Akibat Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Anak Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA) Marini Henni Clementin, Surini Ahlan Sjarif, Farida Prihatini Bidang Studi Hukum Antar Sesama Anggota Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Pembatalan perkawinan memiliki akibat bagi pihak-pihak tertentu, termasuk terhadap anak. Pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Skripsi ini menjelaskan status anak yang lahir dari suatu perkawinan yang dibatalkan, yang dikaji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, skripsi ini juga akan menjelaskan ada atau tidaknya pertentangan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam mengatur mengenai pembatalan perkawinan. Dibahas juga kesesuaian penerapan hukum oleh hakim dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dalam putusan nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA. Skripsi ini dibuat dengan metode studi pustaka dan wawancara dengan salah seorang hakim di Pengadilan Agama Depok. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa (1) tidak ada pertentangan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam dan (2) terdapat kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam putusan nomor nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA. Kata kunci: Anak sah; pembatalan perkawinan; perkawinan
The Consequence of Marriage Nullification Toward Child From The Perspective of Islamic Law and Law Number 1 Year 1974 about Marriage (Case Study Number 0554/Pdt.G/2009/PA.TA) Abstract The nullification of marriage brings effect to the child. The nullification of marriage is ruled by the Law Number 1 Year 1974 about Marriage and The Compilation of Islamic Law. This minithesis explain the status of the child who born cause by the marriage that nullified, which is explained from the perspective of Islamic Law and Law Number 1 Year 1974 about Marriage. Other than that, this minithesis will explain about the existence of the diference of rules between The Compilation of Islamic Law and Law Number 1 Year 1974 about Marriage. This minithesis will also explain about the application of law by the judges in the case number 0554/Pdt.G/2009/PA.TA. This minithesis is created with the literature study method and interview with a judge of the Religious Court of Depok. The research get the conclusion that (1) there is no contradiction between Law Number 1 Year 1974 about Marriage and The Compilation of Islamic Law and (2) there is a mistake which done by the judge on the case number 0554/Pdt.G/2009/PA.TA. Key words: Legal child; marriage; marriage nullification
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Pendahuluan Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga yang bahagia, penuh cinta dan kasih sayang untuk selama-lamanya yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, namun seringkali dalam prakteknya terjadi hal-hal yang mengakibatkan kebahagiaan dalam perkawinan tersebut sirna. Sering di kemudian hari terdapat hal-hal yang menyebabkan salah satu atau kedua belah pihak merasa tidak cocok lagi antara satu sama lain sehingga mereka memutuskan untuk bercerai. Namun tidak jarang juga bahwa sesungguhnya kedua belah pihak masih saling mencintai dan ingin mempertahankan perkawinan mereka namun karena terdapat kekeliruan mengenai syarat-syarat perkawinan mereka, sehingga perkawinan mereka harus dibatalkan.
Dalam masyarakat Indonesia, fenomena pembatalan perkawinan kalah populer dengan
fenomena perceraian. Pada dasarnya perceraian dan pembatalan perkawinan mengakibatkan suami istri tidak terikat oleh perkawinan lagi. Salah satu perbedaan perceraian dan pembatalan perkawinan adalah pada perceraian, setelah adanya perceraian maka status hukum suami/istri berubah menjadi janda/duda, sedangkan dalam pembatalan perkawinan, suami istri dikembalikan lagi statusnya menjadi seperti sebelum ia kawin. Dalam putusan nomor 0554/0554/Pdt.G/2009/PA.TA tergambar suatu fenomena pembatalan perkawinan yang disebabkan karena adanya pelanggaran terhadap salah satu syarat umum perkawinan, yaitu pelanggaran terhadap larangan perkawinan karena adanya hubungan nasab. Pada kasus tersebut, Pemohon yang merupakan suami Termohon diketahui ternyata adalah keponakan dari Termohon. Hal ini tentu sangat mengagetkan dan menunjukkan bahwa sebelum pencatatan perkawinan tidak ada penelitian yang seksama mengenai jati diri keduanya. Selama perkawinan berlangsung, pasangan tersebut telah memiliki seorang anak perempuan. Dari uraian di atas, penulis terdorong untuk membahas mengenai akibat pembatalan perkawinan terhadap status anak yang lahir dari perkawinan tersebut yang akan ditinjau dari Undang-undang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam dengan tinjauan kasus nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA. Pokok permasalahan yang timbul dari latar belakang tersebut adalah (1) Bagaimana keselarasan ketentuan hukum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur Pembatalan Perkawinan? Dan (2) Apakah penerapan hukum oleh hakim Pengadilan Agama telah tepat dalam memutus kasus
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Pembatalan Perkawinan yang dari padanya telah lahir anak? (Analisis kasus Nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA). Melalui pokok permasalahn tersebut penulis bertujuan untuk untuk mengetahui ketentuan hukum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pembatalan perkawinan, khususnya mengenai status anak serta untuk mengetahui penerapan hukum oleh hakim atas kasus pembatalan perkawinan yang dari padanya telah lahir seorang anak.
