Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTION PADA JURUSAN FISIKA FAKULTAS TARBIYAH IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI Oleh : Rahmi Putri Wirman Jurusan Pendidikan Fisika IAIN STS Jambi e-mail :
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran empiris tentang: Aktivitas perkuliahan mahasiswa pada mata kuliah fisika inti dengan menggunakan model pembelajaran problem based instruction dan bagaimana efektifitas model pembelajaran problem based instruction dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep fisika. Penelitian ini terdiri dari tahap persiapan (penyusunan rencana pembelajaran, lembar kegiatan siswa, format penilaian, alat evaluasi dan lembar observasi) dan pelaksanaan (pemantauan dan evaluasi). Aktivitas Belajar mahasiswa meningkat tiap siklus. Hasil penelitian ini dapat dilihat dari kenaikan nilai rerata dan ketuntasan belajar dari satu siklus ke siklus berikutnya. Hasil belajar mengalami peningkatan. Sebelum penerapan Problem Based Instruction, nilai tes rerata hanya 34 dengan ketuntasan belajar di anggap tidak tuntas. Pada siklus I, nilai tes rerata 45 dan ketuntasan belajar 20% saja. Pada siklus II, nilai tes rerata 51.4 dengan ketuntasan belajar 40%. Sedangkan pada siklus III, nilai tes rerata 60 dengan ketuntasan belajar 76%. Kata kunci : pembelajaran problem based instruction. A.
PENDAHULUAN Di dalam proses pendidikan, pembelajaran merupakan aktivitas yang sangat vital. Sehingga dapat dinyatakan bahwa keberhasilan proses pendidikan itu tertumpu pada pembelajaran. Dengan pembelajaran yang baik dan berkualitas tujuan dari pendidikan akan mudah untuk dicapai. Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu menurut Usman (2000). Dalam proses ini, belajar menjadi serangkaian perbuatan siswa dan 82
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
membelajarkan menjadi serangkaian perbuatan guru yang kesemuanya berlangsung dalam situasi edukatif. Menurut Usman (2000), membelajarkan merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Kegiatan pembelajaran sudah menjadi aktivitas sehari–hari bagi guru untuk mengorganisasikan komponen–komponen pendidikan, mengatur lingkungan sebaik–baiknya dan, menghubungkannya dengan siswa sehingga terjadi aktivitas dan proses belajar pada diri siswa. Dari sana dapat kita lihat bahwa seharusnya siswa sendiri yang lebih banyak mencari ilmu pengetahuan. Menurut Suparman (1993: 155) bahwa pembelajaran berkenaan dengan pengelolaan kegiatan untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistematik, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Dari pengertian tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan perencanaan dan pengelolaan aspek-aspek belajar yang meliputi tujuan belajar, materi ajar, kegiatan belajar, metode dan media, serta evaluasi. Pemilihan metode pembelajaran/perkuliahan yang sesuai dengan potensi siswa/mahasiswa dan karakteristik mata pelajaran/mata kuliah serta tujuan kurikulum merupakan suatu hal yang harus direncanakan dengan matang sebelum seorang guru/dosen memberikan materi pembelajaran. Karena hal itu akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran, yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap keberhasilan siswa/mahasiswa dalam sebuah mata pelajaran/mata kuliah. Terkait dengan karakteristik mata pelajaran/mata kuliah, fisika merupakan sebuah ilmu yang tidak dapat dipisahkan dengan berbagai konsep yang ada di dalamnya. Sigiharti. P (2005) mengatakan bahwa di dalam pembelajaran fisika, kemampuan pemahaman konsep merupakan syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan belajar fisika. Hanya dengan penguasaan konsep fisika seluruh permasalahan fisika dapat dipecahkan, baik permasalahan fisika yang ada dalam kehidupan sehari-hari, maupun permasalahan fisika dalam bentuk soal-soal fisika di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pelajaran fisika bukanlah pelajaran hafalan tetapi lebih menuntut pemahaman konsep bahkan aplikasi konsep tersebut. Berdasarkan pengamatan pada jurusan fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, terlihat mahasiswa kurang begitu menguasai konsep-konsep yang ada pada mata kuliah-mata kuliah fisika inti. Sehingga hal itu berakibat pada lemahnya pemahaman aplikasi dari konsep-konsep tersebut. B. a.
TINJAUAN TEORITIS Belajar dan Pembelajaran Fisika Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam 83
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
berpikir, bersikap dan berbuat (Gulo, 2002:8). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu proses dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua, perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar. Sehingga pada hakikatnya belajar menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar. Menurut Darsono (2000), salah satu prinsip belajar adalah siswa yang belajar dengan melakukan sendiri dan diharapkan guru selalu ingat bahwa tugasnya adalah membelajarkan siswa/mahasiswa, dengan kata lain membuat siswa dapat belajar untuk mencapai hasil optimal. Guru berinteraksi dengan masing-masing siswa untuk mengamati bagaimana ia memperoleh informasi baru, membantu siswa/mahasiswa merekonstruksi pengetahuan secara benar, memotivasi serta membimbing siswa dalam memecahkan masalah. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama sehingga terbentuk pengetahuan baru. Dalam kegiatan belajar mengajar, penggunaan model pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan oleh koes (2003: 61): “model pembelajaran dapat menumbukan kemampuan siswa untuk mencapai berbagai tujuan pembelajaran”. b.
