UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MEMAKAI ALAT PELINDUNG TELINGA PADA TENAGA KERJA BAGIAN PRODUKSI DI PT. TOTAL DWI DAYA SEMARANG TAHUN 2014 Nurul Hidayah , Eram Tunggul P, Bambang Budi R. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor apakah yang berhubungan dengan kepatuhan memakai APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Total Dwi Daya Semarang. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja bagian produksi sebanyak 24 responden. Teknik pengambilan sampel yaitu total sampling. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner panduan wawancara. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (uji Chi Square dengan α=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dan kenyamanan dengan kepatuhan memakai APT (p value = 0.009), ( p value = 0,033). Tidak ada hubungan antara pengetahuan, motivasi, dan pengawasan dengan kepatuhan memakai APT (p value = 0.615), ( p value = 0,092), (p value = 0.326). Saran, sebaiknya melakukan jadwal pengawasan kerja yang pasti dan memastikan bahwa setiap tenaga kerja telah menerima APT, bagi tenaga kerja yang berperilaku aman harus dipertahankan, sehingga diharapkan mampu mempengaruhi sikap tenaga kerja yang tidak patuh menjadi patuh memakai APT.
________________ Keywords: Kepatuhan, Alat Pelindung Telinga, Sikap ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ This research was a descriptive research with cross sectional approach. The population in this study are all part of the production workforce by 24 respondents. Total sampling is a sampling technique in this study. Instrument in this study is a questionnaire interview guide. Data analysis was performed using univariate and bivariate (α = 0.05). The results showed that there is a relationship between attitudes and compliance with wearing comfort hearing protection (p value = 0.009), (p value = 0.033). There is no relationship between knowledge, motivation, and supervision of compliance with wearing hearing protection (p value = 0615), (p value = 0.092), (p value = 0.326). Advice given to companies that should do the monitoring work schedule and the labourer must have hearing protection at working, for workers who are already safe behavior should be maintained so that workers are expected to influence attitudes work became obedient adherence.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
1
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
PENDAHULUAN melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) intensitas bising dari lama pemaparan selama 8 jam kerja sehari. Salah satu bentuk APD untuk pengendalian kebisingan adalah Alat Pelindung Telinga (APT) yang terdiri dari berbagai macam bentuk. Menurut Suma’mur P.K (2014) sampai saat ini masih ada tenaga kerja yang menganggap memakai APD mengganggu pekerjaannya dan efek perlindungannya kurang. Kesadaran akan manfaat penggunaan APD perlu ditanamkan pada setiap tenaga kerja, karena perasaan tidak nyaman (risih, panas, berat, terganggu) merupakan salah satu alasan mengapa seorang pekerja tidak menggunakan APD. Pembinaan yang terus menerus dapat meningkatkan kesadaran dan wawasan mereka. Salah satu cara yang efektif adalah melalui pelatihan. Peningkatan pengetahuan dan wawasan akan menyadarkan tentang pentingnya penggunaan APD, sehingga efektif dan benar dalam penggunaannya (A.M. Sugeng Budiono, 2003 : 335). Pada saat survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 10 Oktober 2013 di PT Total Dwi Daya didapatkan hasil bahwa dari jumlah total 10 pekerja di bagian finishing, sebagian banyak pekerja yaitu 7 pekerja (70 %) yang tidak menggunakan alat pelindung telinga (ear plug dan ear muff) yang sudah disediakan, artinya tidak ada 50% pekerja yang menggunakan alat pelindung telinga meskipun dari pihak perusahaan sudah memberikan peraturan supaya memakai APD saat bekerja. Bagian produksi di PT Total Dwi Daya terdiri dari 3 bagian, antara lain: bagian welding assembling, MCB (Making, Cutting, and Bending), dan Poles. Dalam setiap tahap tersebut terdapat alat-alat yang digunakan dan setiap alat menghasilkan suara bising yang berbeda-beda. Ketiga proses di bagian produksi berada dalam satu ruangan atau gedung dan diantara tiga proses produksi tersebut, bagian welding assembling menggunakan mesin yang menghasilkan bising diatas NAB. Dari pihak
Pemakaian mesin-mesin di tempat kerja terutama di sektor industri dapat menghasilkan suara selama proses produksi berlangsung. Sedangkan suara yang ada di tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak diinginkan secara fisik (menyakitkan telinga pekerja) dan psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi). Saat situasi tersebut terjadi, status suara berubah menjadi polutan dan identitas suara berubah menjadi kebisingan (noise). Menurut Suma’mur P.K. (2014:177). Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari dan 5 (lima) hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. NAB kebisingan adalah 85 dB(A), NAB kebisingan tersebut merupakan ketentuan dalam Peraturan Menteri NOMOR PER.13 / MEN / X / 2011 / Bentuk Negara RI No. 684. Kebisingan di tempat kerja seringkali merupakan problem tersendiri bagi tenaga kerja, umumnya berasal dari mesin kerja. Sayangnya, banyak tenaga kerja yang telah terbiasa dengan kebisingan tersebut, meskipun tidak mengeluh gangguan kesehatan tetap terjadi, sedangkan efek kebisingan terhadap kesehatan tergantung pada intensitasnya (Anies, 2005:91). Pada saat survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 10 Oktober 2013 di PT Total Dwi Daya didapatkan data awal pengukuran intensitas kebisingan di beberapa titik di bagian produksi yaitu : titik I (mesin gerinda circle) intensitas bising sebesar 87,2 dB; titik II (mesin gerinda kecil) sebesar 87,8 dB; dan titik III (mesin gerinda kecil) sebesar 86,8 dB. Waktu kerja yang ditetapkan di PT Total Dwi Daya adalah 8 jam per hari sehingga dari hasil pengukuran tersebut telah menunjukkan bahwa intensitas kebisingan yang dihasilkan oleh mesin-mesin di bagian produksi
2
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
perusahaan sudah menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menjaga kesehatan dan keselamatan tenaga kerja khususnya alat pelindung telinga untuk bahaya bising di tempat kerja. Namun, pada kenyataannya saat observasi awal yang dilakukan oleh peneliti masih ada pekerja yang tidak menggunakan dan tidak patuh memakai Alat Pelindung Diri (APD) khususnya alat pelindung telinga saat bekerja. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor apa sajakah yang berhubungan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Total Dwi Daya Semarang Tahun 2014.
penelitian yang disajikan dalam bentuk distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan kebenaran hipotesis dengan menggunakan Uji statistik Chi Square, karena skala variabel yang digunakan adalah kategorik (ordinal dan ordinal). Sedangkan uji alternatifnya yaitu uji Fisher’s (M. Sopiyudin Dahlan, 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:121). Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut pengetahuan sebagai berikut (Tabel 1):
METODE Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini diadakan di PT Total Dwi Daya Semarang dan berlangsung pada bulan Juli tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja bagian produksi sebanyak 24. Untuk menentukan besarnya sampel menurut Suharsimi Arikunto (2002: 112) apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya penelitian populasi. Jika subjeknya lebih besar dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25 %. Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yang berjumlah 24 orang yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden (dalam hal angket) dan interview (dalam hal wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda tertentu (Soekidjo Notoadmodjo, 2002:116). Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis Univariat dan bivariat. Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel penelitian. Analisis ini digunakan mendeskripsikan variabel
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan No. Pengetahuan Frekuensi Presentase (%) 1 Kurang Baik 5 20,8 2 Baik 19 79,2 Jumlah 24 100,00 Sikap dalam penggunaan alat pelindung telinga merupakan keyakinan terhadap penggunaan alat pelindung telinga dimana semakin positif sikap tenaga kerja semakin tinggi frekuensi memakai alat pelindung telinga tersebut atau bisa dikatakan tenaga kerja semakin patuh dalam menggunakan alat pelindung telinga sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya gangguan pendengaran tenaga kerja di tempat yang mempunyai intensitas kebisingan melebihi NAB. Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut sikap sebagai berikut:
3
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Sikap No. Sikap Frekuensi Presentase (%) 1 Tidak Setuju 8 33,3 2 Setuju 16 66,7 Jumlah
24
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kenyamanan Memakai APT No. Kenyamanan Frekuensi Presentase (%) 1 Tidak Nyaman 10 41,7 2 Nyaman 14 58,3
100,00
Jumlah
Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut pendorong semangat kerja (Pandji Anoraga, 2009: 35). Jika seseorang tidak memiliki cukup motivasi untuk patuh terhadap peraturan keselamatan atau terlibat dalam aktivitas keselamatan, maka dia tidak akan memilih untuk melakukan tindakan tersebut (Prihatiningsih & Sugiyanto, 2010:83). Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut motivasi sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi Motivasi No. Motivasi Kerja 1 Rendah 2 Tinggi Jumlah
14 10
Presentase (%) 58,3 41,7
24
100,00
100,00
Pengawasan bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. Pengawasan yang dilakukan secara reguler oleh perusahaan terkait memakai APD saat bekerja secara langsung membuat para pekerja patuh memakai APD terutama alat pelindung telinga. Menurut Sarwono (1993), menyatakan bahwa patuh menghasilkan perubahan tingkah laku sementara, dan individu cenderung kembali berpandangan/perilaku yang semula jika pengawasan kelompok mengendur atau jika dia pindah dari kelompoknya. Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut sikap sebagai berikut:
Responden Berdasarkan Frekuensi
24
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Pengawasan Kerja No. Pengawasan Frekuensi Presentase (%) 1 Kurang Baik 19 79,2 2 Baik 5 20,8
Perasaan tidak nyaman (risih, panas, berat, terganggu) yang timbul pada saat menggunakan alat pelindung diri akan mengakibatkan keengganan tenaga kerja menggunakannya dan mereka menggunakan respon yang berbeda-beda (A.M. Sugeng Budiono, 2003:334). Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut kenyamanan sebagai berikut:
Jumlah
24
100,00
Kepatuhan didefinisikan suka menurut perintah, taat kepada perintah aturan, berdisiplin, sifat patuh, ketaatan. Kepatuhan merupakan ketaatan atau ketidaktaatan pada perintah, aturan, dan disiplin. Perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dari tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian internalitas (Sarwono, 1993). Hasil uji univariat berdasarkan penelitian dari 24 responden diperoleh data distribusi responden menurut sikap sebagai berikut:
4
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Pemakaian APT No. Pengawasan Frekuensi 1 Tidak Patuh 15 2 Patuh 9 Jumlah 24 Berdasarkan tabel dan gambar, dapat diketahui bahwa dari sampel penelitian yang berjumlah 24 responden, 15 responden (62,5%) tidak patuh memakai APT saat bekerja dan 15 responden (37,5%) patuh memakai APT saat bekerja. Hasil analisis bivariat pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu Pengetahuan, sikap,
Presentase (%) 62,5 37,5 100,00
motivasi, kenyamanan, dan pengawasan sebagai variabel bebas dan kepatuhan memakai alat pelindung telinga sebagai variabel terikat. Hasil uji bivariat dapat dilihat pada tabel 7 antara pengetahuan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga (APT).
Tabel 7. Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Kepatuhan memakai APT Pengetahuan Kepatuhan Memakai APT
Kurang Baik Baik
Tidak Patuh
Patuh
Total
∑
%
∑
%
∑
%
4 11
80% 47,9%
1 8
20% 42,1%
5 19
100% 100%
15
62,5%
9
37,5%
24
100%
Berdasarkan Tabel 7 hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga diperoleh data bahwa nilai p value sebesar 0,615 (p value> 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan memakai APT. Sebagian besar yaitu sebanyak 47,9 % tenaga kerja yang berpengetahuan baik tidak patuh memakai alat pelindung telinga, hal ini dikarenakan tidak ada
α
p value
0,05
0,615
upaya untuk mengingatkan tenaga kerja untuk berperilaku aman seperti memasang posterposter yang berkaitan dengan akibat jika tidak memakai alat pelindung diri dan bagaimanan SOP memakai alat pelindung diri. Hasil bivariat dapat dilihat pada tabel 8. antara sikap dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga (APT).
Tabel 8. Tabulasi Silang Sikap dengan Kepatuhan memakai APT Sikap Kepatuhan Memakai APT Tidak Patuh Patuh Total
Tidak Setuju Setuju
Presentase (%)
Presentase (%)
∑
%
∑
%
∑
%
8 7
100% 43,8%
0 9
0% 56,2%
8 16
100% 100%
15
62,5%
9
37,5%
24
5
α
p value
0,05
0,009
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Berdasarkan Tabel 8 hasil analisis hubungan antara sikap dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga diperoleh data bahwa nilai p value sebesar 0,009 (p value < 0,05) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan memakai APT. Responden yang setuju dalam pemakaian APT akan membawa pada sikap positif sehingga cenderung bertindak untuk memakai APT selama bekerja, namun sebaliknya
responden yang tidak setuju akan membawa pada sikap negatif yang cenderung bertindak mengabaikan pemakaian APT ataupun memakai APT secara tidak teratur, dalam arti saat bekerja terkadang APT dilepas dengan sengaja dan tidak dipasang kembali sehingga upaya untuk melindungi diri dari gangguan pendengaran tidak terlaksana Hasil bivariat dapat dilihat pada tabel 9. antara motivasi dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga (APT).
Tabel 9. Tabulasi Silang Motivasi Kerja dengan Kepatuhan memakai APT Motivasi Kepatuhan Memakai APT
Rendah Tinggi
Tidak Patuh ∑ %
Patuh ∑
%
Total ∑
%
4 11
40% 78,6%
6 3
60% 21,4%
10 14
100% 100%
15
62,5%
9
37,5%
24
100%
Berdasarkan Tabel 9 hasil analisis hubungan antara motivasi dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga diperoleh data bahwa nilai p value sebesar 0,092 (p value > 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang
Tidak Patuh ∑ % 9 90% 6 42,9%
Patuh ∑ % 1 10% 8 57,1%
Total ∑ 10 14
% 100% 100%
15
9
24
100%
62,5%
α
p value
0,05
0,092
signifikan antara motivasi dengan kepatuhan memakai APT. Hasil bivariat dapat dilihat pada tabel 10. antara kenyamanan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga (APT).
Tabel 10. Tabulasi Silang Kenyamanan dengan Kepatuhan memakai APT Kenyamanan Kepatuhan Memakai APT
Tidak Nyaman Nyaman
Presentase (%)
37,5%
Berdasarkan Tabel 10 hasil analisis hubungan antara kenyamanan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga diperoleh data bahwa nilai p value sebesar 0,033 (p value < 0,05) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kenyamanan dengan kepatuhan memakai APT. Alasan pekerja tidak mau memakai adalah tidak sadar atau tidak mengerti, merasa
Presentase (%) α
p value
0,05
0,033
panas, sesak, tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, berat, mengganggu pekerjaan, dan tidak ada sangsi ketika tidak memakai alat pelindung diri. Hasil bivariat dapat dilihat pada tabel 11. antara pengawasan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga (APT).
6
Nurul Hidayah / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 11. Tabulasi Silang Pengawasan Kerja dengan Kepatuhan memakai APT Pengawasan Kepatuhan Memakai APT Presentase (%)
Kurang Baik Baik
Tidak Patuh
Patuh
Total
∑
%
∑
%
∑
%
13 2
68,4% 40%
6 3
31,6% 60%
19 5
100% 100%
15
62,5%
9
37,5%
24
100%
Berdasarkan Tabel 11 hasil analisis hubungan antara pengawasan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga diperoleh data bahwa nilai p value sebesar 0,326 (p value > 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengawasan dengan kepatuhan memakai APT. Pengawasan yang ada di tempat penelitian tidak dilakukan secara teratur dan reguler sehingga kontrol terhadap pemakaian alat pelindung telinga pada tenaga kerja masih kurang.
α
p value
0,05
0,326
DAFTAR PUSTAKA A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003, Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Anies, 2005, Penyakit akibat Kerja, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51:1999, Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, Jakarta M. Sopiyudin Dahlan, 2008, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika.
SIMPULAN
Pandji Anoraga, 2006, Psikologi Kerja, Jakarta: Rineka Cipta.
Simpulan dalam penelitian ini adalah sikap dan kenyamanan merupakan faktor yang berhubungan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Total Dwi Daya Semarang dan tidak ada hubungan antara pegetahuan, motivasi , dan pengawasan dengan kepatuhan memakai alat pelindung telinga pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Total Dwi Daya Semarang.
Prihatiningsih, Sugiyanto, 2010, Pengaruh Iklim Keselamatan dan Pengalaman Personal terhadap Kepatuhan pada Peraturan Keselamatan Pekerja Konstruksi, Jurnal: Universitas Gadjah Mada. Sarwono SW, 1993. Pendidikan kesehatan dan beberapa model perubahan perilaku.Dalam: Sosiologi Kesehatan. Gajah Mada University Press
UCAPAN TERIMA KASIH Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahrgaan Universitas Negeri Semarang, Dosen Pembimbing Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahrgaan Universitas Negeri Semarang, Pimpinan PT. Total Dwi Daya Semarang, Seluruh Pekerja Bagian Produksi PT. Total Dwi Daya Semarang.
7
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN PENEMUAN KASUS TB PARU DI EKS KARESIDENAN PATI TAHUN 2013 Eva Emaliana Saomi , Widya Hary Cahyati, Sofwan Indarjo Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Oktober 2014 Disetujui Oktober 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Penemuan kasus TB paru meningkat setiap tahun. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan karakteristik individu dengan penemuan kasus TB paru di eks Karesidenan Pati tahun 2013. Jenis penelitian adalah survey analitik dengan pendekatan case control. Sampel berjumlah 15 orang pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α)=0,05. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan penemuan kasus TB paru adalah latar belakang pendidikan (p value=0,027, OR=8,00) dan pengetahuan (p value=0,023, OR=9,75). Variabel yang tidak berhubungan adalah umur (p value=0,264), jenis kelamin (p value=0,449), lama kerja (p value=0,245), dan sikap petugas (p value=0,053). Saran bagi dinas kesehatan di eks Karesidenan Pati untuk petugas yang berpendidikan SMA supaya melanjutkan ke jenjang D3/S1. Bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan tentang faktor lain yang berhubungan dengan karakteristik individu dengan penemuan kasus TB paru.
________________ Keywords: karakteristik individu, lama kerja, TB paru ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Pulmonary TB cases are increasingly found every year. The objective this study was find out the correlation between individual characteristic toward the finding pulmonary TB cases in ex Pati Residency during 2013.It was analytical survey research using case control approach. 15 persons in each case and control group were taken as sample using simple random sampling technique. The data was analyzed using chi square test with degree of significance (α)=0,05.The research result showed that the risk factor correlate with the finding of pulmonary TB cases were education background (p value=0,027, OR=8,00), knowledge (p value=0,023, OR=9,75), and training (p value=0,023, OR=9,75). Variables which uncorrelated were age (p value=0,264), gender (p value=0,449), duration of employment (p value=0,245), and officers’ behavior (p value=0,053). Advice for health department in ex Pati Residency for the officers’ who was educated in high school in order to proceed to the level of D3/S1. For other researchers study more theother factors associated with individual characteristics against pulmonary TB case finding.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
15
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Rembang tahun 2012 sebesar 47%. CDR TB paru di Blora tahun 2012 sebesar 47,02%. Berdasarkan penelitian Ekowati RN dan Afrimelda (2009) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan CDR program TB paru Puskesmas Propinsi Sumatera Selatan. Variabel jenis kelamin, pengetahuan, pelatihan, sumber daya, supervisi, dan motivasi petugas pengelola program P2TB puskesmas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian target CDR program P2TB puskesmas Propinsi Sumatera Selatan tahun 2009. Berdasarkan penelitian Abbas, A (2012), beberapa faktor kinerja yaitu pengetahuan, motivasi, sikap, dan kompensasi petugas TB di Puskesmas Sidrap. Penelitian S, Bambang (2005), pelaksanaan penemuan penderita TB paru di Kabupaten Sleman dan faktor-faktornya adalah pengalokasian dana, supervisi monitoring, dan pelatihan program TB. Penelitian Putri, RN (2012) tentang keterampilan petugas laboratorium puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Wonosobo yaitu beberapa hal yang mempengaruhi adalah pelatihan, kurangnya motivasi, dan kurangnya sarana laboratorium. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan, sikap, dan pelatihan) dengan penemuan kasus TB paru di eks Karesidenan Pati tahun 2013”.
PENDAHULUAN Sekitar 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis (TB). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya. Target pencapaian angka penemuan kasus TB paru Case Detection Rate (CDR) tahun 2009 sudah mencapai 73,1%. Angka penemuan kasus TB tahun 2010 mencapai 78,3% dan tahun 2011 meningkat sebesar 83,48% (Kementerian Kesehatan RI, 2011:20). Target program penanggulangan TB paru adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA (+) paling sedikit 70%. Pencapaian target global adalah tonggak pencapaian program penanggulangan TB nasional yang utama. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang belum mencapai CDR 70%. CDR Jawa Tengah menempati urutan ke- 14 di Indonesia sebesar 57,7% (Kementerian Kesehatan RI, 2011:22). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, tahun 2008 CDR TB paru di Jawa Tengah sebesar 47,97%, tahun 2009 sebesar 48%, tahun 2010 sebesar 55,31%, tahun 2011 sebesar 59,52%, dan tahun 2012 sebesar 58,45%. Pada tahun 2010, angka penemuan penderita TB paru di eks Karesidenan Pati sebesar 55,38%, tahun 2011 turun menjadi 47,76%, dan tahun 2012 menurun lagi menjadi 12,99%. Target nasional yang ditetapkan sebesar 70% belum dapat tercapai di eks Karesidenan Pati (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2008-2012). Eks Karesidenan Pati menempati urutan terendah kedua CDR per eks karesidenan di Jawa Tengah yang meliputi 5 wilayah kabupaten yaitu Jepara, Kudus, Pati, Rembang, dan Blora. CDR TB paru di Jepara tahun 2012 sebesar 49,41%. CDR TB paru di Kudus tahun 2012 sebesar 63,12%. CDR TB paru di Pati tahun 2012 sebesar 46,91%. CDR TB paru di
METODE Jenis penelitian ini adalah observasional dengan menggunakan studi analitik. Rancangan penelitian ini adalah case control untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu dengan penemuan kasus TB paru. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, pengetahuan, sikap petugas, dan pelatihan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penemuan kasus TB paru. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas pemegang program TB paru puskesmas di Dinas Kesehatan eks Karesidenan Pati tahun 2013 yang berjumlah 111 orang.
16
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
sampel berjumlah 30 responden yang diperoleh dengan menggunakan teknik simple random sampling. Alasan peneliti menggunakan teknik simple random sampling adalah agar setiap individu pada setiap populasi kasus dan kontrol mendapatkan peluang yang sama sebagai sampel penelitian, sehingga hasil yang didapatkan dapat mewakili keseluruhan populasi penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap 15 petugas TB paru di Kota Semarang dengan alasan latar belakang monografi hampir sama dengan eks Karesidenan Pati. Berdasarkan hasil uji coba kuesioner penelitian menunjukkan bahwa 54 item soal yang diujikan semuanya dikatakan valid. Item soal dikatakan valid karena r hitung > r tabel, yaitu r hitung > 0,514 dengan N=15. Instrumen dinyatakan realibel dan dapat digunakan untuk pengumpulan data jika r alpha lebih besar dari nilai konstanta 0,6. Berdasarkan
uji coba reliabilitas kuesioner penelitian, diperoleh r hitung (Alpha) = 0,859 (artinya r hitung > r tabel), maka hal ini menunjukkan bahwa kuesioner tersebut dikatakan reliabel. Teknik pengambilan data yang digunakan meliputi metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah editing, coding, dan entry. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis satu variabel (univariat) dan analisis dua variabel (bivariat). Analisis univariat ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square yang digunakan untuk menganalisis semua variabel yang diteliti. Syarat uji chi squre adalah tidak terdapat sel dengan nilai observed nol (0) dan sel dengan nilai expected (E) kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat chi square tidak terpenuhi, maka uji yang digunakan adalah uji alternatif uji Fisher. Analisis ini bertujuan supaya keeratan hubungan antara kedua variabel atau lebih dapat terlihat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Hasil Penelitian Kategori No
Variabel
1.
Umur
2.
Jenis Kelamin
3.
Latar Belakang Pendidikan
4.
Pengetahuan
5.
Pelatihan
6. 7.
Lama Kerja Sikap Petugas
25-49 tahun >50 tahun Laki-laki Perempuan SMA D3/S1 Kurang Baik Belum ikut pelatihan Ikut pelatihan Baru Lama Kurang Baik
Penemuan Kasus TB Paru Cakupan Cakupan CDR CDR < 70% ≥ 70% F % f % 7 46,7 11 73,3 8 53,3 4 26,7 3 20,0 7 46,7 12 80,0 8 53,3 10 66,7 4 26,7 5 33,3 11 73,3 9 60,0 2 13,3 6 40,0 13 86,7 10 66,7 2 13,3
Jumlah f 18 12 10 20 14 16 11 19 12
% 60,0 40,0 33,3 66,7 46,7 63,3 36,7 63,3 40,0
18 10 20 11 19
60,0 33,3 66,7 36,7 63,3
p value
0,264 0,449 0,027 0,023
OR 95%CI 0,318 0,069-1,468 0,416 0,090-1,918 8 1,522-42,042 9,750 1,592-59,695 9,750
0,023 5 7 8 9 6
33,3 46,7 53,3 60,0 40,0
17
13 3 12 2 13
86,7 20,0 80,0 13,3 86,7
0,245 0,053
1,592-59,695 3,50 0,692-17,714 7,429 1,226-45,005
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
diperlukan dalam pencapaian CDR program P2TB puskesmas.
