MASALAH KETENAGAKERJAAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL Matias Siagian
Abstract The unemployment problem in Indonesia is the product of two contradictory conditions. The first, natural resources counted the widespread land and sea. The second, field of work is limited and it is not proportional to the employee which always grow very fast. This bad condition is very sad, especially know there are many islands in Indonesia still virgin and have not touched. The unemployment problem as macro problem and the root or source of many social problems in Indonesia is not only as a contribution of the small investation but also caused of unsuitability of competency and skill of employee to qualification demanded by employee user institutions. So Indonesia need the new education development policy. Keywords: education policy, unemployment, life skill
Pendahuluan Masalah pengangguran merupakan masalah makro ketenagakerjaan. Selanjutnya masalah pengangguran berubah wujud sehingga bukan lagi sekadar masalah, melainkan menjadi akar permasalahan. Sebagai suatu akar permasalahan, maka pengangguran akan mengakibatkan kemiskinan, peningkatan angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, penodongan, bahkan pelacuran. Di samping itu pengangguran yang dialami orang tua dalam suatu keluarga sangat rentan terhadap terjunnya anak ke dunia kerja. Di Jawa Tengah saja, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) mencatat terdapat 10.477 orang anak dipekerjakan. Secara nasional, jumlah anak yang dipekerjakan bahkan mencapai setengah juta orang (Kompas, 19 September 2006: 24). Dari berbagai tayangan di televisi tentang demikian tragisnya nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada umumnya dan tenaga kerja wanita Indonesia pada khususnya terdeteksi bahwa kepergian mereka ke berbagai negara bukan merupakan pilihan utama, apalagi citacita, melainkan merupakan keterpaksaan. Pada umumnya mereka berasal dari daerah pedesaan.
Bekerja di negara lain merupakan jalan keluar terhadap permasalahan ketidakseimbangan antara luas lahan di pedesaan dengan penduduk di sana. Hal ini merupakan konsekuensi logis di mana sektor pertanian masih berada di urutan pertama penyerapan tenaga kerja di pedesaan. (Simanjuntak, 1994: 43). Pada tahun 2004 penulis dengan beberapa orang dosen FISIP USU berkunjung ke Malaysia. Selain mengunjungi beberapa Perguruan Tinggi di negeri jiran yang memang mengalami kemajuan yang teramat cepat dalam pendidikan, kami juga berkunjung ke KBRI di Kuala Lumpur. Di sana, selain melakukan seminar kecil dengan beberapa pejabat tinggi KBRI, tidak lupa kami juga mengunjungi tempat penampungan TKI bermasalah yang memang tempatnya di bagian belakang kompleks KBRI. Salah seorang TKI bermasalah dan terangkat ke permukaan melalui berbagai media adalah Nirmala Bonat. TKI asal Kupang, Nusa Tenggara Timur ini mengalami penganiayaan yang luar biasa, terutama dari majikan perempuannya di Malaysia. Melalui perbincangan dan menyaksikan sendiri, diketahui bahwa di sekujur tubuh Nirmala, termasuk di dada dan punggungnya terdapat
Matias Siagian adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU
117
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
luka bakar akibat disetrika dan mendapat siraman air panas dari majikan. Selain itu, di bagian kepalanya juga terdapat luka dan memar. Nirmala hanyalah salah seorang dari ribuan orang yang mengalami penderitaan di negeri orang. Harus diakui bahwa kisah TKI yang mendapat siksaan, dianiaya, diperkosa, ditipu, tidak dibayar gajinya, terjun dari gedung tinggi, hingga meninggal tanpa diketahui pasti penyebabnya sejak dahulu merupakan langganan berita yang ditayangkan di berbagai media massa. Berbagai pihak menunjuk keberadaan PJTKI nakal sebagai biang keladinya, di mana mereka tidak bertanggung jawab dan hanya mencari keuntungan (Kompas, 27 Juni 2004: 23). Terlepas dari tidak bertanggung jawabnya PJTKI dan tidak manusiawinya banyak majikan di negeri orang, terdapat suatu hal yang harus kita sadari sebagai suatu akar permasalahan, yakni ketidakseimbangan antara supply dan demand tenaga kerja nyata-nyata mengakibatkan tenaga kerja Indonesia, baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang bekerja di luar negeri merupakan akar permasalahan dari masalah ketenagakerjaan sebagai suatu masalah besar dan kompleks di Indonesia. Kajian ilmiah tentang penyelesaian masalah menyatakan bahwa suatu masalah hanya dapat dipecahkan secara tuntas jika penyelesaian masalah itu menyentuh substansinya. Substansi sebuah masalah adalah “akar permasalahan” itu (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas, 2004: 31). Jika kita hanya menyelesaikan masalah, berarti penyelesaian masalah yang sama tidak akan pernah tuntas, bahkan akan terjadi akumulasi masalah di masa mendatang, karena kita hanya akan menyelesaikan masalah lama, sedangkan masalah yang baru datang terus, sehingga terjadi peningkatan jumlah masalah, karena pertumbuhan masalah selalu lebih tinggi dari penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dalam penyelesaian masalah tersebut. Oleh karena itu upaya penyelesaian masalah ketenagakerjaan di Indonesia harus menyentuh substansinya, yakni pengangguran. Selagi ada ketidakseimbangan antara penawaran dengan permintaan tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, maka para pekerja tidak akan memiliki bargaining power terhadap majikan. Akibatnya, majikan, baik dalam bentuk
118
keluarga maupun perusahaan akan selalu bebas melakukan apa saja terhadap para pekerja.
Konsep-Konsep Ketenagakerjaan Sebelum kita memasuki wilayah masalah ketenagakerjaan di Indonesia, ada baiknya jika kita memahami terlebih dahulu tentang konsepkonsep yang ada dalam “ketenagakerjaan”, yang tergolong konsep-konsep makro dan umum. Bagaimanapun, dalam upaya melakukan pengukuran besarnya angkatan kerja, angka pengangguran, kesempatan kerja, maupun aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan konsep makro ketenagakerjaan, maka masalah konsep dan definisi yang dipakai perlu dipahami, karena terdapat peluang bagi perbedaan konsep dan definisi yang dianut atau dipakai di mana hal tersebut akan mengakibatkan perbedaan makna sebagai konsekuensi logis dari konsep-konsep yang berbeda tersebut. Referensi “waktu” yang dipakai untuk menilai apakah seseorang bekerja atau sedang mencari pekerjaan misalnya, akan mempengaruhi besarnya angka angkatan kerja dan reit partisipasi angkatan kerja, reit pengangguran, dan perimbangan antarsektor dari penduduk yang tergolong angkatan kerja. Angkatan kerja (labour force) merupakan konsep yang menunjukkan economically active population. Sebaliknya, yang bukan angkatan kerja adalah mereka yang tergolong noneconomically active population. Konsep man power juga menunjuk pada labour force. Konsep ini berbeda dengan konsep penduduk usia kerja, karena tidak semua penduduk usia kerja tergolong dalam konsep angkatan kerja. Penetapan usia kerja sendiri tidak lepas dari masalah-masalah, antara lain umpamanya di suatu masyarakat banyak anak yang tidak tergolong ke dalam usia kerja tetapi kenyataannya bekerja. Sebagai contoh terjunnya anak usia sekolah ke dunia kerja justru disebabkan oleh pengangguran orang tua, dengan tujuan untuk membantu keluarga. Sementara mungkin banyak orang yang tergolong usia pensiun, akan tetapi masih bekerja. Dalam perkembangan terminologi ketenagakerjaan di Indonesia antara lain istilah buruh yang diupayakan diganti dengan istilah pekerja. Hal ini sebagaimana diusulkan oleh
