sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Sedimentasi
merupakan nilai yang normal bagi lingkungan perairan Indo-Pasifik. Penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar salinitas sampai 45 ppt, yang terjadi di perairan utara Laut Merah dan Teluk Persia tidak mematikan koloni karang lunak di daerah itu (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001). Naiknya nilai salinitas sekitar 2-3 ppt di atas nilai normal akibat penguapan air laut, masih dianggap normal. Sebaliknya, penurunan kadar salinitas terutama di daerah rataan terumbu yang dapat mengalami kekeringan akibat pasang surut, ditambah lagi dengan bila terjadinya di musim hujan sehingga dipengaruhi oleh air tawar, dapat mengakibatkan kematian karang. Di perairan Indo-Pasifik, kadar salinitas di bawah 30 ppt dapat mempengaruhi anggota suku Xeniidae, dan dengan kadar 25 ppt bahkan dapat mematikan jenis-jenis karang.
Diketahui sedimentasi yang terjadi secara alami pada terumbu karang bervariasi secara signifikan. Pengaruh sedimentasi terhadap oktokoral juga bervariasi, tergantung pada tingkat toleransi dari masing masing jenis. Proses sedimentasi bila terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi nutrien di perairan, terutama bila perairan berdekatan dengan muara sungai yang tadinya melewati daerah pertanian, akan mengganggu kesehatan koloni karang di dalam ekosisitem terumbu karang. Penimbunan sedimen yang cukup tebal akan mematikan koloni karang yang kecil terutama yang baru tumbuh. Sedimen juga berpengaruh negatif terhadap proses fotosintesis (RIEGEL & BRANCH, 1995), karena di samping menutupi koloni karang dan juga menghalangi penyerapan cahaya matahari dan akhirnya mengakibatkan koloni karang menjadi stres. Kelompok karang lunak dari suku Xeniidae dan Nephtheidae, umumnya membutuhkan perairan yang jernih, sedangkan dari suku Alcyoniidae terutama marga Sinularia, Lobophytum, Sarcophhyton dan Klyxum dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat di perairan yang tidak jernih terutama di perairan pesisir. Sebaliknya kelompok gorgonia yang tidak mengandung zooxanthella (azooxanthellae) misalnya dari suku Ellisellidae dan Subergorgiidae, tumbuh melimpah di perairan dengan turbiditas yang tinggi, bahkan di perairan dangkal. Hal ini dapat terjadi karena kelompok ini tidak membutuhkan cahaya matahari, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan yang gelap seperti kondisi turbiditas dan sedimentasi yang tinggi (RIEGEL & BRANCH, 1995).
Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 15–24
ISSN 0216–1877
ASPEK BIOLOGI UDANG EKONOMIS PENTING Oleh Rianta Pratiwi
1)
ABSTRACT BIOLOGICAL ASPECTS OF THE ECONOMICALLY IMPORTANT SHRIMPS. In Indonesia prawns and lobsters are the economical important of marine resources. Over the last decade, capture fishing has been declined, at the same time, the demand of lobster export is continually increasing. Base on these facts. Indonesian marine resources of Indonesia, especially shrimps, should be managed carefully and wisely. This paper discuss about some biological aspects of the economically important shrimps.
Temperatur Perairan dengan temperatur yang hangat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan maupun sebaran karang batu dan karang lunak yang mengandung zooxanthella (alga bersel satu yang mengandung pigmen kuning). Terbatasnya sebaran jenis yang mengandung zooxanthella disebabkan oleh kecilnya kemampuan bertoleransi alga ini terhadap temperatur. Penurunan temperatur air laut sampai di bawah 18 oC untuk jangka waktu yang panjang merupakan ancaman bagi jenis karang lunak yang mengandung zooxanthella. Batas tertinggi temperatur bagi pertumbuhan karang lunak sekitar 31 oC (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001). Di beberapa lokasi yang memiliki musim panas yang berkepanjangan seperti di Teluk Persia atau juga di tempat-tempat tertutup seperti rataan terumbu yang terhalang oleh angin di dalam teluk, masih ada jenis yang mengandung zooxanthella. Di lokasi seperti ini hanya ditemukan sedikit koloni karang lunak. Hanya anggota oktokoral yang tidak mengandung
Salinitas Tidak banyak diketahui tentang pengaruh salinitas terhadap karang lunak dalam hubungannya dengan toleransinya terhadap air tawar. Kadar salinitas sekitar 35 ppt
PENDAHULUAN
berpotensi besar dalam bidang perikanan (SUBANI & BARUS, 2007). Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dunia, konsumsi hasil perikananpun semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi seperti halnya kondisi perikanan dunia, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar pula. Salah satunya adalah sumberdaya udang yang belum dieksplorasi secara optimal. Indonesia sebagai negara kepulauan, kedalaman lautnya relatif dangkal, sehingga merupakan habitat yang baik bagi kehidupan udang. Udang dikenal sebagai komoditi penting dari sektor perikanan, karena
Potensi perikanan di Indonesia sangat berlimpah, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat, karena hasil perikanan laut tersebut terkuras oleh “ilegal fishing” yang nyaris sama dengan hutan yang gundul oleh “ilegal logging”. Untuk itu informasi perikanan sangat diperlukan demi penyelamatan potensi perikanan agar tetap lestari. Hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan lainnya) sebagai sumber makanan protein hewani tidak akan pernah terlepas dari konsumsi perikanan dunia. Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km) setelah Kanada dan kekayaan alam laut yang besar dan beranekaragam telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
38
15
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mempunyai nilai gizi yang tinggi. Umumnya udang diekspor dalam bentuk beku dan sebagai komoditi ekspor menduduki tempat tertinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Sejak tahun 1998 potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun (DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN, 2000). Sebagian besar produksi udang berasal dari hasil eksploitasi di laut, karena peranan dan potensi perairannya juga mendukung bagi produksi udang secara umum. Dalam upaya meningkatkan produksi udang telah dilakukan upaya budidaya dengan pendayagunaan tambak kolam dan danau. Pengusahaan di daerah padat nelayan umumnya sudah tinggi atau tangkap lebih (over exploited), banyak di jumpai di perairan Paparan Sunda (Selat Malaka, Timur Sumatera, Laut Jawa dan Kalimantan). Di kawasan Timur Indonesia pengusahaan udang masih dalam taraf berkembang, kecuali untuk perairan Arafura yang sudah cukup tinggi (SUMIONO, 1998). Aktivitas budidaya udang yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan usaha penyelamatan lingkungan perairan mengakibatkan usaha tambak udang menjadi hancur akibat serangan hama dan penyakit. Kondisi ini melanda hampir seluruh kawasan tambak di Indonesia. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambak udang (salah satunya adalah hancurnya ekosistem hutan mangrove dan habitat organisme) menjadi tantangan yang sangat berat untuk pengembangan budidaya di masa yang akan datang, oleh karena itu saatnya disusun konsep pengembangan “budidaya udang ramah lingkungan” yang tidak hanya meningkat dalam produksi tetapi juga aman dan ramah terhadap lingkungan.
