Kontribusi Masyarakat Eropa Terhadap Gelombang Pengungsi Syria Ulya Fuhaidah, S.Hum, MSI IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia ABSTRAK Syria adalah negara yang sedang dilanda konflik yang tak berujung sejak 2011. Observatorium Syria untuk Hak Asasi Manusia atau Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mencatat bahwa jumlah kematian yang terdokumentasikan meningkat menjadi 240.381 dari 230.618 pada bulan Juni lalu. Sekitar 11.964 dari mereka yang terbunuh adalah anak-anak dan 71.781 adalah warga sipil. Begitu banyak korban jiwa yang terjadi di Syria namun konflik tak juga menemukan jalan damai. Untuk menghindari bencana perang di negaranya, rakyat Syria mencari suaka dan mengungsi ke beberapa negara tetangga. Akan tetapi, negara Eropalah yang justru menyambut dengan terbuka para pengungsi dari Syria itu. Negara-negara Teluk tetangganya justru tinggal diam terhadap permasalahan pengungsi dari Syria. Untuk itu, tulisan ini mengeksplorasi tentang konflik di Syria dan bagaimana kontribusi masyarakat Eropa terhadap pengungsi Syria dengan menggunakan pendekatan analisis wacana yang terdapat dalam media cetak maupun elektronik sebagai rekam jejak konflik yang terjadi di negara tersebut. Adapun teori yang digunakan adalah teori dialektika kekuasaan Ralf Dahrendorf. Kata Kunci: Kontribusi, Masyarakat Eropa, Konflik, Pengungsi, Syria
Historis Syria Masa Kekhalifahan Islam Nama “Syria” pertama kali digunakan oleh Herodotus yang diperkirakan sebagai penyebutan bagi orang-orang Asyria yang tinggal di wilayah sekitar Mesopotamia dalam naskah Yunani Kuno. Sementara orang Arab menyebutnya sebagai negeri Syam (Bernard Lewis, 1997:23).Sedangkan menurut orang Eropa wilayah ini dikenal sebagai daerah Levant.Berdasarkan sumber sejarah, wilayah Syria sudah sejak zaman dahulu menjadi ajang perebutan para penguasa karena daerahnya yang subur (Trevor Brice, 2014:7). Tercatat beberapa penguasa menjadikan Syria sebagai tanah taklukan mereka sejak zaman Assyria, Babylonia, Achaemenid,Alexander Agung, Romawi hingga masa kejayaan Islam. Silih berganti daulah Islam menguasai Syria mulai dari Dinasti Umayah, Abbasiah, Fatimiyah, Seljuq (Mansfield, 2013: 22), Ayubbiah, Mamluk hingga Turki Usmani di era modern (Eugene Rogan, 2009: 25). Sebelum datangnya Islam, wilayah Syria adalah bagian dari kekaisaran Romawi. Negeri ini dibawah pengaruh Romawi selama hampir 7 abad lamanya. Penaklukan wilayah Syria sebenarnya telah dirintis pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, namun negeri inimenjadi wilayah Islam sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Di bawah komando panglima perang Khalid bin Walid, pasukan Islam berhasil menduduki ibukotanya Damaskus sesudah melakukan operasi militer selama 6 bulan. Penyerbuan Palestina pada Juli 634 menginspirasi penaklukan ke wilayah sekitarnya. Pada akhirnya kemenangan diraih secara beruntun dengan berhasil ditaklukannnya kota Balbek dan Holms pada tahun 635. Satu tahun kemudian Aleppo, Antioch, dan Hammah juga berhasil ditaklukkan. Khalifah Umar bin Khatab kemudian membagi wilayah Syria menjadi 4 distrik militer yakni Damaskus, Homs, Jordan dan Palestina (Philip K. Hitti, 1959:114). Segera kota-kota ini 175
menjadi sangat ramai dibanjiri para imigran dari Arab. Maka wilayah ini dikenal dengan nama bilad ashamsdi bawah kekhalifahan Islam karena letaknya di sebelah kiri Makah (John McHugo, 2014:35). Selanjutnya untuk mengurusi wilayah ini, diangkatlah Muawiyah bin Abi Sofyan menjadi Gubernur yang pertama. Kedudukannya sebagai pemimpin di Syria tidak tergantikan oleh siapapun walau Khalifah Umar bin Khatab wafat dan terjadi pergantian kekuasaan di pusat pemerintahan Islam. Khalifah Usman bin Afan berhasil menjabat sebagai khalifah yang ketiga dalam periode Khulafa al-Rasyidun. Sejak masa khalifah Usman inilah pemerintahan pusat di Madinah tidak banyak menginterfensi kekuasaan Muawiyah (Philip K. Hitti, 1959:116). Selama hampir dua puluh tahun ia menjabat sebagai gubernur di wilayah ini dengan stabilitas politik yang sangat terjaga. Dengan demikian maka dukungan politik kepada Muawiyah lebih kuat daripada dukungan terhadap Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertikaian politik pasca wafatnya khalifah Usman bin Affan. Muawiyah adalah orang yang sangat agresif menuntut pengadilan atas kematian Khalifah Usman bin Affan. Tuntutan yang sama juga diajukan tokoh-tokoh sahabat senior seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Ummul Mukminin Aisyah. Kondisi semakin panas ketika para pemberontak ternyata bergabung dalam barisan khalifah dan khalifah sendiri tidak segera melaksanakan qishah. Tatkala Khalifah Ali memecat beberapa gubernur, Muawiyah secara terang-terangan menolak terhadap pemecatannya sebagai gubernur di Damaskus (Muhammad Sayid al Wakil, 2005:33). Pertentangan ini berujung pada meletusnya perang Siffin (26 Juli 657 M) sebagai konflik internal umat Islam yang melahirkan dua partai politik awal yakni khawarij dan syah (M.Abdul Karim, 2012:111) Khalifah Ali akhirnya terbunuh oleh kelompok khawarij dan menjadi akhir kepemimpinan alKhulafa al-Rasyidun.Muawiyah kemudian menjadi pemimpin tunggal umat Islam pasca kematian Hasan bin Ali.Ia menjadikan Damaskus sebagai ibukota pemerintahan yang sebelumnya di Kufah dan Madinah. Ia memadukan antara