HUBUNGAN KADAR INTERLEUKIN-13 DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PENDERITA DERMATITIS ATOPIK ANAK Relationship the content of Interleukin 13 with skin prik test in patient children atopic dermatitis Kusminiarty, Farida Tabri dan Safruddin Amin ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar Interleukin-13 dengan Hasil Uji Tusuk Kulit penderita dermatitis Atopik Anak. Populasi penelitian ini yaitu penderita dermatitis atopic dan non dermatitis atopic. Menggunakan metode cross sectional yang disertai kontrol. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang anak berumur antara 2-12 tahun. 30 sampel penderita dermatitis atopik dan 40 sampel non dermatitis atopic. Deteksi dan pengukuran IL-13 dari sampel darah sebanyak 3cc dilakukan dengan menggunakan quantikine human IL-13 immunoassay system, dan melakukan uji tusuk kulit untuk melihat wheal yang terbentuk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar IL-13 antara penderita dermatitis atopik dengan non dermatitis atopik. Uji statistik korelasi person dengan nilai bermakna p<0,05 digunakan dalam penelitian ini dan didapatkan hubungan tidak bermakna antara kadar IL-13 dengan hasil uji tusuk kulit. Kata Kunci : Interleukin-13, uji tusuk kulit, dermatitis atopik, non dermatitis atopik
ABSTRACT Kusminiarty, Relationship the content of Interleukin 13 with skin prik test in patient children atopic dermatitis (Supervised by Farida Tabri and Safruddin Amin). The research aimed to investigate the relationship the content of IL-13 with skin prik test in patient children atopic dermatitis. The research population was atopic dermatitis and non atopic dermatitis patients, with cross sectional method accompanied by a control. The number of samples in the research were 50 children aged between 2-12 years old. 30 samples were atopic dermatitis patient and 20 samples were non atopic dermatitis patients. Detection and measurement of IL-13 as much as 3cc of blood samples by using Quantikine Human IL-10 immunoassay systems, and skin prick test. The research reveals that there is proportional difference the content of il-13 in patients atopic dermatitis and non atopic dermatitis. The statistic of pearson correlation test with the significant value of p<0,005 is used in the research and it is obtained that thee is not a significant relationship beetwent content of IL-13 with skin prick test. Key words : Interleukin-13, skin prik test, atopic dermatitis, non atopic
PENDAHULUAN Dermatitis atopik (DA) atau eksema merupakan penyakit kulit inflamasi, sangat gatal, kronis yang umum terjadi dan sangat mempengaruhi kualitas kesehatan. Sifat peradangan kulit yang timbul khas, menahun dan kumat-kumatan, umumnya muncul pada masa bayi, kanak- kanak atau remaja. (Mckee PH, 2005, Wuthrich B, 2007) DA dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopi pada organ lain seperti rhinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya. (Abramovits, 2005) DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60% pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik antara usia 6 sampai 20 tahun. (Leung D,2003, Paller A 2006) DA sangat jarang muncul pada usia dewasa. Sebanyak 60% orangtua yang menderita dermatitis atopik, mempunyai anak yang juga menderita penyakit yang sama. Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA.(James W,2006 Leung D,2003) Survey di negara berkembang menunjukkan 1020% anak menderita DA. (Jacoeb, 2004) Angka prevalensi DA di Indonesia sendiri juga bervariasi. Pada tahun 2005 dari 10 RS besar di seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus. (Dinkes, 2005) Data lainnya pada tahun 2010 di RS Wahidin Makassar menemukan angka 16,34% dari seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak. (Data primer, 2010) RS Restu di Makassar menemukan peningkatan jumlah kasus DA anak; 68 anak di tahun 2009, 92 anak di tahun 2010 (Data primer,2010) Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis. (Leung et al., 2008, Leung and Soter, 2001, Susilowati, 2009) Sensitisasi
