Luther dan
Pendidikan
KOMITE NASIONAL LUTHERAN WORLD FEDERATION 2012 1
Luther dan Pendidikan
Luther dan Pendidikan KN LWF Jalan Soetomo No. 9, Gedung KN LWF, Pematangsiantar - Sumatera Utara Website: www.kn-lwf.org Cetakan Pertama, Oktober 2012 ISBN: 978-602-18202-1-6
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Tata Letak dan Perwajahan: Akwidav Saragih Dicetak Oleh: Percetakan Tried Rogate-Medan 085359990277; 081376312277 2
Daftar Isi
Kata Pengantar .....................................................
5
Prakata ................................................................
7
1
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini ......................... Jan S. Aritonang
13
2
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas .............................................. Pdt. Dr. H.R. Panjaitan, D.Min
61
3
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan ....... Ridwin Purba
4
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan Yang Harus Diimplementasikan Segera Demi Kemajuan Para Siswa. .................................... 116 Sahat Gultom
5
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak ........................................... 127 Alida Nababan-Lbn. Tobing, MSc
6
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan: Perspektif Gender ........................................... 148 Asima Yanti Siahaan
97
Biodata Penulis ...................................................... 202
3
Luther dan Pendidikan
4
Kata Sambutan
Mengingat bahwa peran pendidikan sangat berpengaruh dalam pembangunan mental maupun spiritualitas seseorang, dan pada tahun 2012 ini Komite Nasional Lutheran World Federation (KN LWF) focus pada pembenahan pendidikan Sekolah Gereja, maka Buku ini hadir bagi kita. Luther dalam pengajarannya menitikberatkan pendidikan sebagai suatu metode pelayanan Firman. Katekhismus besar dan kecil demikian juga dalih-dalih yang dikeluarkannya merupakan sarana mendidik warga jemaat pada zamannya. Buku ini diterbitkan untuk mengingat kembali zending pada abad kesembilan belas dimana pendidikan Kristen mengambil tempat teratas khususnya di daerah Tapanuli dan Sumaera Timur. Hendaknya tidak merupakan sejarah saja, namun bertitik tolak dari itulah kita akan membenahi kembali pendidikan sekolah gereja yang disebut dengan pendidikan formal. Namun tidak stop sampai disitu saja, sebab gereja mempunyai tanggungjawab besar bag setiap warga jemaatnya. Gereja bukan sekedar mengurus hal-hal yang rohani saja, namun selama gereja berada di dunia ini, gereja akan tetap menghadirkan Kerajaan Allah. Buku ini juga diterbitkan tepat pada waktu gereja anggota KN LWF mengadakan Kebaktian Reformasi menyongsong 500
5
Luther dan Pendidikan
tahun Reformasi Luther. Apa yang telah direformasi oleh Luther pada tahun 1517 mengalami perkembanan sesuai dengan kemajuan zaman. Peran kekristenan di dunia yang pluralis ini sedang ditantang. Dalam tema FAITH in ACTION keluarga Lutheran mewujudkan dan menampilkan perbuatan-perbuatan iman seperti ajaran Yesus Kristus. Pendidikan haruslah terus menerus mendapat tempat serta perhatian karena peradaban suatu bangsa juga tergantung dari pendidikan bangsa itu sendiri. Akhirnya saya mau mengajak kita untuk memiliki Buku ini dan berpartisipasi melakukan FAITH in ACTION dalam seluruh lini: keluarga, gereja maupun masyarakat. Syalom Pdt DR Langsung Sitorus Ketua KN LWF
6
Prakata
Pendidikan merupakan tuntutan mendasar bagi banyak orang karena ketika melalui pendidikanlah seseorang memperoleh ilmu pengetahuan. Namun lebih dari itu, melalui pendidikan perobahan dalam diri seseorang terjadi. Paling tidak pendidikan menyangkut kompetensi dan juga pembangungan karakter dimana akan merobah pola pikir dan juga pola hidup seseorang. Pengertian pendidikan pada zaman dahulu dan sekarang tentulah berbeda. Pendidikan zaman sekarang akan dihubungkan dengan sekolah dan pengajaran. Sementara pada zaman dahulu pendidikan dihubungkan dengan pengajaran (= didache) namun tidak harus duduk pada bangku sekolah atau kuliah. Apakah Yesus menerima pendidikan formal seperti yang disebutkan diatas? Sepanjang yang dibuktikan oleh Alkitab, Injil justru menuliskan bahwa Yesus mengajar sejak umur 12 tahun. Pendidikan akan diperlukan seumur hidup manusia. Ada pepatah mengatakan “from womb to tomb” (dari kandungan sampai ke liang kubur). Bahwa pendidikan baik formal maupun non formal akan diperlukan oleh setiap orang. Missi penginjilan
7
Luther dan Pendidikan
selalu disertai dengan pendidikan. Nommensen juga memakai metode ini untuk menarik perhatian orang Batak dalam rangka pewartaan Firman di tanah Batak. Bagian pertama buku ini merupakan sejarah hadirnya pendidikan di Tanah Batak. Dahulu disebut dengan sekolah Zending. Bagaimana sekolah zending mempelopori pendidikan di Tanah Batak. Kejayaan pendidikan di Tanah Batak jelas terlihat sampai tahun 60 an. Sekolah Zending yang dimulai dari sekolah Guru Huria sampai kepada sekolah formal bahkan Universitas yang disebut Universitas HKBP Nommensen menjadi bukti bahwa gereja sangat memberi perhatian pada pendidikan. Kini sekolah zending itu mengalami penurunan mutu tahun demi tahun. Sekolah zending berganti dengan sekolah gereja. Inipun tidak dapat mengembalikan mutu seperti sediakala. Pendeta Jan Aritonang mengungkapkan sejarah perjalanan sekolah zending baik di Tanah Batak sampai kepada pemahaman Luther mengenai pengajaran. Akankah sekolah gereja mengembalikan pendidikannya seperti sekolah zending dahulu? Atau bagaimanakah keberlangsungan sekolah zending di masa kini? Tentulah hal ini menarik minat dan tekad gereja untuk memajukan pendidikan di sekolah gereja kini. Dengan demikian moralitas dan spiritualitas warga jemaat merupakan tanggung jawab kita bersama. Pendidikan kekristenan tentulah tidak terpisahkan dengan spiritualitas. Keseimbangan pengetahuan dan spiritualitas perlu diperhatikan. Dengan demikian semakin tinggi pengetahuan seseorang maka cara pandang dan pikir seseorng juga berubah dan peradabannya dinilai dari sana. Pdt HR Panjaitan mengungkapkan nilai-nilai spiritualitas yang masuk ke dalam pendidikan gereja sejak abad ke 5 sampai Reformasi. Juga
