Kewarisan dalam Konteks Indonesia Yuliatin, MHI IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi Indonesia ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai penduduk terbesar di dunia. Keberagaman agama dan adat melekat dalam kehidupan masyarakatnya, tetapi tidak berarti kemajemukan tersebut menjadikan masyarakat Indonesia terpecah belah dan terkotak-kotak. Justru dengan kondisi perbedaan tersebut mereka saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lain. Walau pada kenyataannya mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, namun penerapan hukum yang berlaku di dalamnya tidak serta merta tunduk pada hukum Islam saja.Islam merupakan agama yang kaffah dalam mengatur segala aspek kehidupan bagi pemeluknya. Berbagai aspek kehidupan tertata rapi dengan hukum yang sangat fleksibel, baik yang berhubungan dengan hablumminallah maupun hablumminannas. Pada aspek kedua yang mengarah pada hukum keluarga terutama persoalan kewarisan juga menjadi skala prioritas. Akan tetapi, tidak dapat dinafikkan masalah kewarisan merupakan sesuatu yang sensitif, karena berbicara tentang harta. Pelaksanaan pembagian harta tersebut pada masyarakat Islam Indonesiapun bervariasi, baik dengan hukum Islam maupun dengan hukum adat. Dalam hukum Islam, ada beberapa persoalan kewarisan yang membutuhkan pemikiran para ahli hukum untuk menyelesaikannya demi kemaslahatan bersama. Dalam koridor hukum adat, cara pembagian harta waris mempunyai banyak pilihan dan faktor yang mendukung melaksanakan sedemikian rupa. Hal itu terjadi dikarenakan pengaruh sistem kekerabatan masyarakatnya yang kompleks, bersifat matrilinial (menarik garis keturunan dari pihak ibu), patrilinial (menarik garis keturunan dari pihak bapak) dan bilateral/parental (menarik garis keturunan dari keduanya). Kata kunci: Kewarisan, Hukum Islam, Hukum Adat.
Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang heterogen, baik dari aspek keyakinan beragama maupun dari adat istiadatnya. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang sampai sekarang. Keberagaman tersebut menjadikan Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang unik dan dinamis. Saling menghormati dan saling menghargai antara satu dengan yang lain, tidak saja berlaku di pemerintahannya, tetapi juga masuk dalam wilayah masyarakatnya, baik yang berada di perkotaan maupun di pedesaan. Dengan begitu, gesekan karena perbedaan agama dan adat sangat kecil sekali terjadi di antara masyarakatnya. Kalaupun pernah terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan. Keberagaman dalam pemahaman merupakan sesuatu yang lumrah terjadi, khususnya masalah hubungan manusia dengan manusianya, terutama bila berkaitan dengan masalah kewarisan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Tetapi, tidaklah serta merta pelaksanaan pembagian harta waris harus mengikuti secara hukum Islam (faraid). 327
Karena walau demikian, masyarakat setempat mempunyai pilihan hukum. Baik menggunakan hukum waris Islam maupun dengan hukum waris adat. Dalam kondisi tertentu kemaslahatan lebih diutamakan karena perpecahan di antara keluarga sangat tidak diinginkan oleh siapapun. Dalam ajaran Islam semua harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia baik yang bersifat kebendaan atau hak disebut dengan istilah tirkah/tarikah. Tarikah ini tidaklah secara serta merta menjadi harta waris yang akan diwariskan kepada ahli waris (Amin Husein Nasution, 2012: 57). Ibnu Hazm mengatakan bahwa tidak semua hak milik menjadi harta waris, tetapi hanya terbatas pada hak terhadap harta bendanya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa semua hak baik yang bersifat kebendaan atau bukan termasuk harta waris (Sayyid Sabiq, 1984: 604). Jadi dapat dipahami bahwa harta waris adalah hak milik seseorang yang telah meninggal dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (tasaruf) semasa hidupnya setelah dikurangi biaya jenazah (tajhiz al mayyit), utang dan wasiat (Amin Husein Nasution, 2012: 57). Artinya, yang dikatakan harta waris adalah harta yang telah dilakukan tindakan pemurnian atau harta bersih. Dalam pandangan Islam, ahli waris yang berhak mendapatkan bagian dari harta waris adalah orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan orang yang mewariskan, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada hubungan nasab/keturunan, perkawinan, perbudakan dan seagama Islam. Karenanya secara umum, ahli waris dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah (Amin Husein Nasution, 2012: 57). Peraturan atau pedoman tentang kewarisan bagi umat Islam Indonesia telah terformulasi di dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam merupakan fiqh ala Indonesia yang sangat dibutuhkan terutama dalam hal keperdataannya, tentunya aturan yang ada bersumber dari dalil-dalil naqli dan aqli. Sehingga masyarakat Islam Indonesia mempunyai keseragaman hukum. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bustanul Arifin, salah satu pencetus dari munculnya Kompilasi Hukum Islam, bahwa: a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh penegak hukum maupun oleh masyarakat b. Persepsi yang tidak seragam tentang Syari’ah akan dan sudah menyebabkan halhal: 1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan hukum Islam itu (Ma anzala Allahu) 2) Tidak dapat kejelasan bagaimana menjalankan Syari’at itu (Tanfidziyah) 3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampunya menggunakan jalan atau alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangundangan lainnya (Harun Nasution, 1991: 100). Secara hukum Islam, pelaksanaan pembagian harta waris telah diatur sedemikian rinci. Sehingga masyarakat Islam dengan mudah menerapkannya. Tetapi apabila masyarakat Islamnya lebih memilih pembagian harta waris secara adat, tentu tidak dapat diabaikan. Secara adatpun tidak hanya dengan satu penerapan, karena
