1
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOTO : L. RANA JAYA / DOK. WARSI
2
Daftar Isi /
penulis
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005 SALAM RIMBA Yatim Piatu Begini, Merdeka...? / Mahendra Taher............................................................4 KONSEP Inkonsitensi Kebijakan Tata Ruang Tata Ruang / Diki Kurniawan........................................5 INTRODUKSI Tata Ruang di Persimpangan Jalan / Mahendra Taher & Diki Kurniawan................................. 6 LAPUT Tata Ruang, Ruang Yang Belum Tertata / Tim Bioregion DAS Batanghari...............................8 Belajar dari Sistem Zonasi di Sarolangun / Sana Ulaili & Sukmareni................................... 1 4 Kembali ke Tata Ruang Mikro / Rakhmat Hidayat............................................................ 1 6 SUDUT HUKUM Konsultasi Publik Terhadap Perencanaan Tata Ruang / Nelly Akbar & Sauttua P. Situmorang....19 SELINGAN Harimau pun Perlu Hidup / Muhammad Yunus dan Muji Santoso........................................ 2 0 Burung Juga Butuh Perhatian / Asep Ayat..................................................................... 2 1 FOKUS Dan, Kita pun Perlu Belajar Lagi / Dewi Yunita Widiarti................................................... 2 3 Menguak Potensi Hutan Adat Dusun Mensio / Kurniadi Suherman.................................... 2 5 Lubuk Bedorong yang Butuh Dorongan / Dewi Yunita Widiarti.........................................2 7 GIS SPOT SIG, Alat Analisis Canggih guna Pengelolaan Konservasi / Nugraha Firdaus........................3 0 DARI HULU KE HILIR Haruskah Kasus Sedasi Terulang di BHIP? / Sukmareni ...................................................3 2 Ketika SK Menhut Abaikan Keppres / Sukmareni.............................................................3 4 MATAHATI Suatu Ketika di Dusun Tuo Datai / Rahmadie................................................................. 3 6 Ande-ande Rimba Proses Membangun Kreatifitas Anak Rimba / Feri Apriadi....................... 3 8 WAWANCARA Gubernur Jambi, H Zulkifli Nurdin / Sukmareni............................................................. 4 0 Kepala Balai TNBT, Ir. Moh. Haryono, M.Si / R ahmadie..................................................4 3 SUARA RIMBA Hutan Rusak Virus pun Menyebar / Musfarayani............................................................ 4 6 AKTUAL Mari Bersiap Menunggu Alien / Mahendra Taher............................................................ 4 9 Revitalisasi Pertanian dan Kehutanan / Cut Nurul Aidha.................................................... 5 0 Balok Lah Abis, Apo Nak Digawe? / Sukmareni............................................................. 5 2 Ketika Anak Pedalaman Riau Belajar Bahasa Inggris / Chairil Anwar Tanjung........................ 5 3 INFO WARSI, SANG KEMARE, YU SALMA- & BANG JUL Alam Sumatera, SEPTEMBER DESEMBER 2005
3
Dari Editor Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab : Rudi Syaf Editor : Musfarayani Sukmareni R ahmadie Web Master : Askarinta Adi Pelaksana : Tim KKI WARSI Distribusi : Aswandi
Salam lestari,
B
uletin Alam Sumatera kali ini terbit di tengah berbagai persoalan dan harapan bangsa kita: Melemahnya nilai tukar rupiah yang berimplikasi terhadap kenaikan harga barang; bencana tanah longsor dan kecelakaan penerbangan yang merenggut ratusan nyawa manusia. Sementara, saudara-saudara kita di Nangroe Aceh Darussalam juga tengah berharap supaya perjanjian damai yang ditandatangani pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) benar-benar menghentikan pertumpahan darah di negeri Serambi Mekah tersebut. Semoga bangsa kita segera bisa mengatasi berbagai pesoalan tersebut dan kehidupan yang adil sejahtera sebagaimana dicita-citakan para pejuang kemerdekaan 60 tahun yang lalu bisa diwujudkan. Alam Sumatera Edisi Ke-3 Tahun IV ini menampilkan ulasan tentang rumitnya menyiapkan dan merevisi tata ruang di daerah-daerah kabupaten. Hampir semua kabupaten yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Batang Hari tengah berkutat dengan masalah itu. Sebagian kabupaten, terutama kabupaten baru, masih bingung. Sebagian lagi bersikap aspiratif dengan meminta masukan publik, seperti Kabupaten Bungo. Dari berbagai analisis dan kajian yang dilakukan, diketahui bahwa hutan di Bungo sudah sampai ke batas minimal, yaitu 30 persen. Untuk menyelamatkan kawasan hutan yang sedang menunjukkan indikator lampu merah itu, muncul rekomendasi agar garis wilayah pengembangan I (WP I) Bungo diputar, sehingga kawasan hutan tersisa yang berada di wilayah hulu dikonservasi (WP II).
Foto Cover : Gambar diambil saat terbang di atas lahan konsesi HTI RAPP Riau / Robert Aritonang Desain & Cetak
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id
Edisi kali ini juga memuat wawancara dengan Gubernur Jambi H. Zulkifli Nurdin, yang baru mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat untuk memimpin Jambi dalam periode lima tahun ke depan. Zulkifli cukup kaget begitu mengetahui hasil analisis KKI Warsi soal sisa hutan Jambi yang juga berada di titik minimal. Ia pun berharap Provinsi Jambi, bersinergi dengan pemerintah kabupaten, menyiapkan penataan ruang yang jelas untuk kepentingan di masa sekarang dan yang akan datang. Info-info segar dan artikel dari berbagai kegiatan staf KKI Warsi di lapangan juga menarik untuk disimak. Bagaimana masyarakat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Merangin, mempersiapkan pelatihan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan adat tergambar lewat tulisan yang menarik. Lalu, ada pula tradisi unik masyarakat Desa Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, mengukuhkan kembali lubuk larangan. Juga, tak kalah menariknya feature human interest suku Talang Mamak yang tetap survive mempertahankan jati dirinya. Di samping pengalaman seru guru rimba yang membangkitkan kreativitas Anak Rimba melalui metode dongengnya. Layaknya gadis remaja yang selalu ingin tampak menawan di mata para penggemarnya maka begitu juga Alam Sumatera. Berbagai pembenahan tampilan dan ragam cerita menarik akan terus menghiasi buletin ini, yang membuatnya tentu saja- lebih variatif dan mengesankan. Satu lagi, redaksi menunggu kritik dan saran dari para pembaca setia Alam Sumatera. Selamat menikmati dan merenungkan sajian kali ini.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
4
SALAM RIMBA / Mahendra Taher, Kordinator Program Bioregion DAS Batang Hari KKI Warsi
[email protected]
Yatim Piatu Begini, Merdeka...?
S
eperti biasanya, pesta selalu berakhir...demikian juga pesta perayaan kemerdekaan tahun ini. Usai sudah. Bagi saya pribadi, bulan Agustus selalu memunculkan perasaan campur aduk antara bangga, sedih, masygul, gembira dan heran yang menimbulkan banyak tanya. Umpamanya, apa hubungan perlombaan gerak jalan atau baris berbaris dengan hari kemerdekaan? Apakah karena dulu pernah terjadi suatu fase yang disebut revolusi fisik, lalu ingatan kita harus digiring kepada segala sesuatu yang militeristik seperti itu ? Atau, kenapa hanya seolah pada hari itu bendera yang telah terlipat selama setahun mesti dikibarkan di rumah-rumah? Apa maksudnya gerbang dan pagar dicat ulang? Di zaman Orde Baru pertanyaan seperti itu bisa berujung bui. Toh, 17 Agustus adalah hari keramat di mana tinta emas sejarah telah mencatat kisah perjuangan sebuah generasi paling cemerlang bangsa ini. Itulah proklamasi kemerdekaan yang terjadi 60 tahun lalu. Mereka yang merasa nyaman menjadi sandera masa lalu akan selalu mengatakan bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang harus disyukuri. Padahal hanya ada sedikit saja jejak kemerdekaan itu. Batavia memang telah menjadi Jakarta dengan gedunggedung tinggi serta jalan tol. Pabrik-pabrik didirikan walau kemudian pemiliknya kabur bersama BLBI ke luar negeri. Perkebunan monokultur dan hutan tanaman meluas dengan mengorbankan hutan alam yang kaya. Bahkan, pernah ada suatu masa, dimana kita hampir percaya bahwa bangsa ini memang sudah siap lepas landas. Itu terjadi ketika pesawat terbang buatan sendiri bisa mengudara. Namun, akhirnya bukan cuma pesawat itu tidak lagi diproduksi (karena hanya laku ditukar beras ketan), tapi bangsa ini malah terhempas berkeping-keping.
Feodalisme bukannya terkikis tapi makin kuat. Landasan berbangsa yang tadinya etis malah menjadi etnis.
melayani. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman hanyalah dongeng. Jika demikian halnya, lalu apa yang sebenarnya kita rayakan...? Siapa yang telah merdeka? Siapa yang telah berdaulat? Kurang sesajen apa kemerdekaan ini? Apa yang kita sebut kemerdekaan dan kita rayakan selama ini justru telah membuat rakyat menjadi yatim piatu di tanahnya sendiri. Di samping harus bekerja keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, mereka juga dipaksa untuk melayani kemauan penguasa dari rezim ke rezim. Struktur birokrasi juga orang di dalamnya sangat gemuk sementara para yatim piatu menderita gizi buruk. Feodalisme bukannya terkikis tapi makin kuat. Landasan berbangsa yang tadinya etis malah menjadi etnis. Kembali ke soal perayaan. Salah satu tantangannya adalah bagaimana keluar dari jebakan pemaknaan yang hanya berhenti pada simbol-simbol. Mendekatkan rasa kemerdekaan kepada rakyat bukanlah dengan memindahkan upacara bendera dari Istana Merdeka ke Monas.
Demikian juga tentang keterpurukan kita saat ini. Banyak contoh bangsa lain yang bisa bangkit. Alam takambang manjadi guru, kata orang Minang. Inggris pernah memiliki utang lebih dari 250 persen dibandingkan PDB, namun Kepingan-kepingan itulah yang melukai kita seperti beling sekarang jadi kekuatan ekonomi paling disegani di Eropa. hari-hari ini. Kasus busung lapar yang dulu membunuh Jika terlalu sulit memahami sejarah Amerika Serikat yang para romusha ternyata masih ada. Polio masih menghantui panjang, tonton saja film The Gang of New York yang anak-anak. Sebentar lagi, masyarakat akan leluasa dipaksa mirip kerusuhan Mei dan Malari. Betapapun kita tidak untuk melepaskan haknya atas tanah demi kepentingan suka si polisi global ini, namum kemajuan yang telah umum. Air yang 60 tahun lalu berlimpah dan murah mereka capai saat ini serta kemiripan pada beberapa kini tercemar dan akan dikomersilkan pula. Udara yang bagian sejarah dapat menjadi pelajaran kita. Untuk apa? 60 tahun lalu menyegarkan rongga paru kini dipenuhi Ya, setidaknya agar kemerdekaan ini tidak hanya bermakna kabut asap tiap tahun. Pendidikan zaman sekarang hanyalah lomba pacu karung. Dan, 52 persen populasi yang telah untuk golongan yang mampu. Bahkan, orang miskin sudah diyatim-piatukan mulai dapat merasakan makna hidup di dilarang sakit karena tidak banyak rumah sakit yang mau negara merdeka. Ha..., merdeka...? (A.S.) Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
konsep / Diki Kurniawan, Koordinator Program Bukit Tigapuluh
[email protected]
Inkonsistensi Kebijakan Tata Ruang
I
dealnya, ketika kita membicarakan konsep tata ruang maka harapan yang muncul adalah pola penataan ruang yang baik, rapi, dan terencana. Tentu saja, seluruh kepentingan masyarakat telah terakomodir di dalamnya. Membicarakan tata ruang maka tidak akan terlepas dari UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (RTRWK). Lebih lanjut, bila mengacu pada undang-undang tersebut, maka RTRWN menjadi pedoman bagi penataan ruang wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Secara hirarki, ini merupakan perencanaan dari atas (top down panning). Namun sebaliknya, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Dengan adanya kewenangan daerah ini, menunjukkan tuntutan untuk melakukan perencanaan tata ruang daerah dari bawah (bottom up planning). Dan untuk mencapai titik temu proses perencanaan tata ruang tersebut -tingkat nasional maupun daerah- diperlukan suatu badan untuk merumuskan kebijaksanaan dan mengkoordinasinasikan penataan ruang agar sinkron dan terpadu. Meskipun Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTN) telah dibentuk, implementasinya belumlah efektif dalam melaksanakan strategi nasional secara terpadu. Sisi lain, dengan pola deregulasi kewenangan ke daerah melalui kebijakan otonomi daerah, ternyata masih belum sinkron dan menyisakan gap. Mulai antar kabupaten/kota dalam suatu propinsi hingga antar propinsi. Lebih kacau lagi, penataan ruang ini belum menerapkan kriteria, kaidah baku, serta mutu seperti yang disiratkan
dalam peraturan perundang-undangan. Sebut saja daya dukung lingkungan (struktur tanah, siklus hidrologi, siklus udara), fungsi lingkungan (wilayah resapan air, konservasi flora dan fauna), dan estetika lingkungan. Dampak buruk sudah pasti, yaitu kualitas ruang yang kurang akomodatif. Lalu bagaimana peran dan hak masyarakat dalam penyusunan, pengendalian dan pemanfaatan ruang? Informasi tentang tata ruang kenyataannya sulit dan tidak terakses oleh masyarakat. Bahkan atas nama pembangunan, kepentingan masyarakat sering dipinggirkan. Akumulasi dari itu semua, timbullah konflik kepentingan yang dalam penyelesaiannya banyak membutuhkan biaya, waktu, tenaga dan fikiran, bahkan korban jiwa. Sebagai wujud peran serta masyarakat, kalangan Non Goverment Organization (NGO) atau LSM, tentu saja telah banyak melakukan strategi pemetaan partisipatif di kawasan pedesaan. Tujuannya jelas, mendorong proses pengelolaan tata ruang mikro. Namun begitu, muncul sedikit keraguan apakah konsep ini akan diakomodir pemerintah setempat? Demi terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik maka integrasi, sinkronisasi dan koordinasi perencanaan sangat diharapkan, andai saja! (A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
5
ALAIN COMPOST / DOK. WARSI
6
Tata Ruang di Persimpangan Jalan INTRODUKSI / M. Taher & Diki K., Koordinator Program KKI WARSI -
[email protected]
K
eruwetan proses penataan ruang, puncak gunung esnya barangkali dipicu oleh desentralisasi. Lalu, berbagai perubahan pada hampir semua sendi kehidupan tak pelak menempatkan proses penyusunan tata ruang pada posisi yang rumit: Seperti di persimpangan jalan yang lampu merahnya mengalami disfungsi atau berfungsi tetapi pengendara tidak peduli. Macet, bahkan mungkin kecelakaan. Jelas bukan desentralisasinya yang salah. Konstitusi telah sejak awal mengamanatkan hal itu. Hanya karena tarikmenarik kepentingan saja yang membuatnya seolah baru lahir melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Belum lagi undang-undang yang bersifat sektoral, seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Perikanan, UU Pokok Penataan Ruang, dan lainnya, yang sifatnya untuk mengesploitasi sumberdaya alam. Mungkin juga kemacetan ini sebagaimana gesekan di berbagai bidang kehidupan saat ini sesuatu yang harus dilewati sebagai bagian proses pematangan ber-Indonesia raya. Dua Semangat yang Berbeda Kenapa bergulirnya desentralisasi bisa dianggap sebagai awal makin ruwetnya proses penyusunan tata ruang? Tidak lain karena otonomi daerah menimbulkan perbenturan
kepentingan yang makin rumit. Semangat UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sangat sentralistik. Tata ruang disusun mulai dari level nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan seterusnya. Pokoknya top down. Di sisi lain, semangat otonomi daerah adalah pemberian kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Namun, semangat untuk memacu kemandirian suatu daerah otonom tersebut ternyata menumbuhkan ego masing-masing daerah. Apa yang terjadi kemudian adalah pertarungan kepentingan segi tiga yang makin sengit antara pemerintah pusatprovinsi-kabupaten/kota. Padahal, sebelum otonomi pun, pertarungan kepentingan antar sektor dalam penyusunan tata ruang juga sudah ada. Pemekaran daerah kabupaten/kota di beberapa provinsi menuntut revisi rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang bersangkutan. Tetapi, tarik menarik kewenangan dan kepentingan menjadikan RTRW yang akan direvisi dan ditetapkan tak bisa menjadi alat koordinasi dan sinkronisasi pembangunan wilayah antar kabupaten/kota. Macetnya revisi tata ruang di beberapa tempat adalah bukti nyata pertarungan ini. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi dan RTRW/K kabupaten-kabupaten yang berlarut-larut adalah salah satu contoh. Padahal RTRW merupakan pedoman, strategi dan arahan kebijakan pembangunan wilayah. RTRW juga menggambarkan visi
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
INTRODUKSI dan misi daerah dalam mengembangkan pola pemanfaatan ruang, baik kawasan lindung, budidaya maupun kawasan tertentu. Implikasi yang terjadi adalah banyaknya produk kebijakan pemerintah daerah dan perizinan dalam pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan tidak konsisten, bahkan ada yang bertentangan dengan peraturan dan perundangundangan yang lebih tinggi. Bisa jadi hal tersebut terjadi karena pemerintah daerah ingin memacu pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi dalam kerangka kemandirian daerah. Dan indikator peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dianggap cermin keberhasilannya. Sehingga dalam prakteknya yang terjadi di lapangan adalah eksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya demi kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan fungsi ekologi. Pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berwawasan lingkungan jadinya tinggal berupa slogan belaka. Kondisi ini diperparah dengan masih lemahnya fungsi pengawasan, kordinasi dan penegakan hukum. Minim Partisipasi Publik Sampai saat ini, pelibatan publik dalam proses penyusunan tata ruang sangatlah minim. Bahkan eksekutif di beberapa kabupaten ternyata banyak yang menyerahkan sepenuhnya penataan ruang kepada konsultan. Kalau di tingkat eksekutif saja seperti itu, jangan tanya lagi pemahaman seperti apa yang terjadi di kalangan publik yang lebih luas. Itulah buah dari semangat sentralistik selama ini. Sungguh sangat aneh jika rencana tata ruang yang merupakan turunan dari visi dan misi suatu daerah diserahkan penyusunannya begitu saja kepada pihak ketiga tanpa kritisasi dari berbagai elemen masyarakat. Jangan heran kalau kita membandingkan RTRW/K antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya dalam satu provinsi, nyaris tidak ada bedanya. Tidak ada ciri spesifik daerah yang seharusnya muncul dan menjadi keunggulan masing-masing. Yang lebih parah adalah kenyataan bahwa tata ruang tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pengambil kebijakan. Akibatnya, revisi-revisi yang dilakukan kemudian justru untuk mengakomodasi pelanggaran dari rencana yang sudah disusun sebelumnya. Tidak banyak pihak yang dapat mengontrol kondisi ini karena dokumen rencana tata ruang selama ini diperlakukan dan diklasifikasikan sebagai top secret, hanya kalangan tertentu yang bisa mengaksesnya. Padahal berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang, berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang, serta memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Seharusnya pemerintah melibatkan peran serta masyarakat atau adanya partisipasi publik dalam penataan ruang. Peran serta masyarakat sangat penting karena pada akhirnya seluruh lapisan masyarakatlah yang memperoleh manfaat sekaligus dampaknya. Butuh Titik Ekuilibrium Baru Gambaran di atas terjadi di dalam arena, dalam koridor penyusunan dan implementasi penataan ruang resmi. Diluar itu, tapi tidak pula bisa disebutkan di luar arena, sebenarnya telah berkembang berbagai inisiatif dan terobosan-terobosan pemikiran tentang penataan ruang dan tata guna tanah. Kalangan NGO/LSM bersama masyarakat telah sejak lama mendorong proses-proses pemetaan partisipatif sebagai bentuk paling nyata upaya penataan ruang di tingkat komunitas. Bahkan telah ada jaringan yang khusus bekerja untuk itu. Pada banyak kasus, hasil pemetaan partisipatif yang juga berisi rencana tata guna lahan di desa telah diakomodasi oleh instansi-instansi pemerintah. Namun untuk bisa masuk ke dalam dokumen tata ruang kabupaten, hambatannya terbentur pada ketentuan-ketentuan yang ada dan terlebih juga kemauan. Selain itu, desakan agar segera dilakukan reforma agraria sudah semakin kuat saat ini dan pada pada saatnya harus ditindaklanjuti. Jika itu terjadi maka implikasinya terhadap penataan ruang akan sangat mendasar. Dengan kondisi seperti itu, penataan ruang di level manapun saat ini tengah berada di simpang jalan. Ada banyak perubahan yang juga menuntut penyesuaian, mulai dari penyesuaian landasan berpikir, peraturan perundangundangan, mekanisme keteribatan publik sampai pada ketaatan terhadap apa yang sudah direncanakan di dalam tata ruang itu sendiri. Kalangan di DPR mungkin belum melihat persoalan ini urgen sehingga revisi UU Nomor 24 Tahun 1992 tidak diprioritaskan. Lagipula, toh selama ini tata ruang selalu dilanggar oleh penyusunnya sendiri dan sepertinya dengan begitu pun pembangunan jalan terus. Lebih dari itu, proses penyusunan tata ruang selama ini dilihat tidak lebih sebagai proyek semata. Persoalannya, apakah ini akan dibiarkan terus ...? (A.S)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
7
8
LAPORAN UTAMA / Tim Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected]
Tata Ruang, Ruang yang Belum Tertata Untuk menghasilkan gaun yang baik dan sesuai selera si pemakainya, seorang desainer membutuhkan ukuran-ukuran yang tepat. Tinggi badan, lebar bahu dan dada, panjang lengan, panjang badan serta lebar pinggang dan pinggul harus dipolakan. Desainer akan yakin gaun yang dirancangnya akan pas pada body si pemakainya bila dia membuat gaun itu berdasarkan hasil pengukurannya.
