1
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Daftar Isi /
penulis
FOTO : MUSFARAYANi / DOK. WARSI
2
KONSEP Penindasan Terhadap Suku Asli / Robert Aritonang INTRODUKSI Nasib Suku Asli di Tengah Perubahan & Globalisasi / Mangara Silalahi LAPUT Balada Orang Pedalaman / Musfarayani Sebutan Itu Sangat Menyakitkan / Musfarayani Talang Mamak Terkepung Hutannya Sendiri / Harry Surjad SUDUT HUKUM Peminggiran Hak-hak Masyarakat Adat oleh Negara / Jhoni Hendra Putra SELINGAN Sebuah Kisah Dari Mentawai / Tarida Hernawati Orang Mentawai Tidak Sembarang Memilih Rumah / Aldes FOKUS Perkembangan Pendidikan Orang Rimba di TNBD / Agustina D. Siahaan Tetap Semangat Meski Terancam Malaria / Musfarayani Anak-anak Rimba Bicara Sokola Rimba ala Warsi / Feri, Ninuk GIS SPOT Ketika GIS Tidak di Pandang Sebagai Peta Belaka / Tim GIS WARSI DARI HULU KE HILIR Mendudukkan Konsep Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan DAS / Mahendra Taher DAS Sebagai sebuah Ekosistem / Kurniadi Suherman MATAHATI Sokola Di antara Pohon Tumbang / Ninuk Setya Utami Rendezvous Orang Rimba ke Mentawai / Musfarayani, Muhammad Rafii R angkuti, Sutardi WAWANCARA Iwan Fals : Kalau alam ini hancur, kamu juga hancur! / Musfarayani, Invicta Sudjarwati SALAM RIMBA Antara Pilkadal dan Pil-Pahit / Rakhmat Hidayat SUARA RIMBA Jenang Waris, Dewa Penolong Orang Rimba / Marahalim Siagian AKTUAL In memoriam Zainudin / Rakhmat Hidayat Nagari Koto Malintang, Semoga Tidak Melintang / Musfarayani, Yenni Azmaiyanti INFO WARSI, SANG KEMARE, KARIKATUR Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Diharjo
Dari Editor Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab : Rudi Syaf Editor : Musfarayani Web Master : Askarinta Adi Pelaksana : Tim KKI WARSI Distribusi : Aswandi
3
M
usimnya Pilkada (pemilihan Kepala Daerah). Para calon Raja Kecil di daerah ini juga sudah mempersiapkan segala jurus jitu untuk bisa menarik simpati para pemilihnya. Maka hati-hatilah kita sebagai rakyat yang cerdas. Jangan terperdaya dengan segala tipu daya muslihat atas nama PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk kesejahteraan rakyat. Karena banyak fakta justru menunjukkan itu hanya omong kosong belaka. Kesejahteraan justru hanya untuk golongan rakyat tertentu yang telah berjasa menyumbang dana kampanye bagi para calon yang terpilih. Itu sudah pasti. Terkait musim Pilkada ini, karena itu Alam Sumatera mengungkapkan kesaksian para wong cilik - suku asli minoritas yang selama ini sering diabaikan oleh pemimpin daerahnya sendiri. Mereka bahkan sering dipinggirkan dan termiskinkan karena program pemimpin daerahnya juga negara- yang membuat mereka semakin terjerumus dalam jurang yang bernama : Kemiskinan dan diskriminasi. Sejauh ini belum ada satu pun pemimpin daerah tempat dimana para suku asli itu berada, benar-benar tulus untuk membantu mereka. Berusaha memahaminya pun tidak. Padahal justru kehidupan suku asli ini sangat dekat dengan keharmonian sumberdaya alam yang ada. Ironisnya kini, kehidupan masyarakat suku asli terpinggirkan karena sumberdaya alam di sekitar mereka dieksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Ulasan ini semakin menyentuh, ketika Alam Sumatera hadir dalam wajah berbeda. Dengan tampilan penuh warna pada covernya, semakin jelas terlihat ekspresi kehidupan suku-suku asli yang ada di Indonesia. Meminjam syair lagu Serieus Band, bahwa para masyarakat suku asli juga manusia, yang punya rasa dan punya hati, jangan samakan dengan pisau belati!
Keterangan Foto Cover : Suku Sakai di Riau / Aulia Erlangga Desain & Cetak
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id
Edisi kali ini juga jadi istimewa ketika Iwan Fals jadi tokoh dalam wawancara edisi ini.Ternyata di luar dugaan kami, dia tahu banyak juga tentang masalah hutan hingga orang pedalaman dan illegal logging. Kami pun terinspirasi untuk memberikanl tema utama Laput ini sesuai dengan judul lagu Bang Iwan : Balada Orang Pedalaman (semoga Bang Iwan tidak marah judul lagunya dipinjam untuk tema ini) Kami juga memberikan rubrikasi dan format baru yang mudah-mudahan bisa memberikan nuansa berbeda dari sebelumnya. Kami sisipkan supplement dengan nama FOKUS yang kali ini khusus membahas tentang Pendidikan di Rimba. Kami tampilkan wajah-wajah dan perjuangan kawan-kawan kami yang mengabdikan diri menjadi Guru Orang Rimba. Tidak lupa, tentu saja FOKUS ini menjadi khusus sebagai in memoriam kami terhadap perintis pendidikan Orang Rimba Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea, S.Sos. Secara umum rubrik ini juga dimaksudkan memberikan penghargaan kepada semua guru di Indonesia Sang Pahlawan Tanpa Jasa, terutama yang bekerja di pelosok terpencil negeri ini. Selebihnya, tidak banyak perubahan frontal dari isi di edisi ini. Tapi ini sudah dalam format yang dirasa sudah ciamik untuk setidaknya dirasakan saja. Kritik dan sarannya kami harapkan terus. Singkatnya, selamat mengambil manfaat sajian baru kami. Dan jangan lupa untuk menyisihkan sedikit atau banyak dari rezeki kita untuk saudara-saudara kita yang tengah membutuhkannya. Terutama saudara kita yang ada di Aceh, Nias, dan dimanapun atau siapa pun yang membutuhkannya. Berapa pun dan apa pun itu, jika ikhlas, tetap sangat berarti buat mereka.Tapi tetaplah jadi rakyat yang cerdas, terutama dalam memilih di Pilkada nanti. Editor Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
4
SALAM RIMBA / Rakhmat Hidayat Deputy Direktur KKI Warsi /
[email protected]
Antara Pilkadal dan Pil Pahit
Maka segala cara dilakukan. Dari memasang foto di kitab suci yang dibagi gratis, pengerahan massa, hingga janji untuk mengobral sumberdaya alam kepada para sponsor yang mendukung.
G
enderang Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) dimulai. Berbagai perilaku calon orang nomor satu di daerah ini mulai terbaca arahnya. Tiba-tiba di antara mereka ada yang mulai berteman dengan pengusaha itu, tokoh militer ini, atau bekas tokoh elit sana. Tidak kalah serunya, para pendukung yang juga memulai perang, demo sana, demo sini. Kalau bisa sampai menduduki gedung KPU atau Panwas setempat segala. Tidak ada usaha dari mereka untuk mendekatkan diri dan mendengar apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat bawah. Sepertinya mereka menutup erat-erat daun telinganya, membutakan matanya, mempertebal kulit mukanya serta memutus tali urat malunya terhadap realitas sosial yang ada pada masyarakat. Tidak pernah pula dari calon pemimpin daerah ini, sedikit saja mendengungkan perbaikan lingkungan atau pembangunan sumberdaya alam daerahnya secara berkelanjutan dan berbasis ekologis. Lucunya, bagi para calon yang berasal dari kalangan birokrat, keberhasilan mengeksploitasi sumberdaya alam untuk peningkatan PAD dianggap sebagai citra keberhasilan. Sementara janji untuk membebaskan penguasaan dan pengusahaan terus digelindingkan. Padahal dampaknya akan menambah sulit persoalan pengelolaan sumberdaya alam yang saat ini begitu rumit. Tentu saja menang dalam Pilkadal adalah tujuan utama. Maka segala cara dilakukan. Dari memasang foto di kitab suci yang dibagi gratis, pengerahan massa hingga janji untuk mengobral sumberdaya alam kepada para sponsor yang mendukung. Segala janji muluk pun diumbar. Intinya, meminjam bahasa gaul Orang Betawi - calon pemilih benar-benar dikadali untuk itu. Calon pemilih pun tidak pernah tahu transaksi terselubung yang dilakukan antara sang kandidat dan para sponsornya jika menang Pilkadal. Tidak ada transparansi soal itu. Ada contoh menarik dari Sleman. Para calon bupatinya mengadu ke Panwas Pilkada, terkait permintaan Parpol untuk menyediakan dana sekitar Rp 10 milyar rupiah agar bisa dicalonkan. Tapi Parpol malah mencalonkan orang lain. Bisa dibayangkan jika satu dari mereka menang. Dengan gaji bupati perbulan Rp 20 juta (misalnya), sedangkan modal untuk terpilih minimal
10 milyar, maka jelas harus ada kompensasi bagi para sponsor bupati terpilih tersebut. Konsekuensi balas budi kepada sponsor pun akhirnya dilakukan. Biasanya mereka sangat mudah mendapat caranya yaitu dengan mengeksploitasi sumberdaya alam daerahnya tanpa sisa. Argumentasinya pun terdengar heroik : Untuk membiayai pembangunan. Tapi yang sebenarnya juga untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan. Akibatnya, terjadilah proses degradasi yang sangat parah, yaitu : Dehumanisasi pada masyarakat. Kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kebanyakan vs para sponsor melebar. Akumulasi kesenjangan kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatnya KKN dan tidak terlaksananya penegakan hukum. Lebih parah lagi, adalah timbulnya bencana alam dimana rakyatlah yang membayar social costnya. Sebagai contoh kecil bagaimana proses konversi hutan diperuntukkan seperti areal konsesi HPH, HTI, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan dan kepentingan masyarakat lokal. Jadi, sangat relevan ketika komitmen terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan harus menjadi ukuran untuk memilih calon pemimpin daerah. Terpenting bagaimana otonomi juga menyentuh kepentingan masyarakat lokal yang selama ini terabaikan. Keberadaan mereka juga harus diakui, dihormati dan diperjuangkan. Pemimpin harusnya bisa menjadikan suara rakyat sebagai suara kebijakan bukan malah sebaliknya. Jadi jangan sampai anda menelan pilpahit apalagi dikadali dalam Pilkadal nanti.(A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
konsep / Robert Aritonang / Koordinator Program OR KKI Warsi
[email protected]
Penindasan Terhadap Suku Asli
S
uku Asli atau dalam bahasa Inggris disebut Indigenous People sejak lama telah memiliki terminologi yang sangat beragam. Di Dunia dikenal sebutan Aborigin, Tribal, Orang Terisolir, Dunia Keempat, Budaya Minoritas, Etnik Minoritas dan Suku Pribumi. Di Indonesia dikenal istilah yang tak kalah beragam, misalnya: Suku-suku Terasing, Masyarakat Terasing, Suku Anak Dalam, Suku Tertinggal, Suku Minoritas dan akhirakhir ini telah berkembang pula sebutan Masyarakat Adat, Suku Asli dan Komunitas Adat Terpencil. Berbagai keragaman terminologi ini bisanya dilatar belakangi pandangan terhadap kemiskinan, marginalisasi, keharmonisan ekologis serta agama dan budaya yang dominan. Di tingkat yang lebih spesifik misalnya penyebutan atas nama suku tertentu juga terjadi keragaman terminologi. Salah satu contoh adalah penamaan terhadap Orang Rimba yaitu satu suku asli di pedalam Propinsi Jambi. Suku Melayu menyebutnya Orang Kubu, Pemeritah menyebutnya Suku Anak Dalam dan Komunitas Adat Terpencil sedangkan mereka sendiri menyebut dirinya Orang Rimba. Dengan demikian semua terminologi terhadap Suku Asli merupakan konsep politik yang tidak bisa lepas dari ideologi dan kepentingan dari kelompok yang memberikan konsep. Di Indonesia setelah 60 tahun merdeka, masih banyak Suku Asli yang hidup berdasarkan keaslian budayanya yaitu suku yang memiliki jati diri dan norma hidup yang berbeda dari masyarakat umum. Contoh paling populer adalah Orang Rimba di Jambi dan Orang Badui di Banten. Dalam pertemuan suku asli minoritas yang dilakukan oleh KKI Warsi Januari 2005 tidak kurang dari 19 suku Asli yang mengikuti seminar tersebut. Sedangkan menurut IWGIA di Indonesia terdapat sekitar 1,5 juta orang populasi Suku Asli. Kemerdekaan Bangsa Indonesia dari penindasan kolonialisme ternyata tidak memberikan kemerdekaan bagi suku asli minoritas cara-cara kehidupannya dalam kerangka Negara
dan Bangsa Indonesia. Sebaliknya penindasan diberbagai aspek kehidupan seperti di jaman masa penjajahan kolonialisme masih terus berlangsung di tengah-tengah suku asli minoritas. Akibatnya hampir semua suku asli menjadi sangat marginal atau miskin karena kehilangan hak dan akses terhadap sumberdaya, termasuk kehilangan hak untuk menentukan cara hidup atau jati dirinya. Sejak 1970 dilakukan berbagai upaya peradapan dan uniform pembangunan melalui: pemukiman, pertanian menetap dan islamisasi dan kristenisasi. Asumsinya suku ini hidup dalam kondisi terpencil dan terisolir dari kehidupan yang berlaku umum yang akhirnya menjadi tertinggal dari proses pengembangan ekonomi, sosial dan politik. Lebih hina lagi karena kemarginalan yang diderita suku asli dilihat sebagai masalah sosial yang sejajar dengan masalah sosial umumnya karena itu berada di bawah departemen sosial. Sejak itu hampir tidak ada tempat bagi cara hidup suku asli atau suatu kebudayaan tradisional untuk diapresiasi dan dijadikan dasar pijakan untuk membangun mereka. Cara hidup suku ini dianggap menjadi beban dan penghalang bagi usaha-usaha pembangunan yang dilakukan berbagai pihak termasuk pemerintah. Cara pandang terhadap kehidupan suku-suku asli selama ini disadari kurang tepat. Aspek pertama dari kekeliruan ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suku-suku asli yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dampaknya bisa mengarah kepada etnocide dimana jati diri kesukuan sangat terancam dan bahkan hilang, karena tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak hidup sesuai dengan cara hidupnya. Walaupun setelah kejatuhan Regim Soeharto telah bangkit gerakan sosial yang dimotori oleh banyak kalangan untuk kembali ke azas-azas masyarakat lokal atau masyarakat adat jauh lebih vokal, akan tetapi belum dapat menyentuh Suku Asli khususnya yang minoritas.(A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
5
FOTO : RIZA MARLON / DOK. WARSI
6
Suku Asli Minoritas, Nasibmu Kini... INTRODUKSI / Mangara Silalahi / Direktur Eksekutif YASA
Nasib Orang Talang.....! Hai Talang... tak dinyana nasibmu malang Laksana pohon sialang yang tertumbang, laksana kayu dilarik kumbang Digusur traktor alang kepalang Punahlah hutan warisan nenek moyang Hai Talang...! bangkitlah berjuang, Lupakan pengalaman pahit yang telah usang Galang semangat juang dan kekuatan mendulang Demi kehidupan anak cucu di masa mendatang
P
antun di atas menggambarkan bagaimana nasib suku-suku asli minoritas di Indonesia, khususnya Riau. Yaitu, suku-suku asli yang seharusnya mempunyai hak untuk menikmati sumberdaya alamnya. Di Indonesia, hak suku-suku asli telah diakui pada pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Namun, dalam produk hukum selanjutnya -terutama pada masa orde baru- hak asal-usul ini terlupakan. Seperti, pada produk hukum UU No.5/1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan dan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa, yang meniadakan hak dan susunan organisasi berdasarkan masyarakat adat. Sedangkan pengakuan terhadap suku-suku asli minoritas sudah diakui secara internasional lewat konvensi ILO (International Labour Organization) pada 1957. Kemudian
direvisi kembali pada 1989 dengan konvensi ILO No.169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di NegaraNegara Merdeka. Konvensi tersebut selain menggarisbawahi pelaksanaan hak asasi secara umum bagi masyarakat adat, juga menetapkan dan menentukan jati diri maupun pembangunan yang sesuai dengan mereka. Tentunya, yang sangat mendasar adalah masyarakat adat mempunyai hak atas tanah dan sumberdaya alamnya. Peranan dan kehebatan suku asli minoritas Untuk merepresentasikan nasib suku asli minoritas di Indonesia, provinsi Riau bisa dijadikan acuan. Sebut saja Suku Sakai dan Bonai yang berdiam di antara sungai Siak dan Rokan. Suku Petalangan di antara sungai Kampar dan Indragiri. Juga suku Talang Mamak antara sungai Indragiri dan Batanghari. Yang mendiami hutan-hutan tropis daratan dengan tradisi berladang dan memanfaatkan hasil hutan untuk diperdagangkan. Begitu juga, suku Akit dan Hutan yang berada di pulau Rupat dan pulau-pulau di Bengkalis yang hidupnya sebagian berladang -mengumpulkan hasil hutan, sisanya sebagai nelayan kecil di selat-selat. Yang sangat berbeda dengan Suku Koala atau Duano di Indragiri Hilir. Mereka menempati pantai Indragiri yang sangat luas dan kaya akan biota kerangkerangan-udang dengan spesialisasi zona pasang surut. Demikian halnya dengan suku Laut yang memiliki spesialisasi menguasai penangkapan ikan di laut. Bahkan, ada yang masih bekelana di lautan.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
INTRODUKSI Pada jaman kerajaan Melayu di Bumi Lancang Kuning, keberadaan suku-suku ini otonom dan memiliki peranan pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan sejarah. Misalnya, Talang Mamak adalah suku yang menempatkan Raja Indragiri dengan menjemput Anak Raja Johor dari Malaka memakai Rakit Kulim. Suku Sakai yang berperawakan gelap, kasar, dan kuat dipakai oleh kerajaan Siak sebagai Panglima Perang. Begitu juga Suku Laut yang daerahnya meliputi ratusan pulau dengan perairan sangat rumit di tepi bibir Selat Malaka. Dan selama Berabad-abad, suku-suku ini lah yang telah menyediakan sumberdaya tradisional penting dalam perekonomian kerajaan maupun dunia. Nasib global suku asli minoritas di Indonesia Sejak jaman orde baru, peranan suku asli minoritas ini mulai kurang. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak, mengakibatkan hutan dan lahan mereka melayang. Tidak itu saja. Pengetahuan dan struktur kepemimpinan adat dikikis. Kepercayaan terhadap berbagai dewa dan jin pelanpelan dimusnahkan. Bahkan, jati diri dan status sosial pun tidak diakui. Mereka dianggap suku kolot, jorok, dan bau. Sehingga, dianggap seperti rumput dan setengah binatang. Akhirnya, mereka dirampok dan dikebiri oleh orang-orang yang menamakan dirinya beradab. Contoh kasus pada Suku Sakai. Sebagai suku yang kaya akan sumberdaya karunia Tuhan, kini hidup mereka nelangsa. Padahal, tanah mereka mengandung minyak bumi. Hutannya banyak pohon sialang. Dan sungainya banyak ikan. Kini, semuanya telah tiada. Minyak telah dikuasai Caltex dan Pertamina. Sialang disulap menjadi kelapa sawit dan pohon HTI. Dan, ikan pun telah diracun. Bahkan, sisa tanah dan lahan mereka harus direlakan kepada pendatang. Telah terjadi Sakai Cleansing atau aboriginisasi Sakai, menurut ongah Tabrani. Ke mana kami nak Hidup Tin ... Nak mencari kayu hutan lah habis. Nak mencari ikan sungai koring dan ikan diracun. Nak menanam menggalo di kebun akasia tak bisa hidup. Akhirnya, kami nanti jadi rampok, jadi peminta-minta seperti di Minas. Kata Pak Asui-Pemimpin Sakai di dusun Garut desa Belutu, Minas, kepada Batin Mayor ketika studi banding dampak HTI akhir tahun 2002Hal yang menyakitkan juga telah terjadi pada Talang Mamak. Lahannya sebagian besar diserobot perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI. Sisanya, diincar pendatang. Dan, beberapa kantong hutan yang tersisa pun dipastikan akan melayang. Karena, mereka tidak dapat bersaing dengan pendatang. Begitu juga dengan suku Akit dan Hutan. Sebagian besar tanah mereka melayang. Mereka terpaksa memungut sisa-sisa ikan. Bahkan, ada yang menjadi pekerja Illegal logging. Kini, yang mereka miliki hanyalah perumahan pemberian Depsos.
Degradasi lingkungan dan kehilangan sumberdaya yang dialami suku-suku asli minoritas ini tentu sama halnya dengan yang dialami oleh suku Asli minoritas lainnya di Indonesia. Seperti Orang Rimba di Jambi, Orang Dayak di Kalimantan, Orang Papua di Irian Jaya, serta suku Bajo di Sulawesi. Dan, salah satu cara untuk meningkatan kualitas agar mereka tidak kehilangan sumber daya alamnya adalah melalui pendidikan. Harus diakui, pemerintah dengan berbagai upaya telah membangun pendidikan di berbagai wilayah suku-suku asli minoritas ini. Namun, proses pendidikannya, masih memberikan nuansa disikriminatif bagi anak-anak suku Asli ini. Tak jarang, sesama murid sering mengejek dengan sebutan Orang Talang- Orang Utan. Orang Sampan-Orang Tambus. Bahkan, perkataan bau, kotor, kurang beradab sering terdengar. Di lain pihak, sistem pendidikan yang memiliki tendensi agama menyebabkan orang-orang tua mereka melarang anaknya bersekolah. Alasannya jelas. Akan mengubah jati diri sosial mereka. Sebut saja Talang Mamak. Kalaupun ada syang bersekolah dan tidak mendapat perlakuan diskriminatif, maka persoalan ekonomi menjadi kendala utama. Perspektif pembangunan yang ramah bagi suku asli minoritas Jika ditanya apakah makna pembangunan? Sudah tentu akan tercipta variasi jawaban dari berbagai suku minoritas ini. Tergantung situasi, derita, dan ketersediaan sumberdaya yang ada. Bagi suku Bonai, Petalangan dan Talang Mamak, pembangunan merupakan usaha pemerintah dalam memberikan legalisasi ruang dan kawasan hidup pada lahan dan hutan tersisa. Sedangkan menurut suku Akit dan hutan, selayaknya pemerintah mempertahankan sumberdaya hutan yang masih ada. Serta, memberikan jaminan pemanfaatan sumberdaya laut dan memproteksi kawasan pemanfaatan tradisional-modern. Hal yang sama juga berlaku bagi suku Koala dan suku Laut. Untuk mereka, pendidikan merupakan hal mutlak yang harus dilaksanakan. Namun, yang harus dicermati adalah, bagaimana pendidikan nasional menerima dan mengakui agama adat sebagai kepercayaan. Serta, memasukkan muatan adat lokal tanpa adanya tendensi. Namun, dan yang terpenting dari itu semua adalah program pembangunan. Yaitu, bagaimana proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga monitoring pembangunan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan dan keterlibatan suku-suku asli minoritas ini. Jadi, susunlah rencana awal dan bekerja sama lah dengan mereka. Semoga mereka saudara-saudara- kita bisa bangkit dan berjuang dari keterpurukannya. Semoga... (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
7
8
Balada Orang Pedalaman
FOTO : DOK. WARSI/Riza Marlon
LAPORAN UTAMA / Musfarayani /
[email protected] Balada orang-orang pedalaman/ Di hutan, di gunung dan di pesisir/Manusia yang datang dari kota tega bodohi mereka/lihatlah tatapannya yang kosong tak mengerti apa yang terjadi/Tak tajam lagi tombak panah dan parang/Tak ampuh lagi mantra dari sang pawang/dimana cari hewan buruan yang pergi karena senapan/Dimana mencari ranting pohon kalau sang pohon tak ada lagi/Pada siapa mereka tanyakan hewannya/ya pada siapa tanyakan pohonnya/Saudaraku di pedalaman menanti sebuah jawaban yang tersimpan di langit/Balada orang-orang pedalaman/Di hutan, di gunung dan di pesisir/Manusia yang datang dari kota tega bodohi mereka......(Balada Orang Pedalaman-Iwan Fals).
