Materi Kuliah: Masalah dan Kebijakan Pembangunan
Mohtar Rasyid
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo 2015
1
Teori Dasar Kebijakan: Analisis Mikro Ekonomi
2
Kebijak an pemerintah: Analisis Mikro
Barang Publik Tidak semua barang dan jasa dapat disediakan dengan menggunakan mekanisme pasar. Ada barang atau jasa yang dibutuhkan secara berbeda oleh konsumen sesuai dengan preferensi masing-masing. Akan tetapi penyediaan barang atau jasa diberikan dalam jumlah yang sama kepada semua konsumen, tidak perduli preferensi konsumen terhadap barang tersebut. Contoh, jasa keamanan. Beberapa orang mungkin lebih membutuhkan jasa tersebut dibandingkan orang lain, akan tetapi penyedia sistem keamanan tidak bisa menyeleksi konsumen berdasarkan kemampuan membayar. Jika seseorang mengalami tindak kekerasan, polisi tidak perlu meminta NPWP yang bersangkutan untuk menentukan layanan perlindungan yang akan diberikan: semua warga negara berhak menerima perlindungan dengan kualitas yang sama oleh pihak yang berwajib. Contoh lain adalah penyediaan jalan raya. Jalan raya sebagian pelaksanannya dibiayai oleh pembayar pajak. Sekali jalan itu dibuat, pengguna tidak bisa dipilah berdasarkan jumlah pajak yang dibayarkan. Apakah dia membayar pajak atau tidak, apakah pajaknya lebih banyak atau lebih sedikit semua berhak melewati jalan umum yang sudah dibuat. Fasilitas umum lain seperti jembatan, taman bermain dan sekolah dasar negeri merupakan contoh lain dari barang publik. Barang publik hanya bisa diselenggarakan dan disediakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, mekanisme pasar tidak akan dapat menyelenggarakan barang atau jasa publik. Sifat barang atau jasa yang tidak bisa dibagi-bagi (indivisible) memungkinkan terdapatnya free rider (penumpang gelap): konsumen yang tidak bayar, tetapi ikut menikmati. Inilah salah satu bentuk contoh eksternalitas positif. Eksternalitas dapat juga bersifat negatif: seseorang mengalami kerugian meskipun tidak terlibat dalam transaksi. Contoh eksternalitas negatif adalah polusi kendaraan bermotor. Pemerintah dalam hal ini dapat menangani problem yang muncul akibat adanya eksternalitas.
Pajak Penjualan Barang atau jasa tertentu sering dikategorikan sebagai barang yang berbahaya bagi kesehatan. Akan tetapi, pemerintah dalam kasus tertentu tidak dapat melarang total konsumsi barang yang dimaksud. Sebagai contoh adalah rokok. Merokok di beberapa tempat publik tertentu (seperti gerbong KA, rumah sakit, kampus) dilarang. Tetapi pemerintah tidak bisa
3
melarang secara penuh semua orang yang merokok. Pemerintah dapat mengatur atau mengendalikan konsumsi rokok salah satunya dengan turut campur dalam penentuan harga. Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam membatasi konsumsi adalah mengenakan pajak penjualan. Dengan adanya pajak penjualan, maka harga yang terbentuk bukan ditentukan oleh mekanisme pasar, namun oleh dipengaruhi oleh ketetapan pemerintah. Pajak penjualan tidak hanya berfungsi sebagai pengendali konsumsi, akan tetapi juga berfungsi sebagai sumber penerimaan negara yang cukup signifikan jumlahnya. Pajak penjualan rokok atau yang dikenal sebagai cukai rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sah. Beberapa barang konsumsi lain seperti minuman keras juga dikenakan cukai penjualan. Efek dari cukai penjualan terhadap harga dan output dapat diperhatikan sebagai berikut:
Gambar 10.1 Efek Cukai Penjualan
Dengan mekanisme pasar, keseimbangan output dicapai pada level q2 dengan tingkat harga pasar sebesar p1. Surplus konsumen sejauh ini digambarkan melalui seluruh daerah segitiga abu-abu. Selanjutnya pemerintah menetapkan cukai penjualan yang menyebabkan harga naik dari p1 menjadi p2. Kenaikan harga ini memicu penurunan output dari q2 menjadi q1. Pengenaan cukai menyebabkan sebagian surplus konsumen berkurang. Surplus konsumen yang tersisa hanya sebesar segitiga CS. Sebagian surplus konsumen beralih menjadi penerimaan negara yang ditunjukkan oleh segi empat Tax Revenue. Terdapat bagian surplus konsumen yang hilang, yakni segitiga Dead Weight Loss (DWL). Bagian yang hilang ini merefreksikan inefisiensi akibat adanya pajak. Analisis efek cukai penjualan ini tidak hanya bisa digunakan untuk menganalisis efek cukai. Alat analisis diatas juga bisa digunakan untuk menghitung efek pajak barang impor serta kebijakan penetapan harga batas bawah (floor price) lain yang ditetapkan pemerintah. Intinya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan ini untuk membatasi output yang dijual di pasar.
Subsidi Harga Salah satu kebijakan yang juga populer dilakukan oleh pemerintah adalah berupa subsidi harga. Contoh yang populer adalah subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Mengingat harga pasar dunia BBM yang relatif tinggi, pemerintah memberikan subsidi sehingga harga BBM relatif murah.
4
Gambar 10.2 Efek Subsidi
Perhatikan Gambar 10.2 diatas. Mulanya keseimbangan ada di titik A dengan garis anggaran BL1. Selanjutnya pemerintah memberikan subsidi harga untuk barang X sehingga keseimbangan berubah menuju titik B dengan kurva indifferent yang baru. Jika konsumen tetap mempertahankan level utilitas yang sama, perubahan rasio harga antara X dan Y dapat dikompensasi dengan sejumlah uang yang ditunjukkan oleh garis CV yang dikenal sebagai Compensating Variation (CV). Biaya subsisi (cost of subsidy) aktual ditunjukkan oleh garis vertikal dari titik B menuju kurva indifferent yang lama. Berdasarkan ilustrasi gambar dapat ditunjukkan bahwa besarnya Compensating Variation (CV) lebih kecil dibandingkan dengan biaya subsisi aktual. Dengan demikian, maka pemberian subsidi harga secara ekonomi tidak cukup efisien.
Transfer Tunai Sebagai alternatif dari pemberian subsidi harga, pemerintah dapat memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai. Salah satu bentuk kebijakan pemberian uang tunai adalah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Transfer tunai diberikan kepada individu atau rumah tangga sasaran sebagai kompensasi atas kenaikan harga barang tertentu.
Gambar 10.3 Efek Transfer Tunai
5
Gambar 10.3 menjelaskan efek dari transfer tunai. Pemberian transfer dalam bentuk uang tunai tidak memberikan efek terhadap rasio harga-harga barang. Secara teknis, besarnya transfer sama persis dengan besarnya Compensating Variations (CV). Dengan demikian, maka pemberian transfer tunai akan efisien.
Voucher Barang Bentuk kebijakan lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan barang secara langsung melalui pemberian voucher. Individu atau rumah tangga sasaran diberikan semacam kupon untuk ditukarkan dengan barang yang sudah ditentukan. Sifat dari vocher adalah hanya bisa ditukarkan dengan barang tertentu dan tidak dapat diuangkan. Perhatikan ilustrasi gambar berikut:
Gambar 10.4 Pemberian Voucher Pada awalnya, titik ekuilibrium kombinasi konsumsi barang X dan Y ada pada titik A. Selanjutnya pemerintah memberikan voucher yang bisa ditukarkan dengan barang X. Kombinasi barang X yang bisa dipilih oleh konsumen lebih banyak, namun tidak demikian halnya dengan barang Y. Variasi besarnya barang Y yang bisa dipilih sama seperti semula. Oleh karena itu, bentuk garis anggaran yang baru bergerak secara paralel ke arah kanan namun titik potong dengan sumbu Y sama seperti semula. Apabila kombinasi baru barang X dan Y yang dipilih oleh konsumen terjadi pada titik B, maka pemberian voucher akan efisien dan akan mencapai tujuan yang diinginkan. Namun, jika pilihan atau preferensi konsumen ternyata berada pada titik C, maka konsumen tidak akan mampu meraihnya. Konsumen hanya bisa memilih kombinasi Y maksimum pada level sebelum voucher diberikan.
Kebijakan Industri Selain kebijakan khusus yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan penyediaan bahan kebutuhan pokok, pemerintah dapat juga melakukan pengaturan atau kebijakan di bidang industri. Kebijakan populer dalam ranah ekonomi industri adalah adanya batasan atau aturan bagi produsen untuk tidak melakukan kolusi dengan produsen lainnya. Undang-undang anti monopoli sudah banyak diterapkan di negara industri maju. Kebijakan pengaturan atau larangan monopoli didasarkan pada argumentasi bahwa terdapat kecenderungan bagi produsen besar untuk membatasi output dan menerapkan harga
6
tinggi. Dengan kata lain, dipandang dari sudut efisiensi alokatif, adanya monopoli relatif tidak efisien. Efisiensi maksimum dicapai jika struktur ekonomi yang terbentuk adalah mendekati pasar persingan. Banyak indikator yang digunakan untuk memetakan struktur pasar yang ada dalam industri tertentu. Salah satu indikator yang secara rutin dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar atau CR4. Indeks ini mengukur besarnya pangsa pasar kumulatif empat perusahaan terbesar. Variabel yang dijadikan acuan beragam, namun yang sering digunakan adalah nilai penjualan serta banyaknya unit penjualan. Sebagai contoh, CR4 sebesar 0,8 menunjukkan bahwa sebesar 80 persen pangsa pasar industri dikuasai oleh empat perusahaan terbesar. Selain itu, besarnya struktur pasar bisa dihitung dengan alternatif indeks seperti indeks herfindahl dengan rentang nilai tertentu. Berdasarkan indeks yang diacu, klasifikasi industri dapat dilakukan dengan cara mendefinisikan struktur industri seperti oligopoli longgar, sedang atau oligopoli ketat. Selain menggunakan ukuran pangsa pasar, penentuan perilaku pasar atau produsen dapat dievaluasi menurut penentuan harga. Teknis perhitungannya adalah membandingkan harga jual produk aktual dengan estimasi biaya untuk memproduksi barang yang sama. Struktur pasar yang efisien memiliki ciri harga jual yang tidak jauh berbeda dengan biaya marjinalnya. Variabel biaya marjinal, dalam praktek sering didekati dengan biaya rata-rata. Sebagai gambaran, untuk mengukur kekuatan monopoli (monopoly power) sebuah industri, dapat digunakan formulasi sebagai berikut: ܲ ܯܥൌ
ିெ
(10.1)
Indeks diatas dikenal sebagai Price Cost Margin (PCM). Jika struktur pasar mendekati oligopoli ketat, maka nilai PCM akan semakin mendekati 1. Sebaliknya, jika struktur pasar adalah persaingan sempurna, maka harga akan sama marjinal cost sehingga nilai PCM adalah 0. Indeks PCM dapat dihitung dengan menggunakan nilai penjualan (sebagai proksi harga) dan total biaya (sebagai proksi biaya).
Investasi SDM Salah satu bentuk eksternalitas positif dapat diperhatikan dalam sektor pendidikan. Pendidikan yang bagus tidak hanya memiliki dampak positif bagi yang bersangkutan (misalkan dalam bentuk penghasilan yang lebih tinggi, prospek karir yang lebih bagus atau kesempatan menduduki posisi manajemen yang lebih prestisius). Efek pendidikan juga bisa lebih luas seperti terciptanya masyarakat yang sadar hukum, rendahnya tingkat kriminalitas, terbukanya kesempatan untuk mengembangkan ide-ide baru yang membangun dan lain sebagainya. Efek positif dari pendidikan sangat disadari oleh masyarakat. Oleh karena itu, banyak rumah tangga atau individu yang sengaja memilih tempat tinggal di lingkungan dengan tingkat pendidikan rata-rata yang cukup baik. Dengan kata lain, nilai atau value masyarakat luas terhadap pendidikan sangat tinggi, lebih tinggi dari yang dirasakan oleh masing-masing individu (private value).
7
Gambar 10.5 Manfaat Sosial Pendidikan Nilai sosial dari pendidikan merupakan total dari nilai individu (private value) dengan eksternal benefit. Jika menggunakan pendekatan mekanisme pasar, output dari sektor pendidikan hanyalah sebesar qM yang mempertemukan permintaan individu (private value) dengan penawaran yang tersedia (private cost). Secara sosial, nilai dari pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian individu. Oleh karena itu, nilai sosial dapat digambarkan sebagai garis permintaan yang lebih besar (bergeser ke arah kanan atas). Output sektor pendidikan yang secara sosial diharapkan adalah sebesar qO, lebih besar dari qM. Apabila hanya diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan layanan sektor pendidikan tidak akan optimal, meskipun dalam perspektif mekanisme pasar sudah dicapai ekuilibrium. Mengingat besarnya manfaat sosial dari pendidikan, maka pemerintah dapat melakukan investasi sumber daya manusia (SDM) dengan berbagai cara seperti penyelenggaraan sekolah dasar dan menengah negeri (public school), memberikan bea siswa bagi mahasiswa, memberikan insentif bagi riset ilmiah dan lain sebagainya.
8
Problem 1: Sistem Jaminan Usia Lanjut
9
EKBISI, Vol. VII, No. 1, Desember 2012, Hal. 58-71 ISSN:1907-9109
Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang Tua: Kajian Empiris Rumah Tangga Muslim di Indonesia Mohtar Rasyid Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo; Email:
[email protected] Diterima 15 Juli 2012, Disetujui 10 September 2012 Abstracts. Transfer from children in most developing countries replace the function of social security institution that insure elderly to enjoy smoothing consumption over his or her remain lifetime. Parents finance human capital investment in their children and, in return, children repay this loan by providing support (in form monetary transfer) for their parents. This article aims to examine the role of level education of children, intensity of contact and geographic proximity on income transfer from children, using data from Indonesian Family Life Survey (IFLS). By controlling for any characteristic children (i.e., age, gender and marital status) and characteristic of parent (activity, parent’s education and health status), the results show that education of children has significant effect on child-to-parent income transfer. The higher education level, the higher amount of transfer. To some extent, this findings consistent with idea that children are important source of old-age support security, especially in Indonesia as a largest Muslim population in the world. Keyword: income transfer, education, old-age security, parental repayment PENDAHULUAN Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, hubungan antara anak dan orang tua memiliki nuansa yang berbeda dengan yang terjadi di masyarakat Barat. Terlebih dalam kaitannya dengan peran anak sebagai penopang ekonomi orang tua khususnya ketika orang tua telah memasuki usia non-produktif. Masyarakat Barat dengan orientasi mekanisme pasar yang sangat kuat, sudah terbiasa untuk membeli beraneka premi asuransi untuk menjamin hari tua mereka. Berbeda halnya dengan masyarakat Indonesia yang pengelolaan ekonomi rumah tangganya tidak semata-mata bersandar pada hukum pasar. Kelangkaan institusi pasar yang mengelola kehidupan di masa yang akan datang digantikan oleh peran anak sebagai penopang hidup di hari tua. Kajian mengenai transfer pendapatan antara orang tua dan anak mulai menjadi perhatian ekonom sejak era 1980-an. Dalam ranah makroekonomi, bahasan mengenai hal ini dikenal sebagai intergenerational transfer. Pada awalnya transfer pendapatan dari orang tua kepada anaknya (atau sebaliknya) ditenggarai didominasi oleh rasa kasih sayang atau motif altruistik. Penelitian justru membuktikan bahwa motif altrusitik semata mungkin tidak memadahi untuk menerangkan tentang determinan dari tipe transfer dimaksud. Lillard dan Willis (1997) menjelaskan beberapa jenis motif yang melatari seorang anak menyantuni orang tuanya dalam bentuk transfer pendapatan yaitu; penjaminan hari tua (old age
10
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
security), balas jasa pendidikan (parental repayment), kasih sayang (altruism) serta sekadar imbal balik belaka (exchange motives). Dengan menggunakan data survey rumah tangga di Malaysia, kedua peneliti tersebut menyimpulkan bahwa tak satupun motif transfer yang dominan. Dengan pendekatan yang sama, Frankenberg dkk (2002) meneliti kasus rumah tangga Indonesia berdasarkan data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) 1993. Penelitian tersebut juga menghasilkan temuan bahwa motif tunggal tidak bisa dijadikan sebagai penjelas satusatunya yang mendorong adanya aliran transfer pendapatan dari anak ke orang tuanya atau sebaliknya. Terkait dengan aliran pendapatan anak kepada orangtuanya, Cameron and Cobb-Clark (2001) menemukan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup cuat bahwa transfer dari anak terkait dengan karakteristik anak. Sementara itu, Park (2003) dalam kajiannya mengenai transfer antar rumah tangga menemukan bukti bahwa transfer anak kepada orang tuanya terbukti signifikan, namun tidak ditemukan bukti bahwa pendidikan memiliki peran yang cukup kuat dalam mempengaruhi besaran transfer. Beberapa penelitian diatas belum mempertimbangkan beberapa faktor yang secara logis memiliki peran signifikan dalam penentuan transfer yaitu tingkat pendidikan dan latar agama. Tingkat pendidikan menjadi faktor penting karena melalui pendidikan diharapkan diperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Selanjutnya dengan sistem nilai yang mendukung, tingkat pendidikan yang cukup akan mempengaruhi besaran transfer yang akan diberikan oleh anak kepada orang tuanya. Kekayaan anak tidak serta merta berimplikasi pada kesejahteraan orang tua jika anak yang dimaksud tidak termasuk sebagai anak yang sholeh. Sebagai negara dengan masyarakat muslim terbesar di dunia, tak pelak sistem pendidikan juga terpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung akan terpengaruh oleh nilai Islami. Sistem pendidikan pesantren, sebagai misal, merupakan sistem pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum dengan akhlakul karimah yang dipupuk dalam pengasuhan pondok. Sistem pendidikan pondok pesantren bertahan hingga saat ini dan dalam beberapa kasus memodifikasi diri menjadi pondok pesantren modern. Di samping sistem pondok, sistem pendidikan Islami yang menyerupai sistem pendidikan modern dari tingkat dasar hingga menengah terbagi atas Ibtidaiyah (dasar), Tsanawiyah (menengah pertama) dan Aliyah (menengah atas). Dalam level pendidikan tinggi juga dikenal luas universitas atau institut tinggi agama Islam di tanah air. Peran pendidikan dalam mempengaruhi besaran transfer tidak menjadi fokus utama penelitian sebelumnya. Disamping itu, faktor institusional atau kelembagaan seperti keagamaan sama sekali tidak dimunculkan sebagai variabel yang diteliti. Penelitian sejauh ini hanya berputar pada motif utama dari transfer pendapatan antar keluarga. Padahal, peran pendidikan dan motif agama dapat menjadi alasan utama penyaluran transfer antar keluarga. Faktor pendidikan dan keagamaan (Islam) merupakan faktor yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Dengan menggunakan data IFLS terbaru (wave 4), artikel ini memilah hanya responden yang beragama Islam. Pemiliahan ini jelas dilatari oleh tujuan penulisan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Berbeda dengan penelitian terdahulu, penelitian ini menggunakan satuan unit analisis individu bukan unit rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dan pesantren memberikan dampak yang signifikan terhadap besarnya transfer. Di samping itu penelitian juga menunjukkan bahwa berbagai motif transfer dapat menjelaskan variasi transfer. Garis besar paper ini tersusun sebagai berikut. Bagian 2 akan menjelaskan landasan konsep yang terkait dengan transfer antar generasi serta beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan. Bagian 3 menjelaskan model empiris yang digunakan serta teknik estimasi yang akan dijadikan acuan. Dalam hal ini, penelitian akan menggunakan pendekatan tobit regression Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 11
59
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
untuk menghundari bias seleksi. Bagian 4 menjelaskan deskripsi data terkait, yaitu gambaran variabel penelitian secara garis besar. Hasil estimasi akan dijelaskan dalam Bagian 5 dan sebagai penutup, Bagian 6 akan memberikan beberapa kesimpulan umum. Review Literatur Transfer pendapatan lintas generasi atau yang dalam khasanah ilmu makroekonomi dikenal sebagai intergenerational transfer pada mulanya muncul sebagai salah satu upaya untuk menjelaskan fenomena konsumsi seumur hidup. Teori dasar konsumsi agregat menyatakan bahwa konsumsi seseorang akan mengikuti pola model life-cycle. Dalam hal ini dinyatakan bahwa seseorang akan berupaya mempertahankan konsumsinya pada level tertentu sepanjang hidupnya. Untuk itulah selagi muda atau aktif bekerja seseorang akan rajin menabung atau mengakumulasi pendapatannya untuk kemudian menggunakan sisa kekayaannya untuk konsumsi hingga akhir hayat. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku sedemikian ternyata bukan merupakan fenomena umum. Alih-alih menghabiskan sisa kekayaannya, orang lanjut usia (selanjutnya disebut sebagai lansia) hanya menggunakan sebagian kecil kekayaannya di masa tua. Berbagai penjelasan coba diberikan oleh para ahli. Pertama, tindakan seseorang tersebut disebabkan oleh karena orang tua ingin meninggalkan warisan bagi anak-anaknya (Bernheim, Shleifer, & Summers, 1985; Perozek, 1998). Kedua, seseorang menghindari hidup boros di hari tua untuk persediaan jika ada pengeluaran tak terduga seperti terkena penyakit (Gertler & Gruber, 2002) atau menabung untuk mengantisipasi adanya resiko atau motif berjaga-jaga (Weil, 1993; Carroll & Samwick, 1998). Berbagai alasan tersebut, utamanya alasan kedua, bagi Mankiw (2007) relatif kurang memuaskan karena bagaimanapun seseorang (apalagi di negara maju) akan lebih baik membeli beraneka jenis asuransi yang bisa menjamin kenyamanan hidup di masa tua. Terlepas dari penjelasan diatas, saat ini ahli ekonomi sedang mengembangkan model analisis yang menghubungkan fungsi ultilitas antara orang tua dengan anaknya (Bernheim & Ray, 1987; Michel, Thibault, & Vidal, 2004). Dalam model yang paling sederhana, misalnya diasumsikan terdapat dua individu beda generasi, satu sebagai donor (anak) dan satunya sebagai penerima transfer (recipient) yaitu orang tuanya. Fungsi utilitas dari anak adalah: (1) Dalam hal ini