Karakteristik Mata Kuliah Fisika Inti Kualitas pembelajaran mata kuliah Fisika Inti berdasarkan kondisi aktual dikelas yang terjadi pada semester-semester terdahulu terdapat beberapa permasalahan, sebagai berikut. 1) perkuliahan Fisika Inti masih cenderung teacher centered. Melalui metode ekspositori dosen berupaya menuangkan materi pembelajaran sesuai dengan target yang telah ditentukan tanpa memperhatikan pengalaman belajar mahasiswa. Bodner (1986) menyatakan bahwa pengetahuan bukan merupakan serangkaian fakta, konsep, kaidah atau hukum yang dihafal, melainkan dikonstruksi di dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi berdasarkan struktur kognitif yang telah ada. 2) mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Fisika Inti, keadaannya sangat heterogen, mereka berbeda dalam hal bakat, kecerdasan, kemampuan belajar, motivasi, kecepatan belajar, dan dalam hal lainnya. Sistem perkuliahan selama ini belum memperhatikan tingkat perbedaan tersebut. Penerapan modul dalam perkuliahan sangat memberikan pe1uang yang baik bagi mahasiswa pada usia dewasa dan dapat mengatasi perbedaan terutama dalam hal kecepatan belajar mahasiswa (Utomo & Ruijter, 1990) dan dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa (Santyasa, 1998; Suardana, 2005). 3) dalam mata kuliah Fisika Inti terdapat banyak konsep yang sulit diamati fenomenanya baik secara langsung maupun dengan eksperimen (bersifat non observable). Namun, dalam perkuliahan Fisika Inti 84
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
hampir tidak pernah diadakan kerja kelompok dan diskusi untuk menemukan dan memahami konsep-konsep tersebut. Slavin (1995) menyatakan bahwa mahasiswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan temannya. Dalam setting kelas, model pembelajaran based instruction memanfaatkan kecenderungan mahasiswa untuk berinteraksi dan memiliki dampak positif terhadap mahasiswa yang rendah hasil belajarnya. 4) dalam sistem evaluasi, dosen kurang mengintesifkan pelaksananan tes formatif dalam bentuk kuis (tes kecil). Padahal kuis dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi proses perbaikan pembelajaran selanjutnya. Jika kuis dapat dilakukan secara intensif dan sitematis, diharapkan dapat memperbaiki kualitas proses pembelajaran yang pada gilirannya bermuara pada peningkatan hasil belajar mahasiswa. Tes sebagai alat pengukur dan penilaian hasil belajar dapat memiliki manfaat antara lain sebagai diagnosis dan remedial untuk mengukur kekuatan dan kelemahan seseorang dalam kerangka memperbaiki penguasaan atau kemampuan dalam suatu program pendidikan tertentu (Asmawi dan Nasoetion, 1993). Hasil kuis digunakan untuk mengumpulkan poin yang dijadikan sebagai dasar pemberian ganjaran berupa penghargaan bagi kelompok. c.
Ruang Lingkup Materi Mata Kuliah Fisika Inti Ruang Lingkup materi mata kuliah Fisika Inti adalah sebagai berikut: a. Struktur Inti b. Gaya Inti c. Model Inti d. Radioaktivitas e. Reaksi Inti f. Reaksi Fusi dan Fisi g. Akselerator h. Partikel Elementer
d.
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction/PBI) Model pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI) juga dikenal dengan nama lain seperti Project Based Teaching (Pembelajaran Proyek), Experience Based Education (Pendidikan Berdasarkan Pengalaman), Authentic Learning (Belajar Autentik), dan Anchored Instruction (Belajar Berakar pada Kehidupan Nyata). Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk pertama kali oleh Howard Barrows pada awal tahun 70 an dalam pembelajaran ilmu medis di Southern Illinois University School of Medicine, yang merupakan pengembangan dari model McMasters (Barrows, 1980 dalam Karim et.al.,2007) 85
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
Beberapa definisi tentang pembelajaran berbasis masalah: 1) Pemebelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang mahasiswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world) (Major, Claire.H dan Palmer, Betsy, 2001) 2) Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelmpok untuk mencari solusi daripermasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk mengikat mahasiswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud (Duch J.B, 1995) 3) Pembelajaran berbasis masalah adalah strategi pembelajaran yang merangsang mahasiswa aktif untuk memecahkan permasalahan dalam situasi nyata (Evan Glazer, 2001) Nurhadi juga berpendapat (2004:109) bahwa Problem Based Instruction (PBI) merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep yang essensial dari mata pelajaran. Sedangkan Ibrahim dkk (2000:3) menyatakan bahwa Problem Based Instruction (PBI) adalah pembelajaran yang menyajikan kepada situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka melakukan penyelidikan dan inkuiri. Pembelajaran berdasarkan masalah bukanlah sekedar pembelajaran yang dipenuhi dengan latihan-latihan soal seperti pada bimbingan belajar (les). Dalam pembelajaran berdasarkan masalah, potensi siswa lebih diberdayakan dengan dihadapkan pada permasalahan yang mengakibatkan rasa ingin tahu, menyelidiki masalah dan menemukan jawabannya melalui kerjasama serta mengkomunikasikan hasil karyanya kepada orang lain. Model pembelajaran berdasarkan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mengembangkan potensi melalui suatu aktivitas untuk mencari, memecahkan dan menemukan sesuatu. Dalam pembelajaran siswa didorong bertindak aktif mencari jawaban atas masalah, keadaan atau situasi yang dihadapi dan menarik simpulan melalui proses berpikir ilmiah yang kritis, logis, dan sistematis. Siswa tidak lagi bertindak pasif, menerima dan menghafal pelajaran yang diberikan oleh guru atau yang terdapat dalam buku teks saja. 86