A
da kesaksian yang terungkap. Sejumlah cerita nyata tentang kezaliman yang menimpa sebuah komunitas manusia yang pada zaman dahulu kala, justru terkenal sebagai suku yang perkasa dan akrab dengan alam. Kini cerita masa romantisme kehidupan mereka yang bersahabat dengan alam, hanya sebuah kenangan. Cerita itu berganti menjadi kisah derita yang kurang lebih sama. Tanah, hutan, bahkan laut yang telah menjadi sumber hidup
dan kehidupan mereka kini hampir semuanya rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Eksploitasi berlebihan yang dilakukan penguasa, modernitas, serta pendapatan daerah atau negara adalah penyebab utamanya. Mereka pun tidak pernah dapat apa-apa, kecuali sisa-sisa kerusakan, yang membuat mereka hidup dalam kemiskinan berkepanjangan, bahkan sebagian telah terserabut jatidirinya sebagai suatu suku bahkan sebagai manusia. Semua itu terungkap pada pertemuan forum suku-suku asli Indonesia yang di gelar di Jambi belum lama ini. Sebanyak 15 suku asli dari Riau, Jambi, Mentawai dan Sulawesi menyampaikan kesaksiannya atas kezaliman yang mereka alami selama ini. Dari suku asli yang tinggal di wilayah pesisir, laut hingga suku-suku yang tinggal di pedalaman hutan. Dengar saja kisah nyata suku Guano, harus menghadapi kenyataan sumberdaya laut yang jadi pusat hidup dan kehidupan mereka kini rusak akibat pukat harimau. Pukat harimau telah mengganggu kehidupan yang ada di
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
LAPORAN UTAMA laut. Kami sendiri tidak bisa berbuat banyak karena toketoke dan saudagar bermodal besar yang memilikinya. Padahal pukat harimau dilarang oleh Keppres No.39. thn 1980, tapi masih beroperasi. Mereka di dukung oknum aparat. Sekarang kami sulit mencari ikan, ungkap Anwar mewakili kawan-kawanya dari suku Guano, memulai kesaksian. Sementara suku asli Bengkalis, suku Akit, dan suku Laut, seperti halnya suku Guano juga harus menghadapi kenyataan pahit atas hancurnya hutan bakau, pengkaplingan area kelola rakyat dan dieksploitasinya hutan-hutan yang berada di wilayah hidup mereka. Sehingga ingin bertani pun tidak ada lahan. Sekarang hutan bakau dan hutan kami sudah habis. Satu hari kerja kami hanya cukup untuk makan satu hari saja, ujar salah seorang wakil dari suku Bengkalis. Anak-anak kami ada yang sekolah dan ada yang tidak. Banyak dari kami sekarang lari ke laut dan jadi nelayan, karena hutanhutan kami juga sudah habis. Kami hanya ingin hutan bakau yang kini dikelola oleh pengusaha-pengusaha yang punya HPH dapat menjadi hutan bakau ulayat kami. Senada juga diungkapkan Limun dari suku Akit yang tinggal di Rampang Saur IV, Kecamatan Batu Panjang. Pihaknya ingin menggugat ketidakadilan yang menimpa sukunya. Namun dia mengaku cukup takut. Kerja kami satu-satunya adalah mengolah hutan dan bakau. Tapi sekarang bakau juga sudah habis. Sedangkan Anton dari suku Laut mengatakan, sukunya lebih banyak tinggal di laut dengan sampannya. Namun kini mereka sebagian tinggal di darat di lahan milik toke. Satusatunya pekerjaan yang mereka kuasai hanya nelayan. Namun suku Laut yang dahulu hidup berkelana di laut juga tidak berdaya. Ikan di daerah kami sudah sangat jarang karena kini yang punya uang bisa menggunakan kapal besar atau pukat harimau. Sementara mencari ikan di tempat lain juga sulit. Karena sudah berbatasan dengan negara lain. Kalau dulu sangat mudah meski sudah masuk perbatasan negara lain. Sekarang tidak bisa lagi. Sulit bagi kami mencari penghidupan, tandasnya. Banyak juga di antara mereka terjerat hutang dengan toke. Kalau toke mengusir kami, kami tidak tahu harus kemana. Kami tidak punya tanah. Di wilayah Sulawesi, suku-suku asli Bajo, Togean dan Wana menghadapi masalah dengan HPH yang mencaplok hutan adat mereka. Laut yang menjadi sumber hidup mereka pun kini dibatasi dengan zona-zona yang ditentukan oleh Pemda
yang mengedepankan pariwisata. Namun yang terakhir ini untuk kepentingan pihak luar (dikelola perusahaan asing). Mereka dibiarkan menjadi penontonnya saja dan hidup dalam kemiskinan. Masyarakat kami jarang yang mempunyai lahan untuk diolah, jelas Yasin Labente dari suku Togean. Karena HPH yang ada sejak 1970 milik PT Gobel mendapatkan konsesi selama 25 tahun. Dan Kepulauan Togean yang luas daratannya 70.000 ha, sebagian dikuasai oleh PT Gobel. Dari Suku Bajau juga diceritakan, laut tempat mereka mencari ikan secara tradisional kini dijadikan Taman Nasional Kelautan. Terutama di daerah Bapongko yang diambil alih PT Walea dari Italia yang menyulap area itu menjadi tempat wisata. Kami bahkan tidak bisa menangkap ikan lagi berdasarkan musim. Kami tidak tahu harus mencarinya kemana, sementara laut kami dijadikan wisata yang dikelola perusahaan Italia itu, jelas Sahlan MN Lamuke. Sedangkan Apali dari suku Wana menceritakan bagaimana hutannya kini terancam dengan penebangan liar dan pencurian. Padahal mata pencaharian utama mereka adalah rotan dan damar yang semuanya dari hutan. Sekarang, damar habis ditebang oleh pencuri dan pengusaha. Makan kami sekarang hanya tingal pisang dan ubi. Kami tidak pernah cari ikan di laut karena kami jauh dari laut. Kami mengharap ikan di sungai, tapi kini sungai juga terancam keruh karena hutan-hutan di tepinya sudah habis ditebang. Di pedalaman, ancaman hidup terbesar suku asli minoritas di area ini adalah tersingkirnya mereka oleh pendatang lewat program yang dicanangkan pemerintah (kasus transmigrasi di daerah Jambi telah menyingkirkan suku Talang Mamak). Termasuk pengkaplingan wilayah hidup mereka demi kepentingan perusahaan dan industri besar. Hadirnya izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan; Hak Pengusahaan Hutan (HPH); Hutan Industri; yang ditetapkan dari pusat tanpa mempertimbangkan pengetahuan dan kearifan yang telah berlangsung di kawasan tersebut. Hal ini membuat hidup suku Batin IX, Mentawai, Seko, Orang Rimba, Sakai dalam kesengsaraan berkepanjangan. Di sisi lain mereka juga sering mengalami diskriminasi secara sosial, pendidikan dan kesehatan. Lahan kami seluas 2.000 ha digusur oleh PT Asiatik, dan tidak diganti. Kami pernah mencoba mencegahnya, tapi malah ditangkap Korem. Lalu kami lari ke hutan, jelas Jalani dari Suku Bathin IX, Desa Bungku. Sekarang kami mau menebang hutan tapi tidak boleh. Lahan termakan semua
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
9
LAPORAN UTAMA 10
oleh PT Asiatik. Jadi sekarang masyarakat Bungku kehidupannya terjepit dan masyarakat tidak punya lahan sejari pun. Sementara Julianus dari suku Mentawai mengungkapkan, di Pulau Siberut yang luasnya tidak lebih dari 40.000 ha kini hutannya tengah dieskploitasi secara besar-besaran oleh dua buah perusahaan besar yaitu PT. Monang Sejahtera dan PT. SSS. Perusahaan ini tidak membawa kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat Mentawai. Ironisnya masyarakat Mentawai kini mengalami krisis internal yaitu yang pro dan kontra atas hadirnya perusahaan itu. Di suku Sakai hutan kami dimasuki oleh PT Caltex sejak tahun 1957. Mereka membuka ladang minyak di sana. Ramailah orang datang. Sejak itu suku Sakai terzalimi oleh mereka dan aparat pemerintah yang mendukung. Akibatnya hutan ulayat kami rusak karena adanya HPH, HTI dan sebagainya itu, ungkap Yatim dari Suku Sakai. Dari suku Seko pun meski sudah berusaha keras melawan, akhirnya juga tidak berdaya ketika menghadapi kenyataan lahan-lahan persawahan mereka di patok oleh PT.Seko Fajar. Seluas 40.000 ha sawah masyarakat diukur kemudian dipatok. Bahkan yang membuat mereka bingung, lahan peternakan mereka pun ikut dipatok. Berusaha dan berjuang Kendati terbatas dalam pengetahuan dan kekuatan, masyarakat suku asli yang terpinggirkan ini menunjukkan upaya perjuangan atas nilai-nilai keadilan yang harusnya mereka terima. Meski sebagian dari mereka harus membayarnya dengan di penjara, di teror, diintimidasi dan terancam jiwa sekalipun. Dengar saja kesaksian yang diungkapkan Temenggung Tarib salah satu pemimpin Orang Rimba di Air Hitam, Jambi. Orang luar (yang akan masuk hutan) pernah menyumpahi saya dengan kasar. Bahkan mengancam potong leher saya jika saya tidak mau menjual dan menyerahkan hutan. Kami bilang,Kami butuh hutan. Ketika saya buka hompongan - kebun karet, mereka menyebut saya ingin menjadi Orang Dusun. Kami ini Orang Rimba. Di tangkap CPM saat sholat Isya juga dialami Yatim dari Suku Sakai karena kevokalannya yang menuntut pemerintah mengembalikan hak ulayat mereka. Dia dilarang menggugat karena itu artinya dia melawan negara. Mereka bilang, bumi air, tanah dan kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik negara. Katanya juga, tidak ada itu hak ulayat dari suku. Padahal harapan kami, pemerintah harus membebaskan tanah ulayat yang menjadi hak kami.
Kami juga ingin pemerintah bisa memperhatikan pendidikan bagi masyarakat Sakai. Harusnya juga setiap perusahaan yang bekerja di atas tanah ulayat Sakai dapat mempekerjakan suku-suku asli Sakai di sana, tandas Yatim. Berjuang melalui sistem juga dilakukan oleh suku-suku. Upaya class action yang dilakukan oleh suku Togean dan upaya memunculkan PERDA oleh suku Seko adalah upaya untuk mempengaruhi pihak-pihak terkait agar serius dan peduli atas keberlangsungan hidup mereka. Beberapa suku menerima pendampingan dari beberapa LSM atau organisasi massa yang peduli dengan nasib mereka untuk bisa membantu mereka dalam menaikkan harga diri mereka sebagai sebuah suku yang terhormat. Sebagian dari sukusuku kemudian diikutsertakan dalam pemetaan partisipatif wilayah kelola hidup, dimana hasil pemetaan partisipatif ini dijadikan sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak pemerintah. Namun upaya-upaya tersebut masih belum dikatakan berhasil, karena hingga kini pun mereka makin terancam dan terus tersingkir. Sekretaris Pelaksana AMAN (Aliansi Masyarakat Nusantara), Emil Kleden juga menambahkan, upaya perjuangan harus digerakkan secara solid oleh masyarakat suku asli sendiri. Suku-suku asli disarankan juga membuka mata terhadap negara sehingga mereka bisa tahu sasaran yang tepat dengan siapa harus berhubungan terhadap persoalan yang dihadapi. Emil juga menyayangkan bahwa negara lewat alat kekuasaannya seringkali hanya melihat bahwa tanah dan hutan hanya bisa diambil hasilnya. Tidak memikirkan sama sekali tentang cara pandang dan adat-budaya yang berlaku di suku asli tersebut. Bahkan jawaban bagi yang menentang adalah dengan ancaman dan intimidasi. Karena itu, menurut Emil, suku asli harus bisa mengorganisir dirinya dengan baik guna menghadapi ancaman atau intervensi negara terhadap tanah atau laut mereka. Sementara Antropolog Universitas Indonesia, Iwan Citra Jaya, melihat bahwa era Otonomi Daerah harusnya juga memberikan kesempatan kepada suku-suku asli di Indonesia diberi hak menentukan nasibnya sendiri. Artinya ada kesadaran dari negara dan masyarakat mayoritas bisa mengubah dirinya untuk menerima perbedaan budaya dari suku-suku asli minoritas ini. Jika kemudian hari dalam jangka waktu tertentu suku-suku asli minoritas tersebut memutuskan untuk mengikuti gaya hidup beradab masyarakat mayoritas seperti yang diinginkan negara, maka, tambah Iwan lagi, itu hendaknya atas pilihan masyarakat suku asli sendiri. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
yang melalui komitenya mendenda Arogenes sebesar 3.000 euro atau Rp 37 Juta. Sebagai langkah konkrit, Blatter pun menunjuk Thierry Henry sebagai duta anti rasisme di lapangan rumput.
LAPORAN UTAMA / Musfarayani /
[email protected]
Sebutan itu Sangat Menyakitkan!
The Black Shit, ejek pelatih Timnas Spanyol, Luis Arogenes kepada striker Timnas Perancis, Thierry Henry yang tengah berbicara dengan teman satu rumputnya di klub Arsenal, Jose Antonio Reyes, di sesi latihan, Oktober 2004 lalu. Ucapan Arogenes itu sempat terekam oleh wartawan yang meliput sesi latihan tersebut. Esok harinya, ejekan Louis kepada Henry menebar protes dimana-mana. Tidak urung, Presiden FIFA, Sepp Blatter ikut berang. Saya kira ini merupakan hal yang menyedihkan, karena ternyata kita saat ini masih harus berperang melawan rasisme. Ucapan Blatter kemudian didukung oleh Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF)
Dua pemain Timnas Inggris, Shaun Wright Phillips dan Ashley Cole, juga terus menerus diteriaki dengan suara monyet oleh pendukung Spanyol setiap kali menguasai bola dalam pertandingan persahabatan, yang bersuhu tinggi pada 17 November tahun lalu di Santiago Bernabeu. Pengalaman diteriaki pendukung lawan dengan suara monyet atau diprovok pemain lawan yang mencela dengan sebutan, Hitam kamu! sering dialami para pesepakbola dunia berkulit hitam. Tidak pandang mereka adalah pemain dunia dengan bayaran mahal sekalipun. Cukup menyinggung rasa rasis itu, maka meledaklah pemain bintang di lapangan yang kemudian akan mempengaruhi cara bermainnya. Tapi hanya sebagian yang bisa menyikapinya dengan bijak. Mereka hanya tidak tahu perilakunya itu salah dan buruk, ujar Samuel Eto, pemain terbaik Kamerun yang merumput di Spanyol yang juga sering jadi sasaran ejekan berbau rasis. Sebutan rasis semacam ini sering kali terjadi di event yang harusnya menjunjung tinggi sportivitas macam sepakbola dunia ini. Biasanya pemain yang di provok secara rasis karena warna kulit yang hitam ini, kebetulan juga pemain bintang yang diandalkan. Cara yang terbaik melemahkan mental mereka adalah merendahkannya secara rasis, dimana dalam latarbelakang sejarahnya bangsa kulit hitam keturunan Afrika pernah dalam suatu masa terjebak dalam kenistaan yang sangat merendahkan martabat dan harkat dirinya sebagai manusia. Ini realitas yang terjadi pada era millenium. Bahkan di dunia sepakbola sekalipun. Tapi tulisan ini jelas tidak akan membahas sepakbola. Tulisan ini akan membahas, betapa sebutan, cap dan pelabelan yang dimaksudkan untuk melecehkan, dan disikriminasi mempunyai pengaruh besar terhadap jatidiri seseorang atau identitas suatu komunitas manusia. Ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia yang sarat konflik ras hingga kini. Hanya karena seseorang atau komunitas tertentu itu sangat berbeda dengan kebiasaan dan standar umum, dan juga untuk sekadar menunjukan rasa derajat yang satu lebih tinggi dan yang lainnya lebih rendah. Karena berbeda itulah, ada berbagai sebutan yang ditujukan kepada suku-suku asli di Indonesia, juga suku-suku asli yang ada di belahan dunia lainnya di planet bumi ini. Sebutan ini justru semakin mempertajam perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Sebutan atau cap : Suku Terasing, Suku
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
11
LAPORAN UTAMA 12
Terpencil, Suku Pedalaman dan semacamnya adalah sebutan yang sering kita dengar yang distandarkan oleh pemerintah. Sekadar memberikan tekanan bahwa suku-suku tersebut berbeda dengan suku lainnya. Sukusuku yang dianggap belum maju dalam berbagai hal. Kami paling senang jika orang menyebut kami Orang Rimba. Karena kami memang tinggal di dalam rimba. Kami paling tidak suka disebut dengan suku Kubu, begitu Orang Rimba sejati selalu mengingatkan. Namun, justru sebutan suku Kubu
atau Suku Anak Dalam- lah yang lebih dikenal luas di kalangan masyarakat bahkan Orang Dusun. Mereka akan selalu menyebut Orang Rimba dengan sebutan Kubu dengan tekanan jijik, aneh dan semacamnya dibandingkan harus menyebut Orang Rimba. Kubu sendiri dalam bahasa Melayu memiliki dua makna. Pertama, benteng pertahanan atau menarik diri dan tinggal di dalam hutan yang lepas dari dunia luar. Sementara arti kubu lainnya dikonotasikan sebagai orang bodoh, jorok, primitif, kafir dan menjijikan. Arti terakhir inilah yang dianut Orang Dusun atau masyarakat umumnya ketika melihat Orang Rimba, lalu
menyebutkannya sebagai suku Kubu. Apalagi sosok Orang Rimba yang terlihat, tersatukan dalam makna Kubu terakhir tersebut. Laki-laki rimba hanya mengenakan cawat, bertelanjang dada, dan bahasanya terdengar sangat aneh dan tidak dikenal secara umum. Belum lagi melihat perempuan rimba. Selain itu kehidupan Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan, dan masih berburu. Singkatnya sangat berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Suku Laut pun sering disebut sebagai Orang Mantang/Barok/Tambus/ Sampan, yang konotasi artinya adalah
Susahnya Jadi Pintar untuk Suku-suku Asli
A
kses yang jauh, daya ekonomi yang rendah, infrastruktur sekolah yang parah serta keterbatasan guru adalah hal yang menghambat dunia pendidikan bagi suku-suku asli di Indonesia. Tapi ada yang paling menyedihkan dari itu semua yaitu, terdiskriminasinya anak-anak suku asli di sekolah. Baik perilaku, sikap dan kata-kata yang ditunjukkan teman-teman sebayanya juga oleh guru sekolahnya sendiri. Akhirnya banyak dari mereka trauma dan tidak bersekolah. Sebagian besar lainnya putus sekolah karena tidak punya biaya atau akses sekolah sangat jauh sekali dari pusat kehidupan sukunya. Kalangan orang tua kami semuanya buta huruf. Anak-anak mau sekolah tapi harus putus karena kami tidak punya biaya. Tidak semua desa di Petalangan ada sarana sekolah. Guru pun jarang, jelas salah seorang suku Petalangan. Hal yang sama juga dialami suku Bengkalis, Suku Laut, Talang Mamak, dan lainnya. Padahal ada impian dalam kepala para orang tua
suku-suku asli ini agar anak-anaknya bisa berdaya, pintar dan membangun sukunya kembali sesuai dengan zamannya. Tapi apa daya kini anak-anak mereka ikut hidup dalam kesengsaraan berkepanjangan. Di Talang Mamak banyak orang tua buta huruf. Di tempat kami tidak ada pendidikan yang masuk, jelas Kasman dari Talang Mamak. Dia juga menambahkan sekolah juga bukan jawaban kesusahan ekonomi yang mereka alami. Selain itu sebagian besar Orang Talang Mamak menolak pendidikan. Alasannya sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah menyebabkan keluarnya warga mereka dari adat. Pendidikan dianggap merusak adat yang mereka pelihara selama ini. Hal yang sama juga dialami oleh Orang Rimba. Hingga kini, masih ada kelompok Orang Rimba yang menolak menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah pemerintah. Karena anak-anak rimba juga punya kewajiban sendiri untuk membantu orang tuanya mengurus karet,
berburu dan membuka ladang. Diskriminasi Masalah diskriminasi juga salah satu penyebab banyak anak-anak suku asli minoritas memutuskan untuk tidak ikut sekolah lagi. Dengar saja cerita Martius dari suku Laut, bahwa anak-anaknya sering mendapat perlakuan yang tidak baik dari sesam teman sebayanya. Sesama teman sebayanya dari dusun, anak-anak kami diejek dengan sebutan Orang Sampan atau Orang Tambus (bau dan kotor). Guru-guru pun begitu. Anak-anak kami jadi tidak mau sekolah. jelasnya. Kasman juga menjelaskan, karena orang Talang Mamak tidak mengenal agama (hanya animismered), guru-guru di sekolah memaksakan agama yang diakui pemerintah. Kami tetap mempercayai adanya Tuhan, dan Nabi Muhammad, meski kami tidak melakukan shalat. Kami hanya ingin anak-anak kami bisa pintar seperti anak-anak lainnya, tandas Kasman.(fay)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
LAPORAN UTAMA : Liar, kotor, bau, dan memiliki ilmu hitam. Suku Hutan juga tidak mau lagi disebut sebagai Suku Hutan karena orang luar selalu memplesetkannya sama dengan hewan orang utan yang berbulu (pongo pymaeus). Selain kini hutan sudah tidak ada dan mereka sekarang banyak tinggal di desa. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai suku asli yang secara politis, mereka juga punya hak atas sumberdaya alam.
ditelusuri, maka sejarah kata Indian lebih karena kata yang terpleset dari lidah Columbus yang disangkanya telah menemukan daratan yang selama ini dicarinya bersama armadanya ; India Timur. Namun berkembang kemudian menjadi sebuah sterotype yang menunjuk konotasi pada Orang Indian- liar, tidak beragama, potong kepala orang, dan semacamnya.
Sebutan Indian juga diberikan kepada suku pribumi penduduk asli Amerika. Julukan itu diberikan oleh pendatang yang kemudian berkembang menjadi masyarakat mayoritas dan mengklaim diri sebagai penguasa dan membentuk negara di sana. Indian itu lebih dipandang sebagai kata benda, juga dimaksudkan sebagai simulasi dari rasa rasialisme masyarakat pendatang ini, guna memisahkan ras mereka secara politik dan budaya. Sebutan Indian sendiri tidak pernah diminta atau ditawar oleh penduduk asli Amerika ini. (Gerald Vizenor, Native American Literature, Longaman, 1995). Namun mereka ini harus tunduk terhadap budaya dan hukum yang berlaku yang harusnya tidak dibebankan kepada mereka. Bahkan mereka pun kemudian di-agama- kan untuk bisa disebut sebagai bangsa beradab. Padahal dalam kamus bahasa penduduk asli Amerika tidak pernah ada kata Indian sama sekali. Jika
FOTO : DOK. WARSI
Karena sebutan dan cap itu pula yang sempat membuat kawula muda suku asli Mentawai merasa malu jika disebut anak asli Mentawai. Mereka bahkan suka berbicara dalam bahasa Minang daripada bahasa Mentawai. Hal yang sama juga dialami kawula muda suku Petalangan. Karena sukunya berbeda itulah ada opini yang berlaku di masyarakat sekitar bahwa suku Petalangan statusnya lebih rendah dari orang-orang Melayu (mayoritas).
Bebas dari diskriminasi juga dambaan suku suku asli
Sebutan-sebutan itu kemudian membuat suku-suku asli dunia kini mengalami perlakuan diskriminatif yang luar biasa. Tidak terkecuali Aborigin, Orang Rimba, Mentawai, bahkan hingga orang-orang keturunan Afrika yang merumput di klub sepakbola dunia. Ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat maka perlakuan berbedalah yang didapat suku-suku asli ini. Para staf lapangan Warsi sering mendapati Orang Dusun atau yang baru melihat Orang Rimba, sering memandang aneh Orang Rimba.
Terlebih ketika Orang Rimba keluar dari hutan dengan hanya memakai cawat saja. Ketika Orang Rimba bertamu, maka akan bisa dipastikan gelas, piring dan sendok yang disediakan pun akan berbeda dengan tamu yang bukan Orang Rimba. Bahkan saat anak-anak Rimba ingin menonton TV di rumah Orang Dusun yang terdekat, mereka tidak diperkenankan ikut nimbrung nonton di dalam seperti anak-anak lainnya. Anak-anak Rimba akan mengintip menonton di sela-sela pintu, jendela atau hanya di teras. Seolaholah mereka bukan bagian dari ciptaan tuhan yang disebut sebagai : Manusia. Suku-suku asli ini memang kemudian telah menjadi suku minoritas. Artinya jumlah mereka relatif kecil dengan kepadatan penduduk yang rendah. Komunitas mereka juga hanya diorginisir secara komunal berdasarkan hubungan kekerabatan. Orang/ warganya dibedakan atas dasar usia, jenis kelamin, ciri-ciri perorangan, bukan atas dasar pemilikan sumberdaya dan sarana produksi. Mereka juga nyaris tidak berkelas dan tidak ada hirarki kepemimpinan; secara politis otonom dan terdesentralisasi. Kehidupannya memang bergantung pada sumberdaya ekosistem setempat dan swadaya secara ekonomi . Akhirnya, sebutan, cap dan pelabelan terhadap suku-suku asli yang menjadi minoritas ini, sering dipakai untuk menunjukkan perbedaan tadi. Sebutan yang memang sengaja untuk menjatuhkan mental, merendahkan harga diri, dan identitas suatu suku/ bangsa. Maka masalah ras ini pula, juga masih melekat di dunia yang serba canggih ini. Dan di dunia sepakbola sekalipun.....gambaran sifat manusia jelas terlihat - betapa sebutan itu kadang membuat kartu merah atau denda uang melayang di dunia yang harusnya penuh sportifitas itu. Memang menyakitkan, hanya karena berbeda mereka disingkirkan. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
13
LAPORAN UTAMA / Harry Surjad / penulis lepas mantan wartawan KOMPAS-
[email protected]
Talang Mamak Terkepung di Hutan Sendiri
D
ua sampan menghilir perlahan mengikuti arus Sungai Gangsal. Pak Katak, laki-laki berbadan kecil sedikit kurus, berdiri di haluan sampan memandu arah dengan tongkat bambu panjang. Ia dibantu anaknya mengayuh atau lebih tepat mendorong sampan dengan galah bambu panjang di bagian buritan sampan. Mulut Pak Katak tidak pernah berhenti bicara kecuali saat ada rokok lintingan menyelip di bibirnya. Apa saja yang dianggapnya menarik, ia ceritakan kepada dua penumpang sampannya. Lihat itu pohon durian. Sayang musimnya sudah selesai, teriak Pak Katak ceria sambil menunjukkan pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. Sepanjang perjalanan seharian menelusuri Sungai Gangsal dari Dusun Tua Datai sampai ke Air Bemban lebih dari sepuluh pohon durian ditunjukkan Pak Katak. Durian di hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) hanyalah salah satu sumber penghasilan Suku Talang Mamak, salah satu suku lokal yang mendiami hutan Sumatera. Suku yang sudah ratusan tahun hidup arif berdampingan dengan alam memenuhi semua kebutuhan dari hutan. Obat sakit kuning Ekspedisi Biota Medika Depkes-IPB-UI-LIPI mencatat paling tidak Suku Talang Mamak memanfaatkan 110 jenis tumbuhan hutan dan 22 jenis cendawan untuk mengobati 58 macam penyakit. LIPI dalam penelitian lainnya mencatat Suku Talang Mamak memanfaatkan 92 jenis tumbuhan hutan untuk bahan makanan. Dari 92 jenis bahan pangan itu, sekitar 70 persennya diambil dari hutan dan hanya 30 persennya yang ditanam.
