WHITEPAPER JUNE 2016
MARKET CAPTIVITY IN SHARING ECONOMY The Art of Growing Customer Segment through Digital Innovation By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
PENDAHULUAN Kita tahu bersama bahwa pada abad 21 ini perkembangan bisnis dan teknologi maju semakin pesat dan saling seiring-sejalan. Ada bisnis yang semakin berkembang berkat pemanfaatan teknologi, ada pula bisnis yang musnah ditelan jaman karena peran teknologi yang menggantikannya. Jika perusahaan tidak mampu bertransformasi secara kontinyu, maka segmen pasar yang kita layani selama ini bisa berpindah ke perusahaan lain yang lebih mampu memanjakan mereka. Apalagi sekarang kita sedang memasuki masa sharing economy, di mana semuanya menjadi mudah dan murah. Perusahaan wajib melakukan inovasi digital sedemikian tidak kehilangan segmen pasar, bahkan sebaliknya, pelanggan yang ada malah merasa terus terikat dan punya dependensi tinggi pada perusahaan kita (captivated) dan tidak mau berpindah ke kompetitor. Dalam edisi whitepaper kali ini, akan dibahas topik yang sangat menarik dan kekinian, yaitu ....
Market captivity
in
The Art of Growing Customer Segment through Digital Innovation
Sebut saja bisnis yang paling kuat dan selalu mengikuti perkembangan jaman adalah Telkom. Setiap 5 – 10 tahun sekali, model bisnis Telkom selalu berubah. Kalau dulu, Telkom di setiap sudut ujung jalan menyediakan gardu telepon umum (dari yang dulunya menggunakan uang koin, berubah ke kartu magnet, lalu terakhir berubah ke kartu chip sebelum akhirnya musnah). Setelah itu, gardu telepon umum mulai musnah satu demi satu sebab tiap rumah tangga mulai mudah mendapatkan jaringan nomor telepon rumah pribadi. Namun, untuk segmen tertentu yang belum mampu menjangkau biaya pemasangan dan iuran bulanan telepon rumah, Telkom menyiasatinya dengan membuat model bisnis kerjasama dengan pemilik kios di pinggir jalan untuk membuka Wartel (warung telekom). Seiring waktu, segmen ini mulai meningkat daya belinya, dan sudah mulai mampu membeli handphone pribadi, maka yang namanya Wartel juga mulai musnah satu demi satu, sedemikian akhirnya semua berubah fungsi menjadi Warnet (warung internet). Berjalannya waktu, sambil menggarap segmen menengah ke atas untuk menjual jaringan Wi-Fi Speedy di rumah, Telkom juga menggarap segmen menengah ke bawah melalui modem USB Flash yang bisa dibawa kemana saja saat mau berseluncur di dunia maya. Dengan keadaan ini, Telkom terpaksa “memusnahkan” Warnet agar terus bisa mengikuti perkembangan jaman. Alhasil beberapa pengusaha Warnet, sekarang mengubah konsep bisnisnya menjadi Game Center yang digemari anak muda untuk sekedar melepas lelah dan kongkow dengan kawan-kawannya. Bayangkan jika Telkom tidak bisa bertransformasi dari waktu ke waktu, maka akan terjadi hal yang sama seperti Kodak yang telah bangkrut pada 2012 lalu. Artinya, kita sebagai pebisnis harus terus mengembangkan segmen pasar yang baru seiring perkembangan teknologi, sebab keadaaan pasar akan selalu berubah. Oleh sebab itu, dalam whitepaper kali ini, akan dibahas bagaimana mengembangkan segmen pasar melalui inovasi teknologi digital sedemikian captive market kita akan semakin besar, khususnya menyikapi maraknya tren sharing economy yang sekarang mulai terasa dampak sosial ekonominya. Kembali ke pembahasan perkembangan teknologi, khususnya perkembangan media informasi. Guglielmo Marconi, pencipta Radio analog pertama di dunia sebenarnya sudah berhasil menemukan Radio sebelum tahun 1900, namun Radio benar-benar diterima kehadirannya di pasar komersil pada 20-30 tahun setelahnya. Tak lama setelah itu, John Logie Baird, sang pencipta
Televisi hitam putih pertama di dunia walau sudah mematenkan hasil karyanya pada tahun 1920an, tapi kenyataannya TV hitam putih benar-benar diterima pasar pada tahun 1940-an. Hal ini juga berlaku tidak jauh berbeda untuk penemuan-penemuan media informasi berikutnya, seperti TV berwarna, Video player, dan Gadget lainnya. Kalau dulu diperlukan waktu kurang lebih 10-20 tahun agar pasar bisa memahami dengan baik produk inovatif yang diluncurkan, namun saat ini karena konsumen semakin pandai dan mudah mendapatkan akses informasi, maka waktu untuk edukasi pasar yang dibutuhkan perusahaan pun juga semakin pendek rentang waktunya. Berikut adalah grafik perkembangan adopsi teknologi oleh konsumen rumah tangga di Amerika selama 100 tahun terakhir.
