MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesia Journal of Public Health
Volume 10, Nomor 1, Maret 2014
ISSN 0216-2482
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah dibidang kesehatan, baik laporan penelitian (original articel research paper), makalah ilmiah (review paper) maupun laporan kasus (case report) dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Penanggung Jawab Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin, MPH (Dekan FKM UNHAS) Pemimpin Redaksi Dr. Ida Leida M. Thaha, SKM, M.KM, MSc.PH Wakil Pemimpin Redaksi Wahiduddin, SKM, M.Kes Redaksi Pelaksana Prof. Dr. dr. Muh. Syafar, MS Prof. Dr. dr. Buraerah H. Abd. Hakim, M.Sc Sudirman Natsir, S.Ked, MWH, Ph.D Ansariadi, SKM, MSc.PH Balqis, SKM, M.Kes, MSc.PH Irwandi Kapalawi, SKM, MSc.PH, MARS Sekretariat Laila Qadrianti, SKM Husni, SKM Indra Dwinata, SKM, MPH Sirkulasi Syamsiah, S.E Drs. Syamsu Alam Tata Usaha Muh. Asdar, SKM Andi Selvi Yusnitasari, SKM Usman, SKM Intan Fatmasari, SKM
Penerbit Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Maret, Juni, September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat dialamatkan ke : Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Saudari Husni dan Syamsiah d.a Ruang Jurnal FKM Lt.1 Ruang K108 Kampus Unhas - Tamalanrea 90245 Telp (0411) 586 658, Fax (0411) 586013, E-mail :
[email protected]
MKMI MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA The Indonesia Journal of Public Health
Volume 10, Nomor 1, Maret 2014
ISSN 0216-2482
DAFTAR ISI Pemberian Air Kelapa Muda untuk Meningkatkan Asupan Kalium pada Perempuan Prahipertensi Farapti, Savitri Sayogo, Parlindungan Siregar
1-7
Perbedaan Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Cerita dan Ceramah terhadap Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Siswa SD tentang Penyakit DBD Wa Ode Analestariastuti, Hartati Bahar, Lymbran Tina
8-15
Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian Hepatitis A di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Siti Rahmah, Citra Indriani
16-20
Program Kemitraan Bidan dan Dukun sebagai Good Governance Innovation Akselerator Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Kabupaten Trenggalek Dedik Sulistiawan, Nurmalasari
21-29
Gangguan Kesehatan pada Pemulung di TPA Alak Kota Kupang Siprianus Singga
30-35
Preparasi Nanopartikel Perak dengan Metode Reduksi dan Aplikasinya sebagai Antibakteri Penyebab Infeksi Harits Atika Ariyanta
36-42
Persepsi Karyawan terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT Semen Tonasa Hasyrul Almani, Atjo Wahyu, Muhammad Rum Rahim
43-50
Perilaku Ibu terhadap Pencegahan dan Pengobatan Balita penderita Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Belawa Haryati Ningsih, Muh. Syafar, Mappeaty Nyorong
51-56
Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar Agustina Pujilestari, Alimin Maidin, Rini Anggraeni
57-64
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 1-7
PEMBERIAN AIR KELAPA MUDA UNTUK MENINGKATKAN ASUPAN KALIUM PADA PEREMPUAN PRAHIPERTENSI The Role of Coconut Water to Increase Potassium Intake in Prehypertension Female Subjects Farapti1, Savitri Sayogo2, Parlindungan Siregar3 1 Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 3 Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (
[email protected]) ABSTRAK Asupan kalium rendah dihubungkan dengan hipertensi dan penyakit kardiovaskuler. Sebagian besar populasi di dunia mengonsumsi kalium lebih rendah dari rekomendasi yang dianjurkan. Air kelapa muda merupakan minuman khas yang tinggi kalium. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis asupan kalium pada perempuan prahipertensi dan menentukan peningkatan asupan kalium dengan pemberian air kelapa muda 300 ml dua kali sehari selama 14 hari berturut-turut. Rancangan penelitian ini menggunakan uji klinis paralel single blind. Kelompok perlakuan (P) mendapat air kelapa muda disertai penyuluhan gizi dan kelompok kontrol (K) mendapat air putih disertai penyuluhan gizi. Penilaian asupan kalium dengan food record 2x24 jam. Kandungan kalium dalam air kelapa muda segar dianalisis dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Analisis lengkap dilakukan pada 31 orang subyek (15 subyek kelompok P dan 16 subyek kelompok K). Pada awal penelitian, rerata asupan kalium subyek tergolong rendah (1420,28±405,54 mg/hari) atau sekitar 30,22±8,63% dari AKG. Selama perlakuan, didapatkan peningkatan asupan kalium sebesar 2 kali lipat dan meningkat signifikan pada kelompok P, tetapi masih lebih rendah dari rekomendasi AKG. Kesimpulannya, asupan kalium dikategorikan rendah, dan air kelapa muda dapat digunakan sebagai minuman alternatif untuk meningkatkan asupan kalium. Kata kunci : Asupan kalium, prahipertensi, air kelapa muda ABSTRACT Low potassium intake has been associated with hypertension and cardiovascular diseases. Most of the world’s population consume less than the recommended intake of potassium. Coconut water is a unique drink high in potassium. This study aims to analyze potassium intake of prehypertension female subjects and to determine the increase of potassium intake with the consumption of 300 ml TCW twice daily for 14 consecutive days. This study was conducted using a parallel single blind randomized clinical trial. The treatment group (T) received 300 ml of coconut water twice daily for 14 days as well as nutritional counseling, while the control group (C) received 300 ml of water twice daily for 14 days as well as nutritional counseling. Dietary intake of potassium was assessed by collecting a two day food record. The content of potassium in TCW and water were analyzed using the Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) method. Complete analysis was done on 31 subjects (15 subjects of the T group and 16 subjects of the C group). At the beginning of the research, the mean dietary intake of potassium were 1420,28±405,54 mg/day or only 30,22±8,63% compared to RDA. During the treatment process, potassium intake doubled and increased significantly in the T group. However, the potassium intake was still lower than what RDA and WHO recommended. In conclusion, dietary intakes of potassium was considered low and coconut water could be used as an alternative drink source to increase potassium intake. Keywords : Potassium intake, prehypertension, coconut water
1
Farapti : Pemberian Air Kelapa Muda untuk Meningkatkan Asupakan Kalium
PENDAHULUAN
turut sebagai salah satu terapi non farmakologi penurunan tekanan darah.
Sekitar 25% penduduk usia dewasa di dunia mengidap hipertensi, dan prevalensinya diperkirakan meningkat menjadi 60% pada tahun 2025. Prahipertensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik (TDS) antara 120-139 mmHg dan atau diastolik (TDD) antara 80-89 mmHg, berisiko tiga kali menjadi hipertensi dan dua kali menjadi penyakit kardiovaskular (PKV) dibandingkan normotensi.1,2 Asupan kalium rendah dihubungkan dengan hipertensi dan PKV. Hasil penelitian menunjukkan hubungan terbalik asupan kalium dengan tekanan darah.3 Hampir seluruh populasi di dunia mengonsumsi kalium lebih rendah dari rekomendasi yang dianjurkan.4 Sayur dan buah merupakan bahan makanan sumber kalium. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan sekitar 60-70% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah sesuai anjuran 4-5 porsi per hari dan rata-rata hanya mengonsumsi satu porsi per hari.5 Tatalaksana non farmakologi merupakan rekomendasi utama untuk penderita prahipertensi. Modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan, olahraga, pengaturan pola makan berperan penting menurunkan tekanan darah.6 Pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang merekomendasikan makan sayur dan buah 4-5 porsi per hari serta rendah lemak terbukti menurunkan tekanan darah.7 Angka kecukupan kalium berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) untuk dewasa sebesar 4700 mg/hari, dan minimal 90 mmol/hari (3510 mg/hari) berdasarkan rekomendasi WHO.4 Indonesia merupakan negara dengan produksi buah kelapa terbanyak di dunia, diikuti dengan Filipina dan India pada urutan kedua dan ketiga.8 Air kelapa muda segar merupakan minuman khas dengan kandungan kalium yang tinggi dan penelitian mengenai pemberian air kelapa muda sebagai sumber kalium untuk meningkatkan asupan kalium pada prahipertensi belum banyak diteliti.9 Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis asupan kalium pada perempuan prahipertensi dan menentukan peningkatan asupan kalium dengan pemberian air kelapa muda 300 ml dua kali sehari selama 14 hari berturut-
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan uji klinis paralel single blind. Sejumlah 32 orang guru perempuan dan karyawati prahipertensi usia 25-44 tahun di lima Yayasan Pendidikan (YP) Islam di Surabaya pada bulan April-Juni 2013 dipilih dengan kriteria tertentu dan dibagi menjadi dua kelompok dengan cara randomisasi blok, 16 orang masuk kelompok perlakuan (P) dan 16 orang masuk kelompok kontrol (K). Kelompok P mendapat air kelapa muda disertai penyuluhan gizi dan kelompok K mendapat air putih disertai penyuluhan gizi. Kandungan kalium dalam air kelapa muda dan air putih dianalisis dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS).10 Air kelapa muda yang digunakan berasal dari buah kelapa varietas hibrida umur 6-8 bulan yang diambil langsung dari perkebunan kelapa di Lumajang. Pada penelitian selain melihat pengaruh pemberian air kelapa muda terhadap peningkatan asupan kalium, dilihat juga pengaruhnya terhadap penurunan tekanan darah dan peningkatan kadar kalium plasma. Kriteria penerimaan penelitian meliputi Indeks Massa Tubuh (IMT) normal dan lebih (overweight) berdasarkan klasifikasi status gizi dewasa WHO (18,5-29,9 kg/m2), sedangkan kriteria penolakan meliputi hipertensi, konsumsi obat antihipertensi, suplemen kalium, alkohol, merokok, hamil, menyusui, menopause, diabetes mellitus dengan pemeriksaan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL, dan terdapat gangguan fungsi ginjal yang ditunjukkan dengan nilai Creatinine Clearance Test (CCT) < 60 mL/min. Asupan kalium dan energi dinilai dengan menggunakan food record 2x24 jam pada hari kerja dan hari libur, dan pengumpulan food record ini dilakukan sebayak 3 kali, yaitu pada masa run-in, minggu pertama, dan minggu kedua periode pengumpulan data. Analisis data asupan energi dan kalium menggunakan program Nutrisurvey 2007. Kebutuhan energi dihitung dengan menggunakan persamaan Harris Benedict.11 Asupan kalium adalah banyaknya kalium yang dikonsumsi per hari, dan disajikan dalam
2
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 1-7
persentase asupan kalium terhadap AKG.12 Untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak normal, digunakan uji shapiro-wilk dan untuk menganalisis data perbedaan hasil perlakuan kedua kelompok, digunakan uji t (kedua data berdistribusi normal) dan uji mann-whitney (bila salah satu atau kedua data berdistribusi tidak normal) dengan batas kemaknaan yang digunakan adalah sebesar 5%. Penyajian data dilakukan dengan menggunakan tabel dan narasi.
lebih ditemukan sebanyak 51,61% dari seluruh subyek. Rerata TDS/TDD 125,87±6,36 mmHg/ 79,84±4,11 mmHg. Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada variabel-variabel yang diteliti pada kedua kelompok pada awal penelitian (Tabel 1). Hal ini menggambarkan kedua kelompok pada awal penelitian dalam keadaan homogen, sehingga adanya perbedaan hasil semata-mata merupakan akibat perlakuan yang diberikan. Selama dua minggu berturut-turut kelompok P mendapatkan air kelapa muda dan kelompok K mendapatkan air putih masing-masing sebanyak 300 ml dua kali per hari yang diminum pagi (pukul 08.00-09.00 WIB) dan siang hari (pukul 11.00-12.00 WIB). Tidak didapatkan keluhan selama mengonsumsi air kelapa. Rerata asupan kalium subyek tergolong kurang 1420,28±405,54 mg/hari atau sekitar 30,22±8,63% dibandingkan AKG.12 Selama periode perlakuan, peningkatan asupan kalium kelompok P menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan kelompok K. Persentase asupan kalium terhadap AKG pada kelompok P (61,09±12,50%) dan pada kelompok K (35,65±11,95%), hal tersebut menunjukkan asupan kalium kelompok P naik sekitar 2,1 kali lipat sedangkan kelompok K naik 1,2 kali lipat. Tabel 2 memperlihatkan nilai asupan kalium dan persentase asupan kalium dibandingkan AKG pada minggu 0, 1, dan 2 pada kedua kelompok. Asupan energi adalah besarnya jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari dibandingkan Kebutuhan Energi Total (KET) individu tersebut (Tabel 2). Tabel 3 memperlihatkan nilai asupan energi maupun persentase asupan energi terhadap kebutuhan pada minggu 0, 1, 2 antara kedua kelompok tidak berbeda signifikan.
HASIL Sejumlah 149 guru perempuan dan karyawati di lima YP Islam di Surabaya diberikan informasi penelitian mengenai tujuan, pemeriksaan yang dilakukan, manfaat, serta perlakuan yang diberikan. Didapatkan 86 dari 149 orang (57,7%) yang diberikan informasi penelitian, tidak termasuk kriteria populasi terjangkau (usia >44 tahun, tekanan darah hipertensi maupun normotensi). Dari 63 orang populasi terjangkau, sebanyak 58 orang menyatakan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan penelitian. Dari 37 orang yang memenuhi kriteria penelitian, dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan 32 orang subyek penelitian. Selama periode penelitian satu orang dari kelompok P menderita chikungunya sehingga tidak dapat melanjutkan penelitian (drop out), sehingga total sebanyak 31 orang (96,9%) mengikuti proses penelitian sampai selesai. Rerata usia subyek penelitian 36,58±5,39 tahun, dengan persentase terbanyak pada kelompok usia 35-44 tahun, yaitu sebesar 61,29%. Nilai rerata IMT 24,59±2,89 kg/m2, dengan status gizi Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Variabel Usia (tahun) Indeks massa tubuh (kg/m2) Aktivitas fisik (MET-jam/minggu) Tekanan darah sistolik (mmHg) Tekanan darah diastolik (mmHg) Kadar kalium plasma (mmol/L) Gula darah sewaktu (mg/dl) Creatinine clearance test (ml/menit)
Perlakuan 35,73±5,92 24,73±2,74 24,73 ±6,72 124,93±6,54 80,20±4,35 3,79±0,38 93,67±32,44 95,67±22,69
Kontrol 37,38±4,90 24,45±3,12 20,50 (16-42)+ 126,75±6,27 79,50±3,98 3,64±0,44 89,19±29,64 85,81±14,98
Keterangan : * = Uji t; **= Uji Mann-Whitney; + =nilai median (minimum-maksimum) Nilai disajikan dalam rerata ± SB
3
p 0,406* 0,792* 0,223** 0,436* 0,643* 0,236* 0,691* 0,162*
Farapti : Pemberian Air Kelapa Muda untuk Meningkatkan Asupakan Kalium
Tabel 2. Rerata Asupan Kalium dan Persentase Asupan Kalium Terhadap AKG Variabel Asupan kalium (mg/hari) Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Persentase asupan kalium terhadap AKG (%) Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2
Perlakuan
Kontrol
p
1387,28±339,58 2743,68±540,05 2871,10±587,59
1451,21±117,04 1755,43±530,84 1675,73±561,52
0,669* 0,000* 0,000*
29,52±7,23 58,38±11,49 61,09±12,50
30,88±9,96 37,35±11,29 35,65±11,95
0,874* 0,000* 0,000*
Keterangan: * = Uji t; Nilai disajikan dalam rerata ± SB
Tabel 3. Rerata Asupan Energi dan Persentase Asupan Energi Terhadap Kebutuhan Variabel Asupan energi (kkal) Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2 Persentase asupan/kebutuhan (%) Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2
Perlakuan
Kontrol
p
1523,1(1252,0-2524,7)+ 1666,97±447,17 1742,05±430,98
1608,48±249,81 1621,40±287,86 1535,91±345,86
0,693** 0,737* 0,151*
89,88±20,80 89,62±21,99 93,97±21,99
95,64±16,21 96,01±16,56 92,26±6,45
0,286* 0,367* 0,844*
Keterangan: * = Uji t ; **= Uji Mann-Whitney; + =nilai median (minimum-maksimum) Nilai disajikan dalam rerata ± SB
PEMBAHASAN
yur maupun buah yang umumnya tinggi kalium. Data Susenas (2004) menunjukkan sekitar 6070% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah sesuai anjuran 4-5 porsi per hari dan rata-rata hanya mengonsumsi satu porsi per hari.5 Analisis konsumsi buah dan sayur dilakukan oleh Muharam dan Hardinsyah pada 62.072 perempuan dewasa usia 20-55 tahun di Indonesia dengan menggunakan data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.14 Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsumsi sayur dan buah perempuan dewasa 139,7±55,9 g/hari yang jauh lebih rendah dibandingkan anjuran konsumsi buah dan sayur oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 250 g/hari dan anjuran World Health Organization (WHO) 400 g/hari. Selama periode perlakuan, asupan kalium memperlihatkan perbedaan signifikan antara kelompok P dan kelompok K. Asupan kalium kelompok P naik sekitar 2,1 kali lipat dan pada kelompok K naik 1,2 kali lipat. Pemilihan air kelapa muda sebagai sumber kalium berdasarkan
Pemilihan subyek penelitian dibatasi hanya perempuan, dikarenakan 80% pekerja adalah perempuan. Pada penelitian ini tidak dilakukan ketersamaran ganda, meskipun peneliti sudah berusaha memberikan minuman dalam gelas dengan ukuran dan warna yang sama, tetapi karena rasa air kelapa muda berbeda dengan air putih, maka hanya dapat dilakukan secara single blind, seperti penelitian sebelumnya dengan pemberian air kelapa muda.13 Tidak didapatkan perbedaan signifikan asupan kalium sebelum perlakuan pada kedua kelompok. Rerata asupan kalium keseluruhan subyek 1420,28±405,54 mg/hari, hal tersebut menunjukkan asupan kalium subyek tergolong rendah. Persentase asupan terhadap AKG 2004 menunjukkan angka kecukupan kalium subyek pada kelompok P 29,52±7,23% dan kelompok K 30,88±9,96%. Salah satu kemungkinan penyebab asupan kalium yang rendah adalah rendahnya asupan sa
4
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 1-7
fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan produksi buah kelapa terbanyak dan air kelapa muda masih jarang dikonsumsi secara teratur, padahal air kelapa muda merupakan minuman kaya manfaat sumber vitamin dan mineral terutama kandungan kaliumnya yang tinggi. Selain itu air kelapa muda hanya mengandung sekitar 44 kal/L (± 26,4 kal/hari). Jumlah tersebut tidak memengaruhi asupan energi dari makanan subyek.8,9 Penyuluhan tentang gizi seimbang yang dilaksanakan tiga kali, nampaknya juga berperan dalam ketaatan subyek mengikuti diet gizi seimbang. Hal tersebut terlihat pada hasil penelitian yang memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan asupan energi antara kelompok P dan K pada awal sampai akhir periode perlakuan.15 Komposisi air kelapa tergantung dari varietas, derajat maturitas (umur), dan faktor iklim.9 Air kelapa muda yang digunakan berasal dari buah kelapa varietas hibrida umur 6-8 bulan yang diambil langsung dari perkebunan kelapa di Lumajang. Adanya persamaan tempat, varietas, dan umur buah kelapa, diperkirakan air kelapa muda yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan kalium yang hampir sama. Penelitian ini tidak menggunakan air kelapa kemasan dikarenakan kandungan kaliumnya jauh lebih rendah (1080 mg/L) daripada air kelapa muda segar yang langsung diambil dari buahnya, selain itu kandungan natrium pada air kelapa kemasan juga lebih tinggi (440 mg/L).16 Air kelapa muda segar pada penelitian ini mempunyai kandungan kalium 1789±116,7 mg/L dan natrium 225,6±12,7 mg/L, sehingga rasio asupan natrium-kalium pada air kelapa muda segar jauh lebih rendah daripada air kelapa kemasan. Analisis data National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) memperlihatkan nilai rasio asupan natrium-kalium orang dewasa Amerika Serikat >0,83,4 Dietary Guildline di Amerika Serikat terbaru merekomendasikan untuk memperbanyak asupan kalium dan mengurangi asupan natrium.4 Selama periode perlakuan, setiap hari dilakukan pengambilan air kelapa muda (±10 L) dengan memecah buah kelapa sebanyak yang diperlukan, kemudian dimasukkan ke dalam galon air minum dan diberikan melalui gelas minum kepada subyek penelitian. Pengukuran
kandungan kalium dilakukan dengan mengambil beberapa sampel air kelapa muda hibrida umur 6-8 bulan kemudian diperiksakan kandungan kaliumnya dengan metode AAS.10 Kelompok K mendapat air putih 300 ml dengan kandungan kalium 4,18±0,2 mg/L. Air putih diberikan dengan cara yang sama dengan kelompok P baik warna maupun ukuran gelas minum. Air kelapa umur 6-8 bulan dipilih karena mempunyai kandungan kadar kalium tertinggi.9 Pemilihan hibrida dikarenakan hasil penelitian Arsa mendapatkan varietas ini memiliki kandungan kalium yang cukup tinggi. Pada penelitian ini kandungan kalium pada air kelapa didapatkan sekitar 1800 mg/L, nilai ini jauh di bawah nilai yang pernah dilakukan oleh Arsa, yaitu sekitar 5000 mg/ L. Perbedaan kandungan kalium tersebut kemungkinan disebabkan jenis varietas hibrida, faktor iklim, kondisi tanah, serta pemupukan.16 Asupan kalium subyek yang rendah (1420,28±405,54 mg/hari atau sekitar 30,22±8,63% dibandingkan AKG) dengan penambahan air kelapa muda belum mampu memenuhi angka kecukupan kalium yang dianjurkan (4700 mg/hari). Hasil serupa terlihat pada penelitian Braschi & Naismith dengan rerata asupan kalium ±3000 mg/hr.17 Penelitian Smith, Klotman and Svetkey dengan asupan kalium ±2700 m/hr,18 Sacks, et al dengan asupan kalium 2389 mg/hr,19 dan He, et al dengan asupan kalium ±3200 mg.20 Kesemuanya menunjukkan asupan kalium belum memenuhi angka kecukupan kalium yang dianjurkan. Hal tersebut menunjukkan hampir seluruh populasi di dunia mengonsumsi kalium lebih rendah dari anjuran.4 Penilaian asupan gizi dilakukan dengan metoda food record, tetapi dalam pelaksanaannya subyek penelitian cenderung tidak mencatat secara langsung makanan yang dikonsumsi. Subyek umumnya mencatat makanan yang dikonsumsi pada malam hari atau keesokan harinya, Hal tersebut menyebabkan hasil perhitungan asupan makanan kemungkinan menjadi bias. Persepsi berbeda antara subyek dengan peneliti mengenai ukuran rumah tangga dalam pencatatan asupan makanan dapat menjadi bias, tetapi kemungkinan bias ini telah diperkecil dengan mengonfirmasi ukuran porsi makanan subyek dengan menun-
5
Farapti : Pemberian Air Kelapa Muda untuk Meningkatkan Asupakan Kalium
jukkan food models dan gambar berbagai bentuk ukuran rumah tangga yang sering digunakan.21 Pemberian suplementasi/bahan makanan sumber kalium terbukti relevan menurunkan tekanan darah pada subyek dengan asupan natrium tinggi dibandingkan dengan asupan natrium rendah. Oleh karena itu, penilaian asupan natrium merupakan faktor yang penting, yang tidak dilakukan pada penelitian ini. Penilaian asupan natrium dengan metode analisis asupan tidak dilakukan karena kesulitan menghitung jumlah asupan natrium secara akurat dan analisis asupan natrium sering memperlihatkan hasil yang under estimate atau over estimate karena sulit memperkirakan secara tepat jumlah natrium/garam pada masing-masing komponen makanan.22 Penilaian asupan kalium dan natrium melalui ekskresi natrium dari sampel urin 24 jam merupakan pengukuran yang reliable, tetapi metode pengumpulan urin 24 jam baik pemeriksaan kalium urin maupun natrium urin memiliki keterbatasan, yaitu kurang praktis, tidak nyaman, membutuhkan pemeriksaan lebih dari sekali (karena nilai sangat tergantung dari asupan), dan terdapat kesulitan dalam pelaksanaan terutama pada individu sehat.22
ducing the Sodium-Potassium Ratio in the US Diet: a Challenge for Public Health. Am J Clin Nutr. 2012; 96:439–444. 5. Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Jakarta: BPS,2004. 6. Chobanian, A.V, Bakris, G.L, Black, H.R, Cushman, et al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-1252. 7. Lin, P.H, Allen, J.D, Li Y.L, Yu, M, Lien, L.F & Svetkey, L.P. Blood Pressure-Lowering Mechanisms of the DASH Dietary Pattern. J Nutr Metab. 2012:1-10. 8. DebMandal, M, Mandal, S. Coconut (Cocos nucifera L.: Arecaceae): In Health Promotion and Disease Prevention. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 2011: 241-7. 9. Rethinam, P. Coconut Water-Nature’s Health Drink. Asian and Pasific Coconut Community,2006. 10. Beaty, RD & Kerber, JD. Concepts, Instrumentation and Techniques in Atomic Absorption Spectrophotometry, Second Edition. The Perkin-Elmer Corporation, USA,1993. 11. Butte, N.F & Caballero, B. Energy Needs: Assessment And Requirements. In: Shils M.E, Shike M, Ross A.C, Caballero B, Cousin R.J, Editors. Modern Nutrition In Health And Disease. 10th Edition. Philadelphia: Lippicott Williams&& Wilkins. 2006:136-148. 12. Proboprastowo, S.M & Dwiriani, C.M. Angka Kecukupan Air dan Elektrolit dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Jakarta, 2004:41828. 13. Alleyne T, Roache S, Thomas C, & Shirly A. The Control of Hypertension by Use of Coconut Water and Mauby: Two Tropical Food Drinks.West Indian Med J. 2005;54(1): 3-9. 14. Muharram, Z & Hardinsyah. The Analysis of Fruits and Vegetables Consuming in Indonesia Female. JPG. 2013; 8 (1): 36. 15. Hsieh, Y.C, Hung, C.T, Lien, L.M, Bai, C.H,
KESIMPULAN DAN SARAN Asupan kalium subyek tergolong rendah, dan pemberian air kelapa muda segar dapat sebagai alternatif untuk meningkatkan asupan kalium. Direkomendasikan untuk mengonsumsi bahan makanan sumber kalium lain seperti sayur dan buah untuk memenuhi kecukupan kalium harian.
DAFTAR PUSTAKA 1. Papadopoulos, DP, Makris, TK & Papademetriou, V. ’Is it time to treat prehypertension?’. Hypertens Res. 2008; 31:1681–1686. 2. Gupta, P, Nagaraju, S.P, Gupta, A & Mandya Chikkalingaiah, K.B. Prehypertension-Time to Act. Saudi J Kidney Dis Transpl. 2012; 23:223-233. 3. Adrogue, H.J,& Madias, N.E. Sodium and Potassium in Pathogenesis of Hypertension’. N Engl J Med. 2007;356:1966-1978. 4. Drewnowski, A, Maillot, M& Rehm, C. Re-
6
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 1-7
et al. Significant Decrease in Blood Pressure through a Family-Based Nutrition Health Education Programme among Community Residents in Taiwan. Public Health Nutr. 2009;12(4):570-577. 16. Pracaya & Kahono, P.C. Kiat Sukses Budidaya Kelapa. PT Maraga Borneo Tarigas. 2011:31-35. 17. Braschi, A & Naismith, D.J. The Effect of a Dietary Supplement of Potassium Chloride or Potassium Citrate on Blood Pressure in Predominantly Normotensive Volunteers. British J Nutr. 2008; 99: 1284-1292. 18. Smith, S.R, Klotman, P.E & Svetkey, L.P. Potassium Chloride Lowers Blood Pressure and Causes Natriuresis in Older Patients with Hypertension. J. Am. Soc. Nephrol. 1992;2; 1302-1309. 19. Sacks, F.M, Willett, W.C, Smith, A, et al. Effect on Blood Pressure of Potassium, Calcium and Magnesium in Women with Low Habitual Intake. Hypertension. 1998;31: 131-138. 20. He, F.J, Markandu, N.D, Coltart, R, et al. Effect of Short Term Supplementation of Potassium Chloride and Potassium Citrate on Blood Pressure in Hypertensives. Hypertension. 2005;45:571-574. 21. Gibson, R.S. Principles of Nutritional Assessment. 2nd edition. New York: Oxford University Press, 2005 pp.273-279. 22. Kawano, Y, Tsuchihashi, T, Matsuura, H, et al. Report of the Working Group for Dietary Salt Reduction of the Japanese Society of Hypertension: Assessment of Salt Intake in the Management of Hypertension. Hypertens Res.2007;30:887–893.
