Majelis Tarjih Muhammadiyah Indonesia (Mencari Titik Temu Antara Fiqh Dan Filsafat) Amhar Rasyid IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi Indonesia Pendahuluan Muhammadiyah adalah salah satu oragnisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia,yang didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, atau 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta. Banyak sumbangan berharga yang telah diberikan oleh Muhammadiyah di Indonesia, seperti menggunakan bahasa Indonsia pada Muktamarnya tahun 1923, jauh mendahului Soempah Pemoeda tahun 1928, dan ini berdampak politik pada masa kolonialisme Belanda. Mengadakan solat hari raya di lapangan terbuka, pada hal dahulu orang hanya solat di mesjid-mesjid. Dan khotbah yang umumnya disampaikan dengan bahasa Arab,dirobah dan disampaikan oleh Muhammadiyah dengan bahasa Indonesia. Di zaman modern ini, Muhammadiyah telah mengeluarkan putusan tentang pengharaman merokok, status persamaan derajat laki-laki dan perempuan, serta masalah kebolehan mendirikan bank. Pada Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makasar pada tahun 2015 baru-baru ini terdengar usulan agar jenazah koruptor jangan disolatkan, namun Buya Syafi’i Ma’arif nampaknya tidak setuju.Inilah diantara contoh-contoh tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah, tetapi metode ijtihad untuk sampai kepada putusan tarjih ini dinilai Maarif masih pada level tajdid ‘pinggiran’(Maarif, 1985: 74) (kurang bermakna besar). Sebenarnya, organisasi Muhammadiyah mempunyai beberapa majelis yang bertugas di bidangnya masing-masing. Majelis Tarjih, salah satu darinya, dapat diumpamakan posisinya dengan مج ٌمع البحوث االءِ سال مىٍّةdi Mesir, atau The Institute of Islamic Research di Pakistan. Ia bertugas, pada mulanya, mentarjih (mencari dalil yang terkuat di antara yang kuat) agar dapat dipegangi umat sebagai penuntun ke arah cara beribadah yang murni, bersih dari takhayyul,bid’ah, dan khurafat dan sesuai dengan ajaran dan praktek-praktek Rasulullah saw. Oleh sebab itu, Majelis Tarjih menjadikan sumber referensi normatifnya terutama sekali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Ia tidak terikat dengan pendapat Imam-Imam Mazhab dan pendapat ulama-ulama Salafiyin. Sekarang, selain bertarjih, Majelis ini juga telah aktif membicarakan berbagai pemikiran persoalan modern yang melanda umat, karena itu upaya tajdid (pembaruan) juga menjadi objek kajiannya. Singkat kata, Majelis Tarjih adalah ‘think tank’ Muhammadiyah. Menurut beberapa cendekiawan Muhammadiyah, substansi tarjih ke depan di akhir abad ke 20 dan awal ke 21, harus berbeda dari sebelumnya, antara lain karena akan semakin tingginya semangat resistansi dan sekularisme. Resistensi atas sekularisme pada era post-modernisme akan semakin tinggi tatkala ia berhadapan dengan nilai-nilai agama, tetapi ia akan merendah tatkala berhadapan dengan teknologi. Namun,Muhammdaiyah, kendati kabarnya telah mempunyai cabang di Singapura dan Malaysia, tetapi organisasi ini dinilai tidak mempunyai minat untuk mengembangkan sayapnya lebih jauh ke dunia antar-bangsa (Azra, 2009: 16).
87
Tajdid dan purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dua hal yang sebenarnya merupakan fiqh modern. Dikatakan fiqh modern, sebab ia adalah cerminan perkembangan horizon keagamaan Majelis Tarjih dalam berdialektika dengan sejarahnya. Wawasan horizon keagamaannya berasal diantaranya dari ‘cara membaca’ dan ‘cara memahami’ sumber-sumber referensial di atas, maka persoalan pembacaan teks dan pemahaman secara filosofis patut dipertanyakan. Di sana, dalam ‘membaca’ dan ‘memahami’, ada hal-hal yang kadangkala sudah diterima saja kebenarannya (taken for granted),pada hal filosuf Jerman abad ke 20, bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002), mengatakan bahwa membaca seyogyanya menghasilkan arti (meaning) yang berbeda dari author (pengarang), dan ‘memahami’ (to understand) adalah suatu proses kejadian (event). Proses memahami sesuatu, bukan seperti yang selama ini kita pahami, sebagai sesuatu yang diperoleh, diraih, dengan wajar. Dikatakan ‘event’ karena proses pemahaman di dalam diri seseorang adalah merupakan ‘perjumpaan dengan sesuatu yang baru’ yang datang dari luar dirinya, misalnya faktor-faktor eksternal, seperti perkembangan sains, ekonomi, politik, budaya dan teknologi. Setiap kali memahami sesuatu, maka di situ terjadi pula interpretasi. Persoalannya, apakah Majelis Tarjih menyadari hal tersebut atau tidak. Bila jawabannya affirmatif, maka sejauhmana interpretasi Majelis Tarjih telah bergeser dari author? Bila tidak bergeser, hal-hal apa yang menjadi penghalangnya? Maka, dalam tulisan ini akan dibahas sekitar metode hukum yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan contoh produk hukumnya. Bila produk hukum tersebut dinamakan fiqh, aspek-aspek apa yang dapat dilihat dari kajian filsafat? Di sana akan diupayakan untuk menjelaskan bagaimana ikhtiar mempertemukan fiqh, sebagai produk nalar manusia dalam memahami hukum-hukum Tuhan, dengan filsafat, sebagai metode berfikir rational yang berusaha menggali hakikat kebenaran di balik produk-produk hukum. Untuk itu pembahasan menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, karena dengan menggunakan kerangka fikir semacam itu diyakini akan semakin jelas nampak kisi-kisi pemahaman (understanding) yang diperoleh Majelis Tarjih dalam bertarjih. Semakin nampak beda cara kerja metodologis Majelis Tarjih dengan ontologis ala Gadamer.Sehingga hasil final presentasi ini diharapkan berakhir pada ‘memperkaya dan memperdalam’ cakrawala (horizon) fiqh Islam kontemporer pada kedua pihak, baik untuk peserta seminar maupun untuk Majelis Tarjih sendiri dan kaum Muslimin umumnya. Untuk itu, pembahasan makalah dibagi kepada beberapa aspek: Muhammadiyah, kemudian Majelis Tarjih, metode-metode dan produk hukumnya, dan terakhir kesimpulan. Majelis Tarjih Dalam kitab: كشف آلسرار, tarjih adalah: “ المعا ر ىنض لما فىه من مزىٍّة معتبرة تجعل العمل به اوآل من اآل خر ” تقدىِم المجتهد احد الطرىقىِن. (Usaha yang dilakukan oleh Mujtahid untuk mengemukakan satu dari dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu). Adapun arti tarjih dalam istilah ialah “adanya petunjuk penyerta yang membuat sesuatu lebih kuat dari pada sesuatu yang sebaliknya atau yang berlawanan”. (Ali, 2005:45). Tarjih dikatakan oleh banyak ulama sebagai tingkat ijtihad paling rendah saat mujtahid tidak melakukan ijtihad. Sebab dalam Ushul Fiqh terdapat dua macam tarjih: (1) tarjih terhadap dalil yang secara zahir bertentangan, dan (2) tarjih terhadap pendapat yang sudah ada. Majelis Tarjih merangkul kedua jenis tarjih di atas, dan disitulah terlihat ruang gerak ijtihad.
