Oseana Majalah Volume XXXIX
llmiah
Semi
Nomor 3
Populer Tahun 2014
Pemimpin Redaksi Pramudji Redaksi Pelaksana Fahmi Anggota Rianta Pratiwi Ricky Rositasari Hendra F. Sihaloho Sekretariat Kasih Anggraini Eka Sepriana Alamat Redaksi Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Kompleks Bina Samudera Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telepon 64713850 (5 saluran) Fax64711948 E-mail : redaksi
[email protected]
Tujuan
Keterangan
Memberikan informasi kepada masyarakat
Redaksi menerima sumbangan karangan yang
yang berminat terhadap oseanologi yang
berhubungan
dengan
ilmu
kelautan
meliputi kegiatan, perkembangan serta hasil-
(oseanografi fisika dan kimia, geologi laut,
hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah
biologi laut, dan lain-lain) dan bersifat ilmiah
Indonesia khususnya di bidang kelautan. Di
semi populer. Redaksi juga menerima tulisan-
samping itu juga merupakan salah satu usaha
tulisan dari ahli/penulis di luar Pusat Penelitian
menggalakkan stat peneliti untuk menulis
Oseanograft-LIPI.
karangan ilmiah semi populer.
Gambar sampul depan: Rumput Laut jenis Dictyota dichotoma Foto oleh Agus Budianto
PUSPITASARI. "Lamun Sebagalollift-t~llik~ Kont!lnirum Logarn" .............................................................. .
1
SEPTRIONO HARI NUGROHO. "Karakteristik Umum Polen Dan Sjx>ra Serta Aplikasinya". ........... .. .. .. ..................
7
TRI HANDAYANI. "Penggunaan Tembakan Partikel Pada Transformasi Genetik". .......................... .................. ......... ......
21
ACHMAD KADI. "Rumput Laut Sebagai Produk Alam Dari Perairan Indonesia". ..... ... ......................... .. .....................
31
JOKO TRI WffiOWO. "Perkembangan Penemuan Bahan Baku Obat Dari Sumber Daya Hayati Laut' ........................ ··.:
41
is Referensi Artikel
51
Surat Izin Terbit Desember 1974 048/Khs/Dit.PP/II.la T
Oseana, Volume XXXIX, Nomor 3, Tahun 2014: 7- 19
ISSN 0216-1877
KARAKTERISTIK UMUM POLEN DAN SPORA SERTAAPLIKASINYA Oleh Septriono Hari Nugroho 1) ABSTRACT
GENERAL CHARACERISTICS OF POLEN GRAINS AND SPORES AND ITS APPLICATION. Pollen grains and spores are an object which studied in palynology. Pollen is produced by seed plants which include gymnosperms and angiosperms. Pollen grains are male reproductive organ of seed plants. Meanwhile, spore is produced by cryptograms which include ferns and Mosses. Cryptogram spores being a resting and dispersal phase in gametophyte. In the study ofpollen grains and spores, the complexity of their structure and patterning has necessitated a specific terminology. The main characters of pollen and spores are unit, shape, aperture, and sculpture. They are an important and valuable iriformation in palynology, so their applications relates to other knowledge such as geochronology, biostratigraphy, climate change, migration, flora evolution, stratigraphy, paleoecology, paleoclimatology and archeology. Acritarch, Rhodofita dan Cyanobakteria) (Tyson, 1955). Morley (1990) mengungkapkan bahwa berdasarkan klasifikasi mikrofosil, polen, spora dan dinoflagelata merupakan palinomorf asa1 tumbuhan yang berdinding organik, sedangkan foraminifera berasal dari hewan yang berdinding karbonatan dan organik. Palinologi mempelajari palinomorfbaik yang masih hidup (actuopalynology) maupun yang sudah da1am bentuk fosi1 (paleopalynology) (Traverse, 1988; Morley 1990). Actuopalynology biasa dipelajari oleh ahli biologi yang mengunakan polen modern (sekarang) yang berasal dari bunga segar, sedangkan paleopalynology dipelajari oleh ahli geologi dengan menggunakan fosil polen yang telah terakumulasi pada sedimen atau batuan sedimen.