A
nalogi di atas bisa dipakai untuk melukiskan pentingnya penataan ruang bagi pemerintah daerah. Maka, tata ruang semestinya disusun dengan persiapan yang matang; ada penetapan kesepakatan visi dan misi; pengumpulan, pengolahan dan kompilasi data; analisa masalah dan potensi; perumusan konsep pengembangan dan wujud struktural serta bentuk pemanfaatan ruang. Atas dasar itulah rencana tata ruang bisa dirumuskan. Membahas tata ruang tidak bisa hanya berangkat dari aspek fisik semata, seperti yang terjadi selama ini. Tata ruang terkait dengan empat ruang di dalamnya: Ruang sosial, politik, ekonomi dan ekologi. Penataan ruang mengandung orientasi mendasar tentang kebijakan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan yang selaras. Lebih spesifik lagi, ruang harus diatur sesuai karakternya, sehingga bermanfaat bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya. Pengaturan ini memerlukan payung hukum dan implementasi yang menjamin penataan ruang berjalan selaras. Pemahaman tentang ini selayaknya direnungkan ketika sejumlah daerah kini disibukkan dengan rencana membuat dan merevisi tata ruang. Menata ruang memang bukan pekerjaan simpel. Itulah sebabnya masih banyak pihak yang berkompeten dengan penataan ruang diliputi kebingungan dan kegamangan. Masalah ini memerlukan advokasi lebih jauh agar penataan ruang tidak terkesan asal jadi atau malah bertambah membingungkan. Dampak yang paling buruk, tentu saja, kembali akan ditanggung oleh manusia dan lingkungan, baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Pemerintah daerah yang terkait langsung dengan daerah aliran sungai (DAS) Batang Hari, yang sedang merencanakan penyusunan dan revisi penataan ruang, menunjukkan kecenderungan berada dalam posisi bingung dan gamang itu. Kabupaten Dharmasraya dan Solok
Selatan, misalnya. Sementara roda pembangunan terus berjalan, pemerintah di kedua kabupaten pemekaran ini belum merampungkan dokumen tata ruang yang akan disahkan sebagai Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW). Dikhawatirkan, pembangunan tanpa mempertimbangan pemanfaatan ruang akan menjadi bumerang bagi daerah itu sendiri. Dari analisa peta citra Landsat 2002 oleh KKI Warsi, hutan di Dharmasraya hanya tinggal 28 persen saja, berada di bawah angka minimal bila ditinjau dari segi ekologis sebagaimana diatur dalam UU No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Sementara itu, illegal logging di kabupaten yang berdekatan dengan Provinsi Jambi itu juga masih marak. Berdasarkan hasil razia aparat keamanan, 75 sawmill liar berhasil ditertibkan. Tidak menutup kemungkinan masih banyak sawmill liar lainnya di Dharmasraya dan kabupaten tetangga yang menampung kayu-kayu tebangan dari hutan di Dharmasraya. Hanya saja, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Dharmasraya sepertinya masih belum menyadari sepenuhnya pengurangan kawasan hutan tersebut. Salah satu sebabnya adalah keyakinan Pemkab Dharmasraya pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercantum dalam buku Dharmasraya dalam Angka 2003. Dalam buku itu disebutkan bahwa Dharmasraya masih memiliki sekitar 44 persen hutan. Bila penataan ruang dilakukan dengan dasar data yang meragukan, maka selamanya pemanfaatan ruang akan disalahartikan pula. Kasus di Kabupaten Solok Selatan berbeda lagi. Secara topografi, Solok Selatan relatif berbukit. Walau dari analisa peta citra satelit Landsat masih terlihat sisa hutan 36 persen, Solok Selatan tidak akan bisa mempertahankannya tanpa ketegasan lewat payung hukum penataan ruang. Betapa tidak, di daerah ini ditemukan areal perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan di tengah kawasan lindung, yakni di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh dan Sangir Batang Hari. Sementara kegiatan illegal logging di daerah iyu juga tergolong tinggi. Diperkirakan, sekitar 70 persen masyarakat Sangir Batang Hari dan Sangir Jujuhan menggantungkan hidup dari menebang hutan. Yang sangat membedakannya dari Kabupaten Solok Selatan adalah tarik menarik kepentingan terkait letak ibukota
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
LAPORAN UTAMA kabupaten yang sebelumnya sudah ditetapkan di Padang Aro. Masalah politik ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan agenda pemerintahan. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan Pemkab Solok Selatan lebih mendahulukan penataan kota ketimbang penataan wilayah secara keseluruhan. Kebingungan juga terjadi di Kabupaten Sarolangun yang sudah memiliki dokumen tata ruang, walaupun belum menetapkan Perda RTRW. Secara konseptual, tata ruang di Sarolangun relevan dengan karakteristik kawasannya, terutama bila dilihat dari analisa kelerengan dan tutupan lahan. Bisa dikatakan, penataan ruang di Sarolangun menggunakan pendekatan DAS, dengan format pembagian wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu, dengan kelerengannya yang cukup curam dan didominasi kawasan hutan difungsikan sebagai kawasan lindung. Sedangkan wilayah tengah, dengan topografi rendah, cukup relevan difungsikan sebagai kawasan perkotaan. Sedangkan wilayah hilir, dengan topografi sejenis, juga relevan sebagai kawasan perkebunan dan pertambangan.
FOTO : ROBERT ARITONANG / DOK. WARSI
Pertanyaannya, apakah perencanaan cukup sampai pada proses mendelinasikan kawasan dan menatanya dalam sebuah peta pada dokumen tata ruang? Kapan konsep
penataan ruang dituangkan dalam bahasa hukum, dalam hal ini perda, adalah pertanyaan yang masih harus dijawab oleh pemerintah setempat. Hanya dengan cara itu, implementasi penataan ruang menjadi lebih terjamin dan terpayungi. Dokumen tata ruang Kabupaten Sarolangun diselesaikan pada tahun 2002 yang menghabiskan dana hampir Rp 1 miliar. Lembaga legislatif di Sarolangun sempat menyesalkan belum disahkannya dokumen tersebut menjadi Perda RTRW. DPRD sendiri bertanya-tanya, ada apa dengan dokumen tata ruang tersebut sehingga belum diajukan untuk disahkan sebagai perda? Tanpa Perda RTRW, penataan kawasan-kawasan yang lebih rinci untuk kepentingan pembangunan semakin membingungkan. Contohnya ketika para perencana tata ruang Kota Sarolangun hendak menyusun Ranperda tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kecamatan Sarolangun. Dalam dokumen RUTRK sudah jelas dinyatakan bahwa di antara bagian wilayah kota adalah kawasan ruang terbuka hijau. Bupati Sarolangun HM. Madel lalu menetapkannya lewat sebuah surat keputusan (SK) tentang Hutan Kota. Tetapi, di dalam pengaturan bagian wilayah kota (BWK) Ranperda RUTRK sama sekali tidak ada klausul mengenai
Apakah pembabatan hutan yang dilakukan perusahaan HTI telah memenuhi kaidah tata ruang yang lestari?
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
9
FOTO : ROBERT ARITONANG / DOK. WARSI
10
Deforestasi yang terjadi, telah menyebabkan semakin berkurangnya hutan alam yang tersisa
eksistensi kawasan hutan kota. Dalam ranperda tersebut dinyatakan bahwa BWK hanya meliputi kawasan pembangunan. Bahkan, bila dianalisa lebih dalam lagi, antara satu klausul dengan klausul lainnya saling melemahkan. Klausul-klausul yang ada hanya menuangkan keinginan daerah menciptakan ruang udara yang bersih, keselarasan lingkungan dan perbaikan atau peremajaan. Tidak ditunjukkan dengan jelas dimana ruang yang akan dialokasikan untuk itu, bagaimana arahan untuk itu, dan atau bagaimana poin-poin tersebut akan diciptakan. Hal ini justru semakin menjelaskan kurang adanya jaminan hukum penyelamatan kawasan ruang terbuka hijau di areal perkotaan. Kabupaten Bungo termasuk daerah yang lebih aspiratif dalam merencanakan revisi tata ruang. Bappeda Bungo yang kini sedang melakukan kompilasi data sudah melibatkan beberapa NGO (non government organization) dan lembaga peneliti. Berbagai kajian dan analisa serta masukan sudah diterima oleh lembaga perencana pembangunan itu lewat beberapa diskusi panjang. Ini dilakukan untuk melahirkan tata ruang yang lebih akomodatif terhadap penyelamatan kawasan. Dari analisa peta citra Landsat diketahui bahwa tutupan hutan aktual di Kabupaten Bungo pada tahun 1990 adalah 42,78 persen dari luas wilayah. Tapi, pada tahun 2002 hanya tinggal 30,63 persen. Dari data citra satelit juga diketahui bahwa persebaran tutupan lahan berupa hutan
berada di sebelah barat daya (hulu) yang mencakup Kecamatan Tanah Tumbuh, Rantau Pandan dan Pelepat. Sebagian dari tutupan hutan tersebut adalah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Permasalahannya, berdasarkan Perda RTRW yang lama, yang dibuat semasa Bungo masih tergabung ke dalam Kabupaten Bungo Tebo, garis wilayah pengembangan (WP) I justru diplot di bagian barat daya, yang merupakan kawasan hutan tersisa. Selain TNKS, tutupan hutan di barat daya itu merupakan hulu sub DAS Batang Tebo yang merupakan salah satu sub DAS Batang Hari. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar untuk melakukan revisi RTRW. Karena sebenarnya, hutan di kawasan hulu itu tidak leluasa lagi untuk dikonversi menjadi areal penggunaan lain (APL), terutama untuk perkebunan besar. Partisipasi Publik Suatu Keharusan Belajar dari permasalahan di Dharmasraya dan Solok Selatan, diperlukan perubahan paradigma salah satunya kearifan lokal untuk menghentikan tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi yang tanpa mengindahkan ruang sosial dan ekologi. Di Dharmasraya juga diketahui bahwa penyusunan dokumen tata ruang kini tengah disiapkan oleh konsultan. Hal ini memerlukan pencermatan tersendiri oleh pemerintah setempat mengingatkan partisipasi dan eksistensi publik (ruang sosial dan ekologi) justru bisa terabaikan. Partisipasi publik pula yang dibutuhkan di Kabupaten Solok
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
Selatan dengan mendudukkan masalah untuk kepentingan bersama dan mempercepat penataan ruang. Kerancuan yang muncul dalam penyusunan tata ruang di Kabupaten Sarolangun lebih kepada kurang tegasnya pernyataan tentang ruang terbuka hijau di dalam Ranperda RUTRK. Penegasan ini penting karena Perda RUTRK-lah yang akan pertama kali dibuka dan dibaca oleh banyak pihak dalam menggerakkan pembangunan di daerah sebelum mencermati dokumen tata ruang itu sendiri.
maupun llegal, maka daerah hilir akan terancam. Pengurangan lahan hutan di daerah hulu menyebabkan air hujan yang turun ke bumi menjadi aliran permukaan tanpa mampu meresap ke tanah. Dalam kapasitas besar, aliran permukaan itu berarti banjir di daerah hilir, meskipun di daerah hilir itu tidak terjadi hujan.
Perlunya Perubahan Paradigma dalam Penetapan WP
Kawasan hulu juga berperanan penting sebagai penyedia air areal pertanian, industri dan pemukiman di daerah hilir selain pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Kajian-kajian dan analisa inilah yang mendorong kalangan NGO dan peneliti mengusulkan kepada Bappeda Bungo menggunakan pendekatan DAS, dengan membagi zona hulu sebagai WP II dan zona hilir WP I, kebalikan dari konsep RTRW yang lama. Pendekatan DAS ini akan mempertajam dan memperkaya skenario pengembangan wilayah dengan konsep growth pole dan agropolitan. Artinya, penentuan kawasan lindung dan budidaya tidak hanya berorientasi pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan berdasarkan paham trickle down effect di sektor ekonomi pada konsep growth pole dan pengembangan pedesaan pada konsep agropolitan.
Menyimak permasalahan di Kabupaten Bungo, keberadaan tutupan hutan di kawasan hulu perlu disikapi lebih serius mengingat peranan pentingnya dalam siklus hidrologi di sub DAS Batang Tebo. Seperti umumnya ciri daerah hulu yang bercurah hujan tinggi dengan topografi berbukit, bila tidak memiliki tutupan hutan akibat penebangan hutan legal
Pendekatan DAS ini juga akan mengarah pada implementasi cost and benefit sharing antara hulu dan hilir, sehingga pemerataan kesejahteraan dapat dicapai. Zona hulu tidak hanya berfungsi sebagai kawasan lindung (TNKS dan HL) tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk budidaya dengan pertimbangan-pertimbangan khusus. (A.S.)
FOTO : ROBERT ARITONANG / DOK. WARSI
Ketika perda tidak cukup representatif menggambarkan semua yang tertuang dalam dokumen tata ruang bisa dipastikan akan banyak celah praktik penataan ruang yang mengancam eksistensi kawasan ruang terbuka hijau. Jadi, sejauhmana dan bagaimana para perencana menerjemahkan konsep tata ruang ke dalam bahasa hukum dalam upaya penyelamatan lingkungan, tidaklah berlebihan dipertanyakan.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
11
12
BOX LAPUT / Agus Widodo &
Sukmareni -
[email protected]
Masihkah Ada Hutan di Muaro Jambi? ...bila bukan masyarakatnya yang tidak tertarik, ya..., hutannya yang hanya tinggal belukar.
M
emasuki bulan keenam Program Bioregion DAS Batang Hari, Juni 2005, fasilitasi di Kabupaten Muaro Jambi belum menemukan titik masuk yang pas. Workshop bulanan merekomendasikan pelaksanaan program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) sebagai salah satu bentuk implikasi mikro konsep bioregion. Namun, dua bulan menjajaki desadesa yang masih memiliki hutan, sembari menggali potensi nilai adat setempat, berbagai kendala tampak jelas di depan mata. Penjajakan di Desa Betung, Kecamatan Kumpeh Ilir, sekitar 60 kilometer dari Kota Jambi, adalah salah satu contoh. Desa itu merupakan salah satu kawasan yang di dalam citra Landsat terlihat masih memiliki hutan. Tetapi, benarkah itu kawasan hutan? Bisakah ia dijadikan kawasan konservasi yang dikelola oleh masyarakat setempat? Ketika fasilitator kabupaten (FK) berkunjung ke desa ini, seorang pemuda, yang belakangan ketahui bernama Agus, menyambut dengan sedikit sorot mata curiga. Dia ketua pemuda di desa
tersebut. Belakangan FK juga mengetahui bahwa Agus adalah salah satu penjaga log pond H Busro, pengusaha kayu cukup terkenal di Muaro Jambi. Dia mengajak FK mampir ke rumahnya. Maksud dan misi KKI Warsi di desa ini pun disampaikan kepada Agus. Dibeberkan, Warsi berniat menggali nilai-nilai kearifan lokal masyarakat untuk melindungi sejumlah kawasan hutan di daerahnya, apakah itu hutan adat, hutan desa atau apapun namanya. Intinya, kawasan hutan tersebut dikelola dengan nilai-nilai konservasi. Muaro Jambi, khususnya Kumpeh, adalah salah satu wilayah di DAS Batang Hari. Sebagian besar kebutuhan masyarakatnya akan air dipasok dari sungai yang berhulu di Sumatera Barat ini. Karena itu, Muaro Jambi termasuk daerah yang akan didorong mengelola sumberdaya alam dengan pendekatan bioregion. Secara mikro, akan ada desa dampingan dan pengakuan hak kelola masyarakat akan hutan yang dikonservasikan. Paling tidak, sudah saatnya menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa pengelolaan sumberdaya alam selama ini telah menyebabkan penurunan mutu lingkungan dan Sungai Batang Hari. Frekuensi banjir meningkat yang berimplikasi pada rusaknya ribuan hektar lahan pertanian dan pemukiman. Belum lagi kerugian akibat diliburkannya anak-anak sekolah karena gedung sekolah mereka terendam atau sulitnya mendapat air bersih di musim kemarau. Masalah lainnya adalah sedimentasi. Akibatnya, sungai yang sudah dilayari sejak abad III Masehi itu kini hanya bisa dilayari
kapal-kapal kecil. Dampak nyata yang sering terdengar, tongkang pengangkut BBM dari Plaju, Sumatera Selatan, tidak bisa mencapai Depot Pertamina di Kota Jambi. Maka, langkalah BBM di Provinsi Jambi. Mengapa ini terjadi? Berdasarkan citra Landsat tutupan lahan tahun 2002, hutan di Muaro Jambi hanya tersisa di tiga kecamatan, yakni Kumpeh Ulu, Kumpeh Ilir dan Maro Sebo. Tetapi, dengan luas wilayah 545.514 hektare, Muaro Jambi memiliki tutupan lahan hanya seluas 58.681 hektare atau 12,07 persen (Potret Hutan Jambi). Ini sangat tidak berimbang. Dibandingkan dengan luas tutupan lahan di kabupaten lain, Muaro Jambi termasuk kategori daerah yang kawasan hutannya paling kritis Beranjak dari sini, perlu diadakan PHBM sehingga ada kawasankawasan yang dilestarikan di antara sekian hektare pohon yang tumbang setiap harinya akibat illegal logging. Dengan penyampaian dalam bahasa yang sederhana, Agus tampak manggut-manggut. Dia sangat paham dengan maksud Warsi, sebagaimana dia memahami masyarakatanya sendiri. Katanya, sekitar 70 persen masyarakat Kumpeh hidup dari bebalok alias menebang hutan. Ini bisa dimafhumi. Hanya saja, sementara mencari kehidupan dari kayu terus berlanjut, paling tidak masyarakat harus berpikir ke arah lain. Apalagi, belakangan seringkali ada operasi atau razia illegal logging. Selain itu, PHK besar-besaran di sektor industri perkayuan terus terjadi karena perusahaan kayu kekurangan bahan baku. Sudah
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
13
maksud Warsi di desa itu, yaitu paparan rencana PHBM. Namun, cerita keberhasilan desa-desa di kabupaten lain dalam mengelola hutan dengan nilai-nilai adat hingga mendapat pengakuan pemerintah, bahkan Penghargaan Kalpataru, tidak cukup menarik minat kades dan tamu-tamunya.
FOTO : L. RANA JAYA / DOK. WARSI
Bak seorang sales, FK menyebutkan puluhan hektare, bukan ratusan, sebagai langkah awal untuk PHBM. Bahwa PHBM itu layaknya kawasan hutan yang masih ditumbuhi kayu, yang dijaga dan dilestarikan seperti museum. Warsi mengajukan tawaran tenaga untuk pendampingan. Tetapi mereka pun juga tidak tertarik.Yang justru membuat mereka tertarik adalah perasaan senang karena dikelilingi kebun sawit yang luas seperti di Kecamatan Sungai Bahar.
Yang Tersisa saatnya masyarakat beralih ke sektor lain dan menjaga alam lingkungannya. Agus pun semakin paham. Dia pun memperkenalkan FK dengan aparat desa, yakni Kepala Urusan Pemerintahan (Kaur Pem) Desa Betung. Kemudian secara bersama-sama FK dan Kaur Pem itu menuju rumah kepala desa yang terletak di seberang Sungai Kumpeh. Kebetulan, di rumah Kades Betung juga ada salah seorang pengurus KUD setempat dan anggota LPM yang dulunya bekerja sebagai staf lapangan PT Rimba Karya Indah (RKI). Usai
basa-basi dan perkenalan obrolan mulai mengalir hingga menyentuh ke masalah eks areal PT RKI. Terungkap, pada awalnya dulu PT RKI mematok kawasan kelolanya sampai ke pemukiman penduduk. Bahkan, dapur rumah sang Kades dan ruang tamu rumah penduduk lainnya termasuk ke dalam peta kawasan ekploitasi PT RKI. Namun, kini masyarakat desa yang tergabung ke dalam kelompok-kelompok di bawah naungan KUD memanfaatkan kawasan eks PT RKI itu untuk perkebunan dan pertanian. Semakin lama, semakin asyik perbincangan waktu itu. Tak ketinggalan FK menyampaikan
Mereka menyebutkan masih ada hutan bekas PT RKI, tetapi letaknya terlalu jauh. Tentu saja itu bukan masalah karena yang penting adalah dukungan masyarakat untuk melakukan konservasi. Tetapi, sang kades sepertinya sama sekali tidak tertarik dengan program ini. Ini penolakan yang ke sekian kalinya. Sebelumnya, dalam perjalanan keliling Muaro Jambi, FK juga sudah sering menemukan hal-hal seperti ini. Bila bukan masyarakatnya yang tidak tertarik, ya..., hutannya yang hanya tinggal belukar. Kayukayunya telah habis, baik karena kebakaran hebat di tahun 1997 maupun illegal logging yang tak kunjung berakhir. Akhirnya, sampailah kita pada satu pertanyaan: Masih adakah hutan yang bisa diselamatkan di Muaro Jambi?(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
14
LAPORAN UTAMA / Sana Ulaili & Sukmareni, staf KKI WARSI -
[email protected] Billboard hutan adat desa Guguk, penetapan hutan adat semacam di Guguk ini jelas sangat mendidik masyarakat desa untuk lebih mengelola hutannya secara arif. Dan bisa diikuti oleh masyarakat adat lainnya.
mengedepankan pertimbangan fungsi hidrologis DAS Batang Hari. KURNIADI DOK. WARSI
Belajar dari Sistem Zonasi di Sarolangun
K
ebijakan sistem zonasi di Kabupaten Sarolangun merupakan salah satu contoh penataan ruang yang lebih komprehensif dan integratif. Implementasinya di lapangan belum tentu semudah yang direncanakan. Namun, paling tidak, Kabupaten Sarolangun selangkah lebih maju, terutama mempertimbangkan pengelolaan kawasan di daerah yang memegang fungsi hidrologis yang sangat penting bagi daerah aliran sungai (DAS) Batang Hari. Sarolangun memiliki dua sub DAS besar sebagai wilayah tangkapan air, yaitu sub DAS Batang Tembesi dan Batang Merangin. Sarolangun dengan karakteristik dataran tinggi dan rendah juga menyimpan keragaman biodiversiti. Hanya saja, belakangan kerusakan di daerah tangkapan air mulai dirasakan, mulai pengelolaan sumber daya alam yang tidak sesuai konsep ekologi sampai pada produk kebijakan yang belum memadai. Meliputi luas 617.400 hektare, Sarolangun memiliki 54.285,20 hektare (8,7 persen) kawasan hutan lindung (HL) dan 8.883,74 hektare (1,4 persen) cagar alam (CA), dengan hutan produksi (HP) 189.208,87 hektare (30,6 persen) dan areal penggunaan lain (APL) seluas 365.022,19 hektare (59,1 persen) (Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun, 2004). Areal HL dan cagar alam seluas itu masih memprihatinkan. Sebagai kawasan tangkapan air, kebijakan pemerintah daerah mengelola sumber daya alam sudah semestinya lebih
Menyikapi ini, Pemkab Sarolangun telah mengambil langkah-langkah penyelamatan kawasan berdasarkan model aliran sungai. Wilayah Sarolangun dibagi menjadi tiga zona berdasarkan letak dan ketinggiannya, yakni zona hulu sebagai kawasan lindung; tengah sebagai pusat pelayanan umum dan pengembangan holtikultura; dan hilir diplot sebagai kawasan budidaya dan perkebunan (Perda No. 06 Tahun 2001 tentang Rencana Strategi Kabupaten Sarolangun). Kecamatan Batang Asai dan Limun merupakan wilayah yang paling tinggi. Inilah bagian hulu yang masuk ke dalam zona kawasan lindung. Kawasan ini perlu dilindungi karena merupakan sumber air atau hulu bagi anak-anak sungai yang mengalir ke Batang Asai dan Batang Limun sebelum keduanya menyatu menjadi Batang Tembesi. Sebagai zona kawasan lindung, maka kawasan tersebut tidak diperuntukkan sebagai HP maupun areal perkebunan besar. Sayangnya, sebelum aturan tegas zonasi diperdakan, di zona hulu sudah ada sekitar 70.000 hektare kawasan HP. Tetapi, Bupati Sarolangun HM. Madel terus berupaya menyelamatkan kawasan hulu itu. Bahkan, dia sudah meminta ke Menteri Kehutanan agar areal HP itu dialihfungsikan menjadi HL. Berbicara soal DAS, Madel sendiri pernah menyatakan bahwa dulunya, pada 1960an, Batang Tembesi, masih bisa dilewati kapal roda lambung. Sekarang, katanya, Batang Tembesi mengalami pendangkalan akibat endapan lumpur erosi dari kawasan hulu. Zona tengah disebut kawasan penyangga yang meliputi Kecamatan Sarolangun dan Pelawan Singkut. Ini didukung dengan kenyataan bahwa pusat pemerintahan dan ibukota kabupaten berada di Kecamatan Sarolangun. Sedangkan zona hilir mencakup Kecamatan Pauh, Mandiangin dan Air Hitam. Di kawasan ini terdapat 60.000 hektare hutan produksi (HP) yang juga tengah diusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk dijadikan kawasan budidaya. Hanya saja, implementasi dan realisasi zonasi itu hingga sekarang masih dalam proses yang cukup rumit. Salah satu sebabnya adalah belum dijabarkannya Perda Renstra ke dalam bentuk yang lebih kongkret, antara lain dalam bentuk program pembangunan daerah (Propeda) dan rencana tata
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
LAPORAN UTAMA Patut disyukuri, masyarakat di kawasan hulu Kabupaten Sarolangun kini pun semakin menyadari pentingnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Hal ini terlihat dari minat masyarakat untuk menjadikan beberapa kawasan pemukiman dan perkebunan mereka sebagai kawasan hutan adat atau rimbo larangan. Dengan kearifan lokal, masyarakat Panca Karya dan Lubuk Bedorong menyatakan sendiri sebagian kebun mereka sebagai rimbo larangan, yang kini sedang menunggu legitimasi formal dari pemerintah daerah. Kearifan masyarakat ini sebenarnya bisa menjadi pendukung utama kebijakan zonasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
Nah, ketika konsep sudah ada, sementara kearifan lokal masyarakat ikut mendukung, haruskah sistem zonasi itu hanya menjadi kebijakan yang tersimpan sia-sia hanya dalam bentuk rencana semata? (A.S.)