Besarnya permintaan udang mengharuskan adanya informasi yang lengkap atau data potensi sumberdaya udang yang mutakhir (up to date), berkelanjutan dan menyeluruh dari perairan Indonesia. Informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai pengguna, khususnya nelayan dan pengusaha perikanan, dengan adanya informasi tersebut daerah penangkapan (fishing ground) dapat diketahui secara potensial, sehingga usaha penangkapan dapat dilakukan lebih baik. Menurut SETYONO (2006) besarnya permintaaan udang lobster, baik untuk pasar domestik, maupun ekspor di daerah Pacitan, Jawa Timur, maka pengusaha udang di daerah tersebut melakukan budidaya dengan cara pembenihan dan restocking untuk mengimbangi penangkapan lobster dari alam. Harga lobster yang cukup baik di pasaran mengakibatkan nelayan cenderung meningkatkan usahanya menangkap dari alam. Pada awal 2006, harga lobster dengan berat 300-400 g/ekor di tingkat nelayan berkisar antara Rp 170.000,- hingga Rp. 260.000,-/kg. Penangkapan yang semakin intensif tentu akan membahayakan populasi lobster di alam, apalagi ukuran yang belum layak (anakan pun) ikut dijaring (diambil) untuk dijual. Tulisan ini akan memberikan informasi tentang jenis-jenis udang ekonomi penting dan beberapa aspek biologinya.
ditunjukkan dengan terinfeksinya koloni gorgonia oleh jamur, koloni tertutup alga filamen, barnakel, bryosoa, dan sebagian koloni yang mati (Gambar 1).
JENIS-JENIS UDANG EKONOMI PENTING (NIAGA) Ada 3 marga udang yang mempunyai nilai ekonomi penting yaitu: Penaeus, Metapenaeus dan Panulirus. Udang Penaeus dan Metapenaeus merupakan komoditi ekspor perikanan utama yang mempunyai potensi cukup tinggi dan dagingnya gurih serta bergizi. Disamping itu udang tersebut sangat disukai karena seluruh tubuhnya dapat dimanfaatkan
16
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
jarang ada di lokasi dengan tingkat polusi yang tinggi, sebaliknya kelompok gorgonia yang tidak berzooxanthella dapat tumbuh di daerah ini, terkena dampak ini. Hal ini
Gambar 1. Sebagian koloni gorgonia (Echinogorgia sp.) yang mati, karena hidup di perairan dengan tingkat polusi yang tinggi. (FABRICIUS & ALDERSLADE, 2001).
37
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Cahaya matahari
kedalaman 25 meter. Penetrasi cahaya matahari juga agak berkurang di tempat-tempat seperti lereng terumbu yang terjal dengan dinding yang tegak lurus. Di tempat seperti ini ditumbuhi oleh karang lunak dari kelompok yang dapat bertoleransi terhadap cahaya yang kurang yaitu dari marga Briareum, Sinularia dan jenis lain yang tidak mengandung zooxanthella (FABRICIUS & DE’ATH, 2001).
Kisaran sebaran kelompok oktokoral bervariasi berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya matahari dan juga tergantung pada kedalaman, kecerahan air dan derajat kemiringan dari lereng terumbu. Partikel yang ada dalam air laut tidak hanya dapat membuat perairan keruh tapi juga menghambat penetrasi cahaya matahari. Perairan yang keruh di kedalaman 10 meter terlihat gelap walaupun pada siang hari. Tingkat turbiditas yang tinggi ditemukan di rataan terumbu di perairan dangkal yang dekat dengan pantai atau muara sungai, dimana ombak dan arus dapat mengaduk-aduk sedimen dan lumpur dari dasar perairan. Cahaya dapat membantu pertumbuhan jenis oktokoral yang mengandung zooxanthella berdasarkan tingkat irradiansi yang akan mempercepat proses fotositesis. Namun cahaya juga dapat menghambat pertumbuhan jenis-jenis yang tidak mengandung zooxanthella, karena umumnya larva karang cenderung mencari tempat yang gelap untuk melekatkan diri. Batas kedalaman untuk pertumbuhan jenisjenis oktokoral bertambah sejalan dengan bertambahnya tingkat kecerahan suatu perairan (FABRICIUS & DE’ATH, 2000). Pada perairan yang keruh, karang lunak yang mengandung zooxanthella hanya dapat tumbuh sampai kedalaman 10 meter. Pada kelompok yang tidak mengandung zooxanthella misalnya kelompok gorgonia dari suku Ellisellidae, Subergorgiidae, Plexauridae dan jenis karang lunak Dendronephthya spp., dapat hidup pada kedalaman lebih dari 10 meter (FABRICIUS & DE’ATH, 2000; 2001). Di perairan yang jernih, batas kedalaman untuk pertumbuhan bagi jenis yang mengandung zooxanthella, misalnya beberapa karang lunak dari marga Sinularia, dapat tumbuh sampai ke kedalaman 40 meter. Ironisnya, banyak jenis yang tidak mengandung zooxanthella (azooxanthellae) dapat tumbuh mulai dari
Nutrien Nutrien (zat hara) yang berbentuk partikel atau terlarut di perairan terbuka (oceanic), berasal dari berbagai sumber. Di perairan terbuka di daerah tropis nutrien diperoleh dari proses pertumbuhan plankton dan organisme pengurai lainnya, terutama di perairan yang biru dan jernih. Dengan adanya arus, kondisi berubah, terjadi pengayaan nutrien, suhu air berubah dan penaikan air dari bawah (up welling) yang merubah konsentrasi senyawa terlarut yang ada di permukaan. Fenomena ini tidak selalu ada, frekwensi dan kejadiannya bervariasi di masing-masing perairan. Lokasi seperti diuraikan di atas biasanya didominasi oleh karang lunak dari marga Xenia (FABRICIUS & DE’ATH, 2000). Di perairan pesisir, konsentrasi zat makanan yang terlarut di dalam air lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka yang jauh dari pantai. Hal ini terjadi karena ada aliran dari sungai-sungai yang membawa nutrisi, juga oleh pengadukan sedimen, yang terjadi di dasar perairan. Di daerah hujan tropis, nutrien dan pengayaan sedimen yang ada sungai mengalir ke laut, dan mengubah konsentrasi nutrien di dalam sedimen dan yang akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton dan mikroorganisme lainnya di laut. Di area pesisir yang dangkal, yang penetrasi sinar matahari terhambat akibat keruhnya perairan, didominasi oleh kelompok karang lunak dari suku Alcyoniidae. Umumnya karang lunak yang mengandung zooxanthella
