ISSN 1411 - 5972
(MAJALAH ILMIAH FAKULTAS TEKNIK - UNPAK) Volume I, Edisi 23, Periode Juli-Desember 2013
»
Kata Pengantar
»
Daftar Isi
»
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan Airtanah Bandung
(Fajar Hendrasto dan Bambang Sunarwan) »
12
21
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) Pada Jaringan Optik (Yamato dan Evyta Wismiana)
»
1
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti dan Ike Pontiawaty)
»
ii
Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura)
(Budiono) »
Hal. i
33
Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota (Studi Kasus : Jalan Akses Komplek Puri Pamulang) Kota Tangerang Selatan
(Arif Mudianto, Heny Purwanti dan Fitri Yunitasari)
40
JURNAL TEKNOLOGI
Vol. I, Edisi 23, Periode Juli-Desember 2013. ISSN 1411 - 5972
PELINDUNG DR. H. Bibin Rubini, M.Pd. (Rektor UNPAK) PENANGGUNG JAWAB DR. Ir. Titik Penta Artiningsih, MT. (Dekan Fakultas Teknik) PENASEHAT/KONSULTAN (Ex. Officio) Kajur Teknik Sipil Kajur Perencanan Wilayah Dan Kota Kajur Teknik Geodesi Kajur Teknik Elektro Kajur Teknik Geologi PIMPINAN REDAKSI DR. Ir. Bambang Sunarwan, MT. SEKRETARIS REDAKSI Ir. M.A. Karmadi ANGGOTA REDAKSI Ir. Singgih Irianto, MSi., Ir. Teti Syahrulyati, M.Si., DR. Ir. Rochman Djaja AH. M.Surv., Ir. Ichwan Arif, MT., Ir. Budi Arief, MT., Ir. Dede Suhendi, MT., DR. Ir. Janthy T. Hidayat, M.Si., Ir. Akhmad Syafuan, MT., Heny Purwanti, ST., MT. PEMBANTU UMUM Sudarsono
CATATAN :
JURNAL TEKNOLOGI UNPAK, sebagai majalah ilmiah, direncanakan terbit setiap 6 (enam) bulan. Kehadirannya diharapkan mampu menjadi media komunikasi dan forum pembahasan keilmuan bagi staf pengajar dan mahasiswa, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik - UNPAK. Untuk kelangsungan penerbitan, Redaksi berharap para ilmiawan sebagai pakar ilmu pengetahuan dan teknologi berkenan mengirimkan tulisan bebas dan kreatif berbentuk tulisan populer, hasil penelitian, atau gagasan orisinal yang segar. Pengiriman naskah ditulis dengan bahasa Indonesia atau Inggris dilengkapi dengan abstrak (tidak lebih dari 200 kata), ukuran kuarto/A4, ditulis dengan urutan Judul, Nama Penulis, Abstrak, Isi Tulisan dan Daftar Pustaka, dilengkapi dengan Riwayat Pendidikan/Pekerjaan terakhir Penulis. Panjang naskah disarankan tidak lebih dari 10 halaman atau 6000 kata, disertakan copy disket tulisan.
Bila diterima, Redaksi akan mengedit sesuai gaya Jurnal Teknologi - UNPAK
Kata Pengantar
Assalammualaikum Wr. Wb. JURNAL TEKNOLOGI Edisi ke 23 Periode (Juli – Desember 2013), diterbitkan oleh Fakultas Teknik, Universitas Pakuan Bogor, berisi 5 (lima) makalah, hasil penulisan para staf pengajar/dosen, khususnya di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pakuan Bogor. Beberapa penyempurnaan masih terus diperlukan, termasuk saran dan kritik agar penerbitan selanjutnya makin memiliki nilai tambah dan bobot ilmiah, khususnya pada isi/materi tulisan yang ada. Diharapkan JURNAL TEKNOLOGI, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan dapat terbit secara rutin dan bermanfaat bagi pembaca.
Wassalam
Redaksi
i
JURNAL TEKNOLOGI Volume I, Edisi 23, Periode Juli-Desember 2013, ISSN 1411 - 5972
DAFTAR ISI
HaL. Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan Airtanah 1
Bandung Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-
12
Madura) Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir di Sungai Ciliwung
21
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) 33
Pada Jaringan Optik Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota (Studi Kasus : Jalan Akses Komplek Puri Pamulang) Kota Tangerang Selatan
Alamat Redaksi/Penerbit Jurnal Teknologi Fakultas Teknik - Universitas Pakuan Jl. Pakuan (0251) 8311007 Website : www.ft.unpak.ac.id E-mail :
[email protected] Bogor
ii
40
PEMANFAATAN ISOTOP LINGKUNGAN DI DAERAH CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG Oleh : Fajar Hendrasto dan Bambang Sunarwan
Abstrak Hal yang dilakukan dalam survey Survey untuk melakukan delineasi daerah resapan adalah: Sampling environment isotope, yaitu 180, 2H, dan 3H yang terdapat pada mataair, sumurgali, dan sumur pantau dalam yang dipilih. Dua isotop yang pertama akan digunakan untuk menentukan posisi ketinggian daerah resapan, sementara isotop yang ketiga akan digunakan untuk melakukan analisis umur airtanah. Dalam hubungannya dengan penentuan ketinggian daerah resapan, air hujan pada berbagai ketinggian juga dilakukan pengambilan sampel dan dilakukan analisis untuk tujuan melakukan rekonstruksi local meteoric water line. Air dari mataair yang keluar ke permukaan merupakan suatu komponen sistem hidrologi dalam siklus hidrologi. Pada dasarnya, siklus hidrologi melibatkan proses pendinginan awan dan kondensasi di atmosfir penyebab terjadinyai hujan. Air pada sistem akifer tergantung kondisi hidrogeologi setempat, bisa berasal dari air hujan yang terjadi di atas tanah atau dikenal sebagai resapan lokal (local recharge). Namun bisa juga berasal dari air hujan yang terjadi pada area lebih tinggi dan lebih jauh kemudian meresap ke dalam tanah yang mampu bersifat menyimpan selanjutnya mengalir sebagai airtanah.
Kata-kata Kunci : mataair, sumurgali, dan sumur pantau , siklus hidrologi, environment isotope, local meteoric water line, (local recharge). 1.
PENDAHULUAN
Dalam siklus hidrogeologi dari sistem yang spesifik, komposisi isotop stabil dari molekulmolekul air adalah bervariasi dan akan tergantung suhu dari molekul tersebut terbentuk. Nilai-nilai yang hampir sama komposisi isotop stabil dari populasi air dalam sistem menunjukkan bahwa berawal dari sumber-sumber yang hampir sama . Pemahaman sumberdaya air, dari mana asalusul air , bagaimana bergerak serta karakteristik sampai pemanfaatannya merupakan hal yang vital untuk diketahui sebagai manajeman yang tepat. Teknologi isotop lingkungan menawarkan suatu kemungkinan yang begitu luas untuk mempelajari karakteristik dan proses dalam siklus air. Suatu kajian isotop stabil dalam molekul air mampu mengandung 2H dan 18O
yang lebih berat dari molekul normal termasuk kandungan ¹H dan 16O. 1.1 Dasar Teori Dalam kondensasi dan evaporasi, fraksinasi yang berat dan molekul akan terlibat. Kondensasi yang membentuk hujan turun dari awan akan mengalami pengkayaan dengan molekul berat dari pada awan yang tersisa di atmosfir. Hal ini disebabkan kebanyakan dari molekul berat akan lebih keluar dan bergerak ke bagian atas kearah yang lebih rendah suhunya. Air hujan yang berada pada suhu paling rendah akan lebih mengeluarkan komposisi isotop daripada air hujan pada suhu yang tinggi. Fenomena tersebut merupakan prinsip dasar dari suatu kajian untuk mengidentifikasi asal resapan dari airtanah. Umur airtanah yang mengalir di dalam akifer dan ke luar sebagai air mataair menampakan
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
1
keberadaannya waktu air di dalam zona jenuh air dalam akifer Disamping itu ada suatu proses perubahan CO2 pada atmosfir dengan kandungan karbonat terlarut dalam air, sehingga kandungan 14C yang larut dalam air, sementara diketahui molekul air yang terkandung dalam atmosfir akan selalu konstan. Pada saat air meresap ke dalam tanah, radioaktif 14C akan mengalami peluruhan secara eksponensial menurut paruh waktu (5730 tahun). Dengan pengukuran aktivitas 14 C dalam airtanah, waktu keberadaan airtanah dalam akifer akan dapat diperhitungkan.. Teknik lain untuk penentuan umur airtanah adalah dengan mengukur kandungan tritium. Tritium (3H or T) atau radioisotope hydrogen menunjukkan kandungan yang berlimpah yakni sekitar (0 – 10-15) %. Unit /satuan pengukuran adalah tritium unit (TU) yang dinyatakan sebagai 1 atom terbentuk dalam 1018 atom-atom H. waktu paruhnya adalah sekitar 12.38 tahun untuk 3H yang meluruh ke 3 H dengan suatu emissi suatu partikel β. Sama halnya dengan 14C, Tritium pun merupakan bagian dari siklus hidrologi. Idealnya, dengan diketahui 3H dalam curah hujan (sebagai sumber) dan penyebarannya dalam airtanah, akan dapat di dating air. Pengambilan sample untuk pengukuran kandungan isotop bisa dilakukan dari banyak mataair pada berbagai elevasi atau ketinggian tertentu. Dengan demikian mataair yang dipilih berdasarkan topografi, kondisi geologi dan hidrogeologi menjadi faktor menentukan dalam memperoleh definisi atau kesimpulan yang baik mengenai daerah resapan. 1.2 Metodologi Analisis komposisi isotop air hujan dimaksudkan mewakili korelasi komposisi isotop air hujan pada elevasinya. Suatu grafik mewakili korelasi tersebut akan digunakan untuk menafsirkan daerah resapan dari airtanah. Pengumpulan data air hujan di setting menurut elevasi yang berurutan di daerah kajian. Pengambilan data dilakukan satu sampai dua kali sebulan selama periode musim hujan. Korelasi linear yang didapat menjadi indeks isotop hujan yang jatuh dan berinfiltrasi ke tanah dan terkumpul sebagai airtanah. 2
Analisis komposisi isotop stabil dari mataair pun di daerah kajian dilakukan. Korelasi terhadap elevasi yang sama dibuat untuk memperoleh gambaran dalam melakukan estimasi elevasi daerah resapan. Identifikasi serta analisis 14C and 3H (tritium) di daerah kajian untuk penentuan umur airtanah. 1.3 Identifikasi Isotop Stabil Sekilas uraian dalam identifikasi isotopisotop airtanah yang biasa dilakukan, antara lain; 1.3.1 Analisis 2H Suatu 2H dipersiapkan dari reaksi sebanyak 10 ml sample air dengan 0.25 gram Zinc aktif dalam suatu tube tertutup dipanaskan sampai 450oC sekitar 30 menit. Reaksinya adalah sebagai berikut: C H2O + Zn 450 ZnO + H2 o
(liq) (sol)
(sol) (gas)
Gas hidrogen terbuang atau tersimpan ke dalam tube khusus untuk selanjutnya dilakukan analisa menggunakan mass spectrometer. 1.3.2 Analisis 18O Sebanyak 2 ml dari sample air direaksikan dengan gas CO2. Pertukaran Oksigen-18 dari molekul air dan oksigen-16 dari gas akan CO2 yang berperan serta, dengan reaksi; H218O + C18O2 (liq) (gas)
H216O + C16O18O (liq)
(gas)
Reaksi dilakukan dalam status isotop-18 dilakukan analisa menggunakan mass spectrometer. 1.3.3 Dating Tritium Sampel mentah air dikumpulkan sebanyak 50 ml dalam botol poly ethylene. Analisis tritium membutuhkan distilasi dengan pengkayaan electroliytic dari kandungan tritium. Sample akan diubah ke bentuk ethane dan gas. Kemudian kandungan tritium dihitung dengan liquid scintillation counter.
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (1-11)
Hasil identifikasi kandungan isotop airtanah dinyatakan atau dibandingkan dengan standar international (SMOW) (Craig, 1961) dalam satuan per mil. Persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:
(
Rconto 1) x1000 ‰ RSMOW
Dimana: δ adalah per mil berupa ratio D (deuterium) dan 18O/16O air dan standar. Rcontoh adalah perbandingan D/H dan 18O/16O contoh terukur. RSMOW adalah perbandingan D/H dan SMOW terukur.
elevasi (1.100 sampai 1450) m.asl, terutama daerah Rancaekek. Terdapat perbedaan umur airtanah pada bagian barat dan timur di sentral Cekungan Bandung. Di timur (10.670 tahun BP) relative lebih tua dari di barat (940 tahun BP) pada Cekungan ini. Identifikasi aliran berdasarkan isotop stabil Oksigen, Deuteurium dan kandungan Tritium secara rinci diungkapkan Sunarwan dan Juanda (1998) seperti pada (Tabel 3 dan 4). Penelaahan teritegrasi dengan kondisi tipologi akifer (mengacu pada peta hidrogeologi regional) dan hidrokimia air dengan hasil berupa model aliran yang terjadi di bagian utara Cekungan Bandung (Gambar 3 dan 4).
Hasil pengukuran kandungan tritium dapat dilakukan perhitungan umur airtanah dengan perumusan sebagai berikut:
t
t1 / 2 Ao ln ln 2 Aobs
Dimana: t adalah waktu keberadaan massa air dalam sistem airtanah. T1/2 adalah umur paruh. Ao adalah konsentrasi tritium asal. Aobs adalah konsentrasi tritium dalam contoh terukur.
2.
ISOTOP LINGKUNGAN UNTUK AIRTANAH CAT. BANDUNG.
2.1. Isotop airtanah di CAT Bandung peneliti terdahulu Sukrisno dan Wagner (1993) telah secara lengkap menelaah kandungan isotop airtanah di kawasan Cekungan Bandung. Terakhir Sunarwan dan Juanda (1998) pun telah mengkaji secara khusus untuk daerah Bandung utara dari lembang sampai Padalarang. Meskipun tidak begitu banyak referensi yang mengungkap kandungan isotop airtanah, namun dua penelitian tersebut sangat menentukan di dalam kajian ekosistem airtanah di cekungan Bandung. Hasil simulasi data isotop menunjukkan bahwa akifer bagian bawah mempunyai daerah resapan pada elevasi (1.050 sampai 1.300) m.asl (Gambar 1 dan 2). Sedangkan di bagian selatan Cekungan Bandung, daerah resapan untuk akifer bawah adalah pada
Gambar 1. Grafik sebaran kandungan isotop oksigen dan ketinggian contoh sampel yang diambil (Sukrisno dan Wagner, 1993).
Gambar 2. Korelasi antara kandungan isotop oksigen dan ketinggian khusus di bagian utara dari Cekungan Bandung (Sukrisno dan Wagner, 1993).
2.2. Deduksi hasil penelitian terdahulu Kondisi geometri dan kedetilan sistem akifer pada bagian lereng yang belum lengkap memunculkan beberapa penafsiran yang masih ragu-ragu. Sebagai contoh adanya hasil analisis data yang menunjukkan bagian timur lebih tua dari pada bagian barat, jelas memerlukan data karakter batuan di bagian upstream sebagai zona resapan. Data penelitian hasil Sukrisno dan Wagner (1993) belum menampilkan simulasi antara deteurium dan isotop oksigen, sehingga kejelasan dalam menghubungkan antara korelasi kandungan isotop oksigen dan ketinggian tidak muncul.
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
3
Tabel 3. Hasil analisis 18O dan 2H dari sumur gali/dangkal
Gambar 3. Simulasi isotop Oksigen dan Deuterium di daerah utara n
Data analisis isotop stabil 18O dan 2H dari mataair (dingin) yang diperoleh dari sekitar Bandung, tercantum dalam Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis 18O dan 2H dari mataair (dingin)
Gambar 4.
Model sistem aliran pada bagian lereng utara Cekungan Bandung (Sunarwan dan Juanda, 1998).
2.3. Kajian yang belum atau perlu dilaksanakan Berdasarkan uraian sebelumnya, beberapa hal perlu dilakukan, antara lain; 1) Mencoba menelaah kembali dari data sekunder yang ada terutama grafik antara Deuterium dan Oksigen. 2) Pembuatan grafik atas populasi yang sama dalam simulasi korelasi atas data isotop Oksigen terhadap ketinggian. 3) Jika memungkinkan melakukan pengukuran atas kandungan isotop stabil atas contoh air hujan di daerah Cekungan Bandung. 4) Interpretasi atas hasil di atas yang melibatkan perkembangan titologi akifer yang lebih rinci dan informasi geologi hasil terkini.
Hasil analisis isotop stabil δ18O dan δ2H dari sumur-sumur produksi (sumur dalam) yang mempunyai kedalaman 60 m hingga 150 m (berdasarkan data kehadiran. saringan sumur bor) diperlihatkan pada Tabel . 5. Tabel 5. Hasil analisis isotop δ18O dan δ2H dari sumur produksi.
Analisis Isotop Sampel Air Dilakukan di Lab. Isotop BATAN, Jakarta 2006-2007
2.4. Data Isotop Air dari Sumur Produksi, Sumur Gali dan Mataair Tabel 3 memperlihatkan data analisis isotop stabil 18O dan 2H dari sumur dangkal atau sumur gali (kedalaman -2.m hingga -17.m.) dari sekitar Bandung. Sedangkan lokasi pengambilan sampel air untuk analisis isotop air hujan, mata air, air dari sumur produksi dan sumur gali diperlihatkan pada Gambar 5 Gambar 5. Peta lokasi pengambilan sample isotop di CAT Bandung
4
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (1-11)
3.
