V. BIAYA LINGKUNGAN HIDUP DAN EKSTERNALITAS
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi suatu wilayah akan memberikan dampak positif berupa peningkatan produksi barang dan jasa, namun bersamaan dengan itu juga muncul dampak negatif berupa kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pengurasan cadangan sumberdaya alam dan peningkatan limbah yang membebani lingkungan hidup. Laju peningkatan produksi dan laju penurunan kualitas lingkungan hidup sangat tergantung pada jenis teknologi yang digunakan dan perlakuan terhadap limbah yang dihasilkan. Penurunan kualitas lingkungan dapat diminimalisasi apabila perencanaan dan pelaksanaan strategi dan kebijakan pembangunan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi jangka pendek, tetapi aspek lingkungan sebagai tempat sekaligus pendukung keberlanjutan pembangunan ekonomi juga mendapat perhatian yang seimbang. Hal ini berarti bahwa kelayakan pembangunan tidak hanya didasarkan pada perhitungan kelayakan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan kelayakan lingkungan. Selama ini keberhasilan pembangunan umumnya hanya diukur berdasarkan perhitungan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan, sehingga hasil perhitungan tingkat kesejahteraan masyarakat masih bersifat semu. Oleh karena itu agar hasil pembangunan tidak bersifat semu dan berkelanjutan maka perlu adanya koreksi dalam perhitungan/penilaiannya. Koreksi yang perlu dilakukan adalah dengan memperhitungkan manfaat dan biaya lingkungan yang biasanya diperlakukan
sebagai
eksternalitas,
kemudian
menginternalisasikannya
kedalam
perhitungan manfaat dan biaya produksi. Secara teknis manfaat dan biaya eksternalitas dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok input produksi dan kelompok output. Manfaat dan biaya eksternalitas yang masuk kelompok input produksi adalah peningkatan dan penyusutan atau degradasi sumberdaya alam karena aktivitas ekonomi yang tidak diperhitungkan sebagai manfaat dan biaya produksi. Sedangkan manfaat dan biaya eksternalitas yang masuk kelompok output adalah nilai dari berbagai limbah atau keluaran dari aktivitas ekonomi yang menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan hidup. Penelitian ini diarahkan untuk melakukan koreksi terhadap perhitungan tingkat perkembangan ekonomi maupun tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi
104 Selatan dengan menginternalisasikan biaya dan manfaat eksternalitas dari berbagai sektor ekonomi perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Perhitungan biaya dan manfaat eksternalitas tersebut dilakukan melalui valuasi ekonomi terhadap dampak negatif maupun positif dari suatu sektor ekonomi yang masih merupakan eksternalitas dari sektor ekonomi yang bersangkutan. Kemudian hasil valuasi ekonomi tersebut digunakan untuk mengkoreksi Tabel Input-Output Konvensional menjadi Tabel Input Output yang dikoreksi biaya dan manfaat eksternalitas. Koreksi dilakukan terhadap nilai input maupun nilai output dari setiap sektor ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat hasil valuasi ekonomi terhadap biaya dan manfaat lingkungan dari berbagai sektor ekonomi yang masih diperlakukan sebagai eksternalitas dari sektor ekonomi yang bersangkutan. 5.1. Biaya Lingkungan Hidup Berbagai Sektor Ekonomi
Untuk keperluan analisis Input-Output berwawasan lingkungan, struktur perekonomian Regional Provinsi Sulawesi Selatan dibagi ke dalam 25 sektor ekonomi. Pembagian sektor ekonomi tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan analisis terutama untuk mengetahui peran sektor ekonomi kakao, keterkaitannya dengan sektor ekonomi lainnya dan ketersediaan data pendukung analisis input output berwawasan lingkungan. Pembagian sektor ekonomi dilakukan dengan menggunakan data dasar 9 sektor ekonomi yang umum dipublikasikan atau disajikan dalam buku Statistik Provinsi Dalam Angka maupun buku Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan dan data dasar dari Tabel Input-Output Sulawesi Selatan Tahun 2000. Hasil pembagian struktur perekonomian Regional Provinsi Sulawesi Selatan kedalam 25 sektor tersebut adalah sebagai berikut: sektor pertanian dibagi menjadi 10 sektor ekonomi, sektor pertambangan dan galian dibagi menjadi 2 sektor ekonomi, sektor industri dibagi menjadi 6 sektor ekonomi, dan sektor jasa dibagi menjadi 2 sektor ekonomi serta sektor listrik, air dan gas, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi serta sektor keuangan masing-masing tetap sebagai satu sektor ekonomi. Mengingat adanya keterbatasan ketersediaan data maka nilai manfaat atau jasa lingkungan dalam mengasimilasi limbah, khususnya limbah yang
bersumber dari
industri kecil ataupun kegiatan ekonomi berskala rumah tangga diasumsikan sama
105 dengan limbah yang dihasilkan oleh industri atau kegiatan ekonomi berskala kecil, sehingga biaya dan manfaat lingkungan dapat diabaikan. Hasil analisis biaya dan manfaat lingkungan dari masing-masing sektor perekonomian tersebut adalah sebagai berikut: 5.1.1. Sektor Pertanian
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sektor pertanian dibagi dalam 10 sektor ekonomi yaitu: sektor ekonomi padi, tanaman bahan makanan lainnya, kopi, kakao, perkebunan lainnya, peternakan, kehutanan, perikanan laut, budidaya udang, dan sektor ekonomi budidaya bandeng, ikan dan lainnya. Dari 10 sektor ekonomi yang tergabung dalam sektor pertanian tersebut telah teridentifikasi 6 sektor ekonomi yang memiliki biaya lingkungan cukup besar dan masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas yaitu: sektor ekonomi padi, tanaman bahan makanan lainnya, kopi, kakao, perkebunan lainnya, dan peternakan. 5.1.1.1. Sektor Ekonomi Padi
Padi merupakan salah satu sektor ekonomi utama dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di daerah ini padi terutama diusahakan di sawah dan sebagian kecil di lahan kering. Pada tahun 2003, areal persawahan yang ditanami padi tercatat seluas 626.414 ha dengan luas panen mencapai 840.080 ha. Sedangkan lahan kering berupa ladang yang ditanami padi tercatat seluas 7.225 ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2004b). Pengusahaan padi di sawah berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta emisi gas rumah kaca berupa gas metana (CH4) dan gas Nitrous Oksida (N2O). Namun berdasarkan data dan informasi yang tersedia, penggunaan pupuk kimia dan pestisida pada usahatani padi sawah tidak teridentifikasi telah menimbulkan dampak negatif yang nyata. Oleh karena itu biaya eksternalitas dari sektor ekonomi padi yang perlu diperhitungkan hanya berasal dari emisi gas rumah kaca CH4 dan N2O. Menurut beberapa hasil penelitian, besarnya emisi gas CH4 dan N2O dari lahan persawahan sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografis, musim tanam, teknologi pengolahan tanah dan genangan irigasi serta tingkat/dosis penggunaan pupuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wassmann et al. (2000), di beberapa negara di Asia
106 menunjukkan bahwa emisi gas CH4 dari lahan persawahan bervariasi mulai dari 20 kg/ha/musim di New Delhi India sampai 300 kg/ha/musim di Maligaya-Filipina, Beijing dan Hangzhou-Cina. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lu et al. (2000), di HangzhouCina menunjukkan bahwa emisi gas CH4