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
Pemecahan masalah adalah suatu jenis belajar discovery. Dalam hal ini, siswa secara individu maupun secara kelompok berusaha memecahkan masalah autentik. Memecahkan masalah secara kelompok dipandang lebih menguntungkan karena dapat memperoleh latar belakang yang lebih luas dari anggota kelompok, sehingga dapat menstimulasi munculnya ide, permasalahan dan solusi pemecahan masalah. Hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah memunculkan masalah yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk proses penyelidikan dan inkuiri. Di sini guru membimbing dan memberikan petunjuk minimal kepada siswa/mahasiswa dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki perbedaan penting dengan pembelajaran penemuan. Pada pembelajaran penemuan didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan menurut disiplin ilmu dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas dalam ruang lingkup kelas. Sedangkan pembelajaran berdasarkan masalah dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan melakukan penyelidikan, baik di dalam dan di luar kelas sejauh itu diperlukan untuk pemecahan masalah. Terdapat tiga aliran yang berpengaruh pada pembelajaran berdasarkan masalah. Teori-teori tersebut antara lain : 1) Dewey dan Kelas Demokratis Dewey (Ibrahim dkk, 2000:15) mengemukakan pandangan bahwa sekolah/kampus seharusnya menjadi laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan secara nyata. Untuk itu, guru harus mendorong siswa/mahasiswa terlibat dalam tugas-tugas berorientasi masalah dan membimbing mereka menyelidiki suatu masalah. Pembelajaran di kelas akan lebih bermanfaat jika dilakukan oleh siswa/mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan tugas yang menarik. 2) Piaget, Vygotsky dan Konstruktivisme Piaget (Ibrahim dkk, 2000:17) menegaskan bahwa anak mempunyai rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka secara aktif membangun pengetahuan mereka tentang lingkungan yang mereka hadapi. Oleh karena itu pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan, diberi motivasi untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu. Pandangan Konstruktivis-Kognitif mengemukakan bahwa siswa/mahasiswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses 87
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
memperoleh informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus-menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Sedangkan Vygotsky (Ibrahim dkk, 2000:18) percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk menyelesaikan masalah yang muncul. Oleh karena itu, individu mengkaitkan pengalaman baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun pengetahuan baru. 3) Bruner dan Pembelajaran Penemuan Bruner (Koes, 2003:34) menekankan pentingnya membantu siswa/mahasiswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu dan perlunya siswa/mahasiswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa, tetapi juga menciptakan kemungkinankemungkinan penemuan siswa. e. Proses Pemecahan Masalah Dalam proses pemecahan masalah, aktivitas yang dilakukan cukup kompleks karena memerlukan keterampilan berpikir yang sangat beragam antara lain mengamati, melaporkan, menganalisis, mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, memprediksi dan menarik simpulan berdasarkan informasi yang diperoleh dan diolah. Pemecahan masalah dapat dipandang sebagai proses mencari atau memperoleh informasi secara sistematis, langkah demi langkah dengan mengolah informasi yang diperoleh melalui pengamatan untuk mencapai suatu hasil pemikiran sebagai respon terhadap masalah yang dihadapi (Nasution, 2001:117). Pada proses pemecahan masalah, setiap siswa harus memiliki konsep awal terhadap suatu masalah. Pada kegiatan pembelajaran, penguasaan konsep pada taraf tertentu memerlukan penguasaan konsep pada taraf di bawahnya, karena ini berguna untuk menentukan kelancaran proses pemecahan masalah. Bila ada sesuatu yang tidak dikuasai dalam konsep, maka siswa akan menghadapi masalah dalam pemecahan masalah. Metode pemecahan masalah yang dikenalkan para ahli (Nasution, 2001:121) adalah sebagai berikut. a. Model John Dewey Langkah-langkah pemecahan masalah, sebagai berikut. (1) Mengidentifikasi dan merumuskan masalah (2) Mengemukakan hipotesis (3) Mengumpulkan data 88
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
(4) Menguji hipotesis (5) Menarik kesimpulan b. Model Karl Albreacht Terdiri dari enam langkah yang dapat digolongkan dalam dua fase utama: Fase perluasan atau ekspansi atau fase divergen (1) Menemukan masalah (2) Merumuskan masalah (3) Mencari pilihan atau alternatif Penyelesaian atau fase konvergen (1) Mengambil keputusan (memilih diantara dua alternatif) (2) Mengambil tindakan (komitmen untuk melaksanakan keputusan demi hasil yang diperoleh) (3) Mengevaluasi hasil (menentukan sampai manakah jerih payah itu berhasil atau menemui kegagalan) c. Model Berry K beyer (1) mengidentifikasi masalah (2) membuat rencana pemecahan (3) melaksanakan rencana pemecahan masalah (4) memeriksa jawaban f.