7
Wa Ode Analestariastuti : Perbedaan Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Cerita dan Ceramah
PERBEDAAN PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN DENGAN METODE CERITA DAN CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN SISWA SD TENTANG PENYAKIT DBD The Difference of Effectiveness of Health Education Between Story Methode and Lecture Method to the Knowledge, Attitude, and Practice of Elementary School Student about Dengue Hemorrhagic Fever Disease (DHF) Wa Ode Analestariastuti, Hartati Bahar, Lymbran Tina Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo, Kendari (
[email protected]) ABSTRAK Anak usia SD sangat rentan terkena penyakit DBD. Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Kota Kendari, Kecamatan Kambu tercatat sebagai kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi di tahun 2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode bercerita dan metode ceramah terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SD tentang penyakit DBD. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental dengan rancangan non equivalent control group design dengan sampel sebanyak 54 orang yang dipilih berdasarkan proportional stratified random sampling, masing-masing 27 siswa pada SDN 10 Poasia dan SDN 15 Poasia sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, analisis yang digunakan, yakni analisis bivariat dengan uji wilcoxon signed ranks test dan uji mann-whitney. Hasil penelitian terdapat peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan sebelum dan sesudah penyuluhan pada kedua kelompok dengan p yang sama berurutan (p=0,001 pengetahuan, p=0,001 sikap, dan p= 0,000 tindakan), dan terdapat perbedaan nilai selisih pengetahuan antara metode cerita dan metode ceramah (p= 0,000) serta tidak ada perbedaan selisih sikap dan tindakan antara metode ceramah dan metode cerita (p= 0,447 untuk sikap, dan p= 0,067 untuk tindakan). Ada pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan sikap, dan tindakan pada masing-masing kelompok perlakuan. Ada perbedaan tingkat pengetahuan antara metode cerita dan metode ceramah. Kata kunci : DBD, pengetahuan, sikap, tindakan, cerita, ceramah ABSTRACT School age children are really susceptible to DHF. Based on the data obtained from the Health Department of Kendari city, Kambu district was recorded as the district with the highest number of DHF cases in 2013. This study aims to understand the difference in the effect of health education using the story method or lecture method to the knowledge level, attitude and practice of elementary school students about DHF. This study implemented a quasi experimental study with a non equivalent control group design with 54 samples were selected using proportional stratified random sampling, with 27 samples each from 10 Poasia Elementary School and 15 Poasia Elementary School. 10 Poasia Elementary School and 15 Poasia Elementary School were the treatment and control group respectively. The collected data were analyzed using bivariat analysis with wilcoxon signed ranks test and Mann Whitney test. The results of this study found that there was an increase of knowledge, attitude and practice after treatment in both groups with the p=0,001 for knowledge, p=0,001 for attitude and p=0,000 for practice. In addition, there was a difference between the value of knowledge using story method and lecture method (p= 0,000) and there was no differencein attitude and practice when using story method and lecture method (p= 0,447 for attitude, and p= 0,067 for practice). In conclusion, health education did affect the knowledge levels, attitude and practice of each group and there was a difference in knowledge level when using story method and lecture method. Keywords : DHF, knowledge, attitude, practice, story, lecture
8
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 8-15
PENDAHULUAN
Berdasarkan data di Puskesmas Mokoau, pada tahun 2010 terdapat 46 kasus DBD, tahun 2011 dan 2012 kejadian DBD menurun menjadi 21 kasus dan 4 kasus. Bulan Januari sampai Maret 2013 meningkat kembali menjadi 6 kasus. Dari 6 kasus ini terjadi pada bulan Januari, sedangkan Februari dan Maret tidak terdapat kasus DBD.6 Berdasarkan paparan data tersebut menunjukkan adanya perbedaan jumlah kasus DBD antara data di Dinas Kesehatan Kota Kendari dengan data di Puskesmas Mokoau. Hal ini disebabkan penderita DBD langsung melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan puskesmas perawatan. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur <15 tahun, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun.7 Di Kota Kendari, untuk tahun 2013 terhitung bulan Januari hingga bulan Maret, kasus DBD terbanyak pada anak usia Sekolah Dasar (SD), yakni pada usia 6-12 tahun dengan jumlah kasus 66 dari 162 kasus. Sedangkan untuk wilayah Kecamatan Kambu terdapat 12 kasus untuk umur anak usia SD dari 26 kasus.5 Berdasarkan data-data tersebut, kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Sekolah adalah sebagai perpanjangan tangan keluarga dalam meletakan dasar perilaku untuk kehidupan anak selanjutnya. Sementara itu populasi anak sekolah di dalam suatu populasi cukup besar, 40-50%.8 Adanya nyamuk Aedes aegypti di wilayah sekolah dikhawatirkan akan menjadi vektor penular penyakit DBD kepada siswa lainnya, karena aktivitas sekolah dasar dari jam 07.00-17.00 WITA, akan melewati jam saat nyamuk Aedes aegypti aktif menggigit, yakni jam 08.00-13.00 WIB dan sore hari jam 15.00-17.00 WIB.9 Pencegahan merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk menanggulangi penyakit DBD, salah satunya dengan melakukan penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat yang berisiko. Terdapat banyak metode yang digunakan dalam penyulu-
Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dengue fever (DF), demam dengue (DD), dan Dengue Shock Syndrome (DSS).1 Penyakit ini dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun orang dewasa. Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, sejenis yang tergolong arbovirus yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina.2 Menurut WHO, kejadian DBD telah tumbuh secara meningkat di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir.3 Terdapat 2,5 miliar orang dari dua per lima penduduk dunia yang sekarang menghadapi risiko DBD. Virus dengue endemik di banyak daerah tropis.1 WHO mencatat hingga tahun 2008, lebih dari 60 negara di daerah tropis dan sub-tropis terjangkit penyakit DBD, angka insidens meningkat 30 kali lipat, dan setiap tahun terjadi 50 juta kasus.4 Menurut laporan Depkes RI, tahun 2010 di Indonesia tercatat 156.086 kasus dengan Insidence Rate (IR) 67,7 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 0,87%, sedangkan pada tahun 2011 mengalami penurunan jumlah kasus, yakni 65.432 kasus (IR 27,56 per 100.000 penduduk), tetapi CFR meningkat menjadi 0,91%. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, terdapat 12 provinsi dengan prevalensi DBD klinis lebih tinggi dari angka nasional, yaitu Nusa Tenggara Timur (2,5%), Papua Barat (2,0%), Bengkulu dan DKI Jakarta (1,2%), Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat serta Nangroh Aceh Darussalam (1,1%), Sulawesi Tenggara (1,0%), Papua (0,9%), Riau dan Maluku Utara (0,8%), dan Sulawesi Barat (0,7%). Sementara itu, kasus DBD di Provinsi Sulawesi Tenggara hampir setiap tahun mengalami peningkatan. Kecamatan Kambu tercatat sebagai kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi untuk wilayah Kota Kendari. Kecamatan ini merupakan wilayah kerja Puskesmas Mokoau. Pada tahun 2010 jumlah kasus DBD mencapai 54 kasus. Tahun 2011 tidak terdapat kasus DBD, tetapi tahun 2012 muncul kembali dengan jumlah 16 kasus DBD dan meningkat kembali pada tahun 2013 bulan Januari sampai Maret sebanyak 26 kasus.5
9
Wa Ode Analestariastuti : Perbedaan Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Cerita dan Ceramah
Data diolah dan dianalisis menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat, digunakan uji wilcoxon signed rank test. Untuk menguji perbedaan pengetahuan, sikap dan tindakan setelah dilakukan perlakuan antara kelompok eksperimen dan kontrol digunakan uji mann-whitney.
han kesehatan, pada penelitian ini penulis menggunakan dua metode, yaitu metode ceramah yang merupakan metode umum digunakan dalam penyuluhan kesehatan dan metode cerita yang baru digunakan dalam penyuluhan kesehatan. Metode cerita pada penelitian sebelumnya dilakukan oleh Presska yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap tentang kecacingan.10 Metode cerita dan metode ceramah merupakan dua metode yang berbeda. Pada metode cerita anak-anak diberi penyuluhan kesehatan dengan menggunakan media gambar yang diikuti dengan naskah cerita, sehingga diharapkan anak dapat seolah-olah merasakan dan melihat fenomena penyakit DBD. Sedangkan pada metode ceramah, penyuluhan dilakukan dengan menjelaskan materi-materi seputar penyakit DBD tanpa adanya naskah cerita. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melihat perbedaan penyuluhan kesehatan dengan metode cerita yang baru diterapkan dan metode ceramah yang umum diterapkan dalam penyuluhan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SD tentang penyakit DBD di Kecamatan Kambu Kota Kendari.
HASIL Distribusi responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa responden paling banyak berumur 10 tahun, pada kelompok eksperimen sebanyak 11 orang (41,0%) dan kelompok kontrol sebanyak 12 orang (44,4%). Adapun distribusi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa responden lebih banyak berjenis kelamin perempuan, yakni pada kelompok eksperimen sebanyak 17 orang (63,0%) dan kelompok kontrol sebanyak 18 orang (66,7%) (Tabel 1). Berdasarkan uji statistik sebelum dan setelah penyuluhan kesehatan tentang penyakit DBD pada siswa/siswi di SD Negeri 10 Poasia Kota Kendari yang merupakan kelompok eksperimen pada penelitian ini, yakni diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,001 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode bercerita terhadap tingkat pengetahuan siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 10 Poasia, begitu pula pada siswa siswa/ siswi SD Negeri 115 Poasia yang merupakan sampel kontrol pada penelitian ini diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,001 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah terhadap tingkat penge-
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September di SD Negeri 10 Poasia dan SD Negeri 15 Poasia Kota Kendari tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan rancangan non equivalent control group design. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SD Negeri 10 Poasia sebagai kelompok eksperimen dan SD Negeri 15 Poasia sebagai kelompok kontrol kelas V dan VI wilayah Kecamatan Kambu Kota Kendari, yaitu sebanyak 243 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional stratified random sampling dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 54 orang. Kemudian dilakukan alokasi random untuk menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Masingmasing kelompok terdiri dari 27 orang responden. Penelitian pendahuluan dengan melakukan uji organoleptik pada masing-masing sekolah untuk melihat homogenitasnya, didapatkan hasil tingkat pengetahuan kedua sekolah homogen.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Umum di Kecamatan Kambu Kota Kendari Karakteristik Responden Umur 9 tahun 10 tahun 11 tahun 12 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Kelompok Eksperimen n (27) % 6 11 9 1
22,0 41,0 33,0 3,0
5 12 8 2
18,6 44,4 29,6 7,4
10 17
37,0 63,0
9 18
33,3 66,7
Sumber : Data Primer, 2013
10
Kelompok Kontrol n (27) %
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 8-15
tahuan siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 15 Poasia (Tabel 2). Serta perbandingan pengetahuan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol diperoleh dari hasil uji mann-whitney p=0,000 (p>0,05), artinya ada perbedaan peningkatan pengetahuan siswa SD tentang penyakit DBD pada kelomok metode bercerita (eksperimen) dengan kelompok metode ceramah (kontrol) sebelum dan sesudah penyuluhan (Tabel 3). Berdasarkan uji statistik sebelum dan setelah penyuluhan kesehatan tentang penyakit DBD pada siswa/siswi di SD Negeri 10 Poasia Kota Kendari yang merupakan kelompok eksperimen pada penelitian ini, yakni diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,001 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode bercerita terhadap sikap siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 10 Poasia, begitu pula pada siswa/siswi SD Negeri 15 Poasia yang merupakan sampel kontrol pada penelitian ini diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,001 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah terhadap sikap siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 15 Poasia (Tabel 2). Serta perbandingan pengetahuan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol diperoleh dari hasil uji mann-whitney p=0,447 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan sikap siswa SD tentang penyakit DBD pada kelomok metode bercerita (eksperimen) dengan kelompok metode ceramah (kontrol) sebelum dan sesudah penyuluhan (Tabel 3).
Berdasarkan uji statistik sebelum dan setelah penyuluhan kesehatan tentang penyakit DBD pada siswa/siswi di SD Negeri 10 Poasia Kota Kendari yang merupakan kelompok eksperimen pada penelitian ini yakni diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,00 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode bercerita terhadap tindakan siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 10 Poasia, begitu pula pada siswa siswa/siswi SD Negeri 15 Poasia yang merupakan sampel kontrol pada penelitian ini diperoleh hasil uji wilcoxon signed rank test p=0,000 (p<0,05), artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah terhadap tindakan siswa/siswi tentang penyakit DBD di SD Negeri 15 Poasia (Tabel 2). Serta perbandingan tindakan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol di peroleh dari hasil uji mann-whitney p=0,067 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan tindakan siswa SD tentang penyakit DBD pada kelomok metode bercerita (eksperimen) dengan kelompok metode ceramah (kontrol) sebelum dan sesudah penyuluhan (Tabel 3).
PEMBAHASAN Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu cara yang biasa ditempuh dalam meningkatakan pengetahuan dan sikap seseorang sehingga menciptakan perilaku sehat dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan tersebut dapat terwujud apabila dalam penyuluhan kesehatan, penyuluh dapat memilih metode yang tepat dalam proses
Table 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Sebelum dan Sesudah Penyuluhan di Kecamatan Kambu Kota Kendari Variabel Pengetahuan Cukup Kurang Sikap Baik Buruk Tindakan Positif Negatif
Kelompok Perlakuan Pre-test Post-test n % n %
p value
Kelompok Kontrol Pre-test Post-test n % n %
p value
24 3
88,9 11,1
26 1
96,3 3,7
0,001
18 9
66,7 33,3
24 3
88,9 11,1
0,001
25 2
92,4 7,4
26 1
96,3 3,7
0,001
24 3
88,9 11,1
27 0
100 0
0,001
9 18
33,3 66,7
24 3
88,9 11,1
0,000
18 9
66,7 33,3
27 0
100 0
0,000
Sumber : Data Primer, 2013
11
Wa Ode Analestariastuti : Perbedaan Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Cerita dan Ceramah
Table 3. Distribusi Responden Berdasarkan Perbedaan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan di Kecamatan Kambu Kota Kendari Variabel Pengetahuan Perlakuan Kontrol Sikap Perlakuan Kontrol Tindakan Perlakuan Kontrol
Metode Penyuluhan
Perubahan Skor Rata-rata Selisih
p value
Cerita Ceramah
13,11 ± 14,30 11,56 ± 15,00
1,19 3,44
0,000
Cerita Ceramah
12,22 ± 13,04 11,26 ± 12,74
0,8 1,48
0,447
Cerita Ceramah
7,04 ± 8,85 7,59 ± 10,41
1,96 2,82
0,067
Sumber : Data Primer, 2013
penyuluhan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek dengan panca indera yang meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan individu akan memengaruhi kemampuan merasionalkan pengalaman tersebut selama berinteraksi dengan orang lain.11 Penyuluhan kesehatan tentang penyakit DBD dengan metode cerita merupakan hal yang baru. Hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode cerita pada siswa/siswi SD tentang penyakit DBD pada kelompok eksperimen dengan melihat adanya peningkatan pengetahuan siswa setelah dilakukan penyuluhan. Pada penelitian sebelumnya oleh Presska digunakan metode cerita untuk meningkatkan pengetahuan anak melalui penyuluhan tentang kecacingan.10 Hasil dari penelitian tersebut bahwa, ada peningkatan pengetahuan anak tentang kecacingan setelah diadakannya penyuluhan dengan metode cerita. Sejalan dengan hasil dari penelitian ini, maka penyuluhan dengan metode cerita baik digunakan untuk penyuluhan kesehatan khususnya anak usia sekolah. Penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah merupakan metode yang umum digunakan dalam penyuluhan kesehatan, metode ini dapat dilakukan pada semua golongan umur baik anakanak, maupun kalangan dewasa. Hasil penelitian menunjukan adanya pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah pada siswa/ siswi SD tentang penyakit DBD pada kelompok eksperimen dengan melihat adanya peningkatan
pengetahuan siswa setelah dilakukan penyuluhan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kusumawardani menunjukkan hasil adanya peningkatan pengetahuan ibu tentang penyakit DBD setelah dilakukan penyuluhan dengan metode ceramah di wilayah Kelurahan Gajahmungkur tahun 2012.12 Sejalan dengan penelitian ini bahwa penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah juga dapat dilakukan pada anak sekolah dasar. Penelitian Presska yang juga menggunakan metode ceramah pada eksperimen kedua dalam penyuluhan kesehatan tentang kecacingan, juga menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan pada kalangan anak sekolah dasar.10 Penyuluhan kesehatan dengan metode cerita dan metode ceramah merupakan metode yang berbeda, hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan peningkatan pengetahuan antara kelopok eksperimen yang meggunakan metode cerita dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa peningkatan pengetahuan lebih ditunjukan pada kelompok kontrol, yakni menggunakan metode ceramah dalam penyuluhan kesehatan tentang penyakit DBD. Penelitian sebelumnya oleh Presska yang juga membandingkan dua metode yang sama dalam penyuluhan kesehatan tentang kecacingan pada siswa Madrasah Ibtidaiyah An Nur Kelurahan Pedurungan Kidul Kota Semarang.10 Untuk membandingkan kedua metode tersebut juga di
12
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 8-15
gunakan uji mann-whitney menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan peningkatan pengetahuan pada siswa antara metode cerita dan metode ceramah. Namun, pada penelitian tersebut peningkatan pengetahuan lebih terlihat pada siswa yang diberi penyuluhan dengan menggunakan metode cerita. Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau obyek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata merupakan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.11 Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan sikap seseorang antara lain pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam individu, peranan sikap dalam kehidupan manusia adalah berperan besar sebab apabila sudah dibentuk pada diri manusia maka sikap akan turut menentukan ciri-ciri tingkah laku seseorang dalam bertindak.13 Penelitian dengan metode cerita pada kelompok eksperimen menunjukan adanya pengaruh metode cerita terhadap sikap anak tentang penyakit DBD dengan melihat adanya peningkatan skor dari item-item kuesioner tentang variabel sikap. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Presska yang juga menggunakan metode cerita, tetapi dengan topik yang berbeda dengan penelitian ini.10 Pada penelitian tersebut membahas tentang kecacingan, dan menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sikap sebelum dan sesudah penyuluhan kesehatan tentang kecacingan (p=0,000) pada kelompok cerita bergambar. Sementara pada kelompok kontrol yang mengguanak metode ceramah dalam penyuluhan kesehatan juga menunjukan hasil adanya pengaruh matode ceramah terhadap sikap anak tentang penyakit DBD dengan melihat adanya peningkatan skor dari item-item kuesioner tentang variabel sikap. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Presska yang juga menggunakan metode ceramah, tetapi dengan topik yang berbeda dengan penelitian ini.10 Pada penelitian tersebut membahas tentang kecacing-
an, dan menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sikap sebelum dan sesudah penyuluhan kesehatan tentang kecacingan (p=0,000) pada kelompok ceramah. Penelitian lainnya oleh Kusumawardani yang juga menggunakan metode ceramah dalam meningkatkan sikap masyarakat tentang penyakit DBD,12 tetapi dengan sasaran yang berbeda, yaitu ibu rumah tangga di wilayah Kelurahan Gajahmungkur juga menunjukkan adanya peningkatan sikap dengan nilai p<0,001 yang berarti terjadi perbedaan bermakna sebelum dan sesudah penyuluhan. Perbedaan sikap dilihat dari aspek penggunaan metode penyuluhan yang digunakan dari kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang menggunakan metode cerita dan kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah, menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan peningkatan sikap anak antara kelompok tersebut sebekum dan sesudah penyuluhan. Dari penelitian ini, menunjukkan rata-rata sikap anak sudah cukup baik, sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan baik itu pada kelompok eksperimen yang menggunakan metode cerita maupun pada kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah dalam meningkatkan sikap anak terkait penyakit DBD. Pada teori Benyamin Blum menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pada teori tersebut dijelaskan pula bahwa perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang memengaruhi kesehatan individu atau masyarakat. Penelitian dengan metode cerita pada kelompok eksperimen menunjukkan adanya pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode cerita terhadap tindakan anak tentang DBD dengan melihat adanya peningkatan skor dari item-item pertanyaan pada kuesioner tentang variabel tindakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode cerita juga baik digunakan dalam melakukan pendidikan kesehatan guna menstimulus anak dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat bermanfaat bagi kesehatan, walaupun dalam penelusuran artikel-artikel penelitian, penulis belum mendapatkan penelitian serupa yang meng-
13
Wa Ode Analestariastuti : Perbedaan Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Cerita dan Ceramah
Pihak sekolah sebaiknya senantiasa membangun kerjasama dengan puskesmas terdekat guna melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan minimal seminggu sekali, yang kemudian dapat memberikan pemahaman sejak dini kepada siswa/siswi tentang pentingnya kesehatan serta dapat menambah pemahaman terkait percegahan penyakit dengan menggunakan metode-metode penyuluhan yang baru seperti metode cerita sehingga anak tidak merasa bosan dalam menerima materi. Diharapkan adanya penelitian lebih mendalam terkait metode-metode penyuluhan lainnya sehingga permasalah DBD pada kalangan anak sekolah di Indonesia, terkhusus Kota Kendari yang merupakan daerah endemis terjadinya penyakit DBD dapat teratasi.
gunakan metode cerita untuk melihat perubahan tindakan dalam pencegahan penyakit. Penelitian pada kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah dalam penyuluhan kesehatan, juga menunjukkan adanya pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah terhadap tindakan anak tentang penyakit DBD. Hal ini sejalan dengan penelitan sebelumnya oleh Kusumawardani menunjukkan adanya peningkatan tindakan ibu setelah dilakukan penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah.12 Perbedaan tindakan dilihat dari aspek penggunaan metode penyuluhan yang digunakan dari kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang menggunakan metode cerita dan kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah, hasil uji menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan peningkatan sikap anak antara kelompok tersebut sebelum dan sesudah penyuluhan. Rata-rata tindakan anak sudah cukup baik, sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan baik itu pada kelompok eksperimen yang menggunakan metode cerita maupun pada kelompok kontrol yang menggunakan metode ceramah dalam meningkatkan sikap anak terkait penyakit DBD. WHO juga mengungkapkan bahwa seseorang berperilaku tertentu disebabkan oleh pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek. Dalam hal ini, dengan pemberian penyuluhan kesehatan maka pengetahuan akan bertambah sehingga praktik juga akan lebih baik.12
DAFTAR PUSTAKA 1. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasan. Jakarta: Edisi kedua, Penerbit Erlangga; 2011. 2. Hastuti, O. Demam Berdarah Dengue Penyakit & Pencegahannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2008. 3. World Health Organization. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Geneva: WHO;2009. 4. WHO & TDR. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control New Edition 2009, [online] 2009 [diakses 29 April 2013] Available at: http://www.who. int/tdr/publications/documents/dengue-diagnosis.pdf. 5. Dinkes Kota Kendari. Profil Kesehatan Kota Kendari. Kendari: Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2012. 6. Dinkes Provinsi Sulawesi Tenggara. Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara. Kendari: Dinas Kesehatan Provinsi Sultra, 2012. 7. Tim Redaksi. Topik Utama Demam Berdarah Dengue’ Buletin Jendela Epidemiologi Volume II, Jakarta, [online] 2010 [diakses 4 Mei 2013]. Available at: http://www. depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/ BULETIN%2DBD.pdf. 8. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2005.
KESIMPULAN DAN SARAN Ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan metode cerita terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SD tentang penyakit DBD sebelum dan sesudah penyuluhan kesehatan di SD Negeri 10 Poasia dan SD Negeri 15 Poasia tahun 2013. Ada perbedaan peningkatan pengetahuan, dan tidak ada perbedaan sikap dan tindakan siswa SD tentang penyakit DBD pada kelompok metode cerita (eksperimen) dengan kelompok metode ceramah (kontrol) sebelum sesudah penyuluhan di Kecamatan Kambu Kota Kendari tahun 2013.
14
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 8-15
9. Depkes RI. Riset kesehatan dasar tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI, 2007. 10. Presska C., Salawati T., Astuti R. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Kecacingan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa Madrasah Ibtidaiyah An Nur Kelurahan Pedurungan Kidul Kota Semarang [Skripsi]. [online] 2012 [diaskes 10 Oktober 2013]. Available at http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/ Puskesmas Mokoau 2012, Data Kesehatan LB 1 Puskesmas Mokoau, Puskesmas Mokoau, Kendari. 11. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 12. Kusumawardani, E. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Laporan Hasil KTI [online] 2012 [diakses 4 Mei 2013]. Available at: http://eprints.undip. ac.id/37522/1/ERIKA_K_G2A008072_ LAPORAN_HASIL_KTI.pdf. 13. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2003.
