MANAJEMEN KOLEKSI SPESIMEN BIOTA LAUT
Editor Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta, 2013
ISBN: xxxxxxxxx
Editor: Rianta Pratiwi
Desain sampul dan layout: M. Farel Adirianto Indra Bayu Vimono
Kontributor: Rianta Pratiwi (Crustacea) Indra Bayu Vimono (Echinodermata) Ucu Yanu Arbi (Moluska) Fahmi (Ikan) Tri Aryono (Spons dan karang) Susi Rahmawati (Lamun) Tri Handayani (Algae) Pramuji (Mangrove)
Kontak: Rianta Pratiwi Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur Jakarta Utara 14430
[email protected] [email protected]
Diterbitkan oleh: Puslit Oseanografi LIPI, Jakarta, 2013.
MANAJEMEN KOLEKSI SPESIMEN BIOTA LAUT
Editor Rianta Pratiwi
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta, 2013
ISBN: xxxxxxxxx
Editor: Rianta Pratiwi
Desain sampul dan layout: M. Farel Adirianto Indra Bayu Vimono
Kontributor: Rianta Pratiwi (Crustacea) Indra Bayu Vimono (Echinodermata) Ucu Yanu Arbi (Moluska) Fahmi (Ikan) Tri Aryono (Spons dan karang) Susi Rahmawati (Lamun) Tri Handayani (Algae) Pramuji (Mangrove)
Kontak: Rianta Pratiwi Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur Jakarta Utara 14430
[email protected] [email protected]
Diterbitkan oleh: Puslit Oseanografi LIPI, Jakarta, 2013.
Prakata Kegiatan penelitian di Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yang berjalan setiap tahunnya di hampir seluruh perairan Indonesia telah menghasilkan beberapa koleksi spesimen biota laut baik yang memiliki nilai penting dapat dimakan (edible species) maupun yang non ekonomi (yang tidak dapat dimakan) serta beberapa koleksi spesimen yang dapat dikategorikan sebagai herbarium dan hiasan. Semua biota laut tersebut disimpan di dalam ruang Koleksi Rujukan P2O-LIPI, Jakarta (Ancol) dalam bentuk koleksi basah, kering ataupun herbarium. Koleksi spesimen telah disertai dengan informasi yang lengkap mengenai nomor katalog, nama jenis, lokasi, posisi, tanggal koleksi, nama kolektor, tanggal identifikasi dan nama identifikator. Diharapkan koleksi spesimen biota laut tersebut dapat memberikan informasi ilmiah yang dapat bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya (pelajar, mahasiswa, masyarakat umum, pemerhati, dan hobbies atau peminat fauna laut ) serta para peneliti P2O pada khususnya. Meskipun Koleksi Rujukan P2O bukan berupa museum, hanya merupakan “kumpulan dari biota laut yang disimpan dan dirawat di ruangan tersendiri” sebagai bahan rujukan ilmiah bagi peneliti-peneliti P2O, akan tetapi semua aturan dan prinsip-prinsip koleksi mengikuti aturan international. Keberadaan Koleksi Rujukan sangat penting, sehingga tidak hanya sebagai koleksi yang disimpan dan dirawat saja, tetapi koleksi spesimen tersebut digunakan pula sebagai bahan rujukan pembuatan berbagai tulisan ilmiah Adapun jenis-jenis biota laut iii
yang
dikoleksi
adalah
dari
kelompok
taksa:
crustacea,
echinodermata, moluska, ikan, karang, spons, gorgonian, lamun, algae, mangrove. Buku Manajemen Koleksi Spesimen Biota Laut ini, berisikan bagaimana mengelola koleksi spesimen dengan baik dan benar berstandar international serta hal-hal yang menyangkut tatakelola
koleksi
spesimen,
keselamatan
spesimen,
ruang
penyimpanan, pengaturan penyimpanan, bahan dan alat untuk penyimpanan spesimen, administrasi pengelolaan spesimen hingga manajemen data (data base). Penanganan koleksi spesimen setiap takson berbeda-beda caranya, sehingga di dalam buku ini dituliskan tersendiri dalam masing-masing bab yang ditulis oleh para peneliti dibidangnya. Besar harapan buku ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai pegangan atau acuan di dalam mengelola biota laut yang ada di lembaga, instansi ataupun di universitas yang terkait dengan kelautan.
Diharapkan buku ini juga dapat
dimanfaatkan oleh siapa saja yang berminat untuk membangun koleksi rujukan ilmiah biota laut maupun koleksi spesimen fauna untuk kepentingan hobi.
Jakarta, 3 Februari 2013
Dra. Rianta Pratiwi MSc. iv
Kata Pengantar Keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut sangatlah penting, karena disamping sebagai tempat penyimpanan koleksi spesimen biota laut, dapat juga dijadikan sebagai koleksi rujukan ilmiah bagi peneliti, dosen, mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum yang tertarik dalam bidang kelautan. Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan aset negara yang dapat menjadi sejarah bagi anak bangsa, dengan dikoleksinya biota laut dihampir seluruh perairan Indonesia, maka informasi keberadaan dan sebaran dari biota tersebut dapat diketahui dengan baik. Semua koleksi spesimen disimpan dan dirawat di dalam Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI dengan mengikuti aturan-aturan koleksi spesimen di museum secara international, sehingga informasi dan database dari spesimen dapat dikelola, dirujuk serta digunakan dengan mudah dan termanajemen. Tata kelola dan manajemen spesimen dilakukan dengan runtun dan dicoba untuk dituangkan dalam sebuah buku manajemen koleksi. Kehadiran buku Manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut sangat membantu bagi semua pihak yang ingin membangun Koleksi Spesimen Biota Laut. Buku yang dibuat oleh beberapa peneliti ini berisikan bagaimana melakukan kegiatan sampling di lapangan, analisis di laboratorium hingga menjadi koleksi spesimen biota laut. Penataan dan perawatan serta manajemen koleksi dari spesimen biota laut juga diterangkan secara rinci di dalam buku ini, oleh sebab i
itu sangat diperlukan sebagai penambah pengetahuan untuk mengelola koleksi spesimen biota laut. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pengelola Koleksi Rujukan Biota Laut P2O, semua peneliti yang telah berkontribusi dalam penulisan buku ini dan khususnya kurator serta teknisi Koleksi Rujukan Biota Laut yang telah membantu di dalam pengelolaan Koleksi Spesimen, semoga semua yang telah dilakukan menjadi contoh baik bagi orang lain dan koleksi spesimen dapat terjaga dengan baik.
Jakarta, 2 Maret 2013
Dr. Ir. Zainal Arifin MSc. Kepala Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
ii
Daftar Isi Kata Pengantar ......................................................................................... i Prakata .................................................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................................. v Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut Pusat Penelitian OseanografiLIPI (Oleh: Rianta Pratiwi) ............................................................... 1 Bab II. Tatakelola Koleksi Spesimen Biota Laut P20-LIPI (Oleh: Rianta Pratiwi) ..................................................................... 29 Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea (Oleh: Rianta Pratiwi) ..................................................................... 62 Bab. IV. Koleksi dan Penanganan Sampel Echinodermata (Oleh: Indra Bayu Vimono) ............................................................ 90 Bab. V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca (Oleh: Ucu Yanu Arbi) ................................................................. 105 Bab. VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan (Oleh: Fahmi) ............................................................................... 128 Bab. VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons (Oleh: Tri Aryono) ....................................................................... 144 Bab. VIII. Panduan Koleksi Herbarium Lamun (Oleh: Susi Rahmawati) ................................................................ 160 Bab. IX. Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut / Makroalgae / Seaweed, (Oleh: Tri Handayani) ......................................................... 172 Bab. X. Pengertian Mangrove dan Pegangan Koleksi Spesimen (Oleh: Pramudji) ………………………………………………....... 184 v
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Bab I Koleksi Rujukan Biota Laut Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Rianta Pratiwi
Pendahuluan Ancaman kehilangan populasi dan spesies biota laut yang komersial maupun non komersial semakin besar seiring dengan memburuknya perekonomian Indonesia, makin banyaknya polusi dan transformasi lahan serta perubahan iklim yang mempengaruhi karakter oseanografi laut kita. Oleh sebab itu keberadaan koleksi spesimen biota laut sangat diperlukan sebagai bahan informasi ilmiah yang harus disimpan dan sebagai aset sejarah yang sangat penting artinya dalam dunia ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini Pusat Penelitian Oseanografi, khususnya
“Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI” merasa perlu mengumpulkan semua spesimen biota laut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti P2O, ekspedisi ataupun kerjasama dengan pihak luar (peneliti asing) dan merawatnya hingga menjadi koleksi spesimen ilmiah yang dapat dirujuk dengan mudah oleh peneliti ataupun pihak lain yang akan memanfaatkan koleksi spesimen tersebut sebagai bahan ajar mengajar, pameran, peminjaman, tukar menukar dan lain sebagainya.
1
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Sebagai negara besar yang dikenal dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah, bervariasi dan tidak dimiliki oleh negara-negara lain, maka sangat tepatlah bila Indonesia disebut negara “Mega Diversity in the World”. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat disayangkan apabila kekayaan yang telah dimiliki tidak dapat dikelola dengan baik dan bijaksana. Marilah kita telaah gambaran mengenai biota laut mulai dari sejarah terbentuknya Koleksi Rujukan Biota Laut di P2O-LIPI, mengenal, mengkoleksi dan merawat koleksi spesimen biota laut baik di lapangan maupun di laboratorium hingga menjadi koleksi rujukan biota laut serta halhal yang berkaitan dengan koleksi spesimen sampai database spesimen pada bab-bab berikutnya. Koleksi
spesimen
biota
laut
yang
tersimpan
di
ruang
(Laboratorium) Koleksi Rujukan Biota Laut P2O diperkirakan berjumlah lebih dari 7.000 koleksi spesimen. Koleksi spesimen tersebut diharapkan bisa menambah jumlah keanekaragaman biota laut yang ada di Indonesia dimana jumlah fauna dan floranya masih belum bisa diketahui atau diprediksi secara tepat. Untuk sementara diprediksi jumlah biota laut yang ada seperti coral sekitar 590 jenis, seagrass 12 jenis, mangrove 43 jenis, sponge 850 jenis, ikan karang 2057 jenis, crustacean 1512 jenis, echinodermata 1412 jenis dan moluska 2500 jenis. Sedangkan menurut fish base (2011) memperkirakan ikan di Indonesia keseluruhan berjumlah 4512 jenis dengan rincian: ikan tawar 1167 jenis, ikan laut 3429 jenis, ikan pelagis 99 jenis, ikan laut dalam 308 jenis, ikan karang 1998 jenis dan ikan komersial 705 jenis. Untuk jenis crustacea rinciannya sebagai berikut:
2
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Stomatopoda/udang pengko, Brachyura/kepiting dan Anomura/kelomang), dengan rincian udang pengko (Stomatopoda) 450 (di dunia) telah dideskripsikan dan di Indonesia sekitar 118 (26%) (Moosa, 2000; Ahyong et al. 2008). Sementara dari jenis ekonomis penting seperti beberapa jenis udang dan kepiting dari suku Penaeidae (udang niaga, dunia diperkirakan sebanyak 343 spesies yang potensial secara komersil, 110 spesies di Indonesia), Portunidae (rajungan dan kepiting bakau, 72 jenis (Irawan & Soegianto, 2006). Syllaridae (udang pasir dan udang kipas, 2 jenis) dan Palinuridae (udang karang atau lobster 7 jenis) (Moosa & Aswandy 1984). Di dalam ruang koleksi rujukan biota laut juga disimpan beberapa koleksi jenis
“tipe” yang penyimpanannya sangat khusus (tersendiri)
dalam lemari besi dan dipisahkan dari spesimen utama (reguler). Selain merupakan spesimen yang telah dipublikasi secara international oleh peneliti asing dan berupa koleksi tipe yang dipercayakan untuk disimpan P2O, maka perawatannya harus lebih berhati-hati dan khusus.
1. Sejarah Koleksi Rujukan Biota Laut Di Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI Sejarah berdirinya Koleksi Rujukan Biota Laut, dalam hal ini tidak dibahas dari mulai berdirinya cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi (yang dahulu bernama Visscherij Laboratorium te Batavia/ Laboratorium Perikanan di Batavia) pada pertengahan Desember 1905 saat dipimpim Dr. J.C. Koingsberger, seorang peneliti fauna darat dan laut hingga kepemimpinan Dr. Klaus Wyrtki peneliti fisika oseanografi dari Jerman. Tetapi sejarah Koleksi Rujukan Biota Laut dibahas mulai dari berkantornya
3
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
lembaga tersebut di Pasar Ikan, Jakarta Utara dengan nama Laboratorium Penyelidikan Laut (1949-1955). Dimana pada tahun 1955 berubah nama menjadi “Lembaga Penyelidikan Laut (LPL 1955-1961)”. Pada saat itu penelitian-penelitian atau ekspedisi perairan nusantara terdahulu sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti asing yang melibatkan penelitipeneliti Indonesia melalui ekspedisi-ekspedisi Nusantara diantaranya: Siboga (1899-1900, penelitian laut dalam), Galathea (1950-1952), Operasi Baruna (1964,1967 dan 1970), International Indian Ocean Expedition (1964 dan 1985), Mariel King Memorial Expedition (1970), Rumphius I-IV (1973,1975,1977
dan
1980),
Snellius
II
(1984-1985),
ASEAN-
AUSTRALIA Regional Ocean Dynamic (1987 dan 1994), Ekspedisi Karubar (1993), Ekspedisi Pulau Moyo (1993), Marine Biodiversity in Indonesia Waters (MARBIW, 2001-2003), Census of Marine Life (CoML, 2004-2010) dan hingga sekarang penelitian-penelitian atau ekspedisi EWIN (Ekspedisi Widya Nusantara, 2011-2013) dan lain sebagainya. Sudah banyak dikumpulkan jenis-jenis biota laut yang berasal dari hasil-hasil penelitian atau ekspedisi tersebut dan keberadaan koleksi spesimen saat itu ada yang berada di berbagai museum diantaranya: di Leiden Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, Amerika Serikat (Smithsonian), Canada, Singapore (Raffles Museum), Indonesia (MZB, Bogor) dan Inventarisasi Biota Laut, P3O-LIPI (saat itu). Saat berkantor di Pasar Ikan pada tahun 1958 hingga 1970 belum terbentuk koleksi spesimen biota laut dan koleksi masih berada pada laboratorium masing-masing. Pada tahun 1970 LPL berubah menjadi “Lembaga Oseanologi Nasional” (LON, 1970-1986) dan dipindahkan ke
4
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Ancol Timur menempati sebuah gedung bertingkat tiga atas hadiah (hibah) dari Gubernur DKI, Ali Sadikin yang ingin menyatukan lembaga-lembaga kelautan dan universitas agar berada dalam satu lingkungan kelautan (berintegrasi) di Ancol. Adapun fungsinya selain sebagai sarana rekreasi terdapat juga sarana pendidikan dan penelitian yang saat itu telah juga berdiri Gelanggang Samudera Ancol (GSA) di lokasi tersebut (Kompleks Bina Samudera). GSA dijadikan aset nasional dan dibentuk Dewan Kurator yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Menteri Ekuin, yang beranggotakan beberapa tokoh nasional, beberapa ketua Lembaga Pemerintah, Rektor dan Pengusaha. Setelah berada di Ancol, koleksi spesimen mendapat ruangan yang sangat kecil, sehingga semua koleksi digabungkan menjadi satu, tetapi setiap koleksi spesimen berada di bawah pengawasan, perawatan dan tanggungjawab dari masing-masing laboratorium yang ada saat itu, karena belum dibentuk struktural yang harus bertanggungjawab dalam hal tersebut. Seiring dengan perubahan struktur organisasi di lingkungan LIPI, pada tahun 1986 LON
berubah menjadi Pusat
Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi (1986-2001) merupakan salah satu Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)” yang berada di bawah ke“Deputi-an Bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)”. Mengingat begitu pentingnya laut bagi kehidupan Bangsa Indonesia, maka dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1993, khususnya dalam Pembangunan Lima Tahun Ke-enam (Pelita VI), pembagunan di bidang kelautan merupakan sektor yang berdiri sendiri, yang dalam Pelita sebelumnya digabung dalam sektor Ilmu Pengetahuan
5
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
dan Teknologi. Pembangunan sektor kelautan berusaha meningkatkan sarana dan prasarana kelautan agar laut memenuhi fungsinya sebagai media penghubung, pemersatu bangsa dan lahan penghidupan rakyat serta lebih berperan dalam segenap aspek kehidupan rakyat dan bangsa. Disamping itu juga menggali data dan informasi kelautan melalui peningkatan kegiatan survey dan penelitian dalam rangka inventarisasi kekayaan laut. Berkaitan dengan pembangunan sektor kelautan tersebut maka Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Oseanologi-LIPI
(P3O-LIPI)
mempunyai tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan di bidang kelautan yang diarahkan untuk memenuhi tujuan dan untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya di dalam menyediakan data dan informasi ilmiah untuk melandasi rencana pengembangan sumberdaya laut, juga untuk memajukan ilmu pengetahuan serta usaha dalam penguasaan teknologi yang dapat dikembangkan di Indonesia. Untuk itulah data dan informasi yang ada dikumpulkan berupa: contoh spesimen biota laut, baik fauna maupun flora dari perairan Indonesia yang didapatkan dari hasil survei penelitian P3O sendiri dan dari hasil-hasil ekspedisi yang dilaksanakan di perairan Indonesia bersama dengan peneliti asing. Data yang dijadikan acuan/rujukan di dalam pengenalan biota laut tersebut disimpan di ruang “Inventarisasi Biota laut di Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi –LIPI”. Seksi Inventarisasi Biota Laut yang bernaung di bawah Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut (Balitbang Biologi) dan dikepalai oleh seorang eselon empat sebagai strukturalnya, memiliki tugas fungsi: merawat, menata, mengelola dan
6
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
bertanggungjawab terhadap koleksi spesimen biota laut.
Saat itu
Inventarisasi Biota Laut siap untuk melakukan peremajaan dan penataan kembali koleksi biota laut secara runtun dan berkesinambungan. Kegiatan tersebut dilakukan kembali dan hanya dapat berjalan 2 tahun (1998 dan 2000 dari rencana 5 tahun anggaran 1997-2001), sudah tidak berjalan lagi disebabkan keterbatasan dana yang tidak dapat kontinyu setiap tahunnya. Karena sulitnya dana, disepakati sebagian dari koleksi spesimen yang dimiliki oleh P3O dihibahkan ke Widya Satwa Loka, Cibinong untuk dapat dirawat dan dikelola dengan baik. Dengan bantuan dana dari Global Environmental Facility (GEF) di tahun 2000 akhir atau awal tahun 2001 beberapa koleksi spesimen biota laut (yang sudah selesai dikerjakan) dipindahkan. Telah disepakati bersama antara Puslibang Oseanografi (P3O) dan Puslibang Biologi (P3B) bahwa koleksi spesimen yang ada di P3O hanya yang masih dikerjakan “(Working Specimens)” dan yang telah selesai dikerjakan “(Non Working Specimens)” berada di P3B. Hal ini pun tidak berjalan secara kontinyu dan hanya berjalan saat itu saja (tahun 2001). Di tahun 2001 hingga sekarang Puslitbang Oseanologi berubah menjadi “Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)” di bawah naungan “Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian”. Seksi Inventarisasi Biota Laut yang dahulu berada di bawah Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI dan mempunyai tugas pokok menyimpan serta merawat berjenis-jenis Biota Laut dari berbagai perairan Indonesia dihapuskan atau dihilangkan kedudukannya di dalam struktur keorganisasian tersebut di Pusat Penelitian Oseanografi.
7
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Dalam kondisi tersebut Tim Ex-Seksi Inventarisasi Biota Laut tetap bekerja dengan dedikasi yang tinggi, baik dan setia menjalankan tugasnya untuk mengelola (merawat dan menjaga) agar koleksi spesimen tetap terawat dan tertata dengan baik. Tertatih tatih dan jatuh bangun kembali, itulah kondisi yang dirasakan saat itu, akan tetapi meskipun kedudukannya dihapuskan di dalam struktur organisasi, dengan bantuan dana rutin yang kadang-kadang kondisi dan jumlahnya tidak jelas dan tidak tetap, Tim Ex-Inventarisasi Biota Laut tetap menjalankan tugasnya melakukan perawatan biota laut dan mengeluarkan luaran-luaran berupa buku Katalog Biota Laut. Koleksi spesimen biota laut yang tersimpan di ruang koleksi diperkirakan berjumlah lebih dari 7.000 spesimen terdiri dari: Crustacea, Moluska, Ikan, Echinodermata, Karang, Lamun, Mangrove, Algae dengan jumlah terbesar adalah koleksi spesimen ikan. Jumlah biota laut yang ada sebagian telah banyak yang hilang, rusak ataupun hancur dikarenakan mengalami perpindahan berkali-kali, mulai dari Pasar Ikan ke Ancol, di Ancol pindah ruangan dari lantai bawah (1) ke lantai dua (2) dan kemudian dipindahkan lagi dari lantai dua (2) ke lantai bawah (1) hingga kini berada di lantai satu (1). Semua jenis-jenis tersebut sebagian besar sudah dituangkan ke dalam terbitan buku katalog. Buku katalog berisikan informasi mengenai koleksi spesimen lengkap dengan nomor registrasi, nama jenis, lokasi, kolektor, identifikator dan lainlainnya yang berkaitan dengan spesimen. Hingga kini telah berhasil diterbitkan sebanyak 12 jilid dan yang terakhir diterbitkan tahun 2011. Lambat laun dengan tidak kontinyunya dana maka, perawatan koleksi
8
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
spesimen praktis terhenti hingga 4 tahun yang menyebabkan rusaknya beberapa koleksi. Buku katalogpun tidak lagi terbit secara kontinyu setiap tahun anggaran, dikarenakan tidak adanya dana untuk menunjang pembuatannya. Buku Katalog Biota Laut yang telah berhasil diterbitkan adalah: Jilid I (1999), Jilid II dan III (2000), Jilid IV dan V (2002) dan Jilid VI (2005). Namun mengingat banyaknya tambahan spesimen baru hasil penelitian dan survey lapangan, serta sample biota laut yang masih belum ditata dan belum bernomor katalog serta masih banyaknya sample yang belum diidentifikasi ataupun harus di reidentifikasi. Selain itu juga terdapat beberapa spesimen tipe titipan peneliti asing yang merupakan duplikat spesimen dari perairan di dalam maupun luar Indonesia. Dimana spesimenspesimen tersebut telah memiliki nomor katalog dan telah dikemas dalam bentuk database yang harus terus dirawat dengan baik, maka dirasakan perlu dilakukan atau dicoba kembali untuk melakukan kegiatan pengelolaan, penataan, perawatan dan penyusunan buku katalog biota laut di Pusat Penelitian Oseanografi. Pada akhirnya pada tahun 2006 hingga kini terbentuklah “Koleksi Rujukan Biota Laut atau Reference Collection of Marine Biota” di bawah
Bidang
Sumberdaya
Laut
yang
dikepalai
oleh
“Kepala
Laboratorium”, tidak memiliki struktural dan hanya bersifat kerja tambahan agar koleksi spesimen tetap bisa terawat dengan baik. Dana yang ada tidak lagi dari dana rutin kantor (sudah ditiadakan) melainkan dari kegiatan projek yang dibuat melalui proposal setiap tahunnya dan masuk ke dana DIPA-P2O-LIPI.
9
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Penambahan koleksi spesimen semakin banyak, sehingga ruangan koleksi semakin sempit dan sumpek dikarenakan belum bisa mendapatkan ruangan baru yang lebih besar dan representatif sebagai Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut yang bertaraf nasional. Dengan adanya dana proyek yang bersifat rutin (Top down kelembagaan) maka koleksi spesimen tetap bisa terawat, tertata serta buku katalogpun berturut-turut bisa diterbitkan kembali mulai: Jilid VII (2009), VIII (2008), IX (2010), X (2010) dan XI (2011) hingga kini akan terbit jilid XII (2013) juga luaran-luaran lain seperti poster-poster biota laut dan banner-banner tentang koleksi rujukan biota laut. Koleksi biota laut diharapkan dapat membantu memberikan informasi dan dapat dijadikan sebagai Koleksi Rujukan Biota Laut Biologi Ilmiah melalui buku katalog, poster dan banner yang telah diterbitkan sehingga mempermudah pengguna untuk menelusuri biota (sebagai sarana penelusuran biota) yang diinginkan. Oleh karenanya Koleksi Rujukan Biota Laut sangat penting artinya bagi suatu lembaga penelitian kelautan di Indonesia khususnya untuk menunjang perkembangan ilmu kelautan di bidang taksonomi, biodiversitas dan konservasi.
2. Konsep Pembangunan Koleksi Rujukan Biota Laut Sebelum dilakukan pembangunan Koleksi Rujukan Biota Laut, sebaiknya diketahui lebih dahulu bagaimana konsep-konsep atau prinsipprinsip dan definisi dari Koleksi Rujukan Biota Laut tersebut. Koleksi Rujukan Biota Laut adalah: spesimen koleksi biota laut yang dikumpukan dari laut (perairan laut) berupa hasil penelitian untuk
10
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
dikelola (disimpan, dirawat, dipelihara dan ditata) sehingga menjadi koleksi spesimen yang berfungsi atau penggunaannya sebagai Koleksi Rujukan Biota Laut (acuan) dan penelitian, serta berbagai pemanfaatan lain yang bernilai ilmiah dan edukatif. Koleksi spesimen biota laut tersebut disimpan di dalam ruangan khusus yang berfungsi sebagai ruang koleksi (laboratorium) dalam bentuk koleksi basah, kering dan atau herbarium yang tertata (disusun) secara rapih di rak-rak besi, lemari dan laci-laci berdasarkan sistematik (hirarki secara taksonomi) untuk masing-masing taksonnya. Koleksi spesimen seyogjanya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak: kalangan siswa (pelajar, mahasiswa), kalangan ilmuwan dalam dan luar negeri (peneliti), pemerintah, swasta, LSM, pemerhati (individu, hobbiest) dan masyarakat umum yang terkait dalam ilmu kelautan. Koleksi spesimen yang berfungsi sebagai koleksi ilmiah secara keseluruhan dapat digunakan untuk bermacam-macam kepentingan misalnya sebagai berikut: 1.
Sebagai bahan rujukan ilmiah untuk indentifikasi jenis-jenis biota laut dari perairan Indonesia.
2.
Sebagai bahan acuan penelitian biosistematik, taksonomi dan konservasi.
3.
Sebagai bahan ajar dan mengajar bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum, individu dalam bidang biologi (teori dan praktek).
4.
Sebagai bahan untuk pameran edukasi bagi berbagai kalangan:
peneliti,
pelajar,
masyarakat umum (hobbiest).
11
mahasiswa,
individu
dan
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
5.
Sebagai bahan pembuatan buku (sumber data) fauna dan flora Indonesia yang dapat disebarluaskan sebagai informasi ilmiah kepada semua pihak.
6.
Sebagai bank data (database) biota laut kelautan milik P2OLIPI yang dapat disimpan sebagai sumber data kelautan yang otentik (sebagai aset sejarah kehidupan biota laut dari perairan Indonesia).
Adapun definisi dari Ruang Koleksi Biota Laut adalah: ruangan khusus penyimpanan biota laut yang diatur sedemikian rupa (bersuhu udara 200-210C, kelembaban 45-60%), bebas jamur dan kebersihan yang terpantau, sehingga keselamatan koleksi spesimen dapat tetap terjaga dengan baik. Prinsip dasar dari ruang koleksi rujukan biota laut merupakan “final destination (tujuan/tempat akhir penyimpanan)” artinya: spesimen telah terdaftar dalam buku registrasi, ditempatkan dalam wadah tertentu (satu tempat satu spesies dan telah lengkap dengan label yang berisi semua informasi) untuk kemudian disimpan di dalam ruang koleksi biota laut dalam bentuk koleksi basah, kering ataupun herbarium. Oleh karenanya spesimen-spesimen yang belum diidentifikasi dan/atau spesimen yang belum dipisahkan menurut spesiesnya (masih tercampur) atau spesimen yang masih dalam pengerjaan ataupun spesimen yang belum terdaftar, belum dapat disebut sebagai koleksi spesimen dan tidak dapat ditempatkan di ruang khusus koleksi. Di dalam ruang Koleksi Rujukan Biota Laut dibagai dalam dua ruangan yaitu: 1). Ruang Koleksi Basah: adalah ruangan yang
12
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
diperuntukkan bagi penyimpanan biota laut yang diawetkan dengan menggunakan bahan pengawet alkohol (96%) dan 2) Ruang Koleksi Kering: adalah ruangan yang diperuntukkan bagi penyimpanan biota laut yang
diawetkan
dengan tidak menggunakan bahan pengawet (dalam
bentuk kering atau herbarium). Koleksi rujukan biota laut mempunyai konsep yang berbeda dengan koleksi yang ada di museum, meskipun beberapa kaidah-kaidahnya mengikuti museum. Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan representatif (perwakilan) dari museum dimana, koleksi spesimen yang ada tidak terlalu banyak dan besar seperti yang dimikili oleh sebuah museum yang bertaraf nasional atau bahkan international. Museum memiliki koleksi spesimen dalam skala yang lebih besar, ruanganpun sangat besar, memiliki kuratorkurator dan manajer yang bertanggungjawab pada masing-masing koleksi, database terkelola sendiri serta gedung dengan lahan yang luas.
3. Kerangka Ilmiah Bagaimana Koleksi Rujukan Biota Harus Dilaksanakan
Laut
Banyaknya manfaat Koleksi Rujukan Biota Laut yang telah disebutkan di atas bisa pula dirasakan oleh berbagai pihak sebagai contoh, bila ditinjau dari segi kearsipan Koleksi Rujukan Biota Laut dapat merupakan Arsip Statis. Arsip Statis merupakan arsip yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan bangsa di masa kini dan masa mendatang. Oleh sebab itu Koleksi Rujukan Biota Laut yang usianya sudah lebih dari 100 tahun dari sejak berdirinya Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI tahun 1906 (menurut sejarah berdirinya) dapat dikatagorikan ke dalam
13
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
“Arsip Hasil Penelitian” yang mempunyai Nilaiguna Ilmiah (Sumarni, 2008). Berdasarkan manfaat-manfaat itulah, mengapa Koleksi Rujukan Biota Laut itu penting dan harus dilakukan sebagai penunjang ilmu kelautan??. Pertama adalah, koleksi spesimen biota laut merupakan pusat data (bank data) yang perlu dikumpulkan. Informasi keberadaan jenis biota laut
tersebut
dapat
dikumpulkan
dengan
cara
mengumpulkan
keanekaragaman hayati laut (biodiversity) melalui informasi database dan kedua adalah, sistem database (jejaring database) harus dikembangkan untuk mengetahui distribusi spesies, melacak spesimen, mengelola koleksi serta menyediakan informasi secara menyeluruh bagi para ilmuwan, pengelola dan industri. Jumlah biota laut di perairan Indonesia yang sangat banyak dan bervariasi masih belum banyak diketahui sehingga, jumlah biota laut Indonesia yang dapat disurvei sangat bergantung pada tenaga manusia, oleh sebab itu pengetahuan tentang taksonomi harus terus didorong atau dimotivasi. Harus disadari bahwa data keanekaragaman hayati laut sangat sulit dan mahal untuk dikumpulkan. Para pengelola sumberdaya alam harus terus menjalin kerjasama dan koordinasi erat dengan para pengambil kebijakan atau keputusan, khususnya yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan.
Keputusan-keputusan
harus
cepat
diambil,
meskipun
kesediaan data sangat kurang. Seperti berkoordinasi dengan Unit Tenaga Teknis (UPT) yang dimiliki P2O-LIPI di daerah-daerah untuk bersamasama membangun database koleksi spesimen dan membangun simpulsimpul Koleksi Rujukan Biota Laut di daerah masing-masing.
14
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Kebijakan dan keputusan untuk membangun Koleksi Rujukan Biota Laut ilmiah dapat digambarkan dalam empat pilar (Gambar 1.1) sebagai berikut:
Gambar 1.1. Kerangka Umum Pengembangan Koleksi Rujukan Biota Laut. Gambar: R. Pratiwi. Langkah-langkah kebijakan atau keputusan seperti yang telah diilustrasikan dalam empat pilar di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
15
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
1.
Terdapatnya sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan untuk bekerja dalam bidang kelauatan (biologi, biositematik, genetika dan lainnya yang terkait).
2.
Kegiatan penelitian dan survei laut yang saat ini telah diselenggarakan oleh berbagai lembaga harus dilanjutkan, didukung dan dikembangkan lebih jauh.
3.
Meningkatkan
produktivitas
tenaga-tenaga
taksonomi
dengan
memberikan dukungan, fasilitas dan insentif untuk mengembangkan karier yang lebih baik. 4.
Menciptakan jejaring pusat dan daerah untuk mengumpulkan spesimen laut yang akan disimpan dan diidentifikasi.
5.
Memulai dan memperluas program pendidikan dan pelatihan ilmiah serta manajemen Koleksi Rujukan Biota Laut yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati laut, terutama taksonomi, genetika dan sistematika laut.
6.
Mengembangkan suatu database untuk dokumentasi dan pelacakan spesimen.
Kegiatan empat pilar tersebut dan hasilnya harus dikoordinasikan dan dievaluasi (MONEV) secara kontiyu, sehingga dapat mendukung pendidikan dan pelatihan yang hasilnya harus bisa memfasilitasi database keanekaragaman
hayati
laut
dan
membuka
peluang
penyusunan
inventarisasi yang sistematis mengenai sumberdaya keanekaragaman hayati laut Indonesia. Keterkaitan yang berkesinambungan dari semua unsur tersebut sangat dibutuhkan untuk membangun koleksi rujukan biota laut.
16
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Inventarisasi hanya mungkin dilakukan melalui survei sistematis yang memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan terampil termasuk taksonomis dan parataksonomis. Parataksonomis dapat dilatih dan ditugaskan di pusatpusat penelitian daerah untuk mengkoleksi dan mengidentifikasi sebagian spesimen atau membantu mengerjakan identifikasi awal spesimen yang dikumpulkan. Parataksonomis dapat direkrut dari masyarakat pencinta alam, LSM, perkumpulan-perkumpulan selam ataupun pemerhati (hobbiest) untuk dapat ikut serta mengumpulkan spesimen dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, sehingga membuat mereka tertarik pada bidang taksonomi. Jejaring database spesimen dikembangkan untuk membantu pelacakan spesimen dan pembuatan katalog. Jurnal-jurnal ilmiah yang ada di Indonesia juga harus lebih banyak memuat tulisan-tulisan taksonomi.
4. Dilema Koleksi Rujukan Biota Laut Koleksi
Rujukan
Biota
Laut
merupakan
subsistem
dari
pengelolaan sumberdaya laut yang terintegrasi dalam sistem birokrasi dan administrasi P2O. Dengan demikian tata kelola koleksi rujukan biota laut ini sebaiknya dapat dilakukan dengan strategi yang tepat dan didukung oleh perencanaan strategik yang baik. Seringkali tata kelola Koleksi Rujukan Biota Laut terkendala oleh paradigma para pemangku kepentingan yang tidak pernah bersentuhan dengan Koleksi Rujukan Biota Laut, sehingga pemangku kepentingan seperti ini memiliki pandangan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut hanya sebagai kegiatan yang menghamburkan dana. Pandangan seperti ini tidak dapat disalahkan, karena Koleksi Rujukan Biota Laut baru akan terasa
17
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
berfungsi dan bermanfaat manakala digunakan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya laut. Disisi lain keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut harus dijaga dan kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta membutuhkan tenaga yang memiliki kinerja khusus. Dilema inilah yang menyebabkan Koleksi Rujukan Biota Laut menempati prioritas terendah dan kadangkala diabaikan dalam pengelolaan sumberdaya laut. Jalan keluar yang dapat diupayakan untuk menghadapi dilema seperti ini adalah: 1.