tradisi Byzantium dengan tradisi Islam untuk membangun peradaban Islam saat itu di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah (Clevland&Bunton, 2013:15). Tercatat 14 khalifah selama pemerintahan Dinasti Umayyah yakni Muawiyah I (661-668), Yazid I (680-683), Muawiyah II (683), Marwan (683-685), Abdul Malik (685-705), al Walid I (705-715), Sulaiman (715-717), Umar II (717-720), Yazid II (720-724), Hisyam (724-743), Yazid III ((744), Ibrahim dan Marwan II (744-75). Damaskus menjadi kota metropolitan yang tak tertandingi kejayaannya pada masa itu. Dinasti Umayyah menjadi peletak dasar berkembang pesatnya peradaban Islam. Peta Wilayah kekuasaanya bahkan terus meluas hingga membentang dari India sampai Afrika Utara (M.Abdul Karim, 2012:114). Kegemilangan Dinasti Umayyah pada akhirnya dapat dijatuhkan oleh rival politiknya dari klan Abbasiah. Kelompok mawali dan syiah yang termarjinalkan secara politik pada masa Umayyah menyusun kekuatan untuk menggulingkan pemerintahan. Menurut Philip K Hitti, stratifikasi sosial masyarakat di Damaskus terbagi menjadi empat sebagaimana pernyataannya berikut ini: “The population of the Umayyad empire was divided into four social classes. At the top stood the ruling Moslems, headed by the caliphal family and the aristocracy of Arabian conquerors”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa orang Arab khususnya para bangsawan menduduki lapisan sosial yang pertama. Sementara warga kelas dua adalah masyarakat lokal muallaf yang dikenal sebagai kaum mawali. Di samping mereka ada pula muslim lain yaitu pengikut syiah dan khawarij. Strata sosial kelas tiga diduduki orang kafir zimmi baik Yahudi, Nasrani, dan Sabian. Sedangkan kelas sosial terendah adalah para budak yang berasal dari berbagai wilayah terutama Afrika. (Philip K Hitti, 1959: 138-140).
176
Pada masa Umayyah ini terjadi gap sosial maupun politik antara orang Arab dan non Arab. Kebijakan Umayyah sangat Arab sentris. Orang Arab jelas menjadi warga yang memiliki keistimewaan. Sementara orang non Arab termarjinalkan secara politik. Koalisi antar kelompok marjinal tersebut berhasil mengantarkan Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbasmenjadi penguasa baru yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Umayyah pada 750 M sehingga menandai akhir kejayaan 90 tahun pemerintahan. Dinasti Abbasiah tidak lagi menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan Islam tetapi memindahkannya ke Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan Islam. Kekuasaannnya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang sejak 750-1258 M. Perpindahan ibukota dari Damaskus ke Baghdad bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik bagi penguasa baru. Kebijakan pertama yang diambil adalah merebut kembali wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Umayyah. Damaskus pada akhirnya menjadi provinsi di bawah administrasi politik Abbasiah. Pada umumnya para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan Daulah Abbasiah menjadi lima periode (Wikipedia): 1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. 2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama. 3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung). 5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Periode Dinasti Abbasiah adalah masa keemasan Islam karena berlangsung aktivitas intelektual yang sangat semarakdan mencapai puncaknya pada masa al Ma’mun seperti yang dipaparkan oleh sejarawan berikut ini (Philip K Hitti, 156-157) : Between 750 and 850 the Arab world was the scene of one of the most spectacular and momentous movements in the history of thought. The movement was marked by translations into Arabic from Persian, Greek and Syriac. The Arabian Moslem brought with him no art, science or philosophy and hardly any literature ; but he demonstrated keen intellectual curiosity, a voracious appetite for learning and a variety of latent talents. In the Fertile Crescent he fell heir to Hellenistic science and lore, unquestionably the most precious intellectual treasure then extant. Within a few decades after Baghdad was founded (762), the reading public found at its disposal the major philosophical works of Aristotle and the Neo-Platonic commentators, the chief medical writings of Hippocrates and Galen, the main mathematical compositions of Euclid and the geographical masterpiece of Ptolemy. In all this the Syriac-speakers were the mediators. The Arabians knew no Greek, but the Syrians had been in touch with Greek for over a millennium. For two centuries before the appearance of Islam, Syrian scholars had been translating Greek works into Syriac. The same people who had opened the 177