Umur Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara umurdengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,264 (p>0,05). Dari 15 petugas TB paru dengan puskesmas yang mempunyai CDR < 70% terdapat 7 responden (46,7%) yang berumur dewasa muda (25-49 tahun) dan 8 responden (53,3%) berumur dewasa tua (>50 tahun). Dari 15 responden yang mempunyai CDR ≥ 70%, ada sebanyak 11 responden (73,3%) yang berumur dewasa muda dan 4 responden (26,7%) berumur dewasa tua. Pada penelitian ini, penunjukan petugas puskesmas sebagai pengelola program P2TB tidak didasarkan oleh batasan umur, sehingga terdapat perbedaan usia pada pengangkatan awal sebagai pengelola program TB paru. Perbedaan usia yang ada pada petugas tidak menjadi suatu masalah yang besar dalam melaksanakan tugas pada program penemuan kasus TB paru. Pada petugas yang berumur dewasa tua sudah berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan pada umur dewasa muda walaupun belum berpengalaman tetapi sudah mengikuti pelatihan program TB paru. Sehingga pada petugas yang berumur dewasa muda dapat terampil mengimbangi petugas dewasa tua yang sudah berpengalaman. Petugas yang berumur dewasa muda maupun dewasa tua dapat menemukan pasien baru TB paru dan dapat melaksanakan pekerjaanya sebagai pemegang program P2TB dengan cepat sesuai yang direncanakan. Jadi, penemuan kasus TB paru tidak didasarkan pada semakin banyaknya umur petugas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ekowati RN dan Afrimelda (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan umur dengan CDR TB paru, di mana 26,4% umur petugas di atas 31,5 tahun. Petugas yang berusia muda maupun tua dengan sama-sama berpengalaman dalam teori sehingga banyak memberikan materi penyuluhan yang lebih mendalam tentang penyakit TB paru yang
Jenis Kelamin Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,449(p>0,05). Dari 15 petugas pada puskesmas dengan CDR < 70% terdapat 3 responden (20,0%) berjenis kelamin laki-laki dan 12 responden (80,0%) berjenis kelamin perempuan. Dari 15 responden pada puskesmas dengan CDR ≥ 70%, ada7 responden (46,7%) yang berjenis kelamin laki-laki dan 8 responden (53,3%) berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi terbesar petugas TB paru berjenis kelamin perempuan. Petugas pemegang TB paru tidak dipilih berdasarkan jenis kelamin. Hal ini sudah ketetapan dari kepala puskesmas yang sudah dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing, sehingga petugas wajib melaksanakan tugas yang sudah diberikan. Petugas berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak ada bedanya dalam melaksanakan tugas sebagai pemegang program TB paru. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat melaksanakan pekerjaan baik di puskesmas dan di lapangan untuk menemukan kasus TB paru. Petugas TB paru yang berjenis kelamin perempuan mampu optimal dalam bekerja di lapangan, karena sudah tidak ada kendala faktor kesulitan transportasi. Petugas TB paru yang berjenis kelamin sudah banyak yang dapat menggunakan kendaraan dan akses jalan ke lapangan sudah baik sehingga mudah ditempuh untuk melaksanakan program penemuan pasien TB paru. Begitu pula dengan petugas yang berjenis kelamin laki-laki yang cenderung lebih optimal dan cekatan di lapangan tetapi juga mampu bekerja dengan baik di dalam puskesmas. Tidak ada halangan apapun dalam melakukan program seperti kontak langsung, penjaringan suspek, kunjungan rumah, dan penyuluhan TB paru. Semua tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai rencana
18
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
pada petugas berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan Awusi, RYE (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penemuan kasus TB paru. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Ekowati RN dan Afrimelda (2009) yang menyatakan ada hubungan jenis kelamin dengan CDR TB paru dengan p= 0,005.
sehingga mempengaruhi pelayanan kesehatan yang tersedia. Bagi petugas yang berpendidikan SMA (SPK) hanya melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan program yang sudah biasa dilakukan. Padahal inovasi dan ketrampilan dari petugas yang berpendidikan tinggi sangat dibutuhkan dalam penemuan kasus TB paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan Novithalina, NG (2009) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara latar belakang pendidikan dengan penemuan TB paru dengan p value = 0,001.
Latar Belakang Pendidikan Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara latar belakang pendidikan dengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,027(p<0,05). Dari 15 petugas dengan puskesmas yang mempunyai CDR <70% terdapat 10 responden (66,7%) yang memiliki pendidikan SMA (SPK) lebih besar apabila dibandingkan dengan 5 responden (33,3%) yang memiliki pendidikan D3/S1. Dari 15 puskesmas dengan CDR ≥70%, ada sebanyak 4 responden (26,7%) yang memiliki pendidikan SMA dan 11 responden (73,3%) yang memiliki pendidikan D3/S1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan petugas sebesar 56,7% berpendidikan D3/S1. Petugas dengan latar belakang pendidikan D3/S1 memiliki kemampuan yang lebih dalam ketrampilan dan inovasi untuk memecahkan masalah penemuan TB paru dibandingkan dengan petugas yang petugas yang berpendidikan SMA (SPK). Dengan pendidikan yang tinggi, petugas lebih mudah melaksanakan tugasnya dalam penemuan kasus TB paru. Petugas dapat memberikan materi TB paru yang diperolehnya dalam pelatihan kemudian menyampaikannya pada masyarakat melalui program penyuluhan. Tingkat pendidikan seseorang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menyerap dan menerima informasi. Petugas yang memiliki tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah
Pengetahuan Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,023 (p<0,05). Dari 15 petugas dengan puskesmas yang mempunyai CDR <70% terdapat 9 responden (60,0%) yang memiliki pengetahuan kurang lebih besar apabila dibandingkan dengan 6 responden (40,0%) yang memiliki pengetahuan baik. Dari 15 puskesmas dengan CDR ≥70%, ada2 responden (13,3%) yang memiliki pengetahuan kurang dan 13 responden (86,7%) yang memiliki pengetahuan baik. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh petugas sangat diperlukan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pemegang TB paru. Petugas harus menguasai semua materi TB paru secara lengkap agar dalam melakukan tugas sesuai dengan yang diharapkan dan target penemuan TB paru sesuai dengan target. Pengetahuan dalam teori merupakan komponen organisasi yang penting dan berefek langsung dalam peningkatan kinerja. Pengetahuan diperlukan untuk terbentuknya tindakan seseorang dalam menghasilkan kinerja. Berdasarkan teori dalam penanggulangan penyakit TB paru dinyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh langsung terhadap perubahan perilaku dan sikap dalam pencapaian CDR. Faktor yang berperan dalam pencapaian cakupan CDR program P2TB berasal dari
19
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
dalam diri petugas. Pengetahuan yang baik akan memotivasi untuk meningkatkan ketrampilan dan sikap, sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu lebih terarah dan efektif. Pengetahuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Oleh karena itu, pengetahuan petugas yang baik terkait pengobatan TB paru perlu dipertahankan, sehingga dapat menunjang peningkatan kinerja dalam pencapaian angka penemuan kasus TB paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan Ekowati RN dan Afrimelda (2009) yang menyatakan bahwa adanya CDR P2TB yang mencapai target pada responden yang sebanyak 20 orang (41,7%), sedangkan pada pengetahuan yang kurang sebanyak 8 responden (13,8%), dimana p value 0,003 dengan OR=4,464. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Abbas, A (2012) yang menunjukkan bahwa prosentase petugas dengan pengetahuan baik sebesar 71,4%. Hal tersebut didukung oleh pengetahuan yang baik dari petugas TB dalam menjalankan tugas pengobatan TB. Petugas dapat menjelaskan dengan baik terkait pengobatan TB mulai dari tujuan pengobatan, tata laksana pengobatan, hingga penentuan hasil pengobatan bagi pasien. Pengetahuan yang baik bagi petugas dapat meningkatkan kinerja petugas dalam penanggulangan TB paru.
dilaksanakan petugas merupakan upaya pembelajaran petugas yang lebih mendalam. Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas. Program pelatihan perlu disusun dengan baik untuk petugas yang sudah berpengalaman maupun bagi para petugas yang sudah berkarya. Konsep pelatihan dalam program TB terdiri dari pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre-service training) dengan memasukkan materi program penanggulangan TB strategi DOTS, kemudian pelatihan dalam tugas (in service training) berupa pelatihan dasar (initial training in basic DOTS implementation) yaitu pelatihan penuh, dimana seluruh materi diberikan. Pelatihan ulangan (retraining), yaitu pelatihan formal yang dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya, tetapi masih ditemukan banyak masalah dalam kinerjanya, dan tidak cukup hanya dilakukan melalui supervisi. Pelatihan penyegaran yaitu pelatihan formal yang dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya minimal 5 tahun atau ada perbaikan materi. Pelatihan di tempat tugas/refresher (on the job training), dimana telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi hanya dengan dilakukan supervisi. Untuk pelatihan lanjutan (advanced training) maksudnya pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi, dimana materinya berbeda dengan pelatihan dasar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ekowati RN dan Afrimelda (2009) yang menyatakan CDR program P2TB puskesmas yang mencapai target adalah pada responden yang pernah mendapatkan pelatihan sebanyak 42,9%, sedangkan responden yang tidak pernah mendapatkan pelatihan sebanyak 12,3 %, dimana p value = 0,001 dengan OR = 5,357.
Pelatihan Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. Menunjukkan ada hubungan antara pelatihanden gan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,023 (p<0,05).Dari 15 petugas dengan puskesmas yang mempunyai CDR <70% terdapat 10 responden (66,7%) yang belum ikut pelatihan lebih besar dari 5 responden (33,3%) yang sudah ikut pelatihan. Dari 15 puskesmas dengan CDR ≥ 70%, ada 2 responden (13,3%) yang belum ikut pelatihan dan 13 responden (86,7%) yang sudah ikut pelatihan. Pelatihan termasuk komponen karakter individu, yang sangat penting dalam peningkatan kinerja. Pelatihan yang
20
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
secara statistik antara lama kerja dan penemuan penderita TB paru (p= 0,16). Hasil penelitian lain Ekowati RN dan Afrimelda (2009) menyatakan bahwa lama kerja tidak ada hubungan dengan CDR TB paru dimana p = 0,685.
Lama Kerja Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara lama kerja dengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,245 (p>0,05). Dari 15 petugas pada puskesmas dengan CDR < 70% terdapat 7 responden (46,7%) yang memiliki lama kerja baru dan 8 responden (53,3%) yang memiliki lama kerja yang lama. Dari 15 responden dari puskesmas dengan CDR ≥ 70%, ada responden 3 (20,0%) yang memiliki lama kerja baru dan 12 responden (80,0%) yang memiliki lama kerja yang lama. Sebagian responden memiliki lama kerja yang lama (≥4 tahun) sebanyak 20 orang. Petugas yang memiliki masa kerja lama memegang program TB paru tidak diganti karena banyak petugas lain yang tidak bersedia untuk menggantikan posisi sebagai pemegang program TB paru dengan alasan resiko yang ditimbulkan dari TB paru. Alasan lainnya karena di puskesmas memiliki keterbatasan tenaga petugas untuk memegang program TB paru sehingga banyak petugas yang memiliki tugas rangkap memegang lebih dari 1 program. Petugas yang memiliki lama kerja yang lama diduga memiliki kinerja yang baik setara dengan petugas yang memiliki lama kerja baru dengan kinerja yang baik pula. Seseorang yang mempunyai waktu kerja yang lama akan menambah pengalaman terhadap pekerjaannya, maka secara tidak langsung akan menambah pengetahuannya. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian ini karena tidak ada hubungan antara lama kerja dengan penemuan kasus TB paru. Petugas dengan masa kerja yang baru memiliki pengalaman yang tidak sama dengan petugas dengan masa kerja yang lama. Meskipun petugas memiliki masa kerja yang baru tetapi sudah pernah mengikuti pelatihan TB paru, maka akan mempunyai peluang sama dalam keberhasilan melaksanakan pekerjaannya sebagai pemegang program TB paru puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Awusi, RYE (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
Sikap Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara sikap dengan penemuan kasus TB paru dengan nilai p=0,053 (p>0,05). Dari 15 petugas dari puskesmas dengan CDR <70% yaitu sebanyak 9 responden (60,0%) yang memiliki sikap kurang dan 6 responden (40,0%) yang memiliki sikap baik. Dari 15 responden dari puskesmas dengan CDR ≥ 70%, ada2 responden (13,3%) yang memiliki sikap kurang dan 13 responden (86,7%) yang memiliki sikap baik. Dalam penelitian ini, petugas dengan sikap kurang baik menyatakan bahwa pekerjaan yang dijalankan bukan karena minat petugas terhadap tugas tersebut, tetapi pekerjaan sebagai petugas P2TB adalah tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan, sehingga mereka wajib melaksanakan tanpa melihat kesesuaian antara minat dengan tugas yang dijalankan. Hal ini dikarenakan tidak ada petugas yang mau memegang program P2TB karena risiko yang ditimbulkan sangat berat, akan tetapi tugas merupakan tanggung jawab yang harus diterima dan dilaksanakan sehingga apapun risikonya tetap harus dijalankan. Sikap petugas kesehatan diartikan sebagai ketrampilan yang dimiliki oleh petugas dalam melakukan penyuluhan atau proses pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap proses penerimaan informasi kesehatan termasuk dalam memberikan informasi tentang TB paru kepada pasien. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Abbas, A (2009), yang menyatakan bahwa penilaian sikap baik sebesar 57,1%.
21
Eva Emaliana Saomi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik individu, kinerja petugas, dan pelayananan kesehatan terhadap penemuan kasus TB paru di eks Karesidenan Pati tahun 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) 60% responden berumur dewasa muda (25-49 tahun), 66,7% berjenis kelamin perempuan, 63,3% berpendidikan D3/S1, 63,3% berpengetahuan baik, 60% mengikut pelatihan, 66,7% memiliki masa kerja yang lama, dan 63,3% bersikap baik. (2) Ada hubungan antara latar belakang pendidikan dan pengetahuan dengan penemuan kasus TB paru di eks Karesidenan Pati tahun 2013. (3) Tidak ada hubungan antara umur, jenis kelamin, lama kerja, dan sikap dengan penemuan kasus TB paru di eks Karesidenan Pati tahun 2013.
Abbas, A, 2012, Kinerja Petugas Tb Dalam Pencapaian Angka Kesembuhan Tb Paru Di Puskesmas Kabupaten Sidrap Tahun 2012, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS Makassar, Vol. 11 No. 2, April 2013, hlm. 14-26 Awusi, RYE, 2009, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Penderita TB Paru di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, Volume 25, No 2, Juni 2009, hlm. 59-68 Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2008-2012, Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2010, Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Semarang Ekowati RN dan Afrimelda, 2009, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Case Detection Rate Program Tuberkulosis Paru Puskesmas Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2009, Jurnal kesehatan Bina Husada Vol. 6 No. 1, Maret 2010, hlm. 1-11 Kementerian Kesehatan RI, 2011, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Novithalina, NG, 2009, Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas TB Paru Puskesmas Dalam Penemuan Penderita TB Paru Dalam Program Pemberantasan Penyakit (P2P) di Kota Medan Tahun 2009, Universitas Sumatera Utara, Januari 2010, No. 10, hlm. 22-31 Putri, RN, 2012, Analisis Keterampilan Petugas Laboratorium Puskesmas dan Rumah Sakit Dalam Pembuatan Sediaan Dahak Pemeriksaan BTA Mikroskopis Di Kabupaten Wonosobo Tahun 2012, Universitas Negeri Semarang, Unnes Journal of Public Health 2 (2012), Oktober 2012, hlm. 33-39
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten di Jepara, Kudus, Rembang, dan Blora, Pemegang TB paru Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, Kudus, Rembang, dan Blora, Petugas TB paru puskesmas, serta semua pihak yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
22
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
PELAKSANAAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3) BERDASARKAN OHSAS 1800: 2007 PADA UNIT SPINNING V PT. SINAR PANTJA DJAJA (PT. SPD) DI SEMARANG TAHUN 2014 Korry Apriandi , Evi Widowati S.KM, M.Kes. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima November 2014 Disetujui November 2014 Dipublikasikan Januari 2014
Obyek penelitian ini di PT. SPD Semarang dengan menggunakan jenis dan rancangan penelitian deskriptif kualitatif serta bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001: 2007 di PT. SPD Semarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan penerapan SMK3 menurut OHSAS di PT. SPD sebanyak 131 poin (87,3%). Untuk poin yang belum sesuai sebanyak 10 poin (6,7%). Dan untuk poin yang tidak sesuai sebanyak 9 poin (6%). Sehingga, termasuk dalam kategori tingkat penilaian baik atau setara dengan perolehan sertifikat bendera emas. Disarankan kepada PT. SPD untuk meningkatkan penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS dengan: (1) wajib memiliki manual SMK3 berdasarkan OHSAS, (2) wajib memiliki prosedur mengidentifikasi, mengakses dan pemutakhiran peraturan K3, (3) wajib menyediakan sumberdaya kompeten untuk menjalankan SMK3, (4) pelatihan K3 harus membedakan tanggung jawab, kemampuan, bahasa, ketrampilan dan resiko, (5) melakukan simulasi keadaan darurat api, (6) memiliki data kalibrasi alat sesuai dengan peraturan.
________________ Keywords: SMK3; OHSAS 18001: 2007; Spinning. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The object of this research in PT. SPD Semarang by using the type and design was qualitative and descriptive research the were aims to know the execution of SMK3 application on OHSAS 18001: 2007 in PT. SPD Semarang. From the results show that implementation of SMK3 on OHSAS PT. SPD as much as 131 points (87,3%). For points that haven’t met the standards yet as much as 10 points (6.7%). And for the points which don’t meet as many as 9 points (6%). So, PT. SPD were included in the category level assessment good or equivalent certificate flag gold tally. It was advisable to PT. SPD to enhance the application of SMK3 based on OHSAS with: (1) required to have a manual SMK3 on OHSAS, (2) required to have procedures for identifying, accessing and updating rules K3, (3) required to provide competent resources to SMK3 implementations, (4) the HSE training should be distinguished the responsibilities, competencies, languages, skills and risk, (5) should be doing simulated fire emergency, (6) must have data calibration tools in accordance with the regulations.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
23
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
PT. SPD merupakan suatu industri nasional yang bergerak dalam bidang pemintalan benang (spinning) dengan melalui proses yang bertahap, yaitu: Blowing, Carding, Drawing, Flayer, Ring Spinning, Winding, dan Packing. Akan tetapi, pada tahun 2013 terdapat angka kecelakaan kerja sebanyak 33 kasus, dan hingga februari 2014 masih ada angka kecelakaan kerja sebanyak 7 kasus (Merita, 2014). Dengan masih adanya angka kecelakaan kerja tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang “Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatam dan Kesehatan Kerja (SMK3) Berdasarkan OHSAS 18001: 2007 Pada Unit Spinning V PT. Sinar Pantja Djaja (PT. SPD) Di Semarang Tahun 2014”.
PENDAHULUAN Dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Selanjutnya menurut UU No.13 tahun 2002 pasal 87 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan manajemen perusahaan. Hal tersebut untuk mewujudkan Zero Accident, sehingga kelangsungan dari usaha dapat berjalan lebih produktif, aman dan ramah lingkungan. Menurut Djoko Sungkono selaku Direktur PT. Jamsostek menyatakan bahwa angka kecelakaan kerja di Indonesia 5 tahun terakhir masih cenderung naik, pada tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, tahun 2009 terdapat 96.314 kasus dan mengalami kenaikan sebesar 1.578 kasus atau naik (15,8%) dari tahun sebelumnya, tahun 2010 terdapat 98.711 kasus dan mengalami kenaikan sebesar 2.397 kasus atau naik (23,9%) dari tahun sebelumnya, tahun 2011 terdapat 99.491 kasus dan mengalami kenaikan sebesar 780 kasus atau naik (7,8%) dari tahun sebelumnya, dan sampai dengan September 2012 tercatat terjadi kecelakaan kerja sebanyak 80.000 kasus kecelakaan kerja (Maharani, 2012). Menurut Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menyatakan bahwa tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia diakibatkan diantaranya: masih lemahnya disiplin dan kesadaran masyarakat akan K3, belum diterapkannya SMK3 secara optimal, serta adanya ketidakseimbangan antara jumlah perusahaan dengan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang K3 (Suryadani, 2012). Mengingat banyaknya SMK3 yang dikembangkan oleh berbagai institusi, maka untuk menstandarisasi sekaligus memberikan sertifikasi atas hasil pencapaiannya serta diakui secara global, maka menggunakan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001 (Ramli, 2010: 49).
METODE Jenis dan rancangan penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif (Notoadmojo, 2005: 138-139). Sumber informasi dalam penelitian ini didapat dari data primer yang meliputi observasi lapangan, wawancaran kepada manajer, supervisor, staf K3, ketua P2K3, dan karyawan. Dan data sekunder di peroleh dari dokumendokumen perusahaan terkait dengan penerapan SMK3. Adapun komposisi penilaian penerapan SMK3 sebanyak 150 poin dari 17 elemenelemen utama OHSAS 18001 (Yulianti, 2006) yang meliputi: (1) Untuk tingkat pencapaian 059% atau setara dengan penerapan OHSAS 18001 sebanyak 89 poin akan dikenakan tindakan hukum. (2) Untuk tingkat pencapaian 60-84% atau setara dengan penerapan OHSAS 18001 sebanyak 90-126 poin mendapat srtifikat dan bendera perak. (3) Untuk tingkat pencapaian 85-100% atau setara dengan penerapan OHSAS 18001 sebanyak 127-150 poin mendapat srtifikat dan bendera emas.
24
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Penilaian Penerapan SMK3 Berdasarkan OHSAS 18001: 2007 No 1
Elemen Gambaran umum
Total Pemenuhan
Terpenuhi dan Sesuai Jumlah %
Terpenuhi dan Tidak Sesuai Jumlah % 100 2 % -
Tidak Terpenuhi Jumlah
%
-
-
-
-
2
-
-
8
8
100%
21
21
100%
-
-
-
-
4
2
50%
1
25%
1
25%
6
6
100%
-
-
-
-
8
7
87,5%
1
2,5%
-
-
7
3
42,9%
1
Komunikasi, partisipasi dan konsultasi Pendokumentasian
13
13
100%
-
6
4
66,7%
2
10 11
Pengendalian dokumen Pengendalian operasi
8
8
100%
-
14,2 % 33,3 % -
6
3
50%
1
6,7%
12
Kesiapsiagaan dan tanggap darurat
6
3
50%
2
13 14 15
Pengukuran kinerja dan pemantauan Evaluasi kesesuaian Penyelidikan insiden, ketidaksesuaian, tindakan koreksi dan langkah pencegahan Pengendalian rekaman Internal Audit Tinjauan manajemen
8 5
6 5
75% 100%
-
33,3 % -
17
17
100%
-
3 8 14 150
3 8 14 131
100% 100% 100% 87,3%
10
2 3 4 5 6 7 8 9
16 17 18
Kebijakan K3 Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan menentukan pengendalian PerUndang-Undangan dan persyaratan K3 lainnya Tujuan dan program K3 Sumberdaya, peran, tanggung jawab dan wewenang Kompetensi, pelatihan dan kepedulian.