adalah utilitas anak dan
adalah utilitas orang tua;
mengacu
pada konsumsi anak dan orang tua serta s adalah jasa yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Fungsi kendala dari fungsi utilitas diatas adalah dan . Dalam hal ini Y adalah pendapatan dan T adalah besarnya transfer. Apabila motivasi transfer semata hanya karena motif altrusitik, maka akan dipenuhi syarat dan persamaan . Dalam versi linear dua periode, fungsi utilitas dalam persamaan (1) secara alternatif dapat dinyatakan sebagai berikut: (2) Koefisien dikenal sebagai subjective rate of time discount yang diasumsikan sama baik untuk anak maupun orangtuanya. Koefisien ini menunjukkan pertimbangan individu untuk mengkonsumsi pada periode sekarang atau periode akan datang. Subskrip 1,2 mengacu pada periode 1 atau period 2. Fungsi kendala yang berlaku untuk utilitas diatas adalah sebagai berikut: 60
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 12
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
(3) (4) Persamaan (3) menunjukkan bahwa anak memiliki akses terhadap pasar modal dengan tingkat bagi hasil rata-rata sebesar r. Dalam hal ini E adalah penghasilan masing-masing individu dalam periode yang bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan oleh Cox (1990), orang tua tidak akan menyebabkan penurunan dalam tingkat utilitas anak sebagaimana dinyatakan dalam formulasi: (5) Dalam hal ini
adalah ambang utilitas orangtua. Maksimasi utilitas akan menghasilkan
persamaan Euler sebagai berikut: (6) Transfer akan terjadi jika dipenuhi syarat sebagai berikut: (7) Transfer berhubungan terbalik dengan pendapatan saat ini (periode 1) dan berhubungan searah dengan pendapatan yang akan datang (periode 2). Transfer akan terjadi apabila konsumsi optimal orangtua ( ) melebihi pendapatan saat ini ( ). Konsumsi optimal orangtua tergantung pada kekayaan dirinya dan anaknya (W). (8) Transfer optimum yang menentukan transfer dapat dinyatakan sebagai (9) dan
untuk lainnya
Persamaan transfer dengan demikian dapat disederhanakan sebagai: (10) Variabel kekayaan (W) dapat dinyatakan sebagai: (11) Dalam hal ini X adalah vektor penentu pendapatan permanen untuk responden h, merupakan pendapatan transitori dan merupakan indikaor spesifik yang tak terobservasi dalam penelitian. Penelitian mengenai transfer inter-generasi pada mulanya berkisar pada pertanyaan mengenai eksistensi motif altrusitik dalam pemberian transfer. Sejumlah peneliti melakukan pengujian diantaranya; Kotlikoff (1988), Cox dan Rank (1992), Logan dan Spitze (1995) McGarry dan Schoeni (1995), Laitner dan Juster (1996), Wilhelm (1996) serta penelitian Altonji dkk (1997). Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan beragam; sebagian mendukung motif altrusitik sebagian lain tidak mendukung hipotesis ini. Penelitian tentang transfer inter-generasi di negara maju lebih banyak didominasi oleh transfer dari orang tua ke anaknya. Sementara itu penelitian di negara berkembang justru lebih variatif. Transfer tidak hanya diteliti satu arah tetapi juga dua arah. Transfer tidak hanya dibatasi oleh transfer lintas generasi tetapi juga transfer antara saudara sekandung. Sebagaimana disinggung dalam Bagian Pendahuluan, penelitian mengenai transfer inter generasi di negara berkembang memberikan hasil yang lebih kaya karena memberikan justifikasi atas berbagai motif transfer. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 13
61
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
Catatan penting atas penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan tidak secara spesifik memasukkan unsur nilai atau kelembagaan secara eksplisit. Bahwa pemberian transfer lintas generasi untuk sebagian masyarakat merupakan bagian integral dari nilai hidup merupakan sesuatu yang biasa diterima di negara berkembang. Dengan kata lain, motif ekonomi bukan merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan dalam transfer pendapatan jenis ini. Selain daripada itu, perbedaan institusi yang tersedia dalam hal tertentu mungkin sangat mewarnai bentuk transfer. Nilai masyarakat terhadap anak, ketersediaan institusi pasar dalam menyediakan sarana penjaminan dari resiko serta nilai agama harus dipertimbangkan secara eksplisit jika ingin diperoleh hasil penelitian yang lebih memuaskan. Penelitian dalam paper ini secara spesifik ingin menangkap pengaruh institusi keagamaan (Islam) terhadap besaran transfer anak terhadap orang tuanya. Peran institusi tercermin dari jenjang pendidikan tertinggi dari responden khususnya pendidikan dengan latar keilmuan yang kental dengan nuansa keagamaan. Terkait dengan hal ini, responden hanya dibatasi bagi yang beragama Islam. METODE Model Empiris Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (12) Subskrips c and p mengacu pada anak (child) dan orang tua (parent), ke orang tua,
adalah pendidikan anak,
dengan orang tua, pendapatan, sementara
adalah transfer dari anak
is intensitas hubungan atau kontak antara anak
adalah jarak geografis antara anak dengan orang tuanya, dan
adalah
berturut-turut adalah karakteristik anak dan orang tuanya.
Persamaan (12) diatas menyiratkan bahwa besarnya transfer dari anak kepada orang tuanya merupakan fungsi dari tingkat pendidikan sang anak, intensitas hubungan antara orang tua dan anak, jarak antara anak dengan orang tua serta pendapatan si anak. Variabel pendidikan digunakan untuk menguji motif repayment dari adanya transfer. Variabel kontak dan jarak mengukur motif exchange dalam transfer. Jika intensitas pertemuan antara anak dan orang tua relatif tinggi maka pemberian anak yang semakin besar mengindikasikan adanya balas jasa anak atas “service” orang tuanya. Sementara itu karakteristik orang tua dapat digunakan untuk menelusuri adanya motif altruistik dalam transfer. Motif ini dapat dilacak jika besarnya transfer berhubungan negatif dengan kemampuan orang tua yang diindikasikan melalui tingkat pendidikan, kesehatan serta aktivitas orang tua (bekerja atau tidak). Koefisien dalam (12) akan diestimasi dengan pendekatan least square. Penerapan kuadrat terkecil biasa pada data cross-section akan menimbulkan potensi bias dalam kesalahan standar estimasi. Permasalahan ini timbul sebagai akibat adanya heteroskedastisitas yang sulit dihindari dari data individual. Untuk itulah maka dalam penelitian ini akan digunakan estimasi dengan kesalahan standar yang disesuaikan, atau dikenal sebagai robust estimator. Permasalahan lain adalah munculnya bias akibat informasi yang tak lengkap. Pendekatan yang sering digunakan adalah membuang unit analisis yang memiliki informasi tak lengkap tersebut. Meskipun secara metodologis memungkinkan untuk melakukan pemangkasan data jika data yang tersedia relatif melimpah, akan tetapi cara ini akan menimbulkan bias seleksi yang memiliki konsekwensi lebih 62
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 14
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
berat dari yang pertama. Untuk menghidari permasalahan ini maka dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan regresi tobit dengan batasan zero transfer atau transfer yang bernilai nol. Dengan demikian, model empiris yang akan digunakan didefinisikan secara lebih spesifik sebagai berikut : (13)
Dengan sepesifikasi model diatas maka transfer dengan nilai nol serta independent variable yang bersesuaian dengannya tidak serta merta dikeluarkan dari pengolahan data. Perilaku error diasusmikan mengikuti white process. Data IFLS Sebagaimana disinggung dalam pendahuluan, peper ini menggunakan data hasil survey IFLS yang dikumpulkan oleh RAND Corporation. Publikasi IFLS gelombang I dilakukan sejak 1993 dan hingga saat ini telah dipubikasikan hasil survey gelombang II pada tahun 2009. IFLS menyediakan data longitudinal lebih dari tujuh ribu rumah tangga Indonesia dan mencakup hampir 30.000 repondend usia 14 tahun keatas. Sebanyak 13 provinsi terpilih sebagai daerah sampel mewakili 83% polulasi dan pemilihan sampel didasarkan pada kerangka SUSENAS tahun 1993 (Strauss, Witoelar, Sikoki, & Watti, 2009). Tabulasi data transfer pendapatan berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi responden dalam IFLS 4 dapat diperhatikan dalam tabel berikut: Tabel 1. Total Transfer Menurut Tingkat Pendidikan Responden PENDIDIKAN TERAKHIR RESPONDEN SD SMP SMP KEJURUAN SMU SMK KEJAR PAKET A KEJAR PAKET B UNIVERSITAS TERBUKA PESANTREN KEJAR PAKET C SLB AKADEMI S1 S2 S3 MADRASAH IBTIDAIYAH MADRASAH TSANAWIYAH MADRASAH ALIYAH
Rata-rata (Rp.) 5,891,607 5,503,167 5,514,403 11,273,480 4,627,236 192,941 42,887,766 493,409 29,176,683 258,690 0 9,667,307 15,665,132 31,823,582 350,000 2,641,157 2,509,025 6,934,144
Deviasi Standar Frekwensi (Rp.) 86,586,345 7305 78,844,467 3524 71,572,363 201 124,700,000 3574 73,044,991 2991 284,754 17 291,700,000 47 643,653 22 168,100,000 104 408,477 58 0 2 102,700,000 978 143,000,000 1650 171,300,000 67 212,132 2 49,197,466 413 46,845,281 910 80,817,818 609
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 15
63
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang... LAINNYA TOTAL
3,750 7,464,292
7,500 96,510,196
4 22478
Sumber: IFLS 4, disusun kembali
5
10
15
20
25
Berdasarkan data dalam Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata transfer pendapatan dari anak ke orang tuanya selama satu tahun adalah sekitar Rp. 7.400.000,-. Responden dengan pendidikan lebih tinggi relatif memberikan transfer yang lebih besar. Namun demikian responden yang hanya mengenyam Kejar Paket B ternyata memberikan rata-rata transfer yang paling besar namun dengan simpangan baku yang besar juga. Alumni pondok pesantren ternyata memberikan transfer yang tak kalah besanya dibandingkan dengan lulusan pascasarjana (S2). Data menunjukkan bahwa alumsi pondok pesantren memberikan transfer rata-rata sebesar Rp. 29.000.000,- kepada orang tuanya, sementara lulusan strata-2 secara rata-rata memberikan transfer sebesar Rp. 31.000.000,- per tahun. Sementara itu responden dengan lulusan sarjana (S1) secara rata-rata memberikan transfer sebesar Rp. 15.500.000,- per tahun. Jika dilakukan perbandingan head-to-head antara responden alumni sekolah umum dengan sekolah agama, maka secara rata-rata diketahui bahwa alumni sekolah agama memberikan transfer yang relatif lebih sedikit. Berdasarkan data, lulusan SD memberikan transfer rata-rata sebesar Rp. 5.800.000,- sementara lulusan Madrasah Ibtidaiyah memeberikan transfer sebesar Rp. 2.600.000,-. Tidak banyak perbedaan jumlah transfer antara lulusan Madrasah Ibtidaiyah dengan lulusan Madrasah Tsanawiyah. Lulusan Madrasah Aliyah memberikan transfer yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 6.900.000,- sementara lulusan SMU memberikan transfer sebesar Rp. 11.000.000,- . Alumni SMK justru memberikan transfer yang relatif lebih rendah yaitu Rp. 4.600.000,Deskripsi data diatas semata tidak bisa dijadikan kesimpulan apapun berkaitan dengan besaran dan arah transfer. Pendidikan saja tidak cukup untuk menjelaskan besarnya transfer tanpa mempertimbangkan variabel penting lainnya misalnya tingkat pendapatan responden. Bagaimanapun tingkat pendidikan tidak selamanya berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan. Ilustrasi berikut menunjukkan grafis hubungan antara jumlah transfer dengan tingkat pendapatan responden. Gambar 1. Total Transfer dan Pendapatan Responden
10
12
14
lnincome
lntransfer
64
16
18
20
Fitted values
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 16
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
Gambar di atas menunjukkan scatter plot dari variabel transfer dan pendapatan (keduanya dinyatakan dalam logaritma natural). Ilustrasi diatas juga menampilkan garis fitted yang menunjukkan kecenderungan hubungan positif antara kedua variabel dimaksud. Semakin besar pendapatan responden maka cenderung akan memberikan transfer yang lebih besar pula untuk orangtuanya. Melalui visualisasi sederhana ini hubungan antara transfer dengan pendidikan mungkin relatif lebih bisa dijelaskan. Pendidikan tinggi cenderung memberikan transfer yang tinggi pula. Hal ini sangat mungkin diakibatkan oleh hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan, dan juga, pendapatan yang lebih baik. Kedua variabel tersebut mungkin telah cukup untuk menjelaskan fenomena transfer. Akan tetapi keberadaan variabel lain juga perlu dipertimbangkan untuk memperoleh hasil perhitungan yang lebih sahih. Kedua variabel tersebut adalah intensitas kontak antara anak dan orang tua serta jarak geografis antara keduanya. Deskripsi mengenai variabel kontak dengan jarak kaitannya dengan variabel transfer dapat diperhatikan dalam Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Total Transfer Menurut Intensitas Kontak dan Jarak Rata-rata Deviasi KONTAK DAN JARAK (Rp.) Standar KONTAK Tidak pernah 3,221,772 53,114,185 Sekali setahun 7,617,129 98,358,665 Sekali sebulan 9,256,699 106,000,000 Sekali seminggu 8,021,527 96,167,973 Setiap hari 7,269,140 96,032,750 JARAK Satu Rumah 520,452 1,295,757 Satu Desa 6,679,370 92,245,529 Satu Kecamatan 14,964,850 149,400,000 Satu Kabupaten 5,819,083 88,276,794 Satu Propinsi 6,526,534 79,927,217 Beda Propinsi 9,804,575 97,736,045 Luar Negeri 402,340 3,689,456 Source: IFLS 4, diolah dan disusun kembali
Frekwensi 709 4421 3902 4336 8199 241 8888 2263 3198 3662 3112 203
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besarnya transfer relatif tinggi jika intesitas kontak antara orang tua dengan anaknya paling lama sebulan sekali. Jika kontak terjadi setiap hari justru memberikan transfer yang relatif sedikit. Kemungkinan ini berhubungan dengan kedekatan orang tua dan anak. Anak yang tinggal serumah dengan orang tua memberikan transfer yang lebih sedikit. Adalah lumrah bagi seorang anak di Indonesia untuk tinggal serumah dengan orang-tuanya meski telah berumahtangga sekalipun. Ketidakmapanan secara ekonomi bisa menjadi penjelas, namun tentunya ada faktor lain yang turut menentukan besarnya transfer. Faktor lain yang dimaksud terkait dengan kondisi orang tua juga bisa turut dipertimbangkan. Dalam penelitian ini, karakteristik orang tua yang diteliti meliputi tingkat Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 17
65
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
pendidikannya, tingkat kesehatan dan peran serta orang tua dalam dunia kerja. Hubungan antara kondisi atau karakter orang tua dengan besarnya transfer dapat digunakan untuk menguji kesahihan motif altruistik dalam pemberian transfer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Estimasi Pada bagian ini disajikan hasil estimasi dari persamaan (13) dengan pendekatan regressi tobit. Terdapat tiga model yang diestimasi; model dasar, model pendidikan umum dan model pendidikan Islami. Ketiga model tersebut dipisah berdasarkan perbedaan definisi mengenai variabel pendidikan. Model pertama menggunakan lama pendidikan (dalam tahun) sebagai proxy tingkat pendidikan responden. Dalam hal ini, tingkat pendidikan responden ditransfer dalam hitungan tahun. Dengan pendekatan ini dapat diukur dampak peningkatan transfer anak ke orang tua seiring peningkatan lama studi anak. Kedua, model dengan menggunakan tingkat pendidikan sekolah umum sampai universitas dalam bentuk dummy variables empat jenjang pendidikan yaitu; sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas dan universitas (termasuk akademi, S1 hinggga S3). Melalui pendekatan ini, dapat diketahui signifikansi dampak pendidikan terhadap besaran transfer dalam setiap jenjang pendidikan umum secara lebih eksplisit. Model ketiga, pada dasarnya sama dengan model dua hanya saja level pendidikan menggunakan jenjang pendidikan Isalmi; ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan pondok pesantren. Pemilahan ini digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam setiap level pendidikan agam kaitannya dengan transfer pendapatan yang diberikan kepada orang tua responden. Bersama dengan variabel lainnya, hasil estimasi regresi tobit selengkapnya dapat diperhatikan dalam Tabel 1. Hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien variabel pendapatan sebesar 0,26 adalah signifikan hingga level 1%. Angka 0,26 ini bisa dinyatakan sebagai kecenderungan marjinal untuk transfer. Hal ini berarti bahwa secara rata-rata sekitar seperempat pendapatan anak ternyata di transfer ke orang tuanya. Semakin sering kontak antara orang tua dan anak, maka transfer akan bertambah kira-kira sebesar Rp. 2 juta per tahun. Sementara itu, jarak geografis antara anak dengan orang tua tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap besarnya transfer pendapatan yang diberikan anak kepada orang tuanya. Meski positif, koefisien variabel jarak tidak cukup signifikan bahkan dalam level signifikansi yang moderat sekalipun (signifikansi 10%). Dengan kata lain, jarak geografis tidak menjadi penghalang bagi anak untuk berbakti terhadap orang tuanya dengan transfer. Tabel 3. Estimasi Regresi Tobit: Model Dasar Probabilitas VARIABEL Koefisien t 0.26 0.000 pendapatan 2012296.00 0.009 kontak 837044.60 0.181 jarak Karakteristik Responden 954629.90 0.056 usia -11355.97 0.042 usia2 -831604.90 0.332 laki-laki 66
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 18
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
menikah Karakteristik Orang Tua aktivitas Ibu aktivitas Ayah pendidikan Ibu pendidikan Ayah kesehatan Ibu kesehatan Ayah Pendidikan Responden lama sekolah Konstanta Jumlah observasi Transfer positif Log likelihood
8028907.00
0.000
-6729180.00 -5750854.00 1610417.00 -233384.30 257776.80 -6008144.00
0.000 0.000 0.090 0.776 0.859 0.000
579014.10 -42600000.00 19282 14391 -289954.08
0.003 0.000
Besarnya transfer bertambah seiring dengan pertambahan usia anak (responden). Pertambahan usia responden menyumbang tambahan transfer sebesar lebih dari Rp. 950 ribu. Tidak ada perbedaan signifikan antara responden laki-laki dengan perempuan dalam memberikan transfer. Responden yang sudah menikah justru memberikan transfer yang lebih banyak, yaitu rata-rata sebesar Rp. 8 juta per tahun. Selanjutnya, besarnya transfer akan lebih banyak jika orang tua tidak memiliki pekerjaan. Sejumlah transfer diberikan relatif sama, yaitu rata-rata berkisar Rp. 6 juta per tahun. Sementara itu latar pendidikan orang tua sama sekali tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap besarnya transfer pendapatan anak terhadap orang tuanya. Demikian juga dengan tingkat kesehatan orang tua tidak banyak berpengaruh terhadap besarnya transfer. Pendidikan responden memiliki pengaruh yang signifikan terhadap besarnya transfer. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, variabel pendidikan dalam model ini dihitung berdasarkan lama tahun pendidikan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa peningkatan dalam satu tahun tahun pendidikan cenderung meningkatkan besarnya transfer pendapatan sebesar rata-rata lebih dari Rp. 500 ribu. Pengukuran lama studi dalam taraf tertentu bisa menyebabkan bias. Untuk satu jenjang pendidikan tertentu bisa saja dilalui dalam kurun waktu yang tidak sama antar responden. Untuk itulah sebagai alternatif, variabel pendidikan diukur dengan menggunakan dummy jenjang pendidikan. Dua pendekatan digunakan, yaitu jenjang pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan formal umum serta jenjang pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan Islami. Hasil estimasinya dapat diperhatikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Estimasi Regresi Tobit: Model Pendidikaan Umum VARIABEL Koefisien Probabilitas t pendapatan 0.26 0.000 kontak 2009197.00 0.009 jarak 830034.00 0.185 Karakteristik Responden usia 954629.90 0.064 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 19
67
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
usia2 laki-laki menikah Karakteristik Orang Tua aktivitas Ibu aktivitas Ayah pendidikan Ibu pendidikan Ayah kesehatan Ibu kesehatan Ayah Pendidikan Responden SD SMP SMU Universitas Konstanta Jumlah observasi Transfer positif Log likelihood
-11355.97 -831604.90 8028907.00
0.045 0.309 0.000
-6641796.00 -5683848.00 1598771.00 -247349.10 253321.20 -5942240.00
0.000 0.000 0.093 0.763 0.862 0.000
3324983.00 845713.40 6528192.00 7619290.00 -44100000.00 19282 11861 -236319.18
0.241 0.777 0.025 0.023 0.000