treasures of Greek science and philosophy to the Persians now busied themselves in making them available to all who could read Arabic. Kontribusi Damaskus pada masa ini adalah munculnya tokoh-tokoh yang membantu menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Mengingat tradisi Yunani sangat dekat dengan mereka. Sederet tokoh intelektual ternama pada masa itu baik Muslim maupun non muslim seperti Abdurahman ibn Amr Al-Awzai, Abu Tamam, Al Buhtuni, Yuhanna ibn Masawayh dan muridnya Hunayn ibn Ishaq menjadi penerjemah pada era Khalifah Harun al Rasyid. Periode Harun dan puteranya al Ma’mun disebut sebagai periode paling jaya Dinasti Abbasiah. Istana khalifah yang megah dipenuhi para pujangga, ilmuan, dan tokoh penting lainnya. Baik segi politik, budaya, maupun ekonomi mencapai kemajuan. Karya ensiklopedi juga mulai ditulis pada masa ini dari para sejarawan yakni Ibnu Khalikan (1282), al Kurtubi (wafat 1363), Abu Shamah (1203-1268), Abu Fida (1273-1332), Ibnu Athir (wafat 1234), Shamsudin al Dimashqi (wafat 1326), al Umari (wafat 1349), Al Maqrizi (13641442), dan Ibnu Khaldun (1332-1406). (Philip K Hitti, 1959:208) Pada periode akhir Dinasti Abbasiah, kekuasaan dan kewenangan politik khalifahhanya sebagai simbol belaka dan secarade factoberkuasa di sekitar Baghdad saja. Tampuk pemerintahan dikendalikan oleh para tentara pengawal baik berkebangsaan Persia maupun Turki. Sehingga wilayah Syria secara berturut-turut diperintah oleh Dinasti Tuluniah (868905), Dinasti Ikhsidiah (935-909), Dinasti Seljuk, Dinasti Ayyubiah, Dinasti Mamluk sampai munculnya kekuatan baru dari Asia Minor yakni Dinasti Turki Usmani. Atas restu Khalifah, sultan-sultanDinasti Seljuk menguasai politik lebih luas. Sultan yang termashur dari dinasti ini adalah Malik Shah 1073-1092. Pada masa ini terjadi ketegangan antara umat Islam dan Kristen untuk menguasai Syam, Asia Kecil, Spanyol, dan lain-lain. Akhirnya terjadilah perang salib yang berlangsung sejak 1096-1291 M. Adapun faktor penyebabnya antara lain agama, politik, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Faktor agama terkait dengan tempat kelahiran Yesus di Jerusalem Palestina. Berdasarkan sumber sejarah, penguasa Seljuk menganggu para peziarah yang datang ke sana. Hal ini menyebabkan dunia kristen Eropa marah. Paus Urbanus II kemudian menyerukan peperangan untuk membebaskan Jerusalem dari tangan muslim.Perang Salib yang berlangsung berabad-abad tersebut berakibat pada lemahnya umat Islam. Adapun faktor pendorong kemunduran Dinasti Abbasiah dapat dibagi menjadi dua baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal diantaranya adalah luasnya wilayah kekuasaan dengan sistem komunikasi yang minim menyebabkan sulitnya mengontrol daerah oleh kekuasaan pusat di Baghdad. Dengan demikian banyak wilayah yang melepaskan diri dan menyatakan kemerdekaan. Selain itu suksesi putera mahkota yang tidak diatur secara rinci mengakibatkan perang antar saudara dan persaingan para elit politik juga memperlemah Abbasiah secara internal. Sementara faktor eksternalnya adalah serangan bangsa Mongol di bawah komando Hulagu Khan. Tentara Mongol mengepung Baghdad selama dua bulan dan melakukan pembantaian massal yang menghilangkan nyawa ribuan manusia serta menghancurkan kota (Karim, 2012:167). Ekspansi Bangsa Mongol juga meluas sampai wilayah Dinasti Seljuk. Akan tetapi Sultan Alauddin II berhasil menghalau serangan mereka atas bantuan Tughril dari suku Ughuj Turki. Sebagai balas jasa, ia mendapat hadiah tanah di daerah Iski Shahr dari Sultan Alaudin yang berbatasan dengan wilayah Byzantium (Lord Kinross, 1979: 23). Pada 1289 M Tughril 178
meninggal dunia sehingga kepemimpinannya berpindah tangan ke putranya, Usman. Seperti halnya sang ayah, Usman juga banyak berjasa dalam menduduki banteng-benteng Byzantium. Pada 1300 M, bangsa Mongol kembali menyerang Seljuk dan menyebabkan Sultan Alauddin II terbunuh. Dengan terbunuhnya sultan, maka Seljuk terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Sehingga pada kesempatan ini Usman menyatakan sebagai penguasa yang merdeka dan berkuasa penuh atas wilayah yang didudukinya.Sejak kepemimpinan Usman inilah Dinasti Turki Usmani dinyatakan berdiri. Dinasti ini kemudian berhasil menjadi kesultanan besar yang melintasi batas antar bangsa dan benua. Kemenangan Dinasti Usmani dalam persaingan perebutan wilayah dengan Dinasti Mamluk akhirnya mengantarkannya sebagai penguasa di wilayah Syria. Persaingan dengan Dinasti Mamluk muncul pada tahun 1486 M ketika Qaid Bay berselisih dengan Bayazid II memperebutkan wilayah Adana, Tarsus, dan kota perbatasan lainnya. Puncak pertempuran berlangsung pada 24 Agustus 1516 di Aleppo. Tidak lama kemudian akhirnya Syria berpindah tangan di bawah kendali Turki Usmani. Pada masa Sultan Salim I, wilayah Syria menjadi provinsi (veleyet atau pashalik) terluas dengan nama Sam. Sementara wilayah administrasi di bawahnya adalah sanjak yang terbagi menjadi beberapa kota yakni Damascus, Aleppo di utara, Jerusalem, dan Tripoli. Setiap sanjak dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha yang memerintah semi otonom. Era Tanzimat (1839-1876) kemudian menandai babak baru dalam perubahan sosial politik di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani. (Samer N Abboud, 2016:14). Tanzimat ini berakhir dengan wafatnya Ali Pasya (1871). Kemudian dilanjutkan pada masa Usmani Muda. Tokohnya adalah Ziya Pasya (1825-1880) dan Namik Kemal (1840-1888). Usmani Muda adalah golongan intelektual kerajaan yang menentang kekuasaan absolut sultan. Usmani Muda berasal dari perkumpulan rahasia yang didirikan pada 1865 dengan tujuan merubah pemerintahan absolut kerajaan Turki Usmani menjadi konstitusional. Setelah Perang Dunia I pada tahun 1918, Imperium Turki Usmani mengalami masa kemuduran yang sangat menyedihkan. Satu persatu wilayah kekuasaan yang jauh dari pusat membebaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Bahkan lebih buruk lagi