15
Siti Rahmah : Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian Hepatitis A
HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN HEPATITIS A DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN Association between Behavior Factors with Hepatitis A Incidences in Depok Subdistrick, Sleman Districk Siti Rahmah, Citra Indriani Field Epidemiology Training Program, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta (
[email protected],
[email protected]) ABSTRAK Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melaporkan terjadi peningkatan jumlah kasus hepatitis A di Kabupaten Sleman dan sebagian besar adalah mahasiswa. Tujuannya untuk mengetahui faktor perilaku berisiko dengan kejadian hepatitis A di Sleman. Penelitian observasional dengan rancangan kasus kontrol. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling (non probability sampling). Uji statistik yang digunakan adalah chi square (x2) dan regresi logistik. Jumlah responden adalah 280 orang (140 kasus dan 140 kontrol). Riwayat kontak dengan penderita hepatitis A (OR=3,42; 95%CI=1,97-5,95; p=0,00), tidak mencuci tangan dengan sabun (OR=2,19; 95%CI=1,32-3,65; p=0,00), tidak mencuci alat makan dengan sabun (OR=2,88; 95%CI=1,03-9,25; p=0,02), sering mengonsumsi sayur/makanan mentah (tidak dimasak) (OR=3,82; 95%CI=1,94-7,81; p=0,00), tukar menukar alat makan (OR=2,09; 95%CI=1,26-3,48; p=0,00), sering makan di warung yang hanya mencuci dengan satu ember (OR=2,22; 95%CI=1,22-4,09; p=0,00), dan tidak memperhatikan kebersihan warung (OR=3,74; 95%CI= 2,196,41; p=0,00) mempunyai hubungan yang signifikan dengan hepatitis A. Hasil analisis multivariat menunjukkan riwayat kontak dengan penderita hepatitis A (OR=3,17; 95%CI=1,82-5,52; p=0,00; z=4,09), sering mengonsumsi sayur/makanan mentah (tidak dimasak) (OR=3,43; 95%CI=1,73-6,81; p=0,00; z=3,52) dan tidak memperhatikan kebersihan warung (OR=3,28; 95%CI=1,92-5,60; p=0,00; z=4,35). Perilaku sehat dan tidak hygienis adalah faktor risiko hepatitis A di Sleman. Kata Kunci : Perilaku, hepatitis A ABSTRACT Sleman District Health Department reported an increase of hepatitis A cases in Sleman District. Almost all of the patients were college students. This study aims to determine the relationship between behavior risk factors and hepatitis A incidence in Sleman. This study was conducted using the observational method with case control study design. The case consisted of hepatitis A patients who were diagnosed by doctors in February until May 2013 based on the patients’ medical records and laboratory test. Samples were selected using consecutive sampling (non probability sampling). There were a total of 280 respondents (140 case and 140 control). Statistical tests that were carried out were the chi quadrat (x2) and logistic regression. Behavioral factors namely history of contact with a hepatitis A patient (OR=3,42; 95%CI=1,97-5,95; p=0,00), not washing hands with soap (OR=2,19; 95%CI=1,323,65; p=0,00), not washing cutlery with soap (OR=2,88; 95%CI=1,03-9,25; p=0,02), frequently consumes raw vegetables/food (uncooked) (OR=3,82; 95%CI=1,94-7,81; p=0,00), sharing cutlery (OR=2,09; 95%CI=1,263,48; p=0,00), eating at food stalls that only utilizes one bucket to wash dishes (OR=2,22; 95%CI=1,22-4,09; p=0,00) and have no attention regarding the cleanliness of food stalls (OR=3,74; 95%CI=2,19-6,41; p=0,00) were significantly associated with hepatitis A. Results of the multivariate analysis found that history of contact with a hepatitis A patient (OR=3,17; 95%CI=1,82-5,52; p=0,00; z=4,09), frequent consumption of raw vegetables/ food (uncooked) (OR=3,43; 95%CI=1,73-6,81; p=0,00; z=3,52), and no attention to the cleanliness of food stalls (OR=3,28; 95%CI=1,92-5,60; p=0,00; z=4,35). In conclusion, the unhealthy and unhygienic behavior were risk factors of hepatitis A in Sleman. Keywords : Behavior, hepatitis A
16
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 16-20
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus. Lima virus utama penyebab hepatitis adalah virus hepatitis tipe A, B, C, D dan E. Kelima jenis tersebut menjadi perhatian besar karena beban penyakit dan kematian yang ditimbulkan dan dapat menyebabkan KLB atau dapat berpotensi wabah dan terjadi penyebaran epidemik.1 Hadler melaporkan insidensi hepatitis A di Asia adalah 10-30 per 100.000 penduduk per tahun2, dengan jumlah kasus 676.000 tiap tahunnya. Pada tahun 1990, populasi di Asia adalah 2,9 milyar orang. Berge, et al dan Tormans, et al menyatakan bahwa meskipun sebagian besar dari mereka yang terinfeksi sembuh sempurna dan sebagian tetap asimtomatik3,4, infeksi virus hepatitis A sungguh menyebabkan morbiditas dan memberikan beban ekonomi yang besar di seluruh dunia.5 Berdasarkan data rumah sakit Indonesia, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat, yaitu berkisar antara 39,8%-68,3%, hepatitis A non B sekitar 15,5%-46,4%, dan hepatitis B sekitar 6,4%-25,9%. Indonesia termasuk wilayah endemis hepatitis A.6 Di Indonesia KLB hepatitis A dengan pola penularan common source sering terjadi di asrama dan karyawan perusahaan. Periode KLB berkisar 1-2 bulan dan sering terjadi pada musim hujan serta mengalami siklus epidemik 5-10 tahun.7 Tahun 2012, staf Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melaporkan kasus hepatitis A di Kecamatan Depok meningkat. Tim investigasi FETP UGM kemudian melakukan penyelidikan awal tentang laporan tersebut dan menemukan bahwa sebagian besar penderita hepatitis A adalah mahasiswa di dua universitas yang ada di Kecamatan Depok, yaitu Universitas Atmadjaya dan Universitas UPN Veteran. Berdasarkan hal tersebut, tim investigasi pun melakukan penyelidikan lanjutan untuk mengetahui tentang perilaku para penderita hepatitis A di Kecamatan Depok tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan faktor perilaku dengan kejadian hepatitis A di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 2013.
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan rancangan kasus kontrol (case control). Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan AprilMei 2013. Populasi adalah seluruh warga yang berdomisili di wilayah Kabupaten Sleman yang didiagnosa menderita hepatitis A oleh dokter yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan rekam medis. Kasus adalah penderita hepatitis A yang telah didiagnosa dokter pada bulan Februari-Mei 2013 sesuai dengan pemeriksaan laboratorium dan catatan rekam medis rumah sakit. Kontrol adalah orang-orang yang tidak menderita hepatitis A yang berada di lingkungan yang sama dengan kasus, seperti tetangga, teman akrab kasus, teman kampus, teman kerja, atau teman yang tinggal di kos-kosan yang sama dengan kasus. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol adalah 1:1. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling. Instrumen yang dilakukan adalah data rekam medis rumah sakit berisi alamat dan nomor telepon penderita hepatitis A serta kuesioner terstruktur. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dan melalui telepon. Penderita hepatitis A sebagian besar adalah mahasiswa yang sulit ditemui di alamat yang tercatat di rekam medis disebabkan oleh kesibukan kuliah sehingga dilakukan wawancara melalui telepon bagi yang tidak bisa ditemui. Analisis data yang dilakukan adalah uji chi square (x2) untuk uji bivariat dan regresi logistik untuk uji multivariat.
HASIL Penelitian ini melibatkan 280 responden, yaitu 140 kasus dan 140 kontrol. Pada kelompok umur, responden paling banyak berusia 11-20 tahun sebanyak 71 kasus dan 88 kontrol. Pada jenis kelamin, responden paling banyak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 103 kasus dan 91 kontrol. Sedangkan pada pekerjaan, responden paling banyak bekerja sebagai mahasiswa sebanyak 123 kasus dan 112 kontrol (Tabel 1). Berdasarkan analisis bivariat diketahui
17
Siti Rahmah : Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian Hepatitis A
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Kecamatan Depok Karakteritik Responden Umur (tahun) ≤ 10 11-20 21-30 31-40 >40 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pekerjaan Mahasiswa Pegawai Siswa Ibu rumah tangga Pengusaha Guru Tidak bekerja Penjual makanan
Kasus (n=140)
Kontrol (n=140)
1 71 55 10 3
1 88 42 3 6
103 37
91 49
123 8 3 1 1 2 0 2
112 14 6 4 2 0 2 0
kaan kering. Hal tersebut mengakibatkan apabila seseorang pernah melakukan kontak erat dengan orang yang terinfeksi maka dapat terjadi penularan secara langsung melalui jabatan tangan atau secara tidak langsung melalui benda-benda terkontaminasi yang dipakai bersama.8 Hal ini dapat didukung dengan kondisi perilaku hidup bersih dan sehat yang rendah, seperti kebiasaan tidak selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau setelah buang air besar. Penderita hepatitis A, terutama yang memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah, berpotensi tinggi menjadi sumber penularan terhadap orang lain. Virus hepatitis A relatif stabil dan dapat bertahan selama beberapa jam pada ujung jari dan tangan dan sampai dua bulan pada permukaan kering. Peralatan makan dan minum yang tekontaminasi oleh virus hepatitis A, dari virus yang menempel pada tangan dan jari penderita kemudian dipakai bersama dengan orang lain maka dapat menjadi media penularan penyakit hepatitis A. Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat penularan hepatitis A melalui fecal-oral. Kebiasaan tidak selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dapat menjadi perilaku berisiko yang menyebabkan terjadinya penularan hepatitis A. Hal ini dapat terjadi apabila seseorang menyentuh benda atau tangan orang yang terkontaminasi dan kemudian tidak mencuci tangannya dengan sabun sebelum mengonsumsi makanan maka tangan tersebut dapat menjadi media penularan hepatitis A. Sedangkan kebiasaan tidak selalu mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dapat juga menjadi perilaku berisiko yang menyebabkan terjadinya penularan hepatitis A. Hal ini dapat terjadi apabila penderita hepatitis A tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar kemudian mengkontaminasi makanan/minuman atau peralatan makan dan minum yang digunakan oleh orang lain. Jadi, kita harus membiasakan diri untuk selalu mencuci tangan, khususnya sebelum makan atau setelah buang air besar. Virus hepatitis dapat dilemahkan oleh pemanasan sampai 1850F (850C) atau lebih tinggi selama satu menit atau disinfeksi permukaan dengan 1 : 100 pengenceran natrium hipoklorit
Sumber : Data Primer, 2013
bahwa ada 7 variabel yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian hepatitis A di Kecamatan Depok, yaitu riwayat kontak erat, tidak mencuci tangan dengan sabun, tidak mencuci alat makan dengan sabun, sering mengonsumsi sayur/makanan mentah, tukar menukar alat makan, sering makan di warung yang hanya mencuci dengan satu ember, dan tidak memperhatikan kebersihan warung (Tabel 2). Setelah itu dilakukan analisis multivariat dan hasilnya adalah riwayat kontak erat (OR=3,17;95%CI=1,82-5,52;p=0,00), sering mengonsumsi sayur/makanan mentah (tidak dimasak) (OR=3,43; 95%CI=1,73-6,81;p=0,00), dan tidak memperhatikan kebersihan warung (OR= 3,28;95%CI=1,92-5,60;p=0,00) adalah faktor risiko kejadian hepatitis A di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman (Tabel 3).
PEMBAHASAN Adanya riwayat kontak erat dengan orang yang terinfeksi HAV memungkinkan terjadinya penularan hepatitis A karena virus hepatitis A dapat bertahan selama beberapa jam pada ujung jari dan tangan sampai dua bulan pada permu-
18
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 16-20
Tabel 2. Distribusi Analisis Bivariabel di Kecamatan Depok Variabel Riwayat kontak langsung dengan penderita Tidak mencuci tangan dengan sabun Menggunakan peralatan makan yang tidak kering Tidak mencuci peralatan makan dengan sabun Tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah BAB Sering mengonsumsi sayur atau makan mentah (tidak dimasak) Tidak mengonsumsi air yang layak minum Tukar menukar alat makan Sering makan makanan siap saji Sering makan makanan yang dijamah oleh penjual Sering makadi warung yang hanya mencuci dengan 1 ember Tidak memperhatikan kebersihan warung Mengonsumsi minuman dengan es batu
OR 3,42 2,19 1,49 2,88 1,81 3,82 1,46 2,09 1,23 1,14 2,22 3,74 1,04
95% CI 1,97-5,95 1,32-3,65 0,89-2,52 1,03-9,25 0,89-3,71 1,94-7,81 0,88-2,40 1,26-3,48 0,71-2,13 0,67-1,94 1,22-4,09 2,19-6,41 0,58-1,89
p 0,00 0,00 0,11 0,02 0,07 0,00 0,12 0,00 0,43 0,61 0,00 0,00 0,89
Sumber : Data Primer, 2013
Tabel 3. Model Analisis Regresi Logistik di Kecamatan Depok Variabel Riwayat kontak langsung dengan penderita Sering mengonsumsi sayur/makanan mentah (tidak dimasak) Tidak memperhatikan kebersihan warung Prob > Chi2 Pseudo R2
OR 3,17 3,43 3,28
95% CI p 1,82-5,52 4,09 1,73-6,81 3,52 1,92-5,60 4,35 0,000 15,41%
z 4,09 3,52 4,35
Sumber : Data Primer, 2013
gejala. Kondisi ini diperparah dengan adanya perilaku penderita yang tidak selalu mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi makanan yang telah dimasak, melalui penjamah makanan yang menderita hepatitis A.11 Orang-orang harus memperhatikan kebersihan warung makan jika ingin membeli atau mengonsumsi makanan karena warung makan yang tidak mencuci alat makannya dengan sabun atau mencuci alat makannya hanya dengan satu ember saja, dapat menjadi perilaku berisiko dalam penularan hepatitis A. Kebiasaan tidak selalu mencuci peralatan makan dan minum dengan sabun menjadi sarana penularan hepatitis A apabila peralatan makan dan minum tersebut terkontaminasi oleh virus hepatitis A melalui feses yang menempel pada tangan penderita atau melalui air yang digunakan untuk mencuci peralatan tersebut, sementara pencucian tidak dilakukan menggunakan sabun. Meskipun peralatan makan dan minum
(bahan pemutih rumah tangga) dalam air mengalir. Namun, HAV masih dapat menyebar dari makanan yang dimasak jika terkontaminasi setelah memasak.9 Mengonsumsi makanan yang tidak dimasak merupakan salah satu faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kejadian hepatitis A di penelitian ini. Makanan yang tidak dimasak dapat menjadi media penularan apabila air yang digunakan untuk mencuci makanan terkontaminasi oleh virus hepatitis A. Virus hepatitis A dapat dimatikan dengan memasak (pemanasan 850C) makanan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Makanan yang dikonsumsi diantaranya berupa kubis, timun dan beberapa jenis lalapan lainnya.10 Meskipun makanan dan minuman sudah dimasak terlebih dahulu, tetapi HAV masih dapat menyebar melalui makanan tersebut jika kontaminasi terjadi setelah dimasak. Virus hepatitis A relatif stabil dan dapat bertahan selama beberapa jam pada ujung jari, dengan masa penularan tertinggi 1-2 minggu sebelum timbulnya gejala sampai beberapa hari setelah timbulnya
19
Siti Rahmah : Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian Hepatitis A
telah dicuci dengan sabun, tetapi penggunaan peralatan makan dan minum yang belum kering setelah dicuci dapat menjadi perilaku berisiko yang menyebabkan terjadinya penularan hepatitis A. Hal ini dapat terjadi apabila peralatan makan dan minum tersebut terkontaminasi oleh virus hepatitis A melalui feses yang melalui air yang digunakan untuk mencuci peralatan tersebut. Dalam penelitian ini tidak ada hubungan antara penggunaan peralatan makan dan minum yang belum kering dengan kejadian hepatitis A. Hal ini dimungkinkan karena sumber air yang digunakan untuk mencuci peralatan makan dan minum tidak terkontaminasi oleh virus hepatitis A sehingga dalam kasus ini tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara penggunaan peralatan makan dan minum yang belum kering dengan kejadian hepatitis A.
derita dan sebelum mengonsumsi makanan atau minuman.
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Hepatitis, [online] 2011. [diakses 14 Mei 2013]. Available at: http://www.who.int/ topics/hepatitis/en/ 2. CDC. Hepatitis A FAQs for the Public. CDC.2009. 3. Berge, et al. Diagnosis of Hepatitis A Virus Infection: a Molecular Approach. Clinical Microbiology Reviews. 2006;19(1):63-79. 4. Tormans, et al. Control of Communicable Diseases Manual. Washington DC: APHA; 2008. 5. Pulungan, M. Investigasi KLB Hepatitis A di Dusun Sekar Genengan Wilayah Kerja Puskesmas Tikung Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2011. 6. Heryantoro L. Epidemiologi dan Faktor Risiko Hepatitis A di Wilayah Kerja Puskesmas Kalibawang Kabupaten Kulon Progo [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2011. 7. Depkes R.I. Renstranas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005. 8. Chin, J. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 1. Jakarta: Infomedika; 2000. 9. Maelerclark. About Hepatitis A Food Poisoning, [online] 2005 [diakses 15 Mei 2013]. Available at: http://www.about-hepatitis.com/. 10. Surendra, H. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Hepatitis A di Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon ProgoTahun 2012 [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2012. 11. Dwiastuti, S. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian Hepatitis A pada Taruna Akademi Kepolisian [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008
KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku tidak sehat dan tidak hygienis, seperti memiliki riwayat kontak dengan penderita hepatitis A, sering mengonsumsi sayur/makanan mentah (tidak dimasak), dan tidak memperhatikan kebersihan warung adalah faktor risiko terjadinya kejadian hepatitis A di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman Provinsi Yogyakarta. Saran bagi Dinas Kesehatan Sleman adalah memberikan informasi dan edukasi tentang hepatitis A kepada para penjual makanan dan minuman, terutama terkait tata cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak berisiko menularkan penyakit hepatitis A serta meningkatkan intensitas pemeriksaan dan perbaikan sanitasi warung makan, terutama pada saat terjadi KLB atau peningkatan kasus hepatitis A. Kepada masyarakat adalah menghindari penggunaan peralatan makan dan minum bersama, dengan cara memisahkan peralatan makan dan minum penderita hepatitis A agar tidak digunakan oleh orang lain, menghindari mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak dimasak, menghindari mengonsumsi makanan dan minuman yang dijual di sekitar wilayah terjadinya KLB, terutama makanan dan minuman yang dijamah langsung oleh penjual, dan selalu mencuci tangan dengan sabun setelah kontak dengan pen-
20
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 21-29
PROGRAM KEMITRAAN BIDAN DAN DUKUN SEBAGAI GOOD GOVERNANCE INNOVATION AKSELERATOR PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGS) Partnership Program as a Midwife and Healer Good Governance Innovation Accelerator Achieving the Millennium Development Goals (MDGs) Dedik Sulistiawan, Nurmalasari Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM Universitas Airlangga (
[email protected],
[email protected]) ABSTRAK Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi, terutama di Kabupaten Trenggalek. Terdapat 22 kematian ibu dan 164 kematian bayi dari 10.993 kelahiran hidup pada tahun 2001 dan masih terdapat 1.653 kelahiran yang ditolong dukun bayi. Jumlah dukun bayi di Kabupaten Trenggalek masih cukup banyak, yakni dua kali lebih banyak dari jumlah bidan (449 dukun bayi dan 186 bidan tahun 2001). Sementara itu, keberadaan dukun bayi masih sangat dihormati. Sebaliknya, keberadaan bidan rata-rata masih muda dan belum dikenal masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan mengidentifikasi Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek. Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek merupakan suatu bentuk kerjasama antara bidan dan dukun dengan tujuan meningkatkan akses ibu dan bayi terhadap pelayanan kebidanan yang berkualitas. Program ini berhasil menurunkan AKI dan AKB di Kabupaten Trenggalek dari 200,13 pada tahun 2001 menjadi 103 pada tahun 2010, untuk AKI dan dari 183 pada tahun 2001 menjadi 111 pada tahun 2011 untuk AKB. Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi dapat mempercepat pencapaian MDGs di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Kata Kunci : Kemitraan bidan, dukun, AKI, AKB ABSTRACT Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) in Indonesia is still high, especially at Trenggalek District. There were 22 maternal and 164 infant deaths from 10.993 live births in 2001 and still 1.653 births attended by traditional birth attendants (TBA). The number of TBAs in Trenggalek District is still quite high, twice the number of midwives (449 TBAs and 186 midwives in 2001). The existence of TBAs at Trenggalek District is still very respected by the community. Meanwhile, in average midwives are still young and not yet wellknown by the public. This study was conducted using a case study design with references study, questionnaires, and interviews. This study aims to identify the Partnership Program between Midwives and TBAs at Trenggalek District. The Partnership Program between Midwives and TBAs in Trenggalek District is a collaboration between midwives and TBAs to improve access for mothers and their babies to quality maternity services. The program succeeded in reducing MMR and IMR at Trenggalek District from 200,13 in 2001 to 103 in 2010 for MMR and from 183 in 2001 to 111 in 2011 for IMR. In conclusion, the Partnership Program between Midwives and TBAs can accelerate the accomplishment of MDGs at Trenggalek District, East Java. Keywords : Midwives partnership, TBAs, MMR, IMR
21
Dedik Sulistiawan : Program Kemitraan Bidan dan Dukun sebagai Good Governance Innovation Akselerator
PENDAHULUAN
bayi yang menggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak membahayakan keselamatan ibu dan bayi.6 Menurut Martaadisoebrata, pemecahan masalahnya adalah dengan meningkatkan mutu dan jumlah paramedis yang memiliki keterampilan memadai dalam menolong seluruh siklus proses kehamilan dan persalinan.7 Selain itu, untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka pendekatan holistik, lintas sektoral, dan multidisiplin harus memperoleh perhatian yang utama serta dilakukan sesuai karakteristik setiap daerah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui gambaran pelaksanaan program kemitraan bidan dan dukun bayi di Kabupaten Trenggalek yang dicanangkan sebagai upaya akselerasi pencapaian MDGs melalui upaya penurunan AKI dan AKB.
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin sebagai salah satu indikator pembangunan kesehatan merupakan masalah besar di negara berkembang. Sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan.1 Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab langsung kematian ibu hampir 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan.2 Sedangkan pada bayi, dua per tiga kematian terjadi pada masa neonatal, yaitu 28 hari pertama kehidupan.3 Salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Upaya penurunan angka kematian anak salah satu indikatornya adalah menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiga dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2015.4 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), antara lain melalui penempatan bidan di desa, penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED), serta Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Namun, melalui berbagai upaya tersebut, AKI dan AKB di Indonesia masih belum memenuhi target MDGs. Berdasarkan target MDGs yang ditetapkan pemerintah, yakni 102 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), AKI telah mengalami penurunan dari 228 per 100.000 menjadi 118 per 100.000 KH pada tahun 2007. Sedangkan untuk target AKB 23 per 1000 KH, pada tahun 2007 tercatat mengalami penurunan dari 34 per 1.000 menjadi 24 per 1.000 KH.5 Tingkat kematian ibu dan bayi yang masih tinggi tersebut, berkaitan erat dengan faktor medis dan non medis. Hasil penelitian dari 97 negara menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang semakin tinggi di suatu wilayah akan diikuti penurunan kematian ibu di wilayah tersebut. Pertolongan persalinan saat ini di wilayah Indonesia masih banyak dilakukan oleh dukun
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian yang digunakan, yaitu dengan melakukan wawancara pada beberapa informan, seperti Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek, para staf pengelola program Bidang Kesehatan keluarga dan Gizi, bidan di desa, kepala puskesmas, dukun bayi, ibu hamil, serta beberapa masyarakat umum di Kabupaten Trenggalek pada bulan Agustus-September tahun 2012. Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi.
HASIL Berdasarkan hasil survei WHO dan Departemen Kesehatan RI, penurunan AKI belum sesuai dengan target yang diharapkan dan dukun yang sudah dilatih ternyata kembali pada perilaku semula. Hal ini dapat diketahui dengan masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia, terutama di Kabupaten Trenggalek, yaitu terdapat 22 kematian ibu dan 164 kematian bayi dari 10.993 kelahiran hidup pada tahun 2001, serta masih 1.653 persalinan yang ditolong oleh dukun bayi.8 Kondisi geografi Kabupaten Trenggalek yang dua per tiga wilayahnya merupakan pegunungan, sehingga akses menuju ke tempat pela-
22
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 21-29
yanan kesehatan ataupun ke tenaga medis menjadi kurang terjangkau. Di satu sisi, keberadaan dukun bayi di tengah masyarakat pada saat itu, terutama di Kecamatan Munjungan, masih dipercaya sebagai pemberi kekuatan spiritual bagi ibu hamil, melahirkan, maupun nifas, serta anak baru lahir, selain karena alasan ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat lebih memilih menggunakan jasa dukun bayi untuk membantu persalinan. Hal ini juga diperparah dengan jumlah dukun bayi yang dua kali lipat lebih banyak dari jumlah bidan, yaitu 449 dukun bayi dan 186 bidan pada tahun 2001.9 Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah setempat menempatkan bidan yang sudah menamatkan pendidikan kebidanan di desa. Namun, bukannya mendapat sambutan yang baik, para bidan justru dipandang sebelah mata, karena masyarakat mengangggap bahwa dengan usia bidan yang masih muda, pengalaman yang dimiliki minim. Padahal, hal ini sudah diantisipasi sebelumnya oleh Dinas Kesehatan Trenggalek dengan adanya Klinik Satelit tahun 1998, yakni dengan memagangkan bidan junior kepada bidan senior yang pengalamannya lebih banyak. Oleh karena itu, dicari suatu kegiatan yang dapat membuat kerjasama saling menguntungkan antara bidan dan dukun bayi, dengan tujuan agar pertolongan persalinan berpindah dari dukun bayi ke bidan. Dengan demikian, AKI dan AKB diharapkan dapat diturunkan dengan mengurangi risiko yang mungkin terjadi bila persalinan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten melalui pola kemitraan bidan dan dukun bayi. Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek yang diprakarsai Dinas Kesehatan setempat lahir pasca evaluasi tahunan sekitar tahun 1998. Pada tahun tersebut, Puskesmas Pule sebagai salah satu Puskesmas di Kabupaten Trenggalek, memiliki cakupan partus oleh tenaga kesehatan cukup rendah, yakni 21%. Rendahnya cakupan partus tersebut disebabkan oleh menjamurnya praktik dukun bayi di Kecamatan Pule. Hal ini diperparah dengan proporsi dukun bayi yang jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan dengan bidan serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap bidan yang dianggap minim pengalaman. Akibat hal tersebut,
dinas kesehatan setempat meminta pertanggungjawaban Puskesmas Pule atas fenomena yang terjadi. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap dinas kesehatan, Kepala Puskesmas Pule yang pada saat itu masih dijabat oleh dr. Saeroni mengusulkan Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di wilayah kerjanya. Program yang diusulkan kepada dinas kesehatan ini merupakan penyempurnaan Program Arisan Dukun yang sudah berjalan di Puskesmas Pule sejak tahun 1993. Pada tahun tersebut, Program Arisan Dukun yang diselenggarakan hanya sekedar mengumpulkan dukun untuk arisan bulanan dan diberikan sosialisasi terkait perawatan bayi serta persuasi supaya tidak lagi menolong partus. Hasilnya belum berdampak signifikan yang ditandai dengan cakupan linakes Kecamatan Pule tahun 1998 masih sebesar 21%. Hal ini juga dipicu dengan adanya konflik horizontal antara dukun dengan bidan karena dukun merasa dirugikan akibat larangan menolong partus. Pada tahun 2001, Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek memberikan dana bergulir kepada Puskesmas Pule untuk menyelenggarakan program kemitraan tersebut. Setiap dukun diberi dana sebesar Rp 100.000,00 yang dikonversikan dalam bentuk 10 kali rujukan persalinan. Inilah konsep awal program kemitraan yang diselenggarakan. Semenjak saat itu, Puskesmas Pule dijadikan pilot project Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek. Perlu diketahui bahwa pada tahun tersebut, AKI dan AKB di Kabupaten Trenggalek secara umum masih terbilang cukup tinggi. Tercatat sebanyak 22 kematian ibu dan 164 kematian bayi dari 10.993 kelahiran hidup pada tahun 2001, serta 1.653 persalinan masih ditolong oleh dukun bayi. Pada tahun yang sama, tercatat bahwa proporsi kematian ibu dan bayi sebesar 200,12 per 100.000 KH dan 14,92 per 1.000 KH, sedangkan target proporsi kematian ibu yang seharusnya dicapai adalah 150 per 100.000 KH.10 Oleh karena itu, program kemitraan ini tidak hanya dilaksanakan di Puskesmas Pule saja, melainkan di semua puskesmas, yakni 22 Puskesmas Induk dan dua Puskesmas Pembantu di 14 kecamatan se-Kabupaten Trenggalek dengan difasilitasi dengan adanya Bidan di Desa
23
Dedik Sulistiawan : Program Kemitraan Bidan dan Dukun sebagai Good Governance Innovation Akselerator
Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Trenggalek No. Bentuk Kegiatan 1. Studi Banding
Tujuan Peserta/Sasaran Mengetahui pelaksanaan program Pengelola program kemitraan bidan dan dukun bayi di dan penentu kebijakan wilayah yang telah berhasil menurunkan lindukun.
2.
Penyusunan Materi dan Urutan kegiatan program
Tersusunnya modul pemagangan dukun dan urutan kegiatan yang diperlukan untuk pelaksanaan program.
Pengelola program, wakil dari puskesmas, P2KP
3.
Sosialisasi Tingkat Kabupaten
Agar program dapat diterima dan dibantu pelaksanaannya.
4.
Pertemuan Tim Pelaksana Kabupaten dan Puskesmas
5.
Sosialisasi Tingkat Kecamatan Sosialisasi Tingkat Desa
Penjelasan teknis pelaksanaan pemagangan dan proses kemitraaan bidan dan dukun bayi (dana bergulir dan rujukan). Agar program dapat diterima dan dibantu pelaksanaannya. Agar program dapat diterima dan dibantu pelaksanaannya. Penyegaran keterampilan dukun untuk membantu penyuluhan dan merawat bayi selama masa nifas serta rujukan. Praktik mendampingi bidan dalam proses persalinan dan nifas serta mendekatkan hubungan personal antara bidan dan dukun bayi. Agar dukun mempunyai ikatan untuk merujuk kasus persalinan ke bidan.
Pemerintah kabupaten, DPR, LSM, camat, lintas sektor, kepala puskesmas Kepala puskesmas, bidan kordinator
6. 7.
Pelatihan Dukun di Puskesmas
8.
Pemagangan Dukun di Polindes
9.
Peluncuran Dana Bergulir
10.
Kemitraan Bidan dan Dukun bayi Evaluasi Tingkat Kecamatan
11. 12.
