MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
JURNAL PASCASARJANA JURUSAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
TIM PENGELOLA JURNAL KEPEMIMPINAN KRISTEN PROGRAM SARJANA TAHUN 2014 Penaggung jawab
Kepala P3M Redaktur
Semuel Tokam, M.Th Penyunting/Editor
Dr. Joni Tapingku
Rannu Sanderan, M.Th Sekretariat Kalvin K. Palilu, SE. Semuel Yakobus Padang, S.Kom.
Redaksi Jurnal ARRANG : : Redaksi Jurnal MASAKKE Alamat : : Alamat Telepon/Fax Email
Telepon/Fax Email
: :
: :
Sekolah TinggiTinggi AgamaAgama Kristen Negeri Toraja Sekolah Kristen Negeri Toraja Jl. Poros Makale-Makassar Km. 11,5 Mengkendek Jl. Poros Makale-Makassar Km. 11,5 Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja, (0423) 24620 Sulawesi Selatan
[email protected]
(0423) 24620
[email protected]
i
JURNAL PASCASARJANA JURUSAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
PENGANTAR REDAKSI Dari redaksi, kepada semua sidang pembaca, Oleh karena kasih setia Tuhan jualah sehingga jurnal Pasca STAKN Toraja (prodi Kepemimpinan Kristen) ini dapat sampai pada tahap perampungan. Di samping itu pula karena pertolongan-Nya saja yang dinyatakan kepada setiap penulis sehingga dapat memberikan kontribusinya kepada dewan redaksi, baik itu berupa hasil penelitian maupun gagasan-gagasan utama, yang selanjutnya tertuang dalam komposisi jurnal ini. Dengan akal yang diberikan-Nya kepada manusia, sehingga jurnal ini dapat dijadikan media untuk
inspirasi yang cukup dalam melaksanakan penelitian sehingga kemudian dapat menuangkannya dalam bentuk susunan tulisan dalam jurnal ini. Melalui berbagai risalah, kajian, studi dan penelitian dalam jurnal ini, para penulis mencoba mengungkapkan sebuah harapan dan kerinduan agar kumpulan tulisan ini dapat menjadi sarana berbagi berkat dari STAKN Toraja bagi sesama, dalam hal ini secara khusus bagi sidang pembaca. Hasil pemikiran dalam bidang ilmiah sangat perlu dipublikasikan agar manfaat STAKN Toraja dapat dirasakan di setiap titik di mana jurnal ini hadir. Jurnal ini berisi hasil penelitian ilmiah program Pascasarjana STAKN Toraja (prodi Kepemimpinan Kristen) yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (dalam hal ini para penulis-red), lalu dikumpulkan dalam bentuk jurnal sebagaimana yang dapat tiba di hadapan kita sekarang ini. Dewan redaksi tentu menyadari bahwa tentu banyak kelemahan yang perlu di-empower untuk mengimbangi laju akselerasi perkembangan arus kemajuan dunia keilmuan di era modern seperti sekarang ini. Sementara kemampuan kami sangat terbatas, karena itu redaksi meninta maaf atas segala kelemahan yang ada dalam jurnal ini, sambil tetap mengharapkan sumbang saran dari sidang pembaca demi perbaikan dan peningkatan kualitas jurnal selanjutnya. Pada akhirnya, kami berterima kasih pada seluruh kontibutor dalam hal ini kepada para peneliti dan berbagai pihak yang telah memberi sumbang gagasan utama dan pikiran dalam rangka menerbitkan jurnal ini. . . . anna dipakala’bi’ tu sanganNa Puangta Yesu lan kalemi sia kamu duka lan Kalena, situru’ pa’kamaseanNa Kapenombanta sia Puang Yesu Kristus.(II Tes.1:12)
Redaktur
ii
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
JURNAL PASCASARJANA JURUSAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
DAFTAR ISI TIM PENGELOLA JURNAL KEPEMIMPINAN KRISTEN PROGRAM SARJANA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . TAHUN 2014 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . PENGANTAR REDAKSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
. i . i . i . ii
KEPEMIMPINAN MESIAS HAMBA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 Salmon Pamantung
JABATAN GEREJAWI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM PELAYANAN GEREJA . .10 Rannu Sanderan
MORTAL AND IMMORTAL SOUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .16 Ismail Banne Ringgi’
KONSEP RAJA MESIANIS MENURUT YESAYA 11:1-9 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .23 Joni Tapingku
MANUSIA KRISTEN, MANUSIA PEKERJA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .29 Andres Barata Yudha
KAJIAN HERMENEUTIKA MARKUS 12:30 TENTANG MENGASIHI ALLAH . . . . . . .40 Tri Oktavia Silaban
IMAN DAN KEBUDAYAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .52 Naomi Sampe
IDENTITAS KEKRISTENAN DALAM REALITAS HIDUPBERBELASKASIHAN: ANALISIS KISAH ORANG SAMARIA YANG MURAH HATI . . . . . . . . . . . . . . . . . . .58 I Made Suardana
SPIRITUALITAS KRISTIANI SEORANG PEMIMPIN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .65 Alfrida L Membala
TONGKONAN SEBAGAI WADAHPEMBINAAN CALON PEMIMPIN MASYARAKAT TORAJA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .72 Andarias Kabanga
iii
MASAKKE Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)"
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
KEPEMIMPINAN MESIAS HAMBA Salmon Pamantung
ABSTRACT The Bible has a story or explanation about the various aspects of human life, although not easily un cial background picture presented in it, and the process of its formation are not easily traced to the ! for people to understand, but also allow for various approaches in an attempt to understand it. And people who seek understanding of it have viewpoints different. Suitability biblical very much that remains a lasting legacy of ancient Israel for mankind. Flexibility and at the same stubbornness inevitability of biblical traditions that give us the most interesting ex " ! # logue that will continue to have a place at the moment when the people who think and believe in God wants wrestle with moral imperative to build a better world. We have much to learn from the struggles the people of ancient Israel. Continuous dialogue between the Bible, tradition, and today presents a great opportunity for our lives in the future. We are called to bring the text was rich insight into our efforts to uphold a better society and true. However, in order to assess the messianic theology order presented it is not possible to follow, because all parts of the Hebrew Bible ticiak designated in the order that contains information about the messianic iokoh. Information about umurnnya messianic $ $% & is not just a messianic title given to the king, but also to priests and prophets. It seems to be related to
% '%$ In line with the ha1 then we talk about the messianic theology will be tailored to the needs of develop * $ $ ated with the messiah, the interpretation of the messiah. Key words: Leadership, messiah.
PENGANTAR
Alkitab memuat kisah atau paparan tentang pelbagai segi kehidupan manusia, meski tidak kita peroleh bilamana dalam penelusuran semudah dipahami. Kesulitan memahami Alcara sosiologis kita dapat memperoleh gamkitab terutama berkaitan dengan tidak sebaran yang jelas tentang keberadaan riil dari lalu jelasnya latar belakang sosial gambaran “umat percaya” yang kita telusuri itu. J. yang dipaparkan di dalamnya, dan proses David Pleins ( J. David Pleins, The Socirrl Pisions pembentukannya yang tidak mudah dilacak ofthe Hebrew Bible, Westminster John Knox Press, sampai terciptanya Alkitab sebagai sebuah I,ouisville, Kentucky, 2001, pp. 528 ff). menyebut kitab (dokumen) yang disakralkan. KeAlkitab Ibrani (yang biasa disebut Perjanberadaan Alkitab yang demikian itu bukan jian Lama) sebagai sebuah tradisi yang sehanya menyulitkan orang untuk memahami, dang dibangun. Maksud sebutan tersebut tetapi juga memungkinkan adanya pelbagai untuk menunjukkan pentingnya kita memcara pendekatan sebagai upaya untuk memaperhatikan bukan hanya perbedaan antara haminya. Dan manusia yang mengusahakan pelbagai kumpulan (himpunan) dalam Alpemahaman itu mempunyai sudut pandang kitab Ibrani itu, tetapi juga tentang adanya yang berbeda-beda. Belajarlah bila hasil perbedaan di dalam suatu himpunan itu pemahaman yang diperoleh berbeda-beda, sendiri. Sebab tidak satu bagian pun dalarn bahkan dapat bertolak belakang. Alkitab itu yang dapat dipandang sebagai Konteks politis tertentu itu hanya dapat
1
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)"
yang dapat pewakili semuanya. Di dalamnya tidak hanya terdapat atu hukum, atau satu kritik sosial dari nabi, atau satu pandangan kebijaksanaan tentang hakikat keberadaan manusia, tetapi banyak dan beraneka ragam. Di samping itu ia juga meminta perhatian kita tentang perubahan (penambahan, ddatau pengurangan, atau koreksi) yang disengaja secara terus-menerus dari tradisi itu. Ia katakan bahwa tradisi tidak hanya ditata seperti aneka buah-buahan di wadah buah. Kita menyaksikan bahwa tradisi yang kita terima dalam Alkitab mengalami perbaikan dan penyaringan. Oleh sebab itu Alkitab yang kita miliki mengalami perluasan yang terusmenerus melalui apa yang dapat kita sebut sebagai “tafsiran”, atau “komentar”. Kenyataan itu menandakan adanya tahap-tahap yang panjang dari diskusi-diskusi etis dalam kehidupan Israel kuno. Tiap generasi Israel memberikan kontribusinya dalam diskusi yang terus berlangsung itu, dan harus menjawab dalam konteks masing-masing tentang apa yang seharusnya berlaku berdasarkan apa yang telah berlangsung sebelumnya. Dan proses pembentukan tradisi yang demikian ini tidak hanya menghendaki penambahan naskah, atau pandangan yang baru di samping pandangan yang telah ada, tetapi juga memperlihatkan keterbukaan yang menghendaki suatu etika teologis yang kontemporer, yang diilhami oleh tradisitradisi sebelumnya. Etika teologis kontemporer itu tidak terkungkung oleh satu tradisi yang telah dibakukan dan disakralkan. Mengacu kepada pemahaman seperti di atas maka Pleins menganggap perlunya ada “Checks and Balances” dalam etika biblis, dan membaginya dalam 4 kategori(1 Ibid, pp. 530 ff. Dalam pembicaraan teologinya ia juga mernbagi Alkitab Ibrani itu rnenjadi 4 kategori: Hukum, Cerita, Nabi-nabi, Puisi dan Kebijakssu~aan(p p. 41 ff)., yaitu:
a. Hukum yang menunjuk kepada etika tentang kewajiban. Kebaikan sistem hukurn ini adalah be1.
rangkat dari pemahaman positif terhadap manfaat-manfaat yang diperoleh dari Allah di waktu lampau. Manfaat yang berasal dari Yang llahi itu akan mampu membawa orang kepada ketaatan dan penyerahan diri kepada petunjuk-petunjuk Ilahi. Sedang kekurangan sistem etika ini mempunyai cakupan yang bersifat totaliter. Sifat ini akan memungkinkan adanya kepurapuraan sehingga tidak memunculkan kepatuhan yang benar-benar berangkat dari hati yang tulus. ‘Tradisi hukum memang memiliki mekanisme perbaikannya sendiri untuk menghindari kekakuan, yaitu berupa revisi yang terus-menerus. Hal ini nampak jelas dalam perubahan antara Hukum Perjanjian Keluaran 21-23 dan Hukum Ulangan 12-26. Tradisi Alkitab secara keseluruhan melihat perlunya koreksi untuk penyelewengan yang lebih jauh, dan tidak bersandar pada sistem itu sendiri sebagai penjaga ketertiban. Menyadari bahwa sistem hukum dapat menyempitkan fokusnya kepada hal-ha1 yang di sebelahnya (yang bukan menjadi perhatian utama), maka tradisi mengharapkan adanya suara-suara kenabian untuk membantu perkembangan sebuah etika tentang kesadaran dan menghindari terjadinya kehancuran sebuah masyarakat. b. Pengkajian etika yang disu arakan oleh narusi. Saat kita mengkaji dengan cennat cerita tentang institusi kerajaan kuno, maka nampak adanya kekuatan, daya hidup, dan juga kekejaman dari cara organisasi sosial saat itu, termasuk dengan keagungan dan bahayailya. Gambaran-gambaran “historis” dan penilaianpenilaian teologis ini meleng-kapi tradisi hukum biblis, sehingga proses-proses sosial harus kita evaluasi secara cermat pada saat kita menilai sehat tidaknya suatu sistem politik dan kelangsungan hidup sistem politik itu. Ketegangan, kegagalan, ataupun keberhasilan yang pernah menimpa Israel dapat memberi bahan kepada kita untuk kelanjutan diskusi bagi sejarah kita sebagai umat yang sedang menciptakan sebuah komunitas baru yang lebih luas. c. Etika konsekuensi yang disuarakan oleh kebijaksanaan untuk mengukur hasil dan watak pelaku dari setiap perbuatan. Suara kebijaksanaan menghubungkan “hasil” dan “perkembangan watak pelaku”. Meskipun banyak perbedaan, karya-karya seperti Amsal, Ayub dan Pengkhotbah siap mem-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
2
MASAKKE Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)" protes manakala pengupayaan watak budi luhur menghasilkan kehancuran harta benda dunia, godaan-godaan keserakahan, atau menyalahgunakan kekuasaan. Demikian juga kitab-kitab kebijaksanaan ini dengan pelbagai cara meletakkan kepekaan tentang etika konsekuensi dalam konteks dimensi Ilahi. Amsal menempatkannya sebagai “hormat kepada Allah”, Ayub menyebutnya sebagai kehadiran Ilahi, sedang Pengkhotbah rnenun.uk kepada ketidakmungkinan memahami Yang llahi itu. d. Suara ibadah memberikan etikapengaturan. Suara yang melalui praktik spiritual itu memelihara kepekaan dan kualitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembuatan hukum yang merupakan pekerjaan berat, membangkitkan suara kenabian, mengembangkan imajjnasi untuk menyimak kembali zaman kita di dalam sejarah, dan memelihara kebajikan yang membimbing kita kepada perbuatan yang benar. Suara ibadah bekerja mulai dari kedalaman penderitaan sampai kepuncak pujian. Ibadah menghubungkan semua yang dibutuhkan, diinginkan, diharapkan, atau dimimpikan oleh masyarakat. Melalui perhatian yang penuh kepada Allah setiap pribadi menyatukan diri ke dalam proyek pembentukan “kota Allah” di bumi. Sudah tentu suara kenabian akan memprotes ibadah bilamana ibadah itu menjadi sekedar formalitas dan kehilangan hubungan dengan kehidupan yang nyata. Begitu juga suara kebijaksanaan dapat memberikan kritik kalau ibadah gagal memelihara tingkah laku yang benar, atau tidak mengindahkan jeritan orang yang tidak bersalah. Dengan kata lain bahasa liturgi ibadah sangat diperlukan untuk membentuk suatu umat yang berbuat benar. Valensi biblis yang amat banyak itu tetap merupakan warisan abadi Israel kuno bagi umat manusia. Kelenturan dan sekaligus sikap keras kepala yang tak terhindarkan dari tradisi- tradisi biblis itu memberi kita contoh yang paling menarik tentang pemikiran etis zaman kuno. Di sana kita jumpai dialog antar tradisi-tradisi itu. Dialog kuno itu akan tetap mempunyai tempat pada saat ini bilamana umat yang berpikir dan percaya kepada Allah menginginkan bergumul dengan desakan moral untuk menlbangl~n dunia yang lebih baik. Kita harus banyak belajar dari pergunlulan umat Israel kuno itu. Dialog yang terus-menerus antara Alkitab, tradisi, dan
3
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
zaman sekarang memberikan peluang yang besar bagi kehidupan kita di masa depan. Kita dipanggil untuk membawa naskah yang kaya wawasan itu kedalam upaya kita menegakkan suatu masyarakat yang lebih baik dan benar. Namun dalam rangka mengkaji teologi mesianis urutan yang disajikan itu tidak mungkin diikuti, karena ticiak semua bagian Alkitab Ibrani yang ditunjuk dalam urutan itu memuat keterangan tentang iokoh mesianis itu. Informasi tentang tokoh mesianis umurnnya, terutama yang dihubungkan dengan tokoh raja, diberikan oleh kitab-kitab historis dan para nabi. Memang sebutan mesias tidak hanya diberikan kepada raja, tetapi juga untuk imam dan nabi. Hal itu nampaknya berkaitan dengan perkembangan kehidupan umat, dan kebutuhan tentang tokoh pemimpin dalam kehidupan umat itu. Sejalan dengan ha1 itu maka pembicaraan kita tentang teologia mesianis akan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan itu. Akan kita bicarakan berturut-turut penjelasan tentang istilah mesias, tokoh mesias, kepemimpinan yang dikaitkan dengan mesias, interpretasi terhadap mesias, dan kesimpulan.
Istilah Mesias Secara etimologis istilah Mesias diturunkan dari istilah bahasa Ibrani: masiah (baca: masyialih), artinya “yang diurapi”. Istilah itu adalah kata benda yang berasal dari kata kerja msh (baca: masyakh) yang berarti: mengolesi, melumuri, atau mengurapi. Dalam Alkitab Ibrani kata kerja ini hanya dipakai dalam 2 bentuk, yaitu qal (aktif) dan niph’al (pasif). Arti mengolesi, atau melurnuri itu dipergunakan, antara lain, untuk roti (Im. 2:1, atau perisai (2 Sam. 1 : 2 1). Sedang pengertian “mengurapi” (aktif), atau “diurapi” (pasif) dipergunakan baik untuk orang, binatang nlaupun benda. Namun kata benda masiah, yang diterjemahkan menjadi Christos (Yunani), messias (Siria), dan Christus (Latin), hanya dipergunakan untuk orang, yaitu untuk: raja Israel (terutarna Daud dan keturunannya)2, raja non-Israel 2. Untuk raja Israel secara umum (1 Sam 24: 7, 11; 26: 9, 11, 16,23; 2 Sam 1: 14, 16; 19: 22; Rut 4:20 = 1 Sam 2: 10; 12: 3,5; 16: 6 ; 2 Sam 22: 51; 23: 1; Mz 2: 2; 20: 7; 28: 8; 84: 10), untuk Daud dan keturunannya (Mz. 18: 51; 89: 39,52; 132: 10, 17), untuk Salomo (2 Taw 6: 42).
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)"
(Koresy - Yes 45: 1), imam (Im4: 3,5,16; 6: 15; Bil3: 3; 1 Sam 1 : 21), dan umathangsa (Hab 3: 13). Pengkhususan ini nampaknya, di satu sisi ingin menekankan perkenan Allah terhadap seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu. Tetapi di sisi lain, juga mau menjelaskan tentang peran dari “yang diurapi” itu dan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan pengurapan itu. Dan tanggung jawab itu hanya dapat dituntut dari manusia. Dalam Alkitab Ibrani pengurapan merupakan akta (perbuatan) simbolis yang disakralkan untuk jabatan, atau fungsi tertentu yang ditetapkan oleh Allah. Ini berlaku baik untuk orang maupun benda (sarana ibadah). Lebih dari itu pengurapan terhadap orang bukan hanya merupakan penetapan terhadap seseorang untuk memangku (menduduki) jabatan, atau melaksanakan tugas tertentu. Pengurapan juga melambangkan pemberian kemampuan dan otoritas khusus dari Allah bagi pelaksanaan tugas khusus pemberian Allah itu. Pemberian kemampuan dan otoritas khusus itu sejalan dengan wewenang dan tanggung jawab orang yang diurapi dalam menjalankan tugasnya. Berbeda dengan penentuan pengangkatan imam dan nabi, maka penentuan dan pengangkatan raja perlu mendapat perkenan TUHAN di samping pemilihan dan persetu-juan rakyat. Hal ini nampak dalam pemberitaan nabi Hosea yang mengritik pengangkatan raja oleh bangsa Israel (Hos. 8: 4a - TB-LAI: Mereka telah mengangkat raja, tetapi tanpa persetujuan-Ku; mereka mengangkat pemuka. tetapi dengan tidak setahuKu.). Tryggve N.D. Mettinger3 menjelaskan bahwa pengangkatan raja perlu mendapat legitimasi secara sipil dan sakral. Legitimasi sipil itu ditunjukkan di beberapa tempat dengan meinpergunakan rumusan “mengangkat raja atas ...” (Ibrani: himlik ‘et, atau himlik ‘al), dan itu dilakukan baik oleh Bangsa/ rakyat (1 Sam 1 1 : 15a; 2 Raj. 14: 21; 21: 24b; 23: 30b), maupun oleh para tua-tua wakil rakyat (2 Sam 5: 3). Sedang legitimasi secara sakral dilakukan dengan pengurapan4. Namun sama seperti bangsa-bangsa lain, kehidupan bangsa Israel kuno itu juga mengalami masa pasang dan surut. Bangsa yang
3. King and Messiah, Coniectanea Bibilca. Old Testament Series 8 , Wallin & Dalholm, Lund, 1976, pp107 ff 4. Lihat ayat-ayat dalam catatan kaki no: 3 di
atas
pernah memiliki negara yang berbentuk kerajaan itu, bahkan mengalami zaman keemasan, juga mengalami kehancuran sehingga tidak lagi menjadi bangsa yang bernegara serta merdeka, tetapi menjadi yang tercerai-berai. Pengalaman hidup bangsa Israel kuno ini turut membentuk pemahaman dan penafsiran tentang mesias. Dan pada gilirannya nanti muncul kelompokkelompok sekte dalam Yudaisme, dan kelompok umat baru, yaitu umat kristen, yang melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) dan memberikan pengertian yang baru tentang mesias itu. Umat kristen, di satu sisi, mengambil alih konsep Israel kuno tentang mesias. Tetapi di sisi lain, memberikan pemahaman yang berbeda sama sekali dengan pemahaman Yahudi tentang mesias itu. Pada gilirannya nanti semua itu akan kita coba telusuri untuk memahami pengertian tentang mesias dan perkembangannya. Siapakah Mesias? Adanya sebutan mesias terhadap ketiga macam jabatan kepemimpinan utama dalam kehidupan bangsa Israel kuno itu tidak terlepas dari kebutuhan yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan masyarakat bangsa itu. Rangkaian kitab-kitab historis (Yosua sampai 2 Raja-raja) mencerminkan keberadaan Israel kuno itu sejak saat mereka berjuang untuk merebut dan menduduki Kanaan sampai mereka diusir dari negeri itu. Dalam rangkaian kitab-kitab itu dilukiskan perubahan dan perkembangan kehidupan Israel kuno, yang sudah tentu diikuti oleh meningkatnya kebutuhan yang diakibatkan oleh perkembangan itu. Di sana digambarkan bahwa pada awalnya kepemimpinan TUHAN sangat mencolok, sehingga peran kepemimpinan manusia yang diperankan oleh imam, nabi, dan hakim pembebas hanyalah sebagai alat (pelaksana karya) TUHAN. Mereka hanya bertindak menurut komando, atau perkenan TUHAN. Kitab Keluaran menggemakan pengakuan Israel kuno tentang TUHAN sebagai raja yang “memerintah kekal selama-lamanya” (15: 18). Juga diungkapkan tentang kehendakNya terhadap Israel untuk menjadi “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (19: 6). Pengakuari ini mernang tidal; diirigkari oleh Israel, namun juga tidak selarnanya ilihayatl dalarr, kehidupan, terutama di saat-saat menghadapi kekuatan musuh, kesulitan ekonomi, dan persoalan hukum/ke-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
4
MASAKKE Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)" adilan. Dalam situasi seperti itu mereka menginginkan raja manusia yang secara langsung dapat memimpin bangsa. Di sini nampak pengaruh pola kehidupan para bangsa di sekitar Israel, sekalipun Israel tentu berusaha keras untuk menempatkan pengaruh itu dalam kerangka kepercayaan terhadap TUHAN. Namun zaman kepemimpinan mesias imam dan nabi itu tidak bertahan terlalu lama. Tuntutan perkembangan zaman disuarakan oleh sebagian rakyat Israel di zaman tokoh nabi dan hakim terakhir, yaitu Samuel (1 Sam. 8: 1-6). Alasan permintaan itu memang cukup jelas, yaitu bahwa Samuel sudah tua dan anak-anaknya yang menjadi penggantinya tidak bertindak seperti Samuel (ayat 5). Samuel tidak mendukung permintaan rakyat itu, tetapi tekad bulat rakyat Israel itu tidak bisa dibendung. Meski permintaan itu dinilai sebagai sebuah penolakan terhadap kepemimpinan TUHAN dan Samuel (1 Sam. 8: 7-9), dan mereka diberitahu tentang kerugian-kerugian yang akan mereka alami dengan adanya raja, termasuk bahwa TUHAN tidak akan memperhatikan mereka saat mereka menyesal karena mempunyai raja (1 Sam. 8: 10-1 8), namun bangsa itu tetap pada pendirian mereka yang menghendaki raja (1 Sam. 8:19-20). Sejak saat itu tokohrajamenjadi tokoh pemimpin bangsayang amat penting dalam kehidupan Israel kuno itu. Pemerintahan para dinasti Daud, sebagai yang diurapi dan diberi kuasa menjadi wakil TUHAN di bumi, berakhir dengan pembuangan Yoyakhin ke Babilonia (2 Raj 25: 27-3 0). Kegagalan itu tidak menyurutkan pengharapan orang Israel yang mendasarkannya pada nubuat dalam 2 Samuel 7: 1-17. Mereka percaya bahwa suatu saat nanti TUHAN akan mengembalikan kerajaan Israel dan memunculkan raja baru yang diurapi, seorang “mesias” yang baru yang akan bertindak atas kehendak TUHAN. Umumnya pengharapan tcntang tokoh pemimpin baru yang muncul setelah kehancuran kerajaan Yehuda tahun 586 sM tidak menggunakan sebuatan mesias, kecuali dalam Yesaya 45: 1.5 Mesias pada hakikatnya menjadi sebutan untuk tokoh pemimpin bangsa (imam, nabi, dan raja) yang dipilih oleh TUHAN. Model kepemimpinan bangsa Israel kuno berkembang dan 5. Sedang dalam Yesaya 61: 1 dipakai kata kerja msh (mengurapi).
5
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan kehidupan bangsa itu. Alkitab Ibrani menggambarkan bangsa itu mulai dari saat mereka belum membentuk negara, kemudian membentuk kelompok-kelompok suku, membentuk negara, sampai akhimya tidak lagi memiliki negara dan hanya menjadi kelompok-kelompok yang tercerai-berai. Sejalan dengan keberadaan Israel kuno yang dernikian itu, maka kepemirnpinan yang mereka perlukan juga berubah. Hal ini nampak jelas dalam nubuat nabi-nabi pada zaman pembuangan dan sesudahnya. Gembala dan hamba Nubuat-nubuat para nabi, yang nampaknya menunjuk ke masa yang jauh setelah berakhirnya pemerintahan dinasti Daud, penuh dengan janji dan harapan tentang kedatangan seorang pemimpin yang akan memerintah dengan adil dan benar (Yes. 9: 2-7; 1 1 : 1-9; Yer. 23: 5-6; 33: 14- 16; Yeh. 34:23-24; Amos 9: 11-12; Zakh. 9: 9-1 0). Sebutan terhadap tokoh pemimpin baru di sini bervariasi: “pemimpin damai” (sar-salom, Yes 9: 5), “tunas dari tunggul Isai” (hoter miggeza’yisay, Yes. 11 : l), “tunas keadilan bagi Daud” (ledawid semah saddiq, Yer. 23 : 5; 33:15), “gembala, hamba-Ku, kepala” (ro’e, ‘abdi, nasi’, Yeh. 34: 23-24), dari “pondok Daud yang telah roboh” (sukkaf dawid hannoplel, Amos 9: 1 1 - 12), dan “rajamu” (malkek, Zakh. 9:9). Meski tidak menyebut mesias, janji dan harapan yang dikemukakan oleh para nabi itu sebagian besar masih berkaitan dengan sebuah pemerintahan yang mempunyai hubungan dengan Daud. Namun pemimpin baru dari keturunan Daud tidak lagi disebut raja (melek) ataupun mesias6, tetapi gembala (ro’e), hambaKu (‘abdi), dan kepala (nasi) (Yeh. 34: 23-24)7. Dari sebutan-sebutan untuk seorang pemimpin yang diharapkan itu terdapat penyejajaran yang menarik perhatian, terutama yang kita baca dalam kaitan dengan Daud (Yeh. 34: 23-24) dan Koresy (Yes. 44: 28-45: 1). Daud yang dijanjikan itu disebut sebagai gembala (ro’e), hambaKu (‘abdi), dan kepala (nasi’). Sedang Koresy disebut sebagai gembalaKu (ro’i) dan yang Kuurapi (mesihi - baca: mesyikhi). Kenyataan ini menun6. Kecuali untuk Koresy yang disebut “gembala-Ku” dan “mesihi” (Yes. 44: 28-45: 1). 7. TB-LAI menerjemahkan raja baik untuk kata nasi (“kepala” - Yeh. 34: 24) maupun sar (“pemimpin”-Yes. 9: 5).
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)"
jukkan bahwa setelah umat Yahudi tidak lagi mempunyai negara (kerajaan), setelah terjadinya pembuangan ke Babilonia, sebutan untuk pemimpin yang diharapkan bukan lagi”raja” melainkan “gembala” atau “hamba”. Di samping itu sebutan-sebutan yang dipergunakan itu telah menyamakan kedudukan dan tugas dari gembala, hamba, kepala, dan mesias. Bahkan sesudah Koresy sebutan mesias dalam pengertian sebagai pemimpin negara tidak kita jumpai lagi. Sebutan-sebutan itu bukan lagi menunjuk kepada pemimpin yang dipilih dan ditetapkan oleh rakyak (umat), tetapi yang dipilih oleh TUHAN demi kepentingan rakyat (umat) TUHAN. Kedua model kepemimpinan gembala dan hamba itu memang cukup menonjol dalam Alkitab. Kita perlu membicarakan ha1 ini. Gembala sebenarnya adalah golongan rakyat jelata di Pelestina kuno (kira-kira sederajat dengan petani, buruh, atau PRT di Indonesia). Namun di lingkungan para bangsa gembala juga dipakai untuk orang-orang yang berperan secara tradisional sebagai pemimpin politik atau keagamaan suatu masyarakat. Sedang hamba adalah inanusia yang diperlakukan sebagai harta di zaman perbudakail. Hamba juga dipakai untuk menyebut orang yang dipilih TUHAN untuk tugas tertentu. Mula-mula sebutan gembala dan hamba dipakai untuk orang yang melakukan jenis pekerjaan yang tidak mendapat penghormatan yang layak, meskipun harus melakukan kerja keras dengan sungguh-sungguh. Namun kemudian sebutan itu menjadi sebutan kehormatan karena seseorang bersedia melakukan tugas seperti seorang gembala, ataupun hamba. Kepemimpinan gembala Telah dikemukakan bahwa raja Koresy, yang disebut oleh TUHAN sebagai “mesihi”, juga disebut sebagai “gembala”. Daudpun disebut sebagai “gembala”. Gambaran tentang gembala lebih menekankan upayaupaya, atau tindakan-tindakan yang harus selalu dilakukan oleh sang gembala dalam inenyejahterakan kawanan domba yang digembalakannya. Dalam Alkitab keperninlpinan gembala dianggap sangat mulia sehingga TUHAN kerapkali dilukiskan sebagai gembala umat Israel (Kej. 49: 24; Mzm. 23: 1; 80: 2). Sebagai seorang gembala TUHAN menghimpun, memangku, dan menuntun para domba dengan hati-hati (Yes. 40: 11). Ia dapat murka dan menyerakkan domba-domba
gembalaanNya, tetapi oleh kasih-Nya, Ia mengumpulkan kembali dan menjaga kawanan domba itu (Yer. 31:3,10). Peran dan fungsi gembala yang mengutamakan kesejahteraan kawanan domba gembalaannya itu kemudian dijadikan model kepemimpinan ideal dalam masyarakat Israel kuno. Tingkat keberhasilan seorang gembala ditentukan oleh tingkat kesejahteraan yang dihayati oleh para domba gembalaannya. Kriteria terhadap gembala itu kemudian diterapkan juga kepada para pemimpin bangsa. Sama seperti penilaian terhadap para gembala, maka penilaian terhadap pemimpin masyarakat Israelpun ditentukan oleh tingkat kesejahteraan para warga masyarakat yang dipimpimya Kepemimpinan hamba TUHAN Berbeda dengan gambaran kepemimpinan seorang gembala, gambaran tentang kepemimpinan hamba TUHAN lebih menekankan kesediaan dan kerelaan sang hamba TUHAN itu untuk menderita (meski sang hamba sama sekali tidak bersalah) demi kepentingan misi yang diembannya (Yes. 42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13-53 : 12). Keempat bagian dari Kitab Yesaya yang berasal dari zaman pembuangan (sekitar abad ke-6 sM) itu lazim disebut Nyanyian Hamba TUHAN. Pemahaman terhadap nyanyian-nyanyian itu beraneka ragam. Penafsiran Yahudi berpendapat bahwa hamba yang menderita itu adalah Israel. Umat itu berusaha menaati kehendak TUHAN dan akibatnya harus menderita oleh karena ketaatannya itu. Ada juga ahli-ahli yang menafsirkan nyanyian itu dalam kaitan dengan tokoh-tokoh historis yang disebut dalam Alkitab Ibrani itu. Maraca menghubungkan hamba TUHAN yang disebut oleh Yesaya itu dengan tokoh-tokoh historis seperti Hizkia, Yosia, Yeremia, Yoyakhin, dan Koresy. Namun gereja awal memberikan penafsiran lain, yaitu tafsiran mesianis, dan menerapkannya kepada Yesus. Dari kedua gambaran tentang gembala dan hamba yang menderita itu kita dapat menyimpulkan bahwa kedua gambaran itu dipergunakan untuk menjelaskan tentang peran dan fungsi pemimpin yang diharapkan dapat menghadirkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan rakyatlumat. Pemimpin yang diharapkan adalah yang secara sukarela dan tulus selalu siap memperhatikan, menolong. dan memredulikan
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
6
MASAKKE Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)" orang-orang yang berada dibawah tanggung jawab kepemimpinannya. Itulah tugas dan fungsinya, dan tanpa ada-nya kesungguhan untuk melaksanakan tugas/fungsi itu dia tidak diperlukan. Di samping itu diperlukan juga kesediaan dan kerelaan pemimpin untuk mengutamakan tugas kepemimpinannya ketimbang kepentingan sendiri. Bahkan dituntut untuk siap berkorban demi tugas dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Penafsiran dan pemahaman tentang mesias terus berkembang, baik di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat Yahudi (Yudaisme). Dan tidak seluruh perkembangan itu dikemukakan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Baru. Brueggemann8 mencatat adanya 3 (tiga) komunitas yang mempunyai pengharapan tentang mesias dengan pemahaman masingmasing: a. Gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) berbicara tentang mesias yang akan datang, yang diharapkan oleh sebuah komunitas sekte. Komunitas itu mengharapkan dua mesias, yaitu seorang raja dan imam. Pengharapan seperti ini nampaknya telah dicermiilkan oleh Yeremia 33: 19-22. b. Revolusi Bar Kokhba, tahun 135, berdasarkan pada tuntutan masianis. Revolusi ini mengakibatkan serbuan pasukan Romawi terhadap orangorang Yahudi. Pada masa itu tuntutan mesianis dari sebuah kaum tertentu bukanlah ha1 yang istimewla, sebab tuntutan semacam itu sudah sering muncul pada masa pengharapan sedang diliputi kegelisahan. c. Kaum Kristiani menafsirkan Yesus sebagai pemenuhan janji tentang mesias. Hal ini akan kita bicarakan lebih lanjut. Interpretasi Gereja Awal Telah dikemukakan di depan bahwa istilah masiah dalam Bahasa Ibrani diterjemahkan christos dalam Bahasa Yunani. Kaurn Kristiani (para warga Gereja Awal) memahami dan menafsirkan Yesus dari Nasaret itu sebagai pemenuhan dari pengharapan-pengharapan tentang mesias yang dikemukakan dalam Alkitab Ibrani. Hal ini nampak jelas dalam Perjanjian Baru. Dalam Injil Lukas 7: 19-20 diceritakan 8. +% 3 $pp . 128f.
7
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
tentang Yohanes yang mengutus dua orang muridnya untuk bertanya kepada Yesus tentang diri Yesus dengan pertanyaan, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?” Pertanyaan kuno tentang pengharapan mesianis itu dikemukakan dan ditujukan kepada Yesus. Pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias (Markus 8: 30) juga mengungkapkan sebuah penafsiran awal dari jzmaat pertama. Melalui penafsiran jemaat pertama itu terjadi pemberian nama kepada Yesus. Dengan cara itu jemaat pei-tama memberikan tenlpat utama kepada Yesus dengan mempergunakan dasar pengharapan nlesianis dalam Yudaisme. Bersamaan dengan itu jemaat pertama juga secara radikal, dan secara tak terelakkan menafsirkan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “mesias” dalam Yudaisme. Namun bagi penguasa Romawi gagasan tentang Yesus sebagai mesias justru menjadi dasar bagi penyaliban Yesus. Sebab “mesias” sebagai seorang pemimpin dari dinasti Daud merupakan tokoh politis-revolusioner yang menjadi ancaman bagi penguasa Romawi. Interpretasi Gereja Awal tentang Yesus memang sepenuhnya menggunakan pengharapan Israel tentang mesias yang dinantikan. Meski demikian dalam kenyataan pelayanan Yesus tidak menyelesaikan transformasi sosial sebagaimana diharapkan saat kedatangan mesias. Oleh sebab itu tidaklah dapat dihindarkan bahwa interpretasi Kristiani yang kemudian muncul menekankan perlunya menunggu kembalinya mesias untuk menyelesaikan karya mesianis. Demikianlah umat Kristiani menantikan kembalinya mesias. Sementara itu orang Yahudi, yang tidak mengenal Yesus ataupun tidak mengakuiNya sebagai mesias, masih terus menantikan kedatangan mesias. Perbedaan kedua kepercayaan itu adalah sesuatu yang dalam, yang menjadi isu yang banyak persyaratannya antara kaum Yahudi dan Kristiani, walaupun juga mempunyai dasar kesamaan yang penting. Sebab baik kaum Yahudi maupun Kristiani sama-sama menantikan kedstangan mesias. Yesus bukan hanya dipahami sebagai mesias yang dijanjikan dan diharapkan kedatanganNya, tetapi juga dimengerti sebagai gembala yang dijanjikan sebagaimana dikemukakan dalam Yehizkiel 34: 23. Hal ini dijelaskan dalam
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)"
Yohanes 10: 1-2 1 yang menyebut Yesus sebagai gembala yang baik. Yesus digambarkan sebagai “pintu ke domba-domba” (ayat 7-10). Gambaran sebagai “pintu” menunjuk kepada peke rjaan gembala yang sering harus tidur di depan pintu kandang untuk menjaga dombadombanya. Sebagai gembala yang baik Yesus harus memberikan nyawaNya bagi para dombaNya (ayat 1 1,15). Ia mengenal para dombaNya (ayat 14), dan menyatukan para domba itu menjadi satu kawanan di bawah gembalaan-Nya (ayat 16). Ia bahkan disebut sebagai Gembala Agung segaladomba(1br. 13: 20; 1 Pet. 5: 4). Patut kita sadari adanya persaingan interpretasi antara kaum Yahudi dan Kristiani tentang nyanyian hamba TUHAN ini. Kaum Kristiani menolak penafsiran apapun kecuali yang bersifat kristologis, sementara kaum Yahudi memahaminya sebagai yang menunjuk kcpada diri mereka sendiri. Perlu kita perhatikan juga bahwa naskah nyanian itu sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan tafsiran yang jelas dan tegas. Rasanya lebih baik membiarkan naskah itu memberikan peluang kepada kaum Yahudi dan Kristiani untuk menafsirkan menurut keyakinan masingmasing. Biarlah masing-masing memberikan makna tentang penderitaan hamba TUHAN demi kepentingan orang lain itu, meski tidak ada kesepakatan tentang siapa sebenarnya hamba TUHAN yang menderita itu. Sikap seperti ini akan lebih bermanfaat ketimbang bersitegang dan masing-masing menganggap din sebagai yang paling benar (paling alkitabiah). Apalagi masing-masing tidak dapat memaksa naskah yang ada itu untuk berpihak menurut keyakinan masing-masing.