negara-negara Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia, dan Amerika) berupaya membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki untuk dijadikan negara koloni mereka. Lahirnya Negara Syria Modern Persetujuan Sykes-Picot 3 Januari 1916 antara Francois Georges Picot yang menjadi wakil Perancis dan Mark Sykes dari Inggris membagi wilayah Turki Usmani menjadi teritori milik kedua negara tersebut.Berdasarkan keputusan Konferensi San Remo yang Akta mandatnya ditandatangani di London pada 24 Juli 1922, Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandate kepada Prancis untuk mengatur Levant (istilah untuk wilayah Syria dan Lebanon) dibawah pengawasannya. Adapun Inggris mendapat mandate mengatur Palestina, Jordan, dan Irak (Mark Gasiorowski, 2014:5). Alasan Prancis mendapatkan hak atas Levant sendiri didasarkan kepada hubungan sejarah yang panjang antara Prancis dengan penguasa Syria jauh sebelum terjadinya perang salib. Pada saat itu Prancis menerima Kapitulasi Sultan mengenai izin didirikannya kantor dagang dan konsulat Prancis. Hubungan baik tersebut dilanjutkan oleh Henri IV, Richelieau dan Louis XIV. Pada 1740, Prancis memperbarui kapitulasi dengan tambahan reverensi khusus atas Levant mengenai tempat-tempat suci di Palestina dan hak 179
istimewa Prancis tersebut dikukuhkan melalui perjanjian pribadi Napoleon dengan Sultan yang berkuasa atas wilayah Syria pada 1802. Kondisi tersebut selanjutnya mengukuhkan hubungan yang sangat akrab antara Prancis dengan umat Katolik Maronit. Setelah berhasil menguasai Syria, Prancis mulai memecah belah wilayah itu menjadi empat bagian yaitu Lebanon Raya, negara Damaskus meliputi Jabal Druze, Aleppo termasuk sanjaq Alexandretta dan wilayah Lattakia atau wilayah Alawi. Pengawasan atas Levant sendiri dilakukan oleh Komisaris Tinggi Prancis. Pada 9 September 1936 enam tokoh nasionalis dan moderat dari Syria berangkat ke Prancis untuk membuat perjanjian dengan pihak pemerintah Prancis yang pada saat itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Prancis, Vienot (Patrick Seale, 1990: 20). Isi perjanjian yang berhasil disepakati dan ditandatangani pihak Prancis dan Syria yang pada saat itu diwakili oleh Hasyim Bey Al Atassi adalah: (a) Upaya Syria untuk merdeka dalam waktu tiga tahun dan meminta Prancis untuk mendukung masuknya Syria dalam keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa (b) Prancis dan Syria mengadakan aliansi militer (c) Hak Prancis untuk menggunakan dua pangkalan udara Syria (d) Izin atas angkatan darat Prancis untuk berada di daerah Alawi dan Druze selama lima tahun termasuk pengakuan atas distrik-distrik tersebut kedalam wilayah Syria (e) Instruktur militer Prancis diakui sebagai penasihat militer Syria (f) Prancis harus memasok senjata dan perlengkapan militer bagi Syria (g) Apabila terjadi perang, Syria dan Prancis harus bekerjasama melindungi dan memasok pangkalan udara Prancis serta menyediakan komunikasi dan transit. Dalam surat-surat lampiran lainnya, Syria juga setuju untuk merekrut para penasihat dan ahli teknik dari Prancis, membentuk sistem hukum khusus bagi perlindungan orang asing dan duta besar Prancis diistimewakan dari para perwakilan diplomatik lainnya. Ketetapan selanjutnya adalah: (1) Meskipun Syria berhak atas Lattakia dan Jabal Druze, otonomi wilayah tersebut tetap di jamin; (2) Biro khusus didirikan bagi sekolah asing, lembaga amal dan misi arkeologi; (3) Perjanjian dibuat guna merundingkan perkembangan universitas yang ada; (4) Syria berjanji akan menghormati hak-hak resmi dan kekayaan pribadi milik bangsa Prancis; (5) Persetujuan dibidang moneter; (6) Perjanjian keuangan. (hbmulyana. wordpress.com) Penolakan Prancis untuk meratifikasi perjanjian yang dibuat tahun 1936 mempengaruhi situasi politik di Syria dan Lebanon pada saat itu, tetapi karena kuatnya pengaruh Prancis dikedua wilayah tersebut kalangan politisi dari kedua belah pihak masih menunjukkan loyalitasnya terhadap Prancis sehingga menjelang pecahnya perang dunia II kekuatan pangkalan militer Prancis di Mediterania Timur masih kuat. Dipihak lain masyarakat Arab saat itu justru sangat membenci Prancis dan sekutunya, hal tersebut dilatarbelakangi oleh pengkhianatan Prancis terhadap bangsa Arab menyusul berakhirnya perang dunia I, dukungan terhadap Turki dalam masalah sanjaq Alexandretta, tidak diratifikasinya perjanjian dengan Syria dan Lebanon, serta pengakuan terhadap keberadaan zionisme di Palestina Pada 28 September 1941, Jenderal Catroux memproklamasikan kemerdekaan Syria, yang isi naskahnya adalah: 1. Syria berhak menjadi negara merdeka dan berdaulat; 2. Syria berkuasa menunjuk perwakilan diplomatiknya; 3. Syria berhak menyusun angkatan perangnya; 4. Syria bersedia membantu Prancis selama perang; 180
