak 62 orang (89,9%) dan pekerjaan utama terendah adalah PNS dan pedagang sebanyak 1 orang (1,4%). Analisis Univariat Sampel yang berpengetahuan kurang sebanyak 31 orang (44,9%) dan sampel yang berpengetahuan cukup sebanyak 38 orang (55,1%). Sampel yang bekerja di luar rumah sebanyak 7 orang (10,1%) dan sampel yang bekerja di dalam rumah sebanyak 62 orang (89,9%). Pada variabel reward semua sampel menerima reward sebanyak 69 orang (100%). Hal ini berarti hanya ada satu kategori pada variabel ini. Sehingga variabel reward tidak dapat dianalisis secara bivariat. Pada variabel kelengkapan alat dan 214
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 213-218
bahan semua sampel tidak mendapat alat dan bahan yang lengkap sebanyak 69 orang (100%). Hal ini berarti hanya ada satu kategori saja pada variabel ini. Sehingga variabel kelengkapan alat dan bahan juga tidak dapat dianalisis secara bivariat. Sampel yang tidak aktif berpartisipasi sebagai jumantik sebanyak 7 orang (10,1%) dan sampel yang aktif berpartisipasi sebagai jumantik sebanyak 62 orang (89,9%). Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Puskesmas KassiKassi, diketahui bahwa masih ada empat kelurahan yang angka bebas jentiknya belum memenuhi persyaratan (>95%) yaitu kelurahan Banta-Bantaeng (94,5%), kelurahan Buakana (94%), kelurahan Karunrung (85,5%), kelurahan Ballaparang (91,9%). Sedangkan yang angka bebas jentik untuk kelurahan lain sudah memenuhi persyaratan (>95%) yaitu
kelurahan Rappocini (95%), kelurahan Tidung (98%), kelurahan Kassi-Kassi (98%), kelurahan Bontomakkio (100%), dan kelurahan Mappala (98,9%). ABJ yang tinggi sebanyak 54 (78,3%) dan ABJ yang rendah sebanyak 15 (21,7%). Analisis Bivariat Pengetahuan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang berpengetahuan kurang yang tidak aktif sebagai jumantik sebanyak 3 orang (9,7%) dan responden yang berpengetahuan cukup yang aktif sebagai jumantik sebanyak 34 orang (89,5%). Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai sebesar 1,000 (p value>0,05) yang berarti Ha ditolak, yakni tidak ada hubungan antara pengetahuan responden dengan partisipasi jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi tahun 2011.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Pengetahuan Dengan Partisipasi Jumantik Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Tahun 2011 Partisipasi Jumantik Total Pengetahuan Uji Tidak aktif Aktif Responden Statistik (%) (%) (%) n n n Kurang 3 Cukup 4 Total 7 Sumber: Data Primer
9,7 10,5 10,1
28 34 62
90,3 89,5 89,9
31 38 69
100 100 100
p = 1,000
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Jenis Pekerjaan Utama Dengan Partisipasi Jumantik Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Tahun 2011 Partisipasi Jumantik Jenis Pekerjaan Total Uji Tidak aktif Aktif Utama Satistik n (%) n (%) n (%) Di luar rumah 1 14,3 6 85,7 7 100 Di dalam rumah 6 9,7 56 90,3 62 100 p = 0,544 Total 7 10,1 62 89,9 69 100 Sumber: Data Primer Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Hubungan Partisipasi Jumantik Dengan Angka Bebas Jentik Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Tahun 2011 Angka Bebas Jentik Partisipasi Total Uji Tinggi Rendah Jumantik Statistik n (%) n (%) n (%) Aktif 48 77,4 14 22,6 62 100 Tidak Aktif 6 85,7 1 14,3 7 100 p = 1,000 Total 54 78,3 15 21,7 69 100 Sumber: Data Primer Jenis pekerjaan utama pada Tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang bekerja di luar rumah yang tidak aktif sebagai jumantik sebanyak 1 orang (14,3%) dan responden yang bekerja di dalam rumah yang aktif sebagai jumantik sebanyak 56 orang (90,3%). Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai sebesar 0,544 (p value>0,05) yang berarti Ha
ditolak, yakni tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan utama responden dengan partisipasi jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi tahun 2011. Partisipasi jumantik pada Tabel 3 menunjukkan bahwa lingkungan dengan angka bebas jentik yang tinggi ditemukan pada wilayah kerja jumantik yang 215
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
berpartisipasi secara aktif sebanyak 48 orang (77,4%). Sedangkan lingkungan dengan angka bebas jentik yang rendah ditemukan pada wilayah kerja jumantik yang berpartisipasi secara tidak aktif sebanyak 1 orang (14,3%). Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai sebesar 1,000 (p value>0,05) yang berarti Ha ditolak, yakni tidak ada hubungan antara partisipasi jumantik dengan angka bebas jentik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi tahun 2011.
pentingnya pengetahuan seseorang untuk melakukan suatu upaya. Makin tinggi pengetahuan seseorang maka akan lebih termotivasi untuk melakukan hal yang positif untuk dirinya (Wahidawani, 2007). Jenis pekerjaan utama Jenis pekerjaan utama jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi lebih banyak yang bekerja di dalam rumah (ibu rumah tangga) dibandingkan dengan jumantik yang bekerja di luar rumah (pedagang, PNS dan swasta). Jumantik yang bekerja di dalam rumah sebagai ibu rumah tangga akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk melakukan aktivitas sebagai jumantik sehingga hal ini mendukung jumantik berpartisipasi aktif dibandingkan dengan jumantik yang bekerja diluar rumah. Hal ini disebabkan karena jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi seluruhnya adalah perempuan dimana bila ia bekerja di luar rumah maka ia akan lebih sibuk sehingga kurang berpartisipasi sebagai jumantik. Hal ini sejalan dengan penelitian Diana (2011) yang menunjukkan bahwa responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga akan lebih banyak waktu untuk mengikuti kegiatan masyarakat, PKK dan sebagainya. Sehingga jumantik yang bekerja sebagai ibu rumah tangga lebih banyak memiliki waktu untuk mengakses informasi dan mengikuti kegiatan pelatihan sebagai jumantik. Oleh karena itu partisipasinya pun lebih aktif dibandingkan dengan jumantik yang bekerja di luar rumah. Hasil analisis statistik melalui chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan utama dengan partisipasi jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, dengan hasil analisis sebesar 0,544. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan utama hanya merupakan faktor penunjang, bukan merupakan faktor satu-satunya untuk seorang jumantik agar berpartisipasi aktif dalam melakukan kinerjanya. Reward Semua jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi mendapatkan reward. Ada 3 jenis bentuk reward yang dikategorikan dalam penelitian ini yaitu penghargaan, sertifikat dan uang. Jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi seluruhnya mendapatkan reward berupa uang. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian jumantik berpendapat bahwa reward yang diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Sehingga inilah yang mempengaruhi jumantik untuk berpartisipasi secara aktif dalam melakukan tugasnya. Hal ini sesuai dengan teori Herzberg yang menyatakan bahwa bila upah tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan dan kejenuhan dalam seseorang sehingga mempengaruhi mereka dalam bekerja yang pada akhirnya akan
PEMBAHASAN Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang paling penting dalam membentuk perilaku seseorang. Perilaku yang didasarkan dengan pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari penegetahuan. Pengetahuan sangat penting dalam memberikan wawasan terhadap sikap dan perbuatan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Hasil analisis statistik melalui chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan partisipasi jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi. Pada kenyataannya jumantik di Puskesmas Kassi-Kassi telah memiliki cukup pengetahuan tentang penyakit DBD karena dapat menjawab pertanyaan umum mendasar tentang penyakit ini. Namun, Jumantik yang berpengetahuan cukup tidak terbukti memiliki partisipasi yang tinggi dalam menurunkan densitas larva. Hal ini disebabkan karena pengetahuan cukup yang dimiliki seorang jumantik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain seperti kedisiplinan, beban kerja dan motivasi yang kurang dari lingkungan kerjanya. Dengan demikian pengetahuan cukup tidak menjamin seorang jumantik berpartisipasi aktif. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Zubaedah (2007) yang menunjukkan adanya hubungan pengetahuan dengan kinerja pokja DBD dengan nilai p=0,020 (p<0,05) . Penelitian oleh Yudhastuti dan Vidiyani (2005) menunjukkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Akan tetapi, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sitio (2008) yang menunjukkan bahwa hasil uji chi square menunjukkan nilai p=0,764. Hal ini berarti tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan kejadian DBD. Pengetahuan yang cukup dapat menunjang partisipasi jumantik dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini sesuai dengan teori Roger (1994) bahwa seseorang melakukan sesuatu didasari oleh adanya pengetahuan dan kesadaran sehingga upaya yang dilakukan dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal. Menurut Yusak (1997) bahwa betapa 216
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 213-218
berdampak pada pada kinerja mereka (Herawati, 2011). Reward yang diberikan dapat meningkatkan kinerja jumantik dalam berpartisipasi aktif. Hal ini sejalan dengan penelitian Uwebun (2004) yang mengatakan hasil pengisian kuesioner dari 36 orang responden, 26 orang (72,2%) menyatakan setuju bahwa gaji yang diterima perawat cukup, 5 orang (13,9%) menyatakan tidak setuju dan 5 orang menyatakan (13,9%) menyatakan tidak sangat setuju. Kelengkapan Alat dan Bahan Semua jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi memiliki alat dan bahan yang tidak lengkap dalam melakukan pemantauan jentik. Ada 6 jenis bentuk alat dan bahan yang paling tidak harus dimiliki oleh jumantik untuk mendukung kinerjanya, diantaranya lampu senter, alat tulis, bubuk abate, formulir pengisian pada tiap rumah, formulir pengisian hasil jumantik dan buku. Berdasarkan hasil kuesioner semua jumantik di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi hanya mendapatkan alat dan bahan berupa bubuk abate, formulir pengisian pada tiap rumah, dan formulir pengisian hasil jumantik sehingga dapat dikatakan bahwa alat dan bahan yang diberikan oleh pihak puskesmas tidak lengkap. Semua jumantik tidak mendapat alat dan bahan yang lengkap dari pihak puskesmas. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab jumantik tidak berpartisipasi aktif dalam melakukan kinerjanya. Walaupun demikian, kelengkapan alat dan bahan merupakan faktor pendukung bagi jumantik untuk dapat berpartisipasi aktif dalam melakukan pemantauan jentik. Selain itu, dalam melakukan kegiatan pemantauan jentik, jumantik tidak diberikan tanda atau seragam oleh pihak puskesmas. Hubungan Partisipasi Jumantik Dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) Jumantik di wilayah kerja Puskesmas KassiKassi lebih banyak yang aktif dibandingkan dengan jumantik yang tidak aktif. Dalam penelitian ini, jumantik dikatakan aktif karena melakukan pemantauan jentik 2 kali atau lebih dalam setahun
serta melakukan penyuluhan kepada rumah tangga yang rumahnya ditemukan jentik begitu pun sebaliknya. Hasil analisis statistik melalui chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan partisipasi jumantik dengan densitas larva di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, dengan hasil analisis sebesar 1,000. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dan Noersuchufi (2006) yang menunjukkan Jumantik yang aktif mempengaruhi tingginya ABJ (angka bebas jentik), dan tingginya ABJ mempengaruhi tidak adanya kasus DBD (Taviv, 2009). Hal ini disebabkan oleh partisipasi jumantik bukan merupakan faktor utama yang berpengaruh langsung terhadap densitas larva karena faktor yang berpengaruh langsung terhadap densitas larva yaitu faktor fisik seperti suhu, kondisi tempat perindukan, kelembaban, pelaksanaan 3M, dan sebagainya. Faktor kimia yaitu penggunaaan abate dan faktor biologis yaiu keberadaan hewan predator bagi larva (Mile, 2006).
DAFTAR PUSTAKA Diana. 2011. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Ibu Hamil Dengan Kejadian Anemia Zat Besi Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Siti Fatimah Makassar. Skripsi tidak diterbitkan .FKM Universitas Hasanuddin : Makassar. Dinkes Kota Makassar. 2010. Profil Kesehatan Makassar 2008. Dinkes Makassar :Makassar Dinkes Propinsi Sulsel. 2010. Profil Kesehatan Sulsel 2008. Dinkes Propinsi Sulsel: Makassar. Available at http://dinkessulsel.go.id/.../profil/profil%20kese
hatan%20sulsel%202008%20 (narasi).pdf. Diakses tanggal 10 September 2010. Josef, Fransisca M, Tina Afiatin. 2010. Partisipasi dalam Promosi Kesehatan pada Kasus Penyakit Demam Berdarah (DB) Ditinjau dari Pemberdayaan Psikologis dan Rasa Bermasyarakat. Jurnal Psikologi Volume 37 Nomor 1 Juni 2010: 65 – 81. Available at http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/ article/view/40/29. diakses tanggal 23 September 2011.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara partisipasi jumantik dengan angka bebas jentik (ABJ) berdasarkan faktor pengetahuan dan faktor jenis pekerjaan utama di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini. Bagi petugas kesehatan yaitu dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap partisipasi jumantik, peningkatan partisipasi jumantik melalui penambahan reward jumantik dari reward sebelumnya sesuai dengan beban kerjanya agar jumantik lebih termotivasi dalam melakukan kinerjanya, penambahan jumlah jumantik pada daerah yang jumantiknya kurang aktif dan memberikan kelengkapan alat dan bahan bagi jumantik untuk mendukung kinerjanya dan bagi peneliti yaitu melakukan penelitian lain dengan variabel-variabel yang berbeda.
217
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Herawati. 2011. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Petugas Rumah Sakit Di RSIA Sitti Khadijah Muhammadiyah Makassar Tahun 2011. Skripsi tidak diterbitkan .FKM Universitas Hasanuddin : Makassar. Mile, R.A. 2006. Studi faktor densitas jentik nyamuk Aedes aegypti dan kejadian penyakit DBD di Kelurahan Walawalaya dan Kalukuang kecamatan Rappocini kota Makassar . Skripsi tidak diterbitkan .FKM Universitas Hasanuddin : Makassar. Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rhineka Cipta : Jakarta. Puskesmas Kassi-Kassi. 2010. Metode Pemantauan Jentik. Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini : Makassar. Salawati, Trixie, Ratih Sari Wardhani. 2008. The Identification Of Cadre Role In Preventing Dengue Hemoragic Fever On Kelurahan Srondol Kulon Banyumanik Sub District Semarang. PROSIDING UNIMUS Volume 1 Nomor 1 Tahun 2008 : 137-147. Available at http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn120120 10/article/view/103/84. diakses tanggal 23 November 2011. Sitio, A. 2008. Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008. Universitas Diponegoro: Semarang. Soegijanto. 2006. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press : Surabaya. Taviv, Yulian,dkk. 2009. Pengendalian DBD Melalui Pemanfaatan Pemantau Jentik Dan
Ikan Cupang Di Kota Palembang. Buletin Penelitian Kesehatan Volume. 38 Nomor 4 tahun 2010: 215 – 224. Available at http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/B PKESE /article/download/97/102. diakses tanggal 23 November 2011. Uwebun, F. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Tenaga Perawat Pada Bagian Rawat Inap Di Rumah Sakit Fatimah Makale. Skripsi tidak diterbitkan .FKM Universitas Hasanuddin : Makassar. Wahidawani. 2007. Analisis Kinerja Perawat Dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Di Ruang Instalasi Rawat Darurat Dan Intensive Care Unit Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Tahun 2007. Skripsi tidak diterbitkan .FKM Universitas Hasanuddin : Makassar. Yudhastuti, Ririh, Anny Vidiyani. 2004. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan UNAIR Volume.1 Nomor.2, Januari 2005 :170-182. Available at http://210.57.222.46/index.php /JKL/article/viewFile/687/686. diakses tanggal 23 November 2011. Zubaedah, I. S. 2007. Hubungan Faktor-Faktor Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Petugas Pokja DBD Tingkat Kelurahan Di Kota Tasikmalaya. Universitas Diponegoro: Semarang.
