MASYARAKAT KONSUMERIS MENURUT KONSEP PEMIKIRAN JEAN BAUDRILLARD
Mutia Hastiti Pawanti Program Studi Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Kegiatan sehari-hari masyarakat diwarnai dengan berbagai kegiatan konsumsi yang selanjutnya menjadi fenomena. Saat ini, informasi mengenai kegiatan konsumsi menyerbu kita kapanpun dan dimanapun. Informasi tersebut tak henti-hentinya menawarkan berbagai barang dan jasa kepada masyarakat melalui iklan diberbagai media cetak dan elektronik, seperti: televisi, koran, majalah, radio, internet, dan sebagainya. Fenomena yang tercipta di dalam masyarakat Indonesia tersebut disertai dengan kemajuan teknologi sehingga melahirkan perkembangan budaya konsumsi yang ditandai dengan perkembangan gaya hidup dan menciptakan masyarakat konsumeris. Masyarakat konsumeris ini dianalisis dengan cermat oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis.Baudrillard menilai bahwa kegiatan konsumsi masyarakat telah mengalami pergeseran. Gejala tersebut dapat dilihat dengan jelas pada masyarakat konsumeris saat ini. Menurutnya, konsep konsumsi dalam masyarakat konsumeris lebih mengutamakan nilai simbolik dan nilai tandadari barang dan jasa yang dikonsumsinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan konsumsi tidak lagi berdasarkan pada pemanfaatan nilai guna, melainkan kepada nilai tanda. Oleh karena itu, nilai tanda menjadi sebuah elemen penting dalam masyarakat konsumeris. Jadi, bagaimanakah analisis Baudrillard mengenai sebuah nilai tanda di dalam fenomena tersebut yang menciptakan sebuah masyarakat konsumeris?
Abstract Society’s daily activities have been coloring by consumption activities that became a phenomenon later. Nowadays, the information of consumption activities attacks us every time and everywhere. The information continually offers any goods and services to the society by spreading the advertisements in various printed and electronic media, such as television, newspaper, magazine, radio, internet, and so on. The phenomenon which has been created in Indonesian society is accompanied by the technological advances so that produced the development of consumption culture which is characterized by the development of lifestyle and created the consumptive society. This consumptive society has been analyzed carefully by Jean Baudrillard, a French philosopher. He considered that the activities of consumption have shifted. The symptom can be seen clearly in today’s consumptive society. According to him, the concept of consumption in consumptive society prefers the symbolic value and the value of sign of the goods and the services that they consumed. Thus, it can be said that the act of consumption is no longer based on the utilization of use-value, but the value of sign. Therefore, the value of mark became an important element in consumptive society. Thus, how is the analysis of Baudrillard about a value of sign in the phenomenon that created the consumptive society? Keywords: use value, sign value, symbolic value, consumer society, lifestyle
1
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
Pendahuluan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (1991),kata konsumsi memiliki dua arti, yaitu pemakaian barang-barang hasil produksi, dan pemakaian barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia. Seseorang mengonsumsi suatu barang berarti bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna barang tersebut, baik berupa benda maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Orang yang melakukan kegiatan konsumsi disebut dengan konsumen. Konsumen berarti pembeli dan pemakai dari barang-barang hasil produksi. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa konsumen mengeluarkan atau membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh apa yang dibutuhkan, baik berupa barang-barang konsumsi maupun berupa jasa. Namun sangat disayangkan jika konsumen membeli barang atau jasa bukan karena kebutuhan melainkan karena keinginan, yang lama kelamaan akan menuju pola hidup yang konsumtif (Kushendrawati, 2006:56). Konsumen atau masyarakat pun pada akhirnya berperilaku boros dan berlebihan, lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, tidak ada skala prioritas, atau disebut juga sebagai hidup bermewah-mewahan (Sembiring, 2012:4). Budaya konsumsi dilatarbelakangi oleh munculnya masa kapitalisme yang diusung oleh Karl Marx. Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dijalankan oleh kepemilikan pribadi sebagai sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, dengan cara mengeksploitasi para pekerja. Tahapan selanjutnya dalam merealisasikan keuntungan tersebut dalam bentuk uang, hasil produksi yang ada dijual, dan dipasarkan kepada masyarakat sebagai komoditas. Marx menjelaskan bahwa komoditas hanya memiliki dua aspek, yaitu: use value dan exchange value. Nilai guna atau use value tidak lain merupakan kegunaan suatu objek dalam pemenuhan kebutuhan tertentu, sedangkan exchange valuemenekankan pada nilai tukar yang terkait dengan nilai produk itu di pasar, atau objek yang bersangkutan (Lechte, 2001:352). Oleh karena itu, Marx menekankan pentingnya produksi dalam ekonomi. Namun, apa yang dinyatakan oleh Marx berbeda dengan Baudrillard. Sebuah objek tidak
hanya memiliki use value dan exchange value, tetapi juga memiliki symbolic value dan sign value. Maksud dari pernyataan tersebut bahwa orang tidak lagi mengonsumsi sebuah objek berdasarkan kegunaan dan nilai tukarnya, tetapi juga adanya nilai simbolik dan nilai tanda yang bersifat abstrak. Baudrillard menyimpulkan bahwa konsumsilah yang menjadi inti dari ekonomi, bukan lagi produksi (Fadhilah, 2011:1). Konsumsi menurut Baudrillard memegang peranan penting dalam hidup manusia. Konsumsi membuat manusia tidak mencari kebahagiaan, tidak berusaha mendapatkan persamaan, dan tidak adanya intensitas untuk melakukan homogenisasi – manusia justru melakukan diferensiasi (perbedaan) yang menjadi acuan dalam gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan ekonomi (Lechte, 2001:354). Hal inilah yang terjadi pada masyarakat kita saat ini. Masyarakat seperti ini disebut Baudrillard sebagai masyarakat konsumeris. Baudrillard adalah salah seorang filsuf postmodern, yang mencoba menganalisis masyarakat konsumeris (consumer society) dalam relasinya dengan sistem tanda (sign value). Menurutnya, tanda menjadi salah satu elemen penting dalam masyarakat konsumeris saat ini. Baudrillard menyatakan bahwa konsumsi yang terjadi sekarang ini telah menjadi konsumsi tanda. Tindakan konsumsi suatu barang dan jasa tidak lagi berdasarkan pada kegunaannya melainkan lebih mengutamakan pada tanda dan simbol yang melekat pada barang dan jasa itu sendiri. Masyarakat pun pada akhirnya hanya mengonsumsi citra yang melekat pada barang tersebut (bukan lagi pada kegunaannya) sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak pernah merasa puas dan akan memicu terjadinya konsumsi secara terus menerus, karena kehidupan sehari-hari setiap individu dapat terlihat dari kegiatan konsumsinya, barang dan jasa yang dibeli dan dipakai oleh setiap individu, yang juga didasarkan pada citraan-citraan yang diberikan dariproduk tersebut (Murti, 2005:38). Hal ini pun dapat mempengaruhi perubahan gaya hidup seseorang. Masyarakat Konsumeris dan Gaya Hidup Cara hidup masyarakat saat ini telah mengalami
2
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
perubahan, menuju budaya konsumsi dan perilakukehidupan yang konsumtif. Masyarakat konsumeris adalah masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah ruah melalui barangbarang konsumeris, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan (Piliang, 2003:17). Disadari atau tidak, dalam masyarakat Indonesia saat ini juga terdapat suatu kecenderungan untuk menjadi masyarakat konsumeris. Hal ini dapat dilihat dari gaya berpakaian, telepon genggamyang digunakan, serta mobil yang dikendarai, dianggap dapat merepresentasikan status sosial tertentu. Fenomena seperti ini, dengan mudah kita temukan di malatau pusat-pusat perbelanjaan. Sebagian besar pengunjung berpakaian dan mengenakan aksesoris yang sesuai dengan fashion dan mode yang sedang berlaku saat ini. Hampir semua pengunjung memiliki telepon genggam serta kebanyakan dari pengunjungpengunjung tersebut lebih memilih fast food (yang dianggap lebih bergengsi) daripada makanan tradisional khas Indonesia. Barang elektronik, fast food, pakaian bermerek, dan lain-lain, sepertinya kini menjadi suatu kebutuhan primer dan tidak dapat ditinggalkan. Masyarakat tidak lagi membeli suatu barang berdasarkan skala prioritas kebutuhan dan kegunaan, tetapi lebih didasarkan pada gengsi, prestise, dan gaya. Baudrillard berpendapat bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumeris (consumer society) bukanlah kegunaan dari suatu produk melainkan citra atau pesan yang disampaikan dari suatu produk. Sebagai contoh, apabila konsumen membeli mobil BMW, ia membeli produk tersebut bukan hanya karena kegunaan mobil tersebut sebagai sarana transportasi, akan tetapi mobil BMW tersebut juga menawarkan citra tertentu pada konsumen yaitu kemewahan dan status sosial yang tinggi. Selain itu, Baudrillard juga berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat konsumeris memiliki keinginan untuk terus melakukan pembedaan antara dirinya dengan orang lain. Individu akan terus mengonsumsi produkproduk yang dianggap akan memberikan atau menaikkan status sosialnya, tanpa memikirkan apakah produk tersebut dibutuhkan atau tidak. Hal ini senada seperti kutipan berikut “yang ditekankan di sini adalah bahwa objek tidak hanya dikonsumsi dalam sebuah masyarakat konsumeris; mereka diproduksi lebih banyak untuk menandakan status daripada untuk memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu,
dalam masyarakat konsumeris yang lengkap (thorough-going) objek menjadi tanda, dan lingkungan kebutuhan, jika memang ada, jauh ditinggalkan” (Lechte, 2001:354). Dapat disimpulkan bahwa konsumen tidak lagi melakukan tindakan konsumsi suatu objek atas dasar kebutuhan atau kenikmatan, tetapi juga untuk mendapatkan status sosial tertentu dari nilai tanda atau sign value yang diberikan objek tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard berikut “One of the strongest proofs that the principal and finality of consumption is not enjoyment or pleasure is that is now something which is forced upon us, something institusionalized, not as right or pleasure but as the duty of citizen” (Baudrillard,1998:80). Fenomena masyarakat konsumeris tersebut terjadi karena adanya perubahan mendasar berkaitan dengan cara-cara orang mengekspresikan diri dalam gaya hidupnya. Gaya hidup mulai menjadi perhatian penting untuk setiap individu. Gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas (Chaney, 1996:92). Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumeris, karena gaya hidup seseorang dapat dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa. Konsumsi tidak hanya mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televisi hingga mobil, tetapi juga mengonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai pengalaman sosial. Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. Gaya hidup mencitrakan keberadaan seseorang pada suatu status sosial tertentu. Misalnya saja pilihan mobil, perhiasan, bacaan, rumah, makanan yang dikonsumsi, tempat hiburan, dan berbagai merek pakaian; semua itu sebenarnya hanyalah simbol dari status sosial tertentu. Sebagai contoh dapat kita temukan pada gaya berpakaian masyarakat saat ini. Pada dasarnya fungsi pakaian yang utama adalah menutupi dan melindungi tubuh. Namun, sepertinya pakaian tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan dasar bagi manusia, tetapi juga sebagai mode dan fashion, yang membawa pesan dan gaya hidup suatu komunitas yang menjadi bagian dari kehidupan sosial. Fashion juga mengekspresikan atau menandakan suatu identitas tertentu, yang dengannya seseorang menempatkan diri mereka terpisah dari
3
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
orang lain, yang selanjutnya berkembang menjadi identitas suatu kelompok. Alasan seseorang dalam menentukan gaya berpakaian dapat dipengaruhi oleh iklan, pakaian tersebut bermerk, sedang trend, dan dipakai oleh selebriti. Begitu juga dengan pola pergaulan, bagaimana, dengan siapa, dan dimana seseorang bergaul juga menjadi simbol bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok sosial tertentu. Chaney mengemukakan bahwa gaya hidup telah menjadi ciri dalam dunia modern, sehingga masyarakat modern akan menggunakan gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri dan orang lain. Chaney juga memberikan definisi gaya hidup sebagai pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia modern. Salah satu gaya hidup yang terlihat pada saat ini adalah gaya hidup hedonis. Menurutnya, gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari artis yang diidolakan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya. Individu secara aktif menggunakan barang-barang konsumsi seperti pakaian, rumah, furniture, dekorasi interior, mobil, liburan, makanan dan minuman juga benda-benda budaya seperti musik, film, dan seni dengan cara-cara yang menunjukkan selera atau cita rasa kelompoknya (Lury, 1998:112). Terbentuknya gaya hidup pada masyarakat konsumeris saat ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Tersedianya sejumlah besar dan meningkat secara konstan berbagai jenis barang. 2. Kecenderungan semakin bertambahnya pertukaran dan interaksi manusia yang
