Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dalam Menjawab Tantangan Global Lias Hasibuan Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: Global challenges and the practice of regional autonomy have urged Postgraduate Program of IAIN STS Jambi to compete in regional and global sphere. To win the competition, Postgraduate Program of IAIN STS Jambi needs to apply effective strategies which are related to the development of curriculum and management system and the improvement of academic culture. Within curriculum domain, it is crucial to develop the components of curriculum which are able to deal with people’s actual needs, from local into international level. In the matter of management system, a concept of Qur’anic-based management, which is reconstructed from various Qur’anic terms, must be established and applied. Meanwhile, a strong academic culture must also be promoted by improving the quality and the competency of academic staff and the future graduates. This improvement will enable them to take an important part as the ‘agent of change’ in anticipating the impacts of globalization and regional autonomy. Keywords: Strategi, tantangan global, otonomi daerah.
I. Pendahuluan Daerah Jambi adalah daerah yang dekat dengan Singapura dan Malaysia. Kedekatan ini paling tidak telah memberi kesadaran bagi Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin (STS) Jambi untuk mengembangkan kajian-kajian Islam yang bisa bersaing Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
59
Lias Hasibuan
di dua wilayah yang disebutkan. Lebih dari itu, PPs IAIN STS Jambi mempersiapkan diri untuk memasuki pasar yang lebih luas, yang pada saatnya tidak hanya untuk wilayah ASEAN, tapi juga Asia dan dunia pada umumnya. Langkah awal PPs IAIN STS Jambi menuju persaingan dunia yang lebih luas, untuk tahun 2007 ini, PPs IAIN STS Jambi melaksanakan kegiatan ilmiah yang bertaraf internasional, meskipun dalam berbagai hal pelaksanaannya belum dipandang ideal karena keterbatasan berbagai hal yang dimiliki. Sebelumnya, PPs IAIN STS Jambi melaksanakan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam lokal dan nasional saja. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan akademik yang bertaraf internasional, PPs IAIN STS Jambi (tidak lama lagi akan membuka Strata 3) mengembangkan perencanaan strategis bidang akademik yang lebih bermuara kepada kebutuhan “Pasar global” dengan penerapan kajian-kajian Islam yang dikemas dalam konsep kurikulum yang berpusat pada “Aktivitas-aktivitas kehidupan”. Konsep kurikulum ini tidak mempersiapkan peserta didik untuk memiliki kompetensi pada bidang pekerjaan tertentu, akan tetapi peserta didik dipersiapkan menjadi desainer kegiatan-kegiatan kehidupan ummat manusia dari tingkat lokal sampai internasional. Dalam rangka itu, PPs IAIN STS Jambi menerapkan berbagai strategi yang untuk langkah awal diprioritaskan pada tiga aspek; kurikulum, manajemen dan budaya akademik.
II. Tantangan Abad Ke-21 Abad ke-21 akan ditandai dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi dan informasi, yang menyebabkan semakin tidak berartinya batas-batas wilayah suatu negara. Banyak pakar menyebut keadaan seperti itu sebagai zaman dimana negara seperti tanpa batas (borderles state). Keleluasaan komunikasi dan pertukaran informasi yang canggih diikuti pula oleh terjadinya perpindahan barang (goods) dan tenaga kerja (manpower) antar negara yang tidak bisa dibatasi (unrestricted). Hal tersebut terutama setelah dicapainya kesepakatan 60
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
yang dirancang oleh WTO (World Trade Organization) sebagai agenda dari seluruh negara anggotanya. Untuk berlatih menghadapi keadaan bebas tersebut (free trade atau free market), beberapa negara dikawasan-kawasan tertentu, didasarkan atas adanya kepentingan bersama, mulai berlatih dalam skala yang terbatas sampai kepada skala yang lebih besar, dan pada akhirnya mencapai kondisi seperti yang diinginkan oleh WTO. Hal ini seperti yang terlihat di Asia Tenggara dalam bentuk AFTA, negara-negara Pasifik dalam bentuk APEC, negara-negara Amerika Utara dengan NAFTA dan negara-negara Eropa dengan EC. Pada akhirnya kondisi tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas tinggi, serta mampu bersaing dan berkompetisi dalam era global tersebut. Dalam kurun waktu yang bersamaan, setelah terjadinya perubahan sistem pemerintahan yang sentralistis1, pada era reformasi ini Indonesia memberlakukan era otonomi daerah yang ditandai oleh semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Keputusan untuk melakukan otonomi daerah didorong oleh kenyataan bahwa pemerintahan yang sentralistis berakibat pada hilangnya prakarsa (initiate), partisipasi dan keterlibatan (involvement) daerah terhadap jalannya proses pembangunan, yang menyebabkan seolah-olah daerah hanya sebagai obyek dan bukan subyek pembangunan. Di samping sistem sentralistis tidak mampu menjawab keberagaman kebutuhan daerah, pada akhirnya juga menyebabkan buruknya pelayanan yang dapat disediakan oleh pemerintah. Dengan otonomi atau desentralisasi pemerintahan diharapkan rentang kendali (span of control) dapat diperpendek, yang berarti mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan pada gilirannya dapat memperbaiki pelayanan yang disediakan oleh pemerinIstilah sentralisasi dan desentralisasi adalah akrab digunakan di lingkungan pemerintahan. Konsep sentralisasi dan desentralisasi adalah berkaitan dengan tingkatan hirarkis yang dipusatkan dalam pengambilan keputusan. Lihat Hanson, E.M., Education Administration and Organiztional Behavior, (Allyn and Bacon Inc., Boston, 1979), hlm. 33. 1
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
61
Lias Hasibuan
tah serta tanggap (responsive) untuk melakukan perbaikan pelayanan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain adalah bagaimana kita menempatkan perguruan tinggi, utamanya Perguruan Tinggi Islam (PTI), dalam dinamika dua kutub yang nampaknya berlawanan. Di satu sisi, PTI dituntut mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dan kompetetif di pasar global. Di pihak lain, PTI dituntut untuk memberikan kontribusi, empati dan partisipasi terhadap pemberdayaan (empowerment) pemerintahan di daerah beserta masyarakat daerah agar dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah dapat berjalan seperti yang dicita-citakan. Untuk memenuhi tugas ganda tersebut, salah satu alternatif yang perlu untuk diprogramkan adalah perlunya pemberdayaan otonomi perguruan tinggi. Artinya, bagaimana perguruan tinggi dapat mengembangkan program-program akademiknya secara mandiri sehingga mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat lingkungannya. Pendidikan tinggi merupakan salah atu aspek yang sangat penting (paramount importance) dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Perguruan tinggi sebagai institusi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bertanggung jawab untuk memberi bekal peserta didiknya dengan pengetahuan canggih (advance knowledge) dan keahlian yang diperlukan untuk menduduki posisi pada jabatan di pemerintahan, wirausaha, maupun profesi lainnya. Perguruan tinggi juga memproduksi ilmu pengetahuan melalui penelitian (research) dan berperan sebagai perantara (conduit) untuk transfer, adaptasi dan diseminasi ilmu yang ditemukan ditempat lain, serta mendukung pemerintah dan dunia usaha sebagai pelayan nasehat (advice) dan konsultasinya. Pada kebanyakan negara, perguruan tinggi memegang peran penting di bidang sosial dengan cara mewujudkan identitas nasional, serta menawarkan forum terjadinya debat yang sangat pluralis.
