SAMUEL FALLOURS: PELUKIS BIOTA LAUT YANG IMAJINATIF DARI AMBON
S
amuel Fallours adalah seorang Belanda kelahiran Rotterdam. Pada tahun 1703 ia berlayar ke Hindia Belanda (Nusantara) dan memulai kariernya sebagai tentara Kompeni (VOC/ Vereenigde Oostindische Compagnie) dan tinggal di
Batavia (Jakarta). Pada bulan Juni 1706
ia dipindahkan ke Ambon dan betugas sebagai
pengawal rumah-jaga di Benteng Victoria. Dari bulan September 1706 hingga Juni 1712 ia ditunjuk sebagai pembantu pendeta di Ambon dan bertugas melayani pengunjung untuk kesehatan (krankbezoeker) bagi penduduk Ambon. Tahun 1712 ia meninggalkan Hindia Belanda dan berlayar pulang kembali ke Belanda.
Gambar 1. Berbagai biota laut dari perairan Maluku dalam lukisan Fallours.
Selama kediamannya di Ambon (1706-1712) ia berkesempatan menyalurkan bakat seninya dengan membuat banyak lukisan yang indah dengan objek utama biota laut sepeti ikan, kepiting, dan udang. Selain itu ada juga tentang serangga. Ketertarikannya pada biota laut itu didorong oleh kenyataan bahwa biota laut yang dijumpainya di Ambon sangat beragam dan indah, sangat berbeda dengan apa yang ada di negerinya di Belanda. Lukisan-lukisannya 1
dengan warna-warni yang indah banyak menjadi koleksi para elit Kompeni dan para hartawan di Belanda.
Gambar 2. Berbagai jenis ikan di perairan Maluku dalam lukisan Fallours
Gambar 3. Ikan lepu tembaga dalam lukisan Fallours (kiri) dan yang sebenarnya (Sinanceja horrida) (kanan)
Ia mengklaim bahwa lukisan-lukisannya tentang biota laut di Ambon itu dibuat berdasarkan apa yang diamatinya dalam alam aslinya. Namun dalam kenyataannya tidaklah 2
selalu seperti itu.
Ia sering menyimpang dengan mengubah tampilan objek lukisannya
mengikuti imajinasinya atau khayalannya sendiri agar lukisannya tampak lebih menarik. Jadilah banyak tampilan lukisan biota laut yang dibuatnya tidak lagi mencerminkan bentuk dan warna yang sebagaimana aslinya tetapi telah menampung imajinasi atau khayalannya. Ia lebih merupakan pelukis surealis yang tak mau terkekang oleh berbagai aturan dan logika. Lukisan seekor ikan kepe-kepe bendera misalnya, dicantumkan pada tubuhnya ada sebuah gambar hati/ love (Gambar 1), yang sebenarnya tak pernah ada dalam alam sejatinya. Gambar tangkur kuda (Syngnathoides) yang tubuhnya memanjang, dilukisnya dalam bentuk berpilin warna-warni (Gambar 4). Gambar-gambar yang dibuatnya kemudian dikumpulkan oleh Louis Renard terdiri dari 100 lembar dengan 415 gambar ikan dan 41 krustasea yang kemudian dicetak di Belanda tahun 1719 dengan judul “Poissons, Ecrevisses et Crabes de Diverses Couleurs et Figures Extraordinaires” (Ikan, Udang dan Ketam dengan Aneka Warna dan Bentuk yang Luar Biasa). Karya besar ini dilihat dari segi artistik dan kesejarahan merupakan salah satu karya terbaik yang pernah ada dalam kaitannya dengan sejarah alam (natural history), meskipun ilustrasi detailnya banyak yang kurang cermat.
Gambar 4. Tangkur buaya dalam lukisan Fallours (atas) dan yang sebenarnya (Syngnathoides biaculeatus) (bawah).
Tak kurang kritik dilontarkan terhadap lukisan Fouler ini karena telah mencampuradukkan kenyataan dan imajinasinya. Tetapi sebagian
ilmuwan kontemporer tetap
menghargainya karena dari lukisannya tentang ikan misalnya, sampai kini pun sebagian besar masih dapat dikenali dan diidentifikasi sampai ke
tingkat genus ataupun spesies.
Bagaimanapun, lukisannya telah memberi sumbangan akan perjalanan sejarah alam kita, khususnya mengenai lingkungan Ambon dan sekitarnya.
3
Salah satu lukisannya yang banyak menarik perhatian adalah mengenai dugong (duyung), yang sering dirujuk sebagai lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan mamalia laut ini, yang diberinya judul “Sirenne” (Gambar 5). Fallours menyatakan bahwa ia telah mengamati satu mahluk aneh yang disebutnya sebagai “Sirenne”, yang dicoba pelihara dalam suatu bak sampai akhirnya mati setelah empat hari kemudian. Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk Propinsi Ambon ketika itu. Panjangnya adalah 59 inci (sekitar 1,5 m) dan bentuknya memanjang. Kadang kala mahluk itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah dicoba untuk memberinya makan berupa ikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi ditolaknya. Setelah hewan itu mati, ditemukan
Gambar 5. “Sirenne” dalam lukisan Fallours (atas) dan Dugong dugon (bawah)
kotoran seperti tinja kucing di dasar bak. Pengamatan Fallours tentang hewan laut itu menunjukkan bahwa mahluk ini bukanlah ikan, tetapi mempunyai banyak persamaan dengan manusia. Pengamatannya dan imajinasinya dipadu dan diperkaya dengan dongeng tentang duyung yang berupa mahluk setengah manusia dan setengah ikan, akhirnya menghasilkan lukisannya yang diberinya judul “Sirenne” itu, yang memang berpenampilan setengah 4
perempuan dan setengah ikan. Bagaimana pun, itu merupakan lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan dugong dan hingga sekarang sering dirujuk dalam berbagai publikasi. Masa Fallours boleh dikatakan bagian akhir dari era dimana dongeng, imajinasi dan ilmu pengetahuan (science) bercampur mewarnai perkembangan sejarah alam (natural history) di negeri ini. Berikutnya datanglah masanya Rumphius, kemudian Pieter Bleeker yang sudah menerapkan pendekatan ilmiah yang lebih lugas dan akurat dalam penggambaran dan deskripsi biota laut di Nusantara dalam karya-karya agung mereka.
PUSTAKA
Barley, S. 2010. Samuel Fallours and his fantasy fish. www.newscientist.com. de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009. National conservation strategy and action plan for the dugong in Indonesia. Part I. Scientific Report, Institute of Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 38 pp. Nontji, A. 2012. Dugong bukan putri duyung. Yayasan Lamun Indonesi: 125 hlm. Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Olena, A. 2014. Fantastical fish, circa 1719. www.the-scientist.com.
5