MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesia Journal of Public Health
Volume 10, Nomor 4, Desember 2014
ISSN 0216-2482 DAFTAR ISI
Obesitas, Asupan Natrium dan Kalium terhadap Tekanan Darah Mahasiswa Fatimah Kautsar, Aminuddin Syam, Abdul Salam
187-192
Evaluasi PLA (Participatory Learning and Action) Malaria Nurwati
193-199
Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Perilaku ANC Sumarni
200-204
Deteksi Dini Kusta pada Anak Sekolah Dasar Tati Masliah
205-210
Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2 Andi Mardhiyah Idris, Nurhaedar Jafar, Rahayu Indriasari
211-218
Interaksi Sosial Pekerja Anak terhadap Penggunaan Zat Adiktif Musyarrafah Hamdani, Asryad Rahman
219-226
Perilaku Konsumen terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Millah Mutmainnah, Balqis, Darmawansyah
227-233
Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder (MSDs) Dimi Cindyastria, Syamsiar S. Russeng, Andi Wahyuni
234-240
Gambaran Sistem Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo St. Aisyah Taqhi
241-247
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 187-192
OBESITAS, ASUPAN NATRIUM DAN KALIUM TERHADAP TEKANAN DARAH Obesity, Sodium and Kalium Intake and Blood Pressure of Students Fatimah Kautsar, Aminuddin Syam, Abdul Salam Bagian Prodi Ilmu Gizi FKM Unhas (
[email protected]) ABSTRAK Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi terhadap beberapa penyakit lain, bahkan penyebab timbulnya penyakit jantung, stroke, dan ginjal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan obesitas asupan natrium dan kalium dengan tekanan darah pada mahasiswa Universitas Hasanuddin angkatan 2013 dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini, yaitu mahasiswa Unhas dengan berat badan berlebih yang berjumlah 411 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian diperoleh 46,5% responden menderita hipertensi (tekanan darah tinggi). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah diperoleh p=0,030. Hal ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah. Sedangkan pada hubungan obesitas (berdasarkan lingkar perut) dengan tekanan darah diperoleh p=0,716 yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan tekanan darah. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap asupan natrium dengan tekanan darah menunjukkan p=0,09, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap asupan kalium didapatkan p=0,758 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan kalium dengan tekanan darah. Kesimpulan dari penelitian ini ada hubungan bermakna antara obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah sedangkan obesitas (berdasarkan lingkar perut, asupan natrium dan kalium) tidak berhubungan dengan tekanan darah. Kata Kunci : Obesitas, hipertensi, asupan natrium ABSTRACT Hypertension is a disease that occurs due to an increase in blood pressure that can lead to various complications with several other diseases, even becoming the cause of heart disease, stroke, and kidney disease. The purpose of this study was to determine the relationship between obesity, sodium and kalium intake and blood pressure of Hasanuddin University students from the year 2013 using cross sectional design. The population in this research was students of Hasanuddin University with excess weight, amounting to 411 people. Samples were selected using the purposive sampling technique. The result of this study showed that 46.5 % of the sample suffered from hypertension (high blood pressure). Results of the study show thatobesity (based on BMI) and blood pressure has a p value of 0,030. It shows a significant relationship between obesity (based on BMI) with blood pressure. Meanwhile the relationship between obesity (based on waist circumference) and blood pressure resulted in p=0,716 which showed no significant relationship between abdominal circumference and blood pressure. Study conducted on sodium intake and blood pressure showed p=0,09, which means there is no significant relationship between sodium intake and blood pressure. While the results of a study on potassium intake obtained p=0,758, which means there is no significant relationship between potassium intake and blood pressure. The conclusion of this study is that there is a significant relationship between obesity (based on BMI) and blood pressure while obesity (based on waist circumference, intake of sodium and potassium) are not associated with blood pressure. Keywords : Obesity, blood pressure, sodium intake
187
Fatimah Kautsar : Obesitas, Asupan Natrium dan Kalium terhadap Tekanan Darah Mahasiswa
PENDAHULUAN
kan peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Natrium menyebabkan tubuh menahan air dengan tingkat melebihi ambang batas normal tubuh sehingga dapat meningkatkan volume darah dan tekanan darah tinggi.9 Asupan tinggi natrium menyebabkan hipertropi sel adiposit akibat proses lipogenik pada jaringan lemak putih, jika berlangsung terus menerus akan menyebabkan penyempitan saluran pembuluh darah oleh lemak dan berakibat pada peningkatan tekanan darah.10 Selain hal tersebut, individu dengan berat badan berlebih dan obesitas kemungkinan besar memiliki sensitifitas garam yang berpengaruh pada tekanan darah. Asupan tinggi natrium pada penelitian Destiani merupakan faktor risiko kejadian hipertensi obesitik pada remaja awal, dimana asupan tinggi natrium berisiko 7,9 kali untuk kejadian obesitik. Hasil penelitian ini sesuai dengan konsensus yang dipublikasi American Heart Association bahwa asupan natrium yang tinggi pada remaja dapat menyebabkan terjadinya hipertensi obesitik. Hal ini disebabkan oleh asupan tinggi natrium yang dapat menyebabkan peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah.11 Penelitian inibertujuan mengetahui hubungan obesitas, asupan natrium dan kalium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas Angkatan 2013.
Hipertensi sebagai outcome obesitas tidak lagi dipandang sebagai masalah pada orang dewasa saja. Hipertensi ditemukan mulai dari masa kanak-kanak dan remaja.1 Sorof et al menemukan prevalensi hipertensi sistolik diantara remaja obes sebanyak 50% sedangkan pada remaja nonobesitas sebanyak 30%.2 Hipertensi berkaitan dengan asupan tinggi natrium. Tekanan darah populasi dengan diet tinggi natrium ditemukan lebih tinggi dibanding populasi dengan diet natrium rendah.3 Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi terhadap beberapa penyakit lain, bahkan penyebab timbulnya penyakit jantung, stroke, dan ginjal. Di seluruh dunia, hipertensi merupakan masalah yang besar dan serius.4 Tekanan darah sistolik yang normal adalah antara 90-120 mmHg sedangkan tekanan darah diastolik normal adalah antara 60-80 mmHg. Tekanan darah di atas 140/90 mmHg termasuk tekanan darah tinggi.5 Data statistik World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan data faktor risiko metabolisme peningkatan tekanan darah pada negara Indonesia sebesar 38,9% pada lakilaki dan 36% pada perempuan dengan rata-rata 37,4%.6 Data riskesdas tahun 2013 menunjukkan pada wilayah Sulawesi Selatan angka prevalensi hipertensi melalui pengukuran didapatkan angka sebesar 28,1%. Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%.7 Penelitian Drewnoski menunjukkan bahaya obesitas berhubungan dengan hipertensi. Sebanyak 86,5% anak yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah yang tinggi. Tekanan darah yang tinggi sejak masa kanak-kanak menyebabkan kondisi yang lebih buruk di masa mendatang. Jika kondisi ini terus terjadi, anak tersebut akan mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan prevalensi tekanan darah pada usia dewasa yang berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan prevalensi hipertensi akan mengalami peningkatan pada masa yang akan datang.8 Asupan tinggi natrium dapat menyebab-
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancangan cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Hasanuddin pada bulan Maret-April 2014. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa S1 Angakatan 2013 dengan berat badan berlebih yang berjumlah 411. Sampel penelitian ini adalah sebanyak 71 orang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data yang digunakan merupakan data primer yang merupakan hasil wawancara dan pengukuran langsung yang dilakukan terhadap pasien dan data sekunder yang merupakan data identitas mahasiswa yang diperoleh dari Rektorat Unhas. Instrumen yang digunakan berupa timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan, tensimeter, dan kuesioner food frequency questionnaire semi kuantitatif. Analisis data di-
188
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 187-192
Hasil uji chi square yang dilakukan terhadap obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah didapatkan p value sebesar 0,030 (p< 0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara obesitas dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013. Uji fisher exact dilakukan terhadap obesitas (berdasarkan lingkar perut) dengan tekanan darah dan diperoleh p value sebesar 0,716 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013 (Tabel 2). Berdasarkan uji chi square maka p value =0,09, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas
lakukan dengan menggunakan program SPSS.16, dan analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Data yang telah dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
HASIL Responden yang paling muda berusia 18 tahun dan responden paling tua berusia 20 tahun. Responden laki-laki memiliki persentase terbanyak, yakni 73% memiliki tekanan darah tinggi. Responden lebih dominan bertempat tinggal tidak di kos sebanyak 48,9% yang memiliki tekanan darah tinggi. Responden yang terbanyak berdasarkan fakultas adalah mahasiswa fakultas teknik. Sebanyak 15 responden memiliki tekanan darah tinggi, yakni 40% dan 60% memiliki tekanan darah normal (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tekanan Darah Mahasiswa Unhas Angkatan 2013 Karakteristik Responden Umur (tahun) 18 19 20 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Tempat Tinggal Kos Tidak Kos Asrama Fakultas Ekonomi Kedokteran Gigi Kesehatan Masyarakat Ilmu Kelautan dan Perikanan Kehutanan Farmasi Hukum Kedokteran Teknik Ilmu Sosial dan Politik Sastra Pertanian MIPA Peternakan
Tekanan Darah Tinggi Normal n % n %
Total n=71
%
16 16 1
50,0 44,4 46,5
16 20 2
50,0 55,6 66,7
32 36 3
100 100 100
27 6
73,0 17,6
10 28
27,0 82,4
37 34
100 100
10 23 0
43,5 48,9 0
13 24 1
56,5 51,1 100
23 47 1
100 100 100
5 1 0 1 0 0 6 2 6 5 0 2 4 1
71,4 50,0 0 50,0 0 0 75,0 18,2 40,0 71,4 0 50,0 100 50,0
2 1 3 1 2 1 2 9 9 2 3 2 0 1
28,6 50,0 100 50,0 100 100 25,0 81,8 60,0 28,6 100 50,0 0 50,0
7 2 3 2 2 1 8 11 15 7 3 4 4 2
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Data Primer, 2014
189
Fatimah Kautsar : Obesitas, Asupan Natrium dan Kalium terhadap Tekanan Darah Mahasiswa
Tabel 2. Hubungan antara Obesitas (Berdasarkan IMT), Obesitas (Berdasarkan Lingkar Perut), Asupan Natrium dan Asupan Kalium dengan Tekanan Darah Mahasiswa Unhas Angkatan 2013 Variabel Kategori Indeks Massa Tubuh Overweight Obesitas Kategori Lingkar Pinggang Obesitas sentral Normal Asupan Natrium Berlebih Cukup Asupan Kalium Kurang Cukup
Tekanan Darah Tinggi Normal n % n %
Total
p
n=71
%
16 22
72,7 44,9
6 27
27,3 55,1
22 49
100 100
0,030
30 3
47,6 37,5
33 5
52,4 62,5
63 8
100 100
0,716
13 20
61,9 40,0
8 30
38,1 60,0
21 50
100 100
0,091
22 11
47,8 44,0
24 14
52,2 56,0
46 25
100 100
0,758
Sumber : Data Primer, 2014
angkatan 2013 tahun 2014. Sedangkan, uji chi square terhadap asupan kalium dengan tekanan darah diperoleh p value lebih besar dari 0,05 (0,758>0,05), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan kalium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013 (Tabel 2).
ini sejalan dengan hasil penelitian Lumoindong yang menyatakan bahwa terdapathubungan bermakna antara obesitas dengan profil tekanan darah (p=0,007). Hasil penelitian oleh Destriani juga menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi (p=0,044). Selain itu, penelitian yang dilakukan Hadi menyatakan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi (p=0,000). Beberapa faktor diduga berperan dalam mekanisme obesitas yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, yaitu a) efek langsung obesitas terhadap hemodinamik meliputi peningkatan volume darah, peningkatan curah jantung dan peningkatan isi sekuncup (stroke volume); c) adanya mekanisme yang menghubungkan obesitas dengan peningkatan resistensi perifer seperti disfungsi endotel, resistensi insulin, aktivitas saraf simpatis, adanya subtansi yang dikeluarkan oleh adiposa seperti Interleukin-6 (IL-6) dan TNF-α.12 Hubungan obesitas sentral (berdasarkan lingkar perut) dengan tekanan darah menunjukkan bahwa responden yang mengalami obesitas sentral lebih sedikit yang memiliki tekanan darah tinggi namun angkanya tidak jauh berbeda dengan responden yang tergolong obesitas sentral tapi memiliki tekanan darah normal. Sedangkan responden yang memiliki lingkar perut normal
PEMBAHASAN
Hubungan obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah diketahui bahwa responden yang mengalami obesitas lebih banyak yang menderita tekanan darah tinggi (hipertensi) sedangkan responden yang mengalami overweight lebih banyak yang memiliki tekanan darah normal. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan seseorang yang mengalami obesitas dapat menderita tekanan darah tinggi (hipertensi). Obesitas akan mengaktifkan kerja jantung dan dapat menyebabkan hipertrofi jantung dalam jangka lama, curah jantung, isi sekuncup jantung, volume darah dan tekanan darah akan cenderung naik. Selain itu fungsi endokrin juga terganggu, sel-sel beta pankreas akan membesar, insulin plasma meningkat dan toleransi glukosa juga meningkat. Apabila hal ini berlangsung sejak usia muda akan memudahkan terjadinya penyakit hipertensi, penyakit kantung empedu, diabetes me-litus di kemudian hari.11 Hasil penelitian
190
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 187-192
atau tidak obesitas sentral presentasenya lebih tinggi yang memiliki tekanan darah normal daripada yang memiliki tekanan darah tinggi. Setelah dilakukan uji statistik diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara obesitas sentral (berdasarkan lingkar perut) dengan tekanan darah. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa peningkatan akumulasi lemak viseral (abdominal) merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular, dislipedimia, hipertensi, stroke, dan diabetes mellitus tipe II. Obesitas sentral menjadi topik menarik, karena bertambahnya ukuran dan jumlah sel adiposa dapat menyebabkan obesitas dan menimbulkan gangguan metabolisme. Selain sebagai tempat penyimpanan lemak, sel adiposa merupakan organ yang memproduksi molekul molekul biologi aktif (adipokin) seperti sitokin proinflamasi, hormon antiinflamasi dan substansi biologi lain. Obesitas menyebabkan ekpresi sitokin proinflamasi meningkat di dalam sirkulasi sehingga menyebabkan inflamasi dinding vaskular. Mekanisme inflamasi pada hipertensi diduga melalui peningkatan beberapa mediator, termasuk molekul adhesi lekosit, kemosin, faktor pertumbuhan spesifik, heat shock protein, endotelin-I dan angiotensin.12 Lingkar perut juga merupakan parameter penting untuk menentukan resiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi. Semakin besar lingkar perut seseorang, risiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi pada orang tersebut lebih besar. Para ahli menyimpulkan, setiap penambahan 5 sentimeter pada lingkar pinggang atau perut, risiko kematian dini akan meningkat antara 13% hingga 17 %.13 Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 61,9% responden yang memiliki asupan natrium berlebih menderita tekanan darah tinggi sedangkan responden dengan asupan cukup natrium lebih banyak yang memiliki tekanan darah normal. Ini menunjukkan ada kecenderungan seseorang yang memiliki asupan natrium berlebih memiliki tekanan darah yang tinggi. Namun, setelah dilakukan analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan
2013. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari dalam Lutfiana yang menunjukkan bahwa asupan natrium merupakan faktor risiko paling kuat yang berhubungan dengan kejadian hipertensi.14 Pada penelitian Alaniz, et al juga menunjukkan bahwa asupan natrium pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Asupan tinggi natrium menyebabkan hipertropi sel adiposit akibat proses lipogenik pada jaringan lemak putih, jika berlangsung terus menerus akan menyebabkan penyempitan saluran pembuluh darah oleh lemak dan berakibat pada peningkatan tekanan darah.10 Selain hal tersebut, individu dengan berat badan berlebih dan obesitas kemungkinan besar memiliki sensitifitas garam yang berpengaruh pada tekanan darah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan responden dengan asupan kalium yang kurang lebih banyak yang memiliki tekanan darah normal yakni 52,2% daripada responden dengan tekanan darah tinggi yakni 47,8% sedangkan responden dengan asupan cukup kalium lebih banyak yang memiliki tekanan darah normal yakni 56% daripada yang memiliki tekanan darah tinggi yakni 44%. Namun, berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013. Hasil ini sejalan dengan penelitian Adhyanti, walaupun besar protektif kejadian hipertensi dengan pola konsumsi kalium berlebih adalah sebesar 0,682 kali dibanding pasien dengan pola konsumsi kalium yang rendah, tetapi variabel tersebut tidak signifikan. Secara fisiologis kalium memiliki peranan dalam menghindarkan dari terjadinya hipertensi. Asupan kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.15 Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.16
KESIMPULAN DAN SARAN Ada hubungan signifikan antara obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah pada
191
Fatimah Kautsar : Obesitas, Asupan Natrium dan Kalium terhadap Tekanan Darah Mahasiswa
mahasiswa Unhas angkatan 2013 tahun 2014 dengan p=0,030 (<0,05). Sedangkan pada obesitas (berdasarkan lingkar perut) tidak ada hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan tekanan darah dengan p= 0,716 (>0,05). Tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013 tahun 2014 dengan p= 0,09 (>0,05). Sedangkan antara asupan kalium dengan tekanan darah juga tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan kalium dengan tekanan darah pada mahasiswa Unhas angkatan 2013 tahun 2014 dengan p= 0,758 (> 0,05). Kepada penderita hipertensi diharapkan dapat mengontrol tekanan darah secara rutin, mengurangi konsumsi makanan sumber natrium, meningkatkan konsumsi makanan sumber kalium dan menurunkan berat badan bagi yang obesitas untuk menghindari terjadinya peningkatan tekanan darah dan mengupayakan untuk kembali ke tekanan darah yang normal.
5. Balitbangkes. Operational Study an Integrated Community-Based Intervention Program on Common Risk Factors of Mayor NonCommunicable Disease in Deok-Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2006. 6. WHO. Non-Communicable Disease. 2010 [cited 2014 20 February]; Available from: http://www.who.int/countries/en/s. 7. Kemenkes. Laporan Riskesdas 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2013. 8. Drewnowski A. Concept of a Nutritious Food: toward a Nutrient Density Score. Am J Clin Nutr 2005;82:721–32. 9. Samuel, Barbara, Lean, Stephen, Matthew, Alice. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners: consensus statment from the American Heart Association. Circulation journal of the american Heart Association. 2005;112:2061-75. 10. Alanaiz F, Brito, silva B, Julie T, Sandra A, FB L. High Dietary Sodium Intake Increases White Adipose Tissue Mass and Plasma Leptin in Rats. Obesity. 2007;5(9). 11. Destriani. Hubungan Obesitas dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi [Skripsi]. Makassar: Unhas; 2012. 12. Lumoindong A, Umboh A, Masloman N. Hubungan Obesitas dengan Profil Tekanan Darah pada Anak Usia 10-12 tahun di Kota Manado [Skripsi]. Manado: Universitas Sam Ratulangi 2013. 13. Misnadiarly. Obesitas sebagai Faktor Resiko beberapa Penyakit. Jakarta: Pustaka Obor Populer; 2007. 14. Lutfiana. Asupan Tinggi Natrium dan Berat Badan Lahir sebagai Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Obesitas pada Remaja Awal. Journal of Nutrition College.2012;2(2):127-133 15. Kristanti H. Waspadalah Penyakit Berbahaya. Yogjakarta: Citra pustaka; 2009. 16. Almatsier. Prinsip Ilmu Gizi Dasar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2006.
DAFTAR PUSTAKA 1. Krummel, Couch. Medical Nutrition Therapy in Hypertension In :Maham K, EscottP. Water, Electrolytes, and Acid Base Balance.In: Krause’s Food and Nutrition Therapy. 12th ed. 2008:150-1. 2. Sorof, S D. Obesity Hypertension in Children; A Problem of Epidemic Proportions. Hypertension Journal of American Heart Association. 2002;40:441-7. 3. Sacks. Effect on Blood Pressure of Reduced Dietary Sodium and The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) Diet. N Eng J Med. 2001;344(1):3-10. 4. Mayasari, Utomo, Meikawati. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Remaja (Studi pada Anggota Karang Taruna RW 1 Kelurahan Bulustalan Kecamatan Semarang Selatan) [Skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010.
192
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 193-199
EVALUASI PLA (PARTICIPATORY LEARNING AND ACTION) MALARIA Evaluation of PLA (Participatory Learning and Action) Malaria Nurwati Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan (
[email protected]) ABSTRAK Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan untuk mengendalikan malaria dengan melibatkan partisipasi masyarakat dengan pendekatan PLA (Participatory Learning and Action) yang merupakan kegiatan pembelajaran ke masyarakat untuk dapat mengambil tindakan dalam pengendalian malaria. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi dalam mengevaluasi pelaksanaan Participatory Learning and Action malaria di Desa Bori Kecamatan Bacan Timur Kabupaten Halmahera Selatan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan penelitian terdiri dari 6 orang, yaitu pengelola malaria, kepala desa, kader malaria desa, petugas polindes dan tokoh masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fasilitasi PLA malaria tingkat desa yang dilakukan mampu menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang malaria karena metode yang digunakan sangat partisipatif pada proses pelaksanaannya sehingga masyarakat aktif mengikuti fasilitasi tersebut. Rencana dan kegiatan masyarakat yang disepakati berfokus pada pemberantasan genangan-genangan air yakni kerja bakti, penimbunan, dan pembuatan saluran air. Oleh karena itu, kegiatan pemantauan terhadap kegiatan pemberantasan malaria di desa harus tetap dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat mengurangi keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk sehingga diharapkan berdampak pada penurunan kasus malaria. Kata kunci : PLA, malaria, partisipasi masyarakat ABSTRACT One of the efforts made by the Government of South Halmahera to control malaria is through community participation with PLA (Participatory Learning and Action) approach which is a learning activity for the community to be able to take action in the control of malaria. This study aims to obtain information in evaluating the implementation of Participatory Learning and Action of malaria in Bori Village, East Bacan District, South Halmahera Regency. This study is a qualitative study with a phenomenological approach. Informants consisted of 6 people including malaria program manager, head of village, village malaria cadres, polindes officials and community leaders. Data was collected through indepth interviews and observation. The results of this study indicate that the facilitation of malaria PLA conducted in the village level wasable to grow and improve the public’s understanding of malaria because the methodusedwas very participative in the implementation process so that the community actively participates in the facilitation. Plans and community activities focused on the eradication of water puddles through community service, landfill and the making of water drains. Therefore, monitoring of the malaria eradication activities in the village must still be done in a sustainable manner so it can reduce the presence of mosquito breeding sites that are expected to have an impact on the decline in malaria cases. Keywords : PLA , malaria , community participation
193
Nurwati : Evaluasi PLA (Participatory Learning and Action) Malaria
PENDAHULUAN
Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian malaria dilakukan dengan pendekatan Participatory Learning and Action (PLA), yakni kegiatan memberikan pembelajaran ke masyarakat untuk dapat mengambil tindakan dalam pengendalian malaria. Kegiatan PLA dimulai dengan melatih dua orang kader malaria desa setiap desa di tingkat kabupaten dan setelah pelatihan kader malaria desa kembali ke desa untuk melakukan kegiatan tindak lanjut berupa pertemuan fasilitasi dengan stakeholder desa, membuat rencana kerja dan melaksanakan upaya pengendalian malaria yang berfokus pada pemberantasan genangan air di desa yang berpotensi menjadi breeding site atau tempat perkembangbiakan nyamuk. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya mengurangi dan menghilangkan tempat perkembangbiakan nyamuk berdampak pada penurunan kasus malaria di Kabupaten Halmahera Selatan.3
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat didunia. Pengendalian dan pengobatan malaria menjadi lebih sulit dengan menyebarnya strain parasit malaria yang kebal terhadap obat anti malaria. Selain itu strain nyamuk Anopheles vektor penular malaria mulai banyak yang tidak mempan lagi terhadap insektisida yang digunakan untuk memberantasnya. Diperlukan peningkatan pendidikan kesehatan, manajemen penanganan penderita yang lebih baik, cara pengendalian vektor yang lebih efesien dan terpadu untuk mengatasi penyebaran malaria.1 Pada tahun 1998, WHO (World Health Organization) menyerukan ke seluruh negara perlunya pendekatan baru dalam pemberantasan malaria di mana WHO menjadi pemimpin prakarsa dan katalisator yang dikenal dengan Roll Back Malaria melalui upaya kemitraan. Di Indonesia pada tanggal 8 April 2000 bertempat di Nusa Tenggara Timur, Menteri Kesehatan RI mencanangkan ”Gebrak Malaria” yang merupakan gerakan nasional seluruh aspek bangsa dalam upaya memberantas malaria dengan intensif yang melibatkan jaringan kerjasama pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, badan internasional dan penyandang dana. Gerakan Berantas Kembali (Gebrak) Malaria mempunyai visi yakni mewujudkan lingkungan yang terbebas dari penularan malaria melalui pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat dan melindungi diri dari penularan malaria, menggalang kemitraan dalam pemberantasan malaria dan menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu untuk pencegahan dan pengobatan malaria.1 Salah satu upaya dalam pengendalian malaria adalah melaksanakan kegiatan pengendalian vektor untuk memutuskan rantai penularan malaria. Pengendalian vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan rumah dan kelambu berinsektisida dengan menggunakan insektisida), membunuh jentik (kegiatan anti larva) dan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan.2 Upaya pengendalian malaria dengan melibatkan partisipasi masyarakat telah dilakukan di Kabupaten Halmahera Selatan sejak tahun 2008.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan pendekatan fenomenologi. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) secara langsung terhadap informan. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 17-25 Oktober tahun 2013 di Desa Bori. Pemilihan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu informan dipilih dengan menentukan kriteria tertentu. Informan adalah pengelola program malaria, kepala desa, kader malaria desa, petugas Polindes dan tokoh masyarakat. Informasi yang ingin digali dari penelitian ini antara lain pelaksanaan pertemuan fasilitasi PLA malaria, penyusunan rencana kegiatan masyarakat dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat desa dalam upaya pemberantasan malaria. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dikumpulkan dan dianalisis dengan thematic analysis kemudian diinterprestasikan lalu disajikan dalam bentuk narasi . Tahap pertama dilakukan reduksi data yang merupakan proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang ditemukan dilapangan. Kemudian, data yang diperoleh digolongkan sesuai dengan variabel penelitian, lalu disajikan dalam bentuk teks berikut analisisnya dengan menggunakan fakta-fakta
194
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 193-199
masyarakat yang menggambar peta tubuh bisa paham gejala penyakit malaria itu bagaimana. Ada juga menggambar peta desa supaya masyarakat paham dimana tempat air tergenang yang ada jentik malaria. Torang sama-sama buat itu rencana pemberantasan malaria di desa, tentang pembuatan saluran air, timbun genangan air” (MH, 44 thn, 21 Oktober 2013)
yang ada dilapangan. Setelah itu ditarik kesimpulan dengan melakukan pemaknaan atas pola-pola peristiwa dan alur sebab akibat yang menjawab semua variabel penelitian ini.