III. Rekonstruksi Kurikulum Dalam kaitan dengan rekonstruksi kurikulum setidaknya ditemukan tiga persoalan besar; Pertama, masalah rekonstruksi kurikulum; apa 62
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
dan mengapa harus dilaksanakan. Kedua, masalah yang berhubungan dengan metodologi perubahan dalam melakukan rekonstruksi kurikulum tersebut. Ketiga, masalah yang dihadapi dalam era globalisasi pendidikan, relevansinya dengan rekonstruksi kurikulum, sejauh mana dapat memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan manusia modern. Berkaitan dengan masalah pertama, perlu dikemukakan signifikansi dari rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi Islam dilihat dari sejumlah persoalan yang dihadapkan kepada pendidikan Islam. Persoalan-persoalan dimaksud tidak hanya dimaknai dari sisi implikasinya tetapi juga bagaimana persoalan-persoalan tersebut harus dijawab dari sisi kurikulum pendidikan tinggi Islam. Untuk masalah kedua, perlu dibicarakan lebih lanjut mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan metodologi perubahan pendidikan dalam kaitan dengan rekonstruksi kurikulum. Signifikansi dari pembicaraan ini ditujukan untuk menentukan cara yang lebih bijaksana untuk ditempuh ketika kurikulum tersebut harus direkonstruksi. Sepanjang pengamatan penulis, tidak jarang ditemukan bahwa banyak pihak yang berkeinginan untuk merekonstruksi kurikulum tetapi pada kenyataannya justru gagal dalam tataran implementasinya. Hal ini karena tidak ditunjang oleh penguasaan metodologi perubahan pendidikan yang memadai. Adapun masalah ketiga yaitu globalisasi pendidikan menuntut rekonstruksi kurikulum harus dapat memenuhi tuntutan dan harapan banyak pihak. Dalam rangka itu rekonstruksi kurikulum tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah dan nasional, tetapi justru yang lebih besar dari itu, yaitu kebutuhan “pasar” atau masyarakat dunia. Bagaimanapun harus disadari bahwa sekarang ini umat manusia sudah berada pada era globalisasi, karena itu ukuran-ukuran yang bersifat global sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian halnya kurikulum, senantiasa memperhatikan “trendtrend” yang terjadi di dalam kehidupan umat manusia; apakah itu yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat di daerah, Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
63
Lias Hasibuan
nasional dan internasional. Rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi Islam harus dapat mempersiapkan peserta didiknya agar menjadi bagian dari masyarakat dunia yang kompeten dalam mengembangkan kerja sama-kerja sama internasional untuk membangun dan mengembangkan peradaban dunia yang damai dan sejahtera. Istilah “rekonstruksi” dalam kurikulum memberi pengertian seperti halnya ibarat bangunan sebuah rumah lama yang tidak bisa dipertahankan lagi, mengingat konstruksi atau bangunannya yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan kepentingan konstruksi rumah yang dikehendaki sekarang. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan tinggi Islam (sebut saja IAIN) apabila dilihat dari perspektif globalisasi (sebut saja modern) sejumlah pakar atau sarjana muslim, khususnya yang turut dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam yang dilaksanakan di Mekkah (1977), di Islamabad (1980), di Dhaka (1981) dan Jakarta (1982), merekomendasikan perlunya rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan umat Islam di zaman modern. Hal itu berarti konstruksi kurikulum lama yang masih digunakan dalam dunia pendidikan Islam sudah tidak sesuai lagi apabila dilihat dari sisi kepentingan umat Islam yang berada pada era modern atau globalisasi. Dunia pendidikan di negara-negara Islam sampai memasuki era 70-an pada umumnya masih menggunakan konstruksi kurikulum lama, dalam arti bahwa kurikulum tersebut didesain untuk menjawab kepentingan-kepentingan keakhiratan. Konstruksi kurikulum seperti ini apabila dikaitkan dengan kehidupan dunia modern jelas sudah tidak memadai. Dunia modern menuntut adanya kualifikasi baru dalam bidang keilmuan Islam yang dapat mempersiapkan kompetensi lulusan yang sesuai dengan standar-standar kehidupan modern. Sementara konstruksi kurikulum lama masih berkutat pada kualifikasi keilmuan Islam yang terbatas pada wilayah-wilayah agama atau cabang-cabang ilmu agama (baca keakhiratan). Karena itu kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan Islam yang dilambangkan dengan madrasah, IAIN/PTAI kemampuannya 64
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