8
PRAKATA
pokok-pokok pengajaran Luther yaitu melalui Katekhismus besar dan kecil yang mampu menelusuri penghayatan iman jemaat pada saat itu. Dalam penerapan kini, diungkapkan bagaimana spiritualitas itu hendaknya menjadi ajaran pokok bagi keluarga Kriten, dimana orang tua sebagai pengajar bagi anak-anaknya di dalam keluarga. Unsur ini mungkin yang hampir hilang, dizaman modern ini. Teknologi telah mengurangi pertemuan-pertemuan antar manusia dan digantikan dengan dunia maya. Seyogianya ketika anggota keluarga berkumpul dan berbagi pengalaman kesehariannya, paling tidak, ada masalah yang dihadapi oleh masing-masing anggota dapat diatasi bersama. Pertemuan seperti ini juga menguatkan masing-masing anggota keluarga untuk saling mendoakan. Suatu hal yang tidak dapat dihempang oleh siapapun di dunia ini, yaitu kehadiran teknologi. Teknologi menempatkan dirinya di tempat teratas yang mampu sebagai suatu alat penyampai informasi di dunia ini. Mau tidak mau siswa sekolah beralih dan lebih cenderung memakai alat teknologi dan meninggalkan pengajaran lama dengan misalnya metode menghafal. Dengan teknologi dunia dapat dicapai dari mana saja dan semua dapat diakses melalui alat yang canggih. Teknologi ini sangat cepat berkembang dan perobahannya setiap saat. Oleh karena itu teknologi pendidikan sangat memainkan peranan untuk waktu kini. Sekolah-sekolah formal dimulai dari Taman Kanak-Kanak kini telah memperkenalkan computer. Murid Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum telah banyak mengakses dari internet untuk menambah bahan-bahan pelajarannya. Inilah yang diungkap-
9
Luther dan Pendidikan
kan Sahat Gultom yang membahas mengenai teknologi pendidikan: Suatu kemajuan yang harus diimplementasikan. Orang yang mampu mempergunakan teknologi adalah orang yang mampu melihat kemajuan dunia ini. Warga Indonesia khususnya generasi muda perlu diselamatkan dari keterpurukan zamannya saat ini. Kejahatan seperti korupsi, teroris, tawuran; kemiskinan seperti banyaknya pengangguran, sering terjadi demo akibat upah atau gaji yang tidak memadai; penyakit social seperti narkoba, HIV/AIDS, sering merupakan berita yang disampaikan hamper setiap hari di media massa, baik melalui oran maupun televisi. Ridwin Purba yang adalah dosen dan kerap bergaul dengan guru-guru sekolah di sekitar Sumatera Utara ini menilai bahwa pendidikan dan pengajaran di Indonesia perlu memperhatikan gejala tersebut di atas dan merelevansikan pendidian serta pengajarannya sehingga gejala tersebut dapat teratasi. Anak didik tidak dapat lagi diajar dengan metode monolog. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat adalah suatu metode dimana anak akan semakin mengasah otaknya untuk berpikir. Pemaksaan akan suatu jurusan yang tidak ada hubungannya dengan minat anak, perlu mendapat perhatian yang serius dari orang tua dan guru. Minat seorang anak tidak lagi dapat dipaksakan, justru sebaliknya semakin banyak dibuka pelajaran-pelajaran yang burhubungan dengan minat siswa dan harapan dari pada kemajuan zaman itu sendiri. Sehingga dengan demikian pendidikan mengajarkan nilai-nilai yang berhubungan dengan kemajuan zaman saat ini.
10
PRAKATA
Alida Nababan boru Tobing adalah pemerhati dan sekaligus pendorong kemajuan perempuan Batak, khususnya perempuan gereja. Pengalaman di aras nasional maupun inernasional, melahirkan tulisan ini sebagai pelajaran yang perlu dipahami oleh perempuan gereja. Kegigihannya untuk memajukan perempuan Batak sangat menginspirasi generasi senior maupun junior. Dalam tulisannya, dengan tegas beliau menggarisbawahi peranan Pemimpin dalam Gereja erat hubungannya dengan proses kemajuan perempuan gereja. Walaupun kunci kemajuan itu terletak pada perempuan sendiri. Berbagai hambatan diutarakan dalam tulisan ini, begitupun dengan saran-saran yang dapat dipakai oleh tiap persekutuan perempuan gereja untuk lebih meningkatkan partisipasi perempuan dalam membangun keluarga, gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia. Penyunting Basa Hutabarat
11
Luther dan Pendidikan
12
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini Jan S. Aritonang
Pendahuluan Membicarakan seluk-beluk sekolah zending, khususnya di Indonesia, bisa dianggap tidak perlu, karena ceritanya yang dimulai sejak sekitar 200 tahun yang lalu - sudah selesai sekitar 70 tahun yang lalu, dan gambaran konteks Indonesia pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu berbeda dari gambaran masa kini. Karena itu kita bisa saja berkata bahwa kebutuhan dan tantangan manusia pada zaman ini sangat berbeda dari pada masa zending. Kendati ada yang berpendapat demikian, namun kita akan melihat nanti bahwa ada sejumlah hal yang terjadi, terlihat, atau dilakukan (baik oleh pihak zending maupun oleh masyarakat yang berjumpa dengannya) masih relevan hingga kini. Kita tentu cukup paham, yang dimaksud dengan zending adalah badan atau lembaga penginjilan yang dibentuk oleh kalangan Kristen Protestan di Eropa dan Amerika Utara (baik gereja resmi maupun sekumpulan orang Kristen yang digerakkan oleh semangat penginjilan ke luar negeri) dan berkarya di
13
Luther dan Pendidikan
berbagai negeri di luar dunia Barat itu.1 Ada ratusan badan zending yang dibentuk, terutama sejak akhir abad ke-18, beberapa puluh di antaranya juga bekerja di Indonesia2. Kita tidak akan membicarakan semuanya, melainkan memilih dua di antaranya, yaitu (1) Nederlandsch Zendeling-genootschap (NZG) yang berasal dari Belanda dan bekerja di berbagai wilayah di Indonesia (termasuk Tanah Karo), dan (2) Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) yang berasal dari Jerman dan yang memandang karyanya di Tanah Batak sebagai primadona di antara sekian banyak lapangan zending yang digarapnya.3 NZG, karena berasal dari Belanda di mana gereja Protestan utama beraliran Calvinis4, menganut dan menyebarluaskan juga paham Calvinis di lapangan yang digarapnya, termasuk melalui sekolah-sekolah yang diselenggarakannya. Sejak awal kehadirannya di Indonesia (sejak 1815, lebih dulu dari RMG yang baru sejak 1835), NZG sudah mendirikan sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan.