dimungkinkan melalui pasar. 3. Peningkatan berbagai bentuk kegiatan belanja, mulai dari pemesanan lewat pos, mal-mal hingga penjualan di atas mobil dan toko barang-barang bekas. Selain itu, pada era modern saat ini, perkembangan teknologi seperti internet memberikan kemudahan dalam berbelanja yang ditawarkan melalui sistem online. Belanja dengan sistem online merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang sedang populer sekarang ini. Belanja menjadi lebih praktis, konsumen tinggal pesan, transfer uang, dan barang pun sampai di rumah. Tak jarang harga sebuah barang yang dijual melalui sistem online lebih murah dibandingkan dengan barang yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan, karena belanjaonline tidak memerlukan biaya operasional yang besar. Murahnya harga inilah yang juga menjadi alasan membeludaknya belanja online. Shoppingonline akan menjadi gaya hidup dan cara belanja modern karena menghemat uang dan waktu. Pembeli tidak perlu lagi bermacet-macet di jalan dan antre di mal. 4. Pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan serta kompleks-kompleks rekreasi dan gaya hidup rekreatif, mulai dari kafe-kafe ‘bergaya’ tertentu hingga bangunan-bangunan Disneyworld. 5. Semakin pentingnya pengemasan dan promosi dalam pembuatan, tampilan, dan pembelian barang-barang konsumen. 6. Gencarnya iklan-iklan dimedia khususnya televisi yang menawarkan sejumlah produkproduk kepada masyarakat. 7. Peningkatan penekanan pada gaya, desain, dan penampilan barang-barang. 8. Pemakaian kartu kredit pada saat berbelanja, yang memudahkan individu untuk tidak perlu membawa uang dalam jumlah yang besar. 9. Kemustahilan untuk menghindari pemilihan terhadap barang-barang konsumen dan pemuasan yang mengikutinya dalam transformasi diri melalui promosi gaya hidup. (Lury, 1996:44-54).
4
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
Perkembangan Teknologi dan Media Iklan Perkembangan teknologi akhir-akhir ini sangat berkembang pesat. Mulai dari berkembangnya teknologi informasi seperti internet, mobile, serta telepon seluleryang terus menerus dipasarkan oleh para produsen produk tersebut. Perkembangan teknologi ponsel yang demikian cepatnya dan menghasilkan berbagai macam ponsel yang selalu berganti dengan menghadirkan berbagai macam fitur dan brand membuat masyarakat modern merasa tertinggal jika tidak membeli dan memiliki ponsel dengan model terbaru. Keadaan seperti ini pada akhirnya mendorong masyarakat menjadi semakin konsumtif oleh penggunaan ponsel sehingga terjebak pada konsumerisme (Putri, 2012:4). Salah satu produk telepon seluleryang sukses menjual produknya khususnya di Indonesia adalah smartphoneBlackberry. Blackberry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 oleh salah satu perusahaan Kanada, Research In Motion, yang didirikan oleh Mike Lazaridis, seorang imigran asal Yunani, di kota Waterloo, Kanada. Sejak kehadirannya di Indonesia, smartphone ini digunakan oleh masyarakat kalangan atas seperti para eksekutif, pebisnis, serta pelaku ekonomi lainnya, karena memang mereka membutuhkan smartphone tersebut untuk memudahkan aktivitas mereka. Artinya, produk smartphone tersebut memiliki use value pada saat dimiliki oleh individu-individu yang benar-benar membutuhkan alat tersebut. Namun kini smartphone Blackberry tidak hanya dinikmati oleh masyarakat kelas atas, tetapi juga telah menjangkau masyarakat menengah ke bawah, yang berlomba-lomba membeli Blacberry karena terdorong oleh trend(Putri, 2012:4). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Gregory Wade, Regional Vice President, Research In Motion Asia Pasific, dapat dilihat pada “Pertumbuhan pengguna Blackberry di Indonesia begitu pesat. Buktinya selama 2007-2008, pengguna Blackberry meningkat hingga 454%. Angka itu juga mengalami peningkatan dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 366%. Namun Wade tidak memberikan berapa jumlah total dari pengguna Blackberry di seluruh Indonesia (Darmawan & Chandratuna, 2009:1). Nilai guna atau use value dari smartphone ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan produk teknologi lainnya seperti laptop, kamera, modem,