masih terbatas dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan kehidupan sosial keagamaan atau keakhiratan. Sementara tuntutan baru terhadap “output” pendidikan yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan kehidupan dunia nyata (fisik) belum sepenuhnya dapat dijalankan oleh dunia pendidikan Islam. Masalah yang dihadapkan kepada konstruksi kurikulum lama di atas dapat dipahami sebagai akibat dari kejumudan dunia Islam yang terjadi pada beberapa abad pasca zaman keemasan (abad ke5-9 M). Imam al-Ghazali yang lahir pada abad ke-10 kenyataannya tidak menolong untuk berkembangnya paham rasionalisme Islam yang merupakan kunci dari zaman keemasan dunia Islam. Imam alGhazali justru berupaya menyederhanakan persoalan-persoalan umat Islam pada masanya dengan mengajak umat Islam untuk meninggalkan rasionalisme Islam dan kembali menekuni persoalanpersoalan yang berhubungan dengan keagamaan (keakhiratan). Pengaruh al-Ghazali yang demikian besar di dunia Islam terutama sesudah dimunculkannya karya monumental yang berjudul “Ihya’ ‘Ulumuddin” telah membawa dunia Islam untuk bersemuka dengan gagasan-gagasan keilmuan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali. Apabila dilihat lebih jauh dari sudut konstruksi kurikulum lama, maka sesungguhnya rekonstruksi kurikulum tersebut tidak terlepas dari upaya umat Islam untuk mengakomodir gagasan keilmuan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali2. pada saat itu memang harus diakui dunia modern belum muncul, sehingga kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan keakhiratan belum terusik oleh kepentingan-kepentingan keduniaan, sebagaimana yang terjadi dan telah dirasakan oleh umat Islam sesudah datangnya era modern abad 19. Jika dianalisis, kurikulum pendidikan Islam yang ada sekarang, (madrasah atau IAIN), sesungguhnya sudah dapat dikatakan memiliki konstruksi baru apabila dibanding dengan konstruksi kurikulum Ashraf, New Horizons in Muslim education, (London: Islamic Academy Cambridge University, 1985), hlm. 31. 2
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
65
Lias Hasibuan
lama sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya. Kurikulum madrasah atau IAIN sekarang ini telah memiliki kualifikasi baru dengan masuknya wilayah-wilayah keilmuan baru yang berorientasi keduniaan. Di madrasah atau IAIN sudah cukup lama dimasukkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan, meskipun masih terbatas pada kelompok ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Akan tetapi para praktisi dan professional pendidikan masih merasakan adanya kesenjangan pada kurikulum dan lulusan yang dihasilkan oleh dunia persekolahan Islam. Kadang-kadang persoalan ini sangat membingungkan; aspek yang mana lagi dari kurikulum tersebut yang ingin diperbaiki. Kurikulum telah direkonstruksi berulang kali, akan tetapi hasilnya masih tetap begitu-begitu saja. Yang terjadi justru sebaliknya, rekonstruksi kurikulum menghasilkan “Kontra prestasi”, yanghal ini dapat dilihat dari lulusan pendidikan Islam yang mengambang, tidak memiliki kemampuan untuk menguasasi persoalan keduniaan dan tidak juga untuk persoalan keakhiratan. Jika dilihat dari konstruksi baru kurikulum pendidikan Islam di atas, kelihatannya konstruksi kurikulum tersebut cenderung bersifat menjumlahkan dalam arti; kurikulum pendidikan Islam adalah hasil penjumlahan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kenyataannya kurikulum tersebut tidak hanya sekedar menjumlahkan, tetapi lebih dari itu justru memperhatikan pengintegrasian keilmuan yang didukung oleh kemampuan professional dalam pengimplementasiannya. Untuk itu dalam kaitan dengan rekonstruksi kurikulum yang lebih di sorot dari aspek integrasi keilmuannya, sehingga tidak menambah kebingungan bagi mereka yang mendengarkan istilah rekonstruksi kurikulum tersebut. Pembicaraan rekonstruksi kurikulum dalam arti pengintegrasian keilmuan adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilaksanakan; pekerjaan ini jauh lebih sulit dari sekedar melihat rekonstruksi tersebut dalam arti penjumlahan materi kurikulum, sebagaimana yang terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar tenaga kependidikan di dunia pendidikan Islam. Penulis menyikapi kelemahan dalam merekonstruksi kurikulum tersebut tidak dapat dilepaskan dari 66
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
lemahnya penguasaan tenaga kependidikan terhadap metodologi perubahan pendidikan, sehingga rekonstruksi kurikulum yang dilaksanakan tidak membawa “output” pendidikan yang komprehensif. Wacana pemikiran konstruksi kurikulum pendidikan tinggi Islam adalah upaya strategis dalam memasuki era globalisasi pendidikan. Berdasarkan pertimbangan ini maka perlu diajukan usulan mengenai isi (content) kurikulum pendidikan tinggi Islam sebagai dikutip dari pendapat berikut:3 1. Muatan kurikulum pendidkan tinggi Islam mencakup isi (content) yang bersifat umum dan khusus. 2. Muatan atau isi yang bersifat umum dijadikan ukuran atau standar dasar untuk dikuasai oleh setiap peserta didik. Muatan harus dapat diwujudkan ke dalam bentuk; (1) ilmu-ilmu yang komprehensif yang diajarkan berdasarkan sudut pandang dua cabang ilmu; abadi dan capaian. Untuk ilmu capaian mencakup; ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial dan eksakta masing-masing diambil bidang-bidang tertentu untuk diajarkan kepada peserta didik, dan (2) pendekatan islami untuk semua cabang pengetahuan yang masuk dalam kategori ilmu-ilmu capaian (kemanusiaan, sosial dan eksakta). 3. Penyediaan buku-buku teks untuk mendukung materi bahasan dalam setiap ilmu yang dijadikan sebagai muatan kurikulum. 4. Struktur dan ketentuan mata kuliah untuk Perguruan Tinggai Islam perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek berikut ini: a. Mata kuliah univesitas terdiri dari: No
3
Mata Kuliah
SKS
1 Bahasa Arab
6
2 Bahasa Inggris
6
3 Sirah dan Sejarah Islam
3
4 Filsafat Islam tentang Sains dan Belajar 5 Kebudayaan Islam
9 6
Ashraf, New Horizons, hlm. 95.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
67
Lias Hasibuan
b.