218
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 219-224
Artikel VI
GAMBARAN KESENJANGAN (GAP) DIMENSI KUALITAS PELAYANAN BERDASARKAN PERSEPSI MANAJEMEN DAN PERSEPSI PASIEN DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR An Overview Of The Gap Dimensions Of Service Quality Based On Perception Management And Perception Patients In Inpatient Installation Hospital Labuang Baji Makassar Rosmaida Nasrul1, Alimin Maidin1, Syahrir A. Pasinringi1 Bagian Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas (
[email protected])
1
ABSTRAK Angka BOR di RSUD Labuang Baji Makassar menunjukkan angka yang rendah dan mengalami penurunan selama 3 tahun terakhir. Alasan nilai BOR rendah adalah rendahnya kualitas pelayanan. Penilaian tentang kualitas pelayanan dapat berbeda–beda bagi setiap orang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui besarnya kesenjangan yang terjadi antara persepsi manajemen dengan persepsi pasien dan mengetahui indikator penilaian yang menjadi priorias utama untuk dilakukan perbaikan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan besar sampel pasien yaitu 145 orang, dan besar sampel manajemen yaitu 25 orang. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kesenjangan tertinggi pada gap 1 yaitu persepsi manajemen tentang pelayanan yang diharapkan oleh pasien dengan harapan pasien yang sesungguhnya terdapat pada kelas perawatan II dan angka kesenjangan tertinggi pada dimensi tangible. Angka kesenjangan tertinggi pada gap 5 yaitu persepsi pasien tentang pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang dirasakan terdapat pada kelas perawatan I dan kesenjangan tertinggi pada dimensi assurance. Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar lebih meningkatkan kualitas pelayanan bagi pasien kelas I dan II dan melakukan perbaikan kualitas pelayanan untuk semua indikator penilaian yang berada di kuadran A untuk masingmasing kelas perawatan. Kata Kunci : Kesenjangan persepsi manajemen, Kesenjangan persepsi pasien, Dimensi Kualitas Pelayanan ABSTRACT BOR rate in RSUD Labuang Baji Makassar showed a low and decreased during the last 3 years. Achieved the low bor actually mentioned that the quality of the service of hospitals low . One of the reasons that causes the low value bor is the low quality of the service . Judgments about quality service gets different for all people. Through analysis against a gap in model servqual who assesses five dimensions quality service are reliability , responsiveness , assurance , emphaty and tangible. services company not only can assess the quality of the whole services as perceived by the customer , but can also identify dimensions aspects of the key and in any dimension which need the consummation of quality. This research purposes to know immensity existing gap between perception management with perception patient and knowing the indicators of the priority main to repairing . This research is research descriptive with large sample patient is 145 people , and large sample management that is 25 people . Research is applied in installation inpatient Hospital Labuang Baji makassar. The results showed that the highest disparities in gap 1 the perception management about the service expected by patients in the hope of real patients in class II treatment and highest on the dimensional gap figures tangible. Number of the highest disparities in patient perception gap 5 which is about the expected service with service on the perceived treatment of class I and the highest disparities in dimensions of assurance. Expected to the hospital to be more increase service quality for patients class I and II and repair service quality for all the indicators of the located at quadrant a for each class care. Keywords : Perception gap management, Perception gap patient, Dimension of quality of service 219
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Tingkat kepuasan konsumen atas suatu pelayanan dapat diukur dengan membandingkan antara harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkannya dengan kenyataan yang diterimanya atau dirasakannya (Kaihatu, 2008). Antara pelayanan yang diterima dengan pelayanan yang diharapkan, seringkali menimbulkan adanya kesenjangan. Melalui analisis terhadap berbagai gap dalam model Servqual, perusahaan jasa tidak hanya bisa menilai kualitas keseluruhan jasanya sebagaimana dipersepsikan oleh pelanggan, namun juga bisa mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci dan aspekaspek dalam setiap dimensi tersebut yang membutuhkan penyempurnaan kualitas.
PENDAHULUAN Kualitas pelayanan yang berorientasi kepuasan pasien di rumah sakit milik pemerintah belum menjadi prioritas, karena eksistensinya dianggap tidak tergantung kepada tingkat utilisasi rumah sakit tetapi tergantung dari kebijakan pemerintah. Hal ini menyebabkan relatif rendahnya mutu pelayanan rumah sakit pemerintah dibandingkan dengan rumah sakit yang dikelola oleh swasta yang mengedepankan kualitas untuk tetap eksis (Sabaruddin, 2008). RSUD Labuang Baji Makassar merupakan salah satu unit pelaksana teknis pemerintah provinsi sulawesi selatan yang bertekad mendukung tercapainya provinsi sehat dengan cara meningkatkan pelayanan paripurna sesuai dengan tujuan organisasi dan merupakan pusat rujukan untuk wilayah bagian selatan yaitu kabupaten gowa, takalar, dan jeneponto. Upaya memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas masih perlu mendapat perhatian. Salah satu indikator tentang perlunya upaya untuk memperhatikan kualitas pelayanan kesehatan terlihat dari tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan rumah sakit. Hingga saat ini tingkat pemanfaatan fasilitas RSUD Labuang baji Makassar nampaknya masih belum optimal. Hal tersebut ditunjukkan oleh angka BOR pada tahun 2008 sebesar 60,05%, tahun 2009 sebesar 58,65%, tahun 2010 sebesar 57,50 dan pada tahun 2011 sebesar 52,09%. Angka BOR tersebut mengalami penurunan selama 3 tahun terakhir dan tidak memenuhi standar Depkes yaitu angka BOR 60-85%. Selain angka BOR, indikator kinerja IRNA seperti LOS dan BTO juga mengalami penurunan dan tidak memenuhi standar Depkes. Rendahnya BOR yang dicapai sebenarnya menggambarkan bahwa kualitas pelayanan dari rumah sakit yang bersangkutan rendah. Salah satu alasan yang menyebabkan rendahnya nilai BOR ini adalah rendahnya kualitas pelayanan (Widaryanto, 2005). Kepuasan pasien menjadi tolak ukur tingkat kualitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh hasil bahwa untuk indikator standar pelayanan minimal yaitu kepuasan pasien khususnya di instalasi rawat inap pada tahun 2009 tidak memenuhi standar. Nilai kepuasan pasien rawat inap sebesar 82 % sedangkan standar pelayanan minimal sebesar ≥90% . Hasil studi mutu yang dilakukan pihak RSUD Labuang Baji Makassar pada bulan oktober tahun 2011, menunjukkan bahwa secara umum mutu pelayanan di RSUD Labuang Baji Makassar masih berada pada nilai kepuasan yang cukup, dengan beberapa tempat pelayanan yang menjadi objek penilaian yaitu instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, farmasi dan laboratorium (Berkas Akreditasi RSUD Labuang Baji).
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di instalasi rawat inap RSUD Labuang Baji Makassar pada bulan april 2012. Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005) yang dibagi menjadi populasi manajemen/petugas yang terbagi atas kepala bidang, kepala ruangan, dan perawat pelaksana dengan besar sampel 25 orang. Penarikan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif Penelitian ini mendeskripsikan kesenjangan dimensi kualitas pelayanan berdasarkan kelas perawatan menurut parasuraman di instalasi rawat inap RSUD Labuang Baji Makassar. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer berupa pernyataan servqual persepsi manajemen tentang harapan pasien terhadap dimensi kualitas pelayanan. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan tehnik analisis deskriptif SERVQUAL yaitu : Servqual score = perception score – expectation score, Dimana jika : a). SS = 0, berarti tidak terjadi kesenjangan, b). SS positif, berarti kinerja melebihi harapan, c). SS negatif, berarti kinerja tidak memenuhi harapan. Kualitas pelayanan rumah sakit untuk masing-masing variabel dapat dilihat berdasarkan penilaian pengguna jasa dengan menghitung rata-rata skor SERVQUAL dari setiap pernyataan disetiap variabelnya. Rata-rata perhitungan SERVQUAL untuk setiap variabel didapat melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1). Untuk setiap responden, jumlahkan skor servqual dari setiap pernyataan yang telah diberikan dalam tiap-tiap variabelnya kemudian dibagi dengan banyaknya jumlah pernyataan dalam masing-masing dimensi, 2). Jumlah yang telah diperoleh pada langkah pertama, tambahkan untuk seluruh responden berdasarkan kelas perawatan dan kemudian total skor tersebut dibagi dengan jumlah total responden berdasarkan kelas perawatan. 220
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 219-224
Sedangkan pada kelas perawatan VIP, I, II dan III tidak terjadi kesenjangan. Dimensi tangible pada Tabel 1 diketahui bahwa untuk dimensi tangible hanya kelas perawatan II yang menunjukkan angka kesenjangan. Angka kesenjangan pada kelas perawatan II terjadi pada semua indikator penilaian. Sedangkan pada kelas perawatan VIP, I, II dan III tidak terjadi kesenjangan.
HASIL Kesenjangan Persepsi Manajemen Tentang Harapan Pasien dengan Harapan Pasien Sesungguhnya Tabel 1 diketahui bahwa untuk dimensi emphaty hanya kelas perawatan II yang menunjukkan angka kesenjangan. Angka kesenjangan pada kelas perawatan II terjadi pada indikator penilaian 1 dan 4.
Tabel 1. Kesenjangan Persepsi Manajemen Terhadap Dimensi Kualitas Pelayanan (Dimensi Emphaty dan Dimensi Tangibel) Berdasarkan Kelas Perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2012 VIP
KELAS I
Dimensi Kualitas Pelayanan Dimensi Emphaty Perhatian petugas terhadap keluha pasien Petugas tidak membedabedakan pasien Kesabaran petugas Dukungan moril dari petugas kesehatan Total GAP Dimensi Tangibel Penampilan petugas kesehatan Ketersediaan peralatan medis Kebersihan,kerapihan dan kenyamanan ruangan Kebersihan dan kenyamanan tempat tidur Kebersihan kamar mandi Fasilitas yang tersedia di ruangan dapat berfungsi dengan baik Total GAP
GAP M
P
5
5
5
KELAS II GAP
M
P
0
4,85
4,77
5
0
5
5
5
0
5
5
0
GAP
KELAS III M P
GAP
M
P
0,08
4,57
4,85
-0,28
4,72
4,46
0,26
4,77
0,23
5
4,85
0,15
4,81
4,42
0,39
5
4,77
0,23
4,85
4,85
0
4,81
4,43
0,38
4,85
4,77
0,08
4,71
4,8
-0,09
4,72
4,42
0,3
0
0,62
-0,22
1,33
5
5
0
4,71
5
-0,23
4,71
4,9
-0,19
4,81
4,44
0,37
5
5
0
5
5
0
5
4,95
0,05
4,90
4,47
0,43
5
5
0
5
4,77
0,23
4,85
5
-0,15
4,72
4,45
0,27
5
5
0
5
4,77
0,23
4,85
5
-0,15
4,63
4,44
0,19
5
5
0
5
4,77
0,23
4,42
4,95
-0,53
4,72
4,49
0,23
5
5
0
5
4,77
0,23
4,57
4,95
-0,38
4,63
4,49
0,14
0
0.69
-1,35
1,63
Sumber : Data Primer Dimensi reliability pada Tabel 1 diketahui bahwa terjadi kesenjangan pada kelas perawatan VIP dan kelas II. Kesenjangan terbesar terjadi pada kelas perawatan VIP Kesenjangan tersebut terjadi pada indikator penilaian ketepatan waktu pemberian obat, perawat mengontrol dan memeriksa pasien secara berkala. Sedangkan pada kelas perawatan I dan III persepsi manajemen melebihi harapan pasien yang sesungguhnya. Tabel 1 diketahui bahwa untuk dimensi responsiveness terjadi kesenjangan pada kelas perawatan VIP, I , II dan III dan kesenjangan terbesar terjadi pada kelas perawatan II. Sedangkan pada kelas perawatan III tidak terjadi kesenjangan. Kesenjangan yang terjadi pada ketiga kelas perawatan tersebut menunjukkan bahwa pihak
manajemen belum mengetahui dengan benar tentang harapan pasien. Dimensi Assurance pada Tabel 1 diketahui bahwa terjadi kesenjangan pada kelas perawatan I dan II. Kesenjangan tertinggi terjadi pada kelas perawatan II untuk indikator penilaian 1, 2, 3, dan 6. Sedangkan pada kelas perawatan VIP dan kelas perawatan III tidak terjadi kesenjangan untuk semua indikator penilaian. Kesenjangan Berdasarkan Kelas Perawatan Tabel 3 dapat diketahui bahwa kesenjangan terjadi pada kelas perawatan VIP yaitu pada dimensi reliability dan responsiveness sedangkan untuk kelas perawatan II yaitu pada semua dimensi kualitas pelayanan kecuali reliability.