serta produk telepon genggamlainnya. Namun smartphone ini menggabungkan semua kecanggihan dan kemudahan tersebut hanya dalam satu alat saja. Oleh karena itu, tak heran jika pengguna smartphone ini tidak hanya berasal dari masyarakat kalangan menengah ke atas maupun masyarakat kalangan menengah ke bawah. Terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat Indonesia begitu menyukai produk smartphone ini dibanding dengan produk smartphone lainnya bahkan untuk sekelas IPhone sekalipun. 1. Kecepatan Akses Surat Elektronik (surel). Para pengguna Blackberry adalah orang-orang yang sangat membutuhkan akses e-mail yang cepat; oleh karena itu mereka memilih Blackberry karena fitur push e-mail yang dimiliki. Fitur ini tidak memerlukan setup ekstra karena e-mail akan diterima secara otomatis. Sebagai perbandingan, beberapa pengguna mengatakan bahwa mereka menerima e-mail di Blackberry beberapa menit lebih cepat dibanding iPhone atau Android (6 Alasan, 2012:1). 2. Simplicity. Bahkan bagi orang-orang yang ‘gaptek’ sekalipun, Blackberry adalah alat yang sama sekali tidak rumit. Seseorang dapat dengan mudah dan cepat menggunakan fitur Web browser, e-mail apps, Blackberry messenger (BBM) dan sms. Beberapa fungsi lebih canggih seperti akses one-click untuk voice recognition atau augmented reality apps membuat Blackberry bahkan lebih mudah lagi digunakan. 3. Faktor Keamanan. Kebanyakan seluler Blackberry meminta Anda untuk menggunakan kata sandi yang sulit, ini merupakan fitur yang diciptakan untuk memastikan data-data Anda aman dari hacking. Seluler-seluler customer-oriented lainnya seperti Samsung Galaxy S III juga menawarkan authentication, namun beberapa fiturnya masih dirasa kurang. Selain itu para pengguna juga merasa lebih nyaman dengan menggunakan Blackberry karena jaminan keamanan yang lebih baik. 4. Kecepatan Mengetik. Para pengguna Blackberry menyatakan bahwa keyboard touchscreen dalam iPhone 4S atau Nokia Lumia tidak merespon terhadap sentuhan jari dengan baik. Ini disebabkan oleh ukuran jari setiap orang dan kebutuhan akan
5
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
respon sentuhan yang berbeda-beda, walaupun banyak seluler menggunakan teknologi haptic (teknologi sentuh pada layar perangkat, baik komputer ataupun telepon genggam), untuk merespon sentuhan virtual keys. Mengetik di keyboard Blackberry lebih cepat dari seluler touchscreen manapun. 5. Blackberry Messenger (BBM). Hampir semua penggunasetia dengan Blackberrynya, karena tersedianya fasilitas Blackberry Messenger (BBM). BBM dapat dibilang adalah pionir dalam chat messaging dan instant file-sharing seperti musik, foto, dan voice notes. Jika dibandingkan dengan Whatsapp atau aplikasi messenger lainnya, BBM sudah tidak asing lagi untuk sebagian orang. Mereka mengklaim lebih senang dengan BBM, sudah terbiasa, dan tidak berkeinginan untuk mencoba yang lain. 6. More Privacy. Kebanyakan pengguna Blackberry tidak terlalu peduli terhadap Google privacy policies. Mereka setia dengan Blackberry beserta segala fasilitasnya karena mereka sudah cukup nyaman sehingga tidak sulit dengan memerlukan segala ekstra aplikasi dan layananlayanan tambahan, tidak seperti IPhone dan Android. Trend gaya hidup masyarakat Indonesia dengan menggunakan Blackberry dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat Indonesia sangat menyukai gadget. Setiap produk baru dari merk-merk ternama seperti, BlackBerry, Samsung, dan Nokia selalu diburu oleh orang Indonesia yang senang dengan gadget. Semahal apapun harganya, produk tersebut akan selalu diburu orang Indonesia, bahkan mereka rela antre sejak malam hari demi gadget impiannya. Kedua, orang Indonesia senang mengganti-ganti handphone atau smartphone. Kebiasaan orang Indonesia seperti ini menjadikan produsen handphone berlomba-lomba meluncurkan produknya di Indonesia, konsumen Indonesia akan rela menjual gadget lamanya dengan harga rendah dan membeli gadget yang baru. Serta sebagian orang Indonesia memilih gadget bukan karena fungsi tetapi karena gengsi. Semakin mahal harga gadget yang dimiliki maka semakin terlihat kelas sosialnya. Selain Blackberry¸ kehadiran tablet pada bidang teknologi juga mendorong masyarakat pada gaya