makanan dan alergen hirup memegang peranan pada patogenesis penyakit atopi. Asma, rinitis alergika, dan DA mempunyai dasar kelainan respon hipersensitivitas IgE dan inflamasi jaringan spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal limfosit T, eosinofil, dan monosit/makrofag. Jaringan yang sedang mengalami inflamasi akut akan tampak infiltrasi limfosit T dengan ekspresi interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin ini diperkirakan memegang peranan utama pada respon alergi. Penderita atopi mempunyai suatu kecenderungan hipersensitivitas terhadap alergen. Alergen yang sering disebut sebagai pemicu timbulnya lesi pada penderita DA antara lain makanan, serbuk sari bunga (pollen), dan debu rumah. (Wisesa T,2009) Golongan makanan yang sering berpengaruh adalah susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan laut, kacang kedele, dan gandum, sedangkan alergen hirup di daerah tropis seperti di Indonesia terutama adalah Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae. (Sujudi Y,2000) Teknik diagnostik yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya antara lain, penentuan kadar IgE total serum, pemeriksaan IgE spesifik, skin prick test (SPT)/ uji tusuk kulit (UTK) maupun atopy patch test. (Dewi and Sukanto, 2001, Susilowati, 2009) Patofisiologi terjadinya DA pada dasarnya adalah adanya reaksi berlebihan terhadap produksi antibodi spesifik IgE sehingga terjadi peningkatan kadar IgE serum dan hasil UTK positif terhadap alergen. Sel T dalam darah berespon terhadap alergen in vitro dengan menginduksi produksi sitokin dari sel Th2 yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13, dimana interleukin- interleukin ini sangat berlimpah didaerah inflamasi alergi. Interleukin-4 dan IL-13 merupakan molekul-molekul yang saling berhubungan secara struktural dan memiliki fungsi biologis yang sama yaitu pengurangan produksi sitokin inflamasi oleh makrofag, pengaturan molekul-molekul MHC klasII pada monosit atau makrofag dan induksi ekspresi sel-sel endotelial. (Herrick C, 2003, Sutedja E,2005)
1
Pemeriksaan kadar IL-4 dengan hasil uji tusuk kulit penderita DA anak pernah dilakukan oleh susilowati di makassar pada tahun 2009, namun hasil yang diperoleh tidak signifikan. Maka dari itu kami melakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat kadar IL-13 yang dihubungkan dengan hasil uji tusuk kulit. Dikepustakaan disebutkan bahwa IL-4 dan IL-13 merupakan beberapa sitokin yang meningkat pada penderita DA SUBJEK DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional untuk mengetahui hubungan Kadar IL-13 Dengan UTK Pada Penderita DA Anak. Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DA anak yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Pediatri RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Restu Makassar. Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 1. Kriteria Inklusi a. Penderita DA yang memenuhi kriteria William. b. Tidak menderita penyakit kulit lain. c. Penderita berusia 2 - 12 tahun. d. Tidak sedang mendapat terapi antihistamin dan kortikosteroid. e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan diminta persetujuan secara tertulis (menandatangani inform consent) setelah mendapatkan keterangan yang cukup tentang keuntungan dan hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi selama mengikuti penelitian. 2. Kriteria Ekslusi a. Menderita retardasi mental. b. Menderita penyakit sistemik (ISPA, demam, gangguan saluran cerna) c. Menderita Dermatitis kontak alergi. d. Tidak Kooperatif 1. Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit, bersifat kambuhkambuhan, gatal, dan ditemukan pada
anak yang memiliki riwayat alergi saluran pernapasan dan atau penyakit atopik pada dirinya dan keluarganya. 2. Uji tusuk kulit (UTK) adalah uji tusuk yang dilakukan pada lengan bawah bagian volar yang sudah dibuat kolom dengan meneteskan cairan berbagai alergen dr Indrayana pada masingmasing kolom, dan hasilnya dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai wheal/ bentol pada kulit. 3. Alergen makanan adalah ekstrak bahan makanan yang dibuat oleh dr Indrayana digunakan untuk UTK, ada 21 jenis yaitu putih telur, kuning telur, susu sapi, kacang tanah, kacang mete, kedele, gandum, tomat, wortel, nanas, teh, coklat, ayam, kakap, cumi, udang, kepiting, kerang, tongkol, bandeng. 4. Alergen hirup adalah ekstrak bahan hirupan yang dibuat oleh dr Indrayana digunakan untuk UTK, ada 12 jenis yaitu house dust, mite, grasspollen, maizepollen, human dander, dog dander, cat dander, horse dander, kecoa, chicken feather, mixed fungi. 