Mata kuliah fakultas terdiri dari: No
Mata Kuliah
SKS
1
Ilmu-ilmu kemanusiaan
9
2
Ilmu-ilmu Sosial
9
3
Sains Terapan dan Eksakta
9
IV. Rekonstruksi Manajemen Qurani Dalam perspektif al-Quran istilah manajemen4 dapat mengandung makna kerja sama manusia untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sejalan dengan pengertian-pengertian manajemen seperti dikemukakan oleh para ahli manajemen yaitu kerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi5. Pengertian manajemen dalam arti kerja sama dapat dikembalikan kepada al-Quran seperti berikut: Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu bersukusuku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memberi tahu.6 Istilah “manajemen” dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “pengelolaan”. Secara umum kata “pengelolaan” dalam perspektif al-Quran dapat dikembalikan kepada kata “khalifah” sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30. kata khalifah disini menunjukkan kedudukan manusia sebagai pemimpin sekaligus pengelola (manajer) dibumi dengan segala isisnya. Untuk menjalankan peran manusia sebagai khalifah diperlukan pengetahuan, nilai, sikap dan ketermpilan yang membentuk kompetensi untuk menjalankan tugas-tugas kekhalifahan tersebut. Dari sudut ini al-Quran mengisyaratkan perlunya mengembangkan ilmu manajemen untuk mensukseskan tugas-tugas kekhalifahan yang diamanahkan Allah kepada manusia. 5 Dalam pengertian ini manajemen mencakup makna kepemimpinan organisasi, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang saling berinteraksi yang diadopsi oleh organisasi. Untuk itu yang paling penting dalam organisasi adalah kepemimpinan dari seorang pemimpin, dikatakan baik jika mampu memberikan inspirasi bagi anggota atau warga organisasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Lihat Young, Organization Development The Counsultan’s Hand Book, (IPWI, Jakarta), hlm. 7. 6 Q.S. al-Hujurat: 13. 4
68
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di dalam ayat di atas terdapat istilah “saling kenal-mengenal” (lita’aarafu). Kata lita’aarafuu adalah bentuk kata kerja yang mengandung makna transaksi (musyarakah). Dalam bentuk-bentuk kata kerja masa lalu (fi’il madhi) dikenal dengan istilah “’arafa” yang berarti “telah mengenal ia”. Dari kata lita’aarafuu dapat dipahami sebagai suatu suruhan atau anjuran kepada manusia untuk membina hubungan di antara sesama mereka secara timbal balik. Makna lita’aarafuu atau “’arafa” akan dapat lebih dipahami jika dikaitkan dengan teori ma’rifah Imam al-Ghazali (w.12 H).7 Sejalan dengan teori ini, diketahui bahwa istilah “ma’rifah” mengandung pengetahuan yang sudah terverifikasi sesuai pengalaman-pengalaman setiap hari. Oleh karena itu, istilah “lita’aarafuu” mempunyai akar kata yang sama dengan “ma’rifah” untuk menunjukkan makna “pengetahuan yang dalam” tentang sesuatu. Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul al-Munqiz min al-Dalal (Terlepas dari Kesesatan) memberikan contoh untuk pengetahuan ma’rifah seperti halnya pengetahuan tentang angka 10 diyakini lebih besar dari angka 3.8 Pengetahuan yang sampai ke tingkat “Ma’rifah” tidak mengandung keraguan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam hal pengetahuan seseorang tentang akidah (tauhid) menuntut al-Ghazali harus sampai kepada tingkat ma’rifah, karena jika tidak, keyakinan manusia terhadap Allah akan tetap mengandung keragu-raguan. Agaknya perlu dikritisi disini pandangan sekelompok orang yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan (tauhid, akidah), bukan termasuk kedalam wilayah science for science (ilmu terapan). Ilmu yang disebut dalam wilayah “Ilmu untuk ilmu” menunjukkan bahwa ilmu itu hanya dipelajari untuk Secara umum dalam pandangan al-Ghazali mencakup segala macam pengetahuan yang dapat membawa kepada keyakinan diri. Karena itu setiap ilmu perlu diwujudkan ke dalam bentuk pengalamanpengalaman sehingga menjadi pengetahuan teruji. Berdasarkan hal yang demikian, pengetahuan menjadi bermutu karena dapat memproduksi keyakinan sehingga hati mampu untuk menerima kebenaran. Lihal alGhazali, al-Munqidz Min al-Dalal, (Maktabah Jundiyah, Kairo, 1972), hlm. 26. 8 al-Ghazali, al-Munqidz Min al-Dalal, hlm. 26. 7
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
69
Lias Hasibuan
kepentingan ilmu itu semata, tidak dihubung-hubungkan dengan kebutuhan praksisnya. Karena itu, jika ilmu tauhid atau akidah digolongkan ke dalam wilayah “Ilmu untuk ilmu” berarti ilmu tauhid atau akidah hanyalah ilmu teoritis (nazary) semata. Mereka yang memahami demikian berarti ilmu tauhid atau akidah hanya ditujukan kepada Tuhan yaitu berupa zat yang harus dilepaskan dari sekian zat yang ada di alam semesta ini. Namun, jika dihubungakan kepada teori ma’rifah Imam al-Ghazali terlihat bahwa soal-soal pengetahuan tentang Tuhan (tauhid, akidah) adalah juga termasuk kedalam applied science (ilmu terapan). Berdasarkan pandangan ini dapat diketahui bahwa ilmu tauhid atau akidah membutuhkan praksis dalam dunia nyata. Karena itu, tanda untuk menunjukkan orang meyakini adanya Allah harus ditunjukan melalui cara berpikir dan bertindak di dalam kehidupan. Jika seseorang mampu merefleksikan kebenaran Allah di dalam dan diluar dirinya berarti orang tersebut telah dapat dikatakan memiliki tingkat pengetahuan “Ma’rifa”. Dan itulah inti dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dikaitkan dengan istilah manajemen, kata “lita’arafu” dengan sendirinya mengandung makna ma’rifah dalam manajemen. Istilah “ma’rifah” dalam manajemen sangatlah diperlukan, karena dengan ma’rifah manajemen akan menjadi efektif di dalam praksisnya. Konteks manajemen adalah konteks yang selalu membutuhkan dunia praksis untuk melahirkan hubungan-hubungan kerja sama yang menguntungkan di antara sesama manusia. Dengan ma’rifah, manajemen menjadi arif di dalam membangun hubungan-hubungan kerja sama, berdasarkan prinsip keyakinan dan saling percaya yang mantap di antara mereka yang melakukan kerja sama tersebut. Kearifan dalam manajemen ditandai oleh pengetahuan yang mendalam terhadap setiap potensi yang dimiliki setiap individu atau kelompok yang bekerja sama. Untuk itu makna “lita’arafu” seperti yang disebut dalam surat al-Hujarat ayat 13 tidak sekedar pengetahuan yang hanya sampai dikulit atau dipermukaan saja, tetapi “lita’arafu” menunjukkan derajat pengetahuan yang sangat komprehensif terhadap semua potensi yang dimiliki sehingga perlu 70
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