Penjabaran di dalam bentuk kebijakan yang lebih konkret, detil dan terinci itu akan menghindarkan konversi zona hulu menjadi perkebunan besar. Apalagi, kalangan investor menganggap kawasan hulu itu sebagai lahan emas untuk dieksploitasi, yang bisa mengurangi fungsi kawasan lindung. Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun menyebutkan, selain HP seluas 70.000 hektare yang sedang diusulkan menjadi HL, di kawasan hulu juga sudah dibuka perkebunan sawit seluas 650,40 hektare. Sementara itu kini PT Graha Cipta Mandiri, sebuah perusahaan perkebunan sawit, sudah mengantongi izin hak guna usaha (HGU) untuk areal seluas 3.000 hektare di Kecamatan Limun.
FOTO : L. RANA JAYA / DOK. WARSI
ruang wilayah (RTRW) kabupaten. Padahal, penjabaranpenjabaran itu perlu sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah mengimplementasikan sistem zonasi. Dengan komitmen, bagian hulu bisa tetap terjaga sebagai kawasan lindung yang tidak serta merta bisa dilepas ke tangan investor dengan dalih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Air sumber kehidupan, jika hutan terjaga dengan baik maka manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh mahluk hidup yang tinggal di sekitar hutan, anak anak dapat bermain di sungai (foto atas ) bahkan sawah sawah bisa mendapat pengairan yang cukup (foto bawah)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
15
LAPORAN UTAMA / Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur KKI WARSI -
[email protected] perencanaan tata ruang yang sektoral dengan minimnya partisipasi masyarakat, ikut melahirkan titik puncak kebuntuan dan keputusasaan berbagai pihak mengatasi persoalan pengelolaan sumberdaya hutan (PSDH). Penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi PSDH di satu sisi dapat dilihat sebagai peluang peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya hutan. Namun, di sisi lain, euforia dan pengertian sempit otonomi oleh pemerintah daerah hanya untuk peningkatan PAD sebagai indikator kesuksesan bisa menjadi bumerang bagi sumber daya hutan. Lalu, ketika pembangunan yang sangat sektoral-teknis menimbulkan beragam masalah, ego administratif pun mengancam. Masing-masing daerah otonom cenderung menganggap potensi sumberdaya hutan di wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah. Maka, pendekatan baru yang mampu menjembatani berbagai pihak untuk berkontribusi dalam merancang tata ruang PSDH sebagai upaya melindungi kawasan hutan yang tersisa mutlak dicari.
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
Menimba Kearifan Lokal Tata ruang bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat. Simaklah ungkapan berikut: Nan lereang ditanam tabu, nan gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburan, nan gauang ka tabek ikan, nan lambah kubangan kabau, dan nan padek ka parumahan. Artinya, (tanah) yang lereng ditanami tebu, yang datar dibuat ladang, yang berlumpur dijadikan sawah, yang kering jadi pekuburan, yang berair jadikan kolam ikan, lembah untuk kubangan kerbau dan yang keras untuk pemukiman.
Kembali ke Tata Ruang Mikro
Pada masa Raja Jambi, masyarakat adat Desa Guguk, salah satu desa di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, mempunyai konsep ruang seperti yang tertuang di dalam Piagam Lantak Sepadan Marga Pembarap, yang diserahkan
Nan lereang ditanam tabu, nan gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburan, nan gauang ka tabek ikan, nan lambah kubangan kabau, dan nan padek ka parumahan. (Ungkapan adat Minangkabau)
D
i mana masyarakat bisa hidup tenang dengan lingkungan yang bersih dan sehat? Ini pertanyaan prinsipil ketika kerusakan lingkungan masih saja menjadi bahan keluhan sepanjang masa. Kebakaran hutan menjadi momok menakutkan di musim kemarau, illegal logging menjadi hantu tanpa kenal musim, kebun karet dan hutan adat diubah menjadi tambang batu bara dan sungai menjadi tempat limbah logam berat dari pertambangan emas liar. Sementara, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan besar sawit, areal pertambangan dan transmigrasi, serta
DASRUL / DOK. WARSI
16
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
LAPORAN UTAMA anggapan tanahnya lebih subur, mudah mencegah kebakaran, dekat dengan sumber air untuk mandi, cuci, minum selain tempat mencari ikan dan sebagai jalur transportasi pengangkut hasil pertanian. Tata Ruang Mikro, Sebuah Pilihan
Sultan Anom Seri Mogoro (Senin, bulan Syafar 1170 H).
hutan dan tanahnya itu hinggo Teluk Serambi terus ke Tebat Gedang Tanjung Selasah, terus ke Bukit Cempedak turun ke Setepung merampung ke Ulu Masat, terus ke Serik Bedjadjo habis bateh dengan Masumai, terus ke Pematang Buluh apo berbatas dengan Depati Ma. Langkap, terus ke Renah Utan Udang berwatas dengan Serampas/Dusun Tuo, terjun ke Ulu Mangkanang berbatas dengan Sengrahan dan Tiang Pumpung, seekor ikannya sebingkah tanahnya dan setitik airnya adalah milik Depati Pembarap. Ketika dilakukan pemetaan partisipatif, isi piagam ini membentuk sebuah ruang dengan berbagai kekhasannya. Masyarakat juga memanfaatkan ruang-ruang kelola dengan aturan adat. Peran tetua adat, baik tuo tengganai, ninik mamak, dan cerdik pandai cukup dominan. Sistem pertanian, diawali dengan pemilihan lahan calon lokasi ladang, penebasan, penebangan, pembakaran, pembersihan, penanaman, pemeliharaan sampai panen, dilakukan secara tradisonal. Pengerjaan biasanya dilakukan secara kolektif dan bergiliran antara satu kelompok dengan kelompok lainnya di atas hamparan perladangan yang dikenal dengan istilah banjar yang dipimpin oleh Tuo Banjar. Lokasinya dipilih dekat dengan aliran sungai, dengan
AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
Masyarakat sebenarnya sangat memahami cara mengelola sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Dari rangkaian fasilitasi inisiatif PSDH berbasiskan masyarakat di Sumatera Bagian Selatan, baik yang berkonflik dengan kawasan konservasi, konsesi, transmigrasi maupun kawasan yang dikelola menggunakan kaidah adat, terlihat hubungan harmonis masyarakat dan alam. Keharmonisan itu melahirkan konsep dan pelajaran untuk mempertahankan keberlanjutan fungsi sumber daya tanpa meninggalkan aspek ekonomisnya.
Kearifan masyarakat lokal menjaga lingkungan, sungai di daerah hulu di daerah gunung Kerinci (kiri atas), sungai yang terpelihara akan menghasilkan sawah yang produktif sebagai sumber kehidupan masyarakat (tengah bawah), juga menghasilkan ikan(kiri atas), panen padi di daerah Danau Maninjau (atas).
Pola keruangan di sebagian besar daerah fasilitasi mengedepankan kaidah konservasi. Bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam yang disangga oleh areal budidaya, sementara pemukiman berada di bawahnya. Masyarakat sangat berkepentingan dengan pola keruangan ini. Jika tidak dipertahankan, maka berbagai akibat-akibat buruk akan timbul, seperti tanah longsor, serangan binatang buas dan hama, pencucian hara serta berkurangnya sumber air. Lebih jauh, sumber-sumber ekonomi masyarakat akan hilang yang bermuara pada kehancuran sistem sosial. Masyarakat sekitar hutan merupakan aktor utama-penentu dan penata pemanfaatan sumber daya alam. Keterlibatan para tokoh adat, pemerintahan desa, pegawai syara, pemuda dan perempuan serta badan pengelola dalam setiap pengambilan keputusan pemanfaatan ruang dan lahan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
17
LAPORAN UTAMA
18
mencari, memperoleh dan memberikan informasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, dan berhak untuk menyampaikan pendapat dan masukan terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintah. Payung hukum ini masih ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat di dalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 5 Tahun1998 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota.
L. RANA JAYA / DOK. WARSI
Tata ruang mikro yang telah diinisiasi masyarakat dalam wujud nyata bisa berbentuk hutan adat, rimbo pusako, rimbo parabukalo, rimbo larangan, lubuk larangan, lebung larangan, parak dan talang. Kawasan-kawasan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu sistem pengelolaan kawasan berbasis ekosistem lokal. Elemennya terdiri dari hutan alam, hutan adat, sungai, rawa, kolam, danau, ladang, parak, kampung, tanah pekuburan dan lainnya.
Sawah dan kebun, seharusnya merupakan sumber ekonomi yang utama bagi masyarakat desa
menjadi hal yang paling mendasar dan tidak boleh tidak. Pemerintah kabupaten sebagai pemegang dan pembuat kebijakan di tingkat makro harus merespon dan mengakomodasi kepentingan masyarakat itu. Mediasi dan fasilitasi dalam setiap penyelesaian batas dan pemanfataan ruang juga mesti dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Lembaga adat kecamatan dan kabupaten berperan sebagai sumber informasi, masukan dan argumen dalam pemanfaatan ruang dan persoalan batas berdasarkan nilainilai dan ketentuan yang berlaku secara turun temurun. Sedangkan pengusaha sebagai pemanfaat, penampung pengolah dan penyalur sumberdaya alam harus melakukan kerjasama yang saling menguntungan dengan masyarakat dengan mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutan sumber daya alam. Tata ruang mikro sebagai wujud implementasi peran serta masyarakat dalam PSDH bukanlah sesuatu yang mengadaada. Pilihan ini dilindungi oleh berbagai payung hukum. UUD 1945 Amandemen II, pasal 28F, menyebutkan, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Kemudian UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara Bebas KKN menyebutkan, masyarakat berhak untuk
Mengedepankan partisipasi masyarakat dalam implementasi PSDH adalah pilihan mendesak. Sayangnya, berbagai persoalan mendasar masih menjadi kendala untuk menjadikannya sebagai alat perencanaan pengelolaan di tingkat komunitas. Di antaranya, tidak tanggapnya pemerintah daerah merespon arus perubahan paradigma PSDH berbasiskan masyarakat; Inkonsistensi terhadap produk hukum yang telah dihasilkan; konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan; belum adanya dukungan perangkat kebijakan terhadap inisiatif masyarakat dalam PSDH konflik horizontal akibat tumpang tindih peruntukan akibat inkonsistensi RTRWK; kebijakan otonomi daerah yang mengobral sumberdaya hutan kepada para investor untuk memenuhi peningkatan PAD; lunturnya norma adat di dalam PSDH; lemahnya penegakan hukum, baik hukum adat maupun hukum positif. Padahal, diakuinya tata ruang mikro paling tidak akan mendorong lahirnya kebijakan dan peraturan yang mendapat legitimasi masyarakat. Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis (transparan, dengan pelibatan masyarakat dan berjalannya akuntabilitas publik) juga akan terimplementasi. Selain itu, akan muncul peluang dan mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dalam penyusunan rencana pengelolaan ruang mikro sebagai upaya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Sementara, kebijakan tata ruang yang berpotensi menimbulkan konflik atau hanya menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu, serta konflik dalam penetapan kawasan lindung dan konsesi yang menyangkut tanah adat, bisa dicegah. Dengan tata ruang mikro, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang akhir-akhir ini terus menipis juga bisa dikembalikan. (A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
SUDUT HUKUM / Nelly Akbar & Sauttua P. Situmorang, staf Legal Officer KKI Warsi
Konsultasi Publik Terhadap Perencanaan Tata Ruang
I
ndonesia, tanah air yang kita tinggali bukanlah milik individu atau kelompok tertentu. Indonesia miliklah kita, yang harus dikelola dan ditata untuk kepentingan bersama. Lingkungan hidup di sekitar kita adalah contoh kecil yang sebenarnya memerlukan perhatian khusus. Bukan saja karena karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri, tetapi juga bagi kehidupan kita dan generasi mendatang. Karena itu, keberadaan lingkungan haruslah dikelola dengan baik melalui pengelolaan pembangunan berwawasan lingkungan. Tentunya, tetap memperhatikan norma hukum yang berlaku di masyarakat. Adalah suatu kemutlakan, untuk mengatur kawasan atau tata ruang wilayah di Republik Indonesia ini diperlukan kejelasan hukum guna mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Konsep tata ruang ini terlihat pada Undang Undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang pada pasal 4 ayat (2) b yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berperan serta dalam hal penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, sampai kepada pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah PP No. 69 tahun 1996 Tentang pelaksanaan Hak dan kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pemerintah sebagai implementator pembangunan sudah melibatkan masyarakat dalam pembuatan rencana tata ruang wilayah? (lihat Pasal 12 ayat 1 UU No 24 TH 1992 bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyakat). Inilah pertanyaan yang yang jawabannya sulit didapatkan.
menyadari pentingnya penyediaan ruang yang berorientasi kepada pola kehidupan masyarakat setempat Dampaknya jelas, masyarakat hanya sebagai objek penderita yang harus menerima seluruh kebijakan dan perubahan tata ruang di wilayah mereka sendiri. Satu hal yang tidak boleh dilupakan saat membicarakan tata ruang adalah membicarakan manusia sebagaimana ucapan Lewis Munford (1967) yang diacu oleh Forrest W Stearn et al dalam The Urban Ecosistim Kota tidak bisa dikatakan eksis tanpa mempertimbangkan manusia dengan segala vitalitas kehidupannya. Pendapat yang dibenarkan juga oleh Sophocles di The City People ( Kota adalah Manusianya). Karena itu, kajian tata ruang tidaklah terlepas dari manusianya sehingga walaupun telah menggunakan perangkat lunak yang canggih sekalipun tidak akan sempurna tanpa manusia. Berikutnya, perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan unsur-unsur kesersasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, tehnologi, sosial budaya dan fungsi pertahanan keamanan, serta aspek pengelolaan terpadu sebagai sumber daya fungsi dan estetika lingkungan dan kualitas ruang (Pasal 14 UU No.24 TH 1992). Dengan begitu, tata ruang tidak hanya sebagai proses pengelolaan perubahan lingkungan dan alam semesta saja melainkan juga sebagai peredam dan penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda atas pemanfaatan lahan yang semakin terbatas.
Sudah sewajarnya, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang. Contoh kasus menunjukkan, beberapa kebijakan telah menyebabkan berubahnya fungsi lahan yang tidak Secara yuridis peran masyarakat untuk ikut serta dalam sesuai kegunaannya. Kebijakan tata ruang yang mengizinkan proses penyusunan suatu rencana penataan ruang sudahlah konsesi di sekitar kawasan hutan lindung tanpa adanya diagendakan undang-undang. Tetapi, secara nyata upaya konsultasi publik adalah contohnya. Atau juga, berubahnya ini belum sepenuhnya ada, karena hampir sebagian besar areal tambak menjadi kawasan industri adalah kasus kecil kebijakan tata ruang wilayah Propinsi, Kabupaten maupun lainnya. Bisa jadi, semua kebijakan ini akibat kurangnya kota dibuat tanpa konsultasi publik terlebih dahulu. Sehingga kepedulian pemerintah dalam mengkonsultasikan kebijakan terlihat bahwa para perencana tata ruang daerah kurang perencanaan taan ruang terhadap publik, atau juga... ?(A.S.) Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
19
SELINGAN / Muhammad Yunus1 & Muji Santoso2 -
[email protected]
FOTO : ALAIN COMPOST / DOK. WARSI
20
Panthera tigris sumatraensis populasinya diperkirakan tinggal 400 ekor di hutan Sumatera
Harimau pun Perlu Hidup Manusia dapat hidup dengan baik pada lingkungan optimal dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan dapat berkembang ke arah optimal.
L
uas permukaan Indonesia hanyalah 1,3% dari keseluruhan daratan dunia. Namun begitu, potensi yang terkandung sungguh mengagumkan. Betapa tidak, 10% dari seluruh tumbuhan dunia, 12% jumlah mamalia, 16% reptil dan amphibi, 17% jumlah burung, dan lebih dari 25% jenis ikan laut maupun tawar ada di sini. Fakta lainnya, 17.000 pulau di Indonesia memiliki kisaran habitat yang bervariasi. Mulai dari hutan hujan dataran rendah, hutan rawa, hutan bakau, padang rumput savana hingga perbukitan dan pegunungan. Dan untuk menjaga kelestarian itu semua, pemerintah telah menetapkan 10% dari luas daratan serta 20 juta hektar lautan sebagai kawasan konservasi. Konser-vasi in-situ sebagai prioritas utama demi keanekaragaman hayati Indonesia di masa mendatang.
Sebut saja Harimau, satwa yang telah dikenal luas oleh masyarakat karena kharisma ataupun kegarangannya. Mbah atau Datuk dengan artian sesuatu yang dituakan dan dihormati adalah panggilannya. Dan lebih dari itu, bila menyebut nama nenek saat memasuki hutan niscaya akan selamat, begitu petuah orang tua dulu. Kini, Harimau terancah punah sehingga memerlukan perlindungan dan perhatian khusus. Memang benar, ada tiga sub spesies yang eksis yaitu Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Namun, perkembangan terakhir menunjukkan hanya satu sub spesies saja yang keberadaannya dapat dipastikan. Adalah Harimau Sumatera, satu-satunya Harimau yang survive di kepulauan Indonesia, dengan populasi yang menurun drastis. Atas dasar itulah, Badan Konservasi Dunia (IUCN) memasukkannya dalam kelompok satwa terancam
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
SELINGAN / Asep Ayat, Asisten Kehutanan B30
[email protected]
Patut direnungi, bila dikaji lebih jauh tidak selamanya keberadaan Harimau mengancam kehidupan manusia. Lebih dari itu, bisa berfungsi sebagai sahabat sebagaimana dialami petani kacang di Lampung Barat yang dapat memanen hasil kebunnya dari gangguan Babi bila ada Harimau. Atau juga, pengalaman hidup Pak Mamad dan istrinya di Serapung. Menurut mereka, selama dua tahun telah hidup berdampingan dengan harimau di hutan, tanpa pernah kehilangan sedikitpun hewan peliharaan atau juga merasa terancam jiwanya. Meskipun, Harimau sering melintasi rumahnya. Harimau tetaplah Harimau. Sebagai spesies kunci dalam strategi konservasi biodiversiti nasional sudah tentu keberadaan makhluk ini mempengaruhi susunan komunitas. Karena itu, melestarikan Harimau Sumatera berarti melestarikan juga simbol sisa-sisa keanekaragaman hayati. Sehingga, kehilangan sub spesies Harimau Sumatera bukan hanya kerugian secara ekologis tetapi juga memalukan dari segi politis. Seoran kawan berkata, Bila manusia meninggal, alangkah baiknya berada di rumah. Begitu juga satwa liar. Tentunya lebih bahagia mati di dalam habitatnya (hutan) ketimbang di luar. (A.S.) 1
CAMERA TRAP / PKHS
2
Koordinator Lapangan Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) Bukit Tigapuluh Riau-Jambi Jagawana Pendamping PKHS Bukit Tigapuluh
FOTO : ASEP AYAT / DOK. WARSI
punah kritis. Selain itu, Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat (PHVA) Harimau Sumatera tahun 1992 oleh Perlindungan Hutan dan Konser vasi Alam (PHKA), memperkirakan hanya 400 ekor saja yang hidup dalam lima Taman Nasional di Sumatera. Lainnya, seratus ekor lebih masih berkeliaran dalam areal dilindungi. Padahal Harimau perlu hidup. Tetapi, perburuan, berkurangnya hewan mangsa serta pembukaan habitat, secara nyata telah mempengaruhi kelangsungan hidup satwa yang sering disebut raja rimba.
Burung Juga Butuh Perhatian
S
iapa sangka, kawanan burung yang dengan lincahnya terbang ke sana sini diambang kepunahan. Padahal, kepak sayap plus pergerakan bebasnya sangatlah mempermudah mencari makan dan mendarat di mana saja, termasuk hinggap di jendela. Secara teoritis, keanekaragaman hayati yang terkandung di bumi Nusantara ini sangatlah memiliki arti penting baik jumlah juga manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Primarck (1989) menyebut Indonesia Megadiversity Country, karena termasuk dalam sepuluh besar dunia. Terutama Pulau Sumatera, pulau yang memiliki beragam flora-fauna khususnya komunitas burung di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Bangsa burung (Kelas Aves) merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Mulai dari kicauan, keindahan bulu, gambar dan simbol, hingga dagingnya. Bahkan, ketika kondisi lingkungan semakin memburuk, burung pun dijadikan indikator tingkat pencemaran lingkungan. Saat ini, jumlah jenis burung di dunia sebanyak 9.672 jenis (Sibley and Monroe, 1990) yang 1.531 jenis diantaranya (sekitar 17 %) terdapat di Indonesia (Andrew, 1992). Dari jumlah tersebut, 381 jenis merupakan endemik dan 372 jenis yang dilindungi (24% jenis burung di Indonesia). Potensi ini, menempatkan Indonesia negara ke-5 dalam keanekaragaman jenis burung dan nomor satu dalam tingkat endemik.
Panthera tigris sumatraensis
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
21
SELINGAN
22
Untuk wilayah Sumatera tercatat kurang lebih 600 jenis burung dari total luasan yang ada. Dan khusus di Taman Nasional Bukit Tigapuluh teridentifikasi 193 jenis burung (1/3 jumlah di Sumatera) yang meliputi wilayah Jambi dan Riau. 172 jenis diantaranya, tersebar di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh yaitu eks PT. IFA dan PT. Dalek (Ds. Pemayungan, Muara Sekalo, Suo-suo dan Sungai Karang). Sebut saja Rangkong gading (Buceros vigil), yang suara ketawanya bikin bulu kuduk merinding. Juga Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), Julang emas (Aceros undulatus) dan Julang-jambul hitam (Aceros corrugatus) merupakan kelompok yang mudah dikenali karena tubuhnya besar, menyukai pohon tinggi dan mengeluarkan bunyi huk
huk
hukk seperti helikopter. Namun, kawanan Bucerotidae, maskot penghuni hutan yang paling mudah dikenali dan dikenal akan kesetian kepada pasangannya, mulai terancam punah. Satu diantaranya masuk dalam Appendiks I CITES yaitu Rangkong Gading (Buceros vigil) sedangkan jenis lainnya termasuk Appendiks II CITES.
FOTO : ALAIN COMPOST / DOK. WARSI
Hasil observasi lapangan menunjukkan banyak burung dari kelompok ini ditangkap dan dibunuh dengan sengaja untuk sekadar diambil paruhnya. Konon, bisa menimbulkan magis sehingga dijadikan jimat atau
benda keramat. Begitu juga dengan illegal loging dan deforestasi hutan yang tinggi semakin mempercepat kepunahannya. Sungguh, kondisi ini harus ditanggapai serius apalagi bila keberadaannya akan terkikis dan akhirnya punah. Maka, sudah sepatutnya jurus konservasi digunakan. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dan Menteri Negara Lingkungan Hidup diharapkan membuat beberapa peraturan untuk kelangsungan kelestarian burung-burung Indonesia. Begitu juga dengan Organisasi non-Pemerintah (NGO) seperti BirdLife International Indonesia Programme, yang menekankan programnya ke konservasi burung Indonesia timur, dan Asian Wetland Bureau, yang menekankan pada pengelolaan habitat dan populasi waterbirds (burung air) dan burung migran. Juga kelompok birdwatching (pengamat burung) yang banyak bermunculan. Diharapkan, sinergi yang baik antara pemerintah dan NGO tercipta guna pelaksanaan konservasi dan peningkatan kesadaran publik. Hal ini bukan untuk kepentingan satu pihak melainkan semua stake holder, sebagai upaya pelestarian biodibersiti khususnya kawanan burung di TNBT.(A.S.)
