COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Mahasiswi dari Bina Nusantara University, Jurusan Marketing Communication
Abstract Students are one of the main targets of anticorruption campaign conducted by KPK (Corruption Eradication Commission) in Indonesia. It is because they are considered as a group that is able to influence other groups in the community in order to understand and instill the anticorruption values. They are also considered as a group of educated people who have high idealism and criticism. However, sometimes it is found that students have done dishonesty practices, no disciplines, or they are not concerned with what is happening around them, and so forth. Therefore, it is important to study how far the students understand the anticorruption values, specifically to learn their attitudes toward academic dishonesty (such as cheating, plagiarism, breaking class rules, etc.), non-academic integrity, such as students’ lifestyle and their understanding to the obligation as students, and their concern about corruption practices in Indonesia. It is expected that the result can provide valuable inputs for the initiator of anticorruption campaign in Indonesia, in this case KPK, in conducting a campaign to the students. The methodology is quantitative approach by using a survey to students as the respondents. Data analysis uses descriptive analysis, which is the frequency distribution. The scope is limited to the students of Binus University and attitudes as the variable. The results show that in terms of affection and cognition, they are aware that the fraudulent practices should not be performed and they also do not like the actions. However, as in conative (behavior) there is still tendency that some students are doing it. The respondents are aware to avoid hedonism and are concerned about the number of corruption cases prevailing in Indonesia and they support the appropriate punishment for the corruptors. As the suggestion for further research, it should be expanded to a wider scope of study. The variable of academic dishonesty can also be specified according to field of study. Keywords: Students, attitude, integrity, anticorruption campaign
Abstrak Mahasiswa adalah salah satu target utama kampanye antikorupsi KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) di Indonesia. Hal ini karena mereka dianggap mampu mempengaruhi kelompok lain dalam masyarakat untuk memahami dan mengamalkan nilai antikorupsi. Selain itu, mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat terpelajar yang memiliki idealisme dan sikap kritis yang tinggi. Akan tetapi, praktik-praktik ketidakjujuran, tidak disiplin, tidak acuh terhadap situasi di sekitarnya kerap terlihat dilakukan mahasiswa. Untuk itu, penelitian ini ingin mempelajari seberapa jauh mahasiswa memahami nilai-nilai antikorupsi dan integritas mereka. Secara spesifik bagaimana sikap mereka terhadap praktik kecurangan akademis yang terjadi di kampus, dan juga pada bidang non-akademis, seperti gaya hidup dan pemahaman tugas sebagai mahasiswa, serta perhatian mereka terhadap korupsi di Indonesia. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi inisiator kampanye antikorupsi dalam berkomunikasi kepada mahasiswa, terutama dalam melakukan pendidikan antikorupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode survei kepada mahasiswa sebagai responden. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, yaitu
37
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
distribusi frekuensi. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada responden mahasiswa di Binus University dan variabel sikap. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari segi kognisi dan afeksi kebanyakan responden mengetahui bahwa kecurangan akademis tidak sepatutnya dilakukan dan mereka tidak menyukai hal tersebut. Namun masih ada kecenderungan (aspek perilaku) pada sebagian mahasiswa untuk melakukan kecurangan akademis. Responden juga berusaha untuk menghindari gaya hidup bermewah-mewahan dan mereka memiliki kepedulian terhadap masalah korupsi di Indonesia dan mendukung hukuman yang setimpal bagi koruptor. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat diperluas ruang lingkup penelitian dan variabel integritas akademis dapat dispesifikkan lagi sesuai bidang ilmu. Kata kunci: Mahasiswa, sikap, integritas, kampanye antikorupsi
38
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Pendahuluan Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, memiliki tugas selain penindakan kasus korupsi juga mengkoordinir segala usaha pencegahan korupsi di Indonesia. Salah satunya adalah melakukan kampanye nilainilai antikorupsi kepada masyarakat luas melalui strategi komunikasi pemasaran terpadu (IMC), yakni melalui pengadaan event/seminar/workshop, melakukan internet marketing, direct marketing, dan juga sales promotion melalui modul-modul atau suvenir yang dibagikan kepada target audiens (Rosidah, Luthfia, & Respati, 2012). Nilai-nilai antikorupsi yang dikampanyekan oleh KPK adalah Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung jawab, Kerja keras, Sederhana, Berani, dan Adil; atau lebih dikenal dengan 9 nilai antikorupsi cetusan KPK. Dalam melakukan kampanye antikorupsi, KPK tidak selalu menggaung-gaungkan kata korupsi, melainkan juga mempromosikan nilai-nilai tersebut. Apabila seseorang memiliki atau melaksanakan nilai-nilai tersebut, maka besar kemungkinan mereka jauh dari melakukan praktik korupsi (Rachim, 2012).
Di antara banyaknya target audiens kampanye antikorupsi KPK, generasi muda adalah target utama, yang salah satu sub-nya adalah mahasiswa menjadi salah satu fokus kampanye. Hal ini karena kelompok ini dianggap golongan berpendidikan yang memiliki tingkat intelektual yang relatif cukup tinggi dan dapat berpikir kritis. Mereka juga dianggap memiliki semangat dan idealisme yang tinggi, dan juga mereka berpotensi untuk dapat ikut menyebarkan nilainilai antikorupsi kepada kelompok lain (Rosidah, Luthfia, & Respati, 2012). KPK menaruh harapan yang besar pada kelompok ini untuk dapat menjadi “kepanjangan tangan” KPK dalam memperjuangkan nilai-nilai antikorupsi. Salah satu program yang dijalankan untuk mahasiswa adalah dengan dilakukannya pendidikan antikorupsi.
Akan tetapi apakah keputusan KPK menjadikan mahasiswa sebagai salah satu target audiens utama adalah keputusan yang tepat? Sejauh mana mahasiswa memahami nilai-nilai antikorupsi yang dikampanyekan KPK? Bagaimana sebaiknya KPK melakukan komunikasi (kampanye) kepada kelompok ini agar sesuai dengan harapan? Kenyataan bahwa mahasiswa juga kerap melakukan tindakan ketidakjujuran di dalam lingkungan akademis masih bisa ditemui, seperti menyontek, melakukan plagiarisme, memanipulasi data penelitian untuk skripsi, tugas dibuat oleh orang lain, dan melanggar peraturan (Rizki, 2009; Sagoro, 2013). Gaya hidup berfoya-foya dan tidak peduli pada lingkungan sekitar juga kadang dilakukan oleh mereka. Oleh karena itu, perlu ditelaah bagaimana sikap mahasiswa terhadap praktikpraktik ketidakjujuran di lingkungan akademis, termasuk menelaah sikap mereka terhadap gaya hidup yang dapat memicu ketidakjujuran dan mengganggu integritas mereka di kemudian hari.