PENAFSIRAN DATA ISOTOP
Tabel 6. Analisis kandungan isotop stabil (δ2H dan δ18O) untuk sampel air hujan.
3.1. DAERAH RESAPAN ALAMI Penentuan daerah resapan di CAT Bandung dilaksanakan dengan metoda analisis menggunakan isotop stabil. Langkah analisis yang dilakukan meliputi analisis isotop air hujan untuk memperoleh persamaan garis air meteorik lokal yang kemudian digunakan untuk menentukan daerah resapan.
3.1.1. Air Hujan Data hasil analisis kandungan isotop stabil untuk air hujan pada daerah Bandung dan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut memperlihatkan data weighted mean value isotop air hujan dari delapan stasiun pengamatan curah hujan yang terletak pada elevasi 675 m dari permukaan laut (dpl) di Sta. Distamben-Jabar, di Kota Bandung hingga elevasi 1.340 m (dpl) di sebelah utara Kota Bandung, yaitu di Cikole, Tangkuban Perahu, sedangkan di bagian selatan terletak pada elevasi 1.440 m (dpl) di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan. Pada (Tabel 6 dan 7) digunakan untuk mendapatkan persamaan garis regresi linier hubungan antara elevasi terhadap isotop 18O dan 2H serta persamaan garis air meteorik lokal. Sedangkan data hasil analisis isotop stabil dari sampel air hujan bulanan dari periode bulan Oktober-Nopember 2006 hingga periode bulan Nopember-Desember 2006 tercantum pada Tabel 2. 3.1.2. Garis Air Meteorik Lokal
Tabel 7. Analisis isotop stabil sampel airhujan bulanan bulan Oktober 2006 s/d Desember 2006 pada daerah CAT Bandung
Apabila persamaan garis air meteorik lokal (Persamaan.1) dibandingkan terhadap persamaan garis air meteorik global (Persamaan: δ2H = 8 δ18O + 10), maka pada kedua persamaan tersebut terdapat perbedaan pada nilai deuterium excess (DE). Nilai DE garis air meteorik global adalah 10, sedangkan nilai DE untuk garis air meteorik lokal pada daerah Bandung adalah 13,75 (Gambar 6). Nilai DE pada berbagai tempat sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor geografi setempat (Dansgaard, 1964). Sebagai contoh lapangan panasbumi Kamojang mempunyai nilai DE sebesar 16,48 (Abidin, 2003), dan lapangan panas bumi Wayang Windu dengan nilai DE sebesar 12,98 (Hendrasto, 2005).
Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat dibuat persamaan garis air meteorik lokal hubungan antara isotop 18O dengan 2H. Dengan perhitungan persamaan garis regresi linier menggunakan program excel, diperoleh persamaan garis air meteorik lokal untuk daerah Bandung sebagai berikut (Gambar 6): δ2H = 7,987 δ18O + 13,75 R2 = 0,99
(Persamaan.1)
Gambar 6. Hubungan isotop δ2H terhadap δ18O air hujan pada garis air meteorik lokal daerah Bandung dan garis air meteorik global. Sumber: Garis air meteorik global (Craig, 1961).
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
5
3.1.3. Hubungan Antara Elevasi Dengan Kandungan Isotop Hubungan linier antara elevasi (E) terhadap kandungan isotop δ18O dan δ 2H air hujan yang diperoleh dari 8 (delapan) stasiun pengamatan curah hujan di sekitar Bandung ditentukan melalui persamaan garis regresi linier menggunakan program komputer (excel). Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh persamaan garis linier δ18O terhadap elevasi (E) sebagai berikut: E = -141,561 δ18O + 452,667 R2 = 0,57
(Persamaan 2)
Sedangkan persamaan garis linier 2H terhadap elevasi (E) adalah: E = -17,5607 δ2H + 699,704 R2 = 0,56
(Persamaan 3)
dimana: E = elevasi ; dalam meter (m) di atas permukaan laut (dpl) R2 = koefisien determinasi
Gambar 7 dan 8 memperlihatkan bentuk grafik dari Persamaan 2 dan 3 yang memperlihatkan hubungan linier antara elevasi (E) terhadap isotop dengan koefisien arah negatif.
hubungan antara isotop 18O terhadap 2H pada Gambar 9. memperlihatkan adanya 3 (tiga) garis linier lainnya selain garis air meteorik lokal yang telah dibahas di atas. Ketiga garis tersebut adalah: - Garis dari isotop sumur produksi, disebut Garis 1, - Garis dari isotop mataair (dingin), disebut Garis 2 dan - Garis dari isotop sumur gali/dangkal, disebut Garis 3. Persamaan Garis 1 (dari isotop sumur produksi) yang diperoleh dengan program excel, adalah: Persamaan Garis 1 (dari isotop sumur produksi) yang diperoleh dengan program excel, adalah: δ2H = 7,08 δ18O + 8,13 (Persamaan 4). R2 = 0,73
Persamaan yang membentuk garis regresi linier dengan slope sebesar 7,08 tersebut menunjukkan adanya pengkayaan di dalam δ18O dan δ2H dibandingkan terhadap air meteorik. Persamaan Garis 2 daerah Bandung dari isotop mataair (dingin) yang diperoleh dengan program excel, adalah sebagai berikut: δ2H = 6,69 δ18O + 4,23 R2 = 0,97
(Persamaan 5)
Persamaan yang membentuk garis regresi linier dengan slope sebesar 6,69 tersebut juga menunjukkan adanya pengkayaan di dalam δ18O dan δ2H dibandingkan terhadap air meteorik. Semakin tinggi elevasi lokasi air hujan turun, maka konsentrasi isotop 18O dan 2H semakin berkurang (depleted). Berdasarkan perhitungan dari Persamaan 2 dan Persamaan 3 tersebut diperoleh bahwa nilai pengurangan komposisi isotop 18O dan 2H dari daerah Bandung untuk setiap kenaikan 100 m, adalah sebesar 0,71 ‰ untuk 18O (Gambar 7) dan sebesar 5,6 ‰ untuk 2H (Gambar 8). Selanjutnya nilai pengurangan isotop perkenaikan 100 m elevasi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah resapan fluida di daerah Bandung. Plotting 6
Sedangkan persamaan Garis 3 dari isotop sumur gali/dangkal yang diperoleh dengan program excel, adalah sebagai berikut: δ2H = 6,57 δ18O + 3,503 R2 = 0,92
(Persamaan 6)
Persamaan yang membentuk garis regresi linier dengan slope sebesar 6,57 tersebut juga menunjukkan adanya pengkayaan di dalam δ18O dan δ2H dibandingkan terhadap air meteorik.
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (1-11)
Gambar 11. Hubungan isotop δ18O dan δ2H air meteorik lokal dan mataair
Gambar 9. Hubungan isotop δ18O dan δ2H air meteorik lokal, sumur produksi, mataair dan sumur gali.
Hubungan antara Garis 1 dengan garis air meteorik lokal pada Gambar 10 dan 11 menunjukkan adanya perpotongan pada sebuah titik potong (intercept 1), yaitu pada posisi: -6.19 ‰ untuk 18O dan -35,75 ‰ untuk 2 H. Hubungan antara Garis 2 dengan garis air meteorik lokal pada Gambar 10 dan 11, menunjukkan adanya perpotongan pada sebuah titik potong yang berbeda (intercept 2), yaitu pada posisi: -7,37 ‰ untuk 18O dan 45,13 ‰ untuk 2H.
Gambar 12. Hubungan isotop δ18O dan δ2H air meteorik local dan sumur gali/dangkal
4. IDENTIFIKASI DAERAH RESAPAN
Sedangkan hubungan antara Garis 3 dengan garis air meteorik lokal (Gambar 10 dan 8) memperlihatkan adanya perpotongan pada titik potong yang berbeda (intercept 3), yaitu pada posisi: -7,21 ‰ untuk 18O dan -43,81 ‰ untuk 2H. Ke-tiga titik potong tersebut merupakan komposisi isotop dari infiltrasi air hujan pada elevasi tertentu untuk sumur produksi (dalam), mataair (dingin) dan sumur gali /sumur dangkal (IAEA, 1983, Panichi & Gonfiantini, 1978, Celati dkk., 1973).
Tiga titik potong pada Gambar 4 tersebut menunjukkan terdapatnya 3 (tiga) daerah resapan pada elevasi yang berbeda. Daerah resapan pertama adalah untuk sumur produksi, daerah resapan kedua untuk mataair, sedangkan daerah resapan ketiga adalah untuk sumur gali/dangkal. 5.
Identifikasi elevasi daerah resapan pada daerah Bandung dan sekitarnya dilakukan dengan cara pengeplotan pada grafik hubungan antara elevasi (E) dengan isotop δ18O dan δ2H air hujan, yaitu berdasarkan interval taksiran elevasi sehubungan dengan analisis statistik (regresi linier) (Gambar 13 dan Gambar 14).
Gambar 10. Hubungan isotop δ18O dan δ2H air meteorik lokal dan sumur produksi
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
7
Dari penentuan titik elevasi daerah resapan untuk sumur produksi yang dilakukan dengan cara pengeplotan titik potong-1 ke dalam grafik hubungan antara elevasi (E) dan kandungan isotop, diperoleh elevasi 1.330m (dpl) untuk isotop δ18O (Gambar 13) dan elevasi 1.328 m.dpl untuk isotop δ2H (Gambar 14). Dari penentuan daerah resapan untuk mata air yang dilakukan dengan cara memasukkan titik potong-2 ke dalam grafik hubungan antara elevasi (E) dan kandungan isotop, diperoleh kisaran elevasi 1.496m (dpl) untuk isotop δ18O (Gambar 5.13) dan elevasi 1.492m (dpl) untuk isotop δ2H (Gambar 14). Sedangkan dari penentuan daerah resapan untuk sumur dangkal/gali yang dilakukan dengan cara memasukkan titik potong-3 ke dalam grafik hubungan antara elevasi (E) dan kandungan isotop, diperoleh kisaran elevasi 1.473m (dpl) untuk isotop δ18O (Gambar 5.8) dan elevasi 1.469m (dpl) untuk isotop δ2H (Gambar 14). Tabel 8. Penentuan elevasi daerah resapan CAT Bandung
Sesungguhnya elevasi recharge air hujan pada suatu daerah tidak terjadi pada satu titik elevasi tetapi terjadi pada suatu kisaran elevasi antara 200-300m.Untuk mendapatkan nilai kisaran elevasi dibutuhkan statistik komposisi isotop recharge (Abidin, 2003). Tabel 9. Kisaran elevasi daerah resapan CAT Bandung, jika mengacu pada kisaran ± 200m pada titik elevasi recharge seperti tercantum pada Tabel .6 dan kisaran elevasi pada Gambar 13 dan 14.
Berdasarkan analisis di atas, dilakukan deliniasi daerah resapan CAT Bandung untuk sumur produksi, sumur dangkal dan mata air (Gambar 15-17). Untuk daerah resapan CAT Bandung secara keseluruhan dibuat berdasarkan titik elevasi terendah (1.229 m dpl) dan titik tertinggi (1594). Luas daerah resapan CAT Bandung adalah 190,1 km2. Peta daerah resapan CAT Bandung dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 15 Peta zona resapan berdasarkan analisis isotop sumur produksi CAT Bandung 8
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (1-11)
Gambar 16. Peta zona resapan berdasarkan analisis isotop sumur dangkal CAT Bandung
Gambar 17. Peta zona resapan berdasarkan analisis isotop mataair CAT Bandung Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
9
Gambar 18. Peta zona resapan CAT Bandung
DAFTAR PUSTAKA
1].
2].
3].
4].
5].
6].
10
Abidin,Z., 2003, Karakterisasi Reservoar Panasbumi Untuk Manajemen Lapangan Uap di Lapangan Kamojang, Jawa Barat, Disertasi Doktor, FMIPA, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Bambang Sunarwan, Penerapan Metoda Hidrokimia Isotop Oksigen 18 (18O) , Deutrium (2H) dan Tritium (3H) Dalam Karakterisasi Akifer Airtanah Pada sistem Akifer bahan Volkanik, Thesis S.2 – ITB, Tidak dipublikasi. Cellati, R.P., Noto., Panichi, C., Squarci, P., dan Taffi, L., 1973, Interaction Between The Steam Reservoir and Surounding Aquifer in the Larderello Geothermal Fields, Geothermics, vol. 2, No. 3-4, hal. 174 – 185. Craig, H., 1961, Isotopic Variations in Meteoric Waters, Science, 133, hal. 1702 – 1703. Dansgaard, W., 1964, Stable Isotopes, in Precipitation, Tellus, Swedish Geophysical Society, hal. 436-468. Djarwanto dan Subagyo Pangestu., 2000, Statistik Induktif. Edisi ke-4, Penerbit PT BPFE, Yogyakarta, 371 hal.
7]. Fritz, P., dan Fontes, J.Ch., 1980, Handbook of Environmental Isotopes, Geochemistry, vol. 1, Elsevier Scientific, Publishing Company, Amsterdam – Oxford - New York, 532 hal. 8]. Hendrasto, Fajar., 2005, Penentuan Daerah Resapan Sistem Panasbumi Gunung Wayang Windu, Jawa Barat, Thesis Magister Bidang Hidrogeologi, ITB (tidak dipublikasikan) 9]. Geyh, M.A., 1990, Isotopic Hydrogeological Study in the Bedugul Basin, Indonesia, Project Report No. 10; Project CTA 108, Environmental Geology for Landuse and Regional Planning, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bedugul, (tidak dipublikasikan) 10]. Hoefs, J., 1987, Stable Isotope Geochemistry, edisi ke-3, Springer Verlag, Heidelberg, hal 117-130. 11]. IAEA, Technical Report Series No. 91, 1983, Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology, IAEA, Vienna, Austria. 12]. IAEA, Technical Report Series No. 210, 1981, Stable Isotope Hydrology, Deuterium and Oxygen-18 in the Water Cycle, IAEA, Vienna, Austria.
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (1-11)
13]. Nicholson, K., 1993, Geothermal Fluids, Chemistry and Exploration Techniques, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, 206 hal. 14]. Panichi, C., dan Gonfiantini, 1978, Environmental Isotopes in Geothermal Studies, Geothermics, vol. 6, No.3/4, hal. 143 – 161. 15]. Sembiring, R.K., 2003, Analisis Regresi, Edisi ke-2, Penerbit ITB, Bandung, 315 hal.
16]. Truesdell, A.H., dan Hulston, J.R., 1980, Isotopic Evidence on Environment of Geothermal System (dalam Fritz, P., dan Fontes, J.Ch., editor), Handbook of Environmental Isotope Geochemistry, vol.1, Elsevier, N.Y., hal. 179 – 225. PENULIS
1) Fajar Hendrasto, Staf Pengajar Program Studi Teknik Geologi, TRISAKTI. 2) Bambang Sunarwan, Staf Pengajar Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik - UNPAK BOGOR.
Pemanfaatan Isotop Lingkungan Di Daerah Cekungan…….. (Fajar Hendrasto & Bambang Sunarwan)
11
KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA MUSIBAH JEMBATAN SURAMADU (SURABAYA-MADURA) Oleh:
Budiono
Abstrak Kegagalan bangunan dengan ambruknya girder jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), telah menimbulkan korban jiwa dan dampak berikutnya mengurangi kepercayaan para investor pada kontraktor nasional. Dengan penerapan undang-undang jasa konstruksi, ditinjau dari aspek hukum, akan mengikat warga negara, dan badan hukum khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Dalam menyikapi terjadinya musibah tersebut diperlukan suatu penyelesaian yang mendalam dan adil sehingga siapa yang paling bertanggung jawab, sehingga kasus ini dapat dijadikan input untuk membuat sistem yang dijadikan acuan dalam mencegah meningkatnya kompleksitas permasalahan dalam perselisihan pasca kontrak (sebelum penyerahan akhir proyek konstruksi). Secara umum undang-undang jasa konstruksi telah memberikan suatu mekanisme pertanggungjawaban jika terjadi kegagalan bangunan pasca kontrak yang terjadi pada akhir proyek konstruksi, dan tidak menjelaskan bagaimana jika terjadi pada saat pelaksanaan. Dampak akibat kegagalan bangunan, maka akan timbul perselisihan yang secara sadar atau tidak, dapat berlanjut hingga ke proses pengadilan, maka pihak-pihak yang berselisih sangat memungkinkan menjadi “objek” selama proses pengadilan. Tulisan ini bertujuan memberikan masukan kepada pemerintah untuk membuat keputusan Presiden (Keppres) tentang kegagalan bangunan. Pasalnya kesalahan dalam perencanaan ataupun pelaksanaan pembangunan (human error) jarang bisa dievaluasi secara baik dan perlunya sistem penjamin produk konstruksi pada saat pelaksanaan, khususnya untuk kegagalan premature bangunan pada jembatan. Kata Kunci : pemature failure, human error, liability, guarrantee
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah Tuntutan undang-undang No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi yang mensyaratkan kegagalan banguan dimasukkan kedalam kontrak adalah salah satu kemajuan dalam sistem penyelenggaraan konstruksi nasional khususnya untuk memenuhi asas kejujuran dan keadilan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu menyimpan potensi masalah yang kompleks jika ketersediaan perangkat pendukung bagi penerapan undang-undang tersebut, khususnya yang berhubungan dengan masalah kegagalan bangunan tidak segera dipenuhi. Kebutuhan yang berkaitan dengan sistem penjaminan produk konstruksi yang sesuai dengan pertumbuhan jasa konstruksi nasional dan kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat di tanah air merupakan hal yang cukup mendesak dan sangat dibutuhkan untuk mendukung penerapan undang-undang tersebut. 12
Bagaimana kegagalan bangunan yang berpotensi menimbulkan perselisihan pada periode pasca kontrak ditangani secara preventif dan oleh masyarakat jasa konstruksi untuk menghemat waktu dan biaya yang seharusnya tidak perlu. Salah satu solusi alternatif adalah dengan menerapka sistem penjaminan untuk kegagalan produk konstruksi pasca kontrak (sebelum penyerahan akhir proyek konstruksi) yang terintegrasi dengan syaratsyarat kontrak. Approach Penanganan kompleksitas perselisihan pasca kontrak untuk kasus kegagalan prematur dilakukan dengan pendekatan manajemen resiko. Pengalokasian resiko kegagalan prematur diintegrasikan kedalam syaratsyarat kontrak melalui sistem penjaminan kinerja produk pasca kontrak.