Gambar 1. Tren Perkembangan Media Informasi di Amerika untuk 100 tahun terakhir
Dulu ada yang pernah mengatakan bahwa kehadiran Radio akan memusnahkan surat kabar (Koran), nyatanya sampai sekarang tidak demikian. Begitupula kehadiran Televisi dianggap mengancam eksistensi Radio, nyatanya sampai sekarang keduanya masih hidup berdampingan. Hanya saja platform yang digunakan sekarang sangat berbeda dengan dulu yang hanya analog. Teknologi yang digunakan sekarang adalah berbasis aplikasi dimana semua orang bisa akses secara
streaming dari smartphone masing-masing tanpa harus membawa alat (device)-nya. Namun, sesungguhnya juga masih ada orang yang melihat siaran televisi dari TV analog yang mereka punya di rumah, masih ada orang yang mendengar siaran radio dari radio analog yang mereka punya di mobil.
Artinya, bisnis apapun yang kita miliki saat ini, asal kita bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, maka kita tidak akan kehilangan segmen pasar, melainkan malah bisa mempertahankan segmen yang lama, bahkan menambah jumlah segmen baru. Perkembangan radio contohnya, saya yakin bahwa segmen usia di atas 50 tahun masih memiliki dan mendengar radio analog secara rutin dari rumah/toko mereka. Sedangkan segmen usia 30-50 tahun punya kecenderungan mendengar radio tatkala mereka berkendara mobil sambil menyetir di tengah kemacetan menuju ke kantor/rumah. Dan segmen di bawah 30 tahun yang lebih sering nongkrong di Cafe, cenderung mendengar radio secara streaming dari gadget mereka sambil mengerjakan tugas di hadapan laptop masing-masing. Inilah sesungguhnya yang disebut konsep Market Captivity ! Semua segmen, baik usia, gender, jenis pekerjaan, background pendidikan semuanya kita tawan agar kita tidak kehilangan pasar.
Tipping point
Gambar 2. Siklus Adopsi Perkembangan Teknologi oleh Consumer
Surat kabar juga demikian, kita bisa membeli koran harian tidak hanya yang berbentuk cetakan saja, melainkan juga yang berbentuk digital version-nya (softcopy pdf). Malah beberapa surat kabar tertentu menjual paket biaya langganan versi digital-nya sama persis dengan harga langganan yang berbentuk cetakan. Sangat tidak masuk akal nampaknya, harusnya jauh lebih murah versi digital karena harga pokok produksi mencetak hardcopy jauh lebih mahal (perawatan mesin, tinta, bahan kertas, bahkan proses distribusi hingga ke loper koran pun semuanya nyaris nol biayanya), tapi kenapa juga tambah lama tambah banyak konsumen yang beralih dari versi cetakan ke versi digital? Hal ini terjadi karena semata-mata konsumen juga semakin sadar akan kepraktisan dan sadar lingkungan (tidak mau ribet bawa beban & tidak menambah tumpukan sampah di
rumah), serta konsumen ingin menyimpan data informasi lebih lama jika sewaktu-waktu membutuhkannya (tinggal klik dan find keyword di dalam file pdf tersebut). Bandingkan jika berupa versi cetakan, maka selain koran tersebut mudah rusak karena cuaca/lembab, juga konsumen susah mencari berita yang dibutuhkan secara manual. Oleh sebab itu, surat kabar tertentu bersih keras menjual harga paket langganan versi digital sama persis dengan harga paket langganan cetakan, sebab yang ingin dijual adalah tentu saja benefit-nya, bukan fiturnya. Masalahnya, berapa persen konsumen yang sudah migrasi dari versi cetakan ke versi digital? Ternyata tidak semuanya, beberapa segmen tertentu masih nyaman dengan versi cetakan, sedangkan beberapa segmen tertentu lebih nyaman dengan versi digital. Yang disebut segmen, sesungguhnya bukan saja masalah usia sebenarnya, sebab saya pernah saksikan sendiri kakek berusia 70 tahun yang baca koran setiap hari melalui tablet PC-nya. Mengacu pada penelitian akan tingkat adopsi perubahan teknologi akan suatu produk, konsumen bisa dibedakan ke dalam beberapa segmen pasar, di antaranya adalah: 1.