HASIL Karakteristik informan terdiri dari usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan dan jabatan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari kader malaria desa, Kepala Desa Bori, tokoh masyarakat Desa Bori, dan Pengelola Malaria Kabupaten Halmahera Selatan. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat lima informan lakilaki dan satu informan perempuan umur mereka antara 33- 47 tahun. Semua informan berstatus telah menikah. Berdasarkan pekerjaan, semua informan bekerja dengan profesi sebagai pegawai negeri sipil dan petani. Status pendidikan informan ada yang tamat SMP, SMA, Diploma dan Sarjana (Tabel 1). Fasilitasi PLA malaria yang dilaksanakan ditingkat desa merupakan awal pelaksanaan kegiatan PLA malaria di desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertemuan fasilitasi tersebut dilakukan dengan suasana yang menarik sehingga masyarakat sebagai peserta tetap aktif dan saling berbagi pengetahuan tentang malaria. Terdapat permainan-permainan agar masyarakat semangat untuk mengikuti pertemuan tersebut. Berikut merupakan kutipan hasil wawancara mengenai hal tersebut,
Metode yang digunakan adalah metode partisipatif sehingga tumbuh keinginan yang kuat di masyarakat untuk belajar dan saling berbagi pengetahuan dalam pertemuan tersebut. Dan dalam proses pertemuan tersebut diselingi dengan permainan-permainan sehingga tidak membosankan dan peserta tetap bersemangat untuk belajar bersama. Karena pada prinsipnya sistem pembelajaran orang dewasa adalah saling menghargai antar peserta. Berikut merupakan hasil wawancara mengenai hal tersebut, “Pertemuan fasilitasi PLA merupakan suatu proses pembelajaran atau learning, dimana digunakan metode yang partisipatif. Dengan metode ini menumbuhkan keinginan masyarakat untuk belajar dan saling berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Pertemuan fasilitasi selalu dimulai dengan mencairkan suasana untuk menjalin kebersamaan sesama peserta dan biasanya dilakukan permainan-permainan kecil agar suasana cair dan proses tidak membosankan. Karena umumnya peserta pertemuan fasilitasi PLA orang dewasa, maka prinsip pembelajaran orang dewasa yang kami terapkan dalam pertemuan PLA ini dimana orang dewasa selalu ingin dihargai, setiap pendapat tidak melihat benar salah tapi dihargai sebagai masukan” (FM, 33 thn, 18 Oktober 2013)
“Pertemuan di desa torang buat se-
perti yang diajarkan di kabupaten. Selalu torang mulai dengan permainan supaya masyarakat tertarik dan semangat. Apa yang disampaikan torang selalu libatkan masyarakat seperti body mapping, dimana
Tabel 1. Karakteristik Informan Informan
JK
FM KS MH AM HS NM
L L L L L P
Umur (tahun) 33 45 44 47 42 37
Status Pernikahan Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah
Pekerjaan PNS Petani Petani Petani Petani PNS
Sumber : Data Primer, 2013
195
Pendidikan Terakhir S1 SMA SMA SMA SMA DIII
Jabatan Pengelola Program Malaria Kepala Desa Kader Malaria Tokoh Masyarakat Tokoh Masyarakat Bidan
Nurwati : Evaluasi PLA (Participatory Learning and Action) Malaria
Hasil penelitian tentang rencana kegiatan masyarakat yakni terdapatnya rencana kegiatan masyarakat difokuskan dalam bentuk intervensi lingkungan terhadap genangan-genangan air yang ada di desa, karena desa-desa di Kabupaten Halmahera Selatan umumnya desa pesisir pantai maka banyak terdapat genangan air, sehingga kegiatan pemberantasan tempat perkembangbiakan nyamuk menjadi prioritas pada rencana kegiatan masyarakat. Kegiatan yang direncanakan adalah kerja bakti rutin setiap minggu untuk penimbunan genangan air, pembuatan saluran air dan talud pantai. Berikut merupakan kutipan hasil wawancara mengenai hal tersebut :
hingga sulit bagi jentik nyamuk malaria untuk hidup. Berikut merupakan kutipan wawancara mengenai hal tersebut : “Yang torang lakukan juga yaitu buat saluran air. Karena air yang ada di kampung dan dari rumah-rumah tidak ada salurannya maka torang buat saluran air. Jadi torang punya dua strategi kurangi genangan itu dengan timbun dan bikin saluran air” (KS, 45 thn, 21 Oktober 2013)
PEMBAHASAN Fasilitasi PLA malaria tingkat desa adalah pertemuan yang difasilitasi oleh kader malaria desa dalam rangka memberikan pembelajaran tentang malaria kepada stakeholder masyarakat desa. Pada pelaksanaan pertemuan fasilitasi, informan yang mengikuti pertemuan merasakan pertemuan yang difasilitasi oleh kader malaria desa berbeda dengan pertemuan yang pernah mereka ikuti sebelumnya. Menurut informan, pertemuan fasilitasi dimulai dengan permainan yang mencairkan suasana. Sesuai dengan teknik fasilitasi PLA malaria di awal sebelum proses pembelajaran dimulai dilakukan pencairan suasana yang dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat berjalan tenang, santai, tidak tegang dan kaku. Dengan permainan sebagai pencair suasana diantara peserta terjalin suasana keakraban dan peserta sudah tidak malu lagi untuk bersuara karena telah tertawa dan bergerak. Suasana ini menjadi penting untuk membantu proses tahap pembelajaran selanjutnya. Informan mengemukakan bahwa pertemuan fasilitasi yang dilaksanakan dalam pembelajaran malaria ke masyarakat menggunakan metode partisipatif. Beberapa tahap dan teknik PLA malaria yang sangat diingat oleh informan yang mengikuti pertemuan tersebut adalah pembuatan peta tubuh (body mapping) dan peta desa (village mapping). Pada tahap pembuatan peta tubuh masyarakat menggambar peta tubuh dari seseorang yang berbaring dan setelah itu masingmasing mengemukakan pendapat tentang gejala malaria, tindakan yang diambil jika terkena malaria, dan bahaya penyakit malaria. Hal yang sama juga ketika masyarakat diminta menggambar peta
“Kegiatan yang torang harus lakukan adalah kerja bakti setiap minggu untuk hilangkan genangan air tersebut dengan cara menimbun. Ini untuk genangan disekitar pinggir kampung dan rumah masyarakat. Cukup satu jam saja setiap minggu, tidak perlu lama yang penting banyak orang yang terlibat, daripada sampai 3-4 jam tapi sedikit saja” (KS, 45 thn, 21 Oktober 2013) Hasil penelitian mengenai kegiatan pemberantasan malaria di desa bahwa kegiatan dilakukan berdasarkan rencana kegiatan yang telah disusun. Masyarakat berpartisipasi dalam bentuk kerja bakti rutin sekali seminggu yang biasanya dilakukan di hari Jumat. Kegiatan kerja bakti ini sangat efektif karena lingkungan desa menjadi bersih dan air tergenang sebagai sudah dilakukan penimbunan. Berikut merupakan kutipan wawancara mengenai hal tersebut, “Kegiatan yang langsung dilakukan setelah ada rencana pemberantasan malaria itu adalah kerja bakti setiap minggu. Itu torang buat di hari jumat, karena masyarakat biasa tidak ke kebun hari itu. Semua masyarakat turun kerja untuk kase bersih lingkungan desa dan torang timbun air-air yang tergenang itu” (MH, 44 thn, 21 Oktober 2013) Disamping kegiatan penimbunan genangan air juga dilakukan pembuatan saluran air yang mengalirkan air sampai ke laut dan saluran air tersebut selalu terhubung dengan air laut se-
196
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 193-199
desa yang menggambarkan kondisi wilayah desa, dimana terdapat genangan air, rumah yang sering terkena malaria, rumah yang memiliki kelambu dan sebagainya. Dengan peta desa ini masyarakat akan mendapatkan pemahaman tentang faktorfaktor risiko dan kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan penularan malaria terjadi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat dapat mengetahui jentik nyamuk malaria pada tahap transect walk dan dapat menyadari lingkungan di sekitarnya yang berkontribusi pada penularan malaria di desa. Berdasarkan teori dari Silbermen, bahwa cara pembelajaran dapat mempengaruhi tingkat daya ingat yakni demonstrasi (30%), diskusi (50%), praktik (75%) dan mengajar orang lain (90%). Teknik PLA seperti peta tubuh, peta desa dan transect walk dapat mempengaruhi daya ingat masyarakat tentang penyakit malaria sehingga dapat menyampaikannya ke masyarakat lain dan mempengaruhi untuk mengambil sikap dan tindakan.4 Rencana kegiatan masyarakat tingkat desa adalah kegiatan-kegiatan yang disepakati masyarakat dalam pelaksanaan pemberantasan malaria di desa pada pelaksanaan pertemuan fasilitasi PLA malaria. Berdasarkan hasil penelitian, dalam menyusun rencana kegiatan pemberantasan malaria banyak dilandasi oleh aktifitas pada tahap transect walk dimana menurut informan pada saat kegiatan transect walk tersebut ditemui banyak genangan-genangan air di desa dan setelah dilakukan pencidukan ditemukan jentik nyamuk malaria. Masyarakat pada saat penyusunan rencana kegiatan berfokus pada upaya pemberantasan genangan-genangan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Menurut informan bahwa yang menyebabkan terjadinya permasalahan malaria di Desa Bori karena banyak terdapat genangan-genangan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk malaria. Upaya pengendalian yang direncanakan oleh masyarakat adalah mengurangi dan menghilangkan genangan-genangan air tersebut. Kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam pemberantasan malaria dipengaruhi oleh pengetahuan yang didapatkan pada saat kegiatan fasilitasi PLA malaria. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Siahaan di Kabupaten Asahan mendapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pengetahuan dengan tindakan masyarakat dalam pemberantasan malaria.5 Jika dilihat dari sudut program pengendalian malaria, terdapat lima faktor yang menyebabkan penularan malaria di masyarakat yaitu vektor atau nyamuk anopheles bentina, tempat perkembangbiakan nyamuk atau genangan air, parasit, iklim dan populasi manusia. Dengan rencana kegiatan berupa pemberantasan genangan air maka dapat berdampak pada penurunan penularan malaria karena dengan berkurangnya genangan air maka populasi nyamuk malaria sebagai vektor akan berkurang juga.6 Kegiatan pemberantasan malaria di desa adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberantas malaria di desa berdasarkan rencana kegiatan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan pemberantasan malaria yang dilakukan masyarakat difokuskan pada pemberantasan genangan air yakni dengan kegiatan penimbunan dan pembuatan saluran air agar tidak terdapat air tergenang. Dalam program pengendalian malaria, salah satu cara pengendaliannya yaitu melaksanakan kegiatan pengendalian vektor. Pengendalian vektor secara garis besar terbagi 3 yakni pengendalian kimiawi, pengendalian biologis dan manajemen lingkungan.7 Kegiatan yang dilakukan di desa Bori dengan kegiatan penimbunan, pembuatan saluran air termasuk dalam manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan yang dilakukan dapat membantu menurunkan kepadatan vektor atau nyamuk malaria, di samping itu dengan manajemen lingkungan mengakibatkan berkurangnya tempat perkembangbiakan nyamuk sehingga nyamuk sulit mendapatkan tempat untuk meletakkan telurnya. Sebagian besar fase kehidupan nyamuk berada pada stadium aquatic atau kehidupan di air. Menurut informan, kegiatan utama yang dilakukan masyarakat untuk pemberantasan genangan air tersebut adalah penimbunan dengan melakukan kerja bakti seminggu sekali pada setiap hari jumat. Berdasarkan fase perkembangan nyamuk diketahui bahwa dari telur ke nyamuk dewasa membutuhkan waktu 10-14 hari, sehingga kegiatan kerja bakti rutin tersebut dapat memutuskan perkembangan nyamuk pada fase telur
197
Nurwati : Evaluasi PLA (Participatory Learning and Action) Malaria
dan jentik/larva sehingga tidak menjadi nyamuk dewasa.8 Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan malaria yang dilakukan oleh masyarakat setiap minggu maka dapat mengurangi populasi nyamuk dan kontak nyamuk dengan manusia. Pengendalian malaria perlu melibatkan masyarakat dan pihak terkait dengan lebih memperluas jangkauan bukan hanya di lingkungan permukiman saja, tetapi juga pada tipe-tipe ekosistem tertentu di sekitar permukiman terutama yang dieksploitasi secara rutin oleh masyarakat lokal.9 Penelitian yang dilakukan oleh Dalimunthe bahwa partisipasi masyarakat dalam pengendalian malaria dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap masyarakat tentang penyakit malaria. Jika dilihat dari proses pembelajaran PLA pada fasilitasi PLA malaria maka pengetahuan masyarakat meningkat tentang malaria dan disusunnya rencana kegiatan pemberantasan malaria merupakan sikap yang diambil masyarakat untuk memberantas malaria didesanya.10 Kegiatan pemberantasan genangan air ini sesuai dengan hasil rekomendasi Rapid Entomological Assesment yang dilakukan oleh Zubaedah bersama Tim Unicef, CDC Atlanta, Depkes RI dan Dinkes Halsel tahun 2007 di Kabupaten Halmahera Selatan terdapat tiga rekomendasi yakni untuk genangan skala kecil dilakukan kegiatan eliminasi genangan dengan menimbun, mengalirkan dan larvasidasi, untuk genangan skala sedang dilakukan dengan metode konversi yakni mengalihfungsikan genangan air dan menghilangkan tanaman-tanaman air, dan untuk genangan dengan skala besar dilakukan dengan kegiatan manajemen lingkungan seperti source reduction, salinity control dan sebagainya. Pemberantasan genangan air yang dilakukan diharapkan berdampak pada menurunnya kasus malaria, karena keberadaan genangan-genangan air berpotensi meningkatkan kejadian kasus malaria.11 Hal ini sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Erdinal dkk di Kecamatan Kampar Kiri Tengah yang menyatakan ada hubungan keberadaan genangan air dengan kejadian malaria.12 Terkait peran serta masyarakat dalam pengendalian malaria, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dkk di Kota Ternate bahwa peran serta masyarakat di Kota Ternate dalam pengendalian malaria termasuk kategori sedang karena
terdapat terdapat kontribusi keluarga dan kelompok masyarakat seperti LSM, lintas sektor, pihak swasta dan lain-lain untuk program pengendalian malaria, masyarakat berperan aktif dalam program pengendalian malaria tersebut.13
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan kegiatan PLA malaria maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan fasilitasi PLA malaria tingkat desa yang dilakukan menggunakan metode yang sangat partisipatif. Tahap dan teknik PLA yang memberikan pemahaman kepada peserta yakni pembuatan peta tubuh, peta desa dan transect walk. Kader malaria desa berperan sebagai fasilitator sehingga kegiatan fasilitasi tersebut dapat terlaksana. Rencana kegiatan masyarakat yang disepakati berfokus pada pemberantasan genangan air. Kegiatan pemberantasan malaria yang dilakukan dengan kegiatan kerja bakti rutin untuk menimbun genangan air dan membuat saluran air yang melibatkan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah. Hasil penelitian menyarankan kepada kepala desa, kader malaria dan masyarakat Desa Bori untuk melakukan pemantauan kegiatan pemberantasan malaria. Bagi Dinas Kesehatan agar pendekatan PLA yang digunakan di program pengendalian malaria dapat digunakan pada program kesehatan lainnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Kiranya penelitian ini dapat membantu Malaria Center dalam mengevaluasi pelaksanaan kegiatan PLA malaria di desa. Diharapkan juga bagi penelitian selanjutnya dapat meneliti dampak kegiatan pemberantasan genangan air terhadap keberadaan vektor malaria dan kasus malaria.
DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarto. Malaria. Jakarta: Sagung Seto; 2011. 2. Sucipto, Cecep Dani. Vektor Penyakit Tropis. Gosyen Publishing: Yogyakarta; 2011. 3. Malaria Center Halsel. Laporan Tahunan Program Malaria 2012. Malaria Center: Labuha; 2013.
198
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 193-199
4. LGSP. Fasilitasi yang Efektif . USAID: Jakarta; 2010. 5. Siahaan, Rumanti. Determinan Tindakan Masyarakat dalam Pemberantasan Malaria di Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 6. Dinkes Malut. Pedoman Pelatihan Fasilitator Participatory Learning and Action (PLA). Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara; 2010. 7. Depkes RI. Modul Entomologi Malaria. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2003. 8. Arsin, Arsunan. Malaria di Indonesia, Tinjauan Aspek Epidemiologi. Makassar: Masagena Press; 2012. 9. Amirullah. Bioecological Study of Anopheles spp. as a Basic for Developing of Malaria Vector Control Strategies in the South Halmahera District, North Maluku [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 2012. 10. Dalimunthe, Letanan. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Program Pencegahan Penyakit Malaria di Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 11. Erdinal, dkk. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Hampar Tahun 2005-2006. Makara Kesehatan. 2006; 10 (2). 12. Rahmawati dkk. Evaluasi Manajemen Lingkungan Pengendalian Vektor dalam Upaya Pemberantasan Penyakit Malaria di Kota Ternate. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2012; 11 (2). 13. Zubaedah, Siti dkk. Rapid Entomological Assesment di Kabupaten Halmahera Selatan. Laporan Hasil Rapid Entomological Assesment Kerjasama Unicef, CDC Atlanta, Depkes RI dan Dinkes Halsel; 2007.
199
Sumarni : Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Perilaku ANC
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL TERHADAP PERILAKU ANC The Relationship Between Knowledge and Attitude of Pregnant Women Towards ANC Behavior
Sumarni Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (
[email protected])
ABSTRAK Tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas harus ditangani dan dideteksi sejak dini dengan benar karena setiap tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas bisa mengakibatkan komplikasi pada masa hamil, persalinan dan masa nifas. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tandatanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC. Jenis penelitian yang digunakan dalah survei analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh ibu hamil dengan umur kehamilan trimester tiga pada bulan Maret yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Latambaga yang berjumlah 59 orang. Sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling yaitu teknik pengambilan jika jumlah populasi dijadikan sampel dalam penelitian. Analisis data dengan menggunakan uji chi square dan uji fisher exact. Hasil didapatkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (p=0,034) dan tidak ada hubungan antara sikap ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (p=0,062). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC dan tidak ada hubungan antara sikap ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC. Kata kunci : Pengetahuan, sikap, perilaku ANC ABSTRACT The danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum should be addressed and correctly detected early because of any danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum can lead to complications during pregnancy, childbirth and postpartum. This study aims to understand the relationship between knowledge and attitude of pregnant women about the danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum towards ANC behavior. The type of study used was an analytical survey with cross sectional approach. The population wass all pregnant women with gestational age of three trimesters in March who resides in Latambaga Health Center which was 59 people. The samples were selected using total sampling method which is a sampling technique if the total population became the sample in the study. Data analysis was conducted using chi square and fisher exact tests. The results of this study found that there was a significant relationship between knowledge of the pregnant mother about the danger signs of pregnancy, chilbirth and postpartum and ANC behavior (p=0,034) and there was no relationship between the attitude of the pregnant mother about the danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum and ANC behavior (p=0,062). This study concludes that there is a significant relationship between the knowledge of the pregnant mother about the danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum and ANC behavior and there is no relationship between the attitude of the pregnant mother about the danger signs of pregnancy, childbirth and postpartum and ANC behavior. Keywords : Knowledge, attitude, ANC Behavior
200
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 200-204
PENDAHULUAN
nya bahaya yang dapat terjadi selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, yang apabila tidak dilaporkan atau terdeteksi bisa menyebabkan kematian ibu.7 Tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas harus ditangani dan dideteksi sejak dini dengan benar karena setiap tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas bisa mengakibatkan komplikasi pada masa hamil, persalinan dan masa nifas.8 Kurangnya pengetahuan ibu tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas dapat menyebabkan ibu tidak dapat melakukan identifikasi terhadap tanda-tanda yang nampak sehingga tidak dapat melakukan antisipasi secara dini.9 Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC di wilayah kerja Puskesmas Latambaga.
Kehamilan merupakan proses alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita. Lama kehamilan sampai aterm adalah 280 sampai 300 hari atau 39 sampai 40 minggu, sehingga masa tersebut ibu hamil memerlukan pengawasan yang tepat.1 Perubahan fisiologis pada masa kehamilan, persalinan, nifas, dan neonatus sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patologis, ini timbul karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor kesehatan ibu/bayi sendiri maupun faktor dari luar termasuk faktor dukungan bagi ibu. Dari setiap kondisi patologis pada masa kehamilan, persalinan, nifas, dan neonatus, sebelum terjadi kegawatan akan memperlihatkan tanda bahaya dari masalah tersebut, yang apabila diketahui secara dini dapat menyelamatkan jiwa ibu dan bayinya.2 Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Sekitar 25-50% kematian wanita usia subur di negara miskin disebabkan hal berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita usia muda pada masa puncak produktifitasnya.3 Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012, AKI tercatat mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup.4 Angka ini jumlahnya jauh melonjak dibanding hasil SDKI tahun 2007 yang mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Kabupaten Kolaka AKI tahun 2012 mencapai angka 239 per KH masih jauh dari target MDGs dan wilayah Puskesmas Latambaga merupakan puskesmas dengan AKI paling tinggi pada tahun 2012 yaitu sebanyak 4 orang.5 Secara tidak langsung kematian ibu dapat dipengaruhi oleh keterlambatan mengenali tanda bahaya dan membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan, keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan dan terlambat mendapat pertolongan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.6 Tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas adalah tanda-tanda yang mengindikasikan ada-
BAHAN DAN METODE Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas Latambaga Kabupaten Kolaka pada bulan Nopember 2013 sampai Maret 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan umur kehamilan trimester tiga pada bulan Maret di wilayah Puskesmas Latambaga yang berjumlah 59 orang. Sampel diambil dengan menggunakan total sampling, yaitu semua jumlah populasi dijadikan sampel. Analisis data dengan menggunakan uji chi square dan uji fisher exact. Penyajian data dalam bentuk tabel dan narasi.
HASIL Hasil penelitian berdasrkan karakteristik responden menunjukkan bahwa kelompok umur dengan jumlah tertinggi adalah kelompok umur 26-30 tahun, yaitu sebanyak 20 orang (33,9%) sedangkan umur responden yang paling sedikit adalah umur >40 tahun, yaitu sebanyak 3 orang (5,1%), distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan yang terbanyak yaitu tamatan SMP sebanyak 29 orang (49,2%) dan paling sedikit yaitu Akademi sebanyak 3 orang (5,1%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pekerjaan responden yang terbanyak, yaitu tidak bekerja (IRT) seban-
201
Sumarni : Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Perilaku ANC
Tabel 2. Ditribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Latambaga Kabupaten Kolaka
yak 56 orang (94,9%) dan hanya 3 orang (5,1%) PNS, distribusi responden berdasarkan jumlah kehamilan adalah sebagian besar responden pada jumlah kehamilan 2-3 kali sebanyak 32 orang (54,2%) dan yang paling sedikit, yaitu >3 kali sebanyak 12 orang (20,3%), distribusi responden berdasarkan umur kehamilan yang paling banyak adalah responden dengan umur kehamilan 28-36 minggu dan yang paling sedikit dengan umur ≥ 36 minggu yaitu sebanyak 27 orang (45,8%). Distribusi responden berdasarkan variabel penelitian terdapat 34 orang (57,6%) dengan pengetahuan kurang dan 25 orang (42,4%) dengan pengetahuan cukup. Adapun distribusi responden berdasarkan sikap yang memiliki sikap positif sebanyak 40 orang (67,8%) dan hanya 19 orang (32,2%) yang bersikap negatif. Kemudian distribusi perilaku ANC responden pada umumnya sudah baik yaitu 49 orang (83,1%) dan hanya 10 orang (16,9%) dengan perilaku buruk (Tabel 1).
Karakteristik Responden Pengetahuan Cukup Kurang Sikap Positif Negatif Perilaku ANC Baik Buruk
n
%
10 15 20 7 4 3
16,9 25,4 33,4 11,9 6,8 5,1
9 29 13 3 5
15,3 49,2 22,0 5,1 8,5
56 3
94,9 5,1
15 32 12
25,4 54,2 20,3
32 27
54,2 45,8
%
25 34
42,4 57,6
40 19
67,8 32,2
49 10
83,1 16,9
Sumber : Data Primer, 2014
Hubungan antara variabel pengetahuan dengan perilaku ANC menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan perilaku ANC yang buruk dan berpengetahuan kurang adalah sebanyak 9 orang (26,5%) dan berpengetahuan baik sebanyak 25 orang (73,5%). Sedangkan responden dengan perilaku ANC yang baik tetapi berpengetahuan kurang hanya 1 orang (4,0%) dan yang berpengetahuan baik adalah sebanyak 24 orang (96,0%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji fisher exact didapatkan p=0,34 (<0,05) maka Ho ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (Tabel 2). Hubungan antara variabel sikap dan perilaku ANC menunjukkan bahwa responden dengan perilaku ANC yang buruk dan bersikap negatif adalah sebanyak 6 orang (31,6%) dan yang bersikap positif adalah sebanyak 4 orang (6,8%). Sedangkan responden dengan perilaku ANC yang baik tetapi bersikap negatif adalah sebanyak 13 orang (68,4%) tetapi yang bersikap positif adalah sebanyak 36 orang (90,0%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji fisher exact diketahui p=0,062 (>0,05), hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (Tabel 3).
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Umum Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Latambaga Kabupaten Kolaka Karakteristik Responden Umur (tahun) <20 20-24 25-29 30-34 35-39 >40 Pendidikan SD SMP SMA Akademi S1 Pekerjaan IRT PNS Jumlah Kehamilan 1 2-3 >3 Umur Kehamilan 28-<36 minggu ≥36 minggu
n
PEMBAHASAN Hasil penelitian dengan variabel pengetahuan menunjukkan bahwa sebagian besar
Sumber : Data Primer, 2014
202
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 200-204
Tabel 3. Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Latambaga Kabupaten Kolaka Perilaku ANC Variabel Pengetahuan Cukup Kurang Sikap Positif Negatif
Buruk
Total
Baik
p
n
%
n
%
n=59
%
1 9
4,0 24,5
24 25
96,0 73,5
25 34
100 100
0,034
4 6
6,8 31,6
36 13
90,0 68,4
40 19
100 100
0,062
Sumber : Data Primer, 2014
responden menerapkan perilaku ANC yang buruk dan berpengetahuan kurang. Hasil uji fisher exact didapatkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilku ANC artinya semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas maka ibu akan semakin mau memeriksakan kehamilannya secara teratur kepada petugas kesehatan selama periode kehamilannya. Pengetahuan yang dimiliki ibu membuatnya lebih ingin mengetahui keadaan kehamilannya sehingga lebih sering melakukan kunjungan ANC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Burhaeni di wilayah Puskesmas Pampang Makassar (p value= 0,031), yang menyatakan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal. Ibu yang berpengetahuan baik lebih banyak memanfaatkan pelayanan antenatal, hal ini disebabkan ibu yang berpengetahuan baik peduli dengan kesehatannya dan terdapat perhatian terhadap keadaan kehamilannya.10 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aritha di Klinik Dina Bromo Ujung Lingkungan XX Medan, yang menyatakan bahwa semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan maka semakin patuh pula ia melakukan ANC.11 Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Dian, di BPS Ernawati Boyolali, yang menyatakan bahwa ada hubungan pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan dengan kepatuhan pemeriksaan kehamilan.12 Menurut Bloom dalam Notoatmodjo me-
ngatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, dalam hal ini seorang ibu hamil akan melakukan permeriksaan kehamilan (antenatal care) secara teratur apabila ibu tersebut mengetahui manfaat pelayanan antenatal terhadap kehamilannya.13 Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian penulis, teori pendukung dan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas maka ibu hamil akan semakin mau memeriksakan kahamilannya secara teratur kepada petugas kesehatan selama periode kehamilannya. Maka dari hasil penelitian ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori yang telah dikemukakan. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa, sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) yang berdasarkan reaksi tertutup.13 Hasil penelitian pada variabel sikap ibu hamil menunjukkan bahwa responden menerapkan perilaku ANC yang buruk tetapi bersikap positif. Hasil uji fisher exact diketahui bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komariyah di wilayah puskesmas Sukorame Mojokerto Kediri yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan sikap ibu
203
Sumarni : Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Perilaku ANC
hamil terhadap keteraturan pemeriksaan kehamilan.14 Dengan demikian hal ini menegaskan bahwa perbedaan sikap responden tidak mempengaruhi keteraturan dalam memeriksakan kehamilan, namun sikap adalah faktor penting dalam upaya kunjungan peningkatan kesehatan ibu dan anak sehingga kematian ibu dan anak bisa dicegah. Dengan sikap positif juga ibu hamil bisa merespon atau menilai arti pentingnya ANC sehingga sikap ibu hamil dalam pemeriksaan kehamilan dapat ditingkatkan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun 2012. Kolaka; 2012. 6. Depkes RI. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWSKIA). Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010. 7. Mahmudah.Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang Tanda Bahaya Kehamilan di BPM. Tri Tedjo, Bendosari, Sukoharjo. Jurnal Maternal. 2013; 8. 8. Depkes RI. Buku Pedoman Pengendalian Tanda Bahaya pada Kehamilan, Persalinan dan Nifas. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001. 9. Mahardani. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Ibu Hamil dalam Deteksi Dini Tanda Bahaya Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Sawan I, Kabupaten Buleleng Bali[Skripsi]. Depok: FKMUI; 2011. 10. Siti Burhaeni. Faktor Determinan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kecamatan Panakukang Kota Makassar Tahun 2013.[Skripsi]. Makassar: FKM UNHAS; 2013. 11. Aritha. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil tentang Tanda Bahaya Kehamilan dengan Kepatuhan Kunjungan ANC di Klinik Dina Bromo Ujung Lingkungan XX Medan. Jurnal Darma Agung; 2013. 12. Dian. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tanda Bahaya Kehamilan dengan Kepatuhan Pemeriksaan Kehamilan Di BPS Ernawati Boyolali, Surakarta. JurnalGaster. 2013; 10 (2). 13. Notoatmojo.S. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta.Rinneke Cipta; 2003. 14. Komariah. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Hamil tentang Pemeriksaan Kehamilan dengan Kunjungan Pemeriksaan Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Mojokerto Kediri [Tesis]. Surakarta: FK Universitas Sebelas Maret; 2008.
KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (p=0,034) dan tidak ada hubungan antara sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas terhadap perilaku ANC (p=0.062). Perlunya peningkatan pengetahuan bagi ibu-ibu yang yang berpengetahuan kurang mengenai kehamilan dan persalinan melalui penyuluhan atau konsultasi dengan tenaga kesehatan, sehingga dapat menumbuhkan sikap positif agar tercipta kualitas kehamilan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta. EGC; 2005. 2. Soliha. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Pengetahuan Suami tentang Tanda Bahaya pada Masa Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Neonatus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Media Litbang Kesehatan. 2009;XIX (2). 3. Saifuddin. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. Bina Pustaka; 2006. 4. SDKI. Laporan Pendahuluan - Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2012. 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka. Profil
204
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 205-210
PENEMUAN DINI KUSTA PADA ANAK SEKOLAH DASAR Early Detection Efforts of Leprosy in Elementary School Children Tati Masliah Puskemas Tammerodo Majene (
[email protected]) ABSTRAK Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular. Kurangnya pengetahuan sehingga adanya pemahaman yang salah terhadap penyakit kusta di masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi perilaku guru terhadap upaya penemuan dini kusta pada anak sekolah dasar terkait pengetahuan, sikap dan tindakan guru terhadap kusta. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan informan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah informan 8 orang. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi, keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi metode. Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis interaktif dan disajikan dalam bentuk naratif. Hasil penelitian mengungkapkan perilaku informan pada pengetahuan dan sikap tentang penyakit kusta adalah penyakit kelainan pada kulit akibat makanan, penyakit yang ditakuti dan sangat menular serta penyakit keturunan. Sikap negatif informan pada penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan sangat menular sehingga memberikan batasan terhadap penderita kusta. Adapun tindakan guru terhadap upaya penemuan dini kusta pada anak sekolah dasar yaitu sebagian besar guru tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap penderita kusta di lingkungan sekolah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah informan masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyakit kusta dan memahaminya sebagai penyakit kulit akibat makanan serta adanya stigma negatif yang memandang kusta sebagai penyakit yang sangat menular dan ditakuti sehingga tidak ada upaya penemuan dini yang dilakukan terhadap penderita kusta di lingkungan sekolah. Kata kunci : Perilaku, penemuan dini, kusta ABSTRACT Leprosy is a contagious disease. There is still a lack of knowledge regarding leprosy so that there is an incorrect understanding of leprosy in the community. This study aims to explore the behavior of teachers toward early detection efforts of leprosy in children of elementary school regarding their knowledge, attitudes and actions towards leprosy. The study conducted was a qualitative study with a phenomenological approach. Selection of informants was done using the purposive sampling method resulting in 8 informants. Data was collected by conducting indepth interviews and observations, and data validation was done by using the triangulation method. Data processing and analysis was condcuted using interactive analysis and presented in narrative form. The results of this study revealed that the informants’ behavior on their knowledge and attitudes about the disease was that it wasa disease of skin disorder caused by food, that they fear the disease because it is highly contagious and that it was a hereditary disease. The negative attitudes of informants towards leprosy was that they considered it was a disease that is very scary and very contagious, this lead to restrictions faced by lepers. The teachers’ acts against early discovery efforts of leprosy in primary school children were most teachers did not perform any actions towardslepers in the school environment. This study concludes that the informants still lack knowledge about leprosy and understand it as a skin disease caused by food as well as the negative stigma of leprosy viewing it as a highly contagious disease and feared that no attempts were made to detect leprosy patients early in a school environment. Keywords : Behavior, early detection, leprosy
205
Tati Masliah : Deteksi Dini Kusta pada Anak Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
donesia bagian tengah dan timur, sedangkan bagian barat hanya Aceh dan seluruh Provinsi di Pulau Jawa, kecuali Banten dan DI.Yogyakarta.4 Dari sekitar 100 negara yang telah berhasil mencapai eliminasi kusta, diantaranya adalah Indonesia yang mencapai eliminasi pada tahun 2000, status eliminasi kusta secara nasional dengan prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk, hal tersebut belum merupakan jaminan hilangnya masalah kusta di Indonesia.4 Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsidengan prevalensi kusta yang masih tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat mencatatprevalensi kusta sebesar 269 penderita atau 2,5 per 10.000 penduduk ditahun 2009, yang seharusnya berada dibawah standar nasional, yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Tahun 2010 ditemukan ada 760 penderita atau 7,0 per 10.000 penduduk. Ada kenaikan sekitar 15% dari tahun sebelumnya.5 Kabupaten Majene merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Sulawesi Barat dengan tingkat prevalensi kusta yang masih tinggi. Pada tahun 2010 terdapat 37 kasus dengan proporsi Pausi Basilar (PB) sebanyak 5 orang, Multi Basilar (MB) sebanyak32 orang, tahun 2011 terdapat 40 kasus dengan proporsi Pausi Basilar (PB) sebanyak 8 orang,dan Multi Basilar (MB) sebanyak 32 orang, dan di Kecamatan Tammerodo Sendana merupakan wilayah di Kabupaten Majene yang setiap tahunnya di temukan kasus penderita kusta. Adapun jumlah penderita pada tahun 2010 sebanyak 3 kasus dengan proporsi Multi Basilar (MB) sebanyak 3 orang, tahun 2011 sebanyak 3 kasus dengan proporsi Pausi Basilar (PB) sebanyak 1 orang dan Multi Basilar (MB) sebanyak 2 orang, tahun 2012 sebanyak 6 kasus, Pausi Basilar (PB) sebanyak 1 orang dan Multi Basilar (MB) sebanyak 5 orang. Hal ini menunjukan bahwa kasus kusta di Kabupaten Majene masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar.6 Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi perilaku guru terhadap upaya penemuan dini kusta pada anak sekolah dasar Desa Tammerodo Kecamatan Tammerodo Sendana Kabupaten Majene tahun 2014.
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang pertama menyerang saraf selanjutnya dapat menyerang mukosa mulut, saluran nafas bagian sistem retikuloendotelial, mata, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat, tanda klinisnya muncul bercak-bercak putih di permukaan kulit dalam berbagai bentuk, sebagian besar berbentuk area yang berwarna keputihan (mirip panu) dan mati rasa.1 Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi juga meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.2 Pada awal tahun 2010, World Health Organization WHO mencatat prevalensi kusta di seluruh dunia sebanyak 2111.903 kasus, dan prevalensi ini mengalami penurunan 0,54% dibandingkan awal tahun 2009 sebanyak 213.036 kasus. Mayoritas penderita kusta berasal dari negara India sebesar 133.717 kasus, Brazil 37.610 kasus, dan di Indonesia sebanyak 17.260 kasus. Pada awal tahun 2011 prevalensi kusta di seluruh dunia sebesar 192.246 kasus, dengan jumlah penderita kusta tertinggi, yaitu di regional Asia Tenggara sebesar 113.750 kasus. Tiga negara teratas dengan jumlah kasus kusta terbanyak adalah India, Brazil dan Indonesia, negara-negara tersebut termasuk dalam daerah endemik kusta.3 Secara nasional, menurut data profil Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, juga mencatat tahun 2010 penderita kusta terdaftar sebanyak 19.741 kasus. Kemudian pada tahun 2011 terjadi peningkatan sebanyak 23.169 kasus, dan tahun 2012 jumlah penderita terdaftar sebesar 23.554 kasus dengan proporsi penderita baru sebesar 15.418, proporsi cacat tingkat dua sebesar 11,75 %, proporsi anak sebesar 10,78 %, dan Multi Basilar (MB) sebesar 82,69 %. Distribusi penyakit kusta yang tinggi lebih banyak tersebar di wilayah In-
206
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 205-210
BAHAN DAN METODE
“Setahu saya itu sappa tallo (penyakit kulit karena alergi telur), kalau sudah sampai merah-merah dan berair itu karena selalu di garuk, tidak menular itu. Apalagi kalau orang yang cocok makan telur tidak apa-apa” (RH, 27 tahun)
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan yang berlangsung dari tanggal 23 Mei sampai 20 Juni 2014. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SDN 12 Pelattoang Desa Tammerodo, Kecamatan Tammerodo Sendana, Kabupaten Majene yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Tammerodo Sendana Kabupaten Majene. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan informan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah informan 8 orang yang terdiri dari 7 orang guru sebagai informan dan 1 orang tenaga kesehatan sebagai informan kunci. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi. Keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi metode. Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis interaktif dan disajikan dalam bentuk naratif.
Informan mendefinisikan kusta sebagai penyakit yang sangat menular meskipun berjauhan, seperti yang diungkapkan informan berikut ini : “Penyakit kulit yang sangat menular itu, biar kita jauh tapi bisa tertular juga, apalagi kalau kita duduk di tempat bekas dia (penderita) duduk, berobat lama itu mungkin baru bisa sembuh” (ND, 26 tahun) Informan menyebutkan bagian tubuhnya terdapat bercak-bercak merah dan terasa panas namun belum diketahuinya sebagai gejala penyakit kusta. Berikut kutipan wawancaranya :
HASIL Pengetahuan adalah pemahaman informan tentang penyakit kusta, yang mencakup definisi dan istilah, gejala awal, kemungkinan sumber penularan, cara pencegahan dan sumber informasi mengenai penyakit kusta. Informan mendefinisikan kusta sebagai penyakit menular karena keturunan dan kontak serumah. Berikut kutipan wawancaranya :
“Dulu di sini ( bagian wajah) ada (bercak) merah-merah tambah lama tambah lebar dan wajah terasa panas, tidak terasa gatal, saya pikir biasa itu” (NH, 38 tahun) Informan memahami kusta secara emik dari para orang tua, walaupun mereka pernah mendapatkan informasi sebelumnya dari petugas kesehatan melalui penyuluhan tentang kusta.
“Saya takut sekali itu dibilang kusta, bukan itu penyakit keturunan kah? karena ada keluarganya (penderita) yang juga sakit begitu” (SR, 28 tahun)
“pernah dulu ada penyuluhan kusta di sini (SDN 12 Pelattoang)..saya tau istilah kusta tapi tidak tau ciri-ciri betulnya seperti apa karena tidak pernah lihat langsung… kalau ada siswa yang sakit begitu ( kusta) saya kira cuma karena makanan saja yang orang tua bilang sappa tallo (kelainan kulit akibat telur)” (NH, 38 tahun)
“Saya tau itu dibilang kusta yang di bilang orang kandala, Saya rasa itu penyakit yang bisa muncul karena ada orang tua nya (penderita) yang sakit begitu jadi menular juga ke dia (penderita) karena satu rumah dan mungkin ada siswa di sekolah ini (SDN 12 Pelattoang) ” (MR, 27 tahun)
Sikap terhadap penderita penyakit kusta adalah bagaimana kepercayaan, evaluasi informan terhadap penderita kusta dalam upaya penemuan dini penderita kusta pada anak SD. Informan mengungkapkan munculnya stigma berupa rasa ketakutan dan upaya menjauhi penderita, seperti yang diungkapkan informan berikut ini :
Informan mendefinisikan kusta sebagai penyakit kulit akibat makan, seperti yang diungkapkan informan berikut ini :
207
Tati Masliah : Deteksi Dini Kusta pada Anak Sekolah Dasar
“Waktu sebagian besar orang tua siswa di sekolah tersebut (SDN 12 Pelattoang) mengetahui tentang kejadian ini mereka banyak yang ingin memindahkan anak mereka dari sekolah tersebut karena mereka sangat takut dengan penyakit tersebut akan menular ke anak-anak mereka” (HR, 30 tahun)
laporkan ke petugas kesehatan. “Pernah dulu (2 tahun yang lalu) ada petugas Puskesmas yang memberi penyuluhan dan cara menemukan penderita kusta…sekarang sudah tidak pernah lagi kami diminta untuk melakukan pemeriksaan sendiri di sekolah jadi kami tidak melakukannya lagi” (MR, 27 tahun)
Tindakan terhadap penderita kusta adalah suatu sikap yang merupakan implementasi dari tingkat pengetahuan terhadap kusta dan bagaimana pencegahan yang dilakukan, respon, peran serta dukungan informan terhadap upaya penemuan dini kusta pada anak SD yang terwujud dalam suatu upaya peranserta secara nyata. Informan menyebutkan upaya mencegah kusta diantaranya adalah menjaga kebersihan tubuh, tidak menggunakan dan menyentuh barang-barang milik penderita, tidak mendekati penderita. Berikut kutipan wawancaranya :
“Biasa ada petugas Puskesmas yang datang memeriksa anak sekolah di sini (SDN 12 Pelattoang) tapi sudah lama tidak pernah datang…jadi kita biarkan saja karena kita pikir itu tugasnya orang Puskesmas” (SR, 28 tahun)
PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang pengetahuan guru terhadap kusta, yaitu informan mengetahui istilah sebagai penyakit menular karena keturunan dan kontak serumah. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miswar, dkk bahwa 31 responden yang mempunyai riwayat kontak serumah, 17 responden (58,62%) diantaranya mengalami kejadian kusta.7 Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Suwoyo, dkk bahwa pengertian yang keliru di masyarakat tentang kusta, yakni kusta adalah penyakit keturunan, sakit akibat guna-guna atau akibat hubungan seks saat haid, menjadikan penderita menjadi takut dan bersembunyi. Kusta juga dianggap tak bisa disembuhkan.8 Hasil penelitian terhadap guru sekolah dasar tentang gejala dan tanda-tanda penyakit kusta yaitu informan menyebutkan bahwa dibeberapa bagian tubuhnya terdapat bercak merah dan terasa panas namun belum diketahuinya sebagai gejala penyakit kusta. Informan mengetahui gejala-gejala setelah melihat buku atlas kusta yang terdapat di puskesmas dan ada informan yang tidak mengetahui tentang ciri-ciri kusta, tetapi ketika melihat ada penderita mengalami kelainan pada anggota tubuhnya, maka dia mengatakan dia terkena penyakit kusta. Hal ini sesuai dengan diagnosis WHO, yaitu secara klinis, seseorang diklasifikasi sebagai penderita kusta golongan PB apabila mempunyai 1 hingga 5 bercak saja pada kulitnya, bercak
“Kalau kita selalu menjaga kebersihan tubuh dan mandi teratur, kita bisa terhindar dari penyakit itu (kusta)” (SR, 28 tahun.) “Kita tidak boleh memakai atau menyentuh barang-barang yang sering digunakan oleh penderita kusta” (ND, 26 tahun) Informan kurang kepedulian dan respon terhadap kusta sebagai akibat kurangnya pengetahuan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Seperti yang diungkapkan informan berikut ini : “Saya tidak tau kalau yang seperti itu (siswa) yang dibilang kusta karena waktu ada penyuluhan di sekolah, ini gambar kusta yang saya liat cacat pada tangan jadi saya tidak khawatir melihat siswa anak wali kelas saya yang seperti itu (kusta)…. dan waktu kulit wajah saya mulai kemerahan juga saya pikir karena penyakit kulit yang biasa saja” (HJ, 38 tahun) Informan kurang informasi tentang upaya pencegahan dan penemuan dini kusta bagi warga sekolah sehingga mengakibatkan kurangnya kepedulian dan inisiatif guru untuk segera me-
208
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 205-210
tersebut mirip panu tetapi tidak gatal, tidak terasa jika disentuh, tidak ada penebalan atau gangguan saraf.3 Hasil penelitian guru tentang informasi penyakit kusta, yaitu informan mendapatkan informasi dan memahami kusta secara emik dari para orang tua, dan secara etik didapatkan setelah memperoleh informasi dari petugas kesehatan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mukhlis yang menemukan sebagian besar responden (62,5%) mengaku mendapat informasi tentang kusta dari petugas kesehatan.9 Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap seseorang pada perilaku berawal dari pengetahuan individu sebelumnya karena individu mengetahui dan memberi tanggapan disebabkan oleh kebiasaan yang dia lakukan, atau pernah ada informasi sebelumnya yang dia dapatkan.Menurut Notoatmodjo, sikap itu adalah komponen konatif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku dengan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi.10 Dari hasil penelitian tentang keyakinan guru terhadap penyakit kusta yaitu adanya stigma yang masih melekat pada masing-masing guru sehingga penderita dijauhi karena rasa takut akan tertulat penyakit yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Suwoyo, dkk., yaitu penderita kusta sulit untuk diterima di tengah masyarakat, masyarakat menjauhi penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong keluarga dan penderita diasingkan.11 Suatu sikap belum tentu pasti terwujud di dalam suatu tindakan, karena untuk mewujudkan suatu sikap menjadi perubahan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Tindakan adalah merupakan suatu praktek, seperti misalnya praktek kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan.10 Dari hasil penelitian tentang upaya pencegaha guru pada penyakit kusta yaitu menjaga kebersihan tubuh, tidak menggunakan dan menyentuh barang-barang milik penderita, tidak
mendekati penderita. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Mukhlis bahwa sebanyak 85% melakukan upaya pencegahan penularan agen penyakit kusta dengan tidak memakai alatalat yang dipakai penderita kusta, 10% selalu mencuci tangan setelah bersentuhan dengan penderita kusta, dan 5% sama sekali tidak menyentuh penderita kusta.9 Dari hasi penelitian tentang respon atau tindakan guru terhadap penderita kusta di sekolah bahwa pengetahuan yang kurang terhadap penyakit kusta sehingga tidak adanya kecenderungan respon dan tindakan terhadap penderita kusta di lingkungan sekolah tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan Tsutsumi salah satu penelitian tentang penyakit kusta yang dilakukan di Bangladesh bahwa sikap masyarakat umum terhadap individu dengan penyakit kusta negatif dan berbeda disetiap kalangan serta budaya, ironisnya guru sekolah dan petugas kesehatan bahkan tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang penyakit kusta sehingga bersikap negatif terhadap penderita kusta.11 Hasil penelitian tentang praktik tindakan guru terhadap upaya penemuan penderita kusta di sekolah bahwa Ketidak efektifan dan kurang kolaboratifnya pihak puskemas dalam upaya penemuan dini penderita kusta pada anak sekolah sehingga tidak adanya praktik tindakan yang dapat diikuti dan dilakukan oleh pihak sekolah sehingga upaya penemuan penderita kusta di lingkungan sekolah dinilai merupakan tugas utama pihak puskemas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dali bahwa dari uraian distribusi praktik responden dalam upaya deteksi dini penderita kusta sebanyak 57% responden mengatakan tidak pernah melakukan upaya deteksi dini penderita kusta di sekolah karena merupakan tugas pihak kesehatan, sebanyak 35% responden mengatakan pernah melakukan upaya deteksi dini kusta di sekolah,tetapi tidak berjalan lagi.12
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa informan masih memiliki pemahaman yang kurang mengenai penyakit kusta dan memahaminya sebagai kelainan pada kulit akibat makanan dan memahaminya sebagai penyakit
209
Tati Masliah : Deteksi Dini Kusta pada Anak Sekolah Dasar
sangat menular dan ditakuti sehingga tidak adanya upaya penemuan dini kusta yang dilakukan di lingkungan sekolah. Saran kepada petugas kesehatan perlu adanya peningkatan upaya penyuluhan tentang penyakit kusta agar dapat memberikan pemahaman tentang kusta yang benar agar upaya deteksi dini penderita kusta melalui pelatihan singkat terhadap guru serta follow up pemantauan oleh petugas kesehatan setiap tiga bulan sekali di setiap sekolah dapat terlaksana dengan baik.
5. Dinas Kesehatan Kota Mamuju. Profil Kesehatan Kota Mamuju. Mamuju: Dinas Kesehatan Kota Mamuju; 2012. 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Majene. Profil Kesehatan Kabupaten Majene. Majene: Dinas Kesehatan Kabupaten Majene; 2013. 7. Miswar, A. Skreaning dan Studi Epidemiologi Kejadian Penyakit Kusta di Puskesmas Kulisusu Boton Utara [Skripsi]. Kendari: Universitas Haluleo; 2009. 8. Soejoeti, S. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT. Kalbe Farma; 2005. 9. Mukhlis. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Proses Penyembuhan pada Penderita Kusta di Kabupaten Bengkalis Riau [Skripsi]. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara; 2010. 10. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta; Rineka Cipta; 2010. 11. Tzutsumu, Atsuro. The Quality of life Medical Health and Perceived Stigma of Leprocy patiens in Bangladesh. Social Science and Medicine. 2007; 64; 2443-2453. 12. Dali, A. Serologi pada Penderita Kusta dan Kontak Serumah Penderita Kusta di Makassar [Tesis]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2005.
DAFTAR PUSTAKA 1. Listyorini, W. Efektifitas Pelatihan Perawatan Diri Terhadap Dukungan Emosional dan Instrumental Kelarga Penderita Kusta. Soedirman journal of nursing. 2013; 6(2): 1-8. 2. Dwina, R. Hubungan antara Sanitasi Rumah dan Personal Hygiene dengan Kejadian Kusta MB. Unnes Journal of PublicHealth. 2012; 5(2): 1-9. 3. World Health Organization. Global Leprocy Situation. Weekly Epidemiological Record. 2010; 35: 337-348. 4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Cipta press: 2007.
210
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
POLA MAKAN DENGAN KADAR GULA DARAH PASIEN DM TIPE 2 Diet and Blood Sugar Levels of Type 2 DM Patient Andi Mardhiyah Idris, Nurhaedar Jafar, Rahayu Indriasari Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (
[email protected]) ABSTRAK Pola makan yang salah dapat menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola makan dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar. Desain penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan pendekatan studi cross-sectional, dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di wilayah kerja Puskesmas Batua Raya dan Bara-barayya. Populasi penelitian, yaitu rata-rata jumlah pasien yang berkunjung perbulan di Puskesmas Batua Raya dan Bara-barayya, yaitu 67 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel 46 orang. Instrumen penelitian adalah kuesioner identitas diri, food recall 24 jam, food picture, alat pemeriksaan gula darah, nutrisurvey, dan SPSS. Hasil yang diperoleh, pada asupan energi, karbohidrat, dan lemak bermakna dengan nilai p<0,05, yaitu secara berturut-turut 0,012, 0,001, 0,028. Variabel asupan protein nilai p>0,05 yaitu 0,162. Variabel Jenis, gula dan hasil olahannya (p>0,05) yaitu 0,133. Sedangkan variabel sayur dan buah bermakna dengan nilai p 0,000. Variabel jadwal makan nilai p 0,460. Beban glikemik sendiri memiliki hubungan dengan kadar gula darah dibuktikan nilai p<0,05 yaitu, 0,004. Kesimpulan dari penelitian bahwa ada hubungan pola makan dengan kadar gula darah pasien DM tipe 2 wilayah kerja puskesmas Kota Makassar Tahun 2014. Kata kunci : Pola makan, diabetes, gula darah ABSTRACT The wrong diet can cause increases in blood sugar levels in patients with type 2 diabetes mellitus. This research aims to identify the relation betweendiet andblood sugar levels of type 2 diabetes mellitus patients in the Makassar City Health Center Service Area. The research design used was the analytical survey with cross sectional study approach, which was carried out in April-May 2014 in the Batua Raya and Bara-barayya Health Center Service Area. The population of this research was the average total of visitors each month in the Batua Raya and Bara-barayya Health Center which was 67 people. Samples were selected using the purposive sampling method, with the number of samples of 46 people. Research instruments wereidentity questionnaires, the 24-hour food recall, food picture, blood sugar tester, nutrisurvey and SPSS. The results obtained were: on the intake of energy, carbohydrates, and fats are meaningful with a value of p<0.05 withp=0,012, p=0,001, and p= 0,028 respectively. While the value of protein intake was p>0,05 was 0,162. Type, sugar and processed product variables (p>0,05) was 0,133. While the vegetable and fruit was meaningful with the value p=0,000. For the eating schedule variable the value of p=0,460. The glycemic load itself correlates with blood sugar levels verified by the p<0,05 was p=0,004. The implications of this research was there is a relationship between diet and blood sugar levels of type 2 DM patients in the Makassar City Health Care Service Areain 2014. Keywords : Diet, type 2 DM, blood sugar
211
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
PENDAHULUAN
Jika dilihat berdasarkan jumlah kasus DM per kecamatan pada tahun 2012, didapatkan lima kecamatan yang memiliki angka kejadian DM tertinggi, yaitu Kecamatan Makassar dengan 1076 kasus, Kecamatan Tamalate dengan 910 kasus, Kecamatan Biring Kanaya dengan 700 kasus, Kecamatan Panakukang dengan 550 kasus dan Kecamatan Manggala dengan 500 kasus.3 Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kadar glukosa darah pasien rawat jalan DM tipe 2 di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar tahun 2014.
