UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
STUDI DESKRIPTIF PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP LARVASIDA ALAMI Ameliana Pratiwi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Penelitian dengan desain Deskriptif study ini melibatkan 25 responden sebagai penilai untuk menilai penerimaan larvasida serai dalam aspek tampilan (warna dan bau), kemudahan penggunaan, penerapan di tempat perkembangbiakan nyamuk, dan ketersediaan bahan larvasida. Dianalisis dengan metode deskriptif presentase. Ekstrak berpotensi untuk diterima di masyarakat sebagai larvasida, karena memiliki bau yang disukai oleh masyarakat dan ketersediaan bahan yang cukup melimpah di alam. Namun keraguan masyarakat untuk menerima ekstrak serai sebagai larvasida dikarenakan proses penggunaannya berkaitan dengan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Sehingga mengurangi minat masyarakat dan lebih cenderung untuk lebih memilih menguras bak mandi daripada menggunakan larvasida. Saran bagi instansi kesehatan agar dapat melakukan sosialisasi tentang larvasida serai pada masyarakat agar larvasida serai dapat lebih dikenal, dan manfaatnya dapat digunakan secara luas. Sebaiknya dilakukan penelitian tentang aplikasi larvasida serai dengan bentuk yang lebih praktis, efektifitas tinggi, dan tidak menimbulkan bau dan warna yang mencolok sehingga masyarakat lebih berminat untuk menggunakkannya.
Diterima Januari 2013 Disetujui Februari 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Deskriptif, Penerimaan Masyarakat, Larvasida ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Study design was descriptive study involving 25 respondents as assessor for acceptance larvacide lemongrass display aspect (color and odor), ease of use, application in mosquito breeding sites, and the availability of materials larvacide. Analyzed with descriptive method percentage. Extract the potential to be accepted in society as larvacide, because it has the smell is liked by the community and the availability of materials are relatively abundant in nature. But doubts the public to accept as lemongrass extract larvacide use due process associated with the use of clean water for daily use. Thereby reducing the interest of the community and are more likely to prefer the bathtub drain instead of using larvacide. Advice for health agencies in order to socialize the larvacide lemongrass, lemongrass larvacide in the community to be better known, and its benefits can be widely used. We recommend that you do research on the application of larvacide lemongrass with a more practical, highly effective, and odorless and striking colors that people are more interested in using it..
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
alami bersifat hit and run, yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh akan cepat menghilang di alam (Kardinan, 2000: 45). Penggunaan larvasida alami memililiki beberapa keuntungan, antara lain degradasi atau penguraian yang cepat oleh sinar matahari, udara, kelembaban, dan komponen alam lainnya, sehingga mengurangi risiko pencemaran tanah dan air. Selain itu, umumnya larvasida alami memiliki toksisitas yang rendah pada mamalia karena sifat inilah yang menyebabkan larvasida alami memungkinkan untuk diterapkan pada kehidupan manusia (Novizan, 2002 : 5). Pemilihan bahan yang akan digunakan sebagai larvasida tentunya harus aman terhadap manusia atau pun organisme lain, selain itu bahan juga mudah didapatkan, dan diharapkan dapat memberi dampak positif pada kesehatan manusia. Tanaman serai (Andropogon nardus) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai insektisida. Batang dan daun serai digunakan untuk memasak, minyak wangi, bahan pencampur jamu, dan juga dibuat minyak atsiri. Pada serai (Andropogon nardus) terkandung senyawa sitronela yang mempunyai sifat racun, menurut cara kerjanya racun ini seperti racun kontak yang dapat memberikan kematian karena kehilangan cairan secara terus menerus sehingga tubuh nyamuk kekurangan cairan. Ramuan serai dapat dipergunakan sebagai pengusir nyamuk, dengan proses pembuatan yang sederhana, tidak mengeluarkan biaya tinggi, dan alamiah. Cukup dengan diblender kemudian direndam dengan air selama satu malam kemudian diencerkan, ekstrak serai sudah dapat digunakan sebagai pengusir nyamuk (Budi Imansyah, 2003 : 19). Berdasarkan penelitian Amalia Yusnita (2008: 34), efektifitas (nilai LC90-48 jam) ekstrak serai trehadap larva nyamuk Anopheles aconitus adalah sebesar 12, 97 %. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan larvasida dalam berbagai tanaman hingga ditemukan dosis kematian yang dapat
PENDAHULUAN Tingginya angka kejadian kasus dan persebaran penyakit demam berdarah sangat dipengaruhi oleh kepadatan vektor penyakit. Di Indonesia, pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Incidence rate penyakit DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,86% (Depkes RI, 2009: 47). Pada tahun 2011 incidence rate penyakit DBD di Jawa tengah mencapai 5,0 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,15%, untuk wilayah Kota Semarang IR penyakit DBD menempati urutan pertama, yaitu 29,4 per 100.000 penduduk. Di Indonesia, nyamuk penular demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus, akan tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama penyakit demam berdarah adalah nyamuk Aedes aegypti. Kedua jenis nyamuk ini biasanya lebih aktif pada waktu siang hari, dan lebih suka menghisap darah manusia daripada darah hewan (Dantje T, 2009: 63). Salah satu cara pengendalian vektor demam berdarah adalah dengan menggunakan insektisida sintetik seperti DDT (Dichloro Diphenyil Trichloroethane), etilheksanol, temefos, dan berbagai senyawa sintetik lainnya. Penggunaan insektisida sintesis khususnya larvasida menimbulkan beberapa efek, diantaranya adalah resistensi terhadap serangga, pencemaran lingkungan, dan residu insektisida. Untuk mengurangi efek tersebut, maka diupayakan penggunaan larvasida alami untuk mengendalikan larva Aedes Sp. Secara umum larvasida alami diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Larvasida alami relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami, maka jenis insektisida ini mudah terurai karena residunya mudah hilang. Larvasida
2
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
membunuh larva. Berdasarkan hasil uji laboratorium dan kemanfaatan serai sebagai anti serangga di masyarakat maka peneliti melakukan penelitian lanjutan dari hasil penelitian sebelumnya yaitu dengan mengambil tema larvasida dengan judul “Studi Deskriptif Penerimaan Masyarakat Terhadap Larvasida Alami”.
kriteria inklusi-ekslusi sebagai penjaringan dalam memilih sampel. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1) Sehat jasmani dan rohani 2) Tidak buta warna, dibuktikan dengan ishihara tes card. 3) Panelis mengikuti sosialisasi tentang larvasida alami ekstrak serai. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah : 1) Panelis tidak bersedia mengikuti penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara kuesioner. Kuesioner digunakan untuk pengambilan data presentase penerimaan masyarakat terhadap larvasida alami. Dalam penelitian ini data primer dikumpulkan dari kuesioner. Dengan kuesioner penjaringan, peneliti mendapat informasi mengenai pendapat masyarakat terhadap larvasida alami ekstrak serai. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Profil Kelurahan yang dikeluarkan oleh Kelurahan Kaliwiru untuk memperoleh data kependudukan.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dimana penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan penerinaan masyarakat terhadap larvasida serai berdasarkan aspek tampilan (warna dan bau), kemudahan penggunaan, penerapan di tempat perkembangbiakan larva, dan ketersediaan bahan. Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu penerimaan masyarakat terhadap larvasida serai (Andropogon nardus) yang meliputi aspek tampilan (warna dan bau), kemudahan penggunaan (kepraktisan), penerapan ditempat perkembangbiakan nyamuk, dan ketersediaan bahan/kelimpahan bahan. Sampel dalam penelitian ini diambil sampel minimum yaitu 25 panelis yang berasal dari warga masyarakat. Responden pada penelitian ini diperoleh dengan teknik purposive sampling dengan menyertakan
3
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 1. Prosedur Penelitian TAHAPAN PENELITIAN
RINCIAN KEGIATAN
Tahap Pra Penelitian
1.
Tahap Pelaksanaan Penelitian
2. 3. 4. 1. 2.
Tahap Analisis Data Penyusunan Laporan
dan
Melakukan penetapan sasaran penelitian dengan mengumpulkan data Insidence Rate DBD dari Dinas Kesehatan Kota Semarang. Melakukan konsultasi dengan pihak kelurahan. Melakukan sosialisasi dengan sasaran penelitian. Melakukan pembuatan ekstrak di laboratorium. Melakukan pengecekan persiapan instrumen penelitian dan bahan penelitian. Pelaksanaan penelitian
Melakukan analisis data dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan penyusunan laporan
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan gambaran data penerimaan masyarakat. Rumus Analisis Deskriptif Persentase adalah sebagai berikut : DP % =
HASIL DAN PEMBAHASAN Monografi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Kelurahan Kaliwiru Kecamatan Candisari Kota Semarang. Sebelah utara wilayah kelurahan Kaliwiru berbatasan dengan Kelurahan Wonotingal, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Jatingaleh, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Karanganyar Gunung, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karangrejo.
X 100%
Keterangan : DP : Deskriptif Presentase n : Nilai atau hasil yang diperoleh N : Jumlah seluruh nilai maksimum Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Kaliwiru Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah Orang
Presentase
Jenis Kelamin
1909 2014 3923
48,6% 51,3% 100%
Laki-laki Perempuan Jumlah
Berdasarkan tabel dan grafik tersebut komposisi penduduk di Lokasi penelitian, yaitu Kelurahan Kaliwiru 51,3% (2014 orang) adalah perempuan yaitu sebanyak 2014 penduduk, sedangkan 48,6 % (1909 orang) adalah laki-laki dengan jumlah 1909. Total penduduk kelurahan Kaliwiru 3923 penduduk. Responden dari penelitian berasal dari ibu-ibu warga Kelurahan Kaliwiru yang berdomisili tetap di kelurahan Kaliwiru. Dari kriteria tersebut, diperoleh 25 responden yang masuk
dalam kriteria tersebut. Umur responden lebih beragam, berkisar antara 20-47 tahun, yang lebih banyak mengikuti penelitian adalah responden dengan umur 26-30 tahun. Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini juga beragam, 11 lulusan SMP, 11 lulusan SMA, 3 lulusan Perguruan Tinggi dan 1 responden berpendidikan terakhir SD.
4
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Umur
Jumlah Responden
Presentase
20-25
5
20%
26-30 31-35
9 6
36% 24%
36-40
3
12%
41-45 46-50
1 1
4% 4%
Jumlah
25
100%
Dari tabel tersebut tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah responden terbesar terdapat pada data kelas ke-2 yaitu rentang 2630 tahun. Sedangkan responden paling sedikit
terdapat pada kelas ke-5 dan kelas ke-6, rentan usia 41-45 dan 45-50 tahun. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 4. Karaketristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah Responden
PT SMA SMP SD
3 11 11 1
Jumlah
25
Presentase 12% 42% 42% 4%
100%
Tingkat pendidikan responden berdasarkan tabel dan grafik tersebut paling banyak adalah SMA dan SMP yaitu masingmasing 42 % (11 responden) sedangkan
perguruan tinggi 12% (3 responden) dan SD sebanyak 4% (1 responden). Analisis Deskriptif Presentase
Tabel 5. Penerimaan Responden terhadap Warna Larvasida Serai Setuju
Penilaian Warna 68% (17 orang)
Tidak Setuju
32% (8 orang )
Total
100% (25 orang)
5
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Penilaian responden terhadap warna larvasida berdasarkan hasil dari kuesioner tampilan warna menunjukkan bahwa sebanyak 68% (17 Orang) setuju bahwa larvasida serai memiliki wana yang jernih dan menarik.
Sedangkan sebanyak 32% (8 orang) tidak setuju, dan tidak tertarik pada warna dari larvasida serai tersebut.
Tabel 6. Penilaian Responden terhadap Bau Larvasida Serai Setuju
Penilaian Bau 56% (14 orang)
Tidak Setuju
44% (11orang )
Total
100% (25 orang)
Penilaian bau larvasida seraidari 25 responden menunjukkan bahwa 56% (14 orang) responden menyetujui bahwa bau
larvasida serai harum dan tidak menyengat, sehingga responden tertarik untuk menggunakkannya lebih lanjut.
Tabel 7. Penilaian Responden terhadap Kemudahan Penggunaan Larvasida Serai Setuju
Penilaian Bau 40% (10 orang)
Tidak Setuju
60% (15orang )
Total
100% (25 orang)
Penilaian responden terhadap tingkat kemudahan penggunaan larvasida serai ini menunjukkan bahwa 60% (15) responden
menganggap bahwa larvasida serai dalam bentuk cair ini kurang efisien digunakan.
Tabel 8. Penilaian Responden terhadap Penerapan Larvasida Serai di Tepmat Perkembangbiakan Nyamuk Setuju
Penilaian Bau 28% (7 orang)
Tidak Setuju
72% (18orang )
Total
100% (25 orang)
Sebanyak 72% (18 orang) responden tidak mau menggunakan larvasdia serai di
tempat penmpungan air, sedangakan 28 % (7 orang) menyatakan setuju.
Tabel 9. Penilaian Responden terhadap Ketersediaan Bahan Larvasida Serai Setuju
Penilaian Bau 64% (16 orang)
Tidak Setuju
36% (9orang )
Total
100% (25 orang)
6
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Berdasarkan grafik diatas, diketahui bahwa 64% (16 orang) responden menyatakan setuju bahwa bahan serai mudah didapat di lingkungan tempat tinggal, sedangkan 36% (9 orang) menyatakan bahwa serai susah diperoleh.
memiliki bau yang harum mirip bunga lili dan harganya sangat mahal, digunakan sebagai komponen parfum( Hardjono Sasrohamidjojo, 2002 dalam Sri W, 2005 : 30). Sedangkan Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004: 93) mendefinisikan persepsi sebagai daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancainderanya mendapat rangsang. Sehingga uji penerimaan dari larvasida alami ekstrak serai diawali dengan mengenali larvasida tersebut, dengan pengamatan secara indrawi yaitu menggunakan alat indra. Setelah indra mendapat rangsang, maka responden baru dapat menginterpretasikan persepsi tentang rangsang yang diterima dengan sebuah psroses yang disebut penilaian bahan. Persepsi masyarakat tentang larvasida dimulai dengan pengenalan melalui tahap sosialisasi. Pada tahap sosialisasi responden mulai memperhatikan keberadaan dari larvasida serai yang selama ini belum di kenal. Sejumlah faktor beroperasi untuk membentuk dan terkadang merubah persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi tersebut dibuat. Ketika seorang individu melihat sebuah target an berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ia lihat, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pembuat persepsi individual tersebut. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif, minat, pengalaman masa lalu, dan harapanharapan seseorang. Karakteristik target yang diobservasi bisa mempengaruhi apa yang diartikan, hubungan sebuah target dengan latar belakangnya juga mempengaruhi persepsi. Penggunaan larvasida berbahan alami belum banyak oleh masyarakat secara luas. Pengguanaan larvasida dalam bentuk cair memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan. Hasil ekstraksi serai yangberbentuk cair bening memberi kesan segar pada responden, namun manjadi tidak efisien ketika penggunaannya karena sifat dari zat cair itu sendiri adalah
Penerimaan Masyarakat Terhadap Larvasida Alami Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Pada uji penerimaan panelis mengemukakan tanggapan pribadi, yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1990:77). Hasil dari pengujian persepsi responden terhadap kesukaan pada warna dan bau larvasida menunjukkan bahwa responden menyukai secara indrawi warna dan bau dari larvasida serai yang berbahan aktif sitronella ini, 68% menyukai tampilan warnanya dan 56% menyukai aromanya. Sitronelal yang ada dalam serai dan mengalami proses kimia mempunyai banyak kegunaan, yaitu : Sitronelal oleh pengaruh asam dapat diubah menjadi isopulegol dan bila kemudian isopulegol kemudian dihidrogenasi dapat diperoleh mentol. Mentol digunakan untuk obat-obatan, dapat ditambahkan pada pasta gigi, makanan dan minuman. Sitronelal bila direduksi dapat diubah menjdi sitronelol. Sitronelol memiliki bau seperti bunga mawar dan dapat digunakan sebagai komponen parfum dan merupakan saalh satu pewangi yang mahal. Sitronelal bila direaksikan pereaksi Grignard akan dieroleh suatu turunan alcohol yang disebut alkil sitronelol yang brujud cairan yang memiliki bau yang sangat harum dan digunakan secara luas dalam parfum dan kosmetika. Sitronelol dapat diubah menjadi senyawa hidroksi sitronelal yang sering disebut king of parfume. Senyawa hidroksi sitronelal merupakan cairan yang berwarna kekuningan
7
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
mudah terlarut. Mudah tumpah dan juga responden kurang menyukai karena kurang praktis, hal tersebut dapat terlihat dari hasil penilaian dimana hanya 40% responden yang setuju menggunaakan sediaan dalam bentuk cair, dan menganggapnya praktis. Sedangkan 60% menganggap bahwa sediaan dalam bentuk cair kurang efisien digunakan. Masyarakat lebih mengharapkan adanya bentuk larvasida alami yang dapat digunakan secara langsung dan bentuk yang lebih prkatis misalnya serbuk larvasida yang berbau harum dan efektif membunuh larva nyamuk di dalam bak mandi dan tempat penampungan air. Dari hasil penilaian terhadap penerapan di tempat perkembangbiakan nyamuk, daalm hal ini larvasida serai yang dipalikasikan pada bak mandi responden kurang dapat menerimanya dengan berbagai alasan. Sebanyak 72% responden tidak bersedia menerapkannya di tempat penampungan air, terutama di bak mandi dan penampungan air minum/masak. Hal tersebut dikarenakan air yang sudah terkena ekstrak serai tidak lagi jernih, berbau, sehingga responden menganggap air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi, dan tidak tergolong air bersih. Dari hasil analisis diskusi dengan responden, sebagian dari mereka menganggap bahwa penerapan larvasida dalam bak mandi masih dapat ditoleransi jika larvasida tersebut tidak menimbulkan perubahan warna dan perubahan bau pada air, ketidaksukaan masyarakat pada penerapan larvasida di dalam bak mandi seperti penerapan abate (temephos) yang sebelumnya pernah dilakukan hanya bertahan beberapa waktu saja, setelah itu mereka lebih memilih menguras bak mandi daripada harus menaburkan sesuatu ke dalam air. Dari hasil penilaian sebanyak 64% responden menyatakan setuju bahwa bahan serai mudah didapat di lingkungan tempat tinggal tanaman serai juga dapat tumbuh sepanjang tahun, tidak membutuhkan pemupukan intensif dalam penanamnnya sehingga dapat dikembangbiakan dengan mudah. Batang dan daun serai banyak
digunakan untuk memasak. Hal tersebut karena serai merupakan tumbuhan herba menahun yang dapat berkembangbiak mudah dengan pemisahan tunas atau anakan, serai juga dapat tumbuh pada lahan kurang subur bhakan tandus karena serai memiliki kemampuan adaptasi yang baik di lingkungannya (Kardinan, 2003 :11) Batang serai yang tidak berkayu banyak dimanfaatkan untuk bumbu masakan. Adapun kelemahan dan hambatan yang dihadapi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah keterbatasan jumlah ekstrak yang dibutuhkan, hal tersebut diatasi dengan merotasi responden sehingga satu sampel ekstrak dapat digunakan oleh beebrapa responden, selain itu peneliti juga melewatkan satu tahap penelitian, yaitu pengujian skala kecil larvasida di lapangan sebelum dilakukan uji penerimaan di masyarakat, sehingga peneliti belum menemukan dosis penerapan di lapangan secara tepat, dan hanya menggunakkan hasil penelitian laboratorium saja. SIMPULAN Ekstrak serai memiliki berpotensi untuk diterima di masyrakat sebagai larvasida, karena memiliki bau yang disukai oleh masyarakat dan ketersediaan bahan yang cukup melimpah di alam. Namun beberapa hal yang menghalangi persespi masyrakat untuk menerima ekstrak serai sebagai larvasida adalah karena proses penggunaannya berkatan dengan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Sehingga mengurangi minat masyarakat dan lebih cenderung untuk lebih memilih menguras bak mandi daripada menggunakan larvasida. DAFTAR PUSTAKA Agus Kardinan, 2002, Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk, Jakarta : Agro Media Pustaka. ____________, 2000. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasi, Jakarta : Penebar Swadaya.
8
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) Bayu Raharjo,2006. Uji Kerentanan (Susceptibility
Harborne JB, 1997, Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, Bandung : ITB Press. Hieranymus B S, 1992, Sereh Wangi Bertanam dan Penyulingan, Yogyakarta : Kanisius. Howard C Ansel, 1999, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta : UI Press. Imansyah B, 2003. Ekstrak Serai Pengusir Nyamuk Alamiah. Jakarta : Agro Media Pustaka. Iid Itsna A, 2007, Ekstrak Daun Srikaya (Anonna
Test) Nyamuk Aedes aegypti (linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap Larvasida Temephos (Abate 1SG), http://digilib.bi.itb.ac.id/go. php?id=jbptitbbi-gdl-s1-2006-bayurarj-1539, diakses 24 Februari 2012, 09:00 am. Amalia Yusnita, 2008, Uji Efektifitas Ekstrak Serai
Terhadap Larva Nyamuk Anopheles Aconitis Donitz, Skripsi : Universitas Negeri Semarang. Bambang K, 1988, Pedoman Uji Indrawi Bahan Pangan, Yogyakarta : PAU UGM. Bhisma Murti, 2008, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta: Gajah Mada
Squamosa L), Daun Sirsak (Anonna Muricuta L), Dan Daun Cengkeh (Syzgium Aromaticum) Sebagai Bahan Pengawet Alami Anti Rayap. Skripsi : Institut Pertanian Bogor. Junaedi Radi, 2000 , Sirsak Budidaya dan Pemanfaatannya, Yogyakarta : Kanisius. Kusmajadi Suradi, 1999, Tingkat Kesukaan Bakso
University Press. Dantje T. Sembel, 2009, Entomologi Kedokteran, Yogyakarta: CV. Andi Offset. Dewi Susanna Dkk, 2003, Potensi Daun Pandan Wangi untuk Membunuh Larva Aedes aegypti, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Vol 2 No. 2, Agustus 2003 hal, 223-228. Departemen Kesehatan, 2000, Inventaris Tanaman Obat Indonesia (Jilid 1), Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Didik Gunawan & Sri Mulyani, 2008, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), Jakarta: Penebar Swadaya. Dinas Perkebunan Jateng, Petunjuk Teknis Pembuatan Pestisida Nabati. Semarang: Dinas Perkebunan Propinsi Jateng. Dinas perkebunan propinsi JatenG, 2001, Petunjuk
Dari Berbagai Jenis Daging Melalui Beberapa Pendekatan Statistik, Jurnal Vol. 1999. Lela Lailatu K, 2010, Efektivitas Biolarvasida Ekstrak Etanol Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides)terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaicus, Volume I, No 1, April 2010, hlm. 59-65. Muhamad Sopiyudin Dahlan, 2008, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika. Novizan, 2002, Membuat Dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta : Agro Media Pustaka. Soekidjo Notoatmojo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Sunaryo, 2004, Psikologi Untuk Keperawtan, Jakarta: EGC. Sofia Lenny, 2006, Isolasi dan Uji Bioaktifitas
teknis pengembagan tanaman pestisida nabati, Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, 2003, Menguji Kesukaan Secara Organoleptik: Depdiknas. Evi Naria, 2005, Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga, Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU. Gembong Tjitrosoepomo, 2004, Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), Jogyakarta : Gadjah Mada University Press. , 2005, Taksonomi Tumbuhan
(Schizophyta, Pteridophyta),
Tallophyta, Jogyakarta
Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metoda Uji Brine Shrimp, http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/1844/3/06000441.pd f.txt, diakses 2 Februari 2012, 08:00 pm. Sri Wahyuni, 2005, Daya Bunuh Ekstrak Serai
(Andropogon nardus) terhadap Nyamuk Aedes aegypti, Skripsi : Universitas Negeri
Bryophyta, :Gajah
Semarang. Sugeng Jawono, 1992, Daya Insektisidal Daun dan Biji
Mada
Anonna muricita Linn. Terhadap Larva Nyamuk di Laboratorium, Jurnal Fakultas
University Press. Hardiansyah, 2000 Pengendalian Mutu dan Keaamanan Pangan, eprgizi pangan, PAPTI, PDGMI, Persagi, proyek CHN 111, komponen dikti, Jakarta.
Kedokteran Universitas Gajah Mada, Vol 24 No. 3 September 1993. Suharismi Arikunto, 2006, Prosedeur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta.
9
Ameliana Pratiwi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) Trevor
Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, Bandung: Penerbit Robinson,
1995,
ITB. Winiati Pudji R, 1998, Penuntun Praktikum Penilaian Organolaptik, Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi: ITB. Yanur S Dkk, 2007, Serai (Andropogon nardus)
sebagai Insektisida Pembasmi Aedes aegypti semua stadium, PKM Universitas Muhammadiyah Malang.
10
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PENGARUH KEBERADAAN SISWA PEMANTAU JENTIK AKTIF DENGAN KEBERADAAN JENTIK DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN GAJAH MUNGKUR KOTA SEMARANG TAHUN 2013 Ayu Andini Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh keberadaan siswa pemantau jentik aktif dengan keberadaan jentik di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni menggunakan metode pretest-postest dengan kelompok kontrol (pretest-postest with control group). Sampel dalam penelitian ini adalah sekolah dasar di Kecamatan Gajahmungkur yang berjumlah 16 sekolah dasar. Sampel dibagi menjadi dua dengan menggunakan teknik simple random sampling dengan cara undian atau lottery technique. Instrumen yang digunakan adalah kartu pemantauan jentik, checklist peran siswa, checklist keberadaan jentik, buku panduan pemantauan jentik, dan papan pengumuman keberadaan jentik. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil signifikasi p (0,007) < 0,05. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah keberadaan siswa pemantau jentik aktif memiliki pengaruh terhadap keberadaan jentik di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang tahun 2013. Saran yang diberikan kepada pihak sekolah, pihak Puskesmas Pegandan dan Dinas Kesehatan Kota Semarang agar mengizinkan, mendukung dan memfungsikan siswa pemantau jentik di sekolah dasar.