Total
-
42,9 % -
-
-
-
33,3 %
3
2 1
1,7%
2 -
25% -
-
-
-
6,7%
9
6%
tersebut” dan “Organisasi harus menentukan dan mendokumentasikan ruang lingkup SMK3 organisasi”. Hal tersebut juga terdapat dalam poin 1.1.1 dan 2.2.1 Permenaker No. 5 tahun 1996. Akan tetapi, kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena perusahaan baru menerapkan SMK3 berdasarkan Permenaker No. 5 tahun 1996 dan belum menerapkan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001. Sehingga, perusahaan dalam menentukan dan mendokumentasikan ruang lingkup SMK3 yang telah ada berdasarkan Permenaker No. 5 tahun 1996, bukan berdasarkan OHSAS 18001. Upaya yang dilakukan perusahaan adalah, dari beragamnya SMK3 yang dikembangkan di berbagai lembaga institusi, penerapan OHSAS 18001 merupakan suatu standar SMK3 yang dapat digunakan secara global. OHSAS 18001 bersifat generik dengan pemikiran untuk dapat digunakan dan
Berdasarkan tabel bahwa penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001: 2007 pada PT. SPD Semarang telah melaksanakan 131 poin dari total 150 poin penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001: 2007 atau setara dengan pencapaian penerapan sebesar 87,3%. Selain itu juga terdapat poin-poin yang belum sesuai dengan penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001 sebesar 10 poin atau setara dengan 6,7%. Serta poin-poin yang tidak terpenuhi berdasarkan OHSAS 18001 sebesar 9 poin atau setara dengan 6%. Untuk poin-poin yang tidak sesuai dengan penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001 oleh PT. SPD Semarang meliputi elemen Gambaran umum meliputi poin “Organisasi harus membuat, mendokumentasikan, memelihara dan meningkatkan secara berkelanjutan SMK3 sesuai dengan persyaratan standar OHSAS 18001 dan menetapkan bagaimana memenuhi persyaratan
25
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
dikembangkan oleh berbagai organisasi sesuai dengan sifat, skala kegiatan, resiko dan lingkup kegiatan organisasi (Ramli, 2010: 59). Elemen Perundang-undangan dan persyaratan K3 lainnya meliputi poin “Organisasi harus membuat, menerangkan dan memelihara suatu prosedur untuk mengidentifikasi dan mengakses peraturan perundangan dan persyaratan K3 lain yang diaplikasikan untuk K3”. Poin ini tidak terdapat pada Permenaker No. 5 tahun 1996 yang PT. SPD terapkan. Sehingga, kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Upaya yang harus dilakukan perusahaan pada poin ini yaitu manajemen K3 harus memiliki prosedur untuk mengidentifikasi semua perundangan, peraturan atau standar yang berlaku dan pemutakhiran peraturan perundangan yang digunakan organisasi dalam menjalankan manajemen K3 organisasi (Ramli, 2010: 114-115). Elemen Sumberdaya, peran, tanggung jawab dan wewenang meliputi poin “Manajemen puncak harus memperlihatkan komitmennya dengan: (a) Memastikan ketersediaan sumberdaya yang esensial untuk membuat, menerapkan, memelihara dan meningkatkan SMK3”. Kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena dalam penerapan poin ini SDM untuk membuat, menerapkan, memelihara dan meningkatkan SMK3 organisasi tidak sesuai dengan bidang kompetensi ahli K3. Mereka memahami K3 dari pengalaman dan perintah atasan menejemen perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan merasa belum mampu untuk membiayai kinerja ahli K3 tersebut. Upaya yang harus dilakukan perusahaan dalam poin ini harus menyediakan sumberdaya manusia untuk membuat, menerapkan, memelihara dan meningkatkan SMK3 organisasi dengan mempekerjakan ahli K3 agar program K3 berjalan dengan baik dan efektif (Ramli, 2010: 124). Sesuai Kepmen No. 186 tahun 1999, unit spinning V PT. SPD memiliki 522 karyawan, sehingga harus memiliki 21 petugas peran penanggulangan kebakaran. Dan terdiri dari 7 proses produksi, maka minimal harus memiliki 7 orang koordinator pemadam kebakaran. PT. SPD tergolong dalam kategori
bahaya kebakaran sedang 2 sehingga minimal memiliki 1 ahli K3 kebakaran. Elemen Kompetensi, pelatihan dan kepedulian meliputi poin “Organisasi harus memastikan bahwa setiap orang dalam pengendalilannya yang melakukan tugas mempunyai dampak pada K3 harus kompeten sesuai dengan tingkat pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman, dan menyimpan catatancatatannya”. Hal tersebut sesuai dengan poin 12.1 Permenaker No. 5 tahun 1996. Akan tetapi, kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena sumberdaya manusia pada manajemen K3 perusahaan tidak sesuai dengan bidang kompetensi yang dimilikinya, seperti: staf K3 dengan latar belakang pendidikan SMA, SPV K3 dengan latar belakang pendidikan sarjana hukum, dan untuk manager chief K3 dengan latar belakang pendidikan D3 Ekonomi. Mereka memahami K3 dari pengalaman dan pelatihan yang diadakan perusahaan, diantaranya: pelatihan pemadaman kebaran yang bekerjasama dengan Damkar Kota Semarang. Upaya yang harus dilakukan perusahaan pada kriteria ini, menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih, kompeten dan berpengalaman dalam membuat, menerapkan, memelihara dan meningkatkan SMK3 organisasi akan membantu organisasi dalam menjalankan penerapan SMK3 organisasi (Ramli, 2010: 128-129). Elemen Pendokumentasian meliputi poin “Dokumentasi SMK3 harus termasuk: (b) Penjelasan ruang lingkup SMK3, (c) Penjelasan elemen inti sistem manajemen dan interaksinya, serta rujukan ke dokumen terkait”. Kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena, sesuai pada elemen Gambaran Umum diatas, bahwa perusahaan baru menerapkan SMK3 berdasarkan Permenaker No. 5 tahun 1996. Sehingga, untuk penjelasan ruang lingkup SMK3 dan elemen inti sistem manajemen, interaksi serta rujukan ke dokumen terkait masih mengacu pada Permenaker No. 5 tahun 1996 dan belum mengacu pada OHSAS 18001. Upaya yang dilakukan perusahaan pada kriteria poin ini, manajemen K3 organisasi
26
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
harus menjalankan persyaratan atau elemen inti pada 17 elemen OHSAS 18001 yang meliputi: membuat, mendokumentasikan, memelihara dan meningkatkan secara berkelanjutan setiap elemen OHSAS 18001. Karena OHSAS merupakan pedoman SMK3 agar terarah dan terstruktural dengan standar internasional (Ramli, 2010: 186). Elemen Pengendalian operasi meliputi poin “Organisasi harus mengidentifikasi kegiatan yang berkaitan dengan bahaya, dimana kendali pengukuran perlu dilakukan sebagai pengendalian resiko K3 serta harus termasuk dalam perubahan manajemen”. Hal tersebut hampir secara keseluruhan tertuang dalam Permenaker No. 5 tahun 1996. Kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena berdasarkan Permenaker No. 5 tahun 1996 terdapat poin yang tidak menunjukan adanya pengelolaan perubahan manajemen. Upaya yang dilakukan untuk memenuhi poin ini sesuai dengan OHSAS 18001, maka perusahaan dalam melakukan kegiatan identifikasi potensi bahaya didalamnya harus termasuk pengelolaan perubahan manajemen. Elemen Kesiapsiagaan dan tanggap darurat meliputi poin “Organisasi harus membuat, menerapkan dan memelihara prosedur: (a) Untuk mengidentifikasi potensi keadaan darurat” dan “Organisasi harus meninjau secara periodik, dan bila diperlukan untuk merubah prosedur kesiapsiagaan dan tanggap darurat, secara khusus setelah pengujian periodik dan setelah terjadinya keadaan darurat”. Hal tersebut sesuai dengan poin 6.7.1 Permenaker No. 5 tahun 1996, yaitu: “keadaan darurat yang potensial didalam atau diluar tempat kerja harus diidentifikasi dan prosedur keadaan darurat didokumentasikan serta diinformasikan agar diketahui oleh seluruh orang yang ada di tempat kerja”. Akan tetapi, kondisi ini tidak sesuai dengan OHSAS 18001. Karena identifikasi potensi keadaan darurat yang dilakukan perusahaan masih bersifat sporadis atau diadakan setelah terjadi keadaan darurat lainnya seperti tanah longsor, gempa bumi serta belum pernah dilakukannya simulasi sistem tanggap darurat yang ada. Hal karena menurut perusahaan dapat mengganggu proses produksi
perusahaan, sehingga target prduksi yang sudah ada tidak tercapai dengan maksimal. Selain itu juga didukung dengan hasil wawancara dengan bapak Salamet K yang menyatakan bahwa “untuk STD yang ada disini hanya keadaan darurat api, karena untuk potensi bahaya yang paling besar disini adalah kebakaran, sedangkan untuk keadaan darurat lain seperti tanah longsor dll selama ini tidak pernah terjadi, karena di seluruh area lereng sekitar industri dilengkapi dengan pondasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya longsor”. Upaya yang dilakukan perusahaan pada kriteria ini manajemen K3 secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi pelaksanaan K3 disemua tempat kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama unit pelaksana, kemudian mencari jalan pemecahannya dan mengkomunikasikannya kepada unit-unit pelaksana tentang STD yang sesuai dengan resiko di masing-masing proses produksi (Sahab MS, 1997: 49). Selain itu, manajemen K3 juga harus memonitor dan mengevaluasi Sistem Tanggap darurat melalui uji periodik, untuk menilai sejauh mana program yang dilaksanakan telah berhasil mengendalikan keadaan darurat. Uji periodik sistem tanggap darurat sangat penting dilakukan untuk dapat mengetahui kesesuaian dan keberhasilan sistem tanggap darurat (Carl Griffith dalam Ramli, 2010: 159). Dan jika masih terdapat kekurangan, maka perlu diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya (Sahab MS, 1997:49). Sedangkan untuk poin-poin yang tidak terpenuhi berdasarkan OHSAS 18001 oleh PT. SPD Semarang elemen Perundang-undangan dan persyaratan K3 lainnya meliputi poin harus selalu memutakhirkan “Organisasi informasi”. Akan tetapi, Permenaker No. 5 tahun 1996 tidak mengatur tentang perundangundang dan persyaratan K3 lainnya. Sehingga, perusahaan tidak memenuhi persyaratan OHSAS pada kriteria poin ini. Sehingga, pada kenyataan dilapangan ditemukan adanya peraturan perundangan yang belum termutakhir/terbarukan, seperti: penggunaan Permenaker No. 5 tahun 1996 yang diketahui
27
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
telah diperbaharui dengan Permenaker No. 50 tahun 2012. Upaya yang harus dilakukan pada poin ini yaitu: manajer serta seluruh penyelia manajemen K3 dan manajemen lini lainya, harus mempunyai tanggungjawab yang pasti dalam melakukan identifikasi semua perundangan, peraturan atau standar yang berlaku dan pemutakhiran peraturan perundangan yang digunakan organisasi. Sehingga, melalui konsep ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan efisien (Sahab MS, 1997:47). Elemen Kompetensi, pelatihan dan harus kepedulian meliputi poin “Organisasi mengidentifikasi kebutuhan pelatihan sesuai dengan resiko K3 terkait SMK3. Organisasi harus menyediakan pelatihan atau mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, melakukan evaluasi efektivitas pelatihan atau tindakan yang diambil, dan menyimpan catatan-catatannya” pelatihan harus dan “Prosedur mempertimbangkan tingkat perbedaan dari: (a) Tanggung jawab, kemampuan, bahasa dan ketrampilan, (b) Resiko”. Hal tersebut juga tertuang pada poin 12.1.1, 12.1.3 dan 12.1.7 Permenaker No. 5 tahun 1996 yaitu: poin 12.1.1 ”analisa kebutuhan pelatihan LK3 sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan harus dilakukan”. Poin 12.1.3 “jenis pelatihan yang dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan untuk pengendalian potensi bahaya”. Dan pada poin 12.1.7 “evaluasi dilakukan pada setiap sesi pelatihan untuk menjamin peningkatan secara berkelanjutan”. Kondisi ini tidak terpenuhi sesuai dengan OHSAS 18001. Karena dalam pengadaan kegiatan pelatihaan perusahaan masih belum melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan. Hal tersebut terjadi karena SDM yang ada dalam jajaran manajemen K3 tidak mengetahui dan memahami tetang identifikasi kebutuhan pelatihan. Pelatihan yang dilakukan hanya tergantung dari SPV K3 akan memberikan thema tentang apa yang akan dilakukan. Menurut bapak Slamet Kaswanto selaku SPV K3 menyatakan bahwa: “pelatihan dilakukan atas dasar informasi dan isu yang sedang terjadi di perusahaan”.
Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Sehingga, upaya yang harus dilakukan perusahaan pada kriteria poin ini yaitu pelatihan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pekerja (Soehatman Ramli, 2010: 131-134). Analisis kebutuhan pelatihan harus mempertimbangkan syarat, antara lain: (1) Program yang memiliki resiko tinggi menjadi prioritas untuk program pelatihan. (2) Angka kecelakaan yang tinggi menunjukan adanya kelemahan dalam SMK3. (3) Identifikasi kebutuhan pelatihan (Ramli, 2010: 131-134). Elemen Pengendalian operasi meliputi poin “Untuk pengendalian tersebut, organisasi harus menerapkan dan memelihara: (d) Mendokumentasikan prosedur mencakup situasi dimana ketiadaannya dapat menyebabkan penyimpangan kebijakan dan tujuan K3, (e) Kriteria operasi yang telah ditetapkan, dimana ketiadaannya dapat menyebabkan penyimpangan kebijakan dan tujuan K3”. Hal tersebut juga tertuang pada poin 6.1.1 dan 6.1.2 Permenaker No. 5 tahun 1996, yaitu: pada poin 6.1.1 “petugas yang berkompeten telah mengidentifikasi bahaya, menilai dan mengendalikan resiko yang timbul dari suatu proses kerja” dan poin 6.1.2 “apabila upaya pngendalian diperlukan, maka upaya tersebut ditetapkan melalui tingkat pengendalian”. Akan tetapi, kondisi ini tidak terpenuhi sesuai dengan OHSAS 18001. Karena perusahaan belum memiliki prosedur yang mencakup tentang situasi dimana ketiadaannya dapat menyebabkan penyimpangan kebijakan dan tujuan K3 seperti: fault tree atau hazop. Hal tersebut terjadi karena SDM manajemen K3 yang perusahaan miliki belum mampu dan memahami untuk dapat mengerjakan identifikasi pengendalian penyimpangan kebijakandan tujuan K3, seperti: fault tree atau HIRARC. Upaya yang harus dilakukan perusahaan pada kriteria poin ini yaitu: perlu adanya SDM yang berkompeten dalam bidang K3 sehingga antara manajemen K3 dengan tenaga kerja bekerja sama melalui forum P2K3, saling berkonsultasi tentang potensi bahaya, mendiskusikan dan mencari solusi atas semua masalah K3 yang muncul di tempat kerja,
28
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
mempertimbangkan isu-isu K3 di tempat kerja, merencanakan, melaksanakan, dan memantau program-program K3 yang telah dibuat (Tarwaka, 2008:192). Elemen Kesiapsiagaan dan tanggap darurat meliputi poin “Organisasi harus secara berkala menguji prosedur untuk menanggapi keadaan darurat, dan dapat melibatkan pihak terkait yang relevan sesuai keperluan”. Hal tersebut juga tertuang dalam poin 6.7.2 Permenaker No. 5 tahun 1996 yaitu: “penyediaan alat, sarana dan prosedur keadaan darurat berdasarkan hasil identifikasi dan diuji serta ditinjau secara rutin oleh petugas yang berkompeten dan berwenang”. Akan tetapi, kondisi ini tidak terpenuhi sesuai dengan OHSAS 18001. Karena perusahaan belum melakukan simulasi atau pengujian periodik keadaan darurat. Hal tersebut terjadi karena menurut perusahaan dapat mengganggu proses produksi perusahaan sehingga target produksi yang sudah ada tidak tercapai dengan maksimal. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan sistem tanggap darurat adalah sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala melalui uji periodik. Upaya yang dilakukan pada kriteria poin ini dengan memeriksa, memelihara dan menguji secara berkala peralatan dan sistem tanggap darurat yang ada sesuai dengan peraturan perundangan, standar dan pedoman teknis yang relevan (Carl Griffith dalam Ramli, 2010: 159). Elemen Pengukuran kinerja dan peralatan pemantauan meliputi poin “Jika pemantauan digunakan untuk mengukur dan memantau kinerja, organisasi harus membuat dan memelihara prosedur untuk kalibrasi dan pemeliharaan peralatan tersebut, sesuai keperluan” dan “Catatan hasil kalibrasi dan pemeliharaan harus disimpan”. Hal tersebut juga tertuang pada poin 7.3.2 Permenaker No. 5 tahun 1996 yaitu: “alat dipelihara dan dikalibrasi oleh petugas atau pihak yang berkompeten dan berwenang dari dalam dan/atau dari luar perusahaan”. Kondisi tersebut tidak terpenuhi sesuai dengan OHSAS 18001. Karena untuk pengukuran dan memantau kinerja, perusahaan bekerjasama dengan para mahasiswa yang menginginkan tempat
penelitian di perusahaan. Untuk alat pengukuran kinerja seperti pengukuran lingkungan, fisik dan manusia disediakan peneliti/mahasiswa, sehingga perusahaan tidak membuat dan memelihara prosedur untuk kalibrasi dan pemeliharaan peralatan pengukuran alat. Upaya yang harus dilakukan perusahaan pada kriteria poin ini yaitu: manajemen K3 harus memiliki prosedur pengukuran dan bukti kalibrasi alat pengukuran yang digunakan sebagai bahan acuan manajemen K3 untuk prosedur proses pengukuran dan sebagai arsip K3. Petugas yang melakukan pengukuran juga harus berkompeten dan terlatih melakukan pengukuran dan menganalisa hasilnya. Jika diperlukan hasil pengukuran harus dapat diferivikasi dan divalidasi baik secara internal, eksternal atau pihak berwenang lainnya (Ramli, 2009: 165-166). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Gambaran Penerapan Sistem Manajemen Keselamatam dan Kesehatan Kerja (SMK3) Berdasarkan OHSAS 18001: 2007 pada unit Spinning V PT. Sinar Pantja Djaja (PT. SPD) Di Semarang Tahun 2014”, maka didapatkan simpulan bahwa penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001 di PT. SPD dengan jumlah pencapaian sebanyak 131 poin atau 87,3% dari 150 poin OHSAS 18001. Untuk poin-poin yang tidak sesuai dengan OHSAS 18001 sebesar 10 poin atau setara dengan 6,7%. Dan untuk poin-poin yang tidak terpenuhi berdasarkan OHSAS 18001 sebesar 9 poin atau setara dengan 6%. Sehingga, berdasarkan penilaian penerapan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001 pada PT. SPD Semarang termasuk dalam kategori perusahaan dengan tingkat penilaian penerapan baik atau setara dengan perolehan sertifikat bendera emas, walaupun PT. SPD Semarang belum pernah melakukan audit SMK3 sertifikat bendera emas.
29
Korry Apriandi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.05 Tahun 1996, Penerapan Sistem Manajemen Keselamatandan Kesehatan Kerja, diakses tanggal 13 februari 2014, (http://datahukum.pnri.go.id/index.php?opti on=com_phocadownload&view=category&d ownload=1814:ppno50th2012&id=32:tahun2012&Itemid=28&start=40). Ramli, Soehatman, 2010, Pedoman Praktis Manajemen Resiko dalam Perspektif K3, Dian Rakyat, Jakarta. ----------------------, 2009, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001, Dian Rakyat, Jakarta. Sahab MS, Syukri, 1997, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, PT. Pustaka Binamana Pressindo, Jakarta. Suryadani, Kecelakaan Kerja, senin 12 Maret 2012, diakses tanggal 27 November 2013, (http://m.jpnn.com.news.php?id=120325). Tarwaka, 2008, Keselamatn Dan Kesehatan Kerja, Harapan Press, Surakarta. Yulianti, Indah, 2006, Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3) Dengan Standar Ohsas 18001 Di PT Bina Guna Kimia (AN FMC Joint Venture Company) Ungaran. Skripsi, Universitas Diponegoro Semarang.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono, M. Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Dr. dr. Oktia Woro KH, M.Kes, dosen pembimbing Evi Widowati, SKM, M.Kes, serta seluruh responden dan semua anggota yang terlibat dalam penelitian ini DAFTAR PUSTAKA Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.Kep.186/Men/1999 Tentang Unit Penanggulangan Kebakaran Ditempat Kerja. Maharani P, 2012, Evaluasi Penerapan SMK3 Berdasarkan PP NO. 50 Tahun 2012 mengenai Self Behavior Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja Pada PT. Coca Cola Amatil Indonesia Di Semarang. Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Merita, 2014, Rekapitulasi Data Kecelakaan Kerja Pada PT. SPD Semarang. Notoadmojo, Sukidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. OHSAS 18001: 2007, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, diakses tanggal 12 februari 2014.
30
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN PRAKTIK KADER JUMANTIK DALAM PSN DBD DI KELURAHAN SAMPANGAN SEMARANG Nurul Rezania , Oktia Woro Kasmini Handayani Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima November 2014 Disetujui November 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan desain Cross sectional. Sampel berjumlah 49 kader jumantik tingkat RT di wilayah Kelurahan Sampangan yang diambil dengan teknik Total samples. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan lembar pernyataan warga desa. Analisis data menggunakan uji Chi square dan uji Fisher. Hasil penelitian menunjukan variabel yang berhubungan adalah lama tugas (p value =0,012). Variabel yang tidak berhubungan adalah umur (p value =0,665), tingkat pendidikan (p value=0,492), status pekerjaan (p value=0,287), pendapatan perkapita keluarga (p value= 1,000), cara menjadi kader (p value=0,278), pelatihan (p value= 0,760), dan pengetahuan (p value=0,363). Saran yang diajukan adalah meningkatkan koordinasi dan pertemuan rutin dengan kader jumantik agar tetap solid bagi puskesmas, memberikan reward atas kinerja jumantik bagi Dinas Kesehatan.
________________ Keywords: Karakteristik individu; kader jumantik; praktik PSN; DBD ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of this study was to determine the relationship between the characteristics of individuals with jumantik cadres practices in dengue PSN in the Sampangan Village. This research is explanatory research using cross sectional design. Samples numbered 49 in the RT-level cadres jumantik Urban Village Sampangan taken with samples Total Samples techniques. The instrument used was a questionnaire sheet and statement of village resident. Data were analyzed using Chi square test and Fisher's exact test. The results showed that variables relationship is long task (p value = 0.012). There were no relationship between variables age (p value = 0.665), education level (p value = 0.492), employment status (p value = 0.287), per capita family income (p value = 1), how to become a cadre of (p value = 0.278), training (p value = 0.760), and knowledge (p value = 0.363). Suggestions is to improve coordination and regular meetings with the cadre of jumantic for healthy center, give reward for jumantic of cadre for healthy service.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
31
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
PENDAHULUAN berhasil secara keseluruhan, sehingga penyakit ini masih endemis di berbagai daerah. Salah satu upaya yang dianggap tepat dalam pencegahan dan pemberantasan DBD adalah melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD). Dalam upaya PSN DBD, pemerintah memerlukan peran serta masyarakat. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam PSN DBD maka diperlukan adanya peran aktif juru pemantau jentik (jumantik), yaitu kelompok kerja kegiatan pemberantasan penyakit DBD di tingkat desa. Tugas dan tanggung jawab seorang jumantik dalam PSN DBD adalah membuat rencana kunjungan rumah, PJR, penyuluhan PSN DBD, mencatat dan melaporkan hasil PJR, melakukan pemantauan wilayah bersama supervisor. Kegiatan jumantik bertujuan untuk menurunkan angka kepadatan nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes aegypti) dan jentiknya dengan cara menggerakkan masyarakat dalam PSN DBD, sehingga nantinya dapat menekan angka kesakitan DBD (Dinkes Prov Jateng, 2012: 29; DepKes RI, 2010b : 1; Perda Kota Semarang No. 5 tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue; Depkes RI, 2006: 3, 6). Praktik pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai kader jumantik dalam PSN DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmojo S (2003) perilaku kesehatan (praktik) terbentuk berdasarkan 3 faktor, yaitu (1) faktor predisposing yang terwujud dalam sikap, motivasi, serta beberapa karakteristik individu kader jumantik, (2) faktor enabling yang terwujud dalam insentif , ketersediaan informasi, (3) faktor reinforcing yang terwujud dalam hal dukungan instansi dan keluarga dalam melaksanakan PSN DBD 3M Plus. Pada penelitian ini faktor yang akan diteliti yaitu faktor predisposing yang difokuskan pada karakteristik individu, yaitu meliputi umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan perkapita keluarga, lama tugas, cara pemilihan kader, pelatihan dan tingkat
Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat. Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (DepKes RI, 2010a: 1; Sucipto CD, 2011: 164). Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, sejak tahun 1968 - 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010:1). Pada tahun 2012, Provinsi Jawa Tengah masuk kedalam peringkat 3 besar dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia. Sementara itu sejak tahun 2008-2013 Kota Semarang selalu masuk peringkat 3 besar dengan angka tertinggi kasus DBD untuk tingkat Jawa Tengah (Depkes RI, 2006: 1; Kemenkes RI, 2012:114;Laeis, 2014). Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, pada tahun 2013, Kota Semarang mengalami peningkatan kasus DBD dari tahun sebelumnya, yaitu dari 1.250 kasus (IR= 70,90/100.000 penduduk) meningkat menjadi 2.364 kasus (IR = 134,09/100.000 penduduk). Kecamatan Gajahmungkur merupakan salah satu kecamatan di Semarang yang memiliki kategori endemis (Wibisono, 2014). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang, pada tahun 2013, Kecamatan Gajahmungkur yang terdiri dari 8 kelurahan yaitu Kelurahan Sampangan, Bendan Ngisor, Bendan Duwur, Gajahmungkur, Lempongsari, Petompon, Bendungan dan Karangrejo. Kelurahan Sampangan menempati angka IR tertinggi se Kecamatan Gajahmungkur sekaligus tertinggi se Kota Semarang. Penyebab tingginya angka kesakitan DBD salah satunya dikarenakan upaya pencegahan dan pemberantasan DBD di Indonesia belum
32
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
pengetahuan. Beberapa hasil penelitian menyatakan beberapa karakteristik individu merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja kader, namun beberapa hasil penelitian lain menyatakan beberapa karakteristik tersebut tidak mempengaruhi kinerja kader. Berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini penulis mengambil fokus penelitian mengenai karakteristik individu. Alasan pemilihan fokus penelitian, karena dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada faktor karakteristik individu menunjukkan hasil yang bertentangan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang praktik kader jumantik yang dikaji dari karakteristik individunya, maka penulis mengambil judul penelitian “Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Praktik Kader Jumantik dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur Semarang Tahun 2013)”.