dari lahan persawahan rata-rata 182
kg/ha/musim dengan variasi antara 53 sampai 557 kg/ha/musim. Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Naharia (2004), menunjukkan bahwa emisi gas CH4 tertinggi terjadi pada lahan sawah yang diolah sempurna dengan irigasi tergenang yaitu 422,66 kg/ha pada musim hujan dan 285,27 kg/ha pada musim kemarau. Sedangkan emisi gas CH4 terendah dihasilkan dari lahan sawah tanpa olah tanah menggunakan parakuat dengan berpengairan berselang pada musim kemarau yaitu 23,69 kg/ha. Sementara itu hasil-hasil penelitian emisi N2O masih terbatas. Hasil penelitian di lahan Sawah Percobaan IPB di Darmaga-Bogor yang dilakukan oleh Suratno (1997) menunjukkan bahwa emisi gas N2O bervariasi dari negatif 17,56 sampai 131,56 µg /m²/jam. Adanya emisi negatif memberi pengertian bahwa lahan persawahan pada waktu tertentu juga berperan sebagai rosot (sink) gas N2O. Penelitian lain yang dilakukan oleh Partohardjono (1999), menunjukkan bahwa emisi gas N2O bervariasi mulai dari 50-150 µg /m²/hari pada lahan sawah tanpa pupuk sampai 250-500 µg /m²/hari pada lahan sawah yang diberi pupuk N. Variasi emisi gas N2O dipengaruhi oleh takaran dan jenis pupuk urea yang diberikan, cara penanaman dan varietas padi yang digunakan. Secara umum emisi gas N2O bervariasi mulai dari 254 g/ha/musim pada lahan sawah tanpa pupuk sampai 418 g/ha/musim pada lahan sawah yang dipupuk dengan urea pril 115 kg N/ha. Di Sulawesi Selatan, pengusahaan padi sawah umumnya dilakukan dengan pengolahan tanah sempurna dan irigasi tergenang, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau, sehingga perhitungan emisi gas CH4 dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil penelitian Naharia (2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka besarnya emisi gas CH4 dari usahatani padi sawah di Sulawesi Selatan tahun 2003 mencapai 325.712,5 ton, terdiri dari 264.760 ton pada musim hujan dan 60.952,5 ton pada musim kemarau. Total emisi gas CH4 tersebut setara dengan 6.839.962,5 ton gas CO2, sehingga nilai biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi padi sawah akibat dari emisi CH4 tahun 2003 adalah sebesar Rp 307,8 milyar.
107 Di samping itu pengusahaan padi sawah di Sulawesi Selatan dilakukan secara intensif dengan pemberian pupuk urea yang cukup tinggi. Mengacu pada hasil penelitian Partohardjono (1999), maka lahan persawahan Sulawesi Selatan akan menghasilkan emisi gas N2O sebesar 351,15 ton atau setara dengan 108.865,5 ton CO2. Dengan demikian nilai biaya lingkungan dari emisi N2O adalah Rp 4,90 milyar. Sementara itu, kegiatan penanaman padi di lahan kering di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Mamuju, Majene, Janeponto dan Takalar. Pada tahun 2003 areal tanam padi lahan kering tercatat seluas 7.225 ha dan dengan asumsi bahwa kondisi lahan padi gogo rata-rata berkemiringan 2%, panjang lereng 25 m, erodibilitas (K)=0,205 dan penutupan tanah padi gogo (C)= 0,56, serta curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata 24,22 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi lahan pertanian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menunjukkan bahwa rata-rata kandungan unsur hara utamanya sebesar Rp 14.468/ton tanah yang tererosi maka untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut paling tidak diperlukan biaya sebesar Rp 350.363 /ha/tahun. Jadi total biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi pada lahan usaha padi gogo mencapai Rp 2,53 milyar. Dengan demikian total biaya eksternalitas dari sektor ekonomi padi yang perlu diperhitungkan adalah sebesar Rp 315,23 milyar. 5.1.1.2. Sektor Ekonomi Tanaman Bahan Makanan lainnya
Sektor ekonomi tanaman bahan makanan selain padi meliputi: jagung, ketela pohon, umbi-umbian, kacang tanah, kedelai, kacang-kacangan lainnya, buah-buahan, serealia (padi-padian) dan bahan makanan lainnya, serta hasil pertanian lainnya. Jenis tanaman bahan makanan ini umumnya ditanam di lahan sawah pada saat musim kemarau dan sebagian kecil di lahan kering. Pengusahaan tanaman bahan makanan berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta alih fungsi lahan. Namun hasil identifikasi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida pada sektor ekonomi ini relatif kecil dan tidak menimbulkan dampak negatif secara nyata, sehingga dapat diabaikan. Dampak negatif yang perlu diperhitungkan sebagai biaya eksternalitas adalah pengusahaan tanaman bahan makanan yang dilakukan di lahan
108 kering yang miring atau areal hutan. Kegiatan usaha di lahan kering sebagian dilakukan dengan cara perladangan berpindah dan umumnya tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi lahan cukup tinggi. Pada tahun 2003, areal tanaman bahan makan non padi ini yang cukup luas adalah jagung yang tercatat seluas 213.818 ha jagung, kacang tanah 43.385 ha, ubi kayu 40.808 ha, kacang hijau 33.180 ha, kedelai 16.992 ha dan ubi jalar 5.748 ha. Sebagian besar penanaman tanaman bahan makanan non padi ini dilakukan di lahan persawahan khususnya jagung dan kacang-kacangan. Sedangkan tamanan lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar dan sayuran umumnya ditanam di lahan kering. Penanaman tanaman bahan makanan non padi di areal persawahan tidak teridentifikasi menimbulkan dampak negatif. Sedangkan penanaman tanaman bahan makanan non padi di lahan kering menimbulkan beberapa dampak negatif khususnya yang memasuki kawasan hutan. Luas lahan kering yang digunakan untuk tanaman bahan makanan dengan pola perladangan pada tahun 2003 tercatat seluas 90.990 ha, masing-masing 26.501 ha di kawasan hutan dan 64.479 ha di luar kawasan hutan. Apabila di asumsikan bahwa rotasi atau efektivitas pemanfaatan lahan rata-rata hanya tiga tahun, maka setiap tahunnya akan terjadi alih fungsi lahan hutan atau semak belukar menjadi lahan perladangan seluas 30.330 ha. Adanya alih fungsi lahan yang pembukaan lahannya umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar akan menimbulkan dampak negatif berupa emisi karbon dioksida, penyusutan keanekaragaman hayati, dan kerusakan tata air serta peningkatan erosi tanah. Kegiatan usaha tanaman bahan makanan non-padi di lahan kering dengan pola perladangan berpindah dengan rotasi penggunaan lahan rata-rata 3 tahun memaksa petani untuk membuka ladang baru dari hutan rata-rata 8.834 ha per tahun dan 21.496 ha dari semak belukar yang telah diberakan. Dengan demikian akan terjadi emisi gas CO2 akibat pembakaran kayu, ranting dan daun-daunan saat penyiapan lahan seluas 30.330 ha sebesar 151.650 ton atau senilai Rp 6,824 milyar, penyusutan keanekaragaman hayati dari lahan hutan seluas 8.834 ha senilai Rp 795,06 juta, hilangnya jasa hutan untuk pengendalian banjir dan penyedia air Rp 954,07 juta. Di samping itu, dengan asumsi bahwa kondisi perladangan berpindah rata-rata berkemiringan 3%, panjang lereng 25 m, erodibilitas (K)=0,205, penutupan tanah