Menurut WHO, Indonesia masuk ke dalam sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes mellitus terbanyak di dunia. Indonesia berada pada peringkat ke empat pada tahun 2000 dengan jumlah kasus sebesar 8,4 juta orang dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta orang.1 International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa prevalensi DM di dunia adalah 1,9% pada seluruh kelompok umur, yaitu sekitar 194 juta penduduk dan pada tahun 2006 terdapat 246 juta penduduk dunia yang menderita DM dengan prevalensi 6% pada semua kelompok umur. Ancaman diabetes mellitus (DM) terus membayangi kehidupan masyarakat. Sekitar 12%-20% penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit ini dan setiap sepuluh detik di dunia orang meninggal akibat komplikasi yang ditimbulkan. Diperkirakan sebanyak 171 juta orang di dunia menderita diabetes mellitus pada tahun 2000 dan akan meningkat menjadi 366 juta pada tahun 2030. Pada tahun 2003, IDF menyatakan bahwa prevalensi DM di dunia adalah 1,9% pada seluruh kelompok umur, yaitu sekitar 194 juta penduduk dan pada tahun 2006 terdapat 246 juta penduduk dunia yang menderita DM dengan prevalensi 6% pada semua kelompok umur. Prevalensi nasional penyakit diabetes melitus 2007 adalah 5,7%, menempati urutan ke 6 penyebab kematian pada semua umur dan menempati urutan ke 3 penyakit tidak menular pada semua umur. Prevalensi penyakit diabetes mellitus di Sulawesi Selatan juga mencapai 4,6%. Prevalensi penderita diabetes mellitus meningkat dengan bertambahnya usia, tetapi cenderung menurun kembali setelah usia 64 tahun. Prevalensi DM menurut jenis kelamin didapatkan pada perempuan (6,4%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (4,9%), menurut tingkat pendidikan prevalensi DM paling tinggi pada kelompok tidak sekolah (8,9%) dan tidak tamat SD (8,0%). Ditinjau dari segi pekerjaan, prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok ibu rumah tangga (7,0%) dan tidak bekerja (6,9%) diikuti pegawai dan wiraswasta yang masing-masing (5,9%). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, prevalensi DM meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran.2
BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan pendekatan studi crosssectional. Lokasi penelitian dilaksanakan di dua lokasi wilayah puskesmas, yakni Puskesmas Batua dan Puskesmas Bara-baraya yang dilaksanakan pada April-awal Mei 2014. Populasi penelitian ini, yaitu rata-rata jumlah pasien yang berkunjung perbulan di Puskesmas Bara-baraya dan Puskesmas Batua, yaitu 67 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dibetes melitus tipe 2 di Puskesmas Batua Raya dan Puskesmas Bara-Baraya kota Makassar yang terpilih sebagai sampel dan bersedia diwawancarai. Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 46 orang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian yang dibutuhkan adalah kuesioner tentang identitas dan karakteristik responden, formulir food recall 3x24 jam, saat pemeriksaan gula darah, food picture, program SPSS, nutrisurvey, tabel glikemik indeks, dan alat tulis menulis. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi identitas dan karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dll), data food recall 3x24 jam, dan data hasil pemeriksaan gula darah kapiler pasien. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data daftar nama pasien penderita DM tipe 2 yang memeriksakan diri, gambaran umum Puskesmas Batua dan Puskesmas BaraBaraya. Analisis data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji pearson chi square dan uji fisher’s exact test. Penyajian data dalam
212
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
bentuk table dan disertai narasi.
kan bahwa ada hubungan asupan energi dengan kontrol kadar gula darah (p<0,05). Untuk asupan karbohidrat sebagian besar, yaitu 78,3% masih kurang dari kebutuhan dan tersebar pada kadar gula darah tidak terkontrol sebesar 88,9% dan 11,1% pada kadar gula darah terkontrol. Hasil analisis uji pearson chi square menunjukkan bahwa asupan karbohidrat memiliki hubungan yang bermakna dengan kontrol kadar gula darah pada pasien diabetes melitus (p<0,05). Tingkat asupan protein sebagian besar pasien yaitu 69,6% kurang dari kebutuhan, hal ini terutama pada pasien yang memiliki kadar gula darah tidak terkontrol sebesar 81,2% dan 18,8% pada kadar gula darah terkontrol, sedangkan dari 13% asupan protein baik sebanyak 16,7% pada pasien dengan kadar gula darah terkontrol dan 83,3% pada pasien de-ngan kadar gula darah tidak terkontrol. Analisis uji pearson chi square menunjukkan bahwa asupan protein tidak berhubungan dengan kontrol kadar gula darah pada pasien diabetes melitus (p>0,05) Hasil pengolahan data konsumsi lemak menunjukkan bahwa mayoritas pasien yang menjadi sampel memiliki asupan lemak yang kurang dan tersebar paling besar pada kadar gula darah tidak terkontrol (87,1%), sedangkan pasien dengan asupan baik juga paling besar berada dalam kategori kadar gula darah tidak terkontrol (62,5%). Analisis uji pearson chi square ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna tingkat asupan lemak dengan kontrol kadar gula darah pada pasien diabetes melitus (p<0,05) (Tabel 2). Konsumsi gula dan hasil olahnya pada sebagian besar pasien, yaitu 69,6% sudah sesuai dengan yang dianjurkan. Pada pasien dengan kadar gula darah terkontrol 31,2% memiliki asupan baik dan 7,1% tidak baik, sedangkan pada pasien dengan kadar gula darah tidak terkontrol 68,8% asupan baik dan 92,9% tidak baik. Hasil analisis uji fisher’s exact test menunjukkan konsumsi bahan makanan jenis gula dan hasil olahnya tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kontrol kadar gula darah (p>0,05). Menurut hasil recall menunjukkan bahwa sebagian besar, yaitu 71,7% memiliki pola konsumsi bahan makanan jenis sayuran tidak baik, yang tersebar sebesar 3,0% pada pasien dengan kadar gula darah terkontrol dan 97,0% pada pasien dengan kadar
HASIL Pasien yang menjadi sampel paling banyak berjenis kelamin perempuan (78,3%). Mayoritas sampel berusia 41-55 tahun, usia ini merupakan kategori dewasa akhir dan lansia, penderita penyakit tidak menular seperti DM tipe 2 banyak diderita pada usia tersebut. Variabel pekerjaan sendiri, terlihat bahwa pasien DM tipe 2 yang menjadi sampel paling banyak tidak bekerja/IRT, sebab dapat dilihat bahwa kebanyakan responden adalah perempuan (78,3%). Variabel pendidikan, terlihat bahwa pasien DM tipe 2 yang menjadi sampel, yaitu mayoritas berlatarbelakang pendidikan SMA (50 %). Adapun variabelstatus gizi pasien DM tipe 2 yang terbanyak terdapat pada status gizi normal (IMT:18-24,44), yaitu 47,8% (Tabel 1). Sebagian besar pasien berada pada asupan energi baik (76,1%) yang tersebar pada kategori kadar gula darah tidak terkontrol sebesar 85,7%. Hasil analisis uji pearson chi square menunjukTabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Sosio Demografi Pasien Rawat Jalan DM Tipe 2 Karakteristik Responden JenisKelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Umur (tahun) 26-40 41-45 56-70 Pekerjaan IRT/TidakBekerja Jasa PegawaiNegeri Wiraswasta Pendidikan SD SMP SMA Diploma/Sarjana Status Gizi Normal Overweight Obesitas
n
%
10 36
21,7 78,3
4 27 15
8,7 58,7 32,6
24 5 9 8
52,2 10,9 19,6 17,4
3 11 23 9
6,5 23,9 50 19,6
22 16 8
47,8 34,8 17,4
Sumber : Data Primer, 2014
213
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
Tabel 2. Hubungan Jumlah Asupan Zat Gizi dengan Kadar Gula Darah Pasien DM Tipe 2 Jumlah Asupan Zat Gizi Energi Kurang Baik Lebih Karbohidrat Kurang Baik Lebih Protein Kurang Baik Lebih Lemak Kurang Baik Lebih
Kadar Gula Darah Terkontrol Tidak Terkontrol n % n %
Total n=46
%
5 3 3
14,3 42,9 75,0
30 4 1
85,7 57,1 25,0
35 7 4
76,1 15,2 8,7
4 5 2
11,1 71,4 66,7
32 2 1
88,9 28,6 33,3
36 7 3
78,3 15,2 6,5
6 1 4
18,8 16,7 50,0
26 5 4
81,2 83,3 50,0
32 6 8
69,6 13,0 17,4
4 3 4
12,9 37,5 57,1
27 5 3
87,1 62,5 42,9
31 8 7
67,4 17,4 15,2
Sumber : Data Primer, 2014
gula darah tidak terkontrol. Hal ini membuktikan berdasarkan analisis uji fisher’s exact test menunjukkan ada hubungan konsumsi sayuran dengan kontrol kadar gula darah (p<0,05). Hasil pengumpulan data konsumsi buah dapat dijelaskan bahwa sebagian besar mengonsumsi buah dengan porsi yang tidak baik yaitu 65,2%. Pada pasien yang memiliki kadar gula darah terkontrol sebesar 68,8% dengan porsi baik dan 0,0% dengan porsi tidak baik. Secara keseluruhan pasien dengan konsumsi porsi buah yang baik berada pada gula darah terkontrol (100%). Analisis uji fisher’s exact test menunjukkan bahwa konsumsi buah memiliki hubungan dengan kontrol kadar gula darah (p<0,05) (Tabel 3). Hasil pengumpulan data jadwal makan diketahui bahwa sebesar 69,6% termasuk baik. Adapun pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol 85,7% pada jarak antar waktu makan yang tidak baik, analisis uji fisher’s exact test diketahui bahwa jarak antar waktu makan tidak memiliki hubungan dengan kadar gula darah (p>0,05) (Tabel 3). Hasil pengolahan data recall diperoleh bahwa sebesar 50,0% termasuk baik dan 50% termasuk tidak baik (kurang dan lebih). Adapun pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol paling besar 95,7% pada konsumsi
makanan dengan beban glikemik yang tidak baik, jadi pada analisis uji fisher’s exact test dapat diketahui bahwa beban glikemik indeks makanan pasien memiliki hubungan dengan kadar gula darah (p<0,05) (Tabel 3).
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar, yaitu 85,7% pengidap dengan tingkat asupan energi kurang memiliki kadar glukosa darah tidak terkontrol sedangkan yang asupan energi baik sesuai kebutuhan 42,9% glukosa darah terkontrol, hasil uji pearson chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna asupan energi dengan pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap diabetes melitus. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, kecenderungan asupan energi yang kurang terhadap kadar gula darah yang tidak terkontrol. Masih ada banyak faktor yang menyebabkan kadar gula darah tidak terkontrol pada pasien diabetes melitus tipe 2 seperti keturunan, kurang berolahraga, kegemukan, penuaan sel, dll. Hasil penelitian membuktikan bahwa pasien DM tipe 2 yang memiliki asupan karbohidrat kurang dari kebutuhan cenderung tidak mampu melakukan kontrol kadar gula darah
214
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
Tabel 3. Hubungan Konsumsi Jenis Makanan, Jarak Waktu Makan, Beban Glikemik dengan Kadar Gula Darah Pasien DM Tipe 2 Variabel Gula dan olahannya Baik Tidak Baik Porsi Sayur Baik Tidak Baik Porsi Buah Baik Tidak Baik Jarak Waktu Makan Baik Tidak Baik Beban Glikemik Baik Tidak Baik
Kadar Gula Darah Terkontrol Tidak Terkontrol n % n %
Total
p
n=46
%
10 1
31,2 7,1
22 13
68,8 92,9
32 14
69,6 30,4
0,133
10 1
76,9 3,0
3 32
76,1 23,1
13 34
28,3 71,7
0,000
11 0
68,8 0,0
5 30
76,1 31,2
16 30
34,8 65,2
0,000
9 2
28,1 14,3
23 12
71,9 85,7
32 14
69,6 30,4
0,460
10 1
43,5 4,3
13 22
56,5 95,7
23 23
50,0 50,0
0,004
Sumber : Data Primer, 2014
dibandingkan dengan pasien yang asupan karbohidratnya sesuai kebutuhan, dan hasil uji pearson chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna jumlah asupan karbohidrat dengan kontrol kadar gula darah. Jumlah karbohidrat yang dikonsumsi dari makanan utama dan selingan lebih penting daripada sumber karbohidrat tersebut. Hal ini disebabkan jumlah karbohidrat yang dikonsumsi dari makanan utama dan selingan mempengaruhi kadar gula darah dan sekresi insulin. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Samaha dkk, menyatakan bahwa pengurangan asupan karbohidrat dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada individu sehat dan penurunan kadar gula darah puasa pada pasien DM tipe 2.4 Secara teori, tidak terkontrolnya kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 yang asupan karbohidratnya melebihi kebutuhan disebabkan oleh tingginya pembentukan gula yang bersumber dari karbohidrat dan rendahnya reseptor insulin, seperti yang diungkapkan oleh Edgren, bahwa pada pasien DM tipe 2, jumlah insulin bisa normal atau lebih, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel yang kurang.5 Hasil penelitian pada pasien diabetes melitus tipe 2 diketahui bahwa sebesar 69,6% pasien dengan konsumsi protein kurang sebagian besar
yaitu 81,2% memiliki kadar gula darah tidak terkontrol dibandingkan pasien yang memiliki kadar gula darah terkontrol 18,8%. Hasil uji pearson chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara asupan protein dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2. Defisiensi asam amino esensial akan melemahkan kinerja sel yang bertugas memproses gula. Selain itu, proses penyembuhan akan berlangsung lama karena ketiadaan asam amino penting yang diperlukan tubuh untuk meregenerasi sel yang rusak akibat level gula darah yang tinggi. Selain itu, defisiensi asam amino terutama sistein dan taurin menyebabkan peningkatan level insulin terkait dengan stres yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya asam amino yang bekerja sebagai neurotransmitter di otak.6 Tidak adanya hubungan yang bermakna tingkat asupan protein dengan kontrol kadar gula darah dikarenakan fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak. Protein akan digunakan sebagai sumber energi apabila ketersediaan energi dari sumber lain yaitu karbohidrat dan lemak tidak mencukupi melalui proses glikoneogenesis.7 Pada penelitian ini diketahui pada pasien yang memiliki asupan lemak sesuai dengan kebutuhan sebagian besar memiliki kadar gula darah
215
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
tangga lebih banyak bersantai di siang hari hingga petang setelah masak, berolahraga secara teratur dapat mengoptimalkan penggunaan energi dalam tubuh dan mencegah kelebihan energi tersimpan sebagai lemak. Olahraga pun dapat melancarkan peredaran darah dan meningkatkan sensitivitas insulin. Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral dan serat. Serat makanan adalah merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar, serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida, lignin dan bagian tanaman lainnya, secara fisis serat dapat dijumpai dalam 2 bentuk, yaitu yang larut dan tidak larut air.9 Hasil penelitian menunjukkan sebagian pasien DM tipe 2 dengan kadar gula darah tidak terkontrol memiliki tingkat konsumsi sayuran yang tidak baik dari kebutuhan yaitu sebesar 97,1% dan hanya 2,9% pada pasien yang kadar gula darah terkontrol. Uji fisher’s exact test menyatakan ada hubungan yang bermakna konsumsi sayuran dengan kontrol kadar gula darah. Adanya hubungan konsumsi sayuran dengan kontrol kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 dapat dijelaskan bahwa dengan konsumsi serat sesuai kebutuhan dapat menimbulkan rasa kenyang akibat masuknya karbohidrat komplek yang menyebabkan menurunnya selera makan dan akhirnya menurunkan konsumsi makan, disamping itu serat juga mengandung kalori rendah sehingga dapat menurunkan kadar gula darah dan lemak dalam tubuh.9 Hasil pengumpulan data konsumsi buah dapat dijelaskan pasien yang memiliki kadar gula darah terkontrol sebagian besar mengonsumsi buah baik, yaitu 68,8%, sedangkan pada pasien dengan kadar gula darah tidak terkontrol semua termasuk dalam kelompok konsumsi buah kurang baik, yaitu 100,0%. Seperti yang dinyatakan oleh Waspadji, et al, bahwa faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi kenaikan kadar gula darah adalah kandungan serat, adanya zat anti nutrien, bentuk fisis, pemasakan, keadaan dan besar partikel pada pati, protein dan adanya interaksi antara protein dan zat pati. Bila dibandingkan dengan bahan makanan tinggi serat lain buah-buahan me-
tidak terkontrol, yaitu sebanyak 62,5%, hal tersebut dikarenakan walaupun asupan lemak baik namun asupan energi lebih dari kebutuhan yang bersumber dari karbohidrat dan beban glikemik. Tubuh membutuhkan lemak esensial guna kelangsungan fungsi sel dan berbagai aktivitas biologi di dalam tubuh. Lemak esensial terdiri dari omega 3, omega 6, dan omega 9. Semua lemak esensial memang penting, tetapi kecukupan omega 3 harus mendapat perhatian yang serius bagi pengidap diabetes. Omega 3 memiliki fungsi khusus terkait dengan perannya untuk meningkatkan sensitivitas insulin yang diperlukan oleh penderita diabetes tipe 2. Salah satu pemicu kegagalan sel dalam memproses gula adalah akibat peradangan. Peradangan terjadi karena banyak penyebab. Salah satu penyebab peradangan yang perlu diwaspadai adalah lemak buruk. Lemak trans merupakan lemak terburuk yang tidak boleh dikonsumsi meski hanya dalam jumlah yang sedikit.6 Sutanto, mengemukakan bahwa orang denganberatbadanberlebih memiliki resiko lebih tinggi mengalami resisten insulin, karena lemak mengganggu kemampuan sel-sel tubuh untuk menggunakan insulin. Namun, tidak menutup kemungkinan orang yang berbadan kurus juga bisa terserang diabetes tipe ini.8 Gula bisa menjadi racun jika melebihi 8 sendok sehari (gula murni). Makin sederhana struktur gulanya, makin mudah diserap oleh tubuh, sehingga lebih cepat menaikkan kadar gula dalam darah.8 Hasil pengolahan data food recall menunjukkan bahwa sebagian besar pasien termasuk dalam kelompok baik yaitu 69,6%, tetapi lebih banyak dalam kelompok gula darah tidak terkontrol, yaitu 68,8% dan 31,2% pada gula darah tidak terkontrol. Berdasarkan uji fisher’s exact test menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi gula dan hasil olahannya terhadap kadar gula darah. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada karena kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes tidak hanya disebabkan konsumsi gula berlebih tetapi juga oleh gaya hidup yang kurang sehat. Tingginya asupan lemak, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik pun dapat menyebabkan tidak terkontrolnya kadar gula dalam darah. Sebagian besar pasien yang berprofesi sebagai ibu rumah
216
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
miliki indeks glikemik relatif lebih rendah setelah kacang-kacangan, yaitu 50,0%, biji-bijian 60,0%, sayuran 65,0%, sedangkan kacang-kacangan hanya 31,0%.10 Hal tersebut dapat disebabkan selain memiliki indeks glikemik yang relatif rendah buah-buahan juga mengandung serat yang cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan perasaan kenyang dan puas yang membantu mengendalikan nafsu makan dan menghindari intake energi yang berlebihan,13 sehingga dapat dijelaskan bahwa pada pasien yang mengkonsumsi buah dalam jumlah yang kurang akan cenderung memiliki intake energi yang melebihi kebutuhan karena pasien DM cenderung merasa lapar akibat selsel yang kekurangan gula. Hal ini didukung oleh Gropper, bahwa gel dapat memperlambat gerak peristaltik zat gizi (gula darah) dari dinding usus halus menuju daerah penyerapan sehingga terjadi penurunan kadar gula darah.14 Hasil penelitian ini diketahui bahwa 69,6% pasien DM tipe 2 mempunyai jarak waktu makan sesuai dengan yang dianjurkan, yaitu 2,5-3,5 jam. Namun, terdapat 71,9% yang memiliki kadar gula darah tidak terkontrol, dari hasil uji fisher’s exact test juga menunjukkan jarak antar waktu makan tidak berhubungan secara nyata dengan kontrol kadar gula darah. Tidak adanya hubungan jarak antar waktu makan dengan kontrol kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 dapat disebabkan oleh jadwal makan yang baik tidak diikuti dengan jumlah porsi makanan yang dianjurkan, hal ini mengakibatkan asupan zat gizi seperti energi, karbohidrat dan lemak tidak sesuai dengan kebutuhan.9 Hal tersebut didukung oleh Jazilah yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa pasien DM yang melaksanakan pengelolaan DM dengan baik, termasuk dalam hal pengaturan makan yang sesuai dengan anjuran akan dapat mengendalikan kadar gula darah.11 Cepat lambatnya suatu karbohidrat meningkatkan kadar gula darah tergantung pada indeks glikemik yang dimiliki. Karbohidrat yang berindeks glikemik tinggi bereaksi cepat, sehingga menyebabkan kenaikan kadar gula darah. Sebaliknya yang berindeks glikemik rendah bereaksi lambat terhadap peningkatan kadar gula darah.6 Makanan dengan beban glikemik rendah akan menurunkan laju penyerapan gula darah dan
menekan sekresi hormon insulin pankreas sehingga tidak terjadi lonjakan kadar gula darah.15 Hasil penelitian ini menunjukkan pasien dengan jumlah beban glikemik baik sama dengan jumlah beban glikemik tidak baik, yaitu masing-masing 50%. Namun, pada jumlah beban glikemik tidak baik menunjukkan kelompok kadar gula darah pasien tidak terkontrol yang paling besar, yaitu 95,7%. Berdasarkan hasil uji fisher’s exact test menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jumlah beban glikemik makanan dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2. Hal ini sesuai dengan penelitian Qurratuaini, bahwa jumlah indeks glikemik seseorang yang sedang menderita diabetes memiliki hubungan secara langsung dengan kadar gula darah.13
KESIMPULAN DAN SARAN Asupan energi, karbohidrat, dan lemak yang kurang berhubungan dengan tidak terkontrolnya kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 sedangkan asupan protein tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Konsumsi jenis bahan makanan gula dan hasil olahannya tidak berhubungan dengan kadar gula darah pasien diabetes melitus tipe 2, sedangkan konsumsi sayuran dan buah yang tidak baik berhubungan dengan tidak terkontrolnya kadar guladarah pada pasien diabetes melitus tipe 2. Jadwal makan pada pasien diabetes melitus tipe 2 tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Jumlah beban glikemik makanan yang tidak baik berhubungan dengan tidak terkontrolnya kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kontrol gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2 seperti hubungannya dengan usia sel, faktor stress, obesitas sentral, asupan zak gizi mikro, dll.Kepada pengidap diabetes melitus tipe 2 agar memperhatikan pola makan terutama berkaitan dengan asupan energi, karbohidrat dan lemak serta konsumsi gula dan hasil olahnya, sayuran dan buah.
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Prevalention of Diabetes Mellitus.
217
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
Report of Joint WHO/FAO Expert Consultation; 2007 [diakses 5November 2013]; Avaible at:http://www.who.int/diabetes/en. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Laporan Provinsi Sulawesi Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012; 2013. Arora SK, Mc Farlane SI. The Case For Low Carbohydratediets in Diabetes Management. Nutr & Metab.2005;16(2):187-194. Edgren,A.R. Diabetes Mellitus, Health Sites, Inc.653 West 23rd Street; Panama City. 2004; 3(2) 41-53. Lingga L. Bebas Diabetes Tipe-2 Tanpa Obat Jakarta: AgroMedia Pustaka; 2012. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2009. Sutanto T. Diabetes Deteksi, Pencegahan, Pengobatan. Yogyakarta: Buku Pintar; 2013. Juleka. Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pengidap Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Di RSU Gunung Jati Cirebon [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2005.
10. Waspadji, al e. Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia; 2003. 11. Jazilah. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik(PSP)Penderita Diabetes Melitus Mengenai Pengelolaan DiabetesMelitus dengan Kendali Kadar Glukosa Darah [Tesis];Yogyakarta: Program Studi IlmuKesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada; 2002. 12. Soegondo, S. Pradona, S. Gatut, S. Suharko, S. The Status ofDiabetes Control in Indonesia : A National Edit Of Patients With Type 2 Diabetes Mellitus in The Year 2001. 2003;53 (6): 283 – 289. 13. Qurratuaeni. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terkendalinya Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta; 2009. 14. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advance Nutrition and Human Metabolism. 4th ed. Australia: ThomsonWadsworth. 2005; 7283,108-19. 15. Willet WC, Manson J, Liu S. Glycemic Index, Glycemicload and Risk of Type 2 Diabetes. Am S Clin Nutr. 2005; 76(1):274S-80S.
218
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 219-226
INTERAKSI SOSIAL PEKERJA ANAK TERHADAP PENGGUNAAN ZAT ADIKTIF The Relationship Between Social Interaction and the Use of Addictive Subtances Musyarrafah Hamdani, Arsyad Rahman Bagian PKIP Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (
[email protected]) ABSTRAK Pekerja anak berisiko untuk menghadapi lingkungan kerja yang dapat memengaruhi perilaku mereka dalam interaksi sosial.Salah satunya adalah penggunaan zat adiktif. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran interaksi sosial pekerja anak terhadap penggunaan zat adiktif di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. Jenis penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Informan penelitian adalah pekerja anak dan dewasa. Penentuan informan menggunakan metode purposive sampling diperoleh informan sebelas orang. Keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber dan teknik. Analisis data menggunakan content analysis yang disajikan secara naratif. Hasil penelitian menunjukkan semua informan menggunakan zat adiktif dengan jenis dan jumlah yang berbeda, yakni rokok, alkohol, zat inhalan (lem Fox), dan Somadril. Ada kerjasama yang dilakukan informan dalam penggunaan zat adiktif, yakni mengajak dan mengajari. Namun, perbedaan jenis dan jumlah yang digunakan mengharuskan informan untuk menyesuaikan diri dengan cara menghindari teman. Selain itu, informan juga melakukan usaha agar diakui dalam penggunaan zat adiktif yang kadang menimbulkan respon negatif dan konflik sesama pekerja anak. Kesimpulan penelitian adalah pekerja anak melakukan interaksi sosial yang beragam terkait penggunaan zat adiktif. Kata kunci : Interaksi, pekerja anak, zat adiktif ABSTRACT Child labourers risk facing occupational environments that could affect their behavior in social interactions. One example is the useof addictive substances. This study aims to understand the relationship between social interactions and the use of addictive substances by child labourers in Soekarno Hatta Port Makassar. The type of study conducted was a qualitative research with a phenomenology design. Informants in this study were child and adult labourers. This study used the purposive sampling method which came up with eleven informants. The validity of data used source and technique triangulation. Data analysis used content analysis with narrative submission. The results show that all informants were using addictive substances with differing types and amount, such as cigarettes, alcohol, inhalant (Fox glue) and Somadril. Informants cooperated in the use of addictive substances, such as persuading and teaching. However, the different types and amount of addictive substances used requires the informants to adapt by avoiding friends. In addition, informants also made efforts to be recognized in using adidictive substances which sometimes caused negative respons and conflict between child labourers. This study concludes that child labourers carry out different social interactionsinrelation to using addictive substances. Keywords : Interaction, child labourers, addictive substances
219
Musyarrafah Hamdani : Interaksi Sosial Pekerja Anak terhadap Penggunaan Zat Adiktif
PENDAHULUAN
pai 1,2 juta orang.8 Selain itu, menurut Tamrin, pola konsumsi narkoba pada anak jalanan tahun 2004 yang pernah pakai lem Aica, Aibon, dan UHU, yaitu (4,0%) kemudian meningkat menjadi (4,8%) pada tahun 2008. 9 Semua sektor lapangan pekerjaan, baik formal maupun informal, dengan mudah dapat ditemui pekerja anak. Namun, sejumlah besar anak memilih bekerja di sektor informal. Keberadaan pekerja anak pun bukan lagi merupakan hal langka. Pekerja anak telah menyebar di berbagai tempat umum, salah satunya pelabuhan. Hal tersebut sejalan dengan hasil observasi awal yang telah dilakukan di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar pada 14 Desember 2013. Banyak pekerja anak yang ditemui dengan beragam profesi, seperti pedagang asongan, penjual manisan, dan penjual jalangkote. Adapula pekerja anak yang ditemui sedang menggunakan zat adiktif, yaitu rokok dan zat inhalan (lem Fox). Penelitian ini bertujuan mengetahui interaksi sosial pekerja anak terhadap penggunaan zat adiktif di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar.
