JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
1
MASALAH-MASALAH ETIKA DALAM INDUSTRI PARIWISATA* Alois Agus Nugroho Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
[email protected]
Abstract This short paper will address ethical issues related to the tourism industry responsibility towards fellow citizens of the world, even though this paper does not pretend to discuss thoroughly (exhaustive) all potential ethical problems inherent in the business activities of the tourism industry. Ethical issues in the tourism business that has been discussed under the heading of "business ethics" will not be discussed in this paper. To be discussed are the problems more or less typical (specific) in the tourism industry. The purpose of this paper was simply to map the ethical issues been raised in the discourse of tourism, not to argue about the validity of a particular problem to make it as a matter of ethical tourism, or to provide answers about how the tourism ethics problems to be solved. Identify the problems which had been appointed a tourism ethical issues that are expected to lead to prudence (precaution) about the existence of a moral violation that may be faced by the tourism businesses.
Keywords: the tourism industry, ethical tourism, moral
1. Pendahuluan Pariwisata atau turisme dapat didefinisikan sebagai ilmu, kiat (art) dan bisnis untuk menarik para turis atau wisatawan, menyediakan transportasi, akomodasi dan melayani kebutuhan serta keinginan mereka dengan penuh keramahtamahan (McIntosh & Goeldner, 1984: xi). Industri pariwisata, termasuk travel dan transportasi, sudah menempati peringkat kelima dalam bisnis internasional, setingkat dengan industri pertanian, dan
*
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIII, tanggal 28-29 Juni 2013, dan disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
2
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
sesudah –secara berturut-turut– industri minyak bumi, telekomunikasi, peralatan komputer dan otomotif (Lomine, 2012: 201). Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif, pariwisata merupakan sumber devisa ketiga sesudah ekspor minyak dan gas bumi serta ekspor minyak kelapa sawit (http//:www.budpar.go.id). Industri pariwisata bukan hanya menjawab tantangan untuk meningkatkan pendapatan devisa dari pendapatan nonmigas, tetapi juga membantu melepaskan ekonomi Indonesia dari ketergantungannya sejak zaman kolonial pada sektor “primer” atau sektor “ekstraktif”, ketika sektor “sekunder” atau industri manufaktur belum membuat terobosan sehebat yang sudah terjadi di negara-negara Asia Timur, semisal Taiwan dan Korea Selatan. Kondisi ini menuntut agar industri pariwisata memperhatikan kewajiban etisnya lebih dari sekadar memenuhi kewajiban ekonomis berupa keramahtamahan (hospitality). Dalam bahasa Arthur Haulot, mantan Presiden World Tourism Organization, industri pariwisata perlu semakin menyadari adanya tanggung jawab terhadap sesama warga dunia (global citizens) (McIntosh & Gouldner, 1984: ix). Tanggung jawab etis itulah yang tercermin dalam semboyan caveat venditor (hati-hati penjual) sebagai ganti dari semboyan caveat emptor (hati-hati pembeli atau, kalau di Indonesia, teliti dulu sebelum membeli). Tanggung jawab etis bisnis, dalam hal ini bisnis pariwisata, menuntut para pelaku industri pariwisata untuk berhatihati jangan sampai operasi bisnis mereka melanggar etika. 2. Caveat Venditor dalam Industri Pariwisata Tulisan pendek ini akan mengetengahkan masalah-masalah etis terkait dengan tanggung jawab industri pariwisata terhadap sesama warga dunia itu, biarpun tulisan ini tidak berpretensi untuk mengupas tuntas (exhaustive) semua masalah etis yang potensial terkandung dalam aktivitas bisnis dari industri pariwisata. Masalah-masalah etis dalam bisnis pariwisata yang sudah banyak dibahas di bawah judul “etika bisnis” tidak akan dibicarakan dalam tulisan ini. Yang akan dibahas hanyalah masalah-masalah yang sedikit banyak khas (specific) dalam industri pariwisata. Tujuan tulisan ini pun hanyalah untuk memetakan masalah-masalah etis yang pernah diangkat dalam wacana pariwisata, tidak untuk ber-argumentasi tentang validitas untuk menjadikan suatu masalah tertentu itu sebagai persoalan etika pariwisata, atau untuk memberikan jawaban tentang bagaimana masalah etika pariwisata itu hendak dipecahkan. Identifikasi atas masalahmasalah yang pernah diangkat sebagai masalah etika pariwisata itu diharapkan akan menimbulkan kehati-hatian (precaution) tentang adanya Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
3
pelanggaran moral yang mungkin dihadapi oleh para pelaku bisnis pariwisata. Resep-resep konkret pada galibnya tidak dikemukakan karena, dalam etika terapan, penerapan suatu norma perlu memperhatikan ada tidaknya norma-norma lain yang harus diperhatikan dan yang mungkin bertabrakan dengan norma itu, sehingga Ross menggariskan bahwa norma moral itu bersifat prima facie (Timmons, 2003). Dalam etika terapan, faktor-faktor aktual dan situasional juga perlu diperhatikan. Sedemikian, sehingga Ricoeur menyebut etika terapan sebagai tataran phronetis etika atau sebagai “kebijaksanaan praktis” (Ricoeur, 2007: 45-57). Dengan kata lain, bila tulisan ini sudah dapat menyodorkan semacam orientasi, maka tujuannya untuk sebagian besar dapat dianggap sudah tercapai. Sebagai sebuah studi awal, tulisan ini akan mengandalkan diri pada dua teks sumber, yaitu buku Robert W. McIntosh dan Charles R. Goeldner yang berjudul Tourism: Principles, Practices, Philosophies (1984) dan artikel tulisan Loykie Lomine, “Ethics of Global Tourism” yang dimuat dalam Charles Wankel dan Shaun Malleck (eds.) Ethical Models and Applications of Globalization: Cultural, Socio-Political, and Economic Perspectives (2012). Tulisan ini merupakan refleksi dan pengembangan dari kedua teks tersebut. Akan dipetakan tujuh isu etika pariwisata, berturutturut: wisata seks, wisata tragedi, wisata “enclave”, komodifikasi budaya, tujuan wisata yang kontroversial, limbah karbon (carbon footprints) dan pariwisata sebagai fenomena neo-imperialisme. 2.1. Wisata Seks Wisata seks bukan gejala yang tidak biasa dalam praktik pariwisata di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Wakil Presiden Republik Indonesia, waktu itu Jusuf Kalla, pada kesempatan promosi pariwisata berharap agar wisatawan Timur Tengah beramai-ramai datang ke Puncak, Jawa Barat, mencari perempuan untuk dijadikan ”istri” dalam ”pernikahan singkat”. (”Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya”, Kompas, 1 Juli 2006). UNWTO (The United Nations World Trade Organization) mendefinisikan wisata seks sebagai: ”Trips organized from within the tourism sector, or from outside this sector but using its structures and networks, with the primary purpose of effecting a commercial sexual relationship by the tourist with residents at the destination” (UNWTO 1995).
