ISSN 1411 - 5972
(MAJALAH ILMIAH FAKULTAS TEKNIK - UNPAK) Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014
» Kata Pengantar » Daftar Isi
Hal. i ii
» Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus : Jalan Raya Sukahati Kabupaten Bogor (Arif Mudianto, Budie Arif, dan Muhammad Taofiq)
1
» Karakterisasi Phisik Airtanah Dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer Endapan Gunung Api (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung) (Bambang Sunarwan)
16
» Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief)
27
» Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman)
34
» Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
39
» Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat Halus Pada Beton (Titik Penta Artiningsih)
50
JURNAL TEKNOLOGI
Vol. II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014. ISSN 1411 - 5972
PELINDUNG DR. H. Bibin Rubini, M.Pd. (Rektor UNPAK) PENANGGUNG JAWAB DR. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT. (Dekan Fakultas Teknik) PENASEHAT/KONSULTAN (Ex. Officio) Kajur Teknik Sipil Kajur Perencanan Wilayah Dan Kota Kajur Teknik Geodesi Kajur Teknik Elektro Kajur Teknik Geologi PIMPINAN REDAKSI DR. Ir. Bambang Sunarwan, MT. SEKRETARIS REDAKSI Ir. M.A. Karmadi ANGGOTA REDAKSI Ir. Singgih Irianto, MSi., Ir. Teti Syahrulyati, M.Si., DR. Ir. Rochman Djaja AH. M.Surv., Ir. Ichwan Arif, MT., Ir. Budi Arief, MT., Ir. Dede Suhendi, MT., DR. Ir. Janthy T. Hidayat, M.Si., Ir. Akhmad Syafuan, MT., Heny Purwanti, ST., MT. PEMBANTU UMUM Sudarsono
CATATAN :
JURNAL TEKNOLOGI UNPAK, sebagai majalah ilmiah, direncanakan terbit setiap 6 (enam) bulan. Kehadirannya diharapkan mampu menjadi media komunikasi dan forum pembahasan keilmuan bagi staf pengajar dan mahasiswa, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik - UNPAK. Untuk kelangsungan penerbitan, Redaksi berharap para ilmiawan sebagai pakar ilmu pengetahuan dan teknologi berkenan mengirimkan tulisan bebas dan kreatif berbentuk tulisan populer, hasil penelitian, atau gagasan orisinal yang segar. Pengiriman naskah ditulis dengan bahasa Indonesia atau Inggris dilengkapi dengan abstrak (tidak lebih dari 200 kata), ukuran kuarto/A4, ditulis dengan urutan Judul, Nama Penulis, Abstrak, Isi Tulisan dan Daftar Pustaka, dilengkapi dengan Riwayat Pendidikan/Pekerjaan terakhir Penulis. Panjang naskah disarankan tidak lebih dari 10 halaman atau 6000 kata, disertakan copy disket tulisan.
Bila diterima, Redaksi akan mengedit sesuai gaya Jurnal Teknologi - UNPAK
Kata Pengantar
Assalammualaikum Wr. Wb. JURNAL TEKNOLOGI Edisi ke 24 Periode (Januari – Juni 2014), diterbitkan oleh Fakultas Teknik, Universitas Pakuan Bogor, berisi 6 (enam) makalah, hasil penulisan para staf pengajar/dosen, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor. Beberapa penyempurnaan masih terus diperlukan, termasuk saran dan kritik agar penerbitan selanjutnya makin memiliki nilai tambah dan bobot ilmiah, khususnya pada isi/materi tulisan yang ada. Diharapkan JURNAL TEKNOLOGI, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan dapat terbit secara rutin dan bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam
Redaksi
i
JURNAL TEKNOLOGI Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014, ISSN 1411 - 5972
DAFTAR ISI HaL. Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus : Jalan Raya Sukahati Kabupaten 1
Bogor Karakterisasi Phisik Airtanah Dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer Endapan Gunung Api (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung)
16
Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD)
27
Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City
34
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar
39
Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat 50
Halus Pada Beton
Alamat Redaksi/Penerbit Jurnal Teknologi Fakultas Teknik - Universitas Pakuan Jl. Pakuan (0251) 8311007 Website : www.ftunpak.ac.id E-mail :
[email protected] Bogor
ii
ANALISA PENGARUH PELEBARAN JALAN RAYA TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus Jalan Raya Sukahati Kabupaten Bogor) Oleh:
Arif Mudianto, Budi Arief, dan Muhammad Taofiq
Abstrak Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Pertumbuhan dan perkembangan Kabupaten Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri. Tingginya volume lalu-lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun arteri. Salah satu jalan yang sudah mulai mengalami dampak tingginya volume lalu-lintas adalah jalan Sukahati yang berada di Kabupaten Bogor. Maksud studi adalah untuk mengetahui pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayanan jalan pada ruas Jalan Sukahati KabupatenBogor, sedangkan tujuan studi adalah 1) menghitung kinerja jalan sebelum dan sesudah pelebaran jalan, 2) Menganalisa kebutuhan lebar ruas jalan dan jumlah lajur yang dibutuhkan, 3) Menghitung pertumbuhan lalu-lintas akhir rencana, 4) Menganalisa hubungan pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayan jalan. Metode yang digunakan adalah berupa pengumpulan data dan survei lalu-lintas. Data tipe jalan sebelum pelebaran adalah 2/2UD dengan lebar lajur 3,5 meter, sedangkan setelah pelebaran lebar lajur adalah 5,5 meter. Hasil analisis diperoleh kinerja jalan yang terdiri dari Kapsitas (C), Derajat Kejenuhan (DS), Kecepatan Arus Bebas (FV) dan Kecepatan Tempuh sebelum dan sesudah pelebaran jalan. Kinerja jalan setelah pelebaran lebih tinggi dari sebelum pelebaran. Tingkat pelayanan jalan Sukahati dari tahun-ketahun mulai mengalami penurunan. Nilai VCR pada tahun 2007 sebesar 0,73, sedangkan pada tahun 2010 senilai 0,78 sehingga masuk dalam katagori D. Karena nilai VCR pada tahun 2010 sudah lebih dari 0,75 maka dilakukan pelebaran jalan pada tahun 2014 untuk meningkatkan pelayanan jalan Sukahati. Peningkatan jalan berupa pelebaran jalan tersebut berhasil meningkatkan tingkat pelayanan ke katagori C dengan nilai VCR 0,66 dan berada pada katagori C. Dengan menggunakan analisa persamaan regresi diperoleh nilai r=0,83 dan koefisien determinasi (r2)=0,83. Nilai r=0,83 membuktikan bahwa pelebaran jalan sangat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan. Dengan nilai r2=0,83 didapat nilai kd=69% yang berarti sebanyak 69 % pelebaran jalan akan mempengaruhi tingkat pelayanan, sedangkan sisanya 31% dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti faktor jalan dan lalu-lintas. Kata kunci: Lebar Jalan, Kinerja Jalan, Tingkat Pelayanan 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat
diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat. Konsekuensi atas keberhasilan tersebut
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
1
terhadap pelayanan jasa transportasi khususnya jalan raya adalah meningkatnya permintaan penyediaan jasa angkutan yang semakin luas dan dengan kualitas yang semakin meningkat pula. Pertumbuhan dan perkembangan Kabupaten Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri.
Sampai tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bogor 5.077.210 jiwa.
Gambar 1.1. Peta Jaringan Jalan Kecamatan Cibinong 2.
Tingginya volume lalu-lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun arteri. Hal tersebut terjadi karena jumlah peningkatan moda transportasi tidak sesuai dengan peningkatan infrastruktur yang ada seperti lebar jalan yang belum memadai dan kondisi jalan yang buruk. 1.2.
Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayanan jalan pada ruas Jalan Sukahati – Kabupaten Bogor. 1.2.2. Tujuan
a) Menghitung kinerja jalan yang terdiri dari kapasitas jalan, derajat kejenuhan, kecepatan arus bebas dan kecepatan waktu tempuh serta tingkat pelayanan jalan (V/C Ratio) sebelum dan sesudah pelebaran jalan. b) Menganalisa kebutuhan lebar ruas jalan dan jumlah lajur yang dibutuhkan. c) Menghitung pertumbuhan lalu-lintas akhir rencana d) Menganalisa hubungan pengaruh pelebaran jalan terhadap tingkat pelayan jalan. 1.3. Gambaran Umum Wilayah Studi
Jalan Sukahati merupakan jalan yang menghubungkan Kecamatan Cibinong – Kabupaten Bogor ke Kelurahan Talang Kecamatan Bogor Utara – Kota Bogor. 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pengertian Jalan
Definisi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas, yang berada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api dan jalan kabel. 1.1. Klasifikasi Jalan
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, maka jalan dapat diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi jalan, yaitu: 2.2.1. Klasifikasi Menurut Fungsi 1) Jalan Arteri a) Jalan Arteri Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan antar kota jenjang kesatu yang berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua (R. Desutama. 2007). b) Jalan Arteri Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder lainnya atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
2) Jalan Kolektor a) Jalan Kolektor Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan antar kota kedua dengan kota jenjang kedua, atau kota jenjang kesatu dengan kota jenjang ketiga. (R. Desutama. 2007). b) Jalan Kolektor Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder lainnya atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 3) Jalan Lokal a) Jalan Lokal Primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang di bawahnya. (R. Desutama, 2007). b) Jalan Lokal Sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, atau kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau kawasan sekunder ketiga dan seterusnya dengan perumahan. 4) Jalan Lingkungan Jalan Lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan 2.2.2. Klasifikasi Menurut Statusnya Jalan umum menurut dikelompokkan menjadi: 1. Jalan Nasional 2. Jalan Propinsi 3. Jalan Kabupaten 4. Jalan Kota 5. Jalan Desa
statusnya
2.3. Tipe Jalan Berbagai tipe jalan akan memberikan kinerja yang berbeda pada pembebanan lalu-lintas. Tabel 2.3. Kondisi Dasar Tipe Jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.4. Jalan Perkotaan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI),1997 mendefinisikan ruas jalan perkotaan/semi perkotaan atau luar kota sebagai ruas jalan yang memiliki pengembangan permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000 (atau kurang dari 100.000 jika mempunyai perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus) juga digolongkan sebagai jalan perkotaan. Adanya jam puncak lalu-lintas pagi dan sore serta tingginya persentase kendaraan pribadi. Selain itu keberadaan kereb merupakan ciri prasarana jalan perkotaan. 2.5. Karateristik Jalan Perkotaan Kinerja suatu ruas jalan tergantung pada karakteristik utama suatu jalan yaitu: kapasitas perjalanan rata-rata dan tingkat pelayanannya ketika dibebani lalu lintas. Halhal yang mempengaruhi kapasitas, kecepatan perjalanan rata-rata dan tingkat pelayanan suatu ruas jalan adalah : 1)
2.2.3. Klasifikasi Jalan menurut Kelas Jalan Klasifikasi kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu-lintas: Tabel 2.1. Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
2)
Geometrik Jalan Perkotaan Geometrik jalan didefinisikan sebagai suatu bangun jalan raya yang menggambarkan tentang bentuk/ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang, memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan. Alinyemen jalan Lengkung horizontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan arus bebas. Tanjakan yang juga mengurangi kecepatan arus bebas. Karena secara
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
3
3)
4)
5)
6)
7) 8)
9)
10)
4
umum kecepatan arus bebas adalah rendah, maka pengaruh ini diabaikan. Tipe Jalan Berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja berbeda pada pembebanan lalulintas tertentu. Tipe jalan perkotaan adalah sebagai berikut: Jalan satu arah (1-3/1) Jalan dua lajur – dua arah (2/2 UD) Jalan empat lajur – dua arah, dibagi menjadi: - Tanpa median (Undivided) (4/2 UD) - Dengan median (Divided) (4/2 D) Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2D) Lebar jalur; kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu-lintas. Bahu/Kereb (Shoulder); kecepatan dan kapasitas jalan akan meningkat bila lebar bahu semakin lebar. Kereb sangat berpengaruh terhadap dampak hambatan samping jalan. Komposisi arus dan pemisahan arah Kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisahan arah 60-40, yaitu jika pada kedua arah adalah tidak sama pada periode waktu yang dianalisis. Volume lalu-lintas dipengaruhi komposisi arus lalu-lintas, setiap kendaraan yang ada harus dikonversikan menjadi suatu kendaraan standar. Pengaturan lalu-lintas Batas kecepatan jarang diberlakukan didaerah perkotaan Indonesia, dan karenanya hanya sedikit berpengaruh pada kecepatan arus bebas. Aturan lalulintas lainnya yang berpengaruh pada kinerja lalu-lintas adalah pembatasan parkir dan berhenti sepanjang sisi jalan, pembatasan akses tipe jalan tertentu, pembatasan akses dari lahan samping jalan dan sebagainya. Perilaku pengemudi dan populasi kendaraan Manusia sebagai pengemudi kendaraan merupakan bagian dari arus lalu-lintas yaitu sebagai pemakai jalan. Faktor psikologis, fisik pengemudi sangat berpengaruh dalam menghadapi situasi arus lalu-lintas yang dihadapi. Hambatan samping Hambatan samping, yaitu aktivitas samping jalan yang dapat menimbulkan konflik dan berpengaruh terhadap pergerakan arus lalu lintas serta
menurunkan kinerja jalan. Adapun tipe kejadian hambatan samping, adalah : Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan. Jumlah kendaraan berhenti dan parkir. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar dari lahan samping jalan dan jalan samping. Arus kendaraan lambat, yaitu arus total (kendaraan/jam) sepeda, becak, delman, pedati, traktor dan sebagainya. Tabel 2.4 Kelas Hambatan Samping
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.6. Volume Lalu-Lintas Rencana Volume lalu-lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit) 2.6.1.
Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Lalu-lintas harian rata-rata (LHR) adalah volume lalu-lintas rata-rata dalam satu hari. LHR =
∑ni=0. ∑n Kij. Fi n
dimana : Kij= Jumlah kendaraan jenis I yang diamati pada hari ke j i = Jenis kendaraan j = Hari ke – j n = Jumlah hari pengamatan Fi = Faktor koreksi untuk jenis kendaraan 2.6.2.
Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan
LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
LHRT =
∑ni=0 LHRi n
dimana : LHRT = Lalu lintas harian rata-rata tahunan LHR = Volume lalu lintas harian N = Jumlah hari dalam tahun yang bersangkutan, n = 365 hari I = Jenis Kendaraan 2.6.3. Satuan Mobil Penumpang (smp) Volume lalu-lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan dalam satuan mobil penumpang (smp) sehingga masing– masing jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai ekivalensi mobil penumpang (emp).
ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter. c. RUWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) RUWASJA adalah ruang sepanjang jalan di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut: - Jalan Arteri minimum 20 meter - Jalan Kolektor minimum 15 meter - Jalan Lokal minimum 10 meter Bahu
Saluran
Gambar 2.2. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median
2.7.2. 1)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Penampang Jalan
2.7.1.
Penampang Melintang Jalan Bahu
Batas RUMIJA
Jalur Lalu Lintas
Bahu
Ambang
Bahu
Trotoar
Tabel 2.5. Ekivalen Mobil Penumpang (emp) Jalan Perkotaan
2.7.
Jalur Lalu Lintas
Jalur Lalu Lintas
Jalur Lalu Lintas (Traveled Way) adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan tipe antara lain: a. 1 jalur–2 lajur–2 arah (2/2 TB) b. 1 jalur–2 lajur–1 arah (2/1 TB) c. 2 jalur–4 lajur–2 arah (4/2 B) d. 2 jalur–n lajur–2 arah (2/2 B) Keterangan: TB = tidak terbagi/ Undivided B = terbagi/ Divided
Batas RUMIJA
Tabel 2.6. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan
Drainase
BADAN JALAN RUMAJA RUMIJA RUWASJA
Gambar 2.1. Gambar Penampang Jalan
a. RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan) RUMAJA adalah daerah yang dibatasi oleh batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan. b. RUMIJA (Daerah Milik Jalan) RUMIJA adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1997.
Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan *) = 2 jalur terbagi, masing – masing n × 3, 5m, dimana n jumlah lajur per jalur = Tidak ditentukan
2)
Lajur (Lane) adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan, selain sepeda motor.
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
5
Tabel 2.7. Lebar Lajur Ideal Fungsi Arteri
Kelas I, II, IIIA IIIA, IIIB IIIC
Kolektor Lokal
1) Kapasitas dasar (C )
Lebar Lajur Ideal (m) 3,75 3,50 3,0 3,0
Sumber:Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, 1997.
Jumlah Lajur Lalu-Lintas yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan. Kebutuhan lajur lalu lintas dapat ditetapkan berdasarkan tipe jalan yang akan dipilih, kemudian dihitung rasio perbandingan antara arus lalu lintas jam rencana dengan kapasitas tiap lajurnya apakah sudah memenuhi syarat yang ditetapkan didalam MKJI’97 yaitu Degree of Saturation (DS) < 0,75 dan bila nilai DS mendekati nilai 0,75 jalan tersebut harus diperlebar, dilakukan traffic management, atau dengan membuat jalan baru. Tabel 2.8. Pembagian Tipe Kendaraan Jalan Perkotaan
0
Tabel 2.9. Kapasitas Dasar (C0) Jalan Perkotaan Type jalan Empat-lajur terbagi atau jalan satu-arah Empat-lajur tak-terbagi Dua-lajur tak-terbagi
1650
Per lajur
1500 2900
Per lajur Total dua arah
2) Faktor penyesuaian lebar jalan Faktor penyesuaian lebar jalan ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Faktor Penyesuaian Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (FCW) Tipe Jalan 1 Empat-Lajur terbagi atau Jalan satu-arah
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.8.1.
Catatan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Empat-lajur tak-terbagi
Dua-lajur tak-terbagi
2.8. Kinerja Jalan
Kapasitas dasar (smp/jam)
Kapasitas
Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (WC) (m) 2 Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Per lajur 3,0 3,25 3,50 3,75 4,0 Total kedua arah 3 6 7 8 9 10 11
FCW 3 0,92 0,96 1,00 1,04 1,08 0,91 0,95 1,00 1,05 1,09 0,56 0,87 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut: C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCs
3) Faktor penyesuaian pembagian arah jalan Faktor ini didasarkan pada kondisi dan distribusi arus lalu lintas dari kedua arah jalan atau untuk tipe jalan tanpa pembatas median. Tabel 2.11. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCSP)
dengan :
Pemisah arah SP (%-%)
C CO
= Kapasitas (smp/jam) = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCSP
FCW = Faktor penyesuaian lebar jalan FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi) FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan FCCS = Faktor penyesuaian ukuran kota 6
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
Dua-lajur (2/2)
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
Empat-lajur (4/2)
1,00
0,985
0,97
0,955
0,94
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
4) Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping Untuk ruas jalan yang mempunyai kereb didasarkan pada 2 faktor yaitu lebar kereb (Wk) dan kelas hambatan samping.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
Tabel 2.12. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF) Faktor penyesuaian untuk hambatan Kelas samping dan jarak kereb Tipe Jalan hambatan penghalang (FCSF) samping Jarak kereb penghalang (Wk) (m) ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 1 2 3 4 5 6 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,94 0,96 0,98 1,00 4/2 D M 0,91 0,93 0,95 0,98 H 0,86 0,89 0,92 0,95 VH 0,81 0,85 0,88 0,92 VL 0,95 0,97 0,99 1,01 L 0,93 0,95 0,97 1,00 4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97 H 0,84 0,87 0,90 0,93 VH 0,77 0,81 0,85 0,90 VL 0,93 0,95 0,97 0,99 L 0,90 0,92 0,95 0,97 2/2 UD atau jalan M 0,86 0,88 0,91 0,94 satu-arah H 0,78 0,81 0,84 0,88 VH 0,68 0,72 0,77 0,82 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
5) Faktor penyesuaian ukuran didasarkan pada jumlah penduduk.
kota
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS) Ukuran kota Faktor penyesuaian (juta penduduk) untuk ukuran kota < 0,1 0,86 0,1 – 0,5 0,90 0,5 – 1,0 0,94 1,0 – 3,0 1,00 > 3,0 1,04 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.8.2.
Derajat Kejenuhan (DS)
dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum berikut: FV = (FV + FV ) . FFV . FFV 0
W
SF
CS
2
dengan: FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam). FV = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan 0
FV
ringan pada jalan yang diamati (km/jam). = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan
W
FFV
SF
(km/jam). = Faktor penyesuaian akibat hambatan
samping dan lebar bahu. FFV = Faktor penyesuaian ukuran kota CS
1) Kecepatan
arus bebas ditentukan berdasarkan tipe jalan dan jenis kendaraan.
