PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM
Oleh : RADJAB TAMPUBOLON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, September 2007
Radjab Tampubolon P026014031
ABSTRAK RADJAB TAMPUBOLON. Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Dibimbing oleh BUNASOR SANIM (Ketua Komisi), M. SRI SAENI dan RIZALDI BOER (Anggota Komisi). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganialisis perubahan tutupan lahan, perubahan karakteristik hidrologis dan pengaruhnya terhadap nilai ekonomi sumberdaya air bagi pengguna jasa lingkungan (PLTA dan PDAM). Penelitian dilakukan selama tahun 2006 di DAS Citarum Wilayah Hulu meliputi Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur dengan luas 486,237 ha. Aktor-aktor ekonomi yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur serta PDAM Purwakarta (Tirta Dharma) dan PDAM DKI Jakarta (PT. Thames Jaya) di DAS Citarum Wilayah Hilir sebagai pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) DAS Citarum. Metode dan tehnik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analysis supervised classification untuk mengetahui perubahan tutupan lahan, model GR4J untuk menduga debit, volume air dan sedimentasi, analisis kimia air dan replacement cost sebagai tehnik valuasi ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1992–2003 telah terjadi penurunan tutupan lahan hutan (pohon) dengan laju 2.23 % (3804.2 ha) per tahun. Penurunan luas tutupan lahan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya, yang tumbuh 9.81 % (2404.5 ha) per tahun. Perubahan tutupan lahan tersebut menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu berupa penurunan debit air masuk lokal (DAML) dengan laju 1.49% (3.14 m3/dt) dan volume air masuk lokal (VAML) dan 4.20% (275.26 juta m3), peningkatan rasio Q max-min 5.99% (rata-rata 131.94), peningkatan laju sedimentasi rata-rata 12.86 juta m3 - 21.66 juta m3 (total 3 waduk) setiap tahun yang membahayakan terutama Waduk Saguling dan Cirata, dan penurunan kualitas kimiawi air di Sungai Citarum. Perubahan tutupan lahan dan karakteristik hidrologis tersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi (“keuntungan yang hilang”) bagi PLTA dan PDAM. Besarnya keuntungan yang hilang akibat penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu bagi PLTA adalah sebesar Rp. 7.645/MWh energi listrik atau Rp. 13.35/m3 air yang digunakan PLTA, sedangkan bagi PDAM adalah Rp. 212.43/m3 (PDAM Purwakarta) – Rp. 821.48/m3 (PDAM DKI Jakarta). Berkaitan dengan besarnya kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap PLTA dan PDAM maka upaya pengendalian pemanfaatan (tataguna) lahan dan tindakantindakan konservasi sangat diperlukan dengan tetap mempertahankan luas minimal hutan. “Keuntungan yang hilang“ tersebut dapat digunakan sebagai investasi lingkungan untuk perbaikan kualitas lingkungan (replacement cost) di DAS Citarum Wilayah Hulu.
ABSTRACT RADJAB TAMPUBOLON. The Effect of Environmental Quality on Externality Cost of Citarum Water Users. Under the supervision of BUNASOR SANIM (Chair), M. SRI SAENI and RIZALDI BOER (Committee Members). The objectives of this research were to analyze land cover changes, changes in hydrological characteristics and their effects on the economic value of water resources affecting the environmental services beneficiaries (Hydroelectric Power Plant, HEPP and Drinking Water Companies, DWC). This research was conducted in 2006 in the upper Citarum River Basin, including the Saguling, Cirata, and Jatiluhur catchments, covering the total area of 486,237 ha. The economic actors under this study included Saguling HEPP, Cirata HEPP, and Jatiluhur HEPP as well as Tirta Darma DWC (Purwakarta) and PT Thames Jaya DWC (Jakarta) in the downstream of Citarum River Basin as the beneficiaries of environmental services of Citarum River Basin. The method employed in this study was the supervised classification analysis, model GR4-J, to relate the effects of land cover changes on water discharge, water volume, and sedimentation, water chemistry, and the replacement cost method for economic valuation of environmental services among the beneficiaries (HEPP, DWC). The results of this study showed that during the 1992 to 2003 period there has been a reduction of forest (tree) cover at the rate of 2.23% (3804.2 ha annually. The reduction of forest cover was mainly caused by an increase in the land clearing for settlement, and other social facilities which grew at the rate of 9.81% (2404,5 ha) annually. This land use change has caused changes in hydrological characteristics of the upper Citarum River Basin as demonstrated by the reduction of local water discharge as high as 1.49% (3.14 m3/sec) and the volume of local water input as high as 4.20% (275.26 m3), the increase of Qmax/Qmin as high as 5.99% (at the average of 131.94), the increase in sediment yield as high as 12.86 to 21.66 million m3 annually (for the three dams) and thus threatening (especially) the Saguling and Cirata dams, as well as the decrease in the chemical water quality of Citarum River. The changes in land use and hydrological characteristics has caused an economic loss (opportunity cost) among the HEPPs and DWCs. The amount of the opportunity cost due to environmental degradation of Upper Citarum River Basin suffered by the HEPPs was as high as Rp 7,645/Mwh electricity or Rp. 13.35/m3 water used by HEPP), and Rp. 212.43/m3 (Purwakarta DWC) – Rp. 821.48/m3 (Jakarta DWC). Because of the significant economic loss caused by environmental degradation of the upper Citarum River Basin on HEPP and DWC, the efforts for controlling land use allocation and soil conservation deem very necessary, by assigning permanent forest cover area. The amount as reflected by opportunity cost could be used as environmental investment for improving environmental quality (replacement cost) in the upper Citarum River Basin.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-Undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP BIAYA EKSTERNALITAS PENGGUNA AIR CITARUM
Oleh : RADJAB TAMPUBOLON
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa Nrp Program Studi
: : :
Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Radjab Tampubolon P026014031 Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc. Ketua
Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc Anggota
Prof. Dr. Ir. H. M. Sri Saeni, MS Anggota
Mengetahui:
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Plh Ketua,
Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan,
Dr. Ir. Etty Riani, MS
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal : 6 September 2007
RIWAYAT HIDUP
Radjab Tampubolon adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari Ayahanda H. Dja Pardamean Tampubolon dan Ibunda Hj. Djamilah Harahap. Dilahirkan di Sidapdap, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Oktober 1962. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Tapanuli Selatan dan SMA Negeri 2 di Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 1981 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Program Perintis II (PP-II) dan pada tahun 1982 menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dengan Jurusan Manajemen Hutan. Pendidikan S-1 Fakultas Kehutanan diselesaikan pada tahun 1985 dengan penelitian “Pengaruh Blue Stained Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Ramin (Gonystilus bancanus, Kurz)” di Inhutani III, Sampit Kalimantan Tengah. Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Hj. Pipih Pujiastuti, BSc dan dikaruniai 3 putra yaitu Abdul Manan Tampubolon (22 th), Bahroin Idris Tampubolon (19 th), dan Choirul Sabat Tampubolon (16 th). Pada saat ini penulis adalah Direktur Utama PT. Dalla Billa Sejati, Bogor, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bogor dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor serta aktif menjadi pembina beberapa asosiasi dunia usaha di Kota Bogor. Tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana IPB bidang Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan pada tahun 2002 melanjutkan ke jenjang S-3 pada program yang sama dengan spesialisasi Kebijakan Lingkungan (ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan) melalui Program Langsung (continual improvement). Pada tanggal 6 September 2007, penulis berhasil menyelesaikan studi Program S-3 dengan mempertahankan disertasi yang berjudul “Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum” . Terima kasih.
Penulis
KATA PENGANTAR Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum”. Pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan terima
kasih
dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Muhammad Sri Saeni, MS dan Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan teramat penting dalam menyusun karya tulis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada manajemen UBP. Saguling, UP. Cirata, PJT-II (PLTA Jatiluhur), PDAM Tirta Dharma Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, BBSDL, Balai Tanah, Balai Agroklimat, Walikota Bogor, KPU Kota Bogor, KADIN Kota Bogor dan PT. Dalla Billa Sejati serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungannya baik moril maupun materil. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada masa yang akan datang.
Bogor, September 2007
Radjab Tampubolon
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. KATA PENGANTAR...................................................................................... DAFTAR ISI..................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................. DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR SINGKATAN..................................................................................
Halaman i ii iii vii x xiii
1. PENDAHULUAN...................................................................................... 1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1.2. Kerangka Pemikiran............................................................................ 1.2.1. Pendekatan Ekosistem................................................................ 1.2.2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi............................................. 1.3. Perumusan Masalah............................................................................. 1.4. Tujuan Penelitian................................................................................. 1.5. Manfaat Penelitian............................................................................... 1.6. Novelty (Kebaruan)............................................................................. 1.7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian.......................................
1 1 4 4 7 7 12 12 13 13
2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2.1. Daerah Aliran Sungai........................................................................... 2.2. Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air................................................ 2.3. Kerusakan Ekosistem DAS.................................................................. 2.3.1. Pencemaran Air......................................................................... 2.3.2. Sedimentasi................................................................................ 2.4. Jasa Lingkungan DAS Selain Air........................................................ 2.4.1. Keanekaragaman Hayati............................................................ 2.4.2. Sekuestrasi Karbon.................................................................... 2.4.3. Rekreasi dan Penelitian.............................................................. 2.5. Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS.............................. 2.6. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan...................................................... 2.6.1. Konsep Valuasi Ekonomi.......................................................... 2.6.2. Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi............................................. 2.6.3. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan.............................. 2.6.4. Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan..................................................... .. 2.6.5. Pendekatan Kurva Permintaan.................................................
15 15 19 22 23 30 31 31 32 33 34 36 38 41 42
iii
43 43
2.6.6. Pendekatan Non Kurva Permintaan......................................... 2.7. Pendekatan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan DAS....................... 2.7.1. Berkaitan Kepemilikan Sumberdaya Air................................. 2.7.2. Berkaitan Kualitas Air............................................................. 2.8. Review Penelitian Terdahulu.............................................................
44 46 46 47 50
3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN..................................... 3.1. SWP DAS Citarum .......................................................................... 3.2. Perum Jasa Tirta II Jatiluhur............................................................. 3.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perum Jasa Tirta II................ 3.2.2. Daerah Kerja Perusahaan....................................................... 3 2.3. Maksud, Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan.......................... 3.2.4. Tugas Pokok dan Lapangan Usaha........................................ 3.2.5. Arah Pengembangan Perusahaan.......................................... 3.3. Unit Bisnis Pembangkitan Saguling................................................. 3.3.1. Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling............ 3.3.2. PLTA Saguling..................................................................... 3.4. Unit Pembangkitan Cirata................................................................. 3.4.1. Latar Belakang..................................................................... 3.4.2. Tahap Pelaksanaan............................................................... 3.4.3. Kegiatan Usaha.................................................................... 3.4.4. Organisasi............................................................................. 3.4.5. Dampak Pembangunan PLTA Cirata................................... 3.4.6. Pengelolaan PLTA Cirata..................................................... 3.5. PDAM Tirta Dharma........................................................................ 3.5.1. Letak Daerah dan Topografi.................................................. 3.5.2. Iklim Daerah.......................................................................... 3.5.3. Kependudukan....................................................................... 3.5.4. Visi dan Misi PDAM PDAM Tirta Dharma........................ 3.6. PT. Thames PAM Jaya..................................................................... 3.6.1. Empat Kepedulian TPJ ....................................................... 3.6.2. Penggabungan Thames Water dan RWE………………….
55 55 56 56 58 59 59 62 65 66 68 69 69 71 72 74 77 79 80 80 81 81 82 83 84 85
4. PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN...................................................... Latar Belakang................................................................................ Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... Bahan dan Metode Analisis Perubahan Tutupan Lahan.................. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Tutupan Lahan............ Simpulan.........................................................................................
88 88 88 89 91 97
iv
5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN...................................................................................... 5.1. Latar Belakang ............................................................................... 5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... 5.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS.... 5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume pada Dua Sistem Penggunaan Lahan................................................................ 5.3.2. Pendugaan Sedimentasi......................................................... 5.4. Hasil dan Pembahasan..................................................................... 5.4.1. Sifat Hujan Dan Hubungan Dengan DAML dan VAML........ 5.4.2. Karakteristik Air Keluar.......................................................... 5.4.3.Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Tutupan Lahan Dengan Simulasi GR4J................. 5.4.4. Volume Sedimen..................................................................... 5.5. Simpulan............................................................................................
122 128 132
6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR........................ 6.1. Latar Belakang................................................................................ 6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... 6.3. Bahan dan Metode........................................................................... 6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air ................................. 6.5. Simpulan.........................................................................................
135 135 135 136 136 151
7. PERUBAHAN PRODUKSI................................................................... 7.1. Latar Belakang ............................................................................... 7.2. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................. 7.3. Bahan dan Metode.......................................................................... 7.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi ..................... 7.4.1. Produksi Energi Listrik........................................................... 7.4.2. Produksi Air Minum.............................................................. 7.5. Simpulan........................................................................................
152 152 152 153 153 153 158 160
8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN.......................... 8.1. Latar Belakang................................................................................ 8.2. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................... 8.3. Bahan dan Metode.......................................................................... 8.3.1. Bahan....................................................................................... 8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marjinal Lingkungan A d Perhitungan A 8.3.3. Metode Kesediaan Membayar............................. 8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan......
161 161 161 162 162
v
98 98 98 98 99 102 103 103 114
162 163 164
8.4.1. Potensi Kerugian Ekonomi PLTA......................................... 8.4.2. Kerugian Ekonomi PDAM.................................................... 8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu............................... 8.4.4. Karakteristik Responden....................................................... 8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan...................................... 8.5. Simpulan.........................................................................................
164 171 175 175 178 182
9. PEMBAHASAN UMUM........................................................................ Perubahan Tutupan Lahan dan Karakteristik Hidrologis............... 9.1.1. Perubahan Tutupan Lahan dan Curah Hujan........................ 9.1.2. Perubahan Tutupan Lahan, Debit dan Volume.................... 9.1.3. Perubahan Tutupan Lahan, Kualitas Air dan Sedimentasi... Perubahan Karakteristik Hidrologis, Produksi PLTA dan PDAM dan Biaya Marjinal Lingkungan................................... 9.2.1. Perubahan Produksi Energi Oleh Listrik PLTA .................. 9.2.2. Produksi Air Minum PDAM Biaya Marjinal Lingkungan............................................................
183 183 183 184 185
10. SIMPULAN DAN SARAN..................................................................... Simpulan.......................................................................................... Saran................................................................................................
195 195 195
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
197
vi
189 189 190 191
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Halaman
Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air ............................
28
2.
Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian ...................
30
3.
Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan .......................
45
4.
Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum.....
52
5.
Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling ...............................
66
6.
Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling .....................
69
7.
Kapasitas per unit PLTA ...........................................................................
73
8.
Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun 2000 ........................................................................
81
Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2000 – 2006 ..............
82
10. Kondisi sekilas PT Thames PAM Jaya (2002) ..........................................
83
9.
11. Komposisi tutupan lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002.............................................
93
12. Laju perubahan tutupan lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992-2002.............................
94
13. Matriks perubahan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari tahun 1992 – 2002..............................................................................
96
14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J.....................................
101
15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode 1993 – 2003 ......................................................................... 16. Keragaman DAML harian di DAS Citarum Wilayah Hulu
104 106
Pada periode 1993 – 2003 ......................................................................... 17. Uji-t pengaruh curah hujan terhadap DAML harian periode 1993-2003...
109
18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu (1993-2003)........................................................................
110
19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan..........................
111
20. Rasio Qmax-min (1993-2003)...................................................................
113
vii
21. Keragaman DAK Harian di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode 1993 – 2003 .........................................................................
115
22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA (1993-2003).........
116
23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA............................................
117
24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur...................
119
25. Frekuensi terjadinya DMA kritis ...............................................................
120
26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993..............................
123
27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi sub DAS Saguling Dan DAS Citarum Wilayah Hulu ..............................................................
124
28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling Wilayah Hulu.........................
127
29. Perkembangan volume sedimen 3 Waduk ................................................
129
30. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu......................................
130
31. Volume sedimen hasil simulasi..................................................................
131
32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM......................
137
33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling.....................................................
138
34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata…………………………………….
139
35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur………………………………….
140
36. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Tirta Dharma Purwakarta..........
141
37. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Thames PAM Jaya Jakarta……
142
38. Baku mutu kualitas air berdasarkan air berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001…………………………………………………
146
39. Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode antara tahun 1993-2003.................................................................
154
40. Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik........................................
156
41. Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta....................................
158
42. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya .............................................
159
43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (1993-2003 )...............................................................................................
164
44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air................................
167
45. Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA ………………................
168
viii
46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun.....
170
47. Biaya pemeliharaan WTP Ubrug (PDAM Tirta Dharma).........................
171
48. Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta.....................................................................
172
49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005.........................................................................................
173
50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun 1998-2005..........................................................................
174
51. Sidik ragam (Anova) penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya...
174
52. Neraca Kebutuhan Air DAS Citarum.........................................................
179
53. Hasil Analisa Logit WTP...........................................................................
181
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Kerangka pemikiran (Pendekatan Ekosistem) ......................................
5
2.
Identifikasi aktor-aktor ekonomi ...........................................................
8
3.
Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum ............................................
18
4.
Sistem hidrologi dan sumberdaya air ....................................................
21
5.
Struktur Model GR4J ............................................................................
35
6.
Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan .........................
40
7.
Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air.........
47
8.
Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas lingkungan …………………………………………………...
9.
Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda…………………………………………………………..
10.
48 48
Kurva marginal WTP (CV dan EV) PLTA dan PDAM pada kondisi lingkungan tahun 1992, 1997 dan 2002...................................
49
11.
Peta lokasi penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum)..................
57
12.
Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling ..............................
66
13.
Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata .......................................
75
14.
Diagram alir analisis perubahan penutupan lahan (tataguna lahan)......
90
15.
Peta tutupan lahan DAS Citarum 1992..................................................
91
16.
Peta tutupan lahan DAS Citarum 2002..................................................
92
17.
Grafik perubahan tutupan lahan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002........................................................................................
18.
95
Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003 ........................................................................................... 105
19.
Keragaman DAML di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003 ........................................................................................... 107
20.
Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993.....................................................................................
21.
Hubungan CH dan DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993.....................................................................................
22.
108 109
Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Saguling ...... 111
x
23.
Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Cirata.... ......
24.
112
Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Jatiluhur ...... 112
25.
Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-2003.............................................. 114
26.
Keragaman DAK Harian di DAS Citarum Wilayah Hulu Pada periode 1993 – 2003 ..................................................................... 115
27.
Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Saguling..............................................................
28.
117
Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Cirata.................................................................... 118
29.
Grafik curah hujan tahunan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Jatiluhur..............................................................
30.
Grafik DMA bulanan rata-rata pada musim kemarau dan musim hujan di ketiga waduk............................................................................
31.
118 121
Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan 2003 .......................................................
32.
125
Hubungan DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 dan 2003........................................................................................ 126
33.
Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 – QP03).... 128
34.
Perkembangan volume sedimen waduk tahun 1993-2003..................... 129
35.
Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman (3 waduk) dengan volume sedimen hasil simulasi (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003) berdasarkan tahun inisial 1993.................................
36.
Rata-rata produksi listrik Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tahun 1993-2003.....................................................................
37.
156
Hubungan PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil Simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003...................
39.
155
Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil Simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003...................
38.
132
157
Rata-rata volume air bersih PDAM Purwakarta 1999-2003 ................. 159
xi
40.
Rata-rata volume air minum PT. Thames Jaya 1998-2005.................... 160
41.
Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur 1993-2003.... 165
42.
Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003...................
43.
166
Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi tutupan lahan tahun 1993 dan 2003...................
166
44.
Biaya marginal lingkungan 3 PLTA......................................................
171
45.
Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun 1998-2005.....................................................................
46.
173
Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya................................. 175
47.
Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 dan 2003....................... 192
xii
DAFTAR SINGKATAN
1.
ADB
:
Asian Development Bank
2.
AJI
:
Activities Jointly Implementation
3.
BML
:
Biaya Marjinal Lingkungan
4.
BOD
:
Biological Oxygen Demand
5.
CDM
:
Clean Development Mechanism
6.
CEMAGREF
:
Di Indonesia: Balai Penelitian Mekanisasi Pertanian
7.
CER
:
Certified Emission Reduction
8.
COD
:
Chemical Oxygen Demand
9.
CoP
:
Conference of Parties
10. CV
:
Compensation Variation
11. CVM
:
Contingent Valuation Method
12. DAK
:
Debit Air Keluar
13. DAML
:
Debit Air Masuk Lokal
14. DAS
:
Daerah Aliran Sungai
15. DCC
:
Dam Control Center
16. DKI
:
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
17. DMA
:
Duga Muka Air
18. DO
:
Dissolved Oxygen
19. DTA
:
Daerah Tangkapan Air
20. ENSO
:
El Nino and Shoutern Occeeation
21. ETM
:
Enhanced Thematic Mapper
22. ETP
:
Evapo tranpirasi Potensial
23. EV
:
Equivalent Variation
24. FAO
:
Food and Agriculture Organization
25. FMIPA
:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
26. GITET
:
Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi
27. GR4J
:
Genie Rural 4 (parameter) Journalier
28. Gwh
:
Giga watt hour
29. IBRD
:
International Bank for Reconstruction and Development
JAKARTA
xiii
30. IPB
:
Institut Pertanian Bogor
31. ITB
:
Institut Teknologi Bandung
32. JI
:
Jointly Implementation
33. KK
:
Kepala Keluarga
34. KPH
:
Kesatuan Pemangkuan Hutan
35. KPP
:
Kantor Pelayanan Pelanggan
36. KWh
:
Kilo Watt hour
37. Litbang
:
Penelitian dan Pengembangan
38. LS, BT
:
Lintang Selatan, Bujur Timur
39. LULUF
:
Land Use and Land Use Change and Foresty
40. MCK
:
Mandi, Cuci, Kakus
41. MWh
:
Mega Watt hour
42. NET
:
Nilai Ekonomi Total
43. NRM
:
National Resource Management
44. OECF
:
Overseas Economic Cooperation and Fund
45. PAM
:
Perusahaan Air Minum
46. PAS
:
Prior Appropriation System
47. PDAM
:
Perusahaan Daerah Air Minum
48. PJB
:
Pembangkit Jawa Bali
49. PJT – II
:
Perusahaan Umum Jasa Tirta – II
50. PLN
:
Perusahaan Listrik Negara
51. PLTA
:
Pembangkit Listrik Tenaga Air
52. POJ
:
Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur
53. PPSDA
:
Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan –
LP UNPAD
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
54. RMU
:
Remove Unit
55. RS
:
Riparian System
56. SD
:
Sekolah Dasar
57. SDM
:
Sumberdaya Manusia
58. SUTET
:
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
59. SWC
:
Standard Water Convertion
60. SWP
:
Satuan Wilayah Pengelolaan
xiv
61. SWS
:
Satuan Wilayah Sungai
62. TEV
:
Total Economic Value
63. TPJ
:
Thames PAM Jaya
64. UBP
:
Unit Bisnis Pembangkitan
65. UNDP
:
United Nation For Development and Programm
66. UPC
:
Unit Pembangkit Cirata
67. VAK
:
Volume Air Keluar
68. VAML
:
Volume Air MAsuk Lokal
69. WALHI
:
Wahana Lingkungan Hidup
70. WTA
:
Willingness to Accept
71. WTP
:
Willingness to Pay
xv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum DS memiliki luas total 1,348 juta ha (13.480 km²) merupakan 48% dari luasan Jawa Barat (Departemen Kehutanan, 1990) dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk, di dalamnya mengalir sungai Citarum dengan panjang 300 km (mulai dari dataran Bandung hingga Bekasi) dengan potensi sumberdaya air total 12,95 milyar m³ per tahun. Selain itu, di dalam DAS Citarum terdapat tiga waduk yaitu Saguling di wilayah hulu, Cirata di wilayah tengah dan Jatiluhur-Juanda di wilayah hilir. Air DAS Citarum tersebut 7,65 miliar m³ (59,07%) sudah dikelola atau dimanfaatkan sedangkan 5,35 miliar m³ belum dikelola. Penggunaan air terkelola 62% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, 23,9% pembangkit listrik tenaga air (PLTA), 6% air baku perusahaan air minum (PDAM), 2,3% rumah tangga dan industri dan 5,89% penggunaan lainlain. (PJT II, 2005, Indonesia Power, 2002). Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di segala sektor yang tinggi telah menyebabkan tekanan yang sangat besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menurunkan daya dukung wilayah Jawa Barat, terutama perubahan tataguna lahan dan konversi hutan (land use change and forestry). Gabel dan Folmer (2000) menyatakan bahwa besarnya dampak lingkungan yang terjadi adalah perkalian jumlah penduduk dengan konsumsi perkapita dan kerusakan lingkungan per unit konsumsi, dengan notasi I = PCB (I = dampak, P= penduduk, C= konsumsi, B= kerusakan lingkungan per unit konsumsi). Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan penduduk akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan peningkatan laju kerusakan lingkungan dan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya dampak lingkungan yang terjadi. Dinas Tata Kota dan Pemukiman Jawa Barat dan ITB (2002) menyatakan bahwa proyeksi peningkatan penduduk di DAS Citarum Hulu (Sub DAS Saguling) akan naik sebesar 30% dalam kurun waktu 10 tahun yaitu dari 5,6 juta
2 orang pada tahun 2001 menjadi 7,3 juta orang pada tahun 2010. Akumulasi dampak negatif dari kegiatan antropogenik telah menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim (global warming and climate change). Keadaan tersebut menyebabkan hujan turun secara tidak merata baik dari segi jumlah maupun distribusi dan sulit untuk diprediksi. Pemanasan global dan perubahan iklim tersebut menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap ketersediaan air untuk berbagai penggunaan seperti kebutuhan rumahtangga, irigasi pertanian dan industri. Sebagai contoh, Pawitan (2003) menyatakan bahwa telah terjadi selisih 1.000 mm rataan curah hujan tahunan antara dua periode pengamatan (1931-1960 dan 1968-1988) pada banyak stasiun di sepanjang Jawa bagian selatan dan untuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengalami kecenderungan penurunan curah hujan periode pengamatan 1896-1994 sebesar 10 mm per tahun. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kondisi DAS Citarum khususnya wilayah hulu telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi debit air tinggi, dan pencemaran air berat. Peningkatan luas lahan kritis di daerah tangkapan akan menyebabkan menurunnya kapasitas serap dan simpan lahan terhadap air dan menimbulkan aliran permukaan (surface run off), sehingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi sebesar 2,22 mm per tahun di Saguling telah melewati ambang batas toleransi sebesar 0,8-1,0 mm per tahun. Bila keadaan ini berlanjut, sisa umur pakai Waduk Saguling akan kurang dari 34 tahun sebagaimana direncanakan. Besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim kemarau akan menyebabkan tidak stabilnya kuantitas pasokan air untuk menggerakkan turbin. Degradasi lingkungan berupa pencemaran air baik yang berasal dari pertanian, pemukiman dan industri menyebabkan karat pada peralatan dan instalasi produksi energi listrik PLTA dan peningkatan penggunaan bahan kimia PDAM serta pada proses pengolahan air. Kondisi ini menimbulkan potensi kerugian (opportunity cost) bagi PLTA dan PDAM karena tidak dapat berproduksi konstan pada kapasitas yang direncanakan.
3 Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai. 2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk dan sumur. 3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus-menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah. Pengelolaan DAS memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS (Chandler dan Suyanto, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Untuk tujuan tersebut diperlukan
4 penelitian tentang kondisi atau status lingkungan (state of nature) terkini DAS Citarum Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap biaya eksternalitas pengguna air seperti PLTA dan PDAM. Untuk
menjawab
tujuan
penelitian,
dikembangkan
hipotesa
dan
pertanyaan penelitian. Hipotesa penelitian adalah sebagai berikut : 1. Selama periode 1993-2003 DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami perubahan penutup lahan; 2. Perubahan penutup lahan tersebut telah menyebabkan perubahan karakteristik hidrologis; 3. Perubahan karakteristik hidrologis telah menimbulkan biaya eksternalitas bagi pengguna air; sedangkan pertanyaan penelitian adalah : Berapa besar biaya eksternalitas pengguna air Citarum sebagai akibat degradasi kualitas lingkungan ?
1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dan pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan ekosistem dan identifikasi terhadap aktor-aktor ekonomi. Pada Gambar 1 ditampilkan kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem. 1.2.1. Pendekatan Ekosistem Paling tidak ada 4 (empat) komponen utama penyusun ekosistem dalam suatu DAS yaitu komponen fisik (tanah), biologi (vegetasi), manajemen (manusia) dan iklim (curah hujan). Keempat komponen tersebut membentuk suatu kesatuan yang terintegrasi antara satu dengan yang lain, sehingga perubahan pada suatu komponen akan mempengaruhi komponen lain. Vegetasi (hutan) merupakan komponen ekosistem yang paling rentan (fragile) terhadap perubahan dan berdampak luas terhadap komponen ekosistem yang lain. Ekosistem DAS tersebut menghasilkan jasa lingkungan antara lain adalah sumberdaya air, biodiversitas flora dan fauna, penambat karbon, rekreasi dan penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
5
Keterangan : ------- : Pengaruh parsial : Pengaruh kolektif : Pengaruh antar ekosistem
Manajemen Manusia
Hujan Iklim
EKOSISTEM DAS
Tanah Fisik
Hutan Biologi
Biologi
Fisik dan Kimia
KUANTITAS DAN KUALITAS AIR
Debit Fluktuasi
Sedimen REPLACEMENT COST
Pemeliharaan turbin, waduk, kolam
BIAYA MARGINAL LINGKUNGAN
Kehilangan Produksi
Penggunaan Bahan Kimia
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem.
Indikator utama kesehatan suatu ekosistem DAS adalah kondisi karakteristik hidrologis berupa debit dan volume air, sedimentasi dan kualitas kimiawi sumberdaya air baik berupa fisik, kimia maupun biologi yang terdapat di badan-badan air seperti sungai, danau dan waduk. Karakteristik hidrologis DAS tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada komponen ekosistem wilayah hulu terutama perubahan pada penutup lahan sebagai akibat perubahan tataguna lahan. Perubahan karakteristik DAS tersebut berdampak pada
6 pengguna (pemanfaat) sumberdaya air baik sebagai sumberdaya energi bagi PLTA maupun sumber air baku air minum bagi PDAM dalam menghasilkan produknya. Beberapa dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah meningkatnya biaya pemeliharaan peralatan dan waduk atau kolam tampung, meningkatnya penggunaan bahan kimia dan muaranya adalah potensi kehilangan produksi semakin besar setiap tahunnya. Keadaan ini akan menyebabkan kerugian bagi PLTA dan PDAM. Tindakan konservasi di wilayah hulu DAS sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki dan memulihkan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh DAS, agar laju pertumbuhan kerugian PLTA dan PDAM dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan atau mendatangkan keuntungan. Konservasi tersebut membutuhkan biaya yang besar dengan waktu yang relatif lama. Untuk itu diperlukan suatu valuasi ekonomi dikaitkan dengan pengguna jasa lingkungan. Komponen ekosistem yang divaluasi adalah : 1. Perubahan tataguna lahan dan penutup hutan (land use change and forest) pada tahun 1992 dan 2002. Pemilihan tataguna lahan dan hutan sebagai komponen yang dianalisa dikarenakan tataguna lahan dan hutan merupakan komponen ekosistem yang paling sensitif dan fragile serta berdampak penting baik on-site maupun off-site. Proses perubahan terjadi di wilayah hulu DAS. 2. Kuantifikasi perubahan karakteristik hidrologis (fisik, kimia dan biologi) yang terdapat dalam waduk PLTA dan kolam tampung (PDAM) dan perubahan karakteristik hidrologis DAS (debit dan fluktuasi). Pemilihan parameter fisik, kimia, biologi, sedimen dan debit air dikarenakan parameter tersebut merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan ekosistem dan tingkat pengelolaan DAS. Proses ini terjadi di wilayah tengah (transisi) DAS. 3. Penilaian ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna (users) dilakukan berdasarkan besarnya tambahan biaya lingkungan (environmental marginal cost) yang harus dikeluarkan oleh pengguna sebagai akibat penurunan kualitas jasa lingkungan yang diterima (biaya ekstenalitas). Pendekatan teori (grand theory model) yang digunakan adalah pembentukan fungsi permintaan, yang merupakan turunan (derivasi) dari utilitas yang diterima oleh pengguna pada
7 tingkat pendapatan tertentu. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi jenis jasa lingkungan (environmental services)
yang menyebabkan tambahan biaya
dalam proses produksi. Proses ini terjadi di wilayah hilir DAS. 4. Penetapan besarnya biaya marjinal lingkungan atau biaya eksternalitas untuk setiap output produksi para pengguna PLTA atau PDAM.
Nilai tersebut
merupakan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi perbaikan lingkungan di wilayah hulu DAS, dengan penggunaan harga bayangan (shadow price). Penggunaan harga pasar memang akan menyebabkan underprice bagi perhitungan nilai jasa lingkungan, tetapi sangat berguna dalam memberikan gambaran willingness to pay pengguna jasa lingkungan. Proses ini merupakan umpan balik (causal loop) ke ekosistem DAS. 1.2.2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi Pendekatan ekonomi dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi aktor-aktor ekonomi yang terlibat (sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2) dan perilakunya baik yang berada di DAS wilayah hulu maupun di wilayah hilir dalam penggunaan jasa lingkungan.
1.3. Perumusan Masalah Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat interaksi antara komponen penyusunnya yaitu komponen biologis (vegetasi), komponen fisik (tanah), komponen klimatologis (hujan) dan manusia (pengelola). saling
Komponen-komponen tersebut saling terkait (intercorrelation),
tergantung
(interdependent),
terdapat
aliran
bahan
dan
energi
(flow of material and energy) dan membentuk suatu sistem ekologis (system). Terjadinya gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen ekosistem tersebut menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem. Dari keempat komponen tersebut, komponen vegetasi (penutup lahan) merupakan faktor yang paling sensitif terhadap perubahan dan memiliki dampak yang lebih besar dan luas kepada komponen ekosistem lainnya (Purwanto dan Ruitjer, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Kerusakan tata guna lahan terutama hutan di daerah hulu
8 menyebabkan degradasi kualitas jasa lingkungan di daerah hilir berupa peningkatan laju erosi dan sedimentasi, fluktuasi debit air yang semakin besar, dan kualitas air yang semakin menurun.
HULU
HILIR 1
• • • • • •
Wil. Hulu Up-stream Produsen-1 Supplier-1 WTP-1/WTA-1 PJT - II
• • • • • • • •
• • • • • •
Wil. Hilir-2 Down-stream Konsumen-2 End-user WTA-3/WTP-3 R – Cost 2
Wil. Hilir-1 In-stream
HILIR 2
Demander-1 Konsumen-1 Supplier-2 WTP-2/WTA-2 R – Cost 1 PLTA & PDAM
Gambar 2. Identifikasi aktor – aktor ekonomi.
Hasil kajian FAO/UNDP (1990) memperkirakan bahwa 8 dari 15 satuan wilayah sungai (SWS) yang ada di Jawa dan Madura telah mencapai kondisi kritis dalam penyediaan air baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius di musim kemarau. Faktor penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan DAS terutama di daerah hulu berupa perubahan tataguna lahan terutama hutan dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut meningkatkan erosi, sedimentasi, pencemaran kimiawi air sungai atau waduk dan menyebabkan pendangkalan waduk dan korosivitas pada turbin dan sangat merugikan PLTA (PJT–II, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan DAS wilayah
9 hulu sangat penting dan strategis bagi pembangkit listrik tenaga hidro seperti PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, disamping juga manfaat yang sangat besar bagi irigasi pertanian, perikanan dan penyedia air bersih untuk minum bagi kebutuhan rumahtangga seperti perusahaan air minum (PAM). Sanim (2003) menyatakan bahwa 52% air tanah digunakan sebagai bahan air baku PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan air baku. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984 dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam daripada pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan air baku PAM. Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air tercemar. Terjadinya pencemaran air sungai telah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh PAM dalam mengelola air baku. Keadaan tersebut diperparah oleh krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, sehingga berdampak keberadaan perusahaan daerah air minum (PDAM). Sebanyak 87 dari 303 PDAM di Indonesia berada dalam keadaan kritis (Anonim, 1999 dalam Bunasor, 2003). Beberapa PDAM termasuk PDAM Bekasi Jawa Barat terancam disita Bank Dunia karena dililit utang Rp. 56,971 milyar. Hingga tahun 2003, hutang 87 PDAM yang kondisinya parah telah mencapai Rp. 4,1 trilyun terhadap lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB dan JBIC. Pada kondisi tersebut, semakin memudahkan perusahaan asing dalam mewujudkan rencananya untuk menguasai jaringan distribusi air di Indonesia (Sanim, 2003). Dengan demikian perbaikan lingkungan daerah hulu DAS Citarum sangat berdampak positif terhadap PDAM DKI Jakarta khususnya.
10 Permasalahan lingkungan hidup timbul disebabkan adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas sumberdaya alam dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia. Semakin besar jumlah dan eksploitasi sumberdaya alam itu, dampaknya terhadap degradasi kualitas lingkungan juga cenderung meningkat menurut dimensi ruang (lokal, regional dan global) dan waktu (jangka panjang) terhadap lingkungan (Tietenberg, 1992). Kasus di daerah aliran sungai merupakan bukti nyata, aktivitas di hulu seperti penebangan pohon secara liar (illegal logging), pertanian non-konservasi, kegiatan rumahtangga, menimbulkan dampak negatif di daerah hilir seperti penurunan kualitas air, erosi dan sedimentasi (Landell-Mills dan Porras, 2002). Untuk menyeimbangkan antara hulu dan hilir, maka aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus mendapatkan perhatian yang sejajar. Kegiatan produksi dan ekonomi di hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di daerah hilir. Kerusakan lingkungan di daerah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan seperti keadaan semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi
lingkungan
atau
biaya
sosial
dari
kerusakan
lingkungan
(Pearce et. al, 1994). Pengalaman negara-negara Philippina (Francisca, 2003; Jensen, 2003; Rosales, 2003; Salas, 2004),
Vietnam (Bui et. al, 2004), dan
Sri Lanka (Kallesoe, 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di daerah hulu DAS sangat menguntungkan pengguna air di daerah hilir. Masalah utama yang dihadapi dalam melakukan valuasi jasa lingkungan adalah keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan DAS tidak mempunyai nilai pasar (non-marketted) langsung atau belum dapat dinyatakan secara jelas seberapa besar nilai ekonomi yang dikandungnya (tidak memiliki nilai moneter langsung). Di dalam ekonomi, hal ini dikenal dengan eksternalitas, karena keuntungan atau
11 manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Aplikasi
ekonomi
lingkungan
ke
dalam
pengambilan
kebijakan
perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan seperti sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, valuasi keuntungan dan biaya serta faktor diskonto (discounting factor). Dampak lingkungan dari pengelolaan DAS mempunyai kompleksitas yang tinggi terutama dalam mengintegrasikan dan mengkuantifikasi nilai ekonomi dampak pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) dan kesulitan dalam menilai keterkaitan atau hubungan antara hulu dan hilir DAS.
Pemilihan metode atau teknik valuasi
ekonomi jasa lingkungan DAS terutama off-site stream impact sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan pengelolaan ekosistem DAS. Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama
bertanggung
jawab
dalam
penjagaan
kawasan
lindung
(guardianship) dan pengelolaan sumberdaya alam (stewardship) melalui mekanisme pembayaran (transfer payment) dari pengguna air di wilayah hilir (PLTA dan PDAM) kepada penyedia jasa lingkungan (environmental services) sebagai biaya pengganti (replacement cost) merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan lingkungan DAS, terutama di daerah hulu. Dari uraian terdahulu, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Perubahan tataguna lahan terutama hutan telah menyebabkan kerusakan ekosistem DAS Citarum terutama wilayah hulu, sehingga menurunkan kualitas jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti pengaturan tata air (debit dan fluktuasi), kualitas air (kimia, fisika dan biologi) dan erosi serta sedimentasi. 2. Degradasi jasa lingkungan yang dihasilkan DAS tersebut selain merugikan penyedia di wilayah hulu (on-site), juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pengguna (PLTA dan PDAM) di wilayah hilir (off-site) sebagai akibat adanya tambahan biaya (marginal cost) dan kehilangan potensi untuk berproduksi maksimal secara konstan pemeliharaan waduk dan turbin
12 (PLTA), pengerukan sedimen (PLTA dan PDAM), pemakaian bahan kimia (PDAM), pemeliharaan mesin produksi dan pipa distribusi (PDAM). Kehilangan produksi untuk berproduksi maksimal secara konstan antara lain disebabkan debit air rendah (musim kemarau), debit air besar (musim hujan) tidak termanfaatkan maksimal, turbin dan mesin pabrik tidak dapat dioperasikan maksimal. 3. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh DAS dilakukan valuasi ekonomi. Mengingat jasa lingkungan merupakan public goods, penilaian dilakukan secara tidak langsung (indirect valuation) yaitu dengan menghitung nilai ekonomi total dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap pengguna air (PLTA dan PDAM) dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti (replacement cost method).
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu. 2. Menganalisis pengaruh perubahan penutup lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu. 3. Menganalisis pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Dasar bagi penetapan besarnya nilai ekonomi jasa lingkungan DAS dikaitkan dengan pengguna air. 2. Dasar bagi penyusunan kebijakan, peraturan dan pengambilan keputusan dalam bidang pengelolaan DAS. 3. Dasar bagi pemberian kompensasi atas jasa lingkungan yang disediakan oleh masyarakat hulu yang relatif terbelakang dan miskin oleh masyarakat di daerah hilir yang relatif lebih maju dan kaya.
13 4. Dapat dijadikan sebagai tolok ukur data (benchmarking data) bagi penelitian selanjutnya dalam bidang jasa lingkungan DAS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.6. Novelty (Kebaruan) Sutjahjo dan Herison (2006) menyatakan bahwa novelty adalah hal–hal baru yang belum pernah ditemukan atau dilakukan pada penelitian sebelumnya. Novelty dalam penelitian dapat berupa pembaruan pendekatan (approach), obyek penelitian atau pendekatan dan obyek. Novelty penelitian ini : 1. Objek penelitian dilakukan secara komprehensif terhadap pengaruh kualitas lingkungan bagi eksternalitas biaya pengguna sumberdaya air dimulai dari wilayah hulu, tengah hingga hilir. 2. Penggunaan volume air hasil simulasi model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan perubahan biaya eksternalitas pengguna air. 3. Diperolehnya besaran biaya eksternalitas setiap output pengguna air (Rp/MWh energi listrik yang dihasilkan PLTA atau Rp/m³ air minum yang dihasilkan PDAM).
1.7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup wilayah penelitian adalah DAS Citarum Wilayah Hulu (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur) yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu merupakan wilayah konservasi, produsen atau supplier jasa lingkungan. Wilayah tengah merupakan wilayah transisi hulu-hilir, distributor jasa lingkungan, wilayah budidaya dan permukiman. Wilayah hilir umumnya merupakan wilayah budidaya, industri, permukiman dan pengguna atau demander jasa lingkungan. Analisis biofisik dan kimia dilakukan terhadap penutup lahan dan perubahannya tahun 1992 dan 2002, kuantitas dan kualitas air dan perubahannya (debit, sedimen, fisik, kimia dan biologi) di Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Analisis ekonomi meliputi aktor–
14 aktor ekonomi, pengguna air komunitas hulu dan komunitas hilir. Pengguna air komunitas hulu adalah pengguna air yang berada paling dekat dengan sumber air, sedangkan pengguna air komunitas hilir adalah pengguna air yang berada paling jauh dengan sumber air. Penilaian ekonomi pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi dan efisiensi ekonomi PLTA dan PDAM menggunakan harga bayangan (shadow price) dengan teknik valuasi replacement cost. Penelitian yang dilakukan merupakan analisis pengaruh kualitas lingkungan DAS Citarum terhadap biaya eksternalitas terhadap penggunaan sumberdaya air oleh PLTA (Saguling, Cirata, Jatiluhur) dan PDAM (Purwakarta, DKI Jakarta). Air yang dimaksud adalah air yang terdapat, mengalir di Sungai Citarum dan ketersediaannya baik dalam jumlah maupun mutu. Aspek ekonomi yang dikaji didasarkan besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan pengguna air di wilayah hilir sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan yang dihasilkan oleh wilayah hulu. PLTA dan PDAM adalah merupakan konsumen jasa lingkungan dan wilayah (masyarakat) hulu adalah penyedia. Analisis data dan informasi diarahkan untuk menentukan besarnya biaya tersebut untuk setiap unit output produksi dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti. Keterbatasan penelitian ini terutama berkaitan kurangnya data dan informasi tentang hubungan antara penutup lahan dengan karakteristik hidrologis DAS luasan besar pada kerangka waktu (time frame) yang lama, misalnya 30–50 tahun.
Kecuali itu, keterbatasan lainnya adalah minim-nya data-data teknis
berkaitan dengan hubungan antara debit, volume air, sedimentasi serta kualitas air terhadap peralatan dan produksi PLTA dan PDAM, sehingga menyulitkan dalam menganalisis kecenderungan (trend analysis) yang terjadi.