Istilah zending berasal dari bahasa Belanda, yang secara harfiah berarti pengutusan. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah mission; tetapi di Indonesia istilah misi terutama digunakan untuk badan penginjilan yang dibentuk dan diutus kalangan Katolik Roma. 2 Pada awalnya nama Indonesia belum terdapat di dalam tulisan kalangan zending; mereka menggunakan nama yang digunakan oleh Pemerintah Belanda (yang waktu itu menjajah dan menguasai negeri ini), yaitu Nederlandsch-Indiç atau Hindia-Belanda, atau langsung menyebut daerahnya, misalnya: Tanah Batak, Borneo, Celebes, Papua, dsb. 3 Di Indonesia, selain di Tanah Batak, RMG juga berkiprah di Borneo (Kalimantan), Nias dan pulau-pulau sekitarnya sampai ke Mentawai, dan belakangan di Papua dan Jawa Timur. 4 Selain yang menganut paham/aliran Calvinis, di Belanda ada juga beberapa gereja dan zending lain yang menganut paham lain, misalnya Lutheran (yang a.l. bekerja di pulau-pulau Batu, dekat Nias, sejak 1889), dan Mennonite (yang a.l. bekerja sejak 1851 di Jawa Tengah Utara, Tapanuli Selatan/Pakantan, dan Papua). 1
14
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
RMG berasal dari lingkungan gereja Protestan di kawasan Rheinland-Westfalen, Jerman bagian Barat, yang tidak sepenuhnya menganut ajaran atau aliran Lutheran. Gereja di kawasan itu menganut paham Uniert, yaitu gabungan dari Lutheran dan Calvinis. Karena itu tidak heran bila pandangan dan ajaran yang ditanamkannya di lapangan zending – termasuk yang mendasari pendidikan – merupakan kombinasi dari ajaran kedua reformator itu. Di Tanah Batak, misalnya, Katekismus Heidelberg5 lebih dulu diperkenalkan dan dipakai ketimbang Katekismus [Kecil] Martin Luther.6 Karena itu, kalau kita melacak dan menapak-tilas karya zending (khususnya RMG) di Indonesia (khususnya di Sumatera Utara) di bidang pendidikan/persekolahan, kiranya kita sadar bahwa itu tidak sepenuhnya diilhami oleh ajaran Martin Luther, kendati unsurunsur Lutheran ada di dalamnya. Dasar Pendidikan/Persekolahan Zending Badan-badan zending yang bekerja di Indonesia (juga di negeri-negeri lain) pada umumnya melaksanakan usaha pendidikan formal atau persekolahan sejak awal kiprah mereka.7 Selain untuk menunjang pencapaian tujuan praktis Katekismus ini disusun pada akhir abad ke-16 oleh Zacharias Ursinus dan Caspar Olevianus, dua teolog pengikut Calvin di Jerman. Terjemahan Indonesia sejak awal 1950-an diterbitkan Badan Penerbit Kristen dengan judul Pengajaran Agama Kristen. 6 Selama k.l. 100 tahun gereja-gereja yang didirikan – langsung atau tidak langsung – oleh RMG di Sumatera Utara hanya mengenal Katekismus Kecil Martin Luther. Baru pada awal 1990-an diupayakan terjemahan dari Katekismus Besar, dan diterbitkan BPK Gunung Mulia pertama kalinya tahun 1994. 7 Literatur yang mengkaji usaha pendidikan/persekolahan zending di Indonesia pada abad ke-19, terutama di Maluku dan Minahasa (tetapi sedikit-banyak juga membahas beberapa daerah lainnya, termasuk 5
15
Luther dan Pendidikan
zending sendiri, yakni supaya orang-orang yang mereka injili dapat membaca Alkitab dan literatur-literatur kristiani lainnya (terutama dalam bahasa sendiri), usaha itu juga didasarkan pada wawasan para reformator dan sejumlah tokoh pendidikan di Eropa sejak abad-abad sebelumnya dan dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita gereja tentang warga dan pelayan yang terdidik. Martin Luther, misalnya, bersama rekan-rekannya menyusun suatu rancangan mengenai Volkschule (Sekolah Rakyat) bagi seluruh rakyat Jerman. Hal ini sejalan dengan semboyan dan asas imamat am orang percaya yang Luther canangkan, di mana ia menghendaki agar setiap orang percaya (baca: orang Kristen) mampu membaca Alkitab dalam bahasa sendiri dan membaca literatur pengetahuan lainnya. Dengan begitu Luther adalah salah seorang penggagas pendidikan semesta (bagi semua orang) berlandaskan pendidikan keagamaan. Kendati agama merupakan mata pelajaran utama, itu tidak berarti bahwa sekolah sepenuhnya harus ditangani gereja. Menurut Luther, sekolah harus dikelola bersama oleh gereja dan negara. Bahkan tanggung jawab dan beban harus lebih banyak ditanggung negara, sesuai dengan fungsinya sebagai pelindung warga negaranya.8
Tanah Batak), adalah H. Kroeskamp, Early Schoolmasters in a Developing Country – A history of experiments in school education in the 19th century Indonesia (Assen: Van Gorcum, 1974). Khusus di Papua, lihat Decky Wamea, Peranan Zending dalam Bidang Pendidikan 18551962 (Manokwari: GKI Bethel Doom & Sasako Papua Publisher, 2010). 8 Kenneth O. Gangel e.a., Christian Education: Its History and Philosophy (Chicago: Moody Press, 1983), p. 140; W.J. Kooiman, Martin Luther (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), h. 132 br.; diacu juga dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 84-85. 16
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Mengenai kualitas pendidikan, menurut Luther langkah pertama yang harus diambil adalah meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru. Bagi Luther, fungsi pengajaran menduduki tempat kedua setelah fungsi pemberitaan Firman, sehingga jabatan guru (pengajar) menduduki peringkat kedua setelah pengkhotbah (pendeta). Oleh sebab itu guru harus dipersiapkan dan dibekali secara sungguh-sungguh, bukan asal diangkat saja.9 Mengenai tujuan pengajaran, bagi Luther bukan sekadar menanamkan seperangkat pengetahuan, melainkan – dan lebih dari itu – menanamkan dan membina disiplin, sehingga anak murid memperlihatkan ketaatan, baik di sekolah maupun di rumah. Tetapi disiplin yang dimaksudkan Luther bukanlah disiplin yang kaku, melainkan yang dihangati oleh cinta kasih dan kelembutan. Ia menentang penerapan disiplin yang kejam.10 Calvin, sejak awal penampilannya sebagai tokoh reformasi, telah menyadari dan mencanangkan pentingnya pendidikan untuk memajukan agama Kristen maupun untuk memperbaiki kehidupan pribadi-pribadi dan masyarakat. Kendati titik berat pendidikan bagi Calvin adalah memajukan agama Kristen dan memperbaiki kehidupan manusia, namun ia juga mementingkan penyampaian ilmu pengetahuan. Menurut Calvin, “walaupun kita memberi tempat pertama kepada Firman Tuhan, namun kita tidak menolak latihan yang baik. Tentu Firman Tuhan merupakan landasan bagi semua pengajaran, tetapi seni dan pengetahuan umum adalah sarana penopang untuk memiliki 9 10
Martin Luther, “Tentang Jabatan”, h. 36 br. Diikhtisarkan dalam Gangel e.a., Christian Education, h. 141 br. 17
Luther dan Pendidikan
pengetahuan yang lengkap tentang dunia, oleh karena itu tidak boleh diabaikan.”11 Calvin juga berpendapat, pendidikan diperlukan untuk mengamankan pemerintahan umum, mencegah Gereja dari perbuatan jahat dan mempertahankan kemanusiaan di tengah kehidupan manusia. Sehubungan dengan ini, karya praktisnya di bidang pendidikan adalah Akademi, yaitu lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Jenjang tertinggi di Akademi yang diresmikan tanggal 5 Juli 1559 ini dinamakan Schola Publica, yang kelak berkembang menjadi Universitas Jenewa. Selain oleh kedua reformator ini, kalangan zending juga diilhami dan dipengaruhi oleh sejumlah tokoh pendidikan dan filsafat di Eropa, baik dari aliran Naturalisme (misalnya J.A. Comenius, J.G. Herder, Immanuel Kant, dan J.H. Pestalozzi) maupun dari aliran Idealisme (misalnya J.G. Fichte, J.F. Herbart, G.W.F. Hegel, G. Klemm, dan F.W.A. Froebel).12 Dan yang tak kalah pentingnya adalah pengaruh Pietisme, mengingat bahwa pembentukan badan-badan zending dari Eropa itu sangat banyak didorong oleh semangat dan gerakan kesalehan yang berpadu dengan kebangunan rohani dan kebangunan penginjilan ini.13 Wawasan teologis-misiologis dan pedagogis zending banyak didasarkan padanya. Kita akan melihat sejenak dua tokoh Pietisme saja, yakni A.H. Francke dan N.L. von Zinzendorf. J. Calvin, “Risalah Pemerintahan Gereja” (1537). Pandangan kedua aliran ini serta tokoh-tokohnya di atas diikhtisarkan dalam Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, h. 87-96. 13 Ulasan yang mendalam tentang Pietisme a.l. terdapat dalam kedua karya Ernst Stoefler, The Rise of Pietism (21971) dan German Pietism during the Eighteenth Century (1973). 11 12
18
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
A.H. Francke (1663-1727), yang banyak belajar dari dan dipengaruhi oleh bapak Pietisme P.J. Spener, mengembangkan wawasan pendidikannya ketika menjadi dosen di Universitas Halle yang kemudian berkembang sebagai salah satu pusat Pietisme.14 Francke menegaskan, kunci utama keberhasilan suatu sistem pendidikan adalah guru. Karena itu Francke memprioritaskan pengadaan sekolah atau lembaga pendidikan guru, yakni Seminarium Selectum Praeceptorum (berdiri 1707). Di dalam kurikulum seminari itu Francke mencantumkan exercitium pietatis (latihan kesalehan) berdasarkan prinsip bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk watak kristiani yang saleh, dan cara terbaik untuk menanamkan kesalehan itu kepada para murid adalah memperlihatkan teladan kesalehan dari para guru. Sejajar dengan kesalehan, yang harus diteladankan guru adalah kasih. Kehidupan guru harus berpusat pada kasih, dan ia harus memperlakukan muridnya sebagaimana orangtua mengasihi anak-anaknya. Kasih tak perlu dipertentangkan dengan disiplin. Disiplin bukan berarti penerapan hukuman fisik yang keras atau kemarahan yang kasar, melainkan penanaman ketaatan dengan memperlihatkan ketegasan, digabung dengan kelembutan dan kehangatan. Francke mempraktikkan sendiri semua prinsip ini si seminari itu, dan orang mengakui kualitas tinggi dari guru-guru lulusan seminari itu.