Mengubah paradigma para pemangku kepentingan baik yang terkait langsung dan atau tidak langsung terhadap Koleksi Rujukan Biota Laut dengan meningkatkan pengetahuan dan sikap mereka bahwa Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan mata rantai yang penting dalam pengelolaan sumberdaya laut. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan yang terprogram secara berkala dan kontinyu. Adapun kegiatan tersebut dapat berupa advokasi bagi para pemangku kepentingan yang memiliki jabatan struktural; lokakarya dan pelatihan bagi para peneliti kelautan lintas sektoral terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut baik dikalangan pemerintahan maupun swasta; dan sosialisasi bagi para pemangku kepentingan yang tidak terkait langsung dengan upaya pengelolaan sumberdaya laut seperti misalnya: institusi pendidikan, sektor swasta, LSM dan masyarakat umum (hobbiest).
2.
Menempatkan pengelolaan Koleksi Rujukan Biota Laut dalam birokrasi struktural yang sistemik. Dalam hal ini dapat dilakukan misalnya menjadi sub bidang dari sarana dan prasarana dan atau
18
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
sub bidang pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian dukungan kebijakan menjadi lebih pasti dan masif, sehingga secara otomatis dukungan dana untuk pengelolaan koleksi rujukan biota laut dapat dialokasikan secara berkala dan kontinyu.
5. Komunikasi Informasi dan Edukasi Salah satu strategi yang perlu digagas dalam pengelolaan Koleksi Rujukan Biota Laut adalah memanfaatkan “Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)”. KIE dalam perspektif Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dipahami sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam rangka mengubah sikap dan perilaku pemangku kepentingan, sehingga diharapkan menyadari, memahami bahwa keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya laut. Dengan demikian KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut harus mampu menumbuhkan motivasi, memberikan advokasi, dan pelayanan yang berkualitas dalam arti harus berorientasi kepada upaya memenuhi kebutuhan terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. KIE ini dapat dilakukan secara profesional, informatif, terbuka, rasional, jujur dan mempunyai rujukan yang benar tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang berkualitas, maka upaya ini diarahkan kepada koordinasi dan keterpaduan pengelolaan serta pengembangan hubungan kemitraan antar institusi pemerintah, swasta dan tokoh-tokoh kunci pemegang kebijakan dengan tujuan sebagai berikut:
19
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Tahapan Pengembangaan KIE-Koleksi Rujukan Biota Laut. KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dikembangkan dengan memetakan lima unsur sesuai dengan kerangka pengembangan di bawah ini (Gambar 1.2) sebagai berikut:
Gambar 1.2. Kerangka Pengembangan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Koleksi Rujukan Biota Laut. Gambar: R. Pratiwi. 1.
Who (?): unsur ini memetakan pihak yang mempunyai kebutuhan terkait dengan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut. Dapat bersifat individu, kelompok, institusi yang mencakup secara lokal, nasional dan intenational. Hasil dari pemetaan ini adalah: target, sasaran pengguna Koleksi Rujukan Biota Laut.
2.
What (?): pemetaan unsur ini bertujuan untuk menyusun pesan sesuai dengan stratifikasi target sasaran. Dapat berupa pesan, simbol verbal
20
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
dan non verbal serta juga dapat dalam bentuk data. Menurut bentuknya dapat berupa:
Informatif menyampaikan penerangan berdasarkan fakta dan datadata yang benar. Untuk mengisi pengetahuan target sasaran tentang sesuatu yang belum diketahui terkait dengan Koleksi Rujukan Biota Laut tanpa mempengaruhi persepsi mereka, misalnya: siaran berita di radio dan televisi.
Persuasif, pesan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang difokuskan pada perubahan pengetahuan dan sikap serta diutamakan bagi target sasaran yang terkait pemanfaatan Koleksi Rujukan Biota Laut secara langsung, misalnya: para peneliti, pendidik, LSM, siswa, pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum (hobbiest).
Edukatif, bertujuan merubah perilaku target sasaran secara sengaja, teratur dan terencana. Dapat berupa pemaparan dari datadata yang telah dirangkum oleh Koleksi Rujukan Biota Laut, fakta lapangan yang terkait dengan Koleksi Rujukan Biota Laut dan atau dapat pula berupa pengalaman seseorang terkait peran dan fungsi Koleksi Rujukan Biota Laut. Untuk mengelola pesan di atas sebaiknya diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Susunan pesan menarik.
Simbol pesan mudah dipahami.
21
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Pesan mampu membangkitkan motivasi dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang peran dan fungsi Koleksi Rujukan Biota Laut.
Pesan sedapat mungkin memiliki alteratif agar kebutuhan akan Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dipahami secara layak.
3.
Isi pesan mudah diimplimentasikan.
When (?): kapan saatnya KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dilakukan. Terkait dengan unsur ini, maka KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dapat dilakukan:
Berkala, misalnya: di saat pelatihan, sosialisasi dan advokasi.
Berdasarkan
event
(kegiatan)
tertentu
(khusus),
misalnya:
pameran, talk show radio dan televisi.
Secara terus menerus, dapat dilakukan dengan menyusun posterposter, banner, brosur dan leaf flat.
4.
Where (?): dimana KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut akan dilakukan, karena ibarat pepatah “lain lubuk lain pula ikannya”. Secara umum ada dua kelompok sasaran yang terkait dengan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut:
Sasaran yang langsung menggunakan perubahan pengetahuan dan sikap untuk dirinya sendiri yakni: peneliti, akademisi dan hobbiest.
Sasaran selain yang dapat menggunakan perubahan pengetahuan dan sikap untuk diri sendiri, berpotensi atau berperan untuk merubah pengetahuan dan sikap, misalnya: pemangku kebijakan, para dosen, guru dan hobbiest.
22
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
5.
Why (?): merupakan latar belakang dan tujuan mengapa KIE Koleksi Rujukan Biota Laut perlu diselenggarakan bagi target sasaran tertentu, sehingga dapat merubah paradigma perilaku pemangku kepentingan, untuk dapat menyadari pentingnya keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut dalam pengelolaan sumberdaya laut.
6.
How (?): bagaimana KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut harus dilakukan. Unsur ini lebih ditekankan pada metoda dan media yang digunakan untuk KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut. Metoda KIEkoleksi rujukan biota laut merupakan cara untuk mendekatkan target sasaran dengan komponen-komponen Koleksi Rujukan Biota Laut. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah: a) Metoda yang dipilih mampu merangsang target sasaran untuk berfikir kreatif. b) Metoda dilaksanakan dilingkungan pekerjaan (kegiatan target sasaran). c) Kegiatan KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut akan lebih efisien diselenggarakan bagi pemangku kepentingan yang langsung terkait dengan keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut. d) Metoda harus mampu menciptakan hubungan yang akrab dengan target sasaran. e) Metoda sedapat mungkin dapat merangsang target sasaran untuk meningkatkan
pengetahuan
dan
sikap
serta
mengubah
paradigmannya terhadap fungsi dan manfaat Koleksi Rujukan Biota Laut.
23
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Prinsip-prisnip tersebut di atas senantiasa dipertimbangkan dalam menetapkan metoda. Ada tiga pendekatan dalam memilih metoda KIEKoleksi Rujukan Biota Laut: 1.
Metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut menurut jenis media yang digunakan, yaitu:
2.
a.
Media lisan (langsung atau tidak langsung).
b.
Media cetak (poster, selebaran, majalah dll).
c.
Media terproyeksi (slide, film, animasi dll).
Metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut berdasarkan sumber dan kelompok sasaran dibedakan atas: a.
Komunikasi langsung (sosialisasi).
b.
Komunikasi tidak langsung (surat menyurat).
3. Berdasarkan jumlah sasaran maka metoda KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut dibedakan atas: a.
Pendekatan individu.
b.
Pendekatan kelompok.
c.
Pendekatan massal.
Pemilihan media yang digunakan untuk menyelenggarakan KIEKoleksi Rujukan Biota Laut diharapkan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Saluran komunikasi mana yang paling banyak penerimanya tetapi murah biayanya, misalnya: talks show radio dan konfrensi pers.
24
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Saluran komunikasi mana yang paling sesuai dengan ketersedian dana dan kemampuan mengoperasikannya, misalnya: on line, blog dan web site.
Saluran komunikasi mana yang paling besar dampaknya terhadap capaian KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut, misalnya: pelatihan, sosialisasi, dan workshop.
Saluran komunikasi mana yang paling cocok dengan tujuan dan target sasaran KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut, misalnya: advokasi, sosislisasi, dan pelatihan.
6. Keberlanjutan Koleksi Rujukan Biota Laut Massa depan Koleksi Rujukan Biota Laut P2O ditentukan oleh beberapa faktor, baik yang terkait dengan kelengkapan spesimen Koleksi Rujukan Biota Laut yang tersimpan (tersedia), data-data pendukung, pelayanan kurator maupun prasarana dan sarana pendukung lainnya yang kondusif bagi pengguna. Terkait dengan faktor-faktor tersebut, maka perlu dilakukan halhal sebagai berikut: 1.
Menata tata letak ruang Koleksi Rujukan Biota Laut sedemikian rupa, sehingga memberikan motivasi positif bagi pengguna dan pengelola.
2.
Sistem koleksi yang komputerisasi, sehingga memudahkan pengguna dan pengelola dalam mengakses Koleksi Rujukan Biota Laut sesuai dengan tujuan masing-masing.
25
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
3.
Memetakan standard minimal pelayanan yang menjadi pedoman bagi pengelolaan sehingga fungsi dan manfaat keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut menjadi efektif.
4.
Menyusun pedomen KIE- Koleksi Rujukan Biota Laut yang fleksibel dan dapat mengadopsi dinamika perkembangan penelitian kelautan dan kebutuhan-kebutuhan yang mengikutinya. Dengan demikian KIEKoleksi Rujukan Biota Laut selalu terbarui (ter-up date) sesuai dengan perkembangan ilmu kelautan.
5.
Mengimplemantasikan Standard Operational Procedure (SOP) yang sudah disusun dan menyempurnakan Instruksi-instruksi Kerja (IK) sesuai dengan pedoman layanan minimal. SOP tersebut harus disempurnakan agar selaras dengan prosedur International Standard Operating (ISO).
6.
Pengendalian mutu pelayanan diselenggarakan dengan mengadopsi prinsip-prinsip Management Total Quality (TQM) sesuai dengan yang dikatakan oleh Ishikawa (1993) yang berpendapat bahwa perpaduan semua fungsi pelayanan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, team work, produktivitas dan pengertian serta kepuasan pelanggan. Produk dan jasa pelayanan Koleksi Rujukan Biota Laut adalah
titik pusat untuk pencapaian peran dan manfaat keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut. Jasa dan pelayanan tidak dapat terpisahkan dari sumbedaya yang mendukungnya, lembaga pengelola yang menyediakan pelayan-pelayan Koleksi Rujukan Biota Laut serta pengguna yang menuntut pelayanan yang maksimal. Dengan demikian program-program
26
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
yang terintegrasi dan sinergis bagi keberlanjutan Koleksi Rujukan Biota Laut perlu diprioritaskan.
Daftar Pustaka Ahyong, S, Chen T, dan Liao Y., 2008. A Catalog of The Mantis Shrimps (Stomatopoda) of Taiwan. Taiwan: National Taiwan Ocean University. 200 pp. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), 2012. Modul Materi Uji Perpindahan Jabatan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan Terampil ke Ahli Pegawai Negeri Sipil (PNS). Badan Pom RI, Mata Pelajaran Komunikasi Informasi dan Edukasi. (http//pengawasfarmasidanmakanan.files.wordpress.com/2012/06/ modul-kd-kebijakan-dan penilaian-angka-kredit2.pdf. (diakses, tanggal 23 Maret 2013). Ishikawa, K., 1993. Introduction to Quality Control. J.A. Lofetus (Trans. Tokyo 3A Cooperation). http://en.wirkipedia.org/wikikaoru_ishikawa (diakses tanggal 23 Maret, 2013). Irawan, B. dan A. Soegianto, 2006. Kekayaan Jenis Portunidae di Sisi Shipping Line Selat Madura. Berk. Penel. Hayati: 11: 93–96. Kantor Lingkungan Hidup (KLH), 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Laut. Didukung oleh Environmetal Management Development in Indonesia (EMDI) Project. 55 hal. Moosa, MK. dan I. Aswandy 1984. Udang karang (Panulirus spp.) dari perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi. Nasional, LIPI, Jakarta: 40 hal.
27
Bab I. Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI
Moosa, M.K, 2000. Marine biodiversity of the South China Sea: a checklist of Stomatopod Crustacea. Raffles Bulletin of Zoology, supplement 8, 405-457. Nontji, A., 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia, 433 hal. Soegiarto, K.A., 1987. Menelusuri Tonggak-Tonggak Sejarah Puslitbang Oseanologi-LIPI. Oseana: XII (3) Edisi Khusus, 52 hal. Soemodihardjo, S., Soegiarto. K.A., Moosa, M.K., dan Mulyanto., 2005. Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan-LIPI (1905-2005). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI Press, Jakarta, 195 hal. Suhardjono, Y.R., 1999. Buku Pegangan Pengelolaan koleksi spesimen Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 218 hal. Sumarni, 2008. Koleksi Rujukan Biota Laut (Refence Collection of Marine Biota) Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ditinjau dari Segi Kearsipan. Warta Oseanografi, XXII (2): 16-20.
28
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Bab II Tata Kelola Koleksi Spesimen Biota Laut Rianta Pratiwi
Pendahuluan Perairan Indonesia memiliki kekayaan biota laut yang jenisnya sangat beranekaragam dan sangat besar jumlahnya serta tiada duanya di dunia. Dengan kondisi tersebut lautan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan Bangsa Indonesia, hal ini baik ditinjau dari segi alamnya, sebagai sarana transportasi, sarana rekreasi, pendidikan dan penelitian, konservasi alam serta sarana pertahanan keamanan negara. Bahkan untuk masa depan akan lebih banyak ditentukan pada kemampuan kita untuk memanfaatkan sumberdaya laut. Oleh karena itu pendayagunaan lautan nusantara secara penuh dan bijaksana sangat mendukung pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta sangat memerlukan pendalaman IPTEK untuk menggali potensi-potensi yang terkandung di dalamnya. Sebagai negara yang berkembang dan dikenal pula sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman biota laut yang tinggi, sangat disayangkan apabila tidak dibarengi oleh pengetahuan dasar mengenai keanekaragaman biota laut serta ilmu-ilmu yang terkait dengan bidang kelautan. Seiring dengan kemajuan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi pula kerusakan lingkugan yang memungkinkan terjadinya
29
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
variasi di dalam spesies atau bahkan hilangnya jenis-jenis tertentu dari habitatnya. Keberadaan Koleksi Rujukan Biota Laut semakin perlu, sehingga generasi penerus kita pun masih dapat mempelajari dan memiliki pengetahuan tentang kekayaan biota yang terdapat di laut kita. Dengan terbentuknya Koleksi Rujukan Biota Laut tersebut maka gambaran mengenai kekayaan hayati laut Indonesia serta sebaran dari biota dapat diketahui; informasi mengenai keanekaragamannya dapat disebar luaskan kepada masyarakat umum, instansi-instansi, mahasiswa dan pelajar untuk ikut membantu pelestarian biota laut, selain juga untuk menunjang pengetahuan biosistematik, biologi dan ekologi. Di dalam pengelolaan Koleksi Rujukan Biota Laut, koleksi spesimen di bagi ke dalam delapan (8) kelompok taksa utama yaitu: Crustacea, Moluska, Echinodermata, Coral, Ikan, Algae (Seaweed), Lamun (Seagrass) dan Mangrove. Tetapi kini sedang dipersiapan untuk kelompok micro benthik yang terdiri dari: Cacing (Polychaeta), Moluska dan Crustacea tingkat rendah (Amphipoda, Isopoda, Ostracoda dan lain-lain). Belum semua taksa memiliki kurator yang bertanggungjawab atas koleksi spesimen (karena Koleksi Rujukan Biota Laut bukan sebuah museum), dan hanya berupa laboratorium yang bertugas mengelola, merawat dan menata spesimen biota laut hingga menjadi sebuah Koleksi Rujukan Biologi Ilmiah bagi para peneliti dan pengguna lainnya.
Kelompok taksa Crustacea,
Moluska, Echinodermata dan Botani (Algae, Mangrove dan Lamun) saja yang sudah memiliki kurator, kelompok lainnya masih di bawah pengawasan kepala laboratorium dan peneliti dibidangnya masing-masing)
30
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Dalam hal ini pengaturan dan penataannya diatur semudah mungkin agar kurator dapat mengambil dan mengembalikan spesimen dengan cepat dan mudah dari tempatnya. Penggunapun dapat dengan mudah merujuk dengan cara melihat Buku Katalog ataupun meminta bantuan kurator untuk melihat spesimen. Semua hal-hal yang menyangkut tatakelola koleksi spesimen dibahas satu persatu di dalam buku ini sebagai acuan untuk mengatur Manajemen Koleksi Spesimen demi keselamatan spesimen dan semua sarana prasarana yang digunakan bagi semua pengguna baik secara langsung maupun tidak langsung.
A. Jenis-jenis Koleksi 1. Koleksi Utama Koleksi utama adalah koleksi berbagai takson yang biasa disimpan pada umumnya di museum-museum. Di ruang atau Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut P2O terdiri dari dua (2) macam koleksi dan satu (1) koleksi herbarium yaitu: 1). Koleksi Basah (menggunakan bahan pengawet alkohol dan atau formalin), 2). Koleksi kering dapat berupa tubuh binatang seutuhnya seperti: Coral (karang), cangkang moluska, dan spesimen awetan kaca (slide) dan Koleksi Herbarium berupa daun, bunga atau akar dari tumbuhan algae (seaweed), lamun (seagrass) dan mangrove yang dikeringkan dan ditempel pada kertas khusus sehingga menjadi herbarium. Bervariasinya macam koleksi menyebabkan dibutuhkannya berbagai persyaratan unit penyimpanan untuk masing-masing jenis koleksi. Dengan demikian koleksi utama ini merupakan satu rangkaian unit penyimpanan yang berbeda antara satu takson dan lainnya.
31
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Masing-masing takson ditata dalam satu sistem standar sistematik atau klasifikasi termasuk semua bahan acuannya. Hal ini dimaksud untuk memudahkan para pengguna dalam mencari takson yang dikehendaki dan juga bagi pengelola untuk merawatnya. Diantara koleksi yang dimiliki, beberapa takson hanya diidentifikasi sampai taraf tertentu (bangsa, suku, marga) atau bahkan kelas. Spesimen-spesimen tersebut masih dinilai sebagai koleksi utama yang sangat berguna, karena masih dapat diproses lebih lanjut. Terdapat beberapa kasus koleksi, dimana spesimen yang tercatat pada buku katalog lama saat rehabilitasi dan sensus koleksi hilang, sudah tidak dapat ditemukan spesimennya. Hal ini disebabkan karena spesimen sudah tidak ada sejak lama atau sulit untuk ditelusur. Biasanya spesimen tersebut dinyatakan sebagai spesimen hilang, tetapi tidak dihilangkan dari catatan. Data spesimen hilang ini tetap tercatat di dalam buku katalog, tetapi tidak tercatat di dalam database koleksi.
2. Koleksi Spesimen Tipe Merupakan spesimen yang secara international telah dikategorikan dan dipublikasikan menjadi tipe untuk jenis yang bersangkutan. Berlaku untuk semua spesimen, dan koleksi spesimen tipe ini mendapat perlakuan yang istimewa dalam artian pengelolaan sangat khusus dan keselamatan, perawatan serta penangannya lebih berhati-hati dibandingkan jenis koleksi lainnya. Hal ini disebabkan nama dan tempat penyimpanannya telah dipublikasikan secara international. Bila terdapat kerusakan dari spesimen tipe tersebut dapat memperburuk lembaga penelitian atau museum dimana
32
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
koleksi tersebut disimpan dimata internaional. Itulah sebabnya koleksi tipe (holotype) maupun tipe lainnya (paratype, lektotype dll) dipisahkan penyimpanannya dari koleksi utama dan lainnya. Untuk mempermudah pengawasannya, koleksi spesimen tipe disimpan tidak jauh dari lokasi utama masing-masing kelompok takson.
(a)
(b)
(c) Gambar 2.1. Contoh Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI. Atas kiri (a) Koleksi basah, atas kanan (b): Koleksi kering. Foto: I.B Vimono dan bawah (c): Koleksi herbarium. Foto: R. Pratiwi.
33
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
(a)
(b)
Gambar 2.2. Contoh Koleksi Tipe Rujukan Biota Laut (a), dengan Pita-pita Merah Sebagai Koleksi Holotipe (b). Foto: D.L. Rahayu. 3. Koleksi Pertukaran dan atau Sumbangan Merupakan koleksi dari hasil tukar menukar atau sumbangan yang diterima dari lembaga penelitian lain atau meseum, bahkan individu (hobbiest) tanpa ikatan perjanjian apapun. Penyimpanan koleksi sumbangan dapat disatukan atau dibedakan dengan koleksi utama, tergantung kepada data yang terkandung didalamnya serta keadaan fisik spesimen yang bersangkutan. Hal penting yang harus dilakukan adalah sterilisasi terlebih dahulu setelah proses penukaran
4. Koleksi Baru dari Lapangan Merupakan koleksi dari hasil penelitian, pengumpulan, eksplorasi atau ekspedisi oleh staf dan teknisi suatu lembaga penelitian. Spesimen baru ini masih memerlukan proses pemilahan dan pengawetan lebih lanjut sebelum digabungkan dengan koleksi utama. Prosedur pemrosesan harus mengikuti ketentuan yang sudah dibakukan. Spesimen yang sudah selesai
34
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
proses pengawetan dan pencatatan datanya secara baku dapat digabungkan dalam ruang koleksi.
(a) (b) Gambar 2.3. Koleksi Lapangan Dalam Proses Pemilahan (a), Identifikasi dan Pengawetan (b). Foto: R. Pratiwi. 5. Koleksi Pinjaman (loan) Merupakan spesimen yang dipinjam dari institusi lain baik dalam negeri maupun luar negeri untuk kepentingan penelitiannya. Spesimen ini terikat perjanjian peminjaman antar dua lembaga. Spesimen jenis ini tidak dimasukkan ke dalam database koleksi, tetapi cukup dicatat secara administrasi dalam arsip pinjam meminjam koleksi. Oleh karena keterikatannya dengan perjanjian antar instansi, maka penanganannya juga harus hati-hati sebagaimana koleksi utama lainnya
6. Koleksi Pengembalian dari Peminjaman Merupakan koleksi yang baru datang atau dikembalikan oleh lembaga lain setelah dipinjam dalam periode tertentu sesuai perjanjian peminjaman. Koleksi ini memerlukan proses lebih lanjut, misalnya
35
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
registrasi ulang, menghapus dokumen peminjaman sebelum disatukan atau dikembalikan ke tempat penyimpanan semula. Catatan:
khusus untuk
spesimen kering dan herbarium pembebasan hama mutlak harus dilakukan sebelum koleksi disatukan dengan koleksi utama.
7. Koleksi Pembagian Merupakan sejumlah spesimen pembagian dari hasil penelitian kerjasama atau eksplorasi bersama antara peneliti dengan peneliti dari instansi lain. Spesimen ini dapat digabungkan dengan koleksi utama lainnya setelah mengalami proses sebagaimana yang ditentukan.
Gambar 2.4. Koleksi Pembagian Hasil Penelitian antara P20-LIPI dengan Naturalis Museum Belanda. Foto: U.Y. Arbi. 8. Koleksi Bukti Kumpulan spesimen atau bagian dari tubuh binatang hasil penelitian ekologi atau biologi lainnya yang mungkin dilengkapi atau tidak
36
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
memiliki data sebagaimana mestinya sebagai koleksi spesimen ilmiah. Pengawetan spesimen bukti ini diproses sesuai standar yang berlaku. Spesimen jenis ini dapat disimpan sebagai koleksi ilmiah (bila keadaan fisik spesimen bagus dan data yang terkandung lengkap), atau disiapkan untuk bahan pameran atau bahan belajar mengajar. Koleksi bukti dapat ditiadakan atau dibuang setelah proses analisa dan atau penelitian selesai.
Gambar 2.5. Spesimen Bukti Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI (Rahang dan Gigi Hiu). Foto: Fahmi. 9. Koleksi untuk Belajar Mengajar atau Pameran. Merupakan spesimen yang khusus disediakan untuk melayani berbagai permintaan pelayanan, misalnya pelatihan atau pameran. Koleksi ini memang dibedakan dari koleksi utama dan disediakan khusus, yang umumnya tidak bernomor registrasi atau tanpa keterangan (label). Kebijakan ini ditempuh karena resiko spesimen akan rusak oleh tangan peserta pelatihan atau pengunjung pameran sangat besar.
37
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Gambar 2.6. Spesimen Pamer (Display) Koleksi Rujukan Biota Laut, P2OLIPI. Foto: I.B.Vimono. 10. Koleksi Pelengkap atau Penunjang Merupakan koleksi hasil rekaman dari binatang dan kegiatannya. Rekaman ini dapat berupa suara, gambar tangan, gambar terawang (foto slide), film, video, dan foto cetak (positif dan negatif). Penyimpanan koleksi pelengkap ini dilakukan ditempat terpisah dari koleksi spesimen. Data atau informasi hasil rekaman spesimen dapat dicatatkan di dalam database masing-masing spesimen.
B. Bahan-bahan yang Terkait dalam Koleksi Semua barang, peralatan, sarana atau segala sesuatu yang berkaitan dengan koleksi spesimen seperti kartu katalog, buku registrasi, literatur atau bahan pustaka dan komputer untuk database merupakan bahan-bahan yang berkenaan dengan koleksi. Oleh karena fungsinya yang penting
dalam
penggunaannya,
pengelolaan maka
koleksi
bahan-bahan
dan yang
untuk terkait
mempermudah dengan
koleksi
ditempatkan berdekatan dengan ruang koleksi. Disamping hal-hal yang
38
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
sudah disebutkan, buku lapangan juga merupakan bahan yang terkait dengan koleksi. Dari cacatan yang terekam di dalam buku lapangan, informasinya dapat dimanfaatkan untuk pelengkap data di dalam pengisian database spesimen. Evaluasi terhadap kondisi spesimen tergantung pula oleh tempat atau spesimen itu sendiri. Tempat penyimpanan dibedakan berdasarkan cara pengawetan spesimen (basah atau kering), kondisi spesimen akan baik apabila persyaratan penyimpanan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Macam-macam tempat penyimpanan dan persyaratannya sebagai berikut: 1.
Lemari Besi: lemari yang terbuat dari besi, kedap udara dengan pintu yang bisa digeser-geser maju dan mundur secara mekanis dengan ringan dan mudah.
2.
Lemari Kayu: lemari yang terbuat dari kayu dengan beberapa laci-laci untuk menyimpan koleksi kering seperti herbarium dan koleksi kering lainnya (koleksi moluska).
3.
Kotak plastik: kotak yang terbuat dari plastik dengan ukuran sebesar kartu nama untuk tempat koleksi kering (koleksi moluska), sehingga bisa dimasukkan ke dalam laci lemari kayu. Atau yang berukuran agak besar (kotak kue dari plastik) untuk tempat penyimpanan coral (karang). Kotak tersebut kemudian disimpan di dalam lemari besi.
4.
Rak Besi: terbuat dari besi yang kuat untuk tempat botol-botol koleksi spesimen.
5.
Botol Kaca: terbuat dari kaca yang bening, tidak berwarna tutup rapat dari mika atau polietilen.
39
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
6.
Vial/tube: botol berukuran kecil atau yang telah baku, bening, tidak berwarna dan tanpa tutup digunakan untuk koleksi spesimen berukuran kecil (mikro bentik). Spesimen dimasukkan dalam vial atau tube tersebut, kemudian ditutup oleh kapas dan dimasukkan ke dalam botol yang lebih besar.
7.
Slide: lempeng kaca (object glass) dengan ukuran yang telah baku, tanpa tutup (cover glass), sebagai media spesimen cacing atau bentik.
8.
Kantong Plastik: terbuat dari polietilen, berwarna bening dengan clips dibagian ujung, berukuran baku dan digunakan untuk spesimen kering (moluska, coral dan bintang laut).
9.
Kertas“Samson”: ketas berwarna coklat, permukaan halus, digunakan untuk alas spesimen herbarium (lamun atau seagrass). Setiap koleksi spesimen hendaknya memiliki kode-kode khusus
berkaitan dengan kondisi dari tempat (unit) penyimpanan, hal ini sangat berguna sebagai informasi bahwa unit penyimpanan rusak, jelek atau kondisinya tidak baik. Sebagai contoh diambil dari koleksi di Museum Zoologi Bogor (MZB) yang memiliki kode-kode sebagai berikut: A-1 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah tidak memenuhi syarat digunakan untuk penyimpanan karena kondisinya sudah jelek. Harus segera diganti sebab dapat menyebabkan koleksi rusak dalam waktu dekat. A-2 : unit penyimpanan dalam kriteria ini tidak terlalu jelek, tetapi dalam waktu beberapa tahun (5 tahun) diperkirakan akan rusak, sehingga diperlukan pemantauan terus menerus.
40
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
A-3 : unit penyimpanan dalam kriteria ini sudah bagus sesuai baku,
karena
spesimen
sudah
dapat
dipastikan
standar dijamin
keselamatannya. Sedangkan untuk status penataan juga sebaiknya mengikuti apa yang dilakukan oleh MZB dengan kode-kode sebagai berikut: B-0 : koleksi spesimen belum dipilah B-1:
koleksi utama yang sudah dipilah ampai tahap kelompok besar (filum, bangsa, suku).
B-2: koleksi utama yang dipilah sampai tahap marga dan jenis sehubungan dengan revisi taksonomi. B-3: materi pinjaman dari dan untuk institusi lain, yang dipisahkan atau terpisah, siap untuk dikirim atau siap disatukan dengan koleksi utama. B-4: spesimen tipe yang dipisahkan dari koleksi utama, tersimpan dalam unit penyimpanan khusus. Kondisi spesimen kering hendaknya bersih, kering, tidak berjamur, utuh dan tidak ada cairan. Sedangkan untuk koleksi basah, harus berupa spesimen utuh, tidak busuk, tidak lembek ataupun hancur, beralkohol jernih, berbau khas alkohol dan diawetkan dengan konsentrasi 96 %. Kode-kode lain yang juga penting sebagai informasi yang berkaitan dengan koleksi perlu dibuatkan, contoh diambil dari museum MZB sebagai berikut: C-1: tanpa data lokasi C-2: data lokasi sangat terbatas, misalnya: hanya ada nama pulau saja C-3: data
lokasi lengkap,
termasuk
identifikator dan lain-lain
41
informasi
tanggal, kolektor,
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
C-4: data lokasi sangat lengkap termasuk informasi tipe habitat, cara koleksi dan posisi (kordinat). C-5: tahap identifikasi masih sampai marga ke atas bangsa atau suku, khusus untuk lokasi C3 dan C4. C-6: tahap identifikasi sampai jenis, khusus untuk lokasi C3 dan C4. C-7: tahap identifikasi sampai jenis, tetapi dilengkapi dengan Informasi tentang identifikasi dan publikasi khusus untuk lokasi C3 dan C4.
C. Kebijakan Berkaitan Spesimen dan Pengelola Spesimen 1.
Koleksi Rujukan Biota Laut Pusat Penelitian OseanografiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berkewajiban mengelola secara menyeluruh dan sebaik-baiknya terhadap semua jenis koleksi spesimen yang dimiliki baik sebagai koleksi utama ilmiah ataupun koleksi spesimen jenis tipe.
2.
Pengelolaan koleksi utama ilmiah (mencakup pengawetan, perawatan,
database
dan
pengawasan
penggunaan
koleksi
spesimen ilmiah) dilakukan dengan teliti, cermat dan hati-hati untuk menjaga keselamatannya berdasarkan SOP (Standard Operation Procedur) yang telah ditentukan dalam setiap kegiatan. 3.
Semua koleksi spesimen disimpan di dalam botol (koleksi basah), kotak plastik (koleksi kering) atau katong plastik (koleksi herbarium) dan diberikan label yang berisikan semua informasi tentang spesimen yang bersangkutan. Label diletakkan bersama spesimen di dalam botol, kotak atau kantong plastik.
42
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
4.
Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut harus bersih, berpendingin (AC) dengan suhu yang telah ditentukan, memiliki alat pemadam kebakaran dan terjaga dengan baik.
5.
Tidak semua orang dapat masuk ke dalam Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut kecuali, petugas atau pengelola Koleksi Rujukan Biota Laut yang dapat masuk dan bertanggungjawab penuh terhadap koleksi spesimen.
D. Penanggung Jawab Koleksi Sesuai dengan SOP yang berlaku dan telah ditentukan di lingkungan P2O, semua tanggungjawab Koleksi Rujukan Biota Laut P2OLIPI berada di bawah Kepala Bidang Sumberdaya Laut. Sedangkan untuk pelaksana harian di bawah pengawasan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan
Biota
Laut
yang
dibantu
oleh
beberapa
kurator
yang
bertanggungjawab terhadap kelompok taksanya masing-masing. Penggunaan dana untuk perawatan dan pengelolaan biota laut berasal dari dana proyek yang setiap tahunnya diajukan, oleh sebab itu Kepala Laboratorium harus selalu mengajukan proposal kegiatan agar manajemen koleksi dan pembuatan buku katalog serta luaran-luaran lainnya (poster-poster, banner biota laut dan lain-lain) dapat diterbitkan. Izin penggunaan atau peminjaman koleksi untuk berbagai kegiatan (pameran, bahan ajar dan lain-lain) telah diatur dan harus seizin Kepala Bidang Sumberdaya Laut yang kemudian diketahui oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut setelah adanya jaminan keamanan dan keselamatan bagi spesimen.
43
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
E. Penyimpanan Koleksi Di dalam koleksi ilmiah Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI hanya ada 2 macam jenis koleksi (basah dan kering) dan 1 jenis koleksi herbarium.
Untuk
lebih
jelasnya
setiap
kelompok
taksa
akan
menjelaskannya pada bab-bab tersendiri, tetapi dalam halaman ini akan diulas sedikit mengenai hal tersebut sebagai berikut: 1. Koleksi Kering a.
Ruangan -
Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
-
Sarana penyimpanan selalu dijaga kebersihannya (kotak plastik kantong plastik, botol-botol, laci-laci,lemari besi dan lain-lain).
-
Ruangan diupayakan bebas hama (bersih hama), dipantau terus menerus.
-
Usahakan lampu tidak menyala terus, hanya menyala saat bekerja saja dan bila tidak ada kegiatan sebaiknya dimatikan.
-
Bebas dari makanan dan minuman (dilarang makan dan minum saat bekerja di dalam ruangan).
b.
Tempat (unit) Penyimpanan -
Koleksi disimpan dalam lemari yang kedap udara.
-
Pintu harus selalu dalam kondisi tertutup apabila tidak ada kegiatan/pekerjaan.
44
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
-
Laci-laci, botol-botol dan kotak tempat spesimen selalu dalam kondisi tertutup rapat.
-
Pada kotak spesimen hanya boleh diberikan 2 butir kamper saja.
-
Apabila meninggalkan kotak spesimen di luar lemari, usahakan kotak selalu dalam kondisi tertutup.
-
Bila
spesimen
dalam
bentuk
slide,
usahakan
meletakkannya tidak terbalik-balik. Kotak slide disusun berdiri dan slidenya diletakan mendatar dengan penutup slide berada di permukaan atas.
2. Koleksi Basah a.
Ruangan -
Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o21oC, serta kelembaban sekitar 45-60%.
-
Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang bekerja (tidak ada kegiatan).
-
Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
-
Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam ruangan.
b.
Tempat (unit) Penyimpanan -
Lemari sebaiknya sering dibuka, agar ada pertukaran udara pada masing-masing deret rak.
45
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
-
Kebersihan rak, lemari besi dan laci-laci dalam lemari selalu dijaga kebersihannya (bebas debu dan jamur).
-
Botol-botol penyimpanan juga harus bersih dari debu dan jamur.
-
Alkohol seharusnya merendam penuh spesimen dan harus jernih dengan kadar 96 %.