hidup konsumtif. Sama halnya seperti Blackberry, awal kemunculan tablet pada dasarnya ditujukan kepada para pebisnis, untuk dapat melakukan aktivitas bisnisnya secara mudah kapan dan di mana saja. Namun, saat ini dapat kita temukan banyak yang bukan pebisnis terlihat membawa perangkat satu ini ke mana-mana, untuk mengikuti trend yang sedang berkembang, dan hanya sekedar untuk update status di Facebook, mengikuti stream twit di Twitter, atau bahkan hanya untuk unggah foto di Instagram. Menjamurnya produk-produk teknologi seperti smartphone, tidak terlepas dari peran iklan. Produsen produk apapun dapat mengiklankan berbagai macam produknya melalui segala media baik televisi, internet, dan telepon seluler. Menurut Baudrillard, seorang individu atau konsumen dalam masyarakat konsumeris tidak lagi mengonsumsi komoditas melainkan tanda dari suatu produk. Tanda itu berupa pesan dan citra yang disampaikan melalui iklan. Iklan dengan segala bentuk publikasinya dalam media massa menjadi sarana mengomunikasikan tanda kepada masyarakat sebagai konsumen. Iklan juga berfungsi untuk menghilangkan nilai guna atau use value dari suatu objek, sehingga konsumen tidak lagi mengonsumsi suatu produk dari nilai kegunaannya melainkan mengonsumsi berdasarkan citra (image) produk tersebut(Murti, 2005:39). Bahasa yang digunakan dalam iklan bersifat membujuk dan mengajak kepada para konsumen untuk membeli produk tersebut, serta membuat tampilan iklan produk itu terlihat sangat menarik. Dengan kata lain, iklan mengarahkan konsumen untuk terus menerus mengonsumsi produk-produk yang diiklankan demi suatu status sosial tertentu. Tampilan yang menarik bukan hanya terlihat dalam iklan saja tetapi juga pada saat kita masuk ke salah satu pusat perbelanjaan. Barang-barang seperti elektronik (kebutuhan tersier) ditempatkan paling depan dekat pintu masuk. Hal ini memang sengaja dilakukan oleh pihak swalayan karena mereka tahu bahwa para pengunjung yang datang untuk membeli kebutuhan pokok seperti makanan (kebutuhan primer) terlebih dahulu harus melewati tatanan barang-barang elektronik atau barang dagang lainnya dan tergoda untuk membelinya walaupun sebenarnya barang tersebut belum tentu dibutuhkan, karena pada dasarnya setiap individu akan tergoda jika melihat barang yang tertata rapi. Hal ini dapat memicu seseorang menjadi masyarakat konsumeris yang selalu mengonsumsi
6
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
dan mengonsumsi. Secara tidak langsung individu tersebut dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan dengan hasrat untuk selalu mengonsumsi tanpa henti karena akan selalu ada kebutuhan baru (Kushendrawati, 2006:1). Hidup individu tersebut menjadi tidak bebas lagi karena akan selalu didikte oleh barang karena ia harus terus menerus memenuhi keinginannya untuk memiliki barang yang menjadi trend saat ini. Hiperrealitas Iklan-iklan yang ditayangkan melalui media televisi kemudian menciptakan realitas-realitas baru sehingga membentuk sebuah hiperrealitas. Menurut Baudrillard, hipperealitas menghapuskan perbedaan antara yang nyata (real) dan yang imajiner (Lechte, 2001:357). Hiperrealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya terdapat kepalsuan dan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; tanda melebur dengan realitas; dan fakta bersimpang siur dengan rekayasa. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu, sehingga membentuk kesadaran diri (self consciousness) yang pada dasarnya palsu (Sembiring, 2012:6). Iklan menggunakan realitas untuk membentuk realitas baru yang sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan keadaan sebenarnya, namun karena iklan ditayangkan secara berulang-ulang, sehingga realitas yang tidak berkaitan tadi (yang hanya ada dalam media iklan) diterima sebagai realitas yang sesungguhnya. Sebagai contoh, iklan-iklan yang menawarkan perawatan tubuh seperti sabun, shampoo, parfum, kosmetik, dan lain-lain, sudah tidak asing lagi bahwa iklan-iklan tersebut menggunakan wanita-wanita cantik yang menampilkan kecantikan mereka sebagai model dalam iklan tersebut. Ciri-ciri wanita-wanita tersebut pasti berkulit putih, memiliki tubuh yang langsing, tinggi, dan berambut hitam panjang. Citraan-citraan seperti itulah yang menciptakan realitas-realitas baru bahwa seorang wanita akan dikatakan cantik dan sempurna jika dirinya memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan tadi. Contoh lainnya adalah ajang pemilihan yang juga mengikutsertakan wanita-wanita cantik dalam acara tersebut, seperti miss world, miss universe, miss Indonesia, putri