88
Sementara ini bagi Muhammadiyah secara organisatoris, ruang gerak ijtihad terbatas hanya pada bidang fiqh saja: segala yang bersifat ubudiyah dan ‘aqidah adalah medan bebas rasionalitas (Maksum, 1989:11). Artinya, nalar logika dan interpretasi anggota Tarjih hanya berkutat pada masalah non ubudiyah dan non aqidah. Pertimbangan ini nanti memaksa kita mengkaji masalah pembacaan teks dan memahaminya hanya pada bidang fiqh saja. Syafi’i Maarif (mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) mengatakan ijtihad Majelis Tarjih masih bersifat ‘pinggiran’. Kualitas ijtihadnya masih belum sampai ke tingkat (level) ijtihad yang diidolakan oleh Muhammad Iqbal atau Fazlur Rahman, dimana seluruh bangunan hukum Islam harus dirombak total dengan sinaran al-Qur’an. Belum ada keberanian intelektual untuk melakukan perombakan menyeluruh semacam itu. Hal yang sama juga dilontarkan oleh Amin Abdullah (mantan Ketua Majelis Tarjih). Guru Besar ini mengeritik pemikiran tarjih yang selama ini masih belum berani ‘mengawinkan’ fiqh dengan falsafah dan pengetahuan modern. Majelis Tarjih dinilainya belum berani mempertanyakan, meninjau ulang karya-karya tafsir ulama Salaf. Bahkan belum ada keberanian untuk memepertanyakan qa’idah ushuliyah sekalipun. Qa’idah ushuliyah sesungguhnya adalah salah satu produk historisitas pemahaman ushuliyun, yang terkondisi oleh ‘horizon’ (tebaran pandang) yang dimiliki orang-orang pada zamannya, sehingga ia memerlukan reinterpretasi untuk Majelis Tarjih hari ini, tetapi hal ini belum dilakukan. Dr. Munir Mulkhan, seorang tokoh intelektual Muhammadiyah pada masa ini, pesimis bila gagasan orisinil K. H. Ahmad Dahlan dicari relevansi spiritnya kepada metode Tarjih hari ini. Diantara keduanya ada beda. Orientasi Kiyai lebih inklusif dan berorientasi kepada dunia sosial di luar, sementara Majelis Tarjih lebih eksklusif dan berorientasi ke dalam (fiqhiyah). Persoalan Tachayyul, Bid’ah, dan Churafat (TBC) yang ditanggulangi K. H. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya masih banyak dipahami hari ini oleh Tarjih sebagai ‘objek’ (realita sosial) itu sendiri, bukan sebagai ruh/spirit yang melandasi pembasmiannya. Artinya, bila K. H. Dahlan mendirikan rumah sakit (hospital) di masa hidupnya untuk menolong orang sakit dan kaum lemah, sekarang Muhammadiyah juga memperbanyak kuantitas rumah sakit, tanpa ada pemaknaan kontemporer yang lebih dari itu. Bila perhatian diarahkan kepada ruh/spiritnya, maka persoalan TBC hari ini bisa berupa macam-macam pola penyakit sosial-religius (misalnya gelandangan, kawula muda yang cenderung ‘nakal’). Akibatnya Majelis Tarjih, katanya, gagal membangun komunikasi religius dengan lapisan bawah, dan juga gagal membangun program pemberdayaan rakyat. Majelis Tarjih sekarang, dari kritik Mulkhan, masih tidak mampu menangkap pesan perennial sang tokoh (Mulkhan, 2000). Kalau begitu, apa metode dan bagaimana cara kerja tarjih yang diterapkannya selama ini?