dikembangkan melalui proses manajemen tersebut. Semua aktivitas manajemen harus dilakukan berdasarkan derajat pengetahuan “lita’arafu” supaya kerja sama yang dilakukan dapat mencapai target yang ditetapkan, berdasarkan kontrak kerja (MoU) yang telah disepakati bersama. Demikian makna kerja sama antar sesama manusia yang diderivasi dari surat al-Hujarat ayat 13 tersebut. Sejalan dengan konsepsi al-Quran, manajemen dalam arti kerja sama untuk mewujudkan tujuan bersama adalah menjadi hak-hak dasar bagi setiap manusia. Kerja sama tidak hanya dilakukan terbatas untuk kalangan sendiri, tetapi juga untuk semua kalangan (umat manusia). Dalam Islam setiap kerja sama harus dibungkus dan diikat oleh konsep-konsep persaudaraan sesama umat manusia. Dalam hal ini Islam telah mengajarkan konsep-konsep persaudaraan dengan memperkenalkan istilah-istilah ukhuwah basyariyah, ukhuwah islamiyah, dan ukhuwah wathaniyah.9 Konsep ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia) dapat dikembalikan kepada al-Quran yaitu diturunkan dari ayat-ayat yang berbicara tentang manusia secara umum, diantaranya ayat-ayat yang berbunyi “yâ ayyuhan nâs” (wahai sekalian manusia). Salah satu pengertian dari ayat-ayat ini adalah penyadaran akan eksistensi kemanusiaan yang salah satunya dapat ditarik dari dimensi persaudaraan. Dimensi ini perlu diaktualkan melalui kerja sama untuk memelihara keberadaan manusia itu sendiri. Beberapa ayat yang terkait dengan makna yang demikian antara lain surat al-Haj ayat 9 dan 73, surat Luqman ayat 31, dan ayat-ayat lain yang bertebaran dalam al-Quran. Adapun konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), “yâ ayyuhal ladzîna âmanû” (wahai orang-orang beriman). Panggilan ini setidaknya mengandung kesadaran orang-orang beriman agar mereka atas dasar iman yang mereka miliki membuat kerja sama untuk memelihara eksistensi iman tersebut. Ayat-ayat ini antara lain dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 104, 178, 183 dan ayat-ayat lain yang juga banyak sekali dijumpai dalam al-Quran. Lebih lanjut lihat dalam Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras Lialfazi al-Qurani al-Karim, (Dar al-Hadis, Kairo, 2001). Sedangkan konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa) dapat dilihat antara lain dalam surat al-Balad (negeri): 1 dan 2 yang berbunyi “lâ ‘uqsimu bi hâdha al-balad, wa ‘anta %illun bi hâdha al-balad” (Aku [Allah] bersumpah demi negeri [Makkah] dan engkau bertempat tinggal di negeri ini [Makkah]. Kata “hillun” dalam ayat ini bermakna “bertempat tinggal”, Allah tidak 9
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
71
Lias Hasibuan
Bertolak dari ayat ini jelas diketahui bahwa manusia di dalam mengembangkan interaksinya perlu dibangun di atas nilai-nilai ketakwaan. Hanya dengan ketakwaan tersebutlah Allah menjamin eksistensi manusia di dalam membangun interaksi-interaksinya di dunia ini. Maka di dalam praktek pelaksanaan kerja sama antar sesama umat harus mampu diwujudkan di dalam prinsip-prinsip ketakwaan dan rasa kemanusiaan. Disamping itu yang lebih perlu untuk dipahami adalah bahwa membangun hubungan atas kemanusiaan atas dasar ketakwaan kepada Allah adalah mengandung makna pengamalan ajaran-ajaran Islam sendiri. Karena itu pekerjaan ini menjadi mulia dan termasuk ke dalam kategori ibadah. Oleh karena itu dalam perspektif Islam, istilah manajemen mengandung arti segala upaya kerja sama yang dilaksanakan untuk menampakkan “Wajah” Tuhan di dalam semua aspek kehidupan manusia. Agaknya, dalam kaitan ini diperlukan pengembangan manajemen “lintas iman” atau manajemen yang berlandaskan pada “prinsip-prinsip kemanusiaan”. Dalam hal ini perlu diberi uraian yang lebih luas, karena menurut keyakinan penulis manusia pada kebanyakannya telah memiliki pemahamanpemahaman agama yang sempit. Mungkin juga mempertahankan keyakinan beragama di kalangan ummat muslim maupun non muslim. Realitas pemahaman agama yang demikian dapat tecermin misalnya dari sejumlah konflik yang telah terjadi dimana-mana, sebagian menyebut dengan istilah “tûladu” untuk menunjukkan makna “dilahirkan”. Karena itu konsep persaudaraan sesama anak bangsa bukan didasarkan karena asas kelahiran di negeri atau daerah tersebut, tetapi justru karena bertempat tinggal di daerah atau negeri tersebut. Oleh karena itu pepatah adat kita mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” adalah sangat islami dan sejalan dengan nilai-nilai Islam seperti tadi. Hal ini perlu dijelaskan agar dalam mengisi konsep pembangunan otonomi daerah tidak dimaknai dalam konsep yang sempit yang cenderung mengartikan putra dearah adalah yang lahir di daerah tersebut. Padahal dalam konsep Islam, putra daerah atau bangsa adalah mereka yang tinggal dan telah menjadi penduduk di daerah atau negara tersebut. 72
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
berakar atau bersumber pada pemahaman agama yang sempit. Dengan pemahaman agama yang sempit, banyak dijumpai sekolompok orang yang beragama justru tidak menunjukkan agama tersebut adalah rahmat bagi seluruh alam ini. Agama justru dijadikan sebagai “pemicu” (trigger) terhadap lahirnya konflik dan permusuhan di antara sesama umat beragama10. Pada era reformasi seperti bergulir sekarang ini, tidak sedikit dijumpai bencana permusuhan muncul untuk sejumlah daerah di Indonesia. Akar dari permusuhan tersebut salah satunya karena disebabkan oleh pemahaman agama dan etnis yang sempit. Padahal jika dihubungkan dengan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, hal ini tercatat sebagai “Tragedi kemanusiaan” yang menjadi lembaran hitam bagi masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, bahkan yang lebih ironis lagi jika permusuhan yang terjadi justru timbul dari kalangan internal ummat beragama itu sendiri. Hal ini tentu dipicu oleh hawa nafsu untuk mengejar kepentingan dunia, dengan cara memperkaya diri sendiri dan mengorbankan kepentingan akhirat. Mengenai timbulnya konflik dan permusuhan dikalangan ummat beragama adalah bukti nyata dari buruknya praktek manajemen 11 dalam membangun kerja sama diantara sesama ummat, khususnya dari pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengelola masyarakat tersebut (manajemen sosial). Manajemen yang seharusnya mengembangkan potensi-potensi masyarakat, justru tidak dapat teraktualkan untuk mewujudkan kemaslahatan di dalam kehidupan ummat manusia. Padahal semua yang diciptakan Allah ini tidak ada yang tidak berguna. Allah menciptakan alam dengan segala isinya Lihat tulisan William yang berjudul “Berkaitan dengan Konflik Etnis-agama” dalam Anonim, Konflik Komunal di Indonesia saat ini, (INISPBB UIN, Leden-Jakarta, 2003), hlm. 27-33. 11 Penulis di sini memandang manajemen sebagai sesuatu yang amat penting karena bersifat memberi layanan terhadap terbentuk kerja sama diantara sesama manusia. Karena itu, apabila kerja sama diantara orangorang tidak terwujud, maka yang lebih utama untuk dipersalahkan adalah buruknya manajemen dari mereka yang memegang mandat untuk melakukan pengaturan terhadapnya. 10
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
73
Lias Hasibuan
dalam keadaan benar atau berguna. Istilah benar dalam penciptaan alam semesta mengandung makna kegunaan di dalam ciptaanciptaan Allah tersebut. Hal ini sejalan dengan firman Allah: Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau dan peliharalah kami dari azab api neraka.12
Dari ayat di atas terlihat bahwa Allah menciptakan alam dengan segala isinya adalah dalam keadaan benar atau berguna. Oleh karena itu, dengan kemampuan berpikir, manusia harus mampu menampakkan kebenaran atau kegunaan di dalam ciptaan-ciptaan Allah tersebut. Ketidakmampuan manusia di dalam merefleksikan kebenaran atau kegunaan ciptaan-ciptaan Allah akan dapat menghilangkan kekaguman jiwa manusia terhadap Tuhan.