Keterbatasan lain
penelitian ini adalah ketersedian waktu dan dana yang terbatas serta keterbatasan pengetahuan khususnya bidang ketehnikan kelistrikan dan pengolahan air, sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis dan pembahasan yang lebih mendalam dan menyeluruh.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai Menurut Undang-Undang RI No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pasal 1 ayat 11, daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan ekosistem alam yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) dan membentuk tatanan hidro-orologis yang spesifik. Pada dasarnya, daratan Indonesia habis dibagi dalam wilayah DAS.
Departemen Kehutanan (1990)
menetapkan 61 DAS kritis yang terdiri dari 39 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS prioritas dan 22 SWP DAS super prioritas dan termasuk di dalamnya DAS Citarum. Umumnya, DAS dibagi menjadi tiga wilayah yaitu hulu, tengah dan hilir. Asdak (2004) mencirikan bagian hulu sebagai daerah konservasi, berkerapatan drainase tinggi, memiliki kemiringan topografi besar. Bagian hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah, kemiringan lahan kecil, dan sebagian diantaranya merupakan daerah banjir. Bagian tengah merupakan transisi di antara hulu dan hilir. Masing-masing bagian tersebut saling berkaitan, bagaian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat dipakai untuk menganalisis dampak suatu aktivitas terhadap lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir. Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat menghasilkan produk berupa barang dan jasa lingkungan,
baik yang dapat diukur (tangible) maupun yang tidak
terukur (intangible). Oleh karenanya dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekologi dan ekonomi sehingga bisa
16 memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Analisis biaya-manfaat sering digunakan sebagai alat bantu kebijakan dalam pengelolaan lingkungan (Pearce, et al 1994). Tideman (1996) menyatakan bahwa pengelolaan DAS adalah pemanfaatan secara rasional sumberdaya lahan dan air untuk produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumberdaya alami. Setiap masukan ke dalam DAS mengalami proses interaksi dan berlangsung dalam ekosistem. Sebagai contoh, curah hujan, bahan terlarut kimiawi dan erosi merupakan masukan ke dalam ekosistem DAS, sedangkan debit air, sedimen dan limbah cair merupakan keluarannya. Vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai merupakan komponen DAS yang berfungsi sebagai prosesor. Pengelolaan DAS bertujuan untuk dapat menghasilkan produk air atau tata air yang baik bagi kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat, seperti air minum, irigasi, industri, tenaga listrik dan pariwisata. Untuk itu, pengelolaan bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas (Manan, 1977). Kondisi DAS bagian hulu yang baik sangat diperlukan karena berbagai alasan (PJT II, 2002) diantaranya: 1. Bagi PLTA Pencemaran air sungai yang terus meningkat akan menyebabkan korosi pada mesin turbin dan peralatan dari bahan logam lainnya, sehingga menurunkan produktivitas energi listrik, menurunkan umur pakai dan menimbulkan biaya pemeliharaan yang besar. Erosi, banjir dan tanah longsor menyebabkan pendangkalan pada waduk, sehingga menurunkan kapasitas terpasang turbin (daya dorong air rendah), menurunkan umur pakai waduk, menimbulkan biaya pengerukan yang tinggi dan juga akan menurunkan produksi energi listrik. 2. Bagi PDAM Pencemaran air sungai (sumber air baku) akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia, kebutuhan akan peralatan pengolahan (water treatment plant) yang lebih canggih dan menimbulkan biaya yang besar. Kondisi ini akan
17 menaikkan harga jual, menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air. 3. Bagi irigasi Pertanian sangat membutuhkan sistem irigasi yang memadai dan dapat mengalirkan air dalam jumlah, kualitas dan kontinuitas yang terjamin, sehingga memberikan kepastian penentuan musim tanam, peningkatan masa budidaya (indeks pertanaman) dan prakiraan hasil panennya. 4. Bagi perikanan Pencemaran air sungai sangat merugikan usaha perikanan terutama perikanan jaring apung di waduk. Kerugian terbesar umumnya disebabkan naiknya air dalam ke permukaan (upwelling) sebagai akibat banjir dari hulu dan terjadinya denitrifikasi. 5. Bagi pariwisata Waduk yang luas dan air yang bersih merupakan tempat wisata yang sangat menarik dan dapat dijadikan sebagai fasilitas olahraga air.
Keadaan ini
memberikan nilai ekonomi yang cukup besar bagi pengelola waduk. Menurut Alikodra (2000), pengelolaan DAS secara terpadu merupakan jawaban atas permasalahan yang dihadapi, yaitu dengan : 1. Menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi pengelola, 2. Integrasi dengan pemerintah daerah, mengembangkan data dasar (database) dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), 3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya secara berkelanjutan, 4. Melindungi air dari pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai daya dukung optimalnya, 5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai, 6. Menerapkan pola produksi bersih, 7. Mempertahankan kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Sungai Citarum memiliki panjang 300 km dari dataran Bandung hingga Bekasi, mengalir sepanjang wilayah DAS Citarum dengan luas 450.000 ha merupakan sumberdaya air bagi PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur,
18 PDAM
Purwakarta, PT. Thames PAM Jaya Jakarta, irigasi pertanian dan
perikanan. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Wilayah Administrasi DAS Citarum. Ada tiga pokok penting dalam pengelolaan DAS (Sheng, 1968), yang berinteraksi satu dengan yang lain secara terpadu dan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat sebagai titik sentralnya. Ketiga faktor itu adalah air, lahan dan pengelolaan. Interaksi ketiga faktor tersebut secara optimal akan menghasilkan air dan tata air yang cukup sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, indikator dalam menilai interaksi dalam sistem pengelolaan DAS adalah : 1. Indikator ekonomi, yaitu pengelolaan yang mampu mendukung produktivitas optimal bagi hajat hidup dan kepentingan orang banyak. 2. Indikator sosial, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan manfaat secara merata bagi kepentingan hidup orang banyak.
19 3. Indikator lingkungan, yaitu pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi. 4. Indikator teknologi, yaitu pengelolaan yang mampu memberikan nilai tambah bagi penggunaan sumberdaya alam.
2.2. Sistem Hidrologi dan Sumberdaya Air Pada sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan dengan komponen utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dapat merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dan dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapo-transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Ffolliot, 1981). Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air. Dalam sistem hidrologi ini peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap komponen lingkungan tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan dengan demikian, mempengaruhi besar kecilnya aliran air permukaan (Asdak, 2004). Penelitian mengenai aspek kelembagaan dan partisipasi dalam pengelolaan DAS secara terpadu telah dilakukan oleh Kolopaking (1998). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pengelolaan DAS terpadu dengan perhutanan sosial berdimensi skala ekonomi yang melibatkan tiga pihak yaitu pemerintah (Departemen Kehutanan), swasta dan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun telah terjadi pengurangan curah hujan global, tetapi dengan adanya pemanasan suhu permukaan laut akan terjadi peningkatan penguapan dan tentunya diikuti oleh peningkatan curah hujan. Pengaruh peningkatan gas rumah kaca terutama gas CO2 dan penggundulan hutan akibat konversi ke penggunaan lahan lainnya, telah menimbulkan dinamika sumberdaya air dunia saat ini.
20 Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menunjukkan perubahan iklim global adalah dari kecenderungan data aliran DAS yang ada di dunia. Sulandari (2005) menyatakan bahwa Chief dan McMahon telah melakukan pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume aliran dari 142 sungai di dunia dengan data 50 sampai dengan 162 tahun dan luas DAS seribu km² sampai delapan juta km², dan sampai pada kesimpulan bahwa walau didapatkan terjadinya kecenderungan dan perubahan nyata dalam sejumlah lokasi, namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Dalam sejumlah kasus dimana kecenderungan tersebut terjadi, perubahan kondisi biofisik DAS akan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian ketersediaan air di masa depan dalam kaitannya dengan perubahan iklim global (Boer, 2003). Secara umum sistem hidrologi suatu DAS disajikan pada Gambar 4. Menurut Sanim (2003) air memiliki nilai sebagai barang (instrumental value) dan juga memiliki nilai lain seperti sosial, kultural dan lingkungan (intrinsic value). Air memiliki sifat terbuka (open access) dan menjadi milik umum (public good), maka sumberdaya air mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas sebagai akibat dari ketidakjelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya. Di daerah hilir, air digunakan sebagai sumber daya dalam berbagai bentuk penggunaan dengan skala yang bervariasi, diantaranya sebagai sumberdaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan sebagai sumber bahan baku air minum (PDAM). Di daerah hulu, air digunakan sebagai sumber air minum rumahtangga dan kebutuhan irigasi pertanian dan perikanan.
Menurut Anwar (1995) sumberdaya air memiliki karakteristik-
karakteristik khusus sebagai berikut : 1. Mobilitas, air yang bersifat cair mudah mengalir, menguap dan meresap di berbagai media, sehingga sangat sulit untuk melaksanakan penegasan hak atas sumberdaya ini secara ekslusif agar dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar.
21
Gambar 4. Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004).
2. Sifat skala ekonomi yang melekat dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air. 3. Penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitas dalam keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan umum. 4. Kapasitas dan asimilasi dari badan air, zat cair mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui. 5. Penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan air selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya. 6. Penggunaannya yang serba guna, dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak individu dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum. 7. Nilai-nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air, sebagian besar masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersilkan.
22 2.3. Kerusakan Ekosistem DAS Munadi (2001) menyatakan bahwa pengkajian kerusakan dapat dilakukan pada beberapa ukuran yaitu waktu terjadinya kerusakan, besarnya kerusakan dan struktur kerusakan yang terjadi, dilihat dari organisme penghuni ekosistem. Kerusakan akan berakibat ketidakseimbangan ekosistem dan akan mempengaruhi ekosistem itu sendiri dan ekosistem lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar sungai yaitu kerusakan daerah sekitarnya dan tingginya tingkat pencemaran. Belum terintegrasinya pengelolaan wilayah hulu dan hilir, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dan pendangkalan pada bagian hilir. Penyebabnya adalah lemahnya pengendalian pembangunan pada wilayah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai (misal pemanfaatan kawasan lindung untuk permukiman). Terjadinya konflik pemanfaatan ruang yang sifatnya lintas daerah otonom yang saling berbatasan (Yunus, 2005). Aktivitas manusia cenderung mengarah pada pengrusakan dalam mengeruk sumberdaya alam yang tersedia. Rangkaian tindakan pengrusakan terhadap alam masih marak dilakukan dan mungkin akan terus mewarnai kehidupan masyarakat (Muhammad dan Nuryani, 2002). Kerusakan DAS tidak bisa terlepas dari rusaknya hutan di daerah hulu. Kerusakan hutan khususnya yang berfungsi sebagai kawasan lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu dan hilir, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir, mengganggu siklus hidrologis, serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang (Depkimpraswil, 2003). Kejadian banjir yang terus berulang merupakan hasil dari kerusakan sistem dalam hal ini adalah daerah aliran sungai (Irianto, 2003). Banjir selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan lahan pertanian. Sitorus (1998 dan 2003) mengatakan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi karena penjenuhan tanah oleh air, erosi, terkumpulnya garam (salinisasi) di daerah perakaran, terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. Sayangnya beberapa kalangan belum menaruh perhatian yang memadai terhadap banjir besar yang akan terus terjadi. Pemanfaatan sumberdaya
23 alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dengan sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan segenap penduduk, kondisi pemerataan pendapatan serta potensi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Kerusakan lingkungan seperti DAS akan menurunkan produktivitas sumberdaya alam serta memunculkan berbagai macam masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan hidup (Todaro, 2000). Dalam tinjauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dikeluarkan setiap tahun, memprediksikan dan memperingatkan akan terjadinya bencana lingkungan akibat kerusakan lingkungan hidup yang sudah sedemikian parahnya. Kepulauan Indonesia mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Kejadian banjir menempati urutan pertama dalam frekuensi terjadinya bencana. Jumlah kejadian banjir mencapai 302 kali dengan korban jiwa sebanyak 1.066 orang (WALHI, 2004). Kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan. Semakin berkurangnya luasan hutan sebagai daerah resapan di hulu menyebabkan laju aliran naik dan banjir meningkat (Soemarwoto, 2001). Laju aliran naik jika hutan dikonversi menjadi bangunan, pemukiman, dan jalan. 2.3.1. Pencemaran Air Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan sebagai hajat hidup orang banyak. Semua makhluk hidup membutuhkan air untuk kehidupannya, sehingga sumberdaya air perlu dilindungi agar dapat tetap dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup lainnya. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan generasi sekarang dan mendatang. Oleh karena itu, aspek penghematan dan pelestarian sumberdaya air perlu ditanamkan pada segenap pengguna air (Yunus, 2005).
24 Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan manusia ternyata telah menimbulkan berbagai efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan hidupnya. Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan upaya untuk dapat hidup layak merangsang manusia untuk melakukan tindakan yang menyalahi kaidah yang ada dalam tatanan lingkungan hidup. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian, penebangan hutan, domestik dan lainnya terhadap sumberdaya air berupa semakin menurunnya kualitas air yang dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air (Efendi, 2000). Permasalahan utama sumberdaya air saat ini adalah menyangkut kuantitas yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, kualitas air yang layak untuk keperluan domestik juga semakin langka diperoleh. Oleh karena itu, perlu pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dengan seksama. Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air atau udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air atau udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air atau udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, maka aktivitas manusia meningkat baik pada bidang pertanian, industri, rumahtangga dan lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah yang disebabkan oleh hasil buangan kegiatan tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dilakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan, termasuk baku mutu pada sumber air, baku mutu limbah cair dan sebagainya. Baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Menurut klasifikasi dan kriteria mutu air dapat dibedakan menjadi empat kelas (PP No. 82, 2001), yaitu :
25 1. Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 2. Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 3. Kelas
tiga
yaitu
air
yang
peruntukannya
dapat
digunakan
untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, 4. Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tetapi bukan berarti semua air sudah tercemar. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan pencemarnya atau komponen yang mengakibatkan pencemaran. (Saeni, 1989). Untuk memudahkan pembahasan mengenai berbagai jenis zat pencemar, pencemaran air dapat dikelompokkan atas 9 kelompok berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya yaitu padatan terlarut, bahan buangan yang membutuhkan oksigen, mikroorganisme, komponen organik sintetik, hara tanaman, minyak, senyawa anorganik dan mineral, bahan radioaktif dan panas. Pengelompokan tersebut bukan merupakan pengelompokan yang baku, karena suatu jenis zat pencemar mungkin dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kelompok. (Saeni, 1989). Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, diperlukan pengujian untuk menentukan sifat-sifat air, sehingga dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya adalah nilai pH, keasaman dan alkalinitas, suhu, warna, bau dan rasa,
26 jumlah padatan, oksigen terlarut (dissolved oxygen), kandungan logam berat, kandungan minyak, dan kandungan bahan radioaktif (Fardiaz, 2003). Secara alamiah, sungai tercemar pada daerah permukaan air saja, tetapi terkadang sungai mengalami pencemaran berat, sehingga zat pencemar dapat masuk melalui proses infiltirasi sampai kedalaman lapisan tanah tertentu. Pada musim kering proses pengenceran dan biodegradasi akan sangat menurun, karena arus air mengalir perlahan dan jumlahnya menurun diperparah lagi oleh penggunaan sejumlah air untuk irigasi. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menghasilkan bahan kimia ke udara. Macam limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dan dampaknya terhadap pencemaran adalah : a. Kegiatan Pertanian Sutamiharja (1978), mengemukakan bahwa kegiatan pertanian secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, yang diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam pupuk buatan dan pestisida. Penggunaan pupuk buatan yang mengandung unsur N dan P akan dapat menyuburkan perairan, yang dapat mendorong pertumbuhan ganggang dan tumbuhan akuatik lainnya (Odum, 1993). Keberadaan hara yang berlebihan dapat memicu terjadinya pengayaan (eutrofikasi) perairan dan dapat memicu pertumbuhan secara pesat mikroalga dan tumbuhan air yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem akuatik secara keseluruhan (Effendi, 2000). Selain itu aktivitas pertanian nonkonservasi berpengaruh besar terhadap erosi dan sedimentasi yang terangkut ke perairan.
Hasil penelitian Sutika (1984) pada perairan Sungai Ciliwung
menyatakan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat pada daerah hulu perairan sungai ini bersumber dari daerah pertanian dan sekitarnya. Dari hasil penelitian Hariyadi (1985), pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu bahwa persentasi lahan sawah, perkebunan, tegalan pada DAS Ciliwung Hulu, berpengaruh nyata terhadap nilai BOD5 dan ortofosfat. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa wilayah DAS Citarum bagian hulu telah mengalami degradasi lingkungan, ditunjukkan
27 dengan penurunan kualitas air Sungai Citarum. Hasil analisis kimia terhadap contoh air, menunjukkan bahwa zat-zat pencemar didominasi oleh yang bersumber dari kegiatan industri dibandingkan dengan rumahtangga dan pertanian. b. Pemukiman Kegiatan pembangunan pemukiman baru (perumahan) diawali dengan pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah. Menurut Arsjad (1989), erosi tanah yang akan terjadi pada lahan yang terbuka sangat tinggi, karena tanah tidak terlindungi dari pukulan butir hujan dan kekuatan dari daya angkut aliran permukaan. Sebagian dari tanah yang tererosi ini akan masuk ke badan perairan sungai, sehingga akan menurunkan kualitas airnya. Menurut Puspaningsih (1997) perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi permukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi indikator tingginya laju erosi tanah adalah kekeruhan, dan kandungan sedimen pada dasar sungai. Pada lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan menghasilkan limbah domestik yang berupa sampah padat (organik dan anorganik), limbah rumahtangga (organik, diterjen dan sebagainya), yang dapat menurunkan kualitas air pada perairan sungai penerimanya. Hal ini pada umumnya akan terjadi pada daerah permukiman padat penduduk dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai. Saeni (1989) menyatakan bahwa di Indonesia telah banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai yang melalui daerah perkotaan, daerah padat penduduk dan wilayah perindustrian. Hasil penelitian Sutika (1984), menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dan fosfat berasal dari limbah domestik daerah pemukiman pada perairan Sungai Ciliwung yang berada pada wilayah Kota Bogor sampai dengan DKI Jakarta. Nilai BOD5 pada perairan Sungai Ciliwung bagian hulu juga dipengaruhi oleh keberadaan daerah pemukiman yang berada di sekitarnya. Limbah yang dihasilkan dari pemukiman (limbah domestik) adalah sumber limbah organik di perairan. Bahan pencemar sampah rumahtangga menimbulkan gas hidrogen sulfida (H2S) yang berbau busuk, apabila bakteri aerobik dan anaerobik tidak
28 dapat mengurai secara sempurna (Wahyudi dan Bilal, 1976). Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air. Parameter 1. Padatan total 2. Bahan padatan terendapkan 3. BOD 4. COD 5. Nitrogen total 6. Ammonia-Nitrogen 7. Klorida 8. Alkalinitas 9. Minyak dan lemak
(mg/l) (ml/l)
Pencemaran berat 1.000 12
Pencemaran sedang 500 8
Pencemaran ringan 200 4
(mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
300 800 85 30 175 200 40
200 600 50 30 100 100 20
100 400 25 15 15 50 0
Satuan
Sumber : Wahyudi dan Bilal (1976).
c. Kegiatan Penebangan Hutan Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang lebih tinggi. Luas hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1995). Pengalihfungsian atau konversi hutan menjadi peruntukan lain menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Penutup hutan yang berkurang menyebabkan tingginya aliran permukaan yang membawa butiran-butiran tanah (erosi). Erosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen. Zat padat yang terendap disebut sebagai sedimen (Kimmins, 1987). Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat aquatik. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan. Sedimen
29 menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidup dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000). d. Kegiatan Industri dan Pertambangan Pencemaran oleh kegiatan industri dan pertambangan sangat tergantung pada jenis kegiatan industri dan pertambangan. Sebagai contoh industri penyamakan kulit, pada umumnya meliputi jenis zat pencemar yang tinggi dari zat tersuspensi protein, CaCO3, Ca(OH)2, CaSO4,
Na2S, asam tanat, zat warna,
H2SO4, Cr dan logam lainnya dihasilkan dari proses perendaman, pengapuran, pengasaman dan penyamakan (Rao dan Datta, 1979). Logam berat yang berasal dari industri dan pertambangan dapat bersifat racun bagi tanaman. Metcalf dan Eddy (1991) menyebutkan, bahwa logam berat penting yang terlarut dalam air dan berpengaruh terhadap pertumbuhan makhluk hidup serta bersifat racun adalah Ni, Mn, Pb, Cr, Cd, Zn, Fe dan Hg. Menurut Sutamiharja (1978), pengaruh logam berat terlarut dalam air terhadap tanaman tergantung dari jenis tanaman, umur tanaman dan variasi bentuk kimianya. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan adanya kerusakan kimia biologik, yaitu terakumulasinya pada sel-sel yang mengandung gugus sulfida, sehingga mengakibatkan struktur sel rusak, tidak berfungsinya pembelahan sel dan tidak berfungsinya sistem pembagian air dalam sel. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air sungai yang digunakan untuk kegiatan pertanian (Bronson, et al., 1975 dalam Shainberg dan Oster, 1978) terdapat pada Tabel 2. Kegiatan pertambangan yang dilakukan akan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan dengan terbentuknya endapan, perubahan pH, masuknya logam-logam berat beracun dan merubah arah saluran dan aliran air. Pertambangan terbuka merupakan sumber pencemar yang menimbulkan kerusakan paling tinggi berupa pelumpuran dan kekeruhan yang berasal dari kerusakan pinggiran sungai.
30 Tabel 2. Kandungan maksimum unsur pencemar dalam air pertanian. Unsur Al (Alumunium) As (Arsen) Be (Berylium) B (Boron) Cd (Kadmium) Cr (Krom) Co (Kobalt) Cu (Tembaga) F (Fluor) Fe (Besi) Pb (Timbal) Li (Litium) Mn (Mangan) Mo (Molibdenum) Ni (Nikel) Se (Selenium) V (Vanadium) Zn (Seng)
Untuk pemberian air terus menerus (mg / l) 5,00 0,10 0,10 0,75 0,01 0,10 0,05 0,20 1,00 5,00 5,00 2,50 0,20 0,01 0,20 0,02 0,10 2,00
Untuk penggunaan sampai 20 tahun, pada tekstur tanah sangat halus, pH 6,0 – 8,5 (mg/l) 20,00 2,00 0,50 2,00-10,00 0,50 1,00 5,00 5,00 15,00 20,00 10,00 2,52 10,00 0,0502 0,020 0,020 1,00 10,00
Sumber : Shainberg dan Oster (1978).
Menurut Darmono (1995), kegiatan pertambangan merupakan sumber pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya (1) berhubungan dengan estetika seperti bau, warna, rasa (2) berbahaya bagi tumbuhan dan hewan, (3) mengganggu kesehatan manusia, (4) menimbulkan kerusakan ekosistem. 2.3.2. Sedimentasi Asdak (2004) menyatakan bahwa sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit dan erosi tanah lainnya. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi di daerah tangkapan air, diukur pada periode dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau pengukuran langsung di dalam waduk. Hasil sedimen pada waduk sangat ditentukan oleh tingkat erosi lahan di wilayah hulu. Faktor - faktor yang mempengaruhi erosi juga merupakan penentu hasil sedimen yaitu kondisi fisik lahan, aliran permukaan, debit, tataguna lahan, tindakan konservasi, erodibilitas, kerapatan drainase dan luas DAS (Julien, 1992; Morris dan Fan, 1998; Sa’ad,
31 2002; Syarif dan Kodoati, 2005). Secara sederhana hasil sedimen dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Asdak, 2004) yaitu Qs = 0,0864 . C . Q, dimana Qs = debit sedimen (ton/ha), C = konsentrasi sedimen, Q = debit sungai (m³ / dt). Penelitian yang dilakukan oleh Sa’ad (2002), di DAS Hulu Ciliwung menyimpulkan bahwa untuk menduga hasil sedimen pada sungai dapat menggunakan rumus : Y = 1.445 x 10 -2. Ep 0,704 . Ro 0,646 . CP 0,005. A-0,747 Keterangan : Y = sedimen sungai (ton ha¯¹), Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha¯¹), Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³), CP = faktor tanaman dan tindakan konservasi tanah, A = luas Sub DAS (ha).
Rumus tersebut dapat digunakan untuk DAS – DAS lain yang memiliki kemiripan tinggi (berdasarkan koefisien Nash). Hubungan antara perubahan tataguna lahan dan hutan DAS dengan erosi, sedimentasi, kuantitas dan kualitas air telah banyak dilakukan. Misalnya, Sihite (2004) menyimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan menjadi kebun kopi di DAS Besai Lampung telah menyebabkan peningkatan erosi dari 8,29 ton/ha (1975) menjadi 49,85 ton/ha (1997) dan rasio debit maksimum minimum naik dari 7-16 (1975-1981) menjadi 25-41 (1996-1997), sehingga mendatangkan kerugian per tahun (1975-1981) sebesar Rp 16,473 milyar naik menjadi Rp 63,493 milyar (19961997). Di DAS Krueng Aceh ditemukan bahwa telah terjadi penurunan volume aliran sungai tahunan sebesar 417,4 mm dan debit aktual turun sebesar 32,1% antara tahun 1996-2003 (Balai Agroklimat dan Hidrologi, 2004).
2.4. Jasa Lingkungan DAS Selain Air 2.4.1. Keanekaragaman Hayati Disamping air, DAS menghasilkan jasa lingkungan yang lain berupa keanekaragaman hayati, sekuestrasi karbon, rekreasi dan penelitian (Pagiola et. al, 2002). Jasa lingkungan keanekaragaman hayati dikonsumsi oleh konsumen yang
32 sulit diidentifikasi ambang batas permintaan dan pasokan, sehingga sulit mencari pembeli individual. Disamping itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pengusaha telah berpartisipasi aktif dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati dengan kesediaan membayar. Peningkatan kesadaran publik akan manfaat dan ancaman keanekaragaman hayati menyebabkan individu dan komunitas menjadi penjual yang proaktif, sehingga pertumbuhan dan diversifikasi pasar telah menghasilkan inovasi yang nyata dalam desain komoditas dan mekanisme pembayarannya (Williams, et al, 2001). Setiap mekanisme berusaha mengurangi resiko pasar, mengatasi pengaruh ambang batas dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan penurunan resiko dan biaya transaksi, maka partisipasi pasar akan semakin meningkat. Kendala utama adalah biaya transaksi yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan perdagangan terutama di negara berkembang. (Landell-Mills and Porras, 2002). 2.4.2. Sekuestrasi Karbon Pohon (hutan) dalam proses fotosintesis melakukan pengikatan gas CO2 dari udara dan membentuk biomas yang terdiri dari karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) dan melepaskan sejumlah energi. Kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 dan kaitannya dengan penurunan jumlah gas CO2 (gas rumah kaca) di atmosfer telah banyak diteliti (Hairiah et al, 2001). Di dalam CoP7 (Conference of Parties ke-7) bulan November 2001 di Marakesh (Maroko) diputuskan bahwa kegiatan LULUCF (Land use and land use change of forestry) di negara-negara maju diizinkan sebagai rosot karbon (carbon sequestration) di bawah CDM (clean development mechanisme) pada periode komitmen pertama dan berpedoman pada Protokol Kyoto 1997 pasal 3.3 dan 3.4. Kegiatan yang dilakukan secara domestik atau melalui JI (jointly implementation) dalam proyek deforestasi, ini dapat menghasilkan unit penyerapan (remove unit RMU) untuk memenuhi target penurunan emisi negara-negara maju (Murdiyarso, 2003). Pasar bagi penggantian kapasitas pohon dalam sekuestrasi dan simpanannya (sebagai jasa lingkungan) belum terwujud. Proses pembentukan pasar tidaklah mudah dan belum tercapai satu platform perdagangan tingkat transaksi (lokal, nasional, regional, dan internasional) mekanisme pembayaran
33 dan derajat partisipasi pemerintah. Perdagangan karbon dengan jumlah komoditas ekuivalen 1 ton karbon telah meminimalisasi biaya transaksi. Perdagangan internasional dalam bentuk AIJ (activities jointly implementation) dan CDM untuk penggantian karbon umumnya dilakukan melalui negosiasi individual dengan industri pengembangan pasar yang masih terbatas (Sulandri, 2005). Walaupun diizinkan LULUCF dalam skema CDM masih diwarnai perdebatan dan pembahasan antara lain hanya berlaku pada periode pertama (2008–2012), terbatas pada kegiatan reforestasi dan tidak lebih dari 1% total emisi pihak investor, namun Indonesia memliki potensi yang sangat besar untuk berperan dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui CDM dan mekanisme lainnya seperti CER (certified emission reduction) (Murdiyoso, 2003). 2.4.3. Rekreasi dan Penelitian Keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam suatu DAS merupakan komoditas yang ditawarkan di pasar ekoturisme (wisata alami). Saat ini, pasar bagi ekoturisme dirasakan perkembangannya masih lambat terutama disebabkan pandangan operator turisme yang menganggap keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati sebagai komoditi gratis dan belum mampu membangkitkan kesediaan membayar konsumen. Bila kondisi ini berlangsung terus, maka dikhawatirkan jasa rekreasi yang ditawarkan DAS kurang mendapat tanggapan dari pasar baik domestik maupun manca negara (Pagiola, et. al, 2002). Kondisi DAS memilki ekosistem dan keindahan lansekap yang spesifik dan keanekargaman hayati yang tinggi baik dalam jenis maupun jumlah telah mengundang peneliti lokal, nasional dan internasional untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam berbagai hal terutama berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan jenis tanaman berhasiat obat (madicinal plant), pengembangan bioteknologi dan industri biogenetika yang spektakuler telah menjadikan penelitian terhadap keanekaragaman hayati dipandang sebagai komoditas yang dapat dipasarkan bahkan dengan harga jual yang tinggi. Bauman et.al (2001) menyatakan bahwa sebagian besar keanekaragaman hayati dunia
34 terdapat di negara-negara selatan (berkembang), akan tetapi yang lebih mendapatkan manfaat darinya adalah negara-negara utara (maju). Negara - negara maju dengan dalih melakukan penelitian telah meraup hasil yang sangat besar berupa hak paten dan intelektual, industri biogenetika dan perdagangan produknya ke negara-negara berkembang yang sebenarnya didapatkan dari negara berkembang. Pembentukan pasar bagi penelitian dan hasilnya yang adil (fair) merupakan upaya yang harus dilakukan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan dunia.
2.5. Analisis Perubahan Karakteristik Hidrologis DAS Perubahan karakteristik hidrologis sangat dipengaruhi oleh perubahan karakteristik biofisik seperti perubahan penutup lahan, morfometrik dan geometrik DAS. Perubahan penutup dan tataguna lahan merupakan faktor yang paling rentan dan dominan berpengaruh terhadap karakteristik hidrologis suatu DAS (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2005). Ada beberapa cara untuk melihat hubungan antara hujan-aliran permukaan pada suatu skala DAS, diantaranya adalah (Andreassian, 2003) : 1. Berdasarkan perbandingan antara dua DAS yang berdekatan. Perbandingan antara dua DAS yang hampir sama (Hewlett 1982 dalam Andreassian, 2003), yang pengawasannya terus menerus hingga diperoleh perilaku-perilaku hidrologis yang cukup stabil. Kemudian, salah satu dari kedua DAS tersebut diberi perlakuan, sementara yang lainnya tetap tidak diberi perlakuan. Setelah adanya perlakuan, hubungan awal yang diperoleh digunakan untuk merekonstruksi kembali perlakuan DAS. Perbandingan diperoleh antara aliran aktual (yang diukur) dan berdasarkan aliran yang direkonstruksikan (diduga) dari pengaruh hidrologis perlakuan DAS. 2. Simulasi DAS kontrol sebenarnya. Seringkali tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi sebuah DAS yang terkontrol. Biasanya dibatasi oleh ketersediaan data jangka panjang curah hujan–aliran permukaan untuk DAS yang diperlakukan. Pada kondisi ini sangat sulit untuk memutuskan efek-efek perubahan sebagaimana masa sebelum dan sesudah perubahan yang berbeda
35 di Stasiun Klimatologi (Hewlett, 1982, Cosandey dan Robinson, 2000). Untuk mengembalikan kepada situasi DAS-DAS yang berpasangan, maka dapat diperoleh dengan melakukan simulasi DAS kontrol yang nyata, sebagai sebuah model hujan-aliran permukaan. Sebagai contoh, kalibrasi sebuah model sebelum perlakuan, dan menggunakannya dengan curah hujan observasi untuk merekonstruksi aliran permukaan setelah perlakuan. DAS kontrol yang sebetulnya akan terdiri dari model kalibrasi sebelum perlakuan, yang dapat digunakan untuk mensimulasi aliran kontrol. Pengaruh dari perlakuan merupakan pengurangan dari perbandingan antara aliran simulasi dengan
aliran
hasil
pengamatan.
Selanjutnya,
Andressian
(2003)
memperkenalkan model GR4J untuk menduga pengaruh perlakuan suatu DAS terhadap karakteristik aliran permukaan, dengan struktur model sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur model GR4J (Sumber : Perrin 2003).
36 Untuk mendeteksi sebuah DAS berdasarkan model curah hujan – aliran permukaan Lorup et.al (1998) menggambarkan 3 langkah metodologi yang menggunakan model curah hujan – aliran permukaan dengan maksud : 1. Menyeleksi suatu periode referensi, bagian dari periode ini digunakan untuk mengkalibrasi model parameter mewakili periode referensi. 2. Validasi dari model curah hujan–aliran permukaan pada bagian kedua periode referensi dan menggunakan sebuah pendekatan statistik. 3. Gunakan model kalibrasi tersebut untuk mensimulasi aliran permukaan dan membandingkan aliran permukaan simulasi dengan observasi yang diijinkan.
2.6. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Todaro (2000) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan pada akhirnya harus dipikul dengan biaya yang cukup tinggi. Kelompok yang pertama dan paling banyak menanggung beban kerusakan lingkungan adalah penduduk miskin. Degradasi lingkungan menyebabkan menyusutnya tingkat produktivitas lahan pertanian per kapita. Karena pengelolaan dan pengolahan lahan marjinal merupakan sumber nafkah utama sehingga penduduk setempat yang paling menderita sehubungan dengan kerusakan lingkungan seperti banjir. Mereka tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan air bersih, sehingga 80% wabah penyakit menimpa penduduk miskin. Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi pendapatan merupakan salah satu penyebab terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan selama ini (Tietenberg, 1992). Kerusakan lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak seperti banjir. Banjir selanjutnya menimbulkan pencemaran air dan kelangkaan air bersih, membawa limbah padat dan berbahaya, degradasi kualitas tanah, kemerosotan biodiversitas yang akan berdampak pada kesehatan berupa menyebarnya penyakit menular akibat tercemarnya air, kondisi kesehatan setiap penduduk memburuk akibat kelangkaan air bersih, penyakit akibat banjir dan limpahan sampah, teracuninya air, penyusutan gizi kalangan penduduk miskin. Sedangkan dampak terhadap produktivitas adalah waktu dari para penduduk di desa banyak terbuang untuk
37 sekedar mencari air, sebagian kegiatan produktif terpaksa ditunda karena air bersih untuk kebutuhan sehari-hari tidak tersedia, pencemaran sumber-sumber air di bawah permukaan tanah, penurunan kemampuan adaptasi ekosistem dan hilangnya sejumlah besar sumberdaya lingkungan hidup yang esensial, sehingga perlindungan alam menjadi lemah (Todaro, 2000). Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya sosial berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya pembangunan ekonomi (Randal, 1987). Yang menjadi masalah adalah siapa yang harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau pemerintah. Para ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian harus dikenai kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar dipindahkan keluar daerah yang mengalami pencemaran (Suparmoko, 1997). Di dunia yang fana ini tidak ada sesuatu yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap menguntungkan tadi. Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya penebangan hutan terutama di daerah hulu. Dengan penebangan dan penghancuran di daerah hulu akan hancur pula sumberdaya plasma nutfah dan meningkatkan laju erosi dan banjir menghancurkan kesuburan tanah; memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi serta merusak tanaman atau semua milik manusia di daerah hilir (Yunus, 2005). Jadi disamping kegiatan itu memiliki biaya yang sungguh-sungguh harus dibayar sendiri, ternyata juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain. Oleh karena itu biaya lingkungan itu adalah nyata dan harus diperhitungkan dalam kegiatan pembangunan.
38 2.6.1. Konsep Valuasi Ekonomi Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Sebagai dasar untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio. Untuk itu diperlukan suatu penilaian atau pemberian nilai (harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan. Tanpa pemberian nilai dalam rupiah atau dollar sulit untuk menyatakan bahwa kegiatan itu layak adanya (Field, 1994). Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya dan logis untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam pengelolaan
sumberdaya
alam.
Nilai
atau
perhitungan
moneter
dapat
menunjukkan keperdulian yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan lingkungan, dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas lingkungan, sebagai dasar pembanding secara kuantitatif dalam bentuk moneter terhadap beberapa alternatif pilihan dalam pemutusan suatu kebijakan atau pemanfaatan dana (NRM, 2001). Penilaian merupakan upaya menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat (Ramdan, et al. 2003). Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai seberapa besar nilai sumberdaya alam sangat tergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut mencakup : apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilaian dan sebagainya (Ramdan, et.al, 2003). Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka, sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan perencanaan,
39 pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam (Duer, 1993). Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi kerugian berupa bencana atau kerusakan (Hussen, 2000). Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan lingkungan. Menurut Pearce et. al (1994), sebelum memberikan nilai dalam arti uang (moneter), perlu dipahami nilai macam apa sajakah yang dapat diberikan kepada suatu sumberdaya alam atau lingkungan. Konsep nilai ini bermacammacam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Pada dasarnya nilai lingkungan dibedakan menjadi : (a) nilai atas dasar penggunaan (instrumental value atau use value) dan (b) nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai yang melekat tanpa penggunaan (intrinsic value atau non use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan; sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah nilai yang melekat pada lingkungan tersebut. Atas dasar penggunaanya nilai itu dibedakan lagi atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (inderect use value), nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value).
40 Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan juga dibedakan menjadi nilai atas dasar warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value). Jadi dalam menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai totalnya (total economic value - TEV), merupakan penjumlahan nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya (Randal, 1987). Apabila ekonomi diaplikasikan pada isu-isu lingkungan, maka dapat diharapkan adanya kesadaran yang lebih mendalam untuk meningkatkan kualitas lingkungan, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan yang diharapkan. Peningkatan kualitas lingkungan juga merupakan peningkatan ekonomi apabila meningkatkan kepuasan atau kesejahteraan sosial (NRMP, 2001). Secara grafik, hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan disajikan pada Gambar 6. NILAI EKONOMI TOTAL (TOTAL ECONOMIC VALUE)
NILAI DIGUNAKAN (USE VALUE)
Direct Use Value
Indirect Use Value
Output yang dimanfaatkan langsung • Pangan • Biomasa • Rekreasi • Kesehatan
Manfaat Fungsional • Fungsi Ekologis • Pengendalian Banjir
NILAI TIDAK DIGUNAKAN (NON USE VALUE)
Option Value
Pemanfaatan dimasa depan • Keanekaraga man hayati • Konservasi Habitat
Bequest Value
Existence Value
• Habitat • Perubahan tidak dapat kembali
• Habitat • Spesies Langka
Nilai Keterukuran Kepada Individu Semakin Rendah
Gambar 6. Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan. (Sumber : Munasinghe, 1993).
41 2.6.2. Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi Kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan, terbagi paling sedikit menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu mereka yang berpihak pada pertumbuhan dan mereka yang berpihak pada konservasi. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan lingkungan dapat terjadi apabila pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat. Jadi sumberdaya alam dan lingkungan juga merupakan faktor penting dari pertumbuhan ekonomi. Apabila kualitas lingkungan turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan kemampuan untuk tumbuh. Kemungkinan lain akan muncul adalah apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan tujuan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan, maka tindakan ini juga dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Apabila pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta upaya pengendalian kerusakan atau pencemaran tidak dihentikan, maka kegiatan ekonomi menurun dengan cepat, terutama ketika pertumbuhan penduduk sedang berkembang. Secara praktis, antra ekonomi dan lingkungan memang berinteraksi satu sama lain dan saling menentukan. Aktivitas ekonomi menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung secara terus-menerus karena adanya kendala lingkungan. Jika pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan maka eksploitasi sumberdaya harus ditingkatkan dan produk sisa atau limbah kembali ke lingkungan. Eksploitasi sumberdaya yang meningkat dari waktu ke waktu akan menguras sumberdaya alam yang tersedia dan akhirnya sistem ekonomi akan memburuk (Yakin, 1997). Kepentingan ekonomi dan lingkungan sebenarnya bisa sama-sama tercapai dan tidak akan terkesan kontradiktif. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan antara dua faktor tersebut memerlukan pendekatan yang cocok bagi pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan. Secara
teoritis
dan
praktis, penilaian ekonomi sumberdaya alam dengan berdasarkan biaya moneter dari kegiatan ekstraksi dan distribusi sumberdaya semata sering telah
42 mengakibatkan
kurangnya
insentif
bagi
penggunaan
sumberdaya
yang
berkelanjutan. Untuk mendukung penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan, maka biaya lingkungan akibat degradasi itu harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi tidak hanya pola konsumsi dan perdagangan, tetapi juga terhadap semua sumberdaya (Pearce et.al, 1994). Tujuan
kebijakan
pengelolaan
ekonomi
harus
difokuskan
pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kualitas sumberdaya alam dan lingkungan dapat menjadi pembatas proses pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin tercapai apabila ada pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan yang memadai. Jadi dalam mengambil keputusan dan penerapan kebijakan di segala tingkatan masyarakat, pertimbangan-pertimbangan lingkungan perlu menjadi komponen yang terpadu. Untuk menuju sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan guna menunjang pembangunan berkelanjutan, maka setiap kegiatan perekonomian harus melakukan internalisasi. Proses ini secara konseptual benar-benar memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak lain sebagai salah satu komponen biaya produksinya. Tuntutan yang dilontarkan adalah berupa penghilangan dampak negatif yang menimpa orang lain melalui proses pemurnian atau pembersihan yang mengharuskan setiap pelaku ekonomi untuk mengeluarkan biaya tambahan, sehingga dampak negatif dimasukkan ke dalam perhitungan biaya (NRMP, 2003). 2.6.3. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Metode penilaian sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dibagi dua pendekatan yaitu metode berdasarkan
kurva permintaan (demand curve
approach) atau berdasarkan willingness to pay (WTP) dan metode berdasarkan non-kurva permintaan (non-demand curve approach) atau non-WTP. Metode berdasarkan kurva permintaan terdiri dari contingent valuation method, metode biaya perjalanan (travel cost method), dan metode harga hedonik (hedonic pricing method). Sedangkan metode berdasarkan non-kurva permintaan terdiri dari metode
dosis-respon
(dose-response
method),
metode
biaya
pengganti
43 (replacement cost), metode perilaku mitigasi (mitigation behaviour), dan metode berdasarkan opportunity cost. 2.6.4. Komparasi Beberapa Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan Dixon dan Sherman (1990), Pearce et al (1994), Yakin (1997) menyatakan bahwa tidak ada satu metode valuasi ekonomi jasa lingkungan yang superior dapat digunakan untuk semua penilaian. Masing-masing metode valuasi memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga pemilihan metode yang tepat sangat tergantung pada tujuan valuasi ekonomi jasa lingkungan dan karakteristik penyebabnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi hasil akhir dari penelitian. Komparasi dari beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan yang umum digunakan dengan keunggulan dan kelemahannya disajikan pada Tabel 3. 2.6.5. Pendekatan Kurva Permintaan Salah satu pendekatan kurva permintaan (demand curve approach) adalah metode Willingness to pay (WTP) (Pearce, et al, 1994 ) atau kesediaan untuk membayar yaitu kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh konsumen tersebut. Dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1. menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan.
44 3. melalui suatu survai untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik. Penghitungan WTP dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu penghitungan terhadap nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi maupun penghitungan secara langsung dengan cara melakukan survai lapangan. Dalam WTP, surplus konsumen adalah selisih dari harga yang bersedia dibayarkan konsumen dengan harga aktual yang dibayarkan. 2.6.6. Pendekatan Non Kurva Permintaan Metode damage cost avoided, replacement cost dan substitute cost merupakan metode pendekatan berdasarkan bukan kurva permintaan (Pearce et.al, 1994, King dan Mazzota, 2005). Metode ini didasarkan pada kesediaan individu untuk membayar biaya preventif, biaya pengganti dan biaya substitusi atas menurunnya kualitas jasa lingkungan. Metode ini dapat digunakan untuk : 1. Menilai jasa peningkatan kualitas air dengan mengukur biaya pengendalian emisi. 2. Menilai jasa perlindungan erosi dari hutan dengan mengukur biaya pengerukan sedimentasi di daerah hilir. 3. Menilai jasa penjernihan air dengan mengukur biaya penyaringan dan perlakuan kimiawi terhadap air. 4. Menilai jasa perlindungan pantai dari ombak dengan mengukur biaya pembangunan tembok penahan ombak. 5. Menilai jasa habitat dan pemeliharaan ikan dengan mengukur pembibitan dan pelaksanaan program.