Tinjauan Teoritis Pembatalan perkawinan dalam al-Quran diatur secara umum. Dalam kitab fiqih pun tidak dibahas mendalam mengenai pembatalan perkawinan. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Fasakh artinya putus atau batal.1 Pada dasarnya Islam memperbolehkan diadakannya suatu pembatalan perkawinan, apabila terdapat cacat pada rukun dan syarat perkawinan. Pada prakteknya, para fuqaha dengan menggunakan ijtihad telah membedakan dua macam perkawinan yang dapat dilakukan pembatalan perkawinan terhadapnya, yaitu:2 1. Perkawinan yang bathil. Perkawinan yang bathil adalah perkawinan yang tidak memenuhi rukun perkawinan, ataupun perkawinan yang di dalamnya terdapat larangan perkawinan yang bersifat selamanya3 2. Perkawinan yang fasid, berasal dari kata ar-fasid yang berarti rusak, hilangnya bentuk dari suatu materi setelah bentuk itu terwujud.4 Perkawinan ini merupakan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, ataupun perkawinan yang bersifat sementara, dan sebenarnya masih dapat dihilangkan5 Perkawinan bathil dan perkawinan fasid harus dibatalkan melalui pembatalan perkawinan, apabila akad perkawinan telah dilangsungkan. Pembatalan perkawinan 1
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 2,(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 73.
2
Lia Amilia, Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam, UU Perkawinan dan KHI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama tentang Pembatalan Perkawinan No. 790/pdt.g/2003/PA. Cbn), (Skripsi Mahasiswa UI, Depok: Universitas Indonesia, 2007), hal. 66. 3
Fauzah Askar, Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Praktek di Pengadilan Agama (Skripsi Mahasiswa UI, Jakarta, 1989), hal. 57. 4
Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 317.
5
Askar, op. cit, hal. 58.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
harus dilakukan setelah diketahui terdapat rukun atau syarat perkawinan yang tidak terpenuhi, baik sebelum maupun setelah terjadinya persetubuhan.6 Pada pokoknya, fasakh adalah hak suami istri, namun lebih sering digunakan oleh istri karena suami telah mempunyai hak talak. Alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam: 1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang istri, sekalipun dari keempatnya itu dalam iddah talak Raj’i 2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah diliannya 3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi bada ad-dhukul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. 4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, jika suami beristri lebih dari seorang f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin Selanjutnya, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 71 mempertegas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama 2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya) 3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain 6
Amilia, Op. Cit, hal. 67.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan 5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak 6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan Adapun alasan yang dapat dipergunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan menurut Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam adalah: 1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Lalu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alasanalasan pembatalan perkawinan adalah: 1. Pembatalan perkawinan karena salah satu pihak, suami atau istri, masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan pihak lain. Maksudnya adalah dalam satu waktu salah satu pihak terikat dalam lebih dari satu perkawinan. Pengecualian terhadap pasal ini berlaku sepanjang hukum agama masing-masing tidak menentukan lain. (Pasal 24 UU Perkawinan). 2. Pembatalan perkawinan karena perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi yang sah menurut hukum (Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Perkawinan). Namun hak mengajukan pembatalan ini gugur apabila suami istri tetap hidup bersama, dengan memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat pencatat perkawinan yang tidak berwenang sebelumnya. Perkawinan ini kemudia harus diperbaharui secara sah sesuai hukum yang berlaku (Pasal 26 ayat (2) UndangUndang Perkawinan). 3. Pembatalan perkawinan yang dilakukan karena adanya ancaman, atau suatu paksaan yang melanggar hukum. Dalam hal ini perkawinan dilaksanakan tanpa adanya asas persetujuan dan kesukarelaan. (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). 4. Pembatalan perkawinan karena adanya salah sangka terhadap siri suami atau istri. Akibatnya salah satu pihak merasa tertipu atau dirugikan karena salah sangka
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
tersebut diketahui kemudian hari setelah perkawinan.(Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Perkawinan). 5. Hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan akibat poin c dan d gugur apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah setelah ancaman berhenti atau setelah diketahui adanya kesalahsangkaan pada diri pasangan namun tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di pengadilan. (Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan) Pembatalan perkawinan memgakibatkan perkawinan dianggap tidak pernah ada, namun untuk melindungi pihak-pihak tertentu, baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan diatur mengenai keberlakuan putusan pembatalan perkawinan. Menurut Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam, keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. Perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Lalu dalam Pasal 76 ditegaskan bahwa
keputusan mengenai batalnya suatu
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan yang dibatalkan sangat dilindungi oleh Kompilasi Hukum Islam. Dan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur bahwa pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: 1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan. Hal ini adalah pantas berdasarkan kemanusiaan dan bagi kepentingan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Hal tersebut berarti bahwa kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak pantas dipikulkan kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut, status hukumnya adalah jelas dan kedudukannya adalah resmi sebagai anak orang tua mereka. Oleh karena itu pembatalan perkawinan tidak menghilangkan status anak. 2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik kecuali terhadap harta bersama bila perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Jadi di sini, pihak yanng beritikad baik dilindungi dari segala akibat batalnya perkawinan sehingga akibat yang bisa menimbulkan kerugian akibat pembatalan harus dipikulkan kepada pihak yang beritikadi tidak baik yang menjadi sebab alasan pembatalan perkawinan kecuali terhadap
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
harta bersama. Sepanjang mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dianggap sah sebagai harta perkawinan yang pelaksanaan pemecahan pembagiannya dipedomani oleh ketentuan Pasal 37 UU perkawinan, yaitu harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. 3. Orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dua pihak di atas, sepanjang mereka memperoleh hak-hak mereka dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena itu segala ikatan hukum di bidang hukum keperdataan atau perjanjian-perjanjuan yang dibuat oleh suami istri sebelum pembatalan perkawinan adalah ikatan-ikatan dan persetujuan-persetujuan yang sah yang dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami istri yang telah dibatalkan perkawinannya. Secara tanggung menanggung baik terhadap harta bersama maupun terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi. (Pasal 28 UndangUndang Perkawinan). Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak. Anak yang lahir dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan). Menurut pasal tersebut, yang dimaksudkan dengan anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan dan kelahirannya harus dari perkawinan yang sah dari bapak ibunya secara resmi terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal adanya jangka waktu kelahiran yang menjadi dasar ukuran kelahiran seorang anak yang sah.7 Hak dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 45-48 Undang-Undang Perkawinan Hak anak: 1. Hak anak untuk dipelihara dan didik sebaik-baiknya. Seorang anak berhak mendapat perawatan dan pemeliharaan dari orang tuanya sampai ia kawin atau dapat mandiri. Hak anak ini termasuk hak untuk mendapat penghidupan dan pendidikan yang layak. 2. Hak anak untuk diwakili oleh orang tuanya dalam melakukan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.
7
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hal. 110
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Seorang anak dianggap belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga ia harus diwakili oleh orang tuanya dalam melakukan tindakan hukum apapun, di dalam maupun di luar pengadilan. 3. Hak anak untuk dijaga hak dan barang-barang tetap yang dimilikinya oleh orang tuanya, kecuali jika kepentingan anak tersebut menghendaki lain. Harta benda tetap serta hak yang dimiliki seorang anak yang masih berada di bawah kekuasaan oran tuanya tidak boleh dipindahkan atau digandakan oleh orang tuanya kecuali kepentingan anak tersebut menghendaki lain. Kewajiban anak: 1. Seorang anak wajib untuk menghormati orang tua dan menaati kehendak orang tua yang baik Setiap orang tua pada dasarnya memiliki kehendak yang untuk anak mereka, karena itu selama kehendak orang tua tersebut adalah demi kebaikan anak, sepantasnyalah kehendak tersebut dihormati. 2. Seorang anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya menurut kemampuannya, serta keluarga dalam garis keturunan ke atas jika anak itu memilki kemampuan Kasih orang tua memang tidak berharap balas, namun sebagai seorang anak yang baik, sepantasnyalah ketika orang tua sudah tidak mampu bekerja dan merawat diri sendiri, sang anak yang merawatnya. Menurut hukum Islam terdapat lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu:8 1. Hak nasab. Nasab dalam bahasa arab berarti keturunan atau kerabat. Menurut literatur fiqih nasab berarti legalitas hubungan kekeluargaan terdekat yang berdaswarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat. Nasab adalah sebuah pengakuan, sya'ra bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari garis mendasar, sebab empat hak berikutnya, sepanjang yang berhubungan dengan pihak ayah baru mendapat pengakuan sah jika hak yang pertama telah mendapatkan pengakuan. 2. Hak Radla. 8
Dikutip dari Satria Effendi Zein, “Makna, Urgensi, dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam”, Mimbar Hukum No. 42 (Mei 1999), hal. 55-59.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Hak radla merupakan hak anak untuk mendapatkan pelayanan makan pokok dengan jalan menyusu pada ibunya (Q.S. al-Baqarah (2):233). Ibu bertanggung jawab di hadapan Allah tentang hal ini baik masih dalam tali perkawinan dengan anak si bayi, atau sudah ditalak dan sudah habis masa iddahnya. 3. Hak Hadlanah. Secara harafiah, hadlanah berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan, menurut istilah fiqih, hadlanah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga atau mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas hadlanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus. 4. Hak Walayah (perwalian). Dalam hal memelihara anak dari kecil hingga baligh ada dua istilah yang berdekatan maksudnya, yaitu hadlanah dan walayah. Tugas walayah adalah untuk menyambung dan menyempurnakan pendidikan anak yang telah dimulai sejak pada waktu hadlanah serta bertanggung jawab atas kelangsungan dan pemeliharaan anak itu sampai ia baligh berakal dan mampu hidup mandiri, dan pemeliharaan harta anak kecil serta mengatur pembelanjaan hartanya itu, dan perwalian dalam pernikahan bagi anak perempuan 5. Hak Nafkah. Begitu lahir, hak nafkah anak sudah mulai harus dipenuhi. Menurut para ahli fiqih, orang pertama yang bertanggung jawab atas nafkah anak adalah kerabat terdekat dalam garis nasab, yaitu ayah kandungnya. Dalam lalu lintas hukum, hak selalu berpasangan dengan kewajiban, demikian pula dengan hak anak yang tentunya berpasangan dengan kewajiban. Menurut hukum Islam, kewajiban anak adalah:9 1. Taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya (Q. S. al-Anbiyaa (21):14) 2. Berkata lemah lembut (Q. S. al-Israa (17):23 3. Memelihara orang tua sewaktu telah lanjut usia (Q. S. al-Israa ((17):23)
9
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 183.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.10 Pada penelitian yuridis normatif, digunakan bahan pustaka buku-buku serta bahan-bahan bacaan lainnya, juga menggunakan peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang bersifat tertulis dan berlaku positif dalam masyarakat Indonesia. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yaitu data berupa bahan pustaka yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis serta bahan pustaka lain yang menunjang pembahasan permasalahan dalam tulisan ini. Data berupa bahan pustaka tersebut terdiri dari bahan pustaka primer, bahan pustaka sekunder, dan bahan pustaka tersier. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini akan dideksripsikan mengenai suatu permasalahan untuk kemudian dianalisis dengan data-data yang didapatkan dari bahanbahan hukum maupun nonhukum. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data berupa bahan hukum berupa norma hukum tertulis serta bahan pustaka lain yang menunjang pembahasan permasalahan dalam tulisan ini. Data berupa bahan hukum tersebut terdiri dari bahan pustaka primer, bahan pustaka sekunder, dan bahan pustaka tersier. Data berupa bahan hukum primer yang digunakan dalam membuat tulisan ini adalah berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung, serta Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam sendiri merupakan Peraturan Perundang-undangan berupa Instruksi Presiden yang dengan diedarkannya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1999, berlaku sebagai pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara di pengadilan, di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Data berupa bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam membuat tulisan ini adalah berupa buku-buku, jurnal, dan artikel hukum yang memiliki informasi yang dibutuhkan untuk menunjang penulisan karya ini. Buku-buku, jurnal, dan artikel yang digunakan merupakan bahan pustaka yang dibuat oleh para ahli hukum atau orang-orang yang memiliki kompetensi untuk berpendapat tentang suatu masalah hukumSelain data primer dan data sekunder, dalam pembuatan tulisan ini digunakan juga bahan tersier yaitu berupa bahan pustaka yang tidak bersifat hukum namun menunjang bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu berupa 10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Hukum Islam. Data didapatkan dengan melakukan studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku-buku, jurnal-jurnal, serta peraturan perundang-undangan. Dan wawancara dilakukan terhadap Hakim Pengadilan Agama Depok.
Pembahasan Pada dasarnya, tidak ada pertentangan ketentuan mengenai pembatalan perkawinan dalam
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, namun terdapat beberapa perbedaan dalam beberapa aspek, yaitu: 1. Pengertian Perkawinan Dari Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat bahwa menurut Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakkinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari kedua pengertian perkawinan
tersebut dapat dilihat bahwa kedua pengertian tersebut mengandung unsur yang sama, yaitu adanya suatu ikatan, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 2. Rukun Perkawinan. Dalam Hukum Islam diatur mengenai adanya rukun perkawinan. Rukun adalah suatu hal dimana suatu hal lain bergantung dan merupakan bagian dari hal itu. Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak terdapat pengaturan mengenai rukun perkawinan. Namun tidak berarti tidak terdapat unsur-unsur rukun perkawinan dalam pengaturan perkawinan pada Undang-Undang Perkawinan. Rukun dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat dalam pengertian perkawinan dan syarat-syarat perkawinan, tidak berdiri sendiri. 3. Syarat-syarat Perkawinan Dalam Hukum Islam, syarat-syarat perkawinan dibagi menjadi syarat umum dan syarat khusus saja, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan, syarat perkawinan dibagi menjadi syarat materil umum, syarat materil khusus, dan syarat formal. Perbedaan syarat-
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
syarat perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan adalah: 4. Batas usia calon mempelai. Dalam Hukum Islam, seseorang diperbolehkan kawin apabila dianggap telah baligh. Seseorang menurut Hukum Islam dianggap telah baligh apabila telah dewasa dan mampu untuk berpikir serta mandiri. Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam menuangkan konsep baligh tersebut dalam suatu ketentuan batas usia seseorang boleh melakukan perkawinan. Lebih tepatnya, Kompilasi Hukum Islam mengikuti ketentuan Undang-Undang Perkawinan mengenai batas usia ini, yaitu 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki. Dengan batas usia tersebut, diharapkan para calon mempelai yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya sehingga dalam menjalani kehidupan rumah tangga dapat bersikap dewasa dan mampu menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga serta mempertahankan keluarganya hingga akhir hayat. 5. Larangan Perkawinan Terdapat beberapa perbedaan antara larangan perkawinan dalam Hukum Islam dengan larangan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan. Larangan perkawinan menurut Hukum Islam adalah: 1. Perkawinan beda agama 2. Perkawinan sedarah (satu nasab) 3. Perkawinan dengan yang berhubungan semenda 4. Perkawinan dengan saudara sesusuan 5. Perkawinan kembali dengan istri yang telah bercerai karena sumpah lian. 6. Perkawinan dimana perempuan berada dalam masa iddah 7. Perkawinan saat salah satu atau kedua calon mempelai sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh 8. Perkawinan dengan mantan istri yang telah ditalak tiga Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan larangan perkawinan diatur lebih sedikit, yaitu: 1. Karena adanya hubungan keluarga yang terus menerus berlaku dan tidak mungkin disingkirkan berlakunya 2. Karena adanya hubungan persusuan 3. Karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dalam suatu hubungan perkawinan lain
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
4. Larangan melakukan perkawinan lagi bagi masing-masing pihak yang telah bercerai sebanyak dua kali 5. Larangan perkawinan bagi wanita yang masih berada dalam masa iddah Dapat dilihat bahwa dalam Hukum Islam diatur mengenai larangan perkawinan karena beda agama, karena hubungan semenda, perkawinan dengan mantan istri yang telah dilian, perkawinan dalam melangsungkan ibadah haji atau umroh, dan perkawinan dengan mantan istri yang telah ditalak tiga, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak terdapat larangan-larangan tersebut. Tidak adanya larangan-larangan tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan adalah karena Undang-Undang Perkawinan berlaku bagi masyarakat Indonesia secara umum, tidak hanya masyarakat beragama Islam saja. Larangan-larangan yang terdapat dalam Hukum Islam namun tidak terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan seperti yang dapat dilihat merupakan larangan perkawinan yang memang khusus bagi umat yang beragama Islam karena agamanya memang mengatur demikian. 6. Pencatatan Perkawinan Dalam berbagai sumber Hukum Islam selain Kompilasi Hukum Islam tidak terdapat ketentuan yang secara langsung mewajibkan diadakannya suatu pencatatan terhadap perkawinann yang telah dilaksanakan. Prof. Sayuti Thalib berpendapat bahwa pencatatan bukan suatu hal yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing walupun tidak didaftarkan.11 Terhadap hal ini, ada pandangan hukum lain. Nikah siri dalam masyarakat muncul setelah adanya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut memiliki tiga aspek hukum yaitu hukum perdata, pidana, dan administrasi negara. Aspek perdata terlihat dari adanya syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, perjanjian perkawinan, dan sebagainya. Aspek pidana terlihat pada adanya ancaman pidana bagi subjek hukum yang melanggar ketentuan dalam UU tersebut. Lalu aspek administrasi, yaitu berkaitan dengan pencatatan dan pendaftaran oleh pejabat adminsitrasi negara. Aspek hukum keperdataan dikembalikan lagi kepada ajaran agama, sepert pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut kepercayaannya masing-masing. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditentukan oleh ajaran agama, bukan undang-undang. Namun perkawinan yang tidak dilaksakan di hadapan pejabat dan/atau tidak dicatat tidak memenuhi aspek hukum administrasi negara sehingga tidak memiliki dokumen resmi dari negara dan mengakibatkan 11
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2009), hal. 71.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum (Pasal 2 ayat (2)). kekuatan hukum artinya kekuatan pembuktian secara legal dan memiliki kekuatan mengikat kepada pihakpihak yang berwenang. Suami istri dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum sebagaimana mestinya. Mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan dan anak mereka pun tidak dapat memiliki kate kelahiran. Ada dua alasan hukum yang dijadikan landasan pemerintah dalam menciptakan perintah pencatatan nikah. Pertama berdasarkan qiyas, kedua atas dasar mashalah mursalah. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akte perkawinan, dalam hukum Islam diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan utang piutang yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk dicatat, seperti disebutkan dalam surat Albaqarah:282, yang berkata: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai, hendaklah kamu menulisnya” akad nikah bukan muammalah melainkan perjanjian yang kuat (Surat Annisa:21). Apabila akad piutang saja harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang luhur dan suci lebih utama lagi untuk dicatatkan. Atas dasar kemaslahatan, di Indonesia telah dibuat aturan mengenai perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk tujuan ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi para pihak dalam perkawinan. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akte nikah, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, maka dapat dilakukan upaya hukum, demi memperoleh keadilan. Pencatatan perkawinan selain bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, juga sebagai tindakan preventif supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan baik menurut ketentuan agama maupun undang-undang. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila tidak dicatatkan akan merugikan pihak-pihak dalam perkawinan, terutama istri dan anak. Jadi, sebenarnya dalam Hukum Islam pencatatan perkawinan juga merupakan hal yang wajib dilakukan. Seperti yang juga diwajibkan oleh Undang-Undang Perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. 7. Hak dan Kewajiban Suami Istri Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan secara garis besar sama namun Hukum Islam mengaturnya lebih detail. Hukum Islam membagi hak dan kewajiban suami istri menjadi: a. Kewajiban suami terhadap istri yang merupakan hak istri, berupa kewajiban materil dan nonmateril
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
b. Kewajiban istri terhadap suami yang merupakan hak suami, kewajiban materil dan nonmateril c. Kewajiban bersama suami istri d. Hak bersama suami istri Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan hak dan kewajiban suami tidak dibagi menjadi sub-sub tertentu seperti pada hukum Islam. Namun pada intinya dalam Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan, suami istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, dimana masing-masing pihak memiliki peranan tertentu dalam keluarga. 8. Alasan Pembatalan Perkawinan Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan menurut KHI adalah a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang istri, sekalipun dari keempatnya itu dalam iddah talak Raj’i b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah diliannya c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi bada ad-dhukul dar pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, smenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 e. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama f. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya) g. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain h. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang nomor 1 tahun 1974 i. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak j. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan, alasan-alasan pembatalan perkawinan terbagi menjadi dua yaitu pelanggaran terhadap syarat formil dan pelanggaran terhadap syarat materil perkawinan. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
a. Salah satu atau kedua belah pihak belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan b. Salah satu pihak, suami atau istri, masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan pihak lain. c. Perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi yang sah menurut hukum. d. Perkawinan yang dilakukan karena adanya ancaman, atau suatu paksaan yang melanggar hukum e. Adanya salah sangka terhadap diri suami atau istri. Alasan pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang lebih sedikit namun sebenarnya telah mencakup alasan-alasan pembatalan yang diatur dalam Hukum Islam. 9. Status Anak Sah Berkaitan dengan Pembatalan Perkawinan Anak sah menurut Pasal 99 KHI adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan merupakan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Sedangkan menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dapat dilihat bahwa pengertian anak sah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan adalah sama namun Kompilasi Hukum Islam mengatur lebih detail dengan menyinggung adanya kemungkinan pembuahan di luar rahim istri. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa baik menurut Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dari kedua orang tuanya. Walaupun tidak ada penetapan mengenai keabsahan anak tersebut, anak tersebut tetaplah anak sah dari kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya memiliki tanggung jawab terhadap anak tersebut, dan sang anak pun memiliki kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang tuanya karena ia adalah anak sah. Kompilasi Hukum Islam selaras atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan walaupun terdapat hal-hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Namun perbedaan tersebut tidak menimbulkan benturan hukum, justru berfungsi melengkapi tentunya dalam mengatur berbagai hal bagi umat Islam, bukan bagi umat selain Islam karena Kompilasi Hukum Islam berlaku khusus bagi umat Islam. Jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dapat digunakan pengaturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam karena sifatnya yang tidak bertentangan dan melengkapi itu. Misalnya, dalam Undang-Undang Perkawinan hanya
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
diatur secara umum mengenai ketentuan beristri lebih dari satu, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturannya lebih detail. Dalam kasus nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA, putusan hakim yang memerintahkan Pemohon memberikan nafkah kepada anak perempuannya adalah hal yang benar. Anak tersebut adalah anak sah dari Pemohon sehingga pemohon memiliki tanggung jawab terhadap anak tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab ayah terhadap anaknya adalah memberikan nafkah demi kelangsungan hidup sang anak. Selain nafkah berupa uang, Pemohon juga memiliki kewajiban untuk merawat dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang serta memenuhi tidak hanya kebutuhan fisik tetapi juga kebutuhan emosional anak agar kelak sang anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang baik. Demi terwujudnya hal ini, Pemohon dan Termohon harus bekerja sama dengan baik dalam merawat anak mereka agar anak tidak dirugikan karena pembatalan perkawinan orang tuanya. Dalam pertimbangan, hakim tidak mencantumkan sumber Hukum Islam lain selain Kompilasi Hukum Islam, misalnya Quran dan Hadist. Mengenai hal tersebut, dalam kalangan hakim terdapat dua pendapat. Menurut Hakim Pengadilan Agama Depok, Drs. Abdul Hamid Mayeli, S.H., M.H., sumber Hukum Islam lain seperti syariah, sunnah, dan lain-lain digunakan namun biasanya tidak dimasukkan ke dalam amar pertimbangan. Kompilasi Hukum Islam dijadikan rujukan dalam memutus, selain Undang-Undang dan Peraturan Pelaksana dan ada kalanya hakim-hakim di tingkat pertama menggunakan Kitab-Kitab yang menjadi sumber hukum Islam, namun terdapat kontroversi mengenai hal ini. Sebagian hakim berpendapat bahwa untuk apa digunakan Kitab-Kitab tersebut dalam memutus padahal kita memiliki undang-undang sebagai hukum posifit, sedangkan sebagian lagi berpendapat penggunaan Kitab-Kitab sebagai pertimbangan haki adalah hal yang sangat bagus, karena Kitab-Kitab merupakan rujukan asli sumber Hukum Islam.12
Kesimpulan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan memberikan pengaturan yang sama mengenai status anak yang lahir dalam perkawinan yang dibatalkan, yaitu pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak. Maksudnya adalah pembatalan perkawinan orang tuanya tidak akan mempengaruhi status anak tersebut sebagai anak sah walaupun 12
Hasil wawancara dengan Drs. Abdul Hamid Mayeli, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Depok.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
dengan pembatalan perkawinan, perkawinan kedua orang tuanya dianggap tidak pernah ada. Sang anak tetap merupakan anak sah bagi kedua orang tuanya. Hal ini terjadi secara otomatis dengan adanya ketentuan mengenai hal tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan. Dengan status sang anak sebagai anak sah, ia memiliki hak dan kewajibannya sebagai anak sah. Dan kedua orang tuanya juga memiliki hak dan kewajiban tertentu terhadap anak tersebut. Kedua orang tua wajib memelihara dan merawat anak tersebut secara layak dan sebaik-baiknya. Nafkah biasanya dibebankan kepada ayah namun jika ayah tidak sanggup maka nafkah terhadap anak ditanggung bersama dengan ibu. Kewajiban orang tua tidak hanya berupa nafkah uang tetapi juga berupa pendidikan dan kasih sayang yang layak bagi sang anak. Penerapan hukum oleh hakim dalam perkara Nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA tidak teliti. Kesalahan terdapat dalam penarapan dasar hukum yang menjadi alas hak bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan atas perkawinannya sendiri. Hakim menggunakan Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan memberikan hak bagi suami atau istri yang suami atau istrinya melakukan perkawinan baru dengan pihak lain untuk membatalkan perkawinan yang baru tersebut. Sedangkan dalam kasus ini perkawinan yang ingin dibatalkan oleh Pemohon adalah perkawinannya dengan Termohon sendiri, bukan perkawinan baru Termohon dengan pihak lain, yang dalam kasus ini memang tidak ada. Seharusnya Hakim menggunakan Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan yang memberikan kewenangan bagi suami atau istri untuk membatalkan perkawinannya sendiri. Namun dalam memutus mengenai pemberian nafkah untuk anak, hakim telah memutus dengan benar. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf a UndangUndang Perkawinan dan Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa keputusan mengenai pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut, sehingga hubungan hukum antara orang tua dengan anak tidak putus dengan adanya putusan pembatalan perkawinan. Dengan demikian, anak yang telah lahir dalam perkawinan tersebut adalah anak sah dari Pemohon dan Termohon. Hal tersebut membuat Pemohon dan Termohon tetap memiliki tanggung jawab terhadap anak tersebut. Dan Pemohon sebagai ayah memiliki kewajiban untuk memenui nafkah anaknya, yang diatur secara umum dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan dan diatur lebih detail dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilais Hukum Islam. Selain nafkah berupa uang, Pemohon juga memiliki kewajiban untuk merawat dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang serta memenuhi tidak hanya kebutuhan fisik tetapi juga kebutuhan emosional anak agar kelak sang anak dapat
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
tumbuh menjadi pribadi yang baik. Demi terwujudnya hal ini, Pemohon dan Termohon harus bekerja sama dengan baik dalam merawat anak mereka agar anak tidak dirugikan karena pembatalan perkawinan orang tuanya.
Saran 1. Sebaiknya Rancangan Undang-Undang Materil Perkawinan segera disahkan agar terdapat peraturan berupa undang-undang yang berlaku positif bagi masyarakat, yang keberlakuannya lebih mengikat daripada Kompilasi Hukum Islam. 2. Hakim dalam memutus harus teliti menerapkan hukum agar tidak terjadi kesalahan penerapan hukum yang memberikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk membatalkannya. 3. Hakim dalam memutus, selain mencantumkan Undang-Undang Perkawinan serta peraturan 4. pelaksananya dan Kompilasi Hukum Islam seharusnya mencantumkan sumber Hukum Islam lain seperti Quran dan Hadist agar pertimbangan menjadi lebih matang dan meyakinkan. 5. Mengenai status anak sah bagi anak yang lahir dari perkawinan yang kemudian dibatalkan, sebaiknya orang tuanya memintakan penetapan mengenai keabsahan anak kepada majelis hakim agar jelas bahwa anak tersebut adalah anak sah. 6. Perlu diberikan asistensi oleh pengadilan terhadap para pihak yang terlibat dalam perkara pembatalan perkawinan mengenai akibat-akibat pembatalan perkawinan sehingga para pihak dapat mengerti apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi perkara mereka.
Daftar Referensi Fauzah Askar. (1989). Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Praktek di Pengadilan Agama. Skripsi Mahasiswa UI, Jakarta.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014
Lia Amilia. (2007). Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam, UU Perkawinan, dan KHI, (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tentang Pembatalan Perkaiwinan No. 790/pdt.g/2003/PA.Cbn). Skripsi Mahasiswa UI. Depok: Universitas Indonesia. Neng Djubaedah, dkk (2005). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia . Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sayuti Thalib. (1986). Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Slamet Abidin dan Aminuddin. (1999) Fiqih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (2003). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Akibat pembatalan..., Marini Henni Clementin, FH UI, 2014