Jarak), Panulirus homarus (udang Pantung atau udang Bireng), Panulirus longicep (udang Bunga), Panulirus ornatus (udang Cemara/ Ketangan) dan Panulirus penicilatus (udang Batu). Usaha penangkapan udang-udang tersebut terutama di perairan: Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Sumatera.
sebagai penunjang kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti kulitnya dapat dijadikan campuran pembuatan pelet, dagingnya dapat diolah sebagai bahan makanan seperti file udang, kerupuk, abon dan terasi. Udang Penaeus dikategorikan sebagai udang yang mempunyai nilai niaga utama, diikuti oleh Metapenaeus yang merupakan udang penting yang kedua, disusul oleh udang air tawar Macrobrachium, dan yang terakhir adalah udang karang Panulirus (TORO & SOEGIARTO, 1979). Udang Penaeus yang merupakan niaga utama terdiri dari Penaeus monodon (udang Windu/ Pacet), Penaeus merguiensis (udang Jerbung/Putih), Penaeus indicus (udang Kelong/ Poper), Penaeus semisulcatus (udang Bago/Kembang), Penaeus orientalis (udang Wangkang/Tajam), Penaeus canaliculatus (udang Lurik), Penaeus latisulcatus (udang Raja) dan Penaeus esculentus (udang Loreng/Harimau Belang). Udang Metapenaeus ada 6 jenis yaitu: Metapenaeus monoceros (udang Dogol/Apiapi), Metapenaeus affinis (udang Pasir), Metapenaeus ensis (udang Berus), Metapenaeus lysianassa (udang Kuning/ Brintik), Metapenaeus brevicornis (udang Cendana) dan Metapenaeus dopsoni (udang Kapur). Udang air tawar Macrobrachium hanya satu jenis yaitu Macrobrachium rosenbergii (udang Galah) sedangkan udang karang Panulirus ada 6 jenis: Panulirus versicolor (udang Rejuma), Panulirus polyphagus (udang
BIOLOGI UDANG EKONOMI PENTING (NIAGA) Secara morfologi udang-udang ekonomis penting dari suku Penaeidae (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) memiliki bentuk tubuh yang sama, yang terdiri dari 2 bagian yaitu, bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang terdiri dari bagian kepala dan dada (cephalothorax). Bagian belakang, terdiri dari perut (abdomen) dan ekor (telson). Seluruh anggota badan terdiri dari ruas-ruas (segmen) yang keseluruhannya berjumlah 19 ruas, bagian cephalothorax terdiri dari kepala 5 ruas dan dada 8 ruas, serta bagian perut 6 ruas (Gambar 1). Keseluruhan tubuhnya ditutupi oleh kerangka luar yang disebut dengan eksoskleton dan terbuat dari khitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungansambungan antar dua ruas. Sedangkan udang dari suku Palinuridae (Panulirus spp.) dikenal juga dengan sebutan udang karang atau lobster, berukuran tubuh lebih besar dan memanjang dengan cangkang yang tebal serta melebar secara dorsoventral (Gambar 2).
.
17
36
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Morfologi Udang Penaeus spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum, 3.Carapace, 4. Abdominal segments, 5. Scaphocerite, 6. Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9. Telson, 10 & 11. Eksopod dan Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al., 2000).
Gambar 2. Morfologi Udang Panulirus spp. Keterangan: 1. Karapas, 2. Abdomen, 3. Telson, 4. Periopod (Kaki Jalan), 5. Antenulla, 6. Antena (http://www.odu.edu/mbutler/newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Maret 2008)
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
18
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dimasukkan 3 kelompok besar yaitu “sea pen”, karang lunak (soft coral) dan gorgonia (sea fan). Ketiga kelompok ini secara sepintas mudah dibedakan, antara satu dengan lainnya, walaupun secara taksonomis sampai ke tingkat jenis mengalami banyak kesulitan (COLIN & ARNESON, 1995). Kelompok Oktokoral merupakan salah satu anggota Coelenterata yang juga berperan dalam pembentukan terumbu. Sama halnya dengan karang batu, bentuk tubuh anggota oktokoral berupa “polip” yaitu bentuk seperti bunga kecil, namun berbeda dengan karang batu dalam tekstur tubuhnya yang tidak memiliki kerangka yang keras tetapi berupa duri-duri kecil dari senyawa kalsium karbonat, yang tertanam di dalam jaringan tubuhnya. Kondisi seperti ini ditemukan pada kelompok karang lunak marga Sinularia. Bila hewan ini mati, duri-duri kecil yang disebut sebagai “spikula” akan mengendap di dasar perairan kemudian mengeras dan membentuk terumbu. Beberapa jenis oktokoral mengandung spikula dengan ukuran panjang mencapai 1 cm, dan terdapat di bagian pangkal (basal) koloni, sehingga membuat koloni kokoh tegak dan dapat tahan dari gempuran ombak (BAYER, 1963). Beberapa aspek fisika yang berpengaruh dalam pertumbuhan koloni oktokoral, akan diuraikan secara rinci. Ombak dan gelombang yang besar, perubahan temperatur, sedimentasi yang tinggi merupakan faktor oseanografi fisika yang berpengaruh negatif bagi pertumbuhan koloni.
