Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA EKO HANDIWIRAWAN1, ISMETH INOUNU1, DWI PRIYANTO2 dan ATIEN PRIYANTI1 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran, Kav E-59, Bogor 16151 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Suatu penelitian telah dilaksanakan di sekitar Pabrik Gula (PG) Jatitujuh, salah satu pabrik gula yang berlokasi di Kabupaten Majalengka. Kawasan ini termasuk daerah padat ternak domba yang dipelihara secara digembalakan dan saat ini telah cukup mengganggu PG Jatitujuh melalui kerusakan tanaman tebu. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang profil peternak dan manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan peternak domba di kawasan perkebunan PG Jatitujuh. Penelitian dilakukan di dua desa sekitar kawasan perkebunan tebu Pabrik Gula Jatitujuh, yaitu Desa Sukajadi dan Desa Sumber Wetan di Kabupaten Majalengka. Sebanyak 15 orang peternak domba di Desa Sukajadi dan 17 orang peternak domba di Desa Sumber Wetan dijadikan sampel yang diambil secara acak. Data yang dikumpulkan meliputi aspek profil peternak domba dan manajemen pemeliharaan yang dilakukan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan data-data keadaan umum peternak dan data-data manajemen pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah di sekitar perkebunan tebu PG Jatitujuh merupakan daerah dengan populasi domba yang cukup padat. Rata-rata peternak memelihara domba antara 40 – 65 ekor, domba milik sendiri dan gaduhan, yang dipelihara secara tradisional. Pola pemeliharaan yang umum dilakukan adalah dengan cara digembalakan di sekitar perkebunan tebu yang dimulai sekitar pukul 10.00 – 12.00 selama 6 jam sehari. Perkawinan domba sepenuhnya terjadi secara alami, dan seluruh peternak lebih menyukai induk yang melahirkan anak tunggal. Lebih banyak peternak yang mengatakan bahwa tidak ada lokasi lain untuk penggembalaan dan perkebunan tebu merupakan alternatif satu-satunya untuk penggembalaan. Kata kunci: domba, manajemen pemeliharaan, perkebunan tebu
PENDAHULUAN Populasi ternak domba di Indonesia saat ini mencapai 8,5 juta ekor, dimana sebagian besar berada di Pulau Jawa yaitu sekitar 91% dan 43% dari populasi tersebut berada di Jawa Barat (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006). Peluang pengembangan usahaternak domba mempunyai prospek yang cukup baik di pasar domestik maupun ekspor. Jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 212 juta jiwa, suatu pasar yang cukup menjanjikan bagi produser pangan (DARMAWAN, 2003). Pada saat-saat tertentu seperti menjelang Idul Adha permintaan domba untuk hewan kurban meningkat cukup besar. Peluang pasar ekspor domba cukup terbuka di beberapa negara terutama Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam serta negara-negara Timur Tengah.
Usaha peternakan domba di Indonesia umumnya mengarah pada dua pola, yaitu usaha penggemukan dan usaha pembibitan (penghasil bakalan). Usaha penggemukan memerlukan input yang cukup tinggi, berupa penyediaan pakan dan obat-obatan. Pengembangan ternak domba sebagai usaha pembibitan memerlukan periode waktu yang cukup lama. Input produksi yang sebagian besar berasal dari pakan harus minimal/zero waste bahkan zero cost karena kinerja usaha ini memiliki indikator memproduksi anak domba dari hasil perkawinan induk. Salah satu pabrik gula (PG) yang mempunyai potensi bagi pengembangan usahaternak domba adalah PG Jatitujuh. PG Jatitujuh merupakan anak perusahaan PT PG Rajawali II yang berlokasi di Kabupaten Majalengka dan Indramayu dengan luas lahan HGU keseluruhan 12.220,5 ha, dimana lebih
69