45 Tabel 3. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan. Metode Valuasi
Contingent Valuation
Travel Cost
Hedonic Pricing
DoseResponse
Replacement Cost
Mitigation Behaviour
Opportunity cost
Keunggulan dan Kelemahan Validitas
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Reliabilitas
Sangat tinggi
Sedang
Kelengkapan - Sangat tinggi. - Dapat mengukur kesejahteraan
- Rendah - Dapat mengukur kesejahteraan
Sedang
- Rendah - Dapat mengukur kesejahteraan
Sangat rendah
- Tinggi - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan
Sangat rendah
- Tinggi - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan
Sedang
- Rendah - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan
Sedang
- Rendah - Sangat berguna untuk pengambil kebijakan
Kepraktisan
Kelemahan
Penggunaan Umum
Tinggi
- Potensi bias besar. - Butuh sumber daya penelitian yang besar. - Umumnya diterapkan di negara maju.
Perubahan Habitat dan wilayah
Sedang
- Sulit mendapatkan informasi tingkat kesenangan. - Tidak memasukkan biaya kesempatan dalam perhitungan. - Sulit menjelaskan hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan.
Wisata dan rekreasi
Sedang
- Faktor intervensi terlalu besar dalam penentuan harga properti. - Tidak bisa mengestimasi nilai eksistensi.
Sedang
- Mensyaratkan data harus lengkap. - Sulit memperkirakan fungsi efek dosis yang sinergistik. - Sulit merancang model dari keragaman respon oleh produsen.
Pencemaran Air, Udara dan Bunyi
Sedang
- Aplikasi teknik ini belum banyak dilakukan. - Sulit mengestimasi keuntungan dan kerugian secara keseluruhan.
Restorasi habitat.
Sedang
- Diperlukan kesadaran lingkungan yang tinggi dari masyarakat. - Memiliki kemampuan ekonomi yang memadai.
Biaya Preventif
Sedang
- Aplikasi teknik ini belum banyak dilakukan. - Sulit mengestimasi biaya yang harus ditanggung karena ini bukan metode langsung.
Pemeliharaan biodiversitas,
(Sumber : Dixon dan Sherman, 1990; Pearce, et al, 1994; Yakin, 1997)
Keamanan dan kenyamanan
46 Metode ini memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan metode ini antara lain adalah : 1. Dapat menyediakan indikator nilai ekonomi dengan ketersediaan data dan dapat menjelaskan hubungan antar barang substitusi. 2. Pengukuran biaya yang menghasilkan keuntungan dapat lebih mudah dilakukan walaupun tidak memiliki pasar (non-marketed goods). 3. Metode valuasi untuk mengestimasi kesediaan membayar dapat dilaksanakan walaupun data dan informasi terbatas. Kelemahan metode ini antara lain adalah : 1. Membutuhkan informasi tingkat substitusi antara barang pasar dan sumberdaya, padahal beberapa sumberdaya lingkungan memiliki substitusi langsung dan tidak langsung. 2. Dapat digunakan setelah proyek selesai dan beroperasi. 3. Barang dan jasa lingkungan yang dibayarkan biaya penggantinya hanya mewakili sebagian dari jasa lingkungan yang disediakan oleh jasa lingkungan. 2.7. Pendekatan Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan DAS 2.7.1. Berkaitan Kepemilikan Sumberdaya Air. Lipper dan Zilberman (1999) dalam van den Berg (1999) menyatakan bahwa ada 2 sistem kepemilikan sumberdaya air yang didasarkan pada jarak antara masing-masing dengan sumber air yaitu riparian system (RS) dan prior appropriation system (PAS). Riparian adalah individu yang paling dekat dengan sumber air yang disebut komunitas hulu (X1) dan yang lebih jauh disebut komunitas hilir (X2). Alokasi sumberdaya air pada saat musim kemarau (debit kecil) akan dioptimalkan oleh komunitas hulu dan apabila pada saat musim hujan (debit besar) maka air dapat dimanfaatkan oleh komunitas hilir. Secara grafis kurva permintaan X1 dan X2 disajikan pada Gambar 7. Ketika pasokan air rendah maka komunitas hulu dapat menggunakan air yang tersedia hingga X1=A1.
47
D1(W)
A
D1+D2(W)
C
D
W¹
E
W0
G
H
A1
A2
Gambar 7. Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air. (Sumber : Lipper dan Zilberman, 1999 dalam van den Berg, 1999)
Ketika pasokan air tinggi maka permintaan air dihulu sama dengan permintaan air di hilir (dapat terpuaskan) dengan keragaman biaya sebesar Wo dimana X1=X2=A1=A2. Surplus konsumen, ketika pasokan air rendah adalah sebesar AwoG dan ketika pasokan air tinggi adalah sebesar AwoH. 2.7.2. Berkaitan Kualitas Air Johansson (2000) dalam Gabel dan Folmer (2000), menyatakan bahwa perbaikan kualitas lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jasa lingkungan yang dapat dibeli oleh individu pada tingkat pendapatan tertentu. Apabila kualitas lingkungan meningkat, maka individu akan menurunkan jumlah barang yang diminta dengan tetap mempertahankan tingkat kegunaan dari jasa lingkungan tersebut. Apabila kualitas lingkungan menurun, maka individu akan menaikkan permintaan jumlah barang yang diminta dengan resiko mendapatkan tingkat kegunaan yang menurun. Oleh karena setiap individu akan berusaha mempertahankan kegunaan pada tingkat tertentu, maka individu akan melakukan kompensasi
dari
pendapatannya
untuk
perbaikan
kualitas
lingkungan
(compensation and equivalent variation atau disingkat CV dan EV). Secara grafik disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.
48
X ( Kuantitas)
E F B
Y=xº
C
Garis Biaya
A D
G
Kurva Indiferen
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 8. Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas lingkungan. Rupiah (Rp) CV=Mc-MB EV=MB-MA Mc
MB Marginal WTP (EV)
2 MA
Marginal WTP (CV)
1 zº
z¹
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 9. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda. (Sumber : Johansson, 2000 dalam Gabel dan Folmer, 2000).
Biaya pengganti (replacement cost) didasarkan pada estimasi besarnya biaya yang disediakan oleh pengguna jasa lingkungan untuk menghindari kerusakan lingkungan (avoid cost) atau biaya restorasi dan rehabilitasi lingkungan
49 (replacement cost) atau biaya substitusi atas jasa lingkungan yang mengalami kerusakan (King and Mazzotta, 2005 ; Hanley and Splash, 1995 ; Hussen, 2000 ; Pearce et al, 1994). Dengan kata lain, biaya pengganti dapat diasumsikan sebagai manfaat jasa lingkungan akibat peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi, restorasi dan konservasi ekosistem (Field, 1994). Kesediaan pengguna jasa lingkungan mengkompensasikan pendapatannya dimaksudkan untuk dapat mempertahankan tingkat utilitas tertentu yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan estimasi biaya pengganti tersebut, maka asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Besarnya biaya kompensasi yang dibayarkan pengguna jasa lingkungan sama dengan besarnya biaya perbaikan lingkungan di wilayah hulu. 2. Kualitas lingkungan tahun 2002 lebih buruk dibandingkan tahun 1992. Rp
E
MBI2
F MBI1
3 B
A
GB = Y = X0
C
Garis Biaya
D
I1
G
MAI1
I2
2 MAI2
I3 H 1
z2
z1
z3
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 10. Kurva marginal WTP (CV dan EV) pada berbagai kondisi lingkungan. 3. Apabila prinsip pada Gambar 8 dan Gambar 9 dikembangkan lebih lanjut, maka diperoleh Gambar 10.
50 4. Garis biaya (budget line) y = p Xo dimana y = pendapatan tetap, p = harga barang privat dan Xo = jumlah barang privat yang diminta. Karena jasa lingkungan ”tidak memiliki” harga pasar maka nilai p = 0 (free of charge), sehingga biaya maksimal lingkungan (environmental cost) GB = y = 0. 5. Besarnya biaya marginal lingkungan MBI1 = rata-rata kenaikan biaya marginal lingkungan tahun Z1 dan MBI2 = rata-rata kenaikan biaya marginal lingkungan tahun Z2. 6. Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan adalah sebesar CV1 + CV2. Dimana CV1 = (MBI2 – MBI1) dan CV2 = (MBI1 – GB). 7. Kompensasi sebesar (CV1 + CV2) oleh pengguna jasa lingkungan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi rehabilitasi dan konservasi.
2.8. Review Penelitian Terdahulu Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa dari 12 tipe penggunaan lahan di DAS Citarum, penggunaan lahan terluas adalah kebun campuran dan permukiman (26,98%) dan tegalan (15,60%), sedangkan sawah di wilayah datar dan berlereng masing-masing 19,03% dan 7,68% serta hutan sebesar 9,9% dari luas DAS sebesdar 748.460 ha. Selanjutnya, Wahyunto et.al (2001) melaporkan bahwa telah terjadi pengurangan luas lahan hutan dan sawah di daerah aliran sungai Citarik (bagian hulu DAS Citarum) sebagai akibat pertumbuhan penduduk, pembangunan dan industri. Suryani dan Agus (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pada periode 1991-2002 di DAS Cijalupang, kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling luas mengalami pengurangan yaitu 7,27% (202.97 ha), lahan hutan 2,35% (65,51 ha), lahan sawah 0,93% (26,10 ha) dan semak 0,67% (18,67 ha). Akan tetapi, terjadi penambahan luas lahan tegalan 5,64% (157.57 ha), permukiman 5,11% (142.76 ha) dan pertumbuhan teh 0,46% (1.292 ha). Perubahan penggunaan lahan meningkatkan total hasil air tahunan meskipun tidak signifikan (+0,35%). Perubahan signifikan terjadi pada aliran permukaan meningkat sebesar 12,37% dan aliran dasar menurun 2,54%.
51 Wahyunto et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa pengalihan fungsi lahan non sawah menjadi lahan sawah di DAS Citarum telah menyebabkan meningkatnya potensi terjadinya longsor. Lahan sawah lebih peka terhadap longsor mulai dari lereng dengan kemiringan diatas 3% sedangkan lahan non sawah baru pada elevasi diatas 8%. Kecuali faktor curah hujan, potensi longsor dipengaruhi oleh kondisi tanah dan vegetasi. Jangkauan akar tanaman dapat mempengaruhi tingkat kerawanan longsor (tanaman pangan semusim lebih rawan longsor bila dibandingkan dengan tanaman keras-pohon). Volume tanah longsor di wilayah lahan sawah rawan longsor berkisar antara 1.000–4.200 m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta – Rp. 16 juta per hektar) dan wilayah non sawah berkisar antara 1.000–5.050 m³/ha (dengan biaya pengganti Rp. 4 juta – Rp. 20,3 juta per hektar). Sutono et. al (2003) dalam Kurnia et. al (2004) mengemukakan bahwa lahan sawah lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi di DAS Citarum, potensi erosi lahan sawah lebih rendah (0,33–1,45 ton/ha/th) dibandingkan dengan lahan kering (5,7–16,5 ton/ha/th). Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah lahan hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran dan tegalan. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Secara lengkap rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum. Penggunaan lahan Hutan Kebun campur Karet Permukiman Sawah Semak belukar Tegalan Teh
Saguling 0,13 8,40 0,00 0,03 0,33 1,12 22,02 23,11
Rata-rata erosi / DTA (ton/ha/th) Cirata Jatiluhur 0,24 0,14 15,40 36,84 8,85 11,39 0,02 0,15 0,40 1,45 1,61 0,47 61,31 40,05 26,94 9,65
Sumber : Sutono et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004)
Citarum Hilir 0,24 30,38 40,75 0,02 1,13 0,95 35,66 33,48
52 Tala’ohu et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2004) menyatakan bahwa keberadaan lahan sawah di DAS Citarum berpengaruh baik terhadap daya sangga air potensial dibandingkan dengan lahan non sawah (perkebunan teh, perkebunan karet, semak belukar, kebun campuran, tegalan dan permukiman dan industri). Rata-rata daya sangga air potensial di DAS Citarum untuk lahan sawah adalah 0,094 m dan rata-rata tertimbang untuk non sawah adalah 0,074 m. Besarnya biaya pengganti untuk fungsi pengendalian banjir (bila lahan sawah dialihkan menjadi non sawah) adalah USD 4,970 juta/th.
Watung et.al (2003) dalam
Kurnia et.al (2004) mengemukakan bahwa mempertahankan lahan sawah (199.985 ha) di DAS Citarum akan mempreservasi (mendaur ulang penggunaan) air tanah sebesar 169.937.254 m³/th. Dengan menggunakan nilai biaya pengganti setara dengan USD 5.098.000 (air digunakan kembali untuk irigasi) dan USD 744.700 (air digunakan kembali untuk air minum). Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2002) menunjukkan bahwa cadangan air tanah di Sub DAS Cilalawi, Cikao dan Ciherang (wilayah hulu Waduk Jatiluhur) masih cukup baik. Di Sub DAS Cilalawi sebanyak 47% volume hujan menjadi cadangan air tanah, di Sub DAS Cikao sebanyak 54% dan Sub DAS Ciherang sebanyak 46%. Selanjutnya hasil penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) menunjukkan bahwa simulasi neraca air DAS dengan melakukan perubahan penggunaan lahan, yaitu menambah luas lahan hutan 10% dari masing-masing Sub DAS, dapat meningkatkan produksi air DAS dan menurunkan aliran permukaan sebanyak 15% (Sub DAS Cilalawi), 0,8% (Sub DAS Cikao) dan 25% (Sub DAS Ciherang). Simulasi dengan model AGNPS menunjukkan bahwa penambahan luas hutan (10%) dapat menurunkan aliran permukaan 8,96%, erosi permukaan 86,82% dan sedimen 40,47% (Sub DAS Cilalawi), erosi permukaan 80,85% dan sedimen 5,72% (Sub DAS Cikao), erosi permukaan 75% dan sedimen 4,55% (Sub DAS Ciherang). Rizaldi Boer et. al. (2004) menyatakan bahwa DAS Citarum sangat rentan terhadap perubahan iklim. Apabila tidak ada perubahan iklim dan tingkat penggunaan air Sungai Citarum 10% dari aliran tahunan (7.660 juta³) maka akan menimbulkan defisit air di wilayah hilir seperti Karawang, Bekasi dan
53 Purwakarta, bahkan defisit dapat mencapai 60 juta m³/th. Dengan menaikkan curah hujan 10-20 persen dari saat ini, ketersediaan air di Citarum tetap tidak memenuhi bila pengambilan air sungai sebesar 10% dari aliran tahunannya dan sebagian besar wilayah hilir tersebut akan mengalami kekurangan air. Republika (2005) dalam hariannya menyatakan bahwa pengelolaan DAS Citarum menghadapi kendala tata ruang. Buruknya pemetaan ruang wilayah hulu sungai menjadi penyebabnya 336.000 ha (65%) lahan kritis berada diarea DAS Citarum dan Ciliwung (di Jawa Barat 580.000 ha).
Bangunan rumah, industri dan
kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya kondisi wilayah hulu Citarum (Nandang, BP DAS Citarum-Ciliwung Bogor). Hasil penelitian Prihadi (2005) menunjukkan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam kondisi buruk, didasarkan pada kadar sulfat, fosfat, zat organik, H2S, amonia dan nitrit sudah melebihi ambang batas baku mutu lingkungan. Jumlah KJA yang terdapat di Waduk Cirata sebesar 38.726 keramba telah melebihi ambang batas kapasitasnya yaitu sebesar 4.625 keramba. Sedangkan Ismail (2007) telah menghitung nilai ekonomi total (NET) sumberdaya air Waduk Jatiluhur (Ir.H.Djuanda) adalah Rp. 160,197 miliar/th yang terdiri dari nilai guna langsung (NGL) sebesar Rp. 149,266 miliar/th (93,18%), nilai guna tidak langsung (NGTL) Rp. 3,328 miliar/th, nilai pilihan (NP) Rp. 3,520 miliar/th dan nilai bukan guna (NBG) Rp. 4,081 miliar/th. Nilai guna langsung terbesar adalah pemanfaatan air untuk pembangkit energi listrik PLTA Jatiluhur sebesar Rp. 72,131 miliar/th. Penurunan kualitas air waduk akibat tingginya konsentrasi H2S telah menyebabkan karat (korosif) pada komponen peralatan PLTA sehingga menurunkan umur ekonomisnya dan memperbesar biaya operasional sebesar 20–25 persen. Asdak (2007) dalam Pikiran Rakyat (2007) menyatakan bahwa tingkat sedimentasi sungai Citarum saat ini mencapai tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan data 1998 hingga tahun 2004 laju sedimentasi sungai Citarum di mulut Waduk Saguling mencapai 4 juta m³/th. Tingginya laju sedimentasi akan
54 mempengaruhi kinerja PLTA yang menggunakan sumberdaya air sungai Citarum sebagai energi pembangkitnya. Tingginya laju sedimentasi ini juga menujukkan tingginya degradasi sumberdaya lahan dan air di wilayah hulu Citarum. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan upaya yang konkrit misalnya pemberian insentif kepada masyarakat hulu Citarum yang mengkonservasi lahannya melalui penanaman kembali hutan dan lahan yang terdegradasi. Hasil review penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu belum melakukan : 1. Penelitian tentang pengaruh kualitas lingkungan terhadap biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air mulai dari hulu (penyedia jasa lingkungan) sampai dengan hilir (pengguna/pemanfaat) secara parsial dan komprehensif belum pernah dilakukan. 2. Penggunaan model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan biaya eksternalitas. 3. Penelitian biaya eksternalitas pengguna sumberdaya air sebagai akibat degradasi lingkungan untuk setiap output produksi (Rp/MWh produksi energi listrik PLTA dan m³ air minum produksi PDAM).
3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. SWP DAS Citarum Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Citarum DS terletak dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang meliputi 4 wilayah Kabupaten dan 5 wilayah administrasi pengelolaan hutan (KPH). SWP DAS tersebut terbagi dalam beberapa wilayah Sub SWP DAS, DAS dan Sub DAS, antara lain Sub SWP DAS Citarik, Ciminyak, Cibuni, Cisokan, Cililin, Cipicung, Cikapundung, Cibeet, Cikondang dan Cipunagara.
Luas wilayah SWP DAS
Citarum DS sebesar 1.348.700 ha, yang terdiri dari kawasan hutan 22,44% dan sisanya sebagian besar terdiri dari persawahan (24,84%), perkebunan (15,08%), perladangan (21,15%), pemukiman dan lain-lain (16,49%) dengan luas wilayah prioritasnya 1.184.102 ha. Dalam SWP DAS tersebut terdapat lahan kritis seluas 166.700 ha, sekitar 155.900 ha terletak di luar kawasan hutan dan 10.800 ha terletak di dalam kawasan hutan. Jenis tanah pada umumnya lasotol, aluvial glei, andosol-grumosol, podzolik merah, mediteran brown forest dan regosol-renzina. Topografi lapangan pada umumnya datar sampai bergunung. Berdasarkan pembagian tipe iklim menurut Schmidt & Ferguson wilayah ini termasuk dalam dalam tipe iklim C dan D, dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunan 1.500 – 3.000 mm. Kondisi tata air (angkutan sedimen pada air sungai dan fluktuasi debit) SWP DAS Citarum DS, Tahun 1980 s/d 1982 adalah sebagai berikut : 1. Sub SWP DAS Cikapundung, sedimentasi: 0,008 juta ton/th, rasio Q maxmin sebesar 24. 2. Sub SWP DAS Ciminyak, sedimentasi : 0,03 juta ton/th, (0,24 mm/th). 3. Sub SWP DAS Cibeet, sedimentasi : 0,40 juta ton/th, (2,09 mm/th). 4. Sub SWP DAS Cikondang Cipunagara, sedimentasi : 6,1 juta ton/th, (21,7 mm/th).
56 Jumlah penduduknya 8.627.321 orang, dengan kepadatan rata-rata 640 orang/km² dengan pertambahan penduduk 1,67%/tahun. Mata pencaharian penduduk pada umumnya bertani (16,94%), berdagang (5,74%), pegawai (4,71%), nelayan (1,02%), buruh dan lain-lain (15,77%). Dalam SWP DAS Citarum, terdapat Waduk dan Bendungan Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Ir. H. Djuanda) yang perlu diamankan melalui upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Sehubungan dengan itu pada Pelita V sasaran kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada SWP DAS telah ditetapkan seluas 166.700 ha, untuk sasaran kegiatan di luar kawasan hutan seluas 155.900 ha dan di dalam kawasan hutan 10.800 ha, yang dilaksanakan antara lain pada Sub SWP DAS CitarikCikapundung, Ciminyak-Cisokan, Cibuni-Cisadea, DAS Cikao-Cibeet dan Cipunagara-Ciasem. (Departemen Kehutanan, 1990). Pada Gambar 10 disajikan Peta Lokasi Penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum).
3.2.
Perum Jasa Tirta II Jatiluhur Moto perusahaan ini adalah ‘Berkembang dan Berbakti’ yang diwujudkan
dengan kerja keras dan disiplin di dalam melaksanakan tugas pokok setiap jajaran organisasi. Hal ini terbukti dengan diraihnya Sertifikat Sistem Jaminan Mutu ISO-9001 tahun 1994 dengan ruang lingkup penyediaan air baku untuk DKI Jakarta, pembangkitan dan penyaluran listrik PLTA Ir.H. Djuanda. Diharapkan tahun-tahun mendatang perusahaan akan selalu dapat meningkatkan kepuasan pelanggan serta mempertahankan Perum Jasa Tirta–II (PJT II) sebagai perusahaan yang sehat dan wajar tanpa pengecualian, untuk turut serta membangun ekonomi regional dan nasional berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang profesional. 3.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perum Jasa Tirta II Pengembangan sumberdaya air terpadu sungai-sungai di Jawa Barat bagian utara menjadi satu kesatuan hidrologis dengan Citarum sebagai sumber utama. Bentuk pengelolaan bendungan atau waduk, PLTA dan jaringan pengairan Jatiluhur sejak dibentuk tahun 1957 sampai dengan sekarang adalah :
57
Gambar 11. Peta Lokasi Penelitian (Daerah Pengaliran Sungai Citarum). 1. Proyek Serbaguna Jatiluhur (1957-1967) Pembangunan Proyek Nasional Serbaguna Jatiluhur yang meliputi Waduk atau Bendungan Utama dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) serta sarana sistem pengairan dinyatakan selesai pada tahun 1967. Proyek serbaguna Jatiluhur merupakan Tahap I dari pengembangan sumberdaya air di Wilayah Sungai Citarum dengan tujuan utama meningkatkan produksi bahan pangan nasional yaitu beras. Untuk mengenang jasa salah satu putra terbaik bangsa Indonesia, bendungan dan PLTA Jatiluhur diresmikan dengan nama Ir. H. Djuanda. 2. Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur (1967-1970) Agar potensi yang timbul dengan selesainya proyek Jatiluhur dapat diusahakan secara maksimal maka dibentuk Badan Usaha Negara dengan nama Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1967 tanggal 24 Juli 1967. 3. Perum ”Otorita Jatiluhur” (1970-1999) Sebagai Badan Usaha, pada waktu itu PN Jatiluhur dalam usahanya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan. Penyediaan air untuk pertanian yang bersifat sosial diusahakan secara komersil, sehingga
58 pengelolaan sumberdaya air menjadi tidak harmonis dan tujuan utama proyek menjadi tidak tercapai. Agar pemanfaatan dan pengembangan potensi-potensi yang timbul dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka pengurusannya harus
didasarkan
atas
prinsip-prinsip
ekonomi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah membentuk perusahaan umum dengan nama ” Perusahaan Otorita Jatiluhur (POJ) ”. Dengan dibentuknya POJ, maka badan-badan atau proyekproyek dan dinas-dinas yang berada dibawah pengembangannya dan tugas serta kewajibannya menyangkut tujuan, tugas dan lapangan usaha POJ, dilebur kedalam POJ. Badan – badan tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Departemen Pekerjaan Umum), Proyek Pengairan Tersier Jatiluhur (Departemen Dalam Negeri), PN Jatiluhur, (Departemen Perindustrian), Jawatan Pekerjaan Umum Jawa Barat Wilayah Purwakarta (Provinsi Jawa Barat). 4. Perum Jasa Tirta II ( 1999 – Sekarang ) Perum Otorita Jatiluhur dibentuk berdasar PP Nomor 20 Tahun 1970, kemudian disesuaikan dengan PP Nomor 35 Tahun 1980 dan pada Tahun 1990 disesuaikan lagi dengan PP Nomor 32. Dengan terbitnya PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum, maka POJ diubah dan disesuiakan dengan nama Perum Jasa Tirta II ( PJT II ) berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 1999. Sifat usaha PJT II adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan
sekaligus
memperoleh
keuntungan
berdasarkan
prinsip
pengelolaan perusahaan. 3.2.2. Daerah Kerja Perusahaan Wilayah kerja PJT II mencakup 74 sungai dan anak sungainya yang menjadi kesatuan hidrologis Jawa Barat bagian utara. Daerah kerja PJT II berada di wilayah sungai Citarum dan sebagian sungai Ciliwung-Cisadane meliputi daerah seluas kurang lebih 12.000 km². Wilayah pelayanan Perum Jasa Tirta II pada dua Provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta yang mencakup sebagian Jakarta Timur, Jakarta Utara, Kota dan Kabupaten Bekasi, Karawang,
59 Purwakarta, Subang, sebagian Indramayu, sebagian Sumedang, Bandung termasuk Kota Bandung, Cianjur dan sebagian Kabupaten Bogor. 3.2.3. Maksud, Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan Maksud didirikannya PJT II adalah menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan atau sumber-sumber air termasuk pemberian informasi, rekomendasi, penyuluhan dan bimbingan. Tujuan Perusahaan adalah turut membangun ekonomi nasional dengan berperan
serta
melaksanakan
program
pembangunan
nasional
didalam
pengelolaan air, sumber-sumber air dan ketenagalistrikan. Visi perusahaan adalah terwujudnya perusahaan yang terkemuka dan berkualitas dalam pengelolaan air dan sumberdaya air untuk memberikan pelayanan terbesar dalam penyediaan air untuk berbagai kebutuhan dan sumbangan terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan visi perusahaan ditetapkan misi sebagai berikut : 1. Penyediaan air baku untuk minum, listrik, pertanian, industri, pelabuhan, penggelontoran dan kebutuhan lainnya. 2. Pembangkitan dan penyaluran listrik tenaga air. 3. Pengembangan kepariwisataan dan pemanfaatan lahan. 4. Mempertahankan ketahanan pangan melalui penyediaan air pertanian dan pengendalian
bahaya
banjir
dengan
upaya
pelestarian
perlindungan
lingkungan melalui pemberian informasi, rekomendasi dan penyuluhan. 5. Memaksimalkan laba dan meningkatkan keuntungan berdasarkan prinsip bisnis untuk terjaminnya kelestarian aset negara dan kesinambungan pelayanan kepada masyarakat. 3.2.4. Tugas Pokok dan Lapangan Usaha. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor. 94 Tahun 1999 tanggal 13 Oktober 1999 dan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 18/KPTS/M/2000 tanggal 15 Desember 2000, tentang Pedoman Kegiatan
60 Operasional Perum Jasa Tirta II, tugas, lapangan usaha dan kegiatan perusahaan meliputi : 1. Tugas Pokok ; a. Eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan dan ketenagalistrikan ; b. Pengusahaan air, sumber-sumber air dan ketenagalistrikan ; c. Pengelolaan
DAS
antara
lain
perlindungan,
pengembangan
dan
penggunaan air serta sumber air ; d. Rehabilitasi prasarana ketenagalistrikan. 2. Unit Usaha dan Pelayanan Umum Pelaksanaan tugas-tugas pokok dan lapangan usaha PJT II diselenggarakan oleh unit-unit usaha dalam rangka memobilisasi usaha dari potensi yang ada di perusahaan meliputi pengelolaan prasarana dan sarana pengairan, ketenagalistrikan dan pelayanan umum, sebagai tugas pemerintah yang bersifat sosial, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Unit-unit usaha a. Unit usaha perlistrikan Daya terpasang PLTA Ir.H Djuanda di Jatiluhur antara tahun 1994-1998 telah ditingkatkan (up rating) dari 150 MW menjadi 187 MW. Produksi listrik ratarata dalam setahun 900 juta kWh, sebagian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan pengembangan usaha, sedangkan sisanya dijual ke PT. PLN (Persero), melalui tegangan 150 KV dan 70 KV. PJT II tidak menyalurkan langsung kepada konsumen. Selain itu pada sistem pengairan terdapat banyak bangunan terjun dengan potensi Microhydro antara 50 kVA - 5000 kVA. b. Unit usaha air baku. Menyediakan dan menyalurkan air baku dari sumber-sumber air, bagi PDAM Kabupaten dan PAM Jaya mencapai 473 juta m³ (2001). Disamping itu menyediakan pula air baku kawasan industri dan zona-zona industri di daerah kerja perusahaan, mencapai 195 juta m³ (2001). c. Unit usaha Kepariwisataan. Jatiluhur merupakan salah satu tujuan wisata di Jawa Barat dengan obyek danau buatan yang sangat luas (8.300 ha), dengan pemandangan alam yang
61 sangat indah dipadukan dengan karya teknis hidrolis berupa bendungan yang sangat besar serta PLTA. Usaha Kepariwisataan dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas purna proyek serba guna Jatiluhur yang berada di sekitar waduk Jatiluhur untuk penginapan, pertemuan, olahraga dan rekreasi air. Tahun 2002 dilengkapi dengan gedung serba guna yang dapat menampung lebih dari 300 orang peserta, disamping bisa digunakan perhelatan seperti pesta perkawinan dan lain - lain. Di bidang wisata air telah diperbaharui sebuah kapal motor. d. Usaha lain-lainnya adalah sebagai berikut : (1) Pemanfaaatan lahan. Dalam
upaya
pengamanan
dari
pemanfaatan
tanpa
ijin
dan
mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan negara, PJT II menyediakan jasa pemanfaatan lahan dengan cara sewa dalam waktu tertentu atau kerjasama usaha. (2) Pelayanan rekayasa teknik dan jasa laboratorium. Bagi pemanfaat potensi di lingkungan perusahaan, PJT II menyediakan pelayanan rekayasa tehnik antara lain penyelidikan tanah, pengukuran, dan perencanaan teknis untuk bangunan pengairan. Di samping itu, PJT II menyediakan jasa pelayanan laboratorium untuk penelitian kualitas air yang merupakan salah satu laboratorium rujukan di Jawa Barat. (3) Jasa alat-alat berat. PJT II memiliki berbagai jenis alat berat untuk pemeliharaan jaringan pengairan, dapat disewakan kepada pihak lain untuk kegiatan di lingkungan daerah kerja PJT II. 2. Pelayanan Umum Pengelolaan Irigasi Dalam rangka penyediaan bahan pangan nasional terutama beras, perusahaan senantiasa mengupayakan penyediaan air rata-rata sejumlah 5,75 miliar m³ setiap tahun. PJT II mengelola dan menyediakan air irigasi untuk sawah seluas 296.000 ha di Pantura, meliputi 242.000 ha sawah mendapatkan air dari Waduk Jatiluhur (irigasi Jatiluhur) dan 54.000 ha sawah dari sumber setempat (irigasi selatan Jatiluhur).
62 Dari lahan sawah tersebut dihasilkan 2,9 juta ton gabah kering pungut, setara dengan 40% produksi Jawa Barat atau 8% produksi nasional. Jika harga dasar gabah Rp. 1.200,- per kg, maka lahan sawah irigasi yang dikelola PJT II menghasilakan pendapatan sebesar Rp. 3,522 triliun. Menurut pakar pertanian, penyediaan air untuk produksi padi adalah 20% dengan demikian kontribusi PJT II dalam penyediaan air bernilai lebih kurang Rp. 710 miliyar/tahun. Dalam pengelolaan DAS, PJT II mempunyai kewenangan pengelolaan dalam batas-batas aliran sungai (in-stream), serta melaksanakan kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sarana serta prasarana pengairan. Selain itu juga turut serta dalam upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan air dan sumber-sumber air dengan memberikan informasi, rekomendasi, penyuluhan atau bimbingan kepada pemanfaat air dan sumber-sumber air. 3. Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1232/KMK.013/1989, jo. Nomor : 316/KMK.016/1994 serta petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi (PPEL&K) di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum tahun 1992 Nomor : UM.04.04 MN/500, Perum Jasa Tirta II telah melaksanakan Program Pembinaan Pengusaha Kecil dan Koperasi sejak tahun 1991. Dalam memberikan bimbingan dan bantuan kepada Koperasi dan Usaha Kecil serta Program Sarjana Pelaksana Konsultasi Manajemen Koperasi (PK MK), PJT II telah memberikan bantuan dana kepada KUD Desa tertinggal sebanyak 598 mitra binaan dengan jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp. 2,4 milyar. Pada tahun 1996 PUKK PJT II (pada saat itu POJ) mendapat penghargaan UPAKARTI dari Pemerintah. 3.2.5. Arah Pengembangan Perusahaan Arah Pengembangan Perusahaan difokuskan pada : 1. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan prasarana produksi yang ada.
63 2. Program peningkatan produksi air baku dan pariwisata diharapkan dapat dilaksanakan dengan bermitra sektor swasta. 3. Peningkatan kemampuan dana perusahaan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah, khususnya mendukung pemenuhan pangan nasional melalui pengembangan pendapatan dari tarif pemanfaatan sumberdaya air. 4. Melaksanakan pengkajian tentang Pembentukan Badan Pengelolaan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dan Way Seputih. Selain itu, program kegiatan bidang pengembangan perusahaan meliputi pengembangan unit usaha, menambah kemampuan perusahaan, penugasan pemerintah, pemanfaatan lahan, pengembangan sumberdaya air dan pengendalian banjir. a. Pengembangan Unit Usaha 1). Tarif Energi Air PJT II akan menjajagi kemungkinan pengenaan tarif kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata. Perhitungan tarif, sementara ini adalah Rp. 5,-/kWh 2). Operasi Minihydro di Curug Minihydro di Curug selesai tahun 2002 dengan kapasitas pembangkitan 6,3 MW. Sebagian dari produksi listrik yaitu sebesar 3,0 MW dapat dipasarkan ke PLN dan sebagian lagi yaitu sebesar 3,3 MW untuk dipakai sendiri. 3). Peningkatan air baku untuk Bandung Raya dari 340 liter/detik menjadi 1.500 liter/detik dengan membangun saluran terowongan antara SWS (Interbasin Cibutarua) dioperasikan mulai tahun 2001, bekerjasama dengan investor swasta. 4). Peningkatan pariwisata diupayakan melalui kerjasama dengan swasta untuk investasi pembangunan fasilitas bermain anak-anak, pembangunan agro wisata, conference room dan rehabilitasi kolam renang. 5). Perubahan Kepmen PU No. 375/1993 jo No. 361/1996 tentang pemanfaatan lahan dan situ diperlukan untuk investasi jangka panjang. 6). Penambahan modal perusahaan untuk memberdayakan lahan-lahan potensial.
64 7). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13/1998 dimungkinkan mendirikan anak perusahaan. Calon anak perusahaan direncanakan adalah kegiatan pariwisata dan jasa konsultansi. b. Peningkatan Kemampuan Perusahaan Peraturan Menteri No. 52/PRT/1991 menetapkan bahwa biaya operasi pemeliharaan (OP) jaringan irigasi bersumber dari pemerintah. Mengingat selama ini biaya OP jaringan irigasi bersumber dari subsidi silang PJT II, maka diharapkan dengan tersedianya dana dari pemerintah tersebut dapat meningkatkan kemampuan perusahaan.
Selain itu, dilaksanakan program berupa konstruksi
fisik, pelatihan, desain dan studi terdiri dari : a. Metropolitan Bandung Urban Development Program.
Proyek prioritas I
(pada periode RJP) berkaitan dengan pengembangan sumber daya air yaitu Cibutarua Interbasin Canal, untuk menaikan kehandalan pasok air sungai Cisangkuy untuk PDAM Kabupaten Bandung dan peningkatan pasok air sungai Citarik di Kecamatan Tanjung Sari. b. Rehabilitasi Pompa Tarum Timur. Rehabilitasi 6 unit pompa telah beroperasi sejak tahun 1968 dengan sumber dana bantuan Pemerintah Perancis. Penandatanganan kontrak pelaksanaan pada bulan Agustus 1995 dan diselesaikan 2001. c. Pembangunan Minihydro Power Plant Bendung Curug. Pekerjaan desain, manufacturing dan pemasangan mini hydro 2x3 MW yang dibiayai oleh dana bilateral dari pemerintah Perancis, yang semula dijadwalkan selesai pertengahan tahun 1998, baru selesai akhir tahun 2002. d. Pengendalian Banjir Sungai Citarum. Pelaksanaan Proyek Pengendalian Banjir mendesak di Citarum Hulu dana bantuan dari OECF dan ADB. e. Rehabilitasi Situ Lembang. Dalam rangka mengantisipasi peningkatan permintaan pasok air baku di daerah Cimahi, maka diperlukan peningkatan daya tampung Situ Lembang sehingga mampu menambah pasokan air baku sebesar 200 liter/detik (2003). f. Rehabilitasi situ-situ yang masih berfungsi sebagai penyediaan air irigasi dan pengendalian banjir.
65 g. Jatiluhur Water Resources Management Project Preparation Study. Menyangkut penyiapan desain teknik peningkatan Saluran Induk Tarum Barat, Tarum Timur, termasuk pembangunan sypon kali Bekasi, Bendungan Cikarang dan Cibeet untuk meningkatkan kualitas air baku ke PT.Thames PAM Jaya dan peningkatan kapasitas pemompaan ke Saluran Tarum Barat.
3.3. Unit Bisnis Pembangkitan Saguling PT. Indonesia Power adalah salah satu anak perusahaan listrik milik PT. PLN (Persero) yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dengan nama PT. PLN Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali (PT.PLN PJB I dan II) dan pada tanggal 3 Oktober 2000 PT.PLN PJB I resmi berganti nama menjadi PT. Indonesia Power. PT. Indonesia Power meiliki unit bisnis pembangkitan dan pemeliharaan. Unit-unit bisnis pembangkit tersebut adalah : Unit Bisnis Pembangkit Suralaya, Tanjung Priok, Saguling, Kamojang, Mrica, Semarang, Perak, Grati dan Bali serta unit jasa pemeliharaan. Kiprah PT. Indonesia Power dalam pengembangan usaha penunjang di bidang pembangkit tenaga listrik juga dilakukan dengan membentuk anak perusahaan PT. Cogindo Daya Perkasa (saham 99,9%) yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan dan manajemen sinergi dengan penerapan konsep Cogeneration dan Distributed Generation, juga PT. Indonesia Power mempunyai saham 60% di PT. Arta Daya Coalindo yang bergerak di bidang usaha perdagangan batu bara. Aktivitas kedua anak perusahaan ini diharapkan dapat lebih menunjang peningkatan pendapatan perusahaan di masa mendatang. UBP Saguling merupakan salah satu Unit Pelaksana Pengusahaan yang berada di bawah PT. Indonesia Power dan sebelumnya bernama PLN Sektor Saguling terbentuk sesuai dengan surat PLN Pusat No. 064/DIR/1984 tanggal 10 Mei 1984 yang mengelola PLTA Saguling. Dengan adanya perubahan Struktur Organisasi dalam rangka menuju kearah spesialisasi, maka keluar surat keputusan Pemimpin PLN Pembangkit dan Penyaluran Jawa bagian Barat NO. 006.K/023/KJB/1991 tanggal 28 Pebruari 1991 dan SK Direksi PT. PLN PJB I
66 No. 001.K/030/DIR/1995 tanggal 16 Oktober 1995, yaitu yang semula mengelola 1 unit ditambah 7 unit hingga 8 unit PLTA, seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Delapan PLTA yang termasuk dalam UBP Saguling. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PLTA Saguling Kracak Ubrug Pleangan Lamajan Cikalong Bengkok & Dago Pasir Kondang
Tahun Operasi 1985,1986 1827,1958 1924, 1950 1922,1982,1996 1925,1934 1961 1923 1955
Daya Terpasang 4 x 175,17 3 x 6,30 2 x 5.94, 1 x 6,48 3 x 1.08, 1 x 2.02, 1 x 1,61 3 x 6,52 3 x 1,05 3 x 1.05, 1 x 0.70 2 x 2.49, 2 x 2,46
Total MW 700,72 18,90 18,36 6,87 19,56 19,20 3,85 9,90
Sumber : Profil UBP Saguling, 2006.
Sedangkan misi dari Unit Bisnis Pembangkit Saguling ialah ”Mengelola Bisnis Pembangkit Hidro dan Memberdayakan Sumberdaya Melalui Kemitraan, Guna Menjamin Kontinuitas Dan Pertumbuhan Perusahaan Dalam Jangka Panjang”, dan mottonya adalah ”Mari.......Kita Bersinergi”. 3.3.1. Struktur Organisasi dan Manajemen UBP Saguling. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling disajikan pada Gambar 12. GENERAL MANAJER - ENJINER PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN - ENJINER LINGKUNGAN, ASURANSI DAN KS
MANAJER HUMAS
MNGR SISTEM &SDM
PLTA SAGULING 700.72 MW
MNGR KEU
MNGR PEMELIHARAAN
PLTA UBRUG 18.36 MW
PLTA SAGULING 700.72 MW
PLTA LAMAJAN 19.56 MW
PLTA UBRUG 18.36 MW
MNGR SUB UNIT BISNIS ANEKA USAHA
MNGR OPR & NIAGA
PLTA BENGKOK 3.85
PLTA LAMAJAN 19.56 MW
Gambar 12. Struktur organisasi dan manajemen UBP Saguling. (Sumber : Profil UBP Saguling, 2006).
PLTA BENGKOK 3.85 MW
67 Dengan komitmen dan kebijakan yang dicanangkan tahun 1999 (Strategi Rencana Jangka Panjang Tahun 2001–2005) dan ditindaklanjuti didalam Rencana Kerja dan Anggaran serta Kontrak Manajemen Tahun berjalan didapat hasil dengan diraihnya sertifikat : a. Sertifikat Zero Accident (Nihil kecelakaan periode 1996-2004). b. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bendera Emas Tahun 2001 dan 2004. c. Sertifikat System Manajemen Mutu ISO 9001 Versi 2000 Tahun 2004. d. Sertifikat System Manajemen Lingkungan ISO 14001 Tahun 2001. e. Penghargaan Forum Efficiency Drive Program Terbaik I Tahun 2001. f. Penghargaan Terbaik I Kategori “Bersahabat Dengan Lingkungan” Tahun 2001. Memberdayakan sumberdaya seperti tanah, bangunan, fasilitas bengkel dan SDM untuk memperoleh pendapatan lain di luar bisnis utama dengan mengembangkan usaha-usaha komersil antara lain : a. Pengelolaan pemberdayaan dengan dikelola sendiri, bekerjasama dengan pihak kedua dengan cara bagi hasil maupun kemitraan. b. Penelitian kualitas air waduk, danau, dan kawasan terbuka hijau untuk melihat tingkat pencemaran, kerjasama dengan PPSDAL – LP UNPAD dan ITB dilaksanakan per triwulan. c. Pemantauan dan pengukuran sedimentasi di waduk dilaksanakan per semester serta penghijauan disekitar waduk. d. Pasang rambu pengaman dan patok batas dipinggir waduk. Peduli lingkungan melalui program community development pemanfaatan aset lahan surutan di pinggir waduk oleh masyarakat sekitarnya diantaranya ialah: a. Pengobatan medis dan alternatif secara gratis dan donor darah. b. Mengadakan khitanan massal. c. Bea siswa dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi dan pertandingan olah raga serta perbaikan sarana umum (MCK, jalan, fasilitas ibadah, dan lain - lain).
68 3.3.2. PLTA Saguling PLTA Saguling terletak sekitar 30 km sebelah barat Kota Bandung dan 100 km sebelah tenggara DKI Jakarta dengan kapasitas terpasang 4 x 175,18 MW dan produksi listrik rata-rata per tahun = 2,158 GWh (CF = 35,12%). Fungsi PLTA Saguling dalam kelistrikan se-Jawa dan Bali, selain untuk memikul beban puncak juga berfungsi sebagai pengatur frekuensi sistem. Hal ini dimungkinkan dengan diterapkannya peralatan LFC (Load Frequency Control) di PLTA Saguling. Sampai saat ini telah beroperasi 3 PLTA Sistem Kaskade di aliran sungai Citarum dan salah satunya adalah PLTA Saguling yang lokasinya berada paling hulu. Sedangkan bagian hilirnya berturut-turut adalah PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur. Energi listrik yang dihasilkan PLTA Saguling disalurkan melalui GITET (gardu induk tegangan ekstra tinggi) Saguling dan diinterkoneksikan ke sistem se-Jawa dan Bali melalui saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET 500 KV) untuk selanjutnya melalui GITET dan Gardu Distribusi disalurkan ke konsumen. Untuk
menjaga
keandalan
unit
pembangkit,
maka
dilaksanakan
pemeliharaan, baik yang bersifat rutin, predictive maintenance maupun periodik. Begitu pula untuk mengetahui lebih dini jika terjadi kelainan-kelainan pada kondisi bangunan air, secara rutin dilaksanakan pemantauan instrumentasi (monitoring) yang meliputi pemantauan survai, geoteknik, instrumentasi DAM dan sedimentasi. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling disajikan pada Tabel 6. Dalam rangka pelestarian lingkungan, dilakukan pemantauan kualitas air waduk, penghijauan daerah aliran sungai dan pembersihan sampah dan gulma air secara rutin. Sedangkan untuk pemantauan curah hujan di DAS Citarum (DTA Saguling) dan debit air masuk waduk serta air keluar pembangkit dipantau dengan sistem telemetering.