Segmen innovators, yaitu konsumen yang mudah sekali menerima hal baru, mereka adalah orang-orang yang dengan cepat menyesuaikan diri dan mengikuti tren terkini, walau terkadang suatu perusahaan belum melakukan launching, mereka sudah inden /memesan produk besutan terbaru tersebut duluan dan rela bayar di muka. Segmen innovators ini hanya berjumlah 2,5% saja dari total konsumen yang ada.
2. Segmen early adopters, yaitu konsumen yang mulai mau beralih ke hal baru setelah ada proses edukasi yang dilakukan perusahaan. Mereka ini adalah orang-orang yang suka akan hal yang praktis dan bersedia belajar mengganti perilakunya agar hidup/pekerjaan seharihari semakin efisien dan efektif. Segmen early adopters ini hanya berjumlah 13,5% saja dari total konsumen yang ada. 3. Ada jurang pemisah (chasm) sebelum masuk ke segmen yang paling gemuk ( early & late
majority), sebab upaya edukasi yang sangat masif dari perusahaan sangatlah diperlukan agar masyarakat secara luas menerima kehadiran perkembangan teknologi yang terbaru. Contohnya GOJEK, perusahaan penyedia transportasi berbasis aplikasi yang ternama di Indonesia, Nadiem Makarim, sang pendiri sekaligus CEO GOJEK menyatakan membutuhkan waktu setidaknya 4 tahun sejak tahun 2011 silam untuk edukasi pasar sebelum akhirya Gojek benar-benar diterima di masyarakat pada tahun 2015. Menurut buku The Tipping Point yang ditulis oleh Malcolm Gladwell, dijelaskan bahwa dibutuhkan upaya yang tiada
lelah untuk mengedukasi pasar sedemikian jurang pemisah ( chasm) bisa segera dilalui dan inovasi yang dilakukan suatu perusahaan bisa dengan baik diterima oleh pasar.
chasm
Gambar 3. Tipping Point dalam Berinovasi 4. Segmen early majority dan late majority, yang jika ditotal jumlahnya mencapai 68% dari total konsumen secara keseluruhan. Bedanya adalah early majority lebih cepat /lebih berani memutuskan untuk beralih ke produk baru tatkala mereka mendengar edukasi secara pasif (karena tidak dengan sengaja mencari informasi seperti segmen innovators dan early adopters), namun menerima paparan informasinya secara masif melalui media massa. Sedangkan segmen late majority adalah rekan sekerja/keluarga dekat dari early
majority yang akhirnya ikut-ikutan membeli karena testimoni/ajakan darinya. 5. Segmen laggards, adalah konsumen yang memang sudah terlalu nyaman dengan perilaku konsumsinya selama ini, dan memang tidak mau berubah bagaimanapun kondisinya. Jumlahnya cukup banyak, yaitu sekitar 16% dari total konsumen yang ada. Sebagai contoh, seberapa jauh dan beragam inovasi teknologi yang dikembangkan Bank BCA, namun yang namanya di setiap cabang masih ada customer service yang masih diperankan oleh manusia. Walau sesungguhnya kita bisa telepon Hallo BCA untuk minta bantuan, atau akses ke website BCA dan upload data di sana, tapi bagi beberapa segmen tertentu, masih lebih nyaman jika dilayani langsung oleh manusia. BCA berhasil melakukan Market Captivity, artinya tidak ada segmen pasar yang hilang karena adanya perkembangan teknologi.