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
4
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
Sebagai sebuah kasus wisata seks, kasus Puncak sebagaimana dikutip di atas mungkin bukanlah contoh yang menonjol dalam gejala turisme global. Di Asia, wilayah semisal Phuket dan Pattaya di Thailand serta Pampanga di Manila jauh lebih terkenal karena tentara Amerika Serikat pernah sering singgah di sana. Di Eropa, daerah Damrak di Amsterdam, Pigale di Paris (dengan kabaret terkenal Moulin Rouge), Reeperbahn di Hamburg, adalah daerah ”pelesiran” yang terkenal untuk kaum pria. Wisata seks bukan hanya monopoli kaum pria. Italia, Yunani dan Spanyol, merupakan daerah wisata seks untuk kaum wanita. Kalau di Amerika, daerah ”pelesiran” kaum wanita adalah di Jamaica serta daerahdaerah lain di kepulauan Karibia, semisal Barbados. Yang lebih jauh lagi juga ada, yakni Afrika. (Lomine, 2012: 203). Para etikawan yang menganggap wisata seks sebagai praktik tidak etis di pihak industri pariwisata biasanya karena mereka menganggap wisata seks identik dengan prostitusi, padahal industri pariwisata bukanlah industri prostitusi. Meskipun prostitusi adalah bisnis yang di banyak negara dianggap tidak melawan hukum, sejauh transaksi dijalankan oleh dua pihak yang sudah dewasa, bebas dan memiliki informasi cukup (free and wellinformed parties), namun para etikawan lazimnya menganggapnya tidak etis, karena merupakan perilaku yang merendahkan martabat manusia (human dignity). Wisata seks dan prostitusi pada khususnya mungkin akan tetap menjadi masalah kontroversial, setidaknya bagi para etikawan ”liberal”, dimana situasi sosial dan ekonomi konkret perlu diperhitungkan dalam penilaian etika terapan, namun tidak jarang hal ini memuat pelanggaran etika yang cukup jelas dan cukup berat, yakni ”human traficking” dan ”child sexual abuse” (Lomine, 2012: 204). PBB mendefinisikan “human trafficking” sebagai: “The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation" (UNESCAP, United Nations Economic and Social Commission for Asia and Pacific, 2012).
Kristina Kangaspunta merangkumkannya menjadi tiga elemen: a) merekrut dan memindahkan atau menerima kepindahan orang-orang dari satu tempat ke tempat lain; b) dengan menggunakan cara-cara yang tidak
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
5
etis, semisal paksaan, penculikan, penipuan, memanfaatkan kerapuhan, menyalahgunakan kekuasaan, membeli atau menjual orang yang bersangkutan; c) dengan maksud yang tidak etis juga, yakni untuk dieksploitasi, dalam bentuk eksploitasi seksual, pekerja paksa, budak, dan lain-lain. (Kangaspunta, 2003: 82-83). Tentang pariwisata yang melibatkan kekerasan seksual pada anakanak, Julia O’Connell Davidson dalam artikelnya yang berjudul ”Sex Tourism and Child Prostitution” mengatakan bahwa wisata seks macam ini sering dianggap hanya melibatkan para paedophiles yang secara khusus bepergian dengan tujuan wisata negara-negara miskin dimana anak-anak di bawah umur pun hidup sebagai budak di rumah-rumah pelacuran. Dalam kenyataannya, lebih sering tidak demikian, melainkan paedophiles itu akan berusaha menjadi teman terpercaya dari anak-anak di bawah umur, yang biasanya dari keluarga-keluarga miskin, untuk kemudian menjadikannya korban ”wisata seks”, dan meninggalkan akibat psikologis yang amat berat pada korban itu. (Davidson, 2000: 54-73). Di Indonesia sendiri, pada 2009 pernah terbetik berita, bahwa pada saat pertemuan AIPO (ASEAN Inter-Parliamentary Organization) pada 2024 Juli 2005 di Siem Reap, Kamboja, ada dua anggota DPR-RI ditangkap polisi setempat pada malam 23 Juli 2005. Mereka ditangkap karena berhubungan seksual dengan gadis-gadis di bawah umur (VivaNews, 21 Oktober 2009). Di negara seperti Kamboja yang tergolong miskin akibat perang saudara, dan di kota seperti Siem Reap yang banyak dikunjungi wisatawan internasional antara lain berkat adanya Angkor Watt, masalah ”child sex tourism” memang tampak nyata, seperti ditunjukkan oleh posterposter di hotel-hotel yang menyatakan bahwa hotel itu bebas dari pemanfaatan anak-anak untuk wisata seksual.1 2.2. Wisata Tragedi Wisata tragedi atau ”dark tourism” mengacu pada perjalanan wisata mengunjungi tempat-tempat dimana pernah terjadi kematian, bencana dan kekejaman. Untuk menyebut jenis wisata ini, juga dipakai istilah ”black tourism” (wisata kelam), grief tourism (wisata duka), dan ”Thanatourism” (wisata kematian). Istilah yang lebih spesifik lagi juga sering dipakai untuk mengacu jenis wisata ini, tergantung dari obyek wisatanya, semisal wisata holocaust, wisata pekuburan, wisata penjara, wisata perang, atau wisata peninggalan masa perbudakan. (Lomine, 2012: 202) 1
Observasi ini dibuat pada bulan Juni 2009. Diobservasi juga bahwa di panti pijat professional yang berada di dekat pasar Siem Reap yang dipadati wisatawan, di ruang pemijatan pria, pemijatnya ialah gadis-gadis yang berusia belasan tahun.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
6
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
