ISBN 978-602-19582-2-3
IKATAN AHLI KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN NASIONAL EPIDEMIOLOGI III (PITNAS EPID III) TEMA: EPIDEMIOLOGY IN CLINICAL PRACTICE
FROM FIELD TO HOSPITAL
Sabtu dan Minggu, 15-16 Maret 2014 IPB INTERNATIONAL CONVENTION CENTER BOGOR (SIMPOSIUM) RS BMC BOGOR (WORKSHOP) BOGOR, JAWA BARAT, INDONESIA
bekerjasama dan didukung oleh
PROSIDIN NG PERT TEMUAN N ILMIA AH TAHU UNAN N NASION NAL EPIDEM MIOLOG GI III (PIITNAS EPID E III)) EMA: EP PIDEMIO OLOGY Y IN CLIN NICAL PRACTI P ICE FRO OM TE
FIELD D TO HOS SPITAL
P Penyusun n Dr. dr d Hendro o Darmaw wan, Sp.J JP, M.Sc, FIHA (K Ketua) ) Iis Sinsin n Nuryasini, SKM, M.Epid (Anggota ( D Masdalina Pan Dr. ne SKM, M Epid (Anggota ( a) ingsih, SKM, M.Sc (Anggo Drr. Cicilia Windiyan W ota) D dr. EfffekAlamssyah, Sp.A, MPH (Anggota Dr. ( a)
IKATAN AHLI KESEHAT K TAN MAS SYARAKA AT INDO ONESIA 2014
i
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Hendro Darmawan, et.al PROSIDING PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN NASIONAL EPIDEMIOLOGI III (PITNAS EPID III) TEMA: EPIDEMIOLOGY IN CLINICAL PRACTICE FROM FIELD TO
HOSPITAL ISBN 978-602-19582-2-3 diterbitkan oleh IKATAN AHLI KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA (IAKMI)
bekerjasama dan didukung oleh
Ikatan Alumni Epidemiologi UI bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI World Health Organization FETP Indonesia SAFETYNET
Rencana Sampul Iis Sinsin Nuryasini, SKM, M.Epid Foto Sampul Anggraini Sariastuti, SKM
ii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI…….…….…………………………………………..…………….....................
iii
PRAKATA……………….………………………………………………………...................
v
Farapti
Analisis Kadar Kalium Plasma Batas Bawah Perempuan Prahipertensi Usia Dewasa di Indonesia
pada
1
Eflita M. Hamzah Florensia L.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asam Urat di Kelurahan Pancoran Mas Depok, Jawa Barat
6
Dewi Sendy R.
Determinan Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Limo Tahun 2013
3
Ikha Deviyanti Puspita, M Syafiq
Retensi Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pasca Pelatihan Gizi Seimbang pada Siswa Kelas 5 dan 6 di 10 Sekolah Dasar Terpilih Kota Depok Tahun 2012
22
Intan S. Dini W.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Kelas XI di SMKN 25 Jakarta
37
Joosje Jansari. Nur Intania Sofianita. Firlia Ayu Arini.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Anemia Defisiensi Besi pada Golongan Lanjut Usia di Kelurahan Pela Mampang Jakarta Selatan
42
Nur Intania
Gambaran Kebiasaan Sarapan Pagi Anak-Anak Sekolah Dasar Negeri di Pondok Labu, Jakarta Selatan Tahun 2011
51
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Anggota Keluarga dengan Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2013
62
Masdalina Pane
Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial Terhadap ARV Adherence pada Penderita HIV/AIDS di RSPI-Sulianti Saroso Jakarta
71
Azwari Duma L. T. Evin Novianti
Gambaran Respon Psikologis Lansia dengan Penyakit Kronis di RW 01 Pangkalan Jati Cinere
79
Masdalina P. Elvi Puria
Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemiskinan dan Kondisi Kesehatan pada Kematian Jemaah Haji Indonesia Peran Epidemiologi Dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kebijakan Hiv Aids Pada Ibu Hamil dan Penularannya pada Bayi Pendekatan Kualitatif dalam Epidemiologi
86
Eflita M. Apriningsih Tugiman A.
Firlia Ayu Darnuji Duma L.T. Evin N.
Robiana M. Siti Maemun Sudarto Ronoatmodjo
LAMPIRAN (LEAFLET, SUSUNAN PANITIA)
iii
98 101 113
iv
PRAKATA Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional Epidemiologi III (PITNAS Epid III) Tema: Epidemiology in Clinical Practice from Field to Hospital ini merupakan salah satu kegiatan dari Pertemuan Ilmiah Tahunan III (PITNAS EPID III) yang diselenggarakan oleh Iluni Epidemiologi UI yang bekerjasama dengan berbagai pihak di Bogor pada tanggal 15 – 16 Maret 2014. Disediakan suatu forum untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian yang akhirnya dibuat suatu proceeding agar semua pihak dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada. Epidemiologi klinik dan lapangan adalah ilmu yang mempelajari etiologi, diagnosis, pengobatan atau intervensi, prognosis dan pencegahan baik untuk pasien sebagai individu maupun pada masyarakat. Untuk menerapkan ilmu tersebut dengan baik salah satu caranya adalah tersedianya data penyakit pada individu maupun masyarakat yang akurat berdasarkan evidence based yang dianalisis secara epidemiologi. Untuk analisis diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam analisis epidemiologi dari para praktisi kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan baik pemerintah maupun swasta seperti di Rumah Sakit, Puskesmas maupun di institusi kesehatan lainnya dan juga di masyarakat. Epidemiologi klinik dan lapangan banyak digunakan untuk mencari permasalahan-permasalahan yang ada pada individu maupun masyarakat dan dapat dipakai dalam membuat suatu kebijakan dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Prosiding ini merupakan prosiding perdana yang dihasilkan oleh Ikatan Iluni Epidemiologi Universitas Indonesia. Sebagaimana diketahui, sampai saat ini PITNAS telah diselenggarakan 3 kali. Dua PIT sebelumnya yaitu PITNAS Epid I pada Kamis-Jumat, 22-23 Okt 2009 (Pra PIT) dan Sabtu-Minggu, 24-25 Oktober 2009 (PIT) di FKMUI; dan PITNAS Epid II pada Kamis-Jumat 22-23 April 2013 di FK Unpad Bandung Buku ini berisikan hasil-hasil penelitian di Rumah Sakit maupun di masyarakat yang dapat dijadikan acuan untuk analisis epidemiologi yang bermanfaat sebagai promotif, preventif, diagnosis dini dan prompt treatment, dan rehabilitatif. Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang turut serta dalam penyusunan proceeding ini. Ucapan khusus kami sampaikan kepada Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yang telah bersedia menerbitkan prosiding ini. Semoga Proceeding ini bermanfaat dan berdaya guna bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu dan masyarakat yang bermutu.
Jakarta, 5 Juni 2013 Ketua Panita PITNAS EPIDEMIOLOGI III TTD DR. dr. Hendro Darmawan, SpJP, MSc, FIHA
v
vi
ANALISIS KADAR KALIUM PLASMA BATAS BAWAH PADA PEREMPUAN PRAHIPERTENSI USIA DEWASA DI INDONESIA Farapti Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
[email protected]
ABSTRAK Tujuan: mengidentifikasi dan menganalisis kadar kalium plasma pada subjek prahipertensi usia 25-44 tahun. Metode: Penelitian observasional analitik yang merupakan bagian dari penelitian uji klinis paralel tentang pengaruh air kelapa muda terhadap tekanan darah dan kalium plasma perempuan prahipertensi. Kriteria inklusi yaitu indeks massa tubuh (IMT) 18,5–29,9 kg/m2. Kriteria eksklusi adalah hipertensi, konsumsi obat antihipertensi, suplemen kalium, merokok, peminum alkohol, hamil, menyusui, menopause, diabetes mellitus atau kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL, and creatinine clearance test (CCT) < 60 mL/min. Pemeriksaan kadar kalium plasma menggunakan metode atomic absorption spectrophotometry (AAS). Data asupan kalium diperoleh dengan metode food record 2 x 24 dan dianalisis dengan program Nutrisurvey. Hasil: Kadar kalium plasma subyek tergolong rendah/ batas bawah (rata-rata 3,71±0,41 mmol/L, and 7 subjek (22.58%) tergolong hipokalemia. Penyebab kadar kalium plasma batas bawah maupun hipokalemia pada penelitian ini adalah asupan kalium yang rendah (rata-rata 1420,28±405,54 mg/day) dikarenakan penyebab lainnya telah menjadi kriteria eksklusi. Kesimpulan: Pada subjek prahipertensi sehat (tanpa penyakit penyerta lainnya), kadar kalium plasma batas bawah disebabkan oleh asupan kalium rendah jangka panjang. Dibutuhkan informasi berapa lama rendahnya asupan kalium telah terjadi dan mencari faktor-faktor penyebab rendahnya asupan kalium di masyarakat. Kata kunci: kadar kalium plasma, prahipertensi
(SKRT) Indonesia 2004 menunjukkan rerata tekanan darah kelompok usia 25-34 tahun sebesar 124,7/79,9 mm Hg dan meningkat dengan bertambahnya usia.5 Faktor risiko prahipertensi terdiri atas faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu genetik, usia, jenis kelamin; dan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas, aktivitas fisik rendah, asupan energi dan natrium tinggi, serta asupan kalium rendah.4,6,7
PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh negara di dunia, dan salah satu faktor risiko utama PKV adalah hipertensi.1 Baik hipertensi maupun prahipertensi menunjukkan mekanisme yang sama dalam hal perubahan struktur vaskular untuk berkembang menjadi PKV.2,3 Prahipertensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik (TDS) antara 120 - 139 mm Hg dan atau diastolik (TDD) antara 80 - 89 mm Hg, berisiko tiga kali menjadi hipertensi dan dua kali menjadi PKV dibandingkan normotensi.2-4 Prevalensi prahipertensi penduduk usia dewasa di berbagai negara sekitar 32 40%.3 Survei kesehatan rumah tangga
Asupan kalium rendah dalam waktu jangka panjang dapat menyebabkan penurunan kadar kalium plasma dan menyebabkan hipokalemia. Salah satu penyebab asupan kalium rendah adalah rendahnya asupan sayur dan buah yang umumnya tinggi kalium.8,9 Data Survei 1
mg/dL, and creatinine clearance test (CCT) < 60 mL/min. Pemeriksaan kadar kalium plasma dilakukan pada H0 dan H+15, menggunakan metode atomic absorption spectrophotometry (AAS).15 Pada penelitian ini menggunakan plasma bukan serum. Pada pemeriksaan serum, apabila teknik pengambilan darah vena tidak baik, dapat tejadi hemolisis eritrosit sehingga memberi gambaran pseudohiperkalemia. Karenanya pengukuran kadar kalium plasma, yang dilakukan dengan mengambil sampel darah dalam tabung yang berisi antikoagulan, lebih dianjurkan daripada serum.16
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan sekitar 60-70% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah sesuai anjuran 4-5 porsi per hari dan rata-rata hanya mengonsumsi satu porsi per hari.10 Beberapa penelitian menunjukkan kadar kalium plasma pada subyek prahipertensi adalah dalam batas normal (4,1-4,3 mmol/L).11,12 Asupan makanan tinggi kalium dapat meningkatkan kadar kalium plasma, namun masih dlam batas normal karena ada mekanisme regulasi di ginjal.13 Data riskesdas 2010 memperlihatkan pada perempuan usia dewasa di Indonesia, ratarata konsumsi sayur dan buah lebih rendah dari anjuran badan ketahanan pangan Kementrian Pertanian dan rekomendasi World Health Organization (WHO).14 Karenanya diperkirakan asupan kalium juga rendah. Lebih jauh lagi, data kadar kalium plasma pada perempuan prahipertensi belum banyak diteliti dan diketahui.
Dari total 58 orang yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dan memberikan tanda tangan pada inform consent, sebanyak 31 orang yang memenuhi kriteria penelitian sebagai subjek penelitian. Penelitian ini telah melalui kelayakan uji etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Data yang dikumpulkan terdiri usia, ativitas fisik, IMT, asupan kalium, dan kadar kalium plasma. Data usia dan aktivitas fisik diperoleh dengan cara wawancara. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg, sedangkan tinggi badan dengan menggunakan mikrotoise. Asupan kalium dinilai dengan memberikan lembar catatan food record 2x 24 jam yaitu satu hari kerja dan 1 hari libur, dan dianalisis dengan program Nutrisurvey. Rata-rata asupan kalium subyek dibandingkan dengan angka kecukupan gizi untuk kalium yang sebesar 4700 mg/ hari.17
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis kadar kalium plasma pada guru perempuan dan karyawati prahipertensi usia 25 sampai 44 tahun. METODE Subyek penelitian adalah guru perempuan dan karyawati usia 25-44 tahun di lima yayasan pendidikan islam di Surabaya pada bulan April sampai Juni 2013. Pada penelitian ini hanya melibatkan subyek perempuan dikarenakan 80% pekerjanya adalah perempuan. Kriteria inklusi yaitu indeks massa tubuh (IMT) 18,5–29,9 kg/m2. Kriteria eksklusi adalah hipertensi, konsumsi obat antihipertensi, suplemen kalium, merokok, peminum alkohol, hamil, menyusui,menopause, diabetes mellitus atau kadar gula darah sewaktu ≥200
Semua data diuji kenormalannya menggunakan uji Saphiro-Wilk. Data deskriptif diuji dengan analisis univariat. Pada distribusi normal digunakan rerata dan simpang baku, sedangkan bila distribusi tidak normal digunakan median dan minimum-maksimum.
2
prahipertensi pada penelitian Braschi dkk13 (4,36±0,12 mmol/L), Kesteloot dkk11 (4,3±0,6 mmol/L), dan Fujita dkk12 (4,2±0,2 mmol/L).
HASIL Rerata usia subyek penelitian 36,58±5,39 tahun, dengan persentase terbanyak pada kelompok usia 35-44 tahun yaitu sebesar 61,3%, Nilai rerata IMT 24,59±2,89 kg/m2, dengan status gizi lebih ditemukan sebanyak 51,61% dari seluruh subyek. Rerata kadar kalium plasma subyek 3,71±0,41 mmol/L dan sebanyak 7 orang subyek (22,6%) tergolong hipokalemia. Rerata TDS/ TDD 125,87±6,36 mm Hg/ 79,84±4,11 mm Hg.(tabel 1)
Rerata asupan kalium keseluruhan subyek 1420,28±405,54 mg/hari, hal tersebut menunjukkan asupan kalium subyek tergolong rendah. Persentase asupan terhadap AKG 2004 menunjukkan angka kecukupan kalium subyek sebesar 30,22±8,63% .
Pada penelitian ini, didapatkan sebanyak 7 Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian orang subyek (22,58%) tergolong Variabel Nilai hipokalemia, dan setelah dilakukan 36,58±5,39* analisis statistik lanjutan, didapatkan satu Usia (tahun) 12(38,7%) orang dengan asupan kalium 2344,3 25-34 tahun 19 (61,3%) mg/hari (di atas rerata asupan kalium 35-44 tahun 24,59±2,89* Indeks massa tubuh (kg/m2) seluruh subyek) dan 6 orang dengan rerata 15 (48,4%) BB normal 16 (51,6%) asupan kalium 1263,32±177,19 mg/hari. BB lebih 21 (16-42) ** Hal tersebut menunjukkan rerata asupan Aktivitas fisik (MET-h/wk) 3,71±0,41* Kadar kalium plasma (mmol/L) kalium subyek hipokalemia lebih rendah 7 (22,6%) dari rerata asupan kalium keseluruhan Hipokalemia 24 (77,4%) Normokalemia subyek 1420,28±405,54 mg/hari. 125,87±6,36* Tekanan darah sistolik (mm Hg) 79,84±4,11* Rendahnya asupan kalium pada subyek Tekanan darah diastolik (mm Hg) hipokalemia juga ditunjukkan Rastmanesh 1420,28±405,54* Asupan kalium (mg/hari) 91,35±30,58* dkk18 pada perempuan hipokalemia Gula darah sewaktu (mg/dl) 86 (61-157) ** (kalium serum 3,04±0,09 mmol/L) dengan Creatinine clearence test (ml/min) asupan kalium 985±287 mg/hari. Keterangan:* = Nilai disajikan dalam rerata ± simpang baku (SB) **= nilai median (minimum-aksimum)
Terdapatnya subyek hipokalemia pada subyek penelitian ini disebabkan oleh asupan kalium dari makanan sehari-hari yang rendah, oleh karena penyebab hipokalemia lainnya telah menjadi kriteria eksklusi. Asupan kalium rendah (< 40 mmol/hari atau < 1600 mg/hari) jangka panjang umumnya memberikan gambaran hipokalemia derajat ringan sampai sedang (2,5-3,5 mmol/L).19 Berkurangnya asupan kalium sampai <10 mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif kira-kira 7-8% kalium total tubuh dalam 7-10 hari. Hal tersebut dikarenakan ekskresi kalium melalui ginjal terus berlangsung, meskipun tidak ada asupan atau asupan kalium yang sangat rendah.18,19
DISKUSI Kadar kalium plasma umumnya menggambarkan simpanan kalium dalam tubuh dan dipertahankan konstan melalui mekanisme homeostasis ginjal. Kadar kalium plasma yang rendah umumnya menggambarkan kalium total dalam tubuh yang rendah. Prevalensi hipokalemia (kadar kalium plasma <3,5 mmol/L) pada individu dewasa sehat sekitar 2%.16 Rerata kadar kalium plasma subyek 3,71±0,41 mmol/L .Nilai tersebut jauh lebih rendah daripada kadar kalium plasma subyek normotensi dan
3
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kearney PM, Whelton M, Reynolds K, Muntner P, Whelton PK, He J. Global burden of hypertension: analysis of world-wide data. Lancet 2005;365:217-23 Papadopoulos DP, Makris TK, Papademetriou V. Is it time to treat prehypertension? Hypertens Res 2008;31:1681–6 Gupta P, Nagaraju SP, Gupta A, Chikkalingaiah KB, Prehypertensiontime to act. Saudi J Kidney Dis Transpl 2012;23(2):223-33 Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension 2003;42:1206-52. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Volume 2. Jakarta: Litnagkes Cook NR, Obarzanek E, Cutler JA, Buring JE, Rexrode KM, Kumanyika SK, et al. Joint effects of sodium and potassium intake on subequent cardiovascular disease: The Trials Of Hypertension Prevention (TOHP) follow-up study. Arch Intern Med 2009;169(1):32-40 Izzo JL. Prehypertension: demographics, pathophysiology, and treatment. Current hypertension report 2007;9:264-8 Drewnowski A, Maillot M, Rehm C. Reducing the sodium-potassium ratio in the US diet: a challenge for public health. Am J Clin Nutr 2012;96:439– 44 U.S. Department of Agriculture and U.S. Department of Health and Human Services. Dietary Guidelines for Americans, 2010.7th Edition,
11.
12.
13.
14. 15.
16.
17.
18.
4
Washington, DC: U.S. Government Printing Office, 2010 Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004. Pedoman Kepala BPS Propinsi, Kabupaten/Kota, Jakarta: BPS Kesteloot H, Joossens JV. Relationship of serum sodium, potassium, calcium, and phosphorus with blood pressure. Hypertension 1988;12:589-93 Fujita T, Noda H, Ando K. Sodium susceptibility and potassium effects in young patients with borderline hypertension. Circulation 1984;69;468-76 Braschi A, Naismith DJ. The effect of a dietary supplement of potassium chloride or potassium citrate on blood pressure in predominantly normotensive volunteers. Br J Nutr 2008;99:1284–92 Muharram Z, Hardinsyah. Analisis konsumsi buah dan sayur pada wanita Indonesia. JPG 2013;8(supl 1):36 Beaty RD, Kerber JD. Concepts, Instrumentation and Techniques In Atomic Absorption Spectrophotometry. Second Edition. The Perkin-Elmer Corporation. U.S.A. 1993. Sauberlich HE. Assessment of nutritional status. Second edition. New York: CRC press. 1999. Hal 301-11 Proboprastowo SM, Dwiriani CM. Angka kecukupan air dan elektrolit. Dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17–19 Mei 2004. Hal 418-28 Rastmanesh R, Abargouei AS, Shadman Z, Ebrahimi AA,Weber CE. A Pilot Study of Potassium
19. Supplementation in the Treatment of Hypokalemic Patients with Rheumatoid Arthritis: A Randomized, Double-Blinded, Placebo Controlled Trial. J Pain 2008;9(8):722-31
20. Greenlee M, Wingo CS, McDonough AA, Youn JH, Kone BC. Narrative Review: Evolving Concepts in Potassium Homeostasis and Hypokalemia. Ann Intern Med 2009;150:619-625.
5
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ASAM URAT DI KELURAHAN PANCORAN MAS DEPOK, JAWA BARAT Eflita Meiyetriani*, Hamzah**, Florensia Lima**
[email protected] ABSTRACT There are no definitive data regarding the magnitude of the incidence hiperuricemia in Indonesian society. Hiperuricemia is one of strong predictor to the cardiovascular mortality. Several factors are predict associate with uric acid level increased. This research aimed to know several factors that influence uric acid level in Pancoran Mas countryside, Depok Regency.The correlation between the factors and uric acid level use analitic method with cross sectional. 70 people were taken as the sample. Conclusion: gender and work status were related with uric acid level. However, level of education, the purin consumption, knowledge and age were not related with uric acid level in Pancoran Mas countryside, Depok Regency. Keywords: uric acid, purin, gender, knowledge, age, level of education
Menurut penelitian ilmiah yang diterbitkan oleh The American Journal of Kidney Disease menganalisa hubungan antara penyakit ginjal (termasuk gagal ginjal) dan asam urat, lebih dari 8% penderita penyakit ginjal telah menderita hiperurisemia yang parah selama bertahun-tahun. (Anonim, 2011) Faktor risiko yang menyebabkan orang terserang asam urat adalah pola makan, kegemukan, dan suku bangsa. Di dunia, suku bangsa yang paling tinggi prevalensinya pada orang Maori di Australia. Prevalensi orang Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali, sedangkan di Indonesia prevalensi tertinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau pola makan ikan dan mengonsumsi alkohol. (Indriawan,2009).
PENDAHULUAN Belum ada data yang pasti mengenai besarnya angka kejadian hiperusemia pada masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku sehingga sangat mungkin memiliki angka kejadian yang lebih bervariasi dibanding wilayah lain. Angka kejadian hiperurisemia diperkirakan antara 2,3 -17,6 persen, sedangkan kejadian penyakit gout bervariasi antara 0,16-1,36 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia pada penduduk di Jawa Tengah adalah sebesar 24,3 persen pada laki-laki dan 11,7 persen pada perempuan. Di Amerika didapatkan prevalensi hiperurisemia asimptomatik pada populasi umum adalah sekitar 2-13 persen. (Hensen dan Tjokorda,2007) Orang yang menderita hiperurisemia memiliki kadar asam urat yang tinggi di dalam tubuhnya. Beberapa orang menganggap remeh hiperurisemia, karena efek yang ditimbulkan tidak separah penyakit lain seperti sakit jantung dan kolesterol tinggi. (Sylvia, 2006).
TINJAUAN PUSTAKA Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satu komponen asam nukleat yang terdapat pada inti sel-
6
gangguan ginjal, gangguan usus,penyakit jantung paru dan kanker), berada di tempat saat penelitian dan bersedia menjadi responden.
sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). (Indriawan,2009).
Kadar asam urat adalah jumlah kadar asam urat dalam darah setelah dihitung dengan menggunakan Easy Touch digital asam urat yang dinyatakan dalam satuan mg/dl. Dibagi ke dalam dua kategori yaitu hiperuricemia (pemeriksaan menunjukan hasil di atas 7,0 bagi wanita dan 6,0 bagi laki-laki) dan kategori dalam batasa normal ( pemeriksaan menunjukan hasil kurang dari 7,0 bagi wanita dan 6,0). Konsumsi purin adalah konsumsi makan yang dimakan setiap hari dalam hal ini makanan yang mengandung purin tinggi (contoh: seafood, daging, jerohan, emping, durian, alpukat, mentega/gorengan). Umur dibagi kedalam dua kategori, pertama umur kurang dari 50 tahun yang mewakili golongan muda. Kedua umur diatas 50 tahun yang mewakili golongan tua.
Pada umumnya para pria lebih banyak terserang asam urat, dan kadar asam urat kaum pria cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Sedangkan pada wanita persentasenya lebih kecil, dimana peningkatannya juga cenderung berjalan sejak dimulainya masa menopause. Hal ini karena wanita mempunyai hormon estrogen yang ikut membantu pembuangan asam urat lewat urine. Sementara pada pria, asam uratnya cenderung lebih tinggi daripada wanita karena tidak memiliki hormon estrogen tersebut. Jadi selama seorang wanita mempunyai hormon estrogen, maka pembuangan asam uratnya ikut terkontrol. Ketika sudah tidak mempunyai estrogen, seperti saat menopause, barulah wanita tersebut dapat terkena asam urat (Nucleus Precise News Letter Edisi – 1). Kadar Normal Asam Urat dalam serum : wanita : 2.4 -- 6 mg/dL, Pria : 3.0 -- 7 mg/dL dari pengalaman klinis, biasanya tanpa gejala : < 5 mg/dL.
Analisis data menggunakan analisa univariate ini untuk mengetahui gambaran atau deskripsi dan analisa bivariate adalah untuk melihat hubungan antara 2 variabel.Analisa yang digunakan koefisien kontingensi dengan kriteria nilai p untuk melihat signifikasi hubungan melalui program SPSS Jika nilai p < 0,05 dianggap hubungan yang ada signifikan atau bermakna, sedangkan untuk nilai p > 0,05 dianggap hubungan tidak signifikan atau tidak bermakna.
METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sample dengan besar sampel 70 orang dengan kriteria responden berumur 25 – 70 tahun, bukan penderita obesitas dan tidak menderita penyakit (Gout, riwayat hipertensi,
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi frekuensi kejadian asam urat menunjukkan bahwa responden yang menderita asam urat di Kelurahan Pancoran Mas, Depok sebanyak 18,6 %. Hasil penelitian di daerah lain ditemukan hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi hiperurisemia pada penelitian di Legian
7
bahwa selang beberapa waktu serum asam urat mengalami kenaikan pada semua kelompok, tapi pada laki-laki yang lahir belakangan (yang lebih muda) mempunyai kadar asam urat lebih tinggi dari pada laki-laki yang lebih tua. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa tidak selalu orang yang berusia lebih tua cenderung memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi.
kuta, Bali tahun 2008 sebesar 16,9%, angka ini hampir sama dengan penelitian terdahulu di daerah lain di Bali. Seperti penelitian pendahuluan di Desa Sembiran sebesar 18,2%, penelitian di Pulau Ceningan Bali sebesar 17%,penelitian di kota Denpasar sebesar 18,2%, sedangkan di Daerah Ubud sekitar 12% dan desa Tenganan Pegrisingan Karengasam 2008 sebesar 18,63% Penelitian pada penduduk pedesaan di Jawa Tengah dijumpai prevalensi hiperurisemia sebesar 24,3% (Kurniari, Gde Kambayana, Tjokorda Raka Putra, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan signifikan terhadap kejadian penyakit asam urat, hal ini disebabkan karena adanya pengaruh hormon dalam hal ini hormon estrogen pada wanita. Kadar asam urat mulai meninggi selama pubertas pada laki-laki tetapi wanita tetap rendah sampai menopause akibat efek urikosurik estrogen. Dalam tubuh manusia terdapat enzim asam urat oksidase atau urikase yang akan mengoksidasi asam urat menjadi alantoin. Defisiensi urikase pada manusia akan mengakibatkan tingginya kadar asam urat dalam serum. Urat dikeluarkan di ginjal (70%) dan traktus gastrointestinal (30%). Kadar asam urat di darahtergantung pada keseimbangan produksi dan ekskresinya.
Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan. Pendidikan responden terbanyak adalah pendidikan rendah yaitu tidak sekolah dan tamat SD diikuti responden yang berpendidikan sedang (tamat SLTP dan tamat SLTA). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak bekerja. Responden yang mengonsumsi purin sebanyak 32,9 persen. Lebih dari 50 persen responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel umur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar asam urat. Sesuai dengan penelitian Andry, Saryono, Arif Setyo Upoyo (2009) yang menyebutkan tidak ada hubungan signifikan antara umur kurang dari 50 tahun dengan responden ≥ 50 tahun dengan kejadian asam urat, P Value = 0,729. Diketahui bahwa enzim urikinase yang mengoksidasi asam urat menjadi alotonin yang mudah dibuang akan menurun seiring dengan bertambah tuanya umur seseorang. Jika pembentukan enzim ini terganggu maka kadar asam urat darah menjadi naik (Sustrani dkk, 1998). Kuzuya dkk pada 50.000 laki-laki dan 30.000 wanita di Jepang nonhiperuricemia yang menerima pemeriksaan tahunan pada instansi kesehatan antara 1989-1998 menemukan
Hasil analisis hubungan pendidikan terhadap kejadian asam urat dapat disimpulkan yang menderita asam urat dengan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 28,6 %. Responden dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA sebanyak 88,9%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,553 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan terhadap Kejadian Penyakit Asam urat di wilayah Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok karena P Value > 0,05. Hasil analisis hubungan pekerjaan terhadap kejadian asam urat dapat
8
Penelitian yang dilakukan oleh Andry, Saryono, Arif Setyo Upoyo (2009) menunjukkan dari 30 orang yang mempunyai kadar asam urat diatas normal, 27 orang (90%) mengkonsumsi makanan tinggi purin. Sedangkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square didapat P = 0,071. lni menunjukan bahwa konsumsi pun tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar asam urat pada pekerja kantor di desa Karang Turi kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes.
disimpulkan yang menderita asam urat pada responden yang bekerja adalah 60% dibandingkan pada responden yang tidak bekerja sebanyak 11,7%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,002 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan terhadap Kejadian Penyakit Asam urat di wilayah Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok karena P Value< 0,05. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andry, Saryono, Arif Setyo Upoyo (2009) menemukan bahwa pekerja kantoran banyak yang menderita hiperurisemia yakni sebesar 60%. Krisnatuti dkk (1997) mengatakan salah satu penyebab yang mempengaruhi kadar asam urat adalah olah raga atau aktivitas fisik. Hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan terhadap kejadian asam urat dapat disimpulkan yang menderita asam urat dengan tingkat pengetahuan rendah sebanyak 24,1% lebih besar dari pada tingkat pengetahuan tinggi yaitu 14,6%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,242 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan terhadap Kejadian Penyakit Asam urat di wilayah kerja Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok karena P Value > 0,05. Hasil analisis hubungan riwayat konsumsi purin terhadap kejadian asam urat dapat disimpulkan responden yang mengonsumsi purin sebanyak 24,4% yang menderita asam urat dibandingkan dengan responden yang tidak mengonsumsi asam urat (8,7%). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,196 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat konsumsi purin terhadap Kejadian Penyakit Asam urat di wilayah Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok karena P Value > 0,05.
Penelitian yang dilakukan oleh Choi et a/ (1998) menemukan bahwa konsumsi purin yang terdapat dalam daging dan seafood berhubungan terhadap resiko peningkatan kadar asam urat, Kemudian produk susu dapat menurunkan resiko gout dan konsumsi purin yang berasal dari tumbuhan tidak berpengaruh terhadap resiko gout. Pada umumnya responden di tempat penelitian mengkonsumsi semua makanan yang mengandung tinggi purin baik itu yang berasal dari hewan termasuk daging dan susu juga dari tumbuhan. Hal inilah yang mungkin menyebabkan hasil analisis tidak signifikan. Menurut Sustrani dkk (2004). Konsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, ubi jalar dan ketela dapat memacu pembuangan kelebihan asam urat dalam darah. Responden yang umumnya mengkonsumsi beberapa jenis karbohidrat kompleks tersebut setiap harinya dimungkinkan pula menjadi penyebab hasil penelitian tidak signifikan. KESIMPULAN DAN SARAN Kejadian asam urat di Kelurahan Pancoran Mas, Depok sebanyak 18,6% . Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah wanita, berpendidikan rendah dan sedang, memiliki pengetahuan yang tinggi dan
9
memiliki riwayat konsumsi purin (67,1%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dan pekerjaan dengan kejadian asam urat di Kelurahan Pancoran Mas, Depok. Faktor yang tidak memiliki hubungan bermakna yaitu umur, pendidikan, pengetahuan dan riwayat konsumsi purin. Perlunya melakukan promosi kesehatan khususnya tentang asam urat dengan media-media yang mudah dipahami oleh masyarakat. Hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan antara umur, pendidikan, pengetahuan dan riwayat konsumsi purin dengan kadar asam urat,
namun demikian peneliti menyarankan kepada masyarakat beberapa hal yang berkaitan dengan asam urat, yaitu kurangi konsumsi daging, jeroan dan seafood untuk menurunkan kadar asam urat, perbanyaklah minum air putih dan mengkonsumsi buah-buahan yang mengandung cairan dan melakukan diet rendah purin untuk menurunkan kadar asam urat, menghindari stress dan berolah raga ringan yang teratur atau melakukan aktifitas fisik.Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan dan membuat penelitian yang lebih mendalam dan lebih luas mengenai faktor yang mempengaruhi kejadian asam urat.
Tabel 1.1 Hubungan Karakteristik Sosio-demografi, Riwayat Konsumsi Purin dan Pengetahuan Responden terhadap Asam Urat di Kelurahan Pancoran Mas Depok Tahun 2014 Variabel
Umur (tahun) Kurang dari 50 tahun 50 tahun ke atas Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan TS/Tamat SD Tamat SLTP/SLTA Perguruan Tinggi Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Riwayat konsumsi purin Ya Tidak Pengetahuan Rendah Tinggi
Asam Urat Normal (%) Hiperurisemia (%) 38(88,4) 19(70,4)
5(11,6) 8(29,6)
0,117
9 (60,0) 48 (87,3)
6 (40) 7 (12,7)
0,026*)
36 (80) 16 (88,9) 5 (71,4)
9 (20) 2 (11,1) 2 (28,6)
0,553
4 (40) 53 (88,3)
6 (60) 7 (11,7)
0,002*)
22 (75,9) 35 (85,4)
7 (24,1) 6 (14,6)
0,242
21 (91,3) 36 (76,6)
2 (8,7) 11 (24,4)
0,196
*): signifikan, α=5%
10
P value
bungan-asam-urat-dan-gagal-ginjaldan-cara-pencegahan-agar-tidakberlanjut.html). 3. Anonim.(2011). Asam Urat. Diakses dari: http://kesmasunsoed.blogspot.com/2011/03/makala h-asam-urat-gizi-diit.html 4. Indriawan,Iin.2009.Penyakit.repositor y.unikom.ac.id/repo/sector/kampus/vi ew/blog/key/.../Penyakit. Diakses tanggal 13 maret 2011. 5. Krisnatuti, Diah, dkk, (2008). Perencanaan Menu Untuk Penderita Asam Urat, Penebar Swadaya, Jakarta. www.mirbrokers.com/.../Newsletter, %2071%20edisi%202%20Asam%20 Urat%2015.02.2011.pdf. Diakses tanggal 13 maret 2011. 16. Hensen dan Tjokorda R. 2007. Hubungan konsumsi Purin dengan Hipersemia Pada Suku Bali di daerah Pariwisata Pedesaan. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/4% 282%29.pdf. diakses tanggal 17 Maret 2011. 17. Sacher, Ronald, dkk, (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, ECG, Jakarta. 18. Santoso, Soegeng, dkk, (1999). Kesehatan dan Gizi, Rineke Cipta, Jakarta. 19. Supariasa, Nyoman, dkk, (2002). Penilaian Status gizi, ecg, Jakarta. 20. Sustrani, Lanny, dkk, (2006). Asam Urat, PT Gramedia Utama, Jakarta. 21. Sylvia, Anderson, dkk, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, ECG, Jakarta. 22. Sylvia, Anderson, dkk, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, ECG, Jakarta. 23. Tjokroprawiro, Askandar, dkk, (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University press, Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA 1. Andry, Saryono dan Arif Setyo Upoyo (2009). Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Kadar Asam Urat Pada Pekerja Kantor di Desa Karang Turi, Kecamatan Bumi Ayu Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4 No.1 Maret 2009) 2. Anonim. (2011). Hubungan Asam Urat dan Gagal Ginjal dan Cara Pencegahan agar Tidak Berlanjut. Diakses dari: (http://artikelkesehatanwanita.com/hu 6. Murray Robert, dkk, (2003). Biokomia Harper, Edisi 25, ECG, Jakarta 7. Notoatmojo, Soekidjo, (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 8. Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian, Salemba Medika, Jakarta. 9. Oktia, Titik, (2008). Kesehatan dan Gizi, SIC, Surabaya. 10. Panil, Zulbadar, (2008). Memahami teori dan Praktik Biokimia Dasar Medis, ECG, Jakarta 11. Ramayulis, Rita, dkk, (2008). Menu dan Resep Penderita Asam Urat,Peneber Plus, Jakarta. 12. Rohmatulum. 2010. Gambaran asupan bahan makanan sumber purin dengan kadar asam urat pada penderita hiperurisemia rawat inap di RS RKU Muhammadiyah Temanggung. Skripsi Unimus. 13. Sandy, Ricco Arika. 2010. Asam Urat dan Gout. FK UNAND 14. Nucleus Precise News Letter Edisi1). Asam Urat atau Gout.www.mirbrokers.com/.../Newsle tter%2070%20Edisi%201%20%20Asam%20Urat%20310120111.p df. Diakses tanggal 13 maret 2011. 15. Nucleus Precise News Letter Edisi – 2. Asam Urat atau Gout.
11
24. Utami, Prapti, dkk, (2009). Solusi Sehat Asam Urat dan Rematik, Agromedia Pustaka, Jakarta. *: Staf Pengajar “Veteran” Jakarta
Prodi
Gizi
**: Staf Pengajar Prodi Kesmas UPN “Veteran” Jakarta ***: Staf Pengajar Prodi Keperawatan UPN “Veteran” Jakarta
UPN
12
Determinan Kejadian Penyakit Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Limo Tahun 2013 Dewi Sendy Ramadhani, Eflita Meiyetriani*), Apriningsih**), Tugiman Atmasumarta***)
[email protected] ABSTRAK Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Terjadi peningkatan jumlah kasus kusta baru di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo menunjukkan tingginya risiko angka penularan penyakit kusta di masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan angka kejadian penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo. Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan studi cross sectional dengan metode purposive sampling. Sampel sebanyak 32 penderita kusta dan 32 sampel individu yang mempunyai faktor risiko. Karakteristik responden terbanyak diketahui yaitu umur > 15 tahun, berjenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah, tingkat pendapatan sosial ekonomi = UMR, dengan tingkat pengetahuan cukup, tingkat sikap cukup, tingkat perilaku cukup, pencahayaan tidak memenuhi syarat, kelembaban memenuhi syarat, dan riwayat pernah kontak langsung . Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin (P=0,002), pendidikan (P=0,005), sosial ekonomi (P=0,025), pengetahuan (P=0,000), sikap (P=0,006), perilaku (P=0,002), pencahayaan (P=0,000), dan kelembaban (P=0,004), kontak dengan penderita (P=0,047) terhadap kejadian penyakit kusta. Pentingnya meningkatkan frekuensi upaya kesehatan promotif dan preventif secara berkala dan berkelanjutan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta,dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya PHBS, serta meningkatkan partisipasi peran aktif masyarakat dan kader dalam program pemberantasan penyakit kusta. Serta melakukan pengawasan terhadap penderita setelah RFT dengan memberikan motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksa diri selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB. Kata Kunci : Kusta, Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Kusta.
PENDAHULUAN Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, sekitar 16 negara terbanyak di dunia dimana Indonesia termasuk urutan ke tiga, dibawah India dan Brazil. WHO (World Health Organization) telah mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 – 2015”: dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015 (WHO, 2010). Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae, berbentuk batang. Penyakit ini terutama mempengaruhi kulit, saraf
13
perifer, mukosa dari saluran pernapasan bagian atas dan juga mata (WHO, 2012). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Penderita kusta juga mendapat stigma negatif di masyarakat, sehingga penderita kusta tidak hanya menderita karena sakitnya saja tetapi juga mengalami penderitaan psikis dan sosial. Penyakit kusta ditakuti bukan karena keganasannya tetapi cacat permanen yang ditimbulkannya (Awaludin, 2004). Masalah pada penderita kusta umumnya merasa rendah diri, tekanan batin, dihantui rasa takut terhadap keluarga dan masyarakat sekitarnya, sehingga penderita kusta cenderung menarik diri dari lingkungan, merasa dikucilkan, kehilangan mata pencaharian, segan berobat karena malu kepada masyarakat sekitarnya. Selain menimbulkan masalah bagi penderita, penyakit kusta juga menimbulkan masalah bagi keluarga dan masyarakat sekitar, yaitu karena adanya perilaku keluarga dan masyarakat yang mengucilkan dan menyingkirkan penderita kusta sehingga menyebabkan stress (stressor) pada penderita kusta tersebut (Depkes RI, 2000). Sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. Keadaan sosial ekonomi lemah dapat sebagai faktor yang memperburuk perkembangan kusta. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak segera ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta untuk memenuhi kehidupan sosial ekonomi (Bakker et al., 2005).
Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan penderita terlambat berobat sehingga menimbulkan cacat dan berpotensi menularkan kuman. Masa inkubasi kusta yang panjang, bisa lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan tanpa rasa sakit menyebabkan penderita kerap tidak menyadari dirinya terkena kusta, sehingga hal tersebut berdampak pada kasus kusta yang setiap tahunnya meningkat. Faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap tingginya kejadian kusta yaitu perilaku masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya kusta seperti: tingkat pendidikan yang masih rendah. Faktor lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti: ventilasi, pencahayaan yang buruk dimana jendela jarang dibuka, kelembaban, jenis lantai, kepadatan hunian, jenis dinding memperparah kejadian tersebut karena lingkungan fisik tersebut menyebabkan kuman kusta bisa berkembang secara optimal dan perkembangannya akan semakin meningkat karena ada faktor lain yang mendukung. Selain faktor lingkungan fisik juga kepadatan hunian dimana penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain (Permanasari, 2010). Kondisi lain yang menyebabkan tingginya angka kusta ini adalah faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Berdasarkan hasil observasi ternyata penderita kusta bermukim di daerah terisolir dan kumuh, dimana kebiasaan dan fasilitas sanitasinya sangat kurang sehingga perilaku hidup bersih dan sehat para penderita kusta jauh dari yang diharapkan, sehingga Hal tersebut memberikan sinyal semakin kuatnya kejadian kusta akan terjadi. (Suharso, 2009). Pada tahun 2010, ditemukan sebanyak 17.012 penderita kusta baru. Secara
14
keseluruhan indonesia telah mencapai eliminasi pada pertengahan tahun 2000, namun saat ini masih ada 14 provinsi dan lebih dari 150 kabupaten yang endemik tinggi penyakit kusta atau masih mempunyai beban kasus kusta yang tinggi (angka penemuan kasus baru/tahun dengan angka penemuan penderita baru New Case Detection Rate (NCDR) sebesar 7.22/100.000 penduduk ( Profil P2PL, 2010) Jumlah penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo pada tahun 2009 sebanyak 8 orang penderita kusta tipe MB (Multi Basiller), pada tahun 2010 sebanyak 7 penderita dengan 3 penderita kusta PB (Pausi Basiller) dan 4 penderita kusta tipe MB (Multi Basiller), pada tahun 2011 sebanyak 4 penderita dengan 3 penderita kusta PB (Pausi Basiller) dan 1 penderita kusta tipe MB (Multi Basiller), pada tahun 2012 sebanyak 15 penderita dengan 2 penderita tipe PB (Pausi Basiller) dan 13 penderita kusta MB (Multi Basiller). Berdasarkan data penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo menunjukkan bahwa jumlah penderita kusta tipe PB mengalami penurunan, sedangkan pada kusta tipe MB terjadi peningkatan kasus. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah bersifat deskriptif analitik dengan menggambarkan keadaan
lebih dari 1000 penderita). Dari 17.012 penderita baru yang ditemukan selama tahun 2010, 3.278 kasus adalah penderita kusta Pausi Basiller (PB) dan 13.734 kasus adalah penderita kusta Multi Basiller (MB), saat ini guna mempermudah informasi tentang penyakit kusta dengan rancangan penelitian cross-sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan dan faktor determinan penelitian dengan tujuan untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan pada populasi sasaran dengan menggunakan metode purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita penyakit kusta yang pernah berobat di Puskesmas Limo baik yang sudah dinyatakan RFT dengan pengobatan MDT atau penderita yang masih dalam masa pengobatan dan individu yang mempunyai faktor risiko, yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo selama tahun 2010 sampai tahun 2012. Sampel adalah 32 orang sample penderita dan 32 sample individu yang mempunyai faktor risiko (dengan kriteria sampling individu yang sering mendampingi penderita, yang sering kontak kulit, kontak keakraban dan kontak langsung dengan penderita, orang yang bersedia).
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel
Umur (tahun) Kurang dari 15 tahun 15 tahun ke atas Jenis Kelamin Laki-laki
Penyakit Kusta Tidak Pausi Basiller menderita kusta (%)
Multi Basiller
2 (66,7) 30 (49,2)
0 (0) 8 (13,1)
1 (33,3) 23 (37,7)
0,747
3 (16,7)
5 (27,8)
10 (55,6)
0,002*)
15
P value
Variabel
Perempuan Pendidikan Rendah Menengah Status Perkawinan Menikah Belum Menikah Cerai hidup Cerai mati Sosial ekonomi Lebih dari UMR Sama dengan UMR Kurang dari UMR Pengetahuan Baik Cukup Kurang Sikap Baik Cukup Kurang Perilaku Baik Cukup Kurang Jarak akses pelayanan kesehatan <= 1 km >1 km Kepadatan hunian <= 2 orang (8m2 ) >2 orang (8 m2) Pencahayaan Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Kelembaban Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Kontak dengan penderita Pernah Tidak pernah
Penyakit Kusta Tidak Pausi Basiller menderita kusta (%) 29 (63,0) 3 (6,5)
14 (30,4)
32 (57,1) 0 (0)
7 (12,5) 1 (12,5)
17 (30,4) 7 (87,5)
0,005*)
25 (55,6) 2 (20) 0 (0) 5 (71,4)
7 (15,6) 1 (10) 0 (0) 0 (0)
13 (28,9) 7 (70) 2 (100) 2 (28,6)
0,083
12 (57,1) 16 (66,7) 4 (21,1)
1 (4,8) 2 (8,3) 5 (26,3)
8 (38,1) 6 (25,0) 10 (52,6)
0,025*)
12 (70,6) 20 (57,1) 0 (0)
3 (17,6) 4 (11,4) 1 (8,3)
2 (11,8) 11 (31,4) 11 (91,7)
10 (90,9) 20 (51,3) 2 (14,3)
0 (0) 5 (12,8) 3 (21,4)
1 (9,1) 14 (35,9) 9 (64,3)
13 (86,7) 18 (48,6) 1 (8,3)
1 (6,7) 4 (10,8) 3 (25,0)
1 (6,7) 15 (40,5) 8 (66,7)
0,002*)
28 (50,9) 4 (44,4)
8(14,5) 0 (0)
19 (34,5) 5 (55,6)
0,319
23 (51,1) 9 (47,4)
5 (11,1) 3 (15,8)
17 (37,8) 7 (36,8)
28 (70) 4 (16,7)
4 (10) 4 (16,7)
8 (20) 16 (66,7)
<0,0001
18 (75,0) 14 (35,0)
0 (0) 8 (45,0)
6 (25,0) 18 (25,0)
0,004*)
28 (50,0) 4 (50,0)
5 (8,9) 3 (37,5)
23 (41,1) 1 (12,5)
0,047*)
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa hubungan umur responden determinan kejadian penyakit kusta diatas dapat disimpulkan pada responden yang bukan penderita kusta terbesar adalah pada
kelompok usia < 15 tahun sebanyak 66,7%, lalu pada penderita kusta Pausi Basiller terbesar pada kelompok usia > 15 tahun sebanyak 13,1%, sedangkan pada penderita kusta Multi Basiller terbesar 16
P value Multi Basiller
pada kelompok usia > 15 sebanyak 37,7% . Umur adalah hal yang faktor yang paling banyak dihubungkan dengan kejadian penyakit. Hal ini akibat adanya hubungan umur dengan imunitas, potensi terpapar faktor risiko penyakit dan aktivitas fisiologis tubuh. Faktor umur berhubungan dengan penyakit kusta karena masa inkubasi yang cukup panjang sehingga penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Insidens kusta meningkat jumlahnya sesuai umur dengan puncaknya pada umur 10-20 tahun (Depkes, 2004). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,747 berarti P Value >0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Umur terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Norlatifah, Adi Heru Sutomo, Solikhah 2009) dengan P Value = 0,226 tidak terdapat hubungan signifikan antara umur terhadap kejadian penyakit kusta. Artinya usia bukan salah satu patokan faktor risiko kejadian penyakit kusta. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,002 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Jenis Kelamin terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Noordeen dalam Amirudin, 2005) Penyakit kusta dapat menyerang semua orang, laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun ada beberapa daerah yang menunjukan penderita wanita lebih banyak. Dan penelitian yang dilakukan oleh Djaiman dkk (1996) penderita kusta lebih banyak
pada laki-laki yaitu sebanyak 70,5% sedangkan perempuan 29,5%. Sama halnya menurut Depkes RI (2006) distribusi epidemiologi kusta menurut jenis kelamin, penderita kusta lebih banyak menyerang laki-laki dari pada perempuan. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,005 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Pendidikan terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan penelitian (Norlatifah, Adi Heru Sutomo, Solikhah 2009) dengan P Value =0,013. Peluang orang dengan pendidikan rendah tertular penyakit kusta 4,191 kali lebih besar dibandingkan dengan pendidikan tinggi.. Pada penderita dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung lambat dalam pengobatan dan diagnosis penyakit. Hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin parah . Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,025 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Sosial Ekonomi terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Penelitian ini mendukung teori yang disebutkan WHO (2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah.
17
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,000 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bunge,dkk 2011) tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan secara signifikan dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo dengan P Value (P=0.000) . Pengetahuan berhubungan secara signifikan terhadap kejadian penyakit kusta, hal ini karena semakin tinggi atau semakin baik pengetahuan seseorang tentang penyakit kusta maka akan semakin baik pula sikap seseorang tersebut terhadap kejadian penyakit kusta. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,006 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang ialah pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki akan memberikan kontribusi terhadap terbentuknya sikap yang baik. Pembentukan sikap tidak dapat dilepaskan dari adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, serta faktor emosional dari individu. Menurut Taylor dalam Azwar (2007) ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Fajar (2005) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta, ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan upaya pengobatan teratur oleh penderita kusta. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,002 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Karena baik atau buruknya tingkat perilaku seseorang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, yang akan mempengaruhi cara ia dalam melakukan upaya kesehatan preventif dan rehabilitatif terhadap kejadian suatu penyakit. Hubungan jarak akses kesehatan meliputi jarak keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi (WHO, 2008). Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia di masyarakat (Kemenkes RI, 2004). Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value =0,319 berarti P Value >0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Jarak Akses Kesehatan terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Kepadatan penghuni dalam rumah memberikan risiko penyebaran atau penularan penyakit. Artinya jika ada penghuni yang sakit ditempat atau rumah yang terlalu padat penghuninya maka dapat mempercepat penularan penyakit tersebut (Darrundono, 1988).
18
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,872 berarti P Value >0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Kepadatan Hunian terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Yuldan, 2010) dengan P Value sebesar (P=0,001) atau ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian kusta .Hal ini karena kepadatan sebagian besar kepadatan hunian rumah responden di wilayah kerja puskesmas kecamatan limo telah memenuhi syarat kepadatan hunian < 2 orang/8m2 sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,004 berarti P Value <0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Kelembaban terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat . Penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Awaludin (2004), kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban untuk Microbacterium Leprae dapat hidup dalam sekret hidung yang dikeringkan pada temperatur kamar 36,7°C dengan kelembaban 77,6%. Microbacterium Leprae hidup diluar hospes dengan temperatur dan kelembaban yang bervariasi, Microbacterium Leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9%. Sedangkan temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup sampai 46 hari. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,047 berarti P Value >0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Riwayat Kontak terhadap Kejadian Penyakit Kusta di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan teori (WHO, 2006) bahwa kontak dapat berupa kontak kulit (skin to skin), keakraban (intimate) dan kontak langsung (repeated). Yang paling banyak teridentifikasi adalah kontak serumah. Kontak serumah dengan penderita penyakit kusta sering melahirkan penderita kusta baru, sehingga direkomendasikan agar keluarga dekat penderita kusta diperiksa setiap tahun hingga lebih dari 6 tahun. Davey dan Rees (1991) mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Sehingga hal tersebut jelas bahwa kontak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian kusta. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisa penelitian dapat diketahui bahwa sebanyak 32 responden bukan penderita kusta, 8 responden penderita kusta Pausi Basiller dan sebanyak 24 responden penderita penyakit kusta Multi Basiller. Karakteristik responden terbanyak yaitu umur > 15 tahun (95,3%), berjenis kelamin perempuan (71,9%), berstatus kawin, (70,3%) berpendidikan rendah (87,5%), tingkat pendapatan sosial ekonomi = UMR (37,5%), dengan tingkat pengetahuan cukup (54,7%), tingkat sikap cukup (60,9%), tingkat perilaku cukup (57,8%), jarak akses kesehatan < 1 Km (85,9%), kepadatan hunian memenuhi syarat (70,3%), pencahayaan tidak memenuhi syarat (62,5%), kelembaban memenuhi syarat (62,5%), dan riwayat pernah kontak langsung (87,5%) Berdasarkan hasil analisa bivariat dapat diketahui bahwa : Yang terdapat
19
hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit kusta adalah jenis kelamin (P=0,002), pendidikan (P=0,005), sosial ekonomi (P=0,025), pengetahuan (P=0,000), sikap (P=0,006) , perilaku (P=0,002), pencahayaan (P=0,000), dan kelembaban (P=0,004), kontak dengan penderita (P=0,047). Sedangkan yang tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap kejadian kusta adalah umur (P=0,747), status perkawinan (P=0,083), jarak akses kesehatan (P=0,319), kepadatan hunian (P=0,872), dinding (P=0,747), lantai (P=0,201). Saran dari penelitian antara lain perlunya meningkatkan penemuan penderita secara aktif melalui survei kontak serumah dan Chase survey , upaya kesehatan promotif dan preventif tentang penyakit kusta dan faktor faktor yang mempengaruhinya secara berkala dan berkelanjutan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya PHBS (terkait penyakit kusta seperti mencuci tangan dengan sabun, menggunakan sumber air bersih, adanya tempat pembuangan limbah), meningkatkan partisipasi peran aktif masyarakat dan kader dalam program pemberantasan penyakit kusta. Selain itu, perlu pengawasan terhadap penderita setelah RFT (Release From Treathment) dengan memberikan motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksa diri selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB. Menerapkan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terkait penyakit kusta seperti mencuci tangan dengan sabun, menggunakan sumber air bersih, adanya tempat pembuangan limbah), menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, meningkatkan peran aktif dalam upaya kegiatan preventif dan promotif, bekerjasama dengan petugas kesehatan untuk deteksi dini penderita kusta untuk mencegah
kecacatan dan pemberantasan penyakit kusta. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
20
Achmadi, UF. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Kompas Arikunto.S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta Awaluddin. (2004) . Analisis Faktor Risiko Kontak Dengan Penderita Kusta dan Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kejadian Kusta pada Anak, Tesis,Universitas Diponegoro. Chin, James.(2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Editor penterjemah I Nyoman Kandun. Depkes RI. (1998). Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XII. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. -------------. (2000). Buku Pedoman Eliminasi Kusta Tahun 2000. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. -------------. (2005). Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVII. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. -------------. (2007). Buku Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kusta . Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. -------------. (2008). Panduan Pembinaan dan Penilaian Perilaku Hidup Bersih Sehat di Rumah Tangga Melalui Tim
Penggerak PKK. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan RI 14. inas Kesehatan Program P2Kusta Bagi UPK. 15. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2012). Profil Kesehatan UPT Puskesmas Kecamatan Limo. 16. Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid ke III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan RI. 21. --------------------------------. (2012). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta. 22. epmenkes RI No. 829/Menkes/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta : Depeartemen Kesehatan Republik Indonesia 23. Noordeen, dalam Amirudin, M.Dali. (2005). Penyakit Kusta di Indonesia : Masalah dan Penanggulangannya. Suplement Vol 26 No 3. 24. Rahfiludin, MZ, et al. (2005). Hubungan Antara Asupan Gizi Mikro dengan Kusta Stadium
17. Ginting, Elyanna. (2006). Analisis Spasial Penyakit Kusta di Kabupaten Gresik Tahun D 2004-2005, Tesis, Universitas Indonesia. Provinsi Jawa Barat (2011). M 18. Kementrian Kesehatan RI. (2010). Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan 19. Lingkungan Tahun 2010. Jakarta. 20. --------------------------------. (2010). Penuntun Hidup Sehat. Cetakan Keempat.
25. 26.
27.
28.
21
subklinis Antara Kontak Serumah Penderita di Kota Semarang. Sutrisna, B. (1994). PengantarMetoda Epidemiologi . Jakarta : Dian Rakyat The K International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP). (2006). How To Prevent Disabilities In Leprosy. London. WHO. (2010). Global Leprosy Situation 2010. Weekly Epidemiological Record No.35, 337338 Zulkifli. (2003). Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. library.usu.ac.id/download/fkm/fkmzulkifli2.pdf. (Diakses tanggal 18 Maret 2013).
Retensi Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Pasca Pelatihan Gizi Seimbang Pada Siswa Kelas 5 Dan 6 Di 10 Sekolah Dasar Terpilih Kota Depok Tahun 2012 Ikha Deviyanti Puspita, M Syafiq
[email protected] ABSTRACT This aims study to see the retention of knowledge, attitudes, and behavior of after nutrition balanced education in 2012 with the number of survey respondents as many as 669 people consisting of students in grade 5 and 6 of the 10 selected Elementary Schools in the Depok city, West Java. The study was conducted in March through May 2012, using mixed methods or a combination of qualitative and quantitative with crossectional design. The analysis used T test and qualitative analysis. The results of this study is that there are differences significant in changes in knowledge, attitudes, and behavior of balanced nutrition post test I and post test II for total balanced nutrition knowledge (p = 0.000), knowledge of nutrient sources (p = 0.000), knowledge of nutrient function (p = 0.000), total balanced nutrition attitude (p = 0.000), consumption attitudes (p = 0.000), taboo attitudes and perceptions (p = 0.000), attitude and water sports (p = 0.000), the practice of balanced nutrition (p = 0.000 ), the behavior of breakfast (p = 0.000), and the behavior of the frequency (p = 0.001). Attitudes and behavior of balanced nutrition post test II's for education father (p = 0.000). Balanced nutrition knowledge post test II to work mother (p = 0.000). As well, total behavior change post test II balanced nutrition for mother education (p = 0.000). In addition, exposure to information balanced nutrition made 1 semester 2 times by the teacher affects the retention of knowledge and attitude towards positive, while for the behavioral aspects not yet fully visible. Students grades 5 and 6 have good retention after 16 months of intervention provided balanced nutrition knowledge and attitudes, but for the retention behavior is not fully visible change in the positive direction. So that the retention behavior of balanced nutrition can be improved, it is recommended to increase the frequency of learning through the media that is easy to remember the students on an ongoing basis within the school and the parents of students and make reading the guidelines Balanced Nutrition Guidelines. Key words: Retention, Knowledge, Attitude, Behavior, Balanced Nutrition, School Children
PENDAHULUAN Sasaran Pembangunan Millennium Development Goals (MDGs) adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015 (Bappenas, 2010). Keberhasilan dalam pembangunan masyarakat antara lain ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, salah satunya memiliki kesehatan fisik dan mental yang prima, di samping menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai yang tertuang dalam UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada pasal 3 menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Derajat kesehatan masyarakat Indonesia, ditinjau dari kondisi gizi masyarakat masih bermasalah, yakni kekurangan dan kelebihan gizi (gizi ganda /double burden) (Depkes, 2008). Dalam hal kekurangan gizi, dewasa ini Indonesia merupakan negara yang memiliki anak balita berbadan pendek (stunted) ke-5 di dunia yakni 36,8% (WHO, 2010). Seperti tercatat pada hasil Riset Kesehatan Dasar 22
(Riskesdas) 2010, pada anak usia 6-12 tahun yang mengalami status gizi pendek 36,5 % (laki-laki) dan 34,5% (perempuan), mengalami status gizi kurus 13,2 % (laki-laki) dan 11,2 % (perempuan). Selanjutnya dalam kasus kelebihan gizi, pada anak usia 6-12 tahun adalah sebesar 10,7 % (laki-laki) dan 7,7% (perempuan) (Riskesdas, 2010). Gizi ganda berakibat negatif, kekurangan gizi pada anak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sampai lansia (Pujiadi, 1991). Selain itu, menyebabkan tingginya angka kematian, kesakitan, berkurangnya daya tahan, potensi dan prestasi belajar produktifitas kerja, serta pengurangan IQ point sebesar 10 sampai dengan 20 % (Emillia, 2003). Menyangkut kelebihan gizi, ditandai dengan kelebihan berat badan dan kegemukan/obesitas serta memiliki resiko menderita penyakit degeneratif seperti stroke, diabetes, penyakit jantung, asam urat dan beberapa jenis kanker (Swinburn et al., 2004). Gizi ganda terjadi karena pola makan bergizi tidak seimbang. Kekurangan gizi terjadi akibat asupan gizi dibawah kebutuhan, buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang memudahkan timbulnya penyakit infeksi. Sedangkan kelebihan gizi timbul karena asupan gizi melebihi kebutuhan dan rendahnya aktivitas. Untuk mencegah kekurangan dan kelebihan gizi, diperlukan pemahaman dan praktik antara lain dengan pola konsumsi gizi seimbang. Pola konsumsi pangan diartikan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Mahdaniyah, 2004). Banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi anak, antara lain adanya sikap, pengetahuan dan tiga motivasi utama yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan sosial yang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga dan sekolah (Lund & Burk, 1969). Pada lingkungan sekolah antara lain melalui pendidikan gizi serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan (Lund & Burk, 1969). Media pendidikan Gizi Seimbang atau Nutrition Guideline with Balanced Diet sudah dimulai sejak tahun 1992 sebagai tindak lanjut Konferensi Pangan Dunia FAO/WHO di Roma. Di Indonesia rekomendasi tersebut ditindak lanjuti dengan Program Pangan dan Gizi 1995 dan diikuti dengan diterbitkannya buku Pedoman Gizi Seimbang, namun demikian pedoman ini belum di kenal di masyarakat luas karena kurangnya sosialisasi PUGS yang lebih aplikatif di sekolah maupun masyarakat. Anak usia sekolah merupakan sasaran yang sangat strategis karena mereka merupakan generasi penerus bangsa dan asset pembangunan. Menurut Notoatmodjo (2005) bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah masih mudah menerima masukan, bimbingan, dan arahan. Mendasarkan pada hukum aksi dan reaksi atau hukum stimulus dan respon dari luar dirinya yang akan membentuk jati dirinya (Covey, 2004). Melalui pendidikan, dengan masukan, bimbingan dan arahan akan membentuk jati diri anak tentang gizi seimbang secara efektif, karena menurut Thomson (1977), pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya. Hal ini akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik penerapan gizi seimbang anak usia sekolah yang pada gilirannya akan meningkatkan status gizinya.
23
Pemberian layanan pendidikan di sekolah dapat dimanfaatkan dalam intervensi gizi seimbang. Seperti menurut penelitian Shariff et al., (2008) pada anak SD di Malaysia menyimpulkan bahwa intervensi pendidikan gizi selama 6 minggu berdampak positif terhadap pengetahuan (p<0,001), sikap (p<0,005) dan praktik (p<0,001) anak-anak sekolah dasar. Hasil yang sama pada penelitian, Eboh et al., (2006) pada program pendidikan gizi selama 3 minggu, dengan pola setiap intervensi 40 menit pendidikan gizi, 4 hari seminggu di sekolah dasar Pakistan mengalami peningkatan secara signifikan pada skor pengetahuan gizi (p=0,001), kepatuhan dalam memenuhi Pedoman Diet (p=0,001) dan Food Guide Piramida rekomendasi (p=0,001) setelah perlakuan pendidikan gizi. Penelitian Poh Bee et al., (2006) menunjukan bahwa pada intervensi pendidikan gizi selama 6 minggu pada siswa SD di Selangor dan Kuala Lumpur, menghasilkan perbedaan secara signifikan antara skor pengetahuan gizi post test dan pre test (p<0,001), pengetahuan gizi post test lebih tinggi dibanding pre test serta peningkatan perilaku kesadaran sarapan pagi dari 37,3 % menjadi 53,9% (n=635). Hasil penelitian Olive et al., (2011), menunjukan hasil yang sama yaitu setelah mendapatkan intervensi pendidikan gizi selama 2 sampai 3 jam dalam 4 minggu pada remaja yang berpenghasilan rendah usia 10-14 tahun, pengetahuan dan perilaku mengalami peningkatan secara significant (P<0,001) dibandingkan kontrol. Beberapa penelitian lain juga telah membutikan bahwa pendidikan kesehatan gizi efektif untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan perilaku siswa sekolah (Morris et al., & Zidenberg et al., 2002). Intervensi pendidikan gizi seimbang di Indonesia di sekolah dasar telah dilaksanakan sejak tahun 1992. Pada
tahun 2010, Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, menyelenggarakan pendidikan gizi seimbang selama 3 bulan di 5 sekolah dasar negeri dan 5 sekolah dasar swasta di Kota Depok Provinsi Jawa Barat dengan melatih guru sekolah sebagai penyuluh untuk siswa didiknya. Hasil evaluasi menunjukan adanya perubahan positif pada pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa, khususnya pengetahuan walaupun perubahan perilaku belum sepenuhnya terlihat. Hal tersebut karena waktu program yang dilaksanakan sangat singkat serta adanya berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Pendapat Siagian (1999), bahwa pelatihan dipakai sebagai salah satu metode pendidikan khusus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Handoko (2001), mengatakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil suatu produk sistem pendidikan akan memberikan pengalaman yang nantinya akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Sesuatu yang dipelajari akan membentuk pengetahuan, namun sering terlupakan. Ada beberapa sebab seseorang yang telah memperoleh pengalaman tetapi sulit diingat, menurut Purwanto (1990) seseorang cenderung lupa karena tergantung pada sesuatu yang diamati, situasi, proses pengamatan yang berlangsung, dan waktu. Menurut Depkes RI (2001), bahwa pengetahuan sebagai hasil dari proses belajar sangat dipengaruhi oleh waktu sejak memperoleh pemaparan, sesuatu yang dipelajari oleh seseorang akan cenderung menurun secara logaritmik dari waktu ke waktu, retensi dalam waktu 1 jam sekitar 42% hasil belajar menurun.
24
Berdasarkan kondisi tersebut dan dikaitkan dengan penyelenggaraan intervensi pendidikan gizi dimaksud, maka peneliti ingin mengetahui retensi pengetahuan sikap perilaku pasca pelatihan gizi seimbang pada bulan ke-16 setelah intervensi pada anak SD yang di lakukan oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2010. Dan diharapkan akan memiliki kontribusi dalam pembangunan masyarakat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional dengan metode campuran (Mixed Methods) dengan tujuan melihat retensi pengetahuan, sikap, dan perilaku gizi seimbang anak kelas 5 dan 6 SD setelah 1 bulan intervensi sebagai variabel independen terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku gizi seimbang anak kelas 5 dan 6 SD setelah 16 bulan intervensi yang dipengaruhi oleh beberapa variabel confounding seperti jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan orang tua, dan penyampaian PUGS dari guru pada siswa. Metode yang digunakan ialah campuran merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan di 10 SD terpilih Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Sekolah Dasar yang terpilih
meliputi SDN Pondok Cina 5, SDN Beji Timur 2, SDIT Darul Abidin, SDIT Umul Quro, SDN Mekarjaya, SDS Tugu Ibu, SDS Pemuda Bangsa, SDS Kwitang 8 PSKD, SDN Depok Jaya 1, dan SDN Anyelir 2 pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 5 dan 6 SD tahun 2012 yang pernah mendapatkan intervensi PUGS oleh Puska UI dan mengikuti post test I tahun 2010. Sampel pada penelitian ini merupakan keseluruhan populasi dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan yaitu sebanyak 669 siswa. Jenis data penelitian ini meliputi data primer dan sekunder dengan instrument penelitian berupa kuesioner hasil produksi kerjasama antara PKGK dan Puska Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI pada tahun 2010. Peneliti hanya melakukan penggandaan tanpa mengurangi atau menambahkan isi kuesioner tersebut. Sedangkan pada pengambilan data pajanan informasi tentang pengetahuan PUGS pada guru sekolah menggunakan pedoman wawancara mendalam dan pedoman diskusi kelompok terarah dengan alat bantu pencatat dan alat perekam. Pengolahan data didahului dengan editing. Pada data kuantitatif, pengolahan dan hasil pengukuran kuesioner kemudian di-entry, coding (skor 10= jawaban tepat; 0=jawaban tidak tepat), cleaning, dan verifikasi menggunakan salah satu program statistik.
25
HASIL PENELITIAN Kuantitatif Analisis data deskriptif (univariat) menggunakan distribusi frekuensi untuk variabel dengan skala katagorik dan summarize statistic untuk variable dengan skala numerik. Analisis Bivariat menggunakan uji T-Test untuk data kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara dan FGD. Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui perbedaan dua variabel, yaitu pada masing-masing variabel independen (pengetahuan post test I, sikap post test I, perilaku post test I, jenis kelamin siswa, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua) menurut post test II untuk pengetahuan, sikap, dan perilaku gizi seimbang. Rekapitulasi hasil analisis bivariat disajikan pada tabel 3.1 hingga 3.4 sebagai berikut : Tabel 3.1 Perubahan Pengetahuan Gizi Seimbang Post Test I menurut Post Test II Variabel
Pengetahuan Total nTentang Gizi Seimbang t test I t test II Pengetahuan Dasar Tentang Gizi Seimbang Post test I Post test II Pengetahuan Tentang Kandungan Gizi Seimbang Post test I Post test II Pengetahuan Tentang Variasi Kelompok Makanan Post test I Post test II Pengetahuan Tentang Tabu Dan Persepsi Lainnya Post test I Post test II Pengetahuan Tentang Sumber Zat Gizi Post test I Post test II Pengetahuan Tentang Fungsi Zat Gizi Post test I Post test II
Mean ± SD
P value
16,44±30,10 228,7±29,15
12,33±30,77
40,16±9,37 40,28±9,38
0,11±11,1
0,782
47,83±5,54 48,34±4,45
0,50±6,52
0,044
40,34±9,65 40,08±9,5
0,25±11,32
0,562
32,27±8,2 31,24±5,45
1,03±10,40
0,011
34,61±12,18 40,65±10,6
6,03±12,9
0,000
21,21±12,62 28,16±14,41
6,95±15,22
0,000
26
Mean ± SD (perbedaan antar pengukuran)
0,000
Tabel 3.2 Perubahan Sikap Gizi Seimbang Post Test I menurut Post Test II Variabel Sikap Total Tentang Gizi Seimbang Post test I Post test II Sikap Tentang Konsumsi Makanan Post test I Post test II Sikap Tentang Perbandingan Berbagai Jenis Makanan Post test I Post test II Sikap Tentang Tabu dan Persepsi Lainnya Post test I Post test II Sikap Tentang Olahraga Dan Air Putih Post test I Post test II
Mean ± SD
Mean ± SD (perbedaan antar pengukuran)
P value
194,30±21,41 201,94±17,75
7,58±22,82
0,000
52,5±7,6 54,67±6,92
2,09±9,32
0,000
54,76±12,14 55,69±11,30
0,92±14,42
0,097
44,31±7,7 46,28±6,17
1,96±8,42
0,000
42,63±8,47 45,24±6,68
2,61±9,18
0,000
Tabel 3.3 Perubahan Perilaku Gizi Seimbang Post Test I menurut Post test II Variabel Perilaku Total Tentang Gizi Seimbang Post test I Post test II Perilaku Gizi Seimbang Post test I Post test II Perilaku Sarapan Post test I Post test II Perilaku Pola Konsumsi Post test I Post test II Perilaku Frekuensi konsumsi Post test I Post testII
Mean ± SD
Mean ± SD (perbedaan antar pengukuran)
P Value
99,53±26,8 99,53±26,8
2,36±1,51
0,119
27,98±8,49 27,76±4,89
12,30±12,95
0,000
7,8±6,1 6,1±4,8
1,70±6,17
0,000
71,55±23,97 71,49±24,32
0,059±32,50
0,962
28,8±6,24 27,76±4,89
1,06±8,07
0,001
27
Tabel 3.4 Perubahan Pengetahuan Total, Sikap Total, dan Perilaku Total Gizi Seimbang Post test II menurut Jenis Kelamin, Pekerjaan Ayah dan Ibu, dan Pendidikan Ayah dan Ibu Variabel Jenis Kelamin: Pengetahuan Total Sikap Total Perilaku Total Pekerjaan Ayah: Pengetahuan Total Sikap Total Perilaku Total Pekerjaan Ibu: Pengetahuan Total Sikap Total Perilaku Total Pendidikan Ayah: Pengetahuan Total Sikap Total Perilaku Total Pendidikan Ibu: Pengetahuan Total Sikap Total Perilaku Total
Mean ± SD
P Value
2,35±2,27 2,11±2,30 -2,27±1,38
0,300 0,358 0,100
3,78±20,66 -1,95±12,58 3,11±20,98
0,855 0,877 0,882
12,48±2,4 2,58±1,49 3,29±2,48
0,000 0,084 0,185
25,29±2,05 16,49±2,22 5,21±1,37
0,000 0,000 0,000
3,17±2,41 -2,09±1,47 -8,84±2,4
0,190 0,155 0,000
28
Pada tabel 3.1 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada hasil post test I pengetahuan total tentang gizi seimbang, pengetahuan kandungan gizi seimbang, pengetahuan tabu dan persepsi lainnya pengetahuan sumber zat gizi, dan pengetahuan fungsi zat gizi menurut hasil post test II. Berdasarkan tabel 3.2 terdapat perbedaan bermakna pada hasil post test I sikap total gizi seimbang, sikap konsumsi makanan, sikap tentang tabu dan persepsi lainnya, dan sikap tentang olah raga dan air putih menurut Post test II Data pada tabel 3.3 menjelaskan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada post test I perilaku gizi seimbang, perilaku sarapan, dan perilaku frekuensi konsumsi menurut post test II. Berdasarkan tabel 3.4 terlihat bahwa secara statisti, terdapat perbedaan yang bermakna pada pengetahuan total menurut pekerjaan ibu dan pendidikan ayah. Sedangkan, sikap total hanya memiliki perbedaan bermakna menurut pendidikan ayah. Perilaku total memiliki perbedaan bermakna menurut pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Kualitatif Melalui hasil wawancara dengan guru terkait persepsi diperoleh bahwa para siswa sangat tertarik/antusias dengan PUGS, karena merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dalam menerapkan hidup sehat. Mereka memberikan penyuluhan PUGS saat setelah mendapat pelatihan dari UI, yaitu pada tahun 2009. Tugas-tugas guru selama memberikan penyuluhan PUGS, antara lain langsung memberikan penyuluhan, sebagian besar yang memberikan penyuluhan adalah guru olah raga, guru IPA, dan wali kelas. Penyuluhan rata-rata diberikan 1 semester 2 kali untuk tutorialnya, namun untuk
perilaku dilakukan pada kegiatan makan bersama 1 bulan 1 kali (SD negeri) dan setiap hari (SD Swasta). Materi PUGS yang diberikan oleh guru antara lain, fungsi makanan, kandungan gizi makanan, makanan sehat, kebutuhan makanan secara sederhana dan air untuk tubuh, olah raga, frekuensi atau pola konsumsi yang baik, dengan media pembelajaran buku panduan dari UI, buku IPA, mata ayam, poster, gambar2 dari internet, dan makanan asli. Para guru tidak mengalami hambatan yang berarti, namun karena terlalu banyak materi PUGS yang harus diberikan, pada akhirnya saat ini hanya materi manfaat makanan sehat dan kandungan gizi makanan saja yang diberikan. Ukuran makanan tidak diberikan karena sulit untuk dipahami siswa. Menurut informan, pemberian materi PUGS idealnya ialah dengan pemberian contoh makanan aslinya, membuat yel-yel PUGS, dan membuat nyanyian PUGS yang mudah diingat seperti empat sehat 5 sempurna. Rata-rata para guru tidak melakukan evaluasi tertulis mandiri untuk indikator PUGS. Hanya pada siswa kelas 5 yang diberikan evaluasi tertulis dalam bentuk ulangan karena materi PUGS terintegrasi pada pelajaran IPA kelas 5. Selain itu, pada sekolah yang mengadakan program makan siang dari sekolah, evaluasi diberikan dalam bentuk perilaku dengan cara mengamati atau obervasi jumlah makanan yang dikonsumsi siswa sesuai porsinya. Setelah mendapatkan penyuluhan, ratarata siswa mulai menghabiskan makanannya, terutama sayur. Pada sekolah yang mempunyai program makan bersama 1 bulan 1 kali, evaluasi diberikan pada saat perilaku membawa makanan ke sekolah. Makanan diobservasi oleh guru, apakah sudah sesuai dengan gizi seimbang. Rata-rata setelah mendapatkan penyuluhan, siswa membawa makanan sesuai gizi seimbang. Pada sekolah yang
29
menganjurkan siswa nya tidak boleh jajan selain dikantin, evaluasi diberikan saat perilaku memilih jajanan sehat. Setelah mendapatkan penyuluhan, sebagian besar sudah mau jajan dikantin, meskipun beberapa siswa masih jajan diluar kantin. Pada penerapan keberhasilan PUGS disekolah-sekolah rata-rata kurang optimis, karena tidak semua siswa lahir dari golongan ekonomi menengah keatas dan pendidikan menengah. Meskipun begitu, ada juga beberapa yang optimis PUGS akan berhasil dengan syarat optimalisasi peran orang tua dalam mendukung PUGS. Dari hasil wawancara melalui FGD pada para siswa, diperoleh persepsi bahwa siswa-siswa sangat tertarik dan antusias dengan PUGS karena mereka merasa mendapatkan tambahan pengetahuan tentang hidup sehat. Menurut para siswa rata-rata mereka diajari PUGS oleh guru masing-masing mulai dari tahun 2009, yaitu disaat mereka kelas 3 dan 4. Materi PUGS yang diberikan oleh guru menurut informan antara lain, fungsi makanan, kandungan gizi makanan, makanan sehat, kebutuhan makanan secara sederhana dan air untuk tubuh, olah raga, frekuensi atau pola konsumsi yang baik, dengan media pembelajaran buku panduan dari UI, buku IPA, mata ayam, poster, gambar-gambar dari internet, dan makanan asli. Saat mendapatkan materi PUGS, menurut informan rata-rata mengeluh terlalu banyak materinya dan susah diingat, namun ada juga beberapa yang menjawab mudah. Menurut mereka, idealnya pemberian materi PUGS harus ada gambar yang lebih bagus, ada model makanan yang ukurannya sama dengan anjuran digambar, yel-yel yang mudah diingat. Pada indikator evaluasi pelaksanaan penyuluhan PUGS, rata-rata tidak dilakukan evaluasi tertulis mandiri.