Di antaranya adalah Arcangelia flava. Orang Talang Mamak menamakannya akar kuning atau akar kunyit. Orang Sunda menyebutnya areuy ki koneng. Orang Jawa mengenalnya sebagai oyod sirawanan atau sirawan atau sirawan kunyit. Ahli botani Belanda Rumphius melukiskan tumbuhan liana ini bisa mencapai panjang hingga 20 meter. Batangnya yang besarnya kurang lebih sebesar lengan sampai sebesar betis
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
14
Suku Talang MamakSuku Talang Mamak mengalami diskriminasi dalam pendidikan karena dianggap tidak punya agama,
dan bercabang dua, agak liat. Bagian dalam batang berwarna kuning seperti kunyit. Rasa dan aromanya pahit. Bagian batang paling bawah ketika tua menjadi berkayu sehingga membuatnya tidak berbau lagi. Heyne, ahli botani keturunan Belanda lainnya menulis, bagian batang yang sudah berkayu ini bisa direbus dengan sere dan jeruk lemon. Air rebusannya biasa diberikan kepada penderita penyakit kuning. Orang Talang Mamak juga menggunakan akarnya untuk mengobati sakit kuning . Menurut beberapa referensi yang dikutip Heyne dalam bukunya De Nuttige Planten van Indonesie (Tumbuhan Berguna Indonsia) yang sudah diterjemahkan oleh Departemen Kehutanan tahun 1988, warna kuning kayu disebabkan oleh bahan alkaloid berberine.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
LAPORAN UTAMA Alternative Medicine Review, Volume 2 Nomor 2 tahun 1997 dan Volume 5 Nomor 2 tahun 2000 melaporkan, berberine ditemukan di sejumlah tanaman obat lainnya. Ekstrak berberine dari beberapa tumbuhan obat paling tidak sudah dimanfaatkan 3.000 tahun lalu di Cina maupun dalam pengobatan Ayuverdic. Jurnal ilmiah mengenai obat alternatif itu juga melaporkan sejumlah penelitian menunjukkan berberine melawan bakteri, fungi, protozoa, virus, dan kuman penyakit lainnya. Laporan Amin AH dan kawan-kawan dalam Canandian Journal of Microbiology tahun 1969, mengungkapkan ada 54 mikroorganisme yang sensitif pada barberine. Berberine juga bersifat anti-bakteri gram-positif dan gram-negatif, fungi dan protozoa. Tumbuhan langka Selain tanaman obat, hutan adat Talang Mamak menyimpan banyak tumbuhan langka lainnya. Salah satunya adalah Rafflesia hasseltii. Orang Talang Mamak menyebutnya cendawan mukarimau (harimau). Tumbuhan parasit pada liana yang masih satu famili dengan bunga bangkai Rafflesia arnoldi itu hanya ada di Sumatera Barat dan Pulau Tioman di Malaysia. LIPI mencatat paling tidak ada 192 spesies burung di TNBT. Sepertiganya adalah jenis burung yang hanya hidup di Sumatera. Sepuluh spesies adalah jenis yang terancam punah. Ada 59 jenis mamalia yang hidup di TNBT. Lima di antaranya, macan dahan, tapir, harimau sumatera, berangberang, dan gajah sumatera, termasuk mamalia yang terancam punah. Terdesak terus Sudah ratusan Suku Talang Mamak menhidupi diri dengan ladang berpindah. Hutan tropis dataran rendah Sumatera bisa menunjang hidup mereka. Sekarang kami tidak bisa lagi berladang berpindah-pindah, ungkap Yusuf, anggota Suku Talang Mamak dari Kecamatan Ulin, ketika menyampaikan keluhan kepada peserta Pertemuan Sukusuku Asli Minoritas Indonesia di Jambi 18-19 Januari 2005 . Lahan di tempat kami berladang secara berpindah-pindah sudah semenjak tahun 1981 diambil oleh transmigran. Sekarang kami tidak bisa lagi berladang berpindah-pindah dan bertanam karet. Lahan kami sudah ditanami dengan sawit, kata Yusuf. Mereka tidak diam saja. Mereka sudah berjuang terus mempertahankan haknya. Beberapa kali berhasil. Tahun 1981, mereka mengusir PT Industries et Forest Asiatique (IFA) yang masuk ke hutan adat mereka secara ilegal. PT
IFA didenda adat enam ton beras karena menebang pohon jelutung. Tahun 1996 mereka menghentikan perusahaan HPH PT Patriadi menebang pohon. Perusahaan itu didenda Rp 4,7 juta. Mereka juga menghentikan para transmigran yang menebang pohon. Mereka menyita gergaji mesinnya dan kayu tebangan ilegal. PTPN IV, yang mengklaim 500 ha hutan adat Talang Mamak untuk dijadikan kebun sawit, dipaksa mengembalikan kebali sebagian lahannya kepada Talang Mamak. Mereka mencegah PT Regunas membuka hutan. PT Mega Nusa Inti Sawit harus membayar denda karena menebang pohon sialang atau pohon madu. Tetapi kemenangan itu tidak berarti banyak bagi Suku Talang Mamak. Lahan mereka semakin sempit. Sekarang banyak perusahaan HPH dan perkebunan yang masuk untuk mengambil lahan kami. Kami berusaha memperjuangkannya, tetapi pemerintah tidak menanggapinya, kembali Yusuf mengeluh. Kehidupan mereka juga tidak lebih baik dibandingkan para pendatang. Transmigran yang pendatang lebih mudah mendapatkan sertifikat tanah dibandingkan orang Talang Mamak yang asli TNBT. Tentang masalah transmigrasi bukan kami menyudutkan satu pihak. Ada keistimewaan, mereka bisa mendapatkan sertifikat tanah melalui prona dan prosesnya cepat. Sedangkan kami telah mengurus ke BPN sudah lima tahun tidak keluar, ungkap Kasman, wakil Suku Talang Mamak dalam pertemuan di Jambi itu. Pemerintah menganaktirikan Suku Talang Mamak, antara lain karena pemerintah menganggap suku asli ini tidak beragama. Suku Talang Mamak mengalami diskriminasi dalam pendidikan karena dianggap tidak punya agama, lanjut Kasman. Sebagian besar orang Talang Mamak buta huruf meskipun Indonesia telah merdeka 60 tahun. Ke depan kami berharap tidak lagi buta huruf, Kasman menyampaikan harapan Suku Talang Mamak. Suku Talang Mamak sekarang terkepung HPH. Di sebelah utara TNBT membentang lahan HPH milik PT Seberida Wana Sejahtera (SWS). Di selatan dibatasi HPH milik PT Dalek Hutani Esa dan PT IFA. Hutan di bagian timur milik PT SWS dan bekas kawasan hutan PT Sadarnila. Sepuluh tahun lagi, tidak ada lagi hutan untuk dijadikan ladang oleh Suku Talang Mamak. Jangan sampai pembangunan mengorbankan sekelompok anak negeri ini? (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
15
PKMT : Pembangunan Yang Menyesatkan
U
ntuk mengubah kemiskinan suku-suku asli minoritas di Riau atau belahan bumi Indonesia lainnya, beberapa lembaga pemerintah maupun non pemerintah berambisi mengubah cara hidup mereka. Pihak pemerintah melalui PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing)-nya, kelompok missionaris dengan ajaran agamanya, dan lembaga swasta lainnya berlomba memberikan sentuhan peradaban bagi suku asli minoritas ini. Kriteria peradaban dalam misi tersebut adalah hidup menetap dan beragama. Pemerintah melalui program PKMT memberikan pembinaan untuk hidup menetap dan membangun rumah bagi mereka sekaligus memasukkan mereka sebagai penganut Islam. Tidak semua kelompok tersentuh program ini, sisanya mendapat bantuan dari missionaris Kristen dengan kompensasi menjadi pengikutnya. Beberapa laporan Depsos dengan bangga mencatat bahwa kelompok suku-suku ini telah dibangunkan rumahnya sekian buah dan telah menganut agama sekian keluarga. Perumahan Depsos yang menjadi indikator peradaban ternyata menyeret mereka ke dalam arus dilema kehidupan yang berkepanjangan. Rumah yang dibangun ukurannya kecil dan tidak menjamin kebutuhan dan kelangsungan ekonomi, sosial maupun budaya. Bagi suku Laut, misalnya, yang biasa hidup berkelana berdasarkan sumber daya ikan dan musim, tiba-tiba
FOTO : RIZA MARLON / DOK. WARSI
16
Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Tigapuluh banyak di rumahkan namun tetap hidup di dalam kemiskinan.
dipaksakan untuk menetap. Bagi suku Sakai yang diberi perumahan, tetapi hutan dan lahannya diserahkan ke perusahaan. Pada Orang Rimba di Jambi ada PKMT yang kini jadi masalah sarat korupsi bagi yang ikut nimbrung proyek itu. Rumah PKMT itu pun banyak yang ditinggalkan Orang Rimba atau telah dijual Orang Rimba dan kini yang mengisi justru bukan Orang Rimba. Ketika salah satu anggota keluarganya meninggal, Orang Rimba harus melangun. Meninggalkan tempat tinggalnya menuju tempat lainnya. Dengan program PKMT pula memperjelas orang-orang di luar suku Asli adalah pembohong, penipu dan lebih miskin dari mereka. Kenapa? Karena sumbangan untuk mereka lebih banyak disunat oleh para pekerja dan fasilitatornya. Pemberian baju bekas kepada para suku asli juga semakin merendahkan status. Kedua program ini cenderung tidak mengangkat status sosial mereka, kendati para suku asli ini sudah menetap dan beragama layaknya
yang lain. Apalagi dalam bermasyarakat mereka terdiskriminasikan juga karena sudah menjadi cap sosial. Ada perubahan pemberian perumahan akhir-akhir ini dan sudah mengadaptasikan sistem budaya lokal, namun jaminan ekonomi belum terjawab. Sukusuku asli yang biasa hidup akrab dengan alam, dan mencari nafkah misalnya dengan berburu, mengarungi lautan mencari ikan dengan cara tradisional tidak pernah disiapkan untuk bisa bergaya hidup beradab ala Orang Dusun. Sehingga mereka akhirnya tidak sanggup berkompetisi mencari nafkah layaknya Orang Beradab. Akhirnya banyak dari mereka kini menjadi pengemis dan lepas dari jati diri mereka yang berharga saat masih menyatu dengan alam dahulu. Tapi setelah itu terjadi, tidak ada satu pun yang mau peduli atau membina mereka lagi. (Mangara Silalahi) - Direktur Eksekutif LSM YASA
[email protected])
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. WARSI
17
SUDUT HUKUM / Jhoni Hendri Putra / Legal Officer KKI Warsi /
[email protected]
Suku Laut
Peminggiran Hak Hak Masyarakat Adat oleh Negara
I
ndonesia. Sebuah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan berbagai suku bangsa dan corak budaya berbeda. Berbagai suku bangsa inilah yang sering disebut dengan masyarakat adat atau masyarakat tradisional. Bahkan, ada yang menyatakan masyarakat asli. Keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya itu telah diakui di Indonesia. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undan Dasar 1945 dengan perubahannya, dalam pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dari bunyi pasal di atas, jelas bahwa negara sangat mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak yang
dipunyainya secara turun temurun. Disamping itu, pengakuan negara terhadap hak-hak masyarakat adat telah dituangkan juga dalam berbagai peraturan perundangundangan Indonesia. Seperti, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Yang menyatakan, negara mengakui hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Juga, undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan, yang mengakui adanya hutan masyarakat adat. Seiring perkembangan zaman, maka pembangunan di Indonesia hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Sehingga, hak-hak masyarakat adat ini sering dilanggar dengan alasan kepentingan nasional. Akibatnya, pembangunan yang ada hanyalah hukum negara dan hak negara terhadap sumberdaya alam yang ada. Dampaknya akan terlihat jelas. Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada itu dikuasai oleh negara tanpa memperhatikan hak-hak dari masyarakat adat.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SUDUT HUKUM 18
Akibat praktik ini, masyarakat adat semakin terpinggirkan baik secara ekonomi, politik dan pendidikan. Ini terlihat dari kesaksian yang telah diberikan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia dalam forum Pertemuan Suku-suku Asli Minoritas Indonesia di Jambi, belum lama ini. Misalnya, hak-hak masyarakat adat Sakai yang telah dirampas oleh perusahaan minyak Caltex, perusahaan HPH dan perusahaan perkebunan. Adanya diskriminasi pendidikan untuk masyarakat adat Talang Mamak, karena tidak memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia. Dikarenakan, mereka hanya mengakui kepercayaan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Padahal, kebebasan terhadap keyakinan ini telah dijamin dalam pasal 28E ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dengan perubahannya :
FOTO : DOK. WARSI/ALAIN COMPOST
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
FOTO : AULIA ERLANGGA
Negara seolah-olah menjadi pemilik, sehingga dengan bebasnya melakukan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam. Dan, negara juga dapat dengan bebasnya memberikan hak-hak tertentu kepada siapapun. Baik ke perusahaan tertentu ataupun kepada perorangan, tanpa memperhatikan kepentingan dan hak dari masyarakat hukum adat tersebut. Yang sebenarnya, hak tersebut telah diatur oleh negara dalam Undang-undang Pokok Agraria. Yaitu, hak untuk mengatur. Bukan, hak untuk memiliki.
Suku Sakai
Dengan adanya pengakuan kebebasan dari seseorang warga negara untuk menentukan keyakinan dan memeluk agama maupun kepercayaan tertentu, maka tidak ada lagi alasan bagi negara maupun oknum pemerintah melakukan diskriminasi. Terutama terhadap anak-anak dari golongan masyarakat adat ini dalam mendapatkan pendidikan. Karena, mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh undang-undang. Dan sebaliknya, perlakukan diskriminasi ini tidak dibenarkan dan bertentangan dengan pasal 28I ayat (2) Undang-undan Dasar 1945 dengan perubahannya : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan. Negara dengan alasan apaun harus menghormati segala bentuk dari hak-hak masyarakat adat. Karena, telah diakui secara syah dalam konstitusi negara kita. (A.S.) Orang Rimba
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SELINGAN / Tarida Hernawati / Antropolog / Staf YCM Padang
[email protected] 19
Sebuah Kisah dari Mentawai
Belum cukup sampai di situ, para sikerei atau masyarakat asli Mentawai yang mempunyai rambut panjang dan selalu digulung dengan kain kecil itu, oleh aparat keamanan setempat, langsung dipangkas. Bahkan kabit yang mereka gunakan pun harus dilepas, sehingga ada dua jam mereka dijemur tanpa pakain yang tersisa menutupi tubuh mereka sembari dihina dina sebagai manusia tidak beradab dan tidak beragama. Sepenggal kisah itu diceritakan kembali oleh beberapa sikerei yang masih tersisa di Desa Salapa. Membuat siapa pun yang mendengarnya merasa ikut marah dan ikut merasa tidak berdaya. Tidak bisa membayangkan, hanya karena berbeda, membuat para sikerei direndahkan seluruh harga diri dan martabatnya sebagai seorang manusia. Masa itu adalah bagian sejarah yang paling kelam yang pernah dialami para sikerei dan masyarakat suku asli Mentawai. Tiap orang yang pernah mengalaminya mempunyai kesaksian yang sama tentang kejadian tersebut. Waktu itu pemerintah berkuasa mengeluarkan larangan terhadap agama tradisional Mentawai yakni Arat Sabulungan. Bagi masyarakat Mentawai, arat sabulungan merupakan inti kebudayaan yang berupa himpunan dari ritual-ritual religius. Ritual ini dimaksudkan menjaga keselarasan hidup manusia dengan alam dan roh-roh di sekitarnya. Termasuk sebagai pemersatu bagi seluruh anggota uma dan jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Namun bagi pemerintah, arat sabulungan tidak lebih merupakan lambang keprimitifan masyarakat Mentawai. Maka dengan alasan kemajuan peradaban dan pembangunan, agama tradisional Mentawai itu harus dihapuskan. Melalui Rapat Tiga Agama yang dihadiri oleh perwakilan agama Kristen Protestan, Islam dan Arat
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
Kami waktu itu dikumpulkan di lapangan saat matahari tengah terik-teriknya. Kami di suruh berbaris, diteriaki, kemudian kabit-kabit (sejenis cawat), harus dicopot. Kami tidak tahu kesalahan apa yang telah kami lakukan sebagai sikerei, demikian cerita salah seorang sikerei yang masih tersisa di Mentawai dari Desa Salapa, di pedalaman utara Pulau Siberut kepada Alam Sumatera, mengenang masa Tragedi tahun 1954.
Sabulungan, pemerintah memutuskan Arat Sabulungan untuk segera dihapuskan, bila perlu menggunakan kekerasan dengan bantuan tenaga aparat kepolisian. Dalam tempo tiga bulan seluruh masyarakat harus sudah memilih dan menganut salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan. Polisi pun jadi giat merazia setiap uma dan membakar semua benda-benda di uma yang dianggap berhubungan dengan Arat Sabulungan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, polisi pun memotong secara paksa rambut panjang setiap pria dewasa. Seluruh kaum laki-laki dan perempuan juga dilarang secara tegas untuk mentato tubuh, meruncingkan gigi dan memakai kabbit (cawat dari kulit kayu). Bahkan sekedar memakai hiasan dari bunga-bunga dan manik-manik juga tidak diperbolehkan. Siapa saja yang melanggar aturan ini akan ditangkap dan dijatuhi hukuman. Terutama bagi para sikerei, mereka mengalami intimidasi, ancaman hukuman dan kekerasan yang lebih berat. Sebab sikerei di anggap sebagai tokoh pemimpin dalam Arat Sabulunga. Sikerei juga dianggap sebagai simbol keprimitifan di Mentawai. Masih ada beberapa sikerei
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SELINGAN 20
saksi sejarah yang masih bisa mengingat peristiwaperistiwa pada masa itu. Berbagai macam usaha dilakukan pemerintah dan aparat kepolisian untuk melarang sikerei melakukan ritual-ritual termasuk pengobatan. Namun mustahil bagi masyarakat dan para sikerei, sebab penyakit bisa datang setiap waktu dan harus diobati sementara tidak ada alternatif pengobatan yang lain saat itu. Dengan sembunyi-sembunyi dan dicekam ketakutanan, sikerei tetap melakukan tugasnya dan ritual-ritual pengobatan. Hal ini membuat polisi yang sewaktu-waktu datang merazia ke uma-uma semakin berang, sikerei-sikerei itu pun dihukum salah satunya mereka dipaksa berjemur di terik matahari selama berjam-jam, adapula sejumlah ternak mereka (babi dan ayam) yang diambil. Bahkan tidak jarang polisi menangkap para sikerei dan membawa mereka ke ibu kecamaan. Mereka dikurung dalam tahanan, diintimidasi dan diancam untuk tidak menglangi perbuatannya sebelum akhirnya dilepaskan kembali. Hingga 1970-an, kisah itu terus berlangsung. Akhirnya semua masyarakat Mentawai sudah menganut salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. Di Pulau Sipora dan Pagai Utara - Selatan yang sejak 1901 sudah menerima sentuhan agama dari para missionaris Protestan, arat sabulungan benar-benar sudah hancur dan terlupakan. Image negatif yang dilontarkan pemerintah dan juga para missionaris Protestan tentang keprimitifan budaya Mentawai dan arat sabulungan berhasil merasuki hati dan pikiran masyarakat di daerah itu Akibatnya muncullah sikap anti kebudayaan dan arat sabulungan dari kalangan muda Mentawai sendiri. Sebutan maju, beradab, dan modern, maka semua identitas sebagai orang Mentawai pun dihilangkan. Tidak hanya benda-benda budaya, tradisi dan adat-istiadat asli Mentawai bahkan bahasa Mentawai yang harusnya bisa menjadi satu-satunya ciri khas sebagai orang Mentawai pun, kini juga semakin ditinggalkan. Orang Mentawai lebih suka menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa gaul. Tahun 1995 Departemen Pendidikan & Kebudayaan memberlakukan pelajaran muatan lokal BAM (Budaya Alam Minangkabau) di seluruh sekolah negeri di kepulauan Mentawai. Kebijakan pemerintah ini semakin memicu percepatan hilangnya identitas budaya Mentawai. Namun tidak semua masyarakat di kepulauan Mentawai yang rela begitu saja kehilangan identitas sebagai orang Mentawai. Masih ada kelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman pulau Siberut yang hingga kini tetap mempertahankan tradisi dan adat-istiadat yang sudah diwarisi dari nenek moyang mereka sejak ratusan tahun
lalu. Banyak kearifan dalam kebudayaan mereka yang sangat berguna bagi kehidupan dan membuat mereka tetap bangga sebagai Orang Asli Mentawai. Meskipun harus menerima resiko dicap sebagai kaum primitif yang dilontarkan banyak pihak termasuk dari sesama orang Mentawai modern. Kebijakan lain pemerintah Tahun 1960-an hingga 1980-an, pemerintah melalui Departemen Sosial merelokasi penduduk yang tinggal berkelompok di uma-uma yang tersebar di pedalaman pulau Siberut. Pemerintah menganggap pola hidup dan pemukiman masyarakat yang berada di lingkungan hutan itu juga bagian dari keprimitifan. Selain itu pemerintah juga merasa kesulitan melakukan pelayanan dan pembangunan bagi mereka yang tinggal terpencarpencar di pedalaman itu. Untuk itu pemerintah melalui Departemen Sosial mengadakan program PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) dan memerintahkan masyarakat untuk pindah ke perkampungan baru bentukan pemerintah yang relatif lebih dekat dari ibu kecamatan dan mudah dijangkau. Sejak saat itu eksistensi uma mulai terancam, pola pemukiman, kehidupan sosial dan sistem kekerabatan Mentawai mengalami perubahan yang cukup dramatis. Di perkampungan baru beberapa kelompok keluarga luas (uma atau yang biasa disebut suku) dimukimkan bersama. Masing-masing keluarga inti menempati satu rumah kecil dan sederhana yang dibangun oleh pemerintah. Tidak ada lagi uma atau rumah besar tempat berkumpul dan melaksanakan upacara-upacara dan pesta adat (punen). Selain rumah, pemerintah juga memberikan lahan terbatas untuk perladangan yang lokasinya relatif dekat dengan perkampungan. Bagi masyarakat kebijakan ini menjadi bencana karena mempersempit ruang gerak mereka dalam beraktifitas. Mereka dijauhkan dari tanah nenek moyang dan hutan tempat mereka berladang dalam luas yang tak terbatas, berburu dan mencari tanaman obat. Beberapa kelompok uma yang tidak betah tinggal di perkampungan pemerintah itu akhirnya kembali ke pola pemukiman yang lama di tanah ulayat mereka,. Meskipun harus kehilangan layanan pendidikan, kesehatan dan layanan pemerintah lainnya. Meskipun lagi-lagi harus menerima cap sebagai orang primitif, namun tidak ada pilihan lain. Sebab ketenangan dan kedamaian hidup mereka ada nun jauh di sana, di kaki bukit, di lembah di pinggiran hutan pedalaman pulau Siberut. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SELINGAN 21
D
alam kehidupan masyarakat asli Mentawai, keberadaan seorang Sikerei sangatlah penting. Dia adalah tokoh yang tidak hanya sekadar bisa mengobati penyakit tetapi juga sebagai pemimpin dalam upacara-upacara adat (puliaijat) di uma. Selain dianggap memiliki pengetahuan tentang ramuan obat tradisional sikerei juga dianggap mempunyai kemampuan supranatural untuk melihat dan berkomunikasi dengan jiwa (simagere) dan roh (ketcat). Bakat ini jelas harus melekat pada seorang sikerei karena suku asli Mentawai masih percaya bahwa segala sesuatu yang ada di alam dan di sekeliling mereka memiliki roh. Manusia harus dapat menjalin hubungan harmonis dengan roh-roh di sekitarnya, dengan sikerei sebagai perantara
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
Dalam setiap pengobatan (pabetei) maupun upacara-upacara adat (puliaijat), sikerei selalu memerlukan dan menggunakan daun-daun untuk ramuan obat dan perantara dalam berkomunikasi
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
Sikerei dan Daun Daun Kehidupan
dengan jiwa dan roh. Sikerei juga selalu menghias dirinya dengan daun-daun terutama pada saat menari (muturuk). Daun-daun itu tumbuh subur di hutan dan roh nenek moyang dianggap turut memeliharanya. Karena itu bagi suku asli Mentawai hutan juga merupakan bagian penting bagi mereka dan keberadaan sikerei. Menjadi Sikerei Tidak sembarang orang yang bisa jadi seorang sikerei. Perlu proses panjang, perjuangan bahkan pengorbanan yang harus dilalui seorang calon sikerei. Karena tidaklah mudah untuk mendapat pengetahuan berupa ramuan obatobatan, ritual, upacara-upacara adat, nyanyian-nyanyian (urai sikerei) dan tarian (turuk sikerei). Namun dalam proses tersebut, mereka dibantu oleh sikerei senior yang berperan sebagai guru dan pembimbimbing yang disebut dengan sipaumat. Seorang sikerei terikat sumpah untuk selalu bersedia mengabdikan pengetahuan dan kemampuannya kepada siapa saja yang membutuhkannya, kapan saja dan di
mana saja. Kendati untuk itu banyak pengorbanan yang harus dilakukan dengan berpantang (mukei-kei) terhadap beberapa pekerjaan dan makanan tertentu. Mereka harus menghentikan sementara kegiatan kerja sehari-hari seperti berladang, berternak babi atau menyagu, meskipun akan merugikan secara ekonomi. Sementara sikerei tidak menerima imbalan secara materiil atas tugas yang mereka lakukan. Seorang sikerei hanya mendapat pembagian daging babi (otcai) sebagai imbalan bagi jasa mereka yang kemudian dibagi-bagi kepada seluruh anggota umanya. Namun kini, sosok dan peran sikerei terancam punah, seiring rusaknya hutan disekeliling wilayah suku asli Mentawai di Kepulauan Mentawai. Karena dengan rusaknya hutan artinya sikerei terancam kehilangan daun-daun. Meskipun daun-daun itu kecil, bersama sikerei daun-daun itu akan menjadi daundaun kehidupan. (Tarida Hernawati) - Antropolog dan Fasilitator masyarakat asli Mentawai, YCM-Padang
[email protected]
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SELINGAN / Aldes / Staf YCM Padang /
[email protected] 22
Orang Mentawai Tidak Sembarang Membuat Rumah
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
empat atau lima jam dengan sampan bermesin lima PK. Atau sebagian warga Puro di Siberut Selatan yang berasal dari Tatebburuk, yang berjarak sekitar tiga jam dengan sampan bermesin 15 PK. Paparan di atas merupakan prolog, bahwa pola pemukiman yang ada di banyak perkampungan bukanlah pola pemukiman asli Mentawai. Paparan di atas juga melihatkan logika masyarakat terhadap pengelolaan sumber dayaalam akibat pemindahan tersebut. Jadi seperti apa sebenarnya pola pemukiman Mentawai itu, terutama di Siberut? Untuk itu perlu dipahami dulu tentang batuan dasar pembentuk kepulauan Mentawai. Kepulauan ini terbentuk dari batuan lempung, yang mempunyai pori kecil. Jika terjadi hujan, airnya lebih banyak yang dialirkan ke permukaan daripada terserap tanah. Aliran air hujan di permukaan cendrung membawa pengikisan. Itu juga yang mengakibatkan sungai di Mentawai berairkeruh. Sehingga hampir tidak ada perkampungan tradisional yang berada di pinggir sungai besar. Sebab dengan kondisi batuannya, sungai besar cendrung berairkeruh dan tidak layak dikonsumsi. Perkampungan tradisonal biasanya malah berada dekat anak sungai, yang cepat kembali jernih setelah hujan.