5. Segala syarat terdahulu dengan perjanjian Prancis-Syria yang baru yang menjamin kemerdekaan Syria. Prancis ternyata masih belum siap untuk mengalihkan fungsi pemerintahan secara langsung kepada kedua negara tersebut. Ditundanya penyusunan konstitusi dan penunjukkan presiden oleh pihak Prancis menimbulkan pertentangn baru dalam masyarakat, terutama dari kelompok nasionalis dan kelompok sayap-kiri; sosialis dan komunis. Akibat kondisi tersebut, pemerintah Prancis akhirnya memutuskan memberlakukan kembali konstitusi lama yang pernah dibuat pada Maret 1943 dan mengupayakan diselenggarakannya pemilihan umum sesegera mungkin. Meski demikian kemerdekaan secara sempurna ternyata belum dirasakan oleh kedua negara tersebut karena pengawasan Prancis yang masih ketat terhadap kelangsungan pemerintahan keduanya. Delegasi Jenderal masih memiliki hak untuk mengeluarkan dekrit guna membubarkan parlemen dan menghapuskan konstitusi dengan alasan sesuai mandat Liga Bangsa-Bangsa. Prancis juga masih menguasai tata tertib pemerintahan dalam negeri, politik luar negeri, pertahanan dan sensor atas jurnalistik. Lebih jauh lagi agen intel Prancis Services Speciaux masih banyak berkeliaran di kedua negara tersebut Akhir Mei 1945 Perdana Menteri Churchill mengimbau Jenderal de Gaulle agar menarik pasukannya dari Levant dan Prancis, namun perundingan perjanjian tidak pernah diperbarui. Tumbuhnya kepercayaan diri akibat dukungan Inggris membuat Syria dan Lebanon menyerukan deklarasi bersama guna mengusir semua warga negara Prancis dari Levant dan mengalihkan Troupes Speciales kedalam kendali nasional mereka pada 21 Juni 1945, selanjutnya Prancis menyetujui keputusan tersebut secara resmi pada 7 Juli 1945. Mulai saat itu status kemerdekaan kedua negara mendapatkan pengakuan internasional secara eksplisit melalui sejumlah tindakan diplomatik (hbmulyana.wordpress.com). Dari saat kemerdekaan pada 1946 hingga 1963, perpolitikan Syria mengalami serangkaian kudeta militer, kabinet-kabinet sipil yang berumur singkat, dan periode singkat penyatuan dengan Mesir.Partai Baat muncul kemudian dalam kancah politik Syria dan mengantarkan Hafez Al-Assad sebagai presiden. Partai Baat adalah partai yang digagas oleh tiga pemuda Syria yakni Michel Aflaq (Kristen Syria), Salahudin Bitar (sunni), dan Zaki al-Zurzuri (Alawi). Ketiganya adalah para pemuda alumni pendidikan Perancisyang mengusung ideologi persatuan Arab, kebebasan, dan sosialisme dalam partai ini (David.W.Lesch). Syria Masa Pemerintahan Dinasti Al-Assad Hafez Assad bergabung menjadi anggota partai Baat 1946 saat ia masih sebagai pelajar. Sementara kariernya di militer dimulai pada 1952 saat ia memasuki akademi militer di Homs. Tiga tahun kemudian ia lulus dari sana dan menjadi seorang pilot. Pada masa kekuasaan Partai Baat di Syria 1963, ia menjadi komandan angkatan udara. Selanjutnya ia mendapat jabatan sebagai menteri pertahanan pada 1969. Ketika menjadi menteri ini, Syria kehilangan wilayahnya yakni Dataran Tinggi Golan dalam perang 6 hari di bulan Juni yang kelak sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negerinya (britanica.com). Hafez menjabat sebagai presiden sejak 1970 setelah berhasil menyingkirkan Salah al-Jadid. Ia membawa Syria dalam pemerintahan otoriter dan represif. Ia juga tidak segan menggunakan kekerasan untuk menumpas kelompok yang dianggap mengancam kekuasaan. Pembantaian Hama pada tahun 1980 adalah bukti nyata kediktatoran Hafez Assad yang berpaham sosialis.
181
Pada masa pemerintahannya, Syria juga terlibat konflik bersenjata dengan beberapa negara tetangganya. Syria membantu Iran pada perang antara Iran-Irak (1980-1988). Bantuan ini kemungkinan karena Assad adalah penganut Syiah Alawi. Syria juga ikut terlibat dalam Perang Teluk pada 1991. Dalam perang ini ia tidak mendukung Irak karena perseteruannya dengan Sadham Husein. Padahal keduanya sama-sama sebagai tokoh Partai Baat. Walaupun demikian, Hafez Assad dianggap sebagai pemimpin berpengaruh bagi Negara-negara Arab untuk menghadapi agresi Israel. Kebijakan luar negerinya terkait berdirinya Negara Israel sangat jelas yakni menolak berdirinya Negara Zionis Israel. Kesehatan Hafez al Assad terus memburuk sejak 1990. Sebenarnya putra tertualah, Basil Al Assadyang diperkirakan akan menggantikan posisi ayahnya sebagai presiden mengingat kedudukan kuatnya di militer. Namun pada 1994, ia terbunuh padakecelakaan mobil pada suatu pagi. Bashar Al Assad lah yang kemudian menggantikan ayahnya dan dapat dengan mudah menjadi presiden, walaupun Syria bukan negara monarki (David W.Lesh, 2012: 2). Bashar adalah putera kedua Hafez Al-Assad. Pada awalnya ia adalah seorang dokter mata. Namun kemudian ia harus belajar militer untuk mempersiapkan diri dan memantapkan kedudukannya di kancah politik. Ia diproyeksikan untuk menjadi presiden setelah kakaknya meninggal. Bashar mulai masuk akademi militer di Homs pada 1994. Beberapa tahun kemudianberhasil menjadi letnan jendral yakni pada 1999. Karier politiknya kemudian meroket saat ia menjadi jenderal di militer. Seiring dengan cemerlangnya karier di militer, ia juga mendapat jabatan penting dalam partai Baat sebagai sekretaris jenderal. Sejak 1998, ia bahkan dapat mengambil alih kewenangan wakil presiden Abdul Halim Khaddam dalam politik dan militer (Reese Erlich, 2014:21). Bashar dikukuhkan sebagai presiden pada 17 juli 2000 melalui referendum di parlemen atau melalui voting dengan memperoleh 97,29% suara. Undang-undang sengaja diamandemen agar usia Bashar memenuhi syarat untuk dipilih sebagai presiden. Pada awalnya konstitusi menyebutkan usia minimal seseorang untuk dicalonkan sebagai presiden sekurangnya 40 tahun. Namun kemudian batas usia minimal diturunkan menjadi 34 tahun (David W.Lesch, 2005). Dalam pidato pertamanya sebagai presiden, ia berjanji akan melakukan reformasi pemerintahan, melawan korupsi, dan menerapkan demokrasi. Dengan