Bagaimana agar perusahaan kita bisa tampil dinamis dan inovatif seperti cerita Gojek dan Bank BCA di atas? Sebelum kita masuk ke penjelasan lebih dalam akan hal itu, maka sebaiknya kita perlu kembali me-refresh sejenak sebenarnya siapa saja target segmen pelanggan yang kita layani selama ini. Barulah setelah itu kita mulai memetakan, inovasi digital apa yang harus kita lakukan, dan di fase/fungsi kerja yang mana yang perlu didahulukan?
Gambar 4. Segmentasi Pasar dalam menciptakan Captive Customer
Untuk mensegmentasikan pelanggan, kita bisa memulainya dari faktor eksternal (aspek perilaku pelanggan dalam berbelanja/konsumsi) lalu dipadukan dengan faktor internal (aspek kemampuan organisasi dalam melayani pelanggan). Faktor eksternal bicara masalah bagaimana pelanggan dalam menggunakan produk kita (usage segmentation). Apakah pelanggan menggunakan produk kita setiap hari atau hanya setiap minggu, berapa jumlah spending yang dikeluarkan untuk sekali belanja, dsb. Dari satu aspek ini saja sebenarnya kita sudah bisa memilah dan memilih, mana pelanggan yang paling potensial. Selain aspek tsb, ada juga aspek eksternal lain, yaitu segmentasi demografi, seperti latar belakang pendidikan, usia, gender, besar income, dll, kita bisa memilih manakah dari sekian segmen demografi yang paling potensial untuk produk yang kita pasarkan.
Aspek lain dari faktor eksternal yang masih bisa digunakan sebagai dasar dalam mensegmentasikan pasar adalah aspek segmentasi berdasar psikografis, seperti hobi, lifestyle,
branding image atau diferensiasi yang hendak kita ciptakan dibanding milik kompetitor. Aspek yang terakhir dalam faktor eksternal adalah segmentasi berdasarkan geografi, yaitu daerah manakah tempat konsumen kita bertempat tinggal yang paling potensi untuk dikembangkan ke depannya untuk membuka cabang baru, sedemikian bisa menggerus market share milik kompetitor. Misal jika pelanggan potensial kita selama ini tinggalnya di Surabaya Barat, maka sebaiknya kita membuka cabang di Surabaya Barat. Jika faktor eksternal adalah lebih kepada segmentasi berdasar cara konsumen melakukan konsumsi dan terkait latar belakang mereka, maka faktor internal adalah terkait urusan internal organisasi perusahaan kita. Beberapa aspek yang bisa digunakan untuk mensegmentasikan pasar adalah sumber daya dan kompetensi yang perusahaan kita miliki. Jika perusahaan kita masih tergolong baru dan kapabilitas belum terlalu besar, maka sebaiknya pun kita juga menyasar segmen konsumen yang punya daya beli tidak jauh berbeda antara price yang kita tawarkan ke mereka dengan cost yang harus kita tanggung untuk membuat dan memasarkan produk tersebut. Aspek kualitas produk dan layanan yang kita janjikan kepada konsumen juga bisa dijadikan dasar untuk melakukan segmentasi pasar. Misalnya, kita menjual 2 macam kualitas produk, yaitu produk KW 1 untuk segmen menengah ke atas, dan produk KW 2 kita pasarkan untuk segmen menengah ke bawah. Atau kita bisa berikan layanan pesan antar gratis untuk pembelian di atas nominal tertentu untuk segmen tertentu, namun untuk segmen lainnya, mereka harus ambil sendiri di outlet kita. Aspek proses jasa (service flow) juga bisa diterapkan untuk mensegmentasikan pasar sesuai konteks strategi bisnis yang hendak kita jalankan. Misal segmen tertentu harus memesan produk secara online, namun untuk segmen tertentu lainnya masih bisa memesan produk melalui telepon, dsb. Apabila segmentasi pasar sudah kita lakukan, dan kita sudah memilih manakah segmen paling potensial yang bisa kita kembangkan ke depannya. Maka barulah kita melanjutkan pada pembahasan akan inovasi apa yang sebaiknya kita lakukan sedemikian segmen pasar yang kita mau garap tersebut ke depan dapat menjadi captive customer yang akan terus bergantung pada perusahaan kita.