suatu pernyataan yang akan diisi oleh warga di wilayah kerja kader jumantik RT bertugas, lembar ini berguna untuk membuktikan apakah kader jumantik benar-benar melaksanakan tugas PSN DBD di wilayahnya. Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan uji validitas kuesioner pada kader jumantik di wilayah Kelurahan Lempongsari dengan 20 responden. Pertanyaan yang dinyatakan valid digunakan dalam penelitian, sedangkan pertanyaan yang tidak valid tidak digunakan dalam penelitian ini. Uji reliabilitas menyatakan kuesioner dinyatakan reliabel. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan teknik analisis univariat dan analisis bivariat kemudian diuji menggunakan uji Chi square, namun bila tidak memenuhi syarat maka menggunakan uji Fisher. Analisis univariat dilakukan untuk melihat faktor karakteristik individu kader jumantik di kelurahan Sampangan, dengan mengetahui distribusi frekuensi masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel dependen, sehingga dapat diketahui deskripsi masing-masing variabel. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen yang diteliti adalah karakteristik individu yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan perkapita keluarga, lama tugas, cara menjadi kader, pelatihan PSN DBD, dan pengetahuan PSN DBD. Sedangkan variabel dependen adalah praktik dalam PSN DBD. Data yang telah dikumpulkan dilakukan pengkategorian dengan memberi kode angka pada setiap variabel untuk memudahkan analisa data. Untuk variabel independen terdiri dari 8 subvariabel, antara lain: variabel umur diberi skor 1 bila umur kurang dari 35 tahun (≤ 35) dan diberi skor 0 bila umur lebih dari 35 tahun (>35); untuk variabel tingkat pendidikan diberi skor 1 bila lulus SMA atau lebih (≥SMA), dan diberi skor 0 bila berpendidikan kurang dari SMA; untuk status pekerjaan diberi skor 1 bila menjawab “Tidak” memiliki pekerjaan, dan diberi skor 0 bila menjawab “Ya” memiliki
METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian Explanatory Research (penelitian penjelasan) dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan di wilayah Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur Semarang, yang terdiri dari 7 RW dan 55 RT. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader jumantik tingkat RT di wilayah Kelurahan Sampangan yang berjumlah 55 orang. Sampel dalam penelitian adalah semua kader jumantik RT di Kelurahan Sampangan dan teknik yang digunakan dalam pengambilan sampelnya adalah Total Sampling. Dari 55 sampel terdapat 49 kader yang diteliti, 2 kader tidak berada di lokasi penelitian dan 4 kader tidak bersedia untuk diwawancarai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terpimpin dengan menggunakan alat bantu kuesioner dan lembar pernyataan warga. Kuesioner digunakan untuk mengukur karakteristik individu dan praktik kader, sedangkan lembar pernyataan warga merupakan
33
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
pekerjaan; untuk pendapatan perkapita keluarga diberi skor 1 bila memiliki pendapatan perkapita lebih dari Rp.271.626, dan diberi skor 0 bila memiliki pendapatan perkapita kurang dari Rp.271.626; untuk lama tugas diberi skor 1 bila memiliki lama tugas lebih dari 5 tahun, dan diberi skor 0 bila memiliki lama tugas kurang dari 5 tahun; untuk cara menjadi kader diberi skor 1 bila menjawab “atas kemauan sendiri” dan diberi skor 0 bila “dipilih”; pelatihan PSN DBD diberi skor 1 bila “pernah”mengikuti pelatihan dan diberi skor 0 bila “tidak pernah” mengikuti pelatihan; tingkat pengetahuan diberi skor 1 bila jawaban benar, dan diberi skor 0 bila jawaban salah. Sedangkan variabel dependen yaitu praktik PSN DBD terdiri dari 3 kategori penilaian yaitu diberi skor 2 bila menjawab “selalu”, skor 1 bila menjawab “ kadangkadang”, dan skor 0 bila menjawab “tidak pernah”.
jumantik memiliki pengetahuan baik tentang PSN DBD dengan persentase 89,80%. Untuk praktik PSN DBD sebagian besar jumantik memiliki praktik baik dengan persentase 61,22%. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis Bivariat Analisis bivariat ini menggunakan uji Chi Square, namun bila tidak memenuhi syarat menggunakan uji Fisher. Uji Chi square dan Fisher dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat variabel yang berhubungan dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD adalah variabel lama tugas karena nilai p value < 0,05. Variabel yang tidak berhubungan dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD adalah umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan perkapita, cara menjadi kader, pelatihan PSN DBD, dan pengetahuan PSN DBD. Tabel 2 menunjukkan hasil uji Chi square dan Fisher.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Deskripsi variabel meliputi umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan perkapita lama tugas, cara menjadi kader, pelatihan PSN DBD, pengetahuan PSN DBD dan praktik PSN DBD. Berdasarkan hasil univariat sebagian besar jumantik memiliki umur lebih dari 35 tahun dengan persentase 87,76% . Untuk tingkat pendidikan sebagian besar jumantik memiliki tingkat pendidikan tamat SMA atau lebih dengan persentase 77,55%. Untuk status pekerjaan sebagian besar jumantik berstatus tidak bekerja dengan persentase 67,35%. Untuk pendapatan perkapita sebagian besar jumantik memiliki pendapatan lebih dari Rp.271.626 dengan persentase 81,63%. Untuk lama tugas sebagian besar jumantik memiliki lama tugas kurang dari 5 tahun dengan persentase 63,30%. Untuk cara menjadi kader sebagian besar jumantik berkategori “dipilih” dengan persentase 79,60%. Untuk pelatihan PSN DBD sebagian jumantik pernah mengikuti pelatihan dengan persentase 73,47%. Untuk Pengetahuan sebagian besar
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu dan Praktik Kader Jumantik Karakteristik Kategori Jumlah ≤ 35 tahun 6 Umur >35 tahun 43 < SMA 11 T.Pendidikan ≥ SMA 38 Bekerja 16 Status Pekerjaan Tdk bekerja 33 ≤ 271.626 9 Pendapatan > 271.626 40 ≤ 5 tahun 32 Lama Tugas >5 tahun 17 Dipilih 39 Cara Menjadi Kemauan Kader 10 sendiri Pernah 36 Pelatihan Tidak PSN 13 Pernah Baik 44 Pengetahuan Buruk 5
34
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Praktik PSN DBD
Baik Buruk
Meskipun secara statistik memperlihatkan bahwa kader jumantik yang berada pada kelompok umur lebih dari 35 tahun lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan kader yang berada pada umur kurang dari 35 tahun. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian RI Bay (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kinerja jumantik.
30 19
Tabel 2. Hasil Uji varibel karakteristik individu kader jumantik dengan praktik PSN DBD di Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur Karakteristik Individu Umur
Praktik PSN DBD
p value = > 0,05) Tingkat Pendidikan p value = > 0,05) p value = Status Pekerjaan > 0,05) p value = Pendapatan perkapita > 0,05) p value = Lama tugas < 0,05)* Cara menjadi kader p value = > 0,05) p value = Pelatihan PSN DBD > 0,05) p value = Pengetahuan PSN DBD > 0,05) Keterangan : (*) ada hubungan
Tingkat Pendidikan 0,665 (p value Berdasarkan hasil analisis bivariat antara tingkat pendidikan dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 11 orang yang berada pada kelompok kader berpendidikan kurang dari SMA terdapat 7 orang (63,6%) dengan praktik baik, sedangkan dari 38 orang yang berada pada kelompok kader yang berpendidikan SMA atau lebih terdapat 23 orang (60,5%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Fisher didapatkan p value= 0,492, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Kader jumantik di Kelurahan Sampangan yang memiliki tingkat pendidikan kurang maupun lebih dari SMA tidak mempengaruhi partisipasinya untuk menjalankan tugas atau tanggung jawabnya dalam PSN DBD. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian RI Bay (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kinerja jumantik.
1,000 (p value 0,660 (p value 0,451 (p value 0,012 (p value 0,066 (p value 0,760 (p value 0,363 (p value
Umur Berdasarkan hasil analisis bivariat antara karakteristik umur dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 43 orang yang berada pada kelompok umur lebih dari 35 tahun terdapat 27 orang (62,8%) dengan praktik baik, sedangkan dari 6 orang pada kelompok umur kurang dari 35 tahun terdapat 3 orang (50%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hal ini disebabkan pada rentang umur tersebut tergolong pada usia yang telah lama menekuni profesinya sebagai kader jumantik. Hasil uji statistik dengan menggunakan Fisher uji didapatkan p value= 0,665, jadi dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan.
Status Pekerjaan Berdasarkan hasil analisis bivariat antara karakteristik status pekerjaan dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 16 orang yang berada pada kelompok dengan status bekerja terdapat 11 orang (68,75%) dengan praktik baik, sedangkan dari 33 orang pada kelompok yang berstatus tidak bekerja terdapat 19 orang (57,6%) dengan praktik baik dalam PSN DBD.
35
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi square didapatkan p value= 0,287, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara status pekerjaa dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Hal ini dikarenakan kader jumantik di Kelurahan Sampangan banyak yang bekerja non formal (tidak terikat oleh suatu instansi) seperti wirausahawan, pedagang, dan buruh, untuk memenuhi tugas sebagai kader jumantik seperti kegiatan PJR mereka lakukan pada sore hari, sehingga mereka memiliki waktu untuk melakukan tugasnya dalam PSN DBD. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Indah Trisnaniyanti, dkk (2010) yang menyatakan bahwa keaktifan tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan dari kader.
(46,9%) dengan praktik baik, sedangkan dari 17 orang pada kelompok dengan lama tugas lebih dari 5 tahun terdapat 15 orang (88,2%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hal ini disebabkan karena semakin lama seseorang bekerja sebagai kader jumantik maka ketrampilan dalam melaksanakan tugas sebagai kader jumantik akan semakin meningkat. Sedangkan persentase praktik kader jumantik dalam PSN DBD yang tergolong buruk paling banyak terdapat di kelompok kader dengan lama tugas kurang dari 5 tahun yaitu sebanyak 17 orang (53,1%), hal ini disebabkan karena pengalaman kader yang belum cukup terhadap tugas atau tanggung jawab sebagai kader jumantik dalam PSN DBD. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi square didapatkan p value= 0,012, yang berarti bahwa terdapat hubungan antara lama tugas dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Nora RA,dkk (2011) yang menyatakan ada hubungan antara lama tugas dengan praktik kader. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Gibson (2006) yang menyatakan lama kerja menjadi salah satu variabel yang memengaruhi kinerja seseorang.
Pendapatan Perkapita Keluarga Berdasarkan hasil analisis bivariat antara karakteristik pendapatan perkapita keluarga dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 9 orang yang berada pada kelompok dengan pendapatan perkapitanya kurang dari Rp.271.626 terdapat 7 orang (77,8%) dengan praktik baik, sedangkan dari 40 orang pada kelompok dengan pendapatan perkapitanya lebih dari Rp. 271.626 terdapat 23 orang (57,5%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Fisher didapatkan p value= 1,000, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan perkapita keluarga dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Nuryanti Erni (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan dengan praktik kader.
Cara menjadi Kader Berdasarkan hasil analisis bivariat antara cara menjadi kader dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 39 orang yang berada pada kelompok cara menjadi kadernya “dipilih” terdapat 21 orang (53,9%) dengan praktik baik, sedangkan dari 10 orang pada kelompok cara menjadi kadernya “kemauan sendiri” terdapat 9 orang (90,0%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hal ini disebabkan karena proses seseorang menjadi kader jumantik dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan diri atau atas kemauan sendiri bersedia untuk menjadi kader jumantik, sehingga kader jumantik akan lebih bertanggung jawab dan tanpa beban dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan persentase praktik kader jumantik dalam PSN DBD yang
Lama Tugas Berdasarkan hasil analisis bivariat antara lama tugas dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 32 orang yang berada pada kelompok dengan lama tugas kurang dari 5 tahun terdapat 15 orang
36
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
tergolong buruk paling banyak terdapat di kelompok kader yang cara menjadi kadernya “dipilih” yaitu sebanyak 18 orang (46,2%), hal ini disebabkan karena proses menjadi kadernya karena ditunjuk atau bukan karena faktor kesadaran diri sehingga dalam menjalankan tugas merasa terbebani atau terpaksa, maka cenderung kader tidak aktif. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Fisher didapatkan p value= 0,760, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara cara menjadi kader dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan.
tanggung jawab sebagai kader jumantik cenderung akan meningkatkan kualitas praktiknya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut. Sedangkan persentase praktik kader jumantik dalam PSN DBD yang tergolong buruk paling banyak terdapat di kelompok kader yang memiliki pengetahuan buruk tentang PSN DBD yaitu sebanyak 3 orang (60,0%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Fisher didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan tentang PSN DBD dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Hal ini terjadi karena praktik kader jumantik dalam PSN DBD tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan saja, hal lain yang dapat mempengaruhi praktik PSN DBD yaitu lama tugas dari kader jumantik tersebut. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Fuji F dan Hasanudin (2012) yang menyatakan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik kader jumantik
Pelatihan PSN DBD Berdasarkan hasil analisis bivariat antara pelatihan PSN DBD dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 36 orang yang pernah mengikuti pelatihan PSN DBD terdapat 23 orang (63,9%) dengan praktik baik, sedangkan dari 13 orang pada kelompok kader yang tidak pernah mengikuti pelatihan PSN DBD terdapat 7 orang (53,8%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi square didapatkan p value= 0,363, yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara pelatihan PSN DBD dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Ulya (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan antara pelatihan dengan praktik kader jumantik.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara karakteristik individu dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD di Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur Semarang, dapat disimpulkan bahwa lama tugas (p value=0,012) merupakan faktor yang berhubungan dengan kinerja kader jumantik dalam PSN DBD, sedangkan umur (p value=0,665), tingkat pendidikan (p value=1,000), status pekerjaan (p value=0,660), pendapatan perkapita (p value=0,451), cara menjadi kader (p value=0,066), pelatihan (p value=0,760), dan pengetahuan (p value=(0,363) merupakan faktor yang tidak berhubungan dengan praktik kader dalam PSN DBD.
Pengetahuan tentang PSN DBD Berdasarkan hasil analisis bivariat antara pengetahuan tentang PSN DBD dengan praktik kader jumantik dalam PSN DBD didapatkan bahwa dari 5 orang yang berada pada kelompok dengan pengetahuan buruk tentang PSN DBD terdapat 2 orang (40,0%) dengan praktik baik, sedangkan dari 44 orang pada kelompok dengan pengetahuan baik tentang PSN DBD terdapat 28 orang (63,6%) dengan praktik baik dalam PSN DBD. Hal ini disebabkan karena pengetahuan yang baik tentang tugas dan
SARAN Meningkatkan koordinasi dan pertemuan rutin dengan kader jumantik agar kader jumantik tetap solid, selain itu memberikan reward atau penghargaan atas kinerja kader
37
Nurul Rezania / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015) hlm. 132-137, diakses 4 Juni 2014, (http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3 465/2992). Kemenkes RI, 2010, Buletin Jendela Epidemiologi : Demam Berdarah Dengue, Kemenkes RI: Jakarta. ___________, 2012, Profil Bagian Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2012, (Online), diunduh 16 Juni 2014, (http://www.slideshare.net/budi_hermawan_ a/profil-pppl2012 Laeis, Zuhdiar. Lima Tahun, Kota Semarang terbanyak kasus DBD, Wed 21 Peb 2014, diakses tanggal 20 Mei 2014, (http://www.antarajateng.com/detail/index. php?id=92806). Nora RA, dkk, 2011, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Kader Posyandu Balita Dalam Pelaksanaan Posyandu di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Tahun 2011, (Online), diunduh pada tanggal 9 Maret 2014, (https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jur_bid/ article/view/559/609). Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar, Rineka Cipta, Jakarta. Nuryanti, Erni, 2013, Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk di Masyarakat, Universitas Negari Semarang , Kemas, (Online), Volume 9, No 1, Juli 2013, hlm. 15-23. (http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ke mas). Perda Kota Semarang No. 5, 2010, Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue, diunduh 16 Juni 2014, (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/l d/2010/kotasemarang-5-2010.pdf). R I Bay, Aprinianis, 2012, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Jumantik di Wilayah Kerja Puskesmas Jurang Manggu dan Puskesmas Pondok Aren Kota Tangerang Selatan, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta. Sucipto, CD, 2011, Vektor Penyakit Tropis, Gosyen Publishing , Yogyakarta. Ulya, Ari Luthfiana, 2009, Kinerja Jumantik Kelurahan Cilandak Tahun 2008, Skripsi, (Online), Universitas Indonesia, diunduh tanggal 23 Mei 2014, (http://lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak125859.pdf).
jumantik, semisal dengan memberikan piagam penghargaan dari walikota, segam jumantik, atau memberi tunjangan kesehatan, sehingga kader jumantik merasa dihargai dan nantinya dapat meningkatkan semangat dari kader jumantik untuk tetap menjabat dan melaksanakan tugas sebagai kader jumantik. UCAPAN TERIMA KASIH 1. 2.
3.
Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr. H. Harry Pramono, M.Si. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat sekaligus dosen pembimbing skripsi Dr. dr.Oktia Woro K.H, M.Kes. Seluruh kader jumantik RT di wilayah Kelurahan Sampangan yang telah terlibat dalam penelitian inisiswa kelas V dan VI di Sekolah Dasar Negeri Di Kecamatan Batang Kabupaten Batang atas kerja samanya selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA DepKes RI, 2006, Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik), Ditjen P2PL, Jakarta. _________, 2010a, Surveilans Epidemiologi Demam Berdarah Dengue, Ditjen P2PL, Jakarta. _________, 2010b, Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue, Ditjen P2PL, Jakarta. Dinkes Prov Jateng, 2013, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Fuji Zulviana dan Hasanuddin Ishak, 2012, Hubungan Pertisipasi Jumantik dengan Angka Bebas Jumantik (ABJ) di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Kecamatan Rappocini, Vol. 8, No. 4, Oktober 2012, hal 213-218, diakses tanggal 22 Mei 2014, (http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han dle/123456789/5412/Vol%208%20No%204 %20ahun%202012%20%28Lengkap%29.PDF ?sequence=1). Gibson, et al, 2006, Organisasi (Terjemahan), edisi ke lima, Erlangga, Jakarta. Indah Trisnaniyanti, dkk, 2010, Persepsi dan Aktivitas Kader PSN DBD Terhadap Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, (Online), Volume 26, No 3, September 2010,
38
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA SHIFT KERJA DENGAN KELELAHAN KERJA SUBYEKTIF PADA PENJAGA WARNET DI KELURAHAN SEKARAN Muvarichin Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima November 2014 Disetujui November 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet sekelurahan sekaran. Shift kerja dapat mempengaruhi berbagai perubahan fisik dan psikologis tubuh manusia diantaranya kelelahan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja penjaga warnet, diketahui 100 % pekerja mengalami kelelahan kerja subyektif. Artinya, dari 10 sampel diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Jenis penelitian ini adalah explanatory research, dengan metode penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah 33 orang, diambil dengan teknik total sampling. Instrumen penelitian berupa kuesioner, timbangan injak, dan microtoice. Analisis data menggunakan Fisher’s Exact Test dengan α=0,05. Hasil penelitian ini tidak ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subjektif pada penjaga warnet di Kelurahan Sekaran. Berdasarkan hasil penelitian tersebut saran yang diajukan : (1) kepada pekerja, dapat selalu menerapkan pola Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang baik, (2) bagi pemilik, lebih memperhatikan lagi pengaturan jam kerja dan istirahat penjaga warnet, (3) bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian dengan mengubah jenis atau variabel penelitiannya
________________ Keywords: Shift Kerja, Kelelahan Kerja Subyektif, Penjaga Warnet ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The purpose of this research is to determine the relationship between work shift and subjective fatigue of work at internet cafe operators in Sekaran. Shift work can affect variety of physical and psychological changes in the people including fatigue. Based on the result preliminary observation conducted on ten workers in internet cafe, are known to 100% of workers experiencing subjective fatigue. Which means, from 10 samples known to all workers experiencing fatigue of work. The research type is explanatory, with research method of cross sectional. The population of this research was 33 people, and by using the total sampling techniques. Research instruments such as questionneirs, weight scale, and microtoice. The data analysis was done using Fisher’s Exact Test with α =5%. The conclude of the research is there is not relation between work shift and subjective fatigue of work at internet cafe operators in Sekaran. Based on these result of the research, the suggestions are submitted (1) to employees can always apply the occupational health and safety (K3) well. (2) for owner, more respect to setting work hours and breaks for internet cafe operators,(3) for further researchers, was to try modifyng research by changing the type or the variables of research.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
8
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Munculnya media sosial semacam twitter, facebook, dan blog telah memperkecil jarak, untuk berkomunikasi saat ini orang tidak perlu lagi bertatap muka fisik. Geliat pertumbuhan pengguna internet di dunia sekarang ini pun meningkat secara pasti. Tidak hanya aktivitas informasi, dan hiburan atau aktivitas bekerja, aktivitas perbankan hingga transaksi jual-beli didunia maya pun mulai menggeser peranan aktivitas perbankan dan transaksi jual beli secara konvensional. Bidang Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) telah mengalami perkembangan pesat dewasa ini, khususnya audiovisual, telepon seluler, dan komputer. Sebagai alat bantu yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, komputer telah mengubah cara hidup masyarakat dan banyak mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Era globalisasi telah memberikan banyak dampak, menyongsong era global ini, Universitas Negeri Semarang (Unnes) pun telah menggunakan sistem yang terkomputerasi. Semua sistem pendidikan dibuat menggunakan sistem komputerisasi dan online, yang dilakukan pada tingkat fakultas maupun tingkat jurusan dan dalam pelaksanaannya dapat mempercepat akses data mahasiswa. Universitas Negeri Semarang (Unnes) termasuk universitas unggulan dan favorit dengan jargonnya sehat, unggul, dan sejahtera (Sutera) merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang berlokasi di Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Jumlah prodi Unnes, mahasiswa, dan dosen yang besar diperkirakan kecenderungan terus-menerus meningkat dimasa yang mendatang (BPTIK, 2010:3). Kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) terletak di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang, tepatnya berada di Kelurahan Sekaran. Dampak keberadaan kampus membuat berbagai ragam jenis usaha dan bisnis muncul di sekitar kawasan lingkungan kampus, berbagai macam ragam usaha tersebut, antara lain seperti: kantor, warung makan, toko/kios, foto copy, toko swalayan, warnet, bengkel,, salon, penjahit, dokter/klinik, toko bangunan, toko olahraga, kios majalah, rental motor,
PENDAHULUAN Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, Indonesia merupakan salah satu dari negara besar di dunia yang memiliki jumlah angkatan kerja nomor 4 di dunia dengan jumlah 111,48 juta jiwa dengan jumlah penduduk usia kerja (penduduk diatas 15 tahun) 165,6 juta orang. Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia telah memberikan kontribusi besar bagi dunia dalam bidang ketenagakerjaan di tingkat Internasional (Depkes, 2009:1). Hal ini membuat Negara Indonesia merupakan sumber tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan tenaga kerja di tingkat dunia. Namun kondisi ini juga memiliki potensi masalah yang relatif besar, termasuk didalamnya mengenai masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Beberapa komitmen global baik yang berskala bilateral maupun multilateral telah pula mengikat bangsa Indonesia untuk memenuhi standar K3(Depkes RI, 2008:4). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu masalah penting dalam setiap proses operasional, baik disektor tradisional maupun modern. Dalam era perdagangan bebas, Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh suatu industri (Depkes, 2009:1). Tidak dapat dielakan lagi, kemajuan dan kecanggihan iptek telah membawa dampak positif bagi perkembangan diberbagai sektor, baik sektor industri maupun sektor pendidikan. Industrialisasi menempati posisi sentral dalam perekonomian masyarakat modern dan merupakan salah satu roda perekonomian negara khususnya bagi negara berkembang, industri sangat penting untuk memperluas lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Internet merupakan teknologi yang sangat membantu, dengan adanya internet sekarang ini dapat diketahui dengan cepat peristiwa atau kejadian yang terjadi dibelahan dunia lain. TIK saat ini memang menjadi salah satu kebutuhan manusia yang penting.