221
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Tabel 2. Kesenjangan Persepsi Manajemen Terhadap Kualitas Pelayanan (Dimensi Reliability, Dimensi Responsiveness, Dimensi Assurance) Berdasarkan Kelas Perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2012 Kualitas Pelayanan Dimensi Reliability Kunjungan dokter tepat waktu sesuai jadwal Prosedur penerimaan yang cepat Perawat mengontrol pasien secara teratur sesuai jadwal Perawat secara berkala memeriksa infus, tensi dan kondisi pasien Ketepatan waktu pemberian obat Kemampuan dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien dengan cermat dan teliti Total GAP Dimensi Responsiveness Kecepatan penanganan dan pelayanan Respon petugas ketika pasien bertanya Petugas kesehatan selalu bersedia membantu pasien Total GAP
VIP
GAP
M
P
5
5
5
KELAS I M
P
0
5
5
5
0
5
4,7
5
-0,3
4
5
4,33
5
GAP
KELAS II
GAP
KELAS III M P
GAP
M
P
0
5
4,95
0,05
4,54
4,64
-0,1
5
0
4,85
4,95
-0,1
4,63
4,55
0,08
4,71
5
-0,29
5
4,95
0,05
4,90
4,63
0,27
-1
5
4,77
0,23
4,57
4,95
-0,38
4,72
4,51
0,21
5
-0,67
5
5
0
4,85
4,95
-0,1
4,72
4,51
0,21
5
0
5
4,77
0,23
4,71
4,95
-0,24
5
4,63
0,37
-1,97
0,17
-0,72
1,04
5
5
0
4,85
5
-0,15
4,71
5
-0,29
4,90
4,51
0,39
4,7
5
-0,3
4,71
4,77
-0,06
4,57
4,77
-0,2
4,72
4,5
0,22
5
5
0
4,85
4,77
-0,08
4,14
4,77
-0,63
4,81
4,47
0,34
-0,3
-0,29
-1,12
0.95
Dimensi Assurance Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan dan tindakan invasif dengan teliti Pelayanan yang diberikan memberi rasa aman kepada pasien Kemampuan petugas kesehatan memberikan jawaban jika pasien bertanya Informasi mengenai cara konsumsi obat Keramahan petugas Pelayanan bebas dari kesalahan Total GAP
5
5
0
5
5
0
4,42
4,9
-0,48
4,81
4,51
0,3
5
5
0
4,85
5
-0,15
4,85
4,9
-0,05
4,81
4,49
0,32
5
5
0
4,71
5
-0,29
4,71
4,95
-0,24
4,63
4,51
0,12
5
5
0
4,71
5
-0,29
5
4,95
0,05
4,63
4,5
0,13
5
5
0
4,85
5
-0,15
4,85
4,85
0
4,90
4,48
0,42
5
5
0
4,85
5
-0,15
4,42
4,9
-0,48
4,63
4,49
0,14
0
-1,03
-1,2
1,43
Sumber : Data Primer tersebut terjadi karena harapan pasien kelas perawatan VIP yang sangat tinggi untuk semua indikator penilaian dibandingkan dengan kelas perawatan I dan III. Pasien kelas perawatan VIP yang menjadi responden pada saat penelitian adalah jenis pasien askes dengan latar belakang pendidikan S1. Menurut Parasuraman, 1990 menyatakan bahwa jasa yang diharapkan oleh pasien disebabkan oleh tiga faktor yaitu word of mouth, kebutuhan personel, dan pengalaman masa lalu. Berdasarkan faktor
PEMBAHASAN Pelayanan yang diharapkan/diinginkan adalah pelayanan yang terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi kebutuhan pribadi pasien, komunikasi dari mulut ke mulut, dan pengalaman sebelumnya tentang kenyataan pelayanan yang diterima atau dirasakan (Zeithaml dan Bitner, 2000). Angka kesenjangan terdapat pada kelas perawatan VIP dan kelas perawatan II. Kesenjangan 222
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 219-224
kebutuhan personel menurut teori parasuraman, hasil penelitian Manurung (2008) menyatakan bahwa kebutuhan yang dirasakan oleh individu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula kebutuhan
akan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Siagian (2000) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar keinginan dan harapannya.
Tabel 3. Kesenjangan Persepsi Manajemen Terhadap Dimensi Kualitas Pelayanan Berdasarkan Kelas Perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2012 GAP Dimensi Kualitas Pelayanan
Reliability Responsiveness Assurance Emphaty Tangible Total GAP Sumber : Data Primer
VIP
KELAS I
KELAS II
KELAS III
-1,97 -0,3 0 0 0 -2,27
0,17 -0,29 -1,03 0,62 0,69 0,16
0,72 -1,12 -1,2 -0,22 -1,35 -3,17
1,04 0,95 1,43 1,33 1,63 6,38
Menurut Parasuraman, kesenjangan pada persepsi manajemen terjadi karena adanya perbedaan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa. Kesenjangan ini terjadi karena kurangnya orientasi penelitian pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dengan pengguna jasa, komunikasi dari bawah ke atas yang kurang memadai serta terlalu banyaknya tingkatan manajemen. Kotler 1994 menyatakan bahwa kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Oleh karena itu rumah sakit yang merupakan industri jasa harus mengenal bagaimana dan siapa yang menjadi pelanggan atau pasien di rumah sakit. Mengenal bagaimana dan siapa yang menjadi pelanggan rumah sakit merupakan modal awal untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Pihak Manajemen dan petugas kesehatan harus senantiasa melakukan riset pasar dan riset kepuasan pelanggan untuk mengenal bagaimana harapan pasien dan keluarga pasien sehingga upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan menjadi jelas dan terarah. Kinerja rumah sakit merupakan iklan paling jitu bila pasien itu puas. Pasien yang puas merupakan iklan yang paling murah dan paling dapat dipercaya.
KESIMPULAN DAN SARAN Angka kesenjangan tertinggi pada gap 1 yaitu persepsi manajemen tentang pelayanan dengan harapan pasien yang sesungguhnya terdapat pada kelas perawatan II dan angka kesenjangan tertinggi pada dimensi tangible. Angka kesenjangan tertinggi pada gap 5 yaitu persepsi pasien tentang pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang dirasakan terdapat pada kelas perawatan I dan kesenjangan tertinggi pada dimensi assurance. Pada kelas perawatan I terdapat 9 indikator penilaian yang berada pada kuadran A yaitu: Prosedur penerimaan dan pelayanan yang cepat dan tidak menyusahkan pasien. Ketepatan waktu pemberian obat kepada pasien. Kecepatan penanganan dan pelayanan perawat pada saat pasien membutuhkan. Pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan memberikan rasa aman kepada pasien. Kemampuan petugas kesehatan memberikan jawaban jika pasien bertanya. Perawat memberikan informasi yang jelas mengenai takaran obat dan cara mengkonsumsi obat tersebut. Keramahan petugas. Pelayanan yang bebas dari kesalahan. Ketersediaan peralatan dan material medis. Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar mengadakan pelatihan bagi petugas kesehatan di instalasi rawat inap dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan khususnya indikator penilaian yang berada pada kuadran A.
DAFTAR PUSTAKA Hasan, Sabri 2010. Pengaruh Kualitas Layanan, Citra, Nilai dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Pasien. Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol.8, No. 1, Februari 2010 : 256-263
Kemenkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Kemenkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 223
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
129/MENKES/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Kotler, Philip 1994,’Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation and control, Edisi Ke delapan, New Jersey Manurung, Muliadi 2008. Hubungan Perceived Dan Evaluated Need Perawatan Karies Gigi Dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gigi Pada Masyarakat Di Kota Pematang Siantar. Tesis. Universitas Sumatera Utara
Notoatmodjo 2005, Metode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta RSUD Labuang Baji Makassar 2011, Angka tingkat pemanfaatan dan efisiensi rumah sakit tahun 2010-2011. Makassar: Rekam Medis Sabaruddin. 2008. Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Berdasarkan Pendekatan Servqual Pada Unit Rawat Inap RSU Nunukan. Tesis. Universitas Hasanuddin.
224
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 225-232
Artikel VII
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) DI RSP JUMPANDANG BARU KOTA MAKASSAR TAHUN 2012 Factors Associated With Utilization Of Services Voluntary Counseling And Testing (VCT) In RSP Jumpandang Baru Makassar In 2012 Jirana Nurul Ananda1, Ridwan Amiruddin1, Rismayanti1 1 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (
[email protected];085255489777) ABSTRAK VCT (Voluntary Counseling and Testing) merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pemeriksaan darah di laboratorium untuk mengetahui status HIV. Menurut Permeneg PP & PA 2010, dari tahun 2006 - 2010 jumlah kumulatif pengguna layanan VCT mencapai 669.137 orang dan baru 10,4% kasus HIV/AIDS yang ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSP Jumpandang Makassar. Populasi penelitian adalah seluruh pengunjung VCT di RSP Jumpandang Baru tahun 2011 yakni 958 orang. Besar sampel pada penelitian ini adalah 121 orang yang diambil secara accidental sampling. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square dan koefisien φ (Phi) dengan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 47,1% pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT dan 52,9% pengunjung VCT yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan VCT (p=0,217), tidak ada hubungan sikap dengan pemanfaatan pelayanan VCT (p=0,549), tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan VCT (p=0,092), ada hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan VCT (p=0,002) dengan tingkat hubungan sedang (φ=0,277). Disarankan kepada petugas kesehatan (konselor) agar lebih mengkhususkan pelayanan VCT kepada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS dan memberikan perlakuan yang sama dalam melakukan VCT kepada kelompok risiko tinggi dan bukan kelompok risiko tinggi HIV/AIDS. Kata Kunci : Voluntary Counseling and Testing (VCT), HIV/AIDS ABSTRACT VCT (Voluntary Counseling and Testing) is an activity of voluntary and confidential counseling, conducted before and after blood tests in the laboratory to determine HIV status. According Permeneg PP & PA 2010, from 2006 to 2010 that the cumulative number of VCT service users reached 669.137 people and just 10.4% cases of HIV / AIDS is found. Relatively few people living with HIV are found from the examination of VCT is assumed that the utilization of VCT services in Indonesia is still low. This study aims to determine factors related to service utilization Voluntary Counseling and Testing (VCT) in RSP Jumpandang Baru Makassar in 2012. The study population was all part of VCT in RSP Jumpandang Baru in 2011 which is 958 people. The sample size in this study were 121 people taken in accidental sampling. This type of observational analytic study is a cross sectional study design. Data were analyzed using Chi-Square test and the coefficient of φ (Phi) with α = 0.05. The results showed that as many as 47.1% of visitors who utilize VCT services and 52.9% of visitors who do not utilize VCT services. No association with knowledge of VCT service utilization (p = 0.217), no association with the attitude of VCT service utilization (p = 0.549), no family support relationship with the utilization of VCT services (p = 0.092), there is a connection with the utilization of health support VCT (p = 0.002) with the relationship being (φ = 0.277). It is recommended that health (counselors) to more specialized VCT services to groups at high risk of HIV / AIDS and provide equal treatment in conducting VCT to the high risk group and the group not at high risk. Keywords : Voluntary Counseling and Testing (VCT), HIV / AIDS 225
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Presentasi ODHA di Indonesia yang teridentifikasi dan tercatat dari yang diperkirakan masih sedikit. Hal ini menunjukkan kegiatan Voluntary Counseling and Testing (VCT) belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga belum mencapai hasil yang seharusnya (Permeneg PP & PA, 2010). Pemanfaatan pelayanan VCT di Sulawesi Selatan juga masih rendah. Dari tahun 2006 – 2010 tercatat hanya 8,0% ODHA yang menggunakan layanan VCT (Kemenkes, 2011). Sama halnya dengan Sulawesi Selatan, di Makassar khususnya RSP Jumpandang Baru, pemanfaatan pelayanan VCT juga masih rendah bahkan mengalami penurunan setiap tahunnya. Tahun 2009 tercatat hanya 11% ODHA yang menggunakan layanan VCT. Kemudian tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 6,4% dan tahun 2011 sebesar 2,8% (RSP Jumpandang Baru, 2011). Pemanfaatan pelayanan VCT dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan dukungan tenaga kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murniati (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Khairurrahmi (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan VCT. Dan penelitian yang dilakukan oleh Budiastuti (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemeriksaan HIV. Melihat masalah yang telah dipaparkan di atas mengenai masih rendahnya pemanfaatan pelayanan VCT maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan VCT di RSP Jumpandang Baru Tahun 2012.
PENDAHULUAN AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan dari berbagai gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus (retrovirus) penyebab AIDS yang menginfeksi sistem imunologi sehingga merusak sistem kekebalan tubuh manusia (Depkes RI, 2009). Menurut WHO, wilayah Asia-Pasifik memikul beban terberat kedua setelah Afrika, dengan perkiraan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebesar 4,9 juta dan 95% diantaranya berada di sembilan negara di Asia yaitu Cambodia, China, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Papua New Guinea, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan, laju epidemi HIV di Indonesia saat ini dinyatakan sebagai “the fastest growing epidemic in Asia” (Kemenkes RI, 2009). Jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Hingga September 2011 dilaporkan jumlah kasus baru HIV sebanyak 15.589 kasus dan jumlah kasus baru AIDS sebanyak 1.805 kasus dan Sulawesi Selatan masuk dalam 10 provinsi teratas dengan 591 kasus HIV/AIDS. Jumlah kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan juga cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hingga September 2011, tercatat sebanyak 591 kasus HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2011). Sedangkan kondisi HIV/AIDS di Makassar, pada tahun 2008 terdapat 439 kasus HIV/AIDS dan 43 orang diantaranya meninggal. Tahun 2009 terdapat 473 kasus HIV/AIDS, dan tahun 2010 terdapat 458 kasus HIV/AIDS (Dinkes Kota Makassar, 2011). UNAIDS telah mengupayakan berbagai program untuk menanggulangi HIV/AIDS. Salah satu program penanggulangan HIV/AIDS yang ditetapkan oleh UNAIDS adalah program Harm Reduction (Yulianti, 2011). Salah satu program dari Pengurangan Dampak Buruk (Harm Reduction) adalah program VCT. Program layanan VCT dimaksudkan membantu masyarakat terutama populasi berisiko dan anggota keluarganya untuk mengetahui status kesehatan yang berkaitan dengan HIV dimana hasilnya dapat digunakan sebagai bahan motivasi upaya pencegahan penularan dan mempercepat mendapatkan pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan (Widiyanto, 2008). Selama lebih dari tahun 20 tahun layanan VCT disediakan, cakupan global dari ODHA yang menggunakan pelayanan VCT masih rendah. UNAIDS melaporkan bahwa lebih dari 80% persen ODHA di dunia ini tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV karena mereka belum menggunakan layanan VCT untuk memeriksakan status kesehatannya terkait HIV (Namazzi, 2008).
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar. Waktu pengumpulan data dimulai tanggal 20 Maret sampe dengan 24 April 2012. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pengunjung VCT yang tercatat di rekam medik Puskesmas Jumpandang Baru Makassar Tahun 2011 sebanyak 958 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari pengunjung VCT yang tercatat di rekam medik Puskesmas Jumpandang Baru Makassar Tahun 2011 yaitu sebesar 121 orang. Metode pengambilan sampel dilakukan secara non random sampling dengan teknik pengambilan sampel secara accidental sampling. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Data pada penelitian 226
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 225-232
ini merupakan data primer yang dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara langsung kepada 121 pengunjung VCT dengan menggunakan kuesioner. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS yang disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Uji statistik menggunakan Chi-Square dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05.