Tabel 2.14. Kecepatan Arus Bebas Dasar untuk Jalan Perkotaan (FV0) Tipe jalan/ Tipe alinyemen (kelas jarak pandang) Enam-lajurterbagi (6/2 D) atau Tiga-lajur satuarah (3/1) Empat-lajur terbagi (4/2 D) atau Dua-lajur satuarah (3/1) Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD) Dua-lajur takterbagi (2/2 UD)
Kecepatan arus bebas dasar (FV0) (km/jam) Kendaran Kendaraan Sepeda Semua ringan berat motor kendaraan (LV) (HV) (MC) (rata-rata)
61
52
48
57
57
50
47
51
53
46
43
51
44
40
40
42
Sumber: Manula Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus jalan terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan derajat kejenuhan adalah sebagai berikut: DS
Q C
dengan : DS = Derajat kejenuhan Q = Arus lalu lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam)
2) Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif Tabel 2.15. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Lebar Jalur Lalu-Lintas (FVW) Tipe jalan
Empat-lajur terbagi atau Jalan satu arah
Empat-lajur-tak terbagi
2.8.3. Kecepatan Arus Bebas (FV) Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa
Dua-lajur tak-terbagi
Lebar lajur lalu lintas efektif Lajur lalu lintas (WC) (m) Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Total 3 6 7 8 9 10 11
FV
-4 -2 0 2 4 -4 -2 0 2 4 -10 -3 0 3 4 6 7
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
7
2.9. Tingkat Pelayanan 3) Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat hambatan samping. Tabel 2.16. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Hambatan Samping dengan Jarak Kereb Penghalang (FFV )
Tingkat Pelayanan suatu ruas jalan digunakan sebagai ukuran kualitatif yang mencerminkan persepsi pengemudi tentang kualitas mengendarai kendaraan.
SF
Tipe jalan
1 Empatlajur terbagi 4/2 D Empatlajur takterbagi 4/2 UD Dua-lajur takterbagi 2/2 UD atau Jalan satu arah
Kelas hambatan Samping (SFC) 2 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan Lebar kerb penghalang (FFVSF) Jarak: kerb penghalang (W K) (m) < 0,5 1,0 1,5 > 2,0 3 4 5 6 1,00 1,01 1,01 1,02 0,97 0,98 0,99 1,00 0,93 0,95 0,97 0,99 0,87 0,90 0,93 0,96 0,81 0,85 0,88 0,92 1,00 1,01 1,01 1,02 0,96 0,98 0,99 1,00 0,91 0,93 0,96 0,98 0,84 0,87 0,90 0,94 0,77 0,81 0,85 0,90 0,98 0,99 0,99 1,00 0,93 0,95 0,96 0,98 0,87 0,89 0,92 0,95 0,78 0,81 0,84 0,88 0,68 0,72 0,77 0,82
Dalam menetukan tingkat pelayanan suatu arus jalan akan ditinjau dari tingkat perbandingan antara volume arus lalu lintas yang melalui ruas jalan tersebut berbanding terbalik dengan kapasitas ruas jalan tersebut. LOS
V C
Dimana: LOS = tingkat pelayanan V = Volume lalu-lintas (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam) Tabel 2.18. Karakteristik Tingkat Pelayanan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
4) Nilai faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan (FFVCS).
Tingkat Pelayanan
A
CS
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota 0,90 0,93 0,95 1,00 1,03
B
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.8.4.
C
Kecepatan Tempuh
MKJI 1997 menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisis ekonomi. Kecepatan tempuh ditentukan dengan menggunakan grafik pada Gambar 2.3.
Batas Lingkup
Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi dan volume lalu lintas rendah
Tabel 2.17. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Ukuran Kota (FFV ) Ukuran kota (Juta Penduduk) < 0,1 0,1 – 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 3,0 >3,0
Karakteristik
D
E
F
Pengemudi dapat memlilih kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan Arus stabil, tapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas Pengemudi mempunyai kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan Arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan Pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan V/C Ratio masih dapat diterima Volume lalulintas mendekati/ berada pada kapasitas Arus tidak stabil, kecepatan kadang terhenti Arus yang dipaksakan atau macet, kecepatan rendah, volume diatas kapasitas, antrian panjang dan terjadi hambatan yang besar
0,00 – 0,20
0,20 – 0,44
0,44 – 0,74
0,74 – 0,84
0,84 – 1,00
>1,00
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
2.10. Pertumbuhan Lalu Lintas Untuk memperoleh nilai LHRT berdasarkan umur rencana yang ada maka digunakan rumus: Gambar 2.3. Kecepatan sebagai Fungsi DS 8
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
LHRn = LHR0 x (1+i)n dimana: LHRn = Lalu lintas harian pada awal tahun ke-n LHR0 = Lalu lintas harian pada awal tahun rencana i = Faktor pertumbuhan (%) n = Umur rencana 3.
METODOLOGI
Metode yang gunakan adalah survei deskriptif (deskriptive survey methode) berupa pengumpulan data yang terdiri dari survei lalu lintas dan hambatan samping serta Metode statistik pendukung analisa. 3.1. Survei Lalu Lintas Tujuan dari survei lalu lintas adalah untuk mengetahui berapa besar Lalu lintas harian (LHR) dari masing-masing jenis kendaraan yang melewati ruas jalan Sukahati – Kabupaten Bogor. Pada perkerjaan ini survei dilakukan selama 3 (tiga) hari selama 18 jam yang dibagi dalam 2 (tiga) shift survei, masing-masing shift 9 (sembilan) jam. Pembagian shift tersebut sebagai berikut: 1) Shift Kesatu : Pkl. 06.00 – 15.00 2) Shift Kedua : Pkl. 15.00 – 24.00 Jenis kendaraan yang diamati terdiri dari 3 (tiga) kelompok kendaraan yaitu kendaraan pribadi, kendaraan umum, dan kendaraan angkutan barang. Adapun golongan dan jenis kendaraan disajikan pada Tabel 3.1.
Bina Program Jalan, Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia dan pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). 3.2. Survei Hambatan Samping Survei hambatan samping dilakukan dengan cara menghitung langsung setiap tipe kejadian per jam per 200 meter pada lajur jalan yang diamati pada jam puncak pagi pukul 07.0008.00. Tipe kejadian digolongkan menjadi sebagai berikut : a. Jumlah pejalan kaki berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan. b. Jumlah kendaraan berhenti atau parkir. c. Jumlah kendaraan bermotor yang masuk dan keluar dari lahan samping jalan. Arus kendaraan yang bergerak lambat, yaitu arus total (kend/jam) dari sepeda, becak, pedati, traktor dan sebagainya. Hambatan samping yang terutama berpengaruh terhadap kapasitas dan kinerja jalan, sedangkan untuk kriteria hambatan samping dibagi menjadi 4 bobot yaitu: Tabel 3.2 Bobot Kriteria Hambatan Samping Kriteria Hambatan Samping Pejalan kaki Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti Kendaraan lambat (misal becak, kereta kuda) Kendaraan keluar masuk dari lahan di samping jalan
Bobot 0.5 1.0 0.4 0.7
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
3.3. Metode Statistik Pendukung Analisis 3.3.1. Analisis Regresi Linier
Tabel 3.1. Golongan dan Jenis Kendaraan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Golongan Kendaraan 1 2 3 4 5A 5B 6A 6B 7A 7B 7C 8
Jenis Kendaraan Sepeda motor Mobil Pribadi Mobil Penumpang Mobil Hantaran Bus Kecil Bus Besar Truck 2 Sumbu Kecil Truck 2 Sumbu Besar Truck 3 Sumbu Truck Gandeng Truck Semi Trailer Kendaraan tidak bermotor
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), 1997
Pelaksanaan survei dilakukan dengan mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu Lintas dengan cara Manual Pd T-192004-B. Formula perhitungan nilai LHR yang digunakan mengikuti Petunjuk Teknis Perancangan dan Penyusunan Jalan – Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat
Pemodelan volume lalu lintas yang umum digunakan untuk menentukan karakteristik kecepatan dan kerapatan adalah regresi linier. y = Ax + B Besarnya konstanta A dan B dapat dicari dengan persamaan-persamaan di bawah ini : B
A
x
2
. y x . xy
n.x x 2
2
n . xy x . y 2 n.x 2 x
Dimana : A= konstanta regresi B= konstanta regresi x= variabel bebas y= variabel tidak bebas n= jumlah sampel
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
9
3.3.2.
Analisis Korelasi
4.1.3. Data Volume Lalu Lintas
Analisis korelasi digunakan untuk menentukan kuatnya hubungan antara peubah bebas dan tidak bebas yang dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi r. Nilai koefisien korelasi bervariasi antara -1 sampai +1 (-1< r <+1). Apabila nilai koefisien sama dengan 0 (nol), maka dikatakan tidak terdapat korelasi antara peubah bebas dan peubah tidak bebas, sedangkan apabila nilai koefisien korelasi sama dengan 1 (satu) dikatakan mempunyai hubungan yang sempurna, nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
r
n . xy x . y n.x 2 x2 .n.y 2 xy 2
Sebagai koefisien penentu digunakan koefisien determinasi (r2) yang dihitung dengan mengkuadratkan nilai koefisien korelasi. Koefisien korelasi r ini perlu memenuhi syarat-syarat: a. Koefisien korelasi harus besar apabila kadar hubungan tinggi atau kuat b. Koofisien korelasi harus kecil apabila kadar hubungan itu kecil atau lemah.
Tabel 4.3. LHR Jalan Sukahati Sebelum Pelebaran No.
Jenis Kendaraan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sepeda Motor Mobil Pribadi Mobil Penumpang Mobil Hantaran Bus Kecil Bus Besar Truk 2 Sumbu (L) Truk 2 Sumbu (H) Truk 3 Sumbu Truk Gandeng Semi Trailer Kendaraan Tidak Bermotor TOTAL
ANALISA DATA
4.1.
Data Hasil Penelitian
Tabel. 4.4. Volume Lalu Lintas Harian Tahun 2014 Jenis Kendaraan Sepeda Motor Mobil Pribadi Mobil Penumpang Mobil Hantaran Bus Kecil Bus Besar Truk 2 Sumbu (L) Truk 2 Sumbu (H) Truk 3 Sumbu Truk Gandeng Semi Trailer Kendaraan Tidak Bermotor TOTAL
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
4.1.2. Data Geometrik Tabel 4.2. Data Geometrik Jalan Tipe Jalan Kelas Jalan Lebar Jalur (m) Lebar Lajur (m) Jumlah Lajur
Sumber: Hasil Survei, 2014
0.25 1.00 1.00 1.00 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 0.00
67382
smp/ hari 8805 4750 3368 12324 397 421 5303 6425 1519 0 0 0
smp/ jam 489 264 187 685 22 23 295 357 84 0 0 0
43311
2406
4.1.4.
Data Hambatan Samping Tabel 4.5. Volume Hambatan Samping PED 64
PSV 28
EEV 52
SMV 38
Tabel 4.6. Penentuan Frekuensi Kejadian Hambatan Samping
Keterangan Jalan Sekunder/Jalan Perkotaan Kolektor Primer III A Jalan Kabupaten Datar (D) 2/2 UD
Sebelum Pelebaran 2/2UD Kolektor Primer 7 3,5 2
emp
Sumber: Hasil Survei, 2014
Tabel 4.1. Data Ruas Jalan Data Sistem / Jaringan 1. Jalan 2. Fungsi Jalan 3. Kelas Jalan 4. Status Jalan 5. Medan Jalan 6. Tipe Jalan Sumber: Hasil Analisis, 2015
Volume Kendaraan 35219 4750 3368 12324 331 350 4419 5354 1265 0 0 22
Sumber: Hasil Survei dan Analisis, 2014
4.1.1. Data Teknis Jalan No.
smp/jam Tahun Tahun 2007 2010 402 452 217 244 154 173 563 633 18 20 19 22 242 272 293 330 69 78 0 0 0 0 0 0 1978 2225
Sumber: Dinas Bina Marga Kabupaten Bogor, 2014
Waktu 07.00 – 08.00
4.
LHR (kend./jam) Tahun Tahun 2007 2010 1608 1809 217 244 154 173 563 633 15 17 16 18 202 227 244 275 58 65 0 0 0 0 52 112 3077 3461
Setelah Pelebaran 2/2UD Kolektor Primer 11 5,5 2
Type Kejadian Hambatan Samping Pejalan Kaki/PED Parkir Kendaraan Berhenti/PSV Kendaraan Masuk+Keluar/EEV Kendaraan Lambat /SMV
Faktor Bobot 0,5 1,0 0.7 0,4
Frekuensi Kejadian 64 28 52 38
Frekuensi Bobot 32 28 36,4 15,2 111,6
Sumber: Hasil Analisis, 2015
4.2.
Perhitungan
4.2.1.
Kinerja Jalan
A. Kinerja Jalan Sebelum Pelebaran 1) Kapasitas (C) • C0 = 2900 (Tabel 2.9) • FCW = 1,00 (Tabel 2.10) • FCSP = 1,00 (Tabel 2.11) • FCSF = 0,90 (Tabel 2.12) • FCCS = 1,04 (Tabel 2.13) Sehingga: C = C0x FCW x FCSP x FCSF x FCCs C = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 2.714,4 smp/jam
10
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
2) Derajat Kejenuhan (DS) Q DS n C dengan : Q2007 = Arus lalu lintas = 1.978 smp/jam Q2010 = Arus lalu lintas = 2.225 smp/jam C = Kapasitas = 2.714,4 smp/jam Sehingga: Q 1978 0,73 C 2.714,4 Q 2225 DS 2010 0,78 C 2.714,4 DS 2007
3) Kecepatan Arus Bebas (FV) FV = (FV0 + FVW) . FFVSF . FFVCS dengan : • FV0 = 44 (Tabel 2.14) • FVW = 0 (Tabel 2.15) • FFVSF = 0,93 (Tabel 2.16) • FFVCS = 1,03 (Tabel 2.17) Sehingga: FV = (FV0 + FVW) . FFVSF . FFVCS FV = (44 + 0) . 0,93. 1,03 = 42,12 km/jam 4) Kecepatan Tempuh Berdasarkan Gambar 2.4 Grafik Kecepatan sebagai fungsi DS pada tahun 2007, dengan nilai derajat kejenuham (DS)=0,73 dan kecepatan arus bebas (FV)= 42,12 di dapat nilai kecepatan tempuh kendaraan ringan tahun 2007 dari Grafik adalah 56 km/jam, sedangkan derajat kejenuhan (DS)=0,82 dan (FV)=42,12 didapat kecepatan kendaraan 58 km/jam (Gambar 4.1 Kecepatan Tempuh Tahun Sebelum Pelebaran).
Gambar 4.1. Grafik Kecepatan Tempuh Tahun 2007 dan 2010
B. Kinerja Jalan Setelah Pelebaran 1) Kapasitas (C) • C0 = 2900 (Tabel 2.09) • FCW = 1,34 (Tabel 2.10) • FCSP = 1,00 (Tabel 2.11) • FCSF = 0,90 (Tabel 2.12) • FCCS = 1,04 (Tabel 2.13) Sehingga: C = C0x FCW x FCSP x FCSF x FCCs C = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 3.637,30 smp/jam 2) Derajat Kejenuhan (DS) DS
Q C
dengan : Q = Arus lalu lintas = 2.406 smp/jam C = Kapasitas = 3.637,30 smp/jam sehingga: DS2014
Q 2.406 0,66 C 3.637,30
3) Kecepatan Arus Bebas (FV) FV = (FV0 + FVW) . FFVSF . FFVCS dengan : • FV0 = 44 (Tabel 2.14) • FVW = 7 (Tabel 2.15) • FFVSF = 0,93 (Tabel 2.16). • FFVCS = 1,03 (Tabel 2.17). sehingga: FV = (FV0 + FVW) . FFVSF . FFVCS FV = (44 + 7) . 0,93. 1,03 FV = 48,85 km/jam 4) Kecepatan Tempuh Berdasarkan Gambar 2.4. Grafik Kecepatan sebagai fungsi DS, dengan Nilai DS=0,66 dan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (LV)=48,85 km/jam, sehingga di dapat nilai Kecepatan Tempuh dari Grafik adalah 62 km/jam.
Gambar 4.2. Grafik Kecepatan Tempuh Tahun 2007 dan 2010
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
11
Perbandingan kinerja jalan sebelum dan sesudah pelebaran dapat dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut:
kendaraan dikendalikan dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Tabel 4.7. Perbandingan Tingkat Pelayanan
Tabel 4.6. Perbandingan Kinerja Jalan Kinerja Jalan - Kapasitas (C) (smp/jam) - Derajat Kejenuhan (DS) - Kecepatan Arus Bebas (FV) (km/jam) - Kecepatan Tempuh (km/jam)
Sebelum Pelebaran 2007 2010 2.714,4 2.714,4 0,73 0,82
Setelah Pelebaran 2014 3.637,30 0,66
42,12
42,12
48,85
58
56
62
Sebelum Pelebaran - Tahun 2007 1.978 - Tahun 2010 2.225 Setelah Pelebaran - Tahun 2014 2.406 Sumber: Hasil Analisis, 2015
4.2.3
Kapasitas (C) smp/jam
DS (V/C)
LOS
2.714,40 2.714,40
0,73 0,78
C D
3.637, 30
0,66
C
Pertumbuhan Lalu Lintas
Dengan menjadikan LHR Tahun 2014 sebagai awal umur rencana, maka LHR pada tahun 2034 (Akhir Umur Rencana) sebagai berikut:
Sumber: Hasil Analisis, 2015
4.2.2.
Volume (V) smp/jam
Kondisi Jalan
Tingkat Pelayanan
A. Sebelum Pelebaran Jalan
LHRn = LHR0 x (1+i)n
V LOS C
dengan: V2007 = Volume Lalu lintas (VLHR) 2007 = 1.978 smp/jam V2010 = Volume Lalu lintas (VLHR) 2010 = 2.225 smp/jam C = Kapasitas = 2.714,4 smp/jam Sehingga: 1978 0,73 2.714,4 2225 LOS2010 0,78 2.714,4 LOS2007
Berdasarkan Tabel 2.18, dengan nilai LOS sebesar 0,73, maka tingkat pelayanan Jalan Sukahati sebelum pelebaran tahun 2007 adalah “C” dengan arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Sedangkan pada tahun 2010, di dapat nilai LOS sebesar 0,82, sehingga tingkat pelayanan Jalan Raya Sukahati pada tahun 2010 adalah “D” dengan arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan dan V/C ratio masih diterima.
dimana : LHRn = Lalu lintas harian rata-rata = Tahun ke-n i = Tingkat Pertumbuhan Lalu lintas (4%) n = Umur rencana (20 tahun) LHR0 = lalu lintas harian rata – rata awal umur rencana - Sepeda Motor(MC) = 1.957 kendaraan/jam = 1.957 x (1 + 0,04)20 = 4287 kendaraan/jam - Mobil Pribadi/Penumpang/ Hantaran (LV) = 1.136 kendaraan/jam = 1.136 x ( 1 + 0,04 )20 = 2.488 kendaraan/jam - Bus Keci/Besar/ Truk Kecil (HV) = 651 kendaraan/jam = 651 x ( 1 + 0,04 )20 = 1.472 kendaraan/jam LHR Tahun 2034 = 8.202 kendaraan/jam Tabel 4.8. Volume LHR Jalan Sukahati Tahun 2034 Jenis Kendaraan MC LV HV Jumlah
Jumlah (kend./jam) 4287 2.488 1.472 8.202
emp 0,25 1,00 1,20
Volume LHR (smp/jam) 1.072 2.488 1.766 5.273
Sumber: Hasil Analisis, 2015
B. Setelah Pelebaran Jalan LOS2014
Tabel 4.9. Pertumbuhan Volume LHR Jalan Sukahati
V C
dengan: V = Volume Lalu lintas = 2.406 smp/jam C = Kapasitas = 3.637,30 smp/jam LOS
2.406 0,66 3.637, 30
Berdasarkan Tabel 2.18, dengan nilai LOS = 0,66, maka tingkat pelayanan ruas Jalan Sukahati setelah pelebaran adalah “C” dengan arus stabil tapi kecepatan dan gerak 12
No. 1 2 3 4 5
Tahun ke-n 0 5 10 15 20
Tahun 2014 2019 2024 2029 2034
Volume LHR 2.406 2.928 3.562 4.334 5.273
Sumber: Hasil Analisis, 2015
4.2.4. Perencanaan Lebar dan Jumlah Lajur A. Lebar Lajur
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota, September, 1997, untuk jalan kolektor, serta memiliki VLHR 10.000–25.000 smp/hari maka lebar jalur lalu lintas adalah 7 m, dengan lebar lajur 2 x 3,5 m (Tabel 2.7). Sehingga lebar lajur (lane) ideal sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 34 Tahun 2006 untuk jalan kolektor kelas IIIA adalah 3 meter. B. Jumlah Lajur Penentuan lebar lajur didasarkan pada kebutuhan untuk mengatasi derajat kejenuhan yang terjadi. Dari hasil analisa, arus kendaraan (Q) yang melewati ruas jalan ini pada tahun 2010 adalah sebesar 2225 smp/jam, dengan lebar jalan 7 meter didapat derajat kejenuhan (DS) sebesar 0,78 lebih dari 75 %, sehingga memerlukan penambahan lebar lajur. Berikut ini perhitungan derajat kejenuhan untuk rencana pelebaran, dicoba dengan menggunakan 2 lajur 2 arah tanpa median (2/2 UD) dengan lebar lajur 2x5,5m. C0 = 2900 smp/jam (Tabel 2.09) FCW = 1,34 (Tabel 2.10) FCSP = 1,00 (Tabel 2.11) FCSF = 0,90 (Tabel 2.12) FCCS = 1,04 (Tabel 2.13) maka : C = C0x FCW x FCSP x FCSF x FCCs C = 2900 x 1,34 x 1,00 x 0,90 x 1,04 C = 3.637,30 smp/jam DS
Q 2225 0,61 C 3.637,30
DS < 75% (memenuhi syarat) C. Lebar Jalur Lebar jalur ditentukan oleh jumlah lalu lintas dan fungsi jalan untuk keamanan dan kenyamanan pemakai jalan. Dalam hal ini berpedoman pada Table 2.7 tentang Penentuan Lebar jalur dan Bahu Jalan, sehingga digunakan lebar jalur 11 meter. D. Bahu Jalan Bahu jalan (shoulder) adalah suatu struktur yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk melindungi perkerasan, mengamankan kebebasan samping dan penyediaan ruang untuk tempat berhenti sementara dan parkir. Lebar bahu jalan menurut Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota, September, 1997 (Tabel 2.7), untuk jalan kolektor primer, serta memiliki VLHR 10.00025.000 smp/hari minimum adalah 2,0 m. 4.2.5. Lebar Jalur, Lajur dan Jumlah Lajur Akhir Tahun Rencana Dengan menjadikan Volume LHR tahun 2014 sebagai awal tahun rencana, diperoleh VLHR pada akhir rencana tahun ke-20 pada tahun 2034 adalah sebesar 5.273 smp/jam (Tabel 4.14). Tipe jalan yang digunakan pada tahun 2014 adalah 2/2UD dengan kapasitas (C)= 3.637,30 smp/jam, sehingga didapat nilai DS tahun 2034 sebagai berikut: DS
Q 5.273 1,46 C 3.637,30
Tingkat pelayanan dengan V/C=3,18 berada ada tingkat pelayanan “F” dengan karakteristik arus lalu-lintas: macet dan antrian panjang (volume kendaraan melebihi kapasitas dan aliran telah mengalami kemacetan). Derajat kejenuhan (DS) pada tahun 2034>75% sehingga tidak memenuhi syarat menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 dan jalan harus dilebarkan. Dicoba dengan menggunakan tipe jalan Enam Lajur Tak Terbagi (6/2 UD) dengan lebar lajur 4 meter, didapat: C0 FCW FCSP FCSF FCCS
= 1650 smp/jam (Tabel 2.09) = 1,09 (Tabel 2.10) = 1,00 (Tabel 2.11) = 0,94 (Tabel 2.12) = 1,04 (Tabel 2.13)
maka : C = C0x FCW x FCSP x FCSF x FCCs C = 1650 x 1,09 x 1,00 x 0,94 x 1,04 C = 1.758,21 smp/jam → perlajur C = 1. 758,21 x 6 = 10.549,28 smp/jam DS
Q 5.273 0,5 C 10.549,28
Pelebaran jalan dengan menggunakan tipe jalan 6/2UD didapat nilai derajat kejenuhan (DS)=0,5 dan memenuhi syarat karena DS<0,7, sedangkan untuk Level of Service (LOS)/tingkat pelayanan adalah C dengan karakteristik lalu-lintas Arus stabil tapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
13
dan pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan. Dengan lebar tiap lajur 4 meter, didapat lebar jalur lalu lintas sebesar 24 meter dengan untuk tahun 2034. 4.2.6. Analisa Korelasi Hubungan Analisis pengaruh pelebaran ruas jalan terhadap tingkat pelayanan jalan adalah sebagai berikut:
adalah positif dan kuat). Dengan demikian jika lebar jalan di tingkatkan maka V/C ratio akan menurun.