Ciri-ciri Pembelajaran Berdasarkan Masalah Menurut Ibrahim dkk (2000:5), Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Pengajuan pertanyaan atau masalah Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan atau masalah dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Pertanyaan atau masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut. a. Autentik. Masalah harus lebih berakar pada kehidupan nyata siswa. Misalnya berjalan, berlari, naik sepeda motor, benda jatuh dari ketinggian tertentu merupakan peristiwa yang biasa ditemukan siswa di lingkungannya. b. Jelas dan mudah dipahami. Masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan siswa. Misalnya membahas orang berlari maka harus jelas dari mana orang itu mulai berlari dan di mana pula orang itu 89
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
berhenti. Jadi, jika siswa diminta mengukur jarak tempuhnya maka siswa tidak mengalami kesulitan. c. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Masalah yang disusun mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajukan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia serta, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Misalnya, jika membahas orang berlari maka akan diperoleh informasi mengenai jarak, perpindahan, kelajuan dan kecepatan. Jadi satu masalah dapat mencakup beberapa materi pelajaran. d. Bermanfaat. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa serta membangkitkan motivasi belajar. Misalnya siswa dihadapkan pada masalah bagaimana mengukur kelajuan seorang yang sedang berlari, maka hal pertama yang dipikirkan siswa adalah bahwa orang yang berlari akan menempuh panjang suatu lintasan dalam waktu tertentu. Maka yang pertama harus dilakukan adalah mengukur jarak tempuh lalu membaginya dengan waktu tempuhnya. Setelah mengetahui cara mengukur jarak, waktu dan kelajuan maka siswa dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kebermaknaan materi pelajaran maka siswa akan termotivasi untuk belajar lebih lanjut. 2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu Pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang diajukan hendaknya benarbenar autentik agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah tersebut dari banyak segi atau mengkaitkannya dengan disiplin ilmu yang lain. Misalnya kita membahas kedudukan suatu tempat, maka kita dapat mengkaitkannya dengan ilmu geografi dan jika membahas kecepatan dapat dikaitkan dengan ilmu olahraga maupun transportasi. 3) Penyelidikan autentik Siswa diharuskan melakukan penyelidikan autentik sebagai proses untuk mencari penyelesaian terhadap masalah nyata. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari. Dalam penyelidikan, siswa merumuskan masalah, melaksanakan eksperimen (jika diperlukan), mengumpulkan 90
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
data/informasi, menganalisis data, meramalkan hipotesis, membuat simpulan dan menyusun hasil pemecahan masalah. 4) Menghasilkan karya dan memamerkannya Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas menyusun hasil pemecahan masalah berupa laporan hasil penyelidikan kemudian mempresentasikannya di depan kelas untuk didiskusikan. 5) Kerjasama Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar dalam pemecahan masalah lebih baik diselesaikan bersama-sama antar siswa, baik dalam kelompok kecil maupun besar, dengan bimbingan dari guru. C. METODE PENELITIAN a. Settingan penelitian Setting penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang akan dilaksanakan di jurusan fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Dengan jumlah mahasiswa 25 orang yang terdiri dari 17 orang mahasiswi dan 8 orang mahasiswa. b. Faktor yang diteliti Mengingat penelitian ini berusaha mengkaji efektivitas perkuliahan fisika, maka fokus penelitian ini adalah pada proses perkuliahannya. Oleh karena itu, variabel-variabel yang dikaji dalam penelitian ini meliputi; (1) Faktor mahasiswa, yaitu dengan mengamati aktivitas mahasiswa dalam proses perkuliahan merupakan indikasi dari keberhasilan penelitian ini. (2) Faktor dosen, yaitu kemampuan dan keterampilan dosen dalam mengembangkan kegiatan perkuliahan terutama dalam melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual mahasiswa. (3) Proses perkuliahan, yaitu proses yang terjadi dalam proses perkuliahan tersebut, meliputi aktivitas dosen, mahasiswa dan interaksi aktif dari berbagai unsur kegiatan perkuliahan. c. Rencana Tindakan Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas, yaitu penelitian yang bersifat kolaboratif yang didasarkan pada permasalahan yang muncul dalam perkuliahan fisika di Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga siklus. Tiaptiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang dicapai, seperti yang telah didesain dalam faktor-faktor yang diselidiki. Untuk mengetahui 91
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