69 Tabel 6. Morfimetri waduk, spesifikasi umum tentang bendungan, generator dan turbin yang digunakan pada PLTA Saguling. Uraian Waduk Duga Muka Air Maksimum Duga Muka Air Minimum Luas Waduk (+ 643 m) Isi seluruhnya Isi Efktif Bendungan Type Tinggi Elevasi Puncak Bendungan Panjang Puncak Isi Tubuh Bendungan Generator Merk Type Kapasitas Tegangan Arus Frekuensi Putaran Turbin Merk Type Kapasitas Putaran Debit pada Head Normal Head (Maks, Normal, Min)
Dimensi / Merek : : : : :
+ 643,00 m + 623,00 m 48.695 ha 875 juta m³ 611,5 juta m³
: : : : :
Urugan batu dengan inti kedap air 99,00 m 650,20 m 301,40 m 2,79 juta m³
: : : : : : :
Mitsubishi Setengah Payung, 3 Phase, Synchronous 4 x 206,1 MVA 16,5 kV 7.212 Amp. 50 Hz 333 Rpm
: : : : : :
Toshiba Francis Vertical 4 x 178,8 MW 333 Rpm 4 x 54,8 m³/det. 363,6 m (maks), 355,7 m (normal), 343,4 m (min)
Sumber : Profil UBP Saguling, 2006.
3.4. Unit Pembangkitan Cirata 3.4.1. Latar Belakang Daerah pengaliran sungai (DPS) Citarum merupakan daerah yang subur, bergunung-gunung dan dianugerahi curah hujan yang tinggi. Sungai Citarum tidak pernah kering sepanjang tahun dan airnya digunakan penduduk untuk berbagai keperluan seperti rumahtangga, pengairan, pembangkit tenaga listrik dan lain lain. Dalam memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, pemerintah menentukan kebijaksanaan penghematan penggunaan bahan bakar minyak. Pemanfaatan potensi tenaga air sebagai energi listrik makin bertambah penting mengingat keterbatasan sumber energi primer disamping usaha konservasi air. Pembangunan proyek PLTA Cirata merupakan salah satu pemanfaatan potensi tenaga air di
70 Sungai Citarum yang letaknya di wilayah Kabupaten Bandung, kurang lebih 60 km barat laut Kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan Purwakarta. PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat (PIKITDRO JABAR) adalah unit PLN yang diserahi untuk menangani pembangunan pusat-pusat listrik tenaga air di wilayah Jawa Barat. Salah satu diantaranya adalah proyek PLTA Cirata yang dapat membangkitkan energi listrik rata-rata sebesar 1,428 juta kilowatt jam per tahun. Untuk itu perlu dibangun sebuah bendungan tipe urugan batu dengan permukaan berlapis beton sebagai bahan kedap air setinggi 125 meter, dengan ketinggian air maksimum 223 m diatas permukaan laut. PLTA Cirata dibangun sejak bulan Januari 1984. Pada akhir bulan September 1988 telah dapat beroperasi dengan kapasitas penuh melalui kedelapan turbin dan generatornya, sehingga Cirata dapat memiliki 8 unit pembangkit listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW. Tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Cirata melalui generator dengan tegangan 16,5 kV dinaikkan menjadi 500 kV melalui trafo utama, kemudian melalui Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV (GITET) Cirata, energi tersebut disalurkan ke sistem interkoneksi 500 KV JawaMadura-Bali (Jamali), Jaringan 500 kV tersebut dikendalikan oleh pusat pengaturan dan penyaluran beban (P3B) Gandul Jakarta. UP Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara, dengan bangunan Power House 4 lantai dibawah tanah yang pengoperasiannya dikendalikan dari ruang kontrol Switchyard berjarak ± 2 km dari mesin-mesin pembangkit yang terletak di Power House. PLTA Cirata, sejak pertama dioperasikan pada tahun 1988 dikelola oleh PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat (PLN JB) Sektor Cirata. Pada tanggal 3 Oktober 1995 terjadi restrukturisasi di PLN (Persero) yang mengakibatkan pembentukan 2 anak perusahaan, yaitu PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali I dan II (PT.PJB I dan PT.PJB II), sehingga Sektor Cirata masuk wilayah kerja PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II. Kemudian pada tahun 1997, sektor Cirata berubah nama menjadi PT. PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II Unit Pembangkitan Cirata (UP. Cirata). Dengan perkembangan organisasi sejak tanggal 3 Oktober 2000, PT.PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali II berubah menjadi PT.
71 Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa Bali, unit pembangkitan Cirata (PT. PJB UP Cirata). 3.4.2. Tahap Pelaksanaan Tahap-tahap pelaksanaan pembangunan Proyek PLTA Cirata meliputi : 1. Survai pendahuluan, dimulai tahun 1975. 2. Studi kelayakan dilaksanakan tahun 1980-1981. 3. Studi analisis dampak lingkungan dimulai tahun 1981. 4. Perencanaan terinci dilaksanakan Pebruari 1981 – Oktober 1982. 5. Tahap pembangunan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Pekerjaan prasarana yang dimulai pada bulan April 1983, meliputi pembangunan jalan hantar, Base Camp, perbaikan dan peningkatan fasilitas jalan, pemasangan jaringan listrik untuk konstruksi dan sebagainya. Disamping itu, terdapat pekerjaan-pekerjaan relokasi jalan, jembatan dan fasilitas umum seperti terminal air, bangunan sekolah, balai desa, sarana mandi, cuci dan kakus (MCK). b. Pekerjaan utama meliputi : -LOT I
: Pembuatan bendungan, bangunan pelimpah dan terowongan penggerak dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co (Jepang).
-LOT II
: Pembuatan bangunan pengambilan air, terowongan tekan, tangki pendatar air, rumah pembangkit, saluran pembuang, dilaksanakan oleh kontraktor Taisei Co (Jepang) bekerjasama dengan PT. Pembangunan Perumahan dan Mitsubishi Co (Jepang).
-LOT III
: Pekerjaan pipa pesat (penstock), dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai (Jepang) bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra.
-LOT IV
: Gate, Screen dan Valve (pintu, saringan dan katup) dilaksanakan oleh kontraktor Nissho Iwai (Jepang) bekerjasama dengan PT.Boma Bisma Indra.
-LOT V
: Turbin dilaksanakan oleh Kontraktor Voest Alpine (Austria) bekerjasama dengan PT. Wasamitra.
72
-LOT VI
: Generator dilaksanakan oleh kontraktor Elin Union (Austria) bekerjasama dengan PT. Brantas Abipraya.
-LOT VII
: Trafo utama dan serandang hubung (switchyard), dilaksanakan oleh Kontraktor Cogelex (Perancis) bekerjasama dengan PT. Cita Contrac.
-LOT VIII
: Jaringan transmisi dilaksanakan oleh kontraktor Brown Boveri (Jerman Barat) bekerjasama dengan PT. Mega Eltra.
-LOT IX
: Special equipment, terdiri dari beberapa paket pengadaan alat-alat berat, dan peralatan telekomunikasi dilaksanakan oleh PT. United Tractors, PT. Triguna Utama, Sumitomo Co., PT. Natela, CV.3R Electronics.
Konsultan : NEW JEC (New Japan Engineering Consultant) bekerjasama dengan PT. Indra Karya. Dengan adanya System Joint Operation (kerjasama antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional) diharapkan akan didapat keuntungan-keuntungan bagi kontraktor nasional antara lain alih teknologi bagi kontraktor nasional, memacu pertumbuhan kontraktor nasional, dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing. c. Pekerjaan telemetering hidrologi dan sistem peringatan banjir dilaksanakan oleh Puslitbang KIM-LIPI. 3.4.3. Kegiatan Usaha Produksi dan sistem pengoperasian kegiatan usaha inti adalah pembangkit tenaga listrik dengan total daya terpasang 1.008 MW, terdiri atas Cirata I (4 unit masing-masing operation daya terpasang 126 MW) yang mulai dioperasikan tahun 1988 dengan total daya terpasang 504 MW. Cirata I dan II mampu memproduksi energi listrik rata-rata 1,428 GWh per tahun dan disalurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi JawaMadur-Bali (Jamali). Kapasitas per unit PLTA disajikan pada Tabel 7.
73 Tabel 7. Kapasitas per unit PLTA. Jenis Pembangkit PLTA Unit 1 PLTA Unit 2 PLTA Unit 3 PLTA Unit 4 PLTA Unit 5 PLTA Unit 6 PLTA Unit 7 PLTA Unit 8
Mulai Beroperasi 25 Mei 1988 29 Februari 1988 10 Agustus 1988 15 Agustus 1988 15 Agustus 1997 15 Agustus 1997 15 April 1998 15 April 1998 Total
Kapasitas 126 MW 126 MW 126 MW 126 MW 126 MW 126 MW 126 MW 126 MW 1.008 MW
Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006.
Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1,428 GWh, dioperasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing-masing 129.000 kW dengan putaran 187,5 rpm. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m³/dt. Mengoperasikan unit pembangkit Cirata dapat dilakukan dengan 3 mode sistem pengoperasian : 1. Mode operasi local manual, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara manual dari panel unit control Power House. 2. Mode operasi local auto, yaitu sistem pengoperasian yang dilakukan oleh operator secara automatic dari panel unit control di ruang Power House. 3. Mode operasi remote, yaitu sistem pengoperasian yang menggunakan teknologi tinggi berbasis komputer dimana unit dioperasikan dari kontrol desk di ruang kontrol Switchyard yang berjarak ± 2 km dari lokasi pembangkit listrik. Dalam mengoperasikan seluruh unit pembangkit listrik PLTA Cirata mengutamakan menggunakan mode operasi remote untuk mengoperasikan dan mengontrol semua sistem, karena lebih efisien dan efektif. Namun demikian operator di lokasi rumah pembangkit selalu siap dengan mode operasi local auto maupun mode operasi local manual. Kinerja operasional Unit Pembangkitan Cirata beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hasil availability factor dan forced outrage rate diatas standar kelas dunia dari NERC EAF = 89,59 EFOR = 4,46 dan SOFF = 7,22. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh
74 Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non-APBN serta dana PLN juga mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). b. CDC (Commonth Wealth Development Cooperation). c. SC (Suppliers Credits). d. Pemerintah Austria. Total biaya pembangunan PLTA Cirata meliputi Penyediaan dan Biaya Pembangunan Cirata I sebesar :IBRD (USD 241.300.000), CDC (USD 18.800.000), SC (USD 69.000.000), dan dari APBN + Non-APBN (USD 235.900.000), sedangkan Cirata II sebesar Rp.132.272.182.016,00,-, Swiss Franc (SFR)
99.7291,00,-
,
Belanda
(NTD)
207.933.845,00,-,
Jepang
(Yen)
2.791.593.431,00,-. 3.4.4. Organisasi Organisasi UP Cirata, sejak 21 Oktober 1999 mengalami perubahan mengikuti perkembangan organisasi di PLN PJB yang fleksibel dan dinamis sehingga mampu menghadapi dan menyesuaikan situasi bisnis yang selalu berubah. Perubahan yang mendasar dari unit pembangkit adalah dipisahkannya fungsi operasi dan fungsi pemeliharaan, sehingga unit pembangkit menjadi organisasi yang clear and clean dan hanya mengoperasikan pembangkit untuk menghasilkan GWh seperti yang disajikan pada Gambar 12. a. Sumberdaya Manusia Manusia adalah aset terpenting dalam perusahaan, sehingga UP Cirata memberikan kesempatan kepada seluruh pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi agar menjadi SDM yang profesional. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan kerja yang menggairahkan dan memotivasi mereka untuk selalu bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Sikap profesionalisme para pegawai tetap dipertahankan dan ini terlihat dari hasil kinerja perusahaan yang semakin membaik.
75
MANAJER ENJINIRING
AUDITOR
Audit Manajemen Audit Keuangan
Root Cause Analysis O & M Task Review (Evahiare & Empowering)
LK3
OPERASI
Perencanaan & Pengendalian Operasi Produksi A,B,C,D Analis DBME Analis Kinerja Unit
PEMELIHARAAN
Perencanaan & Pengendalian Pemeliharaan Pemeliharaan mesin Pemeliharaan listrik Pemeliharaan instrumen & kontrol Pemeliharaan sipil, monitoring DAM dan Power house Inventory Control dan Catalogger
Kesehatan dan keselamatan kerja Sistem manajemen mutu dan Manajemen resiko Lingkungan
MANAJER
Akuntansi Anggaran & Keuangan Sistem Informasi Terpadu SDM & ADMINISTRASI SDM & Adm. Kepegawaian Pelatihan & pengembangan SDM Sekretariat, Humas & Keamanan Pengadaan kontrak bisnis dan Administrasi gudang Sarana
Gambar 13. Struktur organisasi unit pembangkitan Cirata. (Sumber : Profil PJB Unit Cirata, 2006).
b. Manajemen Sumberdaya Energi Air merupakan sumber energi utama yang digunakan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik sebanyak 8 unit. Oleh karena itu dibangun waduk Cirata seluas 62 Km² dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m, sehingga volume air waduk 2,165 juta m³ dan isi efektif waduk 796 juta m³. Air waduk ini dikelola baik jumlah maupun mutunya agar tidak mengganggu atau merusak mesin-mesin pembangkit.
76 c. Manajemen Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Ramah lingkungan merupakan trend dunia usaha yang berkembang dewasa ini, sehingga setiap industri dituntut untuk mengelola lingkungan dengan baik berstandar internasional, aman serta berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan terhadap komponen : a. Fisika dan kimia meliputi iklim dan kualitas udara serta fisiografi dan geologi. b. Kualitas air dengan parameter sesuai dengan peruntukannya. c. Sedimentasi, berupaya penelitian tingkat erosi tahunan. d. Sosial ekonomi dan budaya yang meliputi pariwisata, pertanian pasang surut, perikanan dan penghijauan di sekitar waduk. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan prioritas utama dalam menunjang keberhasilan setiap unit kerja. Oleh karena,dilaksanakan penyuluhan dan mensosialisasikan program zero accident serta membudayakan etos kerja yang aman. d. Aspek Lingkungan Pembangunan Proyek PLTA Cirata membutuhkan tanah seluas kurang lebih 7.026 ha, untuk daerah konstruksi dan genangan air, sehingga menimbulkan masalah kependudukan yang cukup besar. Kecuali itu genangan air akan menimbulkan pula perubahan lingkungan fisik dan biofisik lainnya. Sehubungan dengan itu telah dilakukan studi analisis dampak lingkungan sejak awal perencanaan proyek, sehingga dapat diperkirakan dan dipantau perubahan lingkungan yang akan terjadi, serta diusahakan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak negatif dan memacu dampak positif pembangunan PLTA Cirata. Dalam penanganan masalah lingkungan tersebut, telah dijalin kerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga penelitian antara lain : a. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD untuk studi analisis dampak lingkungan. b. Pemerintah Daetah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Tingkat II Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta dalam menyelesaikan masalah pemindahan penduduk dan pembebasan tanah.
77 c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan untuk meneliti hidrologi dan sedimentasi. d. Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNPAD bekerjasama dengan ICLARM (Internasional Center for Living Aquatic Resources Management) Manila, untuk membantu Studi Pengembangan Akuakultur dan Perikanan dalam rangka pemukiman kembali penduduk yang terkena proyek PLTA Saguling dan Cirata. e. Dinas Perikanan dan Provinsi Jawa Barat dengan Unit Pelaksana Teknis untuk penanganan penyaluran penduduk dalam bidang perikanan. f. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta dalam penelitian peninggalan sejarah dan penyelamatannya. g. Kantor Wilayah VI Departemen Parpostel Jawa Barat untuk pendidikan dan latihan pariwisata dalam penelitian pengembangan pariwaisata. h. Banyak penelitian lain yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang langsung maupun tidak langsung bermanfaat bagi PLTA Cirata. 3.4.5. Dampak Pembangunan PLTA Cirata 1. Dampak Positif a. Menghasilkan listrik dengan daya terpasang 1008 MW dan energi per tahun sebesar 1,428 juta kWh, sehingga menambah daya dan keandalan pada sistem kelistrikan. b. Menghemat bahan bakar minyak. c. Meningkatkan keandalan penyediaan air waduk Jatiluhur untuk air minum dan irigasi. d. Memacu perkembangan industri dan perekonomian. e. Mengembangkan usaha perikanan dan pariwisata. f. Menyediakan lapangan kerja baru. 2. Dampak Negatif a. Tergenangnya lahan Luas tanah yang diperlukan untuk daerah genangan kurang lebih 6.334 ha yang meliputi Kabupaten Bandung (38%), Kabupaten Cianjur (41%), dan Kabupaten Purwakarta (21%). Selain itu masih diperlukan kurang lebih
78 692 ha tanah yang terletak diluar daerah genangan untuk pembangunan konstruksi. Perincian tata guna lahan daerah tergenang : (1) Tanah desa (perumahan)
219 ha
(2) Sawah
1.656 ha
(3) Ladang dan Perkebunan
3.584 ha
(4) Kehutanan
689 ha
(5) Tanah Negara (jalan, sungai, dan lain-lain)
186 ha
Jumlah
6.334 ha
b. Pemindahan Penduduk Jumlah penduduk yang harus dipindahkan dari daerah genangan tercatat 6.335 kepala keluarga (KK), yang tersebar di tiga Kabupaten yaitu : (1). Kabupaten Bandung
1.652 KK
(2). Kabupaten Cianjur
3.818 KK
(3). Kabupaten Purwakarta
865 KK
Selain itu terdapat pula 3.766 KK penduduk yang terpengaruh proyek yaitu mereka yang bertempat tinggal di atas daerah genangan yang mempunyai tanah atau mempunyai pekerjaan di daerah genangan, yang tersebar di tiga daerah tersebut yaitu : (1). Kabupaten Bandung
596 KK
(2). Kabupaten Cianjur
2.984 KK
(3). Kabupaten Purwakarta Pada mengusahakan
dasarnya
186 KK sasaran
peningkatan
kebijakan
kesejahteraan
pemindahan masyarakat
penduduk atau
paling
ialah tidak
mempertahankan taraf kesejahteraan hidup yang sama dengan saat sebelum masyarakat dipindahkan.
Alternatif penyaluran penduduk serta sasaran yang
digariskan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat adalah dengan jumlah 10.101 KK. Dampak negatif lain yang diperkirakan mempunyai potensi berkembang, sehingga perlu dipantau :
1. Kemungkinan-kemungkinan eksplosi gulma air. 2. Kemungkinan timbulnya berbagai penyakit karena adanya genangan air.
79
3. Kemungkinan meningkatnya erosi, sampah dan limbah kota yang menyebabkan pencemaran serta mempercepat pendangkalan waduk. 3.4.6. Pengelolaan PLTA Cirata PT.PJB UP Cirata diserahi tugas untuk menangani pengelolaan PLTA Cirata baik operasi dan pemeliharaan Unit-Unit Pembangkit dan alat bantunya maupun bangunan – bangunan air dan lingkungannya. Operasi PLTA Cirata dikendalikan dari Ruang Kontrol di Switchyard yang berjarak 2 km dari mesinmesin pembangkit yang terdapat di rumah pembangkit di dalam tanah. Sistem tersebut dimungkinkan dengan adanya unit mikro processer ASCE (automatic sequence control equipment) dan unit komputer SCE (supervisory control equipment) yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya mesin pembangkit. Operator dengan bantuan keyboard dan layar monitor dapat men-start dan stop unit, mengatur tegangan, MVAR dan beban. Event recorder akan selalu memberikan informasi kondisi peralatan, parameter-parameternya dan data-data operasi yang diperlukan. Alarm timbul bila terjadi gangguan atau kondisi tidak normal pada peralatan-peralatan unit, dan event recorder akan mencatat jenis gangguan tersebut secara otomatis. Tujuh buah kamera televisi ditempatkan pada lokasi-lokasi penting di areal PLTA Cirata dan dapat dimonitor langsung dari Ruang Kontrol tersebut. Hubungan dengan Pusat Pengatur Beban di Gandul, Jakarta, dapat dilakukan melalui radio, telepon, Jwatt dan telex. Pada bendungan Cirata terdapat DAM Control Centre (DMCC) yang dilengkapi dengan hidrological monitoring telemetering system yang berfungsi untuk memantau secara tepat waktu (real time) kondisi hidrometeorologi di catchment area, tinggi muka air waduk, debit air yang masuk waduk, meramalkan banjir yang akan tiba, dan memberikan tanda atau signal bila hujan atau debit yang masuk melebihi batas tertentu. Data tersebut bersumber dari 15 stasiun pengukur hujan atau debit yang tersebar di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta yang dipantau secara Telemeteri melalui 3 stasiun pengulang (repeater). Untuk komunikasi data sistem ini dihubungkan pula dengan DAM Control Centre PLTA Saguling dan Puslitbang Air Departemen Pekerjaan Umum di Bandung. Di tepi sungai hilir bendungan dan Pusat Pembangkit, ditempatkan 12
80 buah Discharge Warning Station yang digunakan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat bila air akan dikeluarkan dari waduk maupun dari pusat pembangkit. Bangunan bendungan dan tumpukan di sekitarnya, rumah pembangkit dan terowongan-terowongan pelengkapnya serta tebing-tebing disekitar PLTA, dipantau stabilitasnya dengan mempergunakan instrumeninstrumen pengukur perubahan letak, perubahan tegangan - tegangan, rembesan, dan lain - lain. Sedimentasi yang terjadi didalam waduk diukur secara periodik dan dipantau perkembangannya. Usaha - usaha untuk mencegah peningkatan sedimentasi dilakukan melalui pemantauan lingkungan hidup dan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.
3.5. PDAM Tirta Dharma Letak Daerah dan Topografi Tirta Dharma adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Kabupaten Purwakarta secara geografis terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Barat yaitu 107º10’ - 107º30’ Bujur Timur dan 6º 25’ 6º45’ Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang. Luas Kabupaten Purwakarta adalah 971,72 km2 dan luas Kota Purwakarta adalah 24,83 km2 Topografi Kabupaten Purwakarta secara geografis diklasifikasikan dalam 3 wilayah yaitu Kabupaten Purwakarta Bagian Utara yang meliputi Kecamatan Cempaka, Purwakarta, dengan ketinggian antara 25–500 m diatas permukaan laut (dpl), Kabupaten Purwakarta Bagian Barat yang meliputi Kecamatan Jatiluhur (Sukatani), yang merupakan permukaan air danau Jatiluhur dengan ketinggian 107 m dpl. Sedangkan tanah daratan yang ada disekitarnya berda pada ketinggian kurang lebih 400 m dpl dan Kabupaten Purwakarta Bagian Selatan dan timur meliputi Kecamatan Plered, Maniis, Tegalwaru, Sukatani Darangdan, Bojong dan Wanayasa (Kiara Pedes, Pasawahan), dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl.
81 Iklim Daerah Keadaaan Iklim di Kabupaten Purwakarta pada umumnya beriklim tropis dengan curah hujan yang relatif tinggi dengan curah hujan rata-rata 3.093 mm/th. Wilayah Kabupaten Purwakarta terbagi dalam 2 zona hari hujan yaitu : 1. Zona dengan suhu berkisar antara 22–28 0C, meliputi wilayah Kecamatan Purwakarta,
Campaka
Plered,
Jatiluhur,
Tegalwaru,
Pasawahan
dan
Kecamatan Sukatani. 2. Zona Dengan suhu berkisar anatara 17-26 0C, meliputi wilayah kecamatan Darangdan, Bojong dan Kecamatan Wanayasa. Kependudukan Jumlah rumahtangga dan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2000 (hasil sensus penduduk tahun 2000) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan tahun 2000. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kecamatan Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka Jumlah
Rumah Tanga ( KK ) 13.985 7.208 10.848 14.054 9.856 14.961 10.217 15.192 15.158 48.796 44.088
Jumlah Penduduk ( Jiwa ) 50.965 25.610 38.953 57.196 40.347 57.131 39.027 55.341 58.189 186.701 88.834
186.282
698.294
Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta (Purwakarta Dalam Angka, 2002).
Proyeksi pertumbuhan rata-rata penduduk Kabupaten Purwakarta antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 didasarkan pada hasil sensus penduduk Kabupaten Purwakarta tahun 1999-2000 sebesar 2,25% per tahun. Berdasarkan angka perkiraan pertumbuhan penduduk seperti tersebut, maka pertumbuhan penduduk Kabupaten Purwakarta per Kecamatan Tahun 2006 dapat diproyeksikan sebagaimana disajikan pada Tabel 9.
82 Tabel 9. Proyeksi penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2000–2006. No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jatiluhur Maniis Tegalwaru Plered Sukatani Darangdan Bojong Wanayasa Pasawahan Purwakarta Campaka Jumlah
2000 50.965 25.610 38.953 57.196 40.347 57.131 39.027 55.341 58.189 18.6701 88.834 698.294
2001 51.903 26.232 39.728 58.311 41.360 58.348 39.737 56.287 59.341 191.854 91.179 714.281
2002 52.858 26.870 40.519 59.448 42.398 59.591 40.461 57.250 60.516 197.149 93.586 730.645
Tahun 2003 53.830 27.523 41.325 60.608 43.462 60.860 41.947 58.229 61.714 202.590 96.057 747.395
2004 54.821 28.192 42.147 61.789 44.553 62.156 42.710 59.225 62.936 208.182 98.593 764.541
2005 55.830 28.877 42.986 62.994 45.671 63.480 43.487 60.237 64.182 213.928 101.196 782.091
2006 60.053 29.578 43.842 64.223 46.818 64.832 44.279 61.267 65.453 219.832 103.867 800.057
Sumber : Kantor Stastistik Kabupaten Purwakarta (Purwakarta Dalam Angka, 2002).
Perkembangan pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk masyarakat Kabupaten Purwakarta dilakukan secara bertahap dan sampai saat ini dari 11 Kecamatan yang ada, baru 6 Ibu Kota Kecamatan yang telah dilayani Air Bersih PDAM Kabupaten Purwakarta. Ibu Kota Kecamatan tersebut, adalah Kecamatan Purwakarta (Kota Purwakarta dan Desa Pasawahan), Kecamatan Jatiluhur (Kota Jatiluhur), Kecamatan Wanayasa (Kota Wanayasa), Kecamatan Campaka (Kota Campaka), Kecamatan Plered (Kota Plered), dan Kecamatan Darangdan (Pasir Angin). 3.5.4. Visi dan Misi PDAM Tirta Dharma Tirta Dharma sebagai salah satu instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan umum, dituntut untuk senantiasa meningkatkan pelayanan yang prima. Untuk mewujudkannya dibutuhkan visi dan misi yang jelas. Visi dan misi PDAM Kabupaten Purwakarta adalah ”Menuju Pelayanan Prima Air Bersih Terhadap Masyarakat”. Tujuan utama didirikan PDAM adalah mewujudkan dan meningkatkan pelayanan akan kebutuhan air minum bagi masyarakat secara adil dan merata yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, berkesinambungan dan merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah.
Sampai sejauh ini
pengelolaan sarana dan prasarana air bersih pada umumnya belum dilaksanakan secara efisien, sebagian besar PDAM belum mampu dengan baik melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih, baik kuantitas, kualitas maupun kontuinitas. Salah satu penyebab antara lain adalah belum dimilikinya
83 perencanaan pengelolaan yang menyeluruh, yang disusun dengan memperhatikan kondisi internal maupun eksternal PDAM. PT. Thames PAM Jaya PT. Thames PAM Jaya (TPJ) yang didirikan pada Februari 1998 merupakan perusahaan patungan yang 95% dimiliki oleh Thames Water. Dalam perjanjian
kerjasama
25
tahun
dengan
PAM
Jaya,
TPJ
mengelola,
mengoperasikan, memelihara dan mengembangkan sistem pasokan air air bersih ke lebih dari 2,5 juta orang dan juga mendapat kewenangan untuk menangani seluruh aktivitas pananggihan rekening air kapada lebih dari 320.000 pelanggan (per September 2002) sementara kewenangan penetapan tarif air tetap pada Pemerintah Daerah. Kondisi sekilas TPJ (2002) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kondisi sekilas PT. Thames PAM Jaya (2002). No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Komponen Keterangan Investasi per akhir Maret 2002 Rp. 3090,8 milyar Total pengembangan dan > 965,7 km (panjang total jaringan pada 1997 perbaikan jaringan adalah 4.400 km) Total sambungan > 327.445 (total sambungan per tahun 1997 adalah 268.000) Penggantian meter air kecil > 148.273 Penggantian meter air besar > 1.944 Total penggantian meter air > 151.217 Supervisi / Analisa kualitas air 1.000 sampel air / bulan Penurunan jumlah air tak Dari 57,6 % menjadi 48,59 % per September terhitung 2002 Kinerja pengolahan air Sertifikat ISO 9002 untuk manajemen proses (April 2000) Jumlah populasi yang terlayani 2,7 juta (jumlah populasi di dalam area TPJ : 4,5 juta) Cakupan layanan 60,35 % Volume air yang terjual 529,7 juta m³ (1998 – September 2002) Kapasitas produksi : o Buaran I 2.000 liter per detik o Buaran II 3.000 liter per detik o Pulo Gadung 4.000 liter per detik o Instalasi Kecil Condet 50 liter per detik
Sumber : Profil PT Thames PAM Jaya, 2006
84 3.6.1. Empat Kepedulian TPJ Empat kepedulian TPJ dalam menjalankan strategi operasional perusahaan yaitu menerapkan standar internasional pada pengoperasian jaringan air di Jakarta, membangun infrastruktur sebagai bagian dari investasi, pengembangan karyawan, dan peduli terhadap masyarakat. a. Penerapan standar internasional Komitmen TPJ untuk menerapkan standar internasional terbukti antara lain dengan mendapatkan ISO 9002 untuk manajemen proses pada bulan April 2000. Saat ini, air bersih yang diproduksi TPJ telah memenuhi ketentuan Departemen Kesehatan RI. Dalam meningkatkan efisiensi pelayanan, TPJ juga telah mengimplementasikan teknologi baru, diantaranya adalah sistem informasi geografis (GIS) untuk kepentingan manajemen asset, peralatan deteksi suara kebocoran di bawah tanah, dan alat pembaca meter genggam yang digunakan pembaca meter, yang secara otomatis dapat ditransfer ke sistem komputer. Selain itu, terdapat 13 kantor pelayanan pelayanan (KPP) yang tersebar di lokasi yang mudah dicapai pelanggan dan siap melayani pelanggan selama jam kerja. TPJ juga menyediakan Call Center 24 jam untuk melayani keluhan melalui telepon, baik untuk masalah rutin maupun darurat. TPJ juga menerapkan standar internasional untuk bidang keselamatan dan kesehatan, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Thames Water International untuk operasi di kawasan Asia Pasifik, antara lain prosedur keselamatan dan kesehatan yang terperinci dan juga pelatihan teratur bagi para staf, dengan penekanan pada peranan tiap karyawan untuk menjaga keselamatan diri mereka dan orang lain serta mencegah terjadinya cedera. b. Investasi di bidang infrastruktur Komitmen kedua terlihat dari fakta bahwa sampai September 2002 telah diselesaikan pembangunan dan perbaikan lebih dari 960 km jaringan, penggantian lebih dari Rp 390 milyar telah ditanamkan untuk pembangunan jaringan distribusi air. Dengan infrastruktur yang solid, TPJ berhasil menambah 59.000 sambungan baru yang berarti memperluas daerah layanan hingga lebih dari 60%.
85 c. Pengembangan karyawan Merupakan
kebijakan
Thames
Water
untuk
sebanyak
mungkin
mempekerjakan dan memajukan staf lokal. Untuk itu, pelatihan dan pendidikan sudah menjadi prioritas. Di TPJ, hal ini dibuktikan dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengikuti program strata 2 Manajemen Bidang Air di Universitas Indonesia dan baru-baru ini TPJ menjalankan Program Pengembangan Strata 1 yang dimulai pada September 2001. Selain itu, pegawai TPJ tingkat tertentu juga diikutsertakan dalam Program Manajer Operasional selama 18 bulan yang diadakan Thames Water. d. Peduli terhadap masyarakat dan sekitarnya. Komitmen ke 4 merupakan tanggungjawab sosial perusahaan diwujudkan melalui kerjasama dengan masyarakat setempat dalam upaya memberikan kontribusi yang membangun dengan manfaat yang tidak hanya akan dirasakan sesaat namun berjangka panjang. Salah satu contoh adalah proyek Marunda yang telah mendapat penghargaan Wordaware Business Award 2000. Melalui proyek ini, sejak tahun 1999 rumahtangga kurang mampu di daerah ini dapat menikmati sambungan air bersih, yang biayanya hanya sepertiga dari air eceran yang harus mereka beli sebelumnya. Pasokan air bersih ke rumah-rumah ini secara dramatis telah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menerimanya. Sejalan dengan nilai-nilai tanggung jawab sosial yang dianut oleh Thames Water, TPJ telah berkomitmen untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. 3.6.2. Penggabungan Thames Water dan RWE Penggabungan Thames Water dan RWE telah menciptakan satu perusahaan pengelolaan air bersih dan limbah ketiga terbesar di dunia dengan 43 juta pelanggan di seluruh dunia. Penggabungan ini memungkinkan Thames Water untuk menimba lebih banyak pengetahuan dan keahlian dari seluruh dunia, sementara pengaruh dan kekuatan finansial RWE merupakan keuntungan bagi Thames Water untuk mengembangkan dan melebarkan bisnis secara global. RWE adalah ”One Group, Multi Utilities” – Suatu Pemenuhan standar : Kepuasan Pelanggan.
86 Seratus tahun pengalaman, keahlian dan inovasi merupakan landasan RWE Group dalam beroperasi. Seluruh bisnis utamanya yang meliputi listrik,gas,air dan pengelolaan limbah memiliki standar dunia. Nama RWE identik dengan organisasi yang berorientasi pada pelanggan dapat diandalkan dan berpikiran maju. Budaya korporasi yang dijalankan oleh RWE adalah : a. Struktur dan proses yang inovatif Sebuah perusahaan induk yang memayungi seluruh operasi dan rantai kegiatan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kelompok ini. Tiap anak perusahaan memfokuskan diri pada sebuah bisnis utama, yang terdiri mulai dari sumber daya dan produksi hingga penjualan dan distribusi. Pengelolaan biaya yang efektif, kekuatan inovatif, pelayanan menyeluruh, hubungan baik dengan pelanggan seiring dengan layanan dan kualitas handal merupakan prioritas utama dari tiap anak perusahaan. b. Komitmen yang mendunia Bisnis internasional merupakan bagian yang penting dari strategi pengembangan usaha di RWE. Saat ini, RWE berkiprah di lebih dari 120 negara di seluruh dunia, dan bisnis internasional menyumbangkan sekitar sepertiga dari total pendapatannya. Selama tahun anggaran 2000-2001, RWE Group meraih pendapatan sebesar kira-kira Euro 63 miliar dan mempekerjakan sekitar 170.000 karyawan di seluruh dunia. c. Budaya baru TPJ ditentukan oleh 6 nilai utama 1. Hubungan kerja yang terbuka, saling percaya, mendengarkan dan memahami. 2. Komitmen kepada seluruh karyawan. 3. Bekerja sama secara team dalam memecahkan permasalahan. 4. Komitmen terhadap peningkatan kinerja melalui inovasi. 5. Mendukung sepenuhnya inisiatif-inisiatif yang muncul. 6. Komitmen yang kuat kepada pelanggan kita.
87 d. Ukuran keberhasilan 1. Target-target kerja yang jelas bagi setiap departemen. 2. Perbaikan proses kerja menuju peningkatan efisiensi kerja. 3. Penyusunan standar-standar kinerja (hasil akhir,waktu). 4. Peningkatan kerjasama antar departemen. 5. Membangun semangat kerjasama dan kelompok kerja antar departemen. 6. Pemimpin-pemimpin kelompok dan proyek. 7. Membina hubungan-hubungan dengan pihak luar, membangun kesadaran masyarakat.
4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN
4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan tanaman keras (tahunan). Kecuali fungsi produksi (ekonomi) dan sosial, vegetasi tersebut juga memiliki fungsi perlindungan (ekologi) wilayah DAS. Penggunaan lahan dan perubahannya dapat dijadikan indikator tingkat dan dinamika kegiatan manusia (antropogenik) pada suatu wilayah. Sandy (1982) menyatakan bahwa peningkatan kegiatan antropogenik tersebut menimbulkan peningkatan kebutuhan akan lahan dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan tataguna lahan dan hutan (landuse change and forestry). Pada umumnya, lahan yang diperuntukan untuk menampung aktivitas manusia tidak mencukupi sehingga menggunakan areal peruntukan lain (melalui konversi) seperti halnya lahan hutan. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menyebabkan perubahan terhadap penutup lahan (land cover) baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitasnya. Peranan penutup lahan dalam suatu ekosistem DAS sangat penting khususnya untuk perlindungan sumberdaya air dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ditujukan untuk mengetahui perubahan penutup lahan DAS Citarum khususnya wilayah hulu pada periode 1992-2002.
4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan penutup lahan dilaksanakan terhadap Peta Tataguna Lahan dan Citra Satelit Multi Temporal DAS Citarum 1992 dan 2002 yang terdiri dari tiga Sub DAS yaitu Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Ketiga Sub DAS tersebut berada dalam administrasi pemerintahan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung dan Kota
89 Cimahi. Secara geografis, wilayah penelitian terletak pada 6º 30′ LS - 7º 12′ LS serta 107º 00′ BT - 107º 55′ BT. Pengolahan data dan interpretasi citra tersebut dilaksanakan di Laboratorium Penginderaan Jauh, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan dan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian berlangsung mulai Februari 2006 sampai dengan Mei 2006.
4.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Penutup Lahan Untuk mengetahui perubahan penutup lahan yang terjadi khususnya di DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1992-2002, maka dilakukan analisis penutup lahan. Bahan yang diperlukan adalah : 1. Peta tataguna lahan dan citra satelit multi temporal 1992 dan 2002. 2. Peta rupa bumi Indonesia (RBI) atau Peta Topografi 1992. 3. Satu unit komputer dan software ER-Mapper. Analisis penutup lahan tersebut dilakukan dengan menginterpretasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui jenis penutup lahan, komposisi dan distribusi spasialnya. Diagram alir, tahapan analisis penutup lahan dan interpretasinya disajikan pada Gambar 14. Menurut Balsem and Buurman (1989) dalam Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1998), klasifikasi penutup lahan menggunakan sistem klasifikasi yang disusun oleh terdapat 12 kelas utama yaitu tegalan, persawahan, perladangan, padang rumput, perkebunan, semak, wanatani, reboisasi, hutan, air, tanah tandus, dan pemukiman. Dalam penelitian ini, dilakukan penggolongan penutup lahan sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman, perkebunan, tegalan dan waduk. Sebelum menganalisis data mentah (raw data) citra satelit dan pembatasan wilayah kerja (image cropping) dilakukan koreksi terhadap kesalahan (distorsion) radiometri dan geometri, sehingga diperoleh gambaran (image) yang lebih kontras sesuai dengan obyek, bentuk dan ukuran atau skalanya.
90 - Koreksi geometri
- Data landsat Tahun 1992 - Peta Topografi (RBI) Tahun 1990-an - Peta Landuse
- Data landsat Tahun 2002 - Peta Topografi (RBI) Tahun 2002
- Penajaman - Kroping
Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 2002
Citra DAS Citarum Terkoreksi Tahun 1992
Digital Analysis (Supervised Classification)
Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 1992
Peta Interpretasi Tataguna Lahan Tahun 2002
Konfirmasi dan Validasi lapangan
Peta Tataguna Lahan Tahun 1992
Peta Tataguna Lahan Tahun 2002
Overlay
Perubahan Tataguna Lahan Tahun 1992-2002
Gambar 14. Diagram alir analis perubahan penutup lahan (tataguna lahan). Teknik analisis digital (analysis supervised classification) digunakan untuk menganalisis data citra satelit melalui aplikasi software ER Mapper, dengan hasil akhir disajikan dalam bentuk data spasial (peta), data tabular dan naskah (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Dalam penelitian ini, analisis lebih lanjut tentang perubahan penutup lahan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (overlaying), difokuskan pada penutup lahan yang diduga signifikan pengaruhnya terhadap karakteristik hidrologis DAS yaitu dari penggunaan lahan untuk hutan dan pemukiman.
91 4.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Penutup Lahan Interpretasi terhadap Peta Landuse dan Citra Satelit TM7 1992 dan 2002 menghasilkan data jenis penutup lahan, kuantifikasi dan perubahannya baik pada masing-masing Sub DAS maupun secara keseluruhan DAS Citarum. Untuk memudahkan analisa, penutup lahan dikelompokkan ke dalam delapan jenis, yaitu hutan, rawa, sawah tadah hujan, sawah irigasi, permukiman (pemukiman, perkantoran, industri, infrastruktur, lapangan udara, lapangan golf dan lahan terbuka), perkebunan (karet, kakao, kina, teh, kebun bunga dan kebun campuran), tegalan (sayuran dan palawija) dan waduk. Peta penutup lahan DAS Citarum disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16, dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.
Gambar 15. Peta penutup lahan DAS Citarum 1992.
92
Gambar 16. Peta penutup lahan DAS Citarum 2002. Berdasarkan hasil analisis digital peta tahun 1992 dan 2002 didapatkan total luas DAS Citarum adalah 704.569 ha yang dapat dibagi dalam dua bagian wilayah, yaitu DAS Citarum Wilayah Hulu dan DAS Citarum Wilayah Hilir. DAS Citarum Wilayah Hulu seluas 486.237 ha yang terdiri dari Sub DAS Saguling seluas 256.758 ha (52,81%), Sub DAS Cirata seluas 157.118 ha (32,31%) dan Sub DAS Jatiluhur seluas 72.361 ha (14,88%) dan DAS Citarum Wilayah Hilir seluas 218.332 ha. Pembagian kedua wilayah tersebut didasarkan pada Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) Bagian Utara dan Bagian Selatan. Batasan luas Sub DAS tersebut berpedoman pada batas-batas topografi (igir-igir, perbukitan dan pegunungan) dan bendungan (dam) di wilayah hilir masingmasing Sub DAS. Akan tetapi dalam kaitannya dengan daerah tangkapan air (DTA) atau catchment area, batas Sub DAS berpedoman pada tingkat pengaruh hidrologis Sub DAS yang berada di hulu terhadap Sub DAS wilayah hilir.
93 Tabel 11. Komposisi penutup lahan masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1992 dan 2002. Komposisi Luas / Sub DAS / DAS Jenis Penutup Lahan
Saguling
Cirata (ha)
Citarum Wilayah Hulu (total)
Jatiluhur
(ha)
(%)
(%)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
Hutan
65.752
25,61
43.373
27,61
8.551
11,82
117.676
24,20
Rawa
344
0,13
0
0,00
0
0,00
344
0,00
5.354
2,09
1.802
1,15
2.346
3,24
9.502
1,95
Sawah Irigasi
58.096
22,63
36.217
23,05
25.68
34,92
119.581
24,59
Permukiman
18.580
7,24
2.544
1,62
3.394
4,69
24.518
5,04
Kebun / Perkebunan
16.295
6,35
24.821
15,80
13.627
18,83
54.743
11,26
Tegalan
88.321
34,40
40.011
25,47
11.987
16,57
140.319
28,86
Waduk
4.016
1,56
8.350
5,31
7.188
9,93
19.554
4,02
256.758
100,00
157.118
100,00
72.61
100,00
486.237
100,00
45.668
17,79
27.980
17,81
5.986
8,27
79.634
16,38
0,00
0
0,00
0
0,00
0
0,00
5.507
2,14
590
0,38
6.554
9,06
12.651
2,60
Sawah Irigasi
42.114
16,40
39.385
25,07
10.868
15,02
92.367
19,00
Permukiman
36.598
14,25
6.756
4,30
5.209
7,20
48.563
9,99
Kebun / Perkebunan
43.308
16,87
22.445
14,29
20.627
28,51
86.380
17,76
Tegalan
77.653
30,24
49.648
31,60
15.137
20,92
142.438
29,29
Waduk
5.910
2,30
10.314
6,56
7.980
11,03
24.204
4,98
256.758
100,00
157.118
100,00
72.361
100,00
486.237
100,00
Tahun 1992
Sawah Tadah Hujan
Jumlah Tahun 2002 Hutan Rawa Sawah Tadah Hujan
Jumlah
Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002.
Penggunaan lahan (land use) merupakan wujud dan perpaduan dari aktivitas manusia di wilayah tertentu untuk memenuhi kebutuhan. Penggunaan lahan dapat diketahui dengan menghitung intensitas dan laju penggunaan sumber daya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi tingkat produktivitas sumber daya lahan dan kondisi ekosistem secara keseluruhan baik di wilayah hulu DAS maupun wilayah hilir. Perubahan penutup lahan (land cover) berupa vegetasi hutan merupakan faktor yang sangat penting dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap sifat dan karakteristik DAS terutama fisik, kimia, biologi, sedimentasi dan debit.