328
masyarakat Islam Indonesia secara kekerabatan berbeda. Sistem kekerabatan seringkali mempengaruhi sistem pembagian harta waris. Masyarakat Indonesia mempunyai sistem kekerabatan antara lain; patrilinial (menarik garis keturunan dari pihak bapak), matrilinial (menarik garis keturunan dari pihak ibu) dan parental/Bilateral (menarik garis keturunan dari keduanya). Ketiga sistem tersebut tentu berbeda dalam penerapan pembagian harta waris. Hal tersebut diyakini oleh masyarakat menjadi sesuatu yang baik dan berguna bagi anak cucu dari keturunannya. Sistem kewarisanpun tentunya berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ada pembagian harta waris secara individual, kolektif dan mayorat, yang mana kepemilikan harta waris dengan tiga sistem tersebut berbeda nyata. Walaupun pilihan yang diaktualisasikan dalam lingkungan keluarga tersebut mempunyai sisi positif dan sisi negatifnya. Pembahasan i. Penerapan hukum waris Islam Islam merupakan agama yang sangat fleksibel dan dinamis, kekhasan yang dimiliki Islam menjadikannya sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Hal ini tentu dapat dirasakan bagi pemeluknya di manapun berada termasuk masyarakat Islam Indonesia. Tidak ada pemaksaan untuk manusia memilih Islam sebagai keyakinan dan pegangan hidupnya. Tetapi apabila telah memeluk Islam, maka secara langsung atau tidak harus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh ajaran Islam itu sendiri. Walaupun demikian, Islam mempunyai kedinamisan dalam hukum yang diberlakukan bagi pemeluknya. Apabila dalam kondisi tertentu, Islam dapat memberikan kelonggaran, sehingga tidak memberatkan dan membebani bagi pemeluknya. Dalam masalah kewarisan, agama Islam telah mengatur secara jelas dan rinci, baik yang termaktub dalam al-Quran maupun dalam Hadits. Masyarakat Islam di wilayah manapun di dunia ini bisa merujuk hukum kewarisan melalui dua sumber utama hukum Islam tersebut. Namun, kadangkala penerapan hukum kewarisan di masyarakat Islam berbeda. Hal ini melihat kondisi masyarakat setempat dan untuk kemaslahatan bersama, begitupun yang berlaku di Indonesia. Dalam hukum Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga bisa memberi hak kepada ahli waris untuk menerima harta waris, yaitu: 1. Orang yang mewariskan (mawarris) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa seseorang telah meninggal dunia. Maka bisa dipahami bahwa apabila tidak ada kematian seseorang maka tidak akan ada pewarisan. 2. Orang yang mewarisi (ahli waris) hidup pada saat orang yang mewariskan (pewaris) meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum. Dari pengertian ini termasuk anak(embrio), orang yang menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. 3. Adanya hubungan pewarisan antara pewaris dengan ahli waris, yaitu hubungan nasab (keturunan/kekerabatan), hubungan karena pernikahan, karena hubungan perbudakan (wala) dan karena hubungan seagama Amin Husein Nasution, 2012: 71-77).
329
Dalam menguraikan prinsip-prinsip dari hukum waris, satu-satunya sumber yang paling tinggi adalah al-Qur’an. Sebagai pelengkap untuk menjelaskannya adalah hadits dan hasil ijihad atau pendapat para ahli hukum Islam terkemuka yang mempunyai kredibilitas keilmuan (Yuliatin, 2014: 132). Ada beberapa ayat yang berbicara ketentuan kewarisan diantaranya: 1. Q.S. an-Nisȃ’ [4] : 7 Ayat ini mengandung pengertian bahwa; a) bagi anak laki-laki ada bagian harta orangtuanya; b) bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta waris dari harta peninggalan keluarga dekatnya baik laki-laki maupun perempuan; c) bagi anak perempuan ada pembagian harta waris dari harta peninggalan orangtuanya; d) bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta waris dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan; e) ahli waris yang telah disebutkan mendapatkan harta waris ada yang porsi sedikit dan ada yang porsinya banyak; f. ketentuan pembagian tersebut telah ditetapkan oleh Allah SWT (Zainuddin Ali, 2008: 43). 2. Q.S. An-Nisȃ’ [4] : 8 Ayat ini mengandung pengertian bahwa ada tiga hukum yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum waris Islam; a) bila dalam pembagian harta waris hadir orang yang bukan termasuk ahli waris, maka berilah kepadanya harta waris yang telah menjadi bagian ahli waris dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik; b) bila dalam pembagian harta waris hadir anak yatim, maka berilah mereka dari harta waris yang sudah menjadi hak ahli waris dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik; c) bila dalam pembagian harta waris hadir orang miskin,maka berilah kepadanya harta waris yang sudah menjadi bagian dari ahli waris dan ucapkanlah kepadanya dengan perkataan yang baik (Zainuddin Ali, 2008: 34). 