KESIMPULAN Kita telah melihat secara singkat gambaran tentang tokoh mesias dan penafsirannya. Kita juga melihat, meski tidak terlalu jelas, tentang konteks sosial-politis-agamis yang tentu terkait dengan gambaran itu. Konteks itu memang tidak terlalu jelas dan tidak dapat dibuat jelas, karena kita tidak cukup memiliki informasi yang dapat menjelaskan semuanya itu. Meski demikian, gambaran yang kita peroleh dari Alkitab Ibrani dan Alkitab Kristiani memperlihat-
kan adanya 2 ketegangan dialektis yang terjadi bersamaan. Pertama, ada ketegangan antara rencana Ilahi dan peristiwa-peristiwa historis aktual yang bersifat membangkang (tidak mau diatur). Ada janji Ilahi, tetapi janji itu dibarengi juga kegagalan tentang pemenuhannya. Akibatnya janji itu tidak pernah memperoleh pemenuhannya. Kedua, ada juga ketegangan antara kehendak TUHAN, atau penyertaan pemeliharaanNya, dan kebebasan manusia, atau sifat manusia yang keras kepala. Kehendak, atau penyertaan pemeliharaan TUHAN itu tidak menghadapi penolakan manusia. Kedua ketegangan itu terus-menerus terjadi sampai sekarang. Janji-janji tentang mesias, terutama yang dikemukakan oleh para nabi di zaman pembuangan Babilonia atau sesudahnya, berbicara tentang datangnya seorang pemimpin yang akan mengalahkan para musuh dan membawa umat TUHAN kepada keadilan dan kesejahteraan. Meski sebutan, atau gelar pemimpin yang dijanjikan itu berubah namun isi janji tentang masa depan yang lebih baik tetap dikemukakan. Perubahan itu terjadi oleh adanya reinterpretasi terhadap tradisi generasi lama untuk disesuaikan dengan konteks situasi zaman generasi yang baru. Dengan demikian penyampaian berita tentang “mesias” selalu disesuaikan dengan konteks situasi zaman yang baru itu, atau terusmenerus terjadi reinterpretasi. Adanya reinterpretasi yang berusaha membuat berita mesianis itu menjadi kontekstual bagi setiap generasi umat TUHAN, maka terbukalah peluang untuk memberikan makna yang berbeda-beda, baik di lingkungan orang Yahudi sendiri maupun di luar lingkungan itu. Lebih-lebih karena naskah yang memuat janji itu memberikan peluang adanya pemaknaan yang berbeda-beda. Hal ini tidak perlu kita risaukan, ataupun kita pertentangkan untuk memilih mana yang kita anggap paling benar, tetapi harus kita terima sebagai suatu kewajaran. Berbeda pendapat karena keyakinan adalah wajar-wajar saja. Yang tidak wajar adalah bila perbedaan pemaknaan yang beralaskan keyakinan itu kita jadikan landasan untuk pertikaian dan permusuhan. Kalau dalam kehidupan orang-orang percaya sebagaimana dikisahkan oleh Alkitab itu terjadi ketegangan-ketegangan dialektis, maka hal yang sama pasti juga terjadi dalam kehidu-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
8
MASAKKE Kepemimpinan Mesias Hamba | oleh '(*)()/0)" pan orang-orang percaya saat ini, termasuk dalam kehidupan orang-orang percaya di Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang makin terpuruk tentu bukanlah realisasi pemeliharaan dan penyertaan TUHAN. Keterpurukan itu tentu bukan keadaan yang dikehendaki oleh TUHAN. Semuanya itu pastilah akibat dari ulah manu yang cenderung tidak peduli dan keras kepala terhadap kehendak TUHAN. Ini juga berlaku bagi manusia agamis yang suka berbicara mengatasnamakan TUNAN. Manusia seperti inipun tidak selalu taat kepada TUHAN, dan tidak lepas dari kehendak bebas dan sifat keras kepala yang menentang kehendak TUHAN. Dalam teologi mesianis memang terdapat pengharapan tentang karya TUHAN yang mampu menghadirkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi manusia. Dan umat Kristiani percaya bahwa karya TUHAN yang demikian itu telah terjadi dalam Yesus. Yesus diyakini sebagai Mesias, Gembala Yang Baik, dan Hamba TUHAN yang menderita yang telah membebaskan manusia dari dosa dan maut. Kesempurnaan karya Yesus itu masih dinantikan oleh kaum Kristiani, dan itu akan terjadi saat Yesus datang yang kedua kalinya. Zaman kesempurnaan masih harus ditunggu dengan sabar, dan manusia tidak tahu kapan itu akan terjadi. Baru saat itulah benar-benar terjadi zanlan baru tanpaderita dan air mata. Harapan mesianis memang berlandaskan karya TUHAN, tetapi tidak mengabaikan peran dan tanggung jawab manusia. “Yang diurapi” untuk melaksanakan misi Ilahi bagi kesejahteraan manusia itu adalah manusia. Apa yang telah kita kaji dari Alkitab dalam paparan di atas menyatakan adanya peran serta, dan tanggung jawab manusia. Namun hal ini sering diabaikan oleh manusia melalui kehendak bebasnya dan sifatnya yang keras kepala itu. Padahal peran serta dan tanggung jawab manusia turut menentukan hadir tidaknya kesejahteraan yang dijanjikan secara mesianis itu. Harapan mesianis hanya akan menjadi harapan kosong selama manusia rllasih belum bersedia menundukkan kehendak bebasnya dan sifat keras kepalanya itu di bawah kehendak TUHAN. Dan itu harus terjadi bukan sekedar dalam bentuk ungkapan-ungkapan agamis, tetapi dalam karsa dan karya yang mengedepankan kepentingan semua manusia.
9
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
KEPUSTAKAAN Mettinger, Tryggve N.D., King and Messiah, Coniectanea Biblica. Old Testament Series 8, Wallin & Dalholm, Lund, 1976. Pleins, J. David, The Social Usions ofthe Hebrew Bible, Westminster John Knox Press, Louisville, Kentucky, 200 1. Brueggemam, Walter, Reverberations of Faith, Westminster John Knox Press, Louisville, Kentucky, 2002.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -)
Jabatan Gerejawi dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja Rannu Sanderan
ABSTRACT: !
$ %& dependent problem that stands alone, but rather be related to the humanity issues. A kind of causal factors that contribute toward the gender discrimination is religion (theology-red). Some of theol 4 ! consist of Christianity foundational of faith, but it ought to be realize that the Bible also be made as the theological foundation that potentially seems in mistake viewpoint. Human of course are easily & $ 6 pear some of refractions in theology. keyword: jabatan, perempuan, pelayanan, tanggungjawab, pemimpin Prawacana Menyimak narasi penciptaan, dikisahkan bahwa Allah mendaulat manusia menjadi ciptaan yang mulia. Dalam Kejadian 1:26, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Merujuk ayat tersebut, maka jelas manusia (lakilaki dan perempuan) pada hakikatnya sepadan. Kalaupun mereka diciptakan berbeda jenis kelamin maka hal itu justru dimaksudkan supaya mereka saling membutuhkan dan saling melengkapi (complementary) dalam mengemban tanggung jawab mereka mengolah bumi ciptaan Allah (Kej. 2:20). Pembedaan tanggung jawab antara lakilaki dengan perempuan mulai terlihat timpang tatkala manusia telah jatuh ke dalam dosa. Setidaknya, dalam melaksanakan tanggung jawabnya sudah terjadi pemilahan peran. Laki-laki diberi tanggung jawab sebagai pencari nafkah dengan mengelolah bumi (Kej. 3:17), sedang perempuan akan melahirkan dan mengasuh anak. Implikasinya secara praktis ialah laki-laki dianggap lebih kuat dan lebih penting daripada perempuan dalam segala hal. Laki-laki dominan di bidang publik, sementara perempuan dido Dalam Alkitab terlihat bahwa posisi lakilaki lebih dominan dibanding perempuan. Kendati demikian, dalam beberapa situasi tertentu, peranan perempuan turut diperhitungkan setara dengan laki-laki. Misalnya saja tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab, antara lain: Rahab, Rut, Debora, Ester, Maria, Lidya, dan lain-lain.
Sejatinya, kekristenan sebagai lembaga tidak melihat perbedaan martabat laki-
laki dengan perempuan secara struktural. Seperti yang diwacanakan oleh DGD: “Kita menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dalam citra Allah. Perlu ditegaskan harkat dan martabat yang sama bagi semua orang dan semua ras. Kita menegaskan bahwa HAM diberikan oleh Allah.” (Siregar, 2001). Kemungkinan setiap orang memimpikan adanya suatu masyarakat atau komunitas yang inklusif, yang hidup dalam persaudaraan yang baik dan benar, dalam harmoni; di mana setiap orang menghargai kesetaraan dan perlakuan adil. Masyarakat yang demikian mestinya bukan hanya suatu mimpi belaka, melainkan suatu mimpi yang seyogianya menjadi kenyataan. Uskup Dom Helder Camara dari Brazil menulis, “Bila kita bermimpi sendiri, maka ia hanya berupa mimpi. Tetapi bila kita sama-sama bermimpi, maka ia jadi permulaan dan kenyataan” . Tujuan perjuangan dan pembebasan kaum perempuan adalah untuk kesetaraan dalam gereja dan masyarakat; bukan untuk meniru laki-laki atau menjadi penindas menggantikan laki-laki. Tujuan sejati perjuangan kaum perempuan adalah membangun masyarakat yang adil dan manusiawi bagi semuanya; suatu masyarakat yang mewujudkan kasih Kerajaan Allah, kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Tetapi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
10
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -)
pembebasan dapat terwujud hanya apabila, pertama-tama, kita menyadari bahwa kita membutuhkannya, menginginkannya, dan bersedia berjuang mencapainya bersama-sama, dengan sesama manusia, sesama kaum perempuan” (Sr. Virginia Fabella dari Filipina). Tanggung jawab laki-laki dengan perempuan ini menjadi timpang ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawabnya sudah terjadi pemilahan peran. Laki-laki dibebani tanggung jawab sebagai pencari nafkah dengan mengelolah bumi (Kej. 3:17), sedang perempuan akan melahirkan dan mengasuh anak. Implikasinya secara praktis ialah lakilaki dianggap lebih kuat dan lebih penting daripada perempuan dalam segala hal. Lakilaki dominan di bidang publik, sementara
Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan di mana kehadiran perempuan dalam persekutuan terlihat lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dapat diamati pada kehadiran warga jemaat untuk mengikuti kebaktian-kebaktian gerejawi baik secara umum maupun dalam Organisasi Intra Gerejawi (OIG).
STATUS DALAM MASYARAKAT Lingkungan masyarakat tradisional sampai sekarang, cenderung melihat status lebih rendah daripada laki-laki. Kaum perempuan disebut sebagai orang lemah dalam segala hal, sedangkan laki-laki adalah orang yang kuat serta memiliki kelebihan yang luar biasa. Hal itu juga mengarah pada perbedaan tugas dari laki-laki dengan perempuan di dalam rumah tangga. “Gambaran laki-laki yang berstatus lebih tinggi dan yang berkuasa atas perempuan (seolah-olah hakikat dan martabatnya lebih tinggi dan pada perempuan) adalah gambaran yang tidak ideal. Gambaran yang disebabkan oleh dosa manusia ini mendatangkan banyak kesulitan. Perempuan berfungsi penuh dalam rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan biologis suami, dan untuk melahirkan anak semata-mata. Lakilaki berfungsi sebagai pencari nafkah” (Sinulingga, 1999).
11
Pandangan di atas menolak adanya pemahaman yang membedakan antara kedudukan kaum laki-laki dengan kaum perempuan di dalam kehidupan bersama. Hal tersebut sangat menarik untuk disimak agar kaum laki-laki tidak menganggap diri lebih hebat dari perempuan. Alkitab mengajarkan bahwa semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan (Rm. 3:23.), dengan demikian tidak ada alasan bagi laki-laki untuk membanggakan diri dan merasa kedudukannya lebih tinggi daripada perempuan, baik dalam masyarakat luas maupun dalam gereja. Masalah status laki-laki dan perempuan yang tidak berbeda di dalam masyarakat erat kaitannya dengan persoalan di sekitar Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pembahasan tentang Hak Asasi Manusia (HAM.) tidak dibedakan antara hak asasi laki-laki dengan hak asasi perempuan. Manusia dipandang sebagai individu-individu yang hidup dalam suatu kesatuan secara utuh. Uraian tentang status laki-laki dan perempuan yang ditinjau dari sudut HAM dijelaskan oleh Weinata Sairin dan J.M Pattiasina. Mereka mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak asasi untuk hidup bermartabat, hak untuk hidup berkomunitas, hak untuk mengelolah alam ciptaan dan hak untuk membangun masa depan yang lebih baik dengan segala kewajiban asasi yang terkait. Ini berlaku pada setiap orang dan semua orang oleh karena setiap orang dan semua orang adalah penyandang citra Allah. Sebagai citra Allah, manusia tidak cuma makhluk ciptaan seperti makhluk-makhluk ciptaan yang lain, melainkan setiap orang adalah sebuah pribadi yang utuh, pribadi di hadapan Allah dan bertanggung jawab kepada Allah (Sairin dan J.M Pattiasina, 1994). Dengan memahami manusia secara utuh tanpa membedakan jenis kelamin, jelas bahwa hak bagi setiap orang adalah sama. Manusia yang dihayati dari sudut pandang iman Kristen sebagai ciptaan Allah yang paling mulia, karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dituntut untuk bertanggung jawab kepada Sang Pencipta. Tanggung jawab manusia adalah merupakan wewenang dan kebebasan bagi setiap orang untuk dilakukan dalam kehidupan bersama (Sairin dan J.M Pattiasina, 1994). Sebab setiap orang tanpa kecuali telah diberi hak yang sama oleh Allah sendiri dan digunakan dalam kehidupan di dalam dunia.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -)
Relevansi Penjabat Gerejawi dengan Pelayan Perempuan Dalam kehidupan bergereja perlu dikembangkan pola pemikiran untuk mencapai kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan. Banyak cerita-cerita di dalam Alkitab terutama kitab Perjanjian Baru yang cukup memberi penjelasan tentang persamaan peranan laki-laki dengan perempuan “agar perempuan tidak disisihkan dan peranan-peranan kepemimpinan tertentu di dalam gereja” (Situmorang, l999). Artinya bahwa laki-laki sebagai bagian dari manusia secara umum yang pada masa-masa yang lalu memegang kendali kepemimpinan, seyogianya tidak membatasi ruang gerak serta peranan perempuan yang terbukti memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin dalam gereja. Apabila membaca Alkitab terutarna surat-surat Rasul Paulus akan ditemukan ayat Alkitab yang seakan-akan tidak memberi peluang agar kedudukan laki-laki dengan perempuan sama di dalam persekutuan jemaat. Di mana perbedaan laki-laki dengan perempuan selalu dilihat dalam kaitannya dengan kejatuhan manusia ke dalam dosa, seperti perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. (1 Tim. 2:1 1-14). Bahkan dengan lebih tegas lagi dijelaskan bahwa perempuan tidak diizinkan untuk mengajar laki-laki hendaknya perempuan berdiam diri dalam persekutuan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan ialah tentang sejarah penyelamatan Allah. Manusia telah jatuh ke dalam dosa baik laki-laki maupun perempuan, tidak pernah dijelaskan bahwa hanya perempuan yang berdosa. Dengan demikian pula seluruh manusia menjadi sasaran penyelamatan Allah. Dari kelemahan dan keberdosaannya, perempuan memperlihatkan kuasa pengampunan Allah yang mengagumkan (Russel,1998). Oleh sebab itu berangkat dari pemahaman bahwa manusia secara menyeluruh baik laki-laki maupun perempuan telah jatuh ke dalam dosa, maka tidak ada alasan bagi perempuan untuk merasa rendah diri. Dibutuhkan pola dasar berpikir bahwa kelebihan dan kekurangan sesungguhnya saling melengkapi. Untuk mencapai tujuan dan dalam rangka kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan, membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan kepada warga gereja agar dilaksanakan. Oleh karena itu kenyataan tentang perbedaan antara laki-laki dengan perempuan sudah
terjadi dan berlangsung dalam sejarah manusia serta dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam hal proses perubahan yang terjadi di dalam sejarah kekristenan antara laki-laki dengan perempuan, Anne Hommes mengatakan: “Di samping pengaruh sistem patriakat yang terdapat dalam agama Yudaisme ada dampak lain yang memengaruhi sikap gereja purba terhadap wanita, yaitu kebudayaan wanita khususnya aliran gnostik
# ini menekankan dualisme yang menguraikan realitas menurut dua macam prinsip yang lawan, misalnya baik dan jahat, terang dan gelap, dan lain-lain. Dalam pernikiran ini kaum pria disamakan dengan hal-hal halus, yang spritual, yang berbudi, melainkan kaum perempuan disamakan dengan alam, dan dipandang najis berkenaan menstruasi dan melahirkan anak. Kesuburan tubuh wanita mirip kesuburan alam, yang dimanfaatkan oleh kaurn pria untuk kebutuhan hidupnya” (Hommes, 1992). Gereja-gereja harus berusaha membebaskan diri dari dosa keterpisahan dan khususnya dosa diskriminasi terhadap perempuan. Malah lebih dari itu, gereja-gereja harus berperan dan bertindak dalam solidariras dengan kaum perempuan; mereka harus secara terang-terangan dan berencana mendampingi kaum perempuan demi memberi mereka kesempatan untuk rnengembangkan martabatnya sebagai manusia (Odu Yoye, 1997). Perjuangan untuk mengupayakan kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan dalam jabatan gerejawi harus disadari dengan melaksanakannya berdasarkan prinsip kemitraan. Di mana setiap tugas dalam pelayanan yang akan dilakukan secara bersama-sama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, sehingga tidak terkesan bahwa yang berperan hanyalah laki-laki. Sudah saatnya gereja merubah pola kepemimpinan yang lama, di mana kaum perempuan dianggap sebagai orang-orang yang lemah dan tidak dapat memegang jabatan dalam kepemimpinan (Evang Darmaputera, 1997). Dasar gereja untuk memperjuangkan kemitrasejajaran antara laki-laki dengan perempuan adalah Alkitab, hal itu ditegaskan oleh J.L. Ch. Abineno dengan mengatakan: “Dalam Perjanjian baru tidak ada diskriminasi jabatan. Karena itu wanita
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
12
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -) harus diterima untuk semua jabatan, bukan saja sebagai Penatua, dan Syamas, tetapi juga sebagai pelayan Firman Allah. Sayang, bahwa masih ada gereja di Indonesia yang belum berani berbuat demikian” (Abineno, 1984). Pendekatan Gereja Kontemporer Kesadaran pemahaman tentang perempuan sebagai mitra sekerja laki-laki dalam rangka misi Allah dalam dunia, kini merupakan salah satu makna pemahaman teologis dalam Gerakan Oikoumene (Russel,1998). Secara biologis manusia dapat dibedakan antara perempuan dan laki-laki. Tetapi pembedaan biologis ini jugalah yang kemudian menjadi alasan untuk terus melakukan perbedaan dalam hal-hal lain. Orang jadi condong menstereotipkan, bahwa perempuan itu semua lemah dan laki-laki itu semua kuat, serta banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya, yang pada akhirnya dipercaya sebagai suatu kebenaran. Yang dianggap sebagai “kebenaran” itu akhirnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam gereja. Kita semua tahu bahwa yang paling banyak dan rajin ke gereja adalah kaum perempuan. Yang paling aktif melakukan pekerjaan sosial pun adalah kaum perempuan. Akan tetapi bagaimana kedudukan perempuan dalam kepengurusan, atau kepemimpinan gereja? Sayang sekali sangat minim. Disadari bahwa gereja-gereja sudah terlalu lama terbiasa dengan tradisi— dan juga tidak mengenal tradisi yang lain— bahwa kaum laki-lakilah yang menentukan segala hal-ihwal yang berhubungan dengan gereja, sementara kaum perempuan diikutsertakan bilamana diperlukan. Ini berarti penekanan yang lebih bersifat praktis ketimbang prinsip. Mengapa masalah perempuan menjadi utang gereja yang harus ditebus dan dibayar mahal? Alasannya ialah karena teologi yang berkembang dalam kehidupan gereja, juga praktik-praktik dalam kehidupan gereja, telah mencerminkan sikap yang tidak teologis, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip Penciptaan. Gereja telah berabad-abad membangun teologinya dalam pandangan tentang peranan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki (Russel,1998). Dengan demikian dapat diketahui pemikiran-pemikiran dasar yang dimiliki oleh warga jernaat yang masih membedakan kedudukan
13
laki-laki dengan perenipuan dalam gereja. Hal ini dapat pula mengarahkan pembahasan pada adanya perbedaan pemahaman antara orang tua dengan generasi muda dalam mengerti tentang peranan laki-laki dengan perempuan dalam persekutuan jemaat. Sebab orang tua masih dipengaruhi pemikiran serta kenyataan dalam masyarakat tradisional di mana laki-laki lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan generasi muda sudah dipengaruhi dengan pola pemikiran modern di mana sedang digalakkan kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bergereja.
ANALISIS Manusia melanjutkan hidup dengan bekerja. Namun secara sempit kerja hanya dimengerti sebatas kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan uang. Tetapi pada hakikatnya semua kegiatan ini yang dilakukan oleh manusia termasuk pelayanan di lingkungan gereja disebut sebagai pekerjaan yang dapat memberi manfaat. Pada masa lalu kerja lebih banyak dikaitkan dengan dunia laki-laki. Ada pola pemahaman yang menyimpang, seakan-akan yang disebut sebagai pekerja ialah orang yang kuat, berotot dan berani dalam hal ini laki-laki. Ini salah satu pikiran yang mendasari pembedaan laki-laki dengan perempuan. Sehingga kehidupan masyarakat masih didominasi kaum lakilaki. Gejala kehidupan dalam masyarakat luas yang memperlihatkan perbedaan mencolok antara peranan laki-laki dengan perempuan juga terjadi dalam persekutuan gereja. Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan di kalangan gereja lebih banyak dipegang oleh laki-laki dari pada perempuan. Bahkan dalam kurun waktu yang begitu lama, kaum perempuan dipandang tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin setara dengan laki-laki. Dalam kepemimpinan gereja, misalnya majelis gereja (pendeta, penatua, dan syamas), nampak belum ada keseimbangan antara jumlah laki-laki dengan perempuan yang menjadi pendeta, penatua dan syamas. Untuk mengungkapkan kenyataan yang terjadi dalam jemaat, telah diadakan penelitian dengan data hasil penelitian seperti dipaparkan di atas. Dalam kajian ini, ada tiga faktor yang
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -)
telah diteliti pengaruhnya terhadap perbedaan peranan laki-laki dengan perempuan sesuai pemahaman warga Jemaat. Ketiga faktor tersebut, yakni alasan teologis, alasan budaya, dan alasan praktis. Ketiganya memiliki pengaruh yang tinggi terhadap pemahaman warga Jemaat. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam Alkitab tergambar suatu kenyataan yang secara tersirat lebih menonjolkan pihak laki -laki ketimbang perempuan. Pengaruh pemahaman Alkitab warga jemaat tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan ternyata didukung oleh praktik budaya masyarakat Toraja. Hal ini juga nampak dalam kehidupan praktis, di mana kaum perempuan lebih banyak berperan dalam urusan-urusan domestik. Secara singkat, perbedaan tersebut mengarah pada pola pengertian yang memandang laki-laki lebih utama dari perempuan. Belakangan ini, wacana kesetaraan gender makin gencar di suarakan. Upaya tersebut mestinya disambut baik oleh gereja. Gereja bahkan harus mejadi pionir bagi lembaga-lembaga atau perkumpulan yang lain dalam mewujudkan hal ini. Apabila dianalisis secara mendalam mengapa ketiga faktor tersebut berpengaruh, maka akan mengarah pada latar belakang berdirinya Gereja Toraja sebagai hasil penginjilan zending, proses perubahan dalam kehidupan manusia serta kenyataan dari segi tanggung jawab yang berbeda antara laki-1aki dengan perempuan. Berdasarkan latar belakang sejarah, maka jelas bahwa Gereja Toraja berasal dari GZB sebuah badan pekabaran Injil yang datang di Tana Toraja dengan seorang Pendeta yang bernama A.A. v.d Loodsrecht. Dalam memberitakan Injil, GZB lebih cenderung membedakan antara laki-laki dengan perempuan, sehingga peranan dalam persekutuan gereja lebih banyak dipegang oleh laki-laki. Warga Gereja Toraja dalam membina persekutuan sangat terpengaruh oleh ajaran zending, di mana dalam waktu yang relatif lama kaum perempuan belum dimanfaatkan sejalan dengan laki-laki terutama untuk menduduki jabatan Majelis Gereja. Faktor kebudayaan memengaruhi pemahaman warga jemaat tentang perbedaan antara laki-laki dengan perempuan oleh karena manusia pada dasarnya sejak lahir dibentuk dalam proses sosialisasi kemanusiaan. Dalam proses sosialisasi menuju ke proses inkulturisasi sebagai bagian dari kehidupan manusia, sehingga
memengaruhi pola hidup dan tingkah laku manusia di tengah-tengah kehidupan bersama. Proses kebudayaan menyatu dengan kehidupan bersama di antara manusia yang menghasilkan tatanan hidup sebagai pedoman bersama sebagai suatu kebudayaan. Warga gereja juga terikat dengan kebudayaan masyarakat yang berlaku, seperti budaya masyarakat Toraja.
KESIMPULAN Faktor atau alasan teologis sangat memengaruhi perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam pelayanan jemaat. Pemahaman Alkitab warga Jemaat yang belum memadai tentang hakikat perempuan dan laki-laki telah menyebabkan ketimpangan atau ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pelayanan di Jemaat. Hal yang demikian jelas tidak mencerminkan sikap teologis yang tidak benar, sebab bertentangan dengan hakikat penciptaan (manusia). Alasan budaya (kebiasaan-red) memengaruhi perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam pelayanan jemaat. Internalisasi nilai budaya (Toraja) yang menempatkan laki-laki sebagai pengayom perempuan, tereksternalisasi secara bias dalam praktik berbudaya; di mana laki-laki dan perempuan dipandang secara dikotomis: laki-laki untuk urusan publik, perempuan untuk urusan domestik. Konsekuensinya ialah laki-laki dinilai lebih utama daripada perempuan. Untuk berbagai peran publik, misalnya dalam pelayanan jemaat, ungkapan ”jika masih ada laki-laki, kenapa harus perempuan” masih demikian melekat dalam diri baik laki-laki maupun perempuan. Faktor atau alasan praktis berpengaruh terhadap perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam pelayanan jemaat. Perempuan dianggap lemah, emosional, kurang cerdas, tidak rasional, tergantung pada laki-laki, rapih mengerjakan pekerjaan domestik; sebaliknya laki-laki dianggap lebih rasional, kuat, perkasa, dan cocok untuk urusan publik. Contoh dalam praktik budaya Toraja ~yang cenderung menempatkan kaum perempuan sebagai kaum lemah daripada kaum laki-laki, atau bahwa kaum laki-laki lebih kuat dan lebih unggul dibanding perempuan~ dalam rentang waktu yang amat lama, telah menempatkan kaum perempuan
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
14
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Jabatan Gerejawi Dan Peran Perempuan Dalam Pelayanan Gereja | oleh ))0) -) merasa diri warga masyarakat/jemaat kelas dua. Bahkan lebih jauh, pada wilayah sub etnis tertentu, perempuan dipandang sebagai pelayan laki-laki, harus patuh dan hormat. Tugas dan tanggung jawab setiap orang Kristen ialah mulai dengan sikap baru. Sudah waktunya setiap pemimpin memberi perhatian proporsional serta perlakuan yang setara dan adil, entah perempuan atau laki-laki. Adil tidak berarti sama rata (50:50), tetapi adil sesungguhnya dinilai menurut asas kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Setiap individu dapat memulai berlaku adil di rumah masing-masing selanjutnya dibawa lebih luas di dalam lingkungan sekeliling kita, di tempat kerja, di dalam organisasi, di sekitar masyarakat dan di dalam gereja. Hakikatnya, manusia memunyai harga diri, harkat, dan martabat pemberian Tuhan; oleh karena itu, tidak seorang pun manusia dapat menguranginya apalagi memanipulasinya.
Susanto, Teddhy. Yesus, Kaum Perempuan dan Femenisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
KEPUSTAKAAN Alkitab, terjemahan baru 1974. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia 2001 Abineno, Ch.J. Sekitar Theologi Praktika. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1984. Barth, C. Theologia Perjanjian Lama (terj.), jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Darmaputera, Evang. Wanita dan Berbagai Segi Kehidupan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (terj.). Malang: Gandum Mas, 2001. Hommes, Anne. Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992. Russel, M. Letty. Perempuan dan Tafsir Kitab Suci. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998. Siregar, Hetty. Menuju Dunia Baru: Komunikasi, Media dan Gender. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Sitompul, A.A. Manusia dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. Soekanto, Soejono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Sinulingga, Risnawati. Status Perempuan dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Souk, Beedelina dan Stephen Suleman. Berilah Aku Air Hidup. Jakarta: Persetia, 1997.
15
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$
MORTAL AND IMMORTAL SOUL Ismail Banne Ringgi’
ABSTRAK Kemanakah manusia ketika ia mati seara biologis? Dalam orang Kristen belum sepaham untuk hal ini. Pada satu sisi, ada kelompok yang mengatakan bahwa ketika manusia mati maka jiwanya masih tinggal di dunia orang mati, paham yang hampir sama dengan pandangan agama suku Toraja, Aluk Todolo. Sedangkan pada pihak lain, ada juga kelompok yang menyatakan bahwa ketika manusia mati, maka jiwanya akan kembali kepada pangkuan Bapa. Kematian seseorang dapat dilihat dalam satu ke =
> $ $ @ setiap orang, baik ketika masih hidup maupun ketika mati, berada dalam tangan Tuhan. Key Words: death, soul, immortal, mortal. INTRODUCTION All people taste the terrible mystery of death, since we all inherit corruptibility and mortality because of sin. For Toraja Christians, their theological understanding of death shapes their view of how to treat the dead and how to perform funeral ceremonies. Most of the Toraja O 4 religion called “Aluk Todolo,” which believes that man consists of soul, which is immortal, and body, which is mortal. According to Michael R. Leming and George E. Dickinson the concept of immortality of the soul is in almost all societies (Michael R. Leming dan George E. Dickinson, 1990:298). Therefore in an attempt to counter such a belief the Toraja Church imposes on its members the teaching that the soul is mortal (Pusbang-badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 1994:50-54).
THE MORTAL AND IMMORTAL SOUL DOCTRINES What is the soul? Webster’s New World !" # $ 1) An entity which is regarded as being immortal or spiritual, of the person and, though having no physical or material reality, is credited with the functions of thinking and willing, and hence determining all behaviour 2) the moral or emotional nature of the human being … the spirit of a dead person, thought of as separate from the body and leading an existence of its own … In the Encyclopedia Britannica (1771:618)
# $ % '* stance, which animates the bodies of living creatures. It is the principle of life and activity within them.” The Encyclopedia Americana (1953:268271) # $ '+ < % individual consciousness and conduct.” Hierotheos (1995:37) writes “The soul is the vital power and energy of the body. It gives life to the body and controls it. In Bridgewater and Sherwood’s (1954: 1854) view, the meaning of soul always refers to the spiritual part of human beings which is often conceived of as an immaterial entity, which can be distinguished from the body itself, and regarded as being immortal; The animating and vital principle in humans, credited with the faculties of thought, action, and emotion, conscious and continuous. Human soul is no more than the body’s power of motion, that is, has no substantial reality. The soul is the vital principle of human body, considered as existing with it. > Q% X < beings, which is regarded as being immortal, and which is separated from the body at death. The question of its reality and its distinction from the body is among the important problems in Christian theology. Among Christians it is one of the major topics related to death. This topic has been discussed throughout the history of the church. For immortalists death is the separation of the soul from the body. The soul continues to exist. In its most basic sense the word “soul” means “life.” The life principle is removed at the time of physical death (Gen 35:18; Jer 15:2). The parable in Luke 16:19-31 suggests that when the soul separates from the body, the soul goes to ei-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
16
MASAKKE Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$ ther Sheol or Paradise, but the substance or person is not lost. The parable The Rich Man and Lazarus (Lk 16:19-31), where the soul of Lazarus went to Abraham’s bosom and the soul of the rich man went to Hades, becomes a reference which argues for the immortality of the soul. Augustine (1999:765) points out that the body is corruptible and destined to die, while the spirit which animates and rules the body is greater than the body. The soul itself can feel pain but it is immortal. The body will feel no pain since it is apart from the soul. John Calvin agrees with the doctrine that the soul is immortal. Calvin said that the soul is immortal because it has divine life in it, and that it is never separated from the love of God. According to Calvin, man consists of body and soul. The soul itself is sometimes called the spirit, where intelligence is seated. Through the spirit man can conceive the invisible God. Both soul and spirit are immortal and nobler than body. When a man dies, there will be a separation of soul from body. The body dies and turns to dust but the soul goes directly to heaven to await the resurrection of the body. The soul will not dwell in the body forever (Job 4:19; 1 Cor. 15:54), because the body is made of dust, but the soul is from the breath of God (George H. Tavard, 2000:57-58). Of course, Calvin admits that there is a death of the soul if God damns and forsakes it, but those who are in Christ will have immortal souls because they have regained the immortality they lost in sin through faith in Jesus. The believers will not be condemned (Rom. 8:1). This is the effect of grace (George H. Tavard, 2000:85). With regard to the separation of the body from the soul Calvin appealed to some verses in the Bible, for example, Genesis 3:19; Ecclesiastes 3:19; 12:7; Luke 23:46; Acts 7:59; 1 Peter 2:25. In another discussion, in referring to 1 Peter 3:9; Ecclesiastes 12:7; Luke 16:22, Calvin goes on to say that the souls are not asleep, but rather the dead live in the spirit. The soul could be un % X Kingdom of God (George H. Tavard, 2000:5961). That the dead are resting in the freedom of God does not mean inactivity or sleep but rather the dead is active in waiting for their perfection [ of God (Jurgen Moltmann, 1998:56). For Calvin (1950:184-186), therefore, death is the beginning of the next life because through death the soul will be released from the prison of the
17
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
body. The soul will continue to exist in the next world. However, Calvin himself disagrees with Manichaean who claimed that the soul is a derivative of God’s substance. Calvin says that this is a misinterpretation of Genesis 2:7. If this is so, Calvin (1950:191) argues, God’s nature is subject also to ignorance, wicked desires, and frailty. The term ‘Sheol’ in the Bible can be used to support the idea of the immortality of the soul. J.A. Motyer (1965:38) says, “When a man dies he changes from a body-soul, a change of state; he leaves earth for Sheol, a change of place; but he continues as himself.” The word ‘Sheol’ refers to a place where the souls of people go after they die (Gen. 42:38; Num. 16:33; Prov. 7:27; Is. 5:14). By referring to Psalm 89:48, Motyer (1965:20) says, “Life on earth is not the complete span for man; beyond it there is another and different existence which he cannot avoid, for ‘what man is he that shall live and not see death, that shall deliver his soul from the power of Sheol?” There is blessing for the people of God but loss for those who reject God. The doctrine of purgatory in Roman Catholicism indicates that Roman Catholics also believe that the soul is immortal. According to the Roman Catholic view, purgatory “is a place or condition of temporal punishment for those, who departing this life in God’s grace, are not entirely free from venial faults, or have not fully paid the satisfaction due to their transgressions” (http://www.newadvent.org/cathen/12575a. htm). Purgatory is an intermediate state after death on the path to heaven where the soul of a dead man enters. In that place, the soul will be judged and spend a period of time until fully < Q to achieve holiness and thereby to enter the joy of heaven. By this doctrine, Roman Catholics beQ < X
purgatory by prayers, almsgivings, Masses and < < < by the faithful for one another. Roman Catholics base this doctrine on 2 Maccabees 12:40-46; Mark 3:29; Luke 12:59; Revelation 21:27 (http:// www.newadvent.org/cathen/12575a.htm). This means that death is a separation of the body from the soul. The body disintegrates but the soul is still alive and enters another world. However, George A. Maloney (1979:63-67) says that there is no explicit doctrine of purgatory in the Old Testament. This doctrine was developed in the
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$
early church by the early fathers such as Augustine, Tertullian, and Origen. The immortal soul doctrine, as mortalists % QX splits the human person into two parts, body and soul; the body dies, while the soul is immortal (George Maloney, 1979:16). The mortalists say that a human person is a psychophysical unity. By his body, soma, he relates with the cosmic world around him; and by his spirit, pneuma, he is a total and unique personality having a relationship with God. The mortalists argue that there is nothing immortal in man’s body to preserve him forever. Both the body and the soul will die because of sin (Rom 6:23). There is no distinction between body and soul, or the inner and the outer man, because both belong together and both are created by God. If the soul is immortal, as the mortalists argue, that means Jesus only saves a part of human life from death. In other words, sin only touches human body, whereas the soul is untouchable. The idea of the soul being im \ Platonic views. It is different from the OT view (Herman Bavinck, 1915:812). Emil Brunner (1964:387-388) points out that the idea of immortality is incompatible with Christian teaching. According to Brunner, in the OT man just accepts death as an ordinance of God (Ps. 90:7). Death is understood as the effect of divine wrath on human rebellion. Bodily death refers to the outward manifestation of a person distorted by sin. Even though believers in Christ have been reconciled and united with Christ (Phil. 1:23), in whom God promises eternal life, they still have a ‘residue’ which is not yet destroyed because they still again and again rebel against God. That residue is physical death. Jay D. Robison (1998:98-99) concludes from Brunner’s view of death that the death of human beings is radically different from the death of other creatures. Human beings are aware of death but other creatures are not aware. Human beings can anticipate death because they are more than physical beings, they are spirit. Death for human beings is surrounded by “surmise, expectation, and uncertainty.” But, death for other creatures can be understood in terms of physical death only, which is decomposition and dissolution. With regard to the doctrine of the immortality of the soul, Brunner admits that this doctrine creates dualism. This doctrine, according to him, was derived from mystical religion that
Q ] ^ Lucerne Council in 1512 (Jay D. Robinson, 1998:101-104; Hanz Schwarz, 1981:32). This Platonic doctrine was common in the time of the New Testament and therefore it Q _X + X ers (Jay D. Robinson, 1998:101-102). This doctrine, as Brunner (n.d: 466-467) points out, has become an integral part of the church’s preaching, the liturgy, religious instruction, and ecclesiastical hymnology. According to Brunner (n.d: 362-363), the ideas of dichotomy which says man consists of soul and body, and trichotomy which says man consists of soul, body and spirit, are pointless because God created human beings by giving them physical, psychical and spiritual functions which cannot be distinguished metaphysically. If the soul is immortal, it would mean that sin does not touch the most essential part of humans. For Brunner (n.d: 363-364), if the doctrine of the immortality of the soul is accepted, it would then suggest that “death merely represents one stage in the development of the individual.” The adoption of Platonism into Christianity, as Brunner argues, will dissuade the idealization of death. His point is that such a doctrine would lead to human beings not being responsible for their own sin. Secondly, the doctrine of the immortality of the soul creates dualism, whereby the human being is divided into two parts, body and soul. The body and the soul are viewed as being separate. Another reason Brunner disagrees with the doctrine of the immortality of the soul is that the eternal does not dwell in a mortal body. Brunner points out that a human being consists of spirit, soul, body, and even of mind as one entity of the ‘I’ of a person. He says that the Bible tells us that originally human beings were not destined to die like other creatures but to live eternally. Yet this gift was revoked, as a punishment. God said to Adam and Eve: “…when you eat of it you will surely die” (Gen. 2:17). Commenting on this passage Calvin argues that even though the devil had sinned against God, he was still far from being physically dead. In addition, if death still reigns among the elect of God it means that the grace of God would have no effect, just as death entered the world through Adam, but those who receive God’s abundant provision of grace and of the gift of righteousness reign in life through the one man, Jesus Christ (Rm. 5:12, 17). In this world, “the Christian soul is being initiated to
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
18
MASAKKE Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$ the experience of resurrection” (George H. Tavard, 2000: 85-87). Karl Barth (1960:344-353) also contends that both soul and body are simply earthly creations. Man is constituted and maintained by God as soul of his body. He is soul bodily and body besouled. Soul only has function if it is in the body. Through his body, a man can be visible and distinguished from others. Man is the object of God’s purpose for the world; through him the purpose is revealed. Barth also says that man has spirit but it is not his own. The spirit is given to man as a divine gift. Man has no power over the spirit. The spirit is immortal, not like body and soul and does not become a third part of man. It is the essence of God which relates him to human beings (Rom. 8:10-11; Rev. 11:11). The spirit’s function is for grounding, constituting and maintaining of man as the soul of his body. Man who receives the Spirit of God lives a new life that God uses for his own purposes (1 Cor. 15:45; 2 Cor. 3:17, 18). Death happens when the spirit leaves man. The Pengakuan Gereja Toraja (1994:8), the Confession of the Church of Toraja, says, “The man was created as an entity of body and soul. The soul is not divine and not more important than the body; but both the soul and the body are equally important.” This statement is aimed at countering the view of Aluk Todolo and that of the immortalists. From the above statement, we can infer that if someone dies both his soul and his body are ‘totally or wholly dead’, or “dead in all respects” (mati seutuhnya). When the Bible mentions the soul, the spirit and the body, it actually refers to the “I-ness” of a person, a human being as one entity. Another understanding of the concept ‘totally dead’ is that if someone lives outside of a relationship with God he automatically has no life. It is because man is only a creation and thus is vulnerable, in contrast to his Creator who is eternal. If both the soul and the body of a man fall into sin, this means that both of them will die and will be raised at the second coming of Jesus Christ (J. Barr, 1963:932). When A Man Dies It is clear that scholars are divided over the issue of the immortality of the soul. Despite this fact I would hold to the view of the soul being immortal. My argument is as follows: The word ‘nephesh’ refers to a living
19
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
being as one entity, man as a living soul (Lev. 5:2). The term “soul” in the Old Testament is nephesh, which often designates the life force of living creatures (Henry L. Carrigan, 2000:1245). In Genesis 2:7 it is said that God formed man of the dust of the ground and blew the breath of life into his nostrils, and the man became a living being (nephesh). Even the birds of the air and the < Q % nephesh (Genesis 2:19; 9:10). Nephesh also sometimes refers to the whole person. Thus, a corpse is referred to as a ‘dead soul’ and is translated as a ‘dead body’ (Lev. 21:11; Num. 6:6). Nephesh also refers to the sum of individual persons. This meaning is used to count the number of persons of one household or tribe, for example, there were ‘sixteen souls’ borne by Leah to Jacob (Gen. 48:18, KJV); ‘all the souls of the house of Jacob’ which went to Egypt were seventy (Ex. 1:5); the number of the remnant left behind in Judah (Jer. 43:6). The usual sense of nephesh refers to the life of a person as distinguished < #$ #$ \ `{!| 12:23; Ps. 31:10). It is frequently translated as the ‘heart’ which refers to the seat of the emotions, such as the centre of joy in God (Ps. 86:4) and the seat of evil desires in the wicked (Prov. 21:10). Nephesh is often used to indicate parts of the body, particularly to stress their characteristics and functions. It can refer to the throat (Isa. 5:14; Hab. 2:5) which can be parched and dry (Num. 11:6; Jer. 31:12, 25), discerning (Prov. 16:23), hungry (Num. 21:5), and breathing (Jer. 2:24). It is associated with the will and moral action (Gen. 49:6; Deut. 4:29; Job 7:15; Ps. 24:4; 25:1). Nephesh can also mean “the neck” which can be ensnared (1 Sam. 28:9; Ps. 105:18), humbled and endangered (Prov. 18:7), and bowed to the ground (Ps. 44:25) (Carl Scultz, 1996:743744). The counterpart of nephesh in the NT is “psyche”. As in the OT, psyche also refers to the living being of the whole person (Acts 2:41; 3:23) and to a person’s life (Matt. 2:20; Rom. 11:3; 16:4; 1 Cor. 15: 45; Phil. 2:30). It some Q [Q the self (‘I’ll say to myself’- Luke 12:19; ‘as my witness’- 2 Cor. 1:23; ‘my life’- Rom. 11:3; share … our lives’- 1 Thess. 2:8). The psyche can be cared for (Matt. 6:25), saved or lost (Mark 8:35), sought (Matt. 2:20), laid down (Jon 10:11), etc. ‘Psyche’ also sometimes refers to the meaning of life force (Luke 12:22). Hans Schwarz (1981:
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$
`!" < } !| Mark 10:45) and the seat of emotions such as grief (Matt. 26:38; Mark 14:34), anguish (John 12:27), exultation (Luke 1:46), and pleasure (Matt. 12:18). In the NT psyche is used three times to refer to “desire”, and on each occasion is translated as ‘heart’ (Eph. 6:6; Phil. 1:27; Col. 3:23). The Bible depicts man as consisting of three elements, body, soul and spirit (1 Thes. 5:23). These elements constitute a person. The spirit is the same as the soul where emotion, intelligence and the life force are seated. When man dies, his spirit returns to God (Eccl. 12:7). Jesus commended his spirit to his Father (Luke 23:460, and Stephen his spirit to Christ (Acts 7:59). This suggests that the soul is freed from the body. In the OT the soul of the body can be X ^Q {"% X body expresses outwardly the life or soul. The body can be lifeless, but nephesh in its normal usage is alive. The soul continues to live in a particular place to wait for the last judgment. At the resurrection the soul will have a new body which is immortal. Paul develops the view that the Christian as an individual, as inward man, obtains immortality at death and waits for the resurrection of the body at the Parousia (2 Cor. 4:7-5:10; Phil. 1:19-26). When a righteous man dies he will go to Abraham’s bosom to await the judgment on the last day (Luke 16:22). The meaning of soul also refers to breath or sense of life, by which every living being lives (Ex. 21:23; Lev. 24:18; Judges 12:3). When man dies he ceases to breathe because the nephesh has left the body. Genesis 35:18, for instance, states that Rachel’s soul was departing when she bore
% {! X when Elijah prayed for a widow’s dead child, the soul returned to him again (1 Kings17:21). According to W.O.E Oesterley (1930:15), there was a popular view in the post-exilic period that the soul could slip in and out of the body of man. In the NT, Peter describes death as putting off the tent of the body (2 Pet. 1:14). Here he emphasizes that the physical element will be destroyed upon death. The same idea is mentioned by Paul in 2 Corinthians 5:1, that “the earthly tent we live in” would be destroyed, but God provides an eternal home in heaven. What Paul intends by saying this is that the natural body will be destroyed at death, but then God will replace it with a spiritual body (1 Cor. 15:35-49). Ac-
cording to Andarias Kabanga’ (2002:196), even though the body is destroyed, man’s existence is still in fellowship with God. The New Testament employs two terms for death, tanathos which emphasizes separation, and nekros which emphasizes punishment. Some verses indicate that immortality is only reserved for those who believe in Christ. Jesus assured Martha that he is the agent of resurrection and the giver of immortality; for those who live and believe in him though they die, yet they shall live and those who live will never die (John 5:24-5; 11:25-6). These passages speak of death as the punishment for unbelievers’ sinfulness, and as salvation for believers. Hence, immortality here refers not only to a future event but also to the present state. Believers are in fellowship with Christ waiting for the resurrection of the body at parousia. Paul here is referring to the state of the dead between death and the parousia (2 Cor. 4:7 – 5:10; Phil. 1:19-26). The Bible states that for man ‘to live’ or ‘to die’ is in the hands of God (Rom. 14:9; Phil. 1: 21; 2 Tim. 2:11), because those who have died in the Lord will be with him (1 Thess. 4: 14). Death is also explained in terms of “having fallen asleep,” (Job 14:10-12; Jer. 9:21; John 11: 11-13; 1 Cor. 15:18; 1 Thess. 4:14, 15). This phrase refers to the idea that the dead cannot be annihilated. The dead are waiting for the resurrection (Clarence Edward Macartney, 1926:120) The dead person is in undisturbed rest. Matthew Henry (Matthew Henry, PC Bible version 3,0) comments, “Their souls are in God’s presence and their dust is under his care and power; so that they are not lost, nor are they losers, but great gainers by death, and their removal out of this world is into a better.” There are three different kinds of death. Spiritual death. In the beginning, in Genesis 2:17 God had forbidden Adam to eat the fruit of the tree of the knowledge of good and evil, ‘for in the day that you eat of it you shall die,’ and yet that death was not immediate. What happened here was that since the man had sinned against God, he himself and all of his descendants are separated from God and live under the wrath and punishment of God. The good news brought by Jesus is that God has redeemed us, as Paul says in Rome 8:1, “There is no condemnation for those who are in Christ Jesus.”