94 Tabel 12. Laju perubahan penutup lahan per tahun masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu1992-2002. Laju perubahan penutup lahan per tahun
(%)
(ha)
(%)
Citarum Wilayah Hulu (total) (ha) (%)
Hutan
-2.008,4
-3,05
-1.539,3
-3,55
-256,5
-3,00
-3.804,2
-3,23
Rawa
-34,4
-10,00
0,0
0,00
0,0
0,00
-34,4
-10,00
15,3
0,29
-121,2
-6,73
420,8
17,94
314,9
3,31
-1.598,2
-2,75
316,8
0,87
-1440,0
-5,70
-2.721,4
-2,28
Jenis Penutup Lahan
Saguling (ha)
Sawah Tadah Hujan Sawah Irigasi
Cirata (%)
(ha)
Jatiluhur
Permukiman
1.801,8
9,70
421,2
16,56
181,5
5,35
2.404,5
9,81
Kebun / Perkebunan
2.701,3
16,58
-237,6
-0,96
700,0
5,14
3.163,7
5,78
-1.066,8
-1,21
963,7
2,41
315,0
2,63
211,9
0,15
189,4
4,72
196,4
2,35
79,2
1,10
465,0
2,38
Tegalan Waduk
Sumber : Hasil interpretasi peta tata guna lahan dan citra satelit TM7 1992 dan 2002.
Dari Tabel 12 didapatkan informasi secara umum bahwa kelompok permukiman dan perkebunan mengalami pertumbuhan luas positif (penambahan), sedangkan hutan dan sawah irigasi mengalami pertumbuhan luas negatif (penurunan) diseluruh wilayah DAS. Laju pertumbuhan per tahun pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman dan sarana sosial lainnya di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 9,7% (1.801,8 ha), Sub DAS Cirata sebesar 16,56% (421,2 ha), Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,35% (181,5 ha) dan DAS Citarum 9,81% (2.404,5 ha). Laju pertumbuhan per tahun pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 16,58% (2.701,3 ha), Sub DAS Jatiluhur sebesar 5,14% (700,0 ha) dan DAS Citarum sebesar 5,78% (3.165,7 ha). Laju pertumbuhan negatif (penurunan) luas penutup lahan di seluruh wilayah DAS Citarum dialami oleh tipe penggunaan lahan untuk hutan dan sawah irigasi. Laju penurunan luas hutan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 3,05% (2.008,4 ha), Sub DAS Cirata 3,55% (1.539,3 ha), Sub DAS Jatiluhur 3,0% (256,5 ha) dan DAS Citarum 3,23% (3.804,2 ha). Luas sawah irigasi mengalami laju penurunan per tahun di wilayah Sub DAS Saguling sebesar 2,75% (1.598,2 ha), Sub DAS Jatiluhur 5,70% (1.440,0 ha) dan DAS Citarum 2,28 % (2.721.4 ha).
95
Sub DAS Cirata
100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0
60000
1992 2002
Luas (ha)
50000 40000 1992
30000
2002
20000
W
T
KP
SI
Tutupan Lahan
Sub DAS Jatiluhur
DAS Citarum Wilayah Hulu
30000
160,000
25000
140,000 120,000
20000 1992
15000
2002
10000
Luas (ha)
100,000
1992
80,000
2002
60,000 40,000
5000
20,000
Tutupan Lahan
W
T
KP
Perm
SI
STH
0 R
T
W
KP
Perm
SI
STH
R
H
0
H
Luas (ha)
Perm
R
Tutupan Lahan
STH
H
T
0
W
KP
SI
Perm
R
STH
10000
H
Luas (ha)
Sub DAS Saguling
Tutupan Lahan
Gambar 17. Grafik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1992 dan 2002. (Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun/ Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk)
Pada Tabel 13 disajikan matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1992 – 2002. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa konversi hutan untuk penggunaan lain yang terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan kebun / perkebunan (16.205 ha), berturut-turut tegalan (10.167 ha), permukiman (5.575 ha) dan sawah tadah hujan (3.011 ha). Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyunto et.al (2003) yang menyatakan bahwa di DAS Citarum konversi lahan hutan terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan perkebunan teh, karet dan kakao. Dari sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan permukiman konversi lahan terbesar adalah lahan hutan (5.575 ha), tegalan (7.3814 ha), sawah irigasi (5.583 ha) dan rawa termasuk situ (344 ha). Sebagian besar konversi lahan hutan menjadi peruntukan lain secara umum berlangsung secara gradual, yaitu lahan hutan
96 dikonversi untuk kebutuhan perkebunan dan tegalan. Selanjutnya lahan perkebunan dan tegalan dikonversi menjadi lahan permukiman. Tabel 13. Matrik perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu dari tahun 1992 – 2002. Penutup Lahan 1992-2002 H
Penutup Lahan (ha) H
R
79.634
STH 0
SI 0
Perm
KP
3.011
5.575
T
16.205
W
10.167
Total 0
114.592
R
0
0
0
0
344
0
0
0
344
STH
0
0
12.651
1.672
90
1.388
179
0
15.980
SI
-3.011
0
-1.672
92.367
5.583
5.014
3.269
0
101.550
Perm
-5.575
-344
-90
-5.583
48.563
0
7.814
0
44.785
KP
-16.205
0
-1.388
-5.014
0
86.380
11.946
0
75.719
T
-10.167
0
-179
-3.269
-7.814
-11.946
142.438
4.650
113.713
W
0
0
0
0
0
0
-4.650
24.204
19.554
Jumlah
44.676
-344
9.322
83.184
52.341
97.041
171.163
28.854
486.237
Keterangan : H = Hutan, R = Rawa, STH = Sawah Tadah Hujan, SI = Sawah Irigasi, Perm = Permukiman, KP = Kebun/ Perkebunan, T = Tegalan, W = Waduk
Boer et.al (2004), menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan dan penutup lahan sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan air di dalam suatu DAS. Banyak studi menunjukkan bahwa deforestasi akan meningkatkan debit aliran puncak dan frekuensi terjadinya banjir. Deforestasi cenderung menurunkan aliran dasar karena deforestasi dan pembukaan lahan akan menurunkan kapasitas infiltrasi sehingga aliran permukaan akan berlangsung cepat yang menimbulkan banjir pada musim hujan, sebaliknya jumlah air yang masuk ke dalam tanah berkurang sehingga menurunkan air yang mengalir ke sungai utama atau waduk. Selanjutnya Pawitan (2004) menyatakan bahwa dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas akan mengakibatkan perubahan fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti hasil air DAS. Dari hasil pengamatan Pawitan (2004), perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896 – 1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm per tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm per tahun. Perubahan luas penutup lahan vegetasi (hutan) dan peningkatan luas area terbangun (pemukiman) merupakan dua komponen utama yang sangat mempengaruhi karakteristik hidrologis baik pada masing-masing Sub DAS
97 maupun keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu. Kondisi perubahan penggunaan lahan berupa sawah tadah hujan di wilayah DAS Citarum mengalami pertumbuhan dengan laju per tahun sebesar 3,31% (314,9 ha) dan tegalan 0,15% (211,9 ha). Penambahan luas waduk terjadi diakibatkan oleh peningkatan luas genangan air (peningkatan volume air waduk) saat pengambilan foto citra satelit pada bulan November 2002.
4.5. Simpulan Dari hasil analisis perubahan penutup lahan dan penggunaannya di DAS Citarum Wilayah Hulu dapat disimpulkan bahwa selama periode 1992–2002 terjadi penurunan luas hutan dengan laju rata-rata per tahun sebesar 3,23% (3.804,2 ha), hilangnya rawa seluas 34,4 ha dan sawah irigasi 2,28% (2.721,4 ha). Sedangkan pertambahan luas terjadi pada permukiman 9,1% (2.404,5 ha), kebunperkebunan 5,78% (3.163,7 ha), sawah tadah hujan 3,31% (314,9 ha), dan tegalan 0,15% (211,9 ha)
per tahun. Penurunan penutup lahan tersebut terutama
disebabkan oleh peningkatan pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan kebun/perkebunan, permukiman dan sarana sosial lainnya.
5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN
5.1. Latar Belakang Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura (Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 2001) telah menyebabkan kondisi kritis bagi penyediaan air baik dalam aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius pada musim kemarau. Keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan pencemaran kimia air sungai atau waduk. Hal ini berdampak pada pendangkalan waduk, korosivitas pada peralatan produksi PLTA dan PDAM dan kerugian bagi pengguna air di wilayah hilir. Perubahan penutup lahan DAS Citarum di wilayah hulu (up-stream) akan menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologi wilayah tengah (in-stream) dan wilayah hilir (down-stream). Perubahan karakteristik tersebut meliputi defisit, volume dan sedimentasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu.
5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan karakteristik hidrologis (debit, volume dan sedimen) dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder di beberapa Bagian Lingkungan Kantor UBP Saguling, PJB - UP Cirata dan Perum Jasa Tirta II. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2006 sampai bulan Juli 2006.
5.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh data dan informasi historis (historical data). Bahanbahan tersebut terdiri dari :
99 1. Data curah hujan harian, bulanan dan tahunan periode 1993–2003 Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan laporan hasil pengukuran UBP Saguling. 2. Data evaporasi harian diperoleh dari laporan hasil pengukuran UBP Saguling (1993-2003). 3. Data debit dan volume (air masuk dan keluar) diperoleh dari laporan hasil pengukuran PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur (1993-2003). 4. Data sedimentasi diperoleh dari laporan hasil pemeruman Waduk Saguling (1985-2004), Waduk Cirata (1987-2002) dan Waduk Jatiluhur (1987-2000). Analisis
terhadap
data-data
sekunder
tersebut
dilakukan
dengan
menggunakan metode regresi linear. Pendugaan perubahan karakteristik debit dan volume dan sedimentasi antara tahun 1993-2003 dilakukan simulasi dengan menggunakan software GR4J. 5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume Pada Dua Sistem Penggunaaan Lahan. Analisis perubahan karakteristik hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian GR4J (Perrin, 2003). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model GR3J yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis. Struktur model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bab 2). Untuk mensimulasi debit harian, model
GR4J membutuhkan input data hujan,
evapotranspirasi potensial (ETP) dan debit harian serta 4 parameter model yang dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut adalah : 1. X1; kapasitas maksimum simpanan produksi (maximum capacity of the production store). 2. X2; koefisien tukar air (water exchange coefficient). 3. X3; kapasitas maksimum simpanan pengalihan (maximum capacity of the routing store). 4. X4; waktu dasar hidrograf satuan (time base of unit hydrograph).
100 Dalam penelitian ini debit air terdiri dari 3 jenis yaitu debit air masuk (DAM), debit air keluar (DAK) dan debit air masuk lokal (DAML). Debit air masuk adalah debit air yang bersumber dan mengalir dari wilayah hulu masingmasing Sub DAS dan memasuki badan air (sungai utama dan waduk). Debit air keluar adalah debit air yang keluar dari outlet masing-masing PLTA untuk menggerakkan turbin. Debit air masuk lokal adalah debit air masuk yang bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari debit air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu (sungai utama Citarum). Dengan demikian DAK PLTA Saguling tidak merupakan DAML bagi PLTA Cirata dan DAK PLTA Cirata tidak merupakan DAML bagi PLTA Jatilihur. Karena citra satelit (foto) yang digunakan dalam penelitian ini dibuat pada November 1992 maka untuk menduga pengaruh perubahan penutup lahan (kondisi biofisik) DAS Citarum Wilayah Hulu (1992-2002) terhadap karakteristik hidrologis maka data yang digunakan dalam simulasi model GR4J adalah curah hujan (CH), evaporasi waduk (ETP) dan debit air masuk lokal (DAML) harian dari tahun 1993-2003. Pada Tabel 14 disajikan hasil simulasi dengan tahapan pemodelan software GR4J adalah : a. Menentukan parameter simulasi (X1, X2, X3 dan X4) dengan memasukkan input data CH, ETP dan DAML harian tahun inisial (1993) dengan hasil Q1. Parameter default (standar) yang digunakan menurut Perrin (2003) adalah X1 = 5,9, X2 = 2,0, X3 = 4,5 dan X4 = 0,2. b. Validasi parameter tahun inisial 1993 dengan meng-input nilai parameter baku ke dalam fungsi tranfer dan melakukan solver. Validasi terhadap parameter tersebut menghasilkan nilai kemiripan (koefisien Nash) dengan besaran antara 0-100. Model dinyatakan valid apabila koefisien Nash memiliki nilai yang lebih besar dari 50. c. Parameter hasil validasi digunakan untuk mensimulasi tahun selanjutnya dengan input data tahun tersebut tanpa melakukan solver.
101 d. Besaran parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan input data curah hujan pada tahun selanjutnya (1994) dengan hasil sebesar Q2, tahun 1995 sebesar Q3, dan seterusnya sampai tahun 2003 sebesar Q11. e. Nilai Q2 sampai dengan Q11 hasil simulasi dibandingkan dengan Q1 hasil validasi. f. Perbedaan nilai-nilai (dQ) tersebut diduga merupakan pengaruh perlakuan (perubahan penutup lahan) DAS terhadap debit. Tabel 14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J. Parameter
Kondisi Penutup Lahan
simulasi
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
x1
q1.1
q1.2
q1.3
q1.4
q1.5
q1.6
q1.7
q1.8
q1.9
q1.10
q1.11
x2
q2.1
q2.2
q2.3
q2.4
q2.5
q2.6
q2.7
q2.8
q2.9
q2.10
q2.11
x3
q3.1
q3.2
q3.3
q3.4
q3.5
q3.6
q3.7
q3.8
q3.9
q3.10
q3.11
x4
q4.1
q4.2
q4.3
q4.4
q4.5
q4.6
q4.7
q4.8
q4.9
q4.10
q4.11
Hasil
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5
Q6
Q7
Q8
Q9
Q10
Q11
dQ1 – dQ10 Validasi Q Kalibrasi Parameter
Q1-Q2 sampai dengan Q10-Q11 Q Aktual Standar Perrin (2003) dan Koefisien Nash
Sebagaimana diuraikan tedahulu bahwa untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya,
terlebih
dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami perubahan (1992). Setelah validasi, akan didapatkan parameter model pada tahun inisial, yang selanjutnya parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan menggunakan input data pada tahun selanjutnya yang diduga merepresentasikan kondisi biofisik DAS yang telah berubah (2002). Dengan membandingkan debit pengukuran dengan debit simulasi melalui analisis neraca air DAS, tingkat perubahan aliran sungai akibat perubahan kondisi biofisik DAS dapat diketahui. Permodelan GR4J telah diformulasikan dalam bahasa excel tahun 2003 oleh CEMAGREF Perancis. Hasil simulasi debit harian akan digunakan untuk menghitung volume air harian dan tahunan. Regresi linear digunakan dalam pengujian hubungan CH, debit dan volume air hasil simulasi dengan nilai hasil pengukuran.
102 5.3.2. Pendugaan Sedimentasi Perilaku sedimen dipelajari dari dua hal yaitu berdasarkan data hasil pemeruman yang pernah dilakukan di ketiga waduk dan hasil perhitungan dengan menggunakan
rumus
sedimen.
Pemeruman
adalah
pengukuran
tingkat
(perkembangan) sedimentasi yang terjadi di dasar waduk terutama pada kapasitas “tampung mati” (dead storage). Jumlah sedimen yang terdapat di sungai atau waduk atau kolam penampungan juga dapat diprediksi melalui persamaan regresi berganda dengan 4 variabel yaitu erosi lahan (Ep), volume aliran permukaan (Ro), faktor tanaman dan konservasi (CP), dan luas Sub DAS (A), pada tingkat akurasi 86,40% (Sa’ad, 2002) dengan persamaan sebagai berikut : Y = bo. Epb1 . Rob2 . CPb3. Ab4 ; Keterangan : Y = sedimen sungai (ton ha¯¹) Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha¯¹) Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³) CP = faktor tanaman (tindakan konservasi tanah) A = luas Sub DAS (ha) bo, b1, b2, b3, b4 = konstanta
Dalam penelitian ini beberapa asumsi yang digunakan adalah : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) (Sa’ad, 2002) sama dengan erosi lahan yang besarnya berdasarkan penelitian Sutono et. al (2003) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) (Sa’ad, 2002) sama dengan volume air masuk lokal (VAML) hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP) (Sa’ad, 2002), besarnya didasarkan pada hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) dalam Asdak (2004) dan Amarjan (2003) khusus pada nilai CP permukiman. 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS sesuai dengan hasil pengolahan digitasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 2002. Penggunaan GIS dalam pendugaan sedimentasi waduk dengan penggunaan model telah digunakan di Thailand sebagaimana dilaporkan Lorsirirat (1997).
103 5.4. Hasil dan Pembahasan 5.4.1. Sifat hujan dan hubungannya dengan DAML dan VAML a. Curah Hujan Jumlah dan distribusi aliran permukaan di DAS Citarum Wilayah Hulu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, karakteristik biofisik dan manajemen DAS. Hasil pengolahan data curah hujan (CH) harian periode 1993 – 2003 didapatkan informasi bahwa curah hujan tahunan rata-rata di Sub DAS Saguling adalah 2.250,48 mm, Sub DAS Cirata sebesar 3.495,46 mm, Sub DAS Jatiluhur sebesar 2.637,50 mm dan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 2.186,62 mm per tahun. Pada periode pengamatan 1993 – 2003, walaupun CH tahunan di sub DAS Saguling mengalami kenaikan rata-rata 2,39 mm/th, namun secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mm/th. Penurunan jumlah CH tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pawitan (2004) yang menyatakan bahwa di DAS Citarum telah terjadi penurunan CH tahunan sebesar 10 mm/th selama periode pengamatan 1896 – 1994 dan akan menurunkan ketersediaan air untuk berbagai penggunaan di wilayah tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan Boer et.al (2004) yang menyatakan bahwa penurunan curah hujan tahunan di wilayah DAS Citarum sebesar 6 mm/th. Secara umum pada periode 1993 - 2003 musim kemarau (AprilSeptember) di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan ratarata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan (Oktober-Maret), CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Pada Tabel 15 ditampilkan Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003.
104 Tabel 15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003. Wilayah Sub DAS Saguling Sub DAS Cirata Sub DAS Jatiluhur DAS Citarum Wil. Hulu
CH Bulanan (mm) Musim mean-stdev mean mean+stdev MK 95,39 132,96 170,53 MH 198,02 242,12 286,22 MK 151,03 215,77 280,51 MH 303,89 366,80 429,72 MK 152,13 240,85 329,57 MH 286,59 365,40 444,21 MK 73,27 118,35 163,43 MH 202,24 246,09 289,94
stdev 37,57 44,1 64,74 62,92 88,72 78,81 45,08 43,85
Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Secara grafis, keragaman CH bulanan yang terjadi di wilayah masingmasing Sub DAS disajikan pada Gambar 18. Dari Tabel 15 dan Gambar 18 diperoleh gambaran bahwa secara kuantitas (jumlah) CH bulanan rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu relatif kecil yaitu sebesar 118,35 mm (MK) dengan keragaman yang cukup besar 45,08 mm dan 246,09 mm (MH) dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau cenderung semakin kering (keragaman besar) dan pada musim hujan cenderung semakin basah (keragaman kecil). Keadaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boer et.al (2004) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan CH musim hujan di wilayah selatan Indonesia khususnya Lampung, Jawa dan sebagaian kawasan Indonesia timur akan semakin basah, sebaliknya CH musim kemarau akan semakin kering. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian utara (Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Sumatera bagian utara) CH musim hujan akan semakin berkurang sedangkan CH musim
kemarau
akan
semakin
basah.
Kondisi
seperti
hal
tersebut
mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Indonesia (Boer et.al, 2004).
105
Ke ragaman CH Bulanan DAS Citarum Wil. Hulu 500 450
CH Bulanan(mm/bln)
400 350 300
m ean+s tdev
250
m ean
200
m ean-s tdev
150 100 50 0 MK
MH
Saguling
MK
MH
MK
Cirata
MH
Jatiluhur
MK
MH
Citarum
Gambar 18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 – 2003.(Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).
b. Debit dan Volume Air Masuk Lokal Debit air masuk lokal (DAML) adalah debit air masuk yang semata-mata bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar 151,98 m³/dt (MK) dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³/dt dan 265,40 m³/dt (MH) dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³/dt dan secara rinci di ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Besarnya keragaman debit dapat memberikan gambaran bahwa telah terjadi fluktuasi DAML terutama yang berubah menjadi debit aliran (run-off). Peningkatan keragaman debit aliran menunjukkan bahwa luas penutup lahan di wilayah DAS hulu semakin menurun dan fraksi CH yamg berubah menjadi aliran permukaan semakin besar (Boer et.al, 2004). Peningkatan luas penutup lahan di wilayah hulu sangat penting artinya bagi penurunan perbedaan debit aliran musim hujan dan musim kemarau, sehingga dapat menekan resiko banjir dan kekeringan. Akan tetapi Pawitan (2004) menyatakan bahwa pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali padang rumput dengan pohon
106 pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 440 mm/th, tetapi juga menurunkan aliran rendah sebesar 15 mm/th. Sehingga disimpulkan bahwa pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site spesific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah pada musim kemarau. Tabel 16. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 19932003. Wilayah Sub DAS Saguling Sub DAS Cirata Sub DAS Jatiluhur DAS Citarum Wil. Hulu
DAML harian (m³/dt) Musim mean-stdev mean mean+stdev MK 42,62 65,15 87,68 MH 92,15 117,20 142,25 MK 47,11 60,25 73,39 MH 84,30 107,88 131,46 MK 3,86 26,58 49,29 MH 11,92 40,32 68,72 MK 107,53 151,98 196,42 MH 203,76 265,40 327,04
stdev 22,53 25,05 13,14 23,58 22,71 28,40 44,45 61,64
Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Dari Tabel 16 dan Gambar 19 diperoleh informasi bahwa keragaman debit MK dan MH Sub DAS Cirata lebih kecil dibandingkan dengan Sub DAS Saguling dan Sub DAS Jatiluhur. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi luas hutan di wilayah Sub DAS Cirata (27,61%) bagian hulu lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Saguling (25,61%) dan sub DAS Jatiluhur (11,82%). Untuk mengetahui degradasi lingkungan di wilayah hulu DAS, karakteristik CH dan DAML serta hubungan keduanya dapat digunakan. Hasil pengolahan data bahwa proporsi curah hujan yang berubah menjadi debit semakin meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan (1993-2003), yaitu pada musim kemarau, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 1,2 mm (25,8%) dengan laju peningkatan per tahun 4,4%, pada musim hujan, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 3,47 mm (42,4%) dengan laju peningkatan per tahun 2,4%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fraksi CH menjadi DAML. Kondisi seperti ini mengindikasikan adanya degradasi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Dari Gambar 20, diperoleh
107 gambaran bahwa waktu yang diperlukan hujan untuk berubah menjadi debit aliran semakin kecil (singkat). Hal ini juga merupakan indikator adanya kerusakan ekosistem di wilayah hulu DAS terutama penurunan luas penutup lahan hutan. Secara grafis, hubungan antara CH harian dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan data sekunder menunjukan bahwa rata-rata DAML harian Sub DAS Saguling sebesar 90,78 m³/dt, Sub DAS Cirata 85,37 m³/dt, Sub DAS Jatiluhur 34,40 m³/dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 210,55 m³/dt. Laju penurunan DAML harian selama periode 1993-2003 di Sub DAS Saguling adalah 5,15% (4.67 m³/dt), Sub DAS Cirata 4,19% (3,57 m³/dt), Sub DAS Jatiluhur 21,43% (7,37 m³/dt) dan DAS Citarum Wilayah Hulu 7,42% (15,62 m³/dt). Untuk mengetahui pengaruh CH terhadap DAML dilakukan uji-t sebagaimana pada Tabel 17. Keragaman DAML DAS Citarum Wil. Hulu 350
300
DAML (m3/dt)
250
200
mean-stdev mean mean+s tdev
150
100
50
MK
MH
Saguling
MK
MH Cirata
MK
MH
Jatiluhur
MK
MH
Citarum
Gambar 19. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003. (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).
108 Karakteristik CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 40 ch daml
35
30
(m m )
25
20
15
10
361
349
337
325
313
301
289
277
265
253
241
229
217
205
193
181
169
157
145
133
121
97
109
85
73
61
49
37
25
1
0
13
5
hari
Karakteristik CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993 70 ch daml
60
(m m )
50
40
30
20
325
337
349
361
325
337
349
361
325
337
349
361
313
313 313
301
301 301
289
277
265
253
241
229
217
205
193
181
169
157
145
133
121
109
97
85
73
61
49
37
25
1
0
13
10
hari
Karakteristik CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 70 ch daml
60
(m m )
50
40
30
20
289
277
265
253
241
229
217
205
193
181
169
157
145
133
121
109
97
85
73
61
49
37
25
1
0
13
10
hari
Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum tahun 1993 30 ch daml 25
(m m )
20
15
10
289
277
265
253
241
229
217
205
193
181
169
157
145
133
121
109
97
85
73
61
49
37
25
1
0
13
5
hari
Gambar 20. Karakteristik CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993
109 Hub. CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993
Hub. CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993
70.00
40.00 Series1 Linear (Series1)
60.00
Series1 Linear (Series1)
30.00
D A M L (m m )
D A M L (m m )
50.00
20.00
40.00
y = 0.4088x + 2.532 R2 = 0.3712
30.00
y = 0.2612x + 2.7118 R2 = 0.227
20.00 10.00
10.00
0.00 0.00
10.00
20.00
30.00
0.00 0.00
40.00
10.00
20.00
30.00
Hub. CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993
30.00
70.00
30.00
35.00
Series1 Linear (Series1)
25.00
D A M L (m m )
D A M L (m m )
60.00
35.00 Series1 Linear (Series1)
50.00
y = 0.1162x + 8.9055 R2 = 0.0294
40.00
30.00
15.00
10.00
10.00
5.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
y = 0.3611x + 2.7566 R2 = 0.3913
20.00
20.00
0.00 0.00
50.00
Hub. CH dan DAML DAS Citarum Tahun 1993
70.00
60.00
40.00 CH (mm)
CH (mm)
0.00 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
CH (mm)
CH (mm)
Gambar 21. Hubungan CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993. Tabel 17. Uji-t pengaruh CH harian terhadap DAML harian periode 1993 - 2003. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter Korelasi R kuadrat Konstanta Koefisien Nilai t Signifikansi
Saguling 0,727 0,529 30,768 0,322 11,978* 0,000
Sub DAS Cirata 0,544 0,295 52,000 0,138 7,327* 0,000
Jatiluhur 0,450 0,203 16,442 0,062 5,702* 0,000
DAS Citarum Wil. Hulu 0,703 0,494 77,674 0,504 11,183* 0,000
Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t-tabel = 1,96.
Dari hasil uji-t tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang kuat dan berpengaruh signifikan baik di masing-masing Sub DAS maupun DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel (1,96). Koefisien regresi menunjukkan tingkat pengaruh curah hujan terhadap DAML. Setiap penambahan curah hujan harian 1 mm, akan menyebabkan peningkatan DAML harian sebesar 0,322 m³/dt (Sub DAS
110 Saguling), 0,138 m³/dt (Sub DAS Cirata), 0,062 m³/dt (Sub DAS Jatiluhur) dan 0,504 m³/dt (DAS Citarum Wilayah Hulu). Pada Tabel 18 disajikan perkembangan VAML di DAS Citarum Wilayah Hulu. Volume air masuk lokal (VAML) rata-rata tahunan adalah sebesar 2.865,29 juta m³ (Sub DAS Saguling), 2.639,85 juta m³ (Sub DAS Cirata), 1.048,66 juta m³ (Sub DAS Jatiluhur) dan 6.553,80 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Tabel 18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu. Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
Saguling 3.589,04 3.101,63 2.933,36 3.003,73 1.701,11 4.025,86 2.701,53 2.506,55 3.477,43 2.424,00 2.053,90 2.865,29
Sub DAS/DAS (juta m³) Cirata Jatiluhur 3.075,24 2.646,24 3.019,67 1.963,18 2.871,28 1.111,38 2.813,42 1.465,32 1.814,91 1.668,12 3.068,10 564,76 2.640,14 352,29 2.175,23 256,95 3.181,68 492,84 2.430,40 692,49 1.948,33 321,71 2.639,85 1.048,66
Citarum Hulu 9.310,52 8.084,47 6.916,02 7.282,46 5.184,14 7.658,72 5.693,96 4.938,73 7.151,95 5.546,89 4.323,94 6.553,80
Sumber : Hasil pengolahan data.
Laju penurunan per tahun VAML berturut-turut adalah sebesar 5,36% (153,51 juta m³), 4,27% (112,69 juta m³), 22,17% (232,45 juta m³), dan 7,61% (498,66 juta m³). Berdasarkan hasil analisa regresi (Tabel 19) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAML harian dengan VAML tahunan, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,998 (Sub DAS Saguling), 0,997 (Sub DAS Cirata), 0,998 (Sub DAS Jatiluhur) dan 0,997 (DAS Citarum Wilayah Hulu). Variabel DAML berpengaruh nyata terhadap VAML di semua wilayah Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dibuktikan dengan nilai thitung yang lebih besar dari t-tabel (1,96). Pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan adalah sebesar 2.613.474 (Sub DAS Saguling), 2.626.993 (Sub DAS Cirata), 2.614.727 (Sub DAS Jatiluhur) dan 2.619.447 (DAS Citarum Wilayah Hulu). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAML harian akan menyebabkan peningkatan VAML tahunan sebesar 2.613.474 m³ (Sub DAS Saguling), 2.626.993 m³ (Sub DAS Cirata), Saguling), 2.626.993 m³ (Sub DAS Cirata), 2.614.727 m³ (Sub DAS
111 Jatiluhur) dan 2.619.447 m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Grafik hubungan CH tahunan, DAML harian dan VAML tahunan disajikan pada Gambar 22 (Sub DAS Saguling), Gambar 23 (Sub DAS Cirata) dan Gambar 24 (Sub DAS Jatiluhur). Tabel 19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter
Sub DAS Cirata 0,997 0,994 -862.568 2.626.993 147,580* 0,000
Saguling 0,998 0,996 485.789,4 2.613.474 180,005* 0,000
Korelasi R kuadrat Konstanta Koefisien Nilai t Signifikansi
Jatiluhur 0,998 0,996 -72.869,0 2.614.727 181,384* 0,000
DAS Citarum Wil. Hulu 0,997 0,993 -130.252 2.619.447 139,434* 0,000
Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05 t tabel = 1,96. CH (mm/th)
CH_DAML_VAML Saguling
DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
0
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
75 150 225
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
300
tahun
Gambar 22. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Saguling. Hasil analisis data dan kecenderugan diperoleh informasi bahwa CH, DAML dan VAML memiliki karakteristik yang hampir seragam (homogen) kecuali pada: 1. Tahun 2001–2002 di Sub DAS Saguling, dengan tingkat CH yang relatif sama dengan tahun sebelumnya menghasilkan DAML dan VAML yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya kerusakan lahan di wilayah hulu Sub DAS Saguling, sehingga memperbesar porsi CH yang langsung menjadi aliran debit (run off)
112 CH (mm/th)
CH_DAML_VAML_Cirata
DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
0 75 150 225
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
300
tahun
Gambar 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Cirata. 2. Tahun 1998–2001 di Sub DAS Jatiluhur, dengan CH yang tinggi menghasilkan DAML dan VAML yang relatif kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya pemakaian air oleh petani untuk sawah tadah hujan baru di wilayah hulu (laju pertumbuhan sawah tadah hujan 17,94% dalam periode 1992-2002). CH (mm/th)
CH_DAML_VAML Jatiluhur
DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
0
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
75 150 225
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
300
tahun
Gambar 24. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Jatiluhur.
113 c. Fluktuasi Debit Perbandingan (fluktuasi) antara debit air masuk lokal maksimum dengan debit air masuk lokal minimum (rasio Qmax-min) juga merupakan ukuran indikator kondisi ekosistem dan lingkungan wilayah hulu DAS. Dari pengolahan data diperoleh rata-rata rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26 (laju kenaikan 5,19%), Sub DAS Cirata 178,66 (laju kenaikan 8,06%) dan Sub DAS Jatiluhur 153,90 (laju kenaikan 3,91%). Nilai rasio Qmax-min yang tinggi (lebih besar dari 40) mengindikasikan wilayah hulu Sub DAS berada pada kondisi yang kritis (Boer, 2004). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu termasuk kritis (buruk). Secara rinci perkembangan rasio Qmax-min dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 20. Pada Gambar 25 disajikan perkembangan rasio Q max-min masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993-2003. Dari Gambar 25 tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio Q max-min meningkat dari tahun ke tahun terutama pada periode 1999 –2003. Hal ini menunjukan bahwa laju kerusakan ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya (1993–1998). Tabel 20. Rasio Qmax-min (1993-2003). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Saguling 44,84 78,8 33,18 45,16 93,12 56,85 40,84 71,51 73,36 80,57 77,65 63,26
Sub DAS Cirata 167,91 185,24 210,7 139,78 167,25 81,85 131,75 152,9 221,91 194,09 311,89 178,66
Jatiluhur 118,01 168,01 102,06 199,01 172,9 114,23 138,39 163,64 164,18 174,36 178,13 153,9
114
Rasio Qmax-min 350
Qmax-min
300 250 Saguling
200
Cirata
150
Jatiluhur
100 50 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Gambar 25. Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-2003. 5.4.2. Karakteristik Air Keluar a. Debit dan Volume Air Keluar Debit air keluar (DAK) dan volume air keluar (VAK) waduk merupakan gambaran besarnya volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan turbin PLTA sesuai dengan rencana operasi. Secara umum dari hasil pengolahan data diketahui bahwa pada periode 1993–2003 DAK rata-rata harian PLTA Saguling adalah 83,59 m3/dt, PLTA Cirata 164,65 m3/dt, PLTA Jatiluhur 178,42 m3/dt dan total 3 PLTA sebesar 426,67 m3/dt, dengan laju penurunan berturut-turut adalah 4,20% (3,51 m3/dt), 4,05% (6,66 m3/dt), 5,86% (10,45 m3/dt) dan 4,83% (20,62 m3/dt) setiap tahun. Pada Tabel 21 disajikan keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu musim hujan dan musim kemarau serta secara grafis pada Gambar 26. DAK harian di 3 waduk memiliki keragaman yang relatif sama antara MK dengan MH yaitu keragaman DAK harian di waduk Saguling adalah 30,21% atau 22,16 m³/dt (MK), 21,03% atau 19,21 m³/dt (MH), waduk Cirata 23,01% atau 34,37 m³/dt (MK), 20,79% (MH) atau 36,26 m³/dt dan waduk Jatiluhur 20,25% atau 35,32 m³/dt (MK) serta 18,74% atau 33,56 m³/dt (MH). Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keragaman DAK harian pada musim kemarau lebih besar
115 daripada musim hujan. Dengan kata lain, dapat mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada DAML dan CH. Tabel 21. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 19932003. Waduk Saguling Cirata Jatiluhur
DAK harian (m³/dt) mean-stdev mean' mean+stdev 51.19 73.35 95.51 72.38 91.65 110.93 115.00 149.38 183.75 138.17 174.43 210.70 136.85 172.17 207.50 144.61 177.97 211.33
Musim MK MH MK MH MK MH
stdev 22.16 19.27 34.37 36.26 35.32 33.36
Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku.
Selain itu, keragaman DAK harian juga dipengaruhi oleh keputusan manajemen PJT II yang mengelola ketiga waduk, terutama bila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Namun demikian, kecilnya keragaman DAK harian dalam musim mengindikasikan bahwa kebutuhan air untuk pertanian padi di wilayah hilir masih dapat dipasok melalui outlet turbin. Keragaman DAK 3 Waduk di DAS Citarum Wil. Hulu
250 m ean-s tdev m ean
DAK(m 3/dt)
200
m ean+s tdev
150
100
50
MK
MH
Saguling
MK
MH Cirata
MK
MH Jatiluhur
Gambar 26. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 – 2003. (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).
116 Tabel 22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA (1993-2003). Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-rata Persentase
Saguling 3030,49 2915,23 2507,14 2407,24 1445,99 3582,20 2535,38 2446,10 3222,18 2479,80 1924,50 2590,57 19,62
PLTA (juta m³) Cirata 5812,39 5887,35 5176,79 5136,43 3161,02 6308,96 4986,86 5,055,04 5771,95 5007,79 3711,14 5092,34 38,57
Jatiluhur 7277,20 6523,06 6105,08 5356,09 4285,19 5688,37 4824,53 5021,81 6019,51 5638,28 3982,69 5520,16 41,81
Total (juta m³) 16120,08 15325,64 13789,01 12899,77 8892,20 15579,53 12346,77 12522,94 15013,64 13125,87 9618,33 13203,07 100,00
Dari Tabel 22 diketahui bahwa VAK yang digunakan untuk memutar turbin pada masing-masing PLTA adalah 2590,57 juta m3 (PLTA Saguling), 5092,34 juta m3 (PLTA Cirata), 5520,16 juta m3 (PLTA Jatiluhur) dan total 3 PLTA 13203,07 juta m3, dengan laju penurunan VAK berturut-turut 4,27% (110,60 juta m3),
4,13% (210,13 juta m3), 5,97% (329,45 juta m3) dan 4,92%
(650,18 juta m3) setiap tahun. Dari hasil sidik ragam (anova) sebagaimana pada Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa VAK di PLTA Jatiluhur berbeda nyata dengan PLTA lainnya. Berdasarkan hasil uji-t (Tabel 23) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAK dengan VAK, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar 0,997 (PLTA Saguling), 0,997 (PLTA Cirata) dan 0,997 (PLTA Jatiluhur). Variabel DAK berpengaruh nyata terhadap VAK di semua PLTA. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel (1.96). Pengaruh DAK terhadap VAK adalah sebesar 2.572.066 (PLTA Saguling), 2.581.403 (PLTA Cirata), 2.616.895 (PLTA Jatiluhur) dan 2.584.969 (3 PLTA). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAK akan menyebabkan peningkatan VAK sebesar 2.572.066 m³ (PLTA Saguling), 2.581.403 m³ (PLTA Cirata), 2.616.895 m³ (PLTA Jatiluhur) dan 2.584.969 m³ (3 PLTA). Grafik hubungan antara CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA disajikan pada Gambar 27, 28 dan 29.
117 Tabel 23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter
Saguling 0,997 0,995 4.012.673 2.572.066 156,350* 0,000
Korelasi R kuadrat Konstanta Koefisien Nilai t Signifikansi
PLTA Cirata 0,997 0,994 6.833.500 2.581.403 145,804* 0,000
Jatiluhur 0,997 0,994 1.961.124 2.616.895 142,972* 0,000
3 PLTA 0,996 0,993 2E+007 2.584.969 130,595* 0,000
Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi 0,05. t tabel = 1.96.
CH (mm/th)
CH_DAK_VAK PLTA Saguling
DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
0
10000 8000
50
6000 100 4000 150
2000 0 2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
200
tahun
Gambar 27. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Saguling. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA memiliki karakteristik yang relatif homogen. Hal ini dapat terjadi disebabkan DAK dan VAK yang keluar dari outlet turbin (yang dipergunakan untuk memutar turbin) diatur dan direncanakan sesuai dengan kapasitas sumberdaya air yang tersedia dalam waduk dan keputusan direksi pengelola (PJT II).
118 CH (mm/th)
CH_DAK_VAK PLTA Cirata
DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
10000
0 100 200 300 400 500 600 700 800
8000 6000 4000 2000 2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
tahun
Gambar 28. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Cirata. CH (mm/th)
CH_DAK_VAK PLTA Jatiluhur
DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th)
12000
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
10000 8000 6000 4000 2000 2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
tahun
Gambar 29. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Jatiluhur. b. Tinggi Duga Muka Air Volume air dalam waduk dapat juga dihitung berdasarkan tinggi duga muka air (DMA) dan volume air dipengaruhi oleh dead storage (kapasitas tampungan mati) dan effective atau life storage (kapasitas tampungan efektif). Semakin tinggi DMA semakin besar volume air yang tersimpan di dalam waduk
119 dengan asumsi laju sedimentasi sangat rendah. Pada Tabel 24 disajikan DMA pada ketiga waduk. Tabel 24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
Saguling 637,36 636,6 634,61 631,76 630,67 635,95 636,67 635,58 651,56 635,04 630,58 636,035
DMA Waduk (m dpl) Cirata 215,64 215,91 216,65 213,81 210,67 214,6 214,61 213,2 215,04 213,65 209,03 213,892
Jatiluhur 108,55 101,24 100,95 101,44 93,26 97,14 99,25 98,28 102,62 100,32 85,82 98,988
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tinggi DMA di ketiga waduk mengalami penurunan per tahun yang bervariasi yaitu Waduk Saguling 0,678 m, Waduk Cirata 0,661 m dan Waduk Jatiluhur 2,273 m. Penurunan DMA sebesar itu perlu diwaspadai mengingat perbedaan antara DMA rata-rata dengan DMA batas operasi ketiga waduk tidak besar (7,792 m – 23,988 m). Apabila penurunan DMA tersebut terus berlangsung dikhawatirkan DMA batas operasi akan tercapai dan menghentikan fungsi waduk sebagai pembangkit energi listrik. Apabila diasumsikan laju sedimentasi waduk sangat rendah, maka dalam waktu yang singkat DMA batas operasi akan tercapai (Waduk Saguling 14,8 tahun, Waduk Cirata 11,78 tahun dan Waduk Jatiluhur 10,55 tahun) sebagai akibat penurunan volume air dalam waduk yang terus berlangsung, walaupun perencanaan tingkat produksi listrik disesuaikan dengan ketersediaan air dalam waduk dan keputusan manajemen Indonesia Power. Pengaturan tingkat produksi energi listrik tersebut sangat diperlukan mengingat ketiga waduk merupakan waduk seri (cascade) dan banyaknya jenis penggunaan air terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, kebutuhan industri, PDAM dan lain sebagainya di wilayah hilir seperti Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan DKI Jakarta. Keadaan
120 kritis tersebut telah menyebabkan kurang maksimalnya PLTA berproduksi bahkan tidak beroperasi sama sekali, terutama pada musim kemarau. Frekuensi terjadinya DMA kritis di ketiga waduk disajikan pada Tabel 25, dan secara grafis pada Gambar 30. Tabel 25. Frekuensi Terjadinya DMA Kritis Frekuensi DMA harian/tahun Saguling Cirata Jatiluhur Kali (%) Kali (%) Kali (%) 365 23 6,30 0,00 0,00 365 28 7,67 1 0,27 0,00 365 14 3,84 0,00 0,00 366 5 1,37 0,00 0,00 365 51 13,97 8 2,19 0,00 365 0,00 0,00 0,00 365 0,00 0,00 0,00 366 5 1,37 0,00 0,00 365 4 1,10 0,00 0,00 365 40 10,96 0,00 0,00 365 36 9,86 0,00 0,00 206 9 0 Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00 m di atas permukaan laut).
No
Tahun Produksi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
(Keterangan :
Jumlah Hari
Dari Tabel 25 tersebut, diketahui bahwa selama periode 1993 – 2003, PLTA Saguling mengalami 206 kali (frekuensi) tidak beroperasi maksimal dan pada tahun 1997 dan 2002 merupakan kejadian tertinggi (51 dan 40 kali) dalam setahun, disusul oleh PLTA Cirata sebanyak 9 kali ( 8 kali pada tahun 1997). Tingginya frekuensi tidak beroperasinya PLTA secara maksimal pada tahun 1997 disebabkan rendahnya volume air waduk (rendahnya CH pada tahun dimaksud) karena merupakan tahun terjadinya El-Nino. Disisi lain, PLTA Jatiluhur tidak mengalami DMA kritis. Hal ini terjadi dikarenakan pengelolaan 3 waduk merupakan cascade (seri) yang kewenangan pengelolaannya diberikan kepada PJT II dan posisinya berada pada paling bawah. PJT II dapat meminta kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk mengirimkan air baik untuk kebutuhan PLTA Jatiluhur sendiri maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian di wilayah hilir.
121
DMA Saguling
DMA DMA Minimum
660
DMA Efektif
(m dpl)
650 640 630 620 610
Dec
Nov
Oct
Sep
Aug
Jul
Jun
May
Apr
Mar
Feb
Jan
600
Bulan
DMA Cirata
DMA DMA Minimum DMA Efektif
225.00 220.00 (m dpl)
215.00 210.00 205.00 200.00 195.00 Dec
Nov
Oct
Sep
Aug
Jul
Jun
May
Apr
Mar
Feb
Jan
190.00
Bulan
DMA Jatiluhur
DMA DMA Minimum DMA Efektif
120 110
(m dpl)
100 90 80 70
Dec
Nov
Oct
Sep
Aug
Jul
Jun
May
Apr
Mar
Feb
Jan
60
Bulan
Gambar 30. Grafik DMA rata-rata bulanan pada musim kemarau (AprilSeptember) dan musim hujan (Oktober-Maret) di ketiga waduk pada periode 1993 – 2003. (Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626,00 m, Waduk Cirata + 206,10 m, dan Waduk Jatiluhur + 75,00 m di atas permukaan laut).