PENDAHULUAN Istilah palinologi pertama diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1944, istilah tersebut berasal dari bahasa yunani yaitu pal uno yang berarti memercikan dan pale yang berarti debu (sehingga mirip dengan kata dalam bahasa latin pollen) (Anonim, 2014). Menurut Moore eta/ ( 1991 ), pa1inologi merupakan i1mu yang mempe1ajari tentang pa1inomorfyang ada saat ini maupun yang berbentuk fosil, bersama dengan partike1 material organik dan kerogen yang terdapat pada sedimen dan batuan sedimen. Secara umum palinomorf mencakup tiga sub kelompok besar yaitu sporomorf (pol en, spora dan spora jamur); zoomorf (foraminifera test lining , chitinozoa dan scelodont) serta fitoplankton (dynocysts, meroplankton,
I)
Pusat Penelitian Laut Dalam, LIPI- Ambon
7
SF..JARAH PALINOLOGI
meridiana/is menjadi 2 subzona (Rahardjo, 2014). Peneliti-peneliti Indonesia mulai mempelajari polen Tersier dan Kuarter pada tahun 1985. Tahun 1991, Morleymenyempurnakan zonasi palinologinya menjadi 6 zona dan tahun 1994 zonasi palinologi, foraminifera dan nannofossil untuk sedimen Tersier di Indonesia yang dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi (ITB & UGM), Lembaga Penelitian (P3 G, PPPGL, Lemigas) m elalui Riset Unggulan Terpadu (RUT) dan didukung data pemboran dari Pertamina dan beberapa perusahaan minyak.
Sejarah palinologi di dunia diawali dengan penemuan mikroskop pada A bad XVII oleh van Leuwenhoek (Rahardjo, 2014 ). Pada tahun 1665, Grew melakukan pengamatan partikel-partikel kecil yang terkandung dalam anthera bunga (kepala sari), di samping itu Malphigi juga melakukan penelitian terkait struktur dinding pol en. Sprengel (1812) meneliti cara penyebaran polen terutama oleh angin dan serangga. Tahun 183 7 Goppert, Ehrenberg, Benni-Kidston dan Potonie untuk pertamakali menemukan dan mempelajari fosi1 polen, sedangkan Frueh mempelajari pollen dari sedimen rawa pada tahun 1885. Analisa statistik untuk menghitung polen tertentu dilakukan Weber (1896), sedangkan Lagerheim (1905) menggunakan statistik untuk menghitung se1uruh po1en dalam sedimen. Von Post (1916) mulai membuat diagram pollen dan interpretasinya untuk lingkungan pengendapan. Polen mulai digunakan untuk mempelajari sedimen kuarter di Scandinavia dan untuk eksplorasi batubara di tahun 1930, Pada tahun 1944, istilah "Palynology" mulai diperkenalkan oleh Hyde dan William. Tahun 1950 hingga sekarang pol en dipakai untuk eksplorasi min yak bumi dan digunakan untuk berbagai disiplin ilmu. Perkembangan studi palinologi di Indonesia dimulai sejak tahun 1933 oleh Polak melalui penelitian sedimen gambut berumur Resen di Jawadan Sumatera(Rahardjo,2014). Tahun 1968 Germeraad, Hoping dan Muller meneliti sedimen Tersier di daerah tropis termasuk Indonesia dan membagi polen Tersier menjadi 3 zona yaitu zona Florschuetzia trilobata, zona Florschuetzia levipoli dan zona Florschuetzia meridiana/is. Penelitian pollen pada sedimen Kuarter dilakukan oleh Flenley (1973) dan Morley (1976). Pada tahun 1977, Morley memulai melakukan penelitian fosil polen pada endapan sedimen Tersier dan mencoba menyusun zonasi pollen di Indonesia yaitu membagi zona Florschuetzia
ASALUSULPOLENDANSPORA Polen atau serbuk sari merupakan bagian bunga yang berupa kantung berisi gametofit jantan pada tumbuhan berbunga Anthophyta baik Gymnospermae (Pinophyta) maupun Angiospermae (Magnoliophyta) (Puspaningrum, 2008), sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah lain yaitu tumbuhan lumut (Bryophyta) dan paku (Pteridophyta) (Suedy, 2012). Adapun contoh bentuk polen dan spora dapat dilihat pada gam bar 1. Polen dan spora berasal dari tumbuhan yang hidup pada suatu lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk merekonstruksi flora dan vegetasi yang berada disekelilingnya (Suedy, 2012 ). Bukti palinologi (palinomorf) merepresentasikan sebaran penyusun vegetasi beserta kondisi lingkungan nya. Flenley (1979) dan Morley (1990) menyatakan bahwa dengan diketahui tipe pol en dan spora selanjutnya dapat dirunut dan diketahui takson tum buhan penghasil. Penggunaan bukti palinologi berupa fosil polen dan spora merupakan cara yang tepat, karena dapat mengungkap Jatar belakang perubahan vegetasi dan lingkungan suatu daerah pada satu peri ode waktu tertentu (Suedy, 2012).