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (12-20)
2.
PEMBAHASAN
2.1. Kegagalan Bangunan Sebagai salah satu bangunan, maka menurut undang-undang jasa konstruksi kegagalan bangunan dapat didefinisikan, sebagai berikut: Saat ini banyak terjadi kasus-kasus mengenai kegagalan bangunan konstruksi belum terselesaikan dengan baik sebagai contoh kegagalan konstruksi seperti ambruknya jembatan Grogol dekat Kampus Trisakti dan bangunan ruko di Sunter, Jakarta Utara beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa tidak dipatuhinya metode kerja yang benar. Akibatnya dampak yang harus dipikul penyedia jasa atau pengguna jasa cost-nya menjadi lebih besaar dari yang rencan semula. Kegagalan konstruksi atau kegagalan pada tahap pelaksanaan konstruksi bisa terjadi dimana saja. Pada tanggal 13 Juli 2014 yang lalu terjadi musibah jatuhnya balok girder pada bentang ke-7 di Proyek Jembatan Suramadu sisi Surabaya. Sebuah kegagalan konstruksi dapat terjadi karena tidak terpenuhinya suatu hal atau beberapa hal seperti: akurasi perencanaan, ketepatan pemilihan metode pelaksanaan, kualitas bahan dan standar pengujian, kemampuan alat dan kontrol periodik peralatan, ketrampilan dan pengalaman kerrja tenaga yang ada, koordinasi antar unsur terkait dalam suatu proyek, Standard Operation Procedure (SOP), perhatian terhadap faktor keselamatan kerja, dan kontinyuitas pengawasan yang ketat. Pada Proyek Pembangunan Jembatan Suramadu (PPJS) ini, semua persyaratan diatas telah diupayakan dengan baik, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kelengahan dalam pelaksanaannya. Oleh karena perlu adanya upaya menerus dan bekesinambungan. Upaya-upaya seperti ini tentunya sudah lazim dalam suatu poyek yang berskala besar seperti pada Proyek Pembangunan Jembatan Suramadu (PPJS) ini, yang memerlukan ketelitian dan kecermatan dalam pelaksanaannya. Apalagi Proyek Pembangunan Jembatan Suramadu (PPJS) sepanjang 5,4 km lebih dikerjakan dari dua arah yaitu dari sisi Surabaya dan
dari sisi Madura. Sebuah tantangan tidak berhenti sampai disitu, pelaksanaan jembatan utama (main bridge) pada bentang tengah yang berupa jembatan cable stayedakan dilaksanakan dalam paket tersendiri secara berurutan mulai dari sisi Surabaya sampai sisi Madura, jembatan Suramadu tediri dari causeway bridge (sta. 0+000 s.d 1+458), approach bridge (sta. 1+458 s.d 2+130), main bridge (sta. 2+130 s.d 2+948), approach bridge (sta. 2+948 s.d 3+620) dan causeway bridge (sta. 3+620 s.d 5+438). Kedalaman dasar laut (sea bed) bervariasi sekali, sedangkan yang terdalam adalah 18 m dari LWL (Low Water Level) pada posisi main bridge. Pada hari selasa tanggal 13 Juli 2014 sekitar pukul 14.10 WIB, musibah terjadi pada saat erection girder ke 6 dai rencana 16 girder pada bentang ke 7, yaitu girder-girder yang menghubungkan pilar P6 dan pilar P7 di sisi Surabaya. Bobot mati masing-masing PCI girder adalah 80 ton, panjang 40 m dan tingginya 2,10 m. Kontraktor pelaksana telah mendudukkan girder pada tempatnya sejumlah 6 bentang dengan 16 buah girder per bentang dan 6 buah girder pada bentang ke 7. Erection girder nomor 6 bentang ke 7 ini salah satu tumpuannya telah duduk tepat diatas balas bearing pad, pada saat inilah musibah itu terjadi. Girder nomor 6 ini terguling ke sisi barat menimpa girder nomor 5 dan seterusnya terjadi efek salig tindih begitu cepat, sehingga 6 buah girder pada bentang ke 7 jatuh ke dasar laut dan patah menjadi beberapa bagian. Efek saling tindih ini terjadi karena jarak as ke as girder 1,85 m, sedang tinggi girder 2,10 m. Akumulasi beban girder yang terguling tidak mampu ditahan oleh kekuatan bracing pada masing-masing girder. Semua prosedur pelaksanaan erection girder dengan sistem kura-kura ini telah dilaksanakan dengan baik dan ekstra hatihati. Erection girder pada bentang ke 5 dan ke 6 pun telah dilaksanakan dengan metode yang sama dengan bentang ke 7. Walau demikian musibah tidak terelakkan dan akhirnya menelan korban satu orang tenaga erection girder yang berpengalaman meninggal dunia. (Ir. Chomaedhi).
Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) (Budiono)
13
Penyelesaiaan kasus-kasus kegagalan produk konstruksi sering menjadi permasalahan, tanpa suatu hasil yang jelas siapa yang harus bertanggungjawab. Hal ini merupakan konsekuensi logis sifat unik proyek konstruksi yang melibatkan banyak pihak yang bekerja sesuai keahliannya dengan berbagai pean dan tanggung jawab. Setiap pihak yang terlibat memberikan konstribusi terhadap pencapaian kinerja produk. Selain kerugian langsung, kegagalan prematur konstruksi jembatan akan menimbulkan perselisihan yang dapat menambah biaya-biaya dan waktu yang seharusnya tidak perlu bagi pihak-pihak yang terlibat selama proses konstruksi. Sebagai salah satu bangunan, maka menurut undang-undang jasa konstruksi kegagalan bangunan dapat didefinisikan, sebagai berikut: Undang-undang No 18/1999 Jasa konstruksi tentang kegagalan bangunan, BAB VI Pasal 25: 1) Penggunajasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalanbangunan. 2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama10 (sepuluh)tahun. 3) Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetap kanoleh pihak ketiga selaku penilai ahli. Pasal 26 : 1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana ataupengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. 2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagipihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan gantirugi.
14
Pasal 27 : Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai gantirugi. Pasal 28 : Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli. Seba Jairnana dimaksud dalam Pasal 25, tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Untuk menyatakan kegagalan sesuai terminologi yang dikemukakan diatas, dibutuhkan ada 3 kriteriayang harus ditetapkan sebelum penandatanganan kontrak. 1. Batasan untuk menyatakan tidak berfungsinya bangunan jembatan dan atau tidak memenuhi spesifikasi. 2. Batasan ketidak sesuaian produk dengan ketentuan-ketentuan kontrak kerja konstruksi. 3. Batasan kesalahan pengguna dan penyedia jasa selamatahap pelaksanaan proyek konstruksi dan pascakonstruksi. Batasan tersebut harusjelas dimengerti oleh pihak-pihak yang terlibat sebelum pelaksanan konstruksi. Jika ketiga hal yang dikemukakan diatas tidak ditegaskan dalam kontrak kerja konstruksi, maka kegagalan bangunan menjadi salahs atusum bermasalah khususnya perselisihan dalam dunia jasa konstruksi. Sifat unik produk konstruksi, menyebabkan pendefinisian kegagalan prematur, harus dilihat kasus perkasus karena sangat tergantung dari strategi disain yang ditetapkan padaa walkonstruksi atau pada saat pengambilan keputusani nvestasi. Kegagalan prematur sanga teratkaitannya dengan keandalan dankinerja fasilitas/produk yang diinginkan atau diharapkan. Penetapan keandalan, sekaligus merupakan penetapan resiko kegagalan yang dapat diterima.
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (12-20)
Keandalan merupakan fungsi dari pelayanan dalam suatu periode masalayan. Dalam terminologi ini, tersirat suatu tingkat penerimaan terhada presiko kegagalan produk bangunan. Penetapan keandalan bangunan dipengaruhi oleh fungsi daris uatu fasilitas, pengalaman sebelumnya, konsekuensi jika terjadi kegagalan,dan ketersediaan dana (Haas dan Hudson, 1978). Dari definisi yang dikemukakan, maka dapat didefinisikan kegagalan prematur bangunan adalah ketidak mampuan bangunan untuk memenuhi fungsi selama masa layan. 2.2.
Penyebab Kegagalan Prematur
2.2.1. Kegagalan memenuhi ketentuan-ketentuan kontrak pelaksanaan sebagai salah satu sumber kegagalan prematur bangunan jembatan. Resiko yang tinggi akibat biaya yang besar dan proses yang unik untuk mewujudkan produk jalan menyebabkan faktor tanggung jawab dalam proses untuk mewujudkannya menjadi yang sangat penting. Setiap pihak yangt terlibat dan bekerja secara parsial dalam setiap tahap konstruksi bertanggung jawab dalam proses pencapaian kinerja produk. Kegagalan dalam pemenuhan tanggung jawab kontraktual akan berpengaruh terhadap produk akhir. Sebaga salah satu tahap dalam proses konstruksi, tahap pelaksanaan merupakan kesempatan terakhir untuk mempengaruhi kinerja produk. Kegagalan dalam pemenuhan tanggung jawab kontraktual padatahap pelaksanaanakan berpengaruh terhadap hasil produk.Untuk menjamin terpenuhinya tanggung jawab secara hukum, hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksik hususnya yang berhubungan dengan kegagalan produk perlu diintegrasikan dalam perjanjian kontrak.
sebelumnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan, yang berhubungan dengan kegagalan suatu produk seperti AV 41 dan KUHP Per. (1609) “Jika suatu gedung yang telah diborongkan dan dibuat untuk suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian musnah disebabkan karena suatu cacad dalam penyusunannya atau karena tidak sanggupnya tanahnya, maka para ahli pembangunannya serta para pemborongnya adalah bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh tahun”. Kedua produk hukum tersebut kurang mampu mengakomodasi perkembangan industri jasa konstruksi di tanah air. 2.2.3. Undang-undang No 18/1999 Tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pelaksanaan No. 29 Tahun 2000 Permasalahan kegagalan produk konstruksi dalam UU No 18/1999 secara umum telah diatur. Namun masih bersifat umum dan masih membutuhkan pengembangan, khususnya yang berkaitan dengan definisi kegagalan, penilaian kegagalan dan sitem penjaminannya. Penentuan lingkup Jaminan, nilai dan periode jaminan merupakan hal yang baru ditanah air dan cukup potensial menjadi sumber perselisihan. Belum populernya pendekatan resiko dalam menangani permasalahan yang timbul dalam bidang konstruksi ditanah air menambah asingnya sistem penjaminan untuk kegagalan bangunan. Permasalahan kegagalan bangunan yang dapat diakomodasi oleh UU No 18/1999 dan peraturannya dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kerangka Dasar Penyelesaian Kegagalan Bangunan Pasca Kontrak sesuai UU No 18/1999 dan PP No 29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. No. 1.
Komponen Sistem Terminologi kegagalan
2.
Masa pertanggungjawaban
2.2.2. Aspek Hukum dalam Penyelesaian Kegagalan Bangunan di Indonesia Untuk menjamin kepastian hukum suatu produk yang dihasilkan dalams uatu penyelenggaraan konstruksi, di Indonesia,
Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) (Budiono)
URAIAN Keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan, maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan, dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Penegasan masa layan dalam kontrak pekerjaan
15
No.
3.
4.
5.
6.
7.
Komponen Sistem
Penilaian terhadap kegagalan
Kewajiban dan tanggungjawab penyedia jasa pasca kontrak
Kewajiban dan tanggungjawab pengguna jasa pasca kontrak
Ganti rugi dan biaya-biaya yang timbul dalam proses penyelesaian kasus kegagalan
Penyelesaiaan kegagalan
sengketa
akibat
URAIAN konstruksi dan masa pertanggungjawaban maksimum 10 tahun. Kegagalan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang dipilih dan disepakati oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. Tugas penilai ahli : 1) Menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan. 2) Menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh bangunan. 3) Menetapkan pihak yang bertanggungjawab dan tingkat kesalahan yang dilakukan. 4) Menetapkan kerugian serta usulan besarnya ganti rugi. 5) Menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian. Wewenang penilai ahli : 1) Menghubungi pihak terkait untuk memperoleh keterangan yang dibutuhkan. 2) Memperoleh data yang diperlukan. 3) Melakukan pengujian yang diperlukan. 4) Memasuki tempat terjadinya kegagalan bangunan. 1) Penyimpanan dan pemelihara dokumen. 2) Sanksi profesi dan atau administrasi. 3) Ganti kerugian. 1) Laporan kejadian kegagalan bangunan dan tindakan yang diambil. 2) Bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh pengguna jasa. 1) Ganti rugi dapat melalui mekanisme pertanggungan. 2) Premi menjadi bagian nilai kontrak. 3) Harga kontrak yang tidak memasukkan premi untuk asuransi. 4) Ketentuan lain yang disesuaikan dengan sistem pertanggungan yang ada. 5) Penetapan besarnya kerugian oleh penilai ahli yang bersifat final dan mengikat. Maksimum 5% penyedia jasa pelaksana Maksimum 10% penyedia jasa perencanaan Maksimum 10% penyedia jasa pengawasan 6) Biaya penilai ahli. 7) Biaya pendahuluan penilai ahli. 1) Mediasi 2) Konsiliasi 3) Arbitrasi
2.2.4. Sanksi bagi pihak-pihak yang menyebabkan Kegagalan Bangunan.
16
Sanksi yang dapat diberlakukan bagi pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi diperlihatkan pada tabel 2. Tabel 2. Sanksi bagi penerima dan penyedia jasa konstruksi menurut UU No 18/1999 No. 1.
Jenis sanksi Sanksi administrasi a. Peringatan tertulis b. Penghentian sementara pekerjaan konstruksi c. Pembatasan kegiatan usaha dan atau profesi d. Pembekuan izin usaha dan atau profesi e. Pencabutan izin usaha dan profesi f. Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi g. Pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi h. Pencabutan izin pelaksanaan konstruksi
O
2.
Sanksi pidana
3.
Sanksi untuk ganti kerugian
2.2.5.
Pihak penerima sanksi KPR KPS C
Maks 5 tahun Maks 10% nilai kontrak
Maks 5% nilai kontrak
Maks 5 tahun Maks 10% nilai kontrak
Jaminan (guarantee) untuk Kegagalan Produk Bangunan
Saat ini pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang mengamanatkan adanya perlindungan terhadap pelaksanaan pekerjaan konstruksi antara lain, penerimaan uang muka, jaminan tender, jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat yang antara lain bisa di cover oleh layanan jasa asuransi. Yang menarik, barangkali mulai diperkenalkan apa yang disebut sebagai "kegagalan bangunan" melalui "Professional Liability Insurance" dan "Professional Indemnity Insurance". a. Professional Liability Insurance Dimaksudkan sebagai perlindungan bagi para pengguna jasa maupun masyarakat yang melaksanakan perencanaan pekerjaan konstruksi atau pengawasan pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (12-20)
oleh para konsultan baik perorangan maupun yang berbentuk badan usaha. Pengguna jasa akan mempertanggungkan nilai pekerjaannya kepada pihak Insurance Company dengan membayar nilai premi tertentu, sebaliknya pihak Insurance Company akan menjamin bahwa apabila hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh konsultan tersebut mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam kontrak, maka pihak Insurance Company akan mengganti sebesar nilai yang dipertanggungkan . Pengertian "yang dipertanggungkan" tidak sebatas nilai ikatan kontrak antara pengguna jasa dengan konsultan, namun bisa berupa nilai pekerjaan fisik (engineers estimate) hasil pekerjaan konsultan. Misalnya, pekerjaan perencanaan/design jembatan, yang nilai kontrak antara pengguna jasa dengan konsultan perencana sebesar Rp 100 juta. Sedangkan nilai fisik yang dituangkan dalamEngineers Estimate pekerjaan jembatan tersebut sebesar Rp. 5 milyar, maka nilai pertanggungan Professional Liability adalah sebesar Rp. 5 milyar. Jadi, apabila ternyata misalnya jembatan yang dibangun dengan biaya Rp. 5 milyar kemudian roboh, dan hasil penyelidikan oleh tim ahli yang independen ternyata akibat dari kesalahan konsultan design/perencanaan atau pelaksanaan konsultan supervisi, maka Insurance Compny akan mengganti sebesar Rp. 5 milyar. Sebagai akibatnya, konsultan perencana atau bisa juga konsultan supervisi yang bertanggung jawab terhadap kegagalan bangunan tersebut akandikenai sangsi misalnya di black listseumur hidup. b. Professional Indemnity Insurance Analog dengan butiran tersebut di atas, kontraktor pelaksana pekerjaan konstruksi jembatan. Apabila ternyata jembatan hancur atau kegagalan bangunan yang terjadi ternyata dari hasil penyelidikan Tim Ahli Independen akibat kesalahan pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor, maka Insurance Company akan mengganti sebesar Rp. 5 milyar, dan kontraktor yang bersangkutan dikenai sangsi. Dengan demikian, pengguna jasa akan menanggung pcmbayaran premi atas 3 (tiga) macam insurance yaitu Professional Liability Insurance (konsultan design dan
konsultan supervisi) dan Professional Indemnity Insurance(kontraktor pelaksana konstruksi). Keuntungan yang diperoleh dari kedua sistem penjaminan ini, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak konstruksi dapat melakukan alokasi resiko kegagalan prematur melalui suatu persetujuan yang memuat tanggungjawab masing-masing pihak untuk menangani resiko kegagalan prematur pasca kontrak tanpa melalui proses yang rumit dan membutuhkan banyak waktu dan biaya. Namun untuk menerapkan sistem ini pada produk-produk konstruksi, kedua pihak harus benar-benar memahami resikoresiko yang terdapat pada proyek konstruksi agar kompromi dalam bentuk alokasi resiko antara penyedia dan penggunajasa dapat dicapai.