Pendidikan terakhir, pengunjung VCT tertinggi adalah yang mempunyai pendidikan terakhir SMA yakni sebesar 72 orang (59,5%) sedangkan pengunjung VCT terendah adalah yang tidak sekolah yakni sebesar 1 orang (8,0%). Berdasarkan status pernikahan, pengunjung VCT yang sudah menikah lebih tinggi yakni sebesar 63 orang (52,1%) jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang belum menikah yakni sebesar 58 orang (47,9%). Berdasarkan status pekerjaan, pengunjung VCT tertinggi adalah yang bekerja wiraswasta yakni sebesar 44 orang (36,4%) sedangkan pengunjung VCT terendah adalah yang tidak bekerja yakni sebesar 11 orang (9,1%). Analisis Univariat Pemanfaatan Pelayanan voluntary counseling and testing (VCT) adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di laboratorium untuk mengetahui status HIV. VCT dilakukan melalui 3 tahap yaitu konseling pra testing, testing, dan konseling pasca testing. Tabel 2 menunjukkan bahwa tahapan VCT tertinggi yang diikuti oleh pengunjung VCT adalah tahap konseling pra testing dan testing yakni sebesar 64 orang (52,9%) sedangkan tahapan VCT terendah yang diikuti oleh pengunjung VCT adalah tahap konseling pra testing, testing, dan konseling pasca testing yakni sebesar 57 orang (41,7%). Pengunjung VCT yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi yakni sebesar 64 orang (52,9%) jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT yakni sebesar 57 orang (47,1%). Pengetahuan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan tinggi lebih tinggi yakni sebesar 65 orang (53,7%) jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan rendah yakni sebesar 56 orang (46,3%). Kategori sikap terlihat bahwa pengunjung VCT yang memiliki sikap positif lebih tinggi yakni sebesar 73 orang (60,3%) jika dibanding dengan pengunjung VCT yang memiliki persepsi negatif yakni sebesar 48 orang (39,7%). Kategori dukungan keluarga terlihat bahwa pengunjung VCT yang mendapat dukungan keluarga lebih tinggi yakni sebesar 71 orang (58,7%) jika dibanding dengan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan keluarga yakni sebesar 50 orang (41,3%). Kategori dukungan tenaga kesehatan terlihat bahwa pengunjung VCT yang mendapat dukungan tenaga kesehatan lebih tinggi yakni sebesar 96 orang (79,3%) jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan yakni sebesar 25 orang (20,7%).
HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 Distribusi karakteristik pengunjung VCT di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012. Berdasarkan kelompok umur, pengunjung VCT tertinggi adalah pada kelompok umur 18 – 27 tahun yakni sebesar 58 orang (47,9%) sedangkan pengunjung VCT terendah adalah pada kelompok umur 48 – 57 tahun yakni sebesar 1 orang (8,0%). Berdasarkan jenis kelamin, pengunjung VCT jenis kelamin laki-laki lebih tinggi yakni sebesar 69 orang (57,0%) jika dibandingkan dengan pengunjung VCT jenis kelamin perempuan yakni sebesar 52 orang (43,0%). Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pengunjung VCT di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012 Karakteristik Pengunjung VCT Kelompok Umur (tahun) 18 – 27 28 – 37 38 – 47 48 – 57 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Status Pernikahan Sudah Menikah Belum Menikah Pekerjaan Tidak Bekerja Pelajar/Mahasiswa Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Pegawai Swasta Total Sumber : Data Primer
n
%
58 53 9 1
47,9 43,8 7,4 8,0
69 52
57,0 43,0
1 12 14 72 22
8,0 9,9 11,6 59,5 18,2
63 58
52,1 47,9
11 33 16 44 17
9,1 27,3 13,2 36,4 14,0
121
100
227
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Tabel 2. Distribusi Pengunjung VCT Berdasarkan Cakupan Tahapan VCT yang Diikuti, Kategori Pemanfaatan Pelayanan VCT, Di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012 Variabel n % Tahapan VCT Konseling pra testing 64 52,9 Konseling pra testing + testing 64 52,9 Konseling pra testing + testing + konseling pasca testing 57 47,1 Kategori Pemanfaatan Memanfaatkan 57 47,1 Tidak Memanfaatkan 64 52,9 Sumber : Data Primer pemanfaatan pelayanan VCT. Berdasarkan sikap, dari 73 pengunjung VCT yang mempunyai sikap positif terdapat 36 orang (49,3%) yang memanfaatkan pelayanan VCT dan dari 48 pengunjung VCT yang mempunyai sikap negatif terdapat 21 orang (43,8%) yang memanfaatkan pelayanan VCT. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,549 (p > 0,05). Hal ini berarti Ho diterima, artinya tidak ada hubungan sikap dengan pemanfaatan pelayanan VCT.
Analisis Bivariat Tabel 4 menunjukkan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Berdasarkan pengetahuan, dari 65 pengunjung VCT yang berpengetahuan tinggi terdapat 34 orang (53,2%) yang memanfaatkan pelayanan VCT dan dari 56 pengunjung VCT yang berpengetahuan rendah terdapat 23 orang (41,1%) yang memanfaatkan pelayanan VCT. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,271 (p > 0,05). Hal ini berarti Ho diterima, artinya tidak ada hubungan pengetahuan dengan
Tabel 3. Distribusi Pengunjung VCT Berdasarkan Kategori Pengetahuan, Kategori Sikap, Kategori Dukungan Keluarga, dan Kategori Dukungan Tenaga Kesehatan di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun 2012 Variabel n % Kategori Pengetahuan Tinggi 65 53,7 Rendah 56 46,3 Kategori Sikap Positif 73 60,3 Negatif 48 39,7 Kategori Dukungan Keluarga Mendukung 71 58,7 Tidak Mendukung 50 41,3 Kategori Dukungan Tenaga Kesehatan Mendukung 96 79,3 Tidak Mendukung 25 20,7 Total 121 100 Sumber : Data Primer Tabel 4 menunjukkan dukungan keluarga, dari 71 pengunjung VCT yang mendapat dukungan keluarga terdapat sebesar 38 orang (53,5%) yang memanfaatkan pelayanan VCT dan dari 50 pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan keluarga terdapat sebesar 19 orang (38,0%) yang memanfaatkan pelayanan VCT. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,092 (p > 0,05). Hal ini berarti Ho diterima, artinya tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan VCT. Dukungan tenaga kesehatan pada tabel 4, dari 96 pengunjung VCT yang mendapat dukungan tenaga kesehatan terdapat 52 orang (54,2%) yang
memanfaatkan pelayanan VCT dan dari 25 pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan terdapat 5 orang (20,0%) yang memanfaatkan pelayanan VCT. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002 (p < 0,05). Hal ini berarti Ho ditolak, artinya ada hubungan dukungan tenaga dengan pemanfaatan pelayanan VCT. Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan VCT digunakan koefisien φ dengan nilai φ = 0,277 yang berarti hubungannya sedang dan ini berarti dukungan tenaga kesehatan memberikan kontribusi sebesar 27.7% terhadap pemanfaatan pelayanan VCT 228
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 225-232
di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar Tahun
2012.
Tabel 4. Hubungan Variabel Independen dengan Pemanfaatan Pelayanan VCT di Kota Makassar Tahun 2012 Pemanfaatan Pelayanan VCT Memanfaatkan Tidak Total Variabel Independen Memanfaatkan n % n % n % Pengetahuan Tinggi 34 52,3 31 47,7 65 100 Rendah 23 41,1 33 58,9 56 100 Sikap Positif 36 49,3 37 50,7 73 100 Negatif 21 43,8 27 56,2 48 100 Dukungan Keluarga Mendukung 38 53,5 33 46,5 71 100 Tidak Mendukung 19 38,0 31 62,0 50 100 Dukungan Tenaga Kesehatan Mendukung 52 54,2 44 45,8 96 100 Tidak Mendukung 5 20,0 20 80,0 25 100
RSP Jumpandang
Hasil Uji Statistik
p = 0,217
p = 0,549
p = 0,092
p = 0,002 φ = 0,277
Sumber : Data Primer VCT tanpa memperdulikan lagi sasaran pelayanan VCT tersebut sebenarnya ditujukan khusus kepada kelompok berisiko tinggi HIV/AIDS. Tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di RSP Jumpandang Baru sudah tidak sesuai dengan sasaran pelayanan VCT dimana kelompok yang tidak seharusnya diikutkan dalam kegiatan VCT dan yang lebih parahnya lagi petugas kesehatan terkadang tidak memberikan konseling pra testing. Tetapi sudah dipastikan untuk kelompok tidak berisiko tinggi ini tidak dilakukan konseling pasca testing, dan ini yang menjadikan lagi tenaga kesehatan dalam melakukan VCT tidak berprinsip pada pelaksanaan VCT dimana harusnya dilaksanakan secara sukarela (tanpa paksaan) dan semua orang yang akan melakukan VCT harus dengan proses konseling. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan tinggi lebih tinggi jika dibandingkan pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan rendah. Hasil uji analisis bivariat menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi pada pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan tinggi jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan rendah. Namun proporsi keduanya tidak berbeda jauh karena ternyata diantara pengunjung VCT yang memiliki pengetahuan tinggi banyak juga yang tidak memanfaatkan pelayanan
PEMBAHASAN Pemanfaatan Pelayanan VCT Pemanfaatan pelayanan VCT adalah digunakannya pelayanan VCT secara lengkap yaitu dengan mengikuti seluruh tahapan kegiatan VCT yang meliputi konseling pra testing, testing, dan konseling pasca testing. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dari 121 pengunjung VCT yang diteliti terdapat 57 pengunjung VCT (47,1%) yang memanfaatkan pelayanan VCT dan terdapat 64 pengunjung VCT (52,9%) yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT. Artinya, hanya 47,1% pengunjung VCT yang menggunakan pelayanan VCT sesuai dengan tahapan pelaksanaan VCT yang telah ditetapkan yang meliputi konseling pra testing, testing HIV, dan konseling pasca testing. Hasil wawancara yang dilakukan selama penelitian, alasan pengunjung VCT memanfaatkan pelayanan VCT karena mereka ingin mengetahui status HIV karena merasa masuk dalam kelompok risiko tinggi HIV/AIDS dan alasan pengunjung VCT tidak memanfaatkan pelayanan VCT disebabkan karena mereka datang ke Rumah Sakit sebenarnya bukan dengan tujuan untuk melakukan VCT tetapi karena permintaan atau saran dari petugas kesehatan setempat sehingga mereka melakukan VCT tanpa tahu apa sebenarnya itu VCT. Peneliti menemukan bahwa ternyata pihak rumah sakit hanya mengejar target kunjungan VCT, yakni sebanyak 84 orang. Hal ini membuat petugas kesehatan di RSP Jumpandang Baru menyarankan kepada pengunjung Rumah Sakit untuk melakukan 229
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
VCT dan proporsi pengunjung VCT berpengetahuan tinggi yang memanfaatkan pelayanan VCT juga tidak berbeda jauh dengan proporsi pengunjung VCT berpengetahuan tinggi yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT sehingga mengakibatkan variabel ini menjadi tidak berhubungan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syakie (2008) yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan secara signifikan mempengaruhi penggunaan pelayanan VCT (p=0,000), dimana mereka dengan tingkat pengetahuan yang memadai ada dua puluh empat kali lebih mungkin untuk menggunakan pelayanan VCT dibanding dengan mereka yang memiliki tingkat pengetahuan tidak memadai. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Hasil penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memiliki sikap positif lebih tinggi jika dibandingkan pengunjung VCT yang memiliki sikap negatif. Hasil uji analisis bivariat (Tabel 13) menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi pada pengunjung VCT yang memiliki sikap positif jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memiliki sikap negatif. Namun proporsi keduanya tidak berbeda jauh karena ternyata diantara pengunjung VCT yang memiliki sikap positif yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT lebih banyak jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT sehingga mengakibatkan variabel ini menjadi tidak berhubungan. Proporsi pengunjung VCT yang memiliki sikap positif tetapi tidak memanfaatkan pelayanan VCT bisa tinggi disebabkan karena petugas kesehatan (konselor) di RSP Jumpandang Baru yang dalam melakukan VCT tidak sesuai dengan tahapan pelaksanaan VCT. Jadi, walaupun pengunjung VCT memiliki sikap positif dan ingin melakukan VCT sesuai tahapan VCT tapi karena petugas kesehatan (konselor) menganggap pengunjung VCT tidak berisiko tinggi maka pengunjung VCT tersebut tetap tidak bisa memanfaatkan pelayanan VCT secara lengkap. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Harviani (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait HIV/AIDS (p = 0,013). Dukungan Keluarga Keluarga merupakan bagian yang paling penting dan berpengaruh terhadap kesehatan anggota keluarga. Dukungan keluarga berpengaruh terhadap
keputusan seseorang untuk mau memanfaatkan pelayanan kesehatan atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang mendapat dukungan keluarga lebih tinggi jika dibandingkan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan keluarga. Hasil uji analisis bivariat menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi pada pengunjung VCT yang mendapatkan dukungan keluarga jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan keluarga. Namun proporsi keduanya tidak berbeda jauh karena ternyata diantara pengunjung VCT yang mendapat dukungan keluarga banyak juga yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT dan proporsi pengunjung VCT yang mendapatkan dukungan keluarga yang memanfaatkan pelayanan VCT juga tidak berbeda jauh dengan proporsi pengunjung VCT yang mendapatkan dukungan keluarga tetapi tidak memanfaatkan pelayanan VCT sehingga mengakibatkan variabel ini menjadi tidak berhubungan. Proporsi pengunjung VCT yang mendapat dukungan keluarga tetapi tidak memanfaatkan pelayanan VCT bisa tinggi disebabkan karena petugas kesehatan (konselor) di RSP Jumpandang Baru yang dalam melakukan VCT tidak sesuai dengan tahapan pelaksanaan VCT. Jadi, walaupun pengunjung VCT mendapat dukungan keluarga dan ingin melakukan VCT sesuai tahapan VCT tapi karena petugas kesehatan (konselor) menganggap pengunjung VCT tidak berisiko tinggi maka pengunjung VCT tersebut tetap tidak bisa memanfaatkan pelayanan VCT secara lengkap. Hal penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khairurrahmi (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan VCT (p = 0,004). Dukungan Tenaga Kesehatan Petugas kesehatan mempunyai peran majemuk dan menentukan dalam program penanggulangan HIV/AIDS yang meliputi pemberian informasi dasar tentang penularan dan penyebaran HIV serta cara pencegahannya, pemeriksaan untuk deteksi dini, motivasi pasien untuk pemeriksaan HIV sukarela dan melakukan konseling yang tepat. Selain itu, mereka juga harus melakukan kewaspadaan (universal precautions) dalam perawatan penderita untuk melindungi dirinya dan penderita lain (KPA, 1994 dalam Khaulah, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang mendapat dukungan tenaga kesehatan lebih tinggi jika dibandingkan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan. Hasil uji analisis bivariat menunjukkan bahwa pengunjung 230
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 225-232
VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi pada pengunjung VCT yang mendapat dukungan tenaga kesehatan jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang tidak mendapat dukungan tenaga kesehatan. Nilai proporsi keduanya menunjukkan perbedaan yang jauh sehingga menyebabkan variabel ini menjadi berhubungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengunjung VCT yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengunjung VCT yang memanfaatkan pelayanan VCT. Proporsi pengunjung VCT yang tidak memanfaatkan pelayanan VCT lebih tinggi disebabkan dari petugas kesehatannya sendiri yang memberikan perlakukan yang berbeda dalam melakukan VCT kepada pengunjung VCT yang masuk dalam kelompok berisiko tinggi dan pengunjung VCT yang tidak masuk dalam kelompok berisiko tinggi. Namun, pada variabel ini bisa menjadi berhubungan karena pada saat penelitian, peneliti banyak menemukan pengunjung VCT yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi sehingga hal ini yang menyebabkan variabel ini menjadi
berhubungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kory (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan terkait HIV/AIDS (p = 0,047). KESIMPULAN DAN SARAN Ada hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan VCT di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar tahun 2012 dengan kekuatan hubungan sedang. Tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan VCT di RSP Jumpandang Baru Kota Makassar tahun 2012 Disarankan kepada petugas kesehatan (konselor) agar lebih mengkhususkan pelayanan VCT kepada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS dan memberikan perlakuan yang sama dalam melakukan VCT kepada kelompok risiko tinggi HIV/AIDS dan bukan kelompok risiko tinggi HIV/AIDS. Selain itu, disarankan kepada petugas kesehatan untuk meningkatkan penyuluhan mengenai pelayanan VCT baik di Puskesmas maupun di lokasi-lokasi yang memungkinkan kelompok risiko tinggi HIV/AIDS bisa ditemui.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.aidsindonesia.or.id. Diakses 6 Februari 2012. Khairurrahmi. 2008. Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan Level Penyakit Orang dengan HIV/AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT di Kota Medan. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan. Online. http:// repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/6744/1/09E01492.pdf. Diakses 15 Desember 2011. Khaulah, Wahyuni. 2004. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Praktek Mencegah Penularan HIV/AIDS di Kalangan Pengguna Napza Suntik di Kampung Bali Jakarta Tahun 2004. Depok. Program Pascasarjana FK UI. Kory, Sara. 2011. Faktor yang Berhubungan dengan Keaktifan Pengguna Napza Suntik Terhadap Pelayanan Metadon di RSP Jumpandang Baru Makassar Tahun 2011. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. Manurung, Agus Muliadi. 2007. Hubungan Perceived dan Evaluated Need Perawatan Karies Gigi dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gigi Pada Masyarakat di Kota Pematang Siantar. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan. Online. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 6735/1/08E00056.pdf. Diakses 17 Desember 2011. Murniati. 2007. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Oleh
Budiastuti, Anggun. 2011. Faktor Yang Berhubungan dengan Pemeriksaan HIV Pada Pengguna Napza Suntik Di Puskesmas Kassikassi Kota Makassar Tahun 2011. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Maakassar. Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. http://www.depkes. go.id. Diakses 15 Januari 2012. Dinkes Provinsi Sul-Sel. 2009. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2008. http:// datinkessulsel.files.wordpress.com/ 2009/11/profil-kesehatan-sulsel_09. pdf. Diakses 11 Desember 2011. Harviani. 2010. Hubungan Faktor Perilaku dengan Keikutsertaan Program Terapi Rumatan Metadon Bagi Pengguna Napza Suntik di Puskesmas Kassi-kassi Makassar Tahun 2010. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. Kemenkes RI. 2009. HIV/AIDS Memasuki Pademi di Tingkat Global. http://www. depkes.go.id/index.php/berita/press-release/436hivaids-memasuki. Diakses 15 Januari 2012. Kemenkes RI. 2010. Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Sampai Dengan Desember 2010. http://www.aidsindonesia.or.id. Diakses 13 Februari 2012. Kemenkes RI. 2011. Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia Sampai dengan September 2011. 231
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Ibu Hamil di Kabupaten Aceh Tenggara. Tesis Universitas Sumatera Utara Medan. Online. http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/6760/1/057012021.pdf. Diakses 15 Desember 2011. Namazzi, Julie Abimanyi. 2008. Determinants of Using Voluntary Counselling and Testing for HIV/AIDS in Kenya. Monash University : Journal of Management Policy and Practice. http://www.na-businesspress.com/ JMPP/NamazziWeb.pdf. Diakses 6 Februari 2011. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta Permeneg Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak. 2010. Pedoman Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Yang Reponsif Gender. http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/ indexphp?option=com. Diakses 7 Februari 2012.
RSP Jumpandang Baru. 2011. Jumlah Penderita HIV/AIDS dan Pengunjung VCT di Puskesmas Jumpandang Baru Tahun 2008 – 2011. Widiyanto, S. Gunawan. 2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Wanita Pekerja Seks (WPS) dalam VCT Ulang di Lokasi Sunan Kuning, Semarang. Tesis Universitas Diponegoro. Online. http://eprints.undip. ac.id/18484/1/S._Gunawan_Widiyanto.pdf. Diakses 30 Desember 2011. Yulianti, Dina. 2011. Hegemoni Epistemic Community dalam Program Harm Reduction UNAIDS (Joint United Nations Programme On HIV/AIDS) : Studi Kasus di LSM Rumah Cemara. Tesis Universitas Padjadjaran Bandung. Online. http://dinasulaeman.files.wordpress.com/2011/0 9/hegemoni-epistemiccommunity.pdf. Diakses 6 Februari 2012 .
232
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 233-239
Artikel VIII
FAKTOR RISIKO KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK PERTIWI MAKASSAR TAHUN 2011 Risk Factors Incidence Of Spontaneous Abortion In Mother And Child Hospital Makassar In 2011 Wiwian Wulandari1, A. Zulkifli Abdullah1 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas (
[email protected]/ 085299700029)
1
ABSTRAK Salah satu masalah kesehatan nasional yang harus mendapat penanganan yang serius adalah abortus, karena abortus merupakan masalah yang kontroversional dari segi medis, etika, moral dan semakin meningkat kejadiannya. Kasus aborsi di Indonesia terjadi 2-2,6 juta per tahun atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian abortus spontan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar tahun 2011. Faktor risiko yang diteliti yaitu riwayat abortus sebelumnya, riwayat penyakit, pemeriksaan kehamilan trimester I, dan stres. Jenis penelitian ini menggunakan desain case control study. Besar sampel sebanyak 144 ibu hamil yang terdiri dari 72 kasus dan 72 kontrol. Pengambilan sampel kasus secara purposive sampling dan pengambilan sampel kontrol secara accidental sampling. Data diperoleh berdasarkan wawancara langsung dan menggunakan rekam medik. Uji statistik yang digunakan adalah analisis Odd Ratio (OR) dengan menggunakan program SPSS dimana data disajikan dalam bentuk tabel disertai narasi. Hasil analisis odds ratio (OR) dengan confidence interval (CI) 95% menunjukkan bahwa riwayat abortus sebelumnya (OR=3,723; 1,591-8,715), riwayat penyakit (OR=1,964; 1,011-3,815), pemeriksaan kehamilan trimester I (OR=5,571; 2,234-13,898), dan stres (OR=8,714; 3,924-19,354) berisiko terhadap kejadian abortus. Stres merupakan faktor risiko yang mempunyai risiko paling besar terhadap kejadian abortus. Disarankan pada ibu hamil agar lebih menjaga kesehatannya saat hamil, makan-makanan bergizi, menghindari stres, melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur untuk meminimalkan risiko terjadinya abortus spontan dan pada rumah sakit atau puskesmas sebaiknya memberikan konseling kesehatan mengenai stres kepada ibu hamil. Kata Kunci : Riwayat Abortus Sebelumnya, Riwayat Penyakit, Pemeriksaan Kehamilan, Stres Masa Kehamilan ABSTRACT One of the national health problem that should receive serious treatment is abortion, because abortion is an issue that kontoversional terms of medical, ethical, moral and increasing incidence. Cases of abortion in Indonesia occurred 2 to 2.6 million per year or 43 abortions for every 100 pregnancies. This study aims to analyze the risk factors for the incidence of spontaneous abortion in Mother and Child Hospital Makassar Earth in 2011. Risk factors studied, namely a history of previous abortion, history of illness, first trimester prenatal care, and stress. This type of research using a case control study design. A sample size of 144 mothers consisting of 72 cases and 72 controls. Purposive sampling is a sampling of cases and control samples are Accidental Sampling. Data obtained by direct interview and using medical records. Statistical tests used were analysis of Odd Ratio (OR) using the SPSS program where data is presented in tabular form with narrative. The results of the analysis of odds ratio (OR) with confidence interval (CI) 95% indicated that a history of previous abortion (OR = 3.723; 1.591 to 8.715), disease history (OR = 1.964; 1.011 to 3.815), first trimester prenatal care (OR = 5.571 : 2.234 to 13.898), and stress (OR = 8.714; 3.924 to 19.354) at risk for the incidence of abortion. Stress is a risk factor that has the greatest risk of incidence of abortion. Recommended in pregnant women in order to better maintain their health during pregnancy, eating nutritious foods, avoiding stress, pregnancy checks on a regular basis to minimize the risk of spontaneous abortion and in the hospital or health center should provide health counseling to pregnant women about stress. Keywords : History Of Previous Abortion, History Of Illness, Pregnancy Testing, Stress During Pregnancy 233
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Filipina, antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand (Azhari,2002). Kasus abortus di Propinsi Sulawesi Selatan, jumlah kasus pada abortus tahun 2008 sebanyak 2571 kasus, tahun 2009 meningkat menjadi 2652 kasus, dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi 3476 kasus (Dinkes SulSel,2011). Khusus untuk RSIA Pertiwi data yang diperoleh dari rekam medik tahun 2009 yaitu sebesar 53 kasus abortus, tahun 2010 terjadi peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebesar 200 kasus dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 267 kasus (RSIA Pertiwi Makassar,2011). Beberapa faktor risiko yang dicurigai sebagai penyebab kejadian abortus antara lain riwayat abortus sebelumnya (Mochtar,1998) riwayat penyakit ibu (Manuaba,2005), pemeriksaan kehamilan trimester pertama, dan faktor stress (Aprillia,2011). Berdasarkan fakta yang telah dikemukakan di atas yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang faktor risiko kejadian abortus spontan di RSIA Pertiwi tahun 2011 dengan menganalisis besarnya faktor risiko riwayat abortus sebelumya, riwayat penyakit ibu, pemeriksaan kehamilan trimester I dan stres sebagai variabel independen dan kejadian abortus spontan sebagai variabel dependen.
PENDAHULUAN Abortus adalah pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Prawirohardjo,2008). Angka kematian dan kesakitan ibu hamil, bersalin dan nifas merupakan masalah yang kompleks. Di negara miskin sekitar 2550% kematian wanita usia subur di sebabkan oleh masalah berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas (Kemenkes RI,2011). Setiap hari, terjadi sekitar 1.000 kematian ibu yang sebenarnya dapat dicegah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan dan 99% dari seluruh kematian ibu terjadi di negara berkembang (WHO,2011). Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium (MDGs) yaitu tujuan ke 5, meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu (Kemenkes RI,2011). AKI merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu Negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik, sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik (Widjanarko,2009). WHO memperkirakan, sebanyak 37 juta kelahiran terjadi di kawasan Asia Tenggara setiap tahun, sementara total kematian ibu dan bayi baru lahir di kawasan ini diperkirakan berturut-turut 170 ribu dan 1,3 juta per tahun. Sebanyak 98 persen dari seluruh kematian ibu dan anak di kawasan ini terjadi di India, Bangladesh, Indonesia, Nepal dan Myanmar (WHO,2011). Tingginya AKI secara nasional juga tercermin di tingkat provinsi, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2010 di Sulawesi Selatan, jumlah kematian ibu sebanyak 144 orang (Dinkes SulSel, 2011). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, penyebab langsung kematian ibu diantaranya adalah perdarahan (28%), eklampsi (24%), infeksi (11%) partus lama (5%), dan abortus (5%). Dengan kata lain, 1400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Kemenkes RI,2011). Data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2010 disebutkan bahwa diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa (BKKBN,2010). Kasus aborsi di Indonesia terjadi 22,6 juta per tahun atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan. Menurut WHO diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian : 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura, antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia, antara 155.000 sampai 750.000 di
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di RSIA Pertiwi Makassar pada bulan Februari – Maret 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang pernah dirawat inap di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar tahun 2011 sebanyak 3521 dengan 265 kasus kejadian abortus spontan. Sampel dalam penelitian ini yaitu untuk kasus adalah ibu hamil rawat inap yang mengalami abortus spontan di RSIA Pertiwi Makassar tahun 2011 dan kontrol adalah ibu hamil rawat inap yang tidak mengalami abortus di RSIA Pertiwi Makassar tahun 2011. Pengambilan sampel kasus secara purposive sampling dan pengambilan sampel kontrol secara accidental sampling. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan case control study. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. Pada kelompok kasus dilakukan wawancara langsung kepada 72 ibu hamil yang abortus spontan melalui kunjungan rumah. Sedangkan kelompok kontrol dilakukan wawancara langsung kepada 72 ibu hamil yang tidak abortus di RSIA Pertiwi tahun 2011 yang datang berkunjung di RSIA Pertiwi pada saat penelitian berlangsung dan data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan dan rekam medik RSIA Pertiwi Makassar. Data yang telah dikumpulkan 234
Jurnal MKMI, Januari 2010, hal 233-239
diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS melalui editing, coding, entry,
cleaning serta analisis data dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Paritas, dan Jarak Kehamilan di RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2011 Kasus Kontrol Karakteristik n % n % n % Umur (tahun) ≤ 20 3 4,2 2 2,8 5 3,5 21-25 8 11,1 4 5,6 12 8,3 26-30 17 23,6 37 51,4 54 37,5 31-35 17 23,6 26 36,1 43 29,9 36-40 18 25,0 3 4,2 21 14,6 41-45 8 11,1 0 0 8 5,6 ≥46 1 1,4 0 0 1 7 Tingkat Pendidikan SD 3 4,2 5 6,9 8 5,6 SMP 9 12,5 9 12,5 18 12,5 SMA 48 66,7 40 55,6 88 61,1 Akademi/PT 12 16,7 18 25,0 30 20,8 Pekerjaan IRT 55 76,4 55 76,4 110 76,4 PNS 7 9,7 8 11,1 15 10,4 Swasta 5 6,9 8 11,1 13 9,0 Wiraswasta 5 6,9 1 1,4 6 4,2 Paritas 2 31 43,1 34 47,2 65 45,1 3-5 39 54,2 35 48,6 74 51,4 6-8 0 0 3 4,2 3 2,1 9-11 2 2,8 0 0 2 1,4 Jarak Kehamilan (tahun) <2 29 40,3 12 16,7 41 28,5 2-3 29 40,3 51 70,8 80 55,6 >3 14 19,4 9 12,5 23 16,0 Total 72 100 72 100 144 100 Sumber : Data Primer HASIL
dengan paritas 3-5 lebih banyak mengalami abortus spontan yaitu 54,2%. Jarak kehamilan ibu dengan kehamilan sebelumnya pada kasus lebih banyak pada jarak <2 dan 2-3 tahun yaitu sebesar 40,3% sedangkan pada kontrol lebih banyak pada jarak kehamilan 2-3 tahun yaitu sebesar 70,8%. Analisis Distribusi Pendidikan dengan Paritas dan Jarak Kehamilan Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SLTA/Sederajat paling banyak dengan paritas 2 yaitu sebesar 51,7% sedangkan tingkat pendidikan SLTP/Sederajat dan SLTA/Sederajat paling sedikit dengan paritas 9-11 yaitu masing-masing sebesar 5,3% dan 1,1%. Tingkat pendidikan SLTA/Sederajat paling banyak dengan jarak kehamilan 2-3 tahun yaitu sebesar 63,2% sedangkan tingkat pendidikan SD/Sederajat paling sedikit dengan jarak kehamilan >3 tahun yaitu sebesar 12,5%.