3. Q.S.an-Nisȃ’ [4] : 11 Dari ayat diatas mengandung beberapa pengertian tentang kewarisan Islam; a) Allah telah mengatur perbandingan pembagian antara ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan yaitu dua bandung satu; b) bila ahli waris dua orang perempuan atau lebih maka bagiannya dua pertiga dari harta waris; c) bila hanya ada satu orang anak perempuan maka bagiannya seperdua dari harta waris; d) bagian untuk ibu bapak masing-masing seperenam dari harta waris bila pewaris mempunyai anak; e)bila pewaris tidak mempunyai anak dan saudara maka perolehan ibu dari harta waris sepertiga; f) bila pewaris tidak mempunyai anak tetapi ada saudara maka ibu mendapat seperenam dari harta waris; g) pelaksanaan pembagian harta waris tersebut bila telah menunaikan wasiat dan membayar hutang pewaris (Zainuddin Ali, 2008: 35). 4. Q.S. an-Nisȃ’ [4] : 12 Ayat diatas dapat dipahami beberapa unsur; a) bila isteri tidak mempunyai anak maka suami (duda) menerima harta waris seperdua; b) bila isteri mempunyai anak maka suami (duda) mendapat harta waris seperempat; c) bila suami tidak mempunyai anak maka isteri (janda) mendapat seperempat dari harta waris; d) bila suami mempunyai anak maka isteri (janda) mendapat seperdelapan dari harta waris; e) pelaksanaan tersebut terealisasi setelah terpenuhi wasiat dan hutang; f) jika seorang laki-laki dan seorang perempuan diwarisi secara punah dan meninggalkan saudara lebih dari dua orang maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata mendapat sepertiga dari harta waris; g)pelaksanaan setelah terpenuhi wasiat dan dibayarkan hutang pewaris; h) pemberian wasiat dan
330
pembayaran hutang hendaknya tidak mendatangkan kemudharatan bagi ahli waris (Zainuddin Ali, 2008: 36). 5. Q.S. an-Nisȃ’ [4] : 33 Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa; a)Allah telah menetapkan mawalli (ahli waris pengganti) bagi setiap orang untuk mewarisi harta yang menjadi bagian ibu bapaknya; b) Allah telah menjadikan setiap orang sebagai mawalli dari harta waris aqrabunnya; c) Allah telah menjadikan mawalli bagi setiap orang terhadap harta waris saudara seperjanjian; d. berikanlah bagian masing-masing untuk mawalli (Zainuddin Ali, 2008: 38). 6. Q.S. al-Baqarah [2] : 180 Ayat diatas mengandung hukum; a) seseorang yang mendekati mautnya hendaklah baginya menentukan wasiat kepada ibunya dengan sepatut-patutnya; b) seseorang yang mendekati mautnya hendaklah baginya menentukan wasiat untuk bapaknya dengan sepatut-patutnya; c) seseorang yang mendekati mautnya hendaklah baginya menentukan wasiat untuk aqrabunnya dengan sepatutpatutnya (Zainuddin Ali, 2008: 38). 7. Q.S. al-Baqarah [2] : 240 Ayat diatas mengandung pemahaman; a) seseorang yang mendekati maut dengan meninggalkan istri maka hendaklah berwasiat untuk istrinya untuk pemenuhaan nafkah selama satu tahun dan tidak boleh dikeluarkan dari rumah di mana ia bertempat tinggal; b) seorang suami yang telah berwasiat untuk istrinya dalam pemenuhan nafkah dan menempati rumahnya tetapi istrinya keluar dari rumah untuk mencari kehidupan yang lebih baik, maka suami tidak berdosa atas hal tersebut (Zainuddin Ali, 2008: 39). 8. Q.S. al-Baqarah [2] : 233 Ayat tersebut mengandung garis hukum; a) bila para ibu ingin menyempurnakan masa menyusui anaknya selama dua tahun; b) suami wajib memberi nafkah dan pangan bagi istrinya dengan baik; c) seseorang tidak akan diberikan beban di luar batas kemampuannya; d) janganlah seorang ibu dan seorang bapak menderita karena anaknya begitu puula sebaliknya; e) bila kamu menyerahkan anak untuk disusukan kepada orang lain maka kamu wajib memberikan apa yang kamu dapat kepadanya (Zainuddin Ali, 2008: 39). Dalam al-Qur’an Allah telah menetapkan hak kewarisan dalam angka yang pasti yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 dan menyebutkan ahli waris yang menerima harta waris menurut angka tersebut, yaitu: 1. Hak anak laki-laki dan anak perempuan: anak perempuan tunggal menerima ½, anak perempuan lebih dari dua orang mendapat 2/3, anak perempuan bersama anak laki-laki dengan perbandingan pembagian seorang anak laki-laki sama dengan dua orang perempuan. 2. Hak ibu dan bapak: ibu dan bapak mendapat 1/6 bila pewaris mempunyai anak, ibu mendapat 1/3 bila pewaris tidak mempunyai anak, ibu mendapat 1/6 bila pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai beberapa orang saudara. 3. Hak suami atau istri: suami mendapat ½ bila istri tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bila isteri ada anak, isteri mendapat ¼ bila suami tidak ada anak dan mendapat 1/8 bila suami ada anak. 4. Hak saudara-saudara bila pewaris adalah kalalah: saudara laki-laki atau perempuan hanya seorang mendapat 1/6, bila saudara lebih dari seorang mendapat 1/3 (Amir Syarifuddin, 2012: 42-43).