3.
IDENTIFIKASI KEGAGALAN JEMBATAN
FAKTOR KONSTRUKSI
3.1. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menetapkan timbulnya tanggungjawab hukum penyedia jasa pelaksana Syarat-syarat untuk menetapkan tanggung jawab hukum antara penyedia jasa dalam kasus kegagalan suatu produk (Chilver 1991): Terpenuhinya unsur-unsur kesalahan oleh pelaksana selama pelaksanaan a. Penyedia jasa mempunyai kewajiban hukum yang harus dipenuhi yang dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi . b. Penyedia jasa gagal memenuhi tanggung jawab kontraktual. c. Pengguna jasa mengalami kerugian. d. Hasil investigasi menyatakan hubungan sebab akibat antara peristiwa pelanggaran kontrak dan peristiwa yang menyebabkan kerugian pengguna jasa. Pengecualian ditinjau dari aspek hukum a. Sumber kegagalan prematur yang bermotif kejahatan (misalnya kecurangan) sejak awal melibatkan pengguna atau dan wakil pengguna jasa.
Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) (Budiono)
17
b. Kegagalan yang terjadi masih dalam batasan resiko yang diterima oleh pengguna jasa (Volenti not fit injuria). c. Kegagalan prematur bersumber dari suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari selamapelaksanaan dan masa pemeliharaan (Inevitable accident). d. Kegagalan prematur akibat kegagalan disain. e. Kegagalan prematur akibat kesalahan dalam pemanfaatan (misuse) f. Kegagalan prematur akibat ketidak cukupan pemeliharan (inadequate maintenance) g. Kegagalan prematur bersumber dari Acts of God baik selama tahap pelaksanaan maupun pengoperasian . h. Sumber kegagalan dilakukan oleh penyedia jasa sebagai suatu tindakan yang luar biasa yangdibutuhkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar (Necessity) i. Pelanggaran kontraktual yang menyebabkan kegagalan prematur merupakan suatu tindakan penyedia untuk memenuhi hukum dan peraturan perundang-undangan (statutory authority) j. Kegagalan prematur yang terjadi telah melampaui batas untuk melakukan tuntutan atau kadaluwarsa (limitation of action) Penyebab kegagalan struktur jembatan diluar tanggungjawab pelaksana Tabel 3. Faktor-faktor penyebab kegagala yang liluar tanggungjawab pelaksana konstruksi. No.
1.
2.
18
Faktor-faktor penyebab kegagalan yang dikecualikan dalam jaminan Kegagalan penyelidikan tanah dasar dan kondisi bawah permukaan. Kegagalan memprediksi volume dan beban lalu lintas pada jembatan. Kegagalan menentukan kualitas Pra pelaksanaan material. Kesalahan dalam pemilihan standar yang digunakan dalam desain yang belum teruji. Kesalahan dalam menetapkan kondisi lingkungan misal daya dukung tanah dasar laut. Beban yang melampaui kondisikondisi yang ditetapkan dalam desain (overload). Kurang pemeliharaan Pasca (perlindungan) lapisan pelaksanaan permukaan material pada lingkungan laut yang mempengaruhi korosi pada jembatan.
3.
Act of God
4.
Man Made
3.2. Faktor jembatan
Kurangnya penanganan terhadap kerusakan-kerusakan berskala kecil yang sifatnya setempat. Gempa. Curah hujan yang berlebihan. Angin. Gelombang besar. Tanah longsor. Kehilangan daya dukung tanah dasar (misalnya pergerakan dibawah permukaan tanah dasar laut). Pengaruh material yang merusak mutu beton (misalnya air laut, dsb.). Pengrusakan yang sifatnya disengaja.
kegagalan
bangunan
Kegagalan bangunan jembatan dapat terjadi pada beberapa tahap : Tahap perencanaan jembatan Tahap pelaksanaan Tahap pengawasan Bencana alam(gempa, gelombang besar, angin, dll) 3.2. Perencanaan jembatan Girder jembatan Jembatan Suramadu merupakan jembatan dengan panjang total 5,4 km dengan beberapa tahap pelaksannan pekerjaan. Pada tahap awal pelaksanaan dikerjakan pada girder dengan bobot mati masingmasing PCI-Girder adalah 80 ton, panjang 40 m dan tingginya 2,10 m. Dalam tahap perencanaan ini dari hasil pengujian para ahli, girder jembatan mampu menerima beban yang sesuai dengan beban yang akan dipikulnya. Jadi bila posisi girder tidak sesuai dengan disain yang ditetapkan, hal ini adalah diluar rencana dan menyalahi disain struktur jembatan secara keseluruhan, dan ini merupakan kesalahan porsedur yakni salah dalam pelaksanaan pekerjaan. Runtuhnya balok tersebut karena kesalahan posisi, yang seharusnya terpasang lurus tegak, tetapi ini terlentang sehingga berguling (I Gde Putu Raka). Penetapkan kegagalan bangunan umumnya didasarkan atas kegagalan fungsi yaitu ketidakmampuan bangunan menerima atau salah dalammetode pelaksanaan sehingga berakibat kepada kegagalan struktur bangunan jembatan yakni ketidakmampuan struktur bagian jembatan mendukung beban. Sebagai
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (12-20)
ilustrasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 1. Posisi Penempatan Girder Jembatan (Sumber : Ir. Chomaedhi)
3.4.
Analisis dan penyelesaian kegagalan bangunan jembatan
1. Kriteria penetapan kegagalan konstruksi Girder jembatan mengalami patah sehingga tidak berfungsi lagi secara teknis sebagai bagian struktur jembatan,sehinggadapat dimasukkan dalam kategori kegagalan konstruksi. Kejadian tersebut berlangsung sebelum masa akhir pekerjaan, sesuai dengan UU No.18/1999 dan PP No.29/2000, yaitu Bab VI, pasal 25 dan KUHper,pasal 1609. 2. Masa pertanggungan jawaban belum memasuki masalayan dalam kontrak pekerjaan konstruksi maksimum 10 tahun. 3. Penilaian terhadap kegagalan konstruksi dari tim ahli a. Faktor terjadinya kegagalan konstruksi disebabkan faktor alat berupa crane dan faktor manusia (Human Error) dari kesalahan pelaksanaan akibat kelalaian dalam menyiapkan alat kerja yang baik. b. Kesalahan pelaksanaan terjadi tidak berfungsinya alat dongkrak yang sudah lama bocor, keterangan ini hasil laporan pekerja kepada polisi, sehingga kepala pemborong pemasangan girder yaitu CV CJS(Citra Jala Sutra subkontraktor), akan terkena sangsi dengan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain atau luka-luka: "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahunatau pidana kurungan paling lama satu tahun".
c. Dari pihak pengawas telah dilakukan penyelidikan bahwa prosedur sudah dilaksanakan dengan baik, sehingga kemungkinan kesalahan dari pihak pengawas sangat kecil. d. Kemudiandari tinjauan kondisi alam saat itu, situasi dilapangan dalam keadaanbaik, baik dari segi cuaca, gempa, gelombang dan kecepatan angin di SelatMadura mcncapai 50 km sampai 55 km/jam. Sementara kecepatan angin secara normal antara 30 km sampai 35 krn/jam dan kecepatan angin setiap saat bisa dimonitor diperalatan Marine Automatic Weather Station(LaporandariBMG, Badan Meteriologi dan Geofisika). e. Berdasarkan kualitas material, quality control terhadap sampel balok, dan itusudah dilakukansesuai ketentuan, sehingga kegagalan akibatmutu material sangat kecil.Keteranganini dari InstitutTeknologiSepuluh Nopember(ITS) yang telah melaksanakan uji test pada semua girder yang jatuh berupa coredrill test, hammer test, ultrasonic test, tes tarik pada tulangan dan vire strand. f. Pergeseran pilar yang menghubungkan bentang ketujuh, yang menyebabkanterjadinyamusibahsehin gga girder tidakberada dalam posisi yang benar,kemungkinannyajuga sangat kecil. 4. Pihak yang bertanggungjawab dalam musibah ini adalah kontraktor yaitu Wijaya Karya, Hutama Karya, Waskita Karya dan Agra Budi sedangkan investor Cina mengerjakan bentang tengah dari jembatan Suramadu. 5. Pihak kontraktor bertanggungjawab dengan melakukan penyempurnaan unit peralatanerection girder sekaligus dengan uji coba. 6. Kerugian pada kejadian ini melibatkan banyak pihak : Pihak pemilik yaitu pemerintah mengalami kerugian finansial Pekerja yang mengalami musibah telah diikut sertakan dalam program Jamsostek, dan ahli waris mendapat
Kegagalan Konstruksi Pada Musibah Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) (Budiono)
19
santunan jaminan kecelakaan kerja sebesar sekitar Rp 25 juta. Dari pihak kontraktor jika telah mengikuti jaminan "Professional Indemnity Insurance", maka pihak kontraktor akan akan mendapat jaminan dari pihak penjamin yaitu Insurance Company akan mengganti kerugian sebesar yang ditetapkan oleh tim ahli dan juga kontraktor akan mendapatkan sangsi. 4.
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
1. Berdasarkan kronologis proyek, penyebab kegagalan konstruksi jembatan diakibatkan oleh pihak kontraktor yang hanya mencari keuntungan besar dengan menggunakan peralatan yang sudah habis masa pakainya ini dibuktikan dengan alat hidrolik yang sudah bocor. 2. Untuk menetapkan tanggung jawab penyedia jasa dalam kasus kegagalan produk (produk liability) umumnya didasarkan pada pendekatan kesalahan (negligence) dan beberapa pengecualian yang disesuaikan dengan hukum yang berlaku. 3. Program K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) belum berjalan dengan baik, sehingga perlu ditingkatkan karena pekerja konstruksi dilaut rentan terhadap kecelakaan. 4. Penetapan metode konstruksi pelaksanaan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting sehingga tanggung jawab tidak hanya dilimpahkan kepada pihak kontraktor saja. 5.
2. Banyaknya sumber-sumber yang dapat menyebabkan kegagalan prematur suatu konstruksi bangunan, akan menimbulkan masalah yang kompleks jika ketentuan- ketentuan yang berkaitan dengan kegagalan tidak ditegaskan sejak awal. 3. Perlu diadakan uji coba terhadap kelayakan peralatan konstruksi, hal ini perlu dicantumkan dalam kontrak konstruksi.
1]. Clugh, Richard H, Construction Contracting, Fifth Edition, 1986, John Willey & Son 2]. Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 29 Tahun 2000 3]. Ahmad, Harjono, Sekilas Tentang Layanan Jasa Asuransi di Sektor Jasa Konstruksi, (http://www.pu.go.id) 4]. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, (http://www.lpkj.go.id) 5]. Kompas Interaktif, (http:/www.kompas.com) PENULIS :
Ir. Budiono, MT. Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
SARAN
1. Pemerintahdiminta membuat keputusan Presiden (Keppres) tentang kagagalan bangunan. Pasalnya, kesalahan dalam perencanaan ataupun palaksanaan pembangunan (human error) jarang bisa dievaluasi secara baik. Keppes ini juga bisa mengatur siapasaja yang harus bertanggung jawab jika terjadi suatu kegagalan.
20
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (12-20)
MANAJEMEN RESIKO PADA PENGENDALIAN BANJIR DI SUNGAI CILIWUNG Oleh:
Heny Purwanti, Ike Pontiawaty
Abstrak Kondisi infrastruktur sistem jaringan drainase kota Jakarta sampai saat ini belum mampu mengatasi permasalahan banjir yang terjadi disetiap musim penghujan. Masalah ini disebabkan oleh kurangnya pengelolaan sistem jaringan drainase yang berkaitan dengan cepatnya pertumbuhan permukiman, perubahan tata guna lahan maupun akibat aktifitas lainnya yang berisiko terhadap terjadinya banjir. Salah satu penyebab terjadinya risiko dalam penanganan banjir pada sistem jaringan drainase adalah belum adanya identifikasi risiko terutama katagori major risk yang dapat dipakai sebagai dasar dalam melakukan penanganan/mitigasi terhadap konskuensi yang ditimbulkan. Penelitian ini dilakukan dengan Sebagian besar berdasarkan data sekunder yang dapat dikumpulkan dari beberapa sumber yang selama ini bertanggung jawab atas perencanaan dan pengendalian banjir di Jakarta. Survai Lapangan berupa kuisoner kepada masyarakat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum atas skala resiko banjir yang terjadi dan bermanfaat nantinya dalam penetapan prioritas langkah pengendalian yang sebaiknya diambil. Selanjutnya dengan ditetapkan prioritas pengendalian dilakukan analisa dengan AHP. Berdasarkanidentifikasi resiko dan analisa dengan AHP disimpulkan bahwa tingkat resiko mulai dari yang terbesar terjadi di daerah hilir (pantai) terus berkurang ke daerah hulunya.Treatment yang harus dilakukan sepanjang sungai Ciliwung dan Banjir Kanai Barat adalah normalisasi/improvement saluran dan jembatan, normalisasi waduk Pluit, pembangunan Gate dan Pompa di muara sungai, penghijauan derah hulu, pembuatan sumur resapan disepanjang sungai. Kata Kunci : Identifikasi Resiko Banjir, Manajemen Resiko, Pengendalian Banjir 1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai kota yang terletak di dataran rendah dan dilalui oleh 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta, kota Jakarta memang terkenal sebagai langganan banjir sejak jaman berdirinya kota ini. Untuk mengatasi masalah banjir ini, pada jaman kolonial Belanda, pada tahun 1920 dibuat Banjir Kanal Barat mulai dari Manggarai sampai ke Muara Angke yang bertujuan untuk mengubah aliran sungai Ciliwung, Krukut, dan Sungai Baru Barat agar tidak melalui tengah kota, tetapi mengelilingi kota Jakarta sebagian barat yang saat itu berpenduduk sekitar 500.000 jiwa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk kota Jakarta yang saat ini mencapai lebih dari 12
juta, beban yang harus dipikul oleh fasilitasfasilitas penanggulangan banjir seperti saluran-saluran drainase, situ-situ, waduk dan pompa-pompa yang ada semakin dirasakan tidak mampu untuk dialirkan atau ditampung. Air hujan yang jatuh sebagian besar langsung menjadi limpasan karena terus berkurangnya daya serap lahan akibat hilangnya kawasan hijau, sementara itu sungai-sungai justru semakin berkurang kapasitasnya akibat sampah dan penyempitan lebar sungai akibat pemukiman liar disepanjang aliran sungai. Melihat kerugian yang diakibatkan oleh banjir setiap tahun, terutama bencana banjir pada tahun 2012 ini, pada saat ini Pemerintah DKI Jakarta telah memprogramkan berbagai langkah untuk memperbaiki langkah untuk memperbaiki semua infrastruktur kota yang
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
21
rusak dan juga untuk mencegah terjadinya kembali bencana banjir serupa.
pekerjaan-pekerjaan utama sebagai suatu variabel bebas.
Satu hal yang sangat penting untuk dicermati dalam setiap keputusan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, terutama yang membutuhkan dana yang sangat besar, adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kemungkinan kerugian akibat tidak tercapainya sasaran utama investasi.
2. DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG
Dengan pertimbangan diatas, tulisan ini akan menganalisa investasi yang hendak dilakukan oleh pemda DKI Jakarta dalam rangka mengatasi banjir, dengan metode Analisa Manajemen Resiko. 1.2 Maksud dan tujuan Untuk mengidentifikasi resiko banjir disekitar sungai Ciliwung agar dapat solusi untuk pengendalian banjir di sekitar sungai Ciliwung yang melewati kota Jakarta 1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Studi ini meninjau pengendalian banjir Jakarta hanya disepanjang Sungai Ciliwung, dengan penerapan manajemen resiko dalam pengambilan keputusan. 1.4 Metode Penelitian Tahapan penelitian ini adalah Preliminary Study. Metode penelitian dilakukan dengan Sebagian besar berdasarkan data sekunder yang dapat dikumpulkan dari beberapa sumber yang selama ini bertanggung jawab atas perencanaan dan pengendalian banjir di Jakarta. Survai Lapangan berupa kuisoner kepada masyarakat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum atas skala resiko banjir yang terjadi dan bermanfaat nantinya dalam penetapan prioritas langkah pengendalian yang sebaiknya diambil. Selanjutnya dengan ditetapkan prioritas pengendalian, maka pada tahap Preliminary Study hal sangat penting untuk diketahui adalah gambaran awal total biaya yang dibutuhkan. Dalam studi ini diasumsikan terdapat kendala berupa keterbatasan dana yang ada sehingga harus dilakukan analisa optimasi untuk mendapatkan pengendalian banjir yang optimal dengan dana tersebut. Perhitungan biaya ini dilakukan dengan melakukan simulasi dengan harga satuan jenis 22
2.1. Gambaran Umum Sungai Ciliwung berasal dari lereng utara Gunung Pangrango (elev. +3.019 m), mengalir menyusuri lereng gunung dan melalui kota Bogor, Depok, dan Jakarta serta bermuara di teluk Jakarta. Sungai Ciliwung adalah sungai terbesar yang melintasi kota Jakarta yang sejak jaman dahulu tercatat selalu memberi masalah berupa banjir bagi penduduk Jakarta. Hal ini terjadi karena letak geografis kota Jakarta yang terletak pada dataran rendah, bahkan beberapa wilayah dibagian utara kota mempunyai ketinggian yang lebih rendah dari muka air laut. Kondisi banjir di Jakarta selalu diperparah dengan datangnya pasang laut pada saat naiknya debit sungai dimusim hujan. Sejarah pengendalian banjir di sungai Ciliwung dimulai dengan dibangunnya pintu air Manggarai dan Saluran Banjir Kanal Barat oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pintu air dan saluran ini berfungsi untuk mengalihkan debit banjir sungai Ciliwung, Krukut dan Kalibaru Barat, melewati pinggiran barat (pada waktu itu) kota Jakarta, terus menuju laut di Muara Angke. Debit Ciliwung Sendiri yang menuju ke pusat kota dikontrol dengan pintu air Manggarai ini. Dengan berkembangnya luas kota Jakarta, maka lokasi Banjir Kanal Barat ini tidak lagi berada dipinggiran kota tetapi akibat pertumbuhan kota kearah barat dan selatan maka saluran ini sekarang praktis berada ditengah kota. Luas Daerah Aliran Sungai Ciliwung pada pintu air Ciliwung adalah sebesar 337 km2 dengan total panjang sekitar 109 km. Sampai saat ini masalah yang terjadi pada DAS Ciliwung adalah terus terjadinya perusakan alam secara besar-besaran mulai dari bagian hulu (upper zone) hingga bagian hilir (lower zone). Modus perusakan DAS ini sangat beragam antara di bagian hilir, tengah, dan hulu. Kerusakan dibagian hilir terutama banyaknya bangunan liar di sepanjang
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
bantaran kali mulai dari Depok hingga pusat kota Jakarta, yang mempersempit sungai dan mengurangi kemampuan pengaliran airnya. Sedangkan perusakan dibagian tengah dan hulu umumnya berupa perubahan fungsi lahan dari lahan konservasi menjadi areal pemukiman dan tempat rekreasi.
Elevasi Banjir Kanal Barat lebih tinggi dibandingkan dengan areal disepanjang saluran tersebut. Untuk mengatasi masalah pembuangan air hujan maka disepanjang saluran ini dibuat waduk-waduk atau pintu air dan dilengkapi dengan pompa. 2.3. Kondisi Banjir Sepanjang Sungai Ciliwung
2.2. Fasilitas Eksisting Beberapa fasilitas utama pengendalian banjir di sepanjang sungai Ciliwung dan saluran Banjir Kanal Barat antara lain : Pintu air Katulampa Pintu air Depok Pintu air Manggarai Waduk Setiabudi Timur Waduk Setiabudi Barat Waduk Melati Pintu air Karet Waduk Kepa Pintu air Cideng
Dengan terus berlangsungnya degradasi kwalitas DAS Ciliwung maka luas wilayah yang terkena banjir setiap musim hujan disepanjang bantaran sungai Ciliwung menunjukkan gejala peningkatan setiap tahun. Hal ini adalah akibat langsung dari semakin besarnya limpasan banjir dan semakin kecilnya kapasitas sungai akibat langsung dari semakin besarnya limpasan banjir dan semakin kecilnya kapasitas sungai akibat penyempitan badan sungai yang disebabkan oleh pembuangan sampah dan sedimentasi.
Gambar 1.1 Daerah Banjir sepanjang Sungai Ciliwung Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
23
3.
dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya ketidakpastian (uncertainly) yang bersifat merugikan atas pencapaian tujuan proyek.
MANAJEMEN RESIKO
3.1. Pengertian Resiko The Australian Standard AS 4360 mendefinisikan resiko adalah kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan berdampak negative terhadap sasaran. Resiko diukur dengan melihat konsekwensi yang mungkin terjadi dan besarnya probabilitas terjadinya resiko tersebut. Sehingga resiko (Risk) merupakan fungsi dari Probability (Kemungkinan) dan Consequences (Akibat) dari tidak dapat dicapainya tujuan proyek, atau dapat ditanyakan dengan rumus matematika : Risk = Probability x Consequences The PMOBK series – Volume 6 memberi definisi bahwa resiko adalah efek kumulatif
3.2. Manajemen Resiko Manajemen resiko adalah sebuah proses sistematis dan kreatif atas permasalahan resiko yang mencakup identifikasi resiko, analisa resiko, pengurangan atau peniadaan resiko secara efektif, dan pada saat yang bersamaan memaksimalkan pencapaian peluang (opportunity) yang menjadi tujuan. Analisa resiko yang akan diuraikan dalam tulisan ini mengacu pada AS 4360 dan PMBOK Series – Volume 6. Proses resiko dalam sebuah proyek secara garis besar adalah sebagai berikut (berdasarkan AS 4360):
Gambar 2.1. Proses Manajemen Resiko 24
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
Treat : Timbulnya gejolak sosial akibat dilakukannya penertiban disepanjang bantaran sungai. Tingginya tingkat sedimentasi di sungai-sungai yang melalui Jakarta Sulit dan mahalnya melakukan pembebasan tanah
Tahapan-tahapan dalam manajemen resiko seperti Gambar 2.1 diatas akan diuraikan dalam Bab-bab berikut. 4. PENETAPAN KONTEKS
4.1.
Uraian Umum
Sebagai langkah awal dalam proses manajemen resiko adalah menetapkan konteks yang berisi segala kemungkinan resiko yang dapat timbul. Ada tiga aspek dari konteks yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 1. Konteks Strategis (Strategic Context) Dalam konteks strategis perlu ditinjau SWOT atas Pemerintah DKI Jakarta sebagai organisasi pemraksa proyek. Strength : Dukungan dari pemerintah pusat Tersedianya sumber daya yang berpengalaman cukup dalam pengendalian banjir. Telah diketahui perilaku hujan dan banjir pada Daerah Aliran Sungai di Jakarta. Weakness : Membutuhkan dana yang sangat besar Tidak/kurang konsisten dalam menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan keseimbangan tata guna lahan Belum terwujudnya koordinasi yang baik dengan Pemerintah Daerah disekitar Jakarta (Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) dalam hal pengendalian pembangunan perumahan dan industri Tingginya tingkat urbanisasi ke Jakarta yang mengakibatkan tumbuhnya pemukiman liat disepanjang bantaran sungai Jakarta terletak didataran rendah, bahkan sekitar 40% luas Jakarta lebih rendah dari muka air laut. Oppotunity : Tumbuhnya tekad pada pemerintahan dan masyarakat untuk mengatasi masalah banjir Peningkatan lowongan pekerjaan Makin dikuasai teknologi pengendalian banjir
2. Konteks Organisasi (Organisational Context) Konteks Organisasi bagi Pemda DKI Jakarta adalah : Pekerjaan pengendalian banjir di Jakarta bertujuan menjaga citra Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia. Jakarta sebagai kota yang bebas banjir akan dapat lebih mensejahterakan penduduknya. 3.
Konteks Manajemen Resiko (Risk Management Context) Konteks Manajemen Resiko bagi Pemda DKI Jakarta adalah : Pelaksanaan pekerjaan pengendalian banjir yang tidak terencana dengan baik dapat mengurangi pencapaian sasaran utama. Tinjauan manajemen resiko akan memberi pengertian akan sumbersumber resiko, bagaimana mencegah timbulnya resiko dan kalaupun resiko tersebut telah direncanakan antisipasi penanggulangannya.
Dalam konteks manajemen resiko perlu ditetapkan kriteria yang dipakai dalam memandang suatu resiko, yaitu Kriteria Probabilitas (Likelihood), Kriteria Akibat (Consequences) dan Matrix Tingkat Resiko (Risk Level) secara kualitatif. Tabel 4.1. Kriteria Probabilitas (Likelihood) Probabilitas
Skala Likert
Sangat besar (A)
1
Tinggi (B)
2
Sedang (C)
3
Rendah (D)
4
Sangat Rendah (E)
5
Deskripsi Kriteria Kemungkinan terjadi > 0% dan ≤ 10% Kemungkinan terjadi > 10% dan ≤ 20% Kemungkinan terjadi > 20% dan ≤ 30% Kemungkinan terjadi > 30% dan ≤ 40% Kemungkinan terjadi > 40%
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
25
RU'I'R. Banyak sekali pelangaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tetapi diabaikan saja juga sering kali studi Andal dalam perijinan hanya bersifat formalitas.
Tabel 4.2 : Kriteria Akibat (Consequences)
Tabel 4.3 : Matrix Tingkat Resiko (Risk Level) secara kualitatif
4.2.
Identifikasi Resiko Penyebab Banjir
Pertama-tama penulis akan mengidentifikasikan sumber atau penyebab dan terjadinya bencana barjir itu sendiri. Dari hasil studi baik berupa studi literatur maupun wawancara dengan para ahli di bidang ini rnaka penulis rnembagi sumber penyebab banjir di Jakarta ini menjadi 4 macam :
Sedangkan dalam mengidentifikasi resiko yang timbul akibat banjir di Jakarta tahun 2012 ini maka penulis membaginya menjadi 2 kategori, yaitu kategori pertama adalah resiko kualitatif dan kategori kedua adalah resiko kuantitatif. l. Resiko Kualitatif Resiko disini rnaksudnya adalah semua resiko yang ditimbulkan oleh banjir dalam semua sektor kehidupan masyarakat yang dapat dihitung besarnya kerugian dengan rupiah. Berdasarkan data dari Koran, majalah, televisi, radio dan lain sebagainya, maka penulis mendapatkan 3 sektor resiko akibat banjir di Jakarta yang kerugiannya dapat dirupiahkan, walaupun data tersebut sebenarnva kurang akurat (tabel 4.1).
1. Letak Geoprafis Seperti yang telah kita ketahui bahwa Jakarta adalah kota pelabuhan sehingga otomatis letaknya berada di dataran rendah air. 2. Daerah Aliran Sungai Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta dan tingginya curah hujan di daerah hulu menyebabkan limpasan air dari hulu masuk semua ke Jakarta. 3. Perilaku manusia Jakarta adalah kota yang sangat padat penduduknya sehingga banyak sekali pemukiman-pemukiman liar yang berada disepanjang bantaran sungai yang rnenyebabkan penyempitan dan pendangkalan sungai sehingga kapasitas sungai semakin lama semakin berkurang. Padahal lirnpasan air semakin larna semakin besar mengingat daerah resapan di Jakarta semakin sedikit akibat pesatnya pembangunan pemukiman penduduk. Juga perilaku manusia yang kurangnya kesadaran akan membuang sampah pada tempatnya. 4. Kebijakan Pemerintah Seperti kita ketahui kebijakan yang dilaksanakan pernerintah sering tidak konsisten. Contohnya adalah penerapan 26
2. Resiko Kuantitatif Yang dimaksud resiko kuantitatif disini adalah semua resiko vang ditimbulkan oleh banjir yang tidak dapat dirupiahkan. walaupun bisa tetapi tidak dapat ditaksir secara langsung. Berdasarkan data yang diperoleh maka penulis mengidentifikasi menjadi 5 sektor, yaitu :
Dari identifikasi resiko akibat banjir diatas maka kalau dijumlah semuanya ada 6 sektor yang terkena dampak akibat terjadinya banjir, yaitu :
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
1. Sektor Properti 2. Sektor Infrastrukur 3. Sektor Produksi 4. Sektor Ekonomi 5. Sektor Sosial Budava 6. Sektor Politik 7. Sektor Kesehatan 8. Sektor Lingkungan 4.3. Identifikasi Wilayah Dampak Resiko Banjir Oleh karena sungai Ciliwung sangatlah panjang dan kondisi lingkungan daerah satu dengan yang lain mungkin sangat berbeda. rnaka kami tidak bisa rnenyamaratakan, resiko baniir di satu daerah dalam sektor tertentu akan sama dengan daerah lainnya. Oleh karena itu karni melakukan pendekatan dengan cara membagi 3 wilayah disepanjang sungai Ciliwung yang mengalarni banjir yaitu mulai dari Depok sampai pantai Jakarta. Untuk lebih rnudahnva batas wilayah pembagian kami tetapkan tepat dimana ada pintu air disitu. Pembagian tersebut adalah : 1. Wilayah atas Wilayah atas ini diasumsikan berada pada sekitar 5 kirometer sepanjang kanan kiri sungai Ciliwung antara pintu Depok sampai dengan pintu air Pasar Minggu. Didaerah ini penduduk sudah mulai padat tetapi tempat-tempat industri masih sedikit. 2. Wilayah Tengah Wilayah atas ini diasumsikan berada pada sekitar 5 kirometer sepanjang kiri sungai Ciliwung antara pintu air Pasar Minggu sampai dengan pintu air Manggarai. Didaerah tengah ini pemukiman sudah padat, industri ada tetapi tidak terlalu padat, lalu lintas sudah ramai bahkan kadang terjadi kemacetan. 3. Dapat juga disebut daerah hilir sungai Ciliwung. Daerah ini yaitu sepanjang 5 kilometer kanan kiri sungai antara pintu air Manggarai sampai dengan muara sungai Ciliwung yaitu laut Jawa di utara Jakarta. Daerah ini adalah daerah pusat kota Jakarta yang penduduknya betul-betul padat, merupakan daerah industri yang sangat padat yaitu didaerah utara Jakarta, lalu lintas sering macet, gedung perkantoran pemerintahan maupun swasta terpusat didaerah ini. Pada akhirnya tujuan identifikasi resiko yang kami lakukan ini nantinya adalah untuk
mengetahui sektor manakah yang terkena dampak paling besar akibat terjadinya banjir dan diwilayah sektor rersebur paling mungkin terjadi bila terjadi banjir. 4.4.
Analisa Banjir
Untuk menganalisa skala prioritas sekor yang terkena dampak paling besar tingkat kerugiannya membutuhkan penelitian yang sistematis dan canggih. Tetapi karena keterbatasan waktu dan biaya tidak rnungkin dilakukan penelitian yang sistemalis dan canggih. Untuk mengatasi hal ini kami menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode ini dilakukan dengan bantuan software Expert Choice. 4.4.1
AHP Dengan Program Expert Choise
Untuk menentukan tingkat prioritas dari resiko banjir ini maka penulis menggunakan metode AHP dengan bantuan Program Expert Choice. Adapun proses pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1. Decomposition Dalam kasus banjir ini kami menggunakan Hirarki lengkap dengan komposisi sebagai berikut : Goal : Resiko Banjir Kriteria : - Sektor Property - Sektor Infrastuktur - Sektor Produksi - Sektor Ekonomi - Sektor Sosial Budaya - Sektor Politik - Sektor Kesehatan - Sektor Lingkungan Alternatif : - Wilayah Atas - Wilayah tengah - Wilayah bawah 2. Comparative Judgement Untuk pelaksanaan Comparative Judgement dilaksanakan dengan sistem kuisioner yang pada seorang yang dinilai expert dalam bidang masalah bencana banjir yang terjadi di Jakarta. Kuisioner ini dibuat khusus untuk mendapatkan input data yang sifatnya kualitatif sehingga pada akhirnya akan dikombinasikan dengan data kuantitatif untuk jadi input pada Expert Choice software. Jumlah kuisioner yang disebar dalam penelitian ini adalah sebanayak 21
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
27
lembar kuisioner yang diberikan kepada responden yang benar-benar pakar dalam masalah banjir, sehingga diharapkan hasil kuisioner memiliki validasi yang tinggi. Dari 2l lembar jawaban yang didapat kemudian diolah untuk mendapatkan geometric Mean yaitu dengan rumus : 𝐺𝑀 = 𝑛√𝑎1 𝑥 𝑎2 𝑥𝑎3 … … … 𝑥 𝑎𝑛 a = Persepsi Responden b = Jumlah Responden
4.5. Preliminary Desain Pengendalian Banjir Berdasarkan analisa identiflkasi resiko, dapat disimpulkan bahwa kerugian terbesar terjadi di daerah hilir, terus bekurang kerugiannya kearah hulu sungai. Berdasarkan hasil identifikasi resiko tersebut rnaka tingkat treatment banjir haruslah dengan memperhatikan tingkat resiko pada daerahdaerah tersebut. Dengan meninjau sungai Ciliwung sebagai sebuah system aliran air, maka secara garis besar langkah penanganan yang harus diambil adalah : 1. Rehabilitasi sungai Ciliwung dan Banjir Kanal Barat untuk mengembalikan kapasitas pengalirannva. 2. Rehabilitasi waduk Pluit untuk mengembalikan kemampuan penampungan lirnpasan banjir di daerah hilir Banjir Kanal Barat. 3. Pengembalian fungsi sebagai daerah resapan air pada daerah tengah dan hulu DAS Ciliwung.