Diterima Agustus 2013 Disetujui September 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Siswa Pemantau Jentik, Peran, Keberadaan Jentik, Sekolah Dasar ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The objective of this study was to examine the influence of active larva-monitor students on the existence of larva in the Elementary School, District Gajahmungkur, Semarang in 2013. This research was a pure experimental study using pretest-postest method with control group. Sample in this study were 16 elementary schools in district Gajahmungkur. Sample were divided into two by simple random sampling technique using lottery technique. The instruments used in this study were the larva monitoring cards, student role checklist, larva existence checklist, larva monitoring guide books, and announcement boards to show the larva existence. Data analysis was performed using both univariate analysis and bivariate analysis. The result of the study shows that the significance p value (0.007)<0.05. The conclusion of this research was that active student role in larva monitoring has an influence on the existence of larvae in the Elementary School District Gajahmungkur Semarang in 2013. Advice given to the school, the health center Pegandan and the Health Office of Semarang are expected to support, permitting, and enable the larva monitoring students in elementary school.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
menggigit secara berulang-ulang (Multiple Bites) sehingga DBD dapat menular dan menyebar secara cepat (Depkes RI 3, 2010: 7). Tempat-tempat yang potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah daerah endemis, tempat-tempat umum (sekolah, rumah sakit, hotel, pertokoan, pasar, restoran, dan tempat ibadah), dan pemukiman baru di pinggir kota. Sekolah menjadi tempat yang potensial karena murid sekolah berasal dari berbagai wilayah tempat tinggal yang memungkinkan membawa jenis-jenis virus dengue yang berbeda. Anak-anak merupakan umur yang susceptible terserang DBD. Sedangkan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utamanya aktif menggigit pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00, dimana anak sekolah dasar sedang aktif belajar di sekolah. oleh karena itu lingkungan sekolah harus terbebas dari nyamuk penular DBD (Depkes RI 3, 2010: 3-7). Sampai saat ini belum ditemukan obat dan vaksin DBD sehingga pemberantasan DBD ditekankan pada pemberantasan vektor penular utamanya yaitu nyamuk Aedes aegypti (Depkes RI 3, 2010: 13-14). Prioritas pemberantasan DBD yang ditekankan oleh pemerintah untuk dilakukan oleh seluruh masyarakat adalah pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti, yang dalam hal ini lebih dikenal dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yunita Ken Respati dan Soedjajadi Keman (2007) bahwa ada hubungan perilaku 3M, abatisasi, dan keberadaan jentik Aedes aegypti dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Pacarkeling Kecamatan Tambaksari Kota Surabaya. Salah satu indikator yang berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) adalah keberadaan jentik. Penelitian yang dilakukan oleh Laksmono Widagdo dkk (2008) menyebutkan bahwa ada hubungan bermakna PSN 3 M plus di bak mandi, ember, dan gentong plastik dengan jumlah jentik di tempat
PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk. DBD disebabkan oleh virus dengue (den-1, den-2, den-3, dan den-4). Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti atau Ae. albopictus. Nyamuk penular DBD terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia (Depkes RI 1, 2010: 2). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 65.432 kasus DBD dengan 595 kematian. IR DBD di Indonesia tahun 2011 adalah 27,56 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,91% (Profil Kesehatan Indonesia, 2011). Menurut data dari Dinas Propinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 IR DBD di Kota Semarang sebesar 29,4/100.000 penduduk dengan CFR 0,9%. IR DBD Kota Semarang merupakan tertinggi kedua setelah Kota Tegal 29,9/100.000 penduduk. Menurut data Dinkes Kota Semarang pada tahun 2011 selama 5 bulan berturut-turut, yaitu dari bulan Agustus sampai bulan Desember Kecamatan Gajahmungkur menempati peringkat pertama IR DBD tertinggi di Kota Semarang. IR DBD di Kecamatan Gajahmungkur pada tahun 2011 adalah 400,51/100.000 penduduk. Kecamatan Gajahmungkur merupakan wilayah kerja Puskesmas Pegandan. Survei yang dilakukan oleh Puskesmas Pegandan rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Gajahmungkur dari bulan April sampai bulan Desember sebesar 90,44% yang masih dibawah ABJ standar nasional, yaitu 95%. Survei angka bebas jentik di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur yang dilakukan oleh peneliti pada tahun 2013 mendapatkan hasil dari 22 Sekolah Dasar yang ada hanya 9 SD yang bebas jentik sehingga ABJ di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur tersebut adalah 41%. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian secara cepat. Penyakit ini juga sering menimbulkan KLB karena perilaku menggigit vektornya yang
2
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
penampungan air tersebut di Kelurahan Srondol Wetan Kota Semarang. Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala diharapkan dapat memberikan gambaran sebaran vektor DBD dan evaluasi mengenai pelaksanaan PSN DBD. Hal ini dimaksudkan dapat memotivasi masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD dengan frekuensi yang tepat dan kualitas yang baik (Depkes RI, 2010: 2-4). Pemberdayaan siswa sekolah dasar menjadi Siswa Pemantau Jentik (Wamantik) mulai dicetuskan sejak tahun 2004 oleh pemerintah. tetapi sampai saat ini implementasi program masih belum berjalan. Pemerintah masih belum memiliki konsep yang tepat dan efektif dalam pemberdayaan siswa sehingga perlu dirumuskan metode pemberdayaan siswa pemantau jentik di sekolah dasar (ferry,2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai Pengaruh Peran Siswa Pemantau Jentik dengan Keberadaan Jentik di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang Tahun 2013.
sederhana, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara acak, dimana setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel. Teknik simple random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik undian atau lottery technique (Soekidjo, 2005:85). Jumlah populasi sasaran dari penelitian ini adalah 17 sekolah dasar. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 16 sekolah dasar. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu pemantauan jentik, buku panduan pemantauan jentik, papan pengumuman hasil pemantauan jentik, alat pemantauan jentik, dan checklist. Teknik pengambilan data menggunakan metode dokumentasi, wawancara, dan observasi. Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer. Proses pengolahan data tersebut adalah editing, coding, entry, dan tabulating. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan keberadaan jentik sebelum dan sesudah adanya siswa pemantau jentik aktif pada kelompok eksperimen, perbedaan keberadaan jentik sebelum dan sesudah tidak ada siswa pemantau jentik aktif pada kelompok kontrol, dan perbedaan keberadaan jentik pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada beda keberadaan jentik pretest dan postest pada masing-masing kelompok penelitian adalah menggunakan uji McNemar. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan keberadaan jentik postest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan uji chi square dengan uji alternatifnya adalah uji Fiser.
METODE PENELITIAN Jenis dan rancangan sampel pada penelitian ini adalah penelitian eksperimen murni pretes-postes dengan kelompok kontrol (pretest-postest with control group) adalah rancangan penelitian, dimana pengelompokan anggota-anggota kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan berdasarkan acak atau random. Variabel bebas pada penelitian ini adalah Siswa Pemantau Jentik (Wamantik) aktif. Variabel terikat pada penelitian ini adalah keberadaan jentik. Beberapa variabel perancu dalam penelitian ini diantaranya adalah umur, pengetahuan, dan sikap siswa pemantau jentik yang dikendalikan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua Sekolah Dasar di Kecamatan Gajahmungkur yang berjumlah 22 sekolah dasar. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara simple random sampling atau pengambilan sampel secara acak
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di 16 Sekolah Dasar di Kecamatan Gajahmungkur. Wilayah Kecamatan Gajahmungkur merupakan daerah yang tidak rawan banjir, tetapi beberapa
3
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
wilayah mengalami sulit air karena air tanah segar baru diperoleh pada kedalaman 60 meter. Tempat penelitian berada pada daerah yang kebutuhan air sehari-hari masih dapat terpenuhi yang berasal dari PDAM maupun dari air sumur. Sekolah dasar tempat penelitian berlangsung berada pada wilayah kerja Puskesmas Pegandan. Sekolah dasar tersebut terletak berdekatan atau dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Penelitian ini berlangsung pada musim kemarau atau pada musim sangat jarang sekali dijumpai hujan, yaitu pada bulan April sampai bulan Mei. Responden penelitian ini adalah siswa kelas 5 sekolah dasar yang menjadi siswa pemantau jentik. Rata-rata umur siswa pemantau jentik dalam penelitian ini adalah 11,40 dengan umur paling muda adalah 10 tahun dan umur paling tua adalah 14 tahun. Berdasarkan kriteria umur, maka kemampuan rata-rata siswa dalam menangkap penjelasan adalah sama. Dimana di dalam teori Freud, rentang umur tersebut masuk ke dalam rentang umur masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar dengan karakteristiknya adalah memiliki rasa ingin tahu dan ingin belajar besar, sudah dapat mengerjakan tugas secara mandiri, dan senang dalam kegiatan berkelompok (Sumadi, 2002: 204-206). Kelompok dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen merupakan sekolah dasar yang di dalamnya terdapat intervensi adanya siswa pemantau jentik aktif. Siswa pemantau jentik dalam penelitian ini memiliki tugas untuk melakukan pemantauan jentik secara rutin dua kali dalam seminggu, mencatat hasil pemantauan jentik, melaporkan hasil pemantauan jentik, dan menuliskan hasil pemantauan jentik pada papan pengumuman keberadaan jentik. Tugas
siswa pemantau jentik pada kelompok eksperimen ini dipastikan berjalan dengan pengawasan dari supervisor siswa pemantau jentik yang berasal dari guru kelas 5. Guru kelas 5 sebagai supervisor memiliki lembar checklist peran siswa yang dipergunakan untuk memastikan bahwa siswa pemantau jentik melakukan tugas sesuai dengan peran yang seharusnya dilakukan. Sedangkan kelompok kontrol pada penelitian ini merupakan kelompok yang tidak dilakukan intervensi adanya siswa pemantau jentik aktif di sekolah dasar. Kegiatan pada kelompok kontrol hanya melihat keberadaan jentik pretest dan postest oleh peneliti. Kelompok siswa pemantau jentik ditentukan berdasarkan piket kebersihan kelas. Hal tersebut lebih menguntungkan daripada membentuk kelompok baru karena sebelumnya antar masing-masing anggota kelompok sudah pernah bekerjasama dalam piket kebersihan kelas sehingga sudah terbiasa dengan masingmasing anggota kelompok. Disamping itu juga, kegiatan siswa pemantau jentik yang disisipkan ke dalam kelompok kebersihan kelas menjadi kegiatan yang tidak terasa asing sehingga mudah diterima untuk dilaksanakan oleh siswa, dengan kata lain memanfaatkan kearifan lokal atau kebiasaan yang ada di sekolah tersebut. Sistem kelompok ini juga dapat mengantisipasi berhentinya pelaksanaan kegiatan karena pelaksana tidak berangkat sekolah dan juga mampu meringankan tugas dari pelaksana kegiatan pemantauan jentik ini. Lama pelaksanaan tugas siswa pemantau jentik adalah ± 10 menit sampai 15 menit dan pada penelitian ini dilaksanakan pada waktu istirahat atau pada pulang sekolah. Hasil penelitian keberadaan jentik pada kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada tabel berikut ini:
4
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 1. Hasil Pemantauan Jentik Pretest pada Kelompok Eksperimen Keberadaan Jentik Kode Sekolah S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 Jumlah
Bak Mandi
Ember
Drum
Jumlah + 2 4 2 4 4 2 3 4 1 5 3 28
Jumlah + -
Jumlah + -
Pot Bunga Jumlah + -
1
2
Bak Kompres Jumlah + -
Dispenser Jumlah +
2 2
4
1
1 1
2
1 1 2 1 1 1 1 1 9
Tabel 2. Hasil Pemantauan Jentik Postest pada Kelompok Eksperimen Keberadaan Jentik Kode Sekolah
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 Jumlah
Bak Mandi
Ember
Drum
Jumlah + 2 4 2 4 4 2 3 4 1 5 3 28
Jumlah + -
Jumlah + -
Pot Bunga Jumlah + -
1
2
1
2
Bak Kompres Jumlah + -
Dispenser Jumlah +
2 2
4
1 1
1 1 2 1 1 1 1 1 9
Tabel 3. Hasil Pemantauan Jentik Pretest pada Kelompok Kontrol Keberadaan Jentik Kode Sekolah
S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16
Bak Mandi Jumlah + 3 7 2 2 1 2 2 7 7 4 6 3 5 1 2
Ember
Drum
Jumlah + -
Jumlah + -
Pot Bunga Jumlah + -
Bak Kompres Jumlah + -
Dispenser Jumlah +
-
2 1 1 3
5
Cuci Tangan Jumlah + 1
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Jumlah
26
28
3
2
2
1
Tabel 4. Hasil Pemantauan Jentik Postes pada Kelompok Kontrol
Kode Sekolah S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 Jumlah
Keberadaan Jentik Bak Ember Drum Mandi Jumlah Jumlah Jumlah + + - + 2 1 8 1 2 1 2 2 10 4 5 5 3 5 2 1 34 20
Pot Bunga Jumlah + -
Bak Kompres Jumlah + -
Dispenser Jumlah +
-
Cuci Tangan Jumlah + 1
2 1 1 3 3
2
Berdasarkan Tabel 1,2,3, dan 4, macam tempat penampungan air yang ada di sekolah dasar tempat penelitian adalah 77,27% bak mandi, 3,64% ember, 0,91% drum, 4,55% pot bunga, 0,91% bak kompres UKS, 11,82% dispenser, 0,91% tempat cuci tangan. Berdasarkan penelitian tersebut, tempat penampungan air yang paling banyak dijumpai di sekolah dasar dan paling banyak terdapat jentiknya adalah bak mandi, dispenser, pot bunga, dan tempat penampungan air lain yang ada di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agus Setyobudi (2011) yang menyatakan bahwa keberadaan breeding place memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk. Pada daerah penelitian menyatakan bahwa keberadaan breeding place paling banyak terinfeksi jentik di daerah endemis dan non endemis DBD adalah bak mandi. Bak mandi dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat. Pada kelompok eksperimen, berdasarkan tabel 1 dan 2, tempat penampungan air yang diperiksa sebanyak 48. Dimana dari 48 tempat
2
1
penampungan air tersebut, pada penelitian pretest terdapat 14 kontainer yang terdapat jentik di 8 sekolah dasar kelompok eksperimen. Pada penelitian postest hanya terdapat 3 kontainer yang terdapat jentik di 6 sekolah dasar kelompok eksperimen. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan ABJ pada kelompok eksperimen dari 0% menjadi 75%, penurunan CI dari 29,17% menjadi 6,25%, dan terjadi penurunan HI dari 100% menjadi 25%. Pada kelompok kontrol, berdasarkan Tabel 3 dan 4, tempat penampungan air yang diperiksa sebanyak 62. Dimana dari 62 tempat penampungan air tersebut, pada penelitian pretest terdapat 31 kontainer yang terdapat jentik di 7 sekolah dasar kelompok kontrol. Pada penelitian postest terdapat 39 kontainer yang terdapat jentik di 8 sekolah dasar kelompok kontrol. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa terdapat penurunan ABJ pada kelompok kontrol dari 12,5% menjadi 0%, peningkatan CI dari 50% menjadi 62,9%, peningkatan HI dari 87,5% menjadi 100%.
6
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 5. Perbedaan Keberadaan Jentik Pretest dan Postest pada Kelompok Eksperimen Keberadaan Jentik Postest p Total Keberadaan Jentik value No Ada Jentik Tidak Ada Jentik Pretest Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Ada jentik 2 25 6 75 8 100 0,031 2 Tidak ada jentik 0 0 0 0 0 0 Total 2 25 6 75 8 100 Berdasarkan pada Tabel 5, penelitian pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah adanya siswa pemantau jentik aktif memperoleh hasil uji hipotesis menggunakan uji MacNemar menunjukan significancy 0,031. Hasil tersebut menunjukan bahwa p<0,05 sehingga dapat diartikan terdapat perbedaan antara keberadaan jentik sebelum dan sesudah adanya siswa pemantau jentik aktif di sekolah dasar kelompok eksperimen tersebut. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Rachman Rosidi dan Wiku Adisasmito (2009) menyebutkan bahwa pelaksanaan pemantauan jentik secara berkala mampu meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Kegiatan pemantauan jentik yang dilakukan secara rutin akan mampu memotivasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan PSN 3M plus.
Tabel 6. Perbedaan Keberadaan Jentik Pretest dan Postest pada Kelompok Kontrol Keberadaan Jentik Postest Total Keberadaan No Ada jentik Tidak ada jentik Jentik Pretest Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Ada jentik 7 87,5 0 0 7 87,5 2 Tidak ada jentik 1 12,5 0 0 1 12,5 Total 8 100 0 0 8 100 Hasil uji hipotesis pada kelompok kontrol pada Tabel 6 menunjukan nilai significancy 1,000 (p>0,05), artinya tidak terdapat perbedaan keberadaan jentik sebelum dan sesudah tanpa adanya siswa pemantau jentik aktif di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur Tahun 2013. Hal ini terjadi karena tidak ada pemantauan jentik secara rutin sebagai bentuk pengawasan dan evaluasi dari pelaksanaan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, khususnya kegiatan 3M seperti
p value 1,000
halnya yang terjadi di kelompok eksperimen. Pelaksanaan kegiatan 3M pada kelompok kontrol postest masih sama seperti pada saat pretest, yaitu tidak dilaksanakan pada hari-hari yang sama setiap minggu sebagai bentuk kerutinan dalam melaksanakan kegiatan 3M. Pelaksanaan kegiatan 3M di sekolah dasar kelompok kontrol masih yang penting dalam satu minggu melaksanakan kegiatan 3M atau dengan pedoman kalau tempat penampungan air sudah terlihat kotor baru dibersihkan.
Tabel 7. Perbedaan Keberadaan Jentik Postest pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Keberadaan Jentik p Siswa Total value No Pemantau Ada jentik Tidak ada jentik Jentik Aktif Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Ada 2 12,5 6 37,5 8 50 0,007 2 Tidak ada 8 50,0 0 0,0 8 50 Total 10 72,5 6 37,5 16 100
7
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Pada penelitian postest keberadaan jentik kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdasarkan Tabel 7 diperoleh hasil dari uji hipotesis menggunakan uji Fisher menunjukan significancy 0,007 (p<0,05), yang artinya terdapat perbedaan keberadaan jentik di sekolah dasar yang terdapat siswa pemantau jentik aktif dengan sekolah dasar yang tidak terdapat siswa pemantau jentik aktif di Sekolah Dasar Kecamatan gajahmungkur tahun 2013. Apabila dikaitkan dengan fungsi menejemen, yaitu planning, organizing, actuanting, dan controlling, maka pemantauan jentik secara rutin dua kali dalam seminggu oleh siswa pemantau jentik adalah termasuk kedalam fungsi controling. Pada kelompok eksperimen telah melakukan upaya dalam fungsi controling dengan adanya siswa pemantau jentik aktif, dimana kegiatan pemantauan jentik secara rutin ini akan menghasilkan data keberadaan jentik secara rutin sehingga evaluasi dari keberadaan jentik yang ada di sekolah dapat dilakukan lebih tepat. Adanya kegiatan evaluasi menimbulkan kegiatan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk meminimalisir keberadaan jentik, seperti pelaksanaan kegiatan 3M, kondisi tempat penampungan air itu sendiri, dan menimbulkan perhatian terhadap tempat-tempat yang berpotensi adanya jentik di sekolah dasar tersebut. Pada kelompok kontrol tidak ada siswa pemantau jentik aktif, keberadaan jentik di sekolah tidak dipantau secara rutin sehingga mengalami kesulitan untuk melakukan fungsi controlling. Berdasarkan kegiatan tersebut didapatkan data rutin keberadaan jentik untuk mengevaluasi keberadaan jentik di sekolah dasar yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mengambil kebijakan dalam pemberantasan DBD, dalam hal ini berkaitan dengan jentik nyamuk Aedes aegypti di sekolah. Birokrasi sekolah dasar merupakan pemegang kebijakan tertinggi di sekolah dasar. Segala bentuk kegiatan yang berlangsung di sekolah dasar harus mendapatkan persetujuan birokrasi sekolah, khususnya kepala sekolah
dasar. Kegiatan siswa pemantau jentik yang menghasilkan data keberadaan jentik secara rutin di sekolah menimbulkan perhatian dari pihak birokrasi sekolah. Perhatian tersebut muncul dalam bentuk dukungan untuk meningkatkan kegiatan PSN 3M plus. Rachman dan Wiku (2009) menyebutkan bahwa dukungan dari birokrasi setempat sangat penting untuk menggerakan masyarakat. Dukungan tersebut menimbulkan motivasi eksternal pada pelaksana kegiatan PSN 3M plus di sekolah dasar pada kelompok eksperimen. Berbeda dengan kelompok eksperimen, evaluasi keberadaan jentik pada kelompok kontrol yang tidak berlangsung secara rutin menyebabkan tidak adanya perubahan keadaan maupun dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan siswa pemantau jentik di sekolah dasar kelompok eksperimen dalam meminimalisir keberadaan jentik di sekolah tersebut merupakan rangkaian kontribusi dari siswa pemantau jentik itu sendiri, supervisor siswa pemantau jentik, petugas kebersihan atau penjaga sekolah dasar, dan juga birokrasi sekolah sebagai pemegang kebijakan di sekolah dasar tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa keberhasilan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk memerlukan kontribusi dari seluruh masyarakat terkait. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keberadaan jentik sebelum dan sesudah adanya siswa pemantau jentik aktif di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur tahun 2013. Tidak terdapat perbedaan keberadaan jentik sebelum dan sesudah tanpa siswa pemantau jentik aktif di Sekolah Dasar Kecamatan Gajahmungkur tahun 2013. Terdapat perbedaan keberadaan jentik di sekolah dasar yang terdapat siswa pemantau jentik aktif dengan sekolah dasar yang tidak terdapat siswa pemantau jentik aktif di Sekolah
8
Ayu Andini / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
2/ead246ab2a3f2206ed8e1deb7dff8ad289b6 059a.pdf)
Dasar Kecamatan Gajahmungkur tahun 2013. Saran bagi Sekolah Dasar di Kecamatan Gajahmungkur, Puskesmas Pegandan, dan Dinas Kesehatan Kota Semarang agar mendukung dan menerapkan program siswa pemantau jentik di sekolah sebagai upaya pencegahan demam berdarah dengue berbasis pengendalian vektor.
Respati, Yunita Ken dan Soedjajadi Keman, 2007,
Perilaku 3M, Abatisasi dan Keberadaan Jentik Aedes Hubungannya dengan Kejadian Demam berdarah dengue, diakses 10 Januari 2013, (http://
journal.lib.unair.ac.id/index.php/JKL/article/. ../625). Setyobudi, Agus, 2011, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Di Daerah Endemik DBD di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar, diakses 10 Januari
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2010, Buku 1: Penemuan dan Tata Laksana Penderita Demam Berdarah Dengue, Depkes RI, Jakarta. ________, 2010, Buku 3: Pemberantasan Nyamuk Penular Demam berdarah dengue, Depkes RI, Jakarta. Efendi, Ferry, Siswa Pemantau Jentik VS Demam Berdarah Dengue, 2008, diakses tanggal 24 Januari 2013, (http://ferryefendi.blogspot.com/2008/01/si
2013, (http://journal.unsil.ac.id/jurnal/prosiding/9 /930-agus_30.pdf.pdf).
swa-pemantau-jentik-vs-demamberdarah.html). Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Profil Kesehatan Indonesia 2011, 2012, Diakses tanggal 10 Januari 2013 (http://www.depkes.go.id/downloads/PROFI
L_DATA_KESEHATAN_INDONESIA_TAHUN_2 011.pdf) Rosidi, Abd. Rachman dan Wiku Adi Sasmito, 2009,
Hubungan Faktor Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dengan Angka Bebas Jentik di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, diakses 10 Januari 2013, (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4120 98086.pdf). Soedarmo, Sumammo S. Poorwo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari, 2008, Infeksi dan Pediatri Tropis, IDAI, Jakarta. Widagdo, Laksmono, Besar Tirto Husodo, Bhinuri, 2008, Kepadatan Jentik Aedes aegypti sebagai
Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (3M plus): di Kelurahan Srondol Wetan, Semarang, (Online), Vol. 12, No. 1, Hal 13-19, diakses 15 Desember 2012 (http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/
9
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA PRAKTIK HIGIENE DENGAN KEBERADAAN BAKTERI PADA IKAN ASAP DI SENTRA PENGASAPAN IKAN BANDARHARJO KOTA SEMARANG TAHUN 2013 Brilliantantri Wulandari Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan penelitian untuk mengetahui keberadaan bakteri yang terdapat pada Ikan Asap. Penelitian secara kuantitatif dengan populasi 20 rumah dengan sampel penelitian 20 ikan manyung dengan kriteria mengambil setiap rumah satu ikan manyung dengan menggunakan instrumen alat uji mikrobiologi dan formulir kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan ikan manyung tidak memenuhi syarat (>NAB: 5X105 CFU/g) berjumlah 13 ikan manyung. Ikan manyung yang memenuhi syarat (< NAB: 5X105 CFU/g) berjumlah 7 ikan manyung. Hasil penelitian didapatkan berdasarkan Uji Hitung Angka Kuman. Saran bagi pemerintah untuk lebih sering memberikan sosialisasi mengenai teknik pengolahan ikan yang baik kepada produsen ikan agar ikan yang dihasilkan bermutu baik. Bagi peneliti selanjutnya disarankan meneliti nama bakteri yang dapat terkandung didalam ikan asap dengan tingkat kebersihan makanan yang kurang baik dengan menggunakan uji parameter yang berbeda.
Diterima Agustus 2013 Disetujui September 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Ikan Asap, Praktik Higienis, Keberadaan Bakteri, Kualitas Ikan ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of research to determine the presence of bacteria in the smoke fish. Quantitative research with the population 20 fish smoking centre home with 20 research sample arius thalassinus with criteria sampling one smoke fish each house by using instruments test equipment microbiology and questionaire form and observation sheets. Analysis of data was done by univariate and bivariat. The results showed arius thalassinus that not qualified (>NAB: 5X105 CFU/g) were 13 arius thalassinus. Arius thalassinus that qualified (< NAB: 5X105 CFU/g) were 7 arius thalassinus. Research results obtained based on test count the number of germs. Suggestion for the government is to more often give socialization about better technique of processing fish to producers in order to fish produced good quality.for next researchers are suggested to examine the name of bacteria that can be contained in smoke fish with level of poor food hygienes with different parameters test.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
pembusukan pada daging ikan bukan karena proses enzymatic akan tetapi lebih cepat lagi akibat peran bakteri. Praktik higiene sangat bagus jika benar- benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Kusmayadi (2007), terdapat empat hal yang penting yang menjadi prinsip higiene meliputi perilaku sehat dan bersih orang yang mengolah makanan, sanitasi makanan, sanitasi peralatan, sanitasi tempat pengolahan makanan. Semua ini dapat terkontaminasi mikroba karena beberapa hal yaitu salah satunya jika makanan diletakkan dan ditaruh tanpa penutup. Observasi awal yang dilakukan pada tanggal 14 April 2012 mendapatkan hasil bahwa kondisi tempat pengasapan belum dalam katagori bersih dan higienis. Lingkungan sekitar pengolahan banyak berserakan sampah sehingga dikhawatirkan akan mengganggu tingkat higiene ikan asap, dan sumur yang terdapat di tempat pengolahan berwarna keruh dan terendam karena diakibatkan banjir rob. Mengenai praktik higiene produsen, mereka mengaku selalu membersihkan ikan sebelum diolah akan tetapi berdasarkan dengan pengamatan peneliti, mereka menggunakan tawas sebagai media untuk membersihkan ikan. Dan tidak menggunakan teknik penggaraman. Tawas tersebut dilarutkan kedalam ember berisikan air kemudian ikan dimasukkan dan direndam selama beberapa menit Mereka hanya sesekali membersihkan alat-alat produksi. Mereka mengaku jika sempat mereka baru membersihkannya.Kebiasaan produsen yang tidak memperhatikan tingkat kebersihan lingkungan dan bahan baku dapat memberikan dampak bagi para konsumen terutama bagi para pecinta ikan asap yaitu terkena penyakit diare yang diakibatkan ikan asap yang terkotaminasi . Berdasarkan latar belakang, maka peneliti tertarik untuk menulis penelitian dengan judul : ”Hubungan Antara Praktik Higiene Dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap Di Sentra Pengasapan Ikan Bandarharjo Kota Semarang”.
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat . Mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan terutama disebabkan terjadinya otolisis secara cepat oleh enzim- enzim ikan. Berbagai faktor mempengaruhi kecepatan kebusukan pada ikan, diantaranya spesies ikan, kandungan mikroorganisme pada ikan segar, kondisi ikan pada saat ditangkap, suhu selama penanganan, penyimpanan dan penggunaan bahan pengawet. Untuk mencegah kerusakan ikan, maka pengawetan ikan perlu dilakukan. Pengawetan tersebut bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Salah satu pengawetan ikan adalah dengan pengasapan. Pengawetan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu penggaraman, pengeringan, pemanasan, dan pengasapan. Pengasapan dapat mengurangi pertumbuhan bakteri. Namun selama dan setelah proses pengolahannya kemungkinan kontaminasi bakteri patogen dapat terjadi. Dari catatan Direktorat Jenderal PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI menyebutkan penyebab terbanyak dari kasus keracunan makanan yang sering terjadi pada jasa boga adalah dari ikan laut (Sri Yuliawati,dkk,2005). Bakteri sering ditemukan pada produk hasil perikanan jenis ikan segar atau produk olahan hasil perikanan secara tradisional, dimana proses pengolahannya kurang memperhatikan syarat teknik higiene dan sanitasi, sehingga produk hasil perikanan sampai saat ini dipandang tidak atau kurang dapat menjamin kesehatan pangan bagi konsumen (Kusuma Adji,2008). Menurut hasil penelitian yang hampir serupa yang dilakukan oleh Kusuma Adji tahun 2008 didapatkan hasil bahwa pada ikan diperairan banyak terkontaminasi oleh bakteri. Disebutkan bahwa sangat banyak bakteri pada insang, pencernaan dan lendir ikan, bahkan
2
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara Total Sampling. Prosedur penelitian meliputi tiga tahap yaitu tahap awal penelitian ( menentukan sampel untuk penelitian,penyusunan kuesioner, mempersiapkan untuk uji pendahuluan), tahap penelitian (pengisian kuesioner dan lembar observasi, pengukuran uji laboratorium dengan menggunakan parameter Hitung Angka Kuman yang dilakukan oleh Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dan Pemeriksaan Angka Kuman), Tahap akhir penelitian ( pencatatan hail penelitian dan menganalisis data dengan bantuan komputer). Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat ( menggunakan uji Fisher exact).