Burung Rangkong, patut dilestarikan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOKUS / FOKUS / Dewi Yunita Widiarti, Supporting Team Kelembagaan CBFM -
[email protected]
Hutan Adat
A
khir Mei lalu, Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, terlihat berbeda dari biasanya. Beberapa rumah setelah disepakati dalam pertemuan desa disulap menjadi hotel. Dengan ala desa, masyarakat mempersiapkan satu kamar rumah yang akan ditempati oleh dua peserta Pelatihan Administrasi Kelompok Pengelola Hutan Adat yang dipusatkan di desa yang meraih Penghargaan Kalpataru Provinsi Jambi di tahun 2003 itu. Tak hanya mempersiapkan penyambutan peserta. Tempat pelatihan yang disepakati di eks arena MTQ Desa Guguk juga disiapkan. Masyarakat secara gotong royong membersihkan kembali panggung yang selama ini nyaris terabaikan dan rumput-rumput yang tumbuh liar di sekitar panggung. Tak ketinggalan, bagian bangunan yang telah kelihatan lusuh dicat kembali. Hiasan dari daun kelapa muda juga ditambahkan untuk lebih menghidupkan suasana.
FOTO : KURNIADI / DOK. WARSI
Kaum ibu yang tergabung ke dalam PKK dari masingmasing dusun di Desa Guguk secara bergiliran pula menyiapkan kebutuhan konsumsi peserta selama tiga hari pelatihan. Sementara makam malam dan sarapan disediakan oleh ibu rumah tangga yang menjadi induk semang di hotel tempat menginap peserta.
Temalun, salah satu pohon dengan nilai ekonomis tinggi yang terdapat di Rimbo Larangan
Dan, Kita pun Perlu Belajar Lagi
Dari Refleksi dan Pelatihan Kelompok Pengelola Hutan Adat di Desa Guguk
Hasilnya tak sia-sia. Peserta yang datang dari berbagai provinsi, yaitu Desa Ladang Palembang (Bengkulu), Nagari Koto Malintang (Sumatera Barat), Desa Pancakarya dan Lubuk Bedorong (Sarolangun), Desa Batang Kibul, Batu Kerbau dan Lubuk Beringin (Bungo), merasa puas dan nyaman. Keakraban cepat sekali terjalin di antara masyarakat dan para peserta. Awalnya Hutan Adat Semaraknya Desa Guguk dalam mempersiapkan pelatihan ini tak lepas dari keberadaan hutan adat seluas 690 hektare yang dikukuhkan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003. Selepas pengukuhan dan pendirian kelembagaan yang mengurus hutan adat tersebut, banyak agenda yang sebenarnya harus dijalankan. Apalagi, Guguk kerap menjadi desa percontohan dan sering mendapat kunjungan dari berbagai lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
23
FOKUS /
24
Hutan Adat
Namun harus diakui, keterbatasan personel dan pengalaman pengelola membuat program-program yang dicanangkan tidak berjalan, bahkan boleh dibilang stagnan. Mereka bingung mau melakukan apa. Kegiatan tidak berjalan seperti yang direncanakan. Pelaporan tidak ada, apalagi untuk menyampaikan akuntabilitas pengelolaannya terhadap publik. Belum lagi persoalan internal kelompok. Komunikasi dan koordinasi antara kelompok pengelola dengan aparat desa juga kurang berjalan. Ada apa gerangan? Kelembagaan, yang melekat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat itu, gampang dibentuk. Tetapi sungguh membuat wadah itu hidup dan bisa berfungsi sebagai mana yang diharapkan membutuhkan proses yang tidak sebentar; modal kerjasama; kekompakkan; kepercayaan satu dengan yang lain; transparansi; dan kapasitas semua pihak yang terlibat. Itulah yang menjadi motivasi pelaksanaan Refleksi dan Pelatihan Kelompok Pengelola Hutan Adat di Desa Guguk itu. Penguatan Kelembagaan
FOTO : RENI / DOK. WARSI
Digagas dari pertemuan informal, dari orang per orang, dari warung ke warung, hingga kemudian dibicarakan di tingkat desa, lahirlah kesepakatan untuk mengadakan refleksi dan pelatihan. Meski disadari refleksi bukan suatu proses yang mampu menyelesaikan persoalan, tapi minimal ada satu momen dimana masyarakat bisa duduk bersama, saling terbuka, berbicara tentang masalah, harapan, kekecewaan, bahkan mungkin kemarahan. Sampai kemudian, lahirlah komitmen untuk berubah.
Diskusi kelompok, salah satu cara menumbuhkan rasa kebersamaan dalam kelompok .
Seharian, pada 31 Mei, refleksi digelar khusus untuk masyarakat Guguk. Persoalan-persoalan yang selama ini dinilai tabu mulai menguak. Semua orang bebas berbicara. Alhasil, ada suatu keplongan setelah refleksi. Ada kesepakatan yang dicapai di akhir refleksi yang selesai menjelang sore itu. Pertemuan rutin kelompok satu bulan sekali, pelimpahan kepercayaan dari lembaga desa ke kelompok pengelola untuk menangani kegiatan yang terkait dengan hutan adat, menjadi poin yang disepakati dalam refleksi tersebut. Ketegangan antara kelompok pengelola dan aparat desa pun mencair begitu refleksi usai. Namun, masalahnya tidak semudah itu. Untuk lebih menjalankan kelembagaan kelompok pengelola juga harus ada kemampuan manajerial. Hal inilah yang kemudian dikemas dalam pelatihan yang diikuti oleh utusan masyarakat desa dampingan Warsi di Program Community Based Forest Management (CBFM) yang meliputi Provinsi Jambi, Sumbar dan Bengkulu. Penambahan kapasitas para peserta diberikan oleh Warsi dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jambi secara sederhana diiringi diskusi kelompok. Peserta pun terlibat simulasi, yang mendekatkan mereka dengan realita dalam pengelolaan kelompok. Intinya pelatihan ini, masing-masing kelompok dapat membuat pelaporan sederhana secara struktural, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa. Sharing pengalaman dan bertukar informasi di antara peserta juga terjadi. Kelompok Simpan Pinjam Dahlia Desa Lubuk Beringin, yang mampu membesarkan koperasi dengan modal awal arisan anggota Rp 1.000 per minggu. Kelompok simpan pinjam yang beranggotakan kaum perempuan ini sudah memiliki modal lebih dari Rp 75 juta untuk dipinjamkan kepada anggotanya. Paparan dari sekretaris kelompok itu cukup menarik perhatian peserta lain. Peserta belajar menjalankan kelompok tanpa sekretariat maupun mesin tik. Yang penting bagi kelompok itu adalah komitmen pengurus dan anggota. Pelatihan juga diselingi dengan kunjungan langsung ke Hutan Adat Desa Guguk dan Lubuk Larangan. Meski sama-sama berasal dari desa yang lingkungannya kurang lebih sama, mereka tetap antusias melihat langsung keasrian hutan Desa Guguk yang terus terjaga di antara maraknya illegal logging di negeri ini.(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
25
FOKUS / Kurniadi Suherman, Forester
[email protected]
Menguak Potensi Hutan Adat Dusun Mensio
Kedatangan kami tiga staf KKI Warsi ke Pancakarya kali ini adalah untuk survei awal potensi hutan adat, yang disebut masyarakat setempat sebagai imbo larangan (hutan terlarang). Ada dua lokasi imbo larangan di desa itu, yaitu Titian Toreh di Dusun Pondok dan imbo larangan di Dusun Mensio. Tetapi kali ini survei difokuskan ke imbo larangan Dusun Mensio karena survei imbo larangan Dusun Pondok sudah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Berawal dari Pemerintahan Adat Pancakarya merupakan desa tua. Awalnya, wilayah tersebut terdiri dari lima dusun yaitu Kampung Pondok, Dusun Baru, Barung-Barung, Banteng Merukam dan Mensio. Masing-masing dusun dipimpin oleh seorang kepala kampung. Para kepala kampung dipimpin oleh datuk demang. Sedangkan datuk demang dipimpin oleh pasirah (Marga Datuk Nan Tigo). Semua pemimpin dianggap berpengalaman dalam pegang pakai adat istiadat warisan nenek moyang yang dikenal dengan sebutan adat lamo pseko usang. Tapi seiring penerapan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang mengharuskan penyeragaman semua bentuk pemerintahan terkecil ke dalam bentuk desa, maka sistem pemerintahan adat itu pun hilang. Tidak ada lagi sebutan kepala kampung, datuk demang, maupun pasirah.
FOTO : KURNIADI / DOK. WARSI
J
alanan aspal itu kini penuh lubang, berbungkah batu dan sebagian berlumpur tanah. Melewati tanjakan dan turunan tertentu, keahlian khusus diperlukan bila menggunakan kendaraan. Dengan dua kendaraan roda dua Honda GL Max buatan 1980-an, kami pun merasakan saro-nya menembus Desa Pancakarya, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Dari ibukota kabupaten, Sarolangun, sekitar 18 kilometer, dibutuhkan satu jam perjalanan yang melelahkan untuk sampai ke desa tersebut.
Pohon Balam, yang telah berusia puluhan tahun, dengan keliling sekitar 4 meter yang terdapat di Rimba Larangan dusun Mensio.
Rata-rata masyarakat setempat hidup dari perkebunan karet, seperti masyarakat Melayu umumnya di Jambi. Beberapa dari mereka memiliki ternak kambing dan kerbau, yang dibiarkan merumput di areal bekas persawahan. Awalnya, kami merasa aneh melihat padang rumput yang datar di sekitar pemukiman penduduk. Seperti padang golf, celetuk seorang teman. Warga setempat menjelaskan bahwa padang rumput datar tersebut bekas sawah yang tidak lagi digarap karena kesulitan air. Masyarakat menggunakan kincir untuk menimba air dari sungai ke areal persawahan. Kini, kincir-kincir yang indah dan sangat bermanfaat itu sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki. Di antara Perkebunan Karet Menggunakan perangkat global positioning system (GPS), kami mengetahui bahwa hutan adat Mensio berada pada posisi 0203236,8 lintang selatan dan 10203219 bujur timur. Imbo larangan ini berbatasan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOKUS /
26
Hutan Adat
langsung dengan perkebunan karet masyarakat. Secara administrasi, wilayahnya masuk ke dalam Desa Pancakarya, Kecamatan Limun. Topografi hutannya relatif datar. Hutan adatnya terbagi ke dalam empat wilayah, yaitu Imbo Larangan Bukit Singkawang, Renah Aur, Lubuk Gedang dan Tingkok. Lokasi keempat wilayah hutan adat tersebut terpisahpisah oleh perkebunan karet masyarakat. Dulu, menurut tokoh masyarakat setempat, wilayah hutan adat tersebut menyatu. Seiring dengan perubahan waktu, beberapa bagiannya terfragmentasi menjadi kebun karet. Tidak kokohnya penerapan aturan adat merupakan salah satu penyebab fragmentasi hutan tersebut. Burung Rangkong dan Hutan Primer Berdiri di ketinggian di desa, sejauh mata memandang, yang terpampang adalah perkebunan karet. Selintas kelihatan seperti kebun yang tidak terawat. Tetapi sebenarnya itu adalah salah satu kearifan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman hayati, menghindari monokultur. Terkadang di beberapa tempat terlihat beberapa jenis pohon bukan karet, seperti pulai (Alstonia scolaris) dan randu.
FOTO : ALAIN COMPOST
Setelah satu jam berjalan kaki melewati kebun-kebun karet masyarakat, kami sampai di batas imbo larangan Renah Aur. Seusai beristirahat sejenak, dipandu seorang warga setempat, kami memasuki wilayah imbo larangan itu. Sekilas, terlihat pohon-pohon besar berdiameter di atas 30 cm. Seperti hutan hujan tropis umumnya, kawasan itu juga selalu basah dan lembab. Pohonpohonnya ditumbuhi lumut dan ephyfit. Seresah di lantai hutan terasa tebal dan lembab.
Burung Rangkong, patut dilestarikan
Berjalan semakin jauh ke dalam hutan adat itu, tumbuhan kian beragam, suara satwa pun terdengar riuh. Seresah di lantai hutan semakin tebal, lebih dari 10 cm, berupa daun-daun gugur dan ranting lapuk yang sebagiannya mulai terdekomposisi (melapuk). Sesekali terlihat jamur tanah, jamur payung berwarna putih kehitaman di sekitar atasnya. Jamur-jamur juga tumbuh di beberapa kayu tumbang yang lapuk karena usia. Batang kayu itu tampak berlumut. Lebih jauh ke dalam hutan, terasa udara dan hawa lebih sejuk dengan aroma khas hutan hujan tropis. Berdasarkan pengamatan sekilas dan informasi dari pemandu kami yang kebetulan adalah penduduk asli Mensio, hutan adat itu ditumbuhi berbagai jenis kayu bernilai ekonomi tinggi. Di antaranya, bulian (Euxyderoxilon zwagery), sengeris/kempas (Koompasia malacensis), temalun, kosik/bungir, meranti (Shorea sp), jelutung (Dyera costulata), antui bungir, manu/rengas (Gluta rengas), petaling, balam, terentang, kepayang, damar (Agathis sp), balam saminai, balam kenang, kayu paku dan kacang-kacang. Beberapa tumbuhan nonkayu juga bisa ditemukan. Sebut saja, di antaranya, rotan (Calamus sp), pasak bumi (Eurocoma longifolia), akar kuning (Arcangelisia flava), rotan manau (Calamus manau), dan rotan sego (Calamus caesius). Semakin masuk, semakin menakjubkan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, kecipak air Sungai Mensio dengan batu-batu hitam dan kuning di dasarnya, begitu menyejukkan. Belum lagi nyanyian burung dan siamang. Saat itu masih pagi. Berbagai satwa diurnal (aktif pada siang hari) memulai aktivitasnya. Kadang-kadang terdengar kepak keras sayap burung rangkong (Buceros sp), seperti suara helikopter sebelum tinggal landas: Bhug... bhug... bhug..... Kesimpulan sementara, imbo larangan Mensio berupa hutan alam primer. Burung rangkong atau julang, adalah salah satu indikatornya. Burung jenis ini menyukai daerah dengan hutan yang rapat, pohon-pohon besar untuk bersarang. Selain rankong, menurut informasi masyarakat, hutan adat tersebut juga dihuni burung ngiang, kuau (Argusianus agus), punai (Treron sp), dan lainnya. Sedangkan kelompok primata yang diyakini masih hidup di hutan tersebut adalah siamang (Symphalangus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos), ungko
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
27
(Hylobates agilis), beruk (Macaca nemestrina), kera/ monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), orangutan (Pongo Pygmaeus) dan lainnya. Di beberapa tempat di dalam hutan terkuak ruangruang terbuka yang terlihat terang karena sinar matahari. Tempat-tempat terbuka tersebut sebagian muncul karena tumbangnya pohon-pohon secara alami karena lapuk dimakan usia. Tetapi, tidak sedikit juga ruang terbuka itu terjadi aktivitas penebangan pohon oleh masyarakat.
Kelembagaan CBFM -
[email protected]
Lubuk Bedorong yang Butuh Dorongan FOTO : RENI / DOK. WARSI
Perjalanan kami selanjutnya adalah ke imbo larangan Lubuk Gadang, sungai yang dalam berair tenang, tempat ikan memijah dan berkumpul. Konon, menurut masyarakat setempat, Lubuk Gadang merupakan lubuk yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Mensio. Sampai sekarang, masih ada beberapa masyarakat yang sering menyalakan kemenyan dan sesajian untuk ngalap berkah atau mendapatkan berkah dari lubuk larangan yang berisi ikan-ikan besar itu.
FOKUS / Dewi Yunita Widiarti, Supporting Tim
Pernah juga suatu ketika ada orang yang bebalok di sekitar lubuk larangan, tanpa ritual tadi. Dia meninggal dunia terkena impitan pohon yang ditebangnya. Tapi, ya, saya juga tidak tahu pasti apakah karena ada penunggunya sehinggga dikeramatkan atau kebetulan aja kejadian itu, ucap Pak Ibrahim, salah seorang warga Dusun Mensio yang mengantar kami saat itu.
Dulu, di sini ada lubuk (bagian sungai yang cukup dalam) yang arus airnya cukup deras. Bila diperhatikan, pusaran air di lubuk itu itu seperti dorongmendorong.... (Kepala Desa Lubuk Bedorong, Dasril menjelaskan sejarah pemberian nama desa tersebut).
Masyarakat dan Hutan Adat Hampir semua masyarakat sekitar hutan memiliki hubungan erat dengan hutan, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan religi. Begitu pula dengan masyarakat Dusun Mensio, yang memiliki hubungan erat dengan Imbo Larangan. Terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup, seperti pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada di hutan. Baik itu kayu ataupun non kayu. Rotan misalnya untuk kebutuhan alat-alat perlengkapan untuk ambung (keranjang untuk menyimpan berbagai perlengkapan), kurungan ayam, dan perlengkapan lainnya. Hutan adat atau Imbo Larangan ini juga menjadi sumber air untuk kebutuhan masyarakat Dusun Mensio. Kayukayu yang terdapat di hutan ini juga dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah penduduk dan sarana umum lainnya. (A.S.)
B
ubur putih dan arwah nenek moyang. Sulit dibayangkan bila ternyata kedua istilah tersebut saling berkaitan dan sangat berarti bagi masyarakat Desa Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Bagi masyarakat desa yang terletak sekitar 32 kilometer arah Selatan dari pusat Kota Sarolangun itu, bubur putih menjadi sajian wajib di setiap perhelatan adat; ketika nenek moyang juga harus diberi tahu. Sore Jumat, 22 Juni 2005. Warga Desa Lubuk Bedorong beramai-ramai menyeberangi Sungai Batang Limun untuk mencapai tepian lubuk yang bernama sama dengan nama desa itu: Lubuk Bedorong. Di pinggiran lubuk itu terlihat hampar pasir yang cukup luas untuk berkumpul. Orang tua dan muda, jantan dan betino, duduk melingkar. Di sana mereka akan mengikrarkan kembali kesepakatan melestarikan Lubuk Bedorong sebagai lubuk larangan.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOKUS /
Hutan Adat
FOTO : RHAINAL / DOK. WARSI
28
Secara administratif, desa tersebut meliputi tiga dusun, yakni Surian, Sei Binjai dan Temalang. Namun, lubuk larangan yang akan dikukuhkan secara adat itu hanya meliputi Dusun Surian dan Sei Binjai dengan panjang 500 meter. Sedangkan Dusun Temalang memiliki lubuk larangan tersendiri. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat dalam merevitalisasi kembali kelestarian sungai dan sumber daya yang ada di dalamnya. Lubuk itu sebenarnya sudah dianggap terlarang sejak zaman dulunya. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, nilai dan norma pengelolaan lubuk larangan tersebut sempat pupus dan kata larangan menjadi kehilangan makna. Kini, di tengah berbagai ancaman terhadap sungai dan sumber daya di dalamnya, serta untuk memenuhi kebutuhan akan ikan, masyarakat Lubuk Bedorong kembali bersepakat untuk mengelolanya secara lebih arif. Tak menunggu lama, di bawah pimpinan M. Hut, tuo tengganai yang menjadi ketua Kalobu Rumah Gadang, prosesi pun dibuka. Kalobu adalah sebutan untuk kelompok adat di desa tersebut. Dan, Kalobu Rumah Gadang merupakan kalobu tertua dibandingkan empat kalobu lainnya. Ritual peresmian kembali lubuk larangan itu
diawali dengan pembacaan surat Yaasin secara bersamasama, dipandu oleh M. Hut. Lantunan ayat-ayat suci pun terdengar merdu di antara arus Sungai Batang Limun. Tak berapa lama, alunan ayat suci itu pun berakhir. Inilah saatnya warga mencicipi bubur putih yang sudah terhidang di dalam piring kecil. Satu per satu warga mencolekkan tangan ke piring lalu memasukkannya ke dalam mulut. Sekali itu dilakukan, terikatlah masyarakat tersebut secara adat untuk menjaga lubuk larangan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, bubur putih itu merupakan medium mengundang arwah leluhur untuk memberitahuan niat atau perhelatan yang baru mereka lakukan. Dengan cara itu mereka berharap mendapat berkah untuk menjaga sungai tersebut sesuai yang mereka niatkan. Diyakini pula, dengan mencicip bubur putih yang merupakan simbol pembersihan diri itu, masyarakat akan mendapatkan berkah umur yang panjang. Lantas apa saja kesepakatan dan sanksi yang diberikan bila ada yang melanggarnya? Ada ketentuan mengenai cara pemanfaatan lubuk dan kesepakatan untuk memanennya hanya sekali dalam setahun secara bersama-sama.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
29
Warga Desa Lubuk Bedorong, bapak bapak, ibu ibu, tua muda ikut mengaji, dalam acara untuk mengukuhkan kembali lubuk Bedorong sebagai lubuk larangan, sementara di latar belakang, anak anak dengan riang bermain di sungai (foto bawah).
FOTO : RHAINAL / DOK. WARSI
desa ini selain naik turun bukit juga harus melewati tanjakan yang diperkirakan sepanjang 700 meter), juga memangku kearifan menjaga kelestarian hutan. Masyarakat desa ini sudah menyatakan satu kawasan hutan adat yang mereka sebut Rimbo Larangan Seguguk (terletak di Dusun SurianSei Binjai) dan Rimbo Larangan Bukit Tinggi (terletak di Dusun Temalang).
Pemanfaatan hasil tangkapan akan diputuskan melalui musyawarah desa. Selain pada waktu yang ditentukan itu, masyarakat dilarang mengambil ikan di lubuk larangan baik dengan cara memasang pukat, menjala, memancing ataupun menyelam. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi akan dijatuhkan sesuai status sosial, seperti jabatan atau ketokohan di tengah-tengah masyarakat. Semakin dituakan atau ditokohkan seseorang yang melanggar kesepakatan itu, maka sanksinya akan semakin berat. Selain lubuk larangan, Desa Lubuk Bedorong yang terkenal dengan sebutan Tanjakan 700 (karena untuk mencapai
Sebagai hutan adat, kayunya hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan rumah atau pembangunan fasilitas umum. Kecuali untuk keperluan itu, masyarakat dilarang mengambil kayu di dalam kawasan hutan imbo larangan tersebut. Kini, masyarakat Lubuk Bedorong, yang mengiklaskan jerih payah mereka mengukuhkan lubuk dan imbo larangan itu berharap mendapatkan legalitas hukum dari pemerintah daerah. Beberapa perwakilan masyarakat yang pernah mengikuti pelatihan pengelolaan hutan adat yang diselenggarakan KKI Warsi di Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, beberapa waktu lalu, berharap agar kawasan larangan yang mereka kelola itu segera dikukuhkan oleh Bupati Sarolangun.(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
30
GIS SPOT / Nugraha Firdaus, Koordinator Pengelolaan Hutan B30 -
[email protected]
P
ada dasarnya, seluruh pengelolaan yang baik sangatlah membutuhkan perencanaan matang. Perencanaan yang meliputi berbagai aspek, pengaruh efektifitas, serta pola kecenderungan implementasinya. Karena itu, pentingnya suatu keakuratan data dan ketepatan analisis dalam perencanaan pengembangan ataupun pengelolaan suatu kawasan sangatlah dibutuhkan. Salah satu alat analisis yang -saat ini- sangat berpengaruh dalam perencanaan pengembangan ataupun pengelolaan suatu kawasan adalah aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Sesuai konsepnya, SIG merupakan alat analisis canggih selama berhubungan dengan data spasial (tempat tertentu) dan temporal (waktu tertentu). Sehingga, alat analisis ini tidaklah berfungsi banyak, bila tidak di back up data spasial yang berisikan beragam informasi akurat tentang kondisi real di lapangan. Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) yang mampu menggambarkan kondisi biofisik suatu kawasan secara akurat berkala, SIG akan mampu menganalisis kondisi biofisik kawasan tersebut plus tambahan data spasial dan informasi lain. Hasilnya, secara tepat akurat SIG mampu menggambarakan peruntukkan suatu kawasan untuk saat ini dan meramalkannya di masa mendatang. Dan dengan bantuan GPS (Global Positioning System) juga, SIG akan mampu menggambarkan suatu data spasial sesuai lokasinya, di bumi ini. Implementasi SIG Dalam Perencanaan Kawasan Konservasi Konser vasi terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan suatu keharusan bagi pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditujukan untuk terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya. Sehingga, dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Salah satu implementasi dari konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah melalui pembentukan suatu kawasan konservasi berdasarkan karakteristik, baik suaka alam ataupun pelestarian alam. Karakteristik tersebut dapat berupa fisik (kelerengan, ketinggian, geologi, curah hujan, jenis tanah, dll), biologi (fauna, flora, tingkat keendemisan, dll), sosiokultural (tempat hidup suku/kelompok spesifik), ataupun gabungan faktorfaktor tersebut.