Dari Gambar 30 diketahui pula bahwa PLTA Saguling mengalami DMA diatas batas operasi (DMA banjir) yang terjadi pada bulan Maret – Mei. Pengelola Waduk Saguling mengeluarkan air dengan membuka saluran pengeluaran
122 (spillway) baik diminta oleh PJT II maupun tidak. Akan tetapi, PLTA Saguling mengalami masalah DMA kritis pada bulan Oktober – November setiap tahun selama periode pengamatan (1993 – 2003). Pada pertengahan bulan Juni – Agustus merupakan masa DMA kritis bagi PLTA Cirata, karena pada bulan-bulan tersebut PLTA Cirata tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan tidak dapat beroperasi. Naiknya DMA Waduk Cirata pada menjelang September (bulan kemarau) disebabkan adanya kiriman air dari Waduk Saguling. Rendahnya DMA operasi Waduk Jatiluhur pada musim hujan dan musim kemarau lebih disebabkan adanya kebijakan PJT II untuk mengutamakan pemenuhan irigasi pertanian padi sawah di wilayah hilir (musim tanam rendeng dan gadu). Walaupun secara umum ketiga waduk pada periode pengamatan 1993 – 2003 masih berada pada selang batas operasi, namum kecenderungan penurunan tinggi DMA dari waktu ke waktu terus berlangsung. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan keberlanjutan produksi energi listrik di masa-masa yang akan datang. 5.4.3. Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Simulasi GR4J. a. Validasi model GR4J tahun 1993 dan tahun 2003 Karakteristik hidrologis dapat dipelajari lebih lanjut dengan prediksi melalui aplikasi model simulasi GR4J. Untuk mendapatkan parameter model dilakukan validasi dengan menggunakan data tahun 1993. Data yang dibutuhkan meliputi data curah hujan, evaporasi (ETP) harian dan debit air masuk lokal (DAML) harian. Data ETP diambil dari hasil pengukuran UBP Saguling terhadap waduk Saguling, curah hujan dan debit diambil dari hasil pengukuran masingmasing Sub DAS (secara rinci dapat dilihat pada Bab 5.3.1). Hasil validasi parameter model tahun 1993 dan 2003 Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash lebih besar dari 50%. Untuk membandingkan dua DAS (DAS inisial 1993 dengan DAS simulasi 2003), koefisien kemiripan (Nash) sering digunakan (Andresian et.al, 2003). Menurut Perrin et.al (2003), wilayah DAS yang memiliki Koefisien Nash lebih besar dari 50% dapat menggambarkan kemiripan antara data pengukuran dan hasil simulasi.
123 Dengan kata lain, model yang dibangun dapat menjelaskan keadaan nyata (fakta). Parameter model hasil validasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993. No
Parameter
1.
X1
2.
X2
3.
X3
4.
X4
Kapasitas maksimum simpanan produksi Koefisien tukar air Kapasitas maksimum simpanan pengalihan Waktu dasar hidrograf satuan
Sub DAS Saguling 1993 2003
DAS Citarum Wilayah Hulu 1993 2003
mm
84,14
2270,89
2472,87
2085,28
mm
7,23
1,15
6,47
1,00
mm
256,59
61,71
198,81
48,49
hari
1,41
2,13
0,51
1,17
Satuan
Dari hasil simulasi GR4J diperoleh informasi bahwa DAML Sub DAS Saguling mengalami penurunan per tahun sebesar 2,62 m3/dt, sub DAS Cirata naik 0,24 m3/dt, sub DAS Jatiluhur naik 0,12 m3/dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu naik sebesar 1,48 m3/dt selama 10 tahun (1993-2003), atau -2,62 m3/dt (Sub DAS Saguling) dan 1,48 m3/dt (DAS Citarum Wilayah Hulu) per tahun. Penurunan DAML tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah yang bersangkutan. Hasil simulasi terhadap DAML di DAS disajikan pada Tabel 27. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi di Sub DAS Saguling. (t-hit < t tab 1,96). Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Demikian pula di DAS Citarum Wilayah Hulu, analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hit < t tab (-0,072 < 1,96). Dengan kata lain hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Karakteristik DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu disajikan pada Gambar 31.
124 Tabel 27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Debit pengukuran dan debit simulasi (m³/dt) Saguling
NO
Cirata DSDP
DP
Jatiluhur DSDP
DP
DAS Citarum
DS
DSDP
DP
DS
DSDP 3,78
DP
DS
1
110,03
100,20
-9,83
97,52
100,18
2,67
84,00
86,39
2,39
291,25
295,04
2
98,19
96,60
-1,59
95,75
91,30
-4,45
61,63
65,83
4,19
255,37
262,99
7,62
3
93,02
94,24
1,23
91,05
91,15
0,10
35,36
34,12
-1,24
219,31
221,33
2,02
4
95,26
95,38
0,12
89,25
93,94
4,69
46,64
45,99
-0,65
230,99
235,67
4,68
5
53,94
51,56
-2,38
57,55
57,71
0,16
53,08
52,86
-0,22
164,39
166,65
2,27
6
127,66
128,58
0,92
97,29
98,66
1,38
17,97
18,35
0,38
242,86
239,50
-3,36
7
85,67
86,53
0,87
83,72
83,71
-0,01
11,21
11,62
0,41
180,55
185,36
4,81
8
79,61
81,28
1,66
69,21
69,09
-0,11
8,21
7,60
-0,61
157,00
155,35
-1,64
DS
9
110,27
85,58
-24,68
100,89
97,75
-3,14
15,68
15,35
-0,34
226,79
221,27
-5,51
10
76,89
78,79
1,90
77,07
78,36
1,29
22,03
20,82
-1,22
175,91
173,63
-2,28
11 Ratarata Jumlah QS-QP
65,13
68,15
3,02
61,78
61,85
0,07
10,24
8,50
-1,74
137,11
140,96
3,84
90,51
87,90
-2,62
83,73
83,97
0,24
33,28
33,40
0,12
207,41
208,89
1,48
-31,39
2,88
1,49
17,70
Keterangan : DP=debit pengamatan. DS=debit simulasi
Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan DAML simulasi 1993 dengan simulasi 2003 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dari Gambar 30 tersebut dapat disimpulkan bahwa DAML simulasi tahun 1993 memiliki karakter yang relatif homogen dengan simulasi tahun 2003 dan DAML 1993 lebih besar daripada DAML 2003. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan DAML selama periode pengamatan (1993-2003), yang diduga disebabkan oleh degradasi kualitas lingkungan wilayah hulu DAS Citarum. Sedangkan dari Gambar 32 diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara DAML simulasi tahun 1993 dengan 2003 yang dibuktikan dengan nilai korelasi (R²) yang di atas 50% kecuali sub DAS Jatiluhur.
125 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Saguling Tahun 1993 dan 2003 30 DAML 1993 DAML 2003 25
D A M L(m m )
20
15
10
3945
3829
3713
3597
3481
3365
3249
3133
3017
2901
2785
2669
2553
2437
2321
2205
2089
1973
1857
1741
1625
1509
1393
1277
1161
929
1045
813
697
581
465
349
233
1
0
117
5
Hari
Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Cirata Tahun 1993 dan 2003 160 DAML 1993 DAML 2003 140
120
D A M L(m m )
100
80
60
40
3979
3862
3745
3628
3511
3394
3277
3160
3043
2926
2809
2692
2575
2458
2341
2224
2107
1990
1873
1756
1639
1522
1405
1288
1171
1054
937
820
703
586
469
352
235
1
0
118
20
Hari
Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 dan 2003 70 DAML 1993 DAML 2003 60
D A M L(m m )
50
40
30
20
3829
3945
3829
3945
3713
3597
3481
3365
3249
3133
3017
2901
2785
2669
2553
2437
2321
2205
2089
1973
1857
1741
1625
1509
1393
1277
1161
1045
929
813
697
581
465
349
233
1
0
117
10
Hari
Karakteristik DAML Simulasi DAS Citarum Tahun 1993 dan 2003 45 DAML 1993 DAML 2003
40
35
D A M L(m m )
30
25
20
15
10
3713
3597
3481
3365
3249
3133
3017
2901
2785
2669
2553
2437
2321
2205
2089
1973
1857
1741
1625
1509
1393
1277
1161
1045
929
813
697
581
465
349
233
1
0
117
5
Hari
Gambar 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan 2003.
126 Hubungan DAML Sub DAS Saguling tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
Hubungan DAML Sub DAS Cirata tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
30
140 Series1 Linear (Series1)
Series1 Linear (Series1)
y = 1.4265x - 3.4463 2 R = 0.9302
120
25
100
D A M L (m m )
D A M L (m m )
20
15 y = 0.3574x + 0.9907 2 R = 0.737
80
60
10 40
5 20
0
0
0
5
10
15
20
25
30
0
20
40
60
80
100
120
140
Hubungan DAML DAS Citarum tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi
Hubungan DAML Sub DAS Jatiluhur tahun 1993 dan 2003 hasil simulasi 45
70
Series1 Linear (Series1)
Series1 Linear (Series1)
40
60 35 y = 0.8933x - 0.6482 2 R = 0.8437
50
40
D A M L (m m )
D A M L (m m )
30
y = 0.4861x - 2.129 2 R = 0.3068
30
25
20
15 20 10 10 5
0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Gambar 32. Hubungan DAML Simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1993 dan 2003. b. Neraca Air DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil Simulasi Untuk menduga volume air yang terdapat di DAS Citarum Wilayah Hulu, dilakukan simulasi terhadap debit pengukuran maupun debit simulasi dikali luas masing-masing wilayah. VAML hasil simulasi 1993-2003 adalah 7,426 milyar m³ atau 658,746 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu) dan 3,049 milyar m3 atau 907,32 juta m3 (Sub DAS Saguling) per tahun. Jumlah selisih QS-QP Sub DAS Saguling adalah sebesar 907,32 juta m3 dan DAS Citarum Wilayah Hulu 511,82 juta m3. Penurunan DAML dan VAML tersebut diduga disebabkan adanya perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 28.
45
127 Tabel 28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. No
Tahun
1 1993 2 1994 3 1995 4 1996 5 1997 6 1998 7 1999 8 2000 9 2001 10 2002 11 2003 Jumlah Rata-Rata
Sub DAS Saguling ( juta m³) QP QS QS-QP 3.469,75 3.159,79 -309,96 3.096,55 3.046,31 -50,25 2.933,36 2.972,05 38,70 3.004,24 3.008,04 3,80 1.701,11 1.626,00 -75,11 4.025,86 4.054,83 28,97 2.701,53 2.728,83 27,30 2.510,71 2.563,12 52,41 3.477,43 2.699,00 -778,43 2.424,69 2.484,59 59,90 2.053,90 2.149,25 95,36 31.399,12 30.491,80 -907,32 2.854,47 2.771,98 -82,48
DAS Citarum Wil. Hulu (juta m³) QP QS QS-QP 9.185,00 9.304,30 119,30 8.053,27 8.293,60 240,33 6.916,02 6.979,87 63,86 7.284,64 7.432,18 147,54 5.184,14 5.255,62 71,48 7.658,72 7.552,79 -105,93 5.693,96 5.845,56 151,60 4.951,05 4.899,25 -51,80 7.151,95 6.978,12 -173,83 5.547,58 5.475,61 -71,97 4.323,94 4.445,18 121,24 71.950,25 72.462,07 511,82 6.540,93 6.587,46 46,53
Keterangan : QP = VAML pengukuran, QS = VAML simulasi.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di Sub DAS Saguling. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (0,300 < 1,96). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (-0,072 < 1,96). Dengan demikian hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Melalui uji statistik tersebut diketahui bahwa nilai DAML dan VAML pengukuran dan simulasi menyerupai hasil pengukuran langsung di lapangan. Dengan demikian, simulasi yang dibangkitkan berdasarkan validasi parameter model tahun 1993 (inisial) mampu menjelaskan parameter model tahun 2003 (simulasi). Perbedaan (selisih) DAML dan VAML antara 2003 dan 1993 diduga disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Grafik volume air hasil simulasi ditampilkan pada Gambar 33.
128
VAML Simulasi (juta m3)
5,000 4,000
QP SGL QS SGL
3,000
QP CRT QS CRT
2,000
QP JTL QS JTL
1,000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Gambar 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 – QP03).
5.4.4. Volume Sedimen a. Berdasarkan hasil pemeruman (pengukuran) Tingkat sedimentasi pada badan air (sungai dan waduk) dapat dijadikan ukuran kondisi biofisik lahan di wilayah hulu terutama penutup lahannya (land coverage). Pengolahan data terhadap laju sedimentasi dari hasil pemeruman di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 34. Sedimentasi merupakan proses alam yang mengendapkan butiran atau partikel tanah atau batuan sebagai akibat terjadinya erosi. Laju sedimentasi dapat diperoleh dengan menghitung total volume sedimen dibagi dengan luas Sub DAS dibagi jumlah tahun. Dari ketiga Tabel tersebut diketahui bahwa laju sedimentasi waduk Saguling sejak tahun 1985 s/d 2004 rata-rata sebesar 1,286 mm/th, waduk Cirata sejak tahun 1987 s/d 2002 rata-rata sebesar 1,607 mm/th dan waduk Jatiluhur sejak tahun 1987 s/d 2000 rata-rata sebesar 0,361 mm/th.
129 Tabel 29. Perkembangan volume sedimen di tiga waduk . No
Tahun
1
Akumulasi volume sedimen waduk (juta m³)* Saguling
Selisih
Cirata
Selisih
Jatiluhur
Selisih
Total
Selisih
1993
25,57
4,16
21,93
6,39
487,50
12,25
535,00
22,80
2
1994
29,73
4,18
28,32
0,00
499,75
12,25
557,80
16,43
3
1995
33,91
4,17
28,32
6,39
512,00
2,00
574,23
12,56
4
1996
38,08
4,10
34,71
12,78
514,00
2,00
586,79
18,88
5
1997
42,18
4,14
47,49
5,11
516,00
2,00
605,67
11,25
6
1998
46,32
4,14
52,60
5,11
518,00
2,00
616,92
11,25
7
1999
50,45
4,69
57,71
5,11
520,00
2,00
628,16
11,80
8
2000
55,14
4,30
62,82
5,87
522,00
2,00
639,96
12,17
9
2001
59,44
4,19
68,69
3,23
524,00
2,00
652,13
9,42
10
2002
63,63
3,81
71,92
5,00
526,00
2,00
661,55
2,00
11 2003 Rata-rata/th
67,44 46.54
4,19
76,92 50,13
5,50
528,00 515,20
4,05
663,55 611,07
12,86
Keterangan : * Pengolahan data sedimen hasil pemeruman (pengukuran).
Laju sedimentasi waduk Jatiluhur periode 1964-1987 sangat tinggi (3,811 mm/th) disebabkan belum beroperasinya waduk Saguling dan Cirata (Saguling beroperasi 1987 dan Cirata beroperasi tahun 1988), secara drastis menurun 1987 s/d 1995 menjadi 0,830 mm/th dan 0,056 mm/th pada 1995 - 2000 atau 0,361 mm/th (1987-2000). Akumulasi Sedimen
Sedimen (juta m3)
750 625 Saguling
500
Cirata
375
Jatiluhur
250
Total
125 2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
Tahun
Gambar 34. Perkembangan volume sedimen waduk hasil pemeruman tahun 1993 - 2003. Keterangan : Sedimen Citarum Wilayah Hulu = total sedimen di 3 waduk. (data merupakan hasil pengolahan)
130 Tingkat laju sedimentasi yang terjadi di waduk Saguling berada di atas ambang batas perencanaan waduk (1,0 mm/th), waduk Cirata mendekati ambang batas (1,78 mm/th) dan waduk Jatiluhur di bawah ambang batas (1,0 mm/th). Tingginya laju sedimentasi pada waduk akan menyebabkan penurunan umur pakai (service life) dari bendungan dan menurunkan produktivitas operasional turbin PLTA. Basiran (1990) menyatakan bahwa umur pakai bendungan Jatiluhur bertambah 96 tahun (menjadi 277,5 tahun) dari perencanaan semula, disebabkan telah beroperasinya waduk Saguling dan Cirata. Kedua waduk tersebut telah berfungsi sebagai penangkap sedimen (sedimen trap) sehingga memperpanjang umur pakai waduk. Umur pakai waduk diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk mengisi zona tampungan mati (dead storage) bendungan. b. Berdasarkan hasil simulasi Sedimen pada sungai (waduk) dapat diduga dengan menggunakan volume air hasil simulasi model GR4J, dengan beberapa asumsi sebagaimana pada Tabel 30. Hasil dugaan sedimen di tiga Sub DAS yang ada di DAS Citarum wilayah hulu dan perkembangannya dari 1993 – 2003 ditampilkan pada Tabel 31.
Tabel 30. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu. No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan Lahan Hutan Sawah Tadah Hujan Sawah Irigasi Permukiman Kebun/Perkebunan Tegalan
Ep Saguling 0,13 0,33 0,33 0,03 8,40 22,02
EP Cirata 0,24 0,4 0,4 0,02 15,4 61,31
EP Jatiluhur 0,14 1,45 1,45 0,15 36,86 40,05
Ep Citarum 0,17 0,62 0,59 0,05 18,66 34,76
CP
SDR
0,01 0,02 0,02 0,00 0,12 0,23
0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
Sumber : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) sama dengan erosi permukaan lapang, berdasarkan penelitian Sutono et. al (2003) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) sama dengan volume air masuk lokal hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP), berdasarkan hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) serta EXSA dan ECI (1989) dalam Asdak (2004) dan Amarjan (2003). 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS atau luas per penggunaan lahan sesuai dengan hasil interpretasi peta.
131 Tabel 31. Volume sedimen hasil simulasi. No
Volume Sedimen Hasil Simulasi per Sub DAS-DAS (juta m³)
Tahun
1 1993 2 1994 3 1995 4 1996 5 1997 6 1998 7 1999 8 2000 9 2001 10 2002 11 2003 Rata-rata
Saguling
Selisih
28,85 36,20 43,51 50,82 57,03 64,95 72,01 79,51 86,71 93,64 99,94 64,83
7,35 7,31 7,31 6,21 7,92 7,06 7,50 7,20 6,93 6,30 7,11
Cirata
Selisih
Jatiluhur
Selisih
27,05 38,12 42,80 53,99 70,34 80,44 90,12 99,24 110,27 117,82 126,53 77,88
11,07 4,68 11,19 16,35 10,10 9,68 9,12 11,02 7,55 8,72
491,74 507,52 522,09 526,90 531,93 535,32 538,45 541,30 544,65 548,29 551,20 530,85
15,79 14,57 4,81 5,03 3,39 3,13 2,86 3,35 3,64 2,91
9,95
5,95
Citarum Wil Hulu 546,49 579,94 605,87 628,29 655,04 676,21 695,85 715,13 736,67 754,10 763,08 668,79
Selisih 33,44 25,93 22,43 26,75 21,17 19,64 19,27 21,55 17,42 8,98 21,66
3
Keterangan : Hasil simulasi, volume sedimen (ton) dapat dikonversi menjadi m dengan membagi sebesar 1,3 kali. Simulasi dengan menggunakan volume air masuk lokal hasil model GR4J dan rumus sedimentasi Sa’ad (2002).
Dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa volume sedimentasi hasil simulasi lebih tinggi bila dibandingan dengan hasil pengukuran walaupun menurut hasil simulasi GR4J, kedua wilayah (Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu) memiliki koefisien Nash-nya melebihi 50% (memiliki kemiripan yang tinggi, menurut Andressian, 2003). Dengan demikian, berkaitan dengan pendugaan volume sedimen DAS inisial 1993 memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan DAS 2003 (simulasi). Dari hasil pengolahan data pemeruman (pengukuran) dan simulasi didapatkan informasi bahwa laju sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m3/th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m3/th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m3/th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m3/th. Laju sedimentasi Waduk Saguling sebesar 4,19 juta m3/th tersebut sesuai dengan pendapat Asdak (2007) yang menyatakan bahwa rata-rata laju sedimentasi di waduk Saguling adalah sebesar 4,0 juta m3/th. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman (3 waduk) dengan volume sedimen hasil simulasi (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003) berdasarkan tahun inisial 1993 disajikan pada Gambar 35.
132
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Cirata
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Saguling SP
SP
SS
110
S e d im e n ( ju t a m 3 )
120
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
100 80 60 40 20 2002
2003 2003
2001
2000
1999
1997
1998
2001
2000
Tahun
1999
2003
2002
2001
2000
Tahun
1999
1998
1997
1996
1995
440
1998
460
1997
480
1996
500
1995
520
SS
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1994
Sed im en (ju ta m 3)
540
1994
1996
SP
560
1993
1995
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Citarum
SS
1993
SP
Tahun
2002
Perbandingan Sedimen Pemeruman-Simulasi Jatiluhur
1994
1993
0 T ahun
Sed im en (ju ta m 3)
SS
140
Gambar 35. Grafik perbandingan antara volume sedimen hasil pemeruman (3 waduk) dengan volume sedimen hasil simulasi (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata, Sub DAS Jatiluhur dan DAS Citarum Wilayah Hulu, 1993-2003) berdasarkan tahun inisial 1993. Tingginya laju sedimentasi tersebut mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai akibat semakin tingginya konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain sehingga memperluas permukaan kedap air yang menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah dan meningkatkan aliran permukaan (Pawitan, 2002 dalam Suryani et.al 2005). Sutono et.al (2003) dalam Kurnia et.al (2003) menyatakan bahwa sesuai dengan hasil penelitian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap erosi di DAS Citarum, lahan hutan yang berubah menjadi kebun campuran meningkatkan erosi 4 – 10 ton/ha/th. Peningkatan erosi tersebut akan meningkatkan sedimen di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
5.5. Simpulan CH di DAS Citarum Wilayah Hulu rata-rata pada musim kemarau adalah 118,35 mm dengan keragaman 45,08 mm dan musim hujan 246,09 mm dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa pada musim
133 kemarau cenderung semakin kering (keragaman besar) dan pada musim hujan cenderung semakin basah (keragaman kecil). Debit harian air masuk lokal (DAML) periode 1993-2003 mengalami penurunan sebesar 4,67 m³/dt atau 5,15% (Sub DAS Saguling), 3,57 m³/dt atau 4,19% (Sub DAS Cirata), 7,37 m³/dt atau 21,43% (Sub DAS Jatiluhur) dan secara keseluruhan 15,62 m3/dt atau 7,42% (DAS Citarum Wilayah Hulu) per tahun. DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada musim kemarau adalah 151,98 m³/dt dengan keragaman 44,45 m³/dt dan musim hujan 265,40 dengan keragaman 61,64 m³/dt. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi berkurangnya fraksi hujan yang berubah menjadi debit aliran dan menurunnya luas penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS. Volume air masuk lokal (VAML) mengalami penurunan 153,51 juta m3 atau 5,36% (Sub DAS Saguling), 112,69 juta m³ atau 4,27% (Sub DAS Cirata), 232,45 juta m³ atau 22,17% (Sub DAS Jatiluhur) dan 498,66 juta m³ atau 7,61% (DAS Citarum Wilayah Hulu). Peningkatan 1 m³/dt DAML akan menyebabkan peningkatan VAML sebesar 2.613.474 m³ (Sub DAS Saguling), 2.626.993 m³ (Sub DAS Cirata), 2.614.727 m³ (Sub DAS Jatiluhur) dan 2.619.447 m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Rata-rata nilai rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26, Sub DAS Cirata 178,66, Sub DAS Jatiluhur 153,90 dan keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 131,94. Nilai rasio Qmax-min seperti ini mengindikasikan kondisi penutup lahan hutan di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sangat buruk. Penambahan luas hutan menurunkan nilai rasio Qmax-min sedangkan penambahan luas permukiman menaikkan nilai rasio Qmax-min. Debit air keluar (DAK) harian mengalami penurunan per tahun sebesar 3,51 m³/dt atau 4,2% (PLTA Saguling), 6,66 m³/dt atau 4,05% (PLTA Cirata), 10,45 m³/dt atau 5,86% (PLTA Jatiluhur) dan 20,62 m³/dt atau 4,83% ( 3 PLTA). Volume air keluar (VAK) mengalami penurunan sebesar 110 juta m³ atau 4,27% (PLTA Saguling), 210,12 juta m³ atau 4,13% (PLTA Cirata), 329,43 juta m³ atau 5,97% (PLTA Jatiluhur) dan 650,18 juta m³ atau 4,92% (3 PLTA). DAK harian rata-rata pada musim kering di ketiga waduk berturut-turut adalah 73,35 m³/dt
134 (Saguling), 149,38 m³/dt (Cirata) dan 172,17 m³/dt (Jatiluhur), sedangkan pada musim hujan adalah 91,65 m³/dt (Saguling), 174,43 m³/dt (Cirata), dan 177,79 m³/dt (Jatiluhur). Keragaman DAK musim kemarau lebih besar daripada musim hujan. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada debit air masuk lokal dan curah hujan. Hasil simulasi terhadap DAML dan VAML menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan hasil pengukuran (hasil simulasi menyerupai hasil pengukuran di lapangan). Dengan kata lain, model GR4J yang dikembangkan dengan menggunakan parameter hasil validasi tahun 1993 memiliki tingkat validitas yang tinggi. Kemiripan antara simulasi dengan pengamatan ditunjukkan dengan nilai koefisien Nash lebih besar dari 50%. (Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu). Artinya, DAS inisial 1993 memiliki kemiripan yang tinggi dengan DAS simulasi 2003. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 1993-2003 terjadi penurunan debit 46,75 mm (Sub DAS Saguling) dan 88,62 mm (DAS Citarum Wilayah Hulu) per tahun. Kehilangan volume air selama 10 tahun (1993-2003) adalah 1,32 miliar m³ di Sub DAS Saguling dan 4,739 miliar m³ di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini diduga disebabkan oleh perubahan penutup lahan (kondisi biofisik) DAS Citarum Wilayah Hulu. Laju sedimentasi yang terjadi di Sub DAS Saguling adalah 4,19 – 7,11 juta m3/th, Sub DAS Cirata 5,50 – 9,95 juta m3/th, Sub DAS Jatiluhur 4,05 – 5,95 juta m3/th dan DAS Citarum Wilayah Hulu 12,86 – 21,66 juta m3/th. Tingkat sedimentasi tersebut berada di atas ambang batas perencanaan waduk Saguling (1,0 mm/th), mendekati ambang batas waduk Cirata (1,78 mm/th) dan di bawah ambang batas perencanaan Waduk Jatiluhur (1,0 mm/th). Tingginya laju sedimentasi di ketiga waduk diduga disebabkan oleh penurunan luas penutup lahan terutama hutan dan tanaman tahunan serta peningkatan luas permukiman di masing-masing Sub DAS.
6. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KUALITAS AIR
6.1. Latar Belakang Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan (kualitas air) yang terdapat disuatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem tersebut. Kecuali itu, penurunan kualitas air juga mempengaruhi dayaguna sumberdaya air bagi pengguna jasa di wilayah hilir baik untuk penggunaan domestik, industri maupun sebagai sumber energi pembangkitan. Penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan pencemaran lingkungan dari berbagai sumber pencemar di wilayah hulu. Perubahan penutup lahan menimbulkan erosi dan sedimentasi, sedangkan sumber pencemar antara lain industri, pertanian, perikanan, rumah tangga, transportasi dan lain-lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap karakteristik kualitas air sungai dan Waduk Citarum baik aspek fisik, kimia maupun biologi.
6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data sekunder kualitas air dilakukan di kantor UBP Saguling, PJB UP Cirata, Perum Jasa Tirta II, Kantor PDAM Purwakarta dan Bagian Produksi PT. Thames PAM Jaya. Pengambilan data primer dilakukan di 7 titik yaitu inlet Waduk Saguling bagian hulu, outlet PLTA Saguling, inlet Waduk Cirata bagian hulu, outlet PLTA Cirata, inlet Waduk Jatiluhur bagian hulu (inlet PDAM Purwakarta) dan inlet PT. Thames PAM Jaya. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Kimia, Fisik dan Lingkungan, Jurusan Kimia, FMIPA, IPB Bogor. Penelitian karakteristik kualitas air dilakukan mulai bulan Juni 2006 sampai September 2006.
136 6.3. Bahan dan Metode Bahan yang diperlukan untuk menganalisis kimia air adalah data sekunder dan data primer. Jenis dan sumber data sekunder adalah : 1. Laporan hasil pemantauan kualitas air triwulanan Waduk Saguling (1994-2003), Waduk Cirata (1994-2003), Waduk Jatiluhur (1993-2003), kualitas air baku (intake) PDAM Purwakarta (1999-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (2001-2005). 2. Laporan hasil penelitian pihak ketiga dan Bagian Lingkungan masing-masing PLTA. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan dan pengukuran contoh air pada lokasi : 1. Inlet dan outlet Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. 2. Intake PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Parameter kimia air dan metode analisis serta alat yang digunakan ditampilkan pada Tabel 32. Hasil pengolahan data sekunder dan primer tersebut dibandingkan dengan standar baku mutu lingkungan (BML) sebagai pembanding Saeni (1989) dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air.
6.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Kualitas Air Kualitas air waduk sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan DTA wilayah hulu, sedangkan kualitas lingkungan wilayah hulu dipengaruhi oleh perubahan pada penutup lahan dan penggunaan dari lahan itu sendiri. Keragaman limbah (polusi) dan intensitasnya akan mempengaruhi kehidupan biologi perairan (Odum, 1996), proses teknis pembangkitan energi listrik (Litbang PJT-II, 2003) dan proses penjernihan air baku PDAM. Pengolahan data sekunder dan primer terhadap parameter kualitas air ditampilkan pada Tabel 33 sampai Tabel 37.
137 Tabel 32. Parameter kualitas air yang diukur pada PLTA dan PDAM. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Parameter
Satuan
Fisik Suhu Padatan terlarut Padatan tersuspensi Daya hantar listrik Warna Bau Kekeruhan Rasa Kimia pH N sebagai NH3, NO2 ⎯,dan NO3 ⎯ Boron Kadmium Khrom (6) Tembaga H2S (Sulfida) H2SO4 Kesadahan Ca CO3 Mg++ Fe++ Timbal Air raksa Seng Selenium Nikel Arsen Sianida Mikrobiologi Fecal coliform (Eschericia coli) Total coliform
o
C mg/l mg/l µ mhos/cm Unit Pt.Co NTU mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN / 100 ml MPN /100 ml
PLTA
PDAM
V X X V X X X
V V V V V V V
X
V
V X
V V X V V V V V V V V V V V
V V V V X X X V X V V X X V V X X X
Metode Analisis dan Alat Termometer Gravimetri Gravimetri Konduktometri Colorimetri Turbidimetri -
V X V V
pH Meter Brusin Sulfat AAS AAS AAS AAS Iodometri Titrimetri Titrimetri EDTA AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS
V V
MPN MPN
Keterangan : V = dianalisa, dan X = tidak dianalisa
Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap kehidupan biota dan proses teknis PLTA dan PDAM dapat digolongkan menjadi parameter kualitas fisik,
kimia
dan
biologi.
Hasil
pengolahan
dan
interpretasi
data
(primer dan sekunder) diperoleh informasi bahwa secara umum telah terjadi penurunan kualitas air di ketiga waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) dan PDAM (PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta).
138 Penurunan kualitas air waduk Saguling jauh lebih berat dibandingkan dengan waduk Cirata dan Jatiluhur. Tabel 33. Perubahan kualitas air Waduk Saguling. Kualitas Air No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Parameter Suhu Zat tersuspensi DHL Kekeruhan pH DO COD BOD5 Air Raksa (Hg) Nikel (Ni) Tembaga (Cu) Khrom Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Arsen (As) Boron (B) Mangan (Mn)
Satuan ºC mg/l µmhos/cm Skala NTU mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
1994
2003
Perubahan
27,10 132,00 198,45 42,03 8,07 4,06 21,57 6,23 0,00 0,01 0,00 0,00 0,03 0,01 0,02 0,01 -
27,22 56,26 357,65 241,12 7,83 2,83 13,31 4,16 0,01 0,18 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 -
0,12 -75,74 159,20 199,09 -0,24 -1,23 -8,26 -2,07 0,01 0,17 0,00 0,01 -0,03 -0,01 -0,01 -0,01 -
2006 * Inlet Outlet 28,9 29,0 320 280 310 290 6,55 6,6 ttd ttd 0,004 0,002 0,015 0,009 0,001 ttd 0,001 ttd 0,02 0,004 ttd ttd 0,002 0,001 0,012 0,010
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : (*) = data primer November 2006, (-) = data tidak tersedia,data tidak diukur, (ttd) = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 10 stasiun pengukuran.
(1) Suhu Hasil pengolahan data suhu perairan di ketiga waduk diperoleh informasi bahwa suhu perairan waduk Saguling rata-rata naik sebesar 0,12ºC, waduk Cirata sebesar 0,80ºC dan waduk Jatiluhur turun sebesar 0,90ºC. Kenaikan suhu (Saguling dan Cirata) dan penurunan suhu (Jatiluhur) tidak signifikan. Dari Tabel 42 dan 43 dapat diketahui bahwa suhu air baku pada intake PDAM Tirta Dharma (1999-2003) mengalami penurunan 0,5ºC sedangkan pada intake PT. Thames PAM Jaya (2001-2005) mengalami kenaikan 0,33ºC. Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi subtrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air. Suhu perairan juga mempengaruhi berbagai proses fisiologis dalam tubuh biota air seperti proses osmoregulasi dan penafasan
139 organisme perairan, sehingga meningkatnya suhu pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian. Secara umum pengaruh suhu terhadap biota perairan mempengaruhi proses fisiologis secara langsung dalam hal reaksi enzimatik pada organisme, sehingga akan menentukan besar kecilnya metabolisme dan pertumbuhan organisme. Selain pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dari suhu bisa dalam bentuk terjadinya perubahan struktur dan dispersi hewan air (Nontji, 1984). Tabel 34. Perubahan kualitas air Waduk Cirata. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Parameter Suhu Zat Tersuspensi DHL Kekeruhan TDS pH COD BOD5 DO Air Raksa (Hg) Nikel (Ni) Tembaga (Cu) Khromium (Cr) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Arsen (As) Boron (B) Mangan
Satuan 0 C mg/l µmhos/cm Skala NTU mg/l
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Kualitas Air 1994 2003 26,67 27,51 39,44 121,73 174,43 272,04 7,29 35,41 123,00 144,36 8,27 7,17 11,05 28,18 6,59 13,11 5,15 4,78 0,00 0,00 0,00 0,02 0,29 0,01 0,04 0,01 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,42 0,58 0,00 -
Perubahan 0,84 82,29 97,61 28,12 21,36 -1,10 17,13 6,52 -0,37 0,00 0,02 -0,28 -0,03 0,00 0,02 0,42 -0,58 -
Inlet 28,0 290 310 6,88 ttd 0,008 0,022 ttd ttd 0,01 ttd 0,006 0,022
2006* Outlet 28,5 285 270 6,90 ttd 0,004 0,008 ttd ttd 0,002 ttd 0,003 0,015
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : (*) = data primer November 2006, (-) = data tidak tersedia,data tidak diukur, (ttd) = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 11 stasiun pengukuran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod (1975) dalam Prihadi (2005) yang mengatakan bahwa suhu akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan biota air, yakni akan menetukan kehadiran spesies–spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan dan penetasan, aktivitas dan pertumbuhan. Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin
140 tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambah kedalaman, akan menurunkan suhu perairan (Welch, 1980). Menurut Nontji (1987) suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari. Tabel 35. Perubahan kualitas air Waduk Jatiluhur. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Parameter Suhu Zat tersuspensi DHL Kekeruhan pH DO COD BOD5 Air Raksa Nikel Tembaga (Cu) Kromium (Cr) Kadmium (Cd) Timbal (Pb) Arsen Boron (B) Mangan
Satuan ºC mg/l µmhos/cm Skala NTU mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Kualitas air 1993 2003 27,42 26,52 81,81 18,91 165,72 69,83 38,25 7,32 7,84 7,42 5,69 8,82 12,29 4,40 6,83 ttd ttd 0,005 ttd ttd ttd ttd ttd ttd
-
ttd 0,01 ttd
-
ttd ttd ttd
Perubahan -0,90 -62,90 -31,58 0,52 -1,73 3,47 2,43 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -
Inlet 28,5 460 ttd ttd ttd ttd 0,001 0,002 ttd 0,002 ttd ttd ttd
2006* Outlet 29,0 410 320 6,78 ttd 0,006 0,019 ttd 0,003 0,023 0,002 0,041 0,026
Sumber : Pengolahan data hasil pemantauan kualitas air waduk triwulanan 1994 dan 2003. Keterangan : (*) = data primer November 2006, (-) = data tidak tersedia,data tidak diukur, (ttd) = tidak terdeteksi. Rata-rata dari 25 stasiun pengukuran.
(2) Warna Perairan Warna air waduk Saguling mengalami kenaikan 141,60 satuan NTU pada periode 1994-2003, air waduk Cirata naik 0,10 satuan PtCo pada periode 1993-2003, dan air waduk Jatiluhur naik 0,37 satuan PtCo pada periode 1993-2003, sedangkan pada air baku PDAM Tirta Dharma terjadi kenaikan warna (kekeruhan) sebesar 0,50 NTU (1999-2003) dan pada air baku PT. Thames PAM Jaya turun sebesar 5,03 NTU (2001-2005). Pada umumnya warna perairan dibagi menjadi dua yakni warna sesungguhnya yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan kimia terlarut serta warna yang tampak yang merupakan hasil perpaduan antara bahan terlarut dan bahan tersuspensi. Secara umum warna perairan merupakan hasil perpaduan
141 warna yang berasal dari bahan organik dan bahan anorganik yang ada dalam perairan, warna plankton, humus dan ion-ion logam serta bahan-bahan lain yang terdapat dalam perairan tersebut. Warna perairan dapat diamati secara visual, namun akan lebih akurat jika diamati dengan membandingkan air sampel dengan warna standar. Warna pada umunya dapat menghambat penetrasi sinar matahari serta dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis oleh jasad autotrof di dalam air. Tabel 36. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Tirta Dharma Purwakarta. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Parameter Suhu Kekeruhan Warna TDS pH Air raksa Tembaga Khromium Kadmium Timbal Arsen Kesadahan total Nitrit Sianida Selenium Seng Nitrat Sulfat Sulfida Total Koliform
Satuan ºC skala NTU skala NTU mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN/100 ml
1999
2003
28,00 2,35 3,50 7,10 68,85 0,01 -
27,5 1,7 4 7 65,555 -
Kualitas Air Perubahan -0,5 -0,65 0,5 -0,1 -3,295 -
2006 0,77 5,33 460 Ttd 0,001 0,002 Ttd 0,002 Ttd 31,58 0,0203 0,001 0,001 0,005 0,1245 Ttd 3,6 0
BML -5 15 1000 0,001 1,0 0,05 0,005 0,05 0,05 500 1,0 0,1 0,01 5 10 400 0,05 3
Keterangan : (*) = data primer November 2006, (-) = data tidak tersedia,data tidak diukur, (ttd) = tidak terdeteksi.
(3) pH Pada periode 1994-2003, tingkat pH air waduk Saguling mengalami penurunan sebesar 0,24, air waduk Cirata turun 1,10 dan waduk Jatiluhur turun 0,52 pH di ketiga waduk masih berada pada status netral (berkisar pH=7,0) sehingga cukup baik bagi berlangsungnya proses biologi dan kimia dalam perairan. pH air baku PDAM Tirta Dharma (1999-2003) mengalami penurunan sebesar 0,1, sedangkan air baku PDAM PT. Thames PAM Jaya (2001-2005) mengalami kenaikan sebesar 0,16. pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion
142 hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Mackereth et. al. (1989) pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbon dioksida. Tabel 37. Perubahan kualitas air baku (intake) PT. Thames PAM Jaya Jakarta. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Parameter Suhu Kekeruhan Warna TDS DHL pH COD BOD5 Air raksa Khrom Tembaga Kadmium Timbal Arsen Nitrat Nitrit Seng Bahan Organik Kesadahan Sulfat Sulfida Total Koliform
Satuan o
C Skala NTU Skala TCU mg/l µmhos/cm mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN/100 ml
2001 28,94 275,53 20,09 116,42 260,25 6,95 17,38 15,22 0,00 0,02 0,05 0,01 0,07 0,01 1,70 0,05 0,08 16,27 89 x 10³
2005 29,27 372,83 15,06 103,61 200,80 7,11 21,93 9,82 <0,0005 0,02 0,03 0,02 0,03 <0,0005 1,55 0,06 0,15 17,62 57,82
Kualitas Air Perubahan 0,33 97,30 -5,03 -12,80 -59,45 0,16 4,55 -5,40 0,00 -0,02 0,01 -0,04 -0,15 0,02 0,07 1,35 -
2006 1,28 5,65 550 Ttd ttd 0,002 Ttd 0,005 Ttd 0,4421 0,0707 0,006 37,600 7,6621 4,4 1,0
BML 5 15 1000 0,001 0,05 1,0 0,005 0,05 0,05 10 1,0 5 500 400 0,05 3
Keterangan : (*) = data primer November 2006, (-) = data tidak tersedia,data tidak diukur, (ttd) = tidak terdeteksi.
Pada umumnya sebagian biota air sensitif terhadap perubahan pH, dan hampir semua biota menyukai pH 7 – 8,5. Besaran pH sangat mempengaruhi proses biokimia yang terjadi di suatu perairan, sebagai contoh proses nitrifikasi akan terhenti manakala pH perairan rendah. Selain itu toksisitas dari logam berat pun sangat dipengaruhi oleh besaran pH perairan. Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi, maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbon dioksida, uap air , dan nitrat. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida (H2S),
143 amonia(NH3) dan metana (CH4). Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya dapat menurunkan pH. Zat tersebut akan digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbon dioksida akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3) akan berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat (Moss,1993), keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun. (4) Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air pada umumya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan tersebut.
Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem
kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989), sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus menurunkan kualitas air. Menurut Wardoyo (1975) kelarutan oksigen di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas yang ada di udara serta tekanan parsial gas terlarut dalam air tersebut. Sealin itu juga dipengaruhi oleh aliran masuk (run off) dari hujan dan pergerakan air dari hulu. Kadar oksigen terlarut dalam air, selain penting untuk kehidupan, juga bisa dijadikan sebagai indikator untuk melihat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni jika kandungan oksigen dalam perairan lebih dari 5 mg/l mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar
144 ringan, jika kandungannya 2-5 mg/l berarti tercemar sedang dan 0–2 ppm berarti perairan tersebut tercemar berat (Sutamihardja, 1978). Tingkat oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan di ketiga waduk mengalami penurunan masing-masing: waduk Saguling sebesar 3,23 mg/l, waduk Cirata turun sebesar 0,37 mg/l dan waduk Jatiluhur menurun sebesar 1,73 mg/l. (5) BOD5 BOD5 (Biological Oxygen Demand)5 adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik selama 5 hari. Nilai BOD5 merupakan parameter yang menunjukan besarnya oksigen yang di butuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia (Boyd, 1982). Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stabilitas sempurna tergantung dari keadaan alami subtrat dan kemampuan hidup organisme (Azad, 1976). Dengan demikian, maka BOD5 hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Nilai BOD5 suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia, sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD5-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills (1996) dalam Prihadi (2005) yang mengatakan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD5 antara 0,5–7,0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD5 lebih dari 10 mg/1 dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD5, maka suatu perairan bisa di kategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD5 kurang dari 3 mg/1, perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai BOD5 3 – 4,9 mg/1. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD5 5,0–15,0 mg/1 serta perairan yang mempunyai BPD lebih dari 15 mg/1 dikategorikan pada perairan tercemar berat (Lee, Wang dan Quo, 1978). Dari analisis terhadap data tahun 1993, 1998 dan 2003, diperoleh nilai BOD5 dalam air waduk Saguling mengalami kenaikan 30,8 mg/l, Cirata menurun 5,67 mg/l, Jatiluhur naik 6,52
145 mg/l dan air baku Thames Jaya nilai BOD5 pada tahun 2005 menurun 5,40 mg/l dari 15,22 mg/l pada tahun 2001. (6) COD COD (chemical oxygen demand) menggambarkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi, karena dalam uji coba COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia. Dari analisis data sekunder, diperoleh hasil bahwa kadar COD dalam air waduk Saguling mengalami penurunan 17,41 mg/l, Cirata naik 28,18 mg/l, Jatiluhur naik 11,10 mg/l, pada air baku Thames Jaya kadar COD naik sebesar 4,55 mg/l. (7) Bahan Organik dan Muatan Padatan Tersuspensi Dalam keadaan anaerobic, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobic tidak dapat berkembangbiak, tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara anaerob. Muatan padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan ini baik organik maupun anorganik yang keberadaannya anatara lain berbentuk partikel dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Menurut Wardoyo (1981) padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan perairan. Zat padat yang berada dalam suspensi dapat dibedakan menurut ukuran partikelnya sebagai partikel tersuspensi koloid dan partikel tersuspensi biasa. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat terapung dan melayang yang bersifat organik dan zat padat organik dan anorganik. Canter (1977) memperlihatkan hubungan antara indeks kualitas air dengan kandungan muatan padatan tersuspensi.