Evaluasi Tingkat Kabupaten
Agar semua persalinan yang datang ke dukun dirujuk ke bidan atau puskesmas. Untuk mengetahui keberhasilan dan hambatan dalam pelaksanaan program. Untuk mengetahui keberhasilan dan hambatan dalam pelaksanaan program.
Camat, kepala desa, dukun bayi, bidan, tokoh masyarakat, PKK Kepala desa, tokoh masyarakat, LSM, dukun, kader kesehatan Dukun bayi dan bidan
Bidan dan dukun bayi
Dukun
Ibu bersalin dan dukun Camat, kepala desa, dukun bayi, bidan, tokoh masyarakat Kepala puskesmas, bidan koordinator, pengelola program, lintas sektor, lintas program
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek, 2008
yang terlatih, Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar), serta adanya kebijakan Jampersal (Jaminan Persalinan). Pada kemitraan bidan dan dukun, perlu diberi pengertian bahwa peran dukun bayi tidak kalah penting dibandingkan perannya dahulu. Proses perubahan peran dukun menuju peran barunya yang berbeda memerlukan suatu adaptasi dan hubungan interpersonal yang baik antara bidan
dan dukun. Dukun bayi perlu diberikan wawasan dan pengetahuan dalam bidang kesehatan ibu dan bayi baru lahir, terutama tentang tanda bahaya pada kehamilan, persalinan dan nifas, serta persiapan yang harus dilakukan oleh keluarga dalam menyongsong kelahiran bayi. Adapun tahapan dalam pelaksanaan program kemitraan bidan dan dukun dapat dilihat pada Tabel 1. Evaluasi program kemitraan ini dilak-
24
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 21-29
Tabel 2. Peran Dukun Bayi Sebelum dan Sesudah Adanya Program Kemitraan Bidan dan Dukun No. 1.
Aspek Perawatan Prenatal
Sebelum Melakukan pemeriksaan ibu hamil.
2.
Perawatan Antenatal
Menolong persalinan sendiri.
3.
Perawatan Inpartum Merawat ibu nifas dan bayi. dan Postpartum Menganjurkan ibu hamil untuk pantang makanan tertentu. Melarang ibu untuk ikut KB sebelum tujuh bulan pasca persalinan serta melarang bayi diimunisasi.
Sesudah Merujuk ibu hamil ke petugas kesehatan. Merujuk ibu bersalin ke petugas kesehatan, sedangkan dukun tidak boleh menolong. Membantu merawat ibu nifas dan bayi. Melarang ibu pantang makanan tertentu sesuai petunjuk kesehatan. Memotivasi ibu untuk segera melakukan KB, ASI Eksklusif, dan imunisasi.
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek, 2011
sanakan di tingkat kabupaten dan kecamatan. Evaluasi di tingkat kecamatan dilaksanakan setiap enam bulan sekali dan di tingkat kabupaten dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Evaluasi di tingkat kecamatan mengundang dukun bayi, bidan desa, bidan koordinator puskesmas, camat, kepala puskesmas, kepala desa, tokoh masyarakat, dan PKK. Sedangkan di tingkat kabupaten mengundang kepala puskesmas, bidan koordinator, dan lintas program terkait. Dalam evaluasi ini disepakati rencana tindak lanjut untuk mengatasi masalah yang timbul dan di beberapa kecamatan kesepakatan yang terbentuk dikuatkan dengan keputusan camat. Pemantauan dilakukan oleh Tim Pemantau Dinas Kesehatan Trenggalek di puskesmas dan polindes dengan sasaran bidan desa, dukun bayi, serta pengelola dana bergulir puskesmas. Dalam pemantauan ini dilaksanakan penilaian pelaksanaan dan hasil Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di wilayah puskesmas. Hasil pemantauan akan digunakan sebagai bahan evaluasi baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Evaluasi ini dilakukan dengan membandingkan pencapaian hasil kegiatan dengan perencanaan secara berkesinambungan. Proses pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan secara berjenjang kepada pengelola program KIA puskesmas kemudian ke kabupaten secara triwulan. Berdasarkan hasil evaluasi akan ditetapkan puskesmas dengan kinerja terbaik dan terburuk.
Kinerja ini dilihat dari peningkatan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, penurunan angka pertolongan persalinan oleh dukun, penurunan jumlah kematian ibu dan bayi, serta jumlah dukun bayi yang mengikuti kegiatan kemitraan. Pelaksanaan program ini bertujuan mengalih fungsikan dukun bayi dari yang awalnya sebagai penolong persalinan menjadi pembantu bidan dalam proses perawatan pasca persalinan. Dengan adanya pengalihan fungsi dukun tersebut, banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat Trenggalek baik secara langsung dan konkrit maupun secara tidak langsung. Secara garis besar dapat dilihat pada Tabel 2.
PEMBAHASAN Menurut hasil penelitian dari 97 negara menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu.11 Semakin tinggi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, maka akan diikuti penurunan kematian ibu di wilayah tersebut. Selain itu, dari berbagai laporan di Kabupaten Trenggalek, diketahui bahwa tingginya AKI dan AKB tersebut dikarenakan beberapa keterlambatan, seperti terlambat deteksi adanya high risk pada ibu hamil, terlambat membuat keputusan untuk dirujuk, terlambat sampai ke tempat rujukan karena tidak tersedianya sarana transportasi, serta terlambat dalam penanganan medis. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama
25
Dedik Sulistiawan : Program Kemitraan Bidan dan Dukun sebagai Good Governance Innovation Akselerator
antara bidan dengan dukun, yaitu setiap kali ada pasien yang hendak bersalin, dukun akan memanggil bidan. Pada saat pertolongan persalinan tersebut ada pembagian peran antara bidan dengan dukunnya. Sebenarnya, selain pada saat persalinan ada juga pembagian peran yang dilakukan pada saat kehamilan dan masa nifas, tetapi memang yang lebih banyak diutarakan adalah kerjasama pada saat persalinan.12 Kemitraan bidan dan dukun adalah bentuk kerjasama bidan dengan dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Kemitraan ini menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, yang berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dengan dukun, serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.13 Peran bidan lebih ditekankan pada persalinan dan masa nifas. Pada saat persalinan, peran bidan porsinya lebih besar dibandingkan dengan peran dukun. Selain menolong persalinan, bidan pun dapat memberikan suntikan pada pasien yang membutuhkannya atau dapat dengan segera merujuk ke rumah sakit jika ada persalinan yang gawat atau sulit. Peran dukun hanya sebatas membantu bidan seperti mengelus-elus tubuh pasien, memberikan minum bila pasien membutuhkan dan yang terutama adalah memberikan kekuatan batin kepada pasien. Kehadiran dukun bayi sangatlah penting karena pasien beranggapan bahwa bila saat melahirkan ditunggui oleh dukun, maka persalinan akan lancar.14 Menurut laporan Bidang Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek, dengan adanya program kemitraan ini, terjadi peningkatan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 76,6% pada tahun 2001 menjadi 89,7% pada tahun 2011. Selain itu, pertolongan persalinan oleh dukun turun dari 23,4% pada tahun 2001 menjadi 0,7% pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan jumlah dukun bayi yang mengikuti program kemitraan ini meningkat dari 275 orang pada tahun 2001 menjadi 368 orang pada tahun 2009.9
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Trenggalek, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan AKI dari 200,13 pada tahun 2001 menjadi 103 pada tahun 2010 dan 91 pada tahun 2012 di semester I per 100.000 KH.10 Begitu juga dengan AKB, terjadi penurunan kematian bayi (dari lindukun) dari 37 pada tahun 2001 menjadi nol pada tahun 2011.9 Sehingga secara otomatis terjadi akselerasi pencapaian target MDGs. Program kemitraan bidan dan dukun berkorelasi positif dengan adanya pelaksanaan Program Jampersal. Dengan diluncurkannya Jampersal pada tahun 2011, membuat semakin banyaknya ibu hamil yang memutuskan melakukan persalinan di tenaga kesehatan. Sebab, jika masyarakat melakukan persalinan di dukun bayi, maka harus membayar jasa dukun, sedangkan jika melakukan persalinan di tenaga kesehatan, maka tidak akan dipungut biaya karena adanya Jampersal. Program kemitraan ini pada dasarnya dalam rangka Gerakan Sayang Ibu (GSI), sehingga juga akan memberikan dukungan baik terhadap jalannya Program GSI ini. Selain itu, program ini juga membawa perbaikan kualitas dan kuantitas sarana, prasarana, serta SDM di bidang pelayanan kesehatan, seperti peningkatan skill bidan serta peningkatan jumlah bidan di desa. Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek dilaksanakan dengan menjunjung tinggi prinsip kemitraan, yakni adanya sikap saling menghargai keahlian setiap mitra (dukun maupun bidan), keterbukaan, dan saling menguntungkan. Para dukun bayi yang merasakan penghargaan atas peran dan manfaat ekonomi yang layak, mulai membawa ibu hamil ke bidan serta mengajak untuk menjalani pemantauan kesehatan berkala di puskesmas. Setiap rujukan persalinan dari dukun bayi kepada bidan akan diperhitungkan sebagai satu kali angsuran dana bergulir sebesar Rp10.000,00 ditambah transport untuk dukun yang besarnya bervariasi mulai Rp10.000,00-Rp65.000,00. Belum lagi jika dari pihak keluarga ibu yang melahirkan secara sukarela memberikan imbalan atas jasa yang dilakukan dukun selama pra maupun pasca persalinan. Sementara itu, masyarakat juga mulai
26
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 21-29
menaruh kepercayaan kepada para bidan di desa, sebab dengan adanya program kemitraan ini terjadi peningkatan kualitas SDM tenaga kesehatan, seperti peningkatan skill bidan dalam melakukan pemeriksaan medis dan membantu proses kelahiran. Selain bidang sosial, program kemitraan ini juga memberikan pengetahuan kepada para ibu dan dukun tentang perawatan kesehatan ibu dan anak. Beberapa poin pembelajaran yang bisa diambil dengan adanya keberhasilan Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi ini, antara lain: 1. Pentingnya pendekatan budaya dalam menyelenggarakan suatu program kesehatan tanpa mengesampingkan peran dukun yang dihormati di masyarakat. Sebagai tokoh yang dihormati oleh masyarakat, dukun memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan memobilisasi masyarakat di sekitarnya. Sehingga metode pendekatan budaya ini merupakan metode yang tepat untuk direalisasikan menjadi Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi, keberadaan bidan sebagai tenaga medis serta dukun yang bertindak sebagai pendamping. Program kesehatan bisa berjalan tanpa harus meninggalkan unsur kebudayaan setempat, yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap peran dukun oleh masyarakat. 2. Kegigihan tenaga kesehatan (asosiasi bidan) di Kabupaten Trenggalek dalam menjalin hubungan baik dengan dukun di setiap wilayah kerja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bidan yang meminjamkan dana pribadinya untuk menambah anggaran dana bergulir, sehingga jumlah yang diterima dukun lebih besar dan lebih banyak dukun yang bisa dijangkau. 3. Kontinuitas pelaksanaan program sampai goal tercapai melalui kerjasama yang kooperatif antar berbagai pihak dan penguatan jaringan. Kontinuitas pelaksanaan program sampai tercapainya goal yang diharapkan merupakan poin yang patut dibanggakan. Dimulai dari studi banding yang dilakukan Dinas Kesehatan setempat di Lombok sampai proses pelembagaan yang cukup panjang dan rumit dalam menjaring dukungan politis dan
sosial dari berbagai lintas sektor dan program. Semua ini tidak terlepas dari adanya penciptaan kerjasama yang kooperatif antara Kepala Puskesmas Pule sebagai inisiator, Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek sebagai konseptor, dan pihak Pemerintah Kabupaten Trenggalek serta DPRD sebagai legitimator dalam pelembagaan program kemitraan ini. Pada proses eksekusinya, keberhasilan program kemitraan ini tidak terlepas dari peranan dukun dan bidan yang telah menjalin kerjasama dengan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing, serta optimalisasi peran puskesmas (terutama Puskesmas PONED), kepala desa, dan berbagai pihak dalam memobilisasi dukun di wilayah setempat. Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek sangat berpeluang untuk direplikasi di daerah lain. Hal ini karena beberapa wilayah di Indonesia memiliki karakter yang serupa terkait dengan budaya persalinan, yaitu penggunaan jasa dukun bayi dengan berbagai macam alasan, sehingga keberhasilan program ini menarik perhatian beberapa daerah di Indonesia. Hingga tahun 2012, terdapat beberapa daerah yang melakukan studi banding, di antaranya, yaitu Dinas Kesehatan Maluku Utara. Selain studi banding dari daerah lain, Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek juga sering diminta menjadi narasumber dalam berbagai Seminar tentang Persalinan Aman di berbagai daerah di Indonesia seperti di Blora serta daerah lain terutama di tingkat provinsi se-Jawa Timur. Jika inovasi ini diharapkan memberikan dampak makro pada level kabupaten, maka harus ada sistem kuat yang mengawal pengimplementasiannya dengan tujuan memfasilitasi komunikasi dan koordinasi pelaksanaan program antara leading sector di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten, yakni melalui pembangunan relasi dengan beberapa pihak terkait untuk menyukseskan program tersebut dari level kabupaten sampai desa. Sistem dan anggaran operasionalnya juga harus diperhatikan dengan dikuatkan melalui adanya Juknis Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi. Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan adalah kerja sama dari para pengambil kebijakan baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Ban-
27
Dedik Sulistiawan : Program Kemitraan Bidan dan Dukun sebagai Good Governance Innovation Akselerator
3. Astuti, W.D, Sholikhah, H.H, Angkasawati, T.J. Estimasi Risiko Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia Tahun 2007. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2010;13(4):299. 4. Pramono, M. S, Sadewo, F. S. Analisis Keberadaan Bidan Desa dan Dukun Bayi di Jawa Timur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2012;15(3). 5. Direktorat Bina Kesehatan Anak. Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir di Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Anak; 2013. 6. Maryatun, A. Implementasi “Program Pembinaan Dukun Bayi” dalam Upaya Pertolongan Persalinan Sehat di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara [Skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2013. 7. Disoebrata Martaa D. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. 8. Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek. Pelaksanaan Puskesmas PONED dan Permasalahannya. Trenggalek: Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek; 2008. 9. Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek. Evaluasi Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek. Trenggalek: Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek; 2011. 10. Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek. Pengalaman Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek. Trenggalek: Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek; 2008. 11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Kemitraan Bidan dan Dukun. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012. 12. Anggorodi, R. Dukun Bayi dalam Persalinan oleh Masyarakat Indonesia. Makara Kesehatan. 2009;13(1). 13. Metti, D, Rosmadewi. Hubungan Kemitraan Bidan dan Dukun dengan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai. 2012;5(1). 14. Budiyono, Suparwati, A, Syamsulhuda,
tuan dari pihak swasta seperti adanya CSR akan menjadi alternatif ketika pendanaan dari pemerintah kurang maupun berhenti sama sekali. Kelompok pendukung seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM, Tim PKK, juga memegang peranan penting, mengingat basis program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi ini berada dalam masyarakat. Untuk memaksimalkan persalinan yang aman, Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek juga menggandeng berbagai program maupun kebijakan terkait dengan KIA, yang di antaranya bisa saling berkolaborasi dalam rangka akselerasi pencapaian MDGs, seperti adanya kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal).
KESIMPULAN DAN SARAN Program Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi di Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu terobosan dinas kesehatan setempat yang berhasil menurunkan AKI dan AKB sehingga menunjang proses akselerasi pencapaian MDGs. Metode pendekatan holistik, lintas sektoral, lintas program, dan multidisiplin merupakan metode yang tepat karena permasalahan kesehatan merupakan permasalahan yang kompleks. Selain itu, program kesehatan bisa berjalan tanpa harus meninggalkan unsur kebudayaan setempat, yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap peran dukun oleh masyarakat serta penghargaan terhadap masing-masing peran, yaitu bidan sebagai penolong persalinan dan dukun sebagai pendamping. Oleh karena itu, program kemitraan ini sangat berpeluang untuk direplikasi di daerah lain karena beberapa wilayah di Indonesia memiliki karakter yang hampir serupa terkait dengan budaya persalinan, yaitu penggunaan jasa dukun bayi dengan berbagai macam alasan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Saifuddin, A. B. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. 2. Pritasari, K. Kebijakan dan Strategi Percepatan Sasaran 5 MDGs dan Pelayanan Kesehatan yang Mendukung Revitalisasi KB. Jakarta: Rakernas Program KB; 2012.
28
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 21-29
B.M, Nikita, A. Kemitraan Bidan dan Dukun dalam Mendukung Penurunan Angka Kematian lbu di Puskesmas Mranggen I Kabupaten Demak. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2012;11(1).
29
Siprianus Singgi : Gangguan Kesehatan pada Pemulung di TPA Alak Kota Kupang
GANGGUAN KESEHATAN PADA PEMULUNG DI TPA ALAK KOTA KUPANG Health Problems of Scavengers at the Alak Landfill, Kupang City Siprianus Singga Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Kupang (
[email protected]) ABSTRAK Pemulung merupakan salah satu dari kelompok pekerja informal yang berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan menganalisa gangguan kesehatan yang dialami pemulung selama bekerja di TPA Alak. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study yang dianalisis menggunakan uji chi square. Responden penelitian sebanyak 100 orang yang diambil menggunakan teknik simpel random sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 10 jenis gangguan kesehatan yang dialami pemulung di TPA Alak dengan jumlah gangguan bervariasi pada setiap responden. Hasil analisis statistik diperoleh umur (p=0,000), lokasi tinggal (p=0,004), jam kerja (p=0,000) dan masa kerja (p=0,002) berkorelasi secara signifikan dengan jumlah gangguan kesehatan yang dialaminya. Kesimpulan penelitian ini adalah umur, lokasi tinggal, jam kerja, dan masa kerja berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah gangguan kesehatan yang dialami pemulung di TPA Alak. Kata Kunci : Pemulung, gangguan kesehatan, TPA ABSTRACT Scavengers are one group of informal workers who are at risk of health problems caused by their occupation. This study aims to analyze the health problems experienced by scavengers during their work at the Alak landfill. The method used in this research was the observational method with a cross sectional study approach and utilized the square test. Populations of this research were all of the scavengers in the Alak landfill. 100 samples were selected by using the simple random sampling technique. Results of this study found that there were 10 kinds of health problems experienced by scavengers in the Alak landfill with the number of problems varying for each respondent. Result of analyze statistically found that, age (p=0,000), residence location (p=0,004), working hours (p=0,000) and working period (p=0,002) significantly correlated with the number of health problems experienced by the scavengers. In conclusion, age, residence location, working hours, and working period were factors that significantly affected the number of health problems of scavengers. Keywords : Scavenger, health problems, TPA
30
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 30-35
PENDAHULUAN
tuk menderita penyakit akibat terpapar gas H2S adalah sebesar 6,53 dan mempunyai probabilitas untuk menderita penyakit akibat terpapar gas NH3 adalah sebesar 0,77.6 Paparan terhadap gas hasil pembusukan sampah dapat menimbulkan gangguan sistem pernafasan. Hasil survei di TPA Supiturang diketahui sebanyak 65% pemulung di TPA mengalami gangguan sistem pernapasan.7 Gejala gangguan yang sering dialami pemulung antara lain batuk, sakit kepala, gangguan sistem pernapasan, bronchitis. Orang yang terpapar dalam jumlah yang besar dan lama bahkan dapat mengakibatkan kematian. Data dari koordinator pemulung TPA Alak menyebutkan bahwa jumlah pemulung yang bekerja di TPA Alak sebanyak 52 KK. Dari 52 KK tersebut ada yang semua anggota keluarganya bekerja sebagai pemulung, adapula yang hanya sebagian anggota keluarganya yang bekerja sebagai pemulung. Mayoritas keluhan penyakit yang diderita oleh masyarakat pemulung di TPA Alak adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Alak, ISPA juga menempati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak yang diderita penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Alak. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar TPA Alak cukup memprihatinkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisa gangguan kesehatan yang dialami pemulung selama bekerja di TPA Alak.
Salah satu dampak lingkungan yang besar dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah adalah pencemaran udara sebagai akibat dari proses dekomposisi sampah. Proses dekomposisi sampah akan membentuk berbagai jenis gas, seperti Hidrogen Sulfida (H2S), Karbon Monoksida (CO), Ammonia (NH3), Fosfor (PO4) dan Sulfur Oksida (SO4), dan Metana (CH4).1 Semakin banyak sampah yang didekomposisi, akan semakin banyak pula jumlah gas-gas yang dihasilkan. Gas-gas tersebut sering menimbulkan bau busuk dan menurunkan kualitas udara di lingkungan TPA tersebut. dekomposisi secara alamiah menghasilkan gas NH3, H2S, CO dan CH4.2 Studi Amdal terhadap TPA Bantar Gebang Bekasi tahun 1989 menyatakan bahwa timbulnya pencemaran udara akibat meningkatnya konsentrasi gas disertai bau busuk, baik yang ditimbulkan pada tahap operasi penimbunan dan pemadatan sampah maupun setelah selesainya tahap operasi.3 Pemulung merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan akibat paparan gas-gas pencemar dari proses dekomposisi sampah. Aktivitas pemulung yang setiap hari berada dalam lingkungan TPA serta tempat tinggalnya yang berada di sekitar lokasi TPA tentu menjadi salah satu penyebab terpaparnya pemulung terhadap gas-gas tersebut. Meirinda menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak rumah dari TPA dengan konsentrasi gas hasil pembusukan sampah. Selain itu juga terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi fisik rumah dan konsentrasi gas pembusukan sampah dalam rumah penduduk tersebut.4 Penelitian di TPA Terjun Medan menyatakan bahwa pemulung yang tinggal di lokasi TPA 11,6 kali memiliki risiko akan terganggu kesehatannya akibat paparan gas H2S dalam udara ambien TPA bila dibandingkan dengan responden yang tinggal diluar TPA. Hasil ini juga menunjukkan bahwa penduduk di lokasi TPA Terjun berdasarkan parameter, populasi telah memiliki risiko akan terkena gangguan kesehatan akibat terpapar H2S dari pembusukan sampah.5 Penelitian di TPA Tamangapa Makassar, menyatakan bahwa pemulung mempunyai probabilitas un-
BAHAN DAN METODE Penelitian bersifat observasional, dengan rancangan cross sectional study. Variabel bebas yang diteliti berupa umur, lokasi tinggal, jam kerja, serta masa kerja sedangkan varibel terikat berupa gangguan kesehatan responden. Penelitian ini dilakukan di TPA Alak Kota Kupang dengan waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni – Juli 2012. Populasi penelitian ini adalah seluruh pemulung yang bekerja di TPA Alak Kota Kupang dengan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 100 pemulung. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan simpel random sampling dengan kriteria inkulusi, yaitu usia minimal 10 tahun, bekerja sebagai pemulung di
31
Siprianus Singgi : Gangguan Kesehatan pada Pemulung di TPA Alak Kota Kupang
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Gejala Gangguan Kesehatan di TPA Alak
TPA minimal 1 tahun dan bersedia diwawancarai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner untuk mengetahui data karakteristik pemulung serta gangguan kesehatan yang dideritanya. Data hasil penelitian dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji chi square. Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan bantuan komputer program SPSS versi 16,00 dan disajikan dalam bentuk tabel yang disertai narasi.
Jenis Gejala Gangguan Kesehatan Batuk-batuk Mata berair dan gatal Hidung iritasi dan gatal Sesak napas Iritasi tenggorokan Jalan pernafasan kering dan panas Lesu Kulit terasa perih Sakit kepala atau pusing Kehilangan nafsu makan
HASIL Gangguan kesehatan diukur dari gejalagejala gangguan kesehatan yang dialami responden sebagai akibat dari terpapar gas-gas dari pembusukan sampah terdapat 10 gejala yang berhasil diidentifikasi. Distribusi responden berdasarkan gejala gangguan kesehatan yang dialami dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa seluruh responden mengalami gejala gangguan kesehatan. Gejala gangguan kesehatan yang paling banyak dialami responden adalah batuk-batuk sebanyak 98% responden, sedangkan gejala gangguan kesehatan yang paling sedikit dialami responden adalah sesak napas sebanyak 55% responden. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa terdapat responden yang mengalami lebih dari satu gejala gangguan kesehatan. Berdasarkan jumlah gejala yang dialami, distribusi responden terbanyak terdapat pada kelompok yang mengalami 10 gejala gangguan kesehatan, yaitu 39 responden. Responden paling sedikit terdapat pada kelompok yang mengalami 1 gejala gangguan kesehatan dan 2 gejala gangguan kesehatan, masing-masing 1 responden (Grafik 1). Pada penelitian ini responden terdiri atas 5 golongan umur, yang terbanyak adalah dewasa sebanyak 40 orang, remaja 32 orang, lansia 19 orang, manula 5 orang dan anak-anak sebanyak 4 orang. Jumlah gangguan kesehatan yang dialami reseponden akibat paparan gas hasil pembusukan sampah bervariasi menurut kelompok umurnya. Dari 10 gangguan kesehatan yang didata, pada kelompok manula mempunyai rata-rata 9,4 gangguan, lansia 8,6 gangguan, dewasa 7,7 gangguan, remaja 7,3 gangguan dan anak-anak mempunyai rata-rata 3 gangguan. Dari data tersebut terlihat
n
%
98 90 66 55 62 56 93 87 96 61
98 90 66 55 62 56 93 87 96 61
Sumber : Data Primer, 2013
bahwa semakin tua usia pemulung, semakin banyak gangguan kesehatan yang dialami. Pernyataan ini juga didukung oleh hasil analisa statistik yang menunjukan bahwa ada korelasi yang bermakna antara umur responden dengan jumlah gangguan kesehatan yang dialami (p=0,000) (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan sebanyak 68 responden yang tinggal di lingkungan TPA dengan rata-rata jumlah gangguan kesehatan sebanyak 8,2 dan 32 responden yang tinggal di luar lingkungan TPA dengan rata-rata jumlah gangguan kesehatan sebanyak 6,5. Hasil analisa statistik menunjukan ada perbedaan yang bermakna antara jumlah gangguan kesehatan pada responden yang tinggal di lingkungan TPA dengan responden yang tinggal di luar lingkungan TPA (p= 0,004) (Tabel 2). Distribusi responden menurut jam kerja terbanyak terdapat pada kelompok 8 jam/hari, yaitu 31 responden dan paling sedikit terdapat pada kelompok 5 jam/hari, yaitu 2 responden. Secara keseluruhan rata-rata jam kerja responden di TPA Alak adalah 6,35 jam/hari. Pada kelompok 1-4 jam perhari terdapat 26 responden dengan ratarata 6,0 gangguan kesehatan. Pada kelompok 5-8 jam/hari terdapat 66 responden dengan rata-rata 8,0 gangguan kesehatan. Sedangkan pada kelompok 9-12 jam/hari terdapat 8 responden dengan rata-rata 10,0 gangguan kesehatan. Jumlah jam kerja responden bila dikorelasikan dengan gejala gangguan kesehatan yang dialami responden, di
32
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 30-35
Sumber : Data Primer, 2013
Grafik 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Gangguan Kesehatan yang Dialami di TPA Alak dapat hasil bahwa jam kerja berkorelasi secara bermakna dengan gejala gangguan kesehatan responden (p=0,000) (Tabel 2). Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah jam kerja responden setiap hari berpengaruh terhadap gangguan kesehatan responden akibat paparan gas hasil dekomposisi sampah. Distribusi responden menurut masa kerja terbanyak terdapat pada kelompok 6-10 tahun, yaitu 44 responden dan paling sedikit terdapat pada kelompok ≥21/tahun, yaitu 2 responden dengan rata-rata keseluruhan adalah 9,88 tahun. Pada kelompok masa kerja 1-10 tahun terdapat 67 responden dengan rata-rata 7,0 gangguan kesehatan. Sedangkan pada kelompok ≥11 tahun terdapat 33 responden dengan rata-rata 9,0 gangguan kesehatan. Masa kerja responden di TPA Alak bila dikorelasikan dengan data gejala gangguan kesehatan yang dialami responden, didapat hasil bahwa durasi pajanan berkorelasi secara signifikan dengan gejala gangguan kesehatan responden (p=0,002) (Tabel 2).
tung dari beberapa faktor, diantaranya adalah lamanya seseorang berada di lingkungan paparan, seberapa sering seseorang terpapar, besarnya konsentrasi gas dan daya tahan seseorang terhadap paparan.8 Beberapa jenis gas hasil dekomposisi sampah yang berbahaya bagi kesehatan adalah H2S dan NH3. Efek dari gas-gas tersebut pada konsentrasi rendah menyebabkan sakit kepala atau pusing, badan terasa lesu, hilangnya nafsu makan, rasa kering pada hidung, tenggorokan dan dada, batuk-batuk, kulit terasa perih, bahkan memiliki efek membakar (caustic effect) terhadap jaringan tubuh khususnya gas amoniak.9 Pada konsentrasi yang lebih rendah amoniak meningkatkan “iritasi”, karena amoniak yang sangat larut dalam air, maka permukaan-permukaan tubuh yang basah berkontak dengan amoniak akan teriritasi atau terbakar yang daya keparahannya ditentukan oleh sifat alkali dari amoniak itu sendiri. Bagian tubuh yang paling mungkin berkontak dan berdampak adalah organ saluran pernafasan, mata, kulit, mulut dan saluran pernafasan.10 Umur responden dalam penelitian ini berkisar antara 10-66 tahun. Menurut Depkes penggolongan umur manusia terdiri atas balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, lansia dan manula.
