CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku Center for Security and Peace Studies (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian) Sekip K-9 Yogyakarta 55281 Phone: 62 274 520733 Email:
[email protected]
Universitas Gadjah Mada
http://csps.ugm.ac.id
Moch. Faried Cahyono Hasby Yusuf
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang Dalam Konflik Enam Desa di Maluku Utara Paper No 4 April 2013 Tools Pencegahan Konflik dan Best Practices untuk Industri Ekstraktif 1
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang Dalam Konflik Enam Desa di Maluku Utara1 Moch. Faried Cahyono Hasby Yusuf
Salah satu paradoks pembangunan ekonomi adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Di satu sisi barang dan jasa yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan manusia melimpah ruah, di sisi lain kualitas lingkungan hidup terus mengalami penurunan, jurang ketimpangan ekonomi dan sosial semakin melebar, kemiskinan meningkat, sementara pengangguran menghantui jalannya pembangunan. Dalam prinsip ekonomi disebutkan bahwa manusia rasional akan termotivasi memperebutkan sumberdaya yang langka (scarce) apabila ada padanya pilihanpilihan (choices) yang paling menguntungkan. Adanya keuntungan (insentif) yang bisa didapatkan akan menjadi penggerak baginya. Selanjutnya perlombaan merebut sumberdaya akan memunculkan persaingan ekonomi. Manusia yang rasional akan berupaya menggunakan input atau modal yang serendah mungkin untuk keuntungan (gains) ekonomi yang besar. Persaingan menempatkan mereka yang lebih efisien memenangkan pertarungan memperebutkan sumberdaya yang tersedia. Akan tetapi perlombaan ini tidak saja menghasilkan kompetisi ekonomi tetapi juga konflik. Pada kenyataannya, perilaku rasional tidak selalu berlaku. Buku-buku teks ekonomi kontemporer, menekankan pentingnya diperhatikan perilaku non-rasional pihak-pihak dalam perekonomian.2 Yang berkaitan dengan kebijakan publik, pelaku ekonomi yang penting disikapi karena sikapnya yang kadang bisa disebut non-rasional adalah para Politisi. Para politisi, baik yang ada di pemerintahan maupun di parleman, sering memutuskan kebijakan publik dengan substansi yang berbeda dengan amanah yang diembannya. Tidak rasionalnya
perilaku ekonomi para politisi ini bisa dilihat dengan kebijakan yang merusak lingkungan, membuat masyarakatnya menderita. Mereka juga sering memutus pilihan penyediaan barang dan jasa publik dengan kualitas rendah atau lebih rendah dari seharusnya, dengan harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini, para politisi bertindak sebagai pencari rente (rent seeking), sementara tindakannya bersifat jangka pendek untuk kepentingan memperebutkan suara. Dampak dari perilaku ini adalah konflik kekerasan. Ruang konflik itu, banyak terjadi di wilayah dengan sumberdaya alam. PBB dalam salah satu laporannya menyebut bahwa, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik sudah menyebabkan konflik berdarah di banyak negara.3 Pelaku ekonomi yang tidak rasional, mengedepankan keuntungan jangka pendek dan mengabaikan keuntungan bersama jangka panjang, sehingga menciptakan apa yang bisa dianalogkan dengan terjadinya tragedi, dimana sumberdaya yang seharusnya milik bersama yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama rusak karena eksploitasi yang berlebih. Dalam konteks ekonomi modern, sumberdaya alam adalah harta milik bersama (common resources), dimana melalui mekanisme tertentu pada dasarnya semua orang berhak untuk mendapatkan manfaatnya. Tetapi sumberdaya alam adalah jenis barang yang excludable namun rival.4 Jika sudah ada orang atau kelompok yang mengeksploitasi, memanfaatkan atau memanennya, maka kesempatan orang lain untuk mendapatkan manfaatnya akan berkurang. Karena itu penting sekali mekanisme dibuat agar pemanfaatan sumberdaya alam menghasilkan
kemanfaatan bersama secara adil dan merata dalam jangka panjang, dan tidak hanya menguntungkan salah satu atau sebagian pihak saja dalam jangka pendek. Mengapa mengapa eksploitasi sumberdaya alam tidak menguntungkan semua pihak? Mengapa yang mendapat manfaat hanya sedikit pihak? Biasanya swasta besar, sedikit elit di pemerintahan dan wakil rakyat? Sebab pokoknya adalah karena sumberdaya alam tidak disikapi sebagai harta kekayaan milik bersama. Rakyat banyak dianggap tidak berhak ikut mendapatkan manfaat. Akibatnya, pengambil kebijakan melakukan langkah yang merugikan rakyat. Dampak sampingan (eksternalitas) atas kebijakan pemerintah tidak diantisipasi. Demikian pula dampak sampingan yang dilakukan karena kegiatan produksi maupun konsumsi pihak swasta maupun sebagian warga masyarakat atas sebagian masyarakat yang lain, tidak pula diantisipasi. Tulisan ini akan membahas soal konflik enam desa di Maluku Utara sebagai persoalan ekonomi, khususnya dengan pendekatan ilmu ekonomi terutama menyangkut pengelolaan sektor publik. Fokus perhatian terutama menyangkut dampak (eksternalitas) baik berupa dampak kebijakan pemerintah, maupun dampak perilaku produksi dan konsumsi dari pihak swasta dan masyarakat yang menjadikan pihak lain (masyarakat) menjadi korban. Masalah lain yang didiskusikan sebagai sebab konflik enam desa adalah soal bagi hasil tambang. Dua hal tersebut, eksternalitas (kebijakan, produksi dan konsumsi) dan soal bagi hasil tambang, selama ini tidak cukup didiskusikan secara jernih oleh pihak-pihak khususnya elit pemerintahan dan wakil rakyat baik di tingkat pusat dan daerah, sehingga pemecahan yang lebih baik, adil dan transparan, tidak didapatkan. Persoalan lain menyangkut dimensi sosial dan politik konflik 6 desa, dijelaskan dalam tulisan yang lainnya.