Ketenagakerjaan merupakan salah satu bidang yang masih memiliki beberapa masalah, salah satunya keberadaan pekerja anak. International Labour Organization pada tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah anak-anak kelompok usia 5 sampai dengan 17 tahun yang diklasifikasikan bekerja 306 juta anak secara global dan (70%) dari total jumlah tersebut merupakan pekerja anak. Persentase paling tinggi berada di Asia dan Pasifiksekitar (53%).1 Menurut United Nations International Children’s Emergency tahun 2012, Indonesia memiliki sekitar 4 juta anak yang terlibat sebagai pekerja dan 2 juta anak bekerja dalam kondisi berbahaya.2 Menurut Daniel, ada sekitar 700 anak yang bekerja sebagai buruh kasar dan pengemis pada tahun 2010 di Makassar.3 Aturan hukum yang mengatur masalah pekerja anak sebenarnya telah ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merumuskan bahwa anak berumur di bawah 18 tahun diperbolehkan bekerja dengan syarat izin orang tua dan maksimal bekerja selama 3 jam sehari.4 Namun, penelitian Nandi menunjukkan bahwa beberapa pekerja anak telah mendapat dukungan orang tua, bahkan ada yang tidak memiliki orang tua dan tempat tinggal.5 Masalah pekerja anak bukan hanya merupakan masalah di bidang sosial dan ekonomi, melainkan juga masalah di bidang kesehatan. Triwardhani mengatakan bahwa pekerja anak terancam menghadapi lingkungan yang berisiko bagi tumbuh kembang dan kesehatan fisik, mental, maupun sosial mereka. Lingkungan kerja berisiko bagi anak karena usiayang masih di bawah umur menyebabkan anak cenderung mudah meniru sesuatu yang dilakukan dan ditampilkan oleh pekerja dewasa lain. Sehingga, kadang ada pekerja anak yang bersikap dan berbicara seperti orang dewasa.6 Menurut Ajisuksmo, pekerja anak menjadi terbiasa dengan gaya hidup berisiko dan melakukan aktivitas kehidupan yang keras, seperti berkelahi dan pengeroyokan, menggunakan senjata tajam, pemerasan, merokok, mengonsumsi narkoba, serta melakukan seks berisiko.7 Hasil penelitian Muliarta menunjukkan bahwa pada tahun 2008 hingga 2012 jumlah perokok anak usia 10 sampai dengan 14 tahun menca-
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi yang dilaksanakan pada 7 Maret sampai 26 April 2014 di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. Informan dalam penelitian ini adalah 10 pekerja anak berusia di bawah 18 tahun dan 1 pekerja dewasa usia 41 tahun yang dianggap sebagai ketua asongan di lokasi penelitian. Metode yang digunakan untuk penentuan informan adalah purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi. Keabsahan data dilakukan dengan triangulasi teknik dan sumber. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan content analysis dan disajikan dalam bentuk narasi.
HASIL Informan dalam penelitian adalah pekerja anak dan pekerja dewasa yang dianggap sebagai ketua asongan di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. Jumlah informan yang diwawancarai adalah 10 orang berjenis kelamin laki-laki dan 1
220
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 219-226
orang berjenis kelamin perempuan. Rata-rata usia informan adalah 15 tahun dengan usia tertinggi 41 tahun dan terendah 12 tahun. Berdasarkan status pendidikan 5 orang tidak tamatSD, 2 orang tamat SD, 2 orang tamat SMP, 1 orang masih SD, dan 1 orang masih SMP. Semua informan menggunakan zat adiktif dengan jumlah dan jenis yang berbeda. Semua informan adalah perokok, tetapi tidak semua informan menggunakan alkohol, zat inhalan, dan Somadril. Namun, beberapa informan mengaku bahwa sudah mengurangi frekuensi penggunaan zat adiktif tertentu. Keputusan tersebut dilakukan karena adanya ancaman yang dirasakan informan. IPN berhenti menggunakan zat adiktif jenis zat inhalan (lem Fox) karena merasakan gejala sakit dan didukung oleh pengetahuan bahaya akibat zat inhalan. Namun, pendapat tersebut tidak berlaku untuk zat adiktif jenis rokok. Ia sebenarnya mengetahui bahwa rokok dapat menyebabkan kematian, tetapi tetap dikomsumsi dengan alasan zat ini tidak menyebabkan mabuk, seperti zat adiktif lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan tentang bahaya zat adiktif tidak selalu berpengaruh selama efek bahaya zat adiktif tersebut tidak dirasakan dalam waktu singkat. Berikut kutipan wawancaranya :
nya adalah ajakan teman untuk menggunakan zat adiktif. Namun,tidak jarang ajakan tersebut mengandung unsur kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. Kekerasan verbal berupa ejekan atau cemoohan, sedangkan kekerasan nonverbal, misalnya memukul. OCH mengaku bahwa ia merokok disebabkan oleh adanya kekerasan nonverbal yang dialami dari teman-temannya. Berikut kutipan wawancaranya :
“…Dulu ngelem, tapi berhenti karena selalu sakit dadaku. Nanti bocor paru-paru. Banyak orang mati gara-gara ngelem. Saya liat di televisi toh.Lebih enak merokok. Merokok mati, tidak merokok mati, lebih baik merokok sampe mati.Rokok tidak bikin mabok kalo ballo (jenis minuman beralkohol) bikin mabok.” (IPN, 13 tahun, 12 Maret 2014)
“Saya merokok umur 12 tahun untuk hilangkan pusing, hilangkanpikiran.Saya minum obat sudah lama karena katanya bisa kuat cari uang.Kita berani kalo manjat tali. Kan biasa itu di bawah dijaga polisi, di atas juga dijaga polisi, kalo kita didapat, kita dipukul, kita bisa berani hadapi kalo minum Somad…” (AMB, 15 tahun, Pekerja Anak, 23 Maret 2014)
“…Temanku ajak saya merokok. Dia paksa saya. Kalo tidak mau merokok, saya dipukul…” (OCH, 12 tahun, Pekerja Anak, 12 Maret 2014) Efek postif yang dirasakan informan juga menjadi alasan zat adiktif digunakan. Pekerjaan sebagai pedagang asongan di atas kapal dianggap ilegal oleh petugas pelabuhan, sehingga memaksa mereka naik ke atas kapal dengan memanjat tali jangkar. AMB mengaku bahwa menggunakan zat adiktif membuatnya merasa berani menghadapi petugas dan tidak merasa sakit pada pangkal paha yang bergesekan dengan permukaan tali. Selain itu, zat adiktif juga membantunya untuk mengatasi stres yang dialami. Berikut kutipan wawancaranya :
Informan melakukan kerjasama dengan pekerja lain mulai dari proses menggunakan, cara memperoleh, hingga cara mengonsumsi terkait penggunaan zat adiktif. Pada saat wawancara mendalam, informan mengungkapkan proses yang dialami, sehingga menggunakan zat adiktif. Alasan yang diungkapkan informan adalah adanya pengaruh dari teman, namun bentuk dari pengaruh tersebut berbeda-beda. Informan tanpa sadar telah melakukan suatu bentuk kerjasama dalam proses saling memengaruhi, salah satu-
Informan memperoleh zat adiktif dengan caramembeli di pedagang asongan lain, warung, atau toko di sekitar pelabuhan. Uang untuk membeli tersebut diperoleh dari hasil bekerja sebagai pedagang asongan di atas kapal. IPN mengungkapkan bahwa ia akan meminta zat adiktif pada siapa pun, baik itu teman sebaya, pekerja dewasa, penumpang, atau petugas pelabuhan jika tidak memiliki uang. Hal ini menunjukkan bahwa ada unsur kerjasama yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan zat adiktif. Berikut kutipan wawan-
221
Musyarrafah Hamdani : Interaksi Sosial Pekerja Anak terhadap Penggunaan Zat Adiktif
caranya :
AZ sebagai pengguna rokok, alkohol, dan zat inhalan mengatakan bahwa ia justru akan mengajak teman untuk menggunakan zat adiktif jika merasa teman tersebut menghindarinya. Namun, dalam ajakan tersebut sama sekali tidak ada unsur paksaan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam interaksi sosial pekerja anak terdapat unsur saling menghargai dengan tidak memaksakan kehendak masing-masing. Berikut kutipan wawancaranya :
“…Kalo tidak ada uang, minta-minta sama orang, penumpang kah penjual. Begitu ji kalo asongan di sini…” (IPN, 13 tahun, Pekerja Anak, 12 Maret 2014) Jenis alkohol yang sering disebutkan informan dalam penelitian adalah ballo dan Topi Roja. Kedua minuman alkohol tersebut memiliki harga yang berbeda. Topi Roja memiliki harga yang lebih mahal daripada ballo sehingga IRW mengatakan bahwa mereka harus mengumpulkan uang bersama dengan teman yang lain untuk mengonsumsinya. Berikut kutipan wawancaranya :
“Umpama juga kita liat dia, dia menghindar toh, jadi kita panggil dia. Biasa mau, biasa tidak mau.Biasa juga kita ajak dia, seperti Paldi itu, berapa kali ku ajak isap lem, dia nda mau. Tapi tetap juga akrab sama itu Paldi sampe sekarang…” (AZ, 15 tahun, 12 Maret 2014)
“…Kalo lem sama Topi Roja itu dapat dari teman hasil kumpul uang, 26 ribu satu botol di Pasar Ciduk.” (IRW, 15 tahun, 29 Maret 2014)
Dalam penggunaan zat adiktif, informan juga melakukan usaha tertentu agar diakui oleh lingkungannya. Ada beragam usaha yang diungkapkan oleh informan untuk mendapatkan pengakuan tertentu. PLD mengatakan bahwa ada beberapa carauntuk diakui dalam konsumsi alkohol, yaitu tidak mudah mabuk, meminum merk alkohol tertentu, dan minum segelas alkohol dalam satu kali teguk. Berikut kutipan wawancaranya :
Informan juga melakukan kerjasama pada saat mengonsumsi zat adiktif. AZ mengungkapkan bahwa mengonsumsi zat adiktif jenis zat inhalan secara beramai-ramai dengan mengumpulkan uang masing-masing untuk membeli zat tersebut, kemudian dibagi rata dan dikonsumsi bersama. Berikut kutipan wawancaranya : “Kalo lem rame-rame. Contoh ada lima plastik, satu lem, dibagi-bagi. Kita bagibagi, sedikit-sedikit…” (AZ, 15 tahun, 12 Maret 2014)
“Tidak pernah, merokok, merokok biasa saja.Kalo minum itu kalo banyak kau minum baru tidak mabuk itu baru dibilang kassa (jago). Di anggotaku kalo dibilang kassa (jago) minum kalo ada minuman keras yang lainnya tidak bisa minum, dia minum, misalnya cetek (Cap Tikus; merk minuman beralkohol). Ada juga kalo minum dia cancang seperti dibilang minum air putih.” (PLD, 12 tahun, 23 Maret 2014)
Cara penyesuaian diri informan untuk menghadapi masalah yang terjadi dalam interaksi sosial terhadap penggunaan zat adiktif berbedabeda. Salah satunya diungkapkan oleh PLD bahwa ia memilih tidak peduli dan tidak terpengaruh saat teman lain menggunakan zat adiktif jenis alkohol. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis dan jumlah zat adiktif tidak selalu dihadapi informan dengan ikut menggunakan zat tersebut. Berikut kutipan wawancaranya :
ISM sebagai pengguna zat inhalan mengungkapkan bahwa pengakuan akan diperoleh jika mengisap inhalan (lem Fox) dalam jumlah banyak melebihi orang di sekitarnya. Jumlah tersebut akan terus ditambah hingga tidak ada lagi yang bisa menyamainya. Jadi, bentuk persaingan ditunjukkan informan melalui usaha-usaha dalam memperoleh pengakuan terkait penggunaan zat adiktif. Berikut kutipan wawancaranya :
“…Minum-minum kau saja toh, kita cerita-cerita. Yang lain minum, kita duduk saja toh, tapi tidak melakukan…” (PLD, 12 tahun, 23 Maret 2014)
222
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 219-226
“Itu dibilang jago kalo dia isap lem sampai full (penuh) plastik esnya lem, tidak mau dituruti. Kalo ada lagi yang turuti, dia cari lagi plastik yang lebih besar...” (ISM, 15 tahun, 23 Maret 2014)
gam. OCH yang mengungkapkan bahwa konflik kadang terjadi karena pengaruh mabuk dari efek penggunaan zat adiktif jenis zat inhalan (lem Fox). Berikut kutipan wawancaranya : “Biasa di sini orang berkelahi gara-gara mabuk.Kalo anak-anak berkelahi gara-gara mabuk karna isap lem, tapi kita di sini, kalo teman tidak pernah berkelahi.” (OCH, 12 tahun, 12 Maret 2014)
Jenis dan jumlah zat adiktif yang digunakan informan berbeda-beda, sehingga kadang informan menerima respon negatif dari lingkungannya, berupa sindiran, paksaan, ancaman, atau pengucilan. PLD mengaku bahwa respon negatif ia dapatkan pada saat belum merokok. Teman-teman di sekitarnya memberikan respon negatif berupa ejekan yang menyebabkannya merokok. Berikut kutipan wawancaranya :
Penyebab lain dari konflik yang terjadi dalam interaksi sosial pekerja anak adalah adanya kecemburuan sosial terkait penggunaan zat adiktif. Hal ini diungkapkan oleh AZ bahwa konflik pernah ia alami karena kesal dengan teman yang tidak membagi rata zat inhalan yang dibeli. Berikut kutipan wawancaranya :
“…Waktu belum merokok toh saya dibilangi bencong sama teman-temanku, jadi saya merokok…” (PLD, 12 tahun, 23 Maret 2014)
“Pernah, masa saya beli (lem Fox), dia dapat semua, saya tidak dapat.Pernah juga ada teman toh, dia sudah isap lem tiga kaleng, baru saya minta sedikit, tapi dia tidak mau.” (AZ, 15 tahun, 12 Maret 2014)
Respon negatif juga diterima oleh informan pengguna zat adiktif tertentu. SN sebagai pekerja dewasa yang dianggap sebagai ketua asongan oleh pekerja anak mengatakan bahwa ia tidak suka dengan anak-anak yang menggunakan zat adiktif jenis zat inhalan (lem Fox) dan Somadril. Ia mengatakan bahwa tidak suka dengan anak-anak yang menggunakan zat adiktif jenis zat inhalan (lem Fox) dan Somadril. Ia berharap anak-anak tersebut segera ditangkap oleh pihak berwenang dan tidak segan memukul anak-anak tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa respon negatif terkait penggunaan zat adiktif tidak hanya berasal dari sesama pekerja anak, tetapi juga berasal dari pekerja dewasa. Berikut kutipan wawancaranya :
Konflik yang terjadi dalam penggunaan zat adiktif tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui sebuah proses. Hal inilah yang diungkapkan oleh PLD bahwa konflik biasanya berawal dari anggapan salah satu pihak yang merasa tidak nyaman dengan perilaku pihak lainnya dan mengundang terjadinya perkelahian fisik. Berikut kutipan wawancaranya : “…Ada juga orang mabuk itu pasti ada yang rese (menyebalkan), banyak gayanya. Jadi, temannya ada yang bilang kalo mabuk jangan terlalu talekang (banyak gaya). Eh, mungkin yang dibilangi talekang (banyak gaya) ini tidak terima, akhirnya berkelahi…” (PLD, 12 tahun, 23 Maret 2014)
“Seandainya itu isap lem ada undangundangnya, lebih baik ditangkap saja. Lebih ku suka itu ditangkap yang isapisap lem, minum obat-obatan. Itu biasa saya pukul kalo tau karena penjual lain itu cuma tegur saja, cuek.” (SN, 41 tahun, 26 April 2014)
Informan beranggapan bahwa konflik yang terjadi tidak berlangsung lama.Setiap konflik yang terjadi diselesaikan dengan melibatkan pihak ketiga. AMB mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi antara sesama pekerja di pelabuhan tentu akan segera diselesaikan. Namun, konflik yang terjadi melibatkan orang di luar kelompok mereka justru semakin parah sebab mereka ikut
Konflik tidak jarang terjadi dalam proses interaksi sosial informan dengan pihak lain terkait penggunaan zat adiktif yang disertai kontak fisik. Penyebab konflik yang diungkapkan oleh informan dalam interaksi sosialnya cukup bera-
223
Musyarrafah Hamdani : Interaksi Sosial Pekerja Anak terhadap Penggunaan Zat Adiktif
melibatkan diri dalam konflik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik bergantung pada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Berikut kutipan wawancaranya :
jukkan bahwa proses yang menyebabkan informan menggunakan zat adiktif adalah adanya pengaruh dari lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Kurt Lewin bahwa perilaku merupakan hasil interaksi antara person (orang) dengan environment (lingkungan).12 Individu akan berusaha menyamakan perilakunya sesuai yang dianggap pantas oleh kelompoknya. Kondisi lingkungan kerja yang dihadapi informan tersebut memaksa mereka untuk tetap menggunakan zat adiktif tertentu karena membantu mereka menghadapi masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tamrin yang menunjukkan bahwa anak sebenarnya mengetahui dampak negatif dari ngelem, namun mereka menyukai sensasi memabukkan yang dihasilkan oleh ngelem.9 Pekerja anak menggunakan zat adiktif karena menurut mereka ada efek positif yang dirasakan setelah mengonsumsi zat tersebut. Pekerjaan sebagai pedagang asongan di atas kapal dan masih di bawah umur membuat mereka dianggap ilegal oleh petugas pelabuhan, sehingga tidak diperbolehkan naik ke atas kapal. Oleh karena itu, mereka memilih untuk memanjat tali jangkar kapal agar dapat berjualan di atas kapal. Efek mabuk dari penggunaan zat tersebut membuat informan menjadi berani dan tidak sakit ketika memanjat tali jangkar kapal. Unsur kerjasama terlihat jelas dalam proses memperoleh dan mengonsumsi zat adiktif. Penghasilan yang tidak tetap mendorong anak saling tolong-menolong dalam pemenuhan kebutuhan zat adiktif.Informanmemperoleh zat adiktif dengan memanfaatkan relasi, yakni teman sebaya, pekerja dewasa, penumpang, bahkan petugas di pelabuhan. Informan biasanya mengonsumsi zat adiktif secara beramai-ramai dengan mengumpulkan uang masing-masing, kemudian dibagi rata dan dikonsumsi bersama. Menurut Soekanto, akomodasi adalah proses menuju pada keadaan seimbang untuk meredakan pertentangan yang terjadi antarindividu atau antarkelompok.12 Jadi, akomodasi merupakan cara informan menyesuaikan diri untuk mencegah terjadinya konflik dalam kelompoknya terkait penggunaan zat adiktif. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa setiap informan memiliki cara tersendiri untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi perbedaan terkait penggunaan zat adiktif.
“Yah, kalo liat teman berkelahi ya pasti dipisahkan. Kecuali berkelahi sama orang luar itu pasti kita ikut juga, ikut bantu...” (AMB, 15 tahun, 23 Maret 2014)
PEMBAHASAN
Menurut Kasim, penggunaan zat adiktif berisiko pada kerusakan sistem syaraf dan organorgan penting lainnya seperti jantung, paru-paru, dan hati.10 Namun, hal tersebut tidak berpengaruh pada perilaku informan karena semua informan menggunakan zat adiktif dengan jenis dan jumlah yang berbeda-beda. Semua informan adalah perokok, namun tidak semua informan menggunakan alkohol dan zat inhalan. Ada informan yang mengaku bahwa sudah berhenti atau mengurangi frekuensi penggunaan zat adiktif tertentu, misalnya rokok, zat inhalan, atau alkohol. Hal tersebut diketahui dari hasil wawancara dan observasi pada saat penelitian. Keputusan untuk mengurangi penggunaan zat adiktif disebabkan oleh adanya ancaman yang dirasakan informan. Hal tersebut sesuai dengan teori Health Belief Model bahwa salah satu pendorong individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya jika ia merasakan adanya kerentanan terhadap suatu penyakit.11 Informan memang tidak mengetahui dengan pasti jenis penyakit yang mengancamnya, tetapi gejala sakit pada tubuh akibat penggunaan zat adiktif, dan ancaman dari pekerja dewasa menjadi pendorong terjadinya perubahan perilaku. Soekanto mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi antarindividu, individu dengan kelompok, atau antarkelompok.12 Proses ini terjadi hampir pada setiap kelompok sosial. Informan tanpa sadar telah melakukan interaksi sosial, terutama dalam penggunaan zat adiktif. Adalima hal yang terjadi dalam proses interaksi sosial informan, yakni kerjasama, akomodasi, kontraversi, persaingan, dan konflik. Hasil temuan di lokasi penelitian menun-
224
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 219-226
Penelitian Kasim menunjukkan bahwa penyebab penggunaan zat adiktif pada anak jalanan adalah ikut-ikutan dan tidak mau terlihat lemah di mata teman-teman sesama anak jalanan.10 Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penyesuaian diri tersebut tidak berlaku pada informan.Meskipun jenis dan jumlah zat adiktif yang digunakan berbeda, informan tidak sertamerta menggunakan zat tersebut. Penyesuaian dilakukan hanya sebatas bergabung saja dan tidak menganggap perbedaan tersebut sebagai suatu masalah. Teori Maslow menyebutkan bahwa salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial adalah kebutuhan akan penghargaan.11 Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa informan berusaha melakukan hal-hal tertentu untuk memperoleh pengakuan terhadap penggunaan zat adiktif. Berbeda jenis zat adiktifnya, berbeda pula cara mendapatkan pengakuan berupa pujian dan anggapan hebat dalam penggunaan zat adiktif tertentu. Menurut Soekanto, persaingan adalah pertentangan pada tatanan konsep dan wacana, sedangkan pertentangan telah memasuki unsurunsur kekerasan dalam proses sosial.12 Pertentangan berupa respon negatif yang ditunjukkan oleh pekerja anak karena adanya perbedaan dalam penggunaan jenis zat adiktif tertentu. Bentuk respon negatif ditujukan oleh pengguna rokok, alkohol, dan zat inhalan terhadap teman yang hanya merokok. Respon negatif yang diterima informan ada yang berupa ejekan karena tidak menggunakan zat adiktif tertentu dan ada pula yang terancam dimusuhi. Selain itu, interaksi sosial yang melibatkan pekerja lain memicu adanya respon negatif terhadap pekerja anak pengguna zat adiktif tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pekerja anak memperoleh respon negatif beragam dari lingkungannya, baik sesama pekerja anak maupun pekerja dewasa. Menurut Novelita, pertentangan antara dua pihak yang tidak setuju pada suatu keputusan dan telah menyentuh ranah fisik disebut konflik.14 Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi pada informan berkaitan dengan penggunaan zat adiktif sangat beragam. Menurut informan, konflik biasa terjadi karena pengaruh mabuk setelah menggunakan zat adiktif tertentu dan adanya kecemburuan sosial di antara mereka
dalam penggunaan zat tersebut. Bentuk penyelesaian konflik menurut hasil penelitian adalah melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Informan mengatakan bahwa konflik yang terjadi tidak berlangsung dalam jangka lama. Hal ini menunjukkan bahwa konflik sesama pekerja tidak merusak sistem interaksi yang telah ada di kelompoknya.
KESIMPULAN DAN SARAN Semua informan menggunakan zat adiktif dengan jenis dan jumlah yang berbeda, yakni rokok, alkohol, lem Fox, dan Somadril. Adanya kepentingan yang sama, yakni penggunaan zat adiktif menyebabkan pekerja anak melakukan kerjasama, yakni saling mengajak dan mengajari. Namun, perbedaan jenis dan jumlah yang digunakan mengharuskanuntuk menyesuaikan diri dengan cara menghindari teman. Selain itu, mereka juga melakukan usaha agar diakui dalam penggunaan zat adiktif yang kadang menimbulkan respon negatif dan konflik sesama pekerja anak. Peneliti menyarankan kepada pihak Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar untuk mempertegas kebijakan terkait penggunaan zat adiktif pada pekerja anak.
DAFTAR PUSTAKA 1. International Labour Organization. Lembar Fakta tentang Penyandang Disabilitas dan Pekerja Anak. Jakarta: International Labour Organization; 2011; [diakses 3 Januari 2014]. Available at: http://www.ilo.org. 2. United Nations International Children’s Emergency Indonesia. Ringkasan Kajian Perlindungan Anak. 2012; [diakses 3 Januari 2014]. Available at: http://www.unicef.org. 3. Daniel. 700 Pekerja Anak di Kota Makassar [Online Article]. 2010; [diakses 31 Desember 2013]. Available at: http://www.antarasulawesiselatan.com/berita/17176/ profilantara. 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 5. Nandi. Pekerja Anak dan Permasalahannya. Jurnal “GEA” Jurusan Pendidikan Geografi.
225
Musyarrafah Hamdani : Interaksi Sosial Pekerja Anak terhadap Penggunaan Zat Adiktif
6.
7.
8.
9.
2006. 6(2). Triwardhani, I, Wulan, T. Pengelolaan Komunikasi Pekerja Anak di Industri Kecil Boneka Kain Kopo Bandung. Mimbar. 2012; 28(2): 211-218. Ajisuksmo, C. Gambaran Pendidikan Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Makara, Sosial Humaniora [Online Journal]. 2009; 13(2): 91-99 [diakses 3 Januari 2014]. Avalaible at: http://www.journal.ui.ac.id/ humanities/article/view/237. Muliarta. Perokok Anak di Bawah 10 tahun di Indonesia Capai 239.000 orang [OnlineArticle]. 2012 [diakses 13 Februari 2014]. Avalaible at: http://www.voaindonesia.com/ content/perokok-anak-di-bawah-10-tahundi-indonesia-cap ai-239000-orang/727311. html. Tamrin, M, Sudirman, S, Riskiyani. Studi Perilaku “Ngelem” pada Remaja di Keca-
matan Paleteang Kabupaten Pinrang [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 10. Kasim, Muhammad Fauzan. Tinjauan Kriminologis terhadap Penyalahgunaan ‘Lem Aibon’ oleh Anak Jalanan [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013 [akses 26 April 2014]. Available at: http://repository. unhas.ac.id/handle/123456789/ 4966. 11. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. pp. 133-149. 12. Soekanto, S. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2010. pp. 53-97. 13. Notoatmodjo, S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. pp.83-89. 14. Novelita, Maria: Gambaran Konflik pada Individu yang Menikah Semarga Suku Batak Toba [Skripsi]. Sumatera: Universitas Sumatera Utara; 2012.