demikian, naiknya Bashar menjadi presiden dianggap sebagai era baru dalam politik Syria. Bashar saat itu memang mewarisi pemerintahan yang korup, kemerosotan ekonomi, dan politik yang tidak stabil. Ia menjanjikan tidak akan memimpin seperti mendiang ayahnya. Sehingga kemunculannnya dianggap sebagai harapan baru bagi lahirnya era baru karena background pendidikannya dari Eropa (Samer Abboud: 14).Namun realitasnya tidak demikian. Dalam pemerintahannya kebebasan rakyat sangat dibatasi, liberalisasi ekonomi hanya menguntungkan kelompok elit di pemerintahan, kelompok oposisi seperti kelompok Islam dan Kurdi ditindak dengan aksi militer (britanica.com). Pada 2007, Bashar kembali memenangkan voting di parlemen sehingga ia menjabat kembali sebagai presiden Syria periode kedua. Bashar dinilai belum mampu membawa perubahan di Syria. Kebijakan politiknya yang dinilai berhasil adalah sikap non kooperatifnya terhadap Israel. Karena sikap antipatinya terhadap Israel, maka hubungan luar negeri Syria lebih dekat kepada Negara-negara selain Amerika dan sekutunya. Iran disebut sebagai Negara yang menyokong penuh pemerintahan Bashar assad.
182
Arab Spring Dan Konflik Syria Sejak munculnya gelombang reformasi di Tunisia pada 2011, aksi serupa juga berpengaruh di wilayah bangsa Arab lainnya termasuk Syria. Gelombang reformasi ini dikenal dengan Arab Spring. Reformasi digulirkan bertujuan untuk menumbangkan pemerintahan diktator seperti Ben Ali di Tunisia, Muamar Qadafi di Libya, dan Muhammad Husni Mubarak di Mesir. Ketiga pemimpin tersebut dapat digulingkan dari kekuaasaannya. Namun Bashar Assad tidak mudah ditumbangkan. Para demonstran justru dihadapi dengan kekuatan militer. Maka dimulailah perang saudara di Syria. Konflik Syria diawali dari Kota Dar’a ketika sekelompok anak-anak menggambar gravity untuk memprotes pemerintah. Dari kota ini protes kemudian menyebar ke berbagai kota. Pemerintah melancarkan serangan militer kepada para demonstran sehingga menyebabkan terbunuhnya ratusan orang. Gelombang protes semakin besar menyerukan agar Bashar Assad mengundurkan diri. Untuk meredam protes, Bashar kemudian mereformasi cabinet dan pemerintahannya. Meskipun demikian protes tak kunjung padam. Peperangan bahkan semakin meluas antara kelompok pemberontak dengan pemerintah tetap berlangsung sehingga semakin banyak nyawa berguguran. Isu penggunaan senjata kimia juga bergulir dalam perang saudara di Syria. Pada awal Juni 2014, di tengah berkecamuknya perang Saudara di Syria, diselenggarakan pemilihan umum secara langsung. Hasilnya Bashar menang 88,7% suara sehingga ia berhak menduduki kursi kepresidenan untuk yang ketiga kalinya. Pemilu tersebut berbeda dengan dua kali pemilu sebelumnya di mana Bashar memenangkan pemilu melalui referendum.Walaupun dikecam oleh Amerika dan kelompok oposisi, Bashar tetap dilantik menjadi presiden. Bashar beranggapan bahwa pemerintahannya legal karena ia terpilih melalui pemilihan umum. Sehingga kelompok oposisi yang membuat kerusuhan dianggap sebagai teroris yang wajib disingkirkan. Maka konflik internal Syria menjadi tragedy kemanusiaan yang terbesar di abad ini mengingat banyaknya korban yang terbunuh dan pengungsi yang mencari suaka ke berbagai negara. Konflik Syria semakin meruncing dan melibatkan campurtangan negara asing seperti Saudi Arabia dan Turki serta dunia internasional, namun Bashar tetap tidak dapat digulingkan dari kursi kepresidenan atas alasan isu demokrasi sekalipun. Ia berpendapat bahwa mundurnya ia dari jabatannya belum tentu dapat menjamin perubahan dan kemajuan untuk Syria. Sebagai contoh adalah pengalaman Irak dan beberapa negara yang pemimpinnya diturunkan secara paksa atas intervensi Amerika. Bashar bahkan menolak jika ia bertanggungjawab atas peperangan yang terjadi di negaranya. Berikut salah satu pernyataan Bashar dalam web resminya saat diwawancara oleh televisi dari Iran pada 4 November 2015 (www.presidentassad.net): What I said a short while ago: any talk about the political system or the officials in this county is an internal Syrian affair. But if they are talking about democracy, the question begs itself: are the states you mentioned, especially Saudi Arabia, models of democracy, human rights or public participation? In fact, they are the worst and the most backward worldwide; and consequently they have no right to talk about this. As to Erdogan, he is responsible for creating chasms inside his own society, inside Turkey itself. Turkey was stable for many years, but with his divisive language, and his talk about sedition and discrimination between its different components, neither he nor Davutoglu are entitled to give advice to any country or any people in the world. This is the truth, simply and clearly 183