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dari 80% dari luas lahan tersebut ditanami tebu. PG yang dibangun pada tahun 1978, saat ini menghasilkan 40 ribu ton gula per tahun, dengan tingkat produktivitas pada tahun 2004 diperkirakan sebesar 56,4 kwintal gula/tahun. Dengan kinerja produksi yang cukup baik, PG Jatitujuh dihadapkan pada masalah yang cukup serius yaitu tingginya kerusakan tanaman tebu muda oleh ternak domba yang digembalakan di sekitar perkebunan tebu. Tanaman yang rusak diperkirakan sebesar 5,34%. Dibandingkan dengan kerusakan oleh hama/penyakit tebu lainnya, kerusakan yang diakibatkan penggembalaan domba adalah yang tertinggi dengan perkiraan kerugian mencapai 8,3 Milyar per tahun. Populasi domba di sekitar perkebunan tebu PG Jatitujuh yang tersebar di 20 desa saat ini mencapai sekitar 100.000 ekor. Dengan populasi ternak yang sedemikian tinggi dan akan terus bertambah, maka daya dukung hijauan dan frekuensi gangguan ternak terhadap tanaman tebu akan terus meningkat. Peternak/penggembala domba di sekitar perkebunan tebu adalah peternak kecil, pada umumnya peternak penggaduh, yang sangat mengandalkan kehidupannya dari beternak domba. Pola pemeliharaan domba yang saat ini dilakukan masih secara tradisional dan berakibat merugikan perkebunan tebu PG Jatitujuh, sehingga dalam upaya meningkatkan produktivitas domba yang dipelihara diperlukan solusi yang tepat dimana di satu sisi mampu meningkatkan populasi dan di sisi lain tidak mengganggu perkebunan tebu. Perbaikan pola pemeliharaan melalui penggunaan inovasi dan teknologi dengan mempertimbangkan pemanfaatan potensi sumberdaya limbah tanaman tebu dan limbah agroindustri pabrik gula diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak. Upaya yang difokuskan pada perbaikan produktivitas domba di tingkat peternak dan mengurangi kerugian akibat kerusakan tanaman tebu merupakan jalan tengah yang dapat memuaskan kedua pihak. Untuk itu perlu diketahui profil peternak dan manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan peternak sebagai bahan informasi/pertimbangan pendekatan yang dapat dilakukan.
70
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di dua desa sekitar kawasan perkebunan tebu Pabrik Gula Jatitujuh, yaitu Desa Sukajadi dan Desa Sumber Wetan di Kabupaten Majalengka. Sebanyak 15 orang peternak domba di Desa Sukajadi dan 17 orang peternak domba di Desa Sumber Wetan dijadikan sampel yang diambil secara acak. Data yang dikumpulkan meliputi aspek profil peternak domba dan manajemen pemeliharaan yang dilakukan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur untuk mendapatkan datadata keadaan umum peternak dan data-data manajemen pemeliharaan. Analisis data yang diperoleh dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak Peternak domba di Desa Sukajadi sebagian besar berumur antara 51–60 tahun yaitu sekitar 53,33%, sebaliknya di Desa Sumber Wetan umur peternak masih relatif muda yaitu antara 30–40 tahun (52,94%). Umur peternak di Desa Sumber Wetan masih tergolong dalam umur produktif (30–40 tahun) berbeda dengan peternak di Desa Sukajadi yang tergolong relatif tua, hal ini terlihat pada Tabel 1. Ratarata umur peternak di Desa Sukajadi sekitar 55 tahun dan di Desa Sumber Wetan 44 tahun. Pada umumnya peternak dengan umur yang lebih muda akan lebih mudah untuk menerima maupun untuk menerapkan hal-hal baru seperti inovasi dan teknologi untuk perbaikan pola usahaternak yang dilakukan. Peternak yang lebih tua agak lebih sukar termotivasi untuk menerima hal baru, sehingga perbaikan usahaternak agaknya akan lebih mudah dilakukan di Desa Sumber Wetan. Dilihat dari tingkat pendidikan, terlihat bahwa peternak baik di Desa Sukajadi maupun di Desa Sumber Wetan cenderung memiliki variasi tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Namun demikian komposisi petani yang mempunyai pendidikan tamat SD di Desa Sumber Wetan cukup tinggi, sama dengan yang tidak bersekolah. Persentase petani yang berpendidikan tamat SD di Desa Sumber
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Wetan lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berlokasi di Desa Sukajadi (Tabel 1). Tabel 1. Profil peternak di Desa Sukajadi dan Sumber Wetan
Peubah
Sukajadi (n = 15)
Sumber Wetan (n= 17)
Jumlah
%
Jumlah
%
30–40
1