Kd = r2 . 100% dimana: Kd = Koefisien diterminasi, yaitu presentrasi pengaruh pelebaran jalan terhadap V/C ratio. R = Nilai koefisien korelasi (Batas d adalah 0 ≤ d ≥1) sehingga: Kd = 0,832 . 100% = 69 %
Tabel 4.10. Analisa Regresi Lebar Jalan 7.00 7.00 11.00
Tahun 2007 2010 2014 ∑
DS
x
y
xy
x2
y2
0.73 0.82 0.66
7.00 7.00 11.00 25.00
0.73 0.82 0.66 2.21
5.11 5.74 7.26 18.11
49 49 121 219
0.53 0.67 0.44 1.64
Sumber: Hasil Analisis, 2015
r
n . xy x . y n.x x2 .n.y 2 y 2 3.18,11 25 . 2,21 3.219 252 .3.1,64 2,212 2
r
5.
r 0,83
B. Persamaan Regresi y = ax + b
n . xy x . y 2 n.x 2 x y b. x a
b
n
dimana : a = konstanta regresi b = konstanta regresi x = variabel bebas y = variabel tidak bebas n = jumlah variabel
n . xy x . y 2 n.x 2 x
3.18,11 25 . 2,21 3.219 25 2
0,03
2,21 0,03.25 0,98 n 3 Persamaan Regresinya: y = -0,03 x + (0,98) x=7 → y = 0,78 x = 11 → y = 10,71
a
y b. x
Dengan menggunakan software Microsoft Excel diperoleh nilai Nilai r yang di dapat sebesar 0,83. artinya korelasinya positif (menyatakan arah hubungan antara x dan y 14
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
A. Analisis Koefisien determinasi r 2 0,69
b
Berdasarkan perhitungan diatas, didapat nilai Kd sebesar 27 %, ini berarti bahwa besarnya pengaruh pelebaran jalan terhadap V/C ratio sebesar 69% dan sisanya sebesar 31% dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor jalan (kebebasan lateral, bahu jalan, keberadaan median, permukaan jalan, alinemen, kelandaian jalan, keberadaan trotoar, dll) dan faktor lalu lintas.
1) Kinerja jalan berdasarkan analisa dan hasil perhitungan sebelum dan sesudah pelebaran ruas jalan diperoleh sebagai berikut: a. Kapasitas (C) setelah pelebaran ruas jalan mengalami peningkatan. b. Derajat Kejenuhan (DS) setelah pelebaran ruas jalan mengalami penurunan. c. Kecepatan arus bebas (FV) setelah pelebaran ruas jalan mengalami peningkatan. d. Kecepatan tempuh (VT) setelah pelebaran ruas jalan meningkat. 2) V/C Ratio Jalan Raya Sukahati sebelum pelebaran jalan tahun 2007 sebesar 0,73, berdasarkan karakteristik tingkat pelayanan, masuk dalam katagori ”C dan pada tahun 2010 dalam katagori “D”. Sedangkan V/C ratio setelah pelebaran tahun 2014 tingkat pelayanannya dalam katagori ”C”. 3) Analisa regresi didapat nilai r= 0,83 yang artinya korelasinya positif (menyatakan arah hubungan antara x dan y adalah positif dan kuat). Dengan demikian jika lebar jalan di tingkatkan maka V/C ratio akan menurun.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (1-15)
4) Berdasarkan LHR dan kondisi eksisting jalan tahun 2010, didapat nilai derajat kejenuhan 0,82. Pelebaran jalur lalu lintas harus dilakukan karena DS tahun 2010 > 0,75. Hasil analisa, dengan menggunakan lebar jalur lalu lintas dengan lebar 11 meter dengan menggunakan tipe jalan 1 jalur-2 lajur-2 arah tidak terbagi (2/2UD) didapat nilai derajat kejenuhan 0,66. Pertumbuhan lalu lintas pada akhir tahun rencana tahun 2034 adalah 8.202 kendaraan/jam dan VLHR sebesar 5.273 smp/jam. Dengan VLHR pada tahun 2034, dapat digunakan tipe jalan 6/2 UD dengan lebar lajur 4 meter, sehingga lebar jalur lalu lintas 24 meter. 5.2. Saran 1) Diperlukan penelitian lanjutan pengaruh pelebaran ruas jalan terhadap kinerja jalan dengan variable pengaruh tingkat pelayanan jalan yang lainnya seperti faktor jalan (kebebasan lateral, bahu jalan, keberadaan median, permukaan jalan, alinemen, kelandaian jalan, keberadaan trotoar, dll) dan faktor lalu lintas (komposisi lalu lintas, volume, distribusi lajur, gangguan lalu lintas, keberadaan kendaraan tidak bermotor, gangguan samping, dll.). 2) Dalam analisa karakteristik, kinerja jalan dan tingkat pelayanan jalan harus didukung oleh data-data yang akurat, agar analisis tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terjadi hambatan dalam menganalisis. DAFTAR PUSTAKA
1]. BPS Kabupaten Bogor, 2012, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2012, Badan Pusat Statistik, Bogor 2]. Departemen Pekerjaan Umum, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) No.036/T/BM/1997, Jakarta
3]. Departemen Pekerjaan Umum, 2007, Survey Lalu Lintas, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik, Jakarta 4]. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004, Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan dan Kawasan Perkotaan, 2004 5]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan 6]. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Jalan 7]. Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta 8]. Standar Nasional Indonesia, 2004, Geometri Jalan Perkotaan, RSNI T-142004, Dewan Standar Nasional-DSN, Jakarta 9]. Tamin, O.Z. 2003, Perencanaan Dan Pemodelan Transportasi, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung 10]. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan
PENULIS :
1. Ir. Arif Mudianto, MT. Pengajar Mata Kuliah Perencanaan Geometrik dan Perencanaan Perkerasan Jalan Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan – Bogor 2. Ir. Budi Arief, MT. Pengajar Mata Kuliah Transportasi Dasar dan Manajemen Transportasi Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan – Bogor 3. Muhammad Taofiq, ST. Alumni Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan – Bogor
Analisa Pengaruh Pelebaran Jalan Raya Terhadap Tingkat ...................(Arif Mudianto, Budi Arief, & M. Taofiq)
15
KARAKTERISASI PHISIK AIRTANAH DAN IDENTIFIKASI PEMUNCULAN MATAAIR PADA AKUIFER ENDAPAN GUNUNG API (Studi Kasus : Endapan Gunungapi Tangkubanperahu di Cekungan Bandung) Oleh:
Bambang Sunarwan
Abstrak Gunung Tangkubanperahu (2.064 m.apl) merupakan gunung api strato, berada di wilayah Bandung Jawa Barat, menjadi puncak batas utara cekungan Bandung. Memiliki zonasi kemunculan mata air ke arah selatan dan menempati kaki G.Tangkubanperahu, jumlah total kurang lebih 142 mata air dengan kisaran debit 1 l/s hingga 15 l/s. Kemunculan mataair memiliki tipe umum rekahan pada batuan lahar dan lava, serta tipe depresi untuk kemunculan mata air pada tanah pelapukan . Kajian ini dimaksudkan menjadi informasi pokok untuk tujuan mengidentifikasi model hidrogeologi yang terdiri dari sistem akifer endapan gunung api dan pola aliran air di dalam tanah.
Kata-kata kunci : akuifer, volkanik,
PHISICAL GROUNDWATER CHARACTERITATION AND IDENTIFICATION SPRINGS AT THE VOLCANIC DEPOSITS. (Subject: Volcanic deposit of Tangkubanperahu at the Bandung - Soreang) by BAMBANG SUNARWAN
Abstract Tangkubanperahu mountain ( 2064 masl ) is a strato volcano located in Bandung, is the peak of the northern boundary of the basin of Bandung . Has the appearance of springs zoning to the south and occupy G.Tangkubanperahu feet with a total of approximately 142 springs with discharge range 1 l/s . up to 15 l/sec. Occurrences springs have a common type of fracture in the lava rock and lava and types of depression on the ground for the emergence of springs and weathering 1.
PENDAHULUAN
Diketahui secara hidrogeologi daerah yang dibentuk oleh hasil erupsi gunungapi dan lapukannya memiliki kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan air, khususnya bagi penduduk yang yang kian meningkat mendiami kaki gunungapi seperti halnya kota–kota besar di Indonesia: 16
Bandung, Bogor - Jakarta, termasuk Medan, Semarang, dan Surabaya. Secara geografi posisi daerah kajian berada pada (107° 21‘ 55.07" – 107° 57' 07.21”) BT dan (6°48' 29.70" – 7° 17' 47.28”) LS., merupakan batas kawasan CAT. Bandung– Soreang, sesuai “KEPPRES R.I. Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Airtanah.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
Posisi dan hubungan antara daerah imbuhan (recharge area) dengan daerah luahan (discharge area), perilaku aliran airtanah serta ketebalan maupun sebaran akifer sangat menentukan aktivitas ekplorasi ataupun deliniasi kawasan konservasi airtanah. 2. ENDAPAN
VOLKANIK PENYUSUN AKUIFER.
SEBAGAI
Endapan volkanik hasil erupsi gunungapi, dapat dikelompokkan menjadi beberapa fasies, yaitu gabungan/kelompok tipikal batuan yang umum muncul pada jarak tertentu dari puncak gunung api, termasuk G. Tangkubanperahu. Diantara beberapa model yang pernah ada, dikenal Model Fasies Gunung api Strato Fuego oleh Cas dan Wright (1987), dari G.Fuego di Guatemala. Berdasar model tersebut, endapan gunung api hasil erupsi Gnung Tangkubanperahu terdiri dari tiga fasies (Tabel 1) 1) Fasies Inti Gunung api (Volcanic core) terletak pada elevasi 3050 - 3172 m.dpl, terdiri dari andesit. Fasies ini bersifat impermeabel, tidak memiliki mata air. 2) Fasies Proksimal Gunung Api (Volcanic Proximal Fasies) terdistribusi pada elevasi (500-2076) m.dpl, dan terdiri dari: 2a) Proksimal 1 di elevasi (1250 – 2076) m.dpl tersusun oleh aliran dan jatuhan piroklastik impermeable, serta fragmen andesit, matriks tuf. 2b) Proksimal 2 di elevasi (650 – 1250) m.dpl tersusun oleh lava andesit yang umumnya
mengandung rekahan. Pada fasies ini terdapat zona mata air 1 terdiri dari (78 + 45 + 19) = 142 mata air dengan total debit 178 l/det. 2c) Fasies Distal (Volcanic Distal Facies) terletak pada elevasi (100 – 650) m.dpl; terdiri atas lahar permeabel, fragmen andesit tertanam di dalam matriks tuf atau pasir vulkanik. Batuan memperlihatkan rekahan dengan dimensi dan geometri tidak teridentifikasi. Pada fasies ini terletak zona mataair 2 terdiri dari 53 mata air dengan total debit 700 l/det. Kemunculan mata air dikontrol oleh kondisi geologi setempat, diantaranya kelerengan morfologi, kemiringan lapisan, jenis batuan, erosi permukaan, rekahan/fracture dan patahan 2.1. Hubungan Kelurusan Morfologi dan Kemunculan Mataair Dalam analisis kelurusan morfologi gunungapi, dan kemunculan mata air dimanfaatkan tiga seri data, yakni pola kelurusan, ditarik dari citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), peta topografi skala 1:50.000, peta lokasi mata air, dan debit mata air. Target yang ingin diperoleh adalah distribusi, panjang kelurusan dan jarak tegak lurus antara titik lokasi mata air dengan kelurusan terdekat. Untuk memudahkan analisis digunakan piranti lunak GIS Arc View version 3.3 dengan modul Linstat.
Gambar 1. Pola Kelurusan Teridentifikasi di CAT.Bandung-Soreang Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer………….(Bambang Sunarwan)
17
air mengecil sejalan dengan jarak semakin jauh dari kelurusan (Gambar 4). Akan tetapi terdapat mata air dengan debit (10 – 20) l/d yang muncul pada jarak (500 – 1000) m dari kelurusan.
Gambar 2. Diagram Roset Orientasi Kelurusan vs Jumlahnya. (Garis tebal/hitam menandai kisaran frekuensi kelurusan pada batuan gunung api). Tabel 1. Klasifikasi Kelompok Kemunculan Mataair Vs Debit mataair Debit Jenis (liter/detik) Depresi Kontak Fracture Jumlah < 2 33 12 17 62 1–5 23 5 12 40 5 – 10 11 12 4 27 > 10 10 1 16 27 Jumlah 70 30 49 156
Dua perhitungan tersebut kemudian dikorelasikan dengan data yang berkait dengan mata air. Metoda ini pernah dilakukan oleh Galanos dan Rokos (2006) dan Walsh (2008). Ada lebih dari 209 kelurusan telah ditarik dan terdigitasi pada citra sebagaimana diperlihatkan pada Kelurusan memiliki orientasi umum NW – SE atau dalam kisaran N1250E s/d N 1300E, sebagaimana diagram roset (Gambar 2)), kelurusan memiliki pola radial , sebagian besar mata air berada pada jarak 400 m dari kelurusan). Dari gambar dapat diketahui bahwa kelurusan pada batuan lava umumnya berkorelasi dengan kemunculan mata air di dekatnya, yaitu pada jarak mendekati 0 m dan (400 – 800) m. Selanjutnya kelurusan pada lahar memiliki jarak terdekat dengan mata air berkisar antara 2 m hingga 2800 m, serta kelurusan pada piroklastik berjarak 200 m hingga 1000 m dari lokasi kemunculan mata air. Keberadaan aliran airanah dan pemunculan mata air secara umum diketahui berasosiasi dengan litologi penyusun akifer, dan sesuai hasil identifikasi di lapangan diketahui terdiri atas batuan piroklastik, lahar dan lava. Tinjauan terhadap hubungan antara debit mata air terhadap jarak dan kelurusan, diketahui bahwa, populasi mata air paling tinggi diperoleh pada jarak (0 – 2000) m dengan debit berkisar antara 1 hingga 2 l/d, sebagaimana pada (Gambar 3). Jumlah mata 18
Gambar 3. Histogram Jarak Mataair Terhadap Kelurusan Terdekat
Gambar 4. Plot antara debit mata air (Q dalam l/d) dengan jarak lokasi mataair terhadap kelurusan (dalam m).
Zona rekahan pada umumnya mengendalikan debit mata air, dan diketahui ada dua jenis asal pembentukan rekahan, yakni: pada aliran lava dan rekahan pada lahar, memiliki komposisi andesit dan basalt. 2.2. Hubungan Laju Infiltrasi dan Ketebalan Tanah Pelapukan Intensitas proses pelapukan di daerah penelitian sangat tinggi, dicirikan oleh tanah pelapukan dengan kisaran ketebalan antara 0.5 m sampai10 m. Lapisan setebal itu memiliki potensi menyimpan dan selanjutnya meresapkan air hujan ke dalam akifer batuan padu. Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993), uji infiltrasi dapat dilakukan untuk menghitung laju infiltrasi akhir tanah pelapukan. Nilai akhir tanah pelapukan dari lahar menunjukkan kisaran (1,26 – 2,53) cm/menit, dilanjutkan oleh piroklastik sebesar 1,5 cm/menit, dan aliran lava dengan nilai (0,5 – 1,2) cm/menit (Gambar.6). Nilai laju infiltrasi akhir tersebut, menurut Linsley, dkk (1971) merupakan indikasi bahwa tanah pelapukan memiliki kapasitas cukup besar terhadap peresapan. (Gambar 7) merupakan
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
nilai infiltrasi dari tuf pasir dari F. Cikidang (Qvu), tuf berbatu apung dari F.Cibereum (Qyd) dan breksi gunung api dari Formasi
Cikapundung (Qyt) menunjukkan kisaran (I) sesuai (Tabel 3).
Tabel 2. Kondisi Hidrogeologi Lereng Gunung Tangkubanperahu Volcanic facies
Description Symbol Lithology Volcanic neck, consists of andesites to dacite
Volcanic core (2076) m.aplestimated 2076) m.apl)
Proximal facies (650 – 2076 m.asl)
Slope Zone -
0o 10o 20o 30o 45o
Pyroclastic fall and pyroclastic flow. Consists of andesite boulder dan tuff matrices
Proximal 1 facies (1250 – 2076 m.asl)
Spring Number 0
-
0
0
1
22
98 (class 1-3)*
30
70 (class 1 -2)
53
700
Lava flow, consists of andesite to dacite lava
Proximal 2 facies (650 – 1250 masl)
Laharic breccias, consists of andesite to dacite boulder with tuff and volcanic sand and matrices.