Metode Ka’bah menyebutkan sistem kerja Majlis Tarjih, pertama, mencari ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi Muhammad saw yang relevan dengan permasalahan yang tengah dihadapi. Bila tidak dijumpai? Ijtihad ulama di masa lampau kemudian menjadi rujukan (reference) oleh Majelis Tarjih dikala al-Qur’an dan al-Sunnah tidak mewariskan bentuk tertulis dalam hal yang dibahas. Keputusan tarjih akan diumumkan sehubungan telah dikaji dan dibahas berbagai dalil diantara pendapat-pendapat ulama Salaf tersebut, yang dinilai salah satunya sebagai dalil atau pendapat terkuat(arjah) (Ka’bah, 1998: 7). 89
Ka’bah lebih jauh menjelaskan bahwa sistem kerja kedua oleh Majlis Tarjih ialah penerapan metode qiyas, dan cara kerja yang ketiga ialah ishtishlah, bilamana qiyas tidak bisa diterapkan kepada masalah tersebut (Ibid, 1998: 8). Masalah qiyas dan istishlah ini tidak akan dibahas di sini. Sehubungan dengan ijtihad di atas, baik Dr. Djamil maupun K. H.Asjmuni (dua orang tokoh Muhammadiyah) juga telah sama-sama menyebutkan bahwa Majelis Tarjih telah melakukan pembacaan teks/nash dalam tiga bentuk: bayani, qiyasi, dan ishtishlahi. Bagi Asjmuni, metode bayani dipahami sebagai deduksi nash-dzhanni yang berujung pada upaya mendapatkan kepastian hukum dengan cara mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kinerja jenis ini berupaya menjelaskan teks umum (nash mujmal) yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun Hadits, atau menjelaskan arti ayat yang mempunyai arti lebih dari satu (lafz musytarak), dan juga menjelaskan arti nash yang mutasyabbih (mempunyai dua arti yang mirip: mirip sifat Allah atau mirip sifat manusia). Lebih jelasnya, Bayani artinya menjelaskan kepastian hukum yang ada bukti teks/nash dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan qiyasi artinya menentukan status hukum baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang jelas tekstualnya di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dan istishlahi artinya menentukan status hukum persoalan-persoalan baru di luar kedua sumber di atas dengan patokan idealisnya kemashlahatan. Namun pada masa kepemimpinan tarjih oleh Prof. Dr. Amin Abdullah, (1995-2000), metode-metode tersebut berobah kepada bayani, burhani, dan ‘irfani. Dalam tulisan ini, pembahasan dibatasi hanya pada bayani. Pendekatan Bayani sebenarnya merupakan pola epistem khas milik dan Weltanschauung bangsa Arab (Al-Jabiri, tt:556). Secara etimologi ia berarti kumpulan qaidah untuk menafsirkan khitab (wacana) yang terungkap dari dalam teks. Ia juga, bagi Syafi’iyyah (Ibid, :17), berarti cara mengorientasikan al-far’ kepada al-ashl. Mari kita lihat lebih jauh tentang sejarah metode bayani. Metode bayani dipahami oleh banyak intelektual Muslim seperti al-Jabiri, Shahrour, Abou Zaid, Arkoun, Fazlur Rahman, dan lainnya, sebagai warisan intelektual Arabo-Islami pada masa puncak kejayaan Islam di zaman Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke III hingga ke V H (Arif,2000:126-149). Pada masa itu terjadi ‘tadwin’ (kodifikasi besar-besaran) dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman. Fiqh, Kalam,Nahw, Balaghah, adalah di antara ilmu-ilmu yang menjadi lokomotif bagi dinamika wawasan ilmu-ilmu keislaman. Metode bayani itulah yang berpengaruh dan tetap diwarisi di dunia Islam hingga kini, sebagaimana dijumpai prakteknya pada Majelis Tarjih. Tokoh yang yang dianggap mempunyai pengaruh besar atas introduksi metode bayani, di antaranya, adalah Imam al-Ghazali, dan Imam al-Syafi’i. Peran mereka terlihat pada penetapan qiyas sebagai cara beristidlal, dimana terdapat persamaannya dalam ilmu lughah (tasybih). Harus diingat bahwa bangsa Arab telah lebih dahulu mengenal ilmu kebahasaan tidak tertulis sebelum Islam datang, misalnya pada hafalan sya’ir-sya’ir, kisah-kisah Israiliyat, dan sebagainya. Artinya, tradisi tulis menulis dan mengqiyaskan kepada naqly adalah gejala intelektual yang datang belakangan, dan golongan ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang berjasa membangun ortodoksi dalam Islam, menetapkan bayani sebagai metode. Apa sesungguhnya metode itu?