permasalahan efektivitas perkuliahan fisika di Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dilakukan wawancara terhadap mahasiswa. Melalui langkah-langkah tersebut akan dapat ditentukan bersama-sama untuk menetapkan tindakan yang tepat dalam rangka meningkatkan efektivitas perkuliahan fisika. Berdasarkan wawancara tersebut, maka langkah yang paling tepat untuk meningkatkan perkuliahan adalah dengan meningkatkan aktivitas dan peran serta mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan tersebut. Dengan berpedoman pada refleksi awal tersebut, maka prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini meliputi; (1) perencanaan, (2) implementasi tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi dalam setiap siklus. Secara rinci prosedur penelitian tindakan ini dapat dijabarkan dalam uraian berikut: 1. Perencanaan Kegiatan ini meliputi: a. Peneliti dan dosen menetapkan alternatif peningkatan efektivitas perkuliahan fisika. b. Secara bersama-sama membuat perencanaan perkuliahan yang mengembangkan keterampilan intelektual mahasiswa. c. Melakukan pelatihan tentang perkuliahan fisika yang mengembangkan keterampilan intelektual mahasiswa. d. Membuat dan melengkapi perangkat dan alat media perkuliahan. e. Membuat lembar observasi. f. Mendesain alat evaluasi. 2. Pelaksanaan/Implementasi Tindakan Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan kegiatan perkuliahan sebagaimana yang telah direncanakan. Dosen memberikan pretes untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa kemudian melaksanakan skenario pembelajaran. Adapun tindakan yang dilakukan oleh dosen adalah orientasi mahasiswa kepada masalah, mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah terakhir yaitu memberikan postes di akhir siklus. 3. Observasi Dalam tahap ini dilaksanakan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan. Kegiatan yang dilakukan juga meliputi pengamatan segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama pelaksanaan tindakan untuk 92
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
memantau sejauh mana efek tindakan pembelajaran dengan menggunakan Problem Based Instruction. Dosen (peneliti) dan observer mengamati jalannya proses pembelajaran sambil mengisi lembar observasi untuk mengetahui kemampuan afektif dan psikomotorik siswa selama pembelajaran berlangsung. Melakukan koreksi dan penilaian pretes dan postes. 4. Refleksi Data yang diperoleh melalui observasi diinventaris dan dilakukan analisis dalam tahap ini. Berdasarkan hasil observasi tersebut, dosen dapat merefleksi tentang kegiatan perkuliahan yang telah dilakukan. Dengan demikian, dosen dapat mengetahui efektivitas kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil refleksi ini akan dapat diketahui kelemahan kegiatan perkuliahan yang dilakukan oleh dosen, sehingga dapat digunakan untuk menentukan tindakan pada siklus berikutnya. D.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil belajar kognitif siswa berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang ditunjukkan dengan nilai yang diperoleh mahasiswa setelah menempuh tes pada siklus I. Ringkasan hasil belajar kognitif mahasiswa sebelum dan sesudah diterapkan Problem Based Instruction maka nilai tertinggi 45, nilai terendah 15, dan nilai rerata 34. Nilai rata-rata sebelum tindakan sebesar X = 34 dengan SD = 7.75. Hasil analisis data pada siklus I diperoleh skor rata-rata sebesar X = 45 dengan SD = 12.81. Berdasarkan rentang skor yang ditetapkan, maka skor rata-rata tersebut berada dalam kualifikasi kurang. Distribusi pemahaman konsep mahasiswa pada siklus I adalah 4% kualifikasi sangat baik, 16% kualifikasi baik, 80% kualifikasi cukup Hasil penelitian siklus I menunjukkan bahwa skor rata-rata pemahaman konsep mahasiswa pada mata kuliah Fisika Inti sebesar 45 dengan kualifikasi cukup. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka pada siklus I mahasiswa belum berhasil memahami konsep-konsep Fisika Inti. Dari distribusi skor pemahaman konsep, terlihat bahwa sebagian besar (80%) dari jumlah mahasiswa belum memahami konsep-konsep Fisika Inti. Hal ini berarti sebanyak 80% dari jumlah mahasiswa belum berhasil memahami konsepkonsep Fisika Inti yang diajarkan. Ketidakberhasilan mereka dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, belajar konsep dan penyajian masalah relatif baru dikenal oleh mahasiswa. Pada pembelajaran fisika sebelumnya mereka terbiasa belajar/menghafal rumus-rumus serta penerapannya. Masalahmasalah yang disajikan sebagian besar merupakan masalah-masalah akademis 93
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
yang sifatnya cloced-problems. Kedua, bekal pengetahuan (pengetahuan awal) mahasiswa terhadap konsep-konsep fisika di SMA pada umumnya relatif rendah. Kebanyakan mahasiswa sudah lupa dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika SMA. Pada siklus I, hasil belajar mahasiswa di nilai belum tuntas. Belum tuntasnya hasil belajar yang dicapai dikarenakan mahasiswa belum terbiasa melakukan penyelidikan melalui kegiatan menggunakan metode pemecahan masalah. Berdasarkan hasil observasi masih banyak mahasiswa yang kurang serius dalam diskusi kelompok. Beberapa mahasiswa kurang terampil dalam presentasi. Hal ini disebabkan karena dosen di awal pembelajaran tidak menjelaskan proses/tahap pembelajaran secara detail. Fenomena yang disampaikan juga kurang menarik mahasiswa untuk membahas dan mendiskusikannya. Kekurangan-kekurangan yang terdapat pada siklus I menjadi pertimbangan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada siklus II. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan antara lain memotivasi mahasiswa untuk belajar dan bekerjasama dalam memecahkan masalah. Memotivasi mahasiswa agar berani bertanya, menjawab atau mengeluarkan pendapat dan berperan aktif dalam pembelajaran. Dosen memberikan balikan (feed back) dan penguatan (reinforcement) dengan lebih jelas dan sederhana. Hasil analisis data pada siklus II diperoleh skor rata-rata sebesar X = 51.4 dengan SD = 12.81. Berdasarkan rentang skor yang ditetapkan, maka skor rata-rata tersebut berada dalam kualifikasi baik. Distribusi pemahaman konsep mahasiswa pada siklus II adalah 8% kualifikasi sangat baik, 32% kualifikasi baik, 60% kualifikasi cukup. Skor rata-rata pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep Fisika Inti yang diajarkan pada siklus II sebesar 51.5% dengan kualifikasi baik. Berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan, maka secara umum mahasiswa cukup meningkat dibandingkan siklus I. Tetapi nilai ini masih jauh dari yang diharapkan, masih terdapat 60 % mahasiswa yang belum bisa memahami konsep-konsep Fisika Inti dengan baik. Meskipun hasil belajar meningkat, namun berdasarkan pengamatan selama pembelajaran masih terlihat kekurangan, yaitu keterlibatan dan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan diskusi belum optimal, terlihat hanya beberapa mahasiswa yang aktif, sebagian ada yang duduk diam melihat pekerjaan kelompok lain. Masih banyak mahasiswa yang malu atau takut untuk bertanya, menjawab dan mengemukakan pendapat. Belum terjalin kerjasama yang baik antar mahasiswa dalam kelompok, karena kerja kelompok masih didominasi mahasiswa tertentu. Peningkatan nilai rerata dan ketuntasan belajar terjadi karena dalam pembelajaran masalah yang disajikan atau muncul berasal dari peristiwa kehidupan sehari-hari mahasiswa sehingga memberikan kesempatan kepada mahasiswa terlibat aktif untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget dan Vygotsky dalam Ibrahim dkk (2000:14) yang menegaskan bahwa perkembangan intelektual 94
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
siswa/mahasiswa terjadi pada saat siswa/mahasiswa berusaha menyelesaikan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman baru yang ditemuinya. Siswa/mahasiswa mempunyai rasa ingin tahu dan secara terus menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Hasil analisis data pada siklus III diperoleh skor rata-rata sebesar X = 60 dengan SD = 11.31. Berdasarkan rentang skor yang ditetapkan, maka skor rata-rata tersebut berada dalam kualifikasi baik. Distribusi pemahaman konsep mahasiswa pada siklus III adalah 12% kualifikasi sangat baik, 64% kualifikasi baik, 24% kualifikasi cukup Belum berhasilnya siklus I dan siklus II, maka dilanjutkan ke siklus III. Skor rata-rata pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep Fisika Inti yang diajarkan pada siklus III sebesar 60% dengan kualifikasi baik. Berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan, maka secara umum mahasiswa cukup meningkat dibandingkan siklus I dan siklus II. Dari distribusi skor pemahaman, terlihat bahwa sebagian besar (60%) dari jumlah mahasiswa sudah mulai memahami konsep-konsep Fisika Inti. Jika dibandingkan dengan siklus I dan siklus II, maka pada siklus III rata-rata pemahaman mahasiswa meningkat pada pembelajaran Fisika Inti. Di samping itu, pada siklus III persentase mahasiswa yang mencapai kriteria keberhasilan juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman belajar mereka pada siklus I dan siklus II memberikan dampak positif pada pembelajaran siklus III. Mahasiswa sudah mulai terbiasa belajar konsep melalui pemecahan masalah. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berorientasi masalah dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Sekalipun demikian, pada siklus III masih terdapat 24% dari jumlah mahasiswa belum berhasil mencapai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti sebanyak 24% dari jumlah mahasiswa belum berhasil memahami konsep-konsep Fisika Inti yang diajarkan. Ketidakberhasilan mereka mungkin disebabkan oleh sulitnya mengubah cara belajar mereka melalui pemecahan masalah dan penguasaan konsep mereka sangat kurang sehingga kemampuan bernalar dalam memecahkan masalah sangat rendah, yang akhirnya bermuara pada rendahnya hasil belajar mereka. Pada siklus III, hasil belajar mengalami peningkatan nilai reratanya. Peningkatan hasil belajar dikarenakan beberapa hal yaitu selama pembelajaran berlangsung mahasiswa lebih serius dan aktif, misalnya dalam diskusi kelompok dan penyampaian hasil diskusi (presentasi). Koes (2003:3) yang menyatakan bahwa pembelajaran fisika harus melibatkan siswa/mahasiswa secara aktif untuk berinteraksi dengan objek konkrit, agar pembelajaran lebih bermakna. Dosen membimbing mahasiswa dalam proses penyelidikan untuk menemukan solusi atau jawaban dari permasalahan yang dirumuskan. Solusi dari masalah tersebut dikemukakan dan didiskusikan yang pada akhirnya diperoleh pengalaman. Pengetahuan baru yang diperoleh berupa konsep yang jelas dan benar tentang suatu materi. Pengalaman, 95
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