Namun pada siswa kelas 5, diberikan evaluasi tertulis dalam bentuk ulangan karena materi PUGS terintegrasi pada pelajaran IPA kelas 5. Dengan nilai pengetahuan cukup bagus (rata-rata diatas 80). Pernyataan siswa mengenai perubahan sikap dan perilaku, sudah sedikit berubah. Untuk indikator perilaku, pilihan jajanan sehat. Setelah mendapatkan penyuluhan, sudah sedikit berubah. PEMBAHASAN Perubahan Pengetahuan Gizi Seimbang Post test I terhadap Post test II Pada pengukuran Post test II, terjadi peningkatan skor pengetahuan dan berdasarkan hasil uji statistik diperoleh bahwa, terlihat adanya perbedaan pengetahuan yang bermakna secara berturut-turut terlihat pada aspek pengetahuan total (p=0,000), pengetahuan sumber zat gizi (p=0,000), dan pengetahuan tentang fungsi zat gizi (p=0,000). Artinya pelatihan gizi seimbang yang diberikan mempunyai retensi yang baik dalam mengubah pengetahuan siswa mengenai gizi seimbang. Begitu juga dengan hasil analisis kualitatif, dimana hasil ulangan siswa mengenai gizi seimbang dalam pelajaran IPA dan olahraga rata-rata nilai pengetahuannya cukup bagus (rerata nilai >80). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Soediatama (1986) dan Soeharjo (1989) yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi seseorang dapat diperbarui melalui pendidikan gizi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Notoatmodjo (1992) yang menyatakan bahwa variabel pengetahuan merupakan faktor internal yang dimiliki siswa sebagai responden, yang dapat berubah melalui intervensi yang diberikan. Sesuai dengan hasil analisis kualitatif paparan informasi 30
PUGS bahwa, pendidikan gizi seimbang diberikan oleh guru saat belajar IPA dan saat belajar teori olah raga, selama ratarata 1 semester 2 kali. Demikian juga dengan hasil penelitian Shariff et al (2008) pada anak SD di Malaysia menyimpulkan bahwa intervensi pendidikan gizi selama 6 minggu berdampak positif terhadap pengetahuan (p<0,001), sikap (p<0,005) dan perilaku (p<0,001) anak-anak sekolah dasar. Hasil yang sama pada penelitian, Eboh et al (2006) pada program pendidikan gizi selama 3 minggu, dengan pola setiap intervensi 40 menit pendidikan gizi, 4 hari seminggu di sekolah dasar Pakistan mengalami peningkatan secara signifikan pada skor pengetahuan gizi (p=0,001), kepatuhan dalam memenuhi Pedoman Diet (p=0,001) dan Food Guide Piramida rekomendasi (p = 0,001) setelah perlakuan pendidikan gizi. Penelitian Poh Bee et al (2006) menunjukan bahwa pada intervensi pendidikan gizi selama 6 minggu pada siswa SD di Selangor dan Kualalumpur, menghasilkan perbedaan secara signifikan antara skor pengetahuan gizi post test dan pre test (p<0,001), pengetahuan gizi post test lebih tinggi dibanding pre test serta peningkatan perilaku kesadaran sarapan pagi dari 37,3 % menjadi 53,9% (n=635). Hasil penelitian Olive et al (2011), menunjukan hasil yang sama yaitu setelah mendapatkan intervensi pendidikan gizi 2 sampai 3 jam selama 4 minggu pada remaja yang berpenghasilan rendah usia 10-14 tahun, pengetahuan dan perilaku mengalami peningkatan secara significant (P<0,001) dibandingkan control. Tinggi rendahnya pengetahuan gizi seseorang cenderung akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku gizi. Bila pengetahuan gizi siswa tinggi cenderung akan membuat siswa tersebut bersikap dan
berperilaku gizi yang baik serta menumbuhkan budaya terkait dengan gizi (WHO, 1988) Perubahan Sikap Gizi Seimbang Post test I terhadap Post test II Berdasarkan hasil analisis, seluruh aspek sikap gizi seimbang terlihat perubahan ke arah positif, dan beberapa sikap gizi seimbang yang bermakna yaitu sikap total tentang gizi seimbang (p=0,000), sikap tentang konsumsi makanan (p=0,000), sikap tentang tabu dan persepsi lainnya (p=0,000), sikap tentang olahraga dan air putih (p=0,000). Artinya, pelatihan gizi seimbang yang diberikan mempunyai retensi dalam mengubah sikap siswa. Hasil analisis kualitatif menunjukan bahwa siswa mengalami perubahan pada jajanan (lebih memilih jajanan sehat) setelah mendapatkan penyuluhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mar’at (1982) dan Soediatama (1986) yang menyatakan bahwa sikap dapat diubah melalui proses belajar mengajar, sehingga sikap gizi seseorang dapat diperbaiki melalui pendidikan gizi. Sikap merupakan bentuk dari perilaku seseorang yang masih tertutup dan ini menggambarkan kesiapan ia untuk melakukan suatu tindakan (Notoatmodjo, 2003). Menurut Green (1980), sikap adalah salah satu prediposisi untuk munculnya perilaku, sesuai dengan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hovland et al dalam Lowery (1988) bahwa seseorang sebelum mengubah sikap perlu memahami apa isi pesan tersebut, karena dengan pengetahuannya ia dapat memutuskan untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya. Dalam penelitian ini terlihat bahwa pengetahuan dan sikap siswa mengalami perubahan. Artinya, bahwa siswa telah
31
memahami apa yang disampaikan dalam pelatihan gizi seimbang, menimbulkan retensi yang baik sehingga sikapnya mengalami peningkatan. Retensi atau daya ingat sebagai salah satu aspek belajar, sebagai syarat terjadinya proses belajar, siswa yang telah mengalami proses belajar akan ditandai dengan bertambahnya simpanan informasi (pengetahuan dan pengertian) dalam memori atau terjadinya peningkatan retensi (Sawrey dan Telford, 1988). Perubahan Perilaku Gizi Seimbang Post test I terhadap Post test II Hasil analisis menunjukan bahwa, ada perbedaan yang bermakna perilaku beberapa aspek gizi seimbang Post I test I dengan Post test II, yaitu pada perilaku gizi seimbang (p=0,000), perilaku sarapan (p=0,000), dan perilaku frekuensi konsumsi (p=0,001). Artinya bahwa pelatihan gizi seimbang yang diberikan mempunyai retensi dapat mengubah perilaku siswa mengenai gizi seimbang, perilaku sarapan, dan frekuensi konsumsi makan. Dalam pengertian pendidikan kesehatan menurut Green (1980) adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk memudahkan adaptasi perilaku yang menguntungkan kesehatan secara sukarela. Dalam hal ini kombinasi beberapa pendekatan terhadap perilaku gizi seimbang memang efektif untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Roya et al (2008) terhadap siswa SD di Iran, Syariff et al (2008) terhadap siswa SD di Malaysia, dan Eboh (2006) siswa SD di Pakistan sama-sama menyimpulkan bahwa dalam penelitian mereka dengan melaksanakan program pendidikan gizi melalui guruguru sekolah untuk mengubah pengetahuan, perilaku siswa dan pemilihan makanan sehat, dan hasilnya
mampu meningkatkannya. Hal ini, sesuai dengan hasil analisis kualitatif paparan informasi PUGS, pemberian materi PUGS secara teori 1 semester 2 kali oleh guru, dan perilaku gizi seimbang diberikan pada waktu yang tidak sama di setiap sekolah dengan metode yang berbeda-beda. Metode dalam perilaku gizi seimbang yang diberikan oleh guru antara lain melihat berapa banyak sisa makan siang siswa, melihat komposisi bekal sekolah, dan pengamatan terhadap siswa untuk jajan dikantin. Berdasarkan metode perilaku yang diberikan guru mengenai gizi seimbang, perubahan perilaku gizi seimbang terlihat pada sebagian besar siswa menghabiskan makan siangnya dan membawa bekal sesuai gizi seimbang, namun pada perilaku anjuran jajan dikantin belum sepenuhnya berhasil untuk memilih jajanan kantin. Perubahan perilaku jajan dikantin yang belum berhasil, hal ini karena menurut informan (siswa) makanan jajanan diluar lebih enak dan menarik. Selain itu, tidak ada pengawasan dari guru untuk tidak jajan diluar kantin. Pada penelitian ini, pemberian pendidikan gizi seimbang sebagian besar mampu merubah perilaku siswa disekolah mengenai menghabiskan makan siang, membawa bekal sesuai gizi seimbang dan makan sayur. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Green mengenai hubungan antara pengetahuan dan perilaku seseorang. Perilaku merupakan hasil dari berbagai kejiwaan, seperti pengetahuan, sikap, motivasi dan persepsi. Menurut Notoatmodjo (2003), jika sikap seseorang baik, akan mendorong perilaku baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Rogers dalam Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan atau kognitif dan sikap merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku, dan perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan
32
lebih lama daripada yang tidak didasari pengetahuan. Oleh sebab itu diperlukan suatu upaya untuk memberikan stimulus lebih kepada responden. Menurut Solso (1998) Retensi atau bertahannya materi yang dipelajari supaya tidak mudah dilupakan dapat pula dilakukan dengan pengulangan materi yang dipelajari berulang kali, penggunaan tabel, diagram, dan gambar-gambar dapat pula membantu agar materi tidak cepat terlupakan. Perubahan Pengetahuan, Sikap, Perilaku Gizi Seimbang Post test II menurut Jenis Kelamin serta Pekerjaan dan Pendidikan Orang Tua Hasil uji statistik jenis kelamin dengan perubahan pengetahuan, sikap, perilaku gizi seimbang diperoleh nilai p>0,05 artinya secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara variabel tersebut. Hal ini menunjukan bahwa intervensi yang diberikan dalam mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku sama retensinya pada laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak sejalan dengan temuan studi yang dilakukan oleh Auwaurteur dan Aruguette (2008), yaitu bahwa siswa perempuan lebih unggul karena cenderung lebih sungguh-sungguh dalam belajar daripada laki-laki karena mempunyai citacita yang lebih focus, menilai bahwa belajar adalah suatu prasyarat keberhasilan berprestasi disekolah, lebih cepat dapat dipercaya dan mempunyai karakter personal yang tekun. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada perbedaan antara pengetahuan, sikap, perilaku gizi seimbang terhadap pekerjaan ayah (p>0,005).Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan ayah tidak berhubungan dengan gizi. Hal ini sejalan dengan penelitian Lucky (1991), bahwa variabel pekerjaan ayah tidak mempunyai hubungan dengan perilaku siswa. Sesuai
dengan pendapat Sarwono (1993), bahwa pekerjaan orang tua tidak menentukan kualitas perilaku anak. Menurut hasil uji statistik menunjukan bahwa hanya pengetahuan total yang mempunyai perbedaan dengan pekerjaan ibu (p=0,000). Artinya, intervensi yang diberikan mempunyai retensi yang lebih baik pada siswa yang ibu bekerja. Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja lebih banyak bersosialisasi dengan orang dan lingkungan lain yang menambah informasi dan pengetahuan mengenai gizi seimbang maka anak dirumah juga ikut terpapar dengan hal-hal positif berkaitan dengan pengetahuan gizi dari ibu. Pengetahuan anak termasuk dalam hal kesehatan, sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan social serta nilai-nilai yang ada pada lingkungan mereka. Apabila anak berada pada lingkungan positif, maka yang terbentuk pengetahuan positif, begitupun sebaliknya (Whaley dan Wongs, 1995). Sedangkan sikap dan perilaku gizi seimbang tidak ada perbedaan dengan pekerjaan ibu (p>0,005). Hal ini, sejalan dengan penelitian Duyhuff et al (1980) menurut Suharjo (1989) yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai ibu bekerja mempunyai asupan gizi lebih rendah dibandingkan dengan anak yang mempunyai ibu tidak bekerja. Pada ibu yang tidak bekerja, kemungkinan untuk menyiapkan makanan dirumah lebih besar karena banyak waktu luang. Sebaliknya, pada ibu yang bekerja kemungkinan penyiapan makanan diserahkan oleh pembantu dan kurangnya pengawasan dalam pemilihan makanan sehat. Hasil uji statistik menunjukan bahwa ada perbedaan antara pendidikan Ayah dengan pengetahuan total, sikap total, perilaku total gizi seimbang (p=0,000). Dalam penelitian ini adanya perbedaan retensi
33
dalam merubah pengetahuan, sikap, perilaku gizi seimbang siswa terhadap pendidikan ayah. Hal ini sejalan dengan penelitian Blaylock et al (1999) yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua, maka diharapkan konsumsi pangan anak semakin baik. Hal ini, sesuai dengan penelitian Suharjo (1983) bahwa orang tua yang berpendidikan baik akan lebih mudah menerima informasi dari luar dalam cara perawatan dan pengasuhan anak. Masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah akan mempertahankan tradisitradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru dibidang gizi. Hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara pendidikan ibu dengan perilaku total gizi seimbang (p=0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian Lucky Herawati (1991) bahwa konsep orang tua dengan variabel tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perilaku siswa, dengan kata lain, makin tinggi pendidikan ibu, maka akan semakin baik perilaku siswa. Penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Sarwono (1993), yang mengungkapkan bahwa ada hubungan antara siswa dengan orang tua (Ibu) karena ibu merupakan tempat yang utama dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan termasuk pemahaman hidup sehat.
3.
4.
SARAN 1.
2.
3.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Tidak semua variabel independen memiliki perbedaan bermakna menurut variabel dependen. 2. Paparan informasi gizi seimbang 1 semester 2 kali oleh guru mempengaruhi retensi pengetahuan dan sikap ke arah positif, sedangkan
34
untuk aspek perilaku belum sepenuhnya terlihat. Setelah 16 bulan intervensi, pengetahuan dan sikap gizi seimbang siswa kelas 5 dan 6 mempunyai retensi baik, namun untuk retensi perilaku belum sepenuhnya terlihat perubahan ke arah positif. Retensi pengetahuan, sikap, dan perilaku gizi seimbang yang baik pada anak kelas 5 dan 6 SD setelah 16 bulan intervensi dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan orang tua serta paparan informasi guru SD tentang PUGS.
Untuk meningkatkan retensi perilaku gizi seimbang, perlu dilakukan penyuluhan gizi seimbang secara berkesinambungan dengan meningkatkan frekuensi pembelajaran melalui media yang mudah diingat siswa di lingkungan SD maupun orang tua siswa Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi Dinas Kesehatan untuk lebih aktif dalam pengembangan program promosi PUGS pendidikan gizi seimbang di berbagai sekolah dan membuat pedoman membaca Pedoman Gizi Seimbang Sebagai bahan masukan bagi Dinas Pendidikan bahwa program gizi seimbang sebagai salah satu program kesehatan melalui unit kesehatan sekolah serta memasukan ke dalam mata ajaran yang berkaitan seperti pendidikan kesehatan dan jasmani atau mata pelajaran ilmu pengetahuan alam
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Bappenas. 2010. Millennium Development Goals (MDGs). Jakarta. http://bappenas.go.id Brit, et al. 2005. A Pilot SchoolBased Healthy Eating And Physical Activity Intervention Improves Diet, Food Knowledge, And Self-Efficacy For Native Canadian Children Covey, S. 2004. Seven Habits of Highly Effective People. Michael Gray (Ed). Sumargi Raharjo (alih bahasa). MGI/Personal Enhanced Public Project. From url: http: Wikipedia.com Departemen Kesehatan RI. 2001. Modul Pelatihan Metode dan Teknologi Diklat (METEK). Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depkes RI, 9-11. Departemen Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010: Laporan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta Eboh, et al. 2006. Nutrition Knowledge and Food Choices of Primary School Pupils in The Niger – Delta Region Nigeria. Pakistan Journal of Nutrition 5 (4): 308-311 Ellis, H.L. 1978. Fundamentals Of Human Learning, Memori, And Cognition (2ed).Iowa: Win C. Brown Co. Emilia, E. 2003. Tiga Belas Pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) Sebagai Pedoman Untuk Hidup Sehat. Makalah Pengantar falsafah Sains Program Pasca Sarjana, IPB.Bogor Green, Lawrence. 1990. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. The John Hopkinds University, Myfield Publishing Company
10. Green et all. 1980. Measurement And Evaluation In Health Education And Health Promotion. Mayfield Publishing Company Palo Alto., California 11. Irwanto, et al. 1994. Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 12. Lowery, et al. 1988. Milestones In Mass Communication Research, Media Effect, Second Edition.Longman, New York 13. Lund, L A dan Burk. 1969. A Multidisiplinary Analysis Of Children’s Food Consumption Behavior. University of Minesota, Minesota. 14. Madanijah, S. 2004. Pola Konsumsi Pangan, dalam Pengantar pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya 15. Marbun, Rosmida. 2002. Hubungan Konsumsi Makanan, Kebiasaan Jajan dan pola status aktifitas Fisik Dengan Status Gizi siswa SD St. Maria Fatma. Jakarta Timur tahun 2002., Thesis, FKM., Jakarta 16. Morris, et al. 2002. Nutrition To Grow On: Agarden-Enhanced Nutrition Education Curriculum For Upper-Elementary School Children. Journal of Nutrition Education and Behavior, 34, 175-176 17. Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Widyatama 18. Olive, et al. 2011. An Evaluation Nutrition Education Program For Low Income Youth. Journal Extention. June 2011. Vol: 49 Number 3 Article Number 3RIB5. http: //.www.joe.org 19. Poh Bee, et al. 2006. Nutrition Education For Malaysian Children In Kuala Lumpur And Selangor, Malaysia.Journal Malaysia. 20. Pudjiadi. 1991. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: EGC FKUI.
35
21. Sarwono. 1993. Sosiologi Kesehatan : Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press 22. Sawrey, JM., dan Telford, CW. 1988. Educational Psychology 4 th Edition. Boston: Allyn and Bacon 23. Sharif, et al. 2008. Nutrition Education Intervention Improves Nutrition Knowledge, Attitude, and Practices of Primary School Children: A Pilot Study. International Electronic Journal of Health Education; 11:119-132 24. Slameto. 1991. Belajar dan Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
25. Siagian, S.P. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara. Jakarta. 89 26. Solso, R.L. 1998. Cognitive psychology. (2nd Ed). Boston: Allynan Bacon, Inc. 27. Supariasa, et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC 28. Swinburn, et al. 2004. Diet, Nutrition And The Prevention Of Excess Weight Gain And Obesity. Public Health Nutrition Journal: 7(1A):123-46 29. Thomson, G. 1977. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Jakarta: Alfabeta 30. World Health Organization. 2010. Children Aged Under-Five Stunted (%) 2000-2008. Geneva: WHO
36
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA KELAS XI DI SMKN 25 JAKARTA Intan Silviana Mustikawati1, Dini wulandari1 1 Fikes – Universitas Esa Unggul, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Perilaku seksual yang tidak sehat di kalangan remaja cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian yang menunjukan bahwa usia remaja ketika pertama kali mengadakan hubungan seksual aktif bervariasi antara usia 14 – 23 tahun dan usia terbanyak adalah antara 17 – 18 tahun. Perilaku seksual remaja yang cenderung permisif tersebut akan meningkatkan resiko kehamilan yang tidak diinginkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 62 siswa, yang diambil melalui purposive sampling. Sebagian besar responden berusia 16 tahun (66,1%), berjenis kelamin perempuan (56,5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks pranikah remaja di SMKN 25 Jakarta adalah tinggi (56%), pengetahuan tentang perilaku seks pranikah remaja adalah baik (53%), hubungan dengan orang tua adalah baik (79%), keterpaparan media massa adalah tinggi (58%). Hasil uji Spearman Rank menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang perilaku seks pranikah dan hubungan dengan orang tua dengan perilaku seks pranikah, dan terdapat hubungan antara keterpaparan media massa dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Perlu adanya upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) mengenai kesehatan reproduksi dan pemantauan secara berkala dari pihak sekolah. Kata Kunci: Perilaku Seks Pranikah, Pengetahuan tentang Perilaku Seks Pranikah, Hubungan dengan Orang Tua, Keterpaparan Media Massa
PENDAHULUAN Perilaku seksual yang tidak sehat di kalangan remaja cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian yang menunjukan bahwa usia remaja ketika pertama kali mengadakan hubungan seksual aktif bervariasi antara usia 14 – 23 tahun dan usia terbanyak adalah antara 17 – 18 tahun. Perilaku seksual remaja yang cenderung permisif tersebut akan meningkatkan resiko kehamilan yang tidak diinginkan. Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dilakukan di 33 propinsi sepanjang tahun
2008 menemukan bahwa 63% remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah pada usia antara SMP dan SMA. Data Departemen Kesehatan RI (2006) menunjukan bahwa jumlah remaja umur 10 – 19 tahun di Indonesia dari jumlah penduduk sekitar satu juta remaja pria (5%) dan dua ratus ribu remaja wanita (1%) secara terbuka menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan
37
tertarik, berkencan, berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada diatas baju, memegang buah dada dibalik baju, memegang alat kelamin diatas baju, memegang alat kelamin dibawah baju, dan melakukan senggama (Sarwono, 2003). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 25 Jakarta merupakan salah satu sekolah swasta yang letaknya di Jakarta Barat. Sekolah tersebut dekat dengan pusat pembelanjaan (keramaian), sehingga situasi ini memberikan peluang bagi mereka mengakses berbagai jenis informasi melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu didukung dengan semakin banyaknya situs – situs porno di internet yang dapat mempengaruhi para remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di SMKN 25 Jakarta, banyak para siswa yang belum memahami mengenai bahaya seks pranikah, dan hanya beberapa orang saja yang pernah mengikuti seminar tentang seks pranikah dan kesehatan reproduksi. Terdapat juga perilakuperilaku siswa yang mengarah kepada perilaku seks antara lain ada beberapa siswa yang sering terlihat bergandengan tangan dengan lawan jenis saat pulang sekolah, dan ada salah satu siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena hamil diluar nikah. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Perilaku Seks Pranikah Remaja Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,
2007). Menurut Skinner, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) (Notoatmodjo, 2007). Menurut Hurlock (1991), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Menurut Soetjiningsih (2004), perilaku seks pranikah pada remaja adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami istri. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Menurut Masland (2004) dan Mu’tadin (2002), bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, necking, petting, kemudian sampai intercourse. Remaja adalah periode perkembangan individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 - 20 tahun, Masa remaja merupakan salah satu di antara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat dan perkembangan identitas. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Menurut Purnawan (2004, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah yaitu; Faktor Internal, meliputi: 1). Tingkat perkembangan seksual (fisik/ psikologis) 2). Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi 3). Motivasi Faktor Eksternal, meliputi: 1). Keluarga.
38
Menurut Wahyudi (2000), kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang 2). Lingkungan pergaulan Pada masa pubertas atau remaja, pengaruh teman sebaya lebih besar dibandingkan orang tuanya atau anggota keluarga lain. 3). Media massa. Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et.al (1975) menunjukan bahwa frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adegan-adegan merangsang berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti konflik dengan orang tua, berkelahi, dan perilaku lain sebagai manifestasi dari dorongan seksual yang dirasakannya. METODE Penelitan ini menggunakan desain cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Teknik pengambilan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan siswi kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 62 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagian besar responden siswa kelas XI di SMKN 25 Jakarta berumur 16 tahun (66,1%) dan berjenis kelamin perempuan (56,5%). Perilaku seks pranikah remaja Perilaku seks pranikah pada remaja siswa kelas XI di SMKN 25 Jakarta adalah tinggi (56%), meliputi perilaku berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, meraba bagian tubuh, petting). oral seks,dan intercourse. Menurut Soetjiningsih (2004), perilaku seks pranikah remaja adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh
hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami isteri, dimana objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Bentuk tingkah laku seks bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing (ciuman) kemudian sampai intercourse (senggama). Perilaku seksual dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta yang didominasi oleh kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya dan pengaruh lingkungan yang membuat remaja mengikuti norma yang telah dianut oleh kelompoknya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah dorongan rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang dapat dipuaskan dan diwujudkan melalui pengalaman mereka sendiri (learning by doing). Pengetahuan tentang Perilaku Seks Pranikah Pengetahuan mengenai perilaku seks pranikah pada remaja siswa kelas XI di SMKN 25 Jakarta adalah baik (53%), meliputi pengetahuan tentang ruang lingkup perilaku seks pranikah, penyebab perilaku seks pranikah, dan bahaya seks pranikah. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari orang tua, teman sebaya atau lingkungan, atau hasil pengamatan dan keterpaparan dengan media massa. Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tersebut. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sangat mempengaruhi perilaku kesehatan reproduksi, termasuk didalamnya perilaku seksual pranikah.
39
Hubungan dengan Orang Tua Remaja siswa kelas XI di SMKN 25 Jakarta mempunyai hubungan yang baik dengan orang tua (79%). Orang tua adalah tokoh penting dalam perkembangan identitas remaja. Orang tua dapat membangun hubungan dan merupakan sistem dukungan ketika remaja menjajaki suatu dunia sosial yang lebih luas dan kompleks.
Hubungan antara Pengetahuan tentang Perilaku Seks Pranikah dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja kelas XI di SMNK 25 Jakarta Berdasarkan uji spearman rank, diperoleh nilai p value 0.441, yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan perilaku seks pranikah dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta.
Orang tua berfungsi menyampaikan nilainilai dan sikap positif kepada anaknya, khususnya yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja (Meirer, 2001). Perilaku seksual remaja terbentuk dari hasil komunikasi dengan lingkungan dimana remaja tinggal, khususnya lingkungan keluarga sebagai lingkungan pertama.
Menurut Green (1980), perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat. Apabila pengetahuan mengenai perilaku seks pranikah tidak berhubungan dengan perilaku seks pranikah pada remaja, maka ada faktor lain yang mempengaruhi, seperti faktor pendukung (Enabling Factor), seperti akses terhadap media pornografi, baik media massa ataupun media elektronik. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku yaitu faktor pendorong (Reinforcing Factor), seperti pengaruh dari teman sebaya atau lingkungan.
Keterpaparan Media Massa Remaja siswa kelas XI di SMKN 25 Jakarta mempunyai tingkat keterpapran media massa yang tinggi (58%), meliputi akses terhadap media cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan pornografi. Remaja sering merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah tentang kesehatan reproduksi, sehingga mereka mencari alternatif sumber informasi lain dari media massa. Remaja banyak terpapar dengan majalah, film, acara televisi, iklan, dan produkproduk yang berdaya khayal dan mengandung pesan ke arah seksual, yang dapat merangsang gairah seksual dan mendorong untuk melakukan seks (Syafruddin, 2008). Soetjiningsih (2006) menyatakan bahwa keterpaparan media pornografi memiliki pengaruh yang sangat kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual remaja.
Hasil penelitian Soetjiningsing (2006) menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orang tua remaja, tekanan negatif teman sebaya, pemahaman tingkat agama, dan eksposur media pornografi. Hubungan antara Hubungan dengan Orang Tua dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta Berdasarkan uji spearman rank, diperoleh nilai p value 0.763, yang berarti tidak ada hubungan antara hubungan dengan orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Hubungan antara orang tua dan anak lebih banyak dilakukan di dalam rumah, sedangkan setiap harinya anak banyak
40
menghabiskan waktunya di luar rumah. Oleh karena itu, tidak semua perilaku yang dilakukan oleh seorang anak di luar rumah dapat dipantau oleh orangtuanya. Faktor lainnya dapat mempengaruhi perilaku seks pranikah, seperti pengaruh teman sebaya, pemahaman tingkat agama, dan paparan media massa. Hubungan antara Keterpaparan Media Massa dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja kelas XI di SMNK 25 Jakarta Berdasarkan uji spearman rank, diperoleh nilai p value 0.000, yang berarti bahwa ada hubungan antara keterpaparan media massa dengan perilaku seks pranikah pada remaja kelas XI di SMKN 25 Jakarta. Informasi dalam media massa lebih memusatkan pada cara-cara orang
mengakumulasikan dan mengorganisasikan informasi mengenai objek, orang, situasi atau ide dan membentuk perilaku. Hasil studi Komunikasi FISIP UI (2005) menunjukan bahwa ketersediaan dan kemudahan menjangkau produk media pornografi merupakan faktor stimulant utama bagi remaja untuk melakukan perilaku seks pranikah, apalagi tidak dibarengi dengan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang baik. Hasil penelitian Idayati (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah faktor paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, bukubuku porno) maupun elektronik (TV, VCD, internet).
41
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA GOLONGAN LANJUT USIA DI KELURAHAN PELA MAMPANGJAKARTA SELATAN Joosje Jansari1, Nur Intania Sofianita2, Firlia Ayu Arini3 Program Studi S1 Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
[email protected] ABSTRACT Iron deficiency anemia is one of common malnutrition in elderly. Social economic background and may correlated to anemia prevalence in elderly. The purpose of this study was to analyze correlation between economic factor, source of health information and anemia prevalence in elderly. Design of the study was cross sectional and the sample was 100 elderly. Result of the study showed the prevalence of iron deficiency anemia in elderly at Pela Mampang was 24%, level of their education was 40% graduated from high school. About 42% was unemployee and 33% earned less than RP. 650.000 per month which was 27% of minimum income in DKI Jakarta. In elderly with iron deficiency anemia, 54,2% had low income (p<0,05) whereas, the source of health information of non anemia elderly was from nutrition education provided by health proffesionals (p<0,05). Level of hematocrit in non anemia elderly was low (67,1%) it showed that the risk of iron deficiency anemia at that group was high. Keyword : Elderly, iron deficiency anemia ABSTRAK Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi pada lansia. Anemia defisiensi besi pada Lansia dapat berhubungan dengan beberapa faktor sosial ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor ekonomi dan sumber informasi terhadap kejadian lansia di Pela Mampang, Jakarta Selatan dimana prevalensi anemia diwilayah tersebut diatas 20 %. Desain penelitian ini adalahcross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi pada lansia di Pela Mampang sebanyak 24% dengan tingkat pendidikan 40% adalah tamat SMA. Sebanyak 42% Lansia tersebut tidak bekerja dan 33% memiliki penghasilan kurang dari Rp. 650.000 yaitu 27% dari upah minimum provinsi DKI Jakarta. Pada lansia yang anemia, 54 ,2% memiliki penghasilan rendah (p<0.05) sementara sumber informasi pada kelompok lansia yang tidak anemia 42% dari edukasi gizi tenaga kesehatan (p<0.05). Kadar hematokrit pada lansia yang belum anemia sebanyak 67,1% sudah rendah, artinya risiko anemia defisiensi besi pada kelompok tersebut tinggi. Kata kunci : lansia, anemia defisiensi besi
PENDAHULUAN Di Indonesia berhasilnya pembangunan khususnya dibidang Kesehatan berdampak positif pada UmurHarapanHidup (UHH). Proyeksi penduduk serta estimasi rata-rata
harapan hidup penduduk Indonesia menunjukkan transisi demografi yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 ratarata usia harapan hidup sekitar 67,8 tahun meningkat menjadi 70 tahun antara tahun 2005-2010. Persentase penduduk lanjut 42
usia, yaitu seseorang yang berusia di atas 60 tahun, sekitar 9,5% pada tahun 2005 akan menjadi 11% atau sekitar 28 juta pada tahun 2020 (Bappenas, BPS, dan UNFPA, 2005). Para ahli beranggapan 30-50% faktor gizi berperan penting dalam mencapai mempertahankan keadaan sehat yang optimal pada Lansia. Perubahan status gizi pada lansia disebabkan perubahan lingkungan maupun faali dan status kesehatan mereka. Perubahan ini akan makin nyata pada kurun usia decade 70an. Factor lingkungan antara lain meliputiperubahankondisiekonomiyang terjadi akibat memasuki masa pension, isolasi social berupa hidup sendiri setelah pasangannya meninggal, dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan mundurnya atau memburuknya keadaan gizi lansia, salah satu yang paling sering ditemukan adalah masalah anemia pada lansia di Indonesia sebesar 46,3% dilihat dari data Departemen kesehatan tahun 2002. Melihat besarnya masalah anemia pada golongan Lansia di Indonesia belum banyak diketahui, dan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada Lansia belum banyak dilakukan, Menelaah hal tersebut diatas maka kamitertarikuntuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia defisiensi besi pada lansia. Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, karena didaerah ini terdapat banyak golongan Lansia dari berbagai macam golongan tingkat sosial ekonomi sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan dalam upaya meningkatkan kesehatan golongan Lansia di masa yang akandatang.
PERUMUSAN MASALAH Menurunnya kadar Hb/terjadinya Anemia pada golongan Lansia sangaterathubungannya dengan beberapa faktor antara lain gaya hidup (status gizi,pola makan dan olah raga). Salah satu penyakit yang sering dialami akibat ketidakseimbangan gaya hidup adalah anemia gizi/defisiensi besi. Anemia akibat defisiensi zat besi merupakan defisiensi mikronutrient yang paling umum ditemukan di Indonesia, negara berkembang dan Negara maju. Pada lansia di kelurahan Pela Mampang Jakarta Selatan diketahui prevalensi anemia sebanyak 21% saaat studi pendahuluan. Berdasarkan data - data diatas maka perlu diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana terjadinya Anemia pada golongan Lansia dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. TINJAUAN PUSTAKA Dari data The national Old People`s Welfare Council di Inggris gangguan atau penyakit pada lansia ada 12 macam dan salah satunya adalah Anemia dan merupakan penyakit yang paling sering dijumpai pada golongan Lansia. Prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Prevalensi Anemia pada golongan Lansia meningkat secara signifikan setelah usia 75 tahun. Penyebab Anemia yang paling sering pada golongan Lansia adalah defisiensi zat besi dan penyakit kronik.Gejala dari Anemia adalah tubuh cepat lelah, sakit kepala, penglihatan berkunang-kunang, anoreksia dan nausea. Zat besi merupakan salah satu mineral utama yang diperlukan tubuh dan memegang peranan penting dalam beragam reaksi biokimia. Didalam tubuh seorang laki-laki dewasa diperkirakan terdapat kira-kira 50mg Fe/kg BB, sedangkan pada wanita jumlahnya lebih 43
kecil yaitu 35-38mg/kg BB. Duapertiga zat besi tubuh terdapat sebagai ikatan dengan Hemoglobin di dalam Eritrosit, dan 25% berada dalam bentuk cadangan zat besi yaitu Feriti dan Hemosiderin. Hanya sebagian kecil yang dapat ditemukan dalam plasma yang terikat transferin 0,1% atau dalanm enzim yang mengandung besi. Pada orang dewasa normal umumnya jumlah total zat besi relatif konstan. Zat Besi dalam makanan Zat gizi / besi dalam makanan penting untuk pembentukan sel darah merah, sehingga bila kebutuhan tidak mencukupi dapat menyebabkan menurunnya kadar Hb (Almatsier,2001). Zat besi dalam makanan dapat berbentuk hem,yaitu zat besi yang berkaitan dengan protein atau dalam bentuk non hem yaitu senyawa besi inorganik yang kompleks. Ketersediaan zat besi untuk tubuh berkaitan dengan kedua bentuk tersebut. Zat besi hem ,berasal dari hemoglobin dan mioglobin yang hanya terdapat dalam bahan makanan hewani, dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk kompleks zat besi porfirin dan mempunyai bioavailabilitas yang tinggi. Zat besi non hem umumnya terdapat didalam bahan makanan asal nabati dan tidak dapat diabsorpsi secara langsung dalam bentuk suatu kompleks anorganik. Selain itu absorpsi zat besi non hem sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan pemacu dan penghambat, sehingga kurang diabsorpsi dan bioavailabilitasnya rendah. Makanan yang menghambat absorpsi zat besi seperti kacang-kacangan yang mengandung asam fitat, teh/kopi yang mengandung tanin, asam oksalat pada sayuran, (Almatsier,2001). Zat besi jenis hem lebih mudah 10-20% untuk diserap b. Diketahuinya faktor umur, tingkat Pendidikan formal, tingkat
daripada zat besi nonHem yang hanya 15% (Muchtadi 1993) Dengan bertambahnya umur, asupan cairan perlu terjamin kecukupannya. Pusat haus dan sel - sel di ginjal menjadi kurang sensitive terhadap perubahan cairan tubuh. Lansia tidak mudah menjadi haus, dan ginjal mereka tidak efisien dalam mengkonsentrasikan urin sebagai respon terhadap perubahan volume cairan tubuh (Ktrechmer& Zimmermann, 1997) Keadaan Gizi Lansia Terjadinya kekurangan gizi pada lansia olehkarena sebab-sebab yang bersifat primer maupun sekunder. Sebab - sebab primer meliputi ketidaktahuan, isolasi social, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga asupan makan sehari-hari memang berkurang. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Kondisi kurang gizi pada lansia dapat berbentuk KKP (kekurangan kalori protein) kronik, baik ringan sedang maupun berat. Kekurangan zat gizi lain yang banyak muncul adalah defisiensi besi dalam bentuk anemia gizi, defisiensi B1 dan B12. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum: Mengetahui besaran anemia pada kelompok lansia, dan faktor sosio demografi yang mempengaruhi terjadinya anemia. Tujuan khusus: a. Diketahuinya kadar hemoglobin, hematokrit pada golongan Lansia penghasilan keluarga dan sumber informasi.
44
c. Diketahuinya hubungan antara kadar Hb dengan faktor tingkat Pendidikan formal, tingkat penghasilan keluarga dan sumber informasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu penelitian crosss sectional untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada golongan Lansia.
Karakteristik 1. Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 2. Status dalam Keluarga Seorang Diri Bersama Keluarga Di Panti Weda 3. Status Pernikahan Nikah Tidak Nikah Janda Duda 4. Tingkat Pendidikan Formal Tidak Tamat SD, Tamat SD Tamat SMPSMA/Sederajat Tidak Tamat Akademi/PT 5. Pekerjaan Pedagang Pengusaha Buruh Pensiunan Tidak Bekerja Lainnya 6. Jumlah Penghasilan < Rp. 650.000 Rp. 650.000-Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000-Rp. 1.500.00 > Rp. 1.500.000
UkuranSampel Penentuan Besar Sampel :
Dimana : n1 = besarsampelawal α =batas kemaknaan statistic yaitu 5% = 0,05 Z 1/2α = 1,96 p = Persentase taksiran defisiensi besi pada lansia dalam penelitian ini = 50% (dalam hal ini diambil 50% karena belum ada data sebelumnya) q = 1-p L = batas kesalahan yang dapat diterima = 10% n2= sampel terpilih n = jumlah populasi manula = 1387 orang sehingga:
Jumlah
Untuk menghindari adanya responden yang tidak berhasil ditemui, maka jumlah sampel ditambah 10%.
%
45 55
45 55
26 73 1
26 73 1
63 3 19 15
63 3 19 15
39
39
40
40
21
21
10 6 1 33 42 8
10 6 1 33 42 8
33 21
33 21
23
23
23
23
100
100
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. berdasarkan karakteristik jenis kelamin dan kelompok umur, status pernikahan, tingkat pendidikan formal, pekerjaan dan jumlah penghasilan 45
n
disajikan dalam Tabel 1.1. Dari tabel tersebut bisa diketahui bahwa sebagian besar sampel adalah perempuan dengan presentasi 55%. Hal ini menjadi gambaran bahwa sebagian besar responden adalah yang berada di Kelurahan Pela Mampang, Kec.Mampang Prapatan ,Jakarta Selatan adalah perempuan.
Pengetahuan Kurang Sedang Baik Jumlah
Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan formal sampel sebagian besar (40%) adalah tamat SMP-SMA/Sederajat, jenis pekerjaan yang banyak ditemukan pada sampel adalah tidak bekerja dengan proporsi sebesar 42% dan jumlah penghasilan sampel sebagian besar 33% adalah < Rp. 650.000 yang artinya statusnya golongan menengah kebawah.
Tabel 1.4Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Gizi
%
12
12
51 37
51 37
100
100
Asupan Energi Asupan Protein Asupan Vit C ZatBesi
%
makan sebagian besar mempunyai kebiasaan minum air putih, namun ditemui
0,47 0,80
53,12 40,66
159,79 156,77
0,003 0,001
juga ada beberapa orang yang minum kopi / teh sehabis makan. 46
1707,09 55,90
AKG (%) 50,43 78,76
Ditinjau dari kebiasaan, sebagian besar responden penelitian makan dengan frekuensi 1-2 kali per hari. Makanan pokok pada umumnya nasi, dengan laukpauk tempe/tahu serta sayuran hijau. Konsumsi daging, ikan, buah-buahan cukup baik, di pihak lain kebiasaan minum susu dan makan makanan selingan / jajan cukup. Umumnya pada waktu dan sehabis
Tabel 1.3Tingkat Pengetahuan n
P Value
Konsumsi Energi, Proteindan vitamin C menunjukkan (p>0,05) berarti konsumsi Energi dan Proteintidak dijumpai perbedaan yang signifikan, tetapi pada konsumsi zat besi dan vitamin C menunjukkan (p<0,05) hasil yang signifikan.
Data sumber informasi diperoleh dengan kuesioner. Sumber informasi merupakan salah satu masukan akan suatu jenis pesan tertentu. Sebagian besar sampel mendapat informasi dari media cetak sebesar 51%. Hal ini menunjukan sampel sangat menyukai membaca yang bersumber dari media cetak seperti Koran, majalah, dan sebagainya.
Tingkat
Rata-Rata Konsumsi Makanan Mean
Tabel 1.2 Sumber Informasi N
88 11 1 100
Sebesar 88% sampel dengan tingkat pengetahuan kurang terhadap anemia. Sampel dengan penyakit tertentu jika sering melakukan pemeriksaan tentang penyakitnya dapat mempengaruhi peningkatan pengetahuannya tentang penyakit diantarnya tentang gizi (mengetahui jenis makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk dikonsumsi).
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar responden tinggal bersama keluarga sebesar 73% dan sebesar 63% status pernikahan responden adalah menikah.
Sumber Informasi Media Elektronik Media Cetak Tenaga Kesehatan Jumlah
88 11 1 100
Dari hasil penelitian diatas yang menarik perhatian adalah konsumsi vitamin C yang cukup tinggi yang berasal dari sayursayuran segar dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi vitamin c yang cukup setiap hari dapat mempertinggi penyerapan zat besi, sehingga zat besi menjadi lebih tersedia untuk eritropoiesis, disamping itu dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap berbagai penyak itinfeksi.
Status Anemia Menurut Faktor Sosio Demografi Dari tabel diatas berdasarkan hasil analisis tidak menunjukan adanya pengaruh antara jenis kelamin terhadap status anemia (p=0,370). Hanya jumlah penderita oada lansia perempuan lebih banyak. Dari status dalam keluarga responden, tampak bahwa persentase anemia tetinggi terdapat pada responden yang tinggal bersama keluarga, yaitu sebesar 17%. Hasil analisis tidak menunjukan adanya pengaruh antara status dalam keluarga terhadap status anemia (p=0,795).
Tabel 1.5 Status Anemia Kadar Hb Anemia Tidak Anemia Jumlah
n 24 76 100
% 24 76 100
Dari tingkat pendidikan diketahui bahwa persentase anemia tertinggi terdapat pada responden dengan pendidikan Tamat SMP-SMA/Sederajat, yaitu sebesar 11%. Hasil analisis tidak menunjukan adanya pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap status anemia (p=0,493) dan yang memiliki status anemia tertinggi pada jenis pekerjaan responden yaitu tidak bekerja sebesar 12%. Hasil analisis tidak menunjukan adanya pengaruh antara jenis pekerjaan terhadap status anemia (p=0,482).
Untuk mengetahui status anemia gizi sampel dilakukan pemeriksaan kadar haemoglobin (Hb) dengan menggunakan alat spectrophotometer, yang dinyatakan dalam satuan g/dl. Dinyatakan anemia untuk laki-laki apabila Hb < 13 g/dl dan perempuan apabila Hb < 12 g/dl. Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Haemoglobin dapat diketahui prevalensi tidak anemia sebesar 76%. Tabel 1.6Status Kekentalan Darah (Ht) Kadar Ht Normal Rendah Jumlah
n 25 75 100
Kemudian dilihat dari jumlah penghasilan responden diketahui bahwa persentase status anemia tertinggi terdapat pada responden yang berpenghasilan < Rp. 650.000, yaitu sebesar 13%. Dari hasil analisis diketahui adanya pengaruh jumlah penghasilan terhadap status anemia (p=0,02). Hasil analisa lanjut mendapatkan nilai OR=2,274, artinya responden perempuan mempunyai risiko menjadi anemia sebesar 2,274 kali dibandingkan dengan responden laki-laki.
% 25 75 100
Penetapan kadar hematokrit dilakukan secara otomatis di laboratorium. Hematokrit diukur dari volume sel ratarata dan hitung sel darah merah. Nilai normal hematokrit (Ht) sangat bervariasi menurut masing-masing laboratorium dan metode pemeriksaan (Gandasoebrata R, 2006, Weterburi L, 2001). Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Hematokrit dapat diketahui prevalensi Hematokrit rendah sebesar 75%.