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
20
MASAKKE Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$ as the cessation of breath or heart activity, and the brain permanently losing function without any possibility of being reanimated. It is the separation of the soul from the body. The body returns to the earth but the soul to God. The Old Testament (OT) relates “Adam lived 930 years, and then he died” (Gen. 5:3). As the result of disobeying God, he became subjected to physical death. This point is carried over to The New Testament (NT) which is clear in its use of the terms nekros and tanathos. For instance, Simeon would “die” before he had seen the Lord Christ (Lk. 2:25). Another example is the case of Lazarus, who had been dead for four days before Jesus raised him (Jn. 11). In these cases the word “die” refers to physical death. Such a view is also mentioned by Paul in, e.g., Romans 8:10 and in 2 Timothy 4:1. Physical death did not occur immediately after Adam had eaten the fruit in the Garden of Eden. It is said that Adam still lived until the age of 930. Eternal separation from God. Jesus also states that eternal punishment will come upon those who do not believe in him, but eternal life will be given to those who believe in him (Mt. 25:46). Paul states that at the second coming of Jesus on the last day, people will experience either eternal life or eternal wrath (1 Thess. 4:17; 5:9). In viewing death as punishment then, immortality refers to eternal life in Christ. He came to put an end to death and instead give eternal life, for he who does not believe in him will be under condemnation forever. Immortality might be termed as grace for those who believe in Jesus (Eph. 6:24). Immortality is bound up with eternal life, which is the reward of God for those who believe in him through Jesus Christ (John 1:4; 5:24-26; 2 Cor. 5:17). Believers will die a physical death, but because they believe in Christ as their Saviour, they are given eternal life (John 3:16; 11:25). They are no longer under condemnation. Soon after they die, they will be with Christ (Luke 23:43; Phil. 1:23).
separated from the body of man if man dies, because soul is from heaven, but body is from dust, whereas in Christianity, the soul is immortal not because it is divine but because of the grace of \ + * < second Adam, Jesus Christ, brings eternal life to those who believe in him. The doctrine of soul immortality becomes a source of joy and comfort for a bereaved family in the anticipation of the future and even in the world. It can comfort those who facing death or people in the bereavement period (Phil. 1:23, 24). Secondly, death is not simply the process of the living being going back to man’s origin. Death is the wages of man’s rebellion against his Creator (Romans 6:23). Sin is a serious problem between God and man; because of sin man is under the punishment of God. Punishment will come upon those who do not believe in Jesus; however those who believe in him will be spared from punishment and will inherit eternal life. Thirdly, unlike in Aluk Todolo, in Christianity, man will enter the transitory place, Sheol or Paradise, without any conditions. Both believers and unbelievers will enter this transitory place. From there they shall wait for the last judgment at the parousia. In Aluk Todolo, the family of the dead should perform particular rites in order to enable the departed to enter the transitory place. Furthermore, the departed will go to the transitory place with many provisions as a condition to enter. Finally, the resurrection of Jesus has become the central pillar of the Christian faith. Jesus raised the dead and taught that there is resurrection after death. The resurrection of the X <X
X the dead are raised before entering either heaven or hell. Believers will go to be with Christ forever in heaven, but non believers will be sent to hell.
Conclusion
A society of Gentlemen in Scotland. Encyclopedia Britannica Vol. III. Edinburgh: A. Bell and C. MacFarquhar, 1771. Barr, J. in Dictionary of the Bible, James Hasting (ed.). Edinburgh: T & T Clark, 1963. Barth, Karl Church Dogmatics, Vol. III, 2, trans. Harold Knight et.al. Edinburgh: T.& T. Clark, 1960.
It seems that the Christian teaching on death is similar to that of Aluk Todolo, that the soul is immortal, and that there is a transitory place for the soul, and that there will be another stage of life after the transitory place. However, there are fundamental differences. First, according to Aluk Todolo the soul as “inner man” is
21
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
DAFTAR PUSTAKA
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Mortal And Immortal Soul | oleh .($')) $)""$
Bavinck, Herman. The International Standard Bible Encyclopedia Vol. II, James Orr (ed.). Chicago: The Howard-Severance Company, 1915. Brunner, Emil. Man In Revolt, trans. Olive Wyon. Philadelphia: The Westminster Press, n.d. Brunner, Emil. Our faith, trans. John W. Rilling. London: SCM Press, 1949. Brunner, Emil. The Christian Doctrine of the Church, Faith and the Consummation, trans. David Cairns. London: Lutterworth Press, 1964. Calvin, John. Calvin Institutes of Christian Religion 1, ed. John T. McNeill. Philadelphia: The Westminster Press, 1950. Carrigan, Jr., Henry L. Dictionary of the Bible, David Noel Freedman (ed.). Grand Rapids, Cambridge: William B.Eerdmans Publishing Company, 2000. Kabanga’, Andarias. Manusia Mati Seutuhnya. Yogyakarta: Media Pressindo, 2002. Leming, Michael R. and George E. Dickinson, Understanding Dying, Death, & Bereavement. Toronto, London, Sydney, Tokyo: Holt, Rinehart and Winston, 1990. Macartney, Clarence Edward. Putting on Immortality. New York, Chicago, London: Fleming H.Revell Company, 1926. Maloney, George A. The Everlasting Now. Notre Dame: Ave Maria Press, 1979. Metropolitan of Nafpaktos Hierotheos. Life after Death. Greece: Birth of Theotokos Monastery, 1995. Moltmann, Jürgen. Is There Life After Death? Wisconsin: Marquette University Press, 1998. Motyer, J.A. After Death. London: Hodder and Stoughton, 1965. Neuvfeldt, Victoria (ed.). Webster’s New World Dictionary. New York: Simon and Schuster, 1988. Oesterley, W.O.E. Immortality and the Unseen World. New York, London: Society for Promoting Christian Knowledge, 1930. Pengakuan Gereja Toraja. Rantepao: Pusbang Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 1994. Pusbang-Badan Pekerja Sinode. Gereja Toraja, Pengakuan Gereja Toraja. Rantepao:
Pusbang Gereja Toraja, 1994. Robison, Jay D. Life After Death. New York, Berlin, Vienna: Peter Lang, 1998. Saint Augustine. The City of God, trans. Marcus Dodds. New York: The Modern Library, 1999. Schultz, Carl. Evangelical Dictionary of Biblical Theology, Walter A. Elwell (ed.). Michigan: Paternoster, 1996. Schwarz, Hans. Beyond the Gates of Death. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1981. Schwarz, Hans. Beyond the Gates of Death. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1981. Soedarmo, R. Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. Tavard, George H. The Starting Point of Calvin’s Theology. Michigan and Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2000. Wiener, Norbert. The Encyclopedia Americana vol. 30th. New York, Chicago: Americana Corporation, 1953. http://www.newadvent.org/cathen/12575a.htm. Matthew Henry, PC Bible version 3,0.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
22
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0
KONSEP RAJA MESIANIS MENURUT YESAYA 11:1-9 Joni Tapingku
ABSTRACT In essence, the prophecies of the messianic king is an advanced interpretation of the prophecy of Nathan (II Sam. 7). Even the prophet Isaiah did not mention directly who akanb become messianic ruler, but certainly he was a man who came from the family of David. He has the same keududukan the king of Israel in nature. Because the Spirit of God was to him then he has the strength, wisdom, understanding and fear of God in governing the people. His actions in ruling is love, truth and justice. What he is doing as another not messianic king is doing the work of God himself on earth. Thus, the Spirit of God which is given unto it not only will lead to full compliance messianic king’s will and acts of God, but also makes the charismatic leader like David.
PENDAHULUAN Penelitian ilmiah sudah membuktikan bahwa tidak hanya ada satu pemahaman spesi } + < mengenai mesias. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa pelayanan Yesus sudah dengan sendirinyam merupakan bukti jelas bahwa Dia adalah Mesias. Tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa karena Ia tidak membebaskan Israel dari kedudukan kerajaan Romawi, maka Ia bukan Mesias. Menurut pertimbangan tradisi sinoptik, kelihatannya Yesus tidak membiarkan diri-Nya dipandang sebagai Mesias, bahkan murid-Nya disuruh untuk diam (Mrk. 8:29, 30; 9:9). Yang terjadi adalah bahwa Yesus memandang mandat-Nya sebagai yang bersifat Mesianis, kendati hal itu tidak dapat dibuktikan. Tetapi juga tidak bisa dibuktikan bahwa Ia bukan Mesias. Bagi orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru, gambaran tentang Mesias pada dasarnya adalah tokoh penyelamat yang inklusif, hanya bagi bangsa Yahudi sendiri. Sebagai tokoh yang nasionalistis, maka Yerusalem diyakini sebagai pusat perjuangan Mesias. Gambaran ini tentu saja tidak sesuai dengan perjuangan Yesus. Benar bahwa perhatian utama Yesus adalah keselamatan Israel, tetapi sejak awal sudah disadari bahwa karya keselamatan di dalam Yesus adalah karya untuk semua manusia. Perlakuan-Nya terhadap orang Samaria (Luk. 17:16; Yoh. 4:9), _ dan putrid Siro-Fenisia (Mrk. 7:24-30), juga bila Ia menekankan kedudukan Israel adalah gambaran yang jauh dari nasionalistis itu. Unsur nasionalistis ini adalah yang paling kecil dalam gambaran Yesus sebagai Mesias.
23
Konsep ideal tentang Mesias dalam pemahaman orang Yahudi adalah sebagai tokoh mulia, penuh kekuasaan dan keperkasaan serta berasal dari keturunan Daud. Dan sebagai tokoh yang mulia dan perkasa, maka Ia pun seharusnya menghajar pendosa, menghapus berbagai kejahatan dan membuat bangsa-Nya hidup makmur dan sejahtera. Maka tidak mengherankan bila pengajaran dan tindakan Yesus terhadap orang berdosa dan pengampunan dosa ditanggapi secara keras oleh orang Yahudi (Mat. 9:10; Yoh. 1:29; 8:7). Sulit bagi mereka menerima Yesus yang menolong dan menyelamatkan orang berdosa. Bagi mereka hal yang tidak mungkin, tidak bisa dipercaya bahwa Mesias yang agung dan perkasa lahir di tempat yang hina dan harus menderita, bahkan mati di kayu salib. Dari pengamatan ini jelas bahwa gambaran orang Yahudi tentang Mesias berbeda dengan tindakan dan ajaran Yesus. Tradisi sinoptik menunjukkan bahwa hidup, karya dan pengajaran Yesus yang diukur dengan ukuran tradisional itu boleh dikatakan Ia bukan Mesias. Lalu, haruskah dikatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Yesus dan cita-cita Mesianis? Bagi kita, bangsa pilihan yang baru, adalah penting untuk memperoleh makna nama dan gelar Kristus. Dan satu-satunya jalan yang pantas untuk itu ialah dengan menoleh ke Perjanjian Lama. Tugas dan peranan yang dimainkan seorang Mesias serta keselamatan yang Ia bawa baru menjadi jelas dalam perjalanan Allah dengan Israel, umat-Nya. Oleh karena itu, kita harus mempelajari bagaimana sebenarnya Allah menjanjikan kedatangan Mesias kepada kita di dalam Perjanjian Lama.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0
Pengertian tentang Mesias Kata ini berasal dari kata Aram mesi’e dan kata Ibrani masyiakh, yang berarti “seorang yang diurapi” (Buttrick 1962: 19). Menurut Zimmerli etimologi dari istilah tersebut bisa berarti “seorang yang diproklamirkan” atau “seorang yang terdepan” (Zimmerli 1978: 87). Dalam pemikiran orang Israel, mendengar istilah itu bisa berarti “nabi yang diurapi” (I Raj. 19:16) atau “imam yang diurapi” (Kel. 28:41; 29:7) atau “raja yang diurapi” (Hak. 9:8; I Sam. 16:12, 13; Mzm. 89:20) (LaSor dkk. 2000: 297). Jadi, sejak semula dimengerti bahwa sang terurapi adalah nabi, imam dan raja. Meskipun gelar “seorang yang diurapi” juga digunakan untuk nabi dan imam, namun dalam pemahaman sejarah penyelamatan Allah bagi umat Israel, gelar tersebut hanya digunakan secara mutlak untuk raja (Kaiser 2000: 194). Pemutlakan gelar ini pada raja bukanlah tanpa alasan. Beberapa teolog dalam ungkapan yang senada memberikan alasannya masing-masing. Menurut Walter C. Kaiser, janji Allah kepada Daud di dalam II Samuel 7 harus berada berada di antara saat-saat yang paling cemerlang di dalam sejarah penyelamatan Allah. Wibawa dari janji tersebut hanya bisa ditandingi oleh janji yang diberikan kepada Abraham (Kej. 12) dan kepada Israel serta Yehuda dalam perjanjian baru dengan Yeremia (Yer. 31:31-34) (Kaiser 2000: 187). Menurut Gerhard von Rad, janji Allah kepada Daud di dalam II Samuel 7 adalah merupakan janji abadi sebagaimana yang diperluas dalam Mazmur 132:1-18. Dalam II Samuel 7 terdapat beberapa janji Allah kepada Daud: (a) Allah akan membangun rumah dinasti Daud, (b) Daud akan berkuasa atas Israel dan kekuasaannya akan kekal, dan (c) Allah akan menjadi Bapa bagi Daud dan keturunannya (Rad 1962: 310). Claus Westermann berpendapat bahwa nubuat tentang berkat keselamatan berkaitan erat dengan lembaga kerajaan. Nubuat itu meliputi pilihan Allah tentang seorang raja, pengurapan Allah dan janji sebuah dinasti. Oleh karena itu gagasan ini sangat terkait dengan nubuat nabi Natan dalam II Samuel 7:1-17. Inti dari II Samuel 7 ini ialah janji mengenai kebesaran dan kehormatan (nama yang termasyur) bagi Daud, dan janji mengenai kekekalan keluarganya (ayat 9b dan 11a) (Westermann 1987: 31). Dalam bukunya yang dikutip oleh Siahaan, Eduard Konig mengatakan bahwa tujuan
Yahweh ialah membangun bangsa yang rogani dengan religi dan budaya yang benar. Dan dalam kerajaan ini akan berkuasa seorang penyelamat. Setelah kerajaan Israel berdiri sesuai dengan kehendak Allah di bawah pemerintahan Raja Daud, dan Raja Daud menduduki tempat terhormat, maka muncul pengharapan terhadap penyelamat dalam bentuk raja. Jenis pengharapan akan keselamatan dan cara memperoleh keselamatan lambat-laun digambarkan berhubungan dengan besarnya bangsa, nama yang termasyur, akhir dari perang, dan juga pemerintahan yang gemilang serta suasana damai dalam pemerintahan (Siahaan 2001: 6). Pentingnya kredo Israel tentang pengangkatan Raja Daud, tentunya tidak terlepas dari pengharapan datangnya raja Mesianis yang dijanjikan. Raja Mesianis itu akan datang dari keturunan Daud yang agung, dan akan datang untuk menyempurnakan kerajaan Allah yang diharapkan. Ia adalah raja Yahweh yang akan memerintah atas kerajaan kekal-Nya di bumi; namun sekaligus, Ia adalah manusia pilihan yang berhak duduk sebagai wakil Allah di atas takhta Daud. Bagi jemaat mula-mula, gelar Mesias tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai khristos (diurapi). Dari kata itu timbul kata “Kristus”. Kata “Mesias” dan “Kristus” memiliki arti dasar yang sama, di mana dalam perkembangan kedua kata ini, Kristus mendapat arti tambahan, dan dalam pemakaian Kristen arti Mesias lebih luas dari dampak pemakaian Yahudi. Pada waktu menyatakan Yesus sebagai “Kristus”, para penulis Perjanjian Baru menyamakan Dia dengan Mesias orang Yahudi (LaSor dkk. 2000: 296). Sejarah Pengharapan Raja Mesianis Sejumlah teolog mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang asal mula pengharapan raja mesianis. Aliran historis-kritis, seperti Fohrer berpendapat bahwa nubuat tentang mesias dalam Perjanjian Lama hanya 11 (12), yaitu di Yesaya 9:1-6 (Eng. 9:2-7); 11:1-9; 16:5; Yeremia 23:5-6 (33:15-16); Yehezkiel 17:2224; Mikha 5:1, 3 (Eng. 5:2, 4); Hagai 2:20-23; Zakharia 6:9-15; 4:1-6a, 10b-14 dan 9:9 (Fohrer 1972: 349). Oleh karena nubuat-nubuat tersebut adalah merupakan tambahan kemudian dan berkaitan erat dengan pengharapan eskatologis, itu berarti pengharapan mesianis baru muncul
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
24
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 pada masa dan sesudah pembuangan. Pada masa itulah raja mesianis akan duduk pada takhta Daud dan memerintah secara adil dan pemerintahannya adalah wakil Yahweh di bumi (Fohrer 1972: 349). Menurut Richter dan Schmidt, gelar “yang diurapi” hanya digunakan bagi pemimpinpemimpin militer pada masa sebelum monarkhi. Karena itu tidak mungkin bahwa gelar itu sudah diasosiasikan dengan raja mesianis pada periode sebelum monarkhi. Tetapi Zimmerli menolak pendapat ini dengan mencoba memberikan penjelasan bahwa di antara kerajaan-kerajaan besar di Timur Tengah Kuno, ritual pengurapan sudah mendominasi Asia Minor dan Siria sekitar tahun 2000 – 1200 sM. Dari tulisan-tulisan Amarna membuktikan adanya tradisi pengurapan bagi seorang raja. Dalam pengurapan itu terkandung makna kebesaran dan tuntutan bagi raja. Tradisi inilah yang kemudian diambil alih dan menjadi gelar umum dalam pengurapan raja Israel (Zimmerli 1978: 88). Sebagaimana Zimmerli, Mowinckel dan Gressmann (Siahaan 2001: 5, 6), juga berpendapat bahwa asal-usul pemahaman raja Mesianis dalam Perjanjian Lama dapat ditelusuri dari gagasan adanya raja yang ilahi sebagaimana yang umum dipahami di seluruh Timur Tengah. Di Timut Tengah raja adalah “orang suci” setingkat imam. Dukun, peramal atau nabi. Raja adalah pemegang kekuasaan dewa di dunia dan menduduki posisi khusus dalam pemujaan di lingkungan peribadatan. Sebagai pemegang kekuasaan, maka raja bertugas meneruskan kekuatan dewa dan menjamin keselamatan bagi bangsanya. Jadi, sekalipun terdapat perbedaan di antara para teolog mengenai penelitian munculnya pengharapan raja mesianis dalam Perjanjian Lama, nabuat nabi Natan dalam II Samuel 7 harus dipahami sebagai nubuat yang relevan sepanjang sejarah karya penyelamatan Allah, baik pada masa monarkhi maupun masa dan sesudah pembuangan. Gerhard von Rad mengatakan bahwa janji Allah melalui nabi Natan ini diberi arti yang semakin penting dari masa ke masa, dan tidak pernah lagi dilupakan dan terus dinyanyikan dalam mazmur-mazmur (Rad 1962: 311). Para nabi abad ke-8 sM, yang bekerja pada zaman kerajaan, seperti Yesaya dan Mikha, banyak berbicara tentang kedatangan raja keselamatan dari keturunan Daud dan yang akan
25
memerintah dengan kemuliaan seperti Daud pertama. Sebagai orang yang dipilih dan diangkat oleh Allah, raja mesianis itu akan memerintah dengan bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Bentuk pemerintahannya adalah kasih, kebenaran dan keadilan. Ia bukan supermen, setengah manusia, setengah Allah dan juga bukan Allah. Pada hakikatnya ia adalah seorang manusia dan mempunyai kedudukan yang sama dengan raja Israel (Ludji 1999: 38). Sekalipun kerajaan Yehuda jatuh tahun 586 sM, namun janji raja penyelamat dari keturnan Daud tetap berlanjut. Kitab-kitab para nabi sesudah pembuangan dan Kitab Ezra dan Kitab Nehemia memperlihatkan bahwa garis keturunan Daud ditetapkan sekali lagi dalam diri Zerubabel (Hag. 2:21-24). Bahkan Bright mengatakan bahwa Zerubabel adalah alamat bahasa mesianis sebagai raja keturunan Daud yang akan memerintah ketika kekuasaan kerajaan bangsabangsa telah hancur (Bright 1959: 353). Mengenai pribadi Zerubabel diketahui sebagai cucu Yoyakhin dari keturunan Daud (I Taw. 3:19). Sejumlah mazmur juga dialamatkan kepada raja keselamatan yang dinanti-nantikan itu (Mzm. 2, 45, 110). Mazmur-mazmur ini berisi ungkapan-ungkapan yang menunjuk kepada seorang yang lebih besar daripada raja yang menduduki takhta pada saat itu. Ia akan memerintah pada masa itu tidak hanya di Israel tetapi juga atas bangsa-bangsa lain (Mzm. 2:8). Kemuliaan kerajaannya adalah gambaran kemuliaan Allah sebab takhtanya kepunyaan Allah (Mzm. 45:7). Ia akan menjadi raja sekaligus sebagai imam memnggantikan Melkisedek untuk selama-lamanya (Mzm. 110:7). Karena itu mazmur-mazmur ini tepat disebut mazmur mesianis.
Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 Nubuat Yesaya ini erat berkaitan dengan berbagai peristiwa dan konteks yang terjadi sampai dengan akhir periode aktivitas Yesaya sekitar tahun 705-701 sM, yakni ketika raja Hizkia masih berkuasa (Ludji 1999: 10). Nubuat Yesaya ini sangat berkaitan dengan Yesaya 10:33-34. Para ahli sudah mengusulkan agar kata sambung (we) pada permulaan ayat 1 diterjemahkan dengan ‘tetapi’ atau ‘di pihak lain’. Usulan ini dimaksudkan agar kontrakdiksi antara berita penghukuman sebelumnya (Yes.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0
10:33-34) dengan berita keselamatan semakin dipertajam (Ludji 1999: 10). Inti pemberitaan dari ayat 33-34 ialah mengenai penghakiman Tuhan atas raja dan umat Israel. Tuhan akan menjatuhkan kerajaan dari keturunan Daud seperti seorang yang menebang kayu dengan kampaknya. Seperti pohon yang tinggi, demikianlah raja Ahaz dan keluarganya serta seluruh umat yang telah meninggikan dirinya akan dihukum dan diruntuhkan. Sebab raja dan umat yang tidak percaya, tidak akan bertahan lama (Yes. 7:9). Sedangkan Yesaya 11:1-9 menggambarkan suatu tunas baru yang tumbuh di masa datang. Hal ini menunjukkan bahwa penghukuman (ay. 33-34) bukanlah kata terakhir dari Allah. Di balik penghukuman itu terletak maksud penyelamatan Allah dan ketetapan hati Allah untuk mewujudkan karya yang Ia telah mulai. Seperti pada saat Daud dipilih dengan cara yang menakjubkan dari keluarga sederhana, yakni Isai (I Sam. 16:1-13; II Sam. 7:18), demikian juga pada suatu ketika suatu tunas baru (bnd. Yer. 23:5) akan keluar dari tunggal Isai (ay. 1). Nubuat Yesaya tentang tunas dari tunggul Isai menekankan bahwa sekali lagi Isai akan menerima penghormatan tertinggi melalui tunas baru itu. Tunas baru itu menggambarkan seorang raja yang memiliki kewibawaan yang menyamai Daud, sehingga raja itu adalah “Daud kedua”. Penyebutan “Daud kedua” di sini bukan berarti bahwa Daud hidup kembali. Karena itu, Kaiser beranggapan bahwa ucapan Mowinckel tidak tepat (Kaiser 2000: 157). Kesamaan “Daud pertama” dengan “Daud kedua” tampak ketika keduanya menerima Roh Allah (Yes. 11:2; bnd. I Sam. 16:13; II Sam. 23:2) (Ludji 1999: 12). Sebagaimana Roh Tuhan ada pada Daud, maka Daud kedua juga akan diperlengkapi dengan Roh Tuhan dalam jabatannya. Mengenai tujuan pemberian Roh Tuhan (ay. 2), para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Misalnya, Zimmerli melihat makna pemberian Roh Tuhan dalam I Samuel 16:13 sebagai adalah suatu karya intervensi ilahi yang menandakan permulaan bangkitnya seorang yang tidak dikenal sebelumnya (Zimmerli 1978: 88). Von Rad berpendapat bahwa pemberian Roh Tuhan bagi yang diurapi itu berarti raja adalah seorang pemimpin karismatis (Rad 1962: 96). Lebih lanjut von Rad mengatakan bahwa tradisi pemberian Roh Tuhan juga mengarahkan
perhatian kepada kenyataan bahwa tradisi ini tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan di sekitar Israel. Tentunya tradisi ini ada sangkutpautnya dengan keistimewaan umat Israel di tengah-tengah bangsa-bangsa lain (Rad 1962: 323). Kaiser juga mencatat pendapat para ahli tentang pentingnya Roh Tuhan bagi seseorang (Kaiser 1972: 157), antara lain: Johnson berpendapat bahwa konsep pemikiran Israel Kuno tentang Roh adalah sesuatu yang vital bagi kehidupan pribadi seseorang. Dalam kaitannya dengan jabatan sebagai raja, Baumgartel mengatakan bahwa roh adalah anugerah dan yang mendukung raja (I Sam. 10:6, 9-10; 16:13; II Sam. 23:2-3). Roh itulah yang akan menuntun kesesuaian antara kehendak Allah dan kehendak raja itu (ay. 2). Dengan pemberian Roh Tuhan berarti raja ideal itu sejajar dengan Daud sebagai pemimpin kharismatis (II Sam. 7:14). Sebagai karunia pertama dari Allah, maka Roh Tuhan itulah yang akan menjamin kesempurnaan pemerintahan raja ideal itu sebagai wakil Allah yang memikul tanggung jawab pemerintahan Allah di atas bumi. Perlengkapan kedua ialah roh hikmat dan pengertian (ay. 2). Roh hikmat akan memampukan raja itu untuk berkarya menurut situasi dan kondisi yang ada. Demikian juga dengan roh pengertian. Roh itulah yang akan memampukan untuk menganalisis kenyataan-kenyataan yang ada dan menentukan kebijakan yang benar (Ludji 1999: 14). Dengan roh pengertian sang raja akan dapat mengerti dan melihat dengan jelas berbagai situasi yang dialami manusia. Menurut Lindblom, Noth dan Porteous, roh hikmat dan roh pengertian itu akan menguasai akal budi raja untuk bertindak tepat dalam pengadilan (Kaiser 1972: 158). Kedua karunia itulah yang akan menentukan aktivitasnya dalam kebijaksanaan secara internal maupun eksternal. Hikmat dan pengertian ini sudah dilupakan oleh para pemimpin Yehuda ketika Yesaya bernubuat, ketika para pemimpin menganggap dirinya sebagai pemimpin yang berhikmat, namun pada kenyataannya mereka melakukan ketidakbenaran dan ketidakadilan dan penindasan (bnd. Yes. 5:21 dll) (Ludji 1999: 13). Dalam kekuatan roh, raja masa depan akan mampu menasihati dan seorang pun tidak dapat mempengaruhinya. Dengan hikmat dan kemampuannya yang adil, baginya ada kemungkinan untuk merencanakan kebenaran dan melakukan
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
26
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0 kebenaran itu. Karena baginya diam roh penuntun dan besar kuasanya (Yes. 9:6). Ia akan menggunakan jabatannya dalam pengetahuan dan sikap takut terhadap Allah. Pengetahuan yang dimaksud tidak semata-mata kemampuan intelektual, melainkan menyangkut keseluruhan realitas dan kelakuan yang tepat di hadapan Allah. Pengetahuan akan Allah berarti berhenti dari penyembahan berhala dan perbuatan dosa, untuk selanjutnya kembali kepada Allah, mengikuti Allah dan menghormati-Nya. Menurut para ahli, itulah tindakan kasih, keadilan dan kebenaran (Kaiser 1972: 157). Bagi Eichrodt, takut akan Tuhan, dalam arti melakukan kasih, keadilan dan kebenaran adalah suatu ringkasan mengenai segala sesuatu yang bisa dikatakan sikap benar dari manusia kepada Allah (Kaiser 1972: 158). Raja keselamatan yang akan datang pada masanya, tidak akan mengambil keuntungan dari kekuasaannya, melainkan di dalam setiap karyanya, dan karena kesukaannya ialah takut akan Allah (ay. 3), maka ia akan tahu untuk memberikan pertanggungjawaban kepada Allah atas setiap tindakannya. Ia akan menjadi seorang raja yang taat dan benar dalam segala hal, karena Roh Allah ada padanya. Sekalipun menurut pandangan manusia yang mengandalkan keputusannya terhadap apa yang mereka lihat dan saksikan, keberadaan raja tersebut mereka tolak (I Sam. 16:7; I Ptr. 1:17). Sebagai raja penyelamat, yang memiliki kekuatan Allah, ia tidak akan melakukan penghakiman seperti yang dilakukan manusia dengan menerima suap, melainkan dengan sikap yang adil dan benar, terutama bagi mereka yang lemah dan tertindas (ayat 4,5). Pengharapan akan sosok raja yang bertindak demikian juga dapat dijumpai, antara lain: Mazmur 45:4, 7; 72:2, 4; II Samuel 23:3; Yesaya 9:6; 10:2. Dengan demikian, apa yang ia sedang lakukan sebagai raja yang diurapi, penguasa yang benar di masa datang, tidak lain adalah melakukan pekerjaan Allah sendiri di atas bumi (Mzm. 9:9; 68:5; Ayb. 5:15-16). Raja keselamatan yang akan datang itu, tidak hanya memulihkan keadaan manusia, melainkan juga kedamaian antara manusia dan ciptaan lainnya. Hubungan antara manusia dan binatang-binatang diperbaiki kembali, sehingga nampak kembali suasana kehidupan yang damai dan sejahtera di antara semua ciptaan (ay. 6-8). Tidak ada lagi yang berbuat jahat di antara satu dengan yang lain di “selu-
27
ruh bumi”, sebab ada kebenaran yang dibawa oleh raja keselamatan. Selain ungkapan “seluruh bumi”, juga terdapat ungkapan “gunung-Ku yang kudus”. Pendapat para ahli berbeda-beda tentang ungkapan “gunung-Ku yang kudus”. Sebagai contoh, Wildberger beranggapan bahwa ungkapan itu menunjuk kepada Sion atau Yerusalem (Mzm. 2:6; 3:5; 48:2; 99:9) (Wildberger 1991: 481). Sedangkan Clements, beranggapan bahwa ungkapan itu tidak secara sederhana menunjuka kepada Sion (Kel. 15:17). Ungkapan itu lebih berkonatasi kepada seluruh dunia sebagai gunung Allag yang kudus (Clements 1980: 124). Menurut saya, pendapat Walts mungkin lebih tepat, karena ungkapan “gunung-Ku yang % ' dusan-Ku”, dan merupakan bagian dari tradisitradisi Sion. Tetapi dalam ayat 9 ini, ungkapan tersebut paralel dengan “bumi” dan menyatakan secara tidak langsung kepada totalitas penyelamatan Allah dan dunia yang diciptakan kembali (Wildberger 1991: 173).
KESIMPULAN Konsep raja mesianis menurut Yesaya 11:1-9 dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pada hakikatnya nubuat mengenai raja mesianis adalah lanjutan interpretasi dari nubuat nabi Natan (II Sam. 7). Sekalipun nabi Yesaya tidak menyebutkan secara langsung siapa yang akanb menjadi penguasa mesianis itu, namun yang pasti dia seorang manusia yang berasal dari keluarga Daud, yang akan tampil dan memerintah seperti “Daud pertama”. Ia bukan manusia supermen; bukan pula setengah manusia, setengah Allah dan ia juga bukan Allah. Ia mempunyai keududukan yang sama dengan raja Israel pada hakikatnya. Kedua, sebagaimana Roh Tuhan ada pada Daud, maka ia juga akan diperlengkapi dengan Roh Tuhan dalam jabatannya. Roh Tuhan yang dikaruniakan akan menuntun raja mesianis kepada ketaatan sepenuhnya atas kehendak dan perbuatan-perbuatan Allah termasuk hukuman sekalipun. Roh Tuhan itu pula yang akan menuntun penguasa mesianis itu menjadi pemimpin kharismatis seperti Daud. Ketga, raja mesianis yang akan datang itu, sekalipun dari keluarga sederhana dan keberadaannya ditolak manusia, namun ia akan menjadi raja penyelamat dan penguasa di atas
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Konsep Raja Mesianis Menurut Yesaya 11:1-9 | oleh *)$+$)"&0
bumi. Karena Roh Tuhan ada padanya maka ia memiliki kekuatan, hikmat, pengertian dan takut akan Tuhan dalam memerintah umat. Tindakannya dalam memerintah adalah kasih, kebenaran dan keadilan. Apa yang ia sedang lakukan sebagai raja mesianis tidak lain adalah melakukan pekerjaan Allah sendiri di atas bumi. Keempat, aspek pemerintahan raja keselamatan itu tidak hanya memulihkan keadaan manusia melainkan juga memulihkan kedamaian antara manusia dan ciptaan lainnya. Sehingga 11:6-9). Hal ini menunjukkan bahwa aspek keselamatan di dalam raja mesianis adalah bersifat universal sekalipun dimulai dari Sion/Yerusalem.
Walts, John D.W. Isaiah 1-33:Word Bible Commentary. Texas: Publisher, 1985. Westermann, Claus. Prophetic Oracles of Salvation in the Old Testament. Edinburgh: T&T Clark, 1987. Wildberger, Hans. Isaiah 1-12: A Continental Commentary. Uugsburg: Fortress, 1991. Zimmerli, Walther. Old Testament Theology in Outline. Edinburgh: T & T Clark, 1978.
DAFTAR PUSTAKA Bright, John. A History of Israel. Philadelphia: Westminster Press, 1959. Buttrick, George Arthur (ed.). The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB). New York: Abingdon Press, 1962. Clements, R.E. Isaiah 1-39: The New Century Bible Commentary. Grand Rapids: Wm. Eerdmans Publishing, 1980. Fohrer, George. History of Israelite Religion. London: S.P.C.K., 1972. Kaiser, Walter C. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000. LaSor, W.S., D.A. Hubbard dan F.W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama, jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-4, 2000. Ludji, Barnabas. Kerajaan Mesias. Jakarta: STT Jakarta, 1999. Rad, Gerhard von. Old Testament Theology, vol. I (tr.). New York: Harper and Row, 1962. Siahaan, S.M. Pengharapan Mesias Dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
28
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
MANUSIA KRISTEN, MANUSIA PEKERJA Andres Barata Yudha
ABSTRACT Many people often make the separation or dichotomy between spiritual and secular work . All the work done that has nothing to do with the spiritual services such as bank employees, private em$ $ $ $ $ $ $$ $ $ considered non- secular work is equal to the ministry as pastor or missionaries. Occupations are considered separately from the life of faith, one’s spiritual life. Even seen as a job that is not important to God and God does not care and is not present in that kind of work. Jobs that only deal with the human world. Though humans are called and placed in the world to be salt and light in everything they do including it is their job . If the work is human nature as God’s creatures who also is working , then the work is not a burden or a punishment for the sins of mankind , but a blessing or grace of God . But look at the condition of the workers today , there are many people who see their work as a job or a load including Christians are also in it . They no longer see their work as a calling of God in which they become coworkers of God through their work . In general, the focus of everyone when choosing or doing a job %$> $ $$ worldly values and so forth , that unknowingly we separate from our spiritual calling .
PENDAHULUAN Setiap waktu, setiap detik, setiap menit, setiap jam, berjuta-juta orang di muka bumi sibuk mengerjakan berbagai hal. Memang kehidupan modern sekarang ini didominasi oleh kerja, kerja, dan kerja. Setiap orang dari pagi hingga petang sibuk dengan pekerjaan yang digelutinya. Berjalan lalu lalang, sibuk keluar masuk kantor untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya. Banyak sekali orang yang rela menghabiskan waktu untuk kerja lembur di malam hari, seolah-olah waktu di siang hari tidaklah cukup untuk bekerja. Memang bekerja adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Kerja memainkan peranan yang demikian penting dalam hidup manusia. Orang pun menghabiskan banyak waktu untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang siap bekerja. Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama 3 tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 3 tahun, Perguruan Tinggi 4-5 tahun. Semuanya itu adalah untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang dapat diandalkan ketika bekerja nantinya. Persiapan untuk meniti karier di dunia ini. Jadi, kerja adalah bagian yang sangat penting dalam hidup keseharian manusia. Bekerja tidak hanya menyangkut cara untuk mendapatkan nafkah. Ada banyak pertanyaan
29
penting lain tentang kerja yang perlu dijawab, seperti: soal kerja dan hakikat kerja manusia, tujuan kerja, pemilihan karier dan sebagainya. Karena itu, sebagai orang Kristen sangat penting untuk memiliki pemikiran yang benar secara kristiani tentang kerja sebagai dasar untuk menentukan pandangan dan sikap terhadap kerja. Ada beberapa pandangan orang tentang kerja, dan itu sangat memengaruhi sikap mereka terhadap kerja dan bagaimana mereka melakukan pekerjaan. Pertama: orang yang memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang negatif, yang sekiranya mungkin kerja adalah sesuatu yang harus dihindari, bahkan diharamkan. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak mau bekerja. Pandangan yang kedua adalah: memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang pada dirinya tidak bermakna, atau paling-paling hanya sebagai prasyarat untuk tujuan yang lain. Pekerjaan adalah hal yang tidak terelakkan, sarana untuk mencari nafkah, dan konsekuensi yang membosankan dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kerja adalah kutuk Allah terhadap manusia. Orang-orang seperti ini senang bekerja hanya untuk mendapatkan imbalan atau gaji. Pandangan yang ketiga memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak perlu dipikir-
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
kan. Kerja adalah suatu keharusan, titik! Kerja adalah sebagian kodrat manusiawi. Kodrat manusia adalah untuk bekerja.1 Pandangan yang keempat, adalah pandangan dari orang-orang yang berusaha mengembangkan pemikiran kristiani tentang kerja. Kerja adalah hakikat manusia yang diciptakan oleh Allah. Ketika Allah menciptakan manusia, Ia memberikan potensi kepada manusia untuk bekerja demi kelangsungn hidupnya dan perkembangannya. Pengertian Kerja Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerja didefenisikan dalam beberapa arti: 1. Kerja berarti melakukan sesuatu, atau sesuatu yang dilakukan (diperbuat) 2. Kerja berarti sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian, perayaan yang berhubungan dengan perkawinan, khinatan, pesta perjamuan 3. Kerja juga dapat berarti mengusahakan, memperbuat sesuatu, melaksanakan, menjalankan, menyelesaikan.2 Lorenz Bagus, dalam bukunya, “Kamus Filsafat”, memberikan defenisi bahwa kerja adalah penggunaan daya jasmani dan rohani.3 Kedua daya ini digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat diraih atau dihasilkan. Kerja tidak harus menghasilkan produk material. Semua jenis kerja, entah yang dipandang rohani maupun jasmani, akan mendatang hasil yang dapat diamati. Dan hasil ini bisa berupa produk tertentu atau pun perubahan kualitatif. Jadi, bagi Lorenz tidak ada perbedaan antara kerja rohani atau jasmani. Kerja adalah sesuatu yang menggunakan daya jasmani dan rohani, bukan hanya salah satunya. Dalam bukunya ”Etika Bisnis Kristen”, Robert P. Borrong memberi arti kerja sebagai keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh manusia – mencakup juga karya cipta yang menghasilkan produk. Bahkan juga termasuk kegiatan
1. Bnd dengan pemaparan Jhon Stott, 213-214 2. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke Empat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), 635 3. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), 450
non produktif (makan, tidur).4 Dalam bahasa Inggrisnya, kerja lebih sepadan dengan kata work daripada job. Work berarti pekerjaan, karya atau cipta. Work berbicara tentang sikap dalam bekerja, sedangkan job lebih berkaitan dengan kesempatan kerja, tugas dan jabatan.5 Kerja seharusnya dipahami secara lebih luas yaitu keseluruhan kegiatan manusia. Ini berarti tidak hanya berbicara tentang pekerjaan formal, melainkan kerja sebagai esensi manusia yang selalu aktif. Dengan demikian, apa pun yang dilakukan dan dikerjakan oleh seseorang, semuanya itu menuntut sikap etis. Anastasi Anne mengatakan bahwa: kerja atau bekerja adalah kegiatan manusia untuk merubah keadaan tertentu dari alam lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan dan memelihara hidupnya.6 Kebutuhan hidup manusia pada dasarnya tidak hanya berupa materi, tetapi juga hal yang bersifat non material, seperti: penghargaan, kepuasan kerja, penyaluran bakat, kesenangan, dan sebagainya. Dengan bekerja dan pertumbuhan pengalamannya, maka seseorang akan mendapat kemajuan dalam hidup. Pandangan Alkitab Tentang Kerja Dalam Kejadian 1: 26-27 digambarkan bagaimana Allah menciptakan manusia. Manusia diciptakan dalam keadaan “menurut gambar dan rupa Allah”. Penciptaan manusia tidak sama dengan bagaimana Allah menciptakan ciptaanNya yang lain. Kemuliaan dan kesegambaran manusia dengan Allah tidak berarti bahwa dia sama dengan Allah. Dalam segala kelebihannya pun, ia adalah makhluk yang terbatas. Ia harus tetap menundukkan diri dalam ketaatan dan di bawah kuasa serta kehendak Allah. Kenyataan ini pada satu pihak mengungkapkan potensi, kemampuan manusia yang luar biasa, namun pada pihak lain juga keterbatasannya.7 Allah mengharapkan manusia bekerjasama dengan-Nya secara sadar dan cerdas. Sebagai makhluk yang diberikan kedudukan dan kekuasaan yang tinggi, manusia diberi mandat 4. Seri kajian Kontemporer, Etika Bisnis Kristen, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi dan Pusat Study Etika, STT Jakarta, 2006), 29 5. Ibid, 6. Anastasi Anne, Psikologi Terapan, (Jakarta: PT.