Hasil penelitian dengan menggunakan jenjang pendidikan sebagai proxy variabel pendidikan menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang mendasar baik dalam magnitude maupun tanda (sign) dari koefisien selain variabel pendidikan. Ini menunjukkan bahwa hasil estimasi model dasar relatif robust terhadap spesifikasi alternatif. Terkait dengan pendidikan, dapat ditunjukkan bahwa repsonden dengan pendidikan terakhir SD dan SMP relatif tidak memberikan transfer yang berbeda secara signifikan dengan reponden yang tidak memiliki pendidikan formal. Variabel dummy pendidikan yang dibentuk memiliki nilai dasar (base value) responden yang tidak berpendidikan formal. Perbedaan transfer menjadi signifikan jika respondent memiliki pendidikan tertinggi setingkat SMU atau lulusan universitas (termasuk akademi). Responden dengan lulusan SMU atau yang setara memberikan transfer lebih besar secara signifikan dengan besarn sekitar Rp. 6,5 juta per tahun. Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan bahwa responden lulusan pendidikan tinggi atau universitas memberikan transfer sebesar Rp. 7,5 juta per tahun. Tabel 5. Estimasi Regresi Tobit: Model Pendidikaan Islami Probabilitas VARIABEL Koefisien t pendapatan 0.28 0.000 kontak 2194440.00 0.004 jarak 1096034.00 0.077 Karakteristik Responden usia 954629.90 0.041 usia2 -11355.97 0.027 68
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 20
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
laki-laki menikah Karakteristik Orang Tua aktivitas Ibu aktivitas Ayah pendidikan Ibu pendidikan Ayah kesehatan Ibu kesehatan Ayah Pendidikan Responden Ibtidaiyah Tsanawiyah Aliyah Pesantren Konstanta Jumlah observasi Transfer positif Log likelihood
-831604.90 8028907.00
0.354 0.000
-6983578.00 -5882772.00 2076716.00 111872.80 288960.70 -5918991.00
0.000 0.000 0.027 0.890 0.842 0.000
-2741973.00 -3339918.00 1177703.00 21300000.00 42500000.00 19282 11861 -236322.89
0.539 0.262 0.747 0.013 0.000
Tabel 5 menyajikan hasil estimasi regresi tobit dengan mengganti variabel pendidikan menggunakan dummy jenjang pendidikan Islami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang hanya lulusan pendidikan dasar tidak memberikan transfer yang berbeda secara signifikan dengan transfer dari responden yang tidak memiliki pendidikan formal (sebagai base value). Catatan penting yang perlu digarisawahi adalah reponden alumni pondok pesantren justru memberikan transfer yang relatif tinggi. Hasil penelusuran ini harus dibaca dengan hatihati karena sistem pesantren dalam hal tertentu juga mengadopsi sistem pendidikan formal baik dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah bahwa sebagian pondok pesantren telah terintegrasi dengan sistem pendidikan tinggi. SIMPULAN Transfer pendapatan dari anak pada orang tuanya memiliki peran penting dalam perekonomian rumah tangga. Bagi sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, transfer pendapatan telah menjadi substitusi bagi instritusi penjamin masa tua (asuransi) yang eksistensinya relatif langka. Dengan sendirinya transfer dari sang anak akan “menjamin” hidup orang tua pada saat tidak lagi produktif. Sudah menjadi pemeo yang telah terima umum bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Dalam taraf tertentu ungkapan ini mungkin tidak seluruhnya benar karena bukan hanya jumlah (kuantitas) anak yang akan menjadi rejeki bagi orang tua, namun juga kualitas anak yang mungkin lebih relevan. Kualitas anak dalam penelitian ini ditangkap melalui tingkat pendidikan responden. Dalam hal ini penelitian menggunakan data survey rumah tangga muslim di Indonesia. Bukti statistik menunjukkan bahwa transfer pendapatan dari anak akan menjadi signifikan besarannya Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 21
69
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
jika sang anak mengenyam pendidikan relatif tinggi. Bukti lain menunjukkan bahwa alumsi pesantren juga menyumbang transfer yang relatif tinggi pula. Kesimpulan ini diperoleh setelah faktor lain dikontrol untuk memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Disamping motif balas jasa orang tua atas investasi pendidikan terhadap anaknya, motif lain juga terbukti relevan. Motif altrusitik dapat dibuktikan dari hasil penelitian bahwa transfer akan lebih besar jika orang tua sudah tidak lagi bekerja (tidak memiliki aktivitas produktif). Motif pertukaran juga bisa ditelusuri dari signifikansi intensitas hubungan antara anak dengan orang tuanya. Intensitas hubungan yang terbentuk berpengaruh positif terhadap transfer. Sementara sekat jarak tidak menjadi masalah bagi anak untuk menyalurkan transfer terhadap orang tuanya. Tentu saja kemajuan teknologi telah mempermudah cara seseorang untuk menyalurkan uang. Bagi seorang muslim, motivasi transfer kepada orang tua sejatinya tidak hanya sesempit yang bisa ditangkap oleh kajian empiris. Kewajiban agama untuk berbakti kepada orang tua tentunya juga menjadi motivasi terkuat seorang anak untuk memberi bantuan finansial kepada orang tuanya, terlepas dari tingkat pendidikan maupun status sosial yang disandangnya. DAFTAR PUSTAKA Altonji, J. G., Hayashi, F., & Kotlikoff, L. J. 1997. Parental Altruism and Inter Vivos Transfers: Theory and Evidence. The Journal of Political Economy , Vol. 105, No. 6, 1121-1166. Bernheim, B. D., & Ray, D. 1987. Economic Growth with Intergenerational Altruism. The Review of Economic Studies , Vol. 54, No. 2 , 227-241. Bernheim, B. D., Shleifer, A., & Summers, L. H. 1985. The Strategic Bequest Motive. The Journal of Political Economy , Vol. 93, No. 6, 1045-1076. Cameron, L., & Cobb-Clark, D. 2001. Old-Age Support in Developing Countries: Labor Supply, Intergenerational Transfers and Living Arrangements. IZA Discussion Paper No. 289 . Carroll, C. D., & Samwick, A. A. 1998. How Important is Precautionary Saving? The Review of Economics and Statistics , Vol. 80, No. 3, 410-419. Cox, D. 1990. Intergenerational Transfers and Liquidity Constraints. The Quarterly Journal of Economics , Vol. 105, No. 1, 187-217. Cox, D., & Rank, M. R. 1992. Inter-Vivos Transfers and Intergenerational Exchange. The Review of Economics and Statistics , Vol. 74, No. 2, 305-314. Frankenberg, E., Lillard, L., & Willis, R. J. 2002. Patterns of Intergenerational Transfers in Southeast Asia. Journal of Marriage and Family , Vol. 64, No. 3, 627-641. Gertler, P., & Gruber, J. 2002. Insuring Consumption Against Illness. The American Economic Review , Vol. 92, No. 1, 51-70. Kotlikoff, L. J. 1988. Intergenerational Transfers and Savings. The Journal of Economic Perspectives , Vol. 2, No. 2, 41-58. Laitner, J., & Juster, F. T. 1996. New Evidence on Altruism: A Study of TIAA-CREF Retirees. The American Economic Review , Vol. 86, No. 4, 893-908. Lillard, L. A., & Willis, R. J. 1997. Motives for Intergenerational Transfers: Evidence from Malaysia. Demography , Vol. 34, No. 1, 115-135. Logan, J. R., & Spitze, G. D. 1995. Self-Interest and Altruism in Intergenerational Relations. Demography , Vol. 32, No. 3, 353-364. Mankiw, N. G. 2007. Macroeconomics (Sixth Edition ed.). New York: Worth Publishers. 70
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 22
Mohtar Rasyid: Peran Anak sebagai Penopang Ekonomi Orang...
McGarry, K., & Schoeni, R. F. 1995. Transfer Behavior in the Health and Retirement Study: Measurement and the Redistribution. The Journal of Human Resources , Vol. 30, S184S226. Michel, P., Thibault, E., & Vidal, J.-P. 2004. Intergenerational Altruism and Neoclassical Growth Models. ECB Working Paper Series No. 386 . Park, C. 2003. Interhousehold Transfers between Relatives in Indonesia: Determinants and Motives. Economic Development and Cultural Change , Vol. 51, No. 4, 929-945. Perozek, M. G. 1998. A Reexamination of the Strategic Bequest Motive. The Journal of Political Economy , Vol. 106, No. 2, 423-445. Strauss, J., Witoelar, F., Sikoki, B., & Watti, A. M. 2009, April. The Fourth Wave of the Indonesia Family Life Survey: Overview and Fied Report. WR-675/1-NIA/NICHD . Weil, P. 1993. Precautionary Savings and the Permanent Income Hypothesis. The Review of Economic Studies , Vol. 60, No. 2, 367-383. Wilhelm, M. O. 1996. Bequest Behavior and the Effect of Heirs' Earnings: Testing the Altruistic Model of Bequests. The American Economic Review , Vol. 86, No. 4, 874-892.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. VII, No. 1, Desember 2012 23
71
Problem 2 : Efek Disinsentif Program Pemerintah
24
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012, hlm.146-161
EFEK DISINSENTIF PROGRAM RASKIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP TRANSFER PANGAN ANTARGENERASI Mohtar Rasyid Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Jalan Raya Telang PO.BOX 2 Kamal, Bangkalan. Telepon 031-3013483 E-mail:
[email protected] Diterima 9 Desember 2011 / Disetujui 5 Mei 2012
Abstract: The objective of this research was to investigate disincentive and crowding-out effect food aid program (public transfer) in household level. Beside the humanitarian roles, there are widespread sceptisms of food assistance regarding its possible influence on disincentive to work and on crowding out of private transfer (inter-household or intergeneration transfer). Based on Indonesia Family Life Survey data and using instrumental variables approach, this paper estimates disincentive effect and crowding out effect “Rice Program for Poor Families” (Raskin) on intergenerational food transfer (child to parents transfer). This research observe significant negative impact on total household income. The decline in income mostly happened through a reduction in head household worker. The paper also find indication of crowding out relation between private and public transfers. It suggests that the Indonesian government should have designed its public transfer scheme carefully in order to improve the effectiveness and efficiency of its social safety net programs. Keywords: food-aid program, dis-incentive effect, crowding-out effect, social safety net Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efek disinsentif dan efek mendesak program bantuan pangan dalam level rumah tangga. Tanpa mengabaikan pentingnya peran program pangan dalam misi kemanusiaan, tidak sedikit para ahli yang skeptis terhadap efektifitas program dengan alasan bahwa program semacam ini memiliki kemungkinan mengurangi insentif bekerja serta mengurangi bantuan pangan antar rumah tangga (transfer informal). Dengan menggunakan data survei Indonesia Family Life Survei dan pendekatan variabel instrumental, paper ini mengestimasi efek disinsentif untuk bekerja dan efek mendesak Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) terhadap transfer pangan antargenerasi (tepatnya, transfer dari anak terhadap orangtuanya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa program memiliki efek negatif terhadap pendapatan keluarga. Penurunan pendapatan keluarga terjadi karena kepala keluarga mengurangi jam kerjanya. Penelitian juga menemukan indikasi adanya efek crowding-out transfer pemerintah terhadap transfer antargenerasi. Implikasi kebijakan yang disarankan adalah pentingnya pemerintah mendesain kebijakan transfer secara hati-hati dalam rangka memperbaiki efektivitas dan efisiensi program jaring pengaman sosial. Kata kunci: program pangan, efek disinsentif, efek mendesak, jaring pengaman sosial
PENDAHULUAN Program Beras untuk Keluarga Miskin atau yang lebih dikenal sebagai Raskin merupakan program nasional yang bertujuan untuk membantu Rumah Tangga Miskin (RTM) dalam memenuhi kebutuhan pangan. Program ini
merupakan kelanjutan dari Program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang awalnya didesain untuk mengurangi beban keuangan RTM akibat krisis ekonomi 1997. Sejak tahun 2002 OPK diubah menjadi Program Raskin karena sudah tidak lagi menjadi program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi sekaligus untuk
25
mencerminkan sifat progam sebagai bagian dari social safety net programs bagi RTM (Mawardi dkk, 2008). Evaluasi Raskin selama ini lebih banyak menyorot masalah efektivitas pelaksanaan program seperti pencapaian indikator 6T: tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas dan tepat administrasi. Sementara itu dampak kebijakan tersebut terhadap perubahan perilaku dan kesejahteraan penerima program belum dilakukan secara komprehensif. Program Raskin sangat membantu masyarakat miskin dalam masa krisis ekonomi. Akan tetapi ketika program ini dilanjutkan pascakrisis ekonomi, maka harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh dampak jangka panjang program terhadap perubahan perilaku masyarakat. Terlebih, terdapat indikasi bahwa program ini dalam taraf tertentu banyak mengalami apa yang kemudian dikenal sebagai targeting error. Berdasarkan kajian yang hati-hati, Barrett (2002) menjelaskan bahwa targeting error bisa jadi merupakan salah satu penyebab gagalnya program pemerintah dimaksud dalam memperbaiki ketersediaan tenaga kerja (labor supply) atau meningkatkan insentif masyarakat untuk bekerja. Program bantuan pangan pada dasarnya dirancang utamanya untuk motif kemanusiaan. Barret dan Maxwell (2005) secara lebih spesifik menjelaskan bahwa program bantuan pangan peemrintah pada hakekatnya memiliki peran penting dalam kondisi darurat (emergency) serta tujuan pengembangan (developmental). Namun demikian, sebagaimana disitir oleh Sulaiman (2010), program semacam ini ini juga berpotensi memiliki dampak yang tidak diharapkan. Dampak sampingan yang mungkin muncul di antaranya adalah disincentive untuk bekerja dan crowding-out effect terhadap bantuan pangan yang sebelumnya diterima rumah tangga dari keluarganya (private transfer) maupun dari lembaga swadaya masyarakat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kecurigaan akan munculnya efek negatif ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Sulaiman (2010) menemukan bukti bahwa program bantuan makanan justru menurunkan tingkat pendapatan keluarga di Sudan. Hasil yang kurang lebih sama juga dite-
mukan di Sri Lanka oleh Sahn dan Alderman (1996) yang menyimpulkan bahwa subsidi pangan justru menurunkan semangat kerja (work effort) dan juga pendapatan dari bekerja. Program bantuan pangan pemerintah juga terbukti memiliki efek mendesak atau mengurangi (crowding-out effect) alokasi bantuan pangan dari pihak lain baik dari perseorangan maupun dari lembaga non-pemerintah. Penelitian Lal dan Sharma (2009) membuktikan adanya efek ini dalam kasus bantuan pemerintah di daerah pedesaan India. Sementara di Nicaragua dan Honduras, Nielson dan Olinto (2007) juga menemukan bukti kuat bahwa pemberian bantuan tunai pemerintah terbukti mengurangi bantuan pangan antar anggota keluarga serta bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat. Dalam taraf tertentu crowdingout effect justru berpotensi menimbulkan masalah bagi pemerintah itu sendiri mengingat tujuan program akan relatif sulit untuk dicapai. Sejumlah kajian mengenai dampak program bantuan pangan telah banyak dilakukan. Dengan melakukan kajian review literatur, Lentz (2003) tidak dapat menemukan hubungan yang pasti berkaitan dengan efek disinsentif dari program, sementara efek crowding-out program pangan terhadap bantuan informal ditelaah oleh Dercon dan Krishnan (2003). Sambil mengajukan kritik metodologi terhadap kajian sebelumnya (Sahn dan Alderman, 1996), Abdulai et. al (2005) meneliti dampak program pangan terhadap penawaran tenaga kerja. Dengan menggunakan data cross-section Ethiopia dan melakukan kontrol terhadap karakteristik rumah tangga mereka menemukan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan adanya efek disinsentif. Penelitian tersebut masih belum lepas dari isu endogenitas partisipasi program. Penelitian yang lebih komprehensif dilakukan oleh Gilligan dan Hoddinott (2007) untuk menguji dampak program terhadap produktivitas melalui perubahan status nutrisi, efeknya terhadap akumulasi aset dan pemutusan lingkaran kemiskinan. Dengan latar pendekatan randomize evaluation, Skoufias dkk (2008) menemukan bukti bahwa program baik berupa transfer uang maupun makanan tidak memiliki dampak terhadap partisipasi kerja di Mexico. Tadesse
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
147
26
dan Shively (2009) melakukan kajian mengenai hubungan antara program dengan produksi lokal melalui efek harga. Sulaiman (2010) menguji dampak program bantuan pangan terhadap insentif kerja dan bantuan pangan dari dan ke pihak famili non-anggota rumah tangga di Sudan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program berimplikasi pada penurunan anak bekerja, namun sebagai konsekwensinya pendapatan total keluarga menjadi menurun. Penelitian ini didasarkan atas program yang di desain secara random. Program juga tidak menyebabkan adanya crowding-out effect. Peneliti berargumen bahwa relatif kecilnya jumlah transfer berakibat tidak ditemukannya efek ini. Jangka waktu evaluasi yang sangat pendek (satu tahun, 2008-2009) menyebabkan hasil kajian tidak bisa menangkap efek jangka panjang dari program. Pengujian efek crowding-out secara umum juga telah banyak dilakukan. Kang dan Suwada (2003) dengan kajian terhadap perekonomian Korea Selatan, menemukan bukti bahwa efek crowding-out sangat signifikan. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Kang (2004) dalam perekonomian Nepal. Meskipun menemukan motif transfer yang sama seperti di Korea Selatan, efek crowding-out tidak ditemukan secara signifikan. Peneliti berargumen bahwa besarnya transfer mempengaruhi perbedaan hasil antara dua kasus di atas. Penelitian Nielsen dan Olinto (2007) untuk Nicaragua dan Honduras menemukan bukti yang cukup signifikan dalam hal efek crowding-out program transfer pemerintah tidak hanya terhadap transfer uang dan makanan dari pihak keluarga namun juga terhadap bantuan dari lembaga non-pemerintah. Bukti adanya efek ini juga ditemukan oleh Lal dan Sharma (2009) di pedesaan India. Penelitian terbaru dari Gerardi dan Tsai (2010) di Taiwan juga menemukan efek crowding-out dari program transfer pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek disinsentif dari program pemerintah lebih banyak dibuktikan di negaranegara berkembang sementara efek mendesak atau crowding-out ditemukan di berbagai kasus baik di negara berkembang maupun di negara maju sekalipun. Efek transfer terhadap penawaran tenaga
148
kerja telah banyak dibahas dalam teori (Blundell dan MaCurdy, 2000). Dalam model penawaran tenaga kerja statis sederhana, peningkatan pendapatan di luar kerja akan mempengaruhi keputusan bekerja dengan cara menggeser kurva anggaran keluar dari titik origin. Jika bantuan menambah penghasilan seseorang maka dia akan menjadi lebih makmur dan akan meningkatkan konsumsi barang sekaligus memperbanyak leisure. Akibatnya bantuan akan menyebabkan efek disinsentif untuk bekerja. Besarnya efek disinsentif ini tergantung dari beberapa faktor di antaranya asumsi model yang digunakan, peta preferensi individu serta besar dan struktur dari transfer. Beberapa penelitian mengenai efek disinsentif dan crowding-out effect mulai banyak dilakukan di beberapa negara berkembang, sementara itu penelitian sejenis dengan kasus di Indonesia relatif masih terbatas. Kajian mengenai efektifitas pelaksanaan Program Raskin di Indonesia pernah dilakukan oleh SMERU (Mawardi dkk, 2008). Hasil kajian menunjukkan bahwa masalah distribusi dan ketepatan target merupakan salah satu aspek yang relatif sulit dipenuhi. Beberapa kendala yang terjadi di lapangan mengakibatkan terhambatnya penyaluran beras serta sasaran program (terutama sasaran harga) tidak dapat dipenuhi secara memuaskan. Secara umum, hasil kajian terhadap pelaksanaan Program Raskin menunjukkan bahwa efektivitas program masih relatif lemah. Hal ini ditandai oleh sosialisasi dan transparansi yang kurang memadai; target penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan beras yang kurang tepat; biaya pengelolaan program yang tinggi; pelaksanaan pemantauan yang belum optimal; dan mekanisme pengaduan yang kurang berfungsi (Mawardi dkk, 2008). Kajian SMERU mengenai Program Raskin belum melihat dampak program terhadap perubahan perilaku penerima program khususnya yang terkait dengan perubahan dalam insentif bekerja maupun efek crowding-out dari program. Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya di berbagai negara dapat dikatakan bahwa isu evaluasi dampak program pangan lebih banyak menyoroti perubahan perilaku masyarakat setelah adanya program. Efektifitas program tidak
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 27
hanya dievaluasi dalam jangka pendek melalui ketepatan sasaran program semata namun juga harus memperhatikan akibat yang mungkin kurang menguntungkan dari adanya program. Dengan demikian, evaluasi dampak program sudah seharusnya dilakukan secara lebih komprehensif. Mengingat masih relatif minimnya kajian mengenai evaluasi dampak program pangan di Indonesia maka paper ini melakukan kajian studi dampak evaluasi Program Raskin di Indonesia dengan tujuan khusus untuk menguji adanya dampak disinsentif dari program maupun dampak mendesak (crowding-out) yang mungkin terjadi.