331
Sumber hukum tentang kewarisan juga telah diatur dalam hadits Rasulullah, antara lain: 1. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari (Al-Bukhariy, tt: 181) 2. Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Daud, al-Tarmizi, Ibnu Majah dan Ahmad (Sunanu Abi Daud, 1952: 109) 3. Hadits dari Surahbil menurut kelompok perawi hadits selain Muslim (AlBukhariy, tt: 188) : 4. Hadits Nabi dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad (Abu Dawud, 1952: 109) : 5. Hadits Nabi dari Qubaishah bin Zueb menurut lima perawi hadits selain alNasa’i (Al-Tarmizi, 1938: 320) : Masyarakat Islam Indonesia dalam penerapan pembagian harta waris telah diatur dalam sebuah produk hukum ala Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan fiqhnya Indonesia, hal ini dikarenakan Kompilasi Hukum Islam disusun dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi kebutuhan akan hukum umat Islam di Indonesia, khususnya tentang persoalan keperdataan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hazairin dan Hasbi ash-Shidiqy, bahwa fiqh Indonesia mempunyai tipe lokal seperti fiqh Hijazy, fiqh Mishry, fiqh Hindy ataupun fiqh yang lain. Fiqh tersebut sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat, bukan merupakan mazhab baru. Tetapi dapat dikatakan lebih cenderung ke arah mempersatukan berbagai fiqh untuk menjawab sebuah permasalahan. Dengan kata lain, lebih mengarah ke unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Di mana dalam sebuah sistem hukum Indonesia merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia (Seikan dan Erniati Efendi, 1997: 22-23). Kompilasi Hukum Islam dalam buku II menjelaskan tentang hukum kewarisan, hibah dan wasiat yang sumber aslinya berasal dari al-Qur’an dan hadits. Kompilasi Hukum Islam mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai pasal 193. Pada pasal 171 tentang Ketentuan Umum, pasal a). Menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kirab fiqh dengan rumusan yang berbeda. Pasal b). Membicarakan tentang pewaris dengan syarat beragama Islam dan pasal c). Menjelaskan tentang ahli waris yang di samping mengisyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam. Hal ini yang serupa dengan yang dijelaskan dalam fiqh sebagimana yang dijelaskan sebelumnya, pasal d dan e juga tidak berbeda dengan fiqh (Amir Syarifuddin, 2012: 310). Dalam pasal 172 yang menerangkan tentang identitas keislaman seseorang hanyalah bersifat administratif, walaupun tidak disinggung dalam fiqh tetapi tidak menyalahi substansi fiqh itu. Pada pasal 173 menerangkan tentag halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fiqh, rumusannya adalah bahwa seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena; a) dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris; b) dipersalahkan karena secara memfitnah telah mengajaukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu tindak kejahatan yang diancam dengan hukuman lim tahun penjara atau lebih berat dari itu.
332
Dalam pasal 174 menjelaskan tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah maupun hubungan karena perkawinan, hal ini telah sejalan dengan fiqh faraid sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab IV. Pada pasal 175 tentang kewajiban para ahli waris terhadap harta sebelum dibagikan kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqh mawaris. Pasal 176 menerangkan tentang bagian anak dalam kewarisan, baik keadaannya sendiri atau bersama, hal ini telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqh faraid. Sementara dalam pasal 177 menjelaskan tentang bagian ayah yang dirumuskan: a) ayah menerima sepertiga bagian jika pewaris tidak mempunyai anak dan ayah mendapat seperenam jika pewaris mempunyai anak. Pasal 178 menerangan tentang bahwa bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pada pasal 179-180 menerangkan bahwa bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusan dalam fiqh. Dalam pasal 181 menjelaskan bahwa bagian dari saudara seibu dan dalam pasal 182 tantang bagian saudara kandung dan bagian saudara seayah dalam hal kemungkinannya telah sejalan dengan al-Qur’an dan rumusan fiqh. Sementara dalam pasal 183 yang menjelaskan tentag upaya perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang tidak tidak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Walau secara formal menyalahi ketentuan fiqh tetapi bisa diterima dengan mempergunakan pendekatan takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi. Dalam pasal 184 yang menjelaskan tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus harta warisnya, walaupun tidak dijelaskan dalam kitab fiqh faraid tetapi telah sejalan dengan keinginan al-Qur’an pada surah an-Nisa ayat 5, tentulah hal ini bisa diterima. Pada pasal 185 menjelaskan tentang ahli waris pengganti, dalam pasal tersebut membutuhkan perhatian bahwa ahli waris merupakan hal yang baru karena di Timur Tengah belum ada negara yang melakukan sehingga perlu memasukkan ke dalam wasiat wajibah. Sangatlah bijak menggunak kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif. Artinya dalam kondisi tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, tetapi dalam keadaan tertentu pula jika menghendaki diberlakukan ahli waris pengganti. Dalam pasal 186 tentang status kewarisan anak di luar nikah sudah sesuai dengan keawrisan anak zina dalam fiqh yang menempatkan hanya menjadi ahli waris bagi ibinya dan orang yang berkerabat dengan ibu. Pada pasal 187 menjelaskan tentang pelaksanaan pembagian harta waris, pasal 188 tantang pengajuan permintaan untuk pembagian harta waris dan pada pasal 189 menjelaskan tentang pewarisan tanah pertanian. Walaupun tidak diatur dalam fiqh, namun karena hanya menyangkut soal administrasi dan sesuai dengan prinsip kemaslahatan, maka bisa diterima. Dalam pasal 190 menjelaskan tentang hak istri atas bagian harta gono-gini secara langsung tidak berkaitan dengan hak kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi hak pewaris, tidaklah menyalahi ketentuan fiqh. Dalam pasal 191 menjelaskan tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli waris yang tidak diketahui keberadaannya juga diatur dalam fiqh. Sementara dalam pasal 192 menjelaskan tentang penyelesaian secara aul dan pasal 193 menjelaskan tentang penyelesaian raad telah sesuai dengn fiqh (Baca lebih lengkap, Amir Syarifuddin, 2012: 309-314).