Distal facies (100 – 650 m.asl)
Physical and hydraulic properties Q (l/s) 0
2
Impermeable rock with less, data is available
Impermeable rock, high infiltrate on rate of soil 1.5 cm/min, no other data is available
Permeable, secondary permeabi-lity: cooling/sheeting joint with unsyste matic pola, thick residual soil (2-5 m), final infiltrasi rate of 0.5 – 1.2 cm/min
Permeable, secondary permeabi-lity: fractured with isolated pattern, thick residual soil (2-5 m), final infiltration rate of 1.26 – 2.53 cm/min
(class 1-3)*
Source :* According to Meinzer (1944) op.cit Todd, 1984 after Erwin. D, 2007
Tabel 3. Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit) Nomor Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 19 20 21 22 23 24 25 26
Kode Dz.01 Dz.08 Dz.19 Dz.02 Dz.06 Dz.20 Dz.16 Dz.27 Dz.21 Dz.22 Dz.13 Dz.18 Dz.05 Dz.17 Dz.14 Dz.07 Dz 03 Dz 19 Dz 10 Dz 15 Dz 23 Dz 24 Dz 25 Dz 04 Dz 12 Dz 26 Dz 28
Lokasi Mata air Cibogo Cicalung Cipanjak Pamecelan Cinajuang Cihideng Rancakendal Dago-pojok FKIP Cisitu lama Setrasari Cisintok Babakan Kt.Geologi Lbr. Tengah Cikawari Ciburial Ciharalang Tugu Bongkar Cicaheum Psr.Gunting Puncrut Cikurutug Pagerwangi Psr.Munding Baturajak
Batuan penyusun akifer
Satuan Batuan
Elevasi (m.apl)
Tuf Pasir Tuf Pasir– Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Pasir Tuf Berbatuapung Tuf Berbatuapung Tuf Berbatuapung Tuf Berbatuapung Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi Breksi Gunungapi
Qvu Qvu Qvu Qyd Qyd Qyd Qvu Qvu Qvu Qvu Qvu Qvu Qyd Qyd Qyd Qyd Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt Qyt
1250 1250 1035 1250 1125 1075 740 859 875 720 780 910 1138 740 820 1127 925 1035 1115 880 720 1125 1096 875 755 925 1150
Koordinat X 107° 37'.58" 107° 38' .15" 107° 35' .95" 107° 35' 6" 107° 34' .22" 107° 35'.6" 107° 36'.70" 107° 37' 0.6"" 107° 35' .82" 107° 36' .22" 107° 35'.15" 107° 34' .37" 107° 34' .37" 107° 36'.70" 107° 34'.90" 107° 39' .49" 107° 38' 78" 107° 35' .95" 107° 39' .17" 107° 36' .21" 107° 38' .29" 107° 37' .07" 107° 36' .79" 107° 37' .22" 107° 39' 79" 107° 37' .13" 107° 36'.99"
Y 6° 48' 53.028" 6° 49' 51.1428" 6° 50' 34.0044" 6° 48' 34.5996" 6° 49' 28.3152" 6° 50' 4.3296" 6° 54' 21.9672" 6° 52' 18.0768" 6° 51' 59.7168" 6° 53' 8.6712" 6° 53' 0.0276" 6° 51' 15.732" 6° 48' 25.9848" 6° 54' 21.9672" 6° 52' 22.4688" 6° 49' 2.4996" 6° 51' 28.4148" 6° 50' 34.0044" 6° 50' 59.5644" 6° 51' 50.2092" 6° 54' 17.4348" 6° 50' 20.3136" 6° 50' 33.8208" 6° 51' 58.4928" 6° 53' 11.5008" 6° 51' 7.7832" 6° 50' 0.8592"
I (cm/menit) 0.10 0.08 0.19 0.35 0.29 0.12 0.45 0.22 0.21 0.49 0.09 0.13 0..12 0.23 0.49 0.22 0.24 0.42 0.73 0.08 0.31 0.16 0.11 0.09 0.12 0.32 0.14
Sumber : Dadang ZA, 1989
Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer………….(Bambang Sunarwan)
19
2.3. Distribusi dan Geometri Mata Air
Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993) (Grafik laju infiltrasi pada Breksi lava/ Gunungapi, Tuff berbatuapung dan Tufa pasir)
Gambar 5. Plot Interval Laju Infiltrasi Airtanah Pelapukan
Berdasar kemunculan mata air daerah CAT. Bandung-Soreang, pada lereng (utara – selatan) Gn. Tangkubanperahu bagian barat, dilengkapi kajian Sunarwan.B dan Puradimedja.D (1997), berbasis data IWACO-WASECO (1990), ditambah 60 mata air dan sumurgali kajian PPPG (2010), selanjutnya juga dari penelitian dan pengamatan langsung tahun (2011 s/d 2012). Maka dapat dilakukan pemerian terhadap zona kemunculan matair secara spasial, yaitu terdiri dari (3) zona: Zone 3: (500-750) m.apl, = 78 buah Zone 2: (750-900) m.apl, dan = 45 buah Zone 1: (900-1250) m.apl, = 19 buah T o t a l = 142 buah
Berdasar Data Dadang Z.A, (1998) (Grafik memperlihatkan keteraturan antara nilai laju infiltrasi airtanah pelapukan pada jenis batuan tuf pasir (Qvu/F.Cikidang), tuf berbatu apung (Qyd/F.Cibereum) dan breksi lava atau (Qyt/F.Cikapundung).
Gambar 6. Ploting Laju Infiltrasi Air pada Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi.
Rekaman pengukuran yang dilakukan di lapangan mencakup tujuh parameter yakni: koordinat (x, y, z), debit (Q) dalam liter/second, Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids) (TDS) dalam ppm, Daya Hantar Listrik (Electric Conductivity) (DHL) dalam µS/cm, keasaman (pH), suhu mata air (Ta) dan suhu udara (Tu) dalam oC. Seluruh parameter ditampilkan dalam basis data.
Gambar 7. Lokasi Minatan Sumber Air (Matair, sumurgali dan Sumur Pemboran).
20
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
2.4.
Kemunculan mata air vs elevasi
Kemunculan mata air dan aliran airtanah teramati berada mulai elevasi 450 m.dpl hingga 1458 m.dpl, dan sebanyak 142 mata air teridentifikasi, dan diketahui muncul pada elevasi rata-rata 804,2 m.dpl. dalam jumlah kecil dijumpai pada elevasi 450 m.dpl dan paling tinggi pada elevasi 1650 m.dpl yakni kurang lebih ada 10 mataair. (Gambar .9-A). Dari plot kisaran elevasi aliran muka airtanah diketahui muka airtanah pada data pemboran (Gambar 4.9.B), diketahui rata-rata pada elevasi 778, 12 m.dpl, minimim pada elevasi 620,00 m.dpl dan tertinggi pada 1286.00 di daerah Cisarua Lembang.
Gambar 10. Plot Interval Elevasi kemunculan Mata Air Berdasarkan Akifer
Gambar 11. Plot Interval Elevasi kemunculan Mata Air dan Aliran Airtanah Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun Akifer dalam CAT Bandung-oreang
Variable N N* Mean StDev Minimum Maximum ELEVASI 111 0 779,11 100,74 620,00 1269,00
Gambar 8. Plot kisaran elevasi kemunculan mataair pada sistem Akifer
Dari jenis dan peran batuan di tiap satuan batuan di CAT. Bandung-Soreang, diketahui mata air dan aliran airtanah terbanyak dijumpai pada batuan tuf berbatuapung, yakni pada elevasi 1300 m.dpl., kemudian akuifer lava yang secara umum menempati elevasi 700 m.dpl, dan paling sedikit berada pada akifer yang tersusun oleh breksi lahar serta batugamping napal (Gambar 10 A dan 10B). 3. TIPE KEMUNCULAN MATAIR DI CAT. BANDUNG SOREANG
Dari hasil pengamatan, diketahui ada dua tipe kemunculan mata air (mata air depresi dan mataair rekahan) yang umum hadir di CAT. Bandung – Soreang. 3.1
Variable N N* Mean StDev Minimum Maximum ELEVASI 111 0 779,11 100,74 620,00 1269,00
Gambar 9. Plot kisaran elevasi aliran airtanah pada kondisi multi akifer (data pemboran).
2.5. Kemunculan Mataair vs Penyusun Satuan Batuan
Akifer
Kemunculan mataair dijumpai pada setiap batuan yang mampu berperan sebagai akifer dan menjadi penyusun satuan batuan yang ada di CAT. Bandung Soreang.
Mata Air Depresi
Mata air depresi terbentuk karena muka air tanah terpotong oleh topografi. Jenis ini merupakan jenis umum yang muncul di CAT. Bandung – Soreang.. Kemunculannya dikendalikan oleh distribusi dan ketebalan tanah pelapukan. Beberapa contoh sketsa dan foto lokasi mata air depresi disajikan Pada Gambar 11 yaitu : a) Ds. Melatiwangi Ujungberung, b) Cibiru c) Lokasi Ds. Curah Cai dan d) Ds.Mekarsari – Lereng Gn. Manglayang.
Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer………….(Bambang Sunarwan)
21
Mata air Ds. Melati Wangi, Ujung Berung 141400, mata air depresi
?
?
Tampak depan
Tampak samping
(A)
Mata air Kecamatan Cibiru 361395, mata air depresi
?
?
Tampak samping
Tampak?depan
B)
Mata air Ds. Surah Cai 371415, mata air depresi
Tampak depan
Tampak samping (C)
Mata air Ds. Ds. Mekarsari 261417, Lokasi : Lereng timur Gunung Mangalayang . Merupakan : air depresi
Tampak depan
Tampak samping
(D)
Gambar 12. Sketsa dan foto lokasi mata air depresi di a) Ds. Melatiwangi - Ujungberung, b) Cibiru c) Ds. Curah Cai dan d) Ds.Mekarsari – Lereng Gn.Manglayang.
3.2
Mata Air Rekahan
f) Kampung Cimenyan, Kecamatan Cimenjah. Kabupaten Sumedang.
Mata air rekahan muncul dikendalikan oleh sistem dan pola rekahan yang terdapat pada batuan lava. Sebagaimana beberapa contoh mata air rekahan di lokasi kajian ditampaikan pada (Gambar 12), berikut yang terdiri dari:
Debit mata air diukur pada 95 lokasi mata air dengan menggunakan stopwatch dan wadah ukur untuk mata air berdebit lebih kecil dari 5 l/det dan metoda stream channeling untuk mata air dengan debit lebih besar dari 5 l/det.
a) Desa Babakan Betawi, Ujungberung b) Desa Cinunuk, Kec. Cileunyi, c) Desa Nanggerang. Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, d) Desa Nanggerang. Kecamatan Sukasari. Sumedang, e) Desa Cisepur, Calam Kuning, 22
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
Mata air Ds. Babakan Betawi, Ujung Berung 341407 . Mata air rekahan lava, Q= L/d
(A) Tampak samping
Tampak depan
Mata air Ds. Cinunuk, Kec. Cileunyi 361396 . Mata air rekahan lava, Q= L/d
(B) Tampak depan
Tampak samping
Mata air Ds. Nanggerang. Kec. Sukasari. Sumedang 261374 . Mata air rekahan lava, Orientasi rekahan Q= L/d 1m
8m
(C) Tampak depan
Tampak samping ?
?
Mata air Ds. Cikuda , Jatinangor 361378 . Mata air rekahan piroklastik, Q= L/ d
?
? 7,5 m
(D) Tampak depan
Tampak samping
Mata air Ds. Cisepur,Calam Kuning 371412. Mata air rekahan lahar, Orientasi rekahan Q= L/d
Tampak depan
Tampak samping
(E)
Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer………….(Bambang Sunarwan)
23
Mata air Kp. Cimenyan , Kec. Cimenjah 241403 .Mata air rekahan piroklasti Orientasi rekahan, Q= L/d
(F) Tampak depan
Tampak samping
Mata air Kec. Sumedang 161416 . Mata air rekahan piroklastik Orientasi rekahan, Q= L/d
(G) Gambar .13
Sketsa dan foto lokasi mata air rekahan di a) Ds.Babakan Betawi - Ujungberung b) Ds. Cinunuk Kec. Cileunyi, c) Ds. Nanggerang - Kec. Sukasari. Smedang, d) Ds. Nanggerang - Kec. Sukasari. Sumedang, e) Ds.Cisepur,Calam Kuning, f) Kp. Cimenyan - Kec. Cimenjan dan g). Kec. Sumedang
4. DISKUSI/KESIMPULAN
4)
1) Kelerengan, kemiringan lapisan, jenis batuan, erosi permukaan, rekahan dan patahan memiliki pengaruh besar terhadap besar kecilnya debit mataair yang muncul, khususnya di daerah endapan volkanik. 2) Laju infiltrasi pada batuan dan tanah pelapukan di Cekungan airtanah Bandung, juga dipengaruhi oleh 3 tiga kelompok batuan yang menutupi yakni, Satuan Batuan batuan tuf pasir (Qvu/F.Cikidang), tuf berbatu apung (Qyd/F.Cibereum) dan breksi lava atau (Qyt/F.Cikapundung).Tiap satuan , tiap lokasi diperlukan kajian detil pengaruh dan efek yang ditimbulkan khususnya untuk tujuan konservasi airtanah .
5)
6)
7)
8)
9) 10)
PUSTAKA
11)
1) Bemmelen, van, 1934, Erupsi G. Tangkubanperahu dan Geologi Regional daerah Bandung Lembar Bandung, skala 1 : 100.000. 2) Brassington, 2000, Field Hydrogrology, International Association of Hydrogeologist publication 3) Birk, S., Liedl, R., dan Sauter, M. (2004): Identification of Localised Recharge and Conduit Flow by Combined Analysis of Hydraulic and Physico-Chemical Spring Responses (Urenbrunnen, SW-Germany), Journal of Hydrology 286. p. 179-193.
12)
24
13)
Deptamben, 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Deptamben. Dam, M.A.C., 1994, The Late Quaternary Evolution of the Bandung Basin, West Java, Indonesia. Davis, J.C. (1986): Statistics and Data Analysis in Geology, John Wiley & Sons Inc., New York. Distamben Jabar & DTLGKP, 2002, Peta Zonasi Konservasi Air Bawah Tanah Jawa Barat. Domenico, P.A., Schwartz, F.W., 1990, Physical and Chemical Hydrogeology, John Wiley & Son, Inc., New York. Drever, J.I. (1988): The Geochemistry of Natural Waters, Prentice Hall. Freeze, R.A., Cherry, J.A., 1979, Groundwater, Prentice-Hill, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Galanos, I. dan Rokos, D. (2006): A statistical approach in investigating the hydrogeological significance of remotely sensed lineaments in the crystalline mountainous terrain of the island of Naxos, Greece, Hydrogeology Journal (2006) 14. pp 1569–1581. DOI 10.1007/s10040-006-0043-2. Hem, J.D. (1980): Hydrochemistry of Natural Waters, USGS Water Supply Papers. IWACO& WASECO, 1989, Reconaissance of Environmental Aspects Related to Groundwater Resources in West Java, Special Report:
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
14)
15)
16)
17)
18)
19)
20)
21)
22)
23)
24)
West Java provincial Water Sources Master Plan for Water Supply, Directorate General of Human Settlement, Ministry of Public Works. IWACO & WASECO, 1990, West Java Provincial Water Sources Master Plan for Water Supply – Volume A: Groundwater Resources, Project Report of Cooperative Work between The Government of Indonesia and The Government of Netherlands. Irawan, E., Puradimaja, D.J., Yuwono, Y.S., dan Syaifullah, T.A., 2000, Pemetaan Endapan Bahan Volkanik Dalam Upaya Identifikasi Akifer pada Sistem Gunungapi, Studi Kasus Daerah Pasirjambu – Situwangi Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Buletin Geologi, Vol.3, Tahun 2000. Kim, T., Moon, D.C., Park, W.B., Park, K.H., dan Ko, G.W. (2007): Classification of springs of Jeju Island using cluster analysis of annual fluctuations in discharge variables: investigation of the regional groundwater system, Geosciences Journal, v. 11. n. 4, p. 397 – 413. Kovacs, A. dan Perrochet, P. (2008): A Quantitative Approach to Spring Hydrograph Decomposition, Journal of Hydrology. No. 352. pp 16-29. Kusumadinata, K. (ed) (1979): Data Dasar Gunungapi Indonesia, Bandung: Departemen Pertambangan dan Energi. Koesoemadinata, R.P., dan Hartono, D., 1981, Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung, Prosiding Ahli Geologi Indonesia, Bandung. Lattman, L.H. dan Parizek, R.R. (1964): Relationship between fracture traces and the occurrence of groundwater in carbonate rocks, Journal of Hydrology 2. pp 73–91. Le Bas, M.J. dan Streckeisen, A.L., (1991): The IUGS systematics of igneous rocks, J. Geol. Soc. London 148, 825833. Lloyyd, J.W., 1981, Case – Studies in Groundwater Resources Study Evaluation, Oxford University Press, NewYork. Manga, M. (1999): On the Timescales Characterizing Groundwater Discharge at Springs. Journal of Hydrology 219. P. 56-69. Marks, 1959, Stratigraphic Lexicon of Indonesia.
25) Marpaung, J, 2003, Mataair dan Analisis Kawasan Imbuhan, Pengaliran dan Luahan Jalur Gunungapi : G.Tangkubanperahu, G. Bukittunggul, G.Burangrang, Tesis Magister, dibimbing oleh : Deny Juanda P dan Soedarto Notosiswoyo, tidak dipublikasikan. 26) Matthes, G., 1981, The Properties of Groundwater, MC.Graw Hill. 27) Mathes, S.E., dan Rasmussen, T.C., (2006), Combination Multivariate Statistical Analysis with Geographic Information Systems Mapping : A Tool for Deliniating Groundwater Contamination, Hydrogeology Journal, Vol 14, No.8, pp 1493 – 1507. 28) McPhie, J., Doyle, M.G., dan Allen, R.L. (1993): Volcanic Textures: A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, Hobart: CODES. University of Tasmania 198. 29) Melloul, A. dan Collin, M. (1992): The Principal Components’Statistical Method as a Complementary Approach to Geochemical Methods in Water Quality Factor Identification; Application to the Coastal Plain Aquifer of Israel. Journal of Hydrology 140, p. 49–73. 30) Pacheo, F.A.L. dan Alencoao, A.M.P. (2005): Role of fratures in weathering of solid rocks: narrowing the gap between laboratory and field weathering. Journal of Hydrology 316.p. 248-265. 31) Peter J. Sugarman1, Kenneth G. Miller2, James V. Browning2, 2005, Hydrostratigraphy of the New Jersey Coastal Plain : Sequences and facies predict continuity of aquifers and confining units, 2Dept. of Geological Sciences, Rutgers University, Piscataway, NJ 08854, 3Delaware Geological Survey,Newark,DE.19716 32) Puradimaja, D.J., 1995, Kajian Atas Hasil-Hasil Penelitian Geologi/Hidrogeologi Dalam Kaitan Delineasi Geometri Akifer Cekungan Bandung, Prosiding Seminar Sehari Airtanah Cekungan Bandung 33) Puradimaja, D.J. dan Santoso, D. (2005): Detection of Bribin Underground River Stream Using Bristow Resistivity Method, The Leading Edge, The Society of Exploration Geophysics (SEG). 34) Puradimaja, D.J. (1991): Differenciation hydrochimique et
Karakteristik Phisik Airtanah dan Identifikasi Pemunculan Mataair Pada Akuifer………….(Bambang Sunarwan)
25
35)
36)
37)
38)
39)
40)
41)
26
isotopique des emergences karstique du Languedoc – Roussillon (France). disertasi. Universite Montpellier. tidak dipublikasikan. Repojadi.P, dan Team, 1998, data lapangan dan Analisa laboratorium, Konsevasi Airtanah di Wilayah Kabupaten Dati II Bandung dan sekitarnya, DGTL – Bandung Rosadi, Sukrisno dan Wagner, 1993, Kualitas dan Pengendalian Airtanah pada Beberapa Kawasan Cekungan Airtanah Bandung. Silitonga, P.H., 1973, Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala 1:100.000, PPPG-Bandung Sutrisno, 1983, Peta Hidrogeologi Indonesia, Lembar Bandung, Skala 1:150.000, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Shibhasaki, T., and Researh Group for Water Balance, 1995, Environtmental Management of Grondwater Basins, TOKAI UNIVERSITY PRESS, Japan Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., (1997),Penerapan metoda hidrokimia – isotop Oksigen 18 (18O), Deuterium dan Tritium (3H). dalam karakterisasi akifer airtanah sisem akifer bahan volkanik Studi kasus Kawasan Padalarang – Cimahi – Lembang, Bandung ). Tesis Magister, dibimbing oleh : Juanda.P dan Soedarto Notosiswoyo, tesis S.2, tidak dipublikasi. Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., 1998, Variasi Kandungan Isotop Oksigen – 18 (18O) dan Deuterium (2H) dalam airtanah sebagai Pelacak alami
42)
43)
44)
45)
Guna mempelajari Perilaku Airtanah pada Sistem Akifer Volkanik CimahiPadalarang – Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Prosiding PIT IAGI ke XXVI, Jakarta, 1998. Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., (2000), Interpretasi Pola Aliran Airtanah pada Batuan Volkanik dengan Pelacak alami Isotop Stabil 18O, 2H dan 3H. Studi kasus Formasi Cibereum Daerah Padalarang, Cimahi Bandung, Prosiding PIT.IAGI ke XXVII, Bandung, 2000 Sunarwan, B., dan Puradimaja, D.J., 2001 Study of Controlling Geological Parameter on Groudwater Chemical Facies Study : Tagogapu – PadalarangJambudipa Areas, Bandung. Prosiding PIT IAGI ke XXIX, Yogyakarta, 2001. Steinhorst, R.K. Williams, R.E. (1985): Discrimination of Groundwater Sources using Cluster Analysis, MANOVA, Canonical Analysis and Discriminant Analysis, Water Resources Research 21, p. 1149–1156. Zuber, A., Motyka, J., 1994, Matrix Porosity as the Most Important Parameter of Fisured Rocks for Solute Transport at Large Scales, Journal of Hydrology, Vol.158, pp 19-46.