Kandungan muatan padatan
tersuspensi tersebut kemudian dapat menjelaskan kondisi perairannya seperti pada
146 Tabel 46. Kadar residu terlarut (1994-2003) dalam air waduk Saguling naik sebesar 71,75 mg/l, waduk Cirata turun sebesar 93,38 mg/l (1993-1998), Jatiluhur turun sebesar 62,90 mg/l (1993-2003) dan air baku Thames Jaya menurun 12,80 mg/l. Tabel 38. Baku mutu kualitas air berdasarkan PP Nomor. 82 tahun 2001. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter Kekeruhan pH DO BOD COD Amonium Nitrat Nitrit Fenol Sulfida
Satuan NTU mg/1 mg/1 mg/1 mg/1 mg/1 mg/1 mg/1 mg/1
Baku Mutu Kelas II 25 6,0 - 9,0 6 2 10 0,5 10 1 400
Kelas III 6,0 - 9,0 3 6 50 20 0,06 0,22 -
Keterangan : Kelas II sesuai untuk air baku air minum dan Kelas III sesuai untuk pertanian dalam arti luas.
(8) Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan juga disebabkan oleh partikel tersuspensi, bahan organik dan mikroorganisme perairan. Kekeruhan perairan dapat bersifat permanen dan sementara. Kekeruhan yang bersifat permanen disebabkan oleh bahan-bahan yang sulit terurai seperti pencemaran oleh hidrokarbon yaitu minyak dan lemak. Sedangkan kekeruhan yang mudah terurai dapat disebabkan partikel organik yang terbawa oleh hujan, banjir, aliran drainase dan gerakan angin. Dari hasil analisis data sekunder pada tahun 1993, 1998 dan 2003, kekeruhan yang terjadi pada air waduk Saguling naik 35,90 NTU, air waduk Cirata naik 50,12 NTU (1998-2003), Jatiluhur turun 31,97 NTU (1998-2003). Pada air baku Tirta Dharma kekeruhan menurun 0,65 NTU dan PT. Thames PAM Jaya naik 97,30 NTU.
147 (9) Logam Berat Logam dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu logam berat dan logam ringan. Logam berat adalah logam yang untuk setiap cm³ mempunyai bobot 5 gram atau lebih, bobot ini lima kali dari berat air, sehingga logam yang beratnya kurang dari 5 gram termasuk logam ringan. Jika sejumlah logam mencemari lingkungan, maka logam tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada mahluk hidup, karena beberapa jenis logam sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan (dalam air, tanah dan udara), karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup. Logam berat merupakan suatu unsur yang mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang tinggi serta mempunyai densitas lebih dari 5 (Hutagalung, 1991) Logam berat biasanya bernomor atom 22–92 dan periode 3 sampai 7 dalam susunan berkala unsur–unsur kimia. Beberapa unsur logam berat tersebut antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Pada umumnya semua logam berat tersebar diseluruh permukaan bumi, baik di udara, tanah maupun air. Logam berat ini dapat berbentuk bahan organik, bahan anorganik terlarut yang terikat dalam suatu partikel (Harahap, 1991). Logam berat yang masuk kedalam lingkungan perairan berasal dari debu–debu akibat kegiatan gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, dan berbagai aktivitas manusia meliputi pertambangan batu bara, peleburan dan penyulingan minyak, penggunaan pestisida, penggunaan bahan bakar, dan sebagainya. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubunganya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Berdasarkan kegunaanya, logam berat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur–unsur tertentu dengan konsentrasi tertentu yang berfungsi sebagai haramikro yang bermanfaat bagi kehidupan organismi perairan seperti Zn, Fe, Cu dan unsur –unsur yang tidak diketahui sama sekali manfaatnya seperti Hg, Pb dan Cd (Lu, 1995). Kenyataanya semua logam, termasuk logam – logam haramikro yang esensial, jika berada dalam tubuh mahluk hidup dalam jumlah yang berlebih akan bersifat racun bagi organisme (Laws, 1993).
148 Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat. Logam ini termasuk logam yang esensial seperti Cu, Zn, Se dan yang non-esensial seperti Hg, Pb, Cd, Cr dan As. Keracunan logam berat yang paling sering terjadi, biasanya dimulai dengan pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti penggunaan logam sebagai pembasmi hama (pestisida), pemupukan maupun karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada hewan, tetapi logam non-esensial seperti Hg, Pb, Cu dan As sama sekali belum diketahui kegunaanya walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan keracunan pada hewan (Darmono, 2001). Menurut Connel (1995) ion – ion logam pada kelas B yang paling toksik menunjukkan mekanisme toksisitas yang berspektrum luas. Logam–logam ini berikatan dengan gugus SH (misalnya, sistein) dan kelompok yang mengandung nitrogen misalnya, lisin dan histidin imidazol lebih efektif. Selain itu logam–logam ini dapat mengganti ion–ion endogen pada garis batas (misal, Zn²+) dari metallo-enzim, yang menyebabkan enzim tidak aktif melalui perubahan secara konformasi. Logam kelas B bersama–sama dengan beberapa ion pada garis batas, membentuk ion-ion organometalik yang larut dalam lemak, sebagai contoh Hg dan Pb yang mampu menembus membran biologis dan berakumulasi di dalam sel dan organel. Logam golongan B di dalam metalo-protein bisa mengalami reaksi baik oksidasi maupun reduksi, sebagai contoh, Cu menjadi Cu2+ dan Cu+ dapat mengubah integritas secara fungsional dan struktural. Pengaruh keberadan logam berat terhadap biota umumnya digolongkan kedalam kategori, yaitu dapat menyebabkan toksisitas letal secara langsung sehingga menimbulkan kematian dan dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas sub letal yaitu terjadinya kerusakan pada proses fisiologis atau bahkan pada perilaku suatu mahluk hidup. Ochiai (1997) dalam Connel (1995) membagi mekanisme toksisitas ion-ion logam kedalam tiga kategori yaitu dapat menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul (misalnya protein dan enzim), dapat menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul, dan dapat mengubah aktivitas biomolekul.
149 Dari data sekunder kualitas air waduk tahun 1993, 1998 dan 2003, logam berat yang mengalami kenaikan kadarnya dalam air waduk Saguling antara lain Hg sebesar 0,43 mg/l, nikel : 0,17 mg/l dan selenium : 0,01 mg/l; dalam air waduk Cirata As : 0,42 mg/l, Mg : 3,11 mg/l, Fe : 0,52 mg/l, Mn : 0,6 mg/l, Ni : 0,02 mg/l, Pb : 0,02 mg/l, Zn : 0,12 mg/l, dalam air waduk Jatiluhur besi 0,09 mg/l dan Mn 0,03 mg/l. (10)
Limbah Domestik Dari Tabel 33 sampai dengan Tabel 37 dapat diketahui bahwa pada
periode 1993-2003 telah terjadi peningkatan pencemaran air waduk dan air baku PDAM yang bersumber dari limbah domestik. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan kadar senyawa-senyawa kimia seperti fenol, minyak dan lemak dan fecal coliform. (11)
Budidaya Ikan dalam Karamba Jaring Apung Dilihat dari tingkat kesuburannya, waduk atau danau di Indonesia
umumnya bersifat oligotrofik (kesuburan rendah) hingga mesotrofik (kesuburan sedang), sehingga dilihat dari tingkat kesuburanya, maka waduk atau danau sangat potensial untuk pengembangan budidaya ikan secara intensif dalam kolam jaring apung (KJA). Budidaya ikan dalam karamba adalah budidaya di perairan umum dengan menggunakan wadah yang umumnya terbuat dari jaring, pada karamba tersebut ditebar ikan kecil atau ikan muda yang berukuran sedikit lebih besar dari ukuran mata jaring. Ikan yang dipelihara di KJA biasanya diberi pakan berupa pelet yang umumnya kaya hara. Pemberian pakan pelet ini biasanya diberikan pada pagi, siang dan sore hari. KJA berada pada perairan umum yang airnya relatif sedikit mengalir dan diberikan pakan cukup banyak, sehingga ikan yang dipelihara di dalamnya tumbuh dengan cepat dan dalam waktu kurang dari tiga bulan biasanya sudah dipanen (Ryding, 1989 dalam Prihadi, 2005). KJA biasanya dipergunakan untuk memelihara ikan di danau/situ/waduk. Di Indonesia, karamba jaring apung pertama kali digunakan di waduk Jatiluhur pada tahun 1974 untuk keperluan penelitian, dan baru pada tahun 1986 dilakukan budidaya ikan secara intensif dalam karamba jaring apung di waduk Saguling,
150 diikuti oleh petani ikan di Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk Kedung Ombo, bahkan juga budidaya di laut seperti Teluk Pare-Pare, Teluk Banten dan di Kepulauan Riau. Budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan dan danau sejak tahun 1986 yakni di Jawa Barat dilakukan di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang pada tahun 1995 jumlahnya mencapai 14.215 unit, sehingga produksi ikan meningkat dari 2.654 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada tahun 1995 dengan peningkatan rata-rata 75% per tahun (Kartamihardja, 1998). Sistem budidaya ikan pada KJA di waduk umumnya dilakukan dengan sistem insentif, dalam hal ini seluruh kebutuhan pakan ikan seluruhnya berasal dari pelet (pakan komersial dengan protein tinggi yaitu lebih dari 20%), dengan nilai gizi yang hampir lengkap. Budidaya ikan dalam KJA umumnya dilakukan pada jaring yang berukuran minimal 7 x 7 x 1,5 m³, padat penebarannya (ikan mas) 25-200 ekor/m² atau 4-5 kg/m². Adapun bobot awal ikan yang ditebar umumnya 60-195 g/ekor. Lama pemeliharaan ikan biasanya 2-6 bulan, tergantung pada keadaan dan pertumbuhan ikan, namun umumnya ikan yang dijual berukuran 220-653 g/ekor, sehingga konversi pakannya 1,6 - 3,4 (Hardjamulia et al., 1991). Dalam beberapa tahun terakhir ini, dikembangkan terus teknologi KJA yang lebih efisien. Dalam hal ini dikenal ada dua jenis teknologi KJA, yakni teknologi KJA yang volumenya kecil (ukuran mini), namun ditebar ikan dengan kepadatan yang tinggi yang menggunakan keramba jaring ukuran mini (1-10 m³) degan padat penebaran tinggi (400-500 m³). Teknologi berikutnya, adalah teknologi budidaya KJA dua lapis yang dikenal dengan KJA ganda kar (ukuran mini) karena pada teknologi ini digunakan dua kantung jaring yakni di sebelah atas dan lapisan bawah. Kedua jaring ini ditebar ikan namun dengan jenis yang berbeda. Dalam hal ini hanya ikan utama (ikan mas) yang dipelihara pada jaring lapisan atas yang diberi makan, sedang lapisan bawahnya yang biasanya ditebar ikan nila tidak diberi makan lagi, karena ikan ini akan memanfaatkan pakan yang terbuang dari jaring yang ada di bagian atasnya. Teknologi jaring ganda ini dikembangkan karena pada budidaya KJA yang dilakukan di waduk
151 yang berada di Jawa Barat teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke perairan mencapai 30-40% (Kartamihardja et.al, 1988). Teknologi KJA ganda ini selain digunakan untuk memanfaatkan pakan yang terbuang ke perairan, juga bertujuan untuk menekan pencemaran limbah organik yang berasal dari pakan. 6.5
Simpulan Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan
kualitas kimiawi air di tiga waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) dan dua sumber air baku PDAM (Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya). Hal ini ditunjukkan dengan naiknya kadar indikator utama kimia air waduk dan intake PDAM seperti kekeruhan, BOD5, logam berat, senyawa organik dan limbah domestik, serta turunnya DO, COD dan pH. Penurunan kualitas kimiawi air tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan peningkatan pencemaran industri dan limbah domestik yang memasuki sungai atau waduk di DAS Citarum Wilayah Hulu.
7. PERUBAHAN PRODUKSI
7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas (debit dan volume) air dalam waduk yang mencukupi setiap waktu sangat diperlukan untuk mengoperasikan alat-alat produksi seperti turbin pada PLTA dan water treatment plant (WTP) pada PDAM pada kapasitas yang maksimal. Kulitas air juga sangat menentukan produktivitas alat-alat produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM. Penurunan kualitas air pada tingkat tertentu akan menyebabkan korosif pada turbin dan masuknya partikel sedimen pada cooler-nya sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi (pada saat pemeliharaan). Kecuali itu, tingginya sedimentasi pada sungai dan waduk akan menurunkan umur pakai bendungan PLTA. Tingginya volume sedimen pada air baku air minum PDAM akan menyebabkan intensitas pemeliharaan WTP (pengerukan atau penggelontoran) sehingga menyebabkan kehilangan kesempatan berproduksi dan membutuhkan tambahan waktu pada proses pengolahan air. Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
pengaruh
perubahan
karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap produksi energi listrik PLTA (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) dan air minum PDAM (Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya).
7.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian
perubahan
produksi
energi
listrik
dilakukan
dengan
mengumpulkan data sekunder Bagian Produksi pada PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur serta perubahan produksi air minum pada Bagian Produksi PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung selama 3 (tiga) bulan mulai bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006.
153 7.3. Bahan Dan Metode Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan produksi energi listrik dan produksi air minum adalah data sekunder. Jenis data sekunder dan sumbernya sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur (1993-2003). 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta (1999-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (1998-2005). 3. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan metode regresi linear dan pendugaan potensi kehilangan produksi energi dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J.
7.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Produksi 7.4.1. Produksi Energi Listrik Produksi energi listrik PLTA selain ditentukan oleh faktor kapasitas terpasang peralatan produksi (terutama turbin) tetapi juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan volume air, sedimen yang masuk ke dalam partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II. Penurunan volume air, tidak beroperasinya turbin (akibat pemeliharaan cooler) dan pengaturan alokasi air akan meningkatkan potensi kehilangan kesempatan produksi energi listrik bagi PLTA. Perkembangan produksi energi listrik dan penurunannya secara komulatif dan uji statistik pengaruh VAK terhadap produksi energi listrik disajikan pada Tabel 39 dan 40. Dari Tabel-Tabel tersebut dapat diketahui bahwa produksi energi listrik tahun 1993 - 2003 PLTA Saguling mengalami penurunan sebesar 4,12% atau sebesar (97.163,70 MWh/th), PLTA Cirata sebesar 4,69% atau sebesar (65.064,90 MWh/th) dan PLTA Jatiluhur sebesar 6,22% ( 50.411,11 MWh/th). Penurunan produksi energi listrik di ketiga PLTA tersebut terutama disebabkan turunnya debit dan volume air yang terdapat di dalam waduk. Faktor utama lain adalah tidak beroperasinya turbin akibat besarnya sedimen yang masuk dalam cooler
154 turbin sehingga perlu di-overhaull. Dari PLTA Saguling diperoleh informasi bahwa cooler turbin telah mengalami overhaull 1 kali padahal menurut spesifikasi teknisnya (garansi perbaikan) overhaull dilakukan 1 kali dalam 30 - 35 tahun. Kedua faktor ini (volume air dan sedimentasi) merupakan faktor utama penyebab kehilangan kesempatan produksi listrik PLTA. Pada Gambar 36 disajikan grafik produksi energi listrik di ketiga PLTA. Tabel 39. Produksi energi listrik PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur periode 1993-2003. Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Total Rata-Rata Rata-rata penurunan Laju penurunan (%)
Produksi Energi Listrik PLTA (MWh) Citarum 2,718,481.98 2,875,933.60 2,254,604.84 2,431,664.00 1,325,910.00 2,948,197.00 2,313,016.00 2,263,457.00 2,798,344.00 2,269,604.00 1,746,845.00 25,946,057.42 2,358,732.49 97.163,70 4,12
Cirata 1,607,459.00 1,488,516.00 1,402,533.00 1,481,659.00 858,039.70 1,731,667.70 1,357,189.00 1,292,114.10 1,691,325.20 1,369,796.00 956,810.00 15,237,108.70 1,385,191.70 65.064,90 4,69
Jatiluhur 1,032,168.48 767,316.60 732,601.20 506,581.64 640,676.00 969,019.50 876,989.00 900,984.50 908,809.00 1,046,210.47 528,057.43 8,909,413.82 809,946.71 50.411,11 6,12
Total 3 PLTA (MWh) 5,358,109.46 5,131,766.20 4,389,739.04 4,419,904.64 2,824,625.70 5,648,884.20 4,547,194.00 4,456,555.60 5,398,478.20 4,685,610.47 3,231,712.43 50,092,579.94 4,553,870.90 212.639,70 4,63
Keterangan : Hasil pengolahan data
Berdasarkan uji-t sebagaimana pada Tabel 40 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara VAML dengan produksi listrik kecuali di PLTA Jatiluhur. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,81 (PLTA Saguling), 0,62 (PLTA Cirata), 0,004 (PLTA Jatiluhur) dan 0,71 (3 PLTA). Hasil uji-t menunjukkan variabel VAML berpengaruh signifikan terhadap produksi listrik di 2 PLTA, dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel. Besarnya pengaruh VAML dapat dihitung dari besarnya nilai koefisien yaitu 476,28 (PLTA Saguling), 219,54 (PLTA Cirata), 1,01 (PLTA Jatiluhur) dan 306,63 (3 PLTA). Dengan kata lain, setiap penambahan volume air 1 juta m3 menyebabkan
155 peningkatan produksi listrik sebesar 476,28 MWh (PLTA Saguling), 219,54 MWh (PLTA Cirata), 1,01 MWh (PLTA Jatiluhur) dan 306,63 MWh (3 PLTA).
Saguling
Cirata
Jatiluhur
Citarum
7500000 6000000 4500000 3000000 1500000 2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
0 1993
Produksi Listrik (MWH)
9000000
Tahun
Gambar 36. Rata-rata produksi listrik PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur tahun 1993-2003. Penurunan produksi energi listrik (sebagaimana pada Tabel 39) disebabkan oleh penurunan volume air masuk lokal ke dalam waduk, tingginya sedimen yang mengisi partisi cooler turbin dan keputusan manajemen PJT II berkaitan dengan alokasi air Citarum. Dari Gambar 35 dan Tabel 39 dapat disimpulkan bahwa penurunan produksi energi listrik yang terbesar terjadi pada tahun 1997 dan 2002 terutama UBP Saguling dan UP. Cirata. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya curah hujan pada tahun 1997 dan 2002 yang secara umum disebut El-Nino. Sedangkan pada tahun 1998 terjadi kenaikan produksi energi listrik yang terbesar dan penyebabnya diduga adalah tersedianya air dalam jumlah yang tinggi sebagai akibat curah hujan yang besar bersamaan dengan terjadinya La-Nina. Akan tetapi, bagi PLTA Jatiluhur, penurunan curah hujan pada saat El-Nino (1997) dan peningkatan curah hujan pada saat La-Nina (1998) tidak mempengaruhi tingkat produksi energi listrik secara signifikan. Hal ini disebabkan PJT II sebagai unit pengelola waduk cascade dapat meminta pengiriman air dari Waduk Saguling dan Cirata.
156 Tabel 40. Uji-t pengaruh VAML terhadap produksi listrik. No
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Saguling 0,813 0,660 82.828,66 476,28 15,897* 0,000
Korelasi R kuadrat Konstanta Koefisien Nilai t Signifikansi
PLTA Cirata 0,629 0,395 67.136,09 219,54 9,221* 0,000
Jatiluhur 0,004 0,000 2907,81 1,01 0,044 0,965
Keterangan : *) beda nyata pada α = 5%.
Untuk menduga pengaruh perubahan karakteristik hidrologis terutama debit dan volume terhadap produksi energi listrik (PEL), dilakukan pendugaan dengan menggunakan DAML hasil simulasi GR4J pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Perubahan karakteristik PEL tersebut memberikan gambaran tentang adanya pengaruh penutup lahan terhadap karakteristik PEL dengan karakteristik curah hujan periode 1993-2003. Pada Gambar.... disajikan dugaan perubahan karakteristik PEL harian pada PLTA UBP. Saguling dan hubungan antara DAML dan PEL hasil simulasi pada Gambar 37, sedangkan perubahan PEL ditampilkan pada Tabel 41. Karakteristik PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling 120000
1993 2003
100000
PEL (M W h)
80000
60000
40000
20000
0 1
125 249 373 497 621 745 869 993 1117 1241 1365 1489 1613 1737 1861 1985 2109 2233 2357 2481 2605 2729 2853 2977 3101 3225 3349 3473 3597 3721 3845 3969 Hari
Gambar 37. Karakteristik PEL harian di PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. (Keterangan : UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994).
157 Hubungan PEL Simulasi 1993 dan 2003 PLTA Saguling 120000 Series1 Linear (Series1) Linear (Series1) 100000
80000 y = 0.6185x + 3275.3 2 R = 0.7535
60000
40000
20000
0 0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
Gambar 38. Hubungan PEL harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan tahun 1993 dan 2003. Dari Gambar 38 tersebut diketahui bahwa produksi energi listrik hasil simulasi 1993 (penutup lahan 1993) adalah sebesar 5,328 juta MWh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi energi listrik pada simulasi 2003 (kondisi penutup lahan 2003) yaitu sebesar 4,490 juta MWh. Dengan kata lain, telah terjadi penurunan produksi energi listrik selama periode 1993-2003 sebagai akibat perubahan karakteristik hidrologis dan penutup lahan di wilayah hulu sebesar 837,396 ribu MWh setiap tahun. Penurunan produksi tersebut terjadi sebagai akibat dari peningkatan hilangnya potensi berproduksi dari waktu ke waktu baik karena penurunan debit maupun peningkatan sedimnen. Penurunan debit atau volume dan peningkatan sedimen merupakan dampak penurunan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya, PLTA Saguling tidak
kehilangan kesempatan produksi energi listrik sebesar
837,396 ribu MWh setiap tahun dengan asumsi selama periode 1993-2003 kondisi penutup lahan dan karakter hidrologis tetap seperti kondisi tahun 1993.
158 7.4.2. Produksi Air Minum Produksi air minum PDAM Tirta Dharma Purwakarta yang diteliti adalah yang bersumber air baku dari Ubrug (waduk Jatiluhur). Dari sisi produksi, PDAM Tirta Dharma Purwakarta memproduksi air minum sebesar 2,35 juta m³/th, dengan kenaikan rata-rata 7,2 % (0,17 juta m³) per tahun. Peningkatan produksi tersebut belum dapat memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat Purwakarta yaitu sebesar 12 % per tahun. Secara grafis, kecenderungan kenaikan produksi air bersih PDAM Tirta Dharma Purwakarta disajikan pada Gambar 39. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya relatif stabil pada tingkat 143,5 juta m³ dengan kenaikan 0,07 % (10,05 juta m³ ) per tahun sejak 1998 s/d 2005 (PDAM-Jaya diakuisisi oleh PT Thames Water 1987). Secara grafis, kecenderungan produksi air bersih PT. Thames PAM Jaya disajikan pada Gambar 40. Pada Tabel 41 dan 42 disajikan data Produksi Air Minum di PT. Tirta Dharma Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya Jakarta. Tabel 41. Produksi air minum PT. Tirta Dharma Purwakarta. No
Bulan
1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata
Volume Air Bersih (ribu m³) 1999 2001 2003 132,88 228,02 208,16 109,24 212,31 198,74 151,71 215,78 219,84 131,28 209,82 224,83 190,15 204,31 251,78 153,12 219,88 257,08 169,28 225,57 241,24 167,80 227,87 189,61 167,32 245,96 159,70 176,98 222,97 165,41 187,89 215,63 174,55 200,39 222,60 163,21 1.938,04 2.650,72 2.454,15 161,50 220,89 204,51
Total m³ 569,06 520,28 587,34 565,93 646,23 630,08 636,09 585,28 572,99 565,36 578,07 586,21 7. 042,92 586,91
Dari grafik pada gambar 39 diketahui bahwa terjadi kenaikan produksi antara tahun 1999–2001 yang disebabkan adanya penambahan sumber air baku air minum (selain WTP – Ubrug) dan penurunan pada tahun 2001–2003 akibat
159 perbaikan kolam tampung di WTP Ubrug. Akibat penurunan volume produksi ini, pihak manajemen Tirta Dharma melakukan penggantian (buka–tutup) pada pelanggan.
(Ribuan m3)
Volume Air Minum
3000 2000 1000 0 1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Gambar 39. Rata-rata volume air bersih PDAM Purwakarta 1999-2003. Tabel 42. Produksi air minum PT. Thames PAM Jaya. No
Bulan
1 Jan 2 Feb 3 Mar 4 Apr 5 May 6 Jun 7 Jul 8 Aug 9 Sep 10 Oct 11 Nov 12 Dec Jumlah Rata-Rata Laju (%)
1998 12,5 11,8 13,2 12,8 13,0 12,6 12,2 12,9 12,2 12,4 12,1 11,5 149,1 12,4 -10,15
1999 11,2 11,2 12,4 11,9 12,3 11,7 11,8 11,1 10,5 10,5 10,5 10,2 135,3 11,3 -8,35
Volume Air Bersih (juta m³) 2000 2001 2002 2003 10,0 12,1 12,1 12,2 9,3 10,9 10,4 11,1 9,8 12,0 11,3 12,1 9,9 11,5 11,1 11,7 10,5 10,9 11,4 11,8 10,2 11,9 11,1 11,5 10,0 12,4 11,6 11,8 10,6 12,3 11,9 11,9 10,0 12,5 11,7 12,0 11,3 12,3 12,2 12,4 11,4 12,2 11,8 12,8 11,9 12,4 11,9 13,5 124,9 143,5 138,5 144,9 10,4 12,0 11,5 12,1 12,94 -3,60 4,42 8,72
2004 13,3 12,6 13,8 12,6 13,4 13,6 13,7 13,3 12,5 13,7 13,1 13,1 158,7 13,2 -3,48
2005 13,4 11,5 13,0 12,7 13,2 12,8 13,0 12,1 12,6 13,2 12,4 13,4 153,4 12,8 -
Rata-rata juta m³ 12,1 11,1 12,2 11,8 12,1 11,9 12,1 12,0 11,7 12,3 12,0 12,2 143,5 12,0 -
Total juta m³ 108,9 88,8 97,7 94,1 96,5 95,4 96,6 96,1 93,9 98,2 96,3 97,9 1,148,3 95,7 0,07
Sumber : Profil PT. Thames PAM Jaya 2006 (pengolahan data).
Dari Tabel 42 dan Gambar 40 dapat diketahui bahwa pada periode 1998 – 2000 terjadi penurunan produksi, 2000 – 2004 mengalami kenaikan dan menurun kembali pada tahun 2004 – 2005. Penurunan produksi pada 1998 – 2000 dikarenakan adanya konsolidasi perusahaan (PDAM DKI Jaya diakuisisi oleh Thames Water Ltd), sedangkan pada periode 2004 – 2005 penurunan produksi
160 disebabkan oleh pengalihan sumber air baku air minum dari yang semula Sungai Ciliwung menjadi Sungai Citarum (Kanal Tarum Barat).
(Ribuan m3)
Volume Air Minum
200000 150000 100000 50000 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 40. Rata-rata volume air minum produksi PT. Thames PAM Jaya 19982005. 7.5.
Simpulan Rata-rata per tahun produksi energi listrik adalah sebesar 2,36 juta MWh
(PLTA Saguling), 1,39 juta MWh (PLTA Cirata), 0,81 juta MWh (PLTA Jatiluhur) dan 4,55 juta MWh (3 PLTA). Laju penurunan produksi energi listrik rata-rata per tahun adalah 4,12% atau 97,16 ribu MWh (PLTA Saguling), 4,69% atau 65,06 ribu MWh (PLTA Cirata) dan 6,22% atau 50,41 ribu MWh (PLTA Jatiluhur) dan 4,67% atau 212,64 ribu MWh (total 3 PLTA). Penurunan produksi energi listrik memiliki hubungan yang kuat dan secara nyata sangat dipengaruhi oleh penurunan VAML. Potensi produksi energi listrik yang hilang sebagai akibat penurunan volume air berdasarkan simulasi GR4J bagi PLTA Saguling sangat besar yaitu 837,396 ribu MWh per tahun selama periode 1993–2003. Rata-rata produksi air minum PDAM Purwakarta adalah sebesar 2,35 juta m³ dengan kenaikan 7,2 % dan PT. Thames PAM Jaya sebesar 143,5 juta m³ dengan kenaikan 0,07 % per tahun.
8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN
8.1. Latar Belakang Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya kesempatan berproduksi, peningkatan intensitas pemeliharaan peralatan produksi energi listrik PLTA (turbin dan cooler-nya) dan menurunkan umur pakai waduk. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan akibat kenaikan biaya pemeliharaan dan kehilangan kesempatan berproduksi energi listrik PLTA. Bagi PDAM, faktor utama yang menyebabkan peningkatan biaya adalah semakin tingginya sedimen dan pencemaran kimiawi air baku air minum. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan WTP dan peningkatan biaya pengolahan air karena peningkatan penggunaan bahan kimia. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya lingkungan atau biaya eksternalitas pengguna air Citarum (PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan DKI Jakarta).
8.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan biaya lingkungan dilakukan dengan menggunakan data sekunder di bagian Akuntansi UBP Saguling dan Bagian Keuangan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung pada bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006. Untuk mengetahui kesanggupan masyarakat (willingness to pay) masyarakat, dilakukan survey sosial ekonomi terhadap penduduk yang berada di sekeliling Waduk Saguling (yang paling terikat dengan keberadaan waduk) yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cihampelas, di Kabupaten Bandung.
162 8.3. Bahan Dan Metode 8.3.1. Bahan Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan biaya lingkungan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur (1993-2003). 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta (1999-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (1998-2005). 3. Laporan biaya pemeliharaan peralatan produksi dan harga jual produksi energi 2005 (UBP Saguling). 4. Laporan pemeliharaan peralatan WTP dan penggunaan bahan kimia oleh PDAM Purwakarta (1988-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (1998-2005). 5. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut. 8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marginal Lingkungan PLTA dan PDAM Untuk menghitung potensi kerugian ekonomi yang ditanggung oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat kerusakan lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu, maka dilakukan perhitungan dengan rumus : a. Biaya Lingkungan Produksi Listrik (PLTA):
BLPL = BKP + BP,
keterangan :
BLPL = biaya lingkungan produksi listrik (Rp/ MWh) BKP = biaya kehilangan produksi (Rp/ MWh) BP = biaya pemeliharaan (Rp/ MWh) a1. Biaya Kehilangan Produksi
BKP = (P t+1 – P t) x HP, BKP Pt
P t+1
t HP
keterangan :
= biaya kehilangan produksi (Rp/ MWh) = Produksi listrik pada tahun t (MWh) = Produksi listrik pada tahun t+1 (MWh) = tahun = harga penjualan (Rp/ MWh)
163 a.2. Biaya Pemeliharaan (Turbin dan peralatan lain) BPT = JPT x BP, BPT JPT BP
keterangan :
= biaya pemeliharaan turbin (Rp/tahun), = jumlah pemeliharaan turbin (kali/tahun), = biaya pemeliharaan (Rp/kali)
b. Biaya Lingkungan Produksi Air (PDAM): BLPA = BPK / PA,
keterangan :
BLPA = biaya lingkungan produksi air (Rp/ m³), BPK = biaya penggunaan bahan kimia (Rp), PA = produksi air (m³). c. Pendugaan biaya lingkungan denga penggunaan simulasi GR4J hasil validasi. 8.3.3. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar Metode contingent valuation method (CVM) digunakan untuk menilai ekonomi barang publik (air) dengan menanyakan langsung kepada masyarakat seberapa besar kesediaan membayar (willingness to pay - WTP) sebagai akibat kerusakan lingkungan. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu (Pearce et al, 1994). Dalam penelitian ini CVM menyangkut dua hal yaitu kesediaan pengguna jasa membayar air (WTP) khusunya pada musim kemarau dan persepsi dari perilaku masyarakat pengguna jasa lingkungan terhadap bentuk kesediaan membayar kompensasi lingkungan. Kuesioner yang digunakan dalam CVM
meliputi :
1. Deskripsi rinci tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian publik, kesedian membayar (WTP) dan alat pembayaran. 2. Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan, pendapatan, dan lain-lain. Pada CVM ini, masyarakat yang menjadi responden adalah masyarakat di 4 kecamatan (Batujajar, Cipongkor, Cililin dan Cihampelas) Kabupaten Bandung yang berada di sekeliling Waduk Saguling dan dipilih secara purposive dengan jumlah populasi contoh sebanyak 120 responden (30 responden/Kecamatan). Pengolahan data kuesioner menggunakan fungsi logit dengan alat bantu software SPSS dengan rumus-rumus (Jordan dan Elnagleeb, 1993 Pearce et al, 1994).
164 8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan 8.4.1. Potensi Kerugian Ekonomi PLTA a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan produksi Untuk mengetahui pengaruh penurunan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi PLTA dilakukan perhitungan terhadap (1) besarnya biaya hilangnya kesempatan produksi (opportunity cost) akibat rendahnya volume air waduk, berhenti beroperasi selama pemeliharaan dan keputusan manajemen PJT II, (2) besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan berupa biaya pemeliharaan peralatan utama produksi dan (3) biaya penggunaan bahan kimia terutama dalam penanganan gas H2S dan pencegahan peralatan masinal/pipa dari karat. Pada Tabel 43 disajikan nilai penjualan listrik dan potensi kerugian ekonomi PLTA, selama 10 tahun akibat penurunan produksi listrik. Tabel 43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (1993-2003 ). No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jumlah Rata-rata Rata-rata penurunan (Rp) Rata-rata penurunan (%) *)
Pendapatan (Rp. Miliar) Saguling Cirata Jatiluhur 450,32 266,28 170,98 476,4 246,57 127,11 373,48 232,33 121,36 402,81 245,44 83,92 219,64 142,13 106,13 488,37 286,85 160,52 383,15 224,82 145,27 374,94 214,04 149,25 463,55 280,17 150,54 375,96 226,91 173,3 289,36 158,5 87,47 2524,04 1475,85 4297,98 390,72 229,45 134,168 16,097 10,776 8,35 4,11 4,69 6,22
Total (Rp. Miliar) 887,58 850,08 727,17 732,17 467,9 935,74 753,24 738,23 894,26 776,17 535,33 8297,87 754,35 35,223 4,67
Diasumsikan harga berdasarkan harga jual energi listrik UBP Saguling kepada P3B yaitu Rp 165,65/kwh (2005).
Dari Tabel 43 diketahui bahwa selama 1993-2003 ketiga PLTA mengalami penurunan penjualan (pendapatan yang hilang) yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 16,097 miliar (PLTA Saguling), Rp. 10,776 miliar (PLTA Cirata), Rp. 8,35 miliar (PLTA Jatiluhur) dan Rp. 35,223 miliar (3 PLTA) setiap tahun. Pendapatan 3 PLTA hasil penjualan energi listrik disajikan pada Gambar 41.
165
Nilai Penjualan di 3 PLTA
800 Saguling
600
Cirata Jatiluhur
400
Total
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
-
1994
200 1993
Pendapatan (Rp Miliar)
1,000
Tahun
Gambar 41. Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur 1993 – 2003. Untuk menduga pengaruh perubahan PEL terhadap pendapatan pada kondisi penutup lahan 1993 dan 2003 dilakukan simulasi perubahan pendapatan dengan menggunakan PEL hasil simulasi dikali dengan harga penjualan PEL UBP Saguling kepada P3B yaitu sebesar Rp. 165,65,-/kWh atau Rp. 165.650,per MWh. Karakteristik pendapatan harian sebagai akibat perubahan PEL harian periode simulasi 1993-2003 disajikan pada Gambar 42, sedangkan hubungan pendapatan hasil simulasi tahun 1993 dan 2003 pada Gambar 43. Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan PLTA UBP Saguling tahun 1993 sebesar Rp 882,323 miliar lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tahun 2003 yaitu sebesar Rp 743,926 miliar. Artinya, PLTA UBP Saguling mengalami penurunan pendapatan atau kerugian sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun. Potensi keuntungan yang hilang tersebut merupakan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan produksi energi listrik dengan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu selama periode 1993-2003 dapat dipertahankan seperti pada kondisi 1993 (tidak mengalami degradasi menjadi seperti tahun 2003) maka PLTA Saguling tidak mengalami kerugian atau kehilangan keuntungan (opportunity benefit) sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun sebagai akibat kehilangan kesempatan berproduksi.
166 Karakteristik Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 20 1993 2003
18
16
Pendapatan ( Rp Miliar)
14
12
10
8
6
4
2
3925
3816
3707
3598
3489
3380
3271
3162
3053
2944
2835
2726
2617
2508
2399
2290
2181
2072
1963
1854
1745
1636
1527
1418
1309
1200
982
1091
873
764
655
546
437
328
219
110
1
-
Hari
Gambar 42. Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003. Keterangan: UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994.
Millions
Hubungan Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 20,000 Series1 Linear (Series1)
18,000 16,000 14,000
y = 0.6182x + 5E+08 2 R = 0.753
12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
20,000
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
-
-
Millions
Gambar 43. Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003. b. Biaya pemeliharaan Untuk menjaga kontiunitas produksi energi listrik pada tingkat tertentu diperlukan pemeliharaan terhadap peralatan produksi terutama turbin dan water cooler, pembelian bahan kimia tertentu dan pemeliharaan waduk. Pemeliharaan turbin dan water cooler dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun dan pemeliharaan
167 waduk dilakukan rutin setiap tahun. Pada Tabel 44 disajikan biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA. Tabel 44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air. No.
Komponen Biaya
Besar ( Rp juta) Tahun
Jumlah
1999-2000
2001-2002
2003-2005
( Rp )
1.869,37
1.143,53
2.882,86
5.895,76
76,82
188,31
237,58
502,71
183,05
1.752,87
245,39
2.181,31
1.200,90
1.310,17
440,43
2.951,50
4.444,15
698,50
5.142,65
Pembersihan sampah dan Gulma, 1
pemeliharaan Trassboom dan penanggulangan erosi
2 3 4
Penelitian Kualitas Air Triwulan I, II, III dan IV Pekerjaan Retubing Air Cooler, Generator dan perbaikannya Pengadaan, Penggantian, dan Perbaikan Air Cooler Generator Pengadaan Oil Cooler Lower/
5
-
Fin Ring Air Cooler, Tube, Belzone
6 7 8
Penggantian spare part dan pemeliharaan turbin Rebuilt Coating Spiral Case Stay Vane& Stay Ring # 2 Pengadaan Tyristor Stack
-
413,80
413,80
-
-
1.887,49
1.887,49
-
dan Toprogge Jumlah
-
3.330,14
Rata-Rata
193,88 9.032,90
6.806,04
193,88 19.169,08 2.738,44
Sumber : Bagian Akutansi UBP Saguling, 2006.
c. Biaya Eksternalitas Biaya eksternalitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (PLTA) untuk mempertahankan kegunaan sumberdaya air pada tingkat tertentu. Besarnya biaya eksternalitas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penghasil sumberdaya air di DAS Citarum Wilayah Hulu. Biaya eksternalitas meningkat apabila terjadi penurunan volume air, peningkatan sedimen yang memasuki partisi cooler (sehingga tidak beroperasi) yang kedua-duanya menyebabkan kesempatan tidak berproduksi PLTA semakin besar, peningkatan biaya pemeliharaan dan kebijakan manajemen PJT II dalam mengalokasikan air. Pada Tabel 45 disajikan biaya eksternalitas 3 PLTA baik berdasarkan pengamatan maupun simulasi (kondisi penutup lahan 1993) dengan asumsi biaya pemeliharaan ketiga PLTA sama dengan biaya pemeliharaan UBP Saguling.
168 Tabel 45. Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA. No
Uraian Biaya
Biaya Eksternalitas PLTA (miliar Rp/th) Saguling Cirata Jatiluhur
Perhitungan Kehilangan kesempatan 1. 16,097 10,776 berproduksi Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan 2. 2,738 5,4761* bahan kimia dan pemeliharaan waduk. Total 18,855 16,252 Simulasi perubahan penutup lahan 1993 dan 2003 Potensi kehilangan 1. 138,617 92,770** kesempatan berproduksi Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan 2. 2,738 5,476 bahan kimia dan pemeliharaan waduk. Total 141,355 98,246
Jumlah (Rp)
8,35
35,223
4,080*
12,294
12,43
47,517
71,904**
303,318
4,080
12,294
75,984
315,612
Keterangan : * = biaya pemeliharaan per unit turbin PLTA UP. Cirata dan Jatiluhur didasarkan pada total biaya pemeliharaan UBP. Saguling dibagi dengan jumlah turbin (4 turbin). ** = didasarkan pada hasil simulasi PLTA Saguling secara proporsional. Asumsi biaya pemeliharaan pada simulasi tetap.
Besarnya biaya eksternalitas tersebut diduga akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang sebagai akibat penurunan pendapatan dan peningkatan biaya pemeliharaan. Penurunan pendapatan disebabkan oleh peningkatan besarnya kehilangan kesempatan berproduksi, baik sebagai akibat penurunan volume air masuk lokal, peningkatan sedimentasi dan waduk maupun peningkatan frekuensi pemeliharaan alat utama produksi (turbin dan cooler). Apabila diasumsikan bahwa biaya perawatan alat utama produksi energi listrik (turbin) di ketiga PLTA adalah sama seperti PLTA Saguling, maka total biaya pemeliharaannya adalah sebesar Rp 12,294 miliar per tahun. Besarnya total kerugian akibat penurunan pendapatan adalah Rp. 47,517 milyar per tahun (Rp. 35,223 miliar + Rp 12,294 miliar). Apabila dibandingkan dengan produksi energi listrik dan volume air yang digunakan masing-masing PLTA diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 45. Dengan demikian, kerugian ekonomi yang di derita 3 PLTA sebagai akibat penurunan produksi energi listrik dan peningkatan biaya pemeliharaan adalah Rp. 47,517 miliar per tahun.
169 Untuk menduga potensi kerugian PLTA sebagai akibat perubahan penutup lahan dilakukan pengurangan pendapatan hasil simulasi penutup lahan (tahun) 1993 dengan penutup lahan (tahun) 2003 dengan hasil sebagaimana pada Tabel 46.
Dari tabel tersebut diketahui bahwa potensi kerugian atau
potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan sangat besar yaitu
Rp.141,355 miliar (PLTA Saguling), Rp.98,246 miliar (PLTA
Cirata), Rp.75,984 miliar (PLTA Jatiluhur) dan Rp.315,612 miliar (3 PLTA) setiap tahun dengan asumsi volume air masuk lokal yang tersedia dan turbin dioperasionalkan secara memaksimal oleh PLTA serta biaya pemeliharaan tetap. Potensi kerugian tersebut merupakan nilai guna (manfaat) sumberdaya air yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan dari tahun 1993-2003. Dengan kata lain, dengan mempertahankan penutup lahan pada kondisi 1993, ketiga PLTA telah mendapatkan potensi keuntungan (opportunity benefit) yang sangat besar. Besarnya perbedaan antara kerugian menurut perhitungan (aktual) dengan hasil simulasi (model GR4J) diduga disebabkan tidak maksimalnya PLTA beroperasi, penurunan DAML dan VAML dan kebijakan alokasi air oleh manajemen (PJT-II) selama peride 1993-2003. Dengan membagi biaya (kerugian) terhadap produksi energi listrik dan air yang digunakan oleh PLTA, diperoleh biaya marjinal lingkungan (environmental marginal cost) atau biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum. Hasil analisis terhadap Tabel 46 didapatkan informasi bahwa secara umum potensi kerugian ketiga PLTA sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar Rp. 47,517 - Rp. 315,612 milyar setiap tahun atau sebesar Rp. 2.789,11 - Rp. 10.434,42 per MWh listrik yang dihasilkan atau Rp. 3,60 – Rp. 16,95 per m³ air yang digunakan. Besarnya potensi kerugian yang dialami oleh ketiga PLTA (Rp. 315,612 miliar per tahun) diperkirakan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan karakteristik hidrologis periode 1993 -2003.
170 Tabel 46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun. PLTA Cirata
No
Uraian
1.
Potensi PEL (MWh/th)
2,358,732.49
1,385,191.70
809,946.71
4,553,870.90
2.
Potensi VAML (m³/th)
2,590,570,000
5,092,340,000
5,520,160,000
13,203,070,000
18,835,440,000
16,252,000,000
12,430,000,000
47,517,000,000
7,985.41
11,732.67
15,346.69
10,434.42
7.27
3.19
2.25
3.60
Potensi kerugian 3. (Rp/th) BML per unit output 4. (3 : 1) (Rp/MWh) BML per m³VAML 5. (3 : 2) (Rp/m³) Simulasi 1993
Saguling
3 PLTA
Jatiluhur
PLTA Cirata
No
Uraian
1.
Potensi PEL (MWh/th)
58,611,796.53
34,420,424.71
20,126,246.61
113,158,467.85
2.
Potensi VAML (m³/th)
3,652,598,448.64
7,179,992,505
7,783,201,323.36
18,615,792,277.10
141,355,000,000
98,246,139,840
75,984,823,880
315,611,797,800
2,411.72
2,854.30
3,775.41
2,789.11
38.70
13.68
9.76
16.95
3. 4. 5.
Potensi kerugian (Rp/th) BML per unit output (3 : 1) (Rp/MWh) BML per m³VAML (3 : 2) (Rp/m³)
Keterangan :
Saguling
3 PLTA
Jatiluhur
PEL = Produksi energi listrik, VAML = volume air masuk lokal, BML = Biaya marginal lingkungan.