pengetahuan dan konseptualisasi yang terjadi pada mahsiswa merupakan hasil pemecahan masalah yang ditemukan mahasiswa yang tentunya dengan bimbingan dosen. Berdasarkan dari hasil respon sikap mahasiswa terhadap pembelajaran terlihat jelas bahwa terdapat peningkatan yang posistif dari sikap mahasiswa. Hal ini tentu saja menjadi modal yang sangat signifikan untuk mengembangkan pembelajaran lebih lanjut, karena sikap yang salah satunya terkait dengan motivasi menjadi faktor penentu keberhasilan program. Dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini, peneliti yang merangkap sebagai pengampu mata kuliah ada 1 orang dan dosen lain sebagai kolaborator adalah 1 orang hal ini dilakukan agar diperoleh data yang valid. Jika ada kekurangan dalam evaluasi dan monitoring maka diadakan cek dan recek melalui, diskusi , catatan evaluator, dan melalui pengamatan langsung proses pembelajaran. Tugas evaluator dan kolaborator mengamati jalannya kegiatan pembelajaran. Selain itu juga mengamati situasi, lokasi, jumlah mahasiswa yang hadir, lamanya pembelajaran, sikap peneliti (dosen), sikap mahasiswa, repon dosen dan mahasiswa dalam memberikan alternatif terhadap permasalahan yang timbul. Evaluasi juga dilakukan melalui test untuk mengukur peningkatan kognitifnya. Hasilnya menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan mahasiswa berbeda antara sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan penelitian. Evaluasi dan monitoring juga dilakukan pada diskusi mengenai perancangan dan penentuan materi dengan dosen Fisika Inti. Setelah itu hasil kegiatan diskusi dengan dosen kemudian dilakukan revisi dan penyesuaian dengan tingkat kemampuan mahasiswa. Hasilnya digunakan untuk memberikan saran, masukan, kritikan, dan penyempurnaan pekerjaan. Pada kegiatan ini evaluator dan kolaborator juga mengamati hambatanhambatan mahasiswa dalam mengembangkan kemampuannya. Jika hasil pengukuran kemampuan rendah maka dievaluasi metoda pembelajarannya, yaitu dengan cara diskusi mengenai materi yang sudah dibahas dan dievaluasi dengan cara penyempurnaan. Dengan cara ini mahasiswa terbantu dalam pemahaman konsep dan dapat bertukar fikiran mengenai konsep-konsep yang meragukan atau tidak dapat dipahami. Jika hasil kegiatanya tidak baik maka dilakukan perbaikan pada pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Keberhasilan proses dalam penelitian ini meliputi tiga hal yaitu keberhasilan proses dalam pemahaman materi Fisika Inti, keberhasilan proses dalam melakukan kegiatan pembelajaran (kinerja), dan keberhasilan proses dalam melakukan kegiatan paraktek lapangan yang ditandai dengan kemampuan membuat laporan dan presentasi. Proses pemahaman konsep ditandai dengan: (1) Frekuensi diskusi dalam kelompok dan (2) Catatan kolaborator. Frekuensi diskusi kelompok butir (1) terungkap berdasarkan identifikasi awal sebelum diadakan tindakan dengan cara studi kilas balik yaitu jarang dilakukan diskusi mengenai program melalui proses pembelajaran yang 96
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
diadakan. Setelah diadakan tindakan maka frekuensi diskusi menjadi rata-rata 3 kali yaitu sebelum kegiatan, ketika sedang berlangsung kegiatan dan setelah pelaksanaan kegiatan. Peningkatan frekuensi diskusi ini membantu mahasiswa dalam memahami konsep Fisika Inti. Proses (2) catatan kolaborator , sebelum dan sesudah adanya kegiatan jelas terdapat perbedaan karena mahasiswa sebelum dilakukan tindakan bayak hal yang tidak mereka ketahui E.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan Problem Based Instruction pada mata kuliah Fisika Inti dapat meningkatkan hasil belajar aspek kognitif dan afektif pada mahasiswa jurusan fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari kenaikan nilai rerata dan ketuntasan belajar dari satu siklus ke siklus berikutnya. Hasil belajar mengalami peningkatan. Sebelum penerapan Problem Based Instruction, nilai tes rerata hanya 34 dengan ketuntasan belajar di anggap tidak tuntas. Pada siklus I, nilai tes rerata 45 dan ketuntasan belajar 20% saja. Pada siklus II, nilai tes rerata 51.4 dengan ketuntasan belajar 40%. Sedangkan pada siklus III, nilai tes rerata 60 dengan ketuntasan belajar 76%. Dari hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang ingin kami sampaikan, yaitu sebagai berikut: (1) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada perbaikan kualitas proses pembelajaran, sehingga disarankan untuk mengadakan inovasi proses pembelajaran selama ini menuju proses pembelajaran yang inovatif dengan memaksimalkan keterlibatan aktifitas dan proses berfikir mahasiswa. (2) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada aktifitas dan kreatifitas berpikir mahasiswa, sehingga dalam proses pembelajaran disarankan untuk menyajikan masalah-masalah yang solusinya tidak tunggal. (3) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada motivasi belajar, sehingga dalam pembelajaran disarankan untuk memilih dan menyajikan masalahmasalah kontekstual open-ended yang sifatnya menantang. (4) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada pengalaman belajar, sehingga dalam proses pembelajaran disarankan untuk mengarahkan mahasiswa belajar konsep-konsep esensial dan lebih banyak memberikan latihan pemecahan masalah open-ended.