90
Metode adalah sebuah rumusan yang terdiri dari sejumlah langkah-langkah yang dirangkai dalam urutan-urutan tertentu, merupakan perangkat aturan yang dapat membantu peneliti mencapai sasarannya secara tepat. ...Metode menunjuk pada kepastian, ketepatan, tata dan ketertentuan... (Sumaryono, 1993:134). Metode bayani mempunyai relevansi epistemologis sebagai berikut. Pertama, ia terkait dengan adagium االصل فى النص ال فى الواقعArtinya, epistem bayani memprioritaskan hubungan lafadz dengan makna. Dominasi teks mengungguli segalanya. Maka yang dipentingkan dengan bayani ialah bagaimana ilmu-ilmu yang mengarah kepada pendalaman aqidah, sementara fiqh lebih diutamakan sebagai cabang ilmu yang membawa umat ke arah ibadah. Oleh karena itu ruang lingkup bayani terkungkung pada 3 hal; 1). Istinbath sebagai aktifitas intelektual yang bertitik tolak dari al-ashl. 2). Qiyas sebagai aktifitas intelektual yang bermuara ke al-ashl (kebalikan istinbath). 3). Aktifitas intelektual yang diarahkan oleh al-ashl, yang disebut caracara beristidlal (Al-Jabiri, tt :113-6). Jelas dari ketiga hal di atas, metode bayani sangat terpaut pada hegemoni teks atau jaringan sulthath al-ashl, dan ilmu-ilmu yang dirasa kurang berbau keislaman terdepak ke belakang, dan para filosuf Muslim (Ibnu Sina, Al-Farabi, dan sebagainya) dengan metode rationalnya ikut menanggung akibatnya. Meskipun terpaut pada sulthat al-nash, pokok-pokok Manhaj Tarjih No. 34 menyebutkan:” Prinsip mendahulukan nash (teks) dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi” (HPT, tt.No13). Artinya, kendati berbasis metode bayani, Majelis Tarjih juga menyadari bahwa tekstualitas teks mengalami historisitas. Tidak selamanya kebenaran bersemayam di dalam teks. Ini adalah pernyataan penting yang perlu dicermati untuk pembahasan falsafati nanti. Sekarang kita beralih ke contoh penerapannya. Masalah Riba dan Perbankan Contoh putusan tarjih yang pernah diambil melalui metode bayani, diantaranya, adalah rekomendasi untuk mendirikan Bank Muhammadiyah bernama Bank Matahari Cabang Jakarta tahun 1968. Rekomendasi ini berdasarkan putusan tarjih yang melihat adanya Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan, pertama, oleh Jabir dimana Nabi berhutang uang kepada seseorang, tetapi tidak mensyaratkan akad tambahan yang ditentukan sebelumnya. Tatkala membayarnya, Nabi memberi sedikit ‘kelebihan’. Dan kedua, Hadist riwayat Abi Hurairah di mana Nabi pernah berhutang ternak kepada seseorang, dan kemudian Nabi membayarnya juga dengan memberi ‘kelebihan’ umur, tanpa ada akad sebelumnya. Atas kebolehan memberi ‘kelebihan’ sebagai tambahan pokok hutang, maka Majelis Tarjih merekomendasikan Muhammadiyah untuk mendirikan bank. Di sini terlihat bahwa proses qiyas telah berpengaruh kepada fiqh dengan menggunakan metode bayani dari Hadist. Menilai suatu karya, misalnya, hal yang sangat perlu diperhatikan bukanlah maksud si pengarang, bukan pula melihat karya tersebut sebagai sesuatu yang di luar sejarah, tetapi “apa yang senantiasa muncul dalam perjumpaan-perjumpaan historis kemanusiaan.” (Palmer, 193). Coba lihat dalam penjelasan tentang Riba. AlThabari, berdasarkan riwayat dari Mujahid dan Atho’, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an surah Ali Imran 130: تأ كلوا ا لربواا اضع ف مضا عفة ىِا ىِها ا الذىِن ا المنوا itu terkait dengan riba pada masa jahiliyah, dimana Bani Tsaqif dan Bani Mughirah terkait hutang piutang, sehingga tatkala jatuh tempo sudah tiba masanya, debitor minta perpanjangan waktu dan konsekwensinya debitor harus membayar bunga (al-Thabari, 1972: 204-5). Kemudian dijumpai pula kutipan riwayat lain dalam kasus serupa oleh al-Thabari 91
dari Ibnu Zaid yang mengatakan bahwa riba pada masa jahiliyah terkait dengan kasus pelipat gandaan umur hewan yang dipinjam dari seseorang. Bila seseorang berhutang meminjam seekor onta berumur satu tahun, maka dia harus membayar dengan umur hewan yang lebih tua dari itu. Dalam kedua contoh kasus di atas terdapat ‘kejadian’. Ini yang perlu dilihat dalam filsafat di bawah ini nanti. Muhammadiyah, berdasarkan putusan Tarjih, berpendapat bahwa masalah perbankan, karena belum ada di masa awal Islam (HPT, tt:304), maka ia termasuk masalah ijtihadiyat ((Djamil, 1995: 121). Dan ‘illat bagi keharaman riba, bagi Muhammadiyah, adalah adanya penghisapan antara manusia (HPT, tt:304). Mengapa demikian? Ada beberapa pertimbangan bagi Majelis Tarjih: a. Bahwa nash-nash al-Qur’an dan Sunnah tentang haramnya riba mengesankan adanya “Illah terjadinya penghisapan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah”. b. Bahwa perbankan adalah suatu sistem lembaga perekonomian yang belum pernah dialami Umat Islam pada masa Rasulullah saw. c. Bahwa hasil keuntungan Bank-Bank milik Negara pada akhirnya akan kembali untuk kemaslahatan ummat. d. Bahwa termasuk atau tidaknya bunga Bank ke dalam pengertian riba Syar’i dirasa belum mencapai bentuk yang meyakinkan. Keputusannya: a. Riba hukumnya haram, dengan nash sharih Qur’an dan Sunnah b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram, dan bank tanpa riba hukumnya halal. c. Bunga yang diberikan Bank-Bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara ‘musytabihat’. d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan qaidah Islam (HPT, 1971:. Perlu diketahui bahwa 2 orang tokoh Muhammadiyah, yaitu Sjafruddin Prawiranegara (Mantan Presiden di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) dan Kasman Singodimedjo telah menyatakan pendapatnya bahwa bunga bank tidak haram, dan suatu saat Majelis Tarjih dapat menerima pendapat tersebut (Maarif,1995: 95-96). Namun hingga munculnya konsep perbankan syari’ah, pendapat Muhammadiyah, sebagai induk organisasi, masih tetap menyatakan bahwa bunga bank musytabihat (HPT, tt: 304). Dengan munculnya konsep perbankan syari’ah modern, sekarang Muhammadiyah agaknya sudah agak merasa lega dalam menghadapi persoalan bunga dan riba (interest and usury), meski tetap tidak menerima pendapat ke dua tokoh di atas. Amin Suma, juga seorang intelektual Muhammadiyah, menilai Majelis Tarjih lamban dan ambivalen, terutama pada putusan tarjih tentang hukum bunga bank yang berstatus syubhat yang baru ditetapkan tahun 1968. Sebenarnya, keputusan ini merobah ‘status haram’ bunga uang pada modal yang sebelumnya diputuskan tahun 1932: tenggang waktu selama 36 tahun yang membuat umat bingung. Selain membingungkan, sikap ambivalen nampak tatkala Majelis Tarjih dikabarkan menghalalkan penarikan bunga uang pada koperasi simpan pinjam, diduga nilai marginnya lebih besar dari nilai bank. Bahkan Muhammadiyah belakangan 92
menganjurkan warganya untuk menyimpan uang amal usaha di BRI terdekat dan juga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Matahari Arthadaya di Ciputat. Suma menyarankan agar Majelis Tarjih, dalam menetapkan hukum, jangan hanya terpaku kepada pertimbangan ‘illat mengikuti alur fikiran ahli ushul fiqh, tetapi juga kepada hikmah, sebagaimana yang dianjurkan oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, dan al-Syathibi (Suma, 1995: 52-56). Sekarang dapat disimpulkan sementara dari uraian tentang metode, contoh kasus, dan pendapat para tokohtokoh bahwa ada yang perlu dilihat secara lebih mendalam dengan falsafah, dan barangkali akan sangat berguna. Fiqh dan Hermenutika Filosofis: Mencari Titik Temu Pada umumnya, fiqh berarti ‘faham yang mendalam’. Fiqh adalah ‘ilmu tentang hukumhukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalilnya yang rinci’ (Anis et al., 1972:698) Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘faham yang mendalam’ dan bagaimana sikap umat umumnya terhadap fiqh? Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa umumnya bangsa Indonesia, secara sosiologis, menganggap fiqh sama dengan hukum Islam, dan hukum Islam sama pula dengan hukumTuhan. Akibatnya, fiqh dianggap sebagai aturan Tuhan, dan kitab-kitab fiqh sebagai kumpulan hukum-hukum Tuhan. Karena hukum-hukum Tuhan diyakini mutlak benar, maka isi kitab-kitab fiqh dianggap semuanya benar: kitab fiqh sama dengan buku agama Islam itu sendiri. (Rahman, et al, 1994: 371). Artinya, Historical Islam dan Normative Islam, bagi orang awam, sama sucinya. Pada kedua-duanya berlakulah ‘faham yang mendalam’, dan barangkali agak sulit untuk mengatakan bahwa fiqh sebagai Historical Islam bersifat relatif . Bila demikian halnya, perlu dipertanyakan apa beda agama dengan filsafat? Agama bekerja menenangkan fikiran, sedangkan filsafat ‘mengeruhkan’ fikiran: ia mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap benar. Berfilsafat adalah berupaya mencari kelemahan dan kekuatan tiap argumen, bahkan argumen yang telah diyakini sendiri bisa ditinggalkan. Beragama berusaha ‘mati-matian’ mempertahankan ‘aqidah yang diimani (Rasjidi,1984:4). Pernyataan Atho’ di atas nampaknya menceritakan sosiologi keagamaan orang Indonesia yang menyamakan agama dengan fiqh sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang menenangkan jiwa. Fiqh tidak boleh diutak-atik, sementara kajian kita kali ini berusaha ‘menggoyang’ keyakinan fiqhiyah tersebut dengan mempertanyakan accuracy metode bayani. Dalam menghasilkan fiqh, Majelis Tarjih menggunakan metode, antara lain, bayani, seperti telah dijelaskan di atas. Bila dilihat cara kerja metode bayani di atas, agaknya sulit untuk meluaskan ruang gerak fiqh ke arah kontekstualisasi dimana filsafat hermeneutika bekerja. Umpamanya, bagi Syamsul Anwar, Ketua Majlis Tarjih sekarang, kontekstualisasi hukum harus memenuhi 4 syarat: 1) Adanya tuntutan kemashlahatan untuk berubah. 2) Di luar cakupan hukum-hukum ibadah mahdhah. 3) Hukum itu tidakbersifat qath’i (baku), seperti larangan memakan riba, praktek zina, dsb. 4) Transisi kedua hukum dari yang lama kepada yang baru harus berlandaskan dalil-dalil syar’i juga. Artinya, perpindahan ketetapan hukum adalah perpindahan dalil
93
(Anwar,2013:118). Artinya, kebenaran di atas rationalitas masih diyakini bermukim di dalam teks/nash.