47
Tabel 1.7 Karakteristik Responden menurut Faktor Sosio Demografi dan Status Anemia Faktor Sosio demografi Anemia (n=24) % Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Status Dalam Keluarga Seorang Diri Bersama keluarga Di Panti Weda Tingkat Pendidikan Formal Tidak Tamat SD, Tamat SD Tamat SMP-SMA/Sederajat Tidak Tamat Akademi/PT Pekerjaan Pedagang Pengusaha Buruh Pensiunan Tidak Bekerja Lainnya Jumlah Penghasilan < Rp. 650.000 Rp. 650.000-Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000-Rp. 1.500.00 > Rp. 1.500.000
Status Anemia Tidak Anemia (n=76) %
P value
10
35
0,370
14
41
7 17 0
19 56 1
0,795
10 11 3
29 29 18
0,493
4 2 0 5 12 1
6 4 1 28 30 7
0,482
13 5 5 1
20 16 18 22
0,02
Tabel 1.8 Status Anemia menurut Faktor Sumber Informasi Sumber Informasi
Sumber Informasi Media Elektronik Media Cetak Tenaga Kesehatan
Faktor determinan status anemia menurut faktor sumber informasi dijelaskan pada tabel diatas. Faktor sumber informasi meliputi media elektronik, media cetak dan tenaga kesehatan. Dilihat dari faktor sumber informasi tampak adanya pengaruh peningkatan persentase anemia pada responden yang berasal dari media cetak sebesar 18%. Hasil analisis menunjukan adanya pengaruh antara sumber informasi terhadap status anemia (p=0,025).
Status Anemia P value Anemia Tidak (n=24) Anemia (n=76) % % 1
11
18
33
5
32
0,025
48
hematokrit terhadap status anemia (p=0,001). Dapat dikatakan bahwa meskipun angka anemia sebesar 24 % pada kelompok lansia tersebut, namun 51% sudah defisiensi zat besi dilihat dari kadar hematokritnya yang rendah. Bila tidak segera ditangani, maka kasus anemia ini bisa semakin banyak.
Tabel 1.9 Status Anemia menurut Faktor Tingkat Pengetahuan Tingkat Status Anemia P Pengetahuan Anemia Tidak value (n=24) Anemia (n=76) % % Tingkat Pengetahuan Kurang 21 67 0,826 Sedang 3 8 Baik 0 1
KESIMPULAN DAN SARAN Dengan melihat hasil dan pembahasan penelitian maka dapat diambil kesimpulan yaitu hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi pada lansia di Pela Mampang sebanyak 24% dengan tingkat pendidikan 40% adalah tamat SMA. Sebanyak 42% Lansia tersebut tidak bekerja dan 33% memiliki penghasilan kurang dari Rp. 650.000 yaitu 27% dari upah minimum provinsi DKI Jakarta. Pada lansia yang anemia, 54 ,2% memiliki penghasilan rendah (p<0.05) sementara sumber informasi pada kelompok lansia yang tidak anemia 42% dari edukasi gizi tenaga kesehatan (p<0.05). Kadar hematokrit pada lansia yang belum anemia sebanyak 67,1% sudah rendah, artinya risiko anemia defisiensi besi pada kelompok tersebut tinggi.
Faktor determinan status anemia menurut faktor tingkat pengetahuan dijelaskan pada tabel diatas. Faktor tingkat pengetahuan meliputi tingkat pengetahuan kurang, sedang dan baik. Dilihat dari faktor tingkat pengetahuan tampak peningkatan persentase anemia pada responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang sebesar 21%. Hasil analisis tidak menunjukan adanya pengaruh antara tingkat pengetahuan terhadap status anemia (p=0,025).
Tabel 1.10Status Anemia menurut Faktor Status Hematokrit Status Hematokrit
Status Hematokrit Rendah Normal
Status Anemia Anemia Tidak (n=24) Anemia (n=76) % % 24 0
51 25
Dari hasil penelitian ini maka dibutuhkan penelitian lanjutan untuk membandingkan faktor risiko anemia yang berpengaruh pada kelompok lansia yang anemia defisiensi besi, untuk dibandingkan dengan kelompok lansia yang tidak anemia defisiensi besi, dengan jumlah sampel yang berimbang supaya nyata perbedaannya. Dan penelitian lanjutan mengenai hubungan rendahnya kadar hematokrit dengan penyakit yang di derita oleh lansia.
P value
0,001
Faktor determinan status anemia menurut faktor status hematokrit dijelaskan pada tabel diatas. Faktor status hematokrit meliputi rendah dan normal. Dilihat dari faktor status hematokrit tampak peningkatan persentase anemia pada responden yang memiliki status hematokrit rendah sebesar 24%. Hasil analisis menunjukan adanya pengaruh antara status
DAFTAR PUSTAKA 1.
49
Almatsier, 2001. Prinsip dasar Ilmu Gizi. Gramedia .Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
2.
3.
4. 5. 6.
7.
8. 9.
Ausman LM, Russel RM. Nutrition and The Elderly, In: Linder MC Nutritional Biochemistry and Metabolism Eith Clinical Application. Elsevier Science Publishing Inc. New York, 2nded, 1991:373-385 Boedhi Darmojo. 2006. Teori proses menua .Buku Ajaaar Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Balai Penerbit FK UI Cook JD. 1990. Adaptation Iron Metabolism. American Journal Clinical Nutrition Gibson RS. 1990 Principles of Nutrition Assesment. New york. OxfordUniversity Press Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA.1989 .Water and Minerals MetabolismIn Review of physiological chemestry. California Medicaal Publication. Jellife DB. The assessment of the nutritional status of the community. WHO, Geneva 1966 : p.10-47; 50-57; 238-242 Kohr M.1992 Evaluation of Nutrition Program for Elderly. American Journal Clinical Nutrition Kretchtmer N, Zimmermann. M. Nutrition and older adulthood in
10. 11. 12.
13.
14.
15. 16.
50
Develoopment Nutritional. Allyn& Bacon, Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore, 1997:604:666 Mangunegoro H, Yunus F.1992 Pencegahan penyakit paru pada usia lanjut MKI Muchtadi D, 1993. Metabolisme Zat Gizi , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Pennington CR. Theurapeutic Nutrition: A Practical Guide. Chapman and Hall Ltd., University Press, Cambridge. 1988:63-66 Podrabsky M. Nutrition in ageing .In : Mahan KL, Arlin MT (eds). Kraus’s food. Nutrition and Diet therapy. W Saunders Co. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, 8thed, 1992;243-255 Whitney EN, Catslfo CB, Roites, SR. Aging Process The letter years. West Publishing Co. St. Paul, New York, Los Angelos, San Fransisco, 1987; 549-573 http://www.datastatistikindonesia.com http://www.komnaslansia.go.id : Resensi Buku: Kondisi SosialEkonomi Lanjut Usia di Indonesia
GAMBARAN KEBIASAAN SARAPAN PAGI ANAK-ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI DI PONDOK LABU, JAKARTA SELATAN TAHUN 2011 Nur Intania Sofianita, S.I.Kom, MKM1 , Firlia Ayu Arini, SKM,MKM2 Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan UPN ”Veteran” Jakarta Jln. Limo Raya Depok 16515. Telp. (021) 7532884, 7546772. Fax. 7532884
[email protected] ABSTRACT Breakfast is eating behavior that always be done every morning before doing routine daily activities. For school-aged children, breakfast is an energy source to do school activities like study and play during school time, but in reality not all children breakfast, this can interfere brain activity and function in following the learning process in class. The purpose of this study are, to get description about student’s breakfast habit at SDN Pondok Labu, 3,4,9, and 10, in South Jakarta. Design of this study is descriptive cross sectional, data were collected by questionere, and food recall of 3 days breakfast in a row. The results showed that not all children used to eat breakfast every day with an average energy eaten breakfast yet sufficient 25% share of breakfast based on the energy according to age and sex (AKG.2004), most children express breakfast is available at home with the type of food eaten for breakfast most was rice and eggs / fish, the reason most respondents skip breakfast because they do not have time for breakfast, almost all respondents snacking at school every day and replace breakfast with snack such as nasi uduk/nasi kuning, and assessment of nutrition knowledge include attitudes of respondents towards breakfast is good. To gain nutrition knowledge of students at those schools, Education, Communication and Information, program should be added in school’s curriculum. Keywords: Breakfast, Knowledge and Attitudes ABSTRAK Sarapan adalah kegiatan makan pada pagi hari yang dilakukan seseorang sebelum berangkat beraktivitas dengan makanan yang terdiri dari zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Bagi anak-anak yang masih sekolah sarapan merupakan sumber energi membekali diri sebelum berangkat ke sekolah, dan energi tersebut digunakan untuk aktivitas dan belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebiasaan sarapan pagi anak-anak yang meliputi kebiasaan dan ketersediaan sarapan, jenis makanan yang dimakan saat sarapan, alasan apabila melewatkan sarapan, kebiasaan dan jenis jajan sebagai pengganti sarapan apabila tidak sarapan dirumah, pengetahuan dan sikap anak terhadap sarapan pagi dan jumlah energi rata-rata sarapan pada anak-anak SDN di Pondok labu, Jakarta selatan. Penelitian ini dilakukan pada 300 siswa kelas 3,4, dan 5 di SDN 3,4, 9 dan 10 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan pengambilan data menggunakan kuesioner dan wawancara makanan yg dimakan saat sarapan (food recall 3 days). Analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang terbiasa sarapan pagi setiap hari sebesar 71,7% dengan rata-rata energi sarapan 243 kilokalori, ketersediaan sarapan pagi dirumah sebanyak 85% anak menyatakan selalu tersedia sarapan dirumah setiap harinya dengan jenis makanan untuk sarapan terbanyak yang dimakan oleh anak sebesar 51,7% adalah nasi dan telur/ikan, alasan responden melewatkan sarapan pagi adalah tidak sempat untuk sarapan sebesar 77,3, kebiasaan jajan responden sebesar 97,7% responden jajan disekolah setiap harinya dan yang mengganti sarapan dengan jajan dikantin sekolah sebanyak 85,3% dengan jenis jajanan yang dibeli sebagai pengganti sarapan terbanyak sebesar 42,3% yaitu nasi uduk dan nasi kuning, pengetahuan gizi responden sebesar 73% dengan kategori pengetahuan baik dan sikap responden terhadap sarapan pagi kategori 51
baik sebesar 89,7%. Disarankan untuk menambah pendidikan gizi pada kurikulum sekolah dan melaksanakan penyuluhan gizi secara rutin sebagai salah satu program UKS yang melibatkan siswa. Kata kunci: sarapan, pengetahuan, sikap
PENDAHULUAN Sarapan adalah kegiatan makan pada pagi hari yang dilakukan seseorang sebelum berangkat beraktivitas dengan makanan yang terdiri dari zat tenaga, zat pembangun dan sumber zat pengatur. Bagi anak-anak yang masih sekolah sarapan merupakan sumber energi membekali diri sebelum berangkat ke sekolah, dan energi tersebut digunakan untuk aktivitas dan belajar di sekolah. Menurut Saidin dkk (1991) Dengan sarapan pagi lambung akan terisi kembali setelah 8-10 jam kosong sehingga kadar gula dalam darah meningkat lagi. Keadaan ini ada hubungannya dengan kerja otak terutama konsentrasi belajar pada pagi hari. Dampak melewatkan sarapan selain merosotnya konsentrasi belajar dan nantinya mengarah pada menurunannya prestasi belajar anak. Melewatkan waktu sarapan juga berdampak tekanan darah rendah. Glukosa yang terdapat dalam makanan sarapan sangat terlibat dalam mekanisme daya ingat (kognitif) memori seseorang, meskipun tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan. Bila terjadi keterlambatan masukan zat gizi (asupan gula ke dalam sel darah) maka dapat menurunkan daya konsentrasi anak sewaktu belajar yang timbul karena rasa malas, lemas, lesu dan pusing juga mengantuk yang nantinya berujung anak terkena anemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan dan status anemia berpengaruh terhadap daya konsentrasi anak sehingga akan mempengaruhi prestasi belajarnya (Jalal.2000). Untuk memberikan nutrisi yang benar pada anak usia sekolah harus dilihat dari banyak aspek seperti ekonomi,
sosial, budaya dan agama disamping medik dari anak itu sendiri. Makanan pada anak usia sekolah harus selaras (sesuai kondisi, ekonomi sosial budaya serta agama dari keluarga), serasi (sesuai dengan tingkat tumbuh kembang anak) dan seimbang (nilai gizinya harus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan usia dan jenis bahan makanan seperti karbohidrat, protein dan lemak). Menurut Muhilal (1998) porsi makan/sarapan hendaklah mencukupi 25% dari angka kebutuhan energi dan zat gizi lainnya dari angka kecukupan gizi sehari anak sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermina dkk pada tahun 1999 terhadap 294 siswa dari 2 SD dikotamadya Bogor menunjukkan anak yang biasa sarapan sebanyak 71,7%. Selanjutnya hasil penelitian Ningsih yang dilakukan pada anak kelas 4,5,dan 6 di SDN 07 pagi Jakata Timur sebesar 46,9% responden yang terbiasa sarapan. Hasil penelitian oleh Syafnidar (2007) di SDN Beji 7 Depok menunjukkan anak yang biasa sarapan sebesar 85,10%. Hal ini menunjukkan tidak semua anak membiasakan sarapan dan hal ini dapat berdampak dengan terganggunya aktivitas dan fungsi otak dalam mengikuti proses pembelajaran dikelas. Untuk itu peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai gambaran kebiasaan sarapan pagi anak-anak Sekolah Dasar Negeri di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sekolah yang terdapat di daerah Pondok Labu yaitu SDN 03, SDN 04, SDN 10, dan SDN 09. Peneliti tertarik mengambil lokasi di SDN yang terdapat di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan ini karena menurut penelitian-penelitian 52
sebelumnya tidak semua anak sarapan pagi dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai sarapan pagi di SDN tersebut. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian dengan mengkaji lebih dalam mengenai gambaran kebiasaan sarapan pagi anak-anak Sekolah Dasar Negeri di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebiasaan sarapan pagi anak-anak yang meliputi kebiasaan dan ketersediaan sarapan, jenis makanan yang dimakan saat sarapan, alasan apabila melewatkan sarapan, kebiasaan dan jenis jajan sebagai pengganti sarapan apabila tidak sarapan dirumah, pengetahuan dan sikap anak terhadap sarapan pagi dan jumlah energi rata-rata (dalam satuan kilo kalori) sarapan dengan menggambil data sarapan responden selama 3 hari dengan tekhnik wawancara (food recall 3 days). Manfaat penelitian secara akademik adalah menambah wawasan tentang pengetahuan mengenai kebiasaan sarapan pagi anak sehingga dengan hasil penelitian ini dapat menambah efektifitas pelaksanaan promosi gizi kesehatan pada masyarakat. Manfaat untuk sekolah dan lembaga kesehatan terkait adalah untuk pembuatan program gizi dan program UKS untuk meningkatkan keadaan gizi anak. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan variabelvariabel yang dikategorikan dan disusun berdasarkan kerangka teori model analisis ini dikembangkan oleh Lund dan Burk (1969) yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Teori tersebut menyatakan dirancang untuk mempelajari bagaimana kebiasaan makan terbentuk dalam proses perkembangan anak-anak. Mereka mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi karena ada motivasi (needs,
drives, desires) yang ditentukan oleh beragam proses kognitif mencakup, persepsi, memori, berpikir memutuskan dan bertindak. Seseorang yang bertindak atau melakukan sesuatu kegiatan bukanlah terjadi begitu saja, akan tetapi selalu ada yang mendorongnya dan selalu ada yang dituju, faktor yang mendorong itulah yang disebut motif dan tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan eksistensinya. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya mencakup tiga macam salah satunya kebutuhan biologis: anak-anak memerlukan makanan dan zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, dan ada faktor lain yang berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu : - Pengetahuan dan kepercayaan anakanak terhadap makanan - Sikap dan pengetahuan anak-anak terhadap makanan Seperti terlihat pada model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak Lund and Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan kebiasaan makan keluarga yaitu : lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Dalam penelitian ini dalam lingkungan keluarga terdapat faktor ketersediaan sarapan pagi yang biasanya disediakan oleh ibu. Sementara itu faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah yang dapat diangap penting dalam model Lund dan Burk dimana sangat menentukkan pola kebiasaan makanan anak-anak adalah - Pengalaman dari pendidikan gizi di sekolah - Pengetahuan dan sikap terhadap makanan khususnya sarapan pagi
53
Penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif cross sectional dengan variabel dependen kebiasaan sarapan pagi pada anak-anak SDN didaerah Pondok Labu, variabel independen penelitian terdiri atas : ketersediaan dan jenis makanan untuk sarapan, alasan tidak sarapan, kebiasaan dan jenis jajan sebagai pengganti sarapan apabila tidak sarapan dirumah, pengetahuan dan sikap anak terhadap sarapan pagi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program statistika komputer yaitu SPSS 13 dan pengolahan data ;di analisis dengan menggunakan nutrisurvey untuk mengetahui jumlah energi yang diperoleh dari makanan saat sarapan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November tahun 2011. Populasi penelitian adalah semua siswa di SDN 03,04,09 dan 10 Pondok labu dan sebagai subjek atau sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3,4, dan 5 SDN 03,04,09 dan 10 Pondok labu. Teknik pengambilan sampel berdasarkan literatur Notoatmodjo (2002) dengan rumus sebagai berikut : n=
N_____ 1 + N (d2)
Keterangan : N = besar populasi n = besar sampel d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan yaitu 5% n=
853_________ 1 + 853 X (0,052) = 272,30 ~ 272 sampel Ditambah 10% = 299,53 ~300 Dengan kriteria inklusi: 1) laki-laki atau perempuan kelas 3,4 dan 5 dalam keadaan sehat, 2) dapat berkomunikasi dengan baik
dan, 3) bersedia menjadi subjek penelitian dan hadir pada saat dilakukan pengambilan data. Kriteria eksklusi 1) Tidak bersedia ikut dalam penelitian dan 2) Tidak kooperatif selama pengambilan data berlangsung Pengambilan data diambil 1 kali dan dalam pengambilan data ini peneliti dibantu oleh 2 orang mahasiswa keperawatan UPN “Veteran” Jakarta yang sebelumnya sudah dijelaskan mengenai tujuan penelitian dan cara pengambilan data penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Energi Sarapan Responden Hasil analisis food recall 3 days sarapan pagi responden rata-rata energi makanan yang dimakan pada saat sarapan pagi yang dihasilkan sebesar 243 kilokalori dengan minimum 64 kilokalori dan maksimum 467,56. Berarti hasil ini belum mencukupi 25% porsi untuk sarapan pagi yang dianjurkan setiap hari nya. dimana seharusnya anak umur 7-9 thn 450 kilokalori dan anak umur 10-12 tahun 512,5 kilo kalori baik laki-laki maupun perempuan. Kebutuhan energi umur golongan umur 10-12 tahun relatif besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan mulai umur 1012 tahun. Kebutuhan gizi anak-laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas fisik, sehingga membutukan energi lebih banyak. Sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai haid sehingga memerlukan protein dan zat besi lebih banyak. Golongan anak yang disebut sebagai golongan anak sekolah ini biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan, sarapan perlu
54
diperhatikan untuk mencegah hipoglikemi dan supaya anak lebih mudah menerima pelajaran Gambaran Kebiasaan Sarapan Pagi Hasil penelitian ini menunjukkan 71,7% anak yang melakukan sarapan pagi setiap hari. Hasil ini membuktikan bahwa tidak semua anak terbiasa sarapan pagi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Syafnida (2007) pada anak-anak sekolah dasar di Depok dengan kebiasaan sarapan pagi sebesar 85,10% dan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2005) pada anak-anak sekolah dasar di Jakarta timur sebesar 46,9%. Menurut Apriadji (2001) bahwa tidak sarapan pagi berarti kebutuhan harian beberapa vitamin dan mineral menjadi tidak tercukupi. Sekali saja anak tidak sarapan pagi, konsumsi vitamin A, E, B6, riboflavin dan tiamin serta mineral kalsium, fosfor, magnesium dan zat besi rata-rata kurang dari 2/3 kecukupan per hari. Padahal zat gizi tersebut sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang anak. Bobrof dkk (1996) sarapan pagi dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi kebutuhan gizi harian anak sekolah dasar. Selain itu kebiasaan sarapan pagi juga dapat berpengaruh pada penampilan fisik, kemampuan motorik dan juga fungsi kognitif pada anak sekolah. Kenyataannya hasil penelitian masih ada sekitar 28,3% anak sekolah seringkali melewatkan sarapan pagi. Hal ini terutama terjadi dengan berbagai alasan. Ada yang merasa waktu sangat terbatas dan tidak sempat sarapan karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi dan tidak selera sarapan. Tanpa sarapan pagi akan terjadi kekosongan lambung sehingga kadar gula akan menurun. Padahal gula darah merupakan sumber energi utama bagi otak. Dampak negatifnya adalah ketidakseimbangan sistem syaraf pusat
yang diikuti dengan rasa pusing, badan gemetar atau rasa lelah. Dalam keadaan demikian anak akan sulit untuk dapat menerima pelajaran dengan baik, gairah belajar akan dan kecepatan reaksi akan turun (Khomsan 2001) Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan sarapan pagi dirumah sebanyak 85% anak menyatakan selalu tersedia sarapan dirumah setiap harinya, dan jenis makanan untuk sarapan terbanyak yang dimakan oleh anak sebesar 51,7% adalah nasi dan telur/ikan. Sarapan pagi mungkin terdengar sangat sepele. Namun bagi anak sangatlah penting untuk mendukung aktivitas belajar di sekolah. Sarapan bukan sekedar pengganjal perut sebab sarapan pagi yang tepat akan dapat mempersiapkan anak untuk beraktivitas di sekolah sekaligus mempersiapkan otak agar dapat bekerja lebih optimal. Idealnya sarapan pagi harus dapat memenuhi 1/3 bagian dari konsumsi makanan per orang setiap harinya. Sarapan yang baik bukan hanya ditujukan untuk mengenyangkan tapi terlebih harus bergizi lengkap dan seimbang. Ilmu gizi memberikan formula yang baik untuk menu makanan (dalam penyajian) yaitu : karbohidrat (55-70 %) contohnya nasi, roti, jagung, oatmeal dan kentang ; protein (12 – 15 %) contoh telur, tempe, tahu, ikan, dan daging ; lemak (20 – 25 %) , vitamin dan mineral juga serat yang terkandung dalam sayur dan buah. Pilihan menu untuk sarapan pagi diantaranya; Sepotong roti/sandwich, 1 potong buah dan segelas susu ; omellete dan jus jeruk ; Contoh diatas dapat disubstitusi dengan menu yang lebih sederhana seperti nasi goreng, telur dadar dan irisan mentimun dan segelas susu ; bubur ayam lengkap; nasi, orak-arik (oseng-oseng) sayur dan telur. (sumber: kuliner.com)
55
Ada beberapa alasan anak-anak melewatkan sarapan, salah satu alasan yang paling banyak adalah dikarenakan tidak sempat untuk sarapan dalam penelitian ini sebesar 77,3 hal ini disebabkan karena harus berangkat pagipagi kesekolah sehingga tidak menyempatkan dan mempersiapkan sarapan sebelum kesekolah. Menurut penelitian Dr. Ronald Kleinman dari Harvard Medical School menemukan bahwa resiko menjadi obesitas menurun 3 kali lipat pada orang yang teratur sarapan pagi dibanding mereka yang
melewatkannya. Jika kita melewatkan sarapan pagi maka akan menimbulkan suatu keadaan ‘kelaparan’ pada tubuh. Keadaan ‘kelaparan’ inilah yang akan memacu tubuh untuk makan lebih banyak lagi, tidak hanya pada makan siang melainkan pada sepanjang hari itu dengan ngemil dan jajan sembarangan yang dapat terjadi pada anak sekolah. Sehingga salah satu manfaat sarapan pagi yaitu untuk mengendalikan nafsu makan yang berlebihan yang dapat memicu resiko obesitas.
Tabel 1. Rata-Rata Energi Sarapan Responden Variabel Mean Minimum Energi Sarapan 243 kkal 64,01 kkal Kelompok umur (25% Jumlah berdasarkan AKG 2004) <25% 7-9 thn 164 0 10-12 133 0 Tidak pernah sarapan (3 anak)
Maximum 467,56 kkal % 100 97,8 2,2
Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Sarapan, Ketersediaan Sarapan dan Alasan Melewatkan Sarapan Variabel Kebiasaan Sarapan Jenis Makanan Utk Sarapan
Ketersediaan Sarapan
Alasan Melewatkan Sarapan
Kategori Selalu Sarapan Kadang Sarapan Total Nasi, Telur/Ikan Roti & Susu Mie Instant Lain-lain Total Selalu Tersedia Kadang Tersedia Total Malas Tidak tersedia Tidak sempat Lain-lain Total
56
Jumlah
(%)
215 85 300 155 111 15 19 300 255 45 300 42 24 232 2 300
71,7 28,3 100 51,7 37 5 6,3 100 85 15 100 14 8 77,3 7 100
Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Jajan, Mengganti Sarapan Dengan Jajan, Jenis Jajan Untuk Sarapan Variabel Kebiasaan jajan
Kategori
Jumlah
(%)
293
97,7
7
2,3
Total
300
100
Ya
256
85,3
Tidak
44
14,7
Total
300
100
Nasi uduk/nasi kuning
127
42,3
Kue/roti
88
29,3
Susu kemasan
13
4,3
Mie goreng
49
16,3
Gorengan
10
3,3
Tidak jajan
13
4,3
Total
300
100
Tiap hari Jajan Tidak jajan
Mengganti Sarapan dengan jajan
Jenis Jajanan untuk Sarapan
Hasil penelitian ini menunjukkan hampir semua anak jajan disekolah setiap harinya yaitu 97,7% dan yang mengganti sarapan dengan jajan dikantin sekolah sebanyak 85,3% dengan jenis jajanan yang dibeli sebagai pengganti sarapan terbanyak sebesar 42,3% yaitu nasi uduk dan nasi kuning. Kebiasaan jajan pada anak tidak dapat dianggap sepele sebab kebiasaan jajan pada anak tidak saja merugikan ekonomi rumah tangga, tetapi juga dapat mengancam kesehatan dan pertumbuhan fisik serta kecerdasan dan kreativitas anak anak. Menurut hasil penelitian IPB bogor tahun 2001-2002 bahwa sebagian besar jajanan anak sekolah berupa makanan dan
minuman yang tidak memnuhi syarat kesehatan. Dari 34 sampel makanan dan 13 sampel minuman yang diteliti dilaboratorium ditemukan 58,8% makanan dan 73,3% minuman mengandung bakteri ecoli,enterobacter, pemakaian zat warna atau pengawet atau sakarin. Ditemukan juga bahwa dari 13 SD yang dijadikan sampel, sebanyak 16,9% siswanya pergi kesekolah tanpa sarapan, akibat mereka jajan diwarung atau dipedangang asongan (Anonymous, 2003) Peredaran makanan jajanan anak disekolah yang tidak higienis dan memakai bahan kimia bukan untuk makanan masih marak. Hasil uji yang dilakukan BPPOM terhadap makanan
57
jajanan anak sekolah di 195 SD di provinsi diketahui 39,95% (344contoh) tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Es sirup atau buah (48,19%) dan minuman ringan (62,50%) juga mengandung bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen. Jenis lainnya yang tidak memenuhi syarat adalah saus dan sambal (61.54%) serta krupuk (56,25%) (Depkes.2005).
Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan dan Sikap Terhadap Gizi Sarapan Pagi Variabel Pengetahuan
Sikap
Kategori Baik Kurang Total Baik Kurang Total
Jumlah
(%)
219 81 300 269 31 300
73 27 100 89,7 10,3 100
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai gizi responden 73% pengetahuan baik dan 27% pengetahuan kurang. Dalam penelitian ini penggolongan pengetahuan baik dan kurang dibedakan berdasarkan hasil skor akhir. Dari 10 pertanyaan pengetahuan dan 10 pernyataan sikap, dengan 1 pertanyaannya diberi skor 10 jika responden menjawab benar dan 0 jika salah, sehingga responden berpengetahuan baik nilai skornya 80 sampai dengan 100 dan yang berpengetahuan kurang nilai skornya 60 sampai dengan 79. Menurut Hussaini (1995) Jika pengetahuan gizi seseorang tinggi maka cenderung untuk memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang tinggi. Peningkatan pengetahuan dimungkinkan karena ada bentuk kesadaran siswa setelah mendapatkan informasi dari berbagai media baik dari lingkungan sekolah,
keluarga atau dari masyarakat tempat anak-anak beraktivitas. Menurut WHO (1998) dalam “Who information series on school health, Healthy Nutrition: An Essential Element of a Health- Promoting School mengatakan bahwa Pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, perilaku dan kondisi yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi, pola makan dan kebiasaan makanan. Misalnya, ada seorang anak tidak tahu mengenai makanan yang bergizi, dipengaruhi oleh kepercayaan lokal atau takhayul yang mencegah orang makan makanan tertentu dan apakah makanan yang dimakan mempunyai higienitas yang tinggi. Informasi ini sangat penting untuk merancang strategi promosi kesehatan yang efektif karena nilai-nilai, keyakinan dan sikap positif atau negatif mempengaruhi perilaku dan kondisi yang terkait dengan gizi dan kesehatan. Menurut Muniroh dan Sumarmi (2002), salah satu variabel yang secara tidak langsung mempengaruhi status gizi adalah tingkat pengetahuan gizi. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang kebutuhan tubuh akan zat izi menentukan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Menurut Notoatmodjo (1997) pengetahuan sangat penting untuk membentuk perilaku seseorang. Perilaku seseorang terbentuk dimulai dari pengetahuan tentang suatu objek selanjutnya menimbulkan respon dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya. Adi (1998) mengungkapkan bahwa meskipun suatu keluarga mempunyai daya beli dan kesediaan pangan yang cukup belum menjamin tercukupinya konsumsi pangan karena pengetahuan pangan dan gizi yang kurang, sehingga kesulitan dalam memilih dan memanfaatkan jenis makanan yang sehat baik kualitas, kuantitas dan keamanannya.
58
Hasil penelitian menunjukkan sikap responden terhadap sarapan pagi kategori baik sebesar 89,7% hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Lund dan Burk (1969) dalam Suhardjo (1989). Model yang dirancang untuk mempelajari bagaimana kebiasaan makan terbentuk dalam proses perkembangan anak-anak. Dalam model ini dikatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi karena ada motivasi ( needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam proses kognitif yang didalamnya mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk bertindak. Dan faktor yang berkaitan langsung dengan kognitif tersebut salah satunya adalah pengetahuan dan sikap anak-anak terhadap makanan. Jika Pengetahuan gizi yang baik maka nantinya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang karena pengetahuan ini berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. (Napitu N. 1994).
dan mengganti sarapan dengan jajan dikantin sekolah dengan jenis jajanan yang dibeli sebagai pengganti sarapan terbanyak yaitu nasi uduk dan nasi kuning, penilaian pengetahuan dan sikap gizi responden dalam kategori baik. Agar semua anak dapat terbiasa sarapan pagi maka perlu diberikan penyuluhan gizi mengenai sarapan pagi yang dapat disampaikan melalui program UKS untuk meningkatkan keadaan gizi anak sekolah. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bahwa tidak semua anak terbiasa sarapan pagi setiap harinya dengan rata-rata energi sarapan pagi yang dimakan belum mencukupi 25% porsi sarapan pagi berdasarkan energi menurut umur dan jenis kelamin (AKG.2004). Sebagian besar anak menyatakan tersedia sarapan dirumah dengan jenis makanan yang dimakan untuk sarapan terbanyak adalah nasi dan telur/ikan. Alasan terbanyak responden melewatkan sarapan pagi karena tidak sempat untuk sarapan dan hampir semua responden jajan disekolah setiap harinya
4.
5.
6.
59
Adi, Anis Catur. 1998, Konsumsi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Tipe Agroekonomi di Wilayah Kabupaten Pasuruan Jawa Timur (Tesis). Program Pascasarjana Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Institut Pertanian Bogor, Bogor. Apriadji.2001. Mngapa Anak Sebaiknya dibiasakan Sarapan? Kumpulan artikel KOMPAS. Jakarta. Asih, Wiwin F. 2001, Status Gizi Remaja dan Faktor-faktor yang berhubungan pada Siswa SMUN 3 Bogor, (Skripsi). Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok Bobrof, et al, 1996. Encouraging Elementary School Children to Eat Breakfast. Journal of Nutrition Education Vol.23 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Pedoman Penyuluhan Gizi pada Anak Sekolah Bagi Petugas Puskesmas. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta. Green, L.W. 2005, Health Program Planning an Educational and Ecological Approach, Mc Graw Hill, New York.
7.
8.
9.
10.
11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
Green at all., (1980). Measurement And Evaluation In Health Education And Health Promotion. Mayfield Publishing Company Palo Alto., California. Hardiansyah. 1998, Kebiasaan Makan Pagi dan Jajanan Anak Sekolah Peserta Program Makanan Tambahan Anak Sekolah PMTAS di Kabupaten Bogor, GMSK Faperta IPB. Bogor. Husaini, M.A. 1992, Kebiasaan Makan, Konsumsi Jajanan dan Aspek-aspek Kesehatan Murid SD, Laporan Penelitian Gizi, Puslitang Gizi Bogor. Irawati, dkk, Pengetahuan Gizi Murid SD dan SLTP Kotamadya Bogor, Penelitian Gizi dan Makanan, Puslitbang Gizi. Jilid 15. Bogor. Judarwanto, W. 2009, Perilaku Makan Anak Sekolah. www.kesulitanmakan.bravehost.com Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Moehji, Sjahmien. 2003.Ilmu gizi II. Penanggulangan Gizi Buruk. Papas Sinar Sinanti. Jakarta. Muhilal. 1998. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah di Negara Lain dan di Indonesia. Buletin Gizi Indonesia XIII. Mulyazam, A. 2005, Gambaran Perilaku Sarapan pada Mahasiswa FKM UI Tahun 2005. (Skripsi). Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Muniroh dan Sumarmi, 2002, Faktorfaktor yang mempengaruhi Perbedaan Status Gizi Remaja Putri di Daerah Perkotaan dan Pedesaan Kabupaten Jombang, Bagian Gizi FKM UNAIR, Surabaya.
18. Napitu , N 1994. Perilaku Jajanan dikalangan Siswa SMA dipinggiran Kota DKI Jakarta, Thesis. IPB. Bogor. 19. Ningsih, Supriati. 2005. Kebiasaan Sarapan dan Faktor-faktor yang Berhubungan Serta Kaitannya Dengan Prestasi Belajar Siswa kelas IV, V, VI SDN 07 Jakarta Timur Tahun 2005. (Skripsi). Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 20. Notoatmodjo, Soekidjo Dr. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta., akarta 21. ______________________. (1997). Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta 22. Saidin S dkk. 1991, Hubungan Makan Pagi dengan Konsentrasi Belajar, Penelitian Gizi dan Makanan. Puslitbang Gizi. Bogor. 23. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I, Dian Rakyat, Jakarta. 24. Setyorini, Endang. 2005. Gambaran Perilaku Sarapan dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas 3 dan 4 di SD Daar Ei Salam Bogor Tahun 2005 [Skripsi]. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok 25. Siega, Ritz et-al.1998. Trends Breakfast Consumption for Children In The United State From 1965 to 1991.Amercan Journal Clinical Nutrition 26. Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Bogor. 27. Soewondo, S. & S. Sadli. 1989. Gizi
60
Perilaku dan Pendidikan Gizi Disekolah Dasar. Prosiding Simposium Pangan dan Gizi Serta Kongres IV Perhimpunan Peminat Pangan dan Gizi, Padang, Sumatera Barat. Puslitbang Gizi Bogor. 28. Syafnida, Maharizul. 2007. Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi 29. WHO, 1998. WHO Information Series On School Health. Healthy Nutrition: An Essential Element of a Health- Promoting School 30. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 2004. Angka
dengan Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar (SD) Kelas IV dan V di SDN Beji 7 Depok Tahun 2007. Skripsi FKM UI. Depok
Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi., Jakarta 17-19 Mei 2004, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Direktorat Standarisasi Produk dan Pangan. Jakarta.
61
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KEMAMPUAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA DI RUMAH SAKIT DR.SOEHARTO HEERDJAN TAHUN 2013 Darnuji1, Duma Lumban Tobing2 , Evin Novianti3 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta E-mail :
[email protected],
[email protected] [email protected] ABSTRAK Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi yang di tunjukan dengan kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Untuk kesembuhan pasien diperlukan dukungan keluarga karena keluarga tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Peran perawat dalam memotivasi keluarga merawat pasien yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan one group pretest dan post-test. Sampel berjumlah 17 responden. Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji Depedent T-Test dengan kemaknaan (p<0,05). Hasil Uji Depedent T-Test menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa dengan nilai P Value = 0,000. Saran diberikan kepada masyarakat dan keluarga untuk memberikan perhatian yang lebih dan dukungan untuk kesembuhan individu yang mengalami gangguan jiwa. Kata Kunci
: Pendidikan Kesehatan, Gangguan Jiwa, Keluarga
Daftar Pustaka
: 31 (2005-2012)
PENDAHULUAN Prevalensi gangguan jiwa di dunia cukup tinggi karena penyakit ini bersifat kronis. WHO (2009) memperkirakan sebanyak 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, terdapat sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Data WHO (2009)
mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, gangguan panik dan cemas adalah gejala paling ringan. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 4.6 permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk terdapat empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Depkes RI, 2009).
62
Penyebab umum gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor somato- psikososial (Yosep, 2009). Pada faktor sosiobudaya atau sosiokultural kestabilan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa tersebut. Maka dari itu, asuhan keperawatan tidak hanya berfokus pada penderita skizofrenia melainkan juga pada keluarga karena dukungan keluarga dapat membantu kesembuhan penderita skizofrenia. Asuhan keperawatan yang dilakukan kepada keluarga dapat berupa pendidikan kesehatan terkait masalah kesehatan yang dialami oleh keluarga tersebut. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien (Yosep, 2009). Dukungan keluarga adalah suatu persepsi mengenai bantuan yang berupa perhatian, penghargaan, informasi, nasehat maupun materi yang diterima pasien skizofrenia. Kondisi keluarga yang terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang kekambuhan. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait dengan “Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Anggota Keluarga dengan Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan”. TINJAUAN PUSTAKA 1. Skizofrenia Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang terganggu (Videbeck, 2008). Skizofrenia adalah penyakit otak persisten dan serius yang
63
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkrit, dan kesulitan dalam memperoses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006). Pada skizofrenia tidak terdapat gejala yang patognomik khusus. adapun manifestasi klinis yang diperlihatkan pada pasien skizofrenia terdiri dari 2 gejala, yaitu gejala positif dan gejala negatif (Hawari, 2012) : a. Gejala positif skizofrenia meliputi : 1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional namun penderita tetap menyakini kebenarannya. 2) halusinasi yaitu pengalaman panca indra tanpa ada rangsangan (stimulus), misalnya penderita mendengar suara-suara / bisikan-bisikan ditelingannya padahal tidak ada sumber dari suara atupun bisikan itu. Gejala positif skizofrenia amat mengganggu lingkungan (keluarga) dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat bahkan sampai dirawat di rumah sakit. b. Gejala Negatif skizofrenia Alam perasaan (Affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan ekspresi, menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun, kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam, pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan social , sulit dalam berpikir abstrak, pola pikir stereotip, tidak ada/ kehilangan kehendak dan tidak ada insiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton serta tidak ingin apa-apa dan serba malas. Gejala-gejala negatif skizoftenia seringkali tidak disadari atau kurang diperhatikan oleh pihak keluarga
karena tidak dianggap “mengganggu” sebagaimana halnya pada penderita skizofrenia yang menunjukan gejalagejala positif. Oleh karnannya pihak keluarga sering kali terlambat membawa penderita untuk berobat.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian menggunakan metode quasi eksperimental dengan one group pre-test dan post-test.. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan telah pernah dirawat di RS.Dr.Soeharto Heerdjan Jakarta. Sampel penelitian berjumlah 17 orang dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel purposive sampling.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat a. Karakteristik Responden Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Responden Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2013 (n=17) Variabel 1. Jenis Kelamin a) Laki-Laki b) Perempuan 2. Tingkat Pendidikan a) Pendidikan rendah b) Pendidikan tinggi 3. Pekerjaan a) Tidak bekerja b) Bekerja 4. Penghasilan a) < 2,2 juta (UMR Jakarta) b) ≥ 2,2 juta (UMR Jakarta)
Frekuensi
64
Presentase (%)
6 11
35,3% 64,7%
16 1
94,1% 5,9%
12 5
70,6% 29,4%
15 2
88,2% 11,8%
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan sejumlah 11 responden (64,7%), berpendidikan rendah sebanyak 16 responden (94,1%), tidak bekerja sejumlah 12 responden (70,6%) dan 15 (88,2%) responden memiliki penghasilan < 2,2 juta (UMR Jakarta) Hasil ini sejalan dengan penelitian Sarmauli (2012) yang membahas mengenai hubungan pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat pasien Skizofrenia dengan gejala relaps di RS. Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Tahun 2012 dengan hasil 58,1% responden adalah perempuan dan sebanyak 49,1% adalah laki-laki. Pada tahap perkembangan seorang perempuan memiliki rasa tanggung jawab dalam merawat ( Potter & Perry, 2005). Oleh karena itulah, terlihat lebih banyak kaum perempuan yang memberikan bentuk perhatian lebih kepada keluarga yang sakit dengan mengantarkan mereka yang sakit berobat hingga merawat mereka di rumah. Namun hal ini bukan berarti peran lakilaki tidak memiliki fungsi dalam membantu anggota keluarga yang sakit dan mendorong kesembuhan mereka. Keluarga memiliki fungsi yang penting dalam perawatan kesehatan yang berarti untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Jadi hal ini tidak membedakan peran seorang perempuan ataupun laki-laki untuk mendorong kesembuhan anggota keluarganya yang sakit. Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2012). Namun dalam hal ini tidak menjadikan seorang individu yang memiliki keluarga yang sakit putus asa
untuk mengetahui tindakan-tindakan perawatan yang baik di rumah. Rasa ingin tahu mereka terus tumbuh untuk membantu keluarga yang sakit agar dapat lekas sembuh hingga mereka tidak pernah lelah melakukan pengobatan di Rumah Sakit demi kesembuhan keluarga mereka yang sakit. Karena itulah dibutuhkan pengetahuan terkait dengan cara merawat anggota keluarga yang sakit. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu Pengetahuan inilah yang membantu keluarga dalam melakukan perawatan secara langsung kepada anggota keluarga yang sakit. Karena keluarga adalah pendukung utama dalam kesembuhan mereka yang sakit. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Remiati (2008) mengenai hubungan pengetahuan dan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pada klien skizofrenia di unit rawat jalan RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan dengan hasil 96 responden (77,4%) dari 124 responden yaitu pegawai swasta. Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang yang menjadi tumpuan dalam hidupnya. Biasanya orang yang bekerja lebih memiliki pengetahuan yang luas daripada yang tidak bekerja karena infomasi lebih mudah mereka dapatkan. Tapi lain halnya pada responden dalam penelitian ini. Meskipun sebagian besar dari mereka tidak bekerja namun mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mendapatkan infomasi yang sama demi kesembuhan keluarga mereka yang sedang sakit. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amelia (2011)
65
mengenai hubungan tingkat stres dengan strategi koping keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan penyakit TB Paru di Kecamatan Bekasi Timur tahun 2011 dengan hasil sebanyak 22 responden (30,6%) memiliki penghasilan dibawah UMR Jakarta yaitu 2,2 juta sedangkan 50 responden (69,4%) memiliki penghasilan diatas UMR Jakarta. Dalam mendapatkan informasi memerlukan biaya, semakin tinggi perekonomian seseorang maka orang tersebut akan lebih mudah mendapatkan infromasi (Notoatmodjo, 2012).
b. Usia Tabel 1.2 Analisis Usia Responden di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2013 (n=17) Varia Bel Usia
N
Mean
17
47,06
Median 48
ST 9,17
MinMax 27-60
Berdasarkan tabel 1.2 rata-rata usia responden adalah 47,06 tahun yang digolongkan dalam usia dewasa pertengahan. Rentang usia 27 tahun sampai dengan 60 tahun. Teori perkembangan Erikson mengatakan tugas perkembangan yang utama pada usia ini adalah keinginan merawat dan membimbing (Potter & Perry, 2005). Maka dapat dikatakan bahwa usia keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah usia masa dewasa tengah dan mereka memiliki rasa keinginan yang kuat untuk merawat keluarga yang sakit. Hingga mereka rutin membawa keluarga yang sakit untuk berobat ke Rumah Sakit.