RIWAYAT PENULIS
Dr. Ir. Bambang Sunarwan . MT., Staf pengajar Program Studi Teknik Geologi Universitas Pakuan Bogor.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (16-26)
KONSEP PENGEMBANGAN STASIUN DEPOK LAMA SEBAGAI KAWASAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD) Oleh :
Budi Arief
Abstrak Permasalahan tentang transportasi, diperlukan sebuah penyelesaian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup nyaman, bekerja yang produktif dan optimal. Dalam implemntasi dibutuhkan suatu sistem untuk memberikan kemudahan dan pemanfaatan waktu yang relatif cepat terhadap aktivitas untuk sampai ke tujuan. Pada penelitian ini ditujukan untuk menemukan pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) di sekitar titik-titik transit dan menemukan faktor-faktor pembentuknya di Kota Depok dan mengetahui sejauh mana pola atau bentuk konsep Transit Oriented Development (TOD) yang sudah ada di Kota Depok. Untuk pendekatan digunakan identifikasi, menganalisis dan memberikan pemecahan masalah melalui pendekatan teoritik dan pendekatan observasi. Pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titiktitik transit sebagian pola terbentuk walaupun tingkat kepadatan di Kota Depok semakin tinggi dan perencanaan yang kurang, faktor- faktor yang mempengaruhi; pertumbuhan penduduk yang tidak dapat dikendalikan dan dan sisitem transportasi yang kurang memadai. Kawasan yang tumbuh disekitar stasiun-stasiun kereta api pada lintas Jakarta-Bogor, kawasan Stasiun Depok Lama (dengan pengguna lahan perumahan, pertokoan, terminal), adalah kawasan secara konsep mengarah kepada konsep TOD. Tetapi kekurangan belum didukung oleh fasilitas akses yang baik dimana konsep TOD lebih meningkatkan fasilitas pergerakan pejalan kaki disekitar kawasan yang tersebut. Kata Kunci : Transit Oriented Development, Mixed Use, Kepadatan Tinggi, Pejalan Kaki
1. PENDAHULUAN
Perkembangan Kota Depok yang mana merupakan kota metropolitan, saat ini sudah mengalami perkembangan yang cukup kompleks baik dari sisi penduduk, social, ekonomi, lingkungan, dan terutama sisi transportasinya. Pesatnya pertumbuhan transportasi/ pergerakan yang merupakan imbas dari pertumbuhan penduduk Kota Depok, tidak dapat dipungkiri mengharuskan pemerintah Kota Depok harus dapat memenuhi sekaligus mengatur kebutuhan transportasi/ pergerakan yang tumbuh dari variasi-variasi aktivitas penduduk di kota tersebut. Kebutuhan pergerakan/transportasi yang muncul secara bervariasi di Kota Depok, membutuhkan penanganan/ manajemen sarana prasana dan infrastruktur yang bijak serta representative terhadap perkembangan aktivitas penduduknya. Dengan demikian pengelolaan infrastruktur pergerakan/ transportasi diharapkan dapat memberikan
kenyamanan dan kemudahan penduduk Kota Depok untuk melakukan pergerakan/ transportasi. Seiring dengan pertumbuhan aktivitas permukiman di Kota Depok yang terjadi secara sprawl/ acak, menyebabkan bangkitan pergerakan di Kota Depok memiliki pola yang organis/ tidak berpola. Kondisi tersebut ternyata memberikan dampak kemacetan/ tundaan pergerakan yang cukup besar di jalur utama, terutama pada Jalan Utama Margonda Kota Depok. Kondisi padatnya Jalan Margonda Kota Depok dipicu juga oleh variasi model sebaran pusat – pusat kegiatan yang cenderung tidak terkelompokkan secara terintergrasi terhadap fasilitas/ utilitas pergerakan (stasiun, halte, terminal, dsb), selain tingkat volume beban lalu – lintas yang didominasi kendaraan pribadi yang semakin meningkat tiap tahunnya. Melihat atribut permasahan tersebut, maka perlu ditelaah/ kaji tentang pengelompokan pusat – pusat kegiatan (perdagangan/ jasa)
Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 27
yang terintergrasi terhadap fasilitas transportasi umum/ massal disepanjang Jalan Margonda guna menekan frekuensi dan variasi pergerakan antar zona dengan dominasi kendaraan pribadi pada sepanjang koridor jalan yang dimaksud. Dengan menekan variasi dan frekuensi pergerakan tersebut, diharapkan dapat mereduksi peningkatan beban lalu – lintas di sepanjang Jalan Margonda Kota Depok.
Adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga terciptanya keterpaduan antara pusat kegiatan, sistem pergerakan dan transportasi, seperti terminal, pasar, perdagangan dan jasa serta jalur berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan TOD adalah adanya integrasi tata guna lahan, penataan kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parkir keterpaduan dengan ruang publik.
2. TUJUAN KONSEP TOD 3. TAHAPAN PELAKSANAAN TOD
Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam kawasan tersebut. Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga dapat membuat pergerakan dengan menggunakan angkutan umum dan mendukung angkutan dengan adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parker (park n ride).
Adapun tahapan pelaksanaan TOD dapat sebagai berikut : Tahapan – tahapan : Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Tahap 5
Tahap 6
Tahap 7
: Memperkuat investasi publik dalam angkutan umum dengan memastikan bahwa pengembangan angkutan umum berpusat pada stasiun : Mengetahui bahwa area stasiun adalah daerah khusus dan seluruh wilayah yang berada di sekitarnya berkesempatan untuk mengembangkan pembangunn tradisional. : Mengambil kesempatan yang diberikan oleh angkutan umum untuk mempromosikan TOD sebagai bagian dari strategi manajemen pertumbuhan yang lebih luas : Rezoning daerah-daerah yang berpengaruh di sekitar stasiun untuk hanya menggunakan moda angkutan umum dalam melakukan perjalanannya : Fokus pada investasi instansi publik dan upaya perencanaan di daerah stasiun dengan peluang pembangunan terbesar : Membangun broad-based core untuk mendukung TOD melalui pejabat-pejabat terpilih, staf pemerintah daerah, pemilik tanah, dan lingkungan : Menyiapkan kerangka kerja mandiri untuk lebih mempromosikan TOD setelah perencanaan selesai.
Gambar 1. Konsep Elemen Penting Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perencanaan TOD 28
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)
4.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan metode untuk menjelaskan dalam pelaksanaan penelitian yang menyangkut tentang bahan penelitian, alat penelitian, cara menganalisis temuan di lapangan, serta kendala yang dihadapi selama proses penelitian.
adalah : Peta dan Foto yang terkait dengan titititik transit dan sekitarnya di Kota Depok, alat perekam gambar, alat tulis untuk mencatat fakta lapangan, alat ukur untuk pendimensian objek fisik, Hardware (komputer, printer), software : program yang mendukung dalam penelitian. 8. PELAKSANAAN PENELITIAN
5.
PENDEKATAN PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan untuk identifikasi, menganalisis dan memberikan pemecahan masalah adalah dengan pendekatan teoritik dan pendekatan observasi. a. Pendekatan Teoritik Pendekatan teoritik yang digunakan adalah kajian mengenai konsep sistem Transit Oriented Development yaitu landasan untuk menganalisa suatu kawasan yang memiliki tata guna lahan campuran dan memiliki kepadatan tinggi yang berlokasi dekat dengan titik-titik transit. b. Pendekatan Observasi Pendekatan observasi dilakukan dengan melakukan survey lapangan sebagai bahan penelitian yang dapat digambarkan secara nyata dan konkrit sesuai dengan kondisi dan permasalahan di lapangan untuk pengajuan pemecahan masalah di suatu kota. Pengamatan langsung digunakan untuk mendokumentasikan pola tata ruang disekitar titik-titik transit yang ada di Kota Depok dan sejauh mana konsep TOD sudah diterapkan. 6.
BAHAN PENELITIAN
Bahan Penelitian adalah variabel-variabel yang diadopsi dari lapangan sebagai elemen yang diangap berpengaruh terhadap permasalahan dan sebagai alat untuk memudahkan dalam penelusuran masalah. Bahan penelitian yang akan diamati difokuskan pada titik-titik transit yang ada di kota Depok, pola tata guna lahan disekitar titik-titik transit, tingkat kepadatan dan pola pemakaian moda transortasi yang mempengaruhi tingkat kemacetan dan kenyamanan pengguna. 7. ALAT PENELITIAN
Dalam penelitian ini, alat yang digunakan untuk pengumpulan dan menganalisa data
Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap dengan metoda observasi langsung di lapangan baik dalam pencarian, pengumpulan data sesuai dengan variabel yang dibutuhkan, tahapan tersebut adalah : a. Tahap Persiapan Tahap persiapan adalah tahapan mengenai perijinan survey dilapangan dan pencarian data sekunder dari instansi terkait, menyiapkan peralatan survey lapangan. b. Tahap Pengumpulan Data Tahapan ini adalah dengan survey langsung ke lapangan untuk mendapatkan data primer yang terdiri dari data fisik, studi pustaka sebagai data sekunder yang terkait dengan konsep Transit Oriented Development. c. Tahap Pembahasan dan Analisis Dalam tahap ini data primer atau sekunder yang telah diperoleh di olah untuk menjawab pertanyaan penelitian 9. GAMBARAN UMUM KOTA DEPOK
Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat : 6° 19’ 00’’-6° 28’ 00’’ Lintang Selatan dan 106° 43’ 00’’-106° 55’ 30’’ Bujur Timur. Kota Depok memiliki luas wilayah 200,29 km2 atau 0,58 % dari luas Provinsi Jawa Barat, berbatasan langsung dengan tiga kabupaten/kota dan dua provinsi yaitu : 1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor; 3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor;
Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 29
4. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Gunung Sindur Kabupaten Bogor; Secara administratif, berdasarkan Perda No 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan WilayahmKecamatan di Kota Depok, Pemerintahan Kota Depok yang tadinya terdiri dari 6 Kecamatan dimekarkan menjadi 11 Kecamatan . 10. HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep TOD dapat dibangun di sebuah kawasan yang dianggap sudah mengalami penurunan baik fungsi dan kualitas fisiknya dan harus mengalami proses redevelopment (pembangunan kembali). Selain itu konsep ini juga dapat dilakukan pada infill sites (lahan yang sudah berkembang) maupun new growth areas (lahan pengembangan baru). Konsep TOD ini biasanya memberikan atau menciptakan fungsi-fungsi baru dan perbaikan jaringan sistem transit yang berada dalam kawasan ataupun menciptakan jaringan sistem transit yang baru. Dalam satu pengembangan kawasan TOD terdapat beberapa variabel yang harus ada dalam kawasan, yaitu : 1. Kawasan Pusat Komersial Fungsi komersial pada konsep TOD merupakan bagian inti dari kawasan yang diintegrasikan dengan fungsi transit. Terintegrasinya fungsi transit dan core comercial di kawasan akan dapat menarik orang-orang untuk datang ke kawasan dan menggunakan jasa transit menuju kawasan. Perletakan core comercial yang akan diciptakan harus tetap memperhatikan keseimbangan akan kenyamanan, visibilitas dan aksesibilitas dari pejalan kaki dan kendaraan. 2. Area Hunian Kawasan TOD juga harus dapat memfasilitasi fungsi hunian di sekitarnya. Bangunan yang cocok untuk satu kawasan TOD yang berada di kawasan perkotaan adalah bangunan apartemen mengingat tingginya intensitas di satu kawasan perkotaan. 3. Taman, Plasa dan Bangunan publik Pola pembangunan dari TOD adalah dengan penempatannya yang mudah diakses oleh berbagai fasilitas dan ruang 30
publik. Fungsi ruang publik disini adalah agar dapat memenuhi tuntutan agar ruang publik sebagai tempat bagi masyarakat melakukan interaksi sosial . Selain itu ruang terbuka yang berupa taman dan plasa adalah sebagai pengikat antar massa bangunan. 4. Sistem Transit Lokasi tempat perhentian transit diletakan di bagian pusat dari area TOD yang berdekatan dengan core comercial area. Fungsi komersial tersebut harus dapat dilihat dan diakses dengan mudah dari tempat perhentian transit. 5. Mixed Use Fungsi-fungsi baru yang akan dimasukkan ke dalam kawasan perencanaan adalah fungsi mixed use berupa fungsi komersial (mall, toserba, retail, pkl), fungsi hunian, perkantoran, fasilitas publik dan sosial (stasiun kereta api beserta fasilitasnya, kantor keamanan, mesjid, dan gedung parkir), dll. Tujuan dari penggabungan berbagai fungsi yang ada ke dalam kawasan adalah untuk menciptakan suatu kawasan yang hidup selama 24 jam. Pengawasan dilakukan secara menerus dan bersama oleh aparat keamanan serta para penghuni kawasan, sehingga kemudian keamanan lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik. 6. Sistem Jalan dan Sirkulasi. Jaringan jalan harus dapat menciptakan keselamatan serta menyediakan jalur pejalan yang nyaman yang terpisah antara jalur kendaraan dan pejalan. 7. Kebutuhan Parkir Fasilitas parkir dalam kawasan TOD harus memperhatikan : Sesuai dengan kebutuhan kawasan untuk kebutuhan minimum dan maksimum. Perletakan tempat parkir harus terintegrasi dengan jalur pejalan kaki dan jarak tempuh ke bangunan tidak terlalu jauh. Fungsi parkir dapat dilakukan dengan pembagian waktu, dimana waktu siang digunakan untuk parkir fungsi perkantoran dan pada malam hari digunakan sebagai tempat parkir untuk fungsi hunian.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)
8. Jalur Pejalan Kaki Jalur pejalan kaki dibuat untuk menghubungkan fungsi-fungsi yang berada di kawasan sehingga pencapaian dari satu fungsi ke fungsi lain dapat diakses dengan mudah oleh pengguna jalan. Jalurjalur pejalan kaki dibuat dengan nyaman dan memiliki akses langsung ke area-area komersial dan transit. Jalur pejalan kaki juga harus teritegrasi dengan fungsi ruang terbuka dan plasa-plasa. Pada dasarnya konsep TOD (Transit Oriented Development) mempunyai prinsip-prinsip perancangan yaitu : a. Density Kepadatankawasanpengembangan yang terkait denganradius pelayanan titik transitnya. b. Diversity Harus beragamnya fungsi di kawasan (mix-use). c. Design Desain kawasan yang terintegrasi satu
Gambar 4. Konsep Pola Sirkulasi Kawasan Depok Lama
dengan lainnya.
Gambar 5. Konstelasi (Keterkaitan) Kawasan Depok Lama
Gambar 2. Konsep Pola Ruang Kawasan Depok Lama
Gambar 3. Konsep Pola Pergerakan Kawasan Depok Lama
Stasiun Di Depok ada beberapa stasiun kereta api; Stasiun kereta api Universitas Indonesia, Stasiun kereta api Pondok Cina, Stasiun kereta api Depok Baru, Stasiun kereta api Depok Lama dan Stasiun Bojonggede. Stasiun kereta api listrik Depok Lama adalah salah satu dari beberapa stasiun kereta api di Depok yang merupakan titik transit . Kesibukan stasiun mulai terlihat kepadatannya antara pagi dan sore menjelang malam hari. Kepadatan bukan hanya terjadi pada sirkulasi pejalan kaki dari titik transit satu ke titik transit yang lain, tapi jenis kendaraan dari sepeda motor, mobil pribadi dan juga angkutan umum. Terminal Terminal Depok merupakan satu terminal yang melayani angkutan dalam kota maupun ke luar kota, terminal ini mempunyai peran
Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 31
tinggi bagi masyarakat seperti halnya juga kereta api listrik. Lokasinya yang bersebelahan langsung dengan jalan utama kota depok yaitu jalan margonda raya, sebelah timur terminal depok adalah plaza depok dan perumahan pesona depok sedangkan di selatan terminal depok ITC depok. Perdagangan/Bisnis Pusat Perbelanjaan ITC Depok tergolong masih baru dibandingkan dengan pusat perbelanjaan yang lain, pusat perbelanjaan ini adalah pusat perbelanjaan yang dekat sekali dengan stasiun kereta api depok baru dengan terminal depok, pusat perbelanjaan ini juga mempunyai lahan parkir yang cukup luas di belakang ITC Depok atau besebelahan dengan stasiun kereta depok baru. Pasar Kemiri Muka yang letaknya sebelah utara stasiun dan terminal depok, sebelah timur pasar kemirimuka dalah pusat perbelanjaan mall depok, sirkulasi ke pasar bisanya melewati jl. dewi sartika. Akes menuju pasar kondisi sirkulasi pejalan kaki hampir sama denggan akses stasiun menuju terminal yang kondisinya kalau hujan turun akan banyak genangan air sehingga akses pejalan kaki tidak nyaman lagi. Sistem Jalan dan Sirkulasi Jalan margonda raya adalah jalan utama menuju depok atau menuju ke arah bogor, setiap hari bisa di lihat kepadatan pengguna jalan. Kemacetan jalan utama ini disebabkan kapasitas jalan yang sudah tidak cukup lagi ditambah dengan kurang disiplinya angkutan umum yang berbenti sembarangan, serta pejalan kaki yang tidak menggunakan jembatan penyeberangan. Jarak ideal titik transit satu ke ke titik transit yang lain adalah ± 400, jarak ideal yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan sepeda, radius dari titik pusat stasiun dan terminal mencakup jarak ke utara ± 400 sampai dengan bangunan Mall Depok Sebelah timur ada perumahan pesona depok dan plaza depok sebelah selatan ada bank jabar dan bank bni. Parkir Stasiun dan terminal Sudah dilengkapi khusus dengan area parkir sehingga Tidak banyak lagi parkir yang menggunakan jasa parkir yang disediakan penduduk setempah dirumah-rumah dan halaman, serta ada yang menggunakan area parkir pada pusat-pusat 32
perbelanjaan yang berdekatan dengan titiktitik transit tersebut. Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka di sekitar titik tansit sedikit, bisa dibilang tidak ada, hanya area parkir pusat-pusat perbelanjaan dan area parkir terminal di depan. Itupun tidak berfungsi dengan baik. Beberapa faktor kaitanya dengan pola dan sisitem transit, Pola perkembangan penduduk justru terjadi pada saat ketika hampir setiap kota akan mempunyai instrumen pengendali perkembangan kota dalam bentuk rencana tata ruang kota. Pertanyaan umum yang sering muncul adalah bagaimana sebenarnya peran rencana transit di dalam proses perkembangan pembangunan. Perencanaan kota terlihat tidak saja tidak efektif, tetapi justru cenderung tidak berperan apa-apa di dalam mengarahkan pembangunan perkotaan yang sangat pesat. Tiga permasalahan besar yang dihadapi oleh kawasan perkotaan adalah : Adanya kecenderungan pemusatan kegiatan (over-concentration) pada kawasan-kawasan tertentu; Perkembangan penggunaan lahan yang bercampur (mized-use); dan Terjadinya alih fungsi lahan (land conversion) dari ruang terbuka, lahan konservasi, atau ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun intensif (permukiman, industri, perkantoran, prasarana). Sedangkan permasalahan besar yang dihadapi oleh kawasan sub urban adalah : 1. Terjadinya pengalihan fungsi kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun; 2. Terjadinya pembangunan fisik kawasan secara terpencar (urban sprawl); dan 3. Banyaknya lahan tidur di wilayah sub urban dan wilayah transis. Kemacetan arus lalu lintas yang terjadi di jalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain : Kondisi fisik jalan, seperti kerusan struktur atau kondisi geometri yang kurang memadai, diantaranya lebar dan jumlah jalur yang tidak memadai, persimpangan jalan yang kurang terkontrol dengan baik; Disiplin pengguna jalan yang relatif rendah; Pelayanan ruas jalan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peranannya;
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (27-33)
Lingkungan sepanjang jalan yang kurang mendukung; Lemahnya penegakan hukum (law enforcement); Kondisi lalu lintas, diantaranya peningkatan jumlah kendaraan yang cenderung meningkat. 11. KESIMPULAN
Pola tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titik-titik transit sudah sebagian terbentuk walaupun tingkat kepadatan di Kota Depok semakin tinggi dan perencanaan yang kurang, faktor-faktor yang mempengaruhi; pertumbuhan penduduk yang tidak dapat dikendalikan dan dan sisitem transportasi yang kurang memadai Kawasan yang tumbuh disekitar stasiunstasiun kereta api pada lintas Jakarta-Bogor, kawasan Stasiun Depok lama (dengan pengguna lahan perumahan, pertokoan, terminal), adalah kawasan secara konsep mengarah kepada konsep TOD. Tetapi kekurangan belum didukung oleh fasilitas akses yang baik (misalnya fasilitas pejalan kaki) Kesadaran penggunaan angkutan umum daripada mobil pribadi didukung dengan perbaikan sistem keamanan dan kenyamanan transportasi umum yang didukung pembangunan infrastruktur pejalan kaki yang baik serta ruang terbuka hijau yang baik.
PUSTAKA
1]. Boarnet, Marlon and Nicholas Compin. 1999, Transit-Oriented Development in San Diego County. APA Journal. Winter. 2]. Bappeda Kota Depok, 2014, Kajian Transit Oriented Development (TOD) Kota Depok 3]. Cervero, Robert and Peter Bosselmann. 1998. Transit Villages: Assessing the Market Potential Through Visual 4]. Cervero, Robert. 1996. California’s Transit Village Movement. Journal of Public Transportation. Fall 1996. 5]. Depan Tata Ruang Kota? ” Inovasi Online Edisi Vol.7/XVIII 6]. Douglas Porter. 1998. Transit-Focused Development: A Progress Report. APA Journal. Autumn. 7]. Kramadibrata, Soedjono,2006, Beberapa Pemikiran Pola Pengembangan Transportasi Perkereta apian. 8]. Widayanti. Rina, R.Hari Susanto, 2013, http://rina_widayanti.staff.gunadarma.ac. id/Publications/files/2140/Jurnal TOD170913.pdf PENULIS :
Ir. Budi Arief. MT, Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakults Teknik Universitas Pakuan Bogor
Untuk memperbaiki tata guna lahan campuran (Mixed Use) yang terbentuk di sekitar titiktitik transit di Depok perlu dilakukan peningkatan sisitem transportasi, memperbaiki perencanaan perkotaan dan mengendalikan pertumbuhan penduduk di sekitar titik-titik transit. Selain itu juga perlu adanya penambahan fasilitas-fasilitas umum dan infrastruktur pejalan kaki.