Jenis penelitian yang dipakai adalah analitik observasional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan kata lain peneliti ingin mengetahui hubungan antara praktik higiene dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan ikan bandarharjo kota semarang. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan dengan pendekatan Cross Sectional melalui observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point Time Approach) . Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan pada ikan asap (Soekidjo N, 2005:145-146). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Higiene lingkungan meliputi Keadaan air sumur, Kebersihan alat-alat produksi, Kebersihan tempat produksi, Kondisi bangunan tempat pengasapan ikan. Sedangkan Praktik higiene meliputi Penggunaan air bersih untuk membersihkan ikan, Mencuci tangan, Membiarkan ikan terlalu lama, Cara membersihkan bahan baku ikan. Tehnik
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Air Sumur Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang keadaan air sumur responden dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 1. sebagai berikut:
Tabel 1. Tabulasi Silang antara Keadaan Air Sumur dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Tidak Memenuhi Keadaan Air Sumur Memenuhi Syarat Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi syarat 13 68,4% 1 100,0% Memenuhi syarat 6 31,6% 0 0,0% Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keadaan air sumur dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,700 lebih besar dari α 0,05 Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat keadaan air sumur dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 13 responden
P value
0,700
(68,4%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat keadaan air sumur dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat keadaan air sumur dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 6 responden (31,6%), Jumlah responden yang memenuhi syarat keadaan air sumur dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%).
3
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Keadaan Air Sumur tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hal ini dikarenakan jenis ikan yang dijadikan sampel penelitian tidak terpengaruh oleh keberadaan bakteri di dalam air sumur. Bakteri yang terdapat di dalam air sumur tidak semua dapat berpengaruh terhadap ikan asap. Bisa jadi air sumur tersebut mengandung jenis bakteri yang masa hidupnya bisa tahan lama pada saat
pengasapan. Sehingga pada saat ikan asap matang, masih terdapat bakteri yang masih hidup. Kebersihan Alat Produksi Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang kebersihan alat produksi responden dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 2. sebagai berikut:
Tabel 2. Tabulasi Silang antara Kebersihan Alat Produksi dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Kebersihan Alat Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat p value Produksi Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi syarat 14 73,7% 0 0,0 % 0,300 Memenuhi syarat 5 26,3% 1 100,0% Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebersihan alat produksi dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,300 lebih kecil dari α 0,05 Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kebersihan alat produksi dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 14 responden (73,7%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kebersihan alat produksi dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kebersihan alat produksi dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 5 responden (26,3%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kebersihan alat produksi dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%). Kebersihan alat produksi memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan
Bandarharjo Kota Semarang dikarenakan ratarata dari ke 14 responden tersebut keadaan alat produksinya seperti wadah untuk mecuci, besek rotan untuk menaruh ikan asap matang dan alat pemanggang yang masih belum memenuhi syarat. Dan Rata-rata kondisi alat pemanggang responden sudah berkarat, dan terdapat kerak hitam sisa pemanggangan yang menempel dan tebal. Begitu juga dengan tampilan alat pemanggang yang sudah tidak baik lagi. Menurut Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto(2010),Peralatan yang digunakan harus diperhatikan kebersihannya. Alat yang kontak langsung dengan produk harus tahan terhadap produk dan mudah dibersihkan. Untuk menjaga kebersihannya, peralatan harus disterilisasi dengan tujuan untuk membunuh semua mikroba yang merugikan. Kebersihan Tempat Produksi Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang kebersihan tempat produksi responden dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 3. sebagai berikut :
4
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 3. Tabulasi Silang antara Kebersihan Tempat Produksi dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Kebersihan Tempat Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat p value Produksi Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi syarat 11 57,9 % 0 0,0 % Memenuhi syarat 8 42,1 % 1 100,0% 0,450 Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebersihan tempat produksi dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,450 lebih kecil dari α 0,05 Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kebersihan tempat produksi dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 11 responden (57,9%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kebersihan tempat produksi dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kebersihan tempat produksi dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 8 responden (42,1%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kebersihan tempat produksi dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%). Kebersihan tempat produksi memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan
Bandarharjo Kota Semarang dikarenakan ratarata para responden lantai tempat produksi masih berupa tanah, tempat produksi tidak mudah untuk dibersihkan,tempat penyimpanan tidak bebas debu, peletakan barang berantakan dan tidak beraturan. Adapun perilaku responden yang meletakkan kandang ayam didalam ruang tempat produksi. Perilaku tersebut dapat mempengaruhi kebersihan produk yang dihasilkan. Kebersihan tempat kerja atau tempat produksi sangat berpengaruh terhadap kebersihan produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan akan dapat dengan mudah terjadi kontaminasi baik berasal dari mikroba yang berasal dari bahan baku ataupun dari mikroba yang berada disekitar tempat produksi (Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto(2010). Kondisi Bangunan Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang kondisi bangunan responden dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 4. sebagai berikut:
Tabel 4. Tabulasi Silang antara Kondisi bangunan dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Tidak Memenuhi Kondisi Bangunan Memenuhi Syarat Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi syarat 12 63,1% 1 100,0% Memenuhi Syarat 7 36,9% 0 0,0 % Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
p value
0,650
antara kebersihan kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra
5
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,650 lebih besar dari α 0,05. Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 12 responden (63,1%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 7 responden (36,9%), Jumlah responden yang memenuhi syarat kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%). Kondisi bangunan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan
bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dikarenakan antara kondisi bangunan dengan keberadaan bakteri pada ikan tidak berhubungan langsung, semisal walaupun kondisi bangunan jelek, pengrajin ikan mengolah atau memanggang ikan berada diluar bangunan atau menggunakan alat pemanggang yang tidak memiliki hubungan dengan kondisi bangunan. Dan juga bakteri yang terdapat pada ikan biasanya bukan berasal dari bangunan. Penggunaan Air Bersih Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang keadaan air bersih untuk emmbersihkan ikan dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 5. sebagai berikut:
Tabel 5. Tabulasi Silang antara Keadaan Air Bersih Untuk Membersihkan Ikan dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Keadaan Air Bersih Tidak Memenuhi Untuk Membersihkan Memenuhi Syarat p value Syarat Ikan Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi Syarat 15 78,9% 1 100,0% Memenuhi Syarat 4 21,1% 0 0,0 % 0,800 Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebersihan keadaan air bersih dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,800 lebih besar dari α 0,05. Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat keadaan air bersih untuk membersihkan ikan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 15 responden (78,9%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat keadaan air bersih untuk membersihkan ikan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%), Jumlah
responden yang memenuhi syarat keadaan air bersih untuk membersihkan ikan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 4 responden (21,1%), Jumlah responden yang memenuhi syarat keadaan air bersih untuk membersihkan ikan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%). Keadaan air bersih tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang.Air kotor bakteri banyak tetapi ikan masih layak konsumsi, hal ini dikarenakan air yang digunakan adalah air pertama kali pemakaian sehingga air masih relatif bersih. Sedangkan air kotor bakteri
6
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
banyak tetapi ikan tidak layak konsumsi, hal ini dikarenakan air yang digunakan untuk membersihkan ikan sudah berkali-kali pemakaian. Sehingga bakteri semakin banyak dan berkembang. Dan juga bisa saja pada saat proses pengasapan ikan yang dihasilkan tidak mengalami kematangan yang sempurna. Jadi air bersih tidak memenuhi syarat, bakteri banyak tetapi tidak memiliki hubungan pada ikan asap dikarenakan bakteri sudah mati pada saat proses pengasapan Air merupakan komponen penting. Air digunakan untuk membersihkan ikan dari
kotoran dan mikroba. Penggunaan air secara benar dapat menghilangkan hampir 90% mikroba alami .(Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto,2010). Mencuci Tangan Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang mencuci tangan responden dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 6. sebagai berikut:
Tabel 6. Tabulasi Silang Mencuci Tangan Dengan Keberadaan Bakteri Mencuci Tangan Keberadaan Bakteri Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi Syarat 13 68,4% 0 0,0 % Memenuhi Syarat 6 31,6% 1 100,0% Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,350 lebih kecil dari α 0,05 Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat mencuci tangan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 13 responden (68,4%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat mencuci tangan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat mencuci tangan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 6 responden (31,6%), Jumlah responden yang memenuhi syarat mencuci tangan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%). Kebiasaan mencuci tangan memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan
p value
0,350
bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dikarenakan kebiasaan responden yang tidak memperhatikan perilaku hidup bersih selama pengolahan berlangsung. Rata – rata responden tidak selalu melakukan cuci tangan menggunakan sabun. Adapula responden sering membersihkan tangan tidak menggunakan air mengalir melainkan air didalam ember. Dan juga terkadang responden lupa membiasakan untuk mencuci tangan sebelum produksi. Mencuci tangan merupakan syarat penting unyuk menjaga tingkat kehigienisan suatu produk. Dan tangan merupakan sumber pencemar pada produk perikanan. Tangan dapat membawa kotoran, benda fisik, senyawa kimia atau mikroba (Evi Liviawaty dan Eddy Afrianto, 2010) Membiarkan Ikan Terlalu Lama Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang responden membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota
7
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Semarang, didapatkan hasil pada tabel 7.
sebagai berikut :
Tabel 7. Tabulasi Silang Membiarkan Ikan Terlalu Lama dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Membiarkan Ikan Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat Terlalu Lama Syarat Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi syarat 12 63,1% 0 0,0% Memenuhi syarat 7 36,9% 1 100,0% Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 0,400 lebih kecil dari α 0,05 . Berdasarkan Tabel 7. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 12 responden (63,1%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 7 responden (36,9%), Jumlah responden yang memenuhi syarat membiarkan ikan terlalu lama dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%). Kebiasaan membiarkan ikan terlalu lama memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dikarenakan produsen ikan tidak langsung mengolah ikan sesaat setelah mendapatkan ikan mentah. Dan waktu dari mendapatkan ikan
P value
0,400
mentah hingga ke waktu pengolahan rata-rata produsen melebih dari 6jam per harinya. Penanganan ikan sesudah mati sangat mempengaruhi tingkat kehigienisan ikan itu sendiri karena setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik , kimia, dan organoleptik berlangsung dengan cepat . Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan (Junianto,2003). Untuk menghindari hal tersebut maka ikan tidak boleh dihentikan penanganannya lebih dari 6 jam karena lebih dari 6jam ikan akan mengalami kehilangan cairan, yang akan menyebabkan kenampakan ikan menjadi kusam dan tidak menarik (Rabiatul Adawyah,2011). Karena begitu ikan mati, maka peredaran darahnya akan terhenti dan terjadi reaksi kimia yang menyebabkan ikan menjadi kaku. Ikan seperti ini masih dianggap sebagai ikan segar dan berkualitas sama dengan ikan hidup. Dalam hitungan beberapa jam saja ikan yang semula kaku akan menjadi lunak dan berlendir (Edi Warsidi,2008). Membersihkan Bahan Baku Ikan Hasil uji Fisher exact dari data penelitian tentang responden membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan Bandarharjo Kota Semarang, didapatkan hasil pada tabel 8. sebagai berikut :
8
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 8. Tabulasi Silang Responden Membersihkan Bahan Baku Ikan dengan Keberadaan Bakteri Keberadaan Bakteri Membersihkan Bahan Tidak Memenuhi Memenuhi Syarat p value Baku Ikan Syarat Jumlah prosentase Jumlah Prosentase Tidak Memenuhi Syarat 1 5,3% 0 0,0% Memenuhi Syarat 18 94,7% 1 100,0% 1,000 Total 19 100,0% 1 100,0% Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil ini didasarkan pada Uji Fisher exact yang diperoleh p value 1,000 lebih besar dari α 0,05 . Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa jumlah responden yang tidak memenuhi syarat membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai sebanyak 1 responden (5,3%), Jumlah responden yang tidak memenuhi syarat membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 0 responden (0,0%), Jumlah responden yang memenuhi syarat membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri yang tidak layak pakai adalah sebanyak 18 responden (94,7%), Jumlah responden yang memenuhi syarat membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri yang masih layak pakai sebanyak 1 responden (100,0%). Pada dasarnya ikan tidak membawa bakteri. Bakteri akan timbul pada saat ikan tersebut mendapat perilaku pengolahan dari produsen ikan. Dari hasil penelitian ini,mendapatkan hasil bahwa responden sudah cukup baik dalam membersihkan bahan baku ikan. Rata-rata responden sudah menerapkan membersihkan badan ikan sebelum di olah, membersihkan dalam perut ikan,, membuang sisik, kotoran dalam perut ikan yang kemudian dilanjutkan dibersihkan kembali badan ikan secara menyeluruh.Tetapi bisa tidak berhubungan dengan ikan asap dikarenakan bakteri yang terdapat pada ikan bisa jadi sudah
mati pada saat proses pengasapan berlangsung. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara membersihkan bahan baku ikan dengan keberadaan bakteri. Syarat bahan baku ikan asap adalah ikan dalam keadaan cukup segar. Langkah awal dilakukan pemisahan ikan yang akan diolah menurut jenis, ukuran, dan tingkat kesegaran. Segera setelah itu dilakukan penyiangan dengan membersihkan insang, isi perut, sisik secara hati-hati dan mencucinya dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran berupa lendir, darah serta sisik atau bagian perut yang masih menempel (Sulaiman martasuganda et al,2004). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara praktik higiene dengan keberadaan bakteri pada ikan asap di sentra pengasapan ikan bandarharjo kota semarang tahun 2013, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Tidak Ada Hubungan Antara Keadaan Air Sumur dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,700, (2) Ada Hubungan Antara Kebersihan Alat Produksi dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,300, (3) Ada Hubungan Antara Kebersihan Tempat Produksi dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,450, (4) Tidak Ada Hubungan Antara Kondisi Bangunan dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang
9
Brilliantantri Wulandari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
dengan p value=0,650, (5) Tidak Ada Hubungan Antara Keadaan Air Bersih Untuk Membersihka Ikan dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,800 , (6) Ada Hubungan Antara Mencuci Tangan dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,350, (7) Ada Hubungan Antara Membiarkan Ikan Terlalu Lama dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=0,400 , (8) Tidak Ada Hubungan Antara Membersihkan Bahan Baku Ikan dengan Keberadaan Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Pengasapan Bandarharjo Kota Semarang dengan p value=1,000. Saran bagi Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Semarang : tetap rutin memberikan sosialisasi dan penyuluhan tentang cara penanganan ikan asap yang baik selama proses pengolahan, bagi BPOM : selalu mengadakan inspeksi makanan ditempat pengolahan makanan terutama industri rumah tangga disetiap tahunnya, bagi Pengrajin Ikan : sebaiknya selalu melakukan praktik higiene ikan dengan benar agar makanan atau produk ikan tidak terkontaminasi.
Martasuganda Sulaeman, Sudrajat, Agus Oman, Sudirman Saad, Joko Purnomo, Riyanto Basuk, Mochammad Nur Asyik, Syamsul Rustam, dan Dedy Christanto, 2004,
Teknologi Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Warsidi, Edi, 2008, Bagaimana Mengawetkan dan Mengolah Ikan, Mitra Utama, Pondok Melati, Bekasi. Yuliawati, Sri, Yusniar Hanani, Martini, Puspaningdyah Ekawati, 2005, Kontaminasi
Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Industri Pengasapan Ikan dan Yang dijual di Pasar Kota Semarang, Laporan Kegiatan, Unniversitas Diponegoro Semarang.
DAFTAR PUSTAKA Rabiatul, 2011, Pengolahan Dan Pengawetan Ikan, Bumi Aksara, Jakarta. Adji, Kusuma, 2008, Evaluasi Kontaminasi Bakteri Pathogen Pada Ikan Segar di Perairan Teluk Semarang.Tesis: Universitas Diponegoro Adawyah,
Semarang. Junianto, 2003, Teknik Penanganan Ikan, Penebar Swadaya, Jakarta. Kusmayadi, Ayi dan Dadang Sukandar, 2007, Cara
Memilih dan Mengolah Makanan Untuk Perbaikan Gizi Masyarakat. Special Programme For Food Security: Asia Indonesia, diakses 12 Mei 2009, (http://
[email protected]). Liviawaty, Evi dan Eddy Afrianto, 2010, Penanganan Ikan Segar, Widya Padjajaran, Bandung.
10
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PERBEDAAN KESEGARAN JASMANI DAN STATUS GIZI ANTARA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK PADA SISWA PUTRA KELAS IX SMP N 1 TLOGOWUNGU PATI TAHUN AJARAN 2012/2013 Elina Wahyu Hapsari Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Perbedaan Kesegaran Jasmani dan Status Gizi antara Perokok dan Bukan Perokok Pada Siswa Putera Kelas IX SMP N 1 Tlogowungu Pati Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa putera kelas IX tahun Angkatan 2012/2013. Sampel berjumlah 46 orang. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat ( t-test independent). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pada penilaian kesegaran jasmani antara siswa perokok dan bukan perokok (P=0,004) dan tidak adanya perbedaan antara siswa perokok dan bukan perokok (p=0,205). Bagi siswa yang merokok sebaiknya menghentikan kebiasaan merokoknya.
Diterima Januari 2013 Disetujui Februari 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Kesegaran Jasmani, Status Gizi, Perokok, Bukan Perokok ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of this research is to investigate and analyze the differences in physical fitness and nutritional status between smokers and non-smokers in the grade male student IX SMP N 1 Tlogowungu Pati academic year 2012/2013. Type of research is explanatory research with cross sectional approach. The population in this study is the grade male student IX SMP N 1 Tlogowungu Pati academic year 2012/2013. Samples of the 46 people. Data analysis performed univariate and bivariate ( t-test independent). The conclusion of this study were: there is a real or significant physical fitness among students of smokers and non-smokers (p=0,004) and There is no difference between the nutritional status between smokers and non-smokers (p=0,205). For st students who smoke should stop smoking it.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi, dan menimbulkan kanker ( Fitriani dkk, 2010:2). Berdasarkan penelitian Oktavianis (2011), menemukan bahwa merokok bisa menekan nafsu makan dan menurunkan nafsu makan, penelitian dilakukan terhadap tikus yang terpapar asap rokok tiga kali sehari selama empat hari berturut-turut ditemukan bahwa pada pemberian 1 batang rokok jumlah rata-rata berat badan tikus (4,30 gr), pada pemberian 2 batang rokok (2,95 gram), sedangkan pada pemberian 3 batang rokok perhari rata-rata berat badan tikus (1,05 gr), hal ini dikarenakan nikotin dapat memicu efek adrenalin pada otot perut sehingga dapat menekan rasa lapar dan mengurangi nafsu makan serta nikotin juga dapat mempengaruhi kebiasaan makan seseorang sehingga menyebabkan penurunan asupan makanan, padahal asupan makan sangat dibutuhkan oleh tubuh menjadikan organ tubuh melakukan fungsi secara optimal sehingga apabila nikotin dapat mempengaruhi nafsu makan otomatis juga mempengaruhi status gizi seorang perokok (Oktavianis, 2011:10). Kebiasaan merokok berpengaruh terhadap kesegaran jasmani, karena di dalam rokok terdapat bermacam-macam zat yang merugikan tubuh, yaitu karbon monoksida, nikotin, tar, dan beberapa zat lainnya. Jika ditinjau dari fungsi oksigen dan pembentukan energi hal tersebut dapat diterangkan. Oksigen secara normal sampai ke jaringan otot dibawa oleh hemoglobin di dalam sel-sel darah merah. Pada saat orang bernafas, udara yang dihisap terdiri dari oksigen, nitrogen, dan beberapa zat lain termasuk karbon monoksida yang memiliki afinitas 200 kali lebih besar dari oksigen. Karbon monoksida akan menyingkirkan hemoglobin yang akan digunakan untuk mengangkut oksigen ke jaringan. Ini disebabkan oleh ikatan hemoglobin dengan oksigen secara oksigenasi, sehingga karbon monoksida bersama asap rokok dapat menyingkirkan 7 % hemoglobin yang dapat digunakan, dengan demikian kemampuan hemoglobin akan merosot (Susilowati,
Rokok merupakan salah satu zat adiktif, yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintetis yang mengandung nikotin dan tar beserta bahan tambahan (Liza Elizabet Aula, 2010:17). Rokok dan bahayanya merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama yang dihadapi oleh penduduk dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebuah fakta terbaru yang diperoleh dari penelitian Global Adult Tobacco Survey (GATS), Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak dengan angka 61,4 juta perokok aktif atau sperempat jumlah penduduk Indonesia (GATS, 2011:1). Penduduk Jawa Tengah termasuk salah satu dari 33 provinsi yang prevalensi merokok setiap hari di atas rata-rata tingkat nasional sebanyak 30,7 % pada tahun 2007 dan meningkat sebesar 30% di tahun 2010 angka prevalensi merokok di Jawa Tengah menjadi sebesar 62,7%. Jumlah presentase perokok usia 10-14 tahun meningkat dari 13,8 % tahun 2007 menjadi 16,8 % pada tahun 2010. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) presentase jumlah penduduk yang mempunnyai kebiasaan merokok di kota Pati setiap hari mencapai 26,7 %, prevalensi jumlah perokok terbesar pada laki-laki sebanyak 57,8 % (Riskesdas, 2007:165 dan 2010: 405). Rokok mengandung banyak bahan kimia. Setiap satu batang rokok dibakar, mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia dengan 40 jenis diantaranya bersifat karsinogenik bahan-bahan tersebut diantaranya karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida, dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol
2
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
dengan menggunakan studi cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP Negeri 1 Tlogowungu Pati Tahun Ajaran 2012/2013 yang berjumlah 84 orang. Oleh karena itu besar sampel sebanyak 46 sampel, sampel penelitian ini diambil menggunakan teknik purposive sampling yaitu memilih sampel yang ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Uji statistik yang digunakan adalah uji ttes independen (uji t tidak berpasangan) untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen.
2007:32-33). Hasil penelitian Slamet Hidayat (2011), tingkat kesegaran jasmani pada 25 responden yang merokok didapatkan hasil 32% kebugaran jasmani baik, 52% kategori sedang dan 16% kebugaran jasmani sangat jelek. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada tanggal 12 April 2012 didapatkan sebanyak 10 siswa kelas IX mengkonsumsi rokok, dari 10 siswa dilakukan pengukuran awal mengenai status gizi pada 5 siswa perokok dari pengukuran status gizi didapatkan 2 dari siswa perokok mempunyai status gizi kurus dan 3 siswa status gizi normal. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Perbedaan kesegaran jasmani dan status gizi antara perokok dan bukan perokok pada siswa kelas IX SMP N 1 Tlogowungu Pati Tahun Ajaran 2012/2013”.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di SMP N 1 Tlogowungu Pati Tahun Ajaran 2012/2013 pada siswa putra kelas IX antara perokok dan bukan perokok. Dari 46 responen terdapat 23 siswa perokok dan 23 siswa bukan perokok.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian explanatory research (penelitian penjelasan)
Tabel 1. Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Umur No Umur (tahun) Frekuensi 1. 13 2 2. 14 21 Jumlah 23 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi responden penelitian terdapat 91,30 % berumur 14 tahun dan 8,70% berumur
Prosentase (%) 8,70 91,30 100
13 tahun. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden pada siswa perokok berumur 14 tahun.
Tabel 2. Klasifikasi Siswa Bukan Perokok Berdasarkan Umur No Umur (tahun) Frekuensi 1. 13 3 2. 14 20 Jumlah 23 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 23 responden pada siswa bukan perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 86,96% berumur 14 tahun dan 13,04
Prosentase (%) 13,04 86,96 100
% berumur 13 tahun. Dari peneitian tersebut didapatkan sebagian besar responden siswa bukan perokok berusia 14 tahun.
3
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 3. No 1. 2. 3. 4. 5.
Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Lama Merokok Lama merokok (tahun) Frekuensi 1 4 2 6 3 9 4 3 5 1 Jumlah 23
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui mengenai proporsi lama merokok responden dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi sampel yang diteliti terdapat 17,39%
Prosentase (%) 17,39 26,09 39,13 13,04 4,35 100
merokok selama 1 tahun, 26,09% selama 2 tahun, 39,13 selama 3 tahun, 13,04% selama 4 tahun, dan 4,35% merokok selama 5 tahun.
Tabel 4. Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Konsumsi Rokok No Rokok (batang/hari) Frekuensi 1. 1-10 80,61 2. 11-20 17,39 3. 21-30 4. ≥31 Jumlah 23 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui mengenai proporsi konsumsi rokok responden dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 80,61% merokok antara 1-10 batang perhari
Prosentase (%) 80,61 17,39 100
dan 17,39% merokok antara 11- 20 batang perhari. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden pada siswa merokok antara 1-10 batang perhari.
Tabel 5. Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Terpapar Asap Rokok No Terpapar Asap Rokok Frekuensi Persentase (%) 1. Ya 20 86,96 2. Tidak 3 13,04 Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui mengenai prosentase siswa perokok yang terpapar dilingkungan sekitar dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 86,96%
terpapar asap rokok di lingkungan sekitar dan 13,04% tidak terpapar asap rokok di lingkungan sekitar. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden terpapar asap rokok dilingkungan sekitar.
Tabel 6. Klasifikasi Siswa Bukan Perokok Berdasarkan Terpapar Asap Rokok No Terpapar Asap Rokok Frekuensi Persentase (%) 1. Ya 18 78,26 2. Tidak 5 21,74 Jumlah 23 100
4
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui mengenai prosentase siswa bukan perokok yang terpapar di lingkungan sekitar dari 23 responden pada siswa bukan perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat
78,26% terpapar asap rokok di lingkungan sekitar dan 21,74% tidak terpapar asap rokok di lingkungan sekitar. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden terpapar asap rokok di lingkungan sekitar.
Tabel 7. Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Kebiasaan Olahraga No Kebiasaan Olahraga Frekuensi Persentase (%) 1. Ya 23 100 2. Tidak Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui mengenai prosentase responden berdasarkan kebiasaan olahraga dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 100% mempunnyai kebiasaan
olahraga. Dari penelitian tersebut didapatkan semua sampel mempunyai kebiasaan olahraga. Kebiasaan olahraga dapat ditentukan dengan jumlah frekuensi dan waktu yang dilakukan seseorang saat melalukan olahraga.
Tabel 8. Klasifikasi Siswa Bukan Perokok Berdasarkan Kebiasaan Olahraga No Kebiasaan Olahraga Frekuensi Persentase (%) 1. Ya 23 100 2. Tidak Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui mengenai prosentase responden berdasarkan kebiasaan olahraga dari 23 responden pada siswa bukan perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 100% mempunyai kebiasaan olahraga. Dari penelitian tersebut
didapatkan semua responden mempunyai kebiasaan olahraga. Kebiasaan olahraga dapat ditentukan dengan jumlah frekuensi dan waktu yang dilakukan seseorang saat melalukan olahraga.