Daftar Pustaka Asmawi, Z., dan Nasoetion, N. (1993). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdikbud. 97
Rahmi Putri Wirman, Penerapan …
Barrows, H. S. & Tamblyn, R. M. (1980). Problem-based learning: An approach to medical education. New York: Springer. Bodner, G.M. Constructivisme: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. 63 (10). pp. 5-11 Darsono, Max. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Gulo, W. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Grasindo Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa Koes, Supriyono. (2003). Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: JICA Major, C., & Palmer, B. (2002). Influences of implementing problem-based learning on faculty pedagogical content knowledge. Paper presented at the annual meeting of the American Educational Research Association. New Orleans, Louisiana. Nasution. (2001). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo Santyasa, I.W., Sadia, I.W., Mariawan, I.M., dan Yasa, P. (1998). Penerapan Modul Berorientasi Konstruktivisme Dalam Perkulihan Fisika Dasar I Sebagai Upaya Mengubah Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Singaraja. Laporan Penelitian. P3M STKIP Singaraja. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory Research and Practice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon Sugiharti, P, (2005). Penerapan Teori Multiple Inteligence dalam Pembelajaran Fisika, Jurnal Pendidikan Penabur, Jakarta, 2005 Sukidin, dkk. (2002). Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendikia Trianto
(2007). Model-Model Pembelajaran Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Inovatif
Berorientasi
Usman. U (2000), Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya. Utomo, T. dan Ruitjer, K. (1990). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan, Manajemen Perkuliahan dan Metode Perbaikan Pendidikan. Jakarta: Gramedia
98
Edu – Physic Vol. 4, Tahun 2013
diadakan. Setelah diadakan tindakan maka frekuensi diskusi menjadi rata-rata 3 kali yaitu sebelum kegiatan, ketika sedang berlangsung kegiatan dan setelah pelaksanaan kegiatan. Peningkatan frekuensi diskusi ini membantu mahasiswa dalam memahami konsep Fisika Inti. Proses (2) catatan kolaborator , sebelum dan sesudah adanya kegiatan jelas terdapat perbedaan karena mahasiswa sebelum dilakukan tindakan bayak hal yang tidak mereka ketahui E.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan Problem Based Instruction pada mata kuliah Fisika Inti dapat meningkatkan hasil belajar aspek kognitif dan afektif pada mahasiswa jurusan fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari kenaikan nilai rerata dan ketuntasan belajar dari satu siklus ke siklus berikutnya. Hasil belajar mengalami peningkatan. Sebelum penerapan Problem Based Instruction, nilai tes rerata hanya 34 dengan ketuntasan belajar di anggap tidak tuntas. Pada siklus I, nilai tes rerata 45 dan ketuntasan belajar 20% saja. Pada siklus II, nilai tes rerata 51.4 dengan ketuntasan belajar 40%. Sedangkan pada siklus III, nilai tes rerata 60 dengan ketuntasan belajar 76%. Dari hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang ingin kami sampaikan, yaitu sebagai berikut: (1) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada perbaikan kualitas proses pembelajaran, sehingga disarankan untuk mengadakan inovasi proses pembelajaran selama ini menuju proses pembelajaran yang inovatif dengan memaksimalkan keterlibatan aktifitas dan proses berfikir mahasiswa. (2) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada aktifitas dan kreatifitas berpikir mahasiswa, sehingga dalam proses pembelajaran disarankan untuk menyajikan masalah-masalah yang solusinya tidak tunggal. (3) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada motivasi belajar, sehingga dalam pembelajaran disarankan untuk memilih dan menyajikan masalahmasalah kontekstual open-ended yang sifatnya menantang. (4) Hasil penelitian ini memberikan implikasi pada pengalaman belajar, sehingga dalam proses pembelajaran disarankan untuk mengarahkan mahasiswa belajar konsep-konsep esensial dan lebih banyak memberikan latihan pemecahan masalah open-ended.
Daftar Pustaka Asmawi, Z., dan Nasoetion, N. (1993). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdikbud. 97
Shalahudin, … Rahmi Putri Pembinaan Wirman, Penerapan …
Barrows, H. S. & Tamblyn, R. M. (1980). Problem-based learning: An approach to medical education. New York: Springer. Bodner, G.M. Constructivisme: A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. 63 (10). pp. 5-11 Darsono, Max. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Gulo, W. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Grasindo Ibrahim, Muslimin dkk. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa Koes, Supriyono. (2003). Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: JICA Major, C., & Palmer, B. (2002). Influences of implementing problem-based learning on faculty pedagogical content knowledge. Paper presented at the annual meeting of the American Educational Research Association. New Orleans, Louisiana. Nasution. (2001). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo Santyasa, I.W., Sadia, I.W., Mariawan, I.M., dan Yasa, P. (1998). Penerapan Modul Berorientasi Konstruktivisme Dalam Perkulihan Fisika Dasar I Sebagai Upaya Mengubah Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Singaraja. Laporan Penelitian. P3M STKIP Singaraja. Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory Research and Practice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon Sugiharti, P, (2005). Penerapan Teori Multiple Inteligence dalam Pembelajaran Fisika, Jurnal Pendidikan Penabur, Jakarta, 2005 Sukidin, dkk. (2002). Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendikia Trianto
(2007). Model-Model Pembelajaran Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Inovatif
Berorientasi
Usman. U (2000), Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya. Utomo, T. dan Ruitjer, K. (1990). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan, Manajemen Perkuliahan dan Metode Perbaikan Pendidikan. Jakarta: Gramedia
98