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
Pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja pada saat Kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) Ke-2 Tahun 1985. Alasan Pemerintah menggunakan istilah pekerja dan meninggalkan istilah buruh adalah karena istilah buruh dianggap kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Istilah buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain, yakni majikan. Perubahan istilah ini memang sangat logis, namun jika perubahan istilah tersebut tidak diikuti dengan perubahan nasib, kebijakan, dan keberpihakan pemerintah terhadap buruh, maka perubahan istilah tersebut sesunguhnya tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada Ayat (1) Pasal 3 Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di luar maupun di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah”. Dari pengertian pekerja tersebut jelaslah bahwa hanya angkatan kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut sebagai pekerja. Di sisi lain, untuk jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan UndangUndang No. 3 Tahun 1992, maka pengertian “pekerja” diperluas, sehingga di dalamnya termasuk: 1) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun yang tidak; 2) Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; 3) Nara pidana yang dipekerjakan di Perusahaan (Husni, 2001: 23) Reit Partisipasi Angkatan Kerja dapat dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja per 100 penduduk usia kerja. Dalam hal ini, usia kerja dapat didefinisikan sebagai penduduk yang berusia 10 – 64 tahun. Selanjutnya Reit Partisipasi Angkatan Kerja dapat juga dihitung untuk tiap golongan umur dan jenis kelamin. Misalnya, untuk penduduk laki-laki, golongan umur 15 – 19 tahun. Di era modern, Reit Partisipasi Angkatan Kerja umumnya rendah pada usia muda dan tua. Masalahnya, sesuai dengan hak-hak anak, maka sebagian mereka yang berusia muda masih bersekolah, sementara sebagian mereka yang
berusia tua tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Biasanya Reit Partisipasi Angkatan Kerja untuk penduduk perempuan lebih rendah dari penduduk laki-laki. Hal ini terlihat dari hasil Sensus Penduduk 2001. Dengan demikian dapatlah kita ketahui bahwa Reit Partisipasi Angkatan Kerja merupakan hasil perbandingan antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja. Sebaliknya Reit Pengangguran hanya mempersoalkan komponen-komponen angkatan kerja, yaitu yang bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Reit Pengangguran dapat didefinisikan sebagai jumlah penganggur per 100 orang yang tergolong angkatan kerja. Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk, dapat diketahui jumlah penduduk yang bekerja biasanya dipandang sebagai fenomena yang mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada. Dalam pengertian ini maka “kesempatan kerja” bukanlah “lapangan pekerjaan yang masih terbuka”, walaupun komponen yang terakhir ini akan menambah kesempatan kerja yang ada di masa mendatang. Memang dalam suatu waktu “lapangan pekerjaan yang masih terbuka” cukup banyak, sementara jumlah pencari kerja (penganggur) banyak pula. Hal ini dapat terjadi karena kurang baiknya distribusi “lapangan pekerjaan yang masih terbuka” yang mana hal seperti ini bertalian pada penyebaran penduduk yang tidak merata, atau karena alasan yang justru dominan saat ini, di mana keterampilan yang dituntut oleh pengguna angkatan kerja justru tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki para penganggur atau para pencari pekerjaan. Pada kenyataannya tidak semua negara melalui pemerintah mampu menyediakan kesempatan kerja atau lapangan kerja bagi semua angkatan kerja yang ada di negara tersebut. Akibatnya, migrasi tenaga kerja dari satu negara ke negara lain menjadi alternatif menarik. Di era perdagangan bebas ini tentu terjadi tingkat kebebasan yang lebih nyata yang didukung oleh sarana dan prasarana transformasi, komunikasi, dan informasi yang makin lancar dan canggih. Dengan demikian, migrasi tenaga kerja Indonesia, misalnya terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan dalam rangka memperoleh kesempatan di bidang ekonomi pada umumnya dan pekerjaan pada khususnya. Sebagai respons masyarakat terhadap sulit bahkan tertutupnya memperoleh 119
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
pekerjaan di dalam negeri, maka banyak di antara angkatan kerja menyadari tekanan yang nyata, sehingga melakukan migrasi ke negara yang menjanjikan adanya kesempatan kerja bagi mereka dengan kesejahteraan yang baik pula. Pada umumnya migrasi tenaga kerja diawali dengan migrasi intern negara, dalam arti perpindahan angkatan kerja dari suatu daerah ke daerah yang kelebihan tenaga kerja dan berpenghasilan rendah menuju daerah yang kekurangan tenaga kerja dan dapat menawarkan upah yang lebih tinggi dari daerah asal (Bandiono, dalam Arief, 1999: 8). Dalam arti luas, migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Dalam hal ini tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yakni apakah tindakan itu bersifat suka rela atau terpaksa. Juga tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Stahl membedakan manfaat migrasi internasional pada tingkat negara dan perusahaan pemakai tenaga kerja. Pada tingkat negara, migrasi internasional berpotensi untuk: 1) mengurangi pengangguran negara pengirim jasa tenaga kerja; 2) sumber devisa bagi negara pengirim tenaga kerja; 3) meningkatkan keterampilan bagi tenaga kerja, karena di samping memperoleh upah tentu juga memperoleh pengalaman kerja yang akan menjadikan mereka lebih terampil; 4) memperbaiki kesejahteraan material melalui peningkatan pendapatan per kapita. Sementara jika kita lakukan analisis yang sama di tingkat perusahaan, maka pekerja asing memungkinkan: 1) perusahaan merealisasi economics of scale, hal ini merupakan akibat kurangnya tenaga kerja di negara tempat di mana perusahaan itu berada atau kurangnya tenaga kerja terampil sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan yang bersumber dari angkatan kerja negara di mana perusahaan itu berada; 2) mencegah inflasi upah pada industri-industri yang mengalami kekurangan tenaga kerja, hal ini merupakan konsekuensi logis di mana jika permintaan tenaga kerja lebih besar dari penawaran tenaga kerja akan mengakibatkan peningkatan bargaining power bagi tenaga kerja sehingga mereka akan menuntut peningkatan upah; 3) memungkinkan investasi dengan menjamin bahwa suatu fasilitas dapat dijalankan oleh staf yang memadai, hal ini merupakan tuntutan kualifikasi spesifik tenaga kerja yang 120
dibutuhkan oleh suatu perusahaan dalam proses produksi barang maupun jasa; 4) memungkinkan negara-negara untuk menyesuaikan suplai tenaga kerja sesuai dengan dinamika kegiatan ekonomi, hal ini merupakan dampak dari fakta di mana pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan pertumbuhan investasi tidak selalu sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja di negara tersebut; dan 5) menyediakan labor services tanpa membiayai pembentukan human capital yang diperlukan, hal ini merupakan akibat kedatangan tenaga kerja terampil yang berasal dari negara lain, sehingga negara tersebut tidak perlu melakukan upaya besar untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang ada di negaranya.