Tabel 9. Klasifikasi Siswa Perokok Berdasarkan Konsumsi Makan Pokok No Konsumsi Makan Perhari Frekuensi Persentase (%) 1. Kurang dari 3X 3 13,04 2. 3X 20 86,96 3. Lebih dari 3X Jumlah 23 100 Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui mengenai prosentase responden berdasarkan konsumsi makan pokok dari 23 responden pada siswa perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 13,04% siswa perokok mempunyai kebiasaan makan makanan pokok sebanyak kurang dari 3x sehari dan 86,96% siswa perokok mempunyai kebiasaan makan
makanan pokok sebanyak 3X sehari. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden mempunyai kebiasaan makan makanan pokok sebanyak 3X sehari. Konsumsi makan yang sehat yakni 3X makan pokok (pagi, siang, malam) dengan kandungan karbohidrat, lemak,protein, vitamin, mineral dan air.
5
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Table 10. Klasifikasi Siswa Bukan Perokok Berdasarkan Konsumsi Makan Pokok No Konsumsi Makan Perhari Frekuensi Persentase (%) 1. Kurang dari 3X 1 4,35 2. 3X 21 91,30 3. Lebih dari 3X 1 4,35 Jumlah 23 100
Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui mengenai prosentase responden berdasarkan konsumsi makan pokok dari 23 responden pada siswa bukan perokok yang menjadi responden yang diteliti terdapat 13,04% siswa bukan perokok mempunyai kebiasaan makan makanan pokok sebanyak kurang dari 3x sehari 4,35%, 91,30% siswa bukan perokok
mempunyai kebiasaan makan makanan pokok sebanyak 3X sehari, dan 4,35% siswa bukan perokok mempunnyai kebiasaan merokok lebih dari 3X. Dari penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden mempunnyai kebiasaan makan makanan pokok sebanyak 3x sehari.
Tabel 11. Data Penilaian Kesegaran Jasmani Antara Perokok Dan Bukan Perokok No Kriteria Perokok Bukan Perokok Frekuensi Persentase(%) Frekuensi Persentase(%) 1 Baik sekali 2 Baik 5 21,7 15 65,2 3 Sedang 14 60.9 8 34,8 4 Kurang 4 17,4 5 Kurang sekali Jumlah 23 100 23 100
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa perbedaan pada kesegaran jasmani, antara siswa perokok dan bukan perokok yang termasuk dalam kategori baik/bagus adalah 21,7% dan 65,2%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata atau signifikan pada kesegaran jasmani antara siswa putra kelas IX di SMP N 1 Tlogowungu Pati antara perokok dan bukan perokok. Hasil Uji T-test independent diperoleh nilai p (0,004) < α (0,05). Berdasarkan hasil tes penilaian kesegaran jasmani menunjukkan bahwa perbedaan pada penilaian kesegaran jasmani, antara siswa perokok dan bukan perokok yang termasuk dalam kategori bagus kesegaran jasmaninya 21,7% pada siswa perokok dan 65.2% pada siswa bukan perokok, dan untuk kategori kesegaran jasmani sedang sebesar
60.9% untuk siswa perokok dan 34,8% untuk siswa bukan perokok, dan terdapat 17,4% siswa perokok mempunnyai kesegaran jasmani yang kurang/ jelek. Hasil penelitian diperoleh sebagian besar umur siswa perokok adalah adalah umur 14 tahun sebanyak 91,30% dan 8,70% umur 13 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Slamet Hidayat (2011), yang mendapatkan hasil bahwa kebiasaan merokok merupakan hal yang berpengaruh terhadap kesegaran jasmani seseorang dan penelitian yang dilakukan oleh Indiah Isriati (2009) yang mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan kesegaran jasmani berdasarkan status merokok.
6
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 12. Data Penilaian Status Gizi Antara Perokok dan Bukan Perokok No Kriteria Perokok Bukan Perokok Frekuensi Prosentase(%) Frekuensi Prosentase(%) 1 Sangat kurus 2 Kurus 3 13,0 3 Normal 20 87,0 23 100 4 Gemuk 5 Obesitas Jumlah 23 100 23 100
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa perbedaan pada status gizi, antara siswa perokok dan bukan perokok yang termasuk dalam kategori normal adalah 87,0 % dan 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata atau signifikan pada status gizi antara siswa putra kelas IX di SMP N 1 Tlogowungu Pati antara perokok dan bukan perokok. Hasil Uji T-test independent diperoleh nilai p (0,205) > α (0,05). Menurut teori yang dikemukakan Oktavianis (2011:10), kebiasaan merokok seharusnya mengakibatkan penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan seseorang, tetapi hasil dari penelitian ini tidak didapatkan perbedaan status gizi antara perokok dan bukan perokok hal ini di karenakan responden dalam penelitian ini lebih banyak merokok dengan jumlah yang sedikit daripada mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang banyak, selain itu responden yang merokok dengan jangka waktu yang sedikit lebih banyak daripada responden dengan jangka waktu yang lama, selain itu faktor yang menyebabkan tidak adanya perbedaan status gizi terhadap perokok dan bukan perokok dalam penelitian ini adalah banyak responden yang bukan perokok terpapar oleh asap rokok dari lingkungan sekitar yang juga secara tidak langsung mereka hirup sehingga mereka mendapatkan dampak dari rokok tersebut.
perokok dan bukan perokok pada siswa putra SMP Negeri 1 Tlogowungu Pati tahun ajaran 2012/2013. Tidak ada perbedaan yang nyata atau signifikan pada status gizi antara perokok dan bukan perokok pada siswa putra SMP Negeri 1 Tlogowungu Pati tahun ajaran 2012/2013. DAFTAR PUSTAKA Ari Yuniastuti, 2008, Gizi dan Kesehatan, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Tes
Kesegaran Jasmani Indonesia untuk remaja umur 13- 15 tahun, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2003, Modul Pelatihan bagi Fasilisator Kesehatan Kerja, Jakarta. Djoko Pekik Irianto, 2007, Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan, Yogyakarta: CV Andi Offset. Evelyn C. Pearce, 2009, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum Fitriani, Kartini Eriani dan Widya Sari, 2010, The
Effect Of Cigarettes Smoke Exposured Causes Fertility Of Male Mice (Mus musculus), Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh. Jurnal Natural Vol. 10, No. 2, 2010. Global Adult Tobacco Survey, 2011, Indonesia
Peringkat Pertama Dengan Jumlah Perokok Terbanyak, http://log.viva.co.id/news/read/351353,diak ses 22 september 2012. Guyton C, 1997, Buku Ajar fisiologi kedokteran, Jakarta: EGC.
SIMPULAN Ada perbedaan yang nyata atau signifikan pada kesegaran jasmani antara siswa
7
Elina Wahyu Hapsari / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) Hembing Wijayakusuma, 2011,
Rokok Penyebab Pembuluh Darah,
Soekidjo Notoatmojo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : PT Rineka Cipta. Stanley Lemeshow dkk, 1997, Besar sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&B, Bandung: Alfabet. , 2007, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabet. Suryo Sukendro, 2007, Filosofi rokok, Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Susilowati, 2007, Faktor-faktor Risiko Kesegaran
Gangguan Paru dan www.itokindo.org, diakses 17 Maret 2012.
Hui Chen, Michelle J. Hansen, Jessica E. Jones, Ross Vlahos, Steve Bozinovski, Gary P. Anderson,and Margaret J. Morris, Cigarette
Smoke Exposure Reprograms the Hypothalamic Neuropeptide Y Axis to Promote Weight Loss, American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine Vol 173, 2006. I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2002, Penelitian Status Gizi, Jakarta: Buku Kedokteran ECG. Indiah Isriati, 2004, Perbedaan Tingkat Kesegaran
Jasmani pada Polisi Lalu lintas di Kota Semarang. Skripsi: Undip. Waryana, 2010, Gizi Reproduksi, Yogyakarta:
Jasmani Pada Siswa Sma Negeri I Gubug,Grobogan Berdasarkan Status Merokok, Indeks Massa Tubuh (Imt), Kebiasaan Olah Raga Dan Jenis Kelamin,
Pustaka Rihama. World Health Organization, 2008, Report on Global Tobacco Epidemic, 2008 http://news.com/read/2008/09/26/337/50 7340/ , diakses 14 Maret 2012.
Skripsi: UNDIP. Ismaryati, 2008, Tes dan Pengukuran Olahraga, Surakarta: UPT UNS Press. Kamsih Astuti, 2007, Mencari Prediktor Perilaku Merokok Pada Remaja Awal, Vol.1, No.1, 2007, (http://74.125.153.132), diakses 3 April 2012. Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2010, Standart
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Jakarta. Len Kravitz, 2001, Bugar Total, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Liza Elizabet Aula, 2010, Stop Merokok, Yogyakarta: Penerbit Garailmu Oktavianis, 2011, Efek Pemberian Asap Rokok Terhadap Tikus Putih , skripsi: Universitas Andalas Padang. Purnama Mardayanti, 2008, Hubungan faktor-faktor
risiko dengan status gizi pada siswa kelas 8 di SLTP 7 Bogor Tahun 2008. Skripsi: universitas Indonesia. Riset Kesehatan Dasar, 2007, Riset Kesehatan Dasar laporan Provinsi Jawa Tengah, Jakata. Riset Kesehatan Dasar, 2010, Riset Kesehatan Dasar laporan Provinsi Jawa Tengah, Jakata Rahayu Nur Supiyah, 2009, Hubungan antara Status
Gizi dan KVP dengan Kesegaran Jasmani pada Siswa Puteri Kelas XII SMA N 16 Semarang Tahun Pelajaran 2009/2010, Skripsi:UNNES. Slamet Hidayat, 2011, Studi TentangTingkat Kesegaran Jasmani pada Mahasiswa Jurusan Olahraga Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya yang Mengkonsumsi Rokok dengan Berolahraga Secara Teratur, Skripsi: UNESA.
8
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN MOTIVASI KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA WANITA BAGIAN GILING ROKOK DI PT NOJORONO KUDUS Febry Candra Adityana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan maka dituntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai produktivitas yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan antara Status Gizi dan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Bagian Giling Rokok di PT Nojorono Kudus. Jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh pekerja yang ada pada bagian Giling rokok di PT Nojorono Kudus. Teknik pengambilan sampel dengan metode Purposive sampling dan menggunakan rumus Stanlay Lemeslow sehingga didapatkan jumlah sampel 69 pekerja. Instrumen dalam penelitian ini pengukuran Status Gizi menggunakan microtois, timbangan injak, dan pengisian kuesioner Motivasi Kerja. Analisis data secara univariat dan bivariat (menggunakan uji Chi-Square dengan α= 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara Status Gizi dengan Produktivitas Kerja (p-value 0,003) dan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja (p-value 0,002). Saran yang diberikan kepada Pimpinan PT Nojorono Kudus adalah hendaknya tidak mengganti jatah makan tambahan dengan uang sehingga program gizi kerja dapat tercapai serta peningkatan motivasi kerja untuk memperoleh produktivitas yang tinggi.
Diterima Mei 2013 Disetujui Juni 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Status Gizi, Motivasi Kerja, Produktivitas Kerja ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Labor has a role and a very important positions as principals and development purposes there for it require of human resources quality and has high productivity. The purpose of this research was to know the relationship between nutritional status and working motivation with woman labor productivity in cigarette rolling dapartment PT Nojorono Kudus. The type of this research was analytical observational with cross sectional approach. The population was all the workers cigarette rolling dapartment PT Nojorono Kudus. The sampling technique was used purposive sampling method and stanlay lemeslow formula. This technique obtained 69 workers. Instruments to measure nutritional status were microtois, stampede, and the questionnaire of working motivation. Analysis used univariate data and bivariat (using Chi-Square test with α=0.05). The conclusion of that there was a relationship between nutritional Status and work productivity (p-value of 0.003) and working motivation with work productivity (pvalue of 0.002).The advice might be given to the PT Nojorono Kudus management that they should not replace additional food rations with money so that the work can be accomplished nutrition programs as well as increasing working motivation to achieve high productivity.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
makanan untuk pemeliharaan tubuh, yang banyak sedikitnya keperluan ini sangat tergantung pada usia, jenis kelamin, lingkungan dan beban yang diderita oleh seseorang. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk pekerjaan dan meningkatkan sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan. Pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya adalah makanan (Suma’mur P.K., 1996:50). Seseorang tenaga kerja dengan sikap mental, motivasi yang tinggi serta disiplin dan etos kerja yang tinggi akan selalu memacu dirinya untuk bekerja lebih produktif. Motivasi kerja adalah dorongan kehendak yang ada dalam diri tenaga kerja untuk berperilaku meningkatkan produktivitas kerja. Motivasi ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa bekerja produktif akan memberikan manfaat bagi dirinya (A. M. Sugeng Budiono, 2003:265). Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang atau jasa) dengan masuknya yang sebenarnya. Misalnya saja, ’’produktivitas adalah ukuran efisiensi produk. Suatu perbandingan antara hasil keluaran dan masukan atau output:input. Masukan sering dibatasi dengan tenaga kerja, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan fisik bentuk dan nilai (Muchdarsyah Sinungan, 2003:12). Bagi perusahaan, tenaga kerja merupakan aset yang sangat menentukan aspek keberhasilan, baik dalam rangka memperoleh keuntungan perusahaan maupun dalam rangka kelangsungan perusahaan dan pengembangan usaha lebih lanjut. Untuk itu perusahaan perlu memiliki sumber daya manusia yang mempunyai etos kerja yang tinggi, keahlian, keterampilan, semangat dan profesionalisme yang tinggi pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan yang utama dalam proses peningkatan produktivitas kerja (A.M. Sugeng Budiono, 2003:244). Pendapat Suterneister menyatakan bahwa produktivitas sekitar 90% bergantung kepada kinerja tenaga kerja, dan yang 10 % bergantung kepada perkembangan teknologi
Dalam kondisi perkembangan pembangunan kearah industrialisasi dan pesaingan pasar yang semakin ketat, sangat diperlukan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Searah dengan hal tersebut, kebijakan pembangunan dibidang kesehatan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat tenaga kerja. Tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan karena dituntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai produktivitas yang tinggi. Tenaga kerja yang demikian mampu meningkatkan kesejahteraan dan daya saing di era globalisasi (Anies, 2005:23). Seiring dengan majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, setiap negara termasuk bangsa Indonesia menghadapi tantangan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada pada saat ini. Manusia dalam pekerjaannya tidak merupakan mesin yang bekerja begitu saja, tanpa perasaan, pikiran dan kehidupan sosial. Manusia adalah suatu yang paling komplek. Manusia memiliki rasa suka dan benci, gembira dan sedih, berani dan takut, dan lain-lain sebagainya. Manusia mempunyai kehendak, kemampuan, angan-angan, dan citacita. Manusia memiliki dorongan hidup tertentu. Selain itu, manusia mempunyai pikiran dan pertimbangan, yang menentukan sikap dan pendiriannya dan manusia juga mempunyai pergaulan hidup, baik di rumahnya, atau di tempat kerjanya, maupun di masyarakat luas. Maka demilkian seorang tenaga kerja memliki perasaan, pikiran, dan kehidupan sosial seperti itu. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan pengaruh yang tidak sedikit terhadap kepada keadaan pekerja dalam pekerjaannya (Suma’mur P.K., 1996:207). Kesehatan dan daya kerja sangat erat hubungannya dengan tingkat gizi kerja seseorang. Tubuh memerlukan zat dari
2
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
dan bahan mentah. Selanjutnya kinerja tenaga kerja 80-90 % bergantung kepada motivasi bekerja dan yang 10-20% bergantung kepada kemampuannya, motivasi tenaga kerja untuk 50% bergantung kepada kondisi sosial, 40% bergantung kepada kebutuhan dan 10% bergantung kepada kondisi fisik (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003:275). PT Nojorono adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang rokok yang berada di Kabupaten Kudus. Perusahaan tersebut mempunyai banyak tenaga kerja yang tersebar dalam beberapa bagian khususnya pada bagian giling dan batil. Rata-rata mereka bekerja selama 9,5 jam dalam sehari. Semua aktivitas dimulai jam 06.00 WIB sampai dengan 15.30 WIB. Berdasarkan observasi awal pada bulan April didapatkan hasil bahwa dari 10 responden terdapat 6 responden yang Status Gizinya tidak memenuhi syarat. Kemudian observasi kedua dilakukan pada bulan november untuk mengetahui hasil produksi pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2012. Dari hasil observasi tersebut diketahui perminggunya pada bulan Agustus minggu ke empat dari target 5.750.000 batang rokok pekerja hanya dapat menyelesaikan 5.520.000 batang rokok, pada bulan September minggu ke tiga dari target 5.230.000 batang rokok pekerja hanya dapat menyelesaikan 5.050.000 batang rokok, dan yang terakhir pada bulan Oktober minggu ke empat dari target 4.872.000 batang rokok pekerja hanya dapat menyelesaikan 4.007.000 batang rokok. Hal ini dapat disebabkan karena permintaan hasil produksi yang cukup tinggi. Motivasi kerja dapat ditandai dengan banyak tenaga kerja yang tidak masuk dikarenakan sakit, cuti atau keluar dari perusahaan. Sehingga berdampak pada ketidak sesuaian dengan target yang ditentukan dari pusat. Meningkatnya produksi yang dihasilkan tidak hanya tergantung pada mesin-mesin yang modern, modal yang cukup dan bahan baku yang banyak, tetapi tergantung kepada orang yang melaksanakan pekerjaan. Tenaga kerja sebagai pelaksana dalam kegiatan perusahaan
harus diarahkan untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimal (A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003:244). Salah satu sarana untuk meningkatkan hasil produksi yaitu dengan memotivasi karyawan. Motivasi merupakan setiap kegiatan yang mendorong, meningkatkan gairah dan mengajak karyawan untuk bekerja lebih efektif, serta meningkatakan praktek yang tidak produktif, dapat merupakan bagian pokok dari usaha meningkatkan pekerjaan yang efektif. Untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi maka status gizi dan motivasi kerja harus tetap terpelihara atau bahkan meningkat (Bambang Kussriyanto, 1999:10). Dari latar belakang diatas menjadi alasan peneliti mengambil judul: Hubungan antara Status Gizi dan Motivasi Kerja dengan Produktifitas Tenaga Kerja Wanita Bagian Giling Rokok Di PT Nojorono Kudus. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode survei analitik, karena penelitian bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kontribusi faktor resiko tertentu terhadap adanya suatu kejadian tertentu (efek). Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi anatara faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kerja bagian giling rokok di PT Nojorono Kudus. Populasi dalam penelitian ini adalah 246 orang. Sedangkan sampel penelitiannya diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu memilih sampel yang diperoleh dari semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut responden yang berusia 25-49 tahun, kondisi kesehatan baik atau dengan kata lain tidak menderita salah satu atau lebih dari penyakit yaitu tidak memiliki gangguan
3
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
kesehatan seperti tekanan darah tinggi, diare, asma, sakit kepala, nyeri punggung dan leher, karena seseorang yang sedang menderita sakit akan mudah terpengaruh oleh efek lingkungan. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu responden yang menolak/tidak hadir untuk diteliti maupun yang tidak ada saat penelitian. Instrumen penelitian berupa pengukuran dengan tinggi badan dan berat badan, dan kuesioner. Pengkuran tinggi badan dan berat badan digunakan untuk mengukur status gizi, sedangkan kuesioner digunakan untuk mengukur motivasi kerja. Analisis untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik chi-square, menggunakan uji alternatif Fisher dengan bantuan program computer.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel hasil penelitian. Analisis ini menunjukkan jumlah dan prosentase dari tiap variable data yang berhubungan antara Status Gizi dan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja Wanita Bagian Giling Rokok di PT Nojorono Kudus. Berdasarkan hasil penelitian dari 69 responden diperoleh data distribusi responden menurut usia 25-49 tahun menunjukkan prosentase sebesar 100%. Hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan Masa Kerja sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Masa Kerja No. 1. 2. 3.
Masa Kerja Baru (<6 tahun) Sedang (6-10 tahun) Lama (>10 tahun) Jumlah
Jumlah 0 11 58 69
Masa kerja pekerja dilihat dari lamanya bekerja pada bagian Giling rokok, menunjukkan frekuensi terbanyak terdapat pada masa kerja masa kerja lama (>10 tahun) sebanyak 58 responden dengan prosentase 84,1%. Sedangkan pada masa kerja baru (<6 tahun) sebanyak 0 responden dan masa kerja sedang
Prosentase (%) 0 15,9 84,1 100
(6-10 tahun) sebanyak 11 responden dengan prosentase 15,9%. Hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan Status Gizi sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Status Gizi No. 1. 2. 3.
Kriteria Kurus Normal Gemuk Jumlah
Jumlah 4 52 13 69
Prosentase (%) 5,8 75,4 18,8 100
Status gizi dalam penelitian ini dapat dikelompokan menjadi 3 kriteria yaitu kurus, normal dan gemuk. Berdasarkan Kategori Status Gizi diperoleh frekuensi Status Gizi pekerja pada kategori kurus yaitu 4 responden atau 5,8%, kategori normal yaitu 52 responden
atau 75,4%, kategori gemuk yaitu 13 responden atau 18,8%. Hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan Motivasi Kerja sebagai berikut (Tabel 3).
4
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Kerja No 1. 2. 3.
Kriteria Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah 0 19 50 69
Prosentase (%) 0 27,5 72,5 100
Motivasi kerja dalam penelitian ini dapat dikelompokan menjadi 3 kriteria yaitu rendah apabila skor 25-55, sedang apabila diperoleh skor 56-75 dan tinggi apabila diperoleh skor 76-100. Berdasarkan Kategori Motivasi Kerja, menunjukan motivasi kerja rendah 0
responden, motivasi kerja sedang 19 responden dengan prosentase 27,5%, motivasi kerja tinggi 50 responden dengan prosentase 72,5%. Distribusi responden berdasarkan prosentase skor aspek Motivasi Kerja menunjukan sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi Responden berdasarkan Aspek Motivasi Kerja No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Aspek Motivasi Kerja Kebutuhan Tujuan Sikap Kemampuan Pembayaran atau gaji Keamanan pekerjaan Sesama pekerja Pengawasan Pujian Pekerjaan itu sendiri
% Skor 83% 84% 77% 81% 74% 81% 82% 73,36% 82% 78%
Berdasarkan prosentase skor aspek motivasi kerja menunjukan indikator kebutuhan (83%), tujuan (84%), sikap (77%), kemampuan (81%), pembayaran atau gaji (74%), keamanan pekerjaan (81%), sesama
Kriteria Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi
pekerja (82%), pengawasan (73,36%), pujian (82%), pekerjaan itu sendiri (78%). Hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan Produktivitas Kerja sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Responden berdasarkan Produktivitas Kerja No Interval 1 P>1 2 P<1 Jumlah
Kriteria Tinggi Rendah
Jumlah 48 21 69
Produktivitas kerja dalam penelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua kriteria yaitu: tinggi apabila skor P>1 dan rendah apabila diperoleh skor P<1. Hasil penelitian diperoleh data produktivitas kerja tinggi 48 responden dengan prosentase 69,6% dan produktivitas
Prosentase (%) 69,6 30,4 100
rendah 21 responden dengan prosentase 30,4%. Hasil analisis bivariat antara status gizi dengan produktivitas tenaga kerja wanita bagian giling rokok di PT Nojorono Kudus sebagai berikut (Tabel 6).
5
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 6. Hubungan antara Status Gizi dengan Produktivitas Kerja Status Gizi Kurus gemuk Normal Total
dan
Produktivitas Kerja Tinggi % Rendah 7 41,2% 10
% 58,8%
N 17
% 100%
41 48
21,2% 30,4%
52 69
100% 100%
78,8% 69,6%
11 21
Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji chi-square. Hasil uji chisquare maka didapat p value sebesar 0,003. Maka p value lebih kecil dari 0,05 (0,003 < 0,05) sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada Hubungan antara Status Gizi dengan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Bagian Giling Rokok di PT. Nojorono Kudus. Berdasarkan analisis bivariat hubungan antara Status Gizi dengan Produktivitas Kerja, menunjukan kategori kurus dan gemuk sebanyak 17 responden, pada status gizi kurus dan gemuk tersebut pekerja bagian giling rokok yang produktivitasnya tinggi sebanyak 7 responden atau 41,2% dan yang produktivitas kerjanya rendah sebanyak 10 responden atau 58,8%. Status gizi normal sebanyak 52 responden, pada status gizi normal tersebut pekerja bagian giling rokok yang produktivitasnya tinggi sebanyak 41 responden atau 78,8% dan yang memiliki produktivitas kerjanya rendah sebanyak 11 responden atau 21,2%. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat kombinasi makanan dan penggunaan zat gizi (Sunita Almatsier, 2002:3). Status gizi yang normal untuk wanita berdasarkan IMT adalah 18,5-25,5. Kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja erat bertalian dengan status gizi (A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003:154). Manusia yang sehat dan mendapatkan makanan yang cukup, baik kulitas maupun kuantitasnya, akan memiliki kesanggupan yang maksimal dalam menjalani hidupnya. Kemampuan maksimal ini disebut “kapasitas orang dewasa”. Jadi untuk memperoleh kapasitas orang dewasa yang maksimal, manusia harus memperoleh makanan yang cukup sehingga memperoleh
semua zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh dan terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh, di samping memperoleh energi yang cukup untuk memungkinkan bekerja secara maksimal (Sjahmien Moehji, 2003:11). Bagi tenaga kerja kekurangan akan zat gizi akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Gangguan tersebut akan mempengaruhi kapasitas kerja secara keseluruhan menjadi berkurang dan keadaan itu tentu saja akan menurunkan produktivitas kerja (Sjahmien Moehji, 2003:12). Gizi kerja adalah zat yang dibutuhkan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan pekerjaanya agar tingkat kesehatan dan produktivitas kerjanya tercapai setinggi-tingginya (Gempur Santoso, 2004:75). Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh. Perbaikan dari kerusakan sel-sel maupun jaringan tubuh. Zat-zat makanan ini diperlukan untuk pekerjaan dan meningkat berbanding lurus dengan beratnya pekerjaan. Pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya adalah makanan, dalam kaitan dengan gizi kerja, nutrisi yang diperlukan oleh tenaga kerja tidak berbeda dengan yang dibutuhkan oleh orang lain dan dalam kegiatan lain (Anies, 2005:26). Bekerja keras tanpa di imbangi dengan makanan yang bergizi yang dimakan setiap hari maka dalam waktu dekat akan menderita kekurangan tenaga, lemas dan tidak dapat bergairah dalam melakukan pekerjaanya, tentu saja yang bersangkutan tidak dapat diharapkan adanya produktivitas yang dikehendaki (G. Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008:17). Manusia harus memperoleh makanan yang cukup sehingga memperoleh zat gizi yang diperlukan untuk
6
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
pertumbuhan, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh dan terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh, sehingga memperoleh energi untuk bekerja secara maksimal (Sjahmien Moehji, 2003:11). Penerapan gizi kerja di perusahaan sering mengalami kendala, sebagaimana upaya kesehatan kerja yang lain, gizi kerja masih dianggap sebagai pos rugi. Bukan hanya belum prioritas melainkan pemborosan bagi keuangan perusahaan, jarang disadari bahwa gizi kerja justru menunjang produktivitas kerja hal ini tidak hanya menguntungkan bagi pekerja tapi juga keuntungan bagi perusahaan. Gizi kerja merupakan salah satu syarat mencapai derajat kesehatan yang optimal, khususnya bagi
masyarakat pekerja. Kesehatan itu sendiri mencakup dua aspek yaitu: aspek kesejahteraan dan aspek pengembangan sumber daya manusia. Demikian pula gizi di satu pihak mempunyai aspek kesehatan dan dilain pihak mempunyai aspek mencerdaskan kehidupan bangsa serta menunjang produktivitas, oleh karena itu perbaikan dan peningkatan gizi mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya menyehatkan, mencerdaskan serta meningkatkan produktivitas kerja (Anies, 2005:24). Hasil analisis bivariat antara motivasi kerja dengan produktivitas tenaga kerja wanita bagian giling rokok di PT Nojorono Kudus sebagai berikut (Tabel 7).