Tentu saja kematian, bencana atau kekejaman itu haruslah yang dapat dianggap sebagai ”penanda” penting dalam sejarah lokal, nasional, ataupun kemanusiaan. Untuk dapat disebut wisata tragedi, kunjungan itu pun harus terjadi dalam selang waktu yang lama sesudah tragedi itu terjadi, sehingga dapat dibedakan dengan kunjungan untuk menyampaikan simpati atau rasa belasungkawa. Bahkan andai pun dilakukan sesudah selang waktu yang lama, kalau pengunjungnya adalah sanak kerabat atau keturunan korban, peristiwa itu tidak tepat kalau disebut wisata tragedi. Begitu juga peziarahan religius, tidak tepat juga kalau dimasukkan ke dalam ”wisata tragedi” ini.2 Sebagai sekadar gambaran, yang umumnya dijadikan contoh ke dalam ”wisata tragedi” ini ialah Auschwitz, Polandia (peninggalan kamp konsentrasi Nazi), penjara Tuol Sleng di Phnom Penh, Kamboja (peninggalan rezim ”killing fields” Pol Pot), Hiroshima dan Nagasaki di Jepang (tempat bom atom Amerika dijatuhkan), ”jembatan di atas sungai Kwai” di Thailand (sisa-sisa kekejian tentara Jepang dalam Perang Dunia II) dan sebagainya. Di Indonesia, ruang bawah tanah dari Museum Fatahillah (yang pernah menjadi penjara pada zaman kolonial Belanda) juga menjadi obyek wisata yang ramai dikunjungi. Monumen Lubang Buaya yang disebut Monumen Pancasila Sakti juga pernah dianggap sebagai obyek wisata yang harus dikunjungi, setidaknya pada zaman Orde Baru, karena dalam sejarah resmi Orde Baru dikatakan bahwa Lubang Buaya adalah tempat enam jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat dibunuh secara tragis oleh Partai Komunis Indonesia pada 1965. Wisata tragedi memuat kontroversi etis setidaknya karena dua hal. (Lomine, 2012: 203). Yang pertama adalah kemungkinan menjadikan tempat-tempat yang bergelimang tragedi, kesengsaraan, dan airmata dari mereka yang ditinggalkan, sebagai obyek tontonan komersial. ”Wisata tragedi” merupakan ”disneyfikasi” dari tragedi dan oleh karena itu tidak etis, kata Lomine. Namun demikian, wisata tragedi dapat juga dianggap 2
Dalam pelbagai agama, peziarahan ke makam atau tempat terjadinya tragedi sudah biasa dilakukan. Berziarah ke Tanah Suci, utamanya ke Bukit Golgota tempat Yesus disalibkan, misalnya, tidak dapat disebut “wisata tragedi” begitu saja, karena – dalam tradisi Katolik setidaknya – duka yang muncul dari tragedi Jalan Kesengsaraan (Via Dolorosa) itulah yang harus terus menerus dihayati. Menziarahi jenasah Santa Bernadetta Soubirous di Perancis Selatan juga lazim dilakukan. Begitu juga, bila orang Katolik Jawa menziarahi makam Romo Sanjaya di Muntilan, yang nota bene meninggal dibunuh secara tragis. Dalam konteks ini, para peziarah mungkin dapat dianggap sebagai “kerabat”, “keturunan” dan “pengikut”, yang tidak hanya dimotivasi niat untuk berekreasi atau rasa ingin tahu semata. Meski pun demikian, sebuah poster yang dapat dibaca di kios souvenir di Lourdes cukup menarik; poster itu berbunyi “Religion et Tourisme”.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
7
sebagai wisata yang etis, karena memberikan kesempatan bagi masyarakat modern untuk berhadapan dengan kematian, untuk berefleksi tentangnya. (Stone & Sharpley, 2008: 674-695). Wisata tragedi dapat membuat para wisatawan sadar sejarah, dapat menghargai pengurbanan generasi terdahulu dan dapat belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Yang kedua, wisata tragedi memuat prasangka ideologis yang menentukan situs-situs mana harus dijadikan obyek wisata, sementara situssitus lain yang menjadi tempat terjadinya tragedi yang tidak kalah signifikan tidak dijadikan obyek wisata. Prasangka ideologis ini tampak dalam monumen Lubang Buaya. Dari kasus Lubang Buaya ini tampak bahwa pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan sejarah, ditentukan pula oleh kekuasaan. Apa yang disebut peristiwa Lubang Buaya diperingati dalam bentuk monumen, namun pembantaian terhadap beratus-ratus ribu orang yang dituduh simpatisan dan anggota PKI dicoba masukkan ke dalam amnesia historis.(Rossa, 2006) Ini memperkuat tesis pemikir post-modern Perancis, Michel Foucault, tentang primacy kekuasaan atas pengetahuan, sebagai kebalikan dari semboyan Francis Bacon, “Knowledge is Power”. (Foucault, 1980). 2.3. Wisata “Enclave” Enclave tourism ialah wisata yang dijalankan di tujuan-tujuan wisata yang eksklusif, cenderung tertutup, biasanya di pantai-pantai daerah tropis, sebagaimana – misalnya – diselenggarakan oleh Sandals Resorts atau Club Mediterranean. (Lomine, 2012: 204). “Enclave” sebenarnya konsep yang berasal dari geografi dan ilmu hubungan internasional yang mengacu pada sepetak daerah yang sepenuhnya dikelilingi oleh wilayah negeri asing, semisal Berlin Barat pada masa Perang Dingin, atau Oekusi wilayah Timor Leste yang terletak di tengah-tengah wilayah Timor Barat (Indonesia). Wisata enclave beranalogi dengan kantung-kantung geografis dan diplomatis itu dalam arti bahwa daerah wisata enclave itu bagaikan “terkepung” oleh wilayah masyarakat dan kebudayaan lokal, namun hampir samasekali tidak tergantung pada daerah dan masyarakat sekelilingnya, sehingga dapat terus mempertahankan sifatnya yang eksklusif. Di kawasan Nusadua, Denpasar, misalnya, para pengunjung biasa dan bahkan penduduk lokal sering tidak dapat memiliki akses pada daerah-daerah pantai karena hotel-hotel dengan nama-nama besar yang ada di situ telah menjadikannya bagian dari wisata enclave dengan dalih keamanan dan kenyamanan para wisatawan. Salah satu penelitian mengenai enclave tourism yang sudah dianggap klasik ialah penelitian yang mengambil kasus turisme di Bali, Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