8
Gambar 1. A. Polen Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L) yang merupakan kelompok tumbuhan Angiospermae; B. Spora Suplir (Adiantum trapeziforme) yang termasuk kelompok tumbuhan paku (Nugroho, 2014). karena itu dibutuhkan terminologi khusus (Puspaningrum, 2008) (Gambar 2). Karakter utama dari polen dan spora yang digunakan untuk determinasi dan identifikasi adalah unit, aperture, ukuran dan bentuk, dan ornamentasi pada eksin (Gambar 7).
MORFOLOGI POLEN DAN SPORA Polen maupun spora secara umum dapat diklasifikasikan berdasar kenampakan fisik atau morfologinya. Polen dan spora memiliki struktur, bentuk dan pola yang kompleks, oleh PolaraKis
Eq~ a•o• M onosuleat& pollen
Sulcus Oistat paler view
Dista l pole
Po••V5;J Cotpi - -
F'f1mltor
l ncolporote pollen
Equatorial view
Gambar2. Terminologi dan karakter dalam mendeskripsikan polen dan spora (Tschudy & Scott, 1969; Puspaningrurn, 2008). 9
1.
Unit Polen dan Spora Unit pol en dibedakan atas monad, diad, tetrad, dan polyad. Selain itu ada pula pol en yang dilepaskan dari tumbuhan .dalam bentuk massulau ataupolinia. Kapp (1969) dan Moore & Webb (1978) mengungkapkan bahwa polen tetrad dibedakan ke dalam lima tipe, yaitu: tetrahedral, tetragonal, rhomboid, decussata, dan tetradsilang (Gambar 3).
Tetrahedral
Tetragonal
Linear
Rhombohedral Decussata
® lsobilateral
Gam bar 3. Macam-macam tipepolen dan spora tetrad (Kapp, 1969; Moore & Webb, 1978) keciL Contoh: suku Poaceae (Gramineae ). Sifat polen suku Poac eae adalah monoporate dengan ornamentasi (skulptur) psi/ate dan skabrat. b. Eurypalynousfamily: kelompok tumbuhan yang polennya sangat bervariasi . Contoh: suku Arecaceae (Palmae). Sifat polen suku Arecaceae adalah: monaco/pate, sebagian tanpa apertura, ornamentasi bervariasi dari psi/ate sampai echinate (Kapp, 1969; Moore & Webb, 1978).
Suedy (20 12) mengungkapkan bahwa butir polen maupun spora mempunyai bentuk, ukuran, dan ornamentasi eksin tertentu. Dengan mengetahui, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan suatu butir pol en dan spora maka dapat diketahui tingkat takson tumbuhan penghasilnya, misalnya tumbuhan Angiospermae yang memi1iki po1en polyad diketahui ada lima suku, yaitu: A nnonaceae, Legum inosae, Hippocrateaceae (pada marga Hippocraea), Asclepiadaceae dan Orchidaceae. Secara umum ada dua go1ongan tumbuhan berbunga berdasar sifat pol en, yaitu: a. Stenopalynous family: kelompok tumbuhan yang polennya seragam atau variasi sangat
2.
Ukuran dan bentuk Polen dan Spora Bentuk butir polen dapat dideskripsi menggunakan kenampakan pada pandangan pol~ dan pandangan ekuatorial (Gam bar 4).