Tabel 7. Hubungan antara Motivasi Kerja dengan produktivitas kerja Motivasi Kerja Sedang Tinggi Total
Produktivitas Kerja Tinggi % 8 42,1% 40 80,0% 48 69,6%
Rendah 11 10 21
Analisis bivariat menggunakan chisquare maka didapat p value sebesar 0,002. Maka p value lebih kecil dari 0,05 (0,002 < 0,05) sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada Hubungan antara Motivasi Kerja dengan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Bagian Giling Rokok di PT. Nojorono Kudus. Berdasarkan hubungan antara Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja, menunjukan bahwa motivasi kerja bagian giling rokok pada kategori sedang sebanyak 19 responden, pada motivasi sedang tersebut pekerja bagian giling rokok yang produktivitasnya tinggi sebanyak 8 responden atau 42,1% dan yang memiliki produktivitas rendah sebanyak 11 responden atau 57,9%. Motivasi pada kategori tinggi sebanyak 50 responden, pada motivasi tinggi tersebut pekerja bagian giling rokok yang produktivitasnya tinggi sebanyak 40 responden atau 80,0% dan yang memiliki produktivitas rendah sebanyak 10 responden atau 20,0%. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden
% 57,9% 20,0% 30,4%
N 19 50 69
% 100% 100% 100%
memiliki motivasi kerja yang tinggi yaitu sebanyak 50 responden atau 72,5% dan motivasi kerja sedang 19 responden atau 27,5%. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan ada hubungan antara motivasi kerja dengan tingkat produktivitas tenaga kerja wanita bagian giling rokok di PT Nojorono Kudus, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikan p value 0,002. Mayoritas tenaga kerja yang memiliki motivasi kerja sedang memiliki produktivitas kerja yang kurang sehingga output kerja yang dihasilkan kurang dari target yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Hal ini dapat disebabkan karena tenaga kerja tidak masuk dikarenakan sakit, cuti atau keluar dari perusahaan yang perbulannya hampir 25%. Motivasi merupakan kekuatan atau motor pendorong kegiatan seseorang kearah dan tujuan tertentu dan melibatkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapainya (Tarwaka, dkk., 2004:139). Maka dengan adanya pengakuan dan prestasi yang dicapai berupa insentif, adanya kesempatan bagi
7
Febry Candra Adityana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) Bambang
karyawan untuk mengembangkan dirinya melalui pelatihan, dengan kondisi pekerjaan yang cukup menyenangkan dan tempat kerja yang nyaman, didukung oleh hubungan kerja yang harmonis serta adanya jaminan keselamatan kerja dan sistem penggajian yang baik akan mendorong tenaga kerja untuk melakukan pekerjaanya dengan penuh tanggung jawab. Tingginya tanggung jawab para karyawan membawa konsekuensi yang ditunjukkan dengan pencapaian hasil produksi yang sesuai dengan target atau melebihi target yang ditentukan. Motivasi kerja seorang tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja yang dapat dicapai dalam pekerjaannya yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Dalam kerangka konseptual untuk analisis perilaku orang dalam organisasi yang diajukan oleh Fred Luthas dapat ditemukan kausalitas dengan dasar Stimulus Response atau Stimulus Organism Response (SR atau SOR). Pada model tersebut nampak bahwa motivasi hanyalah salah satu elemen yang ada pada individu sebagai peserta organisasi dalam berperilaku. Adapun perilaku akan meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003:274).
Kussriyanto,
Produktivitas
1999, Karyawan,
Meningkatkan
Jakarta: PT. Gramedia. G. Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008, Ilmu Gizi
Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas Kerja, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Gempur Santoso, 2004, Menejemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Pretasi Pustaka. Muchdarsyah Sinungan, 2003, Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara. Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003, Menejemen Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta: PT. Cipta. Sjahmien Moehji, 2003, Ilmu Gizi 2, Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Suma’mur P. K., 1996, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Gunung Agung. Sunita Almatsier, 2002, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara status gizi dan motivasi kerja dengan produktivitas tenaga kerja wanita bagian giling rokok di PT Nojorono Kudus, dapat disimpulkan bahwa Ada Hubungan antara Status Gizi dan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Bagian Giling Rokok di PT Nojorono Kudus. DAFTAR PUSTAKA A.M. Sugeng Budiono, 2003, Bunga Rampai Hiperkes dan Kesehatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit undip. Anies, 2005, Penyakit Akibat Kerja, Jakarta: Kelompok Gramedia.
8
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KEPALA IKAN LELE (Clarias sp) DALAM PEMBUATAN CILOK TERHADAP KADAR PROTEIN DAN SIFAT ORGANOLEPTIKNYA Ika Apriyana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Ikan Lele merupakan salah satu ikan yang sudah banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Kandungan protein ikan lele 18,7%. Kepala ikan lele mengandung protein,lemak, garam kalsium dan fosfat yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele dalam pembuatan makanan cilok terhadap kadar protein dan sifat organoleptiknya. Penelitian ini berjenis true experiment, rancangan posttest only with control group design, dengan sampel cilok kepala ikan lele (konsentrasi 0%, 10%, 20%, dan 30%). Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data secara univariat dan bivariat ( One Way Anova dan Friedman Test, α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemanfaatan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein dengan p value = 0,026 dan penambahan konsentrasi tepung kepala ikan lele (clarias sp) 10% memberikan tingkat kesukaan yang baik serta sumbangan protein sebesar 7, 62%. Diharapkan masyarakat dan juga industri abon lele dapat memanfaatkan kepala ikan lele sebagai salah satu sumber protein dan pemanfaatan limbah dari ikan lele untuk menambah kadar protein ke dalam makanan lainnya. Untuk penjaja makanan perlu menambahkan tepung kepala ikan lele dalam makanan yang disukai anak –anak seperti cilok.
Diterima Februari 2013 Disetujui Maret 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: cilok, kadar protein, sifat organoleptik, tepung kepala ikan lele ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Catfish fishing is one fish that has been cultivated by fish farmers. Catfish protein content of 18.7%. Head catfish contains protein, fat, calcium and phosphate salts which have not been used optimally. The purpose of this study to analyze the effect of the addition of head catfish flour in food manufacturing cilok the protein content and the organoleptic test. This type of study is true experiment, posttest only with control group design, and the sample was head catfish cilok (of 0%, 10%, 20%, and 30% concentration). The instrument used was questionnaire. Data analysis was performed as univariate and bivariate (One Way Anova and Friedman Test, α = 0,05). The result showed there was of the use of flour head catfish on making cilok the protein content of the p value = 0.026 and starch concentration addition head catfish (Clarias sp) 10% provide a good level of preference and protein contribution of 7, 62%. People were expected and industry can take advantage of shredded catfish, catfish head as source of protein and utilization of waste from catfish to increase the levels of protein in other foods. For food vendors need to add flour head catfish in the food that kids like cilok.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
tahun 2005 produksi nasional ikan lele sebesar 69,386 ton, tahun 2006 sebesar 77,332 ton, tahun 2007 sebesar 91,735 lalu tahun 2008 meningkat menjadi 114,371 ton dan pada tahun 2009 terus meningkat menjadi 144,755. Tahun 2010, angka sementara yang dipublikasikan produksi ikan lele dari hasil budidaya sebesar 273.554 ton. Pemanfaatan ikan lele sebagai bahan pangan selama ini hanya terbatas pada daging. Pengolahan hasil disamping ikan berupa limbah seperti kepala, jeroan, tulang, sisik, dan sirip belum dimanfaatkan secara optimal. Kepala ikan lele merupakan limbah ikan lele yang berasal dari pengolahan daging lele. Menurut Hadiwiyoto (1993) kepala ikan lele mempunyai komponen utama yaitu berupa protein, lemak, garam kalsium, dan fosfat dan selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, biasanya diproses lebih lanjut digunakan untuk pakan ternak. Sedangkan di daerah industri pembuatan abon ikan lele, hanya memanfaatkan dagingnya saja selain itu juga digunakan untuk produk kerupuk ikan. Sedangkan kepala ikan lele belum dimanfaatkan secara optimal. Berlimpahnya potensi perikanan dan tingginya protein ikan tidak diikuti oleh pemanfaatan limbahnya dalam kontribusinya dalam makanan. Masalah kurang gizi di Indonesia sebagian besar dialami oleh anak balita dan anak sekolah. Kekurangan gizi pada anak sekolah akan mengganggu daya tahan anak tersebut sehingga proses penerimaan belajar di sekolah menjadi terganggu. Kepala ikan lele dumbo dapat diolah menjadi tepung dan diaplikasikan pada produk pangan agar kandungan gizi dari makanan akan meningkat. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Herviana ferazuma, tepung kepala ikan lele disubstitusikan ke dalam crackers untuk meningkatkan kandungan kalsium. Cilok merupakan produk makanan yang telah lama dikenal, dan disukai oleh anakanak. Cilok yang beredar di masyarakat hanya terbuat dari tepung tapioka dimana kurang mengandung zat gizi. Kandungan zat gizi tepung tapioka kalori 362,00 kal, protein 0,50 gr, lemak
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja, sehingga penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu melibatkan berbagai sektor terkait dalam pendekatan penanggulangannya. Di Indonesia dan Negara berkembang masalah gizi didominasi oleh masalah kekurangan energi protein (I Dewa Supriasa, 2001 : 1). Protein terdapat pada pangan nabati ataupun hewani. Nilai biologi protein pada bahan pangan bersumber hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan nabati. Bahan makanan hewani sumber protein diantaranya adalah ikan, susu, telur, daging, unggas, kerang (Hariyani Sulistyoningsih, 2011: 24). Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi, tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi protein rata-rata penduduk Indonesia (Sunita Almatsier, 2002:100). Di Indonesia sekitar 40% dari jumlah produksi total perikanan Indonesia dijadikan bahan baku untuk produk olahan dan sekitar 80% dari jumlah produk olahan tersebut berupa ikan asin, ikan kering, ikan asap dan fermentasi (Danuri: 2004). Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus sp) merupakan salah satu jenis ikan yang saat ini sudah banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Ikan lele mengandung kadar air 78,5 gr, kalori 90 gr, protein 18,7 gr, lemak 1,1 gr, Kalsium (Ca) 15 gr, Phosphor (P) 260gr, Zat besi (Fe) 2gr, Natrium 150gr, Thiamin 0,10gr, Riboflavin 0,05gr, Niashin 2,0 gr per 100gram. Sehingga lele mengandung protein yang tinggi dan zat penguat tulang (kalsium) yang baik untuk makanan anak balita. Selain itu lele juga mengandung mineral lain yang penting pula untuk kesehatan tubuh (Djatmiko Hertami,1986). Lele yang memiliki nama ilmiah Clarias sp ini perkembangan produksinya secara nasional sangat baik. Selama lima tahun terakhir produksi lele terus meningkat. Pada
2
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
0,30 gr, karbohidrat 86,90 gr, air 12,00 gr per 100 gram (Lies Suprapti, 2005:28) Berdasarkan data di atas penulis ingin memanfaatkan limbah kepala ikan lele dengan mengolahnya sebagai tepung yang kemudian ditambahkan dalam makanan jajanan. Dengan mengubah bentuknya dan mengingat kandungan gizi maka penulis ingin memanfaatkan kepala ikan lele yang diolah menjadi tepung yang ditambahkan pada cilok sebagai kombinasi dalam menu makanan jajanan untuk anak sekolah, dimanfaatkan untuk mengurangi kasus KEP. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (clarias sp) dalam Pembuatan Cilok terhadap Kadar Protein dan Sifat Organoleptiknya.
kadar protein dilakukan di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang. Sampel penelitian menggunakan 4 macam cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele yang berbeda (0%, 10%, 20%, dan 30%) dan 15 orang panelis anak-anak. Instrumen penelitian yaitu alat uji kadar protein menggunakan metode Spektrofotometri dan formulir penilaian sifat organoleptik. Analisis deskriptif dilakukan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi mengenai kadar protein cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele yang berbeda (0%, 10%, 20%, dan 30%) dan tingkat kesukaan panelis. Analisis analitik untuk menguji hipotesis dengan teknik statistik One Way Anova atau uji alternatif KruskalWallis untuk kadar protein dan Uji Friedman Test digunakan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele (clarias sp) pada pembuatan cilok terhadap sifat organoleptiknya.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen. Jenis penelitian yang akan digunakan yaitu eksperimen sungguhan (True Experiment). Desain atau rancangan eksperimen yang digunakan adalah rancangan post test dengan kelompok control (Post Test only with control group design). Hal ini dikarenakan kasus tersebut telah terandomisasi baik pada kelompok control maupun kelompok eksperimen. Eksperimental pembuatan cilok substitusi kepala ikan lele, dibuat suatu control positif berupa cilok. Penelitian ini dilakukan di Blora pada anak-anak usia Sekolah Dasar (6-12 tahun) untuk uji organoleptiknya. pengujian
HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian uji kadar protein dilakukan dua kali pengujian, uji organoleptik dilakukan oleh 15 orang panelis anak-anak usia 6-12 tahun. Aspek yang dinilai meliputi aspek rasa, tekstur, warna, dan aroma. Analisis Univariat Penilaian Panelis Terhadap Kadar Protein Menurut data kadar protein yang diperoleh dengan metode Spektrofotometri.
3
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Kadar Protein pada Cilok Kepala Ikan Lele Konsentrasi Tepung Kepala Ikan Lele pada Cilok
Kadar Protein %
Rata-rata
Uji ke- 1
Uji ke- 2
%
0%
6, 31
7,45
6, 88
10 %
7,23
8, 01
7, 62
20 %
7, 63
7, 63
7, 63
30 %
7,79
8, 10
7, 945
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Kadar Protein pada Tepung Kepala Ikan Lele Tepung Kepala Ikan Lele
Kandungan Protein (%) Uji ke- 1 Uji ke- 2
Rata-rata %
9,40
9,97
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa sampel cilok berjumlah 4, dengan konsentrasi tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok adalah 0%, 10%, 20%, dan 30%. Pengujian kadar protein dilakukan dua kali. Kadar protein tertinggi terdapat pada cilok dengan konsentrasi subtitusi 30% dengan ratarata 7,945%, dan kadar protein terendah terdapat pada cilok dengan konsentrasi
10,54
subtitusi 0% dengan rata-rata sebesar 6,88%. Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa sampel berupa tepung kepala ikan lele mengandung protein yang sangat tinggi, yaitu 9,97%. Menurut penilaian panelis terhadap masing-masing aspek uji daya terima di atas, maka rekapitulasi rata-rata tingkat kesukaan cilok adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Rekapitulasi Rata-Rata Penilaian Panelis terhadap Uji Daya Terima Cilok Konsentrasi Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele Aspek Organoleptik 0% 10% 20 % 30 % Warna 2, 20 2, 40 1,60 1,20 Rasa 2,60 2, 40 1,40 1, 06 2, 33 2, 41 1,406 1, 06 Aroma Tekstur 2,20 2,26 1, 53 1, 06 Jumlah 9,33 11,47 5, 936 4,38 Rata-rata 2,33 2,86 1,48 1, 095 Berdasarkan rata-rata rekapitulasi data total skor di atas, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok dengan subtitusi 10% memberikan tingkat kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur yang baik dibandingkan konsentrasi yang lain.
Uji Normalitas Data Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas data yang dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dapat diketahui bahwa data kadar protein memiliki p value 0, 334 (p value >0,05), maka data terdistribusi normal. Oleh karena itu uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok
4
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
terhadap kadar protein adalah uji One Way
Analisis Bivariat
Anova.
Uji Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele pada Pembuatan Cilok terhadap Kadar Protein
Hasil uji normalitas daya terima (warna, rasa, aroma, dan tekstur) menunjukkan bahwa p value 0,000 (P <0,05), maka data tidak terdistribusi normal. Uji yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima adalah uji Friedman Test.
Adapun untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele pada Pembuatan Cilok terhadap Kadar Protein Uji Anova Uji pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein
p value
Keterangan Signifikan
0,026
Dari hasil uji statistika menggunakan uji Anova diperoleh p value 0,026 (<0,05), berarti ada pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein.
Uji Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Rekapitulasi penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek warna, aroma, rasa dan tekstur adalah sebagai berikut:
5
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Uji Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima
Friedman Test
p value
Uji pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek warna Uji pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek rasa Uji pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek aroma Uji pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek tekstur
0, 000
Keterangan Signifikan
0,000
Signifikan
0, 000
Signifikan
0, 000
Signifikan
Berdasarkan hasil uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima pada Tabel 4.13, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek warna, rasa, aroma, tekstur.
Pengolahan hasil disamping ikan berupa limbah seperti kepala, jeroan, tulang, sisik, dan sirip belum dimanfaatkan secara optimal. Kepala ikan lele merupakan limbah ikan lele yang berasal dari pengolahan daging lele. Menurut Hadiwiyoto (1993) kepala ikan lele mempunyai komponen utama yaitu berupa protein, lemak, garam kalsium, dan fosfat dan selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, biasanya diproses lebih lanjut digunakan untuk pakan ternak. Sedangkan di daerah industri pembuatan abon ikan lele, hanya memanfaatkan dagingnya saja selain itu juga digunakan untuk produk kerupuk ikan. Sedangkan kepala ikan lele belum dimanfaatkan secara optimal. Kepala ikan lele dapat diolah menjadi tepung dan diaplikasikan pada produk pangan agar kandungan gizi dari makanan akan meningkat. Cilok merupakan produk makanan yang telah lama dikenal, dan disukai oleh anakanak. Cilok yang beredar di masyarakat hanya terbuat dari tepung tapioka dimana kurang mengandung zat gizi. Kandungan zat gizi tepung
Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (Clarias Sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Kadar Protein Ikan lele (Clarias sp) merupakan salah satu jenis ikan yang saat ini sudah banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Ikan lele mengandung kadar air 78,5 gr, kalori 90 gr, protein 18,7 gr, lemak 1,1 gr, Kalsium (Ca) 15 gr, Phosphor (P) 260gr, Zat besi (Fe) 2gr, Natrium 150gr, Thiamin 0,10gr, Riboflavin 0,05gr, Niashin 2,0 gr per 100gram (Djatmiko Hertami,1986). Pemanfaatan ikan lele sebagai bahan pangan selama ini hanya terbatas pada daging.
6
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
tapioka kalori 362,00 kal, protein 0,50 gr, lemak 0,30 gr, karbohidrat 86,90 gr, air 12,00 gr per 100 gram (Lies Suprapti, 2005:28) Berdasarkan pengujian di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang tepung kepala ikan lele mengandung 9,97% protein. Menurut Herviana ferazuma dkk pada penelitiannya tahun 2011 hilangnya air pada proses pengeringan menyebabkan peningkatan kadar protein. Setelah data penelitian ini diuji dengan menggunakan uji statistik One Way Anova diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan diterima karena p value 0,026 (<0,05), berarti ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein. Berdasarkan pengujian di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, kadar protein cilok pada penambahan tepung kepala ikan lele 0% adalah sebesar 6,88%, penambahan 10% sebesar 7,62%, penambahan 20% sebesar 7,63%, penambahan 30% sebesar 7,945 %. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung penambahan kepala ikan lele dalam pembuatan cilok, semakin tinggi pula kadar protein yang terkandung didalamnya. Hal tersebut menunjukan bahwa ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein.
senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1990:77). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Friedman Test diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan diterima karena nilai p value 0,000 (< 0,05), maka ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek warna. Menurut Tabel 4.3, tentang penilaian panelis terhadap uji daya terima pada aspek warna cilok, menunjukkan bahwa panelis cenderung suka warna cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias SP) 10 %. Menurut Fardiaz, dkk (1992) sifat-sifat fungsional protein adalah sifat-sifat yang menentukan perilaku protein dalam makanan selama pengolahan, penyimpanan, dan penyajian yang mempengaruhi mutu makanan dan penerimaannya oleh konsumen. Protein digambarkan sebagai komponen yang paling reaktif diantara komponen-komponen bahan pangan. Senyawa ini dapat bereaksi dengan gula-gula pereduksi, lemak, dan produk-produk oksidasi, polifenol, dan komponen bahan pangan lainnya. Reaksi-reaksi ini menyebabkan turunnya nilai gizi, timbulnya warna coklat, dan pembentukan cita rasa. Cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) sebesar 30% memiliki warna yang lebih coklat dibandingkan cilok dengan kadar 0%,10% dan 20%. Menurut penelitian Brennan (2006) bahwa proses pengeringan saat pembuatan tepung juga dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan. Sehingga, semakin banyak konsentrasi tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) yang ditambahkan dalam pembuatan cilok maka makanan cilok yang dihasilkan akan semakin berwarna coklat. Warna cilok dipengaruhi oleh bahan pembuatan adonan seperti tepung tapioka, tepung terigu dan juga warna tepung ikan lele yang berwarna coklat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herviana ferazuma dkk (2011) berjudul substitusi tepung kepala ikan lele
Uji Daya Terima Panelis Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele(Clarias Sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Aspek Warna Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang sangat tinggi dan dapat diukur dengan instrumen fisik (dengan instrumen manusia). Sifat subjektif ini lebih umum pada tingkat kesukaan salah satunya pada aspek warna. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Pada uji pembedaan panelis mengemukakan tanggapan pribadi, yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan
7
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
untuk meningkatkan kandungan kalsium crackers bahwa semakin tinggi penambahan tepung kepala ikan lele, maka warna crackers akan semakin gelap.
penilaian daya terima aroma (Soekarto, 1990:77). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Friedman Test diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan tidak diterima karena nilai p value 0,000 (<0,05), berarti ada pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek aroma. Menurut Tabel 4.5 mengenai penilaian panelis terhadap uji daya terima pada aspek aroma cilok, menunjukkan bahwa panelis cenderung suka dengan cilok dengan konsentrasi penambahan 10% karena memiliki aroma cilok pada umumnya. Sedangkan aroma yang paling tidak disukai yaitu konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp)30%, hal ini dikarenakan cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp)30% mempunyai aroma khas cilok pada umumnya tetapi tidak sekuat cilok dengan konsentrasi 0% dan 10%. Hal ini dikarenakan semakin banyak konsentrasi tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) yang ditambahkan maka aroma cilok yang dihasilkan akan lebih beraroma amis dan langu.
Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (clarias sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Aspek Rasa Daya terima terhadap rasa merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang penelis atau penguji mutu dari suatu komoditi atau produk makanan yang akan diuji. Indera pengecap sangat berperan dalam uji ini (Soekarto, 1990:78). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Friedman Test diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan diterima karena nilai p value 0,000 (<0,05), berarti ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek rasa. Tentang penilaian panelis terhadap uji daya terima pada aspek rasa cilok, menunjukan bahwa panelis cenderung suka dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele dengan konsentrasi 0% dan 10%.Sedangkan panelis cenderung tidak suka pada cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) dengan konsentrasi penambahan 30% memiliki rasa gurih. Semakin banyak konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan maka rasanya akan semakin gurih, oleh karena sifat dasar yang dimiliki tepung ikan adalah gurih (Eny Maghfiroh, 2012: 66)
Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (clarias sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Aspek Tekstur Daya terima terhadap tekstur merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang penelis atau penguji mutu dari suatu komoditi atau produk makanan yang akan diuji. Yaitu dengan mengemukakan tanggapan pribadi yakni kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1990:78). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Friedman Test diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan tidak diterima karena nilai p value 0,000 (<0,05), berarti ada pengaruh konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek tekstur.
Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (clarias sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Aspek Aroma Sifat mutu daya terima adalah sifat mutu produk yang hanya dapat diukur atau dinilai dengan uji atau penilaian kesukaan, salah satunya aspek aroma. Daya terima terhadap aroma merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang panelis atau penguji mutu. Kepekaan indra pembauan sangat berperan penting dalam
8
Ika Apriyana / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Menurut Tabel 4.6 tentang penilaian panelis terhadap uji daya terima pada aspek tekstur cilok, menunjukan bahwa panelis cenderung suka pada cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) dengan konsentrasi penambahan 10%. Sedangkan panelis cenderung tidak suka pada cilok dengan konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele (Clarias Sp) sebanyak 30% karena cilok jenis ini memiliki tekstur yang lebih keras dibandingkan dengan cilok lain.
tersebut memberikan tekstur yang berbeda pula, yaitu cilok yang tidak keras. SIMPULAN Ada pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap kadar protein. Ada pengaruh penambahan tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap daya terima aspek warna, rasa, aroma dan tekstur.
Pengaruh Penambahan Tepung Kepala Ikan Lele (clarias sp) pada Pembuatan Cilok terhadap Daya Terima Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang lebih dan dapat diukur dengan instrumen fisik (manusia). Sifat subjektif ini umumnya pada tingkat kesukaan yang melibatkan warna, aroma, rasa dan tekstur (Soekarto, 1990:67). Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan Friedman Test diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan diterima, maka ada pengaruh penambahan konsentrasi tepung kepala ikan lele pada pembuatan cilok terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur yang baik dibandingkan konsentrasi yang lain. Rata-rata tertinggi tingkat kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur, dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung kepala ikan lele dengan konsentrasi 10% mempunyai tingkat kesukaan yang paling besar dibandingkan yang lain. Hal ini dikarenakan konsentrasi kepala ikan lele sebanyak 10% mempunyai nilai yang sesuai baik dari aspek warna, aroma, rasa dan tekstur yang tidak berlebihan. Dari aspek warna, cilok tersebut berwarna putih kecoklatan dan tidak berwarna coklat karena konsentrasi penambahan tepung kepala ikan lele yang sempurna. Dari aspek aroma, aroma amis dari cilok dengan konsentrasi 10% akibat tepung kepala ikan lele yang ditambahkan dalam adonan cilok tidak berlebihan. Dari aspek rasa, cilok tersebut memberikan rasa gurih yang berbeda. Sedangkan dari aspek tekstur cilok
DAFTAR PUSTAKA Achmad Djaeni Sediaoetama, 2008, Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I, Jakarta: Dian Rakyat Brennan JG. 2006. Food engineering operations. London Dedi Fardiaz, dkk, 1992, Teknik Analisis Sifat Kimia Dan Fungsional Komponen Pangan, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto S,1993, Teknologi Hasil Perikanan, Yogyakarta: Liberty. Hariyani Sulistyoningsih, 2011, Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Yogyakarta: Graha Ilmu. Hasil budidaya lele, diakses tanggal 16 Maret 2011, http://beritadaerah.com/berita/jawa/32404 ) Herviana ferazuma dkk, 2011, Substitusi Tepung
Kepala Ikan Lele Untuk Meningkatkan Kandungan Kalsium Crackers, Bogor: Institut Pertanian Bogor I Dewa Nyoman Supariasa, 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Lies Suprapti, 2005, Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya, Yogyakarta: Kanisius Soewarno Tjokro Soekarto, 1990, Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sunita Almatsier, 2002, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winiati Pudji Rahayu, 1998, Penuntun Praktikum Penelitian Organoleptik, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
9
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN PERAN PETUGAS KESEHATAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT KUSTA Ma’rifatul Khotimah Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Penelitian tentang pengobatan kusta pernah dilakukan di India, dan menunjukkan bahwa 60 %penderita kusta default pengobatan. Kondisi demikian akan menyebabkan resistensi terhadap obat dan mengulang pengobatan jika tidak diselesaikan secara benar.Faktor tidak patuhnya minum obat dapat juga menyebabkan penularan penyakit kusta sulit dieliminasi dan dapat menimbulkan kasus relap (kambuh).Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat kusta di Kabupaten Blora tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode kasus kontrol. Responden berjumlah 30 orang kasus dan 30 kontrol. Hasil chi-square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan kusta adalah peran keluarga (p value=0,001, OR=6,909) dan peran petugas kesehatan (p value=0,0001, OR=3,143). Penderita yang mempunyai dukungan keluarga yang rendah memiliki risiko 6 kali untuk tidak patuh minum obat kusta. Peran tenaga kesehatan yang rendah terhadap responden mempunyai resiko 3 kali lebih tidak patuh dibandingkan responden yang bekerja. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pekerjaan dan pengetahuan dengan kepatuhan minum obat kusta di Kabupaten Blora tahun 2011.