V. Rekonstruksi Budaya Akademik Bagian penting yang harus ada dalam gerakan reformasi kampus diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan kampus yang berbudaya akademik. Sejumlah pakar tidak sedikit yang mengkhawatirkan apakah gerakan reformasi kampus merefleksikan budaya akademik yang lebih optimal dari seluruh warga kampus? Khusus untuk Program Pascsarjana, sebagai dikutip dari Kistanto13 mempersoalkan keberadaan untuk budaya akademik tersebut pada tingkat Program Pascasarjana. Menurutnya Program Pascasarjana adalah fenomena baru dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu sebagai lembaga yang dilahirkan untuk memberikan jawaban terhadap pengembangan sumber daya manusia dalam bebagai bidang keilmuan, profesi dan pekerjaan. Di samping itu, juga untuk memberi jawaban terhadap tuntutan gelar akademik yang diperlukan pada tingkat yang lebih tinggi. Pengembangan Program Pascasarjana harus dapat diletakkan pada konteks pengembangan yang sesungguhnya, yaitu berupa instiQ.S. Ali Imran: 191. Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana dan Budaya Akademik”, makalah tidak dipublikasikan, hlm. 1. 12
13
74
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
tusi akademik yang diberi fungsi untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dilihat dari program-program studi yang dilalui sebelumnya. Karena itu Program Pascasarjana dimanapun lembaga ini berada, suka atau tidak suka harus mampu mengembangkan budaya akademik seoptimal mungkin. Apabila dikaitkan dengan otonomi pendidikan, maka titik keberhasilan otonomi sesungguhnya terletak pada unit otonomi terkecil yaitu lembaga pendidikan yang bersangkutan (sekolah)14. Karena itu, Program Pascasarjana di samping menghadapi persoalanpersoalan krusial seperti dana, sarana/prasarana dan lain-lain, juga persoalan sumber daya manusia yaitu pihak pengelola/tenaga pengajar dan para peserta programnya. A. Identifikasi Persoalan Ada sejumlah persoalan yang mengahadang pengembangan budaya akademik di Program Pascasarjana, termasuk Program Pascasarjana di lingkungan Departemen Agama RI. Persoalan dimaksud baik yang berhubungan dengan pengelola yaitu tenaga pengajar maupun para mahasiswanya. Dalam kaitan dengan pihak pengelola/pengajar, idealnya adalah mereka yang sudah memiliki gelar guru besar doktor dengan jenjang pendidikan strata 3 kelas reguler. Akan tetapi, yang sudah lengkap memiliki persyaratan tenaga pengajar seperti ini masih amat terbatas, terutama dilihat di daerah-daerah dengan keilmuankeilmuan tertentu yang memiliki spesfikasi tinggi sesuai dengan ilmu dan jurusan yang dikembangkan di Program Pascasarjana. Namun, hal ini tampaknya lazim di atasi dengan cara “meminta bantuan” dari Program Pascasarjana sarjana lainnya, yaitu mereka yang sudah bergelar doktor melalui kelas reguler dalam bidang-bidang keilmuan tertentu dengan tingkat spesifikasi tertentu yang sesuai dengan proyek kajian keilmuan yang dikembangkan oleh Program Pascasarjana. Lihat Suyanto, “Reformasi Pendidikan melalui Otonomi Pendidikan”, Kompas, 7 November 2001. 14
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
75
Lias Hasibuan
Para pengajar yang sudah bergelar doktor adalah menjadi tumpuan terakhir dalam mengembangkan budaya akademik di Program Pascasarjana. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Serotnik dan Clark sebagai dikutip Kistanto15 seperti terlihat dari pernyataan berikut: “The ultmate power of change is – and always been in the heads, hands, and hearts of the educators who work in the school”. Dengan pernyataan seperti ini diketahui bahwa tenaga pengajar menjadi ujung tombak dalam budaya akademik, termasuk di Program Pascasarjana. Selanjutnya, dalam kaitan dengan peserta Program Pascasarjana, inputnya ideal diterima dari mereka yang minimal telah memiliki indeks prestasi (IPK) 3,00 ke atas. Di samping itu, mereka juga memiliki penguasaan minimal dalam dua bahasa; Arab dan Inggris, menyatakan surat rekomendasi dari “bekas” dosen atau dosen yang telah mengenalnya Program Pascasarjana. Sekarang ini—khusus PPs IAIN, sistem seleksi penerimaan Program Pascasarjana telah berubah dari sistem sentralisasi ke menunjukkan bahwa kegiatan seleksi penerimaan mahasiswa baru di Program Pascasarjana sudah menjadi bagian kegiatan otonom dari lembaga PPs yang bersangkutan. Dalam kaitan ini sebagian dari Program Pascasarjana, terutama yang usianya relatif baru, cukup lazim dikenakan persyaratan dikalangan pesertanya yang tidak terlalu ketat,sehingga standar indeks prestasi kumulatif yang relatif lebih rendah dibawah standar yang ditentukan masih di terima sebagai peserta program. Demikian juga masalah kurangnya kemampuan dalam pengetahuan bahasa juga masih dipertimbangkan untuk diterima. Bahkan, hasil tes penerimaan yang kurang memadaipun masih dapat dimaklumi, mengingat karena adanya keterbatasan-keterbatasan jumlah pendaftar yang masuk ke Program Pascasarjana. Di lain pihak, penggunaan bahasa Indonesia sendiripun masih banyak memiliki kelemahan seperti yang tampak dari berbagai tulisan, makalah atau karya ilmiah yang dipersyaratkan.