10
Gam bar 4. A. Pandangan ekuatorial; B. pandangan polar (Sengbusch, 2005) Morley (1990) mengklasifikasikan pandangan ekuatorial pol en dan spora menjadi 8 bentuk yaitu: circular (oval) , rhomboidal, apiculate, constricted oval circular, constricted rectangular, compressed oval, depressed oval, rectangular (Gam bar 5). Pada pandangan polar dapat dibedakan menjadi 13 bentuk: circular, semi-angular, inter semi-angular, angular, inter angular, semi-lobate, inter semi-lobate, lobate, inter lobate, hexagonal, inter hexagonal, subangular, inter sub-angular (Gam bar 5). Polen mempunyai struktur dinding kompleks yang merefleksikan adaptasi fungsional dari suatu spesies terhadap habitat, substansi pembentuk dinding serbuk sari ini disebut sporopolenin. Sporopolenin sangat stabil dan resisten terhadap berbagai pengaruh lingkungan (Suedy, 2012). Pada dasarnya struktur dinding polen dan spora mempunyai dua lapisan dasar (Gam bar 6), yaitu intine (intin) dan exine (eksin). Intin atau lapisan tengah langsung berhubungan dengan sitoplasma, yaitu bagian dalam polen atau spora dan akan
hilang setelah polen atau spora tersebut mati. Intin tersusun dari selulosa dan mempunyai struktur mirip dengan dinding sel tumbuhan pada umurnnya. Eksin merupakan bagian luar butiran dengan permukaan berupa struktur yang beraneka ragam yang bersifat tahan terhadap daya destruktif, tekanan, suhu, kondisi asam dan oksidasi alami dalam Japisan batuan, maupun tahan terhadap keadaan anaerob dan oksidasi selama proses fosilisasi (Faegri & Iversen, 1989). Lapisan eksin terdiri dari Japisan endeksin (eksin dalam) dan lapisan ekteksin (eksin luar) (Gam bar 7). Ekteksin tersusun tiga lapisan yaitu tektum (lapisan terluar ), kolumela atau bakula berbentuk tiang kecil yang mendukung tektum dan lapisan kaki sebagai lapisan paling dasar. Butiran dengan tektum yang menutupi seluruh permukaan butiran disebut tektat, jika tidak mempunyai tektum disebut intektat dan butir yang mempunyai tektum hanya menutupi sebagian kecil permukaan disebut semitektat (Morley, 1990).
11
POLAR VIEW
EQUATORIAL VIIW
FURROWS: h.A!
SHAPE: CPRIICRICAL PROlATC COLATC
INTRVOING OPEN
000
000 00 0 ~
6 6 6 ~8 8 6 6 £ .~ 8 A~ A ~~~
0 0 0 0 0 0 000
Ou w
@ @@
CIRCUI.AA
SEMi-ANGULA.'I
fo~TER.SEM !..A.NGUU.~
ANGUlAR
lliTCR·ANGUI.AA
SCMieLOOATC
INTE!'It·$EMI~L08ATE
LOOATC
~ ~
~
t
CIRCLILAA OVAL
(!)>
fU'!OMI\('):nAI
~
APICUi.ATC
ID m0
CON~i"P\CT!:O
rn m[I]
ffi 0 ffi
m ffi m mmm
OVAL
r.IR~IJf AR
r..oN......-mten:n RECTANG~.JLAR COMPRESSED OVAL
DEPRESSED 01/PJ...