Lahan itu letaknya sangat jauh, belum bisa kami olah. Daripada kayunya busuk, makanya kami serahkan, itu jawaban umum masyarakat asli Mentawai di Pulau Siberut ketika ditanyakan kenapa masyarakat lebih suka menyerahkan lahan dan perumahan dari program pemerintah kepada orang lain. Umumnya perkampungan yang ada di Pulau Siberut bukan kampung yang tumbuh dari proses masyarakat. Itu adalah kampung yang dibentuk oleh pemerintah, baik melalui Wali Nagari ataupun program PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) dari Depsos, Sumatera Barat. Proses itu terjadi antara tahun 1960-an sampai 1980-an. Bagian dari proses pembudayaan versi pemerintah. Masyarakat kampung-kampung baru itu berasal dari berbagai suku yang sebelumnya tinggal bersebaran. Masyarakat Desa Mongan Poula di Siberut Utara, umumnya berasal dari Bekemen dan Bojakan yang berada di bagian hulu. Jarak tempuh kedua daerah itu dari Mongan Poula
Ada beberapa pedoman yang dijadikan patokan masyarakat Mentawai di Siberut dalam hal memilih lokasi yaitu adanya sumber air berupa anak sungai kecil/sopak yang dekat dengan tempat akan didirikannya uma. Tersedianya tanah datar (suksuk) luas untuk mendirikan rumah lain (sapou) bagi anggota uma yang tidak tinggal di dalam uma. Lokasinya jelas tidak rawan banjir, harus berawa (onaja) sehingga bisa ditanami sagu dan keladi yang juga bisa berfungsi sebagai kolam ikan. Lokasinya juga harus di hutan yang berbukit (leleu) sebagai tempat berladang sehingga tidak terjangkau ternak babi yang bisa merusak tanaman. Hutan juga dijadikan lokasi perladangan (pumonean) anggota uma. Lokasi seperi ini dianggap memiliki sejarah dengan kehidupan nenek moyang anggota uma yang disebut dengan pangubuat. Misalnya bekas perladangan, bekas tempat berburu atau uma nenek moyang mereka dahulu. Setiap kriteria ini masing-masing memiliki peran dan fungsi berbeda namun saling terkait, terutama : sopak, suksuk,
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SELINGAN 23
Sopak atau anak sungai sangat besar fungsinya bagi seluruh anggota uma. Sopak umumnya berair bersih, jernih dan dangkal dengan dasar sungai yang kebanyakan berisi batu-batuan kecil. Hulu sopak berasal dari perbukitan atau mata air di hutan oleh sebab itu kelestarian hutan akan sangat mempengaruhi kondisi sopak. Selain sebagai sumber air bersih (untuk air minum, memasak,mencuci dan mandi), bat sopak (bat berarti batang air) juga dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan dan udang. Kegiatan mencari ikan di siang hari umumnya dilakukan oleh kaum perempuan yang disebut paligagra. Sedangkan mencari ikan dimalam hari disebut pangisou, dengan bantuan penerangan (obor atau lampu petromaks) biasa dilakukan bersamasama oleh kaum perempuan dan lakilaki. Bat sopak juga bisa digunakan sebagai sumber air dalam proses menyagu. Setelah mengenal tanaman nilam, bat sopak juga merupakan sumber air dalam proses penyulingan minyak nilam.
langsat, nangka hutan, kelapa. Tanaman yang lain yang tidak kalah penting yaitu bunga-bungaan atau daun-daun untuk punen seperti surak dan berbagai jenis tanaman obat seperti aileleppet, mumunen, dan lainnya. Onaja juga merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Pohon sagu umumnya tumbuh subur di rawarawa, demikian pula dengan pohon keladi. Kedua jenis tanaman ini merupakan bahan makanan pokok. Selain sebagai bahan makanan pokok, pohon sagu juga merupakan salah satu jenis alat pembayar mas kawin (alak toga). Oleh sebab itu pohon sagu tetap ditanam oleh masyarakat sampai saat ini. Onaja juga dimanfaatkan untuk mencari ikan dengan menggunakan bubu (leggeuw). Leleu, merupakan kawasan hutan yang berbukit yang dimanfaatkan untuk membuka lokasi perladangan. Biasanya di leleu ini ditanam jenis
tanaman komoditi seperti nilam, coklat dan tanaman muda seperti pisang dan jenis ubi-ubian. Lokasi yang berbukit ini untuk menghindari ternak babi yang bisa merusak tanaman. Selain untuk perladangan, leleu juga merupakan sumber tanaman obat-obatan. Para sikerei maupun simata (orang yang bukan sikerei) biasanya mencari bahan obat-obatan di leleu. Beberapa jenis tanaman seperti katsaila hanya bisa tumbuh dengan baik di leleu, demikian pula berbagai jenis rotan (khususnya manau yang bisa dijual). Berburu sebagai bagian dari upacara adat juga dilalukan di leleu. Pumonean, sebenarnya juga merupakan kawasan hutan di sekitar lokasi uma yang sekaligus dijadikan lokasi perladangan. Namun karena pumonean juga merupakan lokasi berternak babi, jenis tanaman dipumonean adalah tanaman tua seperti durian, kelapa dan buahbuahan hutan lainnya. (A.S.)
ISTIMEWA
Suksuk, dimanfaatkan sebagai lokasi untuk sebuah pemukiman bersama. Daerah yang datar akan memudahkan masyarakat mendirikan rumah yang saling berdekatan agar komunikasi dan interaksi di antara mereka menjadi lebih mudah. Dalam system pemukiman tradisional, di sekitar lokasi perumahan ditanami juga dengan berbagai jenis tanaman seperti durian,
ISTIMEWA
onaja, leleu, dan pumonean.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Selayang Pandang Indahnya Mentawai
K
epulauan Mentawai terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai Sumatera Barat yang terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Di antaranya ada empat pulau besar yang didiami manusia yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Secara administratif Kepulauan Mentawai termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat. Sebelum menjadi Kabupaten pada tahun 2001, Kepulauan Mentawai termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Kepulauan Mentawai pertama kali dikunjungi oleh para penjelajah pada abad ke-17. Kepulauan ini cukup lama terisolir. Apalagi pulaupulaunya dianggap tidak memiliki daya tarik dan menyimpan kekayaan alam yang berarti. Kalau toh ada perkampungan, itu letaknya sangat jauh di pedalaman. Selain itu pantai barat kepulauan Mentawai cukup rawan, terdapat teluk-teluk yang sangat berbahaya dengan ancaman
ombak ganas dari lautan India. Termasuk ancaman langganan gempa bumi. Setelah abad ke-18 banyak para penjelajah mulai melirik kepulauan Mentawai. Mereka mulai mengagumi pemandangan alam pantainyai yang indah memesona, dengan pantai pasirnya yang landai. Daerah pedalamannya juga eksotis dengan kawasan perbukitan yang tingginya tak melebihi 500 meter. Hutan-hutannya pun masih perawan dengan sela anak sungai yang berkelok-kelok menuju sungai besar hingga mengalir terus ke laut. Di kaki perbukitannya terdapat lembah-lembah yang subur dimana terdapat pemukiman penduduk. Mereka tinggal berkelompok di uma-uma dan menyebar di lembah-lembah sepanjang aliran sungai. Uma adalah sebutan untuk rumah besar dan suatu kelompok keluarga luas (clan) yang berkerabat menurut garis keturunan ayah atau patrilineal. Struktur masyarakatnya didasarkan pada kesamaan kedudukan, tidak ada yang menjadi kepala dan tidak ada pula hamba sahaya. Keputusan-keputusan penting di uma diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh sikebbukat uma sebagai orang yang paling dituakan. Anggota-anggota suatu uma harus bisa bergotongroyong dalam bekerja seperti, berladang, berternak babi, menyagu, membuat sampan dan lain-lain. Mereka membuka hutan di kaki bukit untuk lahan perladangan dengan mula-mula menanaminya dengan pohon pisang dan umbi-umbian. Setelah beberapa tahun apabila kesuburan lahan mulai berkurang, di ladang itu akan ditanami pohon buah-buahan seperti durian (doriat), langsat (samung) dan nangka hutan (peigu). Lambat laun perladangan itu akan menjadi hutan buah-buahan yang hasilnya dapat dipanen. Hutan
juga dibuka untuk berladang berbagai jenis tanaman komoditi seperti nilam, coklat, rotan (manau) dan cengkeh. Kawasan hutan lainnya dimanfaatkan sebagai tempat mengambil kayu untuk bahan pembuatan rumah atau uma, dan kayu untuk dijadikan bahan bakar, bahan pembuat sampan (abak) dan tempat mencari berbagai jenis rotan. Hutan juga merupakan tempat berburu monyet, rusa dan babi hutan. Berburu merupakan salah satu ritual penting dalam kehidupan di uma. Di pinggir hutan, di sepanjang tepi sungai mereka menanam pohon kelapa dan menanam pohon sagu di daerah rawa. Sagu merupakan bahan makanan pokok yang juga digunakan sebagai bahan makanan hewan peliharaan (babi dan ayam). Anggota-anggota uma juga bersama-sama menyelenggarakan perayaan religius atau upacaraupacara adat di uma yang dipimpin oleh sikerei. Di kaki bukit itu, harihari berlalu dengan indahnya bersama alam dan roh-roh nenek moyang yang setia menemani, hidup pun menjadi begitu tenteram, damai dan sejahtera, seperti di surga. Hingga akhirnya para investor datang dan mengobrak-abrik keindahannya. Rasanya surga itu mulai samar-samar...(Tarida Hernawati) - Antropolog YCM Padang-
[email protected]
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
24
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Pendidikan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (1998-2005), Mulanya ditolak, Selanjutnya jadi kebutuhan
25
FOTO : RIZA MARLON / DOK. WARSI
FOKUS
FOKUS / Agustina D. Siahaan / Fasilitator Pendidikan Orang Rimba /
[email protected]
FOKUS kali ini membidik pada seputar perkembangan dunia pendidikan alternatif baca, tulis, hitung untuk anak-anak Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi. Ini tidak lain juga untuk mengenang perintis dunia pendidikan Anak-anak Rimba, KKI Warsi, (almarhum) Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea S.Sos. Selain itu, FOKUS ini juga dipersembahkan bagi semua Guru Indonesia, dimanapun mereka berada. Terutama para guru yang mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak generasi penerus bangsa yang masih hidup jauh di pedalaman di pelosok negeri ini, atau di dalam rimba. Meski dengan keterbatasan, bahkan terabaikan perhatian atas perjuangan dan keikhkasan mereka untuk mengajar anak-anak generasi bangsa di pelosok terpencil bahkan sangat sulit untuk ditempuh lokasinya, namun mereka selalu ada, dan terus mengajar tanpa pamrih. Terima kasih guru Indonesia!
S
Yusak Adrian Hutapea merintis pendidikan bagi Orang Rimba
menimbulkan petaka bagi Orang Rimba. Mendekati dan memperkenalkan barang baru ini ternyata tidaklah mudah. Yusak mencobanya di dua lokasi yaitu di Makekal Hulu dan Hilir. Masyarakat bagian hilir, sangat menaruh curiga kedatangan Warsi; orang luar yang datang dianggap pembawa penyakit parah. Lebih parah lagi, Warsi dianggap sebagai perusahaan kayu yang akan merebut hutan mereka. Hal ini membuat pendekatan semakin sulit. Masyarakat Makekal bagian hulu agak lebih toleran dibanding di hilir. Orang Rimba di sungai Pengelaworon, dapat menerima pendidikan bagi remaja dan orang dewasa, tapi hanya bagi lelaki saja. Anak kecil dan perempuan dilarang keras ikut belajar. Walau diijinkan bagi lelaki Rimba untuk belajar, namun tidak semua orang di Makekal Hulu menyetujui pendidikan. Temenggung Mirak sebagai kepala kelompok, tokoh paling penting di kelompok ini menentang keras pendidikan.
Pendidikan baca tulis hitung untuk Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit 12 mulai dirintis Warsi pada bulan Juli 1998. Adalah Yusak Adrian Hutapea, seorang antropolog alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang pertama kali merintis usaha pendekatan pendidikan bagi Orang Rimba. Saat itu, pendidikan baca tulis hitung atau sekolah dianggap sebagai budaya luar dan bukan budaya Orang Rimba. Hal ini harus ditolak sehingga tidak
Di Pengelaworon, murid pertama yang diajar Yusak berjumlah 6 orang. Namun ternyata sangat sulit memberikan materi baca tulis untuk segera dipahami oleh mereka. Yusak berusaha keras merancang dan mengujicobakan berbagai metode pengajaran yang efektif. Belum sampai membuahkan hasil, usaha Yusak harus berhenti. Pada tanggal 25 Maret 1999, Orang Rimba kehilangan seorang guru dan sahabat mereka. Yusak Adrian
elama 1998 hingga 2005, Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) mendapatkan bukan hanya satu orang guru yang mengajari mereka baca tulis hitung. Setelah Yusak Adrian Hutapea (alm), nama-nama seperti Butet Manurung, Oceu Apristawijaya, Agustina D. Siahaan (penulis), Saripul Alamsyah Siregar, Ninuk Setya Utami dan Ferry Apriadi, dikenal oleh Orang Rimba sebagai ibu dan bapak guru mereka. Tujuan pendidikan yang dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi tidaklah muluk, cukup sampai seluruh Orang Rimba memiliki kemampuan dasar baca tulis hitung, sehingga akhirnya mereka mampu membela dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan minoritas mereka terhadap dunia luar (pemerintah dan masyarakat sekeliling).
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
FOKUS
26
Hutapea menghadap Sang Pencipta setelah berjuang melawan penyakit malaria. Penyakit yang kini juga menyerang hampir semua staf lapangan Warsi. Daftar Nama yang Pernah dan Sedang Menjadi Guru Orang Rimba TNBD : Juli 1998 Maret 1999 Yusak Adrian Hutapea Oktober 1999 September 2003 Butet Saur Marlina Manurung September 2002 Maret 2004 Oceu Apristawijaya September 2003 Januari 2005 Saripul Alamsyah Siregar September 2003 April 2005 Agustina D. Siahaan Januari 2005 sekarang Ninuk Setya Utami dan Fery Apriadi Baca tulis hitung: Tren baru di kalangan pemuda Rimba Untuk beberapa bulan, kegiatan pendidikan inipun tidak dilanjutnya. Baru pada Oktober 1999, Saur Marlina Manurung, yang lebih dikenal dengan nama Butet Manurung, bergabung di Warsi sebagai guru Orang Rimba. Usaha Yusak dilajutkan oleh Butet. Butet memulai sekolah perdananya di Bernai, Makekal Hilir yaitu rombong Wakil Tuha Pelindung. Awalnya murid Butet hanya berjumlah 3 orang, namun lama kelamaan pendidikan menjadi semacam tren baru di kalangan anak muda Rimba. Memiliki kemampuan baca tulis hitung dianggap melawon (hebat) sama artinya seperti pintar berburu. Sekolah (sokola) Rimba inipun mulai meluas tidak hanya di Makekal Hilir saja. Temenggung Mirak di Mekekal Hulu yang sebelumnya sangat menentang pendidikan, akhirnya memilih sikap abstain. Dia tidak menolak, namun juga tidak mendukung. Setiap anak yang mau belajar, diperbolehkan bergabung dalam sekolah ala Warsi yang dibawakan Butet. Rumahrumah sekolahpun didirikan hampir di seluruh rombong di Makekal Hulu, yaitu Sako Talun, Kedundung Muda dan Sako Jerenang.
tidak seterusnya berjalan mulus. Rombong Temenggung Mijak di Terap (bagian tenggara TNBD), tidak menyetujui adanya pendidikan di rombong mereka. Walaupun sejumlah anak dan pemuda sangat ingin belajar, namun para penghulu terutama para wanita sangat menentang hal ini, sehingga pendidikan tidak dapat diteruskan di rombong ini. Namun usaha tersebut masih terus coba dilakukan hingga saat ini. Hal yang sangat mengejutkan terjadi di rombong Temenggung Celitay (Kejasung Besar). Di sini murid perempuan Rimba pertama berjumlah 3 orang. Memang karakteristik Orang Rimba di wilayah Kejasung Besar agak longgar dalam menerima budaya luar yang masuk. Selanjutnya pada bulan September 2002, Oceu Apristawijaya, seorang pelukis bergabung menjadi guru Orang Rimba. Bersama Butet, mereka berdua membagi tugas mengajarkan Orang Rimba di lokasi yang berbeda. Materi pengajaran dipadukan oleh Oceu dengan materi menggambar. Oceu berpendapat bahwa kecerdasan anak akan semakin tergali bila dia diberi sarana dalam mengeluarkan imajinasi dan kreativitasnya dalam lukisan dan gambar. Setelah 4 tahun menjadi pengajar Orang Rimba di Bukit 12, Butet mengundurkan diri dari Warsi. Namun Oceu tidak sendirian, pada September 2003 bersama penulis dan Saripul Alamsyah Siregar, bekerja sama memberantas buta huruf dalam masyarakat Orang Rimba. Pendidikanpun mulai dicobaterapkan di kelompok-kelompok baru di bagian lain Taman Nasional. Jumlah murid yang sangat signifikan berhasil diraih. Setiap bulan, guru-guru baru ini masuk ke kelompok-kelompok di wilayah Kejasung Besar, Kejasung Kecil, Air Hitam, Kedundung Muda dan Aek Behan. Di Kejasung Besar yaitu rombong Temenggung Meladang, pendidikan diperbolehkan bagi anak-anak perempuan mereka. Jumlah murid perempuan bahkan lebih dari lelaki. Kenyataan ini sangat menggembirakan, dan mulai mempengaruhi rombong-rombong di sekitarnya seperti Besulit dan Melayau Tuha. jumlah murid Orang Rimba di TNBD berdasarkan tahun selama tahun 1998 - 2004
Pendidikan mulai melebar tidak hanya di bagian barat Taman Nasional. Dengan dibantu para kader, yaitu murid-murid yang sudah mampu membaca menulis dan berhitung, pendidikan mulai mengakses wilayah Temenggung Tarib di DAS Air Hitam yaitu di bagian selatan TNBD dan Temenggung Celitai di DAS Kejasung Besar di bagian utara TNBD. Usaha introduksi pendidikan yang dilakukan Butet dengan metode alternatif yaitu belajar dan bermain, sesuai dengan adat budaya dan cara hidup Orang Rimba ternyata Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
27
Hingga akhir 2004, jumlah murid yang sudah diajar oleh Warsi berjumlah 176 orang yang terdiri dari 157 murid lelaki dan 19 murid perempuan (populasi Orang Rimba TNBD adalah 1316 jiwa (survey Warsi 2004)). Muridmurid tersebut berkisar antara 6-40 tahun. Tidak hanya anak-anak, para bapak dan ibupun tak ketinggalan ikut belajar, walau jumlahnya relatif masih sedikit. Sekolah Rimba ini tanpa jadwal yang kaku, tanpa gedung dan tanpa seragam. Pagi, siang bahkan malam hari. Di balai, pinggir sungai, sambil tiduran atau duduk, dengan cawat dan kain. Jika waktunya makan, sekolah akan terhenti sejenak. Saat waktunya tidur, esok pagi sudah menunggu dengan materi pengajaran yang lebih sulit. Pada Januari 2005, Ninuk Setya Utami dan Ferry Apriadi bergabung pula di Warsi menjadi pengajar Orang Rimba. Mereka berdua melanjutkan perjuangan rekan-rekan sebelumnya. Pendidikan di kelompok-kelompok lama masih dilakukan sampai mereka mampu membaca, menulis dan berhitung. Ninuk dan Ferry pun mulai mengerjakan proyek pendidikan ini di kelompok-kelompok dan lokasi baru yang belum menerima pendidikan. Pekerjaan Rumah inipun
FOTO : RIZA MARLON / DOK. WARSI
jumlah murid Orang Rimba di TNBD berdasarkan lokasi sekolah selama tahun 1998 - 2004
masih berat, mengingat sebagian besar Orang Rimba di Kejasung Kecil dan Terap di bagian timur dan timur laut TNBD masih menganggap haram barang pendidikan ini. Perlu usaha yang keras dan tidak sebentar agar seluruh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12 akhirnya tidak buta huruf dan tidak lagi dianggap bodoh dan terbelakang.(A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Tetap Semangat Meski Terancam Malaria
D
iusir, kena malaria, dihisap pacet, gatal dan koreng karena nyamuk agas, kehujanan, kepanasan, kehabisan bahan makanan di tengah belantara rimba serta harus jatuh bangun karena akses jalan yang begitu buruk, adalah hal yang biasa terjadi dialami oleh staf lapangan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Dari staf Fasilitator Masyarakat Desa, Antropolog Pendamping Orang Rimba dan tentu saja para Guru Rimba dari Warsi. Hal itu tidak akan membuat mereka jera. Waktu kami merintis dulu bersama Yusak (alm), ada saja kendalanya, ujar Diki Kurniawan, Koordinator Program KKI Warsi mengenang masa babat-alas Warsi dulu di TNBD pada tahun 1997. Medan jalan dan aksesnya lebih sulit daripada yang sekarang. Yusak yang jadi Guru Rimba pertama juga mengalami kesulitan dalam mendekati Orang Rimba yang sama sekali tidak kenal kita. Mereka menganggap baca, tulis, hitung akan merusak adat. Tiga bulan kemudian mulailah mereka bisa didekati dan menerima, meski dengan rasa was-was, kenang Diki kawan akrab (alm) Yusak saat menjamu Orang Tua Yusak, Ibu Roosni dan WP Hutapea di kantor Warsi pertengahan April kemarin. Ibu Roosni pun membenarkan, Yah, Yusak pernah cerita bahwa saat mengajar, tiba-tiba murid-muridnya itu diseret orang tuanya untuk menjauhinya. Sulit sekali. Tapi dia tetap semangat. Dia selalu antusias menceritakan kerjanya itu. Dari situ saya tahu, dia menyukai dan mencintai pekerjaannya itu. Sementara diakui Agustina D Siahaan, lulusan Kehutanan dari IPB yang telah dua tahun lebih jadi Guru Rimba di Warsi, hingga kini pun ada kelompok Orang Rimba di belahan TNBD seluas 60.500 Ha yang masih menolak pendidikan alternatif baca, tulis, hitung dari Warsi. Mereka masih percaya itu akan merusak halom. Tapi saya sendiri tidak mengalami kendala dalam mendekati dan memahami bahasa mereka. Karena waktu pertama turun kita sudah ditandem dengan staf lama. Jadi, memang yang lebih sulit adalah orang-orang yang merintisnya, jelas Agustina.
FOTO : DOK. WARSI/MUSFARAYANI
FOKUS
28
Berbicara tentang murid-muridnya, Agustina mengaku selalu semangat mengajar karena hampir semua anak-anak rimba yang ditemui sangat antusias dengan pelajaran yang dibawakannya. Begitu orang tua dari anak rimba itu mengizinkan, maka bisa dipastikan dia telah mendapat murid yang setia. Kadang ketika saya harus mengajar ke kelompok lain, tibatiba murid saya yang lain datang. Padahal untuk menempuh tempat saya mengajar itu mereka harus menempuh satu hari satu malam perjalanan. Kadang ini membuat saya terharu dan terpacu untuk memberikan pengajaran yang terbaik untuk mereka, jelas Agustina. Guru Rimba Warsi lainnya, Ninuk dan Fery juga merasa terkesan dengan daya tangkap murid-murid rimbanya yang cepat. Antusias belajar anak-anak rimba sangat tinggi, hingga kadang mereka kualahan sendiri. Kalau mau kita ladeni, mereka pasti tidak akan lelah meski sudah larut atau hari akan pagi lagi, tambah Ninuk yang asli puteri Solo ini. Bahkan pagi-pagi sekali, mata masih mengantuk, mereka sudah datang dengan buku-bukunya. Mereka cukup cerdas. Ninuk dan Fery mengajar di tempat terpisah untuk menjaring seluas-luasnya murid rimba yang belum tersentuh pendidikan ala Warsi ini. Mereka tidak peduli saat panas atau hujan sekalipun. Kalau soal kena pacet, gatal-gatal, itu sih, sudah biasa. Kalau kena malaria, juga sudah resiko. Tapi kami tetap semangat karena anak-anak Rimbanya juga semangat. Mereka belajar, kami pun belajar tentang hidup menjadi Orang Rimba. Kadang hubungan kami tidak hanya sekadar guru dan murid tapi juga sebagai seorang kakak dan adik atau sebagai kawan. Kami kadang juga saling curhat, jelas Fery yang diamini Ninuk. (Fay) -
[email protected]
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Ibunda Yusak : Saya bangga, perjuangan anak saya Orang Rimba, KKI Warsi. Setelah bagaimana rasanya masuk hutan tidak sia-sia dua tahun menjadi babat alas di dunia pendidikan untuk Orang Rimba, dia meninggal karena malaria pada 25 Maret 1999, di Jambi. Selama ini Ibu Roosni dan suaminya tidak pernah membayangkan bahwa kerjaan anaknya sedemikian beratnya. Mereka baru merasakannya ketika difasilitasi Warsi menapak-tilas jejak Yusak pertama kali memulai kerjanya menjadi Guru Rimba di pedalaman hutan. Yusak biasanya menggunakan motor trail kantor menuju lokasi mengajarnya di Makekal Hulu dan Hilir. Tentu saja kondisi jalannya tidak sebaik sekarang ini. Motor
dengan menyusuri sungai kecil dan bermalam di dalam hutan bersama Orang Rimba. etelah enam tahun, akhirnya Ibu Setelah enam tahun, saya baru Roosni dan suaminya, WP melihat sendiri apa yang pernah Hutapea bisa melihat sendiri hasil diperjuangkan Yusak dan kawanyang pernah dirintis almarhum kawannya di Warsi. Saya bangga anaknya, Yusak Adrian Panca kini, kegiatan ini berjalan terus. Saya Pangeran Hutapea S.Sos. Meski merasa ikut bangga, tandas ibu telah berusia lanjut, mereka tampak anak delapan anak ini yang tetap antusias dan bersemangat. cantik di usianya yang 67 tahun itu. Bertampak tilas ke tempat pertama Seperti baru saja kemarin terjadi, kali anaknya memulai pekerjaaan Ibu Roosni bertutur bahwa Yusak sebagai Guru Orang Rimba 1998pernah cerita hari-hari pertamanya 1999 di Taman Nasional Bukit menjadi Guru Orang Rimba. Duabelas (TNBD), Jambi. Betapa sulitnya waktu itu mendekati Ibu Roosni pun tidak kuasa dan memahami Orang Rimba. menahan ketegaran dirinya lagi, Setiap ada anak Rimba yang mau yang sejak awal kedatangannya di belajar, orang tuanya datang lalu Jambi masih bisa dibendung. menyeret anak-anaknya kembali Suaranya bergetar. Keharuan terlihat pulang menjauhi Yusak. Reaksi yang di wajahnya saat berkumpul di diberikan selalu keras. Namun tengah keluarga mantan murid Yusak tidak putus asa bahkan dalam anaknya itu. Ya, di atas rumah catatan hariannya, yang kini panggung kecil terbuka di dalam dipegang Ibu Roosni, Yusak hutan. Tempat Orang Rimba tinggal merancang metode pendidikan dan Yusak pernah di sana dulu. alternatif yang fleksibel yang bisa Selama ini saya buta. Tidak pernah diterima para orang tua dan anak tahu ada kehidupan lain itu biasanya dia titipkan ke Orang rimba. Itu ditulisnya 2 hari sebelum sebagaimana Orang Rimba. Desa atau disimpan di semakkematiannya. Dia bahkan menulis Dimana, anak saya Yusak, justru semak pinggiran hutan. Ketika Ibu data-base calon murid Rimba yang menggeluti dan menjadi gurunya. Roosni dan suaminya mengikuti dianggapnya berpotensi menjadi Setiap kali pulang dan menceritakan jejak anaknya bersama beberapa anak rimba. kerjaannya, Yusak tampak semangat staf Warsi menuju Makekal Hulu, Tulisan dan data anak saya juga dan antusias. Dia pernah bilang, dia baru bisa mengerti dengan sempat ditelaah oleh Butet Kasihan ma, Orang Rimba sering semua yang pernah diceritakan (Manurung) sewaktu dia menjadi ditipu karena mereka tidak bisa Guru Rimba menggantikan anak baca, tulis, dan hitung. Saat itu, saya almarhum anaknya selama ini. Mereka merasakan betapa jauh saya di Warsi. Kini, saya hanya tidak punya bayangan siapa Orang dan buruknya jalan yang harus berharap staf Warsi tetap semangat Rimba dan bagaimana berjuang. Dan bapak-bapak di sini kehidupannya. Yang saya tahu, Yusak dilalui, meski dikatakan kondisi medannya sudah lebih baik (Orang Rimba) tetap menjadi tampak begitu bahagia. Meski dibandingkan saat Yusak dan kawansaudara kami, tambah Ibu Roosni. akhirnya, meninggal di tanah Jambi kawan Warsi merintisi dahulu. Sementara Ternong dan Pengusai ini. Namun, saya bangga. Dia tidak Sepanjang jalan mereka harus mewakili Orang Rimba di Makekal meninggal sia-sia, ujar Ibu Roosni tergojlog, menahan nafas, dan mengatakan bahwa mereka hanya dengan terisak. Sang suami kadang harus kejedut jok mobil atau bisa mengucapkan terimakasih atas menepuk pundaknya. Beberapa staf terciprat air lumpur. Mereka bisa apa yang telah dilakukan almarhum Warsi dan Orang Rimba tertegun membayangkan bagaimana Yusak dan guru Warsi lainnya. Dia juga menundukkan kepala. dan kawan-kawannya dulu melalui berharap persaudaraan tersebut Memang tidak banyak yang tahu, jalan tersebut. Ibu Roosni dan tidak putus dan terjalin terus. (Fay) Yusak adalah perintis pendidikan suaminya bahkan juga merasakan -
[email protected] alternatif baca, tulis, hitung untuk Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005 FOTO : DOK. WARSI
S
29
Anak-anak Rimba Bicara Sokola Rimba ala Warsi
Kalu akeh lah tokang baco tuliy, akeh ndok jedi guru pula
Lah tokang, akeh ndok jedi toke pula, (Kalau aku sudah bisa membaca menulis, aku akan jadi guru. Kalau sudah bisa, aku juga ingin jadi toke pula), demikian teriak Betenda (6 th) budak pelajoron (anak sekolah) di rombang Ninjo dari kejauhan Sesalung budak pelajoron (teriakan anak sekolah Rimba) dibalas sesalung yang tak kalah antusias oleh budak lainnya. Bekinya (12 th) menyahut, Kalu akeh ndok jedi pelisi. Uiy, melawon nihan akeh todo. (Kalau saya ingin menjadi polisi. Wuih, hebat benar aku nantinya). Hidup di tengah-tengah belantara rimba bukan berarti hidup tanpa cita-cita sama sekali. Anak-anak rimba yang tidak mengenyam pendidikan formal pun ternyata memiliki impian layaknya anak-anak di luar rimba. Impian budak-budak pelajoron tersebut muncul ketika mereka melihat orang-orang di desa yang mereka anggap melawon (hebat). Orang tua yang tidak ikut dalam pelajoron pun mendorong anakanak untuk terus belajar lebih rajin. E
e
e
jengon jedi budak pemalay, belajor teruy sampoi tokang (Jangan jadi pemalas, belajarlah terus sampai bisa), kata seorang nenek pada Ngijau, budak betina yang ikut belajar di rombong Angka-Angka, Semapuy. Ninjo yang anaknya ikut pelajoron pun berharap anaknya tokang baco tuliy dan tidak bodoh seperti dirinya. Semangat belajar anak-anak rimba tidak hanya muncul ketika mereka belajar bersama guru. Mereka dapat belajar dimana saja, kapanpun mereka mau dan saling mengajari. Hal yang sama juga
terjadi dengan budakbudak pelajoron di Aek Behan dan Kejasung Besar . Mereka juga belajar dengan media apa adanya. Tulisantulisan mereka menyebar tak hanya di buku tulis tetapi juga di dinding-dinding rumah dan batang-batang pohon. Pelajaran baca tulis hitung selalu menarik bagi orang rimba, tak hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa. Alam pikiran mereka pun perlahan-lahan tapi pasti mengalami perubahan yang sangat mendasar. Dengan belajar baca tulis hitung (BTH), mereka mampu menghitung hasil yang diperoleh ketika mereka menjual rotan, karet, jernang, atau hasil hutan lainnya. Kebiasaan Melangun (pindah sementara akibat kematian anggota rombong) tidak lama seperti dahulu dilakukan hingga bertahun-tahun lamanya. Sebagian orang rimba telah mengerti bahwa meninggalkan ladang terlalu lama justru merugikan mereka sendiri. Interaksi antara orang rimba dengan orang terang paling tidak merubah sedikit demi sedikit pola pikir mereka. Semakin intens mereka berinteraksi dengan orang luar dan mau menerima sebuah perkembangan, semakin besar pula kemungkinan terjadi perubahan pola pikir mereka. Murid pelajoron remaja hingga dewasa beranggapan, melawon dalam hal BTH sebagai salah satu jalan hidup tanpa tipu daya dari orang dusun. Piado lagi nang ndok nipu urang rimba FOTO : DOK. WARSI
FOKUS
30
mompa dulu (Tak ada lagi yang akan menipu orang rimba seperti dulu), ujar Sergi. Sementara bagi murid anakanak, pelajoran BTH menjadi bagian keseharian yang mengasyikan selain bermain-main. Faktor usia, intensitas interaksi dengan orang di luar mereka sangat menentukan ketika berbicara tentang bagaimana orang rimba memandang pentingnya pendidikan. Bahkan dengan lantang beberapa rombong mengatakan butuh guru untuk mengajar mereka. Namun, sekolah formal seperti yang terdapat di desa-desa belum bisa mereka terima. Tak mampu membayar iuran sekolah yang menurut mereka sangat mahal, hingga lokasi yang jauh dari rimba menjadi alasan utama mereka. (Fery Apriadi dan Ninuk Setya Utami) Guru Rimba
[email protected] /
[email protected]
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
GIS SPOT / Askarinta Adi, Kurniadi Suherman, Ade Chandra, Nugraha Firdaus / staf GIS KKI WARSI/
[email protected]
digunakan untuk menganalisa pembangunan yang berbasis kepedulian lingkungan secara ekologis (dan bukan sebaliknya). Sebut saja keberadaan Geographic Information System (GIS). Sistem ini adalah salah satu pembuka yang bisa digunakan dalam melakukan pembenahan dan pengaturan tataruang yang layak dan berbasis pada analisa lingkungan yang ekologis.