Dengan kata lain, apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis tidak berubah (seperti kondisi tahun 1993), maka ketiga PLTA akan mendapatkan potensi keuntungan sebesar potensi kerugiannya. Biaya tersebut merupakan compensation variation dan equivalent variation ketiga PLTA dalam upaya mempertahankan utilitas sumberdaya air sebagai energi pembangkit pada tingkat produksi yang ditetapkan. Dengan kata lain, biaya tersebut merupakan willingness to pay wilayah hilir (pengguna jasa) atas perbaikan kualitas lingkungan wilayah hulu (penyedia jasa). lingkungan 3 PLTA seperti pada Gambar 44.
Secara grafik, biaya marjinal
171
P e rba ndinga n BML S a guling Ta hun 1993 da n 2003
90,000
P e rba ndinga n BML Cira t a Ta hun 1993 da n 2003
140,000
2003
80,000 70,000
2003
120,000
1993
1993
100,000
60,000 50,000
80,000
40,000 30,000
60,000 40,000
20,000 10,000
20,000
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
2
3
P e rba ndinga n BML J a t iluhur Ta hun 1993 da n 2003
5
6
7
8
9
10
P e rba ndinga n BML Cit a rum (3 P LTA) Ta hun 1993 da n 2003
400,000
2003
2003
350,000
200,000
4
P roduksi (MWh)
P roduksi ( MWh)
1993
1993
300,000
150,000
250,000 200,000
100,000
150,000 100,000
50,000
50,000 -
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
P r oduksi (MWh)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
P r oduksi (MWh)
Gambar 44. Biaya marginal lingkungan 3 PLTA. 8.4.2. Kerugian Ekonomi PDAM Komponen biaya yang diteliti dalam pengolahan air baku menjadi air bersih (minum) adalah (1) pemeliharaan peralatan produksi dan (2) penggunaan bahan kimia. Tabel 47. Biaya pemeliharaan WTP Ubrug (PDAM Tirta Dharma). No
Tahun
Komponen Biaya
1
1988
Reposisi level pompa intake
Biaya
2
1993
Pencucian pasir di WTP
104.741.000
3
1994
Pengangkutan kapasitor instalasi
814.939.000
2.255.000
pengelolaan air bersih (IPA) PDAM Kab. Purwakarta 4
1995
Pengawasan proyek pengangkutan kapasitor instalasi
49.071.000
5
1996
Pencucian pasir di WTP
5.790.000
6
1998
Pencucian pasir di WTP
11.961.000
7
2002
Evaluasi up-rating WTP, pengawasan pekerjaan
49.500.000
pengelolaan air bersih (IPA) PDAM Purwakarta
up-rating WTP dan assesment WTP Ubrug 8
2003
Up-rating WTP (lanjutan) PDAM Purwakarta
Total Biaya Pemeliharaan WTP Ubrug Rata-rata per tahun
Sumber : Laporan keuangan PDAM Tirta Dharma 1999-2003.
724.725 1.038.981.725 41.559.269
172 Pada Tabel 47 dan 48 disajikan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta (sumber air baku dari Ubrug) setiap tahun sebesar Rp 41.559.000,- (laju kenaikan sebesar 4,0% per tahun). Penggunaan bahan kimia oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta mengalami kenaikan (19992003) antara 0.93% (sodium), -56% (asam sulfat). Penggunaan bahan kimia yang semakin meningkat, menunjukkan penurunan kualitas air yang diproses PDAM. Tabel 48. Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta. No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-Rata
1999 Chor Kaporit 15 30 30 11 60 95 241 40
Bahan Kimia (Kg) 2001 2003 Shodium Alum Shodium Alum Sulfat 930 4.740 2.520 5.675 1.770 4.865 1.930 6.300 1.810 3.930 2.335 6.955 1.125 6.230 2.375 8.175 1.470 5.515 2.220 7.225 1.465 4.320 2.335 6.325 2.325 3.700 2.330 6.300 2.765 3.823 3.380 6.750 2.520 4.150 1.410 8.400 2.638 4.200 1.500 10.450 2.226 3.850 1.095 10.500 1.974 3.900 1.210 11.100 23.018 53.223 24.640 94.155 1.918 4.435 2.053 7.846
Sumber : Bagian keuangan PDAM Purwakarta.
PT. Thames PAM Jaya mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia sebesar Rp. 87,317 juta per tahun selama kurun waktu (1998-2005) atau laju kenaikan biaya untuk pengadaan bahan kimia sebesar 10,61% per tahun atau Rp 64,00,- per m³ biaya produksi air minum. Peningkatan penggunaan bahan kimia oleh PT. Thames PAM Jaya Jakarta menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku (dari Tarum Kanal Barat/Citarum) yang diproses. Kesediaan PDAM untuk membayar biaya marginal (tambahan) sebesar tersebut merupakan avoid cost untuk mempertahankan utility sumberdaya air pada tingkat tertentu. Biaya
marginal
pendapatannya.
lingkungan
tersebut
dikompensasi
oleh
PDAM
dari
173 Dari Tabel 49, Gambar 45 dan Tabel 50 dapat disimpulkan bahwa tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Thames PAM Jaya persatuan produksi (m3) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama pada periode 2003-2006, yang mana pada periode tersebut produksi air minum relatif menurun. Kondisi ini mengindikasikan adanya peningkatan pencemaran air baku air minum (air dari Sungai Citarum-Kanal Tarum Barat). Peningkatan pencemaran tersebut terutama disebabkan penurunan kualitas lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Tabel 49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. No
BLN
1 Jan 2 Feb 3 Mar 4 Apr 5 May 6 Jun 7 Jul 8 Aug 9 Sep 10 Oct 11 Nov 12 Dec Jumlah Rata-rata
1998
1999
Biaya Bahan Kimia / 1000 m³ (Rp juta) 2000 2001 2002 2003
2004
2005
437,44
646,85
689,99
793,88
1.092,85
701,84
1.167,91
1.133,86
460,76
557,98
551,25
566,61
772,11
735,58
901,61
1.189,19
625,63
658,13
654,12
801,45
821,34
811,46
941,26
1.355,27
553,49
638,29
692,18
939,50
1.011,89
764,85
1.262,71
1.140,14
502,54
803,95
783,03
787,49
722,15
824,27
1.122,38
1.044,20
870,54
524,26
686,82
957,57
718,26
692,67
858,63
1.132,02
882,73
544,26
827,95
926,27
826,72
676,36
974,41
1.009,80
850,70
546,63
709,68
718,00
684,84
685,07
916,84
1.026,04
619,51
495,42
627,76
967,81
636,81
693,59
949,98
1.011,83
837,97
821,43
672,22
1.115,08
649,74
907,48
1.071,40
1.389,21 1.188,63
562,45
617,06
779,82
1.001,84
711,76
836,50
1.140,17
599,73
675,06
678,50
781,58
731,48
792,32
1.338,52
1.195,93
7.803,48
7.529,32
8.353,30
10.357,08
9.379,96
9.121,99
12.645,82
13.816,13
650,29
627,44
696,11
863,09
781,66
760,17
1.053,82
1.151,34
1200 1000 (Rp/ m3)
JumlahBiaya BahanKimiahhhh
Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
800 600 400 200 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 45. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun 1998-2005.
174 Peningkatan penggunaan bahan kimia sebagai akibat degradasi kualitas air baku air minum PT. Thames PAM Jaya meliputi pemakaian alum sulfat cair, PAC, gas klor, karbon aktif, kapur padam, proestol TR 611, magnoflok LT 20, dan magnoflok LT 7994. Tabel 50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. No
Bulan
Januari 1 Februari 2 Maret 3 April 4 Mei 5 Juni 6 Juli 7 Agustus 8 September 9 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata tahun Laju Laju rata-rata
1998 35,03 39,16 47,57 43,36 38,69 69,26 71,57 65,92 50,77 67,61 46,3 52,29 627,53
1999 57,90 49,82 52,87 53,73 65,32 44,79 46,02 49,44 47,37 77,89 58,74 65,94 669,83
42,3
134,32
Biaya Bahan Kimia ( Rp/m³) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 68,76 65,79 90,25 57,59 87,79 59,36 52,05 74,28 65,99 71,64 66,94 66,62 72,52 67,02 69,81 70,05 81,66 91,56 65,30 100,04 74,86 72,23 63,28 69,83 83,63 67,02 80,51 64,94 60,16 63,20 82,39 74,76 70,96 57,44 71,30 67,07 58,21 57,43 57,40 69,05 62,78 77,34 54,52 57,86 75,84 59,29 90,49 53,30 73,04 77,99 68,59 82,11 60,56 65,12 86,96 57,04 62,89 61,25 58,59 102,51 804,15 864,66 814,85 755,34 959,76 60,51
-49,81
-59,51
204,42
2005 84,46 103,44 103,95 89,64 78,91 88,19 77,90 78,28 80,57 105,09 95,96 89,17 1075,56 821,46
115,8 64,004
Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
Tabel 51. Sidik ragam (Anova) penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya. No 1. 2. 3.
Keragaman Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
Jumlah Kuadrat 11.954,764 9.285,734 1.240,498
Derajat Bebas 7 87 94
Nilai Tengah Kuadrat 1.707,823 106,733
F Hitung
Signifikansi
16,001*)
0,000
Keterangan : *) berbeda nyata pada α = 5%
Dari hasil sidik ragam (anova) sebagaimana pada Tabel 53 dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F-tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 5%. Secara grafis biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM ditampilkan pada Gambar 46.
175
BML (Rp)
Biaya Marginal Lingkungan 2 PDAM 700 600 500 400 300 200 100 -
Tirta Dharma Thames PAM Jaya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
Produksi Air Minum (M )
Gambar 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya. 8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu Untuk mengetahui nilai jasa air bagi masyarakat hulu, dilakukan survey contingent valuation method (CVM) terhadap 120 Kepala Keluarga di 4 Kecamatan yang merupakan wilayah hulu DTA Saguling 8.4.4. Karakteristik Responden Pengguna jasa lingkungan disebut hilir dan penyedia disebut hulu. Dengan definisi tersebut, masyarakat di sekitar waduk Saguling juga merupakan pengguna jasa lingkungan yang disediakan oleh DTA (Sub DAS wilayah hulu) berupa air. Pengguna jasa lingkungan (air) yang lain adalah PLTA, PDAM, industri, hotel dan restoran, rumah tangga, instansi pemerintah, dll. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan di DAS hulu Citarum. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan secara tidak langsung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi untuk rehabilitasi wilayah hulu melalui masyarakat. Menurut Leimona (2004), masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan” (environmental services providers), yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikategorikan sebagai pelindung (guardian) dan pengelola (stewardship). Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan
176 serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan (recognition and reward). Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga (40KK/Kecamatan). Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan. a. Jenis kelamin Responden
dalam
penelitian
ini
adalah
para
penduduk
yang
menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95% (115 KK) adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5% (5 KK). Hal ini disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga. b. Tingkat pendidikan Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD (97 KK), SMP (15 KK) , SMU (4 KK), tidak sekolah (3KK) dan PT (1KK). Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah tertinggal. c. Tingkat pendapatan Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan
177 (56 KK), Rp 300.000 keatas (40 KK) dan 24 KK berpenghasilan kurang dari Rp 100.000 per bulan. d. Jumlah tanggungan Jumlah tanggungan 2-4 orang/KK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orang/KK (2 KK), kurang dari 2 orang/KK (7 KK). e. Usia Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK (30 - 40 th), 30 KK (<30 th), 22 KK (50 - 60 th), 21 KK (40 - 50 th) dan 6 KK (>60 th). f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK (sebagian besar) masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK (mata air), 23 KK (sumur dan mata air) dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden bervariasi antara ≤ 30 m³/bln - ≥ 90 m³/bln. Sebagian besar responden yaitu 52 KK membutuhkan 71 - 90 m³/bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³/bln, 9 KK membutuhkan ≥ 91 m³/bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³/bln. g. Mata pencaharian responden Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar (lebih dari 12.000 KJA), namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7%, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA. h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar ≤ Rp 20/m³, 28 KK sebesar Rp 20/m³ – Rp 40/m³, 17 KK sebesar Rp 40/m³ – Rp
178 50/m³, dan 3 KK sebesar Rp 80/m³ – Rp 100/m³. Secara umum kesediaan membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33/m³air bersih. 8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan. Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40% dari karbon yang dilepaskan berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri (67%) dan konversi lahan (33%), sedangkan 60% berasal dari proses alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang dilakukan LAPAN dalam Boer et all (2003), menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation (ENSO), yang terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar. Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis (1931-1990) yang dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah (2003) menunjukkan bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Berdasarkan hasil analisis oleh Boer (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami
179 kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya kecamatan yang akan mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatkan tingkat pengambilan air permukaan 10% menjadi 25% sebagaian besar kebutuhan air kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25% dari total sudah jauh melampaui debit andalan sehingga resiko kekurangan air, khususnya pada musim kemarau akan tetap tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari Purwakarta dan DKI Jakarta akan terjadi penigkatan terhadap permintaan air minum. Di Kota Purwakarta didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan terhadap air minum mulai tahun 2000 sebanyak 2900 m³. Keadaan ini diproyeksi sampai dengan kebutuhan tahun 2006 sebanyak 5500 m³. Hal ini menunjukkan akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk. Keadaan ini juga terjadi di Kota Jakarta, namun terjadi permintaan akan air minum yang lebih banyak pada Kota Jakarta sebanyak 7500 m³ pada tahun 2006. Pada Tabel 52 disajikan neraca kebutuhan air di DAS Citarum. Tabel 52. Neraca kebutuhan air DAS Citarum. Uraian 1. Sumber Citarum Sungai Lain 2. Kebutuhan Irigasi Industri Air minum Perikanan Penggelontoran Beban puncak listrik
1990 m³/det
106 m³
m³/det
182,33 60,25
5.750,00 1.900,00 7.650,00
182,33 61,83
177,33 7,91 9,77 1,00 2,00 9,51
5.591,71 249,45 308,11 31,54 63,07 300,00
175,00 15,00 21,30 10,00 10,00 3,17
6.543,88 3. Neraca Sumber Kebutuhan
242,58 207,49
Sumber : PJT II Jatiluhur 2002.
7.650,00 6.543,88 1.106,12
2005 106 m³
2025 m³/det
106 m³
5.750,00 1.950,00 7.700,00
182,33 63,42
5.750,00 2.000,00 7.750,00
5.518,80 473,04 671,72 315,36 315,36 100,00
168,00 25,00 45,00 20,00 15,00
5.298,05 788,40 1.419,12 630,72 473,04
7.394,28 244,16 234,47
7.700,00 7.394,28 305,72
8.609,33 245,75 273,00
7.750,00 8.609,33 859,33
180 Jelaslah bahwa permintaan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga terus meningkat, sementara suplai air dari Citarum terus menurun. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan meningkat pula. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan akan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo (2001) memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi dapat memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapat dari PJT II Jatiluhur, didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum hulu. Keadaan akan kurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk di Jakarta Utara dan sedang di Purwakarta menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa kurangnya ketersediaan air. Kurangnya ketersediaan air minum khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air minum (Jasa Tirta II, 2002). Sehingga jelaslah untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum, khususnya pada saat musim kemarau perlu dilakukan perbiakan lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. b. Tanggapan responden terhadap keberadaan Waduk Saguling Responden di 4 Kecamatan sebagian besar atau 97% (117 KK) menyatakan keberadaan waduk Saguling sangat penting bagi mereka dan sangat sedikit (3 KK) yang menyatakan tidak penting. Akan tetapi hanya 52 KK (43%) yang selalu berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan hulu DTA, sedangkan 68 KK (57%) tidak berpartisipasi. Hal ini, dikarenakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UBP Saguling dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan tidak mengikutkan semua warga/penduduk di wilayah
181 sekitar waduk. UBP Saguling membentuk kader-kader pelestari lingkungan di setiap desa/Kecamatan di seluruh wilayah DTA Saguling. c. Hasil analisa logit kesediaan membayar kompensasi perbaikan lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Intepretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai resiko oddsnya. Rasio odds adalah ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas terhadap respon. Jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih kecil dari satu. (Hosmer, 1989). Pada hasil analisis regresi logit kesediaan masyarakat dalam membayar perbaikan lingkungan di hulu DTA Saguling ada tiga variabel yang signifikan yaitu kebutuhan air, jumlah tanggungan dan pendapatan, sedangkan pendidikan dan umur tidak signifikan (Tabel 53). Tabel 53. Hasil Analisa Logit WTP. Variabel X1 (Kebutuhan Air ) X2 (Jumlah Tanggungan) X3 (Pendapatan) X4 (Pendidikan) X5 (Umur)
Koefisien 0,05735 -1,1831 0,00065 -0,0749 0,0491
Masyarakat DTA Hulu Signifikansi 0,017** 0,005** 0,000** 0,578 0,437
Rasio Odds 1,06 0,31 1,00 0,93 1,02
**) nyata pada α = 5/2 %, R = 83 %.
d. Persepsi terhadap ketersediaan air minum Koefisien positif pada persepsi seseorang terhadap ketersediaan air minum menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang maka akan semakin tinggi pula kesediaan dalam membayar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesediaan membayar sebesar 1,06 kali pada persepsi yang lebih baik. Bentuk kesediaan dalam membayar yang dinyatakan dengan terdapatnya peluang membayar, dapat diartikan sebagai bentuk mulai dirasakannya kurangnya ketersediaan air minum terutama pada saat musim kemarau. Keadaan ini dikarenakan kondisi lingkungan yang semakin memburuk sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air. Apabila kondisi ini dibiarkan
182 maka akan berakibat defisitnya sumber air sehingga tidak tecukupinya kebutuhan akan air. e. Pendapatan Koefisien
yang
positif
terdapat
pada
pekerjaan.
Keadaan
ini
menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang sebagai petani lebih mempunyai peluang membayar yang lebih besar dibandingkan dengan mata pencaharian lain. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai petani mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan yang mempunyai pekerjaan lain. Dari hasil analisis logit diketahui bahwa peluang membayar sebagai petani 1,00 kali lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya. f. Jumlah tanggungan Lain halnya kondisi jumlah tanggungan yang mempunyai koefisien negatif (-1,1831). Keadaan ini menunjukkan semakin banyak jumlah tanggungan seseorang maka akan semakin rendah keinginan seseorang dalam membayar kompensasi. Nilai ratio odd sebesar 0,31 dapat diartikan semakin sedikit jumlah tanggungan responden maka keinginan membayar akan semakin besar 3 kali. 8.5. Simpulan Kerugian ekonomi yang menjadi tambahan biaya (marginal cost) akibat kerusakan lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu masing-masing PLTA per tahun adalah sebesar Rp. 18,835 miliar atau Rp. 7.985/MWh atau Rp. 7,27/m3 (PLTA Saguling), Rp. 16,252 miliar atau Rp. 11.732/MWh atau Rp. 3,19/m3 (PLTA Cirata), Rp 12,430 miliar atau Rp 15.346/MWh atau Rp 2,25/m³ (PLTA Jatiluhur) dan Rp. 47,517 miliar atau Rp. 10.434/MWh atau Rp. 3,60/m3 (3 PLTA). Biaya bahan kimia yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma adalah sebesar Rp 212,43 per m³ air minum yang diproduksi dan PT. Thames PAM Jaya sebesar Rp 821,46 per m³ air minum yang diproduksi dengan kenaikan (marjinal) per tahun Rp 64,0 per m³. Kesediaan membayar masyarakat hulu Sub DAS Saguling untuk peningkatan kualitas sumberdaya air adalah sebesar Rp 28,33/m³ air yang digunakan.
9. PEMBAHASAN UMUM
9.1. Perubahan Tutupaan Lahan dan Karakteristik Hidrologis Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya air adalah kuantitas, kualitas, penyebaran dan waktu aliran. Kekeringan dan banjir merupakan dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi terutama hujan. Pembangunan waduk, kecuali untuk PLTA juga dimaksudkan untuk menampung aliran air hujan (ketika musim hujan di wilayah hulu) dan mengalirkannya kembali (pada musim kemarau), sehingga pasokan air untuk irigasi di wilayah hilir dapat stabil pada kuantitas tertentu. Pengelolaan vegetasi di wilayah hulu DAS juga dapat menurunkan aliran sedimen yang masuk kedalam waduk sehingga meningkatkan umur pemanfaatan (service life) waduk. Vegetasi (hutan) juga dapat mengatur aliran air (stream regulator) yaitu dengan menyimpan air selama musim hujan dan mengalirkannya pada musim kemarau. Perubahan tataguna lahan DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1992–2002 telah menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis berupa terjadinya kecenderungan penurunan debit dan volume air (air masuk lokal dan air keluar), fluktuasi debit air masuk lokal yang ditandai dengan meningkatnya rasio Q max-min dan peningkatan laju sedimentasi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami degradasi yang cukup kritis ditandai dengan tingginya laju perubahan penutup lahan dan pengalihan fungsi (tataguna). 9.1.1. Perubahan Penutup Lahan dan Curah Hujan Sebagaimana diuraikan pada Bab 5, pada periode pengamatan 1993 – 2003 secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mm/th. Pada periode yang sama, musim kemarau (April-September) di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan rata-rata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan (Oktober-Maret), CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Adanya kecenderungan penurunan curah
184 hujan dan kaitannya dengan perubahan penutup lahan (land cover) akibat perubahan tata guna lahan (land use) tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Perubahan penutup lahan vegetasi di Pulau Jawa telah berlangsung sejak awal abad lalu akibat konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain. Dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti dengan penurunan hasil air DAS (Pawitan, 2004). Penggundulan hutan secara luas di
suatu
DAS
akan
menurunkan
kelembaban
(dengan
berkurangnya
evapotranspirasi) dan menyebabkan penurunan curah hujan lokal. Penelitian di Amazon (Asdak, 2004) menunjukan bahwa 50% dari total hujan di wilayah hutan berasal dari hasil evapotranspirasi hutan yang ada di wilayah tersebut. 9. 1. 2. Perubahan Penutup Lahan, Debit dan Volume Air Analisis data menunjukkan adanya kecenderungan penurunan debit dan volume air masuk lokal (DAML 1,49% dan VAML 4,2%) di Sub DAS Citarum Wilayah Hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar 151,98 m³/dt (MK) dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³/dt dan 265,40 m³/dt (MH) dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³/dt. Penurunan debit dan volume air tersebut serta peningkatan keragamannya kemungkinan terutama disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) dalam Agus et.al (2004) yang menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, ukuran DAS dan kapasitas storage DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002) dalam Suryani dan Agus (2005) mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran permukaan (run off). Penurunan muka air
185 tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit dan peningkatan run off secara langsung mempengaruhi peningkatan debit. Akan tetapi dari beberapa penelitian (Asdak, 2004) menunjukan bahwa perubahan vegetasi hutan menjadi non vegetasi telah menyebabkan kenaikan hasil air total (water yield). Kenaikan hasil air tersebut terutama dihasilkan dari meningkatnya run off yang langsung menjadi aliran (debit) air, penurunan evapotranspirasi dan penurunan aliran rendah (base flow) yang tidak signifikan. Hal ini dapat diterima karena pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site specific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah di musim kemarau (Pawitan, 1999 dalam Agus et.al, 2004). Dengan demikian penurunan debit, volume air dan peningkatan rasio Q max-min (1993–2003) di DAS Citarum Wilayah Hulu lebih disebabkan oleh penurunan curah hujan yang terjadi. Penurunan curah hujan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan penutup lahan berupa penurunan luas vegetasi terutama hutan dan tanaman keras (pohon) lainnya dalam skala besar dan jangka waktu yang lama. 9.1.3. Perubahan Penutup Lahan, Kualitas Air dan Sedimentasi Kualitas air merupakan bagian yang penting dalam isu pengembangan sumberdaya air dan kepedulian terhadap keadaan lingkungan hidup. Kualitas air meliputi keadaan fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi dan pemanfaatan lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang dapat mempengaruhi ketersedian air untuk berbagai kepentingan adalah sedimen, suhu, oksigen terlarut, pH, bakteri dan kandungan logam berat. Degradasi lingkungan, terutama yang berkaitan dengan berkurangnya areal hutan secara meluas yang diikuti dengan praktek bercocok tanam yang tidak atau kurang mengikuti kaidah-kaidah konservasi telah memberikan sumbangan yang signifikan untuk terjadinya perubahan perilaku aliran air dan menurunkan kualitas air. Menurunnya kualitas air tersebut diperparah lagi oleh semakin banyaknya industri dan rumah tangga yang membuang limbah ke perairan di sekitarnya, tanpa melalui pengolahan (treatment) air yang memadai. Adanya perubahan kualitas air akibat perubahan pemanfaatan DAS, dapat menjadikan air yang
186 sebelumnya dapat dikonsumsi manusia menjadi tidak lagi dapat dimanfaatkan tetapi masih dapat dipakai untuk keperluan lain seperti rekreasi dan pertanian dalam arti luas.Dari aspek sumber, pencemaran perairan dapat berasal dari degradasi lahan akibat kegiatan pertanian dalam arti luas yang dikenal dengan istilah non-point source pollution, karena tempat sumber pencemar tidak diketahui secara pasti. Sumber pencemar yang dengan pasti diketahui sumbernya disebut point source pollution. Pencemaran dari kedua sumber ini memasuki perairan dari wilayah hulu, tengah dan hilir DAS Citarum Wilayah Hulu. Beberapa zat pencemar yang memasuki perairan adalah : a.
Muatan sedimen. Kualitas fisik perairan sebagian besar ditentukan oleh jumlah konsentrasi
sedimen yang terdapat di perairan. Muatan sedimen terdiri dari dua jenis yaitu sedimen merayap (bedload) dan sedimen melayang (suspended sediment). Muatan sedimen diukur dengan tingkat kekeruhan yang terjadi di perairan tersebut. Pada tingkat kekeruhan tertentu akan mengurangi cahaya matahari yang dapat masuk kedalam badan air dan menghambat proses fotosintesa vegetasi dan aktifitas kehidupan organisme perairan. Aktifitas manusia yang menyebabkan perubahan tataguna lahan akan menimbulkan perubahan pada karakter sedimentasi dan kualitas kimiawi air baik di wilayah hulu, tengah maupun hilir DAS. Pemanfaatan lahan tersebut dapat meningkatkan jumlah mineral-mineral dan komponenkomponen (organik dan non organik) lain yang terangkut masuk ke dalam sungai dan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap keseimbangan ion-ion yang ada dalam perairan sutu DAS (Asdak, 2004). Pembalakan (pembukaan) wilayah hutan akan menyebabkan peningkatan “hilangnya” unsur hara (terutama natrium dan NH4). Peningkatan hilangnya unsur hara dan peningkatan air larian cenderung akan meningkatkan konsentrasi unsur hara yang masuk ke sungai dan waduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi “hilangnya” unsur hara pada penebangan hutan adalah proporsi unsur hara yang terkandung dalam vegetasi (pohon), luas hutan yang ditebang, perlakuan terhadap sisa tebangan dan proses dekomposisi sisa tebangan. Anderson dan Spencer
187 (1991) dalam Asdak (2004) mengemukakan bahwa unsur hara yang “hilang” dapat berkisar antara 10% - 50% akibat dari penebangan hutan. Dampak lain dari perubahan penutup lahan adalah peningkatan sedimentasi di sungai yang mengalirkan air dari daerah tangkapan air yang bersangkutan. Besarnya peningkatan sedimentasi tersebut dapat mencapi 2–3 kali lebih besar dari keadaan sebelum dilakukan penebangan hutan. Muatan sedimen meningkat dari 180 ppm sebelum pembalakan menjadi 320 ppm selama tahun pertama setelah pembalakan hutan dan meningkat 520 ppm pada dua tahun setelah pembalakan (Hamilton dan King, 1983). Besarnya laju sedimentasi yang terjadi sebesar 12,86 – 21,66 juta m³/th (DAS Citarum Wilayah Hulu) mengindikasikan semakin rusaknya kondisi lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Perbedaan besarnya sedimentasi pada waktu yang berbeda tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik curah hujan dan sumber utama sedimen berasal dari tempat-tempat yang dianggap rawan erosi seperti lahan-lahan terbuka dengan kemiringan besar untuk berbagai penggunaan. b.
Suhu air. Suhu merupakan faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna
akuatik, terutama bila suhu perairan telah melampaui ambang batas bagi kehidupan organisme perairan. Secara umum, kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktifitas biologi dan memerlukan lebih banyak oksigen. Kenaikan suhu perairan akan menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam memanfaatkan oksigen yang tersedia untuk berlangsungnya proses-proses biologi dalam air. Kenaikan suhu perairan alamiah umumnya disebabkan oleh peningkatan aktifitas penebangan hutan (vegetasi) terutama disepanjang tebing aliran dan umumnya di wilayah DAS bagian hulu. c.
BOD5 dan COD Kandungan oksigen terlarut dalam perairan dijadikan indikator ada
tidaknya pencemaran, dan ukuran yang umum digunakan adalah kandungan BOD (biological oxygen demand) dan atau COD (chemical oxygen demand). BOD adalah indeks oksigen yang diperlukan selama proses dekomposisi aerobik zat pencemar yang dapat diurai (biodegradable pollutant). Dekomposisi aerobik
188 adalah perubahan proses kimia terurainya mikroba-mikroba yang menyusun molekul organik menjadi bentuk lain yang lebih sederhana dan bersifat “permanen” seperti CO2, PO4, dan NO4. Dengan demikian, semakin besar angka BOD semakin tinggi tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut. Secara umum, angka BOD yang tinggi (umumnya dinyatakan dalam BOD5) yang menjukan tingginya konsentrasi bahan organik dalam perairan. Perairan yang menampung limbah pemukiman dan industri memiliki BOD5 melebihi 200 ppm (Dunne dan Leopold, 1979, Brooks et. al, 1989 dalam Asdak, 2004). Mendasarkan pada kriteria ini, kondisi perairan di ketiga waduk masih baik (nilai BOD5 dibawah 200 ppm) COD dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan tingkat BOD. Indeks COD kurang dimanfaatkan sebagai indikator pencemaran karena tidak dapat menunjukan secara memadai jumlah oksegen yang dikonsumsi dalam proses oksidasi pada aliran air alamiah. Di Jawa Barat (Bukit, 1997 dalam Asdak, 2004), angka konsentrasi BOD5 tertinggi di Sungai Citarum terdapa di Cimahi dan terkecil di Rancaekek. d.
pH Air. Tingkat pencemaran perairan juga dapat dilihat dari tingkat keasaman atau
kebasaan air, terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium pada proses pembasaan. Besarnya angka pH dapat menunjukan adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dapat mempengaruhi ketersediaan hara yang sangat bermanfaat bagi vegetasi akautik. Brooks et, al (1989) dalam Asdak (2004) menyatakan bahwa pH lebih kecil dari 4,8 dan lebih besar dari 9,2 sudah dapat dikatagorikan perairan tercemar. Berdasarkan hal ini, pH air waduk dan sumber air baku PDAM masih baik (pH berkisar 6–8). Keasaman merupakan karakteristik air yang penting karena mempengaruhi proses biologis dan kimia perairan dan menyebabkan terjadinya karat (korosi) pada logam. Penyebab lain dari peningkatan pH perairan adalah hujan asam (acid rain) yang menurut Hewlett (1982), hujan asam apabila pH air hujan berada di bawah 5,6.
189 e.
Faecal coliform dan logam berat. Pada umumnya, faecal coliform digunakan sebagai indikator pencemaran
perairan yang bersumber dari limbah rumah tangga. Konsentrasi faecal coliform lebih besar dari 2000 MPN/100 ml dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia. Limbah industri yang dibuang ke perairan umumnya mengandung logam berat seperti Cu, Cd, Pb, Zn dan Hg, sedangkan limbah pestisida yang sering dijumpai di perairan Indonesia antara lain adalah H2S, NO2 dan NH3.
9.2.
Perubahan Karakteristik Hidrologis, Produksi PLTA dan PDAM dan Biaya Marjinal Lingkungan. 9.2.1. Produksi Energi Listrik oleh PLTA Karakteristik hidrologi yang paling mempengaruhi produksi energi listrik dan air minum adalah debit, volume, sedimentasi dan pencemaran air. Dalam merencanakan pembangunan waduk dan PLTA, faktor debit dan volume air serta sedimentasi merupakan hal yang sangat penting. Untuk menghasilkan energi listrik diperlukan energi sumderdaya air sejumlah tertentu. Debit dan volume air juga sangat menentukan tinggi duga muka air (DMA) pada waduk yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah air yang dapat digunakan untuk memutar turbin, karena masing-masing turbin memiliki ketinggian DMA yang berbeda. Dengan demikian perencanaan produksi energi listrik sangat dipengaruhi oleh ketersediaan volume air di waduk. Sedimentasi waduk juga mempengaruhi produksi energi listrik PLTA. Volume sedimentasi (bedload) yang besar akan mempengaruhi volume air dalam waduk dan pada tingkat tertentu ketinggian sedimen akan mencapai tingkat (level) inlet turbin. Kondisi seperti ini disebut kondisi waduk telah mencapai dead storage (tampungan mati). Pada saat tersebut terjadi, air tidak dapat lagi masuk melalui inlet turbin dan secara praktis air dalam waduk tidak dapat berfungsi untuk menggerakan turbin PLTA. Waktu yang diperlukan oleh sedimentasi untuk memenuhi dead storage-nya merupakan umur pakai (service life) waduk. Untuk mengantisipasi terisinya dead storage waduk (umur waduk dapat diperpanjang), pengelola waduk melakukan tindakan pembuangan sedimen (flushing) melalui bottom atau hollow jet. Pembuangan sedimen tersebut memerlukan perhitungan
190 yang sangat matang dan dapat menyebabkan penghentian sementara turbin tertentu (menurut tinggi DMA-nya). Kecuali itu, sedimentasi (suspended sediment) yang bersama-sama dengan air memasuki inlet dan menggerakan turbin mengisi partisi dari water cooler turbin. Apabila partisi tersebut sudah penuh, maka water cooler turbin menjadi panas dan tidak berfungsi, sehingga harus dilakukan pemeliharaan (satu turbin dikelilingi oleh enam water cooler). Dengan dilakukan pemeliharaan, turbin yang bersangkutan tidak dapat digunakan untuk memproduksi energi listrik. Semakin tinggi laju sedimentasi waduk semakin sering water cooler turbin dipelihara. Di PLTA Saguling misalnya, pemeliharaan water cooler turbin dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun, padahal menurut spesifikasi teknisnya pemeliharaan dilakukan satu kali dalam 20-35 tahun. Kaitannya dengan penurunan kualitas kimiawi air waduk, gas H2S merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi produksi energi listrik. Gas H2S tersebut menyebabkan karat pada alat-alat produksi berbahan logam dan menimbulkan bau yang sangat menyengat. Kondisi gas H2S dengan konsentrasi tinggi ditemukan pada lokasi stoplog, ruang parkir, terowongan, tail race, tower dan ruang penampung kiri dan kanan. Tingginya konsentrasi gas H2S tersebut menyebabkan
meningkatnya
biaya
pemeliharaan,
penggantian
peralatan,
pengadaan peralatan keselamatan kerja dan exhaust fan (Jasa Tirta II, 2002). Dengan demikian, penurunan debit dan volume air serta peningkatan sedimen waduk akan menyebabkan kerugian ekonomis bagi PLTA berupa : kehilangan kesempatan produksi energi listrik yang mencapai 212,64 ribu kWh/tahun dan peningkatan biaya pemeliharaan dan pengadaan keselamatan kerja. 9.2.2. Produksi Air Minum PDAM Perubahan karakteristik hidrologi yang sangat mempengaruhi produksi air minum PDAM adalah sedimentasi dan pencemaran kimiawi air baku air minum. Bagi PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya, faktor debit dan volume air dari Sungai Citarum masih sangat mencukupi sehingga sampai saat ini (2007) tidak menjadi masalah. Proses fisika dan kimiawi pengolahan air oleh PDAM (water treatment plant – WTP) dimaksudkan untuk menghasilkan air minum dengan standar air minum yang ditentukan.
191 Pada umumnya, tingginya muatan sedimen pada air baku air minum mempengaruhi proses fisika yang dilakukan oleh pengelola berupa ukuran bak pengendapan (kolam tampung), waktu pengendapan dan intensitas pengerukan (penggelontoran) sedimen. Semakin tinggi sedimen, semakin besar ukuran bak penampungan atau semakin intensif penggerukan sedimen. Hal ini mengakibatkan terganggunya sistem produksi dan meningkatkan investasi serta pemeliharaan. Proses kimia Pengolahan air baku air minum terutama dimaksudkan untuk menetralisir dan meningkatkan kualitas air dengan memberikan bahan kimia tertentu. Semakin tinggi konsentrasi unsur-unsur pencemar dalam air baku air minum semakin besar jumlah bahan kimia yang diperlukan. Peningkatan bahan kimia untuk pengolahan air baku tersebut akan meningkatkan biaya produksi PDAM. Proses kimia juga dimaksudkan untuk menghilangkan pencemar biologis seperti E. colii dan limbah domestik. Peningkatan kebutuhan dan pembelian bahan kimia untuk menetralisir pencemar pada air baku air minum merupakan penambahan biaya variabel dalam produksi air minum PDAM. Dengan demikian, perusahaan akan mengeluarkan biaya yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pencemaran air Sungai Citarum baik pencemaran fisik, kimiawi maupun biologis.
9.3. Biaya Marjinal Lingkungan Bagi pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) seperti halnya PLTA dan PDAM, penurunan kuantitas, peningkatan sedimentasi dan penurunan kualitas kimiawi menimbulkan tambahan biaya (environmental marginal cost) yang terus meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Biaya yang harus disediakan sebagai akibat dari penurunan kualitas jasa lingkungan merupakan biaya eksternalitas (externality cost) bagi pengguna air Citarum. PLTA dan PDAM bersedia membayar karena harus mempertahankan kegunaan pada kuantitas dan kualitas sumberdaya air (compensation variation-CV and equivalent variation-EV) dalam memproduksi energi listrik dan air minum. Pada Gambar 47 ditampilkan kurva marjinal WTP (EV dan CV). Besarnya biaya ekternalitas ketiga PLTA tahun 1993 adalah sebesar Rp. 2.789,11 / MWh dan tahun 2003 adalah Rp. 10.434,42 / MWh.
192 Dengan demikian marjinal biaya eksternalitas (biaya marjinal lingkungan) sebagai akibat degradasi lingkungan tahun 1993 – 2003 adalah sebesar Rp7.645,09/MWh sebagai equivalent variation dan compensation variation (kurva marjinal WTP 1993 bergeser ke kiri menjadi kurva marjinal WTP 2003) atau Rp. 13,35/m3 air yang digunakan, sedangkan PDAM besarnya adalah Rp. 28,33 – Rp. 64,0/m3 air baku air minum Rupiah (Rp)
CV=MB-MO = Rp. 7.645,09/MWh EV=MO-MA = Rp. 7.645,09/MWh
MB
MO = garis biaya = Rp. 2.789,11/MWh
M0 Marginal WTP 1993 (EV)
MA
Marginal WTP (2003) (CV)
2003
1993
Z ( Kualitas lingkungan)
Gambar 47. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 dan 2003. Apabila kondisi lingkungan di wilayah hulu DAS diperbaiki dengan rehabilitasi dan upaya konservasi (misalnya kondisi sama dengan 1993) maka eksternalitas tersebut diinvestasikan sebagai biaya konservasi, sehingga menggeser kurva marjinal WTP 2003 bergeser ke kanan menjadi kurva marjinal WTP 1993. Semakin tinggi penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya air semakin besar tambahan biaya yang harus dibayarkan agar PLTA dan PDAM mendapatkan kepuasan yang sama (indifferent-marginal WTP). PLTA dan PDAM melakukan kompensasi atas pendapatannya untuk membayar tambahan biaya tersebut.
193 Dari sisi lain, kerugian yang diderita oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat degradasi kuantitas dan kualitas sumberdaya air merupakan opportunity cost atas kerusakan ekosistem wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu atau merupakan opportunity benefit yang hilang. Artinya, apabila tambahan biaya yang dibayarkan oleh PLTA dan PDAM digunakan untuk merehabilitasi dan melakukan tindakan konservasi, maka secara alamiah PLTA dan PDAM akan mendapatkan tambahan keuntungan (marginal benefit) seiring dengan perbaikan kuantitas dan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh ekosistem wilayah hulu DAS Citarum. Dengan demikian, pembayaran tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PLTA dan PDAM bukanlah biaya tetapi merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan. Investasi tersebut merupakan kompensasi (transfer payment) dari hilir (pengguna atau konsumen) ke hulu (produsen atau penyedia). Wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu telah menghasilkan jasa lingkungan dan dari wilayah hilir mengalirkan uang berupa investasi lingkungan untuk konservasi ekosistem (replacement cost). Dengan kata lain, baik PLTA maupun PDAM telah memindahkan resiko peningkatan biaya lingkungannya (environmental marginal cost) kepada ekosistem DAS Wilayah Hulu sebagai akibat peningkatan biaya pemeliharaan peralatan dan keamanan pekerja (marginal damage cost) serta peningkatan kerugian (marginal opportunity cost) setiap tahun. Apabila transaksi pembayaran seperti ini terjadi, menunjukan bahwa telah ada aliran bahan dan energi (uang) dari hilir ke hulu, ada ketergantungan dan keterkaitan antara hilir dan hulu serta telah menjadi suatu sistem yang terintegrasi (ekosistem). Pada kondisi (state of nature) seperti ini akan terjadi internalisasi pendekatan lingkungan dalam masalah ekonomi atau sebaliknya, sehingga pengelolaan DAS dan sumberdaya air secara berkelanjutan akan terwujud. Keberhasilan kompensasi antara hilir (konsumen) dan hulu (produsen) sangat tergantung pada pendekatan pelaksanaannya. Ada dua metode pendekatan yang biasa diterapkan di berbagai negara yaitu command and control (CAC) dan market based instrument (MBI) atau sering disebut sebagai instrumen ekonomi (economic instruments). Pada umumnya metode CAC lebih berhasil di negara-
194 negara berkembang, sedangkan MBI di negara-negara maju. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan per kapita, pengetahuan dan kesadaran hukum serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan di masing-masing negara. Dalam implementasi CAC dan MBI sering terjadi kegagalan yang menurut Fauzi (komunikasi pribadi – 2007) terdapat tiga kegagalan yang mungkin terjadi, yaitu kegagalan institusi, kegagalan pasar, dan kegagalan kebijakan. Ketiga kegagalan tersebut akan menyebabkan gap yang besar antara biaya swasta dan biaya sosial dan pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, underpricing sumberdaya dan over consumption / production. Oleh karena itu, untuk Indonesia sebaiknya lebih mengutamakan pendekatan CAC (membangun kebijakan dan institusi) dan diikuti dengan pendekatan MBI.
10. SIMPULAN DAN SARAN 10.1. Simpulan 1. DAS Citarum Wilayah Hulu selama periode 1992-2002 telah mengalami penurunan penutup lahan sebagai akibat tingginya pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan permukiman (9,81% atau 2.404,5 ha per tahun) dan tingginya pembukaan lahan hutan (3,23% atau 3.804,2 ha per tahun). 2. Penurunan penutup lahan tersebut menyebabkan perubahan karakteristik hidrologis berupa menurunnya debit (volume) lebih dari 0,63% per tahun, meningkatnya fraksi hujan yang berubah menjadi debit aliran, meningkatnya fluktuasi debit 5,99% per tahun (rata-rata rasio Qmax-min 131), meningkatnya laju sedimentasi dan menurunnya kualitas air sungai (waduk) Citarum. 3. Perubahan karakteristik hidrologis telah menimbulkan kerugian ekonomi bagi 3 PLTA (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) sebagai pengguna air Citarum dengan marginal biaya eksternalitas sebesar Rp 7.645,09 /MWh energi listrik yang diproduksi atau Rp 16,35 /m³ air yang digunakan; dan PDAM berkisar antara Rp. 212,43/m³ - Rp. 821,46/m³ air minum yang diproduksi. Sedangkan kesediaan membayar masyarakat hulu Sub DAS Saguling adalah Rp. 28,33/m³ air minum. 10.2. Saran 1. Mengingat tingginya laju penurunan luas penutup lahan vegetasi terutama hutan, maka perubahan penggunaan lahan dari lahan bervegetasi tahunan (pohon) menjadi lahan non vegetasi atau area terbangun (build-up area) perlu dikendalikan. Selain itu, kawasan konservasi perlu dipertahankan terutama yang terdapat di wilayah hulu DAS Citarum. 2. Mengingat besarnya kerugian ekonomi yang diterima oleh pengguna air sebagai akibat perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu, maka upaya-upaya konservasi ekosistem wilayah hulu pada setiap penggunaan lahan perlu ditingkatkan dengan melibatkan pengguna air (PLTA, PDAM, industri, dan lain-lain) berupa transfer of benefit sebesar biaya eksternalitasnya dari pengguna (hilir) kepada penyedia air (hulu).
196 3. Untuk tujuan tersebut, diperlukan penelitian lanjutan tentang biaya eksternalitas pengguna air selain PLTA dan PDAM seperti industri, jasa wisata dan olahraga, perikanan dan irigasi pertanian. 4. Agar mekanisme pembayaran tersebut dapat diimplementasikan, diperlukan regulasi, peraturan dan undang-undang atau merevisi undang-undang yang relevan seperti tentang pengelolaan lingkungan hidup, kehutanan, sumberdaya air dan penanaman modal.