Eksternalitas dan Konflik 6 Desa Ekternalitas atau dampak sampingan dapat terjadi ketika pihak-pihak melakukan tindakan, baik yang bersifat produksi maupun
konsumsi.5 Dalam masyarakat modern yang kompleks pelaku eksternalitas sering tidak tunggal, tetapi bisa merupakan kombinasi pelaku dari pihak pemerintah yang memproduksi kebijakan, swasta maupun masyarakat yang bertindak ekonomi berupa produksi maupun konsumsi. Eksternalitas yang dihasilkan pihakpihak tersebut dapat bersifat positif maupun negatif.6 Eksternalitas biasanya dikenakan pada perilaku produksi dan konsumsi masyarakat dan swasta. Tetapi, menurut kami, pemerintah pun sebagai entitas ekonomi, dapat pula menghasilkan eksternalitas. Contoh eksternalitas yang dilakukan oleh pemerintah adalah soal produk kebijakan pemerintah misalnya dalam pembangunan. Dengan kebijakan yang dihasilkan, pemerintah dapat menyediakan jalan, jembatan dan prasarana umum yang positif hasilnya. Tetapi sebaliknya juga dapat menciptakan penderitaan bagi sebagian warga yang tergusur. Bagi swasta, pendirian sebuah pabrik, selain menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi di lingkungannya juga dapat menghasilkan polusi dan limbah yang mencemari lingkungan, serta membuat air tak bisa dikonsumsi, sementara warga dapat menurun kesehatannya. Sedang tindakan produksi dan konsumsi pribadi warga masyarakat menciptakan eksternalitas pada pihak lain. Warga yang memiliki anjing, misalnya, di satu sisi membantu keamanan lingkungan, tetapi di sisi yang lain membuat ketidaknyamanan warga yang tidak bisa mentolerir gonggongan maupun kotorannya. Persoalan produk sampah dan limbah rumah tangga di kota-kota besar, kini sudah menjadi masalah eksternalitas yang tidak mudah dipecahkan. Point pentingnya kemudian adalah, jika eksternalitas positif menjadi harapan semua pihak, maka bagaimana eksternalitas yang bersifat negatif yang tidak bisa dihindari, dapat ditenggang atau diterima oleh pihak-pihak yang terkena dampak. Bagaimana manfaat yang didapatkan dari sebuah tindakan lebih besar daripada kerugian yang diderita adalah kata kunci. Berkaitan perhitungan atas manfaat dan biaya ini, tentu saja tidak boleh menggunakan ukuran pribadi, tetapi ukuran social harus digunakan. Jika menggunakan
4 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
pendekatan mikro ekonomi (pribadi),7 dimana sebuah kebijakan dinilai berdasarkan seberapa besar manfaat (utility) dan resikonya, maka pertanyaannya adalah, kepada siapa manfaat dan resiko itu dapat ditanggungkan. Lalu, apakah mereka yang menerima resiko bersedia menerima dengan kompensasi atau ganti rugi yang diberikan? Selain itu, dalam hal ini pemerintah, wakil-wakil rakyat, tokoh-tokoh masyarakat, komunitas-komunitas atau pihakpihak yang bisa dikategorikan sebagai pihak yang mewakili “kepentingan umum” mestilah mengukur ditoleransinya dampak eksternalitas, dengan menghitung kepentingan umum dalam jangka panjang.
Kronologi eksternalitas Jika diurutkan berdasar urutan waktu terkait konflik enam desa ini, maka pemerintah adalah penghasil eksternalitas pertama. Pada tahun 1975 di masa Orde Baru, pemerintah memindahkan warga pulau Makian untuk menghindarkan warga pulau dari bahaya letusan gunung Kie Besi. Meskipun kemudian gunung tidak jadi meletus, tetapi warga tidak dikembalikan ke pulau Makian lagi. Eksternalitas yang terjadi karena produk kebijakan pemerintah itu adalah berupa dirugikannya warga asli yang harus merelakan lahan yang diakui secara adat sebagai lahan milik warga asli. Eksternalitas juga terjadi ketika muncul Peraturan Pemerintah Tahun 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kecamatan Makian Malifut. Penolakan warga asli terjadi. Di masa Orde Baru dampak kebijakan tidak menimbulkan ledakan konflik karena pemerintah melalui aparatnya bertindak keras. Ledakan konflik baru terjadi di masa awal reformasi ketika negara sempat lemah, sementara aparat tidak terlatih menangani konflik sosial. Dari sisi perilaku ekonomi masyarakat, pola produksi dan konsumsi warga Makian pendatang juga menimbulkan eksternalitas. Ekonomi produksi dan konsumsi warga Makian di tempat yang baru, menimbulkan dampak kepada warga asli. Pola produksi pertanian yang intensif, penguasaan lahan yang ekstensif menyebabkan mereka dominan atas warga asli.