Dalam rencana pengendalian banjir sungai Ciliwung maka selain memperbaiki kapasitas pengaliran maka hal lain yang juga harus dipertimbangkan adalah bagaimana menurunkan debit puncak banjir (peak discharge) yang ada. Hal ini semakin dirasakan perlu melihat adanya kecenderungan debit banjir yang terus meningkat meskipun dengan tinggi hujan yang normal akibat terus menurunnva daya resap tanah disepanjang DAS Ciliwung akibat pemakaian lahan (land use) yang tidak terkendali. Penurunan debit banjir ini dapat dicapai dengan pengembalian fungsi daerah hulu sungai sebagai daerah resapan dengan 28
penghijauan dan pembuatan sumur-sumur resapan di kota. Berdasarkan uraian di atas, maka prioritas pengendalian banjir ditetapkan sebagai berikut : 1. Normalisasi dan/atau improvement sungai Ciliwun dan Banjir Kanal Barat untuk mengembalikan dan/atau rneningkatkan kapasitas pengaliran debitnya. Disini termasuk juga pekerjaan improvement jembatan-jembatan yang ada sepanjang sungai untuk rneningkatkan kapasitas aliran di jembatan. 2. Normalisasi waduk Pluit 3. Pembuatan Gate Barrier beserta fasilitas pompa di daerah pantai 4. Pembuatan sumur-sumur resapan 5. Penghijauan di daerah hulu. 4.6. Desain Pengendalian Ranjir Desain Saluran Debit Banjir Rencana Berdasarkan perannva sebagai sungai terbesar yang membelah kota Jakarta, sungai Ciliwung direncanakan untuk mampu menampung debit banjir dengan periode ulang I00 tahun. Sesuai dengan daya peta banjir, maka normalisasi sungai Ciliwung akan dimulai dari Depok. dimana genangan banjir mulai terjadi disepanjang sungai. Tabel dibawah ini menunjukkan pembagian ruas sepanjang sungai Ciliwung dan Banjir Kanal Barat sesuai debit rencananya. Section No 1 2 3 4
Batas Daerah Depok - Manggarai Manggarai - Karet Karet - Angke Angke - Laut
Qb (m3/s) 410 360 470 500
Panjang (km) 19,20 6,90 10,,30 4,80
Desain Saluran Section 1 s/d 4 Desain dilakukan dengan kriteria sebagai berikut : Freeboard = 1,0 m Koef. Manning (n) = 0,0225 Side slope = 1,0 | 1,5 Pada section 1 karena kondisi lapangan yang memungkinkan maka normalisasi/improvement sungai dilakukan dengan tetap mengikuti penarnpang sungai yang ada yaitu berbentuk trapesium, sementara untuk section 2 s/d 4 karena sempitnya lahan maka peningkatan kapasitas saluran
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
dilakukan dengan merubah bentuk saluran menjadi persegi (rectangular section).
Gate Barrier Karena berada didataran rendah, kondisi banjir di Jakarta semakin parah bila bersamaan dengan datangnya air laut pasang. Untuk mengatasi hal ini direncanakan akan dibangun sebuah Gate Barrier yang akan ditutup bila datangnya air laut pasang. Sementara air hujan vang melimpas dari daerah hulu akan dibuang ke laut dengan sistem pompa. Untuk memberi efek storage yang memadai, maka pada section 4 (daerah paling bawah) akan dilakukan pendalaman tambahan sedalam 2 m, diluar luas penampans yang dibutuhkan sesuai desain.
Desain Saluran Manning Formula 3 𝑄 = 𝑉 𝑥 𝐹 (𝑚 ⁄𝑠) 1 2 𝑎 𝑉 = 𝑥 𝑅 ⁄3 𝑥 𝑆 ⁄2 (𝑚⁄𝑠) 𝑛 Dimana : n = 0,225 R = Jari-jari basah (m) S = Slope Normalisasi Waduk Pluit Waduk Pluit terletak di Jakarta Utara, merupakan waduk pengendalian banjir terbesar di Pantai Jakarta. Waduk ini mempunvai daerah pelayaran seluas 2.080 Ha yang mencakup mulai dari daerah sekitar Monas sampai dengan daerah disekitar waduk. Adapun data teknis waduk Pluit adalah : - Luas waduk : 80 Ha - Kapasitas Pompa : 3 pompa x 3,2 = 9,6 m3/s 1 pompa x 3,7 = 3,7 m3/s 4 pompa x 4 = 16 m3/s - Peil Maksimum : + 0,5 m (PP) - Peil Minimum : - 1,9 m (PP) - Peil Maksimum : 2.080 m Ha Kondisi yang dialami waduk Pluit pada saat ini adalah tingginya sedimentasi yang mengakibatkan berkurangnya daya tampung air sehingga pompa yang ada tidak dapat mengatasi datangnva debit banjir yang besar. Hal ini terbukti pada saat kejadian banjir terakhir (Jan - Feb 2012) dimana elevasi air didalam waduk mencapai + 1,50 m (PP), lebih tinggi dari peil maksimum yanu hanya + 0,50 m (PP). Hal ini mengakibatkan terjadinya banjir didaerah sekitar waduk yang merupakan daerah pemukirnan padat, baik pemukiman mewah maupun pemukiman kumuh. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka direncanakan akan dilakukan normalisasi kapasitas waduk berupa pengerukan Lumpur sedalam 4,0 m, sesuai dengan perkiraan sedimentasi yang ada pada saat ini.
Penghijauan Daerah Hulu Seperti diurai didepan, untuk jangka panjang maka langkah vang dapat diambil untuk dapat menekan tingginya debit banjir yanq masuk ke kota Jakarta adalah dengan melakukan penghijauan. Penghijauan direncanakan akan dilakukan didaerah-daerah rawan akibat penggundulan daerah hijau yang selama ini berlangsung. Pada setiap awal ini direncanakan penghijauan akan mencakup areal seluas 50.000 Ha. Pembuatan Sumur Resapan Pada daerah kota akan dibangun sumur-sumur resapan pada areal selebar kurang lebih 5 km di kirikanan sungai. Jarak antar sumur resapan direncanakan sekitar 150 m. Total sumur resapan yang harus dibangun adalah 15,050 sumur. 4.7.
Estimasi Biaya
Berdasarkan desain perencanaan pengendalian banjir di sepanjang Sungai Ciliwung dan Banjir Kanai Barat, maka harus dihitung estimasi biaya yang dibutuhkan. Estimasi biaya dilakukan berdasarkan harga satuan (unit prices) yang ditetapkan dengan mengacu dari data-data pekerjaan sejenis sebelumnya, berdasarkan
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
29
pengalaman atau daftar harga satuan yang diterbitkan oleh instansi berwenang. Perhitungan estimasi biaya disajikan pada Tabel d i b a w a h i n i dan dapat diringkas sebagai berikut :
Sepanjang bantaran sungai direncanakan akan dilakukan pembebasan lahan untuk pelebaran sungai dan jalur hijau. Lebar jalur hijau direncanakan selebar 5 m dan diberi pagar sepanjang sungai.
Denqan constraint : Z <= Zo Dimana: Ci = unit Price untuk jenis pekerjaa Pi Pi = besaran jenis pekerjaan Z = total biaya yang dibutuhkan Zo = jumlah dana yang ada, menjadi constraint. Analisa dilakukan dengan melakukan simulasi dengan bantuan program komputer Crystal Ball. Dalam analisa ini dipakai 2 jenis variable, yaitu : Uncertain variable yaitu unit price dari masing-masing pekerjaan. Variable ini tidak dapat dikontrol karena bersifat probabilistik. Decision varible yaitu variable yang dapat dikontrol karena besarannya ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sesuai sasaran simulasi.
4.8. Optimasi Biaya Berdasarkan estimasi biaya maka total biaya yang dibutuhkan adalah sebesar Rp.2,853,260,289,225. Tetapi dalam pelaksanaannya pekerjaan pengendalian banjir ini menghadapi beberapa kendala yaitu : 1. Dana yang tersedia hanya sebesar Rp. 2,7500,000,000,000 2. Unit Prices yang dipakai dalam estimasi biaya meskipun berdasarkan data dan engineering estimation, sebenarnya adalah sebuah variabel tak tentu. Untuk mengatasi kendala diatas, maka harus dilakukan analisa optimasi biaya dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang didapat, yaitu pengurangan kerugian akibat banjir yang sebesar-besarnya. Adapun yang menjadi patokan dalam melakukan analisa optimasi ini adalah :
Unit price sendiri sebagai suatu variable tak tentu mempunyai beberapa bentuk distribusi. Tetapi dalam studi ini diasumsikan distribusi tersebut mengikuti bentuk Distribusi Normal dan Triangle. Pekerjaan-pekerjaan yang umum dan sering dilakukan dianggap mengikuti bentuk distribusi normal, sedangkan distribusi triangle diasumsikan cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak/kurang standar. Tabel yang menyajikan "Budget Constraint Model" yang dipakai dalam simulasi sementara menyajikan hasil simulasi yang dilakukan. Pada tahap awal simulasi dilakukan tanpa menetapkan constraint yang ada, dan didapat bahwa dana total yang dibutuhkan (Rp. 2,853,260,289,225) hanya mempunyai probabilitas sebesar 49.20%, berarti dana yang tersedia sebesar Rp. 2,750,000,000,000 mempunyai probabilitas yang lebih kecil lagi.
1. Penanganan banjir dilakukan dengan mengacu pada prioritas daerah yang didapat dari analisa identifikasi resiko. 2. Pekerjaan yang akan dilakukan ditentukan dengan persyaratan bahwa jumlah dana yang tersedia (Rp. 2,750,000,000,000) harus mempunyai tingkat kemungkinan mencukupi sebesar minimum 90%.
Hasil akhir simulasi dengan budget constraint sesuai dana yang tersedia dan tmqkat probabilitas terpenuhi minimum 90% dapat dilihat pada Tabel 4.6. Total biaya dengan probabilitas tersebut adalah Rp. 2,656,800,000,000
Persamaan umum optimasi adalah : Z = Cl *Pl + C2*P2 + C3*P3 +........+ Ci*Pi
Berdasarkan data kerugian akibat banjir terakhir yang melandaJakarta, maka dengan
30
4.9. Pengurangan Kerugian Banjir Setelah Optimasi
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
pola penanganan sesuai hasil optimasi akan didapat pengurangan kerugian banjir pada tahun-tahun mendatang sebagai berikut Unit price sendiri sebagai suatu variabel tak tentu mempunyai beberapa bentuk distribusi. Tetapi dalam studi ini diasumsikan distribusi tersebut mengikuti bentuk Distribusi Normal dan Triangle Pekerjaan-pekerjaan yang umum dan sering dilakukan dianggap mengikuti bentuk distribusi normal, sedangkan distribusi triangle diasumsikan cocok untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak/kurang standar. Tabel yang menyajikan “budget Constraint Moder yang dipakai dalam simulasi sementara Tabel 4.5 menyajikan hasil simulasi yang dilakukan. Pada tahap awal simulasi dilakukan tanpa menetapkan constraint yang ada, dan didapat bahwa dana total yang dibutuhkan (Rp.2,583,260,289,225) hanya mempunyai probabilitas sebesar 49,20%, berarti dana yang tersedia sebesar Rp. 2,750,000,000,000 mempunyai probabilitas yang lebih kecil lagi.. Hasil akhir simulasi dengan budget constraint sesuai dana yang tersedia dan tingkat probabilitas terpenuhi minimum 90% dapat dilihat pada Tabel 4.5. Total biaya dengan probabilitas tersebut adalah Rp. 2,656,800,000,000. Berdasarkan data kerugian akibat banjir terakhir yang melanda Jakarta, maka dengan pola penanganan sesuai hasil optirnasi akan didapat pengurangan kerugian banjir pada tahun- tahun mendatang sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan diatas maka resiko kerugian yang tersisa setelah dilakukannya treatment adalah sebesar Rp. 786.840.000.000 (atau 38% dari total kerugian yaitu Rp.1.804.000.000.000). dengan pertimbangan banjir yang membuat kerugian besar biasanya terjadi tiap 5 tahun sekali, maka dapat disimpulkan bahwa penanganan yang dilakukan memberi
keuntungan dalam bentuk mengurangi resiko kerugian akibat banjir ditahun-tahun mendatang. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Masalah banjir yang selalu melanda Jakarta haruslah dicari pemecahannya. Pada saat ini sedang tumbuh tekad bersama untuk segera menyelesaikan masalah banjir. 2. Penurunan terus menerus kondisi DAS Ciliwung sebagai daerah resapan hujan semakin memperparah banjir Jakarta. Berdasarkan pengamatan ada kecenderungantinggi banjir semakin lama semakin meningkat akibat rusaknya DAS tersebut. 3. Berdasarkan identifikasi resiko dan analisa dengan AHP disimpulkan bahwa tingkat resiko mulai dari yang terbesar terjadi di daerah hilir (pantai) terus berkurangke daerah hulunya. 4. Treatment yang harus dilakukan sepanjang sungai Ciliwung dan Banjir Kanai Barat adalah normalisasi/improvement saluran dan jembatan, normalisasi waduk Pluit, pembangunan Gate dan Pompa di muara sungai, penghijauan derah hulu, pembuatan sumur resapan disepanjang sungai. 5. Dari studi didapat total biaya yang dibutuhkan adalah Rp.2,853,260,289,225. Sementara dana yang tersedia hanya Rp. 2,750,000,000,000. Permasalahan yang ada adalah bagaimana mengoptimalkan dana tersebut dengan tetap mengatu pada prioritas penanggulangan sesuai analisa identifikasi resiko dan probabilitasbahwa dana tersebut mencukupi adalah minimum 90%. 6. Dari simulasi optimasi dengan Crystal Ball didapat kesimpulan daerah yang mendapat treatment penuh sesuai hasi desai adalah section 4 dan 3. Sementara pada section 1, 2 dan 3 dilakukan pembuatan sumur resapan dengan jumlah sesuai desain. Pekerjaan treatment lainnya di section 1 dan 2 serta penghijauan daerah hulu harus ditunda. 7. Total biaya yang dibutuhkan adalah Rp. 2,656,800,000,000 dengan probabilitas ahwa dana tersebut pasti terpenuhi
Manajemen Resiko Pada Pengendalian Banjir Di Sungai Ciliwung (Heny Purwanti & Ike Pontiawaty)
31
(dengan pagu Rp2 ,750,000,000,000) dalah lebih besar dari 90%. 5.2 Saran Dari hasil studi ini hal yang harus diperhatikan adalah : 1. Manajemen resiko adalah suatu proses yang berkelanjutan. Setiap langkah/treatment yang disimpulkan dari sebuah analisa resiko haruslah dengan mempertimbangkan dampak lanjutan yang terjadi, sehingga langkah yang diambil tidaklah sekedar pengalihan resiko atau menimbulkan resiko baru. 2. Untuk kasus Jakarta maka diperlukan ketegasan dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan treatment seperti yang direkomendasikan dalam studi ini. DAFTAR PUSTAKA
1]. Ali, Masyud, 2010, Manajemen Resiko, Graha Ilmu, Jakarta 2]. Arthacons, 2007, Perencanaan Pembangunan Saluran Drainase Sistem V Pedungan , Jakarta 3]. Asyanto, 2009, Manajemen Resiko untuk Kontraktor, Pradnya Paramita, Jakarta 4]. Darmawi, Herman, 2005, Manajemen Resiko, Bumi Aksara, Jakarta 5]. Duffield, C.& Trigunarsyah, B., 1999, Project Management Conception to Completion Engineering, Education Australia, (EEA), Australia
32
6]. Departemen PU, 1992, Cara Menghitung Design Flood, Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta 7]. Harto, sri, 1993, Analisis Hidrologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 8]. Saryaifullah08, 2010, Pengenalan Methode AHP (Analytical Hierarchy Process), Worldpress.com 9]. Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan, Andy Offset, Yogyakarta 10]. Saaty, Thomas L., 2007, The Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with The analytic Hierarchy Process, Vol VI of The AHP series, RWS Publications 11]. Soeharto, Iman., 1999, Manajemen Proyek dari Konseptual sampai Operasional, Erlangga, Jakarta 12]. Soemarto,C.D., 1995, Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta 13]. Suryono, Sosrodarsono., 1978, Hidrologi untuk Pengairan, Pradnya Paramita, Jakarta PENULIS
1. Heny Purwanti, ST., MT., Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 2. Ir. Hj. Ike Pontiawaty, MT., Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (21-32)
TEKNOLOGI DENSE WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM) PADA JARINGAN OPTIK Oleh :
Yamato & Evyta Wismiana
Abstrak Perkembangan teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing ( DWDM ) pada jaringan optik yang didorong oleh kebutuhan akan kapasitas transmisi yang sangat besar telah mengakibatkan perubahan yang cepat dalam penyediaan kapasitas bandwidth yang besar dalam jaringan. Sistem transport kanal dalam domain panjang gelombang ini memberikan fleksibilitas yang tinggi bagi penyelenggara jaringan dalam memenuhi kebutuhan yang ada baik masa kini maupun masa akan datang. Teknologi DWDM pada jaringan optik saat ini diyakini akan menjadi teknologi yang berperan dimasa depan, dimana banyak kajian dari berbagai lembaga riset menyatakan dan meyakini bahwa perkembangan teknologi masa depan, yang akan didominasi oleh trafik packet switch, akan ditentukan oleh faktor perkembangan teknologi service node-nya saja (perangkat packet switch), karena sudah tidak ada keraguan bahwa di sisi jaringan transport hanya DWDM yang merupakan kandidat utama. Dan kemampuan dari service node akan dipengaruhi oleh kemampuan dari teknologi DWDM dalam menyediakan kapasitas besar dalam jaringan. Terbukti teknologi DWDM ini memang memiliki keunggulan dalam hal tersebut. Secara umum ada beberapa cara alternatif yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan kapasitas akibat perkembangan trafik yang sangat cepat. Kata Kunci : DWDM, Packet Switch, Kapasitas transmisi, Bandwidth 1.
PENDAHULUAN
Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) merupakan suatu teknik transmisi yang yang memanfaatkan cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda sebagai kanal-kanal informasi, sehingga setelah dilakukan proses multiplexing seluruh panjang gelombang tersebut dapat ditransmisikan melalui sebuah serat optic.