Beberapa tokoh penting RMG (misalnya Gustav Warneck, August Schreiber, dan Johannes Warneck) juga menempuh studi teologi di Universitas Halle, selain di universitas-universitas lain.
14
19
Luther dan Pendidikan
Berbicara tentang watak kristiani yang hendak dibentuk melalui proses pendidikan, bagi Francke watak itu tak cukup berisi kesalehan, melainkan juga kebajikan. Agar memiliki kebajikan, di samping memperoleh pengalaman rohani para murid harus juga memperoleh pengetahuan yang cukup tentang ilmu-ilmu sekuler. Sebagai ungkapan nyata penghargaan Francke atas ilmu-ilmu sekuler, ia mendirikan Realschule, sekolah kejuruan yang terutama mengajarkan ilmuilmu nyata (real things; science). Dari sini sekaligus terlihat bahwa Francke juga menghargai dan dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Pencerahan. Ia tidak mempertentangkan – melainkan berusaha menggabungkan – kedua arus pemikiran itu dengan semangat kesalehan dari Pietisme. Namun demikian – berbeda dari para rasionalis pada umumnya, yang menghendaki agar lembaga-lembaga agama jangan mengurusi pendidikan – Francke menghendaki agar pendidikan, terutama pendidikan dasar, disupervisi oleh Gereja atau rohaniwan, agar pembinaan watak kristiani itu lebih terjamin. Sejalan dengan itu, di dalam kurikulum sekolah dasar maupun sekolah gurunya porsi pengetahuan agama bagaimanapun haruslah besar. N.L. von Zinzendorf (1700-1760) tidak banyak merumuskan teori pendidikan; ia lebih berusaha menerapkan asas-asas pendidikan yang telah dirumuskan Comenius dan Francke dalam hal-hal praktis, yakni dalam penyelenggaraan sekolah di lingkungan persaudaraan Moravia (Herrnhut). Di dalam kurikulum sekolah itu terdapat tiga unsur pokok: katekisasi, nyanyian rohani, dan pengetahuan Alkitab. Di dalam upaya mengajarkan ketiga hal ini, Zinzendorf berusaha memandangnya melalui mata seorang anak dan berorientasi
20
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
kepada dunia anak-anak. Di samping itu ia juga menggunakan metode liturgis: pengajaran Alkitab, Tanya-jawab Katekismus, dan Nyanyian Rohani (yang kebanyakan ia ciptakan sendiri) dirangkai menjadi suatu kesatuan liturgis, dalam suasana peribadahan. Penyiapan Para Zendeling di Bidang Pendidikan/ Persekolahan15 Wawasan dan praksis para reformator, filsuf, pedagog dan teolog yang disebut di atas memberi panduan bagi badanbadan zending, termasuk NZG dan RMG, dalam mendidik para calon zendeling di seminari masing-masing, maupun menyelenggarakan pendidikan di lapangan kelak, kendati porsi dan kadarnya berbeda-beda, dan di sana-sini diolah sesuai konteks. Mereka yang tamat dari seminari zending dan diutus menjadi zendeling ke berbagai negeri, termasuk ke Indonesia, juga memedomani dan mengembangkannya. NZG, yang berdiri tahun 1797 di Rotterdam-Belanda, semula belum memperhatikan usaha pendidikan, sehingga para zendelingnya pun belum dipersiapkan menjadi guru sekolah di lapangan. Di dalam Anggaran Dasar (AD) NZG yang pertama tidak ada rumusan eksplisit tentang usaha pendidikan sebagai sarana atau cara untuk mencapai tujuannya. Bahkan pada mulanya NZG juga tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai bagi para calon zendelingnya, sehingga banyak di Bagian ini terutama diikhtisarkan dari Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen , h. 99-144, dan Idem, “Streven en effect van het zendingsonderwijs in Indonesiç”, dalam Th. van den End et al. (eds.), Twee Eeuwen Nederlandse Zending (Zoetermeer: Boekencentrum, 1997), h. 115-128; dilengkapi beberapa sumber lain. 15
21
Luther dan Pendidikan
antara mereka, Joseph Kam16 misalnya, yang memperoleh pendidikan persiapan-zendeling di tempat yang disediakan badan zending lain. Baru sejak 1816 diselenggarakan seminari penuh waktu (tiga tahun), dengan mengikuti pola dan kurikulum sekolah guru, ditambah beberapa mata pelajaran khusus, a.l. Sejarah Kitab Suci, Sejarah Zending, Ajaran Yesus & Rasul-rasul-Nya, dan Metode Pekabaran Injil. Semuanya dikemas dalam tradisi Calvinis dan Pietis.17 Dalam perkembangan selanjutnya, sejak 1820-an, di dalam instruksi kepada para zendeling terdapat rumusan mengenai tugas di bidang pendidikan atau persekolahan. Khusus bagi NZG, pendidikan menjadi “the most important task of the missionary next to the propagation of the gospel” (Kroeskamp, h. 454), terutama sejak C.J. Neurdenburg, ahli pendidikan yang tersvr badan zending ini sejak 1864. Namun demikian, tidak mudah menyiapkan para calon zendeling menjadi guru sekolah, karena banyak dari mereka – pun hingga akhir abad ke-19 – yang dasar pendidikannya sangat rendah; hanya sedikit yang memiliki pendidikan menengah sebelum masuk seminari. Karena itu dari waktu ke waktu NZG bekerja keras meningkatkan mutu seminari ini. Seminari ini bersama kantor pusat NZG pindah ke Oegstgeest (dekat Leiden) tahun 1917 dengan nama
Josef Kam (1769-1833) adalah zendeling NZG yang pertama ke Indonesia; mulai bekerja sejak 1815, mula-mula di Surabaya (sebentar), selanjutnya di Maluku hingga Sulawesi. Dikenal dengan julukan Rasul Maluku. 17 J. Boneschansker, Het Nederlandsch Zendeling Genootschap in zijn eerste periode (Leeuwarden: Gerben Dykstra, 1987), h. 70-75. Bnd. Th. van den End, “Tweehonderd jaar Nederlandse Zending”, dalam Idem et al. (eds.) Twee Eeuwen Nederlandse Zending, h. 3. 16