Warga pendatang selain pekerja keras, juga berorientasi masa depan lebih baik. Mereka menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan tinggi sejauh yang bisa dilakukan, sementara hal sama tidak dilakukan warga asli. Mereka juga hidup irit. Ini berbeda dengan warga asli, diantaranya kalangan Kristen, yang pada pesta pergantian tahun sering melakukan konsumsi dengan berlebih. Akibat konsumsi menyebabkan warga asli banyak yang harus menjual lahan. Sebagian tanah yang dijual dibeli suku pendatang ketika konsumsi mencapai puncaknya pada pergantian tahun. 8 Begitu terus menerus. Pola produksi yang intensif, dan penguasaan lahan yang ekstensif ini bagimanapun memiliki dampak negatif diwaktu berikutnya. Dua dampak sampingan ini tidak diantisipasi oleh pemerintah dan para elit masyarakat, hingga pada gilirannya menyebabkan konflik kekerasan. Perbedaan miskin dan kaya yang semakin besar dari dua suku pendatang dan asli menjadi salah satu sebab konflik yang berikutnya, justru ketika aparat keamanan di masa reformasi tidak sekeras masa Orde Baru. Eksternalitas berikutnya menyebabkan kerusakan lingkungan paling parah, dan berdampak merugikan masyakat yang hidup dari lingkungan, terjadi pada masa reformasi. Tetapi, eksternalitas ini diawali dengan keputusan yang diberikan pemerintah di masa Orde Baru di masa Presiden Suharto, yang memberikan hak penambangan swasta asing bekerjasama dengan PT Aneka Tambang. Praktek penambangan emas besar-besaran diyakini warga menyebabkan hilangnya ikan teri, udang dan cumi yang dimasa lalu mensejahterakan warga pantai teluk Kao. Tetapi, bagi sebagian pejabat daerah, perusakan lingkungan itu tidak dilakukan oleh perusahaan besar, tetapi oleh para penambang lokal yang jumlahnya mencapai 1000an orang. Jika kedua klaim itu dianggap benar, maka pelaku pencemaran sungai dan laut yang menyebabkan ikan, udang dan cumi tidak ada lagi adalah swasta dan masyarakat.9 Yang perlu dicatat terkait eksternalitas dengan pelaku pemerintah dengan dukungan para wakil rakyat adalah menyangkut kebijakan otonomi daerah atau pemekaran wilayah. Dalam kajian perencanaan wilayah
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang | 5
dan pengembangan wilayah, kebijakan otonomi daerah memiliki semangat untuk membangun keberimbangan antar wilayah atau desa kota. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa jika ada pemekaran wilayah, maka alokasi sumberdaya (alam, manusia, sosial dan buatan) akan terdistribusi secara merata sehingga kesejahteraan masyarakat bisa terwujud.10 Tetapi, praktek pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan revisinya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan terjadinya kesalahan pemaknaan atas otonomi atau pemekaran daerah. Dengan UU tersebut, tuntutan pemekaran di daerah-daerah yang berlangsung secara massif ternyata lebih mempertimbangkan aspek politik daripada aspek substansi. Tujuan pemekaran wilayah seringkali mengalami kesalahan pemaknaan. Upaya mensejahterakan masyarakat dengan efisiensi dan efektifitas pemerintahan tidak tercapai. Berbagai masalah sosial terjadi karena kurang diperhatikannya aspek sosial, ekonomi, keuangan dan kemampuan bertahan dalam perkembangan daerah pasca pemekaran. Secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan pemekaran telah menimbulkan eksternalitas tersendiri berupa konflik sosial.11 Kini sejumlah masalah diatas menjadi latar belakang berlarutnya konflik di 6 desa. Desa-desa itu diperebutkan secara langsung maupun tidak langsung oleh Pemda Halmahera Utara (selanjutnya disebut Halut) dan Halmahera Barat (Halbar) yaitu desa Akelamo, Akesahu, Bobaneigo, Dum Dum, Pasir Putih dan Tetewang. Dampak pemindahan penduduk Makian ke wilayah pulau Halmahera, yang dirasakan meminggirkan sebagian warga asli, masih menyisakan masalah. Penguasaan lahan oleh suku Makian pendatang yang unggul dalam pertanian dan usaha lainnya dibanding warga asli merupakan masalah berikutnya. Kebijakan pemekaran wilayah menimbulkan dampak. Eskplorasi tambang emas membuang limbah ke sungai dan laut. Semuanya perlu dipahami dan kemudian dicari pemecahannya.