Tujuan, Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari integritas mahasiswa, lebih spesifiknya berusaha untuk mempelajari sikap mahasiswa terhadap praktik kecurangan akademis yang terjadi di sekitar mereka, dan juga sikap mereka terhadap hal-hal yang bersifat non-akademis, seperti gaya hidup mahasiswa dan pemahaman tugas sebagai mahasiswa, serta kepedulian mereka terhadap praktik korupsi di Indonesia.
39
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Penelitian mengenai sikap mahasiswa dianggap penting karena hal ini menunjukkan kecenderungan seseorang untuk merespon secara konsisten atau dapat diprediksi terhadap suatu objek atau stimulus (Evans, Jamal, & Foxall, 2006). Apabila seseorang memiliki sikap yang baik (positif) terhadap sesuatu, maka kecenderungannya mereka akan terdorong untuk memperhatikan dan mempelajari hal ini secara lebih dalam dan dapat mengajak orang lain untuk berbuat yang sama. Sedangkan ruang lingkup yang terkait dalam penelitian ini dibatasi pada mahasiswa Binus University, dari berbagai fakultas yang ada di dalamnya. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini pun terbatas hanya pada variabel sikap.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada KPK, yang merupakan inisiator kampanye antikorupsi di Indonesia, dalam menyiapkan program komunikasi yang efektif kepada kelompok mahasiswa. Dengan mengetahui seberapa jauh sikap mahasiswa terhadap praktik-praktik kecurangan yang terjadi di sekitar mereka, maka KPK dapat merencanakan sejauh mana intensitas kampanye akan dilakukan. Selain itu juga KPK dapat memilih tema kampanye yang sesuai dan relevan dengan kehidupan mahasiswa sehari-hari.
Tinjauan Pustaka
State of the art Penelitian mengenai sikap merupakan jenis penelitian yang paling banyak dilakukan. Sikap (attitudes) adalah evaluasi secara keseluruhan yang relatif melekat pada diri manusia terhadap suatu produk, jasa, isu, atau orang (Babin & Harris, 2012). Sikap (attitudes) mengacu pada kecenderungan seseorang untuk merespon secara konsisten; atau juga suatu perilaku atau respon, yang dapat diprediksi, terhadap stimulus. Stimulus yang dimaksud dapat berupa objek fisik atau objek sosial (misalnya merek, toko ritel, atau bahkan seseorang). Stimulus dapat juga berupa perilaku (misalnya akan menonton pertandingan sepak bola atau melakukan pembelian), ide (misalnya kapitalisme), atau bahkan iklan (Evans, Jamal, & Foxall, Consumer Behaviour, 2006). Lebih lanjut dikatakan oleh Babin & Harris (2012) bahwa sikap dapat memotivasi seseorang untuk bertingkah laku yang relatif konsisten. Membentuk atau mengubah sikap adalah salah satu tujuan terpenting dari IMC, dipengaruhi oleh produk, harga, distribusi dan komunikasi pemasaran, juga hasil dari berbagai pengalaman yang dirasakan oleh konsumen (Fazio, Sanbonmatsu, Powell and Kardes, 1986 dalam Mihart, 2012).
Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk mempelajari sikap misalnya yang dilakukan oleh Herzenstein et.al pada 2004. Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari sikap konsumen terhadap DTCA (direct-to-consumer advertising) dari obat-obatan yang harus disertai resep dokter (prescription drugs). Selain itu penelitian mereka juga ingin menganalisis apakah ada hubungan antara sikap konsumen tersebut dengan perilaku mengkonsumsi halhal yang berhubungan dengan kesehatan (health related consumption behavior). Hasil yang didapat dari survei terhadap 1081 responden memperlihatkan bahwa konsumen bersikap baik (dapat menerima) terhadap DTCA. Sikap ini ternyata juga berhubungan dengan aktivitas mereka mencari informasi lebih lanjut tentang obat yang diiklankan, dan kemudian meminta obat tersebut kepada dokter mereka. Hal lain yang ditemukan adalah adanya hubungan antara sikap konsumen terhadap DTCA dengan perilaku penulisan resep dokter mereka (Herzenstein, Misra, & Posavac, 2004). 40
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Abd. Aziz & M. Ariffin (2010) melakukan penelitian yang juga berhubungan dengan sikap konsumen. Penelitian yang berjudul “Exploring Consumers Attitude towards Web Advertising and its Influence on Web Ad Usage in Malaysia” bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor utama dari kepercayaan (beliefs) dan sikap terhadap web ad (laman advertising) seperti yang dipersepsikan oleh pengguna. Selain itu, penelitian juga ingin menentukan faktor dari kepercayaan dan sikap terhadap web ad yang mempengaruhi orang untuk berperilaku terhadap web tersebut, apakah mereka akan meng-klik ad? Memperhatikan web ad tersebut? Atau malah tidak mengindahkan web ad tersebut? Setelah dilakukan pengumpulan, pengolahan dan analisis data, didapatkan hasil bahwa pengguna internet di Malaysia atau konsumen bersikap responsif terhadap advertising dan bahwa mereka memiliki persepsi yang positif dan juga negatif terhadap web ad (Abd Aziz & M. Ariffin, 2010). Dari penelitian di atas, dapat dilihat bahwa membuat konsumen atau target audiens memiliki perasaan yang kuat terhadap produk membuat mereka mencoba untuk mencari lebih jauh tentang produk tersebut. Begitu juga bila mereka memiliki pemikiran yang baik dan positif terhadap suatu produk, mereka tidak akan segan-segan mempromosikan produk itu kepada orang lain. Demikian juga sebaliknya, bila konsumen memiliki perasaan negatif, maka bukan hal yang tidak mungkin mereka mengajak orang lain memboikot suatu produk atau jasa (Babin & Harris, 2012).
Perlu digarisbawahi bahwa untuk menumbuhkan sikap yang positif dari konsumen atau target audiens kepada suatu produk, jasa, atau ide, maka marketer atau inisiator perlu memahami pesan yang sesuai untuk mereka. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Henley et al. (2007) dikatakan bahwa untuk membuat suatu pesan komunikasi yang efektif memerlukan proses yang salah satunya adalah membuat pesan yang tepat (getting the right message). Untuk proses ini maka diperlukan penelitian pendahuluan terhadap target audiens. Melalui penelitian tentang target, maka dapat dieksplorasi pesan-pesan apa yang sesuai dan dapat mengubah (mempengaruhi) sikap dan keyakinan mereka, dalam rangka mengubah perilaku mereka (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Sehingga penelitian ini berusaha untuk membantu inisiator, dalam hal ini KPK, dalam menentukan tema yang tepat untuk kampanye antikorupsi mereka kepada para mahasiswa. Integritas mahasiswa Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Herdiansyah (2013) dalam artikelnya menuliskan beberapa definisi mengenai integritas. Definisi pertama, integritas bermakna “the quality of being complete, unbroken, or whole”. Artinya integritas adalah sebuah keparipurnaan, keutuhan dan kesempurnaan. Integritas adalah menyelesaikan apa yang sudah dimulai dengan sempurna. Definisi kedua, integritas bermakna “honest and sincere as the values of social network”. Integritas di sini berarti kejujuran dan ketulusan yang menjadi dasar bagi pembangunan jaringan sosial. Definisi ketiga, integritas adalah “doing the right thing when no one is watching”. Artinya seseorang tetap bekerja walaupun tidak ada yang memperhatikan (Herdiansyah, 2013). Mengutip yang dikatakan Herdiansyah (2013), mahasiswa diharapkan memiliki integritas karena beberapa alasan, antara lain: (1) Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial maupun kultural; (2) Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, hampir semua perubahan di negeri ini
41
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
dipelopori oleh mahasiswa; (3) Mahasiswa dianggap “pahlawan” dan peran sertanya selalu ditunggu oleh bangsa ini (Herdiansyah, 2013).