226
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 227-223
PERILAKU KONSUMEN TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN IMUNISASI Consumer Behavior toward Immunization Service Utilitazion Millah Mutmainnah, Balqis, Darmawansyah Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM Unhas (
[email protected]) ABSTRAK Selain cakupan imunisasi, salah satu target keberhasilan kegiatan imunisasi adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan imunisasi lengkap bayi, secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran paradigma sehat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kelas sosial, keluarga, motivasi, serta pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei analitik dengan desain cross sectional. Jumlah sampel 74 responden, yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah ibu bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total 74 responden terdapat 67,6% dari kelas sosial tinggi dan 32,4% dari kelas sosial rendah, 64,9% yang mendapat dukungan keluarga yang cukup dan 35,1% yang mendapat dukungan keluarga yang kurang, 67,6% memiliki motivasi yang cukup dan 32,4% memiliki motivasi yang kurang, serta 54,1% memiliki pengetahuan yang cukup dan 45,9% memiliki pengetahuan yang kurang. Dan yang memanfaatkan pelayanan imunisasi sebesar 46 responden (62,2%) dan yang tidak memanfaatkan pelayanan imunisasi sebesar 28 responden (37,8%). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan kelas sosial dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi, dan adanya hubungan keluarga, motivasi, serta pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi. Kata kunci : Imunisasi, perilaku konsumen, pemanfaatan pelayanan ABSTRACT In addition to coverage of immunization, one of the immunization achievement targets isUniversal Child Immunization (UCI), the full immunization coverage of infants, to be evenly distributed to 100% of babiesin villages/sub-districts in 2010. The importance of immunization is based on the premise of the health paradigm. The purpose of this study was to determine the relationship between social class, family, motivation, and knowledge and the utilization of immunization services. The type of research conducted was a quantitative researchwith analytical survey approach with cross-sectional design. The number of samples was 74 respondents who were mothers of babies. The results showed that from74 respondents, 67,6% are of high social class and 32,4% of low social class, 64,9% received sufficient support from their families and 35,1% received less family support, 67,6% have enough motivation and 32,4% have less motivation, and 54,1% had sufficient knowledge and 45,9% had less knowledge. There were 46 respondents (62,2%) who made use of the immunization services and 28 respondents (37,8%) who did not. The findings of this study indicate that there was no relationship between social class and the utilization of immunization services, while there was a relationship between family relationships, motivation, and knowledge andthe utilization of immunization services. Keywords: Immunization, consumer behavior, utilization of service
227
Millah Mutmainnah : Perilaku Konsumen terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi
PENDAHULUAN
DPT-HB3 (3,4%), 2011 DPT-HB1-CAMPAK (4,4% ) dan DPT-HB1-DPT-HB3 (2,2%). Terjadinya drop out rate disebabkan ketidaktahuan ibu dan kurangnya informasi mengenai imunisasi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar persentase anak umur 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu jenis imunisasi BCG sebesar (88,8%), Polio 3 (72,3%), DPT 3 (68,8%), HB 3 (56,8%), dan Campak (83,5%). Adapun data mengenai persentase anak umur 12-23 bulan yang menerima imunisasi secara lengkap, tidak lengkap, dan tidak sama sekali di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu lengkap (43,4%), tidak lengkap (42,4%), dan tidak sama sekali (14,1%).5 Berdasarkan data surveilans Dinas Kesehatan Kota Makassar, pada tahun 2010 ada 1 KLB campak dengan 10 kasus dan pada tahun 2011, sebanyak 3 kali KLB dengan 8 kasus. KLB difteri juga terjadi sebanyak 9 kejadian dengan 9 kasus pada tahun 2009, pada tahun 2010 ada 3 kali KLB dengan 3 kasus, dan pada tahun 2011 ada 2 kali KLB difteri dengan 2 kasus.6 Hal ini tidak akan terjadi apabila ibu memiliki pengetahuan yang baik mengenai imunisasi. Berdasarkan laporan imunisasi di Puskesmas Antang menunjukkan bahwa pada tahun 2011 bayi yang di mendapatkan pelayanan imunisasi sebesar 486 bayi dengan cakupan BCG (81,3%), Polio 1 (81,3%), DPT/HB 1 (81,7%), Polio 2 (81,7%,) DPT/HB 2 (80,5%), Polio 3 (80,5%), DPT/HB 3 (82,1%), Polio 4 (82,1%), campak (81,7%), tetapi pada tahun 2012 dan tahun 2013 terjadi penurunan kunjungan bayi sebesar 453 bayi dengan cakupan BCG (69,5%), Polio 1 (69,5%), DPT/HB 1 (80,1%), Polio 2 (80,1%), DPT/HB 2 (77,7%), Polio 3 (77,7%), DPT/HB 3 (81,9%), Polio 4 (81,9%), dan Campak (79,9 %).4 Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan perilaku konsumen dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi di Puskesmas Antang Kota Makassar.
Salah satu program pemerintah agar bayi dan anak terhindar dari berbagai penyakit menular yaitu dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak-anak, dan pemerintah juga mewajibkan agar setiap anak mendapatkan imunisasi dasar. Hal ini sesuai dengan paradigma sehat yang dilaksanakan melalui beberapa kegiatan, antara lain pemberantasan penyakit menular dengan upaya pengebalan/imunisasi.1 Imunisasi merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan Eat Anti yang pada akhirnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh.2 Menurut WHO imunisasi telah terbukti sebagai salah satu upaya kesehatan masyarakat yang sangat penting. Program imunisasi telah menunjukan keberhasilan yang luar biasa dan merupakan usaha yang sangat hemat biaya dalam mencegah penyakit menular. Sejak penetapan The Expended Program oleh WHO, cakupan imunisasi dasar anak dari 50% mendekati 80% diseluruh dunia. Sekurang-kurangnya ada 2,7 juta kematian akibat campak, tetanus neonatorum dan pertusis serta 200.000 kelumpuhan akibat polio yang dapat dicegah setiap tahunnya.Vaksinasi terhadap 7 penyakit telah direkomendasikan EPI sebagai imunisasi rutin di negara berkembang: BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. WHO telah mencanangkan program ini (Global Programme For Vaccines and Immunication) organisasi pemerintah di seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank.3 Selain cakupan imunisasi, salah satu target keberhasilan kegiatan imunisasi adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan imunisasi lengkap bayi, secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010.4 Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 mengenai drop out rate cakupan Imunusasi DPT-HB1-CAMPAK pada bayi di provinsi Sulawesi Selatan tahun 2007-2011 yaitu 2007 (4,2%), 2008 (5,4%), 2009 (4,1%), 2010 DPT-HB1-CAMPAK (4,9%) dan DPT-HB1-
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Antang terletak di Jln. Antang Raya Kelurahan Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar mulai tanggal 28 November-12 Desember 2013.
228
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 227-223
Tabel 1. Karakteristik Responden
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei analitik dengan desain cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang pernah di imunisasi di Puskesmas Antang, yang jumlah keseluruhan ibu yang memiliki bayi dari tahun 2012 sebanyak 278 bayi. Sampel dalam penelitian ini merupakan ibu bayi dan bayinya yang pernah di imunisasi di Puskesmas Antang sampai umur 11 bulan yaitu sebanyak 74 responden. Sampel diambil dengan menggunakan metode pengambilan sampel secara accidental sampling. Analisis data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji chi square dan uji phi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kuesioner dengan pengolahan data dilakukan menggunakan aplikasi SPSS versi 16 for windows . Data disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan narasi.
Karakteristik Umur Bayi Responden 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 8 bulan 9 bulan 10 bulan 11 bulan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Pegawai Swasta Wiraswasta/Pedagang IRT
HASIL
n=74
%
6 7 4 5 6 24 14 8
8,1 9,5 5,4 6,8 8,1 32,4 18,9 10,8
1 5 28 33 7
1,4 6,8 37,8 44,6 9,5
2 10 62
2,7 13,5 83,8
Sumber : Data Primer, 2013
Sebanyak 24 responden (32,4%) memiliki bayi yang berumur 9 bulan dan hanya 4 responden (6,8%) memiliki bayi yang berumur 3 bulan. sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), yaitu sebanyak 33 responden (44,6%) dan hanya 1 responden (1,4%) yang tidak sekolah. lebih dari setengah responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 62 responden (83,8%), dan hanya 2 responden (2,7%) yang bekerja sebagai pegawai swasta (Tabel 1). Responden yang memanfaatkan pelayanan imunisasi sebesar 46 responden (62.2%) dibanding yang tidak memanfaatkan pelayanan imunisasi sebesar 28 responden (37,8%). Dari 50 responden yang berasal dari kelas sosial tinggi terdapat sebesar 56,0% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi sedangkan responden yang berasal dari kelas sosial rendah terdapat sebesar 75,0% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi dari 24 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara kelas sosial dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi menggunakan uji statistik dengan tes Continuity Correction diperoleh nilai p = 0,186. Karena nilai p>0,05 maka Ho diterima. Dari 48 responden yang mendapatkan dukungan keluarga yang cukup terdapat sebesar 72,9% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi
dibandingkan dengan responden yang mendapatkan dukungan keluarga kurang hanya terdapat sebesar 42,3% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi dari 26 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara peran keluarga dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi menggunakan uji statistik dengan tes continuity correction diperoleh nilai p=0,019. Hal ini berarti ada hubungan antara keluarga dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi (Tabel 2). Dari 50 responden yang mempunyai motivasi yang cukup terdapat sebesar 74,0% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi dan hasil ini lebih besar dari responden yang mempunyai motivasi yang kurang, yaitu sebesar 37,5% dari 24 responden. Hasil analisis untuk melihat hubungan antara motivasi dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi menggunakan uji statistik dengan tes continuity correction diperoleh nilai p=0,006. Artinya ada hubungan antara motivasi dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi. Dari 40 responden yang mempunyai pengetahuan yang cukup terdapat sebesar 85,0% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi dibandingkan dengan 34 responden yang mempunyai pengetahuan yang kurang hanya terdapat 35,3% yang memanfaatkan pelayanan imunisasi (Tabel 2).
229
Millah Mutmainnah : Perilaku Konsumen terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi
Tabel 2. Hubungan Variabel Independen dengan Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Variabel Independen Kelas Sosial Tinggi Rendah Keluarga Cukup Kurang Motivasi Cukup Kurang Pengetahuan Cukup Kurang
Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi Ya Tidak n % n %
Total n=74
%
Hasil Uji Statistik
28 18
56,0 75,0
22 6
44,0 25,0
50 24
100 100
p=0,186
35 11
72,9 42,3
13 15
27,1 57,7
48 26
100 100
p=0,019 ⱷ=0,301
37 9
74 ,0 37,5
13 15
26,0 62,5
50 24
100 100
p=0,006 ⱷ=0,352
34 12
85,0 35,3
6 22
15,0 64,7
40 34
100 100
p=0,000 ⱷ=0,511
Sumber : Data Primer, 2013
Hasil analisis untuk melihat hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi menggunakan uji statistik dengan tes continuity correction diperoleh nilai p=0,000. Hal ini berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi (Tabel 2).
memiliki pekerjaan lain disamping statusnya sebagai ibu rumah tangga akan cenderung memiliki waktu yang lebih sedikit untuk memperhatikan status imunisasi bayinya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden lebih banyak yang bekerja sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja daripada yang bekerja sebagai pegawai swasta. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husain di Puskesmas Bonto Haru Kabupaten Selayar tahun 2003 dimana distribusi responden yang tidak memiliki pekerjaan dan memanfaatkan pelayanan antenatal care lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memanfaatkan pelayanan antenatal care.8 Seseorang mempunyai hubungan sosial yang erat dengan orang yang suka mengerjakan hal-hal yang sama seperti mereka kerjakan, dengan cara yang sama, dan dengan siapa mereka merasa senang. Pembahasan mengenai kelas sosial akan dilakukan berdasar teori yang dikemukakan oleh Prasetijo dan Ihalauw yang menyatakan bahwa ukuran obyektif pengukuran kelas sosial didasarkan atas variabel sosio ekonomik. Sebagaimana badan sensus Amerika mengemban skor status yang menggabungkan tiga variabel dasar sosio ekonomik, yaitu pekerjaan, pendapatan, keluarga, dan pendidikan.9 Kelas sosial akan mempengaruhi pola konsumsi konsumen. Status dalam kelas sosial sering dianggap sebagai penggolongan relatif para anggota setiap kelas sosial dari segi faktor status ter-
PEMBAHASAN Kebutuhan, keinginan, dan harapan seseorang dipengaruhi umur. Kebutuhan demikian terlihat jelas pada hal tertentu.7 Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat sebanyak 24 responden memiliki bayi yang berumur 9 bulan dan hanya 4 responden memiliki bayi yang berumur 3 bulan. Hal ini disebabkan oleh bayi yang berkunjung ke puskesmas pada saat penelitian berlangsung rata-rata bayi yang berumur 9 bulan dan rata-rata memiliki status imunisasi yang lengkap. Tingkat pendidikan responden yang terbanyak yaitu mereka yang berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 33 responden dan yang terendah hanya 1 responden yang tidak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat pendidikan terakhir responden hanya sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi pengetahuan responden terhadap pemanfaatan pelayanan imunisasi untuk bayi dapat dikatakan cukup. Status pekerjaan ibu mempunyai peranan penting dalam memanfaatkan pelayanan imunisasi untuk bayinya. Secara teori bila ibu yang
230
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 227-223
tentu. Ketika mempertimbangkan perilaku konsumen, status paling sering ditentukan dari sudut satu variabel demografis atau lebih tepatnya sosial ekonomi (status pekerjaan dan pencapaian pendidikan). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismaniar di Puskesmas Antara Kota Makassar pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelas sosial dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan antenatal care.10 Tidak adanya hubungan kelas sosial dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi disebabkan jumlah responden yang memiliki status kelas sosial yang tinggi lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki status kelas sosial yang rendah tetapi responden tetap memanfaatkan pelayanan imunisasi untuk bayi mereka. Keluarga merupakan kelompok yang terdekat dari konsumen. Keluarga mempunyai intensitas bertemu yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Sehingga untuk melakukan diskusi mengenai pemilihan pelayanan kesehatan khususnya pemanfaatan pelayanan imunisasi responden mempunyai kesempatan yang lebih banyak. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barmo di Puskesmas Antang Perumnas Kota Makassar tahun 2013 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan hasil penelitian oleh Mujahidah di Puskesmas Marusu Kab. Maros tahun 2013 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara keluarga dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.11,12 Namun, sejalan dengan hasil penelitian oleh Abu di Puskesmas Bontosunggu Kabupaten Jeneponto tahun 2012 yang menyatakan bahwa tingginya pengaruh keluarga terhadap keputusan ibu hamil dalam memanfaatkan antenatal care.13 Adanya hubungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan pelayanan imunisasi responden sangat didukung dalam memberikan pelayanan imunisasi terhadap bayinya. Artinya, keluarga mempunyai peranan yang penting dalam memberikan informasi maupun dukungan kepada responden untuk memanfaatkan pelayanan imunisasi terhadap bayinya, serta dalam meminta saran dan keputusan untuk memanfaatkan
pelayanan imunisasi keluarga tetap mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal tersebut. Motivation is the driving force with in individual that impels the to action. Motivasi merupakan kekuatan penggerak dalam diri seseorang yang memaksanya untuk bertindak.14 Motivasi merupakan faktor penting yang mendukung seseorang dalam mementukan atau memutuskan keputusan penggunaan ataupun pemafaatan pelayanan kesehatan. Motivasi membuat seseorang memulai melaksanakan dan mempertahankan kegiatan tertentu. Motivasi merupakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan tidak tampak dari luar. Adanya hubungan motivasi dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi dikarenakan bentuk dorongan yang dimiliki oleh seorang ibu sangatlah berpengaruh dalam memanfaatkan pelayanan imunisasi. Artinya seorang ibu menyadari bahwa dengan memanfaatkan pelayanan imunisasi untuk bayinya sangatlah bermanfaat dan hal tersebut didukung oleh motivasi yang positif oleh seorang ibu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barmo di Puskesmas Antang Perumnas Kota Makassar tahun 2013 yang menyatakan bahwa ada hubungan motivasi dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut, dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fasyah di Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa tahun 2008 yang menyatakan bahwa 59 responden memiliki motivasi yang tinggi untuk memanfaatkan pelayanan antenatal care dan 1 responden yang memiliki motivasi yang rendah.11,15 Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.16 Adanya hubungan pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi disebabkan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu sangat menentukan status imunisasi bayinya karena dengan pengetahuan yang cukup, maka ibu dapat mengetahui pentingnya memanfaatkan pelayanan imunisasi terhadap bayinya agar bayi tidak mudah terserang penyakit. Hal ini sejalan dengan
231
Millah Mutmainnah : Perilaku Konsumen terhadap Pemanfaatan Pelayanan Imunisasi
penelitian yang dilakukan oleh Mashuri di Puskesmas Baranti dan Puskesmas Manisa tahun 2013 yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup terhadap kinerja perawat dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan yang kurang terhadap kinerja perawat.17
Riskesdas dan Susenas Tahun 2007) [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia; 2010. 6. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Profil Kesehatan Kota Makassar. Makassar: Dinas Kesehatan; 2012. 7. Supriyanto. Ernawaty. Pemasaran Industri Jasa Kesehatan. Yogyakarta: C.V Andi Offset; 2010. 8. Husain. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Care di Puskesmas Bonto Haru Kabupaten Selayar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2003. 9. Prasetijo, Ristiyanti & John Ihalauw. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi; 2005. 10. Ismaniar, Nur Inayah. Analisis Perilaku Konsumen Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Antenatal Care di Puskesmas Antara Kota Makassar Tahun 2013 [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 11. Barmo, Steffi. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas Antang Perumnas Kota Makassar Tahun 2013 [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 12. Mujahidah, Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Konsumen dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Marusu Kab. Maros Tahun 2013 [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 13. Abu, Asrie. Faktor Perilaku Konsumen Pelayanan Kesehatan yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Antenatal Care di Puskesmas Bontosunggu Kabupaten Jeneponto [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2012. 14. Schiffman, Leon G, dan Lesli Lazr Kanuk. Consumer behavior, 7th Editon, Pren tice Hall Inc. New Jersey: Upper Saddle River; 2000. 15. Fasyah, Arphan Nur. Upaya Pemanfaatan Pelayanan KIA (ANC) Berdasarkan Karakteristik Ibu dan Faktor Perilaku Konsumen di Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2008.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini mengenai perilaku konsumen pelayanan kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi di Puskesmas Antang Kota Makassar tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan kelas sosial dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi, ada hubungan keluarga, motivasi, dan pengetahuan dengan pemanfaatan pelayanan imunisasi. Diharapkan kepada pihak puskesmas untuk lebih mengintensifkan penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi untuk bayi mereka agar para ibu-ibu dapat mengetahui manfaat dan risiko apabila bayi tidak diberikan imunisasi sejak dini. Diharapkan kepada pihak puskesmas untuk dapat memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat yang memiliki pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga untuk lebih memperhatikan status imunisasi bayi mereka agar masyarakat juga paham mengenai dampak dan pentingnya pemberian imunisasi untuk bayi mereka.
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2009. 2. Hanum, Marimbi. Tumbuh Kembang Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010. 3. WHO. Global Programme for Vaccines and Immunication. Geneva: The Expended Progaram, World Health Organization; 2008 4. Puskesmas Antang. Profil Data Imunisasi Puskesmas Antang Kota Makassar 20112012. Makassar: Puskesmas Antang; 2013. 5. Mardiana, Nita. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Imunisasi Dasar di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2007 (Analisis Data
232
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 227-223
16. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2003. 17. Mashuri, Muh Irfan. Gambaran Kinerja Perawat di Puskesmas Baranti dan Puskesmas
Manisa Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2013 [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013.
233
Dimi Cindyastria : Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder (MSDs)
INTENSITAS GETARAN DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) Vibration Intensity and Musculoskeletal Disorders (MSDs) Complaints Dimi Cindyastira, Syamsiar S. Russeng, Andi Wahyuni Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS (
[email protected] ABSTRAK Getaran merupakan faktor fisik di tempat kerja yang berasal dari peralatan kerja yang digunakan. Getaran yang dihasilkan oleh mesin apabila terpapar oleh manusia atau pekerja dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi kesehatan. MSDs merupakan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan jaringan otot, kartilago, struktur tulang, dan pembuluh darah. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan intensitas getaran, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga dan sikap kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) terhadap pekerja di pabrik paving block. Desain penelitian observasional dengan desain cross sectional study dengan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling sebanyak 40 pekerja. Analisis data adalah univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi keluhan MSDs cukup tinggi dirasakan oleh 26 pekerja (65%). Analisis data menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan keluhan MSDs adalah umur (p=0,002), masa kerja (p=0,007), kebiasaan olahraga (p=0,030) dan sikap kerja (p=0,015). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan keluhan MSDs adalah intensitas getaran (p=0,864) dan lama kerja (p=0,079). Kesimpulan dari penelitian bahwa ada hubungan antara umur, masa kerja, kebiasaan olahraga dan sikap kerja dengan keluhan MSDs di CV. Sumber Galian Makassar. Kata kunci : MSDs, getaran, pekerja paving block ABSTRACT Vibration is a physical factorin the workplace that comes from the work equipment in use. The vibrations produced by the machines when exposed to humans or workers may give rise to harmful effects for health. MSDs are a group of symptoms that are associated with a network of muscles,cartilage, bone structure and blood vessels. This research aims to determine the relationship between vibration intensity, age, period of employment, working duration, work attitude and exercise habits with complaints of musculoskeletal disorders (MSDs) of workers at a paving blockfactory. The type of research conducted was observational research with a cross sectional study design. Samples were selectedusing total sampling technique with the result of 40 workers. Data analysis were conducted using univariat and bivariate analysis.The results showed that the prevalence of MSDs complaints were quite high perceived by 26 workers (65,0%). Data analysis results showed that variables associated with MSDs complaints are age (p=0,002), period of employment (p=0,007), exercise habits (p=0,030) and work attitude (p=0.015).While variables that are not related toMSDs complaints are vibration intensity (p=0,864) and working duration(p=0,079). Based on these findings, it was concluded that there is a link between age, period of employment, exercise habits and work attitude with MSDs complaints at CV. Sumber Galian Makassar. Keywords : MSDs, vibration, paving block workers
234
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 234-240
PENDAHULUAN
gangguan MSds (16,0%), kardiovaskuler (8,0%) , gangguan syaraf (6,0%), gangguan pernafasan (3,0%) dan gangguan THT (1,5%).4 Studi mengenai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs pada pekerjaan pengelasan, salah satunya disebabkan oleh posisi yang buruk (jongkok, berlutut dan over head), berat alat yang tidak standar, posisi leher dan bahu statis dengan mendongak ke atas. Fakta mengenai risiko yang ditimbulkan dari faktor pekerjaan, menurut Grandjen adalah sikap kerja yang tidak alamiah pada umumnya akan menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal.5 Kondisi aktivitas pekerja paving block di CV. Sumber Galian Makassar berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan khususnya MSDs terhadap pekerja. Sampai saat ini, belum ada data yang tercatat dengan lengkap khususnya mengenai keluhan MSDs yang dialami oleh pekerja paving block sebagai dampak dari pekerjaannya, oleh karena itupeneliti tertarik untuk meneliti hubungan intensitas getaran dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs), serta hubungannya dengan variabel umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga dan sikap kerja.