-
Pengecekan dan penggantian alkohol diusahakan 3 bulan sekali dan kebersihannya tetap terjaga.
3. Koleksi Herbarium a.
Ruangan -
Memiliki suhu ruangan yang terus terkontrol sekitar 20o21oC.
-
Ruangan harus gelap, matikan lampu bila tidak ada yang bekerja (tidak ada kegiatan).
-
Kebersihan ruangan selalu terjaga (bersih).
-
Tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam ruangan.
b.
Tempat (unit) Penyimpanan -
Lemari sebaiknya sering dibuka, agar ada pertukaran udara dan tidak lembab.
-
Kebersihan rak, lemari besi dan laci-laci dalam lemari selalu dijaga kebersihannya (bebas debu dan jamur).
-
Plastik dan kertas alas herbarium juga harus bersih dari debu dan jamur.
46
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
-
Plastik dan kertas jangan sampai berubah warna (kuning atau kecoklatan). Harus diganti dengan yang baru. Hatihati saat melepaskan plastik dan kertas, jangan sampai merobek spesimen. Pengecekan dan penggantian plastik diusahakan 3 bulan sekali dan kebersihannya tetap terjaga (bebas dari hama). Label juga harus diganti, letakkan label
dalam
kantong
plastik
tersendiri
masukkan dalam kantong herbarium.
47
kemudian
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Alur Penanganan Koleksi (Basah dan Kering/Herbarium)
Gambar 2.7. Alur Kerja Spesimen Koleksi Basah. Gambar: R. Pratiwi.
48
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Gambar 2.8. Alur Kerja Spesimen Koleksi Kering/Herbarium. Gambar: R. Pratiwi. F. Penataan Spesimen Setiap rak koleksi diberikan nama dari kelompok taksa masingmasing, misalnya: rak untuk kelompok crustacea, rak ikan, rak echinodermata dan sebagainya. Botol-botol spesimen disusun berdasarkan nomor urut registrasi sesuai yang tertulis dalam buku katalog. Masingmasing taksa mempunyai kode-kode tersendiri yang berbeda antara kelompok satu dengan taksa lainnya.
49
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Susunan klasifikasi juga berbeda antar taksa, ada kelompok yang mulai dari kelas hingga jenis, tetapi ada juga yang mulai dari bangsa hingga jenis, sementara ada pula yang dari suku hingga jenis, semua tergantung dari kuratorial masing-masing yang bertanggungjawab atas klasifikasi spesimennya. Biasanya buku yang digunakan berdasarkan bahan acuan klasifikasi yang sudah baku.
G. Tata Tertib yang Terkait dengan Koleksi 1. Penggunaan Koleksi a.
Koleksi Rujukan Biota Laut ilmiah dapat digunakan oleh siapa saja untuk bahan rujukan ilmiah (penelitian, pembuatan karya tulis ilmiah, skripsi, thesis dan lain-lain).
b.
Penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut harus melalui proses yang sudah ditentukan dan harus mengajukan permohonan penggunaan kepada Kepala Bidang Sumbedaya Laut secara tertulis dan resmi.
c.
Penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut juga harus sepengetahuan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut sebagai penanggungjawab koleksi yang kemudian akan diteruskan kepada kuratorial bidang taksa masing-masing koleksi.
d.
Para penggunaan diharapkan dan diwajibkan mentaati peraturan/kekentuan/SOP yang diberlakukan pada masingmasing kelompok/kuratorial
50
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
e.
Para penggunaan Koleksi Rujukan Biota Laut diharapkan berhati-hati di dalam pengunaan spesimen.
f.
Apabila pengguna tidak berhati-hati atau lalai dan abai dalam menangani spesimen serta tidak mentaati SOP atau aturan yang telah ditentukan, maka Kepala Laboratorium dapat menegur
atau
melarang
pengguna
untuk
melanjutkan
pekerjaannya atau kegiatannya yang berkaitan dengan koleksi.
2. Pengambilan/Pemotretan Spesimen a.
Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen atau merekamnya dengan video, harus seizin Kepala Bidang SDL dan diketahui oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut serta kuratorial masing-masing kelompok taksa atas spesimen yang diinginkan.
b.
Para pengguna yang akan melakukan pemotretan spesimen atau merekamnya dengan video, harus mentaati peraturan atau mengikuti SOP yang berlaku.
c.
Para pengguna baru dapat melakukan pemotretan spesimen atau merekamnya apabila persyaratan kedinasan telah selesai.
d.
Pelaksanaan pengambilan gambar/potret atau merekam tidak boleh dilakukan di dalam ruang koleksi, tetapi di ruangan lain atau tempat yang sudah disetujui oleh Kepala Laboratorium atau kurator yang ditugasi serta dalam pengawasan keduanya. Pemotertan di dalam ruang laboratorium dapat merusak koleksi spesimen.
51
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
e.
Hanya spesimen yang telah ditentukan atau dipilih untuk diambil foto atau gambarnya yang boleh keluar dari ruang koleksi rujukan dan spesimen harus/masih tetap berada dalam wadahnya (botol, kotak plastik ataupun kantong plastik).
f.
Apabila pengguna tidak berhati-hati atau lalai dan abai dalam menangani spesimen sehingga dapat merusak spesimen, maka proses pemotretan atau perekaman video dapat dibatalkan oleh Kepala Laboratorium.
g.
Setelah selesai proses pemotretan atau perekaman video spesimen dapat dikembalikan dan segera serahkan kepada petugas/kurator untuk dikembalikan ditempat semula.
3. Pelayanan Identifikasi a.
Layanan jasa identifikasi dilakukan oleh individu/peneliti yang telah disetujui oleh dinas secara resmi dan sesuai dengan permintaan jenis apa yang akan diidentifikasi berdasarkan kelompok taksanya.
b.
Permintaan jasa identifikasi diajukan kepada Kepala Pusat Penelitian Oseanografi secara resmi.
c.
Ketentuan layanan jasa identifikasi selanjutnya diatur dalam kebijakan Pelayanan Jasa P2O oleh Bagian Jasa dan Informasi.
d.
Layanan jasa identifikasi dapat diberikan apabila telah disetujui oleh Kepala Bidang Sumberdaya Laut.
52
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
4. Pelayanan Peminjaman Spesimen. a.
Peminjaman koleksi ilmiah hanya dapat dilakukan antar instansi
bukan
individu
dengan
cara
mengajukan
permohonan secara resmi ke dinas (Kepala P2O-LIPI). b.
Persetujuan peminjaman koleksi ilmiah diberikan oleh Kepala Laboratorium Biota Laut atas pertimbangan keadaan koleksi dan jumlah spesimen yang tersedia dan harus seizin Kepala P2O-LIPI.
c.
Peminjaman hanya diberikan untuk kepentingan ilmiah
d.
Peminjam harus menandatangani surat bukti/blanko peminjaman.
e.
Peminjam dapat menerima spesimen untuk dipinjam setelah surat izin peminjaman ditandatangani Kepala Bidang SDL dan diketahui Kepala Laboratorium Biota Laut.
f.
Peminjaman paling lama 6 bulan dimulai dari tanggal izin pimpinan dikeluarkan.
g.
Peminjam dapat memperpanjang waktu pinjaman dengan mengajukan surat permohonan perpanjangan secara resmi kepada kepala P2O-LIPI.
h.
Keselamatan
spesimen
menjadi
tanggungjawab
sepenuhnya oleh peminjam. i.
Peminjaman spesimen tidak boleh dipindahalihkan kepada peminjam yang lain tanpa sepengetahuan atau seizin Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut.
53
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
j.
Apabila terjadi kerusakan pada spesimen, akan dikenakan sanksi berupa: denda, mengganti spesimen atau sanksi yang
lebih
berat
lagi
tergantung
dari
kondisi
kerusakkannya dan kesepakatan dari pimpinan.
5. Akses Database Koleksi Database Koleksi Rujukan Biota Laut yang ada di P2O-LIPI, seyogyanya bisa diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, akan tetapi untuk sementara waktu belum bisa diakses bagi kepentingan di luar lingkungan P2O. Hal ini disebabkan karena jejaring di P2O masih untuk kalangan peneliti di dalam lingkungan P2O, sehingga peminat dari luar P2O yang membutuhkan hanya bisa melihat dengan cara langsung datang ke Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut untuk melihat database yang diperlukan. Peminat yang ingin menggunakan harus mendapat izin (mengajukan permohononan) secara resmi terlebih dahulu kepada Kepala P2O yang kemudian diteruskan kepada Kepala Bidang SDL dan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut. Proses penggunaan/pengaksesan database koleksi biota laut akan diatur oleh Kepala Laboratorium dan kurator yang ditugasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan pengaksesan database akan diatur dengan ketentuan tersendiri, seperti: data semua biota laut (fauna dan flora) yang boleh diakses hanya yang telah selesai dikerjakan dan telah diterbitkan dalam buku katalog atau jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun international. Sedangkan spesimen yang masih dalam proses
54
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
pengerjaan belum bisa untuk diakses, karena harus menunggu diterbitkan terlebih dahulu.
6. Penerimaan Sumbangan atau Hibah Spesimen 1.
Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI menerima sumbangan atau hibah dari siapa saja baik individu maupun dari instansi pemerintah/swasta, mahasiswa, universitas ataupun LSM.
2.
Spesimen sumbangan atau hibah dapat berupa spesimen hidup atau mati, baik dengan data lengkap maupun tidak dari spesimen tersebut.
3.
Penyerahan spesimen dilakukan dengan pengesahannya secara serah terima surat berita acara yang telah ditandatangi kedua belah pihak: penyumbang dan Koleksi Rujukan Biota Laut P2O-LIPI.
4.
Spesimen yang sudah disumbangkan dicatat dalam database dan tidak dapat diminta kembali dengan alasan apapun dan oleh siapapun.
7. Pemberian Sumbangan Spesimen Koleksi
Rujukan
Biota
memberikan sumbangan spesimen
Laut,
P2O-LIPI,
dapat
kepada lembaga penelitian,
universitas, dan sekolah untuk kepentingan ilmiah dan atau pendidikan. Permohonan spesimen dapat diajukan kepada Kepala Pusat Penelitian Oseanograli-LIPI dengan menyebutkan spesimen
55
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
yang diinginkan atau ditentukan sesuai dengan ketersedian koleksi spesimen. Penerima sumbangan harus bersedia merawat spesimen tersebut dan menandatangani surat serah terima. koleksi spesimen dapat dikembalikan apabila lembaga, universitas atau sekolah yang peminjam telah ditutup/bangkrut atau merasa tidak sanggup lagi untuk merawatnya. Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI dapat menerimanya kembali dengan persyaratan koleksi spesimen masih dalam kondisi baik (50%) dan terawat, apabila kondisi sudah rusak lebih dari 50%, maka koleksi spesimen tidak dapat lagi diterima.
8. Penghapusan atau Peniadaan Spesimen Kerusakan koleksi spesimen merupakan hal yang harus diperhatikan dan sebisa mungkin untuk dihindari, diusahakan agar koleksi spesimen tetap terus terjaga kondisinya dan perawatannya dengan baik. Spesimen yang sudah tidak memenuhi persyaratan baku, yaitu sudah rusak parah, busuk, hancur, tanpa data dan tidak lagi dapat dikenali, maka dapat dihapus/ditiadakan dalam daftar buku katalog koleksi. Namun demikian penghapusan atau peniadaannya harus seizin Kepala Pusat Penelitian OseanografiLIPI dan Kepala Bidang Sumberdaya Laut. Permohonan izin penghapusan harus dilakukan secara resmi melalui surat permohonan yang dibuat oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut kepada Kepala Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI yang diteruskan kepada Kepala
56
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Bidang Sumberdaya Laut (sebagai tembusannya). Rekomendasi penghapusan dapat diberikan atau diputuskan setelah ada pertimbangan dan persetujuan dari tim yang dibentuk oleh Kepala Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI.
9. Kesehatan dan Keselamatan Spesimen Petugas
yang
bekerja
dengan
koleksi
spesimen
diharapkan dapat mematuhi kententuan-ketentuan kerja dan keselamatannya yang telah tertuang di dalam SOP. Pemakaian jas lab, masker dan sarung tangan karet serta penggunaan bahan pengawet di dalam fume hood dan lain sebagainya merupakan beberapa syarat yang ada dalam SOP.
10.Penanggulangan Bencana Ruang Koleksi Rujukan Biota Laut keamananya harus terjaga terutama dari bahan- bahan yang mudah menyebabkan bencana seperti: 1.
Kebakaran: -
Dilarang merokok di Ruangan Koleksi Rujukan Biota Laut (basah, kering ataupun herbarium), ruang database maupun ruangan berAC lainnya yang memiliki bahan kimia yang mudah terbakar.
-
Buanglah puntung rokok yang mati pada tempatnya, pastikan sudah benar-benar mati apinya.
57
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
-
Kebersihan sampah juga harus diperhatikan, buanglah sampah pada tempat sampah yang telah disediakan.
-
Matikan lampu apabila meninggalkan ruangan koleksi dan hematlah tidak menggunakan listrik di ruangan lainnya bila tidak digunakan atau dalam keadaan kosong.
-
Setelah
selesai
mengerjakan
pekerjaan
hendaknya
membersihkan semua limbah-limbah bekas pemakaian alkohol, formalin ataupun bahan-bahan lainnya. Pastikan kondisi ruangan koleksi semua telah bersih dan rapih, setelah itu dapat meninggalkan ruangan. -
Laporkan segera kepala Kepala Laboratorium ataupun Kepala Bidang Sumberdaya Laut, apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan dan dapat menimbulkan kebakaran.
2.
Banjir: - Sebaiknya ruang kolesi rujukan berada di tempat yang bebas banjir. - Periksalah saluran-saluran pembuangan limbah setiap kali melakukan pekerjaan di dalam ruang koleksi. - Selamatkan botol-botol koleksi yang masih berada di lantai, apabila belum sempat atau masih dalam proses pengerjaan, letakkan di atas meja. - Buanglah sampah pada tempat sampah yang telah disediakan.
58
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
- Pastikan tidak ada kabel-kabel atau aliran listrik yang menyala dan dapat menimbulkan sengatan listrik (sentrum) dalam ruangan. - Laporkan segera kepala Kepala Laboratorium ataupun Kepala
Bidang Sumberdaya Laut, apabila terjadi hal-
hal yang mencurigakan dan dapat menimbulkan banjir. 3.
Kecelakaan Kerja Semua pengguna diharapkan selalu berhati-hati dalam melakukan pekerjaan, apabila terkena bahan kimia segeralah mencuci bagian yang terkena dengan air mengalir.
Apabila bagian yang terkena sangat parah
segera bawa ke dokter dan laporkan kepada Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan serta Kepala Subagian Umum P2O-LIPI.
4.
Pengamanan Lingkungan Kerja -
Kuncilah
ruangan-ruangan
kerja,
laboratorium dan
matikan semua lampu-lampu ketika akan pulang atau sudah tidak ada lagi kegiatan dalam ruangan tersebut. Pastikan tidak ada aliran listrik yang masih menyala, kecuali AC yang harus tetap menyala. -
Jangan menyimpan uang atau barang berharga dalam ruangan kerja atau ruangan laboratorium.
-
Laporkan kepada Kepala Laboratorium dan Kepala Bagian Umum apabila melihat atau mengetahui hal-hal
59
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
yang mencurigakan, atau bila terjadi kehilangan alat-alat atau barang-barang di dalam ruangan/laboratorium. -
Staff peneliti atau teknisi apabila membawa tamu sebaiknya dicatat di buku tamu oleh petugas atau satpam di meja depan dan mintalah tanda pengenal bagi tamunya.
-
Segera laporkan kepada satpam apabila melihat atau mengetahui ada pendatang/tamu yang mencurigakan disekitar gedung atau kantor P2O-LIPI.
-
Staff peneliti atau teknisi yang akan bekerja lembur atau bekerja di hari libur sebaiknya mengajukan izin kepada Kepala
Balai
Bidang
Sumberdaya
Laut,
Kepala
Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut dan diketahui oleh Kepala Subagian Umum. Tanpa izin dari pejabat berwenang, yang bersangkutan tidak diizinkan bekerja lembur.
Petugas
keamanan
atau
satpam
berhak
menolaknya dan tidak mengizinkan masuk bila tidak dapat menunjukan surat izin lembur atau namanya sudah tercatat dalam buku daftar rencana lembur pegawai. -
Petugas keamanan/satpam berhak mengecek/memeriksa bawaan/bungkusan, tas, koper/kotak dan lain-lainnya yang dibawa keluar masuk dari gedung P2O-LIPI.
-
Jika ada barang yang mencurigakan dalam bawaan tersebut, petugas keamanan atau satpam berhak menyita atau menahan barang tersebut serta segera laporkan kepada Kepala Subagian Umum, Kepala Balai Bidang
60
Bab II. Tata Koleksi Spesimen Biota Laut
Sumberdaya Laut dan Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan untuk ditindaklanjuti.
Daftar Pustaka Anonimus, tanpa tahun. Collection Policy. FWC-Fish and Wildlife Research Institute. http://myfwc.com/about/inside-fwc/fwri/ (diakses 2 Maret 2013). Bureu, J.C & A.L. Rice., 1980. Instruction Manual for the Collection, Preservation and Curation of A Marine Reference Collection.United Nations Educational Scientific and Cultural Organization. 64 pp. Eldredge, L.G. & C.M.Smith, 2001. A Guidebook of Introduced Marine Species in Hawaii. Bishop Museum Techinical Report 21, 70 pp. Martin, A, L.V. Guelpen, G. Pohle & M.J. Costello, 2004. Develompmen of an Atlantic Canada Marine Species Information System Based on A Museum ollection: A Case Study. Berghe, V., M. Brown, M.J. Costello, C. Heip, S.Levitus and P. Pissierssens (Eds). Proceeding of “The Colour of Ocean Data “Symposium, Brussels. 71-76. Suhardjono, Y.R., 1999. Buku Pegangan Pengelolaan koleksi spesimen Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 218 hal. United Nations Environment Programme Mediterranean Action Plan, Priority Actions Programme, 2001. Good Practices Guidelines for Integrated Coastal Area Management in the Mediterranean. UNEP/MAP/PAP: Good Practices Guidelines for Integrated Coastal Area Management in the Mediterranean, Split. Priority Actions Programme, 58 pp.
61
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Bab III Manajemen Koleksi Crustacea Rianta Pratiwi Pendahuluan Crustacea adalah binatang tak bertulang belakang yang termasuk ke dalam Phylum Arthropoda, sub phylum Crustacea dan sangat dekat hubungannya dengan insekta, laba-laba dan kaki seribu. Tubuhnya beruas-ruas atau bersendi-sendi, setiap sendi dihubungkan oleh otot sehingga mudah bergerak. Selain itu crustacea mempunyai “exoskeleton” atau tulang luar (karapas) yang dibentuk oleh chitin atau zat kapur. Cangkang yang keras terbuat dari lapisan chitin berfungsi untuk melindungi dirinya. Istilah crustacea berasal dari bahasa Romawi yaitu crusta yang berarti cangkang yang keras (kerak). Kelompok hewan ini terdiri dari udang dan kepiting umumnya hidup di lubang-lubang, celah-celah terumbu karang atau di balik bongkahan batu dan karang. Crustacea merupakan kelompok binatang yang memiliki bentuk tubuh sangat beragam, hidup di kolom air (pelagik) dan di dasar (benthik) baik di air tawar ataupun di air laut dengan kedalaman ribuan meter. Ada sekitar 50-60 ribu jenis crustacea di seluruh dunia. Crustacea dapat hidup di air tawar (sampai pada ketinggian 2.800 m) dan di laut (sampai kedalaman antara 2.50010.000 m), suhu antara 0oC atau kurang, sampai dengan suhu antara
62
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
150oC-400oC di daerah hydrothermal Pasifik dan Atlantik, dengan salinitas 0 sampai dengan 395 PSU. Secara fisiologi fluktuasi temperatur dan salinitas adalah dua faktor yang penting bagi kehidupan kepiting di daerah estuarin. Sebagai habitat dari beberapa hewan, mangrove di daerah tropik mempunyai temperatur permukaan yang dapat mencapai 44oC, dimana 1-3oC merupakan batas suhu kematian dari kepiting-kepiting penggali lubang di mangrove seperti Uca spp. Aktivitas kelompok hewan ini dilakukan pada malam hari, misalnya waktu mencari makan dan kegiatan
lainnya,
sedangkan
siang
hari
dipergunakan
untuk
bersembunyi. Banyak macam sifat kehidupan dalam kelompok hewan ini, diantaranya ada yang hidup bersimbiose dengan hewan-hewan lain, misalnya dengan ikan, anemon, karang batu dan “sponge” (Pratiwi, 1993a). Ada juga yang hidup sebagai: planktonik, perenang, di dasar, dan mengubur diri. Sebagian besar dari crustacea yang hidup di laut adalah binatang bentik (bergerak) atau menetap di dasar. Pada jenis jenis perenang seperti rajungan tetap selalu berhubungan dengan dasar laut. Jenis yang benar benar perenang adalah Copepod dan kelompok udang-udangan. Crustacea
yang
hidup
di
daerah
mangrove
selalu
memperhatikan tingkah laku atau memfokuskan aktivitasnya di dalam lubang galian, dimana lubang tersebut dapat dijadikan sebagai habitat dan memberikan perlindungan yang aman terhadap temperatur,
63
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
predator, salinitas yang ekstrem dan serangan dari sesama kepiting. Lubang-lubang tersebut mula-mula sangat dangkal, tetapi kemudian digali lagi hingga bagian dalam lubang/dasar memiliki temperatur lebih dingin, sehingga beberapa jenis kepiting lebih senang tinggal di dalam lubang. Kepiting Uca spp dan ocypod
akan menggali lubang dan
berdiam di dalam lubang untuk melindungi tubuhnya dari temperatur yang tinggi, karena air yang berada dalam lubang galian dapat membantu pengaturan suhu tubuh melalui evaporasi (Smith & Miller, 1973). Secara fisiologi kepiting-kepiting mangrove lebih dapat beradaptasi dengan baik, karena dapat mengatasi stress dari lingkungan disekelilingnya. Selain itu hewan tersebut juga cenderung berkembang dengan cepat dan dapat beradaptasi dengan salinitas yang bervariasi (Pratiwi, 2002).
A. Tempat Hidup di Laut 1. Daerah Pantai: Littoral dan Dasar 1.1. Substrat keras. - Di bawah batu-batuan, pada bongkahan koral atau di dalam rongga-rongga batu karang, di bawah dermaga, atau benda benda keras lain. - Meliang di dalam kayu, mengubur diri di batu batuan. - Hidup di dalam cangkang moluska. - Membuat liang perlindungan dari pasir, atau di dalam sponge
64
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
dan Algae. 1.2. Substrat lunak. - Membuat liang di pasir atau di lumpur. - Membenamkan diri di pasir atau di lumpur. 1.3. Di dalam air daerah pasang surut. 1.4. Pada daun dari tumbuhan laut. 1.5. Pada daerah dengan salinitas sangat tinggi. 1.6. Pada daerah anchihalin yaitu: daerah terpisah dari laut tetapi mempunyai salinitas di atas nol. 1.7. Pada daerah payau seperti estuaria dan bakau.
2. Daerah Laut Dalam. 1. Hidup sebagai binatang bentik di substrat keras atau lunak. 2. Hidup pada daerah hydrothermal. 3. Hidup secara pelagik.
3. Di Air Tawar. 1. Sungai dan danau. 2. Air tawar hangat. 3. Air bawah tanah seperti aliran sungai di gua. 4. Air yang tergenang pada saat musim hujan. 5. Air dengan salinitas sangat tinggi. 6. Menempel pada tumbuhan air.
65
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
4. Di Darat. Walaupun hidup di darat tetapi tetap memiliki kemampuan untuk selalu “berhubungan” dengan air (baik sungai maupun laut) saat memijah. Jadi pada dasarnya pembagian biota-biota di laut bukan berdasarkan ukuran besar atau kecil, tetapi berdasarkan pada kebiasaan atau sifat hidupnya secara umum, seperti gerakan berjalan, pola hidup dan sebaran menurut ekologi. Banyak biota laut yang di dalam siklus hidupnya mempunyai lebih dari satu sifat, yaitu sewaktu larva hidup sebagai planktonik dan berubah sifat menjadi nektonik atau bentik saat juvenile (juwana) ataupun saat dewasa (contohnya udang, kepiting, ikan dan lain-lain) (Nybakken, 1993). Beberapa jenis crustacea memimiliki nilai ekonomi yang penting yaitu “lobster” atau udang karang (Panulirus sp), udang windu (Penaeus monodon) dan Ketam kelapa (Birgus latro) (Gambar 3.1), selalu diburu karena merupakan sumber daya laut yang sangat potensial. Padahal di alam keberadaan jenis ini sudah semakin mendekati kepunahan dan perlu dilindungi seperti juga halnya dengan mimi, Tachypleus gigas (Horse shoe crab) (Gambar 3.2) banyak diburu oleh “suku laut” yang hidup di pinggiran pantai Kabupaten Riau dan Bengkalis. Masyarakat Riau menyebutnya “Tapak Kuda” karena memiliki makna tersendiri bagi keluarga yang diturun temurunkan ke anak cucu. Mereka menganggap binatang tersebut sebagai “Jimat” penolak bala bagi anak-anaknya, dengan cara menggantungkan mimi di
66
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
leher anak-anak, agar tidak terserang penyakit dan tidak didekati roh jahat (Pratiwi, 1993b).
Gambar 3.1. a). Crustacea Birgus latro (Ketam kelapa) (Budiyanto, 2010) dan b). Panulirus ornatus (Lobster mutiara). Foto: Arbi
Gambar 3.2. a) Sepasang Mimi dan b). Tachypleus gigas (Horse shoe crab/Mimi). Foto: Pratiwi
67
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
B. Tata Kerja. Di dalam mengkoleksi spesimen crustacea diperlukan beberapa persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan kaitannya
untuk
penyelamatan dan keamanan dari koleksi spesimen itu sendiri. Koleksi spesimen harus tetap terjaga (jangan sampai rusak) dimulai dari pengumpulan koleksi di lapangan, analisa di laboratorium hingga menjadi koleksi spesimen rujukan ilmiah. Selain
itu
penanganan
spesimen
untuk
peminjaman,
pemotretan dan penggunaan lainnya sebagai bahan rujukan ilmiah benar-benar harus ditangani dengan profesional dan berhati-hati, karena apabila sampai terjadi kerusakan dapat dikenakan sanksi yang telah diatur oleh Pengelola Koleksi Rujukan Biota Laut. Keberhasilan
pengelolaan
spesimen
tergantung
dari
penangannya dan terdiri dari beberapa langkah-langkah diantaranya sebagai berikut:
1. Cara Pengumpulan Koleksi. Sebelum mengkoleksi sebaiknya diketahui dahulu habitat dari crustacea dan alat tangkap apa saja yang akan digunakan. Pada dasarnya ada dua cara yaitu secara langsung ditangkap dengan tangan atau dengan menggunakan alat. Apabila kita menginginkan crustacea yang hidup di pantai hingga rataan terumbu (kelompok Portunidae, Ocypodidae, Xanthidae, Alpheidae), maka dapat menggunakan alatalat seperti: jaring pantai, jaring insang, seser, bubu, serok (tanggok),
68
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
rakang-rakang dan alat lainnya yang biasa digunakan untuk menangkap udang dan kepiting. Sedangkan untuk crustacea yang hidup di dalam lubang, dapat menggunakan pancing atau dengan cara menggali lubang dan ditemukan kepiting kemudian ditangkap dengan tangan. Hermit crabs atau yang lebih dikenal dengan sebutan kelomang atau umang-umang, dapat langsung diambil dengan tangan, karena sangat mudah ditemukan di pantai berpasir, pecahan batu karang, di bawah batu-batu karang atau terumbu karang, di bawah kayu yang lapuk dan sampah atau di bawah pohon-pohon di tepi pantai. Crustacea yang hidup bersama dengan karang, dapat dilakukan dengan cara memecah batu karang dengan menggunakan martil (palu), kemudian mengeluarkannya dari karang tersebut dengan pisau atau alat cungkil (pinset). Untuk crustacea yang hidup di daerah mangrove (bakau) yang bersubstrat lumpur, dapat dilakukan penangkapan langsung dengan tangan. Kebanyakan dari kepiting mangrove (kelompok Grapsidae dan Sesarmidae) hidup di akar-akar mangrove atau naik ke atas pohon, sehingga penangkapannya agak sulit dan memerlukan kesabaran, ketenangan serta teknik tersendiri untuk menangkapnya. Kepiting Uca spp. yang banyak dijumpai di lantai hutan mangrove (dalam lubang) dengan substrat lumpur yang kering, dapat ditangkap dengan cara kepiting dibiarkan keluar di mulut lubang. Kemudian secara perlahan-lahan lubang diserok dengan sekop dan diangkat
69
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
kepitingnya hingga keluar, segera ditangkap menggunakan tanggok atau tangan. Lakukan disaat air laut surut rendah, sehingga banyak kepiting Uca yang ke luar dari lubang. Dalam hal ini diperlukan kecepatan dan ketangkasan yang handal. Sedangkan kepiting bakau (Scylla spp.) ditangkap dengan cara menggunakan bubu yang diberi umpan di dalamnya dan ditinggal satu malam. Setelah satu malam, dilakukan pengambilan kepiting bakau yang berada dalam bubu. Berbeda dengan crustacea yang berada di laut, maka alat yang digunakan adalah: trawl, jaring plankton (net plankton), box core, grab dan alat tangkap lainnya yang tersedia dalam kapal penelitian. Alat-alat tersebut akan diturunkan ke dalam laut, sesuai dengan kedalaman yang diinginkan, setelah kurang lebih satu jam diangkat dan dilakukan pensortiran terhadap biota yang didapat. Setiap individu crustacea yang ditemukan pada lokasi tersebut sebaiknya dicatat posisinya menggunakan alat “GPS (Global Positioning System)” agar dapat dilakukan perekaman data, sehingga apabila diperlukan atau ingin diulang kembali dapat diketahui letak posisinya dengan cepat dan benar. Kadangkala di dalam kegiatan pengambilan sampel diperlukan berenang bahkan menyelam ke bagian yang agak dalam, hal ini disesuaikan dengan kelompok crustacea yang akan dikoleksi.
70
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Gambar 3.3. Jenis-jenis Alat Tangkap Crustacea di Lapangan: (a). Rakang-rakang; (b). Jaring Sirang; (c). Jala; (d).Serok; (e). Pancing dan (f). Bubu. Foto: Adirianto. 2. Penanganan Spesimen di Lapangan. Setelah pengambilan koleksi crustacea selesai, maka langkah awal
yang
harus
dilakukan
adalah
bagaimana
cara
untuk
mematikannya. Cara yang biasa dilakukan untuk jenis crustacea berukuran besar dapat langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksatif (zat pengawet) alkohol dengan konsentrasi tinggi yaitu 90-96 %. Sekitar tahun 1970an pengawetan koleksi masih menggunakan formalin, akan tetapi sejak formalin banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak dibenarkan, maka tidak lagi digunakan. Selain itu sangat merusak kesehatan bila banyak bekerja menggunakan formalin,
71
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
sehingga pengawetan mulai diganti menggunakan alkohol murni dengan konsentrasi yang tinggi, terkecuali untuk spesimen ikan yang besar masih menggunakan formalin (untuk sementara waktu agar tidak busuk). Setelah perendaman beberapa hari, dan bila telah sampai di laboratorium segera diganti dengan alkohol. Tidak semua crustacea dapat dilakukan dengan cara demikian, seperti kepiting-kepiting kecil akan melepaskan kaki-kakinya bila dimasukkan ke dalam larutan dengan konsentrasi tinggi, oleh sebab itu konsentrasi harus dikurangi hingga 30-40%. Pembunuhan atau cara mematikan spesimen koleksi crustacea dapat dilakukan sebagai berikut: -
Masukkan ke dalam larutan fiksatif (alkohol) secara langsung, apabila berukuran lebih besar maka harus disuntikan alkohol ke dalam tubuhnya.
-
Untuk kepiting yang berukuran kecil, masukkan ke dalam alkohol 30%, diamkan hingga tidak bergerak lagi (mati), lalu pindahkan ke dalam alkohol konsentrasi lebih tinggi (90%96%).
-
Masukkan crustacea laut ke dalam air tawar, dan sebaliknya masukkan crustacea air tawar ke dalam air laut, lakukan sampai tidak bergerak. Dapat pula dilakukan dengan merendamnya dengan es batu, hingga pingsan (tidak bergerak), setelah itu masukkan ke dalam alkohol. Cara ini biasanya dilakukan untuk jenis udang dan kepiting yang kecil
72
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
atau kepiting yang akan difoto agar warnanya tidak hilang saat pemotretan.
Pemotretan Spesimen Pemotretan dapat dilakukan secara langsung sebelum warna aslinya hilang, biasanya dilakukan di alam dengan habitat yang sesungguhnya (menggunakan kamera dalam air/under water camera) atau di laboratorium. Lakukan perlahan-lahan, hati-hati dan sabar agar crustacea yang akan dipotret tidak lari atau masuk ke dalam lubang ataupun karang batu. Pemotretan dilaboratorium untuk crustacea berukuran besar dapat menggunakan kamera digital secara langsung atau yang berukuran kecil dapat dilakukan menggunakan mikroskop yang memiliki kapasitas kamera untuk memotret. Bila spesimen telah mati dan warnanya belum berubah, segera lakukan pemotretan dengan cara mengatur tubuhnya (karena masih lentur) di atas stereoform (papan gabus) yang dilapisi dengan kain beludru ber warna-warni (biasanya warna gelap, hitam, biru, hijau ataupun merah) sebagai background, yang disesuaikan dengan warna kepiting (agar kontras) dan menghasilkan hasil foto yang memuaskan. Spesimen diatur posisinya dengan tubuh yang proporsional, capit, kakikaki, antena diatur sedemikian rupa sesuai dengan aslinya, ditusuk jarum pentul, hingga posisinya sudah benar dan bagus. Bila telah sesuai dengan yang diinginkan jarum pentul dapat dicabut dan lakukan pemotretan beberapa kali. Apabila ingin menggunakan ukuran atau
73
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
nama jenis dari spesimen tersebut dapat diletakkan mistar atau nama jenisnya di bagian bawah dari spesimen.
(a) Gambar
3.4.
(b) Contoh Pemotretan Koleksi Spesimen dengan menggunakan Nama Spesies (a) dan Pemotretan Koleksi Spesimen dengan Menggunakan Mistar Sebagai Ukuran dari Spesimen (b). Foto: Pratiwi
Fiksasi adalah proses pengawetan secara cepat terhadap spesimen koleksi (binatang) agar tidak membusuk. Semua spesimen yang hidup hasil tanggkapan atau membeli di pasar untuk dikoleksi harus segera difiksatif: yaitu dimasukkan ke dalam larutan pengawet alkohol atau formalin. Fiksasi dapat dilakukan dalam wadah (botol plastik) untuk beberapa hari atau minggu sampai akan diproses menjadi koleksi rujukan.
74
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Pengepakan Spesimen Untuk Pengiriman. Apabila pekerjaan sampling atau pengambilan koleksi di lapangan telah selesai dan pengawetanpun telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah pengepakan (packing) untuk di bawa ke laboratorium atau ke tempat lain (ahlinya) untuk diidentifikasi. Pengepakan harus benar dan dikemas berhati-hati agar spesimen tidak rusak saat pengiriman, yang terpenting adalah kotak, botol atau wadah apapun yang digunakan dapat melindungi spesimen dari kerusakan (guncangan-guncangan) selama proses pengiriman. Apabila spesimen akan dikirim ke luar negeri atau dalam negeri melalui pesawat terbang, maka pastikan bahwa spesimen benar-benar telah terawetkan dan terbungkus dengan baik. Periksa kembali, tidak ada bahan pengawet yang bocor dan atau tercium keluar, karena apabila hal itu sampai terjadi maka, spesimen tidak akan terkirim bahkan akan disita oleh petugas di bandara. Tubuh crustacea yang bersegmen-segmen, dengan rostrum, capit, kaki jalan, kaki renang dan antena yang panjang, membuat tubuhnya mudah rapuh dan patah bila terkena guncangan, sehingga pengemasan harus berhati-hati dan benar. Spesimen yang berkualitas baik dari lapangan akan berkurang nilainya apabila memiliki kemasan dan pengiriman yang kurang baik. Karena bila terjadi kerusakan pada anggota tubuh seperti: kaki, capit, rostrum dan organ-organ penting lainnya, sangatlah sulit untuk proses identifikasi.