PEMBAHASAN Secara teoritis, efek paparan gas hasil dekomposisi sampah terhadap manusia tergan-
33
Siprianus Singgi : Gangguan Kesehatan pada Pemulung di TPA Alak Kota Kupang
Tabel 2. Distribusi Variabel Berdasarkan Jumlah Responden, Gangguan Kesehatan dan Nilai p di TPA Alak Jumlah Responden (n)
Rata-Rata Jumlah Gangguan Kesehatan
Umur Kanak-kanak Remaja Dewasa Lansia Manula
4 32 40 19 5
3 7,3 7,7 8,6 9,4
Lokasi Tinggal Dalam kompleks TPA Luar kompleks TPA
68 32
8,2 6,5
Jam Kerja 1-4 jam 5-8 jam 9-12 jam
26 66 8
6,0 8,0 10,0
Masa Kerja 1-10 tahun ≥ 11 tahun
67 33
7,0 9,0
Variabel
p
0,000
0,004
0,000
0,002
Sumber : Data Primer, 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur berpengaruh terhadap gejala gangguan kesehatan pemulung di TPA Alak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kafrawi di TPA Gempong Jawa Banda Aceh yang menyatakan bahwa umur berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan pernafasan dan mata pada pemulung.11 Pada penelitian ini lokasi tempat tinggal dibagi dalam dua kategori, yaitu di lingkungan TPA dan di luar lingkungan TPA. Kategori lingkungan TPA adalah responden yang tinggal dalam TPA dan sekitar TPA dalam radius 100 meter dari TPA, sedangkan kategori luar TPA adalah responden yang tinggal lebih dari 100 meter dari TPA. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lokasi tempat tinggal responden dengan gejala gangguan kesehatan yang dialami pemulung. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sianipar di TPA Terjun Medan yang menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah TPA lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan dibanding penduduk yang tinggal di luar wilayah TPA (OR=12).5 Mendukung hal ini, hasil penelitian Meirinda juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak rumah dari TPA dan konsentrasi gas hasil pembusukan sampah pada rumah tersebut.4
Jam kerja diartikan sebagai jumlah jam perhari responden yang bekerja di TPA Alak. Penggunaan variabel jam kerja dikarenakan responden akan terpapar gas dari hasil dekomposisi sampah ketika mereka bekerja TPA. Waktu paparan responden dalam penelitian ini berkisar antara 2 jam/hari sampai dengan 12 jam/hari. Hasil analisis diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jam kerja responden dengan gejala gangguan kesehatan pada pemulung di TPA Alak. Hal ini sejalan dengan penelitian Ahmad di TPA Tamangapa Makassar yang menyatakan bahwa dengan waktu paparan 8 jam/hari dan konsentrasi H2S 0,002 mg/m3 diketahui 97,9% responden dinyatakan berisiko, sedangkan untuk paparan gas NH3 dengan waktu paparan 8 jam/ hari dan konsentrasi NH3 0,637 mg/m3 diketahui bahwa 21,9% responden dinyatakan berisiko.6 Masa kerja diartikan sebagai lama waktu dihitung sejak pertama kali responden berada atau bekerja TPA Alak. Lama kerja responden dalam penelitian ini bervariasi antara 1-22 tahun dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa lama kerja berpengaruh terhadap ganguan kesehatan yang dialami pemulung akibat paparan gas-gas hasil dekomposisi sampah di TPA Alak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
34
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 30-35
dilakukan oleh Sianipar menyatakan bahwa kelompok responden yang terpapar H2S lebih dari 15 tahun lebih banyak yang berisiko mengalami gangguan kesehatan besar dari pada responden yang terpapar H2S kurang dari 15 tahun. Pada kelompok yang lebih dari 15 tahun sebesar 49% responden berisiko, sedangkan pada kelompok kurang dari 15 tahun hanya 6% responden yang berisiko.5 Penelitian Kafrawi juga menyatakan bahwa masa kerja berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan pernapasan dan mata pemulung di TPA Genpong Jawa.11
6. Ahmad, R. Analisis Risiko Paparan Gas Hidrogen Sulfida (H2S) dan Amoniak (NH3) Bagi Masyarakat Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, Kota Makassar [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2011. 7. Sigid, Y. Identifikasi Status Kesehatan Masyarakat Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir Supiturang Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang [Skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang; 2007. 8. EPA. Exposure Factor Handbook. United Stated: National Center for Environmental Assesment United States Environmetal Protection Agency; 1997. 9. EPA. Toksicological Review Of Hidrogen Sulfide. United Stated: National Center for Environmental Assesment United States Environmetal Protection Agency; 2003. 10. Hutabarat, I, O. Analisis Dampak Gas Amoniak dan Klorin Pada Faal Paru Pekerja Pabrik Sarung Tangan Karet “X” Medan [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007. 11. Kafrawi. TPA Gempong Jawa dan Kesehatan Pemulung di Kota Banda Aceh [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2012.
KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat 10 jenis gangguan kesehatan yang dialami oleh pemulung di TPA Alak serta semua responden mengalami gangguan kesehatan dengan distribusi jumlah gangguan yang bervariasi pada masing-masing responden. Umur, lokasi tinggal, jam kerja, dan masa kerja berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah gangguan kesehatan yang dialami responden. Disarankan kepada pemulung agar mengurangi jam kerja harian di TPA serta dianjurkan untuk tinggal di luar kompleks TPA. Pemulung juga dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung diri saat bekerja di TPA Alak.
DAFTAR PUSTAKA 1. Suriawiria, U. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: Penerbit Angkasa; 1985. 2. Soemirat, J. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2003. 3. Noriko, N. Tinjauan Akhir Tempat Pemusnahan Akhir Sampah Bantar Gebang Bekasi [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 2003. 4. Meirinda. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Udara Dalam Rumah Disekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 5. Sianipar, R.H. Analisis Risiko Paparan Hidrogen Sulfida Pada Masyarakat TPA Sampah Terjun Kecamatan Medan Marelan [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.
35
Harits Atika Ariyanta : Preparasi Nanopartikel Perak dengan Metode Reduksi
PREPARASI NANOPARTIKEL PERAK DENGAN METODE REDUKSI DAN APLIKASINYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB LUKA INFEKSI Silver Nanoparticles Preparation by Reduction Method and its Application as Antibacterial for Cause of Wound Infection Harits Atika Ariyanta Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (
[email protected]) ABSTRAK Sintesis nanopartikel perak dan aplikasinya sebagai antibakteri penyebab luka Infeksi. Nanopartikel perak disintesis dengan metode reduksi. Natrium sitrat dipakai sebagai reduktor sekaligus sebagai stabilisator. Koloid nanopartikel perak yang terbentuk selanjutnya dianalisis karakteristiknya menggunakan Spektrometer UV-Vis, Particle Size Analyser (PSA) dan Transmission Electron Microscope (TEM). Analisis terhadap spektra UV-Vis menunjukkan bahwa nanopartikel yang paling stabil adalah yang disintesis menggunakan natrium sitrat 1%. Karakterisasi dengan PSA menunjukkan nanopartikel perak yang terkecil berukuran 10 nm dengan ukuran rata-rata 26,4 nm. Karakterisasi menggunakan TEM menunjukkan bahwa nanopartikel yang terbentuk adalah nanopartikel perak dengan struktur kristal Face Centered Cubic (FCC). Nanopartikel perak hasil sintesis diaplikasikan pada kain pembalut luka dengan lama perendaman terbaik selama 36 jam. Performa hasil perendaman dalam menghambat pertumbuhan bakteri dievaluasi melalui uji aktivitas terhadap bakteri penyebab infeksi, yaitu Eschericia coli, Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus. Hasil uji kuantitatif menunjukkan bahwa dengan perendaman selama 36 jam presentase reduksi bakteri mencapai 100%. Kata kunci : Nanopartikel, perak, antibakteri, kain pembalut luka ABSTRACT Synthesis of silver nanoparticles and their application as antibacterial for cause of wound infection have been reported. Silver nanoparticles were synthesized by reduction method. Sodium citrate was used as reductor and stabilizing agent. Colloidal silver nanoparticles were produced, then its characteristics were analyzed using UV-Vis Spectrometre, Particle Size Analyser (PSA) and Transmission Electron Microscope (TEM). The analysis of UV-Vis spectra found that the most stable silver nanoparticles were synthesized using sodium citrate 1%. The characterization with PSA found that the smallest particle size was 10 nm with the mean size of 26,4 nm. The characterization using TEM found that the nanoparticles produced were silver nanoparticles with a Face Centered Cubic (FCC) structure. Synthesized silver nanoparticles were applied to wound dressings with the best immersion period of 36 hours. The performance of the soaked wound dressing in supressing bacterial growth was assessed by activity test on infection causing bacterias, namely Eschericia coli, Bacillus subtilis, and Staphylococcus aureus. Results of the quantitative test showed that by immersing the wound dressing for 36 hours in synthesized silver nanoparticles, the percentage of bacterial reduction was up to 100%. Keywords : Nanoparticles, silver, antibacterial, wound dressing
36
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 36-42
PENDAHULUAN
konsentrasi pereduksi terhadap ukuran partikel. Karakterisasi produk yang dihasilkan dikarakterisasi menggunakan Spektrometer UV-Vis, Particle Size Analyzer (PSA) dan Transmission Electron Microscope (TEM).4 Berdasarkan kegunaannya sebagai agen antibakteri, nanopartikel perak yang dihasilkan akan diaplikasikan sebagai lapisan antibakteri penyebab luka infeksi. Mikroba penyebab infeksi yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus aureus, Eschericia coli dan Bacillus subtilis. Ketiga bakteri tersebut merupakan bakteri penghasil toksin yang berbahaya bagi manusia dan kebal terhadap antibiotik. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan upaya pengendalian kehidupan bakteri penyebab infeksi luka. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, pengendalian kehidupan bakteri dalam penyebab infeksi luka dalam penelitian ini dilakukan dengan menambahkan sifat antibakteri nanopartikel perak pada kain pembalut luka. Nanopartikel perak yang terdapat dalam kain pembalut luka akan bereaksi dengan cairan luka yang terdapat bakteri penyebab infeksi. Nanopartikel perak tersebut secara perlahan akan membebaskan ion perak yang dapat merusak RNA dan DNA bakteri sehingga menghambat replikasi bakteri. Replikasi bakteri yang terhambat akan menekan pertumbuhan bakteri sehingga penyembuhan luka akan semakin cepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui preparasi nanopartikel perak dengan metode reduksi dan aplikasinya sebagai antibakteri penyebab luka infeksi.
Perkembangan teknologi nanopartikel atau sering disebut nanoteknologi telah terjadi baru-baru ini. Nanoteknologi secara umum dapat didefinisikan sebagai teknologi perancangan (desain), pembuatan dan aplikasi struktur/material yang berdimensi nanometer. Nanoteknologi tidak hanya sebatas tentang cara menghasilkan material atau partikel yang berukuran nanometer, melainkan memiliki pengertian yang lebih luas termasuk cara memproduksi serta mengetahui kegunaan sifat baru yang muncul dari material nano yang telah dibuat. Koloid perak telah lama diketahui memiliki sifat antimikroba. Kemampuan antimikroba perak dapat membunuh semua mikroorganisme patogenik, dan belum dilaporkan adanya mikroba yang resisten terhadap perak. Bentuk dan ukuran nanopartikel perak sangat penting dalam penentuan sifat optik, listrik, magnet, katalis dan antimikrobanya. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar efek antimikroba. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi ukuran partikel dalam sintesis, yaitu temperatur larutan, konsentrasi garam dan agen pereduksi dan waktu reaksi.1 Nanopartikel perak telah banyak dibuat dengan beberapa metode dan kondisi yang berbeda seperti metode reduksi kimia, foto kimia, sonokimia, radiasi ultrasonik, sintesis solvotermal, dll.2 Diantara banyak metode yang dapat dilakukan, metode reduksi kimia dipilih sebagai metode yang paling efektif untuk menghasilkan nanopartikel perak. Hal ini disebabkan oleh langkah kerja yang mudah, cepat, murah, dan menggunakan temperatur rendah. Pada umumnya ketika dilakukan preparasi nanopartikel logam dengan metode reduksi kimia, ion logam direduksi oleh agen pereduksi dengan penambahan agen protektif untuk menstabilkan nanopartikel. Stabilitas nanopartikel memegang peranan yang sangat penting terutama ketika nanopartikel tersebut dikarakterisasi dan diaplikasikan ke dalam sebuah produk.3 Pada penelitian ini sintesis nanopartikel perak akan dilakukan sesuai prosedur Mailu, et al karena prosesnya yang sederhana dan materialnya yang mudah didapatkan. Larutan perak nitrat direduksi menggunakan natrium sitrat yang konsentrasinya divariasi dengan tujuan mengetahui pengaruh
BAHAN DAN METODE Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat gelas (Pirex), magnetic stirrer (IKAMAG), oven, neraca analitik (Ohaus), Spektrometer UV-Vis (Simadzu tipe UV mini 1240), Particle Size Analyzer (Malvern), dan Transmission Electron Microscope (JEM-1400), coloni counter, cawan petri, inkubator, jarum ose, autoklaf, lampu spiritus. Bahan dari penelitian ini meliputi trisodium sitrat (Na3C6H5O7,99%), perak nitrat (AgNO3, 99%), aquades steril, kain pembalut luka, Nutrien Broth (NB), Nutrien Agar (NA), suspensi bakteri Staphylococcus aureus, Eschericia coli dan Bacillus subtilis.
37
Harits Atika Ariyanta : Preparasi Nanopartikel Perak dengan Metode Reduksi
Sintesis nanopartikel perak dibuat dengan cara memanaskan 50mL AgNO3 dengan konsentrasi 1,0 mM hingga mendidih dalam labu erlenmeyer. Pada larutan tersebut, tambahkan 5mL Na3C6H5O7 1% tetes demi tetes. Selama proses pemanasan, campuran diaduk menggunakan magnetic stirrer hingga berwarna kuning pucat. Warna kuning pucat menandakan bahwa nanopartikel perak telah terbentuk. Nanopartikel perak yang terbentuk kemudian dikarakterisasi. Dalam penelitian ini karakterisasi dilakukan menggunakan Spektrometer UV-Vis (Simadzu tipe UV mini 1240), Particle Size Analyzer (Malvern), dan Transmission Electron Microscope (JEM-1400). Proses pelapisan nanopartikel perak pada kain pembalut luka, yakni dengan metode yang pernah dilakukan oleh Duran. Pembalut luka dipotong dengan ukuran 3x3 cm kemudian dicuci bersih, disterilkan dan dikeringkan. Kain pembalut luka yang bersih dan steril direndam dalam koloid sitrat-nanopartikel perak sambil diaduk menggunakan magnetik stirer selama 12 jam, 24 jam, dan 36 jam kemudian didiamkan 5 menit. Kain yang telah terlapisi sitrat-nanopartikel perak dikeringkan kembali dengan oven pada temperatur 70°C selama 5 menit.5 Pengujian aktivitas antibakteri dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian Wahyudi, sedangkan uji kuantitatif menggunakan metode Shake flask sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Duran. Langkahlangkah pengujian meliputi : Uji kualitatif dilakukan dengan merendam cakram kertas kedalam koloid nanopartikel perak kemudian ditempelkan pada permukaan NA. NA yang telah ditempeli cakram kertas diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37°C. Hasil uji kualitatif dapat dilihat dengan mengamati besarnya zona bening yang terbentuk disekitar cakram kertas.6 Sedangkan pada uji kuantitatif, pembalut luka yang telah dilapisi dan belum dilapisi nanopartikel perak dengan ukuran 1x1cm dimasukkan kedalam vial steril. Dalam vial steril tersebut kemudian ditambahkan 0,8 ml aquades dan dikocok selama 10 menit. Setelah itu ditambahkan NB sebagai media pertumbuhan
bakteri sebanyak 2,2 mL sehingga volume total campuran menjadi 3 mL. Suspensi bakteri yang sebelumnya juga ditanam pada NB ditambahkan pada campuran tersebut sebanyak 10 µl. Campuran kemudian diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37°C. Setelah diinkubasi, campuran dari vial diambil 1 mL untuk ditanam dalam NA. Biakan bakteri dalam medium tersebut diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37°C dan kemudian dihitung jumlah koloninya menggunakan coloni counter. Aktivitas antibakteri dapat ditentukan melalui % reduksi dari bakteri yang mampu bertahan hidup menggunakan rumus sebagai berikut5: Reduksi % = (B-A)/B ×100 Dalam hal ini A merupakan jumlah koloni bakteri setelah diberi kain pembalut luka yang dilapisi nanopartikel perak dan B merupakan koloni bakteri setelah diberi kain pembalut luka yang tidak dilapisi nanopartikel perak.
HASIL Pada penelitian ini dilakukan sintesis nanopartikel perak dengan cara memvariasikan konsentrasi reduktor (C6H5O7Na3) yang digunakan. Hasil sintesis menunjukkan bahwa penambahan natrium sitrat dengan konsentrasi yang semakin besar menyebabkan ukuran nanopartikel perak yang terbentuk semakin kecil. Namun, ukuran partikel yang semakin kecil belum tentu juga memiliki stabilitas yang baik. Hal tersebut disebabkan oleh suatu nanopartikel memiliki kecenderungan untuk beraglomerasi. Partikel berukuran nanometer memiliki surface area spesifik yang sangat besar. Pada surface area yang besar ikatan kimia antar partikel membentuk dipol listrik yang kuat sehingga dapat beraglomerasi. Oleh karena itu, stabilisator dalam sintesis nanopartikel perak memiliki peran yang sangat penting. Sintesis nanopartikel perak dengan konsentrasi reduktor 0,5% dan 1,0% menghasilkan nanopartikel dengan distribusi ukuran partikel yang cukup stabil. Hal tersebut terlihat pada Gambar 1 dan 2 yang menunjukkan bahwa pada hari ke 0 dan hari ke 19 distribusi ukuran partikel tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
38
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 36-42
Sumber : Data Primer, 2013
Sumber : Data Primer, 2013
Gambar 1. Distribusi Ukuran Nanopartikel Perak dengan Konsentrasi Natrium Sitrat 0,5% pada 0 dan 19 Hari Setelah Sintesis
Gambar 2. Distribusi Ukuran Nanopartikel Perak dengan Konsentrasi Natrium Sitrat 1% pada 0 dan 19 Hari Setelah Sintesis
Berbeda dengan sintesis nanopartikel dengan konsentrasi reduktor 1,5% yang memiliki perbedaan cukup signifikan sehingga dapat dikatakan tidak stabil seperti pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran rata-rata nanopartikel perak pada hari ke 0 lebih besar dari ukuran rata-rata nanopartikel perak pada hari ke-19. Hal tersebut disebabkan pada hari ke-19 nanopartikel perak telah beraglomerasi bahkan membentuk lapisan mengkilap khas perak pada dasar vial. Oleh karena itu, pada saat akan dianalisis dengan PSA nanopartikel perak pada hari ke-19 disaring terlebih dahulu agar partikel perak yang besar tidak mengganggu proses analisis. Ketika kain pembalut luka diujikan terhadap bakteri Eschericia coli, presentase reduksi bakteri tertinggi terdapat pada kain pembalut luka yang telah direndam dalam koloid nanopartikel perak selama 36 jam. Presentase reduksi bakteri tersebut mencapai 100%. Sedangkan kain pembalut luka dengan durasi perendaman 12 dan 24 jam dalam koloid nanopartikel perak secara berturut-turut memiliki presentase reduksi bakteri sebesar 97,54% dan 99,59% (Tabel 1). Hal serupa juga terlihat pada uji kain pembalut luka terhadap bakteri Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus. Presentase reduksi bakteri tertinggi terdapat pada kain pembalut luka yang telah direndam dalam koloid nanopartikel perak selama 36 jam. Pada perendaman 36 jam
Sumber : Data Primer, 2013
Gambar 3. Distribusi Ukuran Nanopartikel Perak dengan Konsentrasi Natrium Sitrat 1,5% pada 0 dan 19 Hari Setelah Sintesis persebaran nanopartikel perak diduga lebih merata dan lebih kuat menempel pada serat kain. Oleh karena itu, pada perendaman 36 jam aktivitas antibakteri menjadi lebih hebat dibandingkan dengan perendaman 12 dan 24 jam.
PEMBAHASAN Prinsip koloid nanopartikel perak yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara menambahkan tetes demi tetes larutan pereduktor sekaligus penstabil, natrium sitrat ke dalam larutan AgNO3 yang telah mendidih. Reaksi kimia yang terjadi:
39
Harits Atika Ariyanta : Preparasi Nanopartikel Perak dengan Metode Reduksi
Tabel 1. Hasil Uji Kuantitatif Aktivitas Antibakteri Kain Pembalut Luka yang Dilapisi Nanopartikel Perak terhadap Pertumbuhan Bakteri Eschericia coli, Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus No.
Lama Perendaman (jam)
1. 2. 3.
12 24 36
B (koloni) SA EC BS
A (koloni) SA EC BS
298 298 298
15 4 2
244 244 244 Rata-rata
247 247 247
6 1 0
25 2 0
% Reduksi SA EC BS 94,97 98,66 99,33 97,65
97,54 99,59 100 99,04
89,88 99,19 100 96,35
Sumber : Data Primer, 2013 Keterangan : [A] = Jumlah Koloni bakteri setelah diberi kain pembalut luka yang dilapisi nanopartikel perak [B] = Jumlah Koloni bakteri setelah diberi kain pembalut luka yang tidak dilapisi nanopartikel perak
4Ag+ + C6H5O7Na3 + 2H2O
Setelah waktu berjalan ±9 menit dari penetesan natrium sitrat terakhir, reaksi yang terjadi adalah perubahan warna larutan secara bertahap menjadi kuning pucat hingga kuning kemerahan. Warna tersebut merupakan karakteristik dari koloid nanopartikel perak.7 Kestabilan larutan koloid nanopartikel perak dapat diketahui dari terjadinya perubahan puncak serapannya. Jika terjadi pergeseran puncak serapan ke panjang gelombang yang lebih besar menunjukkan bahwa kestabilan larutan koloid nanopartikel perak rendah dikarenakan telah terjadi peristiwa aglomerasi. Hasil pengukuran koloid nanopartikel perak dari hasil sintesis menggunakan variasi konsentrasi reduktor (natrium sitrat) hingga periode waktu 7 hari. Nanopartikel perak yang direduksi menggunakan natrium sitrat 0,5% dan 1% keduanya berhimpitan dan memiliki puncak absorbansi diantara 418-419 nm. Keadaan ini menunjukkan bahwa koloid hasil sintesis relatif stabil. Natrium sitrat yang cenderung bermuatan negatif teradsorpsi oleh nanopartikel perak, sehingga menimbulkan gaya tolak menolak diantara partikel perak dan mencegah terjadinya aglomerasi. Berbeda dengan nanopartikel perak yang direduksi menggunakan natrium sirat 1,5%, puncak bsorbansi bergeser pada 458459 nm. Hal ini terjadi karena dalam konsentrasi perak nitrat yang sama, nanopartikel perak hasil reduksi yang dihasilkan lebih banyak. Sehingga tumbukan antar partikel lebih sering terjadi dan akhirnya teraglomerasi.8 Penentuan ukuran nanopartikel perak serta distribusinya dilakukan dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) dan Transmis-
4Ag0 + C6H5O7H3 + 3 Na++ H++O2 Berdasarkan energi potensial reduksinya maka reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut: Ag+ + 1e → Ag 4H+ + O2+ 4e → 2H2O
Eo=0,799 Eo=1,224
Eo sel= Eo reduksi- Eo oksidasi Eo sel= 0,779- 1,224 Eo sel= -0,445 Harga energi potensial sel yang negatif menunjukkan bahwa reaksi di atas merupakan reaksi tidak spontan. Oleh karena itu, seharusnya reaksi tersebut tidak dapat berlangsung. Akan tetapi, reaksi antara ion Ag+ dan ion (C6H5O7)dapat membentuk kompleks [Ag+ ........ sitrat-] atau [Ag3(C6H5O7)n+1]3n- yang memiliki peran lebih dominan dalam mereduksi ion Ag+ menjadi Ago secara perlahan sehingga reaksi tetap dapat berlangsung. Reaksi pembentukan kompleks dituliskan dalam reaksi berikut: Ag+ + e →Ago (1) Ago + Ag+ →Ag2+ (2) Ag+ + sitrat- → [Ag2+......sitrat-] (3) Ketika penambahan tetes demi tetes larutan natrium sitrat dalam AgNO3 berakhir belum ada perubahan yang tampak secara signifikan. Larutan campuran masih jernih tidak berwarna.
40
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 36-42
sion Electron Microscope (TEM). Kedua alat ini menghasilkan data yang dapat saling melengkapi. PSA menghasilkan data berupa distribusi ukuran nanopartikel perak, tetapi nilai ketelitian PSA lebih rendah daripada TEM. TEM dapat memperlihatkan morfologi dan diameter nanopartikel perak dengan nilai ketelitian tinggi, tetapi hanya dalam cuplikan sampel tertentu.9 Dengan konsentrasi perak nitrat yang sama, natrium sitrat dengan konsentrasi 1,5% mereduksi lebih banyak Ag+ menjadi Ag0. Walaupun natrium sitrat memiliki kemampuan sebagai stabilisator, banyaknya Ag0 yang terbentuk membuat tumbukan yang terjadi antar partikel lebih hebat sehingga terjadi aglomerasi. Sedangkan sintesis nanopartikel perak yang menggunakan konsentrasi natrium sitrat 0,5% membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menstabilkan nanopartikel perak yang terbentuk. Oleh karena itu, nanopartikel perak yang terbentuk mengalami aglomerasi lebih cepat sehingga nanopartikel perak cenderung memiliki ukuran rata-rata partikel yang lebih besar.10 Untuk mengetahui morfologi dan difraksi nanopartikel perak hasil sintesis, karakterisasi dilanjutkan dengan menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan untuk karakterisasi TEM adalah nanopartikel perak yang direduksi menggunakan natrium sitrat 1%. Nanopartikel perak tersebut digunakan karena berdasarkan data hasil UV-Vis dan PSA merupakan nanopartikel perak yang paling stabil dibandingkan dengan nanopartikel perak yang direduksi menggunakan natrium sitrat 0,5% dan 1,5%. Hasil foto TEM menunjukkan adanya korelasi dengan ukuran nanopartikel perak yang dianalisis menggunakan PSA. Ukuran rata-rata nanopartikel perak yang terukur oleh PSA berkisar antara 26,4 – 30,6 nm. Hasil tersebut mirip dengan hasil TEM yang menunjukkan ukuran partikel mencapai 7,36 – 36,68 nm. Selain untuk melihat diameter nanopartikel perak, karakterisasi TEM juga digunakan untuk mengetahui difraksinya. Berdasarkan pola difraksinya, struktur kristal nanopartikel perak dapat ditentukan secara teoritik dan eksperimen. Nilai m yang diperoleh dari hasil analisis data dicocokkan dengan tabel penentuan struktur kristal untuk mengetahui susunan struktur kristal. Ber-
dasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nanopartikel perak pada penelitian ini mempunyai struktur Face Centered Cubic (FCC).