109 pertanian campuran (C)=0,43 dan curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata sebesar 32,93 ton/ha. Mengacu pada hasil analisis tanah di beberapa lokasi pertanian, maka adanya erosi tersebut menyebabkan hilangnya unsur hara Nitrogen, Posfat dan Kalium senilai Rp 14.468/ton tanah yang tererosi. Dengan demikian nilai kerugian yang perlu diperhitungkan untuk penggantian unsur hara yang hilang tersebut adalah sebesar Rp 474.598/ha, sehingga total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan akibat erosi dari sektor ekonomi tanaman bahan makan non padi adalah sebesar Rp 14,395 milyar. Total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi tanaman makan non padi adalah sebesar Rp 22,968 milyar (Tabel 15). Tabel 15. Biaya eksternalitas sektor ekonomi tanaman bahan makanan non padi No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Biaya Eksternalitas Emisi CO2 Penyusutan KR hayati Pengendalian banjir dan penyedia air Erosi lahan Total
Areal lahan (ha) 30.330 8.834 8.834 30.330
Biaya (Rp/ha) 225.000 90.000 108.000 474.598
Total biaya (Rp milyar) 6,824 0,795 0,954 14,395 22,968
5.1.1.3. Sektor Ekonomi Kopi
Di Sulawesi Selatan ditanam dua jenis kopi yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika ditanam di daerah pegunungan dengan ketinggian tempat diatas 400 m dpl, sementara kopi robusta ditanam di daerah dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl. Hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa kedua jenis kopi ini sebagian besar dikembangkan di kawasan DAS Saddang terutama di Kabupaten Polmas dan Tana Toraja. Dampak negatif terhadap lingkungan terutama berupa erosi lahan, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Pada tahun 2003, total areal perkebunan kopi tercatat seluas 112.542 ha terdiri dari areal belum menghasilkan (TBM) seluas 20.092 ha, areal tanaman menghasilkan (TM) seluas 73.428 ha dan tanaman tua/rusak (TT) seluas 19.022 ha. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan kopi tersebut tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 30%. Sebaran areal perkebunan kopi berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 16.
110 Tabel 16. Sebaran areal perkebunan kopi dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 20 30 Total
TBM1 539,2 1.078,5 1.348,1 1.348,1 1.078,5 5.392,4
0 5 10 20 30 Total
0 63.831 196.964 439.304 554.533 1.254.632
Areal Kebun (ha) TBM>1 & TT TM 3.372,2 7.342,8 6.744,3 14.685,6 8.430,4 18.357,0 8.430,4 18.357,0 6.744,3 14.685,6 33.722,6 73.428,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 266.113 289.727 821.149 894.016 1.831.470 2.184.308 2.311.865 2.517.016 5.230.596 5.885.067
Total 11.254,2 22.508,4 28.135,5 28.135,5 22.508,4 112.542,0 0 619.671 1.912.129 4.455.081 5.383.415 12.370.295
Pata Tabel 16 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kopi tahun 2003 mencapai 12.370.295 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, sehingga total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 178,973 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kopi selama tiga tahun terakhir rata-rata 5.392,4 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 75% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 181,99 juta. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 436,78 juta dan Rp 363,99 juta. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kopi adalah sebesar Rp 179,955 milyar 5.1.1.4. Sektor Ekonomi Kakao
Tanaman kakao dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai pada daerah pegunungan hingga ketinggian 600 m dpl. Areal pengembangan umumnya pada areal bekas kebun campuran, areal perladangan dan areal bekas hutan dan semak belukar. Sentra utama perkebunan kakao adalah di Kabupaten Mamuju, Luwu Utara, Polmas, Bone dan Pinrang.
111 Biaya lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh pengusahaan kakao adalah karena pencemaran oleh pupuk kimia dan pestisida, erosi lahan, rusaknya tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Namun hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida tidak teridentifikasi menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup. Demikian pula halnya dengan kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati tidak teridentifikasi secara nyata. Pengembangan kakao yang dilakukan petani umumnya tidak bersifat monokultur, tetapi diselang selingi dengan tanaman buah-buahan, kemiri, kelapa dan tanaman pelindung lainnya. Pada beberapa kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Pinrang yang areal pengembangannya relatif datar dan lahannya sebagian berupa lahan kritis, maka pengembangan perkebunan kakao ikut andil dalam memperbaiki dan menyelamatkan lingkungan hidup. Pada tahun 2003, dari total areal 296.039 ha terdiri dari 54.522 ha areal belum menghasilkan (TBM), 213.489 ha areal tanaman menghasilkan (TM) dan 28.028 ha tanaman tua (TT). Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan kakao tersebut diperkirakan tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 20%. Sebaran areal perkebunan kakao berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Sebaran areal perkebunan kakao dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 15 20 Total
TBM1 3.636,1 3.636,1 4.545,2 3.636,1 2.727,1 18.180,6
0 5 10 15 20 Total
0 215.207 664.069 867.676 888.674 2.635.625
Areal Kebun (ha) TBM>1 & TT TM 12.873,9 42.697,8 12.873,9 42.697,8 16.092,4 53.372,3 12.873,9 42.697,8 9.655,4 32.023,4 64.369,4 213.489,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 507.969 842.370 1.567.448 2.599.316 2.048.035 3.396.280 2.097.598 3.478.470 6.221.050 10.316.436
Total 59.207,8 59.207,8 74.009,8 59.207,8 44.405,9 296.039,0 0 1.565.546 4.830.832 6.311.990 6.464.742 19.173.111
112 Pata Tabel 17 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kakao tahun 2003 mencapai 19.173.111 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, maka total biaya eksternalitas untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 277,397 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kakao selama tiga tahun terakhir rata-rata 18.181 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 75% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 3,068 milyar. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 1,474 milyar dan Rp 1,227 milyar. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kakao adalah sebesar Rp 283,166 milyar 5.1.1.5. Sektor Ekonomi Perkebunan Lainnya
Sektor ekonomi perkebunan lainnya meliputi berbagai jenis tanaman perkebunan selain kopi dan kakao. Jenis tanaman yang paling dominan adalah kelapa disusul jambu mete, kelapa sawit, cengkeh, tebu dan lain-lain. Berbagai jenis tanaman ini umumnya ditanam dalam bentuk kebun campuran kecuali kelapa sawit dan tebu yang monokultur. Berbagai jenis tanaman perkebunan tersebut sebagian besar ditanam di daerah yang datar dan hanya sebagian kecil yang ditanam di kawasan bukit dan pegunungan, sehingga tingkat bahaya erosinya relatif rendah. Pada tahun 2003, total areal berbagai jenis tanaman perkebunan selain kopi dan kakao ini tercatat seluas 600.064 ha, terdiri dari 79.950 ha areal tanaman belum menghasilkan (TBM), 447.304 ha areal tanaman menghasilkan (TM), dan 72.810 ha areal tanaman tua/rusak (TT). Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan selain kopi dan kakao tersebut diperkirakan tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 20%. Sebaran areal perkebunan kakao berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 18.