8
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
Bintan dan Lombok, yang dipublikasikan dengan judul “Sun, Sand and Sales: Enclave Tourism and Local Entrepreneurship in Indonesia” (Shaw & Shaw, 1999). Penelitian ini menyimpulkan bahwa penanaman modal dari luar yang dipakai untuk menghidupkan daerah wisata enclave ini ternyata tidak dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi lokal, sebagaimana diharapkan oleh teori-teori “modernisasi”, karena memarginalkan para wirausahawan lokal serta memperlebar kesenjangan ekonomi, sosial dan kultural yang telah ada di antara wisatawan dan penduduk lokal. Sebenarnya dengan hasil temuan Shaw & Shaw, yang dijadikan salah satu rujukan Lomine, penelitian Mark Hampton antara lain di pulau Bintan menunjukkan hasil yang kurang lebih sama. Penelitian berjudul “The Socio-economic Impacts of Singaporean Cross-Border Tourism in Malaysia and Indonesia” itu memang menunjukkan bahwa selain pemodal dari Singapura, pemodal lokal juga berpartisipasi dalam BBIR (Bintan Beach International Resort). Pemodal lokal ini memang berkebangsaan Indonesia namun tidak berasal dari Kepulauan Riau, apalagi dari Pulau Bintan. Begitu juga dalam persoalan SDM. Tenaga kerja BBIR memang untuk sebagian besar berkebangsaan Indonesia, tetapi sedikit sekali yang berasal dari Kepulauan Riau apalagi Pulau Bintan. (Hampton, 2010: 16-20) Dari sudut etika, Loykie Lomine menyoroti tiga hal yang membuat wisata enclave ini dapat menjadi tidak etis. Pertama, hasil usaha wisata enclave ini tidak dapat dinikmati oleh penduduk lokal yang “tanah air”nya dijadikan tujuan wisata; para pemodal yang secara legal memiliki enclave itu biasanya merepatriasi keuntungan bisnis pariwisata itu ke negeri atau daerah tempat modal itu berasal, atau menginvestasikannya lagi ke wilayah lain. Kedua, sedikit sekali interaksi antara para wisatawan dengan penduduk lokal, kalau pun ada hanyalah interaksi antara para wisatawan dengan para staf resor yang digaji rendah. Ketiga, pariwisata enclave hampir tidak membuka peluang bagi para wirausahawan lokal untuk mengembangkan sektor-sektor informal dalam bisnis pariwisata, karena para wisatawan hampir tak pernah meninggalkan enclave mereka kecuali bagi acara kunjungan yang sudah terjadual sebelumnya. (Lomine, 2012: 204). 2.4. Pelanggaran Hak Asasi Salah satu isu yang muncul dalam wacana tentang etika pariwisata ialah hubungannya dengan hak-hak asasi manusia. George dan Varghese dalam “Human Rights and Tourism: Conceptualization and Stakeholder Perspectives” menganalisis hak-hak asasi setiap pemangku kepentingan dalam industri pariwisata: baik wisatawan sebagai individu manusia, para pebisnis yang bergerak dalam bidang pariwisata, para manajer, para pekerja
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
9
dalam industri tersebut, pemerintah, serta penduduk lokal dari tempattempat tujuan wisata. (George & Varghese, 2007). Dari perspektif etika, Lomine terutama memfokuskan diri pada hakhak asasi manusia dari penduduk lokal dalam hubungannya dengan pemerintah yang negerinya dijadikan tujuan wisata. Dari sudut etika, berwisata ke negara-negara dengan rezim politik yang menindas rakyat dan melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia rakyatnya dapatlah dianggap “mendukung”, atau setidaknya “memaafkan”, rezim pelanggar hak-hak asasi manusia itu. Sebagai contoh tujuan wisata semacam itu adalah Burma, yang mendapat liputan luas oleh media internasional karena peranan tokoh oposisinya, Aung San Suu Kyi. (Lomine, 2012: 201-202). Pada 1990, Aung San Suu Kyi terpilih dalam pemilu demokratis, namun ditangkap dan dijatuhi tahanan rumah oleh junta militer. Sejak itu, pelanggaran demi pelanggaran hak asasi terjadi di Burma. Dalam kaitannya dengan pariwisata, pelanggaran hak asasi itu berupa penggusuran penduduk secara paksa dan tanpa ganti rugi oleh pemerintah guna membangun hotelhotel dan fasilitas-fasilitas wisata dan praktik-praktik kerja paksa untuk melaksanakan pembangunan itu. Pada 1996, tatkala junta militer Burma mencanangkan “Visit Myanmar”, partai oposisi utama Liga Demokrasi Nasional, bahkan Suu Kyi sendiri, meminta publik internasional untuk memboikot wisata ke Burma atau Myanmar. Seruan ini mendapat sambutan terutama di Inggris, bekas penguasa kolonial Burma. Data 2009-2010 saja menunjukkan bahwa jumlah wisatawan asing di Myanmar hanyalah 200.000 orang, jauh lebih sedikit dibanding negara tetangga Vietnam (4 juta orang), apalagi Thailand (14 juta orang). Beruntung, sejak Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah, November 2010, partai yang dipimpinnya mencabut seruan boikot itu dan mengundang para turis masuk ke Myanmar “untuk memajukan kesejahteraan rakyat kebanyakan, melestarikan alam dan memperoleh wawasan tentang kehidupan sosial, politik dan budaya, sambil bersenang-senang menikmati liburan di Burma”. (Ben Doherty, 2011). Kajian Lomine sebenarnya mempertanyakan adanya sikap tidak taatasas dalam tanggapan industri pariwisata terhadap seruan boikot ini, karena industri pariwisata tetap mendatangkan banyak wisatawan ke Cina dan Amerika Serikat, biarpun media juga memberitakan pelanggaran hak asasi Cina terhadap penduduk Tibet serta pelanggaran hak asasi Amerika Serikat terhadap - antara lain – sebagian negeri Amerika Latin dan Timur Tengah. (Lomine, 2012: 202). Dapat pula ditambahkan, industri pariwisata global tidak memboikot Indonesia ketika pada 1996 pemerintah Orde Baru mencanangkan “Visit Indonesia Year” sebagai bagian dari “Visit Indonesia
