Chief Editor Dr. Raymond R. Tjandrawinata Executive Editor Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Editorial Staff dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Novita Pangindo Manoppo, dr. Prihatini, Puji Rahayu, Apt., dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom. Peer Review Prof. Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S, Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Editorial Office Titan Center, Lantai 5, Jalan Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel. +62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111, Email:
[email protected], Website: www.dexa-medica.com
1 Content 2 Perspective 3 Instructur for author Leading article 4 Radikal Bebas dan Peran Antioksidan Dalam Mencegah Penuaan Original Article (Research) 13 Effect of DLBS3233, an Insulin Sensitizer, on Fructose-Induced Insulin Resistance Rat 18 Bioactive Protein Fraction DLBS1033 Exerts its Positive Pleiotropic effects in the Vascular Cells via Down Regulation of Gene Expression 25 Profil Kepatuhan Terhadap Program Terapi Obat pada Epilepsi Onset Anak-Anak Original Article (Case Report) 29 Malaria pada HIV: Suatu Tantangan dalam Diagnosis Technology 34 Formulation Technology of Phytopharmaceuticals 39 Pengaruh Bahan Tambahan atau Eksipien dalam Sediaan Farmasi bagi Keamanan Terapi Obat Medical review 42 Laser for Pigmentary Disorders 47 Vasospasmus Puting Payudara pada Wanita Menyusui 51 Meet the Expert: dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK 55 Medical News 59 Tips
Contribution Medicinus Editors accept participation in form of writings, photographs and other materials in accordance with the mission of this journal. Editors reserve the right to edit or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the published articles, if necessary.
MEDICINUS 24(1), January 2011
M E D I C I N U S
contents
1
Perspective
K
etika tahun 2011 baru saja dimulai, pada minggu pertama tahun ini, dunia kedokteran digoncangkan oleh suatu editorial opinion dari sebuah majalah kedokteran terkemuka di Inggris, British Medical Journal (BMJ), yang menyatakan bahwa suatu studi yang dipublikasi pada tahun 1998 di jurnal yang saat itu terkenal. The Lancet, adalah suatu kebohongan publik belaka. Artikel yang ditulis oleh dokter Andrew Wakefield dan kawan-kawannya dari sekolah kedokteran Royal Field di Inggris, menyatakan bahwa pemberian vaksin MMR yang banyak diberikan pada anak-anak berhubungan dengan kejadian autisme. Betapa tidak, setelah artikel tersebut dipublikasi, banyak teori-teori bermunculan yang mengaitkan kejadian autisme dengan senyawa merkuri timerosal yang dibutuhkan untuk menstabilkan vaksin. Kebanyakan teoriteori ini dibuat oleh para pengacara-pengacara pengambil kesempatan yang dengan sengaja mencari keluarga-keluarga dengan anak autis untuk kemudian melakukan gugatan class action terhadap pabrik-pabrik penghasil vaksin. Suatu artikel lain dipublikasikan dalam jurnal yang sama dan pada edisi yang sama, yang ditulis oleh jurnalis Brian Deer, mengemukakan problema dari riset yang dilakukan oleh dokter Andrew Wakefield. Ternyata, menurut penelitian Deer, dokter Wakefield mengubah banyak fakta dalam catatan medis pasien dan memilih pasien yang cocok untuk mendukung klaimnya tentang hubungan antara vaksin MMR dengan autisme. Menurut artikel Deer, dokter Wakefiled saat itu bahkan menjadi konsultan salah satu kantor pengacara yang memang sedang memperkarakan kejadian autisme pada anak-anak di Inggris. Bahkan ternyata, 3 dari 9 anak yang dilaporkan mempunyai kondisi autisme regresif, ternyata tidak di diagnosa menyandang penyakit itu. Sampai saat ini, tidak ada satupun studi epidemiologi yang berhasil membuktikan kaitan antara kejadian autisme dengan pemberian vaksin MMR. Lebih jauh lagi, bahkan, tidak ada satupun peneliti di dunia yang bisa mereplikasi hasil yang dilaporkan Wakefield. Patut disayangkan hal ini dapat sampai terjadi. Tentunya kejadian tersebut sangat memalukan bagi dunia kedokteran Inggris, Eropa dan seluruh dunia. Problem etika yang ber-
2
hubungan dengan kepercayaan dan kejujuran riset sangat disayangkan. Dunia riset adalah dunia yang penuh kepercayaan dan kredibilitas. Moralitas peneliti harus selalu dijunjung tinggi menurut etika riset. Tidak terhitung berapa besar kerugian yang ditanggung oleh keluarga dan juga perusahaan pembuat vaksin tersebut. Contoh: sejak tahun 2004, imunisasi di Inggris turun menjadi 80% karena artikel tersebut. Di Amerika Serikat (AS), 40% dari orang tua menunda pemberian vaksin bagi anak-anak mereka. Kita lihat menurut data WHO, bahwa angka kejadian campak mulai menanjak belakangan ini termasuk di Indonesia. Bahkan di Inggris campak sekarang menjadi endemik. Negara bagian Kalifornia di AS mengalami peningkatan kasus batuk rejan pada anak-anak (7.800 kasus) dan kematian sepuluh bayi barubaru ini. Ini semua karena ketakutan orang tua untuk memvaksinasi anaknya. Betapa besar dampak kesehatan suatu negara dikarenakan artikel yang tidak bertanggung jawab itu. Pada akhirnya, peristiwa ini membawa kita berpikir bahwa dalam profesi kesehatan, etika harus senantiasa dijunjung tinggi, karena profesi ini berhubungan erat dengan hidup seorang manusia. Kejujuran adalah harkat paling dasar yang harus dijunjung tinggi oleh semua ilmuwan dalam profesi apapun. Dalam melakukan riset, seorang ilmuwan harus memastikan bahwa datadata yang didapatkan adalah murni dari eksperimen/percobaan/perlakuan yang dilakukannya. Setidaknya ada 6 area etika yang harus dipatuhi oleh seorang ilmuwan: kejujuran, obyektivitas, integritas, kehati-hatian, keterbukaan dan kerahasiaan. Dunia riset dibangun atas dasar fondasi kepercayaan satu sama lain. Setiap ilmuwan harus percaya bahwa data-data yang dilaporkan oleh koleganya adalah sah. Masyarakat juga percaya bahwa hasil suatu penelitian sudah merefleksikan usaha yang jujur oleh seorang atau sekelompok ilmuwan dalam memecahkan suatu masalah secara apa adanya, akurat dan tanpa bias. Kepercayaan ini akan terbina bila komunitas ilmu benar-benar berdedikasi dalam memastikan bahwa nilai-nilai etika itu dijunjung tinggi olehnya dan terefleksi dari hasil pekerjaannya. Raymond R. Tjandrawinata, Ph.D., M.S., M.B.A., Farmakologi Molekuler dan Chief Editor Jurnal Medicinus
MEDICINUS 24(1), January 2011
Instruction for authors
MEDICINUS Editors receive original papers/articles of literature review, research or case reports with original photographs in the field of Medicine and Pharmacy. 1. The article that is sent to the Editor are any papers/articles that have not been published elsewhere in print. Authenticity and accuracy of the information to be the responsibility of the author(s). 2. The paper should be type in MS Word program and sent to our editorial staff via e-mail:
[email protected] 3. Should be type with Times New Roman font, 12 point, double space on quarto size paper (A4) and should not two side of printing. 4. The paper should be max. 8 pages. 5. All type of articles should be completed with abstract and keyword. Abstract should not exceed 200 words. 6. The title does not exceed 16 words, if more please make it into sub title. 7. The author’s name should be completed with correct address. 8. Please avoid using abbreviations, acronyms. 9. Writing system using a reference number (Vancouver style) 10. If there are tables or images please be given a title and description. 11. The papers that have been edited if necessary will be consulted to the peer reviewer. 12. The papers should be given with data of the authors / curriculum vitae, and the email address (if any), telphone number / fax that can be contacted directly. Articles in Journals 1. Standard journal article Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. More than six authors: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Organization as author The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. No author given 21st century heart solution may have a sting in the tail. BMJ 2002; 325(7357):184 4. Article not in English Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volume with supplement Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Issue with supplement Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volume with part Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Issue with no volume Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Issue with no volume Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10. No volume or issue Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993:325-33 11. Pagination in roman numerals Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii Books and Other monographs 12. Personal author(s)
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. Editor(s), compiler(s) as author Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. Organization(s) as author Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Chapter in a book Note: This Vancouver patterns according to the page marked with p, not a colon punctuation like the previous pattern). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nd ed. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Conference proceedings Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. Conference paper Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. Scientific or technical report Issued by funding/sponsoring agency: Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Issued by performing agency: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Dissertation Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington University; 1995 20. Newspaper article Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. Audiovisual material HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995 electronic material 22. Journal article on the Internet Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from: http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm 23. Monograph on the Internet Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap. edu/books/0309074029/html/ 24. Homepage/Web site Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancerpain.org/ 25. Part of a homepage/Web site American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/ category/1736.html 26. CD-ROM Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronic atlas of hematology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002
MEDICINUS 24(1), January 2011
3
Leading article Leading article
Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah Penuaan Ari Muhandari Ardhie
Klinik Kulit dan Kelamin, RSAB Harapan Kita, Jakarta
ABSTRAK Diet berimbang sudah lama disadari dapat mengurangi risiko penyakit. Beragam buah dan sayur diketahui dapat mencegah penyakit, khususnya kanker dan kelainan kardiovaskular serta mampu menunda penuaan. Hal ini karena kandungan berbagai mikronutriennya antara lain vitamin C, E, β-karoten dan lainnya yang bersifat antioksidan (AO). Karena merupakan mikronutrien esensial maka harus didapat dari konsumsi sehari-hari. Penuaan merupakan proses alamiah yang erat kaitannya dengan berbagai proses degeneratif. Terjadinya radikal bebas akibat proses oksidatif merupakan dasar teori yang paling sering dianut. AO merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan untuk mencegah penuaan.
A healthy diet may help to maintain general health, may lower disease risks especially cancer and cardiovascular diseases and prevent aging process. Antioxidant-rich fruits and vegetables contain essensial micronutrients such as vitamine C, E, β-karoten. The free radical theory of aging has long been discussed and debated. Aging as a natural process is believed to be a consequence of degenerative process linked to oxidative stress. Antioxidant supplement is one of the methods used to prevent aging. Key word: free radicals, oxidative process, antioxidants, aging
Kata kunci: radikal bebas, proses oksidatif, antioksidan, penuaan
PENDAHULUAN Adanya kaitan antara kesehatan dengan diet berimbang sudah lama disadari, bahkan jauh sebelum era Hipocrates (460-377 BC).1 Diet yang kaya akan buah dan sayur terbukti dapat mengurangi risiko penyakit, khususnya kanker dan kardiovaskular serta mampu menunda penuaan. Sayur dan buah mengandung berbagai mikronutrien diantaranya vitamin C, E, β-karoten (prekursor vitamin A) dan lainnya yang bersifat antioksidan (AO).1,2 Karena senyawa ini merupakan mikronutrien esensial, (tidak dapat diproduksi oleh tubuh) maka harus didapat dari konsumsi.3,4 Penuaan merupakan proses alamiah dalam kehidupan manusia. Menua erat kaitannya dengan berbagai proses degeneratif.5,6 Banyak teori diajukan dan berbagai penelitian dilakukan untuk mencegah penuaan. Terjadinya radikal bebas akibat proses oksidatif merupakan teori yang paling sering dianut.7 Beragam cara diupayakan untuk mencegah ataupun memperbaiki dampak penuaan. Penggunaan AO merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan untuk mencegah penuaan atau setidaknya menua secara sehat. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas ten-
4
tang radikal bebas dan peran AO dalam bidang kesehatan untuk mencegah penuaan, khususnya penuaan kulit yang secara klinis relatif lebih mudah diamati. Kulit merupakan organ terluas (1,5-2 m2) yang merupakan barier bagi berbagai organ dalam, yang menghadapi kontak langsung dengan lingkungan, termasuk pajanan matahari.8,9 Penuaan kulit merupakan salah satu dampak negatif, namun terjadinya kanker merupakan dampak yang terberat.4
Radikal Bebas, Stres Oksidatif dan Penuaan Pada tahun 1983, Majid Ali mengajukan teori spontaneity of oxidation (SO) sebagai model dalam proses penuaan. Teori ini didasari oleh beragam teori. Tiga teori yang utama diantaranya adalah: (1) protein cross-linkage theory of aging by Johan Bjorksten; (2) free radical theory of aging Denham Harman; (3) immune theory of aging Roy Walford.10 Di antara berbagai teori tersebut, teori radikal bebas yang pertama kali diajukan oleh Harmon tahun 1956, merupakan teori yang paling banyak dibahas dan berbagai penelitian telah dilakukan
MEDICINUS 24(1), January 2011
Leading article
para ilmuwan lainnya.7,8,11-13 Radikal bebas diartikan sebagai molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya sehingga relatif tidak stabil.4,8,14,15 Untuk mendapatkan kestabilannya, molekul yang bersifat reaktif tersebut mencari pasangan elektronnya, sehingga disebut juga sebagai reactive oxygen species (ROS). Mekanismenya dapat dengan donasi, meski umumnya dengan “mencuri” dari sel tubuh lain.7 Terdapat 2 jenis ROS, yakni: (1) molekul oksigen dengan elektron yang tidak mempunyai pasangan dan, (2) molekul oksigen tunggal.16 Molekul yang termasuk ke dalam radikal bebas tipe 1 diantaranya ialah anion superoksida (+O2-), radikal hidroksil (OH-), dan radikal peroksil lipid (LOO). +O2- merupakan molekul reaktif yang pertama terbentuk saat metabolisme lipid dan protein, untuk selanjutnya dapat dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) atau dimetabolisme oleh sistem enzim. H2O2 merupakan oksidan yang relatif lemah, namun mampu menginisiasi reaksi oksidatif dan membentuk spesies radikal bebas.5 Perubahan bentuk H2O2 menjadi OH terjadi melalui reaksi yang dikatalisasi oleh metal transisi (Fe2+ atau Cu+). ROS dapat mengakibatkan disfusi sel akibat pengambilan elektron dari komponen lipid, protein, dan DNA. Saat sel tubuh kehilangan elektronnya, maka sel tersebut juga akan menjadi radikal bebas yang akan memulai rangkaian proses serupa berikutnya. Hal ini akan berujung pada kerusakan sel termasuk penuaan kulit.4,16 Radikal bebas terbentuk selain secara alamiah melalui sistem biologis tubuh, juga berasal dari lingkungan. Reaksi inflamasi maupun pada setiap respirasi di mitokondria, akan menghasilkan oksidan. Kelebihan gizi juga merupakan faktor pemicu internal. Hal ini karena saat dimetabolisme, disamping energi juga akan dihasilkan radikal bebas. Sedangkan sebagai faktor eksternal antara lain sinar ultraviolet matahari antara pukul 10.00–15.00, polusi asap rokok dan pabrik, emisi kendaraan bermotor maupun konsumsi alkohol.4,6,7,17 Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas dan AO yang dipicu oleh dua kondisi umum yakni kurangnya AO dan kelebihan produksi radikal bebas. Berbagai enzim pada sel dan proses metabolik yang terkontrol, akan menjaga agar kerusakan oksidatif ditingkat sel tetap minimal. Pada saat produksi ROS meningkat, maka kontrol protektif tidak akan mencukupi sehinggu memicu kerusakan oksidatif.18 Kondisi ini akan memberi dampak berupa kerusakan oksidatif mu-
lai dari tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh, menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan dan munculnya beragam penyakit. Penuaan dapat diartikan sebagai penumpukan kerusakan,13 maupun penurunan fungsi biologis dan kemampuan organisme untuk beradaptasi terhadap stres metabolik.11 Berbagai penyakit yang telah diteliti dan diduga kuat berkaitan dengan aktivitas radikal bebas antara lain adalah stroke, asma, diabetes melitus, radang usus, penyumbatan kronis pembuluh darah di jantung, penyakit Parkinson, dan lainnya.5,6,19
PENUAAN KULIT Proses menua pada kulit dibedakan atas:20 1. Proses menua intrinsik yakni proses menua alamiah yang terjadi sejalan dengan waktu. Proses biologic/genetic clock yang berperan dalam menentukan jumlah multiplikasi pada setiap sel sampai sel berhenti membelah diri dan kemudian mati, diyakini merupakan penyebab penuaan intrinsik. 2. Proses menua ekstrinsik yakni proses menua yang dipengaruhi faktor eksternal yaitu pajanan sinar matahari berlebihan (photoaging), polusi, kebiasaan merokok, dan nutrisi tidak berimbang. Pada penuaan ekstrinsik, gambaran akan lebih jelas terlihat pada area yang banyak terpajan matahari. Kedua tipe proses menua ini berkontribusi pada terjadinya penuaan pada kulit.8,11 Photoaging Kulit merupakan organ tubuh yang secara langsung terpajan sinar UV dari matahari.9,13,18,21,22 Secara in vitro diketahui bahwa bergantung dari panjang gelombangnya, radiasi UV merupakan inisiator pembentukan ROS pada kulit. Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV dibedakan atas UVA (320400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (200-290 nm). Sinar UV yang dapat mencapai bumi dan kulit hanyalah 5-10% UVB dan 90-95% UVA karena sebagian besar UVB dan UVC akan ditahan oleh lapisan ozon.14,15,18 Selain faktor lapisan ozon, jumlah sinar UV juga dipengaruhi oleh faktor musim, ketinggian, garis lintang dan waktu pajanan.23 Sinar UVB terutama memicu produksi anion superoksida (+O2-) melalui aktivasi nicotinamide adenin dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase dan rantai reaksi pernafasan di mitokondria. Sedangkan UVA terutama memicu terbentuknya 1O2. Selain
MEDICINUS 24(1), January 2011
5
Leading article
melalui aktivasi NADPH oksidase, 1O2 juga dibentuk melalui reaksi fotokimiawi saat UVA diabsorpsi oleh riboflavin dan porfirin.16 Kromofor adalah berbagai substansi pada kulit yang mampu menyerap UV.4,8,14,16 Sinar UVB yang diserap oleh DNA, akan menyebabkan kerusakan langsung, sedangkan kromofor penyerap UVA akan menimbulkan kerusakan melalui pembentukan ROS.8,14,15,23 Oksigen tunggal yang merupakan ROS utama di permukaan kulit ini, dapat menyerang membran sel dan selanjutnya membentuk ROS yang baru.16 Proses oksidasi pada lipid dan protein yang ditimbulkannya akan menyebabkan stres oksidatif seluler dan kerusakan DNA, serta menyebabkan berbagai kelainan pada kulit. Diperkirakan setiap hari terjadi kerusakan DNA pada setiap sel manusia akibat 10.000 reaksi oksidasi. Reaksi ini akan berdampak terhadap berbagai proses kerusakan kulit antara lain photoaging, imunomodulasi, melanogenesis, dan fotokarsinogenesis.9,12 Terhadap melanosit, ROS dapat menyebabkan efek paradoksikal karena dapat menimbulkan depigmentasi maupun hiperpigmentasi, meskipun mekanismenya masih belum diketahui pasti. Vitiligo merupakan contoh terjadinya degenerasi melanosit akibat stres oksidatif. Di sisi lain, kerusakan DNA yang menstimulasi produksi pigmen pada sel melanosit melalui peningkatan kadar tirosinase akan memicu pigmentasi.16 Terhadap kolagen, ROS akan mengaktifkan matrix metalloproteinase (MMP), suatu enzim yang berperan dalam degradasi matriks ekstraselular dan penurunan sintesis kolagen.16 Selain itu radiasi UV juga memicu penurunan ekspresi transforming growth factor B (TGF-B) pada epidermis dan dermis yang merupakan promotor sintesis kolagen.11 Hal itu yang menjelaskan terjadinya keriput pada kulit yang mengalami photoaging. Terdapat perbedaan gambaran klinis penuaan kulit pada kulit putih dibandingkan kulit Asia dan Afrika. Pada ras Asia, melasma lebih menonjol dibandingkan keriput, yang umumnya baru akan muncul pada dekade keenam, khususnya pada kelompok yang banyak terpajan matahari.20 Photodamage berbeda pada masing-masing ras, yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan jumlah pajanan sinar UV.24 Perbedaan ini terutama ditentukan oleh sistem pertahanan terhadap UV. Pada ras Asia dan Afrika melanin merupakan faktor utama. Sedangkan pada kulit putih melanin kurang berperan dibandingkan peran penebalan stratum korneum.20 Antioksidan
sidasi dari molekul oksidan.19 Oksidasi merupakan reaksi kimia yang memindahkan elektron dari satu substansi ke agen oksidan. Sebagai pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, maka sel dilengkapi dengan berbagai jenis AO yang akan bekerja melalui beragam mekanisme.16 Integritas selular dipertahankan oleh berbagai AO enzimatik antara lain katalase, glutation peroksidase (GPX) dan glutation reduktase (GRD) yang akan menahan dampak negatif H2O2. Superoksida dismutase (SOD) merupakan pelindung area ekstraseluler dari dampak negatif (+O2-). Sedangkan sistem AO nonenzimatik akan mempertahankan membran sel. Dalam hal ini termasuk glutation dan asam askorbat (vitamin C) di fase air serta α-tokoferol (vitamin E) dan ubiquinol (CoQ10) di fase lipid.4 AO dalam sistem biologis, dibedakan atas: 5,6,9,14,15,21 Sistem AO enzimatik: SOD, katalase, GPX, GRD, Glukosa–6 fosfat dehidrogenase (G6PD), sistem sitokrom oksidase, peroksidase. (a) Sistem AO nonenzimatik: • Senyawa yang terbentuk in vivo seperti glutation, albumin, transferin/laktoferin/seruloplasmin, feritin, sistein, bilirubin, dan lainnya • Senyawa yang digolongkan mikronutrien esensial yakni karotenoid (β-karoten), vitamin E, vitamin C, dan sebagainya. Berdasarkan mekanisme pertahanannya, dibedakan atas:25 1. Mekanisme pertahanan AO primer/chain breaking /scavenger antioxidants adalah menetralisir radikal bebas dengan mendonasikan satu elektronnya. Molekul AO yang telah kehilangan 1 elektronnya akan menjadi radikal bebas yang baru, namun dianggap relatif stabil atau akan dinetralisir oleh AO lainnya. Contoh AO tipe ini ialah vitamin E,16 vitamin C,7 asam α lipoat (ALA),5 CoQ10, flavonoid, asam urat dan bilirubin.19 2. Mekanisme pertahanan AO sekunder/preventive antioxidants bekerja dengan mengikat logam, menyingkirkan berbagai logam transisi pemicu ROS, dan menyingkirkan ROS. Contoh AO tipe ini ialah transferin, laktoferin, seruloplasmin, dan albumin.19 3. Mekanisme pertahanan tersier dilakukan untuk mencegah penumpukan biomolekul yang telah rusak agar tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Misalnya kerusakan DNA akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfaoksida reduktase, protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid teroksidasi oleh lipase, peroksidase dan sebagainya.25
AO adalah molekul yang mampu menghambat ok-
6
MEDICINUS 24(1), January 2011
Leading article
AO juga dapat dibedakan berdasarkan kelarutannya. AO yang larut dalam lemak misalnya vitamin A dan vitamin E dan CoQ10. AO yang larut dalam air antara lain vitamin C dan glutation. Sedangkan ALA merupakan AO yang larut dalam lemak dan air.7 Lebih lanjut AO juga dapat dibedakan atas:25 a. AO alamiah misalnya flavonoid, kumarin, asam fenolat, asam linoleat, omega–3, vitamin E, β-karoten, vitamin C, dan lainnya. b. AO farmakologis/sintetik antara lain: probukol, inhibitor xantin oksidase (alopurinol, asam folat), SOD, katalase, NADPH inhibitors (adenosin, calcium channel blockers), AO endogen hasil akitivitas glutation peroksidase (glutation, asetilsistein), inhibitor siklus redoks besi (deferoksmin, apotransferin, seruloplasmin), antiinflamasi nonsteroid, oral antidiabetik (misalnya metformin), statin (misalnya simvastatin), omeprazole, dan sebagainya. Terdapat 2 strategi guna meredam dampak negatif oksidan, yakni mencegah menumpuknya senyawa oksidan dan mencegah rantai reaksi berkelanjutan. Itu sebabnya, agar dapat bekerja secara optimal maka diperlukan kerjasama sistem AO. Hindari penggunaan AO tunggal sebagai panacea.13 Dalam industri kosmetik, dikenal istilah network antioxidants yang bekerja sinergistik untuk regenerasi dan saling meningkatkan kekuatan masing-masing. Baumann (2002), menyatakan bahwa terdapat 5 jenis network AO yakni, vitamin A dan C, ALA, glutation dan CoQ10.7 Berdasarkan cara pemberiannya, AO dapat diberikan secara sistemik (oral maupun injeksi) dan topikal.4,7,13,20 Keuntungan pemberian secara oral antara lain mudah dilakukan, tidak seperti terapi topikal yang dipengaruhi oleh kondisi keringat atau basah. Kelebihan lainnya, karena memberi efek sistemik dan mudah dikombinasikan dengan strategi proteksi lainnya.15 Adanya kelebihan berupa efek sistemik yang terjadi, akan memberi nilai tambah bila diingat bahwa dampak negatif UV bersifat menyeluruh. Selain itu perlindungan juga dapat mencapai dermis, area tempat penuaan juga terjadi.21 Beberapa jenis AO Terdapat beberapa jenis vitamin, 2 diantaranya adalah vitamin terapeutik (yakni vitamin A dan vitamin D) dan lainnya adalah vitamin AO (vitamin A dan E). Di samping itu ada beberapa vitamin lainnya (misalnya vitamin D, B dan K),3,24 dan mikronutrien (antara lain mineral zinc, selenium) serta karotenoid dan flavonoid yang berperan penting dalam ke-
hidupan.24,26 Vitamin C Vitamin C merupakan AO yang larut dalam air, pertama kali diisolasi oleh Scent-Gyorgyi pada tahun 1928.24 Senyawa ini banyak dijumpai pada sitrus dan sayuran berdaun hijau gelap.3 Vitamin C sangat esensial dalam biosintesis kolagen dan mampu menurunkan sintesis pigmen dengan menghambat enzim tirosinase3,4,23,24 dan dianggap mampu mengurangi keluhan kelopak mata yang gelap.16 Vitamin C juga merupakan senyawa reduktor terbanyak di tubuh dan merupakan AO yang paling dominan di kulit.14,21,22 Bentuk radikal bebas yang terjadi sesudah donasi elektronnya, relatif stabil, masih mampu berfungsi sebagai scavenger AO dan dapat direduksi oleh sistem enzim.4 Vitamin C mampu mendaur ulang radikal bebas vitamin E. Namun adanya logam transisi (Fe2+ atau Cu2+) akan memicu vitamin C menjadi prooksidan,2,24 suatu kondisi paradoks. Dosis harian vitamin C yang dianjurkan (Recommended Daily Allowance/RDA) bervariasi dari 40-60 mg/hari12 sampai 100 mg/hari.3 Vitamin E Vitamin E merupakan scavenger AO fase lipid utama4,14,24 yang banyak dijumpai dalam kacangkacangan, minyak sayur dan sayur-sayuran hijau.3 Saat terjadi stress oksidatif di stratum korneum, kadar vitamin E akan menurun namun adanya vitamin C dan CoQ10,2,13,22-24 dan selenium sebagai co-AO3 dapat mempertahankan proses regenerasi vitamin E. RDA vitamin E ialah 22 IU/hari7 atau 30 mg/hari.12 Vitamin A, retinol dan karotenoid Retinol dan karotenoid merupakan dua bentuk utama vitamin A di alam. Retinol (preformed vitamin A) banyak dijumpai di telur, hati dan susu. Sedangkan karotenoid (provitamin A) banyak dijumpai di buah dan sayuran berwarna.3 Terdapat 3 jenis karotenoid utama yang berasal dari diet yakni β-karoten, lutein dan likopen. β-karoten merupakan mikronutrien terbanyak21 dengan senyawa yang efektif dalam fotoproteksi sebagai scavenger AO natural terhadap oksigen tunggal.16,26 Karotenoid mempunyai struktur kimia dan mekanisme kerja menyerupai vitamin A, namun dengan efek AO yang lebih tinggi.12 Flavonoid Flavonoid merupakan beragam senyawa polifenol aromatik dengan efek AO. Diantaranya yang
MEDICINUS 24(1), January 2011
7
leading article
paling sering digunakan ialah genistein (berasal dari kacang kedele) suatu fitoestrogen yang juga merupakan scavenger AO terhadap gugus peroksil.2 Senyawa lainnya ialah ekstrak teh hijau dan silimarin.4,21,22 ALA ALA merupakan senyawa scavenger AO terhadap gugus radikal hidroksil22 yang utama pada mitokondria14 dengan efek antiinflamasi yang terbukti secara klinis dan objektif efektif dalam penanganan photoaging.11 ALA dikenal sebagai outstanding AO yang dapat menembus sawar darah-otak. ALA juga disebut AO metabolik karena bentuk reduksinya yakni dihydro lipoic acid (DHLA) dapat didaur ulang sendiri.5 ALA diperlukan untuk efisiensi fungsi biokimiawi vitamin C dan E.13 Belum ada RDA yang ditetapkan, namun dosis yang umum digunakan bervariasi dari 25-500 mg/hari.21 CoQ10 CoQ10 adalah suatu koenzim yang di pasaran sering dikategorikan sebagai vitamin.2 CoQ10 dikenal sebagai AO intraseluler16 dan banyak berperan dalam reaksi biokimiawi di mitokondria11,17 dan merupakan komponen GPX.12 CoQ10 merupakan AO pertahanan lini pertama sesudah pajanan UV, dengan efek AO menyerupai vitamin E,24 dan mampu meningkatkan vitalitas sel karena berfungsi sebagai stabilisator mitokondria.17 RDA CoQ10 ialah 30-90 mg/hari. Selenium Selenium merupakan mikronutrien esensial yang diperlukan untuk bekerjanya enzim GPX yang penting dalam sistem pertahanan terhadap stres oksidatif.4,23 RDA selenium ialah 55 μg/hari.7 Zinc Zinc termasuk mineral esensial yang memiliki efek AO yang efektif di jaringan.4,14 Kulit dan adneksanya merupakan area yang kaya akan zinc, yakni 20% dari total kadar di tubuh. Zinc dianggap mempunyai 2 mekanisme AO, yakni kemampuan mengganti logam transisi (Fe2+ atau Cu2+) dan menginduksi terbentuknya protein yang dapat menetralisir ROS.4 Kontroversi Adanya peran stres oksidatif dalam patogenesis beberapa penyakit, telah banyak dipahami. Berbagai
8
penelitian tentang manfaat AO dalam penanganannya juga telah dilaksanakan. Namun beberapa memberikan hasil yang kontroversial. Ada pakar yang tidak saja menyatakan bahwa AO tidak efektif bahkan mempertanyakan keamanan AO.1,27,28 Blejakovic (2007) mengajukan beberapa kemungkinan penyebab efek negatif AO, yakni: (1) ROS dalam konsentrasi tertentu harusnya dianggap sebagai mekanisme pertahanan tubuh dari sel yang mungkin bersifat prekanker; (2) Jumlah AO yang dianggap bisa memberikan perlindungan belum diketahui; (3) Efek AO dianggap dipengaruhi oleh kondisi status pertahanan tubuh yang berbeda-beda pada masing-masing individu.1 Namun Asgari dkk (2009) menyimpulkan bahwa AO dengan dosis nutrisional tidak meningkatkan risiko terjadinya melanoma.29 Penanganan Photoaging Terlepas dari masih adanya kontroversi, namun pemberian AO diyakini akan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap stres oksidatif dan khususnya dalam mencegah penuaan kulit.12,14,16 Masalah penuaan yang merupakan dampak terbentuknya ROS sepanjang hayat,5 khususnya photoaging memerlukan penanganan yang harus dimulai dari pencegahan.11,14,21,23 Kesadaran atas perilaku perlindungan diri terhadap dampak negatif UV harus terus ditekankan.30 Pencegahan primer berupa pemilihan pakaian, topi dan kacamata pelindung, serta aplikasi tabir surya (baik organik, inorganik, spektrum sempit maupun luas).11,23,30 Pada tahun 1996 Australia telah menetapkan UPF (UV Protection Factor) sebagai standar dalam menentukan kemampuan bahan pakaian, topi memberikan fotoproteksi. UPF sangat dipengaruhi oleh ketebalan bahan, kerapatan jalinan, warna, dan kondisi basah atau kering, serta menciut atau tidaknya bahan sesudah dicuci. Untuk mendapat efek proteksi yang optimal, baju setidaknya harus menutupi tubuh dari leher ke pinggul dan melewati bahu sampai ke ¾ proksimal lengan atas.23 Termasuk dalam tatalaksana sekunder ialah aplikasi asam retinoat topikal (yang juga berfungsi dalam terapi bila sudah terjadi kondisi photoaging)11,13 dan pemanfaatan AO baik topikal maupun sistemik.7,13,21,22 Lini ketiga penanganan photoaging berupa beberapa teknik peremajaan termasuk terapi peeling kimiawi, laser, injeksi Botox®, injeksi filler, tehnik radiofrekuensi dan lain-lain.11 Draelos (2010) menyatakan bahwa kecenderu-
MEDICINUS 24(1), January 2011
leading article
ngan perawatan kulit terkini adalah menggabungkan diet dengan konsumsi suplemen vitamin dan AO. Konsep pendekatan inside-out ini memicu pengembangan produk yang dikategorikan sebagai nutricosmetic.2 Dalam konteks ini, dikenalkan istilah nutraceutical2,19 yang mengacu pada istilah cosmeceutical yakni produk suplemen vitamin oral untuk kesehatan.