METODE PENELITIAN Data IFLS Penelitian ini menggunakan data SAKERTI atau Indonesia Familly Life Survei (IFLS) dua gelombang (wave) terakhir yakni IFLS-3 dan IFLS4. Penggunaan data mikro dengan format longitudinal memungkinkan dilakukannya penelitian untuk memperoleh estimasi yang lebih konsisten. Terlebih IFLS menyediakan hasil survei rumah tangga Indonesia dengan jumlah kuesioner yang relatif kaya. Pada publikasi survei tahun 2007, IFLS menyediakan kuesioner untuk mengetahui informasi rumah tangga yang memperoleh bantuan Raskin (Seksi KSR, Buku 1). Dari 12.977 rumah tangga IFLS-4, dapat ditunjukkan bahwa sebanyak 5.662 rumah tangga menyatakan membeli raskin selama satu tahun terakhir, sementara 6.296 rumah tangga mengaku tidak membeli dan 1.013 rumah tangga menyatakan tidak tahu bahwa ada program raskin. Dari rumah tangga yang menerima raskin, diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga (1.846 rumah tangga) membeli raskin sebanyak 12 kali dalam setahun sementara rata-rata pembelian Raskin selama periode yang sama adalah sebanyak 7 kali. Pagu pemerintah menetapkan bahwa rumah tangga miskin akan memperoleh alokasi 10 kg beras per bulan. Sementara sebagian besar rumah tangga IFLS (935 rumah tangga) membeli beras 5 kg selama satu bulan terakhir. Hanya 447 rumah tangga yang bisa membeli beras Raskin Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid) 28
hingga 10 kg selama satu bulan terakhir. Hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga mengetahui jumlah maksimum beras Raskin yang bisa dibeli (5.584 rumah tangga), sementara 44 rumah tangga tidak mengetahui batas maksimum pembelian beras. Sebanyak 34 rumah tangga bahkan mengakui bahwa tidak ada batasan dalam alokasi Raskin. Hasil survei menunjukkan bahwa beras Raskin rata-rata dijual dengan harga Rp1.700 per kg, sementara harga beras non-Raskin ratarata pada tahun yang sama adalah sebesar Rp4.200 per kg. Adapun kualitas beras Raskin menurut 237 rumah tangga adalah tinggi, sementara 2.927 rumah tangga menyatakan kualitas beras sedang dan 2.496 rumah tangga menyatakan kualitas beras Raskin adalah rendah. Berdasarkan hasil survei, rumah tangga IFLS penerima Raskin terbanyak adalah pada tahun 2007 dan 2008. Dari rumah tangga IFLS tersurvei, sebanyak 935 rumah tangga memutuskan untuk tidak membeli beras Raskin (meskipun berhak) dengan berbagai alasan. Hasil survei menunjukkan bahwa alasan terbesar dari rumah tangga yang tidak mengambil jatah beras Raskin adalah tidak memiliki kupon. Sementara alasan tempat pengambilan yang terlalu jauh tidak menjadi alasan utama dari rumah tangga untuk tidak membeli beras Raskin. Hasil penelitian yang cukup mengejutkan adalah adalah bahwa terdapat beberapa responden yang tidak membeli beras Raskin karena tidak memiliki uang yang cukup. Dari hasil survei tersebut di atas maka dapat ditunjukkan bahwa masalah alokasi, distribusi, penetapan harga sekaligus mutu dari beras yang dijual merupakan faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan Program Raskin. Catatan lain yang menarik adalah terdapat rumah tangga yang pada dasarnya berhak menerima Raskin namun tidak mengambil beras Raskin dengan alasan bahwa masih ada orang lain yang dipandang lebih membutuhkan.
Strategi Estimasi Program Raskin tidak didesain secara randomize sehingga outcome antara kelompok penerima Raskin (treatment) dengan kelompok non-pene149
rima (control) tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan menggunakan teknik regresi biasa (OLS). Untuk mengatasi isu endogeneity karena tidak adanya counterfactual dengan karakteristik identik antara kelompok treatment dan kelompok kontrol, maka strategi estimasi yang biasa digunakan adalah menggunakan pendekatan duoble-difference atau difference in difference. Beberapa variabel penjelas yang digunakan adalah karakteristik rumah tangga yang terdiri atas usia kepala keluarga, jenis kelamin, tingkat pendidikan serta status pernikahan kepala rumah tangga. Model dasar yang biasa digunakan dalam model bantuan pangan adalah sebagai berikut: yit = b0 + b1Tit + b2Fit + b3Tit*Fit + bkXit + uit
(1)
Variabel treat (T) menunjukkan apakah rumah tangga mendapat program atau tidak, sementara follow-up (F) menunjukkan tahun observasi. Koefisien interaksi treat dengan follow-up tidak lain merupakan koefisien double difference yang menjadi interest utama dalam penelitian ini. Karakteristik rumah tangga, X, juga digunakan sebagai variabel kontrol. Beberapa isu penting terkait dengan estimasi adalah permasalahan endogenity yang berpotensi menghasilkan estimator yang bias. Untuk mengatasi masalah ini, biasa digunakan pendekatan fixed effect dengan asumsi bahwa perilaku un-observed variables yang berkorelasi dengan variabel program adalah konstan antar waktu. Variabel outcome yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan rumah tangga dari bekerja, keikutsertaan anggota rumah tangga dalam aktivitas bekerja serta besarnya transfer pangan yang diberikan rumah tangga lain (private transfer). Tanda dan signifikansi dari koefisien b3 akan menjadi indikator penting dari evaluasi. Tanda minus (dan signifikan) dari koefisien tersebut akan membuktikan hipotesis disincentive dan crowing-out dari adanya program Raskin. Dengan kata lain, program bantuan pangan tersebut secara umum justru mengakibatkan orang untuk lebih malas bekerja (disincentive) dan mengurangi jatah bantuan pangan dari rumah tangga lain (crowdingout). Variabel outcome dalam penelitian ini terdi150
ri atas pengeluaran konsumsi beras, pendapatan dari bekerja seluruh rumah tangga, status kerja kepala rumah tangga, jumlah anggota keluarga yang bekerja serta rata-rata waktu bekerja anggota keluarga setahun dalam minggu. Sementara itu untuk menguji efek crowding-out, penelitian ini fokus pada transfer pangan (dalam bentuk uang) dari anak (tepatnya, non-coresident children) kepada orang tuanya. Besarnya transfer dihitung berdasarkan selisih positif antara jumlah transfer pangan yang diterima dengan yang diberikan. Pendekatan double difference dan intrumental variables (IV) merupakan alat yang umum digunakan dalam penelitian dampak program. Penggunaan pendekatan IV dilakukan dengan pertimbangan bahwa terdapat kemungkinan bahwa masalah endogeneity dapat timbul dari un-observed factor yang berubah antarwaktu. Oleh karena itu variabel treatment akan diinstrumentasi dengan variabel kepemilikan rumah. Untuk menjamin bahwa variabel ini eksogen, maka akan digunakan data kepemilikan rumah pada wave IFLS sebelumnya. Dengan demikian error term dalam estimasi model tidak akan berkorelasi dengan variabel kepemilikan rumah yang pre-determined. Penggunaan double difference (DD) sebagai teknik estimasi memang relatif populer digunakan. Namun demikian, jika dalam periode awal program belum berjalan maka variabel interaksi program dengan waktu sekaligus koefisien yang diperlukan (yakni b3) tidak akan diperoleh karena akan berkorelasi secara sempurna (multikolinearitas) dengan variabel program. Selain itu, pendekatan double difference digunakan untuk evaluasi dalam jangka waktu yang relatif pendek dengan asumsi bahwa variabel tak terobservasi diasumsikan tetap antarwaktu. Program Raskin dilakukan sejak 2002 dan mulai efektif sejak tahun 2007-2008 sehingga tahun 2000 program masih belum berjalan. Untuk itu estimasi yang digunakan adalah menggunakan teknik first difference (FD) dengan kombinasi intrumental variable (IV). dyit = cons + a1draskin+ akdXit + sj + eijt
(2)
Model di atas merupakan persamaan first differ-
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 29
ence dalam dua periode (tiap variabel dimulai dengan huruf d), dimana variabel program diinstrumentasi (raskin) oleh kepemilikan rumah periode sebelumnya. First stage dari model diatas adalah draskin = c0 + c1house it-1 + ckdXit + eit
(3)
Variabel instrumen kepemilikan rumah (house) digunakan pada periode wave sebelumnya (predetermined). Sebagaimana disinggung dalam hasil penelitian sebelumnya (Mawardi dkk, 2008), efektifitas pelaksanaan Program Raskin sangat ditentukan oleh kualitas penyebaran informasi atau sosialisasi yang dilakukan oleh aparat desa. Sosialisasi program pada level desa/kelurahan kerap menjadi titik lemah dalam evaluasi program. Heterogenitas level komunitas (desa) dalam model (2) ditangkap melalui koefisien sj yang berbeda antarkomunitas namun konstan antarwaktu. Pendekatan fixed effect (FIXED) level desa (enumeration area) digunakan untuk mengoreksi endogeneity yang bersumber dari level desa. Dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan first-difference yang dikombinasikan dengan pendekatan instrumental variables (IV) untuk mengantisipasi potensi endogeneity dari un-observed factor yang bisa mengakibatkan bias dalam estimasi koefisien program. Sementara itu untuk mengatasi bias akibat efek simultanitas, maka digunakan instrumen dari periode (wave) sebelumnya. Mengingat faktor distribusi beras dan sosialisasi program dalam level komunitas juga ditengarai ikut berkontribusi terhadap keberhasilan pelaksanaan Program Raskin, maka dalam penelitian ini juga dilakukan pendekatan fixed effect level komunitas setingkat desa/kelurahan (enumeration area). Survei IFLS menyertakan sebanyak 321 enumeration area (ea) yang tersebar diseluruh area survei di Indonesia.
konsumsi rumah tangga untuk beras. Hasil estimasi dapat diperhatikan dalam Tabel 1. Terdapat dua kolom hasil perhitungan, kolom (1) menyajikan hasil estimasi model instrumental variable (IV) dan kolom (2) menyajikan hasil regresi dengan pendekatan fixed effect level desa atau enumeration area. Tabel 1. Dampak Raskin terhadap Konsumsi (Dependent: Konsumsi Beras) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc constant
Observations
IV 27,180*** (7,227.119) 147*** (21.796) 1,614 (1,020.420) -259 (1,260.900) 1,400*** (304.836) -17,029*** (6,133.566) 17,473
FIXED 110,420*** (41,091.903) 215*** (54.764) 6,830** (2,968.866) -6,867* (3,991.396) 3,380*** (1,224.253) -73,849** (29,938.905) 17,473
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Estimasi pertama dilakukan untuk menguji dampak Program Raskin terhadap pengeluaran
Secara umum penelitian menunjukkan bahwa program memiliki dampak positif terhadap peningkatan konsumsi beras rumah tangga. Hasil ini sesuai dengan harapan bahwa Program Raskin memang utamanya ditujukan untuk mengurangi beban finansial keluarga miskin dalam hal pemenuhan konsumsi bahan pangan. Tidak berlebihan jika banyak studi yang menyatakan bahwa Program Raskin cukup berhasil dalam menangani permasalahan kebutuhan masyarakat miskin akan bahan pangan (beras). Hasil penelitian dampak Progran Raskin terhadap pengeluaran konsumsi beras serta faktor lain yang mempengaruhinya dapat diperhatikan dalam Tabel 1. Dalam Tabel 1, model fixed effect memberikan hasil estimasi yang signifikan untuk semua koefisien regresi yang diestimasi pada level signifikan konvensional. Usia kepala rumah tangga (age) berhubungan positif dengan konsumsi beras rumah tangga. Penjelasan
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
151
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Disinsentif Program Raskin
30
yang masuk akal adalah peningkatan usia kepala rumah tangga sering diikuti dengan penambahan anggota rumah tangga sehingga pengeluaran konsumsi pangan seharusnya juga meningkat. Konsumsi rumah tangga juga berhubungan positif dengan status kelamin rumah tangga. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga laki-laki menunjukkan pengeluaran konsumsi beras yang lebih besar. Sementara itu pengeluaran konsumsi beras menjadi semakin menurun jika status kepala rumah tangga terikat pernikahan (married). Pendidikan kepala rumah tangga (educ) juga berasosiasi positif dengan pengeluaran konsumsi beras. Hasil penelitian menguatkan dugaan teori bahwa program bantuan pangan memang akan meningkatkan pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga. Bantuan pangan dapat dianggap sebagai bentuk tambahan pendapatan tanpa bekerja. Dampak penambahan pendapatan tersebut terhadap insentif bekerja dari kepala keluarga dapat diperhatikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Dampak Raskin terhadap Status Kerja (Dependent: Bekerja=1, Tidak=0) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc dsize constant
Observations
IV
FIXED
-0,34*** (0,047) -0,0068*** (0,000) 0,17*** (0,011) 0,047*** (0,011) 0,0016 (0,001) 0,008*** (0,002) 0,18*** (0,024)
-0,97*** (0,166) -0,0073*** (0,000) 0,15*** (0,016) 0,043*** (0,015) -0,0018 (0,002) 0,0094*** (0,002) 0,49*** (0,084)
17,476
17,476
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Tabel 3. Dampak Raskin terhadap Pendapatan (Dependent: Pendapatan Bekerja) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc dsize constant
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Raskin mengurangi probabilitas kepala rumah tangga untuk bekerja. Hasil ini konsisten 152
dugaan bahwa peningkatan pendapatan nonbekerja bisa menurunkan insentif untuk bekerja. Hasil penelitian juga menghasilkan hubungan negatif antara usia kepala rumah tangga dengan status kerja. Semakin tua semakin kecil kemungkinan bahwa kepala rumah tangga akan tetap bekerja. Selanjutnya kepala rumah tangga laki-laki relatif lebih banyak bekerja dibandingkan dengan kepala rumah tangga perempuan. Probabilitas bekerja dari kepala rumah tangga juga meningkat jika status kepala rumah tangga adalah sudah menikah. Pendidikan kepala rumah tangga terbukti tidak cukup signifikan korelasinya dengan probabilitas bekerja. Ukuran atau size keluarga juga berpengaruh positif terhadap aktivitas kepala rumah tangga untuk bekerja. Semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung maka semakin besar kemungkinan kepala rumah tangga untuk bekerja. Dampak Raskin terhadap status kerja kepala rumah tangga memiliki implikasi terhadap penurunan pendapatan total keluarga dari bekerja. Tabel 3 menunjukkan dampak Program Raskin terhadap total pendapatan keluarga penerima raskin.
Observations
IV -21,829,998*** (3849642.823) 65,426** (25,891.563) 1,489,568 (925,074.171) 176,376 (900,555.319) 178,802 (111,610.954) 1,874,135*** (145,311.057) 19,392,659*** (1976668.964) 17,476
FIXED -17,329,462* (9971140.844) 62,806** (27,026.510) 1,771,332* (938,403.735) -206,732 (884,528.180) 238,109* (124,864.016) 1,877,401*** (148,324.201) 17,136,887*** (5037967.035) 17,476
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 31
Pendapatan keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diperoleh dari bekerja. Sementara pendapatan keluarga di luar bekerja tidak dihitung. Dengan demikian maka interpretasi terhadap hasil penelitian ini harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan konteks variabel outcome yang dipilih. Hasil perhitungan pada Tabel 3 dengan jelas menunjukkan bahwa Program Raskin memiliki dampak negatif terhadap pendapatan keluarga dari bekerja. Hasil ini konsisten baik dengan menggunakan pendekatan first difference dengan kombinasi IV (kolom 1), maupun pendekatan first difference dengan IV yang telah mengontrol heterogenitas efek komunitas atau fixed effect (kolom 2). Relevansi pendekatan first difference untuk mengakomodasi adanya pengaruh faktor tak terobservasi (unobserved factor) dalam analisis pangan didukung oleh temuan Prasetyo, Marimin dan Samsudin (2010). Penelitian dimaksud menunjukkan bahwa kreatifitas lebih penting peranannya dalam memaksimumkan potensi masyarakat dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kajian tersebut juga secara eksplisit menegaskan bahwa etos kerja dan kesadaran masyarakat merupakan faktor penentu yang lebih signifikan pengaruhnya dibandingkan dengan ketersediaan modal. Variabel kreatifitas, etos kerja dan kesadaran adalah variabel penting namun tidak mungkin terobservasi secara memuaskan dalam pendekatan kuantitatif. Dengan asumsi bahwa variabel ini konstan antarwaktu, maka pengaruhnya terhadap kinerja rumah tangga terobservasi dapat dilokalisir (dikontrol). Pendekatan variabel instrumen (dalam hal ini adalah kepemilikan rumah periode sebelumnya) diperlukan untuk menghindari adanya bias akibat kemungkinan adanya efek timbal balik antara variabel terikat dengan variabel penentunya yang mempengaruhi signifikansi coefficient of interest. Kedua isu tersebut, yakni pengaruh dari variabel tak terukur dan kemungkinan adanya efek simultan, akan menyebabkan masalah endogenitas yang secara langsung berpengaruh terhadap kemungkinan adanya bias estimasi.
Perhitungan menunjukkan adanya perbedaan dalam besaran koefisien namun secara prinsip memiliki tanda yang umumnya sama untuk semua model. Usia berpengaruh positif terhadap pendapatan. Demikian pula kepala kelurga laki-laki secara statistik lebih banyak menghasilkan pendapatan dari bekerja dibandingkan dengan kepala keluarga perempuan. Status pernikahan kepala keluarga tidak mempengaruhi pendapatan. Semantara itu tingkat pendidikan terbukti memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan dari bekerja. Ukuran keluarga juga memiliki dampak terhadap pendapatan dari bekerja. Semakin banyak anggota keluarga yang bekerja maka akan semakin tinggi total pendapatan keluarga dari bekerja.