Permasalahan Tenaga Kerja Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak akhir tahun 1997 melahirkan akibat negatif terhadap perekonomian nasional pada umumnya dan kesempatan kerja pada khususnya. Di samping itu dalam jangka panjang Indonesia mengalami instabilitas dalam bidang ekonomi. Kondisi negatif ini antara lain dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang defisit sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto. Kondisi mana menuntut Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang minimal mencapai 6 persen. Hal ini merupakan tuntutan, di mana pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya jawaban terhadap pengangguran yang angkanya makin membengkak, dan juga pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang tetap tinggi. Indonesia dituntut mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar dapat menyerap tenaga kerja yang sebesar-besarnya. Sebelum Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multidimensi, pengangguran sudah merupakan masalah besar nasional. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia justru mengakibatkan masalah pengangguran tersebut makin parah. Pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2003 misalnya hanya 3,3 persen, sementara setiap satu persen PDB hanya mampu menyerap 400 ribu tenaga kerja. Dengan demikian maka pada tahun 2003 tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,6 juta orang. Padahal setiap tahun pertumbuhan angkatan kerja Indonesia mencapai 3 persen. Tingginya jumlah
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
pengangguran ini merupakan masalah lintas sektoral, yang berarti bahwa semua departemen dan kementerian semestinyalah ikut bertanggung jawab untuk mengurangi jumlah pengangguran (Waspada, 29 April 2003: 12). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) misalnya memperkirakan, bahwa dalam lima tahun ke depan gambaran soal angka pengangguran di Indonesia masih menunjukkan kondisi yang sangat suram. Disebut sangat suram, karena tidak akan tersedianya lapangan kerja yang cukup untuk angkatan kerja yang ada. Tahun 2004 angkatan kerja akan mencapai 102,88 juta orang, termasuk di dalamnya angkatan kerja baru berjumlah 2,10 juta orang. Tambahan lapangan kerja yang tercipta hanya 10,83 juta orang. Hal ini berarti bahwa penciptaan lapangan kerja tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru, sehingga mengakibatkan angka pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat manjadi 10,83 juta orang, atau mencapai 10,32 persen dari angkatan kerja yang ada. Peningkatan angka pengangguran terbuka ini terus berlanjut hingga tahun 2005, di mana angka pengangguran mencapai 11,19 juta orang atau 10,45 persen dari angkatan kerja yang ada. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2004 dan 2005 masing-masing 4,49 persen dan 5,03 persen, sehingga lapangan kerja yang tercipta hanya untuk 1,75 juta orang (Djimanto, Suara Merdeka, 12 Januari 2004). Untuk membuka cakrawala kita terhadap permasalahan tenaga kerja ini, ada baiknya kita ketahui distribusi tenaga kerja berdasarkan sektor di mana dia bekerja. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2000, sektor pertanian masih tetap dominan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia, mencapai 40 juta orang lebih atau sekitar 45,3 % dari jumlah tenaga kerja yang bekerja hampir 90 juta orang. Di bawah ini data jumlah pekerja menurut sektor ekonomi tahun 2000.
Tabel 1. Distribusi Pekerja Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000 No
Sektor
1 2 3 4
Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel/ Restoran Angkutan, Komunikasi Keuangan, Asuransi, Persewaan Jasa Kemasyarakatan Lainnya
5 6 7 8
Jumlah
Jumlah 40.676.713 11.641.756 3.497.232 18.498.005 4.553.855 882.600 9.574.009 522.560 89.837.730
Sumber: BPS, Sakernas 2000
Berdasarkan tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sektor pertanian merupakan jumlah paling dominan. Kondisi mana tentu sangat kontradiktif dengan fakta yang ada di mana lahan yang tersedia justru menurun luasnya sebagai akibat dari pembangunan perumahan, perkantoran, sarana olah raga seperti lapangan golf, sepakbola, dan lain-lain. Di sisi lain terjadi pertumbuhan angkatan kerja, yang rata-rata 3% per tahun. Dominannya sektor pertanian dalam menampung tenaga kerja sebenarnya bukanlah karena sektor pertanian ini masih memiliki pesona bagi penduduk. Kondisi seperti ini terjadi karena pada umumnya penduduk usia kerja hanya memiliki kemampuan untuk bekerja di sektor pertanian, di mana sektor ini tidak menuntut kualifikasi yang ketat dibandingkan dengan sektor lain, seperti sektor industri dan jasa. Bahkan kondisi di atas juga bertentangan dengan kondisi nyata saat ini, di mana terjadi arus urbanisasi yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sesunguhnya rasio lahan dengan jumlah penduduk di daerah pedesaan sudah makin mengkhawatirkan. Akibatnya, masalah pengangguran tak kentara di sektor pertanian sudah makin tinggi. Kondisi ini menimbulkan proses pembagian kemiskinan di antara orang-orang miskin demi menjunjung tinggi satu semboyan, “solidaritas”. Di sisi lain, pemerintah sepertinya belum memiliki political will yang baik bagi para petani. Unjuk rasa petani dan organisasi yang memberi perhatian pada nasib petani merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi, karena seringnya kebijakan
121
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
pemerintah tidak sesuai dengan kepentingan para petani, sebagai bukti bahwa pemerintah belum berpihak pada petani yang justru merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini antara lain terlihat dari, kebijakan impor beras, kebijakan pupuk yang justru sering mencekik leher para petani. Di samping itu seringnya KUD hanya berupa plang nama. Sebagai contoh, pemerintah belum memiliki sikap yang benar-benar konsekuen dalam menampung produk pertanian dengan tingkat harga yang menjamin kesejahteraan petani itu sendiri. Dengan demikian pidato para pejabat yang sering mengesankan sesungguhnya hanya lipstik politik yang tidak berdampak apapun bagi petani. Pengangguran yang tinggi akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi. Dilihat dari segi sosial, pengangguran dapat menimbulkan dampak negatif. Diperkirakan 90 persen angka kejahatan atau tindakan kriminal dilakukan oleh para penganggur. Tindakan kriminal tersebut antara lain pemerkosaan, pencurian, pengrusakan, pembunuhan, dan juga tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan lainnya. Tindakantindakan kriminal ini dilakukan oleh para penganggur, karena kegiatannya tidak ada sehingga memiliki waktu senggang yang sangat lama, sehingga berpeluang untuk diisi dengan kegiatan yang negatif. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat. Jika dilihat dari sisi ekonomi, maka pengangguran dapat merugikan diri sendiri dan keluarga. Artinya, si penganggur akan menjadi tanggungan dari anggota keluarga yang bekerja (angka ketergantungan) dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengangguran dalam jangka waktu yang lama juga akan mengakibatkan keterampilan kerja yag dimiliki seseorang lama kelamaan akan berkurang atau bahkan hilang, sehingga tidak dapat lagi mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya jika akan bekerja, sebelum akhirnya ia dipecat dan menjadi pengangguran. Di samping itu, kepercayaan diri si penganggur akan hilang dan akan timbul rasa malas dan pesimis untuk mencari pekerjaan lagi (Sukirno, 1991: 173). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan fenomena yang sering terjadi sejak Indonesia mengalami krisis multidimensi. Pemutusan Hubungan Kerja tentu akan menambah jumlah atau angka pengangguran di 122