Indonesia, dan lain-lain. Hal inilah yang menurut Baudrillard bahwa representasi citra menjadi cermin suatu realitas. Citra menyembunyikan dan memberikan gambaran yang salah, karena membuat kita tidak berpikir lagi bahwa sebenarnya citraan tersebut merupakan bagian dari realitas dan bukan sebaliknya dimana iklan merupakan realitas. Dengan kata lain, iklan-iklan kecantikan yang ditampilkan dengan model-model yang terlihat sempurna merupakan realitas buatan yang tampil sebagai realitas baru, yang lebih real dari realitas yang sebenarnya. Sebagai konsekuensinya, realitas nyata menjadi kehilangan daya tarik dan dianggap bukan lagi sebagai realitas. Simulacra dan Simulacrum Baudrillard mendefinisikan simulasi sebagai proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga membuat manusia selalu merasa berada dalam dunia supernatural, ilusi, fantasi, dan khayalan yang menjadi tampak nyata. Baudrillard berpendapat bahwa dunia ini telah kehilangan keasliannya dan yang ada hanyalah simulasi. Simulasi merupakan dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode, tanpa ada referensi yang jelas. “Simulation is no longer that of a territory, a referential being, or a substance. It is the generation by models of a real without origin or reality: a hyperreal” (Baudrillard, 1994:1). Kode membuat simulasi menjadi penting, karena kode memungkinkan kita untuk menghilangkan realitas, dan hal ini dapat terlihat pada simulasi dansimulacra(Lechte, 2001:356). Simulacra tidak memiliki acuan, yang merupakan duplikasi dari duplikasi, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Simulacra merupakan sebuah istilah untuk menunjukkan dimana sebuah tanda, simbol, dan citra yang ditampakkan bukan saja tidak memiliki referensi dalam realitas, justru tanda, simbol dan citra yang dibentuk dan dianggap sebagai representasi dari tanda, simbol dan tanda yang juga merupakan hasil dari simulasi. Citraan dalam simulacra yang tidak memiliki referensi secara bertahap menjadi simulacrum. Simulacrum merupakan proses perubahan citra yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas. Baudrillard menyebutkan bahwa Disneyland menjadi contoh dari simulacra, “Disneyland is a perfect model of all the entangled orders of simulacra. It is
7
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
first of all a play of illusions and phantasms: the pirates, the frontier, the future world. This imaginary world is supposed to ensure the success of the operation” (Baudrillard, 1994:12). Menurut Baudrillard, Disneyland hadir sebagai representasi dari khayalan dan fantasi yang tidak pernah ada. Ia hadir sebagai simulacrum atau suatu bentuk imaginasi dimana kehadirannya pada realitas, untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia nyata bahkan lebih nyata daripada Amerika sendiri. Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, yang memudahkan setiap orang untukberkomunikasi dengan individu lainnya walaupun terpisah dengan ruang dan waktu, dapat menjadi contoh dari simulasi dan simulacra. Sebagai contoh kemunculan jejaring sosial Facebook. Jejaring sosial Facebook merupakan hasil karya dari Mark Zuckerberg, dan pertama kali diluncurkan pada 4 Februari 2004. Facebook merupakan media massa yang digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antaraindividu yang satu dengan lainnya, yang berlangsung di dunia maya, pada waktu yang bersamaan namun berada pada tempat yang berbeda.Setiap orang dapat dengan mudah, kapanpun dan dimanapun untuk mengakses jejaring sosial tersebut, dan bebas untuk membuat akun facebook dengan mencantumkan identitas apa saja, foto, pekerjaan, status, informasi, dan sebagainya, yang mungkin saja berbeda dengan identitas diri yang sebenarnya, yang ditujukan untuk mencari teman di dunia maya.Komunikasi dan interaksi tersebut dapat dilakukan dengan mengomentari tulisan-tulisan atau foto-foto dari orang-orang yang menjadi teman di dunia facebook. Facebook menjadi model dari simulacra karena interaksi dan komunikasi yang terjadi pada masyarakat (individu yang memiliki akun facebook), berlangsung bukan pada realitas sebenarnya, tetapi terjadi di dunia maya yang tanpa batas,yangdianggap lebih nyata dan lebih dekat. Kesimpulan Menurut Baudrillard, yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumeris (consumer society) bukanlah komoditas, melainkan konsumsi tanda dari suatu produk. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan melalui iklan. Peran media terutama iklan sangat mempengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat, karena melalui iklan sebuah produk diperkenalkan kepada masyarakat, dengan