Secara falsafah, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan. Pertama, Majelis ini sebenarnya dengan metode bayani mentarjih hasil dialektika pemikiran manusia masa silam dengan lingkungannya (zaman lampau). Hasil goresan tangan ulama masa silam ditarjih hari ini. Hadist Nabi jelas ditulis oleh orang-orang sesudah Nabi wafat. Banyak perawi Hadist yang meriwayatkan Hadist dari pemahamannya sendiri. Pada hal, setiap karya tulis tunduk pada interpretasi grammatikal dan sejarah (Gadamer, 1989:176). Bila metode bayani menghasilkan suatu pemahaman, maka ia layak disebut interpretasi. Namun bagi Heidegger, guru Gadamer, interpretasi harus berkenaan dengan hal-hal yang tidak diketahui, yang perlu diungkap, bukan dengan klarifikasi dan evaluasi data yang sudah diketahui. Maka tugas interpretasi, bukan penampakan hal-hal, tetapi pencapaian pembenaran dari sekian banyak interpretasi yang ada (Palmer, 2003:169). Sementara metode bayani adalah penampakan hal-hal yang diyakini paling ارجح. Bayani senantiasa bertolak dari a pa-apa yang akan dibayankan (dijelaskan), maka pembenaran dicari dari sekian banyak warisan yang tertulis. Kalau begitu, metode bayani tidak mencari kebenaran secara ontologis kepada Being. Ia hanya terpaut pada bahasa. Dalam hal ini, kita bisa mempertanyakan secara filosofis hakikat ‘teks’ dan hakikat ‘mengerti’. Mengerti (to understand), kata Gadamer, erat kaitannya dengan bahasa (language). Bahasa yang dimengerti oleh interpreter akan mengantarkan kepada pemahaman akan keberadaan (existence) manusia dan realita yang digumulinya di masa lampau (ontologis). Pandangan serupa juga diutarakan oleh Heidegger. Being adalah “the historically conditioned individual which is aware of itself and the passage of time”(Lang:2015), atau ‘eksplorasi konsepsi keberadaan dan kebenaran ..., pemikiran, dan bahasa (Palmer: 2003: 163). Being disingkapkan melalui mediasi bahasa. Sebab kekuatan bahasa terletak pada hal yang ‘mempertegas’ pemikiran kita (Ibid., 2003: 247). Tidak ada pemikiran sebelum bahasa. Menyimak Thomas S. Kuhn, pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruk oleh ‘mode of thought’ atau ‘mode of inquiry’ yang menghasilkan ‘mode of knowing’. Pendapat Kuhn ada benarnya bila dikaitkan dengan kata-kata Gadamer, ”Being that can be understood is language” (Gadamer, 1989: (Being/Ada yang bisa dipahami adalah bahasa). Maksudnya, bahasa tak pernah kering. Bahasa senantiasa tak pernah tuntas menyampaikan sesuatu kebenaran. Kendati tak semua kebenaran mampu tertuliskan, bahasa lisan dan bahasa yang belum tertuliskan lebih banyak jumlahnya. Apa yang bisa disampaikan oleh bahasa, ibarat kandungan samudra yang tak pernah kering, dan Being (Ada) menampakkan wujudnya dalam bahasa. Percakapan dengan Being itulah, dan bukan percakapan dengan teks yang zahir dan nampak, yang berujung pada mengerti. Semua manusia yang bercakap, berkomunikasi, terpaut dengan Being, sementara ragam bahasa dan dialek adalah produk budaya lokal. dan orang berhujjah,berdebat, berbeda pendapat, karena mereka masih berada pada ‘posisi dalam perjalan arah ke Being’. Ada kebenaran rational di balik bahasa-bahasa, tetapi ‘jalan’ ke arah itu masih berliku-liku. Apakah fiqh bisa sampai menggali ke Being? Jadi, bagaimana menetukan Being pada riba? Kata Gadamer, “What being is was to be determined from the horizon of time” (Gadamer, 1989: 257). Being harus ditentukan dari cakrawala waktu/zaman. Kalau begitu, menurut penulis, Being riba pada hakikatnya adalah 94
unsur-unsur terkutuk yang membentuk keberadaan dan pemikiran anak manusia dari hakikat اضعاف مضا عفةitu sendiri. Sekarang kita melihat adanya kezaliman di tengah perekonomian umat yang mengatur pemikiran dalam bentuk penolakan. Kualitas kezaliman itu juga dipengaruhi oleh space and time (3 masa: masa Jahiliyah, masa turunnya wahyu, dan masa sekarang). Beingnya tetap ada, tetapi pemahaman tentang riba berobah dalam kurun ke tiga masa tersebut. Being riba pada masa jahiliyah membentuk keberadaan dan pemikiran manusia jahiliyah: di situ ada penolakan. Dan Being riba pada masa Rasul saw telah membentuk keberadaan dan pemikiran Muslimin awal dalam bentuk contoh ideal dalam sinaran tauhid dan penolakan atas riba. Demikian pula di zaman Majelis Tarjih, Being riba juga membentuk keberadaan dan pemikiran di zaman sekarang: bagaimana bentuk penolakannya? Tentu tidak cukup dengan melihat apakah ia Bank Kredit yang diyakini tidak mengembalikan keuntungan kepada umat. Apakah cukup diuraikan dengan metode bayani? Kalau pendapat ini bisa diterima, apakah ini bukan sudut pandang eksistensialisme? Iya, tetapi filsafat Islam juga tidak mengakui ex nihilo untuk makhluq. Artinya, Majelis Tarjih seyogyanya tidak terpaku dengan konsep riba, tetapi mengacu dan menfilsafati Beingnya riba. Karena kekuatan bahasa bukan terletak pada keabsahan logika bayani dan otoritas sanad sebagaimana dianut oleh Majelis Tarjih, tetapi pada ‘situasi atau hal yang dibicarakan untuk mengatur pemikiran dan konfirmasi pemikiran’ (Palmer, 2003: 247). Kendati Prof. Amin Abdullah juga mengeritik studi fenomenologis yang hanya mampu pada akhirnya merumuskan dan memberi pemahaman atas struktur fundamental religiositas manusia (Abdullah, 2000:17), namun pada aspek ‘pemahaman’ itulah sebenarnya letak persoalan yang utama dalam fiqh. Sudah saatnya fiqh dilibatkan pada pemikiran ontologis :تفقه فى الدىِن Diskusi ini akan lebih menarik bila konsep riba di atas dilihat dari segi filsafat bahasa. Riba (لربى ٌ ) اadalah bahasa Arab, yang berarti ‘kelebihan’. Majelis Tarjih mengetahui arti riba dari mempelajari bahasa Arab. Menurut Von Humbolt, filosuf bahasa Abad Pertengahan, kita bisa memahami pendirian orang lain ketika telah ‘mempelajari’ bahasa orang lain. Namun Gadamer tidak