KESIMPULAN DAN SARAN Konsentrasi reduktor yang mengahasilkan nanopartikel perak dengan ukuran paling kecil dan stabil adalah natrium sitrat 1%. Hasil karakterisasi meggunakan PSA menunjukkan distribusi ukuran rata-rata nanopartikel perak terkecil 18,2 nm. Hasil karakterisasi dengan TEM menunjukkan ukuran diameter nanopartikel perak berdasarkan gambar morfologi nanopartikel peraknya. Diameter nanopartikel terkecil yang diperoleh dari analisis ini adalah 7,36 nm. Selain itu, dengan TEM dapat dilihat bahwa nanopartikel perak yang terbentuk memiliki struktur kristal face centered cubic (fcc) sesuai dengan data difraksinya. Presentase reduksi bakteri Eschericia coli, Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus dalam durasi perendaman 36 jam secara berturut-turut mencapai 100%, 100% dan 99,33%. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menggunakan metode yang berbeda untuk mendapatkan proses yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA 1. Sileikaite, A, et al. Analysis of Silver Nanoparticles Produced by Chemical Reduction of Silver Salt Solution. Materrials Science. 2006;12(4). 2. Guzman, M. G, Dille, J, Godet, S. Synthesis of Silver Nanoparticles by Chemical Reduction Method and Their Antibacterial Activity. World Academy of Science. 2008;43:357-64. 3. Haryono A, dkk. Sintesa Nanopartikel Perak dan Potensi Aplikasinya. Jurnal Riset Industri. 2008;2(3):155-63. 4. Mailu, S.N, Waryo, T.T. Determination of Anthracene on Ag-Au Alloy Nanoparticles/ Overoxidized-Polypyrrole Composite Modified Glassy Carbon Electrodes. Journal Sensors. 2010;10(9449-9465). 5. Duran, N, Marcato, P.D. Antibacterial Effect of Silver Nanoparticles Produced by Fungal Process on Textile Fabrics and Their Effluent Treatment. Journal of Biomedical Nanotech-
41
Harits Atika Ariyanta : Preparasi Nanopartikel Perak dengan Metode Reduksi
nology. 2007;3:203-8. 6. Wahyudi, T, Sugiyana, Helmy. Sintesis Nanopartikel Perak dan Uji Aktivitasnya Terhadap Bakteri E. Coli dan S. Aureus. Arena Tekstil. 2011;26(1):1-60. 7. Ismul, H. A, Sumariah, Mohtar dan Dahlan. Penentuan Struktur Kristal AlMg2 Alloy dengan Difraksi Neutron. Berkala Fisika. 2011;12(2):41-8. 8. Sonia. Modifikasi Nanopartikel Perak dengan Kitosan sebagai Pendeteksi Ion Logam Berat [Skripsi]. Depok : Universitas Indonesia; 2012. 9. Haryono, A, Sondari, D, Harnami, S.B, Randy M. Sintesa Nanopartikel Perak dan Potensi Aplikasinya. Jurnal Riset Industri Online. 1999;2(3). 10. Handayani A, Mardiana, N.R, Syambarkah A. Mobilisasi Nanopartikel Perak sebagai Senyawa Antimikroba pada Kemasan Produk Pangan [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 2009.
42
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 43-50
PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI PT. SEMEN TONASA Employees Perceptions towards the Implementation of Occupational Health and Safety Management System at PT. SemenTonasa Hasyrul Almani, Atjo Wahyu, Muhammad Rum Rahim Bagian K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (
[email protected]) ABSTRAK Sejak tahun 2000 PT. Semen Tonasa telah menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Setelah melakukan observasi, masih ada tenaga kerja yang tidak mengikuti SMK3 yang ditetapkan oleh pihak manajemen perusahaan, khususnya pada unit produksi tonasa IV, seperti tidak menggunakan APD yang memadai pada saat bekerja dan tidak mematuhi rambu-rambu keselamatan yang ada. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh persepsi yang kurang baik terhadap penerapan SMK3 dan memengaruhi dukungan terhadap penerapan SMK3. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dengan persepsi karyawan unit produksi Tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa tahun 2013. Jenis Penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional study terhadap 60 karyawan unit produksi tonasa IV sebagai sampel. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian diperoleh variabel yang berhubungan dengan persepsi karyawan terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa adalah umur (p=0,002), pengetahuan (p=0,002), masa kerja (p=0,008), dan pelatihan K3 (p=0,008) dan variabel yang tidak berhubungan persepsi karyawan Unit Produksi Tonasa IV terhadap penerapan SMK3 adalah tingkat pendidikan (p=1,00). Disimpulkan bahwa ada hubungan antara umur, pengetahuan, masa kerja dan pelatihan K3 dengan persepsi penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Semen Tonasa. Kata Kunci : Persepsi, SMK3, karyawan ABSTRACT Since the year 2000, PT. Semen Tonasa has implemented the Occupational Health and Safety Management System (OHSMS). After the observation was conducted, there were still some workers who did not follow the OHSMS set by the company management, especially workers in Tonasa Production Unit IV, such as not using adequate protective equipmentat work and not obeying the safety signs. This is probably due to a poor perception of the implementation of OHSMS and affects support for the implementation of OHSMS. This study aims to determine the factors related to Tonasa production unit IV employees’ perceptions of the application of the OHSMS at PT. Semen Tonasa in 2013. This study was conducted using an analytical survey method with cross sectional study approach. 60 employees in the Tonasa production unit IV acted as samples for this study. Data analysis was conducted using chi square test. Results of this study found that the variables associated with employee perceptions ofthe implementation of the occupational health and safety management system at PT.Semen Tonasa were age (p=0,002), knowledge (p=0,002), work period (p=0,008) and K3 training (p=0,008), while the variable that was not related to Tonasa production unit IV employee perceptionsof the implementation of OHSMS was the level of education (p=1,00). In conclusion, there were relationships between age, knowledge, work period, and K3 training with the implementation of OHSMS in PT. Semen Tonasa. Keywords : Perception, OHSMS, employee
43
Hasyrul Almani : Persepsi Karyawan terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
PENDAHULUAN
bahwa dengan tidak menerapkan SMK3 justru dapat memberikan kerugian yang besar baik bagi perusahaan, tenaga kerja beserta keluarganya dan masyarakat sekitar perusahaan.3 Sejak tahun 2000 PT. Semen Tonasa telah menerapkan SMK3. Penerapan sistem manajemen ini diwujudkan melalui pemberian sertifikat audit dari Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesi dengan predikat tertinggi “Bendera Emas” sejak Januari 2004. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan masih ada tenaga kerja yang tidak mengikuti SMK3 yang ditetapkan oleh pihak manajemen perusahaan, seperti tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai pada saat bekerja, dan masih banyak tenaga kerja yang tidak mematuhi rambu-rambu keselamatan yang ada. Berdasarkan data-data dan uraian tersebut, tergambar bahwa meskipun perusahaan telah menerapkan SMK3, tetapi masih banyak karyawan/tenaga kerja yang tidak mematuhi sistem manajemen yang telah ditetapkan perusahaan. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh persepsi karyawan/tenaga kerja terhadap SMK3 yang negatif dan mempengaruhi dukungannya terhadap penerapan SMK3. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan persepsi karyawan unit produksi Tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa tahun 2013.
Program pembangunan nasional dalam memasuki era industrialisasi dan globalisasi ditandai dengan semakin meningkatnya pertumbuhan industri yang mempergunakan proses dan teknologi canggih.1 Sehingga perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja dan pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja (SMK3) di perusahaan secara baik dan benar. Dalam dunia persaingan terbuka pada era globalisasi ini, masyarakat internasional menerapkan standar acuan terhadap berbagai hal industri seperti kualitas, manajemen kualitas, manajemen lingkungan, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Apabila saat ini industri mengekspor, telah dituntut untuk menerapkan manajemen kualitas (ISO-9000, QS-9000) serta manajemen lingkungan (ISO-14000), maka bukan tidak mugkin tuntutan terhadap penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja juga menjadi tuntutan pasar internasional.2 Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pasal 5 dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya, yaitu perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 orang serta mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Jika memperhatikan isi dari pasal tersebut maka jelaslah bahwa PT. Semen Tonasa merupakan salah satu perusahaan yang harus menerapkan SMK3 dengan baik. Namun, kenyataan di lapangan masih banyak pimpinan perusahaan yang melupakan tanggung jawabnya dengan tidak memasukkan K3 ke dalam fungsi manajemen. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan bahwa penerapan K3 di perusahaan merupakan pengeluaran kedua (investasi kedua) yang tidak memberikan keuntungan secara langsung atau merupakan suatu kerugian belaka. Tanpa disadari
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di PT. Semen Tonasa, Kabupaten Pangkep khususnya pada unit produksi tonasa IV. Waktu pengumpulan data dilakukan sejak tanggal 20 Maret hingga 20 April 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di unit produksi tonasa IV di PT. Semen Tonasa yang berjumlah 149 orang sedangkan jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 60 orang. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study, yakni rancangan penelitian dengan pengamatan antara variabel independen (umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, masa kerja dan pelatihan K3) dengan variabel dependen (persepsi penerapan SMK3) dilakukan pada waktu yang sama (point time approach).
44
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 43-50
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Unit Produksi IV PT. Semen Tonasa
Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden yang menjadi sampel dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari PT. Semen Tonasa berupa data jumlah karyawan dan profil perusahaan. Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi program SPSS melalui editing, coding, entry, cleaning serta analisis data dengan menggunakan uji chi square dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Karakteristik Responden Kelompok Umur (tahun) 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-55 Tingkat Pendidikan Tinggi (SMA-Akademik/PT) Rendah (tidak sekolah-SMP) Pengetahuan Cukup Kurang Masa Kerja Lama (> 5 tahun) Baru (≤ 5 tahun) Pelatihan K3 Ya Tidak Jumlah
HASIL Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, masa kerja, dan pelatihan K3. Umur responden terbesar terdapat pada kelompok umur 20-24 tahun, yaitu sebanyak 13 orang (21,7%), sedangkan persentase responden terendah pada kelompok umur 45-49 tahun, yaitu 3 orang (5,0%). Tingkat pendidikan dengan kategori pendidikan tinggi (SMA-Akademi /PT), yaitu sebanyak 58 orang (96,7%), sedangkan untuk kategori rendah (tidak sekolah-SMP), yaitu sebanyak 2 orang (3,3%). Sebagian besar responden berpengetahuan cukup, yaitu sebanyak 48 orang (80%), sedangkan responden dengan pengetahuan rendah, yaitu 12 orang (20,0%). Responden dengan masa kerja >5 tahun, yaitu sebanyak 44 orang (73,3%), sedangkan untuk masa kerja ≤5 tahun, yaitu sebanyak 16 orang (26,7%). Sebagian besar responden pernah mengikuti pelatihan K3, yaitu sebanyak 49 orang (81,7%), sedangkan responden yang belum pernah mengikuti pelatihan K3 hanya 11 responden (18,3%) (Tabel 1). Responden terbanyak terdapat pada kelompok umur muda, yaitu sebanyak 41 orang (68,3%), ada 35 orang (85,4%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 6 orang (14,6%) yang memiliki persepsi kurang baik. Jumlah responden paling sedikit pada kategori umur tua, yaitu sebanyak 19 orang (31,7%), ada 8 orang (42,1%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 11 orang (57,9%) yang memiliki persepsi kurang baik. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square antara umur dengan persepsi penerapan SMK3 diper-
n
%
13 6 5 12 12 3 9
21,7 10,0 8,3 20,0 20,0 5,0 15,0
58 2
96,7 3,3
48 12
80,0 20,0
44 16
73,3 26,7
49 11 60
81,7 18,3 100,0
Sumber: Data Primer, 2013
oleh nilai p=0,002. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan persepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa, sedangkan hasil uji phi menunjukkan nilai φ=-0,448 yang berarti bahwa derajat keeratan hubungan antara umur dengan persepsi penerapan SMK3 adalah sedang dengan korelasi negatif (Tabel 2). Dari 58 responden dengan tingkat pendidikan tinggi, sebanyak 41 orang (70,7%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 17 orang (29,3%) yang memiliki persepsi kurang baik, sedangkan dari 2 responden yang berpendidikan rendah, semua memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 (100,0%). Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact test antara tingkat pendidikan dengan persepsi penerapan SMK3 diperoleh nilai p=1,00. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa (Tabel 2).
45
Hasyrul Almani : Persepsi Karyawan terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Tabel 2. Hubungan Variabel Penelitian Dengan Persepsi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. Semen Tonasa Variabel Penelitian Umur Tua (> 40 tahun) Muda (≤ 40 tahun) Tingkat Pendidikan Tinggi (SMA-Akademi /PT) Rendah (tidak sekolah-SMP) Pengetahuan Cukup Kurang Masa Kerja Lama (> 5 tahun) Baru (≤ 5 tahun) Pelatihakn K3 Ya Tidak Jumlah
Perilaku Safety Driving Baik Buruk n % n %
n
%
8 35
42,1 85,4
11 6
57,9 14,6
19 41
100 100
p=0,002 φ= -0,447
41 2
70,7 100
17 0
29,3 0
58 2
100 100
p=1,000
39 4
81,2 33,3
9 8
18,8 66,7
48 12
100 100
p=0,002 φ=0,425
36 7
81,8 43,8
8 9
18,2 56,2
44 16
100 100
p=0.008 φ= 0,374
39 4 43
79,6 36,4 71,7
10 7 17
20,4 63,6 28,3
49 11 60
100 100 100
p=0, 008 φ=0,371
Jumlah
Hasil Uji
Sumber: Data Primer, 2013
liki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 9 orang (56,2%) yang memiliki persepsi kurang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact test antara masa kerja dengan persepsi penerapan SMK3 diperoleh nilai p=0,008. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan persepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap SMK3 di PT. Semen Tonasa, sedangkan hasil uji phi menunjukkan nilai φ= 0,374 yang berarti bahwa derajat keeratan hubungan antara masa kerja dengan persepsi penerapan SMK3 adalah sedang dengan korelasi positif (Tabel 2). Dari 49 responden yang pernah mengikuti pelatihan K3, sebanyak 39 orang (79,6%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 10 orang (20,4%) yang memiliki persepsi kurang baik, sedangkan dari 11 responden tidak pernah mengikuti pelatihan K3, sebanyak 4 orang (36,4%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 7 orang (63,6%) yang memiliki persepsi kurang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact test antara pelatihan K3 dengan persepsi penerapan SMK3 diperoleh nilai p=0,008. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelatihan K3 dengan per-
Dari 48 responden dengan kategori pengetahuan cukup, sebanyak 39 orang (81,2%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 9 orang (18,8%) yang memiliki persepsi kurang baik, sedangkan dari 22 responden dengan kategori pengetahuan kurang, sebanyak 4 orang (33,3%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 8 orang (66,7%) yang memiliki persepsi kurang baik. Hasil uji statistik menggunakan fisher’s exact test antara umur dengan persepsi penerapan SMK3 diperoleh nilai p=0,002. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan persepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa. Sedangkan hasil uji phi menunjukkan nilai φ= 0,425 yang berarti derajat keeratan hubungan antara pengetahuan dengan persepsi penerapan SMK3 adalah sedang dengan korelasi positif (Tabel 2). Dari 44 responden dengan masa kerja >5 tahun, sebanyak 36 orang (81,8%) yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SMK3 dan 8 orang (18,2%) yang memiliki persepsi kurang baik, sedangkan dari 16 responden dengan masa kerja ≤5, sebanyak 7 orang (43,8%) yang memi
46
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 43-50
telah ditempuh oleh karyawan/tenaga kerja. Persepsi responden yang kurang baik karena pendidikan K3 tidak pernah diajarkan pada pendidikan formal. Pengetahuan dan keterampilan dapat diperoleh dari pendidikan dan pelatihan. Tindakan yang dilakukan selama ini lebih berdasarkan pengalaman kerja karena meskipun tingkat pendidikan responden sebagian besar SMU, Diploma maupun S1, tetapi mereka memiliki persepsi yang berbeda terhadap penerapan SMK3. Tingkat pendidikan seseorang tidak memberikan pengaruh terhadap persepsi. Hal ini dikarenakan walaupun tingkat pendidikan seseorang tinggi, tetapi apabila jenis pendidikan yang ditempuh tidak sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditekuni maka tetap saja akan memengaruhi persepsi seseorang. Dengan kata lain, jenis pendidikanlah atau disiplin ilmu yang sesuai dapat memengaruhi persepsi seseorang. Selain itu, hasil uji statistik yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi penerapan SMK3 dikarenakan data yang diperoleh sangat tidak bervariasi, yang termasuk dalam kategori tingkat pendidikan rendah hanya 2 responden dan yang lainnya termasuk dalam kategori tingkat pendidikan tinggi. Secara umum karyawan di PT. Semen Tonasa paling rendah memiliki tingkat pendidikan, yakni tamat SMA. Namun, pada saat penelitian didapatkan 2 responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu SMP. Hal ini disebabkan pada saat penerimaan karyawan, belum dikenakan sistem yang ada seperti sekarang. Selain itu, karyawan tersebut juga adalah karyawan yang memiliki masa kerja lebih dari 50 tahun. Pada dasarnya tingkat pendidikan akan memengaruhi persepsi seseorang. Dengan asumsi bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseoran semakin banyak pengetahuan serta kematangan berpikirnya semakin baik. Namun, kembali lagi pada jenis pendidikan disesuaikan dengan bidang pekerjaannya. Sehingga walaupun tingkat pendidikan seseorang tinggi, tetapi tidak sesuai dengan peruntukannya, maka boleh jadi tingkat pendidikan itu tidak memberikan banyak kontribusi terhadap pekerjaan yang dilakukan. Sehingga hasil dari penelitian yang dilaku-
sepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa, sedangkan hasil uji phi menunjukkan nilai φ= 0,371 yang berarti bahwa derajat keeratan hubungan antara pelatihan K3 dengan persepsi penerapan SMK3 adalah sedang dengan korelasi positif (Tabel 2).
PEMBAHASAN Umur dalam penelitian ini adalah lamanya seseorang hidup (dalam satuan tahun) mulai sejak lahir sampai ulang tahun terakhir pada saat penelitian berlangsung. Menurut Hana yang dikutip oleh Ikhwan menyatakan bahwa lama kerja juga terkait dengan usia seseorang. Pada usia tertentu relatif seseorang sudah bekerja dalam waktu tertentu pula, usia 30-40 tahun adalah usia peningkatan karir. Sebagian besar responden yang memiliki persepsi kurang baik terhadap penerapan SMK3 berada pada usia >40 tahun. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ada kaitan antara umur dan persepsi seseorang. Pada dasarnya pada umur 40 tahun, kinerja otak mulai menurun. Di atas umur 40 tahun, tubuh mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui selubung mielin, yaitu salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak, sehinga menyebabkan berbagai gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan.4 Pada perkembangannya manusia akan mengalami perubahan fisik maupun mental. Pada umumnya karyawan yang telah berusia tua relatif tenaga fisiknya lebih terbatas daripada karyawan yang masih muda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lechman dalam Junita bahwa umur merupakan salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas kerja seseorang. Dengan bertambahnya usia kecekatan, kekuatan fisik, daya tangkap dan kesehatan akan ikut mengalami kemunduran.3 Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tua usia, maka sukar seseorang untuk beradaptasi dan makin cepat menjadi lelah.5 Umur adalah indeks yang menempatkan individu-individu dalam urutan perkembangan. Umur memengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, semakin bertambah umur seseorang semakin bertambah pula pengalaman dan pengetahuan seseorang yang diperolehnya.6 Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang
47
Hasyrul Almani : Persepsi Karyawan terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
kan menunjukan tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi penerapan SMK3. Hal ini tidak sesuai dengan teori maupun hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka orang akan cenderung untuk mendapatkan informasi dari orang lain maupun dari media massa.6 Hasil penelitian Ishak menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh kepada daya intelegensi, tingkat pengetahuan, pola pikir, wawasan dan persepsi dalam rnengenal dan menganalisa berbagai persoalan berkaitan dengan Keselarnatan dan Kesehatan Kerja (K3).7 Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pemahaman atau pengetahuan tentang SMK3 meliputi pengertian SMK3, tujuan SMK3, manfaat SMK3, dampak yang mungkin terjadi apabila tidak diterapkannya SMK3, serta bentuk-bentuk penerapan SMK3, peran serta karyawan dalam penerapan SMK3, komitmen perusahaan dalam penerapan SMK3, pemanfaatan alat pelindung diri, kondisi alat pemadam api, manfaat pemasangan rambu-rambu K3, mengetahui Material Safety Data Sheet (MSDS), serta unsur yang terlibat dalam menciptakan SMK3 di perusahaan sehingga mengetahui cara penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa khususnya pada bagian produksi. Persepsi responden yang kurang baik terhadap penerapan SMK3 dipengaruhi oleh karakteristik individu, kebutuhan akan pengenalan tentang K3 dan kondisi emosional individu tersebut. Hal ini juga mungkin dapat disebabkan oleh informasi dan pengetahuan tentang SMK3 kurang disebarluaskan di kalangan pekerja lapangan. Sehingga tingkat pengenalan dan pemahaman tentang SMK3 masih kurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirawan bahwa persepsi seseorang tidak timbul begitu saja.8 Persepsi biasa digunakan seseorang untuk memandang ataupun menilai suatu objek. Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan dipengaruhi sejauhmana pemahamannya terhadap objek. Persepsi yang belum jelas atau belum dikenal sama sekali tidak akan mungkin memberikan makna. Begitu pula dengan teori
yang menyatakan bahwa persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang maka semakin baik dalam mempersepsikan sesuatu. Persepsi antara satu karyawan/ tenaga kerja dengan karyawan/tenaga kerja lain akan berbeda meskipun tingkat pendidikannya sama.9 Masa kerja dalam penelitian ini adalah lamanya bekerja (dalam hitungan tahun) mulai saat diterima bekerja sampai pada saat penelitian berlangsung. Menurut Dalyono yang dikutip oleh Ikhwan menyatakan bahwa karyawan/tenaga kerja yang bekerja 6-15 tahun diharapkan telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan yang optimal.4 Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ravianto yang menyimpulkan bahwa karyawan/ tenaga kerja yang mempunyai masa kerja yang lama akan lebih terampil dan berpengalaman didalam mengerjakan pekerjaaannya sehingga hasilnya akan lebih baik. Selain itu, dikatakan juga bahwa lama kerja akan memengaruhi persepsi dan sikap melakukan pekerjaan yang lebih terkontrol.10 Hal ini sesuai dengan teori bahwa masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para pekerja dalam melaksanakan aktivitas kerjanya, misalnya agar produktivitas kerja, semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi pula produktivitasnya karena semakin berpengalaman dan mempunyai keterampilan yang baik dalam menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepadanya.11 Pelatihan K3 yang dimaksud adalah pelatihan yang pernah diikuti oleh karyawan selama bekerja di perusahaan. Persepsi karyawan/ tenaga kerja yang kurang dikarenakan kurangnya mendapat pelatihan atau penerangan tentang SMK3. Pelatihan yang berupa pelatihan kerja dan keselamatan hanya diberikan pada saat awal karyawan akan memulai pekerjaannya (pekerja baru) tanpa diikuti pelatihan penyegaran kepada karyawan lain maupun pada karyawan yang dipindahkan dari bagian yang lama ke bagian yang baru. Para karyawan yang lama ini hanya diberikan penjelasan seperlunya mengenai penggunaan alat di tempat yang baru. Pelatihan yang pernah
48
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 43-50
KESIMPULAN DAN SARAN
diikuti oleh responden antara lain pelatihan mengenai keselamatan kerja dan penanggulangan bahaya kebakaran dan keadaan darurat. Oleh karena itu, pihak perusahaan perlu memberikan pelatihan atau penerangan tentang K3 terutama pada karyawan/pekerja lapangan sehingga mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik di bidang K3. Dari data yang diperoleh ada 11 responden yang tidak mengikuti pelatihan di PT. Semen Tonasa ada training/pelatihan khusus untuk karyawan baru, yaitu safety komite. Setiap karyawan baru pasti mendapatkan training tersebut kurang lebih 1 bulan. Namun, data 11 responden tersebut merupakan karyawan lama yang belum ada sistem tersebut. Selain itu ada juga pelatihan penanggulangan kebakaran khusus untuk petugas pemadam (petugas K3). Soeripto menyatakan bahwa penyelenggaraan program pelatihan merupakan salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan untuk membina keterampilan karyawan.12 Pengetahuan dan keterampilan dapat diperoleh dari pendidikan dan pelatihan. Ravianto menyatakan bahwa pelatihan K3 yang diberikan kepada tenaga kerja harus disesuaikan dengan peranan dan tanggung jawabnya.10 Menurut Ishak, pengetahuan dan keterampilan di bidang K3 yang tinggi dapat membangun persepsi karyawan di bidang K3 menjadi lebih baik. Jika persepsi di bidang K3 sudah baik, maka akan berpengaruh kepada sikap dan tindakan dalam menangani K3 menjadi lebih baik pula. Hal ini juga sangat tergantung kepada kemampuan daya serap responden dalam menerima dan memahami infonnasi K3 yang diberikan kepadanya.7 Persepsi karyawan/tenaga kerja yang baik akan berdampak pada pelaksanaan SMK3 yang baik pula. Persepsi tenaga kerja yang baik tentunya berpengaruh pada tenaga kerja tersebut berpikir, bersikap dan bertindak dalam pelaksanaan K3. Jika persepsi karyawan/tenaga kerja terhadap penerapan SMK3 sudah baik maka akan menimbulkan sikap dan tindakan yang positif yang dapat mendukung terlaksananya penerapan SMK3 secara optimal.13
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan persepsi karyawan unit produksi tonasa IV terhadap penerapan SMK3 di PT. Semen Tonasa tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara umur, pengetahuan, masa kerja dan pelatihan K3 dengan persepsi penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Semen Tonasa, sedangkan tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan persepsi karyawan terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Semen Tonasa. Disarankan agar perlu adanya sosialisasi kepada seluruh karyawan tentang SMK3 khususnya mengenai manfaat penerapan SMK3 bagi perusahaan, peran serta karyawan dalam penerapan SMK3, kondisi alat pemadam, dan jalur pelaporan ketika terjadi kecelakaan di tempat kerja agar informasi tentang SMK3 dapat tersampaikan pada seluruh karyawan/tenaga kerja, serta perlunya dilaksanakannya pelatihan tentang SMK3 yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab karyawan/tenaga kerja secara kontiniu, memberikan pelatihan penyegaran kepada karyawan/ tenaga kerja lama. Dalam memberikan pelatihan, pihak manajemen perlu memastikan bahwa karyawan/tenaga kerja dapat mengerti dengan baik tentang materi pelatihan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Setiawan, D. Pengaruh Faktor-Faktor Safety Climate Terhadap Safety Behavior (Studi Pada Karyawan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada Pembangunan Proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong) [Skripsi]. Surabaya: Universitas Surabaya; 2012. 2. Kurnia, Ahmad. Materi Pendukung Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertemuan 02-A [online] 2010; [diakses tanggal 02 Januari 2013]. Available at: http://www. repository.binus.ac.id 3. Junita, M. Presepsi Tenaga Kerja Tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan Pedoman Penerapan SMK3 di PT. Inalum Kuala Tanjung
49
Hasyrul Almani : Persepsi Karyawan terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
[Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2005. 4. Ikhwan Z. Pengaruh Faktor Predisposing, Enabling, Reinforcing, Terhadap Perilaku Pengurus P2K3 di PT. Semen Andalas Belawan Tahun 2004 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2004. 5. Suma’mur PK. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT.Gunung Agung; 2003. 6. Syartini T. Penerapan SMK3 dalam Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT. Indofood CBP Sukses Makmur Divisi Noodle Cabang Semarang [Skripsi]. Semarang: Universitas Sebelas Maret; 2010. 7. Ishak MN. Persepsi Manajemen Terhadap Resiko Kecelakaan Kerja dan Manafaat K3 dan Hubungannya dengan Penerapan Program K3 di Perusahaan X Lhoeksumawe Aceh Utara [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2003. 8. Wirawan S. Psikologi Pembangunan. Jakarta: PT.Garamedia Sarana Indonesia; 1996. Rahmat, Jalaluddin. Psikologi komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; 2005. 9. Ravianto, J. Produktivitas dan Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas; 1990. 10. Siagian, S, P. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 1989. 11. Soeripto. Manajemen K3 dan Penerapannya. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 1998; Volume XXXI. 12. Hamalik, Oemar. Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan. Jakarta: Bumi Aksara; 2001.