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
10
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
Decade”, sementara dua tahun sebelumnya publik internasional sudah menyoroti pelanggaran-pelanggaran hak asasi yang dilakukan Indonesia di Timor Leste. (Amnesty International, 1994; Human Rights Watch, 1994) Dengan kata lain, industri pariwisata secara etis sudah peka terhadap rezim yang melanggar hak-hak asasi warganya sendiri di negeri sendiri. Yang masih harus dikembangkan ialah kepekaan kepada penindasan yang dilakukan oleh sebuah rezim pemerintahan kepada penduduk lokal di negara lain atau di wilayah lain. Supaya taat asas, baik penindasan intranasional maupun penindasan internasional perlu memperoleh porsi perhatian yang sama. 2.5. Komoditisasi Kebudayaan Lokal Industri pariwisata sebagaimana dijalankan saat ini, justru karena sifatnya sebagai industri jasa, mempunyai masalah etis cukup hakiki dalam hal menjadikan unsur-unsur kebudayaan lokal sebagai produk, atau komoditas. Unsur-unsur kebudayaan, semisal tarian, rumah adat, tempat ibadah, benda-benda sakral, makanan yang dihidangkan khusus untuk menyambut hari-hari tertentu dan lain sebagainya, kemudian hanya diperlakukan sebagai obyek konsumsi hasil produksi massa yang disajikan untuk kepuasan para wisatawan dan dilepaskan dari konteks dan makna spiritualnya. (Lomine, 2012: 205). Hal-hal spiritual dan kultural dari masyarakat lokal direduksi menjadi komoditas. Motif spiritual dan kultural yang menggetarkan tubuh seorang penari Barong di Batubulan, Bali, misalnya, tersisih dan harus memberi tempat kepada motif ekonomis. (Sudiana, 2006). Komoditisasi kebudayaan lokal ini dapat juga menimbulkan kebingungan psikologis sosial pada masyarakat lokal. Identitas budaya mereka yang otentik sering harus disesuaikan dengan identitas budaya mereka sebagaimana diharapkan oleh dunia luar. Identitas budaya mereka sering harus disesuaikan dengan – dalam bahasa bisnis – harapan pelanggan (customer expectation). Dalam artikel berjudul “Commoditizing Culture: Tourism and Maya Identity”, Laurie Kroshus Medina menemukan bagaimana kebingungan semacam itu terjadi pada masyarakat lokal yang tinggal di sekitar reruntuhan peninggalan peradaban suku Maya di Belize (Medina, 2003). Untuk menyesuaikan diri dengan harapan pelanggan, masyarakat lokal mempelajari pelbagai publikasi hasil penelitian arkeologis dan semiotika tentang peradaban Maya kuno dan berperilaku sesuai dengannya, namun terus dibayangi keraguan tentang apakah nenek moyang mereka dulu memang berperilaku seperti ditafsirkan oleh para ahli dari peradaban modern itu.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
11
Komoditisasi kebudayaan lokal juga menimbulkan konflik sosial dan psikologis antara pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal serta antara pelbagai unsur dalam masyarakat lokal itu sendiri. Dalam artikel berjudul “Cultural Commoditization in Tana Toraja, Indonesia”, Kathleen M. Adams mengungkap temuan dari hasil penelitiannya tentang dampak dari penunjukan Toraja sebagai “obyek wisata” (Adams, 1990). Para perencana di ranah industri pariwisata (yang pada umumnya datang dari Jawa) hanya memperhitungkan potensi-potensi ekonomis bila suatu area tertentu dijadikan obyek wisata. Para pelaku industri pariwisata ini kurang memperhitungkan keterkaitan erat antara rumah adat (tongkonan) dan identitas kultural dan sosial masyarakat lokal. Berdasar potensinya sebagai komoditas budaya, para perencana itu menetapkan desa-desa tertentu sebagai obyek wisata “resmi” dan mengesampingkan desa-desa yang lain. Penetapan itu merusak “hirarki” hubungan antar desa, karena secara tradisional setiap desa punya hubungan dengan “keluarga” bangsawan yang sudah diakui tempatnya dalam “hirarki” sesuai dengan senioritas dalam kedekatan hubungan dengan nenek moyang yang turun gunung berabad-abad lalu. Komoditisasi budaya telah menetapkan desa-desa yang dalam hirarki berperingkat “lebih rendah” menjadi “obyek wisata resmi” dan mengesampingkan desa-desa yang dalam hirarki antar desa berperingkat “lebih tinggi”. Komoditisasi budaya secara tak sengaja telah menaikkan derajat bangsawan dengan hirarki lebih rendah dan dengan demikian menggerogoti prestise mereka yang berada dalam hirarki lebih tinggi. 