9
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
persewaan kaset, toko buku, pompa/kios bensin, klinik gigi, percetakan/sablon, laundry. Salah satu usaha & binis tersebut diantaranya adalah warung internet (warnet). Menurut anggapan pemilik (pengusaha), omset bisnis warnet ini menjanjikan dan untuk kedepannya dinilai prospektif dalam masa mendatang. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang menjadi alasan menjamurnya warung internet (Warnet) dan Hot Spot Area (Feri Sulianta, 2007:2). Hasil observasi pendahuluan, ada 10 warung internet serta game online di Kelurahan Sekaran (Kawasan Banaran dan Sekaran). Sebagian besar pengguna internet adalah anak kecil, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Tujuan dan perilakunya pun sangat beragam, menurut Feri Sulianta (2007:3), umumnya orang dewasa menggunakan internet sebagai bagian dari pekerjaan, tugas serta untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan, sedangkan anak-anak atau remaja mengakses internet untuk mendengarkan musik, bermain game, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Dari hasil observasi diketahui beberapa dari pemilik warnet sekaligus juga sebagai penjaga warnet. Berdasarkan United Electrical (UE) News Health and Safety (1998) seperti dikutip dalam Wijaya dkk, (2006:236), menyatakan bahwa dalam jangka waktu yang lama shift kerja dapat mengakibatkan gangguan pencernaan, gangguan tidur, dan kelelahan. Masalah utama dari sisi faal tubuh terhadap penggunaan shift kerja adalah circadian rhytem individu yang sulit dirubah. Shift kerja dapat mempengaruhi berbagai perubahan fisik dan psikologis tubuh manusia diantaranya kelelahan. Menurut Suma’mur P. K. (1996:190) faktor penyebab kelelahan kerja umumnya berkaitan dengan sifat pekerjaan yang monoton (kurang bervariasi), intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi, keadaan lingkungan kerja (cuaca kerja, radiasi, pencahayaan, dan kebisingan), sebab-sebab mental (faktor psikologis), penyakit dan gizi. Jadi kelelahan merupakan hasil dari berbagai ketegangan yang dialami oleh tubuh manusia sehari-hari. Pemulihannya dapat dengan
istirahat ditempat kerja atau dengan bentuk istirahat lainnya. Kelelahan kerja adalah gejala yang berhubungan dengan penurunan efisiensi kerja, keterampilan, kebosanan, serta peningkatan kecemasan. Gejala kelelahan kerja secara subyektif antara lain terlihat gugup, tidak berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian, enggan menatap mata orang lain, tidak kuat lagi berjalan. Berdasarkan observasi pada warnet Sekaran, diketahui sebagian dari penjaga warnet adalah mahasiswa, beberapa pemilik warnet juga sekaligus sebagai operator (penjaga) warnet, para pemilik warnet beranggapan omset bisnis warnet ini menjanjikan dan dinilai prospektif untuk masa mendatang. Sistem kerjanya tebagi menjadi 2-3 shift kerja, untuk 3 shift kerja antara lain shift pagi (Pkl. 08.0016.00), shift siang (Pkl. 16.00-24.00) dan shift malam (Pkl. 24.00-08.00), pada 2 shift kerja yaitu shift pagi (Pkl. 07.00- 16.00) dan untuk shift malam (Pkl. 17.00-24.00), masing-masing penjaga warnet dapat bekerja antara 7 jam hingga 9 jam. Rata-rata lama kerja operator warnet adalah 8 jam per hari. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 4 operator (penjaga warnet) shift pagi dan 6 operator shift malam, dari 2 orang perempuan dan 8 orang laki-laki, didapatkan semuanya mengalami lelah, artinya dari seluruh responden penjaga warnet diketahui semua pekerja menderita kelelahan. METODE Penelitian ini bersifat kuantitatif dan merupakan studi analitik dengan desain studi cross sectional dimana yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Populasi penelitian ini adalah penjaga warnet sekelurahan sekaran yang berjumlah 33 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua penjaga warnet yang berjumlah 33 orang dari 10 warnet yang berada di kelurahan Sekaran. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling, karena sedikitnya jumlah populasi yang ada pada penelitian ini,
10
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet Kelurahan Sekaran Dalam penelitian ini digunakan uji chi square dan jika tidak memenuhi syarat uji tersebut, maka uji yang dipakai adalah fishers exact test. Syarat uji chi square adalah bila tidak ada sel nilai observed yang bernilai nol dan tidak ada sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5.
sehingga semua anggota populasi menjadi sampel. Variabel independen adalah shift kerja operator penjaga warnet pada warung internet di Kelurahan Sekaran. Variabel dependen adalah kelelahan kerja subyektif. Variabel moderator adalah umur, jenis kelamin, kondisi psikologis, riwayat penyakit, status gizi, sikap kerja, beban kerja, lama kerja, dan lingkungan kerja. Variabel moderator adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat atau memperlemah) hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Sugiyono, 2007:4). Karena sedikitnya populasi dan sampel maka semua variabel yang termasuk kedalam variabel moderator diabaikan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner, timbangan berat badan, dan microtoice. Pengukuran secara langsung dalam penelitian ini yaitu pengukuran status gizi. Perangkat yang digunakan untuk pengukuran status gizi yaitu dengan menggunakan timbangan berat badan dan microtoa. Pengukuran dengan menggunakan KAUPK2 yang disusun oleh Setyawati (1994) untuk mengukur kelelahan kerja subyektif. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research atau penelitian penjelasan yaitu dengan menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis komparasi yaitu untuk menjawab apakah terdapat hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subjektif pada penjaga warnet di Kelurahan Sekaran, untuk mengetahui apakah proporsi operator shift pagi yang mengalami lelah tidak lebih banyak dari proporsi shift malam yang mengalami kelelahan. Pengambilan keputusan dalam penelitian ini, apabila p value lebih kecil dari alpha (0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Ini berarti proporsi penjaga warnet, operator shift pagi yang lelah lebih banyak dari proporsi operator shift malam, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara proporsi responden shift pagi mengalami lelah dengan proporsi shift malam mengalami lelah, yang mana hal ini berarti ada
HASIL DAN PEMBAHASAN Responden dalam penelitian ini yaitu penjaga warnet Kelurahan Sekaran dengan karakteristik individu sebagai berikut: usia sebagian besar berusia 20-24 tahun (69,7 %) berjumlah 23 orang responden,untukjenis kelamin sebanyak 10 orang responden berjenis kelamin wanita (69,7 %) dan untuk jenis kelamin pria (30,3 %) sejumlah 23 responden. Kemudian status gizi, status gizi terbanyak adalah normal sebanyak 26 orang (78,8 %). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1 sampai tabel 3, sebagai berikut dibawah: Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Umur Frekuensi Prosentase (%) (Tahun) (16-19) 8 24,2 (20-24) 23 69,7 (25-29) 1 3,03 (30-34) 1 3,03 Jumlah 33 100 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui sebanyak 24,2% atau 8 orang responden berusia16-19 tahun, untuk usia 20-24 tahun sebanyak 23 responden sebanyak 69,7 %, dan untuk usia 25 sebanyak 1 responden (3,03%) dan usia 30-34 tahun sebanyak 1 orang responden (3,03%). Sebagian besar dari operator penjaga warnet adalah mahasiswa dengan umur 20-24 tahun.
11
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Frekuensi Prosentase (%) Kelamin Perempuan 10 30,3 Laki-laki 23 69.7 Jumlah 33 100
Tabel 4. Hasil Penelitian Distribusi Responden Berdasarkan Shift Kerja Shift Frekuensi Prosentase (%) Kerja Pagi 19 57,6 Malam 14 42,2 Jumlah 33 100
Berdasarkan tabel 2 bisa dilihat sebanyak 69,7% responden atau 23orang berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 10 orang reponden berjenis kelamin perempuan. Sebagian dari lakilaki bekerja pada shift malam.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja shift pagi sebanyak 19 orang (57,6%). Sedangkan responden yang bekerja shift malam sebanyak 14 orang (42,4%).Pengaturanshift kerja, berdasarkan kesepakatan operator penjaga warnet, dan biasanya disesuaikan dengan jadwal kuliah, karena sebagian besar operator (54,5 %) adalah mahasiswa dan juga berada pada tingkat akhir. Jadwal shift akan diperbahrui setiap semester atau 3 bulan sekali bila diperlukan.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan IMT IMT Frekuensi Prosentase (%) Kurus 5 15,1 Normal 26 78,8 Gemuk 2 6,06 Jumlah 33 100
Tabel 5. Hasil Penelitian Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat kelelahan Kelelahan Frekuensi Prosentase (%) Kerja Subyektif Kurang 0 0 Lelah Lelah 31 94 Sangat Lelah 2 6 Jumlah 33 100
Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui untuk indeks massa tubuh (IMT) normal (dengan nilai IMT 18,5-25) sebanyak 26 responden (78,8 %), IMT kurus (dengan nilai IMT <18,5) 5 orang responden (15,1%), dan IMT gemuk (status gizi lebih) ada 2 orang responden (6,06 %). Semua responden yang mempunyai status gizi IMT gemuk adalah lakilaki dan sebagian berada diatas 25 tahun. Penelitian ini tentang hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet sekelurahan sekaran. Subjek dalam penelitian ini adalah penjaga warnet (operator) di Kelurahan Sekaran yang sedang bekerja yaitu 33 responden. Populasi dan sampel dalam penelitian ini sejumlah 33 orang penjaga warnet dari 10 warnet yang ada di Kelurahan Sekaran. Hasil penelitian dalam penelitian ini meliputi analisis univariat yang dilakukan terhadap tiap variabel penelitian dan analisis bivariat yang dipakai untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel bebas dan variabel terikat. Hasil analis univariat sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 5 tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 31 responden (94%) mengalami lelah dan 2 orang responden atau 6% pekerja menderita sangat lelah. Sedangkan untuk kriteria kurang lelah mendapatkan 0 responden, dari sini dapat diketahui bahwa semua penjaga warnet mengalami kelelahan kerja subjektif. Analisis bivariat dipakai untuk mengetahui pengaruh dua variabel yaitu hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat tersebut dapat dilihat pada tabel 6.
12
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 6. Tabulasi Silang antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja Subyektif Shift Kerja Pagi Malam Jumlah
Lelah F 17 14 31
Kelelahan Kerja Subyektif Sangat Lelah % F % 51,52 2 6,06 42,42 0 0 93,94 2 6,06
Berdasar tabel 6, responden shift pagi yang menderita lelah sebanyak 17 orang (51,52%), responden shift pagi yang menderita sangat lelah sebanyak 2 orang (6,06%), sedangkan responden shift malam yang lelah sebanyak 14 orang (45,42%) dan responden shift malam yang sangat lelah 0 atau responden (penjaga warnet) shift malam semua mengalami lelah. Dikarenakan ada nilai expected count yang kurang dari lima (50%) maka tidak layak untuk menggunakan chi square karena tidak memenuhi syarat, oleh karena itu uji yang digunakan adalah uji alternatif yaitu uji fisher, diperoleh nilai p value 0,496 (p< 0,05). Hal ini menunjukan bahwa proporsi responden shift pagi yang mengalami lelah sama dengan proporsi responden shift malam yang mengalami lelah, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet di Kelurahan Sekaran. Pada tahap awal pengujian, uji statistik yang digunakan uji chi square karena variabel merupakan variabel kategorikal tidak berpasangan. Namun uji chi square tidak dapat dilakukan karena tidak memenuhi syarat (ada sel yang kosong). Oleh karena itu dilakukan penggabungan sel yang semula 2x3 menjadi 2x2. Selanjutnya, dilakukan uji chi square untuk tabel 2x2 namun karena tetap tidak memenuhi syarat (nilai frekuensi harapan kurang dari 5) maka dipilihlah uji fisher sebagai alternatif uji chi square. Hasil uji Fisher menunjukan nilai signifikansi (p) sebesar 0,496 (2-sided) dan 0,324 (1-sided). Berdasarkan ketentuan yang berlaku, disebutkan bahwa jika p < 0,05 maka hipotesis
F 19 14 33
Total % 57,58 42,42 100
P Value 0,496
statistik (Ho) ditolak dan hipotesis hubungan (Ha) diterima. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja Subyektif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p (0,496). Berdasarkan hasil uji fisher menunjukan bahwa nilai p (0,496 dan 0,324) > 0,05 maka hipotesis statistik (Ho) ditolak dan hipotesis hubungan (Ha) diterima atau dengan kata lain tidak terdapat perbedaan antara shift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet di Kelurahan Sekaran. Proporsi responden shift pagi yang mengalami lelah tidak lebih banyak daripada proporsi responden shift malam yang mengalami lelah. Hasil ini berbeda dengan penelitian Taufiq Ihsan (2012) yang menyatakan shift kerja memberikan pengaruh terhadap tingkatan kelelahan pekerja. Hal ini juga tidak sesuai dengan teori yang ada, mengatakan bahwa shift dapat mempengaruhi beberapa perubahan fisik dan psikologi tubuh manusia diantaranya adalah kelelahan. Menurut Wijaya, dkk (2006), menyebutkan bahwa shift dapat berperan penting terhadap permasalahan pada manusia yang dapat meluas menjadi ganguan tidur, gangguan fisik dan psikologi, gangguan sosial serta kehidupan keluarga. Disebutkan bahwa dalam jangka waktu yang lama shift kerja dapat menyebabkan gangguan pencernaan, gangguan tidur, dan kelelahan. Menurut hasil penelitian Wijaya, dkk (2006), yang dilakukan pada perawat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta, menunjukan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan kerja pada tiap shift kerja. Pada shift pagi dan shift malam dapat disimpulkan bahwa terdapat
13
Muvarichin / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
perbedaan tingkat kelelahan kerja antar kedua shift, antara shift sore dan shift malam juga terdapat perbedaan tingkat kelelahan kerja. Tingkat kelelahan kerja pada tingkat kelelahan shift pagi lebih rendah daripada shift sore, dan tingkat kelelahan shift sore lebih rendah daripada shift malam. Dalam penelitian ini, proporsi shift pagi dengan shift malam yang mengalami kelelahan adalah sama, adanya hubungan ini lebih disebabkan karena lama kerja operator (penjaga warnet) yang berbeda. Rata-rata lama kerja penjaga warnet adalah 8 jam per hari. Operator shift pagi lebih lama dalam bekerja, bahkan bisa mencapai lebih dari 8 jam, selain itu intensitas kerja operator pada siang hari maupun sore hari lebih dibandingkan dengan malam hari terlihat dari kepadatan pengguna warung internet. Walaupun ditemukan banyak responden penjaga warnet yang mengalami lelah namun ternyata operator komputer termasuk penjaga warnet termasuk kedalam beban kerja ringan, pekerjaan operator (penjaga warnet) di warnet tergolong ringan, akan tetapi banyak faktor yang lain yang perlu turut diteliti, yang juga dapat menyebabkan lelah misal jenis monitor, lama melihat ke arah monitor, dan jumlah kedipan. Kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subyektif. Lelah adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja. Berdasarkan hasil dari penelitian pengukuran kelelahan kerja, yang dilakukan oleh Didik Slamet R (2009) dengan KAUPK2 dapat diketahui bahwa 28,52% responden mengalami pelemahan kegiatan, 32,65% responden mengalami pelemahan motivasi dan 38,83% responden mengalami kelelahan fisik akibat keadaan fisik, dari data tersebut diketahui bahwa prosentase kelelahan fisik akibat keadaan fisik lebih besar daripada pelemahan kegiatan dan pelemahan motivasi. Oleh karena itu masih banyak faktor lainnya yang perlu untuk diteliti dalam kelelahan kerja subyektif penjaga warnet. Kerja malam hari adalah kondisi yang dapat menghambat kemampuan adaptasi
pekerja baik dari aspek biologis maupun sosial, akan tetapi penjaga warnet nampaknya sudah terbiasa dan memang ada beberapa penjaga warnet yang memang senantiasa bekerja di malam hari, sejalan dengan insomnia. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tidak ada hubungan antarashift kerja dengan kelelahan kerja subyektif pada penjaga warnet di Kelurahan Sekaran. UCAPAN TERIMA KASIH 1.
2. 3.
Dosen beserta staf akademisi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Kepala Kesbangpol Kota Semarang atas rekomendasi ijin penelitian yang diberikan. Kepala Kelurahan Sekaran atas ijin penelitian.
DAFTAR PUSTAKA BPTIK, 2010, Rencana Strategis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Semarang: BPTIK Unnes. Depkes RI, 2008, Standar Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar, Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI. Depkes RI, 2009, Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Bagi Pekerja, Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI. Didik Slamet Riyanto, 2009, Hubungan antara Desain Kursi Kerja dan Penerangan dengan Kelelahan Subyektif pada Tenaga Kerja YAKES TELKOM Area Jateng & DIY Tahun 2008, Skripsi: Unnes. Feri Sulianta, 2007, Cyberworld Ethies, yang Perlu Remaja dan Orang Tua Ketahui, Yogyakarta: Andi Publisher. Sugiyono, 2007, Statisik untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta Suma’mur P. K., 1996, Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Gun
14
UJPH4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
Hubungan Praktik Cuci Tangan, Kriteria Pemilihan Warung Makan Langganan dan Sanitasi Warung dengan Kejadian Diare pada Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Endang Trikora,Arum Siwiendrayanti Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima November 2014 Disetujui November 2014 Dipublikasikan Januari 2015
________________ Key words: Hand Washing Practice; Food Stall Choosing Criteria; Sanitation of food stall;Diarrhea ____________________
Abstrak ___________________________________________________________________ Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan praktik cuci tangan, kriteria pemilihan warung makan langganan dan sanitasi warung dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang.Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang masih aktif berjumlah 28.827 mahasiswa. Sampel berjumlah 320 mahasiswa. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan check list. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05).Hasil dari penelitian ini, variabel yang berhubungan dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang adalah kriteria pemilihan warung makan langganan (p=0,028), dan tidak ada hubungan antara praktik cuci tangan mahasiswa (p=0,978), sanitasi warung (p=0,705) dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Selain itu yang diberikan kepada pusat layanan kesehatan UNNES dan puskesmas yaitu memberikan sumber informasi tentang kriteria yang baik untuk diprioritaskan oleh mahasiswa dalam menentukan pemilihan warung makan langganan agar menjadi lebih baik, serta dari puskesmas dapat mengedukasi pemilik warung makan agar dapat memperbaiki sanitasi warung melalui penyuluhan.
Abstract ___________________________________________________________________ Diarrhea is an endemic disease in Indonesia and also can cause Extraordinary Occurance (KLB) which often lead to death. This study has a purpose to determine the relationship of hand-washing practices, food stall choosing criteria and sanitation of food stall with diarrhea on students of Semarang State University. This research was an analytical observational study with cross-sectional design. The population in this study were 28,827 active students of the Semarang State University. The samples were 320 students. The instruments were questionnaire and check list. Data analysis was performed using univariate and bivariate (chi square test with α = 0.05). The results of this study were variables related to the incidence of diarrhea in students of Semarang State University were food stall choosing criteria (p = 0.028), and there was no relationship between students hand washing practices (p = 0,705), sanitation of food stall (p = 0,978) with the incidence of diarrhea in students of Semarang State University. The suggestion can be given to UNNES health care centerand medical center were giving health education about good criteria to choose food stall for student. Moreover, medical center can educate the owner of food stall to improve sanitation by the conseling
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 Email:
[email protected]
ISSN 2252-6528
39
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
tahun 2012 jumlah kasus diare dewasa sebanyak 266, pada balita sebanyak 98. Sedangkan pada rekapitulasi laporan penyakit diare di kota Semarang tahun 2013 jumlah penderita diare di Puskesmas Sekaran tertinggi yaitu pada golongan umur > 15 tahun yaitu sebanyak 205, sedangkan pada golongan umur < 1 tahun sebanyak 12, 1- 4 tahun sebanyak 48, > 5 tahun sebanyak 41. Sedangkan berdasarkan pembagian wilayah kerja puskesmas data dari bulan januari sampai dengan april 2013 Desa Ngijo golongan umur 1-4 tahun sebanyak 2, >15 tahun sebanyak 2, Desa Kalisegoro golongan >15 tahun sebanyak 3, Desa Patemon golongan umur 1-4 tahun sebanyak 2, 5-14 tahun sebanyak 4, >15 tahun sebanyak 10, Desa Sekaran golongan umur <1 tahun sebanyak 1, 14 tahun sebanyak 4, 5-14 tahun sebanyak 1, >15 tahun sebanyak 32, dan Desa Sukorejo <1 sebanyak 1, 5-14 tahun sebanyak 5, serta >15 sebanyak 8. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun 2011-2013 penderita diare terbanyak di alami oleh golongan umur > 15 tahun. Dari data kunjungan pasien di Pusat Layanan Kesehatan UNNES dari bulan tahun 2013 diketahui bahwa terdapat 214 pasien yang terkena diare. Pada golongan umur tersebut terdiri dari non mahasiswa dan mahasiswa yang tinggal di kelurahan sekaran. Pada non mahasiswa yang tempat tinggalnya di rumah memiliki resiko lebih kecil terhadap diare, karena perilaku makan, kebersihan tempat dan peralatannya terjaga. Sedangkan mahasiswa yang tempat tinggalnya di kos memiliki risiko diare lebih besar karena sering makan di warung yang belum tentu terjamin kebersihan tempat dan alat makanannya. Diare dapat menyebar melalui praktik – praktik yang tidak higienes, seperti menyiapkan makanan dengan tangan yang belum dicuci setelah buang air atau membersihkan tinja seorang anak, atau membiarkan seorang anak bermain didaerah dimana ada tinja yang terkontaminasi (Ramaiah S, 2007:17). Berdasarkan penelitian Istiningtyas (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang gaya hidup sehat dengan
PENDAHULUAN Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Laporan Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%) (Departemen Kesehatan RI, 2012:90). Jumlah penderita pada KLB diare tahun 2012 menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2011 dari 3.003 kasus menjadi 1.585 kasus pada tahun 2012. Penurunan CFR diare sejak tahun 2008 sampai tahun 2011, dari 2,94% menjadi 0,4%. Walaupun terjadi penurunan penderita pada KLB diare pada tahun 2012, namun terjadi peningkatan CFR pada tahun 2012 menjadi 1,45%. CFR KLB diare tertinggi terjadi di Provinsi Papua sebesar 5%. Target CFR KLB diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR KLB diare tidak memenuhi target program. (Profil Kesehatan Indonesia, 2012:90). Cakupan penemuan dan penanganan diare di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 42,66%, lebih rendah dibanding tahun 2011 (57,9) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012:27). Penderita diare di kota Semarang dari tahun 2005 – 2011 terus meningkat namun pada tahun 2012 mengalami penurunan, hal ini disebabkan Program Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) yang sudah dicanangkan sudah diterapkan dalam kegiatan sehari - hari. Tahun 2012 kasus diare menurut golongan umur banyak ditemukan pada golongan umur > 5 tahun sebanyak 26.264 kasus (62 %) dan terendah pada kelompok umur < 1 tahun sejumlah 4.870 kasus (11.5 % ) (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012:45). Berdasarkan rekapitulasi laporan penyakit diare di kota Semarang tahun 2011 jumlah penderita diare di Puskesmas Sekaran tertinggi yaitu pada golongan umur > 15 tahun 194, > 1 tahun sebanyak 5 , 1- 4 tahun sebanyak 10, > 5 tahun sebanyak 187. Pada laporan kasus diare
40
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
perilaku gaya hidup sehat, dengan p value = 0,005 dan = 8,015. Terdapat hubungan antara sikap tentang gaya hidup sehat dengan perilaku gaya hidup sehat mahasiswa di PSIK UNDIP Semarang dengan p value = 0,002 dan x² = 9,739. Penelitian terhadap faktor yang mempengaruhi kualitas sarana sanitasi kantin di Universitas Negeri Semarang yang dilakukan oleh Chusna (2012) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan penjamah makan (p=0,015), tingkat pendidikan (p=0,015), tidak ada hubungan pelatihan (p=0,402) dan ada hubungan lingkungan (p=0,028) dengan kualitas sarana sanitasi kantin di Universitas Negeri Semarang tahun 2012. Permasalahan pada penelitian ini adalah rendahnya praktik cuci tangan, kriteria pemilihan warung makan langganan yang baik dan sanitasi warung agar dapat terhindar dari diare. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pendahuluan terhadap 20responden mahasiswa Universitas Negeri Semarang berbagai fakultas didapatkan 11 responden (60%) memiliki praktik cuci tangan pakai sabun dikategorikan buruk, 7 responden (35%) memiliki praktik cuci tangan pakai sabun di kategorikan sedang, 2 responden (10%) memiliki praktik cuci tangan pakai sabun dikategorikan baik. Dan berdasarkan praktik 7 langkah mencuci tangan dari 20 responden tidak ada yang dapat mempraktikkan 7 langkah mencuci tangan secara lengkap. Dari 20 responden mahasiswa, 15 responden menentukan kriteria pemilihan warung karena warung tersebut menyediakan makanan yang enak dan murah. Sedangkan dengan kriteria bersih hanya didapatkan 5 responden menentukan kriteria pemilihan warung makan. Dari 20 responden 11 responden mengalami diare dengan tenggang waktu yang dekat setelah makan di warung makan langganan tersebut. Dan hasil survei dilakukan pada warung – warung makan langganan mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Dari 11 warung makan langganan yang dimiliki oleh mahasiswa hanya 1 warung makan yang memenuhi syarat.