RECTANGULAR
INTER4..08ATE
HEXAGONAL POLARt.Y ASVMMETRIC.A.L POU.EN
INTER·HEXAGON.4.L
<::) SllA·AN<1UI AR
INTER·SUBANGULAR
BICONVEX
c:;::}
PLAND-CONVEX
~
t.:Uf'H.:AVU...(.;UN\'t.X
Gam bar 5. Bentuk pol en dan spora (Morley, 1990)
col pus pore
con tens
EQUATORIAL VIEW external
cross section
Gam bar 6. Skema susunan din ding polen (Morley, 1990) 12
A
B
Intine
Gambar 7. Morfologi eksin dinding polen (Morley, 1990) Menurut Kapp (1969), Moore & Webb (1978) tingkatan bentuk pol en dan spora ditentukan pula berdasarkan indeks perbandingan perbandingan an tara panjang aksis polar (P) dan diameter ekuatorial (E), atau lndeks PIE (Tabel 1). Berdasarkan ukurannya, secara umum ukuran fosil pol en dan spora bervariasi dari sangat kecil (< 10 im) sampai dengan ukuran raksasa (>200 im), namun yang umum ditemukan berukuran antara20-50 im (Erdtman, 1952). Tabel 1. Nilai indeks perbandingan diameter polar dan ekuatorial (P/E) polen dan spora (Kapp 1969; Moore& Webb 1978) lndeks PIE >2,0 1,33-2,0 0,75-1,33 0,5-0,75 <0,5
Bentuk perprolate prolate subspheroidal oblate peroblate
3.
J umlah dan bentuk apertura Apertura merupakan salah satu karakter pol en yang penting. Apertura adalah suatu area tipis pada eksin yang berhubungan dengan perkecambahan pol en (Suedy, 2012). Bentuk butir pol en juga terkait erat dengan tipe aperturanya, contohnya butir serbuk sari dengan tipe apertura tricolpate akan cenderung berbentuk bulat hingga bulat telur, sedangkan pada polen yang aperturanya monosulkat akan cenderung berbentuk seperti perahu (Tabel 2). Apertura pol en dibedakan menjadi dua tipe, yaitu celah memanjang disebut co/pus/co/pi dan berbentuk bulat disebut porus/pori, serta dengan beberapa variasi apertura antara bentuk co/pus dan porus (Tabel2, Gam bar 8).
Tabe\2. Tipe-tipe apertura polen dan ciri-cirinya (Kapp, 1969; Moore & Webb, 1978) Tipe Apertura lnaperturate Monaco/pate Monoporate Tricolpate Stephanocolpate Pericolpate Tricolporate Triporate Stephanoporate Periporate Syncolpate Heterocolpate
Ciri-Ciri
Tidak mempunyai apertura Mempunyai 1 apertura berbentuk colpus Mempunyai 1 apertura berbentuk porus Mempunyai 3 apertura berbentuk col pus Mempunyai > 3 colpus yang terletak meridional/sejajar Mempunyai > 3 colpus yang terletak menyebar Mempunyai 3 apertura berbentuk gabungan colpus- porus Mempunyai 3 apertura berbentuk porus Mempunyai > 3 porus terletak sejajar pada zona ekuatorial Mempunyai > 3 porus yang terletak menyebar Apertura berbentuk colpus bertemu pada ujung-ujungya Apertura bentuk antara porus dan colpus/Pseudocolpi
13
Q ® ~ ,~0 Monosulcate
~
Q)@ Syncolpate
Tetracolpate
StephilllOCOipate
Dicolpate
Tricolpate P.V.
Pericolpale
Tncotporate
P.V.
Tricolpate E.V.
Tncolporate E.V.
es~~ooo
Stephanocolporate
Pertporate
Oipora
Triporate
Stepllanoporate
P.V.
800@(t1 Sliephanoporate E.V.
Brevitricolporate
Pericolporate
Syncolporate
Gam bar 8. Klasifikasi pol en berdasarkan apertura (Tschudy & Scott, 1969) Pada tumbuhan Pteridophyta maupun Bryophyta, spora tidak memiliki apertura, namun mempunyai suatu area tipis yang menyerupai apertura pada spora adalah bekas luka tetrad disebut laesura yang tampak seperti garis pada sisi luar. Ada 3 (tiga) bentuk yaitu alete, monolete dan trilete (Gambar9).
Gam bar 9. Klasi fikasi spora berdasarkan jum lah laesura. a. alete, b. monolete, c. trilete
14
4.