15
76
Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana”, hlm. 2. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Padahal, untuk Program Pascasarjana idealnya perlu dipersyaratkan indeks prestasi kumulatif tertentu yang seharusnya dimiliki oleh para pelamar, yaitu berada di atas 3,00 dengan skor TOEFL yang mencapai 500. demikian juga skor TOAFL (untuk bahasa Arab) juga mencapai dalam batas yang ditetapkan dimiliki oleh setiap calon mahasiswa Program Pascasarjana. Karena itu, tidak heran jika mutu para lulusan untuk Program Pascasarjana tertentu justru relatif sedikit lebih rendah dari mutu lulusan Program Pascasarjana lainnya yang sudah mampu menerapkan persyaratan ketat kepada setiap peserta programnya. B. Budaya Akademik dan Ciri Perkembangannya Penyelenggaraan pendidikan Pascasarjana (Strata 2) pada dasarnya dijelaskan lebih jauh, budaya akademik berarti “totalitas” dari kehidupan dan kegiatan akademik yang di hayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik di lembaga-lembaga pendidikan tinggi.16 Berangkat dari batasan budaya akademik seperti di atas, maka budaya akademik sesungguhnya akan selalu diharapkan mengalami dinamika dan perkembangan, bergerak ke depan, serta mengalami perubahan dan pembaharuan yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi zamannya. Dalam rangka perubahan dan pembaharuan akademik menuju kondisi ideal, senantiasa diharapkan menjadi tumpuan dan harapan bagi setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan dunia pendidikan, terutama bagi mereka yang memiliki idealisme dan gagasan ke masa depan. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik hanya akan dapat dicapai jika digerakkan dan di dukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, yang memiliki komitmen dan rasa tanggung jawab tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik dimaksud. Dalam kaitan itu, ada sejumlah ciri-ciri perkembangan budaya 16
Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana”, hlm. 6.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
77
Lias Hasibuan
akademik yang perlu diketahui yang dalam hal ini dapat ditandai oleh beberapa poin berikut ini:17 1. Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif. 2. Pemikiran rasional dan kritis-analisis yang diikuti oleh tanggung jawab moral. 3. Kebiasaan-kebiasaan membaca. 4. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan 5. Kebiasaan meneliti dan mengabdikan diri kepada masyarakat 6. Penulisan artikel, makalah dan buku 7. Diskusi-diskusi ilmiah 8. Proses belajar mengajar 9. Manajemen perguruan tinggi yang baik dan benar Dari apa yang disebut di atas dapat diketahui rumusan budaya akademik yang lebih jelas, yaitu berupa landasan dan dasar bagi totalitas kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik. Adapun ciri-ciri perkembangannya mencakup sikap dan tingkah laku serta kegiatankegiatan kongkrit (praktis) yang berisikan berupa isi dan idealisasi budaya akademik yang diperjuangkan. Karena itu, tanpa adanya sikap untuk menghargai penadapat orang lain, maka secara obyektif hal tersebut berarti belum dapat dikatakan mempergunakan akal sehat atau pemikiran rasional dengan kritik analitisnya. Karena itu diperlukan kejujuran dan tanggung jawab moral yang lebih serius untuk mengembangkan budaya akademik dari kalangan warga kampus, yaitu berupa nilai, landasan dan metode berpikir. Budaya akademik perlu dipelihara dari segala macam yang membawa kepada kehancurannya. Kondisi ideal yang dapat dibangun melalui tingkah laku dan kegiatan konkrit ditujukan pula melalui rumusan ciri-ciri perkembangan budaya akademik lainnya seperti kebiasaan membaca, menambah ilmu dan wawasan, kebiasaan meneliti dan mengabdikan diri kepada masyarakat, aktif dalam penulisan artikel, makalah, buku, diskusi ilmiah, pengembangan proses pembelajaran dan mana17
78
Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana”, hlm. 6. Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
jemen perguruan tinggi yang baik dan benar (participatory management). Sejumlah perguruan tinggi boleh jadi warga masyarakatnya ada yang merasa yakin bahwa mereka lebih kondusif dalam mendukung perkembangannya budaya akademik. Namun, jika sikap dan tingkah laku yang sesungguhnya tidak tercermin dalam kegiatan dan kehidupan akademik kesehariannya, maka perlu diupayakan perubahan dan pembaharuan. Untuk kepentingan ini bahkan perlu didukung melalui sistem reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) kepada seiap warga kampus karena mereka adalah penggerak, pelaku dan pendukung budaya akademik tersebut. C. Moral dan Tradisi Akademik Moral dan tradisi akademik yang umumnya terjadi di lingkungan kampus sering didominasi oleh suasana dan kepentingan proses pembelajaran kovensional. Moral dan tradisi seperti ini di samping dikenal sebagai tugas pokok lembaga pendidikan, dari sisi historisnya juga diakui sudah merupakan kebiasaan lama yang mengakar dalam kehidupan budaya akademik masyarakat Indonesia, sejak ratusan tahun lalu. Moral dan tradisi akademik lain seperti pelaksanaan penelitian masih dianggap sebagai hal yang relatif baru. Demikian pula tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif juga sering dianggap sebagai “barang mewah” yang tidak mudah untuk dijangkau. Karena itu perlu dilakukan perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang lebih di internalisasi dari makna-makna akademik. Pentingnya pemabaharuan sikap mental akademik perlu disosialisasikan agar sikap paternalistik, ewuh pakewuh yang masih cukup dominan dimiliki oleh masyarakat tradisi lama dapat dikikis, khususnya mengurangi sikap hidup yang serba ketergantungan (patron-client relationship). Kampus yang didominasi oleh kepentingan proses pembelajaran telah menempatkan para dosen dominan berfungsi sebagai pengajar, dibanding sebagai peneliti dan pengembang ilmu-ilmu Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
79
Lias Hasibuan