5. Interleukin (IL)-13 adalah sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh aktivasi limfosit T. IL-13 mempunyai beberapa fungsi memodulasi respon imun, antara lain yang penting adalah mengatur perubahan isotipe dan menginduksi produksi IgE. 6. Kadar IL-13 adalah hasil pemeriksaan dengan Quantikine® HS Human IL-13 Immunoassay. 7. Anak umur 2 – 12 tahun adalah anak yang pada saat diperiksa berusia tidak kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun 0 bulan. Cara pengambilan sampel non random sampling. Perkiraan jumlah sampel yang diambil dihitung menggunakan rumus Isaac dan Michael : Z2 .N.P.Q S= 2 2 d (N-1)+Z .P.Q Keterangan : S = jumlah sampel yang diteliti N= populasi DA di lokasi penelitian Z = confidence level (1,96 untuk α = 0,05)
2
p = proporsi DA (0,5) q = 1 – 0,5 = 0,5 d = tingkat ketepatan yang diambil (0,05) Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh jumlah sampel penelitian sebanyak 30 sampel untuk penelitian. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Wawancara / anamnesis Wawancara atau anamnesis langsung pada penderita dan orang tua penderita (alloanamnesis) dilakukan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang identitas, karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel. 2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Foto Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis DA dan menilai derajat keparahan dari penyakit. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik juga dilakukan pengambilan foto dengan menggunakan kamera digital merk Sony (8 megapixel) 3. Pemeriksaan Uji Tusuk Kulit Pemeriksaan ini dilakukan setelah ditegakan diagnosis DA. Alat dan bahan : a. Alergen makanan dan allergen hirup dr Indrayana b. Jarum Marrow Brow c. Bolpoin d. Spidol ukuran 0,2 e. Selotip f. Kertas millimeter blok Prosedur pemeriksaan UTK 1. Tandai area yang akan kita tetesi ekstrak alergen dengan bolpoin. 2. Histamin dan kontrol negatif (larutan buffer) diteteskan pada daerah yang berseberangan. Kemudian teteskan ekstrak alergen lainnya
3. Tusuk kulit yang telah ditetesi histamin, buffer kontrol, dan ekstrak alergen dengan menggunakan jarum marrow brow. Tusukan dilakukan dengan pelan menembus lapisan epidermis. 4. Ukur diameter wheal (urtika) pada kulit yang ditetesi histamin dan larutan buffer harus negatif. 5. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan mengukur wheal (urtika) yang timbul. 6. Hasil tes dipindahkan ke kertas millimeter blok dengan cara membuat garis mengelilingi batas wheal dengan spidol ukuran 0,2, ditempel dengan selotip lalu selotip ditempel pada kertas millimeter blok. 7. Mengukur setiap diameter lingkaran pada selotip. Dinyatakan +1 bila ukuran wheal lebih besar dari kontrol, +2 bila ukuran wheal 50% dari diameter histamin dan +3 bila ukuran wheal sama besar dengan histamine, +4 bila ukuran wheal lebih besar dari histamin. 4. Pemeriksaan kadar IL-13 Pemeriksaan IL-13 dengan ELISA (EnzymeLinked Immunosorbent Assay) menggunakan kit Quantikine ® HSv (High Sensitivity). Kit ini digunakan khusus hanya untuk penelitian. Dengan sampel serum mempunyai minimum detectable dose (MMD) untuk IL-13 kurang dari 32 pg/mL. Alat dan Bahan : 1. ELISA (Organon Reader) 2. Kit Quantikine ® HS400 (Product R & D) Spuit disposable 3ml Tabung Pipet 500ul Microplate reader Centrifuge Prosedur pemeriksaan a. Menyiapkan sampel serum : darah sampel diambil dari vena kubiti dengan cara aseptik memakai jarum suntik
3
disposibel 3 cc, dimasukan dalam tabung sentrifus. Darah dalam tabung diputar 10 – 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm, serum yang berada dibagian atas dipisahkan kemudian disimpan dalam lemari es pada suhu -20⁰C. b. Menyiapkan reagen c. Menambahkan konjugat IL-13 pada tiap cawan. d. Menambahkan 100 µL Standart, sampel, atau kontrol pada tiap sumur. Inkubasi selama 2 jam pada suhu ruangan. e. Aspirasi dan bilas. f. Tambahkan substrat (kromogen tetramethyl Benzidine) pada tiap cawan, inkubasi selama 20 menit dalam suhu ruangan g. Menambahkan larutan asam sulfat 2 N pada setiap cawan. h. Baca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 540 selama 30 menit menggunakan microplate reader. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk table dan atau grafik yang disertai dengan penjelasannya. Kemudian data dianalisis dengan uji Mann-Whitney dan uji korelasi Pearson.