Ketika GIS Tidak Lagi Dipandang Sebagai Peta Belaka
K
esemrawutan tata ruang di suatu wilayah di Indonesia seringkali ditemukan. Bahkan banyak diantaranya juga tidak menggunakan dasar pembangunannya dengan nilai-nilai ekologis yang benar. Terutama sekali ketika suatu wilayah itu mempunyai kekayaan Sumberdaya Alam (SDA) yang melimpah seperti
hutan, sungai bahkan laut. Atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD), kemudian sumberdaya alam ini perlahan menuju kehancurannya. Padahal banyak cara untuk mengatur pengelolaan SDA demi PAD tanpa harus merusak alam itu sendiri. Teknologi canggih sangat relevan
Dengan diintegrasikan Remote Sensing (RS-Pengindraan jauh) dan Global Positioning System (GPS-sebuah alat untuk mengetahui titik koordinat yang ada di permukaan bumi), maka GIS secara konseptual merupakan alat analisis yang mampu secara cepat meng-update perubahan yang terjadi. Tidak saja untuk memetakan dan menganalisa perencanaan tataruang tetapi juga yang menyangkut analisa pengelolaan SDA. GIS juga bisa memetakan adanya laju deforestasi, perambahan atau pun kebakaran hutan, aktifitas illegal logging, termasuk daerah yang rawan bencana alam. Berkat GIS, maka akan bisa diantisipasi/mengurangi lebih dini dampak dan kerusakan daerah/area tersebut. Tentu saja semakin lengkap database-nya maka akan semakin memudahkan bagi pihak terkait (harusnya) untuk mengelola dan mengambil kebijakan yang tepat bagi daerahnya, sesuai dengan konsep pembangunan berbasis ekologis. Untuk NGO yang fokus terhadap konservasi alam dan pemberdayaan masyarakat seperti halnya Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, jelas peran GIS tidak bisa ditawar lagi. Dari data GIS yang diperoleh biasanya semakin menguatkan argumentasi agar pihak terkait atau para pengambil kebijakan bisa tergugah dan mengeluarkan kebijakan sebagaimana harusnya, sehingga SDA yang dimiliki wilayahnya bisa dikelola dan diatur sebagaimana mestinya.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
31
GIS SPOT 32
Ini terbukti ampuh, saat WARSI, melihat kenyataan bahwa cagar biosfer yang ada di kawasan Bukit Duabelas, harusnya bisa diperluas dan mendapat perlindungan yang lebih maksimal lagi. Berkat GIS dengan menggunakan GPS, diperolehlah data dari analisa citra Satelit Landsat dan hasil survey lapangan, bahwa lokasi tempat tinggal dan sumberdaya Orang Rimba ternyata sebagian besar berada di luar Cagar Biosfer Bukit Duabelas (sebelum jadi Taman Nasional Bukit Duabelas saat itu). Ini disebabkan karena areal itu lebih datar, vegetasinya relatif rapat, banyak pohon buah-buahan dan madu sialang serta hewan-hewan buruan. Namun sayangnya secara hukum (negara) kawasan ini dikuasai dan dikelola oleh PT Inhutani V, yang rencananya sebagian besar akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI. Berkat data GIS ini, maka advokasi dilakukan KKI Warsi untuk menggugah Pemda Provinsi agar segera mengusulkan areal ini untuk dilindungi. Apalagi daerah itu juga merupakan daerah tangkapan air (karena banyak terdapat hulu-hulu sungai Batanghari), juga sebagai tempat hidup Orang Rimba, yang sudah secara turun-temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya di sana. Lewat proses panjang dan dukungan data yang selalu update, akhirnya, Cagar Biosfer Bukit Duabelas (26.800 ha) kemudian dikukuhkan menjadi Taman Nasional lewat SK Menhut No.258/KPTS-II/2000 dengan luas menjadi 60.500 ha. GIS juga sangat membantu dalam menganalisa rancangan penyusunan pengelolaan (RPTN) tentang tata batas yang masih belum begitu jelas terutama di bagian Utara TNBD sebagai areal perluasan, misalnya. Termasuk menganalisa maraknya illegal logging di kawasan itu. Dengan GIS pula maka pengelolaan taman dengan sistem
zonasi yang berbasis pada kepentingan masyarakat desa sekitarnya akan bisa lebih berkesinambungan. Apalagi didukung oleh data spasial dan data sosial ekonomi yang cukup. Di sini GIS jelas berfungsi sebagai unit pendukung untuk kegiatan advokasi lahan dan pemberdayaan masyarakat desa penyangga demi keutuhan dan kelestarian taman.
pelindung dan penyangga kawasan DAS-nya itu sendiri. Semakin sedikit kawasan hutan karena berbagai konversi dan aktifitas lainnya maka DAS akan semakin terdegradasai (erosi, banjir, sedimentasi dan kekeringan). Padahal menurut UU no 41 tentang kehutanan, minimal luasan kawasan yang berhutan dalam suatu DAS adalah 30% dari luas totalnya.
Peran GIS juga sangat mendukung pada program WARSI lainnya. Sistem ini membantu program pengelolaan SDA dengan pendekatan bioregion pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, terutama dalam menganalisis berbagai data dan
Analisis-analisis inilah yang nantinya akan menjadi point-point kritis dalam pengelolaan DAS Batanghari ke depan. Sehingga Warsi bisa mendorong stakeholder terkait untuk mempersiapkan pra-kondisi institusi pengelolaan DAS. Hasilnya diharapkan bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA. Dalam program di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan sekitarnya, GIS akan memegang peranan yang sangat penting. Terutama dalam menghasilkan suatu gambaran terkini terhadap kondisi kawasan Bukit Tigapuluh sebagai suatu lanskap yang terintegrasi secara utuh dan pengelolaan terpadu. Hasil proses analisis potensi kawasan tersebut akan dipergunakan sebagai bahan lobi dan negosiasi dengan para stakeholder yang berwenang dalam pengelolaan kawasan hutan Bukit Tigapuluh.
informasi spasial (keruangan). Sebut saja gambaran tutupan lahan, kelas lereng, jenis tanah, iklim, topografi, bentuk lahan, dan lainnya. Hasil analisa ini kemudian dijadikan kajian terhadap besaran erosi, prioritas rehabilitasi hutan di daerah hulu, konservasi tanah dan lainya. Mengingat luasan DAS Batanghari yang sangat luas, yaitu sekitar 4,9 juta Ha yang meliputi dua provinsi yaitu provinsi Jambi dan Sumatera Barat dengan 12 kabupaten di dalamnya, maka jelas diperlukan teknologi pengindraan jauh untuk mendapat dukungan database yang besar. Data citra satelit memberikan informasi luas berbagai tutupan lahan terutama tutupan hutan. Informasi tutupan hutan ini menjadi sangat penting dalam DAS Batanghari karena fungsinya sebagai daerah tangkapan air,
Lebih jauh, peran GIS bisa dijadikan sebagai data untuk menguatkan penegakan hukum misalnya tentang tataruang yang jelas yang sesuai dengan sistem ekologis bahkan bisa dijadikan patokan dalam menjaring pelaku pembalakan liar, misalnya, secara tepat sasaran. Lebih dari itu bisa dijadikan acuan untuk membuat perumusan kebijakan bagi kepentingan multistakeholder dan rehabilitasi kawasan hutan yang rusak. Dengan demikian tidak ada lagi cerita pembangunan malah merusak alam sekitarnya, yang kemudian berakibat bencana bagi masyarakatnya. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
DARi hulu ke hilir / Mahendra Taher / Koordinator Program Bioregion DAS Batang hari /
[email protected]
Mendudukkan Konsep Bioregion Sebagai Dasar Pengelolaan DAS digeser dan didudukkan kembali. Namun yang paling penting sebenarnya adalah kemauan dan niat baik semua pihak untuk mengubah haluan dari arah yang selama ini diambil menuju arah baru . Untuk mengambil pilihan-pilihan seperti ini memang dibutuhkan keberanian dan barangkali juga kerelaan mengorbankan sebagian kepentingan atau bahkan kekuasaan.
....Mengapa kita teruskan cara pemerintah kolonial membagi wilayah administratif berdasarkan suku bangsa? Mengapa tidak berdasarkan konsep bioregion seperti berdasarkan suatu daerah aliran sungai? Semua penduduk suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) harusnya mempunyai kepentingan yang sama dan sangat bergantung dari air yang mengalir dari hulu ke hilir dan sampai ke lautan.... (Jacub Rais dan J.P. Tamtomo)
Masih bertumpu pada sisi teknis Saat ini, haluan dari sebagian besar konsep pengelolaan DAS di Indonesia yang kemudian diimplementasikan masih bertumpu pada sisi teknis dan pemahaman bio-fisik. Itulah sebabnya dalam banyak literatur kita temukan
P
Namun pikiran mereka mengenai konsep bioregion pada suatu DAS sebenarnya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Tanpa harus melikuidasi republik ini (yang dalam kenyataannya memang telah terlanjur dibagi menurut suku bangsa dan etnis tertentu mulai dari provinsi sampai desa), konsep bioregion adalah sebuah pilihan ketika makin hari makin banyak DAS di Indonesia yang dikategorikan sebagai DAS kritis berdasarkan kriteria tertentu. Agar konsep bioregion untuk pengelolaan DAS dapat diterima dan diimplementasikan berbagai pihak, harus diakui tantangannya tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus
Secara sederhana, dari definisi tersebut, DAS hanya dilihat sebagai wadah untuk menampung dan mengalirkan air dari satu titik (hulu) ke titik lain (outlet). Pemahaman dari sudut bio-fisik ini umumnya menggunakan empat kriteria untuk melakukan penilaian terhadap kinerja DAS, yaitu lahan, vegetasi, air, dan sumberdaya manusia. Dengan bertumpu pada sisi teknis,
FOTO : DOK. WARSI
enggalan tulisan anggota kelompok pakar toponimi/ penamaan unsur-unsur geografi PBB (Jacub Rais) dan mahasiswa S3 ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan IPB (J.P. Tamtomo) di atas memang terasa sangat kontroversial. Jika pikiran mereka diadopsi dan pembagian wilayah di negara ini ditataulang berdasarkan DAS, maka Indonesia akan muncul dengan wajah yang betul-betul baru. Dan, wajah itu belum tentu lebih baik dibandingkan dengan sekarang.
definisi DAS sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung bukit) yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik outlet.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
33
DARI HULU KE HILIR 34
PETA DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI
telah kita lihat selama ini bahwa pemahaman tersebut cenderung mengantarkan para pengambil keputusan dan para peneliti pada pilihan-pilihan teknologi untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada pada suatu DAS. Implikasi dari pilihan ini adalah diperlakukannya faktor lain pada DAS hanya sebagai pendukung untuk pilihan teknologi tertentu. Itulah sebabnya masyarakat tidak dapat menjadi subjek tetapi selalu menjadi objek untuk menjalankan proyek tertentu. Demikian juga kelembagaan, yang biasanya dibentuk untuk memenuhi tuntutan proyek dan setelah itu bubar. Keseimbangan pada konsep bioregion Kenyataannya, DAS tidak dapat dilihat dari sisi teknis semata. Menurut Hariadi Kartodihardjo (Institusi Pengelolaan DAS: Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan, Fakultas Kehutanan IPB, 2004), DAS merupakan megasistem kompleks yang dibangun dari beberapa pilar utama, yaitu sistem fisik (physical system), sistem biologis (biological system), dan sistem manusia (human system). Setiap sistem dan sub-sistemnya saling berinteraksi. Tiaptiap komponen memiliki sifat yang khas. Keberadaannya tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Dalam hubungan yang timbal balik tersebut manusia memegang peran penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Jadi jelaslah bahwa memahami DAS hanya dari sisi teknis dan sistem fisik semata, lalu menentukan berbagai pilihan teknologi yang akan diambil, telah membuat limbung banyak DAS di Indonesia. Fenomena banjir bandang,
kekeringan, tingginya sedimentasi serta kerusakan lahan tidak dapat hanya dijawab dengan pembangunan kanal banjir, pengerukan, pembangunan embung dan sebagainya. Tidak pernah ada faktor penyebab tunggal yang dominan dalam permasalahan yaang muncul di suatu DAS. Pada sebagian besar DAS, hubungan yang terjadi malah semakin kompleks karena merupakan hubungan antar ekosistem, misalnya mulai dari ekosistem dataran tinggidataran rendah-rawa-sampai ke laut. Dengan demikian bentang alamnya tidak dapat dilihat dan dibatasi oleh wilayah-wilayah administrasi karena keterkaitan yang sangat erat antar komoditas, barang dan jasa dari sumberdaya alam yang ada wilayah tersebut. Situasi seperti inilah yang membutuhkan konsep bioregion yang substansinya adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah/teritori tanah dan air yang cakupannya tidak ditentukan oleh batasan administrasi/politik, tetapi oleh batasan geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Itulah sebabnya konsep bioregion perlu didudukkan sebagai dasar pengelolaan DAS di masa datang. Jika ini bisa didorong bersama maka bisa jadi inilah titik balik dalam pengelolaan sumberdaya alam di negara ini. Disebut titik balik karena pendekatan ini mencoba meramu dan menyeimbangkan aspek ekologi dan sosial budaya. Melalui pendekatan bioregion, hubungan antar ekosistem, geografis masyarakat dan aspek sosial budaya bersinergi untuk mendorong ikatan sosial yang dapat meningkatkan ekobudaya yang mengakar pada suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
DARi hulu ke hilir / Kurniadi Suherman / Forester KKI Warsi /
[email protected] 35
DAS Sebagai Sebuah Ekosistem
A
ir, manusia, dan hutan merupakan satu kesatuan yang membentuk hubungan timbal balik dalam sistem hidrologi. Hutan memiliki peranan dalam mematahkan energi kinetik dari pukulan hujan secara langsung melaui tajuk, ranting, batang dan seresah yang ada di lantai hutan. Penebangan hutan secara serampangan dengan mengabaikan keberadaan pohon-pohon pelindung, atau mengganti pohon di sepanjang sempadan sungai dengan bangunan, telah menyebabkan berkurangnya daya dukung tanah dalam menyerap air hujan.
Daerah aliran sungai (DAS) menghubungkan daerah hulu yang lebih tinggi (upper) dengan daerah hilir (lower) yang topografinya lebih rendah. Daerah hulu dicirikan dengan topografi yang bergunung, curah hujan tinggi dan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya kurang maju. Daerah hilir sebaliknya, dengan topografi yang semakin landai, curah hujan semakin rendah dan jarang dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang relatif lebih maju. Tapi yang menjadi pokok dari hubungan daerah hulu dan hilir adalah dampak dari hubungan sebab-akibat. Daerah hulu biasanya menjadi daerah penyebab, dan daerah hilir sebagai penerima dampak.
FOTO - FOTO : DOK. WARSI / MUSFARAYANI
Maka banjir adalah salah satu akibat yang jelas dari kegiatan serampangan tersebut. Sejak akhir tahun lalu hingga akhir April tahun ini, bencana banjir masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kerugian secara sosial (social cost) akibat terendamnya areal pertanian dan pemukiman pun ternyata lebih besar dari keuntungan memporak-porandakan alam dalam hal ini hutan. Usai banjir, beberapa bulan berikutnya, bencana kekeringan dan kebakaran lahan pun mengancam. Itulah bukti yang jelas dimana manusia juga jadi korbannya, ketika sistem pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan sebagai penyerap air, tidak dibenahi. Manusia jugalah yang menjadi penyebab bencana karena rendahnya tingkat kesadaran tentang arti penting fungsi hutan sebagai daerah resapan air dimana mereka menebangi hutan secara kejam atau membangun bangunan di area hijau tanpa ampun.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
DARI HULU KE HILIR DAS merupakan suatu ekosistem yang dapat menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di sekitarnya ke sungai utama, kemudian bermuara ke lautan. Odum, ahli ekologi, dalam bukunya The Fundamental of Ecology (McGraw-Hill Book Company, New York, 1969) menyebutkan bahwa ekosistem terdiri dari komponen biotis (benda/makhluk hidup) dan abiotis (benda/makhluk tak hidup). Keduanya memiliki ketergantungan yang erat dan tidak bisa berdiri sendiri, baik secara langsung ataupun tidak. Aktivitas suatu komponen berpengaruh terhadap komponen lainnya.
timbulnya kerusakan hutan. Persoalan ini semakin kompleks dengan muncul permasalahan sosial budaya dan ekonomi. Daerah hulu memiliki peranan penting dalam memelihara keseimbangan ekologi, yakni sebagai penyangga kehidupan. Melihat pengaruh dan hubungan sebab-akibat yang ditimbulkan, maka semestinya daerah hulu dijadikan kawasan lindung, terutama untuk melindungi tata air pada kawasan di hilirnya. Ketika kita melihat DAS sebagai ekosistem, dimana kita juga berada dalam sistem itu, maka kita harus lebih arif. DAS harus dipahami secara komprehensif dan holistik. Melihat DAS tidak bisa hanya dari sungai, hutan, tanah atau manusianya secara parsial. Semua komponennya harus diperhatikan karena satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi.(A.S.)
Mestinya, daerah hulu harus dijaga terutama kawasan hutan agar hujan yang jatuh ke bumi bisa diserap ke dalam tanah, menjadi air cadangan dan sumber-sumber mata air yang akan mengalir ke sungai. Namun, karena hilangnya hutan, air hujan mengalir melalui permukaan (run off) dan langsung ke sungai. Akibatnya, debit air sungai menjadi sangat besar. Hal inilah yang menyebabkan bencana banjir. Sedangkan sedimentasi yang terbawa selama run off akan menyebabkan pendangkalan sungai dan muara. Di sisi lain, erosi tanah pun akan semakin meningkat; lapisan-lapisan permukaan tanah atas akan hilang karena pergerakan air. Hal ini akan menyebabkan merosotnya produktivitas dan daya dukung tanah untuk produksi pertanian. Kualitas lingkungan hidup pun menurun. Semakin jelas bahwa hutan merupakan salah satu komponen ekosistem DAS yang berperan dalam mendukung kehidupan di suatu wilayah. Dengan kata lain, hutan merupakan indikator dalam daya dukung lingkungan. Manusia dengan permasalahan klasiknya, seperti peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan lahan untuk memenuhi hidup, menjadi penyebab utama
DOK. KKI WARSI
Sebagai suatu ekosistem, DAS tersusun oleh unsur biofisik yang bersifat alami dan unsur non-biofisik. Unsur biofisik antara lain berupa manusia, hewan, vegetasi, tanah, batuan, iklim dan air. Sedangkan unsur non-biofisik adalah manusia dengan segala macam permasalahannya, latar belakang budaya, sikap politik, sosial ekonomi, kelembagaan dan tatanan masyarakat itu sendiri. Kedua unsur ini saling mempengaruhi, tapi yang paling berpengaruh terhadap ekosistem DAS adalah unsur non-biofisik, yang terkait dengan perubahan perilaku manusia, karena unsur ini sangat kompleks.
FOTO : DOK. WARSI / AULIA ERLANGGA
36
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
FOTO : DOK. WARSI
MATA HATI / Ninuk Setya Utami / Fasilitator Pendidikan Orang Rimba /
[email protected]
Pelajaron di antara Pohon Tumbang
K
aki-kaki menyusuri jalan setapak yang becek dan licin. Semalaman hujan mengguyur bumi membuat daun-daun di hutan Bukit Duabelas, Jambi, tampak segar. Sisa rintiknya yang centil pun terus mengiringi perjalanan kami menuju sungai Desa Buluh, Aek Behan, untuk menemui murid-murid Rimba kami. Lotion anti nyamuk pun telah luntur tersapu basah. Pacet-pacet akhirnya berpesta ria di kaki-kaki kami yang telanjang tanpa kaos kaki. Unok (duri) tetap saja menancap tanpa diduga di antara kaki dan sandal atau bahkan di telapak tangan kami yang tiba-tiba harus meraih dahan agar tak jatuh terpeleset. Hanya perih dan.....Aduh, eesssttt!! Topi dan badana sempat nyangkut di dahandahan berduri. Mata harus tetap awas agar tidak tersandung akar-akar pohon. Di sisi lain, kepala satu-satunya ini juga harus diwaspadakan jika tidak ingin terbentur batang pohon yang melintang dan membuat kita seperti masuk goa, dimana badan harus dibungkukkan benar beberapa saat.