Konsep Pengembangan Stasiun Depok Lama Sebagai Kawasan Transit Oriented Development (TOD) (Budi Arief) 33
ANALISIS KESTABILAN LERENG DI KAWASAN TERRACE SENTUL CITY Oleh :
Hikmad Lukman
Abstrak Bentang alam pada kawasan Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor ini berada pada level + 280 sd + 307 dpl. merupakan kawasan yang berkontur, direncanakan digunakan sebagai kawasan perumahan dengan model Down Hill dan Up Hill. Untuk itu perlu dilakukan pematangan lahan berupa pekerjaan Galian (Cutting) dan Urugan (Fill), sementara karena kondisi lahan berlereng dan macam tanah berupa tanah lanau (silt) berpotensi mengalami kejadian kelongsoran, untuk itu perlu dilakukan pekerjaan perkuatan lereng. Kawasan ini juga berbatasan dengan kawasan perumahan penduduk sehingga perlu dilakukan evaluasi apakah pekerjaan pematangan lahan tersebut tidak mengganggu kawasan milik penduduk setempat. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis ketabilan lereng menggunakan metoda Splicing dan program plaxis diperoleh bahwa pada kawasan terache hill perlu dilakukan rekayasa kestabilan lereng. Penanganan kawasan perumahan ini dapat penggunakan konstruksi tembok penahan tanah dari pasangan batu kali atau siklop beton, penempatan tumpukan karung yang berisi tanah, pemasangan bronjong atau menggunakan cerucuk bamboo, dolken dan tiang-tiang bor pile. Kata Kunci : Bronjong, Cerucuk Bambu, Tiang Bor Pile, Kestabilan Lereng 1.
PENDAHULUAN
Bentang alam pada kawasan Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor ini berada pada level + 280 sd + 307 dpl. merupakan kawasan yang berkontur, sehingga untuk digunakan sebagai kawasan perumahan dan jalan lingkungan perlu dilakukan pematangan lahan berupa pekerjaan Galian (Cutting) dan Urugan (Fill) dengan melakukan perkuatan lereng. Konsep perumahan menggunakan model Down Hill dan Up Hill Kawasan ini juga berbatasan dengan kawasan perumahan penduduk sehingga perlu dilakukan evaluasi apakah dengan melakukan pekerjaan pematangan lahan tersebut tidak mengganggu kawasan lahan milik penduduk setempat. Maksud dari kegiatan ini adalah adalah mengevaluasi kondisi kestabilan Lereng eksisting, baik pada tanah asli maupun tanah hasil Urugan
maupun kestabilan Dalam berdasarkan kondisi lingkungan eksisting, - Bila diperlukan, memperkuat lereng perbatasan antara kawasan lahan perumahan dengan kawasan penduduk. Cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan solusi adalah dengan cara melakukan langkah-langkah perhitungan dimensi DPT berdasarkan tinjauan kestabilan. Lokasi Perencanaan adalah pada Lokasi Terrace Hill Sentul City Kabupaten Bogor. Kawasan Perumahan berupa lereng alam dan buatan yang dibentuk berdasarkan rencana Site Plan perumahan tersebut.
Adapun tujuannya adalah melakukan upaya penanganan kondisi lereng buatan/perkuatan lereng agar perumahan yang dibangun pada lokasi tersebut aman terhadap bahaya pergeseran dan penurunan tanah. Upaya penanganan lereng antara lain: - Merencanakan konstruksi berdasarkan tinjauan kestabilan 34
DPT Luar
Gambar 1. Site Plan Terrace Hill
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)
2.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Analisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill disesuaikan dengan keperluan dan kondisi lapangan pada Kerangka Acuan Kerja (KAK). Adapun kerangka pemeriksaan struktur dituangkan dalam Gambar 2. Bagan Alir di bawah ini.
Indonesia. Alat sondir ini memberikan tekanan konus dengan atau tanpa hambatan pelekat (friction resistance) yang dapat dikorelasikan pada parameter tanah seperti undrained shear strength, kompresibilitas tanah dan dapat memperkirakan jenis lapisan tanah. Dari nilai qc dapat dikorelasikan terhadap konsistensi tanah lempung (Tabel 1.), sementara hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Hubungan antara konsistensi dengan tekanan konus (Begemann, 1965) Konsistensi Tekanan konus Very soft Soft MediumStiff Stiff Very stiff Hard
Undrained Cohesion (t/m2) < 1.25 1.25 – 2.50 2.50 – 5.00 5.00 – 10.00 10.00 – 20.00 > 20.00
qc (kg/cm2) < 2.5 2.5 – 5,0 5.0 – 10.0 10.0 – 20.0 20.0 – 40.0 > 40.0
Tabel 2. Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc dan Ø (Begemann, 1965) Kepadatan Relative Very loose Loose Medium dense Dense Very dense
Gambar 2. Bagan Alir Pekerjaan Analisis 3.
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk menganalisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill diperlukan langkah-langkah peninjauan kondisi eksisting seperti: kondisi lereng, kondisi air saluran, kondisi tanah, yaitu: macam tanah, kedalaman lapisan tanah keras dan parameter tanah yang diperlukan dalam peninjauan kestabilan Lereng. a. Data Tanah Dengan menggunakan data profil tanah diperoleh kesimpulan tentang jenis tanah pada kedalaman tertentu, sehingga dapat dibuat stratifikasi tanah. Pembuatan stratifikasi tanah dapat menggunakan hasil sondir dan Bor Dalam (bor log).
Density (Dr)
Sudut Geser Dalam (⁰) < 30 30 – 35 35 – 40
Tekanan konus, qc (kg/cm2)
Nilai N
< 0.2 0.2 – 0.4 0.4 – 0.6
<4 4 – 10 10 – 30
0.6 – 0.8 0.8 – 1.0
30 – 50 > 50
< 20 20 – 40 40 – 120 120 – 200 > 200
40 – 45 > 45
SPT (Standard Penetration Test) pada pekerjaan Boring dalam pada setiap interval tertentu digunakan untuk menentukan konsistensi atau density tanah di lapangan. SPT dapat dikorelasikan dengan : Konsistensinya, Kuat geser tanah, Parameter konsolidasi, Relatif density, Daya dukung pondasi dan Penurunan. Korelasi antara NSPT dengan relative density dan sudut geser dalam telah ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai SPT dan properties tanah berdasarkan Standard Penetration Test (sumber: Terzaghi & Peck) SAND Relative Density 0–4 Very Loose 4 – 10 Loose 10 – 30 Medium 30 – 50 Dense > 50 Very Dense
Nilai N SPT
CLAY Nilai N SPT <2 2–4 4–8 8 – 15 15 – 30
Konsistensi Very Soft Soft Medium Stiff Very Stiff
Alat sondir atau Duch Cone Penetrometer Test (CPT) merupakan alat penyelidikan tanah yang paling sederhana, murah, praktis dan sangat popular digunakan di Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman)
35
3.1. Kestabilan Dinding Penahan Tanah (DPT). Teori dan rumus yang digunakan dalam perhitungan kestabilan talud mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Semua kestabilan yang ditinjau harus memenuhi angka keamanan yang dipersyaratkan. a. Faktor keamanan terhadap Guling: FK guling = M lawan guling/Mguling ≥ 2 b. Faktor keamanan terhadap Geser: FK Geser = Flawan geser/Fgeser ≥ 1,5 c. Faktor Keamanan terhadap Daya Dukung; FK daya dukung ≥ 3 d. Faktor Kemanan terhadap Kestabilan Lereng: FK kestabilan lereng ≥ 1,5
4.2. Kondisi Lapangan Kondisi lapangan dan hasil survei dilakukan sebagai dasar dalam menentukan kedudukan, kedalaman dan ketinggian lereng. Potongan melintang lahan Terrace Hill dapat dilihat pada Gambar 3. berikut ini. Sementara Hasil penyelidikan tanah dapat dilihat pada lampiran Dokumen Perencanaan.
3.2. Tegangan Bahan Tegangan bahan yang terjadi pada bahan konstruksi DPT berupa penentuan tegangan Lentur dan tekanan Normal tekan, kemudian dihitung besarnya tekanan geser bahan. Semua tegangan bahan yang terjadi harus lebih kecil dari tegangan ijin bahan yang digunakan. 3.3. Sistem Drainase Sistem drainase pada DPT diperlukan untuk mengalirkan air yang mengalir dibawah permukaan tanah dibelakang DPT agar supaya air tidak memberi tegangan tambahan pada struktur DPT. Bahan yang digunakan adalah, pipa PVC, injuk dan bahan lolos air seperti pasir dan kerikil.
Gambar 3. Potongan Melintang Lereng (Lokasi 5 dan 6).
4. METODOLOGI PENELITIAN 5.
4.1. Metodologi Model Pendekatan Analisis Kestabilan Lereng dan Perkuatan Lereng di lokasi Terrace Hill Sentul City disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Areal tanah dilokasi berupa bentang alam yang berkontur. Untuk perkiraan kestabilan lereng, diperlukan data penyelidikan tanah berupa penentuan kedudukan tanah keras dan uji di laboratorium. Perencanaan DPT dilakukan dengan peninjauan kestabilan Guling, Geser, Daya Dukung, dan stabilitas lereng. 36
PERHITUNGAN, PEMBAHASAN
ANALISIS
DAN
5.1. Perhitungan Tinjauan kestabilan Lereng dan perkuatan lereng dilakukan pada beberapa lokasi yang tertera pada potongan melintang hasil pengukuran Kontur. Bahan DPT menggunakan pasangan batu belah adukan 1:4, sementara peninjauan kestabilan lereng ditinjau berdasarkan kondisi tanah di belakang dinding berupa tanah urugan. 5.2. Analisis Analisis perkuatan lereng dilakukan untuk peng besarnya faktor keamanan kestabilan
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)
lereng di lokasi 5 dimana di belakang lereng berupa tanah urugan buatan. Kondisi rencana permukaan lahan pada perumahan Terrace Hill, kedalaman tanah keras dan besarnya nilai parameter tanah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter Tanah, Kedalaman Tanah Keras Dalam
Sumber Test Tanah : - PT. Soilfound Sakti - PT Purnajaya Engineering
Modelisasi konstruksi Dinding Penahan Tanah disajikan pada Gambar 4. Hasil perhitungan besarnya kestabilan tanah menghasilkan: faktor keamanan guling = 1,83; geser = 1,72; dan Keamanan daya dukung = 2,1
Gambar 5. Model Kestabilan Lereng di lokasi 5
Hasil keluaran program Plaxis berupa Deformasi tanah (Gambar 6) dan total displacement (Gambar 7).
Gambar 6. Deformasi Tanah (Program Plaxis)
Gambar 4. Potongan melintang DPT di lokasi 5
Untuk analisis kestabilan lereng, digunakan metoda Felliinius yang kemudian dibandingkan dengan analisis kestabilan lereng menggunakan Program Plaxis (Gambar 5). Hasil keduanya menunjukkan hasil yang mirip sama bahwa kestabilan lereng dalam kondisi yang tidak aman (FK = 0,91), sehingga perlu ada perkuatan lereng.
Gambar 7. Total Displacement (Program Plaxis)
Kondisi lereng alam atau buatan dapat distabilkan dengan cara meningkatkan nilai kohesi tanah dan sudut geser dalam tanah. Cara meningkatkan kedua parameter tersebut dapat berbeda tergantung kondisi pembentukannya, yaitu pada lereng hasil galian (cutting) dan lereng rencana urugan (fill).
Analisis Kestabilan Lereng Di Kawasan Terrace Sentul City (Hikmad Lukman)
37
Untuk kondisi lereng alam/tanah asli, peningkatan kedua parameter tanah tersebut dapat menggunakan cerucuk bambu, dolken atau tiang pancang atau tiang bor, kemudian untuk mengurangi gerusan air limpasan dapat menggunakan penanaman rumput/pohon atau pemasangan grassblok atau geotexstile membran. Untuk kondisi lereng buatan, dimana lereng buatan sudah terbentuk, maka penanganannya mirip dengan pada kondisi lereng alam/tanah asli, sementara bila lereng buatan belum terbentuk, maka peningkatan kedua parameter tanah tersebut dapat menggunakan pemasangan bronjong batu belah atau tumpukan karung berisi tanah atau tumpukan karung tersebut dimasukan kedalam Beronjong kawat atau geotexstile. Contoh kasus pada lokasi 5 potongan 1, dimana setelah lereng dipasang oleh beronjong batu kali dan karung berisi tanah, kestabilan Lereng pada kondisi jenuh air meningkat dengan meningkatnya nilai faktor keamanan lereng menjadi >1,5. 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis kestabilan lereng pada lokasi di Terrace Hill, diperoleh kesimpulan bahwa pada lokasi 5 perlu dilakukan perkuatan lereng dengan indikator besarnya Faktor keamanan kelongsoran kurang dari 1,5. 2. Perkuatan lereng dapat menggunakan bronjong kawat (Macaferi) yang diisi batu pecah atau tumpukan karung berisi tanah, atau menggunakan tiang bor D30 atau cerucuk dolken.
38
6.2. Saran 1. Untuk jangka panjang, pada lahan – lahan yang bebas dari lahan perumahan, kestabilan lahan dapat dilakukan dengan penanaman rumput atau pohon, grassblok, Soak Creed atau dengan pemasangan geomembran. 2. Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai pemilihan bahan untuk perkuatan lereng. 3. Pada saat pelaksanaan pekerjaan DPT, penggalian dasar pondasi sebaiknya digali dengan panjang bertahap dengan atau pemasangan tumpukan karung berisi tanah kemudian dipasang pasangan batu kali untuk menghindari keruntuhan lokal. DAFTAR PUSTAKA
1]. Bishop, A.W. (1955): The Use of the Slip Cirrcle in stability analysisi of slopes,: Geotechnique, ol. 5 No.1, pp. 7-17 2]. Coduto D.P, Yeeung MR, Kitch: Geotechnical Engineering, Principles and Practice, Second Edition, 2011 3]. Lambe, W.T. and R.. Whitman (1969): Soil Mechanics, john Wiley and Sons 4]. Taylor, D.W. (1966): Fundamentals of Soil Mechanics, Secon Printing, john Wiley & Sons, Inc., New York 5]. Sowers, G.f. (1979): Introductory Soil Mechanics and Foundations: Geotechnical Engineering, Fourth Edition, MacMillan Publishing Company, Inc., New York. PENULIS :
Ir. Hikmad Lukman, MT. Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan, Bogor.
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (34-38)
MICROSTRIP ANTENA PADA FREQUENSI 9GH FREQUENSI APLIKASI RADAR Oleh :
Herry Satria Utama
Abstrak Indonesia adalah Negara kepulauan yang tersusun dari pulau besar dan sejumpah pulau kecil yang letaknya sangat strategis.letak geografis Indonesia menyebabkan harus ada pengamanan dan pengawasan wilayah perairan yang memerlukan aparat petugas dan kapal.Kapal TNI_AL 117 buah dan 77 kapal diantaranya berusia 21-0 tahun.Perbandingan jumlah kapal terhadap luas wilayah perairan Indonesia 1:72 ribu km2.Dengan kondisi itu tidak semua daerah perairan Indonesia dapat diawasi, akibatnya sering adanya pencurian ikan di wilayah Indonesia, perampokan dan penyelundupan. Selain itu sering adanya pencurian ikan di wilayah Indonesia seperti halnya pulau sipadan dan ligitan yang akhirnya menjadi wilayah Malaysia. Untuk mengatasi masalah diatas, dirancanglah antenna radar. Kata Kunci : Antena Radar 1.
PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17 ribu pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan pengawasan dan pengamanan ekstra tinggi sehingga pihak – pihak asing tidak melakukan perbbuatan yang merugikan pihak Indonesia seperti pencurian ikan, perampokan (pembajakan kapal), perdagangan illegal dan pelanggaran batas wilayah sehingga mengakibatkan konflik seperti halnya pulau Sipadan dan pulau Ligitan. Pengawasan dan pengamanan wilayah Indonesia oleh TNI POLRI dapat ditingkatkan dengan menggunakan radar yang andal yang dipasang disepanjang garis pantai wilayah Indonesia. Dan kapalkapal nelayanindonesia memerlukan radar untuk kemudahan navigasi sehingga tidak melanggar wilayah Negara lain serta mencegah tabrakan dengan kapal lain. Antenna mikrostrip mempunyai keunggulan karena memiliki ukuran kecil, ringan dan kompetibel dengan rangkaian terintegrasi. Antenna ini memiliki bentuk seperti doard yang beukuran kecil, sesuai dengan substrat dan frekuensi yang digunakan relative ringan dan cukup kuat walaupun demikian antenna microstrip mempunyai kekurangan, yaitu bandwith yang sempit, efisiensi daya yang rendah
dan tingginya rugi-rugi polarisasi silang. 2.
daya
akibat
DASAR TEORI
2.1. Antena Antena dalam perangkat dalam komunikasi nirkabel berfungsi mengubah sinyal listrik (volt – ampere) menjadi medan listrik dan magnet yang dapat merambat di udara sehingga dapat menerima gelombang radio kemudian meradiasikannya ke ruang bebas (free space) atau sebaliknya. Berdasarkan IEEE Standard Definitions of Terms for Antenna (IEEE Std 145-1983), antena didefinisikan sebagai sesuatu untuk meradiasikan atau menerima gelombang radio [13]. Antena merupakan terminal akhir pada sisi transmitter sebagai perangkat yang berfungsi meradiasikan sinyal informasi dari sumber dalam bentuk gelombang RF (Radio Frequency) dan merupakan terminal pertama yang menerima gelombang RF yang membawa sinyal informasi di dalamnya pada sisi penerima (receiver). Plot medan elektromagnetik yang diradiasikan oleh antena akan dijelaskan pada gambar 2.1 [15]:
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
39
didefinisikan sebagai fungsi matematis atau sebuah representasi grafik dari radiasi antena sebagai sebuah fungsi dari koordinat ruang. Pada umumnya, pola radiasi ditentukan pada daerah far-field dan direpresentasikan sebagai suatu fungsi koordinat arah. Pola radiasi ini ditunjukkan dengan lobes dimana terdapat bagian yang disebut sebagai main/major (utama), side (samping), serta back (belakang) [16]. Gambar 2.1. PlotMedan Elektromagnetik yang Diradiasikan oleh Antena
Antena memiliki beberapa parameter yang menentukan performansi kerja dari antena tersebut.Parameter-parameter tersebut antara lain frekuensi kerja, bandwith, impedansi masukan, return loss, pola radiasi, beamwidth, gain, dan directivity. 2.2. Parameter Antena Antena bekerja dengan normal pada daerah medan jauh dari antena tersebut, karena pada daerah ini hanya terdapat energi radiasi dari antena tanpa dipengaruhi medan reaktif dari antena yang nilainya relatif terhadap jarak seperti pada gambar 2.2 [14]:
Beamwidth, atau yang lebih sering digunakan yaitu half power beamwidth (HPBW) yaitu sudut dimana amplitudo dari Majorlobe berkurang separuhnya. Main/major lobe adalah radiasi yang memiliki arah radiasi maksimum sedangkan side lobe dan back lobe merupakan bagian dari minor lobe yang keberadaannya tidak diharapkan. Pola radiasi ini menunjukkan medan radiasi antena yang terdiri dari medan listrik dan medan magnetik. Representasi pola radiasi dapat dilihat pada gambar 2.3 [17]:
Gambar 2.3. Representasi Pola Radiasi
Pola radiasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : Gambar 2.2. Daerah Radiasi Antena
Daerah medan jauh ini dapat dinyatakan dengan persamaan 2.1 di bawah [14] : R>2
D
1. Pola Isotropik Antena Isotropik disebut sebagai antena tanpa rugi-rugi yang mempunyai radiasi sama besar ke setiap arah. Gambar 2.4 menunjukkan pola radiasi isotropik [29] :
................................................. (2.1)
Dimana D adalah dimensi terbesar dari antena, dan λ adalah panjang gelombang dari antena. Radiasi yang dihasilkan antena akan memiliki pola tertentu dan pola ini akan berbeda untuk jenis antena yang berbeda. Pola radiasi antena 40
Gambar 2.4. Pola Radiasi Isotropik
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)
2. Pola Directional Antena yang memiliki pola radiasi directional atau searah dapat menerima radiasi elektromagnetik secara efektif pada arah-arah tertentu saja.Pola radiasi directional dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut [29] :
Gambar 2.5. Pola Radiasi Direksional
3. Pola Omnidirectional Pola radiasi ini dibentuk dengan penggabungan pola dari dua bidang yang saling orthogonal dimana pola pada salah satu bidang tidak terarah sedangkan pola pada bidang lainnya merupakan pola terarah. Pada gambar 2.6 menunjukkan pola radiasi omnidirectional [29] :
Gambar 2.6. Pola Radiasi Omnidireksional
Pengarahan (directivity) dari antena didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) intensitas radiasi pada sebuah antena pada arah tertentu dengan intensitas radiasi ratarata pada semua arah. Keterarahan ini dapat dihitung menggunakan persamaan 2.2 di bawah ini [18] :
U 4 ......................................(2.2) D U 0 Prad Dimana : D : Keterarahan (dB) U : Intensitas Radiasi (rad) U0 : Intensitas Radiasi pada sumber isotropic (rad) Prad : Daya total radiasi (rad) Keterarahan dapat diartikan sebagai pengukuran dari intensitas radiasi dari antenasebagai fungsi arah [14]. Gain
merupakan nilai perbandingan dari daya yang diradiasikan oleh antena dibandingkan dengan daya yang masuk ke antena [14], atau dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian antara directivity dengan efisiensi dari antena, dengan menggunakan persamaan 2.3 [14] : 4Aeff 4 ............(2.3) G D * eff 2 * eff 2 Dimana : G : Gain antena (dB) A : Area dari permukaan antena (meter) ηeff : Efisiensi radiasi dari antena Aeff : Area efektif dari antena (meter) Nilai gain akan selalu lebih kecil dari nilai directivty, karena pada antena terdapat rugirugi transmisi dan ketidaksesuaian impedansi antara saluran pencatu dan antena yang menyebabkan tidak semua daya yang masuk ke antena dapat diradiasikan. Nilai efisiensi dari antena dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan 2.4 [14] :
eff
Rr ......................................(2.4) Rr Rl
Dimana : Rr : Tahanan radiasi (Ω) Rl : Tahanan rugi (Ω) Agar daya yang diradiasikan oleh antena dapat optimal, maka impedansi sumber harus sama dengan impedansi dari antena.Jika impedansi dari antena dengan sumber isotropik tidak sesuai maka sebagian dari daya yang akan dipantulkan kembali akan membentuk gelombang berdiri, nilai dari gelombang berdiri yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan koefisien refleksi (Γ), yang dapat dinyatakan seperti pada persamaan 2.5 [14] :
ZL Z0 ..........................................(2.5) ZL Z0
Dimana : ZL : Impedansi beban (Antena) (Ω) Z0 : Impedansi karakteristik (Ω) VSWR (Standing Wave Ratio) adalah perbandingan antara amplitude gelombang berdiri (standing wave) maksimum ( | V | max ) dengan minimum ( | V | min ).VSWR tersebut juga memiliki korelasi dengan koefisien refleksi. Hal ini dapat dilihat pada persamaan untuk memperoleh VSWR, yaitu [14]:
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
41
VSWR=
Vmax 1 ......................(2.6) Vmin 1
Pada prakteknya, kondisi matched sulit sekali dicapai. Kondisi tidak matched ini menyebabkan tidak semua daya dari sumber (generator) diterima oleh beban, sehingga ada daya yang dikembalikan/dipantulkan. Adanya rugi-rugi yang dihasilkan ini disebut sebagai Return Loss dan dirumuskan menggunakan persamaan 2.7 : RL = -2010Log |Γ|.............................................(2.7)
Nilai return loss yang sering dijadikan acuan adalah – 10 dB sehingga VSWR < 2 atau dapat diartikan bahwa daya yang dipantulkan tidak terlalu besar dibandingkan daya yang dikirimkan atau terjadi kesesuaian antara antena dan saluran transmisi (matching). Bandwidth pada suatu antena didefinisikan sebagai rentang frekuensi dimana performa antena sesuai dengan standar yang ditetapkan.Untuk menentukan frekuensi kerja yaitu dengan impedance bandwidth dimana frekuensi kerja berdasarkan karakteristik impedansi atau return loss sehingga rentang frekuensi kerja didapatkan ketika memiliki nilai return loss di bawah – 10 dB. Rentang frekuensi yang menjadi bandwidthakan dijelaskan pada gambar 2.7 [19]:
Gambar 2.7. Rentang Frekuensi Bandwidth
Dengan melihat gambar 2.7 bandwidthyang dapat dicari dengan menggunakan persamaan 2.8 di bawah ini [19] : BW= f2- f1..........................................(2.8) Dimana : f2 : Frekuensi tertinggi (Hz) f1 : Frekuensi terendah (Hz) fc : Frekuensi tengah (Hz) 2.3. Miniaturisasi Antena Perkembangan komunikasi bergerak dewasa ini menuntut perangkat dengan dimensi yang kecil, ringan, dan kompak.Sehingga diperlukan miniaturisasi perangkat untuk 42
memenuhi kebutuhan tersebut.Pada umumnya, miniaturisasi dimensi antena planar dilakukan dengan menggunakan material substrat yang memiliki permitivitas dielektrik yang tinggi. Namun, penggunaan material dengan permitivitas dielektrik yang tinggi mengakibatkan meningkatnya gelombang permukaan pada material yang dapat menurunkan kinerja parameter antena, di antaranya returnloss, gain, dan pola radiasi. Salah satu cara untuk miniaturisasi dimensi antena adalah menggunakan bahan metamaterial. Metamaterial merupakan material yang tidak tersedia di alam yang memiliki sifat permitivitas ( ) dan atau permeabilitas ( ) negatif tetapi dapat direkayasa. Nilai permitivitas yang terdapat di ruang bebas
( 0 ) bernilai
8,85 x 10-12 (F/m) [23]. Perbandingan antara permitivitas pada material dengan permitivitas ruang hampa menghasilkan konstanta dielektrik relatif
( r ) .