Jika dilihat dari perspektif Ralp Dahrendorf tentang konflik, maka penulis mengkategorikan konflik Syria sebagai konflik kekuasaan. Dimana di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan di dalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu. (George Ritzer& Douglas J.Goodman, 2004:157). Sebagaimana diketahui bahwa komposisi masyarakat Syria sangat heterogen namun kekuasaan dipegang oleh keluarga Assad selama bertahun-tahun. Konflik muncul seiring dengan tuntutan masyarakat Syria agar terjadireformasi politik dan pemerintahan. Keragaman Syria tidak terlepas dari masa silam di mana berbagai bangsa silih berganti menduduki Syiria.Dengan demikian berpengaruh terhadap heterogenitas masyarakat Syria baik agama maupun etnik. Dalam agama, kepercayaan masyarakat terbagi menjadi penganutAlawi 11,5%, Druz 3%, Ismaili (1,5%), Kristen Ortodox Yunani (4,7%), dan Kristen Syria (14,1%). Sementara berdasarkan etnis terdiri dari Kurdi (8,5%), Armenia (4%), Turki (3%), Circasia, dan 82,5% berbahasa Arab (Nikolas Van Dam,2011) . Keluarga Assad berasal dari penganut Alawi yang beraliran Syiah yang merupakan etnis minoritas. Kemunculan penganut Alawi di pentas politik berawal sejak pendudukan Prancis di Syria. Pemerintah Perancis menjadikan mereka tentara militer. Pengaruh politik mereka semakin kuat ketika mampu menduduki pimpinan di dalam Partai Baat.Sejak Hafez Al-Assad posisi Alawi dominan dalam politik Syria. Bashar Assad penggantinya, juga sebagai penganut Alawi. Dapat disimpulkan bahwa sejak era 1970 sampai sekarang Syria didominasi oleh kelompok Alawi. Dominasi etnis minoritas ini yang kemudian mendorong munculnya isu sectarian di Syria yakni perang antara kelompok Sunni-Shiah. Konflik Syria semakin meluas. Para pemberontak melancarkan aksi perlawanan kepada pemerintah sehingga Syria terjebak dalam multi konflik dengan berbagai aktor yakni ISIS, Jabat al-Nusra, al-Qaeda, dan aktor negara seperti Arab Saudi, Turki, Amerika berhadapan dengan Rusia, Cina, dan Iran. Masyarakat Eropa Dan Pengungsi Peperangan masih terus berlangsung dan berdampak pada pencari suaka perdamaian. Rakyat Syria berbondong-bondong meninggalkan negaranya yang sedang dilanda perang. Data UNHCR menunjukkan angka 4.290.332 para pengungsi yang mencari suaka di negara tetangga seperti Turki, Mesir, Irak, dan Lebanon. Lebanon menampung 1,1 juta pengungsi. Jordania 650 ribu pengungsi, Mesir 230 Ribu pengugsi dan Irak sendiri di perbatasan menampung sekitar 130 ribu pengungsi. Jika ditambah dengan Turkey yang menjadi tempat penampungan pengungsi terbesar 1,9 juta orang, Sementara Negara Teluk lainnya seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab seolah berpangku tangan terhadap pengungsi Syria. (http:data.unhcr.org) Fasilitas yang diberikan di negara tetangga bagi pengungsi sangat terbatas dan menjadi problem tersendiri terkait dengan tempat tinggal, layanan kesehatan, pendidikan, maupun lapangan pekerjaan. Realitas ini mendorong para pengungsi melirik Negara-negara Eropa. Hasil pertemuan negara-negara Uni Eropa, menyerukan negara-negara Eropa untuk mensepakati agar menerima 160 ribu pengungsi selama dua tahun ke depan.(http://www.theguardian.com/world/2015/sep/08/angela-merkel-eu-refugee-sharingplan-may-not-be-enough-germany-europe). Jerman mengambil peran lebih besar dengan mengakomodasi sekitar 31 ribu dan Prancis 24 ribu, Spanyol hampir 15 ribu, Polandia 9 ribu, dan Belanda 7 ribu. Inggris sendiri berjanji untuk mengambil pengungsi sebanyak 20 ribu dalam ima tahun ke depan. (http://www.aljazeera.com/news/2015/09/eu-sets-deadlinerelocate-160000-refugees-150909093620184.html) . Sikap negara-negara Eropa terhadap para pengungsi Syriatersebut memang sangat terbuka, namun ternyata Bashar Assad menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab negara Eropa dimana mereka menjadi sekutu Amerika yang memberikan suplai senjata bagi para 184
pemberontak Syria. Maka sudah sewajarnya jika masyarakat Eropa memberikan suaka bagi para pengungsi Syria. Apabila Amerika dan sekutunya itu berhenti mendanai para pemberontak, tentu perdamaian di Syria akan terwujud. Berikut ini pernyataan Presiden Assad terkait hal tersebut (presidentassad.net): This is painful of course. Syria has always been a safe haven for refugees throughput its history, since before the Ottoman Empire, and even throughout ancient history, because of its geographical location, the nature of its society and culture, and because of many other factors. But recently, at least throughout the last century, it hosted the Palestinians, the Lebanese, and before that the Armenians who fled to Syria because of the massacres perpetrated against them. There were also the massacres perpetrated against the Syriacs during the days of the Ottoman State and in other junctures. We should not also forget the Iraqis after the American invasion in 2003. It is very painful for a Syrian to turn into a refugee; and perhaps this is a black spot in Syria’s history which we will remember for decades and centuries. But what is more painful is the exploitation of the refugees’ problems on the part of Western countries and Western media. They portray it as a humanitarian tragedy from which they feel pain, while in reality they are the greatest contributors to this condition through their support of terrorism and through the sanctions they imposed on Syria. Consequently, in many parts of Syria, and in many situations, the basic requirements of life might not be available. So, terrorism, on the one hand, and these Western countries, on the other, are perpetrating the same act. They attack terrorists, but they are terrorists in their policies, whether by imposing sanctions or by supporting terrorism. This is another painful aspect of the refugees question; they fire at the Syrian refugees with one hand and give them food with the other. This is what the Europeans or the Westerners are doing.