75
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Di dalam pengepakan atau mengemas spesimen diperlukan beberapa alat dan bahan sebagai berikut: kain kasa, perban, kapas, handuk kecil atau sedang, tali, benang kasar/halus, karet gelang, kertas label/kertas tahan air (under water paper), alat tulis (pinsil, pena dengan tinta tahan air), kantong plastik berbagai ukuran, pinset, gunting, sarung tangan karet, lakban bening/hitam/coklat, kertas pembungkus, bubble plastic, (pembungkus gelembung plastik untuk melindungi barang/spesimen dari benturan), botol plastik bertutup lebar berbagai ukuran, tabung kecil (tube) tanpa tutup dan wadah plastik lainnya yang bertutup rapat. Bahan pengawet yang digunakan adalah alkohol dan formalin (bila diperlukan). Sebaiknya dihindari pemakaian wadah yang berbahan kaleng, karena dapat menyebabkan korosi, berlubang dan kebocoran. Cara pengepakan atau pengemasan yang baik adalah: spesimen direndam dengan alkohol 30 % selama beberapa hari (2-3 hari). Setelah spesimen terawetkan, alkohol dapat diganti dengan yang lebih tinggi konsentrasinya. Berhati-hati jangan sampai ada anggota tubuh yang hilang, bila putus harus disimpan bersama-sama dengan tubuhnya. Untuk crustacea jenis besar bisa dibungkus dengan kain kasa, perban atau handuk kecil/sedang yang tipis (jangan yang tebal), sesuaikan dengan ukurannya. Sebelumnya kain kasa/perban atau handuk dibasahi dengan alkohol, susun crustacea secara rapih, capit, kaki-kaki, rostrum atau antena dengan baik, sehingga kerusakan dapat dihindari. Berikan label didalamnya, setiap individu berasal dari satu
76
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
lokasi memiliki satu label dan dibungkus bersama-sama, hal ini untuk menghindari tercampurnya atau kerancuan apabila dibuka oleh petugas yang menerima spesimen saat itu. Sebaiknya satu bungkus hanya terdiri dari satu individu besar utuh, atau bila ada yang ukuran sedang bisa dimasukkan bersama asalkan dari jenis yang sama dan dari lokasi yang sama pula. Setelah spesimen dibungkus dengan kain kasa/perban atau handuk yang basah oleh alkohol, maka bungkuslah kain yang basah tersebut dengan bubble plastik (pembungkus yang bergelembung) atau bila sulit mencarinya bisa dimasukan dalam kantong plastik biasa dengan ukuran yang lebih besar. Maksudnya adalah agar kain kasa/perban atau handuk yang basah dengan alkohol tidak kering (agar alkohol tidak menguap dan tetap basah). Ikat dengan karet gelang, lalu masukkan kantong plastik tersebut ke dalam kotak plastik (kontainer) yang besarnya telah disesuaikan dengan ukurannya, tutup dengan rapat menggunakan lakban bening sekeliling kotak, bungkus dengan kertas pembungkus dan siap untuk dikirimkan. Untuk spesimen-spesimen yang berukuran kecil, hingga bentik harus dimasukan ke dalam botol-botol kecil (tube) yang bertutup ataupun tidak bertutup. Bila tidak bertutup dapat menggunakan kapas yang telah digulung-gulung sebagai penutupnya. Masukan botol-botol kecil tersebut ke dalam botol yang lebih besar dan berisi penuh alkohol, maksudnya adalah agar spesimen tetap terendam. Pastikan semua spesimen telah memiliki label dan masukkan ke dalam satu
77
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
botol untuk pengambilan spesimen yang berasal dari lokasi yang sama. Terakhir
adalah
masukkan
botol-botol
tersebut
ke
dalam
konteiner/kotak plastik yang lebih besar, susun sedemikian rupa agar rapih, pas sesuai ukurannya dan tidak rusak bila berbenturan. Susunan botol sebaiknya tidak bertumpuk-tumpuk melebihi kapasitas dari konteiner/kotak plastik, tutup dengan lakban hitam sekeliling kotak dan tuliskan bahwa kotak ini harus ditangani dengan hati-hati, karena mudah hancur (AWAS HATI-HATI MUDAH PECAH/HANCUR/ FRAGILE!!!) dan siap untuk dikirimkan. Kalau ingin aman cara yang terbaik adalah membawanya sendiri.
3. Penanganan Spesimen di Laboratorium. Setelah sampai di laboratorium semua kemasan dibuka dan sebelumnya siapkan dahulu wadah (botol-botol) untuk tempat spesimen crustacea. Apabila ada spesimen yang menggunakan formalin, buang formalin pada tempat yang sudah disediakan, kemudian lakukan perendaman dengan air tawar bersih hingga bau formalin hilang. Berikutnya bilas atau ganti air rendaman beberapa kali hingga benar-benar tidak ada lagi pengaruh formalin, pencucian atau pembersihan spesimen dilakukan selama kurang lebih 24 jam. Cuci bersih dengan air mengalir sambil disikat atau dibersihkan kotorankotoran atau lumpur yang melekat di tubuh crustacea. Setelah itu barulah dimasukkan ke dalam botol dengan pengawet alkohol 90-96% untuk kemudian dilakukan pemilahan. Jangan lupa masukkan semua
78
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
label yang tertulis untuk nanti diganti dengan label yang telah tersedia. Sedangkan spesimen yang menggunakan pengawet alkohol, setelah disikat dan dibersihkan bisa langsung dimasukkan ke dalam alkohol yang berkonsentrasi 90-96%, untuk kemudian diberikan label. Perhatikan apabila ada anggota tubuh yang putus atau patah selama proses pencucian, harus dimasukkan semua ke dalam botol tidak boleh dibuang dan harus disimpan bersama anggota tubuh lainnya dari individu yang sama dalam satu wadah (botol). Pemilahan
Spesimen
atau
pensortiran
dilakukan
berdasarkan takson, dapat sampai suku, marga atau jenis. Apabila belum bisa diketahui taksonnya, spesimen dapat dipisahkan dan dikelompokkan dengan spesimen yang memiliki morfologinya sama. Identifikasi
Spesimen,
adalah
proses
penamaan
atau
pemberian nama koleksi spesimen yang dicocokan dengan karakterkarakter atau morfologi hewan tersebut berdasarkan buku acuan yang berkaitan dengan spesimen tersebut. Setelah dilakukan identifikasi, maka dibuatkan label yang telah lengkap dengan nama jenisnya dan semua data yang telah jelas termasuk posisi kordinat geografinya. Untuk melakukan identifikasi diperlukan beberapa buku-buku sebagai acuan serta kunci-kunci determinasi berkaitan dengan kelompok takson diantaranya: Banner & Banner (1982); Banner & Banner (10985); Barnard, (1950); Buitendijk, (1960); Estampador, (1949a,b;) Holthuis, (1953); Holthuis, (1992); Keenan, et al., (1998); Ng, et al., (2008); Miya, (1972); Sakai (1976a, b); Serène, (1984) dan lain-lainnya.
79
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
4. Pengelolaan Koleksi. Pengelolaan koleksi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: pengawetan, perawatan dan penyimpanan spesimen. - Pengawetan Spesimen adalah: proses mengawetkan spesimen koleksi menggunakan cairan kimia sebagai larutan pengawet. Larutan pengawet adalah cairan yang digunakan untuk menyimpan spesimen dalam jangka waktu lama (tidak berbatas). Bahan pengawet yang digunakan memiliki konsentrasi tinggi dengan maksud menghindari pembusukan, memusnahkan bakteri dan jamur yang melekat serta menjaga kerusakan lainnya pada spesimen. Spesimen dijaga agar tidak rusak karena zat-zat pengawet tersebut, oleh karena itu konsentrasi zat pengawet harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi spesimen. Bahan pengawet yang paling baik untuk koleksi crustacea adalah yang murni yaitu 95-96%. Sedangkan untuk yang berukuran kecil dapat diencerkan hingga 70% dengan cara ditambahkan aquades. Agar tubuh crustacea tetap lentur dapat ditambahkan gliserin 10 ml dalam 1 liter alkohol.
- Perawatan Spesimen adalah: kegiatan merawat atau menjaga koleksi spesimen agar tetap baik, tidak rusak, bersih, kondisinya utuh dan dapat dijadikan sebagai koleksi rujukan ilmiah. Kondisi alkohol dalam botol spesimen harus tetap dipantau agar volumenya tidak
80
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
berkurang. Alkohol yang berkurang volume dan kadarnya dapat ditambahkan dengan alkohol baru 96%, sehingga botol menjadi penuh dan kadarnya menjadi 96 % kembali. Apabila alkohol telah keruh dan menguning warnanya dan karena keselamatan koleksi sangat penting, maka harus segera diganti dengan yang baru, minimal (3 bulan sekali). Perubahan warna menunjukkan adanya perubahan kadar atau terjadi proses kimia atau biologi misalnya terdapatnya jamur, sehingga harus segera diganti dengan alkohol yang baru. Penggunaan botol spesimen juga perlu diperhatikan, ukuran botol sebaiknya disesuaikan dengan ukuran spesimennya, jangan bertumpuk-tumpuk dalam satu botol, karena membuat spesimen jadi berdesakkan, padat, tidak enak dilihat dan sangat sulit untuk pengecekan label dan lainnya berkaitan dengan spesimen tersebut. Dalam satu botol sebaiknya diisi 2 atau 3 crustacea besar, sedangkan yang berkuran kecil dan sedang bisa disatukan dalam satu botol dan jumlahnya tidak terlalu padat. Botol yang hanya berisi beberapa spesimen dan tidak terlalu padat dapat memperpanjang waktu penyimpanan koleksi dan menjaga kondisi spesimen tetap baik. Botol-botol atau kotak dan wadah spesimen lainnya harus tetap dijaga kebersihannya dari debu dan jamur yang menempel. Harus sering dilap atau dibersihkan. Selain itu yang juga tidak kalah penting adalah pengecekan label dan menggantinya bila telah rusak. Label lama harus diganti dengan label baru. Semua keterangan yang ada pada label lama harus dituliskan semua sesuai dengan yang
81
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
tertera pada label lama. Setelah disalin, label lamapun tidak boleh dibuang dan tetap dimasukkan kembali ke dalam botol semula bersama dengan label yang baru.
- Penyimpanan Spesimen. Setelah semua spesimen selesai diproses sesuai dengan tata kelola koleksi rujukan berdasarkan standard yang dimiliki oleh Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI, maka tahap berikutnya adalah penyimpanan spesimen. Botol-botol spesimen koleksi ditata di rak besi sesuai dengan nomor registrasi dan dikelompokan ke dalam taksonnya yang sudah mempunyai kodekode dan nomor-nomor tersendiri serta dituliskan pada rak masingmasing. Penataan botol spesimen dilakukan dengan rapih dan diatur sedemikian rupa agar mudah untuk ditemukan dan dilihat. Koleksi dapat mudah dikeluarkan atau dimasukkan dalam susunan rak dengan tidak merusak koleksi tersebut atau mengganggu susunan botol lainnya. Botol-botol atau wadah tempat penyimpanan spesimen seharusnya sesuai dengan standar yaitu: terbuat dari gelas, berwarna bening tidak buram, bermulut lebar agar mudah memasukkan spesimen koleksi yang berukuran besar, kuat, tahan panas, dasar botol rata dan berdinding rata tidak beralur atau bergelombang. Tutup botol juga harus rapat, kuat, tidak mudah pecah karena pengaruh alkohol dan dijamin alkohol tidak akan menguap.
82
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Pencahayaan dan suhu ruangan koleksi rujukan juga harus diatur. Cahaya akan mempengaruhi spesimen, sehingga bila tidak digunakan sebaiknya ruangan tidak dibiarkan dalam kondisi lampu menyala. Spesimen koleksi yang besar dalam akuarium dan tidak bisa masuk dalam rak, sebaiknya ditutup dengan kain beludru yang tebal dan berwarna gelap (hitam atau biru tua) agar tidak terganggu dengan cahaya yang terang. Suhu udara di ruang koleksi juga harus tetap terjaga (240C – 250C). Ruang koleksi harus selalu tertutup agar suhu tetap stabil.
5. Pendataan (Entri data). Pendataan adalah kegiatan perekaman data yang dimiliki oleh setiap spesimen yang terkumpul. Data yang diperoleh dicatat dalam buku lapangan dan label. Setelah selesai masukan pula di buku katalog besar label pemanen dan terakhir database. Tahapan-tahapan pendataan adalah sebagai berikut: - Label dan Catatan Lapangan. Pada saat di lapangan semua koleksi spesimen diberi label lapangan (labeling) yang bersifat sementara. Data di label berisi informasi: nomor stasiun pengambilan, lokasi, tanggal koleksi, posisi kordinat, cara pengambilan dan kolektor. Peneliti yang melakukan pengambilan harus mempunyai buku catatan (buku lapangan) yang berisikan data dan semua informasi mengenai atau yang berkaitan dengan spesimen secara lengkap seperti: waktu (tanggal/jam)
83
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
pengambilan, kondisi pasang surut, suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, substrat, pH, parameter kualitas air lainnya, cara sampling/metode, kondisi habitat dan lainnya yang berkaitan dengan spesimen yang dikoleksi. - Pengkatalogan. Pengkatalogan adalah kegiatan menyimpan atau mencatat data dengan rapih dan benar tentang spesimen koleksi crustacea yang dikoleksi
dari
lapangan
untuk
bermacam-macam
kebutuhan
pengetahuan ataupun penelitian. Ada beberapa cara pengkatalogan yaitu: 1.
Menggunakan Buku Katalog Besar. Setiap jenis crustacea dari satu lokasi yang sama dan dikumpulkan pada waktu yang sama, diberi nomor, dicatat dalam buku katalog. Buku katalog dibuat lajur-lajur yang bertuliskan data sebagai berikut: nomor urut, nomor katalog, kode spesimen, nama jenis (nama ilmiah), author, kelompok takson (suku), jumlah spesimen, lokasi penangkapan, macam habitat, posisi kordinat,
tanggal
koleksi,
kolektor,
identifikator,
tanggal
idetifikasi, nama ekspedisi/penyumbang (bila ada), macam tipe (kalau spesimen tipe) dan catatan atau keterangan lainnya bila ada (musim/saat penangkapan, tipe habitat/substrat, pasang surut dan lain-lain). Dari data di buku katalog dapat dibuatkan label permanen
84
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
secara manual berdasarkan data yang ada dan dituliskan pada kertas label (kertas kalkir/kertas tahan asam) menggunakan pena dengan tinta cina yang tahan terhadap air/tidak larut dalam alkohol. Data yang dituliskan hanya yang penting saja sebagai informasi, tidak lengkap seperti dalam buku katalog misalnya: nomor katalog, kode katalog, nama jenis (nama ilmiah), lokasi, tanggal koleksi, jumlah spesimen, kolektor, tanggal identifikasi dan identifikator.
2.
Menggunakan Komputer. Memasukkan data dan semua informasi spesimen yang berasal dari buku katalog dengan menggunakan komputer. Data yang dimasukkan adalah sama dengan yang ada di dalam buku katalog, dengan maksud agar memudahkan pemasukan data (Data Entry) dan sebagai back up data. Label permanen juga dapat dibuatkan dengan pengetikan menggunakan
komputer.
Semua
label
permanen
harus
dimasukkan atau disertakan pada spesimen yang bersangkutan dalam botol koleksi.
C. Tata Tertib Spesimen Koleksi Crustacea. Dalam pengelolaan spesimen koleksi Crustacea diatur beberapa tata tertib di dalam pengelolaanya diantaranya yaitu: 1.
Peminjaman spesimen
85
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
2.
Pengembalian
3.
Penerimaan pemberian/hibah
4.
Pemberian hadiah/tukar menukar
Semua tata cara tersebut di atas sudah diatur oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Kepala Laboratorium Koleksi Rujukan Biota Laut, P2O-LIPI sesuai dengan SOP yang ada dan tertulis dalam Bab 1. Akan tetapi terdapat beberapa catatan khusus untuk spesimen koleksi crustacean yaitu: -
Spesimen yang akan dipinjam dipisahkan dari dalam botol koleksi dan masukkan dalam botol lain, catat kondisi spesimen saat sebelum dipinjamkan. Kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk pemantauan saat koleksi dikembalikan. Label juga harus dicatat dan selalu berada dengan spesimen dalam botol koleksi.
-
Pembungkusan spesimen sama dengan tata cara yang telah disebutkan di atas, usahakan tidak ada yang rusak saat pengiriman ke tempat peminjaman ataupun saat dikembalikan ke tempat asalnya.
-
Administrasi data (tetap dicatat) siapa yang meminjam dan kapan waktu pengembalian serta penanggungjawab dari spesimen koleksi, semua dicatat dalam buku peminjaman.
86
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Daftar Pustaka Barnard, K.H., 1950. Descriptive catalogue of South African Decapod Crustacea (Crabs and Shrimps). Annals of the South African Museum, 38: 1-837, figs 1-154. Banner, D. M. and A.H. Banner, 1982. The alpheid shrimp of Australia. Part III. The remaining alpheids, principally the genus Alpheus, and the family Ogyrididae. Rec. Australian Mus., 34(1) : 1-357, 95 figs. Banner, A.H. and D. M. Banner, 1985. The alpheid shrimp of Indonesia, based upon J.G. De Man's. "The Decapoda of the Siboga Expedition, Part II. Family Alpheidae" (1911). Mar. Res. Indonesia, 25 : 1-79, 6 figs. Buitendijk, A.M., 1960. Biological results of the Snellius Expedition. XXI. Brachyura of the families Atelecyclidae and Xanthidae. Part I. Temminckia, 10: 252-335, figs 1-9. Estampador, E.P., 1949a. Studies on Scylla (Crustacea : Portunidae). I.Revision of the genus. Philipp. J. Sci. 78 : (95) 108-353. Estampador, E.P., 1949b. Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae). II. Comparative studies on spermatogenesis and oogenesis. Philipp. J. Sci. (78): 301-353. Holthuis, L.B., 1953. Enumeration of the Decapod and Stomatopod Crustacea from Pacific Coral Islands. Atoll Research Bulletin, 24: 1-66, 2 maps. Mimeogr. Holthuis, L.B., 1992. Marine Lobster of the World. FAO Fisheries Synopsis, 13 (125). FAO Rome: 139-141. URL: (http://www.lobster.org. diakses 19 Maret 2008). Keenan, C.P., P.J.F. Davie, & D.L. Mann, 1998. A Revision of the genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda:
87
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (1): 217-245. Miya, Y., 1972. The Alpheidae (Crustacea, Decapoda) of Japan and its adjacent waters. Part I. Publications from the Amakusa Marine Biology Laboratory, Kyushu University, 3 (1): 23-101. Ng, P.K.L., D. Guinot & P.J.F. Davie, 2008. Systema Brchyurorum: Part I. An annotated checklist of extant brachyuran crabs of the world. Raffles Bulletin of Zoology, Supplement 17: 1-286. Nybakken, J. W. 1993. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta: 325 hal. Pratiwi, R., 1993a. Beberapa Catatan Mengenai Kehidupan Udang Pistol. Oseana: XXVIII (2) 77- 85. Pratiwi, R., 1993b. Mimi (Horse shoe crab)”the death spreader which is protected ”. Oseana, XVIII (1): 25-34. Pratiwi, R., 2002. Adaptation physiology, reproduction and ecology of crustacean (Decapoda) in mangrove. Oseana, XXVII (2): 110. Sakai, T. 1976a. Crabs of Japan and The Adjacent Seas Plates. Kodarian LTD. Japan. 773. Sakai, T. 1976b. Crabs of Japan and The Adjacent Seas. Kodarian LTD. Japan. 251 pp. Serène, R., 1984. Crustacés Décapodes Brachyoures de l'Océan Indien occidental et de la Mer Rouge, Xanthoidea: Xanthidae et Trapeziidae. Avec un addendum par Crosnier (A): Carpiliidae et Menippidae. Faune Tropicale, no. XXIV: 1-349, figs A-C + 1-243, pls 1-48. (In French) (Translated into English by R.W. Ingle).
88
Bab III. Manajemen Koleksi Crustacea
Smith, W.K. & Miller, P.C. 1973. The thermal ecology of two South Florida fiddler crabs: Uca rapax Smith and U. pugilator. Bosc. Physiol. Zool. 46: 186-207. Wowor, D., & Mulyadi, 1999. Pengelolaan Koleksi Krustasea. Dalam: Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Suhardjono, Y.R. (ed). Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 119-135.
89
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Bab IV Koleksi Dan Penanganan Sampel Ekhinodermata Indra Bayu Vimono
Pendahuluan Ekhinodermata merupakan biota bentik yang hanya ditemukan di laut, mulai dari daerah pasang-surut hingga di laut dalam. Ekhinodermata juga dapat ditemukan pada terumbu karang, padang lamun dan daerah pasir. Hewan dari filum ini meliputi: lili laut (kelas Crinoidea), bintang laut (kelas Asteroidea), bintang mengular (kelas Ophiuroidea), bulu babi/landak laut (kelas Echinoidea) dan timun laut (kelas Holothuroidea). Hewan ini tersebar di perairan laut di seluruh dunia, baik tropis maupun kutub. Kata Echinodermata berasal dari bahasa Yunani, yaitu Echinos (Indonesia: duri/landak) dan Derma (Indonesia: kulit), yang berarti hewan yang memiliki kulit berduri. Ekhinodermata merupakan hewan unik yang memiliki bermacammacam bentuk. Seluruh anggota filum Echinodermata memiliki simetri pentaradial, dimana simetri tubuh yang berkelipatan lima tersebut nampak jelas kecuali pada kelas Holothuroidea. Lili laut memiliki sebuah “cakram” centrodorsal dengan lengan yang bercabang serta memiliki struktur pencengkeram yang di sebut cirri pada bagian dorsal yang berfungsi untuk mencengkeram substrat. Bintang laut memiliki bentuk dasar bintang segi lima dengan celah ambulacral di sisi oral dan pada umumnya memiliki 5 lengan ataupun berkelipatan 5, walaupun ada yang terlihat memiliki 4 atau 6 lengan. Bintang mengular memiliki satu cakram (disc) dengan mulut di 90
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
bagian ventral berupa celah bergigi dan lima buah lengan yang rapuh dan relatif panjang di sisi cakram. Anggota kelas Echinoidea (termasuk bulubabi) memiliki cangkang dengan duri-duri yang menutupi permukaan tubuhnya. Timun laut memiliki kesan simetri bilateral, umumnya dengan bentuk memanjang dan pada sebagian spesies tentakel pada sisi oral terlihat jelas.
Gambar 4.1. Foto representasi dari lima kelas Echinodermata. a) lili laut (Crinoidea), b)bintang laut (Asteroidea) c) bintang mengular (Ophiuroidea), d) bulu babi (Echinoidea) dan e) timun laut (Holothuroidea). Foto: I.B.Vimono. Hewan-hewan Ekhinodermata memiliki endoskeleton berupa ossicle yang bervariasi bentuk dan ukurannya. Ossicle dapat berupa lempengan-lempengan (plates), microscopic ossicles, maupun lempengan yang menyatu membentuk cangkang (test). Microsopic ossicles dimiliki oleh kelas Holothuroidea sedangkan ossicle yang bersatu membentuk cangkang dimiliki oleh anggota kelas Echinoidea. Ossicle memiliki peranan penting dalam identifikasi, sehingga pada beberapa kelas pengamatan 91
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
terhadap ossicles memerlukan cara khusus, misalnya microscopic ossicles pada holothuroidea memerlukan cuplikan jaringan tubuh dengan perlakuan khusus sebelum pengamatan bentuk-bentuk ossicle di bawah mikroskop. Pada kelas Echinoidea, pengamatan bentuk dan jumlah lempengan ossicle dilakukan setelah menghilangkan duri-duri dan jaringan dipermukaan cangkang. Ekhinodermata memiliki kaki tabung yang juga berperan sebagai karakter identifikasi. Kaki tabung memiliki berbagai macam fungsi, misalnya, sebagai alat gerak, menangkap makanan dan beberapa termodifikasi untuk pertukaran gas. Kaki tabung bekerja dengan kombinasi antara otot dan gaya hidrolik dari system pembuluh air di dalam tubuh Ekhinodermata. Kaki tabung pada sebagian besar anggota kelas Asteroidea (bintang laut) memiliki pengisap (sucker) untuk melekat pada substrat dan berjalan, serta mencari makanan. Pada kelas Echinoidea (bulu babi), kaki tabung dapat berfungsi sebagai alat gerak dan menangkap partikel makanan yang melayang di kolom air, bahkan pada spesies Colobocentrotus atratus, kaki tabung termodifikasi menjadi alat penghisap yang kuat untuk menempel pada tebing. Selain peran ekologis dalam ekosisten, beberapa anggota Ekhinodermata memiliki peranan dalam kehidupan manusia termasuk sebagai makanan. Teripang merupakan anggota kelas Holothuroidea yang dikonsumsi sebagai obat dan makanan oleh masyarakat, baik masyarakat Indonesia maupun manca negara. Di Indonesia, penangkapan teripang di alam masih terus dilakukan sehingga populasi teripang mulai berkurang di alam. Selain teripang, gonad dari beberapa spesies bulu babi juga dapat dikonsumsi oleh masyrakat, namun penangkapan di alam liar masih
92
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
menjadi tumpuan utama di Indonesia. Ancaman overfishing dan kerusakan lingkungan menjadikan inventarisir jenis-jenis Echinodermata menjadi penting. Untuk mengetahui jenis-jenis Ekhinodermata yang ada di alam maka koleksi dan identifikasi perlu dilakukan.
Gambar 4.2. Tanda panah menunjukkan obyek: a) keping-keping ossicle yang menyatu membentuk cangkang pada kelas Echinoidea, b) micro ossicles pada kelas Holothuroidea, c) kaki tabung pada bagian ventral kelas Asteroidea dan d) kaki tabung untuk menempel pada bagian ventral Colobocentrotus atratus (kelas Echinoidea). Foto: I.B.Vimono.
93
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Hewan-hewan Ekhinodermata bergerak lambat dan relatif mudah dikoleksi, namun membutuhkan kecermatan karena sebagian anggota Echinodermata bersembunyi di balik bebatuan, celah-celah kecil maupun berkamuflase dengan lingkungannya. Koleksi Echinodermata di daerah pasang-surut maupun di daerah rataan terumbu relatif mudah dilakukan, terutama pada saat air surut. Pinset maupun kaos tangan tebal perlu digunakan untuk menjaga keamanan. Ekhinodermata berduri tajam seperti bulu babi (kelas Echinoidea) dikoleksi dengan menggunakan pinset besar secara hati-hati, karena duri-durinya mampu melukai kulit bahkan beberapa diantaranya beracun. Snorkling dan SCUBA diving juga diperlukan untuk melakukan koleksi Ekhinodermata di daerah subtidal. Koleksi Echinodermata dapat pula disesuaikan dengan metode dan alat sampling yang digunakan dalam penelitian, terutama sampling untuk bentos. Seperti halnya sampling bentos lainnya, sampling Echinodermata di daerah pasang surut dapat menggunakan transek dan kuadrat dengan peralatan sederhana hingga sampling laut dalam dengan peralatan khusus seperti bottom trawl, Ekman grab (Gmbar 3) dan peralatan lainnya. Dalam tulisan ini di bahas langkah-langkah melakukan koleksi Ekhinodermata secara umum.
Proses Koleksi Di Lapangan Koleksi sampel di lapangan sangat berguna untuk identifikasi dan penulisan karya tulis taksonomi. Namun demikian, koleksi yang legal dan bijaksana harus diutamakan. Kegiatan koleksi sampel hendaknya memiliki izin resmi dari instansi terkait, sehingga pengambilan biota secara liar dapat diminimalisir. Koleksi sampel juga tidak harus mengeruk semua biota yang
94
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
ada, namun cukup seperlunya sesuai kebutuhan penelitian dan ramah lingkungan sehingga kelestarian biota dan lingkungannya dapat terjaga.
b)
a)
c)
Gambar 4.3. Koleksi Ekhinodermata: a) di dalam laut dengan cara menyelam menggunakan SCUBA, b) koleksi Ekhinodermata di daerahpasang-surut bersubstrat pasir menggunakan ayakan dan kuadrat dan c) awak kapal mempersiapkan Ekman grab untuk koleksi di laut dalam. Foto: I.B.Vimono. Dalam melakukan koleksi Echinodermata di lapangan, beberapa hal perlu dilakukan agar informasi yang penting dapat tercatat. Hal-hal tersebut antara lain seperti yang tertera di bawah.
95
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
1.
Persiapan koleksi sampel. Persiapan tidak hanya mencakup persiapan alat-alat dan pelaksanaan penelitian, namun juga mencakup kesehatan dan pengenalan medan lingkungan. Memastikan bahwa kolektor cukup sehat, perbekalan yang cukup serta pakaian yang sesuai sangat penting, karena pengambilan sampel di laut berpotensi untuk terpapar sinar dan panas matahari serta dehidrasi. Pengenalan medan sangat dibutuhkan untuk efisiensi waktu koleksi serta keamanan dalam melakukan koleksi sesuai slogan “safety first” dimana keamanan sebaiknya diutamakan. Persiapan peralatan yang akan digunakan sebaiknya dilakukan agar tidak lupa membawa alat-alat yang dibutuhkan selama di lapangan. Pengambilan data lokasi berupa titik kordinat menggunakan GPS relevan untuk dilakukan dan menunjang data lokasi.
2.
Foto in situ. Pengambilan foto biota hidup secara in situ atau di habitat aslinya sebelum melakukan koleksi biota, penting untuk dilakukan. Foto tersebut akan berguna untuk memberi informasi tentang habitat dan kondisi hidup dari biota tersebut sebelum berubah karena penyimpanan, misalnya kondisi habitat, bentuk morfologi, maupun warna. Pengambilan foto in situ di daerah intertidal sebaiknya menggunakan kamera tahan air. Pengambilan foto biota daerah subtidal melalui snorkeling dan SCUBA disarankan menggunakan kamera khusus tahan air dengan rentang kedalaman 10 meter atau lebih. Kamera dengan underwater housing umumnya dipilih untuk SCUBA karena menyediakan perlindungan terhadap kamera hingga kedalaman 40 meter atau lebih. Untuk koleksi biota dari laut dalam, pengambilan foto sebaiknya dilakukan segera setelah biota diambil dari alat koleksi (Ekman grab maupun bottom trawl) saat kondisi fisik biota masih baik 96
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
dan belum mengalami perubahan, baik dalam hal bentuk maupun warna.
3.
Koleksi biota secara cermat dan hati-hati. Koleksi Ekhinodermata perlu dilakukan secara hati-hati karena beberapa anggota filum ini sangat rapuh dan pada beberapa spesies bintang laut memiliki kecenderungan utuk memutuskan anggota tubuhnya ketika mengalami stress. Contoh lain adalah lengan bintang mengular yang rapuh, sering rusak/putus ketika koleksi dilakukan secara sembarangan. Koleksi Ekhinodermata di daerah intertidal dapat dilakukan dengan melihat celah bebatuan dan dibalik bebatuan karena sebagian Echinodermata menyembunyikan diri di celah-celah dan di balik bebatuan. Pada beberapa spesies juga terkamuflase karena memiliki kebiasaan untuk menutupi tubuh dengan alga dan serasah lamun. Pengayakan substrat berupa pasir/lumpur perlu dilakukan dalam koleksi Ekhinodermata di daerah intertidal, untuk mendapatkan hewan yang berukuran kecil atau dalam tahap juvenile.
4.
Pengemasan
sementara.
Mengemas
spesimen
sebagai
upaya
penyimpanan sementara perlu dilakukan untuk menjaga kondisi sampel tetap baik dan segar selama proses koleksi dilapangan berlangsung. Sampel dapat dikemas dalam kantong plastik maupun wadah khusus yang telah diberi air laut dan sejumlah substrat tempat hidup biota. Sampel dipisahkan atau dikumpulkan berdasarkan jenis untuk memudahkan pemberian label.
97
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
a)
b)
c)
d)
Gambar 4.4. a) Pengambilan data titik GPS, pengenalan medan dan diskusi mengenai pelaksanaan sampling, b) foto in situ bintang laut (Choriaster granulatus) di kedalaman 20 meter, c) kamera dengan housing underwater dengan maksimum kedalaman 40 meter, dan d) bulu babi (Mespilia globulus) yang berlindung di balik serasah dan algae. Foto: I.B.Vimono.
5.
Pemberian label. Label untuk masing-masing spesimen perlu diberikan sebagai tanda pengenal bagi sampel tersebut. Label sebagai tanda pengenal bagi sampel dapat dilakukan dengan menuliskan nama spesiesnya apabila spesies tersebut adalah spesies umum dan mudah dikenali dengan identifikasi cepat. Pemberian kode dapat dilakukan untuk sampel yang belum teridentifikasi. Label juga berfungsi sebagai media informasi untuk tanggal koleksi, lokasi pengambilan spesimen, identitas kolektor, serta informasi lainnya. Pastikan untuk mencatat hal-hal tersebut di dalam label sampel. Sebaiknya label di tulis pada kertas underwater maupun media lain yang tidak mudahsobek, luntur, 98
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
ataupun hancur apabila terkena air ataupun alkohol. Pada umumnya digunakan underwater paper sebagai label dan digunakan pensil dalam penulisan label.
6.
Pembiusan, fiksasi, dan pengawetan. Pembiusan, fiksasi dan pengawetan spesimen dilakukan apabila kolektor dan spesimen telah sampai di basecamp. Spesimen dikeluarkan dari wadah berisi air laut dan substrat untuk dipindahkan ke wadah baru yang bersih dengan media pembius, larutan fiksatif ataupun dengan alkohol/etanol. Etanol 95% digunakan untuk spesimen atau untuk sampel jaringan Ekhinodermata yang akan diambil sampel uji genetik, sedangkan untuk sampel basah biasa hanya perlu disimpan di dalam alkohol 70% setelah menggunakan pembiusan dan fiksasi spesimen. Prosedur pembiusan hanya berlaku untuk anggota kelas Holothuroidea dan Ophiuroidea untuk mendapatkan bentuk spesimen yang sempurna bagi kepentingan penyimpanan. Pembiusan dapat dilakukan dengan menggunakan 7%10% larutan menthol atau larutan kristal Magnesium Sulfat atau Magnesium Chloride dalam pelarut air laut, kemudian posisi dan bentuk tubuh diatur. Pada keadaan mendesak karena ketiadaan bahan, beberapa spesies dapat dilemaskan dan diatur tubuhnya di dalam air laut yang didinginkan. Setelah posisi dan bentuk tubuh spesimen telah sesuai dengan yang kita inginkan, maka proses fiksasi untuk mematikan spesimen secara cepat dilakukan dengan menggunakan buffered formalin 10% atau menggunakan alkohol absolut. Sebagai catatan, fiksasi menggunakan formalin (tanpa buffer) dalam waktu lama dapat merusak skeleton Echinodermata, terutama melarutkan spikula dari Holothuroidea karena formalin memiliki pH rendah 99
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
(asam). Formalin untuk fiksasi pada umumnya di campur dengan borax sebagai buffer dan menaikkan pH, walaupun demikian fiksasi dengan buffered formalin hanya dilakukan dalam waktu singkat karena dapat merusak
ossicle
dari
Echinodermata.
Mengingat
bahaya
dari
penggunaan formalin, baik untuk kesehatan manusia dan resiko kerusakan spesimen Ekhinodermata,
maka
fiksasi dapat pula
menggunakan alcohol absolut (atau minimal 70%). Proses pengawetan dilakukan dengan menyimpan spesimen dan label di dalam alkohol 70% pada wadah tertutup.