Sedangkan pada permeabilitas disebut sebagai ukuran dari parameter magnet yang terjadi pada sebuah material sebagai respons yang ditimbulkan terhadap medan magnet yang mengenainya. Di dalam teori elektromagnetik medan magnet dinamai dengan(H)yang merupakan representasi adanya pengaruh fluks magnet (B) terhadap perpindahan dipol dan perubahan arah pada dipol magnet. Hubungan antara medan magnet dan fluks magnet disebut permeabilitas yang dinyatakan sebagai perbandingan antara medan magnet (H) dengan fluks magnet (B).Permeabilitas yang terdapatpada ruang hampa ( 0 ) memiliki nilai 4π x 10-7H/m. Perbandingan antara permeabilitas sebuah material terhadap permeabilitas ruang hampa menghasilkan permeabilitas relatif ( r ) . Sebagian besar materialyang tersedia di alam memiliki nilai permitivitas dan permeabilitas positif yang disebutdouble positive (DPS), sebaliknya jika keduanya memiliki nilai negatif disebut double negative (DNG). Bahan-bahan tersebut kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa kategori yaitu mu negative (MNG) dan epsilon negative(ENG). Gambar
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)
2.8 dijelaskanberupa klasifikasi material yang dipengaruhioleh permitivitas dan permeabilitas [24] :
Gambar 2.9. Gelombang Elektromagnetik
Pada gelombang elektromagnetik terdapat arah medan magnet dan medan listrik yang terpolarisasi pada sudut yang berhubungan dengan arah propagasi.
Gambar 2.8. Klasifikasi Material
Pada kuadran I, ( >0 dan μ >0), yaitu material double positive (DPS) yang memiliki nilai permitivitas dan permeabilitas positif yang merupakan jenis material yang tersedia di alam sebagai dielektrik. Pada kuadran II, ( <0 dan μ >0) material jenis epsilon negative (ENG) dengan permitivitas kurang dari nol dan permeabilitas lebih dari nol. Jenis dari material ini adalah plasma. Sedangkan kuadaran III, (ε <0 dan μ <0) material double negative (DNG) material jenis ini tidak tersedia di alam dengan nilai permitivitas dan permeabilitas kurang dari nol.
Ketika gelombang tersebut memasuki suatu bahan material, yang terjadi adalah medanmedan gelombang saling berinteraksi dengan muatan-muatan dari atom dan molekul yang mengubah struktur material dan mengakibatkan bergerak. Jenis material yang digunakan pada penelitian ini adalah material (MNG) karena memiliki permeabilitas yang tinggi pada frekuensi kerja tertentu serta tidak menyerap gelombang permukaan yang menurunkan efisiensi dari parameter antena seperti gain dan bandwidth. Sifat pada material (MNG) sangat diperlukan karena dapat mereduksi dimensi dan mampu menekan gelombang permukaan sehingga diperoleh perbaikan gain dan bandwidth. MNG memiliki beberapa jenis struktur, antara lain Split Ring Resonator (SRR) dan Spiral Resonator (SR) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.10 [10] :
Kuadran IV yaitu mu negative (MNG) (ε >0 dan μ <0) material ini menunjukkan magnetic plasma yang memiliki permitivitas lebih besar dari nol dan permeabilitas kurang dari nol. Dari keempat kuadran yang diterangkan pada gambar 2.8, (ENG), (DNG), dan (MNG) merupakan bagian dari metamaterial yang tidak tersedia di alam. Dibawah ini dijelaskan rambatan dari suatu gelombang elektromagnetik seperti pada gambar 2.9 di bawah ini [25]:
Gambar 2.10. Struktur MNG (a) Struktur Split Ring Resonator (SRR); (b) Struktur Spiral Resonator (SR)
Pada penelitian ini yang digunakan adalah struktur Spiral Resonator (SR). Struktur patch (SR) sebagai inklusi magnetik tiruan karena memiliki faktor reduksi dimensi antena yang lebih besar [31]
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
43
antena seperti bandwidth, gain, return loss, dan pola radiasi. Penggunaan bahan dielektrik yang berbeda akan mempengaruhi perhitungan pada pengukuran antena secara keseluruhan. Bahan dielektrik yang digunakan memiliki
2.4. Antena Planar Antena planar merupakan salah satu jenis antena yang mempunyai bentuk seperti bilah atau potongan yang mempunyau ukuran yang sangat tipis/kecil. Pada gambar 2.11 menjelaskan bentuk antena planar [17]:
nilai konstanta dielektrik 3,79< r <12 [18].Semakin tebal suatu substrat maka bandwidth yang dihasilkan akan semakin meningkat, namun dapat mengakibatkan terjadinya gelombang permukaan (surface wave) dan mengurangi daya masukan yang diterima oleh sebuah antena dalam meradiasikan gelombang elektromagnetik ke udara bebas (free space) sesuai arah yang ditentukan.
Gambar 2.11. Pola Dasar Antena Planar
Dalam bentuk dasar, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.11 antena planar terdiri atas tiga lapisan, yaitu patch pada bagian paling atas dimana pada Gambar 2.11 digambarkan dengan warna kuning, substrat dielektrik digambarkan dengan warna putih, dan ground plane pada bagian dasar antena. a. Conducting Patch Patch terbuat dari bahan logam metal yang memiliki ketebalan tertentu. Jenis logam yang digunakan adalah bahan tembaga atau copper dengan konduktivitas sebesar 5,8 x 107 S/m. Elemen patch berfungsi dalam meradiasi gelombang radio yang nantinya dipancarkan kembali ke udara bebas. Besar, panjang, lebar, maupun radius dapat mempengaruhi frekuensi kerja antena. Elemen patch(peradiasi) dapat dibuat dalam berbagai bentuk seperti persegi panjang (rectangular), persegi, (square), circular, elips, segitiga, dan circularring. Pada gambar 2.12 di bawah memperlihatkan jenis patch dari antena planar [17]:
Gambar 2.12. Jenis Patch pada Antena Planar
b. Substrat dielektrik Substrat merupakan bahan dielektrik yang membatasi antara patch (peradiasi) denganground (pentanahan). Substrat dapat digolongkan berdasarkan konstantadielektrik ( r ) dan ketebalan (h) yang dapat mempengaruhi kinerja dari 44
c. Ground plane Groundatau pentanahan berfungsi sebagai reflectordari gelombang elektromagnetik. Bahan dari ground sama-sama menggunakan logam tembaga seperti pada elemen patch. 2.5. Dimensi Antena Dalammencari bentuk dimensi antena terlebih dahulu harus mengetahui parameter bahan yang digunakan seperti tebal substrat (h), konstanta dielektrik / r , tebal konduktor (t), dan rugi-rugi yang dimiliki oleh bahan. Setelah parameter bahan ditentukan selanjutnya menghitung panjang antena planar untuk mengetahui nilai bandwidth agar sesuai. Jika panjang antena terlalu pendek maka berpengaruh terhadap nilai bandwidth yang sempit.Jika terlalu panjang maka bandwidth semakin lebar, namun berakibat terhadap efisiensi radiasi menjadi lebih kecil. Dengan mengatur lebar dari antena (w), maka nilai impedansi masukan juga akan berubah. Untuk mengetahui panjang dan lebar antena planar dapat menggunakan persamaan 2.9berikut [17] :
c
w=
2 f0
r 1
................................(2.9)
2
Dimana : w : Lebar konduktor (mm) r : Konstanta dielektrik relatif (V/m) c : Kecepatan cahaya di ruang bebas (3x108
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)
m/s) f0 : Frekuensi kerja antena (MHz) Sedangkan untuk menentukan panjang patch antena (L) diperlukan parameter ∆L yang merupakan pertambahan panjang dari L (∆L) akibat adanya fringing effect. Pertambahan panjang dari L (∆L) tersebut dirumuskan dengan persamaan 2.10 [17] :
L = 0,412 h
reff
reff
wh 0,264 ..... (2.10) w 0,258 0,8 h
0,3
Dimana h merupakan tebal substrat dan
( reff ) adalah konstanta dielektrik efektif
w0 = h B 1 ln(2B 1)
0,61 r 1 (ln( B 1) 0,39 ) 2 r r
…(2.15) Dengan nilai A dan B didapat dengan persamaan 2.16 dan 2.17 yaitu[20] :
Z0 r 1 r 1 0,11 .....(2.16) (0,23 60 2 r 1 r B = 377 .....................................(2.17) 2Z 0 r A=
Dimana : Z0 : Impedansi karakteristik (50 Ω) r : Konstanta dielektrik relatif (V/m)
yang dirumuskan menggunakan persamaan 2.11 yaitu [17] :
2.6. Teknik Pencatuan Saluran Mikrostrip
( 1 ) ( 1 ) 1 = r ...(2.11) r 2 2 1 12 h w
Teknik pencatuan digunakan untuk menghasilkan radiasi baik secara kontak langsung maupun tidak langsung.
r
eff
Dimana :
r
eff
r h w
: Konstanta dielektrik relatif efektif bahan substrat (V/m) : Konstanta dielektrik relatif (V/m) : Tebal substrat (mm) : Lebar konduktor (mm)
Dengan panjang patch (L) menggunakan persamaan 2.12 [17] : L = Leff - 2 L ........................................(2.12) dimana Leff merupakanpanjangpatch efektif yang dapat dirumuskan dengan persamaan 2.13 berikut [17] : Leff =
c 2 f 0 reff
….............................(2.13)
Untuk menghitung nilai dari saluran pencatu dilakukan dengan menghitung lebar dan panjang inset feed. Lebar saluran pencatu (w0) untuk w0< 2 menggunakan persamaan 2.14 [20] :
8e A w0 w0 2 A ; 2 .......................(2.14) e 2 h Sedangkan untuk w0 >2, persamaan 2.15
Terdapat dua jenis metode pencatuan, yaitu: Contacting(direct feeding)dan Noncontacting(Electro-magnetically Coupled) atau biasa disebut Proximity coupled feeding. Saluran mikrostrip ini dibuat menggunakan dua tumpukan substrat dielektrik. Pada patch peradiasi terletak dengan posisi sebidang dengan substrat paling atas (layer pertama) dan untuk feeding atau pengumpan terletak sebidang dengan substrat pada layer kedua. Pencatuan ini dikopel secara elektromagnetis yang juga secara tidak langsung dibatasi oleh substrat dielektrik Teknik pencatuan Electro-magnetically Coupled (EMC) bertujuan untuk mengurangi radiasi yang tidak diinginkan serta memperbaiki bandwidth tanpa rangkaian matching tambahan [21]. Selain memiliki kelebihan dengan memperluas bandwidth, pencatuan ini memiliki kelemahan yaitu dibutuhkan ketepatan saat mendesain bagian atas dan bawah pada layer agar dapat terkopel dengan baik [22]. Gambar 2.10 merupakan pencatuan dengan Proximity coupled feeding seperti dibawah ini[19] :
adalah [20] : Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
45
k
Gambar 2.13 Proximity Coupled Feeding
2.7. Antena Planar Array Salah satu teknik untuk meningkatkan performansi dari antena planar yaitu dengan mendesain antena array.Antena array biasanya didesain untuk mencapai spesifikasi yang tidak dapat dicapai menggunakan antena satu elemen seperti bentuk pola radiasi tertentu, besar gain, dan lainnya. Selain itu antena array juga biasa digunakan jika antena membutuhkan pergeseran beam ke arah tertentu. Salah satu masalah pada antena array yaitu mutual coupling, adanya mutual coupling antar elemen dari antena dapat mengurangi effisiensi dari antena yang akan berimbas pada menurunnya gain absolut dari antena. Pengurangan effisiensi dari antena ini terjadi karena adanya gelombang permukaan yang terjadi antar elemen yang mengakibatkan hilangnya sebagian daya dari antena.Cara untuk mengurangi mutual coupling yaitu dengan mengatur jarak antar elemen sebesar setengah lamda [27], selain itu dapat juga digunakan metamaterial dan Defeat Ground System (DGS) yang dibentuk dan diletakkan sedemikian rupa di antara elemen-elemen array [28]. Pola radiasi antena array lebih besar pada arah tertentu dan lebih kecil pada arah yang lain. Pola radiasi dari antena F(θ) dari suatu antena array merupakan perkalian antara faktor dari tiap elemen Fe (θ) dan array faktor dari antena Fa (θ), seperti dinyatakan pada persamaan 2.18 [18]:
F( ) Fe ( ) Fa ( ) ………………...2.18 Sedangkan nilai array factor (AF) dapat dihitung sebagai berikut [18] :
AF n 1 A n -1 exp(j(n - 1) ……….2.19 N
kd cos ……………………...2.20
2
0
……………………....................2.21
Dimana : β : phase eksitasi pada masing-masing single elemen A n -1 : nilai amplitude yang digunakan pada tiap-tiap elemen Untuk nilai A n 1 , medan radiasi dapat dinormalisasi sebagai berikut [18]:
AFn
jN
1 1 e 1 j N 1 e N
sin(
N ) 2 …2.22
sin( ) 2
Main lobe yang dihasilkan dari antena array terjadi saat 0 sedangkan grating lobe terjadi saat 2n grating lobe dari antena array harus dihilangkan karena dapat menghasilkan sinyal yang diterima pada arah yang diinginkan. Nilai dari jarak antar elemen (d) agar grating lobe dapat dinyatakan sebagai berikut [18] :
d
1 …………………..2.23 1 | sin 0, max |
Dimana
sin 0,max adalah
arah
sudut
maksimum dari main beam dari antena. 3. PEMBAHASAN
3.1. Perancangan Antena Proses dalam merancang suatu antena yang pertama dilakukan adalah menentukan karakteristik antena seperti: frekuensi kerja, return loss, VSWR, gain dan beamwidth. Pada tabel 3.1 berikut ini menjelaskan spesifikasi dalam merancang antena planararray dengan ketentuan sebagai berikut: Tabel 3.1. Spesifikasi Perancangan Antena Frekuensi Kerja 9 GHz (8,9 –9,1 GHz) Impedansi Terminal 50 Ω koaksialkonektor SMA VSWR ≤2 Beamwidth < 10° Gain > 10 dB
Bahan substrat yang digunakan adalah jenis Taconic dan FR 4 dengan ketebalan substrat 46
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)
1,52 mm dan 1,6 mm. Ketebalan substrat berpengaruh terhadap gelombang permukaan. Impedansi terminal yang digunakan 50 Ω karena pada umumnya standar yang digunakan untuk sistem komunikasi radio adalah 50 Ω. Semakin tipis ketebalan substrat maka efek gelombang permukaan semakin kecil.Dengan mengecilnya gelombang permukaan diharapkan dapat meningkatkan kinerja dari antena seperti : gain,beamwidth, dan return loss. Pada penelitian ini dirancang dua jenis antena. Antena pertama yaitu antena konvensional (patch biasa) kemudian antena kedua yaitu antena patch (SR) dengan teknik planar array dimana nantinya dapat memperbaiki nilai gain dan beamwidth. Antena dengan patch (SR) dengan metode MNG (mu negative) menggunakan teknik planar array yang tidak menyerap gelombang permukaan dan memperbaiki nilai gain, beamwidth, dan return loss.
Dimana nilai B adalah : 377
B=
Sehingga : 2,2 1 0,61 ln 7,98 1 0,39 7,98 1 ln 2 x7,98 1 3,14 2 x 2,2 2,2
3.4. Perhitungan Lebar, Panjang, dan Inset Feed Tahap selanjutnya adalah menghitung panjang (L), lebar (w), antena konvensional dengan spesifikasi f0 = 9,031 x106MHz, ( r ) = 2,2, h = 1,52 mm, dan c = 3 x 108 m/s. Untuk menghitung lebar antena menggunakan persamaan 2.9: w
c
r 1 2 3x10 8
=
2,2 1 2
300
2 x9,031
W0
= 2,34 mm
Dimana : h : Tebal substrat (1,52 mm) r : Konstanta dielektrik relatif (2,2 V/m)
2 x9,031x10 6
Di bawah ini merupakan desain dari antena konvensional seperti pada gambar 3.3 berikut:
377 x3,14 = 7,98 2 x50 2,2
w0= 1,52
2 f0
3.2. Perancangan Antena Konvensional Patch Tunggal
r
2z0
=
2,2 1 2
= 13,13 mm
Sedangkan untuk menentukan panjang patch (L) diperlukan parameter ∆L yang merupakan pertambahan panjang dari L akibat adanya fringing effect.