Apabila mengikuti berita tentang konflik Syria, maka dapat dipetakan menjadi dua isu penting yakni Presiden Assad adalah pemimpin dictator yang harus ditumbangkan dari kekuasaan dan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas tragedy kemanusiaan di Syria karena menyebabkan globalisasi pengungsi. Dari perpektif analisis wacana, maka conten berita tersebut harus dikritisi dengan fair melalui analisis wacana kritis yang memiliki beberapa karakteristik yakni konteks, historis, kekuasaan, dan ideology pewarta. Media sering bias memberitakan tentang konflik Syria.Sangat sedikit media memberitakan tentang kelompok yang mendukung pemerintahan Bashar Assad dan bagaimana kontribusi Bashar terhadap para pengungsi dari Irak maupun Palestina yang terlebih dahulu dilanda perang (dinasulaemanwordpress.com). Konflik selalu menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Atas alasan kemanusian maka konflik Syria harus segera diakhiri. Kesimpulan 1. Sejarah panjang bangsa Syria yang dikuasai berbagai suku sejak masa silam menyumbang faktor terbesar heterogenitas agama maupun etnis di wilayah tersebut yakni Alawi, Druz, Ismaili, Kristen Yunani, Kristen Syiria, dan Muslim Sunni. Silih berganti penguasa memimpin Syria dari dinasti ke dinasti sampai di bawah kendali Turki Usmani di masa modern, di bawah mandate Perancis dan Syria memperoleh kemerdekaan. 2. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, Syria dikuasai oleh keluarga Assad penganut Shiah Alawi. Munculnya Arab Spring pada 2011 mendorong demonstrasi massa menuntut mundurnya Bashar Assad untuk pemerintahan yang lebih demokratis. Konflik Syria dapat dianalisis dengan teori konflik Dahrendorf tentang dialektika kekuasaan diman konflik 185
meluas hingga melibatkan beberapa aktor baik internal maupun eksternal. Konflik yang berkecamuk menyebabkan munculnya gelombang pengungsi 3. Negara Eropa adalah surga bagi para pencari suaka karena adanya jaminan kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal layak bagi pengungsi. Berbeda dengan negara Timur Tengah yang kaya, mereka seolah berpangku tangan terhadap kasus pengungsi. Konflik Syria adalah konflik yang melibatkan konspirasi internasional dan menimbulkan masalah global. Berita tentang konflik Syria memerlukan analisis wacana kritis agar tidak menjadi berita bias sehingga konflik dapat segera diakhiri. (Wallahu a’lam)
Rujukan Bernard Lewis. The Middle East: A Brief History of The Last 2000 Years. New York: Touchstone, 1997 Cenap Cakmak and Murat Ustaoglu. Post Conflict Syrian State and National Building: Economic and Political Development. New York: Palgrave Mac Millan, 2015. Christian C Sahner. Among The RuinsSyria Past and Present.London: C.Hurst & Co, 2014. David Promkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the creation of the Middle East.New York: Holt, 2009 David W.Lesch. The New Lion of Damascus Bashar Al Asad and Modern Syria. US: Yale University Press, 2005. Eugene Rogan. The Arab A History. Philadelphia: Basic Book, 2009 George Ritzer & Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Ali Mandan. Jakarta: Kencana, 2004. James L Gelvin. The Modern Middle East:A History. London: Oxford UP, 2011. John McHugo. Syrian A Recent History.London: Saqi Book, 2014. John McHugo.Syria: A History of The last Hundred Year. New York: New Press, 2015 Lord Kinross. Ottoman Centuries: The Rise and Fall of The Turkish Empire.New York: Morrow Quill, 1979. M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara, 2012. M. Clement Hall. The History of Syria 1900-2012. Mark Gasiorowski (ed). The Government and Politic of The Middle East and Norh Africa. Colorado: West view press, 2014. Muhammad Sayyid al-Wakil. Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2015 Nikolaos van Dam.The Struggle Power in Syria: Politics and Society Under Asad and The Ba’ath Party. London: IBTauris & Co.Ltd, 2011. Patrick Seale. Assad: The Struggle for The Middle East. LA: California UP, 1990 Peter Mansfield. A History of the Middle East From Ancient to Modern. NW: Penguin Books, 2013. Philip K Hitti. Syria A Short History. New York: Mac Millan Company, 1959
186
Reese Erlich. Inside Syria: The History of Their Civil War and What World Can Expec. New York: Promotheus Book, 2014 Samer N Abbaoud. Syria. UK: Polity Press, 2016. Stuart Casey Maslen. The War Report Armed Conflict in 2013. UK: Oxford University Press, 2014. Trevor Bryce. Ancient Syria: A Three Thousand Year History. UK: Oxford University Press, 2014. William L Claveland and Martin Bunton. A History of Modern Middle East. Colorado: West View Press, 2013. William Young, David Stebbins, Bryan A Frederick, Omar Alsahery. Spillover of The conflict in Syria: An Assesment on The Factor That Aid and Impede The Spread of Violence. SantaMonica: RAND Corporation, 2014. Britanica.com Data.unhcr.org dinasulaeman.wordpress.com Hbmulyana.wordpress.com Presidentassad.net Thegurdian.com www.aljazeera.com
187