333
Dari penjelasan tentang kewarisanyang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum pasal kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, kecuali pada hal yang kursial, walaupun ada perbedaan dengan fiqh, dapatlah ditempatkan sebagai hukum kewarisan Islam dalam format yang baru. Ada beberapa persoalan kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, di mana hukum yang mengaturnya lebih mengarah kepada sisi kemaslahatan masyarakat Islam Indonesia. Persoalan tersebut membutuhkan ijtihad para mujtahid atau ahli hukum Islam. Di antara persoalan kewarisan tersebut, antara lain bagian harta waris bagi anak angkat dan orang tua angkat. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 209 telah dinyatakan bahwa; (1) harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta waris anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta waris orang tua angkatnya Anonim, tt: 64). Pada pasal 209 Kompilasi Hukum Islam di atas yang berdasarkan pada pasal 176 sampai pasal 193, menurut Ratno Lukito, dapat dipahami secara jelas tentang bentuk-bentuk reformasi terhadap hukum kewarisan Islam mengenai institusi wasiat wajibah. Di sini terlihat secara jelas dan nyata bahwa para ahli hukum Islam Indonesia dengan melalui Kompilasi Hukum Islam telah mempergunakan wasiat wajibah untuk memperkenankan atau memperbolehkan bagi anak angkat dan orang tua angkat mengajukan klaim atas bagian tertentu dalam hal kewarisan. Dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam tersebut memberikan ketentuan bahwa anak angkat dan orang tua angkat adalah penerima wasiat wajibah dengan kadar maksimal penerimaannya sepertiga dari harta waris. Hal ini dikarenakan bahwa anak angkat dan orang tua angkat tidak mempunyai ikatan kekeluargaan dengan pewaris. Maka reformasi yang bersifat revolusioner ini mau tidak mau agak menyepelekan prinsip yang sudah mapan dalam kewarisan Islam, yaitu bahwa hubungan darah adalah syarat sah bagi pembagian harta waris dari pewaris kepada ahli waris. Hal tersebut dapat dilakukan tergantung pada lembaga adopsi dalam hukum adat (Ratno Lukito, 1998: 88-89). Menurut Ratno Lukito, ada beberapa pertimbangan sehingga Kompilasi Hukum Islam Indonesia membuat suatu terobosan hukum tentang hak anak angkat dan orang tua angkat untuk bisa mendapatkan bagian dari harta waris. Pertimbangan tersebut antara lain: a. Dalam hukum adat, sangat umum keluarga Indonesia melakukan pengadopsian anak angkat baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Hal tersebut didukung dengan sistem hukum adat yang begitu unik dan bersifat lokal. Pengadopsian telah menjadi suatu yang bersifat lumrah dengan karekteristik yang sama di antara kelompok masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Lembaga adopsi seringkali dikaitkan dengan dominasi politis dari ayah atau ibu dalam sebuah keluarga Seperti pada masyarakat Batak Sumatera Utara yang menganut sistem kekerabatan patrilinial, adat masyarakat ini memberikan peluang membolehkan suatu keluarga untuk mengadopsi seorang anak laki-laki tetapi tidak terhadap anak perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga bentuk kepatrilinialan masyarakat Batak. Bila telah mendapatkan izin dari orang tua kandung anak, kemudian secara genealogis dimasukkan ke dalam keluarga bapak angkat. Lalu
334
anak tersebut menerima dan mendapatkan semua hak hukum sebagai anak sah. Begitu pula pada masyarakat Minangkabau Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilinial. Seperti halnya kekerabatan patrilinial dan matrilinial diperkenankan mengadopsi anak, kekerabatan yang bersifat parentalpun demikian pula adanya. Artinya kekerabatan inipun memperkenankan pengadopsian anak, tetapi tidak membedakan anak yang boleh diadopsi dan yang tidak boleh. Anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mempunyai peluang untuk dijadikan sebagai anak angkat. Hal ini dikarenakan pertimbangan moral sebagai alasan yang utama, seperti adanya keinginan untuk menolong anak yatim. Suatu keluarga dapat mengadopsi anak laki-laki ataupun anak perempuan, dengan konsekuensi hukum bahwa anak tersebut akan memperoleh hak yang sama di hadapan hukum sebagaimana anak sah. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa aplikasi adopsi secara terperinci di Indonesia berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. b. Dengan berdasarkan pada praktek hukum yang ada, maka kemudian para ahli hukum Islam Indonesia mempunyai tugas moral yang menjadikan mereka berkewajiban menjembatani kesenjangan antara dua hukum yaitu hukum Islam dan hukum adat (Ratno Lukito, 1998: 89-90). Pengadopsian anak sebenarnya merupakan sebuah praktek yang telah terjadi pada masa jahiliyah, yaitu pada masyarakat adat arab pra Islam, tetapi kemudian praktek hukumnya dihapus karena telah datang Islam dengan diturunkannya wahyu yaitu surah al-Ahzab ayat ayat 4, 5 dan 37 (Ahmad Muhyi ad-Din al‘Ajuz, 1986: 54), yang artinya: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia telah menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar), (ayat 4). Panggilah mereka (anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang sengaja dihatimu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (ayat 5) Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oelh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap isterinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. (ayat 37) (Kemenag RI, 2012: 418, 423). c. Hukum Islam secara tegas menolak lembaga adopsi, karenanya para ahli hukum Islam di Indonesia dengan keilmuan yang dimiliki berusaha semaksimal mungkin untuk mengakomodasikan sistem nilai yang ada dalam kedua hukum. Dengan jalan mengambil dari institusi wasiat wajibah yang hukumnya berasal dari ajaran Islam sebagai jalan untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktek adopsi dalam hukum adat. Hal tersebut harus dilakukan karena secara realita bahwa dalam semua masyarakat yang melaksanakan praktek