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Menurut Tarwaka, keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan ringan sampai yang sangat fatal. Pada awalnya, keluhan MSDS berupa rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar yang berakibatnya pada ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstrimitas sehingga mengurangi efisiensi kerja dan kehilangan waktu kerja sehingga produtivitas kerja menurun.1 Hasil penelitian Nurhikmah mengatakan bahwa getaran pada mesin yang digunakan dengan bantuan tangan untuk mengoperasikan dapat menyebabkan penyakit carpal tunnel syndrome yang ditandai dengan adanya gangguan pada syaraf yang disebabkan oleh terperangkapnya nervus medianus dan atau karena adanya penekanan pada nervus medianus yang melewati terowongan karpal, gangguan syaraf ini berhubungan dengan pekerjaan yang mempunyai paparan getaran dalam jangka waktu panjang secara berulang.2 Hasil penelitian Ariani menunjukkan bahwa berbagai penelitian dari berbagai negara yang menunjukkan MSDs adalah satu satu kasus kesehatan kerja terbanyak. Penelitian di Amerika, diperkirakan 6 juta kasus per tahun atau ratarata 300-400 kasus per 100 ribu orang pekerja. Masalah ini menyebabkan kehilangan hari kerja (lost day) untuk istirahat sehingga perusahaan merugi karena kehilangan produktivitas. Diperkirakan biaya akibat MSDs yang harus dikeluarkan adalah rata-rata 14.726 dolar per tahun atau lebih dari 130 juta rupiah.3 Survei Departemen Kesehatan RI dalam profil masalah kesehatan tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang dialami pekerja menurut studi yang dilakukan terhadap 482 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia, umumnya berupa
BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross sectional study. Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (intensitas getaran, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan sikap kerja) dengan variabel dependen (keluhan Musculoskeletal Disorders). Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar pada bulan 25 Maret-2 April tahun 2014. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja paving block CV. Sumber Galian Makassar sebanyak 40 orang. Sampel penelitian ini adalah seluruh dari populasi pekerja paving block sebanyak 40 orang. Penarikan sampel menggunakan total sampling. Analisis data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji chi square, uji fisher’s exact dan uji phi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi dengan pengambilan gambar sikap kerja kemudian melakukan penilaian risiko meng-
235
Dimi Cindyastria : Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder (MSDs)
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Getaran, Umur, Lama Kerja, Masa Kerja, Kebiasaan Olahraga, Sikap Kerja dan Keluhan MSDs
gunakan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) serta menggunakan Nordic Body Map Questionare (NBM) untuk melihat adanya keluhan MSDs pada pekerja. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Karakteristik Intensitas Getaran Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Umur Responden Tua Muda Lama Kerja Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Masa Kerja Lama Baru Kebiasaan Olahraga Kurang Baik Baik Sikap Kerja Risiko Tinggi Risiko Sedang Keluhan MSDs Ada Keluhan Tidak ada keluhan
HASIL Hasil pengukuran intensitas getaran di Unit Produksi CV. Sumber Galian ditunjukkan bahwa responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 15 responden dengan presentase 37,5%, sedangkan memenuhi syarat sebanyak 25 responden dengan presentase 62,5%. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa responden memenuhi syarat lebih banyak dibanding responden yang tidak memenuhi syarat (Tabel 1). Distribusi responden berdasarkan umur dari 40 jumlah responden terdapat 18 orang atau sebesar 45,0% yang termasuk responden berumur muda (≤30 tahun) dan 22 orang atau sebesar 55,0% yang termasuk responden berumur tua (>30 tahun). Distribusi responden berdasarkan lama kerja dari 40 jumlah responden, persentase terbesar lama kerja responden adalah kategori lama kerja memenuhi syarat (≤8 jam/hari), yaitu sebanyak 24 responden (60,0%) dan persentase terkecil lama kerja responden adalah kategori lama kerja tidak memenuhi syarat (>8 jam/hari) yaitu sebanyak 16 responden (40%) (Tabel 1). Distribusi responden berdasarkan masa kerja, yaitu jumlah pekerja yang telah bekerja di atas 3 tahun sebanyak 26responden atau sebanyak 65,0% dan jumlah pekerja yang masa kerjanya kurang dari 3 tahun sebanyak 14 responden atau sebanyak 35,0%. Distribusi responden berdasar-
n=40
%
15 25
37,5 62,5
22 18
55,0 45,0
16 24
40,0 60,0
26 14
65,0 35,0
28 12
70,0 30,0
25 15
62,5 37,5
26 14
65,0 35,0
Sumber : Data Primer, 2014
kan kebiasaan olahraga dari 40 responden jumlah pekerja yang melakukan olahraga sebanyak 28 responden atau sebanyak 70,0% sedangkan jumlah pekerja yang tidak melakukan atau olahraganya kurang baik sebanyak 12 responden atau sebanyak 30,0% (Tabel 1). Hasil distribusi responden menurut sikap kerja dengan dua kategori risiko tinggi (skor REBA 8-15) dan risiko sedang (skor REBA 4-7). Sikap kerja ditunjukkan bahwa responden yang mengalami risiko tinggi sebanyak 25 responden
Tabel 2. Skor REBA Setiap Aktivitas Pekerja Paving Block CV. Sumber Galian Makassar Skor REBA
Risk Level
Action Level
Action
1 2-3 4-7 8-10 11-15
Negligible Low Medium High Very high
0 1 2 3 4
None necessary Maybe necessary Necessary Necessary soon Necesarry now
Produksi Mesin Material Operator Forklip 7 10 5
Sumber : Data Primer, 2014
236
4 3 3
1 -
1 1 -
Penyusunan 1 4 -
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 234-240
Tabel 3. Distribusi Keluhan MSDs pada Pekerja Unit Produksi Paving Block CV. Sumber Galian Makassar Tingkat Kesakitan Bagian Tubuh n % A B C D Leher Atas Leher Bawah Bahu kiri Bahu kanan Lengan atas kiri Punggung Lengan atas kanan Pinggang Pantat (Buttock) Pantat (Bottom) Siku kiri Siku kanan Lengan bawah kiri Lengan bawah kanan Pergelangan tangan kiri Pergelangan tangan kanan Tangan kiri Tangan kanan Paha Kiri Paha Kanan Lutut kiri Lutut kanan Betis kiri Betis kanan Pergelangan Kaki Kiri Pergelangan Kaki Kanan Kaki Kiri Kaki Kiri
15 27 23 22 23 16 23 16 35 36 33 32 23 22 23 20 26 25 35 35 32 31 26 26 35 37 34 34
13 9 12 11 11 9 12 8 5 4 7 5 13 12 10 8 9 10 5 5 6 7 14 14 5 3 6 6
11 4 5 7 6 14 5 14 0 0 0 3 4 4 7 7 5 5 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 0 1 0 2 0 0 0 0 0 2 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Data Primer, 2014
REBA 4-7 dan berada pada level aksi 2 (Tabel 2). Keluhan MSDs dalam penelitian ini diukur menggunakan Nordic Body Map Questionare dengan metode wawancara langsung kepada responden untuk mengetahui adanya keluhan muskuloskeletal pada pekerja paving block. Hasil wawancara penelitian menemukan dari 40 responden terdapat 25 pekerja yang merasakan keluhan MSDs dan hanya 14 pekerja yang tidak merasakan keluhan MSDs. Data Nordic Body Map (NBM), dari 26 responden yang merasakan keluhan MSDs, jumlah keluhan yang dirasakan sebanyak 105 dengan tingkat kesakitan C (sakit). Seorang responden dapat merasakan lebih dari satu keluhan otot dan tulang pada bagian tubuh-
atau sebanyak 62,5%, sedangkan risiko sedang sebanyak 15 responden atau sebanyak 37,5%, hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak yang mengalami risiko tinggi pada sikap kerja dibanding risiko sedang. Distribusi responden yang memiliki keluhan MSDs sebanyak 26 responden dengan presentase 65,0%, sedangkan responden yang tidak memiliki keluhan sebanyak 14 res-ponden dengan presentase 14,0% (Tabel 1).H asil skor REBA setiap aktivitas pekerja paving block menunjukkan bahwa risiko sikap kerja tertinggi terdapat 5 responden pada aktivitas produksi paving block, yaitu skor REBA 11-15 dan berada pada level aksi 4, sedangkan risiko terendah terdapat 1 responden pada aktivitas operator forklip dan penyusun, yaitu skor
237
Dimi Cindyastria : Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder (MSDs)
Tabel 4. Hubungan Intensitas Getaran, Umur, Lama Kerja, Masa Kerja, Kebiasaan Olahraga dan Sikap Kerja dengan Keluhan MSDs pada Pekerja Paving Block CV. Sumber Galian Makassar Variabel Independen Intensitas Getaran Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Umur Tua Muda Lama Kerja Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Masa Kerja Lama Baru Kebiasaan Olahraga Kurang Baik Baik Sikap Kerja Risiko Tinggi Risiko Sedang
Keluhan MSDs Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan n % n %
p
10 16
66,7 64,0
5 9
33,3 36,0
0,864
19 7
86,4 38,9
3 11
13,6 61,1
0,002
13 13
81,2 54,2
3 11
18,8 45,8
0,079
21 5
80,8 35,7
5 9
19,2 64,3
0,007
15 11
40,9 94,4
13 1
59,1 5,6
0,030
14 12
51,9 92,3
13 1
48,1 7,7
0,015
Sumber : Data Primer, 2014
PEMBAHASAN
nya. Keluhan tertingi pada bagian punggung dan pinggang sebanyak 14 keluhan dengan tingkat kesakitan C (sakit) yang dirasakan pada pekerja paving block diakibatkan sikap kerja berdiri dan membungkuk serta memutar badan, keluhan tertinggi kedua dirasakan oleh pekerja pada leher atas sebanyak 11 keluhan dengan tingkat kesakitan C (sakit) disebabkan kelelahan otot akibat tremor pada otot leher saat mengangkat paving block dengan cara mendongak (Tabel 3). Hasil analisis tentang hubungan antara intensitas getaran, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan sikap kerja dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja paving block di CV. Sumber Galian Makassar. Hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa ada hubungan antara umur dengan keluhan MSDs (p=0,002), ada hubungan masa kerja dengan keluhan MSDs (p=0,007), ada hubungan kebiasaan olahraga dengan keluhan MSDs (p=0,030), serta ada hubungan sikap kerja dengan keluhan MSDs (0,015), tidak ada hubungan intensitas getaran dengan keluhan MSDs (p=0,864), dan tidak ada hubungan lama kerja dengan keluhan MSDs (p=0,079) (Tabel 4).
Hasil analisis menggunakan uji chi-square mengenai hubungan intensitas getaran dengan keluhan MSDs menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara intensitas getaran dengan keluhan MSDs pada pekerja paving block, hal tersebut dipengaruhi juga bahwa tidak semua pekerja berada disekitar sumber getaran, yaitu alat atau mesin press, pekerja lebih banyak bekerja di bagian produksi dibanding bekerja di sekitar alat. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat mengenai paparan getaran mesin gerinda dan keluhan subyektif (hand arm vibration syndrome) pada tenaga kerja di Abadi Dental Laboratorium Gigi di Surabayan menunjukkan bahwa berdasarkan data primer 13 orang (72,2%) dengan intensitas paparan getaran 0,3 m/detik²-1,2 m/detik² mengalami keluhan Hand Arm Vibration Syndrome dan sebanyak lima orang (27,8%) tidak mengalami keluhan, walaupun intensitas paparan getaran rendah namun getaran ikut memberikan dampak pada munculnya keluhan Hand Arm Vibration Syndrome. Intensitas getaran memang tidak memiliki hubungan bermakna dengan keluhan MSDs, tetapi
238
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 234-240
tetap dapat memberikan dampak pada pekerja apabila intensitas getaran yang diterima terusmenerus.6 Hasil analisis berdasarkan umur dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan keluhan MSDs. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur seseorang semakin banyak keluhan yang dirasakan, terlebih jika sesorang bekerja di tempat yang memerlukan tenaga berlebih. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maijunidah mengenai keluhan Musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja assembling PT. X Bogor, menunjukkan bahwa responden yang berusia ≥30 tahun sebagian besar mengalami keluhan MSDs, yaitu sebanyak 97,6%. Risiko terkena gangguan keluhan MSDs pada usia ≥30 tahun lebih besar dibanding dengan usia <30 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan keluhan muskuloskeletal.7 Hasil tabulasi menggunakan uji chi-square antara lama kerja dengan keluhan MSDs menunjukkan bahwa tidak ada hubungan lama kerja yang signifikan terhadap keluhan MSDs, yang membuat lama kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan MSDs bisa saja disebabkan oleh aspek lain misalnya frekuensi kerja yang berbeda dan dari segi waktu istirahat tiap pekerja. Hasil observasi, sebagian pekerja menggunakan alat bantu kerja seperti gerobak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurwahyuni untuk responden yang tidak mengalami keluhan nyeri punggung bawah, persentase tertinggi juga terdapat pada kategori lama kerja <8 jam sehari, yakni sebanyak 13 responden (18,3%). Hasil analisis uji statistik fisher’s exact test tentang hubungan antara lama kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada tingkat kemaknaan 0,05 (95%) diperoleh nilai p=0,254 yang berarti tidak ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada tenaga kerja bongkar muat barang di pelabuhan Nusantara Kota Pare-Pare.8 Hasil analisis berdasarkan masa kerja dengan menggunakan uji fisher’s exact menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan MSDs. Hasil ini juga dipengaruhi
bahwa makin lama masa kerja seseorang maka makin lama pula keterpaparan terhadap waktu dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, sehingga akan menimbulkan berbagai keluhankeluhan fisik akibat pekerjaannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Hendra tentang keluhan MSDs pada pekerja panen kelapa sawit yang menyatakan bahwa responden yang telah lama bekerja, yang mengalami MSDs berat sebesar 70,0% dan yang mengalami MSDs ringan sebesar 30,0%, sedangkan responden yang baru bekerja yang mengalami MSDs berat sebesar 23,5% dan yang mengalami MSDs ringan sebesar 76,5% dengan hasil uji statistik ada hubungan antara masa kerja dengan MSDs.9 Hasil analisis berdasarkan kebiasaan olahraga dan sikap kerja dengan menggunakan uji fisher’s exact menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan olahraga dan sikap kerja terhadap keluhan MSDs. Hasil ini juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kebiasaan olahraga seseorang, pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk berolahraga dan sebaliknya, bagi orang yang bekerja dalam kesehariannya memerlukan banyak tenaga dan tidak cukup beristirahat akan lebih sering mengalami keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko kejadian terjadinya keluhan otot, sikap kerja yang dilakukan bergantung dari kondisi sistem kerja yang ada. Sikap kerja tidak ergonomis akan membuat pekerja melakukan sikap paksa dalam melakukan pekerjaannya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasinya maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan MSDs. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hajrah pada variabelsikap kerja, diketahui bahwa dari 85 responden dengan sikap kerja tidak ergonomis terdapat 52 responden mengalami gangguan muskuloskeletal berat (61,2%) dan gangguan muskulosksletal ringan terdapat 33 responden (38,8%) sedangkan dari 25 responden dengan sikap kerja ergonomis terdapat dua responden mengalami gangguan muskuloskeletal berat (8,0%) dan 23 responden mengalami gangguan musculoskeletal ringan (92,0%). Hasil
239
Dimi Cindyastria : Intensitas Getaran dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder (MSDs)
analisis statistik chi square test tentang hubungan antara sikap kerja dengan gangguan muskuloskeletal pada tingkat kemaknaan 0,05 (95%) diperoleh nilai p=0,000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap kerja dengan gangguan muskuloskeletal pada cleaning service di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2013.10 Penyebab timbulnya keluhan MSDs pada pekerja paving block adalah akibat dari sikap kerja atau posisi tubuh pada saat melakukan aktivitas pekerjaan dan terdapat pembebanan pada otot yang berulang-ulang dalam posisi janggal sehingga menyebabkan cidera atau trauma pada jaringan lunak dan sistem saraf. Trauma tersebut akan membentuk cidera yang cukup besar yang kemudian diekspresikan sebagai rasa sakit atau kesemutan, pegal, nyeri tekan, pembengkakan dan kelemahan otot. Trauma jaringan yang timbul dikarenakan kronisitas atau peenggunaan tenaga yang berulang-ulang, peregangan yang berlebihan atau penekanan lebih pada suatu jaringan.
dengan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Furnitur di Kecamatan Benda Kota Tangerang. Jurnal. Jakarta: Universitas Islam Negeri; 2011. 2. Tarwaka. Ergonomi dan Keselamatan, Kesehatan Kerja & Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press; 2004. 3. Ariani, Tati. Gambaran Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dalam Pekerjaan Manual Handling pada Buruh Angkut Barang (Porter) di Stasiun Kereta Jatinegara. Jurnal. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2009. 4. Departemen Kesehatan. Profil Masalah Kesehatan; 2005. 5. Grandjean, E. Fitting The Task to The man, 4th ed. London: Taylor dan Fancis.inc;1993. 6. Hidayat. Paparan Getaran Mesin Gerinda dan Keluhan Subyektif (Hand Arm Vibration Syndrome)pada Tenaga Kerja di Abadi Dental Laboratorium Gigi. Jurnal. Surabaya: Universitas Airlangga; 2013. 7. Maijudinah, Emi. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Assembling PT. X Bogor. Jurnal. Jakarta: UIN Syarief Hidayatullah; 2010. 8. Nurwahyuni. Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah pada Pekerja Bongkar Muat Barang Pelabuahan Nusantara Kota Pare-Pare. Jurnal. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2012. 9. Hendra. Risiko Ergonomi dan Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pemanen Kelapa Sawit.ISBN : 978-979-704-802-0. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi IX, Semarang; 2009. 10. Hajrah. Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Muskuloskeletal pada Cleaning Service Di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini, ada hubungan signifikan antara umur, masa kerja, kebiasaan olahraga dan sikap kerja dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja paving block di CV. Sumber Galian Makassar, sedangkan intensitas getaran dan lama kerja tidak memiliki hubungan signifikan dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja paving block di CV. Sumber Galian Makassar. Saran untuk para pekerja paving block pada saat mengangkat beban yang berat sebaiknya menggunakan alat bantu kerja untuk menghindari adanya cidera yang yang dapat mengakibatkan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) serta pekerja sebaiknya melakukan istirahat selama beberapa menit disaat sudah mulai merasakan kelelahan atau stress otot tubuh.
DAFTAR PUSTAKA 1. Nurhikmah. Faktor-faktor yang Berhubungan
240
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 241-247
GAMBARAN SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN DI PONDOK PESANTREN HUBULO GORONTALO The Description of Food Procurement Systemat the Hubulo Islamic Boarding School, Gorontalo ST. Aisyah Taqhi Rumah Sakit Jayapura (
[email protected]) ABSTRAK Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi. Penelitian ini bertujuan me-ngetahui gambaran sistem penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo yang meliputi input, proses, dan output. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang menggunakan data primer dan sekunder. Informan penelitian adalah pimpinan pondok pesantren, koordinator bagian keuangan, dan kepala dapur. Pengolahan dan analisis data menggunakan content analysis dan disajikan dalam bentuk teks naratif. Hasil penelitian diperoleh bahwa dari segi input jumlah biaya rata-rata setiap minggu ialah sebesar Rp.27.444.000,- dan jumlah tenaga yang mencukupi.Perencanaan menu dilakukan secara tim dengan mengacu pada siklus menu 7 hari, tidak dilakukan perhitungan kebutuhan santri. Pemesanan dan pembelian bahan makanan secara langsung oleh kepala dapur, persiapan bahan makanan dilakukan sebelum pengolahan bahan makanan, pendistribusian makanan menggunakan sistem sentralisasi dan desentralisasi. Mutu makanan dapat diterima, nilai gizi makanan terutama energi hanya mencapai sekitar 76% dari kebutuhan total santri. Kesimpulan penelitian bahwa sistem penyelenggaraan makanan di pondok pesantren Hubulo Gorontalo sudah bagus. Kata kunci : Penyelenggaraan makanan, input, proses, output ABSTRACT Procurement of food is a series of activities starting from menu planning to food distribution to consumers in order to achieve optimal health status through proper feeding and includes recording, reporting and evaluation activities. This study aims to describe the implementation of the food procurement system at the Hubulo Islamic Boarding School, Gorontalo, which includes input, process and output. The type of research conducted was qualitative research with a descriptive approach that used primary and secondary data. Research informants werethe boarding school chairman, the finance department coordinator and head of the kitchen. Data processing and analysis was conducted using content analysis and presented in the form of narrative text. The results showed that in terms of the amount of input the average cost per week was Rp27.444.000,- and a sufficient number of personnel Planning the menu wasdone in a team with reference to the 7 day cycle menu, calculation of students’ needs were not conducted. Ordering and purchasing of groceries were directly performed by the head of the kitchen, the preparation of food wasdone before the food processing, food distribution was done using centralized and decentralized systems. Food quality was acceptable, nutritional value of food especially energy only account for about 76% of the total needs of the students. The research concludes that almost all aspects of the organization of the food system in Hubulo Islamic Boarding School, Gorontalo, was satisfactory. Keywords : The procurement of food, input, process, output
241
St. Aisyah Taqhi : Gambaran Sistem Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo
PENDAHULUAN
merupakan faktor kunci dalam pembangunan suatu bangsa. Gizi sangat berpengaruh juga terhadap produktivitas manusia.5 Dengan adanya penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren, sehingga memudahkan santri untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sistem penyelenggaraan makanan (input, proses, dan output) di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo.
Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk keberlangsungan hidup dan sebagai sumber energi untuk menjalankan aktifitas fisik maupun biologis dalam kehidupan sehari-hari. Makanan yang dibutuhakan harus sehat dalam arti memiliki nilai gizi yang optimal dan lengkap seperti vitamin, mineral, karbohidrat, protein, lemak dan lainnya. Makanan pun harus murni, bersih dan utuh dalam arti tidak mengandung bahan pencemar serta harus higiene.1 Penyelenggaraan makanan di sekolah adalah suatu rangkaian kegiatan dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan pada siswa, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian makanan pagi, siang dan malam. Penyelenggaraan makanan anak sekolah diselenggarakan di sekolah, dapat dilakukan oleh sekolah itu sendiri atau outsourcing ke pihak jasa yang mampu mengadakan penyelenggaraan makanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.2 Pondok pesantren merupakan salah satu tempat untuk mendidik agar santri-santri menjadi orang berakhlak mulia dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Santri-santri yang berada di pondok pesantren merupakan anak didik yang pada dasarnya sama saja dengan anak didik di sekolah-sekolah umum yang harus berkembang dan merupakan sumber daya yang menjadi generasi penerus pembangunan yang perlu mendapat perhatian khusus terutama kesehatan dan pertumbuhannya. Salah satu aspek yang mendukung hal tersebut adalah pemenuhan kebutuhan gizi bagi para santri.3 Penyelenggaraan makanan institusi dapat dijadikan sarana untuk peningkatkan keadaan gizi warganya bila institusi tersebut dapat menyediakan makanan yang memenuhi prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan makanan institusi. Prinsip itu antara lain menyediakan makanan yang sesuai dengan macam dan jumlah zat gizi yang diperlukan konsumen, disiapkan dengan cita rasa yang tinggi serta memenuhi syarat hygiene dan sanitasi.4 Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia, sehingga
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang menggunakan data primer dan sekunder. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo pada bulan April 2014. Informan penelitian adalah pimpinan pesantren, koordinator bagian keuangan dan kepala dapur. Instrumen penelitian meliputi pedoman wawancara, pedoman pengamatan, recorder, buku catatan lapangan, kamera, dan timbangan makanan. Analisis data dilakukan dengan membuat transkrip dan hasil wawancara mendalam terhadap stakeholder penelitian kemudian mempelajari semua data yang sudah terkumpul dan menyeleksi pertanyaan-pertanyaan dan catatan-catatan yang masuk dari wawancara, lalu mencari makna khusus pada pertanyaan yang dapat menjadi kata kunci, memproses semua kata kunci sebagai bahan untuk membuat interpretasi, dan membuat intrespretasi dari kata kunci selanjutnya melakukan analisis deskriptif sesuai dengan pertanyaan penelitian serta menghubungkan dengan teori yang ada.
HASIL
Karakteristik informan terdiri dari pimpinan pondok pesantren, kepala dapur dan tenaga pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber dana penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo ialah dari pembayaran SPP santri. Proses pencairannya, yaitu tiap 3 hari sekali. Jumlah biaya makan ratarata setiap minggunya sebesar Rp27.444.000,-. Dari total biaya tersebut sudah termasuk biaya operasional.Informasi tersebut di perkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut :
242
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 241-247
“kami yang menetapkan anggarannya, yaitu Rp.27.444.000, sumber dana makanannya santri ini dari uang sppnya yaitu sebesar Rp 400.000/ bulan” (YT, 2014)
dilakukan oleh kepala dapur dan berkoordinasi dengan bagian keuangan.Siklus menu yang digunakan ialah siklus 7 hari. Informasi tersebut di perkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut :
Jumlah tenaga pengelolah penyelenggaraan makanan Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo sebanyak 12 orang yang terdiri dari 1 orang kepala dapur, 9 orang dibagian pengolahan, 1 orang khusus masak nasi dan 1 orang cleaning service. Informasi tersebut di perkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut :
“oh, saya survei dulu dek ke pasar hargaharganya. Karena beda-bedai itu setiap mingguharganya. Saya cari juga yang paling murah tapi kualitas bagus. Kita kasi’ bervariasi menunya, kalau ada menu tidak disuka anak-anak kita hapus dan gantikan dengan menu baru.” Siklus menu 7 hari” (IT, 2014)
“untuk didapur itu ada 12 orang dengan kepala dapurnya. 1 orang khusus masak nasi, 1 orang cleaning service, 9 orang di bagian pengolahan/penyajian” (IT, 2014)
Sistem pembelian bahan makanan tidak melalui rekanan dan pembelian dilakukan secara langsung ke pasar oleh kepala dapur. Sehingga proses penerimaan bahan makanan tidak dilakukan, karena bahan makanan yang telah dibeli, langsung diolah oleh tenaga pengolahan. Bahan makanan yang belum mau diolah disimpan di gudang penyimpanan. Informasi tersebut diperkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut :
Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan makanan di pesantren ini terdapat kantor, ruang dapur, ruang penyimpanan bahan makanan kering, ruang persiapan bahan makanan, ruang pengolahan, ruang makan, kamar istirahat petugas dapur, tempat pencucian alat makan, dan tempat pembuangan sampah. Menurut pegawai dapur, peralatan dapur dan makan serta tempat penyelenggaraan makanan sudah baik dan sesuai standar.Informasi tersebut di perkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut :
“kalau soal itu saya sendiri yang ke pasar, saya ada langganan tapi saya mau yang segar dan bagus, kalo mereka yang antar . tidak semuanya yang bagus dan segar” (IT, 2014) “kalau bahan makanan yang tahan lama atau makanan kering kaya’ saos, kecap, mie, gula, beras kita simpan di gudang penyimpanan dek. Kalau yang kayak sayur itu biasanya disimpan di tempat sementara. Ada juga freezer itu dipake buat simpan ikan/daging/ayam kalo misalnya sudah dibersihkan dan dipotong-potong mau dimasak siangnya/ malamnya. Ini kalau sayur anak anak biasa potong-potong memang buat sayur siang atau malam, terus ditaruh disini (menunjuk ke rak penyimpanan bahan makanan)tempat sementara karena mereka yang masuk untuk mengolah makan siang setelah selesai mereka mempersiapkan untuk makan malam jadi sayur dan lauknya sudah dipotong, jadi mereka tinggal mengolahnya saja” (RD, 2014)
“kalau saya sama anak-anak sudah merasa enak begini keadaannya dapur, tempat istirahatnya juga nyaman ada TVnya” (IT, 2014) “Tempat makan santri dulunya plato dari melamin, katanya berat lalu diganti jadi piring stainlies” (RD,2014) “disampingnya itu tempat cuci piringnya anak-anak ada tempat pembuangan sisa makanan sementaranya. Setiap sudah makan dibuang itu semua ke tempat sampah besar diluar” (RD, 2014) Penyusunan anggaran belanja dibuat dengan didasarkan dari perencanaan menu dan harga bahan makanan yang dilakukan dengan cara survei harga bahan makanan. Penyusunan menu
Persiapan bahan makanan dilakukan sesuai dengan standar menu yang ada. Penentuan besar
243
St. Aisyah Taqhi : Gambaran Sistem Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo
lolaan dan kebijakan yang berjalan di dalam institusi.6 Berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Agharisty menyatakan bahwa sistem penyelenggaraan makanan di asrama SPN Batua Makassar menggunakan sistem tender dari rekanan, yang dua bulan sebelum diadakan dilakukan pelelangan.7 Jadi secara teori bahwa sistem penyelenggaraan makanan di SPN Batua Makassar menggunakan sistem semi outsourcing, yang mana sarana dan prasarananya berasal dari perusahan jasa boga, serta mengikuti perencanaan menu, penentu standar porsi dan pemesanan makanan yang diajukan oleh instansi. Dari jumlah dana yang dianggarkan setiap minggunya yaitu Rp.27.444.00 jika dibandingkan dengan jumlah santri di Pondok Pesantren Hubulo yang mencapai 318 orang, maka biaya makan santri hanya sebesar Rp.3.650.428,-/ hari,sedangkan biaya makan persantri adalah Rp.11.479/orang. Dari hasil perhitungan SPP santri yaitu Rp.400.000 persantri, maka hasilnya Rp.127.200.000/bulan. Jika dirincikan dalam perhari maka biaya makannya adalah Rp.13.000/ orang. Jadi dana yang disiapkan untuk penyelenggaraan makanan di Pesantren Hubulo sangat cukup. Penyelenggaraan makanan institusi sering mendapat masalah karena keterbatasanketerbasan yang dimiliki antara lain seperti keterbatasan dana sehingga kualitas bahan makanan yang digunakan sering tidak begitu baik, tidak ada untung rugi sehingga cita rasa makanan kurang diperhatikan.8 Ketenagaan penyelenggaraan makanan di pondok pesantren Hubulo Gorontalo sudah mencukupi, walaupun tenaga pengolahan belum berasal dari tata boga. Pengelolaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan makanan adalah salah satu hal yang sangat penting. Jika tujuannya adalah hendak mengelola sumber daya manusia maka yang penting adalah memahami profil manusia itu sendiri dengan berbagai aspek yang ada padanya. Manusia dalampelayanan makanan bukan hanya sebagai faktor produksi yang dibutuhkan untuk mengarahkan segala kemampuannya melaksanakan produksi yang digariskan oleh manajemen. Akibatnya muncul berbagai akses, ketidakpuasan dan konflik internal yang pengaruhnya berimbas pada kemerosotan lainnya se-
porsi hanya menggunakan standar porsi. Pengolahan bahan makanan dilakukan tiga kali dalam sehari sesuai dengan waktu makan santri. Semua tenaga dapur telibat dalam pengolahan bahan makanan termasuk kepala dapur yang bertanggung jawab untuk mengontrol proses pengolahan. Pendistribusian bahan makanan dilakukan dengan cara santri mengantri untuk pembagian makan. Terdapat waktu makan yang jelas, yaitu sarapan pagi (5.30-6.45), makan siang (14.0015.00), dan makan malam (19.45-21.30). Informasi tersebut di perkuat dengan beberapa pernyataan informan sebagai berikut : “iya, kita liat dlu menunya, kita sesuaikan dek. Misalnya soup wortel, kentang mau dimasak,jadi kita potong dadu. Kalau pagi dari selesai shalat subuh 5.30 sampai 6.45 sebelum sekolah. Makan siang itu pulang sekolah jam 14.00-15.00. Makan malamnya dari 19.30-21.30 dek” (IT, 2014) Dalam penilaian mutu makanan di peroleh persentase hasil ketepatan mutu tertinggi pada menu ke-6yang mencapai 100%, baik makan pagi, siang dan malam dan persentase terendah pada menu ke-4, yaitu 70%. Analisis zat gizi untuk nilai energi terbesar didapatkan dari menu ke-1 dan 6, yaitu 1686 kkal danyang paling rendah, yaitu pada menu ke-5, yaitu sebesar 1530,3 kkal. Untuk protein hewani terbesar terdapat pada menu ke-1 sebesar 63 gram dan terendah pada menu ke-3, yaitu 46,8 gram. Untuk lemak tertinggi terdapat pada menu ke-1 sebesar 50,9 gram dan terendah terdapat pada menu ke-7, yaitu sebesar 30,6 gram, sedangkan untuk karbohidrat yang paling tinggi terdapat pada menu ke-6 sebesar 283 gram dan terendah terdapat pada menu ke-1 yaitu tebesar 246 gram.