50
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 51-56
PERILAKU IBU TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN BALITA PENDERITA DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BELAWA Mother’s Behaviour towards the Prevention and Treating of Children Under Five Years Old from Diarrhea in Belawa Community Health Center Service Area Haryati Ningsih, Muh. Syafar, Mappeaty Nyorong Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Unhas, Makassar (
[email protected]) ABSTRAK Peran ibu sangatlah penting dalam kejadian diare yang dialami balita karena ibu merupakan tokoh utama yang paling bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang balita. Berdasarkan laporan dinas kesesehatan tahun 2011 hingga 2012 sebanyak 12.942 balita yang menderita diare di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Metode penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan informan dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu pemilihan informan berdasarkan kriteria tertentu. Sehingga terpilih 11 orang informan yang terdiri dari 8 orang ibu penderita diare, 2 orang bidan desa, dan 1 orang petugas Puskesmas Belawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan ibu dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit diare anak balita adalah menjaga kebersihan sanitasi lingkungan rumah, memberikan makanan yang bergizi, memberikan ASI, mencuci tangan dengan sabun dan memotong kuku. Pengobatan yang dilakukan jika balitanya mulai terserang diare adalah memberikan pertolongan pertama dengan pemberian oralit dan daun jambu biji untuk dimasak dan dikunyah hal ini dipercaya dapat membantu mengurangi gejala diare. Namun, adapula ibu balita yang membawa balitanya berobat ke bidan desa dan ke puskesmas terdekat. Kesimpulannya adalah pencegahan diare pada balita dilakukan dengan adanya promosi kesehatan, perlindungan khusus, diagnosis dini dan pengobatan segera. Kata Kunci : Perilaku, pencegahan, pengobatan, diare ABSTRACT A mother’s role is very important when baby suffers from diarrhea, because mother is the figure most responsible for the baby’s growth. According to the data from the Health Department, in 2011 until 2012 there were 12.942 babies who suffered from diarrhea in Wajo Regency, South Sulawesi. This study implemented a qualitative method with phenomenology approach. Informants were selected using the purposive sampling method, which is a method to select informants based on certain criterias. 11 informants were selected which consisted of 8 mothers of babies with diarrhea, 2 village midwives and 1 Belawa Community Health Center staff. Results of this study found that actions by mothers in order to prevent and treat diarrhea were maintaining the house environment hygiene, providing nutritious food, providing breast milk, washing hands with soap and clipping nails. In addition, mother’s treat their babies by giving them oral rehydration salts as well as guava leaves to be cooked and chewed. This was believed to be able to reduce the symptoms of diarrhea. However, there were also some mothers who took their babies to the village midwives and the closest Community Health Center. In conclusion, prevention of diarrhea in babies could be done by promoting health awareness, special protection, early diagnosis and immediate treatment. Keywords : Behaviour, prevention, healing, diarrhea
51
Haryati Ningsih : Perilaku ibu terhadap Pencegahan dan Pengobatan Balita Penderita Diare
PENDAHULUAN
pengobatan yang dipilih masyarakat dapat disebabkan oleh banyak faktor.4 Pengetahuan, sikap dan persepsi masyarakat terhadap penyakit dan sarana pelayanan yang tersedia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya serta ketersediaan pelayanan kesehatan akan memengaruhi tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit tersebut. Selain itu, keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan oleh masyarakat, tingkat kegawatan penyakit dan pengalaman pengobatan sebelumnya atas dasar pengalaman sendiri maupun orang lain turut memengaruhi individu dalam pengambilan keputusan untuk mencegah dan mengobati penyakit.5 Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku ibu terhadap pencegahan dan pengobatan balita penderita diare di wilayah kerja Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo.
Salah satu tujuan MDG’s (Millenium Development Goals) adalah penurunan angka kematian anak menjadi 2/3 bagian atau sebanyak 32 per kelahiran hidup dari sebelumnya pada tahun 1990 sebanyak 97 per kelahiran hidup. Hal ini tidak mudah dilakukan mengingat masih tingginya angka kematian balita. Penyebab utama kematian balita di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2000 Incidence Rate (IR) diare adalah 301/1000 dan data terakhir, yaitu pada tahun 2010 menunjukkan IR diare 411/1000. Terjadi peningkatan sekitar 36,5% dalam sepuluh tahun ini.1 Menurut catatan WHO tahun 2007, penyakit diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun. Di Indonesia, angka kematian bayi dan anak di bawah lima tahun hampir sepertiganya disebabkan oleh penyakit diare. Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, hal ini disebabkan oleh masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan banyak kematian terutama pada anak. Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.2 Angka penemuan kasus diare pada balita di Kabupaten Wajo masih menunjukkan angka yang berfluktuasi setiap tahun. Pada tahun 2.009 kasus diare pada balita sebanyak 4.002 kasus, pada tahun 2010 mengalami penurunan, yaitu 3.234 kasus, dan angka ini kembali meningkat pada tahun 2011 dengan jumlah 4.334 kasus.3 Pada tahun 2011 jumlah kasus diare yang ditangani oleh puskesmas dan rumah sakit Kabupaten Wajo sebanyak 12.942 kasus, dan sebanyak tiga orang yang meninggal. Puskesmas Belawa menangani sebanyak 706 kasus, dan 2 orang diantaranya meninggal dunia. Data terakhir pada tahun 2012 dari bulan Januari sampai November tercatat sebanyak 810 kasus dan sebanyak 12 orang yang meninggal dunia. Jumlah kasus diare di Puskesmas Belawa menduduki urutan kedua terbesar di Kabupaten Wajo setelah Puskesmas Leppangang.3 Penyakit diare paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada tiga tahun pertama kehidupan seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat.2 Beragamnya konsep budaya terkait dengan penyakit diare termasuk upaya pencegahan dan
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Waktu pengumpulan data dimulai Maret 2013 sampai April 2013. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu untuk mencoba mengungkap dan memaparkan makna atas fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada perilaku ibu terhadap pencegahan dan pengobatan anak balita penderita diare di wilayah kerja Puskesmas Belawa. Informan terdiri atas 11 orang, yaitu 8 orang ibu penderita diare, 2 orang bidan desa, dan 1 orang petugas puskesmas. Pemilihan informan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview (wawancara mendalam). Data yang diperoleh dari wawancara mendalan kemudian dianalisis menggunakan content analysis, yaitu proses analisis data untuk menentukan keberadaan teks, arti, dan hubungan antara satu kata, konsep, dengan yang lainnya. Keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu melakukan wawancara dari berbagai sumber, seperti ibu, bidan desa, dan petugas puskesmas.
52
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 51-56
HASIL
PEMBAHASAN
Jumlah informan seluruhnya terdiri dari 11 orang diantaranya 8 orang ibu dengan anak balita yang pernah menderita diare dalam tiga bulan terakhir. Informan tersebut terdiri lagi dari 2 orang informan ibu dengan anak balita penderita diare yang memilih melakukan pengobatan sendiri, dan 6 orang lainnya memilih melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan, 2 orang bidan desa, dan 1 orang petugas puskesmas. Usia informan ibu dengan anak balita penderita diare bermacammacam mulai dari 23 tahun, 25 tahun, 26 tahun, 30 tahun, dan 31 tahun. Diantara delapan orang informan ibu, sebanyak tujuh orang merupakan ibu rumah tangga dan satu orang berprofesi sebagai guru SD. Selanjutnya usia informan bidan desa dan petugas puskesmas adalah 41 tahun, dan 30 tahun. Sebagian besar informan mengatakan bahwa pencegahan yang dilakukan terhadap pencegahan diare adalah memberikan makanan yang bergizi, memberikan multivitamin bagi balita, menjaga sanitasi lingkungan rumah, dan memberikan ASI kepada balita. Namun, informan sebagian besar tidak pernah melakukan program promosi kesehatan terhadap balitanya, karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki dan informan juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah menerima penyuluhan dari puskesmas terkait masalah diare. Padahal menurut peryataan beberapa informan bidan desa mengatakan bahwa mereka selalu memberikan penyuluhan tentang diare terhadap beberapa pasiennya jika mereka berobat. Informan mengatakan bahwa hal yang dilakukan terhadap pengobatan diare anak balita adalah memberikan pertolongan pertama dengan pemberian oralit buatan sendiri dengan campuran gula dan garam, adapula yang memberikan daun jambu kepada balitanya. Pemberian daun jambu ini juga bermacam-macam, yaitu dengan cara di kunyah-kunyah oleh balita yang terserang diare, dan adapula yang memasak daun jambu dengan air kemudian airnya diminum. Namun, jika diare yang diderita balita masih berlanjut maka informan membawa balita berobat ke bidan terdekat atau ke puskesmas untuk diberikan pengobatan dan perawatan.
Secara umum pecegahan diare terhadap anak balita di wilayah kerja Puskesmas Belawa informan yang satu dengan lainnya terdapat persamaan dan perbedaan, hal ini tergantung dari informasi yang telah diperoleh serta pengalamanpengalaman yang dialaminya. Konsep emik yang dilakukan masyarakat Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dalam hal tindakan promosi kesehatan, yaitu dengan pemberian vitamin kepada balita agar membantu daya tahan tubuhnya dan menjaga sanitasi lingkungan rumahnya. Diare dapat dicegah dengan menjaga kebersihan karena penyebab utama diare adalah virus dan bakteri yang berasal dari lingkungan yang tidak bersih. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa pemberian vitamin pada balita juga banyak dilakukan oleh ibu untuk mencegah balitanya terkena diare, karena pemberian vitamin membantu menjaga daya tahan tubuh balita agar tidak mudah diserang oleh berbagai penyakit. Pemberian vitamin zink merupakan penemuan terbaru pada terapi diare. Pemberian vitamin zink ini dianjurkan untuk dikonsumsi selama 10-14 hari untuk mempercepat penyembuhan diare dan dapat mencegah terjadinya diare dikemudian hari serta menjaga makanan dan minuman yang dikonsumsi agar tetap bersih. Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Samad tentang perilaku keluarga dalam mencegah balita menderita diare melalui promosi kesehatan di Desa Paku Kecamatan Binuang Kabupaten Mamasa, yang menyatakan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan berdasarkan pengalaman sendiri untuk menghindari penyakit diare.6 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya Nasili Ridwan di wilayah Bantaran Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-bau yang mengatakan bahwa perilaku pencegahan diare yang paling banyak dilakukan ibu kepada balitanya adalah menjaga sanitasi lingkungan rumah dan pemberian makanan yang bergizi.7 Konsep emik yang dilakukan masyarakat Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dalam hal tindakan promosi kesehatan, yaitu membiasakan anak mencuci tangan dengan sabun, mencuci tangan setiap melakukan pekerjaan terkait makan-
53
Haryati Ningsih : Perilaku ibu terhadap Pencegahan dan Pengobatan Balita Penderita Diare
an atau minuman, pemberian ASI, dan membiasakan rutin memotong kuku. Namun, ada pula informan yang tidak menerapkan hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Menurut Kirana, cara praktis untuk mencegah diare adalah mencuci tangan dengan sabun. Kebiasaan ini akan mengurangi risiko terjadinya diare sebesar 40%, kebiasaan mencuci tangan juga mempunyai daya ungkit yang besar terhadap penurunan angka kejadian diare.8 Praktik mencuci tangan setiap melakukan pekerjaan terkait makanan atau menyusui dan minum air yang dimasak, merupakan praktik perawatan balita yang dapat mencegah penyakit diare, termasuk usaha mencegah makanan dari gangguan lalat dan kontaminasi lain.9 Ancaman-ancaman penyakit berbasis perilaku dan lingkungan seperti diare dapat diantisipasi dari sebuah model pencegahan yang diawali dengan faktor-faktor pemungkin. Jika dihubungkan dengan teori L.Green bahwa faktor lingkungan dan perilaku memberikan kontribusi (40%+30%) pada derajat kesehatan masyarakat, dengan kata lain bahwa seseorang bisa terganggu kesehatannya karena kurang dukungan perilaku yang baik serta lingkungan yang sehat. Teori ini secara konkrit memberikan penekanan pada faktor perilaku masyarakat dan lingkungan bahwa perilaku dan kebiasaan mencuci tangan jika didasari pada pengetahuan yang merupakan predisposing factor dalam ranah perilaku. Tindakan pengobatan pertama untuk mengatasi penyakit diare dilakukan informan berdasarkan pengetahuannya, tanpa bantuan seseorang yang ahli dalam bidang kesehataan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini dipaparkan bahwa, masyarakat Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo mempunyai kebiasaan melakukan pengobatan sendiri bila balitanya mulai terdiagnosis diare. Namun, bila keadaan belum baik atau belum stabil informan membawa balitanya ke bidan terdekat atau ke puskesmas. Beberapa informan mengatakan bahwa pertolongan pertama yang dilalukan jika balitanya terkena diare adalah melakukan pengobatan sendiri dengan cara pemberian daun jambu. Pemberian daun jambu kepada balita bermacammacam seperti dikunyah atau daun jambu dimasak dengan air kemudian airnya diminum. Pem-
berian ini dilakukan dengan maksud agar balita yang terserang diare dapat sembuh karena masyarakat percaya bahwa ada kandungan dalam daun jambu biji yang dapat mengobati diare. Penelitian yang dilakukan Susi Indriani tentang khasiat daun jambu biji sebagai anti oksidan. Jambu biji kaya akan astringent (senyawa yang membuat gusi terasa lebih kencang dan segar setelah mengunyah daun jambu biji atau makan jambu biji mentah). Kandungan astringent dalam jambu biji berkhasiat alkali dan memiliki kemampuan desinfektan serta anti bakteri, sehingga membantu penyembuan disentri karena mikroba yang menghambat pembentukan lendir dan aktivitas bakteri penyebab disentri pada usus. Nutrisi lain daun jambu biji seperti kalium, vitamin C dan karotenoid memperkuat dan meremajakan sistem pencernaan bakteri penyebab diare, yaitu staphylococcus aureus dan E. coli. Manfaat jambu biji juga dapat dirasakan pada penderita gastroenteritis (radang lambung dan usus).10 Untuk mewujudkan peningkatan derajat dan status kesehatan penduduk, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan sarana kesehatan merupakan salah satu faktor penentu utama. Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan karena dapat menjangkau penduduk sampai di pelosok. Puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memnerikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam satu wilayah kerja tertentu dengan usaha-usaha kesehatan pokok. Hal penting lainnya adalah ketersediaan tambahan tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan tenaga kesehatan lainya). Dalam model Good, the four as telah banyak digunakan oleh ahli medis, antropolog, dan epidemiologi yang terutama menekankan jarak (baik sosial maupun geografis) dan aspek ekonomi sebagai faktor kunci sebagai akses pengobatan. The four as tersebut adalah ketersediaan (availability), aksesibilitas (accessibility), keterjangkauan (affordability), dan penerimaan (acceptability). Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo informan menjelaskan bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada di Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo maupun di bidan desa cukup memadai karena fasilitas yang ada cukup lengkap dan
54
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 51-56
ketersediaan obat-obatan juga lengkap sehingga masyarakat merasa cukup membantu dengan tersedianya fasilitas kesehatan yang ada. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan fungsi dari faktor yang memungkinkan (pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Faktor yang memengaruhi (pengetahuan, perilaku, dan sebagainya), faktor keterjangkauan (jarak, atau waktu yang di tempuh ke fasilitas kesehatan), dan tingkat kesehatan yang dirasakan. Terkait dengan transportasi atau akses berarti cakupan pelayanan kesehatan tergantung dari jarak dan waktu terhadap suatu fasilitas atau sarana kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo informan menjelaskan bahwa aksesibilitas ke fasilitas kesehatan yang berada di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo tidak terlalu sulit karena rata-rata penduduk memiliki kendaraan sendiri dan kendaraan umum untuk dilalui ke sarana fasilitas kesehatan. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemerataan dan peningkatan mutu upaya kesehatan serta pengendalian pembiayaan kesehatan, sesuai dengan pasal 66 UU No.23 tahun 1992 pemerintah telah menetapkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Pemerintah juga telah mengembangkan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sejak tahun 2008 untuk memberikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan tidak mampu membayar dengan sistem asuransi. Bahkan untuk mengembangkan jaminan sosial seluruh rakyat, telah ada UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menjamin seluruh rakyat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, termasuk didalamnya kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo informan menjelaskan bahwa keterjangkauan dalam hal pembiayaan atau biaya perawatan di Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo tidak dipungut biaya karena mereka memiliki kartu akses yang dapat mereka pakai. Apabila masyarakat memilih berobat ke bidan, mereka dikenakanan biaya sesuai dengan obat yang diberikan. Bila obat yang diberikan sedikit, maka yang dibayar juga sedikit, sebaliknya jika obat yang diberikan banyak maka
yang harus dibayar juga banyak. Pemerintah berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan menitik beratkan upaya promotif, preventif, dan tetap memperhatikan upaya-upaya kuratif rehabilitatif. Petugas puskesmas harus memperlakukan masyarakat dengan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan fungsi tenaga kesehatan sebagai abdi atau pelayanan masyarakat. Pelayanan puskesmas yang baik adalah salah satu cara rakyat untuk menikmati kemerdekaan di negara ini karena itu sebagai pelayanan rakyat, petugas yang mengabdi di puskesmas harus memberikan pelayanan kesehatan yang baik, sesuai dengan standar pelayanan minimal oleh setiap puskesmas di Belawa. Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo informan menjelaskan bahwa penerimaan dalam aspek sosial dalam hal ini adalah perlakuan petugas terhadap pasien yang berobat di Puskesmas Belawa Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo selama ini perlakuan mereka sangat baik, karena pelayanan puskesmas 24 jam sehingga petugas puskesmas selalu ada jika dibutuhkan. Dengan demikian, masyarakat menjadi cukup tenang dan merasa aman jika berobat di puskesmas.
KESIMPULAN DAN SARAN Pencegahan diare pada balita di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dilakukan dengan adanya promosi kesehatan, perlindungan khusus, diagnosis dini dan pengobatan segera. Promosi kesehatan yang dimaksud adalah dengan melakukan tindakan pencegahan seperti perbaikan sanitasi lingkungan, kesehatan perorangan dan sebagainya. Perlindungan khusus yang dilakukan adalah dengan pemberian vitamin kepada balita, dan diagnosis dini dan pengobatan segera yang dilakukan adalah dengan cara melakukan pengobatan sendiri, dan membawa balita ke fasilitas kesehatan. Pengobatan diare pada balita di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo meliputi ketersediaan fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, keterjangkauan fasilitas kesehatan, dan penerimaan atau perlakuan petugas kesehatan. Diharapkan bagi masyarakat untuk
55
Haryati Ningsih : Perilaku ibu terhadap Pencegahan dan Pengobatan Balita Penderita Diare
melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin (promosi kesehatan) terhadap kejadian diare pada balita agar selalu menjaga kebersihan rumah agar tetap bersih, pemberian vitamin (perlindungan khusus) kepada balita agar dapat membantu mencegah kekebalan tubuhnya, memotong kuku, mencuci tangan dengan sabun, dan terlindungi dari berbagai penyakit sehingga dapat membentuk perilaku yang positif. Bagi petugas kesehatan diharapkan agar selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, agar masyarakat merasa nyaman bila berobat ke puskesmas (specific protection). Dalam rangka menyehatkan masyarakat dan mencegah timbulnya penyakit perlu petugas promosi kesehatan untuk memberdayakan masyarakat agar berperilaku sehat, dan petugas juga diharapkan memberikan penyuluhan terkait kesehatan lingkungan.
8. Irianto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita (Analisis Lanjut Data SDKI 1994). Buletin Penelitian Kesehatan. 2006;24:77-96. 9. Juffrie, M, Wibowo, T. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Anak 0-35 Bulan (Batita) di Kabupaten Bantul. Sains Kesehatan. 2006;19(3). 10. Susi, I. Khasiat Jambu Biji sebagai Anti Oksidan. Buletin Penelitian Kesehatan. 2006;24:77-96.
DAFTAR PUSTAKA 1. Divisi Research and Science Analico UI. Kasus Diare pada Balita di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 2. Simatupang, M. Y. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Kota Sibolga [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2004. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo. Profil Kesehatan Kabupaten Wajo. Sengkang: Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo; 2012. 4. Sander, M. A. Hubungan Faktor Sosio Budaya dengan Kejadian Diare di Desa Candinegoro Kecamatan Wonoayu Sidoarjo. Jurnal Medika. 2005;2(2):93-163. 5. Hidayat. Analisis Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus Pemegang Jamkesmas di Puskesmas Donggala) [Tesis]. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin; 2012. 6. Samad. Perilaku Keluarga dalam Mencegah Balita Menderita Diare di Desa Paku Kecamatan Binuang Kabupaten Mamasa [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2001. 7. Nasili, R. Perilaku Pencegahan Diare di Wilayah Bantaran Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-bau [Skripsi]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2011.
56
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 57-64
BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO KOTA MAKASSAR Patient Safety Culture in Inpatient Installation of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar City Agustina Pujilestari, Alimin Maidin, Rini Anggraeni Bagian Manajemen Rumah Sakit FKM UNHAS, Makassar (
[email protected]) ABSTRAK Keselamatan telah menjadi isu global sejak Institude of Medicine (IOM) di Amerika Serikat menerbitkan laporan bahwa angka kematian akibat KTD meningkat pada pasien rawat inap di Amerika berkisar 44.000-98.000 per tahun. IOM merekomendasikan pengembangan keselamatan pasien yang merujuk pada budaya organisasi untuk memprediksi peluang kesalahan yang dapat terjadi dengan melakukan survei untuk mengukur iklim keselamatan pasien di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien oleh perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Teknik pengambilan sampel mengunakan proportionate stratified random sampling. Responden pada penelitian ini berjumlah 75 perawat. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 75 responden, 37 reponden (49,3%) memiliki budaya keselamatan pasien rendah dan 38 responden (50,7%) memiliki budaya keselamatan pasien tinggi. Responden dengan budaya keselamatan rendah diantaranya terdapat 23 perawat (62,2%) dengan pelaksanaan pelayanan yang kurang baik dan 14 perawat (37,8%) dengan pelaksanaan pelayanan yang baik. Responden dengan budaya keselamatan pasien yang tinggi seluruhnya (100%) telah melaksanakan pelayanan dengan baik. Kata kunci : Budaya keselamatan, rawat inap, pasien ABSTRACT Safety has become a global issue since the Institute of Medicine in the United States published a report that there was an increased mortality rate due to KTD in hospitalized patients in the United States which ranges from 44.000-98.000 per year. IOM recommends development of a patient safety which refers to an organization culture to predict chances of errors that can occur by conducting a survey to measure patient safety climate in hospitals. This research aims to describe the culture of patient safety by nurses in implementing patient safety in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital. This research was conducted using descriptive research with quantitative approach. Samples were selected using proportionate stratified random sampling. There were 75 nursers who acted as respondents. The data analysis used was univariate analysis. Data analysis tool used in this study was the SPSS program. Results of this study found that from 75 respondents, 37 respondents (49,3%) had low patient safety culture and 38 respondents (50,7%) had high culture patient safety. Respondents that were included in the category of low safety culture included 23 nurses (62,2%) with implementation of services categorized a sunsatis factory and 14 nurses (37,8%) with implementation services categorized as satisfactory. All respondents with high patient safety culture (100%) had carried out good services. Keywords : Safety culture, inpatient unit, patient
57
Agustina Pujilestari : Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
PENDAHULUAN
dan berperan dalam memprediksi perhatian RS terhadap keselamatan pasien.3 Menurut Agency of Health Care Research and Quality dalam menilai budaya keselamatan pasien di rumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien, pembelajaran peningkatan bekerlanjutan, kerjasama tim dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik terhadap error, respon tidak menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara keseluruhan, dukungan manajamenen rumah sakit, kerjasama tim antar unit, penyerahan dan pemindahan pasien dan frekuensi pelaporan kejadian.4 Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar merupakan salah satu rumah sakit dengan klasifikasi A yang telah menerapkan Badan Layanan Umum (BLU). Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo juga menjadi rumah sakit rujukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatannya, Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo telah menerapkan berbagai program yang diuraikan dalam renstra rumah sakit, salah satunya adalah Program Keselamatan Pasien. Rumah sakit telah melakukan sosialisasi, pelatihan dan uji coba untuk melaksanakan program ini. Banyak kejadian insiden yang terjadi kemudian tidak dilaporkan yang dikarenakan laporan yang diadakan tersebut akan dikaitkan dengan area kerja pada insiden yang terjadi. Hasilnya, para pengambil kebijakan di rumah sakit tidak mengetahui peringatan akan potensial bahaya yang dapat menyebabkan error.5 Oleh karena itu, pihak rumah sakit juga telah mengembangkan sistem pelaporan yang mendukung perawat ataupun staf lainnya untuk rutin melaporkan kejadian insiden. Berdasarkan data dari Intalasi Penjamin Mutu diperoleh kejadian infeksi nosokomial tercatat di intalasi rawat inap mencapai angka kejadian infeksi nosokomial yang melewati standar maksimal yang telah ditentukan dalam Kepmenkes No. 129 tahun 2008 mengenai standar pelayanan minimal rumah sakit sebesar ≤1,5%. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien pada perawat dalam pelaksanaan pelayanan di instalasi rawat inap
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Sejak Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak “to error is human”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit yang ada di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9% yang 6,6% diantaranya meninggal. Di New York KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000-98.000 per tahun. Publikasi WHO tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai negara, yaitu Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2-16,6%. Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien.1 Sejak awal tahun 1900, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada tiga elemen, yaitu struktur, proses dan outcome dengan berbagai macam program regulasi yang berwenang, misalnya penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, ISO, Indikator Klinis dan lain sebagainya.1 Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002. Enam tujuan penanganan keselamatan pasien menurut Joint Commission International antara lain mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi dengan efektif, meningkatkan keamanan dari high alert medications, memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi risiko infeksi pada pekerja, mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.2 Berbagai hasil studi merekomendasikan untuk memperbaiki upaya keselamatan pasien dengan memperhatikan isu-isu budaya/iklim keselamatan pasien dilangkah awal. Survei untuk mengukur iklim keselamatan di rumah sakit kemudian berkembang dan digunakan secara rutin
58
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 57-64
rumah rakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2013.
jukkan bahwa mayoritas memiliki masa kerja 1-5 tahun sebanyak 31 responden(41,3%) dan paling sedikit memiliki masa kerja 6-10 tahun sebanyak 9 responden (12,1%) (Tabel 1).