Sikap terhadap kecurangan akademis Kegiatan kampanye KPK mengusung ide antikorupsi. Nilai-nilai yang “ditawarkan” kepada target audiens ada 9, yaitu Jujur, Peduli, Mandiri, Disiplin, Tanggung Jawab, Kerja keras, Sederhana, Berani, dan Adil. Penelitian ini mengukur sikap mahasiswa dari keseluruhan nilai-nilai antikorupsi yang diusung oleh KPK. Pernyataan tentang nilai-nilai antikorupsi berdasarkan penjelasan dan contoh dari modul dan buku-buku Pendidikan Antikorupsi yang diberikan KPK kepada siswa SD sampai SMA. Setiap nilai antikorupsi diturunkan ke dalam 3 dimensi sikap – kognisi, afeksi dan perilaku. Sikap diyakini merupakan suatu struktur yang stabil dan tidak mudah untuk dimodifikasi. Cukup sulit untuk melakukan perubahan sikap dan juga memerlukan biaya yang tidak murah. Marketer atau komunikator dapat memikirkan komponen-komponen sikap dan memfokuskan diri pada salah satu dari komponen tersebut dalam usaha mereka untuk mengubah perilaku target audiens (Evans, Jamal, & Foxall, 2006).
Evans et all (2006) menjelaskan pendekatan struktur sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu Kognitif (beliefs), Afektif (emotions), dan Perilaku (intentions). Komponen Kognitif merupakan keyakinan atau pengetahuan seseorang terhadap suatu isu atau objek. Keyakinan ini tentu saja dapat tidak akurat, dalam hal spesifikasi produk atau objektifitas seseorang, namun dalam banyak hal komponen ini mencerminkan bagaimana individu memandang suatu hal, bahkan jika ada ketidaksesuaian antara keyakinan mereka dan kenyataan. Komponen Afektif menggambarkan perasaan atau emosi seseorang tentang suatu objek. Perasaan ini dapat menjadi “positif” atau “negatif”. Hal ini dapat didasarkan pada keyakinan orang tersebut tentang suatu objek. Komponen Perilaku (konatif) adalah bagaimana seseorang cenderung untuk menanggapi objek berdasarkan apa yang mereka tahu tentang hal itu, dan bagaimana perasaan mereka tentang hal tersebut. Hal ini menunjukkan “kesiapan seseorang merespon dengan tindakan” terhadap suatu objek.
Beberapa penelitian terdahulu pernah dilakukan mengenai kecurangan di bidang akademis. Seperti misalnya penelitian yang dilakukan oleh McCabe, Butterfield dan Trevino (2006) yang menyelidiki ketidakjujuran akademis pada program ‘graduate business’; Sheard, Dick, Markham, MacDonald dan Walsh (2002) pernah mempelajari tentang plagiarisme pada mahasiswa IT tahun pertama; demikian pula Grimes (2004) pernah mempelajari ketidakjujuran akademis pada mahasiswa strata satu bisnis dan ekonomi pada delapan universitas di Amerika Serikat, Asia Tengah dan Eropa Timur (Aasheim, Rutner, Li, & Williams, 2012). Selanjutnya dikatakan oleh Aasheim et al. (2012), banyak penelitian dilakukan untuk mencari tahu hal-hal yang mempengaruhi orang melakukan kecurangan akademis. Crown dan Spiller (1998) menemukan bahwa kecurangan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan. Penelitian Crown dan Spiller (1998) juga mempelajari efek dari faktor situasi, seperti “honor codes“, sanksi, nilai konseling, pengawasan, dan juga kelompok (peer). Pengawasan dan pengaruh kelompok (peer) merupakan dua hal yang banyak dipelajari oleh beberapa peneliti. Ada penelitian yang menemukan bahwa pengawasan (dalam berbagai bentuk) memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku curang. Demikian juga dengan pengaruh peer, berhubungan positif dengan perilaku curang. Pengaruh peer 42
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
yang dimaksud seperti misalnya melihat orang lain berbuat curang, duduk di sebelah teman, dan persepsi anggota peer tentang perilaku curang. Penelitian yang dilakukan oleh McCabe dan Trevino (1993) menambahkan bahwa perilaku peer lebih berpengaruh daripada faktorfaktor situasi yang lain, seperti “honor codes”, kemungkinan tertangkap basah, memahami kebijakan, dan tingkat kerasnya penalti. Sedangkan Chapman et al. (2004) melaporkan bahwa kecenderungan berperilaku curang menurun ketika resiko yang dipersepsikan dan perasaan takut tertangkap meningkat (Aasheim, Rutner, Li, & Williams, 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hamlin et al. (2013), siswa melakukan kecurangan dengan berbagai cara. Dikutip dalam artikel yang mereka tulis, Hollinger (1996) menunjukkan bahwa seperti dari mahasiswa yang disurvei mengaku “mengabaikan catatan kaki atau mengutip referensi” yang digunakan dalam tugas. Selain itu, mahasiswa tersebut juga mengaku menyalin pekerjaan rumah atau tugas laboratorium (26,7%), menyalin ujian mahasiswa lain (26,3%), dan memberikan alasan palsu untuk hilang tugas atau ujian (22,7%). Selanjutnya Hollinger (1996) menemukan bahwa bentuk-bentuk lain dari kecurangan akademis yang jarang terjadi misalnya menuliskan catatan saat ujian (10,4%), mengakses pertanyaan sebelum ujian (9,3%), mengirimkan tugas mahasiswa lain sebagai miliknya (8%), dan belajar dari salinan ujian yang dicuri (5,2%) (Hamlin, Barczyk, Powell, & Frost, 2013). Dalam penelitian ini, bentuk integritas akademis yang dilibatkan adalah menyontek, melanggar peraturan atau tata tertib (misalnya terlambat masuk kelas), meminta bantuan (dengan mengupah) orang lain untuk membuat tugas, dan menjiplak (plagiat). Plagiarisme adalah usaha yang disengaja dengan menggunakan, mengambil, mencuplik, mencuri katakata atau ide orang lain dan menampilkannya sebagai karya/tulisannya sendiri. Ketika seseorang menggunakan lebih dari empat kata dari orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan menyebutkan sumber referensinya juga termasuk plagiarisme (Colby, 2006 dalam Sagoro 2013; Hexham, 1992).