Hasil penelitian menunjukkan dari 72 kasus, jenis abortus spontan yang dialami oleh responden terdiri dari abortus imminiens sebanyak 14 orang, abortus insipient sebanyak 3 orang, abortus inkomplet sebanyak 53 orang, dan missed abortus sebanyak 2 orang. Karakteristik Umum Sampel Penelitian Tabel 1 menunjukkan bahwa ibu yang di rawat inap di RSIA Pertiwi yang mengalami abortus spontan tertinggi pada kelompok umur 36-40 tahun sebesar 25,0 %. Distribusi kasus dan kontrol menurut pendidikan ibu tertinggi pada tingkat SMA sebesar 61,1% dan terendah pada tingkat SD sebesar 5,6%. Distribusi kasus dan kontrol menurut pekerjaan ibu tertinggi pada Ibu Rumah Tangga (IRT) sebesar 76,4% dan terendah bekerja sebagai Wiraswasta sebesar 4,2%. Ibu yang di rawat inap di RSIA Pertiwi 235
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
riwayat penyakit, oleh karena Lower Limit dan Upper Limit tidak mencakup nilai 1 maka faktor riwayat penyakit merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian abortus spontan. Hasil analisis statistik diperoleh nilai OR=5,571 yang berarti risiko kejadian abortus spontan pada responden yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan trimester I adalah 5,571 kali lebih besar dibanding yang melakukan pemeriksaan kehamilan trimester I, oleh karena Lowwer Limit dan Upper Limit tidak mencakup nilai 1 maka faktor pemeriksaan kehamilan trimester I merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian abortus spontan.
Analisis Besar Risiko dan Hubungan Variabel Tabel 3 menunjukkan hasil analisis statistik diperoleh nilai OR=3,723 yang berarti risiko kejadian abortus spontan pada responden yang memiliki riwayat abortus sebelumnya adalah 3,723 kali lebih besar dibanding yang tidak memilki riwayat abortus sebelumnya, oleh karena Lower Limit dan Upper Limit tidak mencakup nilai 1 maka faktor riwayat abortus sebelumnya merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian abortus spontan. Hasil analisis statistik diperoleh nilai OR=1,964 yang berarti risiko kejadian abortus spontan pada responden yang memiliki riwayat penyakit adalah 1,964 kali lebih besar dibanding yang tidak memilki
Tabel 2. Distribusi Pendidikan Responden Menurut Paritas dan Jarak Kehamilan Makassar Tahun 2011 Pendidikan Tamat Tamat Tamat Tamat Variabel SD/ SLTP/ SLTA/ Akademi/ Sederajat Sederajat Sederajat PT N % n % n % n % Paritas 2 2 25,0 5 26,3 45 51,7 13 43,3 3-5 3 37,5 13 68,4 41 47,1 17 56,7 6-8 3 37,5 0 0 0 0 0 0 9-11 0 0 1 5,3 1 1,1 0 0 Jarak Kehamilan (tahun) <2 4 50,0 8 42,1 19 21,8 10 33,3 2-3 3 37,5 8 42,1 55 63,2 14 46,7 >3 1 12,5 3 15,8 13 14,9 6 20,0 8 100,0 19 100,0 87 100,0 30 100,0 Total Sumber : Data Primer
di RSIA Pertiwi
n
%
65 74 3 2
45,1 51,4 2,1 1,4
41 80 23 144
28,5 55,6 16,0 100,0
Tabel 3. Risiko Kejadian Abortus Spontan Menurut Riwayat Abortus Ibu Sebelumnya di RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2011 Kejadian Abortus Spontan OR Variabel Kasus Kontrol n % (95% CI) n % n % Riwayat Abortus Sebelumnya Risiko Tinggi 25 34,7 9 12,5 34 23,6 OR= 3,723 (1,591-8,715) Risiko Rendah 47 65,3 63 87,5 110 76,4 Riwayat Penyakit Risiko Tinggi 40 55,6 28 38,9 68 47,2 OR=1,964 Risiko Rendah 32 44,4 44 61,1 76 52,8 (1,011-3,815) Pemeriksaan Kehamilan Trimester I Risiko Tinggi 27 37,5 7 9,7 34 23,6 OR=5,571 Risiko Rendah 45 62,5 65 90,3 110 76,4 (2,234-13,898) Stress Risiko Tinggi 61 84,7 28 38,9 89 61,8 OR=8,714 Risiko Rendah 11 15,3 44 61,1 55 38,2 (3,924-19,354) 77 100,0 77 100,0 144 100,0 Total Sumber : Data Primer 236
Jurnal MKMI, Januari 2010, hal 233-239
memperlihatkan nilai OR = 1,964. Hal ini berarti ibu yang mempunyai riwayat penyakit berisiko mengalami abortus spontan 1,964 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai riwayat penyakit. Nilai OR yang diperoleh bermakna secara statistik karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1 sehingga disimpulkan bahwa riwayat penyakit merupakan faktor risiko kejadian abortus di RSIA Pertiwi Makassar tahun 2011. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ika (2007) di Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa ibu hamil yang mempunyai riwayat penyakit saat kehamilannya 2,102 kali lebih berisiko terhadap kejadian abortus (Ika,2007). Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud di RSIA Siti Fatimah Makassar pada tahun 2010 menunjukkan bahwa ibu hamil dengan riwayat penyakit 3,182 kali lebih berisiko terhadap kejadian abortus (Mas’ud,2010). Risiko Pemeriksaan Kehamilan Trimester I Terhadap Kejadian Abortus Spontan Pemeriksaan kehamilan trimester I adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan janin yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Pada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan pada trimester I diharapkan risiko tinggi pada kehamilannya termasuk risiko untuk terjadinya abortus dapat diketahui secara dini dan dilakukan upaya pencegahan kesakitan dan kematian ibu. Hasil analisis penelitian ini, risiko pemeriksaan kehamilan trimester I terhadap kejadian abortus spontan memperlihatkan nilai OR = 5,571. Ini berarti bahwa ibu yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan pada trimester I berisiko 5,571 kali lebih besar dibanding dengan ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan trimester I. Nilai OR dinyatakan bermakna secara statistik karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1 sehingga disimpulkan bahwa pada penelitian ini pemeriksaan kehamilan trimester I merupakan faktor risiko kejadian abortus spontan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ika (2007) di Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan 5,08 kali lebih berisiko terhadap kejadian abortus. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Kusniati (2007) yang menyimpulkan bahwa pemeriksaan kehamilan berhubungan secara bermakna dengan kejadian abortus. Risiko Stres Terhadap Kejadian Abortus Spontan Stres atau perasaan tertekan akan dapat berakibat buruk pada janin. Stres dapat mempengaruhi janin yaitu lewat perubahan fisik yang terjadi pada ibu
PEMBAHASAN Risiko Riwayat Abortus Sebelumnya Terhadap Kejadian Abortus Spontan Riwayat abortus adalah riwayat terjadinya abortus sebelumnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan hasil konsepsi berikutnya. Secara umum profil ibu meninggal antara lain disebabkan oleh riwayat kehamilan dan persalinan yang jelek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan riwayat abortus sebelumnya yang mengalami abortus spontan sebanyak 25 orang (34,7%). Sedangkan ibu yang tidak ada riwayat abortus terdapat 47 orang (65,3%) yang mengalami abortus spontan. Hasil analisis Odds Ratio (OR) dengan Confidence Interval (CI) 95% diperoleh nilai OR = 2,532 (2,027 - 3,162), ini berarti bahwa ibu hamil dengan riwayat abortus sebelumnya berisiko 3,723 kali mengalami abortus dibandingkan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat abortus sebelumnya. Karena nilai OR>1, maka riwayat abortus sebelumnya berisiko terhadap kejadian abortus. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud (2010) di RSIA Siti Fatimah Makassar bahwa riwayat abortus sebelumnya mempunyai risiko 3,627 kali terhadap kejadian abortus (Mas’ud,2010). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Melkamu di Addis Ababa, Ethiopia bahwa riwayat abortus mempunyai risiko 3,17 kali terhadap kejadian abortus (Melkamu,2008). Faktor risiko riwayat abortus sebelumnya juga dipengaruhi oleh metode abortus yang digunakan yaitu metode teknik medis lanjut dan teknik tradisional yang digunakan oleh dukun, teman, atau tetangga yang menolong atau oleh wanita hamil itu sendiri. Kasus kematian paling tinggi adalah ibu yang riwayat abortus sebelumnya tidak ditangani secara professional. Meskipun angka pasti dari kasus seperti itu sulit ditemukan, tapi kontribusinya terhadap kematian ibu diakui sangat tinggi. Selain itu, riwayat abortus sebelumnya juga disebabkan oleh faktor ibu, yaitu waktu kehamilan pertama seorang ibu belum merasa siap untuk memiliki anak sehingga melakukan abortus dengan cara tidak aman sehingga pada kehamilan berikutnya akan mengalami abortus spontan. Risiko Riwayat Penyakit Terhadap Kejadian Abortus Spontan Beberapa penyakit yang menyertai kehamilan dapat menyebabkan abortus diantaranya adalah anemia, diabetes mellitus, hepatitis (penyakit hati) dan asma. Pengaruh penyakit-penyakit tersebut terhadap kehamilan dapat menyebabkan kematian hasil konsepsi yang pada akhirnya dapat menimbulkan keguguran. Hasil analisis penelitian ini, risiko riwayat penyakit terhadap kejadian abortus spontan 237
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
akibat stres, seperti peningkatan detak jantung dan peningkatan hormon stres. Semua ini dapat berpengaruh pada janin, seperti substasi-substasi yang berasal dari hormon stres dapat mempunyai pengaruh yang merugikan bagi janin. Dan stres menjadi lebih besar pengaruhnya karena wanita yang sedang dalam keadaan stres akan bertingkah laku berbeda. Sehingga Ibu hamil yang mengalami stres dapat meningkatkan resiko kelahiran bayi premature bahkan abortus. Hasil analisis penelitian ini, besar risiko memperlihatkan OR = 8,714. Artinya ibu hamil yang mengalami stres berisiko mengalami abortus spontan 8,714 kali dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami stres. Nilai OR yang diperoleh bermakna secara statistik (nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu). Dapat disimpulkan bahwa stres merupakan faktor risiko kejadian abortus spontan di RSIA Pertiwi makassar tahun 2011. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fidianty tahun 2010 di RSUP Dr. Kariadi Semarang bahwa abortus dengan kecemasan atau stres pada wanita hamil memiliki hubungan yang bermakna. Demikian juga penelitian Fergusson tahun 2006 di New Zealand bahwa kesehatam mental seperti kecemasan/stres memiliki hubungan bermakna dengan kejadian abortus. Beberapa ibu yang diwawancarai mengaku bahwa sering mengalami stres akibat kelelahan dan
kurangnya waktu istirahat dimana peran ibu sebagai ibu rumah tangga tentunya memiliki beban yang cukup berat sehingga berisiko bagi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Padahal untuk mencegah komplikasi kehamilan ibu hamil disarankan untuk mengurangi aktifitas fisiknya sampai 80% dan menghindari stres agar terhindar dari komplikasi kehamilan termasuk kelahiran premature, abortus, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Aprillia, Yessie. 2011. BIDAN KITA: Stres dalam Kehamilan. Available at http://www.bidankita.com/index.php?option= com_content&view=article&id=90:stresdalam-kehamilan&catid=43:pregnanthope&Itemid=55. Diakses 29 januari 2011. Azhari, 2002. Masalah Abortus dan Kesehatan Reproduksi Perempuan, Palembang. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/RSMH Palembang. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2010. Kepala BKKBN: 51 dari 100 Remaja di Jabodetabek Sudah Tak Perawan. Available at http://www.berita-terbaru.com/beritanasional/kepala-bkkbn-51-dari-100-remaja-dijabodetabek-sudah-tak-perawan.html. Diakses 28 November 2010. Dinas Kesehatan Sul-Sel. 2011. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan : Makassar. Fidianty, Indrian. 2010. Kecemasan pada Wanita Hamil dengan Abortus. FK universitas Diponegoro Semarang, Bagian Pskiatri Medik FK UNDIP. Available at
http://eprints.undip.ac.id/2F22194/. Diakses Tahun 2010. Forgusson, David. 2006. Abortion in Women and Mental Health. Journal of Psychology and Psychiatry 47:1 (2006), pp 16–24. Available at http://www.google.co.id/url?sa=t&rct= j&q=history+of+abortion,+pregnancy,+aborti on&source=web&cd=124&ved=0CGwQFjA DOHg&url=http%3A%2F%2F200.16.86.38% 2Fuca%2Fcommon%2Fgrupo54%2Ffiles%2F new_zealand_abortion_study.pdf&ei=rWWu T_HbDonWrQeHt6HlAw&usg=AFQjCNHboJ1dAwMHW5z3j2RmK77IqMjw&cad=rja). Diakses Tahun 2006. Ika, Febriana. 2007. Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Abortus (Studi Kasus di Kabupaten Cilacap). Jurnal Epidemiologi. Available at http://eprints.undip.ac.id/4421/ . Diakses 19 Januari 2010. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Ibu Selamat, Bayi Sehat, Suami Siaga. Available at http://depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/790-ibu-selamat-bayi sehat-suamisiaga.html. Diakses 25 September 2011.