Gambar 1. Prinsip Dasar DWDM
Teknologi DWDM adalah teknologi dengan memanfaatkan sistem SDH (Synchoronous Digital Hierarchy) yang sudah ada (solusi terintegrasi) dengan memultiplekskan
sumber-sumber sinyal yang ada. Menurut definisi, teknologi DWDM dinyatakan sebagai suatu teknologi jaringan transport yang memiliki kemampuan untuk membawa sejumlah panjang gelombang (4, 8, 16, 32, dan seterusnya) dalam satu fiber tunggal. Artinya, apabila dalam satu fiber itu dipakai empat gelombang, maka kecepatan transmisinya menjadi 4x10 Gbs (kecepatan awal dengan menggunakan teknologi SDH). Teknologi DWDM beroperasi dalam sinyal dan domain optik dan memberikan fleksibilitas yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan akan kapasitas transmisi yang besar dalam jaringan. Kemampuannya dalam hal ini diyakini banyak orang akan terus berkembang yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah panjang gelombang yang mampu untuk ditransmisikan dalam satu fiber. Penggunaan teknologi DWDM menawarkan kemudahan dalam hal peningkatan kapasitas transmisi dalam suatu sistem komunikasi serat optik, khususnya kabel laut. Hal ini dimungkinkan karena setiap sumber data memiliki sumber
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDN) Pada Jaringan Optik (Yamato & Evyta Wismiana)
33
optiknya masing-masing, yang kemuadian digabungkan ke dalam serat optik. Meski demikian besarnya daya untuk masingmasing sumebr optik mesti dibatasi karena serat optik yang dipergunakan akan mengalami kenonliniearan apabila jumlah total daya dari sumber-sumber optik tersebut melebihi suatu ambang nilai, yang besarnya tergantung pada jenis kenonliniearannya. Hal ini diatasi dengan pengaturan jarak antara kanal yang ditunjukkan gambar 2. [1]
Gambar 2. Pengaturan Jarak antar kanal
Kemampuannya dalam hal ini diyakini banyak orang akan terus berkembang yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah panjang gelombang yang mampu untuk ditramsmisikan dalam satu serat (saat ini ada yang sudah mampu hingga sekitar 400 panjang gelombang). Jumlah panjang gelombang yang dimungkinkan untuk ditransmisikan dalam jaringan ini terus berkembang karena disebabkan oleh beberapa hal yaitu: 1 . Sistem DWDM mampu untuk mengakomodasi karakteristik fiber yang mengacu pada rekomendasi ITU-T seri G.652 dan G.653, yang umum digunakan pada jaringan eksisting. 2 . Channel-Spacing, Pengembangan sistem DWDM oleh masing-masing pabrikan dilakukan dengan mempersempit jarak antar panjang gelombang yang berdekatan, atau yang lebih dikenal dengan istilah channel spacing. Dalam rekomendasi ITU-T seri G.692 telah dinyatakan bahwa channel spacing yang mungkin adalah 50 GHz, 100 GHz dan 200 GHz atau lebih. 3. Kemampuan komponen transmitter dan receiver. Kemampuan transmiter dan receiver dalam mengirimkan dan 34
menerima panjang gelombang yang mungkin untuk ditransmisikan sangat mempengaruhi kemampuan dan performansi jaringan secara keseluruhan. Kedua komponen ini memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dalam mengalokasikan kanal yang akan ditransmisikan dan diterima dalam bentuk panjang gelombang. Komponen ini sebaiknya mampu untuk meredam efek-efek return loss dan interferensi antar sinyal yang berdekatan yang umum terjadi dalam jaringan optik DWDM. 4. Kemampuan penguat optik (optical amplifier) Komponen penguat optik besar peranannya dalam perkembangan teknologi DWDM. Perangkat ini digunakan sebagai bagian dari sistem untuk memperbesar kemampuan jarak tempuh sinyal dengan melakukan proses penguatan sinyal dan proses 3R (reshaping, regenerating, dan retiming) dalam rangka menjaga kualitas sinyal di lokasi-lokasi titik antara (intermediate node). Kemampuan DWDM untuk meningkatkan kapasitas dengan menggunakan kabel eksisting (ITU-T G.652) adalah salah satu keunggulan utamanya. Dengan kemampuan tersebut, DWDM akan mengurangi kompleksitas dan biaya yang dibutuhkan dalam penambahan bandwitdh. Dalam aplikasi DWDM terdapat beberapa elemen yang memiliki spesifikasi khusus disesuaikan dengan kebutuhan sistem: 1. Wavelength Multiplexer atau Wavelength Demultiplexer Berfungsi untuk memultiplikasi kanalkanal panjang gelombang optik yang akan ditransmisikan dalam serat optic. Sedangkan Wavelength Demultiplexer berfungsi untuk mendemultiplikasi kembali kanal panjang gelombang menjadi seperti semula. 2. Optical Add/Drop Multiplexer (OADM) Diantara titik multipleksing dan demultipleksing dalam sistem DWDM merupakan daerah dimana berbagai macam panjang gelombang berada pada beberapa titik sepanjang span ini sering diinginkan untuk menghilangkan atau menambah dengan satu atau lebih panjang
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (33-39)
gelombang. Optical Add/Drop Multiplexer (OADM) inilah yang digunakan untuk melewatkan sinyal dan melakukan fungsi add and drop yang bekerja pada level optik. 3. Optical Cross Connect (OXC) Perangkat Optical Cross Connect (OXC) ini melakukan proses switching tanpa terlebih dahulu melakukan konversi OEO dan berfungsi untuk merutekan kanal panjang gelombang. OXC ini berukuran N x N dan biasa digunakan dalam konfigurasi jaringan ring yang memiliki banyak node terminal. 4. Optical Amplifier (OA) Merupakan penguat optik yang bekerja dilevel optik,yang dapat berfungsi sebagai pre-amplifier, in line-amplifier dan post-amplifier.Untuk mendukung sistem yang mentransmisikan informasi dengan kapasitas tinggi, pemilihan serat optikyang tepat sebagai media transmisi juga perlu diperhatikan.
oleh sumber informasi. Sinyal informasi yang dikirimkan awalnya diubah menjadi panjang gelombang yang sesuai dengan panjang gelombang yang tersedia pada kabel serat optik kemudian dimultipleksikan pada satu fiber. Dengan teknologi DWDM ini, pada satu kable serat optik dapat tersedia beberapa panjang gelombang yang berbeda sebagai media transmisi yang biasa disebut dengan kanal. Berikut ilustrasi pengiriman informasi pada WDM:
Gambar 3. Pengiriman Informasi pada DWDM
Sebagai perbandingan dengan DWDM, ilustrasi transmisi dengan TDM adalah :
Keunggulan DWDM sebagai berikut: Tepat untuk diimplementasikan pada jaringan telekomunikasi jarak jauh (long haul) baik untuk sistem point-to-point maupun ring topology. Lebih fleksibel untuk mengantisipasi pertumbuhan trafik yang tidak terprediksi. Transparan terhadap berbagai bit rate dan protokol jaringan Tepat untuk diterapkan pada daerah dengan perkembangan kebutuhan Bandwidth sangat cepat. [2] 2.
MODEL, TEORI DAN ANALISA
2.1. Model dan Teori Pada dasarnya, teknologi WDM (awal adanya teknologi DWDM) memiliki prinsip kerja yang sama dengan media transmisi yang lain. Yaitu untuk mengirimkan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Namun, dalam teknologi ini pada suatu kabel atau serat optic dapat dilakukan pengiriman secara bersamaan banyak informasi melalui kanal yang berbeda. Setiap kanal ini dibedakan dengan menggunakan prinsip perbedaan panjang gelombang (wavelength) yang dikirimkan
Gambar 4. Transmisi dengan TDM
TDM menggunakan teknik pengiriman tetap pada satu Channel dengan mengefisiensikan skala waktu untuk mengangkut berbagai macam informasi. a. Komponen penting pada DWDM : Pada teknologi DWDM, terdapat beberapa komponen utama yang harus ada untuk mengoperasikan DWDM dan agar sesuai dengan standart channel ITU sehingga teknologi ini dapat diaplikasikan pada beberapa jaringan optic seperti SONET dan yang lainnya. Komponen-komponennya adalah sbb: 1. Transmitter yaitu komponen yang menjembatani antara sumber sinyal informasi dengan multiplekser pada system DWDM. Sinyal dari transmitter ini akan dimultipleks untuk dapat ditansmisikan.
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDN) Pada Jaringan Optik (Yamato & Evyta Wismiana)
35
2. Receiver yaitu komponen yang menerima sinyal informasi dari demultiplekser untuk dapat dipilah berdasarkan macam-macam informasi. 3. DWDM terminal multiplexer. Terminal mux sebenarnya terdiri dari transponder converting wavelength untuk setiap signal panjang gelombang tertentu yang akan dibawa. Transponder converting wavelength menerima sinyal input optic (sebagai contoh dari system SONET atau yang lainnya), mengubah sinyal tersebut menjadi sinyal optic dan mengirimkan kembali sinyal tersebut menggunakan pita laser 1550 nm. Terminal mux juga terdiri dari multiplekser optikal yang mengubah sinyal 550 nm dan menempatkannya pada suatu fiber SMF-28. 4. Intermediate optical terminal (amplifier). Komponen ini merupakan amplifier jarak jauh yang menguatkan sinyal dengan banyak panjang gelombang yang ditransfer sampai sejauh 140 km atau lebih. Diagnostik optikal dan telemetry dimasukkan di sekitar daerah amplifier ini untuk mendeteksi adanya kerusakan dan pelemahan pada fiber. Pada proses pengiriman sinyal informasi pasti terdapat atenuasi dan dispersi pada sinyal informasi yang dapat melemahkan sinyal. 5. DWDM terminal demux. Terminal ini mengubah sinyal dengan banyak panjang gelombang menjadi sinyal dengan hanya 1 panjang gelombang dan mengeluarkannya ke dalam beberapa fiber yang berbeda untuk masing- masing client untuk dideteksi. Sebenarnya demultiplexing ini beritndak pasif, kecuali untuk beberapa telemetry seperti system yang dapat menerima sinyal 1550 nm. Pada transmisi jarak jauh dengan system client-layer seperti demultiplexi sinyal yan selalu dikirim ke 0/E/0. Teknologi terkini dari demultiplekser ini yaitu terdapat couplers (penggabung dan pemisah power wavelength) berupa FIBER BRAGG 36
GRATING dan dichroic filter untuk menghilangkan noise dan crosstalk
Gambar 5. FBG dan Dichroic Filter
6. Optikal supervisory channel. Ini merupakan tambahan panjang gelombang yang selalu ada di antara 1510 nm-1310 nm. OSC membawa informasi optik multi wavelength sama halnya dengan kondisi jarak jauh pada terminal optic atau daerah EDFA. Jadi OSC selalu ditempatkan pada daerah intermediate amplifier yang menerima informasi sebelum dikirimkan kembali. Berikut ilustrasi tata letak komponen pada DWDM:
Gambar 6. Tata letak komponen pada DWDM
b. Channel Spacing Channel spacing menentukan system performansi dari DWDM. Standart channel spacing dari ITU adalah 50 GHz sampai 100 GHz (100 GHz akhir-akhir ini sering digunakan). Spacing (sekat) ini membuat channel dapat dipakai dengan memperhatikan batasan-batasan fiber amplifier. Channel spacing bergantung pada system komponen yang dipakai. Channel spacing merupakan system frekuensi minimum yang memisahkan 2 sinyal yang dimultipleksikan. Atau bias disebut sebagai perbedaan panjang gelombang diantara 2 sinyal yang ditransmisikan. Amplifier optic dan
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (33-39)
kemampuan receiver untuk membedakan sinyal menjadi penentu dari spacing pada 2 gelombang yang berdekatan.
Jarak antar kanal merupakan jarak antara dua panjang gelombang yang dialokasikan sebagai referensi. Semakin sempit jarak antar kanal, maka akan semakin besar jumlah panjang gelombang yang dapat ditampung. Jarak antar kanal yang paling umum digunakan oleh para pemasok DWDM saat ini adalah 0,2 nm sd 1,2 nm [3]. 2.2. Analisa
Gambar 7. Karakteristik Optik kanal DWDM
Pada perkembangan selanjutnya, system DWDM berusaha untuk menambah channel yang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas data informasi. Salah satunya adalah dengan memperkecil channel spacing tanpa adanya suatu interferensi dari pada sinyal pada satu fiber optic tersebut. Dengan demikian, hal ini sangat bergantung pada system komponen yang digunakan. Salah satu contohnya adalah pada demultiplekser DWDM yang harus memenuhi beberapa criteria di antaranya adalah bahwa demux harus stabil pada setiap waktu dan pada berbagai suhu, harus memiliki penguatan yang relatif besar pada suatu daerah frekuensi tertentu dan dapat tetap memisahkan sinyal informasi sehingga tidak terjadi interferensi antar sinyal. Sistem yang sebelumnya sudah dijelaskan yaitu FBG (Fiber Bragg Grating) mampu memberikan spacing Channel tertentu seperti pada gambar 8 dibawah ini
Gambar 8. Spacing Channel
Perbandingan CWDM dan DWDM :
2.2.1. Jaringan Optik Akses DWDM Bagian ini memberikan anal i sa tentang arsitektur jaringan yang telah dikembangkan untuk perumahan jaringan akses berdasarkan teknologi DWDM. Jaringan akses berbasis optik DWDM dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, pasif mengakses jaringan DWDM dan jaringan DWDM aktif. Istilah jaringan DWDM aktif di sini merujuk untuk jaringan DWDM di mana TDM (waktu multiplexing domain) yang diterapkan dalam saluran panjang gelombang. Kedua jenis arsitektur akses jaringan dibahas dalam sub bagian berikut ; 1. DWDM Passive Optical Network (PON) DWDM jaringan optik pasif (PON) menggunakan saluran panjang gelombang untuk menghubungkan pengguna dengan kantor pusat. Setiap layanan menggunakan satu panjang gelombang saluran. PON awal dikembangkan untuk layanan narrow band, seperti arsitektur PON dikembangkan oleh British Telecom. Namun, PON baru-baru ini adalah untuk kedua layanan broadband dan narrowband. Sebuah loop pelanggan pasif menarik karena tidak menggunakan perangkat aktif di luar kantor pusat (CO), kecuali ditempat pelanggan. Beberapa arsitektur jaringan optik pasif telah diusulkan untuk WDM atau DWDM, yang meliputi bintang-tunggal, pohon, doublestar itu, dan bintang-bus. Gambar 9 menunjukkan arsitektur tunggal-bintang di setiap rumah tangga memiliki serat yang didedikasikan untuk kantor pusat (CO).
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDN) Pada Jaringan Optik (Yamato & Evyta Wismiana)
37
Gambar 11 menggambarkan arsitektur PON bintang ganda. Arsitektur ini memberikan fleksibilitas lebih dibandingkan dengan arsitektur bintangbus. Itu bisa dianggap sebagai frontrunner diantara arsitektur yang mungkin dari PONS untuk aplikasi akses perumahan.
Gambar 9. Arsitektur PON Single Star
Para WDM saluran dalam serat yang digunakan untuk membawa semua layanan yang diperlukan, seperti suara dan video. Arsitektur ini dirancang untuk kemudahan instalasi dan upgrade, namun, biaya serat optik yang didedikasikan antara pelanggan dan CO dalam jaringan ini masih menjadi perhatian utama. Dengan demikian, arsitektur ini mungkin tidak cocok untuk penyebaran luas dalam waktu dekat.
2. DWDM Active Optical Networks (PON) Dalam jaringan akses pasif DWDM, masing-masing saluran panjang gelombang digunakan untuk menyediakan satu layanan pada waktu yang diberikan terlepas dari saluran kapasitas dan bandwidth kebutuhan layanan. Dengan meningkatnya kapasitas bandwidth teknologi DWDM, bandwidth dari satu sinyal saluran menjadi cukup tinggi untuk membawa beberapa layanan atau banyak bahkan di lingkungan akses. 3.
Gambar 10. Arsitektur Pohon PON
Gambar 10 menunjukkan arsitektur PON pohon, di mana saluran DWDM dibagi di jalan cabang-cabang pohon dengan user masing-masing memiliki satu atau panjang gelombang lebih banyak saluran. Arsitektur ini mengurangi penggunaan serat dalam dibandingkan dengan bintang-tunggal. Ini adalah arsitektur yang lebih baik, terutama untuk DWDM berbasis sistem di mana sejumlah besar saluran panjang gelombang tersedia. Arsitektur dapat memuaskan kebutuhan pelanggan untuk kedua narrowband dan layanan broadband. Salah satu kelemahan dari jaringan ini arsitektur kekakuan, dalam hal upgrade jaringan. Arsitektur bintang-bus dapat dianggap sebagai variasi dari pohon arsitektur, yang meningkatkan fleksibilitas arsitektur pohon.
Gambar 11. Arsitektur PON Double-star 38
KESIMPULAN
Teknologi DWDM tersebut dengan segera menjadi daya tarik sendiri bagi perusahaanperusahaan penyedia jasa telekomunikasi (carriers). Hal ini dikarenakan teknologi DWDM memungkinkan carriers untuk memiliki sebuah jaringan tanpa perlu susah payah membangun sendiri infrastruktur jaringannya, cukup menyewa beberapa panjang-gelombang sesuai kebutuhan dengan daerah tujuan yang sama ataupun berbeda. 4.
DAFTAR PUSTAKA
1 ] . P.E. Green, Jr., “Optical Networking Update”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol.14, No. 5, June 1996, pp. 764 - 778. 2]. J.D. Angelopoulos, et al, “TDMA Multiplexing of ATM Cells in a Residential Access SuperPON”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol.16, No. 7, Sep. 1998, pp. 1123 1133. 3]. I. P. Kaminow, et al, “A Wideband All-Optical WDM Network”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol.14, No. 5, June 1996, pp. 780 - 799. 4]. Shaowen SongWilfrid Laurier University, Waterloo, ON, “A
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (33-39)
Overview for DWDM Networks”, IEEE Canadian Review - Spring / Printemps 2001 5]. Introduction to DWDM for Metropolita Networks – SISCO System Inc.
PENULIS :
1. Ir. Yamato, MT., Staf Pengajar Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan, Bogor. 2. Evyta Wismiana, ST., MT. Staf Pengajar Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan, Bogor.
Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDN) Pada Jaringan Optik (Yamato & Evyta Wismiana)
39
PERENCANAAN PERKERASAN KAKU JALAN KABUPATEN/KOTA (Studi kasus : Jalan Akses Komplek Puri Pamulang) Kota Tangerang Selatan Oleh :
Arif Mudianto, Heny Purwanti, dan Fitri Yunitasari
Abstrak Dalam merencanakan jalan yang menyangkut kehidupan orang banyak harus diperhatikan syaratsyarat dan peraturan-peraturan yang berlaku, agar perencanaan jalan raya dapat memberikan dampak perjalanan yang memadai bagi pemakai jalan, dalam arti dapat terpenuhinya azas kenyamanan, keamanan dan kelancaran. Satu hal yang menjadi perhatian bahwa kondisi sarana dan prasarana jalan Komplek Puri Pamulang Mas Kota Tangerang Selatan yang ada sekarang tidak memadai karena jalan terlalu sempit sedangkan jalan tersebut merupakan akses jalan alternatif dari Pamulang yang sering dilalui untuk sampai ke Bumi Serpong Damai, untuk mengatasi hal tersebut maka Pemerintah Kota Tangerang Selatan merencanakan pembangunan ruas jalan Puri Pamulang Mas dengan perkerasan kaku (Rigid Pavement). Dari hasil perhitungan didapat tebal pelat 15 cm dengan total fatigue 22,6723 % , tebal pelat 18 cm dengan total fatigue 313,2906 % dan tebal pelat 20 cm dengan total fatigue 14,0981 %. Terlihat bahwa tebal pelat 15 cm dan 20 cm masuk kedalan kriteria perencanaan karena total fatigue kurang dari 100 % dan tebal pelat 18 cm tidak masuk kriteria perencanaan karena total fatigue lebih dari 100%. Tetapi, agar lebih aman maka diambil tebal pelat 20 cm. Tulangan melintang yang dipakai ukuran diameter 12 mm dengan jarak 125 mm dan tulangan dowel ukuran diameter 25 mm, panjang 450 mm dan jarak 250 mm. Kata Kunci : Rigid Pavement, total fatigue, tulangan melintang, tulangan dowel 1. PENDAHULUAN
Dalam merencanakan jalan yang menyangkut kehidupan orang banyak harus diperhatikan syarat-syarat dan peraturan-peraturan yang berlaku, agar perencanaan jalan raya dapat memberikan dampak perjalanan yang memadai bagi pemakai jalan, dalam arti dapat terpenuhinya azas kenyamanan, keamanan dan kelancaran. Dalam transportasi modern, transportasi merupakan bagian integral dari fungsi dan aktifitas masyarakat, dimana ada hubungan yang sangat erat dengan gaya hidup. Masalah yang sering dihadapi dalam transportasi angkutan darat adalah banyaknya sarana transportasi mulai dari becak, sepeda motor, mobil sampai dengan truk besar yang mempunyai berat berton-ton.
40
Perkerasan kaku dipilih karena kondisi daerah Tangerang yang merupakan daerah industri sehingga banyak kendaraan berat yang melewati jalan tersebut dan daerah tersebut sering terjadi banjir bila hujan turun maka diperlukan perkerasan jalan yang kuat untuk mempermudah kegiatan yang ada di daerah tersebut. 2. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Departemen Pekerjaan Umum Petunjuk Perencanaan Perkerasan Kaku (Beton Semen) pada tahun 2003 perhitungan perencanaan tebal pelat beton adalah sebagai berikut: a. Menghitung jumlah kendaraan niaga harian (JKNH) pada tahun pembukaan perencanaan proyek. b. Menghitung jumlah kendaraan niaga (JKN) selama umur rencana (n tahun) dengan persamaan:
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (40-45)
JKN = 365 x JKNH x R c. Menghitung jumlah sumbu kendaraan niaga harian (JSKNH), kemudian mengitung jumlah sumbu kendaraan niaga (JSKN) selama umur rencana dengan rumus : JSKN = 365 x JSKNH x R d. Menghitung persentase masing-masing beban sumbu dan jumlah repetisi yang akan terjadi selama umur rencana dengan rumus:
e. Sebagai besarnya beban sumbu rencana dihitung dengan cara mengalikan beban sumbu yang ditinjau dengan Faktor Keamanan (FK) yang ditunjukan pada tabel yang ada di buku. f. Menentukan perbandingan antara tegangan yang terjadi pada tabel perbandingan tegangan dan jumlah repetisi yang diijinkan. g. Berdasarkan perbandingan tegangan tersebut, kemudian dari tabel perbandingan tegangan dan jumlah repetisi yang diijinkan dapat diketahui jumlah pengulangan (repetisi) tegangan yang diijinkan. h. Dengan besaran-besaran beban sumbu, k dan tebal plat yang sudah diketahui (ditaksir), besarnya tegangan yang terjadi bisa didapat dari nomogram yang ada pada gambar yang ada di buku. i. Mengitung persentase lelah (fatigue) untuk setiap konfigurasi beban sumbu dapat dihitung dengan cara:
j. Total fatigue dihitung dengan cara menjumlahkan besarnya persentase fatigue dari seluruh konfigurasi beban sumbu. k. Langkah-langkah yang sama (a sampai j) diulang untuk tebal plat beton lainnya yang dipilih/ditaksir. l. Tebal plat beton yang dipilih/ditaksir dinyatakan sudah benar/cocok apabila total fatigue yang didapat besarnya lebih kecil atau sama dengan 100%. Perencanaan perhitungan luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton menerus dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang dilakukan pada perencanaan perkerasan kaku jalan yang ada di Puri Pamulang adalah perhitungan perencanaan lalu lintas jalan raya/rekayasa lalu lintas yang terjadi pada jalan tersebut yaitu: a. Data perencanaan desain penampang jalan: - Kecepatan rencana : 60 km/jam - Kelas jalan : jalan kelas IIA - Klasifikasi jalan : Kolekroe sekunder - Lebar perkerasan : 7 m - Lebar jalur : 3,5 m - Umur rencana : 20 tahun - Masa konstruksi : 1 tahun - Baja : U 25 - Beton : K-350 b. Perhitungan volume lalu lintas harian ratarata Jenis kendaraan Sepeda motor Mobil penumpang Angkutan perkotaan Bus Truk 2 as Truk 3 as Total LHR
Jumlah kendaraan tahun 2014 (kendaraan) 2 arah 1915 1152 433 102 23 17 3642
c. Perhitungan voluem jam perencanaan pada umur rencana Jenis kendaraan Sepeda motor Mobil penumpang Angkutan perkotaan Bus Truk 2 as Truk 3as Total LHR
Jumlah kendaraan tahun 2014 (kendaraan) 2 arah
Faktor C
VJP Tahun 2014
VJP Tahun 2034
1915
0,5
958
479
1152
0,5
576
288
433
0,5
217
109
102 23 17 3642
0,5 0,5 0,5
51 12 9 1823
26 6 5 913
d. Perhitungan jumlah lintas/hari menurut sumbu Jenis kendaraan Mobil penumpang Angkutan perkotaan Bus Truk 2 as Truk 3as
Konfigurasi sumbu
Beban sumbu (ton)
STRT/STRT
1/1
STRT/STRT
1/1
STRT/STRT STRT/STRT STRG/STRG
3/5 2/4 6/14
Jumlah lintas/hari 576 + 576 = 1152 217 + 217 = 434 51 + 51 = 102 12 + 12 = 24 9 + 9 = 18
Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota......(Arif Mudianto, Heny Purwanti & Fitri Yunitasari)
41
e. Perhitungan perencanaan kapasitas jalan (MKJI, 1977) = 2900 x 1,00 x 1,00 x 0,97 x 1,04 = 2926 smp/jam
JKN JKNH
f. Perhitungan analisa derajat kejenuhan
Faktor pertumbuhan R =
= 365 x JKNH x R = jumlah bus + jumlah truk 2as + jumlah truk 3as = 51 + 12 + 9 = 73 kendaraan.
=
(1+𝑖) 𝑛−1 𝑖 (1+0,06) 20−1 0,06
= 36,79 g. Penentuan Tingkat Pelayanan Jalan Pada tahun 2014 sebelum perencanaan termasuk ke tingkat pelayanan C yang artinya memiliki arus lalu lintas stabil dan kecepatan mulai dipengaruhi oleh volume lalu lintas sehingga tidak dapat dipilih lagi oleh pengemudi sedangkan pada akhir umur rencana memiliki tingkat pelayanan B yang artinya memiliki arus lalu lintas stabil dan kecepatan mulai dipengaruhi oleh volume lalu lintas tetapi tetap dapat dipilih sesuai kehendak pengemudi. 4.
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Sehingga diperoleh JKN = 365 x JKNH x R = 365 x 73 x 36,79 = 980.152 kendaraan. d. Perhitungan Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga Harian (JSKNH) dan Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) selama umur rencana 20 tahun. JSKN = 365 x JSKNH x R JSKNH= sumbu bus + sumbu truk 2as + sumbu truk 3as = 102 + 24 + 18 = 146 sumbu kendaraan
a. Data Kendaraan Sehingga diperoleh JSKN = 365 x JSKNH x R = 365 x 146 x 36,79 = 1.960.304 sumbu kendaraan b. Data yang akan pada perhitungan tebal pelat beton adalah sebagai berikut : - Umur rencana : 20 tahun - Tebal pondasi atas (dengan batu pecah) : 15 cm - Faktor gesekan pondasi : 1,5 ( batu pecah) - Kuat lentur tarik beton (MR beton) : 40 kg/cm² - Pertumbuhan lalu lintas : 6% per tahun - Peranan jalan : kolektor - Koefisien distribusi jalur: 0,7 (2 jalur 2 arah)
e. Perhitungan persentase masing-masing beban sumbu dan jumlah repetisi yang akan terjadi selama umur rencana (20 tahun).
c. Perhitungan Jumlah Kendaraan Niaga (JKN) selama umum rencana 20 tahun Keterangan : *) Konfigurasi
=
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐽𝑎𝑚 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑎𝑛 𝐽𝑆𝐾𝑁𝐻
Repetisi kumulatif tiap-tiap sumbu:
Setelah mendapatkan jumlah sumbu kendaraan yang akan ditinjau selanjutnya adalah mennghitung Jumlah Kendaraan Niaga yang dijabarkan sebagai berikut:
42
**) Jumlah repetisi = JSKN x % konfigurasi sumbu x Koef. distribusi jalur yang ada pada buku
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (40-45)
petunjuk perencanaan perkerasan kaku. f. Perhitungan tebal pelat beton dengan asumsi tebal pelat 15cm, 18cm, 20cm. Perhitungan tebal pelat beton ( Asumsi tebal pelat 15 cm , MR 40 kg/cm² )
Dengan tebal plat 20 cm, terlihat bahwa total fatigue yang terjadi 14,0981 % < 100 %. Maka tebal plat 20 cm cukup dan dapat digunakan. *)
Gambar ke Nomogram tegangan yang terjadi untuk STRT dan STRG.
**) Perbandingan tegangan = 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑀𝑅
Dengan tebal plat 15 cm, terlihat bahwa total fatigue yang terjadi 22,6723 % < 100 %. Maka tebal plat 15cm sudah cukup dan dapat digunakan. *) Gambar ke Nomogram tegangan yang terjadi untuk STRT dan STRG. **) Perbandingan tegangan = 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑀𝑅
***) % fatigue =
𝑅𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑗𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Perhitungan tebal pelat beton ( Asumsi tebal pelat 18 cm , MR 40 kg/cm² )
***) % fatigue =
𝑅𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑗𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Berdasarkan hasil perhitungan persentase fatigue yang mendekati 100 % adalah tebal pelat 150 mm (15 cm) tetapi agar lebih aman tebal pelat yang digunakan adalah tebal pelat 200 mm (20 cm). g. Perhitungan Perencanaan Tulangan. Data perencanaan tulangan yang akan dipakai untuk merencanakan tulangan pada pekerjaan perkerasan kaku Puri Pamulang adalah sebagai berikut: Koefisien gesekan pelat dengan pondasi (F)= 1,5 ( batu pecah ) Jarak antar sambungan (L)=5m Tebal pelat (h) =200mm=0,2 m Berat isi beton = 2400 kg/cm2 𝐴𝑠 =
Dengan tebal plat 18 cm, terlihat bahwa total fatigue yang terjadi 313,2906 % > 100 %. Maka tebal plat 18 cm tidak dapat digunakan karena total fatigue lebih dari 100%. *) Gambar ke Nomogram tegangan yang terjadi untuk STRT dan STRG. **) Perbandingan tegangan = 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑀𝑅
***) % fatigue =
𝑅𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑝𝑒𝑡𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑗𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Perhitungan tebal pelat beton ( Asumsi tebal pelat 20 cm , MR 40 kg/cm² )
=
1200 (𝐹. 𝐿. ℎ) 𝑓𝑠
1200 (1,5 𝑥 5 𝑥 0,2 2400
= 0,75 cm2/m’ = 75 mm2/m’ Asumsi diameter diameter 12 mm. 𝐴𝑠 =
tulangan
dipakai
1 𝜋 𝑑2 4
= 0,25 x 3,14 x 12² = 113,04 mm² Karena berdasarkan peraturan penulangan berjarak 300 ± 50 mm untuk arah melintang maka digunakan diameter 12 dengan jarak 125 mm dan untuk penulangan dowel digunakan ukuran
Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota......(Arif Mudianto, Heny Purwanti & Fitri Yunitasari)
43
diameter 25 mm, panjang 450 mm dan jarak 250 mm.
DAFTAR PUSTAKA 1.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil perhitungan yang dilakukan mengenai Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota (studi kasus: jalan Puri Pamulang Mas) Kota Tangerang Selatan adalah : 1. Hasil perhitungan tingkat pelayanan jalan berdasarkan derajat kejenuhan yang didapat jalan Puri pamulang pada akhir umur rencana pada tahun 2034 didapat derajat kejenuhan sebesar 0,312 maka tingkat pelayanan jalan pada akhir umur rencana termasuk tipe B. Artinya, jalan Puri Pamulang Mas – Bumi Serpong Damai (BSD) memiliki arus lalu lintas tetap stabil tetapi kecepatan mulai dipengaruhi oleh volume lalu lintas tetapi tetap dapat dipilih sesuai kehendak pengemudi. 2. Perencanaan untuk tebal lapisan perkerasan jalan beton untuk tebal 15 cm didapat dengan total fatigue sebesar 22,6723 %. Tebal 18 cm didapat total fatigue 313,2906 % dan tebal 20 cm didapat fatigue sebesar 14,0981 %. Hasil yang mendekati 100 % adalah tebal 15 cm tetapi diambil tebal pelat 20 cm agar lebih aman. 3. Penulangan arah melintang diperoleh sebesar D12 – 125 mm dan tulangan dowel digunakan ukuran 25 mm, panjang 450 mm dan jarak 250 mm.
2.
3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13.
Adapun saran yang dapat diberikan dalam Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota antara lain :
14. 15.
1. Dalam perencanaan jalan perkerasan kaku harus diperhatikan berat maksimum kendaraan yang melewati jalan tersebut agar nantinya mendapatkan hasil tebal perkerasan yang cukup dan memadai. 2. Perlu adanya peninjauan untuk mengetahui mungkin saja ada perkerasan yang sudah rusak. 3. Untuk lokasi jalan akses Puri pamulang hendaknya dipasang rambu-rambu lalu lintas karena banyak orang yang menyebrang di sembarang tempat. 44
16. 17.
18. 19.
Departemen Pekerjaan Umum, Petunjuk Perencanaan Perkerasan Kaku (Beton Semen), Badan Penelitian dan Pengembangan Jalan, Jakarta, 2003 Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta, 1997 Direktorat Jenderal Bina Marga, Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), Bina Jalan Kota (BINKOT), Jakarta, Februari 1997 Suryawan, Ari, Perkerasan Jalan Beton Semen Portland (Rigid Pavement) Metode AASHTO 1993, Seri Buku Teknik Sipil Praktis, Penerbit Beta Offset, Yogyakarta, 2013 http://civildoqument.blogspot.com/2014 /11/jenis-jenis-sambungan-padaperkerasan.html https://leosentosa0.files.wordpress.com/ 2010/03/12-penulangan-rigid-pavement https://pu.go.id/uploads/services/infopub lik20120703105751.pdf https://www.pu.go.id/uploads/services/s ervice20130717123103.pdf http://perkerasanjalan-fidha.blogspot .com/ http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_mai n/sni/detail_rekap_sni_ics/1/93/X9/1 http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_mai n/sni/detail_rekap_sni_ics/1/93/X9/1 http://sudarman28.blogspot.com/2011/0 2/perancangan-perkerasanalan_23.html http://taufikmartha.blogspot.com/2011/0 6/modul-perkerasan-jalan.html http://www.academia.edu/6718906/0_ PERKERASAN_KAKU https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q =fungsi+perkerasan+jalan&start=20 https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q =penentuan+kelas+jalan https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q =penggolongan+jalan https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q =perencanaan+perkerasan+jalan+baru& start=10 https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q =sni+jalan+raya http://zanius.blogspot.com/2012/03/perk erasan-jalan.html
Jurnal Teknologi Volume I, Periode Juli-Desember 2013 (40-45)
RIWAYAT PENULIS 1. Ir. Arif Mudianto, MT. Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Pakuan – Bogor
2. Heny Purwanti, ST., MT. Staf Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan – Bogor. 3. Fitri Yunitasari, ST. Alumni Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan – Bogor.
Perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Kabupaten/Kota......(Arif Mudianto, Heny Purwanti & Fitri Yunitasari)
45