Masalah Bagi Hasil Tambang Selain soal eksternalitas, persoalan konflik yang tidak mengemuka, tetapi menjadi latar belakang perebutan 6 desa oleh dua Pemda Halut dan Halbar, adalah soal tambang emas yang penguasaannya diberikan pemerintah kepada PT NHM (Nusa Halmahera Mining). Soal bagi hasil tambang ini tidak pernah menjadi diskusi terbuka antar Pemda Halut - Halbar atau dengan Pemerintah Pusat, tetapi menjadi masalah konflik yang dipersoalkan di bawah permukaan. Dari sisi kepentingan politik jangka pendek para politisi baik di Halut maupun di Halbar sama-sama berkepentingan atas tetap esksisnya 6 desa itu masuk ke wilayah masing-masing. Politisi Halbar membutuhkan suara 6 desa, politisi Halut membutuhkan suara 6 desa. Tetapi, jika saja di wilayah konflik tersebut tidak terdapat tambang emas, maka solusi yang diajukan Pemerintah Pusat, maupun masukan dari para tokoh, tentu saja sudah bisa menyelesaikan masalah. Konflik dinilai tidak selesai-selesai karena ada tambang emas di atas wilayah yang dipersengketakan.12 Yang menarik, sebagaimana sifat sebagian orang Timur, membicarakan masalah harta benda sebagai problem yang dipersengketakan, agaknya masih merupakan soal yang tabu di Maluku Utara. Konflik yang mengemuka adalah konflik menyangkut persoalan etnis atau identitas, dan kemudian berlanjut ke soal batas wilayah. Tidak ada perbincangan mengenai bagaimana harusnya tambang emas dikelola, bagaimana membagi hasil, bagaimana menegosiasi ulang jika pembagian tidak adil, dan seterusnya. Tidak terdapat informasi detail soal berapa sebetulnya potensi tambang yang dimiliki, serta berapa besar bagian yang seharusnya bisa didapat daerah justru ketika pemerintah pusat tidak memberi peluang untuknya. Pangkal masalah bagi elit setempat sebetulnya adalah soal mengapa wilayahnya harus ada penambangan. Sedang bagi rakyat adalah, mengapa penambangan itu berdampak
6 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
pada rusaknya lingkungan yang menyebabkan sumber pendapatan hilang. Elit elit maupun rakyat setempat paham, jika ijin penambangan sudah diberikan melalui Kementerian ESDM, lalu investor sudah beroperasi, maka para elit dan rakyat setempat harus mendukung. Hak orang daerah melalui Pemda-pemda di tempatan tambang maupun di sekeliling wilayah tambang adalah 18 persen dari keuntungan bersih yang melalui pemerintah Pusat melalui PT Aneka Tambang. Persoalan yang sering dipertanyakan adalah mengapa Pemerintah Pusat 'menjual' potensi tambang di daerah dengan harga murah kepada investor asing. Murahnya nilai tambang itu tidak hanya menyangkut bagi hasil yang rendah yang harus diterima pemerintah Indonesia, dan kemudian bagi hasil yang lebih rendah lagi yang diterima oleh daerah, tetapi lebih dari itu, penerimaan dari hasil tambang, sama sekali tidak seimbang dengan tingkat penderitaan yang diterima rakyat akibat hilangnya pendapatan maupun rusaknya lingkungan. Dalam kasus Tambang di wilayah yang dipersengketakan Halut dan Halbar, PT. NHM dimiliki oleh pemodal asing. PT. NHM semula
No 1 2 3 4 5 6 7 8
dimiliki holding dari Singapura (New Crest United Mining Holding), tapi kemudian berubah kepemilikan ke investor Australia.13 Kepemilikan saham Indonesia (PT Antam) hanya 17,5% (naik dari 10 persen) dan sisanya 82,5 persen milik PT NHM. Dengan rendahnya prosentase kepemilikan oleh Pemerintah Pusat, menyebabkan share untuk Pemda dan rakyat tempatan, amat kecil. Hanya 18 persen dari 17,5 persen hasil eksplorasi. Jumlah ini dibagi ke Pemda-Pemda tempatan dan Pemda di sekeliling wilayah tambang. Jika mengikuti UU, maka bagian daerah adalah Rp 62 milyar. Misalnya pada tahun 2005, bagian bagi hasil yang didapat daerah adalah Rp. 16 milyar (diluar dana CSR). Bagian Pemda Halbar (terkena limbah namun bukan sebagai pemilik tambang) hanya Rp 55 juta saja, yang tentu saja tidak sebanding dengan kerugian yang diterima akibat adanya penambangan emas.14 Berkaitan dengan distribusi pendapatan atas hasil tambang, bisa dijelaskan dalam dua tabel berikut. Tabel pertama menjelaskan pola pembagian hasil kekayaan laut Maluku Utara, dimana alokasi bagi hasil dibagi merata.
Propinsi Maluku Utara
Jumlah (Rp)
Kab. Halmahera Tengah Kab. Halmahera Barat Kab. Ternate Kab. Halmahera Timur Kota Tidore Kepulauan Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmahera Selatan Kab. Halmahera Utara
350.109.409 350.109.409 350.109.409 350.109.409 350.109.409 350.109.409 350.109.409 350.109.409
Tabel 1. Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan Tahun Anggaran 2008 (Sumber: Lampiran Peraturan Menteri keuangan No. 157/PMK.07/2007)
Data diatas menunjukkan, bahwa dana bagi hasil sumber daya alam perikanan di Maluku Utara, diberikan secara sama untuk masing-masing Kabupaten/ Kota, sebesar Rp. 350.109.309,pada tahun 2008. Sedangkan untuk dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan umum, diberikan secara berbeda. Ada yang mendapatkan lebih besar, ada yang mendapatkan lebih kecil.