6,67
9
52,94
41–50
3
20,00
4
23,53
51–60
8
53,33
3
17,65
> 60
3
20,00
1
5,88
Umur peternak (tahun)
Rata-rata umur peternak
55,60 ± 11,69 44,94 ± 10,08
Lama pendidikan (tahun) Tidak bersekolah
10
Tidak tamat SD Tamat SD Rata-rata lama pendidikan
66,67
8
1
6,67
1
5,88
4
26,67
8
47,06
1,73 ± 2,71
47,06
3,57 ± 2,95
Jumlah domba (ekor) Milik sendiri
33,13 ± 26,62 32,00 ± 18,31
Dewasa dan muda 26,73 ± 22,06 27,18 ± 14,54 Anak prasapih
6,40 ± 6,29
4,82 ± 4,95
31,20 ± 54,74
7,65 ± 18,97
Dewasa dan muda 25,20 ± 42,50
5,88 ± 13,68
Anak prasapih
1,76 ± 5,91
Gaduhan
6,00 ± 13,19
Peternak di Desa Sukajadi dan Sumber Wetan mempunyai pengalaman mengusahakan ternak yang hampir sama, masing-masing sekitar 7 dan 8 tahun. Umur peternak di Desa Sukajadi relatif lebih tua namun demikian pengalaman beternaknya lebih sedikit dibandingkan peternak di Desa Sumber Wetan, kemungkinan hal ini disebabkan peternak di Desa Sukajadi memulai usaha ternak disaat usia sudah dewasa sementara itu di Desa Sumber Wetan kemungkinan sudah menekuni usaha ternak sejak lebih awal dengan mulai membantu keluarganya. Sebagian peternak mempunyai ternak domba dengan status ternak gaduhan, jumlah peternak yang menggaduh lebih banyak di Desa Sukajadi daripada di Desa Sumber
Wetan. Di Desa Sukajadi jumlah domba gaduhan yang dipelihara tidak terlalu jauh berbeda dengan jumlah domba milik sendiri, namun di Desa Sumber Wetan rataan domba gaduhan relatif sedikit dibandingkan domba milik sendiri. Di Desa Sukajadi ada satu orang peternak yang mempunyai ternak dengan status digaduh sebanyak 8 ekor karena umur peternak tersebut sudah cukup tua. Peternak yang tidak memiliki ternak (hanya menggaduh saja) ada 3 orang di Desa Sukajadi dan 2 orang di Desa Sumber Wetan. Manajemen pemeliharaan Desa Sukajadi dan Desa Sumber Wetan adalah dua desa yang terletak dan berbatasan dengan perkebunan tebu. Menggembalakan ternak domba yang dimilikinya pada siang hari dan kemudian pulang saat sore adalah cara pemeliharaan yang umum dilakukan peternak domba di kedua desa tersebut. Di kedua desa, rata-rata domba digembalakan selama kurang lebih 6 jam setiap harinya di sekitar perkebunan tebu dan pinggir-pinggir jalan atau di daerah persawahan. Sambil digembalakan, ternak sekaligus juga dimandikan jika ada kubangan air. Peternak pada umumnya mulai menggembalakan ternaknya antara pukul 10.00–12.00 WIB dan kemudian menggiring ternaknya kembali ke pulang kandang antara pukul 17.00 – 18.00 WIB. Domba yang tidak digembalakan pada umumnya adalah induk domba yang baru beranak dan anaknya atau domba yang sakit. Sebagian peternak hanya mengandangkan induk yang baru beranak dan anaknya saja dan mengabaikan domba yang terlihat sakit untuk tetap digembalakan (14,28% dan 11,77% untuk peternak di Desa Sukajadi dan Sumber Wetan) (Tabel 2). Namun ada pula peternak dengan persentase yang sama yang hanya mengandangkan anak yang baru lahir saja tetapi induknya tetap digembalakan. Induk dan anak yang baru lahir pada umumnya tidak digembalakan selama 3 – 6 hari saja setelah itu digembalakan lagi. Tindakan peternak dengan tidak menggembalakan sementara induk dan anak yang baru lahir adalah tepat mengingat kondisi induk dan anak pada saat tersebut masih belum stabil. Dalam kondisi yang masih lemah tersebut jika tetap dipaksakan untuk
71
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
digembalakan akan dapat menurunkan kondisi kesehatan ternak tersebut karena jarak penggembalan cukup jauh (antara 8 – 10 km pulang pergi). Sementara itu, tindakan peternak yang hanya mengandangkan anak yang baru lahir akan tetapi induknya tetap digembalakan adalah riskan dan kurang tepat. Pemisahan induk disaat-saat segera setelah anak lahir akan mengurangi kesempatan anak untuk mendapatkan kolustrum dan susu induk untuk meningkatkan dan memperbaiki kondisi tubuh anak domba. Dalam keadaan demikian kondisi kesehatan tubuh anak dapat saja menurun dan selanjutnya dapat berakibat kematian.