PEMBAHASAN Sistem penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo dikelolah sendiri oleh pihak pesantren tanpa ada campur tangan dari pihak luar seperti catering. Pengelolaan seperti ini dikenal dengan sebutan swakelola, yaitu sistem penyelenggaraan makanan yang dilakukan menggunakan seluruh sumber daya yang disediakan oleh institusi tersebut begitu juga penge-
244
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 241-247
perti penurunan kualitas produksi dan lain-lain. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Sugirman di asrama Pondok Pesantren Hidayatullah Makassarbahwa tenaga kerja penyelenggaraan makanan adalah santri sendiri bertugas secara bergiliran 3 orang/hari sedangkan untuk tenaga pengelola sebanyak 4 orang. Kemudian ketua bagian logistik mengontrol dan mengawasi pembagian makanan santri serta memastikan ketersediaan makanan santri. Santri yang bertugas masak sebelumnya sudah diberikan arahan. Tidak ada ketentuan khusus mengenai latar belakang pendidikan tenaga kerja. Ketua logistik latar belakang pendidikannya S1 tapi bukan dari jurusan gizi.8 Setelah melihat perbandingan antara kedua pesantren tersebut, yaitu Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar dengan Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo, maka Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo masih lebih baik dari segi ketenagaannya karena dalam pelaksanaannya tidak melibatkan santri. Ketersediaan fasilitas yang memadai merupakan faktor penunjang yang sangat penting dalam penyelenggaraan makanan, fasilitas penyelenggaraan makanan secara umum terdiri dari 2 kelompok yaitu fasilitas penyelenggaraan makanan dan fasilitas sanitasi.9 Di pesantren Hubulo fasilitas penyelenggaraan makanan sudah cukup baik, yang mempunyai area penerimaan, area penyimpanan, area persiapan, area pengolahan, pendistribusian makanan, area pencucian dan penyimpanan alat masak, ruang makan, area pencucian bahan makanan mentah, dan alat komunikasi dan ATK dan ruang pengawas. Sedangkan fasilitas sanitasi juga sudah baik dimana ada air bersih, toilet/kamar mandi, sarana pembuangan air limbah, tempat sampah dan tempat cuci tangan/wastafel. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan informasi bahwa penyusunan anggaran belanja bahan makanan dilakukan secara tim, yang terlibat, yaitu pimpinan pondok pesantren, bagian keuangandan kepala dapur. Penyusunan anggaran belanja dibuat berdasarkan perencanaan menu yang telah di buat sebelumnya oleh kepala dapur. Dalam siklus menu 7 hari yang dilakukan, masih terdapat beberapa perubahan menu khususnya lauk hewani dan sayur, disesuaikan dengan bahan makanan yang ada di pasar. Sedang-
kan untuk proses pemesanan dan pembelian bahan makanandilakukan sendiri oleh kepala dapur setiap harinya untuk mendapatkan bahan makanan yang segar. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, penerimaan bahan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo dilakukan secara langsung dan sistem buta yaitu menerima bahan makanan, setelah itu disimpan tanpa melihat spesifikasi bahan makanan dan tidak melalui penimbangan.Dalam penyimpanan bahan harus tersedia kartu stok bahan makanan dan buku catatan keluar masuknya bahan makanan serta harus menggunakan metode First Expaired First Out.9 Dalam proses penyimpanan bahan makanan kering di Pondok pesantren Hubulo Gorontalo tidak terdapat buku catatan keluar masuknya bahan makanan, proses pengambilan dan penataan bahan makanan di gudang penyimpanan masih menggunakan metode first in first out (FIFO) yaitu bahan yang yang dikeluarkan/digunakan adalah bahan makanan yang pertama masuk. Dari hasil wawancara dan observasi, proses persiapan bahan makanan di Pondok Pesantren Hubulo dilakukan setelah bahan makanan diterima, dan untuk mengefisienkan waktu, proses persiapan untuk makan siang dan malam dilakukan setelah proses pengolahan makan pagi hari kemudian bahan yang telah disiapkan, disimpan di rak bahan makanan untuk sayur dan lauk nabati serta di freezer untuk lauk hewani, dan ada patokan ukuran/standar porsi yang ditetapkan. Pada proses persiapan bahan makanan, tenaga dapur menggunakan celemek dan pada proses pemotongan sayur, tenaga dapur menggunakan pisau dan talenan yang sesuai standar. Pengolahan lauk masih dominan diolah dengan cara menggoreng. Variasi dalam pengolahan bahan makanan dibutuhkan agar tidak timbul rasa bosan oleh santri. Berdasarkan hasil observasi, pendistribusian makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo menggunakan cara sentralisasi dan desentralisasi, sentralisasi yaitu makanan langsung ke konsumen,yaitu santri putra sedangkan desentralisasi adalah makanan disimpan dalam suatu wadah dan dibawa ke tempat asrama santri putri. Kelebihan dari pendistribusian secara sentralisasi
245
St. Aisyah Taqhi : Gambaran Sistem Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo
ialah, suhu makanan yang disajikan kepada santri masih dalam keadaan hangat dan bisa meminimalisasi tenaga dan waktu karena makanan hanya disiapkan di ruang makan kemudian santri berkumpul tidak seperti pendistribusian secara desentralisasi yang membutuhkan waktu dan tenaga lebih karena makanan di distribusi ke setiap unit/ kamar santri seperti yang dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar sesuai dengan penelitian sugirman yang mendistribusikan dan mengantarkan makanan ke kamar masing-masing Santri.10 Dari setiap menu yang disajikan rata-rata disukai oleh santri hal ini disebabkan oleh setiap jam makan selalu ada sambal yang lumayan pedas untuk ukuran saya yang bukan orang gorontalo, jadi biarpun menu hampir tiap hari ada ikan yang penting ada sambalnya pasti mereka suka, walaupun cara penyajian makanan disajikan dalam satu piring, makanannya pasti habis. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dari tabel % menu yang disajikan kebutuhan santri putra usia 13-15 tahun terlihat masih kurang terutama pada lemak, yaitu hanya 43,8% dari AKG 2012, dan pada santri putri usia 13-15 tahun cukup baik, tetapi lemak juga masih kurang, yaitu 52% dari AKG 2012. Sedangkan pada % menu yang disajikan kebutuhan santri laki-laki 16-18 tahun dari zat gizi protein sudah cukup yaitu 80% namun lemaknya juga masih sangat kurang yaitu 41,8% dan pada santri putri 16-18 tahun juga cukup baik, tetapi lemak juga masih kurang, yaitu 51%. Hampir sama dengan hasil penelitian Amelia, di Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar rata-rata asupan makan santri masih dalam kategori cukup.11
memenuhi 70% dari kebutuhan total. Disarankan kepada pihak penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo dalam perencanaan menu dan pengolahan bahan makanan perlu memperhatikan variasi menu, suhu makanan yang dihidangkan, rasa dan aroma, warna dan kombinasi, ukuran dan bentuk hidangan, porsi, dan tampilan penyajiannya agar mendapatkan feedback yang baik dari santri serta diperlukan pelatihan mengenai dasar-dasar tata boga dan dasar mengenai pola konsumsi dan gizi seimbang untuk para tenaga penyelenggaraan makanan agar terampil dan dapat menghasilkan output yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA 1. Aritonang. Penyelenggaraan Makanan (Manajemen Sistem) Pelayanan Gizi Swakelolah dan Jasa Boga di Instalasi Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Leutika;2012. 2. Setyowati RD. Sistem Penyelenggaraan Makanan, Tingkat Konsumsi, Status Gizi Serta Ketahanan Fisik Siswa Pusat Pendidikan Zeni Kodiklat TNIAD Bogor Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2008. 3. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2009. 4. Irianto DP. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta: Penerbit Andi; 2007. 5. Sholiha YA. Gambaran Pola Konsumsi Dan Tingkat Kepuasan Santri Putri Terhadap Hidangan Di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar. Media Gizi Pangan. 2013;15(1):5-7. 6. Depkes RI. Indikator Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2003. 7. Atmanegara. Gambaran Tingkat Kepuasan Siswa Terhadap Mutu Hidangan Pada Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Polisi Negara (SPN) Batua Polda Sulsel [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013 8. Agharisty E. Analisis Biaya dan Analisis Zat Gizi Pada Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Batua Kota
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian bahwa penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo menggunakan sistem swakelola. Pada tahap input dari aspek biaya sudah cukup namun perlu memperhatikan nilai gizi dari menu yang akan disajikan. Tahap proses, mulai dari perencanaan anggaran belanja sampai pendistribusian sudah dilakukan dengan baik walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Tahap output, nilai gizi makanan yang disediakan hanya
246
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 241-247
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2013. Media Gizi Pangan. 2013;16(1):7-9. 9. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. 10. Sugirman AK. Gambaran Input Dan Proses Penyelenggaraan Makanan Santri Putri Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar
[Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013. 11. Amelia A.R. Hubungan Asupan Energi Dan Zat Gizi Dengan Status Gizi Santri Putri Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013.
247
UCAPAN TERIMA KASIH Penanggung jawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi- tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para mitra bebestari sebagai penelaah dalam Volume 10, Nomor 4, Desember 2014. Berikut ini adalah daftar nama mitra bebestari yang berpartisipasi : Dr. Dian Ayubi, S.KM., M.QIH (FKM Universitas Indonesia) Dr. Ede Surya Darmawan S.KM., M.DM (FKM Universitas Indonesia) Ir. Etty Sudaryati, MKM, PhD (FKM Universitas Sumatera Utara) Dr. Masni, Apt ,MSPH (FKM Universitas Hasanuddin) Dr.dr. Oktia Woro Kasmini Handayani, M.Kes (FIK Universitas Negeri Semarang) Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.ScPH (FKM Universitas Hasanuddin) Dr. Ridwan M.Thaha, M.Sc (FKM Universitas Hasanuddin) Prof. Dr. dr. Rizanda Machmud, M.Kes (FK Universitas Andalas) Dr. Sri Widati, S.Sos., M.Si (FKM Universitas Airlangga) Prof. Dr. Tri Martiana, dr., MS (FKM Universitas Airlangga) Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc (FKM Universitas Indonesia) Prof. dr. Veni Hadju, MSc, PhD, Sp.GK (FKM Universitas Hasanuddin)
Atas kerjasamanya yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan dengan baik untuk masa yang akan datang.
Indeks Penulis
INDEKS PENULIS JURNAL MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA VOLUME 10, JANUARI - DESEMBER 2014 A. Razak M. Thaha................................... (2) : 102-109 A.Yulyandhika AH................................. (2) : 117-123 Abdul Salam........................................... (4) : 187 -192 Agus Bintara Birawida........................... (3) : 140-145 Agustina Pujilestari................................ (1) : 57-64 Ali Arsad Kerubun.................................. (3) : 180-186 Alimin Maidin........................................ (1) : 57-64 Alwy Arifin............................................. (2) : 117-123 Aminuddin Syam................................... (4) : 187-192 Andi Arsunan Arsin................................ (3) : 146-153 Andi Mardhiyah Idris............................ (4) : 211-218 Andi Wahyuni......................................... (4) : 241-247 Ansar....................................................... (2) : 85-89 Arsyad Rahman...................................... (4) : 19-226 Atjo Wahyu............................................. (2) : 110-116 (1) : 43-50 Balqis...................................................... (4) : 227-233 Citra Indriani.......................................... (1) : 16-20 Citrakesumasari...................................... (2) : 102-109 Darmawansyah....................................... (3) : 131-139 (4) : 227-233 Dedik Sulistiawan.................................. (1) : 21-29 Dimi Cindyastria.................................... (4) : 234-240 Elvinali Herdariani................................. (3) : 54-159 Farapti..................................................... (1) : 1-7 Fatimah Kautsar..................................... (4) : 187-192 Ferry WF Waangsir................................ (2) : 90-95 Fitriani Mediastuti.................................. (2) : 80-84 Hari Hartika............................................ (2) : 65-70 Harits Atika Ariyanta.............................. (1) : 36-42 Hartati Bahar.......................................... (1) : 8-15 Haryati Ningsih...................................... (1) : 51-56 Hasanuddin Ishak................................... (3) : 140-145 Hasyrul Almani...................................... (1) : 43-50 Ida Leida M. Thaha................................. (3) : 125-130 Indar........................................................ (2) : 117-123 (3) : 131-139 Intan Fatmasari....................................... (3) : 131-139 Lymbran Tina......................................... (1) : 8-15 Mappeaty Nyorong................................. (1) : 51-56 Mareta B. Bakoil.................................... (2) : 71-79 Masyita Muis......................................... (2) : 110-116 Millah Mutmainnah................................ (4) : 227-233 Muh. Syafar............................................. (1) : 51-56 Muhammad Ardasir Musawir................. (3) : 146-153 Muhammad Rum Rahim........................ (1) : 43-50 Musyarrafah Hamdani............................ (4) : 219-226 Noor Mansurya Utami............................ (3) :174-179
Nurbaeti.................................................. (2) : 65-70 Nurfatimah.............................................. (3) : 160-165 Nurhaedar Jafar...................................... (2) : 85-89 (4) : 211-218 Nurmalasari............................................ (1) : 21-29 Nurpudji A. Taslim................................. (2) : 85-89 Nurwati................................................... (4) : 193-199 Paridah.................................................... (2) : 102-109 Parlindungan Siregar.............................. (1) : 1-7 Ragu Theodolfi....................................... (2) : 90-95 Rahayu Indriasari................................... (4) : 211-218 Rahmawaty............................................. (3) : 160-165 Retno Heru Setyorini.............................. (2) : 80-84 Rini Anggraeni....................................... (1) : 57-64 Rismayanti.............................................. (3) : 125-130 Saifuddin Sirajuddin.............................. (3) : 174-179 Savitri Sayogo......................................... (1) : 1-7 Sholihin Shiddiq..................................... (2) : 110-116 Siprianus Singga..................................... (1) : 30-35 Siti Rahmah............................................ (1) : 16-20 St. Aisyah Taqhi..................................... (4) : 241-247 Sumarni................................................... (4) : 200-204 Syamsiar S. Russeng.............................. (4) : 241-247 Tati Masliah............................................ (4) : 205-210 Tri Ramadhani........................................ (2) : 96-101 Ulfa Farida Trisnawati............................ (2) : 96-101 Ulfah Najamuddin.................................. (3) : 174-179 Ummi Kalsum Supardi........................... (3) : 125-130 Wa Ode Analestariastuti......................... (1) : 8-15 Wahyu Retno Widyasari......................... (3) : 140-145
Indeks Subjek
INDEKS SUBJEK JURNAL MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA VOLUME 10, JANUARI - DESEMBER 2014 Aedes aegypti......................................... (2) : 96-101 Air kelapa muda..................................... (1) : 1-7 AKB....................................................... (1) : 21-29 AKI........................................................ (1) : 21-29 Anemia.................................................... (2) : 85-89 Anopheles............................................... (3) : 166-173 Antibakteri.............................................. (1) : 36-42 Asupan kalium....................................... (1) : 1-7 Asupan natrium...................................... (4) : 187-192 Bayi........................................................ (3) : 146-153 Bekatul.................................................... (3) : 174-179 BOD5...................................................... (3) : 180-185 Botol susu............................................... (3) : 146-153 Budaya keselamatan............................... (1) : 57-64 Bukti fisik............................................... (2) : 117-123 Ceramah.................................................. (1) : 8-15 Cerita...................................................... (1) : 8-15 COD....................................................... (3) : 180-185 Daya tetas telur....................................... (2) : 96-101 DBD....................................................... (1) : 8-15 Diabetes.................................................. (4) : 211-218 Diare....................................................... (1) : 51-56 (3) : 146-153 Dukun..................................................... (1) : 21-29 Escherichia Coli..................................... (3) : 146-153 Fisik........................................................ (2) : 71-79 Gangguan kesehatan............................... (1) : 30-35 Getaran................................................... (4) : 234-240 Gula darah.............................................. (4) : 211-218 Hepatitis.................................................. (1) : 16-20 Hipertensi............................................... (4) : 187-192 Ibu hamil................................................. (3) : 166-173 Imunisasi................................................ (4) : 227-223 Input........................................................ (4) :241-247 Insentif.................................................... (2) : 65-70 Interaksi.................................................. (4) : 219-226 Kader posyandu...................................... (2) : 102-109 Kain pembalut luka................................ (1) : 36-42 Kanker serviks........................................ (2) : 71-79 Karyawan................................................ (1) : 43-50 (2) : 110-116 Kemitraan bidan..................................... (1) : 21-29 Keteraturan berobat................................ (3) : 125-130 Keterlambatan........................................ (3) : 160-165 Klorpirifos.............................................. (3) : 154-159 Kol......................................................... (3) : 154-159 Konsumsi pangan................................... (2) : 85-89 KTR....................................................... (3) : 131-139
Kusta....................................................... (4) : 205-210 LO.......................................................... (2) : 96-101 Loyalitas................................................. (2) : 117-123 Malaria.................................................... (1) : 85-89 (1) : 140-145 (3) : 166-173 (4) : 193-199 Masa kadaluarsa..................................... (3) : 174-179 Masyarakat............................................. (2) : 80-84 Metode ASLT......................................... (3) : 174-179 Motivasi kerja........................................ (2) : 65-70 MPN coliform........................................ (3) : 180-185 MSDs..................................................... (4) : 234-240 Nanopartikel........................................... (1) : 36-42 Obesitas.................................................. (4) : 187-192 Orang...................................................... (2) : 117-123 Output..................................................... (4) : 241-247 Partisipasi masyarakat............................ (4) : 193-199 Pasien..................................................... (1) : 57-64 Pekerja anak........................................... (4) : 219-226 Pekerja paving block.............................. (4) : 234-240 Pelayanan terpadu.................................. (2) : 102-109 Pemanfaatan pelayanan.......................... (4) : 227-223 Pemulung................................................ (1) : 30-35 Pencegahan............................................. (1) : 51-56 Pencegahan gigitan nyamuk................... (1) : 140-145 Penemuan dini........................................ (4) : 205-210 Pengelolaan............................................. (2) : 80-84 Pengetahuan............................................ (1) : 8-15 (4) : 200-204 Pengobatan............................................. (1) : 51-56 Penyelenggaraan makanan..................... (4) : 241-247 Penyulit persalinan................................. (3) : 160-165 Perak....................................................... (1) : 36-42 Peraturan daerah..................................... (3) : 131-139 Perhatian................................................. (2) : 65-70 Perilaku................................................... (1) : 16-20 (1) : 51-56 (4) : 205-210 Perilaku ANC......................................... (4) : 200-204 Perilaku konsumen................................. (4) : 227-223 Perilaku tidak aman................................ (2) : 110-116 Persepsi................................................... (1) : 43-50 Persepsi K3............................................ (2) : 110-116 Perubahan konversi................................ (3) : 125-130 Pestisida.................................................. (3) : 154-159 pH........................................................... (3) : 180-185 PIKR...................................................... (2) : 80-84
Indeks Subjek PLA........................................................ (4) : 193-199 Plasmodium............................................ (3) : 166-173 Pola makan............................................. (4) : 211-218 Prahipertensi........................................... (1) : 1-7 Prestasi.................................................... (2) : 65-70 Promosi................................................... (2) : 117-123 Proses...................................................... (2) : 117-123 (4) : 241-247 Proyeksi kebutuhan................................. (2) : 90-95 Psikologi................................................. (2) : 71-79 Rawat inap............................................. (1) : 57-64 Residu..................................................... (3) : 154-159 Sikap....................................................... (1) : 8-15 (4) : 200-204 SMK3..................................................... (1) : 43-50 Sosial...................................................... (2) : 71-79 Sosial ekonomi....................................... (2) : 85-89 Suhu....................................................... (3) : 180-185 Sumber air.............................................. (2) : 90-95 Supir angkutan........................................ (3) : 131-139 Tanggung jawab..................................... (2) : 65-70 Tempat.................................................... (2) : 117-123 Tindakan................................................. (1) : 8-15 TPA........................................................ (1) : 30-35 Tuberkulosis paru................................... (3) : 125-130 Wanita prakonsepsi................................ (2) : 102-109 Zat adiktif............................................... (4) : 219-226 Zona pelayanan....................................... (2) : 90-95
PEDOMAN UNTUK PENULIS Pengiriman Artikel Artikel yang dikirimkan untuk dimuat dalam Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) belum pernah dipublikasikan, original dan tidak dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan dengan menandatangani surat pernyataan. Semua artikel akan di bahas oleh para pakar dalam bidang keilmuan yang sesuai (peer review). Artikel harus sesuai dengan pedoman penulisan Jurnal MKMI. Penggunaan istilah asing non medis sedapat mungkin dihindari atau disertai terjemahan penjelasannya. Penulisan Artikel Naskah diketik dalam program Microsoft Word 2007 diketik pada kertas berukuran A4, dengan batas tepi (margin) 2,5 cm tiap tepi, huruf (font) Times New Roman, besar huruf (font size) 12 point dan spasi 1,5 maksimum 15 halaman dalam satu artikel. Setiap halaman diberikan nomor secara berurutan, mulai dari halaman judul sampai terakhir pada sudut sebelah kanan bawah. Naskah dikirimkan dalam bentuk print out sebanyak 2 (dua) rangkap dengan file yang tersimpan dalam CD, atau pengiriman naskah dapat juga dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat:
[email protected] Komponen Artikel Setiap bagian/komponen dari artikel dimulai pada halaman baru, dengan urutan: halaman judul, abstrak, kata kunci (key words), teks keseluruhan, ucapan terima kasih (jika dibutuhkan), daftar pustaka, tabel dan gambar. Tabel dan gambar diberi nomor sesuai dengan urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka. Halaman Judul Halaman judul (halaman pertama) harus mencakup: a. Judul artikel yang dibuat singkat, jelas, spesifik dan informatif. b. Nama dan alamat setiap penulis, nama departemen dan lembaga afiliasi penulis c. Nama korespondensi serta nomor telpon, nomor faximile dan alamat e-mail Abstrak dan Kata Kunci (Key Word) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bentuk abstrak tidak terstruktur dalam 1 (satu) paragraf dan tidak lebih dari 200 kata. Abstrak harus berisi latar belakang, tujuan penelitian,
metode, hasil, pembahasan dan kesimpulan. Kata kunci (key word) dicantumkan dibawah abstrak pada halaman yang sama sebanyak 3-5 buah kata. Gunakan kata-kata yang sesuai dengan daftar pada Index Medicus. Teks Teks artikel penelitian dibagi dalam beberapa bagian yang dengan urutan : Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (Materials and Methods), Hasil (Result) dan Pembahasan (Discussion), Kesimpulan dan Saran (Conclusion and Recommendation). Pendahuluan berisi, latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka dan tujuan penelitian. Seluruh Pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf dengan panjang 15-20% dari total panjang artikel. Metode berisi rancangan penelitian, populasi/sampel, teknik pengumpulan data dan analisis data teknik statistik. Hasil Penelitian, berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian, jika ada tabel dan grafik maka dijelaskan secara rinci. Pembahasaan, berisi pemaknaan hasil dan perbandingan dengan teori dan/atau hasil penelitian sejenis. Panjang paparan hasil dan pembahasan 40-60% dari total panjang artikel. Kesimpulan dan Saran, berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Isi Saran sesuai dengan apa yang telah dikaji dari pembahasan yang menjadi penting untuk penelitian selanjutnya. Ucapan Terima Kasih Jika diperlukan ucapan terimakasih dapat diberikan kepada 1) pihak-pihak yang memberikan bantuan dana dan dukungan, 2) dukungan dari bagian dan lembaga, 3) para profesional yang memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver. Semua referensi yang digunakan dalam penulisan di daftar pustaka diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam artikel, bukan menurut abjad. Hanya mencantumkan kepustakaan yang dipakai dan relevan dengan isi artikel. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Sumber rujukan berupa jurnal dari artikel minimal 60% dari total daftar pustaka. Rujukan yang digunakan adalah sumber primer berupa artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian, buku atau artikel yang terkait
dari sumber resmi. Artikel yang dimuat dalam jurnal MKMI disarankan untuk digunakan sebagai rujukan. a. Artikel dalam Jurnal 1. Jurnal satu penulis Leida I.M. Faktor Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita Tuberkulosis BTA Positif Baru. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2010; 6(3):136-40. 2. Jurnal dengan lebih dua penulis Magee, M. J., Foote, M., Maggio, D. M., Howards, P. P., Narayan, K., Blumberg, H. M., Ray, S. M. & Kempker, R. R. Diabetes Mellitus and Risk of All-Cause Mortality among Patients with Tuberculosis in the State of Georgia, 2009-2012. Annals of epidemiology, 2014:24(1):369-375. 3. Organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and Performance Guidelines. Medical Journal of Australia. 1996;16 (4):282-423. 4. Tanpa nama penulis Management of Acute Diarrhea. Lancet. 1983;1(2):623-25. b. Buku atau Monografi Lainnya 1. Penulis Perorangan Notoatmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 2. Penulis lebih dari 2 orang Seeley, R, VanPutte, C, Regan, J & Russo, A. Seeley’s anatomy & physiology. New York: Mc Graw-Hill; 2011. 3. Editor sebagai penulis Tawali A, Dachlan DM, Hadju V, dan Thaha Ar. Pangan dan Gizi : Masalah, Program Intervensi dan Teknologi Tepat Guna. Makassar: DPP Pergizi Pangan dan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan; 2002. 4. Prosiding konferensi Jalal, F dan Atmojo, SM. Peranan Fortifikasi dalam Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI; 17-20 Februari 1998; Serpong. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 1998. 5. Laporan ilmiah atau teknis Badan Pusat Statistik. Laporan Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga. Jakarta: BPS; 2003. 6. Skripsi, tesis atau disertasi Nuralya, St. Pengaruh Konseling Gizi dan Gaya Hidup terhadap Kadar Glukosa Darah dan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa [Tesis]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2013.
7. Artikel dalam Koran Yahya M. Sulsel Lumbung Pangan, tapi Kekurangan Gizi, Fajar, Selasa 14 September 1999. 8. Bab dalam buku Lewis BA. Structure and Properties of Carbohydrates. In: Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 2000. pp.3-18. 9. Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang UU No 44 Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan. c. Materi Elektronik Beaver, M., 2000. Errant Greenhouse Could Still be Facing Demolition. Building Design [Online] 24 Nov., p.3 [diakses 15 Agustus 2007]. Available at: http://www.infotrac.london.galegroup.com/itweb/ sbu_uk. Tabel, Gambar dan Grafik Setiap tabel ditulis pada halaman terpisah dan diketik spasi 1. Nomor urut tabel dan gambar sesuai urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka.
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL MKMI
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : ………………………………………………………………………………. Alamat : ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. Wilayah : 1. Dalam Kota Makassar *lingkari 2. Luar Kota Makassar Telepon : ………………………………………………………………………………. Email : ………………………………………………………………………………. bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) : Rp. 300.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Luar Kota Makassar, ongkos kirim) Rp. 250.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Dalam Kota Makassar)
…………….…………………, 2015
(………………………………………) Pembayaran ditransfer ke: No. Rek BNI. 0277269148 a.n. Ibu Ida Leida Maria, SKM Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Saudari Husni dan Syamsiah (085241688861) Ruang Jurnal FKM Lt.1 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 Telp. (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013. E-mail:
[email protected] OJS : http://journal.unhas.ac.id/index.php/JMKMI