Pundak seakan mati rasa, seperti membawa angin. Tak terasa bahwa ada beban berkilo-kilo beratnya di pundak. Baju basah oleh keringat dan rintik hujan, seperti baru kecebur dari empang. Tidak peduli juga bau badan asli parfum keringat sendiri. Terpenting harus sampai ke tujuan. Manakala bertemu sungai, bagiku sendiri bagai menemukan surga yang menawarkan segala kesegarannya. Seteguk dua teguk mengobati dahaga, mungkin asik juga. Air yang jernih di sana juga seperti merayu, Basuhlah kakimu di sini, mungkin pegal-pegalmu bisa hilang. Yah, tidak lama lagi kami (aku-penulis, Ferry dan Agustinateman sesama Guru Rimba) akan sampai tujuan dimana anak-anak rimba menunggu kami untuk diajarkan baca, tulis, hitung. Rasanya tidak sabar untuk segera sampai. Pohon-pohon yang malang.... Namun kelegaan dan kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Karena ketika aku menyapu pandangan ke sekeliling, tiba-tiba mataku jadi nanar ketika
menangkap sebuah pohon besar tidak lagi tegak berdiri. Pohon itu telah telah terpuruk, terjerembab di antara aliran air sungai yang sangat jernih. Sepanjang aliran sungai, berderetan pohon-pohon yang tampaknya baru ditebas mengapung di sungai. Ada yang sendirian, ada yang telah dipersatukan, diikat sedemikian rupa dengan jumlah lebih dari sepuluh batang. Beberapa batang tak berdaya dan hanya bertengger di tanah yang miring. Tampaknya belum gilirannya diapungkan ke sungai. Apa yang telah terjadi? Bukankah program 100 hari anti illegal logging terpublikasikan begitu sukses di Jambi ini. Tapi 100 hari berlalu, dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas masih ada yang seperti ini?! Kami saling berpandangan dan tidak mengeluarkan satu patah katapun. Kami semua hanya bisa menahan perasaan marah dan sedih. Satu hal yang perlu diingat, kami datang untuk mengajar anak-anak Rimba. Kami pun meninggalkan tempat itu dengan menyusuri sungai yang penuh dengan balok-balok kayu. Semakin masuk ke pedalaman rimba justru semakin bebas memandang angkasa. Di atas sana, di sisi kanan kiri sungai, tanah begitu tandus, karena sang surya tak lagi singgah pada daun-daun yang hijau. Area yang harusnya rapat dengan pohon-pohon besar, kini telah kosong. Tidak ada kanopi pucuk pohon tinggi lagi yang memberi kenyamanan dan kesejukan bagi segala makhluk yang berada di bawahnya. Di pinggiran sepanjang sungai itu, bedeng-bedeng gubuk pebalok berdiri tegak. Dan anakanak sungai itu...menjadi lautan balok!! Tapi siapa lagi yang peduli?! Di sudut area lainnya juga tidak berbeda. Daun-daun telah berganti warna, coklat tanpa nyawa. Membusuk, tercampakkan ke bumi. Dahan-dahan dan daun pun tak berkutik dipisahkan dari badannya yang
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
37
MATA HATI besar. Hanya batang besar yang diambil. Pohon-pohon malang itu seperti sosok mayat manusia yang sudah tidak ada tangan dan kaki lagi...kutahan perasaan lagi dengan miris. Memasuki sore dengan udara yang cukup panas. Ternyata kami masih saja menemukan ratusan balok berukuran besar dan sedang di aliran sungai kecil lain. Mungkin mereka telah terapung berminggu lamanya di sana, menunggu waktu yang tepat untuk diselundupkan. Rumah sokola Warsi, tempat kegiatan belajar mengajar dilakukan hanya berjarak tak lebih dari satu meter dari sungai kecil itu. Rumah sokola Warsi cukup sederhana, terbuat dari patahan batang-batang bambu. Atapnya terpal biru. Ratusan balok di sungai yang keruh itu berjajar empat sampai lima batang, memanjang entah sampai di hulu mana. Berayat dan Nelikat, dua anak rimba, murid kami yang berkepala gundul adalah yang pertama datang. Mereka berjalan di atas pohon yang mengapung di sungai. Para pohon malang itu bergoyang manakala kaki kecil dua anak rimba itu menekannya. Satu per-satu sahabat-sahabat kecil kami akhirnya bermunculan. Mereka tampak penuh semangat dan antusias. Barangkali tidak seperti anak-anak kota yang kadang bermalas-malasan untuk bersekolah. Mereka justru tampak gembira menerima buku dan peralatan tulis yang kami bawa. Sayang, papan tulis telah rusak dan kami tidak membawa papan yang baru. Tanpa papan tulis pun, pelajoron harus tetap berjalan seperti biasa. Akeh telap belajor teruy sampoi esuk.... (Aku kuat belajar terus sampai pagi), kata Begenje antusias. Belajar di tengah raungan chainsaw Jadwal tertulis pada alam: Sarapan
pagi, makan siang dan sore manakala perut memang sudah minta diisi. Usai makan, pelajaran dimulai. Semua giat belajar, tekun, mencermati kata demi kata yang harus ditulis dan dibaca. Wajah-wajah mereka tetap riang walau sering salah dalam menulis. Bejaman jadi bojaman, segelo jadi sogolo, gejoh jadi gejo. Sebagian anak rimba yang sudah bisa baca-tulis ikut mengajari kawannya. Tidak ada kata malu dan segan di antara mereka untuk bertanya dan saling mengajari. Terkadang aku tegur budak (anak-red) bandel yang mencoba nyontek, Jengon ngolih
pohon itu pun merasakan kesakitan yang tiada tara meregang nyawa. Anak-anak rimba ikut terdiam, menatap ke arahku. Mereka diam membisu seperti aku. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Satu per satu pohon ambruk tak berdaya menahan baja tipis nan tajam setiap harinya. Apa jadinya Taman Nasioanal tanpa pohon? Kemana burung-burung akan hinggap dan bersarang manakala pohon tak ada lagi? Bagaimana nasip murid-murid yang hanya diajari baca tulis hitung ini? Semangat belajar mereka tersaingi tangisan pohon tumbang dan jeritan penghuni rimba. Lain sore kuluangkan waktu jalan ke sekitar sungai lagi. Kakiku menyusuri sungai dengan berjalan di atas balokbalok terapung yang sudah tercacah dengan tanda simbol pemiliknya. Aku tak pernah tahu dimana ujung kelokan sungai itu. Aku hanya merasa bahwa kakiku tak sanggup lagi berjalan di atas mayat pohon-pohon itu. Dari kejauhan sana, anak-anak rimba mandi di antara tatanan balok yang rapat menutupi hampir semua permukaan air. Menyelam di kedalaman dua meteran.
FOTO : DOK. WARSI
38
punya kanti. Todo kanti lah tokong, mika hopi tokang. (Jangan lihat punya kawan, nanti kawannya bisa, kamunya malah tidak bisa). Namun konsentrasi kami tiba-tiba buyar ketika tak jauh dari tempat pelajoron kami, terdengar suara bising. Chainshaw meraung-raung menggesek pohon-pohon hidup yang masih tersisa. Beberapa menit kemudian pohon-pohon itu tumbang berdebam tanpa ampun. Suara chainshaw lebih keras dari suara teriakanku yang mengeja kata-kata untuk budak-budak kecil itu. Aku hanya terdiam, mencoba membayangkan bagaimana sakitnya jika jiwa ini dipisahkan dari raga dengan dimutilasi seperti itu. Aku yakin pohon-
Satu dua orang laki-laki pebalok berjalan ke arahku. Mencari sedikit celah antara sungai dan rumah sokola. Pakaiannya compang-camping dan basah kuyup. Dari tangan-tangan pahlawan keluarga itu, kanopi-kanopi di rimba ini tumbang. Para pencari sesuap nasi untuk istri dan anaknya ini telah menyaingi teriakan anak-anak dikala mengeja kata-kata dengan pekaknya suara chainshaw. Di buku anak-anak rimba tersebut kemudian tertulis, Betong-betong di rimba kami lah rubuh. Piado lagi ruma bagi kami dan pemakonon natongnatong kami....(Pohon-pohon di rimba kami telah roboh, tidak ada lagi rumah untuk kami). (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
MATA HATI / Musfarayani / Muhammad Rafii Rangkuti / Sutardi Diharjo /
[email protected] Tentu saja, selain Temenggung Tarib (pemimpin kelompok Rimba di daerah Sungai Paku Aji, Air Hitam, Jambi), ini adalah pertama kalinya bagi Temenggung Marituha (pemimpin kelompok Rimba di daerah Sungai Terab), Menti Pengusai (semacam Menteri dari daerah Sungai Makekal) dan Ejam (wakil pemuda Orang Rimba) pergi jauh dari rimbanya. Mereka akan ke Pulau Siberut-Mentawai- yang jaraknya 100 mil dari kota Padang dengan menggunakan kapal laut.
FOTO : DOK. WARSI / MUSFARAYANI
Sementara bagi Temenggung Tarib ini adalah perjalanan jauhnya yang keempat kali. Awak sudah pernah naik burung besi (pesawat terbang) waktu ke Jakarta dulu. Naik kapal laut juga pernah waktu ikut forum suku asli di Jakarta, ujarnya dengan riang sambil tidak henti-hentinya menyemburkan asap rokok kretek kegemarannya. Temenggung Tarib memang pernah pergi ke Jakarta untuk mendapatkan penghargaan Kehati Award 2000 dari Wapres Megawati Sukarnoputra atas perjuangannya terhadap kelestarian alam di TNBD. Kami (lima staf KKI Warsi) mefasilitasi keempatnya untuk mengunjungi suku asli Mentawai yang ada di pedalaman hutan sebelah utara Pulau Siberut, tepatnya di daerah bernama Bekkeiluk dan Desa Salapa. Kami semua dipandu fasilitator dari Yayasan Citra Mandiri (YCM) Padang yang selama ini mendampingi masyarakat asli Mentawai. Keempatnya akan bertukar pengalaman dan belajar tentang nilai-nilai kearifan adat budaya Suku Mentawai, begitu juga sebaliknya. Apalagi masalah yang mereka hadapi juga nyaris sama yaitu terancamnya sumberdaya alam hutan dan illegal logging. Termasuk masalah krisis identitas dan jati diri yang tengah mereka alami.
Rendezvous Orang Rimba ke Mentawai
M
alam dengan rintik hujan di dermaga Muaro Padang, Sumatera Barat. Rutinitas yang biasa sebenarnya: Hiruk pikuk calon penumpang, bising dan kuli pengangkut barang. Namun bukan suasana yang biasa bagi empat Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, yang selama ini hanya mengenal area hutan seluas 60.500 ha.
Kekhawatiran akan cuaca buruk dan badai sirna seketika begitu melihat lautan kelam tampak tenang tanpa rintik hujan lagi. Marituha dan Ejam jadi seantusias Temenggung Tarib karenanya. Sementara Pengusai yang pendiam hanya tersenyum samar mendengar ocehan Ejam yang mulai ceria dan cerewet. Rupanya, obat anti mabuk tidak langsung membuat mereka ingin tidur. Sibuklah kami, para Fasilitator KKI Warsi memberikan penjelasan dengan menggunakan bahasa Rimba ketika Ejam, Marituha bahkan Temenggung Tarib mulai bertanya. Ini cukup menjadi perhatian bagi sebagian besar penumpang yang kebanyakan Orang Mentawai itu. Marituha misalnya, mengaku belum pernah melihat laut luas hingga daratan tidak terlihat satu pun. Ketakjuban mereka semakin besar ketika pagi harinya kapal mulai merapat di Dermaga Desa Meilepet, Kecamatan Siberut Selatan. Pemandangan pagi di sana begitu mengesankan. Air laut jernih yang keperakan diterpa mentari pagi, pulau-pulau hijau yang terlihat dikejauhan, pohon
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
39
MATA HATI bakau yang menutupi sebagian pantai, dan udara paginya yang segar. Jelas, berbeda dengan di TNBD. Beik halom Mentawai Moma, (Sungguh bagus alam Mentawai ini), ujar Temenggung Tarib berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala. Pertemuan dua suku asli Sehari istirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Dibutuhkan waktu empat jam dengan perahu motor untuk melintasi sungai Siloinan yang mempunyai kelok-kelok tajam guna mencapai batas Bekkeiluk. Sebelumnya kami juga harus menyusuri laut sebelum mencapai batas sungai. Kami sempat menggoda Ejam yang meringis terkena tamparan cipratan air laut. Ejam, kawana minum aik lout nioma! ujar Sutardi fasilitator Kesehatan Warsi. Puihh! Hopi melawon, masin sekali, umpat Ejam sambil berusaha memuntahkan kembali air laut yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya. Membuat kami tertawa melihatnya. Sementara Marituha dan Pengusai tampak gelisah. Tiba di batas Bekkeiluk. Kami melanjutkannya dengan jalan darat, berjalan kaki selama satu jam. Kondisi jalannya membuat kami ingin berteriak, Ampuun! Sepatu atau sendal gunung semahal apa pun tidak ada gunanya. Nyeker alias bertelanjang kaki itu lebih tepat untuk menghadapi medan jalan yang berlumpur dalam. Maka siap-siaplah kaki terkena duri, akar kayu, atau batu. Lebih dari itu siapsiaplah untuk mandi lumpur!! Cpraatt!! seorang dari kami jatuh. Yah, perjalanan ini cukup berat. Maklumlah, hutan di Mentawai rata-rata adalah tipe hutan rawa, air tawar, dan mangrove. Awak (saya) kalau dikasih bidadari sekalipun di sini, awak hopi (saya tidak) mau tinggal di sini, tandas Temengggung Tarib, membuat kami tersenyum setuju. Setelah susah payah dan kaki tersayat-sayat duri, tiba jugalah kami di pemukiman orang asli Mentawai di Bekkeiluk yang berada di tengah belantara hutan. Tampak rumah-rumah panggung (sapo) beratap daun sagu yang dianyam rotan (mandorouk) yang dinamakan toba. Namun rumah-rumah ini jelas lebih kokoh dari yang dimiliki Orang Rimba yang sangat sederhana itu. Orang-orang Mentawai di Bekkeiluk tidak jauh beda dengan orang dusun. Hanya beberapa lakilaki yang masih menggunakan kabit (semacam cawat) serta tubuhnya dibubuhi tato yang penuh garis horisontal disepanjang paha, dan gambar-gambar bunga/tumbuhan
atau hewan yang ada di sekitar pundak depan atau perut. Beberapa diantaranya juga masih berambut panjang yang diikat ke belakang dengan tali kain merah. Kedatangan kami juga disambut oleh babi-babi hutan gemuk berlumpur dan anjing yang berkeliaran dengan bebas di antara sapo-sapo. Temenggung Tarib dan tiga kawannya terperangah ketika mendengar bahwa babi-babi tersebut adalah dipelihara (diternak). Kandang babinya tepat di bawah sapo yang menjadi tempat tinggal keluarga Orang Mentawai. Babi adalah makanan kegemaran Orang Rimba tapi mereka tidak memeliharanya melainkan diburu. Tidak jauh dari sapo-sapo ada sungai kecil yang berair jernih. Sehingga air itulah yang langsung kami serbu untuk membersihkan kaki dan celana masing-masing yang terlumuri bubur lumpur kental. Rombongan juga disambut ramah sejumlah warga Bekkeiluk termasuk Kepala Adat (Sikebbukat Uma), Teu Saibit, yang langsung membawa tamunya ke sebuah sapo paling besar dari lainnya yang disebut dengan uma. Di tempat inilah segala upacara dilakukan dan juga kepala adat serta keluarganya tinggal. Di teras rumah uma ada sangkar-sangkar kecil dari rotan bergelantungan yang berisi induk ayam dan anaknya. Ini tentu saja mengherankan Orang Rimba karena dalam adat mereka terlarang makan ayam atau makan hewan yang jadi peliharaan.
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
40
Kasihan, sudah dipelihara lalu disembelih untuk dimakan. Jadi pantang bagi kami memakan makanan yang diternak, jelas Temenggung Tarib. Untuk naik ke uma harus hati-hati karena menggunakan tangga kecil dari batang kayu (lokkot). Uma ini cukup besar namun tidak ada sekat kamar sama sekali. Ruangan hanya terdiri dari teras pertama tempat dimana ayam berkeliaran mematuk batang sagu, teras kedua, sisi kanan dan kiri ada
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
MATA HATI bangku kayu untuk menerima tamu, di satu sisi juga ada tempat khusus memasak babi dan dua wajan besar. Lalu ada ruang utama untuk makan, rapat dan segala upacara digelar. Terakhir ruang belakang yang ternyata sebagai tempat untuk tidur yang dilengkapi kelambu dan dekat dengan dapur. Di uma ini juga begitu banyak tengkorak binatang terpajang di dekat atap pintu masuk teras tamu dan ruang utama serta ada anyamanyaman kering yang terpintal panjang. Tengkorak yang digantung pada sisi atas pintu masuk adalah tengkorak babi peliharaan. Banyaknya tengkorak babi itu menandakan jumlah pesta yang digelar di uma tersebut. Sementara tengkorak yang digantung di dekat sisi atas pintu ruang utama adalah tengkorak hasil buruan yang dimaksudkan agar penunggu uma senantiasa mendapatkan rezeki. Malam di uma. Diiringi suara sengau babi-babi tepat di bawahnya, dan anjing-anjing yang seperti ingin ikut nongkrong bareng di dalam uma, keakraban dua suku baru terasa. Apalagi ketika Teu Saibit, tetangga dan keluarganya tahu bahwa tamu mereka adalah temenggung dari suku asli yang sangat jauh di seberang lautan. Teu Saibit pun langsung beranjak kemudian duduk disamping Temenggung Tarib. Dia mengulangi penyambutan sebelumnya. Kali ini tidak hanya dengan berjabat tangan tetapi juga dengan berpelukan erat sebagai tanda persahabatan. Tentu saja adegan ini menimbulkan rasa keharuan tersendiri. Maka tidak lama pecahlah segala tawa, canda dan tepukan pundak bersahabat ketika mereka satu dan lainnya menceritakan adat dan budayanya masing-masing. Terkadang mereka harus menjelaskannya dengan perilaku unik dan lincah sekadar memberikan gambaran yang jelas dari yang tengah mereka ceritakan.
Kami Orang Rimba samo becawat mumpa Orang Mentawai kini hopi becawat ngoli kami turun ke dusun sebab malu samo orang dusun. Tapi apo sekalian di rimba kami tetap terui becawat, (Kami orang Rimba juga bercawat seperti orang Mentawai. Sekarang tidak bercawat karena kami turun ke desa dan malu sama orang desa. Tapi kalau lagi di hutan kami tetap terus bercawat), demikian jelas Temenggung Tarib. Teu Saibit pun mengungkapkan hal yang sama. Namun diakui bahwa kini tidak banyak Orang Mentawai memakai cawat (kabit bagi Orang Mentawai) terutama di kalangan generasi mudanya. Kami menggunakan kabit yang dibuat dari kulit kayu baikko untuk dukun (sikerei semacam dukun Mentawai yang bisa mengobati orang sakit). Kabit ini khusus diwarnai dengan getah kulit bakao sehingga kelihatan berwarna merah, sedangkan yang bukan dukun tidak diberi warna, jelas Teu Saibit yang diterjermahkan oleh Julianus warga setempat yang juga guru bagi anak-anak Mentawai di Bekkeiluk. Teu Saibit bahkan mempersilahkan Temenggung Tarib dan kawan-kawannya untuk memegang kabit yang dia pakai. O..o..au-au...sangat baik nio, (Oh ya, ya, sangat bagus ini), decak kagum Temenggung Tarib. Kami jugo sobonornye dahulu juga mengenako cawot dari kulit kayu yoya kayu Terab namonye. Namun semenjak mengenal koin kini lah ditinggalko, (Kami juga sebenarnya menggunakan cawat dari kulit kayu. Kulit kayu Terab namanya. Tapi sejak kenal kain, sekarang ditinggalkan). Lalu Temenggung Tarib dan kawan-kawannya memperlihatkan bagaimana Orang Rimba menggunakan cawat. Anak-anak kecil yang ada di sana tertawa cekikikan melihatnya. Esoknya Orang Rimba diajak untuk melihat cara Orang Mentawai mengambil sagu. Orang Rimba ikut membantu memarut bahkan ikut menggilas sagu untuk mendapatkan tepung atau sari sagu. Orang Mentawai umumnya memang mengkonsumsi sagu. Di tiap rumah tangga Mentawai mempunyai ladang sagu sendiri yang ditandai dengan tanaman kayu Irip sebagai pembatas antar ladang mereka. Seperti halnya pohon kelapa, setiap bagian pohon sagu selalu ada gunanya. Daunnya untuk atap rumah, isi batangnya untuk makanan babi dan ayam. Sedangkan hasil saringan digunakan sebagai kudapan Orang Mentawai. Kulit batangnya dijadikan untuk kayu bakar. Sementara akarnya digunakan untuk obat sakit perut dan pelepahnya digunakan untuk kayu timba (dedeibu), buahnya yang masak juga bisa dimakan. Bahkan ulat yang ada di batang sagu pun menjadi santapan enak Orang Mentawai yang bisa dimakan mentah-
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
41
FOTO : MUSFARAYANI / DOK. WARSI
42
mentah selagi ulat itu menggeliat atau ulat itu di sup dan di sate. Orang Rimba juga diajari untuk bertanam nilam dan melakukan penyulingannya sendiri sehingga menghasilkan minyak nilam yang tidak begitu dikenal sama sekali oleh Orang Rimba. Melihat hal ini empat Orang Rimba ini kemudian banyak bertanya tentang membudidayakan nilam. Curhat Dua Suku Malam menjelang (hari terakhir di Bekeiluk). Hampir semua Orang Mentawai yang masuk wilayah Bekkeiluk berdatangan ke uma Teu Saibit dan berkumpul melingkar di ruang utama. Hingga akhirnya mereka saling curhat tentang masalah yang mereka hadapi terutama dalam mempertahankan hutan tempat hidup dan kehidupan mereka. Ejam misalnya menceritakan bahwa dia sebagai orang muda Rimba merasakan betapa Orang Rimba sering dikerjai orang luar yang bermaksud untuk menebang hutan. Kami orang Bukit Duabelas, yang muda-muda, pikiran kami pada pendidikan. Karena yang tua-tua tidak pada sekolah karena pikirannya tidak pada sampai situ. Banyak kejadian suratsurat (dari luar) kepada bapak bapak (orang tua) kami untuk menebas hutan. Mereka minta bapak-bapak kami menaruh tanda jempol di surat. Ternyata surat jempolnya itu surat restu hingga mereka bisa mengambil kayu. Makanya kami orang muda sekolah. Biar kami tahu tujuan surat itu. Kalau kami tahu surat itu jahat, kami tolak. Kami sekolah juga supaya tahu hitungan dan tidak ditipu. Teu Saibit lewat Selester juga menjelaskan, apa yang dihadapi Orang Rimba saat ini sama saja dengan yang dihadapi Orang Mentawai. Selain adat budaya mereka yang arif mulai ditinggalkan anak-anak mudanya juga masalah hutan tempat hidup dan kehidupan mereka juga mulai terancam. Dia juga menambahkan, Orang Mentawai juga menganggap pendidikan bagi anak-anak Mentawai itu sangat penting. Akhirnya mereka pun sepakat bahwa sesungguhnya mereka
senasib dan seperjuangan. Artinya mereka telah menjadi saudara. Sehingga tidak terasa kehangatan dan keriangan kembali mengalir. Bahkan Teu Saibit meminta Temenggung Tarib dan kawan-kawannya menunjukkan sesuatu yang bisa menghibur mereka. Lalu diputuskannyalah Ejam untuk memperlihatkan nyanyian Orang Rimba saat menomboy (semacam nyanyian yang menceritakan tentang proses pengambilan madu di pohon Sialang). Teu Saibit pun akhirnya memberikan penghormatan kepada tamunya dengan melantunkan tembang yang sesungguhnya adalah doa suci dalam sebuah prosesi upacara adat. Doa yang dilantunkan dengan intonasi nadanada aneh membuat merinding segenap orang yang mendengarnya. Kadang melengking tinggi kemudian tibatiba sangat rendah dan halus. Itu semua dilafalkan dalam satu nafas. Kami semua terkesima (tidak ngiler, yah). Tidak terbayangkan jika lantunan tadi dilakukan dalam kondisi upacara adat yang formal ala Orang Mentawai. Pasti fantastis! Dijelaskan bahwa doa itu biasa digunakan Teu Saibit yang juga berperan sebagai Sikerei dalam satu upacara adat atau pemanggilan roh-roh suci. Doa itu sesungguhnya tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena bila terjadi kesalahan akan berbalik mengancam keselamatan jiwa Sikerei. Tapi ini istimewa, Teu Saibit ingin sekali menghormati tamunya. Dia mengambil resiko itu. Kalian sudah dianggap lebih dari sahabat, jelas Tarida dari YCM. Membuat kami sebagai tamu merasa terharu mendengarnya. Namun kebersamaan itu akhirnya harus berakhir. Tapi persahabatan antara dua Orang Rimba dan Mentawai kini sudah terpatri dalam sejarah suku mereka masing-masing. Setidaknya sekarang mereka tahu, bahwa mereka tidak sendiri lagi. A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
WAWANCARA 43
Iwan Fals : Kalau Alam Hancur Kamu Juga Hancur!
perkembangan yang ada di Indonesia selama 44 tahun perjalanan hidupnya. Jika anda teliti terhadap lagu-lagunya, maka sangat jelas kita juga seperti diajak melihat catatancatatan peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri tercinta ini. Liriknya selalu sederhana namun bermakna dalam, lengkap dengan perenungan khas seorang Iwan Fals.
ambutnya mulai kelabu. Garis-garis kematangan perjalanan hidupnya terpahat halus di wajahnya yang tenang. Kata-kata yang keluar pun selalu apa adanya dan berakhir dengan kesederhanaan. Sikapnya juga memantulkan kerendahan hati yang semakin menguatkan sosoknya sebagai layaknya seorang legenda hidup.
Wawancara ini juga dilakukan bukan hanya sekadar memberikan dukungan bagi konsernya tetapi juga ingin mengetahui lebih jauh pandangannya terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan alam yang sering diabaikan oleh sebagian besar masyarakat negeri ini. Dalam sekian lagu yang diciptakan, begitu banyak lagu-lagu terdahulunya juga menyoroti masalah hutan, lingkungan dan orang-orang tertindas. Rasanya semua itu, masih terasa aktual untuk didendangkan. Berikut wawancaranya.