Sebanyak 76,47% peternak di Desa Sumber Wetan merasa bahwa jumlah domba yang dipelihara saat ini belum optimal dan masih mampu mengelola ternak jika jumlah ternak ditambah lebih dari dua kali jumlah yang dipelihara saat ini (120,16%). Alasan yang dikemukakan adalah dari segi tenaga kerja yang ada, kandang yang tersedia, sumber pakan hijauan dan modal masih cukup tersedia. Dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu peternak beranggapan bahwa domba yang ada saat ini telah berkembang antara 5–10 kali lipat (35,29%) atau berkembang 2 kali lipat (29,41%).
Tabel 2. Manajemen pemeliharaan ternak domba di Desa Sukajadi dan Sumber Wetan Uraian
Sukajadi
Lama menggembala (jam)
Sumber Wetan
6 ± 0,7
6,3 ± 0,6
Mulai pukul
10.00 – 12.00
10.00 – 12.00
Pulang pukul
16.00 – 18.00
17.00 – 18.00
71,44
70,58
Domba yang tidak digembalakan (%): Induk yang baru beranak dan anaknya atau domba yang sakit Induk dan anak yang baru lahir
14,28
11,77
Anak yang baru lahir
14,28
11,77
Digembalakan semua
0
5,88
100
100
0
0
Tidak ada
80
82,35
Ada
20
17,65
Seperti kondisi saat ini
50,00
23,53
Masih dapat ditambah
42,86
76,47
22,28 ± 7,83
120,16 ± 117,56
7,14
–
Berkembang 2 x
46,67
29,41
Berkembang 3 x
13,33
17,65
Berkembang 4 x
40,00
17,65
–
35,29
Pemeliharaan domba secara digembalakan paling menguntungkan (%): Ya Tidak Jika dilarang menggembala di perkebunan tebu, adakah lahan penggembalaan lain (%):
Jumlah domba optimal yang dipelihara peternak (%):
Persentase penambahan Terlalu banyak Perkembangan populasi domba dibandingkan lima tahun lalu:
Berkembang 5 – 10 x
Sedikit berbeda kondisi di Desa Sukajadi, dimana jumlah peternak yang mengatakan bahwa jumlah domba yang ada saat ini telah
72
optimal dan peternak yang mengatakan masih dapat ditambah lagi tidak jauh berbeda (50,00 vs 42,86%). Peternak yang mengatakan jumlah
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
domba masih dapat ditambah lagi berpendapat dapat menambah sekitar 22,28% dari jumlah yang dipelihara saat ini. Walaupun demikian ada seorang peternak yang merasa jumlah domba yang dipelihara saat ini sudah terlalu banyak dan tidak lagi optimal. Peternak tersebut beranggapan dengan kondisi yang ada saat ini sebenarnya jumlah ternak yang optimal perlu dikurangi 30% dari jumlah yang ada saat ini. Dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu peternak beranggapan bahwa domba yang ada saat ini telah berkembang 2 kali lipat (46,67%) atau berkembang 4 kali lipat (40,00%). Dari hasil ini di masa-masa yang akan datang nampaknya populasi domba di Desa Sumber Wetan akan cenderung untuk bertambah dan berkembang melebihi perkembangan jumlah domba di Desa Sukajadi. Pengembangan usahaternak domba yang terintegrasi dengan perkebunan tebu merupakan salah satu alternatif untuk membantu peningkatan populasi dan produksi ternak domba. Ketersediaan pakan diperoleh dari produk samping baik yang berasal dari lahan perkebunan tebu maupun limbah pabrik, yang pada umumnya belum dimanfaatkan secara optimal. Tebu yang dipanen pada umur 12 bulan atau lebih dan diproses diperkirakan menghasilkan produk samping/limbah 13–15% pucuk tebu, 3–4% tetes, 30–35% ampas tebu, dan 3–4% blotong (MOCHTAR dan TEDJOWAHJONO, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pucuk tebu dan tetes mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pola pemeliharaan secara digembalakan di waktu-waktu mendatang nampaknya akan terus diterapkan. Hal ini terlihat dari pendapat semua peternak di kedua desa yang menyatakan bahwa pola pemeliharaan dengan cara digembalakan adalah paling menguntungkan (Tabel 2) tidak ada yang menjawab tidak menguntungkan. Disamping faktor tersebut, peternak mengatakan bahwa jika dilarang digembalakan di perkebunan tebu mereka pada umumnya menjawab tidak ada lahan penggembalaan yang lain (80% peternak di Desa Sukajadi dan 82,35% peternak di Desa Sumber Wetan) (Tabel 2). Para peternak di Desa Sukajadi beralasan bahwa pola beternak dengan cara digembalakan lebih mudah, tidak perlu mengeluarkan biaya pakan lagi, tidak perlu lelah mencari rumput, ternak yang