Micro Segment
Added Value
Innovation Area
Business Model
Distribution Channel
Gambar 5. Area Inovasi Pengembangan Organisasi
Diagram di atas menjelaskan bahwa ada 6 pilihan area untuk berinovasi yang bisa kita lakukan agar target segmen pelanggan kita bisa menjadi captive customer, di antaranya adalah sbb:
1. New Micro Segment Membuat turunan segmen (micro segmentation) dari target segmen pasar yang kita mau bidik dengan lebih detail, sedemikian kita bisa terus menciptakan ceruk-ceruk pasar yang baru. Misal Harley Davidson baru saja mengeluarkan tipe motor terkecilnya dengan membandrol harga sekitar 250 jutaan, padahal umumnya motor Harley dijual minimal di atas harga 400 jutaan. Ini untuk menyiasati segmen wanita (kelas premium juga) yang ingin juga merasakan sensasi naik motor Harley tapi terbentur secara fisik tidak terlalu kuat saat ingin memarkir motornya yang sangat berat, sehingga Harley mengeluarkan motor yang lebih ramping dan ringan, namun tetap dengan sensasi suara knalpot dan mesin yang tidak jauh berbeda dengan motor Harley umumnya.
2. New Business Model Konsep bisnis model yang baru juga bisa menjadi alternatif inovasi sedemikian para konsumen lebih punya depedensi tinggi ke depannya terhadap perusahaan kita. Misal saat ini Lion Air secara terang-terangan memasang informasi di setiap belakang sandaran
kepala penumpang, mengajak para penumpang untuk menjadi agen lepasan /perantara penjual jasa ekspedisi. Hal ini terjadi sebab ruang bagasi di bagian bawah pesawat yang semakin kosong saja berapa tahun terakhir ini karena banyak penumpang yang hanya membawa tas kecil dan meletakkannya di ruang kabin saja (sebab penumpang malas untuk bayar lagi jika membawa tas yang dimasukkan bagasi). Konsep bisnis model yang baru ini dilakukan agar Lion Air bisa mendapat revenue selain pembelian tiket pesawat, sedemikian para penumpang kelas menengah sebagai target segmen utama masih bisa membeli tiket murah untuk penerbangannya.
3. New Distribution Channel Peluang-peluang inovasi baru bisa dilakukan untuk membuat pelanggan terus punya depedensi tinggi terhadap perusahaan kita. Salah satunya adalah bagaimana kita bisa memotong rantai nilai/rantai distribusi yang sudah ada menjadi semakin pendek, sedemikian pelanggan bisa mendapatkan benefit lebih banyak dari sejumlah nilai uang yang sama yang dibayarkan ke kita. Hal ini bisa terjadi karena kita tahu setiap bertambah panjang 1 rantai distribusi, maka semakin mahal jatuhnya harga produk akhirnya, karena setiap rantai pasti menginginkan margin keuntungan. Padahal rata-rata dari HPP (harga pokok produksi) di level produsen, hingga ke harga eceran di tingkat retail, bisa mencapai 500% kenaikannya, atau 5x lipat dari HPP. Inovasi di area rantai nilai ini contohnya dilakukan oleh beberapa produsen elektronik yang saat ini membuat website-nya bisa langsung melayani pelanggan secara eceran, dimana dulunya sifat website hanya untuk katalog saja. Kelihatannya cukup merugikan bagi pihak distributor/retailer yang ikut membantu menjualkannya. Namun harga yang dipasang di website tersebut harganya tetap bersaing dan tidak mengkanibalisme jalur distribusi yang sudah ada., melainkan hanya bertujuan melindungi para konsumen agar tidak terlampau mahal saat membelinya melalui toko ritel elektronik.
4. New Added Value Area inovasi lain yang bisa dilakukan agar para pelanggan menjadi captive customer adalah memberikan added value kepada para pelanggan tanpa harus menimbulkan beban
cost lagi bagi perusahaan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan added value
berupa service yang lebih baik, layanan komplain yang lebih cepat, dan mampu mengenal dekat, menyapa nama, dan melayani pelanggan secara customized satu demi satu akan kebutuhan yang mereka perlukan. Salah satu contoh perusahaan yang berhasil melakukan ini adalah Zappos.com, perusahaan peritel khusus alas kaki dari Amerika ini menerapkan konsep “pelayanan” lebih penting daripada “penjualan” sepatu. Akibatnya, omset penjualan sepatu lama-kelamaan juga ikut terangkat karena image yang diciptakan di awal sangatlah positif.