Patogen yang sudah dikenal sebagai penyebab penyakit diare meliputi bakteri seperti E.coli patogenik, shigella sp., salmonella sp., Vibrio choleraOI serta Campylobacter jejuni; protozoa seperti Giarda lamblia, Entamoebahistilytica, Cryptosporidium sp,; dan juga berbagai virus enterik seperti rotavirus. Infeksi karena strain patogenik E.coli mungkin merupakan penyebab terumum penyakit diare dinegara berkembang. Kontaminasi E.coli dan patogen lain dari tinja yang sering terjadi pada makanan,sebagaimana dilaporkan dalam literatur, menunjukkan adanya kontaminasi materi tinja pada makanan. Akibatnya, setiap patogen yang penularannya diketahui terjadi melaui jalur fekal-oral dapat ditularkan melalui makanan (Hartono dan Widiastuti, 2005:2). Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak dan sebelum makan, menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% (Kemenkes RI,2011:24). Infeksi dari makanan akan timbul apabila mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen yang hidup. Mikroorganisme tersebut akan berkembang di dalam tubuh, apabila jumlahnya banyak akan menimbulkan gejala – gejala penyakit. Waktu antara mengkonsumsi makanan terkontaminasi dengan timbulnya gejala penyakit disebut waktu inkubasi (Fathonah S, 2005:11). Gejala penyakit umumnya akan timbul setelah masa inkubasi antara 12-2 jam dan ditandai oleh gangguan perut, sakit pada perut bagian bawah (abdominal pains), pusing (nausea), berak – berak (diarrhea), muntah – muntah (vomitting), demam dan sakit kepala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan praktik cuci tangan, kriteria pemilihan warung makan langganan dan sanitasi warung dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang.
41
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 1. Distribusi frekuensi praktik cuci tangan mahasiswa
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini yaitu mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang masih aktif yang berjumlah 28.827 orang. Sampel pada penelitian ini yaitu sebanyak 320 mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang tersebar dari setiap jurusan dan fakultas di Universitas Negeri Semarang. Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling, pengambilan sampel secara aksidental (accidental) ini dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan atau tersedia. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan angket dan wawancara. Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir – formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban. Angket ini digunakan untuk mengetahui praktik cuci tangan mahasiswa, kriteria pemilihan warung makan, dan diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Wawancaraini digunakan untuk mengetahui ketepatan responden mahasiswa Universitas Negeri Semarang dalam praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dengan menggambarkan frekuensi dan distribusi praktik cuci tangan mahasiswa, kriteria pemilihan warung makan langganan, sanitasi warung dan kejadian diare. Analisis bivariat dilakukan dengan penggabungan sel dan menggunakan uji Chi-Square.
No 1 2 3
Praktik Cuci Tangan Mahasiswa Baik Cukup Buruk Total
Frekuensi
Persentase (%)
169
52,8%
147 4 320
45,9% 1,3% 100%
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa praktik cuci tangan mahasiswa dengan kategori baik sebanyak 169 mahasiswa (52,8%), kategori cukup sebanyak 147 mahasiswa (45,9%), sedangkan sebanyak 4 mahasiswa (1,3%) termasuk dalam kategori buruk dalam praktik mencuci tangan dengan sabun sebelum menjamah makanan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan ketetapan praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar yang dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu tepat dan kurang tepat yang dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi frekuensi Praktik 7 Langkah Mencuci Tangan yang Baik dan Benar
No
1 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan praktik mencuci tangan, yang dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup, dan buruk yang dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Ketetapan Praktik 7 Langkah Mencuci Tangan yang Baik dan Benar Tepat Kurang Tepat Total
Frekuensi
Persentase (%)
11 309
3,4% 96,6%
320
100%
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa ketetapan praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar dengan kategori tepat terdapat 11 mahasiswa (3,4%), sedangkan 309 mahasiswa (96,6%) termasuk dalam kategori kurang tepat dalam ketepatan praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar.
42
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan kriteria pemilihan warung makan langganan yang dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu baik dan buruk yang dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sanitasi warung makan langganan dengan kategori memenuhi syarat 1 warung makan (2,5%), sedangkan 39 warung makan (97,5%) termasuk dalam kategori tidak memenuhi dalam sanitasi warung makan langganan. Jika diketahui berdasarkan tabel jumlah responden yaitu 320 mahasiswa sanitasi warung makan yang dijadikan langganan oleh mahasiswa dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi frekuensi kriteria pemilihan warung makan langganan
No
1 2
Kriteria Pemilihan Warung Makan Langganan Baik Buruk Total
Frekuensi
Persentase (%)
102 218 320
31,9% 68,1% 100%
Tabel 5. Distribusi frekuensi sanitasi warung berdasarkan jumlah responden No 1
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa kriteria pemilihan warung makan langganan dengan kategori baik 102 mahasiswa (31,9%), sedangkan 218 mahasiswa (68,1%) termasuk dalam kategori buruk dalam kriteria pemilihan warung makan langganan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data distribusi responden terdapat kesamaan warung makan antara mahasiswa satu dengan lainnya sehingga total jumlah warung yang didapat adalah 40 warung makan. Sanitasi warung makan langganan ini dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat yang dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:
2
1 2
Sanitasi Warung Makan Memenuhi syarat Tidak Memenuhi syarat Total
Frekuensi
Persentase (%)
1
2,5%
39
97,5%
Persentase (%)
6
1,9%
314
98,1%
320
100%
Tabel 6. Distribusi frekunsi kejadian diare No 1 2
40
Frekuensi
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa sanitasi warung makan langganan menurut jumlah responden terdapat 6 mahasiswa (1,9%) memiliki warung makan dengan kategori memenuhi syarat, sedangkan 314 mahasiswa (98,1%) memiliki warung makan yang termasuk dalam kategori tidak memenuhi dalam sanitasi warung makan langganan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data distribusi responden berdasarkan kejadian diare yang dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu tidak diare dan diare syarat yang dapat dilihat pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 4. Distribusi frekuensi sanitasi warung makan No
Sanitasi Warung Makan Memenuhi syarat Tidak Memenuhi syarat Total
100%
43
Kejadian Diare Tidak Diare Diare Total
235
Persentase (%) 73,4%
85 320
26,6% 100%
Frekuensi
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
320
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa dari mahasiswa, terdapat 235 mahasiswa
(26,6%) tidak diare dan sebanyak 85 mahasiswa (73,4%) diare.
Tabel 7. Hubungan antara praktik cuci tangan mahasiswa dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang Praktik Cuci Tangan Mahasiswa Buruk + Cukup Baik
Diare f 40 45 Total
Kejadian Diare % Tidak diare f 27 111 27 124
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa 151mahasiswa yang memiliki praktik cuci tangan buruk dan cukup terdapat 40 orang yang memiliki riwayat diare dan 111 mahasiswa yang tidak memiliki riwayat tidak diare dengan kategori baik. Sedangkan dari 169 mahasiswa yang memiliki praktik cuci tangan dengan kategori baik terdapat 45 mahasiswa yang memiliki riawayat diare dan 124 mahasiswa tidak memiliki riwayat diare. Hasil analisis dari penggabungan sel dan menggunankan uji ChiSquare diperoleh nilai (p=0,978), hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara praktik cuci tangan mahasiswa dengan kejadian daire pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sani (2011) mengemukakan bahwa sebagian besar mahasiswa di Universitas Muhamadiyah Surakarta memiliki sikap tentang perilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik, yaitu pada hasil distribusi sikap responden menunjukkan 69 responden (69%) bersikap baik dan 31 responden (31%) bersikap cukup baik. Menurut (Kemenkes RI, 2011:11) PHBS di institusi pendidikan seperti kampus mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk. Dan penelitian lain yang
% 73 73 320
Total Σ 151 169
%
p value
100 100
0,978
dilakukan oleh Istiningtyas (2010) pada mahasiswa PSIK UNDIP Semarang mengemukakan hal yang sama bahwa sebagian besar mahasiswa berada pada tingkat pengetahuan tinggi, sebagian besar mempunyai sikap yang positif dan sebagian besar mempunyai perilaku gaya hidup sehat. Berdasarkan hasil wawancara pada mahasiswa mengenai ketetapan praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar di ketahui bahwa dari 320 mahasiswa yang mempunyai ketepatan dalam praktik 7 langkah mencuci tangan yang baik dan benar sebanyak 11 mahasiswa (3,4%), sedangkan yang termasuk dalam kategori kurang tepat sebanyak 309 mahasiswa (96,6%). Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, faeses atau sumber lain ke makanan. Oleh karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi, walaupun hal tersebut sering disepelekan. Pencucian dengan sabun sebagai pembersih, penggosokan dan pembilasan dengan air mengalir akan menghayutkan pertikel kotoran yang banyak mengandung organisme (Fathonah S, 2005:12). Sehingga apabila mencuci tangan tidak sesuai dengan 7 langkah yang baik dan benar maka partikel kotoran maupun organisme tidak seluruhnya hayut. Hal ini selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Arisman (2008:175) yang menyatakan bahwa tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik flora normal maupun cemaran, menempel ditempat tersebut dan mudah sekali berpindah ke
44
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
makanan yang tersentuh. Pencucian dengan benar telah terbukti berhasil mereduksi angka
kejadian kontaminasi. (pemrosesan, penyimpanan, kemasan, dll) menjelaskan keadaan lingkungan makanan (Arisman,2009:102-103). Dan dapat diketahui bahwa pada hasil penelitian variabel sanitasi warung makan di dapatkan dari 40 warung makan yang dijadikan langganan oleh mahasiswa hanya terdapat 1 warung makan yang dikategorikan memenuhi syarat sanitasi, sehingga dapat mendukung faktor ektrinsik perkembangbiakan bakteri dalam makanan. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Djaja (2003) mengatakan bahwa kontaminasi oleh E. Coli pada tiga jenis TPM rata – rata adalah kontaminasi bahan makanan 40,0%, kontaminasi air 12,9%, kontaminasi makanan matang 7,5%, kontaminasi pewadahan makanan 16,9%, kontaminasi tangan 12,5%, dan kontaminasi makanan disajikan 12,2%. Suhu pemasakan rata – rata 99,5%, lama pemasakan 20,6 menit, suhu penyimpanan 28,9˚C, lama penyimpanan matang 409,2 menit, dan suhu penyajian adalah 28,7˚C. Kontaminasi oleh E. Coli pada makanan yang disajikan dipengaruhi oleh suhu pemasakan dan jenis TPM (pedagang kakilima dengan resiko 3,5 kali dibandingkan dengan jasaboga dan restoran). Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhayati dkk (2012) yang menyatakan bahwa makanan jajan menyumbang pemenuhan kecukupan energi dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Tata Boga dipengaruhi oleh mata kuliah berbasis gizi sebesar 55,5%. Di dalam mata kuliah berbasis gizi tersebut terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan makanan jajanan yang akan dikonsumsi. Pertama, pemilihan makanan jajanan berdasarkan jenis yang terdiri dari makanan jajanan berdasarkan jenis yang terdiri dari makanan jajanan berat (meal) dan makanan jajanan ringan (snack). Kedua, kandungan zat gizi dalam makanan jajanan yaitu makanan jajanan sumber energi, makanan jajanan sumber pengatur. Ketiga, pemilihan makanan jajanan yang sehat atau higienis baik yang dalam kemasan dan tanpa kemasan.
Tabel 8. Hubungan antara kriteria pemilihan warung makan langganan dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang Kriteria Pemiliha n Warung Makan Langgan an
Di ar e
%
Buruk
f 66
30
Baik
19
18
Total
Kejadian Diare Tida % Tot k al diar e f Σ 152 7 21 0 8 83 8 10 2 2 32 0
%
10 0 10 0
p val ue
0,0 28
Pada tabel 8 diketahui bahwa 218 mahasiswa yang memiliki kriteria pemilihan warung makan langganan buruk terdapat 66 mahasiswa yang memiliki riwayat daire. Pada 102 mahasiswa yang memiliki kriteria pemilihan warung makan langganan baik terdapat 19 mahasiswa yang memiliki riwayat diare sedangkan 83 orang tidak diare. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai (p=0,028), hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kriteria pemilihan warung makan langganan dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Faktor yang menyebabkan variabel kriteria pemilihan warung makan langganan berhubungan dengan kejadian diare yaitu perkembangbiakan bakteri dalam makanan di tentukan oleh keadaan lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi sebagai sumber makanan. Laju pertumbuhan bakteri bukan hanya bergantung pada faktor waktu. Banyak faktor yang mendukung perkembangbiakan bakteri, terutama faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik menguraikan parameter yang khas untuk bahan makanan tersebut (PH, kelembaban, dll), sementara faktor ekstrinsik
45
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
bahan makanan, locker karyawan, peralatan pencegah masuknya serangga dan tikus, dapur, ruang makan, gudang bahan makanan, bahan makanan, makanan jadi, proses pengolahan, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi, cara penyajian, ketentuan peralatan, dll. Pada dasarnya bahaya potensial pada makanan dapat didasarkan pada agen penyebab penyakit yang masuk ke dalam makanan saat penyiapan makanan, misalnya kuman patogen dari perlatan pengolah makanan yang tidak saniter. Metode untuk mengatasinya adalah melalui pencucian, higiene, dan sanitasi peralatan dan lingkungan tempat mengolah makanan (Winarsih S, 2008:27). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p value 0,705 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara sanitasi warung dengan kejadian diare karena nilai p value >0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sanitasi warung makan yang dijadikan langganan oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang tidak memiliki hubungan dengan kejadian diare. Hal ini didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakim(2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara praktik pengolahan makanan, peralatan sanitasi, air dan tempat dengan keberadaan Escherechia Coli. Keberadaan Escherechia Coli dalam sumber air atau makanan merupakan indikasi pasti terjadinya kontaminasi tinja manusia. Adanya Escherechia Coli menunjukkan suatu tanda praktik sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produk – produk susu. Escherechia Coli yang terdapat pada makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh manusia dapat menyebabkan gejala seperti kolera, disentri, gastroenteritis, diare dan berbagai penyakit saluran pencernaan lainnya. Hal yang dapat mempengaruhi tidak terdapatnya hubungan adalah karena mahasiswa yang termasuk golongan umur dewasa yang memiliki mekanisme pertahanan alami tubuh yang baik sehingga tidak rentan terkena diare. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Alopati dalam buku Ramaiah (2007:19) faktor yang meningkatkan
Tabel 9. Hubungan anatara sanitasi warung makan dengan kejadian diare
Sanitasi Warung Makan
Di ar e
%
f Tidak memenu hi syarat Memenu hi syarat
Kejadian Diare Tida % Tot k al diar e f Σ
%
83
27
231
7 3
31 4
10 0
2
33
4
6 7
6
10 0
Total
p val ue
0,7 05
32 0
Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 314 mahasiswa yang memiliki warung makan langganan dengan sanitasi yang tidak memenuhi syarat terdapat 83 mahasiswa yang memiliki yang memiliki riwayat diare dan 231 mahasiswa tidak diare. Pada 6 mahasiswa yang memiliki warung makan langganan dengan sanitasi yang memenuhi syarat terdapat 2 mahasiswa yang memiliki riwayat diare sedangkan 4 mahasiswa tidak diare. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh nilai (P=0,705), hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sanitasi warung makan dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Gambaran sanitasi warung dengan kejadian diare diperoleh dari kuesioner yang berisi pertanyaan tentang riwayat diare yang dialami oleh mahasiswa dalam kurun waktu 2 minggu terakhir dan lembar checklist yang berisi aspek – aspek syarat sanitasi warung yang mengacu pada peraturan Kepmenkes RI No. 1098 yang berisi tentang persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran. Terdiri dari variabel lokasi, bangunan, pembagian ruang, lantai, dinding, ventilasi, pencahayaan, atap, langit - langit, pintu, air bersih, pembuangan air limbah, toilet, tempat sampah, temapat cuci tangan, tempat cuci peralatan, tempat cuci
46
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
resiko diare salah satunya adalah faktor individu yaitu buruk atau kurangnya mekanisme pertahanan alami tubuh. Misalnya, diare lebih lazim terjadi pada anak – anak terutama yang . SIMPULAN
mengidap campak atau yang mengalami campak sampai sebulan sebelumnya atau sedang menjalani pengobatan yang mengurangi mekanisme pertahanan alami tubuh.
Kesehatan Masyarakat volume 1, no 2, hlm 861 – 870. Hartono, A dan Widyastuti, P, 2005, Penyakit bawaan Makanan, EGC, Jakarta. Istiningtyas, A, 2010, Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap tentang Gaya Hidup Sehat dengan Perilaku Gaya Hidup Sehat Mahasiswa di PSIK UNDIP Semarang, (Online), Jurnal KesMaDaSKa, Volume 1, no 1 hlm 1825, diakses 21 Oktober 2014. Kemenkes RI, 2011, Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Kepmenkes RI No. tentang 715/MENKES/SK/V/2003 Persyaratan Hygiene Sanitasi JasaBoga, Kementiran Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.No. 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, Kementiran Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Nurhayati, A, Lasmanawati, E dan Yulia, C 2012, Pengaruh Mata Kuliah Berbaris Gizi pada Pemilihan Makanan Jajanan Mahasiswa program Studi Pendidikan Tata Boga,(Online), Jurnal PKK FPTK volume 13, no 1 hlm 1-6, diakses 28 Agustus 2014. Ramaiah, S, 2000, All Wanted To Know About Diare, Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Jakarta Sani, FN, 2011, Hubungan Tingkat Pengetahuan Sehat-Sakit dengan Sikap Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Jurnal KesMaDasKa, Volume 2, no 02, hlm 12-18.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan yaitu terdapat hubungan antara kriteria pemilihan warung makan langganan dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang (p=0,028). Dan tidak terdapat hubungan antara praktik cuci tangan mahasiswa (p=0,978), sanitasi warung (p=0,705) dengan kejadian diare pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang DAFTAR PUSTAKA Arisman, 2009, Keracunan Makanan, Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC, Jakarta Chusna, FI, 2012, Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Sarana Sanitasi Kantin Di Universitas Negeri Semarang, Jurnal Kesehatan Masyarakat, hlm 1-4. Departemen Kesehatan RI, 2012, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012, Profil Kesehatan Kota Semarang, Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang. Djaja, IM, 2003, Kontaminasi E.coli pada Makanan dari Tiga Jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) di Jakarta Selatan 2003, Makara Kesehatan, volume 12, no 1, hlm 36-41. Fathonah, S, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan. UNNES Press, Semarang. Hakim, AR, 2012, Hubungan Kondisi Higiene dan Sanitasi dengan Keberadaan Escherhia Coli pada Nasi Kucing yang Dijual Di Wilayah tembalang Semarang, Jurnal
47
Endang Trikora/ Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Winarsih, S, 2008, Pengetahuan Sanitasi dan Aplikasinya, CV Aneka Ilmu. Semarang.
48
UJPH4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI, SOSIAL BUDAYA DENGAN PERAN AKTIF PRIA DALAM VASEKTOMI DI KECAMATAN PAGUYANGAN KABUPATEN BREBES TAHUN 2011-2012 Afnita Ayu Rizkitama,Fitri Indrawati Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
SejarahArtikel: DiterimaDesember 2014 DisetujuiDesember 2014 DipublikasikanJanuari 2015
Angka partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 2,1% peserta Keluarga Berencana pria dan mereka umumnya memakai kondom. Belum membudayanya penggunaan vasektomi sebagai program kontrasepsi disebabkan antara lain karena kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang masih menganggap partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan, pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber-KB masih rendah. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, persepsi dan sosial budaya dengan peran aktif pria dalam program vasektomi. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan studi Cross Sectional. Penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling. Dari hasil penelitian, ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi (p value = 0.047), ada hubungan yang bermakna antara sosial budaya dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi (p value = 0.002), tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi (p value = 0.054).Akseptor vasektomi diharapkan dapat menjadi teladan dengan melakukan pendekatan persuasif melalui perbincangan yang bersifat kekeluargaan sehingga pria-pria lain dapat turut serta dalam program vasektomi.
________________ Keywords: Active Participation;Knowledge; Perception; Social Culture; Vasectomy ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Participation rate of men in the use of contraceptives in Indonesia is still very low, at only 2.1 % men and they generally using a condom. Yet unsupported use of vasectomy as a contraceptive program is because of the social environment, culture, society and family are still considered male participation has not been or is not important, knowledge and awareness of men and their families in family planning still low. The purpose of this research was to know the correlation between knowledge, perseption and social culture in men’s active participation on vasectomy program. This research was observational with Cross Sectional study. This research was using simple random sampling technic. Based on the result of this research, there was significant correlation between perception and men's participation on vasectomy program (p value=0.047), there was significant correlation between social culture and men's participation on vasectomy program (p value=0.002), there was no correlation between knowledgeand men's participation on vasectomy program (p value=0.054). Vasectomy acceptors were suggested to become models by doing a persuasive approach through a familial conversation, so the other men have desire to contribute on vasectomy program.
© 2015UniversitasNegeri Semarang Alamatkorespondensi: GedungF1Lantai2 FIKUnnes KampusSekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
48
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015)
sekitar 97% adalah perempuan. Oleh sebab itu, sosialisasi program KB di kalangan pria harus ditingkatkan (Mardiya, 2010). Berdasarkan data SDKI tahun 2012, diketahui bahwa presentase keikutsertaan pria dalam vasektomi berdasarkan pengetahuan tentang alat/cara KB yaitu sebanyak 37,7%. Hal ini berbeda dengan presentase keikutsertaan wanita dalam tubektomi yaitu sebanyak 67,0% (BKKBN, 2013). Selain itu, dalam profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 persentase peserta KB dalam program MOP/Vasektomi adalah yang paling sedikit diberbagai provinsi di Indonesia termasuk di Jawa tengah, yaitu sebanyak 3.207 jiwa atau sekitar 0,30% peserta KB baru dan 58.318 atau sekitar 1,10% peserta KB aktif. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Jawa Tengah sebanyak 6.663.396 jiwa, jumlah peserta KB baru sejumlah 1.087.108 jiwa atau sekitar 16,31% dan peserta KB aktif sebanyak 5.285.530 jiwa atau sekitar 79,32% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), Kabupaten Brebes merupakan daerah dengan jumlah penduduk terbanyak di antara 35 daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah, yakni 1.733.869 jiwa atau 5,3% dari total penduduk Jawa Tengah. Berdasarkan data dari BKBPP Kabupaten Brebes (2011), jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kabupaten Brebes sebanyak 377.986 jiwa, jumlah peserta KB baru sebanyak 70.783 akseptor atau sekitar 18,7%dari jumlah PUS yang ada di Kabupaten Brebes,dengan proporsi menurut jenis kontra sepsi yaitu 7,6% IUD, 0,3% MOP, 1,8% MOW, 10,2% implan, 47,2% suntik, 28,5% pildan 4,3%kondom. Sedangkan jumlah peserta KB aktif sebanyak 310.034 akseptor atau sekitar 82,0%dari jumlah PUS, dengan proporsi menurut jenis kontrasepsi yaitu4,5% IUD, 3,9% MOP, 1,1% MOW, 8,1% implan, 53,6% suntik, 27,7%pildan 1,2%kondom. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Brebes (2011), penduduk Kecamatan Paguyangan sekitar 96.949 jiwa. Sedangkan, pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 2011 di
PENDAHULUAN Berdasarkan proyeksi penduduk yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2025, perkiraan penduduk Indonesia sekitar 273,65 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia cenderung menurun, dimana pada tahun 1971-1980 adalah 2,30%, tahun 1980-1990 adalah 1,97%, tahun 19902000 sebanyak 1,49% dan tahun 2000-2005 turun lagi menjadi 1,3%. Namun bila dilihat menurut provinsi, laju pertumbuhan penduduk tersebut tidak merata, berfluktuasi dan malah ada yang meningkat. Sementara itu, angka Total Fertility Rate (TFR) pada pasangan usia subur di Indonesia menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dibanding dengan tahun 2002 dari survei yang sama tidak mengalami perubahan (Asih dan Hadriah Oesman, 2009). Keluarga Berencana merupakan suatu usaha menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan menggunakan konrasepsi (Ari Sulistyawati, 2011). Dalam program Keluarga Berencana, terdapat berbagai jenis Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) diantaranya Alat Kontrasepsi Dalam Lahir (AKDR), Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) dan Kontrasepsi Mantap seperti Vasektomi (MOP) dan Tubektomi (MOW). Vasektomi adalah metode kontrasepsi untuk lelaki yang tidak ingin memiliki anak lagi.Perlu prosedur bedah untuk melakukan vasektomi sehingga diperlukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya untuk memastikan apakah seorang klien sesuai untuk menggunakan metode ini (Affandi, dkk, 2011). Angka partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 2,1% peserta KB pria dan mereka umumnya memakai kondom. Persentase tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Iran (12%), Tunisia (16%), Malaysia (9-11%), bahkan di Amerika Serikat mencapai 32%. Sangat sedikit pria yang mau menggunakan alat kontrasepsi, baik kondom maupun vasektomi. Dari total jumlah aseptor KB di Indonesia,
49
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015)
Kecamatan Paguyangan sebanyak 26.274 jiwa dan yang aktif menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 14.180 akseptor atau 53,97% dari PUS yang ada. Dengan persentase peserta baru MOP sebesar 0,7% dan persentase peserta aktif MOP sebesar 1,2% (BKBPP Kabupaten Brebes, 2011). Menurut Laporan Perkembangan Akseptor Baru di Kecamatan Paguyangan, perolehan peserta KB di kecamatan Paguyangan sampai dengan bulan Desember 2011 sebanyak 30 akseptor atau sekitar 0,92% dari 3271 akseptor yang ada, sedangkan sampai bulan Desember 2012 sebanyak 59 akseptor baru atau sekitar 1,6% dari jumlah akseptor baru sebanyak 3473 akseptor (UPT BKBPP Kecamatan Paguyangan, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh, peserta baru maupun peserta KB aktif pria lebih sedikit bila dibandingkan dengan peserta baru maupun peserta aktif wanita. Keikusertaan peserta yang paling sedikit terutama adalah pada program vasektomi dalam program kontrasepsi pria. Belum membudayanya penggunaan vasektomi sebagai program kontrasepsi disebabkan antara lain karena kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang masih menganggap partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan, pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber-KB masih rendah dan keterbatasan penerimaan dan aksesbilitas pelayanan kontrasepsi pria masih terbatas (BKKBN, 2005).
ada sampel yang drop out. Instumen yang digunakan dalam penelitianini adalah kuesioner dan lembar dokumentasi.