Indonesia. Menurut data di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, selama 2004 telah menyelesaikan 508 kasus Pemutusan Hubungan Kerja. Pemutusan Hubungan Kerja tersebut melibatkan 756 tenaga kerja serta 12 kasus merupakan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), dengan tuntutan yang bersifat nonnormatif, seperti bantuan uang makan, dan bantuan uang transport. Sementara itu tuntutan nonnormatif yang muncul dan terdeteksi tahun 2003 secara umum telah dapat diselesaikan secara tripatrit di tingkat perantaraan oleh pegawai perantara Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyelesaian kasus PHK dan PHI dilakukan melalui Lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) Sumatera Utara, yang terdiri dari unsur Pemerintah, Pengusaha, dan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh (SIB, 3 Mei 2003: 9). Jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja selama 2003 meningkat sekitar 4.486 kasus, yang meliputi 135.421 tenaga kerja. Sedangkan tahun sebelumnya sebanyak 3.806 kasus, yang meliputi 101.127 tenaga kerja. Dalam hal ini terjadi kenaikan sebesar 18 persen kasus PHK dan 34 persen pada jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kasus tersebut. Jumlah tersebut tentu belum termasuk pada kasus dan jumlah pekerja yang ter-PHK, yang tidak melaporkan diri ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Buruknya rasio antara angkatan kerja dan lapangan kerja mengakibatkan mencari pekerjaan ke negara lain merupakan alternatif yang mau tidak mau harus ditempuh, meskipun dengan risiko yang amat berat. Fakta mana mengundang berbagai pihak untuk memanfaatkan kondisi buruk perekonomian Indonesia untuk kepentingan diri sendiri, dengan tidak memperhatikan nasib orang lain. Pihak yang sering memanfaatkan kondisi tersebut adalah para calo tenaga kerja ke luar negeri yang berlomba-lomba merekrut calon tenaga kerja, terutama tenaga kerja wanita ke desa-desa yang dianggap minim informasi. Para calo ini mengiming-imingi gaji yang tinggi sebagai perbedaan utama antara bekerja di negara lain dengan bekerja di negeri sendiri. Para calo tenaga kerja ini mengutamakan tenaga kerja yang minus keterampilan, di mana mereka akan ditempatkan sebagai PRT. Ketidakseimbangan antara luas lahan pertanian dengan penduduk di daerah pedesaan menjadikan informasi dari para calo TKI sebagai berita yang sangat menarik. Karena
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
desakan ekonomi maka pencari kerja wanita mau saja menerima t a w a r a n p a r a c a l o T K I , t a n p a mempertimbangkan risiko yang ada. Misalnya, mereka yang berstatus ibu rumah tangga dan memiliki suami juga terpaksa tergiur dengan tingkat gaji yang dijanjikan para calo TKI. Kemampuan para calo dalam memikat calon TKI justru tidak diimbangi dengan profesionalisme mereka dalam mengelola pengiriman jasa TKI, khususnya dalam penempatan TKI ke luar negeri. Setidaknya dari sekitar 412 Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang ada hanya sekitar 20% yang dinilai profesional. (www.jurnalindonesia.com). Ketidakprofesionalan PJTKI sangat merugikan TKI, karena potensi permasalahan tergolong sangat tinggi. Calon TKI yang seharusnya dibekali dengan pelatihan yang memadai sesuai dengan bidang pekerjaan yang akan dilakoni ternyata tidak dilakukan, atau jika dilakukan hanya sekedar, tidak dilakukan secara profesional sebagaimana mestinya. Di samping itu kendala bahasa juga tidak mendapat perhatian atau diabaikan sama sekali sehingga sering terjadi permasalahan dari segi bahasa antara TKI dengan majikan. Padahal biaya untuk pelatihan sudah dikeluarkan oleh para TKI itu sendiri. Akibat tidak profesionalnya PJTKI pada umumnya TKI di negara lain bekerja di sektor informal, seperti PRT atau menjadi buruh perkebunan atau buruh bangunan. Dalam kondisi seperti ini maka upah yang diterima masih berada di bawah upah tenaga kerja asing yang berasal dari negara lain. Hal ini terjadi karena kualitas yang dimiliki jauh di bawah kualitas yang dibutuhkan sektor formal dan pekerjaan yang menuntut keterampilan. Dengan kata lain, kualitas TKI masih berada di bawah kualitas tenaga kerja yang berasal dari negara lain. Hasil survei yang dilakukan suatu lembaga internasional terhadap kualitas tenaga kerja yang berasal dari 12 negara di Asia menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja asal Indonesia menempati urutan terbawah. Permasalahan lain yang sering menimpa TKI di negara lain adalah banyaknya TKI yang berstatus ilegal. Hal ini antara lain disebabkan ketidaksesuaian visa, misalny a mereka berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, bukan visa untuk bekerja. Hal ini antara lain terjadi karena TKI yang umumnya direkrut dari pedesaan tidak memiliki
pengetahuan tentang visa. Minimny a pengetahuan tentang visa ini juga merupakan indikator rendahnya pengetahuan TKI. Kondisi ini justru dimanfaatkan para calo TKI, karena mereka juga akan mendapat bagian dari majikan atau perusahaan tempat di mana TKI tersebut nantinya bekerja. Permasalahan lain yang sering terjadi bahwa TKI ternyata ditipu oleh calo tenaga kerja yang sering gentayangan di desa-desa. Mereka tertipu tentang jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Contoh, menurut perjanjian, mereka akan ditempatkan bekerja di Perusahaan A, ternyata sesampai di negara tempat bekerja, mereka justru ditempatkan di Perusahaan B. Atau mereka dijanjikan akan bekerja di sebuah pabrik elektronik, namun kenyataannya mereka justru ditempatkan di rumah penduduk di negeri jiran sebagai PRT. Hal ini sengaja dilakukan, karena saat melakukan prospek, calon TKI menyatakan ingin bekerja di sektor industri, bukan sebagai PRT. Namun agar calon TKI mau diberangkatkan, maka calo TKI melakukan penipuan, dengan tujuan: “pokoknya calon TKI mau berangkat ke negeri jiran.” Jika perbedaan yang ada hanya dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya atau dari sektor industri ke sektor informal seperti menjadi PRT tidak apalah, meskipun sesungguhnya hal semacam ini sudah merupakan masalah yang cukup besar. Namun masih banyak TKI yang mengalami nasib yang sangat tragis atau jauh lebih buruk lagi. Misalnya, sebelumnya para calo TKI menjanjikan akan menempatkan mereka di sebuah perusahaan elektronik, ternyata mereka dipaksa bekerja di sektor hiburan, bahkan mereka dipaksa menjadi pekerja seks komersial. Hal ini antara lain pernah dialami seorang wanita muda yang justru memiliki pendidikan akademi atau perguruan tinggi. Dirinya masuk ke dalam jebakan sindikat penjualan manusia untuk diterjunkan ke dunia maksiat. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Era Kabinet Gotong Royong, Jacob Nuwa Wea menemukan 10 TKI wanita yang ditempatkan secara ilegal oleh PJTKI yang justru memiliki Surat Ijin Usaha Penempatan resmi. Mukminah adalah salah seorang di antara 10 orang TKI yang sudah berada di Bandara Internasional Dubai selama dua hari. Hingga keberangkatannya, mereka ternyata tidak dilatih sama sekali oleh PJTKI. Mereka h a n y a ditampung untuk kemudian 123
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
diberangkatkan ke UEA. Anehnya tidak ada laporan ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun ke KBRI di Dubai perihal pemberangkatan TKI ini. Akibatnya, pendidikan dan pengetahuan yang sangat rendah, kemudian dikirim tanpa melalui pelatihan, mengakibatkan mereka mendapat p e n o l a k a n dari m a j i k a n . (www.suaramerdeka.com) Dengan status tenaga kerja ilegal jelas mengakibatkan nilai tawar TKI terhadap majikan atau perusahaan mereka bekerja sangat rendah, jika tidak dikatakan nol sama sekali. Hal ini juga akan berdampak negatif jika TKI ilegal tersebut mengalami nasib atau perlakuan yang tidak wajar dari majikan. Misalnya, upah yang mereka terima tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelum berangkat, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pengguna atau pemberi pekerjaan tidak dapat terpantau, terjadi pelecehan terutama pada TKI wanita oleh majikan, perlindungan hukum terhadap mereka tidak mungkin dilakukan karena memang keberadaan mereka tidak terpantau. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang menimpa mereka. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sedikitnya 76 orang TKI wanita yang bekerja di negeri jiran justru tewas. Di samping itu terdapat banyak TKI wanita yang mengalami pelecehan seksual maupun penganiayaan. Kondisi seperti ini dialami TKI wanita di berbagai negara, seperti di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Harus diakui bahwa masalah TKI di Indonesia dapat dirincikan menjadi tujuh masalah, seperti: 1) rendahnya kualitas sistem pelatihan yang diterapkan PJTKI; 2) pemalsuan dokumen; 3) penipuan yang dilakukan sejak rekruitmen; 4) penempatan yang ilegal; 5) minimnya perlindungan hukum yang dilakukan negara melalui KBRI; 6) perjanjian kerja yang tidak selesai; 7) pemerasan serta kekerasan pascapenempatan. Ketujuh masalah ini merupakan faktor penghambat bagi pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menjadikan program penempatan TKI sebagai industri tenaga kerja yang modern. (Wea, Gatra, 31 Januari 2003). Permasalahan di atas antara lain terjadi karena jumlah TKI yang diikutsertakan PJTKI dalam program perlindungan sejak mereka melakukan rekruitmen dan selama mereka bekerja di luar negeri masih sangat rendah. Hal ini diakibatkan karena PJTKI hanya berorientasi 124