2.6. Jejak Karbon (Carbon Footprint) Industri pariwisata bagaimana pun berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam dan menimbulkan pencemaran alam. Sekadar contoh, untuk membangun prasarana pariwisata, perlu dibuka lahan untuk bandarbandar udara dan hotel-hotel dari pelbagai kelas, hutan tropis dan terumbu karang kadang-kadang harus “dibenahi” agar para wisatawan punya akses untuk menyaksikannya. Di atas semua kepedulian lingkungan itu, yang terutama relevan dan aktual ialah kepedulian etis yang mengaitkan pariwisata dengan perhitungan “jejak karbon” (carbon footprints) (Lomine, 2012: 205). Konsep “jejak karbon” tak dapat dilepaskan dengan konsep “efek rumah kaca” (green house effect) dan dengan “perubahan iklim” (climate change) atau yang lebih populer dengan “pemanasan global” (global warming). “Jejak karbon” mengacu pada jumlah emisi GHG (greenhouse gasses), utamanya karbondioksida, yang dihasilkan dalam memproduksi dan mengonsumsi barang dan jasa pada tingkat perusahaan, industri atau pun seluruh kegiatan perekonomian (Dwyer et.al, 2010: 355). Jejak karbon dinyatakan dalam ukuran berat (ton, kwintal, kg). Pada tingkat individu,
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
12
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
misalnya, 1 kg CO2 dihasilkan bila seseorang naik pesawat komersial sejauh 2,2 km, atau bekerja dengan komputer selama 32 jam, atau naik kendaraan umum (mobil, kereta api) sejauh 10 km. Jumlah jejak karbon yang sama juga dihasilkan untuk memproduksi 5 tas plastik, atau 2 botol plastik, atau sepotong burger keju (http/:www.timeforchange.org). Tingkat jejak karbon berbanding lurus dengan dampaknya berupa efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi karena panas bumi tidak dapat disebarkan ke luar atmosfer karena terserap oleh karbondioksida sebagai gas rumah kaca serta dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Akibat dari efek rumah kaca ini ialah semakin panasnya permukaan bumi (global warming) yang menimbulkan perubahan iklim di seluruh bumi. Perubahan iklim ini diduga akan menimbulkan dampak negatif amat besar pada kondisi geografis, sosial, ekonomis dan kultural dari masyarakat global Oleh karena itu, PBB sudah beberapa kali menggelar Konferensi tentang Perubahan Iklim, berturut-turut di Montreal, Canada (2005), Nairobi, Kenya (2006), Bali, Indonesia (2007), Poznan, Polandia (2008), Copenhagen, Denmark (2009), Cancun, Mexico (2010) dan Durban, Afrika Selatan (2011). Korelasi antara pariwisata dan tingkat jejak karbon sudah mulai banyak diteliti. Paul Peeters dan Frans Schouten, misalnya, telah meneliti jejak karbon (yang masih mereka sebut “jejak ekologis”) yang ditimbulkan oleh wisatawan yang berkunjung ke Amsterdam. Mereka menemukan bahwa 70% dari jejak karbon yang ditimbulkan oleh industri pariwisata berasal dari transportasi dari dan ke Amsterdam, 21% dari akomodasi, 8% dari atraksi wisata dan kegiatan waktu senggang lainnya, 1% dari transportasi lokal. Yang agak mengejutkan, para wisatawan dengan durasi tinggal yang lama (long haul tourists) menyumbang 70% jejak karbon, sementara secara ekonomi hanya menyumbang kurang dari 25% dari seluruh pendapatan industri pariwisata. Mereka mengusulkan, mitigasi tingkat jejak karbon dilakukan dengan mendorong wisata jangka pendek (short haul tourism), dan peluang ini mungkin dilakukan karena di Amsterdam – utamanya pada musim liburan – permintaan akomodasi jauh melebihi penawaran. (Peeters & Schouten, 2006). Kesadaran wisatawan tentang korelasi antara pariwisata dan tingkat jejak karbon itu juga menjadi obyek penelitian dari Bob McKercher dan kawan-kawan. Dengan mengambil sampel para wisatawan dari Hong Kong, temuan mereka memperkuat anggapan bahwa ada jurang antara kesadaran ekologis dengan kesediaan berperilaku yang sesuai dengan kepedulian itu. Dengan membedakan “wisatawan internasional reguler”, yakni mereka yang secara reguler berwisata ke luar negeri”, dengan “wisatawan yang kurang aktif bepergian”, mereka sampai pada kesimpulan bahwa, satu, tingkat kesadaran ekologis berkorelasi positif dengan tingkat kekerapan berwisata
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
13
ke luar negeri dan, dua, tingkat kesediaan untuk mengubah perilaku berkorelasi negatif dengan tingkat kekerapan berwisata ke luar negeri. (Bob McKercher et.al., 2010). 2.7. Pariwisata dan Pascakolonialisme. Di negara-negara Dunia Ketiga yang pada umumnya bekas jajahan, pariwisata yang melibatkan wisatawan mancanegara tidak jarang masih mengidap hal-hal yang dapat dianggap sebagai reproduksi dari masa kolonial. Pelbagai gejala pada dunia pariwisata yang membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran etika, seperti sudah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya –wisata seks, wisata tragedi, wisata enclave, hak asasi, komoditisasi budaya, carbon footprints– bila dijalankan di Dunia Ketiga, untuk sebagian besar akan memuat reproduksi dari eksploitasi masa kolonial. Lomine mengutip pepatah Perancis yang mengatakan:”le touriste est un envahisseur qui paye”, turis ialah orang yang melakukan invasi tapi dengan membayar – dan karena itu merasa memiliki. (Lomine, 2012: 205). Lomine menunjuk fakta bahwa banyak wisatawan datang dari negara-negara yang pada zaman dahulu merupakan kekuatan-kekuatan kolonial di dunia, mereka tiba di tujuan wisata dengan “prasangka kolonial” serupa dengan nenek moyang mereka terhadap penduduk dan budaya lokal. Mereka