\ % `"% ! 7. Drs. Supardan, M.A, Ilmu, Teknologi dan Etika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 135
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
30
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0# untuk memelihara, menguasai, dan mengelolah segala ciptaan Tuhan itu. Dalam taman Eden, Allah menugaskan manusia untuk memberi nama kepada hewan-hewan, suatu tugas simbolis yang melambangkan kekuasaan manusia atas ciptaan yang lain.8 Kerja adalah hakikat manusia yang diciptakan Allah. Kerja adalah konsekuensi dari penciptaan, bukan dari kejatuhan; kejatuhan telah memperburuk masalah tanpa menghancurkan sukacitanya.9 Memang ada pekerjaan yang oleh kejatuhan manusia berubah menjadi usaha yang
% mankan oleh Allah:
“terkutuklah tanah karena engkau; dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej. 3:17b-19). Kata-kata tersebut sangat tidak menyenangkan bagi manusia. Apa yang seharusnya menjadi sukacita sekarang menjadi suatu proses yang dipenuhi dengan derita. “Semak duri dan rumput duri” menjadi lebih dari masalah yang biasa yang harus dihadapi petani. Sejak itu setiap pekerjaan mempunyai rumput duri yang menjengkelkan, yang merintangi pekerjaan dan menyebabkan penderitaan. Terlepas dari hal itu, pekerjaan tetap bukanlah suatu kutukan. Jika diperhatikan dengan saksama, ada berkat yang tersembunyi dibalik kata-kata kutukan itu. Bagian akhir dari ayat tersebut mengungapkan tentang janji bahwa makanan dan kebutuhan disiapkan oleh Allah. Tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu. Semuanya Tuhan sediakan. Lewat usaha dan kerja kerasnyalah, maka manusia mendapatkan apa yanhg telah disiapkan oleh Allah itu. Jadi ada jaminan tentang pemenuhan kebutuhan oleh Allah sendiri. Ketika seseorang melihat dengan benar, ia akan sadar bahwa dalam setiap pekerjaan 8. John Stott, Your Mind Matters: Akal Budi dalam Kehidupan Kristen, (Jakarta: Divisi Literatur Perkantas, 2005), 13 9. Seri Hikmat Ilahi, Bagaimana Manemukan Kepuasan dalam Pekerjaan?, (Michigan: Discovery House Publishers, 2004), 7
31
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
yang baik merupakan wujud bekerja bagi Allah dan bersama Allah. Perlu diketahui bahwa kehidupan yang sempurna bukanlah suatu kehidupan yang bebas dari kerja. Bekerja adalah bagian dari rencana Allah bagi hidup setiap hari. Manusia diciptakan bukan untuk menganggur, berdiam diri, atau bermalas-malasan. Manusia diciptakan untuk bekerja, berkarya dan rajin. Itulah sebabnya di bagian mana pun dalam Alkitab, para pemalas itu dikecam, bahkan dianggap sebagai manusia yang tidak berguna dan tidak pantas diberi makan. Dalam Amsal dikatakan bahwa: “kemalasan itu membawa malapetaka dan kemiskinan”(Ams. 19:15). Dalam Perjanjian Baru, Paulus dengan tegas “melarang” orang malas untuk makan: “jika seorang tidak bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Dan sebaliknya, orang yang rajin bekerja, dipuji sebagai orang yang akan nyenyak tidurnya (Pkh. 5: 11), orang-orang yang beruntung (Ams. 14:23), dan orang-orang yang berbahagia (Maz. 128:2). Juga terlihat adanya perintah tidak langsung untuk bekerja selama 6 hari. Maka dapat dikatakan bahwa kerja adalah tata ciptaan atau peraturan ciptaan. Manusia adalah citra Allah dan mitra Allah di dunia. Manusia berpartisipasi dalam karya Allah tidak hanya melalui ‘lapangan rohani’, 10 tetapi dalam segala lapangan pekerjaannya. Pandangan Perjanjian Lama Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, perintah untuk bekerja tidak dihapuskan. Malah semakin nyata bahwa kerja merupakan cirri pokok manusia. Alkitab mengemukakan bahwa manusia diusir dari taman Eden untuk “mengusahakan tanah” (kej.3: 23). Menurut Eka Darmaputera, hal yang menarik dalam pengusiran manusia adalah pnggunaan kata “mengusahakan tanah”. Dalam bahasa ibraninya, frase ini menggunakan kata “abudah”, suatu kata yang sama dalam bahasa Arab yaitu “ibadah”. Hal yang sangat luar biasa, bahwa bekerja adalah ibadah. Bagian dari pengabdian manusia kepada Allah. Dalam Perjanjian Lama, kerja merupakan sesuatu yang sangat dihormati, khususnya pekerjaan keahlian. Orang-orang yang mempunyai kemampuan membuat barang-barang seperti: tukang perak, tukang tenun, pengasah batu, tukang 10. Lapangan rohani, selama ini dipahami sebagai pekerjaan-pekerjaan yang dilihat sebagi pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kerohanian, misalnya pendeta, majelis, penatua atau hal-hal lain yang berhubungan dengan iman seseorang.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
kayu, sangat dihormati. Ada beberapa prinsip tentang kerja yang terdapat dalam Perjanjian Lama: a. Kerja adalah bagian yang utuh dari Kehidupan. Sejak awal penciptaan, Allah telah mengaruniakan kepada manusia kemampuan untuk bekerja. Manusia diciptakan Allah untuk bekerja. Penempatan manusia di taman Eden mempertegas hal ini. Manusia ditempatkan dalam taman itu sebagai pekerja, untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15). Kerja adalah sesuatu yang normal, alami, dan kegiatan seharihari yang menyegarkan hidup manusia. Kerja adalah suatu aktivitas yang nyata dan biasa, “sebagaimana matahari bersinar atau singa mengaum-ngaum mencari mangsa; manusia pun keluarlah ke pekerjaannya dan ke usahanya sampai siang” (Maz. 104:19-23). b. Bekerja merupakan suatu keharusan. Allah memerintahkan manusia untuk bekerja. Dalam Keluaran 34:21 memberikan perintah ini: “Enam hari lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah engkau berhenti, dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara hari perhentian juga. Allah memberikan begitu banyak waktu bagi manusia untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakannya, bukan untuk bersantai-santai. Allah bahkan mengutuk kemalasan. Bagi para pemalas dan manusia yang tidak mau bekerja, Allah menyuruh supaya mereka pergi belajar kepada semut (Ams. 6:6-8). c. Bekerja memberikan kepuasan. Manusia tidak boleh menjauhi kerja melainkan dipuaskan oleh hasil kerjanya. Penulis kitab Penghotbah mengatakan bahwa seseorang yang bekerja akan bahagia, puas dalam hidupnya. Kepuasan dan kebahagiaan digambarkan dengan frase “enak tidurnya” (Pkh. 5:11). Hal ini berarti, tidak ada sesuatu yang mengganggu dan mengganjal dalam hatinya. Kerja keras yang jujur diberkati Allah dalam kelimpahan hasil panen yang baik atau kemakmuran dalam suatu keluarga, tetapi kerja yang tidak diberkati Allah adalah sia-sia (Maz. 127). d. Setiap pekerjaan yang halal, patut dihormati. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa pekerjaan yang disebutkan seperti kerja buruh
(1 Raj. 5: 7-18); pekerjaan manual (Kel. 36:12), perdagangan, kepemimpinan. Semua pekerjaan ini adalah pekerjaan yang baik dan tidak ada perbedaan antara pekerjaan jenis ini adalah yang kasar, rendahan, hina atau jenis pekerjaan itu adalah pekerjaan yang mulia, terhormat, dan sebagainya. Setiap pekerjaan yang sesuai dengan kehendak Allah dan bermanfaat bagi semua orang, mendapat penghargaan yang besar. Pandangan Perjanjian Baru Dalam Perjanjian Baru, kerja juga dipandang sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Prinsip-prinsip dan konsep-konsep kerja dari Perjanjian Lama tidak dihilangkan melainkan semakin diperkuat. Jadi, bahkan dalam konteks anugerah sekalipun orang tidak dapat lolos dari tanggung jawabnya untuk bekerja. Malah sekarang, bukan hanya kerjanya, tetapi seberapa baik manusia mengerjakan pekerjaannya. Kehidupan Yesus sendiri pun tidak terlepas dari kerja. Kedatangan-Nya ke dalam dunia dalam rupa manusia tidak mengambil rupa sebagai seorang raja atau seorang yang sangat penting, melainkan Ia menjelmakan diri sebagai seorang tukang kayu yang sederhana. Demikian juga dengan murid-murid. Sebelum dipanggil untuk mengikut Yesus, mereka adalah orangorang yang telah bekerja, entah itu sebagai nelayan atau pemungut cukai. Panggilan Yesus ini bukan untuk membebaskan mereka dari pekerjaannya, tetapi mempersiapkan mereka untuk suatu pekerjaan yang besar, yaitu menjadi penjala manusia. Sebuah panggilan yang khusus. Sikap Yesus terhadap kerja juga nampak dalam kritik-Nya terhadap pekerjaan yang menganggur (Matius 20:1-16; 21:28-32), dan orangorang yang tidak mau menggunakan bakatnya untuk bekerja dan berusaha (Bnd. Matius 24:25, dst; 25:14-30). Kegembiraan, sukacita, dan kepercayaan haruslah menjadi bagian dari sikap seseorang dalam bekerja. Ini tidak berarti bahwa bekerja tidak lagi diliputi jerih payah dan peluh, tetapi dalam jerih payah itu manusia mempunyai keyakinan dan kegembiraan karena pengharapan akan berkat Allah. Kesaksian Perjanjian Baru tentang kerja juga nampak dalam ajaran-ajaran Rasul Paulus. Pandangan Paulus tentang kerja banyak dipengaruhi oleh latar belakang Yahudi. Di kalangan orang-orang Yahudi pada masa perjanjian Baru,
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
32
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0# seorang rabbi tidak diperbolehkan untuk menerima bayaran atas pengajarannya, melainkan ia harus menguasai suatu keahlian untuk membiayai dirinya dan keluarganya11. Demikian juga dengan Paulus. Disamping memberitakan Injil, ia juga bekerja sebagai seorang pembuat tenda (Kis. 18:3), walaupun ia menganggap bahwa pada dasarnya pekabar injil diperbolehkan untuk dibiayai oleh gereja. Namun Paulus tidak menggunakan haknya itu agar ia tidak menjadi beban bagi jemaat (1 Tes. 2:9), dan ia bekerja untuk membuktikan bahwa ia bukan mencari harta jemaat, tetapi jemaat itu sendiri (2 Kor. 12:14). Dalam kitab 2 Tesalonika 3:10 Paulus menegaskan bahwa orang yang tidak bekerja janganlah ia makan. Kerja merupakan hal yang penting dalam hidup manusia. Kerja merupakan unsur yang terpaut pada hidup manusia.12 Di bagian lain, 1 Tesalonika 4:9-12, Paulus membicarakan kerja dalam rangka kasih terhadap sesama manusia. Dasar kasih ini lebih jelas dalam surat Efesus 4:28, di mana menurut Paulus, pekerjaan tangan yang dilaksanakan juga dimaksudkan untuk pelayanan kepada sesama manusia, untuk membagikan sesuatu kepada yang berkekurangan. Jadi sangatlah jelas bahwa, manurut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, manusia tidak boleh menjauhkan diri dari kerja. Manusia tidak dapat lari dari tanggung jawabnya untuk bekerja. Kerja bukanlah suatu beban, tetapi sebuah anugerah yang istimewa untuk dikerjakan oleh manusia. Pandangan Beberapa Tokoh Tentang Kerja Karl Marx: Kerja sebagai realisasi diri manusia13 Salah satu hal yang menjadi keistimewaan manusia adalah bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Ia bebas untuk melakukan apa pun tanpa ada tekanan atau pakasaan dari pihak lain. Dengan kehendak bebasnya itu, manusia dapat memilih satu dari beberapa atau berbagai kemungkinan yang ada. Menurut Marx, hal yang membedakan antara manusia dengan binatang bukan hanya
11. Bnd. Jerry and Merry White, Bekerja. Arti, tujuan dan masalah-masalahnya, 16 12. Victor I. Tanya, Tiada Hidup Tanpa Agama, (Jakarta BPK Gunung Mulia, 1988), 122 13. Bnd. Lee, Hardy, 37-47
33
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
kemampuan berpikir, tetapi kemampuan untuk bekerja secara bebas. Manusia sadar akan apa yang dikerjakannya. Berbeda dengan binatang yang tanpa kesadaran melakukan apa yang menjadi pola kerja mereka. Binatang menghasilkan hanya karena suatu keharusan, tetapi kerja manusia melampaui batas keharusan. Marx juga berpendapat bahwa kerja tidak hanya merupakan hal yang membedakan manusia dengan binatang, sebab dengan bekerja manusia mendapatkan pemenuhan diri sejati sebagai manusia. Manusia mendapat kepuasan dengan jalan menyelidiki karyanya. Karena karya kerja manusia di dalamnya menampung sesuatu dari diri manusia itu sendiri. Karya kerja manusia adalah manusia itu sendiri yang terwujud dalam suatu objek. Seperti seorang seniman beroleh kepuasan dalam karya seninya yang menjadi ungkapan dari kepribadiannya, demikianlah kemanusiaan beroleh kepuasan dalam kegiatan kerja yang dilakukannya. Dalam buah karya kitalah, hakikat kita sebagai manusia telah terealisasi, terpampang dihadapan kita dalam bentuk yang nyata sebagai suatu objek.14 Sigmun Freud: Kerja sebagai penyangkalan diri15 Bertentangan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Marx, bahwa kerja merupakan kebebasan yang di dalamnya manusia merealisasikan dirinya. Bagi Freud, kerja merupakan suatu keharusan yang tidak terelakkan dan menyedihkan.16 Kerja akan selalu merupakan suatu keburukan yang menjadi keharusan, tetapi merupakan cara yang terpaksa diterima untuk tujuan akhir yang diinginkan. Pemenuhan hidup manusia yang sejati tidak didapatkan dalam kerja, tetapi di luar kerja. Kerja baik adanya, tetapi bukan dalam dirinya melainkan supaya ada hal lain yang menjadi mungkin. Sebab tiap awal bulan saat pembayaran gaji, dan dengan gaji yang didapat datang pula berbagai kesenangan yang dapat dibelinya. Tujuan hidup manusia diletakkan dalam penggunaan sesuatu, bukan di dalam bekerja, di dalam kesantaian dan bukan berjerih lelah. Kita bekerja demi mempertahankan diri, tetapi kerja itu sendiri adalah sebentuk penyangkalan diri. 14. Lee Hardy, Karier: Panggilan atau pilihan?, (Jakarta: Yayasan PPA, 2009), 38 15. Bnd. Lee Hardy, 48-55 16. Ibid, 50
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
Martin Luther Penemuan Luther bahwa manusia diselamatkan oleh anugerah Allah dan bukan perbuatannya sendiri, sangat penting dalam mengobarkan semangat reformasi Protestan di abad ke 16. Pemahaman ini pula yang mendorongnya mengembangkan suatu konsep baru tentang arti kerja dalam kehidupan manusia. Menurut Luther, makna religius dari kerja manusia pertama-tama dipahami dalam terang doktrin penciptaan. Setelah Allah menciptakan dunia dan segala isinya, Ia menciptakan dan menempatkan manusia sebagai rekan kerja-Nya untuk mengelolah dan memelihara ciptaan-Nya. Kerja manusia bukanlah sesuatu yang nilai religiusnya kecil, melainkan penuh dengan makna religius. Dengan bekerja, manusia mengokohkan posisi unik kemanusiaannya sebagai wakil Allah di bumi ini, sebagai pengelolah dan penatalayanan karunia-karunia di dalam ciptaanNya, yang ditujukan untuk semua orang. Konsep panggilan muncul dari relasi antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Dalam kehidupan setiap waktu, manusia tidak dapat lepas dari kedua relasi itu. Relasi yang baik dengan Allah akan terwujud dalam relasi dengan sesamanya. Panggilan kita menurut Luther, datang kepada kita melalui posisi kita.17 Setiap orang memiliki posisi yang khas dalam hidup ini. Suatu posisi tidak hanya berbentuk pekerjaan yang diupah, meski bisa juga demikian. Memiliki posisi dalam kehidupan misalnya: menjadi istri, suami, anak, pemimpin, pegawai, pendeta, petani, perancang busana dan lain sebagainya. Allah memanggil kita untuk melayani sesama, kita melayani sesama dalam pekerjaan kita18. Jadi kerja adalah suatu panggilan Ilahi. Kita akan menemukan apa yang Allah ingin untuk kita lakukan dengan waktu dan talenta kita, dan tugas-tugas yang terkait dengan posisi kita dalam kehidupan dengan kesempatan-kesempatan yang terbuka di hadapan kita. Johannes Calvin Ajaran Calvin yang sangat terkenal dan memengaruhi semangat reformasi bagi kaum Calvinis adalah ajaran tentang predestinasi atau pemilihan Allah. Ajaran inilah yang kemudian menurut Webber, menghidupkan etos kerja
17. Ibid, 63 18. Ibid
yang baru di kalangan kekristenan dan menjadi kunci suksesnya peradaban Barat.19 Calvin menekankan bahwa tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan dari Allah. Dalam buku Institutio, ia menggagaskan bahwa Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing. Masing-masing jalan hidup itulah yang dinamakan panggilan. Tidak ada pekerjaan, batapa pun kecilnya, yang tidak berharga di hadapan Allah. Pengakuan bahwa pekerjaan adalah panggilan dari Allah, mengandung beberapa implikasi yang menurut Calvin berarti setiap orang diberi oleh Tuhan tempat dan tanggung jawab tertentu. Karenanya ia harus setia, bertumbuh dan bertanggung jawab dalam pekerjaannya itu. Jika pengakuan bahwa pekerjaan adalah sebuah panggilan dan penugasan dari Allah sendiri, maka Tuhan sendiri jugalah yang akan memimpin dan memberikan kekuatan untuk mengerjakan pekerjaan itu. Dengan ajaran ini, Calvin menegaskan bahwa apa pun pekerjaan seseorang, itu adalah panggilan dari Allah. Ini berarti, bila kita menjadi seorang montir, kita terpanggil untuk menjadi montir yang bertanggung jawab, bersungguh-sungguh, berdedikasi, bermutu, jujur, setia, sebab kita mengakui bahwa dari Tuhanlah penugasan ini20.
Eka Darmaputera Manusia diciptakan oleh Allah, diciptakan untuk bekerja. Ini sudah begitu, sejak ia diciptakan. Artinya bekerja adalah termasuk “tata penciptaan” (“order of creation”) Allah21. Demikianlah diungkapakan Eka dalam bukunya, Etika Sederhana Untuk Semua. Ini berarti bahwa bekerja adalah bagian dari hakikat manusia sebagai manusia. Manusia ditempatkan dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Untuk bekerja! Manusia yang tidak bekerja adalah manusia yang mengingkari hakikatnya sendiri sebagai manusia. Selanjutnya, Eka mengatakan bahwa suatu kesalahan yang besar ketika orang mengatakan bahwa kerja adalah kutuk Allah karena dosa ma19. Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristewn di Indonesiai (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 829 20. Andar Ismail, Selamat Berkarya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 6 21. Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua, (Jakarta: BPK Gunung Muia, 2002), 100
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
34
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0# nusia. Sebelum dosa hadir, manusia sudah harus bekerja. Bedanya adalah, setelah dosa hadir dalam dunia, bekerja itu dipandang atau dialami senagai beban, sebagai penderitaan. Bagi Eka, Alkitab dengan jelas mengemukakan bahwa kerja adalah hal yang terkait dengan penciptaan manusia dan di dalam Alkitab dikemukakan tentang betapa pentingnya bekerja itu dan bahwa bekerja itu dikehendaki oleh Allah. Kerja menjadi wujud dari kasih manusia terhadap sesamanya yang berkeurangan dan juga sebagai wujud kecintaannya kepada Tuhan.
Hakikat dan Tujuan Kerja Menurut Alkitab Hakikat Kerja. Menurut Eka Darmaputera, dalam Alkitab Allah selalu diperkenalkan sebagai Allah yang hidup dan bekerja. Allah adalah seorang pekerja. Ia menciptakan langit dan bumi, memisahkan terang dari gelap, darat dan laut. Ia mengisi yang di bentuknya itu dengan segala yang hidup dan berkembang biak (Kej. 1). Ia bukanlah Allah yang pasif, statis, dan berdiam diri seperti yang dipahami oleh orang-orang Yunani, di mana Allah digambarkan sebagai pribadi yang tidak mempunyai perasaan. Allah bekerja bukan karena Ia kekurangan sesuatu, melainkan karena kerja merupakan bagian dari hakekat-Nya sebagai Allah.22 Setelah penciptaan yang dikerjakan-Nya itu, Allah beristirahat dan menilai bahwa apa yang telah dikerjakan-Nya itu sungguh amat baik adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa telah Ia berhenti bekerja secara total. Allah bekerja dengan cara yang sangat luar biasa, membentuk, membuat, berbicara, menunjukkan hasil, menghancurkan, menghias, membuat segala sesuatu menjadi indah, membenahi dan memperbaiki, memulihkan, merancang, dan menjaga agar segalanya tetap berjalan.23 Ia terus bekerja, menopang segala sesuatu yang ada (Kol. 1:1617; Ibr. 1:3). Ia juga memenuhi banyak kebutuhan makhluk ciptaan-Nya (Maz.104). Ia sedang mewujudkan rencana agung-Nya dalam sejarah, yakni menyelamatkan dunia. Allah adalah pekerja, demikian dijelaskan oleh Dough Sherman sebagai berikut: 22. Ibid, 23. Paul Stevens, God’s Business, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 7
35
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Allah tidak dapat melakukan sesuatu yang pada dasarnya tidak baik atau melanggar sifat dan watak-Nya sendiri. Jika Allah menamakan apa yang dilakukan-Nya itu bekerja dan menyebutnya baik, maka pekerjaan itu mempunyai nilai.24 Hingga akhirnya pun, Alkitab diakhiri dengan kisah tentang Allah yang bekerja, membaharui segala sesuatu, termasuk hal-hal lahiriah: “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru: (Why. 21:5)25. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja itu penting dan memiliki nilai. Paul Stevens bertanya, jika Allah adalah seorang pekerja, bagaimana dengan manusia sebagai ciptaan Allah? Pertanyaan ini dijawab sendiri dengan penjelasan sebagai berikut: Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena Allah adalah pekerja, maka manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah itu, harus juga menjadi seorang pekerja. Manusia yang diciptakan menurut citra Allah memiliki hak istimewa yang sangat besar untuk terlibat dalam pekerjaan yang sedang dilakukan Allah, dalam berbagai bentuknya yang baik dan manusiawi.26 Ini mencakup semua hal, dari pertanian hingga rekayasa genetika, dari pelayan restoran hingga direktur perusahaan, dari pedagang kecil hingga penguasa saham, dari pembuat roti hingga perancang otomotif, dari sopir hingga pemberi nasehat bagi orang yang tertekan, dari sekretaris hingga pendeta. Tidak ada yang terkecualikan dari aspek kehidupan manusia. Ternyata bukan hanya Allah saja yang pekerja, tetapi manusia juga adalah pekerja. Manusia diciptakan oleh Allah, diciptakan untuk bekerja. Bekerja adalah hakikat manusia. Dalam Kejadian 1:26 dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, ternak, dan segala binatang yang merayap. Manusia menguasai makhluk-makhluk lain, menaklukkan ciptaan dan makan hasil dari bumi, dan ini semua menunjukkan manusia sebagi seorang pekerja. Kejadian 2:15: manusia di tempatkan di taman Eden bukan sebagai turis untuk bersenang-senang dan berfoya-foya, tetapi untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Itu
24. Doug Sherman dan William Hendricks, Allah memperhatikan Pekerjaan Anda, (Bandung: Yayasan kalam Hidup, 1999), 6 25. Paul Stevens, Op.Cit, 7 26. Ibid
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
artinya bekerja.27 Jadi pada hakekatnya bekerja adalah hal yang baik, berkenan di hadapan Allah. Bekerja adalah anugerah yang istimewa bagi manusia sebagai rekan Allah di dalam dunia ini. Tujuan Kerja Jika pada hakikatnya bekerja adalah sesuatu yang baik dan merupakan anugerah dari Allah, maka apa yang menjadi tujuan kerja manusia? Allah menciptakan dunia, termasuk manusia bukanlah tanpa suatu tujuan. Allah pun tidak ingin kehidupan manusia dijalani tanpa arah dan tujuan yang jelas. Allah mempunyai tujuan yang dapat diketahui, yang dengan jelas diajarkan dalam Alkitab. Kata Jerry dan Merry White: tujuan kita haruslah sesuai dengan tujuan Allah untuk kita dan dunia.28 Demikian pula dengan setiap hal yang dikerjakan oleh seseorang. Apa pun yang menjadi pekerjaannya haruslah mempunyai tujuan: yakni memuliakan Allah dan pekerjaan-Nya. Kadang memang sulit untuk melihat dan mengatakan secara langsung bahwa pekerjaan tertentu mendukung pekerjaan Allah. Misalnya, bagaimana seorang pegawai, kasir, teknisi mesin, mendukung pekerjaan Allah? Apakah Allah memperhatikan pekerjaan semacam itu? Bagaimana secara jelas mereka dapat membantu mendukung pekerjaan Allah di dunia? Dengan melihat tujuan kerja, maka akan terlihat bagaimana setiap pekerjaan itu penting dan memiliki nilai yang luas di samping nilai intrinsiknya sendiri. Dhough Sherman mengemukakan ada 5 tujuan dari kerja manusia: a. Melalui pekerjaan yang dikerjakannya, manusia dapat mengasihi sesamanya dengan melayani mereka. b. Melalui pekerjaannya, manusia mencukupkan kebutuhan hidupnya.
e. Melalui pekerjaan, manusia dapat menyatakan kasihnya kepada Allah. Dari kelima tujuan kerja di atas, dapat disederhanakan bahwa tujuan kerja manusia adalah sebagai kesaksian, persekutuan dan pelayanan kepada sesamanya dan kepada Allah. Kerja harus dilihat dalam hubungan manusia dengan Allah. Alkitab berkata bahwa kerja manusia baru menjadi kerja yang sejati apabila dilaksanakan dan tertuju kepada kehendak Allah.29 Dengan demikian, maka ketika manusia bekerja, ia harus memiliki motivasi yang benar yakni: ia bekerja sebagai bukti kasihnya kepada Allah (Luk. 10:38-43, Yoh. 12:1-11); bekerja sebagai bukti kasihnya kepada sesama (Mat. 7:16, Kis. 20:33-35, Ef. 3:28); bekerja sebagai bukti kepercayaannya (Pkh. 2:24, Mat. 6:34, I Pet. 5:7) Etos Kerja Kristen Kata etos merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga orang. Kata etos berasal dari bahasa Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata etika yang berarti kebiasaan atau adat. Kata etos sendiri lebih cenderung kepada kecenderungan hati seseorang dalam melakukan suatu perbuatan.30 Etos adalah sikap atau cara yang lazim dipakai sebagai suatu ukuran yang umum. Lalu apa yang dimaksud dengan etos kerja? Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.31 Ciri atau keyakinan inilah yang kemudian menjadi hal yang penting ketika seseorang atau sekelompok orang mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Menurut Jansen Sinamo, etos kerja adalah perilaku kerja positif yang lahir sebagai buah dari keyakinan dan komitmen total pada paradigma atau pandangan kerja tertentu.32 Dengan kata lain, etos kerja merupakan manifestasi atau perwujudan dari keyakinan yang mendalam serta komitmen yang kuat pada nilai-nilai kerja
c. Melalui pekerjaannya, seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. d. Dengan bekerja, seseorang menerima upah sehingga dapat meneri kepada orang lain yang membutuhkan. 27. Bnd. Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan, 101. 28. Jerry dan Mery White, Bekerja: Arti, Tujuan dan masalah-Masalahnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 43
29. J. Verkuyl, Etika Kristen Jilid II/ Etika Sosial Ekonomi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965), 18 30. J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 15 31. Drs. Suparmin, Modul Orientasi Pembekalan Calon CPNS, Motivasi dan Etos Kerja, (Jakarta: Proyek Pembibitan Calon Tenaga LKependidikan, Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia, 2004), 64. 32. Etos Kerja Kristen, http://www.sabdaspace.org/ Etos Kerja SDM Kristen
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
36
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
37
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
tertentu yang tampak keluar sebagai perilaku kerja yang positif yang mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standarstandar. Jadi etos kerja merupakan pandangan dan sikap terhadap kerja. Selanjutnya, Jansen memaparkan 8 etos kerja profesional33 yang menurut pemikiran penulis, sangat diwarnai oleh etos kerja Kristen yaitu: (1). Kerja adalah rahmat: karena itu harus bekerja dengan penuh ucapan syukur; (2). Kerja adalah amanat: karena itu harus bekerja dengan tuntas dan penuh integritas; (3). Kerja adalah panggilan: bekerjalah dengan benar dan penuh tanggung jawab; (4). Kerja adalah aktualisasi: bekerja dengan penuh semangat; (5). Kerja adalah ibadah: karenanya bekerjalah sengan serius dan penuh cinta; (6). Kerja adalah seni: bekerja kreatif dan penuh sukacita; (7). Kerja adalah kehormatan: bekerja unggul penuh ketekunan; (8). Kerja adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati. Jika berbicara tentang etos kerja dipandang dari sudut iman Kristen, ini berarti bagaimana sikap dan pandangan Kristen tentang kerja. Etos kerja Kristen merupakan manifestasi atau perwujudan dari keyakinan yang mendalam serta komitmen yang kuat pada nilai-nilai kerja Kristiani. Bagaimana seseorang memandang dan mengerjakan pekerjaannya dari segi kekristenannya. Semua sikap yang nampak dalam semangat kerja hendaknya tercermin dan berakar dari pandangan dan pemahaman tentang kasih karunia Allah. Motivasi kerja Kristiani bukanlah motif material, yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi, tetapi motif kerja Kristiani adalah motif melayani dan berbakti. “Apa pun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol 3:23). Ini adalah nasihat bagi para hamba, yang secara duniawi dipahami bekerja sebagai pengabdian kepada atasan, tetapi dalam konteks Kristiani dipandang sebagai ibadah kepada Allah. Bekerja bagi orang Kristen adalah bagian integral dari ibadah kepada Allah. 34 Jika kerja adalah hakikat manusia seb-
agai makhluk ciptaan Allah yang juga adalah pekerja, maka kerja bukanlah beban atau hukuman atas dosa manusia, melainkan berkat atau anugerah Allah. Namun melihat kondisi pekerja masa kini, ternyata banyak orang yang melihat pekerjaan atau kerja mereka sebagai suatu beban termasuk orang Kristen juga di dalamnya. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan mereka sebagai panggilan Allah di mana mereka menjadi rekan kerja Allah lewat pekerjaan mereka itu. Pada umumnya fokus setiap orang ketika memilih atau melakukan suatu pekerjaan adalah demi memuaskan kebutuhan diri semata, seperti: memenuhi kebutuhan material, mengejar karier, hobbi, memperjuangkan nilai-nilai duniawi dan lain sebagainya, yang tanpa sadar telah kita pisahkan dari panggilan rohani kita.35 Banyak orang sering membuat pemisahan atau dikotomi antara pekerjaan rohani dan sekuler. Semua pekerjaan yang dilakukan yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kerohanian seperti: pegawai bank, karyawan swasta, sekretaris, akuntan, petani, nelayan, pedagang, politisi, polisi, pegawai dan sebagainya, itu adalah pekerjaan sekuler yang tidak sama derajatnya dengan pelayanan rohani seperti pendeta atau misionaris. Pekerjaan-pekerjaan itu dianggap terpisah dari kehidupan iman, kehidupan rohani seseorang. Bahkan dilihat sebagai pekerjaan yang tidak penting bagi Allah dan Allah tidak peduli dan tidak hadir dalam pekerjaan semacam itu. Pekerjaan yang hanya berurusan dengan dunia manusia. Padahal memang manusia dipanggil dan ditempatkan di dunia untuk menjadi garam dan terang dalam segala hal yang mereka lakukan termasuk dalamnya adalah pekerjaan mereka. Kualitas hidup manusia itu sebenarnya merupakan realisasi dari apa dan untuk apa kemanusiaan kita. Dan hal ini bersangkut paut dengan presuposisi-presuposisi religius dan atau falsafati yang dianut oleh seseorang.36 Demikian juga dengan kerja. Hasil kerja, kinerja, dan sikap seseorang terhadap kerja sangat dipengaruhi oleh pandangannya tentang kerja. Ketika manusia memahami kerja sebagai wadah untuk kemuliaan Allah dinyatakan, maka ia akan menjadi seorang pekerja yang baik. Sebaliknya jika ia memandang kerja sebagai suatu kutukan dan
33. Ibid, 34. Kees Bertens, Etika Bisnis Kristen, (Jakarta: Unit Publikasi dan Pusat Study Etika STT Jakarta, 2006), 32
35. Dough Sherman, Pekerjaan Anda Penting Bagi Allah, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1997), 13 36. Drs. Supardan, M.A, Ilmu, Teknologi dan Etika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 135
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0#
beban yang berat, maka hasilnya akan mengecewakan juga. Kerja Sebagai Sebuah Panggilan Ada sebuah pandangan, entah sejak kapan berkembang, namun begitu memengaruhi pandangan orang sampai saat ini. Pada dasarnya pandangan ini melihat kehidupan manusia terbagi dua, antara dunia sekuler dengan dunia rohani. Di dunia sekuler terdapat orang-orang awam yang keseluruhan hidupnya bergelut di dunia kerja sekuler: mulai dari pebisnis, pegawai, wiraswasta, pedagang, petani, politisi, pengacara dan sebagainya. Sementara di dunia rohani terdapat orang-orang yang mengerjakan pelayanan. Biasanya orang awam melihat mereka sebagai orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Kepada orang-orang inilah istilah panggilan sering ditujukan. Misalnya sering orang mengatakan atau mendengar ada seseorang yang meninggalkan pekerjaannya karena panggilannya menjadi misionaris atau pelayan. Jika demikian, bagaimana dengan orang-orang yang disebutkan di awal? Apakah pekerjaan mereka bukan sebagai sebuah panggilan dari Allah? Yoel A. Sundarto, dalam bukunya Carrier VS Calling mengemukakan beberapa sisi yang perlu diperhatikan tentang panggilan hidup.37 a. Panggilan adalah undangan pribadi Allah untuk terlibat dalam agenda-Nya. b. Panggilan hidup bersifat pribadi yang akan menghubungkan kita dengan Allah dan sesama kita. c. Panggilan mendatangkan ucapan syukur dan kepuasan. d. Panggilan akan mempertemukan kita dengan kebutuhan dunia, untuk mengasihi Allah dan sesama. Dengan demikian, melihat dari sisi-sisi panggilan ini, maka dalam setiap pekerjaan yang baik yang berkenan kepada Allah dan membawa kesejahteraan bagi sesama, di situlah seseorang menemukan dan menyatakan panggilan hidupnya. Paul J. Meyer mengatakan: bagi saya, pekerjaan saya adalah pelayanan saya. Pekerjaan
dan pelayanan itu sama.38 Alkitab tidak membedakan antara pekerjaan dan pelayanan, sekuler % * ' sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah itu dalam nama Tuhan Yesus…”, “apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:17, 23). Jadi, apa pun yang dikerjakan oleh manusia, hendaknya itu didasarkan atas kehendak Allah, bagi kemuliaan Allah, dan untuk kesejahteraan sesama. Entah itu sebagai pendeta, misionaris, pedagang, pebisnis, pegawai, pelayan, pembantu rumah tangga, kasir, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN 6. Kerja dan bekerja merupakan bagian yang utuh dari karya penciptaan Allah dalam dunia ini. Allah adalah seorang pekerja, pribadi yang terus bekerja dari penciptaan bahkan terus bekerja hingga penciptaan langit dan bumi baru, menjadikan segala sesuatunya menjadi baru 7. Manusia diciptakan dengan potensi untuk bekerja. Ia bekerja bukan hanya untuk memenuhi dirinya sendiri, tetapi sebagai alat untuk pelayanan bagi dirinya, sesamanya dan untuk kemuliaan Allah. Untuk itulah manusia harus memiliki motivasi dan tujuan yang benar dalam bekerja. 8. Kerja bukanlah akibat dari kejatuhan tetapi merupakan rancangan Allah dalam penciptaan. Tidak ada pemisahan antara pekerjaan yang rohani dan pekerjaan duniawi, karena semua pekerjaan yang baik adalah berharga dan bernilai di mata Allah. 9. Kerja adalah sebuah panggilan, karena itu bekerja seharusnya memberikan sukacita yang besar bagi seorang pekerja, karena di dalam pekerjaannya ia mengaktualisasikan diri dan potensinya dalam setiap karyanya.
DAFTAR PUSTAKA 37. Bnd. Yoel. A Sundarto, Carrier vs Calling, (Yogyakarta: Andi, 2009), 22-34
38. Paul J. Meyer, 24 Kunci Sukses, ( Yogyakarta: Andi, 2007), 145
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
38
MASAKKE Manusia Kristen, Manusia Pekerja | oleh )- .-/0# Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke Empat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1983 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996 John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005 Supardan, M.A, Ilmu, Teknologi dan Etika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 John Stott, Your Mind Matters: Akal Budi dalam Kehidupan Kristen, Jakarta: Divisi Literatus Perkantas, 2005 Seri Hikmat Ilahi, Bagaimana Manemukan Kepuasan dalam Pekerjaan?, Michigan: Discovery House Publishers, 2004 Seri kajian Kontemporer, Etika Bisnis Kristen, Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi dan Pusat Study Etika, STT Jakarta, 2006 Dough Sherman, Pekerjaan Anda Penting Bagi Allah, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1997 Darmaputera, Eka, Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 Darmaputera, Eka, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005Hardy, Lee, Karier: Panggilan Atau Pilihan?, Jakarta: Yayasan Pancar Pijar Alkitab, 2009 Anastasi Anne, Psikologi Terapan, Jakarta: PT.
\ % ` Jason Lase, Motivasi Berprestasi, Kecerdasan Emosional, Percaya Diri, dan Kinerja, Jakarta: Program Pasca Sarjana FKIP Universitas Kristen Indonesia, 2005 J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991 Suparmin, Modul Orientasi Pembekalan Calon CPNS, Motivasi dan Etos Kerja, Jakarta: Proyek Pembibitan Calon Tenaga LKependidikan, Biro Kepegawaian Sekretariat Jendral Departemen Agama Re-
39
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
publik Indonesia, 2004 Victor I. Tanya, Tiada Hidup Tanpa Agama, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1988 Andar Ismail, Selamat Berkarya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008 Paul Stevens, God’s Business, Jakarta: BPK Gunung Mulia,200 Doug Sherman dan William Hendricks, Allah memperhatikan Pekerjaan Anda, Bandung: Yayasan kalam Hidup, 1999 Jerry dan Mery White, Bekerja: Arti, Tujuan dan masalah-Masalahnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 J. Verkuyl, Etika Kristen Jilid II/ Etika Sosial Ekonomi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965 Yoel. A Sundarto, Carrier vs Calling, Yogyakarta: Andi, 2009 Paul J. Meyer, 24 Kunci Sukses, Yogyakarta: Andi, 2007
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
KAJIAN HERMENEUTIKA MARKUS 12:30 TENTANG MENGASIHI ALLAH Tri Oktavia Silaban
ABSTRAK As christian love the identity of his life, so love must be the character and lifestyle. In particular, in the live of God is not just verbal or sermon, but it became the practice of everyday life. Loving God, to be with all, heart, soul, mind, and with all your strength. Kata Kunci: Kasih, Mengasihi Allah, Hati, Jiwa, Akal pikiran dan Kekuatan PENDAHULUAN
Kasih merupakan ciri khas kekristenan. Perbuatan, perkataan, dan sifat orang Kristen haruslah berdasarkan kasih. Pentingnya kasih sudah tertulis di dalam seluruh Alkitab, mulai dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Hal ini didasari dengan keyakinan bahwa Allah adalah Pengasih. Keyakinan ini mempunyai dasar yang kuat dalam PL dan dalam tulisan-tulisan Yahudi, tetapi dalam Perjanjian Baru hal ini diperjelas dan mempunyai peranan yang lebih menonjol.1 Kata kasih dalam Perjanjian Lama terdapat dalam Imamat 19:18: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”. Imamat 19:34: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”2. Kedua ayat diatas menekankan tentang mengasihi sesama manusia. Dan di dalam Ulangan 6:5 “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihilah Tuhan, AllahMu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan nats tersebut menekankan tentang mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan. Kedua 1. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1 (Jakarta: BPK GM, 1992), 83-84. 2. Alkitab Terjemahan Baru, LAI.