22
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Nederlandsch Zendings-School, dengan syarat masuk ditingkatkan, antara lain minimal harus lulusan sekolah menengah, tanpa mengurangi aspek kesalehan, dan pendidikan setaraf perguruan tinggi teologi,. Teologi yang mendasarinya tetaplah teologi gereja Hervormd yang Calvinis (dan Teologi Etis), serta semakin banyak perhatian dan penghargaan terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk budaya dan agama mereka. Sebagai bagian dari kerjasama antar zending (dan antar negara), ada juga zendeling NZG yang dididik di Seminari RMG di Barmen, terutama mereka yang akan diutus ke HindiaBelanda (Indonesia). Begitu pula sebaliknya, ada juga sejumlah zendeling RMG yang mengikuti pendidikan [tambahan] di Belanda, termasuk di NZS Oegstgeest, bahkan direkrut dari kalangan orang Belanda. RMG, yang berdiri tahun 1828, menyelenggarakan pendidikan bagi para Missionar atau zendelingnya di Seminari Barmen (sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal). Pada awalnya pendidikan di Seminari Barmen berlangsung selama tiga tahun bagi para calon zendeling yang sudah tamat dari Sekolah Rakyat (Volkschule). Guru-gurunya pada tahap awal (antara lain J.H. Richter, J.C. Wallmann, dan G.L. von Rohden), sebagai penganut Pietisme, sangat menekankan pentingnya pengetahuan dan pemahaman mendasar atas Firman Tuhan di dalam Alkitab secara harfiah, karena di menurut keyakinan mereka di dalamnya disampaikan pengajaran tentang keselamatan dan diperlihatkan jalan menuju ke situ. Siswanya sejak awal juga sudah dipersiapkan menjadi guru Sekolah Rakyat.
23
Luther dan Pendidikan
Selain sudah lulus Sekolah Rakyat, syarat utama yang harus dipenuhi calon siswa - sesuai dengan semangat Pietisme - adalah kualifikasi rohani (geistliche Eignung), yakni “akal budi yang sudah diperbarui di dalam iman dan kasih kepada Kristus dan perilaku yng terpuji yang menggambarkan pembaruan hati.” Setelah itu barulah menyusul syarat kedua, kualifikasi intelektual (geistige Eignung) serta seperangkat pengalaman dan ketrampilan. Pada masa-masa selanjutnya syarat masuk maupun hal-hal yang harus mereka penuhi selama belajar di seminari (termasuk sikap mental dan spiritual) terus berkembang. Berkait dengan semua itu, kurikulum Seminari Barmen terutama berisi mata-mata pelajaran berikut: Pengantar Pengetahuan Isi Alkitab, Sejarah Kerajaan Allah, Pengajaran Iman dan Hidup Kristen, Sejarah Gereja Kristen, Geografi (Ilmu Bumi), Ilmu Alam, Bahasa (Inggris dan Belanda), Pedagogi, dan Retorika (Ilmu dan Latihan Berpidato). Sejarah dunia (yang juga mencakup Geografi, Etnografi, dan Sejarah Agamaagama) dipahami sebagai bagian dari Sejarah Kerajaan Allah, yang berkembang secara berangsur dan yang berpuncak pada parousia (kedatangan Kristus kembali). Di luar jam pelajaran di kelas, siswanya juga melakukan pekerjaan tangan, a.l. untuk menutipi kebutuhan hidup sesehari. Sebagai penganut Pietisme, para guru Seminari Barmen juga sangat menekankan latihan kesalehan, disiplin, kecermatan, ketertiban, dan ketaatan, yang dipadukan dengan suasana kekeluargaan. Semula ketaatan ditujukan kepada Allah, tetapi lambat laun juga ditujukan kepada pemimpin dan organisasi. Sebagai anak zamannya, para guru 24
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Seminari Barmen juga menghargai peradaban [Barat] dan ilmuilmu sekuler yang mendukung ataupun yang menghasilkannya. Karena itulah di seminari itu dipelajari juga sejumlah ilmu pengetahuan sekuler seperti terlihat di atas. Pada gilirannya semua itu juga diajarkan kepada masyarakat pribumi yang diinjili, dalam rangka pengadaban (sivilisasi). Namun demikian, bagi mereka peradaban [Barat] dan pengadaban [bangsabangsa pribumi] harus berlandaskan ketaatan kepada Tuhan, dan harus dicamkan bahwa bukan kebudayaan dan peradaban, melainkan imanlah yang memenangkan masyarakat pribumi yang masih ‘kafir’ itu bagi Injil Kristus. Sejak 1860-an terlihat perkembangan dalam penyelenggaraan Seminari Barmen, berkat perkembangan wawasan dan pengalaman guru-gurunya (terutama Friedrich Fabri, Gustav Warneck, dan August Schreiber). Pertama, semakin ditekankan kesatuan antara Gereja dan zending. “Zending haruslah merupakan lembaga gerejawi dan karya zending adalah suatu tugas gereja.”18 Salah satu konsekuensinya adalah, lulusan Seminari Barmen sebelum diutus terlebih dulu ditahbiskan menjadi pejabat gerejawi, d.h.i. pendeta. Pada gilirannya hal ini berdampak pada usaha pendidikan/persekolahan di lapangan zending: produk sekolah-sekolah zending dipersiapkan juga menjadi warga dan pelayan gereja, dalam rangka pembangunan Gereja Rakyat (Volkskirche) yang mencakupi seluruh rakyat. Kedua, kesatuan antara zending (dan Gereja) dan sekolah. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa Tuhan, Gereja F. Fabri pada pesta tahunan RMG 1884, dimuat dalam Berichte der Rheinische Missions-gesellschaft (BRMG) 1884, h. 263.