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
153
32
Efek Crowding-Out Salah satu sumber pendapatan non-bekerja keluarga bisa datang dari transfer pangan dari anggota keluarga yang tidak tinggal serumah. Transfer pangan antar rumah tangga (Transfer RT) ini terutama berasal dari anak terhadap orang tuanya. Bagaimana dampak program terhadap transfer pangan keluarga, dapat diperhatikan dalam Tabel 4. Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan IV menunjukkan bahwa Program Raskin memiliki pengaruh mendesak (crowdingout effect) terhadap transfer pangan anak terhadap orang tuanya. Dengan demikian efek positif berupa tambahan transfer bahan pangan dari pemerintah akan mengurangi alokasi transfer anak terhadap orang tuanya. Efek ini menjadi tidak signifikan jika digunakan pendekatan fixed effect dalam level enumeration area (setingkat desa atau kelurahan). Hasil penelitian juga mencatat bahwa transfer pangan antargenerasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh karakteristik anak (usia, jenis kelamin, status pernikahan dan tingkat pendidikan) serta frekwensi bertemu (contact) antara anak dengan orang tuanya). Di samping itu, itu hanya usia orang tua yang mempengaruhi transfer pangan, sementara karakteristik orang tua lainnya tidak memiliki dampak signifikan. Awalan p (sesudah d) dalam Tabel 4 mengacu pada karakteristik orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa usia orang tua memiliki korelasi
positif terhadap besarnya transfer pangan dari anak. Indikasi ini menunjukkan bahwa salah satu motif dari transfer antargenerasi adalah motivasi untuk menjamin kehidupan ekonomi orang tuanya (old-age security). Tabel 4. Dampak Raskin Terhadap Transfer RT (Dependent: Transfer dari Anak) VARIABLES draskin dage dmale dmarried deduc dworking dcontact dmember dp_age dp_male dp_married constant
Observations
IV
FIXED
-60,568** (25,464.353) -636*** (139.268) 4,601** (2,051.368) 17,984*** (3,279.331) 1,052*** (355.411) -3,200 (2,532.415) 1,962*** (687.093) 7,648 (9,575.124) 155** (64.308) -207 (2,254.196) 952 (2,926.209) 33,027** (14,555.814)
-94,694 (69,772.004) -677*** (175.051) 10,358*** (2,265.876) 25,555*** (3,452.071) 1,364*** (398.721) -5,058 (3,753.426) 2,554*** (764.273) 7,709 (11,421.103) 138** (69.186) -928 (2,500.150) -472 (3,308.195) 52,615 (39,785.402)
11,502
11,502
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Transfer pangan dari anak juga terindikasi oleh motif balas jasa atas investasi pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya saat belia. Motif ini bisa ditelusuri dari signifikansi lamanya pendidikan anak terhadap besarnya transfer. Anak dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memberikan transfer yang lebih besar. Investigasi terhadap motif dari transfer antargenerasi ini sangat penting untuk dikaji terkait dengan analisis kebijakan publik. Jika motif dari transfer lebih banyak bersifat altruism, maka kebijakan peme154
rintah berupa transfer publik (termasuk transfer pangan) akan mendesak secara penuh transfer non-publik yang terjadi dalam masyarakat (termasuk transfer antargenerasi). Jika motivasi transfer muncul oleh karena motif lain (seperti balas jasa dan pengasuhan orang tua) maka transfer antar generasi tidak akan terpengaruh oleh transfer dari pemerintah. Motif pertukaran (exchange) dari transfer juga dapat terindikasi dari signifikansi variabel intensitas pertemuan (contact). Besarnya intensitas pertemuan antara anak dengan orangtuanya memiliki hubungan positif dengan jumlahnya transfer. Intensitas kontak dalam penelitian mengenai transfer intergenerasi merupakan indikasi terhadap adanya impure altruism (Laferrere, 2006). Anak memberikan bantuan finansial sementara orang tua memberikan layanan seperti membantu pekerjaan rumah tangga maupun mengurus cucu sebagaimana lazim terjadi dalam tipe keluarga di beberapa negara berkembang (extended family). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Raskin terbukti memiliki dampak positif terhadap peningkatan pengeluaran konsumsi beras. Sementara terjadi peningkatan konsumsi beras, program juga mengurangi alokasi kepala keluarga untuk bekerja. Sebagai akibatnya, pendapatan total rumah tangga dari bekerja mengalami penurunan. Dengan kata lain, efek disinsentif dari bekerja sebagai akibat program hanya berimbas pada kepala rumah tangga. Temuan lain menunjukkan bahwa program juga terbukti mengurangi transfer pangan dari anak terhadap orang tua. Hasil ini menunjukkan indikasi adanya efek crowding-out dari program terhadap transfer bahan makanan lintas generasi. Bantuan Program Raskin, bagaimanapun juga dapat dipandang sebagai tambahan pendapatan rumah tangga tanpa perlu bekerja, namun tambahan pendapatan ini bisa terkikis oleh perubahan perilaku penerima program yang mengurangi alokasi bekerja maupun oleh berkurangnya alokasi transfer pangan yang biasanya diterima oleh anggota keluarga yang tidak tinggal serumah (biasanya dari anak terhadap orang tua yang hidup terpisah). Hasil ini sebenarnya mengkonfirmasi sebagian dari beberapa hasil penelitian sejenis yang dilaku-
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 33
kan di banyak negara berkembang. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun indikasi efek crowding-out Program Raskin terbukti signifikan akan tetapi besarannya relatif kecil. Bukti statistik juga menunjukkan bahwa efek ini menjadi tidak signifikan jika dilakukan kontrol terhadap heterogenitas dalam wilayah (fixed effect). Ini berarti bahwa efek mendesak dari Program Raskin tidak bersifat umum namun hanya terjadi dalam beberapa kasus wilayah tertentu. Hasil ini konsisten dengan penelitian Purwaningsih dkk (2010) mengenai pola pengeluaran pangan yang menyimpulkan bahwa rumah tangga di wilayah perkotaan memiliki porsi pengeluaran beras yang lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga di wilayah pedesaan. Heterogenitas pola pengeluaran pangan antar wilayah ini dapat menjadi penjelas terhadap melemahnya efek crowdingout effect dari Program Raskin. Masyarakat kota yang relatif individualis tentunya memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat pedesaan yang memiliki ikatan kekeluargaan cukup kuat.
Transfer Antargenerasi
litian ini sumber transfer adalah pemerintah. Namun demikian, inti dari temuan ini menunjukkan bahwa tambahan pendapatan non-bekerja menyebabkan penurunan dalam alokasi waktu untuk bekerja. Akibatnya, pendapatan keluarga dari bekerja menjadi menurun. Berbeda dengan Schueler (2007), dalam kasus Raskin pengurangan alokasi bekerja hanya terjadi pada kepala keluarga, sementara anggota keluarga lain tidak terpengaruh. Tabel 5. Dampak Raskin terhadap Waktu Kerja (Dependent: Hari Kerja Anggota Keluarga) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc dsize
IV
FIXED
,59 (1,659) -,002 (0,012) ,17 (0,451) -,033 (0,433) ,079 (0,052) ,024 (0,067) -,12 (0,859)
5,6 (4,550) -,0048 (0,013) ,41 (0,479) ,011 (0,441) ,059 (0,056) -,0064 (0,072) -2,6 (2,311)
15,882
15,882
Kajian mengenai efek disinsentif dan efek crowding-out sangat terkait dengan analisis transfer antargenerasi yang saat ini mulai marak dilakukan di Indonesia. Penelitian Schueler (2007) menunjukkan bahwa transfer antarrumah tangga menyebabkan efek disinsentif bekerja terhadap anggota keluarga penerima. Efek ini tidak signifikan pada pengurangan waktu bekerja anak. Dengan demikian tidak ada perbaikan dalam nasib pekerja anak dengan adanya transfer. Hasil ini berbeda dengan kajian Sulaiman (2010) di Sudan yang menyimpulkan bahwa ditemukan bukti signifikan adanya efek pengurangan jam kerja anak dari adanya transfer yang berimbas pada pengurangan total pendapatan keluarga. Hasil penelitian dalam paper ini hingga taraf tertentu mendukung temuan Schueler (2007) mengenai efek disinsentif bekerja dari adanya transfer. Perbedaan utamanya terletak pada sumber transfer, dalam Schueler (2007) sumber transfer adalah private sedangkan dalam pene-
Tabel 5 menunjukkan bahwa Program Raskin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi bekerja anggota rumah tangga. Variabel kontrol lainnya juga tidak menghasilkan estimasi koefisien yang signifikan dalam level konvensional. Untuk membuat perbandingan yang setara dengan hasil pada Tabel 1, variabel status kerja anggota keluarga (selain kepala keluarga) digunakan sebagai variabel dependent. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa Program Raskin tidak memiliki efek signifikan terhadap status kerja anggota keluarga. Estimasi model dimaksud dapat diperhatikan dalam Tabel 6.
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
155
34
Constant
Observations Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Tabel 6. Efek Raskin pada Status Kerja Keluarga (Dependent: Status Kerja Anggota Keluarga) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc dsize Constant
Observations
IV
FIXED
0,11 (0,117) -0,000065 (0,001) 0,019 (0,028) 0,026 (0,027) 0,003 (0,003) -0,015*** (0,004) -0,066 (0,060)
0,3 (0,313) 0,000087 (0,001) 0,029 (0,029) 0,02 (0,028) 0,0051 (0,004) -0,016*** (0,005) -0,16 (0,158)
17,476
17,476
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Hasil estimasi dalam Tabel 6 semakin memperjelas temuan dalam penelitian ini. Efek disinsentif bekerja dari Program Raskin hanya berlaku pada kepala keluarga sementara anggota keluarga yang lain tidak terpengaruh oleh adanya program. Efek disinsentif dari program mungkin tidak selamanya negatif jika kepala keluarga termasuk dalam kategori usia senja (old age). Efek disinsentif bekerja juga menguntungkan jika justru mengurangi jumlah pekerja anak usia sekolah. Untuk mengupas lebih jauh mengenai efek program lintas generasi, terlebih dahulu akan dilakukan review atas penelitian sebelumnya mengenai transfer antargenerasi di Indonesia. Penelitian awal mengenai transfer antargenerasi di Indonesia dilakukan oleh Raut dan Tran (2005). Meskipun tidak secara spesifik menganalisis dampak program tertentu, namun implikasi penelitian dimaksud cukup penting untuk dicatat. Berdasarkan perhitungan dari derivatif transfer, Raut dan Tran (2005) menemukan indikasi bahwa terdapat potensi crowding-out penuh dalam studi transfer antargenerasi. Sebagai ilustrasi, jika pemerintah memberikan transfer sebesar Rp200 ribu, maka penerima transfer akan kehilangan transfer sejumlah 156
uang yang sama dari anggota keluarga yang lain. Kesimpulan ini tentunya berbeda dengan hasil temuan dalam paper ini yang tidak menemukan adanya efek crowding-out secara penuh. Efek mendesak ini justru menghilang jika dilakukan kontrol terhadap heterogenitas area. Perbedaan hasil temuan ini dapat ditelusuri dari berbagai aspek. Pertama, Raut dan Tran (2005) tidak menguji secara langsung dampak program tertentu terhadap transfer antargenerasi. Sementara analisis dalam paper ini menggunakan Program Raskin sebagai variable of interest dari penelitian. Kedua, data yang digunakan oleh Raut dan Tran (2005) adalah data cross-section IFLS gelombang pertama (IFLS-1) sehingga potensi bias dari faktor tak terukur tidak bisa dikoreksi. Ketiga, berbeda dengan asumsi model yang digunakan alam penelitian ini, model Raut dan Tran (2005) lebih berorientasi pada model altruisme sementara model dasar yang digunakan dalam penelitian ini lebih fleksibel. Beberapa perbedaan pendekatan ini sedikit banyak akan berperan dalam menjelaskan perbedaan hasil termuan. Diskusi mengenai hasil penelitian tentang transfer antargenerasi akan lebih tajam jika dilakukan ulasan juga terhadap hasil-hasil kajian yang telah dilakukan dalam ranah kajian yang sama. Penelitian terkait dengan transfer antargenerasi di negara maju lebih banyak menemukan pola downward-flow transfer (transfer dari orang tua ke anak). Penelitian Cox (1990) serta Cox dan Rank (1992) sebagai suatu misal, meneliti motif transfer kekayaan orang tua ke anak; lebih bersifat altruistik atau hanya sedekar motif pertukaran. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hambatan likuiditas anak merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan orang tua harus berbagi dengan anaknya. Dengan setting sosial-budaya yang berbeda, model downward-flow tidak bisa diterapkan untuk negara berkembang karena pola transfer di negara berkembang lebih banyak bersifat sebaliknya; upward-flow atau dari anak ke orang tua. Kajian Cameron dan Clark (2001) di Indonesia menemukan bahwa transfer pendapatan dari anak kepada orang tuanya tidak terpengaruh oleh kondisi orang tua maupun kemampuan anak. Berdasarkan pengamatan mereka,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 35
tingkat pendidikan anak sama sekali tidak berpengaruh terhadap besarnya transfer. Transfer dari anak tidak serta merta mengurangi jam kerja orang tua berusia lanjut. Dalam hal ini kedua peneliti tersebut menggunakan data Indonesia Family Life Survei (IFLS) gelombang pertama (1993). Apabila dikaitkan dengan penelitian dalam paper ini maka akan ditemukan hubungan yang menarik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi bekerja orang tua tidak terpengaruh oleh adanya transfer dari anak namun akan berkurang oleh adanya transfer pemerintah. Studi Frankenberg dkk (2002) menemukan bukti bahwa berbagai motif transfer cocok dengan kasus transfer intergenerasi di Indonesia mulai dari motif altruistik, pertukaran (exchange) hingga motif balas jasa (repayment of implisit loan). Penelitian ini membuktikan bahwa pendidikan anak berpengaruh positif terhadap transfer. Selanjutnya Park (2003), juga dengan menggunakan data IFLS-1 (1993) menemukan motif balas jasa (repayment implisit loan) anak kepada orang tuanya. Akan tetapi, pendidikan anak dalam pengujian lebih lanjut tidak berpengaruh secara sistematis terhadap besarnya transfer. Semakin tinggi tingkat pendidikan tidak serta merta menyebabkan jumlah transfer yang lebih banyak. Untuk menguji motif repayment loan ini, Park (2003) memperbaiki metode yang digunakan oleh Lillard dan Willis (1997) serta Frankenberg dkk (2002) dengan mengontrol pengaruh variabel pendapatan responden untuk melihat dampak pendidikan terhadap besarnya transfer. Beberapa kajian di Indonesia ini dengan jelas menunjukkan bahwa motif altruistik bukanlah motif yang mendominasi adanya transfer sehingga kemungkinan adanya desakan penuh dari kebijakan pemerintah tidak dapat diterima. Dengan demikian maka relatif terbatasnya efek crowding-out dalam penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Kajian mengenai transfer antargenerasi lebih banyak difokuskan pada motivasi dari transfer serta faktor penentu dari transfer. Sementara transfer semacam ini sebenarnya juga memiliki implikasi yang cukup penting terhadap kesejahteraan rumah tangga. Studi yang
mengkaji dampak transfer terhadap kesejahteraan lebih banyak mengupas pengaruh kiriman uang dari tenaga kerja migran (remittance) terhadap kesejahteraan anggota keluarga yang ditinggalkannya. Hasil penelitian di Ghana menunjukan bahwa transfer uang dari tenaga kerja migran berpengaruh positif terhadap kesejahteraan rumah tangga dan meminimalisir dampak kejutan ekonomi meski sebatas pada rumah tangga petani jagung (Quartey, 2006). Penelitian mengenai dampak transfer uang juga dilakukan di beberapa negara Asia. Dengan menggunakan data makro panel Asia Pasifik tahun 1993-2003, Jongwanich (2007) menemukan bukti bahwa kiriman uang dari tenaga kerja migran memiliki efek positif terhadap penurunan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, mempertahankan tingkat konsumsi (consumption smoothing) dan kemudahan akses terhadap modal. Namun demikian efek transfer ini terhadap pertumbuhan yang diindikasikan melalui investasi domestik dan pengembangan sumber daya manusia relatif tidak cukup signifikan. Analisis pengaruh transfer uang dari tenaga kerja migran dengan menggunakan data mikro mulai banyak dilakukan di samping data agregat (data makro). Dalam kasus Bangladesh, Raihan dkk (2009) menguji efek transfer uang terhadap kesejahteraan rumah tangga dan pengurangan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kiriman uang dari luar negeri memiliki dampak positif terhadap pengeluaran bahan makanan dan perumahan. Rumah tangga yang menerima kiriman uang juga memiliki probabilitas yang rendah sebagai rumah tangga miskin. Dengan menggunakan pendekatan yang hampir sama, Ahmed dkk (2010) meneliti dampak kiriman uang dari tenaga kerja migran terhadap kesejahteraan rumah tangga di Pakistan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa rumah tangga yang menerima transfer uang juga memiliki probabilita yang kecil untuk teridentifikasi sebagai rumah tangga miskin. Pengaruh dari kiriman uang terhadap indikator kesejahteraan rumah tangga juga dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data IFLS-3 dan IFLS-4. Nguyen dan Purnamasari
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
157
36
(2011) melaporkan bahwa pengaruh kiriman uang dari tenaga kerja migran terhadap kesejahteraan keluarga yang ditinggalkannya berbeda untuk kasus tenaga kerja pria dan wanita. Untuk kasus tenaga kerja pria, kiriman uang memiliki efek disinsentif terhadap penawaran tenaga kerja rumah tangga. Sementara dalam kasus tenaga kerja wanita, transfer uang mengakibatkan pengurangan tenaga kerja anak. Tidak terdapat bukti signifikan yang menunjukkan keterkaitan antara transfer dari tenaga migran terhadap jumlah anak yang bersekolah. Penelitian ini tidak menggunakan data besarnya transfer sebagai variabel penjelas, namun menggunakan informasi bahwa salah satu anggota keluarga ada yang melakukan migrasi ke luar negeri pada survei terakhir.
Implikasi Penelitian Penelitian mengenai dampak transfer terhadap indikator kesejahteraan rumah tangga membawa implikasi penelitian yang cukup penting. Pertama, transfer publik maupun privat merupakan elemen penting dalam menganalisis kesejahteraan keluarga. Kedua, efek dari transfer tidak selamanya positif namun juga berpotensi memiliki dampak negatif seperti penurunan insentif bekerja serta berkurangnya alokasi transfer dari sumber lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Raskin berhasil mengurangi beban finansial keluarga miskin dengan meningkatnya pengeluaran konsumsi pangan (beras). Di samping itu program ini memiliki dampak sampingan yang kurang menguntungkan khususnya bagi keluarga miskin. Sebagaimana juga yang terjadi di Sudan, program pangan ini justru menurunkan total pendapatan keluarga dari bekerja. Hasil kajian di Sudan menunjukkan bahwa penurunan pendapatan terjadi karena penurunan jam kerja anak, sementara dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa penurunan pendapatan dari bekerja terjadi karena berkurangnya kepala keluarga yang bekerja. Dampak Program Raskin terhadap penurunan jumlah anak usia sekolah tidak signifikan. Estimasi model untuk mengetahui dampak program terhadap status kerja anak usia sekolah dapat diperhatikan dalam Tabel 7. 158
Tabel 7. Efek Raskin pada Status Kerja Anak (Dependent: Jumlah Anak Bekerja) VARIABLES draskin dage dsex dmarried deduc dsize Constant
Observations
IV
FIXED
,0074 (0,015) -,00015 (0,000) -,0077** (0,004) ,0044 (0,003) -,00026 (0,000) -,00072 (0,001) -,0027 (0,008)
,031 (0,039) -,000087 (0,000) -,0082** (0,004) ,0058* (0,003) ,000048 (0,000) -,00035 (0,001) -,015 (0,020)
17,476
17,476
Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Tabel 7 memperlihatkan bahwa efek transfer pemerintah melalui Program Raskin tidak memiliki dampak penurunan terhadap jumlah anak usia sekolah yang bekerja. Catatan menarik dari hasil estimasi model dimaksud adalah terdapat bukti statistik yang menunjukkan bahwa gender kepala rumah tangga menentukan banyaknya anak yang bekerja. Kepala rumah tangga laki-laki relatif memiliki pekerja anak usia sekolah yang lebih sedikit. Hasil ini dapat dijadikan rujukan bahwa kepala rumah tangga perempuan cenderung rentan untuk memperkerjakan anak usia sekolah. Jerat kemiskinan dalam hal ini menjadi faktor penting yang menyebabkan masih banyaknya anak usia sekolah yang masih harus bekerja membantu keluarga. Bukti statistik dari Tabel 4 menunjukkan bahwa Program Raskin dalam taraf tertentu memiliki dampak mendesak (crowding-out) transfer pangan anak terhadap orang tuanya. Meski cakupan transfer yang diteliti hanya meliputi transfer pangan akan tetapi implikasinya akan sangat terasa jika efek ini justru mengurangi net-transfer yang seharusnya diterima keluarga miskin. Penelitian menunjukkan bahwa secara besaran, efek ini tidak terlalu besar (ratarata sekitar Rp60.000,- setahun). Dengan pene-
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 37
litian yang lebih komprehensif, crowding-out effect mungkin akan lebih bisa terdeteksi sebagaimana terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju sekalipun. Beberapa kelemahan dari studi ini mungkin berpotensi mengurangi validitas temuan empiris. Pertama, efek disinsentif bekerja hanya dapat dibuktikan berdasarkan status kerja kepala rumah tangga dan tidak menghitung penurunan alokasi kerja kepala keluarga dalam jam kerja sebagaimana diisyaratkan oleh teori. Bagaimanapun efek penurunan pendapatan dari bekerja turun secara signifikan sehingga efek disinsentif masih dapat dibuktikan secara tidak langsung. Kedua, cakupan transfer lintas rumah tangga relatif terbatas sehingga validitas efek crowding-out seharusnya diinterpretasikan hanya untuk kasus transfer pangan saja (yang dihitung dalam satuan uang). Sementara transfer pendapatan bukan pangan atau yang berupa jasa (non-finansial) bisa jadi merupakan fitur transfer yang lebih dominan disamping transfer finansial dari anak terhadap orang tuanya. Ketiga, dari sisi metodologis penelitian ini tidak mengeksplorasi lebih dalam pengaruh heterogenitas level komunitas (desa) yang ditenggarai memiliki pengaruh penting terhadap kinerja Program Raskin. Pendekatan fixed effect hanya sahih jika heterogenitas lintas komunitas adalah tetap antarwaktu sehingga pengaruhnya dapat dieliminir. Jika selama periode penelitian terjadi perubahan karakteristik wilayah yang cukup signifikan, maka perubahan tersebut harus dianalisis secara eksplisit.