parameter fisika, antara lain cahaya matahari, pergerakan air dan sedimentasi. Tingkat toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut berbeda antara masing-masing individu, jenis maupun marga (FABRICIUS & DE’ATH, 2000). Kebanyakan marga yang hidup di lingkungan yang sering berubahubah kondisi fisik perairannya, hanya menempati area yang sempit (FABRICIUS & DE’ATH, 1997). Ada dua perubahan lingkungan yang berhubungan dengan tempat tumbuh dan melekatnya koloni, yaitu secara vertikal (perubahan kedalaman), dan secara horisontal (perubahan pada jarak antara tempat hidup koloni dengan daratan/pantai). Perubahan yang terakhir berhubungan langsung dengan abrasi pantai akibat gelombang (FABRICIUS, 1997). Kelompok oktokoral merupakan organisme yang tersebar luas, dan dari segi ekologi menunjukkan variasi yang cukup tinggi (BAYER, 1963). Sebaliknya dalam kondisi tertentu yaitu kekeringan, sedimentasi yang tinggi, rendahnya salinitas, biota tersebut kurang mampu untuk bertoleransi terutama bila waktunya lama. Hanya beberapa jenis yang bisa bertahan dalam kondisi tersebut (kekeringan dan sebagainya) bila terjadinya secara beraturan (periodik). Kelompok karang lunak (Alcyonacea) di perairan tropis Pasifik dapat bertahan terhadap kekeringan pada saat surut terendah dan ini terjadi secara periodik, karena pengaruh pasang surut. Sudah diketahui bahwa beberapa jenis juga dapat hidup di bawah garis surut terendah, dan aman terhadap kekeringan, tetapi umumnya ditemukan di perairan yang jernih dan dengan sedikit sedimentasi.
EKOLOGI DAN POLA SEBARAN Sama halnya dengan tumbuhan, kelompok oktokoral terutama karang lunak dan gorgonia hidupnya bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tempat tumbuhnya, terutama substrat dasar yang keras untuk perlekatan larva. Parameter lingkungan yang mempengaruhi adalah
ASPEK EKOLOGIS
Sistematika
Alat kelamin utama disebut dengan gonad terdapat di dalam bagian cephalotorax. Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan menjadi indung telur (ovarium), yang berfungsi menghasilkan telur. Ovarium yang telah matang akan menghasilkan telur yang banyak. Telur akan merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur yang meluas sampai ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma (spermatophora). Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi telur di luar badan induknya (SUYANTO & MUDJIMAN, 1999).
Berdasarkan klasifikasinya udang dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berdasarkan bangsa (yang berukuran besar) Malacostraca, Latreille 1806. Malakos yang berarti lunak (HOLTHUIS 1992). HARDY (1970 dalam ROMIMOHTARTO & JUWANA, 1999) menyusun dan mengelompokkannya sebagai berikut: Phylum : Arthropoda Class : Crustacea Sub-class : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub-ordo : Natantia Super-family : Penaeidea Family : Penaeidae Genus : Penaeus, Metapenaeus, Parapenaeus Species : Penaeus spp., Metapenaeus spp., Parapenaeus spp. Super-family : Scyllaridae Family : Palinuridae Genus : Panulirus Species : Panulirus spp.
Siklus Hidup Menurut TORO & SOEGIARTO (1979) dan KING & KING (1995) di alam, udang dari suku Penaeidae hidup dalam dua fase yaitu: fase di tengah laut dan fase di perairan muara sungai sebagai berikut: a. Fase di tengah laut (paneluran) Udang dewasa hidup dan berbiak di tengah laut (jauh dari pantai). Beberapa saat sebelum kawin, udang betina berganti kulit terlebih dahulu. Matang telur ditandai dengan ovari yang memanjang di bagian dorsal, melebar ke kiri dan kanan, berwarna kehijauhijauan sampai hijau tua atau coklat tua. Keadaan tersebut biasanya menandakan udang betina sudah siap bertelur dan spermatophora telah diterima dari udang jantan.
Reproduksi Jenis kelamin jantan dan betina dari udang-udang tersebut, dapat dilihat dari alat kelamin luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya (gonophore) terletak diantara pangkal kaki jalan ke tiga. Alat kelamin betina disebut thelycum, terletak di antara kaki jalan keempat dan kelima. (BARNES, 1987; SUYANTO & MUDJIMAN, 1999) (Gambar 3).
Semua organisme yang hidup di laut tidak akan terhindar dari pengaruh fisik baik itu dari substrat maupun dari air laut itu
34
19
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 33–42
ISSN 0216–1877
BEBERAPA ASPEK EKOLOGI OKTOKORAL Oleh Anna E.W. Manuputty 1)
ABSTRACT SOME ECOLOGICAL ASPECTS OF OCTOCORAL. Octocorals can be found in the ocean, from Arctic to Antarctic and from the low-tide to the abysses. Most of octocoral species are found on reef flat or continental shelf and slope, but a few of them are in deeper water. They are widely distributed and occupy a great variety of ecological situations. Nevertheless, they rarely tolerate in certain conditions, such as desiccation, heavy sedimentation, and salinity reduction. Some species, of course, are able to endure such conditions more or less regularly. They are also susceptible to abrasion, dislodgment and other forms of damage by storm waves and associated movement of sand and rubble. Octocorals with zooxanthellae are usually restricted to warm water, increasing of water temperature to be the main cause for bleaching. This paper describes octocorals that are depended on a set of basic environmental parameters, and are variation preferences and tolerance ranges.