Kitab tersebut memberi perintah untuk mengasihi sesama manusia dan juga mengasihi Tuhan Allah. Carson menuliskan: bahwa dalam konteks penyataan Perjanjian Lama, perintah mengasihi Allah dengan segenap hati dan jiwa dan kekuatan (Ulangan 6:4-5) ditempatkan dalam konteks mengenal Firman Allah, menaatinya dan mengajarkannya. Melalui nats tersebut dapat dipahami bahwa mengasihi Allah tidak dapat dipisahkan dari takut akan Allah dan menaatinya. Di satu sisi, menaati Allah ini berarti menaati perintah-perintahNya, dan perintah khusus yang ditekankan adalah perintah untuk mengasihi dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan. Di sisi lain, mengasihi Allah, akan menjadi kekuatan pendorong untuk menaati Allah sepenuhnya. Para penulis Alkitab memperlakukan kasih Allah sebagai suatu hal yang ajaib, sangat mengagumkan dan pantas mendapatkan pujian, bahkan mengejutkan karena objek kasihNya adalah manusia yang memberontak.3 Dari uraian diatas bahwa mengasihi Allah sudah ada sejak masa Perjanjian Lama dan mengasihi Allah tidak sekedar mengasihi, tapi juga harus menaatiNya. Dalam Injil-Injil Sinoptik, kasih Allah lebih dipandang sebagai hal yang sudah diterima daripada sebagai hal yang perlu diuraikan. Menurut Spicq dalam buku Donald Guthrie, bahwa meskipun Yesus tidak pernah berbicara tentang Allah yang adalah kasih atau tentang Allah yang mengasihi manusia, namun Ia menyatakannya secara tidak langsung. Penggunaan gelar Bapa oleh Yesus membuktikan hal ini. Yesus menyatakan kasih Allah melalui tin3. D.A Carson, Kasih Di Tempat-Tempat Yang sulit (Surabaya: Momentum, 2007), 22.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
40
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') dakan-Nya yang penuh kasih dan pengampunan, lebih daripada melalui perkataan.4 Yesus sangat menyadari bahwa kasih Bapa kepada-Nya merupakan dasar dan pola kasih Allah kepada umatNya. Dalam ajaran Yesus sangat penting bahwa hal yang paling diinginkan manusia adalah menerima kasih Allah. Pelayanan Yesus ketika Ia berada di Yerusalem, Dia mengutip Injil dari Perjanjian Lama yaitu Ulangan 6:4-5, terdapat juga di dalam Injil Matius dan Injil Markus. Secara khusus penulis memfokuskan pada Injil Markus 12:30. Dan ini merupakan salah satu tema terbesar dari pelayanan Yesus yaitu kasih, yang dimengerti dan dilakukan dengan tepat, dan hal itu menggenapi hukum Perjanjian Lama. Penulis menganalisa injil Markus, karena Injil Markus lebih tua dibandingkan Injil Matius dan juga di dalam Injil Markus, kalimat mengasihi Allah lebih lengkap di bandingkan dengan Injil Matius. Injil Markus menuliskan untuk mengasihi Allah dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap akal budimu dan segenap kekuatanmu. Dalam konteks Injil Markus terjadi tanya jawab antara Yesus, orang Saduki dan Ahli Taurat. Jawaban Yesus terhadap pertanyaan yang diajukan kepada-Nya menyatukan dua ringkasan Yahudi yang tradisional, yaitu perintah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Katakata Injil suci yang dikutip Yesus berasal dari Ulangan 6:4-5, yang disebut Syema, bisa dianggap sebagai pernyataan yang paling mendekati kredo bagi Yudaisme, Syema diucapkan oleh orang Yahudi yang saleh setiap pagi dan petang. Perintah moral secara tepat diberikan dalam konteks deklarasi yang tegas, “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa” (Markus 12:29). Karena Allah itu adalah satu, maka diperintahkan untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan.5 Perintah mengasihi Allah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat Kristen. Karena Allah telah mengasihi manusia, maka manusia juga harus mengasihi Allah. Secara khusus, mengasihi Allah sangat penting sekali bagi para pemimpin-pemimpin gereja yaitu para gembala yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan ajaran Alkitab kepada semua orang dan secara khusus kepada jemaat 4. Ibid., 84. 5. Ibid., 16.
41
yang digembalakan. Sehingga gembala akan menjadi berkat dan bukan menjadi batu sandungan di dalam jemaat. Karena gembala merupakan jabatan khusus yang diberikan Allah kepada seseorang supaya mampu memberikan bimbingan kepada domba-dombanya. Gembala yang baik adalah gembala yang mengasihi Tuhan Allah sebagai sumber pengajarannya di jemaat. Ketika gembala menyatakan mengasihi Allah, maka ia harus menghidupi kasih itu dalam seluruh aspek yang dilakukan dalam hidupnya. Mengasihi Allah bukanlah hanya ketika gembala melayani dan berkhotbah serta beribadah kepada Allah pada hari Minggu saja, tetapi mengasihi Allah juga harus dilakukan didalam keluarga sebagai teladan bagi anak dan istri serta membawa mereka kepada Tuhan, di lingkungan masyarakat seorang gembala harus mampu menjadi garam dan terang, sehingga melalui gembala banyak orang yang bertobat dan terutama di dalam pelayanannya seorang gembala harus bisa membimbing dan mengajar jemaat untuk bertumbuh dalam iman kepada Tuhan Yesus.
ANALISIS MARKUS 12:30 Markus 12:30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.6 Bahasa yang digunakan dalam Perjanjian Baru adalah Yunani Koine (bahasa Yunani Hellenistik atau Yunani Umum, semacam bahasa yang cukup populer di Palestina pada saat itu).7 Dalam bahasa Yunani ditulis kai. avgaph,seij ku,rion to.n qeo,n sou evx o[lhj th/j kardi,aj sou kai. evx o[lhj th/j yuch/j sou kai. evx o[lhj th/j dianoi,aj sou kai. evx o[lhj th/j ivscu,oj sou\ \ sou kai ex oles tes dianoias sou kai ex oles tes ischuos sou ). Analisis kata “Kasihilah” Dalam Markus 12:30 kata “kasihilah” diterjemahkan dari kata agapeseis yang berasal dari kata agapao. Kata agapeseis merupakan bentuk verb (kata kerja), indikatif aktif, future,
Alkitab Terjemahan baru, LAI 7. Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: SAAT, 1998), 159. 6.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
orang ke dua tunggal.8 Kata ini digunakan dalam Perjanjian Baru sebanyak 381 kali. Kata agapao dapat diartikan sebagai suatu akan memilih, akan mencintai, akan mengasihi.9 Agapo dalam konteks ini mengasihi antara Tuhan dengan umatNya dan mengasihi sesama manusia. Agapao disini bukanlah kasih antara suami dan istri. Bentuk kata agapao berdiri sebagai kata kerja. Kata agapao dalam konteks ini lebih menunjuk untuk mengasihi Allah, dalam mengasihi Allah tidak hanya sekedar menaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh manusia melalui korban persembahan. Akan tetapi, mengasihi Allah haruslah dengan bukti nyata melalui perbuatan dan juga pengorbanan diri. Penggunaan Kata Agapao dalam Injil Markus Dalam Injil Markus, kata agapao digunakan sebanyak 6 kali, yaitu dalam pasal 1:11 Lalu terdengarlah suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi... Pasal 9:7 Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi... Pasal 10:21 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya... Pasal 12:6 Sekarang tinggal hanya satu orang anaknya yang kekasih.... Pasal 12:30 Kasihilah Tuhan, Allahmu,.... Pasal 12:31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri... Penyebutan kata agapao di dalam Injil Markus mempunyai dua makna yang berbeda. Makna yang pertama kata agapao mempunyai arti orang yang dikasihi atau disayangi (beloved, dear) Markus 1:11; 9:7; 12:6. Makna agapao yang kedua adalah suatu perintah dalam bentuk kata kerja yaitu mengasihi atau mencintai (to love) Markus 10:21; 12:30;12:31. Kata agapao dikonteks Markus 12:30 ini menekankan untuk melakukan perbuatan kasih itu kepada Tuhan Allah dan juga kepada sesama. Yesus menuntut suatu bentuk kepatuhan dari para ahli Taurat khususnya dalam hal mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatan. Bolkeisten mengatakan: bahwa kepatuhan kepada Allah tak dapat dibatasi oleh apapun juga, kepatuhan itu tak dapat diukur den8. {% < 9. Strong Corcondasi online, di akses pada tanggal 09 Oktober 2012.
gan apapun juga, sebab itu menuntut kepatuhan manusia secara utuh dan sepanjang hidupnya ia harus disita oleh kepatuhan itu. Kepatuhan tidak ada sangkutpautnya dengan hal-hal yang bersifat kuantitatif, tetapi yang menuntut seluruh keberadaan manusia dalam pelayanannya kepada Allah. Barangsiapa berpendapat bahwa perintah Allah dapat dipilah-pilah dalam sejumlah perintah secara kuantitas, berarti ia belum pernah memahami perintah Allah.10 Menurut D.A Carson, agapao di dalam Perjanjian Baru merujuk kepada cinta yang dikehendaki, suatu tindakan pengorbanan diri yang dikehendaki demi kebaikan orang lain.11 Ia juga mengatakan bahwa tidaklah cukup untuk berpikir bahwa kata kerja “mengasihi” berarti sesuatu yang secara sempit bersifat volisonal (kemauan), seperti ‘memikirkan kebaikan orang lain tanpa memperhatikan afeksimu ataupun nonafeksimu,” seakan-akan kasih Kristen dapat direduksi menjadi sikap altruisme. Perintah mengasihi tidak boleh dikosongkan dari isi afektifnya.12 Lebih lanjut ia menuliskan bahwa, perintah mengasihi Allah, bukan hanya suatu perintah yang tidak berbentuk atau sentimental atau sesuka hati dan tidak pantas.13 Bukan hanya sekedar masalah penampilan atau altruisme yang disengaja, karena kasih di sini dikontraskan dengan sikap-sikap kita. Kita tidak boleh membalas dendam kepada atau menyimpan kemarahan terhadap siapa pun yang merupakan bagian dari komunitas kovenan; sebaliknya, kita harus mengasihi sesama kita.14 Menurut Warren bahwa, jika kita mengasihi Allah, kita akan mengalami kasihNya di dalam diri kita dan akan menyatakan kasih itu kepada orang lain. Kita tidak hidup dengan peraturan, tetapi dengan hubungan, suatu hubungan yang penuh kasih dengan Allah yang memampukan kita untuk mengasihi orang lain.15
M.H Bolkestein, Kerajaan Yang terselubung (Jakarta: BPK GM, 1991) 246. 11. D.A Carson, Doktrin Yang Sulit Mengenai Kasih Allah (Surabaya: Momentum, 2007) 24. 12. Ibid.,19. 13. Ibid., 21. 14. Ibid., 26. 15. Warren W. Wiersbe, Bertekun Di Dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 2012) 15. 10.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
42
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kata agapao dalam konteks Injil Markus 12:30 yaitu mengasihi Allah dengan sungguhsungguh, melalui kepatuhan-kepatuhan yang harus dilakukan setiap orang dengan segenap hati, jiwa, akal pikiran dan kekuatan, seluruh kehidupan manusia sepenuhnya ada untuk mengasihi Allah dan juga dibuktikan dengan adanya tindakan pengorbanan diri. Dengan kata lain menempatkan Allah di dalam kehidupan manusia sebagai subyek kasih yang satu- satunya. Tidak ada yang di kasihi manusia lebih daripada Allah dan tidak ada unsur apapun juga yang dapat memisahkan manusia dari Allah. Dan juga menempatkan Allah sebagai yang nomor satu dalam segala perkara. Tidak ada unsur apapun yang setara dengan Allah dan tidak ada unsur apapun yang dapat menggeser posisi Allah di hadapan manusia. Kasihilah Tuhan Allahmu Dengan Segenap Hati Perintah Allah untuk mengasihi Allah sendiri tidaklah perintah yang biasa, akan tetapi suatu perintah yang menuntut kepada manusia untuk mengasihi Allah, yaitu pertama dengan segenap hati. Dalam Markus 12:30 kata “hati” dalam bahasa Yunani yaitu kardi,aj yang kata dasarnya dari kata kardia. Bentuk kata kardias adalah kata benda, genitive, feminine, tunggal dari kata kardi,a . Kata kardia dapat diterjemahkan sebagai hati bagian dari kejiwaan manusia, pusat afektif dari keberadaan manusia,16 dan dalam Injil suci hati adalah pusat atau inti diri manusia, tempat pengetahuan, perasaan, dan keputusan-keputusannya.17 Dalam analisis Carson ia menuliskan, jika kita membatasi diri kita pada arti kata-kata Inggrisnya (dan Indonesianya), kita mungkin berpikir bahwa frasa pertama, “dengan segenap hatimu,” berfokus pada kasih afektif, emosional, dan yang penuh gairah. “Aku mengasihimu dengan segenap hati,” kata Bob kepada Sue, ketika mereka saling berpandangan – dan bagi kita, “hati” adalah simbol bagi kedudukan emosi.18 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, tentu saja
dalam dunia Alkitab, hati bukanlah kedudukan emosi; justru organ-organ yang lebih rendah yang merupakan kedudukan emosi. Hati adalah kedudukan dari seluruh kepribadian dan sangat dekat dengan apa yang kita maksudkan hari ini dengan “akal budi”, kecuali bahwa bagi kita “akal budi” dapat menyempit menjadi hal yang berhubungan dengan otak saja.19 Selanjutnya di dalam Ensiklopedi Alkitab Ryder Smith menulis sebagai berikut, ‘Hati tersebut sama sekali tidak
% dibuat dari daging (2Kor 3:3), tapi hati adalah tempat berpikir ( Mr 2:6,8) dan tempat perasaan’ (Luk 24:32).20 Jika melihat ke dalam konteks nats Injil Markus, kardia merupakan suatu bagian yang mengatur kejiwaan manusia, khususnya sebagai sumber moral, tahu yang baik dan yang jahat. Kardia disini bukanlah dimaksud dalam buah benda organ dalam tubuh kita yang berfungsi untuk menyaring darah dan menawarkan racun dalam tubuh. Dalam Alkitab yang dimaksud dengan hati adalah: Kepribadian, kehidupan batin, atau watak secara umum (Kej 20:5;Kel 9:14; 1 Sam16:7), Keadaan emosional. Misalnya sukacita atau kesusahan (Hak 18:20;1 Sam 1:8), Kemauan atau maksud (1 Sam 2:35), Kegiatankegiatan intelek. Misalnya perhatian (Kel 7:23); pengertian (1 Raja 3:9).21 Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kardia dalam ayat 30 adalah, suatu bagian dari kehidupan manusia yang berhubungan dengan kehidupan batin, keadaan emosional dan kegiatan intelek manusia itu sendiri. Mengasihi Allah dengan segenap hati berarti secara bulat harus menyediakan hati untuk sepenuhnya dikuasai oleh Roh Kudus dan diperintah oleh Tuhan Yesus. Dengan hati akan memelihara iman, me _% teguh janji-janji Allah, memikir-mikirkan jalanNya, memiliki kerelaan hati untuk dididik oleh Allah dan mempunyai kesediaan untuk mencari TUHAN. Sehingga hati menjadi sumber moral
Ibid., 18. Yayasan Bina Kasih Komunikasi/ OMF, Ensiklopedi Alkitab, s.v Hati 21. Diaspora Ministry, “Mengasihi Allah”; Diakses tanggal 09 Agustus 2012; tersedia di http:www.DiasporaMinistry. com/index.php?option=com 19. 20.
Bible works 7 Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologis: (Yogyakarta, Kanisius, 1991) s.v hati 18. Ibid., 17. 16. 17.
43
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
bagi manusia. Jika hati manusia sudah mengasihi Allah maka manusia itu juga mengasihi sesamanya. Mengasihi Allah dengan segenap hati haruslah mempunyai waktu khusus /saat teduh dengan Allah dan juga rajin berdoa. a. Saat teduh pribadi Dalam kehidupan sebagai seorang gembala harus mempunyai waktu khusus untuk memaknai karya dan maksud Allah dalam kehidupannya. Saat seorang gembala sudah memiliki waktu khusus dalam kehidupannya maka ia akan mengetahui maksud Allah dalam kehidupannya. Gembala yang yang semakin dekat dengan Allah akan senantiasa mengarahkan diri kepada Allah dan semakin dibangun dan diperteguh dalam imannya. Sehingga para gembala akan semakin bertumbuh dalam iman dan percaya kepada Allah dan meeka akan semakin mengenal siapa Allah dan apa yang dikerjakan Allah dalam kehidupan mereka. Melalui pola hidup yang memiliki waktu saat teduh yang teraturs maka semuany itu akan membuat orang dapat berjumpa secara pribadi dengan allah dalam Firman Tuhan yang dibaca saat melakukan saat teduh itu. Melalui _ _ mengerti kehendak Allah dan apa yang seharuisnya diperbuatnya yang seturut dengan kehendakNya. Meallui saat teduh itu gembala semakin kokoh dalam kepercayaannya kepada Allah. Karena pada saat melakukannya dengan teratur dalam kehidupan ini maka penengenalan kepada Allah semakin baik sehingga tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh apapun yang dapat membuat gembala jauh dari Allah. Melalui itu juga, maka gembala melalui tuntunan Roh Kudus akan membuka hatinya kepada Allah dan saat itulah gembala berada dalam pinmpinan dan bimbingan Roh Kudus. Tujuan untuk mengadakan saat teduh ialah agar gembala senantiasa mengadakan persekutuan dengan Tuhan (Yohanes 14:23; Efesus 2:18), melalui persekutuan itu umat akan selalu menyembah dan memuji Allah sentiasa dalam kehidupannya atas kasih dan menerima Anugerah dari Tuhan Yesus Krsitus. Maka dari itu gembala akan memperileh beberapa manfaat dari melakukan saat teduh yang teratur dalam kehidupannya, seperti; 1. Saat gembala melakukan saat teduh yang teratur maka ia akan semakin bertumbuh
dalam imannya kepada Yesus Kristus + + hidupan rohani gembala bertumbuh dengan baik. 2. Tuhan. Karena Alkitab sebagai dasar pengajaran bagi orang kristen dan secara khusus para gembala, sehingga melaluimya gembala dapat melihat akan kemuliaan serta apa yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan gembala seturut dengan apa yang Allah kehendaki. 3. Gembala akan disucikan dalam kehidupannya, hal itu akan terjadi saat gembala menjaga pola hidup seturut dengan kehendak Allah. Karena hati gembala akan senantiasa diisi dengan Firman Allah. b. Rajin Berdoa Berdoa berarti mengubah. Doa adalah cara utama yang Allah pakai untu mengubah manusia. Jika manusia tidak bersedia untuk diubah, manusia akan meninggalkan doa sebagai ciri yang nyata dalam kehidupan, semakin manusia dekat Allah, semakin manusia melihat akan kebutuhannya dan semakin menginginkan untuk menjadi seperti Kristus.22 Menurut Ensiklopedi Masa Kini doa adalah kebaktian yang mencakup segala roh manusia dalam pendekatanNya kepada Allah.23 Jadi, dapat disimpulkan bahwa doa adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia dalam membangun hubungannya dengan sang pencipta yaitu Allah dan semakin dekat kepadaNya dalam kehidupan. Sebagai orang kristen berbakti kepada Allah jika ia mua memuja, mengakui dan mengajukan permohonannya di dalam doa. Karena saat berdoa kepada Allah saat itu manusia berbicara kepadanya untuk menuntunnya dalam kehidupan serta membangun suatu relasi yang baik dengan Allah dengan meminta kepadaNya, apa kebutuhan dalam menjalani kehisupan ini terlebih meminta keoadanya untuk memampukan manusia mengangkat tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang percaya yang menjadi 22. Richard J. Foster, Tertib Rohani, (Malang, Yayasan Penerbit Gandum Mas), 54 23. Ensiklopedi Masa Kini Jilid 1 A-K, 249
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
44
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') saksiNya dalam dunia ini. Dan juga melalui doa maka orang percaya akan berada dalam hubungan penyelamatan atau dalam hubungan perjanjian dengan Allah. Dalam perjanjian lama kebanyakan doa yang dinaikkan oleh para bapak-bapak leluhur dan tokoh-tokoh Alkitab adalah dilakukan untuk menyerukan nama Tuhan (Kej.4:16), dalam menyebut nama yang Kudus dan juga melalui doa yang dilakukan oleh mereka adalah bentuk hubungan langsung dengan Allah serta juga untuk dapat menerima Firman dalam kehidupan dan diberitakan kepada umatNya (Yes. 6:5); Yer.11:20), serta doa yang dilakukan untuk mencari wajah Allah dalam kehidupan merek dan mencari kehadirannya dalam kehidupan kita (mzm. 100:2). Sehingga melalui doa mereka dapat mengerti akan apa yang Allah kehendaki dan inginkan dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Baru doa itu sepenuhnya dari praktik doa yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, seperti ajarannNya tentang doa dan dimana dan apa yang harus diperbuat dalam doa itu (Luk. 11:5-8). Yesus juga menasehatkan murid-muridNya agar senantiasa berdoa dan melakukan itu ditempat yang tertutup agar dapat dilihat oleh Allah dan dapat dibalasNya serta doa yang dipanjatkan itu seharusnya tidak berteletele (Matius 6:6-8). Yesus juga mengajarkan doa kepada murid-muridNya (Matius 6:9-13; Lukas 22:2-4). Doa yang dilakukan oleh orang percaya itu harus dilakukan dengan seturut iman percaya serta dengan peneuh kerendahan hati serta ungkapan syukur kepada Allah. Sebagai orang percaya doa adalah nafas kehidupan sehingga dalam kehidupan setiap orang percaya itu seharusnya selalu punya waktu untuk berdoa. Karena doa adalah ciri khas orang percaya maka hal itu wajib dilaksanakan dalam kehidupannya. Doa itu harus dilakukan dalam kesungguhan dengan ketekunan dan kesinambungan dan didasari dengan kerendahan hati serta kesderhanaan. Dalam buku Pola Hidup Kristen ada beberapa alasan mengapa perlu berdoa dalam kehidupan orang percaya24, yaitu: a. Karena orang percaya perlu berhubungsn dengan Allah setisp hsri untuk memeproleh pengampunan dan kekuatan
24. Youth for Christ, Pola Hidup Orang Kristen (Malang, Gandum Mas, 1990) 471
45
b. Karena orang percaya memerlukan bimbingan dan pembuataan keputusan setiap hari, karena melalui doa orang percaya mengarahkan kehidupan kepadda Allah c. Karena orang percaya perlu memandang hal-hal yang dihadapi dari sudut pandang Allah karena orang percaya berbicara kepada Allah melalui doa dan Ia mendengarkan d. Karena orang percaya terpanggil untuk melaksanakan pekerjaan Tuhan di dunia. Berdoa adalah tugas gereja, juga tugas umat Kristen dan melalui doa Ia akan memampukan orang percaya melaksanakan semua pekerjaanNya. e. Pengertian doa menurut Alkitab adalah bahwa doa bukan hanya suatu tindakan perseorangan. Doa adalah pekerjaan umat Tuhan. Melalui doa orang percaya dapat saling mendukung orang lain dan kehidupan spritualitas pribadi serta masuk dalam persekutuan bersama dengan orang lain. f. Karena orang percaya perlu menanggapi Allah itu. Saat orang percaya berdoa orang percaya beribadah kepada Tuhan, memuji Dia karena hanya Dia yang patut untuk dipuji. Maka dari itulah seorang gembala haruslah berdoa agar kehidupannya senantiasa berada dalam linsungan Kasih Karunia Allah yang akan memampukannya dalam mengangkat tuhas dan panggilannya sebagai saksinya dalam dunia. Karena saat dia berdoa dan meminta tuntunanNya dalam hidup maka hidupnya akan senatiasa berada dibawah tuntunan Roh Kudus. Doa juga merupakan senjata supaya orang percaya tidak mudah terombang-ambing dalam kehidupan ini (Ef. 6:13-17). Sehingga kehidupannya akan selalu berakar dalam kasih sesuai dengan kehendak Allah yang akan dinyatakan dalam pola hidupnya dan semakin dekat dengan Allah (Ef. 3:17; Kol. 1:11; Yak. 4:8). Dan juga dalam melakukan setiap pekerjaan dan tugas pelayanannya serta dalam segala hal mereka harus selalu meminta tuntunan kepada Allah melalui doa agar dimampukan dalam untuk melakukan tugas panggilannya dan selalu bersam-sama dengan Allah menjalani kehiupan ini. Melalui doa juga mereka harus mendukung orang lain sebagai suatu perhatian bagi orang lain agar orang
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
itu juga selalu berada dalam tuntunan dan pimpinan Allah. c. Menjaga Kekudusan Dalam Imamat 11:44-45; 19:2; 20:7, “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus”. Allah menuntut setiap orang untuk hidup kudus. Setiap manusia adalah orang berdosa, sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka setiap orang telah mewarisi dosa tersebut. Sehingga setiap orang tidak ada yang luput dari dosa, termasuk juga gembala. Akan tetapi, sebagai pelayan Tuhan maka seorang gembala haruslah menjaga kekudusannya. Karena itu sangat penting, karena tanpa kekudusan manusia tidak dapat menjumpai Allah yang adalah kudus. Orang kudus bukanlah seseorang yang nilai kebajikannya berdiri sendiri terlepas dari tubuh. Semakin sempurna orang kudus dalam kasih, makin besar
} satuannya dengan Allah, makin kuat ikatannya dengan tubuh Kristus. Kekudusan orang percaya disempurnakan melalui persekutuan dengan orang-orang lain, tidak pernah terlepas darinya. Sebagai orang-orang Kristen, tujuannya adalah ketaatan sepenuhnya pada semua yang Allah minta. Hidup dengan ketaatan penuh ini dikenal sebagai kekudusan. Allah itu kudus, dan kehendakNya bagi orang peraya adalah kekudusan. Kunci menuju kekudusan dan kesucian bukanlah perbuatan melainkan iman. Mengasihi Allah Dengan Segenap Jiwa Kata “jiwa” dalam ayat 30 diterjemah psuche. Kata psuche merupakan kata benda, genitif, feminim, tunggal, common. Kata psuche dapat diartikan sebagai jiwa, nyawa. Jiwa berbeda dengan hati. Jiwa adalah kesatuan yang tak terpisahkan antara pikiran, perasan dan kehendak manusia. Apa yang tersimpan di dalam jiwa akan nampak dalam perilaku seseorang. Secara psikologis pikiran berfungsi untuk mengenal fakta-fakta, untuk memahami suatu masalah, untuk menguraikan pendapat, untuk melakukan analisa dan sintesa terhadap suatu masalah, dan untuk mengevaluasi suatu tindakan. Tetapi secara rohani pikiran berfungsi untuk mengenal * _ Nya. Untuk memikir-mikirkan hal-hal baik dan memikir-mikirkan hal-hal yang rohani. Secara psikologis perasaan berfungsi sebagai alat bertimbang rasa dan untuk memper-
timbangkan segala perkara sebelum mengambil keputusan.25 Tetapi secara rohani perasaan berfungsi untuk membina hubungan dengan sesama dan dengan TUHAN dan untuk menempatkan perasaan Kristus di dalamnya. Selebihnya adalah supaya manusia menggunakan perasaannya seperti perasaan yang terdapat juga di dalam Tuhan Yesus. Kehendak atau kemauan adalah dorongan untuk melakukan sesuatu. Psikologi menyebutnya dengan motif. Motif berfungsi sebagai motor penggerak tingkah laku seseorang.26 Secara rohani motif tidak boleh diarahkan untuk kebebasan dan kepentingan sendiri. Karena kehendak manusia cenderung memanjakan kepentingan daging sehingga dapat menyebabkan dosa. Tuhan Yesus mengajarkan supaya menyerahkan kehendak kepada TUHAN. Bukan saja mengajarkan di dalam Doa Bapa Kami, tetapi Dia sendiri menjadi modelnya. Dibeberapa nats Alkitab kata psuche ini disebut juga dalam bentuk Roh. Psuche sangat penting sekali bagi kehidupan manusia. Secara biologis psuche berfungsi untuk mengatur tubuh jasmani manusia. Dan secara psikologi psuche berfungsi untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan supranatural. Menurut ahli psikologi bahwa jiwa berfungsi sebagai tempat menerima dogma dari para rasul. Melalui jiwa, manusia mampu menerima ajaran rasul baik dalam bentuk perintah maupun dalam bentuk larangan.27 Mengasihi Allah dengan segenap jiwa dapat dilakukan dengan: a. Rajin membaca Alkitab Dalam bahasa Inggris Alkitab disebut “Bible” yang berasal dari bahasa Yunani “Biblia”, yang berarti Kitab-kitab. Alkitab terdiri dari 2 bagian besar yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Alkitab adalah akar pengajaran dari agama Krsiten karena didalamnya banyak hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah serta pengajaran-pengajaran yang dapat membawa seseorang untuk semakin mengenal Allah dalam kehidupan manusia. Dalam Alkitab juga tertulis mengenai Tuhan yang berbicara kepada umatNya yaitu melalui 25. Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi 1992) 26. Ibid., 27. Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 34
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
46
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') bimbingan langsung dalam menghadapi suatu keadaan yang menuntun atau menjadi pemandu bagi umatNya melalui petunjuk-petunjuk yang _ } * Allah juga memberi prinsip-prinsip Alkitabiah, Allah bertindak sebagai guru memberikan faktafakta yang seharusnya dilakukan manusia dalam kehidupannya. Dan melalui Alkitab Allah juga memberi pesan-pesan khusus karena Allah selalu ingin berbicara kepada umatNya supaya umatNya semakin mengenal Dia dan mempunyai hubungan yang baik dengan Allah. Alkitab juga merupakan suatu alat pengukur kebenaran, gambaran mengenai Allah dan membimbing orang percaya beribadah kepadaNya dengan rajin. Hal ini dapat diterima saat seorang gembala rajin membaca Alkitab secara teratur dalam kehidupannya, karena melalui hal itu gembala dapat mengerti akan kehendak Allah dalam kehidupannya. Melalui Alkitab maka pancaran cahaya akan menerangi jalan kehidupan gembala sehari-hari dan akan semakin mendorong umatNya untuk semakin percaya kepada Allah dalam kehidupannya. b. Memuji dan Menyembah Allah Pujian dan penyembahan kepada Allah mendatangkan kesenangan bagi Dia.28 Segala perbuatan yang mendatangkan kesenangan bagi Allah merupakan tindakan penyembahan. Ahli-ahli antropologi melihat bahwa penyembahan merupakan suatu kebutuhan universal, ditempatkan Allah dalam elemen utama keberadaan manusia, yakni suatu kebutuhan batin untuk berhubungan dengan Allah. Penyembahan sama alaminya seperti makan atau bernafas. Jika manusia gagal menyembah Allah, manusia selalu menemukan sebuag pengganti, meskipun akhirnya pengganti itu adalah diri manusia itu sendiri. Alasan mengapa Allah menciptakan manusia dengan keinginan ini adalah karena Dia mendambakan penyembah-penyembah.29 Penyembahan adalah gaya hidup. Setiap bagian dari ibadah gereja adalah tindakan penyembahan: berdoa, membaca Alkitab, menyanyi, mengaku dosa, diam, saat teduh, mendengarkan khotbah, mencatat, menandatangani kartu komitmen, dan bahkan menyambut penyembah-
Rick Warren, The Purpose Driven Life, (Surabaya:Gandum Mas, 2005) 66. 29. Ibid., 66.
penyembah yang lain. Penyembahan bukanlah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Manusia menyembah demi kepentingan Allah. Ketika manusia menyembah, tujuannya adalah mendatangkan kesenangan bagi Allah, bukan bagi diri manusia itu sendiri. Penyembahan bukanlah bagian dari kehidupan manusia, akan tetapi penyembahan adalah seluruh aspek kehidupan manusia itu sendiri.30 c. Menguasai Diri Emosi adalah bagian dari wujud manusia. Emosi mendorong manusia untuk bertindak. Namun emosi dapat menimbulkan masalh bila tidak dikendalikan. Emosi yang tidak terkendali dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, ketegangan otot, infeksi, berbagai macam penyakit, atau menjadi marah terhadap anak-anak dan terhadap pasangan. Akibat-akibat negatif itu tidak banyak yang disebabkan oleh emosi itu sendiri, tetapi lebih banyak karena ketidakmampuan manusia untuk menguasainya dan memanfaatkannya secara konstruktif. Adalah penting untuk mengetahui bahwa emosi berkaitan erat dengan pikiran dan perbuatan. Emosi berhubungan dengan pikiran. Di dalam Filipi 4:4-7, Paulus menulis waktu ia di penjara. Ia mempunyai alasan kuat untuk berkecil hati, tetapi ia berkata,”Bersukacitlah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!... Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segal hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Emosi berkaitan dengan perbuatan, pikiran dan perbuatan berjalan berssama-sama. Sewaktu Rasul Paulus menyuruh orang-orang Filipi untuk bersukacita dan tidak usah kuatir, ia memberi tahu mereka apa yang perlu mereka kerjakan. “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang”. Berdoalah. Naikkanlah ucapan syukur. Maka akan timbul damai sejahtera. Tindakan lain yang akan menolong orang Kristen mengatur emosi adalah membicarakan masalah-masalah dengan seseorang yang kiranya dapat membantu orang Kristen memandang berbagai hal dari sudut yang benar. Selain itu juga dapat berbicara dengan Tuhan, mengendalikan emosi-emosi dengan
28.
47
30.
Ibid., 68-69.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
doa.31 Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa mengasihi Allah dengan segenap jiwa adalah mengisi jiwa dengan hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Karena jiwa adalah sumber berpikir, berkehendak dan berperasaan. Mengasihi Allah Dengan Segenap Akal Budi Dalam Markus 12: 30 Akal budi diterjemahkan dari kata dianoias yang berasal dari kata dasar dianoia. Kata dianoia merupakan bentuk kata benda, genitif, feminim, tunggal. Kata dianoia dapat diterjemahkan sebagai: pikiran, pemahaman, intelegensi.32 Akal budi Kristiani adalah ‘suatu akal budi yang dilengkapi dengan informasi di segala bidang, terlatih dan terampil dengan informasi di segala bidang, terlatih dan terampil untuk menangani data kontroversi sekular dalam suatu acuan prinsip-prinsip kristiani.33 Akal adalah ikhtiar, daya upaya atau usaha untuk mencapai sesuatu maksud. Budi adalah alat batin untuk membedakan baik-buruk, benar-salah, bermoral atau tidak bermoral, mulia atau hina, dan sebagainya. Budi berarti juga pikiran sehat, akal sehat; kebaikan, perbuatan baik.34 Donald Guthrie menuliskan akal budi dalam bahasa Yunani dengan kata nous. Ia mengartikannya sebagai manusia yang utuh yang berakal budi, manusia sebagai makhluk yang mampu untuk mengerti. Karena itu, akal budi sama sekali tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang melebihi bagian-bagian lain manusia, sebagaimana sering ditemukan dalam pemikiran orang-orang Yunani. Lagi pula, nous itu menjangkau seluruh kegiatan mental manu-
31. Youth For Christ/USA, Pola Hidup Kristen, (Malang: Gandum Mas, 2002), 370. 32. % < 33. John Stott, Isu-isu Global, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2012) 33 34.Diaspora Ministry, “Mengasihi Allah”; Diakses tanggal 09 Agustus 2012; tersedia di http:www.DiasporaMinistry. com/index.php?option=com
sia, bukan hanya perenungan saja.35 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, nous itu tidaklah baik atau pun buruk sifatnya. Kedudukan moralnya ditentukan oleh pihak mana yang menguasainya, Roh Allah atau daging. Apabila akal budi itu tidak mengaku Allah, maka akal budi itu menjadi rendah dan mengakibatkan timbulnhya tingkah laku yang tidak pantas.36 Mengasihi Allah dengan segenap Akal budi dapat dilakukan dengan: a.
+ } + sekedar membaca sambil lalu saja. Tetapi dalam hal ini orang percaya harus juga bertekun dalam belajar akan Firman Tuhan itu. Dalam bela
+ banyak alat-alat dan bahan-bahan yang dipersiapkan. Tidak hanya Alkitab saja, tapi bukubuku dan sumber-sumber yang lainnya sangat diperlukan. Seorang gembala dalam mempelajari Alkitab memerlukan sebuah Leksikon, yaitu berfungsi sebagai semacam kamus untuk bahasabahasa asli Alkitab. Lewat penggunaan sebuah hasa Ibrani atau Yunani. Di samping itu seorang gembala dapat mempelajari Alkitab dengan memakai konkordansi. Konkordansi digunakan untuk menentukan penggunaan arti kata-kata di dalam Alkitab. Gembala juga dapat mempelajari Alkitab dengan menggunakan kamus dan ensiklopedi Alkitab serta buku-buku Tafsiran. Sehingga gembala mempunyai pengetahuan yang baik dan memadai dengan belajar Alkitab. b. Merenungkan Firman Tuhan } + sekedar membacanya. Kata ‘merenungkan’ berarti menyelami, membayangkan, mengucapkannya, menggumamkannya, memikirkan } * nolong untuk masuk ke dalam pikiran bawah sadar dengan lebih cepat dan kemudian menjadikannya sebagai bagian dari pikiran dan gaya
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1( Jakarta: BPK Gunung Mulia) 174 36. Ibid 35.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
48
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') hidup orang Kristen.37 Penulis rohani Puritan mengingatkan bahwa “membaca, tetapi tidak merenungkan tidak akan mengahasilkan buah; merenungkan, tetapi tidak membaca akan berbahaya; membaca dan merenungkan tanpa doa akan menyakitkan.38 Dalam merenungkan Firman Tuhan diperlukan latihan untuk meditasi dan penulisan jurnal. Menulis meditasi pada teks Alkitab, menggabungkan manfaat kedua latihan itu untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang diri sendiri dalam terang Firman Allah. Pada zaman kuno baik buku maupun kesusastraan masih terbatas. Hanya sedikit orang yang memiliki hak istimewa untuk menyepi dalam dunia pribadi pembacaan. Sifat umum pembacaan terlihat dalam budaya lisan, di mana orang-orang secara khusus membaca, berdoa dan bahkan merenungkan secara pribadi. Bagi % * datang melalui pendengaran. Pendengaran melatih pikiran untuk mengingat apa yang telah didengar. Hafalan merupakan pondasi untuk belajar dalam budaya lisan. Setelah “devokalisasi” berlangsung melalui ketergantungan yang sema % yang ajaib yang sering terlihat dalam masyarakat + tertulis menyingkirkan kebutuhan untuk meng % memelihara kebiasaan berdoa dan meditasi sambil bekerja, para rahib menghapal bagian-bagian teks Alkitab dan perkataan-perkataan bapa-bapa yang pendek disebut 4 Istilah 4 gia ' Gambaran ini muncul dari lebah yang menghisap nektar dari bunga dan merupakan salah satu lambang favorit untuk tradisi meditasi.39 Dalam meditasi kita mengizinkan pikiran untuk tetap dalam zona dimana kita lebih diarahkan dengan tepat pada beberapa kata atau pandangan untuk jangka waktu yang lama, terus memikirkan dalam pikiran maka Roh Allah akan mencerahkan pikiran dengan cara yang baru dan sering mengejutkan. Meditasi merupakan inten-
37. Frank Minirth dkk, The Healthy Christian Life, Kehidupan Kristen Yang Sehat, (Malang: SAAT, 2003) 48. 38. Simon Chan, Spiritual Theology, Studi Sistematis Tentang Kehidupan Kristen, (Yogyakarta: Andi,2002) 57. 39. Ibid., 66.
49
% erti membawa sinar matahari yang terbias pada titik pusat dengan lensa konveks sehingga panas matahari dapat dirasakan dalam seluruh intensitasnya. Pada umumnya metode tradisional memakai skema tiga bagian dalam meditasi. Pertama, kebenaran itu dibaca dan diasimilasi oleh intelek atau pemahaman. Kemudian hal itu dibuat mempengaruhi akal budi atau, memakai ekspresi tradisional, “membangkitkan kasih”. Terakhir, kebenaran yang telah mempengaruhi akal budi dengan mendalam menggerakkan kehendak untuk membuat resolusi. Jadi, meditasi merupakan mata rantai utama antara teologi dan praksis. Maka dapat disimpulkan bahwa mengasihi Allah dengan segenap akal budi yaitu menyesuaikan akal budi manusia dengan Allah. Dengan kata lain apabila akal budi menolak Allah akan menimbulkan pengaruh yang merugikan, yang mengakibatkan akal budi menjadi lebih sulit untuk menerima pernyataan-pernyataan Allah selanjutnya. Ketika manusia menyesuaikan akal budinya dengan Allah, maka akal budi manusia akan berfungsi sebagaimana mestinya hanya kalau memenuhi kehendak Allah. Di samping itu, melalui akal budilah manusia dapat mengetahui perbuatan tangan Allah dalam penciptaan. Mengasihi Allah Dengan Segenap Kekuatan Dalam ayat 30 Injil Markus 12 kata kekuatan diterjemahkan dari kata Iskhous berasal dari kata dasar iskhus. Kata iskhus merupakan kata benda, genitiv, tunggal, feminim. Kekuatan ber
kan suatu perbuatan. Fisik sama dengan tubuh. Donald Guthrie menyebutkan tubuh dalam bahasa Yunani adalah soma. Tubuh itu dijelaskan sebagai hal yang fana sifatnya, tetapi Allah dapat menghidupkannya melalui Roh. Tujuan yang sesungguhnya dari tubuh itu ialah sebagai Bait Roh Kudus, karena itu Allah dapat dimuliakan dalam tubuh itu.40 Tubuh itu digerakkan oleh jiwa dan roh. Karena tanpa jiwa dan roh maka tubuh tidak akan berfungsi atau dengan kata lain tubuh itu menjadi mayat. Jiwa dan roh menjadi sumber kekuatan manusia untuk melakukan aktivitasnya. Secara jasmaniah tubuh memperoleh kekuatan dari makanan. Dan secara rohaniah tubuh memperoleh kekuatan dari Allah.