335
adopsi, orang tua angkat senantiasa memperhatikan dan memikirkan tentang kesejahteraan anak angkatnya pada saat orang tua angkat telah meninggal dunia. Dengan demikian, hal itu merupakan praktek yang umum dilaksanakan bagi anak angkat untuk menerima dan mendapatkan bagian harta waris dari orang tua angkatnya. Yaitu melalui hibah yang dapat memberikan suatu jaminan dalam kehidupan anak angkat. Hal tersebut merupakan ide yang tersirat dibalik semangat untuk merekonstruksi Kompilasi Hukum Islam yang mampu menerjemahkan wasiat wajibah sebagai alat untuk memperkenankan anak angkat mempunyai hak yang sah secara hukum untuk mewarisi haarta waris orang yang meninggal dunia. d. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan bahwa orang tua angkat mempunyai hak yang sah secara hukum untuk menjadi penerima wasiat wajibah. Oleh karena itulah Kompilasi Hukum Islam mempunyai pandangan bahwa hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat sedemikian dekatnya, sehingga kata “kerabat dekat”(al-Aqrabin) pada ayat tentang wasiat dapat diterjemahkan sebagai anak angkat dan orang tua angkat. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam mengakui dan memperkuat suatu hubungan yang baru dan bersifat dua arah dalam hal kewarisan antara anak angkat dan orang tua angkat dengan melalui cara wasiat wajibah. Hal ini merupakan salah satu bentuk reformasi yang benar-benar unik ala Indonesia (Ratni Lukito, 1998: 89-91). ii. Penerapan hukum waris adat Hukum waris adat merupakan hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta waris, pewaris dan cara bagaimana harta waris dialihkan penguasaan dan kepemilikan dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sebenarnya merupakan hukum penerusan harta kekayaan dari generasi kepada keturunannya Hilman Hadikusuma, 2003: 7). Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, berbeda dengan hukum Islam maupun hukum barat. Karena perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyaarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang tersebut pada prinsipnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong menolong guna merealisasikan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup Hilman Hadikusuma, 2003: 9). Hukum waris adat telah dilaksanakan masyarakat sebelum hukum waris yang lain diterapkan di Indonesia. Dengan masyarakat yang heterogen, baik dalam keyakinan beragama maupun dalam adat kebiasaan tentulah membawa pengaruh yang signifikan dalam pola pemikiran dan pemahaman terhadap suatu persoalan. Secara umum, masyarakat Indonesia mempunyai sistem kekerabatan yang berbeda ternyata menjadikan sistem kewarisan yang berbeda pula. Kekerabatan merupakan hubungan darah, sedangkan hubungan perkawinan digunakan istilah affinity. Hubungan antara orangtua dan anak adalah kerabat (kin) sedangkan hubungan antara suami dan isteri adalah affines. Dalam masyarakat secara umum, seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orangtuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang bisa ditelusuri melalui bapak dan ibunya. Kerabat melalui penelusuran dari garis bapak disebut paternal atau patrilateral, sedangkan melalui penelusuran dari garis ibu disebut maternal atau matrilateral (Soerjono Soekanto, 2001: 42).
336
Kekerabatan merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Manifestasinya terfokus dan terarah kepada hukum perkawinan dan segala akibatnya. Karenanya, kekerabatan ini meliputi hubungan keluarga, hubungan darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang tua, harta benda perkawinan, warisan, pertalian dan perceraian. Keluarga dalam arti sempit adalah suami, istri, dan anak yang bertempat tinggal dalam sebuah rumah, sedangkan dalam arti yang luas adalah sekelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah yang disebut hubungan keluarga. Hubungan keluarga karena perkawinan disebut dengan semendo yang terdiri dari mertua, ipar, anak tiri dan menantu. Hubungan keluarga karena pertalian darah adalah bapak, ibu, kakek, nenek, buyut, puyang terus ke atas, anak, cucu, cicit terus ke bawah, saudara kandung dan anak saudara kandung. Jadi hubungan keluarga dengan sebab pertalian darah terjadi dalam tiga garis: 1. Menurut garis lurus ke atas: bapak, kakek, puyang disebut leluhur. 2. Menurut garis turun ke bawah: anak, cucu, cicit disebut keturunan. 3. Menurut garis ke samping/menyimpang: saudara kandung, saudara seayah, seibu, serta kakek/nenek (Anonim, 1995: 15) Secara teoritis sistem kekerabatan atau keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak: 1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu sistem keturunan yang menarik garis dari pihak bapak, di mana posisi pria lebih dominan pengaruhnya daripada wanita di dalam masalah pewarisan (Gayo, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian). 2. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang menarik garis dari pihak ibu, di mana kedudukan wanita lebih dominan pengaruhnya daripada kedudukan pria di dalam masalah pewarisan (Minangkabau, Enggano, dan Timor). 