KESIMPULAN DAN SARAN Ibu hamil yang mempunyai riwayat abortus sebelumnya memiliki risiko 3,723 kali lebih besar mengalami abortus spontan. Ibu hamil yang mempunyai riwayat penyakit memiliki risiko 1,964 kali lebih besar untuk mengalami abortus spontan. Ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan trimester I memiliki risiko 5,571 kali lebih besar untuk mengalami abortus spontan. Ibu hamil yang mengalami stres memiliki risiko 8,714 kali lebih besar untuk mengalami abortus spontan. Disarankan pada ibu hamil agar lebih menjaga kesehatannya saat hamil, makan-makanan bergizi, menghindari stres, melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur untuk meminimalkan risiko terjadinya abortus spontan dan pada rumah sakit atau puskesmas sebaiknya memberikan konseling kesehatan mengenai stres kepada ibu hamil.
238
Jurnal MKMI, Januari 2010, hal 233-239
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Lima Strategi Operasional Turunkan Angka Kematian Ibu. Available at (http://depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/1387-lima-strategi-operasionalturunkan-angka-kematian-ibu.html). Diakses 25 September 2011. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2011. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kusniati, 2007. Hubungan Beberapa Faktor Ibu dengan Kejadian Abortus Spontan (Studi di Rumah Sakit Ibu dan Anak An Ni’mah Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Januari-Juni 2007). Tesis Tidak Diterbitkan, FKM UNDIP. Available at http://eprints.undip.ac.id/4260/. Diakses 19 Januari 2010. Manuaba, Ida. 2005. Ilmu Kandungan dan Penyakit Kandungan. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Mas’ud Zuraidah, 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Abortus Di RSIA St. Fatimah
Makassar Tahun 2010, Tesis Program Pascasarjana Tidak Diterbitkan, FKM UNHAS, Makassar. Melkamu, Yilma. History of Spontaneous Abortion In Addis Ababa, Ethiopia. Available at http://www.ajol.info/index.php/ejhd/article/vi ew/9836/31301. Diakses Maret 2008. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 2 Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar. 2011. Profil RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2010. Widjanarko Bambang, 2009. Abortus. Available at hhtp://www.infobunda.com. Diakses September 2009. World Health Organization (WHO). 2011. Maternal Mortality. Available at http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs34 8/en/. Diakses 09 Oktober 2011.
239
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012, hal 240-246
Artikel IX
DETERMINAN KEJADIAN CEDERA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR DI KOTA MAKASSAR Determinants Of Road Traffic Injury On Motor Riders In Makassar Andi Dian Puji Lestari1, Jumriani Ansar1 Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unhas (
[email protected])
1
ABSTRAK WHO dalam Global Burden of Disease Project in 2002, melaporkan kecelakaan lalu lintas menempati posisi teratas dengan proporsi sebesar 22,8% sebagai jenis cedera penyebab kematian tertinggi di dunia. Laporan Kepolisian RI Tahun 2010 menunjukkan jumlah kematian akibat kecelakaan mencapai 31.234 jiwa, artinya setiap 1 jam terdapat sekitar 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan determinan (faktor manusia,kendaraan,lingkungan fisik, dan lingkungan sosial) cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di Wilayah Kota Makaassar Tahun 2011. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional . Populasi dalam penelitian ini adalah semua kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor yaitu sebanyak 1256 kasus. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling. Diperoleh 245 sampel setelah penelitian dilaksanakan. Analisis data menggunakan uji statistik Yate’s Correction dan Fisher’s Exact. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan kontrol (p = 0,023 φ =0,162) dan arus lalu lintas (p=0,012 φ=0,177) memiliki hubungan secara bermakna dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas sedangkan lalai (p=0,568), mabuk (p= 502), mengantuk, tidak tertib (p = 0,627), ban pecah, rem blong, selip, lampu kendaraan tidak menyala (p=1,000), cuaca (p=0,552), kondisi jalan (p=0,516), geometrik jalan (p=0,149), status penjagaan jalan (p=1,000), dan kesalahan pengguna jalan lain (p=0,761) tidak memiliki hubungan secara bermakna dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Pihak Polrestabes Makassar agar meningkatkan kualitas penjagaan pada pukul 21.00-00.59 dan jalan kolektor se-Kota Makassar mengingat adanya hubungan antara kepadatan arus lalu lintas dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Kata Kunci : Arus lalu lintas, Cedera, kecelakaan lalu lintas, Sepeda motor ABSTRACT WHO in the Global Burden of Disease Project in 2002, reported traffic accidents occupy the top position the proportion of 22.8% as the type of injury cause of death in the world. Police report in 2010 showed the number of deaths due to accidents reached 31.234 people, meaning that every 1 hour there were about 3-4 people die from traffic accidents. This study aims to determine the distribution and determinants (human factors, vehicle, physical environment, and social environment) injuries resulting from traffic accidents to motorcyclists in Makaassar, 2011. This type of study is observational analytic with cross sectional study d. The population in this study were all traffic accidents involving motorcyclists as many as 1.256 cases. Sampling was carried out by the method of purpossive sampling". There are 245 samples obtained after the research conducted. Data analysis using Yate's Correction and the Fisher's Exact statistical tests. The results showed that out control (p = 0.023 φ = 0.162) and traffic flow (p = 0.012 φ = 0.177) had significant association with the incidence of injuries resulting from traffic accidents while inattentive (p = 0.568), alcohol use (p = 502 ), drowsy, disorderly (p = 0.627), flat tire, brake tension, slip, vehicle lights are not lit (p = 1.000), weather (p = 0.552), road conditions (p = 0.516), the geometric path (p = .149), road maintenance status (p = 1.000), and other road user error (p = 0.761) had no significant association with the incidence of road traffic injury. Polrestabes Makassar in order to improve the quality of care at 21:00 to 00:59 and collector roads as the city of Makassar in light of the relationship between the density of traffic flow with the incidence of injuries resulting from traffic accidents to motorcyclists. Keywords : injury, motorcycle, road traffic , traffic flow 240
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 240-246
Makassar Barat, Polres Pelabuhan, dan Polwiltabes Makassar. Polwiltabes Makassar berubah menjadi Polrestabes Makassar yang merupakan peleburan dari Polwiltabes Makassar, Polres Makassar Timur, dan Polres Makassar Barat pada pertengahan Tahun 2010. Menurut Matriks Haddon kejadian kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh faktor manusia, kendaraan, dan lingkungan. Pada perkembangannya, faktor lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial (Riyadina, 2009). Indikasi utama penyebab kecelakaan adalah dari faktor manusia (Kartika,2009). Beberapa dari faktor manusia yang diteliti adalah perilaku mabuk dalam berkendara. Kuhlmann, dkk (2009), telah mengidentifikasi bahwa konsumsi alkohol berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian KLL, sedangkan penelitian Zaridze, dkk (2009) berhasil mengidentifikasi pengaruh konsumsi alkohol secara signifikan terhadap kematian pada kelompok laki-laki. Perilaku mabuk tidak hanya berpengaruh signifikan terhadap kejadian KLL, tetapi juga terhadap kematian akibat KLL. Budiastomo dan Santoso (2008) pernah meneliti tentang hubungan perilaku tidak tertib (menerobos lampu merah) dengan persepsi risiko kecelakaan, namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan dalam penelitian tersebut. Berbeda dengan Bairness (2002) yang menyebutkan bahwa faktor penyebab kecelakaan tertinggi dari berbagai faktor manusia yang diteliti adalah perilaku melanggar lampu merah. Kompleksitas masalah kecelakaan lalu lintas perlu mendapat perhatian khusus dan penanganan segera melalui kebijakan yang terintegrasi. Evidence base terkait distribusi dan determinan kejadian kecelakaan lalu lintas menjadi kunci utama dalam menyusun rencana yang tepat dan cepat dalam mereduksi angka kecelakaan lalu lintas yang teridentifikasi semakin meningkat di Wilayah Kota Makassar, khususnya pada pengendara sepeda motor. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti Determinan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 dengan menggunakan data sekunder Polrestabes Makassar.
PENDAHULUAN Perkembangan kendaraan sebagai alat transportasi membawa dampak positif bagi pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan manusia namun diiringi dengan timbulnya dampak negatif yang tidak diinginkan, seperti kemacetan dan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Menurut WHO (2002), cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama kematian dan disabilitas (ketidakmampuan) secara umum terutama di negara berkembang (Riyadina, 2007). Kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke-9 pada Disability Adjusted Life Year (DALY) sebagai penyebab kematian dan kecacatan di dunia pada Tahun 1990 dan diperkirakan akan meningkat menjadi urutan ke3 pada Tahun 2020 (Nantulya, 2002) dan menempati urutan ke-2 di negara berkembang pada Tahun 2020 (Coats, 2002). WHO dalam Global Burden of Disease Project in 2002, melaporkan kecelakaan lalulintas menempati posisi teratas dengan proporsi sebesar 22,8% sebagai jenis cedera penyebab kematian tertinggi di dunia ( Peden, 2004). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2007, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur 1544 tahun untuk daerah perkotaan di Indonesia (Balitbangkes,2008). Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menunjukkan bahwa terdapat sekitar 80 orang meninggal akibat kecelakaan setiap harinya di Indonesia dan dari sejumlah kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal, 30.000 atau 70% diantaranya merupakan pengguna sepeda motor (Bahari,2010). Laporan Kepolisian RI Tahun 2010 menunjukkan jumlah kematian akibat kecelakaan mencapai 31.234 jiwa, yang artinya dalam setiap 1 jam terdapat sekitar 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas (Tim Penyusun RUNK Jalan, 2011). Secara nasional, kerugian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan mencapai 2,9-3,1% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau sekitar U$.20,3 U$.21,7 miliar. Data kecelakaan Polwiltabes Makassar, kejadian kecelakaan lalu lintas di Makassar meningkat dari Tahun 2006 sampai Tahun 2008 yakni sebanyak 21 kejadian pada Tahun 2006, 57 kejadian pada Tahun 2007 dan 87 kejadian pada Tahun 2008. Pada Tahun 2009 tercatat kecelakaan lalu lintas sebanyak 78 kejadian, sedangkan pada Tahun 2010, Polrestabes Makassar mencatat jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 440 kasus. Peningkatan kasus yang tercatat dan cenderung ekstrim dari tahun 2009 ke Tahun 2010 disebabkan oleh perubahan sistem pencatatan kasus kecelakan lalu lintas di wilayah Kota Makassar yang awalnya terbagi dalam empat sumber penanganan yakni Polres Makassar Timur, Polres
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor serta memperoleh hubungan antara beberapa variabel yang menyebabkan kejadian cedera berdasarkan data Laporan Polisi Satuan Lalu Lintas Polrestabes Makassar Tahun 2011. Penelitian ini dilakukan di Unit Pelayanan Kecelakaan Lalu 241
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
Lintas Polrestabes Makassar. Populasi dalam penelitian ini adalah semua kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor di Wilayah Kota Makassar yang tercatat di Unit Pelayanan Kecelakaan Lalu Lintas Polrestabes Makassar pada Tahun 2011, yaitu sebanyak 1256 kasus. Sampel dalam penelitian ini adalah kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor berdasarkan laporan polisi Satlantas Polrestabes Makassar Tahun 2011 yakni sebesar 245 kasus. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat.
Tabel 1. Distribusi Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Karakteristik korban N % Kelompok umur (thn) 11-20 88 35,9 21-30 93 38 31-40 39 15,9 41-50 18 7,3 >50 7 2,9 Jenis kelamin Laki-laki 205 83,7 Perempuan 40 16,3 Pekerjaan Satpam 2 0,8 Pensiunan 3 1,2 Tidak bekerja 4 1,6 IRT 6 2,4 Sopir 4 1,6 TNI 4 1,6 Buruh 10 4,1 PNS 5 2 Wiraswasta 18 7,3 Mahasiswa 38 15,5 Pelajar 45 18,4 Pegawai Swasta 104 42,4 Lisensi mengemudi Lengkap 107 43,7 Tidak lengkap 138 56,3 Waktu kejadian (WITA) 05.00-08.59 35 14,3 09.00-12.59 31 12,7 13.00-16.59 34 13,9 17.00-20.59 48 19,6 21.00-00.59 66 26,9 01.00-04.59 31 12,7 Tempat kejadian Jalan Arteri 66 26,9 Jalan Kolektor 72 29,4 Jalan Lokal 62 25,3 Jalan Lingkungan 45 18,4 Jenis kecelakaan Tunggal 36 14,7 Ganda 209 85,3 Sumber : Data Primer
HASIL Analisis Univariat Distribusi kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di wilayah Kota Makassar Tahun 2011 tertinggi berdasarkan karakteristik responden adalah pada kelompok umur 21-30 tahun (38%), laki-laki (83,7%), pegawai swasta (42,4%), dan pengemudi dengan lisensi mengemudi yang tidak lengkap (56,3%). Distribusi kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi adalah pada pukul 21.00-00.59 WITA (26,9%), pada jalan kolektor (29,4%), dan pada jenis kecelakaan ganda (85,3%). Analisis Bivariat Hubungan Faktor Manusia dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara pengemudi yang lalai dan tidak lalai saat berkendara. Hasil uji statistik dengan Yate’s correction diperoleh nilai p=0,568 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara perilaku lalai dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara pengemudi yang mabuk dan tidak mabuk saat berkendara. Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=0,502 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara perilaku mabuk dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Tidak ada pengemudi yang mengantuk saat berkendara dan dari 245 pengemudi yang tidak mengantuk dalam berkendara, proporsi kejadian cedera berat sebesar 33,9%. Proporsi cedera berat berbeda jauh antara pengemudi yang kehilangan kontrol dan tidak kehilangan kontrol dalam mengemudi. Hasil uji statistik dengan Yate’s correction diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara faktor kehilangan kontrol dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.
Tingkat keeratan hubungan antara kehilangan kontrol dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas dilihat dari nilai φ=0,162 yang berarti keeratan hubungannya lemah atau dapat dikatakan bahwa kontribusi variabel kehilangan kontrol terhadap kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas yakni sebesar 16,2% dan sisanya berhubungan dengan variabel lainnya. 242
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 240-246
Proporsi cedera berat pengemudi yang tidak berkendara. Hasil uji correction diperoleh nilai
tidak berbeda jauh antara tertib dan tertib saat statistik dengan Yate’s p=0,627 (p>0,05), dengan
demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara perilaku tidak tertib dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor.