Diterima Agustus 2013 Disetujui September 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Kepatuhan, Dukungan Keluarga, Petugas Kesehatan, Kusta ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Leprosy patients often do not compliance with schedule and according to the dose of medication. Research about treatment of leprosy has been in India, and shows that 60% default treatment of lepers. These conditions will cause resistance to the drug and repeat the treatment if it is not according to the dose. Disobedience factor medication can also cause transmission of leprosy difficult to eliminate and can cause relap cases (relapse).The purpose of this study was to determine the relationship between family support and the role of the health officers with leprosy medication adherence Blora regency in 2011. This study used a case-control method. Respondents were 30 cases and 30 controls. The results showed family support (p value=0,001, OR=6,909) and the role of the health officer (p value=0,0001, OR=3,143). Patients who have a low family support have 13 times the risk of non-compliance to medication leprosy. Patients who have low the role of the health officer have 3 times the risk of noncompliance to medication leprosy. The result of research showed there was relationship between family support and the role of the health officer with leprosy medication adherence Blora regency in 2011.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Ma’rifatul Khotimah / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
penderita di tahun 2009, dan sebanyak 1.740 pada tahun 2010. Menurut profil Propinsi Jawa tengah tahun 2010 disebutkan bahwa terdapat 7 kasus kusta tinggi di daerah-daerah Propinsi Jawa Tengah antara lain Brebes, Tegal, Pekalongan, Demak, Kudus, Blora, dan Rembang (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah). Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang termasuk daerah endemis kusta dengan angka prevalensi kusta 1,39 per 10.000 penduduk pada tahun 2010. Angka penemuan kasus baru (CDR) tahun 2009 di Blora yaitu 8,59 per 100.000 penduduk dan meningkat kasusnya menjadi 14,60 per 100.000 penduduk di tahun 2010. Target CDR yaitu <5/100.000 penduduk (Profil Dinas Propinsi Jawa Tengah tahun 2010) Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, sebanyak 1,8 % dinyatakan patuh pengobatan untuk penderita multi basiler, sedangkan untuk penderita pausi basiler sebanyak 51,7% dinyatakan patuh dalam pengobatan kusta. Penderita yang tidak patuh 29,28 % penderita (Data Kusta Dinas Kesehatan Kabupaten Blora tahun 2011). Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala –gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur. Selama dalam pengobatan, penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa (Depkes RI, 2006 : 71). Tingkat kepatuhan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat tersebut menurun sampai 54%. Kepatuhan terhadap perubahan gaya hidup yang disarankan, seperti misalnya berhenti merokok atau mengubah diet seseorang, secara umum sangat bervariasi dan sering sangat rendah (Bart Smeat, 1994:254). Faktor eksternal berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat kusta. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah ada
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (Marwali Harahap, 2000:260). Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan, atau kaki. Semakin panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, makin besar risiko timbulnya kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif (Depkes RI, 2006:81). Data dari World Health Organization (WHO), jumlah kasus baru kusta yang terdeteksi di seluruh dunia selama tahun 2009 sebanyak 244.796 kasus. Jumlah kasus baru kusta yang terdeteksi pada kuartal pertama tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 211.903 kasus. Di Asia Tenggara yaitu sebanyak 120.456 kasus baru kusta yang terdeteksi pada awal tahun 2010. Tingkat prevalensi jumlah kasus kusta per 10.000 penduduk di Asia Tenggara 0,68. Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara tertinggi kasus kusta setelah India dan Brazil. Data WHO, prevalensi penderita kusta di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 19.785 penderita. Penderita kasus baru kusta berjenis kelamin perempuan 6.598 kasus. Angka penemuan kasus baru sebesar 17.012 dengan proporsi kasus penderita multi basiler 80,96%, dimana penderita multi basiler merupakan sumber penularan penyakit. Kasus cacat tingkat 2 sebanyak 1.822 penderita, sedangkan penderita yang kambuh yaitu 147 kasus. Jumlah penemuan kasus baru kusta di Jawa Tengah meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2008 sejumlah 1564 penderita. Penemuan kasus baru meningkat menjadi 1.574
2
Ma’rifatul Khotimah / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
hubungan antara dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat kusta.
penelitian, tahap penelitian dan tahap paska penelitian. Tahap pra penelitian meliputi : menentukan sampel yang akan diteliti, menyiapkan instrument penelitian untuk mengumpulkan data primer dan mengajukan surat ijjin penelitian ke Dinas Kesehatan Kabupaten Blora. Tahap penelitian meliputi : menyeleksi penderita dari data kusta DKK Blora, mewawancarai responden dengan menggunakan kuesioner, mendokumentasikan kegiatan penelitian dalam bentuk foto. Tahap ketiga yaitu paska penelitian meliputi : mengolah data dengan bantuan komputer dan menyusun hasil penelitian. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05).
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus kontrol (case control). Kelompok kasus adalah penderita kusta yang tidak patuh pengobatan kusta di Kabupaten Blora berjumlah 30 orang dengan kriteria inklusi sampel didiagnosis menderita kusta, dinyatakan tidak patuh dalam pengobatan dan berada di daerah penelitian. Kriteria ekslusi kasus yaitu responden yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Kelompok kontrol adalah penderita kusta yang patuh dalam pengobatan kusta berjumlah 30 orang. dengan kriteria inklusi responden menderita kusta, dinyatakan patuh dalam pengobatan kusta (RFT) dan berada di daerah penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi pekerjaan dan pengetahuan. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara simple random sampling. Prosedur penelitian meliputi tiga tahap, yaitu tahap pra
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel Dukungan Keluarga Hasil uji chi square dari data penelitian tentang peran keluarga responden dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Kabupaten Blora, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Tabulasi Silang antara Dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Dukungan Keluarga
Kepatuhan Minum Obat
Nilai
p Kasus
∑ Rendah Tinggi Total
19 11 30
% 63,3 30,0 100,0
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Blora. Hasil ini didasarkan pada uji chi square yang diperoleh p value 0,001 lebih kecil dari α 0,05. Nilai odds ratio (OR) = 6,909 dengan interval 2,160-22,098, berarti bahwa responden yang mempunyai dukungan keluarga yang rendah memiliki risiko 6,909 kali lebih besar untuk tidak patuh minum obat bila dibandingkan
Kontrol ∑ % 6 20,0 24 80,0 30 100,0
0,001
responden yang mempunyai dukungan keluarga yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Lawrence Green bahwa faktor yang berhubugan dengan perilaku kepatuhan berobat diantaranya ada faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor ), yaitu berupa peran keluarga yang mendukung penderita untuk patuh berobat. Menurut teori Snehandu B. Karr, terdapat lima determinan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk patuh pengobatan,
3
Ma’rifatul Khotimah / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
salah satunya adanya dukungan dari masyarakat sekitar (social support) (Sinta Fitriani, 2011 : 164). Keluarga merupakan lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan, dan hubungan sosial. Orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarga cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karena peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Suchman memformulasikan suatu pernyataan teoritis mengenai hubungan antara struktur sosial dan orientasi medis dengan variasi respons individu terhadap penyakit dan perawatan medis. Dalam pengembangan model Suchman membahas fungsi dari berbagai faktor
lain (faktor tempat, variasi respons terhadap penyakit perwatan medis) yang berhubungan dengan proses perawatan medis. Struktur sosial ditentukan oleh keadaan sosial dari 3 tingkat kelompok, yaitu tingkat komunitas, persahabatan dan keluarga (Fauzi Muzaham, 1995 : 47). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti Mahmudah dan Mohamad Toha yang menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita kusta dipengaruhi oleh peran keluarga. Pada penelitian Basaria Hutabarat di Kabupaten Asahan menyimpulkan bahwa peran keluarga berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat. Variabel Peran Petugas Kesehatan Hasil uji chi square dari data penelitian tentang peran petugas kesehatan pada kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Blora, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Tabulasi Silang antara Peran Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Peran Kesehatan
Petugas
Kepatuhan Minum Obat
p Kasus
∑ Rendah Tinggi Total
Nilai
16 14 30
% 53,3 46,7 100,0
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Blora. Hasil ini didasarkan pada uji chi square yang diperoleh p value 0,0001 lebih kecil dari α 0,05. Nilai odds ratio (OR) = 3,143 dengan interval 2,039-4,844, berarti bahwa rendahnya peran petugas kesehatan memiliki risiko 3,143 kali lebih besar untuk tidak patuh minum obat bila dibandingkan tingginya peran petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan Lewrence Green bahwa faktor yang berhubungan dengan
Kontrol ∑ % 0 0,0 30 100,0 30 100,0
0,000 1
perilaku kepatuhan berobat diantaranya ada faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor ) yaitu berupa sikap atau perilaku petugas kesehatan yang mendukung penderita untuk patuh berobat. Kepatuhan dalam penyelesaian terapi sangat penting. Karena beberapa faktor dari pribadi, medis, dan faktor pelayanan kesehatan, sebagian besar responden menjadi tidak teratur dan default dari MDT di India (PSS Rao, 2008 : 149). Menurut teori WHO, adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai mempengaruhi perilaku kepatuhan
4
Ma’rifatul Khotimah / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Obat Penderita Kusta di Kabupaten Asahan tahun 2007. Tesis: Universitas Sumatra Utara. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, 2011, Data Kusta Kabupaten Blora Tahun 2011, bagian
seseorang (Sinta Fitriani, 2011 : 164). Petugas kesehatan (perawat) dalam pelayan kesehatan dapat berfungsi sebagai comforter atau pemberi rasa nyaman, protector dan advocate (pelindung dan pembela), communicator, mediator, dan rehabilitator. Peran petugas kesehatan juga dapat berfungsi sebagai konseling kesehatan, dapat dijadikan sebagai tempat bertanya oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat (Wahid Iqbal Mubarak, 2009:73). Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Pelayanan yang baik dari petugas dapat menyebabkan berperilaku positif. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama, serta penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Sesuai dengan penelitian Basaria Hubarat di Kabupaten Asahan bahwa kepatuhan minum obat dipengaruhi oleh peran petugas kesehatan. Tidak sejalan dengan penelitian Siti Mahmudah bahwa peran tenaga kesehatan tidak berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Blora.
P2 dan PL Dinas Kesehatan Kabupaten Blora Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006,
Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVIII, Jakarta : Ditjen P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, 2010, Profil Kesehatan Kabupaten Blora Tahun 2010, Blora : Dinas Kesehatan Kabupaten Blora Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2010, Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010, Semarang : Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Fauzi Muzaham, 1995, Sosiologi Kesehatan, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Harjati, Sutji, 2004 . Kusta Bukan Penyakit Keturunan Jangan Takut Dan Dapat Disembuhkan. Media Informasi Kesehatan Jawa Tengah, Dinas Kesesehatan Provinsi Jawa Tengah. Marwali Harahap, 2000, llmu Penyakit Kulit, Jakarta: Hipokrates. Mochamad Toha, 2007, Hubungan Persepsi
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Penderita Penyaki Kusta Dalam Menjalani Pengobatan MDT. Skripsi: Universitas Diponegoro. PSS Rao, 2008, A Study on Non-adherence to MDT among Leprosy Patients, Vol. 80, 2008, (http://www.ijl.org.in/july_sep.html), diakses tanggal 24 September 2012. Sinta Fitriani, 2011, Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Graha ilmu. Siti Mahmudah, 2008, Analisis Faktor-Faktor Yang
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dukungan keluarga dan peran petugas kesehatan berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Kabupaten Blora.
Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Kusta di Wilayah Kabupaten Blora. Skripsi: Universitas Negeri semarang. Soekidjo Notoatmodjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. ---------------------------, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat prinsip-prinsip dasar, Jakarta: Rineka Cipta ---------------------------, 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta Sudigdo Sostroasmoro dan Sofyan Ismael, 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: FKUI. Wahid Iqbal Mubarak, 2007, Promosi Kesehatan :
DAFTAR PUSTAKA Anonim, Leprosy, Februari 2010, diakses dari http://www.who.int/mediacentre, diakses tanggal 14 Desember 2011. Bart Smet, 1994, Psikologi Kesehatan, Jakarta : PT Grasindo Basaria Hutabarat, 2007, Pengaruh Faktor Internal
Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum
5
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA HYGIENE SANITASI DENGAN JUMLAH COLIFORM AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KABUPATEN DEMAK TAHUN 2012 Muhammad Navis Mirza Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar hygiene sanitasi depot air minum isi ulang dengan jumlah Coliform air minum. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menjelaskan (explanatory research) dengan desain cross sectional. Populasi adalah seluruh depot air minum di Kabupaten Demak yang berjumlah 136 depot.Jumlah sampel sebanyak 38 DAMIU dengan teknik simple random sampling.Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi dan pemeriksaan laboratorium. Hasil penelitian disimpulkan bahwa variabel hygiene operator (p=0.001) berhubungan dan sanitasi DAMIU (p=0.05) tidak berhubungan dengan variabel jumlah coliform dalam air minum. Mempertimbangkan hasil penelitian, Dinas Kesehatan Kabupaten Demak perlu merumuskan peraturan yang bersifat mengikat agar pemilik DAMIU menjaga hygiene sanitasi karena pentingnya hygiene sanitasi dalam usaha menjaga kesehatan masyarakat sehingga inspeksi hygiene sanitasi perlu menjadi syarat dalam perijinan/ijin usaha DAMIU.
Diterima Mei 2013 Disetujui Juni 2013 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Hygiene; Sanitasi, DAMIU, Coliform, air minum ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The research’s purpose is to identify relationship between hygiene sanitation with amount of coliform in drinking water. This research was an explanatory with cross sectional design. 38 Samples were taken from 136 depots in Demak, using random sampling method with propotional sampling technique. Instruments used in this research were observation and laboratory examination sheets. The research concluded that hygiene operator (p=0.001) variable was related and sanitation (p=0.05) variable was not related to amount of coliform in drinking water. Considering the result of this research, Health Department of Demak Regency’s should formulate a strict regulation to make depots owners keep sanitation hygiene due to importunity effort of keeping the health of community, so that the inspection of it needs to be conditions of license for depots.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
mendapat izin dari instansi terkait sebelum diedarkan, sedangkan untuk depot air minum isi ulang (DAMIU) perizinan, pembinaan, pengawasan dan peredarannya belum dilakukan sebagai mana mestinya padahal masyarakat memerlukan informasi yang jelas terutama tentang keamanan konsumsi air minum ini. Tingginya minat masyarakat dalam mengkonsumsi AMDK dan mahalnya harga AMDK yang diproduksi industri besar mendorong tumbuhnya depot air minum isi ulang (DAMIU) diberbagai tempat terutama di kota-kota besar. Dilihat dari segi harganya, DAMIU ini lebih murah yaitu sekitar 1/3 dari harga air minum dalam kemasan yang diproduksi resmi industri besar akan tetapi masyarakat masih ragu dalam menentukan kualitas-nya sehingga aman untuk dikonsumsi (Athena, dkk, 2004: 148). Dampak positif adanya depot air minum adalah, menyediakan air yang kualitasnya aman dan sehat bagi pemakainya, individu maupun masyarakat, menyediakan air yang memenuhi kuantitas menyediakan air secara kontinyu, mudah dan murah untuk menunjang hygiene perorangan maupun rumah tangga (Tri Joko : 2010a). Disisi lain perkembangan depot air minum isi ulang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen, bila tidak adanya regulasi yang efektif .Isu yang mengemuka saat ini adalah rendahnya jaminan kualitas terhadap air minum yang dihasilkan. Jika tidak dikendalikan dengan maksimal depot air minum berpotensi menimbulkan kerugian bagi kesehatan misalnya keracunan zat kimia persisten maupun penyebaran penyakit melalui air atau water borne disease (Tri Joko : 2010b). Golongan Eschericia coli merupakan kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak dan juga kemampuannya menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh lain di luar usus. Namun, adanya bakteri Eschericia coli dalam makanan tidak selalu menunjukkan kontaminasi yang berasal dari kotoran manusia
Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum, syarat kesehatan yang dimaksud adalah mikrobiologi, kimia fisika dan radio aktif (Depkes RI : 2010).Air di dalam tubuh manusia,berkisar antara 50-70% dari seluruh berat badan. Pentingnya air bagi kesehatan dapat dilihat dari jumlah air yang ada dalam organ, seperti 80% dari darah adalah air, kehilangan 15% dari berat badan dapat mengakibatkan kematian (Slamet, 2002: 84 ). Sejalan dengan kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan, maka jumlah penyediaan air selalu meningkat untuk setiap saat. Akibatnya kegiatan untuk pengadaan sumber-sumber air baru setiap saat terus dilakukan seperti mencari sumber air baru dalam bentuk air tanah air sungai air danau, mengolah atau menawarkan air laut, mengolah dan menyehatkan kembali sumber air kotor yang telah tercemar (Widiyanti, dkk, 2004: 64). Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Demak periode tahun 2000-2001 menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2010 berdasarkan penghitungan tahun dasar 2000 adalah 4,12 %, lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan tahun 2009 yang sebesar 4, 08%. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita merupakan salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. PDRB perkapita Kabupaten Demak atas dasar harga berlaku pada tahun 2010 meningkat sebesar 5,62 juta rupiah atau tumbuh sebesar 10,56 % dari tahun sebelumnya, sedangkan menurut harga konstan meningkat sebesar 3,02 juta rupai atau naik 3,51 persen dari tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak : 2011). Usaha air minum dalam kemasan (AMDK) dari perusahaan air minum dalam kemasan karena air minum sangat dibutuhkan dan pada umumnya telah mendapat ijin usaha industri. Produksi, peredaran dan pengawasan AMDK yang diproduksi industri besar telah
2
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
atau hewan, melainkan juga dikarenakan kondisi sanitasi dan penanganan yang kurang baik dari penjamah makanan (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008:3). Masalah yang muncul akibat rendahnya mutu pengawasan adalah banyaknya DAMIU yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti yang diatur dalam Permenkes No. 492/Menkes/PER/IV/2010 tentang persyaratan air minum, yang dalam salah satu bagiannya menyebutkan bahwa dalam air minum tidak boleh ada kandungan coliform. Ada beberapa penyebab DAMIU terkontaminasi diantaranya sumber air baku, wadah tempat distribusi tidak memenuhi standard hygiene dan sanitasi DAMIU, juga proses filtrasi dan desinfektan dengan teknologi yang rendah. Hygiene sanitasi adalah upaya kesehatan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran terhadap air minum dan sarana yang digunakan untuk proses pengolahan, penyimpanan, dan pembagian air minum. Tujuan dari hygiene sanitasi adalah terlindunginya masyarakat dari potensi pengaruh buruk akibat konsumsi air minum yang berasal dari depot air minum. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari kemungkinan terkena resiko penyakit bawaan air. Disamping itu upaya pembinaan dan pengawasan terhadap usaha depot air minum yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2010: 3). Hasil penelitian dengan purposive sampling terhadap populasi DAMIU di Semarang ditemukan 34% depot tercemar bakteri (Ferawaty, 2004) demikian juga dengan hasil penelitian di Kota Bogor terhadap 27 depot ditemukan 2 (7%) depot tercemar bakteri (Pratiwi, 2007). Hasil Sidak Dinas Kesehatan Jakarta Barat pada Januari 2009 yang lalu menemukan 384 sampel dari DAMIU yang tercemar E. Coli. Hasil Pengujian kualitas
120 sampel DAMIU dari 10 kota besar (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Cikampek, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Denpasar).Sekitar 16% persen dari sampel tersebut terkontaminasi bakteri coliform hal ini menunjukkan buruknya kualitas depot air minum isi ulang (Suprihatin, 2002). Usaha depot air minum harus diawasi dibina dan diawasi kualitasnya agar selalu aman dan sehat untuk dikonsumsi masyarakat. dinas kesehatan kesulitan untuk melaksanakan pengawasan DAMIU desebabkan instansi ini bukan sebagai pemberi izin. perizinan dikeluarkan oleh dinas perindustrian dan perdagangan, sementara dinas kesehatan hanya sebagai pemberi rekomendasi. Produksi, peredaran dan pengawasan AMDK yang diproduksi industri besar telah mendapat izin dari instansi terkait sebelum diedarkan, sedangkan untuk DAMIU perizinan, pembinaan, pengawasan dan peredarannya belum dilakukan sebagai mana mestinya padahal masyarakat memerlukan informasi yang jelas terutama tentang keamanan konsumsi airminum ini (Athenaa, dkk., 2004: 148). Masyarakat sebagai konsumen air minum perlu dilindungi haknya, seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan kosumen. Bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa dan hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa (Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, 2010). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan kajian tentang hubungan antara hygiene sanitasi dengan jumlah coliform air minum pada DAMIU di Kabupaten Demak.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hygiene sanitasi dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang (DAMIU) di Kabupaten Demak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hygiene sanitasi
3
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang (DAMIU) di Kabupaten Demak.
proposional dibanding banyaknya DAMIU di kecamatan tersebut.Perhitungan sampel selanjutnya dilakukan menggunakan rumus : Instrumen dalam penelitian ini adalah check list hygiene sanitasi depot air minum isi ulang dan untuk pemeriksaan jumlah coliform dalam air minum menggunakan metode tabung ganda (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1993). Check list merupakan suatu daftar pengecek yang berisi nama subjek dan disertai dengan beberapa gejala atau identitas lainnya yang diperlukan dari sasaran pengamatan. Pelaksanaan observasi dilakukan dengan check list berkelompok, dengan memasukkan beberapa variabel ke dalam satu instrumen check list. Analisis data dilakukan menggunakan teknik analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan terhadap masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian, dengan mengacu pada data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis bivariat dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian. Uji statistik yang tepat digunakan untuk analisis bivariat dalam penelitian ini adalah uji Chi Square.
METODE PENELITIAN Penelitian
ini
merupakan
jenis
explanatory research (penelitian penjelasan) dengan metode survey yang menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel yang diteliti adalah Hygiene operator dan sanitasi depot air minum kemudian dihubungkan dengan jumlah Coliform dalam air minum isi ulang.Variabel penganggu dalam penelitian ini adalah sumber air baku, jenis filtrasi, jenis disinfektan. Populasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 136 DAMIU di Kabupaten Demak (Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, 2011). Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 38 DAMIU. Sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah depot air minum isi ulang yang pengambilan sampel minimal diambil dengan menggunakan rumus Stanley Lemeshow (Lemeshow, 1997: 54). Teknik sampling ini digunakan melalui dua tahap yaitu tahap pertama menentukan sampel minimal dan tahap berikutnya menentukan sampel per kecamatan secara umlah umlah opulasi
er ecamatan di abupaten emak
HASIL DAN PEMBAHASAN
sampel minimal
variabel yaitu kondisi hygiene operator dan sanitasi depot air minum isi ulang (DAMIU) dengan jumlah coliform air minum. Hasil penelitian untuk kondisi hygiene operator disajikan dalam Tabel 1:
Analisis univariat dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian.Analisis yang dilakukan adalah dengan menggambarkan
Tabel 1. Hygiene Operator Depot Air Minum Isi Ulang No. Hygiene Operator Depot Air Minum Isi Ulang 1. Tidak Baik 2. Baik Jumlah Berdasarkan hasil observasi mengenai perilaku hygiene operator depot air minum isi
Frekuensi 8 30 38
Persentase (%) 21,1 78,9 100
ulang diketahui bahwa dari 38 DAMIU terdapat 8 DAMIU (21,1%) dengan perilaku
4
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
hygiene yang tidak baik dan 30 DAMIU (78,9%) dengan perilaku hygiene yang tidak baik . Penelitian sejenis juga menunjukan di daerah lain belum semua DAMIU menerapkan hygiene sanitasi seperti pada penelitian Sri Malem (2008) di Kota Medan 20% DAMIU dan Maharani (2007) di Wonogiri 22,2% DAMIU tidak memenuhi syarat hygiene sanitasi. Hal
yang perlu diperhatikan adalah tidak adanya operator yang memiliki sertifikat pelatihan operator DAMIU, operator cenderung tidak menjaga hygiene perorangan dan sanitasi DAMIU (Sri Malem : 2008). Hasil penelitian untuk kondisi sanitasi disajikan dalam Tabel 2:
Tabel 2. Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang No. Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang 1. Tidak Baik 2. Baik Jumlah
Frekuensi 16 22 38
Berdasarkan hasil observasi mengenai kondisi sanitasi depot air minum isi ulang menyatakan bahwa dari 38 DAMIU terdapat 16 DAMIU (42,1%) dengan kondisi sanitasi tidak baik dan 22 DAMIU (57,9%) dengan kondisi sanitasi yang baik. Kondisi sanitasi lingkungan sebagaimana yang dikemukakan oleh Entjang (2000) yaitu pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial
Persentase (%) 42,1 57,9 100
dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Hal ini dapat menimbulkan resiko yang merugikan kesehatan masyarakat. Hasil penelitian untuk jumlah coliform disajikan dalam Tabel 3:
Tabel 3. Jumlah Coliform No. Jumlah coliform 1 Tidak memenuhi syarat 2 Memenuhi syarat Jumlah
Jumlah 8 30 38
Dari data pada Tabel 3 menyatakan bahwa dari 38 depot air minum isi ulang (DAMIU), 8 DAMIU (21,1%) tidak memenuhi persyaratan jumlah coliform dalam air minum.Dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, jumlah coliform beragam antara 2-10/100ml. kontaminasi bakteri coliform hal ini mengindikasikan buruknya kualitas depot air minum isi ulang (Suprihatin, 2002). Analisis bivariat menghasilkan data yang berkaitan dengan hubungan antara dua
Prosentase % 21,1 78,9 100
variabel. Analisis bivariat dilakukan dengan cara menghubungkan masing-masing variabel bebas yang terdiri dari hygiene operator dan sanitasi DAMIU,yang dihubungkan dengan variabel terikat yaitu kejadian jumlah coliform dalam air minum. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square. Pengujian hipotesis mengenai hubungan antara hygiene operator dan jumlah coliform tersaji dalam Tabel4.