SIMPULAN Evaluasi dampak program pemerintah seperti Program Raskin sejauh ini hanya meliputi evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan program. Bahwa Program Raskin juga memiliki potensi efek disinsentif bekerja dan mengurangi alokasi bantuan dari sumber lain merupakan hal yang baru dilakukan melalui penelitian dalam paper ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program Raskin dalam taraf tertentu berpotensi mengurangi alokasi rumah tangga dalam bekerja. Sebagai akibatnya, pendapatan keluarga Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid) 38
dari bekerja menurun signifikan. Selanjutnya, temuan penting juga menunjukkan bahwa terdapat indikasi efek crowding-out Program Raskin terhadap alokasi transfer antargenerasi. Jatah Raskin mengurangi bantuan pangan anak terhadap orang tuanya, meski bukti statistik menunjukkan bahwa temuan ini tidak terlalu kuat. Kontribusi penting dalam penelitian ini adalah melakukan analisis dampak program (public transfer) yang terintegrasi dengan perilaku transfer antargenerasi (private transfer). Penelitian terdahulu cenderung menganalisis kedua perilaku transfer tersebut secara terpisah. Isu disinsentif bekerja dan crowding-out effect harus menjadi perhatian pemerintah dalam menjalankan berbagai program agar sasaran yang ingin dicapai bisa dipenuhi secara optimal. Sebagian besar efek negatif dari program pangan yang dilakukan selama ini lebih banyak disebabkan oleh adanya kesalahan target (targetting error). Jika hipotesis ini sahih, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan desain ulang terhadap program pengentasan kemiskinan yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Salah satu rekomendasi yang diajukan adalah untuk mendesain program pangan bersyarat (conditional food transfer) untuk mengurangi efek disinsentif bekerja. Pemberian transfer pangan disertai dengan syarat bahwa penerima harus dapat menunjukkan kemajuan prestasi anak (sebagai suatu misal). Dengan demikian, tujuan pengembangan dari suatu program akan tercapai. Di samping itu, program bantuan pangan dirancang sedemikian rupa agar tidak mengurangi kontribusi elemen non-pemerintah (sanak keluarga dan LSM) dalam menjalankan fungsinya sebagai jaring pengaman sosial informal. Semuanya ini bisa efektif dilakukan jika peran pemerintah lokal yang mengetahui seluk beluk masyarakat sekitarnya diberikan porsi yang lebih besar. Model program terpusat tanpa syarat dan berlaku umum untuk semua daerah harus ditinjau ulang. Meski sangat populis, model kebijakan sentralistik sangat tidak efektif dalam mencapai sasaran perbaikan kesejahteraan masyarakat.
159
DAFTAR PUSTAKA Abdulai, A., Barret, C., Hoddinott. 2005. Does Food Aid Really Have Disincentive Effect? New Evidence from Sub-Saharan Africa. Word Development, 33, 1689-1704. Ahmed, V., Sugiyarto, G., & Jha, S. 2010. Remittances and Household Welfare: A Case Study of Pakistan. ADB Economic Working Paper Series 194 . Barret, C. 2002. Food Aid Effectiveness: It's targeting, stupid. New York: Departement of Applied Economics and Management, Cornell University. Barret, C., Maxwell. 2005. Food Aid After Fifty Years: Recasting its Role. London: Routledge. Blundell, R., MaCurdy, T. 2000. Labor Supply: A Review of Alternative Approaches. Dalam D. Ashenfelter, & D. Card, Hanbook of Labor Economics (hal. 1559-1695). Amsterdam: North-Holland. Cameron, L., & Cobb-Clark, D. 2001. Old-Age Support in Developing Countries: Labor Supply, Intergenerational Transfers and Living Arrangements. IZA Discussion Paper No. 289 . Cox, D. 1990. Intergenerational Transfers and Liquidity Constraints. The Quarterly Journal of Economics , Vol. 105, No. 1, 187-217. Cox, D., & Rank, M. R. 1992. Inter-Vivos Transfers and Intergenerational Exchange. The Review of Economics and Statistics , Vol. 74, No. 2, 305-314. Dercon, S., & Krishnan, P. 2003. Risk Sharing and Public Transfers. Econoomic Journal, 113, C86-C94. Frankenberg, E., Lillard, L., & Willis, R. J. 2002. Patterns of Intergenerational Transfers in Southeast Asia. Journal of Marriage and Family, Vol. 64, No. 3, 627-641. Gerardi, K., Tsai, Y. 2010. The Effect of Social Entitlement Programs on Private Transfers:
160
New Evidence of Crowding Out. Atlanta: Federal Reserve Bank of Atlanta. Gilligan, D. O., Hoddinott. 2007. Is there Persintence in Impavt of Emergency Food Aid? Evidence on Consumption, Food Security and Assets in Rural Ethiopia. American Journal of Agricultural Economics, 89, 225-242. Jongwanich, J. 2007. Worker's Remittances, Economic Growth and Poverty in Developing Asia and the Pacific Countries. UNESCAP Working Paper. Kang, S. J. 2004. Are Private Transfer Crowdedout by Public Transfer?: The Case of Nepal. The Developing Economies, XLII-4, 510-528. Kang, S. J., Suwada, Y. 2003. Are Private Transfers Altruistically Motivated? The Case of Republic of Korea Before and During the Financial Crisis. The Developing Economies, XLI-4, 484-501. Lafarrere, Anne. 2006. Microeconomic Models of Family Transfer. In: Kolm, Serge-Christophe and Jean Mercier Ythier (Eds.) Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity, Volume2. Elsevier, 890-969. Lal, D., Sharma, A. 2009. Private Household Transfers and Poverty Alleviation in Rural India: 1998-99. The Journal of Applied Economic Research , 97-112. Lentz, E. 2003. Annotated Bibliography of Food Aid Disincentive Effect. New York: Cornell University. Lillard, L. A., Willis, R. J. 1997. Motives for Intergenerational Transfers: Evidence from Malaysia. Demography, Vol. 34, No. 1, 115135. Mawardi, S dkk. 2008. Efektivitas Pelaksanaan Raskin. Jakarta: SMERU. Nguyen, T., Purnamasari, R. 2011. Impacts of International Migration and Remittances on Child Outcomes and Labor Supply in
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 2012: 146-161 39
Indonesia: How does Gender Matter? Policy Research Working Paper 5591 .
fare: A Case Study of Bangladesh. ADB Economic Working Paper Series 189 .
Nielsen, M. E., Olinto, P. 2007. Do Conditional Cash Transfers Crowd-out Private Transfers?: Evedence from Randomize Trials in Honduras and Nicaragua. Washington: World Bank .
Raut, L. K., Tran, L.H. 2005. Parental Human Capital Investment and Old-Age Transfers from Children: Is a Loan Contract or Reciprocity for Indonesian Families?. Journal of Development Economics, 77, 389-414.
Park, C. 2003. Interhousehold Transfers between Relatives in Indonesia: Determinants and Motives. Economic Development and Cultural Change , Vol. 51, No. 4, 929945. Prasetyo, P.E., Marimin dan Samsudin, Adang. 2010. Model Kaji Tindak Program Pembangunan Partisipatif Pengentasan Kemiskinan dan Rawan Pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 11, No.2, 217-235. Purwaningsih, Yunastiti. dkk. 2010. Pola Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Menurut Tingkat Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 11, No.2, 236-253. Quartey, P. 2006. Migrant Remittances and Household Welfare in Times of Macro-Volatility: The Case of Ghana. ISSER University of Ghana Legon .
Sahn, D. E., Alderman, H. 1996. The Effect of Food Subsidies on Labor Supply in Sri Lanka. Economic Development and Cultural Change , 45, 125-145. Schueler, Dana. 2007. Incentive Effect Transfer within the Extended Family: The Case Indonesia. Disertasi. University of Goettingen. Skoufias, E., Unar, M., Gonzales, T. 2008. The Impact of Cash and In-kind Transfers on Consumption and Labor Supply. Washington: World Bank. Sulaiman, M. 2010. Incentive and Crowding-out Effects of Food Assistance: Evidence from Randomized Evaluation of Food-for-Training Project in Southern Sudan. London: Economic Organisation and Public Policy Programme.
Raihan, S., Khondher, H. B., Sugiyarto, G., Jha, S. 2009. Remittances and Household Wel-
Tadesse, G., Shively, G. 2009. Food Aid, Food Prices and Producer Disincentive in Ethiopia. American Journal of Agricultural Economics, 91, 942-955.
Efek Disinsentif Program Raskin (Mohtar Rasyid)
161
40
Problem 3 : Efek Crowding-Out Transfer Publik
41
Journal of Economics and Sustainable Development ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013
www.iiste.org
Crowding-out Effect of Cash Transfer Programs on Inter-household Transfers: Evidence from Indonesian Family Mohtar Rasyid Department of Development Economics, Trunojoyo University, Bangkalan, Indonesia Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia * E-mail of the corresponding author:
[email protected] Abstract Inter-household transfers have important role in developing countries landscape. Many people in developing countries must depend on financial transfer from their family as main source of any kind of social security. In a society with kinship ties are still strong, informal private transfers has a function as service providers and social security safety net during economic crises. The presence of the public transfer is expected to be neutralized (crowd-out) by the response of private transfers. This paper aims to examine existence of crowding-out effect of public transfer on private transfer using data from Indonesia Family Life Survey (IFLS). By controlling for any characteristic respondent and cultural background, the empirically results show that crowding-out effect is statistically significant. As a suggestion, identification of the target domestic anti-poverty programs should also include family tie variables as the key variable. Keywords: crowding-out, public transfer, private transfer, Indonesia 1. Introduction The relationship between household became one of the main features in the analysis of development microeconomics. As an economic unit, the household's role is crucial in efforts to improve the welfare of its members. Households are a service provider to a ripe old age (old-age security) as well as the place for children who are not yet economically self-sufficient. Households also serve as a safety net if part of its members experiencing economic hardship. This happens especially in a society that has not been reached by the services of financial institutions and credit (liquidity constraints). Domestic service is not just a transfer of money, but also non-financial transfers such as transfers of food or form of assistance services to help take care of the household. Studies conducted in several developing countries showed that most (20 to 90 percent) of households reported receiving and gives transfers between households. Amount of transfer is reached 2 to 20 percent of total household income (Park C., 2003). Based on data from Indonesia Family Life Survey 3 (IFLS-3), as much as 56 percent of households reported giving financial transfers to non-coresident family. For households receiving net transfers (net recipients), the magnitude of the transfer covers 7 percent of the average monthly household expenditure. These calculations do not include the amount of transfer between relatives (inter-sibling), the transfer of non-household family member as well as the magnitude of transfers that occur within the same household (intra-household transfers). Despite having an important role, the existence of inter-household transfers are threatened to weaken in the long run. One of the reasons is the demographic transition that indicates the trend of shrinking of fertility rate which led to the shrinking number of household members. In 1975 the fertility rate in Indonesia is at 5.3 and shrank sharply to 2.5 in 1995. The fertility rate is expected to decline which is predicted become 1.85 in the 2025 (Abikusno, 2007). IFLS survey showed that the average number of household members Indonesia in IFLS-1 (1993) is 4.56 and 4.13 in the IFLS-3 (2000). The survey results IFLS-4 (2007) showed that the average number of household members is 3.17. The shrinking number of household members potentially reduces the frequency of cross-household transfers, as occurred in many developed countries today. Understanding of the private transfer behavior is important to the design of public policies that will be chosen by the government. In a society with kinship ties are still strong, informal private transfers has a function as service providers and social security safety net during economic crises. The presence of the public transfer is expected to be neutralized by the response of private transfers. Process pressure or crowding-out occurs if the donor households reduce the amount of transfer along with the public transfers from the government. Based on the background of these problems, the research questions to be answered is whether the crowding-out effect of public transfers on private transfers exist in Indonesia? As a developing country that is known to have
47 42
Journal of Economics and Sustainable Development www.iiste.org ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013 very strong ties of kinship, the study of the effects of crowding-out in Indonesia is very relevant in line with the government's program to reduce the negative impact of global economic crisis and rising crude oil prices. Empirical studies on the effects of crowding-out so far done with two approaches. First, the crowding-out effect is estimated by the derivative transfer coefficient. Technically, this coefficient would be one in the case of full crowding-out. That is, each additional penny of public transfers will be responded with a reduction in private transfers in exactly the same amount. Second, the crowding-out effect is evaluated based on the pattern of private transfer. Crowding-out effect can be traced if a private transfer has a negative correlation with income of recipients. Main weaknesses of the two approaches is crowding-out effect is not estimated directly through the connection between public transfers by private transfer. Does the negative relationship between private transfers to income recipients would indicate a crowding-out effect, is still completely unanswered. To fill this empirical gap, this study will examine the effect of crowding-out directly from the government transfers such as direct cash assistance. The remainder of the paper organized as follow. Section 2 discusses the literature review. Section 3 describe the mehodological issues and data. Section 4 analyses the empirical findings and than, Section 5 summarize the analysis.
2. Literature Review Empirical research on crowding-out effect was initially carried out in developed countries since the decade of the 1990s. The results generally indicate that the crowding-out effect is not too strong. Empirical studies on crowding-out effect in developed countries have been criticized by Cox et al. (2004). First, it is irrelevant to examine this effect in developed countries that have long held a formal social security system. Second, linear estimation techniques may not be representative enough to capture the full association between the amounts of transfer and income received. Theoritically, if the relationship between the amounts of transfer and the recipient income is negative, then the addition of extra income (public transfers) will be reduce the amount of private transfers received. Cox et al. (2004) conducted a study of household transfers in developing countries with a new approach. By using the Family Income and Expenditure Data Survey (FIES) Filipinos in 1988, Cox et al. (2004) reconstructs a new method for detecting the pattern of transfer. The estimation method used is the regression threshold that can capture non-linear relationship between the magnitudes of transfer and income received. The results showed that there is a change in the pattern of transfer related to increasing of household income recipients. However, the changes are not extreme, but only a decrease in the slope of the relationship between transfers and income. In the case of urban households, the coefficient of income is below the threshold of -0.389 and -0.008 at the turn into the above threshold. In the case of rural households of each coefficient is -0.398 and -0.032 intended. Some researchers used a different estimation model to estimate the transfer equation. In the case of Nepal, Kang (2004) using a linear model. The data used are the Nepal Living Standard Survey (NLSS) of 1995/1996 that includes approximately 3.310 households. The results showed that the income of the recipient household is negatively related to the amount of transfer. This indicates the existence of altruism motive. The use of threshold regression was also conducted by Kazianga (2006) for the case of Burkina Faso, a country with relatively low income levels, has no formal public transfer system but has a well-known tradition of mutual aid (gift giving). In this study, researchers specifically address the endogeneity issue that often overlooked in previous studies. The results showed that the altruistic transfer can be identified at an intermediate level of income while on a low income level of this motif could not be found. This conclusion is certainly different from the pattern of household transfers as hypothesized by Cox et al. (2004). Based on these results the researchers suggest that the transfer of public policy or other government programs for low-income communities will not be pressed (crowd out) by the inter-household transfers. Other types of specifications that used in the estimation of inter-household transfers are a quadratic relationship between the amounts of transfer and the recipient income. These specifications are used by Gomes and Sciulli (2007) in estimating a transfer model in Bulgaria. The results showed that the pattern of relation to the income transfer is inverted U-shaped. This suggests that the low level of income transfer motive is the exchange, until at a certain level turned into altruistic. Application of the model Cox et al. (2004) in India is used by Sharma and Lal (2009) in examining the transfer behavior in the rural households. The results showed a pattern similar to the case of Filipinos, under the income threshold coefficient is -0.575 while the above threshold is -0.0008 (coefficient of income above the threshold
48 43
Journal of Economics and Sustainable Development www.iiste.org ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013 was not statistically significant). Researchers found that the smaller the magnitude of the transfer if the household is retired. While the greater acceptance of transfer to households with higher education levels. Education that recipient households are more highly educated households received transfers from another is not explained in more detail by researchers. Research on patterns of inter-household transfers in Indonesia conducted by Gibson et al. (2011) who studied the pattern of transfer in several countries, namely Indonesia, Papua New Guinea (PNG), Vietnam and China. OLS estimation results indicate that there is a significant negative correlation between the magnitude of the transfer recipient households with incomes in the case of Indonesia, China and PNG. Significance of this relationship is lost when the researchers used the approach Instrumental Variable (IV). In this case the income instrumented with size and quality of the home. The main problem of previous studies is the use of linear estimation and non-linear in testing the effects of crowding-out is not done directly. The possibility of a crowding-out is only estimated based on the relationship (negative) between the amounts of transfer and recipient income. Kang (2004) showed that although the relationship between income and transfer is negative, but the crowding-out effect of public transfers on private transfers are not shown. To ensure the existence of crowding-out effect, this article directly tested the impact of public transfers on private transfers across households in Indonesia. Public transfer that referred in this study is the direct cash assistance or Bantuan Langsung Tunai (BLT).
3. Methodology and Data Testing the impact of a policy often face the problem of unavailability of counterfactual that it is difficult to estimate the results obtained truly depict the pure impact of a policy. To obtain the counterfactual (control group) with characteristics similar to the treatment group (households receiving public transfers), this study will use the approach of propensity score matching (PSM). The steps in the PSM method can be summarized as follows (Khander, Koolwal, and Samad, 2010). First, estimate the model of program participation: Pi = α + β1X1 + β2X2 + .....+βnXn + e
(1)
Pooling treatment and control groups and regress to a number of explanatory variables based on participation decision. Explanatory variables that use are criteria of the program as determined by governments. Model estimation used in (1) is the logistic regression that results probability value or propensity score households to get the program. The next step is defines common support where distribution propensity score between treatment and control group are intersection. Next step, use the balancing test to examine that the distribution of treatment and control groups statistically are equal. Formally, the balancing test is: P(X|T=1) = P(X|T=0)
(2)
If sufficient sample is obtained in the common support and the balancing test has been passed, the final step is applying difference test between treatment and control group outcome (treatment effect on treated, TOT). TOT=E(Y T |T=1, P(X)) – E(YC |T=0, P(X))
(3)
The approach that is used to determine the magnitude of the Average Treatment on the Treated (ATT) as well as their significance test is using Stratification Matching. This procedure partitions the common support into different intervals and calculates the public transfer's impact within each interval. A weighted average of these impact interval estimates yields overall program impact, taking share of participant in each interval as the weights (Khander, Koolwal, & Samad, 2010). The data used in this research is the result of a survey of household Life aspects of Indonesia (SAKERTI) or Indonesia Family Life Survey (IFLS). Two last waves (IFLS-3 and IFLS-4) will be used as the basis for estimation. IFLS-3 would serve as a baseline to identify household treatment and control household. The unit of analysis is the household that includes approximately 10.269 units of households on IFLS-3 and 12.987 units household on IFLS-4. Some characteristics of the households that are used as explanatory variables including the floor area per capita, types of flooring, types of walls of the House, the availability of toilets, drinking water source, lighting, fuel use, education and the work of the head of the family. IFLS-3 reported receiving the transfer as much public 3.68 percent. The government program in tackling the impact of rising crude oil pricing since mid-2005 in the form of Direct Cash Assistance (BLT) is a popular form of public transfer. Table 1 presents data on household characteristics based on matching sample and recipient of public transfers.