SIG, Alat Analisis Canggih guna Pengelolaan Konservasi Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
GIS SPOT Contoh konkretnya seperti ini. Bila suatu kawasan berdasarkan variabel-variabel biofisik dan sosiokultural telah diperuntukkan sebagai Taman Nasional, maka dengan variabel-variabel itu juga penzonasian dibuat. Tentunya, tingkatan azas perlindungan dan pelestarian lestari haruslah berimbang. Sehingga, bila di Taman Nasional terdapat suatu kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan, maka pengakomodiran perlu dilakukan dengan membuat zona pemanfaatan tradisional di samping zona inti dan rimba. Karena itulah, melalui variabel-variabel penentu, perencanaan penzonasian bisa dibuat secara akurat dengan dukungan teknologi penginderaan jauh, GPS, dan data spasial lainnya. Sehingga, dari data tersebut dapat diketahui tingkat kerentanan suatu kawasan terhadap kerusakan yang terjadi, baik secara fisik maupun ekologi.
31
Persebaran flora fauna penting misalnya, yang didukung data ekologis berbagai flag species dapat digunakan untuk menganalisis berbagai tingkat kesesuaian habitat di kawasan tersebut. Dengan melalui pengoverlayan dari berbagai tingkat kesesuaian habitat, akan didapatkan suatu core habitat management yang spesifik dan lebih terarah dalam proses pengelolaannya. Begitu pula data sosiokultural melalui analisis tingkat kebutuhan, pola pengambilan, kuantitas, intensitas, serta kecenderungan arah dan lokasi pengambilan sumber daya, dapat direncanakan suatu zonasi khusus untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, SIG juga dapat digunakan untuk menganalisis tingkat serta pola tekanan terhadap kawasan, dengan melihat tingkat tekanan, kecenderungan perkembangan pembukaan lahan, dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap lahan untuk saat ini dan meramalkannya untuk masa yang akan datang. Sehingga, analisis tindakan pencegahan secara sosiokultural dan ekologis dapat dilakukan secara tepat yang disesuaikan melalui tingkat kebutuhan masyarakat. Secara pasti, keseluruhan analisis tersebut dapat dilakukan akurat, spasial, dan temporal dengan menggunakan alat analisis SIG. Yang tentu saja, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, harus didukung data-data dan alat analisis lainnya guna pengelolaan manajemen kawasan lestari. Karena secanggih apapun, SIG tetaplah sebuah alat analisis.(A.S.)
CITRA LANDSAT PULAU SUMATERA Sumber : Divisi GIS/IT KKI -WARSI
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
DARi hulu ke hilir / Sukmareni, Ast. Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected]
Haruskah Kasus Sedasi Terulang di BHIP?
M
asih ingat kasus proyek irigasi Sungai DarehSitiung (Sedasi)? Bendungan yang dikerjakan sejak 1976 itu hanya mampu mengairi 39 persen dari target 12.646 hektare areal persawahan di Dharmasraya (waktu itu masuk wilayah Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung). Salah satu penyebab gagalnya proyek tersebut mencapai sasaran adalah turunnya debit air Batang Siat, Batang Piruko dan Batang Palangko akibat penebangan hutan di bagian hulu. Kasus serupa sedang mengincar Proyek Irigasi Batang Hari (Batang Hari Irrigation Project/BHIP), yang dikerjakan sejak tahun 1996 untuk melanjutkan proyek irigasi Sedasi. Batang Siat adalah pemasok air terbesar untuk Sungai Batang Hari, lokasi bendungan teknis BHIP di Dharmasraya. Pasokan lain mengalir dari Batang Piruko dan Batang Palangko. Sebagai contoh dalam 15 tahun terakhir, debit air Batang Siat terus menurun. Pada 1986, debitnya sebesar 10,5 meter kubik per detik. Tetapi, pada tahun 2001 kapasitasnya menjadi 6,1 meter kubik per detik. Konversi lahan secara besar-besaran di hulu Batang Siat untuk perkebunan kelapa sawit dan penebangan liar diyakini sebagai penyebab utama penurunan debit air tersebut. Dilematisnya, areal-areal yang dikonversi itu sebagian justru masuk wilayah Kabupaten Solok Selatan. Kebijakan yang diambil Pemkab Solok (induk Solok Selatan sebelum pemekaran) dan juga Sawahlunto Sijunjung (induk Dharmasraya sebelum dimekarkan) membiarkan investor perkebunan kelapa sawit menggarap hulu Batang Siat dan sungai pemasok BHIP memuculkan dampak negatif di Dharmasraya dan daerah hilirnya. Konversi hutan ke perkebunan sawit sudah mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. Akibatnya, sungai-sungai berhulu dikawasan hutan inipun mengalami penurunan debit yang akhirnya mengancam BHIP. Bendung irigasi teknis yang direncanakan bakal selesai pada 2009 itu tidak akan mampu melepas air berkapasitas 25,20 meter kubik per detik, sebagaimana yang direncanakan. Padahal, ratusan ribu masyarakat Dharmasraya dan Tebo menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dengan mangandalkan sistem pengairan dari BHIP. BHIP secara
kongkret berupa pembangunan bendungan teknis berskala besar, dengan kapasitas 25,20 meter kubik per detik itu. Dengan kapasitas itu, pemerintah berharap bisa mengairi areal sawah seluas 18.936 hektare di daerah aliran sungai (DAS) Batang Hari. Sawah seluas itu meliputi 36 jorong (desa) di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat, dan lima desa di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Munculnya ancaman tersebut tidak lepas dari kebijakankebijakan pembangunan daerah yang tidak saling berkaitan. Pemegang dan pengambil kebijakan di tingkat kabupaten melihat persoalan pengelolaan sumberdaya alam masih secara terpotong-potong, menurut wilayah administrasi atau kawasan tertentu. Tidak ada jaminan kasus Sedasi tidak terulang pada BHIP bila pengelolaan sumber daya alam masih saja bersifat sektoral yang melahirkan ketidaksingkronan. Analisa Citra Lansat Berdasarkan analisa peta citra Lansat yang dilakukan KKI Warsi, terlihat adanya penurunan kawasan hutan di Kabupaten Solok Selatan. Kabupaten yang topografi daerahnya kebanyakan berbukit itu telah kehilangan sekitar 21 ribu hektare areal hutan dalam kurun waktu delapan tahun tererahir. Hilangnnya kawasan hutan tersebut diduga akibat peningkatan areal perkebunan kelapa sawit, yang mencapai 24 ribu hektare serta illegal logging. Namun, hal itu bukan berarti Dharmasraya bebas dari kerusakan hutan. Penurunan areal hutan di kawasan ini juga cukup tajam. Pada 1994, di Dharmasraya terdapat 94.645, 93 hektare areal hutan (31,55 persen). Namun, pada tahun 2002 tutupan berupa hutan tinggal 84.746,08 (28,25 persen). Ini berarti, selama delapan tahun terjadi kehilangan hutan seluas 9.899,84 hektare.
FOTO : DASRUL / DOK. WARSI
32
BHIP / Batanghari Irrigation Project, kayu bekas tebangan liar di pintu air bendungan.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOTO : DASRUL / DOK. WARSI
DARi hulu ke hilir
BHIP / Batanghari Irrigation Project, yang diharapkan mampu mengairi sawah di 40 desa di Kabupaten Dharmasraya dan Tebo, tapi kini debit airnya tidak mencukupi.
Dari analisa citra Lansat juga terlihat peningkatan luas areal tanaman sawit. Pada 1994, luas areal sawit di Dharmasraya hanya 24.719,93 hektare (8,24 persen). Sedangkan pada 2002 luasnya meningkat tajam menjadi 56.123,76 hektare (18,71 persen). Ini berarti, terjadi peningkatan 31.403,83 hektare selama 8 tahun. Perluasan areal perkebunan sawit ini bisa berasal dari pengurangan jumlah hutan dan belukar. Ini pun akan berpengaruh terhadap sumber air Sungai Batanghari yang akan dimanfaatkan lewat BHIP untuk mengairi puluhan ribu hektare sawah di daerah ini dan sekitarnya. Apalagi, Dharmasraya termasuk daerah yang produksi padinya tergolong rendah di Sumatera Barat. Tanpa pengairan yang memadai, peningkatan produksi pertanian di daerah itu, terlalu sulit dilakukan. Pendekatan Bioregion Dharmasraya, kabupaten baru dengan pemerintahan baru di bawah pimpinan Bupati H Marlon Dt. Rangkayo Endah dan Wakil Bupati Ir. Tugimin, diharapkan segera mengatasi masalah lingkungannya. Pendekatan kepada pihak-pihak terkait, seperti Pemprov dan DPRD Sumbar serta bersinergi dengan Pemkab Solok Selatan untuk membatasi konversi lahan adalah pilihan bijak. Namun, alternatif lain dengan konsep bioregion perlu diketengahkan. Substansi bioregion adalah pemahaman terhadap wilayah tanah dan air yang tidak dibatasi oleh data administrasi
dan politik, tetapi oleh batasan geografis, komunitas dan sistem ekologi. Dengan konsep itu, pengelolaan SDA di DAS Batang Hari, baik di Sumbar maupun Jambi bisa dilihat lebih holistik dan komprehensif. Perencanaan lahan pertanian, hutan, padang rumput, areal perikanan, dan desa-desa dilakukan bersamaan dengan kegiatan restorasi lahan, pengelolaan kawasan lindung, dan pelestarian spesies. Upaya ini dirancang sesuai proses ekologi, kebutuhan dan persepsi masyarakat lokal. Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta bersama-sama mengemban tanggung jawab mengkoordinasikan perencanaan tersebut. KKI Warsi sendiri kini tengah menjalankan program pengelolaan SDA dengan pendekatan bioregion pada DAS Batang Hari yang memerlukan dukungan pemerintahan yang baru di Dharmasraya selain tentu saja pengelola BHIP. Khusus mendekati bagian hulu, KKI Warsi mengemas program bioregion DAS Batang Hari dengan mendorong perencanaan wilayah serta rencana strategi dan aksi yang mendukung pengelolaan SDA lestari dan berkelanjutan. Digagas rencana menggelar forum multipihak di kabupaten ini sebagai cikal bakal forum yang lebih luas. Dengan cara demikian pengelolaan DAS Batang Hari dapat dilakukan secara menyeluruh dan integratif. Harapannya, proyek pembangunan dan kehidupan masyarakat yang bergantung kepada lingkungan yang lestari dapat diwujudkan.(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
33
DARi hulu ke hilir / Sukmareni, Ast. Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected]
Ketika SK Menhut Abaikan Keppres
36.160 hektare itu dikepung hutan lindung Batanghari II. Selain itu, sebagian areal garapan PT AMT juga masuk kategori hutan lindung. Hal ini diketahui setelah Pemerintah Kabupaten Solok melalui Komisi Penilai Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) melakukan kajian terhadap areal AMT di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Sungai Pagu, Sangir, Sangir Jujuhan dan Sangir Batang Hari. Ditemukan, secara topografi, sebanyak 47,7 persen areal kerja PT AMT berada pada kelerengan yang sangat curam ( > 40 persen), kelerengan curam seluas 25,51 persen serta 15,36 persen merupakan kawasan lindung sempadan sungai dan daerah sekitar mata air.
Belajar dari Kasus HPH PT AMT Areal konsensi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) PT Andalas Merapi Timber di Solok Selatan dikelilingi hutan lindung (HL) akibat SK Menhut melanggar Keppres. Ketika HP dieksploitasi, HL pun ditebas. Konsistensi Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi sedang diuji.
Padahal, Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih termasuk dalam kriteria kawasan lindung. Artinya, tidak dibenarkan melakukan eksploitasi terhadap kawasan tersebut, karena kawasan hutan lindung tersebut mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
A
real hutan produksi (HP) berada di tengah kawasan hutan lindung? Inilah yang terjadi di Solok Selatan. PT Andalas Merapi Timber (AMT) mendapat surat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) atau izin hak pengusahaan hutan (HPH) di tengah kawasan hutan lindung Batang Hari II di Kabupaten Solok Selatan. PT AMT memegang izin HPH di wilayah Kabupaten Solok Selatan sejak dikeluarkannya SK Menhut No. 177/Kpts-II/ 1993, tertanggal 27 Pebruari 1993, dengan total areal 122.200 hektare. Dengan izin HPH yang telah diputuskan Menteri Kehutanan tersebut, PT AMT yang selama bertahun-tahun hanya memiliki areal di Pasaman dan Agam, mengukuhkan pula haknya untuk mengusahakan hutan di Solok Selatan yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Solok. Pada tahun 1999, mendekati berakhirnya izin HPH PT AMT berdasarkan SK Menhut No. 177/Kpts-II/1993 itu, PT AMT mengajukan permohonan izin terpisah untuk areal di Solok Selatan bagian barat dengan luas 28.976 hektare. Maka, pada tahun 2000, Menhutbun pun memberikan izin HPH kepada PT AMT melalui SK Menhutbun No. 82/Kpts-II/2000, tertanggal 22 Desember 2000. Menyusul surat tersebut, Pemprov Sumbar melalui surat No. 522.11/1468/Perek-2000 dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar melalui surat No. 05/INTAG/2002 merekomendasikan penambahan areal HPH PT AMT sehingga menjadi 36.160 hektare. Dari batas-batas yang dinyatakan di berbagai dokumen, dan diakui sendiri oleh pihak PT AMT, seluruh kawasan
Illegal logging oleh masyarakat lokal, padahal hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Sementara itu PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menyebutkan bahwa suatu usaha dinyatakan tidak layak lingkungan apabila dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar daripada manfaat dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Bila eksploitasi di salah satu kawasan hulu Sungai Batanghari itu tetap dilanjutkan, maka dampak
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
34
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
DARi hulu ke hilir
FOTO : RIZA MARLON / DOK. WARSI
lingkungan yang ditimbulkan sangat besar, berupa longsor, hilangnya zat hara tanah selain rusaknya sempadan sungai dan daerah mata air. Hal ini juga berarti bahwa penyelenggaraan kehutanan tersebut tidak mendukung terhadap tujuannya untuk meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, seperti yang diamanatkan undangundang. Atas dasar kajian tersebut, Bupati Solok kala itu, H Gamawan Fauzi, dengan tegas dan jelas meminta pemerintah pusat, melalui surat nomor 660.1/018/PDLH-2003 tertanggal 31 Desember 2003 yang ditujukan kepada Mendagri, untuk meninjau kembali SK Menhutbun No. 82/Kpts-II/2000. Secara tegas Gamawan menyatakan bahwa IUPHHK PT AMT di Solok Selatan itu tidak layak lingkungan. Ketidaklayakan Amdal PT AMT itu dinyatakannya lewat SK No. 493/Bup-2003.
Kini, surat yang disampaikan Gamawan di akhir masa jabatannya itu masih belum mendapat tanggapan pemerintah pusat. Tongkat estafet kepemimpinan di Solok juga telah berpindah tangan. Solok Selatan memisahkan diri menjadi kabupaten sendiri, dengan Bupati baru yang telah dipilih rakyat pada Juli lalu, yakni Drs. Syafrizal J., Msi dan wakilnya Drs. Nurfirmanwansyah. Keduanya tentu diharapkan dapat meneruskan upaya Gamawan menyelamatkan kawasan hutan lindung tersebut. Harapan lain tentu saja juga ditujukan kepada Gubernur Sumbar yang baru, Gamawan Fauzi, yang notabene mantan Bupati Solok. Semestinyalah dia mendukung Solok Selatan merealisasikan keinginan menghindari kerusakan hutan lindung yang secara kukuh dimulai sendiri oleh Gamawan. Perlu diketahui, selain landasan kajian aspek hukum dan lingkungan, masih ada alasan lain yang harus dicermati akibat ekploitasi hutan di areal kerja PT AMT tersebut. Kini, aksiaksi illegal logging yang di dalangi toke lokal semakin marak di kawasan hutan lindung Batanghari II. Logikanya, untuk membuka arealnya, PT AMT akan membuka jalan untuk mengangkut alat-alat dan kebutuhan produksi lainnya, seperti truk dan buldozer. Tidak ada jalan lain selain membabat hutan lindung. Jika jalan telah terbuka, maka akses bagi pelaku penebangan liar ke kawasan hutan lindung pun terbuka lebar.
Sebanyak 47,7 persen areal kerja PT AMT berada pada kelerengan yang sangat curam (> 40 persen), kelerengan curam seluas 25,51% serta 15,36% merupakan kawasan lindung sempadan sungai dan daerah sekitar mata air.
Gamawan juga membeber alasan ekologis lainnya. Dinyatakannya, daerah yang menjadi lokasi rencana kerja PT AMT itu juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air (water catchment area) sekaligus hulu sungai Batang Hari. Kerusakan lingkungan yang terjadi pada kawasan tersebut akan menimbulkan dampak besar tidak hanya pada daerah itu, melainkan juga di provinsi tetangga, yaitu Jambi.
35
Hasil pantauan staf KKI Warsi di lapangan, kayu-kayu dari hutan lindung itu diangkut ke sejumlah sawmill di Kabupaten Solok Selatan, Solok, Dharmasraya, dan Bungo di Provinsi Jambi. Pelaku illegal logging ini rata-rata masyarakat setempat yang dimodali para toke. Bisa dikatakan, penghidupan sebagian besar masyarakat Sangir dan sekitarnya itu sangat bergantung pada kegiatan illegal logging selain pertanian.
Tetapi, razia besar-besaran oleh aparat keamanan ternyata ikut pula mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengaruh secara kasat mata terlihat dari aktivitas pakan (pasar). Di musim razia, pakan akan terlihat lebih lengang. Dengan kondisi seperti itu, apakah pemerintahan baru di Solok Selatan, di bawah kendali Bupati Syafrizal, didukung Gubernur Sumbar yang baru, Gamawan Fauzi, mampu mencarikan solusinya?(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
MATA HATI / Rahmadie, Spesialis Komunikasi B30 -
[email protected]
Suatu Ketika di Dusun Tuo Datai
P
ak Peheng (28) baru saja memanen hasil kebun. Sesaat kemudian ia menuruni kebunnya itu dan melewati sungai Kuning, sungai yang pertama kali di temui saat menuju dusunnya. Dusun Tuo Datai yang jaraknya kurang lebih 1 km lagi (S 01 0 0041,8 II E 102 033 I057 II). Langkahnya yang cepat seolah tidak mencerminkan bahwa ia sedang membawa ubi kayu antara 25-30 kg di pundaknya. Ja, beginilah kehidupan kami. Mengandalkan berladang. Biasanya yang ditanam itu manggalo (ubi kayu), padi, dan karet. Bila menanam padi maka panennya enam bulan sekali. Karena itu, bila tidak ada padi ubi pun jadi, jelas pak Peheng sambil menyeka keringatnya. Bahkan, lanjutnya, bila terpaksa sekali, kami makan sagu. Itu pun dengan susah payah menjadikannya Lempeng. Begitu juga dengan jernang. Kini, untuk mendapatkannya sangatlah sulit. Dulu, biasanya kami pergi hingga sepuluh hari. Lokasinya di sekitar anak sungai Gansal. Ya tergantung rezeki lah. Kadang dapat dan kadang pun tidak. Kalaupun dapat hingga 2 kg itu sudah sangat baik. Tapi, kini tiada lagi tambahnya. Dan, kisah sedih yang sama juga akan kami alami bila bercerita tentang madu. Sudah empat tahun ini madu yang biasanya ada di pohon Sialang tak kunjung tiba.
Sekarang, kami bikin kebun dengan menumbang sendiri. Peralatannya pun sederhana. Parang, kapak ataupun beliung. Bisa jadi, untuk menumbangkan satu pohon butuh satu hari. Sehingga, untuk membuka lahan satu hektar saja akan menyita waktu hingga tiga bulan. Itu juga belum selesai. Selanjutnya, kami harus menugal padi atau membakar lahan selama satu setengah bulan. Baru seminggu kemudian, ditanami padi enam bulanan. Begitulah cara berkebun kami lanjut pak Peheng. Dan jangan pula bertanya akan harga kebutuhan pokok. Di sini dua kali lipat harganya. Untuk beras saja sekitar lima ribuan dan gula pasir mencapai sepuluh ribuan. Sedangkan sebungkus garam dapur dihargai dua ribu lima ratus rupiah. Yang pasti, sekarang ini pun barang tidak ada yang masuk. Jadi kami harus belanja ke Siberida atau Keritang, dua tempat terdekat dari desa kami, tutur bapak dua anak yang sekilas mirip orang jawa ini.
FOTO : DOK. BTNBT
36
Profil Suku Talang Mamak di dusun Tuo Datai (foto atas), posisi taman nasional Bukit Tigapuluh (dalam lingkaran).
Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) yang merupakan suku asli Indra Giri dengan sebutan Suku Tuha yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri Hulu. Ada dua versi mengenai keberadaan Suku Talang Mamak ini. Menurut Obdeyn-Asisten Residen Indragiri, Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Sedangkan menurut mitos, suku ini merupakan keturunan Adam ke Tiga dari kayangan yang turun ke Bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar). Hal ini terlihat dari ungkapan Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sunagi Tunu itulah manusia pertama di Indragiri bernama patih. Suku Talang Mamak sendiri tersebar di empat kecamatan yaitu Batang Gansal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Sedangkat satu kelompok berada di Dusun Semarantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Untuk menuju Dusun Tuo Datai Talang Mamak yang terletak di Hulu Sungai Gansal dan Sungai Melenai Desa Rantau
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
MATA HATI Langsat Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu di Wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh dapat diakses jalan Darat. Yaitu melalui Siberida (PekanbaruSiberida 285 km) dengan menggunakan Mobil untuk menuju jalan bekas HPH. Atau juga melalui Simpang Pendowo sekitar 2,5 km dari desa Keritang, desa yang terletak di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rute sejauh 22 km dari Simpang Pendowo hingga memasuki perbatasan wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) atau juga yang lebih dikenal Jalan Dalex ini, sebaiknya dilakukan dengan sepeda motor lelaki atau mobil bergardan dua.
sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup otonom dalam beraktifitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan kepada kepala desa. Namun begitu, mereka masih kental dengan tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan), Kemantan (Pengobatan Penyakit), dan Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian).
Selanjutnya, jarak tempuh dari jalan Dalex ke Dusun Tuo Datai sekitar 6 hingga 8 km hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski tidak begitu jauh, namun jangan berharap akan segera sampai. Karena, medan yang diarungi harus mendaki gunung melewati lembah sungai mengalir indah. Jadi, diperlukan stamina jreng untuk menempuh 1 hingga 3 jam perjalanan.