KESIMPULAN Radikal bebas/ROS akan terus menerus terbentuk
baik melalui proses metabolisme maupun akibat dampak negatif lingkungan. Radikal bebas tersebut terkait dengan terjadinya stres oksidatif yang berperan dalam patogenesis berbagai penyakit degeneratif termasuk penuaan. Dalam kondisi ini AO diyakini memainkan peran yang penting. Meski demikian, memang masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masih ada. Misalnya kapan waktu paling tepat, berapa lama dan berapa dosis serta AO mana yang paling efektif.
Daftar Pustaka 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13.
14. 15. 16.
Bjelakovic G, Gluud C. Surviving antioxidants supplements. JNCI, 2007; 99 (10): 742-3 Draelos ZD. Nutrition and enhancing youthful- appearing skin. Clinics in Dermatology 2010; 28: 400–8 Zussman J, Ahdout J, Kim J. Vitamins and photoaging: Do scientific data support their use? J Am Acad Dermatol 10.1016/j.jaad.2009.07.037. ARTICLE IN PRESS.xa09rfHc36omk -rB0wad2lta,e9o cUl Pinnell SR. Cutaneous photodamage, oxidative stress, and topical antioxidant protection. J Am Acad Dermatol 2003; 48: 1-19 Moini H, Packer L, Saris N-E L. antioxidant and prooxidant activities of α lipoic acid and dihydrolipoic acid. Toxicology and Applied Pharmacology 2002; 182: 84-90 Ames BN, Shigenaga MK, Hagen TM. Oxidants, antioxidants, and the generative diseases of aging. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 1993; 90: 7915-22 Baumann L. Antioxidants. In: Cosmetic Dermatology: Principles and Practice. Hongkong: McGraw-Hill; 2002.p.105-16 Fisher GJ, Kang S, Varani J, Bata-Csorgo Z, Wan Y, Datta S, et al. Mechanisms of photoaging and chronological skin aging. Arch Dermatol. 2002; 138:1462-70 Hakozaki T, Date A, Yoshii T, Toyokuni S, Yasui H, Sakurai H. Visualization and characterization of UVB-induced reactive oxygen species in a human skin equivalent model. Arch Dermatol Res 2008; 300 (Suppl 1): S51–S56. DOI 10.1007/s00403-007-0804-3 Ali M. The oxidative-dysoxygenative model of aging. J Integrative Medicine. 2003; 7(1):1-19. Available from http://www.jintmed. com/vol7.htm Rabe JH, Mamelak AJ, McElgunn PJS, Morison WL, Sauder DN. Photoaging: Mechanism and repair. J Am Acad Dermatol 2006; 55: 1-19 Riad HMA. The role of antioxidants in dermatology. Gulf J Dermatol 2001; 8 (2): 1-14 Angerhofer CK, Maes D, Giacomoni PU. The use of natural compounds and botanicals in the development of anti-aging skin care products. In: Dayan N, ed. Skin Aging Handbook: an integrated Approach to Biochemistry and Product Development. New York: William Andrew Inc; 2008.p.205-63 DeBuys HV, Levy SB, Murray JC, Madey DL, Pinnel SR. Modern approach to photoprotection. Derm Clinics 2000; 18 (4): 577-90 Verschooten L, Claerhout S, Van Laethem A, Agostinis P, Garmyn M. Invited Review. New strategies of photoprotection. Photochemistry and Photobiology 2006; 82:1016-23 Masaki H. Role of antioxidants in the skin: Anti-aging effects. J Derm Sci 2010; 58:85–90
17. Prahl S, Kueper T, Biernoth T, Wőhrmann Y, Münster A, Fürstenau M, et al. Aging skin is functionally anaerobic: Importance of coenzyme Q10 for anti aging skin care. Bio Factors 2008; 32:245–55. IOS Press. 18. Nichols JA, Katiyar SK. Skin photoprotection by natural polyphenols: anti-inflammatory, antioxidant and DNA repair mechanisms. Arch Dermatol Res 2010; 302:71–83. DOI 10.1007/s00403-0091001-3 19. McDaniel CF. Understanding antioxidants. Available from http:// www.fisherinstitute.org/live_pages/antioxidents.php. © 2003 2007 Fisher Institute. 20. Yaar M, Gilchrest BA. Aging of skin. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SL, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.p.963-75 21. Stahl W, Mukhtar H, Afaq F, Sies H. Vitamins and polyphenols in systemic photoprotection. In: Gilchrest BA, Krutmann J, eds. Skin Aging. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2006.p.113-21 22. Lupo MP. Antioxidants and vitamins in cosmetics. Clinics in Dermatology 2001; 19:467–73 23. Wang SQ, Balagula Y, Osterwalder U. Photoprotection: a review of the current and future technologie. Dermatologic Therapy 2010; 23: 31–47 24. Shapiro SS, Saliou C. Role of vitamins in skin care. Nutrition 2001;17:839–44. ©Elsevier Science Inc. 2001. 25. Tandon R. Antioxidants: Past and present. Available from http:// www.pharmainfo.net/reviews/antioxidants-past-and-present. 2005; 3(4) 26. Stahl W, Heinrich U, Aust O, Tronnier H, Sies H. Lycopene-rich products and dietary photoprotection. Photochem. Photobiol. Sci., 2006; 5:238–42 27. Bjelakovic G, Nikolova D, Gluud LL, Simonetti RG, Gluud C. Mortality in randomized trials of antioxidant supplements for primary and secondary prevention. Systematic review and meta-analysis. JAMA 2007; 297(8):842-57. doi:10.1001/jama.297.8.842 28. Gann PH. Randomized trials of antioxidant supplementation for cancer prevention. First bias, now chance next, cause. JAMA. 2009; 301(1):102-3. Published online December 9, 2008. (doi:10.1001/ jama.2008.863) 29. Asgari MM, Maruti SS, Kushi LH, White E. Antioxidant supplementation and risk of incident melanomas. Results of a large prospective cohort study. Arch Dermatol. 2009;145(8):879-82. Available from: http://archderm.ama-assn.org/cgi/content/full/145/8/879 30. Rosen CF. Topical and systemic photoprotection. Dermatologic Therapy, 2003; 16:8–15
MEDICINUS 24(1), January 2011
9
www.ferron-pharma.com
with
ALA
(Alpha lipoic acid)
Iklan Seloxy AA
No. POM POM SD. 081 534 131
PT FERRON PAR PHARMACEUTICALS A Member of Dexa Medica Group
10
Titan Center, Lantai 7 Jalan Boulevard Bintaro Blok B7/B1 No. 05 Bintaro Jaya Sektor 7 Tangerang 15224 Telp: +62 21 7454 333 | Fax: +62 21 7453 939
MEDICINUS 24(1), January 2011
Sekilas tentang
Seloxy AA A
ging merupakan proses yang dinamis dan kompleks yang dihasilkan oleh perubahanperubahan sel, fisiologis dan psikologis. Ada 3 fase penuaan yakni fase subklinis(25-35 tahun, dalam fase ini tidak ada gejala, fase transisi (35-45 tahun), pada fase ini mulai terlihat gejala, hormon tubuh menurun sampai dengan 25%, gula darah meningkat, gangguan jantung dan kegemukan dan fase klinis (>45 tahun). Pada fase klinis penuaan berlanjut seperti gangguan penyerapan nutrisi dan mineral, menurunnya kepadatan tulang, gejala penyakit kronis, serta menurunnya fungsi seksual. Proses penuaan dini ditandai dengan menurunnya produksi kelenjar keringat kulit, yang lalu diikuti dengan kelembaban dan kekenyalan kulit menurun karena daya elastisitas kulit dan kemampuan kulit untuk menahan air sudah berkurang, proses pigmentasi kulit semakin meningkat. Pada dari wajah biasanya terlihat wrinkle atau kerut/keriput, kulit kering dan kasar, bercak ketuaan/pigmentasi dan kekenyalan kulit menurun. Biasanya bukan hanya garis tawa yang merupakan tanda alami dari penuaan yang terlihat tetapi garis-garis lain seperti di sekitar sudut mata, kerut antara hidung dan bibir bagian atas disebabkan serat elastis dalam kulit berkurang sehingga menyebabkan kulit mengendur dan melipat menjadi kerut/keriput. Pada orang yang mengalami penuaan dini akan lebih mudah mengidap penyakit degeneratif, kanker dan gangguan pernapasan. Penuaan pada kulit dapat terjadi melalui proses intinsik dan proses ektrinsik. Proses intrisik adalah proses penuaan yang terjadi akibat faktor dari dalam tubuh seperti faktor keturunan (genetik), faktor ras, dan faktor hormonal. Kedua proses penuaan ekstrinsik yaitu proses penuaan yang terjadi akibat faktor dari luar tubuh yang dapat menginduksi penuaan kulit. Sinar matahari merupakan Faktor ekstrinsik utama yang dapat menyebabkan terjadi penuaan kulit (photoaging), di mana paparan sinar matahari
berlebihan dapat mengakibatkan berbagai kerusakan pada kulit, karena efek fotobiologik UVA dan UVB yang menimbulkan radikal bebas akan merusak struktur kulit dan menimbulkan kerusakan DNA serta menurunkan respon imun. Photoaging biasanya akan tampak pada bagian tubuh yang terpapar langsung sinar matahari seperti wajah, leher, dada atau lengan dalam bentuk kelainan klinis seprti timbulnya hiperpigmentasi (bercak coklat kehitaman) atau hipopigmentasi (bercak keputihan). Selain itu faktor ekternal lainnya dapat meningkatkan radikal bebas seperti sinar x, polusi, rokok, petisida, merokok, minuman beralkohol, obat-obatan dan nutrisi yang tidak seimbang dan lain-lainnya. Banyak teori yang mengemukan mengapa manusia mengalami penuaan. Ada teori Replikasi DNA, Teori Ikatan Silang, Teori Pakai dan Rusak, Teori Hormonal dan Teori Radikal Bebas. Teori Radikal Bebas merupakan salah satu teori yang sangat terkenal yang di kemukan oleh Dr. Denham Harman pada tahun 1954. Radikal bebas adalah suatu elektron dalam tubuh yang tidak memiliki pasangan, sehingga akan berusah mencari pasangan supaya dapat berikatan dan stabil. Sifat radikal bebas akan terus berusaha menyerang sel sel tubuh yang sudah stabil untuk mendapatkan pasangannya, sehingga sel-sel akan cepat rusak dan menua, dan bahkan juga dapat mempercepat timbulnya kanker. Antioksidan merupakan molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal bebas dengan mencegah oksidasi sel. Antioksidan mencegah kerusakan DNA akibat reaksi oksidasi di dalam tubuh, sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menunda atau memperlambat proses penuaan. Antioksidan dibagi menjadi 2 yaitu antioksidan yang disediakan oleh tubuh atau yang di kenal dengan antioksidan enzimatik misalnya superoksida dismutase, katalase, glutation peroksida, dan antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh seperti Alpha Lipoic Acid (ALA), Beta Karoten, Vitamin C, Vi-
MEDICINUS 24(1), January 2011
11
tamin E, Zinc, Selenium dan lain–lain. Antioksidan yang berasal dari luar tubuh dapat ditemukan di dalam makanan sehari–hari misalnya Wortel, minyak ikan, hati, jeruk, nanas, sayur–sayuran yang berwarna hijau dan lain–lain. SELOXY AA merupakan preparat antioksidan yang memiliki komposisi Alpha Lipoic Acid , Beta Karoten, Calsium Ascorbate, Zinc Picolinate, Selenium. Alpha Lipoic Acid (ALA) merupakan asam lemak yang mengandung gugus sulfur yang terdapat pada setiap sel tubuh yang dapat membantu menghambat penuaan akibat glycation (reaksi glukosa-protein) sehingga akan mengurangi kerusakan kolagen pada kulit, selain itu ALA merupakan antioksidan yang bersifat universal karena kemampuannya yang bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan hidrofilik (larut dalam air) sehingga mampu menembus membran sel lapisan lemak maupun air. ALA juga mempunyai aktivitas kemampuan antioksidan secara bbiologi dan aktivitas mere-cycle abtioksidan lain (Vitamin C, Vitamin E, Ubikuinone dan Glutathione) serta mampu me-regenerate it self (me-recycle dari bentuk radikal bebas menjadi antioksidan kembali) Beta Carotene merupakan provitamin A yang mempunyai fungsi dapat meredam reaktivitas radikal bebas dan melindungi sel dari kerusakan oksidatif, meningkatkan sistem imun dan dapat menurunkan risiko terjadinya kanker. Calsium ascorbate merupakan bentuk garam dari Ascorbic acid (Vitamin C), sehingga mempunyai efek iritasi yang minimal dilambung, yang mempunyai efektivitas sebagai kofaktor pembentuk kolagen dan dapat meningkatkan elastisitas dan meremajakan kulit. Selenium adalah trace mineral esensial bagi tubuh manusia yang dapat berfungsi sebagai immu-
12
nomodulator, detoksifikasi logam berat, anti carcinogenic, selenium dapat dijumpai di daging, ikan, brokoli dan lain-lain. Sedangkan Zinc dapat membantu proses pembentukan struktur dan fungsi membran sel, mempercepat penyembuhan luka, sebagai imunitas seluler, meredam radikal bebas dan membantu penyembuhan infeksi. Komposisi SELOXY AA yang multi antioksidan ini merupakan pilihan tepat untuk dapat meredam radikal bebas dalam tubuh.
KESIMPULAN 1. Skin aging adalah proses yang di pengaruhi oleh faktor Internal dan eksternal, yang terperlambat atau hambat. 2. Radikal bebas merupakan salah faktor yang dapat mengakibat terjadi skin aging. 3. Antioksidan dapat meminimalkan kerusakan yang diakibatkan radikal bebas sehingga memperlambat proses skin aging. 4. SELOXY AA merupakan antioksidan yang dapat meredam radikal bebas dengan komposisi Alpha Lipoic Acid , Beta Karoten, Calsium Ascorbate, Zinc Picolinate dan Selenium.
Daftar Pustaka 1. Daniel S., et al, Collagen glycation and skin aging. Cosmetics and Toiletries manufacture Worldwide 2. Erin E. Boh, Free Radicals and Aging of the Skin. Cosmetic Dermatology Journal, Desember 2001 Vol.14 No.12 3. Percival Mark, Antioxidants, Nut031 1/96 Rev.10/98 4. Glucotize Scientific Overview, Alpha Lipoic Acid Overview, June 2005
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
research
Effect of DLBS3233, an Insulin Sensitizer, on Fructose-Induced Insulin Resistance Rat Florensia Nailufar*,** and Raymond R. Tjandrawinata** *Department of Animal Pharmacology, Division of Protein Biochemistry and Molecular Pharmacology, Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, PT. Dexa Medica ** Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, PT. Dexa Medica ABSTRACT Increased insulin and glucose in the blood plasma is believed to be the beginning of insulin resistance and type 2 diabetes mellitus, which can lead to the development of cardiovascular diseases. In order to elucidate the pharmacological action of DLBS3233, a natural insulin synthesizer, we performed a pharmacodynamic study in Wistar rats (Rattus norvegicus Wistar strain). The rats were divided into three groups (n = 7): control group, insulin-resistant group and treated group. Random glucose, postprandial glucose, fasting glucose, and fasting insulin levels were measured. In addition, total cholesterol, triglycerides (TG), High Density Lipoprotein (HDL), and Low Density Lipoprotein (LDL) were also measured to investigate the effect of DLBS3233 on lipid panel. The results showed that DLBS3233 lower the level of blood glucose, insulin, total cholesterol, LDL, and TG while increasing HDL cholesterol in blood significantly. HOMA score was also decreased significantly suggesting that DLBS3233 is a potential insulin sensitizer.
INTRODUCTION Diabetes is a chronic disease that occurs when pancreas does not produce enough insulin, or when body cannot effectively use the insulin it produces. It is preceded by long period of asymptomatic hyperglycemia which may lead to serious damage to many of body’s system, including nerves and blood vessels.1 Diabetes can be caused by too little, resistance to insulin or both of them. Insulin resistance is a condition where insulin sensitivity decreases. This condition affects the ability of insulin hormone to decrease blood glucose level and stimulate usage of glucose in muscle and adipose tissue, which causes high level of blood glucose in blood. Insulin resistance have been increasing worldwide and plays a role in the pathophysiology of the most common human disease including diabetes mellitus type 2, hypertension, obesity, dyslipidemia, and coronary heart disease.2 It is commonly associated with lipoprotein abnormalities that are risk factors for atherosclerosis, including hypertriglyceridemia, high levels of very low density lipoprotein (VLDL), low levels of high density lipoprotein (HDL), and small dense Low Density Lipoprotein (LDL). These metabolic abnormalities together with hypertension and type 2 diabetes mellitus may cluster
in the same individual, constituting a syndrome referred to as the metabolic syndrome X.3 Here, we investigated DLBS3233, a bioactive fraction containing Lagerstroemia speciosa and Cinnamomum burmanii, in Wistar strain rats. Some previous studies showed that Lagerstroemia speciosa leaves could be used to decrease blood glucose level in diabetic rats and could enhance glucose transport to adipocyte cells as well.4-5 It possess a few active compounds (such as triterpene and corosolic acid) having a characte-ristic of insulin mimetics which can activate tyrosine kinase as an insulin receptor and inhibit tyrosine phosphatase. On the other hand, several studies have reported that cinnamon has antidiabetic effect on db/db mice and type 2 diabetic patients.6 Therefore, studying the activity of DLBS3233 would be important to provide a promising treatment for diabetes. In addition, the clinical trial phase I and II of DLBS3233 had been conducted and showed good safety and efficacy profile.
MATERIALS AND METHOD Materials DLBS3233 was developed and prepared by Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences. Fructose and
MEDICINUS 24(1), January 2011
13
research
original article
glucose were purchased from Merck.
Animals Experiment Wistar strain rats (Rattus norvegicus) (male, 8 weeks old, 200-220 g) were housed in individual cages in a room with controlled temperature and light (12h light:12-h dark cycle; lighting between 08:00 and 20:00 h) and had free access to a standard diet and water. The animal study was conducted according to the regulation proposed by AAALAC (Association for Assessment and Accreditation of Laboratory Animal Care). The rats were aclimated for a week before treatment. Experimental Design Rats were allocated into 3 groups. The first group (n=7) was control group that was maintained on a standard diet. The second (n=7) and the third group (n=7) were maintained on a high-glucose diet for two weeks to make them insulin resistant with fructose 15% and glucose 10%. The third group was later on treated with DLBS3233 at 9 mg/kg body weight for another two weeks. At the end of treatment period, blood samples were collected from tail veins of rats to measure the random glucose level. The rats of each group were then fasted overnight, fed and 2 h later their blood samples were taken to measure the postprandial glucose. Furthermore, animals were fasted overnight again and blood sample was later collected by cardiac puncture which then was centrifuged at 8500 g for 25 min. The serum was separated out to measure the level of fasting glucose, insulin, triglycerides, total cholesterol, Low Density Lipoprotein (LDL), and High Density Lipoprotein (HDL). Mercodia Ultrasensitive Rat Insulin ELISA enzyme immunoassay (Uppsala, Sweden) and microplate reader (Bio-Rad) were used to measure the insulin level. Other tests were carried out using Semi Automated Clinical Chemistry Analyzer Microlab 300 (Vital Scientific, Netherlands). In addition,
Homeostasis Model Assessment (HOMA) was calculated by multiplying the glucose (mmol/L) with the insulin concentration, followed by dividing it with a factor of 22.5.7 Data was analyzed using ANOVA test and significance level was measured using posthoc Bonnferoni from Biostat software. Data statistics Results were expressed as mean ± standard deviation. To confirm the normal distribution, the data were analyzed with normality test and subjected to statistical analysis using the ANOVA test. To measure statistical tests, posthoc Bonnferoni from Biostat software was used. RESULTS Wistar strain rats were treated with normal saline per oral as the control group in this experiment. Fructose 15% and glucose 10% were given to the animals to stimulate insulin resistance condition, while DLBS3233, 9 mg/kg of body weight, was given as a treatment on top of fructose-glucose intake. Administration of fructose and glucose increase the concentration of blood glucose level to 41.33% for random glucose level, 49.02% for postprandial glucose, and 60.22% for fasting glucose. Total cholesterol in blood was increased by 59.59%, similar profile was also seen in insulin level which was increased to 220.38% (Fig. 1), LDL concentration in blood to 31.70% and triglycerides to 61.39%. Moreover, the HDL level decreased up to 17.15% (Table 1). Treatment with DLBS3233 for 2 (two) weeks decrease the concentration of random glucose, postprandial glucose, fasting glucose, insulin, total cholesterol, LDL, and triglycerides by 29.64%, 30.62%, 31.41%, 65.01%, 33.78%, 21.36%, 30.81%, respectively, compared to positive control groups which have been treated with fructose 15% (Table 1 and Fig. 1). On the other hand, the level of HDL was increased by 18.20% (Table 1) .
Table 1. Effect of DLBS3233 on the level of glucose, insulin, total cholesterol, LDL, HDL and triglycerides Group
14
Glucose (mg/dl)
Insulin (mg/dl)
Total Cholesterol (mg/dl)
LDL (mg/dl)
HDL (mg/dl)
Triglycerides (mg/dl)
69.83 ± 4.52
64.63 ± 3.68
168.29 ± 10.84
156.56 ± 3.76
28.04 ± 1.33
59.97 ± 6.98
114.55 ± 8.36
111.88 ± 7.65
207.06 ± 13.63
268.57 ± 11.86
206.19 ± 6.38
23.23 ± 1.33
97.11 ± 5.75
79.48 ± 9.93
76.74 ± 8.63
72.45 ± 11.49
177.86 ± 11.1
162.14 ± 6.67
28.40 ± 1.34
67.19 ± 5.35
Random
Postprandial
Fasting
Control
84.23 ± 5.5
76.87 ± 7.73
Insulinresistant
119.04 ± 7.54
Treated
83.76 ± 8.95
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
research
Figure 1. Effect of DLBS3233 (9 mg/kg body weight) on the insulin level of the Wistar strain rats.
Figure 2. Comparison between the level of fasting glucose and insulin of animal model. Rats were divided into 3 group: control, insulin-resistant group administered with high-sugar diet and treated group administered with high-sugar diet and DLBS3233 (9 mg/kg body weight).
Further, the level of fasting glucose and insulin for each individual rat was compared, shown in Fig. 2. The level of insulin and fasting glucose in insulin resistant group was increased, that in the graph, the position was far from the normal condition. In addi-
tion, the calculation result shows that HOMA of insulin resistant group was increased up to 5-fold and then decrease significantly after being treated with DLBS3233 (Fig. 3).
MEDICINUS 24(1), January 2011
15
research
original article
Figure 3. Effect of DLBS3233 (9 mg/kg body weight) on the HOMA level of Wistar strain rats.
DISCUSSION In this study, we demonstrate the effect of DLBS3233 in insulin resistant animal model. The animals were treated to be insulin resistant by administration of high amount of fructose and glucose, which may lead to uncontrolled insulin action. Previous studies provide direct evidence that the insulin resistance occurs due to changes in hepatic carbohydrate metabolism, leading to increased hepatic glucose efflux under basal conditions, and to a loss of the ability of insulin to suppress hepatic glucose efflux. These changes are most likely due to an effect of fructose at several control steps in the regulation of hepatic glycogenesis, glycogenolysis and/or gluconeogenesis.8 Insulin resistant condition induced by treatment of sugar showed that the levels of random glucose, postprandial glucose, and fasting glucose as well as insulin increased significantly when compared to control group treated with only normal saline. However, administration of DLBS3233 to the insulin resistant rats for two weeks could reverse the levels of glucose and insulin into the levels similar to those of normal condition (Table 1 and Fig. 1). Insulin resistance may occur through different mechanisms, including defects in insulin binding and signal transduction, or defects at the level of effector molecules such as glucose transporters and enzymes involved in carbohydrate metabolism.9 DLBS3233 demonstrated its activity in controlling blood glucose by mediating the upregulation of PPARγ and GLUT4
16
expression. Activation of PPARγ induces adipocyte differentiation and lipid accumulation by adipocytes through modulating numerous genes regulating adipogenesis, lipid uptake and lipid metabolism. Result of that study also indicated that DLBS3233 is a glucose transport-stimulant as it upregulates GLUT4 expression significantly.10 Fructose feeding may result in hypertriglyceridemia, resistance to insulin-stimulated glucose uptake, and impaired endothelium-dependent vasodilation, but not in an elevation of arterial pressure. In the fructose-fed rat, hypertriglyceridemia has been attributed to impaired triglyceride removal due to insulin resistance.11 In addition, hypertiglyceridemia also has a strong correlation with increased LDLcholesterol and decreased HDL-cholesterol.3 Results of this study also showed that levels of other biological parameters including total cholesterol, LDL, and triglycerides were increased in insulin-resistant model while the level of HDL for the insulin resistant group decreased. However, the levels of those biological parameters were back to normal when DLBS3233 was administered in the treated rats. This finding suggests that DLBS3233 posses the ability to control the triglyceride and cholesterol level including LDL and HDL level. Furthermore, indirect method for assesment of insulin resistance was also perfomed by determining HOMA level. It is usually perfomed for early identification of insulin resistant individuals as it is important for the management strategies of diabetes mellitus. HOMA (homeostasis model assesment) is a
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
commonly used method to assess insulin resistance and ß-cell function and requires only fasting glucose and insulin levels.12 It is believed that HOMA index possesses high sensitivity and specificity for measuring insulin resistance.13 In this study, the HOMA index was significantly reduced to normal after DLBS3233 administration suggesting that DLBS3233 has a strong activity to control insulin resistant condition (Fig. 2 and 3). Taken together, this study indicates that DLBS3233 has the activity to control blood sugar, in-
research
sulin and other lipoproteins including High Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), triglycerides, and total cholesterol level. Accordingly, DLBS3233 is suggested to be a potential agent for treatment of diabetes and minimizing the risk of that diabetic complication including atherosclerosis. ACKNOWLDEGMENTS We thank Audrey Clarissa and Venni Carolina for critical review on this manuscript.
References 1. 2. 3. 4.
5. 6.
7.