40.
Ibid., 181.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$')
Mengasihi Allah dengan segenap kekuatan dapat dilakukan dengan: a. Puasa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia puasa diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk menghundari makanan dan minuman dengan sengaja khususnya yang bertalian dengan keagamaan.41 Berpuasa dalam Alkitab adalah sesuatu yang berpusatkan pada tujuan-tujuan rohani, kegiatan ini dilakukan dengan cara tidak makan dan minum dalam waktu tertentu atau berpantangan pada suatu makanan. Hal ini banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Alkitab dalamkehidupan mereka untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya puasa yang ilakukan Musa (Ul. 9:9), Musa dan Bangsa Israel (Im. 23:27), Elia (1 Raja. 19:8), Ester (Ester 4:16), Daniel (dan. 10:3), Paulus (Kis. 9:9). Tuhan Yesus Kristus juga melakukan puasa tidak makan dan minum dalam jangka waktu 40 hari 40 malam (Luk. 4:2) sebelum Ia melakukan pekerjaan dan pelayananNya (Mat. 4). Menurut Richard J. Foster, berpuasa berarti secara sukarela tidak mengerjakan suatu kebiasaan demi kegiatan rohani yang sungguh-sungguh. Dalam kebudayaan orang percaya, orang percaya memerlukan waktu untuk berpuasa terhadap media komunikai. Orang percaya perlu berpuasa terhadap penggunaan barang yang berlebihan dan juga perlu meluangkan waktu berada diantara orang-orang kesayangan Kristus- orang-orang yang sedih, orang-orang yang menderita, dan orang-orang miskin. Berpuasa terhadap penggunaan telepon yang mungkin merupakan pemberi tugas yang mutlak. Ada orang yang perlu puasa bekerja pada batas tertentu untuk mempelajari keseimbangan dalam hidup mereka. Ada orang yang perlu berpuasa terhadap pertemuan dengan orang-orang, dan ada orang yang perlu berpuasa terhadap kegemarannya berbicara bagitu banyak.42 Ada beberapa alasan tokoh-tokoh Alkitab melakukan puasa dalam kehidupannya yaitu: Berpuasa sebagai bukti lahiriah dukacita (1 Sam. 31:13; Neh. 1:4; Est. 4:3; Mzm. 35:13-14). Berpuasa sebagai tanda pertobatan (1 Sam. 7:6; 1 raj. 21:27; Dan. 9:3-4; Yun. 3:5-8). Berpuasa juga sebagai tanda kerendahan hati (Ezr. 8:21; Ul. 9:9; 2 Sam. 12:16-23). 41. 42.
KBBI Ibid., 463.
Tujuan melaksanakan puasa itu adalah, untuk memuliakan Allah Bapa, dan juga puasa yang dilakukan adalah untuk menjaga keseimbangan hidup orang percaya. Puasa membantu mengendalikan berbagai dambaan dan keinginan manusiawi. Puasa meningkatkan konsentrasi dan keefektifan dalam berdoa syafaat. Puasa ketika berdoa memohon bimbingan. Dalam berpuasa, orang percaya dapat mengharapkan Allah memberi upah “kepada orang yang sungguhsungguh mencari Dia” (Ibrani 11:6).43 b. Mengasihi sesama Seorang gembala dalam kehidupannya harus mempunyai kasih dalam terlebih dalam mengasihi Allah dan juga mengasihi sesamanya manusia. Jika hal ini sudah ada dalam diri seorang gembala maka dalam melakukan pelayanannya, ia akan selalu mendasarinya dengan kasih. Karena saat seorang gembala itu sudah memiliki kasih dalam hidupnya maka ia akan sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong terlebih khusus ia akan melakukan hal yang baik itu dalam kehidupannya. Ia harus menyatakan itu dalam perilaku kehidupannya dengan selalu membangun hubungan yang baik dengan orang lain tidak terbatas hanya pada umat Kristiani saja tetapi juga mereka harus mengasihi semua orang disekitar mereka. Mereka juga harus membantu dan menolong orang lain tanpa melihat akan latarbelakang, agama, suku mereka, akan tetapi selalu mempunyai kerinduan untuk membantu dan menolong mereka serta saat ada kegiatan dalam wilayah dimana ia berada ia juga harus hadir untuk saling membantu dan mendukung satu dengan yang lain sehingga ia dapat menyatakan kasih itu kepada orang lain juga. Saat kasih itu sudah nyata dalam kehidupannya maka hal itu akan membuat ia semakin teguh dan tangguh dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya, karena Roh Allah akan selalu ada dalam dirinya yang memampukannya dalam melakukan pelayanannya. Mereka akan memancarkan kasih kasih itu dalam kehidupannya karena pimpinan Roh Kudus dan karena Allah itu adalah kasih. Seorang gembala akan semakin bijaksana dalam kehidupannya ketika ia memiliki kasih kepada Allah dan sesama. Penulis menyimpulkan bahwa mengasihi
43.
Ibid., 464.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
50
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Kajian Hermeneutika Markus 12:30 Tentang Mengasihi Allah | oleh -$&/1$$') Allah dengan segenap kekuatan yaitu bagaimana manusia menyerahkan seluruh kekuatan tubuhnya sebagai persembahan kepada Allah, bagaimana manusia harus beribadah kepada *% Allah dan bagaimana mengasihi Allah dan mengasihi sesama dengan kekuatan-kekuatannya.
DAFTAR PUSTAKA Alkitab, LAI, 2012 Ahmadi, Abu, Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011 Bruggen, Jakob Van, Markus: Injil Menurut Petrus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 Carson, D.A, Doktrin Yang Sulit Mengenai Kasih Allah, Surabaya: Momentum, 2007 , Kasih Di Tempat-Tempat Yang Sulit, Surabaya: Momentum, 2007 Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 Duyverman, M.E, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981 Groenen, C, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1984 Guthrie, Donald, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, Surabaya: Momentum, 2008 , Teologi Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992 Henry, Matthew, Tafsiran Injil Markus, Surabaya: Momentum, 2011 Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 Nggebu,Sostenis M.A, Napak Tilas Jejak-Jejak Yesus, Bandung, Kalam Hidup, 2004
Pratiwi, Panduan Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Tugu Publisher, 2009 Ryle, J. C, Aspek-aspek Kekudusan, Surabaya: Momentum, 2003 Rhoads, David dan Michie Donald, Injil Markus Sebagai Cerita, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 Subagyo, B. Andreas, Pengantar Riset Kuantitaf & Kualitatif, Bandung: Kalam Hidup, 2004 Santoso, Gempur Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta: Prestasi Pustaka Puplisher, 2005 Wiersbe, Warren W. Bertekun Di Dalam Kristus, Bandung: Kalam Hidup, 2012 Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi, 2004 Internet: http:www.DiasporaMinistry.com/index. php?option=com
Pr, Suharyo.I. Pengantar Injil Sinoptik, Yogyakarta: Kanisius, 1989 Pasaribu, Marulak, Eksposisi Injil Sinoptik Mengenal Yesus yang Diberitakan dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas, Malang: Gandum Mas, 2005
51
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+
IMAN DAN KEBUDAYAAN Naomi Sampe
ABSTRAK Nowdays Indonesia as a nation or race, is live in discomfort culture or a kind of cultural nerves. In many ways, the social structure, customs and their common law are seems unsteady. The norms, customary law, magnanimity are those almost unrecognizeable. The Globalisation as world wide scale is 4 ]
$ %ment country the globalsation negative impact are so dominant, instead of the positive. This reseach 4 culture outgrowth. Keyword: nilai budaya, iman, kekristenan, sikap, perubahan. PENDAHULUAN Pada masa sekarang ini, tengah terjadi pertemuan antara budaya lokal dan globalisasi. Pertemuan antara budaya ini biasa disebut sebagai pengaruh asing. Kebudayaan mengandung dua kekuatan sekaligus, yakni kekuatan yang cenderung melestarikan dirinya dan kekuatan yang cenderung berkembang atas kemekarannya sendiri. Antara kedua kekuatan inilah tiap masyarakat pendukung kebudayaan tertentu berada; satu daya mempertahankannya agar lestari dan daya lainnya menariknya untuk maju; satu daya dengan kecenderungan preservatif dan satunya lagi dengan kecenderungan progresif. Tangguh atau rapuhnya ketahanan budaya biasanya ditentukan oleh kesadaran masyarakat yang bersangkutan terhadap kebudayaannya sebagai pengukuh identitasnya. Makin rendah derajat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya, makin kuat pula budaya asing yang menerpanya berpengaruh dominan terhadap masyarakat itu. Pengaruh budaya globalisasi terhadap budaya lokal adala sesuatu yang tidak bisa ditolak. Namun demikian umumnya masyarakat ingin mempertahankan budaya ketimuran. Pihak gereja pun tidak ingin masyarakat terimbas pengaruh buruk globalisasi dan kehilangan identitas lokal dan Kristen. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya identitas lokal akhinnya akan mem landa olehnya, karena dominasi pengaruh itu lambat-laun niscaya dirasakan sebagai reduksi terhadap makna nilai-nilai budaya yang diunggulinya. Penentangan itu biasanya tampil serentak bersama kesadaran dipenlukannya ikhtiar untuk memulihkan onientasi pada nilai-nilai budaya sendiri. Globalisme dalam manifestasinya
yang ekstrem ternyata justrn membangkitkan kembali kesadaran kebudayaan sebagai pengukuh identitas dan integritas kebersamaan dalam eksistensinya sebagai masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu gereja dan teologi Kristen harus memperhatikan budaya lokal sebagai kontesnya. Kenyataan yang paling memungkinkan bagi pertumbuhan umat Kristen adalah menumbuhkan iman dalam budaya mereka. A. Kebudayaan sebagai Hakekat Manusia Tugas mengembangkan kebudayaan adalah tugas langsung yang diberikan Allah kepada manusia. Manusia diberi kemampuan dan tanggungjawab untuk berkembang biak dan bertambah banyak memenuhi bumi dalam arti membentuk masyarakat serta menaklukkan atau mengelola dan mengusahakan bumi untuk kesejahteraannya (Kej.1:28). Dalam hidup bersama orang lain dan mengembangkan cara-cara mengelola bumi itulah manusia mengembangkan kebudayaannya dengan menggunakan akal dan iman yang diberikan Allah. Itulah sebabnya hanya manusialah yang dapat menghasilkan dan mengembangkan budaya sedangkan ciptaan lain tidak (bnd.Kej.2:15,19). Pembahasan mengenai hakekat kebudayaan pada dasarnya sama dengan pertanyaan mengenai hakekat manusia. Bila manusia muncul di bawah kolong langit, maka tak lama kemudian akan muncul juga gejala-gejala kebudayaan. Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
52
MASAKKE Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+ istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian, dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga dengan peristiwa kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan-santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, pakaian, cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya. Jadi konsep kebudayaan adalah luas dan dinamis (Van Peursen, 1998). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana Dan Rahmat, 2006). Kalau kita sarikan muatan berbagai % liru kiranya kalau kita mengartikan kebudayaan sebagai sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh sebagai kerangka untuk membentuk pandangan hidup yang kemudian relatif menetap dan tampil melalui pilihan warga budaya itu untuk menentukan sikapnya terhadap berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Kebudayaan adalah kerangka acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya berupa nilai-nilai (kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dsb), sedangkan peradaban adalah penjabaran nilainilai tersebut melalui diwujudkannya normanorma yang selanjutnya dijadikan tolok ukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam hubungan agama dan kebudayaan Franz mengatakan, jika kebudayaan adalah cara hidup menyeluruh sekelompok orang, maka agama pun termasuk unsur kebudayaan. Agama bagi pemeluknya merupakan unsur penting yang menentukan identitas sosial. Agama mempunyai suatu keistimewaan yakni memuat normanorma yang disadari sebagai mutlak. Nilai-nilai dalam suatu agama seharusnya dijadikan normanorma kelangsungan suatu kebudayaan. Terintegrasinya agama dan kebudayaan yang mengelilinginya akan menjamin terciptanya suatu ketahanan nasional (Magnis –Suseno,
53
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
1995). Kebudayaan adalah kumpulan tindakan bermakna dari suatu individu kelompok atau masyarakat. Kebudayaan berkenaan dengan karya manusia yang secara objektif mengekspresikan nilai atau bentuk kebebasan manusia, dan mengekspresikan makna atau orientasi roh bagi roh manusia. Kebudayaan adalah dunia yang penuh makna. Berlawanan dengan alam yang lepas dari manusia dan masalah manusia, kebudayaan memelihara dan menumbuhkan manusia (Vanhoover, 2002). Manusia sendiri adalah penyandang dan pencipta kebuayaan. Akan tetapi dia tidak sendirian melainkan anggota dari bermacam komunitas. Dan dia berada dalam konteks tradisi historis. Maksudnya, manusia adalah penyambung dan penerus rohani dari apa yang sudah diterimanya dari yang lain. Tujuan budaya selain dari memuaskan kebutuhan manusiawi juga bertujuan untuk mengembangkan kekayaan-kekayaan yang terkandung dalam kodrat manusiawi. Berdasarkan kenyataan tersebut kebudayaan mewakili manusia sebagai citra Allah Sang Pencipta (Lorens Bagus, 1996), (Kej.1:2627). Manusia mempunyai posisi yang istimewa, posisi yang bertangungjawab. Ia bertanggungjawab kepada Allah, Sang Pencipta, yang memberikan tugas/kepercayaan kepadanya yang bertangungjawab atas ciptaan yang dipercayakan kepadanya. Karena itu dalam diri manusia sebagai ciptaan yang segambar dengan Allah berpotensi berkuasa dam mepimpin. Inilah dasar dan titik tolak manusia mengembangkan kehidupannya yang disebut kebudayaan, sebab kebudayaan adalah pola hidup manusia. Oleh karena itu, kebudayaan yang benar arus dikaitkan dengan tanggungjawab itu. Di luar tanggung jawab itu, sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, tetap ada kebudayaan. Manusia tetap berbudaya, tetapi kebudayaannya sudah dirusak oleh dosa. Secara radikal dapat dikatakan manusia pemberontak mendesain/ mengembangkan pola kehidupannya dalam situasi pemberontak. Orientasi kebudayaannya bukan lagi untuk kemuliaan Allah dalam hubungan yang harmonis dengan Allah, sesama manusia dan seluruh ciptaan, melainkan ia menjadi penguasa yang otonom mengembangkan kebudayaan yang lepas (otonom) dari hubungan kepada Allah. Manusia tidak hidup lagi dalam persekutuan dengan Allah dan sesama (bnd. Kej. 4).Injil disajikan dalam budaya tertentu, termasuk budaya Toraja.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+
B. Nilai dan Inti budaya Dalam sistem budaya dari tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai dalam hidup. Dengan demikian, maka sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem tata tindakan yang lebih tinggi daripada sistem-sistem tata tindakan yang lain seperti hukum adat, aturan etika, norma aturan moral, sopan santun dan sebagainya. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam mentalitasnya. Menurut Klucholn dan Strodtbeck, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu: 1.
Human nature atau makna hidup manusia,
2. Man-nature atau makna hidup dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, 3. Time atau persepsi manusia mengenai waktu, 4. Activity, soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; 5. Soal relational, atau hubungan manusia dengan sesamanya manusia. Kelima masalah tersebut sering disebut orientasi nilai budaya atau value orientations (Koentjaraningrat, 1990). Dalam kaitan dengan makna hidup, ada kebudayaan yang melihat kehidupan sebagai sumber keprihatinan dan derita. Sebaliknya adapula yang melihatnya sebagai sumber kesenangan, keindahan dan penuh makna oleh karena itu harus dijalani dengan penuh kegairahan. Dalam berbagi kebudayaan hidup orang dingggap sudah ditentukan dan tidak dapat diubah. Sementara ada kebudayaan yang mempunyai konsepsi bahwa setiap manusia dapat berupaya untuk menyesuaikan hidupnya dengan kehendaknya sendiri. Dalam soal pandangan manusia terhadap waktu; ada kebudayaan yang mementingkan masa sekarang tetapi adapula yang menganggap masa depan lebih pent-
ing. Dalam kebudayaan yang mementingkan masa depan, orang seringkali menyisihkan sebagian dari keperluan hidupnya untuk digunakan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan di kemudian hari. Manusia dalam budaya seperti itu hidup wajar dan hemat. Dalam hubungan dengan pandangan manusia terhadap kerja, ada kebudayaan yang melihat kerja semata untuk makan. Sejumlah kebudayaan yang lain memberi makna yang lebih luas pada bekerja. Manusia bekerja selain untuk bertahan hidup juga untuk menolong orang lain serta menghasilkan karya yang agung. Dalam kaitan dengan hubungan antar manusia dan sesamanya, banyak kebudayaan sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa hidup bergotong royong dan saling menghargai (Koentjaraningrat, 2010). Kebudayaan selalu mengalami perubahan. Unsur-unsur kebudayaan ada yang mudah berubah dan ada pula yang sukar untuk berubah bila dihadapkan dengan pengaruh asing. Ada perbedaan antara bagian inti dari suatu kebudayaan (covert culture), dan bagian perwujudan lahirnya atau penampakannya (overt culture). Bagian intinya adalah misalnya; sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, adat yang sudah dipelajari sejak dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat serta adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Bagian inti ini sukar untuk berubah dan sulit untuk diganti dengan unsur - unsur asing. Sedangkan kebuday % dan benda-benda, tata cara dan gaya hidup lebih cepat berubah oleh pengaruh-pengaruh dari luar (Koentjaraningrat, 2010). Individu berbudaya dalam interaksinya dengan orang lain. Dalam kehidupan sosial terjalin interaksi antar individu. Tindakan atau perkataan seseorang akan menjadi stimulus atau perangsang yang menhasilkan respon dari orang lain. Demikian pula dalam perilaku sosial yang dilakukan oleh beberapa orang akan menimbulkan reaksi dari orang lain. Menurut Herbert mead, secara naluriah manusia akan menyesuaikan sikapnya dengan perbuatan dari orang lain. Stimulus yang menghasilkan respon secara sosial dari orang lain (gesture) merupakan kecerdasan yang secara alami ada dalam pikiran manusia. Pikiran muncul dalam proses social dan merupakan bagian integral dari proses tersebut. Individu mengalami proses sosial dalam komunikasi antar manusia. Diri tumbuh melalui
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
54
MASAKKE Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+ perkembangan serta melalui aktivitas dan relasi sosial. Ketika seseorang bersikap sebagaimana yang ada dalam kelompok sosial dimana ia berada, guna menyikapi aktivitas sosial yang terorganisasi secara kooperatif atau serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh kelompok tersebut, barulah ia berkembang menjadi diri seutuhnya. Dengan kata lain, agar memiliki diri, orang harus menjadi anggota komunitas dan ia diarahkan oleh sikap yang sama dengan sikap komunitasnya (Ritzer dan Goodman, 2010). C. Iman dan Kebudayaan Dalam kacamata iman, kebudayaan adalah suatu pengerjaan dan pengelolaan yang diselenggarakan oleh manusia atas kemungkinan-kemungkinan yang diberikan Allah kepada manusia dalam alam ciptaannya. Kejadian 1:26-28 mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kesegambaran dengan Allah memungkinkan manusia untuk mampu melaksanakan tugasnya memenuhi, mengusahakan dan memelihara Taman Eden (Kej. 2:15). Manusia mempunyai posisi yang istimewa, posisi yang bertanggungjawab. Ia bertanggungjawab kepada Allah, Sang Pencipta, yang memberikan tugas/kepercayaan kepadanya yang bertanggungjawab atas ciptaan yang dipercayakan kepadanya. Karena itu dalam diri manusia sebagai ciptaan yang segambar dengan Allah berpotensi untuk berpikir dan menata kehidupannya baik secara pribadi maupun sosial. Inilah dasar dan titik tolak manusia mengembangkan kehidupannya yang disebut kebudayaan, sebab kebudayaan adalah pola hidup manusia. Oleh karena itu, kebudayaan yang benar harus dikaitkan dengan tanggungjawab sebagaia citra Sang Pencipta. Di luar tanggungjawab itu, sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, kebudayaan yang diciptakan manusia sudah tercemar oleh dosa. Manusia tetap berbudaya, tetapi kebudayaannya sudah dirusak oleh dosa. Secara radikal dapat dikatakan manusia pemberontak mendesain/mengembangkan pola kehidupannya dalam situasi pemberontak. Orientasi kebudayaannya bukan lagi untuk kemuliaan Allah dalam hubungan yang harmonis dengan Allah, sesama manusia dan seluruh ciptaan, melainkan ia menjadi penguasa yang otonom mengembangkan kebudayaan yang lepas (otonom) dari hubungan kepada Allah (Kobong, 1997). Manusia tidak hidup lagi dalam persekutuan dengan Allah dan sesama (bnd. Kej. 4).
55
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Namun Allah penuh kasih maka Ia mengutus anakNya ke dalam dunia. Yesus hadir dalam kehidupan manusia, Ia dididik dan dibesarkan serta hidup dalam kebudayaan Yahudi sebagai orang Yahudi untuk memulihkan manusia menjadi manusia yang benar. Injil telah memasuki konteks manusia untuk berbicara dan bekerja bagi pembaharuan manusia termasuk budayanya. Injil disajikan dalam budaya tertentu, termasuk budaya Toraja, karena itu Injil * kan pada konteks budaya Toraja supaya budaya yang dilaksanakan oleh orang Toraja bergerak ke arah yang semakin sesuai dengan kehendak Tuhan. Bagi orang beriman peranan imannya ikut mempengaruhi bahkan sangat menentukan nilai kebudayaan yang dilakoninya. Sintese antara kebudayaan dan iman merupakan tuntutan iman dan kebudayaan, sebab suatu iman yang tidak menjadi kebudayaan tidak akan diterima sepenuhnya, tidak dipahami baik-baik seutuhnya dan tidak akan dihayati dengan setia. Dialog antara iman dan kebudayaan harus selalu ada. Sebab iman tidak pernah timbul atau diperoleh lepas dari kebudayaan. Iman diungkapkan dalam suatu kebudayaan yang merupakan suatu bentuk agama. Seperti ditegaskan oleh Paul Tillich bahwa setiap bahasa, termasuk Kitab Suci, merupakan hasil suatu kreativitas manusia. Ibaratnya tiada bahasa suci manapun datang dari langit atau langsung dari surga dimasukkan ke dalam buku. (Hadisumarta, 2006). Dalam hubungan antara iman dan kebudayaan sering terjadi ketegangan. Dalam Perjanjian Lama terbukti bahwa kemerosotan dan pertentangan manusia terhadap Allah dalam kebudayaan manusia, datangnya cukup cepat. Manusia yang berbudaya dirusak oleh dosa. Namun Allah tidak mengubah rencanaNya terhadap manusia. Campur tangan Allah untuk memulihkan kembali kebudayaan manusia, yang telah menyimpang dari rencana-Nya, baik melalui ren %
_ lewat para nabi dalam Perjanjian Lama, akhirnya _ X tra-Nya sendiri yang menjadi manusia (bnd. Ibr. 1:1-4 dan Yoh. 1:14). Manusia harus diselamatkan agar tugas yang diberikan Allah kepadanya untuk mengadakan dan menyelenggarakan kebudayaan dapat dilaksanakan secara benar yakni sebagai sarana ungkapan dan penghayatan penghormatan serta pujian kepada Allah pencipta.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+
Kebudayaan dan pembacanya samasama dipulihkan oleh anugerah Allah. Kisah Tuhan Yesus telah dipentaskan di dunia ini selama berabad-abad oleh tubuh-Nya, yaitu gereja. Rohlah yang memungkinkan hal ini. Manusia dapat mentaati Injil hanya karena Injil telah dihidupi oleh Kristus dan karena dimampukan oleh Roh Kudus. Allahlah yang membentuk peradaban. Kebudayaan adalah pemberian ilahi dan pencapaian manusia. Sementara iman adalah suatu bentuk hubungan atau relasi antara manusia dan Allah. Keseluruhan bentuk dan cara manusia dalam mengadakan relasi antara dirinya dengan Allah itulah yang disebut agama. Kebudayaan dihayati dalam relasi horisontal antar sesama manusia, sedangkan iman mempunyai dimensi vertikal. Bagi orang beriman dimensi horisontal kebudayaan tidak terpisahkan dari dimensi vertikal iman. Bagaimanapun juga memang ada hubungan antara agama dan kebudayaan. Agama memengaruhi kebudayaan dan dapat juga sebaliknya. Seperti dalam pelaksanaan upacara adat orang Toraja umumnya selalu disertai dengan kebaktian. Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan lebih cepat berubah, yang kemudian ternyata membuka jalan bagi perkembangan agama Kristen. Agama Kristen berlangsung terus kendati mengalami aneka macam kebudayaan yang dijumpainya. Kebudayaan yang diikuti orang Kristen akan ditentukan oleh keyakinan dirinya, akan Pribadi Kristus dan ajaran-Nya. Tetapi kebudayaan yang dihayatinya berada dalam konteks masyarakat, yang secara historis berubah, terpengaruh oleh aneka faktor, seperti agama, politik, sosial, adat istiadat, ekonomi, ilmu pengetahuan yang positif maupun negatif. Di sinilah peran nilai-nilai yang dibawa Kristus sangat menentukan sikap orang Kristen terhadap setiap kebudayaan kapan dan di manapun. Hubungan antaragama dan kebudayaan tidak pernah statis, sangat dinamis, terutama di zaman sekarang ini (Hadisumarta, 2006). Dalam situasi seperti ini gereja harus berperan sebagai terang bagi negara dan budayanya dan sebagai model pemakaian kebebasan manusia secara benar; gereja seharusnya menjadi standar kesempurnaan bagi masyarakat beradab (Vanhoover, 2002).
PENUTUP
Karunia istimewa berupa akal budi bagi manusia membuatnya menjadi makhluk yang berbudaya. Setiap manusia di semua tempat niscaya memiliki budaya sebagai anugrah Tuhan bagi kehidupan mereka. Alkitab sebagai pedoman hidup beriman umat Kristen di sampaikan dalam konteks budaya Timur Tengah. Selanjutnya agama Kristen dibawa ke Eropa dan Amerika lalu di kembangkan dalam konteks budaya Eropa dan Amerika. Teologi dan tata cara peribahan dalam konteks Eropa dan Amerika inilah yang kemudian di bawa ke Indonesia. Pandangan denominasi gereja di Indonesia tergantung dari paham misionaris yang membawa agama Kristen bagi denominasi tersebut, yang tentu saja sangat dipengaruhi oleh budaya asal dan organisasi dari sang misonaris. Itulah yang membedakan pemahaman denominasi gereja terhadap budaya lokal. Teologi Kristen sebagai wahyu Allah bagi manusia yang disampaikan dalam bahasa lokal masing-masing kelompok manusia, tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai medianya, apakah itu budaya Timur Tengah, budaya Eropa dan Amerika atau budaya lokal ( mis. Budaya Toraja). Oleh karena itu pilihan terletak pada masing-masing orang apakah memilih budaya Timur Tengah atau Eropa dan tidak mengizinkan Injil disampaikan dalam budaya lokal atau menyerahkan pada Tuhan budaya lokal untuk diberkati dan dijadikan sarana bagi kemulianNya. Misi gereja tidaklah dimaksudkan untuk membuat seseorang percaya terlepas atau melepaskan diri dari konteks sosial budayanya. Yesus datang untuk menyelamatkan dunia ini. Dan “dunia” berarti dunia di sekitar orang percaya dengan segenap pergumulan-pergumulannya. Yesus datang untuk menyelamatkan kebudayaan, oleh karena itu gereja perlu menjadikan kebudayaan sebagai sasaran misi berdasarkan panggilan iman Kristen di bidang kebudayaan. Dari sudut pandang iman Kristen semua budaya (kultur) yang sesuai dengan nilainilai kristiani perlu dibawa dan dipersembahkan pada kaki Kristus.
DAFTAR PUSTAKA C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1988. Deddy Mulyana dan J. Rahmat, Komunikasi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
56
MASAKKE Iman Dan Kebudayaan | oleh *($(+
Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Bereda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Franz Magnis -Suseno, Kuasa dan Moral, Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama 1996. Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi 2, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1990. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Social Postmodern, Bantul: Kreasi Wacana, 2010. Th. Kobong, Iman dan Kebudayan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. FX. Hadisumarta, Dialog Antara Iman dan Kebudayaan dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006. Kevin J. Vanhoover, God and Culture, Allah dan Kebudayaan, penerbit Momentum Surabaya, 2002.
57
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-)
Identitas Kekristenan dalam Realitas HidupBerbelaskasihan: Analisis Kisah Orang Samaria yang Murah Hati I Made Suardana
ABSTRACT Text messages Luke10: 25-37 is veryclearthatthe Christian lifeis not aboutphysicalappearance (a life that build strengthreligiosity without spirituality). The identity ofthe Christian lifefoundedonthe plainsmerciful, then theattitude of compassionin thesincerityandwillingnessarePharmaceuticspole. The cre 4 $ %% % ofthe Christianlife. Christianityface challengesnotonlymoveat the level ofthe concept, butproclaime
! $ 4 line withthe maturity ofthe concept.Samaritanmercyvisibleisdue tothe fullness ofmercyin his heart, orabundantin his heart. Veryparadoxicalifassertedthemselvesspiritual, but theattitude to lifeawayfrom thenatureorcharacter ofthespirituallife. Kata Kunci: Orang Samaria, Berbelaskasihan, Identitas,
PENGANTAR Lukas mengawali dengan mencatat perumpamaan orang Samaria yang murah hati, yakni tentang tanya jawab antara seorang ahli Taurat1 dengan Yesus sehubungan dengan kehidupan kekal. Boland memahami bahwa, Lukas menampilkan tokoh ahli Taurat tersebut datang untuk mencobai Yesus. Yang mempertanyakan kepada Yesus tentang “Perintah Utama”.2 E. Earle Ellis mencatat bahwa struktur dari teks Luk. 10:20-37 tersebut terbagi ke dalam dua tingkatan cerita, pertama, menyangkut strikes
1.Berdasarkan Bible Works 7 untuk kata ahli Taurat dipakai kata nomiko,j(nomikos) yang berarti pertaining to the law, one learned in the law. In the NT an interpreter and teacher of the Mosaic law. KJV menerjemahkannya a certain lawyer (seorang ahli hukum). Dicatatkan oleh Leks bahwa pengunaan kata Yunani nomiko,j (nomikos) tersebut menegaskan seorang ahli hukum, o` nomiko,j (legal expert, jurist, lawyer, lihat referensinya dalam Mt 22:35; Lk 7:30; 10:25; 11:45f, 52, 53 v.l.; 14:3; Tit 3:13). Leks, 295. Boland dan Naipospos mencatatkan bahwa, Lukas men
' +
' hukum”. Kata itu khusus dipakai oleh Lukas untuk menegaskan bahwa mereka terutama mempelajari kitab-kitab Taurat untuk memikirkan seluk beluk undang-undang dan peraturan-peraturan keagamaan. Yesus mengecam kehidupan para ahli-ahli kerohanian di kalangan Yahudi: Mereka membebani orang dengan banyak peraturan tetapi mereka mereka sendiri tidak memeliharanya. (11:46). Boland dan Naipospos, 128, 305. 2.Boland dan Naipospos, 267.
an optimistic note (25-28)3, Stefan Leks memberi judul pada bagian pertama tersebut sebagai “kasih menghasilkan hidup yang kekal”.4 Sedangkan pada bagian kedua adalah, the core of the passage, reveals why “great commandment” did not enable one to “inherit eternal life”.5 Dalam hal ini Stefan Leks menyimpulkan bahwa: Perumpamaan ini diucapkan Yesus dalam rangka sebuah dialog, sehingga jangan dibaca sebagai ilustrasi atau contoh yang tinggal ditiru saja. Seluruh isinya tersusun demikian rupa, se kan dirinya dengan orang yang dirampok itu. Dialah yang seolah-olah terbaring di pinggir jalan sambil memperhatikan para pejalan. orang lewat menjauh, tetapi seorang mendekat. Dili-
hat dari sudut itu, si ahli tahu dengan pasti siapa sesamanya seandainya dialah yang dirampok dan berlumu darah sambil mengharapkan pertolongan. Maka, kiranya ia mengerti pula, mengapa Yesus berkata kepadanya, “Pergilah, perbuatlah demikian!” Ia kiranya mengerti pesan Yesus yang dapat dirumuskan begini: Daripada sibuk mem _`${ ama bagi orang lain.6 A. Analisis Hidup Berbelaskasihan Sehubungan dengan pengajaran dari teks 3.Ellis, 159. 4.Leks, 294. 5.Ellis, 159. 6.Leks, 294.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
58
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-) ini. Yesus membangun pengajaran-Nya dengan mengangkat suatu perumpamaan tentang seorang Samaria yang murah hati. Boland dan Naipospos mencatat bahwa, pertanyaan yang menjadi percakapan antara ahli Taurat dengan Yesus adalah seputar “hidup kekal”. Boland dan Naipospos menegaskan bahwa, jika dikenakan kepada keseharian hidup Kristen sekarang, hidup kekal tersebut bukanlah menyangkut kuantitas hidup (jadi dengan lamanya) tetapi justru menyangkut “kualitas”nya (jadi dengan macamnya atau mutunya). Boland dan Naipospos menjelaskan bahwa, hal mengenai hidup yang kekal bukanlah persoalan hidup tanpa akhirnya, tetapi suatu hidup yang mutunya lebih tinggi, yakni hidup yang tulen dan sejati seperti yang diperoleh dengan cara hidup dalam persekutuan dengan Allah.7 Gerald W. Schlabach mencatat bahwa “Of the Samaritan, Jesus says simply that he had compassion. The lawyer recognizes that he showed mercy. This is a clue. Throughout the Gospel, Jesus consistently links God’s Mercy toward us with the mercy we show others”.8 Sehubungan dengan itu, kesejajaran perumpamaan orang Samaria yang murah hati, dapat digambarkan melalui pengampunan dan kasih Yesus yang besar kepada seorang perempuan berdosa, Yesus berkata kepadanya, “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” Lalu Ia berkata kepada perempuan itu: “Dosamu telah diampuni (Lukas 7:36-50.).Secara prinsip kasih, perumpamaan orang Samaria yang baik hati berdiri pada posisi pemberi kasih yang tinggi, yang tidak melihat pada nilai timbal balik (qui pro quo). Kasih yang memulihkan dan menghidupkan. Sehubungan dengan tujuan penulis mengangkat peristiwa atau perumpamaan orang Samaria yang murah hati menghubungkannya dengan identitas hidup Kristen dalam realitas berbelaskasihan, maka kata-kata kunci yang terkait secara langsung dapat dijabarkan maknanya sebagai berikut:
jadi topik penting mewakili nilai hidup kekal. Pertanyaan ahli Taurat sehubungan dengan “hidup kekal” dimaknai Yesus dengan kesiapan bukan hanya mengetahui (seperti ahli Taurat ketahui) tetapi kerjakan atau melakukannya dengan tuntas. Yesus berkata, “perbuatlah demikian, maka kamu akan hidup” (Luk. 10:28). Frase Yunani untuk menjelaskan kalimat tersebut adalah ei=pen de. auvtw/|\ ovrqw/j avpekri,qhj\ tou/to poi,ei kai. zh,sh|Å(BGT Luke 10:28). Kata poi,ei [poiei] (verb imperative present active 2nd person singular from)poie,w yang artinya commit, cause, work, show, $ $ 9Kata-kata tersebut mengedepankan makna berupa tindakan aktif, tindakan sebagai respon terhadap sesuatu. KJV menerjemahkan to do, dalam hal ini dimaknai do perform, yakni tanggung jawab untuk benar-benar melakukanya. Ahli Taurat tersebut sudah mengetahui kedua hukum standar kehidupan keimaman orang Yahudi, tetapi hanya sebatas tahu, tanpa bermakna perbuatan. Maka Yesus menegaskan, “apa yang engkau telah ketahui dengan benar (Orqw/j[orthos]), perbuatlah demikian, atau lakukanlah seperti kebenaran yang engkau ketahui, maka engkau akan hidup (za,w[zao]). Leks menekankan dalam tulisannya memaknai nilai hidup tersebut dalam pemahaman “jika kasih terwujud dalam hidupnya, maka ia akan mewarisi kehidupan kekal”.10 2. Kedua, Yesus menggambarkan keadaan seorang Samaria yang memiliki hati yang tulus dan rela berkorban. Ingat ketika Allah memilih salah seorang anak dari Isai untuk menjadi raja atas Israel, Allah bukan melihat perawakan, tetapi Ia melihat hati.11 Hati adalah pusat kehidupan. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah
1. Konsep mengasihi sesama manusia men7.Boland dan Naipospos, 268. 8.Gerald W. Schlabach, And Who is My Neighbor? Poverty, Privilege, and the Gospel of Christ (Waterloo: Herald Press, 1990), 115. Bandingkan dengan Mat. 5:7; Luk. 6:36; “Blessed are the merciful, for they will be shown mercy”, Mat. 6:12; Luk. 11:4, “In the Lord prayer we pray, “forgive us our debts, as we also have forgiven our debtors”.
59
9.Bahan Elektronik Bible Works 7 10.Leks, 298. 11.'+ +*_
Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” I Samuel 16:7.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-) terpancar kehidupan”. (Amsal 44:23). Istilah yang sama juga dikenakan pada orang Samaria yang memiliki hati yang tergerak oleh belas kasihan. Belas kasihan sama halnya hati yang memancarkan kehidupan. Hati yang tergerak oleh belas kasihan dalam teks Yunani dipakai kata evsplagcni,sqh (esplagkhnisthe) verb indicative aorist passive 3rd person singular fromsplagcni,zomai. Leks memaknai bahwa kata tersebut berkonotasi dengan terjungkilbaliknya usus-usus dan dengan gelora perasaan iba yang sangat mendalam.12 Hal tersebut terbukti dari kontrasnya sikap yang ditunjukkan kedua orang Yahudi tersebut yaitu seorang Lewi dan seorang Imam dibandingkan dengan orang Samaria yang tidak disebutkan siapa dia.13 Kontradiksi sikap yang ditunjukan kedua orang Yahudi tersebut adalah sebuah paradoks dari kenyataan hidup sebagai imam dan Lewi yang hidup dengan pengetahuan tentang kebenaran tersebut. Tetapi dalam kenyataannya mengambil sikap menghidari tanggung jawab mengerjakan pengetahuan kebenaran tersebut. Orang Samaria tersebut, mengambil sikap mendekat, merawat, dan segala tanggung jawab yang menyertai pilihannya untuk menolong orang yang terampok tersebut. Lukas mencatatkan orang Samaria tersebut, membersikan lukanya dengan minyak dan anggur, memberikan jaminan perawatan sampai sembuh. Orang Samaria melakukannya dengan tuntas.