Kegiatan seperti cara belajar “sistem kebut semalam” juga digolongkan sebagai bentuk integritas akademis yang perlu diteliti, karena berhubungan dengan nilai seperti bekerja keras dan disiplin. Selain itu, butir-butir pernyataan yang dibuat dalam penelitian ini untuk mempelajari sikap mereka dengan hal-hal yang berhubungan dengan non-akademis adalah gaya hidup sehari-hari dan pemahaman tugas sebagai mahasiswa, perhatian terhadap kasus korupsi di Indonesia dan pemahaman tugasnya sebagai mahasiswa. Hal-hal yang disebutkan di atas juga dikaitkan dengan nilai-nilai antikorupsi yang dikampanyekan oleh KPK.
Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survei. Sebagai sumber data primer, peneliti menyebar kuesioner kepada responden. Responden yang dipilih adalah mahasiswa Binus University dari berbagai tingkat semester dan fakultas. Untuk menjamin responden yang dipilih representatif dari berbagai jurusan di Binus University yang berjumlah 20 ribu mahasiswa, peneliti menggunakan teknik probabilitas, yaitu simple random sampling (sampling acak sederhana). Data berhasil dikumpulkan dari 158 responden.Sebagai teknik analisis data, penelitian ini menggunakan teknik statistik deskriptif, yaitu distribusi frekuensi. Penentuan banyaknya sample dengan menggunakan rumus Slovin (Kriyantono, 2006):
43
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Dimana n = jumlah sampel N = jumlah populasi α = tingkat signifikansi
Namun dalam prakteknya, data yang berhasil dikumpulkan adalah 158 sampel, yang melebihi dari target responden. Sebagai alat untuk mengumpulkan data yang diperlukan, maka responden diberikan satu kuesioner yang berisi butir-butir pernyataan yang terkait dengan tujuan penelitian. Selain itu butir-butir ini berusaha mempelajari sikap (menilai aspek kognisi, afeksi, dan kecenderungan perilaku) responden terhadap kecurangan akademis dan non-akademis yang terjadi di sekitar mereka, dan pernyataan-pernyataan ini juga merefleksikan nilai-nilai antikorupsi yang dicetuskan KPK (9 nilai antikorupsi).
Hasil dan Pembahasan
Profil Responden Dari 158 responden yang terlibat dalam penelitian ini 53,8% adalah perempuan, dan sisanya 46,2% laki-laki. Kebanyakan dari mereka (36,71%) berusia 19 tahun, kemudian disusul 24,68% berusia 20 tahun, dan 20,89% berusia 18 tahun. Sisanya 6,33% berusia 21 tahun, 5,70% berusia 17 tahun, 3,8% berusia 23 tahun, 1,27% berusia 22 tahun, dan 0,63% berusia 25 tahun.
Dari keseluruhan responden, mereka yang kuliah pada jurusan Akuntansi termasuk yang paling banyak (31,01%), disusul jurusan Hukum Bisnis (19,62%), jurusan Komputer Akuntansi (15,19%), dan jurusan Komunikasi Pemasaran (14,56%). Sedangkan sisanya berasal dari jurusan Teknik Informasi (6,96%), Manajemen (5,7%), Sastra Inggris (5,7%), dan Psikologi serta Sastra Jawa masing-masing 0,63%. Responden paling banyak kuliah pada semester 3, yaitu sebanyak 37,34%, selanjutnya disusul kuliah pada semester 5 (34,81%), dan kuliah pada semester 1 (22,15%). Jumlah yang tidak cukup banyak didapat adalah responden yang kuliah pada semester 7 (3,16%), kuliah pada semester 4 (1,27%), dan semester 9 serta 10 masing-masing 0,63%. Sebanyak 48,73% responden mengaku berpendapatan atau memiliki uang saku per bulan antara satu juta sampai dua juta rupiah. Sedangkan 35,44% mengaku memiliki pendapatan atau uang saku kurang dari satu juta rupiah. Sebanyak 8,86% memiliki pendapatan atau uang saku lebih dari dua juta rupiah sampai tiga juta rupiah. Sisanya 6,69% berpendapatan atau memiliki uang saku di atas tiga juta rupiah.
Sikap Mahasiswa terhadap Kecurangan Akademis
Menyontek Dari beberapa bentuk praktik kecurangan yang biasa ditemukan di kampus-kampus atau sekolah-sekolah, menyontek adalah satu yang paling populer. Hal ini pun klasik, di mana dapat ditemukan dari puluhan tahun yang lalu sampai sekarang dengan berbagai modus. Menyontek sangat terkait dengan kejujuran dalam nilai antikorupsi.
44
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Tabel 1: Persentase sikap mahasiswa terhadap menyontek No. 1 2 3
Pernyataan Saya merasa risih bila teman sebelah saya menyontek saat ujian.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
59%
69%
19%
34,9%
21,5%
43,7%
Menyontek atau tidak, saya akan lihat situasi di 26,6% kelas.
35,4%
38%
Menurut saya, bila dilakukan bersama-sama, menyontek menjadi hal yang wajar.
Berdasarkan pernyataan yang diberikan kepada responden, dapat dilihat bahwa banyak responden yang menyadari bahwa menyontek adalah hal yang tidak jujur. Sebanyak 59% menyatakan risih bila teman sebelahnya menyontek; kemudian 43,7% menyatakan tidak setuju bahwa bila dikatakan menyontek bersama-sama adalah wajar; dan sebanyak 38% tetap tidak akan menyontek walau ada kesempatan. Namun demikian kecenderungan mahasiswa untuk menyontek masih cukup besar. Terlihat dari respon pernyataan nomor 2 dan 3, rata-rata mereka yang setuju. Menyontek menjadi hal yang wajar bila dilakukan bersama-sama (34,9%), dan bila situasi memungkinkan, maka menyontek menjadi pilihan (26,6%). Dari kedua pernyataan tersebut, persentase yang menjawab ragu-ragu (agak setuju) pun masih terbilang besar, yaitu 21,5% untuk pernyataan nomor 2, dan 35,4% untuk pernyataan nomor 3. Ditambah lagi dengan persentase ragu-ragu yang besar untuk pernyataan nomor 1 (69%). Secara kasar, ada kemungkinan sepertiga atau lebih dari mahasiswa di kelas akan menyontek bila situasi memungkinkan. Hal ini menunjukkan bahwa menyontek merupakan bahaya yang berpotensi untuk tetap muncul dan juga berpotensi “menular”. Mahasiswa mengganggap hasil akhir (nilai) yang baik (tinggi) merupakan tujuan utama dari satu proses belajar, sehingga proses tidak terlalu diperhatikan.