49 44
Journal of Economics and Sustainable Development ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013
www.iiste.org
4. Results The first stage of what should be done is to determine relevant explanatory variables to identify groups of treatment (recipients of government transfers) and that does not receive government transfers. The government has released a number of variables that are used as the basis for determining the target home program. Most of these variables will be used to find a control group with similar characteristic with a group of households that receiving public transfers. To ensure that the variables or characteristics of the chosen are not affected by the existence of the program, the baseline data used was from the beginning IFLS (IFLS-3). Meanwhile, data on transfers between households taken from the survey results in the next period (IFLS-4). Table 2 shows the magnitude of the transfers received by households based on the sample donor (the origin of the funds). These data indicate that transfers from a neighbor's relatively large compared to other private transfer. The transfer of the child to the parents also relatively large compared with the transfer from parent to child. The results of the estimation model of program participation to obtain propensity score in each group can be observed in the sample Table 3. The explanatory variable in question is the type of floor, walls of the house, the availability of toilets, drinking water, sources of information are used, fuel for cooking as well as the level of education and type of work head of household. The floor area of variable is not included because it is not qualified test balancing. The calculation results indicate that unless this type of flooring is used, all variable are significant in conventional level. Significance of several explanatory variables indicates that the variables used are relevant to identified target beneficiary households public transfers. Based on propensity score from the previous process, the next step is to determine the common support spanning group treatment (BLT recipients) and the control group. Test results showed that the STATA region of common support points is in the range 0,702 to 0,073. So far the results showed that the assumption of PSM approach has been fulfilled. Matching balancing test results have been fulfilled, so the test difference between the group treatments and control group could be applying. Significance of the difference the average outcome between the two groups can be inferred to happen due to government programs. According to some estimates, there are eight interval block treatment and control that is consistent with the regions of common support detected. Number of household treatment and household controls on each interval can be noted in Table 3. The overall total of the sample household 8.802 is divided into groups of household’s control (6.420 households) and household group of recipients or treated (2.382 households). The number of households control and treated at each interval can be noted in detail in Table 4. Outcome in this research is the magnitude of the financial transfer who accepted household sample from family members, neighbors and friends who do not live in one household. Test results against any possibility of crowding-out effect can be observed in Table 5. Table 5 shows that in general the effects of crowding-out transfer in the form of direct cash aid public against private transfers proved to be quite significant. In total, recipient household receive private transfer 10 BLT percent less compared to non-household BLT. The largest decrease in the transfer originates from either parents or foster parents siblings. The public have urgent transfer transfers from parents almost 40 percent. While a decrease in transfers of children and suffering each for 21.9 per cent and 17.5 per cent. Decreases in transfers from neighbors are also relatively large IE more or less amounted to 24.5 per cent. The results of this research show that the existence of the public in the form of giving of money transfer cash as in the program had reduced quite a bit BLT allocation for private transfers received by households of members of his family were not staying housemates.
5. Conclution Using the quasi approach of the propensity score matching, this research shows indication of crowding-out effect of public transfers to private transfers. In contrast to previous research that examines the effect of crowding out indirectly, this research uses direct cash aid programs as the variable of interest. Cash assistance programs designed to help the poor economic hardship as a result of the economic crisis turned out to have less favorable effects i.e. reduced the role transfer between households as informal social safety net. Role of transfer between households as social safety net has been running long enough in developing countries, including Indonesia. Crowding-out effects have an impact on the effectiveness of government transfer policies reduced since it will be
50 45
Journal of Economics and Sustainable Development www.iiste.org ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013 opposed through the decline of private transfer. As a suggestion, the identification of targeted household in anti-poverty programs should also include poverty variables as household ties key variables. Poor households who do not have relatives should get top priority in public transfer programs. References Abikusno, N. (2007). Older Population in Indonesia:Trends, Issues and Policy Responses. Bangkok: UNFPA Indonesia and Country Technical Services Team for East and South-East Asia. Cox, D., Hansen, B. E., & Jimenez, E. (2004). How Responsive Are Private Transfers to Income? Evidence from a Laissez Faire Economy. Journal of Public Economics , 2193-2219. Gibson, J., Olivia, S., & Rozelle, S. (2011). How Widespread Are Non-Linear Crowding Out Effect? The Response of Private Transfers to Income in Four Developing Countries. Applied Economics , 43 (27), 4053-4064. Gomes, A., & Sciulli, D. (2007). Inter-Household Private Transfes and Underlying Motives: Evidence for Bulgaria. Nota Economicas , 59-74. Kang, S. J. (2004). Are Private Transfers Crowded Out by Public Transfers? The Case of Nepal. The Developing Economies , XLII (4), 510-528. Kazianga, H. (2006). Motives for Household Private Transfer in Burkina Faso. Journal of Development Economics , 73-117. Khander, S. R., Koolwal, G. B., & Samad, H. A. (2010). Handbook on Impact Evaluation, Quantitative Methods and Practices. Washington DC: The World Bank. Park, C. (2003). Interhousehold Transfers between Relatives in Indonesia: Determinants and Motives. Economic Development and Cultural Change , Vol. 51, No. 4, 929-945. Sharma, A., & Lal, D. (2009). Private Household Transfers and Poverty Alleviation in Rural India: 1998-1999. The Journal of Applied Economic Research , 3 (2), 97-112.
Mohtar Rasyid earned his Master of Science (M.Sc) in 2009 from Economic and Business Faculty of Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Currently he is pursuing doctore degree at the same university. He is a lecture at Department of Development Economics, Trunojoyo University, Indonesia. His main research interest are development microeconomics, economic growth and industrial organization.
51 46
Journal of Economics and Sustainable Development ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013 Table 1. Indicator of Household Sample Variables Size of house
Indicator < 8 m2 8m2 Flooring Type Bamboo/Lumber/Board Other Wall Type Bamboo/Lumber/Board Other Toiled Own Toiled Other Source of Drinking Mineral/Pipe Water Other Lighting Electric Other Stove Firewood/charcoal Other Education Elementary Other Type of Occupation Casual Worker Other Receipt Public Transfer Yes No Source: IFLS-3 (2000) & IFLS-4 (2007)
Observation 2.366 6.330 2.396 6.300 3.150 5.546 5.503 3.180 2.361 6.322 7.816 867 3.203 5.480 3.165 5.530 1.619 7.076 2.345 6.348
www.iiste.org
Share (%) 27,21 72,79 27,55 72,45 36,22 63,78 63,38 36,62 27,19 72,81 90,01 9,99 36,89 63,11 36,40 63,60 18,62 81,38 26,98 73,02
Table 2. Summary Statistic of Household Transfer (in logarithmic form) Source of Transfer
Mean
St.dev
Min
Max
Total
13,348
1,919
6,907
22,669
Parents
12,578
1,730
7,824
21,821
Siblings
12,392
1,657
7,600
21,416
Child
13,369
1,833
8,517
22,515
Step Parents
11,914
1,850
8,517
20,723
Other Family
11,834
1,523
6,907
21,416
Neighbor
14,919
1,593
8,881
20,723
Friend
11,791
1,842
6,907
20,728
Source: IFLS-4, author’s calculation
52 47
Journal of Economics and Sustainable Development ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) Vol.4, No.2, 2013 Table 3. Propensity Score Model Estimation*) Independent Variables Coefficient Std. Error Flooring -0,047 0,042 Wall 0,441 0,039 Toilet 0,432 0,032 Drinking Water 0,209 0,037 Electricity 0,222 0,050 Stove 0,158 0,034 Education 0,458 0,032 Occupation 0,065 0,038 Constanta -1,407 0,036 *) Dependent variables: Receipt public cash transfer (BLT)
www.iiste.org
z -1,12 11,22 13,49 5,60 4,41 4,56 14,30 1,68 -38,04
P>|z| 0,263 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,093 0,000
Table 4. Number of Treated and Control Group for Each Block PSCORE 0,073 0,100 0,150 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600 Total
Control 1.013 1,713 540 1.543 595 516 324 176 6.420
Treated 68 229 115 506 398 409 415 243 2.382
Total 1.081 1.942 655 2.049 993 925 739 418 8.802
Table 5. Average Treatment of Treated on Household Transfers*) Source of Transfer ATT Total -0,101 Parents -0,392 Siblings -0,219 Child -0,175 Step Parents -0,372 Other Family -0,146 Neighbor -0,245 Friend -0,036 *) number treat=2,343 control=6,339
Std. Error 0,048 0,042 0,040 0,045 0,041 0,040 0,041 0,048
53 48
t -2,100 -9,278 -5,413 -3,888 -9,053 -3,673 -6,011 -0,748
This academic article was published by The International Institute for Science, Technology and Education (IISTE). The IISTE is a pioneer in the Open Access Publishing service based in the U.S. and Europe. The aim of the institute is Accelerating Global Knowledge Sharing. More information about the publisher can be found in the IISTE’s homepage: http://www.iiste.org CALL FOR PAPERS The IISTE is currently hosting more than 30 peer-reviewed academic journals and collaborating with academic institutions around the world. There’s no deadline for submission. Prospective authors of IISTE journals can find the submission instruction on the following page: http://www.iiste.org/Journals/ The IISTE editorial team promises to the review and publish all the qualified submissions in a fast manner. All the journals articles are available online to the readers all over the world without financial, legal, or technical barriers other than those inseparable from gaining access to the internet itself. Printed version of the journals is also available upon request of readers and authors. IISTE Knowledge Sharing Partners EBSCO, Index Copernicus, Ulrich's Periodicals Directory, JournalTOCS, PKP Open Archives Harvester, Bielefeld Academic Search Engine, Elektronische Zeitschriftenbibliothek EZB, Open J-Gate, OCLC WorldCat, Universe Digtial Library , NewJour, Google Scholar
49
Problem 4 : Dampak Sosial Program Publik
50
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
IMPACT OF PUBLIC TRANSFER ON ROTATING SAVINGS AND CREDIT ASSOCIATIONS (ROSCAS): THE INDONESIA HOUSEHOLD CASE
Mohtar Rasyid Trunojoyo University, Indonesia Elan Satriawan Gadjah Mada University, Indonesia
ABSTRACT Public transfers in the form of financial assistance to poor households have a positive impact on recipient's household. The impact is not only felt by recipient's households, but also by the nearby household. Effect of public transfers on social capital as reflected in public participation so far not received empirical support enough. This study aimed to evaluate the impact of public transfers (direct cash assistance, BLT) on household participation in community activities. The data used in this study is a publication of Indonesia Family Life Survey (IFLS), which has complete information about the activities of household members in the in Rotating Savings and Credit Associations (RoSCAs), cooperatives, and community service activities in order to development of the village. The results showed households that received public transfers (BLT) are more active in RoSCAs. The positive correlation between BLT and RoSCAs (arisan) activities can still be proven even though there are cases of leakage in cash aid. JEL Classifications: I38, O16, O17 Keywords: Goverment Programs, Social Capital, RoSCAs Corresponding Author’s Email Address:
[email protected]
INTRODUCTION One of the feature that have an important role in the development is social capital that owned by a community. Many researchers have realized the importance of social capital in the formation of civil society (Fukuyama, 2000). The existence of social capital is also important not only for supporting the effectiveness of government, but also has contributed to sustainable growth and other economic indicators (Keefer and Knack, 2005). Some researchers have also empirically examined the impact of social capital on the performance of economic development. Empirical studies on the social impact of public transfers so far often face a serious estimation problem. Firstly, the definition of social capital is quite wide that making it difficult to obtain sufficient common indicators to represent the concept of social capital. One indicator used is the activity of individuals or households in community activities. In a society with the intensity of a wide range of social activities, the type of social activities undertaken will vary and must be unique among communities. Secondly, the decision of household member to engage in social activities is also based on factors that are difficult to measure empirically. Social activity is more influenced by the individual's consciousness of the responsibility keep the safety and comfort ability of the environment. There are no legal sanctions that bind a person to engage in social activities. Households with a high level of social awareness will be actively involved in community activities. In contrast, relatively egoistic household tend to avoid social activities. The estimation problem can be overcome if there is available micro-household data that is quite rich in information about the involvement of household members in various community activities. In addition, the household data also has a panel structure that is needed to implement the relevant method to control unobserved heterogeneity. The of micro data with a panel structure that has sufficient information on the complete social activities available now in the publications Indonesia Family Life Survey (IFLS). The availability of householdlevel micro data allows this study to be done with two important contributions. Firstly, this study can analyze the social impact of public transfers by using multiple indicators of community participation that more specific. Secondly, this paper using the appropriate methodology to control the characteristics of households that are not observed but were highly correlated with community participation and the government programs. As an illustration, egoistic households tend to be inactive in the society activities. This household will also receive assistance without feeling guilty that government transfers that they received, should not be right. Without controlling for unobserved heterogeneity, the estimated regression coefficient between program variables and various indicators of public participation will be potentially biased. Some important findings obtained from this study. Without controlling factor unobserved household
51
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
level, there are indications that BLT has a negative relationship with some kind of community activities such as Rotating Savings and Credit Associations (RoSCAs). When the unobserved heterogeneity controlled (with First Difference), then there is strong evidence that households who earn BLT relatively more active in the RoSCAs activities. In other words there is a positive relationship between public transfers and the household members' participation in social activities. The role of public transfers in the form of BLT on RoSCAs and cooperative activities is still quite significant even though there are indications of a leak BLT in the local community. Leakage in the BLT does not have a significant impact on community participation activities. In other empirical models test, we found no significant evidence that the leak BLT in a community (village) will cause a rise in the probability of households earn criminal action. Organization of this paper is organized as follows. The second section describes some relevant literature review and public transfer programs in Indonesia. The third will discuss the methodological issues. The fourth describe data of sample households in Indonesia, which is used in the IFLS. The last section discusses the general results obtained and closed with conclusions and recommendations. PUBLIC TRANSFERS AND SOCIAL CAPITAL IN PREVIOUS LITERATURE Social Capital and Economic Development The importance of social capital as a determinant of economic development has long been discussed by several experts. Conceptually, social capital is often associated with social values prevailing in society, mutual trust (trust) and the participation of individuals or households within an activity or social organizations. Ponthieux (2004) reviewed the concept of social capital from the work of Coleman's social structure, participation in the Putnam's organization according to the concept of trust by Fukuyama. In the empirical studies, experts have also introduced the concept of calculations related to social capital ranging from households to community level (Stone, 2001). Some other researchers such as Hjoullund and Svendsen (2000) specifically introduced calculation method of the social capital index using factor analysis approach. In this case the researchers defined the concept of social capital in the dimensions of trust (trust), cooperation (cooperation) and social networks (network). In general, the dimensions of social capital are summarized in two major indicators, namely indicators trusts and voluntary organization indicator. In the aspect of group collaboration, researchers used the concept of social capital as the number of memberships in community organizations. The linkage between social capital and economic growth in the aggregate are analyzed by Garcia et al. (2006). Using time series data in 1970 and 2001 for 23 OECD countries, they found a significant positive association between social capital and economic growth. Social capital has contribution about 7 to 10 percent on economic growth of the sample countries. These findings emphasize the importance of the contribution of social capital in economic growth in addition to other explanatory factors. Research on social capital in Indonesia is essentially also been conducted from the beginning of the decade of 2000. Miguel et al. (2002) using SUPAS data, PODES and SUSENAS test the impact of industrialization on social capital in Indonesia between 1985 and 1997. Results of the study found the district that experiencing industrialization have relatively high social capital indicators. Meanwhile, the district that located in the nearby of the industrialized district actually has declining in social capital indicators that observed by the number of out-migration and the relatively few people's participation in community meetings. Other research related to social capital in Indonesia is done by Grootaert (1999) uses survey data Local Level Institution in three provinces: Jambi, Central Java and East Nusa Tenggara. The data used consists of a multilevel unit analysis from the household level and the district community. Some indicators of social capital that is used are a membership density, heterogeneity index, meeting attendance and decision making index. The study found that households with higher social capital enjoy higher expenditure, have more assets, have more savings and have higher access to credit. Researcher also found a mechanism effect of social capital on welfare through three channels, namely (1) to share information among members of the group activities, (2) reducing opportunistic behavior, and (3) improve the process of group decision making. The study of social capital so far related to the issue of measuring and calculating the impact of social capital on welfare and poverty indicators. The results of the study reinforce the hypothesis that most of the social capital indicators have a positive impact on household welfare and the economy more generally. In line with the number of government programs in many developing countries, the study of indirect effect of public transfers began to increase.