Y0
L
Pertambahan panjang dari L (∆L) tersebut dirumuskan pada persamaan 2.10. Sebelum menghitung ∆L, menghitung nilai konstanta dielektrik relatif yang dirumuskan pada persamaan 2.11 di bawah ini :
w
Gambar 3.3. Antena Konvensional
3.3. Perhitungan Saluran Pencatu Antena Konvensional Patch Tunggal
Untuk menghitung lebar saluran pencatu dengan w0 >2, menggunakan persamaan (2.15)dengan memasukan nilai ( r ) = 2,2 dan Z0 = 50 Ω adalah: w0= h B 1 ln( 2 B 1) r 1 (ln( B 1) 0,39 0,61)
2 r
r
eff
=
( r 1) ( r 1) 1 2 2 1 12 h w
22 + 1 2,2 − 1 + ( ) = 1,851 mm 1,52 2 1 + 12 13,13
r
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
47
Sehingga L dapat dicari menggunakan persamaan 2.10 :
L = 0,412 h
w 0,264 h w 0,258) 0,8 h
( reff 0,3) ( reff
Sehingga dapat dihitung :
Ukuran patch antena konvensional seperti pada gambar 3.4 disesuaikan dengan iterasi panjangpatch, lebar patch, dan ujungfeed (w0). Pada perhitungan ukuran w = 13,13 mm, panjang (L) = 10,958 mm, dan w0 = 2,34 mm. Sedangkan ukuran insetfeed (Y0)dibuat saat simulasi menggunakan CST Microwave Studioyaitu 3,5 mm. Selanjutnya dilakukan simulasi antena konvensional seperti pada gambar 3.5 :
Sebelum mencari L, maka dihitung terlebih dahulu Leffyaitu panjang patch efektif seperti yang dirumuskan pada persamaan 2.13 sebagai berikut : Leff =
c 2 f 0 reff
=
3x10 8 2 x9,031x10 9 1,851 Gambar 3.8. Pola Radiasi Antena Konvensional Patch Tunggal
30
=
2 x9,031 1,851 = 12,2 mm
Sehingga L dapat dihitung menggunakan persamaan 2.12 seperti : L
Pada gambar 3.8 menunjukkan pola radiasi yang dihasilkan dari antena konvensional patch tunggal, dan beamwidth (Angular width (3 dB))yang dihasilkan adalah 39.7°. 6.
= Leff – 2 L = 12,2 – 2 x 0,621 = 10,958 mm
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
3.5. Desain Akhir Antena Konvensional Patch Tunggal Antena konvensional dirancang dengan maksud untuk membandingkan nilai gain dan beamwidthkedua antena. Di bawah ini menjelaskan tampak depan dan belakang dari antena konvensional :
Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut: a. Antena microstrip berukuran kecil dan dapat digunakan untuk radar perbatasan NKRI. 6.2. Saran Saran yang dapat diberikan guna pengembangan jurnal ini sebagai berikut : a. Perbanyak referensi, dan update berkala agar relevan dengan kondisi saat ini DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3.4. Antena Konvensional; (a) tampak depan, (b) tampak belakang.
48
1] Chen, D and C.-H Cheng ,2011. A novel compact ultra-wideband (UWB) wide slot antenna with via holes.IEEE Progres In Electromagnetics Research, Vol. 94,343349,2009 2] Satria, Herry (2015) BAHAN AJAR SALURAN GELOMBANG MIKRO BAB II & BAB III. : Tidak Diterbitkan
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (39-49)
3] J.Liang, dkk 2005, Study of a Printed Circular Disc Monolole Antena for UWB systems, IEEE Transaction on Antennas and Propagation, vol 3, no. 11, November 2005, pp.3500-3504
PENULIS :
Ir. Herry Satria Utama, MT., Staf Dosen Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan, Bogor
Microstrip Antena Pada Frequensi 9GH Frequensi Aplikasi Radar (Herry Satria Utama)
49
PEMANFAATAN PASIR PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT SEBAGAI AGREGAT HALUS PADA BETON Oleh :
Titik Penta Artiningsih
Abstrak Pembangunan di Indonesia pada umumnya menggunakan konstruksi beton karena beton memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan bahan konstruksi lain. Akan tetapi meningkatnya penggunaan beton mengakibatkan semakin meningkat pula kebutuhan material penyusun beton. Beton disusun dari agregat kasar dan agregat halus, yang menempati 70 – 80% dari volume beton. Agregat halus yang umumnya dipakai adalah agregat alam, yaitu pasir, yang berasal dari sungai dan lapukan batu dari gunung. Peningkatan kebutuhan pasir tidak seimbang dengan persediaan yang terbatas, sehingga penggunaan pasir pantai mulai dipertimbangkan. Tetapi penggunaan pasir pantai sebagai material penyusun beton masih perlu diteliti lebih lanjut, mengingat pasir pantai mengandung garam yang bersifat merugikan bagi beton. Pasir pantai Pameungpeuk Kabupaten Garut memiliki kandungan garam yang rendah, tetapi kandungan lumpur dan zat organiknya cukup tinggi, yang dapat berpengaruh terhadap kualitas beton yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan dengan tiga variasi perlakuan (treatment) terhadap pasir pantai, yaitu pasir pantai digunakan dalam keadaan asli (variasi-1), pasir pantai dicuci dengan air tawar (variasi-2), dan pasir pantai dicuci dengan air hangat (variasi-3). Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai kuat tekan lebih besar dari kuat tekan rencana sebesar 25 MPa, yaitu untuk pasir pantai tanpa treatment (variasi-1) sebesar 25,59 MPa, pasir pantai dengan treatment dicuci air tawar (variasi-2) sebesar 27,82 MPa atau naik sebesar 8,7%, dan pasir pantai dengan tretment dicuci air hangat (variasi-3) sebesar 28,85 MPa atau naik sebesar 12,70%. Kata Kunci : agregat halus, pasir pantai, treatment, kekuatan tekan, mutu beton 1.
industri memerlukan upaya yang tidak mudah, dan kuantitasnyapun terbatas, sehingga pilihan masih menggunakan agregat alam.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam era globalisasi, pembangunan yang terjadi sudah sangat pesat serta teknologi yang digunakan pun sudah sangat maju. Demikian juga di Indonesia, pembangunan pada umumnya menggunakan konstruksi beton, karena konstruksi beton memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan konstruksi lain, terutama dari segi biaya dan kemudahan pengerjaan. Akan tetapi peningkatan penggunaan beton mengakibatkan semakin meningkat pula kebutuhan material penyusunnya, yaitu agregat dan semen. Agregat yang umum digunakan adalah agregat alam, sehingga semakin lama semakin habis. Berbagai penelitian telah dilakukan, seperti penggunaan agregat buatan, agregat dari limbah industri dan sebagainya, tetapi penggunaan agregat buatan atau limbah 50
Agregat terdiri dari agregat kasar dan agregat halus. Agregat halus alam yang umum digunakan adalah pasir yang berasal dari gunung dan dari sungai, yang sebetulnya juga merupakan hasil pelapukan batuan gunung yang hanyut. Pasir pantai sebagai salah satu jenis material agregat halus memiliki ketersediaan dalam kuantitas yang besar, mengingat negara Indonesia adalah negara kepulauan. Namun demikian penggunaan pasir pantai sebagai material secara kualitas masih perlu diteliti lebih lanjut terhadap struktur beton mengingat pasir pantai banyak mengandung garam-garam klorida (Cl) dan Sulfat (SO4) yang bersifat merugikan bagi beton. Oleh karena itu perlu diteliti karakteristik pasir dari pantai-pantai di Indonesia. Salah satu pasir pantai yang akan
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (50-54)
diteliti adalah pasir dari Pantai Sayang Heulang Pameungpeuk Kabupaten Garut.. 1.2. Rumusan Masalah Sifat-sifat dan karakteristik material penyusun beton akan sangat mempengaruhi kinerja dari beton. Terutama dalam hal ini pasir pantai sebagai material agregat halus banyak mengandung garam-garam klorida (Cl) dan Sulfat (SO4) yang bersifat merugikan bagi beton. Akan tetapi Indonesia sebagai negara yang mempunyai lebih dari 3700 pulau dan pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui garis khatulistiwa, tentunya memiliki keanekaragaman karakteristik kualitas pasir pantai yang berbeda. Untuk itu perlu diteliti apakah pasir pantai Sayang Heulang Pameungpeuk Garut dapat dimanfaatkan sebagai agregat halus pada pembentukan beton normal. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, menggunakan material-material yang tersedia dan mudah diperoleh di sekitar laboratorium, sedangkan pasir pantai diambil dari pantai Sayang Heulang, Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Tujuan penelitian adalah menguji potensi penggunaan pasir pantai Pameungpeuk sebagai agregat halus untuk campuran beton. 1.4. Batasan Masalah Penelitian yang dilakukan adalah studi eksperimental yang dilaksanakan di laboratorium Teknologi Beton Universitas Pakuan, dengan batasan sebagai berikut: mutu beton rencana adalah 25 MPa semen yang digunakan yaitu semen tipe portland komposit (Portland Cement Composite) bahan material yang digunakan yaitu agregat halus pasir pantai berasal dari pantai Sayang Heulang Pameungpeuk Kabupaten Garut, dan agregat kasar batu pecah dari sekitar Bogor rasio air-semen yang digunakan 0,61 variasi penelitian adalah treatment terhadap pasir pantai, yaitu pasir digunakan dalam keadaan asli (variasi I), pasir dicuci dengan air tawar (variasi II), dan pasir direndam dengan air hangat (variasi III). Pasir dicuci dan direndam
dengan tujuan untuk mengurangi kadar garam dan kadar lumpur benda uji berbentuk silinder dengan ukuran penampang diameter 15 cm dan tinggi 30 cm jumlah benda uji setiap variasi adalah 9 buah pengujian kuat tekan dilakukan pada umur 7, 14, dan 28 hari, masing-masing 3 buah benda uji pada setiap waktu pengujian 1.5. Tinjauan Pustaka Agregat Halus Agregat halus alam, atau biasa disebut pasir, adalah bahan bangunan yang banyak digunakan, dari struktur bawah hingga paling atas dalam bangunan. Pasir harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam SKSNI S-04-1989-F (Spesifikasi Agregat sebagai Bahan Bangunan), yaitu: ukuran agregat halus harus lebih kecil dari 4.8 mm agregat halus harus terdiri dari butiran yang tajam dan keras, dengan indeks kekerasan ≤ 2.2 mm butir-butir agregat halus harus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca, seperti terik matahari atau hujan. Sifat kekal ditunjukkan melalui pengujian dengan larutan jenuh garam sulfat, yaitu: - jika dipakai natrium sulfat, bagian hancur maksimum 12% - jika dipakai magnesium sulfat, bagian halus maksimum 10% tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% (ditentukan terhadap berat kering). Apabila kadar lumpur melampaui 5% maka agregat halus harus dicuci tidak boleh mengandung bahan-bahan organik terlalu banyak, yang harus dibuktikan dengan percobaan warna dari Abrans-Harder dengan larutan jenuh NaOH 3% susunan besar butir mempunyai modulus kehalusan antara 1,5 – 3,8 mm, dan harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi, reaksi pasir terhadap alkali harus negatif pasir laut tidak boleh digunakan sebagai agregat halus untuk semua mutu beton,
Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat Halus Pada Beton (Titik Penta Artiningsih)
51
kecuali dengan petunjuk dari lembaga pemeriksa bahan yang diakui. batas kandungan garam tidak boleh lebih dari 2% Pemanfaatan Pasir Pantai Kualitas agregat yang digunakan sebagai komponen struktural beton memegang peranan penting dalam menentukan kualitas struktur beton yang dihasilkan, sebab agregat mengisi 60 – 80% dari volume beton, dan agregat halus menempati + 50% dari jumlah agregat, yang bertugas mengisi ruang kosong antara agregat kasar. Pasir laut umumnya memiliki karakteristik butiran yang halus dan bulat, gradasi yang seragam, serta mengandung garam-garam klorida yang bersifat agresif terhadap bahan lain termasuk beton. Butiran yang halus dan bulat serta gradasi yang seragam, dapat mengurangi daya lekat (interlocking) antar butiran dan dapat berpengaruh terhadap kekuatan dan durabilitas beton.
Jika ditinjau dari segi jumlah ketersediaan, maka pasir pantai di Indonesia memiliki kapasitas ketersediaan jauh lebih besar dibandingkan dengan pasir sungai, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar adalah berupa perairan. Indonesia sebagai negara yang mempunyai lebih dari 3700 pulau dan pantai sepanjang 80.000 kilometer atau dua kali keliling bumi melalui garis khatulistiwa, tentunya memiliki keanekaragaman karakteristik kualitas pasir pantai yang berbeda. Untuk itu harus dilakukan serangkaian pengujian terlebih dahulu sebelum menggunakan pasir pantai sebagai bahan pembuatan beton. Salah satunya adalah pemeriksaan nilai kadar garam. Menurut Basic Construction Materials (Hirubin, 1931, dalam Sing, 1994) batasan kandungan garam adalah sebesar 2% dari berat agregat. 3.
PEMBAHASAN
3.1. Sifat Karakteristik Material
Sedangkan adanya klorida yang terkandung di air laut, yaitu NaCl dan MgCl, menurut Neville (1981), bila bertemu dengan senyawa semen menyebabkan gypsum dan kalsium sulphoaluminat dalam semen mudah larut. Selain itu adanya klorida dalam beton akan memberi resiko berkaratnya baja tulangan dalam beton, yang selanjutnya dapat mmecahkan beton. Jika hal seperti itu terjadi, maka tulangan di dalam beton menjadi tudak berfungsi sebagaimana mestinya. Garam sulfat, terutama Mg-sulfat (Mg-SO4) sangat agresif terhadap semen, yang reaksinya dengan semen akan menghasilkan senyawasenyawa yang volumenya mengembang, lalu sedikit demi sdikit merusak beton (D. Rigel, 2007).
Dari pengujian karakteristik yang mengacu pada American Society of Testing Material (ASTM), diperoleh hasil pengujian yang menunjukkan bahwa pasir pantai Pameungpeuk mengandung garam klorida 0,29%, sedangkan batas yang ditetapkan adalah 2%, sehingga pasir pantai Pameungpeuk masih dapat digunakan sebagai pasir beton.
Apabila karakteristik butiran pasir laut distabilisasi (diatasi dengan suatu cara atau metode) serta kandungan garam-garamannya direduksi atau apabila pasir laut memiliki karakteristik butiran yang kasar dengan gradasi yang bervariasi serta memiliki kandungan garam-garaman yang tidak melebihi batas yang ditetapkan, maka pasir laut dapat digunakan sebagai komponen struktural beton dan menjadi alternatif yang baik untuk mengatasi keterbatasan material agregat halus.
Tabel 1. Karakteristik Pasir Pantai
52
Pemeriksaan sifat material, yaitu kadar lumpur, berat volume, specific gravity, kadar air, dan modulus kehalusan, dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah dan Teknologi Beton Universitas Pakuan, dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Sifat Fisik
Pasir
Syarat
Kadar garam [%] Kadar lumpur [%] Berat volume [kg/m3]: padat gembur Specific gravity [t/m3]: apparent kering SSD Absorpsi air [%] Mod. kehalusan Kadar air [%]
0,29 3,951
< 1% < 5%
1602 1472 1,616 1,139 1,166 2,355 1,714 2,460
1,5 – 3,8
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (50-54)
Tabel 2. Karakteristik Batu Pecah Batu Sifat Fisik Syarat Pecah Kadar garam [%] < 1% Kadar lumpur [%] 0,942 < 5% Berat volume [kg/m3]: padat 1316 gembur 1200 Specific gravity [t/m3]: apparent 3,480 kering 3,169 SSD 3,258 Absorpsi air [%] 2,815 Mod. kehalusan 3,410 5,0 – 8,0 Kadar air [%] 1,045
Hasil uji sifat material kemudian digunakan untuk perencanaan campuran (mix-design), yang diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Rencana campuran untuk 1 m3 beton
Material
Berat [kg]
semen portland pasir pantai split air water-cement rasio
336,07 460,40 890,93 205,00
Tabel 6. Hasil Uji Berat Volume Variasi 3 Umur Berat Berat Volume Rerata [hari] [kg] [kg/m3] Berat Volume 12,00 2264,15 7 11,93 2250,94 2254,09 11,91 2247,17 12,00 2264,15 14 11,85 2235,85 2253,46 11,98 2260,38 11,95 2254,72 11,85 2235,85 28 2232,71 11,70 2207,55
Dari Gambar 1 terlihat bahwa treatment mempengaruhi berat volume beton. Benda uji tanpa treatment (variasi 1) mempunyai berat volume yang besar, sedanagkan benda uji dengan treatment (varisi 2 dan variasi 3) mempunyai berat volume yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa treatment menurunkan berat volume agregat yang mengakibatkan berat volume juga berkurang. 2300 VAR1
VAR2
VAR3
2280 2260 2240
3.2. Berat Volume
2220 2200
Hasil pengukuran berat volume dengan berbagai variasi treatment dapat dilihat pada Tabel 4, 5, dan 6.
7
14
28
Gambar 1. Perbandingan Berat Volume
3.3. Kekuatan Tekan Tabel 4. Hasil Uji Berat Volume Variasi 1 Umur Berat Berat Volume Rerata [hari] [kg] [kg/m3] Berat Volume 12,10 2283,02 7 12,19 2300,00 2294,97 12,20 2301,89 11,95 2254,72 14 12,01 2266,04 2271,70 12,16 2294,34 12,08 2264,15 11,90 2245,28 28 2269,81 12,19 2300,00 Tabel 5. Hasil Uji Berat Volume Variasi 2 Umur Berat Berat Volume Rerata [hari] [kg] [kg/m3] Berat Volume 12,10 2283,02 7 12,15 2292,45 2286,16 12,10 2283,02 12,08 2279,25 14 11,96 2256,60 2257,23 11,85 2235,85 12,00 2264,15 11,85 2235,85 28 2248,43 11,90 2245,28
Hasil uji kekuatan tekan silinder beton dapat dilihat pada Tabel 7, 8, dan 9. Tabel 7. Hasil Uji Kuat Tekan Variasi 1 Umur Beban Kuat Tekan Rerata [hari] [kg] [MPa] Kuat Tekan 39400 21,74 7 34800 21,08 21,33 38400 21,16 44800 23,86 14 40000 23,08 23,32 41600 23,01 42200 25,35 58200 25,59 28 25,59 43000 25,82 Tabel 8. Hasil Uji Kuat Tekan Variasi 2 Umur Beban Kuat Tekan Rerata [hari] [kg] [MPa] Kuat Tekan 33200 22,16 7 34000 21,62 21,71 43900 21,34 46700 23,95 14 40000 24,08 23,99 43200 23,93 28 48000 27,70 27,82
Pemanfaatan Pasir Pantai Pameungpeuk Garut Sebagai Agregat Halus Pada Beton (Titik Penta Artiningsih)
53
47600 49000
3
27,47 28,28
Tabel 9. Hasil Uji Kuat Tekan Variasi 3 Umur Beban Kuat Tekan Rerata [hari] [kg] [MPa] Kuat Tekan 38100 21,99 7 40100 22,14 21,93 35800 21,66 41700 24,07 14 42400 24,47 24,36 42500 24,53 47000 27,12 48400 27,93 28 28,85 51100 28,49
Dari Gambar 2 terlihat bahwa beton tanpa treatment maupun dengan treatment mencapai kekuatan rencana yaitu 25 MPa pada umur 28 hari, tetapi treatment mempengaruhi kekuatan beton. Pada beton tanpa treatment (variasi 1) dicapai kuat tekan 25,59 MPa, sedangkan dengan cara dicuci air tawar (variasi 2) tercapai 27,82 MPa atau naik 8,7%, dan dicuci dengan air hangat (variasi 3) tercapai mutu 28,85 MPa atau naik 12,7%, tetapi secara umum kenaikannya tidak signifikan. 35 30
VAR1
VAR2
VAR3
25 20 15 10 5 0 7
14
28
Gambar 2. Perbandingan Kuat Tekan
Treatment dengan cara mencuci dengan air tawar (variasi 2) meningkatkan kuat tekan beton hanya 8,7%. Demikian juga treatment dengan cara mencuci menggunakan air hangat meningkatkan 12,7%, sehingga tidak cukup signifikan dibandingkan usaha treatment yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1]. ACI Committee 211, 1991, “Standard Practice for Selecting Proportions for Normal, Heavy, and Mass Concrete (ACI 211.1-91),” ACI Manual of Concrete Practice Part 1, Detroit 2]. ASTM, Concrete and Aggregates, Annual Book of ASTM Standards vol. 04.02, American Society for Testing and Materials, Philadelphia, 1993 3]. Donald R. Mangerongkonda, Pengaruh Penggunaan Pasir Laut Bangka terhadap Karakteristik Kualitas Beton, Universitas Gunadarma, 2007 4]. Kusuyudi, Penggunaan Pasir Pantai (Bale Kambang) dengan Pasir Sungai (Tulungagung) sebagai Campuran Beton di Daerah Pantai Selatan Jawa Timur, Tulungagung, 2006 5]. M. W. Tjaronge, A. A. Aminuddin, A. M. Hamka, Studi Eksperimental Kuat Tekan Beton Self Compacting Concrete (SCC) dengan Menggunakan Material Pasir Laut dan Air Laut, Universitas Hasanuddin, Makassar, PENULIS :
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik beberpa kesimpulan sebagai berikut: 1 Berdasarkan hasil uji kadar garam di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor, diperoleh nilai kadar klorida 0,29%, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai maksimum kadar klorida yang diijinkan, yaitu sebesar 2% 2 Material pasir pantai Pameungpeuk Garut memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai material pembentuk beton, karena beton yang dibuat dengan memakai pasir tersebut dalam kondisi asli (variasi 1) sudah dapat mencapai nilai kuat tekan rencana pada umur 28 hari, yaitu 25,59 Mpa
54
Dr. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT, staf pengajar Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan, Bogor
Jurnal Teknologi Volume II, Edisi 24, Periode Januari-Juni 2014 (50-54)