pengetahuan melalui pola pikir ilmiah,kritis-analitis dalam kehidupan kampus. Para dosen lebih senang untuk menampilkan apa yang mereka baca dari apa yang mereka teliti atau kaji dalam kaitan dengan persoalan-persoalan keilmuan yang mereka kembangkan. Selanjutnya para dosen sebagai tenaga pengajar menjadikan dirinya untuk mengambil peran “komunikator” dengan porsi yang lebih besar dibanding sebagai peran “pengembang’ dan “pengalih” ilmu pengetahuan. Sementara pada pihak lainnya, mahasiswa juga lebih menempatkan dirinya sebagai obyek atau penerima ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran. Kondisi ini bahkan mendorong mahasiswa untuk berperan sebagai “kolektor” pengetahuan yang boleh jadi mereka sendiri tidak mampu memahami dan menginternalisasi ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Kondisi seperti ini sama halnya seperti “bertambahnya sampah di tong sampah” dalam arti; pertambahan pengetahuan tidak terinternalisasi dengan baik, sehingga pertambahan pengetahuan tidak lebih dari pertambahan “beban” saja bagi mereka yang telah memilikinya. Dari apa yang dikemukakan di atas jelas terlihat bahwa moral dan tradisi akademik ditentukan oleh tenaga pengajar dan mahasiswa sebagai pengembang dari budaya akademik tersebut. Moral dan tradisi ini bahkan harus menjadi landasan sekaligus motor bagi terciptanya budaya akademis seluruh warga kampus yang sehat dan dinamis. Untuk kepentingan itu diperlukan kebijakan-kebijakan khusus dari pihak-pihak pengambil kebijakan kampus untuk mendukung berkembangnya moral dan tradisi akademik seluruh warga kampus yang lebih optimal. D. Kebebasan Mimbar Akademik Tradisi akademik seperti yang terjadi pada masa Dinasti Abasiyah (750-1250 M) yang lebih dikenal pada masa keemasan Islam (the golden age) tidak terlepas dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dikembangkan oleh pihak-pihak penguasa, terhadap mereka disebut kalangan ulama dan intlektual Islam. Mereka ini adalah 80
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
“kunci” yang memegang peran penting dalam pengembangan keilmuan untuk peningkatan mutu kehidupan umat manusia. Karena itu, dalam sejarah Perguruan Tinggi Islam dikenal bahwa kebebasan akademik merupakan inti dari pengambangan budaya akademik kampus. Di Indonesia kebebasan akademik semakin mendapatkan angin segarnya pada masa pemerintahan Abdurrahman wahid (20002001), meskipun pada masa pemerintahan sebelumnya (Habibi, 1999) sudah mulai berhembus angin segar tersebut. Adapun di masa-masa pemerintahan Orde Baru, hampir dipastikan kebebasan akademik sulit untuk dapat dilaksanakan. Salah satu contoh, dalam hal kebebasan berpikir misalnya, sering terhambat oleh sistem keseragaman yang dikondisikan oleh pemerintah waktu itu. Langkah seperti kenyataannya memberi ruang gerak berpikir analistis, kritis, dan inovatif yang amat terbatas untuk dikembangkan pada waktu itu. Sementara semua itu diperlukan didalam pengembangan budaya akademik. Ada beberapa hal yang berkenaan dengan kerugian yang terjadi akibat adanya pengekangan kebebasan akademik, diantaranya; penerbitan buku atau tulisan tertentu, pengembangan studi-studi tentang ideologi tertentu, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kampus seperti demonstrasi dan diskusi-diskusi yang menentang ideologi dan kebijakan negara dan pemerintahan tertentu.18 Dalam pengembangan kebebasan mimbar akademik, perubahan dan pembaharuan yang perlu dilakukan diantaranya melalui metode penyampaian yang meliputi; tehnik-tehnik penanggapan baik lewat tulisan maupun lisan, khususnya yang berkaitan dengan etika dan sopan santun berpendapat. Dalam hal ini diperlukan kebebasan mimbar akademik yang dapat didesain melalui cara-cara yang lebih sopan dalam menopang dasar penyelenggaraan dan pengembangan budaya akademik sesuai dengan level pendidikan Program Pascasarjana.
18
Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana”, hlm. 6.
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
81
Lias Hasibuan
VI.Kesimpulan Secara umum dalam rangka upaya PPs IAIN STS Jambi menghadapi tantangan global menerapkan konsep pendidikan bermutu yang menitikberatkan pada pengembangan inovasi-inovasi dalam berbagai aspek pendidikan yang dimulai dari penerapan standar input, proses sampai kepada out put pendidikan. Jika dilihat lebih jauh mengenai tantangan dari era globalisasi dan juga otonomi daerah, inovasi dan kreativitas menjadi kunci untuk meraih kesuksesan organisasi pendidikan. Berkaitan dengan itu PPs IAIN STS Jambi harus bersifat inovatif, dan sifat keinovatifan PPs akan ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: pimpinan dan SDM PPs yang inovatif, karakteristik internal struktur organisasi PPs IAIN STS Jambi yang lentur dan karakteristik eksternal organisasi yang lebih terbuka. Kemampuan untuk mewujudkan keinovatifan dalam tubuh PPs perlu ditunjukkan dari sisi kemampuannya untuk memerdekakan SDM dan semua program-program akademiknya dari pembelengguan dan kejumudan cara berpikir yang statis. Kunci utamanya adalah PPs harus dapat membaca secara arif bagaimana mengembangkan dan mengimplimentasikan inovasi untuk mewujudkan kurikulum yang berbasis pada aktivitas manusia dalam kehidupan dengan penciptaan lulusan yang memiliki kompetensi sebagai desainer-desainer aktivitas kehidupan manusia dari tingkat lokal sampai internasional. Rekonstruksi lulusan seperti ini mendorong PPs untuk mampu merekonstruksi konsep manajemen Qurani yang berbasis pada interaksi manusia dalam berbagai level untuk diterapkan guna mencapai tujuan PPs. Dalam rangka itu semua PPs IAIN STS Jambi juga harus mampu merekonstruksi budaya akademik yang kompetitif baik untuk tingkat lokal, nasional maupun internasional.
82
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
Strategi Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
BIBLIOGRAFI al-Ghazali, al-Munqidz Min al-Dalal, (Maktabah Jundiyah, Kairo, 1972). Ashraf, New Horizons in Muslim education, (London: Islamic Academy Cambridge University, 1985). Baqi, Muhammad Fuad Abdul, al-Mu’jam al-Mufahras Lialfazi alQurani al-Karim, (Dar al-Hadis, Kairo, 2001). Hanson, E.M., Education Administration and Organiztional Behavior, (Allyn and Bacon Inc., Boston, 1979). Kistanto, “Pengembangan Program Pascasarjana dan Budaya Akademik”, makalah tidak dipublikasikan. Suyanto, “Reformasi Pendidikan melalui Otonomi Pendidikan”, Kompas, 7 November 2001. William, “Berkaitan dengan Konflik Etnis-agama”, dalam Anonim, Konflik Komunal di Indonesia saat ini, (INIS-PBB UIN, LedenJakarta, 2003). Young, Organization Development The Counsultan’s Hand Book, (IPWI, Jakarta).
Innovatio, Vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2009
83