B. Menakar Identitas Kristen dalam Realitas Berbelaskasihan Berbelaskasihan adalah penegasan hidup Yesuskepada mereka yang membutuhkan pertolongan-Nya. Dalam perjalanan pelayananNya, Yesus memakai sebuah pendekatan melalui perumpamaan. Perumpamaan orang Samaria yang murah hati menegaskan pengajaran Yesus ten12.Leks, 302. 13.Samaritan: A person from the district
of Samaria located between Judea and Galilee. The Samaritans were despised by the Jews and the two groups had nothing to do with each other. C. I. Sco%!| | $}~@ sion (Oxford, New York: Oxford University Press, 2002 ), 1418.
tang sikap yang harus dibangun oleh orang Kristen terhadap sesama. Dengan gambaran Kasih yang besar Yesus menempatkan Orang Samaria sebagai pemberi kasih yang besar bagi orang Yahudi yang sama dibenci juga oleh bangsaNya. Dengan membangun belas kasihan Yesus menanggapi realitas kehidupan yang ditandai dengan berbagai pergumulan sosial dari orangorang yang terpinggirkan, kaum miskin, kaum menderita, kaum perempuan dan anak-anak, bahkan kepada kaum atau bangsa yang dianggap Lukas menghadirkan Yesus sebagai kenyataan kehadiran Kerajaan Allah yang membebaskan dan memulihkan. Kasper mencatat bahwa, The Kingdom of God was the main element of the hope for salvation. And lastly its coming coincided with the establishment of the eschatological shalom, peace between nations, between individuals, within the individual and in the whole universe. Paul and John therefore correctly interpreted Jesus’ intention when they spoke, not of the Kingdom of God, but of his justice or of life. In other words, Jesus’ message of the coming of the Kingdom of God must be seen in the context of mankind’s search for peace, freedom, justice and life.14 Sehubungan dengan penyesuaian dengan Kerajaan Allah tersebut, Hans Küng mencatat bahwa, “Yesus yang hadir di bumi dan yang telah masuk ke dalam kemulian Allah dan telah diteguhkan Allah, pribadi dan perkaraNya benar-benar saling terkait”.15 Yesus telah menggenapkan dalam diri-Nya anugerah Allah yang penuh kasih, pengampunan dan pembebasan tersebut. Yesus menghadirkan misi pelayanan-Nya dalam kepenuhan belas kasihan yang membebaskan dan memulihkan. Mengusung prinsip berbelaskasihan dalam realita hidup Kristen, Yewangoe memahami bahwa, compassion tidak pernah mendahului confession.16 Ketegasan ini harus dibangun sebagaimana Yesus 14.Walter Kasper, Jesus the Christ, New Edition (New York: A Continuum imprint, 2011), 61. 15.Hans Küng, “Kekhasan Etika Kristen” dalam Fletcher, 508. 16.A.A. Yewangoe, “Kata Pengantar” dalam Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik, xv.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
60
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-) menempatkan bahwa, “kesempurnaan kasihadalah pewahyuan ketunggalan: KetunggalanNya didasarkan atas ketulusan dan ketaatan-Nya Nya dengan Allah, ketunggalan Allah dengan kepada Allah saja. Kesempurnaan kasih terhadiri-Nya dan dengan kita, ketunggalan kita satu dap sesama tidak akan jelas, jika dipisahkan dari sama lain, serta ketunggalan kita dengan Yesus 17 kasih yang utama kepada Allah”. dan dengan Allah. Paulus membahasakannya Karena itu, hal mendasar yang menjadi dalam dimensi kosmiknya, “ oleh Dialah Ia tanggung jawab kekristenan khususnya pendidimemperdamaikan segala sesuatu dengan dirikan agama Kristen adalah memaknai nilai belas Nya, baik yang ada di bumi maupun yang ada di kasihan tersebut adalah pemberian dari Allah,18 surga. Dalam pembahasan lain Paulus menegaskarena itu tidak bisa dikerjakan tanpa Allah ada kan, “sehingga Allah menjadi semua di dalam dalam kehidupan ini. semua” (1 Kor. 1:20; 15:28).22 Dalam hal ini Konsep ini penulis pahami sebagai benNolan memahami bahwa “kesadaran akan ketuk mencari solusi yang nyata menyentuh dintunggalan kita dan solidaritas secara alamiah dan amika kehidupan diluar opsi atau rangkaian spontan membawa kita pada semangat berbagi. pikiran tentang salah dan benar, atau tentang Setiap gagasan bahwa kita dapat mengasihi satu Kristus yang bagi sebagian orang (baca= teosama lain tanpa saling berbagi merupakan selog) dirancang bagun dalam “bingkai” eksklusif, buah ilusi romantis”.23 inklusif atau pluralis, yang mengubur harapan Jika Joas Adiprasetya menyarankan agar dan rintihan penderitaan kaum termajinalkan. tidak bersikap taken for granted dalam membanMereka yang hidup dalam kemiskinan dan pengun kesadaran positif terhadap pluralitas atau deritaan tidak mengharapkan dan membutuhkan kemajemukan yang merealitas menjadi fakta ke“suguhan” Kristus dalam tataran doktrin semata, hidupan, maka bagi penulis penting membandmelainkan Kristus yang berjalan di Galilea meingkannya dengan konsep yang dibahasakan nyapa, menyentuh dengan kasih, merawat, Albert Nolan sebagai “kebaikan bersama” Konmemulihkan dan memberikan harapan akan pesep Nolan tersebut mengarah pada bagunan kenyelesaian pergumulan kehidupan. Yesus yang limpahan kasih di dalam dan melalui hidup kita, menjawab kemanusia dengan keutuhan diri-Nya yang berpusat pada bangunan spiritualitas Yesus tanpa kedok dan tanpa takut mendobrak perilaku yang menjangkau semuanya. Dijelaskan bahwa: yang berlawanan dengan ketulusan kasih yang Setiap usaha untuk menghidupi spirimenjadi pilar utama pemberitaan-Nya tentang tualitas Yesus akan ketunggalan di dalam sekeutuhan Kerajaan Allah di dalam hidup-Nya. buah keterpisahan, tidak sekadar memberikan “Seluruh hidup Yesus merupakan ungkapan pemberian-pemberian kepada kaum miskin. Kekasih tidak bersyarat. Dia menyapa setiap orang tunggalan berarti tidak hanya bahwa saya menyang dijumpai-Nya, tidak peduli apakah mereka gidentikkan diri saya dengan yang lain, tetapi pemimpin atau pengemis, orang suci atau juga bahwa mereka mengidentikkan diri mereka orang berdosa, setiap individu pantas dikasihi”.19 dengan saya juga. Kita saling membutuhkan. Dalam hal inilah kesadaran untuk tidak bersikap Tidak ada jenis spiritualitas yang sempurna yang taken for granted penting dibahasakan. Albert dapat saya peroleh tanpa bantuan orang lain. Nolan membahasakannya sebagai keseluruhan Jika sungguh tidak ada orang yang membantu 20 tanpa sambungan. Nolan memaknai bahwa kesaya, tidak ada seorang pun untuk berbagi, maka satuan dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan perkembangan saya akan berhenti. Inilah sebabsesama, dan dengan alam semesta membennya mengapa Yesus tidak membatasi diri-Nya tuk sebuah keseluruhan tanpa sambungan. Sepada pertobatan personal dan pencapaian-pencatiap usaha dalam kesatuan dengan Allah yang paian spiritual individualistik. Dia mengumpulterpisah dari sesama dan dari alam adalah sekan orang-orang bersama-sama dalam komunitas buah fantasi.21 Nolan menggambarkannya denseperti keluarga sebagai benih-benih Kerajaan
% yang sedang tumbuh. Dalam komunitas-komu(Yoh.17:21-23, yang menegaskan bahwa Yesus nitas semacam itulah para pengikut-Nya menemukan ketunggalan dan solidaritas mereka satu sama lain. Mereka saling menyembuhkan 17.Fletcher, 427. 18.Nolan, 178. 19.Nolan, 223. 20.Ibid., 259. 21.Ibid.,, 259.
61
22.Ibid., 260. 23.Nolan, 245.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-)
dengan belajar satu sama lain, mengasihi satu sama lain, dan berbagi satu dengan yang lain. … Dari dasar semacam itulah kita akan sampai pada semua saudara-saudari sesama manusia dalam solidaritas dan dalam kasih.24 Selanjutnya, ada beberapa hal yang dapat dicontoh dari Yesus, yakni dalam perjalanan pelayananNya yang dapat dimaknai sebagai role model hidup berbelaskasihan dengan membangun “kebaikan bersama” tersebut. Yesus membangun dasar pijakan yang benar sehubungan dengan pelayananNya yang memulihkan dan menghidupkan.. Yesus senantiasa mengerjakan hal-hal yang “menakjubkan”. Kata Yunani untuk kata menakjubkan adalah evxeplh,ssonto(verb indicative imperfect passive 3rd person plural) dari evkplh,ssw yang artinya be amazed, overwhelmed 25 yaitumenyatakan keadaan yang telah ditunjukkan, atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang telah dikerjakan yang mendatangkan decak kagum (amazed). Frase Yunani evkplh,ssw tersebut, dicatatkan D. H. Field sebagai berikut: Ekplessooccurs 13 times in the NT, but only once outside the Gospels. It is always found in the passive (ekplessomai, be amazed). Usually it expresses the astonished reaction of uncommitted onlookers to Jesus’ teaching (e.g. Mk. 1 :22 par.; 6: 2 par.) and just once - to a demonstration of his healing power (Lk. 9: 43). Only Luke names individuals as the subject of ekplessomai: Mary and @ @ ting among the temple teachers (Lk. 2: 48), and the proconsul Sergius Paulus is “astonished at the teaching of the Lord” (Acts 13: 12).26 Lukas mencatat bahwa semua orang yang mendengar pengajaran-Nya dan peristiwa-peristiwa yang menyatakan kebesaran kuasa-Nya, takjub (evkplh,ssw yang artinya [be amazed, overwhelmed ]).27 Konsep ini sangat sempurna dibangun oleh Yesus sehubungan degan menerapkan suatu ukuran yang terbaik, yakni merujuk pada kisah/perumpamaan (the golden compas24.Nolan, 247. 25.Bahan Elektronik Bible Works 7 26.D. H. Field, “Ecstasy/Egypt” dalam The New InternationalDictionary Of New Testament Theology, volume I: A-F, eds. Colin Brown, et.al.,530. 27.Bahan Elektronik Bible Works 7
sion story) Yesus perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (10:25-37). Untuk memahami perumpamaan ini dalam hubungannya dengan membangun identitas Kristen dalam realitas berbelaskasihan, maka beberapa pola kajian dari perumpamaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Menghadapi pergumulan hidup Kristen di tengah masyarakat dan tantangan sosial yang semakin kompleks, para orang percaya harus mengerjakan standar tunggal, bukan standar ganda. Apa yang orang Kristen yakini itulah yang dihidupi. Setiap karya dari pribadi Kristen adalah keutuhan diri Kristen yang menggambarkaan pekerjaan tersebut. Di sinilah nilai otoritas membentuk identitas diri yang nampak pada integritas hidup, dengan penuh tanggung jawab menentukan sikap/pilihan hidup. Membangun identitas Kristen dalam realitas berbelaskasihan adalah menampilkan kekayaan iman Kristen bukan dengan menjual keyakinan tetapi dengan membagi keyakinan berdasarkan kekayaan hati yang penuh kemurahan dan belas kasihan. Orang tidak melihat apa yang kita pikirkan, tetapi apa yang kita bawa untuk kita lakukan dan memberi kehidupan kepada sesama. Leks menegaskan melalui tulisannya bahwa, Terhadap orang yang terluka itu, biar ketiganya berpendapat sama, kesamaan pendapat yang menjadi masalah bukannya apakah si Imam atau si Lewi atau malah si Samaria itu yang memandang orang yang dirampok itu sebagai sesama, melainkan siapa diri mereka “berlaku” berlaku sebagai sesama tidak menciptakan kasih, apalagi belas kasihan. Tetapi, kasih justru mampu menciptakan pendapat yang sama. Sesungguhnya kasih tidak pernah sibuk den =$ manusia kepada Allah, kepada keselamatan (Luk. 6:27-35). Kasih yang membawa kepada keselamatan bukanlah bentuk kasih pragmatis, tetapi <
X dan hadir sebagai pemberi jawab. Di manapun kekristenan, kehadirannya tidak hanya sekedar berbicara kasih, karena semua orang pun bisa, tidak perlu ia mengenal dan hidup di dalam Kristus, kalau hanya untuk berbicara kasih. Setiap orang yang hidup di dalam Kristus, telah mengalami kasih sejati yang Kristus berikan, nyatakan,
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
62
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-) maka selayaknya pun berlaku hal yang sama (Luk. 6:27-38). Maka kasih di sini adalah perbuatan, perbuatan yang mencapai nilai tertinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realitas hidup berbelaskasihan adalah mengerjakan keutuhan nilai kehidupan yang menyentuh keutuhan kehidupan diri dan orang lain. Ada dua hal yang dibahas pada bagian ini yang menegaskan tentang pentingnya berperilaku berbelarasa atau berbelaskasihan tersebut yaitu: Pertama, berbelaskasihan adalah menghadirkan kesiapan bersama, yakni semua pihak di dalam keutuhan bersikap proaktif membangun kebaikan bersama sebagai hubungan tiada terputus, sehingga kenyataan yang ada yang cenderung memperlihatkan praktik tidak menghargai keberagaman, dengan sendirinya sirna. Kedua, menegaskan kebaikan bersama tersebut dengan mengambil pelajaran positif dari perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Karena itu, makna mendidik untuk berbelaskasihan adalah mendidik dalam perhatian, pembelaan, pembangunan dan pembentukkan manusia sebagai sesama kita.
PENUTUP Kehidupan Kristen adalah realitas dari spiritualitas turun ke bawah, bukan hanya melihat ke atas. Gerald W. Schlabach, menuliskan beberapa pesan teks tersebut dengan menghubungakannya dalam tugas belarasa orang percaya, yaitu: ! the question of who is the neighbor had nothing to do with which needy ones were deserving. One of those he surely thought undeserving provided the model of neighborliness. A despised Samaritan was “the one who had mercy.” What is this model of love and mercy? Who is this neighbor? Are we neighborly, as this one was?It cost the Samaritan something to love. What costs might we need to bear? What privilege might we need to give up? What “inconvenience” might we need to take on?
The Samaritan loved without any prospect that the roadside victim would return that love or even express gratitude. What determines our willingness to become the neighbor? Do we love, expecting something in return? If so, have we really loved?
63
The Samaritan’s commitment to the other was open-ended and ongoing. How far are we willing to go in becoming the neighbor? Have we already placed limits on how far we will go in relation to those who are poor? What might those limits be?28 Pesan teks Lukas 10:25-37 sangat jelas yaitu kehidupan Kristen, bukanlah soal penampi ligiositas tanpa kekuatan spiritualitas). Identitas kehidupan Kristen didirikan pada dataran berbelaskasihan, maka sikap belas kasihan dalam ketulusan dan kerelaan adalah tiang kokohnya. Terciptanya kehidupan berbagi yang semakin menyentuh kedalaman kehidupan spiritualitas memulihkan, menghidupkan dan menyelamatkan adalah identitas hidup Kristen. Kekristenan menghadapi berbagai tantangan tidak hanya bergerak pada tataran konsep, tetapi memproklamasikan sikap yang membangun perubahan hidup. Artinya, kematangan konsep tentang kehidupan dengan sendirinya bermakna memberdayakan kehidupan senada dengan kematangan konsep tersebut. Belas kasihan orang Samaria yang nampak adalah akibat kepenuhan belas kasihan di dalam hatinya, atau melimpah ruah di dalam hatinya. Sangat paradoks apabila menegaskan diri rohani, tetapi sikap hidup jauh dari tabiat atau karakter hidup rohani tersebut. Sehubungan dengan upaya membangun identitas Kristen dalam realitas berbelaskasihan, penteladanan Yesus menyatakan kasih kepada setiap orang bahkan kepada bangsa-bangsa lain haruslah didasarkan pada kepekaan kasih yang lebih tinggi. Kasih manusia semuanya berhenti pada keegoisan dan keuntungan. Melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, realitas hidup Kristen harus membangun kasih yang utuh dan lebih tinggi derajatnya yaitu kasih yang memulihkan dan menghidupkan orang lain.
KEPUSTAKAAN Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006. ASV – The Holy Bible, American Standard Ver-
28.Schlabach, 117.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Analisis Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati | oleh 0-) tion; Pendidikan Agama Kristen, Berbagi sion 1901. Bible Works. CD-ROM, VerCerita dan Visi Kita. Jakarta: BPK Gusion 7.0. nung Mulia, 2010. BGT- Bible Works Greek LXX/BNT - Data based Hendriksen, William. New Testament CommenCombination of the UBS4/Nestle-Aland tary, Exposition of the Gospel According 27th Ed. Greek New Testament (GNT) and to Luke. Grand Rapid, Michigan: Baker Rahlfs’ LXX (LXT), 1998-1999 Bible Book House, 1987. Works LLC. Bible Works. CD-ROM, Kasper, Walter. Jesus the Christ, new edition. Version 7.0. New York: A Continuum imprint, 2011 ITB – The Indonesian Terjemahan Baru 1997. Küng, Hans. “Kekhasan Etika Kristen” dalam Bible Works. CD-ROM, Version 7.0. Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang ManuLembaga Alkitab Indonesia (Indonesian sia, Suatu Pendekatan pada Etika KrisBible Society), 1997. ten Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, KJV- Authorized Version (KJV) – 1769 Blayney 2007. Edition of the 1611 King James Version Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: of the English Version. Bible Works. CDKanisius, 2003. ROM, Version 7.0. Canada the Online Lumintang, Strevi I. Misiologia KontempoBible foundation and Woodside Fellowrer, Menuju Rekonstruksi Theologia Misi ship of Ontario, 1988-1997.Boland, B.J. yang Seutuhnya. Batu: Departemen Multi & P.S. Naipospos. Tafsiran Alkitab Injil Media YPPII, 2009. Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Nolan, Albert. Yesus Sebelum Agama Kristen, Warta Gembira yang Memerdekakan. Brown, Colin. “War” in The New International Yogyakarta: Kanisius, 1991.AdipraDictionary of New Testament Theology setya, Joas Mencari Dasar Bersama, Etik ,Vol. 3: Pri-Z, edited by Colin Brown, Global dalam Kajian Postmodernisme et.al. Grand Rapids, Michigan: Regency dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK GuReference Library, 1975. nung Mulia, 2002. Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia dalam Rintis, Iswara. Teologi untuk Semua. Bandung: Dunia Milik Tuhan, Dasar Theologis BaLembaga Literatur Baptis, 2010. giPekerjaan Orang Kristen dalam MaSchlabach, Gerald W., And Who is My Neighsyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, bor? Poverty, Privilege, and the Gospel of 1997. Christ. Waterloo: Herald Press, 1990. Dunn, James D. G. Evidence for Jesus. Phila%] ! | | $ } delphia: The Westminster Press, 1985. King James Version. Oxford, New York: Ellis, E. Earle. The Gospel of Luke, The New Oxford University Press, 2002 Century Bible Commentary. Grand RapTannehill, Robert C. TheNarrative Unity of ids: Wm. B. Eerdmans Publishing ComLuke-Acts A Literary Interpretation, volpany, 1987. ume 1: The Gospel According to Luke. Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia, Philadelphia: Fortress Press,1991. Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Widyatmadja, Josef P.,Yesus dan Wong Cilik. Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. 2007.Yewangoe, “Kata Pengantar”, xv. Wolterstorff, Nicholas P. Mendidik untuk KeFranklin, Eric. “Luke” in The Oxford Bible $ +4 = { Commentary The Gospels, edited byJohn dan Pembelajaran Kristen, diterjemahkan Muddiman and John Barton. New York: oleh Lana Asali. Surabaya: Momentum, Oxford University Press Inc., 2001. 2004. Groenen, C.,Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Groome, Thomas A. Christian Religious EducaUnit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
64
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ ('
SPIRITUALITAS KRISTIANI SEORANG PEMIMPIN Alfrida L Membala
ABSTRAK Sprituality of a leader cannot be separated from how he/she lives and gives the meaning of live that God has given to him/her. Spirituality emerges through fear to God and being aware that he/she cannot lives without God. This view can motivates a leader to do God’s will in daily life. Christian spirituality suppose do through live in peace, care to others, hospitable, living in solidarity and simpathy to other people. Spirituality of a Christian leader is spirituality that follow principle of Jesus’ ministry is to serve not to be serve. Keywords: Spritualitas Kristiani, Pemimpin kita bekerja, apapun tugas kita, kapanpun kita melakukannya, hendaknya semua di jalankan ”Jabatan itu Karunia, Memimpin itu sebagai ibadah kepada Tuhan yang telah menIbadah” itu adalah tulisan yang ada di salah garunikan jabatan/tugas tersebut. Oleh karena satu baligo menjelang pemilihan bupati Keitu, besar atau kecil tugas kita, harus dipertangpala Daerah Tana Toraja pada tahun 2010. gungjawabkan kepada-Nya karena itu adalah Terlepas dari siapa orang dibalik tulisan anugerah-Nya. Sekiranya, semua pemimpin/ tersebut, bagi sebagian orang; ungkapan penjabat dapat menerima dan menghayati tugastersebut sangat menarik. nya sebagai ibadah, maka semua tugas-tugas akan dijalankan sesuai dengan kehendak-Nya. Jika boleh menginterpretasi dengan Kondisi di atas adalah harapan yang bebas, makna dari semboyan/ungkapan terseideal. Untuk mencapainya, tidak dapat dipisahbut, dapat diartikan bahwa jika seseorang ingin kan dari salah satu aspek yang sangat penting menjadi pejabat (pemimpin), maka jabatan yang yaitu spiritualitas dari yang memangku jabatan/ dipegangnya itu hendaknya dilihat sebagai kasang pemimpin. Bahwa hidup itu adalah anurunia atau anugerah Tuhan. Karena jabatan itu gerah, sekaligus merupakan kesempatan, untuk adalah karunia (dapat ditafsirkan: pemberian, melakukan ibadah melalui segala aktivitas kita berkat), maka jabatan itu bukan sesuatu yang dan kita memiliki kesempatan itu satu kali saja harus dipertahankan sebagai milik pribadi yang di dunia ini. Demikianlah kiranya seorang yang digunakan sesuka hatinya. Jika sebuah jabatan/ diberi kepercayaan untuk menduduki suatu japekerjaan itu diterima sebagai karunia Tuhan batan/kepemimpinan. Karena kesempatan dan maka sang pejabat tersebut akan menggunakan kepercayaan menjadi pemimpin ada batasnya, jabatannya dalam koridor yang takut akan Tuhan itupun karena pemberian, maka dalam menjalanyang Sang Pemberi. Segala tugas-tugas karena kannya hendaknya berdasarkan atauran yang sejabatan tersebut, yang diberikan kepadanya akan benarnya. Namun nyatanya, ada orang termasuk dipertanggungjawabkan kepada Dia yang telah pemimpin kristiani (orang Kristen yang diberi mengaruniakan jabatan itu. kepercayaan memimpin, bak di lembanga krisDemikian juga’Memimpin itu Ibadah’, tiani, maupun di lebanag pemerintah atau lembahwa dalam menerima dan menghayati tugas baga umum lainnya), menyia-nyiakan hidup dan memimpin yang diyakininya sebagai ibadah, kesempatannya. Seakan-akan mau mengatakan maka dalam menjalankan roda kepemimpinan karena hidup itu sekali saja, maka bertindaklah akan berlangsung sebagai ungkapan syukur dan sesuka hati anda. Atau, mungkin dengan prinsip rasa hormat kepada yang mengaruniakan jabatan ’aji mumpung’ jadi peminpin, timbunlah harta, kepemimpinan tersebut. Jika seorang pemimppergunakalah kuasa yang ada. Menghadapi repin menerima tugas kepemimpinan sebagai ibaalitas seperti itu, bagaimana seorang pemimpin dah maka dalam proses kepemimpinan dia, akan kristiani menghayati jabatannya sebagai ibadah terwujud secara benar dan bertanggujawab. kepada Tuhan? Bagaimana seorang pemimpin Secara ideal, menghayati ungkapan Kristiani menjalankan tugasnya sebagai bagian di atas, dapat dikatakan bahwa pejabat, pedari pelayanan? mimpin, pelayan atau siapapun kita, di manapun Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen PENDAHULUAN
65
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ ('
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin 1. Spritualitas Kristiani Berbicara soal spritualitas Kristiani sangat luas dan kompleks. Jika suatu hari Minggu seseorang (yang beragama Kristen) tidak sempat menghadiri ibadah hari Minggu di Gereja, karena harus menjaga dan merawat anak saya di Rumah Sakit, atau karena harus bekerja mengatur lalu lintas penerbangan di Bandara, apakah itu berarti dia tidak memiliki spiritualitas yang baik? Ketika seorang pelajar Kristen tidak dapat membantu temannya dalam ujian sehingga temannya tersebut tidak lulus dalam ujian, apakah dia termasuk pelajar Kristen yang tidak memiliki spritualitas yang baik kerena tidak dapat menolong orang lain? Atau mungkin kasus lain, ketika seorang mahasiswa Kristen ikut bergabung dengan para demonstran untuk memperjuangkan keadilan bagi para buruh yang haknya tidak di hargai oleh sebuah perusahaan, apakah itu berarti spiritualitas dia mengalami penurunan karena telah menjadi sosok demonstran? Sebaliknya, ketika seseorang rajin ke gereja, rajin berdoa, mengikuti semua kebaktian rumah tangga dan aktif di berbagai organisasi keagamaan, menolong orang yang membutuhkan pertolongan, apakah itu berarti bahwa spiritualitas orang tersebut sudah mantap? Pertanyaan-pertanyaan ini terasa menggelitik, namun ini bukan sekadar pertanyaan. Ini adalah realita yang nyata dalam kehidupan warga gereja sehari-hari, termasuk spritualitas seorang pemimpin kristiani. Antara spritualitas kristiani, nilai-nilai kristiani, karakter kristiani, merupakan istilah yang saling terkait satu dengan yang lain. Secara singkat dapat digambarkan bahwa spiritualitas adalah penghayatan dari nilai-nilai kristiani yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku hidup sehari-hari yang kemudian membentuk karakter kristiani seseorang. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian spiritualitas menunjuk kepada kehidupan yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan; rohani, batin (KBBI, !!% {" % ten adalah kehidupan yang dibimbing oleh Roh (bnd. Gal.5:16). Hidup yang dibimbing oleh Roh adalah hidup rohani yang memancar dalam pola pikir dan hidup. Dapat dikatakan bahwa kehidupan yang diwarnai oleh Roh Kudus, oleh semangat Kristus, yang memahami diri-Nya sebagai ”yang datang kedunia bukan untuk dilayani me-
lainkan untuk melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10:45, bnd. Fil.2:1-9). Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa setiap orang Kristen diharapkan memperlihatkan semangat Kristus dalam melayani sesama dan dunia ini, relah memberi diri bagi orang lain, berbagi kehidupan dengan sesama. Dengan demikian spiritualitas kristiani adalah gambaran kehidupan rohani seorang Kristen yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang sesuai nilai-nilai kristiani atau nilai yang dikehendaki oleh Tuhan. Hal ini hendaknya terwujud menjadi kualitas hidup orang Kristen dalam tolitas berpikir dan bertindak. Andar Ismail dalam 33 Renungan tentang Spritualitas (Selamat Berkembang) menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan kehalusan perasaan tentang Allah yang berbuah kualitas hidup sebagaimana tampak dalam diri Kristus. Spiritulitas ini terwujud dalam gaya hidup yang bekualitas yang terwujud dalam hubungan yang agung dengan Sang Khalik, hubungan yang luhur dengan sesama mahkluk dan hubungan yang mulia dengan diri sendiri. Kearah itulah kita semua ingin berkembang. Jika hal ini dihubungkan dengan para pelayan Tuhan dalam gereja, maka kearah itulah mereka hendaknya membimbing umat Tuhan untuk menjadi teladan bagi orang lain. Hidup rohani adalah melangkah masuk menuju diri batin, melangkah dan melibatkan diri dalam hidup sesama dan melangkah menuju Allah. Itu berarti kehidupan kerohanian kita menyangkut perasaan kita sendiri yang berani dan dengan jujur melihat dan mengakui hidup kita, hidup orang lain dengan semakin mendalam menuju Allah di dalam doa dan segala sikap yang berkenan kepada-Nya. Spiritulitas berhubungan dengan berbagai kehidupan kita sehari-hari, di mana kita dijiwai untuk melakukannya dalam kehidupan kita, menuntun dan mendorong kita untuk menyuwujudkan kemurahan Kristus dalam kehidupan kita. Kedekatan dalam batin kepada Tuhan, berdiam diri di hadapan Tuhan bagian dari membina hubungan dengan Tuhan, membiarkan Tuhan yang berbicara dan kita mendegar, bukan kita yang mendikte Tuhan dengan segudang permintaan dan keluhan, merendah di hadapan Tuhan biarlah Tuhan yang mengatur segala hidup kita. Eka Darmaputera dalam kumpulan khotbah-khotbahnya tentang spiritualitas masa kini (Spiritualitas Siap Juang), menekankan beberapa hal yang sehubungan dengan spiritu-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
66
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ (' alitas Kristen antara lain: Bagaimana seorang Kristen cerdik menghadapi berbagai persoalan hidup tetapi menjalaninya dalam pimpinan oleh Roh Kudus. Kehidupan ini akan nampak dalam buahnya sehari-hari, kemerdekaan dan ketaatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, peka terhadap kehidupan orang lain (2 Korintus 8:15), siap menghadapi tantangn hidup, mengatakan kebenaran, tidak hanya mengusahakan kesejahteraan dirinya atau teman seiman (eksklusif). Spiritualitas Kristen nampak dalam hidup yang selalu memiliki kesempatan untuk intropeksi diri sehingga tidak hidup di luar Kristus (1Petrus 1:13-25) yang menimbulkan kebodohan, hidup menuruti hawa nafsu, hidup dalam kesia-siaan. Sebalikya orang yang hidup dalam Kristus akan hidup di dalam ketaatan, kekudusan dan takut akan Tuhan, dalam kasih persaudaraan, menerima sesama sebagai saudara yang sama di hadapan Tuhan. Hidup di dalam Tuhan juga berarti, menerima semua yang terjadi dalam kehidupan kita dengan akal sehat dan dengan iman bahwa Tuhan selalu campur tangan di dalam seluruh hidup kita. Berkomunikasi dengan Tuhan di dalam doa dan membaca Firman itu akan senantiasa menjadi spirit untuk melakukan kehendakNya (1 Tim 4:7). Dengan belajar dari kehidupan Yesus, kita juga melihat bahwa hidup rohani bukanlah jalan pintas yang dapat dicapai menuju kehidupan yang lebih baik, melainkan melalui berbagai kesempatan dan proses yang terbangun dalam komunikasi dengan Tuhan. Untuk bisa membangun kepekaan rohani kita, penting melatih kepekaan batin, belajar menghayati segala persoalan, hadir dalam komunitas di mana kita berada dengan tetap mengusai diri dan menghargai orang lain. Semua itu hendaknya betul-betul lahir dari hati terdalam melalui pergumulan dan keyakinan yang sungguh, bukan sekadar sebagai ukuran moralitas dalam bertindak. Penghayatan akan semua itu di wujudkan dalam relasi dengan sesama, lingkungan dan Allah, melahirkan tindakan yang sungguh-sunguh dihayati dan tidak merupaka rutinitas semata. Hanya dengan menghayati pengalaman-pengalaman hidup kita secara mendalam dan belajar mendengarkan kerinduan hati akan Yesus, maka kita dapat yakin bahwa Yesus tidak hanya bicara tetapi juga telah datang menyapa kita melalui berbagai pengalaman dan kebutuhan pribadi kita sekalipun. Kehidupan spiritualits tidak dapat dipisah-
67
kan dari bagiamana kita menjalani dan memaknai hidup yang Tuhan anugerahkan. Bagaimana menjalani kehidupan dengan bijak, takut kepada Tuhan, dan tetap menyadari bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Tuhan dan bahwa hidup kita hendaknya menjadi pelaku kehendakNya. Spiritualitas Kristen hendaknya memiliki sikap ramah, menciptakan suasana aman bagi yang lain, memiliki hati yang peduli dengan kepentingan arang lain, menciptakan ruang dalam hati kita yang bebas untuk bersahabat dan memiliki solidaritas belarasa terhadap orang lain. Memberi kesempatan, menghargai dan menerima mereka sebagai orang bersahabat dengan kita sambil memberi waktu khusus bagi diri kita sendiri untuk merenungkan makna kehidupan dan spiritualitas kita. Sering kali kita menganggap bahwa kehadiran orang lain atapun persoalan yang kita alamai hanya merupakan interupsi/ godaan terhadap segala rencana yang kita sudah rencanakan dengan matang, sehingga kita hanya was-was tanpa harapan, pada hal semua itu seharusnya menjadi tantangan bagi kita untuk maju lebih optimis dan melakukan hal-hal yang positif. Dalam hubungan dengan sebuah jabatan, seorang pemimpin kristiani pun hendaknya memiliki kehidupan spiritual yang dapat menjadi teladan bagi mereka yang dipimpinnya. Dalam hal ini, pemimpin kristiani tidak hanya melihat jabatan sebagai tempat untuk memberlakukakan ’kuasanya’ sebagai yang berwewenang mengambil keputusan dan mengatur orang yang dipimpinnya tetapi sekaligus akan melihat kesempatan tersebut sebagai perwujudan pelayanan bagi mereka. Bukan sekadar memerintah dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang dipimpinnya, tetapi bersamaan dengan itu sang pemimpin hendaknya mampu mengarahkan, menuntun bahkan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan pengalaman & kompetensi mereka dalam takut akan Tuhan. Termasuk para pemimpim di gereja, ada pelayan (Pendeta, hamba Tuhan) banyak sibuk menjelaskan Alkitab tetapi tidak memberi ruang dan kesempatan kepada umat/anggota jemaat untuk menyadari dan mengungkapkan sendiri pengalaman rohaninya dalam kasih, hormat, berbagai harapan, maupun kekuatiran dan sebagainya. Akibatnya banyak anggota jemat yang pintar pengetahuan isi Alkitab tetapi kehidupan rohaninya kering, atau tidak bertindak sesuai dengan penghayatan iman Kristen.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ ('
Belajar dari sebuah permenungan yang dikutip oleh Henri J.N Mouwen dalam bukunya Menggapai Kemantangan Hidup Rohani bahwa: ”Sesudah lama saya menjadi dewasa, kalau saya bertanya, ”di manakah saya sekarang sebagai orang kristiani?”, maka ada banyak alasan untuk bersikap pesimis maupun optimistis. Banyak dari antara perjuangan hidup yang saya hadapi dua puluh tahun yang lalu, masih hidup sekarang, saya masih tetap mencari kedamaian batin, hubungan yang kreatif dengan sesama dan pengalaman tentang Allah. Dan tidak ada seorangpun baik saya sendiri maupun orang lain dapat menentukan apakah perubahan psikologis yang kecil yang terjadi selama bertahun-tahun belakangan ini membuat saya semakin menjadi manusia rohani”. Dari pernyataan tersebut, dijelaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat men pasti kadar kehidupan rohani orang seseorang. Setiap orang memiliki pengalaman rohani yang tidak bisa dilukiskan oleh orang lain. Pengalaman dan kehidupan rohani tersebut tidak dapat di diukur secara gampang dengan melalui keberhasilan dalam bidang yang lain termasuk berbagai pengalaman religius. Memang, sulit menjawab seperti apa kehidupan rohani seseorang bahkan kehidupan rohani kita sendiri. Namun demikian, setidaknya kehidupan rohani atau spiritualitas kita, dapat kita pahami dalam 3 dimensi atau kutub yakni hubungan kita dengan dengan diri kita, hubungan dengan sesama dan alam serta hubungan dengan Allah. Jika kita melihat dalam konteks masyarakat Indonesia, pada satu sisi dikenal sebagai masyarakat religius, karena 100 persen penduduk memiliki/menganut agama tertentu. Berbeda di Negara lain, di mana komunisme dan Ateisme dibiarkan ada. Maka berdirilah simbol-simbol keagamaan di mana-mana. Di mana-mana, tempat-tempat ibadah berjejer di sepanjang jalan yang kita lalui. Tak ketinggalan Gereja-gereja megah berdiri mentereng di kota maupun desa. Simbol-simbol agama tersebar di mana-mana, tidak hanya di dalam gereja tetapi sampai ke dalam kamar-kamar rumah, bahkan telah menjadi bagian dari aksesoris penghias bagian tubuh kita. Sayang sekali, bahwa justru di tengah-tengah menjamurnya simbol-simbol keagamaan itu kita sedang diperhadapkan pada sejumlah adegan paradoksial yang sedang dipertontonkan di
depan kita. Korupsi telah merasuk sedemikian dalam, merajalela sedemikian luas. Pelakunya adalah orang-orang beragama dan yang membangga-banggakan simbol-simbol keagamaan. Penyakit sosial merebak di mana-mana. Jutaan anak tidak bisa sekolah karena terlilit kemiskinan. Di mana itu terjadi? Di samping, di belakang, di depan bahkan di dalam gereja. Jadi gereja yang berdiri megah itu sesungguhnya di kelilingi oleh kemiskinan warga, keterbelakangan dan kebodohan masyarakat, oleh ketidakadilan sosial, oleh pelanggaran Ham, oleh penindasan dan oleh jerit tangis manusia-manusia yang tidak berdaya diterjang kekejaman zaman. Apa artinya semua itu? Kita terlalu larut dalam kebanggaan akan simbol, tapi lalai dalam perjuangan mempraktekkan nilai-nilai dibalik symbol-simbol itu. Hanya sedikit yang sadar bahwa apa yang kita banggakan dalam simbol menjadi tidak bemakna karena tidak mengejawantah dalam tindakan. Apa artinya simbol tanpa makna? Tak lebih dari cara beragama para farisi yang dikecam oleh sang Tokoh sosialis sejati :Yesus. Muncul pertanyaan, apakah semua itu karena ketidakmampuan para pemimpin dan pelayan dalam gereja melaksanakan tugasnya? Persoalan berikut adalah siapa yang kita sebut pemimpin dan pelayan dalam gereja? Jika kita memahami bahwa stiap orang yang percaya kepada Kristus (gereja), pada gilirannya semua terpanggil untuk melayani serta memimpin sesuai dengan talentanya dan kemampuannya, maka setiap orang tersebut (orang Kristen) ikut bertanggungjawab. Jika kita mau melihat dan belajar tentang spiritualitas dalam kerangkah yang utuh, maka mestinya kita belajar kepada pola pelayanan Yesus, yaitu pola pelayanan yang menampakkan spiritualitas yang utuh. Utuh disini adalah pengejawantaahn makna pelayanan secara holistik, integratif, dan komprehensif. Holistik artinya spiritualitas yang menyentuh seluruh proses hidup dan seluruh bagian hidup, baik jasmani maupun rohani. Integratif artinya merasuk dan menyatu dalam nurani terdalam setiap manusia dan nyata dalam tindakan konkret yang terus menerus sepanjang hidupnya. Komprehensif artinya totalitas dalam bertindak atau lebih tepatnya bertindak dengan totalitas hidup mengabdi untuk melayani Tuhan, Sesama dan Alam semesta.Yesus memberikan contoh hidup yang menggambarkan spritualitas kristiani yang sem-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
68
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ (' purna. Yesus sedemikian akrab hubungannya dengan Bapa-Nya, yang berdampak pada sedemikian akrabnya hubungan-Nya dengan manusia dan lingkungan-Nya. Jika kita hubungakan dengan para pemimpin, kita dapat mengatakan bahwa pemimpin yang memiliki spritualitas dan yang efektif adalah pemimpin yang sinergis dinamis, yang mengintegrasikan pemikiran, perasaan dan perbuatan menjadi satu gaya melayani yang menyeluruh dan seimbang dalam kehidupannya. 2. Pemimpin Kristiani Secara sederhana pemimpin dapat diartikan ‘orang yang memimpin’, seseorang yang diberi tugas, mandat, kepercayaan untuk bertindak mengatur segala seuatu yang menjadi bagian dari yang pimpinnya. Pemimpin berasal dari kata dasar ‘pimpin’ yang berarti tuntunan, bimbingan, atau hasil memimpin yang berati mengepalai, mengetuai; memandu; memegang tangan seseorang untuk dibimbing dan ditunjukkan jalan; melatih, mendidik, mengajar agar dapat mengerjakan sendiri. Dapat dikatakan bahwa, pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memengarui perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orangorang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pemimpin bertindak memengaruhi dan mengarahkan orang yang dipimpinnya dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Dapat dikatakan bahwa pemimpin kristiani adalah seorang yang melaksanakan tugas sebagai pemimpin sesuai dengan nilai-nilai kristiani (sesuai dengan ajaran Alkitab sebagai dasar pengajaran Kristen). Dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin itulah yang disebut kepemimpinan. Pemimpin Kristen yang melayani, baik dalam gereja maupun dalam masyarakat, adalah pelayan. Namun, tentu pengertian seperti ini masih sangat dangkal, karena memahami dan mengenal seorang pemimpin tidak cukup hanya dengan melihat dari agamanya, tugasnya dalam satu komunitas/instansi, melainkan juga harus melihat dan memahami sang pemimpin itu sendiri secara keseluruhan dalam tugas dan kehidupannya sebagai seorang yang bertugas melayani dan mengantar orang yang dipimpinnya itu untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam komunitas/instansi tersebut. Tujuan itu tidak hanya
69
dicapai dalam proses kebersamaan sebagai satu komunitas, tetapi juga dalam hubungan dengan orang lain dan lingkunan di mana dia berada. Sebagai seorang pemimpin yang sekaligus sebagai pelayan, ia melayani dan mengantar orang yang dilayaninya dengan target dan tujuan yang jelas yakni mengantar umat kepada pengenalan akan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat (inti dari pengajaran iman Kristen) sehingga mereka hidup takut dan hormat kepada-Nya. Sebagai pemimpin kristiani, untuk mampu melaksanakan tugas tersebut, dia sendiri terlebih dahulu secara pribadi percaya dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya, Allah yang telah menjadi sama seperti manusia dan berkorban di kayu salib demi keampunan dosa manusia. Oleh karena itu, pemimpin kristiani hendaknya senantiasa siap diperlengkapi dan memperlengkapi diri, memiliki pemahaman teologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah untuk melayani umat Tuhan. Pemahaman yang kedua ini tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan yang pertama di atas. Dengan memahami pelayan seperti di atas, maka dapat kita katakan bahwa seperti itulah juga gambaran spiritualitas yang hendaknya mewarnai kehidupan seorang pemimpin kristiani dalam menjalankan tugasnya. Sering kali ada anggapan bahwa kehidupan rohani hanya berhubungan dengan pelayan di gereja (kegiatan digereja) sehigga kehidupan dalam hidup sehari-hari sangat berbeda dengan apa yang dialami dalam pelayanan. Pemimpin kristiani hendaknya menanamkan nilai-nilai kristiani secara pribadi dalam kehidupannya sehingga umat yang dipimpinnya dapat mengambil keputusan secara pribadi dengan tepat dalam kehidupannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa spritualitas pemimpin kristinai banyak mendapat perhatian/disoroti oleh masyarakat, bahkan sering dibahas dalam persidangan-persidangan atau pertemuan gerejawi? Perhatian, kasih sayang, pendidikan iman serta nilai-nilai kristiani dan keteladanan yang sungguh-sungguh dari pemimpin, merupakan hal yang sangat terpenting. Peran pemimpin tidak sebagai penguasa yang memerintahkan atau mengupayakan agar orang yang dipimpinnya rajin bekerja kuantitas tetapi hendaknya bertanggungjawab mengarahkan mereka mengalami kasih Tuhan dan mewujudkannya dalam pekerjaan sehari-hari dalam relasi dengan Tuhan, sesama dan ciptaan yang
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ ('
lain. Dalam hal ini pemimpin kristiani meperlihatkan keteladanan, memberlakukan apa yang dikatakannya (memiliki integritas), peka terhadap kebutuhan orang yang dipimpinnya melalui keteladanan spritualitasnya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Spiritualitas seperti apa yang hendaknya (idealnya) dimiliki oleh seorang pemimpin kristiani Dalam bukunya yang berjudul The Effective minister of education Jerry M. Stubble `% {!"% satu bab tentang Spiritual Relationship. Penulis menjelaskan bagaimana seharusnya seorang pelayan membangun spiritual/kehidupan kerohaniannya dengan Tuhan secara pribadi yang menjadi dasar membangun hubungan dengan sesama dalam pelayanannya. Hubungan dengan Tuhan secara pribadi hendaknya menjadi dasar utama kehidupan spiritual seseorang bahwa pemimpin kristiani tidak dapat kita pisahkan dari persoalan moralitas dan spiritualitas kita secara pribadi. Kita tidak dapat mengasihi orang lain kecuali jika kita sendiri sudah belajar tentang kasih Allah dan menjadikannya dasar untuk mengasihi orang lain. Membangun dan memelihara hubungan secara pribadi dengan Tuhan tidak hanya pada saat tertentu tetapi hendaknya itu terjalin setiap saat, hari, minggu, bulan, tahun. Untuk dapat mengembangkan spiritual dengan baik, ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh seorang pemimpin kristiani: 1) mampu memimpin dan melayani dengan target dan tujuan yang jelas yakni mengantar orang yang dipimpinnya kepada pengenalan akan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat (inti dari pengajaran iman Kristen) sehingga mereka hidup takut dan hormat kepada-Nya. Untuk mampu melaksanakan tugas tersebut, dia sendiri terlebih dulu secara pribadi percaya dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamatnya, Allah yang telah menjadi sama seperti manusia dan berkorban dikayu salib demi keampunan dosa manusia, 2)Spritualitas pemimpin kristiani adalah spritualitas yang memiliki hati sebagai seorang pelayan; memperhatikan kebutuhan orang yang dipimpinnya, melakukan yang terbaik dengan apa yang dimilikinya, setia dalam tugasnya dan pelayanannya, memegang janji dan komitmen, mengerjakan segala tugasnya sebagai dedikasi kepada Tuhan, rendah hati, mempraktikkan buah-buah Roh (bnd. Gal. 5:22-
24) dalam kehidupannya, 3) Pemimpin kristiani terpanggil tidak hanya sebagai penunjuk jalan tetapi juga sebagai pembimbing dan meneguhkan umat dalam kehidupannya melalui keteladan hidup sehari-hari, mewujudkan nilai-nilai kristiani. Menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai bagian dari karakter hidupnya saat menjalankan tugasnya dalam hidup sehari-hari, 4) Pemimpin kristiani hendaknya memiliki integritas yakni kesatuan antara apa yang diucapkan dengan yang dikerjakan (gaya hidup konsistensi mewarnai kehidupannya), sehingga dalam melaksanakan tugas memimpin, apa yang disampaikannya dapat dilakukan oleh orang yang dilayaninya, 5) Banyak pemimpin yang selalu menasihati orang yang dipimpinnya, berceramah tetapi tidak memberi teladan, tidak memiliki spiritualitas yang dapat diteladani oleh muridnya. Dengan demikian memimpin bukan hanya soal kuantitas tetapi kualitas dan bagaimana mereka memaknai di dalam kehidupan sehari-hari, 6) pemimpin kristiani hendaknya menerima dan memandang dirinya sebagai pribadi yang berkenan dan berharga di mata Tuhan, menyadari bahwa dia terpanggil menjadi kawan sekerja Allah (bnd. Mat.28:19-20, Ef. 2:10, 3:10). Pemimpin yang mau meneladani Yesus, relah berkorban, siap menghadapi tantangan, melihat bahwa tugas tersebut harus dipersiapkan dan dikerjakan dengan sunguh-sungguh, bukan ebagai pekerjaan asal-asalan (bnd. Kolose 3:23-23). Memiliki kosep diri yang jelas dalam memperlengkapi orang yang dipimpinnya dengan sungguh-sungguh. Siapakah aku adalah pertanyaan yang mengantar pemimpin kristinai untuk mengenal siapa dirinya sesungguhnya sebagai ciptaan Tuhan yang mampu menempatkan diri di manapun dia berada. Ketulusan adalah salah satu bagian dari spiritualitas seseorang yang menjadi kunci dalam kehidupannnya, 7) Motivasi dan kekuatan di dalam Kristus, menjadi dasar bagi pemimpin kristiani melaksanakan tugasnya. Dia dipanggil melayani, harus memiliki perasaan yang jelas tentang panggilan Tuhan, melihat dirinya sebagai pelayan Kristus, tahu aturan dan identitasnya sebagai pelayan. 8) Menghargai dan menggunakan waktu dengan baik untuk membangun komunikasi dengan Tuhan. Waktu untuk Tuhan bukan waktu yang tergesa-gesa, bukan sisa-sisa waktu tetapi sungguh-sungguh dialokasikan dan dalam kondisi yang rela tanpa terbebani dengan tugas dan pikiran yang lain. Yesus sendiri tidak perna menggunakan sisa-sisa waktu untuk pe-
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
70
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh '!-$ (' kerjaan pelayanan-Nya, tetapi juga selalu ada waktu untuk berkomunikasi dan membangun hubungan secara pribadi dengan Bapa yang mengutus-Nya. Demikian hendaknya pemimpin dalam menggunakan dan membagi waktu untuk berbagai tugasnya. Dengan membangun relasi bersama Tuhan secara terus menerus, pemimpin akan dikuatkan sehingga tidak takut sendirian dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Menunggu apa yang Tuhan kehendaki dalam kehidupan kita hendaknya menjadi waktu yang menyenangkan untuk tetap mendekatkan diri kepada-Nya. Akhirnya, spritualitas pemimpin kristiani adalah spritualitas yang mengikuti pola pelayan Yesus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani.