pada kuantitas pengiriman yang mana hal ini berkorelasi positif dengan keuntungan yang mereka peroleh. Dengan demikian, mereka tidak perduli pada proses atau tahap-tahap yang harus dilalui dan dilakukan bagi calon TKI sebelum mereka dikirim ke negara tujuan. Pada umumnya PJTKI menyadari perlunya program perlindungan bagi TKI setelah tenaga kerja yang mereka kirim terkait dengan masalah di negara tempat mereka bekerja. Ada juga PJTKI yang baru menyadari perlunya perlindungan tersebut setelah perusahaan mereka mendapat teguran dari pemerintah, atau bahkan setelah perusahaan mereka mendapat sanksi dari pemerintah. Masalah ketenagakerjaan lainnya adalah kasus tentang pekerja anak. Masa kanak-kanak seharusnya digunakan untuk bermain dan sekolah sehingga suatu ketika dapat melakukan aktivitas ekonomi, sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Di samping itu, masa kanakkanak seharusnya digunakan untuk memperoleh perlindungan dan belaian kasih sayang oleh orang tua. (Purwoko, et al., 1997: 1). Namun fakta menyatakan demikian banyaknya anakanak yang tidak dapat menikmati masa kanakkanak secara ideal sebagaimana dirumuskan. Banyak di antara anak-anak yang ternyata terjun ke dunia kerja atau diharuskan bekerja oleh orang tua dan kondisi yang dialami. Dewasa ini jutaan anak-anak terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan. Mereka yang seharusnya berada di bangku sekolah terpaksa harus meninggalkan sekolah dan akhirnya terlibat dalam bekerja, seperti menjadi buruh, anak jalanan, pemulung, dan berbagai pekerjaan lainnya. Masalah keterlibatan anak bekerja merupakan fenomena global di berbagai negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia, fenomena anak bekerja bukanlah suatu keanehan. Di berbagai sektor ekonomi, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di sektor formal (anak yang bekerja di pabrik) maupun sektor informal (anak bekerja tidak dalam struktur atau hubungan proses produksi di pabrik). Artinya, pekerja anak merupakan fenomena yang sangat mudah untuk ditemukan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia. Harus diakui, bahwa kondisi yang sangat tidak layak yang harus dihadapi oleh anak-anak Indonesia merupakan fakta yang menyedihkan. Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak kunjung baik secara signifikan mengakibatkan
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
kondisi, di mana jumlah anak yang bekerja justru makin meningkat. Dengan alasan kemiskinan, anak-anak yang seharusnya menikmati masa belajar harus drop out dan berperan sebagai buruh, anak jalanan, pemulung. Dalih seperti ini sepertinya sudah mendapat justifikasi bagi anak-anak untuk dipekerjakan. Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan seorang anak terjun ke dunia kerja. Pertama, adalah faktor kemiskinan. Hal ini berarti, kondisi ekonomi keluarga yang buruk, dalam arti tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga mengakibatkan anak harus ikut menjadi pelaku ekonomi. Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi di mana pendapatan orang tua yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga anak harus ikut membantu ekonomi keluarga dengan cara bekerja. Kedua, faktor lingkungan juga sangat menentukan peningkatan jumlah anak yang bekerja. Hal ini antara lain disebabkan, bahwa di lingkungan tempat tinggal si anak ternyata sudah banyak anak-anak yang terjun ke dunia kerja. Akibatnya, masalah anak terjun ke dunia kerja bukan lagi dianggap sebagai suatu poersoalan, bahkan sekan-akan hal itu sudah lumrah dan dapat diterima masyarakat sekitar. Di samping itu, banyaknya anak-anak yang sudah terjun ke dunia kerja mengakibatkan banyak anak-anak yang mendapat pengaruh dan bujukan dari anak-anak sebayanya yang sudah bekerja. Hal ini sering disebabkan majikan mereka memotivasi pekerja anak untuk mengajak teman mereka bekerja. Bagi pengusaha pekerja anak sering dianggap alternatif terbaik, karena di samping upah yang rendah juga dapat dieksploitasi demi kepentingan perusahaan. Hal ini terjadi karena si anak belum memahami hak-haknya sebagai seorang pekerja. Ketiga, faktor rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat membawa masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Harus diakui bahwa antara kemiskinan dan pendidikan terdapat hubungan timbal balik. Kemiskinan dapat merupakan akibat pendidikan yang rendah, di mana pendidikan yang rendah akan mengakibatkan keterampilan juga rendah. Akibatnya produktivitas dan prestasi kerja akan rendah, di mana kedua faktor yang disebut terakhir akan mengakibatkan pendapatan rendah, dan akhirnya pendapatan yang rendah
akan mengakibatkan kemiskinan. Sebaliknya, kemiskinan pasti mengakibatkan ketidakmampuan masy arakat untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Harus diakui, pendidikan yang memadai masih merupakan barang mahal di Indonesia, sehingga untuk memperoleh tingkat pendidikan yang tinggi dan berkualitas dibutuhkan pengorbanan ekonomi yang signifikan. Sisi lain yang perlu dikaji sehubungan dengan masalah pekerja anak adalah permasalahan-permasalahan yang dialami anakanak Indonesia, yang mana masalah ini menjadi katalisator terjunnya anak-anak Indonesia ke dunia kerja. Adapun permasalahan tersebut adalah: 1) kemiskinan dan kerawanan sosial ekonomi yang mengakibatkan anak mengalami kekurangan gizi (kalori, yodium, vitamin, dan lain-lain), busung lapar, dan terhambatnya perkembangan psikologis anak; 2) keterlantaran yang mengakibatkan kirang/tidak terpenuhinya dan tidak terjaminnya kebutuhan dasar anak sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak mengalami gangguan; 3) perlakuan salah atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, anggota keluarga, dan masyarakat; 4) eksploitasi ekonomi dalam dunia kerja yang dilakukan oleh orang dewasa seperti eksploitasi anak-anak oleh orang tua/keluarga/masyarakat sebagai sumber penghasilan dengan tidak melindungi hak-hak anak (seperti: disuruh mengemis, dijual, dijadikan sumber bisnis keluarga secara tidak wajar atau secara berlebihan); 5) perlakuan diskriminastif, seperti perbedaan gender, agama, warna kulit, etnis, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya; 6) berada dalam situasi krisis dan membahayakan kelangsungan hidup anak serta hak-haknya rawan, tidak terlindungi, seperti: berada terus-menerus di jalanan, adanya kerusuhan sosial, tindak kejahatan, perang antarsuku, perang antarnegara, dan sebagainya; 7) berada dalam lingkungan yang tidak layak huni baik secara fisik maupun sosial, seperti daerah permukiman kumuh, daerah permukiman tuna sosial, daerah yang terisolasi/terasing, dan sebagainya; 8) mengalami cacat fisik dan mental, yang dialami sejak lahir atau karena kecelakaan (cacat bawaan dan cacat bukan bawaan); 9) berada dalam situasi keluarga retak atau pecah (disorganisasi keluarga); dan 10) berada dalam lingkungan keluarga yang mengalami masalah sosial psikologis; keluarga yang mengalami aib, dampak dari pandemik 125
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
(HIV/AIDS), penyakit mental (jiwa), depresi, dan bunuh diri. Selain masalah pengangguran, masalah ketenagakerjaan di Indonesia juga masih banyak. Salah satu di antaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja sebagai dampak dari rendahnya upah. Pemerintah telah melakukan intervensi dalam sistem pengupahan, yakni dengan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Ada dua permasalahan tentang UMP ini. Pertama, banyak pihak yang berpendapat bahwa UMP terlalu rendah, sehingga belum mampu menjadikan hidup pekerja secara layak. Sebagai contoh, UMP yang hanya Rp 650.000,- mungkin hanya cukup untuk satu orang atau si pekerja. Bagaimana jika si pekerja sudah berkeluarga atau memiliki istri dan anak-anak? Dalam penetapan pengupahan, ternyata pemerintah lebih mendengar aspirasi para pengusaha daripada aspirasi pekerja, sehingga para pekerja merasa tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Di samping itu, walaupun UMP dianggap masih terlalu rendah, justru masih banyak perusahaan yang belum menerapkan UMP. Artinya, masih banyak perusahaan yang memberlakukan upah yang lebih rendah daripada UMP. Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan. Jika dengan upah menurut UMP pekerja dan keluarganya belum mampu menikmati hidup yang layak, bagaimana pula jika upah yang mereka terima justru lebih kecil dari UMP? Penyediaan lapangan kerja dan kesejahteraan buruh sesungguhnya merupakan tangung jawab konstitusional negara melalui Pemerintah. Oleh karena itu tingginya angka pengangguran dan rendahnya kesejahteraan buruh merupakan bukti sah, bahwa pemerintah negara itu lemah dan tidak mampu menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya. Tanggung jawab negara melalui pemerintah akan ketersediaan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja merupakan konsekuensi logis dari keberadaan negara kita yang tergolong ke dalam welfare state. Konsep welfare state menegaskan, bahwa negara bukan hanya bertanggung jawab atas ketertiban dan keteraturan masyarakatnya, melainkan juga harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Secara konstitusional hal ini ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan salah satu tujuan nasional, yakni “memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini 126
kemudian dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, yakni Pasal 27 Ayat (2) yang menegaskan: bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Justru tanggung jawab konstitusional ini ternyata belum disadari dengan sungguhsungguh oleh pemerintah.