Gambar 3. Alat Kelamin Udang Jantan (Petasma) dan Betina (Thelycum) (PAULA, 1998).
diri pada salinitas yang bervariasi antara 435%0 dengan suhu yang cukup tinggi dan tumbuh hingga menjadi juvenil muda serta siap bermigrasi kembali ke laut hingga dewasa untuk melakukan siklus berikutnya (Gambar 4 dan 5). Udang karang (lobster) memiliki siklus hidup yang kompleks. Telur-telur setelah dibuahi akan terus berkembang hingga terlihat bintik mata dan menetas menjadi larva phyllosoma dan kemudian menjadi larva “peurulus” (juvenil). Menurut MOOSA & ASWANDY (1984) lamanya waktu yang dijalani oleh tiap jenis lobster berbeda-beda di dalam siklus hidupnya. Udang yang hidup di perairan tropik akan berbeda (lebih singkat) dengan yang hidup di perairan sub-tropik. Udang betina dewasa yang tidak dibuahi setelah berganti kulit, maka akan mati dan kegagalan mengeluarkan telur juga akan mengakibatkan kematian (FIELDER dalam MOOSA & ASWANDY, 1984).
Induk udang matang telur akan melepaskan telur-telurnya (berpijah) di laut pada malam hari. Telur-telur diletakkan di dasar laut dan akan menetas, menjadi larva (dalam bentuk beberapa tingkatan) dan bersifat planktonik. Tingkatan larva pertama dan selanjutnya adalah: nauplius Æ zoea (protozoea) Æ mysis Æ post larva (juvenil). Larva akan terbawa arus hingga ke daerah mangrove (yang dekat dengan muara sungai) atau ke daerah-daerah asuhan. b. Fase di perairan muara sungai “Post larva” (juvenil) hidup secara merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Juvenil (anakan udang) banyak sekali dijumpai di pantai-pantai terutama di perairan muara sungai daerah hutan mangrove yang berfungsi sebagai tempat berlindung (asuhan) dan tempat mencari makan (feeding ground). Anakan udang hidup menyesuaikan
PENDAHULUAN
yaitu kelompok Krustasea, Moluska, Ekhinodermata, Polikhaeta, Porifera, ikan, bahkan jenis-jenis Coelenterata lainnya (YONGE, 1973). Karang batu masuk dalam kelompok atau filum Coelenterata dengan penggolongan selanjutnya kelas Anthozoa, yang bentuk tubuh seperti bunga. Selanjutnya kelas ini terbagi dua, yaitu sub-kelas yang termasuk di dalamnya kelompok karang batu (Hexacorallia) dan kelompok karang lunak (Octocorallia). Istilah oktokoral (memiliki 8 tentakel) diidentikkan sebagai nama umum karang lunak, tapi sebenarnya dari kelompok oktokoral
Terumbu karang ditemukan terutama di perairan tropis dan sub-tropis, dengan sebaran vertikal dari bagian surut terendah sampai ke kedalaman kurang lebih 30 m (BAYER, 1963). Di dalam ekosistem terumbu karang pada umumnya karang batu merupakan biota yang dominan dan dapat membentuk terumbu. Dengan kerangka yang keras dan bentuk serta ukurannya yang beraneka ragam, karang batu dipakai sebagai tempat hidup, berlindung, mencari makan maupun berkembangbiak bagi berbagai jenis biota
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
. 20
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
33
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
REID, P.H.; M.F. BORGES and E. SVENDSEN 2001. A regime shift in the North Sea circa 1988 linked to changes in the North Sea horse mackerel fishery. Fishery Research 50: 163-171.
STENSETH, N.H.; A. MYSTERUD; G. OTTERSEN; J.W. HURRELL; K.S. CHAN and M. LIMA 2002. Ecological Effects of Climate Fluctuations. Science 5585: 1292.
ROESSIG, J.M.; C.M. WOODLEY; J.J. CECH JR and L.J. HANSEN 2004. Effects of global climate change on marine and estuarine fishes and fisheries. Reviews in Fish Biology and Fisheries 14: 251-275.
THRESHER, R.; J.A. KOSLOW; A.K. MORISON and D.C. SMITH 2007. Depth-mediated reversal of the effects of climate change on long-term growth rates of exploited marine fish. PNAS 104(18): 7461-7465.
SPALDING, M.D. and G.E. JARVIS 2002. The impact of the 1998 coral mortality on reef fish communities in the Seychelles. Marine Pollution Bulletin 44: 309-321.
TRENBERTH, K.E. 1997. The use and abuse of climate models. Nature 386: 131133.
Gambar 4. Siklus hidup udang suku Penaeidae (KING & KING, 1995).
Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus spp.) (ANONIM, 2004).
21
32
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Habitat
(JOESOEF, 1974), oleh karenanya hutan mangrove yang memiliki dasar perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang, karena jejaring makanan (food web) yang tidak pernah putus menjadikannya sebagai tempat (niche) yang sangat baik untuk berlindung, tempat bertelur dan tempat mencari makan.