113 Tabel 18. Sebaran areal perkebunan lainnya dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 15 20 Total 0 5 10 15 20 Total
Areal Kebun (ha) TBM1 TBM>1 & TT TM 4.846,2 40.981,8 134.191,2 4.038,5 34.151,5 111.826,0 3.230,8 27.321,2 89.460,8 2.423,1 20.490,9 67.095,6 1.615,4 13.660,6 44.730,4 16.154,0 136.606,0 447.304,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 0 398.371 2.021.290 4.412.354 786.726 3.991.762 8.713.775 963.694 4.889.678 10.673.872 877.347 4.451.564 9.717.495 3.026.139 15.354.293 33.517.496
Total 180.019,2 150.016,0 120.012,8 90.009,6 60.006,4 600.064,0 0 6.832.015 13.492.263 16.527.243 15.046.406 51.897.927
Pata Tabel 18 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan selain kopi dan kakao tahun 2003 mencapai 51.897.927 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi sentra perkebunan yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, maka total biaya eksternalitas untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 750,859 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan selain kopi dan kakao selama lima tahun terakhir rata-rata 16.154 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 50% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 1,817 milyar. Sedangkan biaya kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 872,32 juta dan Rp 726,93 juta. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kakao adalah sebesar Rp 754,275 milyar 5.1.1.6. Sektor Ekonomi Peternakan
Masyarakat Sulawesi Selatan memelihara hampir semua jenis ternak, baik ternak besar maupun unggas. Jenis ternak besar yang dipelihara meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Sedangkan ternak unggas meliputi ayam ras, ayam bukan ras dan itik. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling banyak dipelihara adalah sapi
114 yaitu sebanyak 737.538 ekor, diikuti kambing, babi, kerbau, kuda dan domba masingmasing 555.927 ekor, 448.869 ekor, 175.617 ekor, 118.101 ekor dan 1.393 ekor. Sementara unggas yang paling banyak dipelihara adalah ayam bukan ras yaitu sebanyak 18,75 juta ekor, diikuti itik dan ayam ras yaitu masing-masing 4,12 juta ekor dan 3,92 juta ekor. Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ekonomi peternakan tidak menimbulkan pencemaran yang berarti. Namun menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2001), ternak merupakan sumber emisi gas rumah kaca, baik dari proses fermentasi bahan makannya di lambung maupun dari limbah kotorannya. Oleh karena itu eksternalitas dari sektor ekonomi peternakan perlu diperhitungkan. Untuk kawasan Asia, setiap ekor ternak akan mengeluarkan gas CH4 dari proses fermentasi di lambungnya masing-masing sebesar 55 kg/tahun/ekor kerbau, 44 kg/tahun/ekor sapi potong, 18 kg/tahun/ekor kuda, 5 kg/tahun/ekor kambing atau domba, dan 1 kg/tahun/ekor babi. Di samping itu emisi CH4 juga dihasilkan dari limbah/kotoran ternak masing-masing sebesar 3 kg/tahun/ekor kerbau, 2 kg/tahun/ekor sapi potong, 0,22 kg/tahun/ekor kambing, 0,21kg/tahun/ekor domba dan 7 kg/tahun/ekor babi, serta 0,023 kg/tahun/ekor unggas. Menurut Kulshreshtha et al. (1999), setiap ekor ternak mengeluarkan emisi CH4 dari proses fermentasi makan di lambung bervariasi mulai dari yang paling kecil yaitu ternak unggas dengan emisi 0,0045 kg/tahun, disusul babi 1,5 kg/tahun, kambing 5 kg/tahun, domba 5-8 kg/tahun, kuda 18 kg/tahun dan yang terbesar adalah ternak sapi dengan tingkat emisi 55 kg/tahun. Sementara Gibbs et al. (tanpa tahun) menyatakan bahwa emisi CH4 dari proses fermentasi makanan di lambung ternak bervariasi masingmasing 5 kg/ekor/tahun untuk kambing dan domba, 18 kg/ekor/tahun untuk kuda, 44 kg/ekor/tahun untuk sapi potong dan 55 kg/ekor/tahun untuk kerbau. Mengacu pada berbagai pendapat dan hasil penelitian tersebut, maka sektor ekonomi peternakan Sulawesi Selatan pada tahun 2003 telah mengemisi gas CH4 sebesar 53.711 ton, masing-masing sebesar 47.592 ton dari proses fermentasi makanan di lambung dan 6.119 ton dari limbah kotorannya. Emisi gas CH4 tersebut setara dengan 1.127.931 ton CO2, sehingga nilai biaya lingkungan sektor ekonomi peternakan adalah sebesar Rp 50,76 milyar.
115 5.1.1.7. Sektor Ekonomi Kehutanan
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan yang cukup luas yaitu lebih dari 3,52 juta ha dengan 1,01 juta ha hutan produksi. Namun sebagian besar kawasan hutan tersebut sudah tidak produktif lagi, sehingga hasil hutan cenderung terus menurun. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh suatu kenyataan makin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, baik untuk perkebunan maupun perladangan berpindah. Sasaran perambahan hutan tidak terbatas hanya pada hutan produksi, tetapi sebagian sudah memasuki kawasan lindung dan konservasi. Akibatnya kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari, terutama karena erosi dan menyusutnya keanekaragaman hayati, serta rusaknya tata air dan makin luasnya lahan kritis. Erosi lahan pada beberapa DAS di Sulawesi Selatan cukup tinggi yaitu lebih dari 6,12 juta ton tanah tererosi setiap tahunnya. Tingkat erosi yang paling tinggi terjadi pada kawasan DAS Saddang yang mencapai 1,67 juta ton/tahun, disusul DAS Jeneberang, DAS Karama dan DAS Mamasa yang masing-masing 735 ribu ton, 677 ribu ton dan 544 ribu ton per tahun. Tingginya tingkat erosi lahan tersebut terjadi karena makin luasnya areal hutan yang terbuka akibat penebangan kayu dan alih fungsi lahan. Sebagai contoh di kawasan DAS Saddang terjadi penyusutan areal hutan dari 358.676 ha tahun 1991 menjadi 296.101 ha pada tahun 2002 dan perluasan areal kebun campuran dari 29.675 ha pada tahun 1991 menjadi 234.172 ha pada tahun 2002. Sementara itu, luas lahan kritis terus bertambah dengan laju 1-2% per tahun (Bapedalda, 2004 dan Wati, 2002). Biaya eksternalitas penyusutan areal hutan akibat alih fungsi lahan telah dibebankan pada sektor yang menggunakan lahan hutan tersebut. Sedangkan biaya eksternalitas karena eksploitasi hasil hutan sangat sulit untuk diperhitungkan karena terbatasnya ketersediaan data. Pada tahun 2003, hutan Provinsi Sulawesi Selatan memproduksi sebesar 63 ribu m³ kayu dan 203,1 ribu ton non kayu. Produksi kayu tersebut didominasi oleh produksi kayu non HPH yaitu sebesar 66,9%, sementara perusahaan HPH hanya memproduksi kayu sekitar 33,1%. Mengingat aktivitas eksplorasi hasil hutan beberapa tahun terakhir cenderung terus menurun dan aktivitas pada tahun 2003 relatif rendah serta kerusakan hutan karena aktivitas ekonomi lainnya sudah dibebankan pada sektor ekonomi pengguna lahan hutan, maka biaya eksternalitas sektor kehutanan karena eksploitasi hasil hutan diduga relatif kecil dan dapat diabaikan.