METODE
Karakteristik Responden Umur reponden pada saat program vasektomi dilakukan yang paling banyak berumur 41-50 tahun sebanyak 60%, sedang responden yang paling sedikit dari kelompok umur < 30 tahun yaitu sebanyak 4%.Pendidikan responden yang paling banyak SD sebanyak 90%, diikuti lulus SMP sebanyak 10%. Pekerjaan responden paling banyak yaitu petani sebanyak 82%, diikuti wiraswasta 10% dan pegawai swasta 8%. Jumlah anak responden paling banyak yaitu >3 sebanyak 76%, diikuti jumlah anak 2 dan 3 sebanyak 12%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis Kecamatan Paguyangan merupakan salah satu kecamatan yang terletak disebelah selatan ibukota Kabupaten Brebes dengan jarak lebih kurang 84 Km. KecamatanPaguyangan terdiri dari 12 desa yaitu:Desa Kedungoleng, Winduaji, Wanatirta, Paguyangan, Pakujati, Taraban, Pagojengan, Kretek, Ragatunjung, Cilibur, Cipetung, dan Pandansari yang terdiri dari 75 RW dan 579 RT. Kondisi Monografis Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Brebes (2013), jumlah penduduk Kecamatan Paguyangan yaitu sebanyak 97691 jiwa yang terdiri dari 49456 penduduk laki-laki dan 51000 penduduk perempuan.Berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk laki-laki hampir sama atau tidak berbeda banyak dengan jumlah penduduk wanita, sedangkan jumlah usia produktif (15 sampai 59 tahun) lebih besar bila dibandingkan dengan usia non produktif yaitu (0 sampai 14 tahun). Sebanyak 80,48% dari pasangan usia subur (PUS) sebesar 19291 menggunakan kontrasepsi dengan berbagai jenis/cara untuk ikut KB.
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang (Cross Sectional). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah simple random sampling yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan sifat atau ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya sehingga diperoleh 47 orang akseptor vasektomi dan besarsampel yang ikut dalam penelitian ini sebanyak 50 orang akseptor vasektomi. Sampel yang ikut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sampel minimal dikarenakan untuk menjaga
50
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015)
Analisis Univariat Pengetahuan Jumlah responden menurut pengetahuan dapat dilihat pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel,dapat diketahui bahwa sosial budaya responden terhadap program vasektomi paling banyak mendukung adanya program vasektomi, sebanyak 86%. Sedangkan jumlah responden yang tidak mendukung sebanyak 14%.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan RespondenTerhadap Program Vasektomi No Pengetahuan f Persentase Pengetahuan 2 4 rendah Pengetahuan 48 96 tinggi Jumlah 50 100
Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Jumlah responden menurut partisipasi aktif pria dalam program vasektomi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Distribusi Frekuensi PartisipasiAktif Priadalam Program Vasektomi No PartisipasiAktifPria f Persentase 1 Tinggi 45 90 2 Rendah 5 10 Jumlah 50 100
Berdasarkan tabel,dapat diketahui bahwa pengetahuan responden terhadap program vasektomi paling banyak tinggi, sebanyak 96%. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 4%. Persepsi Jumlah responden menurut dapat dilihat pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel, dapat diketahui bahwa partisipasi aktif pria dalam program vasektomi paling banyak tinggi sebanyak 90%. Sedangkan jumlah responden yang partisipasi aktifnya dalam program vasektomi rendah sebanyak 10%. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan responden, sehingga pengetahuan yang tinggi tidak disertai dengan tingginya partisipasi aktif pria dalam program vasektomi. reward Selain itu, adanya pemberian (penghargaan) juga merupakan salah satu faktor yang menarik minat pria untuk berpartisipasi dalam program vasektomi.
persepsi
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Persepsi Responden Terhadap Program Vasektomi No Persepsi f Persentase Positif 38 76 Negatif 12 24 Jumlah 50 100 Berdasarkan tabel,dapat diketahui bahwa persepsi responden terhadap program vasektomi paling banyak memiliki persepsi yang positif, sebanyak 76%. Sedangkan responden dengan persepsi negatif sebanyak 24%.
Analisis Bivariat Untuk mengetahui besarnya pengaruh dari variabel pengetahuan terhadap partisipasi aktif pria dalam program vasektomi, digunakan analisis tabel (2x2) dilakukan pada semua variabel bebas yang diteliti terhadap partisipasi aktif pria dalam program vasektomi dengan menggunakan p value dengan tingkat kesalahan (α) yang digunakan yaitu 0,05. Hasil analisis terlihat pada tabel berikut :
Sosial Budaya Jumlah responden menurut sosial budaya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sosial Budaya RespondenTerhadap Program Vasektomi No SosialBudaya f Persentase Mendukung 43 86 Tidakmendukung 7 14 Jumlah 50 100
51
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015)
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Pengetahuan Partisipasi Aktif Pria Total dalam Program Vasektomi Rendah Tinggi Rendah 1 1 2 % 50 50 100% Tinggi 4 44 48 % 8,3 91,7 100%
negatif yaitu 75%. Pada responden dengan partisipasi aktif pria rendah proporsi terbesar pada responden dengan persepsi tentang program vasektomi negatif yaitu 25% dan proporsi terrendah pada responden dengan persepsi positif yaitu 5,3%. Berdasarkan hasil ujiChi Square diperoleh hasil bahwaterdapat hubungan yang signifikan antara persepsi dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi. Dengan uji Chi Square (α=0,05) didapatkan p value 0,047.
Pada tabel, menunjukkan bahwa partisipasi aktif pria dalam program vasektomi dengan kriteria tinggi, proporsi terbesar pada responden dengan pengetahuan tentang program vasektomi tinggi yaitu 91,7% dan proporsi terrendah pada responden dengan pengetahuan rendah yaitu sebesar 50%. Pada responden dengan partisipasi aktif pria rendah proporsi terbesar pada responden dengan pengetahuan tentang program vasektomi rendah yaitu 50% dan proporsi terrendah pada responden dengan pengetahuan tinggi yaitu 8,3%. Chi Square Berdasarkan hasil uji diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi. Dengan uji Chi Square (α=0,05) didapatkan p value 0,054.
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Hubungan Sosial Budaya dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Sosial Partisipasi Aktif Pria Total Budaya dalam Program Vasektomi Rendah Tinggi Tidak 3 4 7 mendukung % 42,9 57,1 100% Mendukung 2 41 43 % 4,7 95,3 100% Pada tabel, menunjukkan bahwa partisipasi aktif pria dalam program vasektomi dengan kriteria tinggi, proporsi terbesar pada responden dengan sosial budaya dalam program vasektomi mendukung 95,3% dan proporsi terrendah pada responden dengan sosial budaya tidak mendukung yaitu sebesar 57,1%. Pada responden dengan partisipasi aktif pria rendah proporsi terbesar pada responden dengan sosial budaya dalam program vasektomi tidak mendukung yaitu 42,9% dan proporsi terrendah pada responden dengan sosial budaya mendukung yaitu 4,7%. Berdasarkan hasil ujiChi Square diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sosial budaya dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi. Dengan uji Chi Square (α=0,05) didapatkan p value 0,002.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Persepsi Partisipasi Aktif Priadalam Total Program Vasektomi Rendah Tinggi Negatif 3 9 12 % 25 75 100% Positif 2 36 38 % 5,3 94,7 100% Pada tabel, menunjukkan bahwa partisipasi aktif pria dalam program vasektomi dengan kriteria tinggi, proporsi terbesar pada responden dengan persepsi tentang program vasektomi positif yaitu 94,7% dan proporsi terrendah pada responden dengan persepsi
52
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015)
persepsi positif terhadap program vasektomi, hal ini ditandai dengan banyaknya responden yang menjawab benar pada pertanyaan tentang persepsi yang terdapat pada kuesioner. Menurut Wuryaningsih (2008), faktor yang mempengaruhi tindakan adalah pengetahuan, persepsi, emosi, motivasi dan lainnya. Persepsi dapat diartikan sebagai proses yang menyangkut masuknya informasi ke dalam otak manusia melalui pancaindra yang kemudian memberikan tanggapan dan informasi terhadap suatu obyek sehingga dapat mempengaruhi perilaku.
Hubungan antara Pengetahuan dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang pengetahuannya tinggi sebanyak 96% berpartisipasi aktif dalam program vasektomi. Sedangkan pada responden dengan pengetahuan rendah, sebanyak 4%. Sebanyak 90% responden yang berpendidikan SD memiliki pengetahuan rendah dan partisipasi aktif dalam program vasektominya tinggi yaitu sebanyak 50%, sebanyak 50% responden lainnya memiliki pengetahuan rendah dan partisipasi aktif dalam program vasektomi rendah. Sejalan dengan pendapat Budisantoso (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku.
Hubungan antaraSosial Budaya dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sosial budayanya positif sebanyak 86% berpartisipasi aktif dalam program vasektomi. Sedangkan pada responden dengan pengetahuan rendah, sebanyak 4%. Didukung oleh penelitian Ekarini (2008) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara sosial budaya terhadap KB dengan Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana ( p value = 0,024).
Hubungan antara Persepsi dengan Partisipasi Aktif Pria dalam Program Vasektomi Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang persepsinya positif sebanyak 76% berpartisipasi aktif dalam program vasektomi. Sedangkan pada responden dengan persepsi negatif, sebanyak 24%. Responden dalam penelitian ini paling banyak memiliki SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diperoleh simpulan yaitu ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi yaitu semakin positif persepsi, maka semakin tinggi partisipasi aktif pria dalam program vasektomi ( p value = 0.047). Ada hubungan yang bermakna antara sosial budaya dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi yaitu semakin mendukung sosial budaya pria, maka semakin tinggi partisipasi aktif pria dalam program vasektomi ( p value = 0.002).Tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang program vasektomi dengan partisipasi aktif pria dalam program vasektomi, tingginya pengetahuan tidak mempengaruhi tingginya partisipasi aktif pria dalam program vasektomi ( p value = 0.054).
DAFTAR PUSTAKA Affandi, B, dkk. 2011.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Bina Pustaka Sarwono Prawiro hardjo. Jakarta. Asih, L danHadriah, O. 2009.Analisis Lanjut SDKI 2007:Faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta. Laporan BKBPP Kabupaten Brebes. 2011. Kependudukan BKBPP Kabupaten Brebestahun 2011.Tidak Dipublikasikan. BKKBN.2005.Peningkatan Partisipasi Priadalam KB dan KR. BKKBN.Jakarta. -----------. 2013. Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia Tahun 2012. BKKBN. Jakarta. BPS Kabupaten Brebes.2011 .Kabupaten Brebes dalamAngka.BPS KabupatenBrebes.Brebes.
53
Afnita Ayu Rizkitama / Unnes Journal of Public Health4 (1) (2015) .2013.Kabupaten Brebes dalam Angka.BPS Kabupaten Brebes.Brebes. Faktor-Faktor Yang Budisantoso, SI. 2009. Berhubungan Dengan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Tahun 2008. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. yang Ekarini, SMB.2008.AnalisisFakor-Fakor Berpengaruh teradap Parisipasi Priadalam KB di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang. Mardiya.Mitos Seputar Vasektomi. 9 Desember 2010. diakses 18 Maret 2014. (http://mardiya.wordpress.com/2010/12/09 /mitos-seputar-vasektomi/). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2011. Data/Informasi Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Sulistyawati, A. 2013. Pelayanan Keluarga Berencan. Salemba Medika. Jakarta. UPT BKBPP Kecamatan Paguyangan. 2012.Laporan KependudukanUPT BKBPP Kecamatan Paguyangan tahun 2012.Tidak Dipublikasikan. Wuryaningsih, T. 2008.Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi dengan Perilaku Masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Di Kota Kediri.Tesis.UniversitasSebelasMaret. Surakarta.
54
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
HUBUNGAN ANTARA DESAIN KURSI KERJA DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PEKERJA BAGIAN PENENUNAN DI CV. PIRSA ART PEKALONGAN Sri Astutik , Sugiharto Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Desember 2014 Disetujui Desember 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang sering terjadi pada pekerja dengan prevalensi mencapai 31,6%. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tinggi tempat duduk, panjang alas duduk dan lebar alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan. Jenis penelitian ini adalah penelitian explanary research dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan sebanyak 20 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua pekerja di bagian penenunan sebanyak 20 orang (menggunakan teknik total sampling). Instrumen yang digunakan adalah meteran gulung dan lembar penilaian. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan α=0,05). Hasil dari penelitian ini, variabel yang berhubungan dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan adalah tinggi tempat duduk (ρ=0,02) dan panjang alas duduk (ρ=0,015). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat hubungan antara tinggi tempat duduk dan panjang alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah. Saran yang diberikan kepada pekerja yaitu pekerja harus memperhatikan waktu istirahatnya serta melakukan pemanasan sebelum memulai pekerjaannya. Untuk pemilik usaha tenun supaya menyediakan kursi yang memenuhi kriteria ukuran kursi ergonomi sesuai dengan antropometri pekerja.
________________ Keywords: Design of working chair, Low back pain ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ Low Back Pain is a gripe that often happens to worker with prevalence reaches 31,6%. The aim of this study is to find out the correlation between height of chair, length of the base of chair, width of the base of chair desaign of working chair and low back pain gripe on weave worker of CV. Pirsa Art Pekalongan. This study is explanary research with cross sectional approachment. The population of this study all the weave worker of CV. Pirsa Art Pekalongan as many as 20 people. Sample of this study is all the weave worker of CV. Pirsa art Pekalongan as many as 20 people (using total sampling technique). The instrument that used in this study is rolled and assessment sheet. The analysist of data is conducted univariat and bivariat (using chi-square test with α=0,05). The result of this study, variable which related with low back pain on weave worker of CV. Pirsa art Pekalongan is the height of chair (ρ=0,02) and the length of the base of chair (ρ=0,015). According to the result of study, there is a correlation between the height of chair and the length of the base of chair with low back pain gripe. Suggestion which given to the worker is that the worker should pay attention to their resting time also doing warming up before working. For the owner of weaving factory is suggested to supply chair that fulfill the criteria of ergonomics chair size appropriate with anthropometry of the worker.
© 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN 2252-6528
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
61
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
ketidaknyamanan dan kelelahan. Rancangan sebuah kursi harus didasarkan pada data antropometri yang dipilih dengan tepat, karena jika tidak akan muncul keraguan bahwa hasil rancangan tersebut tidak dapat menciptakan kenyamanan bagi pemakainya. Saat menentukan ukuran kursi, aspek antropometri harus dihubungkan dengan kebutuhan biomekanika yang terlibat (Julius Panero dan Martin Zelnik, 2003:53). Pelaksanaan pekerjaan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan norma ergonomi dapat menyebabkan kelelahan dan gangguan nyeri pada otot rangka (Tarwaka, 2011:25). Perbaikan sikap badan kerja dan cara bekerja yang lebih ergonomis mampu menaikkan 10% produktivitas pekerja (Suma’mur P.K., 2009:25). Faktor yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri manusia sendiri yaitu usia, jenis kelamin, antropometri, kesegaran jasmani serta status gizi dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri manusia yaitu lama kerja, masa kerja, sikap kerja, gerakan berulang dan desain kursi kerja (A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003:76).
PENDAHULUAN Nyeri punggung bawah merupakan keluhan yang sering terjadi pada pekerja dengan prevalensi mencapai 31,6%. Penelitian yang dilakukan pada pembuat wajan di Boyolali oleh Annisa Mutiah (2013) menunjukkan bahwa 75% responden mengalami keluhan pada punggung. Keluhan pada sektor punggung dapat disebabkan karena sikap kerja responden adalah sikap kerja duduk dengan posisi punggung membungkuk ke depan dalam durasi panjang (Annisa Mutiah, 2013:3). Nyeri punggung bawah merupakan salah satu gangguan otot rangka yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. Hampir 80% penduduk pernah mengalami keluhan nyeri punggung bawah dalam siklus kehidupannya. Kesalahan postur seperti kepala menunduk ke depan, bahu melengkung ke depan, perut menonjol ke depan dan lordosis lumbal berlebihan dapat menyebabkan spasme otot (ketegangan otot). Hal ini merupakan penyebab terbanyak dari nyeri punggung bawah (Himawan Fathoni, dkk., 2009:2). Nyeri punggung bawah adalah keluhan rasa nyeri, ketegangan otot, atau rasa kaku di daerah punggung bawah, dengan atau tanpa disertai penjalaran rasa sakit ke daerah tungkai (Ridwan Harrianto, 2009:217). Dimensi tempat duduk sangat berperan dalam pencapaian kenyamanan dan keamanan kerja. Tinggi objek yang dikerjakan maupun tangan pekerja menentukan kecermatan pekerjaan. Pekerjaan yang dilakukan duduk memerlukan rancangan kursi kerja yang sesuai antropometri pemakainya. Jika terlalu rendah menyebabkan bahu terangkat sehingga bisa menimbulkan rasa sakit di daerah leher dan bahu, sedangkan jika terlalu tinggi akan menyebabkan punggung terlalu membungkuk dan dapat menimbulkan rasa sakit di bagian punggung bawah (Komang Nelly Sundari, 2011:1). Kursi adalah salah satu komponen penting di tempat kerja. Kursi yang ergonomi akan mampu memberikan postur dan sirkulasi yang baik dan akan membantu menghindari
METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian explanary research yang menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat melalui pengujian hipotesis serta menggunakan cross sectional pendekatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:26). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan sebanyak 20 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling, jadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran gulung, lembar penilaian Rapid Entire Body Assessment (REBA) dan lembar penilaian desain kursi kerja. Meteran gulung untuk mengukur kriteria kursi ergonomi (tinggi tempat duduk, panjang alas duduk, dan lebar alas duduk) serta untuk
62
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
mengukur antropometri pekerja. Lembar penilaian REBA digunakan untuk mengetahui keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja dan menilai posisi kerja. Sedangkan lembar penilaian desain kursi kerja untuk membandingkan antara ukuran kursi ergonomi dengan ukuran kursi yang digunakan pekerja.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi responden berdasarkan lebar alas duduk pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Lebar Alas Duduk No (1) 1. 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi responden berdasarkan tinggi tempat duduk pada Tabel 1.
(1) 1. 2.
Tinggi Tempat Duduk (2) Ergonomi Tidak Ergonomi Jumlah
Frekuensi
Prosentase (%)
(3) 8 12
(4) 40 60
20
100
No
(1) 1. 2.
Tabel 2. Distribusi Panjang Alas Duduk
(1) 1. 2.
Panjang Alas Duduk (2) Ergonomi Tidak Ergonomi Jumlah
Frekuensi (3) 7 13
Prosentase (%) (4) 35 65
20
100
(3) 12 8
Prosentase (%) (4) 60 40
20
100
Tabel 4. Distribusi Keluhan Nyeri Punggung Bawah
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa 40% responden menggunakan kursi dengan tinggi tempat duduk yang ergonomi, sedangkan 60% responden yang lain menggunakan kursi dengan tinggi tempat duduk yang tidak ergonomi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi responden berdasarkan panjang alas duduk pada Tabel 2.
No
Frekuensi
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa 60% responden menggunakan kursi dengan lebar alas duduk yang ergonomi, sedangkan 40% responden yang lain menggunakan kursi dengan lebar alas duduk yang tidak ergonomi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi responden berdasarkan keluhan nyeri punggung bawah pada Tabel 4.
Tabel 1. Distribusi Tinggi Tempat Duduk No
Lebar Alas Duduk (2) Ergonomi Tidak Ergonomi Jumlah
Keluhan Nyeri Punggung Bawah (2) Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan Jumlah
Frekuensi
Prosentase (%)
(3) 15
(4) 75
5
25
20
100
Berdasarkan tabel 4 responden yang merasakan ada keluhan nyeri punggung bawah sebanyak 15 responden (75%), sedangkan 5 orang tidak merasakan adanya keluhan keluhan nyeri punggung bawah. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian hubungan antara tinggi tempat duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah hasilnya dapat dilihat pada tabulasi silang Tabel 5.
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 35% responden menggunakan kursi dengan panjang alas yang ergonomi, sedangkan 65% responden yang lain menggunakan kursi dengan panjang alas duduk tidak ergonomi.
63
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 5. Tabulasi Silang antara Tinggi Tempat Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Keluhan Nyeri Punggung Bawah cc Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan α ρ Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Tidak Ergonomi 12 100% 0 0% 0,0 Ergonomi 3 37,5% 5 62,5% 0,02 0,577 5 Total 15 75% 5 25% Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan duduk dengan santai, dan kaki diletakkan rata bahwa 12 responden yang menggunakan kursi dan nyaman di atas lantai. Kursi yang terlalu dengan tinggi tempat duduk tidak ergonomi tinggi akan menekan tubuh untuk menghalangi semuanya merasakan ada keluhan nyeri pergerakan kaki. Kondisi ini sangat melelahkan punggung bawah (100% mengalami keluhan pekerja karena melemahnya stabilitas tubuh nyeri punggung bawah), sedangkan 8 responden (ILO, 2000:165). yang menggunakan kursi dengan tinggi tempat Jika suatu landasan tempat duduk terlalu duduk tidak ergonomi 3 orang (37,5%) tinggi letaknya, maka bagian paha akan tertekan merasakan ada keluhan nyeri punggung bawah sehingga peredaran darah menjadi terhambat. dan 5 orang (62,5%) tidak mengalami keluhan Namun jika letak tempat duduk terlalu rendah nyeri punggung bawah. menyebabkan kaki lebih cenderung terjulur ke crosstab Hasil tinggi tempat duduk depan, menjauhkan tubuh dari keadaan stabil. dengan keluhan nyeri punggung bawah Bahkan dapat menyebabkan pergerakan tubuh menunjukkan bahwa ada hubungan antara ke depan akan menjauhkan punggung dari tinggi tempat duduk dengan keluhan nyeri posisi normal (Dewi Kurniawati, 2013:44). punggung bawah, karena hasil ρ value hitung Berdasarkan data yang diperoleh dalam 0,02 < 0,05 dan mempunyai coefficient penelitian hubungan antara panjang alas duduk continguency sebesar 0,577 berarti dapat dengan keluhan nyeri punggung bawah, maka diinterpretasikan bahwa tingkat hubungannya hasilnya dapat dilihat pada tabulasi silang Tabel 6. sedang. Tinggi tempat duduk yang sesuai antropometri menyebabkan pekerja dapat Ukuran Tinggi Tempat Duduk
Tabel 6. Tabulasi Silang antara Panjang Alas Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Ukuran Panjang Alas Duduk (1) Tidak Ergonomi Ergonomi Total
Keluhan Nyeri Punggung Bawah Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase (2) (3) (4) (5) 12 92,3% 1 7,7% 3 42,9% 4 57,1% 15 75% 5 25%
Berdasarkan tabel 6 dihasilkan nilai bahwa 13 responden yang menggunakan kursi dengan ukuran panjang alas duduk tidak ergonomi terdapat 12 orang (92,3%) mengalami keluhan nyeri punggung bawah dan 7 responden
α
ρ
cc
(6)
(7)
(8)
0,05
0,015
0,478
yang menggunakan kursi dengan ukuran panjang alas duduk ergonomi sebanyak 3 orang (42,9%) mengalami keluhan nyeri punggung bawah.
64
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Sedangkan 13 responden yang menggunakan kursi dengan ukuran panjang alas duduk tidak ergonomi terdapat 1 orang (7,7%) tidak mengalami keluhan nyeri punggung bawah, dan 7 responden yang menggunakan kursi ukuran panjang alas duduknya ergonomi terdapat 4 orang (57,1%) tidak mengalami keluhan nyeri punggung bawah. Panjang alas duduk harus lebih pendek dari jarak lekuk lutut sampai garis punggung, karena dapat memberikan kemudahan bagi pekerja untuk melaksanakan pemilihan gerakan dan posisi untuk mengurangi rasa ketidaknyamanannya. Tempat duduk harus dirancang dengan baik agar berat badan yang disangga oleh tulang duduk tersebar pada daerah yang cukup luas, sehingga pekerja mendapatkan kedudukan yang mantap dan
memberikan relaksasi otot yang sedang agar tidak mengalami banyak tekanan pada punggung bawah (Dewi Kurniawati, 2013:45). Berdasarkan hasil crosstab panjang alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah menunjukkan bahwa ada hubungan antara panjang alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah, karena hasil ρ value hitung 0,015 < 0,05 dan mempunyai coefficient continguency sebesar 0,478 berarti dapat diinterpretasikan bahwa tingkat hubungannya sedang. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian hubungan antara lebar alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah, maka hasil penelitian dapat dilihat pada tabulasi silang Tabel 7.