18
25
Luther dan Pendidikan
dan zending adalah pendidik dan bahwa usaha penginjilan pada hakikatnya adalah usaha mendidik. Bahkan Gustav Warneck menyebut zending sebagai ibu sekolah (Mutter der Schule). Sehubungan dengan itu, lebih dari sebelumnya, mata pelajaran Ilmu Mendidik (Pedagogik) sangat dipentingkan di Seminari Barmen, karena – terutama menurut Gustav Warneck – Pedagogik berhubungan sangat erat dengan ilmu penginjilan (Misiologi). Karena itulah nanti, di lapangan zending, setiap zendeling berusaha membuka sekolah seiring dengan mendirikan jemaat baru.19 Ketiga, dalam melaksanakan karya zending maka RMG perlu bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Untuk itu kepada para calon zendeling diperkenalkan juga sistem administrasi pemerintahan dan pendidikan [Barat] yang diberlakukan di daerah jajahan. Ini didasarkan pada pemahaman bahwa pemerintah, terutama pemerintah dari negara-negara Kristen (termasuk pemerintah kolonial), bahkan juga lembaga-lembaga perdagangan yang beroperasi di daerah jajahan, adalah alat Tuhan untuk mewujud-nyatakan Kerajaan-Nya, sehingga harus mendukung karya zending. Namun demikian, Schreiber juga mewanti-wanti agar pekerjaan zending terpisah dari kolonisasi/pemerintah kolonial, kendati perlu kerjasama di antara keduanya, termasuk di bidang pendidikan.20
Lihat a.l. G. Warneck, “Der Missionsbefehl”, dalam Allgemeine Missions-Zeitschrift (AMZ) 1874, h. 377-392, dan Idem, Mission in der Schule (Gütersloh: C. Bertelsmann, 1887), h. 1 br. 19
26
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Keempat, pendidikan/persekolahan harus membekali para murid dengan ketrampilan dan kecakapan bekerja (Erziehung zur Arbeit). Ini berkait dengan upaya peningkatan kebudayaan dan peradaban masyarakat pribumi, kendati disadari bahwa di dalam budaya dan peradaban – baik masyarakat Barat maupun Timur – itu terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan - dan karena itu perlu dibersihkan oleh - Injil. Bahkan bagi Fabri program peningkatan kebudayaan ini merupakan kewajiban kemanusiaan dan budaya (humanitãt-kulturellen Pflichten), yang pada gilirannya akan membawa peningkatan kesejahteraan ekonomi. Di sini juga penting dijalin kerjasama dengan pemerintah [kolonial]: pemerintah menangani pendidikan yang bersifat lahiriah (ãussere Erziehung), yaitu penyampaian seperangkat pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan zending menangani pembinaan batiniah (innere Umbildung).21 Para zendeling RMG di lapangan (termasuk di Tanah Batak) juga sangat menekankan hal ini, sehingga para lulusan sekolah zending pada umumnya terampil bekerja dan mudah mencari pekerjaan, yang pada gilirannya membuat taraf kehidupan sosial-ekonomi mereka meningkat pesat. Perkembangan wawasan itu diimplementasikan dalam penyelenggaraan Seminari Barmen. Studi pokok didahului oleh Vorschule (semacam matrikulasi) satu tahun, yang membekali Bahkan – sedikit berbeda dari Fabri – Schreiber mengingatkan fungsi zending sebagai kekuatan kontrol terhadap kolonisasi, agar hak masyarakat pribumi tetap terjamin dan kultur mereka terpelihara. Karena itu pula, menurut Schreiber, di dalam kurikulum sekolah zending harus ada tempat bagi kultur setempat. Lihat A. Schreiber, Cultur und Mission in Ihren Einfluß auf die Naturvölker (Barmen: Missionshaus, 1882) dan Idem, Mission und Kolonisation (Kiel, 1885). 21 K.J. Bade, Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit (Freiburg: Atlantis, 1975), h. 257-267. 20
27
Luther dan Pendidikan
siswanya dengan seperangkat pengetahuan umum. Pada masa studi pokok (semula tiga tahun, sejak 1873 menjadi empat tahun) studi teologi, termasuk bahasa-bahasa Alkitab, semakin dipersungguh. Siswa yang memiliki basis pendidikan lebih tinggi dari Volkschule juga diberi kesempatan mendalami ilmu-ilmu pengetahuan khusus, misalnya penerjemahan Alkitab, Pedagogik, dan Ilmu Bangsa-bangsa (Etnologi). Pada gilirannya beberapa dari antara zendeling RMG (sama seperti zendeling NZG) menjadi sarjana atau pakar di berbagai bidang ilmu itu. Beberapa Contoh Usaha Pendidikan/Persekolahan Zending Pada masa kiprah zending di Indonesia selama hampir satu setengah abad (sekitar tahun 1815 – 1942/1949) mereka mendirikan ribuan sekolah, yang terdiri dari berbagai jenis dan tingkatan, dan mendidik ratusan ribu (mungkin jutaan) warga masyarakat pribumi, dari anak-anak hingga dewasa, yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Di luar pulau Jawa dan Madura, terutama di daerah-daerah yang menjadi lapangan utama zending dan kelak mayoritas penduduknya beragama Kristen22, jumlah sekolah-sekolah zending jauh melampaui jumlah sekolah pemerintah (openbaar scholen). Laju pertumbuhan sekolah-sekolah zending itu sedikitbanyak ditopang oleh subsidi pemerintah, tetapi faktor utama adalah kesungguhan pihak zending dan sambutan positif Antara lain Tanah Batak, Nias dsk. (termasuk Mentawai), Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara dan Tengah (termasuk Sangir-Talaud), Tana Toraja, Timor dsk., Maluku, dan Papua. Tentu zending juga berkiprah (termasuk di bidang pendidikan) di Jawa (Barat, Tengah, dan Timur), tetapi tidak menjadi mayoritas. 22
28
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
masyarakat yang dilayani. Sambutan potitif itu tidak hanya dalam hal kesediaan bersekolah, melainkan juga kerelaan menyediakan sarana dan prasarana. Tetapi karya-pendidikan zending dan sambutan masyarakat itu tidak serta-merta berlangsung dan terlihat pesat; pada tahap awal sering kali sangat sulit dan lambat. Ada berbagai faktor penghambat pada kedua belah pihak yang berjumpa itu. Namun lambatlaun hambatan dan kesulitan itu dapat diatasi, dan keduabelah pihak menjalin kerjasama yang erat, baik dalam hal pengembangan pendidikan maupun perluasan dan pemantapan gereja. Sesuai dengan pembatasan tulisan ini, kita hanya akan melihat usaha pendidikan/persekolahan dari NZG23 dan RMG, itupun sebagian kecil saja, untuk sekadar memberi contoh. NZG menyelenggarakan persekolahan di berbagai daerah atau lapangan zending yang dilayaninya. Bermula di Maluku (terutama pulau Ambon dan sekitarnya), meluas ke Minahasa, Timor, Poso, Jawa Timur, hingga ke Tanah Karo.24 Di antara sekian banyak sekolah yang didirikan dan diselenggarakan NZG, akan diberi perhatian khusus pada dua sekolah, yang dapat disebut sebagai dapur dan jantung pendidikannya. Yang pertama adalah Sekolah Guru yang dipimpin B.N.J. Roskott di Batu Merah, Ambon, dan yang kedua Sekolah Guru yang dipimpin N. Graafland di Tanawangko, Minahasa. Namun
Untuk usaha pendidikan NZG, acuan utama adalah karya Kroeskamp, The Early Schoolmasters. 24 Khusus di Tanah Karo pada k.l. 25 tahun pertama (1890-1915), lihat a.l. dalam makalah J.H. Neumann, “Het Zendingsonderwijs van het NZG onder de Karo-Bataks” (± 1918). 23
29
Luther dan Pendidikan
sebelumnya akan kita tinjau selintas-kilas karya-pendidikan NZG, terutama di Maluku dan Minahasa. Karya pendidikan NZG dimulai dengan tibanya Josef Kam di Ambon pada tahun 1815. Pada waktu itu sudah ada sejumlah sekolah yang dikelola pemerintah Hindia-Belanda (sebagian merupakan warisan dari VOC yang sudah bubar tahun 1799). Sekolah-sekolah pemerintah itu pada umumnya merana, kurang terurus, sehingga Kam meminta kepada pemerintah agar sekolah-sekolah itu diurus oleh zending. Tetapi pemerintah menolak, dengan alasan bahwa persekolahan adalah urusan pemerintah. Penolakan itu membuat Kam dkk. berprakarsa untuk mendirikan sekolah di jemaat-jemaat yang mereka buka. Dalam perkembangan selanjutnya kita lihat bahwa usaha pendidikan/persekolahan yang diselenggarakan para zendeling NZG pada khususnya dan oleh semua badan zending asal Eropa pada umumnya berjalan berdampingan dengan pendidikan yang dijalankan pemerintah.25 Karena itu patut kita bertanya, kenapa Kam dan para zendeling NZG lainnya begitu bersemangat menyelenggarakan pendidikan, kendati pada mulanya cukup banyak dari mereka yang tidak sungguh-sungguh dipersiapkan untuk itu? Dokumen-dokumen yang tersedia menginformasikan bahwa halnya demikian karena: Pertama, para zendeling melihat bahwa sekolah merupakan sarana yang sangat efektif bagi pekabaran Injil dan penyemaian benih-benih gereja (seminarium, dalam arti yang paling mendasar). Karena itu tidak heran bila penyelenggaraan sekolah menyatu dengan 25 Penjelasan umum tentang hal ini lihat a.l. dalam Aritonang: Sejarah Pendidikan Kristen, khususnya bab I.