berharap, misalnya, agar penduduk lokal sudah mampu berbahasa Inggris dan berperilaku dengan menggunakan etiket Barat (Lomine, 2012: 205) Barangkali, itu semacam bukti bahwa kolonialisme sebenarnya tidaklah bermotif buruk melainkan bermotifkan “memberadabkan penduduk lokal”, sebagai realisasi “white man’s burden”, tugas moral yang harus dipikul bangsa kulit putih.3 Harapan wisatawan sebagaimana digambarkan Loyke Lomine itu tentunya merupakan harapan wisatawan Inggris, karena secara historis kolonialisme Inggris didorong oleh kapitalisme yang mencari pasar dan, oleh karena itu, berusaha menjaga dan meningkatkan daya beli penduduk lokal. Wisatawan dari Belanda, atau dari eks kekuatan kolonial yang didorong oleh kapitalisme yang mencari bahan mentah, tentu memiliki harapan yang berbeda pula bila mereka berwisata ke Indonesia atau Suriname. Wisatawan dari eks kekuatan-kekuatan kolonial yang didorong oleh kapitalisme yang mencari tenaga kerja akan berbeda pula ekspektasinya. Hal yang sama menjadi bahan observasi Ranjan Bandhyopadhyay. Dalam artikelnya, “You Can Do Anything in Goa, India: A Visual 3
Istilah White Man’s Burden berasal dari judul puisi yang dipublikasi pada 1899 dan diciptakan oleh penyair Inggris, Rudyard Kipling, untuk mendeskripsikan secara puitis kolonisasi Filipina oleh Amerika Serikat. White Man’s Burden adalah dalih luhur (rasionalisasi moral) bagi penjajahan Amerika di Filipina.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
14
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
Ethnography of Tourism as Neocolonialism”, Bandyopadhyay menguraikan bagaimana media dewasa ini menampilkan obyek-obyek wisata di negaranegara bekas jajahan dengan tetap menggunakan “imperial eyes”, sedemikian sehingga Goa tetap divisualisasi sebagai tempat dimana wisatawan bisa dan boleh melakukan apa saja, sebuah tempat di mana “the fun never stops” (Burns et.al., 2010: 200-208). Singkatnya, menurut John Brohman dalam artikelnya berjudul “New Directions in Tourism for Third World Development”, pariwisata di Dunia Ketiga memuat risiko pelanggaran moral berupa “menguatnya kembali pola-pola neokolonial dalam bentuk polarisasi spasial dan sosioekonomis” (Huybers, 2007: 34). Hazel Tucker dan John Akama dalam “Tourism and Colonialism” mengobservasi bahwa dalam industri pariwisata global, tujuan-tujuan wisata di Dunia Ketiga masih menunjukkan adanya ketergantungan sosioekonomis pada negara-negara bekas penjajah serta mengalami alienasi kultural dikarenakan adanya harapan bekas penjajah (Jamal & Robinson, 2009: 504-517). 3. Penutup Sebagai kegiatan bisnis, pariwisata atau turisme ialah bisnis yang agak istimewa bila dibanding dengan bisnis produk dan jasa lainnya. Bisnis pariwisata melibatkan travel dan transportasi, jasa akomodasi atau penginapan, produk makanan dan minuman, produk souvenir dan – teristimewa – apa yang disebut “obyek wisata”, baik itu keindahan alam, peristiwa historis, ataupun kekayaan budaya, yang kesemuanya tak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat lokal. Bisnis pariwisata boleh dikatakan merupakan contoh utama untuk mengilustrasikan hubungan antara bisnis dengan masyarakat lokal selaku pemangku kepentingan (stakeholders). Etika berperanan amat penting dalam mengkaji dan menilai hubungan ini. Tujuh isu etika pariwisata telah dipaparkan dalam artikel ini, berturut-turut: wisata seks, wisata tragedi, wisata “enclave”, komodifikasi budaya, tujuan wisata yang kontroversial, limbah karbon (carbon footprints) dan pariwisata sebagai fenomena neo-imperialisme. Isu-isu etika pariwisata ini dimengerti sebagai hal yang memuat risiko pelanggaran moral, artinya hal-hal itu bukan merupakan perilaku tidak etis dalam dirinya sendiri, melainkan memuat peluang tinggi bagi terjadinya pelanggaran etika. Pariwisata pada dirinya sendiri tentu tidak dapat dikatakan sebagai fenomena neo-kolonialisme atau neo-imperialisme. Tetapi akan menjadi demikian, bila menunjukkan karakteristik tertentu dalam kaitannya dengan masyarakat lokal. Begitu pula dengan masalah-masalah lain yang muncul dalam etika industri pariwisata.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
15
Masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan dalam industri pariwisata merupakan tolok ukur penting. Dari sudut etika deontologi, masing-masing dari tujuh hal itu akan menjadi pariwisata tidak etis, bila melanggar hak asasi masyarakat lokal atau memperlakukan masyarakat lokal secara tidak adil. Dari sudut utilitarisme, masing-masing dari tujuh hal itu akan menjadi pariwisata tidak etis, bila menelantarkan kepentingan masyarakat lokal dan menjadikannya sebagai pihak yang harus menanggung kerugian, apalagi bila kerugian itu berupa hal-hal yang bersifat kultural, sosial dan menyangkut hal hakiki dalam hidup mereka (semisal identitas diri), sementara pihak-pihak lain (para wisatawan sebagai konsumen, para pemilik modal dalam bisnis pariwisata, pemerintah sebagai penerima pajak, dan sebagainya) mendapatkan pelbagai manfaat dari industri pariwisata ini. Artinya, masalah etika industri pariwisata akan muncul bila hak asasi masyarakat lokal dilanggar atau masyarakat lokal diperlakukan secara tidak adil.