Laakso M. Hyperglycemia and cardiovascular disease in type 2 diabetes. Diabetes 1999; 48(5):937-42 Bressler P, Bailey SR, Matsuda M, DeFronzo RA. Insulin resistance and coronary heart disease. Diabetologia 1996; 39:1345-50 Taghibiglou C, Carpentier A, Iderstine SCV, Chen B, Rudy D, Aiton A, et al. Mechanisms of hepatic very low density lipoprotein overproduction in insulin resistance. J Biol Chem 2000; 275(12):8416-25 Liu F, Kim J-K, Li Y, Liu X, Li J, Chen X. An extract of Lagerstroemia speciosa L. has insulin like glucose uptake stimulatory and adipocytes differentiation-inhibitory activities in 3T3-L1 cells. J Nutr 2001; 131:2242-7 Liu X, Kim J-K, Li Y, Li J, Liu F, Chen X. Tannic acid stimulates glucose transport and inhibits adipocyte differentiation in 3T3-L1 cells. J Nutr 2004; 135:165-71 Sheng X, Zhang Y, Gong Z, Huang C, Zang YQ. Improved insulin resistance and lipid metabolism by cinnamon extract through activation of peroxisome proliferator-activated receptors. PPAR Res 2008; 2008:581348 Pickavance LC, Tadayyon M, Widdowson PS, Buckingham RE, Wilding JPH. Therapeutic index for rosiglitazone in dietery obese rats: separation of efficacy and haemodilution. Br J Pharmacol 1999; 128:1570-6
8. 9. 10. 11. 12.
13.
Tobey TA, Mondon CE, Zavaroni I and Reaven GM. Mechanism of insulin resistance in fructose-fed rats. Metabolism 1982; 31(6):60812 Catena C, Giacchetti G, Novello M, Colussi G, Cavarape A, Sechi LA. Cellular mechanisms of insulin resistance in rats with fructoseinduced hypertension. Am J Hypertens 2003; 16(11):973-8 Tandrasasmita OM, Wulan DDR, Nailufar F, Sinambela J, Tjandrawinata RR. In press. DLBS3233 increases glucose uptake by mediating upregulation of PPARγ and GLUT4 expression. J Biomed Biotech. Kotchen TA, Reddy S, Zhang HY. Increasing insulin sensitivity lowers blood pressure in the fructose-fed rat. Am J Hypertens 1997; 10:1020–6 Chang AM, Smith MJ, Bloem CJ, Galecki AT, Halter JB, Supiano MA. Limitation of the homeostasis model assessment to predict insulin resistance and beta-cell dysfunction in older people. J Clin Endocrinol Metab 2006; 91(2):629-34 Keskin M, Kurtoglu S, Kendirci M, Atabek ME, Yazici C. Homeostasis model assessment is more reliable than the fasting glucose/insulin ratio and quantitative insulin sensitivity check index for assessing insulin resistance among obese children and adolescents. Pediatrics 2005; 115(4):500-3
MEDICINUS 24(1), January 2011
17
original article
research
Bioactive Protein Fraction DLBS1033 Exerts its Positive Pleiotropic Effects in the Vascular Cells via Down Regulation of Gene Expression Frans Kurnia*,** and Raymond R. Tjandrawinata**
* Department of Protein Biochemistry, Division of Protein Biochemistry and Molecular Pharmacology ** Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Industri Selatan V Block PP No. 7, Jababeka Industrial II, Cikarang, Bekasi 17520, Indonesia
ABSTRACT There is accumulating evidence suggesting that cardio- and cerebrovascular diseases have a positive correlation with the events of inflammation that in addition to plaque instability occurs in the vasculature. Providing a therapy that exerts its anti-inflammatory action and inhibition of proliferation and migration of smooth muscle cells may be promising and effective in fighting the cardiovascular disease (CVD). The bioactive protein fraction DLBS1033 is shown to posses such activities. DLBS1033 down-regulates inflammatory markers including JAK1, STAT1, TNFα, NF-kB as well as decreasing vascular smooth muscle cells proliferation and migration. As Matrix Metaloproteinase-9 (MMP-9) expression was downregulated by DLBS1033, it was suggested that DLBS1033 also permitted plaque stabilization to occur in the vasculature. Taken together, these data suggest DLBS1033 exerts its positive pleiotropic effects on the vascular cells primarily via its anti inflammatory activities, plaque stabilization, vascular smooth muscle cells inhibition of proliferation and migration.
INTRODUCTION Cardiovascular disease (CVD) is one of the leading causes of death worldwide. CVD covers a wide array of disorders, including diseases of the cardiac muscle and other vascular system supplying the heart, brain, and other vital organs. CVD related with occlusion of a blood vessel (thrombus) or the rupture of a blood vessel.1 Several studies have demonstrated that inflammation is also involved in development of CVD. Increased plasma levels of inflammation markers have been identified in patients with a risk of atherosclerotic diseases. Activated leukocytes emigrate, adhere to the endothelial wall and migrate through the arterial wall, resulting in the transfer of macrophages rich in oxidized lipoproteins that trigger the onset of atherosclerotic plaque formation. Atherosclerosis is also characterized by degeneration of extracellular matrix (ECM). The resulting is dissolution and fragmentation of collagen and elastin, leading to invasion of vessel wall, that could lead to development of atherosclerotic plaque.2 Thickening of the intimal area in blood vessels
18
occur spontaneously with age or in response to increased intraluminal pressure.3 Intimal thickening can also be triggered in response to injury, for example, after balloon dilatation, stent implantation or during atherosclerosis formation.3,4 All these forms of intimal thickening are associated with increases in numbers of vascular smooth muscle cells (VSMC) and the amount of VSMC-associated extracellular matrix (ECM). Most intimal VSMC probably originate by migration from the underlying media. Intimal thickening occurs in blood vessels in response to injury or atherosclerosis. The balance of migration and proliferation of vascular smooth muscle cells (VSMC) over death by apoptosis has an important impact on the final size of intimal thickening and may also affect atherosclerotic plaque stability.5 Treatment of the disease involves medical therapies that restore blood flow by inhibiting platelet aggregation or dissolving the thrombus occluding the arterial lumen.1 Thrombolytic agents, such as streptokinase and urokinase have been used to treat stroke and cardiovascular disease. Those enzymes could dissolve blood fibrin clots and, to a certain
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
extend, could also inhibit the platelet activation and aggregation.6 We have shown previously the activity of DLBS1033 as antithrombotic and thrombolysis agent.7 DLBS1033, a bioactive fraction containing 8 different proteins have four different modes of actions in treating the cardiovascular disease. However, the effects of DLBS1033 on the structure of the vasculature have not been explored, particularly those pertaining to its effects on inflammation, smooth muscle cells as well as plaque structure. This present research was aimed at studying the effects of DLBS1033 at the molecular levels.
research
RNA Isolation and RT-PCR
MATERIALS AND METHODS
RNA isolation was done using TRIzol reagent (Invitrogen) which was then processed in RT-PCR. RT-PCR was used to determine mRNA expression of genes that involve in inflammation and platelet stabilization. 0.1 μg total RNAs were added to 25 μl reaction mixture containing 5 μl AMV Reverse Transcriptase 5x reaction buffer (250 mM Tris-HCl, 250 mM KCl, 50 mM MgCl2, 2.5 mM spremidine and 50 mM DTT), 30 units AMV Reverse Transcriptase, 40 units Rnasin Ribonuclease Inhibitor, 0.5 mM dNTPs, and 0.5 μg oligo(dT) 15 primer. The cDNA was then processed for PCR screening.
Cell Culture
PCR for Screening and Analysis
RAW 264.7 cells obtained from American Type Culture Collection (ATCC) were grown in a 75 ml flask containing DMEM medium, 10% Fetal Calf Serum (FCS), and 1% Penicillin/Streptomycin at 37oC, 5% CO2. Human aortic smooth muscle cells (HVSMC; Clonetics, San Diego, CA) were cultured in SMC basal medium according to the supplier's instructions.
PCR for screening the target gene was done using GoTaq MasterMix (Promega). PCR was performed with 2.5 μl cDNA in 25 μl reaction mixture containing 12.5 μl MasterMix, 1 μl 10 μM sense and antisense primer each. PCR conditions were initial denaturation 95oC for 2 min followed by 30 cycles of 95oC 1 min, annealing for 1 min, 72oC for 1 min and extension 72oC for 10 min. PCR products were resolved in 2% agarose gel containing ethidium bromide. Images were taken by a Gel Doc apparatus (BioRad) and analyze with 2D software (BioRad).
Preparation of DLBS1033 DLBS1033 powder was diluted in phosphate buffer pH 8 and the suspension was centrifuged at 5000 x g for 10 minutes. The supernatant was then collected and filtered before use as described previously by Jessica et al.7
Treatment of DLBS1033 Before treatment, the cells were poured into six-well plate containing DMEM medium, 10% FCS, and 1% Penicillin/Streptomycin and incubated at 37oC for 18 hours. On the next day, the medium was replaced with DMEM medium containing only 1% Penicillin/ Streptomycin and 0.5 μg/ml DLBS1033. The cells were then incubated again until the next day for RNA isolation.
Cell Viability Assay
The number of viable cells was determined using Cell Titer 96 Aqueous Assay (Promega, Madison, WI). This assay was performed according to the manufacturer’s protocol. The absorbance at 490 nm was measured with a microplate reader type 680 (Biorad, Hercules, CA). Each experiment was performed in quadruplicate. The statistical analysis methods were carried out in ProStat.
Binding Assay with Monocytic Cells
RAW 264.7 cells were preincubated in DMEM containing 2% FBS and 5 µg/ml fluorescent BCECF-AM at 37°C for 30 min in foil-covered tubes. Fluorescently labeled cells were washed twice to remove unincorporated dye and were then resuspended in DMEM containing 0.2% BSA. Loaded monocytic RAW cells (5x104) were added to each well of VSMC and incubated at 37°C. After 30 min, unbound monocytes were withdrawn and VSMC layers with attached monocytes were gently washed twice with DMEM and lysed with 0.2 ml of 0.1% Triton X-100 in 0.1 M Tris per well. Fluorescence (excitation 485 nm, emission 535 nm) was measured using a microplate reader (BioTek, Winooski, VT, United States).
Cell Migration Assay Chemotaxis cell migration assay was performed using modified Boyden chambers with polyvinylpyrrolidone-free polycarbonate filter membranes, 8-μm pore size. 25,000–30,000 cells in serum-free SMC basal medium were added to the upper well of the Boyden chamber. Angiotensin II was added to the bottom of Boyden chamber as a chemoattractant,
MEDICINUS 24(1), January 2011
19
research
original article
and migration was allowed for 4 h. All experiments were performed in triplicates. Cell migration was quantified by densitometry, and cell migration in the absence of chemoattractant was taken as 100%. Ang II was obtained from Peninsula Laboratories (San Carlos, CA).
Figure 1a.
Figure 1c.
RESULTS Effects of DLBS1033 on Inflammatory Genes To observe the effects of DLBS1033 over inflammation, several markers of inflammation were screened:
Figure 1b.
Figure 1d.
Figure 1. Effect of 0.5 μg/ml DLBS1033 on expression of NF-κB (a), TNFα (b), VCAM-1 (c), and P-selectin (d).
20
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
Control
research
DLBS1033
Figure 2. Effect of DLBS1033 on the attachment of monocytic RAW246.7 cells to Vascular Smooth Muscle Cells (VSMC).
NF-κB, TNFα, VCAM-1 and P-selectin. These markers were important in inflammation related to atherosclerosis. RAW 264.7 cells were able to down-regulate the expressions of NF-κB by 45% (Fig. 1a), TNFα by 22% (Fig. 1b), VCAM-1 by 22% (Fig. 1c) and P-selectin (Fig. 1d) by 20%. To ascertain the effect of DLBS1033 on macrophage, a macrophage binding assay to Vascular Smooth Muscle Cells (VSMC) was conducted. As seen in Fig.2, the attachment of monocytic RAW264.7 to VSMC was reduced to a level 10% of the control cells. This suggested that reduction in expression of adhesion molecules V-CAM and P-Selectine, were able to reduce binding macrophage to VSMC.
growth signal JAK1 (Fig. 5a) and STAT1 (Fig. 5b) were also reduced in the presence of DLBS1033 signifying the growth arresting effect of DLBS1033 on VSMC.
Effects of DLBS1033 on Plaque Stabilization Marker Plaque stabilization is also related to prevention of acute CVD events. Suppression of about 25-50% in the expression of MMP-9, a marker of plaque instability was seen after treatment with DLBS1033 (Fig. 3) suggesting that this bioactive protein fraction has the ability to control plaque stabilization. Effects of DLBS1033 on Smooth Muscle Cells Viability and Migration We observed the effects of DLBS1033 on VSMC cell viability. As can be inferred in Fig. 4a, DLBS1033, was able to inhibit the proliferation of the VSMC significantly. In addition, after 4 hours following administration of DLBS1033, VSMC migration in the presence of Angiotensin II was significantly reduced to a level 2-fold lower when compared to that of Angiotensin II alone (Fig. 4b). The data suggested that DLBS1033 had a positive effect on smooth muscle cells viability and migration. Thus reducing the potentiality of plaque enlargement via intimal medial thickness and/or plaque stability. In addition, the expression of
Figure 3. Effect of 0.5 μg/ml DLBS1033 on expression of MMP-9.
MEDICINUS 24(1), January 2011
21
research
original article
DISCUSSION
Figure 4a.
Figure 4b. Figure 4. Inhibition in the proliferation of Vascular Smooth Muscle Cells (VSMC) in the presence and absence of serum after treatment with DLBS1033 (a) and VSMC migration in the presence of angiotensin II and DLBS1033.
Figure 5a.
There are increasing evidences that platelets play an important role in the development of atherosclerosis and antiplatelet therapy has become a useful means for preventing this disease. This present study was undertaken to investigate the role of DLBS1033, a bioactive protein fraction, in preventing cardiovascular disease by observing its effect on inflammatory and plaque stabilization systems. Inflammation plays a role in all stages of atherothrombosis, the underlying cause of approximately 80% of all sudden cardiac death.8 This study was carried out using monocytic and vascular smooth muscle cells (VSMC) treated with DLBS1033; and genes which have been known to contribute in the inflammatory system and plaque stabilization were isolated from the cells. To investigate DLBS1033 effect on inhibiting inflammation, here, we first examined the expression of NF-κB, a transcription factor and function as the central player in a chronic inflammatory disease development.9 DLBS1033 was seen to reduce the expression of NF-κB (Fig. 1a). This gene has a role in signaling pathway of atherosclerosis. In addition, the suppression of NF-κB inhibited the production or activation of other prima-
Figure 5b.
Figure 5. Effect of 0.5 μg/ml DLBS1033 on expression of JAK1 (a) and STAT1 (b).
22
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
rily inflammatory function, especially that for promoting leukocytes infiltration to endothelium.10 This highlights the finding that the downregulation of NFκB has a link to the inhibition of atheroma formation, suggesting that DLBS1033 can be used as an antiatherogenesis agent. To confirm such finding, we observed other inflammation gene TNFα that activates NF-κB. TNFα is a cytokine that regulates many biological responses in cells, including inflammation, proliferation, differentiation, and cell death.11 The production of TNFα is regulated by p38 MAPK through NF-κB activation. As a key mediator of inflammation, TNFα is related with the progression of IL-6 and chemokines and the adherence of leukocytes to the endothelium as well as affecting lipid metabolism.12 This study showed that DLBS1033 decreased the expression of TNFα (Fig. 1b). It indicated that DLBS1033 can inhibit the progression of other cytokines that are activated by TNFα and adherence of leukocytes to endothelium. In the end, it will avoid the development of plaque on the endothelium. In this recent research, DLBS1033 was shown to suppress the expression of P-selectin. Previous studies suggest a causal relationship between P-Selectin and TNFα.13-15 P-selectin is stored within endothelial cells may be recruited to the cell surface following stimulation with inflammatory mediators.16 Those pselectin in platelets and endothelial cells mediates adhesive interaction with leucocytes to form thrombi. Surface expression of P-selectin in endothelial cells is regulated by two different mechanisms with a secretagogue and with a cytokine. Activation by secretagogue leads the translocation P-selectin to the cell surface, meanwhile the cytokine leads to de novo synthesis of P-selectin.17 Activity of DLBS1033 in decreasing the expression of P-selectin may be related to the suppresion of de novo synthesis of P-selectin mediated by cytokine. In addition, it suggested that the suppression of NF-κB and TNFα expression leads to the decrease in the amount of of cytokines, which therefore could lead to suppression of P-selectin. That evidence supported the hypothesis that DLBS1033 conferred the ability as antiplatelet agent by inhibiting the activity of P-selectin to mediate the adhesive between platelets. DLBS1033 suppressed the expression of VCAM-1 (Fig. 1c), a member of the immunoglobulin gene superfamily that mediates leukocyte binding to the endothelial cell. VCAM-1 expression is rapidly induced by proinflammatory cytokines such as TNF-α. It activates endothelial cell NADPH oxidase, and this activity is required for VCAM-1-dependent lymphocyte migration. The lymphocyte migration therefore can trigger the atherosclerotic plaque formation.18-19
research
These findings first demonstrated the mechanism of DLBS1033 in maintaining plaque stabilization that involves inflammatory response. Plaque instability is associated with high macrophage content and a thin fibrous cap. Several genes have been investigated including MMP-9 which has been known to play a role in the regulation of plaque. MMP-9 is a protease that degrades extracellular matrix proteins including gelatin, collagen, elastin, and laminin that are important in tissue destruction; and also in tissue remodeling and inflammation.20-21 It is synthesized in atheromatous plaques and elevated levels are present in rupture prone shoulder regions of arterial vessels. Increased MMP9 activity has also been correlated with CVD,2 since it has the capability to degrade extracellular matrix of the fibrous cap, predisposing to plaque rupture. In our research, the MMP9 was markedly suppressed by DLBS1033 (Fig.3). The expression was suppressed approximately by 50% compared to that of control. MMP9 expression is regulated by transcriptional factors including AP-1 and NF-κB which bind to the corresponding binding sites in MMP9 promoter region.20 The above findings support the evidence that DLBS1033 could regulate the uncontrolled event of plaque rupture by inhibiting the expression of MMP9. DLBS1033 inhibited the proliferation of the VSMC significantly. Proliferation of VSMC is a crucial event in the formation of atherosclerotic tissues and is regulated by nuclear transcriptional factors including NF-κB. Studies have shown that diffuse intimal medial thickening is also characterized by Angiotensin II.22-23 In this recent study, DLBS1033 significantly reduced Angiontensin II and therefore inhibits the intimal medial thickening. In addition to these findings, we observed JAK1STAT1 system. This system plays an important role in the proliferation of VSMC. DLBS1033 decreased the expression of JAK1 (Fig. 5a) and STAT1 (Fig. 5b). JAK1 is required for myoblast proliferation and also functions as a checkpoint to prevent myoblasts from premature differentiation. Deliberate knockdown of JAK1 in both primary and immortalized myoblasts induces precocious myogenic differentiation with a concomitant reduction in cell proliferation.24 Inhibition of JAK1 phosphorylation could induce the inhibition of STAT1 phosphorylation.25 These results together indicated that DLBS1033 reduced cardiovascular events also via reducing intimal medial thickness. The investigation of DLBS1033 activity as for providing an effective mean to prevent cardiovascular disease was appeared to bring a good result. Taken together, the data shows the anti-inflammatory effect of DLBS1033 through the suppression of various genes such as NF-κB. Furthermore, the data indicates
MEDICINUS 24(1), January 2011
23
research
original article
that DLBS1033 could increase plaque stabilization and reduce the intimal medial thickness and hence this drug is promising in terms of treatment cardiovascular patients and decreasing the burden of cardiovascular diseases.
Acknowledgement We thank Jessica Trisina for preparing the sample of DLBS1033, Audrey Clarissa and Venni Carolina for critical review on this manuscript.
References 1. Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, Jha P, Mills A, Musgrove P. Disease control priorities in developing countries. Oxford University Press and The World Bank, 2006.p.645-662. 2. Signorelli SS, Mazzatino MC, Spandidos DA, Malaponte G. Proinflammatory circulating molecules in peripheral arterial disease. Int J Mol Med 2007; 20:279-286. 3. Newby AC, Zaltsman AB. Molecular mechanisms in intimal hyperplasia. J Pathol 2000;190:300– 9. 4. Newby AC, Zaltsman AB. Fibrous cap formation or destruction— the critical importance of vascular smooth muscle cell proliferation, migration and matrix formation. Cardiovasc Res 1999;41:345– 60. 5. Newby AC. Matrix metalloproteinases regulate migration, prolifera, and death of vascular smooth muscle cells by degrading matrix and non-matrix substrates. Cardiovasc Res 2006; 69:614-624. 6. Ji H, Wang L, Bi, H, Cai B, Wang Y, Zhao J, Du Z. Mechanisms of lumbrokinase in protection of cerebral ischemia. Eur J Pharmacol 2008; 590:281-289. 7. Trisina J, Sunardi F, Suhartono M, Tjandrawinata. In press. DLBS1033, a protein extract from Lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and thrombolytic activities. J Biomed Biotech. 8. Willerson JT, Ridker PM. Inflammation as a cardiovascular risk factor. Circulation 2004; 109:II-2 – II-10. 9. Brodsky M, Halpert G, Albeck M, Sredni B. The anti-inflammatory effects of the tellurium redox modulating compound, AS101, are associated with regulation of NfκB signalling pathway and nitric oxide induction in macrophages. J Inflamm 2010;7:3 10. Kempe S, Kestler H, Lasar A, Wirth T. NFκB controls the global pro-inflammatory response in endothelial cells: evidence for the regulation of a pro-atherogenic program. Nucleic Acid Res 2005; 33(16):5308-5319. 11. Han D, Ybanez MD, Ahmadi S, Yeh Kelvin, Kaplowits N. Redox regulation of tumor necrosis factor signaling. Antioxid Redox Signal 2009; 11(9):2245-2263. 12. Liu N, Liu J, Lu P, Ji Y, Wang C, Guo F. C-reactive protein induces TNFα secretion by p38 MAPK-TLR4 signal pathway in rat vascular smooth muscle cell. Inflammation; DOI: 10.1007/s10753010-9234-z. 13. Kunkel EJ, Jung U, Ley K. TNF alpha induces selecten-mediated leukocyte rolling in mouse cremaster muscle arterioles. Am J Physiol 1991; 272(3Pt2):H1391-400.
24
14. Gotsch U, Jager U, Dominis M, Vestweber D. Expression of Pselectin on endothelial cells is upregulated by LPS and TNFalpha in vivo. Cell Adhes Commun 1994; 217-14. 15. Wakefield TW, Strieter RM. Downing LJ, Kadell AM, Wilke CA, Burdick MD, Wrobleski SK, Phillips ML, Paulson JC, Anderson DC, Greenfield LJ. P-selectin and TNF inhibition reduce venous thrombosis inflammation. J Surg Res 1996;64(1):26-31. 16. Barthel SR, Gavino JD, Descheny L, Dimitroff CJ. Targetting selectins and selectins ligands in inflammation and cancer. Expert Opin Ther Targets 2007; 11(1):1473-1491. 17. Tchernychev B, Furie B, Furie BC. Peritoneal macrophages express both P-selectin and PSGL-1. J Cell Biol 2003; 163(5):11451155. 18. Deem TL, Cook-Mills JM. Vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) activation of reactive oxygen species. Blood 2004; 104(8)2385-2393. 19. Tong Q, Zheng L, Lin L, Li B, Wang D, Li D. Hypoxia-induced mitogenic factor promotes vascular adhesion molecule-1 expression via the PI3K/Akt-NF-kB signaling pathway. Am J Respir Cell Mol Biol 2006;35:444-456. 20. Lee YS, Tran HTL, Ta QV. Regulation of expression of matrix metalloproteinase-9 by JNK in RAW 264.7 cells: presence of inhibitory factor(s) suppressing MMP-9 induction in serum and conditioned media. Exp Mol Med 2009; 41(4) 259-268. 21. Page-McCaw A, Ewald AJ, Werb Z. Matrix metalloproteinnase and the regulation of tissue remodelling. Nat Rev Mol Cell Biol 2007; 8(3):221-233. 22. Wang M, Takagi G, Asai K, Resuello RG, Natividad FF, Vatner DE, Vatner SF, Lakatta EG. Aging increases aortic MMP-2 activity and angiotensin II nonhuman primates. Hypertension 2003; 41:1308-1316. 23. Mukai Y, Shimokawa H, Higashi M, Morikawa K, Matoba T, Hiroki J, Kunihiro I, Talukder HM, Takeshita A. Inhibition of reninangiotensin system ameliorates endothelial dysfunction associated with aging in rats. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2002; 22:1445–1450. 24. Sun L, Ma K, Wang H, Xiao F, Gao Y, Zhang W, Wang K, Gao X, Ip N, Wu Z. JAK1-STAT1-STAT3, a key pathway promoting proliferation and preventing premature differentiation of myoblasts. J Cell Biol 2007; 179(1):129-38. 25. Kim HY, Park EJ, Joe EH, Jou I. Curcumin suppresses Janus Kinase-STAT inflammatory signalling through activation of Src homology 2 domain-containing tyrosine phsphatse 2 in brain microglia. J Immunol 2003; 171-6072-6079.
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
research
Profil Kepatuhan Terhadap Program Terapi Obat pada Epilepsi Onset Anak-Anak Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta ABSTRAK Epilepsi merupakan penyakit neurologi utama dengan permasalahan yang kompleks. Kepatuhan terhadap program terapi obat merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai remisi. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan profil kepatuhan terhadap program terapi pasien epilepsi onset anak-anak. Data dikumpulkan dengan kuesioner sebagai bagian dari penelitian tentang prognosis epilepsi. Metode penelitian adalah kohort historis. Regresi logistik digunakan untuk melihat faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap program terapi obat anti epilepsi. Data diperoleh dari 110 penyandang epilepsi onset anak-anak, terdiri dari 42,7% laki-laki dan 57,3% perempuan. Sebagian besar pasien (60%) hanya memperoleh satu jenis obat antiepilepsi. Proporsi pasien yang patuh pada program terapi adalah 63%. Ketidakpatuhan terhadap program terapi dihubungkan dengan pencapaian remisi yang lebih rendah. Kata kunci: epilepsy, childhood and young, adult onset, compliance, treatment
PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama.1 Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik.2 Pada tahun 2000, diperkirakan penderita epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.1 Sebagai salah satu bentuk penyakit kronik, maka kepatuhan terhadap program pengobatan merupakan hal yang penting. Permasalahan yang muncul adalah tingkat kepatuhan yang cenderung rendah pada berbagai penelitian terdahulu. Penelitian Jones, dkk3 memperlihatkan bahwa 59% penyandang epilepsi tidak patuh terhadap program pengobatannya. Ketidakpatuhan terhadap regimen terapi dihubungkan dengan peningkatan frekuensi kejang dan kecemasan.3 Penelitian lain oleh Gomes, dkk4 memperlihatkan bahwa angka ketidakpatuhan pen-
Epilepsy is one of the major neurological diseases in the childhood with complex additional problems. Compliance to the drug treatment program is very important for achieving remission in epilepsy. The purpose of this paper was to describe the compliance of people with epilepsy. The data were collected by questionnaires from children with epilepsy. This study is a part of prognosis study in childhood epilepsy. Historical cohort method is used for this study. Logistic regression was used to indicate the predictors and impact of good compliance. Data were obtained from 110 childhood onset epilepsy patients, consisting of 42,7% male and 57,3% female patients. Most of the patients (60%) only received 1 medication. The proportion of patients that complied with treatment program is 63%. Non compliance was significantly related to the failure of achieving remission. Keywords: epilepsy, childhood and young, adult onset, compliance, treatment
derita epilepsi terhadap program pengobatannya mencapai 40%. Penelitian tentang kepatuhan terapi obat anti epilepsi di Indonesia masih cukup terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur profil kepatuhan penderita epilepsi terhadap program pengobatan epilepsi, dan dampak kepatuhan terhadap kemungkinan tercapainya remisi dalam terapi.
METODE PENELITIAN Pada penelitian ini rancangan yang akan digunakan adalah rancangan kohort historis (historical prospective cohort). Pada penelitian ini sampel penelitian diambil dari populasi penderita epilepsi anak-anak dengan bangkitan konvulsif dengan onset usia anak-anak (2–25 tahun). Kriteria inklusi adalah: 1. Penderita epilepsi onset anak-anak (2 tahun - 25 tahun), 2. Tipe bangkitan konvulsif, 3. Didiagnosa epilepsi dan mulai mendapat terapi rutin obat antiepilepsi minimal 2 tahun saat penelitian dimulai,
MEDICINUS 24(1), January 2011
25
research
original article
4. Didampingi oleh orang tua atau keluarga terdekat pada saat kontrol, dan 5. Catatan medik lengkap. Sementara kriteria eksklusi penelitian adalah: 1. menolak ikut dalam penelitian, 2. penderita dan keluarga yang tidak yakin akan data karakteristik sebelum terapi rutin obat anti epilepsi. Pertanyaan tentang kepatuhan terapi diadaptasi dari kuesioner Kyngas, dkk5 yang menilai berbagai aspek kepatuhan dalam program terapi obat antiepilepsi. Peran kepatuhan terhadap tercapainya remisi diukur dengan analisis univariat dan multivariat. Penelitian ini menggunakan power sebesar 80% dengan interval kepercayaan 95%. Paket program statistik (SPSS dan WinPepi) digunakan untuk pengukuran dan analisis statistik.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian diperoleh dari 110 penderita epilepsi bangkitan konvulsif dengan usia onset anak-anak dan dewasa muda (2-25 tahun). Jumlah subjek lakilaki dan perempuan hampir seimbang (42,7% VS 57,3%). Sebagian besar subjek memiliki bangkitan konvulsif yang general (80%) dibanding hanya 20% dengan bangkitan parsial. Epilepsi idiopatik didapatkan pada hampir 60% kasus. Bangkitan epilepsi yang disertai dengan defisit neurologis dijumpai pada 15,5% kasus. Sebagian besar kasus memperlihatkan gambaran EEG yang abnormal. Kurang lebih 2/3 subyek mendapatkan terapi obat antiepilepsi setelah lebih dari 10 bangkitan konvulsif. Tabel 1 memperlihatkan karakteristik dasar subyek penelitian.