Impact Evaluation of Public Transfers
52
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
Impact evaluation of public transfers in the form of cash transfers has been studied, including the effects of an error in the target beneficiaries. Stoffler (2012) conducted a simulation to test the effects of cash transfers on consumption and production of farm households using household data of Taiwan. Some simulation results indicate that the transfer has a positive impact on the increase in consumption and production. The positive effects are also felt by non-recipient households (non-target) and the recipient households, although not poor households (leakage). In relation with targeting error, Weiss (2004) identified that the phenomenon is common in developing countries, including countries that have long held a poverty alleviation programs such as India and the People's Republic of China (PRC). The presence of leakage and undercover also found in countries that are relatively new in the implementation of public transfer programs, such as Indonesia and Thailand. Generally, research concluded that although there is a leak, poverty alleviation programs still have a positive impact. Coady et al. (2004) conducted a review of targeting programs in several developing countries. Several methods of targeting are discussed in detail and carried out to measure the performance of targeting indexation in some countries (including Indonesia). Evaluation is done not only to the program but also includes the transfer of subsidy programs and job creation programs. Evaluation of the impact of the program in direct cash assistance (BLT) conducted in 2005 and 2006 comprehensively done by Bazzi et al (2012). Although BLT explicitly granted to anticipate the impact of rising world oil prices, several other welfare indicators such as education, health and employment were also evaluated. Giving the cash transfers to some extent has positive effect on indicator of well-being that tested. The impacts of public transfer are not only evaluated on welfare indicators such as household consumption expenditures, health and education. Some researchers also examined the impact of indirect public transfers on the provision of social capital. Attanasio et al. (2008) with experimental approach, find evidence that the level of cooperation that people get the program relatively higher than people who do not get the program. Meanwhile Ressler (2008) with a qualitative approach, find evidence that the presence of the public transfers strengthened existing social networks. The researcher found evidence after conducting interviews with some of the urban and rural households in Kenya. Angelucci and De Giorgi (2009) find that public transfers increase household consumption of non-recipients by 10 percent. The increase occurred through increased borrowing, private transfers between relatives and family as well as through a reduction in savings. Previous studies so far found evidence that poverty alleviation programs are realized in the form of cash transfers (cash transfers) have a positive effect on the recipient households. This positive effect can also be felt by the non-recipient households. The positive influence of the presence of public transfer programs on welfare not only in the form of increased levels of household welfare recipients, but also the strengthening of social capital in the form indicated by the higher participation in formal and informal activities. One of the problems encountered in the public transfer is an error in the form of leaks and undercover. Errors will certainly cause the target achievement of program effectiveness is not optimal. How influence of targeting error on social capital in the community? Research on this topic is still relatively rare. One study using micro data of households in Indonesia conducted by Cameron and Shah (2011). By using IFLS and SUSENAS data, researchers state that the targeting error, especially the presence of leakage, will lead to increased crime. Furthermore, they also found a negative relationship between targeting error and community participation. The main problem of the method of estimation is done by Cameron and Shah (2011) is not controlling for household characteristics that are not observed but have a significant influence on the relationship between social capital and public transfer. The problem can be overcome if there is household panel data that contains information on household behavior related to public participation and the status of public transfers. Rotating Savings and Credit Associations (RoSCAs) The important social capital indicators that used in this study are Rotating Savings and Credit Associations (RoSCAs) or known as “Arisan”. As one form of activity that were encountered in several developing countries (including Indonesia), arisan activity has long been a concern of experts to examine the determinants and implications of these activities. So far there are three studies that have been conducted regarding RosCAs in Indonesia. Initial study conducted by Geertz (1962) result in an investigative field survey in the area of East Java in May 1953 until September 1954. According to the study, information was obtained that person's participation in the activities of gathering is not motivated by the money that will be accepted but because of the desire to create harmony in society. Although research has been done in some places, the puzzle of arisan cannot be identified completely. By using the results of several previous studies, Ambec and Treich (2003) proposed an alternative theory related to the RoSCAs. The theory is constructed by using the model of social pressure. Ambec and Treich (2003) hypothesized that an individual's participation in RoSCAs because of the motif to avoid social obligation to share revenues. Suppose individual i with income level y face the decision to participate in a number m of money in arisan. It is assumed that there is a social gratification if the individuals follow arisan. If the individual utility
53
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
is expressed as u (.), then the optimal point is achieved due to pay a sum of m individual will be achievable only and only if: (
)
( )
(1)
where is a social gratification or social sanctions that exist in society. With assumption that the utility u (.) is a increasing function and concave, then the individual with the lowest income levels will not reach optimal to spend some money m. For individuals with low income levels, coefficient is zero. (
)
( )
(2)
Along with the increasing in income, the individual would receive social gratification if he or she gives the contributed m. It should be noted that there will be a level of income y which individuals will be in the same position (indifferent) between giving m money or not. Mathematically, this position can be expressed as follows: (
)
( )
(3)
Thus, the utility of an individual can be expressed as follows: ( )
{
( ( )
) if (4)
if
METHODOLOGY Basic estimation model used in this study is to follow the model used by Cameron and Shah (2011) with some modifications. Variable Community Participation (RoSCAs) is explained by the explanatory variables such as the level of household income, consumption and policy variables. (5) where RoSCAs is a member of the household participation in social ghatering activities; X is a vector of household characteristics; INS is the vector characteristic of institutions; BLT is the policy variable; are variable household characteristics not observed; are the variable that represents the characteristics of the district and e is a random error term. The main problem in the estimation of the model (5) is the presence of unobserved factors that affect the participation of society as well as targeting BLT. As an illustration, households that socially not active tend to not active in the community activities and hence escape from the division of public transfer. Disregard for the effects of unobserved heterogeneity at the household level will lead to bias in the coefficient associated with the BLT and BLT targeting. If we assumed that the un-observed character is time invariant, then the use of the techniques of First Difference (FD) can be isolate the impact of the these fixed variables. Differencing process will result in the following equation: (6) The use of FD will isolate the effects of household-level factors that are time invariants. Household-level variables are represented by the variables of household income and household status acquires or not acquires the BLT. Meanwhile the village institutions are village facilities such as the existence of a terminal, market, school and post office. The main variable is the BLT that includes a variable percentage of leakage and undercover. Variations institutions may not only limited to the level of rural areas. Certain conditions in the district or city / county may severely affect the estimation results. To overcome these problems, the estimation technique used Fixed Effect (FE) level of city / county. The estimated model will briefly be as follows: (7) Following Cameron and Shah (2011), the leakage and undercover calculation is done on the village
54
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
level. By definition, leakage is calculated based on the portion of non-poor households who earn BLT in a village. Meanwhile, undercover calculated based on the portion of poor households who do not receive a BLT in a village. Determination of poor households based on the criteria of average expenditure per month at level Rp175.000, -. Households with expenditure below Rp.175 thousand per capita per month were categorized as poor households. With a data transfer recipient households status public (BLT = 1, other = 0) then the calculation of leakage and undercover each village can be calculated. For comparison, the calculation of leakage and undercover in this study will also follow the boundary Poverty Line (PL) issued by the Government (Central Bureau of Statistics, 2008). Based SUSENAS, BPS set poverty line for 2007 was Rp166.697, - per capita per month. A more complete review of the research data used can be considered in the next session. DESCRIPTION OF DATA The data used in this research is the publication of the IFLS survey wave 3 (in 2000) and IFLS wave 4 (2007). In IFLS-4 has been available specifically questionnaire about government programs including direct cash assistance (BLT). A total of 12.979 households surveyed, nearly 25 percent of households claiming to obtain BLT. By using limit expenditure per capita month of Rp175.000, - for the category of poor households, then about 7 percent of households including in the poor households. Of the 2,901 households who earn BLT, as many as 2,436 households excluding poor households (approximately 18.76 percent of the total households). While there are about 449 poor households not got the BLT (approximately 3.4 percent of total households). This shows that the case of leakage is more dominant compared to the undercover case. TABLE 1. DESCRIPTIVE STATISTICS OF SELECTED VARIABLES Mean
Std. Deviations
BLT (yes=1, no=0)
0,223
0,416
RoSCAs
0,479
0,746
Community Meeting
0,416
0,683
Cooperatives
0,058
0,265
Voluntary Working
0,491
0,768
Village Programs
0,367
0,654
Income (log)
13,92
5,861
Age of Household Head (year)
44,29
15,38
Female Household Head (yes=1)
0,184
0,388
Marital Status (married=1)
0,787
0,408
Leakages
0,179
0,117
Undercover
0,033
0,041
Terminal (yes=1)
0,258
0,438
Market (yes=1)
0,407
0,491
Telephon Access (yes=1)
0,702
0,457
Post office
0,190
0,392
Household level
Village Level
Source: Indonesia Family Life Survey (IFLS)
Any household data that related to this study can be seen in Table 1. Data used basically consists of two units of analysis: household level and community level (village). A household level consists of data on the status of obtaining BLT (yes or no), income level, age of household head, household head gender and marital status (married or not). The data on household participation in social activities is calculated based on the number of household members who are involved in activities such as gathering community participation, community meetings, cooperative activities, community service and activities in order to improve the village. At the village level, village character is represented by a variable that indicates the presence of rural infrastructure such as terminals, article, telecommunication shop and post office. One of the important explanatory variable in this study is the leakage (leakage) and undercover. Leakage is calculated based on the portion of non-poor
55
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
households who earn BLT. While undercover is the portion of poor households who do not obtain the BLT. Both major indices were calculated in the village level. ESTIMATION RESULT Impact Public Transfers on RoSCAs Table 2 presents the results of the estimation model of community participation (Arisan) relation to the status as BLT households. There are four columns estimation results. The first column (1) and second (2) presents the results of OLS estimates while the third column (3) and the fourth column (4) presents the estimation results of the First Difference household level. The unit of analysis is the household. Dependent variables in this table are the number of household members who follow arisan during the last 12 months. While the independent variable of primary interest is a dummy variable that indicates the status of the household BLT (yes = 1) or not receive BLT (no = 0). TABLE 2. IMPACT BLT ON ROSCAS (ARISAN) Dependent Variable: Participation on RoSCAs OLS
BLT (yes=1) Age of Household Head Female Household Head Married of Household Head
First Difference+ (3) (4)
(1)
(2)
-0,106*** (0,016) 0,006*** (0,0004) 0,100*** (0,017) 0,165*** (0,017)
-0,081*** (0,015) 0,003*** (0,0005) 0,074*** (0,018) 0,141*** (0,017)
0,683*** (0,058) -0,007*** (0,002) 0,070 (0,086) 0,070 (0,087)
0,432*** (0,066) -0,009*** (0,002) 0,103 (0,081) 0,054 (0,081)
0,146*** (0,025) 0,252*** (0,031) 0,300*** (0,029) 0,402*** (0,032)
0,098*** (0,025) 0,158*** (0,029) 0,154*** (0,030) 0,198*** (0,033)
0,313*** (0,098) 0,255** (0,133) 0,114 (0,146) -0,014 (0,186)
0,198 (0,102) 0,159** (0,131) -0,004 (0,138) -0,213 (0,167)
0,070*** (0,004) 0,015*** (0,001) -0,598*** (0,040)
0,077*** (0,005) 0,014*** (0,001) -0,356*** (0,051)
0,203*** (0,017) 0,028*** (0,005) -1,965*** (0,035)
0,220*** (0,018) 0,024*** (0,005) -1,878*** (0,022)
No
Yes
No
Yes
0,091
0,084
0,044
0,041
12.746
12.746
8.756
8.756
Education of Household Head Primary Junior High School Senior High School University
Household Member Household Income Constant
Fixed Effect Community (EA) R-Square Observations Robust standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Estimated first column (1) is based on the data IFLS-4 (2007), which includes data on participation in arisan activities, as well as the status of a number of important characters BLT households. The estimation result in the first column indicates that BLT households are less likely to actively participating in the arisan. All variables representing household characteristics have a significant relationship with a RoSCAs (arisan) activity. Arisan will be followed by many households with a head of household age is getting older. Arisan is also more widely followed if the head of household is a woman. The level of education of household head has also systematically positive relationship with social gathering activity, the higher the educational level, the greater
56
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
the number of household members who join social gathering. The number of household members greater certainly will increase the possibility of members of the household engaged in gathering activities. This is supported by the empirical results of the review. Furthermore, the level of household income is associated with higher levels of participation in higher social gathering as well. All factors were tested in column (1) Table 2 is the observed characteristics of a household level. As a form of social activity, social gathering activities would also be influenced by other factors at the community level. To control the effect of other factors in the community in question, then the re-estimation is done using the approach of Fixed Effect (FE) village level with the results as presented in column (2). Control of the factors causing community-level scale (magnitude) regression coefficients on almost all the free variables in column (1) corrected. However, in terms of the level of significance, there is almost no significant change. Conclusions obtained while also remains, that the BLT program is negatively related to the number of household members who join to arisan. As has been reviewed previously, that controls the observed variables alone may not be sufficient because the household's decision to participate in gathering more determined by variables that cannot be observed such as social attitudes, motivations and habits of household members according to certain customs that underlie. To isolate the effect of the unobserved factors in the column to three (3) Table 2 do estimation models using variable distinction (differentiation) between the data IFLS in 2007 with the IFLS data in 2000. All the variables of the study of arisan activities like household characteristics, including age, gender, marital status and education of household head measured in terms of the difference (First Difference). The BLT variables remain as previously stated in the form (dummy) because in 2000 the program has not been implemented. Differentiation on the program variables will produce the same value. Estimation models using an approach gathering of First Difference (FD) can be considered in column (3) and column (4) in Table 2. In contrast to previous results, the coefficient on the variable BLT was positive and significant to the level of 1 percent. This indicates that the BLT households more actively involved in social gathering. Number of household members who follow social gathering significantly positively correlated with acceptance status BLT. In other words, more household members BLT involved in arisan activities. FD approach clearly produces different estimates with previous estimates (OLS). This finding confirms that the decisive involvement of household members in public participation activities (arisan) more contributed by unobserved factors. The age of head of household has a negative relationship with a gathering activity. The level of education of household head is also a determinant of social gathering activities, but significant only at the level of secondary school education (junior high school or equivalent). Household characteristics are also important in determining the number of household members who join social gathering is the large number of members of the household and household income levels. Both positively related to RoSCAs activity. Estimation in column (3) are determined by the internal characteristic of the household either observed or not. To control for other factors outside the household character or in the community level in column (4) performed the same estimation technique with the presence of additional Fixed Effect village level. The use of FE village level scale correcting coefficients of some important variables. However, the level of significance of the coefficients in question has not changed. These results indicate that external factors in the community level also have an important role in determining the activity of public participation activities. Impact of Mistargeting Public Transfer on RoSCAs Results of previous studies found results that among several types of public participation activities tested, only two activities that have a significant positive relationship with BLT: the arisan and cooperative activities. Thus it can be said that the additional revenue in the form of public transfers used by household members to participate in social activities that had to do with the flow of funds. Meanwhile social participation activities that only require the presence of an individual, is not much affected by the presence of direct cash assistance. To further test the link between public transfers to community participation, the estimated models do the same but with slightly different settings. Public transfer programs not only are viewed from the side of the status of BLT household, but also on any leakage and undercover of this program. As already mentioned, that the leakages are calculated based on the ratio of households that are not poor BLT to all households in a village. The undercover calculated based on the ratio of poor households but non BLT household in the villages. Leakage and undercover is indicative of the presence of the mistargetting in cash aid. What is the impact of public transfer target this error on the participation of the community? Table 3 present the estimation results. Table 3 essentially replicates Table 2 with two additional variables: leakages and undercover. OLS test results showed a negative association between leakages BLT with arisan activities. However, these results tend to be biased due to unobserved factors not control at the household level. Once these factors are controlled, it can be found evidence that it causes leaks BLT number of household members who join social gathering. Not only that, undercover phenomenon also produces the same conclusion, that there is a positive relationship between the number of activities with a social gathering of poor households not reached by the BLT. These
57
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
results are relatively consistent despite conducted additional control in the community level (district). These findings it is interesting to note, given the impact of the provision of the public in the form of cash transfer (BLT) will increase the involvement of members of the household to attend a social gathering though a leak in cash aid.
TABLE 3. IMPACT LEAKAGES OF BLT ON ROSCAS (ARISAN) Dependent Variable: Participation on RoSCAs OLS
Leakage BLT Undercover BLT
BLT (yes=1) Age of Household Head Female Household Head Married of Household Head
First Difference+ (3) (4)
(1)
(2)
-0,361*** (0,061) -1,252*** (0,136)
-0,275* (0,147) -1,125*** (0,258)
1,866*** (0,238) 6,531*** (0,542)
1,771*** (0,477) 4,285*** (1,093)
-0,082*** (0,016) 0,005*** (0,0004) 0,091*** (0,017) 0,169*** (0,017)
-0,082*** (0,017) 0,002*** (0,0005) 0,067*** (0,020) 0,137*** (0,019)
0,487*** (0,062) -0,006*** (0,002) 0,104 (0,085) 0,087 (0,086)
0,445*** (0,072) -0,009*** (0,002) 0,050 (0,079) 0,007 (0,087)
0,115*** (0,025) 0,200*** (0,031) 0,228*** (0,030) 0,320*** (0,034)
0,109*** (0,030) 0,173*** (0,036 0,186*** (0,034) 0,238*** (0,037)
0,307*** (0,097) 0,255** (0,132) 0,153 (0,145) 0,017 (0,184)
0,183* (0,109) 0,140 (0,141) 0,020 (0,151) -0,127 (0,186)
0,070*** (0,004) 0,014*** (0,001) -0,406*** (0,046)
0,075*** (0,007) 0,015*** (0,001) -0,257*** (0,073)
0,204*** (0,017) 0,028*** (0,005) -2,473*** (0,056)
0,226*** (0,023) 0,022*** (0,005) -2,343*** (0,098)
No
Yes
No
Yes
0,097
0,093
0,061
0,059
12.746
12.746
8.756
8.756
Education of Household Head Primary Junior High School Senior High School University
Household Member Household Income Constant
Fixed Effect Community (District) R-Square Observations Robust standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
DISCUSSION As discussed in the previous section, in general, this study supports the finding that there is a positive relationship between public transfers and the social activity. With the experimental approach, Attanasio et al. (2008) found a significant relationship between public transfers and social activities. Results of interviews Ressler (2008) with Kenyan society also found evidence that reinforces the public transfer of existing social networks. The results of a recent study using micro data of households also generate general conclusions about the same. In the case of some African countries, Babajanian (2012) find that public transfers are positively related to the behavior of individuals in social activities. The same findings were also reported by Hidrobo et al (2012) in the case of Latin American countries. Empirical evidence suggests that there is a positive relationship
58
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
between recipients of public transfers to community participation. This study specifically tested the effects of public transfers in the form of direct cash assistance (BLT) to some social gathering activities such as community participation, community meetings, and other cooperative activities. The results showed that the BLT households are more active in following the social gathering (arisan). The relationship between BLT and arisan is the new findings although there had been a social gathering research on behavior in Indonesia using IFLS data. In contrast to previous research, this study uses a consistent approach to isolate the entire gathering determinants either observed or not. Vanadharajan (2004) using crosssection data IFLS-2 (1997), while Lasagni and Lollo (2011) using the IFLS-3 (2000) and IFLS-4 (2007). Both of research on the social gathering in Indonesia did not anticipate the possibility that the effects of unobserved factors potentially produce biased estimator. Theoritically, the deciding factor may also come from the social gathering unobservable factors such as the absence of social sanctions (Ambec & Treich, 2003) as well as the nature of the household who tend individualistic (selfish families) or tend to socialize with people around. The nature of the household may influence the decision to attend a social gathering as well be correlated with the status of the household in obtaining public transfers. To isolate the influence of factors not observed this study uses the approach of First Difference (FD) with a combination of Fixed Effect (FE) at the community level. Test results consistently show that the BLT is positively related to social gathering activity. Several explanations can be proposed to parse BLT relationship and the arisan. Firstly, according to the findings of Geertz (1962), the arisan is done to strengthen harmony among the members of society. The results of a qualitative study conducted by Hosain et al (2012) found that the BLT to some community members are not inevitably cause social jealousy can disturb the harmony of the local community. However, social friction was only temporary and likely to be mostly vertical conflict between residents who do not receive a BLT with local authorities. Social friction does not cause a significant increase in crime as the findings of Cameron and Shah (2012). To fix the harmony among the community members, the gathering can be used as one means of strengthening social bonds were disrupted. Empirical evidence suggests that social gathering intensity remains high despite a case of mistaken targets in the BLT. Secondly, as hypothesized in the model of social pressure and Treich Ambec (2003), social gathering can be used by individuals to anticipate the social pressure of "social obligation" to share the revenue (income sharing). BLT households obtain using arisan as a medium to share with fellow citizens without having to lose some money, but must be willing to postpone consumption spending most of this time to get greater results in the future.
CONCLUSIONS Based on the calculation of the estimated model of the social impact of the public transfer can be found that there is an indication that the BLT households more actively involved in social activities. The findings of a positive correlation between BLT with arisan should not be too surprising given that the two activities are more related to cash flow. While other public participation activities such as community meetings and service projects require more physical presence so as not to be affected by the presence of cash transfers. Another important point that should be highlighted in the findings of this study is the effects of BLT on arisan activities remain significant even in case of a leakage in cash aid. Regardless of the status of the poor or non-poor households, public transfers in the form of financial injection to some extent have intensified the effect of social activities such as social gathering. Leakage cash aid has become a fact. Nevertheless, the case of leakage does not necessarily weaken social solidarity is formed. Leaks and BLT undercover case had nothing to do with the crime. Action in the form of anti-social disorder may be more relevant criminality associated with socioeconomic inequality problem more specific. RoSCAs activities can be used as a medium to strengthen community ties or bonds that were disrupted by the presence of jealousy due to the provision of public transfers that may be perceived as unfair or an error in the provision of transfer targets. The results of this study have a significant policy implication. Social capital is held by the public is undoubtedly an important element in the development of society. Social capital is also very important role in the success of government programs. Strong social bonds can reduce the turbulence caused by the transfer of administration of the target fault. In contrast, government programs in the form of public transfers are also shown to have a positive impact on the strengthening of social capital, one of them in the form of social gathering activities.
59
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
REFERENCES Ambec, S., and Treich, N., Roscas as Financial Agreements to Cope with Social Pressure, Universita Degli Studi Di Salerno, 2003. Angelucci, M., and De Giorgi, G., “Indirect Effects of an Aid Program: How do Cash Transfers Affect Ineligibles' Consumption?” American Economic Review , 2009, pp. 486 - 508. Attanasio, O., Pellerano, L., and Polania, S., Building Trust: Conditional Cash Transfers and Social Capital, The Institute for Fiscal Studies, 2008. Babajanian, B., Social Protection and Its Controbution to Social Cohesion and State Building, Bonn: Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit, 2012. Badan Pusat Statistik, Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan 2008, Jakarta: BPS, 2008. Bazzi, S., Sumarto, S., and Suharyadi, A. Evaluating Indonesia's Unconditional Cash Transfer Program, 2005-6, International Initiative for Impact Evaluation, 2012. Cameron, L., and Shah, M., Can Mistargeting Destroy Social Capital and Stimulate Crime?: Evidence from Cash Transfer Program in Indonesia, Victoria: Monash University, 2012. Cameron, L., and Shah, M., Mistargeting of Cash Transfers, Social Capital Destruction and Crime in Indonesia, Victoria: Monash University, 2011. Coady, D., Grosh, M., and Hoddinot, J. The Targeting of Transfers in Developing Countries: Review of Experience and Lesson, Washington, D. C: World Bank, 2004. Fukuyama, F., “Social Capital” in H. Lawrence E., and S. P. Huntington, Cultural Matters: How Values Shape Human Progress, New York: Basic Books, 2000, pp. 98-111 Garcia, F., Martinez, L., Santalucia, V., and Fernandez, J., Measurement of Social Capital and Gwoth: An Economic Methodology, Bilbao: Fundacion BBVA, 2006. Geertz, C., “The Rotating Credit Association: A "Middle Rung" in Development”. Economic Development and Cultural Change , 1962, Vol. 10, pp. 241-263. Grootaert, C., Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia, Washingthon: World Bank. 1999. Hidrobo, M., Hoddinott, J., Margolies, A., Moreira, V., and Peterman, A, Impact Evaluation of Cash, Food Vouchers and Food Transfers Among Colombian Refugees and Poor Ecuadorins in Carchi and Sucumbios, Washingthon, D.C: International Food Policy Research Institute, 2012. Hjoullund, L., and Svendsen, G. T., Social Capital: A Standard Method of Measurement, Aarhus: The Aarhus School of Business, 2000. Hossain, N., Brook, S., Garbariono, S., Notosusanto, S., Noor, I. R., and Seda, f., Qualitative Assessment: The Social Impacts of Cash Transfer Programmes in Indonesia, Jakarta: TNP2K, 2012. Keefer, P., and Knack, S. “Social Capital, Social Norms and the New Institutional Economics”. in C. Menard, and M. M. Shirley, Handbook of New Institutional Economics, Netherland: Springer, 2005, pp.701-725 Knack, S., and Keeper, P., “Does Social Capital Have An Economic Payoff? A Cross Country Investigation”. Quarterly Journal of Economics , 1997, pp.1251-1288. Lasagni, A., and Lollo, E., Participation in Rotating Savings and Credit Associations in Indonesia: New Empirical Evidence on Social Capital. Economia e Politica Economica, 2011. Miguel, E., Getler, P., and Levine, D. Did Industrilaization Destroy Social Capital in Indonesia? UC Barkeley, 2002. Ponthieux, S. “The Concept of Social Capital: A Critical Review”. ACN Conference, Paris: INSEE, 2004, pp. 1-23 Ressler, P., The Social Impact of Cash Trasfers. International Food Policy Research Institute, 2008 Stoffler, Q., The Impact of Unconditonal Cash Transfer Programs on Farmers: Evidence From Exante Simulations. Virginia: Department of Agricultural and Applied Economics, 2012. Stone, W., Measuring Social Capital: Towards a Theoretically Informed Measurement Framework for Researching Social Capital in Family and Community Life. Melbourne: Australian Institute of Family Studies, 2001. Torvik, G., “Social Capital and Economic Development: A Plea for Mechanisms”. Rationality and Society , 2000, pp. 451-476. Varadharajan, S., Explaining Participation in Rotating Savings and Credit Associations (RoSCAs): Evidence from Indonesia. New York: Cornell University, 2004. Weiss, J., Reaching the Poor with Poverty Projects: What is the Evidence on Social Returns? Asian Development Bank Institute, 2004.
60
Proceedings of the Australian Academy of Business and Social Sciences Conference 2014 (in partnership with The Journal of Developing Areas) ISBN 978-0-9925622-0-5
61