Plagiarisme Praktik penjiplakan atau plagiarisme juga merupakan kasus yang sering ditemukan di kampus-kampus. Praktik ini terkait dengan nilai jujur, kerja keras, dan mandiri dalam nilai antikorupsi. Berikut ini sikap yang dinyatakan mahasiswa terhadap penjiplakan. Tabel 2: Persentase sikap mahasiswa terhadap penjiplakan
No. 1 2
Pernyataan
Setuju
Plagiat adalah hal biasa di kalangan mahasiswa, 14,5% jadi saya rasa tidak perlu khawatir. Menurut saya, menyalin (copy) tugas kuliah teman adalah salah satu bentuk kecurangan yang ingin saya hindari.
72,2%
Ragu-ragu
Tidak Setuju
26%
58,9%
21,5%
6,3%
45
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
3
4
Menurut saya, tidak menyebutkan sumber 58,2% bacaan (referensi) ketika mengutip pernyataan atau informasi dalam karya tulis atau skripsi, adalah satu bentuk kecurangan. Saya tidak mau ikutan teman saya yang suka menjiplak tugas kuliah orang lain.
58,9%
27,2%
14,6%
29,7%
11,4%
Dari beberapa pernyataan yang diberikan, responden banyak menjawab plagiat bukanlah hal yang wajar (58,9%), dan mereka berusaha untuk mengerjakan tugas kuliah dengan usaha sendiri (72,2%). Mereka pun tidak mau ikut-ikutan teman-teman lain, jika ada yang menjiplak tugas kuliah orang lain (58,9%). Selain menjiplak atau plagiat, mereka setuju bahwa bila mengutip pernyataan atau informasi tanpa menyebutkan sumbernya adalah satu bentuk kecurangan juga (58,2%).
Namun demikian, perlu diwaspadai dengan responden yang menjawab agak setuju (raguragu) yang jumlahnya cukup besar pada setiap pernyataan. Hal ini menunjukkan ada tendensi mereka untuk melakukan penjiplakan bila keadaan memungkinkan. Bagaimana bila mereka mendapatkan teman yang menjiplak skripsi atau karya tulis orang lain? Apakah hukuman yang harus diberikan? Apakah mereka akan melaporkan kepada pihak kampus? Berikut ini sikap mahasiswa terhadap hal tersebut: Tabel 3: Persentase sikap mahasiswa terhadap penjiplakan skripsi
No. 1 2
Pernyataan Mahasiswa yang ketahuan menjiplak skripsi orang lain patut dikeluarkan dari universitas, karena sudah merugikan banyak pihak. Saya tidak mau mengadukan teman yang menjiplak skripsi orang lain daripada dikucilkan teman-teman.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
50%
36,7%
13,3%
33,5%
42,4%
24%
Setengah dari responden setuju bila mahasiswa terbukti bersalah melakukan penjiplakan, mereka patut dikeluarkan dari universitas (50%). Bagi mereka yang tidak setuju (13,3%) dan masih ragu dengan hukuman tersebut (36,7%), mungkin masih memikirkan alternatif hukuman lain (yang mungkin lebih ringan atau lebih berat) yang patut diberikan. Sekitar kurang lebih sepertiga dari responden menjawab tidak mau mengadukan teman yang mereka temukan menjiplak skripsi orang lain (33,5%). Sedangkan sisanya masih ragu (42,4%), dan ada sekitar 24% yang justru akan mengadukan pada pihak berwenang di kampus. Dari data ini dapat dilihat bahwa besar kemungkinannya (total 75.9%) tidak akan mengadukan pada pihak kampus bila mereka menemukan teman menjiplak karya tulis orang lain. 46
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Sama halnya dengan menyontek, praktik penjiplakan juga merupakan satu bentuk kecurangan yang berpotensi untuk tetap muncul dan juga “menular”, walaupun sebenarnya kebanyakan mahasiswa memahami bahwa praktik ini tidak sepatutnya dilakukan. Namun karena ketidakmampuan intelektual, waktu yang terbatas, dan ada kesempatan (kemungkinankemungkinan yang masih harus diteliti), praktik ini masih akan ditemukan. Peer pressure pun dapat dirasakan apabila mereka melaporkan temannya yang melakukan hal ini. Merasa bangga dengan hasil sendiri sepertinya belum berlaku untuk praktik ini pada sebagian mahasiswa. Melanggar peraturan
Tabel 4: Persentase sikap mahasiswa terhadap pelanggaran aturan No. 1 2
Pernyataan Saya merasa resah melihat banyak orang melanggar peraturan.
Saya merasa kasihan pada orang yang tidak dapat taat pada peraturan.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
70,9%
24,7%
4,4%
72,1%
22,2%
5,7%
Melanggar peraturan sangat terkait dengan nilai disiplin, tanggung jawab, peduli dan jujur dalam nilai-nilai antikorupsi KPK. Soal pelanggaran peraturan, secara umum responden menyatakan sependapat bahwa banyak orang di sekitar mereka melakukan pelanggaran (70,9%), dan berempati kepada mereka (72,1%). Pelanggaran aturan yang sering didapati di kampus salah satunya adalah terlambat masuk kelas. Berikut sikap responden ketika diberikan pernyataan-pernyataan tentang keterlambatan masuk kelas. Tabel 5: Persentase sikap mahasiswa terhadap keterlambatan
No.
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
1
Saya tidak merasa risau walaupun sering terlambat masuk kelas.
12,6%
18,4%
69%
3
Kadang saya terlambat masuk kelas; dan banyak juga teman lain yang melakukannya, jadi tidak ada salahnya berperilaku sama.
10,1%
32,9%
57%
2
Saya pikir, rugi rasanya bila terlambat masuk kelas.
74,6%
21,5%
3,8%
Ternyata banyak dari mereka yang merasa risau bila terlambat masuk kelas (69%), walaupun alasan tepatnya tidak diketahui.Para responden pun menyadari kalau mereka merugi bila terlambat masuk kelas (74,6%). Setidaknya, hal ini hampir sejalan dengan praktiknya, walaupun dengan persentase lebih rendah, bahwa mereka menyadari kalau pun mereka terlambat masuk kelas dan banyak teman yang juga melakukannya, hal tersebut tidak membuat keterlambatan menjadi hal yang wajar (57%).
47
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Saat dihadapkan pada pernyataan di bawah ini tentang ketaatan pada aturan dan tata tertib, secara umum responden setuju bahwa hal tersebut dapat menunjang kesuksesan mereka (88,6%).
“Sebagai mahasiswa, saya perlu mematuhi aturan dan tata tertib yang berlaku di kampus, karena dapat menunjang kesuksesan saya”.
Sedangkan 10,1% responden masih ragu (agak setuju), dan sisanya 1,3% tidak setuju. Hal ini menunjukkan secara kognitif, sudah ada konfirmasi bila ingin sukses, mereka harus taat aturan.