Namun hal ini bertolak belakang dengan keadaan responden dalam penelitian. Penghasilan tidak menjadikan mereka menyerah untuk terus melakukan pengobatan kepada keluarga mereka yang sakit. Biaya pengobatan mereka lakukan dengan cara jaminan kesehatan dari pemerintah. Tidak peduli bagaimanapun caranya, mereka berusaha agar keluarga yang mereka cintai dapat sehat kembali.
Tabel 1.3 Analisis Perubahan Kemampuan Kognitif Keluarga Merawat Anggota Keluarga dengan Gangguan Jiwa Sebelum dan Sesudah diberikan Pendidikan Kesehatan (n=17)
Variabel
Mean
SD
SE
Kemampuan kognitif Sebelum keluarga Sesudah
35,29
2,085
0,506
MinMax 30-39
37,76
1,348
0,327
36-41
2,47
- 0,737
-0,179
Selisih
66
P value 0,000
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martiningsih (2012) mengenai pengaruh pendidikan kesehatan jiwa terhadap kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia pasca masuk rumah sakit jiwa di Kecamatan Lawang dengan hasil P = 0,000 yang artinya pendidikan kesehatan jiwa memberikan pengaruh yang berarti pada tingkat kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia pasca masuk Rumah Sakit Jiwa di Kecamatan Lawang.
c. Analisis Bivariat Penelitian ini terdiri dari 17 responden di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Hasil analisis didapatkan pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan kognitif keluarga sebelum dan setelah pendidikan kesehatan, rata-rata kemampuan kognitif pada sebelum diberikan pendidikan kesehatan 35,29 dengan standar deviasi 2,085. Sedangkan pada setelah diberikan pendidikan kesehatan didapatkan ratarata kemampuan kognitif adalah 37,76 dengan standar deviasi 1,348. Terlihat nilai mean 70.
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri manusia yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan kesehatan perorangan dan masyarakat (Nyswander, 1947 dalam Susilo 2011). Pendidikan kesehatan jiwa pada keluarga di tujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi individu dan seluruh anggota keluarga (Suliswati, 2005). Pendidikan kesehatan ini lebih ditujukan kepada keluarga karena keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung 71 pada setiap keadaan (sehat-sakit) pada anggota keluarga yang sakit (Yosep, 2009). Oleh karena itulah, pendidikan kesehatan sangat penting diberikan oleh tenaga kesehatan untuk keluarga demi meningkatkan derajat kesehatan keluarga tersebut. Namun selain pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis, keluarga dapat memperoleh pengetahuan terkait cara merawat anggota keluarga yang sakit melalui informasi dari tenaga kesehatan yang ada di rumahsakit tersebut ataupun informasi lain dari orang lain yang lebih mengetahui atau memahami terkait halhal tersebut. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan keluarga dilihat dari kemampuan sebelum dan sesudah
Perbedaan antara pengukuran sebelum dan setelah adalah 2,47. Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,000 , maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan kognitif sebelum dengan setelah pendidikan kesehatan. Hasil analisis didapatkan pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan psikomotor keluarga sebelum dan setelah pendidikan kesehatan, rata-rata kemampuan psikomotor sebelum diberikan pendidikan kesehatan 63,24 dengan standar deviasi 7,250. Sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan didapatkan rata-rata kemampuan kognitif adalah 70,47 dengan standar deviasi 5,917. Terlihat nilai mean perbedaan anatara pengukuran sebelum dan setelah adalah 7,23. Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,000 , maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan psikomotor sebelum dengan setelah pendidikan kesehatan. Maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa di Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan.
67
Diharapkan masyarakat mampu memberikan perhatian yang lebih kepada individu yang mengalami gangguan jiwa di lingkungan masyarakat tersebut. Hal inidikarenakan agar mendorong kesembuhan penderita gangguan jiwa. b. Keluarga Bagi keluarga diharapkan keluarga mampu merawat dan memberikan dukungan kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dan selalu membawa pasien untuk kontrol secara teratur ke Rumah Sakit dr. Soeharto Heerdjan dengan tujuan untuk kesembuhan pasien. c. Rumah Sakit Jiwa Diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa dengan cara memberikan penyuluhan mengenai penyakit yang di derita oleh anggoata keluarga serta pemberian informasi mengenai cara bagaimana cara merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa secara rutin sehingga dengan pemberian informasi bisa meningkatkan pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa serta melaksanakan asuhan keperawatan (SP keluarga) pada saat anggota keluarga datang besuk atau berobat jalan dengan cara pemberian informasi tentang merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa di rumah dengan harapan semakin tinggi pengetahuan keluarga mengenai gangguan jiwa diharapkan dapat membantu mempercepat kesembuhan anggota keluarganya yang sakit. d. Institusi Pendidikan
pendidikan kesehatan di lakukan dengan melihat perbedan dari hasil tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
KESIMPULAN a. Hasil karakteristik responden di Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2013 menurut usia sangatlah bervariasi dimulai dari usia 27 tahun hingga 60 tahun, karakteristik menurut jenis kelamin yaitu responden perempuan sejumlah 11 responden (64,7%) dan responden laki-laki sejumlah 6 responden (35,3%), karakteristik menurut tingkat pendidikan yaitu responden pendidikan rendah sebanyak 16 responden (94,1%) dan pendidikan tinggi sebanyak 1 responden (5,9%), karakteristik menurut pekerjaan yaitu responden tidak bekerja sejumlah 12 responden (70,6%) dan responden yang bekerja sejumlah 5 responden (29,4%), dan karakteristik menurut penghasilan yaitu penghasilan < 2,2 juta (UMR Jakarta) sebanyak 15 responden (88,2%) sedangkan penghasilan ≥ 2,2 juta (UMR Jakarta) sebanyak 2 responden (11,8%). b. Terdapat hubungan bermakna ditunjukkan oleh pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa di Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan nilai P Value = 0,000 berarti P Value < 0,05
2.
SARAN a. Masyarakat
68
Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi untuk mengembangan pengetahuan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan mengenai pendidikan kesehatan untuk keluarga dengan gangguan jiwa. e. Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih mencari referensi mengenai instrument dan bahan-bahan yang lebih berhubungan dengan penelitian yang akan di ambil dan dapat mengembangkan desain penelitian yang telah dilakukan pada penelitian ini.
Kecemasan Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Mengalami Skizofrenia Pasca Masuk Rumah Sakit Jiwa Di Kecamatan Lawang 8. Notoatmodjo, Soekidjo (2012). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta 9. Potter, Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Volume 1. Jakarta: EGC 10. Remiati (2008). Hubungan pengetahuan dan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pada klien skizofrenia di unit rawat jalan RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan 11. Sarmauli (2012). Hubungan pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat pasien Skizofrenia dengan gejala relaps di RS. Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Tahun 2012 12. Simanjuntak, Julianto (2008). Konseling Gangguan Jiwa & Okultisme : Membedakan Gangguan Jiwa dan Kerasuka Setan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 13. Stuart, Gail Wiscarz. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC. 14. Suliswati, et al. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:EGC. 15. Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC 16. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: PT Refika Aditama. 17. WHO. (2009). Improving health systems and services for mental health (Mental health policy and service guidance package). Geneva 27, Switzerland : WHO Press. 18. http://jurnal.unimus.ac.id diakses pada tanggal 7 Januari 2013.
DAFTAR PUSTAKA 1. Arif, Iman Setiadi. (2006). Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika Aditama 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Profil Pembangunan Kesehatan Jiwa, Pusat Data dan Informasi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 3. Elvira, Sylvia D. Hadisukanto, Gitayanti (2010). Buku Ajar PSIKIATRI . Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 4. Hawari, Dadang. (2012) Pendekatan Holistik (BPSS) Bio-Psiko-SosialSpiritual Edisi Ke-3. Jakarta : FKUI 5. Ibrahim, Sani Ayub (2011). Skizofrenia: Spliting Personality. Jakarta: Jelajah Nusa 6. Maramis (2004). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press 7. Martiningsih, Farida Maemunah (2012). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Jiwa Terhadap
69
19. http://repository.usu.ac.id/bitstream/1 23456789/32884/5/Chapter%20I.pdf 20. http://alumni.unair.ac.id/kumpulan file/10631851511_abs.pdf diakses pada tanggal 13 januari 2013 21. 1Darnuji : Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2 22. Ns. Duma L.Tobing S.Kep, M.Kep, Sp. Kep.J : Dosen Ilmu Keperawatan
diakses pada tanggal 7 januari 2013 Jiwa FIKES Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 23. 3Ns. Evin Novianti M.Kep, Sp. Kep.J : Dosen Ilmu Keperawatan Jiwa FIKES Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
70
The Impact of Self-Acceptance and Social Support on HIV-AIDS Patient Drug Therapy Adherence, Sulianti Saroso Hospital, Jakarta Masdalina P Direktorat Pengkajian RSPI Sulianti Saroso, Jl Sunter Permai Raya Jakut 143400
[email protected] ABSTRACT Introduction: Adherence to antiretroviral (ARV) drug therapy is an important component of the disease management program. For success, ARV adherence should be at least 95%. Selfacceptance by HIV-AIDS patients and social support by those close to patients are critical incentives. Social support and interpersonal relationships create positive affect. Yet, the impact of social support and self-acceptance on ARV drug adherence is unknown. Aims of Study: This study aims to assess the impact of self-acceptance and social support for ARV adherence amongst HIV-AIDS patients at Sulianti Saroso Hospital. Methods: A cross-sectional mixed methods study was used where both quantitative and qualitative methods were applied. For quantitative methods, a cross-sectional design and the qualitative Rapid Assessment Procedure (RAP) were used to conduct four focus group discussions and 15 indepth interviews amongst HIV-AIDS patients, peers, drug therapy supervisors and health workers. Multivariate logistic regression analyses was conducted and qualitative data were analyzed thematically to supplement the quantitative findings. Results: In the last four days, 89.3% HIV-AIDS patients were adherent to ARV therapy. In the last three months, adherence fell to 76.6%. Education [odds ratio (OR) 0.23,95% confidence interval (CI) 0.07-0.78] was significantly associated with adherence but knowledge was not significantly associated. Self-acceptance after another person was informed about the patient’s HIV-AIDS status (OR 0.26, 95% CI 0.14-0.47) and social support (OR 0.48, 95% CI 0.25-0.94) were negatively associated with ARV adherence. The indepth interviews supported these quantitative findings. Conclusions: The level of education had no linear relationship with knowledge about HIVAIDS relating to ARV adherence. The faster an HIV-AIDS patient shared information about their illness with others will increase their adherence to ARV, the larger the social support available to ensure drug adherence. Even though stigma is still faced HIV-AIDS patients, social support moderated stigma and patients remained adherent. Managing drug therapy is a large task and requires careful monitoring by HIV-AIDS patients. Keywords : Adherence, ARV, HIV/AIDS, Self Acceptance, Social Support
PENDAHULUAN Proporsi orang yang terinfeksi HIV tetapi tidak mendapat pengobatan anti-HIV dan akhirnya berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Karena belum adanya pengobatan antiHIV yang efektif “case fatality rate” dari AIDS menjadi sangat tinggi. Kebanyakan penderita di negara berkembang (80-90%)
meninggal dalam 3-5 tahun sesudah didiagnosis AIDS. (James Chin, 2000).1 Actual adherence rates pada penderita HIV/AIDS di populasi diestimasi bervariasi antara 30% sampai dengan 90%. Suatu study terbaru dengan menggunakan meta analisis tentang kepatuhan minum ARV pada penderita HIV/AIDS di Amerika Utara didapatkan angka ketidak patuhan sebesar 55%2 71
Terapi antiretroviral (ARV) telah terbukti secara bermakna menurunkan angka kematian dan kesakitan orang dengan HIV/AIDS Palella (1998).3 Kepatuhan pada ARV telah diketahui sebagai komponen penting untuk mencapai keberhasilan suatu program terapi yang optimal. Penelitian tentang kepatuhan di negara maju menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan yang tinggi berkaitan erat dengan perbaikan virologi maupun klinis4 dan penurunan kepatuhan terhadap therapi dihubungkan dengan peningkatan angka kesakitan yang masuk RS dan peningkatan biaya serta perawatan5 Berdasarkan laporan kohort RSPI-SS tahun 2011 mengenai dampak pengobatan ARV Pasien HIV-AIDS Tahun 2004-2010 menunjukan gagal follow up adherence pada HIV/AIDS dengan rentang 12-30% .
TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerimaan diri dan dukungan sosial terhadap kepatuhan penderita HIV/AIDS minum Antiretroviral
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional mix methods, yaitu metode kuantitatif yang dikuatkan melalui metode kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan desain cross sectional dan metode kualitatif dilakukan dengan RAP (Rapid Assessment Procedures) yaitu teknik pengumpulan data kualitatif untuk tujuan praktis bertujuan memperoleh informasi kualitatif secara cepat dan berguna bagi pengambilan keputusan untuk melakukan intervensi atau perbaikan program kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan dll. Metode kualitatif ini digunakan untuk menggali gagasan, menjelaskan dan pengembangan study kuantitatif berkaitan adherence ARV yang sudah ada.6 Dukungan Sosial diukur menggunakan ISEL (Interpersonal Support Evaluation
List) dan Penerimaan diri diukur menggunakan kuesioner Perceived Stigma Scale (PSS). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan atas status adherence ketidak patuhan penderita HIV/AIDS terhadap ARV sebesar 23.4 %. Informasi proses adherence juga didapat dari petugas kesehatan, hasil in-depth interview dengan petugas kesehatan. Berikut ini salah satu kutipan dari petugas kesehatan: “Semua pasien yang mulai terapi mulai minum obat musti dikonsulkan. Yang dikonsulkan yaitu tujuan terapi, cara penularan penyakit ini seperti apa, terapinya apa, gunanya untuk apa, aturan minum bagaimana, kemungkinan efek samping yang muncul itu apa dan bagaimana cara mengatasi efek samping(.....)Suatu saat pasien setelah minum obat bisa saja sehat seperti semula bukan berati dia sembuh. Sekali terinfeki seumur hidup tetap terinfeksi. Obat hanya menghambat virus yang dalam tubuh...” (M, Petugas Farmasi) “Yang pertama diagnosis dulu, pengobatannya gimana, efek sampingnya gimana, pengawas minum obatnya,komitmennya....” (E, dokter)
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebelum orang lain tahu tentang status HIV responden, penerimaan diri responden yang positif hanya 16.5 %, dan meningkat menjadi 22.6% setelah responden memberi tahu orang lain tentang status HIV-nya. Kenaikan tersebut berhubungan signifikan dengan kepatuhan terhadap minum obat (pValue 0.000, 95% CI : 1.076-1.122). Pada variabel dukungan sosial terlihat bahwa persepsi positif responden memberikan dukungan sosial positif sebesar 32.2 %, dan persepsi negatif responden terhadap lingkungannya memberikan dukungan sosial positif yang lebih rendah yaitu 26.1%, Dukungan sosial item positif maupun negatif berhubungan signifikan (p<0.05) dengan kepatuhan responden terhadap minum obat
72
Tabel 1. Hubungan Penerimaan Diri, dukungan sosial dan Pengetahuan Variabel Penerimaan Diri sebelum orang lain tahu tentang status HIV responden Persepsi Individu Positif Persepsi Individu Negatif Penerimaan Diri setelah orang lain tahu tentang status HIV responden Persepsi Individu Positif Persepsi Individu Negatif
Dukungan Sosial (item Positif) Dukungan Sosial Positif Dukungan Sosial Negatif Dukungan Sosial (item Negatif) Dukungan sosial Positif Dukungan sosial N egatif Pengetahuan Pengetahuan Baik Pengetahuan Sedang Pengetahuan Kurang Baik
pV
OR
1.076-1.122
0.000
1.1
%
pV
32.2 67.8
0.000
36 33 31
0.00 0.00
Berdasarkan hasil FGD terhadap pasien ODHA Pengawas Minum Obat dan peer support, seluruh informan mampu menjelaskan penyebab penyakit HIV dan AIDS, faktor risiko penularan HIV dan AIDS, dan juga pencegahan penularan
OR
Ket Pair t test menunjukkan perubahan signifikan dengan nilai t=20.22, pValue 0.000
95% CI
0.382
0.213-0.685
0.231
0.131-0.410
0.001
26.1 73.9
Pengetahuan responden terhadap HIV/AIDS cukup baik, dari 50 pertanyaan yang diajukan sebagian besar dapat menjawab dengan benar (33-69%). Terdapat hubungan bermakna (p<0.05) antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat, dimana semakin baik pengetahuan responden semakin besar kepatuhan responden untuk minum ARV.
0.089 0.12
0.041-0.192 0,106-0.346
HIV dan AIDS. Seluruh informan pasien dan sebagian besar PMO mengetahui bahwa HIV disebabkan oleh virus yang menyerang kekebalan tubuh sehingga membuat mereka mudah sekali terserang penyakit. Sementara itu, untuk faktor risiko penularan HIV dan AIDS seluruh informan menyebutkan bahwa seks tidak memakai kondom dan memakai jarum suntik bergantian dapat menularkan HIV. Sebagian informan juga ada yang menambahkan bahwa HIV dan AIDS dapat ditularkan melalui proses kehamilan
73
95% CI
dan persalinan dan transfusi darah. Berikut salah satu petikan pernyataan informan: “....HIV mah karena seks bebas mba, ga pake kondom, jajan sama cewek. Sama palingan kaya gw ini nyuntik bareng temen...”(Ir, 31 tahun) “...Bisa juga ibu ke anak...Pas hamil sama melahirkan kan ada hubungan darah tuh mba si anak sama ibu nya. Kalo ibu nya HIV, anak nya banyak yang kena mba. Tau-tau anak nya sakit aja...”(Fe, 34 tahun) Selain hal tersebut, seluruh informan juga mengetahui bahwa terapi ARV membawa efek samping yang cukup hebat. Efek samping yang dijelaskan informan antara lain: mual, pusing, bahkan halusinasi yang cukup hebat. Namun demikian, mereka tidak khawatir dengan kondisi tersebut karena sudah mendapat penjelasan sebelumnya oleh para konselor ARV dan dokter bahwa hal tersebut tidak berbahaya. Berikut ini kutipan dari pendapat beberapa informan: “......sejauh ini belum ada obatnya (HIV), jadi ya paling nggak untuk antisipasinya supaya tidak berkembang biak dalam
tubuh, untuk daya tahan tubuh yang kuat ya minum ARV itu minum obat terus, klo sampai putus harus ngulang dari tahap awal, malah bisa jadi pergantian obat, kayak gitu..” (DS, Pengawas Minum Obat) “.......efek samping pusing, halusinasi. Tapi kata dokter biasa itu gak papa kalo awal-awal mah...” (DO, Pasien ARV) Pada variabel dukungan sosial terlihat bahwa persepsi positif responden memberikan dukungan sosial positif sebesar 32.2 %, dan persepsi negatif responden terhadap lingkungannya memberikan dukungan sosial positif yang lebih rendah yaitu 26.1%, Dukungan sosial item positif maupun negatif berhubungan signifikan (p<0.05) dengan kepatuhan responden minum ARV. Dukungan keluarga juga memberikan kontribusi terhadap kepatuhan minum ARV seperti yang dinyatakan responden sebagai berikut :
“...Kadang nanya juga sampe kapan kaya gini terus, tapi ya mau apalagi? Saya ga mau mati. Kalo mati, anak saya gimana? Saya juga pengen liat dia gede kaya apa kan mba?....” (Wh, Pasien terapi ARV)
Faktor dominan terhadap kepatuhan minum ARV Tabel 2 : Faktor Dominan terhadap Kepatuhan Minum ARV Variabel Pendidikan
B
SE
OR
95% CI
-1.455
0.620 0.019
0.233
0.069 – 0.788
Penerimaan Diri setelah orang lain tahu -1.349 tentang status HIV responden
0.303 0.00
0.26
0.143 – 0.470
Dukungan Sosial (item -0.733 negatif)
0.340 0.03
0.48
0.247 – 0.936
74
pV
Hasil analisis model akhir menunjukkan 3 variabel berhubungan secara signifikan dengan adherence terhadap ARV, yaitu Pendidikan, Penerimaan diri setelah orang lain tahu tentang status HIV responden dan dukungan sosial. Terdapat hubungan signifikan antara pendidikan dengan adherence terhadap ARV, (pValue 0.019, dengan OR 0.233 pada 95% CI 0.069 – 0.788), dimana responden yang berpendidikan tinggi menjadi pencegah untuk terjadinya ketidak patuhan, atau responden berpendidikan rendah memiliki risiko lebih dari 4 kali untuk tidak patuh (1/0.233=4.29) dibandingkan dengan responden berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan studi pada 85 laki-laki dan 53 perempuan Kalichman et al (1999) melaporkan bahwa pendidikan rendah (kurang dari 12 tahun masa pendidikan/ SMA ke bawah) berhubungan dengan penurunan adherence (X2. 1,138; 4.99; pV = 0.05). Studi yang lain pada 52 laki-laki dan 20 perempuan juga menemukan bahwa keparahan penyakit (F =7.72, p = 0.007), pendidikan rendah (Beta = - 0.33, t = -2.69, p = 0.009), keikutsertaan dalam asuransi, keyakinan pada pengobatan (Beta = 0.36; t = 2.92, p < 0.01) berhubungan signifikan dengan ketidak patuhan terhadap ARV7 Terdapat hubungan signifikan antara penerimaan diri dengan adherence terhadap ARV, (pValue 0.000, dengan OR 0.260 pada 95% CI 0.143 – 0.470). dimana responden yang dapat menerima kondisinya secara postiif menjadi pencegah untuk terjadinya ketidak patuhan, atau responden yang penerimaan dirinya negatif memiliki risiko lebih dari 3 kali untuk tidak patuh (1/0.260=3.84) dibandingkan dengan responden yang dapat menerima dirinya secara positif. Dukungan Sosial merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu
yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Terkait dengan penerimaan diri ODHA, Penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, ia dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Hurlock (2004) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan sosialnya. Interaksi sosial yang terjadi antara penderita HIV yang menerima dirinya (unstigmatis) dan yang belum menerima kondisinya (stigmatis)8 menurut Leenarts, 1999 dibedakan atas perasaan bersalah, tidak diinginkan dan tidak bermoral, label tersebut yang menyebabkan seorang penderita menjadi tidak siap dan penghakiman terhadap nilai-nilai moral dan gaya hidup menurunkan nilai mereka sebagai manusia.9 Green et al, 2002 menyatakan ada hubungan antara penerimaan terhadap stigma dengan ditundanya test HIV dan datang ke pelayanan kesehatan.7 Beberapa studi menemukan bahwa stigma berhubungan dengan penolakan untuk membuka status dan penggunaan ARV, Stigma dan depresi, ketidak patuhan terhadap ARV dihubungkan dengan stigma10 Beberapa studi menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri yang positif/tinggi akan cenderung mempunyai kepatuhan dalam menjalani pengobatan yang tinggi. Sebaliknya, pada individu yang mempunyai penerimaan diri yang rendah akan cenderung rendah pula dalam kepatuhannya dalam menjalani pengobatan. Dalam suatu uji kepatuhan (Indriyasari) pada penderita suatu penyakit ditemukan hubungan yang sangat signifikan dengan tingkat kepercayaan
75
99% antara penerimaan diri dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dengan adherence terhadap ARV, (pValue 0.031, dengan OR 0.480 pada 95% CI 0.247 – 0.936), dimana responden yang memiliki dukungan sosial yang tinggi menjadi pencegah untuk terjadinya ketidak patuhan, atau responden yang memiliki dukungan sosial rendah memiliki risiko lebih dari 2 kali untuk tidak patuh (1/0.480=2.08) dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan sosial tinggi. Dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu11. Penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan adanya hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan minum obat ARV tetapi tidak sama dengan temuan dari Aji HS 2010 yang menemukan tidak ada hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan minum ARV.12 Keyakinan personal bahwa tingkah laku seseorang dapat menyebabkan keuntungan dalam hal kesehatan berhubungan secara positif dengan kepatuhan minum obat. Persepsi individu akan adanya sejumlah orang yang dapat diandalkan pada saat ia membutuhkan dukungan3 Pendekatan disini dihitung berdasarkan jumlah sumber dukungan yang tersedia. Jadi apabila individu merasa semakin banyak orang yang mendukung dia, maka dia lebih termotivasi untuk minum obat ARV. Individu yang memiliki sense of control yang kuat percaya bahwa perubahan dalam lingkungan sosial mereka merupakan sebuah respon dan hal itu bergantung pada pilihan, usaha dan tingkah laku mereka sendiri13. Di Nicola
dan DI Matteo (dalam Jean Baptiste, 2008)14 menyatakan bahwa seseorang gagal untuk patuh bukan karena memiliki kepribadian yang pada dasarnya tidak dapat bekerjasama, tetapi karena mereka tinggal didalam suatu budaya yang memegang keyakinan dan tingkah laku tertentu, yang dijalankan bersama oleh pasien, yang tidak kondusif untuk patuh pada tata cara kesehatan tertentu. Persepsi masyarakat yang baik akan menimbulkan dukungan sosial yang baik juga. Dukungan sosial dapat meningkatkan kepatuhan menjalani terapi15 ARV pada individu ODHA. ODHA memiliki dukungan informasi, emosi dan praktis memiliki tingkat depresi yang lebih rendah dan dukungan informasi terlihat sebagai faktor yang penting dalam mengurangi stres yang diasosiasikan dengan simptom yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat ARV16 Power et al. melaporkan bahwa 74% dari 39 laki-laki dan 34 perempuan 100% adherence terhadap ARV, dan dukungan dari pasangan berhubungan signifikan terhadap peningkatan adherence terhadap ARV (Beta = 0.113, p = 0.040).15 Dukungan dari teman dan keluarga tidak berhubungan signifikan terhadap adherence ARV (Beta = 0.24, p = 0.04). Cauldbeck menggunakan modified structure equation modeling menemukan hubungan statistik yang signifikan antara dukungan sosial, perasaan negative, spiritualitas, self efikasi, kepatuhan 3 bulan dan viral load 6 bulan [X 2 (113, N = 136) = 152.78, p = .008, CFI = .95, TLI = .94, RMSEA = .05 (.03, .07)].18 KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan signifikan antara pendidikan, (pValue 0.019, dengan OR 0.233, 95% CI 0.069 – 0.788), penerimaan diri, (pValue 0.000, dengan OR 0.260 pada 95% CI 0.143 – 0.470), dukungan
76
sosial (pValue 0.031, dengan OR 0.480 pada 95% CI 0.247 – 0.936) dengan adherence terhadap ARV setelah dikontrol variabel lainnya. Para petugas kesehatan lebih memberikan perhatian kepada penderita HIV/AIDS yang telah minum ARV selama > 1 tahun, Dukungan sosial dan penerimaan diri menjadi predisposing factor bagi penderita HIV/AIDS untuk membangkitkan motivasi untuk disiplin meminum ARV dan di butuhkan temuan baru untuk ARV yang lebih sederhana (cukup 1 obat perhari) dengan efek samping yang ringan sehingga membuat ARV tidak menjadi hal yang membebani penderita HIV/AIDS DAFTAR PUSTAKA 1. Chin, James. Editor Nyoman Kandun 2000. “Manual Pemberantasan Penyakit Menular”. 2. Sokol MC, McGuigan KA, Verbrugge RR, Epstein RS. 2005. Impact of Medication Adherence on Hospitalization Risk and Health Care Cost. Med Care. 3. Palella Frank J. 1998. Declining Morbidity and Mortality Among Patients With Advanced Human Immuno deficiency Virus Infection. The New England Journal of Medicine 4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 5. Sokol MC, McGuigan KA, Verbrugge RR, Epstein RS. 2005. Impact of Medication Adherence on Hospitalization Risk and Health Care Cost. Med Care. 6. Lemeshow, Hosmer , Klar, Lwanga, Adequacy of Sample Size in Health Studies, WHO, 1997.
7. Green LW, Kreuter MW. 2000. Health Promotion Planning: an Educational and environmental approach. California: Mayfield Publishing Co. 8. Haubrich, RH, Little, SJ, Currier, JS, Forthal, DN, Kemper, CA, Beall, GN, Johnson, D, Dube, MP, Hwang, JY & McCutchan, JA. 1999. The value of patient-reported adherence to antiretroviral therapy in predicting virologic and immunologic response. AIDS 13(9):1099-1107. 9. Spiritia Y. 2003. Bantuan Pengobatan Untuk AIDS Lembaran Informasi 801. Jakarta : Yayasan Spiritia. 10. Steel G, Nwokike J, Joshi MP. 2007. Development of a Multi-Method Tool to Measure ART Adherence ResourceConstrained Settings: The South Africa Experience. Arlington. VA: Management Sciences for Health 11. Paterson, DL, Swindells, S, Mohr, J, Brester, M, Vergis, EN, Squier, C, Wagener, MM & Singh, N. 2000. Adherence to protease inhibitor therapy and outcomes in patients with HIV infection. Annals of Internal Medicine 133(1):21-30. 12. Aji, H.S. Kepatuhan Pasien HIV dan AIDS terhadap Terapi Antiretroviral di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol 5/No. 1/ Jan 2010 13. Kerr J, Weitkunat R, Moretti M. 2005. ABC of Behaviour Change, a guide to successful disease prevention and health promotion. Philadelphia: Elsevier Churchil Livingstone. 14. Jean-Baptiste Rachel. 2008. Factors Associated With Adherence to Antiretroviral Therapy in Rwanda. USAID. 15. Khairina Widyanti. 2008. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Menjalani Terapi Antiretroviral pada Orang dengan HIV / AIDS. FPSI Universitas Indonesia. Jakarta.
77
16. Miller LG, Hays RD. 2000. Measuring Adherence to Antiretroviral Medications in Clinical Trials. HIV Clinical Trials 17. Carlos, A., Lizet, S., Jorge, R. C. and Jorge, P. 2011. Antiretroviral Therapy Adherence in Persons with HIV/AIDS
in Cuba. MEDICC Review 13(2):1723. 18. Cauldbeck Mb, O’Connor C, O’Connor Mb, Saunders JA, Rao b, Mallesh VG, et al. Adherence to antiretroviral therapy among HIV patients in bangalore, India. AIDS Res Ther 2009; 28 : 6:7.
78
GAMBARAN RESPON PSIKOLOGIS LANSIA DENGAN PENYAKIT KRONIS DI RW 01 PANGKALAN JATI CINERE Azwari1, Duma Lumban Tobing2 , Evin Novianti3 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
[email protected],
[email protected] [email protected]
ABSTRAK Lansia menderita penyakit kronis mengalami berbagai respon psikologis yaitu cemas dan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti gambaran respon psikologis pada lansia dengan penyakit kronis di RW 01 Pangkalan Jati Cinere Depok. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok menggunakan purposive sampling sebanyak 82 responden. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu lansia yang berusia 60-74 tahun (67,1%), jenis kelamin perempuan (53,7%), tingkat pendidikan rendah (64,6%), penyakit yang diderita paling banyak diderita yaitu hipertensi (41,5%), lama sakit yang diderita keseluruhan lansia > 3 bulan (100%), pendapatan > UMR (54,9%), lansia yang mengalami depresi ringan (70,7%), dan cemas ringan (68,3%). Saran dalam penelitian ini bagi masyarakat dan keluarga sebagai orang terdekat dengan lansia ikut menjaga dan memperhatikan status kesehatan lansia. Kata kunci
: Respon Psikologis, Penyakit Kronis, Lansia
PENDAHULUAN Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2009). Setiap orang mengalami proses menua, pada proses menua lansia akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau timbulnya penyakit baru atau penyakit yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit kronis yang biasa dialami oleh lanjut usia. Lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dalam tahapan tumbuh kembang manusia. Pada tahap ini terjadi terjadi
perubahan pada aspek fisik, psikologis dan social yang saling berinteraksi satu dengan yang lain dan terdapat kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011). Perubahan biologis yang dialami lansia merupakan penurunan dari fungsi sel-sel tubuh lansia yang digunakan secara terusmenerus. Penurunan fungsi sel-sel tubuh ini yang banyak mengakibatkan lansia menderita penyakit kronis. Hal ini juga disebabkan oleh sistem imun pada lansia yang tidak lagi efektif (Meiner, 2011). Perubahan ini mengakibatkan terjadinya perubahan pada semua sistim organ seperti sistim kardiovaskuler yang mengakibatkan munculnya penyakit jantung dan hipertensi, sistim muskuloskletal yang mengakibatkan
79
lansia mengalami keterbatasan fisik serta pancaindera (Ebersole & Hess, 2010; Nugroho, 2006). Perubahan pada yang terjadi dapat mengakibatkan aktivitas fisik lansia terbatas sehingga lansia memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain. Jika lansiatidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akan timbul perasaan tidak berdaya, tidak berguna, kecemasan,membatasi interaksi social dan apabila hal ini berjalan terus menerus akan beresiko terjadinya depresi.
Perubahan spiritual dapat terjadi karena lansia merasa rendah diri karena penyakit kronis yang dideritanya. Perubahan spiritual ini dapat mengarah kearah yang lebih positif ataupun kearah yang lebih negatif. Lansia dapat lebih memperdalam aspek spiritualnya karena termotivasi untuk sembuh, sedangkan lansia yang mengalami perubahan spiritual ke arah yang negatif dapat terjadi karena lansia merasa putus asa pada keadaan yang dialaminya (Meiner, 2011).
Perubahan psikologis yang terjadi adalah penurunan sensasi, persepsi dan penampilan motorik yang dapat mengakibatkan perubahan pada aspek psikososial yang berkaitan dengan kepribadian lansia tersebut. Pada lansia yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan psikologis yang dialami dapat mengakibatkan perasaan sensitif, labil, mudah bersedih, perasaan putus asa,perasaan bersalah, perasaan terbebani dan beresiko mengalami respon psikologis seperti kecemasan dan depresi. Selain itu, lansia juga mengalami perubahan psikologis. Lansia menjadi lebih sensitif perasaannya karena penyakit kronis, sehingga lansia rawan merasa tersinggung, dan rendah diri. Perasaan tersebut yang dapat memicu lansia untuk merasa depresi dan cemas terhadap kondisinya (Mauk, 2009).
Semua perubahan pada proses menua yang dialami lansia dapat menimbulkan masalah psikososial apabila lansia tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut sangat berpengaruh pada respon psikologis lansia, terutama lansia yang menderita penyakit kronis. Lansia sering merasa cemas akibat dari perubahan tersebut dan juga sudah tidak mampu serta ketidakberdayaan menghadapi penyakit sehingga menimbulkan depresi pada lansia, terutama pada lansia yang menderita penyakit kronis. Pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stress, termasuk frustasi kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka, ansietas atau cemas dan ketidakpastian (Smeltzer & Bare, 2008). METODOLOGI PENELITIAN
Lansia juga mengalami perubahan pada aspek sosialnya. Lansia mulai kesulitan untuk berinteraksi karena mengalami penurunan pada memori untuk mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Orang lain yang tidak bisa memahami perubahan yang dialami lansia memilih untuk mengurangi interaksi dengan lansia. Lansia yang menderita penyakit kronis mayoritas mengurangi interaksi sosial karena merasa malu terhadap penyakit yang di deritanya (Meiner, 2011).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analtik dengan desain cross sectional dengan 82 responden menggunakan teknik purposive sampling dilakukan di Rw 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok bulan Mei sampai Juni 2013.
80
Perbedaan jenis kelamin juga dapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psikologis lansia, sehingga Tabel 1.1 akan berdampak pada bentuk adaptasi Distribusi Karakteristik Responden yang digunakan. Darmojo dkk (1999, berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), Tingkat Pendidikan, Pendapatan, menyatakan hasil penelitian mereka yang Jenis Penyakit (n=82) memaparkan bahwa ternyata keadaan Variabel Frek Presentase psikososial lansia di Indonesia secara (%) umum masih lebih baik dibandingkan 1. Usia lansia di negara maju, antara lain tandaa. 60-74 thn 55 67,1 tanda depresi pria (pria 43% dan wanita b. ≥ 74 thn 27 32,9 42%), menunjukkan kelakuan/tabiat buruk 2. Jenis Kelamin (pria 7,3% dan wanita 3,7%), serta cepat a. Laki-laki 38 46,3 marah irritable (pria 17,2% dan wanita b. Perempuan 44 53,7 7,1%). 3. Pendidikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Tinggi b. Rendah 4. Pendapatan a. ≥2.042.000 b. <2.042.000 5. Jenis Penyakit a. Rheumatik b. Hipertensi c. Diabetes mellitus d. Jantung e. Maag f. Asma g. Tb
53 29
64,6 35,4
45 37
54,9 45,1
16 34 12
19,5 41,5 14,6
3 9 6 2
3,7 11,0 7,3 2,4
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini adalah lansia yang berusia 60-74 tahun sebanyak 55 (67,1%), perempuan sebanyak 44 orang (53%), memiliki pendidikan tinggi sebanyak 53 orang (64,6%), memiliki pendapatan ≥2.042.000 sebanyak 45 orang (54,9%) dengan jenis penyakit terbanyak adalah hipertensi sebanyak 34 orang (41,5%) Lanjut usia yang mencapai umur lebih dari 60 tahun banyak terjadi kemundurankemunduran seperti kemunduran fisik, fisiologis, maupun psikologis, hal tersebut bisa dapat menyebatkan respon psikologis lanjut usia seperti cemas dan depresi.