Kebijakan Pendidikan Jika kita berhenti pada kondisi ekonomi negara yang belum mengalami perbaikan yang cukup berarti, terutama jika dikaitkan dengan kemampuan menampung tenaga kerja sesuai dengan pertumbuhan angkatan kerja yang masih tinggi, kita akan bersikap pesimis dalam rangka melakukan perbaikan, khususnya dalam menyediakan lapangan kerja yang dapat memenuhi penawaran tenaga kerja yang tinggi. Jika kita ingin menjadikan bumi Indonesia bersahabat dengan manusia Indonesia sebagai penghuninya, kita harus melihat sisi positif yang masih dimiliki Indonesia sebagai negara besar. Melalui cara berpikir seperti ini diharapkan wilayah Indonesia yang terbentang amat luas dan benar-benar memiliki daya dukung terhadap komunitasnya sehingga tenaga kerja Indonesia tidak harus bersusah payah mencari pekerjaan ke berbagai negara yang sering hanya memperoleh penderitaan. Permasalahan yang akut dalam ketenagakerjaan Indonesia adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Masalah kualitas sumber daya manusia harus dihadapi dan dicari solusi terbaik. Untuk itu, pendekatan melalui teori human capital mungkin sangat tepat dilakukan. Melalui pendekatan teori human capital, maka dibangun suatu paradigma baru, bahwa investasi dapat dilakukan bukan hanya dalam bidang usaha seperti yang biasa dikenal, akan tetapi juga dapat dilakukan dalam bidang sumber daya manusia. Prinsip investasi di bidang usaha adalah mengorbankan konsumsi pada saat investasi dilakukan dalam upaya memperoleh tingkat konsumsi di masa mendatang. Sama halnya dengan investasi di bidang usaha tersebut, maka investasi di bidang sumber daya manusia adalah dengan mengorbankan sejumlah dana yang akan dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi berlangsung. Melalui investasi di bidang sumber daya manusia akan diperoleh
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
hasil sebagai imbalannya adalah berupa tingkat penghasilan yang lebih tinggi dalam upaya memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi pula di masa mendatang. Hal yang sangat perlu dipahami bahwa pengorbanan di awal akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertambahan nilai di masa mendatang, sehingga investasi di bidang sumber daya manusia tidak akan pernah mengalami kerugian. Investasi yang demikian ini dinamakan dengan human capital. Penerapan investasi human capital adalah dalam hal 1) pendidikan dan latihan; 2) migrasi; dan 3) perbaikan gizi dan kesehatan. Pendidikan dan latihan merupakan faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan bukan saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian akan berakibat pada peningkatan produktivitas kerja di masa mendatang. Walaupun sistem pendidikan sudah dikenal sejak dahulu, namun sering kali sistem pendidikan di suatu negara ternyata belum mendukung sepenuhnya human capital. Hal ini sangat menonjol di Indonesia, sebagai suatu masalah yang berkepanjangan. Lemahnya sistem pendidikan di Indonesia antara lain terlihat dari perubahan kurikulum, perubahan konsep, di mana perubahan tersebut sangat tergantung pada pergantian pejabat di jajaran departemen yang mengelola pendidikan. Bahkan nama departemennya pun berubah, tanpa ada hasil perubahan yang dapat dirasakan. Sekalipun sistem pendidikan sudah ada sejak dahulu, namun barulah dua puluh tahun terakhir ini ada kesadaran tentang hubungan langsung antara sistem pendidikan dengan segala perangkatnya dengan perekonomian nasional maupun perekonomian mikro. Hal ini antara lain dengan adanya temuan hasil penelitian tentang adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk dengan kondisi ekonomi negaranya. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat, maka perekonomian negara pun akan semakin meningkat pula. Hanya saja kita tidak boleh perpijak hanya pada aspek formalitas. Jika kita hanya berpijak pada aspek formalitas, maka kita akan terjebak dengan angka-angka yang dapat mengakibatkan kita kecewa, bahwa tingkat pendidikan masyarakat Indonesia sesungguhnya meningkat sangat tajam. Hal ini dapat
disimpulkan jika kita hanya berpijak pada aspek formalitasnya saja, yakni dari segi izajah yang dimiliki masyarakat. Mengapa kita harus hati-hati? Setidaknya ada dua hal yang dapat menjebak kita dalam menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dan kondisi perekonomian makro dan mikro seperti telah dikemukakan di atas. Pertama, sistem pendidikan yang ada ternyata belum mampu memberi garansi akan adanya link dan match. Dengan kata lain, jurusan, program studi, bahkan kurikulum yang dimiliki antara lain bersifat statis, sementara tuntutan kualifikasi tenaga kerja oleh institusi pengguna tenaga kerja sangat dinamis. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari arus globalisasi, di mana secara geografis menjadikan Indonesia harus ikut arus globalisasi tersebut. Ketidaksesuaian antara jurusan, program studi, dan kurikulum yang dikembangkan dan diterapklan oleh lembaga pendidikan mengakibatkan adanya kontraversi angka-angka ketenagakerjaan di Indonesia. Adapun kontraversi ini antara lain, di satu sisi iklan lowongan kerja di berbagai media massa di Indonesia sangat banyak, tidak pernah habis. Terdapat sekitar 350 – 500 orang (jabatan/posisi) yang ditawarkan setiap hari melalui media. Namun di sisi lain, angka pengangguran tetap tinggi. Hal ini antara lain karena tenaga kerja yang menawarkan diri tidak dapat memenuhi kualifikasi yang dituntut oleh institusi pengguna tenaga kerja atau mereka yang menjadi pemasang iklan tadi. (Siagian, 2004: 12). Sifat statis program studi antara lain disebabkan oleh tidak mudahnya mengurus izin program studi oleh suatu lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Saat keluar izin program studi tersebut, maka sering kali program studi itu sudah menuju kebasian. Terlebih jika pengelola pendidikan itu tidak melakukan terobosan dalam kurikulum. Dalam suatu seminar di FISIP USU 2005 yang lalu dikembangkan wacana agar sebuah jurusan jangan hanya mengelola program studi, tetapi juga mengelola konsentrasi. Konsep konsentrasi dianggap lebih dinamis, di mana konsentrasi mahasiswa misalnya akan lebih variatif dan dapat berubah setiap tahun sesuai dengan permintaan pasar dan pilihan mahasiswa. Namun demikian, istilah konsentrasi ini belum tersosialisasi, sehingga Perguruan
127
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