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang | 7
No (1)
Propinsi/Kabupaten/Kota (2)
Iuran Tetap (Rp) (3)
Royalti (Rp) (4)
Jumlah DBH (Rp) (5) = (3) + (4)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
MALUKU UTARA Kab. Halmahera Tengah Kab. Halmahera Barat Kab. Ternate Kab. Halmahera Timur Kota Tidore Kepulauan Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmahera Selatan Kab. Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara
2.025.419.960 225.001.024 6.318.080 745.398.656 54.899.808 588.718.400 405.083.992
154.165.645.395 9.188.211.724 8.809.465.451 8.809.465.451 55.426.541.966 8.809.465.451 8.809.465.451 8.809.465.451 14.670.435.371 30.833.129.079
156.191.066.355 9.413.212.748 8.815.783.531 56.171.940.622 8.809.465.451 8.809.465.451 8.809.465.451 8.864.365.259 15.259.153.771 31.238.213.071
Tabel 2. Perkiraan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Umum Tahun 2008 (Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 159/PMK.07/2007)
Persoalannya bukan tidak hanya menyangkut cara membagi dana yang akan dialokasikan, tetapi yang lebih penting adalah, menyangkut nilai sumberdaya yang dieksplotasi apakah sudah dinilai secara wajar dan transparan oleh Pemerintah Pusat, dan diketahui serta disetujui oleh Pemerintah Daerah. Menyangkut persoalan nilai sumberdaya alam di wilayah konflik Halmahera Utara-Halmahera Barat, ada dugaan penilaiannya dilakukan dengan under valued. Ketika ijin diberikan pada masa Suharto, studi atas berapa nilai kandungan tidak diketahui paling tidak oleh orang daerah melalui para pemimpin pemerintahan dan para wakilnya. Lalu, ketika dilakukan eksploitasi, berapa jumlah nyata yang dieksploitasi, tidak terawasi dan tidak terlaporkan secara transparan. Ada persoalan informasi nilai tambang yang asimetris, antara Pemerintah Pusat dengan perusahaan asing pemenang tender tambang, juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Soal lain yang merupakan masalah adalah seberapa besar sesungguhnya potensi tambang, juga seberapa besar sesungguhnya nilai hasil tambang yang sudah dieksplorasi oleh investor, tidak diketahui oleh Pemda. Sampai saat ini Pemda Halbar maupun Halut mengaku tidak mengetahui berapa sesungguhnya nilai tambang yang sudah diambil. Jika mereka meminta data, maka dipersilakan menanyakan ke pemerintah pusat,
dan jika ke Kementerian ESDM, data susah dikeluarkan. Pengawasan atas tambang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Apabila terjadi kerusakan lingkungan, investor terlalu dilindungi, sementara kepentingan rakyat tidak dilindungi.15 Dalam salah satu kesempatan, seorang anggota DPD Malut,16 menanyakan berapa hasil tahun 2009, dijawab oleh PT. NHM sebesar Rp 9 trilyun. Bagian Pemerintah Pusat Rp 1,3 trilyun. Bagian Pemda-pemda adalah 18 persen dari Rp 1,3 trilyun. Dengan kerusakan lingkungan yang parah, maka bagian dana CSR yang didapat (berasal dari pembagian 18 persen dari Rp 1,3 trilyun), terasa tidak sepadan. Sementara pemda tidak memiliki kekuatan kontrol maupun peralatan untuk mengecek seberapa besar sesungguhnya jumlah emas yang sudah ditambang. Dengan melihat persoalan dapat dibagi dalam dua pengelompokan masalah konflik, yaitu karena eksternalitas dan karena persoalan bagi hasil, maka solusi yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah, dapat dibagi kedalam dua soal tersebut.
Penyelesaian Kasus-Kasus Eksternalitas Jika konflik disebabkan persoalan eksternalitas, maka penyelesaiannya adalah penyelesaian menyangkut eksternalitas. Dalam studi mengenai eksternalitas, penyelesaian
8 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
paling efisien adalah apabila dua pihak yang bersengketa (penghasil eksternalitas dan yang terkena dampak) menyelesaikan sendiri masalahnya tanpa campur tangan pihak ketiga. Pola penyelesaian ini mengikuti Teorema 17 Coase, di mana tidak ada maksimalisasi keuntungan masing-masing pihak. Ada pengorbanan kedua pihak atas dicapainya kompromi. Misalnya, pihak yang menghasilkan eksternalitas, harus membayar kompensasi dalam jumlah maupun bentuk tertentu, sementara pihak yang menerima eksternalitas, tetap menerima dampak eksternalitas yang sudah ditangani. Dalam kasus penyelesaian sengketa 6 desa di Maluku Utara, maka urutan kronologi eksternalitas bisa dijadikan catatan. Misalnya ketika pemerintah Orde Baru tahun 1975 memindah warga pulau Makian, siapakah yang dirugikan? Pertama yang dirugikan adalah warga Makian itu sendiri. Lalu, apakah warga Makian merasa dirugikan? Jika merasa dirugikan apakah kompensasi yang dilakukan oleh pemerintah mereka terima? Lalu, ketika warga Makian menempati tempat yang baru, apakah menyebabkan warga Kao dirugikan? Jika rugi, bagaimana cara mengganti kerugian, dan apakah kompensasi yang diberikan diterima? Dan seterusnya dilakukan satu-satu sampai ke penyelesaian konflik eksternalitas terakhir, yang dianggap merupakan konflik yang bisa diselesaikan oleh dua pihak yang berkonflik. Kronologi konflik akibat eksternalitas dengan demikian penting diketahui, pemahaman, pengakuan atas konflik menjadi penting sehingga terapi atas konflik dapat lebih terukur. Namun pada kenyataannya penyelesaian masalah sebagaimana digambarkan dalam teorema Coase sering tidak tercapai. Satu pihak, biasanya pihak penghasil eksternalitas (apalagi jika kedua pihak tidak setara) sering tidak menginginkan penyelesaian seperti itu. Kompensasi kepada pihak yang terkena dampak tidak dibayarkan atau diberikan dengan jumlah terlalu kecil untuk dampak yang terlalu besar. Dapat pula situasinya, pihak yang sudah menghasilkan eksternalitas, hanya berpikir dan bertindak untuk memaksimalkan keuntungan jangka pendek, dan mengabaikan keuntungan bersama dalam jangka panjang. Jika itu terjadi, maka yang dialami adalah sebuah tragedi.