Kecurangan dalam membuat tugas kuliah Kemandirian, kejujuran, dan rasa percaya pada kemampuan sendiri dalam menunaikan tugas sebagai mahasiswa perlu dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini sangat berkaitan dengan pemahaman nilai antikorupsi yang dicanangkan KPK. Dalam penelitian ini, responden diberikan beberapa pernyataan yang berkaitan dengan cara mereka atau orang lain di sekitar mereka dalam membuat tugas kuliah. Tabel 6: Persentase sikap mahasiswa terhadap pembuatan tugas
No. 1
Pernyataan Saya tidak merasa risau bila selalu mengharapkan dan minta bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas-tugas saya.
Setuju 15,2%
Ragu-ragu 31%
Tidak Setuju 53,8%
Dari pernyataan di atas, setengah lebih dari responden (53,8%) berkeinginan untuk dapat atau mampu menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya sendiri. Hal ini dapat diasumsikan bahwa walaupun mereka meminta bantuan orang lain, hal itu tidak membuat mereka puas pada hasil tugas tersebut. Kemungkinan karena kekurangan yang ada pada diri mereka, membuat mahasiswa meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas kuliah. Tabel 7: Persentase sikap mahasiswa terhadap praktik “jalan pintas” dalam membuat tugas
No. 1
2 3
48
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Buat apa susah-susah bekerja sendiri, kalau ternyata banyak teman yang mengambil “jalan pintas” (menjiplak, membayar joki, dll) dalam mengerjakan tugas.
9,5%
18,4%
72,1%
64,6%
30,4%
5%
Saya merasa risau karena banyak teman yang mengambil “jalan pintas” (misalnya menjiplak karya orang lain, membayar joki, dsb) dalam mengerjakan tugas kuliah.
60,1%
20,9%
19%
Menurut saya, mahasiswa sekarang banyak yang tidak mengerjakan tugas kampus dengan baik dan jujur.
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Dari pernyataan nomor 2 (64,6%) dan 3 (60,1%), terlihat konsistensi bahwa banyak mahasiswa di sekitar responden yang melakukan praktik tidak jujur dalam membuat tugas kuliah. Namun demikian, dari pernyatan nomor 1, dapat dilihat bahwa mereka yang tidak melakukan praktik tersebut, tetap ingin berusaha sendiri walau mungkin ada teman lain melakukannya (72,1%). Hal ini sejalan dengan jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan di bawah ini. Tabel 8 Persentase sikap mahasiswa terhadap kemandirian membuat tugas
No. 1 2 3
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Walaupun dapat nilai tidak bagus, saya tetap berusaha dengan keringat sendiri untuk dapat yang lebih baik.
91,1%
7,6%
1,3%
74%
19%
7%
Saya bangga pada kemampuan diri sendiri, sehingga tidak mau mencontoh teman lain yang melakukan copy-paste makalah.
74%
20,9%
5,1%
Kita harus selalu memiliki rasa percaya diri dan selalu berusaha melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mayoritas responden tetap ingin berusaha semaksimal mungkin untuk membuat tugas (91,1%), mereka juga cukup memiliki rasa percaya diri tanpa bantuan orang lain (74%), bahkan tidak mau menjiplak karya orang lain (74%). Terlihat pada sebagian mahasiswa ada kemandirian dan percaya pada diri sendiri dalam membuat tugas kuliah sendiri, walaupun ada pula yang melakukan penjiplakan atau membayar jasa “joki”. Persentase praktik kecurangan ini terlihat cukup tinggi, dan harus menjadi perhatian serius pihak berwenang kampus. Cara belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) Mahasiswa juga perlu disiplin, misalnya dalam membuat tugas atau menyiapkan diri saat ujian. Hal ini nantinya dapat tercermin pada etos kerja saat mereka terjun ke dunia kerja.
Dihadapkan pada butir-butir pernyataan berikut, lebih dari separuh responden (60,7%) menyatakan dirinya belajar dengan cara “SKS” atau lebih dikenal dengan Sistem Kebut Semalam (belajar dilakukan pada malam harinya saja sebelum ujian). Hanya sedikit dari mereka yang betul-betul menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum ujian (10,8%). Tabel 9: Persentase sikap mahasiswa terhadap praktik “SKS”
No. 1
Pernyataan Saya tidak merasa risau karena seringkali menyiapkan diri untuk ujian dengan cara belajar sistem “SKS” (sistem kebut semalam)
Setuju 60,7%
Ragu-ragu 28,5%
Tidak Setuju 10,8%
49
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
2
Saya jenis orang yang tidak suka mengerjakan tugas kuliah pada menitmenit terakhir
41,8%
36,1%
22,1%
Dari pernyataan kedua, 41,8% responden menyatakan bahwa sebenarnya mereka tidak suka mengerjakan tugas menjelang tenggat waktu (deadline). Namun demikian, dapat diasumsikan mungkin kurangnya manajemen waktu, membuat mereka tetap saja terbentur dengan kerja yang serabutan.
Sikap Mahasiswa terhadap Hal-hal Non-Akademis
Pergaulan dan gaya hidup Sederhana adalah salah satu nilai antikorupsi, menurut KPK. Bagaimana mahasiswa menanggapi kesederhanaan, dapat dilihat pada jawaban mereka mengenai gaya hidup sehari-hari.
Banyak dari responden yang menyetujui pernyataan bahwa pergaulan yang dilakukan membutuhkan biaya, yang kadang tidak sedikit (60,1%). Namun ada juga yang menyatakan bahwa untuk bergaul tidak perlu biaya mahal (23,4%). Mayoritas responden pun menyadari bahwa gaya hidup hedonisme hanyalah suatu pemborosan saja (80,4%). Tabel 10: Persentase sikap mahasiswa terhadap pergaulan dan gaya hidup
No. 1 2
Pernyataan Untuk bergaul itu perlu biaya yang kadang tidak murah. Bergaya hidup hedonisme (mencari kesenangan semata) hanya pemborosan belaka.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
60,1%
16,5%
23,4%
80,4%
15,8%
3,8%
Responden menyatakan risau dengan perilaku teman-teman mereka yang menggunakan uang kuliah untuk berfoya-foya (72,1%). Sejalan dengan itu, mereka pun banyak yang menyatakan bahwa teman-temannya banyak yang konsumtif (68,9%). Tabel 11: Persentase sikap mahasiswa terhadap sikap konsumtif
No. 1 2
Pernyataan
Setuju
Saya risau melihat kelakuan banyak teman 72,1% yang menggunakan uang kuliah untuk berfoyafoya. Saya melihat banyak teman saya yang bersikap konsumtif.
68,9%
Ragu-ragu
Tidak Setuju
20,3%
7,6%
25,9%
5,1%
Lalu, bagaimana pendapat mereka tentang gaya hidup diri sendiri? Berikut jawaban para responden terhadap beberapa butir pernyataan yang diberikan. 50
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Tabel 12: Persentase sikap mahasiswa terhadap gaya hidupnya No. 1 2 3 4
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Saya merasa risau bila saya tidak dapat mengikuti tren gaya hidup mewah dan modern.