5
6
7
Jumlah bangkitan sebelum terapi rutin - kurang atau sama dengan 10 - lebih dari 10
73 37
33,6% 66,4%
Gambaran EEG - normal - abnormal - tidak ada data
17 81 12
15,5% 73,6% 10,9%
Riwayat kejang demam - ada - tidak ada
8
9
10
31 79
28,2% 71,9%
Riwayat keluarga penyandang epilepsi - ada - tidak ada
13 97
11,8% 88,2%
Riwayat status epileptikus - ada - tidak ada
12 98
10,9% 89,1%
Defisit neurologi - ada - tidak ada
17 93
15,5% 84,5%
Sebagian besar pasien hanya mengkonsumsi satu macam jenis obat anti epilepsi saja. Aspek kepatuhan terhadap terapi ditunjukkan dengan 4 aspek, yaitu: 1. Ketaatan terhadap instruksi pengobatan, 2. Tidak menghentikan pengobatan tanpa konsultasi, 3. Kepatuahn terhadap pola hidup yang dianjurkan, dan 4. Keteraturan kunjungan ke RS. Grafik 1 dan tabel 2 memperlihatkan pola pengobatan dan kepatuhan penderita epilepsi terhadap program terapinya.
Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian Karakteristik 1
2
3
4
26
Jumlah
%
Jenis kelamin - laki-laki - perempuan
47 63
42,7% 57,3%
Usia saat onset - kurang dari 5 tahun - 5-12 tahun - lebih dari 12 tahun
32 38 40
29,1% 34,5% 36,4%
Tipe bangkitan konvulsif - general - parsial
88 22
80% 20%
- Epilepsi idiopatik - Epilepsi simptomatik
65 45
59,1% 40,9%
Grafik 1. Jumlah obat anti epilepsi yang dikonsumsi
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
Tabel 2. Profil kepatuhan terhadap program pengobatan Jawaban ”Ya”
Jawaban ”Tidak”
1. Apakah anda/ anak anda selalu mentaati instruksi yang diberikan untuk pengobatan anda ?
93 (84,5%)
17 (15,5%)
2. Apakah anda/ anak anda pernah menghentikan sendiri pengobatan anda ?
36 (31,7%)
74 (67,3%)
3. Apakah anda/ anak anda melakukan pola hidup seperti yang dianjurkan ?
99 (90%)
11 (10%)
4. Apakah anda / anak anda selalu datang kontrol secara teratur ?
91 (82,7%)
19 (17,3%)
Pertanyaan
Responden yang menjawab ”ya” pada pertanyaan 1, 3, dan 4, dan menjawab ”tidak” pada pertanyaan 2 dikategorikan sebagai pasien yang patuh. Dengan demikian ada 63,6% pasien yang patuh dan 36,4% pasien yang tidak patuh terhadap program terapi obat antiepilepsi. Kepatuhan terhadap terapi terbukti sebagai faktor predictor yang bermakna untuk tercapainya remisi 12 bulan berturut-turut. Penderita epilepsi yang patuh terhadap program terapi memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi OAE dibanding penderita yang tidak patuh (RR: 0,583, 95% CI: 0,3450,986). Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor predictor yang bermakna untuk tercapainya remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi obat anti epilepsi adalah jumlah serangan sebelum terapi, defisit neurologi, dan kepatuhan terhadap program terapi.
research
penyerta, tipe bangkitan parsial, dan ketidakpatuhan terhadap program terapi merupakan faktor predictor untuk tidak tercapainya remisi 12 bulan dengan terapi OAE (obat antiepilepsi).
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa angka ketidakpatuhan mencapai 36,4%. Hasil ini hampir serupa dengan penelitian Kyngas5 pada 300 orang penyandang epilepsi usia remaja (13-17 tahun) yang memperlihatkan angka ketidakpatuhan sebesar 34%. Kompleksnya regimen pengobatan, ketakutan akan munculnya efek samping obat, akses yang terbatas terhadap pelayanan, edukasi yang kurang,
Hasil penelitian memperlihatkan pula bahwa kepatuhan terhadap terapi merupakan salah satu faktor penentu tercapainya remisi. Pemahaman yang kurang tentang epilepsi dan program terapi epilepsi akibat informasi yang tidak adekuat merupakan faktor utama terjadinya ketidakpatuhan terhadap program terapi.8
Tabel 3. Analisa multivariat tidak tercapainya remisi 12 bulan dalam terapi OAE B
SE
Exp (B) / RR
95% CI
p
Adanya defisit neurologis penyerta
Faktor
2,086
0,817
8,056
1,623-39,975
0,011*
Tipe bangkitan parsial
1,440
0,639
4,222
1,207-14,766
0,024*
Jumlah bangkitan konvulsif yang tinggi
0,548
0,465
1,730
0,682-4,387
0,248
Ketidakpatuhan pada program terapi
1,071
0,475
2,917
1,173-7,257
0,021*
Analisis multivariat memperlihatkan bahwa jumlah serangan yang tinggi sebelum terapi dan adanya defisit neurologis penyerta merupakan faktor prediktor untuk tidak tercapainya remisi 6 bulan dengan terapi OAE. Adanya defisit neurologis
dan faktor psikologis yang buruk dihubungkan dengan ketidakpatuhan terhadap program terapi obat anti epilepsi.6 Kajian Zaccara,7 dkk memperlihatkan bahwa obat antiepilepsi yang lebih baru dihubungkan dengan efikasi dan tolerabilitas yang lebih baik.
MEDICINUS 24(1), January 2011
27
research
original article
Hal ini tentu pula akan meningkatkan kepatuhan. Penggunaan obat antiepilepsi generasi baru dibatasi oleh harganya yang relatif mahal. Hasil penelitian memperlihatkan pula bahwa kepatuhan terhadap terapi merupakan salah satu faktor penentu tercapainya remisi. Pemahaman yang kurang tentang epilepsi dan program terapi epilepsi akibat informasi yang tidak adekuat merupakan faktor utama terjadinya ketidakpatuhan terhadap program terapi.8 Penelitian Kemp, dkk9 menunjukkan bahwa stigma dan pandangan yang salah tentang epilepsi berkontribusi terhadap ketidakpatuhan penyandang epilepsi terhadap program terapinya. Dukungan dari keluarga, staf medis, dan perawat terbukti meningkatkan kepatuhan program terapi bagi para penyandang penyakit kronik.10 Penelitian yang dilakukan oleh Basuki dan Dikot11 terhadap 31 orang pasien dengan epilepsi tidak terkendali menunjukkan bahwa ketidakpatuhan merupakan faktor yang sangat berperan untuk terjadinya epilepsi yang tidak terkendali. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Kaliaperumal, dkk12 terhadap 95 pasien epilepsi parsial di India menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap terapi merupakan faktor prediktor remisi yang utama dalam analisis multivariat. Penderita yang teratur berobat memiliki kemungkinan sebesar 3,42 kali
untuk mencapai remisi 2 tahun dibanding penderita yang tidak teratur berobat. Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien yang tidak taat minum obat memiliki risiko sebesar 23 (95% CI 8,28-63,84) kali untuk berkembang menjadi epilepsi tak terkendali dibanding pasien yang taat berobat.13 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan terapi sangat bersifat individual. Edukasi, konseling, dan dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan sangat diperlukan. Informasi tentang pengobatan antiepilepsi harus dijelaskan secara mendetail pada penyandang dan keluarga penderita epilepsi. Pengawasan akan keberhasilan terapi, efek samping obat, dan pembukaan akses komunikasi antara pasien/ keluarga pasien dengan petugas kesehatan diharapkan meningkatkan pula ketaatan pasien.6
KESIMPULAN Sebagian besar pasien epilepsi akan mengalami remisi 6 bulan berturut-turut dalam terapi rutin OAE, namun hanya kurang lebih 50% saja yang akan mengalami remisi 12 bulan berturut-turut. Faktor prediktor buruk untuk tercapainya remisi adalah bangkitan parsial, adanya defisit neurologis penyerta, jumlah bangkitan yang tinggi sebelum terapi, dan ketidakpatuhan pada program terapi.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
28
WHR, Epilepsy in The World Health Report, Mental Health : New Understanding, New Hope, WHO, 2001. Shafer PO, Improving The Quality of Life in Epilepsy: Non Medical Issues Too Often Overlooked, Postgraduate Medicine, 2002, January Jones RM, Butler JA, Thomas VA, Peveler RS, Prevett M, 2006, Adherence To Treatment In Patients With Epilepsy: Associations with Seizure Control and Illness Beliefs, Seizure, 2006, 15(7): 504-8 Gomes MM, Filho MH, Medication-Taking Behavior and Drug Self Regulation In People With Epilepsy, Arq Neuropsiquatr, 1998, 56(4): 714-9 Kyngas H, Compliance with Health Regimens of Adolescents with Epilepsy, Seizure, 2000, (7): 598-604 Wagner ML, Murad D, Patel D, Compliance in Epilepsy: A Review, US Pharmacist, 1998, 12(1) Zaccara G, Messori A, Cincotta M, Burchini G, Comparison of the efficacy and tolerability of new antiepileptic drugs: what can we learn from long-term studies? Acta Neurol Scand, 2006, 114(3): 157-68
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Smith D, Chadwick D, The Management of Epilepsy, J Neurol Neurosurg Psychiatry; 2001, 70(Suppl 2) ( June ) Kemp S, Feely M, Hay A, Wild H, Cooper C, Psychological Factors and Use of Antiepileptic Drugs: Pilot Work Using An Objective Measure of Adherence, Psychol Health Med, 2007, 12(1); 107-113 Kyngas H, Rissanen M, Support as A Crucial Predictor of Good Compliance of Adolescents with A Chronic Disease, J Clin Nurs, 2001, 10(6): 767-774 Basuki A, Dikot Y, Evaluasi Penatalaksanaan Pada Penderita Epilepsi yang Tidak Terkendali, Epilepsi, 1998, 3(1) : 44-49 Kaliaperumal VG, Sundararaj N, Mani KS, Seizure Prognosis For Partial Epilepsies in India, Epilepsy Res, 1989, 3. 86-91 Amang A, Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pengobatan Epilepsi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Laporan Penelitian Akhir IP Saraf FK UGM Yogyakarta, 1990 Kyngas H, Predictors of Good Compliance in Adolescents with Epilepsy, Seizure, 2001, 10: 549-553
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
case report
Malaria pada HIV : Suatu Tantangan dalam Diagnosis Kristoforus Hendra Djaya
PPDS Penyakit Dalam FKUI-RSCM Jakarta ABSTRAK Koinfeksi HIV dengan malaria dapat saling mempengaruhi perjalanan penyakit satu sama lain. Keluhan demam memiliki banyak diagnosa banding. Tidak mudah membuat diagnosa yang benar terutama jika demam ini terkait dengan suatu penyakit imunokompromais sehingga diperlukan ketelitian anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat. Hubungan interaksi infeksi malaria dan HIV hingga saat ini masih banyak diperdebatkan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Abstract. HIV co-infected with malaria can affect each course of the disease to each other. A complaint of fever has many different diagnoses. It is not easy to make the correct diagnosis, especially if the fever is associated with an immunocompromised disease so that the necessary accuracy anamnesis, physical examination and further laboratory findings are needed. The interactions of malaria and HIV infection are still much debated so that needed further research.
Kata Kunci: HIV, malaria, demam, koinfeksi
Keywords: HIV, malariae, fever, coinfection
PENDAHULUAN
infeksi berinteraksi satu sama lain sangat diperlukan untuk mengontrol kedua penyakit.1
Malaria telah menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas manusia, terutama di daerah Afrika sub-Sahara, di mana sekitar 300–500 juta infeksi terjadi setiap tahunnya, yang mana 90% dari angka tersebut terjadi di daerah Afrika sub-Sahara dan menyebabkan sekitar 1 juta kematian per tahunnya.1,2 Di Indonesia, pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 2,518,046 kasus malaria dari sekitar 240,271,522 penduduk Indonesia.3 Infeksi virus HIV telah menjadi pandemi di berbagai daerah di negara-negara berkembang yang sudah cukup menderita akibat beban infeksi malaria.4 The Joint United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS) memperkirakan sekitar 29,4 juta penduduk Afrika terinfeksi HIV,5 sedangkan di Indonesia jumlah penduduk yang menderita HIV/AIDS pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 270,000.6 Malaria dan HIV dapat saling mempengaruhi perjalanan penyakit satu sama lain.4 Patnaik et al, dalam sebuah studi kohort prospektif yang dilakukannya pada sebuah populasi rural di Malawi, menemukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV di daerah endemik malaria akan mengalami peningkatan risiko menderita malaria. Sedangkan di Indonesia, ko-infeksi antara HIV dan malaria memang belum banyak dilaporkan. Namun demikian, dengan tingginya prevalensi malaria di beberapa daerah di Indonesia, dengan semakin meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia, kasus-kasus seperti ini bukan tidak mungkin akan lebih sering kita jumpai di masa depan. Pengertian akan bagaimana kedua
ILUSTRASI KASUS Seorang pria, 28 tahun, datang dengan keluhan utama demam tinggi sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien masuk bangsal umum (nonSIDA) dikirim dari IGD RSP dengan diagnosa kerja observasi febris suspek demam tifoid dd/ DHF. Demam tinggi, pernah hingga 41oC, naik-turun, dan hanya turun dengan pengobatan. Setiap hari demam muncul namun waktunya tidak menentu, terkadang malam, terkadang juga siang. Pasien tidak menggigil dan tidak pernah kejang. Pasien merasakan nyeri kepala, nyeri perut, dan mual namun tidak muntah. Nafsu makan menurun. Batuk maupun pilek disangkal. Sejak 5 hari SMRS pasien mulai buang-buang air. BAB cair, terdapat ampas namun jumlahnya lebih sedikit dari cairannya, frekuensi 5-6x per hari, tak ada darah, namun terdapat lendir. BAK normal. Pasien bekerja di Papua sebagai petugas bea cukai dan saat ini datang ke Jakarta untuk menjalani training perpajakan. Pasien telah bekerja selama 5 tahun dan belum pernah terkena malaria sekalipun. Pasien tidak pernah menggunakan obat profilaksis malaria. Pasien pernah memakai obat-obatan suntik sekitar tahun 2000 selama 2 tahun. Riwayat seks bebas disangkal. Tiga bulan yang lalu, pasien pernah dirawat di Papua dan diperiksa kemungkinan HIV. Dokter yang memeriksa menyatakan pasien menderita HIV positif dan memberikan ARV zidovudin 2x1 dan efavirenz 1x1. Viral load terakhir tidak terdeteksi.
MEDICINUS 24(1), January 2011
29
case report
original article
Pasien dan keluarga pasien tidak memiliki penyakit darah tinggi, kencing manis, maupun alergi. Pada pemeriksaan fisik saat pasien masuk RSP didapati kesadaran pasien kompos mentis, tampak sakit sedang, kesan gizi baik, TD 120/85 mmHg, nadi 96x/menit, suhu 38,8oC, pernafasan 18x/menit. Didapatkan konjungtiva anemis namun sklera tidak ikterik, pada pemeriksaan rongga mulut didapati adanya oral trush, tidak terdapat atrofi papil. Pada pemeriksaan leher didapati tekanan vena jugularis 5–2 cmH2O dan tidak ditemukan pembesaran KGB. Hasil pemeriksaan paru dan jantung dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapati perut pasien datar, lemas, hepar dan limpa tidak teraba, shifting dullness (-), terdapat nyeri tekan epigastrium, serta bising usus yang meningkat. Ekstremitas pasien hangat, tanpa adanya edema maupun petekie pada kedua tungkai, bahkan setelah dilakukan tes Rumpell-Leed. Tanda-tanda dehidrasi seperti penurunan turgor kulit juga tidak ditemukan. Hasil pemeriksaan laboratorium pada saat pasien masuk IGD RSP adalah sebagai berikut: Hb: 9.8 g/dL, Ht 26%, Leukosit 3130 /uL, Trombosit 32000/ uL, MCV 99.1 fl, MCH 37.4 pg, MCHC 37.7 g/dL, Hitung jenis: 1,3/1,9/58,8/25,8/12,2. Widal: S. Typhi O+1/80; S.Typhi H+1/80; S. Paratyphi AO+1/80; S. Paratyphi AH+1/160; S. Paratyphi BO+1/80; S. Paratyphi CH+1/80, lain-lain negative. DPL satu hari berikutnya (IGD RSP): Hb/Ht/L/T: 8.6/23/3550/38000. Pada saat itu, pada pasien ditegakkan masalah observasi febris e.c. demam tifoid dd/ malaria; SIDA dalam terapi ARV dengan kandidiasis oral; serta anemia makrositik hiperkrom. Observasi febris e.c demam tifoid ditegakkan atas dasar adanya keluhan demam tinggi sejak 9 hari SMRS yang naik-turun, disertai keluhan nyeri perut, mual, dan diikuti BAB mencret. Adanya bradikardi relatif pada pasien ini (suhu 38,8oC, nadi hanya 96x/menit), serta nyeri tekan abdomen serta hasil pemeriksaan widal turut memperkuat dugaan demam tifoid pada pasien ini. Adanya imunodefisiensi pada pasien tersebut akibat HIV positif yang diidap pasien dipikirkan menjadi salah satu penyebab ketidaksesuaian pola demam tifoid yang seharusnya dengan pola demam pada pasien ini serta mempersulit pemeriksaan rongga mulut, sebab penampakan lidah kotor menjadi tersamar akibat adanya oral trush. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan Tubex-T untuk konfirmasi adanya infeksi tifoid (yang pada hari ke-8 baru keluar hasilnya yaitu negatif), pemeriksaan feses lengkap untuk mencari kemungkinan penyebab diare pada pasien ini, serta pemeriksaan serologi dan pulasan darah tebal-tipis untuk mengkonfirmasi malaria sebagai diagnosis bandingnya (pada hari ke-8 hasil keluar
30
ditemukan tropozoid Plasmodium falciparum). Pada pasien juga direncanakan pemantauan DPL/24 jam, serta pemeriksaan morfologi darah tepi, urinalisa, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, GDS, elektrolit, albumin, serta globulin. Pada saat itu, terhadap pasien direncanakan pemberian cairan rumatan KaEN 3B/8 jam, diet lunak 1700 Kal/hari, antibiotika seftriakson 1x2 g, serta parasetamol 3x500 mg. Untuk keluhan mual pada pasien ini diberikan pantoprazol 1x40 mg serta domperidon 3x10 mg. SIDA dalam terapi ARV dengan kandidiasis oral dipikirkan dari adanya riwayat IVDU selama 2 tahun (2000-2002), riwayat pemeriksaan HIV di Papua dengan hasil HIV (+), serta penggunaan obat-obatan ARV. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya oral trush. Pasien belum pernah dilakukan pemeriksaan hitung CD4 maka direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan hitung CD4 dan viral load serta konseling HIV dan perencanaan pemberian ARV baru, yaitu neviral 1x1 dan duviral 2x1. Pada pasien juga diberikan terapi empirik kotrimoksasol 2x2 tablet, serta flukonazol 1x200 mg. Anemia makrositik hiperkrom pada pasien ini dipikirkan merupakan anemia megaloblastik maka pasien direncanakan pemeriksaan morfologi darah tepi dan diberikan asam folat 1x3 tablet serta Vitamin B12 3x1 tablet. Pada hari ketiga perawatan, hasil pemeriksaan DPL menunjukkan penurunan kadar hemoglobin yang cukup signifikan (5,8). Kadar retikulosit 2,4%. Sedangkan trombosit 28.000. Demam yang dialami pasien juga masih prominens, dengan bentuk kurva yang tidak beraturan dan suhu puncak yang tinggi. Hal ini menyebabkan kecurigaan terhadap malaria semakin kuat. Maka direncanakan untuk pemeriksaan serologi malaria dan pulasan darah tebal-tipis, serta diberikan transfusi PRC 800 cc. Hasil pemeriksaan sediaan pulasan darah tebal-tipis di laboratorium Parasitologi FKUI-RSCM tersebut adalah plasmodium falciparum dalam stadium tropozoit dan gametosit, serta hasil pemeriksaan rapid test malaria adalah positif P. falciparum. Hasil ini menegakkan diagnosis malaria tropikana (falciparum) terhadap pasien, serta merubah tatalaksana terhadap pasien. Pengobatan malaria pada pasien HIV+ dapat diberikan Artesunate 4-4-4 dan Amodiakuin 4-4-2, yang tersedia di RSCM dengan sediaan bermerek Arsuamoon®, yang harus segera diberikan. Obat tersebut diberikan kepada pasien pada hari keempat perawatan selama tiga hari, kemudian dilakukan pemeriksaan pulasan darah tebal-tipis untuk memonitor hasil pengobatan. Setelah pasien minum Arsuamoon® dosis kedua, pada pemeriksaan pulasan darah tebal-tipis terdapat plasmodium falciparum dalam fase gametosit
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
saja, sehingga pengobatan dilanjutkan. Pemeriksaan DPL pasca transfusi telah menunjukkan perbaikan, di mana Hb 9,7, Ht 27, leukosit 2860, serta trombosit pasien 73.000. Pemeriksaan dengue blot yang dimintakan terhadap pasien pada saat pasien masuk menunjukkan hasil negatif baik pada pemeriksaan dengue IgG maupun dengue IgM. Setelah dosis terakhir Arsuamoon® diberikan, pulasan darah tebal-tipis menunjukkan tidak diketemukannya plasmodium (laboratorium RSP), sebagai konfirmasinya dilakukan juga pemeriksaan yang sama di laboratorium parasitologi FKUI, didapati Plasmodium falciparum dalam fase gametosit. Berdasarkan hasil konsultasi terhadap divisi tropik infeksi RSCM, dikatakan bahwa gametosit tidaklah berbahaya terhadap pasien, namun pasien akan menjadi carrier dan menjadi sumber penularan Plasmodium falsiparum, sebab gametosit tersebut akan menjadi aktif bila masuk ke tubuh nyamuk. Maka disarankan pemberian Primakuin 3 tablet single dose, serta dilakukan pengecekan pulasan darah tebal-tipis setiap 7 hari (H+7, 14, 21, 28) sebagai tindak lanjutnya. Pada hari kesepuluh perawatan, dilakukan pemeriksaan DPL dan pulasan darah tebal-tipis di RSP dengan hasil perbaikan, yaitu Hb 9,6, Ht 29, leukosit 3220, trombosit 107.000, serta tidak ditemukan plasmodium. Pada hari kesebelas perawatan, yaitu 7 hari pasca pemberian Arsuamoon®, hasil pemeriksaan hitung CD4 pada awal perawatan telah keluar dengan hasil CD4 absolut 109 (16%) dan berdasarkan hasil konsultasi dengan konsultan HIV di RSP, dikatakan perlunya penggunaan ARV sesuai standar, yaitu Duviral® (zidovudin + lamivudin) 2x1 dan Neviral® (Efavirenz) 1x1, serta perlunya dilakukan edukasi dan konseling terhadap pasien dan keluarga. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan pulasan darah tebal-tipis kembali di parasitologi FKUI dan hasilnya adalah tidak ditemukannya lagi parasit malaria. Infeksi telah teratasi, dan pasien dipulangkan dalam keadaan sehat.
PEMBAHASAN Malaria pada manusia disebabkan oleh satu dari empat jenis parasit: Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium vivax. P. falciparum yang terutama memiliki risiko kematian tertinggi, dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi.1 Diagnosis malaria ditegakkan melalui beberapa aspek. Diagnosa klinis ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik. Gejala utama malaria yaitu demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, nyeri otot, mual, dan muntah. Pada malaria berat yang disebabkan Plasmodium falciparum, gejalanya lebih
case report
mencolok, seperti delirium, koma, gejala neurologis fokal, anemia berat, dan kesulitan bernafas. Pada sebagian besar kasus, gejala klinis ini tidak khas di awal, sehingga diagnosa tersebut perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.9 Diagnosa pasti malaria ditegakkan melalui diagnosa mikroskopik, yang ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya parasit malaria pada apus darah pasien di bawah mikroskop. Biasanya preparat diberi pewarnaan Giemsa untuk memperjelas warna parasit malaria. Teknik ini masih menjadi gold standard dari konfirmasi diagnosis malaria. Namun demikian, akurasi pemeriksaan ini sangat tergantung kualitas reagen, mikroskop, dan pengalaman dari laboran. Deteksi antigen parasit malaria dengan metode imunologik disebut tes imunokromatografik (ICT), biasanya dilakukan dengan menggunakan dipstik dan hasilnya dapat dibaca dalam 2–15 menit. ICT sangat berguna di mana pemeriksaan mikroskopis sukar disediakan. Namun demikian, setelah penggunaan ICT tetap sangat disarankan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan secara mikroskopis untuk mengkonfirmasi hasilnya, dan seandainya positif, perlu dilakukan kuantifikasi jumlah eritrosit yang terinfeksi.9 Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dikatakan bahkan lebih akurat dibandingkan pemeriksaan mikroskopis. Namun demikian, harganya yang masih tinggi dan diperlukannnya laboratorium dengan alat-alat khusus menyebabkan pemeriksaan ini tidak mudah diaplikasikan, terutama di daerah endemis malaria.9 Bukti-bukti mutakhir mulai menunjukkan adanya interaksi patologis antara HIV dan malaria pada infeksi ganda, walaupun implikasinya di masyarakat masih belum jelas.1 Beberapa peneliti mempostulasikan bahwa HIV merubah presentasi klinis malaria.7 Hal ini semakin meningkatkan angka kesukaran diagnosis malaria pada pasien HIV. Demam, yang merupakan keluhan utama pada pasien-pasien HIV dan dapat disebabkan oleh sekumpulan penyebab lainnya selain malaria, termasuk infeksi viral, bakterial, infeksi oportunistik atau parasitik, di mana gejala-gejala klinisnya sukar dibedakan dari malaria.8 Efek samping dari obat-obatan antiretroviral dan beberapa obat lainnya, dan juga IRIS (immune reconstitution syndrome) juga dapat menyebabkan gejala demam. Namun demikian, fakta bahwa penduduk daerah endemis dapat mengalami parasitemia malaria yang asimptomatik membuat diagnosis malaria pada pasien HIV tampak semakin kompleks.8 Berg dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dari perbandingan antara temuan gejala, tanda, dan hasil laboratorium pasien-pasien yang didiagnosis pasti di akhir sebagai malaria dengan pasien-pasien
MEDICINUS 24(1), January 2011
31
case report
original article
yang tidak terbukti malaria, nyeri kepala adalah satusatunya gejala yang berhubungan secara signifikan dengan kasus yang terbukti malaria. Menurut Berg, tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala, tanda, maupun hasil laboratorium antara pasienpasien malaria pada HIV positif dan HIV negatif.8 Di area-area endemis malaria, penduduk setempat akan mendapatkan imunitas hingga tingkat tertentu terhadap manifestasi klinis infeksi malaria. Pada area di mana terjadi fluktuasi transmisi malaria, demam tinggi yang akut merupakan manifestasi klinis yang signifikan dan dapat menyebabkan anemia berat, malaria serebral, dan kematian pada berbagai usia, di mana pada daerah dengan transmisi malaria yang lebih tinggi dan stabil, penyakit ini akan menyerang anak-anak dan orang dewasa dengan cara yang berbeda. Anak-anak akan mengalami parasitemia asimptomatik yang rekuren atau kronis, yang dapat juga menyebabkan anemia berat dan kematian. Beberapa individu akan mendapatkan kekebalan pada usia 5 tahun, yang akan mereka bawa hingga usia dewasa dan seringkali hanya muncul sebagai infeksi asimtomatik.1 Adanya perubahan terhadap manifestasi klinis, peningkatan imunitas, hingga munculnya individu yang mengalami parasitemia asimtomatik rekuren dan kronis, akan semakin memperberat tantangan dokter dalam mendiagnosa penyakit malaria tersebut, terutama bila pasien yang bersangkutan tinggal di daerah endemis malaria dan melakukan perjalanan ke area-area non-endemis dan jatuh sakit di sana, seperti yang terjadi pada pasien ini. Pada pasien ini keluhan-keluhannya sangat beragam dan meliputi demam-demam tinggi yang menjadi keluhan utama pasien, tidak menggigil dan tidak pernah kejang, nyeri perut, dan mual namun tidak muntah, serta nafsu makan menurun dan BAB cair, merupakan gejala-gejala yang non-spesifik dan dapat terjadi baik pada pasien malaria ataupun bukan malaria, HIV positif maupun HIV negatif. Keluhan nyeri kepala dapat ditemukan pada pasien ini, yang merupakan satu gejala yang berhubungan signifikan dengan malaria, seperti dikemukakan oleh Berg dalam penelitiannya tersebut di atas. Berg juga menyatakan bahwa dalam penelitiannya, proporsi pasien dengan malaria parasitemia juga tidak berbeda bermakna antara pasien pengidap HIV positif dan pasien dengan HIV negatif (9,8% vs 10,4%). Pada pasien-pasien yang mengalami parasitemia terdokumentasi, derajat parasitemia yang dikategorikan menjadi derajat 1–5, tidak berbeda bermakna antara kelompok pasien pengidap HIV positif dan HIV negatif (mean: 2.8 vs 3.5).8 Dalam penelitian tersebut, dari data retrospektif yang ada, diagnosa malaria ternyata gagal dibuk-
32
tikan pada lebih dari separuh kasus yang sejak awalnya mendapat diagnosa kerja sebagai malaria. Pasien-pasien dengan keluhan demam yang dianggap sebagai malaria, ternyata lebih sedikit yang terbukti sebagai malaria pada kasus dengan HIV positif dibandingkan pada pasien HIV negatif. Hal ini mencerminkan tingkat kesukaran mendiagnosa keluhan demam pada pasien dengan HIV positif yang diakibatkan oleh banyaknya kemungkinan infeksi oportunistik, sehingga secara klinis, malaria menjadi lebih sukar dibedakan dari infeksi lainnya dan risiko misdiagnosa menjadi lebih sering terjadi.8 Salah satu pelajaran utama yang dapat kita petik dari sini adalah bahwa diagnosa malaria pada pasien HIV positif tidak semudah pada pasien HIV negatif, dan adalah sangat penting untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan diagnosa diferensialnya, terutama infeksi oportunistik, pada pasien HIV yang tinggal di area endemis yang mengalami demam. Pada studi tersebut, meningoensefalitis dan tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang paling sering disangka malaria. Pasien demam tersangka atau bahkan sudah terdiagnosa pasti HIV positif, terutama mereka yang mengalami kaku pada tengkuk atau keluhan yang menetap lebih dari 2 minggu, harus dievaluasi dengan cermat adanya kemungkinan diagnosa banding lainnya selain malaria. Probabilitas adanya infeksi ganda antara malaria dengan infeksi lainnya juga harus dipertimbangkan.8 Satu hal yang menarik untuk kita pelajari juga adalah efek dari infeksi HIV positif terhadap malaria, dalam hubungannya dengan proses penegakan diagnosa malaria itu sendiri. Walaupun parasitemia berat dapat dijumpai pada orang Afrika dengan infeksi HIV simptomatik, beberapa peneliti mengatakan bahwa mereka terproteksi dari malaria serebral dan kematian akibat malaria serebral. Hal ini mungkin berhubungan dengan rendahnya kadar TNF pada anak-anak yang terinfeksi HIV, seperti diungkapkan oleh Dayachi et al dalam publikasinya pada International Conference of AIDS. TNF telah dilaporkan memiliki efek potensiasi adhesi endotelial dan penyumbatan pada mikrosirkulasi akibat eritrosit berparasit. Studi mengenai TNF pada pasien-pasien di institusi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kadar TNF pada pasien malaria. Namun, pada pasien dengan AIDS, kadar TNF justru menurun. Salah satu penjelasan akan terjadinya penurunan mortalitas pada anak-anak dengan malaria dan AIDS adalah adanya penurunan kadar TNF yang memberikan efek protektif terhadap malaria.10 Eckwalanga mengatakan bahwa AIDS yang menginfeksi mencit telah terbukti memberikan efek proteksi terhadap beratnya manifestasi serebral
MEDICINUS 24(1), January 2011
original article
malaria, dan proteksi ini meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi infeksi virus dan imunodefisiensi. Interleukin-10 dari sel-T splenik tampaknya memegang peranan di sini.11 Salah satu hal yang menarik pada kasus ini adalah bagaimana seorang penderita HIV dapat tinggal dan bekerja di Papua, suatu daerah yang sangat endemis malaria, selama 5 tahun, tanpa profilaksis, dan tidak pernah mengalami gejala malaria sekali pun. Saat pasien masuk untuk di rawat di RSCM pun, pasien sudah mengalami demam selama 9 hari, terinfeksi malaria falciparum, tanpa mengalami malaria berat. Hitung CD4 pada pasien ini (109) tampaknya bukan merupakan suatu faktor risiko untuk terjadinya malaria berat. Dan bahkan, jika menilik kedua literatur di atas, hal ini malah menjadi faktor proteksi terhadap terjadinya malaria berat. Fakta ini memang masih belum terbukti dengan jelas dan masih abu-abu, namun menjadi sangat menarik untuk digali lebih lanjut pada penelitian-penelitian berikutnya, baik in vitro maupun in vivo.