sependapat. Bukan pada ‘mempelajari’, katanya, tetapi pada saat ‘mempergunakan’ bahasa orang lain. Sebab betapapun kita mampu menguasai kerangka fikir orang lain dengan memepelajari bahasanya, kita masih belum bisa melupakan pandangan dunia dan pandangan bahasa kita sendiri. Dunia yang sama sekali asing bagi kita, sebagai pembaca, ia tidak hanya asing tetapi ia juga masih terkait dengan kita. Ia tidak hanya mengandung kebenaran pada dirinya sendiri, tetapi kebenarannya juga untuk kita (Gadamer, 1989: 441-2). Artinya, semua kebenaran yang ada, bukan hanya pada praktek riba jahiliyah, tetapi pada pandangan dunia pengarang tafsir, seperti al-Baghawi dan al-Jashshash, termasuk pandangan dunia bahasa Arab yang digunakannnya adalah juga terkait dengan pandangan dunia anggota Tarjih hari ini, sebagai konsekwensi ‘menggunakan’ bahasa Arab yang terkait dengan riba. Misalnya, riba dikaitkan dengan praktek riba jahiliyah. Di sana terdapat praktek pembayaran hutang dengan mengulur-ulur waktu (nasi’ah). Adanya eksploitasi manusia atas manusia (L’exploitation l’homme par l’homme). Dan sekarang disadari pula bahwa ada praktek perbankan yang dikelola negara yang akan bermanfaat bagi ummat: dan manfaatnya diduga akan kembali juga ke rakyat. Rakyat yang mana? Semua ‘kebenaran’ tersebut muncul setelah dan akibat ‘penggunaan’ bahasa Arab yang berbaur dengan wawasan Majelis Tarjih hari ini. Ada continuity. Bila kemampuan mempelajari bahasa Arab tentang riba berarti meningkatkan pemahaman tentang riba itu sendiri, namun bagi pengalaman hermeneutis boleh jadi berarti lain dari itu. 95
Mempelajari bahasa Arab dan mampu memahaminya, artinya berada pada posisi ‘bersedia menerima’ apa-apa yang dikatakan di dalamnya, seolah-olah dikomunikasikan kepada diri sendiri (Gadamer,1989:442). ‘Bersedia menerima’ maknanya bersikap terbuka demi perluasan horizon cakrawala sendiri. Baik kualitas maupun kuantitas pemhaman kita semakin meningkat berkat ‘bersedia menerima’. Metode bayani yang digunakan oleh Majelis Tarjih nampaknya tidak bersikap ‘bersedia menerima’ seperti ini, karena ia berorientasi kepada dominasi teks. Pernyataan di atas bisa diterangkan lebih lanjut dengan cara berikut. Setiap individu anggota Tarjih yang membaca dan memahami persoalan tentang riba dalam bahasa Arab, menurut Gadamer, seolah berada pada posisi menerima di hadapan matanya apa-apa yang dikatakan dalam kasus riba tersebut. Komunikasi yang terjadi dengan teks bukan bersifat jama’ah, tetapi perorangan. Sebab, bagi Heidegger, apa yang dinamakan interpretasi adalah ekstrapolasi masa lalu atas masa depan (Lang: 2015). Dalam Kamus Collins, ‘to extrapolate is to examine known facts and use logic or reason in order to calculate a quantity or make statements about what is likely to happen in the future’ (Collins,1988). Jadi ekstrapolasi sangat berguna sebagai langkah kalkulasi. Di situ, dalam ‘known facts’ ada pengalaman masa lalu. Ketersambungan pengalaman yang diharapkan adalah, bukan pengalaman kolektif sebagai suara resmi Lajnah Tarjih, tetapi suara perorangan, pengalaman individu anggota Tarjih yang tersambung misalnya dengan pengalaman al-Jashshash dan al-Baghawi dan sebagainya. Ketersambungan pengalaman hermeneutis yang bersifat fardhu ‘ain. Kenapa individual? Sebab, mustahil yang dinamakan ‘understanding’ sampai pada satu final dan kesatuan pendapat, karena individu memiliki perbedaan horizon atau wawasan yang mempengaruhi jangkauan understandingnya. Bila demikian halnya, lantas di mana posisi ‘meaning’ (arti) dan ‘understanding’ (pemahaman) oleh Majelis Tarjih? Melaui metode bayani, ‘meaning’ yang diperoleh Majelis Tarjih hari ini nampaknya masih ‘meaning’ milik pengarang dulu. ‘Meaning’ di atas teks/nash, baginya, adalah ‘meaning’ perennial. Karena ‘meaning’ pengarang (Allah), tidak pernah terjangkau oleh manusia, maka dalam kasus Kitab Suci al-Qur’an tentang riba, understanding atas meaning yang perlu berobah. Bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan adalah normatif, tetapi lantaran teks riba adalah hasil dialektika dengan lingkungannya pada masa lampau, maka kita perlu mempelajari dari mana teks itu terlahir. Dengan demikian, hakikat riba tetap haram, tetapi ‘meaning’ atas riba yang berobah. Terkait dengan riba, di dalam al-Qur’an ada kata-kata ‘adh’afun mudha’afah’ (berat lagi memberatkan). Dan juga ada dalam tradisi Islam kata-kata ‘nasi’ah’ (mengulur-ulur waktu pembayaran hutang) setelah jatuh tempo. Bagi Majelis Tarjih sifat zhulm (aniaya) yang menjadi ‘illat pengharaman riba adalah eksploitasi manusia atas manusia. Kendati ‘illat pengaharaman riba jelas bukanlah ‘illat manshushat (tekstual) tetapi mujtahadat (didapat) (Djamil, 1995: 121), tetapi fiqh seyogyanya diarahkan untuk penggalian hakikat Being pada riba. Artinya, ‘meaning’ atas riba dalam fiqh semasa (kontemporer) oleh Majelis Tarjih bisa jadi, dan memang seharusnya, berbeda dari ‘meaning’ riba yang muncul akibat proses interaksi Muslimin awal. Nampaknya, Majelis Tarjih dengan mencari ‘illat mujtahadat atas riba, boleh jadi telah mendekati kepada Being bahasa itu sendiri, dari mana mengalir bahasa yang tak pernah kering, tetapi belum ontologis cara kerjanya. Hanya saja Being dari pada riba yang belum disadari secara filosofis penggaliannya. Sebagai wacana intelektual di penghujung tulisan ini, mari kita lihat hal paradoks berikut. Sebagaimana kita ketahui, Muktamar Majelis Tarjih di Sidoardjo tahun 1969 memutuskan persoalan perbankan sebagai musytabihat. Ini malah membingungkan umat Islam secara 96