15,8%
31%
53,2%
Saya senang berpenampilan trendy dan memakai barang-barang bermerk yang mahal.
19%
38,6%
42,4%
Saya akan membeli barang yang keren dan trendy walaupun uang saya habis karenanya.
24%
20,3%
55,7%
Terkadang saya tidak berhasil menyesuaikan antara pengeluaran dengan pendapatan.
65,2%
25,3%
9,5%
Dari tiga pernyataan pertama, terlihat adanya konsistensi, bahwa mereka tidak terlalu risau bila tidak mengikuti gaya hidup yang mewah dan modern (53,2%); mereka juga banyak yang tidak mengikuti penampilan trendy dengan barang-barang bermerek yang mahal (42,4%); dan tidak memaksakan untuk membeli barang yang keren dan trendy (55,7%). Namun demikian, perlu diwaspadai bahwa mereka kadang tidak berhasil mengatur keuangan dengan baik (65,2%). Mungkin pengeluaran ini bukan untuk barang yang bermerek, keren, trendy atau mahal, namun untuk pengeluaran (sehari-hari atau acara tertentu) yang sifatnya biasa saja.
Tugas secara umum sebagai mahasiswa Bagian terakhir ditanyakan mengenai kesadaran responden terhadap tugasnya sebagai mahasiswa. Pernyataan-pernyataan berikut diberikan kepada para responden untuk melihat sejauh mana kepedulian, kerja keras, kesederhanaan, dan tanggung jawab mereka sebagai mahasiswa di komunitasnya (masyarakat). Tabel 13: Persentase sikap mahasiswa untuk peduli terhadap lingkungan sekitarnya No. 1 2 3
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Menurut saya, sebagai kalangan terdidik, mahasiswa harus peduli terhadap masalah sosial di sekitarnya.
86,7%
9,5%
3,8%
85,4%
10,8%
3,8%
Saya merasa rugi bila tidak dapat mengejar target nilai IPK tiap semester.
88%
8,2%
3,8%
Saya menyadari bahwa tugas saya adalah belajar dengan baik.
51
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
4
Mahasiswa perlu menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak hidup berfoya-foya.
76%
19%
5%
Dari empat pernyataan pertama di atas, dapat dilihat bahwa responden menyadari kedudukan dan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa di masyarakat. Hanya sedikit dari mereka yang tidak menyadari bahwa selain tugas belajar, mereka pun menjadi salah satu entitas dalam masyarakat yang harus turut memberikan sumbangsih kepada komunitasnya.
Perhatian pada korupsi di Indonesia Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya mereka peduli terhadap apa yang terjadi di negaranya. Utamanya yang terkait dengan masalah korupsi. Dalam penelitian, diberikan beberapa pernyataan kepada responden untuk dijawab mengenai kepedulian mereka terhadap korupsi. Tabel 14: Persentase sikap mahasiswa untuk peduli pada masalah korupsi di Indonesia
No. 1
Pernyataan Saya merasa risau dengan tingginya angka korupsi di negara ini.
2
Saya tahu bahwa korupsi bisa menyengsarakan hidup orang lain.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
92,4%
5,7%
1,9%
92,4%
5,7%
1,9%
Dari dua pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya kasus korupsi di Indonesia (92,4%). Persentase yang sama juga didapatkan dari tingkat pengetahuan mereka bahwa korupsi berdampak buruk bagi hidup orang banyak (92,4%).
Beberapa pernyataan yang terkait dengan praktik korupsi yang sering dilakukan orang, juga diberikan pada responden. Berikut ini pernyataannya: Tabel 15: Persentase sikap mahasiswa terhadap praktik korupsi di sekitarnya
No. 1
2 3
52
Pernyataan
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
Bila dalam keadaan terdesak, memberikan “salam tempel” kepada polisi yang menilang kendaraan yang kita tumpangi menjadi hal yang biasa.
32,9%
39,2%
27,8%
Saya akan mendukung teman yang melaporkan 71,5% siapa pun (mahasiswa, staf, atau dosen) yang meminta suap.
20,3%
8,2%
Saya merasa risau dengan orang yang menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya untuk menjadi kaya.
87,3%
9,5%
3,2%
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Dari pernyataan pertama, diketahui bahwa jawaban responden rata-rata hampir sama, antara setuju (32,9%), ragu-ragu (39,2), dan tidak setuju (27,8%). Dapat diasumsikan bahwa “salam tempel” (memberikan sejumlah uang) kepada polisi lalu lintas menjadi hal biasa bagi sepertiga responden. Bahkan mereka yang ragu-ragu menjawab mungkin merasa bahwa hal tersebut ada di “grey area”, tergantung dari situasi saat itu.
Pada pernyataan kedua dan ketiga, jawaban yang diberikan responden hampir sama. Mayoritas dari mereka akan melaporkan siapa saja (di kampus) yang meminta suap (71,5%), dan mereka merasa prihatin bila ada orang yang menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri (87,3%).
Dalam penelitian ini juga ditanyakan bagaimana respon para mahasiswa apabila kampanye antikorupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dilakukan di kampus mereka. Sebanyak 74,6% merasa bangga bila dapat menjadi duta antikorupsi di kampus. Sedangkan 54,5% menyatakan akan mengambil bagian bila kegiatan antikorupsi diberlakukan di kampus sebagai satu bentuk kegiatan mahasiswa. Hal ini memperlihatkan antusiasme dan semangat mereka untuk ikut serta dalam kampanye antikorupsi. Tabel 16: Persentase sikap mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kampanye antikorupsi
No. 1 2 3
4
Pernyataan Saya bangga bila dapat menjadi duta antikorupsi di kampus.
Setuju
Ragu-ragu
Tidak Setuju
74,6%
20,3%
5,1%
Bila di kampus ada himpunan mahasiswa antikorupsi, saya akan ambil bagian.
54,5%
33,5%
12%
Sudah selayaknya kita (sebagai 72,1% mahasiswa) membantu KPK dalam memberantas korupsi, dengan melaporkan kasus korupsi yang ada di depan mata.
23,4%
4,4%
Terlalu besar resikonya bila melaporkan tindakan korupsi dan suap pada pihak berwajib.
36,1%
31,6%
32,3%
Pernyataan nomor 3 dan 4 di atas berusaha mencari tahu keberanian mahasiswa bila melihat kasus korupsi di sekitarnya. Dari pernyataan nomor 3 di atas, dapat diketahui bahwa mayoritas responden (72,1%) menyadari bahwa mahasiswa perlu membantu KPK dalam memberantas korupsi, dengan melaporkan praktik korupsi yang terjadi di sekitarnya. Sepertiga dari mereka menyadari tingkat risiko yang diwaspadai bila mereka melaporkan kasus korupsi (36,1%). Namun cukup banyak juga (32,3%) responden yang tidak merasa bahwa hal tersebut berisiko tinggi. Kemungkinan (diasumsikan) mereka mengetahui bahwa prosedur pelaporan tentu akan diikuti oleh prosedur perlindungan terhadap si pelapor.