Tabel 7. Tabulasi Silang antara Lebar Alas Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Ukuran Duduk
Lebar Alas
(1) Tidak Ergonomi Ergonomi Total
Keluhan Nyeri Punggung Bawah Ada Keluhan Tidak Ada Keluhan Jumlah Prosentase Jumlah Prosentase (2) (3) (4) (5) 5 62,5% 3 37,5% 10 83,3% 2 16,7% 15 75% 5 75%
α
ρ
cc
(6)
(7)
(8)
0,05
0,292
0,229
punggung bawah, karena hasil ρ value hitung 0,292 < 0,05. Lebar alas duduk yang terlalu sempit dapat membuat duduk tidak nyaman. Sehingga menyebabkan kerusakan jaringan lunak di daerah sekitar pelvis. Apabila hal ini tidak segera mendapatkan perhatian secara serius akan menyebabkan timbulnya sakit pada daerah pelvis dan tulang belakang secara permanen (Niniek Anggraini dan Dyan Agustin, 2005:4). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khaizun (2013:70) diketahui bahwa ada hubungan antara desain kursi dengan keluhan subjektif pada punggung pekerja tenun sarung Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) desa Wanarejan Utara Pemalang. Dengan nilai OR 6,50 maka diketahui bahwa risiko pekerja tenun sarung ATBM yang menggunakan desain kursi kerja yang tidak ergonomi 6 kali lebih besar
Berdasarkan tabel 7 dihasilkan bahwa 8 reponden yang menggunakan kursi dengan ukuran lebar alas duduk tidak ergonomi terdapat 5 orang (62,5%) yang mengalami keluhan nyeri punggung bawah. Sedangkan 12 responden dengan ukuran lebar alas duduk ergonomi terdapat 10 orang (83,3%) mengalami keluhan nyeri punggung bawah. Sedangkan 8 reponden dengan kursi ukuran lebar alas duduk tidak ergonomi terdapat 3 orang (37,5%) mengalami keluhan nyeri punggung bawah dan 12 orang dengan kursi ukuran lebar alas duduk ergonomi terdapat 2 orang (16,7%) tidak mengalami nyeri punggung bawah. Berdasarkan hasil crosstab lebar alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lebar alas duduk dengan keluhan nyeri
65
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
dibandingkan dengan pekerja tenun sarung ATBM yang menggunakan desain kursi yang ergonomi. Berdasarkan penelitian mengenai desain kursi kerja, didapatkan hasil bahwa semua kursi yang digunakan pekerja tidak memiliki sandaran punggung dan sandaran lengan. Kursi yang digunakan terbuat dari kayu, terdapat dua bentuk kursi, yang pertama berbentuk kotak bisa dipindahkan, dan yang kedua berbentuk melebar yang menjadi satu dengan alat tenunnya. Perencanaan kursi kerja harus disesuaiakan dengan jenis pekerjaan, postur yang diakibatkan, gaya yang dibutuhkan, arah visual, dan kebutuhan akan perlunya merubah posisi (Eko Nurmianto, 1996:119). Tempat duduk harus dirancang dengan baik agar berat badan yang disangga oleh tulang duduk tersebar pada daerah yang cukup luas. Alas yang tepat pada landasan tempat duduk dapat memenuhi kebutuhan tersebut dan juga harus diupayakan duduk dapat mengubah posisinya atau postur tubuhnya untuk mengurangi rasa ketidaknyamanannya (Dewi Kurniawati, 2013:45). Desain kursi yang tidak tepat akan mempengaruhi penampilan kerja seseorang dan dapat menyebabkan sakit punggung dan masalah tulang belakang. Desain kursi yang tepat ditandai dengan perasaan nyaman apabila individu duduk di kursi itu dalam jangka waktu yang lama (Dhevy Puswiartika, 2008:49).
Pada saat bekerja punggung selalu bergerak mendekati atau menjauhi alat. Responden dapat membungkuk >20o untuk dapat beradaptasi dan menjangkau alat kerjanya, dalam hal ini adalah mesin tenun yang digunakan. Sudut yang dibentuk oleh sumbu badan lebih dari 20o dapat menyebabkan nyeri punggung bawah. Sikap dengan posisi membungkuk dan menunduk terlalu lama dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan otot-otot menjadi spasme dan akan merusak jaringan lunak. Posisi tubuh yang salah selama duduk membuat tekanan abnormal dari jaringan sehingga menyebabkan rasa sakit. Tekanan diskus lebih besar pada posisi duduk tegak (140%) dari pada posisi berdiri (100%) dan menjadi lebih besar lagi pada posisi duduk dengan badan membungkuk ke depan (190%). Keadaan ini karena perubahan mekanisme pelvis dan sacrum (tulang segitiga besar yang membentuk bagian bawah tulang punggung) selama perpindahan dari berdiri ke duduk, yaitu tepi atas pelvis berotasi ke belakang, sacrum berputar menjadi tegap, kolumna vertebralis berubah lordosis ke posisi lurus atau kifosis. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan pada diskus. Penekanan menyebabkan sirkulasi darah terganggu yang berakibat pasokan oksigen berkurang, sehingga terjadi penimbunan asam laktat. Penimbunan asam laktat menyebabkan jaringan melemah. Dalam kerja duduk, sikap tubuh selama bekerja berhubungan dengan tempat duduk (Dhevy Puswiartika, 2008:50).
66
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Proses terjadinya keluhan nyeri punggung secara ringkas pada Gambar 1.
Jenis pekerjaan menenun
Pekerjaan dengan posisi duduk
Kursi tidak ergonomi
Tidak ada kesesuaian antara kursi kerja dengan antropometri tenagakerja Kerja dengan posisi tidak alamiah atau posisi duduk terlalu dipaksakan
Penekanan pada bagian tubuh tertentu (punggung bawah) Sirkulasi darah terganggu
Pasokan oksigen berkurang
Penimbunan asam laktat
Melemahnya jaringan
Terjadinya keluhan nyeri punggung bawah
Gambar 1: Proses Terjadinya keluhan Nyeri Punggung Bawah Sumber: (Dhevy Puswiartika, 2008:50)
67
Sri Astutik / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015) Dhevy Puswiartika, 2008, Peran Ergonomi dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol.8, No.1,hal 47-52 Eko Nurmianto, 1996, Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya: Guna Widya Himawan Fathoni, dkk., 2009, Hubungan Sikap dan Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat di RSUD Purbalingga, Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4, No.3, hal 131139. ILO, 2000, Pedoman Praktis Ergonomik, Jakarta. Julius Panero dan Martin Zelnik, 2003, Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Jakarta: Erlangga Khaizun, 2013, Faktor Penyebab Keluhan Subyektif pada Punggung Pekerja Tenun Sarung ATBM di Desa Wanarejan Utara Pemalang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Komang Nelly Sundari, 2009, Sikap Kerja yang Menimbulkan Keluhan Muskuloskeletal dan Meningkatkan Beban Kerja pada Tukang Bentuk Keramik Kerja Pada Tukang Bentuk Keramik, Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol. 10, No. 1, hal 42-47. Niniek Anggraini dan Dyan Agustin, 2005, Desain Kursi Kerja Berkaitan dengan Unsur Kesehatan Tubuh dan Peningkatan Kualitas Kerja, Jurnal Rekayasa Perencanaan, Vol. 1, No. 2, hal 1-7. Ridwan Harrianto, 2009, Buku Ajar Kesehatan Kerja, Jakarta: EGC Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta Suma’mur P.K., 2009, Hiegiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Sagung Seto Tarwaka, 2011, Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja, Surakarta: HARAPAN PRESS
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara desain kursi kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Responden yang menggunakan kursi dengan ukuran tinggi tempat duduk tidak ergonomi seanyak 12 responden (60%), panjang alas duduk tidak ergonomi sebanyak 13 responden (65%), dan lebar alas duduk ergonomi sebanyak 12 responden (60%). (2) Ada hubungan antara tinggi tempat duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah dengan ρ value hitung 0,02 < 0,05 dan coefficient continguency sebesar 0,577. (3) Ada hubungan antara panjang alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah dengan ρ value hitung 0,015 < 0,05 dan coefficient continguency sebesar 0,478. (4) Tidak ada hubungan antara lebar alas duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pekerja bagian penenunan di CV. Pirsa Art Pekalongan dengan hasil ρ value hitung 0,292 < 0,05. DAFTAR PUSTAKA A.M. Sugeng Budiono, dkk., 2003, Bunga Rampai Hiperkes & Keselamatan Kerja, Semarang: Undip Semarang Annisa Mutiah, dkk., 2013, Analisis Tingkat Risiko Muskuloskeletal Disorders (MSDs) dengan The Brief Survey dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs Pembuat Wajan di Desa Cepogo Boyolali, (Online), Vol. 2, No. 2, hal 1-15, (http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jk m), diakses 26 Januari 2014. Dewi Kurniawati, 2013, Taktis Memahami Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bidang Teknologi Informasi,, Surakarta: Aksarra Sinergi Media
68
UJPH 4 (1) (2015)
Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN JENTIK AEDES AEGYPTI (STUDI KASUS DI KELURAHAN SUKOREJO, KECAMATAN GUNUNGPATI, KOTA SEMARANG TAHUN 2014) Daka Santi , Irwan Budiono, Bambang Wahyono. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima Desember 2014 Disetujui Desember 2014 Dipublikasikan Januari 2015
Keberadaan jentik suatu wilayah dapat diketahui oleh beberapa faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa sajakah yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan studi cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh KK di RW II, Kelurahan Sukorejo. Teknik pengambilan sampel secara acak, sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 66 KK di RW II. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner dan check list. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square p<0,05). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan PSN (p=0,001), ada hubungan antara TPA (p=0,018), ada hubungan antara keberadaan sampah padat (p=0,035) dengan keberadaan jentik dan tidak ada hubungan antara frekuensi kunjungan jumantik (p=1,000) dengan keberadaan jentik. Kesimpulanya ada hubungan antara pelaksanaan PSN, TPA, dan keberadaan sampah padat dengan keberadaan jentik, dan tidak ada hubungan antara frekuensi kunjungan jumantik dengan keberadaan jentik. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu meningkatkan pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk agar mencegah ditemukan jentik.
________________ Keywords: Presence of Larvae, PSN, Larvae Monitoring Officers, Wide Water Reservoirs. ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ The larvae existence of a region, were influenced by some factors. The purpose of this study was to determine what factors are associated with the presence of Aedes aegypti mosquito larvae in RW II Sukorejo. This type of research was explanatory research with cross sectional study. The population in this study were all families in the village Sukorejo RW II. This study used random sampling technique to obtain sample that are 66 households in RW II. Instrument in this study were questionnaire and a check list. Data analysis was performed byunivariate and bivariate (withchi square test p <005). Result obtained that there was a relationship between the mosquito nest extermination with the presence of larvae (p = 0.001), there was no relationship between the frequency of monitoring officers visit to the presence of larvae(p = 1.000), there was a relationship between the presence of wide water reservoirs (p = 0.018), and there was a relationship between the presence ofgarbage with the presence of larvae (p = 0.035). Conclusion there was a relationship between implementation mosquitonest extermination, water reservoirs, and garbage with the presence of larvae. Suggestions to growing up the mosquito nest extermination in Sukorejo for protect to find larvae.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6528
69
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
pertama kasus DBD untuk tingkat Jawa Tengah. Oleh karena masih tingginya kasus DBD di kota semarang maka pemerintah melakukan tindakan pencegahan yang seharusnya dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri salah satunya seperti pemberantasan sarang nyamuk, yang bertujuan untuk mengurangi angka keberadaan jentik di tempat penampungan air. Keberadaan jentik di suatu wilayah diketahui dengan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ merupakan persentase rumah atau tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik. Daerah Kelurahan Sukorejo meningkati urtan pertama banyaknya kasus DBD di Kota Semarang. Kelurahan Sukorejo pada studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan juli tahun 2012, dengan angka ABJ tiap RW di Sukorejo masih kurang dari 95%, khususnya di RWIIangka bebas jentiknya paling rendah dari target pemerintah yaitu hanya 52%, sedangkan target pemerintah ABJ harus lebih dari 95%. Perlu diwaspadai karena rendahnya ABJ memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi virus (Dinkes Kota Semarang, 2012). Keberadaan jentik nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Yulian Taviv, Akhmad Saikhu, dan Hotnida Sitorus, ketersediaan petugas pemantau jentik, macam tempat penampungan air seperti penampungan buatan, PSN 3M plus meliputi menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang bekas, jenis TPA rumah tangga yang paling banyak ditemukan jentik atau pupa Aedes aegypti adalah TPA yang berasal dari bahan dasar logam. Jenis TPA rumah tangga yang paling banyak ditemukan jentik atau pupa adalah TPA jenis tempayan. Jenis TPA yang ditemukan positif jentik yang berada didalam atau diluar rumah ada 3 yaitu drum, bak mandi, dan ember plastik (Farid Setyo Nugroho, 2009). ABJ di Kelurahan Sukorejo masih rendah sehingga perlu dibuktikan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh sebab itu peneliti mengambil judul penelitian “faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti (studi kasus di Kelurahan Sukorejo
PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit arthrophod-borne viral yang menempati posisi terpenting dalam deretan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris diseluruh belahan dunia terutama di Negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan (Djunaedi, 2006:7). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Djunaedi, 2006: 2). Indonesia sendiri menempati urutan ke 3 terbanyak didunia untuk jumlah angka penderita DBD, dengan no.1 terbanyak adalah Negara Brazil. Jumlah penderita demam berdarah pada tahun 2012 meningkat dibanding tahun lalu, sepanjang 2012 Kemenkes mencatat sebanyak 90.242 penderita, dengan angka kematian mencapai 816 orang (Kemenkes, 2012). Penyakit DBD masih merupakan permasalahan serius di Propinsi Jawa Tengah, terbukti 35 kabupaten/kota sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Angka kesakitan tertinggi di Jawa Tengah adalah Kota Semarang.Jumlah kasus DBD di Kota Semarang berdasarkan sumber data kesehatan Dinkes Kota Semarang dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 terjadi 1.845 kasus dengan 42 angka kematian, pada tahun 2007 terjadi 2.924 kasus dengan 32 angka kematian, pada tahun 2008 terjadi 5.249 kasus dengan 18 angka kematian, pada tahun 2009 terjadi 3.883 kasus dengan 43 angka kematian, sedangkan pada tahun 2010 terjadi 5.556 kasus dengan 47 angka kematian, sedangkan kasus DBD Kota Semarang pada tahun 2012 sebanyak 1250 kasus (Dinkes Kota Semarang, 2012:56). Kota Semarang sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 menempati peringkat
70
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang tahun 2014)”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor apa sajakah yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.
dikumpulkan datanya. Apabila terdapat jentik pada perindukan maka akan diberi tanda centang (v) dan apabila tidak ada jentik maka diberi tanda strip (-). Teknik pengambilan data dengan cara interview atau wawancara, dokumentasi dan observasi. Wawancara dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan secara lisan dari responden, atau bercakap-cakap dengan berhadapan muka dengan orang tersebut. Jadi data diperoleh langsung dari responden melalui suatu pertemuan (Soekidjo, 2005). Dokumentasi ini digunakan untuk mengetahui gambaran atau memperoleh data tentang cara pelaksanaan PSN DBD di tiap rumah, frekuensi petugas jumantik, tempat penampungan air, dan keberadaan sampah padat di desa tersebut. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang variabel yang diteliti. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square, karena skala variabel yang digunakan adalah kategorik (ordinal dan nominal), sedangkan uji alternatifnya yaitu uji fisher.
METODE Jenis dan rancangan penelitian harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan peneliti (Sudigdo, 2002). Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research dengan studi cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dengan observasi atau pengukuran variabel pada saat tertentu, yang berarti semua objek diamati dengan tepat pada saat yang sama dan hanya dilakukan satu kali. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jumlah KK di RW II, Kelurahan Sukorejo yaitu sebanyak 200 KK. Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian rumah di RW II yang diambil secara acak atau Random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 66 KK di RW II, Kelurahan Sukorejo. Instrumen pengukuran dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan check list. Kuesioner digunakan sebagai panduan wawancara untuk mengumpulkan data dari subyek penelitian atau responden mengenai identitas responden dan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik, yaitu cara pelaksanaan PSN. Check list untuk pemeriksaan jenis tempat penampungan air, sampah padat, dan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Check list berupa daftar variabel yang akan
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel hasil penelitian. Analisis ini menunjukkan jumlah dan prosentase dari tiap variabel data yang berhubungan antara pelaksanaan PSN, kunjungan jumantik, TPA, dan keberadaan sampah padat di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.
71
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 1. hasil analisis univariat berdasarkan penelitian dari 66 responden.
No
Variable
1 Umur
2 Tingkat Pendidikan
Kategori
n
%
Umur dewsa awal
20
30,3
Umur dewasa menengah
22
33,3
Umur dewasa akhir
24 25
36,4 37,9
41
62,1
Perempuan
58
87,9
Laki - laki
8
12,1
28
42,4
Baik
38
57,6
Jarang
40
60,6
Sering
26
39,4
Pendidikan menengah (tidak tamat sekolah, tidak tamat SD, tamat SD) Pendidikan Tinggi (tamat SLTP, tamat SLTA, tamat perguruan tinggi)
3 Jenis Kelamin
4 Pelaksanaan PSN DBD Buruk
5 Frekuensi kunjungan jumantik
perempuan yaitu sebanyak: 58 responden (87,9%), sedangkan yang berjenis kelamin laki – laki yaitu sebanyak 8 responden (12,1%). Berdasarkan hasil pada tabel menunjukan bahwa, responden dengan pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk yang buruk sebanyak: 28 responden (42,4%), sedangkan responden dengan pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk yang baik sebanyak: 38 responden (57,6%). Berdasarkan hasil pada tabel menunjukkan jumlah responden di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang yang mengatakan bahwa petugas jumantik jarang berkunjung sebanyak 40 responden (60,6%), sedangkan yang mengatakan bahwa petugas jumantik sering berkunjung sebanyak 26 responden (39,4%).
Dari hasil tabel 1 di dapatkan gambaran bahwa jumlah responden di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang yang tergolong umur dewasa awal (20-35 tahun) yaitu sebanyak: 20 responden (30,3%) dan umur dewasa menengah (36-50 tahun) yaitu sebanyak: 22 responden (33,3%), sedangkan responden yang tergolong umur dewasa akhir (>50 tahun) sebanyak: 24 responden (36,4%). Berdasarkan hasil diatas, dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah (tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD) adalah sebanyak 25 responden (37,9%), sedangkan responden dengan pendidikan tinggi (tamat SLTP, tamat SLTA, tamat Perguruan tinggi) adalah sebanyak 41 responden (62,1%). Berdasarkan hasil diatas, dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin
72
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
Tabel 2. hasil analisis antara pelaksanaan PSN DBD di rumah tangga dengan keberadaan jentik aedes aegypti.
Keberadaa Jentik No
1 2
Variabel
Frekuensi Kunjungan Jumantik Pelaksanaan PSN DBD Tempat Penampungan Air
Tidak Ada
Jumlah
N
%
N
%
N
%
14
21.2
27
40.9
41
62.7
Tidak Ada 2 10 Jarang
3.1
23
34.8
25
37.9
15.1
30
45.5
40
60.6
Sering
6
9.1
20
30.3
26
39.4
Buruk
13
19.7
15
22.7
28
42.4
Baik
3
4.5
35
53.1
38
57.6
Ada
16
24.3
47
71.2
63
95.5
0
3
4.5
3
4.5
Keberadaan Sampah Padat Ada
3 4
Kategori
Ada
Tidak Ada 0
Hubungan Antara Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan hasil Uji Chi square diperoleh nilai p sebesar 0,001 (p value< 0,005), maka Ho ditolak dan Ha diterima, dengan demikian diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk dengan keberadan jentik nyamuk Aedes Aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang tahun 2014. Hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana pada responden yang berperilaku buruk sebanyak 42,4% dan yang ditemukan jentik sebanyak 19,7%. Dengan demikian pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Farid Setyo Nugroho (2009) yang diperoleh hasil Ada Hubungan antara pemberantasan sarang nyamuk (PSN) Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti (p=0,039).
P Value
0.035 1.000 0.001 0.018
Hubungan Antara Frekuensi Kunjungan Petugas Jumantik dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan hasil uji Fisher Exact table diperoleh p 1,000 (p > 0,05), maka Ho diterima dan Ha ditolak, dengan demikian diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi kunjungan petugas pemantau jentik dengan keberadaan jentik aedes aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang tahun 2014. Hal ini terlihat bahwa petugas jumantik di RW II, lebih banyak yang jarang memeriksa jentik pada tiap rumah, jumlah responden yang mengatakan bahwa petugas jumantik jarang memeriksa yaitu sebanyak 40 responden, dan dari data tersebut didapatkan 10 rumah ditemukan jentik dan 30 rumah tidak ditemukan jentik. Selain itu jumlah responden yang mengatakan bahwa petugas jumantik sering memeriksa tiap rumah yaitu sebanyak 26 rumah, dan dari jumlah tersebut ditemukan 6 rumah terdapat jentik, dan 20 tidak ditemukan jentik. Dengan demikian frekuensi kunjungan petugas pemantau jentik tidak berhubungan dengan keberadaan jentik aedes aegypti. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Djoko Suprijanto (2004) yang diperoleh hasil Tidak ada hubungan antara
73
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015)
kunjungan petugas juru pemantau jentik dengan keberadaan jentik nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD) (p=0,133).
(3,1%) ditemukan jentik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Farid Setyo Nugroho (2009) yang diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan sampah padat dengan keberadaan jentik nyamuk (p=0,216).
Hubungan Antara Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Dari hasil uji fisher diperoleh nilai p value sebesar 0,018 (p value< 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, jadi ada hubungan antara tempat penampungan air dengan keberadaan jentik aedes aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang tahun 2014. Hal ini terlihat bahwa hasil analisis hubungan antara tempat penampungan air dengan keberadaan jentik diperoleh data rumah yang terdapat tempat penampungan air sebanyak 63 rumah (95,5%), dari jumlah tersebut didapatkan yang terdapat TPA dan ditemukan jentik sebanyak 16 (24,3%), dan yang tidak ditemukan jentik sebanyak 47 (71,2%). Selanjutnya yang tidak terdapat TPA sebanyak 3 (4,5%), semuanya tidak terdapat jentik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ririh Yudhastuti dan Anny Vidiyani (2005) yang diperoleh hasil bahwa Ada hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan jentik Aedes aegypti (p=0,004).
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, ada hubungan antara Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan p value sebesar 0,000 (p value< 0,05), ada hubungan antara tempat penampungan air dengan keberadaan jentik aedes aegypti dengan p value sebesar 0,018 (p value> 0,05), ada hubungan antara keberadaan sampah padat keberadaan jentik aedes aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang tahun 2014, dengan p value sebesar 0,035 (p value< 0,05), dan tidak ada hubungan antara Frekuensi Kunjungan Petugas Jumantik dengan keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang Tahun 2014, dengan p value sebesar 1,000 (p value> 0,05). DAFTAR PUSTAKA
Hubungan Antara Keberadaan Sampah Padat dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Dari hasil uji fisherexact table diperoleh nilai p value sebesar 0,035 (p value< 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, jadi ada hubungan antara keberadaan sampah padat dengan keberadaan jentik aedes aegypti di RW II Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang tahun 2014. Hal ini terlihat bahwa hasil analisis hubungan antara keberadaan sampah padat dengan keberadaan jentik nyamuk. Diperoleh data rumah yang ada sampah padat sebanyak 41 (62,7%) dan ditemukan jentik sebanyak 14 rumah (21,2%), yang tidak ditemukan 27 rumah (40,9%). Selanjutnya jumlah rumah yang tidak ditemukan sampah padat sebanyak 25 rumah (37,9%) dari jumlah tersebut sebanyak 23 rumah (34,8%) tidak ditemukan jentik, dan 2 rumah
Dinkes Kesehatan Kota Semarang, 2012, Rekapitulasi Kasus DBD Tahun 2012, Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang. Djunaedi, D, 2006, Demam Berdarah Dengue Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaannya, Malang: UMM Press. Kementerian Kesehatan, 2012, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Jakarta: Kementerian Kesehatan. Notoatmodjo. S, 2005, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nugroho, FS, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti di RW IV Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta. Sastroasmoro.S dan Ismael. S, 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara
74
Daka Santi / Unnes Journal of Public Health 4 (1) (2015) Suprijanto, D, 2004, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta. Taviv. Y, 2010, Saikhu. A dan Sitorus H, Peran Serta Masyarakat Sebagai Salah Satu Faktor Yang Mempengaruhi Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Jakarta Barat: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/det ail.jsp?id=81525&lokas=lokal,diakses pada 21 Desember 2012
Yudhastuti. R, dan Vidiyani. A, 2008, Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/KE SLING-1-2-08.pdf, diakses pada 3 Maret 2013.
75