5
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 4. Hubungan Antara Hygiene Operator DAMIU Dengan Jumlah Coliform Jumlah Coliform Tota Tidak l % Memenuhi % Memenuhi 10 Tidak Baik 4 0 0 4 0 Hygiene 11, 88, Baik 4 30 34 8 2 Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dicantumkan dalam Tabel 4 diketahui bahwa dari 4 DAMIU yang dengan hygiene operator yang tidak baik seluruhnya tidak memenuhi syarat jumlah coliform air minum.Sedangkan dari 34 DAMIU yang memiliki operator dengan perilaku hygiene yang baik.terdapat 4 DAMIU (11,8%) yang tidak syarat dan 30 DAMIU (88,2%) yang memenuhi syarat jumlah coliform air minum. Dari uji chi square yang dilakukan terhadap hygiene operator DAMIU dengan jumlah coliform tidak memenuhi syarat karena ada 2 sel (50%) nilai harapan yang kurang dari 5, maka dilakukan uji alternatif yaitu uji fisher exact test dan didapatkan p value sebesar 0,001. Karena p (0,001< 0,05), maka Ha diterima dan Ha0 ditolak. Jadi, dapat dinyatakan ada hubungan antara Hygiene operator DAMIU dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang di Kabupaten Demak tahun 2012. Penelitian sejenis juga menunjukan di daerah lain belum semua DAMIU menerapkan hygiene sanitasi seperti pada penelitian Sri Malem (2008) di Kota Medan 20% DAMIU dan Maharani (2007) di Wonogiri 22,2% DAMIU tidak memenuhi syarat hygiene sanitasi. Di
%
Nilai P
100 .001 100
kedua daerah tersebut memiliki kesamaan dengan lokasi penelitian yaitu belum ada peraturan daerah yang mewajibkan hygiene sanitasi menjadi salah satu syarat dalam mendirikan usaha DAMIU dan tidak ada pengawasan dari dinas terkait dalam menjaga agar DAMIU tetap menjaga hygiene sanitasinya agar selalu memenuhi persyaratan yang ada. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak adanya operator yang memiliki sertifikat pelatihan operator DAMIU, operator cenderung tidak menjaga hygiene perorangan dan sanitasi DAMIU (Sri Malem : 2008). Sumber pencemaran dapat terjadi dalam beberapa hal yaitu perilaku pekerja depot air minum isi ulang karena tangan yang kotor.Kebersihan tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi pekerja depot air minum isi ulang, dengan kebiasaan mencuci tangan, sangat membantu dalam pencegahan penularan bakteri dari tangan. Pada prinsipnya pencucian tangan dilakukan setiap saat setelah menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber kontaminasi atau cemaran (Asfawi, 2004). Pengujian hipotesis mengenai hubungan antara sanitasi DAMIU dan jumlah coliformtersaji dalam Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan Antara Sanitasi DAMIU dengan Jumlah Coliform Air Minum Jumlah Coliform Total Tidak % Memenuhi % Memenuhi Tidak Baik 6 37,5 10 62,5 16 Sanitasi Baik 2 9,1 20 90,9 22 Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dicantumkan dalam Tabel 5, diketahui bahwa
%
Nilai P
100 100
0,05
dari 16 DAMIU dengan kondisi sanitasi tidak baik terdapat 16 DAMIU (37,5%) tidak
6
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
memenuhi syarat dan 10 DAMIU (62,5%) memenuhi syarat jumlah coliform air minum. Sedangkan dari 22 DAMIU kondisi sanitasi yang baik terdapat 2 DAMIU (9,1%) yang tidak memenuhi syarat dan 20 DAMIU (90,9%) yang memenuhi syarat jumlah coliform air minum. Dari uji chi square yang dilakukan terhadap kondisi sanitasi DAMIU dengan jumlah coliform tidak memenuhi syarat karena ada 2 sel (50%) nilai harapan yang kurang dari 5, maka dilakukan uji alternatif yaitu uji fisher exact test dan didapatkan p value sebesar 0,05. Karena p (0,05> 0,05), maka Ho diterima dan Ha ditolak. Jadi, dapat dinyatakan tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi DAMIU dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang di Kabupaten Demak tahun 2012. Dari hasil penelitian di lapangan, kompleksitas proses dari depot air minum isi ulang mulai kondisis tangki, filtrasi dengan pasir silica dan karbon aktif, filtrasi dengan mikro filter kemudian disinfeksi dengan sinar UV dan ozon, ternyata tidak seluruh bagian dari proses tersebut berpengaruh terhadap jumlah coliform dalam air minum. Sehingga kondisis sanitasi dari peralatan yang terdapat dalam lembar observasi tidak semua peralatan berhubungan dengan kualitas bakteriologis air minum khususnya jumlah coliform . Jumlah coliform dalam air disebabkan oleh desinfeksi yang tidak sempurna serta pencucian dan pembilasan gallon yang rawan pencemaran. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas air hasil produksi adalah air baku, jenis peralatan yang digunakan, pemeliharaan peralatan dan penanganan pengolahan dan pendistribusian air, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Athena tentang kandungan bakteri total Coliform dan E. Coli air minum dari depot air minum isi ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi pada tahun 2004. Selain belum adanya pelatihan atau sertifikasi untuk operator DAMIU, ijin mendirikan usaha DAMIU sementara ini hanya mengisyaratkan pemeriksaan kualitas air baku
dan air hasil produksi. Melihat pentingnya sanitasi DAMIU sebagai jaminan kualitas air hasil produksi perlu adanya peraturan daerah yang mewajibkan hygiene sanitasi menjadi salah satu syarat dalam mendirikan usaha DAMIU dan pengawasan dari dinas terkait dalam menjaga agar DAMIU tetap menjaga hygiene sanitasinya agar selalu memenuhi persyaratan yang ada. Di Kabupaten Demak inspeksi hygiene sanitasi air minum masih jarang dilakukan, hal ini terlihat dari pemilik usaha DAMIU yang ingin meminta rekomendasi hanya diwajibkan melakukan uji air baku dan air minum di Laboratorium Kesehatan Kabupaten Demak namun tidak diwajibkan untuk lolos inspeksi hygiene sanitasi isi ulang. Hal ini perlu dilakukan secara berkala untuk menghindari pencemaran air minum yang nantinya akan merugikan kesehatan konsumen. SIMPULAN Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1) Ada hubungan antara hygiene operator dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang. 2) Tidak ada hubungan antara sanitasi DAMIU dengan jumlah coliform air minum pada depot air minum isi ulang. DAFTAR PUSTAKA Asfawi,
S, 2004, Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kualitas Bakteriologis Air Minum Isi Ulang pada Tingkat Produsen Di Kota Semarang, Skripsi : Universitas
Diponegoro. Athena, dkk,Kandungan, Pb, Cd,Hg dalam Air Minum
dari Depot Air Minum Isi Ulang di Jakarta, Tangerang, Dan Bekasi, Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume III,No.3, Desember 2004, Halaman 148-152. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan.Infopom, Vol. IX, No.2, Maret 2008, Halaman 3. Badan Perlindungan Konsumen Indonesia 2010, SNI wajib air minum dalam kemasan Jakarta : Badan Perlindungan Konsumen Indonesia.
7
Muhammad Navis Mirza / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak, 2011,
Tri
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Demak, Demak : Badan Pusat
UnitProduksi dalam Sistem Penyediaan Air Minum, Yogyakarta :Graha
Joko,2010b,
Ilmu. Widiyanti, Ni Luh Putu Manik, dkk, 2004,Analisis
Statisik Kabupaten Demak. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2010, Pedoman Pelaksanaan
Kualitatif Bakteri Koliform pada Depo Air Minum Isi Ulang di Kota Singaraja Bali, Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume III, No. 1, April
Penyelenggaraan Hygiene Sanitasi Depot Air Minum, Jakarta :Departemen Kesehatan
2004, hlm. 64-73.
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman,1993, Pedoman Pelatihan Teknisi
Laboratorium Pemeriksaan Bakteriologis Air,Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, 2011, Profil Kesehatan 2010, Demak : Dinas Kesehatan Kabupaten Demak. Departemen Kesehatan RI, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Kualitas Air Minum, Jakarta. Entjang, I, 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, B a n d u n g : PT. Citra Aditya Bakti. Ferawaty, E, 2003, Study Identifikasi Eschericia Coli
pada Air Minum Isi Ulang Tingkat Produsen di Kota Semarang.Skripsi : Universitas Diponegoro. Lemeshow, S, 1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Maharani, Nine, 2007, kajian Hygiene Sanitasi Depot
dan Kualitas Balkteriologis Air Minum pada Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) di Kabupaten Wonogiri, Skripsi : Universitas diponegoro. Pratiwi, AW, 2007, Kualitas Bakteriologis Air Minum Isi Ulang di Wilayah Kota Bogor, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 2 No 2. Slamet, Juli Soemirat, 2002, Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Sri Malem, Indirawati, 2008, Analisis Hygiene
Sanitasi dan Kualitas Air Minumisi Ulang (AMIU) Berdasarkan Sumber Air Baku pada Depot Air Minum di Kota Medan, Tesis : Universitas Sumatera Utara. Suprihatin, 2002, Hasil Studi Kualitas Air Minum Depot Isi Ulang . Makalah pada seminar sehari permasalah depot air minum dan upaya pemecahannya. Tri Joko, 2010a, Unit Air Baku dalam Sistem Penyediaan Air Minum, Yogyakarta : Graha Ilmu.
8
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR RISIKO EKSTRINSIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KASUS KLINIS CHIKUNGUNYA Nafiyan Mulyadi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan, kebiasaan tidur siang, kebiasaan menggantung pakaian, kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi, kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA), dan kepadatan hunian dengan kejadian kasus klinis Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Tahun 2012. Jenis rancangan penelitian dari penelitian ini adalah studi deskriptif kuantitatif observasional, termasuk dalam penelitian explanatory research dengan pendekatan case control yang dikaji secara restrospektif. Pengumpulan datanya menggunakan panduan wawancara. Uji keabsahan memakai SPSS, uji yang digunakan uji Chi-Squre dan alternatif uji Fisher, Kolmogorov-Smirnov, dan Penggabungan sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varibel yang berhubungan yaitu tingkat pendidikan (p=0,001;OR=4,353), kebiasaan tidur siang (p=0,001;OR=9,750), kebiasaan menggantung pakaian (p=0,004;OR=2,977), kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi (p=0,001,OR=3,555), kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA)(p=0,001;OR=4,518), dan kepadatan hunian (p=0,029;OR=4,909). Saran yang diberikan kepada pihak masyarakat adalah peran serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Diterima Juli 2013 Disetujui Agustus 2013 Dipublikasikan juli 2014
________________ Keywords: Chikungunya, faktor risiko ektrinsik ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of this study to determine the relationship between the level of education, nap habits, habits hanging clothes, brushing habits and drain the tub, custom cover water reservoirs (TPA), and residential density with the incidence of clinical cases of Chikungunya in the Tonjong clinic Brebes regency Year 2012. Type of research design of the study was descriptive quantitative observational studies, including the explanatory research with case-control approach studied retrospectively. Collecting data using an interview guide. Validity test using SPSS, test used Chi-squre test and test alternative Fisher, Kolmogorov-Smirnov, and the incorporation of cells. The results showed that the variables that relate the level of education (p = 0.001; OR = 4.353), napping habits (p=0.001; OR=9.750), custom hanging clothes (p=0.004; OR=2.977), brushing habits and drain tub (p = 0.001, OR =3.555), the habit of closing the cistern (TPA) (p=0.001; OR=4.518), and residential density (p=0.029; OR=4.909). Advice given to the public is the role of the mosquito nest eradication (PSN).
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
PENDAHULUAN
angka kematian kasus (CFR) 0,00% (Dinkes Jateng, 2008). Data rekap KLB Chikungunya tahun 2008-2011 menunjukan bahwa Propinsi Jawa Tengah termasuk salah satu propinsi dengan penderita kasus klinis Chikungunya mencapai 5529 penderita. Pada tahun 2008 terdapat 1312 penderita kasus klinis Chikungunya, sedangkan tahun 2009 mengalami peningkatan kasus klinis Chikungunya sejumlah 229 penderita, menjadi 1541 penderita atau meningkat 15,57 % dari tahun 2008. Tahun 2010 mengalami lonjakan lagi hingga 35,27% (2085 penderita) dari tahun 2009 dengan 4 kasus kematian. Akan tetapi, pada tahun 2011 terjadi penurunan yang signifikan mencapai 90,96% (188 penderita) dari jumlah keseluruhan penderita kasus klinis Chikungunya pada tahun 2010. Berdasarkan keseluruhan jumlah kasus klinis Chikungunya di Propinsi Jawa Tengah tahun 2008-2011, 1287 penderita klinis Chikungunya (23,2%) dari jumlah keseluruhan penderita berada di Kab.Brebes. Tahun 2008 saja terdapat 133 penderita Chikungunya yang berada di 9 kecamatan. Tahun 2009 mengalami penurunan 21,05% (105 penderita) dari jumlah penderita Chikungunya tahun 2008 yang terjadi di 3 kecamatan. Akan tetapi, pada tahun 2010 terjadi lonjakan jumlah penderita kasus klinis Chikungunya mencapai 87,6% (649 penderita) dengan 3 kasus kematian yang terjadi hampir di seluruh kecamatan yang ada di hampir keseluruhan wilayah Kab.Brebes. Kemudian Tahun 2011, mengalami penurunan lagi sebesar 76,4% (400 penderita). Keseluruhan penderita terdiagnosis dalam penderita kasus klinis, hal ini disebabkan karena belum dilaksanakannya pengujian laboratorium terhadap darah dari penderita Chikungunya di Propinsi Jawa Tengah karena adanya keterbatasan alat dan biaya (Dinkes Prop. Jawa Tengah, 2008-2011). Kecamatan Tonjong merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kab.Brebes yang tahun 2010 hingga tahun 2012 terjadi kejadian kasus klinis Chikungunya, dengan jumlah
Chikungunya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK) yang termasuk dalam famili Togaviridae, genus Alphavirus. Penyebaran CHIK dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (the yellow fever mosquito) atau Aedes albopictus (the Asian tiger mosquito) vektor potensial penyebaran penyakit Chikungunya (Depkes,2007:25). Chikungunya merupakan penyakit reemerging yaitu penyakit yang keberadaan sudah ada sejak lama, tetapi kemudian merebak kembali. Gejala klinis yang muncul dari penyakit Chikungunya ini diantaranya demam, nyeri sendi, nyeri otot, ruam pada kulit, dan sakit kepala. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan produktifitas kerja dari manusia yang terjangkit. Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di dunia pertama kali terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo, tahun 1823 di Zanzibar, 1824 di India, tahun 1870 di Zanzibar, tahun 1871 di India, tahun 1901 di Hongkong, Burma, dan Madras, tahun 1973 di Calcuta (Balitbangkes Depkes RI,2005). Di Indonesia sendiri KLB Chikungunya dilaporkan pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh daerah baik di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun 1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya (Balitbangkes Depkes RI, 2005 : 37). Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Jateng pada tahun 2008, yang ditemukan di 98 desa/kelurahan merupakan KLB dengan frekuensi tertinggi kedua setelah kejadian DBD dengan angka serangan kasus (AR) 1,46% dan angka kematian kasus (CFR) 0,18%. Kondisi tersebut mengalami peningkatan sangat tajam dibanding tahun 2007, dimana frekuensi KLB Chikungunya terjadi di 85 desa/kelurahan dengan angka serangan (AR) 0,0,86% dan
2
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
penderita kasus klinis Chikungunya tahun 2010 sejumlah 39 kasus, sedangkan dari data hasil laporan kegiatan survei kontak penyakit Chikungunya oleh Puskesmas Tonjong (2011) ditemukan 330 kasus klinis Chikungunya yang terdapat di 2 desa yaitu Desa Linggapura dan Desa Kalijurang, sedangkan pada tahun 2012 mencapai 126 penderita dari 200 kasus penderita kasus klinis Chikungunya yang ditemukan di wilayah Kab.Brebes atau mengalami penurunan 61,9% (Puskesmas Tonjong, 2010-2012).
menderita gejala kasus klinis Chikungunya dan tinggal dalam lingkungan satu RW dengan penderita). Kemudian secara restrospektif diteliti faktor risiko yang mungkin dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol terkena paparan atau tidak. Faktor risikonya meliputi tingkat pendidikan, kebiasaan tidur siang, kebiasaan menggantung pakaian, kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi, kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA), dan kepadatan hunian. Besar sampel responden dalam penelitian ini yaitu 86 responden kasus dan 86 responden kontrol, dengan uji validitas dan reliabilitas sebanyak 15 responden kasus dan 15 responden kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat, dengan Uji keabsahan memakai SPSS, uji yang digunakan uji Chi-Squre dan alternatif uji Fisher, Kolmogorov-Smirnov, dan Penggabungan sel.
METODE PENELITIAN Jenis rancangan penelitian dari penelitian ini adalah studi deskriptif kuantitatif observasional. Penelitian ini termasuk dalam penelitian explanatory research, Rancangan penelitian yang paling sesuai digunakan adalah metode survei analitik dengan pendekatan case control yang dikaji secara restrospektive. Dalam penelitian ini, yang digunakan sebagai kelompok kasus adalah semua orang yang menderita gejala kasus klinis Chikungunya tahun 2012 sejumlah 126 penderita. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan kasus (semua orang yang menderita gejala kasus klinis Chikungunya ) dengan kelompok kontrol (semua orang yang tidak
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Tingkat Pendidikan Berdasarkan penelitian diperoleh distribusi tingkat pendidikan yang disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Rendah Tinggi Total
Total N 134 38 172
(%) 77,9 22,1 100,0
Berdasarkan tabel 1. menunjukkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pendidikan rendah berjumlah 134 orang (77,9%), sedangkan yang berpendidikan tinggi berjumlah 38 orang (22,1%).
Kebiasaan Tidur Siang Berdasarkan penelitian diperoleh distribusi kebiasaan tidur siang yang di sajikan dalam tabel sebagai berikut:
3
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 2. Distribusi Kebiasaan Tidur Siang Kebiasaan Tidur Siang Tidak biasa Biasa Total
Total N 121 51 172
(%) 70,3 29,7 100,0
Berdasarkan tabel 2. menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan melakukan tidur siang berjumlah 121 orang (70,3%), sedangkan yang memiliki
kebiaasaan melakukan tidur di siang hari berjumlah 51 orang (29,7%). Kebiasaan Menggantung Pakaian
Tabel 3. Distribusi Kebiasaan Menggantung Pakaian Kebiasaan Pakaian Tidak Biasa Biasa Total
Menggantung
Total N 132 40 172
(%) 76,7 23,3 100,0
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian berjumlah 132 orang (76,7%), sedangkan yang memiliki
kebiaasaan menggantung pakaian berjumlah 40 orang (23,3%). Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi
Tabel 4. Distribusi Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi Tidak biasa Biasa Total
Total N 96 76 172
(%) 55,8 44,2 100,0
Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi berjumlah 96 orang (55,8%), sedangkan yang
memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi berjumlah 76 orang (44,2%). Kebiasaan Menutup Tempat Penampungan Air (TPA)
Tabel 5. Distribusi Kebiasaan Menutup Tempat Penampungan Air Kebiasaan Menutup Tempat Penampungan Air Tidak biasa Biasa Total
Total N 57 115 172
(%) 33,2 66,8 100,0
4
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air berjumlah 57 orang (33,2%), sedangkan yang memiliki kebiasaan menutup tempat
penampungan (66,8%).
air
berjumlah
115
orang
Kepadatan Hunian
Tabel 6. Distribusi Kepadatan Hunian Kepadatan Hunian Padat Tidak Padat Total
Total N 11 161 172
(%) 6,4 93,6 100,0
Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan bahwa responden yang kepadatan huniannya tergolong padat berjumlah 11 orang (6,4%), sedangkan yang kepadatan huniannya tergolong tidak padat berjumlah 161 orang (93,6%).
masing faktor risiko instrinsik kejadian Chikungunya pada responden kasus dan kontrol sebagai berikut : Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian kasus klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
Analisis Bivariat Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes diperoleh hasil analisis bivariat dari masing-
Tabel 7. Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Tingkat pendidikan Rendah Tinggi Total
Kasus N (%) 77 89,5 9 10,5 86 100,0
Kontrol n (%) 57 66,3 29 33,7 86 100,0
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 77 orang (89,5%) yang tergolong dalam tingkat pendidikan rendah dan sebanyak 9 orang (10,5%) yang tergolong dalam tingkat pendidikan tinggi. Dari 86 responden kontrol, sebanyak 57 orang (66,3%) dengan tingkat pendidikan rendah dan sebanyak 29 orang (33,7%) dengan tingkat pendidikan tinggi. Dari hasil uji statistik dengan uji chisquare, diperoleh hasil pvalue 0,001 (p< 0,05) sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
Total n 134 38 172
P (%) 77,9 22,1 100,0
0,001
OR (95% CI)
4,353 (1,912-9,908)
dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR) = 4,353 (95% CI = 1,912-9,908), menujukkan bahwa responden yang tergolong dalam tingkat pendidikan rendah mempunyai risiko 4,353 kali lebih besar menderita penyakit klinis Chikungunya daripada responden yang tergolong dalam tingkat pendidikan tinggi.
5
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Hubungan Kebiasaan Tidur Siang dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan tidur siang dengan kejadian kasus
klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
Tabel 8. Tabulasi Silang Kebiasaan Tidur Siang dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Kebiasaan Tidur Siang Melakukan Tidak Total
Kasus N 43 43 86
(%) 50,0 50,0 100,0
Kontrol
Total
n 8 78 86
n 51 121 172
(%) 9,4 90,6 100,0
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 43 orang (50%) yang memiliki kebiasaan tidur di siang hari dan sebanyak 43 orang (50%) yang tidak memiliki kebiasaan melakukan tidur di siang hari. Dari 86 responden kontrol, sebanyak 8 orang (9,4%) dengan kebiasaan melakukan tidur di siang hari dan sebanyak 78 orang (90,6%) yang tidak memiliki kebiasaan melakukan tidur siang. Dari hasil uji statistik dengan uji chisquare, diperoleh hasil pvalue 0,001 (p< 0,05) sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan tidur siang dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah
(%) 29,7 70,3 100,0
P
OR CI)
0,001
9,750 (4,20322,618)
(95%
kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR) = 9,750 (95% CI = 4,203-22,618), menujukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan melakukan tidur siang hari mempunyai risiko 9,750 kali lebih besar menderita penyakit klinis Chikungunya daripada responden yang tidak memiliki kebiasaan melakukan tidur siang. 2.3 Hubungan Kebiasaan Menggatung Pakaian dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian kasus klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
Tabel 9. Tabulasi Silang Kebiasaan Menggantung Pakaian dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Kebiasaan Menggantung Pakaian Melakukan Tidak Total
Kasus n (%) 28 58 86
32,5 67,5 100,0
Kontrol n (%) 12 74 86
Total N
14,0 86,0 100,0
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 28 orang (32,5%) yang memiliki kebiasaan menggatung pakaian dan sebanyak 58 orang (67,5%) yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Dari 86
40 132 172
P
OR (95% CI)
0,004
2,977 (1,3946,357)
(%) 23,3 76,7 100,0
responden kontrol, sebanyak 12 orang (14%) dengan kebiasaan menggantung pakaian dan sebanyak 74 orang (86,0%) yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Dari hasil uji statistik dengan uji chisquare, diperoleh hasil pvalue 0,004 (p< 0,05)
6
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR) = 2,977 (95% CI = 1,394-6,357), menujukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan menggantung pakaianmempunyai risiko 2,977 kali lebih besar menderita penyakit klinis
Chikungunya daripada responden yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Hubungan Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi dengan kejadian kasus klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
Table 10. Tabulasi Silang Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Kebiasaan Menyikat dan Menguras Bak Mandi
Kasus
Kontrol
Total
N
(%)
n
(%)
n
(%)
Tidak Melakukan
61 25
70,9 29,1
35 51
40,7 59,3
96 76
55,9 44,1
Total
86
100,0
86
100,0
172
100,0
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 61 orang (70,9%) yang tidak memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi dan sebanyak 25 orang (29,1%) yang memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi. Dari 86 responden kontrol, sebanyak 35 orang (40,7%) dengan tidak memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi dan sebanyak 51orang (59,3%) yang memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi. Dari hasil uji statistik dengan uji chi-square, diperoleh hasil pvalue 0,001 (p< 0,05) sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas
p
OR (95% CI)
0,001
3,555 (1,8866,701)
Tonjong Kabupaten Brebes tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR)= 3,555(95%CI= 1,886-6,701), menujukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi mempunyai risiko 3,555 kali lebih besar menderita penyakit klinis Chikungunya daripada responden yang memiliki kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi. Hubungan Kebiasaan Menutup Tempat Penampungan Air (TPA) dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA) dengan kejadian kasus klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
7
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014)
Tabel 11. Tabulasi Silang Kebiasaan Menutup Tempat Penampungan Air dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Kebiasaan Menutup TPA
Kasus
Kontrol
Total
Tidak Melakukan
N 42 44
(%) 48,8 51,2
n 15 71
(%) 17,5 82,5
n 57 115
(%) 33,1 66,9
Total
86
100,0
86
100,0
172
100,0
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 42 orang (48,8%) yang tidak memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air dan sebanyak 44 orang (51,2%) yang memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air. Dari 86 responden kontrol, sebanyak 15 orang (17,5%) yang tidak memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air dan sebanyak 115 orang (66,9%) yang memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air. Dari hasil uji statistik dengan uji chisquare, diperoleh hasil pvalue 0,001 (p< 0,05) sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA) dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah kerja
p
OR (95% CI)
0,001
4,518 (2,2459,092)
Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR) = 4,518 (95% CI = 2,245-9,092), menujukkan bahwa responden yang tidak memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air mempunyai risiko 4,518 kali lebih besar menderita penyakit klinis Chikungunya daripada responden yang memiliki kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA). Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Kasus Klinis Chikungunya Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kasus klinis Chikungunya dapat dilihat dalam tabulasi silang berikut ini:
Tabel 12. Tabulasi Silang Kepadatan Hunian dengan Kejadian Klinis Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes Kepadatan Hunian Padat Tidak Padat Total
Kasus n 9 77 86
(%) 10,5 89,5 100,0
Kontrol n (%) 2 2,3 84 97,7 86 100,0
Total n 11 161 172
Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa dari 86 responden kasus klinis, sebanyak 9 orang (10,5%) yang tinggal pada hunian yang tergolong padat dan sebanyak 77 orang (89,5%) tinggal pada hunian yang tidak padat. Dari 86 responden kontrol, sebanyak 2 orang (2,3%) yang tinggal pada hunian yang
(%) 6,3 93,4 100,0
p
OR (95% CI)
0,029
4,909 (1,028-23,433)
padat dan sebanyak 84 orang (97,7%) yang tinggal pada hunian yang tidak padat. Dari hasil uji statistik dengan uji chisquare, diperoleh hasil pvalue 0,029 (p< 0,05) sehingga Ho ditolak, yang artinya ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian klinis Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Tonjong Kabupaten Brebes
8
Nafiyan Mulyadi / Unnes Journal of Public Health 3 (2) (2014) 2010, Demam Chikungunya, http://artikeldokteranfree.blogspot.com diakses 16 Juli 2010. WHO, 2007, Guidelines for Prevention and Control of Chikungunya Fever, New Delhi : Indraprastha Estate WHO, 2008, Guidelines on Clinical Management of Chikungunya Fever, New Delhi : Indraprastha Estate M Sopiyudin Dahlan, 2009, Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta : Salemba Medika. M Sopiyudin Dahlan, 2010, Besar Sampel dan Cara Eppy,
tahun 2012. Nilai Odd Ratio (OR) = 4,909 (95% CI = 1,028-23,433), menujukkan bahwa responden yang tinggal pada hunian yang padat mempunyai risiko 4,909 kali lebih besar menderita penyakit klinis Chikungunya daripada responden yang tinggal di hunian yang tidak padat. SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini yaitu semua variabel yang diteliti berhubungan secara statistik, meliputi variabel tingkat pendidikan (p value =0,001 ; OR= 4,353), variabel kebiasaan tidur siang (p value = 0,001; OR=9,750), variabel kebiasaan menggantung pakaian (p value =0,004 ; OR= 2,977), variabel kebiasaan menyikat dan menguras bak mandi (p value =0,001 ; OR= 3,555), variabel kebiasaan menutup tempat penampungan air (TPA) (p value =0,001 ; OR= 4,518), dan variabel kepadatan hunian (p value =0,029 ; OR= 4,909). Faktor risiko tertinggi untuk penderita tertular Chikungunya dalam penelitian ini yaitu kebiasaan tidur siang responden, dimana responden dengan kebiasaan melakukan tidur siang 9,75 kali lebih berisiko untuk terkena Chikungunya dibandingkan dengan responden yang tidak terbiasa melakukan tidur siang.
Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan, Jakarta : Salemba Medika. Puskesmas Tonjong, 2011, Laporan Kegiatan Survey
Kontak Penyakit Chikungunya Tahun 20112012, Brebes. Soedarto, 2007, Kedokteran Tropis, Surabaya : Airlangga Universitas Press. Soegeng Soegijanto, 2004, Kumpulan
Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia,
Surabaya : Airlangga University Press. Soekidjo Notoatmodjo, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta : Rineka Cipta. ____, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan , Jakarta : Rineka Cipta. Suharto, 2003, Chikungunya Pada Orang Dewasa, Surabaya : Airlangga University Press. Supartha I W, 2008, Pengendalian Terpadu Vektor
Virus DBD, Aedesalbopictus.