Hasil penelitian juga menunjukkan di Taman Nasional ini terdapat juga 42 jenis mamalia, 7 jenis primata, 11 jenis tupai/bajing, 193 jenis burung (1/3 jenis burung di Sumatra, 134 jenis kupu-kupu, dan 97 jenis ikan dari 25 suku dan 52 marga. Sedangkan Spesies kuncinya berupa Gajah Sumatera (Elephans maximus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Tapir Melayu (Tapirus indicus) dan Rusa (Cervus unicolor).
Biasanya pada hari tertentu, Suku Talang Mamak akan turun ke desa terdekat, Keritang atau Siberida. Tujuannya menjual hasil kebun atau hasil hutan yang mereka peroleh untuk dibelikan kebutuhan hidup. Tapi, sekarang kami sudah jarang turun. Hasil hutan sudah berkurang. Yang kami andalkan untuk keseharian hidup hanyalah hasil kebun, jelas Pak Katak atau pak Sidam yang juga menjabat Ketua RT Dusun Tuo Datai. Saat ini, total penduduk Talang Mamak dari Lubuk Tebrau hingga Melenai berjumlah 265 jiwa. Lima puluh persen jiwa diantaranya, sudah dapat menggunakan suaranya pada pemilihan Presiden dan pemilihan Bupati kemarin. Sedangkan jumlah KK yang ada di Dusun Tuo Datai sekitar 30 KK dengan jumlah 130 jiwa, yang sebagian besar masih animisme dan sisanya memeluk katolik. Secara keseluruhan, mata pencarian mereka adalah berladang, menyadap karet, dan mengambil hasil hutan nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan. Namun, kini Dusun Datai tampak sepi dan banyak rumah yang tidak terawat lagi. Sekarang banyak yang meninggalkan rumahnya, bisa jadi mereka sedang membuka kebun baru atau juga pergi mencari Jernang, lanjut Pak Katak tentang kondisi penduduknya. Untuk urusan budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh sedikit berbeda dengan TigabalaiPusat kebudayaan Talang Mamak. Ini terlihat dari tidak adanya tradisi mengilir dan menyembah raja, serta lunturnya
Meskipun mereka hidup secara tradisional, namun untuk masalah pengobatan bisa diandalkan juga. Hasil Ekspedisi Biota Medika (1998) menunjukkan Suku Talang Mamak mampu memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan mengenali 22 jenis cendawan obat.
Mengenai keberadaan Masyarakat tradisional Talang Mamak Dusun Tuo Datai di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, menurut Ir. Moh. Haryono, M.Si, selaku kepala Balai TNBT, mereka sudah ada sejak dahulu dibandingkan keberadaan TNBT. Di samping itu, sebagian besar mereka sudah mengetahui dan mengerti untuk melestarikan kawasan Taman Nasional ini. Sedangkan pola perladangan Talang Mamak yang beringsut artinya bergeser dari tempat semula sedikit demi sedikit, maka Haryono menjelaskan bahwa pihak Balai telah melakukan penyuluhan agar mereka tidak melakukan penebangan di luar wilayahnya. Pemda pun pernah merelokasikan mereka, namun tidak berhasil. Jelasnya, masyarakat tradisional Talang Mamak merupakan bagian dari sistem pengelolaan TNBT sehingga tidak bisa dikeluarkan. Dan, sesuai penataan kawasan secara zonasi, maka masyarakat Talang Mamak termasuk dalam Zona Rimba yaitu wilayah yang dikhususkan untuk masyarakat tradisional saja (Talang Mamak, Orang Rimba, dan Melayu Tua). Disamping adanya Zona pendidikan dan penelitian serta Zona Pemanfaatan Insentif. Yang pasti, masyarakat tradisional Talang Mamak Dusun Tuo Datai merupakan salah satu masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya secara tradisional dari hasil hutan. Dan, bukan tanpa alasan bila mereka memilih cara dan jalan hidupnya sendiri ketika teknologi menghiasi era globalisasi.(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
37
MATA HATI / Fery Apriadi, Guru Rimba -
[email protected]
DOK. WARSI / MUSFARAYANI
38
Ande ande Rimba, Proses Membangun Kreativitas Anak Rimba
C
erita dongeng seringkali diminati anak-anak. Karena dongeng ( kendati bukan sebuah cerita nyata yang benar-benar ada terjadi) selalu berisi hal-hal aneh di luar jangkauan realita yang ada dalam keseharian. Dan biasanya itu hanya bisa dijangkau oleh imajinasi anak-anak. Misalnya saja, bagaimana dalam dongeng, tokoh-tokoh binatang juga bisa berbicara layaknya manusia. Atau tibatiba seseorang bisa terbang karena kesaktian yang dimiliki, misalnya.
Terus terang sebagai pendidik, saya merasa khawatir dengan perkembangan ini. Meski menonton film atau bermain game juga bukan suatu hal yang buruk, jika orang tua ikut mengawasinya dengan baik. Namun budaya baca dan nilainilai budi pekerti sosial yang terkandung dalam sebuah dongeng itu kini bisa dikatakan berangsur menghilang. Kemudian saya harus bisa memakluminya ketika anak-anak kota kemudian gandrung terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh arus yang bernama : Perubahan.
Karena memang sejak awal dongeng untuk konsumsi anakanak, maka isi dongeng selalu disisipkan pesan-pesan yang mengandung kebaikan. Sehingga ini bisa menanamkan rasa peduli dan nilai budi pekerti yang baik ke dalam diri mereka sejak usia dini. Sayangnya budaya membaca atau membacakan dongeng atau bercerita dongeng dikalangan anak-anak kini sudah mulai memudar. Mereka lebih suka dibiasakan menonton TV seperti kartun Jepang yang fantastis ala Doraemon atau Power Rangers. Bahkan yang lagi populer sekarang adalah bermain playstation atau Online Game Station di internet. Lebih parah lagi ada juga yang suka dengan sinetron!
Tapi kemudian, ketika saya menjadi Guru Rimba untuk anakanak suku asli (indigenous people) di pedalaman hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, saya menjadi lebih terkejut lagi. Karena ternyata dunia di rimba pun budaya mendengarkan dongeng sudah tidak akrab lagi di kalangan anak-anak rimba. Padahal budaya lisan mereka cukup tinggi. Ini baru diketahui ketika saya tengah mencari alternatif metode mengajar agar pelajaran Baca, Tulis, Hitung (BTH) bisa diserap secara cepat oleh anak-anak rimba. Waktu itu, kawan saya, Guru Rimba lainnya, membawakan sebuah buku cerita dongeng (dalam bahasa Rimba ande-ande-red) yang bergambar untuk diwarnai anak-anak rimba. Dengan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
MATA HATI antusias mereka mewarnainya namun juga berusaha menerka-nerka cerita yang tersirat dalam gambar tersebut. Melihat pemandangan itu saya pun langsung mencoba menceritakan isi gambar dari dongeng itu. Setelah dicoba ternyata hasilnya sangat memuaskan karena mereka selalu mengingat cerita tersebut dan semangat untuk belajarpun semakin meningkat. Setelah merasa senang dengan keberhasilan itu, saya mencoba bertanya dengan mereka, Guding akeh la becerito ande-ande kinia akeh ndok nganing ande-ande nang ado delom rimbo nioma? (kawan, saya sudah berdongeng, sekarang saya mau denger cerita dongeng dari rimba?), tanya saya kepada mereka. Lalu salah satu murid saya, Berayat menjawab dengan terkejut, Yee.. akeh hopi tentu pamono cerito ande-ande do rimbo nio ma..!! Nang tentu cerito yoya rerayo bae..! (Saya tidak tahu cerita dongeng di rimba ini. Yang tahu cerita dongeng cuma para orang tua saja). Sungguh saya terkejut dan terhenyak sesaat. Karena sebelumnya saya berpikir, pasti mereka mempunyai cerita dongeng yang lebih kaya dari kawan-kawan sebayanya yang hidup di luar rimba. Kebetulan ketika itu ada Bepak Meratay salah seorang orang tua murid rimba, maka spontan saja saya menanyakan hal ini kepadanya. Bepak lah tentu pamono cerito ande-ande yoya, ibo? (Bapak pasti sudah tahu bagaimana cerita dongeng itu, kan?), tanya saya. Au-au..akeh tentu jugolah ande-ande mampak bepak sobut, tapi nang tentu nian nenek, sebab kinia lah jerong kamia cerito ande-ande untuk budak, ngoli kami betik nian delok pemakonon jadi hopi teringot lagi... (Ya, ya, ya, saya juga tahu cerita dongeng seperti yang bapak sebutkan, tapi yang paling tahu cerita itu nenek-nenek. Sebab sekarang sudah jarang kami bercerita dongeng untuk anak-anak. Karena kami terlalu sibuk mencari makan untuk kehidupan jadi hampir terlupakan....). Melihat kenyataan seperti ini saya menjadi lebih prihatin lagi. Tapi ini juga membuat saya tertantang untuk membudayakan kembali cerita dongeng di kalangan anakanak rimba. Bersama kawan sesama guru rimba KKI Warsi lainnya, Ninuk Setya Utami, akhirnya kami membahas masalah ini dan sepakat untuk mengembangkan pendidikan dengan metode dongeng.
Saya kemudian mulai aktif mencari variasi cerita dongeng yang cocok untuk anak-anak Rimba. Kadang saya bawakan dongeng dari negeri seberang atau dongeng negeri sendiri (Indonesia), kemudian dimodifikasi dalam kondisi dan suasana di rimba. Tentu saja semuanya dilakukan dalam bahasa Rimba yang dimengerti murid-murid saya. Saya baru mengeluarkan dongeng ajaib itu ketika suasana belajar mulai terasa menjenuhkan. Dan ketika hembusan angin memberikan suasana segar, serta pohon-pohon ikut bernyanyi, lalu murid-murid saya mulai duduk berjejer dengan semangat, maka tiba saatnya memberikan andeande (baca dongeng). Waktu itu saya bawakan dongeng : Joko Bodo, yang diperingatkan jika kentut sembarangan bisa membawa celaka, bahkan kematian. Ketika selesai menceritakan ande-ande Joko Bodo, tibatiba seorang anak, Berayat, terkentut (maaf...) secara tidak sengaja, seketika itu kami langsung tertawa dan berkata Yee...kanti yoya tekontut mampak Joko Bodo, retinye kanti yoya lah jadi buntang..!!! (Yee..kamu sudah kentut seperti Joko bodoh, artinya kamu sudah mati...!!!)- Mudahmudahan pembaca juga sudah tahu cerita dongeng asal Jawa, Joko Bodo ini, yah. Selanjutnya, belajar BTH pun, lebih lancar lagi, karena katakata yang diajarkan tidak jauh dari materi ande-ande. Misalnya ketika masuk ke materi merangkay kato dengan kalimat dibacakan selanjutnya di tulis oleh mereka. Kalimatnya adalah seperti berikut ; Joko bodo yoya kini lah kontut, jadi nye lah mati. (Joko bodoh sudah kentut, jadi dia sudah mati). Dan ketika masuk ke materi perhitungan untuk anak yang lain masih dikaitkan dengan ande-ande tadi dengan metode membilang dengan cerito seperti Induk Joko bodo lah kontut sekali teruy, joko bodo kontut pula jadi kinia lah berapo kali kanti beduo tekontut? (Ibu Joko Bodoh sudah kentut satu kali, Joko Bodo kentut satu kali juga, jadi sekarang sudah berapa kali mereka berdua kentut.?). Hasilnya, metode baru yang saya bentuk dapat dikatakan berhasil (menurut saya). Karena murid-murid saya kini sudah lancar BTH . Dari biasanya mereka baru menguasai BTH hanya empat bulan, kini hanya dalam waktu tiga bulan saja. Saya sendiri berharap dengan menyelipkan dongeng ini, anak-anak rimba setidaknya punya cerita sendiri tentang dongeng rimbanya. Selain itu, dengan dongeng diharapkan juga bisa memompa dan mempertahankan daya kreatifitas, imajinasi anak-anak rimba, murid saya sekarang ini. Dongeng juga dapat menjadi suatu media bagi saya dalam menjalin keakraban dengan murid dan keluarganya. Karena itu yang paling penting ketika menjadi Guru Rimba. (A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
39
WAWANCARA / Sukmareni, Asisten Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected]
DOK. HUMAS PEMPROV JAMBI
40
Gubernur Jambi,
sendiri, meneruskan produksi yang terbatas dengan karyawan yang banyak akan semakin sulit. Makanya, PHK menjadi salah satu pilihan rencana.
Saya Ingin Tata Ruang yang Jelas
Sulitnya perkembangan industri perkayuan akibat kurangnya bahan baku ini merupakan penanda bahwa Jambi yang dulunya berlimpah kayu kini mendekati titik kritis. Namun, ini juga indikator bahwa eksploitasi besar-besaran di masa lalu tidak pernah diiringi upaya pelestarian yang berimbang. Hal inilah yang menyebabkan ambruknya industri perkayuan yang juga berdampak negatif terhadap masyarakat.
H. Zulkifli Nurdin:
U
ntuk kedua kalinya, H Zulkifli Nurdin dipercaya memimpin Provinsi Jambi. Di tengah menyempitnya peluang usaha, terutama di sektor kehutanan, gubernur yang menang mutlak pada pilkada langsung ini terjepit di antara dua kepentingan. Kepentingan pertama menegakkan aturan hukum dan menyelamtkan hutan yang tersisa. Di sisi lain, ada kepentingan menyelamatkan puluhan ribu masyarakat Jambi yang terancam PHK akibat sulitnya bahan baku industri perkayuan. Ketika ditemui KKI Warsi di kediaman pribadinya, Jalan Gatot Subroto, Kampung Manggis, beberapa waktu lalu, pria yang cukup terbuka ini sempat menyampaikan kegelisahannya. Pasalnya, beberapa saat sebelum bertemu dengan Warsi, Zulkifli justru baru bertemu salah satu pengusaha perkayuan yang cukup besar di Provinsi Jambi. Menurut Bang Zul, demikian ia biasa disapa, pengusaha tersebut mengeluhkan bahan baku yang semakin sulit, sehingga perusahaannya hanya mampu berproduksi 40 persen. Karyawannya pun bergejolak. Bila dulu seorang karyawan bisa pulang membawa sekitar Rp 1,5 sebulan, kini menjadi hanya Rp 500.000. Bagi perusahaan ini
Berbagai tanggapan, pandangan dan pemikiran soal penanganan hutan di Provinsi Jambi disampaikan oleh Zulkifli Nurdin, gubernur yang pernah menandatangani MoU penyelamatan kawasan DAS Batanghari dengan konsep bioregion pada 2003 bersama Gubernur Sumbar. Berikut petikan wawancaranya: Setelah lima tahun lalu Bapak memimpin Jambi, apa persoalan lingkungan yang masih dominan yang kini dihadapi oleh Jambi? Persoalan yang paling pelik yang harus diselesaikan saat ini adalah kehutanan, terutama illegal logging yang sangat sulit diberantas. Tapi ke depan, diawali dengan komitmen Presiden dalam 100 hari program kerjanya, bahwa tiada ampun untuk pelaku illegal logging, kita optimis di daerah hal ini bisa berjalan. Sebagai langkah awal, poemberantasan illegal logging ini sudah menampakkan hasilnya. Hanya saja, belakangan marak sekali aksi demonstrasi bila terjadi penangkapan kayu hasil tebangan ilegal. Bagaimana Bapak menghadapi masalah ini?
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
WAWANCARA Ya, ini memang dilema tersendiri bagi saya. Di satu sisi memang kayu-kayu yang tidak jelas asal-usulnya harus diamankan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di negara kita. Hanya saja, kadang masyarakat kita juga belum memahami, sehingga mereka sering sekali memakai aksiaksi demontrasi dan meminta kayu tersebut dilepas. Tapi sekali lagi saya tegaskan, hukum harus ditegakkan. Kayu yang tidak jelas asal usulnya harus diusut. Hal ini yang terus saya jelaskan ke masyarakat. Kalau tidak, upaya pemberantasan illegal logging tidak mungkin kita cegah. Mungkin ini memang treatment yang sulit diterima oleh segelintir orang, tapi kita akan tetap berupaya mencarikan solusi terbaiknya, supaya hutan kita suatu saat nanti bisa kembali lestari. Tidak hanya itu, keluhan-keluhan juga datang dari pengusaha perkayuan. Hal ini disebabkan semakin sulitnya bahan baku industri, seperti halnya PT PSUT (Putra Sumber Utama Timber) yang kini hanya bisa berproduksi 40 persen. Sehingga, penghasilan para karyawannya juga menurun drastis. Jika dahulu karyawannya bisa pulang dengan Rp 1,5 juta per bulan kini hanya sekitar Rp 500.000 saja. Hal ini jelas mengakibatkan timbulnya gejolak di kalangan karyawan. Para pengusaha pun berencana melakukan PHK, dan ini yang mereka mintakan dukungan dari saya supaya tidak terjadi gejolak yang lebih besar. Untuk mengatasi masalah PHK ini saya juga telah meminta bantuan kepada Presiden. Saya katakan, kalau saya selaku kepala daerah siap menjalankan program pemberantasan illegal logging. Tapi tolong, bantu saya untuk menyelesaikan masalah PHK yang menimpa ribuan tenaga kerja di sektor perkayuan. Yang namanya menghalalkan illegal logging pasti tidak. Kita akan tumpas sampai ke akar-akarnya. Tidak hanya para pebalok, tapi juga toke, cukong dan orang-orang yang berada di balik semua tindakan illegal logging tersebut. Lantas langkah apa yang akan Bapak lakukan untuk mengatasi gejolak yang mungkin timbul? Itulah yang sama mintakan kepada presiden dan Menteri Kehutanan, supaya DR (dana reboisasi) Jambi yang sampai triliunan tersebut segera dikembalikan ke daerah. Sehingga, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari illegal logging bisa kita carikan pekerjaan baru. Mereka disuruh menanam kembali hutan-hutan yang telah gundul. Nanti, mereka kita upah per batang kayu yang mereka tanam, dan ada dana pemeliharaan. Selain menggunakan tenaga mereka untuk menanami kembali lahan-lahan yang sudah kritis, masyarakat juga diberdayakan untuk pertanian berumur pendek, seperti kedelai, jagung, buat keramba dan lainnya. Untuk ini masyarakat juga perlu diberikan suntikan
dana, untuk membeli bibit dan pupuk, sampai masyarakatnya mandiri. Langkah ini harus segera kita lakukan, bukan hanya masyarakat pebalok yang harus dicarikan pekerjaan, tapi juga masyarakat yang selama ini bekerja di industri perkayuan. Karena, sudah semakin jelas bahwa industri perkayuan tidak akan lama lagi mati, menyusul semakin sulitnya bahan baku. Hutan-hutan yang memang untuk produksi, dan perusahaan yang mempunyai hutan tanaman industri, silahkan terus berjalan, sesuai dengan izin yang telah dilikinya. Warsi kini dengan program kembali ke sawah (wanatani) di Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, telah berhasil mengembalikan 120 KK yang selama ini hidup dari berbalok untuk menggarap sawah, dengan bantuan bibit dari Dinas Pertanian Provinsi Jambi. Oh ya? Ini sebagai langkah maju. Walau baru 120 KK tapi ini hasil nyata yang harus kita syukuri dan patut dicontoh dan dikembangkan. Kalau bisa ini akan saya bawa ke Presiden, sebagai proyek percontohan. Ini yang saya salut dari Warsi, dari dulu memang komit, walau tidak besar-besar, yang penting nyata dan bisa dijalankan. Program-program pembangunan di Jambi juga banyak yang bergantung kepada keberadaan hutan sebagai water catchment area. Seperti pembangkit listrik tenaga air di Kerinci ataupun pelabuhan Samudra di Muara Sabak. Langkah apa yang akan bapa ambil untuk penyelamatan water cathment area tersebut, sehingga proyek ini bisa berjalan? Inilah persoalan yang juga kita hadapi, proyek-proyek yang memerlukan modal dari investor. Investor Kerinci Tirta Energi melihat di sekitar TNKS terjadi penebangan liar tanpa dapat dikontrol. Ini kan long term investment. Oke lima tahun ke depan bisa berjalan lancar, setelah itu bagaimana? Water catchment area tersebut juga berkurang, sehingga pasokan air untuk PLTA akan secara otomatis berkurang. Sehingga, turbin-turbin tidak bisa bergerak. Demikian juga pelabuhan Samudra Muara Sabak. Ketika pelabuhan tersebut ditunda, ya, ini juga berkaitan dengan masalah sedimentasi yang mengancam pelabuhan ini. Jadi, ke depan kita akan melakukan pembenahan dulu, supaya faktor-faktor pengelolaan sumberdaya hutan yang menyebabkan terganggunya proyek ini bisa diatasi. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan, dari analisa yang dilakukan KKI Warsi, hutan di Provinsi Jambi tinggal 29 persen. Sementara secara ekologis, keberadaan hutan harus dipertahankan sedikitnya 30 persen. Terkait dengan ini, apakah di periode ke depan masih
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
41
WAWANCARA
Gubernur Jambi, H. Zulkifli Nurdin:Saya Ingin Tata Ruang yang Jelas
akan ada lagi konversi hutan untuk areal perkebunan? O, begitu ya? Harus 30 persen? (Zulkifli tampak risau). Dan Jambi tinggal 29 persen? Ini sudah termasuk taman nasional ya? Ini memang mau tidak mau kita harus mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan yang 30 persen ini. Dan untuk ini kita telah diminta oleh Presiden dan Mendagri membuat tata ruang supaya tidak terjadi tumpang tindih antara tata ruang kabupaten dengan provinsi. Saya ingin tata ruang yang jelas. Untuk itu, saya bersama sekda akan kumpulkan para bupati. Kita akan bicarakan bersama untuk membuat tata ruang yang jelas, dan mengacu kepada tata ruang nasional. Sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, provinsi memiliki kewenangan untuk melakukan itu semua, berbeda keadaannya ketika pemerintahan daerah masih mengacu ke UU No 22 Tahun 1999, yang meletakkan semua kewenangan di pemerintah kabupaten. Hal ini (penerapan UU No 22 Tahun 1999) telah menyebabkan kebijakan dan program yang direncanakan provinsi tidak bisa berjalan. Misalnya, kebijakan di bidang kehutanan: Provinsi buat kebijakan, kabupaten juga membuat kebijakan, karena berdasarkan UU No 22, kabupaten berhak melakukannya, makanya kebijakan provinsi tidak jalan. Kini dengan UU 34 paling tidak provinsi punya kewenangan untuk mengontrol segala kebijakan yang diambil oleh kabupaten/kota. Tentu untuk hal ini juga membutuhkan masukan dari pihak-pihak yang ahli di bidangnya, seperti Warsi, yang dari dulu saya tahu komit dengan persoalan kehutanan di Jambi. Tentu (Warsi) bisa kita minta masukannya. Yang jelas, dari dulu (Pemprov) beberapa kali melakukan kerjasama dengan Warsi, dengan konsep yang sederhana dan bisa ditetapkan serta tidak muluk-muluk. Selain itu terkait dengan masalah ini yang juga akan kita lakukan adalah peninjauan kembali perda-perda yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota,
terutama yang berimplikasi terhadap eksploitasi sumberdaya alam dan perda-perda yang terkait izin-izin yang memberatkan, high cost economy, yang itu akan dipangkas habis. Terkait dengan masalah perizinan di Jambi juga terdapat sejumlah perusahaan yang telah memiliki HGU, namun tidak memanfaatkan HGU-nya dengan baik, malahan lahannya cenderung telantar. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan lahan untuk pertanian. Misalnya, PT Sawit Desa Makmur (PT SDM) di Kabupaten Batanghari dan Tebo. Langkah apa yang akan Bapak ambil untuk perusahaan seperti ini? Itu akan kita tinjau lagi HGU yang mereka miliki. Kita bentuk tim, untuk menyelesaikan masalah ini, dan membicarakannya kembali dengan para bupati. Kita akan carikan lagi investor lain, tapi dengan syarat yang mau bekerjasama dengan masyarakat, sehingga masyarakat juga terlibat secara langsung, dan tidak dijadikan hanya sebagai penonton. Pada tahun 2003 lalu Bapak juga pernah menandatangani MoU dengan Gubernur Sumbar terkait pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan bioregion pada DAS Batanghari. Ke depan langkah apa yang akan Bapak lakukan terkait dengan MoU ini? MoU-MoU untuk pengelolaan sumberdaya alam ini akan kita tindak lanjuti. Kebetulan dengan Gubernur Sumbar yang baru, Pak Gamawan (Gamawan Fauzi, red) saya juga sering kontak-kontak. Nanti masalah MoU ini akan kita bicarakan kembali. Tak hanya itu, MoU untuk penyelamatan TNKS yang melibatkan empat gubernur juga akan kita bahas kembali. Kalau ada ide-ide untuk ini, akan saya tampung, supaya hutan di Jambi kembali lestari.(A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
DOK. HUMAS PEMPROV JAMBI
42
WAWANCARA / Rahmadie, Spesialis Komunikasi B30 -
[email protected] ASEP AYAT / DOK. WARSI
Akhir Tahun Ini, Strategic and Action Plan Siap Digulirkan
43
Kepala Balai TNBT, Ir. Moh. Haryono. M,si
T
aman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang merupakan Taman Nasional hutan hujan tropis dataran rendah dengan nilai konservasi luar biasa dan keragaman hayati yang sangat tinggi, memiliki sejarah panjang dalam penetapannya. Secara resmi Taman Nasional ini dibentuk tahun 1995 melalui SK Menhut No.539/KptsII/1995 tanggal 5 Oktober 1995 dengan luas 127.698 hektar. Selanjutnya, setelah dilakukan penataan batas hingga temu gelang maka luas nya menjadi 144.223 ha dan ditetapkan dengan SK Menhut No. 607/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002. Untuk wilayah Jambi seluas 33.000 hektar sedangkan wilayah Riau seluas 111.223 hektar.