(DAUTKP), kelompok 2 terdiri dari 8 orang anak yang menderita dermatitis non atopi dengan hasil UTK positif (NDAUTKP), dan kelompok 3 terdiri dari 12 orang anak yang menderita dermatitis non atopi dengan hasil UTK negatif. (NDAUTKN) Tabel 1. Kadar IL-13 dalam satuan pg/ml pada 3 kelompok sampel Kelompok Standar N Mean Sampel Deviasi 1 30 21,2600 7.88998 2 8 10,0875 1.29663 3 12 9,9667 1.30477 Grafik 1 menunjukkan rerata kadar IL-13 kelompok 1 dibandingkan kelompok 2, dengan uji statistic Mann-Whitney terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.000 (P< 0.005), sedangkan kelompok 1 dibandingkan dengan kelompok 3 terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.000 (P<0.005), sedangkan kelompok 2 dibandingkan kelompok 3 mempunyai perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.969 (P>0.005).
HASIL PENELITIAN Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang anak berumur antara 2-12 tahun terdiri dari 30 orang anak laki-laki (60%) dan 20 orang anak Perempuan (40%). Tiga puluh sampel penderita dermatitis atopi terdiri dari 20 orang anak laki-laki (66,6 %) dan 10 orang anak perempuan (33,3 %). Dua puluh sampel lainnya dermatitis non atopi yang terdiri dari 11 orang anak laki-laki (55%) dan 9 orang anak perempuan ( 45%). Sampel dikelompokkan dalam 3 kelompok sampel (Tabel 1), yaitu kelompok 1 terdiri dari 30 orang anak yang menderita dermatitis atopi dengan hasil UTK positif
Grafik 1. Rerata kadar IL-13 dalam pg/ml pada tiap kelompok sampel. Nilai cut off kadar IL-13 serum penderita dermatitis atopi anak dari penelitian ini terdapat pada rentang kelompok 1 dan 2. Nilai cut off didapatkan dari titik tengahnya yaitu 13,37 pg/ml.
4
Tabel 2. Distribusi jumlah hasil UTK dengan kadar IL-13 penderita dermatitis atopi Jumlah Standar Hasil N Mean Deviasi UTK Positif 1 3 14.7000 0.00000 2 2 14.5333 4.73427 3 1 22.0000 4 1 18.1000 5 7 17.7857 4.99814 6 5 22.0200 3.92199 7 2 15.6500 3.46482 8 4 27.4500 10.40176 9 2 31.3000 3.53553 10 3 28.8000 12.08015 Total 30 Pada tabel 2 kadar IL-13 paling rendah terdapat pada sampel dengan hasil UTK positif 2 alergen. Kadar IL-13 paling tinggi pada sampel dengan hasil UTK positif 9 alergen. Uji statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara hasil UTK dengan kadar IL-13 adalah dengan uji korelasi Pearson dan didapatkan hubungan tidak bermakna dengan nilai P= 0.181 (P>0.005).