DAFTAR PUSTAKA Clapp, Rodney, Tortured Wonders. Christian Spirituality for people, Not Angels. (Grand Rapids, Michigan: Brazos Press), 2004 Darmaputera, Eka, Spiritualitas Siap Juang. Khotbah-khotbah tentang Spiritualitas Masa Kini. (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2004 Downs, Perry G, Teaching for Spritual Growth. An Introduction to Christian Education. ( Zondervan Publishing House), 1994 Eugene, Toinette M. Education, Cultural and Values Vol. V. Spiritual and Religion Education. (Falmer Press) 1988 Hanghey, John C. Converting Nine to Five. A Spirituality of Daily Work. (Crossoral New York) 1989 Ismail, Andar. Selamat Berkembang. 33 Renungan Spiritualitas. (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2003 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta Balai Pustaka) 1999 Nouwen, Henri J.M, Menggapai Kematangan Hidup Rohani. (Yoyakarta: Kanisius) 2000 Moon, Gary W and Benner, David G, Spiritual Direction and the Care of Souls. A guide to Christian Approaches and Practices.
71
(Inter Varsity Press). 2004 Palmer, Parker J. To Know as we are known. Education as spiritual journey. (Harper San Francisco)1993 Paterson, Karherina. Siapaka Aku Ini. (Jakarta: BPK Gunung Mulia)1994 Susabda, Yakub B. Mengenal dan bergaul dengan Allah. (Jakarta: Gospel Press) 2002 Sutanto, Limas, Kiat Pengembangan Diri Tidak Mencerca Orang Lain. (Jakarta: Intisari Mediatama), 2001 Sutarno. Di Dalam Dunia tetapi tidak dari Dunia. Pemikiran Teologis tentang pergumulan gereja dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2004 Schaeffer, Francis A, True Spirituality. How to life for Jesus Moment by Moment, (USA: Tyndale House Publishers). 2001 Setiawani, Mary dan Stephen Tong, Seni membentuk Karakter Kristiani. (Surabaya: Momentum), 2005 Triatmoko, B.B, Pak Guru Tulus. Pergulatan mencari Makna Kehidupan. (Yogyakarta: Kanisius) 2005 Winter, David, Now What. Charting Your Christian Life. Youth for Christ International. (Harold Shaw Publishers Wheaton, Illinois,) 1970 Wuellner, Flora Slosson, Gembalakanlah Gembala-gembalaku, ( Jakarta BPK.GM) 2008 http://www.spirithome.com/workspir.html http://www.founders.org/FJ56/article1.html http://www.chrism.org.uk/PaperC3.htm http://www.wcc-coe.org/wcc/what/jpc/ echoes-16-08.html http://www.gracecathedral.org/enrichment/excerpts/exc_20010228.shtml http://wwwsoc.murdoch.edu.au/theology/homiletics/032.htm http://www.spiritualdisciplines.org
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )"
TONGKONAN SEBAGAI WADAH PEMBINAAN CALON PEMIMPIN MASYARAKAT TORAJA Andarias Kabanga
ANSTRACT Tongkonan is a clan house of the Torajanese (Toraja people). For the Toraja people, Tongkonan is not only place to stay, but also place to train and educate the family members. Therefore, Tongkonan is the center of activity of a clan in Toraja area. Specially, in connection to leadership, long before the formal school brought to Toraja region, the ancestors of Torajan have already used Tongkonan as the pace to train for all the clan members. Any of clan member can learns the philosophy, ethics and culture mostly at Tongkonan. That is the reason why Tongkonan is very important for the Torajan, and up to now, we can see Tongkonan is every where when somebody visit Toraja. Key words: Tongkonan, Toraja, Leadership.
PENGERTIAN TONGKONAN Kata Tongkonan berasal dari bahasa Toraja dan sangat dikenal di kalangan masyarakat Toraja. Menurut J. Tammu dan Dr. H. ven der Veen dalam bukunya Kamus Toradja – Indonesia, sitilah tersebut berasal dari kata tongkon yang mengandung banyak arti: duduk, ikut serta dalam pemujaan orang mati, tidak beruntung (Tammu dan Van der Veen, 1075:658). Salah satu upacara yang sangat berpengaruh bagi orang Toraja bahkan orang luar negeri adalah upacara pemakaman. Secara sederhana, ada beberapa tingkatan upacara pemakaman bagi masyarakat Toraja yaitu: tingkat sederhana, tingkat menengah dan tingkat tinggi. Dalam upacara pemakaman tingkat tinggi, maka biasanya orang yang hadir mencapai puluhan ribu dengan membawa apa saja yang dapat dibawa terutama babi dan kerbau. Pelaksanaan upacara biasanya berhari-hari: ada tiga haru, lima hari, tujuh hari bahkan lebih dari pada itu. Semua yang datang itu duduk dan tidur di pondok yang telah disediakan. Dalam hal duduk berjam-jam atau berhari-hari di tempat upacara pemakaman, itulah dalam bahasa Toraja disebut tongkon. Khususnya kalau yang meninggal itu memeluk agama Kristen, maka kehadiran tongkon dalam upacara pemakaman tidak lagi diartikan menghadiri pemujaan orang mati, melainkan hadir untuk membagi duka dengan keluarga yang ditinggalkan oleh mendiang sambil memohon doa kepada Tuhan semoga semua keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dari Yang Maha
Pengasih. Bila kata dasar tongkon mendapat akhiran –an menjadi Tongkonan maka konotasinya adalah rumah marga atau biasa juga disebut rumah adat (Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, 2014:121). Disebut rumah marga karena di situlah disimpan silsilah (tempat silsilah) sehingga kalau ada yang dibicarakan akan berkumpul di rumah marga tersebut. Disebut rumah adat karena menyangkut tata kehidupan di situlah adat dibicarakan dan diajarkan kepada seluruh anggota rumpun keluarga dari satu Tongkonan. Bagi masyarakat Toraja, setiap anggota rumpun keluarga dari satu Tongkonan dapat menyampaikan usulnya kepada yang dituakan atau yang tinggal di Tongkonan bila ada yang dirasa perlu untuk disampaikan. Di Tongkonanlah diadakan pertemuan kalau ada yang perlu dibicarakan bersama. Bila ada persoalan yang hendak diselesaikan, maka marga dari Tongkonan tersebut datang di Tongkonan membicarakan hal tersebut dengan duduk bersama. Hal itu bisa berlangsung berjam-jam bahkan berharihari, sehingga dengan demikian rumah marga juga disebut tempat “tongkon” dalam arti tempat untuk duduk bersama secara berlama-lama untuk membicarakan hal-hal yang terkait marga/ rumpun keluarga (Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, 2014:121). Dengan demikian Tongkonan adalah rumah suatu marga tidak hanya untuk ditinggali, tetapi juga sebagai bangunan untuk membicarakan bersama hal-hal yang terkait dengan rumpun keluarga/marga
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
72
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )" yang di dalamnya melekat pendidikan begi sel2. Manglika’ Biang ruh anggota rumpun keluarga dari Tongkonan Sebelum tukang menebang kayu yang tersebut. pertama, tukang mengadakan upacara doa, Dalam kawasan yang diduduki oleh rummemohon berkat dan perlindungan dalam pun suku Toraja, ada banyak marga di dalambekerja kepada Puang Matua dengan mengadanya karena itu, bila datang di Toraja akan dapat kan upacara “likaran biang”. menyaksikan banyaknya bangunan Tongkonan Caranya adalah sebagai berikut: Disedi berbagai tempat, baik di atas bukit mapun di diakan empat batang gelaga kecil, dipancang lembah-lembah dalam wilayah Kabupaten Tana di tanah berupa tiang meja dalam bentuk segi Toraja dan Toraja Utara. Untuk lebih mengenal empat. Kemudian dirangkaikan dengan daunnya Tongkonan maka ada baiknya memahami proses hingga membentuk tingkat berupa meja tempat pendirian atau pembangunan suatu Tongkonan. meletakkan sajian. Bahan lain yang disediakan yaitu: Seekor ayam, seekor anjing, sirih pinang. Pemotongan anjing dan ayam dilakukan terpisah. PROSES PENDIRIAN/PEMBANGUNAN Setelah meletakkan sirih pinang diatas daun piTONGKONAN sang pada pangkal gelaga tadi, ayam kurban disPendirian atau pembangunan suatu embeli, lalu diletalkkan di atas api agar bulunya Tongkonan sangat rumit dan sangat unik. Ada dapat dikan api. Kemudian badan ayam dibuka, berbagai tahap yang dilalui dari awal sampai dibuang perutnya dan bagian tubuhnya untuk saselesainya seluruh upacara menyangkut pemjian. Sajian itu dibungkus dengan daun pisang, bangunan suatu rumah Tongkonan: Mentama lalu dilemang. Beras dilemang juga untuk sajian. Pangala’, Manglika’ Biang,Urramme Kayu, Setelah semuanya masak, disediakan sajian keMambala, Mangloko’, Massura’, Ma’litakko, mudian diletakkan diatas petak alang yang diseMa’pa’ A’riri, Ma’pabendan, Ma’pasikala’ diakan. Sekarang tukang mengucapkan doanya. A’riri, Ma’parokko Pata’, Ma’kemun Rinding, Sesudah upacara selesai, barulah para tuMa’pasang Kayu Boko’, Ma’pasikala’ Kaso, kang memulai pekerjan menebang pohon kayu Ma’tarampak, Ma’papa, Ma’bubung dan Manuntuk ramuan Tongkonan. grubak (Parinding: 108 dst). Tahap-tahap yang telah disebutkan akan dijelaskan di bawah ini 3. Urrampun Kayu agar meudah memahami betapa uniknya memUrrampun Kayu artinya mengumpulbangun suatu Tongkonan. kan ramuan rumah dan divawah ke dekat tempat mendirikan rumah Tongkonan. 1. Mentama Pangala’ Setelah kayu-kayu ramuan rumah TongMentama Pangala’ artinya masuk hutan konan telah rampunjg ditarah. Dalam hutan, para mencari ramuan. Tukang kayu yang ditunjuk tukang kembali kek kampung memanggil orang akan mengerjakan pembangunan Tongkonan kampung serta menambah bekal makanan orang bersama anak buahnya dan anggota keluarga membawa ramuan Tongkonan itu ke perkamyang dipercaya menjaga dan memimpin pekerpungan. jaan pembangunan Tongkonan, masuk hutan Sudah menjadi sifat masyarakat Toraja dengan membawa bekal seperlunya. Tiap pohon dahulu, bila mendengar berita demikian, pada kayu yang dirasa baik, ditetak batangnya sebagai berangkat tanpa panggilan, untuk ikut memtanda, supaya kayu itu tidak ditebang orang lain. bantu. Perasaan kecenderungan atau simpati Setelah diperkirakan bahwa pohon kayu yang murni demikian di kalangan masyarakat Toraja, dipilih dan diberi tanda telah mencukupi untuk masih terasa murni nampak dilakukan masyararamuan yang dikehendaki, rombongan kembali kat Toraja di waktu sebelum memasuki perang ke kampung untuk: dunia kedua. Bekerja semacam ini merupakan gotong royong yang sebenarnya, yang disebut a. Mencari cukup kawan bekerja menbang Toraja “saroan” yang ada dewasa ini. Saroan kayu-kayu tersebut atau gotong royong yang ada dewasa ini hampi b. Mengambil makanan secukupnya selama seluruhnya berada “saroan tila’” artinya gotong mengerjakan kayu-kayu tersebut. royong daging kurban upacara. c. Melengkapi alat-alat yang akan dikaki di hutan.
73
4. Mangramme Kayu Mangramme kayu artinya merendam
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )"
kayu ramuan. Pekerjaan mangramme kayu ini mempunyai sifat mengawetkan supaya kayukayu ramuan itu tahan lama ketika dipergunakan. Cara mengawetkan ini, yaitu kayu-kayu itu telah cukup lamanya diawetkan dalam lumpur, kayu ramuan itu diangkat ke darat supaya kena sinat matahari, agar asamnya keluar atau menguap. Pa’kayuan pangramme umumnya lepas dari serangan gerakan insek atau serangga dan bubuk. Sesudah kayu-kayu ramuan pangramme itu cukup keringnya, barulah di bawa ke tempat tukang-tukang bekerja. Mengangkat pa’kayuan pangramme ini diadakan upacara kurban seekor ayam berwarna bangkas (bakka’?). Untuk semua yang ikut bekerja disediakan makanan. Mereka dilayani sesudah selesai upacara doa. Sajian persembahan disediakan diatas kayu ramuan yang sudah diangkat, dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Perkakas para tukang yang akan dipakai bekerja membangun Tongkonan itu, turut pula terkumpul dan diperciki dengan darah ayam persembahan tadi. Maksudnya supaya selama para tukang bekerja, mereka di lindungi oleh Puang Matua dari kemungkinan adanya bahaya. Misalnya terkena kapak atau terimpit balok yang dikerjakan.
5. Mambala Mambala artinya menarah atau merimbas kayu1 sesuai dengan ukuran tertentu sebagimana peruntukannya kelak dalam pembangunan Tongkonan. Sesudah kayu ramuan selesai direndam, tukang mulai bekerja. Umumnya yang mula-mula dikerjakan ialah memahat tiang rumah Tongkonan. Pekerjaan memahat tiang rumah Tongkonan, tempat memasukan balok rasuknya, merupakan pekerjaan yang dipandang sebagai salah satu pekerjaan penting, karenar rumah Tongkonan merupakan rumah panggung yang berlantai dua. Dahulu kala rumah Tongkonan didirikan diatas bukit batu yang susah didatangi musuh. Di tempat tinggi demikian itu biasanya amat kencang tiupan angin gunung. Supaya rumah-rumah di tempat tinggi dan banyak angin itu tahan tiu1. J. Tammu dan H. Van der Veen, Kamus Toradja – Indonersia, hh. 62-63.
pan angin, tiang rumah itu harus teguh bertaut menjadi satu kekuatan yang tak dapat dipisahkan. Untuk itulah semua tiang-tiang itu dirangkai kuat satu dan lain dengan rasuk yang kuat. Supaya rangkaian itu kuat, memahat tiang harus baik supaya rasuknya tidak goyang. 6. Manuran Bila rumpun keluarga Tongkonan menyetujui akan mengatapi rumah Tongkonan mereka itu dengan atap bambu sebagai keadaannya semula, maka diadakan pekerjaan “manuran” yaitu menebang pohon bambu untuk atap. Pekerjaan manuran ini biasa dikerjakan pada waktu kayu ramuan Tongkonan sementara direndam. Maksudnya supaya bahan atap bambu itu lama karena hujan dan panas matahari supaya atap bambu itu bertambah awet, tahan kepada bubuk dan tak lekas rusak. Memilih jenis bambu yang baik untuk atap. Dipilih bambu yang tumbuh dibukitbukit dan bukan bambu yang tumbuh di lembah. Alasannya karena bambu yang tumbuh di lembah lekas lapuk, sedang bambu yang tumbuh di bukit-bukit tahan, keras bambunnya dan tak mudah di makan bubuk. Tanda-tanda bambu yang baik: Bambu itu cukup tuanya supaya dapat bertahan lama dijadikan atap. Bambu-bambu itu cukup banyaknya untuk mengatapi rumah Tongkonan yang dimaksud Sedapat mungkin tempat bambu itu tidak jauh dari lokasi rumah yang akan diatapi, untuk menghemat ongkos angkutnya. Cara mengerjakan bambu yang akan dijadikan atap rumah Tongkonan.Bambu-bambu yang cukup tuanya saja yang ditebang untuk atap, supaya kuat dan tahan.Pangkal bambu yang tak baik untuk atap dibuang. Kemudian batangbatang bambu itu dipotong sepanjang ukuran yang diperluhkan untuk atap. Dengan ukuran yang sama panjangnya, lalu dibelah dua yang sama. Belahan bambu-bambu itu dibiarkan kena panas dan hujan supaya bertambah awet. Setelah cukup keringnya, baru boleh dibuang buku-buku ruasnya. Maksudnya supaya bambu-bambu itu tidak mengerut, terutama yang tak cukup tuanya. Setelah semua belahan bambu itu dikeluarkan buku batas ruasnya, pada ujungnya yang diatas dinuat sepasang lubang tempat memasukkan anggit atap itu 7. Mangloko’
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
74
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )" Yang dimaksud dengan pekerjaan “mangloko’” ialah penyerberhanakan pasangan seluruh badan rumah Tongkonan itu sebagai percobaan akan melihat kalau-kalau masih ada bagiannya yang perluh diperbaiki. Dengan adanya pekerjaan mangkolo’ ini, menyebabkan pekerjaan rumah Tongkonan agak lama baru selesai. Setelah nyata bahwa semua bahagian rumah itu telah berada dalam keadaaan baik, barulah bangunan penyeberhanaan Tongkonan itu di buka untuk diukir. Sebelum bentuk rumah penyeberhanaan itu dibuka, dibagian yang dirasa perluh diberi tanda untuk meletakkan ukiran. Maksudnya supaya setelas selesai diukir, keadaanTongkonan itu akan lebih rapi kelihatan dan menarik. Lain dari pada itu, ukirannya dapat pula lebih rapi dan serasi dengan bangunannya. 8. Massura’ Pekerjaan “massura’” ialah mengukir bagian-bagian rumah yang sudah dibuka dari pasangan “penyeberhanaannya” yang di sebut “magloko’”. Sebelum tukang ukir melakukan pekerjaan mengukir, lebih dahulu tukang ukir mengadakan persembahan disebut “unnoton potik piso to massura’” yang artinya mencelub puting pisau tukang ukir. Maksudnya, mencelupkan ujung pisau tukang ukir ke dalam darah ayam yang dikurbankan sambil mendoakan mudah-mudahan Puang Matua melindungi para tukang ukir supaya terhindar dari bahaya atau halangan selama bekerja mengukir rumah Tongkonan tersebut. 9. Manglitakki Supaya ukiran-ukiran itu jelas kelihatan, maka kayu yang akan diukir diberi warna dasar hitam. Menurut Toraja, dunia ini perjuangan dan penuh percobaan hidup yang dilambangkan warna hitam. Diatas dunia yang hitam itulah Toraja dituntut meletakkan seni hidup yang indah menurut Aluk dan Pamali. Yang dipakai menghitamkan kayu yang akan diukir yaitu: Arang kuali atau periuk tanah yang merupakan arang yang luas. Batang anak pisang yang baru tumbuh berbentuk tanduk kerbau. Batang pisang (pisang goreng) ini mempunyai getah pekat yang kuat melekat Kelopak batang pohon bone yang dapat menghaluskan dan menguatkan arang melekat pada kayu. Sesudah semua ramuan rumah selesai di-
75
ukir, barulah dimulai pekerjaan memberi warna, yang disebut “manglitakki”. Bahan yang dipakai memberi warna yaitu batu kadas keras berwarna yang dipilih dengan teliti jenisnya yang baik. Ada empat warna yang merupakan warna pokok bagi Toraja dalam mewarnai ukiran, yaitu hitam, putih, merah dan kuning. Batu-batu kadas itu diasah dan air asahan batu kadas yang agak kental, itulah yang dipakai mewarnai ukiran Tongkonan. Untuk pekerjaan manglitakki ini disediakan seekor babi untuk kurban persembahan.Sajian untuk manglitakki ini disajikan diatas kayu ramuan yang sudah diukir. Cara menyediakan daging sajian, seperti berikut: Diatas badan babi yang akan disembelih untuk persembahan manglitakki itu, disiapkan sajian sirih pinang. Kemudian imam yaitu “to minaa” membaca doa penyirihan. Selesai to minaa membaca doa penyirihan, babi kurban itu disembelih dengan menikamkan pisau tajam di ketiak kaki depan sebelah kiri. Disediakan ruas bambu untuk menampung darah babi itu. Kulit lambungnya diatas pangkal paha kaki belakang sebelah kiri ditoreh lalu dibuka, untuk mengeluarkan perut dan darahnya. Sebelum darahnya dikeluarkan, imam memeriksa empedunya untuk mengetahui kemungkinan persembahan itu menurut imam. Sesudah darah babi itu dikeluarkan, luka torehan dijahit supaya jangan dimasuki asap dan kotoran sementara bulu babi itu dibakari. Sesudah semua bulunya dimakan api, lalubadan babi itu dibersihkan. Kemudian dibuka. Mula-mula dadanya dikeluarkan bersama kulit perut, supaya isi lambung nampak seluruhnya. Sudah itu isi lambungnya berupa: hati, jantung, paru-paru dan ginjal dikeluarkan. Sekarang bebaslah Imam mengambil bagian badan babi kurban itu yang akan dijadikan sajiaan. Sajian dan daging-daging babi yang lain dilemang dalam bambu. Juga disiapkan nasi untuk sajian. Sudah itu Imam menyiapkam sajian. Daun pisang yang sudah berisi sajian diletakkan di atas kayu ramuan yang sudah diukir, lalu Imam membaca doanya. Setalah selesai Imam membacakan doannya, selesailah upacara manglitakki ini. 10.
Ma’pa’ A’riri Ma’pa a’riri Tongkonan ialah pekerjaan melubangi tiang-tiang untuk Tongkonan, tempat memasukkan rasuk tiang itu. Pekerjaan “ma’pa’ a’riri Tongkonan” dikerjakan sesudah semua tiang a’riri selesai ditarah atau dilicinkan. Sesudah semua tiang a’riri dilubangi, disediakan pula
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )" dengan harapan, supaya orang yang mendiami balok-balok rasuk yang pipih, besarnya sesuai Tongkonan itu kelak selalu berada dalam kedengan lubang tiang a’riri. Balok rasuk tersebut adaan tenang dan tentram.Dalam dunia Toraja disebut Toraja “ptolo’” atau “roroan”. Untuk pesejak dahulu sampai sekarang, masih didapati kerjaan ma’pa’ lentong ini diperluhkan seekor orang-orang tua yang percaya ilmu perbintanbabi untuk kurban persembahan. Sajian disegan untuk menentukan hari-hari yang baik untuk diakan seperti dalam menyediakan sajian nunmendirikan rumah, misalnya: tuk manglitakki passura’. Maksud doa ma’pa’ 1. Hari-hari yang dianggap baik: a’riri Tongkonan itu memohonkan supaya tiang a’riri itu menjadi kuat dan tahan lama menopang a. Bila bintang kejora yang disebut rumah Tongkonan; supaya orang yang mendiToraja “manuk” berada dilangit pada ami rumah Tongkonan itu kelah selalu bahagia, waktu subuh. panjang umur, hidup aman, damai dan tentram; supaya rumpun keluarga Tongkonan itu menjadi b. Bila bintang tujuh berkawan yang orang berbudi dan jadi semarak negeri. disebut Toraja “bunga” berada dilangit Ma’pabendan Ma’pabendan Tongkonan ialah pekerjaan mendirikan tiang rumah Tongkonan. Ma’pabendan ini meliputi: Mangrantei inan banua Tongkonan, artinya meratakan tempat menbdirikan rumah Tongkonan Mantanan batu parandangan, artinya memasang batu-batu dasar tiang rumah Tongkonan Memasang balok-balok rasuk tiang Tongkonan yang disebut “ma’patama petolog” Mula-mula semua rangkaian deretan tiang a’riri diletakkan pada sisi yang akan ditempatinya. Tiap deret tiang a’riri itu dirangkaikan dengan rasuk tiga jajar atau tiga susun, supaya cukup kuat mempertautkan tiang-tiang a’riri itu. Setelah tiba waktu yang telah ditentukan untuk mendirikan tiang rumah Tongkonan semua keluarga dekat lokasi, pada datang bergotong royong mendirikan tiang a’riri Tongkonan. Tiang a’riri rumah Tongkonan biasanya didirikan pada waktu subuh, sekitar jam tiga subuh di saat keadaan subuh. Mula-mula semuia a’riri rumah Tongkonan itu diletakkan pada sisi yang akan ditempatinya berdiri. Tukang memperbaiki keadaan semua rasuk tiang dengan memakai pali godam. Mendengar bunyi pali godam disubuh yang sunyi itu, semua laki-laki anggota masyarakat dekat lokasi itu pada berdatangan untuk ikuy serta mendirikan tiang a’riri Tongkonan. Semua keluarga dan masyarakat yang hadir berkumpul, mengadakan upacara persembahan dengan kurban seekor babi yang cukup besarnya. Sajian yang sudah masak disajikan diatas tiang a’riri yang siap akan didirikan. Setelah sudah siap, Imam mengadakan doa memohonkan berkat atas pekerjaan mendirikan rumah Tongkonan tersebut. Didirikan di waktu tenang,
sebelah timur setinggi matahari pukul sepuluh, pada waktu masih subuh.
11.
c. Tiap hari selasa. 2. Hari-hari yang dianggap buruk a. Bila nampak bintang tiga membentuk segitiga melalui tengah langit tengah malam, dalam bentuk ysng disebut Toraja “massondong para”. Bintang tersebut dinamai “sadang” oleh orang Toraja. b. Bila nampak bintang tiga yang terletak sama jarak dalam satu baris lurus, yaitu bintang yang disebut Toraja “lemba” bila terletak di langit pada subuh hari setinggi matahari pukul sepuluh sampai pukul dua belas, keadaan ini dianggap Toraja tidak baik. c. Dua hari sesudah pasar Rantepao, kecuali kalau pada hari itu kena hari Selasa d. Pada hari yang dianggap buruk itu maka tidak boleh memulai menebang ramuan rumah, tidak boleh memulai pekerjaan memarah ramuan rumah, tidak boleh memulai mendirikan rumah. Sebelum tukan meletakkan batu dasar rumah Tongkonan, tukang harus memeriksa betul supaya arah Rumah Tongkonan itu kelak betul keutara agak serong ketimur laut. Hal ini < +
% X Matua datang membawa rezeki dan bahagia kepada manusia dari arah utara dan timur. 12.
Ma’pasikala’ A’riri
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
76
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )" Ma’pasikala’ A’riri artinya merangkaikan semua tiang-tiang a’riri Tongkonan. Mulamula tiap tiang a’riri pada barisan sebelah barat dipertautkan bersama a’riri pasangannya pada barisan a’riri di sisi timur dengan memakai balok yang disebut “tangdan”. Sesdah semua tangdan dipasang, bagian dasar Tongkonan menjadi kuat berdiri dan bambu-bambu penopangnya sudah dapat dilepaskan. Supaya dasar ini bertambah kuat, semua tiang a’riri pada barisannya dipertautkan dengan memakai balok dasar dinding, yang disebut “baine kayu” atau “balida pangosokan”. Setelah semua sisi sudah dipasangi balida pangosokan, sekarang bagian dasar rumah menjadi bertambah tangguh. 13.
Ma’parokko Pata’ Pata’ ialah balok induk membagi dua lantai rumah Tongkonan menjadi bagian barat dan bagian timur. Balok pata’ Tongkonan dari semua ruangan rumah Tongkonan, terletak dalam satu baris lurus membagi dua lantai rumah. Pata’ diberi berlubang yang sama jaraknya, tempat memasukkan balok-balok yang disebut “kala’ka’”. Balok dasar dinding pada barisan barat dan timur Tongkonan, juga diberi berlubang yang sama besar dan sma jaraknya dengan lubang-lubang pada balok “pata’” di tangah rumah. Disebut demikian karena balok dasar dinding atau “kayu baine” penyangga a’riri pada barisan kiri kanan rumah dipertautkan dengan balok-balok kecil bernama “kala’ka’” yang disulur masuk melalui lubang-lubang kecil pada balok baine barat, melalui lubang-lubang kecil dimasukkan pada lubang-lubang kayu baine diatas a’riri sisi timur rumah Tongkonan. Dengan demikian kala’ka’ membentuk suatu dataran yang rata tempat meletakkan lantai-lantai rumah Tongkonan. 14.
Ma’kemun Rinding Ma’kemun rinding adalah pekerjaan memasang dinding rumah Tongkonan hingga lingkup seluruhnya. Yang mula-mula dipasang ialah birai-birai dinding yang lasim disebut “sangkinan rinding” atau “manangnga”yang artinya tulang dinding, tempat daun dinding berpegang. Untuk menguatkan manangnga banua ini, ditengah-tengahnya disepit dengan balok yang disebut “peassa’”, artinya alat penguat untuk memperkuat dan menetapkan kekuatan semua manganga dinding Tongkonan. Ada lima bagian dinding rumah Tongkonan itu, yaitu:
77
a. Rinding lindo banua, yang artinya dinding depan, termasuk dinding belakang rumah Tongkonan b. Rinding lambe’, yaitu dinding sisi rumah c. Rinding sapa’, yaitu dinding batas ruang rumah d. Rinding para, yaitu dinding segitiga diatas dinding depan rumah, terletak dibawah atap e. Rinding sulluk tangdo’, dinding kolong lantai anjung Semua sisi manangnga banua diberi beralur tempat bertaut daun dinding. Supaya manangnga itu bertambah kuat menahan dinding, sebelah atasnya ditutupi dengan balok yang disebut “balida baine”. Pada bagian balida baine yang bertepatan ujung-ujung manangnga, dibuat lubang tempat manangnga bertaut, hingga balida baine ini menggalang semua ujung manangnga dalam alurnya. Sesudah semua bagian dinding ini selesai diukir, barulah dipasang hingga kuat bertaut satu dengan yang lain tanpa mempergunakan paku. 15.
Ma’pasang Kayu Boko’ Boko’ artinya punggung dan terkait pembangunan Tongkonan maka Ma’pasang Kayu Boko’ adalah memasang kayu utama yang paling atas bangunan sebagai punggung bangunan tempat melekatkan kayu penyanggah bila atap dipasang. Di atas kayu boko’ inilah diletakkan bubungan kelak. Bila menyaksikan suatu pembangunan Tongkonan yang belum diatapi, maka hal tersebut mudah dilihat, dan penempatan kayu ini yang cukup berperan yang mengakibatkan bangun Tongkonan itu kelihatan indah. Semakin tinggi kayu boko’ dari lantai akan semakin indah Tongkonan tersebut. 16.
Ma’pasikala’ Kaso Ma’pasikala’ kaso ialah pekerjaan merangkai kasau dengan bagian Tongkonan sebelah atas. Yang dipilih menjadi kasau ialah kayu yang kuat, tak mudah patah dan lentur, lagu lurus. Kasau kiri kanan atap berpasangan dan dua ujungnya pada sebelah atas berbantal pada balok punggung rumah yang disebut Toraja “kayu boko’” artinya tulang punggung bubungan.
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )"
Semua kasau pada bagian tengahnya berbantalkan sebuah balok bundar yang kuat, disebut Toraja : ba’, bara’, teng, toeng. Pada pangkal sebelah bawah, ujung kasau-kasau itu dimasukkan ke lubang yang ada pada balok bantal anak atap yang disebut “pamiring”. Balok pamiring ini berfungsi sebagai: 1. Bantal anak atap yang pertama 2. Menggalang semua ujung kasau atap rumah, supaya semua dasar kasau itu tetap pada tempatnya semula serta tetap pula fungsinya. 17.
Manglonga “Manglonga” artinya memasang atap ujung rumah Tongkonan, yaitu atap yang menjorok ke depan. Membuat pemasangan longa ini meminta perhatian khusus. Ibarat manusia, longa, para, rinding tingo banua, kabongngo’ dan tulak somba, merupakan kesatuan bagisan Tongkonan yang ibarat paras gadis pada manusia. Sebab itu pekerjaan membuat longa banua merupakan pekerjaan yang penting. Mengapa tidak, karena longa dengan semua bahagiannya tamparan pandangan mata yang pertama yang menarik. Bagian pekerjaan yang menyusun bagian longa Tongkonan, ialah: a. Memasang “paramma’” yaitu balok punggung atap longa b. Paramma’ dihubungkan dengan “manete” atau “buku boko’ bubungan banua” yaitu tulang punggung bubungan rumah. Pada perhubungan ini, balok paramma’ dibantu dengan sebuah balok disebelah bawah paramma’. Balok tersebut dinamai “ara’ masapi”, yang dipasang sedemikian rupa hingga berbentuk menyempit dengan paramma’. c. Pertemuan balok buku boko’ dan paramma’ tepat pada bagian buku boko’ bubungan banua yang ditopang oleh tiang “petuo” dinding utara rumah dan disebelah selatan pada bagian manete atau buku boko’ banua yang ditopang oleh petuo dekat dinding Tongkonan sebelah selatan. Pangkal balok paramma’ agak menjorok ketengah bubungan, demi menjaga keseimbangan kekuatan balok paramma’ menahan beban longa. Pertemuan ini diikat kuat dengan pintalan tali ijuk yang baik dan kuat.
d. Pemasangan rampanana papa yaitu balok pipih dasar atau bantal anak atap pertama, anak atap pertama yang disebut tora-tora. Balok rampanan papa ini terdap[at pada dasar semua anak atap sekeliling atap rumah. e. Selaina dari rampanan papa, ada lagi balok yang disebut “pamiring”. Balok pamiring ini bertumpuh pada ujung sambo rinding lambe’, terpasang di kiri kanan di depan telang para, menutupi ujung-ujung tokeran atap badan rumah. Kedua pamiring condong kedepan dan bertemu di taut pada balok kayu boko’ bubungan. f. Pada tengah kedua pamiring ini ditahan oleh balok “pekadang pamiring” yaitu dua balok pengait pamiring yang bertemu dan bertaut teguh pada balok buku boko’ bubungan. Perbedaan antara balok pamiring dan balok rampanan papa, yaitu: g. Balok rampanan papa terdapat pada sekeliling rumah dan menjadi bantal anak atap h. Balok pamiring terdapat dipinggir atap dihadapan dinding para, berfungsi menutup ujung-ujung bambu tokeran atap rumah. Ada juiga pamiring dibuat sedemikian rupah hingga langsung menjadi telang para. i. Pemasangan busu-busu atau rado-rado longa, merupakan palang pendek, yaitu: j. Balok busu-busunya diberi berlubang tempat memasukkan palangnya. Ujung busubusu pada sebelah atas digantungkan pada balok paramma’ atau kayu boko’. k. Busu-busu dilubangi tempat memasukkan palang yang merupakan “sangka’ longa” yaitu balok penahan atau peregang kedua belah ranmpanan. l. Sesudah pemasangan paramma’ longa, sangka’ longa Tongkonan yang kedua belah pihak bertemu dengan pasangannya pada paramma’. Tugas kaso yang utama ialah : m. Mangait dan menahan rampanan longa n. Menahan tokeran anak papa longa dan tokeran papa longa. o. Pemasangan tokeran yaitu batang-batang
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
78
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Pembinaan Calon Pemimpin Masyarakat Toraja | oleh )-$. )" bambu kecil tempat menggantungkan anggitan anak atap dan anggitan atap. Pemasangan tokeran ini perlu rapi supaya indah dipandang mata p. Pemasangan sangka’ longa dilakukan bila beban atap longa nampak agak berat. Bila rumah Tongkonan hanya diatapi dengan atap seng (terutama dewasa ini), maka sangka’ longa tidak terlalu penting diadakan, karena pampang tulak somba dan pampang busu-busu telah cukup kuat menahannya, supaya : q. Jangan runtuh dari atas r. Jangan diterbangkan angin s. Pemasangan rad-rado iring diadakan bila longa agak panjang dan bertambah berat. Maksudnya supaya sangka’ rado-rado dapat berfungsi baok. t. Sesudah rangka longa telah terpasang dengan baik, barulah dimulai pemasangan atap longa dengan” u. Pemasangan anak papa. Pemasangan anak papa longa banua merupakan pekerjaan yang menetukan keindahan seluruh longa rumah Tongkonan disamping keindahan keindahan ukirannya yang beraneka bentuk dan irama. Pemasangan anak papa pertama yang disebut “tora-tora” yang merupakan pasangan dasar anak papa, anak papa yang sudah disiapkan seindah mungkin, tidak terlepas dari penelitian yang tenang dalam memasangnya. Dalam memasang anak atap tora-tora ini, seorang ahlinya harus berada di tanah yang tak lepas perhatian kalau melihat kalau pemasangan itu telah tepat. Sesudah di tora-tora terpasang dengan rapi, diatasnya diletakkan bila bambu yang sudah diraut baik, untuk penjaga supaya terampak itu rata pemasangannya. Begitulah seterusnya anak atap berikutnya dipasang atau dikejakan. Tidak semua anak atap Tongkonan dikerjakan demikian, hanya rumah Tongkonan yang akan dibangun jadi indah. v. Pemasangan “papa to kamban” yaitu atap rumah bagian atas, termasuk atap longa bagian atas, seluruhnya dilakukan srempak. Bila keadaan tak meluaskan terkadang
79
pemsangan atap to kamban longa dipasang kemudian. w. Pemasangan “tulak somba” yaitu tiang besar vdi depan dan di belakang rumah yang tugasnya menopang ujung balok buku boko’, untuk menguatkan supaya longa teguh bertahan x. Pada bagian ujung atap longa, dipasang penampun papa dan penampun boko’ bubung, untuk memperbaiki ujung hubungan dan tepi atap supaya rapi kelihatan 18. Ma’tarampak . 19. Ma’papa 20. Ma’bubung 21. Mangrubak dan Jenis dan Falsafah Tongkonan Akan dibahas dalam edisi selanjutnya.
PENUTUP Demikianlah seperti di atas hal-hal yang melekat pada diri seorang warga Tongkonan dalam masyarakat Toraja. Dalam hal ini sangat besar peranan orang yang dituakan dalam rumpun keluarga. Yang dituakan dalam Tongkonan harus mampu memberi motivasi kepada seluruh warga Tongkonan sehingga semuan warga Tongkonan akan terayomi. Teristimewa, dia harus memperlihatkan semua yang baik dan benar sesuai dengan tata khidupan dalam Tongkonan tersebut. Denagn demikian orang yang dituakan merupakan “panutan dan teladan” bagi seluruh warga Tongkonan. Berbicara mengenai pendidikan maka keteladanan adalah kunci untuk berhasil mengubah pikiran dan perilaku seseorang. Di sinilah peranan penting Tongkonan dalam mendidik dan membentuk karakter masyarakat Toraja.
DAFTAR PUSTAKA End, Th. van den, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1994. Kabanga’, Andarias, Manusia Mati Seutuhnya, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002. Parinding, C., Tongkonan, Brosur, tidak diterbitkan. Sarira, J.A., Benih yang Tumbuh VI, Rantepao
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja | Pasca Sarjana Kepemimpinan Kristen
MASAKKE Vol. I No.1 Tahun 2014 | ISSN 2442-5044
Spiritualitas Kristiani Seorang Pemimpin | oleh )-$. )"
dan Jakarta: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja dan Litbang DGI, 1975 Tammu, J dan H. van der Veen, Kamus Toradja – Indonesia, Rantepao: Jajasan Perguruan Kristen Toraja, 1972. Tangdilintin, L.T., Toraja dan Kebudayaannya, Rantepao: Yayasan Lepongan Bulan, 2014. ---------------, Tongkonan dengan Aesitektur dan Ragam Hias Toraja, Makassar: Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, 2014.
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat | Pasca Sarjana Jurusan Kepemimpinan Kristen
80