Tinggi masih tetap menempuh gaya pengelolaan pendidikan konvensional (Fahruddin, 2005: 7). Selain masalah link dan match yang memprihatinkan, masalah yang lebih pelik lagi adalah budaya sekolah yang berkembang di masyarakat. Masyarakat Indonesia lebih cenderung mengembangkan budaya schooling daripada budaya learning. Adapun budaya schooling ini ditandai dengan sikap mengutamakan aspek formalitas dari pendidikan. Masyarakat lebih mengutamakan status formal daripada material. Misalnya, ada orang kuliah, tanpa memperhatikan pentingnya belajar dan berlatih. Tujuan mereka hanya satu, yakni mendapatkan ijazah, tanpa mempertimbangkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini terjadi karena banyaknya institusi pengguna tenaga kerja yang lebih mengutamakan aspek formal, misalnya memiliki ijazah untuk tingkat pendidikan tertentu dan untuk jurusan atau program studi tertentu. Hal ini antara lain menonjol dalam rangka mendapat kedudukan sebagai PNS di Indonesia, di mana seleksinya belum dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya. Harus diakui, bahwa banyaknya muncul persoalan ketika hasil tes masuk menjadi PNS diumumkan mengindikasikan adanya permainan atau KKN dalam proses seleksi calon PNS tersebut. Belum ada instansi yang melakukan seleksi yang demikian transparan, misalnya diperiksa dengan komputer di hadapan orang banyak, termasuk di hadapan para calon PNS dan langsung diumumkan saat itu juga, sehingga dapat tertutup celah KKN. Sepeti yang terjadi saat penerimaan calon PNS di Sumatera Utara, di mana lembar jawaban ujiannya diperiksa oleh Pusat Komputer Universitas Sumatera Utara. Ketika dilakukan investigasi, ternyata berbeda ranking yang dikeluarkan oleh Pusat Komputer Universitas Sumatera Utara dengan yang diumumkan oleh Pemda. Mereka yang berada di ranking lebih rendah justru dinyatakan sebagai pemenang, sebaliknya mereka yang memiliki ranking yang lebih tinggi justru dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada seleksi tersebut. Kondisi seperti ini jelas tidak mendidik. Mahasiswa merasa tidak perlu memiliki keterampilan dan pengetahuan, sebab yang diuji bukan itu. Justru masalah seperti inilah yang kemudian mengembangkan budaya schooling tersebut. 128
Budaya schooling yang lebih parah lagi adalah yang berkembang di antara banyak PNS, terutama pejabat yang tugas belajar. Misalnya, seorang PNS yang memiliki jenjang pendidikan S-1, dalam upaya mendapat karier yang lebih cerah melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2. Banyak di antara mereka tidak memiliki motivasi untuk belajar. Mereka justru memilih institusi perguruan tinggi yang dapat meluluskan mereka dengan berbagai kemudahan, sehingga mereka dapat menyelesaikan studi tanpa harus belajar secara keras dan sungguh-sungguh. Jika kondisi maraknya sikap mental budaya schooling ini tidak berubah menuju budaya learning, maka lama kelamaan kualitas sumber daya manusia Indonesia akan terperosok jika dibandingkan dengan kualitas sumber daya manusia di negara lain. Kondisi seperti ini tentu sangat kontraproduktif dengan arus globalisasi, yang mana akan ditandai dengan persaingan bebas dan era keterbukaan. Sungguh tragis nanti nasib manusia Indonesia jika budaya schooling itu tetap dipertahankan. Dalam hal ini institusi pendidikan memikul dosa dari kondisi ini. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan kebijakan khusus untuk mengakhiri tradisi schooling yang sedang meracuni generasi sekarang ini. Kebijakan pendidikan lainnya yang perlu dibangun adalah kebijakan pendidikan yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya daerah. Untuk itu jenjang dan jenis pendidikan yang mengembangkan keterampilan spesifik lokal perlu dimulai. Saat ini memang ada istilah muatan lokal dalam kurikulum sekolah, namun hal itu hanya sedikit, dan biasanya dikaitkan dengan bahasa dan budaya, akan tetapi belum dikaitkan dengan potensi daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka peningkatan kemajuan daerah dan kesejahteraan penduduknya. Sebagai contoh hingga saat ini rumpun pendidikan SMK sangat sedikit dan seragam untuk seluruh Indonesia. Semestinya kurikulum SMK itu dipersempit dan diperdalam. Jadi jangan seperti selama ini di mana kurikulum SMK itu cenderung diperluas, namun sangat dangkal. Banyak mata pelajaran yang tidak berhubungan dengan keterampilan inti harus dipelajari oleh siswa, sehingga mereka tidak dapat berkonsentrasi pada bidang keterampilan yang harus ditekuni. Akibatnya, mereka tidak terampil dan jauh dari tenaga siap pakai.
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
Sangat tragis, misalnya seorang lulusan SMK Jurusan Elektronik yang telah belajar selama tiga tahun memiliki keterampilan yang jauh lebih rendah dari seseorang yang hanya mengikuti kursus elektronik selama tiga bulan. Hal ini tentu merupakan penerapan human capital yang sangat merugi. Demikian halnya dengan seorang lulusan SMK Jurusan Mesin memiliki keterampilan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan seseorang yang mengikuti kursus montir hanya dalam tempo tiga bulan. Hal ini merupakan akibat dari kurikulum yang disusun terlalu melebar tetapi dangkal, terlalu sarat dengan mata pelajaran yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan keterampilan yang dilatih. Pengembangan kurikulum SMK melalui kebijakan pendidikan semestinya harus dilakukan dalam rangka pendayagunaan potensi daerah di mana sekolah itu berada. Sebagai contoh, SMK yang merupakan Jurusan Pertanian dirasa terlalu luas dan dangkal. Mestinya dibangun dan dikembangkan SMK Jurusan Palawija; SMK Jurusan Penyuluhan Petani; SMK Jurusan Kelapa Sawit, SMK Jurusan Coklat, SMK Jurusan Tanaman Padi; SMK Jurusan Perikanan Laut; SMK Jurusan Perikanan Darat; SMK Jurusan Mesin Diesel; SMK Jurusan Mesin Premium; SMK Jurusan Elektronik Audio, dan lain-lain. Sekali lagi, semestinya SMK itu disesuaikan dengan potensi daerah, dan kurikulumnya didesain sedemikian rupa sehingga bersifat menyempit dan dalam. Di samping itu, perlu dilakukan penelitian secara periodik menyangkut daya serap lulusan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator apakah jurusan atau program studi dan atau konsentrasi tersebut masih layak dipertahankan atau lebih baik untuk ditutup. Hal ini sangat penting dalam rangka memelihara kesesuaian kompetensi dan keterampilan sumber daya manusia di suatu daerah dengan potensi yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. Selanjutnya semua institusi pendidikan diwajibkan melakukan pendataan tentang alumninya. Misalnya, harus ada data tentang masa tunggu kerja lulusan. Data tentang masa tunggu kerja lulusan artinya, berapa lama seorang alumni mendapatkan pekerjaan yang layak dan atau sesuai dengan jurusan atau program studi atau keterampilan yang dimiliki. Data ini harus dijadikan sebagai outcome sebuah lembaga pendidikan, dan termasuk sebagai
indikator keberhasilan lembaga pendidikan tersebut dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuannya. Bagaimanapun juga, tujuan lembaga pendidikan bukan hanya meluluskan siswa dan mahasiswanya, melainkan dapat membantu siswa dan mahasiswanya dalam mewujudkan apa yang diinginkan dan dicita-citakan. Oleh karena itu peningkatan keterampilan melalui pendidikan harus signifikan, sehingga mereka tidak sia-sia memasuki suatu lembaga pendidikan dengan pengorbanan waktu, dana, dan tenaga yang teramat besar. Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus fleksibel. Kebijakan mana harus dilengkapi dengan perencanaan strategis jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Untuk itulah sistem pendidikan harus diperkuat, sehingga operasional dan penjabarannya tidak tergantung pada pribadi pejabat sebagaimana terjadi selama ini, akan tetapi melalui mekanisme yang teratur.