Tabel 3. Distribusi hasil UTK berdasarkan jenis allergen makanan. Jenis Alergen Jumlah No Makanan Sampel 1 Putih telur 6 2 Kuning telur 8 3 Kacang tanah 2 4 Kacang mete 2 5 Kedele 3 6 Gandum 3 7 Susu sapi 5 8 Tomat 3 9 Wortel 4 10 Nanas 1 11 The 1 12 Kopi 2 13 Coklat 11 14 Ayam 2 15 Kakap 6 16 Cumi 3 17 Udang 3 18 Kepiting 6 19 Kerang 6 20 Tongkol 2 21 Bandeng 1 Tabel 4. Distribusi berdasarkan hirup. No
Grafik 2. Distribusi hasil UTK dengan kadar IL-13 dalam satuan pg/ml UTK : Uji Tusuk Kulit Grafik 2 menunjukkan hubungan jumlah allergen positif hasil UTK dengan kadar IL-13 pada penelitian ini P=0.221 (P>0.005). Hasil urtikaria diameter kontrol histamine pada penderita DA dibandingkan dengan kadar IL-13 dengan menggunakan uji korelasi pearson didapatkan hubungan tidak bermakna P= 0,244(P>0,005)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Alergen Hirup House dust Mite Grass pollen Maize pollen Rice pollen Human dander Dog dander Cat dander Horse dander Kecoa Chicken feather Mixed fungi
hasil jenis
UTK allergen
Jumlah Sampel 13 8 5 4 7 7 2 4 1 8 3 7
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan allergen makanan yang paling banyak adalah coklat sebanyak 11 sampel, diikuti kuning telur dan putih telur 8 sampel, kakap, kepiting, kerang masing-masing 6
5
sampel (Tabel 3). Jenis allergen hirup yang paling banyak adalah house dust sebanyak 13 sampel, diikuti oleh mite culture dan kecoa masing-masing 8 sampel. (Tabel 4). PEMBAHASAN Hasil penelitian ini didapatkan kasus DA lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak perempuan lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. (Abramovits,2005) Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok DA dibandingkan kelompok non atopi. Pada penderita DA interaksi antara faktor predisposisi genetik atopi dan lingkungan sudah diakui sangat menentukan kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit atopi atau tidak. Faktor lingkungan diketahui memegang peran besar memulai sensitisasi pada seseorang yang mempunyai bakat atopi, dan akan menentukan perkembangan gejala klinis serta derajat berat penyakitnya. (Akib,2005) Bukti atopi pada seseorang dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan kadar IgE total, kadar IgE spesifik, uji kulit terhadap allergen dan pola sekresi sitokin serta respon sel limfosit T helper 2 (Th2). Seperti kita ketahui, sitokin dapat menggambarkan pola respon Th1 ( IL-2, IFN-γ, IL-12) atau TH2 ( IL-4, IL-5, IL13). Respon Th1 dan Th2 saling mempengaruhi dan bekerja dalam suatu keseimbangan aktif. Pola respon Th2 dihubungkan dengan reaksi inflamasi alergi, sedangkan pola respon Th1 dihubungkan dengan hipersensitivitas tipe lambat dan reaksi inflamasi infeksi. (Akib, 2005, Werfel and Kapp, 2002, Susilowati, 2009). Penyimpangan respons imun atau gangguan keseimbangan kearah Th2 akan memberikan kemudahan bagi proses perkembangan alergi. Perkembangan kecenderungan pada pola Th2 terjadi pada masa bayi dan anak. Seperti kita ketahui semasa dalam kandungan, fetus berada
dalam lingkungan pola respon Th2, dan produksi IFN-γ neonatus dari keluarga atopi cenderung rendah sehingga kecenderungan kearah pola Th2 lebih besar.(Akib,2005) Sensitisasi alergen merupakan proses berkelanjutan sejak masa awal kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan akan mempengaruhi timbulnya gejala penyakit alergi pada individu yang telah sensitif. Di perkirakan bahwa manipulasi lingkungan akan dapat mencegah timbulnya penyakit alergi, atau akan menurunkan kekerapan dan derajat berat penyakit. Beberapa penelitian yang membandingkan kadar IL-13 pada sampel normal dengan penderita atopik didapatkan perbedaan yang bermakna. Menurut penelitian Herrick dkk, IL-13 merupakan interleukin yang penting dalam proses alergi yang diinduksi melalui respon Th2. Zitnik juga melaporkan penelitian tentang hubungan antara IL-13 dengan IgE total serum pada penderita dermatitis atopi yang diberi paparan allergen makanan didapatkan hubungan yang bermakna. Nilai cut off kadar IL-13 serum penderita DA anak dari penelitian ini terdapat pada rentang kelompok 1. Nilai cut off didapatkan dari titik tengah rerata IL-13 kelompok 1 dan 2. Hasil penelitian ini didapatkan nilai cut off IL-13,37 pg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa anak yang menderita DA mempunyai kadar IL13 ≥ 13,37 pg/ml. Hasil penelitian ini menunjukkan kadar IL-13 serum penderita dermatitis atopik dengan banyaknya hasil positif UTK tidak berhubungan. Kenaikan kadar IL-13 tidak sesuai dengan kenaikan jumlah hasil positif UTK. Kadar IL-13 tertinggi terdapat pada kelompok dengan 9 jenis alergen positif, kemudian kelompok dengan 10 dan 8 jenis alergen hasil UTK positif. Sedangan kadar IL-13 terendah terdapat pada hasil UTK positif 2. Begitu pula hubungan antara luasnya diameter urtikaria histamine yang terbentuk dibandingkan dengan kadar IL-13 serum tidak berhubungan. Penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan antara produksi IL-13 dengan hasil UTK.