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sebagai sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri Notoatmodjo (2003). Tingkat pendidikan lansia merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya lansia yang memiliki pendidikan lebih tinggi masih dapat produktif, mereka justru banyak memberikan kontribusi sebagai pengisi waktu luang dengan menulis buku-buku ilmiah maupun biografinya sendiri (Tamher, 2009). Miller (2004, dalam Zulfitri 2010) mengatakan bahwa respons lansia terhadap perubahan dan penurunan kondisi yang terjadi, sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pendidikan, pengalaman hidup, bagaimana lansia memberi arti terhadap perubahan, waktu dan tingkat antisipasi terhadap perubahan, sumber sosial dan pola koping yang digunakan lansia. Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang dominan pada masa kehidupan di atas usia 55 tahun. Selepas usia 69 tahun, prevalensi hipertensi mencapai 60 persen
81
pada populasi Asia Timur. Hipertensi merupakan faktor risiko bermakna untuk penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal dan stroke. Karena itu, jauh hari sebelum memasuki masa lanjut usia, upaya hidup sehat, diantaranya tidak merokok, istirahat cukup, olahraga teratur dan pola makan sehat, sebagai investasi yang akan menuai penurunan drastis prevalensi hipertensi pada lansia (Suryadjaja, 2012). Status sosioekonomi sangat berpengaruh pada kesehatan individu, termasuk individu memiliki asuransi dan akses yang adekuat ke perawatan kesehatan atau dapat melakukan terapi yang diprogramkan. Individu yang hidup dalam kemiskinan juga berisiko terancam kesehatannya seperti pemukiman yang tidak adekuat, cat plumbum, kekerasan yang berhubungan dengan gerombolan, perdagangan obat, atau sekolah dibawah standar (Videbeck, 2008) Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2008) tentang kecemasan orang tua dengan hospitalisasi pada status ekonomi atau penghasilan diperoleh hasil secara statistik dapat disimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara faktor status ekonomi dengan tingkat kecemasan. Hubungan kedua variabel ini dapat diartikan bahwa semakin rendah status ekonomi seseorang maka kontribusi terhadap kecemasan justru semakin besar. Lansia yang memiliki penyakit kronis dengan penghasilan sangat berpengaruh pada respon psikologis lansia. Lansia yang mempunyai penghasilan rendah akan rentan mengalami kecemasan depresi akibat memikirkan penyakit yang dideritanya karena kurangnya penghasilan
Tabel 1.2 Distribusi Respon Psikologis Lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok (n=82) Variabel 1. Depresi a. Ringan b. Berat 2. Kecemasan a. Ringan b. Berat
Presentase (%)
24 58
29,3 70,7
26 56
31,7 68,3
Hasil penelitian ini menunjukkan dari 82 responden ada sebanyak 24 responden (29,3%) memiliki depresi ringan, sedangkan responden yang mengalami depresi berat sebanyak 58 orang (70,7%). Jadi dapat disimpulkan sebagian besar lansia mengalami depresi berat yaitu (70,7%). Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang bersangkutan. Depresi merupakan reaksi yang normal berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan depresi sesuai dengan faktor pencetusnya (Yosep, 2009). Depresi merupakan respon dari ketidakmampuan kronik atau penyakit terminal. Penyakit yang biasa dihubungkan dengan depresi lansia mencakup hipertensi, gagal jantung konghesif, DM, penyakit infeksi, perubahan, fungsi gastrointestinal, kanker, anemia, dan kurang tidur ( Luecknotte, 2006, dalam Santika, 2012) Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering ditemukan pada lansia berusia diatas 60 tahun dan merupakan contoh penyakit yang paling umum dengan tampilan gejala yang tidak spesifik atau tidak khas pada populasi lansia (Sojono & Sari, 2006 dalam Marta 2012). 82
Frek
Gejala depresi yang termasuk kedalam gejala afektif berupa jiwa yang tertekan, kesedihan, menangis; gejala kongnitif seperti berfikir mengenai ketidakberdayaan, keputusasaan, tidak berharga, bunuh diri, kehilangan minat dan kesenangan beraktivitas; gejala somatik seperti tidak semangat, kehilangan nafsu makan, gangguan pola tidur dan kelelahan (Kartika, 2012).
ringan (Maryam, 2008). Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersoanal (Stuart, 2007).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santika (2012) dengan judul hubungan mekanisme koping dengan depresi pada lanjut usia di Rw 07 kelurahan pangkalan jati, dengan hasil depresi ringan (46,7%), dan depresi berat (53,3%). Penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati (2009) dengan judul hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia disalah RW kelurahan pondok cina kecamatan beji depok, menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan penyakit kronis yang didertia lansia yang sulit buat disembuhkan lansia akan lebih mudah terkenan depresi, hal ini disebabkan karena lansia sudah tidakberdaya atau keputusasaan lansia menghadapi penyakitnya.
1. Hasil karakteristik usia lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa responden lansia yang memiliki usia 60-74 tahun yaitu sebanyak 55 responden (67,1%), sedangkan untuk usia ≥ 74 tahun sebanyak 27 responden (32,9%). Jadi sebagian besar responden berusia 6074 tahun.
b. Kecemasan
3. Hasil karakteristik tingkat pendidikan lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebanyak 53 orang (64,6%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan tinggi berjumlah 29 orang (35,4%), jadi sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar (64,6%).
KESIMPULAN
2. Hasil karakteristik jenis kelamin lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan jati Cinere Depok terlihat bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 responden (46,3%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 44 orang (53,7%), jadi sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki cemas berat yaitu (68,3%). Masalah kesehatan jiwa pada lansia sering timbul seperti kecemasan, depresi, insomnia, dan dimensia. Kecemasan yang sering di derita lanisa sering timbul gejala-gejala seperti perasaan khawatir yang tidak rasional, sulit untuk tidur, rasa tegang dan cepat marah, takut atau khawatir terhadap penyakit yang diderita, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan dan rasa panik terhadap masalah yang
83
4. Hasil karakteristik jenis penyakit lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa berdasarkan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh responden adalah hipertensi yaitu sebanyak 34 orang (41,5%), kemudian penyakit rheumatik yang diderita responden sebanyak 16 orang (19,5%), kemudian pada penyakit diabetes mellitus diderita oleh 12 responden (14,6), kemudian pada penyakit maag diderita sebanyak 9 responden (7,3%), kemudian penyakit asma di derita oleh 6 orang (7,3%), penyakit jantung diderita oleh 3 responden (3,7%) dan yang paling terakhir tb diderita 2 responden (2,4%). 5. Hasil karakteristik lama sakit lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa berdasarkan lama sakit terlihat semua responden menderita penyakit lebih dari 3 bulan sebanyak 82 orang (100%). Jadi semua responden menderita penyakit lebih dari 3 bulan.
sedangkan responden yang mengalami depresi berat sebanyak 58 orang (70,7%). Jadi sebagian besar lansia mengalami depresi berat yaitu (70,7%) b. Sebagian besar responden mengalami cemas ringan sebanyak 26 orang (31,7%), sedangkan responden yang memiliki cemas berat sebanyak 56 orang (68,3%). Jadi sebagian besar lansia memiliki cemas berat yaitu (68,3%). SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh disarankan agar keluarga dapat memperhatikan tanda dan gejala perubahan psikologis yang dialami oleh lansia, memberikan dukungan untuk mengatasi masalah psikologis yang dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
6. Hasil karakteristik pendapatan perbulan lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa pendapatan perbulan responden yaitu sebagian besar responden memiliki penghasilan ≥ 2.042.000 perbulan sebanyak 45 orang (54,9%), sedangkan responden dengan penghasilan < 2.042.000 perbulan sebanyak 37 orang (45,1%). Jadi sebagian besar responden memiliki pendapatan ≥ 2.042.000 yaitu (54,9%). 7. Hasil gambaran respon psikologis lansia di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok terlihat bahwa : a. Sebagian besar responden mengalami depresi ringan sebanyak 24 orang (29,3%),
2. 3.
4.
5.
6.
84
Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan lanjut usia, Yogyakarta : Graha Ilmu . Darmojo, Boedhi. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Depkes, RI. 2012. Prediksi Penderita Penyakit Jantung. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 25 februari 2012 pukul 21.00 WIB. Diana, Aini. 2010. Kualitas Hidup Lansia dengan Penyakit Kronis di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Ebersole & Hess. 2010. Gerontological nursing and health aging. Canada.: Thomsom Delmar Learning. Fatmawati, I Gusti Ayu Made. 2009. Hubungan Citra Tubuh Lansia
Dengan Kecemasan Lansia di Rw 06 Kelurahan Krukut Kecamatan Limo Depok Tahun 2009. UPN ‘Veteran’ Jakarta. 7. Kristen L. Mauk, PhD, RN, CRRN-A, GCNS-Bc, 2010. Gerontolgi nursing competencies for care : JONES AND BARTLETT PUBLISHERS . 8. Maryam, Siti.R. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatanya. Jakarta: Salemba Medika. 9. Meiner, Sue E. EdD, APRN, BC, GNP. 2011. Gerontologi nursing : El sevier. 10. Nugroho, Wahyudi. 2006. Keperawatan Gerontik & Geriatrik, edisi-3. Jakarta: EGC . 11. Potter & Perry. 2005. Buku Aajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC. 12. Sari, Kartika. 2012 Gambaran Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia Di Panti Sosial Trisna Wreda Budhi Mulia 01 Dan 03 Jakarta . 13. Smeltzer & Beare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC. 14. Stanley, Mickey. Bare, Patricia Gauntlett. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2; EGC.
15. Stuart, G W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5 ; EGC. 16. Tamher. S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 17. Vitaria, Wahyu Astuti, 2010 . Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Posyandu Sejahtera Gbi Setia Bakti Kediri. 18. Widiarta, I Putu. 2012. Gambaran Tingkat Kecemasan Lansia Dengan Penyakit Kronis Di RW 01 Kelurahan Pangkalan Jati Cinere Depok. UPN’’Veteran ‘’ Jakarta. 19. 1Azwari : Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 20. 2Ns. Duma L.Tobing S.Kep, M.Kep, Sp. Kep.J : Dosen Ilmu Keperawatan Jiwa FIKES Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 21. 3Ns. Evin Novianti M.Kep, Sp. Kep.J : Dosen Ilmu Keperawatan Jiwa FIKES Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
85
Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemiskinan dan Kondisi Kesehatan pada Kematian Jemaah Haji Indonesia Masdalina Pane, Elvi Puria Tarza, RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Kementerian Kesehatan RI. Jalan Baru Sunter Papanggo Jakarta Utara, 16642 Telp. 021-6506559 ext. 5001
[email protected] ABSTRACT : The mortality rate of Indonesian Hajj Pilgrims was higher than those of the Indonesian population and the other countries. For the last twenty years, the annual mortality rate fluctuated ranging from 2 to 3.8 per 1000 hajj. Human development index, poverty index and the health condition in population where the hajj come from can be used to predict the hajj mortality rate. The aim of the study is to determine the contribution of human development index (HDI), human poverty index (HPI) and health condition to the mortality rate of Indonesian Hajj by using the ecological Methods based on the secondary data of HDI, HPI, health condition and mortality rate of hajj from 2003 to 2007, high risk and mortality data in 2010 and 2011. The data was analyze by using statistical analysis of t-test, correlation test and multiple linier regression. Human development index,human poverty index, health condition, high risk status and hajj mortality rate were significant different in analysis. Human development index and human poverty index were not consistent to the angka kematian nor to the health conditions to the hajj pilgrims. Population with health problems, morbidity rate, population without access to the health services and self medicating were significant association to hajj mortality rate. The health hajj programs should focus on the population in the the area with the low health condition indicator. Population with health problems, morbidity rate, population without access to the health services and self medicating could be use as an health hajj indicator for the programs with focusing to the susceptible area. Keywords :human development index, human poverty index, health condition, mortality rate, Indonesian hajj pilgrims
PENDAHULUAN
berisiko menimbulkan berbagai masalah kesehatan terutama kematian jemaah haji.
Ibadah haji yang dilakukan setiap tahun pada waktu tertentu di Mekkah Saudi Arabia menghimpun lebih dari 2 - 3 juta orang dari seluruh dunia.1,2 Mereka berkumpul pada waktu, tempat dan melakukan ritual peribadatan yang sama, di suatu wilayah kecil dan terbatas dengan aktivitas peribadatan yang tinggi terutama ketika berada di Arafah dan Mina, dan
Angka kematian JHI lebih tinggi dari kematian penduduk Indonesia umumnya dan kematian jemaah haji negara lain. Pada periode dua puluh tahun terakhir, angka kematian jemaah haji Indonesia (diluar bencana) berfluktuasi pada kisaran 2 – 3.8 kematian per 1000 jemaah per musim haji3,4. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka
86
kematian Isfahan 13 per 100.000 jemaah, Iran tahun 2004 sebesar 47 per 100.000 jemaah dan tahun 2005 sebesar 24 per 100.000 jemaah2,5, Malaysia, Thailand dan Pakistan < 1 per 1000 jemaah. Apabila dilakukan ekstrapolasi terhadap rata-rata angka kematian di Indonesia, didapatkan angka yang berkisar antara 9.6–19 permil pertahun. Angka tersebut lebih tinggi daripada perkiraan angka kematian kasar Indonesia (6 per mil/tahun).6 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat faktor yang mempengaruhi kematian jemaah haji dari perspektif individu jemaa7 tetapi belum ada penelitian yang melihat kontekstual faktor yang berpengaruh terhadap kematian jemaah haji Indonesia. Beberapa hasil penelitian pada level individu relatif konsisten, jemaah haji laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk meninggal dibandingkan perempuan, semakin tua jemaah semakin tinggi risiko untuk terjadinya kematian, jemaah yang memiliki preexisting diseases (respiratory, kardioserebrovaskular, metabolik) memiliki risiko lebih tinggi untuk wafat dibanding jemaah yang sehat, jemaah berpendidikan rendah lebih berisiko untuk meninggal.7 Pada level yang lebih tinggi (populasi) kematian jemaah haji berdasarkan provinsi pada beberapa tahun terakhir sangat berfluktuasi dan tidak memiliki pola yang jelas. Beberapa daerah di luar Jawa memiliki angka kematian yang melebihi angka kematian rata-rata tetapi tidak konsisten dalam beberapa periode. Sampai dengan saat ini program kesehatan haji dipaparkan dengan kualitas yang sama, bahkan untuk beberapa daerah di Jawa lebih intens dilakukan walaupun angka kematian jemaah yang berasal dari Jawa relatif rendah. Faktor risiko kesakitan dan kematian ibadah haji bersifat sesaat, tetapi sangat dipengaruhi oleh kondisi jemaah sebelumnya. Kondisi
asal tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap risiko kesakitan dan kematian8. Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia terdapat 3 indikator penting yang diduga berkontribusi terhadap kematian jemaah haji Indonesia yaitu: Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemiskinan dan Kondisi Kesehatan. Ketiga indeks tersebut jarang diperhitungkan dalam berbagai penelitian epidemiologi, padahal indeks tersebut merupakan gambaran rata-rata kondisi tempat asal jemaah. Analisis epidemiologi yang dilakukan secara parsial pada individu memiliki kelemahan karena tidak mengikutkan faktor lain secara utuh.9 Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui kontribusi Indeks Pembangunan Manusia terhadap kematian jemaah haji Indonesia tahun 2003-2007 dibandingkan dengan kematian tahun 2010-2011 yang telah memiliki distribusi risti berdasarkan provinsi/kabupaten/kota.
METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan adalah metode ekologi melalui pengukuran angka kematian per 1000 jemaah tahun 20032007, 2010 dan 2011 pada provinsi tersebut dan persentase jemaah risiko tinggi pada tahun 2010 dan 2011 sebagai variabel antara sebelum kematian yang dihubungkan dengan Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemiskinan dan Kondisi Kesehatan. Ketiga indeks tersebut merupakan nilai populasi dimana individu berada, pencapaian dan permasalahan yang terjadi pada populasi berdampak pada individu di populasi tersebut. Sebuah indeks dibuat untuk menghasilkan peringkat. Indeks tidak dapat diukur dengan satu indeks komposit dengan parameter yang sangat banyak akan meningkatkan kemungkinan
87
error dan menghasilkan indikator yang tidak banyak gunanya, karena itu indeks komposit biasanya memiliki parameter yang sedikit tetapi merupakan hasil/outcome dari interaksi banyak hal13. Beberapa Indeks yang diduga berkontribusi terhadap kematian JHI antara lain9 : 1. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) terdiri dari : Umur Harapan Hidup (life expectancy), Angka Melek Huruf (adult literacy), Lama Sekolah (mean years of schooling), Pengeluaran per Kapita Adjusted (adjusted real per capita expenditure). 2. Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index) terdiri dari : Kelompok Orang yang Diperkirakan Berumur < 40 tahun (People not expected to survive to age 40), Populasi tanpa Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan (population without access to health facilities) dan
3. Kondisi Kesehatan (Health Condition) yang terdiri dari : Angka Kesakitan (Morbidity Rate), Populasi dengan Masalah Kesehatan (Population with health problems), Rata-rata hari Sakit (Average duration of illness), Upaya Populasi Mengobati Dirinya Sendiri (Population self-medicating). United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan ketiga indeks tersebut sebagai parameter untuk mengukur kualitas hidup suatu negara. Indikator yang digunakan adalah usia harapan hidup, pendidikan, dan GDP (Gross Domestic Product). Di dalamnya terdapat unsur perumahan, layanan kesehatan dan nutrisi, serta literasi. Prosedur penyusunan IPM dimulai dengan menyusun nilai tertinggi dan terendah untuk setiap parameter dari seluruh Negara/provinsi/kabupaten/kota pada tahun yang sama.
Kemudian dihitung indeks kesenjangan (deprivation index) parameter dengan rumus8:
Dimana : Iij adalah : deprivation index untuk parameter i bagi Negara/Provinsi/kabupaten/kota J Xij max : nilai maksimum parameter I Xij min : nilai minimum parameter i Xij : nilai parameter untuk Negara/Provinsi/kabupaten/kota Selanjutnya dihitung rerata deprivation index untuk wilayah yaitu : Iij = ∑ Iij / 3 dan HDI adalah ( 1 – Iij) . Semakin mendekati nilai 1 semakin baik Indeks suatu wilayah. Angka kematiandiukur dengan menggunakan rumus : Jumlah kematian jemaah haji per provinsi pada tahun Y Angka kematian =
X 1000 jemaah Jumlah jemaah per provinsi pada tahun Y
Analisis dilakukan menggunakan t-test untuk melihat variasi antar provinsi, uji korelasi untuk melihat kekuatan hubungan ketiga indeks dengan kematian JHI dan multiple regresi linier untuk memprediksi indeks yang secara konsisten berhubungan dengan kematian JHI.10 88
HASIL DAN PEMBAHASAN Walaupun tidak berdampak langsung kepada individu tetapi indeks pembangunan Manusia merupakan gambaran rata-rata kondisi dimana individu berasal dan tinggal. Sehingga gambaran rata-rata tersebut dapat terbawa oleh individu yang berasal dari daerah asal ketika mereka dipindahkan sesaat untuk melaksanakan ibadah haji. Tabel 1 : Karakteristik indeks pembangunan manusia, indeks kemiskinan, kondisi kesehatan dan angka kematian jemaah haji
VARIABEL Umur Harapan Hidup Angka Melek Huruf (%) Lama Sekolah (tahun) Pengeluaran perkapita (ribu rupiah) Populasi yang Diperkirakan Berumur < 40 tahun (%) Populasi Tanpa Akses ke Pelayanan Kesehatan (%) Populasi dengan Masalah Kesehatan (%) Angka Kesakitan (%) Rata-rata hari sakit (hari) Upaya Pengobatan Sendiri (%) Angka Kematian JHI tahun 2003 Angka Kematian JHI tahun 2004 Angka Kematian JHI tahun 2005 Angka Kematian JHI tahun 2006 Angka Kematian JHI tahun 2007 Risiko Tinggi tahun 2010 Angka Kematian JHI tahun 2010 Risiko Tinggi tahun 2011 Angka Kematian JHI tahun 2011
MEAN DIFFERENCE 66,44 91,04 7.35 586,81 15.01
SE
VARIANCE 9,135 38,86 0.934 139.27 23.35
TTEST 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
95 % CI OF DIFFERENCE 65,3 – 67,5 88,8 – 93,3 6,99 – 7,69 582,5 – 591,1 13,3 – 16,75
0.534 1.102 0.17 2.086 0.85
27.79
1.66
88.8
0.000
24,4 – 31,2
24.95
0.98
31.06
0.000
22,9 – 26,96
15.21 5.6 60.55 2.43 3.19 2.047 2.43 3.56 0,42 2,71 0,46 2,76
0.72 0.10 1.56 0.257 0.465 0.218 0.209 0.270 0,03 0,22 0,015 0,26
16.79 0.330 77.59 2.042 6.712 1.477 1.446 2.411 0,029 1,489 0,008 2,122
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
13,7 – 16,69 5,4 – 5,8 57,4 – 63,73 1,9 – 2,95 2,24 – 4,14 1,6 – 2,49 2,00 – 2,86 3,01 – 4,11 0,36 – 0,48 2,24 – 3,29 0,43 – 0,49 2,27 – 3,15
Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang secara statistik bermakna (p<0.05) pada seluruh indeks dan kematian jemaah haji pada seluruh provinsi, dengan variasi relatif cukup besar yang menunjukkan bahwa antar provinsi memiliki karakteristik yang unik dan spesifik seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Angka kematian dan risiko tinggi juga berbeda secara bermakna antar provinsi, padahal karakteristik jemaah tidak berbeda bermakna dalam 20 tahun terakhir antar provinsi7 hal ini
menunjukkan bahwa ada faktor lain yang berpengaruh terhadap variasi kematian pada jemaah haji Indonesia tersebut. Kematian merupakan indikator paling penting dari status kesehatan di populasi. John Graunt pertama kali membangun sistem pengumpulan data yang sistematik melalui Bills of mortality pada awal tahun 1600 di London. Pola kematian digambarkan berdasarkan umur, penyebab yang diketahui pada saat itu, dan menunjukkan variasi menurut tempat dan waktu sebagai informasi sentral tentang
89
status kesehatan populasi dan merupakan masukan yang penting untuk memahami dan mengukur masalah penyakit.11 Kematian merupakan indikator status kesehatan yang sangat prinsip dan menunjukkan status kesehatan dalam jangka waktu yang lama12 keberadaan data kematian relatif mudah diobservasi dibandingkan angka kesakitan. Dalam
sejarahnya pemakaian angka kematian cukup tepat untuk mengkaji status kesehatan dan perubahan – perubahan efek dari intervensi maupun program.13 Berdasarkan pemetaan jemaah haji Indonesia tahun 2010 dan 2011 terlihat variasi cukup besar terhadap risiko tinggi antar provinsi.
Gambar 1. Peta Risiko Tinggi JHI per Provinsi Tahun 2010
Gambar 2. Risti Tinggi JHI per Provinsi Tahun 2011
Begitu pula dengan angka kematian antar provinsi, gambar 3 dan 4 memperlihatkan variasi yang cukup besar pada angka kematian jemaah haji berdasarkan provinsi tahun 2010 dan 2011.
90
Gambar 3. Peta Kematian JHI per Provinsi Tahun 2010
Gambar 4. Peta Kematian JHI per Provinsi Tahun 2011
Angka kematian di wilayah timur Indonesia relatif lebih tinggi walaupun jemaahnya sedikit. Indeks pembangunan manusia memperlihatkan perbedaan antar negara, provinsi atau kabupaten/kota. Antar gender, etnik dan kelompok sosial ekonomi, memperlihatkan disparitas internal dan nilai kompositnya dapat melakukan proxy melalui beberapa isu kunci pembangunan manusia dan kemiskinan.14,15 Tabel 2 Korelasi indeks pembangunan manusia, indeks kemiskinan dan kondisi kesehatan terhadap kematian jemaah haji VARIABEL Umur Harapan Hidup Angka Melek Huruf (%) Lama Sekolah (tahun) Pengeluaran perkapita (ribu rupiah) IPM Populasi yang Diperkirakan Berumur < 40 tahun (%) Populasi Tanpa Akses ke Pelayanan Kesehatan (%) Indeks Kemiskinan Populasi dengan Masalah Kesehatan (%) Angka Kesakitan (%) Rata-rata hari sakit (hari) Umur Harapan Hidup
2003 R pVal -0.405* 0.026 -0.112 0.556
2004 R pVal -0.351* 0.058 0.100 0.599
2005 R pVal -0.261 0.163 0.116 0.541
2006 R PVal 0.127 0.487 0.126 0.493
2007 R pVal -0.484* 0.005 -0.006 0.976
-0.110 0.102
0.561 0.592
-0.105 -0.193
0.582 0.306
-0.038 0.171
0.840 0.365
-0.045 -0.271
0.807 0.134
-0.160 0.147
0.382 0.423
-0.100 0.089
0.599 0.640
-0.124 0.204
0.514 0.280
0.025 0.082
0.898 0.667
-0.136 0.228
0.457 0.208
-0.046 0.100
0.801 0.585
0.180
0.341
0.301
0.106
0.200
0.290
0.309*
0.085
-0.048
0.792
0.062 0.212
0.746 0.262
0.274 -0.063
0.143 0.741
0.250 0.189
0.182 0.318
0.090 0.129
0.623 0.480
-0.028 0.211
0.879 0.246
-0.007 0.054
0.970 0.777
-0.043 0.024
0.820 0.899
-0.072 -0.088
0.706 0.642
0.291 -0.475*
0.106 0.006
0.042 -0.260
0.820 0.151
0.202
0.283
-0.502*
0.005
0.228
0.225
0.335*
0.061
0.053
0.774
91
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa umur harapan hidup, rata-rata hari sakit dan populasi yang melakukan pengobatan sendiri memiliki korelasi yang bermakna terhadap kematian JHI pada beberapa tahun tetapi tidak konsisten pada tahun lainnya. Persentase populasi tanpa akses terhadap pelayanan kesehatan, merupakan variabel yang berkorelasi cukup kuat terhadap kematian jemaah haji walaupun tidak bermakna secara statistik. Hasil analisis multivariat menunjukkan konsistensi pengaruh indeks terhadap kematian jemaah haji Indonesia, dan dapat dijelaskan seperti tercantum dalam Tabel 3. Tabel 3 Hubungan indeks pembangunan manusia, indeks kemiskinan dan kondisi kesehatan terhadap kematian jemaah haji VARIABEL Tahun 2003 • Populasi dengan masalah kesehatan • Angka kesakitan • Populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan Tahun 2004 • Upaya pengobatan sendiri Tahun 2005 • Populasi dengan masalah kesehatan • Angka kesakitan • Populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan Tahun 2006 • Umur harapan hidup • Populasi dengan masalah kesehatan • Upaya pengobatan sendiri • Populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan Tahun 2007 • Umur harapan hidup Tahun 2010 • Upaya pengobatan sendiri Tahun 2011 • Angka kesakitan • Populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa umur harapan hidup, populasi dengan masalah kesehatan, angka kesakitan, populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan dan masyarakat yang mengobati sendiri penyakitnya merupakan indeks penting yang berhubungan secara bermakna dengan kematian jemaah haji pada beberapa tahun. a. Umur harapan hidup : Pada data jemaah haji, umur harapan hidup tidak konsisten berhubungan dengan kematian jemaah haji, hal ini kemungkinan disebabkan karena pada dasarnya umur harapan hidup kurang
COEF B
PVALUE
95% CI (B)
0.089 0.117 0.026
0,292 -0.334 0.058
0.003 0.008 0.033
0.110 – 0.475 -0.574 – 0.095 0.005 – 0.111
0.046
0.143
0.005
0.047 – 0.238
0.068 0.090 0.020
0,278 -0,337 0.054
0.000 0.001 0.011
0.138 - 0.419 -0.521 – 0.152 0.013 – 0.095
0.019 0.036 0.022 0.021
0.044 0.079 0.052 0.056
0.026 0.037 0.023 0.014
0.006 – 0.082 0.005 – 0.153 0.008 – 0.097 0.005 – 0.097
-0.067
-0.484
0.005
-0.113 – 0.022
0,002
0,003
0,058
0.023 – 0.145
0,057 0,025
0,140 0,051
0,020 0,049
0,023 – 0,258 0,000 – 0,102
tepat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kondisi pada tahun yang sama, umur harapan hidup digunakan untuk memprediksi kemungkinan hidup kedepan (expected years), jika akan digunakan, yang digunakan sebaiknya data umur harapan hidup beberapa tahun yang lalu. Derajat kesehatan adalah tingkat kesehatan perseorangan atau kelompok masyarakat yang diukur dengan indikator angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan16. Meningkatnya umur harapan hidup memberikan 92
SE
gambaran tentang meningkatnya kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat yang menyebabkan turunnya angka kematian diusia muda dan meningkatnya umur harapan hidup di usia tua. Perhitungan umur harapan hidup mencakup kedua indikator kematian tersebut.11 Populasi yang berada diwilayah dengan umur harapan hidup tinggi menunjukkan kualitas hidup yang baik dari populasi tersebut dan berdampak pada tingginya umur harapan hidup dan menurunnya angka kematian. b. Populasi dengan masalah kesehatan : jemaah haji yang berasal dari wilayah dengan persentase populasi dengan masalah kesehatan yang tinggi sebagai populasi sumber jemaah diperkirakan memberikan kontribusi terhadap kematian jemaah haji dan cukup konsisten pada beberapa tahun. Subramian menemukan adanya hubungan bertingkat yang kuat antara pendapatan keluarga dan rate kesehatan diri (self health rate) pada level individu, perbedaan pada populasi memiliki dampak terhadap outcome kesehatan dan peranan level komunitas lebih kecil dari pada peran individu pada self health rate.17 HL.Blum menyatakan 4 faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan adalah lingkungan, prilaku hidup (lifestyle), genetik dan pelayanan kesehatan. Dalam model yang dibuat oleh Blum tersebut pelayanan kesehatan dan genetik memiliki kontribusi yang relatif kecil7, karena itu peningkatan status kesehatan ditekankan pada perubahan prilaku dan lingkungan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan masih
cukup tinggi. Kondisi asal tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap risiko kesakitan dan kematian11. H.L Blum, et al, Subramanian et al. Merlo et al menyatakan bahwa orang yang memiliki karakteristik sama dapat memiliki perbedaan status kesehatan dikarenakan perbedaan wilayah dimana orang tersebut tinggal.7,17 c. Angka kesakitan : derajat kesehatan merupakan salah satu penentu dari IPM dengan indikator umur harapan hidup, angka kematian, dan angka kesakitan. Angka kesakitan adalah angka insidensi yang dipakai untuk menyatakan jumlah keseluruhan orang yang menderita penyakit yang menimpa sekelompok penduduk pada periode waktu tertentu. Semakin tinggi angka kesakitan di populasi akan berdampak terhadap penurunan laju produktivitas dan kualitas hidup serta semakin tingginya biaya kesehatan dan angka kematian. Populasi dengan angka kesakitan yang tinggi menunjukkan gambaran wilayah/lingkungan dan prilaku yang tidak sehat. Rendahnya status kesehatan terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan karena kendala biaya (cost barrier), geografis, dan transportasi. Jemaah yang berasal dari wilayah dengan persentase angka kesakitan tinggi memiliki risiko untuk mendapatkan sakit karena berasal dari populasi sumber yang bermasalah. Persentase angka kesakitan berhubungan sangat erat secara teori dengan masalah kesehatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. d. Populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan : pada kematian jemaah haji terlihat bahwa angka kematian jemaah yang berasal dari Indonesia Timur yang memiliki akses rendah karena
93
letak dan geografisnya relatif lebih tinggi dibandingkan Indonesia Barat dan Tengah. Provinsi dengan akses terhadap layanan kesehatan yang rendah memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan provinsi dengan akses terhadap layanan kesehatan yang tinggi. Pada musim haji sering terjadi keterlambatan dalam distribusi obat dan alat kesehatan, sehingga membuat pelayanan kepada jemaah menjadi terbatas, ditambah lagi harga obat yang begitu mahal di Arab Saudi menyebabkan jemaah mengurangi kontak kepada petugas kesehatan di kloter. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya angka kunjungan ke kloter. Jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan dan opportunity cost yang tinggi mis : karena upaya mencari layanan kesehatan menyebabkan jemaah kehilangan kesempatan melakukan ibadah, menyebabkan jemaah tidak akses terhadap layanan kesehatan sekalipun mereka membutuhkannya. Hubungan antara penggunaan dan jarak mungkin dapat menangkap efek variasi geografis dalam utilisasi pelayanan kesehatan terutama pada putusan pemerintah mengenai penempatan fasilitas kesehatan. Akses pelayanan kesehatan di asia tenggara khususnya Indonesia masih sangat rendah, untuk layanan rawat jalan diantara penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan terakhir hanya 40 % yang melakukan rawat jalan18 penduduk di daerah miskin lebih memanfaatkan layanan puskesmas dan praktek petugas kesehatan dan penduduk di daerah kaya lebih memanfaatkan layanan RS pemerintah dan swasta serta dokter praktek. Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 persen) masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
adalah karena kendala biaya, jarak dan transportasi. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas.19 Pendapatan merupakan determinan penting dari penggunaan fasilitas layanan kesehatan. Penurunan pendapatan keluarga menurunkan akses terhadap layanan kesehatan dan pelayanan dasar lainnya11.Ketidakmampuan masyarakat (kemiskinan) seringkali dianggap sebagai faktor yang berperan dalam inequalitas pelayanan kesehatan. Secara umum faktor yang mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan adalah faktor dari sisi suplai dan demand19. Faktor dari sisi suplai adalah faktor yang berupa kebijakan pemerintah, ketersediaan tenaga dan fasilitas, jarak, kualitas layanan kesehatan dan lain-lain. Faktor demand adalah faktor yang terkait dengan keinginan individu mencari layanan kesehatan. Castro-Leal, Dayton dan Mehra, 1999 menyebutkan 5 faktor utama yang mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan yaitu pendapatan, kualitas layanan, akses, direct user charges dan jender.19 World Bank, 1996 melaporkan bahwa permintaan layanan kesehatan sensitif terhadap kualitas layanan yang diberikan, bahkan orang miskin sekalipun membatasi permintaan pelayanan kesehatan ketika kualitasnya buruk. Kualitas yang buruk dapat terjadi bila terdapat perbedaan dalam ketersediaan obat, keterampilan petugas dan kualitas pelayanan kesehatan.19 e. Masyarakat yang mengobati sendiri penyakitnya Pada jemaah haji, kebiasaan mengobati diri sendiri ini sering menimbulkan kondisi kesehatan
94
makin parah, banyak jemaah yang sakit menggunakan metode-metode yang diyakininya benar untuk mengobati diri sendiri, misalnya minum teh untuk menghentikan diare, dan jemaah baru datang ke petugas kesehatan setelah kondisinya menjadi parah, hal ini memberikan pengaruh terhadap meningkatnya angka kematian karena terlambatnya jemaah datang ke pelayanan kesehatan. Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah Swamedikasi (self Medication). Mengobati sendiri menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat, tindakan dan 20 penggunaannya . Medication error ini berisiko untuk meningkatkan kematian. Berbagai penelitian di negara- negara berkembang maupun maju menunjukkan bahwa tindakan pertama untuk mengatasi sakit ialah berobat sendiri (self medication). Sarwono melihat bahwa di Negaranegara berkembang seperti Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum mereka datang ke petugas kesehatan yaitu dengan pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan tradisional. Patel juga melihat bahwa makin parah keadaan penderita jika akhirnya meminta pertolongan seorang dokter dalam keadaan yang sudah sangat parah21. Koentjaraningrat mengkaji tentang ketakutan masyarakat ke dokter karena dianggap sebagai pengobatan bagi orang-orang yang berpenghasilan tinggi yaitu orang yang mempunyai penghasilan enam puluh ribu ke atas perhari atau dua juta
perbulan dan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari22. Pengambilan keputusan untuk berobat, mereka akan mempertimbangkannya berdasarkan kondisi ekonomi, karena disamping mereka mengeluarkan biaya berobat, mereka juga harus mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan apa yang dikonsepkan Sudjaswadi yaitu seorang pengambilan keputusan tentang pengobatan salah satunya dipengaruhi oleh faktor ekonomi21. Ahli lain mengkaji perilaku pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan obat dari warung-warung dan toko obat yang tentunya akan menyebabkan kurang dimanfaatkannya pelayanan kesehatan (dokter), karena pengobatan sendiri dipandang lebih efisiensi biaya, efisien waktu, ikut berperan dalam mengambil keputusan dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah tenaga dan sarana kesehatan di masyarakat21. Hjortsberg menemukan bahwa tingkat pendidikan memberikan efek positif terhadap penggunaan perawatan sendiri (selfmedicating). Provinsi dengan upaya pencarian pengobatan yang rendah memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan provinsi dengan upaya pencarian pengobatan yang tinggi.17 Hal ini diperkuat oleh Sreeramareddy et al yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pola pencarian pengobatan dimana umur, jender, etnis, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pengeluaran kesehatan, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, jarak dari fasilitas kesehatan dan keluhan sakit berhubungan dengan penggunaan layanan kesehatan.21
95
KESIMPULAN 1. Terdapat variasi yang bermakna pada indeks pembangunan manusia, indeks kemiskinan, status kesehatan, status risiko tinggi dan angka kematian jemaah haji antar provinsi 2. Indeks pembangunan manusia dan indeks kemiskinan tidak konsisten berpengaruh terhadap kematian jemaah haji, status kesehatan merupakan penanda terbaik untuk prediksi kematian jemaah haji. 3. Populasi dengan masalah kesehatan, angka kesakitan, populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan dan masyarakat yang mengobati sendiri penyakitnya merupakan indeks penting yang berhubungan secara bermakna dengan kematian jemaah haji SARAN Program kesehatan haji sebaiknya fokus pada daerah-daerah yang memiliki kondisi kesehatan yang tidak begitu baik, indikator kondisi kesehatan meliputi populasi dengan masalah kesehatan, angka kesakitan, populasi tanpa akses ke pelayanan kesehatan dan masyarakat yang mengobati sendiri dapat digunakan sebagai prediktor dalam program kesehatan haji yang lebih fokus. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 10.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1
Sarwar G.Islam,1998:Beliefs and Teachings. London: Muslim Educational Trust;78-81. 2 Afshin F., Dehkordi HM., Fazel M., Ghanei M.,1999 How to Reduce
9.
10
Systems and Policies. Aspen Publication, Gaitherburg, Maryland 12. 12Kaplan RM, 1990 The General Health Policy Model ; an Integrated Approach, New Klinik. Raven Press.
Steven Selvin, 2011. Statistical Tools for Epidemiologic Research, Oxford university Press 11. 11Michael H Merson, Robert A Black, Anne J Millis,.2011 International Public Health ; Diseases, Programs,
96
Cardiovascular Mortality and Morbidity among Hajj Pilgrims ; a Multiphasic Screening, Intervention and Assessement, Annals of Saudi Medicine,19:1:55-57. 3 Departemen Agama Republik Indonesia. 2004 Profil Kesehatan Jemaah Haji Indonesia 1998 – 2003. Jakarta, Ditjen Bimas Islam, Departemen Agama RI. 4 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Profil Kesehatan Haji 2004–2009. Laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji 2010-2011. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 5 Meysamie A, Ardakani HZ, Razavi SM, Doroodi T,2006. Comparison of Mortality and Morbidity Rates Among Iranian Pilgrims in Hajj 2004 dan 2005. Saudi Med J Jul : 27(7):1049-53 6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006 Survei Kesehatan Nasional. Jakarta. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. 7 Masdalina Pane, 2008. Determinan Kematian Jemaah Haji Indonesia usia 40 tahun keatas di Mekkah tahun 1427 H, Disertasi, UI Press 8 Human Development Report,2004. The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia. BPS Catalogue, Jakarta; ISBN:979-724-190-4. Pub No. 06320.0410 9 Ham, Yore MM, Marioles P,2002. Comparison of Two Approach to Modelling Health and the Environment. Proceeding of Statistical Canada Symposium
13. 14.
15.
16. 17.
18.
13
Preston SH,1976. Mortality Patterns in National Populations. New York Academic Press 14 Sen, Amartya, 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin ; Terjemahan On Ethics and Economics, Blackwell 1998, Mizan. Jakarta. 15 Ananta, Aris 1996 HDI : Kelemahan dan Kekuatan pada Penelitian Kesehatan. Warta Demografi ;26:2:16-21 16 Departemen Kesehatan,2009 Sistem Kesehatan Nasional, Kepmenkes RI No: 374. 17 Subramian SV, I Delgado, L Jadue, J Vega, I Kawachi,2003 Income Inequality and Health : Multilevel Analysis of Chilean Communities. Jurnal Epidemiologi Community Health ; 57:844 – 884 18 SURKESNAS NIHRD, tim. Badan Litbangkes.2003 Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan,
19.
20.
21.
22.
97
Pelayanan Kesehatan, Prilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan. Jakarta. Balitbangkes Depkes RI. 19 Filmer Deon, 2005 Determinants of Health and Education Outcome : Background Note for World Development Report 2004 : Making Services Work for Poor People, the World Bank. 20 Departemen Kesehatan, 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan terbatas, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Binfar dan Alkes, Departemen kesehatan. 21 Holt dan Edwin dalam majalah Farmasi, Sudjaswadi, 2008: 32, Kecenderungan Berprilaku Ditinjau dari Orientasi Ekonomi dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Majalah Farmasi Indonesia, UGM 22 Koetjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
PERAN EPIDEMIOLOGI DALAM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Robiana Modjo Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
[email protected]
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu bagian ilmu dan aplikasi dari ilmu kesehatan masyarakat dimana cakupannya lebih spesifik kepada masyarakat pekerja. Tujuan dari K3 itu sendiri yaitu melindungi pekerja dari bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja sehingga dapat terpelihara kesehatan serta keselamatannya. Hal ini didasarkan pada hak asasi manusia itu sendiri untuk dapat hidup dan bekerja secara sehat dan selamat. Sehat merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal, artinya manusia berhak untuk dapat hidup sehat baik ketika berada di rumah maupun di lingkungan kerjanya. Hak ini pun didukung dengan diberlakukannya regulasi terkait keselamatan dan kesehatan kerja. Adanya regulasi ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan perlindungan pekerja. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan pekerja antara lain Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 tentang penghidupan dan pekerjaan yang layak, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Adanya regulasi ini, diharapkan perusahaan pemberi kerja sadar akan kewajibannya dan melaksanakan K3 sebagai pemenuhan regulasi perlindungan pekerja. Selain itu, jika diamati lebih dalam, upaya K3 yang dilakukan di perusahaan dapat dijadikan aset untuk waktu mendatang. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pekerja yang sehat merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi perusahaan. Apabila banyak pekerja yang sakit maupun mengalami kecelakaan, maka otomatis produktivitas pekerja berkurang. Hal ini dapat terjadi karena banyak kerugian yang akan dihadapi antara lain waktu kerja yang hilang, kerugian finansial baik untuk kompensasi pengobatan pekekrja maupun perbaikan mesin yang rusak, maupun image perusahaan yang rusak dengan adanya kejadian kecelakaan kerja. Maka dari itu, upaya K3 bukan hanya menjadi kewajiban, melainkan juga kebutuhan perusahaan untuk melindungi pekerjanya sehingga tetap dapat menjaga pertumbuhan ekonomi perusahaan itu sendiri. K3 itu sendiri terdiri dari dua aspek penting, yaitu keselamatan dan kesehatan. Aspek keselamatan K3 dilaksanakan melalui upaya pencegahan kecelakaan pada pekerja. Sedangkan, pada aspek kesehatan dilakukan upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan serta promosi kesehatan pada pekerja. Dua hal ini tentunya dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan di tempat kerja. Dalam penerapannya, tingkat kecelakaan dan kejadian penyakit di tempat kerja sering ditampilkan dalam beberapa macam ukuran frekuensi/rate antara lain fatality rate untuk menggambarkan jumlah mortalitas atau kematian dan morbidity rate untuk menggambarkan jumlah kasus morbiditas di tempat kerja. Angka frekuensi ini sendiri didapatkan
98
melalui studi epidemiologis dilakukan di perusahaan.
yang
Studi epidemiologi sangatlah dibutuhkan dalam pengembangan upaya K3 di perusahaan. Epidemiologi sendiri dikenal sebagai ilmu dasar dalam kesehatan masyarakat yang mempelajari kejadian penyakit dan faktor penyebabnya. Dalam penerapannya, epidemiologi tidak hanya mempelajari frekuensi penyakit saja, tetapi juga apakah penyakit itu sendiri terjadi pada kelompok dengan risiko tersendiri. Pada studi epidemiologi penyakit akibat kerja, dilakukan studi untuk mengetahui determinan atau faktor risiko yang dihubungkan dengan kejadian penyakit tertentu. Hal ini diyakini karena penyakit tidak terjadi secara acak dan pasti terdapat penyebab khusunya. Apabila penyebab ini diketahui, maka penyakit dapat dicegah. Metode pada epidemiologi dalam mengidentifikasi faktor risiko inilah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pencegahan penyakit maupun kecelakaan. Dalam aplikasinya, epidemiologi digunakan di bidang K3 untuk mengidentifikasi konsekuensikonsekuensi atas suatu pajanan di tempat kerja. Selain itu, studi epidemiologi juga dapat memberikan estimasi besar masalah atas faktor risiko kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Dalam upaya K3 di perusahaan, penyakit dan kecelakaan merupakan hal yang tidak diinginkan dan harus dicegah dalam rangka menghindari kerugian perusahaan. Melalui studi epidemiologi, akan teridentifikasi faktor-faktor risiko dari penyakit maupun kecelakaan, distribusinya serta besarnya masalah kesehatan dan keselamatan di perusahaan tersebut. Maka dari itu, dapat disusun program pencegahan terhadap risiko penyakit dan kecelakaan tersebut sehingga perusahaan terhindar dari kerugian.