116 5.1.1.8. Sektor Ekonomi Perikanan Laut
Perikanan laut Sulawesi Selatan merupakan kegiatan perikanan tangkap dengan wilayah utamanya adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-4) yaitu Laut Flores dan Selat Makasar dengan posisi geografis 2-7ºLS dan 115-123ºBT. Berdasarkan hasil pengkajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan WPP-4 memiliki potensi sumberdaya ikan sebesar 929,72 ribu ton/tahun dengan produksi mencapai 655,45 ribu ton/tahun. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa WPP-4 masih memiliki peluang untuk peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan karena baru dimanfaatkan sekitar 70%. Meskipun demikian, ada beberapa jenis komoditas yang mengalami tangkapan berlebih seperti cumi-cumi, udang penaid dan ikan demersal (Barani, 2005). Pada tahun 2003, produksi perikanan laut tercatat sebesar 354,43 ribu ton. Produksi tersebut dihasilkan dari berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh para nelayan dari beberapa kabupaten, terutama Kabupaten Jeneponto, Takalar, Bulukumba dan Sinjai. Peralatan tangkap yang digunakan cukup beragam dan yang dominan digunakan adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klintik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu (Barani, 2005). Biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan laut relatif kecil yaitu yang bersumber dari penggunaan bahan bakar minyak untuk menggerakkan kapal/perahu nelayan. Di sisi lain, daya asimilasi limbah oleh ekosistem laut cukup besar, sehingga biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi perikanan laut ini dapat diabaikan. 5.1.1.9. Sektor Ekonomi Budidaya Udang
Budidaya udang umumnya dilakukan petani di sepanjang pesisir pantai barat yang menghadap Selat Makassar dan pesisir pantai timur yang menghadap Teluk Bone. Pada tahun 2003, areal tambak udang tercatat seluas 109.675 ha dengan sentra utamanya di Kabupaten Pinrang, Wajo, Luwu Utara, Bone dan Pangkep. Budidaya udang berpotensi menimbulkan biaya lingkungan terutama karena limbah pakan yang tersisa dan membusuk. Namun hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa dalam proses produksi tidak teridentifikasi adanya dampak negatif dari limbah
117 pakan udang. Dengan demikian biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi ini juga dapat diabaikan. 5.1.1.10. Sektor Ekonomi Budidaya Bandeng, Ikan & lainnya
Budidaya bandeng umumnya dilakukan berdampingan dengan budidaya udang yaitu di kawasan pesisir pantai barat dan timur Sulawesi Selatan. Sementara budidaya ikan lainnya dilakukan petani di kolam, sawah, danau dan rawa. Kondisinya tidak berbeda dengan budidaya udang. Oleh karena itu beban biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi ini juga dapat diabaikan.
5.1.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa untuk keperluan analisis input output sektor pertambangan dan penggalian dibagi menjadi dua sektor ekonomi yaitu sektor pertambangan nikel dan sektor pertambangan serta penggalian lainnya. Pembagian tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa sektor pertambangan nikel merupakan sektor pertambangan yang padat modal dan hasilnya diekspor dalam bentuk bijih nikel (nikel matte). Sementara pertambangan dan penggalian lainnya umumnya bersifat padat karya dan hasil tambang atau galian umumnya digunakan atau diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 5.1.2.1. Sektor Ekonomi Tambang Nikel
Tambang nikel di Sulawesi Selatan dikelola oleh PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), yaitu suatu perusahaan pertambangan yang per 31 Desember 2003 sebanyak 58,7% sahamnya dimiliki oleh Inco Limited dari Kanada, dan 20,1% saham dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining Co., Ltd dari Jepang serta selebihnya dimiliki oleh publik. Lokasi pertambangan dipusatkan di Sorowako Kabupaten Luwu Timur dengan lokasi tambang di tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Nuha, Malili dan Towuti. Di samping itu, PT Inco juga mulai mengembangkan lokasi penambangan ke Sulawesi Tenggara dengan konsentrasi kegiatan di Kabupaten Kolaka, Kendari dan Buton, serta Sulawesi Tengah dengan konsentrasi kegiatan di Kabupaten Morowali dan Palu.
118 Pada tahun 2003, PT Inco memecahkan rekor produksi tertinggi yaitu sebesar 155 juta pon nikel dalam matte, meningkat dari 131 juta pon pada tahun 2002. Untuk mengimbangi kenaikan produksi, PT Inco meningkatkan kegiatan eksplorasi untuk menemukan areal penambangan baru. Kegiatan eksplorasi tahun 2003, berhasil meningkatkan cadang bijih menjadi 62 juta ton cadangan terbukti berkadar 1,81 persen nikel dan 45 juta ton cadangan terduga berkadar 1,80% nikel atau meningkat sebesar 11 juta ton cadangan terbukti dan 5 juta ton cadangan terduga dibanding dengan kondisi akhir tahun 2002. Penambangan nikel dilakukan dengan sistem terbuka berjenjang, dimana kegiatan penambangan nikel dimulai pembebasan lokasi tambang dari pohon dan semak belukar. Kemudian dilanjutkan dengan pengupasan lapisan tanah penutup sampai kedalaman tertentu yang biasanya dilakukan dengan alat dorong (bulldozer). Selanjutnya dilakukan penambangan bijih nikel dan pengangkutan hasil tambang ke pabrik pengolahannya. Kemudian hasil tambang bijih nikel tersebut diproses menjadi nikel matte dan siap untuk diekspor. Mengingat areal pertambangan nikel tersebut mencapai ribuan hektar dengan kegiatan seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat dipastikan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan nikel cukup besar dan penting. Namun karena penambangan nikel oleh PT Inco dilakukan secara profesional dan mengikuti standar internasional, maka segala permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan telah ditangani sesuai dengan standar internasional. Dengan demikian, biaya lingkungan yang meliputi biaya penanganan limbah cair, penghijauan kawasan purna tambang dan menekan emisi limbah debu dan gas sudah dijadikan sebagai biaya internal, sehingga biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas relatif kecil. Pada tahun 2003, biaya operasional yang dikeluarkan untuk lingkungan hidup adalah sebesar US $ 2,8 juta atau sekitar 0,55% dari nilai penjualan nikel tahun yang bersangkutan. Di samping itu juga dikeluarkan biaya investasi untuk penanganan limbah yang besarnya bervariasi setiap tahunnya. Berbagai peningkatan dalam rehabilitasi lahan purna tambang telah diselesaikan oleh PT Inco di tahun 2003. PT Inco telah melaksanakan penanaman kembali lebih dari 132 hektar lahan purna tambang,
119 keseluruhannya menggunakan standar paling mutakhir dalam rehabilitasi kawasan. Hingga tahun 2003, PT Inco telah melaksanakan program penanaman kembali yang keseluruhannya mencakup lebih dari 2.047 hektar lahan purna tambang. Biaya lingkungan tersebut merupakan biaya internal yang dibebankan ke rugi laba perusahaan (PT International Nickel Indonesia, 2004 dan 2005). Karena keterbatasan data dan berbagai informasi resmi yang dikeluarkan Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak menyebutkan adanya permasalahan lingkungan yang serius di pertambangan nikel di Sulawesi Selatan, maka dalam penelitian ini biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas diasumsikan tidak ada atau diabaikan. 5.1.2.2. Sektor Ekonomi Tambang dan Galian Lainnya