6
Kemungkinan yang menyebabkan kurangnya korelasi tersebut adalah adanya faktor lain yang mempengaruhi sel mas dalam pelepasan histamin. Pelepasan mediator sel mas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik imunologis maupun non imunologis. Faktor imunologis antara lain antigen/alergen yang akan terikat pada IgE pada reaksi hipersensitivitas tipe I, antigen spesifik terkait sel T pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, anafilatoksin, leukocyte-derived factor, dan juga mikroorganisme patogen. Faktor nonimunologis yaitu proses fisik seperti pajanan cahaya, panas, dingin, trauma, dan tekanan, proses fisiologis seperti hipoksia, dan perubahan tekanan osmotik. (Rendra et al, 2005, Susilowati, 2009) Sensitisasi alergen merupakan proses berkelanjutan sejak masa awal kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan akan mempengaruhi timbulnya gejala penyakit alergi pada individu yang telah sensitif. Keterlibatan allergen hirup dan makanan yang mencetuskan lesi DA dapat diamati melalui mekanisme hipersensitivitas tipe I yang berlanjut kearah fase lambat. BerdasarKan penelitian terdahulu menunjukkan pentingnya peran alergen hirup dan makanan pada kejadian DA, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan UTK digunakan allergen makanan dan hirup. Berbagai macam alergen banyak ditemukan dilingkungan hidup. Salah satu alergen yang penting dan banyak ditemukan di negara beriklim tropis dengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tungau debu rumah (TDR), serpihan kulit manusia (human dander), jamur, bulu binatang dan kecoa. Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan TDR dengan kekambuhan DA.(Teplitsky et al, 2008). Allergen makanan merupakan salah satu allergen lingkungan yang dapat mencetuskan DA, walaupun hanya berperan pada sebagian kecil kasus DA. Beberapa peneliti melaporkan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, misal susu, telur, kacang tanah, kedelai, gandum dan ikan laut merupakan makanan
yang sering mencetuskan DA. (Effendi, 2004) Hasil penelitian ini didapatkan alergen jenis makanan yang paling banyak memberikan hasil positif adalah coklat, kuning telur, putih telur, kakap, kepiting dan kerang. Dari kepustakaan didapatkan data yang bervariasi untuk jenis alergen makanan yang tersering mencetuskan DA. (Motala, 2003, Sampson, 1997). Widiantoro dan Sudigdoadi melakukan penelitian pada penderita DA dan dapat dibuktikan adanya sekelompok penderita yang kekambuhan lesi kulitnya dipengaruhi oleh alergen makanan dengan pemeriksaan UTK dengan hasil terbanyak susu sapi, diikuti kacang tanah dan ikan laut. (Sudigdoadi, 2001). Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian terdahulu dapat disebabkan pola makan yang berbeda di tiap daerah. Pola makan penduduk Makassar lebih banyak makan makanan laut antara lain jenis ikan-ikanan, kepiting dan kerang. Pada penelitian ini hasil UTK alergen makanan yang paling banyak positif adalah coklat, mungkin dikarenakan makanan ini paling banyak disukai anakanak dan kandungan proteinnya yang tinggi. Pada penelitian ini menunjukkan allergen hirup yang terbanyak adalah debu rumah, kutu, dan kecoa. Hasil penelitian oleh Susilowati didapatkan allergen hirup terbanyak adalah kecoa, diikuti mite dan human dander. Beberapa peneliti lain menempatkan TDR sebagai alergen terbanyak pada DA. (Susilowati, 2009, Sudigdoadi, 2001). Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil berbagai penelitian di daerah lain dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal sampel penelitian, kemungkinan sebagian besar sampel sering terpapar debu rumah. Allergen debu rumah banyak memberikan hasil positif pada penderita DA yang tinggal di daerah beriklim tropis.