KESIMPULAN Pada studi kasus ini kita dapat mempelajari adanya bahwa proses mendiagnosa suatu keluhan sesimpel demam, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Banyak kesalahan diagnosa yang seringkali terjadi, apalagi jika demam ini terkait dengan suatu penyakit imunokompromais, salah satunya yang sedang mewabah saat ini adalah SIDA. Gejala demam telah memiliki banyak diagnosa banding, apalagi pada
case report
pasien-pasien dengan HIV positif atau bahkan SIDA, dimana banyak infeksi oportunistik maupun efek samping obat yang dapat ditimbulkannya. Adanya anggapan para peneliti yang mempostulasikan bahwa HIV merubah presentasi klinis malaria itu sendiri telah mempersulit dokter dalam proses mendiagnosa, sehingga dibutuhkan ketelitian dan pemeriksaan yang komprehensif. Ditambah lagi dengan banyaknya kemungkinan infeksi oportunistik, adanya pasien dengan malaria parasitemia asimptomatik pada penduduk area endemis, serta tingginya beban kerja, keterbatasan sumber daya dan fasilitas diagnostik dan keilmuan yang dimiliki oleh para klinisi di daerah-daerah endemis malaria, semakin menghambat proses diagnostik malaria dan menambah tingkat kesalahan diagnosa. Satu penelitian yang dilakukan oleh Berg yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara gejala, tanda, maupun hasil laboratorium antara pasien-pasien malaria pada HIV positif dan HIV negatif, memberikan kelegaan bagi para klinisi untuk dapat mendiagnosa malaria dengan lebih baik. Namun demikian adanya beberapa penelitian yang menyatakan adanya efek protektif dari infeksi HIV positif terhadap infeksi malaria, justru memberikan harapan baru bagi pengidap HIV positif yang tinggal di daerah endemis malaria, dan membuka peluang untuk penelitian-penelitian terhadap pengaruh koinfeksi malaria pada pasien SIDA, maupun koinfeksi SIDA pada pasien malaria asimtomatik dan hubungan antara kedua penyakit tersebut.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Idemyor V. Human immunodeficiency virus (HIV) and malaria interaction in sub-Saharan Africa: the Collision of Two Titans. HIV Clin Trials 2007; 8(4):246–53 WHO. Malaria. Wkly Epidemiol Rec 1982-1997; 74:265-72 WHO. World Malaria Report 2008. Downloaded at March 10th, 2009, Available from: http://www.who.int/malaria/ Suri V, Bhalla A, Sharma N, Jain S, Varma S. HIV Immunosupression and malaria: Is there a correlation? Indian J Med Sci. 2006; 9 (60):376–9 Byakika-Kibwika P, Ddumba E, and Kamya M. Effect of HIV-1 infection on malaria treatment outcome in Ugandan patients. African Health Sciences 2007; 6(7): 86–92 UNAIDS. 2008 Report on the Global AIDS Epidemic. 2008. Downloaded at March 10th, 2009. Available from: http://www. unaids.org Cohen C, Karstaedt A, Frean J, Thomas J, Govender N, Prentice E, et al. Increased prevalence of severe malaria in HIV-infected adults in South Africa. Clin Infect Dis 2005; 41:1631-7 Berg A, Patel S, Langeland N, Blomberg B . Falciparum malaria and HIV-1 in hospitalized adults in Maputo, Mozambique: does
HIV-infection obscure the malaria diagnosis? Malaria Journal 2008, 7:252. Downloaded at March 10th, 2009. Available from: http://www.malariajournal.com/content/7/1/252 9. Division of Parasitic Diseases, National Center for Zoonotic, Vector-Borne, and Enteric Diseases (ZVED). Malaria: Diagnosis. Departement of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. Downloaded at March 10th, 2009. Available from: http://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_ treatment/diagnosis.htm 10. Dayachi F, Kabongo L, Ngoie K; International Conference on AIDS. Decreased mortality from malaria in children with symptomatic HIV infection. Int Conf AIDS. 1991 Jun 16-21; 7:164 11. Eckwalanga M, Marussig M, Tavares MD, Bouanga JC, Hulier E, Pavlovitch JH, et al. Murine AIDS protects mice against experimental cerebral malaria: down-regulation by interleukin 10 of a T-helper type 1 CD4+ cell-mediated pathology. Institut National de la Santé et de la Recherche Médicale, Unité 313, Département de Parasitologie, Paris, France. Proc Natl Acad Sci U S A. 1994 Aug 16; 91(17):8097-101 8058763
MEDICINUS 24(1), January 2011
33
technology
Formulation Technology of Phytopharmaceuticals Achmad Fudholi
Laboratory of Pharmaceutical Technology Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRAK The proper design and formulation of a dosage form requires consideration of the physical, chemical and biological characteristics both of the drug substances and pharmaceutics ingredients to be used in fabricating the product. The drug and pharmaceutics material utilized must be compatible with one another to produce a dosage forms product that is safe, effective and acceptable. The formulation of traditional medicinal drugs consist of medical plants that can be considered to include all plant materials such as foliage, root, flower, fruit and seed which may be used as such or in the form of their extracts. The formulation of phytopharmaceutical raw material into dosage forms is a complex operation which cannot be regarded only as a problem of pharmaceutical technology. It is more demanding in that it calls for close collaboration between manufacturer and formulator especially of extract based products. The problem of controlling extract has two aspects; those are pharmaceutical technology and phytochemical aspects.
INTRODUCTION Drugs, in the form of vegetation and minerals, have existed longer than man himself. The use of drugs, crude though they may have been, for the instinct of primitive man to relieve the pain of a wound by bathing it in cool water or by soothing it with a fresh leaf. From experience primitive man would learn that certain therapy was more effective than others, and from the beginnings the practice of drug therapy began. Due to the patience and intellect of the archeologists, the types and specifics drugs employed in the early history of drug therapy are not indefinable as one might suspect. The most famous of these surviving memorials is Papyrus Ebers, a continuous scroll some 60 feet long and foot wide dating back to the 16th century before Christ. The text of Papyrus Ebers is dominated by drug formulas, with more than 800 formulas or prescriptions being described and over than 700 different drugs being mentioned. The drugs referred to are chiefly botanic, although mineral and animal drugs are also noted. Throughout history many individuals have contributed to the advancement of natural product in the health sciences. Dioscorides (1st century AD), a Greek physician and botanist described some of drugs such as opium, ergot and hyoscyamus. He identified and collected natural of drugs and proposed the methods of their proper storage, and the mean of detecting adulterants or contaminants. Claudius Galen (130-200 AD), described descriptions of numerous drugs of natural origin with a profusion
34
of drug formulas and methods of compounding. Many preparations of vegetable drugs by mixing or melting the individual ingredients was once commonly referred to as “Galenic pharmacy”. French pharmacist such as Joseph Pelletier (1788–1842) and Joseph Caventou (1795–1877) , they isolated quinine and cinchonine from cinchona, and strychnine and brucine from nux vomica. After then the extraction and isolation of various active constituents from crude natural drugs were major breakthroughs in the development of concentrated dosage forms of uniform strength containing effective therapeutics agents from natural drug. Old pharmacists were concerned with the preparation and dispensing of drugs. At the time practically all drugs were of natural product this comprised both the collection of raw material and the manufacture of preparations thereof. Nowadays the raw materials are of quite different nature, chemical compounds made synthetically or isolated from natural products and purified. The modern dosage forms concentrate fully on making dosage forms from materials purchased from elsewhere. The formulation that should be developed should show to full advantage the medicinal qualities of the raw materials. It is possible to improve the biological quality of a drug substance in human by the application of special techniques or by the choice of specific auxiliary substances. All factors which contribute directly or indirectly to the quality of medicament can describe by: the safety, the effectiveness and the acceptability of the product. A drug is safe when it does not give rise to any undesired sideeffect, when it used in the therapeutically required
MEDICINUS 24(1), January 2011
technology
dosage and the effectiveness of a drug describes as its biological activity in animals or in men. Both safety and effectiveness are primarily a quality of drug substance to show that they are not of prime interest within the scope of pharmaceutical technology. Acceptability of a drug is a more complex notion since it comprises both properties which make it easier to take a medicine, such as its taste, its smell, its appearance and qualities contamination.1 DOSAGE FORM DESIGN Drug substances are seldom administered alone, but rather as part of formulation in combination with one or more nonmedical agents that serve varied and specialized pharmaceutical functions referred to pharmaceutical ingredients. The functions of pharmaceutics’ ingredients may be served as: filler, binder, desintegrant, glidant, lubricant, anti adherant, solubilize, suspend, thicken, dilute, emulsify, stabilize, preserve, color, flavor, etc. The proper design and formulation of a dosage form requires consideration of the physical, chemical and biological characteristics both of the drug substances and pharmaceutical ingredients to be used in fabricating the product. The drug and pharmaceutical material utilized must be compatible with one another to produce a dosage forms product that is safe, effective and acceptable. Dosage forms are needed for many reasons as follows: 1. For the protection of a drug substance from the destructive influences of atmospheric oxygen or humidity 2. For the protection of a drug substance from destructive influence of gastric acid after oral administration 3. To conceal the bitter, salty, or offensive taste or odor of a drug substance 4. To provide liquid preparations of substances that are either insoluble or unstable in the desired vehicle 5. To provide clear liquid dosage forms of substances 6. To provide time-controlled drug action 7. To provide optimal drug action from topical administration sites 8. To provide for the insertion of a drug into one of the body’s orifices 9. To provide for the placement of drugs directly into bloodstream or into body tissues 10. To provide for optimal drug action through inhalation therapy. Before formulating a drug substance into dosage form, it is important to predetermine the desired
product type insofar as possible in order to establish the framework for product development. Most commonly, a pharmaceutical manufacturer prepares a drug substance in several dosage forms and strengths for the efficacious and convenient treatment disease. The formulation of modern drug that best meet the goals for the product, normally consist of one active substance in combination with one or more pharmaceutical ingredients , and there are several dosage forms into which a combination active substances are needed.2 Active substance should be checked for identity, purity and potency, prescription for which can be found in pharmacopoeias or comparable compendia. Sometimes these prescriptions have to be completed with specific ones when special requirements have to be set for the preparations to be made of these. Modern drug treatment uses preparations that are frequently prepared by manufacturer and which require no further manipulation in the pharmacy. Most modern drugs are available in tablets, capsules or injections. The efficacy of the drug in the body depends on the dose of active substance. The dose of a drug has been appropriately described as amount which is “enough but not too much”, the idea being to produce the drug’s optimum therapeutic effect in a particular patient with the lowest possible dose. The dose of a given drug is specific to the patient, with many factors contributing to its size and effectiveness. Table 1 presents examples of some drugs with relatively low usual doses. Table 1. Examples of some drugs with relatively low usual doses3 No.
1
Drug
Lithium carbonate
Usual dose (mg)
Category
300
Antidepressant Hematinic
2
Ferrous sulfate
300
3
Cimetidine
300
Antiulcer
4
Ibuprofen
300
Antiinflamatory Antibacterial
5
Amoxicillin
250
6
Erithromycin
250
Antibacterial
7
Nitrofurantoin
100
Antibacterial Analgesic
8
Propoxyphene HCl
65
9
Hidrochlorothia-zide
50
Diuretic
10
Codeine phosphate
30
Analgesic
11
Phenobarbital
30
Sedative
12
Diphenhydramine HCl
25
Antihistaminic
MEDICINUS 24(1), January 2011
35
technology
products ranging from parts of plants, through their simple extracts. As the natural drugs are derived from heterogeneous source they are subject to variability. 14 Prednisolon 5 AdrenocorticalThis variability can have both an advantageous and steroid disadvantageous effect. The advantages are that 15 Chlorpheniramine 4 Antihistaminic some control of variability can be introduced to promaleat duce a superior product. For example, the selection 16 Colchicine 0,5 Gout supressant of particular varieties of cinchona raised the average quinine content of bark drug from 5 percent to 15 17 Nitroglycerin 0,4 Antianginal percent. The main disadvantages are that the acti18 Digoxin 0,25 Cardiotonic vity of the material may vary and that inferior mate19 Levothyroxine 0,1 Thyroid rial may be produced. For example, the alkaloid level 20 Ethinyl estradiol 0,05 Estrogen in the basal leaves of belladonna falls from April to June, whilst there is a concurrent increase in the leaf size which keeps the total alkaloid per plants almost In the other hand, the formulation of traditional constant. The level quinine in Chinchona ledgeriana medicinal drugs consist of medical plants that can grown in Java increases markedly for the first five be considered to include all plant materials such as years and then falls slowly. foliage, root, flower, fruit and seed which may be Main extrinsic factors which are involved in deused as such or in the form of their extracts. These termining the morphological aspects of a plant and plants are closely related to those that produce stithe production of active compounds is described as mulants, condiments, spices, essential oils, and such follows: (Wijeskera) other higher forms of plant life that produce specific A. Climatic and geophysical factors influences on cell metabolism. The drugs derived 1. Temperature is the major factor controlling the from plants continue to be a valuable source of thedevelopment and the metabolism of plants: rapeutic agents in the armory of modern medicine temperature periodic effects, seasonal variaitself. Some phytochemical agents (Table 2) currenttions. ly employed in modern medical formulations. 2. Light (intensity, radiation In any case, many traditional remedies are still wavelength) in therapeutics use, including drugs as such, or ex3. Rainfall, water supply 4. Altitude Table 2. Some phytochemical agents currently employed in modern medi5. Wind 4 cal formulations 6. Soil (physical, chemical, and Compounds Plant species Compounds Plant species microbiological properties, Digitalis purpurea Lanatosides Adonis vernalis Adenoside presence of pesticides) Physostigma venenosum Physostigmine Rauwolfia vomitoria Ajmaline 7. Nutrition conditions, including Cinchona species Quinine Brucea species Brucine materials. 13
Morphine sulfate
Curcumin Hyoscyamine
Curcuma longa Datura metel
10
Narcotic analgesic
Strychnine Thepbromine
Strychnos nux-vomica Theobroma cacao
tracts prepared in accordance with pharmacopoeia of the country where they are used or according to the requirements of use in the pharmaceutical forms for which they are intended. All these preparations, when therapeutically used in man, whether as drugs or their derivatives, must comply with the requirements of constancy, stability, purity, limits of residual solvents, and pesticides. This is the source of manufacturing problems that are often difficult to solve. The crucial stages in the process are, as a rule, the choice of raw materials and the procedure of extraction.
RAW MATERIALS Natural drug raw materials are a diverse group of
36
B. 1.
Biotic factors Fungal, bacterial, and
viral infections 2. Presence of insects or deposition of eggs 3. Grazing, browsing, and trampling, fire 4. Planting density 5. Competition with other plants species. C. Ontogenic factors and seeding times Their influence described mainly in the case of medicinal plants containing essential oils and alkaloids. D. Genetic factors A plant population is dynamic entity. Its geographical repartition could be different from one year to another. There is a series of herbal drugs used on their own, they care called “mono- valent drug”: exam-
MEDICINUS 24(1), January 2011
technology
ples of these are: caryophilli flos, chamomile flowers, peppermint leaves, etc. Caryophylli flos, is a drug consist of the dried buds, dark brown, 12–17 mm long, and has a strongly aromatic odor, pungently spicy. The drug constituents are: 15% to more than 20% essential oil with eugenol as the main component, a little eugenol acetate, β-caryophyllene and its oxide, α humulene and its epoxide, flavonoids (quercetin and kaemferol derivatives), tannins, Gallic acids and sterol glycosides.5 The drug is used primarily as a spice. The essential oil has marked antibacterial activity and used as an antiseptic in dentistry. Besides these single herbal drugs, a few of which may also be intended for internal use in powder form, e.g. cucurbita seeds, ratanhia root, etc., in practice herbal mixtures also have a major role to play. These are mixtures which are either prepared in the pharmacy or industrially, comprising several drugs often belonging to the same indication group, to which are added other drugs which assist the action or are included to correct the taste. It is a good pharmaceutical rule that herbal mixture should consist of only a few, about 4–7 drugs. The composition of herbal mixtures with 20–30 drugs, which are prepared by a number of manufactures, represents an attempt at treatment with many drugs below therapeutically useful levels, which is likely to be of little help. If the dosage forms consisting of herbal mixtures is consumed by a patient, the patient would receive a lot of active substances, each of which has different pharmacological effects. The choice of the extraction solvents is an important factor in finished product quality, and the choice of drug is pivotal. The drug must first be thoroughly checked before extraction as far as botanical, phytopathological, and chemical aspects are concerned. One needs to consider that plants normally contain several active substances, and in certain ratio to one another. Present regulations require that this ratio be kept, within narrow limits, constant from one preparation to another, which means starting from an already standardized raw material. To attain this objective, if the plant to be extracted is still harvested in the wild, the area of origin, time of harvesting, the condition of drying and of storage must be specified, and in the extraction stage several batches must be combined to achieve a homogeneous mix. The extraction of a drug is the separation by physical or chemical means of a solid or liquid material from a solid. Normally, when an operation is performed with solvents for extracting the vegetable material, it is called solid/liquid extraction. Every extractive procedure that leads to concentration equilibrium stops when the distribution of extract-
able substances between solvent and residual drug is constant. The parameters influencing extraction are: 1. Swelling of the drug Pretreatment of the ground drug with solvent outside the extractor is a rule indispensable, to avoid sudden swelling of the drug, to ensure uniform moistening at the material, and to increase the porosity of the cell wall. 2. Diffusion, pH, particle size and temperature For the extraction of a substance from vegetable material the solvent must diffuse into the cell and in its turn the substance must be sufficiently soluble in the solvent. Equilibrium will be established between solute and solvent, the speed of with which it is attained depending on temperature, pH, and particle size. 3. Choice of extraction solvent The ideal solvent is obviously one of that presenting maximum selectivity, has the best capacity for extraction in terms of coefficiency of saturation of the product in the medium and is compatible with the properties of the material to be extracted. Ethyl alcohol is the solvent of choice according to the pharmacopeias for obtaining classic extracts such as soft, fluid and dry extracts still widely used in pharmaceutical formulations. As these solvents have a great extractive power, the ideal alcohol/water ratio for the extraction of plants woody parts or barks, roots and seeds is about 7:3 or 8:2, whereas it must be lower than 1:1 for extracting leaves or aerial green parts. With an alcohol/water ratio of 1:1 it is possible to avoid the extraction of chlorophyll, or resinous or polymeric substances that are normally of no importance to the activity of the extract but that greatly complicate the subsequent stage of concentration by giving rise to gummy precipitates that are hard to eliminate, and push serious problems of phytopharmaceutical formulation. PHYTOPHARMACEUTICAL FORMULATION The formulation of phytopharmaceutical raw material into dosage forms is a complex operation which cannot be regarded only as a problem of pharmaceutical technology. It is more demanding in that it calls for close collaboration between manufacturer and formulator especially of extract based products. The problem of controlling extract has two aspects; those are pharmaceutical technology and phytochemical aspects. The types of tests to be done on an extract are essentially three: for the determination of the physi-
MEDICINUS 24(1), January 2011
37
technology
cal characteristics, for chemical characteristics such as qualitative and quantitative standardization, and for potential impurities, and total aerobic microbial count. All three types of test are relevant at the time of formulation into dosage forms. The testing of physical properties of soft extracts determines formulation into dosage form, and its testing of chemical properties influencing the method of fabrication. For the preparation of solid dosage forms mostly dry extracts are used. Except in rare cases, dry extracts are hygroscopic and so they cannot be used without prior granulation for preparing tablets. Granulation is thus the critical stage in the process of preparing all solid dosage forms containing extracts. To overcome the problem of hygroscopic, Aerosil, a high porosity excipient, is widely used. Further when operating with wet granulation, it is advisable to use binders such us cellulose derivatives or polyvinylpirolidon in solution with organic solvents. If aqueous solutions of cellulose derivatives, gum arabic, gelatin, or aqueous gel such as starch mucilage are used, several problems may arise in the course of processing, especially if the formulation involves large quantities of extracts. The steps required in the preparation of tablets from soft extracts by wet granulation are shown in schematic diagram as follows:
appropriate excipients it is possible to obtain by direct compression, without further manipulation. In these cases, tablet obtained are technologically satisfactory in terms of hardness, friability and disintegration time. The excipients most commonly used for this purpose are microcrystalline. Fluid, soft, or dry extracts may be used for preparing liquid dosage forms that are undoubtedly far more difficult to prepare than solid dosage forms. While the main problem with the latter is the hygroscopic of the extracts used, with liquid dosage forms there is the problem of solubility of the extracts. Variation in the pH can definitely improve the solubility and stability of some extracts. The stability, both chemical and physical of a liquid dosage forms is affected by other factors, for example, the possibility of fermentation and interference with other component of the finished product.
CONCLUSION For the conclusion, it can be noted that: the formulation and fabrication of phytopharmaceutical into dosage forms is a complex operation which cannot be regarded only as a problem of pharmaceutical technology. It is need more close collaboration between manufacturer and formulator especially of extract based products. The source of manufacturing problems those are often difficult to solve as the crucial stages in the process are the choice of raw materials and the procedure of extraction. Problems involved in phytopharmaceutical fabrication depend on the type of dosage forms produced. It means that for powdered in sachet are focused is on fluidity and homogeneity combination of raw materials, for tablets these must be ensure both the fluidity and compressibility of active substances and pharmaceutical ingredients used.
Daftar Pustaka
1.
Sugar or saponins, frequently present as secondary components of extracts, dissolve in water used for mixing and form granules that are difficult to dry during the drying process, very hard flakes of glassy appearance, making granules hard to compress. Another snag found in granulation with aqueous solutions is the formation of compressed tablets that are difficult to disintegrate. With dry extracts, after dry mixing with
38
2. 3. 4. 5. 6.
Polderman J. Introduction to pharmaceutical production. Novib, The Hague; 1990 Lieberman HA, Lachman L. Pharmaceutical dosage forms, tablets. Vol. 2, New York & Basel:Marcel Dekker, Inc.; 1985 Ansel HC, Popovich NG and Allen LV. Pharmaceutical dosage forms and drug delivery systems. Lea & Febiger Book. Baltimore, Philadelphia; 1995 Bisset NG and Wichtl M. Herbal drugs and phytopharmaceuticals. 2nd ed. Stutgart:Medpharm GmbH Scientific Publisher; 2001 Brain KR, Turner TD. The practical evaluation of phytopharmaceuticals. Bristol:Wright-Scientechnica; 1975 Wijeskera ROB. The medicinal plant industry. INTECNOS Associates, International; 1991
MEDICINUS 24(1), January 2011
technology
Pengaruh Bahan Tambahan atau Eksipien dalam Sediaan Farmasi Bagi
Keamanan Terapi Obat Sugiyartono
Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga Surabaya
ABSTRAK Obat yang diserahkan kepada pasien harus terjamin keamanan, kualitas dan kemanfaatannya. Keamanan suatu obat dapat dipengaruhi oleh bahan aktifnya maupun bahan tambahan atau eksipien obat tersebut. Pengaruh eksipien terhadap keamanan obat saat ini menjadi perhatian oleh karena perkembangan teknologi dan formulasi. Walaupun formulator di Industri Farmasi telah memilih eksipien yang aman bagi obat yang diproduksi, namun tenaga kesehatan di sektor pelayanan, khususnya para apoteker, harus memahami masalah ini dan melakukan pengamatan serius terhadap pengaruh eksipien, oleh karena ada efek individual yang mungkin terjadi, misalnya alergi, pengaruh umur ( dewasa, anak-anak) dan sebagainya . Untuk mencegah terjadinya pengaruh yang tidak diinginkan dari eksipien ini, perlu adanya informasi dalam brosur/kemasan obat, home-care dan pendokumentasian pelayanan (PMR). Kata kunci: eksipien, keamanan obat, informasi pada brosur, home-care, PMR
PENDAHULUAN Bahan tambahan atau eksipien, berasal dari kata latin yakni: excipere, yang berarti menerima atau menggabung. Pada tahun 1957, eksipien didefinisikan sebagai bahan yang digunakan sebagai untuk media bahan obat dan mempunyai fungsi pendukung yang inert terhadap bahan aktif. Pada tahun 1974, definisi eksipien diperbarui, yakni: bahan yang lebih kurang inert, yang ditambahkan untuk menghasilkan konsistensi sediaan farmasi yang sesuai, atau untuk membentuk obat (pengisi). National Formulatory (NF) 1994 menyatakan bahwa eksipien adalah semua bahan yang ada dalam formula sediaan farmasi, kecuali bahan aktif. Terdapat berbagai jenis eksipien, diantaranya adalah: bahan yang mencegah terjadinya oksidasi bahan aktif (antioksidan), menghambat pertumbuhan mikroorganisme (antimikroba atau pengawet), pengatur pH sediaan (buffer), pembuat isotoni, menstabilkan emulasi (emulgator), menambah kelarutan obat (kosolven) dan sebagainya. Dengan demikian, eksipien mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan juga untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam menggunakan obat, kemudahan dalam pengaturan dosis, penyim-
panan obat, dan sebagainya. Oleh karena keamanan eksipien juga harus menjadi pertimbangan, maka formulator di Industri farmasi harus melakukan kajian yang cukup mendalam untuk menentukan jenis eksipien yang akan ditambahkan dalam sediaan farmasi yang diproduksi. Selain itu, kemungkinan terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat eksipien juga harus senantiasa diwaspadai dan diperhatikan. Saat ini sudah mulai ada pemahaman mengenai pentingnya memperhatikan aspek keamanan dari eksipien ini, walaupun masih didominasi oleh penelitian eksipien pada industri makanan, seperti: antioksidan, pewarna, pemanis dan sebagainya.
PENGARUH EKSIPIEN TERHADAP KEAMANAN TERAPI OBAT Eksipien, seperti halnya obat (bahan aktif dalam sediaan farmasi), juga mempunyai aktivitas termodinamika, sehingga walaupun rendah, tetap memiliki pengaruh pada reaksi degradasi dan interaksi dengan bahan obat. Pengaruh eksipien ini tentunya sudah dipertimbangkan para formulator di indutri farmasi, ketika melakukan studi praformulasi. Beberapa contoh interaksi antara eksipien dengan bahan obat adalah lubrikan (pelincir) lipofilik,
MEDICINUS 24(1), January 2011
39
technology
yang bila didispersikan secara halus pada bahan obat dapat menurunkan disolusi bahan obat. Kelompok karbonilat, misalnya polivinilpirolidon, dapat berinteraksi dengan bahan obat yang termasuk dalam golongan donor hidrogen misalnya famotidine dan atenolol. Formulator tentu tidak akan menggunakan eksipien yang dapat berinteraksi dengan bahan obat, karena akan berpengaruh pada kualitas sediaan farmasi. Pemilihan eksipien yang tidak menimbulkan interaksi dengan bahan obat, dilakukan dengan menggunakan uji DSC (differential scanning calorimetry) dan TLC (thin layer chromatography) dengan skema sebagai berikut :
Antioksidan golongan sulfit (Na/K Bisulfit, K Metabisulfit, Na Sulfit dan sebagainya) banyak digunakan pada industri farmasi dan makanan, dan dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada individu yang peka. Hipersensitivitas dapat ditandai dengan munculnya bronkhokonstriksi, pruritus, urtikaria, nyeri dada atau sesak napas, angioderma dan hipotensi yang dapat mengakibatkan unconsciousness. Hal ini dapat dialami oleh penderita yang mempunyai riwayat asma. Walaupun jarang, senyawa golongan sulfit juga dapat menyebabkan terjadinya paradoxical bronchospasm. Eksipien golongan alkohol : - Etanol: interaksi obat, intoksikasi ethanol (25
(Diterjemahkan dari Aulton, 2002)
Selain interaksi dengan bahan obat, eksipien juga dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki, baik efek yang terjadi secara umum maupun yang mungkin terjadi secara spesifik hanya pada individu tertentu. Efek yang terjadi secara umum biasanya timbul sebagai akibat penggunaan eksipien yang melebihi batasan yang ditetapkan. Eksipien seperti halnya obat atau bahan lainnya, mempunyai kemungkinan menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila digunakan dengan jumlah yang melebihi batasan tertentu. Berikut adalah contoh eksipien golongan fenol dan efek samping yang dapat terjadi: - Vaselin: iritan dan dermatitis - Bakterisidal-fungisidal: iritan - Pengawet: contact dermatitis - Paraben: kontak dermatitis - Butilhidroksi toluene (BHT) dan butilhidroksi anisol (BHA): animal toxicity - Antioksidan: contact dermatitis - Antioksidan: pruiritis, sensitisasi
40
-
-
mg/dl), Benzil-alkohol: pada dosis rendah (0,9-2,0%: sebagai preservatif) memberikan efek pada system neurologi dan pada dosis yang lebih tinggi (>5%, sebagai solubilizer) dapat menyebabkan terjadinya sindroma fatal pada bayi prematur 99-234 mg/kg/hari. Pengawet golongan merkuri, misalkan thiomerosal, sebagai pengawet dan desinfektan pada contact lens, ternyata dijumpai banyak menyebabkab terjadinya hipersensitivitas (10% pada pengguna contact lens).