Catatan lain, jika penghasil eksternalitas adalah pemerintah, apalagi pemerintah di jaman pemerintahan otoriter Orde Baru, maka kesetaraan tidak terjadi dan cara penyelesaian model Coase tidaklah rasional. Dalam penyelesaian konflik akibat eksternalitas, Mankiw18 menyarankan dua pola penyelesaian. Pertama pola penyelesaian eksternalitas berbasis pada penyelesaian antar pribadi, atau antar pihak secara otonom (private solutions to externalities). Model ini sebetulnya dikembangkan mengikuti teorema Coase. Dalam model penyelesaian antar pribadi tersebut, tindakan pemerintah untuk menyelesaikan eksternalitas tidak selalu dibutuhkan. Dalam penyelesaian sengketa konflik, dapat diajukan sebagai bagian penyelesai konflik adalah diadakannya aturan sosial (moral codes) atau sanksi sosial yang efektif. Langkah penerapan aturan sosial dengan sanksi sosial, akan lebih efektif jika didukung dengan tindakan karitatif dari organisasi yang berkaitan dengan kebutuhan lingkungan terdampak. Mankiw menyarankan agar perusahaan dengan tipe bisnis yang berbeda yang bergabung dalam usaha menyelesaikan eksernalitas yang dihasilkan bersama. Di luar itu, dibutuhkan kesepakatankesepakatan (kontrak) yang bisa menjadi pengikat yang kuat antar pihak yang bersengketa. Dalam prakteknya pendekatan private solutions bisa gagal karena tingginya biaya transaksi. Misalnya saja, berbagai forum dan dialog-dialog yang diadakan sudah mengandung biaya, yang jika dibebankan kepada perusahaan, akan memberatkan dan dianggap sebagai mengurangi keuntungan. Selain itu, kadang tuntutan kompensasi yang diajukan korban jumlahnya tidak rasional. Karena itu ketika diajukan di mata perusahaan tidak bisa ditanggung, maka tidak diterima. Jika kekuatan penghasil eksternalitas melebihi korban, maka mereka tidak akan bersedia menerima. Pihak yang menghasilkan eksternalitas tidak bersedia memberikan kompensasi, dan lebih tertarik mendapatkan keuntungan jangka pendek yang besar bagi dirinya sendiri, serta mengabaikan keuntungan bersama dalam jangka panjang. Dengan alasan diatas, maka solusi kedua yang diajukan Mankiw19 melibatkan peran pemerintah, biasa disebut sebagai
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang | 9
kebijakan publik untuk menyelesaikan eksternalitas (public policy toward externalities). Pemerintah dan para wakil rakyat dalam hal sebagai pihak akan menyelesaikan eksternalitas harus melakukan tindakan, berupa menyusun peraturan dan perundangan (command and control policies) untuk melindungi warga atau pihak yang terkena dampak negatif dari suatu kebijakan (pemerintah) maupun proses produksi dan konsumsi (pihak swasta dan masyarakat) yang sudah menghasilkan eksternalitas. Melalui peraturan pula, pemerintah mengatur pasar (market-based policies) dengan menarik pajak serta memberikan subsidi mengalienasi insentif privat dengan efisiensi sosial.
Gagalnya Peran Pemerintah Dalam analisis kebijakan publik,20 ukuran kegagalan peran pemerintah dalam intervensinya di perekonomian adalah apabila pilihan kebijakan yang dilakukan ternyata tidak mendukung efisiensi ekonomi di satu sisi, sedang di sisi lain kebijakan yang dipilih juga tidak menyebabkan pemerintah mampu mendistribusikan sumberdaya secara lebih adil. Dengan melihat kasus konflik 6 desa di Maluku Utara, maka sudah pasti berdasarkan ukuran ini, bisa dinilai bahwa kebijakan publik yang diambil pemerintah dapat dianggap gagal. Jalannya perekonomian tidak bisa dikatakan efisien karena korban manusia yang mati dan yang menjadi korban eksternalitas begitu besar sejak kasus ini dimulai. Pemerintah yang dianggap gagal di sini adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah tingkat Provinsi dan Pemerintah Daerah pada tingkat yang berbeda-beda. Para wakil rakyat juga ikut menyumbang kegagalan itu. Selebihnya, jika dianggap ikut menyumbang kesalahan, adalah menyangkut tidak adanya perencanaan yang antisipatif atas eksternalitas yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan, maupun oleh tindakan ekonomi swasta dan masyarakat. Dalam hal kegagalan peran pemerintah mengefisienkan perekonomian maupun mendistribusikan sumberdaya secara adil, yang penting diawasi adalah bagaimana perilaku birokrat pemerintahan. 21 Pilihan kebijakan publik sering gagal karena kebiasaan
para birokrat untuk hanya mengejar kemapanan dan status. Kadang menjadi kebiasaan ketika berkaitan dengan suatu proyek, birokrasi mengerjakan terlalu lama, atau mengerjakan dengan porsi yang terlalu besar. Menjadi soal pula apabila elit politisi dan staf di birokrasinya mengambil keputusan dalam kebijakan publik tidak untuk kepentingan publik, tetapi untuk mendapatkan keuntungan (rent seeking) diri sendiri atau kepentingan kelompok atau partainya saja. Studi-studi tentang ini bagaimanapun mengubah asumsi bahwa pelaku ekonomi (elit politik dan birokrasi) bukanlah pelaku ekonomi yang rasional untuk posisinya yang mewakili kepentingan umum, meskipun rasional sebagai pribadi yang mengejar keuntungan. Selain pejabat pemerintah dan para birokrat, yang perlu diperhatikan pula adalah bagaimana sikap para politisi wakil rakyat. Telah lama diketahui ada horizon jangka pendek22 yang mereka hadapi. Para politisi wakil rakyat dengan keharusan menyenangkan pemilik suara agar memilih mereka, maka yang dikedepankan para politisi adalah soal-soal yang tidak substansial. Penyelesaian eksternalitas maupun bagi hasil tambang yang rumit, bisa jadi bukan merupakan bahan pemikiran apalagi agenda yang harus diperjuangkan. Belum lagi ketika mereka sudah melewati masa pemilihan dan mereka duduk di kursi parlemen, maka para wakil rakyat dengan mudah mengabaikan janji-janji politik yang diberikannya saat pemilihan umum.23 Dengan demikian apakah konsep penyelesaian atas ekternalitas dan soal bagi hasil tambang yang lebih adil tersebut ada dalam kenyataan? Semua itu tergantung pada adanya pemahaman atas penyelesaian masalah secara benar dan menyeluruh, serta adanya aktor pelaksana dalam hal ini politisi baik di pemerintahan maupun parlemen, yang bertindak dengan karakter negarawan.