Gambar 4.5. a) Timun laut yang baru dikoleksi dari lapangan disimpan sementara di dalam kantong plastik berisi air laut, b) beberapa bulu babi dikumpulkan di dalam ember yang berisi air laut, c) bintang mengular yang telah di bius dapat dengan mudah diatur posisinya sehingga dapat tersimpan dengan rapi, d) specimen yang tersimpan di dalam botol tertutup berisi alkohol. Foto: I.B.Vimono.
100
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
Wadah berisi ethanol atau alkohol beserta spesimen ditutup rapat agar alkohol tidak menguap atau tumpah selama perjalanan. Alkohol adalah zat yang mudah terbakar, sehingga dalam proses transfer menggunakan alat transportasi, perlu diperhatikan pengemasan dan pemberian alkohol selama perjalanan.
Proses Identifikasi Dan Penyimpanan Di Ruang Koleksi Setelah perjalanan dari lokasi sampling, pada umumnya alkohol pada wadah spesimen berwarna keruh maupun berubah warna. Beberapa penanganan perlu dilakukan, mulai melakukan dari sortir sampel hingga memasukkannya ke dalam ruang koleksi sebagai spesimen yang memiliki nomor registrasi 1.
Sortir dan penggantian alkohol. Sampel dari lapangan di sortir (untuk kelompok sampel) dan dimasukkan ke dalam wadah yang lebih baik dan di rendam dalam alkohol baru dengan konsentrasi yang dibutuhkan (70% atau 96%). Pastikan memasukkan kembali label lapangan ke dalam wadah yang baru dan wadah harus tertutup rapat sehingga alkohol tidak menguap.
2.
Identifikasi. Spesimen yang ada di identifikasi kembali dengan ketelitian yang lebih cermat. Penggunaan mikroskop dan buku identifikasi yang tepat sangat membantu dalam melakukan identifikasi secara baik dan benar. Perlu diingat bahwa identifikasi bukanlah sekedar mencocokkan gambar, namun perlu juga mengenali karakterkarakter suatu spesies berdasarkan petunjuk identifikasi, baik berupa buku, file pdf, maupun petunjuk identifikasi online dari sumber yang
101
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
sesuai dan terpercaya. Dalam melakukan identifikasi, sebaiknya menjaga kelembaban sampel agar sampel tidak mudah rusak. Setelah melakukan identifikasi, kembalikan sampel ke dalam wadah dan alkohol. Pastikan sampel masuk dalam wadah dan label yang sesuai serta wadah tertutup rapat. Memperhatikan ossicle, bentuk kaki tabung, serta ornament-ornamen dalam morfologi hewan sangat penting dalam proses identifikasi dan memerlukan kejelian. Mikroskop perbesaran lemah dan kaca pembesar sangat berguna dalam melihat detail dari morfologi Echinodermata. Membuat gambar dan pengambilan foto merupakan bagian penting dari identifikasi untuk untuk mendukung deskripsi biota. 3.
Pemberian label. Buat label baru berdasarkan label lama dengan tambahan informasi yang lebih terperinci, seperti koordinat lokasi sampling, habitat sampel, dan lain sebagainya. Pasang label di wadah, pada tempat yang aman sehingga label tidak mudah lepas, terkelupas, atau sobek. Penulisan label di atas kertas kalkir maupun media yang tahan air dan alkohol sangat dianjurkan karena label bisa dimasukkan bersama spesimen di dalam wadah. Pastikan label lapangan dan label yang baru tetap ada dalam satu wadah.
4.
Registrasi specimen. Spesimen yang telah memiliki label lapangan dan label baru di bawa kepada petugas ruang penyimpanan koleksi spesimen atau kurator untuk diberi nomor registrasi dan dicatat datadatanya. Peneliti ataupun kolektor wajib mengisi form atau log book penyimpanan sampel sebagai arsip pengelola ruang koleksi spesimen.
5.
Pemberian kode dan nomor. Pemberian nomor registrasi sebaiknya mencantumkan kode taksa
sehingga
memudahkan penempatas
spesimen dan pengelompokan katalog. Kode taksa dalam nomor 102
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
registrasi dapat mencakup filum, kelas maupun tingkat yang lebih teliti selama tidak mempersulit pengelompokan dan pendataan. Contoh pengkodean dan nomor registrasi misalnya: EE.123 yaitu kode untuk filum Echinodermata dari Echinoidea (EE) dan nomor registrasinya adalah 123, atau EA.032 yaitu kode untuk filum Echinodermata dari kelas Asteroidea (EA) dan nomor registrasinya adalah 032. 6.
Penyimpanan. Spesimen yang telah memiliki label lengkap dan teregistrasi disimpan dalam ruangan penyimpanan yang memiliki suhu ruangan konstan, kering, gelap dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Kondisi tersebut biasanya didapatkan pada ruangan yang menggunakan Air Conditioner (AC). Spesimen kering dapat juga dilakukan untuk keperluan display.
Langkah-langkah di atas tetap dilakukan, namun perlu dilakukan proses pengeringan dan pemberian label sebelum sampel diserahkan ke ruang koleksi spesimen untuk diregistrasi. Pengeringan dapat dilakukan dengan mengambil spesimen dari alkohol dan memasukkannya ke dalam oven dalam suhu hangat (+ 600C) hingga spesimen benar-benar kering. Data-data spesimen sebaiknya terekam atau tercatat secara fisik pada buku katalog dan terekam secara digital dengan cara memasukkan data register dalam format file melalui ms.excel, ms.word ataupun program khusus. Pencatatan secara fisik dalam buku katalog saja terkadang tidak cukup mengingat buku katalog dapat rusak secara fisik karena air, api, jamur dan ngengat. Backup data secara digital dapat mempermudah pencarian dan pengelompokan data spesimen secara cepat walaupun dapat juga mengalami kerusakan dan terhapus secara tidak sengaja ataupun karena virus computer. Hal-hal tersebut mendasari perlunya pencatatan 103
Bab IV Koleksi dan Penanganan Sampel Ekhinodermata
pada beberapa media yang berbeda, minimal dalam bentuk buku katalog dan file data digital.
Daftar Pustaka Aziz, A. 1981. Fauna Ekhinodermata Dari Terumbu Karang Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia, (14):41-50 Clark, A.M. and F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of Shalow Water IndoWest Pasific Echinoderms. London: Trustees of the British Museum (Natural History), 300 pp. Hurme,
A.K., R.M. Yancey, & E.J. Pullen. 1979. Sampling Macroinvertebrates on High-Energy Sand Beaches - Coastal Engineering Technical Aid. 79 (3). U.S. Army Corps Of Engineers-Coastal Engineering Research Center. SpringfieldVirginia. 41pp
Khanna, D.R. & P.R. Yadav.2005. Biology Of Ekhinodermata. New Delhi: Discovery Publishing House, 334 pp Lane, D.J.W. & D. Vandenspiegel. 2003. A Guide To Sea Stars And Other Echinoderms Of Singapore. Singapore: Singapore Science Centre, 187 pp. Lawrence, J.M. 2007. Edible Sea Urchins: Biology and Ecology. Amsterdam: Elsevier, 419 pp. Lincoln, R. J. & J. G. Sheals. 1979. Invertebrate Animals: Collection And Preservation. Cambridge Univ. Press. 150pp Miskelly, A. 1969. Sea Urchin of Australia and The Indo-Pacific. Sydney: Capricornica Publications. 180pp Robert D. & P, Darsono. 1984. Zonation Of Reef Flat Echinoderm At Pari Island, Seribu Island, Indonesia. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia, 17: 33-41. 104
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Bab V Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca Ucu Yanu Arbi Pendahuluan Invertebrata
merupakan
kelompok
biota
yang
memiliki
keanekaragaman jenis yang sangat tinggi di kawasan Indo Pasifik. Sebagian dari invertebrata yang telah diketahui memiliki sebaran ekologi sangat sempit karena pengaruh dari berbagai macam faktor pembatas distribusi. Salah satu anggotanya adalah kelompok organisme yang tergabung dalam Filum Mollusca, yaitu filum terbesar kedua dalam dunia hewan setelah Filum Arthropoda. Diperkirakan, Filum Mollusca memiliki keanekaragaman lebih dari 200 ribu spesies yang dapat ditemukan di berbagai tipe habitat di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 100 ribu spesies (atau kurang dari 50%) yang baru diketahui dan diidentifikasi, dan 35 ribu spesies diantaranya hanya dapat ditemukan dalam bentuk fosilnya saja (telah mengalami kepunahan). Mollusca merupakan kelompok hewan bertubuh lunak yang dilindungi oleh lapisan mantel dan struktur cangkang kapur. Mollusca secara etimologi (asal usul kata) berasal dari Bahasa Latin (molluscus = lunak). Berdasarkan bentuk dan struktur tubuhnya, Mollusca dibedakan menjadi 7 kelas,
yaitu
Gastropoda,
Pelecypoda,
Schaphopoda,
Aplacophora,
Polyplacophora, Monoplacophora dan Cephalopoda. Beberapa jenis Mollusca telah dikenal dengan baik dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan oleh masyarakat, antara lain sebagai bahan makanan, obat-obatan maupun kerajinan tangan.
105
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.1. Peta distribusi Gastropoda di seluruh dunia (Meyer, 1998). Mollusca memiliki rentang habitat yang sangat lebar karena mampu hidup di air laut, air tawar, air payau, darat maupun di atas pohon. Mollusca juga mampu menempati berbagai macam tipe habitat dan ekosistem seperti, mangrove, lamun, karang dan substrat pasir/lumpur, dari palung laut dalam sampai puncak pegunungan, bahkan di sekitar pemukiman. Hal ini menjadikan keanekaragaman jenis Mollusca sangat tinggi, walaupun terdapat spesifikasi jenis Mollusca untuk masing-masing habitat dan ekosistem karena adanya perbedaan kebutuhan hidup maupun tingkat toleransi terhadap habitatnya. Misalnya, jenis-jenis yang hidup di air tawar berbeda dengan jenis-jenis yang hidup di air laut, jenis-jenis yang hidup di terumbu karang berbeda dengan jenis-jenis yang hidup di mangrove, dan sebagainya. Pemanfaatan Mollusca bukan hanya untuk bahan pangan saja, namun juga sebagai bahan baku kerajian, benda koleksi, maupun sebagai objek pendidikan dan penelitian. Mengkoleksi cangkang Mollusca merupakan bentuk kegemaran yang telah berkembang sejak dahulu, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebatas kegemaran. Beberapa suku di pedalaman memanfaatkan cangkang Mollusca sebagai salah satu benda untuk kegiatan ritual, atau sebagai alat jual beli barang sebelum mengenal mata uang. Ilmu yang mempelajari tentang cangkang Mollusca adalah
106
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
conchology, sedangkan ilmu yang mempelajari tentang Mollusca sebagai biota adalah malacology. Mollusca dapat disimpan dalam waktu lama jika menerapkan prosedur pengawetan yang baik. Berdasarkan cara pengawetannya, spesimen koleksi Mollusca dapat dibedakan menjadi dua, yaitu koleksi basah dan koleksi kering. Koleksi basah merupakan spesimen koleksi yang disimpan dan diawetkan dalam larutan pengawet. Larutan pengawet yang umum digunakan adalah menggunakan larutan alkohol atau formalin. Sedangkan koleksi kering merupakan spesimen koleksi yang disimpan dan diawetkan dalam kemasan kering tanpa larutan pengawet. Koleksi kering biasanya berupa cangkang atau bagian kasar lainnya dari Mollusca, sedangkan koleksi basah berupa seluruh bagian tubuh termasuk bagian lunak Mollusca. Kekayaan dan keanekaragaman jenis biota tidak akan pernah diketahui secara pasti bila tidak ada upaya untuk melakukan pencacahan dan pendokumentasian yang baik. Beberapa negara modern telah memiliki kesadaran untuk melakukan monitoring biota dan menyimpan spesimen koleksi di museum dengan menerapkan manajemen yang cukup baik terhadap pengelolaan dan pemeliharaannya. Di Indonesia, terdapat sebuah museum dengan manajemen spesimen koleksi berstandar internasional (Pusat Penelitian Biologi LIPI: Museum Zoology Bogor) dan beberapa lokasi penyimpanan biota laut (Pusat Penelitian Oseanografi LIPI: Jakarta, Ambon, Bitung, Tual dan Biak) serta beberapa universitas. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia dengan kekayaan alam yang dimiliki dan posisi geografis yang sangat strategis telah memiliki peran untuk merekam sejarah alamnya melalui spesimen koleksi yang disimpan dengan manajemen yang baik.
107
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.2. Mollusca pada berbagai habitat: A) Chiton di tebing batu cadas; B) Kerang kapak di substrat pasir rataan terumbu; C) Kima di ekosistem terumbu karang; D) Lola di ekosistem terumbu karang; E) Keong di pantai berbatu; F) Keong di substrat berlumpur hutan mangrove; G) Keong di batang mangrove; H) Kerang di ekosistem padang lamun; I) Sontong di ekosistem terumbu karang; J) Nudibranch di karang mati rataan terumbu. Foto: U.Y.Arbi.
Sampling Mollusca Sampling diartikan sebagai suatu proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Sedangkan teknik atau cara yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian disebut sebagai teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah quota sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara menetapkan sejumlah anggota sampel. Anggota populasi manapun yang akan diambil tidak masalah, yang penting jumlah quotum yang sudah ditetapkan sebelumnya
108
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
dapat dipenuhi. Teknik sampling adalah bagian dari metodologi statistika yang berhubungan dengan pengambilan sebagian dari populasi. Jika sampling dilakukan dengan metode yang tepat, analisis statistik dari suatu sampel dapat digunakan untuk menggeneralisasikan keseluruhan populasi. Berbagai teknik sampling dikembangkan untuk penelitian sosial yang kemudian dimodifikasi dan diterapkan untuk teknik sampling biologi dan lingkungan, antara lain:
A. Probability Sampling (Menggunakan Prinsip Random) 1) Cluster Random Sampling Teknik sampling ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti. 2) Stratified Random Sampling Teknik sampling ini digunakan bila kondisi populasi tidak homogen, terdiri dari: a)
Proporsional Stratified Sampling Teknik ini digunakan jika proporsi ukuran subpopulasi setiap strata relatif sama besar.
b) Disproporsional Stratified Sampling Pada teknik ini, ukuran sampel yang diambil dari setiap strata sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya. c)
Simple Random Sampling Sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.
109
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
d) Systematic Random Sampling Teknik ini digunakan apabila ukuran populasi sangat besar yang tidak memungkinkan dilakukan pemilihan sampel dengan cara pengundian.
B. Non Probability Sampling (Tidak Menggunakan Prinsip Random) 1) Accidental Sampling Teknik ini digunakan jika sampel tidak memungkinkan untuk didapatkan apabila menggunakan teknik sampling yang berdasarkan prinsip random. 2) Quota Sampling Teknik ini digunakan ketika mengambil sampel dari setiap strata tidak menggunakan cara-cara random, tetapi menggunakan cara-cara kemudahan (convenience). 3) Purposeful Sampling Teknik ini digunakan jika memerlukan sumber data yang memilki kualifikasi spesifik. 4) Snowball Sampling Teknik ini memilih unit-unit yang mempunyai karakterisitik langka.
Sampel yang didapatkan dengan metode sampling kuantitatif dapat diperoleh dengan cara transek kuadrat, transek garis, belt transect, point stationary transect, grab, dredge, core, trawl, beach seine, trap dan lainnya. Sedangkan untuk sampel yang didapat dengan metode sampling kualitatif dapat diperoleh dengan koleksi bebas.
110
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.3. Sampling Mollusca dengan Transek garis yang juga untuk belt transect di beberapa ekosistem: A) Padang lamun; B) Hutan mangrove; C) Terumbu karang; D) Rataan terumbu. Foto: U.Y.Arbi.
Gambar 5.4. Transek sampling Mollusca dengan hand core: A) Pengambilan sedimen sampai sekitar 30 cm; B) Sedimen diletakkan pada
111
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
ayakan atau saringan bertingkat; Penyortiran. Foto: U.Y.Arbi.
C)
Pengayakan;
D)
Gambar 5.5. Sampling Mollusca dengan core untuk perairan deep sea digabung dengan sampling geologi: A) Pengambilan sedimen dari kapal riset; B) Core yang berisi sedimen; C) Pengambilan sedimen dari dalam core; D) Penyortiran sampel Mollusca dengan saringan bertingkat. Foto: U.Y.Arbi.
Gambar 5.6. Sampling dengan box core: A) Satu set box core untuk pengambilan sampel laut dalam; B) Box core diturunkan dari kapal riset; C) Box core yang telah ditarik kembali; D) Contoh hasil pengambilan sampel dengan box core.Foto: U.Y.Arbi.
112
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Penanganan Sampel Mollusca di Lapangan Sampel yang telah didapatkan dengan menggunakan berbagai metode sampling sebelum dibawa ke laboratorium hendaknya telah diperlakukan dengan standar agar tidak cepat mengalami kerusakan. Kerusakan sampel yang telah didapatkan berarti kerugian atas waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sampel tersebut. Di sisi lain, beberapa sampel mungkin bersifat langka, dengan kemungkinan untuk mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang sulit. Sampel sebenarnya adalah data yang berisi informasi yang sangat banyak apabila dianalisa lebih lanjut. Dengan kata lain, sampel yang telah didapatkan dari hasil penelitian tidak ubahnya sebagai harta bagi seorang peneliti yang sudah selayaknya dijaga dengan baik. Penanganan pertama terhadap sampel agar tidak cepat mengalami kerusakan adalah dengan memasukkannya ke dalam larutan pengawet. Larutan pengawet yang biasanya digunakan adalah formaldehyde (formalin) 4% atau ethanol (alkohol) 70%, tergantung dari pemanfaatan sampel selanjutnya. Jika sampel tersebut selanjutnya akan dianalisa secara molekuler untuk mendapatkan data hasil sekuensi DNA, maka pengawetan dilakukan dengan alkohol 70%, dan setelah sampai di laboratorium segera diganti dengan alkohol 96% untuk pengawetan dalam jangka panjang. Apabila sampel hanya sebatas dimanfaatkan sebagai spesimen koleksi tanpa dilakukan analisa molekuler, maka pengawetan bisa dilakukan dengan formalin, dan setelah sampai di laboratorium segera diganti dengan alkohol 70%. Sampel yang telah diawetkan dengan menggunakan formalin akan sangat sulit, bahkan tidak bisa dianalisa molekuler karena protein menjadi susah dipecah sehingga sulit mendapatkan DNA untuk disekuensi. Pengawetan dengan formalin pada dasarnya hanya digunakan untuk jangka pendek saja sebagai
113
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
bahan fiksasi sampel agar sampel tidak mengkerut, sedangkan preferensi utama untuk pengawetan jangka panjang adalah dengan alkohol 70%. Selain pengawetan, penanganan sampel saat di lapangan yang terpenting adalah pengemasan dan pelabelan. Pengemasan yang baik turut serta menjaga kondisi sampel tetap terjaga kualitasnya. Pelabelan di lapangan, walau sifatnya sementara, sangat penting agar tidak terjadi pertukaran antara sampel satu dengan yang lainnya. Label sementara tersebut biasanya tetap diletakkan bersama spesimen sampai seterusnya.
Penanganan Sampel Mollusca di Laboratorium Spesimen yang baru diperoleh di lapangan saat penelitian perlu segera diproses, diberi label sementara, diberi catatan kecil, diawetkan dan dikemas. Label sementara saat masih di lapangan penting untuk menghindari tertukarnya spesimen dengan spesimen lainnya. Catatan kecil yang berisi informasi yang berkaitan dengan spesimen dan kondisi lingkungan menjadi informasi yang berguna untuk analisa lebih lanjut. Spesimen yang diperoleh harus segera diawetkan dalam larutan pengawet (etanol atau formaldehida) agar spesimen tidak membusuk dan tetap utuh. Kemasan spesimen menjadi bagian penting, terutama jika jarak antara lokasi penelitian dan museum jauh dan memakan waktu lama untuk pengiriman. Kemasan yang baik akan memastikan spesimen tidak rusak selama perjalanan atau pengiriman, misalnya, dilapisi dengan jaring pengaman plastik yang dapat mencegah kebocoran cairan pengawet. Kerusakan spesimen bisa terjadi karena teknik pengemasan spesimen yang kurang baik. Spesimen dari taksa yang berbeda biasanya juga memiliki teknik pengemasan yang berbeda pula. Setiap peneliti sudah seharusnya telah memiliki cukup pengetahuan dalam hal teknik pengemasan spesimen sesuai dengan taksa yang menjadi objek penelitiannya.
114
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Sampel yang baru diperoleh dari lapangan seharusnya segera diproses sesuai dengan standar yang berlaku sebelum disimpan dalam ruang penyimpanan. Sampel dibersihkan dari kotoran, sedimen maupun bagian organisme lain yang menempel yang dapat menyebabkan kerusakan, dan kemudian dipisahkan menurut taksa masing-masing. Sampel yang masih tercampur dengan sedimen biasanya disaring menggunakan saringan. Spesimen yang telah bersih dan dipisahkan berdasarkan taksa yang dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Sampel yang baru disimpan dan dikumpulkan di tempat khusus yang belum diidentifikasi serta diberi label spesimen. Sampel yang telah diidentifikasi kemudian diawetkan dan disimpan sesuai dengan standar yang berlaku. Sampel yang telah diidentifikasi namun belum yakin dengan kebenaran nama spesiesnya juga disimpan di tempat khusus.
Analisa dan Proses Identifikasi Sampel Mollusca Sebelum disimpan dalam koleksi, spesimen harus diberi label, dan label diusahakan juga mencakup nama spesies secara jelas. Untuk menemukan nama yang benar dari spesies, spesimen harus diidentifikasi dan dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Semua sampel diamati dan diidentifikasi di bawah mikroskop. Analisis dan proses identifikasi spesimen dilakukan di laboratorium enggunakan perlengkapan sesuai dengan yang dibutuhkan dari kelompok taksanya. Proses identifikasi untuk setiap organisme sesuai dengan aturan dalam taksonomi dan sistematika. Selama proses analisis spesimen dilakukan juga dokumentasi spesimen (fotomenggunakan mikroskop). Identifikasi dilakukan oleh taksonom atau parataxonom untuk kepentingan analisis secara taksonomi. Kolaborasi dan kerjasama dengan peneliti asing sangat penting, tetapi harus dengan ikatan perjanjian yang disepakati bersama.
115
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Jika ternyata spesimen yang dianalisa merupakan spesies baru, atau diduga spesies baru, atau berpotensi sebagai spesies baru maka diproses secara khusus untuk kepentingan penelitian lanjutan. Karakterisasi pada bagian-bagian khusus dari spesimen yang diamati yang akan membedakan dengan spesies yang sebelumnya telah dideskripsi sebagai spesies. Sehingga diperlukan deskripsi menyeluruh secara detail dari setiap karakter kunci yang dimiliki. Kemudian dibandingkan dengan spesimen type dari spesies yang memiliki hubungan paling dekat dengan spesimen tersebut. Spesimen type biasanya dapat dipinjam dari museum yang menyimpan spesimen type tersebut. Jika tidak memungkinkan untuk meminjam spesimen type, biasanya dapat mendatangi langsung museum, atau meminta bantuan kurator di museum tersebut untuk memotret bagian-bagian kunci dari spesimen type yang dimaksud. Selain membandingkan langsung dengan spesimen type, proses analisa juga dilakukan dengan membandingkan dengan deskripsi yang diberikan pada publikasi yang merujuk ke spesies yang dimaksud. Setelah semua proses tersebut dilewati, dan deskripsi spesimen yang diduga spesies baru tersebut dikerjakan, kemudian akan disimpulkan apakah spesimen tersebut merupakan spesies baru atau bukan. Apabila spesimen tersebut disimpulkan sebagai spesies baru, maka segera dilakukan penyusunan tulisan taksonomi untuk dipublikasikan secara internasional. Hasil publikasi tersebut harus didistribusikan ke minimal tiga perpustakaan yang dapat diakses secara internasional. Setelah publikasi, status spesies baru tersebut baru akan diakui secara internasional.
116
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Preservasi Spesimen Koleksi Mollusca Setelah dilakukan proses identifikasi, spesimen kemudian diawetkan dan disimpan dalam ruang koleksi. Berdasarkan cara pengawetannya, koleksi spesimen pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok koleksi, koleksi basah dan kering. Koleksi kering diawetkan dalam kantong plastik bebas asam dan/atau dimasukkan ke dalam toples plastik atau kotak karton bebas asam. Koleksi basah dilarutkan dengan etanol teknis 70% untuk koleksi biasa atau 96% untuk koleksi dengan tujuan studi molekuler. Wadah penyimpanan adalah botol kaca dan ditutup rapat untuk mencegah penguapan dan mencegah masuknya hama yang dapat menyebabkan kerusakan spesimen. Label yang dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan biota diusahakan terbuat dari bahan yang awet dan bebas asam agar tidak mudah hancur dan tumbuh jamur. Pengawetan spesimen untuk jangka panjang tidak dapat menggunakan formalin. Formalin 4% atau MgCl2 hanya digunakan untuk fiksasi, bahkan tidak digunakan sama sekali untuk spesimen dengan tujuan analisa molekuler. Formalin digunakan hanya untuk pengawetan spesimen untuk waktu yang tidak lama, dan kemudian dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Pelabelan Spesimen Koleksi Mollusca Label adalah bagian paling penting dari koleksi spesimen karena dalam label terkandung informasi penting tentang spesimen yang dimaksud tersebut. Sistem pelabelan diterapkan pada semua botol maupun tempat penyimpanan
sampel
lainnya.
Setiap
koleksi
spesimen
didaftarkan
menggunakan sistem nomor katalog yang diterapkan di suatu museum atau institusi. Data yang tercatat pada label terdiri dari jumlah spesimen, nomor katalog, nama spesies, nama keluarga, tempat koleksi, tanggal koleksi, waktu 117
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
pengumpulan, stasiun, kedalaman, informasi habitat, komposisi substrat, posisi GPS, dan catatan khusus yang berhubungan dengan spesimen. Label terbuat dari bahan khusus yang awet dan tidak mudah hancur oleh larutan pengawet serta sedapat mungkin terbuat dari bahan bebas asam, misalnya terbuat dari kulit kambing. Tinta yang digunakan untuk merekam pada label adalah tinta khusus yang tidak luntur dalam alkohol. Label harus dijaga agar tidak rusak. Pelabelan diikuti dengan pencatatan data dalam buku katalog dan database yang dilakukan secara komputerisasi.
Gambar 5.7. Contoh format label: A) Label koleksi basah ukuran besar di Raffles Museum, Singapura; B) Label koleksi kering di Raffles Museum, Singapura; C) Label koleksi basah ukuran kecil di Raffles Museum, Singapura; D) Label koleksi hasil kerjasama Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan PT Newmont Nusa Tenggara. Foto: U.Y.Arbi. Dokumentasi Spesimen Koleksi Mollusca Saat masih di lapangan, umumnya spesimen yang dikumpulkan sudah difoto terlebih dahulu agar dapat menggambarkan kondisi saat masih di habitat aslinya. Namun, pada saat akan penanganan sampel di laboratorium,
118
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
terutama saat proses identifikasi, dokumentasi (foto atau gambar) perlu dilakukan kembali. Tujuannya adalah untuk membuat dokumentasi spesimen sehingga
berguna
Pengambilan gambar
untuk
publikasi,
terutama
publikasi
taksonomi.
bukan hanya bagian dari tubuh spesimen secara
keseluruhan, tetapi juga bagian penting dari tubuh spesimen tersebut dengan tujuan untuk memperoleh detail dari bagian tubuh yang diinginkan. Pengambilan gambar dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari kamera saku, kamera digital, kamera terintegrasi dengan mikroskop dan sebagainya. Gambar yang dihasilkan juga tidak selalu berupa foto, tetapi juga bisa berupa video maupun gambar sketsa dengan menggunakan tangan.
Gambar 5.8. Pendokumentasian spesimen di ekosistem mangrove dengan kamera Digital SLR: A) Persiapan pemotretan; B) Penggunaan flash eksternal untuk pencahayaan; C) Pengecekan hasil jepretan; D) Kondisi di alam yang menuntut untuk kerja keras agar mendapatkan gambar yang alami. Foto: U.Y.Arbi.
119
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Gambar 5.9. Dokumentasi di dalam laut: A) Penggunaan alat selam SBUBA sampai kedalaman 40 meter; B) Fotografi biota laut di habitatnya; C) Vidoegrafi biota laut di habitatnya; D) Robot ROV yang dikendalikan dari atas kapal riset NOAA, Amerika Serikat; E) ROV dengan beberapa kamera untuk dokumentasi hingga kedalaman ratusan meter. Foto: U.Y. Arbi.
Gambar 5.10. Pendokumentasian dengan bantuan mikroskop: A) Spesimen yang akan difoto; B) Spesimen ketika dilihat di bawah mikroskop; C) Proses pendokumentasian dengan kamera poket; D) Hasil foto setelah dilakukan sedikit koreksi foto dengan bantuan software tertentu. Foto: U.Y.Arbi.
120
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Penyimpanan Spesimen Koleksi Mollusca Spesimen yang telah melalui setiap proses (termasuk spesies baru) kemudian bisa disimpan bersama Koleksi Utama untuk masing-masing taksa dalam rak dan lemari penyimpanan di ruang koleksi. Semua koleksi disimpan di tempat gelap tanpa cahaya (sinar matahari atau cahaya lampu) untuk menjaga pigmen (warna alami) dari spesimen tidak memudar atau berubah warna pada suhu 18oC. Terutama untuk spesimen type, koleksi disimpan di tempat yang lebih khusus, dengan tanda khusus, dan dipisahkan dari koleksi lain. Setiap unit penyimpanan (lemari, rak, botol, laci, kotak) diberi nomor sebagai kode penempatan. Penomoran dimaksudkan untuk mempermudah pelacakan spesimen, terutama bagi pengguna yang belum terbiasa dengan model susunan rak dan lemari penyimpanan spesimen. Penyusunan dapat dilakukan secara sistematis sesuai dengan klasifikasi berdasarkan buku referensi dari klasifikasi standar suatu kelompok organisme. Katalogisasi dan Pangkalan Data Spesimen Koleksi Mollusca Pencatatan mengenai spesimen koleksi dan semua informasi yang berkaitan dengan spesimen koleksi merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan. Pencatatan awalnya dilakukan secara manual di dalam sebuah buku dengan format tertentu (buku katalog spesimen koleksi). Selanjutnya, pencatatan dilakukan secara komputerisasi dengan format yang sama atau sedikit berbeda dengan yang ada di buku katalog (pangkalan data spesimen koleksi). Tujuan pembuatan buku katalog dan pangkalan data adalah untuk memudahkan pencatatan spesimen koleksi yang telah dimasukkan ke dalam ruang koleksi. Informasi yang ditampilkan pada buku katalog merupakan pengembangan yang lebih lengkap dari informasi yang ada di label spesimen koleksi. Sistem penomoran dan data yang dimasukkan pada buku katalog dan
121
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
pangkalan data spesimen koleksi dibuat mengikuti aturan yang dibuat oleh pengelola ruang koleksi spesimen yang dikerjakan oleh seorang kurator.
Gambar 5.11. Contoh penyimpanan spesimen koleksi: A) penataan rak dan lemari spesimen koleksi di Museum Zoolog Bogor; B) penyimpanan koleksi basah dalam alkohol di Museum Zoology Bogor; C) penyimpanan koleksi kering di Raffles Museum, NUS, Singapore. Foto: U.Y.Arbi.
Pencegahan Jamur, Hama, Kerusakan dan Kecelakaan Berbagai pencegahan dan pengendalian harus dilakukan secara berkala agar hama tidak cepat merusak spesimen. Koleksi kering harus dijaga agar tidak menjadi lembab dan berdebu, sedangkan koleksi basah harus disimpan dalam keadaan terendam dalam alkohol. Suhu dan kelembaban koleksi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga tetap dalam kisaran ruang yang dibutuhkan untuk koleksi spesimen. Pengemasan, penyimpanan spesimen dan label yang digunakan juga menggunakan bahan yang memiliki pH netral dan bebas lignin.
122
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Kebersihan ruang spesimen koleksi sangat penting untuk dijaga, pintu selalu tertutup untuk meminimalkan debu dan hama yang memasuki ruang koleksi. Tidak diperbolehkan membawa makanan dan minuman ke dalam ruang koleksi karena akan mengundang serangga, jamur dan bakteri. Tangan berminyak dan kotor tidak diperbolehkan memegang spesimen karena dapat menyebabkan kerusakan spesimen akibat aktivitas bakteri. Kondisi spesimen, tempat penyimpanan spesimen, larutan alkohol, kehadiran hama, dan hal-hal lain yang mengindikasikan kerusakan spesimen harus dipantau. Insektisida dan zat penolak serangga (misalnya kapur barus) diberikan secukupnya sangat bermanfaat untuk pencegahan hama.
Gambar 5.12. Katalogisasi dan penyusunan pangkalan data spesimen koleksi: A) Entry data oleh kurator atau ternisi; B) Pembahasan format buku katalog spesimen koleksi; C) Pembentukan pangkalan data; D) Contoh informasi yang ada di dalam buku katalog spesimen koleksi di Raffles Museum, Singapura; E) Contoh buku katalog spesimen koleksi di Stasiun Lapangan LIPI Bitung, Sulawesi Utara. Foto: U.Y. Arbi.
123
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Pengolahan dan pemeliharaan secara rutin dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Selain mempertimbangkan spesimen, kegiatan yang dilakukan juga mempertimbangkan kepentingan orang yang bekerja, terutama berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Bekerja di laboratorium dan di ruang koleksi biasanya dilengkapi dengan jas lab, masker, sarung tangan dan pelindung mata. Langkah pencegahan, terutama dari bahaya kebakaran juga perlu dilakukan, seperti tidak merokok di ruang kerja, terutama dekat dengan bahan kimia di dalam ruang koleksi dan di dalam ruang yang terdapat fasilitas AC. Lampu dan peralatan elektronik yang tidak diperlukan dipadamkan untuk membantu mencegah kebakaran.
Gambar 5.13. Pencegahan terhadap jamur, hama, kerusakan dan kecelakaan: A) Tangga darurat untuk antisipasi jika terjadi kecelakaan; B) Halaman berbatu, bukan berumput, untuk menekan perkembangbiakan serangga; C) Penyemprot air untuk antisipasi kebakaran; D) Kemasan spesimen dari bahan bebas asam untuk mencegah aktivitas jamur dan bakteri; E) Kapur barus untuk mengurangi kelembaban. Foto: U.Y.Arbi.
124
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Penanganan Spesimen Koleksi Mollusca Rusak atau Hilang Kerusakan spesimen selain disebabkan oleh kecerobohan saat penanganan spesimen juga sering disebabkan oleh pengaruh hama, terutama akibat serangan jamur dan bakteri. Setiap spesimen memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan kerusakan pada spesimen lain, terutama yang rusak oleh hama, sehingga harus segera ditangani. Spesimen kering yang terkena hama dilakukan penanganan dengan cara dibungkus dengan plastik dan ditempatkan ke dalam freezer selama 2 x 24 jam untuk menghilangkan hama. Sedangkan untuk spesimen basah yang diawetkan dalam alkohol setelah dilakukan penggantian alkohol kemudian spesimen dan botol dibersihkan dari hama dengan cara direndam dalam larutan kalium permanganat (KMnO4) selama 24 jam untuk kemudian diganti dengan alkohol dan botol baru. Spesimen yang telah dibersihkan dapat disimpan kembali ke koleksi spesimen. Spesimen yang rusak karena kondisi fisiknya yang dislokasi dapat direhabilitasi atau diganti dengan cara menyambung dengan bagian yang sama dari spesimen lain. Zat adhesif (lem atau tali) yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, tetapi menggunakan perekat yang memiliki pH netral. Koleksi spesimen yang tidak memenuhi standar untuk penyimpanan, yang sudah rusak parah (> 70% rusak), busuk, dan tidak ada label dapat dihapuskan dari ruang koleksi. Penghapusan spesimen harus dengan pengetahuan dan izin dari kepala museum, dan atas izin resmi, sedangkan untuk penghancuran atas izin dari manajer koleksi. Rekomendasi atau izin penghancuran akan diberikan setelah mendapatkan pertimbangan dari tim khusus yang dibentuk oleh kepala museum. Pada dasarnya, spesimen yang rusak maupun yang hilang karena berbagai sebab tidak bisa digantikan dengan spesimen lain. Spesimen yang rusak atau hilang tersebut tetap akan tercatat pada buku katalog dan/atau
125
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
database sebagai spesimen yang pernah dikoleksi dari suatu lokasi tertentu, walaupun bentuk fisik dari spesimen tersebut sudah tidak ada lagi. Penggantian tidak bisa dilakukan karena spesimen yang dimaksudkan sebagai pengganti spesimen yang rusak atau hilang tersebut memiliki informasi yang berbeda meskipun diambil dari lokasi yang sama. Hal ini terutama informasi yang ada apabila dilakukan analisa pada tingkat molekuler. Dua spesimen pada satu spesies yang sama yang diambil lokasi yang sama tetapi pada waktu yang berbeda sangat mungkin akan dijumpai hasil analisa molekuler yang berbeda. Hal ini terjadi karena perubahan evolusioner secara bertahap dalam waktu yang relatif lama yang diyakini terjadi pada setiap spesies sebagai bentuk adaptasi terhadap setiap perubahan lingkungannya yang terjadi dari waktu ke waktu. Alasan inilah terutama yang menjadi dasar ketidaktepatan dilakukan penggantian spesimen koleksi yang rusak maupun hilang.