Namun, jika nantinya penyakit maupun kecelakaan itu tetap terjadi, dampak dan kerugian yang ditimbulkan sudah diketahui dan disiapkan dengan baik sehingga dapat ditanggulangi dengan baik. Pada penerapannya, epidemiologi dapat diaplikasikan melalui kegiatan surveilans dimana hasilnya dapat digunakan untuk mendeskripsikan kejadian penyakit dan kecelakaan pada kelompok pekerja tertentu, sehingga dapat diberikan berbagai bentuk perlindungan terhadap pekerja tersebut. Selanjutnya, dapat pula dilakukan penelitian untuk melihat dampak dari pajanan tertentu di tempat kerja. Dengan diketahui secara pasti bahwa pajanan tertentu dalam bekerja akan menghasilkan dampak pada kesehatan maupun keselamatan pekerja, maka dapat dibuat program pencegahan yang tepat pula. Selain itu, dari studi epidemiologi dapat menjadi sebuah evaluasi terhadap intervensi yang sudah dilakukan perusahaan, apakah program sudah berhasil. Hal ini dapat diukur dengan melihat apakah ada perubahan pada status kesehatan pekerja pada waktu intervensi dilakukan. Metode studi epidemiologi yang sering dilakukan dalam upaya K3 antara lain kohort, case control, dan cross sectional. Sebagai contoh, berikut merupakan studi epidemiologi oleh NIOSH dengan metode kohort yaitu pada kasus bronchialitis obliterans pada pekerja plant microwave popcorn di Missouri, Amerika Serikat. Kasus ini diteliti oleh NIOSH pada tahun 2002 setelah menerima laporan dari Missouri Departmment of Health bahwa terdapat delapan pekerja dari plant tersebut yang mengalami sakit pada tahun 1993-2000. Berdasarkan data perusahaan tahun 2000, terdapat 117 pekerja yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan. Dari investigasi epidemiologi dan pengukuran pajanan yang dilakukan di
99
plant tersebut, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara pajanan diacetyl dengan kejadian penyakit pernapasan tersebut. Dari hasil ini, NIOSH kemudian melakukan investigasi mendalam pada plant-plant lainnya, mengadakan studi toksikologi, serta memberikan rekomendasi regulasi serta solusi pengendaliannya. Sedangkan, contoh studi epidemiologi dalam aspek keselamatan dapat diterapkan melalui penggunaan Haddon Matrix dalam upaya pencegahan kecelakaan. Matriks ini dikembangkan berdasarkan kombinasi dari segitiga epidemiologi (host, agent, environment) dengan tingkat pencegahan. Selain itu, dengan menggunakan matriks ini maka dapat dibuat strategi pencegahaan serta penanggulangan terhadap kecelakaan sesuai dengan fase kejadiannya, pre-event, event, dan post-event.
3.
4.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa peran epidemiologi dalam K3 sangatlah penting dan mendasar. Selain dapat mengetahui besarnya masalah kesehatan maupun keselamatan yang ada, dengan dilakukannya studi epidemiologi dalam upaya K3, dapat pula dibuat strategi pencegahan dan penanggulangannya secara tepat dan efisien, baik pada masalah penyakit maupun kejadian kecelakaan. Hingga ke depannya, perusahaan tidak mengalami kerugian akibat kejadian penyakit maupun kecelakaan dan produktivitas tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA : 1. Kurniawidjaja, L. Meily. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press: Jakarta, 2010. 2. Halperin, William dan Howard, John. “Occupational Epidemiology and the National Institute for Occupational Safety and Health”. Center for Disease Control and Prevention
100
Morbidity and Mortality Weekly Report Vol. 60 (2011) : 97 – 103. Merletti, Franco, Soskolne, Colin L., dan Vineis, Paolo.(2011). “Epidemiological Method Applied to Occupational Health and Safety”. [Online]. http://www.ilo.org/oshenc/partiv/epidemiology-andstatistics/item/408-epidemiologicalmethod-applied-to-occupationalhealth-and-safety (diakses pada tanggal 11 Maret 2014) Runyan, Carol W.. “Using the Haddon Matrix: introducing the third dimension”. [Online]. http://injuryprevention.bmj.com/conte nt/4/4/302.long (diakses pada 11 Maret 2014)
KEBIJAKAN HIV AIDS PADA IBU HAMIL DAN PENULARANNYA PADA BAYI Siti Maemun Program Pasca Sarjana Prodi Epidemiologi Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected] ABSTRAK Kebijakan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi diintegrasikan dengan paket layanan Kesehatan reproduksi khususnya pelayanan kesehatan ibu dan anak di tingkat layanan primer, sekunder dan tersier. Semua perempuan yang datang ke layanan Kesehatan reproduksi di tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi pencegahan penularan IMS dan HIV selama masa kehamilan dan menyusui. Kebijakan upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilakukan melalui 4 Prong. Lebih 6,5 Juta perempuan di Indonesia merupakan populasi rawan tertular dan menularkan HIV/AIDS, lebih dari 9.000 perempuan HIV+ hamil dalam setiap tahunnya dan lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular bila tak ada pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayi (PPIA)/Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT). Angka kasus penularan HIV dari ibu ke anak di Indonesia sudah mencapai 2,8% dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan. Penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara kepada petugas PPIA di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso dan penelitian ini juga bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso memiliki tim PPIA di rumah sakit, yang terdiri dari dokter spesialis kandungan, dokter spesialis anak dan bidan. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso melaksanakan kegiatan layanan komprehensif 4 prong. Abstract Background: A policy of service about prevention HIV infection from mother to child integrated with reproduction health care, especially health of mother and baby service at every level of health care, primary, sekundary and tersier health care. All women who came to reproductive health services at every level of health care information transmission of STIs and HIV prevention during pregnancy and lactation. Policy of prevention of HIV transmission from mother to child through 4 prong. Over 6.5 million women in Indonesia is vulnerable population contracting and transmitting HIV/AIDS, more than 9,000 pregnant women with HIV each year in and more than 30% of them gave birth to babies who are infected when there is no prevention of HIV+ from mother to child/Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT).Case rate transmission from mother to child asses 2,8% from HIV-AIDS report.Methods: The study is a qualitative stud, data was collected through interviews to providing PMTCT services in Prof. Dr. Sulianti Saroso hospital of infectious desease and the study is description use secondary data. Result : the study explain that Prof. Dr. Sulianti Saroso hospital of infectious desease have PMTCT team, is consist of obgyn, pediatrics, and midwife. Prof. Dr. Sulianti Saroso hospital of infectious desease services Policy of prevention of HIV transmission from mother to child through 4 prong. Keyword : PMTCT, HIV/AIDS, Policy
101
PENDAHULUAN Data estimasi tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 33,4 juta orang dengan HIV-AIDS di dunia, 50% diantaranya adalah perempuan dan 2,1 juta adalah anak dengan usia kurang dari 15 tahun. Di kawasan Asia Tenggara, terdapat sekitar 3,5 juta orang dengan HIV-AIDS. Menurut data UNGASS tahun 2009, estimasi jumlah perempuan yang terinfeksi HIVAIDS sekitar 1 juta orang (30%) dengan perbandingan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV-AIDS terhadap jumlah laki-laki dari tahun ke tahun akan semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan seks tidak aman sehingga berisiko untuk menularkan pada pasangan seksnya. Selama tahun 2008 terdapat 1,4 juta ibu hamil dengan HIV positif dan lahir 430,000 anak terinfeksi HIV.8 Meskipun bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif belum tentu akan tertular HIV juga, tetapi risikonya mencapai 25-45%.5 Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan 2012, kasus AIDS telah tersebar di semua provinsi di Indonesia dengan estimasi jumlah odha di Indonesia dan diperoleh hasil 591.823 orang. Sekitar 55,7% laki-laki, 29,2% perempuan dan 15,1% tidak melaporkan jenis kelamin. Sedangkan menurut golongan umur, proporsi terbesar terdapat pada kelompok usia reproduksi (20-39 tahun), yaitu sebanyak 63,2%.10 Dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat 1 orang baru terinfeksi HIV, 1 dari setiap 5 orang yang terinfeksi di bawah umur 25 tahun.11 Proyeksi Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada tahun 2014. Penularan infeksi Human Immunodeficienxy Virus (HIV) dari ibu ke anak merupakan penyebab utama infeksi
HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak terjadi pandemik HIV di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV yang sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak.11 Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, Persentase AIDS menurut faktor risiko, sejak tahun 1987 sampai dengan September 2013 penularan HIV dari ibu ke anak mencapai angka 2,8%.10 Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak.9 Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan, dan masa menyusui. Sehingga diperlukan upaya pencegahan lewat program Prevention Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) atau lebih dikenal dengan istilah Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) sesuai dengan Surat Edaran Nomor GK/Menkes/001/I/2013.13 Dengan adanya layanan PPIA diharapkan risiko penularan HIV dari ibu anak dapat ditekan 25%- 45%. Meskipun berbagai upaya telah dilaksanakan selama beberapa tahun, ternyata cakupan layanan PPIA dinilai masih jauh dari harapan, yaitu 10% di tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 35% pada tahun 2007 dan 45% di tahun 2008. Bahkan pada tahun 2010 cakupan layanan PPIA di Indonesia hanya sebesar 6%, angka ini dinilai masih sangat rendah1. Agar penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan, perlu upaya peningkatan cakupan layanan seiring dengan peningkatan pelaksanaan program PPIA. Dalam sepuluh tahun mendatang, jika percepatan penyebaran HIV/AIDS tidak dapat dikurangi, maka akan menjadi
102
ancaman kesehatan masyarakat yang sangat besar (termasuk kesehatan reproduksi terutama kematian ibu dan bayi akan meningkat). Hal ini mempunyai dampak sosial – ekonomi yang luas. Penderitaan bukan saja akan dialami oleh orang yang tertulari HIV/AIDS tetapi juga akan dirasakan oleh keluarga dan masyarakat. Karena dampak dari penyebaran HIV/AIDS bukan masalah kesehatan semata, tetapi mempunyai implikasi politik, ekonomi, sosial, agama dan hukum yang cepat atau lambat akan menyentuh hampir semua aspek 3 kehidupan manusia. Hal ini tentu saja menjadi ancaman bagi bangsa kita untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sangat jauh dari tujuan mulia bangsa ini yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa. Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014 dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Rencana Aksi Kegiatan Pengendalian AIDS dari Kementerian Kesehatan, menegaskan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) atau dikenal dengan Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV-AIDS penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.8 Kebijakan program PPIA ini antara lain : (1) integrasi program PPIA dalam layanan KIA; (2) kegiatan komprehensif 4 prong; (3) penawaran tes HIV dan konseling; (4) pemberian obat ARV; (5) persalinan aman, perawatan nifas dan KB pasca persalinan; dan (6) pemberian makanan bayi. Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak diintegrasikan dengan paket pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan, baik tingkat primer, sekunder, dan tersier. Adapun Prong 1 meliputi : pencegahan penularan
HIV pada perempuan usia reproduksi (pencegahan primer), kegiatannya meliputi KIE tentang HIV-AIDS, konseling dan tes HIV. Prong 2 yaitu pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV meliputi kegiatan layanan KB, perencanaan kehamilan dan dukungan psikososial. Prong 3 yaitu pencegahan terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya, meliputi kegiatan pelayanan KIA komprehensif, layanan tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas, pemberian terapi antiretroviral, persalinan yang aman dan pemberian konseling HIV dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta pemberian ARV profilaksis. Sedangkan prong 4 yaitu pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV beserta anak dan keluarganya. Kebijakan pemerintah sebagai pedoman untuk menjalankan program PMTCT bagi manajer program, aparat pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan di Indonesia sangat diperlukan untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini mencakup hal-hal penting pada tiaptiap langkah intervensi program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.3 DKI Jakarta sebagai provinsi ke tiga dengan AIDS Case Rate Tertinggi sampai dengan September 2013 mencapai 50,4%. Angka ini melebihi angka case rate Nasional yaitu 14,6%. DKI Jakarta mulai awal tahun 2014 menyediakan layanan PPIA di tingkat layanan primer (puskesmas), meliputi kegiatan pelayanan KIA komprehensif, layanan tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso sebagai salah satu rumah sakit rujukan penyakit infeksi di DKI Jakarta yang memiliki
103
Pokja AIDS RSPI-SS Merupakan Pusat Rujukan Nasional dalam Pendidikan, Pelatihan, Kajian, Penelitian dan Informasi tentang tatalaksana pelayanan infeksi HIV & AIDS dengan sumber daya yang sudah terlatih dan kompeten dalam menjalankan tugasnya (tabel 1). Tabel 1. Sumber Daya Manusia di Pokja HIV AIDS Petugas Keterangan Konselor 2 dokter & 37 perawat CST 43 dokter & 87 perawat PMTCT 2 dokter & 1 bidan Kunjungan Pasien dengan kasus HIV AIDS menempati urutan kelima dari 10 kasus/penyakit utama pada pasien rawat jalan maupun rawat inap di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Sedangkan jumlah komulatif kasus baru HIV dan prevalens kasus AIDS terlihat pada grafik 1 dan jumlah komulatif kasus baru dan kematian akibat HIV-AIDS terlihat pada grafik 2. Grafik 1. Jumlah Komulatif Infeksi HIV dan Kasus AIDS Tahun 1995-2013
Grafik 2. Jumlah Kasus Baru Infeksi HIV dan Kematian Akibat HIV-AIDS Tahun 1995-2013
METODE Studi kualitatif dengan mewawancarai petugas PPIA di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso dan metodenya deskriptif dengan menggunakan data sekunder. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya kegiatan PPIA yang dilaksanakan oleh Pokja HIV-AIDS dan Tim PPIA/PMTCT RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso mengacu pada kebijakan dan program Kementerian Kesehatan tentang Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi. Pedoman tersebut sudah disosialisasikan kepada petugas Pokja dan Tim PPIA rumah sakit. Kebijakan umum Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak sejalan dengan kebijakan umum Kesehatan Ibu dan Anak serta kebijakan pengendalian HIV-AIDS di Indonesia. Salah satunya adalah tes HIV merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu hamil. Pada ibu hamil dengan hasil pemeriksaan HIV reaktif, ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan infeksi menular seksual lainnya terutama sifilis.8
104
KIE tentang HIV-AIDS, konseling dan tes HIV Pemeriksaan HIV ini bertujuan untuk menemukan kasus wanita hamil yang terinfeksi HIV sehingga dapat lebih cepat untuk diberikan obat antiretroviral (ARV). VCT (Voluntary HIV Counseling and Testing) adalah layanan tes, konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan Antiretroviral therapy (ART).8 Strategi penanggulangan AIDS Nasional 20032007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Beberapa kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah menjadikan konseling HIV salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan dan tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan ODHA yang telah ditetapkan pemerintah.8 Pada bulan Desember 2011, Kementerian Kesehatan melaporkan 500 tempat VCT aktif di 33 provinsi, meningkat dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009. Masalah kerahasiaan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih menghalangi upaya-upaya untuk
meningkatkan cakupan dan pemahaman tentang tes HIV/AIDS. untuk diberikan obat antiretroviral (ARV). VCT (Voluntary HIV Counseling and Testing) adalah layanan tes, konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan Antiretroviral therapy (ART).8 Strategi penanggulangan AIDS Nasional 20032007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Beberapa kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah menjadikan konseling HIV salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan dan tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan ODHA yang telah ditetapkan pemerintah.8 Pada bulan Desember 2011, Kementerian Kesehatan melaporkan 500 tempat VCT aktif di 33 provinsi, meningkat dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009. Masalah kerahasiaan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih menghalangi upaya-upaya untuk meningkatkan cakupan dan pemahaman tentang tes HIV/AIDS.
105
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso merupakan salah satu rumah sakit yang memiliki klinik VCT dengan jumlah klien/pengunjung seperti terlihat pada grafik 3. Grafik 3. Jumlah Klien Pada Klinik VCT di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 20082013
Pemberian terapi antiretroviral Memulai terapi ART setidaknya 13 minggu sebelum persalinan memberikan manfaat yang paling besar dalam pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Hasil studi kohort retrospektif dari perempuan yang terinfeksi HIV yang mendatangi klinik perawatan antenatal umum di Lusaka, Zambia menyatakan bahwa perempuan yang mendapatkan ART selama satu bulan atau kurang sebelum persalinan memiliki risiko lima kali lipat atau lebih dari penularan HIV kepada bayinya dibandingkan dengan perempuan yang menggunakan ART selama paling sedikit 13 minggu (95% CI: 2.5-11).14 Temuan ini menggarisbawahi pentingnya konseling dan tes HIV pada kesempatan
yang paling dini setelah seorang perempuan menjadi hamil dan pentingnya meminimalkan penundaan penerimaan hasil tes yang positif dan memulai pengobatan dengan terapi antiretroviral. Lebih dari 90% dari 1,000 infeksi HIV pada anak terjadi di Afrika sub Sahara. Pemberian ART pada ibu dapat menurunkan penularan dari ibu ke anak sebesar 2-5% atau lebih rendah.14 Sementara pedoman Organisasi kesehatan Dunia (WHO) sekarang merekomendasikan bahwa semua perempuan hamil dengan jumlah CD4 di bawah 350 harus memulai ART, para perempuan di negara terbatas sumber daya biasanya datang ke klinik antenatal sebanyak empat kali atau kurang dari empat kali.6 Hal ini berarti bahwa tes HIV dapat mengambil tempat di akhir
106
kehamilan, sehingga menyebabkan penundaan dari pengobatan sampai memasuki trimester ketiga. Viral load ibu yang menggunakan ART selama kehamilan dan menyusui menentukan risiko penularan, jadi penekanan viral load adalah tujuan utama dari ART untuk pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Pemantauan viral load dapat memandu pengelolaan klinis selama kehamilan. Sementara pedoman merekomendasikan memulai ART segera setelah seorang perempuan memenuhi syarat, waktu yang optimal dari penggunaan ART pada masa antenatal masih belum jelas. Lamanya pengobatan ART diklasifikasikan sebagai: empat minggu atau kurang, 5-8 minggu, 9-12 minggu atau 13 minggu atau lebih. Analisis eksploratori dari perempuan yang menggunakan ART selama 13 minggu atau kurang menunjukkan bahwa setiap minggu tambahan dari penggunaan ART sebelum melahirkan, memberikan penurunan tambahan dari penularan perinatal sebesar 14% (OR: 0.86; 95% CI: 0.77-0.96).6 Temuan mereka menggarisbawahi pentingnya membawa perempuan hamil ke perawatan antenatal segera dan bagi penyedia layanan kesehatan untuk menentukan pemenuhan syarat untuk ART dan memulai pengobatan dengan tepat waktu. Maka lama waktu pengobatan sebelum persalinan adalah prediktor yang paling penting dari penularan perinatal. Para peneliti juga menyarankan komponen kunci untuk kesuksesan program termasuk: mendukung konseling dan tes HIV rutin; memperbaiki layanan klinis dan laboratorium termasuk titik layanan jumlah CD4; integrasi dari layanan ART dalam rangkaian klinik antenatal dan mempersiapkan tim PPIA untuk memberikan resep ART.
Peningkatan layanan antenatal di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso yang mempromosikan pencegahan, skrining dan mengobati kondisi yang dapat dicegah seperti infeksi menular seksual dan anemia dapat memperbaiki kesehatan perempuan dan menurunkan risiko penularan perinatal. Pemantauan viral load dan CD4 selalu menjadi layanan prioritas yang ditawarkan kepada klien untuk menentukan waktu yang tepat memulai ART dan menentukan jenis persalinan. Namun untuk pemeriksaan viral load dengan biaya cukup besar menjadikan klien untuk memilih pemeriksaan CD4 saja, hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam menjangkau harga pemeriksaan viral load yang dinilai masih tinggi. Sehingga hasil studi merekomendasikan perempuan dengan jumlah CD4 di bawah 350 untuk memulai ART paling lambat empat minggu namun lebih baik pada 13 minggu sebelum persalinan untuk meyakinkan kesempatan yang lebih besar untuk mencegah penularan vertikal. Persalinan aman Perempuan hamil, melahirkan dan nifas termasuk dalam kelompok rentan, selain peran tradisional mereka dalam masyarakat, terutama dalam hal perannya dalam rumah tangga. Proporsi perempuan untuk infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami peningkatan dari 34% pada tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011.12 Persalinan yang aman termasuk dalam kebijakan program PPIA, sehingga pemilihan jenis persalinan yang tepat untuk ibu hamil dengan HIV dapat menekan angka transmisi HIV dari ibu ke bayi. Pelaksanaan persalinan bergantung indikasi obstetrik dengan kewaspadaan standar, namun disarankan untuk melakukan bedah caesar untuk mencegah
107
cairan dari tubuh ibu masuk ke tubuh bayi.7,12 Melalui operasi caesar elektif (terencana) pada usia kehamilan 38 minggu mengurangi transmisi 50-80%. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah menghindari ketuban pecah > 4 jam, tindakan episiotomi dan forceps serta menghindari pembersihan vagina sebelum dan selama persalinan berlangsung.9 WHO tidak menyarankan memakai bedah caesar, walaupun tidak melarangnya, dengan pertimbangan bahwa keadaan sangat berbeda. WHO mengusulkan agar dipertimbangkan biaya, fasilitas untuk tindakan tersebut dan komplikasi pasca bedah yang mungkin terjadi akibat kekebalan tubuh ibu yang rendah.4
Beberapa penelitian awal menunjukan bahwa bedah caesar pilihan mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi secara bermakna dibandingkan dengan kelahiran melalui vagina, namun penelitian ini dilakukan sebelum ada ART dan tes viral load. Sehingga apakah bedah caesar memberi manfaat pada bayi yang terlahir oleh ibu yang memakai ART pun belum diketahui. Hasil penelitian Tabel 2 menunjukan hasil analisis bivariat bahwa ada hubungan signifakan antara jenis pertolongan persalinan perabdominal (SC elektif) dengan risiko penularan HIVAIDS dari ibu ke bayi, seperti pada tabel 2 (hasil analisis bivariat).
Tabel 2. Analisis Bivariat Jenis Pertolongan Persalinan Perabdominal(SC) Elektif (n=370)
Pervaginam Perabdominal(SC)
Cito (n=370)
Pervaginam
Bayi Baru Lahir dengan HIV (+) HIV (-) 3 167 1,76% 98,24% 21 179 10,50% 89,50% 7 196 3,45% 96,55% 15 152 8,98% 91,02%
N 170
p value < 0.001 .00001
200 203
.009
167
Namun Kementerian kesehatan tetap memberikan pedoman untuk menentukan jenis pertolongan persalinan yang aman bagi ibu yang terinfeksi HIV-AIDS, seperti pada tabel 3.12 Tabel 3. Syarat Persalinan Normal atau SC Persalinan Normal
Persalinan Sectio Caesar
Pemberian ARV ≥6 bulan atau
Pemberian ARV ≤6 bulan atau
Viral Load (VL) < 1000 kopi/mmᶟ (jika
Viral Load > 1000 kopi/ mmᶟ atau
tersedia fasilitas pemeriksaan VL)
Ada indikasi obstetrik
108
Di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, pemilihan jenis pertolongan persalinan selalu mengacu pada pedoman PPIA yang disahkan oleh Kementrian Kesehatan. Sehingga kewaspadaan universal selalu menjadi prinsip dalam pertolongan persalinan baik pervaginam maupun bedah sesar. Pemberian makanan bagi bayi dan anak Kementerian Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi pada anak-anak, seiring dengan meningkatnya infeksi HIV baru pada perempuan. Temuan awal studi terakhir yang dilakukan oleh UNICEF dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menunjukkan kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang terkena dampak dan terinfeksi HIV/AIDS. Akses mereka ke pelayanan pendidikan dan kesehatan mengalami keterbatasan karena diskriminasi, kesulitan keuangan keluarga karena penyakit, kesehatan anak yang buruk dan kebutuhan untuk merawat orang tua yang sakit. Perkiraan jumlah anak yang terinfeksi setiap tahun diproyeksikan meningkat dari 1.070 pada tahun 2008 menjadi 1.590 pada tahun 2014. Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, antara lain: faktor ibu (kadar HIV/viral load dalam darah ibu pada saat menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya, Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 < 350 sel/mm3); faktor bayi dan anak (Penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi dari ibu HIV positif yang diberi ASI eksklusif selama tiga bulan memiliki risiko tertular HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan campuran, yaitu susu formula dan ASI
(24,1%).12 Hal ini bisa disebabkan karena air dan makanan (makanan campuran) yang kurang bersih (terkontaminasi) akan merusak usus bayi yang mendapatkan makanan campuran, sehingga HIV pada ASI bisa masuk ke tubuh bayi. Pilihan nutrisi bagi bayi dengan ibu yang HIV positif harus diperhatikan, yaitu memberikan ASI eksklusif atau susu formula, harus memilih salah satu saja untuk menimalisasi transmisi, sehingga pencampuran keduanya sangat tidak direkomendasikan.7 panduan WHO menyebutkan bahwa bayi dari ibu HIV positif boleh diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan.12 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu: umur bayi dan luka di mulut bayi. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh ibu, seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara. Sebagian besar masalah payudara ini dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik, baik posisi dan perlekatan saat menyusui. Sehingga konseling manajemen laktasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko penularan HIV. Tim PPIA RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso memberikan KIE pada ibu hamil dengan HIV + tentang persiapan laktasi dan pemberian makanan bagi calon bayi yang akan dilahirkan, sehingga diharapkan dapat meminimal transmisi virus HIV dari ibu ke bayi. Layanan KB Kehamilan
Perencanaan
Survei siswa Sekolah Menengah Atas di enam kota selama kurun waktu 2007-2009 menunjukkan rendahnya angka penggunaan kondom secara konsisten (di
109
dan
bawah 20 persen), meskipun lebih dari setengah responden dapat mengidentifikasi kondom sebagai alat untuk mencegah infeksi HIV. Pada tahun 2011, di antara siswa Sekolah Menengah Atas yang mengaku telah melakukan hubungan seksual, 49% menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual terakhir mereka.11 Ketersediaan dan akses terhadap penggunaan kondom masih merupakan sebuah persoalan, meskipun penggunaan kondom di Indonesia mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2006. Produk hukum yang berlaku, Undang-undang Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (UU No. 52 / 2009) dan Undang-undang Kesehatan (UU No. 36 / 2009) menetapkan bahwa hanya pasangan yang menikah secara sah yang dapat mengakses layanan seksual dan kesehatan reproduksi.11 Hal ini menyulitkan orang muda dan orang dewasa yang belum menikah untuk mengakses pelayanan kontrasepsi atau keluarga berencana dari klinik-klinik pemerintah. Akan tetapi, akses untuk mendapatkan kondom dapat dengan mudah diperoleh dari pasar-pasar terdekat, kecuali di daerah-daerah terpencil/pedesaan. Upaya pencegahan kehamilan pada ibu dengan HIV+ sangat memerlukan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif dengan pemilihan metode KB yang aman (seperti kondom, kontrasepsi oral/implant/suntik dan sterilisasi/tubektomi). Sedangkan IUD tidak dianjurkan karena berisiko terjadi perdarahan dan infeksi yang justru akan meningkatkan risiko penularan HIV pada bayi.9 Hambatan kapasitas, sikap dan budaya mempengaruhi upaya untuk mencegah penularan dari orang tua ke anak dan mempromosikan rawatan lanjutan
(kunjungan post-natal) bagi pasangan ibu dan bayi. Layanan untuk menanggulangi penularan dari orang tua ke anak masih terbatas dan implementasi pada tingkat provinsi dan kabupaten bervariasi. Kesenjangan dalam ketersediaan dan penggunaan merefleksikan perbedaan tingkat kapasitas lokal (keterbatasan akses fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan), dan norma-norma dan sikap budaya lokal terhadap HIV. Pelayanan keluarga berencana untuk Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso dilaksanakan di poli kebidanan setelah mendapat KIE dari petugas PPIA. Dukungan psikososial dan perawatan Ibu hamil perlu terus mendapat dukungan psikologis dan sosial, terlebih lagi setelah melahirkan, karena kaum hawa tersebut membutuhkan ARV jangka panjang. Program-program perlindungan dan bantuan sosial perlu lebih sensitif terhadap masalah HIV. Ini berarti penguatan langkah-langkah untuk melindungi dan meningkatkan akses ke layanan sosial oleh keluarga-keluarga yang terkena dampak HIV. Upaya-upaya sedang dilakukan untuk memasukkan pelayanan PPIA dalam skema Jamkesmas, yaitu program asuransi kesehatan Pemerintah untuk masyarakat miskin. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso menerima dan memberikan pelayanan bagi ODHA (yang memiliki Kartu Jakarta Sehat/jaminan sosial) bila ODHA tersebut membutuhkan perawatan medis. Banyak hal yang harus dilakukan untuk mendukung upaya pendidikan, perlindungan, kesehatan dan gizi bagi anak dan orang muda yang terkena dampak HIV/AIDS. Kebijakan nasional mempromosikan pendekatan lintas-sektoral untuk memerangi HIV/AIDS, tetapi koordinasi dan kolaborasi tersebut harus sampai di tingkat kabupaten dan provinsi. Pada
110
bulan Desember 2011, Kementerian Kesehatan melaporkan 500 tempat VCT aktif di 33 provinsi, meningkat dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009. Masalah kerahasiaan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih menghalangi upaya-upaya untuk meningkatkan cakupan dan pemahaman tentang tes HIV/AIDS.11 Selain itu diperlukan hubungan kerja yang baik antara RS dan LSM dalam memberikan layanan rujukan medis dan psikososial.9 Keterlibatan LSM dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di Pokja HIVAIDS RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso merupakan bentuk dukungan sosial bagi Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA), yang keberadaannya sangat dirasakan dalam memberikan dukungan sosial dan menghilangkan stigma bagi ODHA. KESIMPULAN DAN SARAN • HIV-AIDS pada anak dan perempuan usia reproduktif merupakan masalah kesehatan masyarakat saat ini dan bisa menjadi ancaman pada masa mendatang. • Penularan dari ibu ke anak merupakan jalan utama dari HIV anak yang didapat. • Ada tiga mekanisme utama yang penting untuk mencapai pengurangan penularan HIV dari ibu ke anak yang efektif yaitu : mengurangi viral load ibu dengan terapi ARV, mencegah pajanan virus HIV dari ibu melalui pertolongan persalinan yang aman dan mengurangi pajanan HIV melalui pemberian asi. • RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso melaksanakan kegiatan pelayanan komprehensif 4 prong. • Penekanan harus berimbang untuk seluruh komponen program PPIA meliputi : Informasi Edukasi dan Konseling, promosi penggunaan kondom tepat sasaran, VCT,
pencegahan penularan dengan ARV, persalinan aman, pemberian makanan bayi yang aman dan partisipasi semua elemen masyarakat untuk mengurangi stigma terhadap penderita HIV-AIDS. DAFTAR PUSTAKA 1. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 14 No. 4 Oktober 2011: 411–421 2. Chibwesha CJ et al. Optimal time on HAART for prevention of mother-tochild transmission of HIV. Advance online edition of JAIDS doi: 10.1097/QAI.0b013e318229147e, 2011 3. Depkes RI, 2006, Pedoman pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary counselling and testing), Jakarta. 4. Judarwanto, W. 2010. HIV Mengancam Anak Indonesia dalam Jurnal promosi Kesehatan Indonesia Vol. 7/No. 2/Agustus 2012 5. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 7/No. 2/Agustus 2012. 6. http://health.kompas.com/read/2013/0 2/21/16380229/Wanita.Hamil.Perlu.D iprioritaskan. Tes.HIV 7. Kementerian Kesehatan RI Edisi kedua, 2012, Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak, Jakarta. 8. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. Jakarta 9. Modul Pelatihan Lanjutan Perawatan, Dukungan dan pengobatan bagi ODHA. Bekasi, 25-30 April 2005. 10. Presentasi Subdit HIV AIDS, Kementrian kesehatan RI. Pada seminar HMP, Desember 2013 11. Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV-AIDS. Oktober 2012. Unicef Indonesia. Diakses tanggal 23 Desember 2013. 12. Seri Buku Kecil, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan, Spiritia
111
13. Surat Edaran Nomor GK/Menkes/001/I/2013 tertanggal 2 Januari 2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Dari Ibu Ke Anak (PPIA) 14. WHO, 2011, Progress report 2011: Global HIV/AIDS response epidemic update and health sector progress towards universal access WHO, UNICEF, UNAIDS, Retrieved : March 16, 2012, from http://www.who.int/hiv/pub/progress report2011/en/
112
PENDEKATAN KUALITATIF DALAM EPIDEMIOLOGI Sudarto Ronoatmodjo Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
ABSTRAK Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari frekuensi dan distribusi masalah kesehatan dan faktor determinannya. Dalam metoda penelitian epidemiologi dikenal penelitian epidemiologi diskriptif dan penelitian epidemiologi analitik. Pada penelitian epidemiologi diskriptif dikenal case study (studi kasus) dan case series (kumpulan kasus). Sedangkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang pendekatannya dalam mencari informasi dengan cara wawancara yang mendalam, observasi dan menggunakn sumber data tertulis.Bisa dikategorikan sudi kasus dan kumpulan kasus kasus. Makalah ini menguraikan contoh contoh penelitian kualitatif. Contoh yang pertama, mengemukakan persepsi dari peneliti terhadap persepsi seseorang tentang ssesuatu sikap mencontoh peran tokoh dalam suatu ceritera. Pada contoh yang kedua penelitian kualitatif dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang akan dipergunakan pada penelitian kuantitatif yang akan dikerjakannya. Contoh yang ketida adalah penelitian kuantitaif yang bertujuan untuk melihat pemahaman dari kelompok target terhadap pengetahuan dan pelaksanaan suatu kebijakan. Contoh yang keempat menggambarkan penelitian kualitatif yang mencari informasi agar variabel pada penelitian kuantitaif menjadi lebih jelas. Penelitian kualittatif dan penelitian kuantitaif tidak perlu dipertentangkan tetapi mereka mempunyai perannya masing masing dalam pengembangan ilmu. Kata kunci: penelitian kualitatif, studi kasus, studi kumpulan kasus. Pendahuluan Perkembangan cara berpikir pada epidemiologi berjalan terus, sejak zaman Hippocrates (460-377 SM). Hippocrates berpikir dalam rangka keluar dari ceritera legenda yang supernatural ke pemikiran rasional. Mulai mengangkat pemikiran sebab akibat. Pada saat itu ilmu diperoleh dengan cara merenung. Pada saat itu Hippocrates sudah ada pemikiran bahwa kesehatan berkaitan dengan lingkungan (tempat, keadaan air, cuaca, kebiasaan makan dan perumahan) (Merrill, 2010)
Pada saat itu orang belum mengenal vitamin, James Lind (1716-1794), telah melakukan semacam percobaan yang berkesimpulan bahwa pemberian jeruk dapat menyembuhkan terjadinya sariawan pada pelaut di Inggris (Merrill, 2010). Edward Jenner (1749-1823). Dialah orang yang mengambangkan vaksin cacar. Dia mengobservasi para pembantunya yang bekerja memerah susu sapi yang telah tertular cacar sapi (cow pox) ternyata tidak tertular penyakit cacar. Ternyata cacar sapi disebabkan oleh virus cacar sapi yang dikenal sebagai vaccinia virus,
113
menyebabkan infeksi ringan pada manusia. Jenner mengambil pustul dari si pemerah susu sapi. Diinokulasikan kepada anak yang berumur 8 tahun dan walau ternyata anak ini terpapar vius cacar dia tidak sakit. Dan Jenner juga memvaksinasi anaknya sendiri (Friis, 2010). Kemudian pemikiran sebab akibat masuk ke jaman kuman. Sehingga berkembang pengertian sebab tunggal suatu penyakit. Dan pada saat itu dikenal suatu postulat yang terkenal yaitu postulat Koch. Robert Koch (1843-1910) mengembangkan pengertian dieterminisme murni. Dia membuat postulat untuk menentukan penyebab penyakit: pertama, agen harus ada di pada tubuh penderita penyakit; kedua,agen harus tidak ada pada orang yang tidak sakit; ketiga, agen harus bisa diisolasi dari orang yang sakit dan kuman kalau diinokulasikan ke binatang yang susceptible akan menimbulkn penyakit. (Friis, 2010). Rothman, Green dan Lash (2008) yang mengembangkan pemikiran tentang sebab dan akibat dengan prinsip gambar ‘roda’. Dengan konsepnya tentang component causes, necessary cause, contributory causes dan sufficient cause. Faktor yang selalu ada dalam komponen sebab penyakit yang dapat menimbulkan sakit disebut sebagai necessary cause. Seluruh komponen yang secara bersama dapat menimbukan sakit desebut sebagai sufficient cause. Komponen sebab yang lain yang tidak selalu ada dalam sufficient cause disebut sebagai contributory causes. Sedangkan setiap faktor yang ada pada konsep faktor faktor yang menyebabkan sakit disebut component cause. Sebenarnya, pemikiran ini masih diwarnai pemikiran sebab yang tunggal, mengingat adanya pemikiran bahwa ada necessary caus yang selalu harus ada pada kejadian penyakit.
Elwood (2000), menyusun kriteria sebab akibat dengan melihat dari pelaksanaan pembuktian hipotetsis dalam penelitian. Dia mengatakan bahwa untuk mendiagnosis sebab diperlukan pertama, diskripsi bukti bukti; kedua, adanya keterangan tentang validitas internal (pertimbangan penjelasan non kausal); ketiga, adanya keterangan tentang validitas internal pertimbangan pertimbangan tentang adanya hubungan yang positif; keempat, validitas eksternal, generalisasi hasil; kelima, perbandingan hasil penelitian yang dilakukan dengan bukti bukti yang lain. Pada buku buku teks epidemiologi, para ahli epidemiologi mengenal pembagian metoda penelitian berdasarkan adanya unsur pencarian sebab akibat. Maka penelitian epidemiologi dibagi menjadi penelitian diskriptif dan analitik. Yang termasuk penelitian diskriptif adalah laporan kasus, laporan kumpulan kasus, penelitian ekologi dan penelitian kros seksional. Sedangkan yang dimasukkan kedalam penelitian analitik adalah penelitian observasional (kasus kontrol dan kohort) dan penelitian eksperimental (Gordis, 2013). Pada penelitian epidemiologi yang diskriptif para peneliti mempergunakan prinsip generalisasi merupakan pegangan yang penting. Penelitian diskriptif biasanya mendasarkan pada sampel dari populasi. Sampel adalah sebagian dari populasi yang pemilihannya mendasarkan azas agar semua unit sampel mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Sehingga sampel yang dipilih merupakan wakil dari populasinya. Sehingga apa yang ditemukan pada sampel diharapkan merupakan gambaran populasinya. Indikator yang dicari pada penelitian epidemiologi adalah angka dari variabel dalam bentuk kuantitatif.