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengangguran yang mencapai di atas sepuluh juta jiwa sungguh merupakan kondisi yang buruk dan memprihatinkan dari negara kita, budaya malu dan budaya tahu diri serta merasa gagal perlu dikembangkan di benak rezim penguasa. 2. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi terhadap tingginya angka pengangguran di Indonesia, yakni: Pertama, adanya ketidaksebandingan antara pertumbuhan lapangan kerja dengan pertumbuhan angkatan kerja, sehingga lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang ada. Kedua, belum adanya link and match antara lapangan kerja atau jenis pekerjaan dengan kualifikasi yang dituntut dengan kualifikasi tenaga kerja Indonesia sehingga tidak semua posisi jabatan dan pekerjaan yang ada atau ditawarkan dapat diduduki dan dilakoni oleh tenaga kerja Indonesia. 3. Sistem pendidikan di Indonesia belum pas dan kuat, sehingga kebijakan pendidikan sering bersifat temporer tanpa perencanaan jangka panjang. Di samping itu, belum kuatnya sistem pendidikan tersebut mengakibatkan arah pengembangan 129
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2006, Volume 5, Nomor 2, Halaman 117-131
4)
5.
6.
7.
8.
pendidikan di Indonesia sering sangat tergantung pada pejabat yang menduduki Departemen Pendidikan Nasional. Pengembangan pendidikan, khususnya jurusan dan program studi dengan kurikulum yang ada masih bersifat konvensional. Sangat jarang lembaga pendidikan memperhatikan perkembangan ketenagakerjaan yang sangat dinamis untuk dijadikan sebagai referensi dalam pengembangan kurikulum, program studi, dan jurusannya. Berkembangnya budaya schooling dalam melakoni pendidikan oleh masyarakat Indonesia menjadikan pendidikan belum dijadikan dan belum berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini mengakibatkan, bahwa jenis dan tingkat pendidikan seseorang sering tidak tercermin dalam kualifikasinya sebagai tenaga kerja. Artinya, prestasi studi dan ijazah sering tidak diikuti dan didukung oleh kompetensi lulusan. Rekruitmen tenaga kerja, terutama calon PNS yang belum transparan dan belum menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran mengakibatkan peserta didik tidak memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar selama mengikuti pendidikan. Mereka merasa sia-sia untuk belajar keras karena tidak akan mendapat penghargaan nantinya. Kurikulum dan jenis jurusan maupun program studi masih bersifat statis dan tidak mengikuti perubahan yang mendasar dalam struktur ketenagakerjaan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang justru bersifat dinamis. Jurusan, program studi serta kurikulum yang dikembangkan di suatu daerah belum sepenuhnya sesuai dengan potensi daerah, akibatnya meskipun banyak pengangguran, namun potensi daerah tidak dapat digunakan secara maksimal untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Saran 1. Pemerintah harus menyadari dan bertanggung jawab atas penyediaan lapangan pekerjaan bagi semua warga negaranya dan demikian juga dengan tingkat kesejahteraan pekerja di Indonesia.
130
2. Iklim investasi harus ditata sedemikian rupa sehingga Indonesia harus dianggap dan dirasakan sebagai surga oleh investor, sehingga mereka berlomba-lomba melakukan investasi di Indonesia sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan lapangan kerja sehingga dapat mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. 3. Perlu penguatan sistem pendidikan yang didukung oleh perencanaan starategis, baik jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek, di mana perencanaan tersebut harus bersifat akurat dan matang yang akan mengakibatkan pergantian pejabat pengelola pendidikan tidak mengakibatkan arah kebijakan pembangunan pendidikan yang sudah ada. 4. Pengembangan jurusan, program studi, dan kurikulum harus memiliki nilai-nilai dinamika yang tinggi, dalam arti mengikuti perubahan struktur ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, program studi sebaiknya diganti dengan konsentrasi, agar senantiasa memiliki peluang untuk diubah setiap saat sesuai dengan perubahan kualifikasi yang dituntut bagi tenaga kerja oleh institusiinstitusi pengguna tenaga kerja. 5. Perlu dilakukan terobosan baru dalam menghapus budaya schooling dan mengubahnya menjadi budaya learning melalui transparansi dan penerapan prinsipprinsip keadilan dalam proses rekruitmen tenaga kerja, baik sektor swasta maupun pemerintah. Dengan cara seperti ini maka peserta didik akan termotivasi untuk belajar dan berlatih menuju tenaga kerja yang memiliki kualitas yang dapat memenuhi tuntutan institusi pengguna tenaga kerja. 6. Perlu dilakukan diskusi secara berkala yang melibatkan stockholder atau pemangku pendidikan, misalnya pemerintah, pengelola lembaga pendidikan, orang tua, organisasi profesi, maupun institusi-institusi pengguna lulusan sehingga dapat dirumuskan kurikulum yang handal, yang memiliki link dan match dengan lapangan kerja yang tersedia dengan segala kualifikasi yang dituntut.
Siagian, Masalah Ketenagakejaan...
Daftar Bacaan Danim, Sudarwan, 1995, Transformasi Sumber Daya Manusia, Sinar Grafika, Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2004, Program Hibah Kompetisi Perguruan Tinggi, Dirjen Dikti, Jakarta Fahruddin, Adi, 2005, Penyusunan Kurikulum Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Berbasis Kompetensi, Makalah Seminar, Medan Fleisher, Belton, M, 1981, Labor Economics: Theory and Evidence, Prentice-Hall, New Jersey Ikhsan, Edi, 1999, Pekerja Anak Jermal di Sepanjang Pantai Timur Sumatera Utara, Konvensi, Medan
Siagian, Matias, 2006, Pengembangan Pendidikan dan Pemecahan Masalah Pengangguran, Terowosan Mendesain Kurikulum Perguruan Tinggi, Makalah Seminar, Medan Simanjuntak, Payaman, J, 1993, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. ____ ,
2002, Undang-Undang Yang Baru Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, ILO/USA Declaration Project Indonesia, jakarta
Sofyan, Ahmad, Rinaldi, Emil, 1999, Kekerasan Sesksual terhadap Anak Jermal, UGM Press, Yogyakarta Sudarmayanti, 2001, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, CV Mandar Maju, Bandung
Manik, Sulaiman, 1999, Kekerasan terhadap Anak Dalam Wacana dan realitas, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Medan
Sumber-sumber lain:
Martono, Susilo, 1996, Menajemen Sumber Daya Manusia, BPFE UGM, Yogyakjarta
Hakiki, Jurnal Perlindungan Anak, Volume 1 No. 2, Nopember, 1999
Muhidin, Syarif, 1992, Pengantar Kesejahteraan Sosial, STKS, Bandung
Harian Kompas Jakarta, 19 September 2006 Harian Kompas Jakarta, 27 juni 2004
Purwoko, Widodo, 1997, Profil Buruh Anak di Sektor Industri, Social Analysis and Reseaqrch Institute (SARI), Surakarta
Harian Sinar Indonesia Baru Medan, 3 Mei 2004 Harian Suara Merdeka Jakarta, 12 Januari 2004
Putranto, Pandji, 1994, Gambaran Umum Mengenai Permasalahan Pekerja Anak di Indonesia dan Penanggulangannya, Makalah pada Seminar Sehari Profil Pekerja Anak, Yogyakarta Rusli, Said, 1982, Pengantar Ilmu Kependudukan, LP3ES, Jakarta
Harian Waspada Medan, 10 September 1993 Harian Waspada Medan, 29 April 2003 Majalah Gatra Jakarta, 31 Januari 2004
131