Sektor pertambangan dan galian lainnya selain nikel di Sulawesi Selatan di domonasi oleh galian C terutama untuk bahan baku industri semen, bahan baku marmer, dan bahan bangunan. Kegiatan pertambangan dan galian ini menyebabkan berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada diatasnya, serta berubahnya alur dan dasar sungai. Pada tahun 2003, kegiatan pertambangan memproduksi sebanyak 3,25 juta m³ batu gamping dan 656,9 ribu m³ tanah liat sebagai bahan baku industri semen dan 17,55 ribu m³ marmer sebagai bahan baku industri marmer serta 2.643 m³ pasir, krikil, dan batu kali sebagai bahan bangunan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Lokasi pertambangan untuk bahan baku semen berada di Kabupaten Pangkep dan Maros Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), kegiatan pertambangan galian C untuk bahan baku semen, marmer dan bahan bangunan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan hidup. Oleh karena itu biaya eksternalitas sektor ekonomi tambang dan galian C dapat diabaikan. 5.1.3. Sektor Industri
Pembagian sektor industri untuk keperluan penelitian ini dilakukan atas dasar sumber bahan baku dan keterkaitannya dengan sektor pertanian. Secara umum sektor industri dikelompokkan menjadi 6 sektor yaitu yang terkait dengan pengolahan hasil kakao dan biji-bijian, hasil kopi, hasil pangan, pendukung pertanian, industri semen, dan
120 industri lainnya. Dari keenam sektor industri tersebut ternyata hanya sektor industri semen yang teridentifikasi menghasilkan biaya eksternalkitas yang cukup nyata bagi lingkungan. Sementara biaya dan manfaat eksternalitas lima sektor industri lainnya relatif kecil dan masih dapat diabaikan. 5.1.3.1. Sektor Ekonomi Industri Biji-bijan, Cokelat dan Kembang Gula
Sektor ekonomi industri biji-bijan, cokelat dan kembang gula merupakan sektor yang kegiatan utamanya adalah mengolah hasil berbagai jenis tanaman perkebunan dan hanya sebagian kecil mengolah hasil kakao. Industri ini umumnya berskala kecil/rumah tangga dengan penyebaran yang cukup luas di sentra-sentra produksi tanaman perkebunan, kecuali industri pengolahan biji kakao yang berada di Kawasan Industri Makassar (KIMA). Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.2. Sektor Ekonomi Industri Kopi Giling dan Kupasan
Sektor ekonomi industri kopi giling dan kupasan merupakan sektor industri yang kegiatan utamanya adalah mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk yang siap dikonsumsi. Industri ini umumnya berskala kecil/industri rumah tangga dan menyebar di sentra produksi kopi seperti Tana Toraja, Enrekang dan Mamasa. Pada tahun 2003, sektor ini tidak teridentifikasi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.3. Sektor Ekonomi Industri Makanan dan Minuman
Sektor ekonomi industri makanan dan minuman mencakup berbagai kegiatan pembuatan, penyiapan bahan makanan dan minuman. Kegiatan yang mempunyai nilai tambah dan output cukup besar antara lain; penggilingan padi, pengolahan dan pengawetan ikan, pembuatan mie, makaroni dan sejenisnya, pembuatan gula pasir dan tepung terigu. Sektor ini sebagian besar terkonsentrasi di KIMA, kecuali penggilingan padi dan pengolahan hasil pangan lainnya yang menyebar luas di sentra produksi padi dan sentra produksi pangan lainnya. Kondisi ini memberikan kelonggaran bagi lingkungan untuk mengasimilasi limbah yang dihasilkan, sehingga tidak menimbulkan
121 dampak negatif yang nyata. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Bapedalda (2004), yang menyatakan bahwa sektor industri makanan dan minuman secara sendiri-sendiri sampai saat ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.4. Sektor Ekonomi Industri Pupuk dan Pestisida
Provinsi Sulawesi Selatan tidak memiliki industri pupuk dan pestisida, sehingga kebutuhan pupuk dan pestisida daerah ini dipenuhi dari luar daerah. Dengan demikian sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.5. Sektor Ekonomi Industri Semen
Sulawesi Selatan memiliki dua buah industri semen yaitu PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT Bosowa di Kabupaten Maros dengan kapasitas masingmasing 3,48 juta ton/tahun dan 1,8 juta ton/tahun. Pada tahun 2003, kedua perusahaan tersebut masing-masing memproduksi semen sebanyak 2.261.082 ton dan 1.251.541 juta ton, sehingga total produksi semen Sulawesi Selatan sebesar 3.512.623 ton (Indonesia Cement Association, 2004). Menurut Humphreys dan Mahasenan (2002), setiap kg semen yang dihasilkan akan dikeluarkan emisi gas CO2 rata-rata 0,87 kg dengan variasi mulai 0,73 kg sampai 0,99 kg. Emisi gas CO2 tersebut sebagian besar (50%) bersumber dari proses bahan baku batu gamping (CaCO3) menjadi CaO, 40% bersumber dari pemakaian bahan bakar fosil untuk proses produksi, 5% bersumber dari aktivitas transportasi dan 5% bersumber dari penggunaan bahan bakar bagi pembangkit listrik industri semen. Di samping itu, industri semen juga menimbulkan pencemaran berupa debu dan gas-gas lainnya seperti SO2 dan NOx. Pada tahun 2003, industri semen merupakan pencemar debu terbesar yaitu sebesar 27,82 ribu ton atau 32,02% dari total pencemaran seluruh industri pengolahan yang ada di Sulawesi Selatan. Namun karena letak industri semen relatif jauh dari pemukiman padat dan kondisi alamnya yang masih memiliki kemampuan asimilasi limbah cukup baik, maka dampak negatif pencemaran debu diasumsikan masih dapat dinetralisir. Sementara itu, limbah gas-gas lainnya tidak terdeteksi dengan baik, sehingga biaya
122 eksternalitas dari limbah debu dan gas-gas lainnya pada penelitian ini juga diasumsikan masih dapat diasimilasi oleh lingkungan sekitarnya dengan baik sehingga biaya eksternalitasnya juga dapat diabaikan. Dengan demikian biaya eksternalitas sektor ekonomi industri semen yang diperhitungkan hanya berasal dari emisi gas CO2. Berdasarkan asumsi bahwa industri semen di Sulawesi Selatan berproduksi dengan emisi CO2 sebesar 0,87 kg/kg semen, maka total emisi CO2 yang dihasilkan sebesar 3.512.623 ton atau senilai Rp. 158,07 milyar. 5.1.3.6. Sektor Ekonomi Industri Lainnya
Sektor ekonomi ini mencakup berbagai industri selain yang telah diuraikan secara khusus. Industri yang menghasilkan nilai tambah dan output yang cukup besar antara lain: industri kayu lapis, perabotan rumah tangga, industri barang-barang dari bahan bukan logam, industri kertas dan barang-barang dari kertas dan karton, industri kayu gergajian dan industri peralatan angkutan laut. Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum
Sektor ekonomi listrik, gas dan air minum merupakan sektor ekonomi yang kegiatannya meliputi: kegiatan pembangkitan dan distribusi tenaga listrik, baik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), maupun non-PLN, kegiatan produksi, penyediaan dan penyaluran gas, dan kegiatan pembersihan, pemurnian dan penyaluran air ke konsumen rumah tangga ataupun ke sektor ekonomi lainnya. Produksi sub sektor listrik PLN terutama bersumber dari 228 unit generator masing-masing 7 unit PLTA, 3 unit PLTU, 7 unit PLTG dan 211 unit PLTD dengan total daya terpasang 628.671 KW dan daya mampu 561.044 KW. Unit-unit generator tersebut tersebar di 10 unit pembangkit listrik PLN. Sedangkan produksi dan penyediaan gas bersumber dari daerah lain, karena pada tahun 2003 Sulawesi Selatan tidak memproduksi gas. Sementara itu, produksi air minum oleh Perusahaan Air Minum bersumber dari beberapa sungai besar seperti Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo. Pada tahun 2003, produksi air yang disalurkan tercatat sebesar 32,1 juta m³ dengan nilai Rp 67,89 milyar (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).