Bentuk dan ornamentasi pada eksin. Tipe ornamentasi eksin polen disusun berdasar ukuran, bentuk, dan susunan unsur ornamentasi. Ornamentasi merupakan bentuk eksternal eksin tanpa menunjukkan susunan eksin bagian dalam. Menurut Faegri & Iversen (1989), ornamentasi termasuk dalam komponen
eksin yang tim bul karen a adanya keanekaragaman bentuk morfologi dari tektum. Beberapa bentuk ornamentasi an tara lain psi/ate,
verrucate, scabrate, perforate, foveolate, gemmate, clavate, echinate, regulate, reticulate, baculate, dan striate (Tabel 3 dan Gambar 10).
Tabel3. Tipe ornamentasi eksin polen dan ciri-cirinya (Faegri & Iversen, 1989) Omamentasi Psi/ate Perforate Foveolate Scab rate Verrucate Gemmate Clavate Pilate Echinate Rugulate Striate Reticulate Baculate
Ciri-Ciri Seluruh pennukaan halus, rata dan licin tidak berelief Pennukaan berlubang dengan ukuran lubang < I!!m Pennukaan berlubang dengan ukuran lubang > I flill Unsur omamentasi isodiametriklbintik ukuran < If.lm Unsur ornamentasi isodiametrik/bintik ukuran > I flill Unsur ornamentasi isodiametrik/tonjolan berkerut/ seperti lingkaran ukuran > I f.liD Unsur omamentasi seperti tangkai dengan dasar menyempit dan ukuran tinggi lebih besar daripada lebamya Unsur omamentasi seperti clavate tetapi bagian apikalnya menggembung Unsur omamentasi berbentuk seperti duri Unsur omamentasi memanjang horizontal dengan pola tidak beraturan Unsur ornamentasi memanjang horizontal dengan susunan sejajar antara satu dengan lainnya Unsur ornamentasi membentuk pol a seperti jala Unsur ornamentasi berbentuk silinder tinggi dan ramping
dalam identifikasi (Suedy, 20 12). Pencandraan tipe ornamentasi eksin dibuat berdasar ukuran, bentuk, dan susunan unsur ornamentasi. Ciri utama butir polen yang sering dipakai dan mempunyai nilai taksonomi adalah ukuran, bentuk, ornamentasi dan apertura (Morley 1990; Birks & Birks 2005).
Traverse ( 1988), dengan teknik luxobscuritas analysis untuk mengamati ornamentasi, yaitu menggunakan perbesaran mikroskop 90-100 kali, fokus digerakkan turun naik untuk mengetahui ornamentasi serta morfologi butiran polen dan spora. Struktur dinding polen khususnya bagian eksin merupakan salah satu karakter yang digunakan
15
Clavate
Scabrate
Baculate
Cicalricose
Canaliculate
Gambar 10. Diagram ornamentasi pada dinding eksin (Tschudy & Scott, 1969) 3. Resisten terhadap kerusakan baik oleh asam, kadar garam, suhu dan tekanan lain sebingga dapat tersimpan pada berbagai keadaan, 4. Dapat diidentifikasi dengan bantuan mikroskop sehingga secara taksonomi dapat diketahui taksa penghasilnya, 5. Berasal dari tumbuhan yang membentuk vegetasi suatu area sehingga fosil pol en dan spora dapat digunakan untuk merekontruksi vegetasi baik lokal maupun regional yang berada disekeliling lingkungan pengendapan (Moore & Webb 1978; Morley 1990; Birks & Birks 2005; Traverse 2007).