53
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Tabel 17: Persentase sikap mahasiswa terhadap hukuman bagi koruptor No. 1 2
Pernyataan
Setuju
Koruptor harus dihukum seberat-beratnya 94,3% agar jera, karena sudah menyengsarakan hidup orang lain. Saya mendukung hakim yang obyektif dalam memberikan hukuman pada koruptor, meskipun si koruptor adalah orang yang dekat dengan saya.
84,8%
Ragu-ragu
Tidak Setuju
3,8%
1,9%
12%
3,2%
Bagaimana pendapat responden terhadap hukuman yang harus diberikan kepada koruptor? Dalam penelitian ini, responden diberikan pernyataan-pernyataan mengenai hal tersebut. Hampir semua responden (94,3%) setuju bahwa hukuman yang berat harus dijatuhi kepada para koruptor, mengingat bahaya yang diakibatkan. Mereka pun mayoritas (84,8%) mendukung hakim yang obyektif dalam menghukum para koruptor, meskipun sang koruptor adalah orang dekat mereka. Dari data di atas terlihat perhatian mahasiswa cukup besar terhadap masalah korupsi di Indonesia, dan akan berpartisipasi apabila dilibatkan dalam kampanye antikorupsi, walaupun mereka masih merasa khawatir apabila berperan sebagai whistleblower.
Simpulan
Target audiens dari kampanye antikorupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu KPK membuat segmentasi dan untuk setiap segmen yang berbeda, sudah sepatutnya pesan dan tema yang disampaikan pun berbeda. Tema kampanye kepada mahasiswa, yang menjadi salah satu target utama kampanye antikorupsi KPK, juga seharusnya sesuai dan relevan dengan kehidupan sehari-hari di kampus dan dalam komunitasnya. Untuk mengetahui pesan dan tema yang tepat dan sejauh mana kampanye akan dilakukan, maka meneliti integritas dan sikap mereka terhadap nilai-nilai antikorupsi menjadi hal yang penting.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari segi kognisi mahasiswa menyadari bahwa tindakan kecurangan akademis tidak sepatutnya dilakukan. Demikian juga dari segi afeksi, mereka tidak menyukai praktik-praktik kecurangan tersebut. Namun demikian masih ada kecenderungan mahasiswa melakukan perilaku curang seperti yang disebutkan. Dengan demikian sikap waspada dan komunikasi yang intens perlu dijaga untuk meningkatkan integritas mahasiswa. Untuk non-akademis, mahasiswa menyadari bahwa pergaulan adalah hal yang penting, dan mereka masih dapat menahan diri untuk membelanjakan uang pada barang-barang mahal dan bermerek. Namun demikian, gaya hidup konsumtif masih cenderung sulit untuk dihindari. Perhatian mahasiswa terhadap praktik korupsi di Indonesia pun cukup baik, dan mendukung hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Namun demikian, masih ada kekhawatiran terhadap peer pressure apabila mereka bertindak sebagai whistleblower.
54
COMMUNICARE Journal of Communication Studies | Vol. 3 No. 1, Januari - Juni 2016
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat membantu inisiator khususnya dalam merencanakan program kampanye antikorupsi terhadap mahasiswa. Pesan yang tepat untuk tiap target audiens perlu dimiliki, untuk menjamin efektifitas komunikasi antara inisiator dan audiensnya. Saran praktis dari penelitian ini bagi inisiator, dapat menjadikan tema kecurangan akademis (misalnya menyontek, plagiarisme, terlambat masuk kelas) dan hal-hal yang sifatnya nonakademis, seperti gaya hidup mahasiswa, sebagai dasar bagi tema komunikasi. Selain itu saran bagi tenaga pendidik dan pihak universitas, harus lebih mengontrol dan menerapkan sistem “reward and punishment” yang dapat menciptakan efek jera bagi mereka yang berbuat kecurangan.
Sebagai saran akademis dari penelitian ini adalah untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan pada skala yang lebih besar lagi. Kecurangan akademis di sini masih bersifat umum, sehingga dapat memungkinkan penelitian lanjutan untuk meneliti kecurangan akademis yang sifatnya lebih spesifik bagi tiap bidang ilmu.
Daftar Pustaka
Aasheim, C. L., Rutner, P. S., Li, L., & Williams, S. R. (2012). Plagiarism and programming: A survey of student attitudes. Journal of Information Systems Education, 23(3), 297 - 313. Abd Aziz, N., & M. Ariffin, A. A. (2010). Exploring consumers attitude towards web advertising and its influence on web ad usage in Malaysia. Jurnal Pengurusan, 31, 55 - 63.
Babin, B. J., & Harris, E. G. (2012). Consumer behavior. (3rd student edition ed.). Mason, Ohio: South-Western Cengage Learning. Evans, M., Jamal, A., & Foxall, G. (2006). Consumer behaviour. West Sussex, England: John Wiley & Sons Ltd.
Hamlin, A., Barczyk, C., Powell, G., & Frost, J. (2013). A comparison of university efforts to contain academic dishonesty. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 16(1), 35 - 46. Henley, N., Raffin, S., & Caemmerer, B. (2011). The application of marketing principles to a social marketing campaign. Marketing Intelligence & Planning, 29(7), 697-706.
Herdiansyah, H. (2013, September 11). Edukasi. Dipetik February 25, 2014, dari Kompasiana: http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/11/integritas-ala-mahasiswa-591606. html
Herzenstein, M., Misra, S., & Posavac, S. S. (2004, December). How consumer’s attitudes toward direct-to-consumer advertising of prescription drugs influence ad effectiveness, and consumer and physician behavior. Marketing Letters, 15(4), 201-212. Hexham, I. (1992, April). The plaque of plagiarism: Academic plagiarism defined. Dipetik September 14, 2015, dari ResearchGate: http://www.researchgate.net/ publication/236899249 Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://kbbi.web.id/plagiarisme.
55
SURVEI INTEGRITAS AKADEMIS DAN NON-AKADEMIS PADA MAHASISWA Rosidah & Amia Luthfia
Kriyantono, R. (2006). Teknis praktis riset komunikasi. Jakarta: Kencana.
Rachim, D. A. (2012). Marketing communication strategy of KPK in anti-corruption campaign. (R. Rosidah, A. Luthfia, & W. Respati, Pewawancara)
Rizki, S. A. (2009). Hubungan prokrastinasi akademis dan kecurangan akademis pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Rosidah, Luthfia, A., & Respati, W. (2012). Strategi integrated marketing communication kampanye antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Jakarta.
Sagoro, E. M. (2013). Pensinergian mahasiswa, dosen, dan lembaga dalam pencegahan kecurangan akademik mahasiswa akuntansi. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, XI(2), 54-67.
56