3. Sistem Parental/Bilateral, yaitu sistem keturunan yang menarik garis dari kedua orang tua, atau menarik garis dua sisi (bapak dan ibu), di mana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan/setara di dalam masalah pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Sulawesi dan lain-lain) (Hilman Hadikusuma, 2003: 23). Keturunan adalah ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai pertalian darah, yang disebut silsilah. Dari satu silsilah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lain, dari leluhur yang sama. Dalam ajaran Islam menerapkan sistem kekerabatan yang bersifat parental/bilateral (Amir Syarifuddin, 2012: 188). Artinya, suatu sistem kekerabatan yang mempunyai hubungan keluarga yang menarik baik dari garis keturunan bapak (laki-laki) maupun dari garis keturunan ibu (perempuan). Maka dapatlah dipahami bahwa Islam mendudukkan dalam posisi yang setara antara lakilaki dan perempuan di dalam masyarakat dan keluarga. Tidak adanya kecenderungan mengutamakan dari garis bapak dan menafikan dari garis ibu atau sebaliknya. Dalam masyarakat adat, sistem kekerabatan secara umum dibagi menjadi tiga corak, maka sistem kewarisannyapun dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori pula, yaitu: 1. Kewarisan Individual; sistem ini menganut pemahaman bahwa setiap ahli waris yang mendapatkan bagian dari harta waris berhak secara penuh untuk memiliki
337
dan menguasai harta tersebut secara pribadi. Artinya ahli waris yang menerima harta dapat menikmati, menjual, ataupun mengalihkan kepada siapapun yang dikehendaki, ahli waris yang lain tidak bisa menghalangi atau melarang keinginan tersebut. Sistem kewarisan seperti ini banyak dilaksanakan pada masyarakat yang mempunyai sistem kekerabatan parental/bilateral. Diantaranya pada masyarakat Jawa, sebagian Sumatera seperti Jambi, Lampung beradat Peminggir. Adapun salah satu faktor yang menyebabkan dilaksanakan pembagian harta waris dengan sistem individual ini adalah tidak ada lagi keinginan seseorang dari ahli waris untuk menguasai atau memiliki secara bersama-sama. Hal itu dikarenakan ahli waris tidak terikat dan tinggal pada satu rumah kerabat lagi, juga karena mempunyai kehidupan masing-masing (Hilman Hadikusuma, 2003: 25). 2. Kewarisan Kolektif; sistem ini memberi pemahaman bahwa harta waris yang diteruskan dan dialihkan dari pewaris kepada ahli waris merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa terbagi-bagi baik dalam kepemilikan maupun dalam penguasaan. Akan tetapi walau demikian, ahli waris mempunyai hak untuk mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari harta tersebut. Adapun cara penggunaan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masingmasing ahli waris harus diatur secara bersama-sama dengan musyawarah dan mufakat semua ahli waris. Tentunya ada kepala kerabat yang membimbing hal tersebut (Wirjono Prodjodokoro, 1976: 16). Kewarisan kolektif ini secara umum dilaksanakan pada masyarakat; (a) Minangkabau Sumatera Barat, sistem kolektif diberlakukan atas tanah pusaka yang diurus bersama di bawah pimpinan seorang mamak kepala waris. Di mana para anggota keluarga hanya mempunyai hak pakai saja. (b) Ambon, harta tidak dibagi-bagikan kepada ahli waris melainkan disediakan untuk dipergunakan saja terutama bagi para anggota keluarga pewaris yang yang telah meninggal dunia. Kerabat ini di bawah kepemimpinan seorang kepala dati. (c) Minahasa, yaitu sistem kolektif atas barang (tanah) kalakeran yang merupakan tanak sekerabat yang tidak bisa dibagi-bagi namun boleh dipergunakan untuk kebutuhan para anggota keluarga. Status hak pakai bagi anggota keluarga ini dibatasi dengan tidak diperkenankan menanam tanaman keras. Adapun yang mengatur dan mengawasi tanah kalakeran tersebut adalah Tua Untaranak, Haka Umbana atau Paki itenan tanah-tanah. Bila tua tengganai itu dari kerabat lain disebut Mapontol. Di masa sekarang, tanah kalakeran sudah ada yang bisa dibagi-bagi. (d) Lampung, tanah menyanak atau tanah epong merupakan sebidang tanah milik sekerabat bersama yang tidak dibagi-bagi pemiliknya. Biasanya tanah ini telah ditanami tumbuhan keras seperti durian, rambutan, aren dan lain sebagainya yang boleh dinikmati oleh para anggota kerabat bersangkutan secara bersamaan. Ada kalanya di antara ahli waris menanam tanaman keras di tanah tersebut, maka dengan sendirinya ahli waris tersebut hanya mempunyai hak atas pohon itu saja (Soepomo, 1967: 74). 3. Kewarisan mayorat; sistem kewarisan ini sebenarnya sama dengan kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan hak penguasaan atas harta waris yang tidak terbagi-bagi dilimpahkan kepada anak tertua, baik laki-laki maupun perempuan. Anak tertua merupakan pemimpin dalam sebuah rumah tangga atau sebagai kepala keluarga menggantikan posisi bapak dan ibu. Anak tertua mempunyai kedudukan sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang telah meninggal dunia. Mempunyai kewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya,
338