Daftar Pustaka
Arbi, U.Y. 2010. Taxonomy training, comparative study and collection management at Raffles Museum. Report of on job training at Raffles Museum of Biodiversity Research, National University of Singapore, Singapore 2010. Not published. Cedhagen, T. 1989. A method for dissaggregating clay concentration and elimining formalin smell in the processing of the sediment sample. Sarsia 74: 221-222. Dauer, D.M. 2004. Quality assurance/quality control plan benthic biological monitoring program of the Lower Chesapeake Bay. Manual of Field Ecology Project, Department of Biological Science, Old Dominian Univ., Norfolk-Virginia: 41 pp.
126
Bab V. Manajemen Spesimen Koleksi Mollusca
Harmeon, J.D. 1993. Integrated pest management in museum, library and archival facilities. Harmon Presentation Pest Management, Indianapolis: 138 pp. Janus, H. 1979. The young specialist looks at molluscs. Burke Books, London & Toronto: 180 pp. Marine Biological Association. 1957. Plymouth marine fauna (3rd Edition), Marine Biological Association of the United Kingdom. 457 pp. Palma, R.L., 1976. Slide mounting of lice, a detailed description of Canada Balsam Technique, New Zealand Entomol. 6(4): 432-435. Rothwell, R.G. 2001. Marine sample collections: Their value, use and future. IACMST Information Document no. 8: 1-56. Suhardjono, Y.R. 1999. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Zoologi, P2B-LIPI, Cibinong: 218 hal. Tagliapietra, D. and M. Sigovini. 2010. Benthic fauna: Collection and identification of macrobenthic invertebrates. Terre et Environment vol. 88: 253-261.
127
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Bab. VI Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Fahmi
Pendahuluan Pengertian mengenai istilah ‘ikan’ pada umumnya adalah hewan akuatik yang memiliki tulang belakang (vertebra), bernafas dengan insang, memiliki struktur tulang yang terdiri dari tulang sejati ataupun rawan (cartilage), serta umumnya memiliki sirip (Hart & Reynold, 2002; Nelson, 2006). Ikan merupakan salah satu kelompok terbesar dari biota akuatik dengan ukuran tubuh yang sangat bervariasi, mulai dari yang terkecil dengan ukuran hanya beberapa sentimeter saja, hingga ukuran terbesar yang dapat mencapai belasan meter. Adapun pengelompokkannya secara umum berdasarkan kelas besar (Nelson, 2006), yaitu: 1. Chondrichthyes (ikan bertulang rawan) 2. Actinopterygii (ikan bertulang sejati); dan 3. Sarcopterygii (termasuk coelacanths, lungfishes, dan tetrapoda) Jumlah jenis ikan yang ada di dunia dengan nama ilmiah yang valid mencapai lebih dari 28 ribu spesies. Jumlah tersebut masih mungkin bertambah seiring dengan ditemukannya jenis-jenis baru dari tahun ke tahun.
Indonesia sebagai salah satu pusat
keanekaragaman hayati dunia, memiliki jumlah jenis ikan lebih dari
128
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
4500 spesies yang sudah terdaftar di dalam Fish Base, yang terdiri dari sekitar lebih dari seribu jenis ikan air tawar dan lebih dari 3500 jenis ikan air laut. Jumlah jenis ikan air laut yang sangat tinggi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi akademisi, peneliti, taksonom dan kurator Indonesia di dalam mengoleksi, menyimpan dan mengelola koleksi rujukan ikan laut, yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang taksonomi, ekologi, dan keragaman hayati Indonesia. Koleksi biota laut di dalam sebuah koleksi referensi (refference collection) merupakan salah satu bukti secara ilmiah terhadap kekayaan keragaman jenis biota di suatu daerah.Umumnya tujuan dari koleksi spesimen adalah untuk alasan taksonomi, yang menjadikan
spesimen
koleksi
sebagai
rujukan,
bukti
atau
pembanding terhadap keberadaan suatu spesies dari daerah atau lokasi tertentu. Deskripsi ilmiah suatu jenis biota membutuhkan pengamatan, pengukuran dan dekripsi secara detail terhadap spesimen tipe yang dijadikan rujukan utama atau sejumlah spesimen yang disimpan, terdaftar dan terawat. Koleksi spesimen umumnya disimpan di dalam sebuah museum zoologi atau institusi penelitian dan pendidikan untuk jangka waktu yang lama serta dapat diakses oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Prosedur dan metode dalam pengelolaan koleksi spesimen ikan laut dibahas dengan detail di bawah ini.
129
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Koleksi Spesimen Spesimen ikan yang cocok untuk dijadikan sebagai spesimen koleksi adalah spesimen yang masih dalam keadaan segar, tidak cacat (kondisi sirip dan sisik masih lengkap), warnanya masih cerah, serta isi perut yang belum membusuk. Oleh sebab itu, spesimen koleksi sebaiknya berasal dari ikan-ikan yang baru ditangkap, bahkan untuk ikan-ikan yang berukuran kecil lebih baik apabila masih dalam keadaan hidup agar hasil pengawetannya sempurna. Penanganan spesimen yang hati-hati dan sesuai prosedur sangat diperlukan agar kondisi spesimen tetap baik dan tidak rusak.Bagian-bagian
tubuh
yang
penting
untuk
keperluan
identifikasi, seperti kelengkapan jumlah sirip, jumlah gurat sisi, kelengkapan gigi dan insang, harus tetap dijaga kondisi dan kelengkapannya karena merupakan kunci-kunci karakter dalam mengidentifikasi jenis ikan. Bagian-bagian tubuh tersebut sangat mudah rusak walaupun sudah dalam kondisi diawetkan. Spesimen ikan dapat diperoleh melalui berbagai cara, baik pengambilan secara langsung maupun tidak langsung. Pengambilan spesimen
secara
langsung
di
lapangan
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa alat penangkap ikan. Alat tangkap yang digunakan untuk mengoleksi sampel ikan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu aktif dan pasif. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap yang pengoperasiannya dalam keadaan bergerak, baik yang digerakkan oleh mesin maupun oleh tenaga manusia. Sedangkan alat tangkap pasif merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya secara pasif atau tidak bergerak dan dipasang dalam periode waktu tertentu. 130
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Beberapa contoh alat tangkap yang dibagi berdasarkan kedua kategori tersebut disajikan pada Tabel.1.
Tabel 1. Beberapa contoh alat tangkap untuk mengoleksi spesimen ikan Alat tangkap aktif
Alat tangkap pasif
Trawl
Bubu
Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap
Jaring pantai
Bagan
Jaring lingkar
Sero
Pancing rawai Pancing tangan Jala lempar Seser
Penanganan Spesimen Spesimen yang baru ditangkap dari lapangan apabila dalam keadaan mati sebaiknya segera diproses dengan langkah-langkah berikut.Spesimen yang baru tertangkap oleh alat tangkap segera dibersihkan dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya, kemudian dimasukkan ke dalam plastik atau wadah tertentu dan diberi label. Label berisikan informasi mengenai lokasi penangkapan (sertakan posisi koordinatnya jika ada), kedalaman perairan, tipe substrat, alat tangkap yang digunakan, tanggal dan stasiun pengambilan sampel jika ada. Hindari penumpukan sampel terlalu banyak dalam satu wadah yang dapat mengakibatkan kerusakan pada spesimen, 131
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
terutama bagi spesimen yang berukuran kecil. Foto ikan dalam keadaan segar sebaiknya diambil sehingga dapat diketahui warna agar warna asli ikan sewaktu hidup walaupun ikan yang dikoleksi sudah kehilangan warna dan coraknya setelah diawetkan. Apabila posisi lapangan jauh dari tempat pemrosesan spesimen atau laboratorium, hendaknya sampel disimpan di dalam kotak pendingin yang diberi es batu agar kesegarannya tetap terjaga. Ketika spesimen telah berada di laboratorium, maka langkah
pertama
yang
harus
dilakukan
adalah
melakukan
identifikasi jenis dan pengukuran morfologi ikan, yang terdiri dari panjang total, panjang standar, panjangcagak (fork length) jikaada, dan berat ikannya.Pengukuran panjang biasanya menggunakan satuan milimeter (mm), sedangkan untuk pengukuran berat tubuh menggunakan satuan gram (gr). Sertakan informasi tambahan apabila ada ciri-ciri atau karakter khusus yang perlu disertakan untuk mempermudah pengidentifikasian. Setiap spesimen ikan diberi label yang terdiri dari nomor katalog/koleksi, nama ilmiah ikan, tanggal koleksi, lokasi penangkapan, alat yang digunakan, dan nama kolektor atau identifikator. Setelah melakukan pengukuran dan pelabelan, ikan dipersiapkan
(diset)
untuk
diambil
sampel
genetika
dan
gambarnya.Pengambilan sampel jaringan tubuh untuk genetika dilakukan dengan mengambil jaringan otot atau sirip dada yang ada di bagian sisi kanan tubuh ikan. Posisi standar untuk pengambilan gambar ikan adalah dengan meletakkan ikan dalam posisi menyamping dan menghadap ke arah kiri.Sirip-sirip ikan diatur 132
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
dalam kondisi normal dan terbuka, sedangkan mulut dalam keadaan tertutup (Gambar 6.1).
Gambar 6.1. Cara pengukuran panjang tubuh ikan (Sumber: PBC, 1997).
133
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Agar hasil gambar spesimen sempurna, letakkan ikan di atas steroform dengan posisi menghadap ke kiri. Setiap sirip ikan dikembangkan dan dibantu dengan menusukkan jarum (pin) di siripsirip keras pertama. Oleskan larutan formalin tipis-tipis pada setiap bagian sirip dengan menggunakan kuas halus agar sirip menjadi kaku.
Tunggu sekitar lima sampai sepuluh menit lalu lepaskan
jarum-jarum yang menancap di sirip-sirip tersebut. Letakkan spesimen yang telah diset di alas foto, disertai dengan alat pengukur (penggaris) dan label spesimen.
Pengambilan foto harus dalam
posisi tegak lurus. Sebaiknya gunakan tripod agar hasil foto lebih tajam dan tidak kabur.
Pengawetan Spesimen Penanganan yang tepat dan prosedur pengawetan spesimen yang benar baik di lapangan maupun di laboratorium, sangatlah penting dalam mendapatkan sebuah spesimen koleksi yang berkualitas dan tahan lama. Penanganan dan perawatan yang benar terhadap suatu spesimen koleksi dapat memperpanjang umur dan kegunaannya. Pengawetan suatu spesimen sangat tergantung dari tujuan dan manfaatnya. Suatu spesimen koleksi yang digunakan untuk jangka waktu yang lama dan dijadikan koleksi rujukan bagi jenis biota tertentu di suatu daerah, biasanya disimpan di dalam larutan alkohol 70% dan selalu diganti secara berkala. Sedangkan koleksi spesimen yang dijadikan sebagai koleksi sementara dan bertujuan untuk tetap mempertahankan warna dasar dari spesimen tersebut, maka larutan formalin merupakan pilihan yang paling tepat. 134
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Formalin merupakan larutan fiksatif yang paling umum digunakan dan tersedia hampir di seluruh daerah. Namun, penggunaan formalin sebagai pengawet secara permanen tidak dianjurkan karena sifat formalin yang asam dan sulit dalam penanganannya.Selain berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan kanker, penggunaan formalin dengan waktu yang lama pada spesimen koleksi akan merusak struktur tulang dari spesimen tersebut (proses deosifikasi).
Disarankan untuk menambahkan beberapa buah
kamper, serpihan kerang ataupun beberapa mililiter borax untuk menetralisasi larutan formalin tersebut dan membuat pH larutan menjadi normal. Prosedur yang paling tepat dalam mengawetkan spesimen ikan adalah sebagai berikut:
Siapkan wadah penyimpanan spesimen yang sesuai dengan ukuran spesimen. Spesimen ikan yang memiliki ukuran kurang dari 25 cm sangat cocok untuk disimpan dalam wadah gelas seperti toples.
Sedangkan untuk ukuran
spesimen di atas 25 cm dan memiliki bentuk tubuh yang khusus, disarankan disimpan dalam kontainer kaca yang berbentuk seperti akuarium;
Buat
larutan
Formaldehida)
formalin
10%
sebagai
bahan
(setara
dengan
pengawet
4%
spesimen.
Umumnya formalin yang dijual di pasaran memiliki konsentrasi kurang dari 100% (setara dengan 40% Formaldehida), yaitu hanya sekitar 37%. Sehingga tidak jarang apabila kita membuat larutan formalin 10% dengan 135
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
cara mencampurkan satu bagian formalin dengan sembilan bagian air, konsentrasi formalin menjadi cenderung terlalu rendah, sehingga proses pengawetan spesimen menjadi tidak sempurna. Untuk itu, dalam melakukan pengenceran larutan formalin, disarankan dengan mencampurkan satu bagian formalin pekat (yang baru dibeli di toko kimia) dengan lima bagian air. Komposisi tersebut terbukti cocok untuk spesimen koleksi di daerah tropis (Gambar 6.2);
Spesimen ikan yang telah dipersiapkan untuk dijadikan spesimen koleksi sebaiknya disuntik terlebih dahulu dengan larutan formalin pekat di bagian abdomen dan bagian tubuh lain yang relatif tebal (kepala, badan). Hal tersebut perlu dilakukan terutama bagi spesimen ikan yang relatif tebal untuk menghindari pembusukan organ bagian dalamnya;
Spesimen dimasukkan ke dalam toples atau kontainer dengan hati-hati. Posisi kepala ikan dimasukkan terlebih dahulu sehingga berada di bagian bawah toples. Sedangkan apabila
diletakkan
di
dalam
kontainer,
disesuaikan
posisinya dengan bentuk tubuh ikannya. Untuk ikan yang berbentuk pipih, sebaiknya diberi tambahan penyangga terbuat dari kaca, sedangkan untuk spesimen ikan yang berbentukgepeng (depress), dapattangsungdiletakkan di dasar kontainer. Gunakan sarung tangan karet dan masker serta kacamata sebagai prosedur keselamatan;
Masukan label yang berisi keterangan lengkap mengenai spesimen ke dalam toples. 136
Label sebaiknya dibuat dari
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
bahan yang tahan air dan bebas asam. Untuk label yang berisi nama spesimen dan nomor katalog dapat dibuat dalam kertas kecil atau kain yang diikatkan pada spesimen. Bagian luar toples atau kontainer sebaiknya juga ditempeli label yang berisi nomor botol dan nomor katalog;
Isi toples atau kontainer dengan larutan formalin yang sudah disiapkan dengan hati-hati agar tidak ada larutan formalin yang tumpah atau mengenai badan. usahakan seluruh bagian tubuh spesimen terendam oleh larutan formalin.
Apabila spesimen terlalu ringan sehingga
mengambang, masukkan secarik kain katun di bagian permukaan formalin sehingga seluruh bagian tubuh spesimen yang mengambang menjadi ikut terendam atau tertutup oleh kain yang lembab oleh larutan formalin;
Tutup bagian atas toples dengan rapat agar bau formalin tidak tercium keluar. Celah antara tutup dan toples dapat ditutup oleh selotip, lakban atau cairan lilin;
Simpan spesimen di rak koleksi sesuai dengan nomor koleksi atau nomor botolnya.
137
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Gambar 6.2. Cara membuat larutan pengawet yang ideal antara formalin dengan air (Sumber: AMNH, 2007).
Pemeliharaan Spesimen Spesimen ikan yang diawetkan dan disimpan dalam suatu koleksi rujukan di museum, instansi penelitian maupun perguruan tinggi, dapat menjadi pusat informasi dalam menjelaskan keragaman hayati perairan Indonesia dari waktu ke waktu.
Keberadaan
spesimen koleksi tersebut mungkin tidak dapat tergantikan lagi oleh spesimen baru dari jenis yang sama karena bisa jadi keberadaan jenis dari spesimen tersebut di alam telah punah karena kerusakan habitat atau faktor-faktor lainnya.
Mengingat pentingnya nilai spesimen
138
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
koleksi tersebut, maka pemeliharaan spesimen koleksi menjadi mutlak adanya. Spesimen yang akan disimpan dalam jangka waktu yang lama, hendaknya disimpan di dalam larutan alkohol (ethanol 70% atau isopropyl alkohol 50%). Untuk memindahkan spesimen dari larutan formalin ke dalam larutan alkohol diperlukan langkahlangkah sebagai berikut:
Spesimen disimpan di dalam larutan formalin setidaknya selama satu minggu (untuk spesimen kecil) hingga tiga minggu (untuk spesimen berukuran besar atau berbadan dan berkulit tebal);
Setelah spesimen menjadi awet, keluarkan spesimen dari larutan formalin dan rendam dengan air selama kurang lebih satu hari. Cara lain adalah dengan merendam spesimen dalam air dan setiap satu jam air diganti dengan yang baru hingga bau formalin hilang dari tubuh spesimen;
Cuci toples atau kontainer tempat spesimen hingga larutan formalin benar-benar hilang, kemudian tiriskan hingga kering. Masukkan spesimen yang sudah direndam air ke dalam toples atau kontainer beserta labelnya.
Beri label tambahan yang
berisikan tanggal penggantian larutan pengawet;
Isi toples atau kontainer dengan larutan alkohol hingga keseluruhan bagian tubuh spesimen terendam, tutup dan rapatkan agar alkohol tidak mudah menguap.
Periksa kadar alkohol setiap tiga bulan atau satu tahun sekali;
139
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Apabila larutan alkohol berubah warna dan menjadi keruh, segera periksa kadar alkoholnya dan ganti dengan larutan alkohol baru;
Simpan spesimen di tempat yang sejuk dan kering (minimal 20oC) serta hindari paparan langsung sinar matahari. Untuk spesimen yang berharga, sebaiknya disimpan dalam ruang gelap atau ditutup dengan kain gelap agar kondisi spesimen tetap terjaga.
Penataan Koleksi Spesimen yang disimpan di dalam ruang koleksi sebaiknya ditata dengan baik untuk memudahkan pemeliharaan. Ada beberapa cara pengaturan penyimpanan koleksi rujukan yang dapat diterapkan sesuai dengan keperluannya. Apabila spesimen ikan yang dimiliki cukup banyak dan beragam, penyimpanan dapat dilakukan dengan membuat urutan sesuai tingkatan taksanya. Sebagai contoh, spesimen dapat disimpan di dalam rak penyimpanan dan dikelompokkan
berdasarkan
sukunya.
Cara
lain
adalah
penyimpanan yang disesuaikan dengan urutan nomor botol atau nomor katalog spesimennya. Kedua cara ini lebih mudah dilakukan, namun apabila kita ingin mencari spesimen jenis tertentu, harus melihat daftar katalog atau database koleksi rujukan untuk mengetahui nomor katalog dan di bagian mana spesimen tersebut disimpan. Kunci utama dari penataan koleksi rujukan tersebut adalah adanya keteraturan dan kemudahan untuk memelihara dan mengakses spesimen koleksi yang kita miliki. 140
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Pengiriman Spesimen Spesimen koleksi yang bernilai penting dalam bidang taksonomi (khususnya spesimen tipe) kadang kala dipinjam oleh taksonom lain baik di dalam maupun luar negeri dengan tujuan melakukan eksaminasi atau pengecekan secara morfologi dan meristik untuk dibandingkan dengan spesimen yang mereka miliki. Untuk itu, prosedur pengiriman spesimen juga harus diperhatikan agar spesimen tidak menjadi rusak di dalam perjalanan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan spesimen dari dalam toples atau kontainer dengan hati-hati. Apabila spesimen masih berada di dalam larutan formalin, maka spesimen harus direndam dahulu dengan air semalaman untuk menghilangkan bekas-bekas formalinnya. Sedangkan untuk spesimen yang sudah diawetkan dalam larutan alkohol dapat langsung dipersiapkan untuk pengiriman. Siapkan kain katun (bahan kaos) yang sudah dibasahi oleh air dan diperas sehingga kondisinya menjadi lembab. Bungkus spesimen dan labelnya dengan hati-hati oleh kain tersebut, kemudian bungkus kembali dengan plastik sebanyak dua atau tiga lapis (Gambar 6.3). Rapatkan dengan menggunakan selotip atau lakban. Untuk keperluan pengiriman, bungkus kembali spesimen tadi dengan plastik bubble, masukan ke dalam kotak karton atau kardus yang seukuran dan bungkus dengan rapi. Kirimkan spesimen yang dilengkapi dengan dokumen dan surat-surat pendukung untuk keperluan pengiriman, sebaiknya meminta surat rekomendasi dari 141
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
lembaga otoritas keilmuan seperti LIPI dan bagian karantina hewan apabila dikirimkan ke luar negeri.
Gambar 6.3. Teknik pengepakan spesimen koleksi yang akan dikirimkan (Sumber AMNH, 2007).
142
Bab VI. Manajemen Koleksi Spesimen Ikan
Daftar Pustaka American National Museum of History (AMNH). 2007. Methods How To Preserve Fish Specimens for Long-Term Storage or Shipment. . http://research.amnh.org/vz/ichthyology/congo/other05.ht ml. Diakses tanggal 11 April 2013. Hart, P.J. and Reynolds, J.D. 2002. Handbook of Fish Biology and Fisheries.Vol.1, Fish Biology. Blackwell Publishing Company, USA. 390p. Lim, K.P. and Sivasothi, N. 1994. A guide to methods of preserving animal specimens in liquid preservatives.Source: http://preserve.sivasothi.com/. Diakses tanggal 11 April 2013. Nelson, J.S. 2006.Fishes of The world.4th edition. John Wiley & Sons Inc., New Jersey. 601 p. Province of British Columbia. 1997. Fish Collection Methods and Stadards. Resource Inventory Committe.http://archive.ilmb.gov.bc.ca/risc/pubs/aquatic/f ishcol/index.htm. Diakses tanggal 11 April 2013.
143
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Bab VII MANAJEMEN KOLEKSI SAMPEL KARANG BATU DAN SPONS Tri Aryono Hadi Pendahuluan Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling komplek dan mempunyai produktivitas paling tinggi di perairan. Ekosistem ini dibentuk oleh biota-biota yang mampu menghasilkan zat kapur, yang paling utama adalah karang batu (Scleractinia), dan biota-biota lainnya yang berasosiasi, salah diantaranya adalah spons (Porifera), gorgonian dan karang lunak. Kedua jenis biota tersebut mempunyai peranan dan fungsi masingmasing dalam membentuk ekosistem terumbu karang. Pada tulisan kali ini akan dibahas mengenai pengetahuan umum tentang karang batu dan spons terutama dalam penanganan untuk koleksi rujukan.
A.
Karang Batu (Scleractinia)
Struktur Karang merupakan binatang yang menyerupai anemon dan mampu
menghasilkan skeleton (Veron, 2000). Bentuknya sederhana yaitu mempunyai satu lubang yang berfungsi sebagai mulut dan anus. Lubang tersebut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Makanan masuk melalui mulut kemudian dilanjutkan ke tenggorokan dan akhirnya akan dicerna di dalam rongga mesentrium. Untuk tegaknya jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga (Suharsono, 2008). Kerangka kapur untuk tiap polip disebut koralit yang 144
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
merupakan sebuah tabung yang terdiri dari lempeng-lempeng vertikal tersusun secara radial. Tabung-tabung merupakan dinding koralit dan lempeng-lempengnya disebut sebagai septo-costae.Tabung-tabung tersebut terkoneksi satu sama lain oleh lempeng-lempeng horizontal dan struktur yang lain, secara kolektif keduanya disebut coenosteum (Veron, 2000) (Gambar 7.1).
Gambar 7.1. Struktur polip dan kerangka karang (Veron, 2000). Dinding polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektodermis, mesoglea dan endodermis/gastrodermis. Ektoderma merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel yang antara lain sel mucus dan sel
145
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
penyengat (nematocyst). Mesoglea merupakan jaringan yang di tengah berupa lapisan seperti jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril, sedangkan di lapisan luar
terdapat semacam sel
otot.
Jaringan
endodermis/gastrodermis berada di bagian dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (Suharsono, 2008). Karang juga mempunyai jaringan otot dan syaraf yang sederhana. Jaringan syaraf tersebar baik di ektodermis maupun endodermis serta mesoglea yang dikoordinasikan oleh sel junction. Sel ini bertanggung jawab memberi respon baik mekanis maupun khemis terhadap stimuli cahaya. Sedangkan Jaringan otot terdapat diantara jaringan mesoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon dari perintah syaraf. Sinyal dari jaringan ini tidak hanya di dalam satu polip, tetapi juga diteruskan ke polip yang lain (Suharsono, 2008).
Reproduksi Karang bereproduksi baik secara seksual maupun aseksual.
Koloni-koloni tumbuh dengan dua tipe pembelahan aseksual dari polip, yaitu dari satu koralit kemudian membelah menjadi dua (intratentakuler) maupun koralit baru muncul di luar dari koralit dewasa (extratentakuler). Bentuk lain dari reproduksi secara aseksual yaitu polip karang yang stres meninggalkan kerangka kapur yang ditempatiya untuk pindah ke tempat lain dengan melayang mengikuti arus kemudian menempel pada substrat dan berkembang menjadi koloni baru (polyp bailout). Beberapa karang juga membentuk tunas kecil yang berbentuk seperti koloni asli dan pada akhirnya akan terpisah membentuk koloni-koloni baru (satellite), seperti
146
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Goniopora stokessi. Untuk reproduksi secara seksual, karang mempunyai beberapa variasi. Beberapa karang bersifat hermaprodit, sedangkan lainnya mempunyai alat perkembangbiakan yang terpisah. Fertilisasi dapat terjadi secara internal maupun eksternal. Hasil dari kedua fertilisasi tersebut adalah larva (planulae) yang bersilia dan mempunyai kemampuan bertahan hidup hingga beberapa bulan sebelum akhirnya menempel di substrat untuk tumbuh menjadi individu baru (Colin & Arneson, 1995).
Sistematika Karang batu dimasukkan ke dalam phylum Cnidaria (cnida =
jelatang). Keluarga besar ini misalnya hydroid, ubur-ubur, kipas laut, pentacula, karang lunak dan anemon. Keluarga besar jelatang dalam sejarah evolusinya adalah biota-biota laut yang dapat menghasilkan kerangka kapur di dalam jaringan tubuhnya. Dalam perkembangan terakhir yang dimaksud Cnidaria adalah biota-biota penghasil kapur saja (Suharsono, 2008). Cnidaria dibagi menjadi dua kelas yaitu Hydrozoa dan Anthozoa yang merupakan biota-biota yang mempunyai skeleton dalam tubuhnya. Hydrozoa terdiri dari Millepora (mille = seribu, pora= lubang) dan Stylasterina (Style=paku, aster=bintang). Sedangkan yang termasuk dalam kelompok Anthozoa yang umum dikenal adalah Stolonifera, Ctenothecalia dan Scleractinia. Karang batu yang merupakan jenis-jenis karang penyusun terumbu dimasukkan ke dalam Scleractinia (Suharsono, 2008). Dalam sistenatika, karang batu (Scleractinia) merupakan hewan dari anggota Phylum Cnidaria, Class Anthozoa dan Ordo Scleractinia. Lebih lanjut, Karang batu terbagi ke dalam 15 famili, yaitu: Acroporidae, Agracidae, Astercoeniidae,Caryophyllidae, Dendrophyllidae, Faviidae,
147
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Fungiidae, Merulinidae, Mussidae, Oculinidae, Pectiniidae, Pocilloporidae, Poritidae, Siderastreidae dan Trachyphyllidae.
B.
Spons
Struktur Spons merupakan hewan multiseluler yang paling primitif. Hal ini
ditandai dari tidak dimilikinya jaringan maupun organ. Untuk seluruh proses fisiologisnya hanya mengandalkan pada sel-sel yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Beberapa fungsi sel-sel tersebut diantaranya adalah menyaring air untuk memperoleh makanan, membentuk skeleton dari kolagen dan mineral dan untuk reproduksi (Cheng et. al., 2008). Bagian terluar spons terdiri atas sebuah lapisan tipis dari sel-sel pinacocyte, lapisan ini disebut pinacodermis. Sedangkan sel-sel porocyte merupakan sel penyusun pori-pori kecil (ostium) yang berbentuk seperti tabung. Lapisan dalam merupakan substansi yang mirip jelly yang terbuat dari kolagen dan diperkuat oleh serat-serat fiber yang rapat. Lapisan mesohyl merupakan tempat untuk pembentukan berbagai jenis sel. Sel lophocyte di dalam mesohyl berfungsi memproduksi serat-serat kolagen. Sel oocytes atau spermatocytes berfungsi dalam reproduksi seksual. Sel sclerocytes memproduksi spikula yang akan membentuk kerangka spons dan pada beberapa spesies memberikan pertahanan melawan pemangsa. Sel archaeocyte merupakan sel yang menyerupai amoeba dan bersifat totipoten atau mampu bertransformasi menjadi tipe-tipe sel yang lain (Brusca & Brusca, 1990). Spons mempunyai sel-sel choanocyte, yang berfungsi mengatur aliran air yang masuk ke dalam tubuh spons yaitu melalui flagella yang memiliki banyak mikrovilar. Jutaan flagella ini bergerak mencambuk air di dalam kanal dengan pola yang sama. Hal ini memicu aliran air dari 148
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
luar tubuh spons masuk ke dalam. Ketika air bergerak ke dalam, mikrovilar bekerja menyaring dan mengambil makanan. Sistem aliran air yang sederhana ini juga berfungsi dalam pertukaran gas, pembuangan sisa metabolisme serta pelepasan sel sperma dan larva (Cheng et al., 2008) (Gambar 7.2).
Gambar 7.2. Struktur spons secara umum (Mather & Benneth, 1994).
Sistem aliran air Spons secara aktif memompa air masuk dan keluar dari tubuhnya
melalui perbedaan tekanan air antara di luar dan di dalam tubuh spons.
149
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Tekanan air lingkungan lebih besar daripada tekanan air di dalam tubuh spons. Hal ini memungkinkan air untuk masuk ke dalam tubuh spons. Air masuk melauli ostium dan akan dipompa ke luar tubuh spons melalui oskulum. Hal ini akan berlangsung terus menerus, namun adakalanya spons menghentikan aliran air yang masuk pada beberapa bagian tubuhnya. Hal ini untuk menghindari partikel-partikel maupun senyawa berbahaya masuk ke dalam tubuh spons (Levi et al., 1998). Spons mampu menyaring air 10 kali volume tubuhnya untuk tiap jam. Hal ini menjadikan mereka filter feeder paling efisien saat ini (Hooper, 2000). Ada tiga macam bentuk struktur tubuh spons yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Struktur asconoid adalah bentuk yang paling sederhana. Strukturnya sangat tipis tanpa lipatan tubuh dan dimiliki oleh Kelas Calcare dan sebagian kecil Demospongia. Struktur syconoid mempunyai lipatan pada kedua sisi eksterior dan interior sehingga terbentuk choanocyte chamber yang letaknya berdekatan dengan pinacoderm. Choanocyte chamber secara langsung menghadap ke arah sentral atrium. Syconoid banyak dimiliki oleh Kelas Calcarea. Leuconoid merupakan struktur yang kompleks. Struktur ini mempunyai banyak celah-celah kecil yang menuju maupun keluar dari choanocyte chamber yang berbentuk oval. Struktur leuconoid banyak dimiliki oleh sebagian besar Kelas Demospongia dan seluruh Hexatinellida (Mather & Bennet, 1994).
Reproduksi Semua spons mampu melakukan perkembangbiakan baik secara
seksual maupun aseksual. Spons umumnya bersifat hermaprodit dan mereka melepaskan sel sperma dan telur dalam waktu yang berbeda. Sel sperma akan dikeluarkan ke perairan melalui oskulum, dan peristiwa ini 150
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
tersinkronisasi dalam satu populasi atau terbatas pada individu-individu tertentu saja. Kemudian sel sperma akan ditangkap dari spesies yang sama melalui ostium sebelum akhirnya masuk ke mesohyl untuk melebur bersama sel telur. Embrio yang dihasilkan akan segera dilepaskan atau ditahan di lapisan mesohyl untuk berkembang terlebih dahulu. Embrio yang telah dilepaskan pada dasarnya adalah larva yang motile. Larva tersebut dapat menempel secara langsung pada substrat atau akan berenang untuk beberapa jam atau hari sebelum akhirnya menempel pada substrat yang sesuai. Secara umum, spons yang berada di daerah pasang surut melepaskan larva planktonic, sementara pada spons yang berada di daerah subtidal akan melepaskan larva yang mampu menempel langsung atau mampu berpindahpindah di dasar perairan untuk beberapa hari sebelum akhirnya menetap. Reproduksi secara aseksual menitik beratkan pada kemampuan dari fragment untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu baru. Selain hal itu, reproduksi aseksual juga dapat melibatkan pembentukan tunas ataupun gemmule. (Brusca & Brusca, 1990).
Sistematika Spons dimasukkan ke dalam phylum Porifera karena struktur
tubuhnya yang berpori. Saat ini spons dibagi menjadi empat kelas berdasarkan komposisi kimia dan kerangka mineralnya. Kelas Calcarea mempunyai spikula yang terbuat dari kalsium karbonat dan tersusun sebagai calcite. Elemen kerangkanya tidak dibedakan menjadi megaskleres taupun mikroskleres. Struktur tubuhnya meliputi asconoid, synconoid dan leuconoid. Semua Calcarea hidup di laut. Kelas Hexatinellida atau disebut spons gelas mempunyai spikula silikat dan pada umumnya mempunyai enam
percabangan,
tidak
mempunyai 151
serat-serat
spongin
dalam
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
kerangkanya. Semua Hexactinellida hidup di laut, dan kebanyakan mendiami laut dalam. Kelas Demospongia merupakan kelas yang paling banyak dijumpai di perairan laut, payau maupun perairan tawar, dan ditemukan di semua kedalaman perairan. Pada Kelas Demospongiae, spikula tersusun dari komponen silikat dan mempunyai jaringan kolagen (spongin) yang menyusun kerangkanya. Bentuk spikulanya dibendakan menjadi
megaskleres
dan
mikroskleres
Kelas
Homoscleromorpha
mempunyai komponen skeleton yang tersusun atas spikula silikat dan spikulanya hanya terbatas pada bentuk monaxonic dan tertraxonic. Kelas ini hanya terdiri 2 famili ( Brusca & Brusca, 1990; van Soest et. al., 2013).
Tabel 7.1. Hirarki phylum Porifera (Spons) Kingdom
Phylum
Class
Order
Animalia
Porifera
Calcarea
Baerida Lecosolenida Lithonida Clathrinida Murrayonida
Hexactinellida
Amphidiscosida Aulocalycoida Hexactinosida Lychniscosida Lyssacinosida
Demospongiae
Agelasida Astrophorida Chondrosida
152
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Demospongiae incertae sedis Dendroceratida Dictyoceratida Hadromerida Halichondrida Haplosclerida Lithistida Poecilosclerida Spirophorida Verongida Homoscleromorpha
I.