digembalakan bisa makan sepuasnya dan hanya perlu ditangani oleh satu orang. Sementara itu, para peternak di Desa Sumber Wetan beralasan bahwa pola digembalakan tidak banyak mengeluarkan banyak tenaga, dan karena memiliki jumlah ternak yang cukup banyak maka tidak perlu lelah mencari rumput. Pola penggembalaan yang dilakukan peternak adalah sepanjang hari. PRASETYO (1990) melaporkan bahwa di Pulau Lombok dikenal dua sistem penggembalaan yaitu penggembalaan sehari (jam 09.00 – 16.00) dan penggembalaan dua kali per hari (pagi = 08.00 – 12.30 dan sore = 15.00 – 18.00). Tabel 3. Manajemen reproduksi domba di Desa Sukajadi dan Sumber Wetan Uraian
Sukajadi
Sumber Wetan
Sistem perkawinan Kawin alam ketika digembalakan, semau ternak Umur sebaiknya calon induk dikawinkan (%) < 1 tahun (8 – <12 bulan)
50,00
64,70
> 1 tahun
28,57
17,65
Semaunya ternak
21,43
17,65
0
11,77
78,57
82,35
0
5,88
Perlakuan terhadap induk majir (%) Dipelihara terus Dijual dan dibelikan bakalan baru Ditukar dengan bakalan baru
Dijual dan dibelikan bakalan baru atau ditukar dengan bakalan baru 21,43
0
Tipe kelahiran yang disukai peternak (%) Tunggal
100
100
Kembar
0
0
Tabel 3 memperlihatkan manajemen reproduksi domba di Desa Sukajadi dan Desa Sumber Wetan. Peternak di kedua desa umumnya mempunyai satu atau dua pejantan untuk mengawini sejumlah betina yang dipeliharanya. Perkawinan terjadi kapan saja semau ternak, dapat saja ketika digembalakan saat siang hari atau pada saat malam hari ketika dikandangkan secara berkelompok tanpa campur tangan peternak. Domba betina berahi milik beberapa peternak yang tidak memiliki pejantan akan kawin ketika digembalakan saat bertemu dengan pejantan dari milik peternak yang lain. Dalam kondisi demikian, baik
73
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
domba jantan atau betina akan kawin saat mencapai dewasa kelamin, tidak pada saat dewasa tubuh. Karena kebiasaan ini pula, maka pada umumnya peternak mengatakan bahwa domba sebaiknya dikawinkan dibawah umur 1 tahun (8 – 12 bulan). Hal ini dijawab oleh 50,00% peternak di Desa Sukajadi dan 64,70% peternak di Desa Sumber Wetan, hanya dalam persentase yang rendah menjawab dikawinkan di atas umur 1 tahun yaitu 28,57% peternak di Desa Sukajadi dan 17,65% peternak di Desa Sumber Wetan. Dalam memilih bibit betina yang akan dijadikan induk, peternak di kedua desa menyebut beberapa ciri-ciri yang sama namun ada juga beberapa cirri-ciri yang berbeda. Ciriciri kriteria bibit betina yang sama yang disebutkan peternak di kedua desa adalah tubuh besar, panjang dan tinggi, sehat dan tidak cacat, gemuk, kaki besar dan memiliki bulu putih. Peternak di Desa Sukajadi menambahkan beberapa ciri-ciri lain yang juga harus dipenuhi yaitu bulu mengkilat dan biasa beranak tunggal, sedangkan peternak di Desa Sumber Wetan menambahkan ciri-ciri lain yaitu bertemperamen jinak, memiliki ekor besar/panjang dan perut terlihat besar. Induk yang dianggap majir (tidak pernah beranak sedangkan domba telah mencapai umur dewasa) pada umumnya akan dijual dan dibelikan bakalan baru, demikian tindakan yang akan dilakukan peternak di Desa Sukajadi (78,57%) dan peternak di Desa Sumber Wetan (82,35%). Seluruh peternak di kedua desa menyukai kelahiran tunggal bagi induk betina yang dipeliharanya. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa anak yang dilahirkan tunggal mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat sehingga lebih cepat besar. Anggapan demikian sebenarnya kurang tepat jika diperhitungkan berdasarkan produktivitas induk. Untuk kondisi pedesaan, produktivitas induk dengan tipe kelahiran kembar dua umumnya lebih baik dibandingkan tipe kelahiran tunggal. Analisa ekonomi juga menunjukkan bahwa estimasi gross margin ternak domba dengan tipe kelahiran kembar dua lebih tinggi dibandingkan induk dengan tipe kelahiran tunggal dan kembar lebih dari dua (HANDIWIRAWAN, 2003). Oleh karena sifat tipe kelahiran secara genetik diwariskan kepada keturunannya, maka kesukaan peternak