Udang memiliki habitat yang berbedabeda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Sebagian besar udang hidup di laut, yang keberadaannya di perairan dengan bentuk tubuh yang bersegmen-segmen, sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat (JOESOEF, 1974). Habitat yang disukai udang pada umumnya adalah dasar laut yang bersubstrat lunak dan biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Pada umumnya udang bersembunyi di siang hari untuk mengindari predator, banyak di antaranya hidup dalam lubang di pasir, di terumbu karang yang hidup dan yang mati atau di bawah batu-batu (TORO & SOEGIARTO, 1979). Udang karang banyak dijumpai di perairan pesisir dengan dasar perairan berupa pasir berbatu. Udang tersebut (lobster) hidup berkelompok serta bersifat “nocturnal” (mencari makan pada malam hari) dan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu karang (SETYONO, 2006). Udang yang masih bersifat bentik, hidup pada permukaan dasar laut yang bersubstrat lunak (soft) (UNAR dalam TORO & SOEGIARTO, 1979). POERNOMO (1968) pada penelitiannya terhadap larva udang bernilai niaga di Indonesia, mendapatkan bahwa benih stadium “post larva” udang windu (Penaeus monodon) umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan pasang surut yang berfluktuasi. Udang ini dapat ditemukan di aliran sungai kecil dan berdasar lumpur pasiran atau pasir lumpuran yang berbatu-batu kecil (cangkang kerang). Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dan pasir)
Makanan dan Cara Makan Udang Udang bersifat pemakan segala (omnivora), detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai pergerakan yang terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia, karena udang mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya dan tidak bersifat memilih (PUTRI, 2005). MORIARTY (dalam TORO & SOEGIARTO, 1979) berdasarkan penelitiannya, makanan dari beberapa jenis udang Penaeus seperti: P. esculentus, P. peblejus, P. merguiensis dan Metapenaeus bennettae bersifat omnivora, memakan apa yang tersedia di alam. Sedangkan P. merguiensis tingkat mysis memakan larva dari balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post larva selain jasad-jasad renik, juga memakan phytoplankton dan algae hijau. Pada tingkat mysis jenis udang P. monodon, cenderung memakan diatom dan zooplankton. Krustasea pada umumnya adalah binatang yang mencari makan pada malam hari, sama halnya dengan lobster. Lobster merupakan pemangsa organisme dasar yang sangat bergantung kepada kondisi fauna dasar. Kerusakan pada dasar perairan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan udang karang (VASSEROT dalam MOOSA & ASWANDY, 1984). Udang lobster akan keluar dari tempat tinggalnya untuk mencari makan. Jenis yang hidup di perairan dangkal akan menuju terumbu karang atau paparan terumbu, sedangkan jenis yang hidup agak dalam akan berkeliaran di
22
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah laut yang luas, maka Indonesia diperkirakan akan menghadapi dampak perubahan iklim tidak saja di daratan, tetapi juga di laut. Mengingat sumberdaya laut, khususnya perikanan (ikan, udang, rumput laut, teripang, dll) merupakan salah satu sumberdaya penting, maka perlu dilakukan riset untuk dapat memberikan informasi tentang efek perubahan iklim terhadap perikanan.
Beberapa tahun yang lalu terjadi peristiwa pemutihan karang (Coral bleaching) yang dikaitkan dengan peristiwa El-Nino/ ENSO. Disamping itu, produksi perikanan kita juga menjadi berkurang karena cuaca buruk, sehingga nelayan tidak melaut. Semua kejadian ini sudah dapat memberikan indikasi bahwa Indonesia menghadapi ancaman perubahan iklim global terhadap ekosistem laut dan perikanannya. Untuk itu skenario pemecahan masalah segera dapat diwujudkan, dengan melakukan riset untuk menjawab beberapa aspek kelautan dan perikanan, seperti: 1.
Bagaimana distribusi dan kelimpahan spesies atau komunitas ikan terkait perubahan iklim?
2.
Jenis ikan manakah yang dapat dijadikan kandidat bio-indikator dari dampak perubahan iklim?
3.
Dalam konsep laut Nusantara, lokasi mana yang dianggap hot-spot atau daerah sensitif perikanan yang harus dipantau terus menerus?
4.
Bagaimana dampak tingkat produktifitas perairan terhadap kelimpahan ikan dan perubahan iklim?
5.
Bagaimana menurunkan dampak kerusakan dan polusi lingkungan untuk meningkatkan stok perikanan?
6.
Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap aspek sosial dan ekonomi perikanan di Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS 2008a. El Nino Southern Oscillation [online]. http:// en.wikipedia.org/wiki/El_Niño). Accessed on 20 April 2008. ANONIMOUS 2008b. North Atlantic Deep Water [online]. http://en.wikipedia.org/ wiki/North_Atlantic_Deep_Water). Accessed on 20 April 2008. FAO FISHERIES and AQUACULTURE DEPARTMENT 2007. The state of world fishery and aquaculture. Food and Agriculture Organization, United Nations: 162 pp. HOBDAY, A.J.; T.A. OKEY; E.S. POLOCZANSKA; T.J. KUNZ and A.J. RICHARDSON, A.J (eds) 2006. Impact of Climate Change on Australian Marine Life, Part A: Executive Summary. Report to the Australian Greenhouse Office, Canberra, Australia: 36 pp. LEHODEY, P.; M. BERTIGNAC; J. HAMPTON; A. LEWIS and J. PICAUT 1997. El Nino Southern Oscillation and tuna in the western Pacific. Nature 389: 715–718.
PENUTUP Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terdeteksi dampak pemanasan global dan perubahan iklim terhadap perikanan. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan cuaca dan iklim yang kadang-kadang dapat terjadi secara ekstrim.