Taman Nasional yang ada saat ini belumlah solid. Idealnya, bentuk kawasan konservasi itu kompak baik lingkaran atau segi empat. Rasionalisasi. Selain bertambah kompak juga potensi yang sebelumnya di luar kawasan menjadi kewenangan Balai untuk mengelolanya, ungkap Kepala Balai TNBT wilayah Riau Ir. Moh. Haryono, M.Si. Sedangkan konsep pengelolaan atau tata ruang Taman Nasional berdasarkan Strategic and Action Plan (SAP) yang rencananya akan dilaksanakan akhir 2005 ini, lanjut pemilik gelar Master bidang Pengelolaan SDA dan Lingkungan. Mengenai apa dan bagaimana kondisi TNBT beserta konsep tata ruangnya, secara khusus Alam Sumatera menemui Beliau di kantor barunya Jln Lintas Timur Km 3 Puncak Selasih Pematang Reba, Rengat Indragiri Hulu, Riau. Berikut petikannya. Ada anekdot yang menyatakan bahwa Bukit Tigapuluh telah menjadi Bukit Duapuluh Delapan karena berkurang tiga. Tanggapan Anda? Bukit Tigapuluh tidak berkurang sedikitpun. Masih seperti biasa. Menurut legenda, nama Bukit Tigapuluh diambil dari nama salah satu bukit yang ada di perbatasan RiauJambi. Dan untuk mencapai puncak bukit tersebut harus menempuh lima belas bukit dari Riau dan Lima belas bukit dari Jambi. Namun, secara fisik jumlah bukitnya lebih dari
tigapuluh. Bila dilihat di peta Sumatera, Bukit Tigapuluh ini berada dalam kawasan perbukitan curam di tengah hamparan dataran rendah sebelah Timur Sumatra yang terpisah sama sekali dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan. Namun ada juga yang mengatakan Bukit tigapuluh berasal dari buit tiga jurai. Karena letaknya di apit tiga sungai besar. Sungai Batang Gansal, Sungai Batang Cinaku, dan Das Batanghari di Provinsi Jambi. Bagaimana dengan potensi alam dan nilai ekowisatanya? Dari segi biologi, keaneka ragaman hayatinya cukup tinggi. Mulai dari flora-fauna hingga hutan hujan dataran rendah. Menurut penelitian, hutan hujan di sini salah satu yang terbaik di Sumatera. Sedangkan Jenis satwa lindung seperti Harimau dan Tumbuhan Raflesia hasseltii atau Cendawan Muka Rimau hanya ada di sini. Secara geofisik, Taman nasional ini merupakan hamparan perbukitan yang tidak layak dibudidayakan. Sehingga, kalau tidak dijadikan kawasan nasional maka harus menjadi kawasan yang dilindungi. Sedangkan pemanfaatan potensi telah dilakukan berdasarkan konsep Pemanfaatan Lestari. Yaitu pemanfaatan yang benarbenar berguna dan diizinkan melalui hasil hutan nonkayu. Rotan, Jernang, buah, dan madu, misalnya yang telah dimanfaatkan masyarakat tradisional. Begitu juga ekowisata. Kita telah memberlakukan tiket masuk untuk lokasi wisata yang kini terus ditata, dikembangkan, dan dipromosikan. Termasuk melalui leaflet, buklet, Cd film, internet hingga pameran di Jakarta. Hal ini sengaja dilakukan, mengingat masih belum banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan Taman Nasional Ini. Bahkan penduduk Provinsi Riau sekalipun. Koordinasi pengelolaannya, tidakkah membingungkan? Mengingat TNBT berada di
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
WAWANCARA Provinsi Riau-Jambi Balai Taman Nasional merupakan sebuah organisasi yang mengelola TNBT di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Meskipun, terbagi atas Seksi 1 Wilayah Provinsi Jambi (Tebo dan Tanjung Jabung Barat) serta Seksi 2 Provinsi Riau (Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir) namun pengelolaannya tidak dibatasi administratif. Sehingga, koordinasi tetap dilaksanakan. Mengenai keberadaan Kantor Balai ini di Pematang Reba (Rengat) karena sekitar 80 hingga 90 ribu ha kawasan TNBT berada di Inhu. Jadi lebih strategis. Secara signifikan, bentuk TNBT tidaklah kompak. Apakah memang seperti itu? Idealnya, bentuk kawasan konservasi itu kompak baik lingkaran atau segi empat. Tentunya dengan luasan yang besar dan batas luar yang kecil atau kelilingnya yang kecil. Awalnya, saat diusulkan menjadi Taman Nasional luasan itu sekitar 250 ribu ha dengan bentuk kompak. Bila dilihat di peta, kawasan ini terdiri atas hutan dengan kondisi topografi yang bagus, tinggi dan curam. Namun saat itu, sebagian kawasan hutan di kelola oleh HPH dengan berbagai kepentingan di sana. Akhirnya, Taman Nasional sekarang adalah gabungan dua Hutan Lindung Jambi dan Riau plus beberapa hutan produksi di sekitarnya yang memungkinkan menjadi Taman Nasional. Nah, luasan itulah yang bisa ditetapkan, meskipun secara fisik di luar dan di dalam layak ditetapkan. Ada upaya maksimal untuk menjadikannya ideal, sebut saja Rasionalisasi? Tentu ada. Usaha rasionalisasi sebenarnya telah dirintis KKI Warsi. Bila awalnya. berkutat di Tebo, kini melebar ke Provinsi Riau. Targetnya, Teluk Keritang di ex HPH PT Dalex yang potensinya cukup bagus dan tidak ada aktifitas pengelolaan hutan di sana. Kegiatan ini telah mendapat dukungan pemerintah setempat (Jambi) dan telah digulirkan ke Pusat. Terakhir, Pusat masih menunggu rekomendasi Gubernur Jambi.
CITRA LANDSAT / DOK. TNBT
44
Citra Landsat, menunjukkan bahwa hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh masih cukup lebat, tetapi ancaman terbesar adalah kegiatan deforestasi dengan dalih pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan (foto kanan).
dikelola lagi, serta jauh dan tidak ada hunian masyarakat. Inilah prioritas utama dengan resiko minimal tentunya. Tentunya, masyarakat sekitar kawasan masih bisa menggantungkan hidupnya dari hasil hutan nonkayu. Jadi, mereka masih bisa memanfaatkan buah, getah, jernang dan hasil lainnya untuk jangka panjang.
Dan untuk Rasionalisasi ini, pihak Balai Taman Sangat mendukung sekali. Karena, selain bentuknya bertambah kompak maka potensi yang sebelumnya ada di luar kawasan akan ada kewenangan pihak Balai untuk mengelolanya, secara hukum.
Permasalahan sekarang, mereka diiming-imingkan pihak luar untuk menebang kayu guna mendapatkan hasil yang lebih cepat. Ataupun, ikutan menebang karena takut kehabisan. Padahal, ketika timbul kerusakan mereka tidak bisa memanfaatkan hutan lagi.
Anda tidak resah dengan reaksi masyarakat, bila rasionalisasi terwujud? Dan apa yang Masyarakat dapatkan? Rasionalisasi harus dilakukan bertahap melalui skala prioritas. Seperti, lokasi yang baik, hutannya eks HPH dan tidak
Masalah Tata Ruang sendiri, bagaimana pihak Balai mengelola kawasan TNBT bila dikaitkan dengan UU Otonomi Daerah? Untuk melaksanakannya harus dikembalikan pada konsep tata ruang, karena pembangunan haruslah dilakukan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
WAWANCARA DOK. WARSI
mengacu pada SK tersebut pada pengelolaannya. Sedangkan, pedoman tata batas zonasi taman nasional ini masih disusun di pusat. Diharapkan setelah pedoman ini selesai dan ditetapkan, dapat diaplikasikan di lapangan. Sekarang, Zonasi baru sebatas peta. Artinya baru sebatas fungsi atau batas luarnya saja. Untuk batas fisik di lapangan, kita belum ada. Zonasi ini terbagi atas Zona Inti, untuk pendidikan dan penelitian. Zona Rimba merupakan wilayah tradisional yaitu masyarakat Melayu, Talang Mamak dan Orang Rimba. Sedangkan berbagai lokasi potensial wisata dijadikan Zona Pemanfaatan Insentif.
berbagai sektor. Untuk Taman Nasional sendiri, perlu penataan ruang di daerah penyangga, terutam eks HPH yang lagi vacuum. Tidak adanya Menejemen pengelolaan, menyebabkan wilayah tersebut tidak bertuan serta rawan terhadap perambahan dan illegal logging. Pihak Balai berharap ada kebijakan Pemerintah untuk membentuk Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) terutama pada eks HPH yang ada di sekitar Taman Nasional. Secara hukum, pihak Balai tidak ada kewenangan untuk mengatur wilayah tersebut. Ini dikarenakan, Dinas Kehutanan tidak mampu mengelolanya. Kan lebih baik menjaga yang sudah ada ketimbang menanam yang belum tentu tumbuh. Rencananya, sistem tata ruang seperti apa yang pihak Balai inginkan? Rencana tata ruang untuk daerah penyangga TNBT Provinsi Riau pernah dibuat oleh instansi pemerintah. Di konsep tersebut telah tertata jelas wilayah pembagiannya. Namun, hingga kini belum ada kongkretnya. Sekarang, sedang disusun konsep Strategic and Action Plan (SAP) untuk pengelolaan daerah terpadu di TNBT, hasil kerjasama dengan Norwegia. Action Plan yang disusun secara bertahap dari Kabupaten hingga Provinsi ini melibatkan expert lokal dan pusat. Diharapkan, setelah selesai nanti akan disosialisasikan ke Kabupaten sebagai acuan pengembangan daerah pinggiran taman yang disesuaikan juga dengan potensi desanya. Jadi, SAP tidak hanya pembangunan di dalam taman saja, tapi juga di luar. Bila begitu konsepnya, maka penataan yang bagaimana akan diterapkan dalam Taman Nasional? Secara Zonasi. Berdasarkan instruksi Dirjen PHKA yang
Untuk di luar kawasan, apakah sama? Tentu berbeda. Bukan zonasi yang digunakan tetapi batas. Nah, di luar kawasan Taman yaitu daerah penyangga, batas imajiner yang diterapkan. Jadi, selama masih ada interaksi masyarakat dengan Taman Nasional maka itulah buffer nya. Hal ini dikarenakan, pada daerah tertentu batas daerah penyangga TNBT cukup jauh terutama Eks HPH yang hutannya masih bagus dan jauh dari pemukiman. Di lain sisi, jarak Taman Nasional dengan pemukiman dan lahan masyarakat dekat sekali hingga bupper nya pun tidak ada. Tentunya, sangat membingungkan! Tentu saja. Namun, saat penyusunan SAP kemarin telah didiskusikan aturan penetapan batas luas daerah penyangga yang jelas. Ada tiga opsi yang ditawarkan. Pertama, menggunakan jarak (meter atau kilometer). Kedua, menggunakan batas-batas alam seperti aliran sungai. Atau juga, melalui desa-desa penyangga sebagai batasnya. Akhirnya, batas desa-desa penyangga yang disepakati bersama. Metode ini dianggap paling ampuh karena koordinasi dan aktifitas pengelolaan di sekitar Taman cenderung lebih mudah. Terutama di duapuluh lima desa penyangga tersebut. Kapan SAP diaplikasikan? Targetnya akhir tahun ini dengan empat Kabupaten sebagai pilot project nya. Yaitu, Tebo, Tanjabbar, Inhu, dan Inhil. Terakhir, harapan yang ingin Anda wujudkan selama menjabat Kepala Balai TNBT? Semoga, TNBT terkelola baik. Karena itu, kerjasama dan dukungan berbagai pihak sangat diharapkan terutama Pemda dan Mitra Kerja. Memang dari segi kewenangan, Balai yang melakukan pengelolaan. Namun, tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak akan sulit dilaksanakan. Terutama illegal logging. (A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
45
SUARA RIMBA / Musfarayani -
[email protected]
ROBERT ARITONANG / DOK. WARSI
46
Illegal logging, foto udara di atas menunjukkan adanya kegiatan pembalak liar yang menggunakan sungai sebagai sarana untuk membawa kayu keluar hutan.
Hutan Rusak dan Virus pun Menyebar
I
ndonesia menangis lagi. Sepertinya cobaan dan terpaan masih belum mau beranjak pergi. Bencana alam, teror bom, kini ancaman menebarnya virus flu burung yang ganas atau yang dikenal sebagai avian influenza. Begitu seriusnya masalah virus flu burung ini, belum lama ini pemerintah lewat Menteri Kesehatan, Siti Fadila Supari, akhirnya mengumumkan kasus ini sebagai tahap Kejadian Luar biasa Nasional (KLBN). Kendati pengumuman dan penanganannya dirasa telat setelah ada indikasi kuat sebelumnya dari kasus kematian Iwan Siswara dan dua puterinya di Tangerang pada Juli lalu. Saat itu pemerintah tidak langsung mencari sumber infeksinya. Kasusnya pun mengambang tanpa penyelesaian dan solusi yang tuntas. Namun belakangan kemudian, kasus serupa mulai ditemukan sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Ada dugaan kuat kini, bahwa flu burung ini telah menyebar hampir di 22 provinsi di Indonesia. Puluhan juta unggas pun mati atau dimusnahkan guna menghindari kemungkinan yang paling buruk. Tidak terbayangkan social cost yang harus dihadapi masyarakat tertentu yang selama ini berkaitan erat dengan usaha bisnis ternak unggas. Lebih dari itu para penderita yang mengalami indikasi gejala
flu burung dan sempat dirawat di rumah sakit namun dinyatakan sembuh, beberapa diantaranya harus dikucilkan masyarakat sekitarnya. Rentetan panjang yang ditimbulkan oleh flu burung ini secara sosial dan ekonomi kini mulai dirasakan. Virus flu burung juga telah menjadi impian buruk bagi sebagian negara Asia. Korban tewas telah memakan jiwa sebanyak 65 orang sejak kasus ini ditemukan pada tahun 2003. Apa yang terjadi di Indonesia bahkan di sejumlah negara Asia lainnya, kini juga telah menjadi perhatian dunia. Tidak urung Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Kofi Annan, mengumumkan perang guna menanggulangi epidemi flu burung di Asia. Karena dikhawatirkan virus ini akan memicu pendemi flu burung secara global yang akan memakan korban nyawa jutaan manusia di dunia. Dia bahkan menunjuk Dr David Nabarro ahli kesehatan WHO sebagai koordinator guna menanggulangi masalah ini. Maka mulai disusunlah strategi global guna mencegah terjadinya pendemi flu secara global. Pendemi adalah sebutan bagi wabah yang terjadi serempak di kawasan
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
SUARA RIMBA geografi yang lebih luas. Nabarro memperkirakan kemungkinan skenario terburuk dari wabah ini yaitu, terengutnya 5-150 juta jiwa manusia di dunia. Karena bisa jadi virus flu burung ini kemudian bermutasi menjadi virus flu burung baru yang ganas dan menular dari manusia ke manusia. Jika analisa Nabarro ini benar maka bom waktu itu akan segera meledak. Analisa ini juga didasarkan dari adanya kasus pandemi flu Spanyol yang pernah terjadi pada 1918-1919 yang menewaskan 40 juta orang hanya dalam waktu enam bulan saja. Ketidakseimbangan Alam Munculnya virus flu burung sebenarnya tidak jauh berbeda ceritanya dengan menyebarnya sejumlah virus ganas lainnya yang kini menjadi bahaya laten bagi kesehatan dan jiwa manusia dunia. Para ahli virus sudah seringkali mengumumkan hasil penelitiannya bahwa munculnya virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), virus HIV/ AIDS, virus Ebola, bahkan virus malaria misalnya, yang telah menjangkiti manusia secara ganas, lebih disebabkan adanya ketidakseimbangan alam sekarang ini, terutama rusaknya hutan . Virus-virus itu akhirnya terpaksa keluar dari habitatnya, setelah hutan tempat biasa mereka hidup mengalami kehancuran yang luar biasa. Lingkungan habitat tempat dimana virus ini tinggal, kini sudah tidak nyaman lagi dihuni bagi virus-virus yang biasanya berupa jasad renik yang mungkin baru terlihat jelas eksistensinya lewat mikroskop canggih.
Virus ini juga bisa saja terbawa oleh satwa-satwa liar yang mempunyai kebiasaan bermigrasi dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Burung-burung liar adalah salah satu hewan yang suka bermigrasi dalam rangka menjalankan rutinitas hidupnya untuk bertahan hidup. Namun dalam kasus flu burung mereka bisa dikatakan sebagai tumpangan juga pesawat tempur bagi virus-virus ini untuk memperkenalkan dunianya kepada kehidupan dan lingkungan manusia. Virus HIV/AIDS, pun dulunya tidak pernah ada yang mempercayainya bahwa awal mulanya justru ditularkan oleh monyet atau primata-primata yang ada di pedalaman hutan Afrika. Ketika hutan-hutan Afrika banyak dijarah dan dirambah termasuk satwa-satwa liar dan primata-primata Afrika jadi ajang buruan, maka mulailah virus ini menyesuaikan diri dengan habitat barunya. Manusia tentu saja yang jadi sangat rentan. Kini penularan HIV/AIDS tidak lagi mesti ditularkan lewat perantara hewan, tetapi juga sudah pada taraf penularan dari manusia ke manusia dalam rangkaian yang sangat panjang dan global. Pada tahun 1995, virus Ebola yang sangat mengerikan juga mewabah secara meluas di Afrika. Virus yang mempunyai nama lengkap Ebola Hemorrhagic Fever ini ditenggarai kuat dibawa oleh para perambah hutan atau pemburu primata di Afrika. Mau tahu bagaimana virus ini hidup bermasyarakat pada tubuh manusia? Manusia yang terjangkiti virus ini awalnya seperti terkena flu biasa saja. Namun kemudian demam tinggi, sakit di
L. RANA JAYA / DOK. WARSI
Pembukaan hutan secara besar-besaran di Afrika dan kini di Asia (juga Indonesia), bisa jadi membuat virus-virus ini berloncatan dan menumpang pada satwa-satwa liar yang diburu dan dibawa oleh manusia dari belantara hutan.
Hewan-hewan liar dari hutan ini jelas merupakan reservoar bakteri atau virus yang jika berkontak dengan hewan yang jadi peliharaan manusia justru menimbulkan efek yang luar biasa. Hewan ternak ini kemudian berkontak dengan manusia kemudian menularkannya.
Deforestasi, salah satu penyebab menyebarnya virus
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
47
SUARA RIMBA
FOTO : AULIA ERLANGGA
48
Meranggas, setelah diambil kayunya yang bernilai komersial, biasanya lahan hutan alam yang telah rusak dibiarkan terbengkalai.
sekujur tubuh diikuti muntah dan mencret. Kulitnya kemerahan seperti orang sakit demam berdarah pada umumnya. Kemudian si penderita akan meninggal setelah terjadi perdarahan dimana-mana : Di mata, telinga, mulut, hidung hingga keluar darah dari lubang genital dan dubur. Virus malaria bahkan demam berdarah sekalipun, sudah sangat jelas kemunculannya dalam menjangkiti manusia dimulai sejak dibukanya hutan belantara yang kemudian dibawa oleh satwa liar di sana. Namun perkembangannya sekarang nyamuk-nyamuk ini kemudian mulai mahir beradaptasi bahkan bersiklus dengan lingkungan mereka yang baru di habitat manusia. Di Indonesia sendiri saban tahun, selalu mencatat siklus ini. Ketika musim hujan reda, maka mulailah sejumlah rumah sakit bahkan hingga loronglorongnya dipenuhi para pasien yang terjangkiti penyakit ini. Dan selalu ada manusia yang tidak tertolong jiwanya karena penyakit ini. Begitu pula dengan menyebarnya virus SARS yang ditenggarai kuat di bawa oleh musang-musang liar yang di jual di pasar hewan Guangdong, Cina Selatan. Saat itu korban manusia yang tewas akibat virus ini adalah 349 orang (hanya di daratan Cina), sementara di berbagai negara (Asia terutama) mencapai 425 orang. Lestarikan hutan Sangat jelas sudah, bahwa virus-virus ini berloncatan keluar dari satu rangkaian panjang hingga menjangkiti manusia karena rusaknya hutan sekarang. Jadi bisa dibayangkan apa sebenarnya yang tengah terjadi saat ini ketika kita menghadapi bahwa hutan di Indonesia sudah mengalami kerusakan yang sangat parah. Padahal Indonesia memliki hutan terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Potensi hutan di Indonesia juga sangat kaya dengan
keanekaragaman bioderversity-nya. Kita memiliki hampir 16% jenis burung yang hidup di dunia, 10% jenis mamalia di Indonesia adalah dari keseluruhan mamalia yang ada di dunia. Indonesia juga mempunyai 34 jenis satwa primata dari 185 jenis yang ada di dunia. Namun Menteri Kehutanan Indonesia, MS Kaban menjelaskan, Indonesia yang memiliki hutan seluas 120 juta ha kini sudah mengalami kerusakan hingga seluas 59 juta ha dengan laju kerusakan mencapai rata-rata 2,8 juta pertahun. Itu artinya juga telah terjadi keluluhlantakan jaringan ekosistem, dimana masing-masing makhluk hidup yang hidup di sana berusaha untuk menyesuaikan diri untuk bisa bertahan hidup. Termasuk tentu saja para virus-virus tersebut. Saat ini, Indonesia sendiri belum pada pencapaian bagaimana menanggulangi penyakit yang dibawa oleh satwa-satwa liar dari dalam hutan, terutama sekelas virus. Apalagi ditengah hiruk pikuk persoalan masalah rakyat yang kini semakin berat karena pemerintah menaikkan terus harga BBM, teror bom, dan bencana alam. Setidaknya sekarang, kendati di tengah persoalan hidup yang menghimpit tersebut, maka tidak ada tawar menawar lagi agar persoalan hutan harus diperhatikan sama seriusnya dengan kehidupan mati dan hidupnya generasi manusia. Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah, terutama di daerah untuk seenaknya mengeksploitasi hutan atas nama Pendapatan Asli Daerahnya. Karena kini jika hutan rusak bukan hanya bencana alam yang akan diperoleh manusia atau rakyat tetapi juga hal yang lebih menakutkan dari itu, ketika virus-virus itu berloncatan keluar dan menebar maut.(A.S.) (Dari berbagai sumber)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
AKTUAL / Mahendra Taher, Kordinator Program Bioregion DAS Batanghari KKI Warsi -
[email protected]
Ini sudah memasuki paruh kedua 2005, namun kita belum tahu alien jenis apa yang akan berkunjung tahun ini. Tidak ada pemberitahuan resmi dari pejabat publik yang berwenang.
DOK. WARSI
Mari Bersiap Menunggu Alien
B
Yang masih misteri sampai hari ini adalah pernah dilaporkannya berbagai penampakan piring terbang yang kemudian lazim disebut UFO, namun tidak pernah ada bukti fisik. Katanya piring terbang ini membawa makhluk luar angkasa yang disebut Alien. Makhluk ini selalu digambarkan menyeramkan secara fisik, aggressor, dan membawa bencana bagi makhluk bumi. Tapi itu semua barulah imajinasi selebritis Hollywood. Sebenarnya, jika alien memang seperti yang dikhayalkan tersebut, saat ini dia tidak sedang berada disudut kosmos. Dia ada di sekitar kita, mengintai, siap melakukan agresi kapanpun dia mau, dan kita betul-betul sedang tidak berdaya. Makin Sulit diprediksi Adalah bencana alam yang telah berubah menjadi Alien. Memasuki paruh kedua 2005 ini, kita terutama di Jambi, belum dapat memastikan jenis bencana yang akan datang. Bukannya hendak mengharapkan adanya bencana, tapi pengalaman selama 5 tahun terakhir selayaknya membuat kita waspada. Setidaknya ada 2 bencana utama yang selalu datang tiap tahun yaitu Banjir dan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Tahun lalu kabut asap demikian
DOK. WARSI
icara alien, mungkin berawal dari rasa kesepian manusia di tengah jagat raya. Lalu mereka mulai membangun fantasi tentang kehidupan lain di luar sana. Berbagai misi luar angkasa telah dilakukan, sebagai bagian dari upaya menjawab keingintahuan. Terakhir, ditemukan kemungkinan adanya air pada sebuah kawah di Mars. Yang terbaru adalah diketahuinya Pluto bukanlah planet terjauh tata surya, tapi ada planet terjauh yang baru ditemukan dan kemungkinan diberi nama Xena.
Banjir dan kebakaran hutan, bencana yang selalu datang setiap tahun namun belum ditangani secara serius oleh pemerintah.
parah lalu diikuti meluapnya sungai Batanghari. Atau tahun sebelumnya lagi terjadi banjir yang meluas dan berulangulang. Memang secara global iklim juga berubah. Namun yang menjadi sebab utama terjadinya perubahan perilaku bencana alam ini adalah belum adanya usaha yang sungguh-sungguh, terencana, dan menyeluruh terhadap perbaikan pengelolaan sumberdaya alam. Banjir memang telah terjadi sejak nabi Nuh, tapi kemajuan ilmu pengetahuan setidaknya bisa didorong untuk menghasilkan prediksi terhadap skala dan waktunya. Kebakaran hutan terutama hutan tropis sebenarnya juga telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Namun skala yang terjadi sekarang jelas merupakan akibat dari lemahnya regulasi dan pengawasan.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
49
AKTUAL
50
Sistim Peringatan Dini, Bukannya Tidak mungkin Baru segelintir orang yang mulai belajar dari pengalaman buruk ditimpa bencana yang terus menerus tersebut. Menarik apa yang telah dimulai Bapedalda Kota Jambi dengan membuat papan pemberitahuan kwalitas udara di beberapa tempat strategis sehingga publik mengetahui.
Propinsi jambi juga telah memiliki unit-unit khusus yang berkaitan dengan penanggulangan bencana kebakaran hutan. Namun upaya ini juga mesti didukung semua komponen agar penanggulangan kebakaran tidak melulu dianggap pemadaman kebakaran.
Sejak 2002, juga telah dimulai diskusi-diskusi publik untuk mencari rumusan pemikiran bersama menyangkut pengelolaan DAS Batanghari. Saat ini Pokja DAS Batanghari propinsi Jambi telah memulai bekerja namun belum mampu untuk membuat prediksi banjir karena kendala jeleknya record data iklim selama ini. Tapi upayaupaya kearah itu sedang terus dilakukan.
Kedepan, sebuah sistim peringatan dini untuk mewaspadai 2 jenis bencana utama itu mutlak diperlukan. Kita tidak mungkin bisa hidup terus menerus dalam kecemasan akan datangnya bencana yang tidak jelas seperti mewaspadai datangnya makhluk alien. Dan itu, sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. (A.S.)
AKTUAL / Cut Nurul Aidha, staf KKI Warsi -
[email protected]
Revitalisasi Pertanian dan Kehutanan :
Demi Petani atau Agenda Neo Liberalisme?
N
Sistem mekanisme pasar bebas/ekonomi Neo-liberal bukanlah sistem baru di Indonesia. Ekonomi neo-liberal telah dimulai sejak era pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan peningkatan jumlah penanam modal asing serta peningkatan utang luar negeri. Bangsa Indonesia secara tidak sadar mulai menggantungkan nasibnya kepada kebijakan ekonomi/politik yang ditentukan Bank Dunia, IMF, Asian Development Bank, sampai IGGI. Hancurnya perekonomian Indonesia di tahun 1998, tidak membuat kita berpaling dari mereka. Banyaknya lembaga keuangan yang menjadi almarhum telah melahirkan kebijakan-kebijakan baru IMF dimana pemerintah diwajibkan menanggung segala kerugian yang menyebabkan Rp 60 triliun harus dikeluarkan dari APBN setiap tahunnya. Pemerintah tentunya menolak
DOK. WARSI
asib sektor pertanian dan kehutanan terus menerus meringkuk di sudut pemikiran para pembuat kebijakan yang secara sadar mengetahui bahwa yang dibutuhkan dalam usaha pemulihan sektor-sektor ini bukan hanya sekedar peraturan atau proyek baru. Lalu apa yang perlu dibenahi? Apakah program Revitalisasi Pertanian dan Kehutanan yang baru-baru ini dicanangkan akan memperbaiki nasib petani di kedua sektor tersebut? Atau hanya sebagai pelaksanaan agenda Neo-Liberal (Ekonomi Pasar Bebas) yang tanpa kita sadari telah menjadi akar dari sistem perekonomian Indonesia?
Petani, menanti apakah revitalisasi pertanian dan kehutanan dapat memperbaiki nasib mereka.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
AKTUAL untuk rugi sendiri, sehingga rakyat diwajibkan untuk ikut kena batunya melalui pembebanan lewat pajak. Mahzab neo-liberalisme telah berdampak di berbagai sektor, termasuk sektor-sektor vital seperti sektor kehutanan dan pertanian. Sejak diberlakukannya PP NO.21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), nasib hutan di Indonesia memang patut diratapi, karena ekplotasi hutan yang menghasilkan milyaran dollar setiap tahunnya, hanya 17% nya saja yang masuk ke dalam kas negara dimana swasta lebih berperan dalam pengusahaannya. Jelas hal ini tidak signifikan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, karena kondisi di atas menggambarkan bahwa negara telah melepaskan perannya sebagai pengelola ekonomi/ penguasa sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kondisi di atas diperburuk oleh keberpihakan penentu kebijakan dalam merumuskan perundang-undangan. Contohnya UU No 19 tahun 2004 yang digunakan sebagai dasar pemberian wewenang kepada 13 perusahaan untuk memanfaatkan sumber daya alam di kawasan hutan lindung. Hal di atas adalah bentuk penguasaan sektor kepemilikan umum oleh swasta/privitisasi BUMN yang merupakan salah satu syarat berlangsungnya sistem ekonomi neo-liberal. Pada sektor pertanian, sumbangan yang paling besar yang diakibatkan oleh sistem ekonomi ini adalah pertambahan jumlah petani tanpa lahan. Faktanya, kondisi petani kita semakin terdesak dan diharuskan mengalah, terlebih lagi dengan diberlakukannya Perpres No.36 Tahun 2005 tentang : Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yang dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah dan tidak berpihak kepada petani. Kondisi sektor pertanian Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan kondisi sektor pertanian di negara-negara maju, contohnya petani Amerika yang mendapatkan 150 USD/hektar dari negara atau Petani Uni Eropa yang mendapatkan dua kali dari areal pertanian. Namun sikap keberpihakan negara-negara tersebut terhadap petaninya patut ditiru. Berpihak pada petani Pemerintah sendiri sepertinya sudah kebal dengan kritikan. Mengkritik memang pekerjaan gampang. Namun jika kita mampu memikirkan atau menyumbangkan solusi, maka program revitalisasi tidak akan sekadar menjadi ide utopis seperti yang diprediksikan banyak orang. Di dalam program
revitalisasi, peningkatan produksi lebih ditekankan, sedangkan kesejahteraan petani luput dari perhatian. Contohnya dapat dilihat dari target yang dijabarkan dalam program revitalisasi dimana pertumbuhan pertanian diharapkan bisa terkejar sebesar tiga persen dengan dana APBN pertanian minimal sebesar Rp 9.76 triliun (SinarTani,4-10/5/2005). Hal ini membuat pemerintah berkonsentrasi pada peningkatan produksi dengan cara memberikan keleluasaan sebesar-besarnya pada pengusaha agribisnis. Disini kita bisa menyisipkan ide-ide yang dapat bersinergi dengan program tersebut agar dapat berpihak kepada petani. Misalnya, dengan menguatkan lembaga keuangan desa dan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok tani untuk mengolah komoditi yang kemudian di salurkan ke pengusaha agribisnis dengan syarat terdapatnya kesepakatan jaminan harga dan jaminan pemasaran yang menguntungkan petani. Program revitalisasi yang juga mendukung perluasan dan pengusahaan secara maksimal terhadap hutan produksi ini, dapat mengancam petani di sekitar hutan. Terlebih dengan keberadaan Perpres No.36 Tahun 2005 yang tidak memberikan kejelasan tentang pengadaan lahan untuk petani, dan hanya berorientasi kepada pembangunan untuk kepentingan umum yang pada akhirnya dapat mendesak petani untuk menyerahkan lahannya. Maka dari itu pemberian kompensasi kepada petani perlu dilakukan. Misalnya dalam bentuk jaminan pinjaman usaha kecil kepada petani yang selama ini ekonominya bergantung kepada hasil hutan atau jaminan kerjasama dalam pengelolaan hasil hutan secara adil sehingga memberikan kesempatan bagi mereka untuk ikut serta dalam program revitalisasi. Ide-ide di atas mungkin terdengar kurang lebih sama utopisnya dengan program revitalisasi pemerintah. Pada dasarnya ide-ide tersebut bertujuan untuk menciptakan keselarasan dan keseimbangan dengan program revitalisasi agar tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah dan pengusaha. Namun jika kita secara kolektif memimpikan terwujudnya perubahan nasib petani, maka itu merupakan cita-cita bersama. Apakah program revitalisasi pertanian dan kehutanan akan sekadar menjadi pelaksanaan agenda neo-liberalisme, atau akan menjadi program yang berpihak kepada petani? Pilihan ada di tangan kita dan semua tergantung dari usaha untuk mewujudkan apa yang kita pilih sebagai cita-cita bersama. (A.S.)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
51
AKTUAL / Sukmareni, Asisten Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected]
Balok Lah Abis, Apo Nak Digawe?
Batang Hari. Masyarakat yang menggantungkan hidup dari berbalok kini semakin sulit mendapatkan kayu. Namun, mereka juga belum siap untuk beraktivitas dengan usaha baru untuk menopang kehidupan mereka. Inilah yang sering menimbulkan gejolak, misalnya lewat aksi unjuk rasa, untuk mendapatkan hak yang sama dengan perusahaan yang memiliki izin hak pengusahaan hutan di daerah mereka.
S
elama beberapa hari belakangan ini, Tim Bioregion DAS Batang Hari mempunyai kesibukan baru. Para fasilitator kabupaten, yang selama ini intens melakukan berbagai aktivitas di kabupaten fokus masingmasing, ditarik ke mabes untuk mem-back up studi sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) di DAS Batang Hari Hilir.
Tetapi, di sisi lain, sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjab Timur sudah sejak awal memilih berkebun karet dan kelapa. Sebagian masyarakat juga bertani sawah, kendati di desa mereka masih ada yang berbalok. Bahkan, sedikit demi sedikit warga yang dulunya berbalok mulai beralih ke sawah. Pertanyaannya adalah, mengapa hanya segelintir desa itu yang bertahan untuk tidak berbalok dan mulai meninggalkan aktivitas illegal logging? Bagaimana pula sebenarnya karakteristik sosekbud masyarakat di DAS Batang Hari Hilir mempengaruhi pengelolaan potensi sumber daya alam? Inilah yang sedang dicari jawabannya oleh Tim Bioregion KKI Warsi lewat PRA.(A.S)
Dari kajian Tim Bioregion ini diharapkan bakal menjadi bahan masukan bagi stakeholders, khususnya para pengambil kebijakan, untuk mendorong pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan bioregion di DAS Batang Hari Hilir. Maka, sejumlah persiapan dilakukan. Beberapa sampel desa yang dijadikan sasaran kajian ditentukan berdasarkan pemanfaatan lahan, mata pencaharian, dan asal penduduk. Dari prakajian itu diketahui bahwa Desa Pematang Raman, Sungai Aur, Parit (ketiganya di Kabupaten Muaro Jambi) dan Lembur Luar di Kabupaten Tanjab Timur, bisa dijadikan sampel untuk mewakili karakteristik desa-desa di DAS Batang Hari Hilir. Kajian yang dilakukan di keempat desa itu dilakukan dengan metode PRA (participatory rural appraisal pemahaman pedesaan secara partisipatif). Mengapa DAS Batang Hari Hilir? Sejak ratusan tahun lalu, Sungai Batang Hari sudah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Jambi. Air bersih dan kegiatan MCK umumnya memanfaatkan air yang berasal dari sungai yang berhulu di Sumatera Barat ini. Sungai Batang Hari juga menjadi jalur transportasi utama dan sumber protein bagi masyarakat sepanjang aliran sungai. Tetapi, kondisi Sungai Batang Hari terus dicemari. Sangat sulit menemukan air yang jernih. Erosi di bagian hulu serta limbah industri dan pertambangan semakin hari semakin memperkeruh dan memperburuk kualitas air sungai Batang Hari. Penebangan hutan liar di hulu dan belum adanya kearifan masyarakat hilir sendiri dalam mengkonservasi kawasan membuat daerah resapan air di hilir semakin sempit. Banjir dipastikan akan selalu menyambangi daerah hilir. Lahan pertanian, ternak dan pemukiman pun akan terendam. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat hilir sangat banyak penerima dampak sekaligus pemanfaat terbesar air Sungai
FOTO : DOK. WARSI
52
Menghilirkan kayu illegal, kegiatan para pembalak liar ini dipastikan merupakan salah satu penyebab banjir yang selalu terjadi setiap tahun di Jambi.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
FOTO : ASEP AYAT / DOK. WARSI
AKTUAL / Chairil Anwar Tanjung -
[email protected]
Sekolah non formal, di dusun Tuo Datai, Taman Nasional Bukit Tigapuluh - Riau
Ketika Anak Pedalaman Riau Belajar Bahasa Inggris
S
uku Talang Mamak, sebuah komunitas penduduk tertua di Riau yang terkenal tidak mengenyam pendidikan dan hidup di kawasan hutan belantara di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) perbatasan Riau -Jambi. Ternyata, anak-anak suku terasing ini, kini berminat belajar bahasa Inggris, Wah! Bila kita berjalan menuju TNBT, sebuah kawasan hutan alam yang kini juga tidak terlepas dari aktivitas illegal logging. Disanalah bermukim suku tertua di Riau yang lebih dikenal dengan sebutan Talang Mamak. Penduduknya miskin, hidup dari kemurahan hutan dan alam. Menapak kaki di bumi Talang, jangan harap ada pemandangan sekolah SD sebagaimana lazimnya di daerah lain. Kelompok masyarakat Talang Mamak ini seakan tersisihkan dari pembangunan. Kendati demikian, kini anakanak Talang mulai terusik untuk belajar bahasa Inggris.
Memang sih, sekolah formal tidak ada di hutan alam itu. Yang tersedia, hanya sebuah sekolah nonformal yang difasilitasi sejumlah LSM Lingkungan. Keinginan anak-anak suku pedalaman untuk ikut belajar bahasa inggris ini, tentulah sangat mengagumkan. Anak-anak yang ingin belajar bahasa bule itu berasal dari Dusun Tuo Datai Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau di TNBT. Tentulah sekolah untuk belajar ini tidak akan sama seperti sekolah pada umumnya. Bangunan sekolah yang terbuat dari kayu itu, terpampang sebuah tulisan Sanggar Belajar Datai. Sekolah itu pun hanya beratap anyaman daun, beralas tanah, berdinding terbuka dan berisikan lima bangku-meja belajar. Namun, kondisi tersebut tidak mengurangi semangat mereka untuk belajar.
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
53
AKTUAL Lantas siapa gerangan guru yang mengajar basaha asing itu? Dia adalah Saefuddin yang akrab di sapa Pak Tatung (42). Guru ini difasilitasi PKHS (Program Konservasi Harimau Sumatera) untuk mengajarkan baca tulis di suku pedalaman itu. Pak Tatung sudah dua tahun mengajarkan baca tulis di TNBT untuk suku Talang Mamak. Yang paling menggembirakan sekali, anak-anak suku Talang itu minta diajari bahasa Inggris, kata Asisten Komunikasi KKI Warsi / Konsorsium B30 Rahmadi dalam perbincangannya kepada detikcom. Tatung yang sudah dua tahun mengajar disana pun, bukan main gembiranya melihat anak didiknya ingin tahu bahasa asing itu. Murid-murid saya sekarang pingin belajar bahasa Inggris. Saya juga tidak tahu mengapa. Mungkin karena mereka pernah melihat saya bicara dengan orang bule pakai bahasa yang tidak mereka pahami. Ya akhirnya mereka minta diajari, kata Tatung. Menurut Tatung, seiring bergulirnya waktu, program pendampingan pun telah berjalan dua tahun. Kini, telah tersedia kelas satu sampai kelas empat dengan jumlah murid sekitar 76 siswa. Mereka berasal dari Dusun Tebrau, Datai dan Melenai. Meskipun, yang aktif hanya sekitar 25-30 siswa yang rata-rata berumur 7-14 tahun. Biasalah, sekarang kan lagi musim berkebun. Jadi kebanyakan anak-anak sibuk membantu orang tuanya membuka ladang, kata Tatung. Yang menarik, meski sifat sekolah ini informal tapi, kegiatan belajarnya dijalankan secara rutin. Untuk Senin dan Selasa diajarkan berhitung sedangkan Rabu hingga Sabtu untuk menulis dan bahasa Inggris dari jam delapan hingga sepuluh pagi. Lantas sejak kapan anak-anak itu mau belajar bahasa Inggris? Menurut Tatung yang berasal dari Kecamatan Batang Gangsal masih di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau itu, awalnya ketika dalam tiga bulan terakhir ini, suku Talang Mamak sering dikunjungi LSM dari luar negeri. Bule-bule itu kadang sampai menginap di dalam hutan minimal sepekan.
FOTO : ASEP AYAT / DOK. WARSI
54
Ruang kelas, walaupun sederhana namun tidak menurunkan semangat anak anak Talang Mamak untuk belajar.
LSM. Walau hanya jebolan SD tapi pengetahuannya lumayan luas. Apa lagi dia juga mengetahui latar belakang budaya suku Talang Mamak itu sendiri. Sebelum saya dipercayakan sebagai guru pendamping, bertahun-tahun saya digembleng pihak Kecamatan Bangtang Gansal, Inhu. Awalnya serem juga masuk hutan, tapi sekarang tidak lagi, tuturya polos. Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam TNBT, Ir. Moh. Haryono, M.Si menyatakan, tujuan jangka panjang dari sekolah lapangan yang difasilitasi PKHS itu tidak lain untuk meningkatkan pengetahuan, skill dan keberanian anak-anak suku Talang Mamak. Dengan adanya sekolah nonformal itu kita berharap, tumbuh kepercayaan pada diri mereka untuk bersaing hidup di luar. Dengan begitu, mereka akan menjadi generasi yang berani, berpengetahuan dan siap bersaing, kata Haryono.
Karena anak-anak ini sering mendengar bahasa yang jarang mereka dengar, walhasil murid-murid saya minta belajar bahasa Inggris. Ya, saya yang modal bahasa Inggris cuma pas-pasan yes or no saja, nekat memberi pelajaran bahasa Inggris, urai Tatung yang hanya jebolan SD itu.
Lantas apa kata Tatung bila programnya sebagai guru sudah habis masa kontraknya? Tatung tampak diam. Ah untuk sementara ini kita nikmati dulu jadi guru di suku pedalaman ini, katanya.
Tapi sebenarnya, untuk merekrutnya menjadi guru pendamping, tentulah Tatung sudah melalui berbagai tahapan dari pihak kecamatan setempat termasuk dari pihak
Kalau memang tidak dipakai lagi, ya kita berkebun saja, katanya enteng. (A.S.) (Tulisan ini muncul di detik.com tanggal 27 Agustus 2005)
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
55
Sang Kemare Usulan Rasionalisasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh kepada Menhut
G
una menyelamatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang berada di Lansekap Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang merupakan modal berharga bagi pembangunan Konservasi Sumber Daya Alam di Indonesia, maka Komunitas Konservasi Indonesia (KKI Warsi) bekerja sama dengan Program Konservasi Harimau Sumatera dan Program Konservasi Orang Utan Sumatera mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di sekitar batas luar TNBT yang bertopografi curam (kelerengan > 40 %) menjadi bagian dari TNBT. Dan untuk mencegah juga menekan laju degradasi hutan serta sambil menunggu proses perubahan fungsi hutan, maka diusulkan juga agar Menteri Kehutanan menetapkan kawasan Hutan Produksi (HP) di bagian barat (sebagian areal konsesi eks PT IFA) yang berbatasan dengan TNBT sebagai Hutan Produksi dengan Tujuan Khusus untuk konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus) dan Orang Utan Sumatera (Pongo abelii). Adapun luasan total dari kawasan Hutan Produksi (HP Terbatas dan HP Tetap) yang diusulkan untuk tujuan konservasi tersebut sekitar 153.074 ha. (Rahmadie)
Kata Bang Zul, sapaan akrab Gubernur Jambi, selama ini belum ada kejelasan tata ruang antara kabupaten dan provinsi. Akibatnya, perencanaan tata ruang sering tumpang tindih. Karena itu, akan di buat tata ruang yang mengacu pada tata ruang nasional. Hehe, berarti butuh fasilitator tata ruang donk! Ayo ... ada yang berminat? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, untuk meminimalkan dampak kenaikan harga BBM maka pemerintah akan mensubsidi langsung tunai bagi 15,4 juta keluarga miskin. Selain itu, pada awal tahun 2006, pemerintah akan menaikkan gaji PNS dan memberikan tunjangan gaji ke 13. Lalu, bagaimana dengan para illegal logger pak? Apa hukuman untuk mereka butuh subsidi juga? Habitat asli Harimau Sumatera yang berada di dalam hutan terus terusik akibat eksploitasi hutan. Akibatnya, daerah jelajah Harimau sering bersinggungan dengan kawasan aktivitas manusia. Kasihan si Harimau, meski hidup dalam hutan belantara, masih juga diganggu!!!!
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005
56
Alam Sumatera, SEPTEMBER - DESEMBER 2005