Eksipien golongan hidrokarbon terhalogenasi, misalkan chlorbutol (antimikroba), dapat berpengaruh pada penurunan tekanan darah, efek terhadap susunan saraf pusat, seperti somnolence. Efek samping khusus akibat penggunaan eksipien dapat terjadi walaupun jumlah eksipien yang digunakan tidak berlebih. Hal ini terkait dengan karakter spesifik dari subyek atau individu yang bersangkutan, seperti keadaan patologi yang ditransmisikan secara genetik (penyakit metabolisme,
MEDICINUS 24(1), January 2011
technology
intoleransi terhadap terhadap phenylketonurea dan laktosa), predisposisi genetika (diabet dan alergi). Beberapa eksipien, diantaranya adalah tartrazin, dapat menyebabkan terjadinya kasus intoleransi pada beberapa individu, khususnya yang mempunyai riwayat alergi dan juga intoleransi. Pelarut golongan minyak bagai pembawa sediaan injeksi juga dapat menyebabkan alergi pada beberapa individu, sehingga eksipien tersebut harus dicantumkan pada brosur atau kemasan obat jadi. Bahan pewarna, yang berasal dari alam ternyata mempunyai efek samping yang lebih banyak terjadi. Sebagai contoh sirup antibiotika tertentu, dapat menyebabkan terjadinya abdominal pain dan nausea serta muntah, karena adanya tingtur of orange sebagai flavour. Penambahan bahan pewarna dan bahan perasa ke dalam formulasi harus memperhatikan adanya kemungkinan individu yang alergi. Eksipien yang digunakan dalam sediaan farmasi yang dikonsumsi anak juga harus diperhatikan karena ada kemungkinan eksipien yang aman bagi pasien dewasa, tetapi tidak diperbolehkan untuk anak. Sebagai contoh: benzalkonium klorida (pengawet yang banyak digunakan pada sediaan parenteral) dapat menyebabkan terjadinya spasme pada bronkus, pemanis aspartam menyebabkan terjadinya sakit kepala, pemanis sakarin dapat menyebabkan terjadinya hipersensitifitas pada penggunaan sulfonamida, laktose seringkali menyebabkan terjadinya intoleransi karena adanya pengaruh fisiologis dari aktivitas laktase pada orang dewasa dan propilen glikol dapat menyebabkan terjadinya hiperosmolalitas dan asidosis laktat .
KESIMPULAN Walaupun efek samping eksipien umumnya hanya terjadi pada individu tertentu dan data angka kejadian akibat efek samping dari eksipien ini memang belum ada, namun tidak berarti bahwa pengaruh eksipien terhadap keamanan terapi obat ini dapat diabaikan. Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan yang bertanggung jawab terhadap kualitas, keamanan dan kemanfaatan obat, mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan pelayanan seleksi obatkepada masyarakat. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat kita telaah bersama, yakni: 1. Industri Farmasi perlu mencantumkan data eksipien (minimal jenis eksipien) yang digunakan, pada brosur atau kemasan sediaan farmasi, se-
hingga apoteker di sektor pelayanan (apotik dan rumah sakit) dapat menentukan apakah obat yang akan dilayankan kepada masyarakat terjamin keamanannya, ditinjau dari bahan aktifnya, maupun dari eksipien. Termasuk, ketika apoteker melayani permintaan dokter dalam bentuk puyer, apoteker dapat memilihkan sediaan yang aman untuk dibuat puyer bagi pasien, dan tidak menggerus sediaan tablet dewasa yang mengandung eksipien yang tidak bisa dikonsumsi oleh pasien anak. Untuk keperluan pencantuman jenis eksipien oleh Industri Farmasi, tentunya memerlukan keterlibatan Pemerintah (badan POM). 2. Apoteker di apotik atau rumah sakit perlu melaksanakan monitoring terapi obat dari pasien yang dilayani (home-care), sehingga keberhasilan, kegagalan atau hal lain yang dialami pasien ketika melaksanakan terapi obat dapat dipantau sehingga apoteker dapat membantu pasien dalam melaksanakan pengatasan permasalahan yang timbul, termasuk saran untuk memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit. 3. Apoteker di apotik dan rumah sakit, perlu melaksanakan dokumentasi pelayanan (Patient Medication Record) yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi pelayanan berikutnya, di samping dapat dijadikan sebagai dokumen yang valid terhadap hasil terapi obat. Patient Medication Record dapat menjadi alibi dan perlindungan hukum bagi para apoteker. Selain itu, data yang terdokumentasi dapat dikirimkan kepada pemerintah sebagai masukan kejadian di lapangan, khususnya efek samping yang terjadi, yang mungkin ditimbulkan oleh eksipien.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.
Aulton,M.E., (Eds.) 2002, Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, 2nd Ed., Edinburgh London New York Philadelphia St Louis Sydney Toronto Blumer, J., 2003. Use of Excipients in Pediatric Formulation-Revisited., School of Medicine Case western Reserve University., Cleveland-Ohio Pifferi G., and Restani P.,2002., The Safety of Pharmaceutical Excipients. Departemen of Pharmaceutical Sciences ., Institute of Pharmaceutical and Toxicological Sciences., Via Balzaretti 9, Milan Italy Rowe, C.R., Sheskey, P.J. and Owen,S.C. (Eds) 2006., Hand Book of Pharmaceutical Excipients , VTh Ed., Pharmaceuical Press and American Pharmacist Association, 2215 Constitution Avenue, NW, Washington Troy D., and Hauber, M.J., (Eds) 2009.,Remington, The Science and Practice of Pharmacy,21Th Ed., Lippincot Williams and Wilkin, 351 West Camden Street, Baltimore, Maryland-USA
MEDICINUS 24(1), January 2011
41
medical review Technologi
Laser for Pigmentary Disorders Ary Widhyasti Bandem Surabaya Skin Centre ABSTRAK Laser semakin populer dalam mengatasi berbagai masalah kulit, seperti untuk eksisi tumor kulit, peremajaan kulit, penghilangan rambut yang tidak diinginkan, penghilangan tato, terapi kelainan vaskular dan berbagai kelainan pigmentasi kulit. Laser yang secara spesifik menghilangkan melanin adalah jenis laser quality switched (QS) seperti QS ruby, QS alexandrite, dan QS Nd:YAG. Secara umum dikatakan bahwa lesi pigmentasi jinak yang berespon baik terhadap laser adalah lentigo, ephelides (freckles), nevus Ota, nevus Ito dan nevus biru; sedangkan lesi café au lait macule, nevus spilus, nevus Becker memberi hasil yang bervariasi. Melasma dan hiperpigmentasi pasca inflamasi memberi respon kurang memuaskan. Variasi efektivitas terapi dengan laser tergantung dari beberapa faktor, seperti: jenis laser yang digunakan, pengalaman dokter dalam penanganan, ketepatan diagnosis kelainan pigmentasi serta faktor pasien dalam menjalani terapi laser.
Laser become more popular in dermatology practice, providing treatment such as tumor excision, resurfacing, unwanted hair removal, tattoo removal, vascular and pigmented disorders. Quality Switched lasers, such as QS Ruby, QS Alexandrite, QS Nd:YAG disrupt melanin specifically at epidermal and dermal level. Lentigenes, ephelides (freckles), Ota and Ito nevus, blue nevus have good results with laser treatment, while café au lait macule, spillus nevus, and Becker’s nevus have inconsistent results. Melasma and post inflammatory hyperpigmentation have unsatisfactory results. The success of laser treatment for pigmented disorders depend on several factors such as; the device used, the operator’s experience, diagnosis of the disorders, and the patient being treated. Keywords: laser, pigmentary disorders
Kata kunci: laser, kelainan hiperpigmentasi
PENDAHULUAN Laser semakin populer dalam mengatasi berbagai masalah kulit, seperti untuk eksisi tumor kulit, peremajaan kulit, penghilangan rambut yang tidak diinginkan, penghilangan tato, terapi kelainan vaskular dan berbagai kelainan pigmentasi kulit. Berbagai kelainan pigmentasi yang pernah dilaporkan dapat diterapi dengan laser antara lain: lentigo, ephelides (freckles), café au lait macules, melasma, dan berbagai nevus; walaupun dengan efektivitas dan efek samping yang bervariasi terutama untuk kulit Fitzpatrick tipe IV-VI. Di samping itu pilihan terapi dengan laser ini relatif mahal, dan seringkali laser tidak dapat mengatasi kelainan pigmentasi dalam satu kali kunjungan. Variasi efektivitas terapi dengan laser tergantung dari beberapa faktor, seperti: jenis laser yang digunakan, pengalaman dalam penanganan, ketepatan diagnosis kelainan pigmentasi serta faktor pasien dalam menjalani terapi laser.1-6 Makalah ini membahas tentang berbagai kelainan pigmentasi yang dapat diterapi dengan laser, jenis laser yang dapat digunakan untuk mengatasi kelainan pigmentasi, manfaat dan kerugian penggunaan laser, serta berbagai pendekatan yang perlu dilakukan agar terapi laser ini efektif dalam mengatasi kelainan pigmentasi dalam praktek sehari-hari.
42
PRINSIP DASAR LASER UNTUK TERAPI KELAINAN PIGMENTASI Penggunaan laser untuk terapi kelainan pigmentasi didasari oleh prinsip selective photothermolysis seperti dikemukakan oleh Anderson dan Parrish yaitu: ketepatan sasaran berupa kromofor, ketepatan panjang gelombang laser yang digunakan, durasi yang lebih pendek dari TRT (thermal relaxation time) serta ketercukupan fluence untuk merusak sasaran.1-5 Pada hiperpigmentasi, kromofornya berupa melanin atau melanosom; dan absorpsi energi oleh melanin paling optimal terletak pada panjang gelombang 500-1100 nm, sedang TRT melanin adalah kuadrat dari diameter melanin, yaitu 0.25-1 µsec. Absorpsi energi laser oleh melanin semakin menurun seiring dengan meningkatnya panjang gelombang cahaya, sehingga jenis laser yang dipakai adalah laser dengan panjang gelombang yang dapat merusak melanin dalam melanosit dan keratinosit secara selektif seperti jenis Q (quality) switched. Mekanisme terapi gangguan pigmentasi dengan laser jenis ini dikenal sebagai penghilangan pigmen secara primer. Q-switched mengandung pengertian bahwa laser ini mampu menyimpan energi yang sangat tinggi dalam kavitasnya melalui optical shutter, sehingga saat laser ditembakkan ke target, alat ini akan mengeluarkan energi yang sangat tinggi,
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical review
yaitu 109 watt dalam nano second. Dikenal berbagai jenis laser Q-switched, seperti: laser QS Nd:YAG 1064 Daftar Pustaka nm, frequency doubled QS Nd:YAG 532 nm, laser QS Ruby 694 nm serta laser QS Alexandrite 755 nm.1-5 Laser Q-switched Di antara jenis laser Q-switched yang efektif untuk terapi lesi pigmen epidermis atau tato superfisial adalah frequency doubled QS Nd:YAG 532 nm. Seperti diketahui bahwa laser QS Nd:YAG mengeluarkan gelombang inframerah 1064 nm, yang apabila dipasangkan kristal potassium titanyl phosphate (PTP) seperti pada frequency doubled QS NdYAG 532 nm, akan terjadi penggandaan frekuensi dan menghasilkan panjang gelombang 532 nm yang berwarna hijau. Absorpsi energi laser panjang gelombang 532 nm dengan pulse width ultra short (nanosecond) pada melanin inilah yang menyebabkan laser ini paling baik untuk mengatasi lesi pigmen di epidermis maupun tato superfisial; sedangkan laser QS Nd:YAG 1064, laser QS Ruby 694 nm serta laser QS Alexandrite 755 nm dapat mencapai lesi pigmen yang lebih dalam atau pigmen yang terletak di dermis. Di antara jenis Q-switched untuk kelainan pigmen yang dalam, QS Nd:YAG 1064 nm lebih dipilih untuk pasien dengan kulit gelap karena risiko terjadinya hipopigmentasi lebih kecil dibandingkan QS jenis lainnya.1-5 Laser Continuous Wave dan Laser Lainnya Walaupun laser Q-Switched menjadi pilihan utama untuk mengatasi kelainan pigmentasi, akan tetapi laser continuous wave juga masih dipakai untuk lesi superfisial. Target laser ini adalah air di epidermis dan tidak spesifik untuk melanin, sehingga menyebabkan kerusakan termal yang non spesifik. Mekanisme ini dikenal dengan penghilangan pigmen secara sekunder. Contoh laser ini: laser CO2 (10600 nm), laser erbium (2490 nm), dan laser argon (488 nm, 514 nm); sedangkan laser fractional (1500 nm), pulsed dye laser, long pulsed laser dan intense pulse lights (IPL) walaupun dapat dipakai untuk menghilangkan lesi pigmentasi secara nonselektif, tetapi hasilnya tidak optimal dan tidak dapat dipakai untuk menghilangkan tato.1,2 Pendekatan terapi laser yang baik untuk kelainan pigmentasi, di samping prinsip dasar selective photothermolysis juga harus diketahui letak pigmen dalam struktur kulit, letak melanin di intra atau ekstraselular, kepadatan distribusi melanin dan asal pigmen (melanin atau tato). Secara umum dikatakan bahwa lesi pigmentasi jinak yang berespon baik terhadap laser adalah lentigo, ephelides (freck-
les), nevus Ota, nevus Ito dan nevus biru; sedangkan lesi café au lait macule, nevus spilus, nevus Becker memberi hasil yang bervariasi. Melasma dan hiperpigmentasi pasca inflamasi memberi respon kurang memuaskan karena terapi laser sendiri mempunyai efek hiperpigmentasi pasca inflamasi sebagai efek yang tidak diinginkan.1-2
LESI PIGMENTASI DI EPIDERMIS Secara umum lesi pigmentasi di permukaann seperti epidermis lebih mudah dihilangkan dengan laser daripada yang di dermis. Berikut kelainan pigmentasi di epidermis yang responsif terhadap laser adalah: 1. Lentigo simplek, solar lentigo1-4,7,9,10 Lentigo berupa makula di epidermis bersifat jinak terjadi akibat paparan sinar UV. Melanin pada kelainan ini terdistribusi superfisial yaitu di keratinosit dan melanosit, sehingga lesi ini mudah dihilangkan dengan berbagai laser, seperti laser QS ruby, QS alexandrite, frequency doubled QS Nd:YAG 532 nm, laser CO2, laser erbium dan IPL. Biasanya lentigo dapat diterapi dengan hasil yang memuaskan dalam 1-3 kali sesi. Di antara bermacam-macam jenis laser, terapi solar lentigo dengan laser QS ruby dan QS 532 nm Nd:YAG menduduki level of evidence A. Lesi ini harus dibedakan dengan lesi lentigo maligna, yaitu bentuk premaligna yang tidak dianjurkan untuk diterapi dengan laser karena lesi lentigo maligna mengandung amelanotik melanosit yang tidak suseptibel dengan laser, sehingga sering terjadi kekambuhan. Walaupun demikian Orten SS, dkk dalam jurnal Otolaryngol Head Neck Surg, March 1999, melaporkan 2 dari 8 penderita lentigo maligna yang diterapi QS Nd:YAG laser (532 nm, 1064 nm) dengan dosis 4-11 J/cm2 sebanyak 1 sampai 3 kali sesi memberi respon hilangnya lesi secara total, baik klinis maupun histopatologi serta tidak terjadi rekurensi selama 3,5 tahun. 2. Ephelides1-4,7,11 Ephelides atau freckles adalah makula hiperpigmentasi, ukuran 1-2 mm, terdistribusi pada daerah paparan sinar UV. Histopatologi ephelids berupa hiperpigmentasi di lapisan basal tanpa disertai peningkatan jumlah melanosit. Ephelides sangat responsif terhadap terapi laser QS. Wang dkk., membandingkan efektivitas terapi freckles pada 15 subyek ras oriental antara QS Alexandrite (755 nm), 1 sesi (6,5-7,5 J/cm2), de-ngan IPL (Quantum SR), 2 sesi (26-30 J/cm2 dan 28-32 J/cm2). Hasilnya laser QS ini lebih efek-
MEDICINUS 24(1), January 2011
43
medical review
tif menghilangkan freckles, tetapi 28% kasus mengalami hiperpigmentasi pasca inflamasi yang hilang dalam 3-6 bulan pasca terapi, sedangkan subjek yang diterapi dengan IPL tidak ada yang mengalami hiperpigmentasi pasca inflamasi. Oleh karena lesi ini sering kambuh terutama dengan adanya paparan sinar UV, maka selama perawatan dianjurkan harus selalu memakai tabir surya. 3. Café au lait macules1-7,12 Café au lait macules (CALM) adalah makula warna kecokelatan berbatas tegas, biasanya soliter atau kadang merupakan bagian dari sindrom neurofibromatosis ataupun sindrom Al Bright. Secara histopatologi didapatkan peningkatan jumlah melanosit, hipermelanosis melanosit dan keratinosit dengan granula melanin raksasa. Walaupun lesi CALM relatif tipis dan superfisial, lesi ini sangat sulit untuk dihilangkan. Efikasi terapi laser untuk CALM bervariasi dan hasilnya tidak dapat diprediksi. Shimbasi dkk, melakukan terapi CALM dengan laser QS ruby (594 nm), sebanyak 1-6 sesi terjadi lightening, walaupun dalam follow up 10-21 bulan terjadi repigmentasi. 4. Nevus spilus1-5,13 Nevus ini terdiri dari makula yang berwarna kecokelatan (café au lait macules) yang disertai dengan makula atau papula lebih gelap (junctional melanocytic nevi ataupun campuran). Histopatologi menunjukkan adanya hipermelanosis, pemanjangan rete ridges dan hipermelanositosis di membran basalis. Lesi yang gelap dapat terdiri dari hiperplasia melanositik, nevus melanositik, nevus junctional maupun nevus campuran. Grevellink dkk., melaporkan hilangnya lesi nevus spilus pada 80-100% penderita yang diterapi dengan laser QS ruby, walaupun 1 pasien mengalami rekurensi setelah 2 tahun, dan satu pasien lainnya mengalami rekurensi 3 tahun setelah terapi. Efek samping yang muncul setelah penggunaan laser ini adalah hipo dan hiperpigmentasi. Pada pengamatan juga tampak bahwa bagian lesi nevus spilus yang lebih gelap ternyata lebih responsif terhadap laser dibandingkan lesi yang lebih cerah. LESI PIGMENTASI DI EPIDERMIS DAN DERMIS 1. Nevus Becker1-5,14 Hamartoma ini sering dijumpai pada laki-laki dewasa dengan ratio 4:1 dibandingkan wanita. Lesi berupa hiperpigmentasi disertai hipertrikosis yang terdistribusi unilateral pada bahu, lengan atas, skapula dan badan. Histopatologis
44
adanya hiperkeratosis ringan, akantosis, elongasi pars retikularis dan hipermelanosis di membran basalis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron didapatkan peningkatan ukuran dan jumlah melanosom pada keratinosit di lapisan basal, serta didapatkan melanofag di dermis superfisial. Kadang juga didapatkan pembesaran serat otot halus pada dermis pars retikularis. Terapi dengan laser QS ruby maupun QS Nd:YAG dilaporkan efektif untuk lesi hiperpigmentasi walaupun sering pula terjadi rekurensi. Hal ini diduga karena laser QS tidak dapat mencapai melanin yang terdapat pada rambut. Laser long pulsed yang banyak digunakan saat ini untuk penghilang rambut, dapat menghilangkan lesi hipertrikosis dan lesi hiperpigmentasi pada nevus Becker. Dilaporkan dengan 3 sesi laser long pulsed pada follow up 10 bulan ternyata lesi hilang sampai 90%. Trelies dkk., membandingkan efektivitas erbium: YAG laser dengan QS Nd:YAG untuk terapi nevus Becker, didapatkan bahwa satu pass erbium:YAG (2940 nm), 28 J/cm2, ukuran spot 3 mm, lebih unggul dibandingkan 3 sesi QS Nd:YAG (1064 nm), 10 J/cm2, ukuran spot 3 mm. 2. Hiperpigmentasi pasca inflamasi2,4,15 Hiperpigmentasi pasca inflamasi dapat berupa hiperpigmentasi pada epidermis, dermis maupun kombinasi. Terapi dengan laser tidak dapat diprediksi, tidak konsisten, dan sering tidak memuaskan. Pada area yang luas dianjurkan trial spot test sebelum seluruh lesi diterapi. Energi yang dikeluarkan oleh laser QS Nd:YAG 532 nm untuk lesi epidermal dianjurkan sebesar 2,5-4 J/cm2 dengan ukuran spot 2 mm; sedangkan untuk lesi dermal dipakai QS Nd:YAG 1064 nm 10-12 J/cm2. 3. Melasma1-4,6,7,16 Melasma dibagi menjadi tipe melasma epidermal, dermal dan kombinasi epidermal dan dermal. Tipe epidermal responsif terhadap laser QS Nd:YAG 532 nm pada 2,5-3,5 J/cm2, ukuran spot 2 mm, sedangkan melasma tipe dermal sering tidak memuaskan, karena terjadi hiperpigmentasi pasca inflamasi dan mudah terjadi rekurensi. Pada melasma refrakter, Polnikorn melaporkan hilangnya lesi sampai 80% dan tidak terjadi rekurensi selama 18 bulan pada penggunaan QS Nd:YAG 1064 nm (Medlite C6) 3,4 J/cm2, ukuran spot 6 mm, setiap minggu, selama 10 kali. 4. Nevus melanositik1-6,17 Terapi dengan laser masih kontroversial karena tidak jelas apakah iradiasi laser yang nonletal dapat menyebabkan perubahan keganasan pada nevus melanositik. Walaupun perubahan keganasan karena terapi laser belum pernah
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical review
dilaporkan, tetapi sementara waktu terapi laser disarankan hanya untuk lesi yang jelas jinak, dan bila dicurigai ada keganasan maka sebaiknya dilakukan biopsi. Terapi laser tidak disarankan pula untuk pasien yang mempunyai riwayat keluarga melanoma maligna. LESI PIGMENTASI DI DERMIS 1. Nevus Ota dan Ito1-6,18,19 Nevus Ota adalah hamartoma melanositik dermal yang disertai warna kebiruan pada regio trigeminus. Sedangkan Nevus Ito, distribusinya pada bahu dan lengan atas sesuai dengan inervasi nervus supraklavikula dan branchialis lateral. Secara histopatologis terdapat melanosit dermal yang tersebar pada dermis bagian atas, sehingga terapi dengan laser pigmen yang dapat mencapai dermis seperti QS Nd:YAG 1064 nm, QS Ruby dan QS Alexandrite sangat efektif untuk nevus Ota dan Ito. Terapi biasanya memerlukan 4-10 kali sesi, dan hilangnya lesi mencapai 70-100 persen dengan rekurensi hanya 0,6-1,2%. 2. Nevus biru1-4 Lesi melanositik jinak berwarna biru ini muncul secara spontan pada anak-anak atau dewasa muda. Histopatologi lesi ini tampak melanosit yang terletak di dermis bawah. Warna biru dari lesi disebabkan adanya efek Tyndall sebagai akibat adanya efek scattering jaringan di atasnya. Nevus biru sangat jarang berubah menjadi bentuk ganas sehingga lesi ini dapat dihilangkan dengan laser jenis QS ruby, alexandrite, Nd:YAG. Pada Nevus biru dengan kedalaman lesi melanositik meluas sampai ke subkutis, maka respon terapi biasanya tidak baik. 3. Acquired bilateral nevus of Ota-like macules (ABNOM’s)/nevus Hori/nevus fuscoceruleus zygomaticus2,20-22 Nevus ini sangat sering ditemukan pada ras Asia, ditandai adanya lesi hiperpigmentasi kebiruan, terdistribusi bilateral pada daerah malar. Bedanya dengan nevus Ota, selain nevus ini muncul setelah usia 20 tahun juga tidak disertai lesi pada mukosa. Gambaran histopatologis berupa melanosit dermal yang mensintesis melanin lebih aktif dan tersebar pada dermis papilaris dan dermis intermedius. Polnikorn dkk melaporkan bahwa nevus Hori kurang responsif terhadap laser QS dibandingkan lesi nevus Ota pada sesi pertama, kedua, sehingga penghilangan lesi memerlukan sesi yang lebih banyak. Walaupun demikian Leong dkk mencoba meningkatkan efektivitasnya dengan mengkombinasi 2 laser, yaitu QS Nd:YAG 532
nm yang diikuti oleh QS Nd:YAG 1064 nm dan ternyata lebih efektif menghilangkan lesi dibandingkan QS Nd:YAG 1064 nm saja.
PENDEKATAN DALAM PENGGUNAAN LASER UNTUK KELAINAN PIGMENTASI1,6,8,23 1. Seleksi pasien Hal yang paling utama dipertimbangkan sebelum melakukan terapi laser untuk kelainan pigmentasi adalah ketepatan penegakan diagnosis, identifikasi faktor risiko rekurensi, faktor prognostik dalam terapi laser, rencana terapi, biaya terapi, efek yang muncul selama dan setelah terapi serta dibuatkan informed consent. Anamnesis meliputi: onset kemunculan lesi, riwayat biopsi, riwayat perubahan dalam perjalan penyakit (membesar, berdarah, berubah warna), riwayat kanker kulit dalam keluarga, riwayat terapi lesi, riwayat pemakaian asam retinoat oral, riwayat herpes, riwayat keloid, riwayat berjemur atau tanning, fototerapi dan tipologi kulit. Pada penderita yang akan dilaser sebaiknya dilakukan priming minimal 2-8 minggu sebelum tindakan laser agar terapi menjadi lebih efektif dan mengurangi efek hiperpigmentasi pasca inflamasi. 2. Prosedur operasional terapi Anestesi: setiap pulse laser menyebabkan rasa nyeri yang sebenarnya dapat ditoleransi oleh pasien, tetapi apabila lesi cukup luas dapat diberikan anestesi topikal oklusif 1 jam sebelum tindakan laser. Perlindungan mata operator dan pasien dengan kacamata yang optical density-nya sesuai laser yang dipakai. Perlu diketahui bahwa laser QS dapat merusak retina secara permanen. Apabila terapi laser dilakukan pada lesi di kelopak mata, maka bola mata penderita harus dilindungi dengan metal corneal eye shield. Lakukan uji spot test, dengan memakai ukuran spot yang disesuaikan dengan lesi, laser dicobakan pada beberapa tempat pada lesi, dimulai dengan energi yang terendah. Kemudian catat ukuran spot dan energi yang digunakan. Tes ini dievaluasi 4-8 minggu kemudian. Evaluasinya adalah melihat adanya efek lightening dengan energi terendah. Parameter itu yang dipakai untuk terapi keseluruhan lesi. Posisikan laser tegak lurus terhadap lesi. Bila memakai QS laser, pada saat ditembakkan dan mengenai partikel pigmen, akan terdengar bunyi meledak (popping sound). End point primernya adalah kavitasi berupa warna keputihan pada lesi. Untuk lesi pigmen yang dalam seperti nevus Ota, end point ini tidak terlihat tetapi
MEDICINUS 24(1), January 2011
45
medical review
pasien biasanya merasakan lebih panas atau nyeri saat laser ditembakkan pada lesi. End point sekunder, adalah terbentuknya purpura karena terjadi kerusakan pembuluh darah di dermis. End point ini akan hilang dalam beberapa jam. 3. Post-operasi Bersihkan luka dua kali sehari dengan larutan fisiologis, kemudian diikuti pemberian antibiotik topikal, jaga luka selalu lembab; biasanya luka akan sembuh dalam 5-14 hari.
EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI1,2,6,8 Berbagai efek samping dan komplikasi penggunaan laser dapat terjadi seperti hiperpigmentasi, hipopigmentasi dan jaringan parut. Bila hiperpigmentasi terjadi, dapat diatasi dengan pemakaian
hidrokuinon untuk beberapa bulan dan pemakaian tabir surya SPF 30. Komplikasi lainnya adalah terjadi hipopigmentasi terutama dengan QS ruby dan QS alexandrite karena lebih merusak melanosit di epidermis. Komplikasi jaringan parut pada penggunaan laser spesifik pigmen sangat jarang terjadi.
KESIMPULAN Dalam makalah ini telah diuraikan berbagai kelainan pigmentasi yang dapat diterapi dengan laser, jenis laser yang digunakan serta efek samping terapi laser yang dapat terjadi. Agar terapi laser lebih berdaya dan berhasil guna, perlu dilakukan beberapa pendekatan seperti: ketepatan dalam mendiagnosis kelainan pigmentasi, ketepatan seleksi pasien, perawatan pre dan post-laser yang benar.