APLIKASI PALINOLOGI DALAM DISIPLIN ILMU LAIN Palinologi banyak digunakan dalam aplikasi yang berhubungan dengan disiplin ilmu lain, contohnya geokronologi, biostratigrafi, perubahan iklim, migrasi, evolusi flora, stratigrafi, paleoekologi, paleoklimatologi dan arkeologi (Suedy, 2012). Fosil polen dan sporamerupakan sumber data palinologi yang sangat penting dan dapat diterapkan secara luas, karena: 1. Dapat ditemukan melimpah dan terawetkan dalam sedimen sertajumlah dapat dihitung sehinggamenghasilkan suatu spektrum, 2. Berukuran kecil dan melimpah sehingga hanya diperlukan sedikit sedimen sebagai sam pel yang memadai ,
Rekaman polen dan spora merupakan proxy untuk perubahan vegetasi di masa lalu yang dapat dijadikan sebagai indikator variasi
16
iklim (Rahardjo, I993 ; Leyden, 2002; Gajewski, 2002; Viau eta!., 2006; Hall, 2009). Rekonstruksi perubahan iklim masalalu (seribu tahun terakhir) yang beresolusi tinggi menjadi sangat penting di akhir dekade ini (Urrutia, 20 I 0). Penelitian pol en tidak hanya sebagai proxy untuk indikator perubahan iklim, tetapi dapat juga digunakan untuk menginterpretasikan sejarah perubahan iklim (Tingley, 20 II). Selain itu pol en juga merupakan proxy yang cocok untuk merekonstruksi perubahan muka laut di lingkungan tropis (Engelhart, 2007). Studi palinologi tidak hanya menganalisis perubahan vegetasi akibat variasi iklim dan fluktuasi muka laut (sea level) yang terjadi pada periode Kuarter, tetapi juga memberikan informasi tentang perubahan tingkat erosi (Nair, 1966; Birks & Birks, 1980; Williams eta/., 1998; Newby eta/., 2000,Ajaykumar eta/, 20 12).
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan yang telah memberikan bantuan dana pendidikan untuk melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana Teknik Geologi ITB. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Dr. A. Tjipto Rahardjo, Dr. Eko Yulianto, Dr. Sri Widodo Agung Suedy dan Rachmad Setijadi, MT, yang telah memberikan ilmu ten tang palinologi serta pihak-pihak yang telah bersedia memberikan koreksi, kritik, saran dan masukan, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA Ajaykumar, B., K. Sreedharan, M. Mohan, J. Paul, A. P. Thomas, & P.K.K. Nair, 20I2. Evaluation of The Holocene Environmental Changes Of The Southwest Coast, India: A PalaeopalynologicalApproach. J. Earth Syst. Sci. I21(4): 1093-1103.
Berdasarkan asal usulnya, polen merupakan bagian bunga berisi gametofitjantan pada tumbuhan berbunga, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan tumbuhan vaskuler tingkat rendah dan non vaskuler. Polen dan spora berasal dari tumbuhan yang akan membentuk vegetasi pada suatu lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk merekonstruksi flora dan vegetasi yang berada disekelilingnya. Polen dan spora memiliki struktur, bentuk dan pola yang kompleks, oleh karena itu dibutuhkan terminologi khusus. Beberapa sifat yang dapat digunakan dalam determinasi polen dan spora diantaranya adalah unit, ukuran dan bentuk, jumlah dan bentuk apertura, serta bentuk dan omamentasi pada eksin. Polen dan spora memberi gambaran ten tang dinamika vegetasi dan lingkungan pada masa lampau yang berguna untuk merekonstruksi kondisi masa lampau dan memprediksi kondisi dimasa akan datang melalui pol a peru bah an maupun dinamika yang terjadi dari masa lalu, sekarang dan akan datang.
Anmim. 2014. Palinologi. http://id.wikipedia.org/ wiki/palinologi diakses tanggal 3 Maret 2014. Birks, H.J.B., & H.H. Birks. 2005. Global Change in the Holocene. Edward Arnold Publisher Ltd, London: pp. 107-123. Engelhart, S.E. 2007. Mangrove pollen of Indonesia and its suitability as a sealevel indicator, Durham theses, Durham University. Available at Durham ETheses Online: http://etheses.dur.ac.uk/ 2421/ diakses tanggal3 Maret2014. Erdtman, G 1952. Morphology and Taxonomy Angiospermae : An Introduction to Paly nology. The Botanica Company Wather, Massachusetts, USA.
17
Faegri, K., &J. Iversen. 1989. Textbook ofPollen Analysis. Hafuer Press, New York: 328.
And Water Level Changes At The Makepeace Cedar Swamp, south-eastern Massachusetts; Quat. Res. 53:352-368.
Flenley, J.R. 1979. The Equatorial Rain Forest: a Geological History. Butterworths, London-Boston: pp. 1-28.
Nugroho, S.H. 2014. Katalog Polen danSpora Segar. Program Pasca Sarjana Teknik Geologi, ITB, Bandung: 2 hlm.