Daftar Pustaka Adams, Kathleen M. “Cultural Commoditization in Tana Toraja, Indonesia”, dalam Cultural Survival Quarterly, Volume 14 Issue 1, (1990): 31-34. Amnesty International. Power and Impunity: Human Right Under the New Order. London: Amnesty International. 1994. Burns, Peter M. & Lester, Jo-Anne & Bibbings, Lyn. Tourism and Visual Culture: Methods and Cases. Cambridge Ma & Oxfordshire: CABI. 2010. Davidson, Julia O’Connell. ”Sex Tourism and Child Prostitution”, dalam Stephen Clift & Simon Carter (eds.), Tourism and Sex: Culture, Commerce and Coercion, London: Continuum. 2000. Doherty, Ben, “Suu Kyi’s Party Ends Opposition to Tourism”, The Sidney Morning Herald, May 30, 2011. Dwyer, Larry & Forsyth, Peter & Spun, Ray & Hoque, Serajul, “Estimating the Carbon Footprint of Australian Tourism”, dalam Journal of Sustainable Tourism, Volume 118, Issue 3 (2010): 355-376. Foucault, Michel. Power/Knowledge, New York: Pantheon Books. 1980.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
16
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
George, Babu P. & Varghese, Vinitha. “Human Rights and Tourism: Conceptualization and Stakeholder Perspectives”, dalam Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies, Volume 12, No. 2, (2007): 40-48. Hampton, Mark. “Enclaves and Ethnic Ties: The Local Impacts of Singaporean Cross-border Tourism in Malaysia and Indonesia”, dalam Singapore Journal of Tropical Geography, Volume 31, Issue 2, (2010): 239-253. Human Rights Watch. The Limits of Openness: Human Rights in Indonesia and East Timor. New York: Human Rights Watch. 1994. Huybers, Twayn. Tourism in Developing Countries. Glos (UK) and Northampton MA (USA): Edward Elgar Publishing Inc. 2007. Jamal, Tazim & Robinson, Mike. The SAGE Handbook of Tourism Studies. London: Sage. 2009. Kangasunta, Kristina. ”Mapping The Inhuman Trade: Preliminary Findings of the Database on Trafficking in Human Being”, dalam Jan van Dijk & Vincenzo Rugiero, Forum On Crime and Society, Volume 3, No. 1-2, Desember, (2003): 82-83. Lomine, Loykie. “Ethics of Global Tourism”, dalam Charles Wankel & Shaun Malleck (eds.) Ethical Models and Applications of Globalization: Cultural, Socio-Political, and Economic Perspectives. Hershey PA: IGI Global Publishing. 2012. McKercher, Bob & Prideaux, Bruce & Cheung, Catherine & Law, Rob. “Achieving Voluntary Reductions in the Carbon Footprint of Tourism and Climate Change”, dalam Journal of Sustainable Tourism, Volume 18, Issue 3, (2010): 297-317. Medina, Laurie Kroshus. “Commoditizing Culture: Tourism and Maya Identity”, dalam Annals of Tourism Research, Volume 3, Issue 2, April (2003): 353-368. Peeters, Paul & Schouten, Frans. “Reducing the Ecological Footprint of Inbound Tourism and Transport to Amsterdam”, dalam Journal of Sustainable Tourism, Volume 14, Issue 2, (2006): 157-171. Roosa, John. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’Etat in Indonesia. Madison: The University of Wisconsin Press. 2006.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 1-17
17
Shaw, Brian J. & Shaw, Gareth. “Sun, Sand and Sales: Enclave Tourism and Local Entrepreneurship in Indonesia”, dalam Current Issue in Tourism, Volume 2, Issue. 1, (1999): 68-81. Stone, Philip & Sharpley, Richard. ”Consuming Dark Tourism: A Thanatological Perspective”, dalam Annals of Tourism Research, Volume 35, Issue 2, April (2008): 674-695. Sudiana, I Gusti Ngurah. “Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Bali”, dalam Akademika, Jurnal Kebudayaan, Volume 4, No. 1, April 2006.
Masalah-Masalah Etika dalam Industri Pariwisata