Daftar Pustaka 1
Rohrer TE, Ort RJ, Arndt KA and Dover JS. Laser in the treatment of pigmented lesions. In: Kaminer MS, Arndt KA, Dover JS RohreTE, Zachary CB (eds). Atlas of Cosmetic Surgery, 2nd ed, Philadelphia:Saunders Elsevier; 2009.p.155-177 2. Dierickx CC. Laser treatment of pigmented lesions. In: Goldberg DJ(ed). Laser Dermatology. Berlin:Springer; 2005.p.37-60 3. Railan D and Kilmer S. Treatment of benign pigmented cutaneous lesions. In: Goldman MP (ed). Cutaneous and Cosmetic Laser Surgery. Mosby:Elsevier; 2006.p.93-108 4. Kilmar LS and Garden JM. Laser treatment of pigmented lesions and tattoos. In: Seminars in cutaneous medicine and surgery, Vol 19 (4) December 2000; 232-44. 5. Carpo BG, Grevlink , Grevelink SV. Laser treatment of pigmented lesions in children. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 2000; Vol 18(3):233-43 6. Golberg DJ. Pigmented lesions, tattoos, and disorders of hypopigmentation. In: Laser Dermatology Pearls and Problems. Blackwell Publishing; 2008.p.73-113 7. Avram MR, Tsao S, Tannous Z, Avram MM. Disorders of pigmentation. In: Color Atlas of Cosmetic Dermatology. New York:McGraw Hill; 2007.p.121-48 8. Wheeland RG, Marmur ES. Pigmented lesions and tattoos. In: Goldberg DJ, Rohrer TE (eds). Laser and Lights, Volume 1, 2nd ed. Saunders Elsevier; 2009.p.29-51 9. Ortonne JP, Pandya AG, Lui H, and Hexsel D. Treatment of solar lentigenes. J Am Dermatol 2006; 54:s262-71 10. Orten SS, Warner M, Dinehart SM, Bardales RH and FlockST. Qswitched deodynium: yttrium-aluminium-garnet laser treatment of lentigo maligna. Otolaryngol Head Neck Surg 1999; 120:296-302 11. Wang CC, Sue YM, Yang CH, Chen CK. A comparison of qswitched alexandrite laser and intense pulsed light for the treatment of freckles and lentigenes in Asian persons: a randomised, physician-blinded, spit-face comparative trial. J Am Acad Dermatol 2006; 54:804-10 12. ShimbaseT, Kamide R, Hashimoto T. Long-term follow up
46
13. 14.
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
23.
in treatment of solar lentigo and café au lait macules with Q switched ruby laser. Aesth Plast Surg 1997; 21:445-448(abstract) Grevelink JM, Gonzalez S, Bonoan R, Vibhagool C, Gonzalez E. Treatment of nevus spilus with the Q switched ruby laser. Dermatol Surg 1997; 23:365-70 Trilies MA, Allones I, Morena_Aias GA, Velez M. Becker’s Naevus: A comparative study between erbium:YAG and Q-switvhed neodynium: YAG; clinical and histopathological findings. British J of Dermatol. 2005;152:308-13 Lask GP, Glassberg E. Neodymium:Yttrium-Aluminum-Garnet laser for the treatment of cutaneous lesions. Clinics in Dermatology 1995; 13:81-6 Polnikorn N. Treatment of refractory dermal melasma with the MedLite C6 Q-switched Nd:YAG laser: Two case reports. Journal of Cosmetic and Laser Therapy 2008; 10: 67-73 Suzuki H, Anderson RR. Treatment of melanocytic nevi. Dermatol Therapy 2005; 18:217-26 Chan H, Kono T. Nevus of Ota: Clinical aspects and management. Skinmed 2003; 2: 89-98 Alam M, Arndt KA, Dover JS. Laser treatment of nevus of Ota. Dermatol Therapy 2001; 14:55-9 Park JM,Tsao H, Tsao S. Acquired bilateral nevus of Ota-like macules (Hori Nevus): Etiologic and therapeuitic considerations. J Am Acad Dermatol 2009; 61:66-93 Polnikorn. NdYAG laser for Hori’s Nevus. Dermatol Surg 2000; 26(5):477-80 Leong H, Goh CL, Khoo, Chan, Ang P. Treatment of acquired bilateral nevus of Ota-lie macules (Hori’s Nevus) with a combination of the 532nm Q-switched Nd:YAG laser followed by the 1064 nm Q-Switched NdYAG is more effective: Prospective study. Dermatol Surg 2006; 32:34-40 Aurangabadkar A, Mysore V. Standard guidelines of care: Lasers for tattoos and pigmented lesions. Indian Journal of Dermatology, Venerology and Leprology 2009; 75(8):111-26
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical review
Vasospasmus Puting Payudara pada Wanita Menyusui Tantur Syahdrajat*, Era Mahyuli**
* Klinik Bersalin Rumah Zakat Indonesia ** Advanced Medical Science Student di Key Centre for Women’s Health in Society, University of Melbourne, 2004-200 ABSTRAK Vasospasmus puting payudara sebagai manifestasi dari fenomena Raynaud pada wanita menyusui dikenali sebagai salah satu penyebab nyeri saat menyusui. Hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman dan penundaan proses menyusui lebih awal. Vasospasmus puting payudara sering diartikan sebagai infeksi candida atau akibat posisi dan attachment bayi yang buruk pada payudara. Oleh karena itu, penyebab tersebut harus dinilai dan disingkirkan terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan diagnosis fenomena Raynaud. Untuk mendiagnosis fenomena Raynaud, timbulnya gejala yang dipicu oleh rangsang dingin, gejala ketika tidak menyusui, dan perubahan tiga warna (putih ke biru ke merah) atau dua warna (putih ke biru) harus ada. Pilihan terapi fenomena Raynaud pada wanita menyusui yakni mengurangi paparan dingin, menghindari obat-obatan/zat yang dapat memicu gejala, dan terapi farmakologis. Terdapat laporan mengenai terapi dengan obat herbal, latihan aerobik dan suplemen diet. Karena kebanyakan pasien perlu pemulihan nyeri segera agar dapat melanjutkan menyusui, penting untuk menawarkan terapi yang akan mengurangi nyeri dengan cepat. Dalam hal ini, nifedipine telah digunakan untuk mengobati fenomena Raynaud dan aman digunakan pada ibu menyusui. Kata Kunci: vasospasmus puting payudara, menyusui, fenomena Raynaud
PENDAHULUAN Vasospasmus puting payudara sebagai manifestasi dari fenomena Raynaud telah dilaporkan terjadi pada ibu menyusui dan dikenali sebagai salah satu penyebab nyeri saat menyusui.1 Fenomena Raynaud merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan iskemia intermiten akibat vasospasmus, yang terutama terjadi pada bagian akral dari tubuh.2 Vasospasmus puting payudara pertama kali diuraikan oleh Gunther pada tahun 1970 sebagai nyeri puting payudara psikosomatik.2 Dia menyatakan “ketika puting payudara diperiksa tampak pucat, pada umumnya secara keseluruhan menjadi putih karena menurunnya aliran darah”. Kadang-kadang, ketika diperiksa, aliran darah kembali membaik dan puting payudara dapat diamati menjadi warna “mulberry”. Wanita yang mempunyai gangguan tersebut pada umumnya mengalami ketakutan atau kecemasan yang dihubungkan dengan payudara atau menyusui. Pada tahun 1992 Coates menduga bahwa vasospasmus puting payudara berkaitan dengan fenomena Raynaud.1 Tahun 1997 Lawlor-Smith dan Lawlor-Smith melaporkan lima orang wanita menyusui dengan fenomena Raynaud di Australia.3 Dalam
literatur pediatrik, pada tahun 2004 Anderson, Held dan Wright melaporkan 12 wanita menyusui dengan fenomena Raynaud di Amerika Serikat.1 Dalam literatur Obstetri dan Ginekologi, pada tahun 2006 Page dan McKenna juga telah melaporkan kasus wanita menyusui dengan vasospasmus puting payudara di Amerika Serikat.4 Fenomena Raynaud pada wanita menyusui menyebabkan masalah ganda yaitu rasa nyeri yang menyusahkan pasien disertai risiko peningkatan kegagalan menyusui.3 Nyeri puting payudara adalah gejala yang paling umum pada wanita menyusui dan alasan kedua tersering yang menyebabkan penundaan menyusui, setelah kurangnya persediaan air susu ibu. Rasa nyeri yang berat karena vasospasmus puting payudara pada ibu menyusui dapat dijadikan alasan ibu untuk menunda menyusui,1 sehingga meningkatkan kegagalan proses menyusui.
FENOMENA RAYNAUD Fenomena Raynaud terjadi pada 5-10% dari populasi umum.5 Fenomena ini lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria, dengan rasio 9:1.3 Diperkirakan hingga 22% wanita usia antara 21-50 tahun mengalami fenomena ini.
MEDICINUS 24(1), January 2011
47
medical review
Fenomena Raynaud pertama kali dijelaskan Maurice Raynaud pada tahun 1862.3 Fenomena ini digambarkan sebagai iskemia intermiten akibat vasospasmus arteriol yang mempengaruhi bagian akral dari tubuh, terutama jari tangan atau jari kaki. Manifestasi klinisnya berupa perubahan tiga warna, diawali dengan pucat, kemudian diikuti sianosis ketika darah vena mengalami deoxygenation.1 Ketika refleks vasodilatasi terjadi, tampak eritema dari bagian tubuh yang terkena. Perubahan tiga warna tersebut terjadi pada dua pertiga pasien dengan fenomena Raynaud.2 Gejala yang timbul dapat berupa nyeri, tersengat, rasa terbakar, dan parestesia. Fenomena ini dapat dipicu oleh rangsang dingin atau oleh stres emosional. Walaupun pada awalnya fenomena ini dilaporkan mempengaruhi bagian akral dari tubuh, kini dilaporkan dapat juga terjadi pada pembuluh darah koroner, pulmoner, okuler, gastrointestinal, penile, dan plasenta.2 Fenomena ini bisa bersifat primer dengan etiologi yang tidak diketahui. Bisa juga sekunder dengan etiologi berupa penyakit rheumatology (misalnya, systemic lupus erythematosus atau rheumatoid arthritis), penyakit endokrin (misalnya, hipotiroidisme atau karsinoid) dan sejumlah pengobatan.1,2 Rokok dan kafein dilaporkan dapat memicu gejala fenomena Raynaud.2 Merokok dua sigaret perhari dapat meningkatkan resistensi vaskular 100% dan menurunkan aliran darah cutaneus hingga 40% sehingga berpotensi memicu fenomena Raynaud. Meskipun bersifat vasodilator, kafein dihubungkan dengan vasokonstriksi rebound melalui mekanisme sentral sehingga dapat memicu fenomena Raynaud. Seperti halnya nikotin dan kafein, teofilin dan terbutalin telah dihubungkan dengan fenomena Raynaud.6 Ini mungkin juga merupakan komponen alergi yang menyebabkan vasospasmus.
VASOSPASMUS PUTING PAYUDARA PADA WANITA MENYUSUI Vasospasmus puting payudara pada wanita menyusui terjadi ketika pembuluh darah pada puting payudara mengalami konstriksi dan menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri yang dialami dapat ringan hingga berat.5 Nyeri dapat dirasakan seperti rasa terbakar dan berdenyut, yang diperberat pada keadaan dingin.7 Puting payudara berubah warna menjadi pucat diikuti biru kemudian merah sebelum kembali normal. Gejala ini dapat terjadi selama, segera setelah, dan di antara proses menyusui. Gejala ini dapat berlangsung beberapa detik, menit atau bahkan lebih lama. Vasospasmus puting payudara sebagai manifestasi dari fenomena Raynaud dapat didiagnosis
48
sebagai infeksi jamur karena nyeri yang berat dan berdenyut.1 Nyeri atau pucat pada puting payudara dapat juga disebabkan oleh posisi dan attachment bayi yang buruk pada saat menyusui. Posisi dan attachment bayi yang buruk merupakan penyebab nyeri payudara yang paling sering.2 Posisi dan attachment bayi yang buruk bisa juga dihubungkan dengan memucatnya puting payudara akibat kompresi mekanis. Oleh karena itu, sebelum mendiagnosis fenomena Raynaud, infeksi jamur ataupun posisi dan attachment bayi yang buruk harus dinilai dan disingkirkan terlebih dahulu.1 Adanya gejala ketika hamil atau ketika tidak menyusui, timbulnya gejala akibat rangsang dingin dan perubahan tiga warna (putih diikuti biru kemudian merah) atau dua warna (putih ke biru) harus dicari untuk mendiagnosis fenomena ini. Fenomena Raynaud telah dihubungkan dengan penyakit rheumatology, penyakit endokrin, dan sejumlah pengobatan. Fenomena ini juga dihubungkan dengan operasi payudara sebelumnya.1 Namun, belum dilaporkan sebelumnya mengenai kemungkinan hubungan fenomena Raynaud pada puting payudara dengan operasi payudara sebelumnya. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa penggunaan fluconazole mungkin berhubungan dengan vasospasmus, walaupun pabriknya tidak melaporkan ini sebagai komplikasi dari penggunaan fluconazole.8 Sumber lain menyatakan bahwa vasospasmus pada ibu yang menggunakan fluconazole disebabkan oleh nyeri/trauma puting payudara dalam kaitan dengan sejenis jamur (bukan dalam kaitan dengan pengobatan untuk jamur).
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan vasospasmus puting payudara pada wanita menyusui dibatasi perlunya untuk memastikan keamanan setiap terapi tidak hanya untuk ibu tetapi juga untuk bayi yang disusui.2 Pilihan terapi meliputi metode untuk mencegah atau mengurangi paparan dingin, menghindari obat-obatan/nikotin yang dapat memicu gejala, dan terapi farmakologis.1 Menghindari paparan udara dingin adalah tatalaksana utama dari fenomena ini.2 Kompres hangat pada daerah puting payudara dan areola sebelum menyusui dapat membantu mencegah reaksi yang berat dan nyeri berikutnya.6 Pasien disarankan untuk mengenakan pakaian hangat dan menyusui di lingkungan yang hangat.2 Ini menjadi menarik bahwa tidak hanya bagian yang terkena tetapi keseluruhan tubuh perlu dijaga hangat untuk menghindari reflek vasokonstriksi simpatis. Pasien juga harus menghindari zat vasokonstriktor termasuk kafein
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical review
dan merokok. Mereka juga disarankan untuk menghindari stres emosional.5 Pilihan terapi yang lain meliputi latihan aerobik, biofeedback, suplementasi magnesium dan kalsium, vitamin B6, dan penggunaan minyak evening primrose dan minyak ikan.1 Latihan aerobik moderate dilaporkan bermanfaat dalam terapi fenomena Raynaud dan mungkin berharga pada pasien menyusui.2 Teknik biofeedback juga telah dilaporkan berguna dalam terapi fenomena Raynaud pada jari tangan atau kaki sehingga diduga dapat diaplikasikan pada vasospasmus puting payudara. Suplementasi kalsium dan magnesium disebutkan telah memulihkan nyeri pada sejumlah ibu.6 Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung, vitamin B6 disarankan bagi ibu yang mengalami vasospasmus puting payudara.6 Dosis yang diberikan 150-200 mg sekali sehari untuk 4 hari, diikuti 25 mg/hari sekali sehari.9 Ibu melanjutkannya sampai bebas rasa nyeri untuk beberapa minggu. Ini dapat diulang jika perlu. Jika nyeri dapat diatasi dengan dosis yang lebih besar tetapi kambuh dengan dosis yang lebih kecil, dapat diulang dengan dosis yang lebih tinggi. Jika rasa nyeri sudah hilang dalam satu atau dua minggu, upayakan menghentikannya. Lawrence dan Lawrence menyatakan bahwa penambahan minyak ikan pada diet ibu telah mengurangi gejala, seperti halnya minyak evening primrose.1 Minyak evening primrose dan minyak ikan secara individu didapatkan bermanfaat bagi pasien dengan fenomena Raynaud primer.2 Kedua suplemen ini aman untuk wanita menyusui dan bayinya. Dosis yang besar dari suplemen ini diperlukan untuk mengatasi gejala, 12 kapsul per hari minyak evening primrose (ekuivalen dengan 540 mg asam gama linoleat) atau 12 kapsul minyak ikan per hari (ekuivalen dengan 3,96 g eicosapentanoic acid dan 2,64 g docosahexanoic acid). Untuk mendapatkan respon klinis yang signifikan, terapi ini diberikan dalam 6 minggu. Banyak wanita dengan vasospasmus puting payudara yang nyeri perlu memulihkan nyeri segera agar dapat meneruskan menyusui.1 Oleh karena itu, penting untuk menawarkan terapi yang akan mengurangi nyeri dengan cepat. Dari semua obat yang diselidiki sejauh ini untuk terapi fenomena Raynaud, nifedipine adalah yang paling efektif.2 Pada fenomena Raynaud primer, nifedipine dihubungkan dengan pengurangan frekuensi serangan antara 50-91%. Nifedipine merupakan suatu calcium channel blocker dari golongan dihidropiridine. Karena efek vasodilatornya, nifedipine telah digunakan untuk mengobati fenomena Raynaud, termasuk fenomena Raynaud pada puting payudara.1 Nifedipine bekerja dengan melebarkan pembuluh darah, dengan demikian dapat memulihkan vasospasmus puting.5
The American Academy of Pediatrics telah menyetujui penggunaan nifedipine pada ibu menyusui.1 Hale mendokumentasikan tingkat yang rendah dari nifedipine (<1-10.3 µg/L) ditemukan dalam air susu ibu dalam satu hingga tiga jam setelah ibu minum nifedipine. Ehrenkranz dkk., menunjukkan bahwa “suatu fraksi yang sangat tidak signifikan” (<5%) dari dosis nifedipine yang diberikan pada seorang ibu yang menyusui bayi prematurnya, terukur dalam ASI. Pemberian nifedipine tidak mengubah komposisi ASI.2 Nifedipine aman digunakan untuk pengobatan fenomena Raynaud pada wanita menyusui. Nifedipine dapat diberikan 5 mg (3 kali sehari) atau tablet slow-release 30 mg sekali sehari.1 Pengobatan diberikan untuk 2 minggu dan kemudian dihentikan. Dosis dapat ditingkatkan berangsurangsur hingga tingkat yang diperlukan.6 Seringkali jangka waktu dua minggu adalah cukup untuk mengatasi gejala, tetapi kadang-kadang pasien memerlukan jangka terapi kedua atau ketiga.1 Jika sakit kambuh (sekitar 10% dari para ibu), mulai terapi kembali.9 Efek samping nifedipine disebutkan terjadi pada sekitar 1/3 pasien, umumnya akibat sekunder dari vasodilatasi perifer.2 Ini meliputi sakit kepala, flushing, pusing, refleks takikardia dan edema perifer.
PENUTUP
Sejauh ini kasus vasospasmus puting payudara sebagai manifestasi fenomena Raynaud pada wanita menyusui yang telah dilaporkan dalam literatur berasal dari negara subtropis. Belum ada laporan dari negara tropis, seperti Indonesia. Literatur-literatur yang dikemukakan dalam tinjauan pustaka ini terutama berupa laporan kasus. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut khususnya dalam hal terapi. Studi yang lebih banyak mengenai penggunaan nifedipine pada wanita menyusui dengan fenomena Raynaud mungkin diperlukan. Begitu juga dengan penggunaan suplemen-suplemen tambahan seperti magnesium, minyak evening primrose, dan terapi yang lainnya. Walaupun demikian, dengan tinjauan pustaka ini diharapkan para dokter untuk mempertimbangkan kemungkinan fenomena Raynaud pada ibu menyusui dengan vasospasmus puting payudara yang nyeri. Ibu perlu ditanya secara spesifik tentang gejala-gejala fenomena Raynaud. Dengan mengenali fenomena Raynaud sejak dini, maka ibu menyusui akan mendapatkan terapi yang sesuai, menghindari terapi antijamur yang tidak perlu dan membuat para ibu berhasil melanjutkan proses menyusui dan bebas nyeri dalam jangka waktu yang lebih panjang.1
MEDICINUS 24(1), January 2011
49
medical review
Daftar Pustaka 1 2.
3. 4. 5.
Anderson JE, Held N, Wright K. Raynaud's phenomenon of the nipple: a treatable cause of painful breastfeeding. Pediatrics 2004; 113:360-4 Lawlor-Smith LS, Lawlor-Smith CL. Nipple vasospasm-a manifestation of Raynaud’s phenomenon and a preventable cause of breastfeeding failure. Available from: http://www.sdgp.com. au/client_images/18175.pdf Lawlor-Smith LS, Lawlor-Smith CL. Vasospasm of the nipple-a manifestation of Raynaud’s phenomenon: case reports. BMJ 1997; 314:644-5 Page SM, McKenna DS. Vasospasm of the nipple presenting as painful lactation (abstract). Obstet Gynecol 2006; 108:806-8 Nipple vasospasms during breastfeeding. Available from:
6. 7. 8. 9.
http://www.itsamomsworld.com/baby_breastfeeding_nipple_vasospasms.html Donovan D. Nipple blanching: "my nipples turn white". Available from: http://parenting.ivillage.com/newborn/ nbreastfeed/0,,40sz,00.html Mahyuli E, Amir L. Breastfeeding-nipple vasospasm. Available from: http://rch.org.au/womensinfo/factsheets.cfm Bonyata K. Nipple blanching and vasospasm. Available from: http://www.kellymom.com/bf/concerns/mom/nipple-blanching.html Newman J. Treatments for Raynaud's Phenomenon (blanching of the nipple). Available from: http://www.asklenore.info/ breastfeeding/raynaud.html
Calendar Event FEBRUARY 2011
ISICM (Indonesian Society of Intensive Care Medicine) Early Year Symposium Theme: From Research to Bedside 10-13 February 2011, Sheraton Hotel, Surabaya Secretariat: Indonesian Society of Intensive Care Medicine Gedung Makmal Lt. 2, Komplek FKUI, Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta Pusat Phone: 021-68599155 / 31909033 Fax: 021-31909033 CP: Ms. Ade Syariah E-mail:
[email protected] Website: http://www.perdici.org atau Dep./SMF Anesthesiology & Reanimation and Intensive Care Unit Faculty of Medicine, Airlangga University Dr. Soetomo General Hospital Jl. Prof. dr. Moestopo No. 6-8, Surabaya 60286 Phone: 031-5501501 Fax: 031-5028951 The 9th Scientific Respiratory Medicine Meeting PIPKRA 2011 Theme: Through Evidence to Clinical Practice 11-13 February 2011, Borobudur Hotel, Jakarta Secretariat: Contact Person: Ms. Lena (+62 21 70726355); Mrs. Narti (+62 21 4705684); Mr. Zaenal (+62 21 4893536) Fax: +62 21 4890744 E-mail:
[email protected] Jakarta Neuroinfection Updates Theme: Looking the Past & Facing the Future:
50
Toward Better Management in Neuro Infection 11-12 February 2011, the Ritz Carlton Hotel, Jakarta Secretariat: Phone: +62 8129627199, +62899970282 Fax: +62 21 3912144/3914154 E-mail: retno
[email protected] hanjar
[email protected] Contact Person: Retno S. Wardani, MD 22nd Annual Scientific Meeting of Indonesia Digestive Surgeon (PIT XXII IKABDI) 11-13 February 2011, Building D, Pelita Harapan University (UPH), Karawaci, Tangerang Secretariat: Ruang Mawar RSU Tangerang Jl. A. Yani No. 9, Tangerang, Banten Phone/Fax: +62 21 55798927 E-mail:
[email protected] 4th International Symposium on Hand Surgery and the Advances of Hand Therapy Theme: Reconstruction of the Hand 17-19 February 2011, Aston Primera & Convention, Bandung Secretariat: Department Orthopedic & Traumatology, Fakultas Kedokteran UNPAD/RSHS Jl. Pasteur No. 38, Bandung Phone: +62 22 93071719 Fax: +62 22 2035477 E-mail:
[email protected] [email protected] Website: http://www.handind.org Contact Person: Ririn (081282996104), Vina (081214523398)
MEDICINUS 24(1), January 2011
meet the expert
dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK Pendiri Klinik Spesialis Kesehatan Wanita "Puan Jakarta Boutique Clinic" RM: Mengapa dokter tertarik mengambil spesialis Kulit? Adakah alasan-alasan tertentu? ALD: Masa penantian yangg cukup lama untuk mendapatkan buah hati (setelah menikah 6 tahun) sambil menyelesaikan wajib kerja sarjana di DKI Jakarta yaitu selama hampir 7 tahun, memberi kesempatan saya melihat bidang-bidang studi lain selain pediatri, internal medicine (khususnya alergi imunologi) dan bedah (3 bidang studi favorit semasa S1). Saya tetap menyukai bekerja di lingkungan anak-anak, senang dengan ilmu tumbuh kembang anak yang amat dinamis. Sayapun menyukai ilmu alergi imunologi (mungkin karena saya berasal dari keluarga “sangat”atopi), biologi molekular dan ilmu bedah. Saya melihat di bagian Kulit saya akan mendapatkan kesemua ilmu yang saya minati tersebut. Dermatologi Anak, Alergi Imunologi, Bedah (khususnya bedah kulit, kimia, laser) dan dengan perkembangan ilmu dermatologi kosmetik menuntut kita untuk lebih mempelajari biologi molekular yang dulu lebih dipelajari untuk mengobati penyakit-penyakit, namun sekarang dengan kemajuan teknologi anti aging medicine, biologi molekular banyak dipelajari untuk meningkatkan kualitas kesehatan kulit seseorang tidak semata hanya untuk mengobati suatu penyakit kulit saja. dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK
P
ada kesempatan kali ini, kami berkesempatan untuk mewawancarai dr. Amaranila Lalita Drijon0, SpKK di mana beliau juga adalah pendiri dari Puan Jakarta Boutique Clinic yang terkenal di Jakarta. dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan kedokteran. dr. Amaranila sering menjadi pembicara diberbagai acara seminar dan simposium. Selain itu beliau juga aktif berorganisasi antara lain sebagai pengurus Studi Dermatologi Laser Indonesia, pengurus Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indonesia (PERKAPI), anggota PERDOSKI, anggota Ikatan Kedokteran Laser Indonesia (IKLASI), anggota International Academy of Cosmetic Dermatology (IACD). Berikut adalah wawancara kami: Redaksi MEDICINUS (RM): Apakah sejak kecil cita-cita dokter memang sudah ingin menjadi seorang dokter? dr. Amaranila Lalita Drijono, SpKK (ALD): Sebenarnya cita-cita sejak kecil “agak banyak”, yaitu ingin menjadi ballerina, masuk sekolah seni rupa, tapi juga ingin menjadi “dokter yang bekerja untuk anak-anak”.