30
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
jemaat (termasuk tugas rangkap guru sebagai guru sekolah dan guru jemaat). Sejalan dengan itu mata-mata pelajaran di sekolah-sekolah yang diselenggarakan para zendeling (utusan NZG maupun badan-badan zending lain) - membaca, menulis, geografi, bernyanyi, dsb. - hampir sepenuhnya terarah pada penyampaian isi Alkitab dan penyiapan murid menjadi warga gereja. Kedua, karena - paling tidak pada tahap awal dan di sebagian lapangan zending - usaha pendidikan merupakan sarana yang sangat efektif untuk menjalin kontak dengan masyarakat. Secara konseptual sebenarnya apa yang hendak dilakukan para zendeling pada abad ke-19 itu belum banyak beranjak dari konsep dan praktik kesatuan gereja dan negara yang berlangsung di Eropa maupun Nusantara hingga akhir abad ke-18 (yakni pada zaman VOC). Pada masa VOC itu pun pendeta atau para penatuanya sudah sekaligus menjadi guru sekolah. Kalau begitu, alasan ketiga adalah, sebagaimana disimpulkan Kroeskamp, “to restore the old Christian communities in Batavia to their former glory” (Kroeskamp, h. 450). Sementara itu di sisi lain pemerintah sejak awal abad ke-19 sudah semakin meninggalkan konsep dan praktik itu, dan memberlakukan asas Pencerahan, antara lain sikap netral terhadap agama (dan gereja). Karena itu, ketika badan-badan zending, khususnya NZG, semakin bersungguh-sungguh berupaya menyelenggarakan pendidikan, yang terjadi bukanlah kerjasama yang semakin erat antara zending dan pemerintah Hindia-Belanda, melainkan ketegangan yang semakin besar mengenai tujuan pendidikan dan metode untuk mencapainya.
31
Luther dan Pendidikan
Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam kasus B.N.J. Roskott di Ambon. Setibanya di sana tahun 1834 sebagai utusan NZG yang secara khusus ditugaskan menangani dan neningkatkan kualitas pendidikan zending yang telah dimulai dan diwariskan Kam, ia segera membuka Sekolah Guru di Batu Merah, Ambon, dan sekolah ini dapat disebut sebagai sekolah guru yang pertama di Indonesia. Pada pasal 9 dari instruksi NZG kepada Roskott memang dinyatakan bahwa tujuan sekolah yang diselenggarakan NZG, yang sekaligus membedakannya dari sekolah-sekolah biasa (baca: sekolah pemerintah) yang sudah ada pada waktu itu, antara lain adalah “educating the children to become members of the Christian Community”.26 Tetapi oleh Roskott pelaksanaan rumusan itu tidak dipersempit artinya sehingga seakan-akan sekolahsekolah zending, termasuk sekolah gurunya, hanya bertugas menjejalkan ayat-ayat Alkitab serta mengajarkan mazmur dan nyanyian rohani saja. Khusus mengenai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Batu Merah itu, ternyata kurikulum maupun kualitas lulusannya tidak hanya menjawab kebutuhan dan memberi dukungan kepada gereja, melainkan juga menjawab sebagian kebutuhan pemerintah akan guru-guru sekolah yang bermutu. Karena itu tidak mengherankan bila sebagian besar sekolah rendah yang diasuh guru-guru tamatan SPG Batu Merah, baik sekolah pemerintah maupun sekolah zending, mendapat penilaian yang baik dari inspektur pendidikan yang ditugaskan pemerintah.
Kroeskamp, Early Schoolmasters, h. 66 br.; bnd. dengan rumusan instruksi kepada Hellendoorn di Minahasa pada tahan 1827, sebagaimana dikutip dalam ibid. h. 112.
26
32
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Bahkan tamatan sekolah-sekolah rendah itu mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan tenaga yang terampil bertani, bertukang dan melakukan hal-hal praktis lainnya. Dengan kata lain, sekolah-sekolah asuhan NZG sejak semula telah memberi sumbangan konkret bagi peningkatan kualitas hidup sosialekonomi masyarakat. Melihat hal itu mestinya SPG di Batu Merah itu memberi kepuasan bagi pemerintah maupun NZG, dan membuat hubungan kedua instansi ini menjadi akrab. Ternyata yang terjadi, terutama pada tahun-tahun terakhir sebelum SPG ini ditutup tahun 1864, adalah sebaliknya. Di satu sisi NZG menilai bahwa SPG itu maupun sekolah-sekolah rendah yang diasuh guru-guru tamatannya, terlalu melayani kepentingan dan tujuan pendidikan pemerintah, yakni menghasilkan naradidik yamg cerdas dan terampil. Sedangkan di sisi lain pemerintah memandang bahwa sekolah-sekolah yang diasuh NZG itu terlalu church-oriented. Roskott jadinya terjepit di tengah kedua kepentingan itu, kendati ia berusaha untuk mendamaikan dan menjembataninya. Akhirnya ia diberhentikan dari jabatannya, dan SPG Batu Merah yang sudah cukup berjasa bagi pendidikan di Maluku itu ditutup. Sekolah itu baru dibuka kembali sepuluh kemudian (1874) oleh pemerintah, ketika NZG sudah menghentikan seluruh pekerjaannya di Maluku seraya menyerahkan seluruh jemaat buah pekerjaannya kepada Indische Kerk, termasuk sejumlah zendeling yang mau memutuskan hubungan kerja dengan NZG dan diperbantukan kepada ‘gereja negara’ itu. Dari kasus itu kita melihat bahwa kendati usaha pendidikan NZG tidak mengingkari pentingnya - bahkan ikut meng-
33
Luther dan Pendidikan
upayakan - peningkatan kecerdasan dan kehidupan sosialekonomi masyarakat, namun kalau penanaman dan penumbuh-kembangan gereja tidak lagi menjadi tujuan utama, NZG tidak segan-segan menyerahkan usaha itu kepada pihak lain. Prinsip senada sering pula kita temukan pada badan zending lain. Tentu dalam hal ini berperan juga faktor-faktor lain, misalnya keterbatasan daya dan dana, namun semua itu besifat lebih sekunder. Kendati untuk mempertahankan prinsip dan tujuan utama pendidikannya itu NZG tidak segansegan bertarung dengan pemerintah, ataupun menyerahkannya kepada pemerintah, namun dalam kasus tertentu ada juga alasan lain yang membuat NZG mempertahankan usaha pendidikannya. Kita beralih ke Minahasa. Tidak berlebihan kesimpulan dan penilaian yang menyatakan bahwa pada zaman HindiaBelanda (1800-1942) Minahasa menduduki peringkat tertinggi dalam hal prestasi di bidang pendidikan. Dalam hal ini NZGlah yang patut mendapat kredit atas prestasi itu, baik melalui karya G. J. Hellendoorn selaku perintis karya dan pendidikan zending dan Nicolaas Graafland selaku “bapak pendidikan Minahasa”, maupun melalui guru-guru pribumi, termasuk hasil didikan Graafland di Sekolah Pendidikan Guru di Tanawangko. Sama seperti di tempat lain, di Minahasa pemerintah Hindia-Belanda (a.l. melalui Residen Van Olpen pada tahun 1844) juga sempat mencela usaha pendidikan NZG “especially on the prominent place the lessons in biblical history and religious instruction occupied on the curriculum” (Kroeskamp, h. 120), sampai-sampai ia mengeluarkan peraturan bahwa pengajaran agama harus diberikan di luar jam sekolah. Karuan