123 Kegiatan produksi sub sektor listrik berpotensi menimbulkan limbah berupa gas sisa pembakaran BBM bagi pembangkit listrik tenaga diesel, tenaga uap dan tenaga gas, sementara produksi air minum berpotensi menghasilkan limbah dari pemurnian air. Namun pada tahun 2003, dampak negatif sektor ekonomi listrik, gas dan air minum ini relatif kecil. Limbah yang dihasilkan sub sektor listrik yang berhasil diidentifikasi Bapedalda meliputi 300 ton CO2, 6.030 ton NO, 9.080 ton SO2, 60 ton HC dan 480 ton debu, sementara limbah sub sektor gas dan air minum tidak teridentifikasi. Karena limbah yang dihasilkan sektor ini relatif kecil dan masih dapat terasimilasi oleh lingkungan dengan baik, maka biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.5. Sektor Bangunan
Sektor ekonomi bangunan merupakan kegiatan konstruksi yang mencakup kegiatan pembuatan, pembangunan, pemasangan dan perbaikan dari semua jenis konstruksi/bangunan. Berbagai jenis konstruksi tersebut meliputi: bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal, pekerjaan umum untuk pertanian, perikanan, peternakan, jalan, jembatan, pelabuhan, bangunan dan instalasi listrik, gas, air minum dan komunikasi, serta bangunan lainnya. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selama tahun 2003, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Sektor ekonomi perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi dibanding sektor lainnya. Sektor ini meliputi: kegiatan perdagangan yaitu kegiatan pengumpulan barang dari produsen maupun pelabuhan impor dan mendistribusikannya kepada konsumen tanpa merubah barang tersebut; kegiatan restoran yaitu kegiatan penyediaan makanan dan minuman jadi yang dapat dinikmati di tempat penjualannya; dan kegiatan perhotelan yaitu kegiatan penyediaan akomodasi untuk umum berupa tempat penginapan untuk jangka waktu relatif singkat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selama tahun 2003, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan.
124 5.1.7. Sektor Angkutan dan Komunikasi
Sektor angkutan dan komunikasi meliputi angkutan darat, laut dan udara serta aktivitas komunikasi. Kegiatan angkutan menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan terutama karena limbah dari penggunaan BBM dan kebisingan di sekitar bandara. Namun dampak negatif tersebut tidak begitu berarti karena jumlah kendaraan relatif sedikit dan posisi bandara berada di luar kota. Pencemaran udara karena penggunaan BBM memang dirasakan oleh penduduk kota Makassar yang menampung lebih dari 50% kendaraan bermotor Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil pemantauan di kota Makasar menunjukkan adanya penurunan kualitas udara di beberapa lokasi seperti di Lapangan Karebosi, Simpang tiga Jl Sultan Alaudin dan Jl A.P. Pettarani, dan pasar Panampu. Pada beberapa lokasi tersebut, kualitas udara sedikit berada diatas baku mutu udara Ambien khususnya untuk parameter Pb, H2S dan debu. Tetapi penurunan kualitas udara tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh kegiatan transportasi, karena pembusukan bahan organik dan kondisi jalan tidak seluruhnya ditutupi aspal juga berkontribusi dalam penurunan kualitas udara di kota Makasar (Bapedalda, 2004). Meskipun demikian, penurunan kualitas udara di kota Makasar tersebut belum menimbulkan gangguan yang nyata bagi penduduk kota Makasar. Sementara itu, kegiatan komunikasi tidak teridentifikasi telah menimbulkan dampak negatif, sehingga biaya ekternalitas dari sektor angkutan dan komunikasi dapat diabaikan. 5.1.8. Sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
Sektor ekonomi bank dan lembaga ekonomi lainnya mencakup usaha jasa perbankan dan moneter, koperasi simpan pinjam, pedagang valuta asing dan jasa pasar modal, usaha jasa asuransi, persewaan bangunan dan tanah, serta usaha jasa perusahaan seperti pengacara, notaris, akuntan, dan konsultan. Output sektor ekonomi ini meliputi penerimaan provisi dan komisi, penerimaan netto transaksi devisa, selisih penerimaan premi dan klaim, serta jasa-jasa yang diberikan. Proses untuk menghasilkan output tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan hidup, sehingga biaya ekternalitasnya dapat diabaikan.
125 5.1.9. Sektor Jasa
Untuk keperluan penelitian ini, sektor jasa dibedakan antara jasa pemerintah dengan jasa lainnya. Kedua sektor ekonomi jasa tersebut ternyata tidak teridentifikasi menghasilkan biaya atau manfaat eksternalitas dalam proses produksinya. 5.1.9.1. Sektor Ekonomi Jasa Pemerintahan
Sektor ekonomi jasa pemerintahan merupakan sektor penghasil jasa pemerintahan umum dan pertahanan, baik pemerintah pusat provinsi maupun pemerintah daerah. Outputnya dinilai berdasarkan anggaran belanja pemerintah. Dalam proses produksinya, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan hidup, sehingga biaya ekternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.9.2. Sektor Ekonomi Jasa Lainnya
Sektor ekonomi jasa lainnya mencakup berbagai kegiatan penghasil jasa yang meliputi: jasa kemasyarakatan seperti jasa pendidikan, kesehatan, panti asuhan dan lainlain, jasa hiburan dan rekreasi, jasa perbengkelan, jasa perorangan dan rumah tangga seperti tukang cukur, tukang jahit, salon kecantikan, pembantu rumah tangga dan lainlain. Sektor ini dalam proses produksinya tidak menimbulkan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan.