PARKER, R.O. and R.L. DIXON 1998. Changes in a North Carolina reef fish community after 15 years of intense fishing– global warming implications. Trans. Am. Fish. Soc. 127: 908-920. 31
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MIKRO-OBSERVASI
Estuaria dan kawasan pesisir merupakan wilayah dengan produktifitas yang sangat tinggi, karena menerima pasokan dari beberapa sumber produktiftas primer dan detritus. Bahkan, pada sistem ini hidup biota yang tidak sensitif, turut mempengaruhi fisiologi dan adaptasi tingkah laku organisme lain untuk menyesuaikan dengan kisaran yang luas variasi fisik dan kimia. Akibat dari sirkulasi air dan perubahan volume air laut, estuaria dan wilayah pesisir diperkirakan akan kehilangan habitat intertidal, instrusi yang besar air laut ke air tanah dan meningkatnya utrofikasi, hipoksia dan anoksia (ROESSIG et al., 2004). Sistem pelagis di laut, sangat rentan terhadap perubahan cuaca, sebagai contoh adalah perubahan suhu laut yang diakibatkan variasi the North Atlantic Oscillation (NAO) dikaitkan dengan fluktuasi rekruitmen ikan cod (Gadus morhua) dan pergantian habitat di lepas pantai Labrador dan Newfoundland (STENSETH et al., 2002). Di pantai barat Kanada dan Alaska, terutama di Teluk Alaska memperlihatkan suhu yang meningkat dan salinitas yang menurun. Hasilnya lapisan mixed yang dangkal mengakibatkan menurun pasokan unsur hara, sehingga mempengaruhi tingkat produksi primer dan perubahan jaringan makanan (STENSETH et al., 2002). Australia dalam skenario tentang perubahan iklim global terhadap kelautan, telah memperkirakan bahwa akan ada perluasan wilayah perairan tropis yang dapat memberikan dampak pada distribusi dari karang, ikan dan hutan kelp. Ikan-ikan yang biasanya mendiami wilayah perairan tropis akan bermigrasi ke arah kutub karena perluasan wilayah perairan tropis, naiknya paras laut mengakibatkan menghilangnya beberapa terumbu karang dan luasan hutan kelp menurun, karena suhu air yang meningkat (HOBDAY et al., 2006).
Selain observasi secara makro, untuk melihat kecenderungan perubahan iklim terhadap perikanan, beberapa observasi mikro juga dilaksanakan untuk mendeteksi perubahan iklim terhadap fauna ikan. Ada dua penelitian komunitas ikan terumbu karang yang dikerjakan, yaitu di wilayah North Carolina (Amerika) dan Seychelles (Samudera Hindia) dan satu penelitian bagi ikan-ikan laut dalam. Di North Carolina, komunitas ikan karang diamati setelah 15 tahun mengalami penangkapan yang intensif. Perubahan lain yang dialami, yaitu lebih banyak jenis-jenis ikan karang tropis yang ditemukan (2 famili baru dan 29 jenis baru), juga sponge yang umumnya di wilayah tropis, kini dapat ditemukan. Kelimpahan jenis ikan-ikan temperate berkurang, dan jenis tropis bertambah (PARKER & DIXON, 1998). Peristiwa pemutihan karang, tidak berdampak pada penurunan komposisi jenis ikan karang (SPALDING & JARVIS, 2002). Suatu studi yang ditunjukkan pada ikan-ikan laut dalam yang memiliki peluang hidup yang panjang (lebih dari 100 tahun), telah menyimpulkan bahwa biota-biota tersebut memiliki respons yang sangat lambat terhadap perubahan lingkungan (THRESHER et al., 2007). SKENARIO BAGI INDONESIA? Solusi untuk meredam atau mengurangi dampak buruk dari pemanasan global dan perubahan iklim menjadi sesuatu yang segera harus dipikirkan, direncanakan dan dilaksanakan. Mengingat kedua hal ini terkait berbagai pihak, maka kerjasama dalam penanggulangan dampak negatif harus dikerjakan secara bersama-sama. Bagi Indonesia, yang 70% wilayah kedaulatannya adalah lautan, maka perubahan iklim yang berdampak pada perikanan laut sangat perlu diantisipasi dengan melaksanakan riset yang berkesinambungan.
sekitar habitatnya. Makanan yang digemari adalah moluska (gastropoda, keong dan kerang) dan ekhinodermata (bulu babi, bintang laut, teripang dan lili laut). Sedangkan makanan lainnya adalah ikan (MOOSA & ASWANDY, 1984).
mendukung kegiatan tersebut maka beberapa aspek biologi udang seperti: sistematik, reproduksi, siklus hidup, habitat dan makanan serta cara makanannya di alam merupakan informasi yang sangat dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA PENUTUP ANONIM 2004. Sea Cage Culture of Lobster. National Insitute of Ocean Technology (Dept. of Ocean Development, Govt of India) Pallikaranai, Chennai 601 302). h t t p : / / w w w. o d u . e d u / m b u t l e r / newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Maret 2008.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan laut yang besar, terutama komoditi perikanan, salah satunya adalah udang. Oleh sebab itu sudah selayaknya dan menjadi tanggung jawab bersama untuk tetap menjaga lingkungan serta melestarikannya. Sebagai komoditi penting di sektor perikanan udang menduduki tempat kedua setelah ikan, terutama dari jenis udang suku Penaeus, Metapenaeus dan Panulirus. Udang-udang tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik juga diekspor ke negara-negara tetangga yang biasanya dikemas dalam bentuk beku. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya. Masih banyak daerah-daerah perairan Indonesia yang belum dieksploitasi dengan baik dan benar, tetapi sebagian besar produksi udang berasal dari hasil eksploitasi di laut, karenanya peranan dan potensi perairan perlu dijaga guna mendukung produksi udang secara umum. Dalam upaya meningkatkan produksi udang telah dilakukan upaya budidaya dengan pendayagunaan tambak kolam dan danau. Budidaya dengan pembenihan dan restocking adalah cara terbaik untuk mengimbangi penangkapan udang di alam. Selain itu budidaya yang ramah lingkungan merupakan unsur penting yang harus diperhatikan. Untuk
30
BARNES, R.D.1987. Invertebrate Zoology. Sounders College Publishing. New York: 124 pp. DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorak Jendral Perikanan Jakarta: 15 hal. HOLTHUIS, L.H. 1992. Marine Lobster of the World. FAO Fisheries Synopsis, vol 13. No. 125. FAO Rome: 139-141. URL: http://www.lobster.org. Tanggal akses 19 Maret 2008. JOESOEF, S. 1974. Beberapa Segi Ekologi dan Penyebaran Udang Penaeus di Perairan Teluk Kotawaringin (Kalimantan Selatan). Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta: 45 hal. KING, M. and S. KING 1995. Environmental Education Module. The Oceans and Coastal Areas and their Resources. Unesco-Unep, International Environmental Education Programme (IEEP).http://www.fao.org/docrep/007/ y2859e/y2859e02.htm#1 . Tanggal akses 28 Februari 2008. 23
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SETYONO, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus spp.). Oseana 31 (4): 39-48.