Beberapa usulan Dari penjelasan diatas, dapat dipetakan jelas bahwa konflik enam desa terjadi karena pertama, kegagalan peran pemerintah dalam peran publiknya, di dalamnya menyangkut pula soal peran
10 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
birokrasi. Kedua, para politisi (yang duduk di elit pemerintahan maupun wakil rakyat) terjebak dalam horizon jangka pendek kepentingan politik. Ketiga tidak adanya rencana atas pembangunan dimana sumberdaya alam dikelola secara adil dan hasilnya terdistribusi secara adil. Dengan tiga fakta diatas, maka penanganan ekternalitas dan adanya bagi hasil tambang yang adil, tidak terdiskusikan secara konstruktif. Upaya-upaya advokasi dengan demikian bisa dilakukan menyangkut tiga hal diatas. Pertama, jika kegagalan pemerintah disebabkan oleh para pejabat yang bertindak sebagai rent seeker, maka usaha memilih pejabat yang tidak hanya mementingkan mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri, harus dilakukan sejak pencalonannya. Pertanyaan atas peran pejabat yang harusnya independen terhadap kepentingan swasta misalnya, penting dilakukan melalui parlemen maupun melalui media lain. Tentu dengan konflik yang sudah terjadi, penyaluran aspirasi seperti itu harus dengan kepala dingin, santun dan terukur. Yang pasti, upaya menjaga pejabat publik harus dilakukan oleh warga masyarakat. Tuntutan transparansi atas harta kekayaan pejabat, dan keharusan pejabat tidak terlibat dalam bisnis, apalagi bisnis yang menimbulkan eksternalitas, harus disusun bersama oleh warga masyarakat dan para wakil rakyat dan menjadi kode etik kepemimpinan. Berkaitan dengan birokrasi yang efisien, langkah-langkah antisipasi dan evaluasi untuk itu harus dilakukan secara terus menerus. Deteksi mudah di daerah berkaitan dengan borosnya birokrasi yang didukung elit hasil pemilihan, bisa dilihat dengan gedunggedung pemerintahan dan gedung wakil rakyat yang mewah di satu sisi, sementara rumah rakyat, pasar rakyat dan fasilitas umum berkebalikan kondisinya. Dalam usaha untuk mengedepankan termuliakannya kepentingan publik tersebut, masyarakat memiliki kewajiban menjaga para politisi agar tidak terjebak dalam horizon jangka pendek kepentingannya sendiri. Transformasi politisi menjadi negarawan, diperlukan agar persoalan di daerah konflik terselesaikan dengan baik. Terakhir, perencanaan pembangunan ekonomi yang komprehensif dan menyeluruh dengan basis pengelolaan sumberdaya yang
berkeadilan adalah kalimat kunci. Masalah penting yang harus menjadi prasyarat untuk dijadikan acuan perencanaan tahunan pembangunan daerah adalah soal seberapa besar sebetulnya taksiran nilai riil sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu wilayah. Secara keteknikan, pengetahuan soal nilai riil tambang amat bisa dilakukan saat ini. Apalagi ketersediaan ahli dari dalam dan perguruan tinggi lokal Indonesia mulai memadai. Situasi ini berbeda dengan masa Sukarno, ketika Sukarno dalam banyak kesempatan mengungkapkan pentingnya menunda eksplorasi kekayaan alam Indonesia, hingga saat bangsa Indonesia mampu melakukannya sendiri dengan tersedianya ahli dari dalam negeri. Beberapa pilihan menyangkut strategi ini sudah didiskusikan intens. Kunci soal yang dibutuhkan saat ini oleh daerah-daerah adalah bagaimana mengatasi informasi asimetris menyangkut nilai tambang yang dimiliki. Berikutnya adalah bagaimana melakukan negosiasi harga kepada pihak yang akan melakukan penambangan. Juga tidak boleh dilupakan menyusun sebuah skema distribusi atas bagi hasil tambang yang lebih berkeadilan untuk mensejahterakan rakyat.
Moch. Faried Cahyono Peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Hasby Yusuf Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Khairun, Ternate
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang | 11
Catatan Akhir 1
Penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara Suratman Sujud co-researcher selama di Akelamokao, Dr. Husein Alting serta kawan-kawan peneliti dari Lembaga Mitra Lingkungan, Ternate, atas pengalaman lapangan dan diskusi-diskusi yang sudah dilakukan. Terima kasih pula kepada saudara Lukman Hakim, masukan yang sudah diberikan. Tulisan ini kiranya tidak akan pernah hadir tanpa bantuan mereka, tetapi tanggungjawab isi tetap ada pada penulis sepenuhnya.
2
Mankiw, Principle of Economics 3th edition, South Western, 2006.
3
International Alert, Conflict Sensitive Bussines Practise: Guidence for Extractive Industries, March 2005.