7
DAFTAR PUSTAKA Abramovits, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermtol, 53, 86-93. Amiruddin D.(2003) Dermatitis Atopik dan Penanganannya. In. Amiruddin D, editors. Ilmu Penyakit Kulit. 1st ed. Makassar.p. 297-312. Avgerinou G, Andreas, Goules. (2008) Atopic Dermatitis: New Immunology Aspects. International J of Dermatology,47,219-24. Baratawidjaja, K. (2006) Imunology Dasar, Balai Penerbit FKUI. Blauvelt A, Hwang S & Udey M. (2003) Allergic and Immunologic Diseases of the Skin. J Allergy Clin Immunol 11,560-569. Boguniewicz, M & Leung D. (2000) Atopic Dermatitis. In Leung, D & Greaves,M (Eds) Allergic Skin Diseases. New York, Marcel Dekker. Bohme M, Svensson A, Kull I, Wahlgren C. (2000) Hanifin’s and Rajka’s Minor Criteria for Atopic Dermatitis: Which do 2-year-old exhibit? American Academy of Dermatology. Bos
J.(2005) Immunology of Atopic Dermatitis.In Harper J, Oranje A & Prose N.(Eds) Textbook of Pediatric Dermatology.2nd ed. London, Blackwell
Data primer (2010) Data Registrasi sub Bagian Dermatology Anak di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Data primer Data Jumlah Kunjungan Baru dan Lama Poliklinik Anak di RS Restu Tahun 2009-2010. Depkes (2005) Data Jumlah Kunjungan Baru dan Lama Pasien Kulit Anak di 7 Rumah Sakit di Indonesia. Dewi
I & Sukanto H.(2001) Kadar Imunoglobulin E Spesifik dan Uji Tusuk terhadap Dermatophagoides pterronyssinus pada Penderita Dermatitis Atopik Dewasa dengan
Kadar Imunoglobulin E total Serum di atas Normal. Berkala Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin, 13,122-127. Effendi E.(2004) Peran Uji Kulit pada Dermatitis Atopik. In: Boediarja S, Sugito T & Rihatmadja R.(Eds) Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Eichenfield L, Chair M, Hanifin J, Luger T, Stevens S & Pride H (2003) Concensus Conference on Pediatric AtopicDermatitis.J Am Acad Dermatol, 49, 1088-95. Ellis C, Luger T, Allen R, Graham-Brown, R Prost, Eichenfield L & Femandis C. (2003) International Concencus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCADII) : Clinical Update and Current Treatment Strategies. British Journal of Dermatology, 148,3-10. Ellis C and Luger T. (2003) International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II ( ICCAD II): Chairman’s Introduction and Overview. Britis Journal of Dermatology, 148,1-2. Friedmann P & Holden C.(2004) Atopic Dermatitis. In Burns T, Breathnach S, Cox N & Griffiths C.(Eds) Rook’s Texbook of Dermatology. 7th ed.Victoria, Blackwell Science. Habif T.(2004) Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy, London, Mosby. Han D.(2004) Food Sensitization in Infans and Young Children with Atopic Dermatitis. Yonsei Med J. Helen E. (2008) Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition,47: S45-48. Herrick C, Xu L, McKenzie A, Tigelaar. (2003) IL-13 Is Necessary, Not Simply Sufficient, for Epicutaneously Induced Th2 Responses to Soluable Protein Antigen.Journal of Immunology,170: 2488-95.
8
Jacoeb TNA.(2004) Manifest Klinis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. In: Boediardja SA, Sugianto TL, Rihatmadja R. (Eds) Dermatitis pada Bayi dan Anak. 1st ed.Jakarta. Fakultas Kedokteran Indonesia Jamal ST.(2007) Atopic Dermatitis : An Update Review of Clinical Manifestations and Management Strategis in General Practice. Bull Kuwait Inst Med Spec 2007;6:55-62. Kang
K, Poster AM.( 2003) Atopic Dermatitis. In Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Horn T et al (Eds). Dermatology. 1th ed. London, Mosby.