RM: Dalam menjalani profesi dokter, sebenarnya pengalaman apa yang paling membanggakan? ALD: 1. Membuka wawasan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang baik dengan mengembangkan klinik spesialis kesehatan wanita Puan (Puan Jakarta Boutique Clinic yang merupakan one stop female clinic) selama kurang lebih 9 tahun yang kini bertransformasi menjadi Rumah Puan yang merupakan rumah pemberdayaan perempuan bekerjasama dengan berbagai disiplin ilmu. 2. Mengembangkan klinik wellness dan anti aging bekerjasama dengan Bunda International Clinic (RS Bunda). 3. Menjadi Ketua Ikatan Orang Tua Murid Perguruan Al Izhar Jakarta 2006-2010 berhasil mengembangkan Gerakan Makan Sehat Sekolah dan Kantin Sehat Sekolah yg menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain (bekerjasama dengan Yayasan Gizi Kuliner (Anak) Tuti Soenardi MSc, Asosiasi Kuliner Profesional Indonesia). Dengan terlebih dahulu membuat survey gizi anak sekolah yg komprehensif hampir 800 responden siswa SD, SMP, SMA dan 600 responden orangtua siswa di sekolah yang bersangkutan ini, di mana data tersebut kini dipakai oleh seorang kandidat S3 ahli ilmu gizi kesehatan masyarakat UI dan seorang magister ilmu gizi. 4. Mengembangkan Kelompok Studi Derma-
MEDICINUS 24(1), January 2011
51
meet the expert
tologi Laser Indonesia di bawah PERDOSKI bersama para teman sejawat seminat se-Indonesia. RM: Untuk prestasi dr. Amaranila, apa saja yang sudah pernah dokter dapatkan? ALD: Menjadi ibu dari Sabila Duhita dan Karima Duhita (selain pernah menjadi Mahasiswa Teladan FKUI 1986, terpilih sebagai Wanita Eksekutif Indonesia versi majalah DEWI-FEMINA 2005). RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan dilingkungan sekitar dr. Amaranila untuk mananamkan pola hidup sehat dan terutama dalam menjaga kesehatan kulit? ALD: Kulit adalah cermin kesehatan tubuh kita (bodymind-soul). Jadi berusaha seimbang dalam ketiganya. Tidak mungkin memiliki kulit sehat bila ketiga faktor terkait ini tidak sehat, seimbang, selaras. RM: Dengan begitu banyaknya kegiatan dokter, apa yang biasa dokter lakukan di waktu luang (akhir pekan/hari libur)? ALD: Akhir pekan biasanya menikmati tinggal di rumah, berenang, mendengarkan anak-anak bermain musik, menyanyi bersama, nonton film, lihat pameran/pertunjukkan seni. Selain itu di waktu senggang ada kegemaran atau hobi yang saya tekuni kembali sejak usia 40 tahun (setelah 25 tahun tidak menari) yaitu menari Jawa Klasik Jogjakarta-Surakarta. RM: dr. Amaranila adalah pendiri dari Puan Jakarta Boutique Clinic. Apa yang membedakan Clinic ini dengan Clinic Khusus Kesehatan Wanita lainnya? ALD: Personal appointment system, family physician approach, “suasana seperti di rumah sendiri”. RM: Bagaimana peranan anti aging dalam kehidupan sehari-hari? ALD: Anti Aging Medicine amat berkembang dan harus dilihat tidak hanya semata untuk masalah kulit saja. Penerapan kedokteran holistik yg menjadi kunci anti aging medicine ini. Penerapannya haruslah dimulai sejak dari bayi dalam kandungan utk menciptakan manusia yang sehat. Peran bidang ilmu ini amat besar dalam kehidupan sehari-hari bila dipakai dengan optimal, dan menyangkut semua disiplin ilmu kedokteran. Semoga perkembangan di Indonesia mendasarkan pada Evidence based Medicine, sehingga dapat memberi sumbangan yang efektif bagi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya. Jangan hanya senantiasa dikaitkan dengan semata bidang dermatologi kosmetik saja atau bahkan hanya untuk bidang kecantikan. RM: Bagaimana caranya merawat kulit yang sehat terutama untuk orang-orang yang tinggal di daerah tropis? ALD: Pembersihan kulit harus optimal. Kelembaban yang tinggi dan cuaca panas membuat kelenjar minyak kulit dan keringat lebih aktif sehingga kemungkinannya terjadi iritasi kerap timbul selain
52
tumpukan kulit mati umumnya lebih lekat. Pemakaian produk perawatan kulit yang mendinginkan kulit dan menenangkan kulit amat disarankan (kearifan lokal nenek moyang kita perlu dipelajari: lain ladang lain belalangnya, lain georgrafi lain perawatan kulitnya). Hindari pemakaian pelembab berlebihan (bijak dalam memilih kosmetika khususnya yang mengandung pelembab). Lindungi kulit, rambut dari pajanan sinar matahari berlebihan dengan sedapat mungkin menggunakan tabir surya fisik (payung, topi dan lain-lain), bila perlu baru dengan tabir surya kimiawi (perhatikan cara pakainya yang benar). RM: Banyak wanita aktif biasanya tidak punya waktu luang untuk pergi ke salon atau ke klinik kecantikan muka. Bagaimana saran dokter untuk mereka yang aktif bisa merawat kecantikan wajahnya di rumah? ALD: Saat ini sudah sangat banyak produk home care yg baik utk merawat kulit di rumah, begitu pula dengan produk chemical peeling yg amat ragam. Kenali dengan baik kulit kita bila perlu mintalah advis dari dokter sebelum memulai perawatan di rumah dengan produk yg tepat dari segi usia, jenis kulit, kegiatan/aktivitas atau bila ada penyakit/kondisi/ gangguan kesehatan yg dimiliki. RM: Saat ini penyakit-penyakit kulit yang paling sering dihadapi apa ya dok? Lalu bagaimana penatalaksanaannya penyakit tersebut? ALD: Terbanyak masih masalah jerawat pada remaja dan dewasa muda beserta komplikasinya yaitu acne scar/parut jerawat, disusul kelainan melasma pada wanita dewasa atau paruh baya (karena 80% pasien yg kebetulan ke tempat praktek saya adalah kasus dermatologi kosmetik). Pemakaian retinoic acid masih menjadi pilihan utama pada kedua kasus ini, selain mengobati atau menghindari faktor penyebab bila mungkin. Bedah kimiawi juga masih merupakan pilihan terapi dan menempati urutan ke dua setelah retinoic acid. RM: Adakah metode terapi yang baru untuk kasuskasus penyakit tersebut? ALD: perkembangan teknologi terkini mesin laser atau radiofrequency amat membantu mengontrol sekaligus mengobati dan merehabilitasi kelainankelainan jerawat dan bekas yang ditinggalkannya juga kelainan melasma yang masih menjadi tantangan di bidang dermatologi kosmetik. RM: Pertanyaan terakhir, apa harapan dokter di pekerjaan dan kehidupan pribadi dokter 5 tahun mendatang? ALD: Menjadi ibu yang terbaik bagi ke dua anak saya. Membantu memberdayakan perempuan (dan anak) Indonesia untuk memiliki keseimbangan bodymind-soul, karena semua bermula dari perempuan sehat, keluarga sehat, masyarakat sehat maka Negara akan kuat dan sejahtera. Redaksi
MEDICINUS 24(1), January 2011
MEDICINUS 24(1), January 2011
53
54
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical news
Peran Menguntungkan Clopidogrel dalam
Penggunaannya Sehari-hari
S
alah satu penyebab kematian utama di dunia adalah penyakit jantung koroner dan stroke. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pada pasien yang telah mengalami infark miokard memiliki risiko 5-7 kali mengalami infark miokard kembali dan 3-4 kali risiko stroke. Sedangkan pada pasien yang telah mengalami stroke pun memiliki risiko 2-3 kali mengalami infark miokard dan 9 kali mengalami stroke kembali. Pasien yang mengalami peripheral arterial disease (PAD) juga memiliki risiko infark miokard sebanyak 4x dan stroke sebanyak 2-3 kali. Oleh karena itu, penyakit-penyakit ini memerlukan perhatian agar tidak berkembang menjadi masalah kesehatan yang cukup besar. Hal ini disampaikan pada salah satu sesi acara Weekend Course on Cardiology (WECOC) 2010 yang dilaksanakan pada tanggal 29-31 Oktober 2010 di Hotel Borobudur Jakarta. Dalam acara ini, Dexa Medica mengambil peran dalam salah satu simposium dengan tema The Beneficial Role of Clopidogrel in Daily Practice: Whats New? dengan dr. Daniel P.L Tobing dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI sebagai pembicaranya. Selain membahas mengenai risiko-risiko pada penyakit jantung koroner dan stroke, dr. Daniel juga membahas mengenai guideline-guideline penggunaan clopidogrel pada berbagai macam kasus penanganan penyakit jantung koroner. Dalam salah satu penelitian, clopidogrel as adjunctive reperfusion therapy thrombolysis in myocardial infarction (CLARITY TIMI) 28, didapatkan hasil bahwa clopidogrel memiliki kemampuan menurunkan coronary death/infark miokard sebesar 36%
dibandingkan dengan plasebo dan 20% menurunkan risiko kejadian kardiovaskular dibandingkan dengan plasebo. Sering kali terdapat pertanyaan mengenai loading dose penggunaan clopidogrel, apakah loading dose 600 mg lebih baik dibandingkan 300 mg. Dalam penelitian antiplatelet therapy for reduction of myocardial damage during angioplasty (ARMYDA-2) diungkapkan bahwa penggunaan clopidogrel 600 mg memiliki kemampuan lebih baik terhadap penurunan angka kematian, infark miokard dan TVR dibanding clopidogrel 300 mg. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa peningkatan kreatinin kinase dan troponin lebih baik pada kelompok clopidogrel 600 mg. Untuk melihat risiko perdarahan pada penggunaan clopidogrel, penelitian clopidogrel aspirin stent international cooperative study dapat menjawab hal ini. Penelitian ini ditujukan untuk melihat keamanan antara clopidogrel dan aspirin dibandingkan ticlopidine dan aspirin. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok yang mendapatkan ticlopidine memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok clopidogrel, dengan demikian makin menunjukkan bahwa clopidogrel cukup aman sebagai antiplatelet yang dikombinasi dengan aspirin.
Quality Assurance of Drugs Makin banyaknya obat branded generic (me too) yang beredar membuat para klinisi perlu pertimbangan untuk memilih obat me too mana yang akhirnya dipilih. Secara umum, obat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu branded
MEDICINUS 24(1), January 2011
(inovator) dan me too (generic). “Tapi hal ini bukan merupakan kriteria pemilihan obat, karena hal terpenting dalam penilaian obat adalah bioekivalensi dan bioavaibilitasnya,” ujar dr. Daniel. Dalam tinjauan yang dilakukan oleh Kesselheim dan kawan-kawan terhadap 47 artikel menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti superioritas produk-produk branded (inovator) dibandingkan dengan me too (generick). Clopidogrel sendiri memiliki bentuk form 1 (me too) dan form 2 (inovator). Perbedaan dari kedua form ini hanya pada bentuk crystallographically (pembawanya) saja, sementara bentuk clopidogrel-nya sama. Bukti lain dapat dilihat pada surat edaran yang dikeluarkan FDA tahun 2002 yang menyatakan adanya kesamaan indikasi obatobat form 1 dan form 2. Menurut dr. Daniel, VACLO® yang diproduksi Dexa Medica telah melakukan uji bioekivalensi dan bioavaibilitas dibandingkan dengan inovatornya yaitu Plavix®, baik dilihat dari metabolit maupun parent drug-nya. Dalam uji ini menunjukkan bahwa tingkat pencapaian konsentrasi plasma VACLO® adalah sama dengan Plavix® dalam hitungan waktu hingga 24 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwa clopidogrel yang diproduksi oleh Dexa Medica yaitu VACLO® bioekivalen dengan inovatornya yaitu Plavix® dan memiliki indikasi yang sama. Dirangkum dari: The Benefit Role of Clopidogrel in DailyPractice: Whats New?? yang dibawakan oleh dr. Daniel P.L Tobing pada acara Weekend Course on Cardiology (WECOC) 2010 pada tanggal 29-31 Oktober 2010 di Hotel Borobudur, Jakarta
55
medical news
Efek Suplementasi Vitamin E pada Stroke
Bakteri vs Bakteri
Hemoragik dan Stroke Iskemik
V
itamin E merupakan antioksidan larut lemak yang dapat mempertahankan membran sel dan menghambat peroksidasi lipid dengan cara menangkap reactive oxygen species. Peroksidasi lipid dikenal memegang peranan penting pada proses atherogenesis yang berkontribusi pada penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, diharapkan antioksidan seperti vitamin E dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular. Data dari penelitian observasional mendukung bahwa ternyata vitamin E mempunyai efek protektif terhadap penyakit jantung koroner. Beberapa studi dan meta analisis meneliti tentang efek penggunaan suplementasi vitamin E pada kejadian penyakit kardiovaskular. Hasil penelitianpenelitian tersebut ternyata mengecewakan, vitamin E tidak memberikan efek pada keseluruhan end point utama yang diteliti seperti infark miokard, total stroke, dan kematian karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, penggunaan vitamin E dosis tinggi ternyata dapat meningkatkan risiko mortalitas karena berbagai sebab. Meskipun penelitian-penelitian yang ada menunjukkan bahwa vitamin E tidak mempunyai efek keseluruhan pada infark miokard, namun efek vitamin E pada kejadian stroke, termasuk subtipe didalamnya, menunjukkan hasil yang berbeda. Ada indikasi bahwa vitamin E mungkin bermanfaat pada stroke iskemik tetapi bersifat merugikan pada stroke hemoragik. Sebuah meta analisis me-review sembilan penelitian tentang efek vitamin E pada kejadian stroke, tujuh diantaranya melaporkan tentang total stroke, lima diantaranya masing-masing tentang stroke hemoragik dan stroke iskemik. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E tidak mempunyai efek pada risiko total stroke. Suplementasi vitamin E dapat menurunkan risiko stroke iskemik sebesar 10%, namun meningkatkan risiko kejadian stroke hemoragik sebesar 22%. Risiko absolutnya termasuk moderat; terdapat satu kejadian stroke hemoragik per 1.250 individu yang mendapat suplementasi vitamin E. Pada stroke iskemik, satu kejadian stroke iskemik dapat dicegah per 476 individu yang mendapat suplementasi vitamin E. Dari hasil meta analisis tersebut, suplementasi vitamin E, selain relatif kecil dalam mengurangi risiko stroke iskemik, ternyata juga secara umum memperparah outcome stroke hemoragik. Oleh karena itu, pemberian suplementasi vitamin E harus diperhatikan agar tidak digunakan sembarangan. Sumber: Schurks M, Glynn RJ, Rist PM, Tzourio C, Kurth T. Effects of vitamin E on stroke subtypes: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ 2010;341(c5702):1-8
P
enelitian yang dilakukan oleh para ahli biologi di Universitas California Santa Barbara (UCSB) menunjukkan adanya kompetisi untuk saling membunuh antara bakteri yang satu dengan yang lainya dengan menggunakan "toxic darts". Hasil penemuan toxic darts ini dapat membuka alur baru untuk mengontrol penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Hal ini menjadi sesuatu yang penting karena saat ini resistensi bakteri terhadap antibiotik semakin meningkat. Dalam penelitian ini, diperlukan suatu pembelajaran tentang bagaimana bakteri dapat berperang melawan bakteri lainya. Banyak cara yang dapat dilakukan bakteri untuk membunuh bakteri lainnya, karena bakteri tersebut memiliki beraneka ragam toxic darts. Para peneliti mempelajari berbagai spesies bakteri, termasuk beberapa bakteri patogen. Mereka menemukan bahwa sel bakteri memiliki sulur, seperti protein pada bagian permukaan sel, dengan toxic dart pada bagian ujungnya. Bakteri akan menggunakan darts tersebut untuk berkompetisi dengan sel bakteri tetangga ketika bakteri saling bersentuhan. Proses bersentuhan dan pengeluaran toxic dart ini disebut "contact dependent growth inhibition" (CDI). Beberapa bakteri target memiliki perisai biologis. Bakteri dilindungi oleh protein imun yang dapat menahan toxic darts dari bakteri lain. Protein imun ini disebut "contact dependent growth inhibition immunity". Protein tersebut akan menginaktivasi toxic dart. Tim peneliti UCSB menemukan beragam protein yang berpotensi toksik dibawa oleh sel bakteri. Setiap sel bakteri juga harus memiliki imun terhadap toxic dart yang dimilikinya karena jika tidak dapat menyebabkan sel bakteri itu sendiri yang mati. Ketika sel bakteri diserang, dan tidak memiliki protein imun, sel tersebut kemungkinan tidak mati. Namun sel seringkali berhenti bertumbuh. Sel tersebut diinaktivasi, dihambat pertumbuhannya. Dalam hal ini serupa dengan banyak antibiotik yang tidak membunuh bakteri, tetapi hanya menghambat pertumbuhan bakteri itu. Kemudian tubuh akan membuang selsel bakteri yang sudah tidak aktif tersebut. Beberapa racun bakteri beraksi pada bagian dalam bakteri target yaitu dengan memutus rantai RNA sehingga sel tidak dapat melakukan sintesis protein dan bertumbuh. Jenis racun lainya beraksi dengan memutus rantai DNA sehingga mencegah replikasi sel. Sistem CDI juga terdapat pada beragam bakteri, termasuk bakteri patogen seperti E. coli yang menyebabkan infeksi saluran kemih, dan Yersinia yang merupakan agen penyebab wabah penyakit infeksi. Bakteri menggunakan sistem ini untuk berkompetisi satu dengan lainnya pada tanah, tanaman, atau pada hewan.
Sumber: Medical New Today. 2010. Scientists discover that bacteria use 'toxic darts' to disable each other. Downloaded from http://www.medicalnewstoday.com/articles/208687.php, on November 22nd 2010
56
MEDICINUS 24(1), January 2011
medical news
Cokelat
Dapat Mengurangi Risiko Gagal Jantung
C
okelat mungkin mengandung banyak kalori tetapi penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa cokelat juga baik untuk jantung jika dimakan secukupnya dan merupakan cokelat kualitas tinggi. Peneliti di Boston melakukan studi selama 9 tahun terhadap 31.823 wanita di Swedia untuk melihat efek cokelat pada penyakit jantung dan hasilnya menunjukkan bahwa memakan beberapa makanan manis (cokelat) dapat menurunkan risiko gagal jantung. Hasil dari penelitian tersebut: • Wanita yang memakan cokelat rata-rata satu atau dua porsi cokelat kualitas tinggi perminggu mempunyai risiko terkena gagal jantung yang lebih rendah sebesar 32%. • Wanita yang memakan cokelat 1-3 porsi perbulan penurunan risikonya sebesar 26%. • Wanita yang memakan cokelat paling tidak satu porsi perhari tidak menunjukkan keuntungan efek perlindungan, hal ini mungkin dikarenakan adanya tambahan kalori dari cokelat dibanding asupan makanan yang bernutrisi. Dari sebuah penelitian jangka pendek disebutkan bahwa di dalam cokelat terkandung senyawa flavonoid dengan konsentrasi tinggi yang dapat menurunkan tekanan darah. Tetapi Murray Mittleman, MD, DrPH dari Harvard Medical School direktur Cardiovascular Epidemiology Research Unit di Beth Israel Deaconess mengatakan bahwa studi yang baru ini adalah studi yang pertama kali dilakukan untuk menunjukkan hasil dalam jangka panjang yang khusus terkait dengan gagal jantung, di mana gagal jantung dapat disebabkan oleh tingginya tekanan darah yang tidak diterapi. Mittleman juga mengatakan bahwa tentu saja kita tidak bisa mengesampingkan cokelat adalah makanan yang mengandung banyak kalori dan kebiasaan memakan cokelat dalam jumlah banyak akan berisiko menaikkan berat badan, tetapi jika akan melakukan terapi, cokelat murni (dark chocolate) merupakan pilihan yang baik selama dikonsumsi dengan jumlah sedang. Studi ini melibatkan 39.227 wanita dari Swedia yang berusia antara 48 sampai 83 tahun. Wanita-wanita tersebut merupakan peserta dalam studi besar yang sedang berlangsung untuk menilai hubungan antara berbagai macam faktor gaya hidup dan risiko penyakit kronis. Para peserta studi mengisi kuesioner tentang kesehatan dan gaya hidupnya termasuk pertanyaan yang mendetil tentang diet dan asupan cokelat. Wanita yang tidak mengisi kuesioner dengan benar atau wanita yang mempunyai riwayat penyakit gagal jantung, serangan jantung, diabetes, atau yang sebelumnya didiagnosis menderita kanker tidak dilibatkan dalam penelitian sehingga jumlah akhir subjek penelitian sebanyak 31.823 wanita. Penelitian tersebut merupakan penelitian jangka panjang yang disebut Swedish Mammography Cohort. Peneliti menggabungkan hasil penelitian dengan data rawat inap di rumah sakit dan daftar penyebab kematian di Swedia antara tahun 1998 dan
2006. Di Swedia, cokelat susu (milk chocolate) mempunyai konsentrasi kakao yang lebih tinggi dari pada cokelat murni (dark chocolate) yang dijual di Amerika. Kandungan kakao yang lebih tinggi berhubungan dengan efek perlindungan yang lebih baik pada jantung. Peneliti mengatakan bahwa meskipun 90% cokelat yang digunakan untuk penelitian di Swedia adalah cokelat susu (milk chocolate), tetapi cokelat tersebut mengandung 30% kakao padat. Di Amerika, cokelat hanya mempunyai kandungan 15% kakao padat yang digolongkan sebagai cokelat murni (dark chocolate). Penulis menyebutkan bahwa dengan jumlah kandungan kakao yang setara, wanita di Amerika mungkin mendapatkan efek dari konsumsi cokelat lebih sedikit dan kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan cokelat yang dimakan oleh wanita Swedia pada penelitian tersebut. Ukuran porsi konsumsi cokelat untuk wanita Swedia berkisar dari 19 gram pada wanita usia 62 tahun ke atas sampai 30 gram pada wanita 61 tahun dan yang lebih muda. Namun, di Amerika ukuran porsi standar sebesar 20 gram. Perhatikan porsi cokelat yang dikonsumsi, sejumlah kecil cokelat murni (dark chocolate) dapat bermanfaat untuk kesehatan jantung selama tidak ada perubahan tingkah laku seperti kenaikan berat badan atau asupan makanan berlebihan yang tidak bernutrisi dan tidak berkalori. Peneliti menyarankan masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menguatkan hasil penelitian tersebut karena apapun yang dapat digunakan untuk membantu menurunkan kejadian gagal jantung layak untuk diteliti. Sumber: Does chocolate cut heart risk?. NHS Knowledge Service. Available at: http://www.nhs.uk/news/2010/08August/Pages/chocolate-and-heartfailure-risk.aspx Hendrick, B. 2010. Chocolate May Cut Heart Failure Risk. Available at: www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=118959
Latihan Fisik
Bisa Mengurangi Kanker Endometrium
P
ara peneliti mengemukakan bahwa wanita yang melakukan setidaknya 150 menit latihan fisik sedang sampai berat per minggu dapat mengurangi kemungkinan terkena kanker endometrium, terlepas dari indeks massa tubuh mereka. Menurut Hannah Arem, seorang mahasiswa doktor di Yale School of Public Health, mereka yang melakukan aktivitas fisik dalam jumlah yang disarankan memiliki kemungkinan terjadinya kanker endometrium 34% lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak aktif (OR 0,66, 95% CI 0,50-0,87). Terdapat penurunan yang konsisten terhadap
MEDICINUS 24(1), January 2011
57
medical news
kemungkinan kanker endometrium yang diperoleh melalui latihan, baik pada wanita dengan berat badannormal maupun wanita gemuk, dia melaporkan dalam konferensi American Association for Cancer Research Cancer Prevention. Kanker endometrial adalah kanker ke-empat yang paling umum di Amerika Serikat dan menurut Arem ada lebih dari 42.000 kasus baru di tahun 2009. Kirakira 80% risiko peningkatan penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor hormon dan gaya hidup, dan BMI sebagai faktor paling kuat. Arem dan rekan kerjanya mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik dan risiko kanker endometrial, terlepas dari BMI. Mereka melihat data dari 1.333 wanita – 668 orang dengan kanker endometrial dari populasi berdasarkan Rapid Case Ascertainment Shared Resource di Yale Cancer Center dan 665 orang sebagai kontrol dengan umur yang cocok. Semua wanita tersebut melengkapi kuesioner tentang demografi, paparan lingkungan, sejarah kanker, faktor-faktor gaya hidup, dan variabel lain yang mungkin berkontribusi pada risiko kanker endometrial. Mereka menyediakan informasi dalam 29 jenis aktivitas fisik yang berbeda. Peneliti kemudian mengubah jumlah dan intensitas latihan sehingga metabolic equivalents (METs) – 7,5 MET jam/minggu setara dengan 150 menit aktivitas yang sedang sampai berat per minggu. Setelah mengontrol BMI dan umur, wanita aktif (wanita yang beraktivitas lebih dari 7,5 MET jam/ minggu) mempunyai kemungkinan terjadinya kanker endometrial yang berkurang 34% dibandingkan dengan yang tidak aktif. Meskipun ada pengurangan kemungkinan kanker endometrial baik pada wanita dengan berat badan normal dan wanita gemuk, penurunan berat badan terbesar adalah pada wanita dengan berat badan normal yang aktif dibandingankan dengan wanita gemuk yang tidak aktif (OR 0,27 , 95% CI 0,19 sampai 0,38). Sumber: Arem H, et al. Physical activity and BMI in a population-based case-control study of endometrial cancer risk. AACR-CP 2010; Abstract B70
Pengaruh ASI dan Susu Formula Terhadap Perkembangan Saluran Cerna Bayi
A
ir Susu Ibu (ASI) sudah jarang diberikan para ibu untuk bayi-bayi mereka yang baru lahir. Mereka cenderung memberikan susu formula untuk bayinya, tapi tahukah bahwa ASI berbeda dari susu formula? Kemampuan untuk melacak gen apakah yang bekerja pada saluran cerna bayi, telah membuat tim peneliti dari Universitas Illinois untuk membandingkan perkembangan awal dari bayi-bayi yang diberikan ASI dengan bayi-bayi yang diberikan susu
58
formula, dan hasil penelitian mereka menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam penelitian yang dilakukan tim dari Univ. of Illinois, yang dipimpin Profesor Sharon Donovan, menunjukkan bahwa ASI bisa menginduksi jalur pembentukan gen yang berbeda pada bayi-bayi yang baru lahir apabila dibandingkan dengan bayi-bayi yang diberikan susu formula. Dan sampai sekarang belum ada susu formula yang bisa menyamai ASI dalam pembentukan gen-gen tersebut. Walaupun bayi-bayi dalam kedua kelompok studi tersebut Nampak sama dalam pertumbuhan dan perkembangannya, peneliti mengetahui bahwa bayi-bayi yang diberikan ASI memiliki risiko sakit lebih rendah yang dikarenakan adanya komponen imun-protektif pada ASI. Pada perkembangan saluran cerna bayi yang baru lahir, ASI pun memiliki peran yang tidak kalah penting. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ASI memberikan efek yang baik dalam perkembangan saluran cerna, khususnya pada usus. Hal ini ditunjukkan pada penelitian terhadap sel-sel usus yang diisolasi dari feses bayi, 12 bayi yang dberikan ASI dan 10 bayi yang diberikan susu formula, siklus sel-sel usus yang berlangsung hanya tiga hari ini dapat memberikan gambaran bagaimana perkembangan jutaan sel-sel usus dari mulai yang sederhana sampai sel-sel yang telah terdeferensiasi dan telah menunjukkan fungsinya terlihat bahwa perkembangan sel-sel usus bayi yang diberikan ASI lebih baik, di mana hal ini sangat penting karena saluran cerna pada bayi akan berkembang secara signifikan karena adanya respons makanan. Perkembangan sel-sel usus ini juga berperan dalam menjaga keseimbangan bakteri di saluran cerna karena seiring pertumbuhannya maka bakteri juga mulai muncul dalam saluran cerna bayi, sehingga saluran cerna perlu belajar dalam mengenali bakteri dan virus yang tidak baik bagi saluran cerna. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam pertumbuhan bayi adalah kemampuan saluran cerna dalam mengenal protein makanan sehingga tidak mengenalnya sebagai benda asing dan membentuk respons imun terhadapnya, karena apabila tahap ini terganggu maka bayi bisa mengembangkan dan mengidap alergi terhadap makanan berprotein. Potensi lain yang tidak kalah penting secara klinis dari perkembangan bayi adalah gen yang sering muncul (terekspresi) pada kelompok bayi yang diberikan ASI adalah gen yang berpengaruh terhadap respon sel terhadap kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen merupakan salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan necrotizing enterocolitis (NEC), semacam gangrene pada usus yang dapat berakibat fatal terhadap bayi prematur. NEC merupakan penyebab utama penyakit dan kematian pada bayi yang baru lahir prematur, dengan kejadian 2.500 kasus yang dilaporkan per tahunnya di AS dengan tingkat kematian mencapai 26%. Sumber: Chapkin RS, Donovan SM, et al. 2010. Noninvasive stool-based detection of infant gastrointestinal development using gene expression profiles from exfoliated epithelial cells. American Journal of Physiology, Gastrointestinal and Liver Physiology. 2010
MEDICINUS 24(1), January 2011
Tips Sukses
Pencegahan Ulkus Diabetikum Lubbi Ilmiawan Medical Affairs Department, PT Dexa Medica, Jakarta, Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi kronik yang sering terjadi pada pasien Diabetes Melitus (DM). Sekitar 15% dari pasien DM akan mengalami ulkus diabetikum. Sedangkan insiden ulkus diabetikum setiap tahunnya lebih dari 2% di antara pasien DM dan sekitar 5-7,5% diantara pasien DM dengan neuropati perifer. Sekitar 85% amputasi ekstremitas bawah pada pasien DM didahului dengan ulkus diabetikum.1-3 DM merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh adanya resistensi jaringan terhadap insulin, kelainan sekresi insulin, atau keduanya.4,5 Sedangkan gejala klinis yang dapat ditemukan diantaranya gejala klasik berupa poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas dan juga gejala lain seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Untuk mendiagnosis pasien DM dapat dilihat pada bagan berikut.
Ketika kadar gula darah tidak terkontrol, maka dapat menimbulkan berbagai komplikasi, baik akut maupun kronik. Salah satu komplikasi kronik yang sering menimbulkan masalah adalah ulkus diabetikum.4 Diperkirakan biaya yang diperlukan untuk terapi satu pasien ulkus DM dalam 2 tahun adalah sekitar 28.000 US dollar (Rp. 263.200.000,-). Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara mencegah terjadinya ulkus DM dan pada akhirnya dapat mencegah terjadinya amputasi akibat ulkus DM.1-3
Dalam penangan pasien DM, harus dilakukan secara komprehensif agar gula darah terkontrol dan dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Empat pilar penangan DM tetap menjadi landasan yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan terapi farmakologis.4 Selain itu, untuk mencegah terjadinya komplikasi ulkus DM, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya: edukasi pasien, foot care/perawatan kaki, dan penggunaan alas kaki dan kaos kaki yang sesuai.1 Tips mencegah terjadinya ulkus diabetikum Pasien DM dan keluarga yang mendampinginya harus mendapatkan informasi yang cukup mengenai perawatan kaki yang baik untuk mencegah terjadinya ulkus DM, diantaranya:2,4 - Cuci kaki setiap hari dengan air hangat dan sabun, air dicoba terlebih dahulu dengan tangan (jangan terlalu panas), kaki jangan direndam, kemudian kaki dikeringkan dengan handuk secara hati-hati, terutama daerah di antara jari kaki. - Gunakan lotion pelembab untuk menjaga kaki biar tidak kering, tapi jangan digunakan pada area di antara jari kaki. - Gunting kuku secukupnya, jangan terlalu pendek/ panjang, haluskan ujungnya biar tidak mudah melukai dan sebaiknya jangan memotong bagian pojok kuku terlalu dalam. - Jagalah kaki dalam keadaan hangat, gunakan kaos kaki yang longgar selama tidur. - Jangan merokok atau duduk dengan menyilangkan kaki karena dapat mengurangi aliran darah ke kaki. - Jangan berjalan dengan telanjang kaki atau menggunakan sandal jepit terbuka, sebaiknya gunakan sepatu dan kaos kaki yang sesuai, kering dan bersih, jangan terlalu sempit atau terlalu longgar. Biasakan memeriksa sepatu sebelum memakai dan jangan menggunakan sepatu lebih dari 2 jam. - Ingatkan pasien agar segera melaporkan kepada dokter apabila ada kulit yang terkelupas/luka. Dengan diberikannya informasi yang lengkap kepada pasien dan keluarga, diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi DM terutama ulkus diabetikum dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Daftar Pustaka: 1. 2. 3. 4. 5.
Boulton AJM, et al. Neuropathic Diabetic Foot Ulcers. N Engl J Med 2004;351(1):48-55 Pinzur MS. Diabetic Foot. Emedicine 2009. (cited 2010 Nov 22). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1234396-overview. American Diabetes Assosciation. Consensus development conference on diabetic foot wound care. Diabetes Care 1999;22(8):1354-60 PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni: Jakarta; 2006 American Diabetes Association. Diabetes Care. 2006; 29(suppl 1): S43–S48
MEDICINUS 24(1), January 2011
59
60
MEDICINUS 24(1), January 2011