Sedikit menambahkan poin penjelasan di atas terkait business model, inovasi yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan model bisnis yang sekiranya bisa lebih sustain untuk jangka panjang. Model bisnis yang baik khususnya yang cocok digunakan dalam era sharing
economy adalah bisnis model yang memiliki CAC (cost to acquire customer) rendah, namun mampu menciptakan LTV (lifetime value of customer) yang tinggi. Jadi, bukan menerapkan yang sebaliknya.
Gambar 6. Business Model dalam Sharing Economy CAC adalah
biaya rata-rata iklan atau kampanye marketing yang dibutuhkan untuk
mengakuisisi satu orang pelanggan baru. Sedangkan LTV adalah rata-rata potensi revenue di masa mendatang yang akan diperoleh perusahaan jika melayani dengan baik satu orang pelanggan. Menekan biaya CAC hanya bisa dilakukan jika kita melakukan kampanye marketing yang low-cost, salah satu cara adalah menggunakan peran internet marketing (website, social media, google adword, email broadcast, dll). Lantas bagaimana cara untuk meningkatkan LTV?
Peningkatan LTV (lifetime value of customer) bisa diterapkan apabila perusahaan terus melakukan inovasi, sebab jika tidak demikian, pelanggan akan dengan mudah selingkuh dan pindah ke kompetitor yang bisa melayani mereka lebih baik, terlebih harga produk yang harus dibayarkan pelanggan ke kompetitor ternyata jauh lebih murah. Jika pelanggan selingkuh, maka potensi
revenue di masa mendatang yang harusnya didapatkan oleh perusahaan, secara otomatis akan hilang, sedemikian keadaan ini sangatlah berbahaya untuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Oleh sebab itu, pembahasan terakhir akan difokuskan pada disruptive innovation, bagaimana perusahaan terus bisa berinovasi agar pelanggan tidak selingkuh, malah sebaliknya mereka bisa menjadi captive customer yang loyal. Disruptive innovation adalah konsep inovasi yang berorientasi pada low-cost & high-impact marketing, artinya inovasi yang bertujuan untuk membuat produk semakin lebih baik namun cukup dibeli dengan harga semakin murah, sedemikian pelanggan merasakan adanya added value yang semakin tinggi dari perusahaan dan tidak mau berpindah ke kompetitor.
Gambar 7. Digital Innovation dalam Sharing Economy untuk menciptakan Captive Customer Memang tidak semua pelanggan mencari harga yang termurah untuk produk yang berkualitas. Ada segmen tertentu yang sangat demanding yang tidak peduli akan harga, sebab semakin mahal dia membeli produk, maka semakin tinggi pride/gengsi/pengakuan yang akan diperoleh dari teman-temannya. Masalahnya, pelanggan yang ada di segmen kelas atas ini hanya sedikit jumlahnya, sebab mereka berada di piramida penduduk yang paling atas. Sebaliknya, segmen yang tidak terlalu demanding (kelas menengah) yang jumlahnya sangat banyak
sebenarnya ingin mendapat kualitas tinggi, namun daya beli mereka yang tidak terlalu baik saat ini (seiring dengan adanya deflasi di beberapa kota besar di Indonesia), menyebabkan mereka menahan diri untuk repeat buying.
PENUTUP Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “Market Captivity in Sharing Economy”. Perusahaan yang bisa hadir dengan inovasi sedemikian kebutuhan segmen kelas menengah ini tetap dapat terpenuhi walau dengan daya beli yang tidak terlalu tinggi pun mereka masih mendapat layanan maksimal, akan mampu membuat pelanggan kelas menengah ini menjadi
captive customer-nya. Sebagai contoh, Uber Taxi berhasil melakukan disruption (gangguan yang mengacau) omset Blue Bird Taxi, bahwa pelanggan cukup membayar dengan harga lebih murah untuk jasa transportasi serupa, yaitu naik mobil yang sama-sama ber-AC, sama-sama privat tujuannya, bukan seperti angkot/bus yang harus berhenti di setiap halte. Bahkan pelanggan Uber Taxi bisa naik pride-nya karena dikira orang lain dia lagi diantar sopir pribadinya. Siapkah kita mendapatkan captive customer baru dari kompetitor kita, atau setidaknya membuat para pelanggan lama kita tidak selingkuh ke kompetitor karena mereka juga bersedia tertawan oleh layanan kita yang semakin baik, namun harga lebih murah? Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.