keseluruhan, dan bukan hanya warga Muhammadiyah. Coba kita layangkan pandangan ke dunia Arab modern. Raja-raja minyak Arab banyak yang menyimpan uangnya (petro dollar) di perbankan Eropa dan Amerika. Mereka berhak atas ‘bunga’, yang bahkan jutaan dollar, karena telah melakukan transaksi deposito milliaran dollar. Bilamana mereka tidak mengambil bunga deposito tersebut dari bank, boleh jadi pihak perbankan asing tersebut akan memberikannya kepada, kuat dugaan, Yahudi Israel. Dan ini akan berakibat fatal bagi bangsa Arab, terutama Palestina. Maka keluarlah fatwa Syaikh al-Azhar di Mesir bahwa ‘wajib’ hukumnya mengambil bunga deposito perbankan. Kalau sudah begini masalahnya, apakah metode bayani Majelis Tarjih bisa menjawab? Kesimpulan Dari uraian di atas nampak bahwa fiqh adalah lebih bersifat particular (juz’iy), dan filsafat bersifat universal (kully). Sebagai juz’iy, fiqh memang pada hakekatnya belum bisa sampai kepada Being. Majelis Tarjih nampaknya masih terpaut banyak dengan particular, terutama dari segi bahasa dengan menggunakan metode bayani. Ini tidak ontologis, tetapi metodologis. Karena wawasan horizon Majelis Tarjih dipengaruhi oleh alam sekitarnya, maka fiqh yang dikeluarkannya lebih bernuansa alam sekitar (Indonesia). Andaikata fiqh bisa ‘dikawinkan’ dengan filsafat, maka fiqh Majelis Tarjih akan lebih berwawasan global. Ini disebabkan oleh hakikat filsafat itu sendiri sebagai ‘induk’ ilmu pengetahuan, yang lebih mencari hakikat kebenaran pada dataran universal. Ia tidak membatasi diri untuk Indonesia saja. Persoalan keuangan dan riba seyogyanya tidak dipahami secara nasional (Bank Pemerintah Indonesia), tetapi global: wahana untuk fiqh lebih berdialektika dengan persoalan multi dimensi. Maka benar apa yang dikatakan oleh Gadamer bahwa ‘to understand’ erat kaitannya dengan ‘perjumpaan’ dengan dunia luar diri kita. Majelis Tarjih ke depan diharapkan ‘berjumpa’dengan persoalan-persoalan global di mana filsafat bisa bekerja untuk fiqh. Fiqh tidak bersentuhan dengan filsafat akibatnya bersifat ‘terbatas’. Ijtihad Majelis Tarjih memang masih ‘pinggiran’, atau masih ‘metode tambal-sulam’ kata Djamil. Ke depan, diperlukan bobot intelektual dan keberanian ijtihadiyah yang lebih ekstensif, Masalah ‘kabut asap’ di Sumatera dan Kalimantan barangkali akan diharamkan di masa depan akibat pembakaran lahan perusahaan-perusahaan (korporasi): kasus yang berulang setiap tahun dan menelan korban jiwa, lebih ganas dari pada bahaya ‘merokok yang telah diharamkan oleh Majelis Tarjih’. Wallahu a’lam Rujukan Abdullah, M. Amin. 2000. Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Abdurrahman, Prof. Drs. H. Asjmuni , 2010. Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ali, Mukti, 2005. Rethinking Muhammadiyah: Menggagas Muhammadiyah Masa Depan, Kerjasama STIE Ahmad Dahlan. Jakarta dan Penerbit Buku Kompas. Al-Thabari, 1972, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.Juz IV, Beirut: Dar el-Ma’rifat.
97
Anis, Ibrahim, et al.,1972. al-Mu’jam al-Washith, juz II,Mesir: Dar el-Maarif. Anwar, Syamsul Anwar, 2013. “Metode Ushul Fikih Untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis Rukyat”, dalam Tarjih, Vol. 11 (1) 1434 H/2013 M. Azra, Azyumardi, 2009. Maarif, Vol. 4, No. 2. Collins, 1988.Collins Cobuild English Language Dictionary. London: William Collins Sons& Co. Djamil, DR. H.Fathurrahman, 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah.Jakarta: Logos. Gadamer, Hans-Georg,1989. Truth and Method. 2nd ed.Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (tr.,) New York: Crossroad. Himpunan Putusan Tarjih (HPT), tt. Yogyakarta. Himpunan Putusan Madjlis Tardjih Muhammadijah (HPT), 1971.Yogyakarta: PP Muhammadiyah Iqbal, Muhammad, 1981. Reconstruction of Islamic Thought, Delhi:Kitab Bhavan. Ka’bah, Rifyal, 1998. “Methodology of NU and Muhammadiyah in Islamic Law”, Makalah disampaikan pada Seminar di Universitas Yarsi, Jakarta. Lang, Chris, 2015.”A Brief History of Literary Theory II”, http://xenos/ diunduh 8-4-2015. Maarif, Syafii, 1985. Islam dan Panca Sila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: LP3ES Maksum, Amir.1989. “Pemahaman Tajdid dalam Muhammadiyah”, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih XXII. Mulkhan, Munir.2000. Suara Muhammadiyah, Vol.No. Suara Muhammadiyah, No. 7, tahun ke 85. Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnurhery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahman, et al., Budhy Munawar, 1994. “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam” oleh Mohammad Atho Mudzhar. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina. Rasjidi, Prof. Dr. H.M. (terj.),1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Suma, H. Muhammad Amin, 1995. “Problematika Ijtihad Dalam PersyarikatanMuhammadiyah”, dalam Afifi Fauzi Abbas, ed., Tarjih Muhammadiyah dalam Sorotan. Jakarta: IKIP Muammadiyah Jakarta Press.
98
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
99