R
Demikian kini sosok Virgiawan Listanto atau yang biasa dikenal sebagai Iwan Fals, penyanyi yang biasa menyuarakan kritik-kritik sosial, yang oleh Majalah TIME Asia edisi 29 April 2002, pernah dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asian Heroes) yang disejajarkan dengan sosok legenda Asia lainnya seperti San Suukyi, Hidetoshi Nakata, Jackie Chan hingga Pramoedya Ananta Toer. Sosok dan lagu-lagunya sering diidentikkan dengan Bob Dylan, penyanyi balada Amerika yang juga suka menyuarakan kritik-kritik sosial. Bob Dylan juga merupakan sosok idola bagi ayah bagi tiga anak ini. Kendati kini lagu-lagu terakhirnya tidak segalak dahulu, namun bukan berarti dia melupakan atau tidak mempedulikan apa yang sesungguhnya tengah terjadi di negerinya sendiri. Dengan segenap kemampuannya sebagai pekerja seni, dia tetap memberikan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Merasakan kembali panggung besar bersama grup band anak muda Slank, dia ikut melakukan konser amal : Bersatu dalam Damai-Solidaritas untuk Aceh, untuk membantu para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih terpuruk dan terhimpit dalam kesulitan hidup pasca bencana. Target Rp 3 milyar diinginkannya dalam konser amal ini. Di sela jadwal turnya yang padat itulah, Musfarayani dan Invicta Sudjarwati dari Alam Sumatera secara eksklusif diberi kesempatan untuk mewawancarainya beberapa saat setelah dia dan rombongannya baru tiba di Jambi usai menempuh enam jam perjalanan darat dari Palembang, pada 25 Maret 2005 lalu. Dan sepanjang berbicara dengan Iwan Fals bisa dipastikan akan terus nyambung apa pun temanya. Karena dia jelas sangat rajin baca (berita), nonton TV dan mengamati
Alam Sumatera (AS) : Sebagai pekerja seni bagaimana pandangan Bang Iwan sendiri melihat bencana tsunami dan masalah lingkungan yang ada di Indonesia ini? Iwan Fals (IF) : Penting benar mempertahankan hutan bakau di sekitar pantai. Pengetahuan tentang laut kita pun sama pentingnya. Itu hikmah yang saya lihat dari kejadian Tsunami itu. Apalagi di sana banyak sekali pantai. Lalu kesiapan (badanbadan) sosial, atau badan-badan penyelamat untuk tidak gugup dalam kondisi seperti itu. Itu pelajaran yang berharga. Aku melihatnya seperti itu. Kalau soal perjalanan ini (konser amal untuk Aceh bersama Slank), yah
kita berusaha cari uang. Berusaha walau sedikit untuk membangun infrastruktur, meski persoalan mental itu juga enggak gampang, yah. Apalagi saya dengar juga banyak warisan-warisan budaya di sana juga hilang karena kejadian itu. AS : Seharusnya kalau kita punya pengetahuan berkaitan dengan tsunami, mungkin kejadian hingga memakan korban banyak tidak perlu terjadi
.. IF : Yah, harusnya begitu. Begitu air laut surut, kita kan, bisa lari ke gunung, umpamanya. Pagi-pagi bangun... Tapi kita tidak tahu soal itu. AS : Ada kesempatan bagi Bang Iwan sebagai pekerja seni untuk bisa melakukan sesuatu untuk membantu. Tapi tidak semua masyarakat yang bisa. Mau membantu tapi tidak tahu cara melakukannya. Bagaimana perasaan Bang Iwan punya kesempatan ini? IF : Yah banyak. Aku pikir semua orang di Indonesia ini melakukan sesuatu. Paling enggak ikut berpikir tentang itu. Saya enggak bisa bilang seneng atau sedih, yah.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
WAWANCARA 44
mentang rakyatnya siap, mentang-mentang rakyaknya tabah, jangan lantas mereka jadi sewenang-wenang gitu. Malah ini model awal pengelola negara untuk bisa kerja lebih siap lagi. Bisa dibayangkan kalau umpamanya rakyatnya gampang berkeluh kesah. Bisa lebih susah lagi bagi pengelola negara. Kau beri jelek aja, aku siap. Apalagi kau beri aku kebaikan, aku lebih siap. Jadi ini sebenarnya poin yang baik buat pengelola bangsa ini. Karena saya melihatnya seperti itu, ok, kalau gitu, saya melihat ke dalam diri saya. Mungkin berkomunikasi dengan yang terlihat oleh saya. Depan mata saya. Yah, mungkin keluarga, mungkin tuhan, misalnya. Itu sebabnya. Walaupun saya masih baca koran, lihat televisi, lihat orang-orang pedalaman, ada, kan? Kita maksudnya ingin kasih mereka pinter tapi malah jadi salah. Soal hidup bagaimana hidup, ternyata mereka lebih jago daripada kita (Iwan terkekeh). AS : Bang Iwan punya pengalaman dengan orangorang pedalaman? FOTO : AULIA ERLANGGA / DOK. IFM
Sekarang, bagaimana kita membantu ini. Karena ini enggak menyangkut sebulan dua bulanan tapi lima tahunan atau puluhan tahun. Saya hanya menyimpan stamina saja jika diperlukan sambil terus mengamati persoalan sumbangan dari luar. Bukan persoalan ini saja tapi ini juga sudah jadi persoalan dunia. Semua orang membantu. Tapi kan, belum cair atau apa namanya begitu. Kita targetnya sampai bulan April (konser amal untuk Aceh bersama Slank). Perjalanan kita ini sampai 3 April. Walaupun sebagian orang yang dikunjungi sudah capek yah, dengan persoalan ini. AS: Ada perubahan warna romantik dalam lagu Bang Iwan belakangan ini. Kesannya sekarang kurang galak dalam menciptakan lagu. Apakah itu juga ada semacam perubahan pandangan Bang Iwan terhadap kondisi bangsa ini, apakah ini sesuatu yang bagus, atau sesuatu yang sebenarnya bagi Bang Iwan sudah cukup dan tidak perlu ada kritik lagi? IF : Secara prinsip, saya sih, enggak ada perubahan. Artinya saya berjalan saja sesuai dengan apa yang saya tahu. Sesuai dengan umur saya. Saya mengikuti alam sajalah. Saya enggak pernah memaksakan. Tapi memang betul bahwa setelah ada tur di 36 kota dulu, Satu Hati Satu Rasa (di 32 kota dari 24 Mei-24 Agustus 2002red), saya dapat kesempatan melihat banyak daerah. Setelah perjalanan itu saya merenung dan berpikir, ternyata semua orang mampu menyelesaikan masalahnya. Semua orang bisa menjawab persoalannya. Jadi sesungguhnya orang yah, kalau enggak parah-parah banget enggak perlu bantuan. Orang bisa hidup dengan menjual rokok, menambal ban, atau hidup di tepi hutan karet. Mereka bisa hidup, bisa tertawa, bisa gembira. Jadi, setelah saya melihat seperti itu, saya jadi agak takut. Agak takut memberikan kritik-kritik. Karena, Ah, sok ngritik, naahh gitu kan (Iwan tertawa). Atau, Sok kaya lu!. Ada yang kayak gitu. Aku mampu, kok. Ada orang yang enggak suka digituin. Aku enggak perlu bantuan kamu, Aku enggak perlu diginiin, aku bisa hidup. Jadi agak hati-hati. Saya lebih cenderung keperenungan. AS : Artinya Bang Iwan sendiri melihat bahwa bangsa kita ini, rakyatnya sudah bisa membela dirinya sekarang ini? IF : Ya! Yang perlu dikiritik adalah mungkin penguasa atau pengelola negara. Persoalan bagaimana membuat jalan benar saja mereka enggak bisa. Itu yang perlu dikritik. Tapi kalau persoalan masyarakat, mereka sudah siap sekali. Bahkan mereka enggak ngeluh. Bukan berarti mereka enggak bisa bicara meski ada anggapan mereka enggak bisa bicara. Sudah terlalu sering mereka digitukan. Tapi enggak ada waktu untuk itu (buat rakyat). Mereka (rakyat) sudah sibuk bekerja untuk mengelola dirinya sendiri. Tapi harapan saya kepada pengelola negara : Mentang-
IF : Langsung enggak. Tapi kalau ditelevisi itu, kalau ada acara-acara itu saya suka nonton. Artinya kalau kita mau masuk ke pedalaman itu, mungkin, kita harus belajar dulu kearifan di situ. Kita harus tahu persis apa kebutuhannya, jangan langsung apa yang enggak mereka butuhkan (Iwan terkekeh lagi) malah diberikan. AS : Belum lama ini kita menggelar acara forum-forum suku-suku asli dimana mereka tinggal di pedalaman. Kondisi mereka pas sekali dengan lagu Bang Iwan, Balada Orang Pedalaman. Lagu itu ternyata masih aktual dengan kondisi mereka yang hingga kini masih termarginalkan. Apa ada keinginan yang dikedepankan lagi oleh Bang Iwan dengan masyarakat yang termarginalkan? IF : Iyaa. Ada penebalan jadinya buat saya (dari balada pedalaman). Tadinya yah, saya pikir hanya kasihan. Tapi ternyata setelah melihat sekarang ini jadi benar-benar kasihan. Karena benar-benar hutannya dirambah, diambil, akhirnya terpinggir, pinggir... akhirnya mereka marah dan malah jadi kriminal atau apa. AS : Apakah ada kelelahan dari Bang Iwan sendiri ketika
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
WAWANCARA banyak tuntutan dari masyarakat, fans agar Bang Iwan menyuarakan orang-orang terpinggir ini lagi? IF : Iya. Kemarin saya ngomong sama istri saya (Rosana atau akrab dipanggil Yos-red) di kamar. Di perjalanan. Mungkin kita bersuara ini lagi. Terus terang ini mafia semua. Sadar enggak sadar, lingkungan kita ini sudah sangat parah sekali. pengelolaannya, alamnya. Saya tanya ke istri saya (Iwan nyengir), capek enggak kamu? dia bilang, Yah capek, tapi mau gimana lagi. Ini sudah panggilan, ini harus berjalan. Jangan hanya karena segelintir orang terus kita lantas menyerah. Ya, sudah terimakasih saja dan bersyukur saja. Saya bicarain ini dua hari lalu AS : Tanggapan istri Bang Iwan? IF : Yah dia juga capek. Umpamanya nih, kita datang untuk pertunjukan bantu Aceh. Penontonnya yang datang 100 ribu yang beli tiket cuma 5000 doang. Yang lainnya nerobos melulu, itu di beberapa kota ada kayak gitu. Saya
jadi hal konkret dan nyata. Sebab kita butuh udara yang sehat. Hutan itu paru-paru kita. Ini sudah jadi kebutuhan. Mulai sekarang kita harus menanam meski sedaun atau hanya sebiji. AS : Mengikuti juga gebrakan pemerintah sekarang dalam memerangi illegal logging? IF : Saya enggak detil mengikuti. Cuma yang terakhir yang saya ikuti sampai ke Papua, kan? Artinya banyak media yang mengabarkan itu semua. Gue pikir orang juga enggak mau bunuh diri, kan? Setelah kamu punya uang, ok, kamu mau ngapain? Setelah habis-habisan, kamu rambah semua. Setelah kamu kaya, masa kamu ingin hidup di alam yang tandus? Kalau alamnya hancur kamu juga hancur! Jadi, makan itu tuh, uang! Jadi bunuh diri, namanya. Yah, gua pikir ini persoalan bersama-sama. Hanya masalah ketidaktahuan kita. Persoalan hutan kita kan, setelah kita menanam kembali, orang yang hidup dari hutan itu
bilang, ini rampok namanya (Iwan terkekeh). Sementara keamanannya segala macam, bukannya bantu malah ikut. Itu baru soal musik. Saya bisa bayangin bagaimana yang illegal logging, bagaimana soal KKN yang lain-lain, ini baru persoalan musik aja udah begitu, apalagi persoalan yang enggak terlihat. Ini yang terlihat di depan langsung. Kan, kata orang dulu musik itu santapan raja-raja (Iwan ketawa). Tapi walaupun itu santapan raja-raja buat saya kan, enggak berlaku sama sekali. Saya hanya melihat dari musik, mudahmudahan saya bisa melihat kehidupan. AS: Abang tampaknya mengikuti semua perkembangan di Indonesia, apakah juga mengikuti perkembangan soal illegal logging dan bagaimana tanggapan abang? IF : Enggak ada jalan lain kecuali menanam kembali. Karena enggak ada istilah telat buat yang hidup. Kalau tumbuh-tumbuhan itu kan, usianya bisa ratusan tahun. Tidak ada pilihan lain kecuali ditanam sekarang. Segala yang ada di dalam hutan sekarang sudah habis semua. Dengan ditanam kembali, bukan hanya tumbuh-tumbuhan yang akan hidup tapi kehidupan lain yang bisa menunjang keseimbangan alam bisa terjaga. Ini bukan mustahil ini bisa
juga harus hidup lagi. Penebang kayu gantinya apa, kalau pemerintah sudah tahu gantinya, enggak masalah. Penebang kayu juga butuh pohon, kok (untuk bernafas-red). AS : Menurut Bang Iwan apa pemerintah sudah maksimal memerangi Illegal logging dan masalah lingkungan yang kini telah menjadi bencana bagi masyarakat? IF : Saya bukan pakarnya. Tapi yang saya tahu Pak Kaban (MS Kaban-Menhut-red) itu orang sederhana dan cukup berpikir untuk orang lain. Mudah-mudahan ini jadi baik. Kalau orang sesederhana Pak Kaban
yah kita lihat saja. Saya sih, berharap banyak. AS: Terakhir, arti alam dan hutan bagi Bang Iwan? IF : Yang saya tahu bahwa dalam hidup ini ada hukum alam besar, kecil, sosial. Jika kita melanggar hukum-hukum ini akan menjadi neraka bagi kita. Jika kita melanggar hukum sosial malah akan tersingkir dari masyarakat. Melanggar alam kecil hukum kita sendiri juga ada balasannya. Tidak bisa kita melawan alam. (Musfarayani /Invicta Sudjarwati)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
45
SUARA RIMBA / Marahalim Siagian / Antropolog /
[email protected]
P
ada awal Maret lalu, sejumlah Orang Rimba berdatangan ke Desa Jernih, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Kedatangan mereka lebih karena ingin menghormati Camat setempat yang telah mengundang mereka. Apalagi mereka telah diberikan segala bantuan berupa gula, beras, mie instant dan sejenisnya. Orang Rimba Air Hitam (yang secara administratif tidak pernah didata dan memiliki KTP ini) diundang untuk memilih seorang Jenang.
FOTO : DOK. WARSI / MARAHALIM
46
Ada tiga calon yang bersaing untuk dipilih yaitu Kepala Desa Lubuk Jering, H Rambli, mantan Kepala Desa Jernih, Datuk Ismail, dan mantan Kepala Desa Lubuk Jering, Abdul Muis. Kemudian pemilihan itu menempatkan Datuk Ismail menjadi Jenang baru bagi Orang Rimba di Air Hitam. Ismail sendiri adalah menantu Jenang Bahar yang telah meninggal sekitar empat tahun lalu. Tidak begitu jelas sebenarnya maksud dan tujuan untuk diadakannya jenang lagi di Air Hitam, setelah segala akses di sana sangat mudah dijangkau. Ketika disebutkan di berbagai media lokal Jambi bahwa pembentukan jenang lebih untuk membina Orang Rimba, maka ini sangat kontras dengan sejarah jenang itu sendiri dimana peran jenang hanya sebagai tangan panjang kerajaan sultan di Jambi untuk mengetip pajak bagi masyarakat pedalaman, karena akses jalan yang begitu sulit. Dalam berbagai literatur adat budaya Melayu yang tersebar disebutkan bahwa jenang itu adalah orang yang ditunjuk Raja di Jambi untuk memungut pajak pada Orang Rimba. Kemudian makna jenang dikembangkan demi kepentingan Sultan dan elit keluarga jenang merambah ke aspek ekonomi, politik bahkan budaya Orang Rimba. Dalam aspek ekonomi jenang adalah toke yang
Jenang-Waris, Dewa Penolong Orang Rimba? bis memonopoli dan memungut hasil hutan non kayu Orang Rimba. Dalam aspek politik jenang mempunyai legitimasi untuk mengesahkan/ memberi legitimasi kepada pemimpin Orang Rimba. Dalam aspek perannya, jenang meluas kepada sengketa internal dan ekternal yang di hadapi Orang Rimba di kelompoknya juga yang terjadi di luar kelompoknya. Selain Jenang, Orang Rimba terikat
pada sistem waris. Waris adalah Orang Desa yang dalam mitos Orang Rimba diakui sebagai saudara laki-laki yang tinggal di luar hutan, hidup berkampung dan memeluk agama Islam yang sekarang disebut dengan Waris Tanah Garo. Sedangkan Orang Rimba adalah Keturunan saudara perempuan dari penduduk Desa Tanah Garo yang tinggal di hutan dan hidup berkelompok tanpa memeluk salah satu agama resmi yang diakui pemerintah.
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SUARA RIMBA 47
Sifat Hubungan Orang Rimba dengan Waris
Sifat Hubungan Orang Rimba dengan Jenang
Politik: * Dominasi di utara * Pemegang sumberdaya alam dan manusia * Diperankan rio (kepala desa) Tanah Garo * Mengatur dan memberi hidup yang diwarisi, * Tempat mengadukan permasalahan hidup * Membujuk orang Rimba agar tidak terlalu jauh melangun * Pemberi legitimasi atas gelar kepangkatan Orang Rimba * Kepatuhan digalang dari adat dan ketakutan akan sumpah.
Politik: * Dominasi di selatan * Penghubung dengan raja (penguasa) * Mendapat kekuatan dari lembaga formal di pemerintahan * Mediator untuk menyelesaikan konflik internal Orang Rimba (jika berlarut-2) * Kepatuhan digalang dari intimidasi
Ekonomi: * Tempat menjual sumberdaya pencarian (hasil hutan nonkayu) * Pengontrol durasi produksi hasil hutan
Ekonomi: * Pengumpul jajah , pajak hasil bumi Orang Rimba dan diganti kain, parang, mata kujur, dll. * Transaksi terjadi atas kebutuhan pokok saja
Budaya : * Diwariskan (turun temurun) * Hak penguasaan bisa dialihkan (bisa diperjual belikan) * Dipercaya berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Budaya: * Tidak diwariskan, terdiferensiasi pada pihak yang lebih luas. * Orang di luar Orang Rimba
Berkaitan dengan sejarah Waris, sistem ini hingga kini masih berjalan. Namun jelas, dalam perjalanannya waris- jenang inilah yang menjadi dua aktor penting yang mempengaruhi hampir seluruh dimensi kehidupan Orang Rimba. Waris merupakan dominasi terhadap Orang Rimba yang berada di bagian utara sedangkan jenang merupakan dominasi di bagian selatan TNBD yang merupakan kawasan hidup Orang Rimba. Sudah begitu terintegrasinya dalam kehidupan Orang Rimba, sehingga bisa ditemukan dalam seloka adat berikut : Pangkal waris tanah garo, ujung waris tanah serenggam, air hitam tanah berjenang. Dulu, setiap orang yang ingin masuk
dan menemui Orang Rimba harus melalui pintu jenang dan waris. Jenang atau waris akan memberikan sesuatu tanda persetujuan seperti, simpul tali, pisau. Bagi Orang Rimba, tanda yang diterimanya menunjukkan bahwa seseorang telah mendapat ijin jenang atau waris untuk bertemu mereka. Dalam perjalanannya, kedua aktor ini berlomba-lomba menanamkan pengaruhnya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis serta di pihak lain menjadi tempat Orang Rimba mendapatkan barangbarang penting seperti kain, mata kujur, parang, periuk, beliung, serta beberapa barang kebutuhan lainnya. Waris dimonopoli penduduk Melayu Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Tanah Garo dan jatuh pada setiap Rio (kepala desa), sedang jenang merupakan perwakilan raja yang berfungsi menyampaikan perintah dan pemungutan jajah (baca:pajak) dari Orang Rimba untuk pihak penguasa (di zaman kerajaan). Jenang dan waris juga berperan sebagai pemberi legitimasi terhadap sahnya sebuah pemimpin baru Orang Rimba yang terpilih. Karena pemimpin (dengan pangkat tertinggi tumenggung) diperebutkan, setiap laki-laki Orang Rimba yang ingin menjadi temenggung akan berlombalomba memberikan serah. Kehadiran dua tokoh luar ini dalam sistem kepemimpinan Orang Rimba sangat penting bagi kedua belah pihak. Namun dalam tatanan yang
SUARA RIMBA 48
terbangun, hal ini cenderung merugikan Orang Rimba. Perubahan yang terjadi dalam tiga puluh tahun terahir, terutama sejak dibukannya proyek transmigrasi adalah diterimanya sistem uang dalam pembayaran, perubahan lainya, uang memberikan peluang terbuka bagi Orang Rimba saat ini untuk bertransaksi dengan pedagang lainnya baik orang jawa transmigran maupun orang melayu. Fase kedua dari perubahan itu terjadi dalam kurun waktu empat tahun terahir dimana terjadi musibah kematian pada Jenang Bahar di bagian selatan hutan Bukit 12. Seiring dengan perubahan ekologis dan interaksi sosial yang semakin luas, Orang Rimba telah mulai terbiasa dengan penduduk transmigran dari Jawa maupun dari Sumatera. Paska kematian itu tidak dilakukan lagi pemilihan. Biasanya, akan dipilih dari salah satu anak jenang sebelumnya atau dari pihak lain yang dianggap lebih mengayomi. Setelah keruntuhan kerajaan di Jambi awal abad 20, tidak ada lagi legitimasi kuat bagii jenang untuk menjadi perantara antara raja dan Orang Rimba terutama soal penarikan jajah. Namun peran jenang ini tidak begitu saja hilang, karena jenang dapat mereposisi dirinya dan menggunakan kekuasaan pemerintahan desa untuk mempertahankan posisinya (Itu telah terjadi di Air Hitam). Alasan mempertahankan posisi ini tidak lain karena alasan ekonomis, dimana jenang tetap bisa memaksakan kehendaknya agar Orang Rimba harus menjual semua hasil pencariannya (terutama hasil hutan nonkayu) kepada jenang. Getah jernang (dragon blood) misalnya, harganya bisa mencapai 500.000,-/kg namun jenang hanya menghargainya senilai Rp 100.000,-
yang diberikan dalam bentuk beras, kain, parang, dll. Belum lagi manipulasi penimbangan dan wajib pajak yang dipotong jenang dari nilai transaksi. Lain lagi di sisi utara. Keberadaan waris bagi Orang Rimba diperlukan karena mereka kesulitan ketika berurusan dengan dunia luar. Keberadaan waris, karena itu, adalah untuk mengakomodasi dan melindungi Orang Rimba, terutama dalam berinteraksi dan menyelesaikan masalah (jika terjadi) dengan dunia luar, serta juga membantu kehidupan dan persoalan yang dihadapi Orang Rimba. Sebagai imbalan, Orang Rimba juga akan menjual hasil sumberdaya pencarian yang dimiliki/ dapatkan kepada waris. Dasar kekuatan waris itu sendiri sebenarnya agak mistis. Orang Rimba percaya bahwa jika waris marah dan menyumpah akan berakibat yang sangat mengerikan seperti kematian yang hingga mencapai puluhan orang dalam kejadian yang beruntun. Orang Rimba meyakini ini sebagai kutuk atas ketidak taatan mereka terhadap rajo (baca:waris). Sumpah ini bagi waris digunakan sebagai kontrol terhadap Orang Rimba. Karena keyakinan ini, Orang Rimba tidak memberikan reaksi, apalagi tuntutan, tatkala salah satu anak waris menganiaya anak Orang Rimba. Sebab, jika melakukan pembalasan atau tuntutan, bisa berakibat buruk pada Orang Rimba, terutama yang mengalami penganiayaan. Dalam prakteknya kemudian, jabatan waris ini bukan lagi membantu berinteraksi dengan pihak luar, atau sekadar memberi legitimasi atas gelar kepemimpinan yang akan disandang Orang Rimba. Hubungan yang berdasarkan kepentingan ekonomi bagi waris justru tampak lebih menonjol.
Orang Rimba tetap diwajibkan menjual produk sumberdaya yang dimiliki, dengan nilai sesuai selera waris, bukan harga pasar. Namun tatkala kawasan hidup dan sumberdaya Orang Rimba menghadapi ancaman dan tekanan, baik dari penebang liar, perkebunan hingga perladangan orang desa, waris tidak memainkan peran yang semestinya. Ancaman dan tekanan yang dihadapi Orang Rimba tetap berlangsung, dan justru waris samasama ikut memanfaatkan kayu yang berada kawasan hidup Orang Rimba untuk ditebangi dengan menjadikan Orang Rimba sebagai pekerja. Waris di Tanah Garo saat ini dijabat oleh seorang rio. Dan masing-masing anak dari rio ini mendapatkan peliharaan (istilah yang digunakan orang Tanah Garo) Orang Rimba. Dan mereka merasa berhak mengekploitasi Orang Rimba, baik tenaga dan hasil hutan non kayu jerih payah Orang Rimba. Anak-anak waris ini bagai menjadi pemilik jiwa anggota kelompok Orang Rimba. Ketika ada toke kayu yang hendak mengeksploitasi hutan di Bukit 12, anak waris bisa menjual tenaga Orang Rimba untuk tenaga operasional penebangan, tanpa mendapat kompensasi yang memadai. Orang Rimba tidak berani dan mungkin menolak, karena sekali lagi mereka takut dimakan kutuk dan kualat. Waris adalah bagian dari mereka yang keberadaannya sudah disepakati sejak zaman nenek moyang. Kini, kelengkapan pembinaan Orang Rimba dihidupkan lagi lewat Pemcam dan Pemdesnya, yang diberinama Jenang. Apakah ini kemudian menjadi Dewa Penolong atau hanya akan semakin menyengsarakan hidup Orang Rimba? Kita lihat saja nanti. (A.S.)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SUARA RIMBA
P
ada awal Maret lalu di Air Hitam telah terbentuk Jenang (baca artikel : Jenang, Dewa Penolong Orang Rimba?-red). Tentu sangat tidak adil jika Orang Rimba yang berurusan langsung dengan Jenang ini tidak memberikan pandangannya sendiri terhadap arti kehadiran Jenang buat mereka. Berikut wawancara KKI Warsi dengan sejumlah Orang Rimba berkaitan dengan pemikiran mereka terhadap Jenang yang kembali dibentuk. Tengganai Bepak Meratai dan Bepak Besadu (dari Kedundung Muda) jugaTemenggung Mirak (dari Makekal Hulu) mengutarakan pandangannya lewat wawancara berikut ini. A.S. : Apa Bapak sudah tahu bahwa jenang (di air hiitam) sudah dibentuk? Tengganai Bepak Meratai : Sudah, kami juga ada yang dipanggil camat. Jadi kata jenang kalau ada urusan hutan panggil dia saja atau jika tidak mampu mengurus hompongan minta jenang untuk hadir (mengurusnya). Dalam urusan hompongan jenang tidak ingin tanah (Orang Rimba) diurus orang lain. Selain dari Orang Rimba hutan juga diurus oleh bapak-bapak dari pemerintah. Jadi jawabku, jenang jangan lagi mengharap bunga (pajak) pasir, bunga tanah, bunga kayu. Karena itu tidak mungkin, sebab hutan sekarang ini sudah kosong. Sudah sulit dapat rotan. Jadi Jenang tidak dapat memerintah untuk mengambilnya lagi. Hanya jika untuk urusan berladang, kalau jenang menyuruh kita mengerjakan ladangnya, misalnya, gerbu (kewajiban bagi orang rimba untuk mengerjakan ladang jenang sehari) , menebang gerbu sehari, kita mau patuh. Tapi kalau harus kerja untuk jenang setiap hari, kami tidak dapat lagi mengikutinya. Kalau Warsi (membolehkan) jenang bersama pemimpin Orang Rimba untuk mengurus hutan, kita akan kerjakan bersama. Tapi kalau menurut Warsi jenang tidak perlu masuk dalam urusan hutan yah jenang tidak boleh ikut Jadi untuk jawab soal jenang , bukannya aku melawan arus yang ada, bukan sama sekali. (Yang) terpenting rakyat ada yang memimpinnya dengan baik. A.S. : Siapa saja dari kelompok ini yang turut hadir? Bepak. Besadu : Dari rombongan ini yang ikut empat : Menantuku (Meratai), Selambai, Temenggung Nggrip, dan Tengganai Ngembar.