114
Pada penelitian epidemiologi analitik indikator yang dicari pada dasarnya adalah ukuran asosiiasi bersifat yang bersifat kuantitatif. Tujuan penelitian epidemiologi analitik adalah mencari bukti tentang hipotesis yang berkaitan dengan sebab dan akibat sesuatu masalah kesehatan. Yang diukur menggunakan indikator epidemiologi yang bersifat kuantitatif. Sedangkan pada penelitian kasus (case study) yang merupakan salah satu pendekatan epidemiologi diskriptif, bisa diwarnai pendekatan kualitatif. Studi kasus juga menjadfi salah satu terminologi yang dipakai dalam buku buku penelitian kualitatif (Patilima, 2005). Di bidang penyakit, jika muncul suatu penyakit baru. Kasus yang belum ada diagnosis nya. Maka studi kasus sangat penting. Studi kasus misalnya ketika penyakit HIV/AIDS belum dikenal sebagai suatu penyakit yang disebabkan virus, maka laporan laporan kasus menjadi dasar mempelajari keluhan yang dirasakan penderita, latar belakang penderita, gejala yang dirasakan oleh penderita yang bisa diperoleh dari penderita dengan cara wawncara. Kemudian sampai kepada wawancara permasalahan yang sifatnya sangat ‘pribadi’, maka diperlukan waktu dan ketekunan untuk menggali informasi sehingga latar belkang penderita bisa terungkap. Jika kasus kasus ini dukumpulkan menjadi laporan kumpulan kasus, maka mungkin terlihat kesamaan kesamaan gejala, tanda pada kasus kasus yang dipelajari, sehingga peneliti bisa membuat perkiraan dugaan yang lebih baik terhadap tentang kesatuan dan gejala penyakit yang sedang dipelajari. Dari uraian diatas sudah mulai terlihat urutan kejadian penggunaan metoda kualitatif dan metoda kuantitatif dalam penggunaannya di bidang epidemiologi penyakit. Penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang sudah lama dikerjakan oleh para peneliti. Penelitian kuantitatif juga berkembang terus. Moleong (1989) dalam bukunya mengutip pendapat Bogdan dan Taylor (1975): “...metoda kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilaku yang dapat diamati...” Sekanjutnya Moleong (1989) dalam bukunya juga dengan mengutip pendapat Kirk dan Miller (1986) mendifinsikan: “..penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya..” Patton (1990), dalam bukunya menguraikan bagaimana pengumpulan data kualitatif. Ada 3 cara pengumpulan data kualitatif. Pertama, dengan melakukan wawancara mendalam, dengan pertanyaan yang terbuka; kedua, dengan melakukan observasi langsung; dan yang ketiga, bisa mendasarkan kepada dokumen dokumen tertulis. Data dari wawancara berisi pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuan. Sedangkan dari obsrvasi dapat diperoleh diskripsi kegiatan, tingkah laku, tindakan, interpretasi dari interaksi antar personal, dan proses organisasi yang merupakan pengalaman manusia yang dapat di observasi. Patilima (2005), menguraikan bahwa banyak penamaan dalam disiplin ilmu yang terlibat. Misalnya dalam antropologi dikenal dengan nama etnografi untuk pendekatan kualitatif. Bidang lain menamakan verstehen untuk menamakan pengamatan terlibat. Ada juga yang
115
menamakan studi kasus, ada yang menyebut pendekatan humanistik dan ada yang menamakan pendekatan holistik. Ilustrasi 1 Faisal (1990), mencontohkan tulisan Arief Budiman yang menulis di majalah Tempo (Tempo, 9 September 1989, halaman 104105), yang isinya menceriterakan tentang tokoh pewayangan dalam kesenian Jawa: Kumbakarna, Wibisana dan Karna. Tiga tokoh wayang ini, singkatnya sebagai berikut: Kumbakarna adalah adik Rahwana. Rahwana adalah raja raksasa yang berkuasa dan dilukiskan sebagai tokoh buruk. Rahwana menculik Dewi Sinta untuk dijadikan istrinya. Rama suami Sinta seorang raja. Rama menyerang kerajaan Rahwana untuk merebut Dewi Sinta. Kumbakarna tahu bahwa kakaknya berada pada pihak yang salah. Tetapi dia berperang melawan Rama karena membela negara. Wibisana juga adik Rahwana. Dalam peperangan antara Rahwana dan Rama, Wibisana menyeberang membela Rama, karena Rama dianggap yang benar. Ada tokoh lain dalam pewayangan di Jawa yaitu Karna. Karna adalah saudara Pandawa. Pandawa dilukiskan sebagai kelompok ksatria yang baik. Tapi Karna dibesarkan oleh Kurawa. Kurawa dilukiskan sebagai kelompok yang tidak baik. Karna tahu bahwa Kurawa berada pada pihak yang salah dalam perselisihan antara Pandawa dan Kurawa. Karna tahu bahwa Kurawa akan dikalahkan dalam perang ini. Kalau perang ini tidak terjadi maka benar salah tidak akan tuntas. Karna seperti Wibisana sebenarnya dia mau berpihak pada yang benar. Tetapi kalau dia memihak Pandawa, Kurawa akan takut. Sehingga perang tidak terjadi. Maka dia tetap mendorong Kurawa untuk berperang dan dia memihak Kurawa.
Sehingga akhirnya ditegakkan.
dapat
Ceritera mengenai tiga nama toko wayang tersebut ini oleh Arief Budiman dicoba ditanyakan kepada temennya yang orang Jawa. Pada tulisan ini Arief budiman tidak bisa menyimpulkan dengan pasti apa pendapat temennya yang orang Jawa, pilih yang mana dari ketiga tokoh ini. Jawabannya tergantung situasi... Ilustrasi 2 Seorang peneliti sebelum melakukan melakukan penelitian kuantitatif mungkin perlu didahului dengan penelitian kualitatif dalam rangka mencari definisi suatu istilah. Misalnya Jika suatu penelitian sedang melakukan evaluasi apakah cakupan vaksinasi tetanus pada ibu hamil sudah mencapai target yang ditentukan? Maka seorang peneliti akan melakukan survai untuk mengukur berapa tingkat angka kesakitan dan angka kematian tetanus neonatorum pada suatu daerah. Pada saat akan melakukan survei yang akan menanyakan penyakit tetanus neonatorum perlu dilakukan kajian bagaimana masyarakat setempat mendifinisikan penyakit neonatorum. Disinilah peran penelitian kualitatif bekerja. Dengan cara bertanya kepada orang orang disitu tentang nama apa yang cocok dengan diskripsi penyakit tetanus neonatorum. Yang oleh tenaga kesehatan didifinisikan sebagai penyakit pada bayi atau anak anak dengan gejala kejang, mulut mecucu seperti ikan. Sedangkan dengan melakukan penelitian kualitatif mungkin didapatlah istilah lokal dari penyakit tenatus neonatorum yang di sebut, misalnya sebagai penyakit hantu gagap... Maka penelitian kualitatif jika dilihat dari sifatnya yang menggali secara diskriptif pada seseorang maka bisa dikategorikan sebagai studi kasus. Dan jika melibatkan
116
kebenaran
beberapa orang dengan topik bahasan yang sama bisa dikategorikan sebagai studi laporan kumpulan kasus.
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
Ilustrasi 3
d. menerima imbalan jasa...”
Di Indonesia telah keluar undang undang praktik kedoktaeran (UUPK No 29/2004). Disana tercantum banhwa dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran harus berdasarkan standar pelayanan kedokteran (SPK. “....Pada Pasal 44 memuat: (1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan kesehatan.
strata
sarana
pelayanan
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 50 Dokter atau dokter melaksanakan praktik mempunyai hak:
gigi dalam kedokteran
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
Undang undang ini di jabarkan dalam peraturan menteri kesehatan, yaitu permenkes No 1438/2010 tentang standar pelayanan kedokteran. Dalam permenkes No.1438/2010 dinyatakan bahwa standar pelayanan kedokteran terdiri atas panduan nasional praktik kedokteran (PNPK) dan panduan praktik klinis (PPK). Panduan nasional pelayanan kedokteran hanya dibuat untuk penyakit penyakit yang sering, yang mempunyai keragaman dalam pengelolaan dan yang tinggi biayanya. Sedangkan Panduan praktik klinis harus dibuat untuk semua penyakit. Jika PNPK sudah ada, maka PNPK menjadi acuan pembuatan PPK. Jika PNPK belum ada, penyusunan PPK mengacu pada buku teks, buku ajar dan dapat mengacu pada PNPK negara lain. Panduan Praktik Klinis berisi: pengertian, anamnesis, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, , diagnosis banding, pemeriksaan penunjang dan pengobatan. Panduan Praktik Klinis dapat dilengkapi dengan alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol, prosedur dan standing order. Pertanyaannya, apakah pelaksanaan undang undang praktik kedokteran dalam penggunaan standar layanan telah dilakukan oleh para dokter? Apakah institusi seperti rumah sakit menjalankan fungsinya agar undang undang no. 24/2004 dan permenkes no. 1438 telah dilaksanakan? Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin salah satu yang perlu dilakukan adalah penelitian eksplorasi dengan metoda kualitatif...dan kemudian dapat diikuti
117
dengan penelitian kuantitatif dengan target group para dokter di Indonesia. Ilustrasi 4 Pada saat seorang peneliti, melakukan penelitian untuk menguji hipotesis sebab akibat misalnya, apakah penggunaan metoda fasektomi sebagai alat kontrasepsi pada laki laki dipengaruhi oleh kegigihan motivator KB. Maka sebelum dilakukan penelitian kuantitatif peneliti dapat menggali dulu secara kualitatif bagaimana seorang laki laki, mendengar tentang metoda fasektomi atau mengetahui adanya layanan operasi fasektomi, bagaimana orang ini memahami apa yang dilakukan pada operasi fasektomi, dan bagaimana seseorang mengambil keputusan untuk melakukan operasi fasektomi sebagai cara untuk berkeluarga berencana. Peneliti bisa melakukan wawancara mendalam dengan beberapa orang yang menggunakan fasektomi. Berbagai masalah yang ingin diketahui dapat ditanyakan dengan mendalam. Sehingga si peneliti mempunyai informasi tentang persepsi responden dan alasan alasan mengapa orang tersebut akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi fasektomi pada dirinya. Dan tentu juga ditanyakan secara mendalam bagaimana peran motivator KB dalam proses, mulai dari bagaimana mengetahui tentang adanya layanan metoda fasektomi, sampai orang ini memiliki pengetahuan yang dalam tentang fasektomi dan akhirnya orang ini berniat untuk ber KB dengan cara fasektomi dan kemudian dengan sukarela dan semangat dia mendatangi klinik KB untuk melaksanakan operasi fasektomi. Ilustrasi 5 Pada peneitian yang dilakukan oleh Ronoatmodjo (1996), ditemukan bahwa kematian neonatal di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur berhubungan
dengan kebiasaan ibu disana yang memberikan nasi papak sejak bayi baru dilahirkan. Kebiasaan memberikan nasi papak pada bayi mempunyai risiko untuk terjadinya kematian byinya sebesar 1,8 kali jika dibandingkan dengan ibu yang tidak memberkan nasi papak pada bayinya. Pertanyaannya mengapa ibu memberikan nasi papak pada bayinya? Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan penelitian kualitatif dengan menanyakan alasan2 dan makna apa yang menjadi dasar bagi ibu ibu di Kecamatan Keruak memberikan nasi papak pada bayinya. Secara singkat dari penelitian kualitatif diperoleh informasi bahwa makna pemberian nasi papak pada bayi lahir dasarnya adalah kasih sayang. Nenek dari bayi yang hendak dilahirkan merasa bahwa cucu tercinta akan lahir. Bayi kalau baru lahir menangis. Mengapa bayi menangis? Karena bayi lapar. Bayi kalau lapar harus diberi makanan. Maka nenek dengan rasa kasih sanyangnya menyediakan makanan yang siap di santao oleh cucunya yang kan lahir. Maka nenek mempersiapkan nasi, dikunyah oleh nenek, dengan maksud agar makanan sudah siap untuk dimakan oleh bayi yg baru dilahirkan.
Diskusi Interpretasi Pada ilustrasi 1 interpretasi dan persepsi para pembaca dihadapkan pada hasil analisis persepsi Arief Budiman tentang persepsi dari temennya yang orang Jawa. Bagaimana temen Arief mempersepsikan tokoh tokoh pewayangan dalam kesenian orang Jawa. Tentu para pembaca juga mempunyai persepsi dan iterpretasinya sendiri dari ceritera Arief Budiman. Sehingga dari informasi kualitatif seperti ini bagi para pembaca yang biasa berpikir kuantitatif sulit untuk mengerti apa yang
118
disimpulkan oleh Arief Budiman.. Arief Budiman menyimpulkan bahwa temennya itu (yang orang Jawa) tidak bisa menentukan pilihan dengan tegas... Kareana temennya menjawab bahwa putusanya apakah dia memilih Kumbakarna, Wibisana atau Karna, jawabannya tegantung situasi.... Pada ilustrasi 2. Harapan penelitian ini dapat menjawab terminologi terminologi lokal yang bisa dipergunakan dalam wawancara selanjutnya pada penelitian kualitatif. Yaitu dalam wawancara bisa dipergunakan bahasa lokal yang bisa dimengerti oleh masyarakat setempat. Sehingga penelitian kuantitatif menjadi lebih lancar dan sesuai dengan terminologi lokal tentnag hal 2 yang dipertanyalan. Misalnya tentang nama penyakit tetanus. Pada kuesioner dituliskan tetanus tetapi ada penjelasan dalam bahasa lokal... Pada ilustrasi 3 penelitian dapat menggambarkan apakah sebuah peraturan yang telah dijabarkan dalam bentuk peraturan meneri. Yang telah ditulis dengan lengkap dan baik itu sudah sampai kepada taget masyarakat atau masyarakat khusus (dalam ilustrasi 3 ini maksudnya adalah para dokter) sudah dipahami. Apakah sudah dilaksanakan pada tingkat rumah sakit. Maka responden atau partisipan dalam penelitian ini tidak hanya dokter tetapi juga direktur rumah sakit, komite medik dan para dokter. Sehingga bisa diketahui apakah Panduan Praktik Klinik di RS A sudah ada dan sudah sesuai dengan yang dinaksudkan dalam permenkes 1438/2010 itu. Pada ilustrasi 4, seorang peneliti sebelum melakukan penelitian kuantitatif sudah berusaha memperoleh informasi yang cukup lengkap tentang variabel yang akan diteliti. Urutan proses dan pemikiran pengambilan keputusan oleh seorang laki
laki dalam memilih fasektomi sebagai jalan untuk melakasanakan program keluarga berencana bagi keluarganya. Dengan pendekatan secara kualitatif peneliti sudah mendapatkan informasi tentang, apakah sekiranya memang motivator mempunyai peran kuat dalam keputusan seorang laki laki dalam memilih alat kontrasepsi mantap ini. Dengan demikian penelitian kuantitaifnya tinggal membuktikan apakah hipotesis yang telah dibuatnya terbukti atau tidak. Pada ilustrasi 5. Seorang peneliti melakukan penelitian kualitatif ditengah tengah penelitian kuantitif sedang berjalan. Peneliti berpikiran bahwa kebiasaan pemberian nasi papak pada masyarakat Keruak adalah kebiasaan yan unik. Maka peneliti mencoba mencari alasan atau makna dari pemberian nasi papak pada bayi baru lahir yang dilakukan oleh ibu ibu disana. Yang ternyata pemberian nasi papak didasarkan pada pola kasih sayang antara nenek dengan cucunya. Perbedaan pandangan antara penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif Faisal (1990) membedakan antara penelitian kualitatif dan penelitian kauntitatif dalam 4 aspek: Sifat realitas, penelitian kualitatif bersifat ganda, hasil pengertian pengertian yang berasal dari kontruksi pendapat partisipan penelitian. Sedangkan penelitian kuantitaif realitasnya tunggal, konkret dan teramati. Sifat hubungan antara peneliti dengan yang diteliti. Pada penelitian kualitatif hubungan antara peneliti dan yang diteliti berisifat interaktif. Sedangkan pada penelitian kuantitatif hubungannya bersifat independen. Kemungkinan dilakukan generalisasi. Pada penelitian kualitatif hanya dilakukan dalam ikatan konteks dan waktu.
119
Sedangkan pada penelitian kuantitatif bebas dari ikatan konteks dan waktu. Kemungkinan membangun hubungan kausal. Pada penelitian kualitatif tidak menyimpulkan hubungan kausal karena sebab dan akibat dilakukan pada saat yang sama. Pada penelitian kuantitatif bisa disyaratkan agar penelitian memperhatiakan urutan kejadian sebab dan akibat. Jika kita kaitkan penelitian kualitatif dengan penelitian epidemiologi, dimanakah mereka bisa bersinergi. Juga juga penelitian kualitatif pada bidang epidemiologi bisa dikategorikan sebagai penelitian diskriptif (bisa sebagai studi kasus). Dalam aplikasinya pendekatan kualitatif di bidang kesehatan banyak dipakai pada program promosi kesehatan. Pada pelaksanaan suatu program baik program sudah dimulai ataupun program sedang berjalan dan program sudah selesai dilaksanakan.
Dari ilustrasi diatas nampak bahwa manfaat penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif dalam pemikiran epidemiologi adalah saling melengkapi. Mereka mempunyai peran masing masing dalam menjawab masalah yang menjadi pertanyaan penelitian. Ada hal hal yang bisa didapatkan informasinya dengan pendekatan kaulitatif dan ada yang harus menggunakan pendekatan kuantitatif. Dengan menggunakan ke dua pendekatan itu, peneliti dapat menjawab sebuah pertanyaan penelitian dengan baik dari informasi yang diperoleh dari pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif saling memberikan kontribusinya dalam pengetahuan yang sedang dikembangkan.
Penutup
Kaiitan dengan pengelolaan program kesehatan metoda kualitatif juga banyak dikerjakan Sinergi antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif Jika diperhatikan pendapat tentang apa yang dilakukan oleh penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, ternyata masing masing jenis penelitian ini mempunyai aturan aturan peneyelenggaraan penelitian yang berbeda. Oleh karena itu ada peneliti yang menganjurkan agar penelitian kualitatif dikerjakan oleh yang ahli penelitian kualitatif dan penelitian kuantitaif diselenggarakan oleh peneliti yang mendalami penelitian kuantitatif. Sebaiknya jangan menggabungkan penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti pemula.
120
1. Pendekatan kualitatif didalam penelitian epidemiologi merupakan ‘bagian’ dalam cara mendapatkan informasi pada studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu metoda studi epidemiologi. 2. Informasi yang berasalal dari penelitian kualitatif dan informasi yang diperoleh dari penelitian kuantitaif, merupakan informasi yang saling melengkapi bagi seseorang baik pejabat ataupun peneliti dalam membuat keputusan. Jika kedua pendekatan ini dipakai akan lebih memperkuat pertimbangan bagi pejabat pengambil keputusan dalam pembuatan keputusannya. 3. Penelitian kualitatif bisa dilakukan sebelum penelitian kuantitafi dilakukan, bisa dilakukan bersamaan dengan penelitian kuantitif dan penelitian kualitatif bisa dilakukan setelah penelitian kuantitatif selesai dilakukan.
Daftar Pustaka: Faisal, Sanapiah. Penelitian Kualitatif. Dasar Dasar dan Aplikasi. YA3. Malang. 1990. Friis, Robert H. Epidemiology 101. Series editor: Richard Reigelman. Jones and Barlett Publishers, Massachusetts, USA. 2010. Gordis, Leon: Epidemiology. Elservier Saunders. Fifth Edition. Printed in Canada. 2014. Merrill, Ray M. Reproductuve Epidemiology. Principles and Methods. Jones and Barlett. USA. 2010 Moleong, Lexy J: Metoda Penelitian Kualitatif. Remaja Karya, Bandung. 1989 Patilima, Hamid: Metoda Penelitian Kualitatif. Alfabeta, Bandung. 2005 Patton, Michael Quinnn: Qualitative Evaluation and Research Methods. Sage Publications, London. (Second ed), 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/ 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Ronoatmodjo, Sudarto. Faktor Risiko Kematian Neonatal di Kecamatan Keruak, Nuataenggara Barat 1992-1993. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. 1996. Undang Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
121
PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN NASIONAL EPIDEMIOLOGI III (PITNAS EPID III) Tema: Epidemiology in Clinical Practice From Field to Hospital AKREDITASI IDI DAN PROSIDING ISBN
Sabtu dan Minggu, 15-16 Maret 2014 IPB INTERNATIONAL CONVENTION CENTER BOGOR (SIMPOSIUM) RS BMC BOGOR (WORKSHOP) BOGOR, JAWA BARAT, INDONESIA Contact person Dr. Masdalina Pane +628153841788 Ms. Dedeh Nur Amaliah +628128417984 Ms. Iis Sinsin, SKM, M.Epid +62817184631 Ms. Renti Mahkota, SKM, M.Epid +62818783541
bekerjasama dan didukung oleh
http://pitnasepidemiologi.wordpress.com Penyelenggara Ikatan Alumni Epidemiologi UI bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI World Health Organization FETP Indonesia SAFETYNET
Sekretariat: RS BMC Jl. Pajajaran Indah V/97, Bogor 16143, Jawa Barat, Indonesia. Fax: +62 (251) 8313987 Email:
[email protected],
[email protected]
KATA PENGANTAR Puji syukur Kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya Kami berencana untuk mengadakan pertemuan ilmiah Epidemiologi ke-3. Kami selaku panitia yang tergabung dalam Ikatan Alumni Epidemiologi Universitas Indonesia yang terdiri dari Epidemiologi Komunitas, Epidemiologi Lapangan dan Epidemiologi klinik akan menyelenggarakan Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional Epidemiologi Ketiga (PITNAS EPID III) Tahun 2014, pada tanggal 15-16 Maret 2014 dengan tema Epidemiology in Practice : From Field to Hospital. PIT sebelumnya dilaksanakan tahun 2009 dan 2013. Epidemiologi klinik mempelajari penentuan etiologi, diagnosis, pengobatan (intervensi), dan prognosis dari suatu penyakit; yang tujuannya untuk kepentingan pasien. Dengan perubahan Praktik Kedokteran ke arah evidence base medicine (EBM), epidemiologi klinik menjadi sarana penting bagi para klinisi, epidemiolog, dan peneliti agar penatalaksanaan pasien selalu didasarkan dari buktibukti penelitian yang sahih, yang berujung pada perbaikan kualitas pelayanan pasien di rumah sakit. Forum ini merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi para klinisi maupun epidemiolog tentang perannya sebagai epidemiologi klinik dalam pembangunan kesehatan. Apa saja permasalahan dan solusinya, serta apa rekomendasi yang akan diberikan kepada pemangku kebijakan dan program, merupakan output yang sangat diharapkan pada forum ini.
Jakarta, 16 Jan 2014 Hormat kami, DR. Dr. Hendro Darmawan, MSc. SpJP, FIHA Ketua Panitia PITNAS EPID III Tahun 2014
TUJUAN Tujuan Umum Meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dalam hal perkembangan Epidemiologi secara global dan nasional. Tujuan Khusus 1. Meningkatkan kompetensi dalam penentuan etiologi, diagnosis, pengobatan (intervensi), dan prognosis dari suatu penyakit 2. Meningkatkan kompetensi clinical trial dan Metanalisis 3. Meningkatkan kemampuan untuk membangun kesadaran publik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan di lapangan berdasarkan prinsip-prinsip epidemiologi, 4. Merumuskan solusi kedepan terhadap masalah-masalah kesehatan dengan menerapkan prinsip Epidemiologi dan evidence based yang tidak terbatas pada intitusi/instansi pelayanan kesehatan saja
SASARAN Sasaran khusus dari kegiatan ini adalah 50-60% klinisi (dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis, bidan, perawat, alumni dan mahasiswa program Epidemiologi baik Epidemiologi Klinik, Komunitas, dan FETP), mahasiswa rumpun ilmu kesehatan (FK,FKG, FIK, Farmasi), pengelola program kesehatan baik pemerintah, swasta dan masyarakat, pejabat institusi kesehatan di tingkat pusat dan daerah, kalangan farmasi, praktisi kesehatan, anggota civitas academika institusi pendidikan ilmu-ilmu kesehatan, alumni Epidemiologi UI dan teman-teman peminat ilmu Epidemiologi serta organisasi terkait.
BENTUK KEGIATAN, WAKTU DAN TEMPAT Kegiatan ini akan dilaksanakan pada : a) Sabtu 15 Maret 2014 Agenda: Workshop meta analisis dan clinical trial Lokasi: RS BMC, dua ruangan paralel Jam: 08.30 WIB s.d selesai b) Minggu 16 Maret 2014 Agenda: Simposium Lokasi: IPB Convention Center/Botani Square Jam: 08.30 WIB s.d selesai
TOPIK-TOPIK DAN SUSUNAN ACARA DAN NARA SUMBER a. Workshop Sabtu 15 Maret 2014 di RS BMC Bogor (Workshop meta analisis dan clinical trial, peserta memilih salah satu)
Jam Topik dan pembicara 1) Registrasi, 2) Pemasangan Xbanner untuk peserta yang mengirim makalah (paper) ilmiah, 3) 08.00-08.30 Pengumuman Pemenang Free Paper. Pemenang diwajibkan presentasi dengan powerpoint pada 16 Maret 2014 08.30-08.45 Pembukaan oleh Ketua Panitia dan Ketua Iluni Epid UI Workshop Meta analisis (Software Excel) dan Outbreak Investigation. Fasilitator: 1. dr. Yovsyah, M.Kes, 2. Dr. Consorcia Lim Quizon 09.00-16.00 3. Dr. Cicilia Windiyaningsih, SKM, M.Sc Clinical trial-spss (Software SPSS) 1. Prof Dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K)* 2. Dr. dr Hendro Darmawan Sp JP, M.Sc, FIHA 3. Dr. Masdalina Pane, SKM, M Epid Penutupan, pengembalian angket evaluasi, 16.00-16.30 pengambilan sertifikat dan foto bersama Ket: *) sedang dalam konfirmasi
PESERTA WORKSHOP MOHON PERHATIKAN KETENTUAN INI: 1) Peserta membawa laptop. Disarankan laptop berbasis window (bukan Linux atau Mac) 2) Laptop sudah dilengkapi program SPSS untuk workshop Clinical Trial dan program Excel untuk workshop Meta analisis. Jika program SPSS belum ada, peserta bisa menghubungi Panitia sebelum hari H.
b. Simposium, Minggu 16 Maret 2014 di IPB International Convention Center Bogor Jam Topik dan pembicara 08.00-08.30 1) Registrasi, 2) Pemasangan Xbanner untuk peserta yang mengirim abstrak makalah (paper) ilmiah MC: dr. Agus Hadian Rahim, SpOT, M.Epid,DrMHKes 08.30-09.00 Pembukaan dan Sambutan oleh Ketua Panitia dan Keltua Iluni Epidemiologi UI dan Dekan FKMUI 09.00–09.30 Keynote speaker: 1. Clinical Evidence in Health Service Policy (Bapak Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI) 2. Role of Epidemiology in Clinical Services (Dr. Kanchit Limpakajnarat, from WHO Representative in Indonesia) 09.30-10.45 Simpo 1. Moderator : Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK (K), M.Epid 1. Peran Epidemiologi Klinik di Kedokteran Gigi (Prof. Dr. drg. Faruk Hosain, Sp.Ort, M.Sc, Guru Besar FKGUI) * 2. Peran Epidemiologi Klinik dalam Praktek Kedokteran di Indonesia (Dr. dr Hendro Darmawan Sp JP, M.Sc, FIHA, Wakil Direktur RSU PMI Bogor/Direktur Utama RS BMC Bogor ) 3. Peran Epidemiologi Klinik dalam Manajemen Rumah Sakit (Dr. Czeresna Heriawan, dr, Sp.PD, K.Ger, Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo)* 4. Evidence-based medicine (Prof Dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K), Guru besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI) 10.45-11.45 Special Session: Moderator: dr. Asri C Adisasmita MPH, M.Phil, PhD Introduction of Field Epidemiology : From Field to Clinical Practice in Leptospirosis, Diphtheria, NCD, Polio Surveillance Problem (Dr.Consorcia Lim Quizon, from SAFETYNET) 12.00-13.00 Ishoma 13.00-14.00 Simpo 2: Moderator: Dr. Masdalina Pane SKM, M Epid 1. Aspek Etika dalam Penelitian Epidemiologi Klinik (Prof. dr. Emiliana Tjitra, PhD, Ketua Komite Etik Badan Litbangkes Kemenkes RI) 2. Sejarah dan Peran Epidemiolog di Indonesia (dr. I Nyoman Kandun, MPH, PAEI) 3. Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (dr. Siswanto, MHP, DTM. Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbangkes, Kemenkes RI)* Jam 14.00-15.00
15.00-16.00 16.00-16.30
Khusus mahasiswa S1,S2,S3 1,350,000 270,000 1,620,000
Topik dan pembicara Simpo 3: Moderator: Dr. Robiana Modjo, SKM, M.Epid 1. Research in Clinical Epidemiology (Dr. dr. Ratna Djuwita Hatma,MPH,Staf Pengajar/Peneliti FKMUI)* 2. Pendekatan kualitatif dalam epidemiologi (Prof. Dr. Sudarto Ronoatmodjo, dr, M.Sc, Guru Besar Epidemiologi FKMUI) 3. Epidemiologi manajemen (Dr. dr. Effek Alamsyah, SpA, MPH, RS Islam Jakarta) Presentasi free paper yang menjadi pemenang (Pemenang 1-3) Penutupan, pengembalian angket evaluasi, pengambilan sertifikat dan foto bersama
1,500,00 300,000 1,700,000
BIAYA PARTISIPASI PER PESERTA Simposium disponsori oleh WHO dan SAFETYNET/FETP Indonesia per tanggal 25 Februari 2014. Pendaftar yang telah membayar kelebihan biaya kepada Panitia akan dikembalikan pada hari H. Khusus mahasiswa S1/S2/S3 diskon 10%. Kegiatan Rp
Workshop Simposium Worskhop + Simposium
Foto bersama Dr.Consorcia Lim Quizon, dari SAFETYNET Jakarta 25 Feb ‘14
SUSUNAN PANITIA UTAMA
Hal. 1
Ketua: Dr. dr Hendro Darmawan Sp JP, M.Sc. Wakil Ketua: Dr. Robiana Modjo, SKM, M.Kes. Sekretaris: Iis Sinsin, SKM, M.Epid. Wakil Sekretaris: Renti Mahkota, SKM, M Epid. Bendahara : Dra Susanti Sumangat, Apt. Seksi Ilmiah dan Workshop Epidemiologi: Prof Dr. drg. Lindawati S Kusdani Sp.Pros (K) ; Dr. dr. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH. FINASIM. FACG; Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK (K), M.Epid; Dr. Masdalina Pane SKM, M Epid; Dr. Rustika, SKM, MSc; dr. Ukes K; Syamsul Arifin SKM, M Epid; Dr. Cicilia Windiyaningsih, SKM, M.Sc Pelindung: Dekan FKM UI. Penasehat /Panitia Pengarah : Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, MHSc; Dr. dr. Ratna Djuwita Hatma, MPH ;dr. Asri C Adisasmita MPH, M.Phil, PhD;Dr. dr. Effek Alamsyah , SpA, MPH; Dr. dr. Agus Hadian Rahim, SpOT, M.Epid, MHKes.
FASILITAS
Sertifikat akreditasi IDI, ruangan kelas fasilitas Internasional meeting, makan siang, snack, Goody bag, simposium/training kit dan makalah.
FORMULIR PENDAFTARAN (REGISTRASI)
Nama lengkap dan gelar:
............................................................................................. Jenis Kelamin : L / P Pendidikan terakhir: D3/S1/S2/S3/Lainnya sebutkan1
No. HP :..............................................................................
Email: ……………………………………………............
Nama Instansi: …………………..………………………………………… Alamat instansi: ………………..……………………………………………….…………… ……………………………Provinsi: .................................................... Country: ............................................................................. Telp. Instansi: .........................................
300,000
1,620,000
270,000
3. Belum tahu
1,700,000
1,500,00
Mohon daftarkan untuk acara berikut (lingkari) Kegiatan Rp Khusus mahasiswa S1,S2,S3 1,350,000
Workshop Simposium (Jenis simposis: Metaanalisis/Clinical Trial Worskhop + Simposium
Apakah mengajukan makalah? 1. Ya 2. Tidak
Tanggal _______________Tanda Tangan ________________
Nama ______________________________________________
Catatan: LAMPIRKAN BUKTI PEMBAYARAN BERSAMA LEMBAR INI
CARA PENDAFTARAN TANPA PENGAJUAN MAKALAH: 1. Isi formulir pendaftaran 2. Transfer (PT Bogor Medical Center Bank Bukopin Juanda. No.Rek : 100-1010-278) Kirim formulir pendaftaran dan bukti transfer ke email atau fax ke panitia di nomor +62 (251) 8313987 3.
KHUSUS PESERTA YANG MENGAJUKAN MAKALAH (PAPER) ILMIAH
[email protected]
Deadline: Senin 10 Maret 2014 via email ke
[email protected] dan
CARA PENDAFTARAN DENGAN PENGAJUAN MAKALAH: 1. Isi formulir pendaftaran 2. Transfer (PT Bogor Medical Center Bank Bukopin Juanda. No.Rek : 100-1010-278) 3. Kirim makalah ke email panitia Kirim formulir pendaftaran dan bukti transfer ke email atau fax ke panitia di nomor +62 (251) 8313987 4. Tunggu respon dari Panitia untuk konfirmasi bahwa makalah sudah diterima 5. Siapkan Xbanner dengan kaki tiganya dan diberikan ke Panitia paling lambat pada Sabtu 15 Maret ke RS BMC/tempat workshop (baca ketentuan Paper). Mohon minta tanda terima. 6. Semua pengirim makalah mencetak Xbanner. KETENTUAN CALL FOR PAPER MAKALAH ILMIAH 1. Pengirim paper harus terdaftar sebagai peserta simposium PITNAS Ketiga, minimal untuk sesi simposium (hari Minggu); 2. Paper yang masuk akan diseleksi dan dinilai oleh reviewer untuk ditentukan presentasi oral/poster; Selanjutnya paper akan ditentukan pemenangnya. Pemenang wajib presentasi di hari Ke-2 (Minggu, 16 Maret, sore)
3. Pemenang juara 1-5 akan diumumkan pada Sabtu jam 08.00 pagi di RS BMC Bogor saat sesi registrasi workshop. Pemenang akan dihubungi Panitia. Pemenang wajib menyiapkan powerpoint. Jika pembicara merupakan tim, harap diwakilkan oleh satu anggotanya saat presentasi. 4. Semua paper yang masuk wajib membuat poster ukuran 60 x 160 cm dalam format XBanner (dengan kaki tiganya) dan berwarna 5. Pencetakan poster dilakukan penyaji sendiri. Poster dikirim ke panitia paling lambat pada hari Kamis dan Jumat (13-14 Maret 2014) ke RS BMC. Selanjutnya poster ini akan dipasang oleh panitia pada sesi Sabtu-Minggu (15-16 Maret 2014). Mohon konfirmasi kepada panitia untuk janjian bertemu. 6. Makalah akan dibuat prosiding dengan ISBN, pasca PITNAS Syarat Paper agar lolos seleksi: 1. Paper yang dikirim terdiri dari abstrak 200 kata dan isi paper sebanyak 3 halaman (sehingga total 4 halaman), 1 spasi arial, ukuran huruf 11 pt, dan kertas A4. Silahkan cantumkan gambar /tabel jika diperlukan. File dikirim dalam bentuk Word 2. Judul paper dan nama-peneliti dicantumkan di halaman abstrak. Boleh mencantumkan lebih dari 2 peneliti. Beri keterangan asal instansi dari penelitia dengan HP dan email masingmasing dalam lembar abstrak. 3. Paper mencakup makalah, tinjauan kepustakaan, telaah masalah secara ilmiah, atau hasil penelitian dengan menggunakan metode epidemiologi 4. Paper belum pernah dipublikasi. Jika menggunakan data diharapkan dalam kurun 5
Hal. 2
tahun terakhir. Peserta boleh mengirim lebih dari 1 paper. 5. Pengiriman paper via email paling lambat Senin, 10 Maret 2013.
Contoh Xbanner
1. Ukuran 60 x 160 cm, warna, dengan kaki tiga. 2. Makalah ilmiah ditampilkan dalam media ini 3. Xbanner semua pengirim makalah baik yang terpilih pemenang dan bukan pemenanng akan ditampilkan di lokasi pada 15-16 Maret 2014
SUSUNAN PANITIA (LENGKAP)
IKATAN ALUNI EPIDEMIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA ( I L U N I E P I D. U I ) SURAT KEPUTUSAN IKATAN ALUMNI EPIDEMIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA No : 01 / Iluni Epid.UI / I / 2013 Tentang SUSUNAN PENASEHAT / PANITIA PENGARAH DAN PANITIA PELAKSANA PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) EPIDEMIOLOGI NASIONAL KE 3 TAHUN 2013 IKATAN ALUMNI EPIDEMIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang : 1. Ikatan Alumni Epidemiologi Universitas Indonesia adalah organisasi profesional keilmuan yang dengan semangat kekeluargaan, bertujuan selalu meningkatkan kompetensinya sesuai dengan prinsip Tridharma Perguruan Tinggi U.I. 2. Untuk meningkatkan kompetensi anggota dan komunitas epidemiologi perlu adanya pelatihan dan pertemuan ilmiah secara periodik 3. Untuk melaksanakan Pertemuan Ilmiah Tahunan Epidemiologi Nasiopnal ke 3, tahun 2013, perlu dibentuk Panitia Pengarah / Penasehat dan Panitia Pelaksana Mengingat: 1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Alumni Universitas Indonesia. 2. Program Kerja Ikatan Aluni Epidemiologi U.I tahun 2012-2013 Memperhatikan : . 1. Pertemuan Pengurus Iluni Epidemiolog UI (Iluni Epid.UI) di Jakarta dan Cibubur tahun 2012 untuk menyusun Penasehat , Panitia Pengarah / dan Panitia Pelaksana PIT Nasional Epidemiologi 2013 2. Pernyataan kesediaan pejabat FKM UI, para guru besar epidemiologi dan beberapa Pengurus Iluni Epidemiologi sebagai Penasehat,, Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana PIT Epidemiologi Nasional ke 3, tahun 2013. Menetapkan: 1. Susunan Penasehat/Pengarah dan Panitia Pelaksana PIT Nasional Epidemiologi 3, tahun 2013 seperti yang tercantum dalam Lampiran Surat Keputusan ini 2. PIT Nasional Epidemiologi akan dilaksanakan di Bogor ( R S BMC ), dan Kampus FKMUI Depok pada bulan Juni-Juli 2013 3. Penasehat/ Pengarah dan Panitia Pelaksana PIT Epidemiologi Nasional 3 tahun 2013 diharapkan melaksanakan tugasnya dengan baik, bersemangat, penuh dedikasi dan dalam suasana kekeluargaan.
4. Materi Utama Simposium: Epidemiologi Klinik dan Materi lain : Epidemiologi Kommunitas, Epidemiologi Manajerial / Pelayanan Kesehatan, K3,Kesehatan Lingkungan dll 5. Materi Workshop: 1.Pelatihan Randomized Clinical Trial (CRT) + Analisis dengan Stata 2.Pelatihan Metanalisis Analisis dengan Stata 6. Jadwal acara simposium ilmiah dan acara pelatihan (workshop) diputuskan bersama-sama antara Pengarah dan Panitia Pelaksana PIT Epidemiologi Nasional 3 tahun 2013 7. Biaya dari PIT ini didapatkan dari uang pendaftaran dan sumbangan yang tidak mengikat. 8. Surat Keputusan Ketua Iluni Epidemiologi UI No : 11 / Iluni Epid.UI / IX / 2011 Tentang Susunan Pelindung,Penasehat/Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Epidemiologi Nasional ke 3 tahun 2012, kami nyatakan tidak berlaku lagi. 9. Apabila terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam surat keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya . Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 18 Januari 2013 Ikatan Alumni Epidemiologi Universtas Indonesia ( Iluni Epid.UI)
DR Dr Effek Alamsyah, SpA,MPH Ketua
1
Lampiran : Surat Keputusan Iluni Epid. UI No: 1 / Iluni Epid UI /I/ 2013 Tanggal 18 Januari 2013 SUSUNAN PENASEHAT, PENGARAH DAN PANITIA PELAKSANA PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN NASIONAL EPIDEMIOLOGI (PITNas Epid ) 3, TAHUN 2013 IKATAN ALUMNI EPIDEMIOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA Pelindung : Dekan FKM UI Penasehat /Panitia Pengarah : 1. Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, MHSc 2. Dr. dr. Ratna Djuwita Hatma, MPH 3. dr. Asri C Adisasmita MPH, M.Phil, PhD 4. Dr. dr. Effek Alamsyah , SpA, MPH 5. Dr. dr. Agus Hadian Rahim, SpOT, M.Epid, MHKes
Panitia Pelaksana : Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara
: Dr. dr Hendro Darmawan Sp JP, M.Sc : Dr. Robiana Modjo, SKM, M.Kes : Iis Sinsin, SKM, M.Epid : Renti Mahkota, SKM, M Epid : Dra Susanti Sumangat, Apt
Seksi Ilmiah dan Workshop Epidemiologi 1. Prof Dr. drg. Lindawati S Khusdani Sp.Pros (K) 2. Dr. dr. Murdani Abdullah, Sp.PDKGEH. FINASIM. FACG 3. Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK (K), M.Epid 4. Dr. Masdalina Pane SKM, M Epid 5. Dr. Rustika, SKM, MSc 6. dr Ukes K 7. Syamsul Arifin SKM, M Epid 8. Dr. Cicilia Windiyaningsih, SKM, M.Sc
:
Seksi Dana: 1. Dr. dr. Hendro Darmawan Sp.JP, M.Sc 2. Dr. dr. Agus Hadian Rahim, SpOT, M.Epid, MHKes 3. Asep Zaenal Mustafa, SKM,M.Epid 4. Dr. dr. Effek Alamsyah,SpA,MPH Seksi Akomodasi dan Konsumsi: Tim Bogor Medical Center (BMC) Sekretariat : 5. Dedeh Nur Amalia, Bogor Medical Center(BMC) 6. Anggraini Sariastuti (FKMUI)
Ikatan Alumni Epidemiologi Universitas Indonesia ( Iluni Epid. UI )
Dr dr Effek Alamsyah, SpA,MPH -------------------------------------------Ketua
2
IAKMI 2014