Homoscleromorphorida
TEKNIK SAMPLING A. Karang Batu Karang paling banyak ditemukan di rataan terumbu dan daerah
tubir. Pada rataan terumbu, umumnya karang dapat dijumpai pada kedalaman 50 cm dari surut terendah, sehingga teknik samplingnya relatif lebih mudah karena tidak perlu menyelam. Sedangkan di daerah tubir, perlu dilakukan penyelaman dengan peralatan SCUBA untuk mengambil sampel karang. Beberapa peralatan perlu dipersiapkan sebelum melakukan sampling. Pahat besi dan palu digunakan untuk membelah atau memotong karang. Keranjang sampel untuk mengangkut sampel karang. Kertas label dan pengaitnya untuk memberikan informasi terkait dengan sampel karang yang diambil, seperti lokasi, tanggal, kolektor, kedalaman dan nama spesies apabila langsung bisa dikenali. Kamera underwater juga sangat diperlukan untuk memotret karang yang akan dijadikan sampel, sehingga dapat 153
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
diketahui kondisi sebenarnya di habitat aslinya. Sebelum sampel diambil, pastikan untuk memotret seluruh bagian dari sampel. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi sampel di habitat asli, seperti bentuk morfologi, warna, tentakel, substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada saat pelaksanaan sampling, hal yang perlu diperhatikan adalah ukuran sampel. Apabila sampel terlalu besar, maka dipilih dari jenis yang sama dengan ukuran yang lebih kecil. Apabila terdapat karakter khusus, misalnya adanya adaptasi morfologi atau adanya penyakit, maka sampel dapat diambil secara keseluruhan. Namun apabila tidak terdapat karakter khusus dan ukurannya terlalu besar, maka perlu dilakukan pemotongan dengan menggunakan pahat untuk mengambil sebagian dari koloni sampel. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian dari biota yang diambil. Pemberian label underwater juga sebaiknya dilakukan pada saat pengambilan. Label dapat dibuat sendiri dengan menuliskan beberapa informasi seperti tanggal, lokasi, kolektor, kedalaman dan kode foto. Untuk lebih mempermudah, tanggal, lokasi dan kolektor diisi terlebih dahulu sebelum menyelam, sehingga pada saat mengambil sampel, tinggal menuliskan kedalaman dan kode foto. Pemberian nama ilmiah dapat dilakukan pada saat pengambilan sampel di bawah air jika langsung dapat dikenali, jika tidak maka diidentifikasi setelah di laboratorium. Sampel setelah diambil dari laut, segera mungkin direndam dalam air tawar. Bila memungkinkian dapat ditambah Natrium Hipoklorit untuk mempercepat proses pembusukan dari jaringan karang. Rendam selama kurang lebih satu hari agar karang mudah dibersihkan dengan hanya menyemprotkan air saja. Setelah bersih, karang kemudian dijemur selama kurang lebih satu hari sampai kering. 154
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
B. Spons Spons umumnya ditemukan mulai dari daerah intertidal hingga perairan dalam. Pengambilan sampel spons di daerah sub tidal ataupun tubir maka perlu menggunakan peralatan SCUBA. Meskipun habitatnya berbedabeda, namun dalam pengambilan sampel spons hampir semuanya menggunakan metode yang sama. Metode yang dipakai hampir sama dengan karang khususnya ukuran sampel. Apabila ukuran terlalu besar, maka sebaiknya dipilih ukuran yang lebih kecil dari spesies yang sama. Apabila ada karakter-karakter khusus (adaptasi morfologi), maka dapat diambil keseluruhan. Namun apabila tidak ada karakter khusus dan ukurannya terlalu besar, maka harus dilakukan pemotongan namun mencakup semua bagian sampel, dari bawah hingga atas. Sebelum sampel diambil, perlu dilakukan pemotretan. Hal ini untuk merekam kondisi sampel di habitat aslinya, sehingga dapat diketahui warna, bentuk morfologi dan substratnya. Sampel spons sangat cepat berubah warna, oleh sebab itu sangat diperlukan suatu foto underwater untuk memudahkan dalam proses identifikasi. Pada saat di dalam air, tepatnya saat mengambil sampel, spons yang diambil sebaiknya langsung dimasukkan ke dalam kantong plastik diikuti dengan label underwater yang dapat dibuat sendiri sebelumnya. Tempatkan satu sampel spons dalam satu kantong plastik yaitu untuk menghindari terjadinya percampuran spikula spons yang berbeda jenis. Pada saat di darat yaitu setelah mengambil sampel, sebaiknya perlu dilakukan proses preservasi awal yaitu dengan memberi alkohol 96 % ke masing-masing sampel. Namun sebelumnya, air laut yang masuk ke dalam kantong plastik perlu dibuang terlebih dahulu sehingga tidak mengencerkan alkohol yang diberi. Selanjutnya, sampel-sampel tersebut 155
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
dapat dimasukkan ke dalam container kedap udara untuk dikirim ke laboratorium.
II.
PRESERVASI Preservasi karang tidaklah begitu sukar dilakukan. Karang yang
sudah kering harus dibungkus rapih dengan plastik agar tidak mudah kotor dan berdebu. Kemudian diletakkan dalam box plastik transparan yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran karang. Label lama yang dibuat di lapangan harus diganti label baru yang berlogo institusi (Gambar 7.3a). Preservasi spons juga mudah dilakukan. Sampel spons dapat langsung dimasukkan ke dalam botol sampel kedap udara yang terbuat dari gelas atau plastik yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran sampel. Selanjutnya botol diisi dengan alkohol 96% hingga merendam seluruh bagian spons. Penggunaan botol kedap udara dimaksudkan untuk mengurangi proses penguapan yang terjadi. Label berlogo institusi dimasukkan untuk memberikan informasi sampel (Gambar 7.3b).
a
b
Gambar 7.3. a. Preservasi karang; b. Preservasi spons. Foto: T. A. Hadi.
156
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
III.
REGISTRASI DAN PENATAAN SAMPEL Agar sampel yang sudah dikoleksi tertata dengan baik, maka perlu
suatu manajemen sistem yang mampu mengelola hal tersebut. Setelah preservasi, sampel baik karang maupun spons diregistrasi ke dalam suatu log book yang mencakup nomor katalog sampel, nama ilmiah, famili, tanggal
ditemukan,
lokasi,
kolektor,
kedalaman,
orang
yang
mengidentifikasi dan tanggal identifikasi, serta catatan khusus. Untuk pemberian nomor katalog mengikuti kode dari taksa-taksa yang ada dan nomor urut registrasi. Sebagai contoh nomor katalog CC001, menandakan bahwa CC adalah “Coral Collections” dan 001 artinya nomor urut “1”. Hal ini dimaksudkan agar sampel mudah langsung diketahui dengan memanggil nomor katalognya saja.
Sampel yang sudah diregistrasi, selanjutnya ditempatkan pada rak yang disusun secara rapih berdasarkan nomor urut katalog atau famili. Hal ini untuk memudahkan dalam mencari spesimen, sehingga tidak perlu memeriksa secara keselurahan dari koleksi spesimen yang ada (Gambar 7.4). Selain itu, untuk memudahkan dalam mengetahui sejauh mana koleksi sampel yang dimiliki apakah sudah bisa mewakili keseluruhan spesies karang ataupun spons yang ada di Indonesia.
157
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
a
b
Gambar 7.4. Penempatan sampel dalam rak: a. Sampel karang; b. Sampel spons. Foto: T.A.Hadi.
Daftar Pustaka Brusca, R. C dan G. J. Brusca 1990. Invertebrates. Courier Vestford Inc, Massachusetts: 922 hal. Cheng, L. S. , N. De Voogd dan T. K. Siang 2008. A Guide to Sponge of Singapore. Science Center, Singapore: 173 hal. Colin, P. L. dan C. Arneson 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reefs Press, California: 296 hal. Hooper, J. N. A. 2000. “Spongeuide”.Guide to Sponge Collection and Identification. (http://www.qm.qld.gov.au/organisation/sections/SessileMarineI nvertebrates/spong.pdf. Accessed on 18 Juli 2009). Levi, C., P. Laboutte, G. Bargibant and J.L. Menou 1998. Sponge of The New Caledonian Lagoon. Ostrum editions, Paris: 214 hal. Mather, P. and I. Bennet 1994. A Coral Reef Handbook. Surrey Beatty and Sons Pty Limited, Australia: 263 hal. Suharsono. 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. COREMAP, Jakarta. 158
Bab VII. Manajemen Koleksi Sampel Karang Batu dan Spons
Van Soest, R.W.M, N. Boury-Esnault, J. N. A. Hooper, K. Rützler, N. J. de Voogd, B. A. de Glasby, E. Hajdu, A. B. Pisera, R. Manconi, C. Schoenberg, D. Janussen, K. R. Tabachnick, M. Klautau, B. Picton, M. Kelly, J. Vacelet, M. Dohrmann and M. C. Díaz. 2013. World Porifera Database. (http://www.marinespecies.org/porifera Accessed on 03January-2013). Veron J.E.N. 2000. Corals of the world 1st edition. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia. 463 hal.
159
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun Susi Rahmawati Pendahuluan Lamun adalah tumbuhan angiospermae (berbunga) yang mampu tumbuh dan berkembang di lingkungan laut. Adapatasi lamun terhadap lingkungan bersalinitas menurut Green dan Short (2003) dan Hemminga dan Duarte (2000) dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a.
Mampu tumbuh di bawah permukaan air laut.
b.
Berdaptasi dan bertahan pada perairan bersalinitas tinggi atau bervariasi.
c.
Sistem perakaran dan rimpang yang luas, semua jenis mejadi clonal (klon) dan tumbuhan berimpang, untuk bertahan terhadap pergerakan air (gelombang dan arus), yaitu.
d.
Mekanisme polinasi di bawah permukaan air laut.
e.
Kemampuan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya di dalam lingkungan laut. Lamun tersebar di seluruh dunia, kecuali di Antartika dengan
perkiraan luas 164.000 Km2. Di Indonesia, lamun diperkirakan tersebar seluas 30.000 Km2 yang membentuk vegetasi tunggal atau campuran. Namun dekimian, luasan total lamun diduga melebihi nilai yang sudah tercatat (Green and Short, 2003). Keanekaragaman jenis lamun di Indonesia relatif tinggi dan distribusinya melingkupi hampir seluruh wilayah pesisir (Gambar 8.1). Dari 60 jenis lamun tercatat di dunia, Indonesia memiliki 13 jenis yang meliputi 2 suku, 5 marga, dan 13 jenis (Tabel 8.1, Gambar 8.2). 160
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Gambar 8.1. Keanekaragaman dan distribusi lamun secara global. Warna hijau menunjukkan jumlah jenis per area, titik biru dan poligon menunjukkan dokumentasi kehadiran lamun (UNEPWCMC, 2005 dalam Short et al., 2007). Tabel 8.1. Suku, marga, dan jenis lamun di Indonesia. Suku Cymodoceaceae
Marga Halodule Cymodocea
Hydrocharitaceae
Enhalus Thalassia Halophila
Jenis Halodule pinifolia (Miki) Hartog Halodule uninervis (Forssk.) Boiss. Cymodocea serrulata (R.Br.) Asch. & Magnus Cymodocea rotundata Asch. & Schweinf. Syringodium isoetifolium (Asch.) Dandy Thalassodendron ciliatum (Forssk.) Hartog Enhalus acoroides (L.f.) Royle Thalassia hemprichii (Ehrenb. ex Solms) Asch. Halophila ovalis (R.Br.) Hook.f. Halophila minor (Zoll.) Hartog Halophila decipiens Ostenf. Halophila spinulosa R.Br.) Asch. Halophila sulawesii J. Kuo
161
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
(a) Halodule pinifolia
(b) Halophila sp.
(c) Enhalus acoroides
(d) Thalassodendrom ciliatum
Gambar 8.2. Beberapa jenis lamun di Indonesia. Foto: S. Rahmawati Distribusi lamun yang luas di Indonesia memungkinkan terdapatnya perbedaan karakteristik lamun yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti sedimen, nutrisi, dan arus. Lamun biasanya ditemukan di perairan yang relatif tertutup, namun di beberapa wilayah terbuka dan berenergi gelombang tinggi tercatat juga adanya padang lamun seperti di pesisir Gunungkidul, Yogyakarta dan Pameumpeuk, Garut, Jawa Barat. Dalam dunia ilmu pengetahuan, keberadaan koleksi herbarium sangat penting menurut Huisman dan Parker (2005) karena beberapa faktor, yaitu: 162
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun 1. Bersifat permanen, merupakan referensi keanekaragaman hayati, distribusi biogeografi, serta variasi struktur dan ekologi yang dapat diverifikasi. 2. Spesimen herbarium merupakan indikasi dari indentitas tumbuhan yang berdasarkan penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai rujukan jenis tumbuhan pada suatu lokasi. 3. Spesimen herbarium juga berperan sebagai acuan dalam identifikasi karena klasifikasi tumbuhan yang dinamis dan perubahan konsep yang sering terjadi akibat tersedianya bukti-bukti baru. Koleksi herbarium di Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI dimulai sejak tahun 1984. Saat ini, terdapat total 926 spesimen, 12 jenis lamun yang berasal dari hampir seluruh periaran Indonesia.
Metode koleksi herbarium Metode koleksi herbarium berikut ini umumnya mengacu pada buku How to collect and document marine plants (Huisman dan Parker, 2005). Koleksi spesimen lamun, sebaiknya bersifat kering dan disimpan bersama dengan informasi koleksi. Preparasi spesimen yang adalah tepat terlindung dari kerusakan serangga dan kerusakan fisik sehingga spesimen herbarium dapat bertahan hingga ratusan tahun.
A. Koleksi sampel di lapangan 1. Kriteria pencuplikan spesimen Spesimen lamun dapat dikoleksi dari zona intertidal dan subtidal. Koleksi spesimen di zona intertidal relatif lebih mudah dilakukan yaitu pada saat surut, sedangkan di zona subtidal pengambilan sampel dapat dilakukan dengan snorkelling atau menggunakan peralatan menyelam 163
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun SCUBA (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus). Selain itu, spesimen juga dapat dikoleksi dari serasah segar yang melayang di pantai. Spesimen
koleksi
herbarium
sebaiknya
merepresentasikan
keseluruhan populasi. Spesimen terdiri dari keseluruhan bagian tumbuhan, yaitu: daun, rimpang, akar, dan organ reproduksi (jantan dan betina), serta buah apabila tersedia). Pilih spesimen yang baik, misalnya tidak terdapat tanda aktivitas herbivori seperti gigitan ikan pada daun.
2.
Teknik Koleksi Jumlah spesimen setiap jenis dicuplik sesuai ukurannya, jenis lamun
yang berukuran kecil dicuplik sejumlah 2-3 tegakan, sedangkan yang berukuran besar cukup satu tegakan lamun. Spesimen diambil dengan menggunakan pisau selam atau sekop. Kemudian, spesimen disimpan di dalam kantong plastik berisi air laut dan diberi label (tanggal, lokasi, jenis, dan kolektor). Jangan biarkan lamun kekeringan atau kepanasan karena dapat menghilangkan warna lamun. Proses herbarium sampel lamun sebaiknya dilakukan sesegera mungkin (kurang dari 2 jam). Apabila spesimen tidak dikeringkan dengan segera, spesimen dapat dimasukan ke dalam lemari pendingin untuk mencegah dekomposisi (tidak lebih dari 2 hari) atau ditambahkan formalin/air laut 5%. Spesimen sebaiknya disimpan di tempat gelap untuk mencegah pemudaran warna. Sampel lamun dicuci dengan air tawar bersih, kemudian lamun dibersihkan dari kotoran, epifit, dan partikel sedimen dengan hati-hati. Identifikasi lamun dapat dilakukan berdasarkan bentuk hidup vegetatifnya (daun dan rimpang) sehingga memungkinkan identifikasi lamun secara langsung di lapangan. 164
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun Spesimen untuk koleksi analisis DNA dipreservasi dengan cara yang berbeda, yaitu dengan memotong bagian tumbuhan lamun (± 2 cm), selanjutnya dikeringkan dan ditambah silika gel. Spesimen dapat juga dipreservasi dalam alkohol lebih dari 90% di lemari pembeku, atau di simpan dalam lemari pendingin.
3.
Pemberian label Spesimen yang dikoleksi diberi label dengan mencantumkan nama
(singkatan/initial) dan nomor koleksi, contoh “Budi23” (Budi = nama dan 23 = nomor koleksi). Koleksi jenis lamun yang sama pada waktu dan lokasi yang sama dapat dianggap sebagai satu koleksi dan diberikan nomor yang sama. Spesimen dikoleksi kembali dengan jenis yang sama pada waktu yang berbeda diberi nomor yang baru. Spesimen jenis yang sama dikoleksi pada lokasi yang berbeda diberi nomor yang berbeda.
Tabel 8.2. Contoh pemberian nomor koleksi No label 1 2 3 4.
Lokasi Pulau Pari Pulau Pari Pulau Pari Pulau Pramuka
Waktu 01 Agustus 2013 01 Agustus 2013 10 Agustus 2013 12 Agustus 2013
Jenis Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii
Pencatatan rona lingkungan Sebuah spesimen memiliki nilai ilmiah dengan catatan yang lengkap
pada saat koleksi sehingga pencatatan rona lingkungan perlu dilakukan, seperti habitat, kedalaman, komunitas asosiasi kemudian di catat di buku lapangan dan lembar data.
165
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
5.
Lembar data lapangan Pencatatan informasi sebaiknya menggunakan lembar data karena
memiliki beberapa keunggulan seperti penyerapan informasi yang lebih banyak dan konsistensi pengumpulan data. Selain informasi utama seperti nama jenis, tanggal koleksi, dan nama kolektor, variasi morfologis, misalnya warna, tinggi, atau tahap reproduksi yang berbeda perlu dicatat sebagai informasi tambahan. Deskripsi dari habitat, kedalaman, dan komunitas asosiasi pada lokasi spesimen ditemukan, serta koordinat sangat diperlukan untuk kelengkapan informasi herbarium. Contoh lembar data adalah seperti gambar 8.3.
B.
Pengeringan dan persiapan herbarium Herbarium merupakan metode yang paling baik untuk membuat
koleksi tumbuhan laut karena bersifat permanen, efektif dan informatif dalam menampilkan data (Gambar 8.4). Hapus, diganti Presevasi yang benar dan tepat dalam pembuatan herbarium akan menghasilkan koleksi herbarium yang dapat bertahan hingga ratusan tahun. Namun, herbarium memiliki kerugian yaitu sangat sulit mengamati struktur anatomi tumbuhan karena jenis pengawetan yang kering.
166
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
Gambar 8.3. Contoh lembar data di lapangan (Huisman dan Parker, 2005)
167
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun
(a)
(b)
Sumber: Koleksi herbarium lamun, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI
Sumber : Seagrasswatch.org
(c) Sumber : Atlas of Florida vascular plants: Institute for systematic botany
Gambar 8.4. Contoh koleksi herbarium lamun. Foto: S. Rahmawati
Pembuat koleksi herbarium yang paling baik adalah pada saat sampel yang masih segar dibandingkan sampel yang sudah diawetkan. Tumbuhan laut biasanya dikeringkan pada saat basah dengan cara pengepresan di atas kertas yang kaku, misalnya karton (berukuran 42x26 cm2) atau kertas gambar A3.
168
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun Spesimen lamun diletakan di atas kertas. Lebarkan daun lamun dan akar sehingga setiap bagiannya dapat dibedakan. Beri label pada sisi kanan bagian bawah dengan informasi sbb.: 1.
Nama jenis lamun (ilmiah dan umum/lokal)
2.
Nomor katalog
3.
Lokasi koleksi dan koordinat
4.
Nama kolektor dan pengidentifikasi
5.
Tanggal koleksi
6.
Habitat
Selanjutnya, selembar kain kasa atau selembar kertas putih lainnya diletakan di atas spesimen lamun. Selanjutnya, sampel dilapisi dengan beberapa lembar kertas koran, dan kertas kardus pada kedua sisi (atas dan bawah). Selanjutnya, susun sampel menjadi suatu bundel dan ditempatkan diantara dua buku yang berat atau alat pengepres (Gambar 8.6). Spesimen dikeringkan di tempat yang kering, gelap, dan hangat minimum selama dua minggu. Kertas koran diganti setelah 2-3 hari.
(a)
(b)
Gambar 8.5. Bahan dan susunan herbarium lamun (a) dan pengepresan spesimen (b) (Huisman dan Parker, 2005). 169
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun C. Penyimpanan Koleksi herbarium disimpan di lemari yang kering, gelap, dan bebas dari hama, misalnya serangga dan tikus.
Gambar 8.6. Lemari Penyimpanan Herbarium, Ruang Referensi Koleksi, P2O LIPI . Foto: Hadiyanto
United States National Herbarium, Smithsonian Gambar 8.7. Contoh ruang penyimpanan koleksi herbarium tumbuhan laut (Krupnick, 2013) 170
Bab VIII Panduan Koleksi Herbarium Lamun D.
Pencatatan data base Koleksi
herbarium
dicatat
dalam
buku
katalog
dengan
mencantumkan nomor referensi sesuai dengan urutan pengambilan sampel. Buku katalog mengadung informasi sbb.: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nomor katalog Nomor spesimen Nama kelas Nama suku Nama jenis Lokasi Pengkoleksi
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Tanggal sampling Pengidentifikasi Tanggal identifikasi Tanggal penerimaan spesimen Keterangan habitat Catatan tambahan
Daftar Pustaka Green, E. P. & F. T. Short, 2003, World Atlas of Seagrasses, University of California Press. 310 pp. Hemminga, M. A. and C. M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambrige Universiti Press. Cambrige, UK. 298 pp. Huisman, J. dan C. Parker. 2005. How to collect and document marine plants. Western Australian Herbarium. Australia. 18 pp. Krupnick, G. 2013. 10 botanical treasures exemplify herbarium dalam Smithsonian: Nationaal Museum of Natural History. The Plant Press. http://nmnh.typepad.com/ Short, F., T. Carruthers, W. Dennison, M. Waycott. 2007. Global seagrass distribution and diversity: A bioregional model. Journal of Experimental Marine Ecology, 350: 3-20.
171
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut/ Makroalgae / Seaweed Tri Handayani
PENDAHULUAN Makroalgae atau yang lebih umum disebut sebagai rumput laut ini termasuk ke dalam golongan Thalophyta, yaitu organisme yang tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun. Seluruh bagian tubuhnya disebut sebagai thalus. Makroalgae dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu Chlorophyceae (makroalgae hijau), Phaeophyceae (makroalgae coklat) dan Rhodophyceae (makroalgae merah). Pengelompokkan makroalgae menjadi tiga kelas ini berdasarkan kandungan pigmen dominan yang terkandung di dalam thalus. Phycoeritrin dan phycosianin dominan pada makroalgae merah, fucoxantin dominan pada makroalgae coklat dan klorofil b dominan pada makroalgae hijau. Berbeda halnya dengan makroalgae coklat yang umumnya di lapangan berwarna coklat dan makroalgae hijau berwarna hijau. Di alam, makroalgae merah tidak selalu memperlihatkan warna merah, melainkan menampakkan berbagai warna lain, seperti hijau, coklat, kuning atau kadang-kadang berwarna kombinasi dari warna-warna tersebut. Untuk mengetahui bahwa, makroalgae tersebut merupakan makroalgae merah indikasinya adalah apabila makroalgae tersebut mengalami kekeringan maka warnanya akan berubah menjadi warna merah atau keungu-unguan (Atmadja & Wijaya, 1996). 172
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut Selain pengelompokkan makroalgae berdasarkan warna, ada juga pengelompokkan berdasarkan kandungan kimianya yaitu agarofit, alginofit dan karaginofit. Agarofit adalah sebutan untuk makroalgae penghasil agaragar, seperti Gracilaria, Gelidiella. Alginofit adalah sebutan untuk makroalgae penghasil alginat, seperti Sargassunm, Turbinaria. Sedangkan karaginofit adalah sebutan untuk makroalgae penghasil karaginan, seperti Eucheuma, Kappaphycus (Atmadja & Wijaya, 1996). Pengelompokkan lain adalah berdasarkan tempat menempelnya yang disebut juga sebagai bentuk hidup (life form). Dalam Zakaria et al. (2006), makroalgae dikelompokkan dalam lima kategori bentuk hidup (life form) yaitu (1) makroalgae rhizophitik/apipelik, tumbuh menancap pada substrat lumpur dan pasir, (2) makroalgae lithophitik/epilitik, hidup pada substrat batu, karang hidup dan karang mati, (3) makroalgae epipithik, tumbuh menempel pada daun, batang dan rhizoma lamun serta hidup pada makroalgae lainnya, (4) makroalgae epizoik, menempel pada cangkang moluska, tabung polikaeta dan (5) makroalgae drift (loose-lying), tumbuh melayang bebas.
CARA PENGAMBILAN SAMPEL MAKROALGAE Rumput laut atau makroalgae bentik dapat kita temukan di hampir seluruh perairan pantai Indonesia. Makroalgae di alam bebas hidup menempel pada substrat baik berupa pasir, lumpur, batu masif, karang maupun menempel pada lamun atau makroalgae yang lebih besar. Sehingga cara pengambilan sampel makroalgae di alam bebas berbeda dengan pengambilan panen rumput laut. Pengambilan contoh untuk kebutuhan taksonomi (identifikasi) memerlukan aturan-aturan khusus agar berhasil baik dalam pengawetannya sebagai material acuan. Persiapan untuk keperluan koleksi makroalgae 173
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut antara lain: pisau atau alat pemotong, alat tulis (pencil), kertas tahan air dan alas tulis), kertas tahan air, marker dan snorkel, karung waring yang dapat diikat pada bagian atasnya untuk menyimpan koleksi yang sudah terkumpul sehingga mudah membawanya, dan sepatu lapangan (Atmadja & Wijaya, 1996). Koleksi dapat dilakukan diberbagai tempat di perairan terumbu (Gambar 9.1). Biasanya dilakukan di daerah rataan terumbu (reef flat), daerah parit (moat), pinggir luar rataan (outer reef edge), di pinggir goba (lagoon) dan di padang lamun (seagrass bed). Pertumbuhan makroalgae umumnya lebih banyak terdapat di daerah bersubstrat dasar batu misalnya di daerah parit (moat) yang umumnya masih terendam walaupun pada saat surut terendah. Pengambilan sampel makroalgae dapat dilakukan dengan cara berjalan kaki di daerah paparan terumbu pada saat air surut terendah. Pada perairan yang agak dalam (2-3 meter), pengambilan sampel makroalgae dapat dilakukan dengan snorkeling, sedangkan di perairan yang dalam dilakukan dengan “scuba diving” (Atmadja & Wijaya, 1996).
Gambar 9.1. Diagramatik penampakan umum topografi terumbu (APT = air pasang tinggi, ASR = air surut rendah) (Atmadja & Wijaya, 1996). 174
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut
METODE SURVEI RUMPUT LAUT Transek merupakan metode atau alat ekologi yang dipergunakan untuk kuantifikasi kepadatan relatif dari suatu organisme dalam suatu area. Transek adalah jalur sempit melintang lahan yang akan dipelajari/ diselidiki yang bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungannya atau untuk mengetahui jenis vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Menurut Oosting (1956), menyatakan bahwa transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah bentukan atau beberapa bentukan. Transek dapat juga digunakan untuk studi altitude dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Ukuran dari transek tergantung pada beberapa kondisi. Transek pada komunitas yang kecil penarikan garis menyilang hanya beberapa meter panjangnya. Menurut English et. al (1994) terdapat beberapa metode transek yang dapat digunakan dalam menggambarkan kondisi makroalgae di suatu perairan, yaitu: 1.
Metode Transek Garis Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas makroalgae dengan melihat tutupan makroalgae, bentuk substrat (pasir, lumpur), dan keberadaan biota lain. Spesifikasi makroalgae yang dicatat adalah berupa bentuk tumbuh rumput laut (life form) dan dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat rumput laut hingga tingkat genus atau spesies. Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter, peralatan scuba, alat tulis bawah air, tas nilon, pisau untuk mengambil sampel rumput laut yang belum bisa diidentifikasi, dan 175
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut kapal. Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan makroalgae (± 15 m) sampai di daerah pantai mengikuti pola kedalaman garis kontur. Panjang transek yang digunakan disesuaikan lebar pantai yang penempatannya sejajar dengan garis pantai. Pengukuran
dilakukan
dengan
tingkat
ketelitian
mendekati centimeter. Dalam penelitian ini satu klon dianggap satu individu. Jika satu klon dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua klon atau lebih tumbuh di atas klon yang lain, maka masing-masing klon tetap dihitung sebagai klon yang terpisah. Panjang tumpang tindih klon dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis. Metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti tercantum dalam Tabel 9.1.
2.
Metode Transek Kwadrat Metode transek kuadrat digunakan untuk memantau komunitas makrobentik di suatu perairan. Pada survei makroalgae, pengamatan biasanya meliputi kondisi biologi, pertumbuhan, dan substrat dasar. Survei biasanya dimonitoring secara rutin. Pengamatan didukung dengan pengambilan underwater photo sesuai dengan ukuran kuadrat yang ditetapkan sebelumnya. Peralatan yang dibutuhkan adalah kapal kecil, peralatan scuba, tanda kuadrat 1 m x 1 m dan sudah dibagi setiap 25 cm, kaliper, GPS dan underwater camera. Data yang diperoleh dengan
176
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut metoda ini adalah persentase tutupan relatif, jumlah klon, frekuensi relatif dan keanekaragaman jenis.
Tabel 9.1. Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode transek garis. Kelebihan
Kekurangan
Akurasi data dapat diperoleh Membutuhkan tenaga peneliti dengan baik
yang banyak
Data yang diperoleh juga jauh Survei membutuhkan waktu lebih baik dan lebih banyak
yang lama
Penyahian struktur komunitas Dituntut seperti
persentase
tutupan
dalam
keahlian
peneliti
identifikasi
rumput
rumput laut, kekayaan jenis,
laut, minimal life form dan
dominasi, frekuensi kehadiran,
sebaliknya genus atau spesies
ukuran
klon
keanekaragaman disajikan
jenis
secara
dan Peneliti dapat
dituntut
sebagai
penyelam yang baik
lebih Biaya yang dibutuhkan juga
menyeluruh
relatif lebih besar
Struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan makroalgae juga dapat disajikan dengan baik
177
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut Tabel 9.2. Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode transek kwadrat. Kelebihan
Kelemahan
Data yang diperoleh lengkap Proses kerjanya lambat dan dengan
mengambar
posisi
membutuhkan
biota yang ditemukan pada kuadrat,
dengan
bantuan Peralatan yang digunakan tidak praktis dan susah bekerja pada
Sumber informasi yang bagus pemantauan
pertumbuhan, kematian
lebih
lama.
underwater photo
dalam
waktu
lokasi yang berarus
laju Metode ini cocok hanya pada tingkat
luasan perairan yang kecil Sedimen
trap
tidak
bisa
ditinggal dalam waktu lama dan tidak efektif pada daerah yang berarus
Metode yang umum digunakan dalam pengambilan data untuk makroalgae adalah metode transek kwadrat. Perkiraan visual dalam kuadrat: tempatkan kuadrat di sepanjang titik yang telah ditentukan sepanjang garis transek, estimasi dan rekam (catat) berapa persen setiap sampel yang diambil dalam frame (berukuran 1x1 M) (misalnya 75% spesies A, 25% spesies B). Kuadrat divisi juga dapat digunakan untuk memperkirakan apa yang ada di masing-masing kotak yang lebih kecil (misalnya 12 kotak spesies A, 5 kotak spesies B, 0,5 kotak spesies C, dll). Organisme yang sedikit di daerah pengambilan sampel dapat dicatat sebagai <1% atau <0,5% dari kotak. Penggunaan metode kwadrat ini membutuhkan waktu lebih lama, tetapi kita akan mendapatkan data biomassa dari makroalgae.
178
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut Metode lain yang dapat digunakan adalah photoquadrat. kita dapat membandingkan dua metode kuadrat dengan menggunakan photoquadrat: foto-foto daerah dari lokasi penelitian harus seukuran agar sesuai dengan kuadrat bingkai. Metode ini dapat digunakan pada lokasi pengambilan sampel di perairan dalam dan memungkinkan untuk dikerjakan lebih cepat. Namun dalam metode ini, kita akan mengalami kendala dalam identifikasi makroalgae dan juga kita tidak akan mendapatkan data biomassa, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh hanya berupa foto.
Cara Pengawetan Sampel Makroalgae Pengawetan makroalgae pada dasarnya hampir sama dengan pengawetan biota laut lainnya. Pengawetan makroalgae dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengawetan basah dan pengawetan kering. Pengawetan kering dapat berupa herbarium maupun makroalgae yang dikeringkan dengan sinar matahari secara langsung. Membuat awetan makroalgae kering sangat sederhana yaitu dengan cara mengeringkan dibawah cahaya matahari secara langsung maupun dengan cara dikeringkan dengan oven. Namun dedimikian, cara pengawetan contoh makroalgae untuk herbarium memerlukan beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil yang baik. Tahapan pembuatan herbarium dimulai dari pemilihan makroalgae yang akan dibuat herbarium, pemilihan kertas herbarium yang dipakai
sampai
teknik
pembuatan
herbarium.
Sedangkan
awetan
makroalgae basah dapat dilakukan dengan merendam dalam larutan pengawet yaitu alkohol maupun formalin.
179
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut Cara Pembuatan Herbarium Makroalgae Dalam membuat herbarium, diperlukan persiapan bahan dan alat yang akan dipergunakan, yaitu: presan herbarium dari kayu atau besi, kertas herbarium (kertas khusus untuk herbarium), kertas isap, kertas koran, kain kasa dan amplop atau map folio. Sampel makroalgae untuk herbarium sebaiknya digunakan sampel makroalgae yang masih baru dan segar karena memiliki daya lekat yang lebih kuat. Rumput laut yang sudah lama (lebih dari 1 hari) akan menghasilkan herbarium yang kurang baik. Hal tersebut dikarenakan makroalgae sudah layu dan agak kering sehingga akan mengurangi daya rekat makroalgae saat dipres menjadi herbarium dan hasilnya herbarium akan mudah lepas (Atmadja & Wijaya, 1996). Makroalgae yang akan dibuat herbarium harus bebas dari kotoran, sehingga sampel yang diperoleh dari perairan perlu untuk dibersihkan dari kotoran berupa lumpur dan pasir. Pembersihan kotoran ini bertujuan untuk mendapatkan herbarium yang lebih bersih, selain itu kotoran dan lumpur akan mengurangi daya rekat makroalgae sehingga herbarium yang diperoleh akan mudah lepas. Selain dibersihkan dari kotoran, harus bersih juga dari makroalgae lain yang menempel. Hal ini bertujuan untuk membuat herbarium dengan spesimen yang murni tanpa ada penempelan oleh spesies lainnya. Tahapan selanjutnya adalah penataan spesimen pada kertas herbarium. Penataan ini bertujuan untuk membuat spesimen menempel pada kertas herbarium dalam keaadaan utuh, tidak saling bertumpukan, dan morfologi thalus masih terlihat seperti aslinya. Setelah semua spesimen diatur pada kertas herbarium, herbarium siap untuk dipress. Penataan kertas herbarium sebelum dipress sangat penting. Kertas herbarium yang diatasnya telah terdapat sampel yang akan dipress, ditata dengan susunan kertas 180
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut herbarium, sampel, kain kasa, kertas isap, dan terakhir kertas koran. Penyusunan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai sampel yang akan dibuat herbarium habis. Setelah itu dilakukan pengepressan dengan alat press. Herbarium dapat dikeluarkan dari alat press minimal satu hari pengepressan atau sampai herbarium kering dan menempel pada kertas herbarium. Beberapa jenis
makroalgae
apabila
dipress sering
terjadi
penumpukan di salah satu tempat atau bagian tertentu. Hal ini disebabkan oleh percabangan yang terlalu banyak. Untuk menghindari hal ini, maka perlu dilakukan pengurangan percabangan sebalum dipress. Beberapa jenis makroalgae yang memiliki banyak percabangan antara lain: Amphiroa, Acanthophora, Laurencia, Gracilaria, Caulerpa (Atmadja & Wijaya, 1996). Herbarium yang baru dikeluarkan dari alat press sebaiknya tidak langsung disimpan, sebaiknya diangin-anginkan dahulu dengan tujuan diperoleh herbarium yang benar-benar kering. Harbarium yang masih basah akan mudah terserang jamur dan akan merusak herbarium. Herbarium yang baru diambil dari alat press juga tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Sinar matahari dapat membuat herbarium menjadi bergelombang atau mengkerut sehingga makroalgae yang telah menempel akan mudah terlepas kembali (Atmadja & Wijaya, 1996).
Cara Penyimpanan dan Perawatan Herbarium Herbarium makroalgae sebaiknya sebelum dimasukkan ke dalam amplop atau map, dimasukkan terlebuh dahulu ke dalam plastik bening tembus pandang atau ke dalam amplop kertas, kemudian disimpan di dalam rak khusus yang ditempatkan di dalam ruangan sejuk (ruangan AC). 181
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut Ruangan yang memiliki AC dapat mencegah munculnya jamur yang dapat merusak herbarium. Cara penyimpanan herbarium sebaiknya disesuaikan menurut klasifikasi dan penomoran, misalnya khusus untuk Chlorophyta (makroalgae hijau), Phaeophyta (makroalgae coklat) dan Rhodophyta (makroalgae merah) (Atmadja & Wijaya, 1996). Dengan cara penyimpanan herbarium yang teratur, baik dan aman akan mempermudah kita dalam mencarinya pada saat diperlukan (Atmadja & Wijaya, 1996). Perawatan herbarium juga harus diperhatikan, dengan tujuan herbarium yang tersimpan tetap baik dan bagus tanpa munculnya jamur maupun kerusakan fisik lainnya. Perawatan herbarium dapat dilakukan dengan membersihkan herbarium secara teratur dan dapat dilakukan juga dengan pemberian anti jamur pada tempat penyimpanan herbarium.
Cara Pembuatan Awetan Basah Makroalgae Pengawetan basah makroalgae dapat dilakukan dengan merendam sampel dalam larutan alkohol 70% atau formalin 4%. Material yang diawetkan biasanya akan berubah warna dalam jangka waktu lama. Perubahan warna ini disebabkan karena terlarutnya pigmen ke dalam pelarut seperti alkohol dan formalin. Hilangnya pigmen pada awetan basah tidak menjadi masalah besar karena warna thalus sudah dicatat pada saat koleksi. Tujuan utama pengawetan basah ini adalah untuk mempertahankan bentuk morfologinya dalam identifikasi (Atmadja & Wijaya, 1996).
Cara Penyimpanan dan Perawatan Awetan Basah Makroalgae Cara penyimpanan dan perawatan awetan basah sudah pasti berbeda dengan herbarium, namun demikian prinsipnya sama. Makroalgae 182
Bab IX Cara Koleksi dan Pengawetan Rumput Laut dimasukkan dalam botol kaca bening dan direndam dalam larutan alkohol 70% atau formalin 4%. Botol-botol tersebut ditempatkan di rak khusus di dalam ruangan dingin (ruangan AC). Cara penyimpanan awetan basah ini sama dengan herbarium, yaitu disesuaikan menurut klasifikasi dan penomoran, misalnya khusus untuk Chlorophyta (makroalgae hijau), Phaeophyta (makroalgae coklat) dan Rhodophyta (makroalgae merah). Perawatan awetan basah makroalgae dapat dilakukan dengan mengganti atau menambah alkohol 70% atau formalin 4% secara teratur, dengan tujuan sampel tidak rusak dan tetap terjaga kualitasnya.
Daftar Pustaka
Atmadja W.S. & Widjaya. 1996. Cara koleksi dan pengawetan rumput laut. Dalam: Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut di Indonesia (Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. English S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Zakaria, M.H., J.P. Bujang, R. Amit, S.A. Awing & H. Ogawa. 2006. Marine macrophyte: macroalgae species and life form from Golden Beach, Similajau National park, Bintulu, Serawak, Malaysia. Coastal marine science 30 (1): 243-246.
183
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen.
Pramudji Pendahuluan 1. Pengertian mangrove Pada awalnya, pengertian hutan mangrove dikenal hanya dikalangan ilmuwan saja, khususnya yang tertarik pada kawasan pesisir, namun saat ini sudah banyak peneliti maupun mahasiswa yang tertarik pada bidang tersebut. Allen (1973) mengetengahkan bahwa hutan mangrove dikenal sebagai coastal woodland atau hutan bakau atau rawa garaman atau “intertidal zone”. Beberapa pakar mangrove, telah mendefinisikan hutan mangrove secara berbeda-beda, namun demikian memiliki maksud yang sama. Misalnya Seanger et al. (1983), mendefinisikan hutan mangrove sebagai formasi dari tumbuhan daerah litoral yang khas di kawasan pesisir tropik dan subtropik. Snedaker (1978) memberikan pengertian bahwa hutan mangrove merupakan suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang selalu terlindung dari hempasan ombak, serta memiliki bentuk lahan pantai yang landai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove merupakan sekumpulan hutan halofil yang umumnya tumbuh pada daerah intertidal dikawasan tropik dan subtropik yang membentuk hamparan rawa yang selalu dipengaruhi oleh air pasang-surut (Moore, 1977). Sedangkan 184
menurut Tomlinson (1986)
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
mangrove adalah sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasangsurut, maupun sebagai komunitas.
Namun demikian, pada intinya
pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi pasang-surut.
2. Habitat dan Daya Adaptasi Mangrove Seperti yang disebutkan di atas, bahwa secara umum mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh aliran air tawar, serta terlindung dari pukulan ombak. Oleh karena itu, mangrove banyak tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir teluk yang dialiri sungai dan pulau-pulau kecil. Untuk mempertahankan eksistensinya, mangrove memiliki daya adaptasi physiologi yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim. Mangrove sangat cocok tumbuh pada kawasan yang terlindung dan memiliki lingkungan yang memungkinkan terjadinya endapan (sedimen), misalnya daerah muara sungai atau delta. Secara umum, mangrove dicirikan tumbuh pada substrat yang memiliki kadar garam (salinitas) dan suhu yang tinggi, kadar oksigen yang rendah, serta substrat tanah berlumpur yang mengandung sisa-sisa bahan organik.
Secara rinci tentang kemampuan tumbuhan mangrove beradaptasi terhadap lingkungan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut: a.
Adaptasi terhadap salinitas dan suhu yang tinggi: Untuk mensiasati hidup pada lingkungan dengan salinitas yang tinggi, 185
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
maka beberapa jenis mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan Sonneratia sp.), memiliki daun yang tebal dan kuat yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan garam.
Pada daun terdapat sel
khusus yang berfungsi untuk menyimpan garam, serta struktur stomata yang berfungsi untuk membantu mengurangi penguapan. b.
Adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah: Dengan kondisi hutan mangrove yang memiliki kandungan oksigen yang rendah, maka untuk memperoleh oksigen dari udara, beberapa jenis mangrove memiliki akar nafas (aerial root) dengan bentuk perakaran yang khas. Lenti sel berfungsi sebagai jalan masuknya udara yang berguna untuk persediaan dalam daun, batang maupun pada akar. Selain itu, kebutuhan oksigen juga ditopang oleh adanya lubanglubang tanah yang dibuat oleh berbagai biota, seperti kepiting, moluska dan hewan lainnya (Ewuise, 1980).
c.
Adaptasi terhadap substrat: Terkait dengan tempat tumbuhnya, jenis mangrove memiliki adapatasi morfologi dengan struktur perakaran yang unik selain berfungsi untuk memperkokoh batang, mengambil hara atau nutrien, akar tersebut juga mampu untuk menahan dan mengendapkan sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau laut, sehingga dapat membantu dalam proses pembentukan teras-teras pantai (Bird, 1977; Bird & Barson, 1979).
3. Struktur, Fungsi dan Peran Mangrove Struktur dalam ekosistem mangrove memiliki dua komponen, yakni komponen abiotik dan komponen biotik.
Komponen abiotik
terdiri dari substansi anorganik dan substansi organik. Selain itu, bagian 186
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
komponen abiotik yang juga sangat penting adalah kondisi iklim seperti hujan, suhu, serta kelembaman.
Komponen biotik, terdiri dari 3
kelompok sesuai dengan fungsinya dalam suatu ekosistem, antara lain adalah kelompok organisme produser, kelompok organisme konsumer (herbivora, karnivora, omnivora dan kelompok pemakan detritus), serta kelompok organisme dekomposer (kelompok pengurai). Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang memiliki peran dan fungsi yang sangat besar, karena secara biologis hutan mangrove ikut berperan dalam mengatur perputaran mata rantai makanan di suatu perairan. Serasah mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan menjadi habitat yang baik bagi mikroorganisme (bakteri dan fungi), sekaligus membantu dalam proses dekomposisi, dimana pada akhirnya menjadi sumber makanan bagi Amphiphoda, Mysidaceae dan pemakan detritus lainnya dan selanjutnya menjadi makanan bagi larva ikan, kepiting dan udang (Heald & Odum, 1972). Terkait dengan gugur serasah mangrove, maka perlu diketahui bahwa selama terjadi proses dekomposisi serasah mangrove akan semakin diperkaya oleh protein. Selanjutnya, dari proses dekomposisi tersebut menjadi sumber pakan dari berbagai organisme, misalnya kepiting, moluska, polychaeta, udang dan ikan. serasah mangrove tersebut,
Proses dekomposisi
menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pramudji (2001a; 2001b) di kawasan pesisir Teluk Un, Maluku Tenggara, bahwa serasah jenis Bruguiera gymnorrhiza akan terurai habis dalam waktu kurang lebih sekitar 13 bulan.
Kemudian untuk jenis
Rhizophora sp., proses dekomposisinya memerlukan waktu sekitar 12 187
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
bulan (Pramudji, 2003). Sedangkan untuk jenis Avicennia officinalis, penguraiannya membutuhkan waktu sekitar 8 bulan (Wafar et al., 1999 ). Perbedaan laju dekomposisi tersebut adalah berkaitan dengan kandungan unsur nitrogen dan karbon dalam serasah mangrove. Semakin tinggi kandungan karbonnya, maka proses dekomposisi serasah mangrove akan semakin lama. Selain itu, perbedaan laju penguraian serasah mangrove tersebut, juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain, oksigen terlarut, pH tanah, kehadiran mikroorganisme, pasang-surut, lama penggenangan dan kadar garam atau salinitas air. Berdasarkan aspek ekologinya, hutan mangrove memiliki peranan dan fungsi yang cukup penting, baik terhadap fauna maupun ekosistem kawasan pesisir secara luas,
antara lain adalah sebagai
sumber nutrisi, karena didalamnya terjadi proses biologi yang dimanfaatkan oleh biota laut. Odum (1971), menyebutkan bahwa serasah mangrove yang jatuh di lantai hutan menghasilkan antara 35-60% unsur hara yang terlarut pada ekosistem mangrove. Mangrove juga dapat berperan sebagai tempat memijah, pembesaran, mencari makan, tempat berlindung dan habitat dari berbagai biota laut. Demikian juga apabila dilihat dari aspek ekonomi, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir yang berdomisili disekitar hutan mangrove.
Peran hutan mangrove tersebut antara lain adalah
sebagai penyedia keperluan rumah tangga, misalnya sebagai kayu bangunan, kayu bakar dan arang; Sebagai areal untuk budidaya atau pertambakan udang dan ikan; Sebagai bahan keperluan industri, misalnya sebagai bahan baku kertas, bahan baku penyamak kulit dan 188
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
juga sebagai bahan baku kayu lapis; Sebagai tempat penghasil bibit ikan, udang, kepiting dan kerang; dan Sebagai daerah ekowisata (ecotourism), lokasi pendidikan bagi pelajar, mahasiswa maupun sebagai tempat penelitian.
4. Jenis Tumbuhan Mangrove Sejauh ini, di Indonesia tercatat setidaknya 203 jenis tumbuhan mangrove yang melipuri 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 2 jenis paku. Dari 203 jenis tersebut, 43 jenis ditemukan sebagai magrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain yang ditemukan disekitar mangrove dikenal sebagai jenis mangrove yang hidup berasosiasi dengan mangrove (asociate mangrove). Di seluruh dunia, Saenger, et al. (1983) mencatat sebanyak 60 jenis tumbuhan mengrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang paling tinggi. Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis mangrove antara satu pulau degan pulau lainnya. Dari 203 jenis tumbuhan mangrove yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda Kecil. Jenis tumbuhan mangrove yang sering ditemukan diberbagai tempat di Indonesia termasuk dalam kelompok sebagai berikut (Noor, dkk.1999):
189
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Mangrove Sejati (true mangrove). 1.
Suku Acanthaceae meliputi marga Acanthus.
2.
Suku Areceae meliputi marga Nypa.
3.
Suku Asclepiadaceae meliptui marga Gymnanthera, Sarcolobus.
4.
Suku Euphorbiaceae meliputi marga Excoecaria.
5.
Suku Bombacaceae meliputi marga Camptostemon.
6.
Suku Combretaceae meliputi marga Lumnitzera.
7.
Suku Pteridaceae meliputi marga Acrostichum.
8.
Suku Lythraceae meliputi marga Phempis.
9.
Suku Meliaceae meliputi marga Xylocarpus.
10. Suku Myrtaceae meliputi marga Osbornia. 11. Suku Myrsinaceae meliputi marga Aegiceras. 12. Suku Rhizophoraceae meliputi marga Rhiziphora, Bruguiera, Ceriops dan Kandelia. 13. Suku Rubiaceae meliputi marga Scyphiphora. 14. Suku Sonneratiaceae meliputi marga Sonneratia. 15. Suku Sterculiaceae meliputi marga Heritiera. 16. Suku Verbenaceae (Avicenniaceae) meliputi marga Avicennia.
Tumbuhan yang Berasosiasi Dengan Mangrove (asociate mangrove). 1.
Suku Aizoaceae meliputi marga Sesuvium.
2.
Suku Asclepiadaceae meliputi marga Calotropis.
3.
Suku Apocynaceae meliputi marga Cerbera.
4.
Suku Asteraceae meliputi marga Wedelia. 190
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
5.
Suku Clusiaceae meliputi marga Calophyllum.
6.
Suku Combretaceae meliputi marga Terminalia.
7.
Suku Convolvulaceae meliputi marga Ipomoea.
8.
Suku Euphorbiaceae meliputi marga Ricinus.
9.
Suku Fabaceae meliputi marga Derris, Pongamia.
10. Suku Goodeniaceae meliputi marga Scaevola. 11. Suku Lecythidaceae meliputi marga Barringtonia. 12. Suku Malvaceae meliputi marga Hibiscus, Thespesia. 13. Suku Melastomataceae meliputi marga Melastoma. 14. Suku Pandanaceae meliputi marga Pandanus. 15. Suku Passifloraceae melipuri marga Passiflora. 16. Suku Rubiaceae meliputi marga Morinda. 17. Suku Verbenaceae meliputi marga Stachytarpheta. 5. Sistematika a. Karakterisasi Tumbuhan
mangrove
memiliki
keanekaragaman
jenis
tumbuhan yang tinggi serta memilki habitus pohon dan perdu, sehingga dalam penyusunan kunci perlu kita batasi dan perlu prioritas sesuai dengan jenis yang ditemukan (Pramudji & Suhardjono, 2008). Pada umumnya penyusunan kunci identifikasi di hutan mangrove diutamakan jenis-jenis pohon. Jenis-jenis pohon tumbuhan mangrove memiliki ciri yang dapat membantu dalam
identifikasi jenis, antara lain sebagai
berikut:
191
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Habitus -
Pohon meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera, Ceriops,
Excoecaria,
Heritiera,
Lumnitzera,
Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Xylocarpus, Barringtonia, Calophyllum, Cerbera, Hibiscus, Pandanus, Pongamia, Terminalia, Thespesia. -
Perdu
meliputi
marga
Aegiceras,
Avicennia,
Ceriops,
Lumnitzera, Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, Calotropis, Clerodendrum, Hibiscus, Scaevola, Vitex. Sistem Perakaran -
Akar tunjang (still root) ditemukan pada marga Rhizophora.
-
Akar lutut (knee roots) ditemukan pada marga Bruguiera, Ceriops.
-
Akar
nafas
(pneumatophores)
ditemukan
pada
marga
Avicennia, Lumnitzera, Sonneratia. -
Akar papan (plank roots) ditemukan pada marga Xylocarpus.
-
Banir (buttress) ditemukan pada marga Bruguiera, Ceriops, Heritiera, Lumnitzera, Xylocarpus.
Komposisi Daun -
Tunggal meliputi marga Aegiceras, Avicennia, Bruguiera, Ceriops,
Excoecaria,
Heritiera,
Lumnitzera,
Osbornia,
Pemphis, Rhizophora, Scyphiphora, Sonneratia, Barringtonia, Calophyllum,
Cerbera,
Hibiscus,
Terminalia, Thespesia. -
Majemuk meliputi marga Xylocarpus. 192
Pandanus,
Pongamia,
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
b. Klasifikasi Berdasarkan buku Hsuan Keng 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore University Press 437 Halaman, kebanyakan tumbuhan mangrove masuk dalam: Divisio Sub Divisio Classis Order Family
: Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Myrtales : Rhizophoraceae Combretaceae Myrtaceae Lecythidaceae Lythraceae Melastomataceae
Divisio Sub Divisio Classis Order Family
: Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Palmales : Arecaceae/Palmae
c. Contoh Kunci Identifikasi Identifikasi jenis tumbuhan adalah suatu kegiatan untuk penentuan nama yang benar dari suatu jenis dan penempatannya dalam sistem
klasifikasi
tumbuhan
(Pramudji
&
Suhardjono,
2008).
Identifikasi dengan bantuan kunci dilakukan secara bertahap, yaitu dari Divisi, Clasisi, Subclasisi, Familia, Genus dan Species.
Kunci
identifikasi sering dikenal dengan kunci dikotom yang pada prinsipnya terdiri dari sederet bait atau penuntun.
193
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
1a. Tumbuhan paku-pakuan, berspora............................... Achostichum 1b. Tumbuhan berbiji .......................................................................... 2 2a. Biji berkeping satu, batang seperti palm, pendek..................... Nypa 2b. Biji berkeping dua .......................................................................... 3 3a. Daun majemuk menyirip ............................................................... 4 3b. Daun tunggal.................................................................................. 7 4a. Buah besar, memiliki diameter 10-25 cm, batang umumnya berlubang .................................................................... Xylocarpus 4b. Buah kecil, diameter kurang dari 10 cm....................................... 5 5a. Bunga kupu-kupu, buah polong ........................................... Derris 5b. Bunga berbentu lain ....................................................................... 6 6a. Bunga majemuk di ketiak daun atau batang, buah polong, memiliki stamen 10 atau lebih ........................................................... Cynometra 6b. Bunga majemuk, posisi di ujung,besar, memanjang (30-70 mm), stamen 4.......................................................................... Dolichandrone 7a. Batang bergetah............................................................................ 8 7b. Batang tidak bergetah................................................................... 9 8a. Bunga biseksual .............................................................. Cerbera 8b. Bunga uniseksual ....................................................... Excoecaria 9a. Daun duduk (sessilis), bulat telur terbalik, lanset, ujung dan pangkal membulat, tepi rata, buah persegi empat, warna coklat ............... ................................................................................... Baringtonia 9b. Daun bertangkai, susunan bervariasi......................................... 10 10a. Daun berhadapan (oposite) ...................................................... 11 10b. Daun tersebar atau alternate ..................................................... 17 11a. Daun bergifgi dan berduri, bunga zigomorf ................ Acanthus 11b. Daun tidak bergigi, bunga aktinomorf ..................................... 12 194
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
12a. Tumbuhan dengan akar nafas, permukaan daun berwarna seperti perak ........................................................................................ 13 12b. Tumbuhan dengan akar banir, akar lutut, permukaan daun tidak perak ........................................................................................ 14 13a. Permukaan bawah daun berwarna perak, abu-abu atau coklat, bunga kecil, ungu kekuningan, buah kapsul, ablique ...............Avicennia 13b. Permukaan bawah tidak berwarna perak, bunga warna merah, bunga beryy, globosa ................................................. Sonneratia 14a. Buah berdiameter lebih kecil 1 cm, daun dengan kelenjar minyak berupa titik .......................................................................Osbornea 14b. Buah berdiameter 1 cm atau lebih, daun tidak berkelenjar ..... 15 15a. Buah turbinate aau corong, akar papan atau lutut, memiliki tajuk kelopak 8-15................................................................. Bruguiera 15b. Buah berbentuk peer, tajuk berkelopak 4-5 ........................... 16 16a. Kelopak bertaju 4, hipokotil tebal, silindris, tinggi akar 1 m, permukaan bawah daun berbintik coklat .................. Rhizophora 16b. Kelopak bertaju 5, hipokotil langsing, akar jangkar dekat batang, tinggi maksimum 12 m, jumlah benang sari 10, permukaan bawah daun tidak berbintik ........................................................ Ceriops 17a. Susunan bunga panikel/malai, panjang 18 cm, daun bungan bersisik, obovate, eleptik (10 - 31) x (5-15) cm ..................................................... Heritiera 17b. Susunan bunga payung, bulir, daun dan bunga tidak bersisik.................................................................................... 18 18a. Buah melengkung seperti pisang, bunga payung, daun obovate.......................................................................... Aegiceras 18b. Buah langsing, daun obovate-elips ........................... Lumnitzera
195
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
6. Metode Koleksi a. Metode aktif Dalam bidang taksonomi, koleksi spesimen merupakan langkah yang paling awal.
Beberapa metode koleksi spesimen yang lazim
digunakan selama ini adalah metode aktif dan metode pasif, namun untuk spesimen tumbuh-tumbuhan tidak menggunakan metode pasif (Pramudji & Suhardjono, 2008). Metode aktif biasanya digunakan untuk mengkoleksi spesimen yang sifatnya non-mobil atau statis, contohnya adalah koleksi tumbuh-tumbuhan. Inventarisasi atau koleksi jenis tumbuhan mangrove biasanya dilakukan dengan bebas, yakni menyusur seluruh hutan mangrove mulai dari garis pantai hingga ke perbatasan antara hutan manrove dengan hutan darat. Area untuk koleksi spesimen tersebut diupayakan seluas mungkin, sesuai dengan kemampuan si kolektor. Pengambilan contoh tumbuhan mangrove dilakukan secara aktif dengan mengambil seluruh tumbuhan secara lengkap, yakni termasuk daun, bunga dan buahnya. Contoh yang berbuah biasanya tidak bergitu bernilai bila dibandingkan dengan contoh-contoh yang sedang berbunga, karena lebih sulit mengenalnya. Moto yang perlu dipahami adalah “ lebih baik mengumpulkan sedikit, tapi lengkap daripada mengumpulkan banyak tapi tidak lengkap” Satu hal yang perlu dicamkan dalam koleksi adalah tidak boleh mencampur-baurkan contoh-contoh atau bagianbagian dari beberapa tumbuhan yang berlainan, atau yang diambil dari tempat yang berbeda atau yang dikumpulkan pada hari yang berlainan. Dalam beberapa kelompok tumbuhan, untuk mengenalnya perlu diketahui ciri khas dari struktur tumbuhan tersebut. Daftar bagian-bagian 196
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
tumbuhan yang diperlukan untuk dapat mengenalinya, antara lain sebagai berikut :
Acanthaceae: Bunga-bunganya cepat layu setelah dipetik, buah-buahnya penting.
Arecaceae/Palmae (yang tegak): satu susunan daun lengkap dengan pelepah; pelepah dari inflorescense, bunga-bunga dan bauh-buah serta sketsa untuk kelopak bunganya, permukaan batang dan catatan perkiraan ukurannya penting (yang menjalar): ujung batang beserta 2 buku-bukunya dan daun lengkap dengan pelepah serta flagellumnya; juga buah penting. Struktur inflorescens sangat penting. Kalau catatan lengkap tentang struktur sudah dibuat, bahan-bahan dapat dipotongpotong dan dibentuk dalam ukuran lebih kecil.
Asclepiadaceae: contoh yang sedang berbuah tidak berguna.
Convolvulaceae: buah-buah yang masak penting.
Euphorbiaceae: tumbuhan berumah dua; yang dikehendaki adalah contoh contoh dengan buah-buah yang masak.
Fabaceae/Leguminosae: bunga dan bila mungkin buah kacang-kacangannya.
Loranthaceae: tumbuhan yang sedang berbuah dan yang mandul biasanya tidak berguna; tumbuhan induknya perlu perlu dicatat.
Malvaceae: contoh yang sedang berbuah sangat penting.
197
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Melastomataceae: contoh yang mandul tidak berguna; diperlukan contoh-contoh yang sedang berbuah.
Meliaceae: contoh yang mandul tidak berguna.
Myrsinaceae: contoh yang sedang berbuah dan yang mandul tidak berguna.
Myrtaceae: buahnya penting, contoh yang mandul tidak berguna.
Pandanaceae: Tumbuhan berumah dua, buah yang masak lebih penting daripada bunganya; sketsa bentuk tumbuh; lebar batang dan ujung daunnya juga penting.
Pteridophyta: contoh yang subur (pembawa spora) penting dan daun-daunnya sebaiknya jangan dipisahkan dari rangkaian akarakarnya; daun-daunnya dimorphous; bagi tumbuhanpakupakuan diperlukan sekali tangkai daunnya yang lengkap.
Rubiaceae: bahan yang mandul biasanya tidak berguna; contoh-contoh yang sedang berbuah sangat penting.
b. Keterangan lapangan yang penting adalah: Morfologi : tinggi dan diameter, bagian-bagian dalam tanah, ujud hidup, warna bunga dan buah, dimensi bagian-bagian berdaging, bau bunga-bunga, rasa buah dan cairan sari buahnya, atau hal-hal lain yang akan hilang setelah tumbuhan dikeringkan. Manfaat setempat: misalnya umbi, buah atau tunas dapat dimakan, tumbuhan sebagai makanan ternak, tumbuhan sebagai 198
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
ramuan obat-obatan, atau manfaat lain sebagai pencegah erosi, dsb. Nama setempat: cantumkan pula dalam catatatan anda: bahasa atau logat setempat, kadang-kadang nama daerah hanya dikenal di daerah yang bersangkutan saja dan tidak bernilai ilmiah. Habitat: tempat tumbuh, misalnya ditepi sungai, tepi kolam, dilapangan yang tidak terpelihara, di tempat-tempat berlumpur, di tempat teduh atau terpat terbuka; jenis vegetasi yang terbanyak terdapat disekitranya dan jenis tanah, bila anda kenal betul sebaiknya dicatat. Altitude: tinggi letak dari permukaan laut. Lokasi:
Sebutkan dengan tepat provinsi, distrik, atau desa mana anda temukan tumbuhan tersebut, misalnya di Lereng Gunung Gede 2 Km sebelah timur Cibodas. Lokasi itu harus dengan mudah dapat ditentukan dalam peta dunia. Koordinasi pada garis lintang dan garis bujur juga berguna dicatat.
Tanggal koleksi: kapan tanggal koleksi dilakukan Nama pengeumpul: (Kolektor). Nomor koleksi: setiap tumbuhan yang dikumpulkan harus diberi nomor urut.
Setiap Kolektor (Pengumpul) hanya boleh
memakai satu seri (urutan) nomor saja; jangan sesekali memakai nomor yang sama untuk beberapa tumbuhan yang berbeda-beda, setiap nomor hanya dipakai satu kali saja. Berilah contohnya 199
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
c. Prosesing Spesimen 1. Cara mengawetkan tumbuhan Perlengkapan yang diperlukan adalah koran-koran tua, karton bergelombang (dapat diperoleh dari potongan berkas kotak karton) dan penekan herbarium (press) dari anyaman bambu atau kayu. Contohcontoh yang sudah diberi nomor diletakkan dalam lipatan koran. Lipatan koran disusun menjadi sebuah susunan, di antara dua lipatan koran diletakkan sehelai karton bergelombang. Susunan tadi dijepit di antara sepasang penekan herbarium (press) lalu diikat dengan tali atau kawat. Kemudian susunan tersebut dikeringkan dalam oven pengering atau dalam panas matahari. Kertas-kertas koran harus diganti dengan teratur agar pengeringan lebih cepat; kertas koran dipakai sebagai penyerap cairan.
Dalam sebuah perjalanan yang pendek kita dapat
membawa koran, karton, dan press ke lapangan. Persiapan- persaiapan dapat dilakukan setempat (di lapangan) dan pengeringan dilakukan dalam laboratorium atau tempat lain yang mempunyai sarana untuk itu. Bila perjalanan yang akan ditempuh cukup panjang (lebih dari satu minggu) dan di lapangan tidak ada saran untuk mengeringkan atau cuaca sangat basah, metode seperti tersebut di atas kurang tepat. Kalau contoh-contoh disimpan begitu saja dalam lipatan koran tanpa dikeringkan, contoh-contoh itu cepat membusuk, berjamur dan rusak. Untuk menghindari hal tersebut digunakan metoda basah, yang lebih menguntungkan dalam keadaan seperti diterangkan tadi. Perlengkapan untuk metoda basah adalah : kontong-kantong plastik besar, kertas koran, tali dan ethyl alkohol 96%. Contoh-contoh yang telah diberi nomor dibungkus dengan kertas koran lalu diikat 200
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
dengan tali.
Bungkusan-bungkusan ini diletakkan di dalam sebuah
kantong palstik yang besar, kemudian alkohol dituangkan ke dalam kantong plastik tadi sehingga bungkusan-bungkusan di dalamnya basah semua. Kantong-kantong plastik yang sudah penuh harus ditutup baikbaik serapat mungkin. Contoh-contoh tumbuhan yang disimpan dengan cari ini tidak cepat menjadi busuk, berjamur dan rusak dan tahan sampai kira-kira lebih dari 1 bulan. Persiapan contoh-contoh herbarium dan pengeringan dikerjakan di dalam laboratorium setelah perjalanan koleksi selesai. 2. Keuntungan Metoda Basah: menghemat waktu; bersih dan cepat
contoh-contoh aman, terutama bila harus sering dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain
contoh-contoh dapat dibongkar dan dikeringkan dengan cermat di laboratorium; contoh-contoh yang masih basah, misalnya bunga, buah atau bagian tumbuhan yang lain dapat selanjutnya diawetkan dalam cairan
alkohol segera mematikan contoh tumbuhan dan membuatnya tetap utuh. Metoda kering seperti yang diuraikan sebelumnya menyebabkan daun-daun, tunas-tunas dan bunga-bunga gugur, seperti pada Santalaceae, beberapa Euphorbiaceae, Araliaceae dan Leguminosae/Fabaceae.
Pengeringan contoh-contoh tumbuhan dapat dilakukan dalam oven dengan bahan bakar listrik, arang, minyak tanah atau gas. Pengeringan 201
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
perlahan-lahan menghasilkan contoh herbarium yang lebih baik daripada pengeringan yang terlalu cepat.
Daftar Pustaka Allen, J.R.L. 1973. Physical processes of sedimentation. Earth Science Series 1. George Allen and Unwin Ltd., London. 248 hal. Bird, E.C.F. 1972.
Mangrove and coastal morphology in North
Queensland. Journal Trop. Geogr. 32: 32-16. Bird, E.C.F. and M.M. Barson. 1982. Stability of mangrove system In: Mangrove ecosystem in Australia: Structure, function and management. Proc. Aust. Mangrove Workshop. 265274. Coulter, D. F and W. G. Allaway. 1979. Litter fall and decomposition in mangrove stand Avicennia maria (Forsh) Vierh in Middle Harbour, Sydney. Austr. J. Mar. Fresh. Res. 30: 27-37. Dorenbosch, M. 2006. Conectivity between fish assemblages of seagrass beds, mangroves and coral reefs evidence from the Carribean and the western Indian Ocean. Published by the university Library, Radboud University Nijmegen, The Netherlands. pp 216. Ewuise, J.Y. 1980. Specialized ecosystem within the tropical forest and along the sea coast. Element of Tropical Ecology : 155166.
202
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Heald, E.J. and W.E. Odum 1972.
The contribituon of mangrove
swamps to Florida fisheries. In: Gulf and Caribian fisheries Institute Proceedings, 22nd. Sess.: 130-135 Kasri, A. 1982.
Pengelolaan hutan DAS Rokan – hutan mangrove
Kabupaten Bengkalis dan kemunduran perikanan di Bagansiapi-api dan sekitarnya.
Dalam: Proseding
Seminar II Ekosistm mangrove, Baturaden: 41-49. Martosubroto, P. and N. Naamin 1977. Relationship between tidal forest (mangrove) and commercial shrimp production in Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18: 81-86. Martosubroto, P. and Sudradjat. 1974. Study on some ecological aspects and fisheries of Segara Anakan in Indonesia. Fish. Res. Inst. LPPL 1/73: 63-74. Moore, W.G. 1977. A dictionary of geography.
Penguin Book,
Hardmonds-worth. 246 hal. Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. 3rd edn. W.B. Sounders, Philadelphia, Pennsylvania USA. Pramudji 2001a. Produktivitas dan dekomposisi serasah Bruguiera gymnorrhyza (L.) Lamk. di pesisir Teluk Un, Tual, Maluku Tenggara. TORANI, Vol. 1 (11): 32-38. Pramudji. 2001b. Potensi dan produktivitas hutan mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Propinsi Maluku. Perairan dan Pantai Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta Vol 6 (2): 9-18.
203
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Pramudji 2003.
Studi produktivitas dan laju dekomposisi serasah
mangrove di pesisir Pelita Jaya, Piru, Seram Barat. TORANI, Vol 13, No. 2: 95-101. Pramudji dan Suhardjono. 2008. Pelatihan Taksonomi Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta (tidak diterbitkan). Seanger, P., E.J. Hegerl and J.D.S. Davie. 1983.
Global status of
mangrove ecosystems. IUCN Commision on Ecology Papers No. 3. pp 88. Snedaker, S. C. 1978.
Mangrove: Their values and perpetuation.
National Resources 14: 6-80. Sukardjo. S. 1999. Mangrove untuk pembangunan nasional – Dalil siap pakai. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 97 hal. Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press, Cambridge, UK. 419 hal. Trorhaug, A. and C.B. Austin 1986.
Restoration of seagrass with
economic analysis. Envir. Conserv. 3 (4) : 259-267. Wafar, S., A.G. Untawale and M. Wafar. 1977. Litter fall and energy flux in a mangrove ecosystem. Estuarine, Coastal and Shelf Science 44: 111-124.
204
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Lampiran gambar Mangrove. Foto: Pramudji
Acanthus ilicifolius L. Family: Acanthaceae
Acrostichum aureum Linn. Family: Pteridaceae
205
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Family: Myrsinaceae
Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Family: Aviceniaceae Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk
Bruguiera sexangula
206
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Marga: Rhizophoraceae
Bunga
Excoecaria agallocha L. Marga: Euphorbiaceaerga
: Sterculiaceae
Heritiera littoralis Dryand. Ex W. Ait. Family : Sterculliaceae
207
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
208
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Lumnitzera littorea (Jack) Voigt Marga: Combretaceae
Nypa fruticans (Turb.) Wurb. Marga: Palmae
Pemphis acidula Forst. Marga: Lythraceae
209
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Rhizophora apiculata BL. Marga : Rhizophoraceae
Rhizophora mucronata Griff. Marga: Rhizophoraceae
210
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth. Family: Rubiaceae
Sonneratia alba J.E. Smith Marga: Sonneratiaceae
211
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Sonneratia casiolaris (L.) Engl. Marga : Sonneratiaceae
Xylocarpus moluccensis. Family: Meliaceae
212
Bab X Pengertian Mangrove Dan Pegangan Koleksi Spesimen
Daun Hibiscus tiliaceus L. Marga: Malvaceae
Daun dan kuncup bunga
Ipomea pes-caprae (L.) Sweet Marga: Convolvulaceae
213