126
5.2. Biaya Lingkungan Sebagai Eksternalitas
Hasil analisi dari berbagai sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas dari berbagai kegiatan perekonomian di Sulawesi Selatan mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53% dari nilai total output. Nilai biaya eksternalitas yang berhasil diidentifikasi dan dianalisis tersebut relatif lebih kecil dari yang seharusnya karena keterbatasan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan. Pada kondisi saat ini, rendahnya biaya lingkungan tersebut masih dapat diterima karena daya dukung lingkungan Sulawesi Selatan untuk mengasimilasi berbagai limbah, baik padatan, cairan maupun gas relatif masih cukup baik. Kemampuan lingkungan memberikan jasa untuk asimilasi limbah tersebut dalam penelitian ini tidak diperhitungkan karena dapat dianggap sebagai penyeimbang dari biaya-biaya lingkungan yang tidak bisa diperhitungkan. Beban biaya eksternalitas yang terbesar dihasilkan oleh sektor perkebunan selain kopi dan kakao yaitu sebesar Rp 754,28 milyar. Biaya eksternalitas terbesar berikutnya adalah dari sektor ekonomi padi, kakao, kopi dan industri semen yaitu masing-masing Rp 315,23 milyar, Rp. 283,17 milyar, Rp. 179,95 milyar dan Rp. 158,07 milyar (Tabel 19). Tabel 19. Biaya ekternalitas berbagai sektor ekonomi, 2003 Sektor Ekonomi
Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Industri semen Lainnya Total
Erosi
KR Tata CO2 CH4 N2O Total (Persen hayati air dari Output) ……………………….. (Rp milyar ) ……………… 2,53 0 0 0 307,80 4,90 315,23 6,47 14,40 0,80 0,95 6,83 0 0 22,97 0,73 178,97 0,36 0,44 0,18 0 0 179,95 63,58 277,40 1,23 1,47 3,07 0 0 283,17 10,95 750,86 0,73 0,87 1,82 0 0 754,28 31,62 0 0 0 0 50,76 0 50,76 7,21 0 0 0 158,07 0 0 158,07 6,00 0 0 0 0 0 0 0,00 0,00 1.224,16 3,12 3,73 169,97 358,56 4,90 1.764,43 2,53
Pada Tabel 19. tersebut tampak bahwa biaya eksternalitas persatuan output terbesar adalah dari sektor ekonomi kopi dengan pangsa 63,58%. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan satu satuan nilai output menimbulkan biaya eksternalitas sebesar
127 0,6358 satuan. Sementara sektor ekonomi kakao menibulkan biaya eksternalitas sebesar 0,1095 satuan untuk setiap peningkatan satu satuan nilai output. Secara keseluruhan beban biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regioanl Sulawesi Selatan relatif kecil yaitu sebesar 2,53% dari nilai output total perekonomian regional. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan terutama terbatasnya ketersediaan data dan informasi. Oleh karena itu perlu kajian yang lebih mendalam mengenai biaya eksternalitas khususnya terhadap sektor-sektor ekonomi yang secara teoritis menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan seperti pertambangan nikel dan industri semen. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi/gambaran peran yang sesungguhnya dan biaya eksternalitas masingmasing sektor ekonomi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Disadari bahwa penelitian ini belum sepenuhnya dapat mengungkap besarnya biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, tetapi sebagai langkah awal keberhasilan mengungkapkan adanya beban biaya eksternalitas tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga sebagai peringatan dini untuk ditindak lanjuti. Adanya biaya eksternalitas meskipun nilainya relatif kecil, perlu diperhitungkan dan diwaspadai karena pada umumnya biaya eksternalitas bersifat kumulatif dan menjadi beban yang makin besar bagi generasi berikutnya. Beban biaya eksternalitas yang teridentifikasi dalam penelitian ini sebagian besar (69,38%) merupakan biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi. Kehilangan unsur hara secara terus menerus akan menyebabkan lahan terdegradasi dan akan memperluas lahan kritis di Sulawesi Selatan. Meluasnya lahan kritis berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan dan akan menjadi beban bagi masyarakat sekitarnya karena rawan terhadap bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan. Pada akhir Pelita VI, di Sulawesi Selatan terdapat lebih dari sejuta ha lahan kritis masing-masing 581.297 ha di dalam kawasan hutan dan 451.505 ha di luar kawasan hutan dan diperkirakan terus meluas dengan laju 1-2% per tahun. Di sisi lain kegiatan untuk merehabilitasi lahan kritis berjalan lambat dan biayanya cukup mahal. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 hanya seluas 74.241 ha dari 580.279 ha yang direncanakan atau rata-rata hanya 18.560 ha/tahun dan sebagian besar (77,7%) berada diluar kawasan hutan.
128 Lebih lanjut, besarnya tanah yang tererosi akan menimbulkan dampak turunan berupa pendangkalan sungai, danau dan perairan pantai, sehingga merugikan masyarakat. Kasus pendangkalan danau yang dampak negatifnya sudah sangat dirasakan masyarakat adalah pendangkalan Danau Sidenreng di Kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pada musim kemarau mengalami kekeringan dan meluap atau menimbulkan banjir pada musim hujan. Di samping itu berbagai potensi ekonomi khususnya perikanan air tawar ketiga danau tersebut terus menurun. Oleh karena perlu adanya kebijakan terutama yang menyangkut penataan ruang wilayah dan penegakan hukum bagi setiap pelanggaran. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini, sehingga perlu direvisi. Menurut hasil kajian Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), kebijakan tata ruang di setiap kabupaten pada umumnya lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan non budidaya/kawasan lindung dan kawasan konservasi serta pelestarian alam tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang tepat. Faktor lereng, sifat dan ciri tanah, intensitas curah hujan, kondisi sosial budaya, struktur pemilikan lahan adat dan lain-lain tidak digunakan secara tepat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kecamatan. Kondisi ini menuntut perlunya dilakukan revisi terhadap rencana tata ruang wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. Revisi terhadap rencana tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Selatan hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem yaitu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk daerah daratan dan pegunungan (terrestrial) dan ekosistem wilayah pesisir dan pantai (WPP) untuk wilayah bawah. Sementara itu kebijakan tata ruang kabupaten/kota disusun mengacu pada tata ruang provinsi yang didasarkan pada pendekatan
ekosistem-ekosistem
utama/lintas
kabupaten.
Dengan
menggunakan
pendekatan ini, RTRW yang dihasilkan diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan khususnya kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.
129 Dengan kondisi yang ada saat ini, revisi terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) dapat menimbulkan permasalahan baru terutama apabila sebagian ruang telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang kurang sesuai dengan prinsip dasar revisi RTRW. Sebagai contoh, pada beberapa kawasan non budidaya pertanian telah dimanfaatkan untuk budidaya kakao. Apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang tersebut masih layak dipertahankan maka perlu adanya perbaikan sistem budidaya kearah budidaya konservasi yang berwawasan lingkungan. Perbaikan sistem budidaya ini merupakan salah satu alternatif aplikasi atau penerapan internalisasi biaya eksternalitas, sehingga dapat memperkecil atau menghilangkan biaya lingkungan yang diperlakukan sebagai biaya eksternalitas. Namun apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang kawasan nonbudidaya pertanian tersebut tidak layak untuk dipertahankan, maka perlu upaya untuk mengembalikan pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW hasil revisi agar tidak melanggar peraturan. Sebagai contoh, adanya perkebunan kakao di kawasan DAS yang seharusnya menjadi kawasan lindung, maka perlu dilakukan penyesuaian atau perbaikan dengan mengembalikannya menjadi kawasan hutan lindung. Mekanisme pengembalian kawasan tersebut dapat dilakukan secara bertahap dengan cara penyisipan tanaman kehutanan dan mengurangi tanaman kakao hingga pada akhirnya terbentuk kawasan hutan lindung sesuai dengan RTRW. Langkah ini perlu ditempuh untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan menghindari dampak kerusakan lingkungan, sehingga sasaran pembangunan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat dapat terwujud.