Gajewski, K. 2002. Modem pollen assemblages in lake sediments from the Canadian Arctic. Arctic, Antarctic, and Alpine Research 34: 26-32.
Puspaningrum, M.R. 2008. Holocene Enviromental Change Interpreted Based On Pollen Records Of Air Pacah, West Sumatra. Final Project Report. Biology Program, School Of Life Sciences And Technology, Institut Teknologi Ban dung, Bandung: 49 p.
Hall, R. 2009. The Eurasian SE Asian Margin as a Modem Example of an Accretionary Orogen. Di dalam: Cawood PA, Kroner A, editor. Earth Accretionary Systems in Space and Time. The Geol Soc ofLondon Spec Publ318: 351-372.
Rahardjo, A. T. 1993. Studi Kuarter: Keterpaduan Berbagai Bidang Ilmu. Buletin Geologi ITB 23(2): 58-61.
Kapp, R. 0. 1969. How to Know Pollen and Spores. WMc. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa, USA: 249 p.
Rahardjo, A. T. 2014. Bahan ajar kuliah Palinologi. Program Pasca Sarjana Teknik Geologi, ITB, Ban dung: 301 p.
Leyden, B.W. 2002. Pollen evidence for climatic variability and cultural disturbance in the maya lowlands. Ancient Mesoamerica, 13: 85- 101. DOl: 10.1017.S0956536102131099
Sengbusch, P.V. 2005. Angiosperm Pollen As Seen in a Scanning Electron Microscope. https://s 10 .lite.msu.edu/res/msu/botonll b_ online/ e27/6.htm Diakses tanggal 19 Juni 2014
Moore, P. D, & J. A. Webb. 1978. An Illustrated Guide To Pollen Analysis. The Ronald Press Company, New York, USA: 133 p.
Suedy, S. W.A . 2012. Paleorekonstruksi Vegetasi Dan Lingkungan Menggunakan Fosil Polen Dan Spora Pada Formasi Tapak Cekungan Banyumas Kala Plio-Plistosen. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor: 225 hlm.
Moore, P. D, J. A. Webb, & M.E. Collinson. 1991. Pollen Analysis. 2 Sub Ed. Blackwell Press, London: 216 p. Morley, R. J. 1990. Short Course Introduction To Palynology With Emphasis on Southeast Asia. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.
Traverse, A. 1988. Paleopalynology. Boston: Department of Geosciences, College of Earth and Mineral Science, The Pennsylvania State University: 600 p.
Nair, P. K. K. 1966. Essentials of Palynology, Asia Publishing House, London: 96 p.
Traverse, A. 2007. Paleopalynology. Di dalam: Landman NH, Jones DS, editors. Topics In Geobiology 2nd Edition Vol. 28. Springer, The Netherlands.
Newby, P.E, P. Killoram, M.R. Waldorf, N. B. Shuman, R.S. Webb, & T. Webb. 2000. 14,000 Years Of Sediment, Vegetation, 18
Tschudy, R.H, & R.A Scott. 1969. Aspect of Palynology. John Willey and Sons, USA
diatom, chironomid, and pollen assemblages in an Andean lake in Central Chile, Lake Laja (36°S). Hydrobiologia 648:207- 225. DOl 10.1007/s10750-0100264-l.
Tingley, M. 2011. Post-glacial pollen and charcoal analysis of a 10,500-year lake sediment record from Lower Whitshed Lake near Cordova, Alaska. Formattedfor Journal
Viau, AE., K. Gajewski, M.C. Sawada & P. Fines. 2006. Millennial -scale temperature variations in North America during the Holocene. Journal of Geophysical Research Ill: 1-12.
of Ecology Tyson, R. V. 1995. Sedimentary Organic Matter:
Organic Facies and Palynofacies. Chapman and Hall, London: 615 p.
Williams, M, D. Dunkerly, de Deckker P, & J. Chappel. 1998 . Quaternary Environments, 2nd ed, Arnold, London, 329p.
Urrutia, R, A Araneda, L. Torres, F. Cruces, C. Vivero, F. Torrejo 'N, R. Barra, N . Fagel, & B. Scharf. 2010 . Late Holocene environmental changes inferred from
19