Tabel 2. Hubungan Faktor Manusia dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Kejadian Cedera Berat Ringan n % n %
Faktor Manusia Lalai Ya Tidak Mabuk Ya Tidak Mengantuk Ya Tidak Kehilangan kontrol Ya Tidak Tidak tertib Ya Tidak
Total n
Uji Statistik %
51 32
32,3 36,8
107 55
67,6 63,2
158 87
100 100
p=0,568
2 81
20 34,5
8 154
80 65,5
10 235
100 100
p=0,502
0 83
0 33,9
0 162
0 66,1
0 245
100 100
11 72
61,1 31,7
7 155
38,9 68,3
18 227
100 100
p=0,023 φ= 0,162
37 46
31,9 35,7
79 83
68,1 64,3
116 129
100 100
p=0,627
Sumber : Data Primer menyala pada saat terjadi kecelakaan sebesar 0% dan proporsi kejadian cedera berat dari 244 pengemudi dengan lampu kendaraan yang menyala saat berkendara adalah sebesar 34%. Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara keadaan lampu kendaraan yang tidak menyala dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di wilayah Kota Makassar Tahun 2011.
Hubungan Faktor Kendaraan dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Faktor kendaraan yang diteliti antara lain ban pecah, rem blong, selip, dan lampu kendaraan yang tidak menyala. Hasil analisis data diperoleh hanya faktor lampu kendaraan yang tidak menyala yang bisa di analisis uji statistik sedangkan faktor ban pecah, rem blong, dan selip tidak dicompute karena variabel tersebut bersifat konstan. Proporsi kejadian cedera berat dari 1 pengemudi yang mengalami lampu kendaraan yang tidak
Tabel 3. Hubungan Faktor Lampu Kendaraan Tidak Menyala dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada PengendaraSepeda Motor Di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Lampu Kendaraan Tidak Menyala Ya Tidak Sumber : Data Primer
Kejadian Cedera Berat Ringan n % n % 0 0 1 100 83 34 161 66
Total n 1 244
% 100 100
Uji Statistik p=1,000
hujan dan tidak hujan. Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=0,552 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara cuaca hujan dengan kejadian
Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara pengemudi yang mengalami kecelakaan pada saat 243
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara korban yang mengalami kecelakaan dalam kondisi jalan yang tidak menguntungkan (rusak, berlubang, licin, gelap) dan kondisi jalan yang baik (tidak rusak,berlubang,licin,gelap). Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=0,516 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara kondisi jalan yang rusak atau berlubang atau licin atau gelap dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara korban yang mengalami kecelakaan dalam keadaan geometrik jalan yang tidak menguntungkan (persimpangan jalan, jalan menikung, menanjak,menurun) dan geometrik jalan yang baik. Hasil uji statistik dengan Yate’s correction diperoleh nilai p=0,149 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara
faktor kondisi jalan yang rusak atau berlubang atau licin atau gelap dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Proporsi cedera berat berbeda jauh antara korban yang mengalami kecelakaan dalam keadaan arus lalu lintas yang padat dan tidak padat. Hasil uji statistik dengan Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=0,012 (p<0,05), dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara kondisi arus lalu lintas dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Tingkat keeratan hubungan antara kondisi arus lalu lintas dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas dilihat dari nilai φ=0,177 yang berarti keeratan hubungannya lemah atau dapat dikatakan bahwa kontribusi variabel kondisi arus lalu lintas terhadap kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yakni sebesar 17,7% dan sisanya berhubungan dengan variabel lainnya.
Tabel 4. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Kejadian Cedera Total Faktor Lingkungan Fisik Berat Ringan Uji Statistik n % n % n % Cuaca Hujan 3 23,1 10 76,9 13 100 p=0,552 Tidak hujan 80 34,5 152 65,5 232 100 Kondisi jalan Tidak menguntungkan 5 45,5 6 54,5 11 100 p=0,516 Menguntungkan 78 33,3 156 66,7 234 100 Geometrik jalan Tidak menguntungkan 10 23,3 33 76,7 43 100 p=0,149 Menguntungkan 73 36,1 129 63,9 202 100 Arus lalu lintas Padat 9 69,2 4 30,8 13 100 p=0,012 Tidak padat 74 31,9 158 68,1 232 100 φ= 0,177 Sumber : Data Primer, 2012 Tabel 5. Hubungan Faktor Lingkungan Sosial dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Kota Makassar Tahun 2011 Kejadian Cedera Total Faktor Lingkungan Sosial Berat Ringan Uji Statistik n % n % n % Status penjagaan jalan Bukan 24 jam 56 33,7 110 66,3 166 100 p=1,000 24 jam 27 34,2 52 65,8 79 100 Kesalahan pengguna jalan lain Ada 29 35,8 52 64,2 81 100 p=0,761 Tidak ada 54 32,9 110 67,1 164 100 Sumber : Data Primer, 2012 244
Jurnal MKMI, Oktober 2012, hal 240-246
Hasil analisis hubungan menunjukkan bahwa ada hubungan antara kehilangan kontrol dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Adanya hubungan antara kehilangan kontrol dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas diasumsikan karena kehilangan kontrol lebih berkontribusi besar terhadap kejadian cedera berat jika dibandingkan dengan cedera ringan. Hal tersebut dapat dilihat dari proporsi korban yang kehilangan kontrol saat berkendara pada kelompok umur 21-30 tahun lebih lebih banyak yang mengalami cedera berat jika dibandingkan dengan cedera ringan. Proporsi korban yang kehilangan kontrol memang tertinggi pada kelompok umur 11-20 tahun namun perbandingan antara kejadian cedera berat dan ringan adalah sama. Di sisi lain, proporsi kehilangan kontrol ternyata berbanding lurus dengan kelengkapan lisensi. Terbukti bahwa proporsi korban cedera yang kehilangan kontrol lebih tinggi pada korban yang tidak memiliki kelengkapan lisensi mengemudi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mishra et al (2005) bahwa faktor manusia berhubungan secara signifikan dengan kecelakaan lalu lintas di Nepal Barat. Penelitian mengenai kecelakaan lalu lintas di Tokyo 1964 disebutkan bahwa penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas 84,8% disebabkan oleh faktor pengemudi dan sekitar 6,5 % di dalamnya karena keterampilan pengemudi yang kurang. Identifikasi yang sama oleh Ditjen Perhubungan Darat yang menunjukkan bahwa pengendara pemula memiliki peluang tiga kali lebih besar terlibat dalam kecelakaan dari pada pengendara yang telah mahir. Lebih dari 27,4% kecelakaan pada tahun 2004 melibatkan anak muda dan pengendara pemula berusia 16-25 tahun (Kartika,2009). Faktor Lingkungan Fisik Faktor lingkungan fisik yang diteliti yaitu cuaca, kondisi jalan, geometrik jalan, dan arus lalu lintas. Faktor lingkungan fisik yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah arus lalu lintas. Tingginya proporsi korban yang lalai saat berkendara turut menggambarkan karakteristik masyarakat urban dengan tingkat kesibukan yang tinggi sehingga turut meningkatkan intensitas mobilisasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berdampak pada kepadatan arus lalu lintas khususnya pada waktu tertentu sesuaai dengan pola kesibukan sehari-hari masyarakat urban. Hasil analisis hubungan menunjukkan bahwa ada hubungan antara arus lalu lintas dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Adanya hubungan antara kepadatan arus lalu lintas dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas diasumsikan karena proporsi kejadian cedera tertinggi adalah pada pukul 21.00-00.59 WITA dan jika didistribusi dalam satuan jam, maka distribusi
Hubungan Faktor Lingkungan Sosial dengan Kejadian Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara korban yang mengalami kecelakaan di jalan kota yang bukan merupakan penjagaan 24 jam dan penjagaan 24 jam. Hasil uji statistik dengan Yate’s correction diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara status penjagaan jalan dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. Proporsi cedera berat tidak berbeda jauh antara korban yang mengalami kecelakaan dan diketahui terdapat kesalahan pengguna jalan lain dan tidak terdapat kesalahan pengguna jalan lain. Hasil uji statistik dengan Yate’s correction diperoleh nilai p=0,761 (p>0,05), dengan demikian Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara kesalahan pengguna jalan lain dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor. PEMBAHASAN Faktor Manusia Secara umum, faktor manusia merupakan faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Faktor manusia yang dimaksud adalah terkait perilaku berlalu lintas baik yang bersumber dari pengemudi maupun pengguna jalan lain (termasuk lingkungan sosial). Terdapat lima variabel uji yang merupakan bagian dari faktor manusia yang diteliti yaitu perilaku lalai, mabuk, mengantuk, kehilangan kontrol, dan tidak tertib saat berkendara. Faktor manusia yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah perilaku kehilangan kontrol saat berkendara. Menurut WHO (2006) faktor manusia mempunyai proporsi tertinggi (90%) sebagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas (Riyadina, 2007). Kemampuan dan keterbatasan dalam berkendara merupakan hal yang harus disadari oleh setiap pengemudi karena mengemudikan kendaraan merupakan aktivitas kompleks dimana pengemudi dituntut untuk dapat menghadapi segala sifat dan kemampuan kendaraannya serta secara terus-menerus mampu menerima dan menerjemahkan segala rangsangan dari lingkungan sekelilingnya. Perilaku kehilangan kontrol yang memicu kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas dalam penelitian ini adalah perilaku pengemudi yang tidak dapat menguasai dan mengendalikan kendaraannya. Kondisi seperti ini kemudian mengakibatkan kendaraan oleng dan tidak hanya menyebabkan kecelakaan pada kendaraan tersebut tetapi juga menyebabkan kecelakaan pada kendaraan lainnya. 245
Jurnal MKMI, Vol 8 No.4, Oktober 2012
kejadian kecelakaan tertinggi adalah pada pukul 21.00. Hal ini berarti, kepadatan arus lalu lintas pada waktu tersebut masih relatif tinggi mengingat mobilisasi masyarakat urban di Kota Makassar pada waktu tersebut memang masih masih tinggi. Proporsi kejadian cedera berat lebih tinggi pada lokasi kejadian kecelakaan yang dengan arus lalu lintas yang padat. Hal ini sejalan dengan penelitian Kulhmann (2009) yang menunjukkan bahwa konsentrasi tabrakan terbesar adalah di pusat kota yaitu pada lingkungan yang berdekatan dan sepanjang jalan utama. Karakteristik lokasi yang dimaksud salah satunya adalah jalan kota dengan arus lalu lintas yang padat.
KESIMPULAN DAN SARAN Faktor penyebab tertinggi terhadap kejadian cedera akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di wilayah Kota Makassar Tahun 2011 adalah faktor lingkungan sosial. Interaksi antar determinan tertinggi adalah interaksi antara faktor lingkungan sosial dan faktor manusia. Faktor manusia dan faktor lingkungan fisik yang berhubungan secara bermakna adalah perilaku kehilangan kontrol dan kepadatan arus lalu lintas. Pihak Polrestabes Makassar agar meningkatkan kualitas penjagaan pada pukul 21.00-00.59 WITA dan jalan kolektor se-Kota Makassar dan melakukan rekontruksi rancangan piñata tertiban lalu lintas.
DAFTAR PUSTAKA Bahari, Adib. 2010. 125 Tanya Jawab Aturan Wajib Berlalu Lintas: Buku Pintar Pengendara Motor dan Mobil. Pustaka Yustisia : Yogyakarta.
AJPH.2007.131961. diakses tanggal 9 November 2011. Nantulya VM, Reich MR. 2002. The Neglected Epidemic: Road Traffic Injuries In Developing Countries. BMJ 2002; 324: 1139-41. Available at http://dx.doi.org/10.1136/bmj.324.7346. 1139. diakses tanggal 7 November 2011. Peden M, Scurfiled R. Sleet D. 2004. Worlds Report On Road Traffic Injury Prevention. Geneva: World Health Organization. Available at http://www.who.int/violence_injury_ prevention/ . publications/road_traffic/world_report/intro.pdf. diakses tanggal 9 November 2011. Riyadina, Woro, Ita Puspitasari Subik. 2005. Profil Keparahan Cedera Pada Korban Kecelakaan Sepeda Motor Di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Universa Medicina Volume 26 Nomor 2 Tahun 2007: 64-72. Available at http://www.univmed.org/wp-content /uploads/2011/02/Woro.pdf. diakses tanggal 9 November 2011. Riyadina, Woro, dkk. 2009. Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 59 Nomor: 10. Available at http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idn med/article/download/686/685. diakses tanggal 9 November 2011. Tim Penyusun RUNK Jalan. 2011. Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan 2011-2035. Jakarta. Available at hubdat.dephub.go.id diakses tanggal 27 September 2011. Zaridze,David., Brennan,Paul., Boreham,Jillian., Boroda,Alex., et all. 2009. Alcohol and The Specific Causing Death in Russia. Lancet : American Jornal of Public Health Volume 373 nomor 9682 tahun 2009 hal 2201 - 2214, Available at http://www.thelancet.com/ journals/lancet/article/PIIS01406736%2809%2961034-5/fulltext#article_upsell.
Beirness, D.J.,et all., 2002. The Road Safety Monitor 2002 Risk Driving. Ontario: The Traffic Injury Research Foundation. Available at http://tirf.ca/publications/PDF_publications/RSM _Driver _Distraction.pdf. diakses tanggal 5 Oktober 2011. Balitbangkes. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007. Jakarta: Available at http://www.depkes.go.id .diakses tanggal 24 Oktober 2011. Budiastomo, N., dan Santoso, G.A., 2008. Hubungan Persepsi Risiko Kecelakaan dan Pengambilan Keputusan Melanggar Lampu Merah. Jurnal Psikologi Sosial Universitas Indonesia (JPS UI) Volume 13 nomor 1 hal 55-68. Coats TJ, Davies G. 2002. Prehospital Care for Road Traffic Casualties. BMJ ; 324: 1135-8. Available at http://dx.doi.org/10.1136/bmj.324.7346.1135. diakses tanggal 7 November 2011. Kartika, Metta. 2009. Analisis Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor di Wilayah Depok (Menggunakan Data Kecelakaan Polres Metro Depok Tahun 2008). Skripsi Program Sarjana FKM UI. Depok: Available at http:// www.digilib.ui.ac .diakses tanggal 27 September 2011. Kuhlmann, A.K.S., Brett, J., Thomas, D., and Sain, S.R.. 2009. Environmental Characteristics Associated with Pedestrian Motor Vehicle Collisions in Denver, Colorado. Colorado: American Journal of Public Health Vol. 99, No. 9 September 2009, pp. 1632-1637. Available at http://ajph.aphapublications.org/doi/abs/10.2105/ 246
247
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL MKMI Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: ………………………………………………………………………………..
Alamat
: ……………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………..
Wilayah *lingkari
: 1. Dalam Kota Makassar 2. Luar Kota Makassar
Telepon
: ………………………………………………………………………………..
Email
: ………………………………………………………………………………..
bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) : Rp. 200.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Luar Kota Makassar, ongkos kirim) Rp. 150.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Dalam Kota Makassar)
…………….…………………,2013
(………………………………………)
Pembayaran ditransfer ke: NO. Rek BNI. 0277269148 a.n. Ibu Ida Leida Maria, SKM Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697) d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013. E-mail:
[email protected]