MOOSA, M.K. dan I. ASWANDY 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Ikan. Lembaga Oceanologi Nasional, LIPI, Jakarta: 23 hal.
SUBANI, W. dan H.R. BARUS 2007. Teknologi Penangkapan Udang. Tekno Alat Tangkap. Teknologi-http://www. dkp.go.id/ (Tanggal Akses 28 Feruari 2008).
PAULA, D. 1998. National Institute of Oceanography Images. Bioinformatic Centre India. Goa. http:// www.india_ocean.org. Tanggal akses 28 Februari 2008.
SUMIONO, B. 1998. Sumberdaya Udang Peneid dan Krustasea Lainnya: Kumpulan Makalah Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta: 14 hal.
PUTRI, R.M. 2005. Sistem Informasi Udang (Crustacea, Malacostraca, Decapoda) di Perairan Indonesia. Teknologi Informasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor: 71 hal.
SUYANTO, S.R. dan A. MUDJIMAN 1999. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta: 125 hal. TAKEDA, M.K.; D.L. RAHAYU and I. ASWANDY 2000. Prawns and Crabs. In: Field Guide to Lombok Island. ( K. Matsura, O.K. Sumadhiharga and K.Tsukamoto, eds). Ocean Research Institute. University of Tokyo. Tokyo: 54-96.
POERNOMO, A. 1968. Studies on the Larva of Commercial Prawns and the Possibility of their Culture in Indonesia. Research Institute for Inland Fisheries Bogor: 13 pp.
TORO. V. dan K. SOEGIARTO 1979. Biologi Udang. Dalam: UDANG. Biologi, Potensi, Budidaya, Produksi dan Udang Sebagai Bahan Makanan di Indonesia. Soegiarto, V. Toro dan K.A. Soegiarto, (eds). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi. Lembaga Oseanologi Nasional-LPI, Jakarta: 3-44.
ROMIMOHTARTO, K. dan S. JUWANA 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 527 hal.
24
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
mempengaruhi sistem endokrin dan pola ruaya (ROESSIG et al., 2004). Semua perubahan ini secara langsung berpengaruh pada populasi dan struktur komunitas ikan, yang pada akhirnya berpengaruh pada stok perikanan. Beberapa dampak perubahan ikim pada perikanan telah terdeteksi pada perikanan seperti mackerel (Trachurus trachurus), dan ikan teri (Famili Engraulidae). Telah dilaporkan bahwa mackerel meningkat produksinya selama tahun 1946-1987 terkait dengan meningkatnya konsentrasi fitoplankton and zooplankton. Namun sejak tahun 1988 terjadi penyimpangan pada kondisi North Atlantic Oscillation (NAO) yaitu ditandai dengan kenaikan suhu udara di wilayah Eropa barat. Kondisi anomali ini mempengaruhi tingkatan tropik di laut, kondisi hidrografi dan atmosfir pada skala 10 tahunan. Akibatnya mackerel mengalami migrasi, sehingga populasinya berkurang. Kejadian ini juga dialami oleh ikan teri di lepas pantai Peru. Pada tahun 1970-an, perikanan teri sangat produktif, pernah terjadi dalam satu hari di tahun 1972, produksinya mencapai 180.000 ton. Namun beberapa minggu kemudian terjadi El-Nino yang membawa masa air panas, sehingga proses upwelling terhenti dan produksi teri menurun. Peristiwa ini memberikan indikasi bahwa kondisi ekologi sangat berpengaruh (STENSETH et al., 2002; REID et al., 2001). Peristiwa El-Nino juga berpengaruh pada produksi cakalang. Hampir 70% produksi ikan cakalang di dunia berasal hasil tangkapan dari Samudera Pasifik. Cakalang sangat banyak hidup di perairan hangat wilayah ekuator Pasifik bagian barat. Namun akibat dari peristiwa El-Nino, maka terjadi pergeseran masa air yang hangat ini, sehingga penyebaran cakalang juga mengalami perubahan. Dengan demikian prediksi ENSO menjadi penting untuk menentukan wilayah penangkapan cakalang yang potensial bagi usaha tuna komersial (LEHODAY et al., 1997).
secara perlahan sejak tahun 1950, dan melalui program pemacuan sumberdaya ikan, maka pada tahun 2004 produksi perikanan perairan umum di dunia telah mencapai 9,2 juta ton (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Dengan demikian, perikanan tangkap secara global mengalami kecenderungan peningkatan, namun pada beberapa lokasi terjadi penurunan produksi yang cukup ekstrim. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERIKANAN Belum banyak riset tentang dampak perikanan kaitannya dengan perubahan iklim global, namun lebih banyak terkait dengan kondisi tangkap lebih (overfishing). Padahal kemungkinan kondisi perikanan yang menurun bisa saja terjadi karena migrasi jenis ikan target (bernilai ekonomis) akibat perubahan iklim. Diperkirakan beberapa lokasi di daerah beriklim sedang (sub-tropis) akan menjadi lokasi ruaya tetap dari ikan-ikan yang biasanya hidup di wilayah tropis. Akibat dari kejadian ini, maka stok perikanan akan menurun, namun dilain pihak pola migrasi tetap ini sekaligus juga akan memindahkan tingkat keanekaragaman biota laut dari tropis ke sub-tropis. Keanekaragaman hayati laut Indonesia dapat saja terancam dampak perubahan iklim global, karena posisi Indonesia di wilayah tropis, sehingga dikuatirkan Indonesia dapat kehilangan status sebagai negara maritim dengan mega-biodiversitas laut. Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku individu, populasi maupun komunitas. Kondisi ekstrim dengan menaiknya suhu air, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan pH air dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Lingkungan dengan kondisi yang tidak optimal dapat menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan dan kemampuan bertelur dari ikan, juga merubah metamorphosis, dan
29