terutama bertanggung jawab penuh terhadap harta waris yang ditinggalkan dan terhadap adik-adiknya yang belum mapan. Tanggung jawab akan selesai apabila adik-adiknya telah berumah tangga dan dapat hidup mandiri. Sama seperti kewarisan kolektif, kewarisan mayorat dalam masalah harta waris, hanya berhak menggunakan dan menikmati dengan tidak mempunyai hak menguasai atau memiliki secara pribadi. Sistem mayorat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, hal ini dikarenakan sistem kekerabatan yang berbeda yaitu mayorat laki-laki dan mayorat perempuan. Mayorat laki-laki seperti pada masyarakat adat Lampung yang beradat pepaduan dan masyarakat adat di Teluk Yos Sudarso Kabupaten Jayapura Irian Barat. Sementara mayorat perempuan ada di masyarakat adat Semendo Sumatera Selatan (Natty Kaiway, 1978: 74). Dalam hal memimpin, mengurus dan mengatur penguasaan harta waris pada kewarisan mayorat adalah anak laki-laki tertua dari isteri tertua (anak punyimbang; Lampung) begitupun di Jayapura Irian Barat. Pada kewarisan mayorat perempuan seperti di Semendo Sumatera Selatan dan di daerah enclave Lampung (masyarakat yang berasal dari Semendo) yang bertanggung jawab mengurus, mengatur dan menguasai harta waris adalah tunggu tubang yaitu anak perempuan tertua sebagai penunggu harta orang tua (Hilman Hadikusuma, 2003: 28). Dari tiga sistem kewarisan yang ada di masyarakat adat Indonesia, tentulah mempunyai sisi kebaikan dan sisi kelemahannya. Dari sisi kebaikan: (a)Kewarisan individual; dengan status harta waris menjadi milik pribadi, ahli waris bebas menguasai dan menggunakan harta bagiannya sesuai yang diperlukan dan dibutuhkan tanpa harus dipengaruhi oleh ahli waris yang lain; harta waris yang dimiliki dapat digunakan untuk bertransaksi dengan pihak lain di luar ahli waris yang lainnya untuk dipergunakan menurut kebutuhan sendiri dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya; sistem ini sangat berpengaruh baik terhadap keluarga yang sudah maju, di mana kediaman sudah terpisah-pisah karena telah terjadi perkawinan campuran. (b) Kewarisan kolektif; fungsinya akan kelihatan lebih baik apabila harta waris tersebut dipergunakan untuk kelangsungan hidup keluarga besar baik skarang maupun yang akan datang; tolong menolong antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain di bawah pimpinan seorang kepala kerabat yang mempunyai tanggung jawab yang baik dan bersikap bijaksana. (c) Kewarisan mayorat; kewarisan ini tertumpu kepada anak tertua, laki-laki atau perempuan sesuai dengan sistem kekerabatan yang berlaku, bila anak terua mempunyai sifat penuh tanggung jawab akan mampu mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua ahli waris menjadi dewasa dan mandiri dalam mengatur rumah tangga sendiri. Anak tertua mempunyai kedudukan sama seperti orang tua, bertanggung jawab penuh secara materi dan immateri. Dari sisi kelemahan: (a) kewarisan individual; dengan terbaginya harta waris kepada masing-masing ahli waris dan merenggangnya tali kekerabatan tentunya dapat berpengaruh timbulnya keinginan diri menguasai secara pribadi dan mementingkan diri sendiri; kepemilikan secara individu dapat mengarah kepada nafsu yang bersifat individualisme dan materialisme, hal ini seringkali menyebabkan munculnya perselisihan antara ahli waris. (b) kewarisan kolektif; menumbuhkan cara berfikir yang dangkal dan tidak membuka diri kepada orang lain; pemimpin yang penuh tanggung jawab dan bijaksana tidak selamanya ada dalam sebuah keluarga atau di antara ahli waris; makin lunturnya nilai kesetiaan kebersamaan
339
terhadap anggota keluarga sehingga tumbuh rasa tidak suka di antaranya; makin kurangnya nilai kebersamaan dalam memiliki harta waris tersebut. (c) kewarisan mayorat; apabila anak tertua yang menjadi penerus tanggung jawab dari orang tua, baik dalam mengurus maupun mengatur harta waris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak mampu mengendalikan diri, maka akan terjadi gesekan di antara ahli waris dan tentunya berakibat rusaknya hubungan kekeluargaan (Hilman Hadikusuma, 2003: 28). Penutup Sebagaimana telah dijelaskan dengan rinci tentang hukum kewarisan yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia, maka diketahui bahwa masyarakatnya telah diatur dalam sebuah aturan hukum kewarisan yang terformulasi dalam Kompilasi Hukum Indonesia. Hal ini dilakukan agar masyarakat Islam Indonesia mempunyai sandaran hukum yang seragam demi kemaslahatan bersama. Namun demikian, walaupun telah ada aturan hukum kewarisan bagi masyarakat Islam Indonesia secara seragam. Tidak menutup kemungkinan masyarakatnya melaksanakan secara hukum waris adat, hal ini dikarenakan masyarakatnya mempunyai multi adat. Hal tersebut tentunya mempengaruhi cara berfikir dan memahami hukum berbeda pula terutama tentang kewarisan. Hukum waris adat yang ada dapat diterima selama penerapannya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip hukum Islam itu sendiri. Rujukan Abu Dawud, Sananu Abi Dawud II, Cairo, Mustafa al-Babiy, 1952 Abu Isa al-Tirmiziy, al-Jami’u al-Shahih IV, Cairo, Mustahafa al-Babiy, 1938. Ahmad Muhyi ad-Din, al-A’juz fil al-Islam; Bain al-Mawaris al-Qadimah wa al Hadisah wa Muqaranatuha ma’a asy-Syara’i al-Ukhra, Beirut, Mu’assaasat al-Ma’arif, 1406/1986 Al-Bukhary, Shgahih al-Bukhariy, Cairo, Daar wa Mathba’ al-Sya’biy, tt. Amir Husein Nasution, Hukum Kewarisan; Suatu Analisis Komparatif Pe mikiran Mijtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2004 Anonim, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Tim Permata Pers, tt Departemen Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Cordoba, 2012 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003 Muhammad Amir Suma, Keadilan Hukum Waris Islam; Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013
340
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta, INIS, 1998 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sinnah Jilid II, Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, 1984 Seikan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya, Arkola, 1997 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo, 2001 Yulatin, Hukum Islam dan Hukum Adat; Studi Pembagian Harta Waris masyarakat Seberang Kota Jambi, Disertasi, Yogyakarta, Program Pascasaarjana, 2014 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008
341