FOTO : DOK. WARSI / ALAIN COMPOST
Orang Rimba Bicara soal Jenang
49
Tumenggung Mirak
Tengganai Bepak Meratai : Hanya kami datang tidak untuk memilih jenang (lagi). Kami datang karena undangan dari Pak Camat. Kata Pak Camat, apa keputusan kami (Camat dan Pemkab) diterima atau tidak. Jadi jawabanku karena dari awal Pak Camat-lah yang membuat jenang maka para penghulu (pemimpin kelompok Orang Rimba) hanya bisa menyetujuinya saja. A.S. : Apakah yang dimaksud bahwa jenang tidak ikut dalam urusan hutan ini? Apakah cuma yang ingin ia bantu masalah penghidupan orang rimba, khususnya mengenai tanah ini? Kalau begitu, bagaimana dari sisi lain atas dihidupkannya jenang di Air Hitam saat ini bapak ? Tengganai Bepak Meratai: Jenang baru terpilih, Pak Ismail. Dia ingin sekali menggantikan posisi mertuanya (Jenang Bahar). Yang diinginkan jenang baru sekarang tentu saja bisa menguasai rotan, damar, getah jernang dan getah karet dari Orang Rimba. Jenang itu fungsinya bukan untuk rakyat setempat (orang desa) melainkan untuk rakyat dalam rimba (Orang Rimba). (Catatan antropolog Warsi) : Konteks pembicaraan Tengganai ini adalah kenapa camat berhasrat menghidupkan jenang, karena jenang sendiri bukan untuk mengatur masyarakat desa melainkan masyarakat rimba, oleh sebab itu layaknya orang rimbalah yang harusnya punya inisiatif untuk memilihnya. A.S. : Dulu Orang Rimba takut sebatas jenang berani sebatas waris, sekarang orang rimba sudah dapat kemanamana, ada urusan penting sudah bisa ke Jakarta. Jadi kirakira jenang sudah berkurang tugasnya, kalau perasaan kalian tentang adannya jenang baru tersebut saat ini bagaimana? Tengganai Bepak Meratai: Perasaan kami tentang
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SUARA RIMBA jenang sekarang ini yah, kalau saja jenang dibentuk pada saat hutan ini sedang hancur (rusak parah) baru kami melihat manfaat kehadiran jenang. Tapi sekarang hutan sudah hancur, jenang malah dibentuk lagi. Yang baik adalah sebelum hutan hancur harusnya ada jenang yang membantu mencegah kerusakan ini. Tapi ini tidak, hutan sudah hancur (mereka) malah menyuruh kami berjenang. A.S. : Maksudnya apa ? Tengganai Bepak Meratai: Artinya lagi panas-panas-nya urusan soal hutan kita ini jenang tidak perdulikan kami. Sekarang sedang tenang urusan hutan, jenang mau menggengam kami. Kalau lagi panas, Orang Rimba urus urusannya sendiri, jenang urus urusan sendiri. Lagi tenang dan tidak ada masalah seperti sekarang ini, jenang bilang, Saya akan memimpin kalian benarbenar, dan bilang, Akan jadi pemimpin Orang Rimba yang baik. Dalam seloka adat aik dalam titian bekenak-aik surut turun ke pantai . Artinya : Kalau jenang sudah kesulitan ekonomi dan banyak masalah (baru) jenang mengadu ke penghulu (pemimpin kelompok) Orang Rimba. Kalau tidak lagi susah, Orang Rimba juga yang menyelesaikan masalah yang kami hadapi. Itulah perasaan kami kepada jenang sekarang. Kita tahu juga maksudnya (undangan) itu. Makanya kita mau (datang) karena tidak enak dengan Pak Camat. Tidak enak dengan pemerintah. Kalau bukan karena camat (yang mengundang) kami tidak mau (datang). A.S. : Kalau dari Sungai Sinamo (Air Hitam) siapa penghulu yang ikut ? Tengganai Bepak Meratai: Seperti kelompoknya Temenggung Tarib, Kelompoknya Mbiring, Orang dari Air Panas. Ketika kami datang jenang itu sudah dibuat mereka. Makanya kami
datang (undangan camat itu), karena jenang mengundang dan memberi kami beras, supermie, minyak dan kebutuhan dapur lainnya agar kami hadir. Karena itu kami datang. (Tapi) sudah terlambat jenang sudah terbentuk. Sekarang orang memanggil (Pak Ismail) jenang maka kami ikut jugalah memangggilnya jenang. Tapi (itu) tidak masalah-lah. Kecuali kami sudah cap jempol dan tanda tangan surat dengan jenang, artinya, itu baru kami terikat. Kami tidak bisa mengelak lagi. Kalau panggilan camat kemarin yah kita anggap ucapan pribadi sajalah untuk menghormati camat.
FOTO : DOK. WARSI / OLIVIER DUFFAU
50
Temenggung Mirak: Kami senang jika jenang bisa membantu urusan kami dalam masalah hutan ini. Asal dia memang benar dalam hal memimpin kami. Kami dibantu. Tapi kalau tidak baik mendukung dan membantu kami, jelas kami tidak senang. Sebab aturan adat memang demikianlah , hubungan kami ke luar melalui dan sebatas pada jenang. Kalau berurusan dengan penguasa adalah kewajiban jenang. Kalau jenang sekarang mau seperti itu kami senang. A.S. : Bagaimana dengan hasil-hasil dari hutan, seperti karet, jernang, dll? Temenggung Mirak: Sekarang ini tidak banyak lagi hasil hutan. Kalau dulu sangat mudah mendapat hasil hutan seperti damar, jernang dan sekarang juga karet. Tidak mungkin kami membawa hasil karet ke desa yang jauh (Desa Jernih), itu tidak mungkin. Kalau dulu masih boleh. Karena jernang dan balam itu barang ringan yang mudah dibawa ke tempat jenang di Desa Jernih. Sekarang itu tidak bisa lagi, apalagi getah karet itu barang berat. Kami tidak sanggup membawanya ke tempat jauh.
Tengganai Bepak Meratai
A.S. : Kini kalian sudah bisa berurusan langsung dengan raja (pemerintah), sudah bisa ke Jambi, bahkan ke Jakarta. Temenggung Mirak : Kalau berurusan dengan raja (pemerintah) memang sudah bisalah. Kalau dulu yang berurusan dengan Rajo (pemerintah) memang jenang. Tapi sekarang kami juga bisa menghubungii pemerintah langsung karena (itu) jenang sekarang itu tidak perlu lagi memimpin kami Orang Rimba. A.S.: Jadi apa perasaan kalian sekarang dengan jenang tersebut?
A.S. : Jadi kalau begitu hubungan antara Orang Rimba dengan jenang maknanya apa? Temenggung Mirak: Kalau sekarang antara kami dengan jenang, jika ingin mengambil getah karet misalnya maka jenanglah yang merundingkan jalan dengan Bedul Kayo( Bedul Kayo adalah Toke karet dari Desa Rantau Limau Manis yang membuka jalan ke ladangladang Orang Rimba sampai puluhan hektar dengan biaya pribadi oleh karena itu, toke lain yang membeli karet dari orang rimba dikenakan sewa atas pemakain jalan yang di buat Bedul Kayo). Kalau kami yang harus membayar sewa jalan kami tidak sanggup karena biayanya per truk mahal sekali. Sekarang memang sudah ada jalan tidak lagi pakai sungai tapi masalahnya sewa
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
SUARA RIMBA atas pemakaian jalan Bedul Kayo itu mahal. Kalau kata jenang berpendapat bisa membayar sewa jalan yah apa salahnya jual karet ke jenang. Adat kan memang bilang bahwa, pulut ukar-pulut kayu (getah akar getah kayu) wajib di jual ke jenang. Sekarang getah yang lain seperti balam tidak ada lagi hanya tinggal karet.
A.S. : Jadi bisa diartikan keberadaan jenang bagi orang rimba di sini kurang berguna ? Temenggung Mirak: Memang sepertinya tidak berguna juga. Kalau jenang sanggup membiayai sewa jalan untuk mengangkut karet dari kami artinya ada yang masih bisa diharapkan
jenang dari kami. Ketika waris Tanah Garo bertanya pada Bedul Kayo, waris juga tidak sanggup. Sebab sekali angkut getah sewa jalan Bedul Kayo sampai 200-300 ribu/truk. Jadi bagaimana bisa untung. jadi kemungkinan jenang dari Air Hitam kira-kira begitu jugalah. (Tim Warsi)-
[email protected]
Amilda : Jenang itu Peninggalan Feodalisme
A
milda Sari S. Sos, adalah sedikit dari antropolog Universitas Gadjah Mada yang memperhatikan masalah Orang Rimba di TNBD, Jambi. Dia sendiri hampir tiga tahun menggeluti hidup Orang Rimba di dalam hutan sana. S2-nya juga fokus pada masalah praktik jenang-waris yang diberlakukan kepada Orang Rimba dengan judul : Kuasa di Waris, eksploitasi kelas dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ketika mendengar bahwa telah terbentuk jenang lagi di Air Hitam, dia sempat terkejut mendengarnya. Karena menurutnya kehadiran jenang sangat tidak relevan dengan kondisi kini. Dia khawatir pembentukan jenang justru akan membangkitkan feodalisme gaya baru yang justru akan menekan dan semakin menyengsarakan Orang Rimba. Jenang dibentuk pada masa ke-Sultanan- di Jambi, dulu sekali. Guna bisa mengetip upeti dan pajak yang lebih banyak lagi bagi kerajaannya, raja kemudian menunjuk satu orang desa untuk menjadi jenang. Maksudnya, hingga pedalaman pun upeti dan pajak itu bisa diambil jelas Amilda yang kini menjadi dosen IAIN Palembang. Akhirnya jenang suka mempermainkan harga dan memonopoli hasil jerih payah Orang Rimba, misalnya terkait dengan hasil karet yang diolah Orang Rimba. Jenang juga berperan hanya sebagai perantara bagi kekuasaan raja kepada Orang Rimba begitu juga sebaliknya, karena akses ke pedalaman waktu itu sangat sulit. Jadi itulah Jenang, tambahnya. Namun sekarang, menurutnya, hampir semua Orang Rimba bisa mengurus masalahnya sendiri tanpa perantara siapa pun. Sebagian bahkan sudah mandiri dan punya
penghasilan sendiri. Mereka kini juga bisa memilih dengan siapa mereka harus berurusan. Terutama dalam hal menjual hasil karet, rotan atau lainnya. Yang berhak menentukan nasib Orang Rimba adalah Orang Rimba itu sendiri. Jika dikatakan kehadiran jenang untuk membina Orang Rimba, pembinaan seperti apa? Orang Dusun juga banyak yang harus dibina. Jika bisa membantu melestarikan hutan tempat tinggal Orang Rimba, seharusnya itu menjadi tugas semuanya. Pemdes, Pemcam, memang sudah harusnya melestarikannya bersama masyarakat, selain Dinas Kehutanan dan KSDA, tentu saja, tandasnya. Dia juga menjelaskan, jenang pada masa lalu, memang dipilih langsung oleh Orang Rimba. Hanya yang menentukan dan berinisiatif adalah Orang Rimba sendiri. Pemilihan juga dilangsungkan di dalam rimba bukan di luar rimba. Lalu ada ikrar yang diucapkan sepakat untuk memilih jenang yang dimaksud. Mengacu pada pemilihan ideal jenang juga harus keturunan langsung jenang sebelumnya. Maksudnya adalah anak lelaki jenang sebelumnya. Bukan menantu atau lainnya. Setahu saya waktu pemilihan Jenang Bahar, dilakukan langsung di dalam Rimba di dekat Sungai Putih. Disana semua Orang Rimba Air Hitam berkumpul dan memilihnya. Tapi saya rasa sekarang, Orang Rimba berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Untuk apa membangkitkan romantisme masa lalu dan membangkitkan feodalisme gaya baru. Saya khawatir jenang sekarang dilegitimasi dalam birokrasi yang kelak tidak ada sistem pengontrol ketika Orang Rimba akhirnya terpuruk dalam kesengsaraan yang lebih dalam lagi. Bukan masanya lagi orang menguasai orang lain. Itu perbudakan. tandasnya. (fay)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
51
52
In Memoriam, Pak Uwo Zainuddin
Dan... Rimbapun Berduka
Pagi itu, mendung tebal masih bergayut. Kami baru selesai musyawarah, dan memutuskan untuk segera membuat rakit. Kendati Pak Uwo, melarang, tidak mau merepotkan masyarakat. Para laki-laki, baik tua maupun muda segera ke hutan mencari bambu dan rotan. Sementara sisanya menunggu Pak uwo di rumah, ucap Zaki, tokoh muda yang juga menjadi Ketua BPD. Namun tanpa dinyana, pukul 09.30, 16 April, Pak Uwo menghembuskan nafas terakhirnya, ketika rakit sedang dibuat. Pak Uwo, demikian Zainuddin yang bergelar Tiang Panjang Batang Kibul itu biasa dipanggil oleh anak kemenakannya. Bapak dari tujuh orang anak dan kakek dua orang cucu ini merupakan salah satu tokoh utama di dalam mendorong proses pengukuhan kawasan kelola rakyat Rimbo Pusako dan Rimbo Parabukalo di desa Batang Kibul, Kecamatan Tabir Ulu, kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Sepanjang 51 tahun usianya, sudah banyak darma bhakti yang diberikan kepada kampung halamannya. Dari mulai Sekertaris Desa, Kepala Desa, ulama sampai Tokoh Adat dengan gelar Tiang Panjang. Sebagian waktunya habis untuk berbagai aktifitas sosial, baik dilingkup kampung, kabupaten, provinsi bahkan nasional. Pada berbagai acara, dia tidak pernah bosan untuk menyuarakan kepentingan masyarakatnya. Khususnya terkait dengan makin besarnya tekanan terhadap keberadaan sumberdaya hutan. Sebab tanpa hutan, masyarakat Batang Kibul tidak akan hidup. Sawah dan kolam akan kering, air minum susah dan bahaya longsor serta banjir akan segera datang. Sehingga Uwo yang sangat gemar membaca ini, harus berhadapan dengan berbagai pihak yang akan
merobohkan hutannya. Ancaman dan tawaran kerjasama dari para cukong kayu dan perkebunan besar swasta tidak menggoyahkan keyakinannya untuk tetap menjaga kawasan hutan. Milda, apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu? Dan apakah bangsa kita bisa mencapai seperti apa yang diinginkan oleh Nurcholis Madjid? demikian Pak Uwo pernah bertanya kepada Amilda, Staf KKI Warsi untuk pengembangan kelembagaan lokal. Waduh, aku kaget sekali mendapat pertanyaan itu, cerita Milda sambil mengenang Pak Uwo, saat itu. Karena seumur-umur aku tidak begitu tertarik membaca dengan topik seperti itu. Untuk menutupi kekagetan, aku akhirnya bilang ke Pak Uwo bahwa konsep masyarakat madani yang diinginkan Nurcholish Madjid mungkin dapat dicapai ketika bangsa ini menyadari kemampuannya dan dapat menerima perbedaan yang ada, dan pemerintah memberikan ruang untuk sebuah perbedaan yang ada di negara ini. Pak Uwo memang kutu buku. Semua topik dilalap dengan penuh antusias. Dari mulai kehutanan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun agama. Pertanyaan itu muncul ketika membaca Plural Society buku karangan Nurcholis Madjid, dengan editornya Amien Rais. Sambil memegang buku itu, ia bertanya kembali apa yang dimaksud dengan plural society? Waduh pertanyaan berat lagi, cerita Amilda lagi. Ketika dijawab, Pak Uwo tampak tidak puas lagi. Akhirnya, sore itu Pak Uwo dan tamunya (para staf Warsi) menghabiskan waktu berdiskusi tentang Nurcholis Madjid dan Amien Rais. Diskusi tidak berakhir di sore itu, setelah makan malam, pembahasan malah ditambah lagi dengan kondisi politik dalam negeri dan konstelasinya di dunia. Tidak sangka memang, desa terpencil, yang tidak pernah ada koran dan jarang yang punya TV, kami malah membahas topik yang tengah berkembang di dunia. Itu tidak mungkin terjadi jika tidak ada Pak Uwo. Jujur saja, baru kali ini Amilda maupun Staf Warsi lainnya bisa menemukan teman diskusi di desa (yang terpencil) yang pengetahuannya sangat luas. Ketika Pak Uwo tahu Amilda seorang antropolog, maka dia pun bertanya, Bagaimana menyiasati konflik yang terjadi di bangsa ini menurut antropolog? Pertanyaan sederhana, namun cukup sulit dijawab, diakui Amilda. Diakhir diskusi Pak Uwo pun sempat berpesan
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
53
Sambil mengenang Sang Datuk, Amilda dan staf Warsi lainnya menerawang, tokoh yang perhatian terhadap kelestarian hutan di desanya itu kini telah pergi. Sayang Datuk Zain, lahir ditempat yang tidak tepat, ucap Datuk Rangkayo Endah, salah seorang staf KKI WARSI yang sudah lebih tiga tahun memfasilitasi proses pengukuhan kawasan kelola rakyat Batang Kibul. Seandainya lahir dari keluarga kaya yang tinggal di Kota, tentu dengan kecerdasannya akan bisa menjadi Doktor. Tapi apapun kondisinya, beliau telah dianggap menjadi doktor bagi para staf lapangan Warsi. Kepada beliaulah para staf warsi belajar, bertanya dan berdiskusi. Sehingga banyak orang pada berbagai foum diskusi dan seminar yang tidak percaya, bahwa Datuk alias Pak Uwo ini tinggalnya di kampung yang membutuhkan sekitar empat jam perjalanan dari Bangko. Apalagi ketika dengan runtut dan metodologis Datuk Zain menjelaskan pikirannya atau ketika mengkritisi berbagai topik diskusi. Pak Uwo, merupakan sosok istimewa bagi terciptanya tertib sosial di dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Sehingga pada akhir hayatnya pun beliau masih berwasiat untuk itu. Amak yang telah mendampingi suami tercinta selama lebih dari 30 tahun tersebut, seakan tidak percaya kalau belahan jiwanya telah tiada. Sampai helaan nafas terakhir, Bapak tetap berwasiat kepada kami dan seluruh mayarakat yang menungguinya agar tetap menjaga rimbo, meneruskan pekerjaan yang belum selesai bagi pengukuhan hutan adat oleh Bupati, ucapnya dengan terbata-bata. Jangan ada lagi perusakan rimbo, jagalah persatuan masyarakat. Demikian pesan beliau sebelum meninggal, jelas Amak makin tersedu. Ternyata, sesak nafas dan demam yang telah menyerang Datuk Zain selama tiga hari menjadi jalan bagi beliau untuk bertemu dengan Khaliknya. Begitu cintanya bapak kepada masyarakat, sehingga wasiat untuk kami istri, anak-anak dan cucu belum sempat diberikan. Tapi Amak rela dan ikhlas, untuk tetap menjalankan amanat tersebut apapun resikonya. Selamat jalan pahlawan bagi perlindungan hutan.......pahlawan yang mendorong lahirnya generasi intelektual di batang Kibul. Kami akan tetap meneruskan wasiatmu. Damailah disisi-Nya. (Rahmat Hidayat) Deputy Direktur KKI Warsi/
[email protected],id
FOTO : DOK. WARSI
kepada Amilda, Milda, nanti kalau ikut seminar, bahannya tolong dibawa kalau ke Kibul lagi, dan gimana kalau buku Plural Society-nya ditinggalkan untuk datuk aja?
AKTUAL
Nagari Koto Malintang, Semoga Tidak Melintang
S
atu lagi nagari baru muncul di Sumatera Barat. Kali ini giliran Koto Malintang yang mendapatkannya. Status nagari ini langsung disambut masyarakatnya dengan pesta adat yang meriah. Memang sejak lama masyarakat Koto Malintang ingin berdiri sendiri menjadi sebuah nagari mandiri. Sejak zaman kolonial Belanda, Koto Malintang disatukan dengan Koto Gadang dalam satu nagari. Ketika mulai diberlakukan Pemerintahan Desa (Pemdes) pada masa Orba mereka terpisah lagi. Namun semangat nagari yang bergema seantero Sumatera Barat pada tahun 2000, maka Duo Koto ini disatukan lagi menjadi satu Nagari Duo Koto mengacu pada Perda provinsi Sumbar No. 9/2000 tentang pemerintahan nagari dan ditindaklajuti oleh Kab. Agam dengan Perda Kab. Agam No. 31/2001. Tapi masyarakat Duo Koto ingin kembali kepada semangat nagari aslinya, yaitu menjadi nagari sendiri. Peluang itu terbuka mengingat salah satu pasal dari kebijakan ini juga memuat tentang kemungkinan pemekaran nagari. Maka dengan proses dan perjuangan panjang maka terpisahlah Duo Koto menjadi dua nagari. Keinginan memiliki nagari sendiri lebih didasarkan pada nilai sejarah pada masing-masing Duo Koto. Keduanya mempunyai kekhususan jati diri berbeda yang tidak mungkin disatukan dalam satu nagari. Mereka mempunyai hubungan kekerabatan (nenek moyang) yang berbeda, adat istiadat yang berbeda, hingga aset kekayaan yang berbeda pula. Singkatnya, bak pepatah bilang, Adat salingka nagari, ulayat Salingka kaum, (Adat berlaku di seputaran nagari, ulayat berlaku di seputaran kaum). Kendati demikian selama mereka
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
AKTUAL 54
menyatu tidak pernah perbedaan itu menimbulkan konflik berarti. Dengan prinsip adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah- diharapkan masyarakat nagari Koto Malintang bisa hidup dalam keharmonian antara manusia dengan alam dan manusia dengan tuhannya. Secara alami, aset SDA Koto Malintang cukup menjanjikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Tidak saja masyarakatnya mempunyai kekayaan/hak ulayat seperti parak dan sawah, nagari pun memiliki aset tersendiri seperti tanah di Banio, tanah data, karambia kongsi, Gunuang Belek dan pulau di tengah danau Maninjau yang masih belum terkelola dengan baik. Aset SDA berpotensi ekonomis ini tidak dimiliki Nagari Koto Gadang. Tantangan elemen nagari Artinya kekayaan yang demikian besar itu cukup membuat ngiler siapa pun yang ingin mengelolanya atas nama Pendapatan Asli Nagari (PAN), misalnya. Dalam forum rapat besar sehari usai pembentukan nagari, para pemuka adat bahkan para perantau Koto Malintang begitu antusias menginventarisir aset yang dimiliki. Ada keinginan untuk mengembangkan dan mendinamiskan perekonomian Koto Malintang untuk melihat pada pasar yang lebih besar. Sebut saja aset produksi ikan air tawar dan kolam air deras menyerap dana berputar hingga Rp 2 milyar perkali panen. Forum tersebut juga sangat jeli dalam melihat potensi pariwisata dimana Koto Malintang juga punya hak atas keindahan Danau Maninjau. Jangan lagi masyarakat Koto Malintang hanya menjadi penonton dan tidak dapat apaapa, tandas salah satu pemuda Koto Malintang yang ikut dalam rapat forum itu. Lebih dari itu mereka juga ingin mengembangkan potensi parak dan produksi pertanian yang mereka miliki. Parak di Koto Malintang bisa diartikan sebagai kebun pepohonan yang mengkombinasikan jenis tanaman ekonomis dan jenis tanaman hutan. Di dalamnya juga ada tumbuhan yang memang tumbuh secara alami, sehingga parak dari kejauhan lebih mirip hutan ketimbang kebun. Sistem ini oleh masyarakat setempat sudah lama dipertahankan. Sehingga tidak pernah parak itu terlihat rusak apalagi dieksploitasi secara berlebihan. Ini jelas menguntungkan masyarakat dari kekurangan air, bencana seperti longsor, rusaknya hara dan sebagainya. Parak bisa dikatakan sebagai sistem kebun yang mengedepankan prinsip konservasi dimana bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam yang disangga oleh kawasan parak yang juga melindungi pemukiman yang ada di bawahnya (Obrolan Lapau, Obrolan Rakyat, Studio Kendil, 2004). Jadi hendaknya tradisi ini bisa terus dipertahankan. Karena jangan sampai sekali lagi- demi PAN, kemudian parak
dan hutan sekitarnya dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan nilai-nilai kearifan adat Koto Malintang. Beberapa perantau yang ikut dalam forum itu menilai bahwa Koto Malintang memang perlu investor untuk bisa mengembangkan pasar Parak yang lebih luas lagi. Tentu saja ini sangat baik dalam membantu meningkatkan perekonomian tiap keluarga di Koto Malintang. Tapi sekali lagi- aset SDA termasuk parak di Koto Malintang pada hakikatnya adalah sebagai penegas jati diri dan penyambung tali kekerabatan di antara masyarakat Koto Malintang sendiri. Harus dicari alternatif solusi yang menguntungkan dalam jangka panjang selama masyarakat Koto Malintang itu masih ada. Harapannya parak dan hutan itu bisa dinikmati anak, cucu, cicit masyarakat Koto Malintang hingga ratusan tahun ke depan. Tentu saja ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi wali nagari dan element nagari yang baru. Bagaimana mengembangkan nagari sesuai dengan perubahan zaman yang tengah terjadi. Karena sangat lucu kemudian jika nagari hanya dimanfaatkan untuk mengurusi masalah administratif seperti soal distribusi, misalnya, atau terjebak dalam romantisme nagari masa lalu dimana perannya lebih banyak mengatur tentang penegakkan moral dan adat. Terakhir ini jelas bukan sesuatu yang buruk. Di sisi yang lain dalam mengembangkan kualitas Sumberdaya Manusia mendengungkan Gerakan Kembali ke Surau, adalah romantisme masa lalu yang juga masih relevan dengan masa sekarang. Hanya mungkin perlu disesuaikan lagi dengan cara pandang anak-anak muda Koto Malintang sendiri tentang arti Kembali ke Surau. Nagari harus jeli dalam mengemas Kembali ke Surau ini agar diminati kawula mudanya tanpa terpaksa. Bagaimana membuat Surau menjadi pusat bagi kawula muda Koto Malintang dalam melahirkan gagasan, sikap kritis, bahkan mungkin pengembangan seni dan teknologi yang justru lahir dari Surau ini. Dan bukan menjadi pusat pemasungan kreatifitas bagi para generasi penerus Koto Malintang itu sendiri. Terpenting dari nagari sekarang tidak lagi mefokuskan diri pada hal-hal normatif, tetapi kembali kepada pemikiran jauh ke depan tentang bagaimana mengembangkan nagari itu sendiri secara maksimal. Termasuk membuka peluang bagi perempuannya untuk bisa diaktifkan secara partisipatif dalam pengambilan keputusan tingkat nagari. Nagari akan berkembang dengan baiknya jika pandai membaca perubahan yang ada tanpa juga meninggalkan jati dri yang arif dari citra dan identitas masyarakat Koto Malintang sendiri. (Musfarayani/Yenni Azmaiyanti) Staf KKI Warsi
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005 55
Refleksi di Desa Guguk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, bekerjasama dengan masyarakat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Merangin, menggelar pelatihan kelompok pengelola kawasan kelola masyarakat (hutan adat dan parak), 30 Mei 2 Juni 2005. Kegiatan ini diikuti 40 peserta yang berasal dari tiga provinsi, Sumbar, Bengkulu, dan Jambi. Dari Jambi diikuti Kabupaten Sarolangun, Bungo, Merangin. Deputy Direktur KKI Warsi, Rahmat Hidayat mengatakan acara sengaja digelar di desa dengan tujuan membuktikna bahwa sebenarnya masyarakat mampu mengorganisir diri untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri. Pelibatan masyarakat jelas sangat penting, karena baik atau buruknya kondisi hutan, dampak yang akan ditimbulkannya akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang bersangkutan. (Reni) Warsi Pindah Kantor Mulai 1 Juni lalu, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI Warsi) sudah mempunyai kantor sendiri, yang tidak lagi nomaden. Masih di kota Jambi, dengan alamat : Jl. Inu Kertapati No.12, Kel. Pematang Sulur, Kecamatan Telanai Pura, Kota Jambi, 36124. Telp : 0741- 66695
Sang Kemare Iwan Fals bilang, Banyak cukong kayu illegal ngeruk uang. Tapi setelah kaya, masa kamu ingin hidup di alam yang tandus? Kalau alamnya hancur, kamu juga hancur! Jadi makan itu, uang! Itu sama saja bunuh diri. Tul Bang, Kite yang enggak dapet uangnya juga ketiban sialnya. Deputi Meneg KLH Urusan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Kewilayahan, M. Gempur A, mengungkapkan : Kecenderungan kota-kota di Indonesia semakin bersih dan teduh. Lalu gimana dengan hutan-hutan di Indonesia, Pa k ? Musim Pilkada membuat Panwas daerah sibuk menertibkan segala atribut-atribut kampanye calon pemimpin daerah di tempat kepentingan umum. Jangan lupa awasi sumber dana kampanye mereka juga darimana yah
(Askarinta Adi)
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005
56
Alam Sumatera, Mei - Agustus 2005