Aedes
aegypti
dan
(Online), http://www.linkpdf.com/download/dl/peng endalian terpadu-vektor-virusdemamberdarah-dengue-aedes--.pdf, diakses 6 September 2010. Umar Fahmi Achmadi, 2010, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2007, Pedoman Pengendalian Penyakit Chikungunya Tahun 2007, Jakarta : Depkes RI. Depkes RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia 2007, Jakarta : Depkes RI. Depkes RI, 2009, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Jakarta : Depkes RI. Depkes RI, 2010, Profil Kesehatan Indonesia 2009, Jakarta : Depkes RI. Depkes RI, 2011, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Jakarta : Depkes RI.. Dinkes Propinsi Jawa Tengah, 2008, Rekap Data KLB Chikungunya Tahun 2008-2011, Semarang. Eko Budiarto, 2002, Biostatika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat,Jakarta : EGC
9
UJPH 3 (2) (2014)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DROP OUT PENGOBATAN PENDERITA KUSTA TIPE MB Nurul Afifah Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel:
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan drop out pengobatan kusta tipe MB di Rembang. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan case control. Populasi penelitian adalah penderita kusta tipe MB. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling berjumlah 30 orang pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Teknik analisis data menggunakan uji Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berhubungan dengan drop out pengobatan kusta tipe MB adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta (p=0,049), pendapatan per kapita (p=0,034), pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan (p=0,014), jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta (p=0,036) dan persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta (p=0,030). Simpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta, pendapatan per kapita, pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan, jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta serta persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta. Variabel yang tidak berhubungan adalah tingkat pendidikan penderita, kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita dan efek samping obat yang dialami penderita. Disarankan bagi Dinas Kesehatan Rembang untuk meningkatkan surveilans epidemiologi kusta. Bagi Puskesmas untuk meningkatkan program pengobatan kusta. Bagi peneliti lain untuk menghindari bias recall.
Diterima Januari 2014 Disetujui Februari 2014 Dipublikasikan Juli 2014
________________ Keywords: Drop Out, Pengobatan Kusta, Penderita Kusta Tipe MB ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of this study was to find some factors which related to drop out treatment for MB lepers at Rembang. This research was analytical survey with case-control approach. The population was MB lepers. Sampling technique used simple random sampling with 30 sample in each case and control group. Technique of data analysis used chi-square test. The results showed that variables related to drop out treatment MB lepers were knowledge of leprosy treatment (p=0,049), capital’s income (p=0,034), lepers understand for health people’s instruction (p=0,014), distance leper’s house to leprosy treatment place (p=0,036) and perception family’s support for leprosy treatment (p=0,030). The conclusion from this research, there were relationship between knowledge of the leprosy treatment, capital’s income, lepers understand for health people’s instruction, distance leper’s house to leprosy treatment place and perception family’s support for leprosy treatment and variables that wasn’t related were are level of education lepers, quality between health people with lepers and contra-indication of medicine that get lepers. It is recommend Health Departement Rembang to ascending epidemiology survailance of leprosy. For public-health center to ascending leprosy treatment. For the other researcher to avoid recall refraction.
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
PENDAHULUAN
panjang seperti kusta dipengaruhi oleh efek samping obat yang dialami penderita. Dari permasalahan tersebut, perlu dikaji hubungan antara tingkat pendidikan penderita, pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta, pendapatan per kapita, pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan, kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita, jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta, efek samping obat yang dialami penderita, serta persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta. Penelitian ini difokuskan pada kusta tipe MB karena kemungkinan terjadinya drop out pengobatan penderita kusta tipe MB lebih besar dibandingkan dengan penderita kusta tipe PB (Dirjen P2 dan PL, 2007 : 86).
Kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah ekonomi, pendidikan bagi anak-anak, sosial budaya, keamanan dan bahkan juga menjadi masalah negara yaitu menyangkut kesehatan nasional (Dirjen P2 dan PL, 2007: 1). Kabupaten Rembang menempati urutan keenam untuk penemuan kasus baru dan menempati urutan pertama untuk kejadian drop out pengobatan kusta (Dinkes Jateng, 2013). Prevalensi kusta pada tahun 2012 tercatat 2,37 per 10.000 penduduk dengan CDR 1,36 per 10.000 penduduk. Dari 178 penderita ditemukan kasus drop out sebanyak 43 (24,14%), 38 kasus di antaranya merupakan kusta tipe MB. Di Kabupaten Rembang, kasus drop out pengobatan kusta ditemukan di empat puskesmas yaitu Puskesmas Sarang, Puskesmas Sedan, Puskesmas Gunem dan Puskesmas Rembang II. Sebanyak 70% penderita kusta tipe MB yang drop out memiliki pengetahuan yang rendah sehingga motivasi untuk berobat kurang dan memilih drop out (Laporan P2PL Dinkes Rembang, 2012). Berdasarkan penelitian Dewi C (2008), terdapat hubungan antara instruksi, kualitas interaksi, isolasi sosial dan keluarga terhadap kejadian drop out pada penderita kusta. Penderita yang berobat tidak teratur disebabkan karena adanya efek samping obat, terjadinya reaksi kusta dan bosan minum obat. Sedangkan menurut penelitian Ichwanul F (2003), diketahui bahwa umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan tentang pengobatan kusta serta jarak rumah untuk berobat berhubungan dengan drop out pengobatan kusta. Menurut Koning PD dan Ende VD (2010), pengobatan penyakit jangka
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasional yang bersifat analitik dengan desain penelitian Case Control. Pengetahuan dan pemahaman penderita diteliti dengan pendekatan kasus kontrol prolektif (Feinstein, 1977 dalam Murti B, 2003: 111). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang yang berada dalam masa pengobatan pada tahun 2012 berjumlah 163 penderita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling. Sampel kasus berjumlah 30 orang dan sampel kontrol berjumlah 30 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstruktur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 :
2
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
Tabel 1. Hasil Penelitian
No
Variabel
Kategori
1.
Tingkat Pendidikan Penderita
2.
Pengetahuan
3.
Pendapatan per Kapita
4.
Pemahaman Penderita
5.
Kualitas Interaksi
6.
Jarak Rumah
7.
Efek Obat
Rendah Tinggi Jumlah Rendah Tinggi Jumlah Rendah Tinggi Jumlah Rendah Tinggi Jumlah Buruk Baik Jumlah Jauh Dekat Jumlah Mengalami Tidak mengalami Jumlah Tidak Ada Ada Jumlah
8.
Samping
Dukungan Keluarga
Status Pengobatan Tidak
Drop Out
Drop
Jumlah
Out
n 25 5 30 13 17 30 16 14 30 15 15 30 10 20 30 17 13 30 20
% 83,3 16,7 100,0 43,3 56,7 100,0 53,3 46,7 100,0 50,0 50,0 100,0 33,3 66,7 100,0 56,7 43,3 100,0 66,7
n 18 12 30 5 25 30 7 23 30 5 25 30 4 26 30 8 22 30 12
% 60 40 100,0 16,7 83,3 100,0 23,3 76,7 100,0 16,7 83,3 100,0 13,3 86,7 100,0 26,7 73,3 100,0 40
n 43 17 60 18 42 60 23 37 60 20 40 60 14 46 60 25 35 60 32
% 71,7 28,3 100,0 30,0 70,0 100,0 38,3 61,7 100,0 33,3 66,7 100,0 23,3 76,7 100,0 41,7 58,3 100,0 53,3
10
33,3
18
60
28
46,7
30 15 15 30
100,0 50,0 50,0 100,0
30 6 24 30
100,0 20 80 100,0
60 21 39 60
100,0 35 65 100,0
P value
OR 95%CI
0,086
3,3 0,99-11,14
0,049
3,8 1,15-12,71
0,034
3,8 1,24-11,39
0,014
5,0 1,51-16,56
0,127
3,25 0.88-11,89
0,036
3,6 1,22-10,64
0,070
3,0 1,05-8,60
0,030
4,0 1,27-12,58
responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta juga cenderung memiliki tingkat pendidikan rendah (60%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Ichwanul F (2003), yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan penderita dengan kejadian drop out pengobatan pada penderita kusta (p=0,001). Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori Budioro (2003:113), yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial. Tingkat pendidikan yang rendah
Tingkat Pendidikan Penderita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden berpendidikan rendah yaitu 42 responden dengan persentase sebesar 70%, sedangkan responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 18 responden dengan persentase 30%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan penderita dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,086 (p > 0,05). Responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki tingkat pendidikan rendah (83,3%) sedangkan
3
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
menyebabkan tingkat pengetahuan juga rendah sehingga sangat menentukan sikap dan perilaku seseorang. Pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB karena tinggi rendahnya pendidikan pada responden tidak mempengaruhi perilaku responden dalam menjalani pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, tingkat pendidikan penderita kusta di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang masih rendah (lulusan SMP ke bawah) dengan persentase 70%. Tingkat pendidikan penderita kusta di kabupaten Rembang masih rendah karena mereka hidup di pedesaan yang belum atau bahkan tidak ada fasilitas pendidikan yang memadai. Fasilitas pendidikan yang ada di desa tempat mereka tinggal hanya sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Selain itu, penderita kusta di Kabupaten Rembang memiliki status ekonomi yang rendah sehingga tidak mendukung mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan penderita tidak berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB. Kejadian drop out pengobatan kusta dapat disebabkan karena faktor lain, misalnya tingkat pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta. Setelah dilakukan teknik analisis berstata, dapat dibuktikan bahwa tingkat pendidikan penderita merancukan hubungan tingkat pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta.
hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,049 (p < 0,05). Responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki pengetahuan tinggi (56,7%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki pengetahuan tinggi (83,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,8 (OR > 1) dengan interval 1,15-12,71 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki pengetahuan rendah tentang pengobatan kusta memiliki risiko 3,8 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan penderita yang memiliki pengetahuan tinggi tentang pengobatan kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ichwanul F (2003), yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out penderita kusta (p = 0,04). Menurut L. W. Green (2003), salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah pengetahuan. Pengetahuan yang rendah akan memberikan peluang terjadinya ketidakpatuhan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pengetahuan tentang pengobatan kusta yang dimiliki oleh penderita kusta tipe MB di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang sebagian besar tinggi (70%). Pengetahuan penderita kusta yang tinggi dapat dilihat dari jawaban responden yang rata-rata mengetahui tujuan dari pengobatan kusta, lama pengobatan serta akibat dari ketidakteraturan dalam berobat atau minum obat. Pengetahuan yang tinggi ini sangat dipengaruhi dengan sosialisasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada penderita saat mengambil obat di puskesmas. Hal ini dapat diketahui berdasarkan keterangan yang didapatkan dari penderita kusta tipe MB yang mendapatkan penyuluhan singkat tentang pengobatan kusta dan dosis obat kusta saat mereka melakukan pengobatan. Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel tingkat pendidikan penderita
Pengetahuan Penderita tentang Pengobatan Kusta Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi yaitu 42 responden dengan persentase 70%, dan responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah sebanyak 18 responden dengan persentase 30%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
4
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
yang merancukan hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB, sehingga untuk mengendalikan variabel tingkat pendidikan
penderita dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2:
Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Drop Out Pengobatan Penderita Kusta Tipe MB dengan Pengetahuan Penderita tentang Pengobatan Kusta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Penderita Tingkat Pendidikan Penderita
Rendah
Status Pengobatan
Drop Out Tidak Drop Out Jumlah
Tinggi
Drop Out Tidak Drop Out Jumlah
Pengetahuan Pengobatan Kusta Rendah Tinggi n % n 11 73,3 13 4 26,7 14 15 100,0 27 2 66,7 4 1 33,3 11 3 100,0 15
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB di Kabupaten Rembang menghasilkan OR = 3,8 yang artinya penderita yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang pengobatan kusta memiliki risiko 3,8 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan dengan penderita yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pengobatan kusta. Akan tetapi setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel tingkat pendidikan penderita yang rendah, ternyata tingkat pengetahuan penderita kusta yang rendah tidak meningkatkan risiko kejadian drop out pengobatan kusta karena OR kasar > OR (1) (3,8 > 2,9), maka terdapat kerancuan yang memperbesar hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta yang sesungguhnya. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB di Kabupaten Rembang menghasilkan OR = 3,8, setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel tingkat pendidikan penderita yang
tentang Jumlah % 48,1 51,9 100,0 26,7 73,3 100,0
n 24 18 42 6 12 18
OR 95%CI % 57,1 42,9 100,0 33,3 66,7 100,0
2,9 0,75-11,66 5,5 0,38-78,57
tinggi juga didapatkan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang tinggi meningkatkan risiko kejadian drop out pengobatan kusta karena OR kasar < OR (2) (3,8 < 5,5), maka terdapat kerancuan yang memperkecil hubungan antara tingkat pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta yang sesungguhnya. Sehingga dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penderita merupakan variabel yang merancukan hubungan antara variabel pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB karena pada perhitungan rasio kasar (3,8) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (2,9) dan OR 2 (5,5). Pendapatan per Kapita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki pendapatan per kapita tinggi yaitu 37 responden dengan persentase 61,7%, sedangkan responden yang memiliki pendapatan per kapita rendah sebanyak 23 responden dengan persentase 38,3%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
5
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
hubungan antara pendapatan per kapita dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,034 (p < 0,05). Responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki pendapatan per kapita tinggi (46,7%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki pendapatan per kapita tinggi (61,7%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,8 (OR > 1) dengan interval 1,24-11,39 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki pendapatan per kapita dengan kategori rendah memiliki risiko 3,8 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan penderita yang memiliki pendapatan per kapita dengan kategori tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ichwanul F (2003), yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan drop out pengobatan penderita kusta (p < 0,01). Kejadian drop out pengobatan kusta dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah pendapatan keluarga (p < 0,001, hasil penelitian Gopalakrishnan S, 2005). Pendapatan perkapita responden yang mengalami drop out pengobatan kusta rata-rata rendah ( < Rp. 259.520 per bulan), sedangkan pendapatan per kapita responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta rata-rata tinggi ( > Rp. 259.520 per bulan). Pendapatan per kapita yang dipilih dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan standar kemiskinan keluarga di Indonesia pada tahun 2012 yang telah disesuaikan dengan pendapatan daerah Kabupaten Rembang. Responden yang memiliki pendapatan per kapita rendah dikarenakan responden tinggal di daerah pedesaan yang memiliki status ekonomi yang rendah. Mereka mendapatkan uang dengan mengandalkan keterampilan yang dimiliki dan sebagian besar bekerja di sektor informal, sehingga pendapatan yang mereka terima pun hasilnya relatif kecil dan tidak menentu setiap bulannya. Selain pendapatan yang didapatkan relatif kecil, jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki oleh
penderita kusta tidak sesuai dengan pendapatan yang diterima dengan kata lain biaya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga masih kurang, sehingga pendapatan per kapita keluarganya kecil atau kurang dari standar kemiskinan keluarga di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 yaitu Rp. 259.520 per bulan. Pemahaman Penderita terhadap Instruksi Tenaga Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki pemahaman tinggi yaitu 40 responden dengan persentase 66,7%, sedangkan responden yang memiliki pemahaman rendah sebanyak 20 responden dengan persentase 33,3%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,014 (p < 0,05). Persentase pemahaman responden dengan kategori rendah dan tinggi pada responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung sama (50%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki pemahaman tinggi (83,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi C (2008), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta (42,5%). Menurut Liliweri A (2007), kepatuhan berobat dipengaruhi oleh instruksi yang diberikan oleh tenaga kesehatan sehingga instruksi tersebut harus dipahami oleh penderita dan tidak menimbulkan persepsi yang salah karena fungsi instruksi adalah untuk mewajibkan atau melarang seseorang sehingga instruksi harus disampaikan secara jelas dan hati-hati agar penerima dapat memahami perintah apa yang didapat dan mengetahui apa yang harus dilakukan. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,0 (OR > 1) dengan interval 1,5116,56 (tidak mencakup angka 1), artinya
6
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
penderita yang memiliki pemahaman terhadap instruksi tenaga kesehatan dengan kategori rendah memiliki risiko 5 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan penderita yang memiliki pemahaman terhadap instruksi tenaga kesehatan dengan kategori tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan yang dimiliki oleh penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang rata-rata sama yaitu tinggi (66,7%). Pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan tinggi karena didukung dengan pengetahuan penderita tentang pengobatan yang juga tinggi, selain itu hubungan yang terjalin di antara tenaga kesehatan dengan penderita kusta terjalin dengan baik. Pemahaman penderita tentang instruksi tenaga kesehatan yang rendah akan mempengaruhi sikap dan kesadaran penderita untuk mengambil obat rutin setiap bulan dan meminum obat kusta setiap hari. Pemahaman penderita yang tinggi dapat dibuktikan dengan jawaban responden yang mengetahui lama pengobatan yang harus ditempuh dan dosis obat kusta yang harus diminum oleh penderita kusta tipe MB setiap harinya.
tenaga kesehatan dengan kategori baik (66,7%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta juga cenderung memiliki kualitas interaksi dengan tenaga kesehatan dengan kategori baik (86,7%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Dewi C (2008), yang menyatakan ada hubungan antara kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita terhadap kejadian drop out pengobatan penderita kusta (42,5%). Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori dari Notoatmodjo S (2005) yang menyebutkan bahwa kepatuhan seseorang dipengaruhi kualitas interaksi yang terjalin dengan orang lain. Sehingga kemampuan petugas kesehatan dalam menyampaikan instruksi harus benar-benar diperhatikan sehingga kualitas interaksi dengan penderita juga berjalan dengan baik. Kualitas interaksi yang baik akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita dapat diukur dengan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan tenaga kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang terjalin dengan baik (76,7%). Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada responden yang menyebutkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan di puskesmas (baik petugas di bagian pendaftaran/loket, bagian pemeriksaan maupun bagian obat) dapat memuaskan responden selama menjalani pengobatan kusta. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita tidak berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB karena pada kenyataannya interaksi antara tenaga kesehatan dengan penderita kusta di Kabupaten Rembang baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol terjalin dengan baik. Kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita kusta yang baik akan memotivasi
Kualitas Interaksi Tenaga Kesehatan dengan Penderita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki kualitas interaksi kepada tenaga kesehatan dengan kategori baik yaitu 46 responden dengan persentase 76,7%, sedangkan responden yang memiliki kualitas interaksi kepada tenaga kesehatan dengan kategori buruk sebanyak 14 responden dengan persentase 23,3%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita terhadap kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,127 (p > 0,05). Responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki kualitas interaksi dengan
7
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
penderita kusta untuk rutin dan teratur menjalani pengobatan hingga masa pengobatan yang harus dijalani selesai.
lama pula waktu tempuh dan semakin mahal biaya untuk menggapainya. Menurut Dirjen P2 dan PL (2007:24), hambatan utama yang menyebabkan penderita kusta datang terlambat untuk berobat adalah jarak rumah yang jauh ke puskesmas atau sarana kesehatan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, 41,7% responden memiliki jarak rumah yang jauh dengan puskesmas tempat mereka mengambil obat kusta setiap bulannya. Jarak rumah yang jauh ke tempat pengobatan kusta juga dipengaruhi dengan tidak adanya alat transportasi atau yang dimiliki oleh responden serta lamanya waktu tempuh untuk menuju puskesmas atau tempat pengobatan kusta, dengan kata lain akses responden dari rumah menuju tempat pengobatan kusta masih sulit. Selain itu ada penderita kusta yang hidup di pedesaan dan wilayah pegunungan yang belum atau bahkan tidak ada alat transportasi umum seperti angkutan dan bus yang dapat digunakan responden untuk menuju puskesmas sehingga mereka mengalami hambatan dan kesulitan untuk mengambil obat.
Jarak Rumah Penderita ke Tempat Pengobatan Kusta Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki jarak rumah yang dekat dengan tempat pengobatan kusta yaitu 35 responden dengan persentase 58,3% sedangkan responden yang memiliki jarak rumah yang jauh dengan tempat pengobatan kusta sebanyak 25 responden dengan persentase 41,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,036 (p < 0,05). Responden yang mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki jarak rumah yang jauh (56,7%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung memiliki jarak rumah dekat (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,6 (OR > 1) dengan interval 1,22-10,64 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki jarak rumah yang jauh dengan tempat pengobatan kusta memiliki risiko 3,6 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan penderita yang memiliki jarak rumah yang dekat dengan tempat pengobatan kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ichwanul F (2003) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta dengan nilai p < 0,001. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmani E (2011), yang menyebutkan bahwa jauhnya sarana kesehatan menyebabkan penderita tidak rutin berobat atau mengambil obatnya ke puskesmas sehingga menyebabkan terjadinya drop out pengobatan kusta atau putus berobat karena jarak yang jauh menyebabkan semakin
Efek Samping Obat yang Dialami Penderita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden mengalami efek samping obat kusta yaitu 32 responden dengan persentase 53,3%, sedangkan responden yang tidak mengalami efek samping obat sebanyak 28 responden dengan persentase 46,7%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara efek samping obat yang dialami penderita dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB dengan nilai p = 0,070 (p > 0,05). Responden yang mengalami drop out cenderung mengalami efek samping obat kusta (66,7%) sedangkan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung tidak mengalami efek samping obat kusta (60%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Koning PD dan Ende VD (2010), yang menyebutkan bahwa
8
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
keteraturan pengobatan penyakit jangka panjang seperti kusta juga dipengaruhi oleh efek samping obat yang dialami oleh penderita, penderita yang mengalami efek samping obat kusta cenderung tidak teratur dalam mengambil obat setiap bulan dan tidak rutin meminum obat setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian, efek samping obat kusta yang paling banyak dialami oleh penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang adalah air kencing berwarna merah dan warna kulit berubah menjadi ungu kehitaman. Hal ini sesuai dengan teori dari WHO (2005), yang menyebutkan bahwa efek samping obat kusta yang sering dialami oleh penderita kusta tipe MB adalah air kemih berwarna merah yang merupakan efek yang ditimbulkan oleh rifampisin yang diminum sebulan sekali dan kulit berubah menjadi gelap atau ungu kehitaman yang merupakan efek yang ditimbulkan oleh lampren yang diminum penderita kusta tipe MB setiap hari. Penelitian ini menyimpulkan bahwa efek samping obat kusta tidak berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB. Ada faktor lain yang dapat menyebabkan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB misalnya bosan minum obat atau lupa minum obat (Dirjen P2 dan PL, 2007:86). Pada kelompok kontrol juga ditemukan ada beberapa dari mereka yang telah mengikuti pengobatan hingga batas waktu yang telah ditentukan untuk pengobatan kusta tipe MB (12-18 bulan) akan tetapi kusta yang diderita belum sembuh sepenuhnya karena mereka masih mengalami kekambuhan kusta, sehingga mereka masih mengkonsumsi obat reaksi kusta yang diberikan oleh petugas kesehatan.
tidak mendapat dukungan keluarga sebanyak 21 responden dengan persentase 35%. Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB pengobatan kusta dengan nilai p = 0,030 (p < 0,05). Persentase responden yang mendapat atau tidak mendapat dukungan keluarga pada kelompok kasus cenderung sama (50%) dan responden yang tidak mengalami drop out pengobatan kusta cenderung mendapat dukungan keluarga (80%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 4,0 (OR > 1) dengan interval 1,27-12,58 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang memiliki persepsi tidak adanya dukungan keluarga untuk berobat kusta memiliki risiko 4 kali mengalami drop out pengobatan kusta dibandingkan penderita yang memiliki persepsi adanya dukungan keluarga untuk berobat kusta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Toha M (2007), yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara persepsi terhadap dukungan keluarga dengan kepatuhan penderita kusta dalam menjalani program Multy Drug Therapy (MDT) dengan nilai p= 0,018. Menurut Mubarak dan Chayatin (2009:5), dengan adanya dukungan keluarga, maka seseorang akan termotivasi untuk melakukan pengobatan secara teratur. Dukungan keluarga yang didapatkan oleh penderita kusta dapat mengurangi angka terjadinya kejadian drop out pengobatan pada penderita kusta tipe MB. Menurut Dirjen P2 dan PL (2007:52), dukungan keluarga yang tinggi akan menyebabkan penderita kusta merasa senang dan tenteram karena dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan diri untuk menghadapi penyakitnya, serta penderita mau menuruti saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. Keluarga dapat menasehati dan mengawasi penderita agar rutin berobat dan minum obatnya secara teratur setiap hari.
Persepsi terhadap Dukungan Keluarga untuk Berobat Kusta Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden mendapat dukungan keluarga yaitu 39 responden dengan persentase 65%, sedangkan responden yang
9
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penderita kusta tipe MB di Kabupaten Rembang yang mendapat dukungan keluarga untuk berobat kusta sebesar 65%, sedangkan 35% di antaranya tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Penderita kusta yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya dikarenakan pihak keluarga tidak ikut serta dalam mengingatkan responden untuk meminum obat setiap hari serta tidak menemani responden untuk mengambil obat kusta di puskesmas setiap bulan atau setiap kali obat kusta yang diminum telah habis.
DAFTAR PUSTAKA Budioro B. 2003. Pengantar Epidemiologi. FKM UNDIP. Semarang. Dewi C. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Drop Out (DO) Pengobatan Penderita Kusta di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Bojonegoro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dinkes Jateng. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang. Dirjen P2 dan PL. 2007. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Gopalakrishnan S. 2005. Dropouts During Treatment
For Leprosy ( A Study In The ELEP Leprosy Control Project, Dharmapuri Distric. Tamilnadu During 2002-2004). National
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan kusta tipe MB di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah (70%), pengetahuan tentang pengobatan kusta tinggi (70%), pendapatan per kapita tinggi (61,7%), pemahaman terhadap instruksi tenaga kesehatan tinggi (66,7%), kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita baik (76,7%), jarak rumah ke tempat pengobatan kusta dekat (58,3%), mengalami efek samping obat kusta (53,3%) dan persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta besar (65%). (2) Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan penderita, kualitas interaksi tenaga kesehatan dengan penderita dan efek samping obat yang dialami penderita dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB. (3) Ada hubungan antara pengetahuan penderita tentang pengobatan kusta, pendapatan per kapita, pemahaman penderita terhadap instruksi tenaga kesehatan, jarak rumah penderita ke tempat pengobatan kusta dan persepsi terhadap dukungan keluarga untuk berobat kusta dengan kejadian drop out pengobatan penderita kusta tipe MB.
Library of Medicine National Institute of Health. Green Lawrence W dkk. 2003. Perencanaan
Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan Diagnosis. Diterjemahkan oleh Zulazmy Namdy, Tafal, Sudarti Kresno. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta. Ichwanul F. 2003. Analisis Kasus Drop Out Berobat
pada Penderita Kusta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 20012002. Tesis. Universitas Indonesia. Koning PD and Ende VD. 2010. Are Guidelines for Field Treatment of Leprosy Reactions Evidence-Based? A Comprehensive Literature Review. Vol:3 No 10 hal 18-24. Laporan P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Rembang tentang Pengobatan Penderita Kusta Tahun 2012. Liliweri A. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan (Cetakan I). Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Mubarak WI dan Chayatin N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat:Teori dan Aplikasi. Salemba Medika. Jakarta. Murti B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Notoatmojo S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta. Racmani E. 2011. E-Medical Record Sebagai Register
Kohort Pengobatan Pasien Kusta untuk Menghindari Drop Out Pengobatan di RS Donorojo Jepara. Tesis. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.
10
Evi Wulandari / Unnes Journal of Public Health 2 (4) (2013) Toha M. 2007. Hubungan Persepsi Dukungan
Keluarga dengan Kepatuhan Penderita Kusta Menjalani MDT (Multy Drug Therapy) di Puskesmas Banjarharjo Kabupaten Brebes Tahun 2006. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang. WHO. 2005. Pedoman Eliminasi Kusta Mengatasi
Masalah Kesehatan Masyarakat (Cetakan Versi Indonesia). Disadur oleh Ditjen PPM & PL. PT Wangsit Eukeur Buana. Jakarta.
11