74
terhadap tipe kelahiran tunggal merupakan seleksi yang dilakukan peternak sehingga akan terbentuk populasi domba dengan tipe kelahiran tunggal. Sistem pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif juga menyebabkan kematian domba dengan kelahiran kembar (dua dan tiga) menjadi cukup tinggi, seperti dilaporkan YULISTIANI et al., 2003) hasil pengamatannya terhadap peternak di Kabupaten Purwakarta. KESIMPULAN DAN SARAN Daerah di sekitar perkebunan tebu PG Jatitujuh merupakan daerah dengan populasi domba yang cukup padat. Rata-rata peternak memelihara domba antara 40 – 65 ekor, domba milik sendiri dan gaduhan, yang dipelihara secara tradisonal. Pola pemeliharaan yang umum dilakukan adalah masih secara ekstensif dimana domba digembalakan di sekitar perkebunan tebu yang dimulai sekitar pukul 10.00 – 12.00 selama 6 jam sehari. Perkawinan domba sepenuhnya terjadi secara alami, dan seluruh peternak lebih menyukai induk yang melahirkan anak tunggal. Preferensi ini akan mengarah kepada seleksi domba yang dipelihara mempunyai sifat beranak tunggal. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa anak yang dilahirkan tunggal mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat sehingga lebih cepat besar. Anggapan demikian sebenarnya kurang tepat jika diperhitungkan berdasarkan produktivitas induk. Sebagian besar peternak mengetahui bahwa penggembalaan domba di sekitar kebun tebu adalah merusak tanaman tebu. Lebih banyak peternak yang mengatakan bahwa tidak ada lokasi lain untuk penggembalaan dan perkebunan tebu merupakan alternatif satu-satunya untuk penggembalaan. Pendekatan secara sosiologi yang memperhatikan aspek sosial dan ekonomi serta budaya setempat perlu dilakukan untuk dapat memberikan alternatif pengembangan domba yang dapat menguntungkan pihak peternak maupun pihak pabrik gula. Manajemen pemeliharaan yang diintegrasikan dengan perkebunan tebu dapat dijadikan suatu alternatif yang dapat ditawarkan kepada peternak dengan meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan bagi tanaman tebu.
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
DAFTAR PUSTAKA DARMAWAN, T. 2003. Ancaman global ekspor produk peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29–30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm. 13–14. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. HANDIWIRAWAN, E., K. DIWYANTO, I. INOUNU, A. PRIYANTI, BERIAJAYA, N. HIDAYATI dan H. HASINAH. 2003. Pengembangan persilangan domba komposit dengan domba Garut di lapang. Laporan Penelitian. Puslitbang Peternakan. Bogor. PRASETYO, S. 1990. The Potential of Fat-Tailed Sheep in the Province of West Nusa Tenggara. Proc. Workshop Production Aspect of
Javanese Fat Tail Sheep in Indonesia. Surabaya, 10–11 Agustus 1990. Hlm. 47–57. MOCHTAR, M. dan S. TEDJOWAHJONO. 1985. Pemanfaatan hasil samping industri gula dalam menunjang perkembangan peternakan. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Grati, 5 Maret 1985. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 14–23. YULISTIANI, D., M. MARTAWIJAYA, ISBANDI, B. SETIADI dan SUBANDRIYO. 2003. Tata laksana pemberian pakan dan tingkat kematian anak pra sapih pada domba di Desa Pasiripis, Kabupaten Majalengka dan Desa Tegalsari Kabupaten Purwakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29–30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hl,. 114–119.
75