Krafchik B, Halbert A, Yamoto K, Sasaki R.(2003) Ezcemtous Dermatitis. In Schacner L, Hanses R, Happle R, Paller A et al (Eds). Pediatric Dermatology. 3th ed. London. Mosby. Laonita RS, Indriatmi W.(2000) Peran Staphylococcus Aureus Pada Dermatitis Atopik. MDVI;27/4S: 43S47S. Lawrence F, Eichenfield, Hanifin J, Thomas A. (2003) Consensus Conference on Pediatric Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol 2003;49:1088-95.
Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44,1-12. James W, Berger T, Elston D.(2006) Andrews’ Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. California. Saunder Elsevier. Mckee PH, Calonje E, Granter S. (2005) Pathology of The Skin. 3th ed. USA, Elsevier Mosby. Motala, C. (2003) Atopic Dermatitis and Food Sensitivity. Current Allergy & Clinical Immunology,16,89-95. Ong P, Leung D.(2002) Atopic Dermatitis. In Grammer L, Greenberger P (Eds). Patterson’s Allergic Diseases. 6th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Paller AS, Mancini AJ. (2006) Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology, Chicago, Elsevier Saunder. Proksch E & Elias P. (2002) Epidermal Barrier in Atopic Dermatitis. In Bieber T & Leung D. (Eds) Atopic Dematitis. New York, Marcel Dekker. Reitamo S, John, Luger T. (2001) Itch in Atopic Dermatitis.J Am Acad Dermatol 2001;45:55-56.
Leung D, Eichenfield L & Boguniewcz,M (2003) Atopic Dermatitis ( Atopic Eczema).In Freedberg I, Eisen A, Wolff K, Austen F, Goldsmith L, Katz S.(Eds) Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. NewYork, Mc GrawHill.
Sampson H. (1997) Food Sensitivity and The Pathogenesis of Atopic Dermatitis. J R Soc Med,90,2-8.
Leung D, Eichenfield, L & Boguniewicz,M (2008) Atopic Dermatitis ( atopic eczema). In Wolff, K, Goldsmith, L, Katz,S, Gilchrest,B, Paller, A, & Leffell, D.(Eds) Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. NewYork, Mc GrawHill.
Simpson E, Hanifin M. Atopic Dermatitis.J Am Acad Dermatol 2005; 53:115-28.
Leung D. (2002) Role of Staphylococcus aureus in Atopic Dermatitis. In Bieber, T & Leung D. (Eds) Atopic Dermatitis. NewYork, Marcel Dekker. Leung D & Soter N. (2001) Cellular and Immunologic Mechanisms in Atopic
Sampson H. (2004) Update on Food Allergy. J Allergy Clin Immunol,113:805-19.
Siregar S. (2004) Peran Alergen Makanan dan Alergen Hirup pada Dermatitis atopic.In Boediardja S, Sugito T & Rihatmadja R (Eds). Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Sujudi Y.(2000) Tungau Debu Rumah dan Peranannya pada Dermatitis Atopik Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana.Vol.27 No.4.
9
Susilowati E.(2009) Hubungan Kadar Interleukin 4 dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Penderita Dermatitis Atopik Anak. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Sutedja E, Sudigdoadi, Soebono H, Idjradinata P. (2005) Ketidakseimbangan Th-2 dan Th-1 pada Dermatitis Atopik.Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNPAD. Thestrup K, Pedersen . (2005) Atopic Dermatitis. In Bos J (Ed) Skin Immune System. 2th ed. NewYork, CRC press.
Wollenberg A.(2002) Antigen Presenting Cells.In Bieber T 7 Leung D. (Eds) Atopic Dermatitis.NewYork, Marcel Dekker. Wuthrich B, Cozzio A, Roll A, Senti G, Kundig T.(2007) Atopic Eczema: Genetic or environment? Ann Agric Environ Med,14, 195-201. Wisesa T.( 2009) Masalah Kulit yang sering Ditemukan Pada Bayi dan Anak. In Aisah S, Lestari T, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S.(Eds) Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. KSDAI & PERDOSKI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Werfel T & Kapp A.(2002) t cells in Atopic Dermatitis. In Bieber T & Leung D,(Eds) Atopic Dermatitis. NewYork, Marcel Dekker.
10