4
Mankiw, ibid, terutama bab 11.
5
Mangkusubroto, Ekonomika Publik BPFE, Yogyakarta, 1993.
6
Mankiw, ibid
7
Mangkoesubroto, ibid.
8
Wawancara dengan seorang intelektual muda suku Makian.
9
Seorang tokoh di desa Akelamokao yang diwawancarai mengatakan, kerusuhan terjadi pada 1999. 'Pasukan Merah' dari utara datang. Meskipun desa ini tidak diluluhlantakkan tetapi sempat sebagian warga terutama anak-anak dan perempuan, diungsikan ke Ternate. Hanya seorang warga tewas terbunuh. Desa tidak diserang karena dianggap pribumi dan bukan dari suku pendatang Makian. Desa selamat karena para tetua adat dan tokoh desa memerintahkan agar pasukan merah tidak disambut dengan kesiapan perang, tetapi agar dibiarkan lewat. Pasca kerusuhan, warga kembali ke desa. Mereka kaget, karena situasi ekonomi berubah drastis. Semula warga kebingungan ketika persis sesudah kerusuhan, laut tak lagi menghasilkan ikan teri, cumi dan udang. Penghasilan warga merosot drastis dan secara pasti kemudian menjadi miskin. Warga merasa dan kemudian yakin, bahwa beroperasinya perusahaan penambangan emas multinasional, Nusa Halmahera Minerals (NHM), maka hasil laut tak lagi ada. Limbah NHM yang diyakini dibuang ke laut, menyebabkan ikan, cumi dan udang pergi menjauh. Sebagai ilustrasi keberlimpahan hasil laut cumi, ikan teri dan udang rese, bisa dijelaskan dengan besarnya rumah-rumah warga yang rata-rata memanjang, dan berfungsi sebagai gudang ikan dan cuma. Dalam satu bulan rata-rata desa ini mengirim ikan teri, cumi dan udang ke Surabaya sebanyak 200ton. Rata-rata pendapatan setiap KK mencapai Rp10 juta per bulan (nilai 1999). Ketika laut terkena limbah, penduduk tidak pernah lagi mendapatkan pemasukan sebesar itu. Hasil ladang maupun laut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Tak ada lagi yang mampu berhaji. biaya pendidikan untuk sekolah banyak yang tidak membayar. Kini yang bisa haji adalah mereka yang mendapat fasilitas dinas dari pemerintah.
10
Hasyim et.al., Analisis Konflik Perebutan wilayah di Propinsi Maluku Utara : Studi Kasus Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa, Jurnal Sodality, Arpil 2010.
11
ibid
12
Wawancara dengan seorang perwira intelijen polisi di Halut.
13
Wawancara staf Dinas Pertambangan Halut.
14
Ukuran ekonomi sederhana atas turunnya pendapatan rakyat ini adalah, dalam setiap musim haji, semua warga nelayan di 6 Desa, dapat menyisihkan pendapatan untuk pergi haji ke tanah suci. Kini kalau ada yang naik haji, adalah para pejabat atas biaya dinas.
12 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku
15
Sebagaimana disampaikan Kabiro Hukum Pemda Halut. Dalam kasus pencemaran tambang di kepulauan Loloda, Biro hokum Pemda halut, atas pengaduan masyarakat pernah menggugat investor. Tetapi di tingkat pengadilan Negeri, gugatan itu dikalahkan, dan investor menjalankan kembali penambangan mangan di kepulauan Loloda, yang sudah terbukti merusak lingkungan laut. Dalam kasus PT NHM, Kabiro huku mengakui, Dinas Lingkungan tidak melakukan langkah yang seharusnya untuk melindungi rakyat, dan terkesan menunggu. SEdang dinas Lingkungan mengatakan, kerusakan lingkungan, karena tambang rakyat.
16
Wawancara kabiro hukum pemda Malut .
17
Samuelson and Nordhaus, Microeconomics, 14th edition, Mc.Grawhill, 1992.
18
Mankiw, Ibid.
19
Ibid.
20
Samuelson and Nordhaus, ibid.
21
ibid
22
ibid
23
Lihat misalnya dalam kepustakaan ilmu politik, untuk kasus Amerika latin, Gades, menulis buku yang mungkin monumental, “The Politician dilema's : Building State Capacity in Latin America,” Universtity of California Berkeley, Press, 1994, dimana dijelaskan persoalan horizon jangka pendek politisi dan bagaimana pengaruhnya terhadap kualitas demokrasi dan produk pemeritahan secara detil.
Masalah Eksternalitas dan Bagi Hasil Tambang | 13
Daftar Pustaka Delianov, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta, 2002. Gaddes, Barbara., The Politician Dilema's : Building State Capacity in Latin America,” Universtity of California Berkeley- Press, 1994. Hasyim., Aziz et.al., Analisis Konflik Perebutan wilayah di Propinsi Maluku Utara : Studi Kasus Perebutan Wilayah Antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara tentang enam desa, Jurnal Sodality, April 2010. International Alert, Conflict Sensitive Bussines Practise: Guidence for Extractive Industries, March 2005.
Mankiw, N. Gregory., Principle of Economics 3th edition, South Western, 2006. Mangkusubroto, Guritno., Ekonomika Publik BPFE, Yogyakarta, 1993. Samuelson Paul A., and William D. Nordhaus, Microeconomics, 14th edition, Mc.Grawhill, 1992. Suparmoko, Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarata, 2002.
Team Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, UGM, Laporan Assesment di Enam Desa Kabupaten Halmahera Barat, 2010
14 | CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku