TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK OLEH ORANG TUA TUNGGAL (SINGLE PARENT ADOPTION) SERTA AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HUKUM KELUARGA DAN HARTA KEKAYAAN (STUDI KASUS PENETAPAN NO. 1/Pdt.P/2010/PN.Kgn)
Dessy Marliani Listianingsih (Penulis Pertama), Surini Mangundihardjo (Penulis Kedua), Farida Prihatini (Penulis Ketiga) Program Studi: Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan Single Parent Adoption dari sudut pandang kesejahteraan anak serta bagaimana akibat hukumnya bagi si anak angkat baik dari segi hukum keluarga hingga hubungan anak tersebut dalam hal kewarisan dengan orang tua angkatnya. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk Yuridis-normatif dan didukung dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, yaitu peraturan perundangundangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, dan bahan hukum tertier berupa artikel dari internet. Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara kualitatif karena data yang didapatkan berupa data deskriptif dari hasil wawancara dan studi literatur sehingga bentuk penelitiannya berupa deskriptif analitis. Single Parent Adoption akan memberikan dampak positif sebagai upaya kesejahteraan anak sepanjang calon orang tua angkat memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan disertai dengan kemampuan dalam memberikan pengasuhan dan kasih sayang dengan potensi semaksimal mungkin untuk kesejahteraan anak tersebut di masa yang akan datang. Adopsi; Kesejahteraan anak; Pengangkatan Anak; Single Parent
Abstract This thesis aims to determine the consideration of Single Parent Adoption from the perspective of the welfare of the child and how the legal consequences for the child of both law adoptive family and how the child in terms of inheritance with his adoptive parents. This research was conducted in the form of Juridical-normative and supported by secondary data from the primary legal materials, such as legislation, secondary legal materials in the form of books and legal materials tertiary form of internet articles. This study used qualitative methods of data analysis because the data were obtained in the form of descriptive data from interviews and literature studies that form a descriptive analytical study. Single Parent Adoption will have a positive impact as child welfare efforts throughout the prospective adoptive parents meet the requirements specified by legislation and accompanied by the ability to provide care and compassion to the maximum potential for the child 's welfare in the future. Adoption; Children Welfare; Single Parent
Pendahuluan Pengangkatan anak lazimnya dilakukan oleh pasangan suami isteri yang belum atau tidak memungkinkan lagi untuk dikaruniai keturunan yang disebabkan oleh satu dan lain hal. Namun munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1983 tentang
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
penyempurnaan dari SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak serta pada Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2007 Indonesia memungkinkan pelaksanaan Pengangkatan Anak dilakukan oleh wanita atau pria yang berstatus sebagai orang tua tunggal Warga Negara Indonesia, baik mereka yang belum menikah maupun yang sudah pernah menikah namun tidak lagi terikat dalam status perkawinan (Janda/Duda). Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal atau Single Parent Adoption (SPA) kemudian menjadi sebuah alternatif karena kerap kali dianggap menguntungkan banyak pihak. Sebenarnya SPA mengandung nilai positif layaknya pengangkatan anak yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri jika pada praktiknya dilandasi oleh peraturan perundang-undangan yang memadai, dalam arti terdapat jaminan secara hukum terhadap penyelenggaraan tersebut tiada lain untuk kesejahteraan anak. Oleh karena itu pembahasan mengenai Single Parent Adoption ini akan sangat menarik jika dibahas secara mendalam dan menyeluruh karena selain perihal kesejahteraan anak, Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal juga memiliki konsekuensi akibat hukum juga bagi si calon anak angkat baik dari segi perwalian hingga hak anak tersebut dalam mewaris harta orang tua angkatnya. Berdasarkan judul penelitian di atas, maka dapat di rumuskan dua pokok permasalahan yang selanjutnya akan di bahas dan di pecahkan pada Bab Pembahasan, sebagai berikut: 1. Apa dasar pertimbangan hukum terhadap pelaksanaan Single Parent Adoption ditinjau dari sudut pandang Kesejahteraan anak serta sanksi apabila anak tersebut diterlantarkan? 2. Bagaimana Akibat Hukum Single Parent Adoption terhadap Hukum Keluarga dan Hukum Harta Kekayaan? Tujuan umum diadakannya penulisan ini adalah untuk melakukan pendalaman, peninjauan dan penganalisisan secara holistik dan komprehensif dalam memahami pengaturan, ketentuan hukum, kriteria dan persyaratan dari suatu pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal (Single Parent Adoption) di Indonesia yang disertai dengan studi analisis Penetapan dari Pengadilan Negeri Kandangan dan Pengadilan Negeri Depok serta untuk mengetahui pengaturan Single Parent Adoption di negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Yang menjadi tujuan khusus dari penulisan ini adalah untuk mengetahui jawaban dari pokok permasalahan diatas, antara lain sebagai berikut:
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
1. Mengetahui dasar pertimbangan hukum dari sudut pandang peraturan perundangundangan serta Kesejahteraan terhadap pelaksanaan Single Parent Adoption di Indonesia. 2. Mengetahui Akibat hukum yang ditimbulkan oleh Single Parent Adoption tersebut dibidang Hukum Keluarga dan Hukum Harta kekayaan.
Tinjauan Teoritis Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal atau Single Parent Adoption merupakan pengangkatan anak yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia terhadap anak Warga Negara Indonesia dimana calon orang tua angkat berstatus orang tua tunggal. Orang tua tunggal disini adalah duda atau janda atau mereka yang tidak menikah. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal ini dilaksanakan setelah memperoleh izin menteri sosial. Hal ini turut diatur dalam ketentuan Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Juncto Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial No. 110/Huk/2009, dimana syarat dan tata cara pengangkatan oleh orang tua tunggal mengacu kepada pengangkatan anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption). Pengangkatan anak secara umum disinggung dalam uraian Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Pada (ayat) 1 disebutkan, “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.” Selanjutnya Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Pengangkatan anak berdasarkan undang-undang ini tidak memutuskan dan/atau menetapkan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. Selain itu dengan diaturnya pengangkatan anak dalam undang-undang ini bertujuan dalam rangka upaya mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga tujuan diadakannya pengangkatan anak diharapkan semata-mata untuk kesejahteraan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Metode Penelitian Dalam penelitian ini terdapat 7 (tujuh) unsur penelitian yang digunakan. Pertama, Bentuk Penelitian, di dalam penelitian ini digunakan bentuk penelitian Yuridis-normatif karena berdasarkan perumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas peraturan perundang-undangan dalam penerapan suatu putusan atau penetapan pengadilan. Dalam penelitian ini digunakan studi dokumen yang merupakan penetapan dari Pengadilan Negeri Kandangan dan Pengadilan Negeri Depok. Kedua, berdasarkan tipologi penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian deskriptif, dimana peneliti mendapatkan data sebanyak-sebanyaknya tentang topik yang dibahas. Dari penelitian deskriptif ini nanti didapatkan bentuk penelitian berupa deskriptif analitis, yang didapatkan peneliti melalui studi literatur dan wawancara dengan responden. Data yang didapatkan kemudian dianalisis untuk melihat konsistensi dari undang-undang yang digunakan. Pada penelitian ini, peneliti ingin memahami pengaturan, ketentuan hukum, kriteria dan persyaratan dari suatu pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal (Single Parent Adoption) di Indonesia yang dilakukan dengan penganalisisan secara holistik dan komprehensif. Ketiga, di dalam penelitian ini, data yang didapatkan berupa data primer data sekunder. Pada penelitian dengan bentuk Yuridis-normatif ini yang diteliti adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan pada penelitan ini adalah yang berupa bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, dan bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder penulis peroleh dari artikel, internet serta hasil wawancara terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam praktik SPA, mereka adalah narasumber atau informan dari Pengadilan Negeri Depok. Dalam penelitian ini digunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa hasil karya dari kalangan hukum seperti buku literatur, Tesis serta Skripsi dan bahan hukum tertier berupa Ensiklopedia. Selanjutnya, pada penelitian ini dipergunakan metode analisis data secara kualitatif karena data yang didapatkan berupa data deskriptif dari hasil wawancara dan studi literatur.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Hasil Penelitian Pada kasus pertama yakni pengangkatan anak secara langsung (Private Adoption) yang dilakukan oleh Siti Sarah terhadap anak bernama Helma, menurut penulis terdapat beberapa ketidaksesuaian dengan ketentuan pada peraturan pengangkatan anak yang berlaku. Pertama, masalah kewenangan pengadilan yang mengadili atau kompetensi relatif, seperti yang diketahui permohonan pengangkatan anak harus diajukan ke wilayah hukum anak yang hendak diangkat, namun dalam permohonannya, pemohon tidak menyebutkan alamat dari orang tua kandung calon anak angkat. Kemudian, syarat pengasuhan anak selama 6 bulan juga tidak dipenuhi oleh pemohon tetapi Majelis Hakim tetap mengabulkan permohonan tersebut. Selanjutnya dalam proses pemeriksaan maupun dalam hal mengadili perkara, Majelis Hakim Pengadilan Kandangan juga kurang teliti, misalnya dalam memberikan pertimbangan hukum, Majelis Hakim hanya menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002) dan PP No. 54/2007 sebagai acuan, selain itu Majelis Hakim juga tidak memperhatikan kekurangan terhadap permohonan dari pemohon, seperti tidak mencantumkan alamat calon anak angkat, serta persyaratan administratif lainnya yang tidak lengkap. Dalam proses menimbangnya, Majelis Hakim juga tidak menyebutkan perihal prinsip utama pengangkatan anak yang tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung anak. Saksi-saksi yang dihadirkan juga tidak dijelaskan hubungannya dengan pemohon maupun calon anak angkat, sehingga menurut hemat penulis, telah terjadi kesalahan dalam pemeriksaan dan proses mengadili permohonan pengesahan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Kandangan. Pada kasus kedua yang diambil dari Penetapan pengangkatan anak Pengadilan Negeri Depok yang dilakukan oleh Y. Harjono terhadap Raditya Bagasyudha, menurut penulis justru memiliki kesalahan mendasar yang jauh lebih besar dibandingkan kasus pada penetapan pertama. Kesalahan mendasar pertama masih menyoal tentang kompetensi relatif pengadilan yang dituju, dimana alamat yang tertera jelas-jelas menyimpang dari ketentuan yang ada. Anak tersebut lahir dan tinggal di Muara Enim, Sumatera Selatan. Namun, permohonan ditujukan di Depok yang merupakan wilayah hukum dari pemohon. Kesalahan lainnya ialah perihal syarat agama, dimana peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa Calon orang tua angkat (COTA) harus seagama dengan Calon anak angkat (CAA), namun dalam hal ini Sdr. Harjono tidak memiliki kesamaan keyakinan dengan
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
anak yang hendak diangkat, namun lagi-lagi Majelis Hakim tetap mengabulkan permohonan tersebut dengan alasan Sdr. Harjono berjanji akan memberikan kesempatan pada anak angkatnya untuk memilih keyakinannya sendiri pada saat berusia 18 tahun. Seperti yang telah diketahui, undang-undang telah menetapkan bahwa COTA dan CAA harus seagama, ketentuan ini tidak seharusnya disimpangi, kecuali dalam hal terdapat situasi darurat. Situasi darurat ini juga tidak memiliki kesamaan persepsi antar satu orang dengan lainnya. Darurat seperti apa yang dimaksud, bahwa menurut pendapat yang diperoleh dari Hakim salah satu Pengadilan Negeri yang biasa menyidangkan perkara pengangkatan anak, Bapak Muhammad Djauhar Setyadi, S.H, M.H., bahwa darurat lazimnya diartikan sebagai sebuah situasi dimana tidak ada pilihan lain. Perihal mengenai syarat agama ini juga penting sebab umumnya anak harus berada dalam komunitas yang sesuai, hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, dimana anak harus dikembalikan ke keyakinan asalnya, bahwa apapun alasan kemanusiaan yang melatarbelakangi pengangkatan anak, tidak seharusnya menyalahi HAM itu sendiri. Kesalahan lain yang terjadi pada Penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Depok adalah mengenai syarat diperolehnya izin Menteri Sosial. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal harus memperoleh izin dari Menteri Sosial seperti yang diamanatkan oleh Pasal 16 PP 54/2007 Juncto Pasal 28 ayat (1) Permensos 110/Huk/2009. Namun, pada kenyataannya permohonan yang diajukan oleh Sdr. Harjono tidak dilengkapi dengan izin Menteri Sosial tersebut, tetapi Pengadilan Negeri Depok tetap mengabulkan permohonan tersebut. Salah satu saksi yang dihadirkan juga tidak dijelaskan hubungannya dengan pemohon maupun dengan CAA. Maka menurut penulis, pada intinya Hakim PN Depok tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan
terhadap
syarat-syarat
materil
dan
administratif
dalam
permohonan
pengangkatan anak oleh orang tua tunggal, hal ini patut diperhatikan karena ketidaktelitian tersebut dapat mengakibatkan kerugian terhadap anak karena persyaratan yang merupakan jaminan diri orang tua angkat tidak terpenuhi sebagaimana seharusnya.
Pembahasan Permasalahan yang kerap menjadi perdebatan adalah mengenai tujuan pengangkatan anak itu sendiri, bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengangkatan anak, seperti SEMA No. 6 Tahun 1983, PP No. 54 Tahun 2007, UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 4 Tahun 1979, Permensos No. 110/Huk/2009, dan lainnya menyebutkan bahwa tujuan dari pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan anak dengan memperhatikan kepentingan
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
terbaik bagi anak. Hal ini rupanya bersinggungan dengan kenyataan dari single parent adoption dimana pengangkatan hanya dilakukan oleh orang tua tunggal, sedangkan idealnya anak harus memperoleh pengasuhan dari orang tua yang utuh, kemudian bagaimana efektivitas tujuan kesejahteraan anak ini jika pengasuhan hanya dilakukan oleh orang tua tunggal. Pada dasarnya kesejahteraan mempunyai tolak ukur yang luas, karena sebuah kesejahteraan tidak hanya diukur dari segi material semata. sebagaimana yang diamanatkan oleh Undangundang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa kesejahteraan anak adalah pemenuhan hak anak akan kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya. Artinya, sekalipun berstatus single parent tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kesejahteraan kepada si anak karena tolak ukurnya bukan berasal dari jumlah orang tua yang mengasuh. Dasar pertimbangan single parent adoption dari sudut pandang kesejahteraan anak ini dilihat dari keadaan dimana tidak semua anak memiliki orang tua kandung yang utuh. Hal ini disebabkan baik oleh perceraian orang tua maupun salah seorang dari orang tuanya meninggal dunia, maka kondisi demikian mengharuskan anak untuk berada dalam pengasuhan seorang single parent,
namun dengan kondisi tersebut
tidak menghalangi anak dapat memperoleh
kesejahteraan. Kemudian mengapa tidak bagi mereka yang memiliki kelebihan secara ekonomi, mempunyai rasa perhatian dan kasih sayang kepada anak, namun hanya karena keterbatasan status sebagai orang tua tunggal maka menjadi tidak dapat melakukan pengangkatan anak. Jika ditelaah secara psikologis, memang pengasuhan dari kedua orang tua yang utuh akan lebih baik, seperti Amerika Serikat yang mendeskripsikan keluarga ideal bagi anak adalah dengan dua orang tua yang utuh. Namun, mengingat adanya fakta jumlah anak-anak terlantar di Indonesia yang tidak sedikit, dimana sepanjang tahun 2013 saja sudah terdapat sekitar 270 anak terlantar dalam kondisi dibuang oleh orang tua kandungnya, ditambah hingga bulan Maret 2014 ini masih ada sekitar 1 juta anak terlantar dalam pengasuhan yayasan sosial dan data statistik ini belum termasuk anak-anak terlantar yang hidup secara nomaden di jalanan. Maka bukankah dengan salah satu orang tua akan lebih baik daripada tidak mempunyai orang tua sama sekali, karena tidak sedikit dari para orang tua tunggal yang mempunyai kecukupan ekonomi dan rasa semangat menyayangi dan mencintai anak sehingga mereka layak untuk menyalurkan hasrat mereka untuk mensejahterakan anak. Intinya, pengangkatan anak oleh orang tunggal sah-sah saja untuk dilakukan selama persyaratan yang diberikan dipenuhi dengan baik sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini penting diperhatikan, karena persyaratan
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
tersebut yang menjadi jaminan bagi anak untuk memperoleh kesejahteraan dan perlindungan dari orang tua angkatnya. Dalam perbuatan pengangkatan anak baik secara umum maupun oleh orang tua tunggal tidak menghapuskan risiko terjadinya pelanggaran hukum dan tindak penelantaran dan kekerasan pada anak, maka kemudian timbul pertanyaan bagaimana sanksi hukum jika orang tua angkat melakukan tindakan penelantaran atau kekerasan pada anak angkatnya di kemudian hari. Untuk itu lembaga atau perorangan yang melakukan pengangkatan anak harus terlebih dahulu mengetahui sanksi pidana yang akan diterapkan apabila terjadi tindakan-tindakan tersebut. Pada dasarnya perbuatan penelantaran apalagi yang menyertakan tindak kekerasan pada anak baik yang dilakukan terhadap anak kandung maupun anak angkat secara hukum dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 30 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap orang tua yang melalaikan kewajibannya maka dapat dilakukan pengawasan atau pencabutan kuasa asuh terhadap anaknya. Pencabutan kuasa ini dilakukan malalui penetapan pengadilan. Jika hal ini terjadi dalam situasi single parent adoption tentu akan semakin sulit, karena dalam keadaan orang tua yang utuh, maka salah satu bisa menggantikan untuk mengasuh, namun jika hanya terdiri dari orang tua tunggal maka tidak ada pilihan lain selain pencabutan hak asuh anak. Pencabutan hak asuh ini dilakukan melalui permohonan oleh keluarga atau kerabat terdekat yang mengetahui hal tersebut, dan nantinya pengadilan akan menunjuk pihak lain sebagai wali yang sah, biasanya anak akan di alihkan ke anggota keluarganya yang lain yang lebih cakap dalam memberi pengasuhan, jika pihak keluarga tidak memungkinkan, maka anak akan dikembalikan ke yayasan sosial. Akibat Pengangkatan anak terhadap Hukum Keluarga timbul sepanjang mengenai perihal hak pengasuhan yang beralih dari orang tua kandung ke orang tua angkat. Namun, akibat hukum tersebut dikecualikan pada perihal hukum keluarga dibidang perkawinan dan hukum harta kekayaan atau kewarisan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka mayoritas mengikuti aturan Hukum Islam. Islam sendiri memiliki ajaran yang sangat menjaga keturunan atau nasab. Dengan demikian, sejalan dengan prinsip pengangkatan anak yang tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung, maka dalam hal perkawinan, wali nikah untuk anak angkat tetap ada pada ayah kandungnya (jika masih hidup) atau keluarga ayah kandungnya sesuai dengan ajaran hukum Islam. Selanjutnya dalam hal hubungan dengan orang tua angkatnya tetap sebagaimana anak angkat yang tetap tidak dapat
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
disamakan seperti status anak kandung, maka mereka dapat tinggal serumah tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat „aurat, berkhalwat, begitupun dalam hal perkawinan anak angkat, ayah atau saudara angkat tidak dapat menjadi wali nikah. Sedangkan bagi pemohon dan anak angkat yang bergama nonIslam maka tetap berlaku ketentuan hukum keluarga perdata barat, dimana anak angkat juga tetap dapat memakai nama keluarga orang tua angkatnya. Kemudian akibat dikecualikan dalam hal Kewarisan. Khusus mengenai Pengangkatan anak, maka sesuai dengan ketentuan SEMA No. 6 Tahun 1983, maka petitum pada permohonan harus tunggal, artinya permohonan hanya dimaksudkan untuk memberi pengesahan terhadap pengangkatan anak, dan tidak secara otomatis mengakibatkan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat sebagaimana anak kandung. Dengan kata lain, akibat hukum pengangkatan anak di bidang kewarisan bersifat tidak serta-merta. Hak mewarisi hanya berlaku antara ia dengan orang tua kandungnya. Dalam hal kewarisan, anak angkat memang tidak mempunyai hak mewaris sebagaimana anak kandung. Namun, untuk pihak-pihak yang beragama Islam, anak angkat mempunyai hak waris dari orang tua angkatnya berupa Wasiat Wajibah. Itu pun masih mempunyai batasan bahwa Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak 1/3 bagian. Hal ini memiliki tujuan untuk melindungi anak-anak kandung dari orang tua angkat. Jika dalam hal ini, orang tua berstatus single parent maka batasan tersebut untuk melindungi ahli waris lain dari orang tua angkat dalam hal tidak ada anak kandung. Namun, UU Perlindungan Anak tetap menegaskan bahwa Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya. Disisi lain, bagi para pihak yang beragama non-Islam, maka yang berlaku adalah hukum waris perdata barat. Dimana pada hukum kewarisan perdata barat, anak angkat juga tidak dapat mewaris dengan orang tua angkat sebagaimana anak kandung. Karena Pasal 832 K.U.H. Perdata menegaskan bahwa:“Menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini.” Oleh karena itu jelas dalam ketentuan Pasal 832 K.U.H Perdata tersebut, bahwa pewarisan menurut hukum perdata barat telah ditentukan berdasarkan keturunan atau adanya hubungan darah dengan pewaris (ab-intestato). Karena sesuai penjelasan sebelumnya dimana anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya maka pewarisan menurut Pasal 832 tidak berlaku.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Sebaliknya, K.U.H Perdata telah mengatur tentang kedudukan pihak ketiga yang berhak atas harta waris melalui Wasiat Testamen atau Testaminteir Erfrecht. Artinya, sekalipun ia bukan merupakan keturunan atau bukan ahli waris secara ab-intestato, ia berhak atas bagian dari harta waris pewaris, dengan dasar pewaris telah membuat suatu surat wasiat, sehingga Surat Wasiat itulah yang menjadi dasar beralihnya salah satu atau beberapa bagian harta milik si pewaris kepada pihak ketiga. Penunjukkan atau pengangkatan seseorang ini dinamakan erfstelling, sedangkan ahli warisnya ialah ahli waris ad-testamento. Pada prinsipnya, Wasiat merupakan suatu pernyataan (Eenzijdig) yang tertuang dalam bentuk akta, yang timbul dari salah satu pihak (erflater) yang memberikan akibat hukum kepada seseorang yang dinyatakan dalam wasiat tersebut, karenanya pula suatu pernyataan tersebut dapat ditarik kembali oleh si erflater baik secara tegas atau secara diam-diam. Wasiat Testamen dalam BW dibedakan menjadi 2 yaitu : wasiat pengangkatan waris/Erfstelling dan hibah wasiat/Legaat. Yang membedakan antara Erfstelling dan Legaat adalah pertama, pada suatu titelnya, jika Erfstelling didasarkan pada suatu titel yang umum, tidak demikian dengan Legaat atau Hibah Wasiat, titelnya haruslah suatu titel yang khusus. Pasal 957 K.U.H Perdata memberikan suatu kekehususan dari barang peninggalan pewaris baik bergerak ataupun tidak bergerak atau hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian. Hal lain yang membedakan antara keduanya, orang yang mendapat erfstelling selain berhak akan harta pusaka pewaris ia juga berkewajiban membayar hutang-hutang dari pewaris dan ia berkedudukan sama dengan ahli warisnya (ab-intestato). Sedang penerima legaat ia berhak menuntut barang-barang yang diwasiatkan kepadanya tanpa berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris kecuali segala pajak kepada Negara yang membebani setiap barang yang di hibahkan (Pasal 961 K.U.H Perdata). Maka, setelah melihat uraian mengenai pewarisan menurut hukum perdata diatas, dapat disimpulkan seorang anak angkat tidaklah mempunyai suatu keterikatan kekeluargaan secara garis lurus atau adanya hubungan darah dengan orang tua angkat. Sehingga, dengan kedudukan semacam ini, yang dimungkinkan oleh hukum ialah ia bisa menjadi bagian dari ahli waris apabila ia diangkat atau ditunjuk berdasar wasiat atau testamen dari orang tua angkatnya. Hal ini sejalan dengan eksistensi peraturan yang baru yaitu SEMA No. 6/1983 jis. UU No. 23/1992 jis. PP No. 54/2007 dimana pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung. Konsekuensi logis dari pengaturan tersebut ialah anak tersebut tidak akan dapat mewaris sebagaimana anak kandung melainkan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris ad-testamento baik melalui Erfstelling (pengangkatan waris)
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
yang telah ditentukan dalam Pasal 954 K.U.H Perdata, maupun Legaat atau Hibah Wasiat yang baru berlaku pada saat pemberi hibah meninggal dunia sebagaimana Pasal 957 K.U.H Perdata dan seterusnya.
Kesimpulan Pengangkatan Anak hadir sebagai salah satu alternatif dari penyelesaian kasus anak terlantar dalam hal perlindungan dan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak yang lazimnya dilakukan oleh pasangan suami isteri, saat ini juga dimungkinkan untuk dilakukan oleh wanita atau pria yang berstatus sebagai orang tua tunggal atas dasar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan dari SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak serta pada Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2007. 1.
Dasar pertimbangan single parent adoption dari sudut pandang kesejahteraan anak ini dilihat dari Pasal 1 angka 1 huruf a Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa kesejahteraan anak adalah pemenuhan hak anak akan kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya. Artinya, sekalipun berstatus single parent tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kesejahteraan kepada si anak sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan karena tolak ukurnya bukan berasal dari jumlah orang tua yang mengasuh, melainkan dari kemampuan COTA baik secara materil maupun immateril dalam memberikan pengasuhan dengan potensi semaksimal mungkin yang dapat diberikan untuk kesejahteraan anak tersebut kedepannya. Memiliki salah satu orang tua akan lebih baik daripada tidak mempunyai orang tua sama sekali. Tidak sedikit orang tua tunggal yang mempunyai kecukupan ekonomi dan rasa semangat menyayangi dan mencintai anak sehingga mereka layak untuk menyalurkan hasrat mereka untuk mensejahterakan anak. Pasal 30 Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap orang tua yang melalaikan kewajibannya maka dapat dilakukan pengawasan atau pencabutan kuasa asuh terhadap anak yang dilakukan melalui penetapan pengadilan.
2.
Pada prinsipnya, ketika seorang anak secara resmi dinyatakan telah diangkat oleh sepasang atau seorang orang tua angkat maka secara hukum anak tersebut sudah berada dalam posisi sebagai anak dari orang tua tersebut, hal ini tersirat dari uraian Pasal 1 angka 2 PP No. 54 Tahun 2007 dimana secara otomatis hak, kewajiban, tanggung jawab
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
serta tugas untuk memelihara, merawat, menjaga, membesarkan dan memberikan segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak telah beralih dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, begitu pun sebaliknya. Namun akibat tersebut dikecualikan dalam hal Kewarisan. Dengan kata lain, akibat hukum pengangkatan anak di bidang kewarisan bersifat tidak serta-merta. Hak mewarisi hanya berlaku antara ia dengan orang tua kandungnya, hal ini tersirat dalam ketentuan Pasal 4 PP No. 54 Tahun 2007. Dalam hal kewarisan Islam, anak angkat mempunyai hak waris dari orang tua angkatnya berupa Wasiat Wajibah. Hal ini diatur dalam Pasal 209 ayat (2) KHI. Itu pun masih mempunyai batasan bahwa Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak 1/3 bagian. Hal ini memiliki tujuan untuk melindungi ahli waris lain dari orang tua angkat. Disisi lain, bagi para pihak yang beragama non-Islam, maka yang berlaku adalah hukum waris perdata barat. Maka, seorang anak angkat tidaklah mempunyai suatu keterikatan kekeluargaan secara garis lurus atau adanya hubungan darah dengan orang tua angkat (sebagaimana prinsip kewarisan perdata barat harus mempunyai hubungan darah). Sehingga, dengan kedudukan semacam ini, yang dimungkinkan oleh hukum ialah ia bisa menjadi bagian dari ahli waris apabila ia diangkat atau ditunjuk berdasar wasiat atau testamen dari orang tua angkatnya baik melalui Erfstelling maupun Legaat.
Saran 1.
Hakim dan para pembuat undang-undang sudah semestinya lebih memperhatikan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dengan membuat penyeragaman hukum atau unifikasi hukum dengan demikian dapat tercipta kepastian hukum sehingga hakim dapat menghasilkan putusan yang lebih baik dengan mengacu pada pedoman peraturan yang jelas.
2.
Kementrian dan Dinas Sosial harus lebih aktif untuk melakukan sosialisasi-sosialisasi terkait peraturan yang mengatur mengenai pengangkatan anak sehingga masyarakat yang hendak melakukan adopsi mengetahui dan mengerti sepenuhnya mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi dan memahami ketentuan hukum yang berlaku. Apabila diperlukan Kementrian Sosial dapat melakukan kerjasama-kerjasama dalam rangka kesejahteraan anak dengan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang perlindungan dan kesejahteraan anak.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
3.
Masyarakat agar senantiasa menunjukkan kepeduliannya terhadap segala bentuk usaha dan gerakan penanggulangan anak terlantar, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa anak-anak terlantar juga bagian dari tanggung jawab masyarakat, khususnya mereka yang mampu secara ekonomi untuk bersama membantu agar anak-anak dapat kembali melanjutkan pendidikan dan hidup sejahtera.
Daftar Referensi Buku: Budiarto, M. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, cet. 2. Jakarta: Akademika Pressindo, 1991. Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak, ed. 3. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1989. Hasanuddin, AF, et al., Pencatatan, Pengangkatan, Pengakuan dan Pengesahan Anak: Sudut Pandang Hukum Islam, Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hak Asasi Manusia, cet. 1. Jakarta: Good Governance in Population Administration (GG PAS), 2007. Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, ed. 1, cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Martosedono, Amir. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya. Semarang: Dahara Prize, 1990. Meliala, Djaja. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, ed. 1. Bandung: Tarsito, 1982. Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia, cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Satrio, J. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang, cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2012. Soepomo, R. Bab-bab Tentang Hukum Adat, cet. 7. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Tafal, B Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali, 1983. Yaswirman. Hukum Keluarga, cet. 1, Jakarta: PT. Grafindo Rajawali Persada, 2011. Zaini, Muderis. ADOPSI Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, cet. 5. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Peraturan Perundang-undangan: Bepaling voor Geheel Indonesia Betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht ven de Chinezen, Staatsblad 1917: 129, dimuat dalam Engelbrecht. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, PP No. 54 Tahun 2007, LN No.123 Tahun 2007, TLN No. 4768. Indonesia. Peraturan Menteri Sosial tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, Permensos No. 110/HUK/2009. Indonesia. Undang-undang tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN No. 32 Tahun 1979. Indonesia. Undang-undang tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 109 Tahun 2002. Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, PP No. 7 Tahun 1977, LN No. 11 Tahun 1977. Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979, SEMA No. 6 Tahun 1983. Indonesia. Peraturan Presiden Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Perpres No. 25 Tahun 2008. Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974. Indonesia. Undang-undang tentang Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, LN No. 49 Tahun 1989.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Malaysia Government. Malaysia Adoption Act 1952 (Act 257). Singapore Government. SingaporeAdoption of Children Act (Chapter 4). Subekti. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Internet: Adoption “Adoption in Malaysia” http://kidz.my/~kidzmy/home/index.php/parents/specialreports/104-adoption-in-malaysia.html. Diunduh 19 Maret 2014. Fenomena. “Fenomena Perempuan Lajang”http://tentangwanita.com/dunia-wanita/fenomenaperempuan-lajang.html. Diunduh 28 Februari 2014. History,
Adoption.
“Adoption
History:
Single
Parent
http://pages.uoregon.edu/adoption/topics/singleparentadoptions.html.
Adoption” Diunduh
25
Februari 2014. Indonesia. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”http://www.kbbi.web.id/adopsi. Diunduh 25 Februari 2014. Indriadi,
Tri
”Prosedur
Membuat
Hibah
Wasiat”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f958a6c5e97a/prosedur-membuathibah-wasiat Diunduh 9 Mei 2014. Jabatan Pendaftaran Negara Kementrian Dalam Negeri Malaysia. “Adoption Children” http://www.jpn.gov.my/en/soalanlazim/adoption-children?nomobile=false. Diunduh 19 Maret 2014. Osborne, Martha. “The Challenges of Single Parent Adoption: Adoption as a Single Parent”http://adoption.about.com/od/nontraditional/a/singleapar.html.Diunduh
25
Februari 2014. Sigmund.
“Sigmund
Freud”http://darkwing.uoregon.edu/~adoption/people/SigmundFreud.htm. Diunduh 8 April 2014
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014
Statistics,
Adoption.
“Adoption
Statistics:
Single
Parent”
http://statistics.adoption.com/information/adoption-statistics-single-parents.html. Diunduh 8 April 2014.
Terbitan Lembaga/Organisasi: Departemen Sosial, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak.Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Jakarta: Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak
Skripsi/Tesis/Disertasi: Cahyono, Budi.“Analisis Hukum Islam Terhadap Wasiat Pengangkatan Ahli Waris (Erfstelling) Dalam KUH perdata.” Tesis Magister IAIN Walisongo. Semarang, 2006. Husnah.“Pelaksanaan Pengangkatan
Anak (ADOPSI)
Yang Dilakukan Oleh Warga
Masyarakat di Indonesia.” Skripsi Universitas Indonesia. Depok, 2009. Sari, Diah Triani Puspita.“Implementasi Pengaturan Adopsi Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.” Tesis Magister Universitas Indonesia. Depok, 2010. Susiana, Evi.“Adopsi Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent Adoption) dan Hubungannya dengan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.” Skripsi Universitas Indonesia. Depok, 2007.
Tinjauan yuridis..., Dessy Marliani Listianingsih, FH UI, 2014