bahasa yang sangat persuasif agar masyarakat membeli produk tersebut. Gaya hidup masyarakat pun mengarah pada gaya hidup yang hedonis, selalu ingin mengonsumsi, dan hidup bermewah-mewahan. Selain itu juga setiap individu pada masyarakat konsumer ingin terlihat berbeda dengan individu yang lainnya, karena gaya hidup seseorang dapat terlihat dari apa yang dikonsumsinya, harga dan merk dari barang atau jasa yang dikonsumsinya. Semakin mahal dan bermerk produk yang dikonsumsi, individu tersebut dikatakan sebagai orang yang hidup pada kelas sosial tinggi (masyarakat kalangan atas). Baudrillard memberi kesadaran bahwa kita memang tidak membeli barang, tetapi membeli tanda yang menyimbolkan diri kita, dalam kelompok mana kita berada. Untuk itu, kita sebagai manusia modern sebaiknya bersikap bijak dalam melakukan praktik konsumsi. Kita membeli sebuah barang bukan karena ada motivasi lain seperti meningkatkan prestise, terbujuk rayuan iklan, dan sebagainya, tetapi kita membeli barang tersebut karena kita memang sangat membutuhkannya. Kita harus bersikap kritis terhadap praktik konsumtif selama ini, memiliki komitmen untuk tidak hidup boros, melakukan skala prioritas kebutuhan, serta tidak hanyut oleh janji-janji yang diberikan iklan. Daftar Acuan Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Society (diterjemahkan dari La Société de consommation, diberi kata pengantar oleh George Ritzer).London: Sage Publications. Baudrillard, Jean. (1994). Simulacra and Simulation (diterjemahkan oleh Sheila Faria Glaser dari Simulacres et Simulation). United States of America : The University of Michigan Press. Chaney, David. (1996). Lifestyle : Sebuah Pengantar Komprehensif. (Penerjemah: Nuraeni). Yogyakarta: Jalasutra. Darmawan, Indra. & Chandrataruna, Muhammad. (2009). Diambil 29 Januari 2013 http://teknologi.vivanews.com/news/read/49413/_pen gguna_blackberry_indonesia_naik_494_persen. Fadhilah. (2011). Relevansi Logika Sosial Konsumsi Dengan Budaya Konsumerisme Dalam Perspektif Epistemologi Jean Baudrillard. Jurnal Universitas Islam 45 Bekasi. Diambil 21 Januari 2013 dari
8
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013
www.ejournalunisma.net/ojs/index.php/kybernan/article/view/306.
Baudrillard dan Herbert Marcuse. Skripsi Program Sarjana bidang filsafat Universitas Indonesia, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010). Jakarta: Balai Pustaka.
Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Kushendrawati, Selu Margaretha. (2006). Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme Global : Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, Desember 2006: 49-57. Lechte, John. (2001). 50 Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas (diterjemahkan dari Fifty Key Contemporary Thinkers oleh A. Gunawan Admiranto). Yogyakarta : Kanisius. Lury, Celia. (1998). Budaya Konsumen (diterjemahkan dari Consumer Culture oleh Hasti T. Champion dan kata pengantar oleh Seno Gumira Ajidarma). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Murti, Andini. (2005). Perbandingan Konsep Consumer Society Dalam Pemikiran Jean
Putri, Dian Kenara. (2012). Anomali Masyarakat Fetish Terhadap Blackberry. Diambil 30 Januari 2013 dari http://www.scribd.com/doc/97160582/AnomaliMasyarakat-Fetish-Terhadap-Blackberry. Sembiring, A.J.J. (2012). Masyarakat Konsumer Dalam Optik Filosofis. Diambil 31 Januari 2013 dari http://www.docstoc.com/docs/115503475/KARYABUKU-AMSTRONG-SEMBIRING-BERJUDULMASYARAKAT-KONSUMER-DALAM-OPTIKFILOSOFIS. 6 Alasan Mengapa Blackberry Masih Menjadi Pilihan. Diambil 8 Februari 2013 dari http://www.updaterus.com/article/techup/6-AlasanMengapa-Blackberry-Masih-Menjadi-Pilihan.
9
Masyarakat konsumeris ..., Mutia Hastiti Pawanti, FIB UI, 2013