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo mulai tanggal 26 April sampai 17 Mei 2013. Populasi penelitian ini adalah semua perawat yang ada di instalasi rawat inap rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel adalah perawat di rawat inap RS Dr. Wahidin Sudirohusodo sebanyak 75 orang. Teknik pengambilan sampel mengunakan proportionate stratified random sampling. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang menggunakan rancangan survei deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif.6 Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yakni data primer (hasil penyebaran kuesioner untuk mendapatkan informasi tentang budaya keselamatan pasien oleh perawat dalam melaksanakan pelayanan) dan data sekunder berupa profil rumah sakit, jumlah perawat pelaksana, data KTD, data infeksi nosokomial dan data lain yang terkait dapat menunjang pada penelitian ini. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan sistem komputerisasi. Teknik analisis data yang digunakan, yaitu analisis univariat untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari karakteristik responden dan masing-masing variabel yang diteliti. Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki - Laki Perempuan Umur (tahun) 20-29 30-39 40-49 50-59 Pendidikan D3 Keperawatan S1 Keperawatan Masa Kerja < 1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun >10 tahun Jumlah
n
%
15 60
20,0 80,0
35 21 11 8
46,7 28,0 14,7 10,6
41 34
54,7 45,3
10 31 9 25 75
13,3 41,3 12,1 33,3 100,0
Sumber : Data Primer, 2013
Aspek harapan dan tindakan supervisor/ manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien tergolong rendah. Terdapat 37 responden (49,3%) memiliki persepsi rendah mengenai harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien. Pembelajaran organisasi peningkatan berkelanjutan responden tergolong tinggi karena sebanyak 64 reponden (85,3%) memiliki persepsi pembelajaran organisasi peningkatan berkelanjutan yang tinggi. Kerjasama tim dalam unit tergolong tinggi. Sesuai dengan hasil penelitian sebanyak 53 responden (70,7%) termasuk dalam kategori kerjasama dalam unit yang tinggi. Keterbukaan komunikasi tergolong tinggi, sebanyak 54 responden (72%) termasuk dalam kategori keterbukaan komunikasi yang tinggi. Umpan balik terhadap error tergolong tinggi karena sebagian besar memiliki persepsi yang termasuk dalam kategori tinggi untuk umpan balik terhadap error, yaitu sebanyak 63 responden (84%). Respon tidak menyalahkan tergolong rendah, sebanyak 32 responden (42%) termasuk dalam kategori res-
HASIL Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 60 responden (80%) sedangkan laki-laki sebanyak 15 responden (20%), mayoritas responden berada dalam rentang umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 35 responden (46,7%) dan paling sedikit responden berada dalam rentang umur 50-59 tahun, yaitu sebanyak 8 responden (10,6%), paling banyak responden merupakan lulusan D3 keperawatan sebanyak 41 reponden (54,7%), masa kerja responden menun-
59
Agustina Pujilestari : Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Kriteria Objektif Variabel Independen di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Tinggi
Variabel Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien Pembelajaran organisasi peningkatan berkelanjutan Kerjasama tim dalam unit Keterbukaan komunikasi Umpan balik terhadap error Respon tidak menyalahkan Staf yang adekuat Persepsi keselamatan pasien secara keseluruhan Dukungan manajemen rumah sakit untuk keselamatan pasien Kerjasama tim antar unit Penyerahan dan pemindahan pasien Frekuensi pelaporan kejadian
Rendah
n
%
n
%
38
50,7
37
49,3
64 53 54 63 43 42 42 70 69 38 64
85,3 70,7 72,0 84,0 57,3 56,0 56,0 93,3 92,0 50,0 85,3
11 22 21 12 32 33 33 5 6 37 11
14,7 29,3 28,0 16,0 42,0 44,0 44,0 6,7 8,0 49,3 14,7
Sumber : Data Primer, 2013
den (30,7%) yang tergolong dalam pelaksanaan pelayanan yang kurang baik (Tabel 3). Pelaksanaan pelayanan kurang baik ada pada responden dengan persepsi harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien yang rendah, yaitu sebesar 32,4%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan persepsi harapan dan tindakan supervisor/manajer yang tinggi, yaitu sebesar 71,1%. Pelaksanaan pelayanan kurang baik aspek selanjutnya ada pada responden dengan pembelajaran organisasipeningkatan berkelanjutan rendah, yaitu sebesar 54,5%, sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan baik ada pasa responden dengan pembelajaran organisasi-peningkatan berkelanjutan yang tinggi sebesar 73,4%. Hasil tabulasi silang selanjutnya, untuk pelaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada responden dengan kerjasama tim dalam unit yang rendah yaitu sebesar 50%, sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan kerjasama tim dalam unit yang
pon tidak menyalahkan yang rendah (Tabel 2). Staf adekuat tergolong rendah karena terdapat 33 responden (44%) yang termasuk dalam kategori staf adekuat yang rendah yang dianggap jumlah ini memiliki persentase yang sangat besar. Persepsi keselamatan pasien secara keseluruhan tergolong rendah. Hal ini karena banyaknya responden yang tergolong dalam kategori rendah pada aspek ini, yaitu sebanyak 33 responden (44%). Dukungan manajemen rumah sakit tergolong tinggi. Berdasarkan Tabel 2, sebanyak 70 responden (93,3%) diantaranya termasuk dalam kategori tinggi pada dukungan manajemen rumah sakit untuk keselamatan pasien. Kerjasama tim antar unit tergolong tinggi karena sebagian besar responden termasuk dalam kerjasam tim antar unit yang tinggi, yaitu sebanyak 69 responden (92%). Penyerahan dan pemindahan pasien tergolong rendah karena cukup banyak responden yang termasuk dalam kategori rendah untuk aspek ini, yaitu sebanyak 37 responden (49,3%) yang termasuk kategori rendah untuk penyerahan dan pemindahan pasien. Frekuensi pelaporan kejadian tergolong tinggi sebanyak 64 responden (85,3%) termasuk dalam kategori tinggi untuk frekuensi pelaporan kejadian (Tabel 2). Pelaksanaan pelayanan di instalasi rawat inap RS Dr. Wahidin Sudirohusodo sudah baik. Sebanyak 52 responden (69,3%) tergolong dalam pelaksanaan pelayanan yang baik, sedangkan 23 respon-
Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Kriteria Objektif Variabel Dependen di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Variabel Baik Kurang baik Sumber : Data Primer, 2013
60
n 52 23
% 69,3 30,7
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 57-64
Tabel 4. Tabulasi Silang Antara Budaya Keselamatan Pasien dengan Pelaksanaan Pelayanan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Pelaksanaan Pelayanan Baik Kurang Baik n % n %
Budaya Kesalamatan Pasien Harapan dan Tindakan Supervisor/Manajer dalam Mempromosikan Keselamatan Pasien Tinggi Rendah Pembelajaran Organisasi-Peningkatan Berkelanjutan Tinggi Rendah Kerjasama Tim dalam Unit Tinggi Rendah Keterbukaan Komunikasi Tinggi Rendah Umpan Balik terhadap Error Tinggi Rendah Respon Tidak Menyalahkan Tinggi Rendah Staf yang Adekuat Tinggi Rendah Persepsi Keselamatan Pasien Secara Keseluruhan Tinggi Rendah Dukungan Manajemen Rumah Sakit untuk Keselamatan Pasien Tinggi Rendah Kerjasama Tim Antar Unit Tinggi Rendah Penyerahan dan Pemindahan Pasien Tinggi Rendah Frekuensi Pelaporan Kejadian Tinggi Rendah
27 25
71,1 67,7
11 12
28,9 32,4
47 5
77,4 50
17 6
26,6 54,5
41 11
81,5 38,1
12 11
22,6 50
44 8
77,4 50
10 13
18,5 61,9
45 7
71,4 58,3
18 5
28,6 41,7
32 20
74,4 62,5
11 12
25,6 37,5
32 20
76,3 60,6
10 13
23,8 39,4
31 21
73,8 63,6
11 12
26,2 36,4
49 3
70 60
21 2
30 40
46 2
66,7 33,3
23 4
33,3 66,7
30 22
78,9 59,5
8 15
21,1 40,5
47 5
73,3 45,5
17 6
26,6 54,5
Sumber : Data Primer, 2013
tinggi sebesar 77,4%. Hasil tabulasi silang untuk aspek keterbukaan komunikasi menunjukkan bahwa untuk pelaksanaan pelayanan kurang baik ada pada responden dengan keterbukaan komunikasi yang rendah, yaitu sebesar 61,9%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan baik ada pada reponden dengan keterbukaan komunikasi tinggi,
yaitu sebesar 81,5% (Tabel 4). Aspek selanjutnya untuk pelaksaan pelayanan yang kurang baik pada responden dengan umpan balik terhadap error yang rendah, yaitu sebesar 41,7%. Pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan umpan balik terhadap error yang tinggi, yaitu sebesar 71,4%. Pada
61
Agustina Pujilestari : Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk peaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada responden dengan respon tidak menyalahkan rendah, yaitu sebesar 37,5%, sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan respon tidak menyalahkan yang tinggi, yaitu sebesar 74,4% (Tabel 4). Tabulasi silang antara staf yang adekuat dengan pelaksanaan pelayanan menunjukkan bahwa untuk pelaksanaan pelayanan kurang baik ada pada responden dengan adequate staffing yang rendah, yaitu sebesar 39,4% sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan adequate staffing yang tinggi, yaitu sebesar 76,3%. Pelaksanaaan pelayanan yang kurang baik pada aspek persepsi keselamatan pasien secara keseluruhan ada pada responden dengan kategori rendah, yaitu sebesar 36,4%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan persepsi keselamatan pasien secara keseluruhan yang tinggi, yaitu sebesar 73,8% (Tabel 4). Aspek berikutnya pada dukungan manajemen sakit untuk keselamatan pasien untuk pelaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada responden dengan persepsi dukungan manajemen sakit untuk keselamatan pasien yang rendah, yaitu sebesar 40%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan persepsi dukungan manajemen rumah sakit untuk keselamatan pasien yang tinggi, yaitu sebesar 70%. Hasil tabulasi silang selanjutnya menunjukkan bahwa untuk pelaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada respoden dengan kerjasama tim antar unit yang rendah, yaitu sebesar 66,7%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan kerjasama tim antar unit yang tinggi, yaitu sebesar 66,7% (Tabel 4). Hasil tabuasi silang antara penyerahan dan pemindahan pasien dengan pelaksanaan pelayanan dapat diketahui bahwa untuk pelaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada responden dengan penyerahan dan pemindahan pasien yang rendah, yaitu sebesar 40,5% sedangkan untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan penyerahan dan pemindahaan pasien kategori tinggi, yaitu sebesar 78,9%.
Aspek terakhir yang dilakukan tabulasi silang menunjukkan bahwa untuk pelaksanaan pelayanan yang kurang baik ada pada responden dengan frekuensi pelaporan kejadian yang rendah, yaitu sebesar 54,5%. Kemudian untuk pelaksanaan pelayanan yang baik ada pada responden dengan frekuensi pelaporan yang tinggi, yaitu sebesar 73,3% (Tabel 4).
PEMBAHASAN Menurut Gibson variabel organisasi, mempunyai efek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu.7 Salah satu dari variabel organisasi adalah budaya organisasi itu sendiri. Budaya yang kuat membantu kinerja organisasi karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dari dalam diri pegawai. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja.8 Budaya keselamatan pasien yang ada dirumah sakit memiliki hubungan langsung terhadap pelaksanaan pelayanan yang bertujuan untuk menjamin keselamatan pasien. Kemudian budaya keselamatan pasien itu sendiri juga dipengaruhi olek kepemimpinan transformasional dalam organisasi tersebut.9 Ditinjau dari aspek-aspek pembentuk budaya keselamatan pasien pada dasarnya hampir seluruh aspek terbilang telah diterapkan dengan baik. Hanya saja berbeda untuk penyerahan dan pemindahan pasien, staf yang adekuat, harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mepromosikan keselamatan pasien, serta respon tidak menyalahkan. Ke empat dimensi tersebut masih terbilang rendah penerapannya karena persentase untuk kategori rendah, yaitu dalam rentang 40-49%. Penyerahan dan pemindahan merupakan proses transfer informasi dalam rangkaian transisi keperawatan dengan tujuan memastikan keberlanjutan dan keselamatan pasien selama dalam perawatan. Selama proses penyerahan dan pemindahan ini terjadi transfer informasi yang akurat mengenai perawatan, pengobatan, pelayanan, kondisi terkini pasien, perubahan yang terjadi dan perubahan yang dapat diantisipasi.10 Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesenjangan yang terjadi saat serah terima pasien antar unit pela-
62
JURNAL MKMI, Maret 2014, hal 57-64
yanan ataupun antar staf keperawatan dalam satu unit pada pergantian shift kerja dapat menimbulkan terputusnya kesinambungan pelayanan sehingga berdampak kepada tindakan perawatan yang tidak tepat dan berpotensi mengakibatkan terjadinya cedera terhadap pasien. Hal tersebutlah yang menjadikan kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi atau pemindahan pelayanan pasien. Penerapan budaya dalam sebuah organisasi tidak terlepas dari peran aktif atasan dalam hal ini supervisor ataupun manajer dalam mempromosikan nilai-nilai yang dianut dengan melakukan tindakan-tindakan terkait yang mampu mendukung proses penanaman nilai yang dimaksudkan. Masih banyaknya responden dengan kategori rendah untuk aspek harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam mempromosikan keselamatan pasien karena masih adanya responden yang menganggap peran aktif manajer dalam menanamkan nilai-nilai keselamatan pasien terbilang masih kurang maksimal. Hal tersebut terjadi, karena responden yang menganggap bahwa supervisor/manajer mengabaikan masalah keselamatan pasien dan tidak sepenuhnya mengawasi tindakan perawatan yang dilakukan responden apabila sesuai atau tidak dengan prosedur keselamatan pasien. Respon tidak menyalahkan juga menjadi salah satu aspek yang terbilang masih rendah dalam penerapannya. Hal ini karena responden masih ada yang beranggapan bahwa kesalahan yang mereka perbuat akan dicatat dalam data kepegawaian sehingga masih ada rasa kekhawatiran bagi responden dalam melaporkan kesalahan. Padahal kesalahan yang tidak dilaporkan itu akan berdampak kepada hilangnya kesempatan bagi organisasi belajar, berubah dan berkembang dari masalah keselamatan pasien yang ada.11 Menurut Yahya, tenaga profesional adalah perfeksionis sehingga apabila terjadi kesalahan, maka akan mengakibatkan permasalahan psikologis sehingga akan berdampak kepada penurunan kinerja, karenanya pertanyaan individual perlu dihindari dan fokus pada permasalahan yang terjadi.12 Staf yang adekuat juga menjadi faktor penentu dalam penerapan budaya keselamatan pasien. Kurangnya jumlah maupun kualitas tena-
ga perawatan berdampak pada tingginya beban kerja perawat yang merupakan faktor kontribusi terbesar sebagai penyebab human error dalam pelayanan keperawatan. Oleh karena itu, sangat direkomendasikan untuk meningkatkan jumlah staf yang adekuat untuk meningkatkan keselamatan pasien.13 Rumah sakit dengan staf keperawatan yang tidak memadai sangat berisiko untuk terjadi kesalahan yang berujung kepada terjadinya hal yang tidak diinginkan.10 Berdasarkan laporan tahunan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2011 menyatakan bahwa asuhan keperawatan belum secara optimal dijalankan karena rasio perawat dibanding pasien yang masih rendah yaitu 1:7. Meskipun rata-rata perawat telah memperoleh pelatihan keselamatan pasien, ternyata masih ada responden yang beranggapan pelatihan atau orientasi keselamatan pasien yang mereka terima belum cukup maksimal. Pengalaman akibat tindakan yang tidak aman sering kali menimpa pasien daripada pekerja dan sangat jarang biaya yang keluar akibat kerugian tersebut digantikan sebagai bentuk tanggungjawab rumah sakit.14 Oleh karena itu, peningkatan pelaksanaan keselamatan pasien sangat penting untuk dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian materi yang harus dikeluarkan baik dari pasien maupun pihak rumah sakit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa sebagian besar reponden telah melaksanakan pelayanan dengan baik. Item pernyataan yang sebagian besar reponden memperoleh skor yang rendah, yaitu penggunaan jarum suntik untuk beberapa kali injeksi, tetesan infus yang diawasi oleh kelurga pasien, mengganti set infus tiap 3 hari sekali dalam langka pencegahan phlebitis dan mendampingi pasien yang memiliki kesulitan untuk bergerak pada saat akan meninggalkan ruang perawatan. Hal ini sesuai dengan data awal yang diperoleh, yaitu mengenai insiden keselamatan pasien yang terjadi di ruang rawat inap. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa insiden yang paling banyak terjadi, yaitu kejadian jatuh dan salah prosedur tindakan. Sehingga dapat dilihat gambaran keterkaitan antara pelaksanaan pelayanan yang disajikan oleh perawat dengan output berupa insiden keselamatan pasien yang terjadi. Hasil
63
Agustina Pujilestari : Budaya Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
penelitian yang diperoleh ini telah sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Mc Fadden, et al, yang mengatakan bahwa tingkat pelaksanaan pelayanan dalam hal ini yang berkaitan dengan keselamatan pasien akan berdampak langsung kepada output keselamatan pasien berupa frekuensi kejadian insiden, persepsi dan kewaspadaan terhadap keselamatan pasien.9
3. Rachmawati, E. Model Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien di RS Muhammadiyah Aisyiyah [Tesis]. Jakarta: Universitas Muhammadiyah; 2011. 4. Agency for Healthcare Research and Quality. Hospital Survei on Patient Survey Culture. Rockville MD: AHRQ; 2004. 5. Tamuz, M, Thomas, E.J, Franchois, K.E. Lessons for Patient Safety Reporting Systems: Defining and Classifying Medical Error. Qual Saf Health Care. 2002;13:13-20. 6. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2005. 7. Hikmah, S. Staf Mengenai Patient Safety di IRD RSUP Fatmawaty [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia; 2008. 8. Tika, M. P. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara; 2005. 9. Mc. Fadden, Henagan, S.C, Gowen, C.R. The Patient Safety Chain: Transformational Leadership’s Effect on Patient Safety Culture,Initiatives, Outcomes. Journal of Operation Management; 2009 : 1-15. 10. Yulia, S. Pengaruh Pelatihan Keselamatan Pasien terhadap Pemahaman Perawat Pelaksana mengenai Penerapan Keselamatan pasien di RS Tugu Ibu [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia; 2010. 11. Marshal, P, Robson, R. Preventing and Management Conflict: Vital Pieces in the Patient Safety Puzzle. Healthcare Quarterly. 2005;8:39-44. 12. Setiowati, D. Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010. 13. Bryan, S.J, Thomas, E.J, Helmreich, R.L. Error, Stress, and Teamwork in Medicine and Aviation: Cross Sectional Surveys. BMJ: British Medical Journal. 2000;320:745-9. 14. Colla, J.B, Bracken, A.C. Kinney, L.M, Weeks, W.B. Measuring Patient Safety Climate: A Review of Surveys. Qual Saf Health Care. 2005;14:364-6.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan dari 75 responden terdapat 37 reponden (49,3%) termasuk dalam kategori budaya keselamatan pasien rendah dan 38 responden (50,7%) termasuk dalam kategori budaya keselamatan pasien tinggi. Dari 37 responden yang termasuk dalam kategori budaya keselamatan pasien yang rendah terdapat 23 perawat (62,2%) dengan pelaksanaan pelayanan yang kurang baik dan 14 perawat (37,8%) dengan pelaksanaan pelayanan yang baik. Sementara 38 responden dengan budaya keselamatan pasien yang tinggi seluruhnya (100%). Pada penelitian ini ditemukan bahwa perawat yang memiliki budaya keselamatan pasien yang tinggi cenderung akan memberikan pelaksanaan pelayanan yang lebih jika dibandingkan dengan perawat yang memiliki budaya keselamatan pasien yang rendah. Hal ini berarti pihak rumah sakit harus meningkatkan aspek-aspek penyusun budaya keselamatan pasien dengan harapan akan menghasilkan pelaksanaan pelayanan yang lebih baik lagi. Kemudian kepada peneliti selanjutnya selain melalui penyebaran kuesioner dengan responden untuk memperoleh data primer sebaiknya dilakukan juga observasi serta wawancara dengan beberapa staf terkait budaya keselamatan pasien serta pelaksanaannya sehingga data yang diperoleh semakin akurat dan terperinci.
DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006. 2. Lia, M dan Asep, S. Pengembangan Budaya Patient Safety dalam Praktik Keperawatan [Online] 2010; [diakses 23 Juni 2013]. Available at: http://www.stikku.ac.id/.
64
UCAPAN TERIMA KASIH Penanggung jawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi- tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada para mitra bestari sebagai penelaah dalam Volume 10, Nomor 1, Maret 2014. Berikut ini adalah daftar nama mitra bebestari yang berpartisipasi : Prof. dr. Anak Agung Gde Muninjaya, MPH (FK Universitas Udayana) Dr. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin) Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD (FK Universitas Sebelas Maret) Dr. Ede Surya Darmawan S.KM., M.DM (FKM Universitas Indonesia) Prof. Dr. dr. H. J. Mukono,MS., MPH (FKM Universitas Airlangga) Dr. Masni, Apt ,MSPH (FKM Universitas Hasanuddin) Prof. Dr. Mohammad Sulchan, MSc, DANutr, SpGM, SpGK (FK Universitas Diponegoro) Dr.dr. Oktia Woro Kasmini Handayani, M.Kes (FIK Universitas Negeri Semarang) Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, MSc.PH (FKM Universitas Hasanuddin) Prof. Dr. dr. Rizanda Machmud, M.Kes (FK Universitas Andalas) Dr. Santi Martini, dr., M.Kes (FKM Universitas Airlangga) Dr. Sri Widati, S.Sos., M.Si (FKM Universitas Airlangga) Prof. Dr. Tri Martiana, dr., MS (FKM Universitas Airlangga) Prof. Dr. Umar Fahmi Ahmadi, MPH, PhD (FKM Universitas Indonesia) Atas kerjasamanya yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan dengan baik untuk masa yang akan datang.
PEDOMAN UNTUK PENULIS Pengiriman Artikel Artikel yang dikirimkan untuk dimuat dalam Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) belum pernah dipublikasikan, original dan tidak dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan dengan menandatangani surat pernyataan. Semua artikel akan di bahas oleh para pakar dalam bidang keilmuan yang sesuai (peer review). Artikel harus sesuai dengan pedoman penulisan Jurnal MKMI. Penggunaan istilah asing non medis sedapat mungkin dihindari atau disertai terjemahan penjelasannya. Penulisan Artikel Naskah diketik dalam program Microsoft Word 2007 diketik pada kertas berukuran A4, dengan batas tepi (margin) 2,5 cm tiap tepi, huruf (font) Times New Roman, besar huruf (font size) 12 point dan spasi 1,5 maksimum 15 halaman dalam satu kolom. Setiap halaman diberikan nomor secara berurutan, mulai dari halaman judul sampai terakhir pada sudut sebelah kanan bawah. Naskah dikirimkan dalam bentuk print out sebanyak 2 (dua) rangkap dengan file yang tersimpan dalam CD, atau pengiriman naskah dapat juga dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: jurnal.
[email protected] Komponen Artikel Setiap bagian/ komponen dari artikel dimulai pada halaman baru, dengan urutan: halaman judul, abstrak, kata kunci (key words), teks keseluruhan, ucapan terima kasih (jika dibutuhkan), daftar pustaka, tabel dan gambar. Tabel dan gambar diberi nomor sesuai dengan urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka arab. Halaman Judul Halaman judul (halaman pertama) harus mencakup: a. Judul artikel yang dibuat singkat dan jelas, spesifik dan informatif. b. Nama dan alamat setiap penulis, nama departemen dan lembaga afiliasi penulis c. Nama dan alamat penulis untuk korespondensi serta nomor telpon, nomor faximile dan alamat email Abstrak dan Kata Kunci (Key Word) Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bentuk abstrak tidak terstruktur dalam 1 (satu) paragraf dan tidak lebih dari 200 kata. Abstrak harus berisi latar belakang, tujuan penelitian,
metode, hasil, pembahasan dan kesimpulan. Kata kunci (key word) dicantumkan dibawah abstrak pada halaman yang sama sebanyak 3-5 buah kata. Gunakan kata-kata yang sesuai dengan daftar pada Index Medicus. Teks Teks artikel penelitian dibagi dalam beberapa bagian yang dengan urutan : Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (Materials and Methods), Hasil (Result) dan Pembahasan (Discussion), Kesimpulan dan Saran (Conclusion and Recommendation). Pendahuluan berisi, latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka dan tujuan penelitian. Seluruh Pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf dengan panjang 15-20% dari total panjang artikel. Metode berisi rancangan penelitian, populasi/sampel, teknik pengumpulan data dan analisis data teknik statistik. Hasil Penelitian, berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian, jika ada tabel dan grafik maka dijelaskan secara rinci. Pembahasaan, berisi pemaknaan hasil dan perbandingan dengan teori dan/atau hasil penelitian sejenis. Panjang paparan hasil dan pembahasan 40-60% dari total panjang artikel. Kesimpulan dan Saran, berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Isi Saran sesuai dengan apa yang telah dikaji dari pembahasan yang menjadi penting untuk penelitian selanjutnya. Ucapan Terima Kasih Jika diperlukan ucapan terimakasih dapat diberikan kepada 1) pihak-pihak yang memberikan bantuan dana dan dukungan, 2) dukungan dari bagian dan lembaga, 3) para profesional yang memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver. Semua referensi yang digunakan dalam penulisan di daftar pustaka diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam artikel, bukan menurut abjad. Hanya mencantumkan kepustakaan yang dipakai dan relevan dengan isi artikel. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Sumber rujukan berupa jurnal dari artikel minimal 60% dari total daftar pustaka. Rujukan yang digunakan adalah sumber primer berupa artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian, buku atau artikel yang terkait
dari sumber resmi. Artikel yang dimuat dalam jurnal MKMI disarankan untuk digunakan sebagai rujukan. a. Artikel dalam Jurnal 1. Jurnal satu penulis Leida I.M. Faktor Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita Tuberkulosis BTA Positif Baru. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2010; 6(3):136-40. 2. Jurnal dengan lebih dua penulis Elo, A, Ervasti, J, Kuosma, E, Mattila, P. Evaluation of Anorganizational Stress Management Program in a Municipal Publicworks Organization. Journal of Occupational Health Psychology. 2008;13(1):10-23. 3. Organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and Performance Guidelines. Medical Journal of Australia. 1996;16 (4):282-423. 4. Tanpa nama penulis Management of Acute Diarrhea. Lancet. 1983;1(2):623-25. b. Buku atau Monografi Lainnya 1. Penulis Perorangan Notoatmojo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 2. Penulis lebih dari 2 orang Seeley, R, VanPutte, C, Regan, J & Russo, A. Seeley’s anatomy & physiology. New York: Mc Graw-Hill; 2011. 3. Editor sebagai penulis Tawali A, Dachlan DM, Hadju V, dan Thaha Ar. Pangan dan gizi : Masalah, program intervensi dan teknologi tepat guna. Makassar: DPP pergizi Pangan dan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan; 2002. 4. Prosiding konferensi Jalal, F dan Atmojo, SM. Peranan Fortifikasi dalam Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI; 17-20 Februari 1998; Serpong. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 1998. 5. Laporan ilmiah atau teknis Badan Pusat Statistik. Laporan Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga. Jakarta: BPS; 2003. 6. Skripsi, tesis atau disertasi Rochimiwati. Dampak Pemberian Produk Makanan Kaya Protein Kedelai terhadap Perubahan Status Gizi Penderita TB di BP4 Makassar [Tesis]. Makassar: Universitas Hasanuddin; 2003. 7. Artikel dalam Koran Yahya M. Sulsel Lumbung Pangan, tapi Kekurangan Gizi, Fajar, Selasa 14 September 1999.
8. Bab dalam buku Lewis BA. Structure and Properties of Carbohydrates. In: Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 2000. pp.3-18. 9. Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang UU No 23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup. c. Materi Elektronik Rosenthal S, Chen R, Hadler. The Safety of Acelular Pertusis Vaccine vs Whole Cell Pertussin Vaccine. Arch Pediart Adolesc Med [Online Journal] 1996; 150:457-60 [diakses 10 Nopember1996]. Available at: http://www.amu.assn.org/sci_pubs/journals/arcive/ajdc/vol150/ no5/abstract/httm. Tabel, Gambar dan Grafik Setiap tabel ditulis pada halaman terpisah dan diketik spasi 1. Nomor urut tabel dan gambar sesuai urutan penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka arab.
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL MKMI
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : ………………………………………………………………………………. Alamat : ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. Wilayah : 1. Dalam Kota Makassar *lingkari 2. Luar Kota Makassar Telepon : ………………………………………………………………………………. Email : ………………………………………………………………………………. bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI) dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) : Rp. 200.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Luar Kota Makassar, ongkos kirim) Rp. 150.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Dalam Kota Makassar)
…………….…………………, 2014
(………………………………………)
Pembayaran ditransfer ke: No. Rek BNI. 0277269148 a.n. Ibu Ida Leida Maria, SKM Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke: Sekretariat Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Ruang Jurnal FKM Lt.1 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245 Telp. (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013. E-mail:
[email protected]