34
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
saja NZG menolak peraturan dan campur tangan pemerintah atas kebijakan pendidikannya ini. Syukurlah Gubernur Jenderal di Batavia mencabut peraturan ini dari sekolah-sekolah zending dan hanya memberlakukannya di lingkungan sekolah pemerintah. Itu tidak berarti bahwa para zendeling NZG tidak mempedulikan tuntutan pemerintah agar sekolah-sekolah zending luga memperhatikan peningkatan kualitas pendidikannya berpatokan pada tolok ukur yang baku dalam sistem pendidikan Barat. Apa yang dilakukan Graafland dengan SPG di Tanawangko maupun jaringan persekolahan yang dilayani para lulusan SPG ini membuktikan hal itu. Bakat besar Graafland di bidang pendidikan, maupun diskusi yang intensif dengan gurunya di Rotterdam, C.J. Neurdenburg, membuat ia mampu mengembangkan wawasan yang lebih luas dan mendalam. Bagi Graafland, pendidikan zending harus lebih dari sekadar ‘Christian Church education’, melainkan merupakan sarana untuk ‘Christian civilization’. “This civilisation would then at the same time prepare a favorable soil for the development of Christian communities. The principal idea was that the school should be an institute of education, training its pupils for a future place in their society” (Kroeskamp, h. 157). Dengan kata lain: penyelenggaraan pendidikan harus dalam rangka pembangunan seluruh masyarakat yang diresapi nilai-nilai peradaban kristiani. Wawasan itu juga memperlihatkan pemahaman tentang pendidikan: kalau sebelumnya dilihat sebagai hulpdienst (pelayanan pendukung), kini sudah semakin dilihat sebagai hoofddienst (pelayanan utama).
35
Luther dan Pendidikan
Bagi kita yang hidup pada abad ke-20 dan awal abad ke-21, istilah “peradaban Kristen” mungkin terasa mengganggu, karena kita sadar bahwa istilah itu mengandung aroma superioritas Barat abad ke-19, yang untuk sebagian telah runtuh oleh Perang Dunia I. Tetapi sebagai anak zamannya Graafland telah berhasil menerapkan wawasan itu di bidang pendidikan di Minahasa. Dan itu pulalah yang menjadi salah satu alasannya untuk memberlakukan sistem pendidikan Barat modern, mengajarkan bahasa Belanda serta memperkenalkan literatur Barat, yang pada gilirannya membuat SPG Tanawangko maupun jaringan sekolah NZG di Minahasa mendapat penghargaan dari masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan NZG menyelenggarakan persekolahan di Minahasa ini, dalam hal kuantitas maupun kualitas, agaknya menjadi salah satu faktor yang membuat sekolah-sekolah itu tidak ikut diserahkan NZG kepada pemerintah c.q. Indische Kerk (selaku ‘gereja negeri’) pada tahun 1875-1882. Dari berbagai tulisan yang menyoroti usaha pendidikan NZG di Minahasa ini kita mendapat informasi bahwa sejak 1870-an hingga 1930-an berlangsung situasi dan yang rumit antara NZG dan para guru di sekolah-sekolahnya dan pemerintah/Indische Kerk. Rangkaian peristiwa tarik-ulur – yang lazim dikenal dengan ungkapan conversie – di antara kedua belah pihak memperlihatkan kerumitan permasalahan itu. Namun di sisi lain kerumitan itu turut berperan mendorong
36
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
guru-guru sekolah zending untuk menperjuangkan kemandirian gereja di Minahasa.27 * * * Kini kita beralih ke usaha pendidikan RMG, khususnya di Tanah Batak (lazim disebut Batakmission). Sebelum melihat secara khusus beberapa sekolah, ada baiknya kita melihat sepintas gambaran umum perkembangan usaha pendidikan itu.28 Sesuai dengan asas kesatuan gereja dan sekolah, maka sejak babak awal karya RMG di Tanah Batak (1861-1882) badan zending ini telah mendirikan dan menyelenggarakan sejumlah sekolah sejajar dengan pembukaan jemaat-jemaat baru. Dengan kata lain: di mana ada jemaat, di situ ada sekolah. Pada tahap ini sekolah masih dilihat sebagai alat atau sarana penginjilan dalam arti penambahan jumlah orang Kristen atau warga gereja. Warga masyarakat tidak sertamerta menerima Injil dan memberi diri dibaptis (masuk Kristen) maupun menjadi murid sekolah. Mereka harus terlebih dulu diyakinkan akan manfaat menjadi Kristen dan belajar di sekolah. Karena itu pertumbuhan jemaat maupun sekolah pada babak awal ini belum sangat pesat, sebagaimana tergambar pada statistik di bawah.
Rangkaian permasalahan yang muncul di seputar penyelenggaraan pendidikan, khususnya menyangkut status dan hak para guru di sekolah-sekolah NZG dapat dibaca a.l. dalam S.C. Graaf van Randwijck: Handelen en denken in diest der zending (‘s Gravenhage: Boekencentrum, 1981), h. 620-633 (terjemahan Indonesia: Oegstgeest – Kebijaksanaan “Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 [Jakarta: BPK GM, 1989]). 28 Gambaran lengkap dan rinci dari usaha pendidikan Batakmission dapat dilihat dalam Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, bab IVVII. 27
37
Luther dan Pendidikan
Pada babak awal ini jenis sekolah juga masih terbatas. Dimulai dengan Sekolah Rendah atau Sekolah Rakyat (Volkschool) atau Sekolah Desa tiga tahun. Karena untuk sekolah jenis ini dibutuhkan cukup banyak guru yang merangkap sebagai guru jemaat (yang tidak dapat dipenuhi oleh para zendeling Jerman) maka sejak 1868 telah dibuka sekolah untuk menyiapkan tenaga-gerejawi pribumi, yaitu Sekolah Kateket di Parausorat. Sejak 1877 sekolah ini dipindahkan ke Pansurnapitu dan diberi nama baru: Seminari.29 Untuk pelayanan di jemaat dibutuhkan juga sejumlah penatua yang mampu tulis-baca-hitung (maklumlah, pada masa itu masyarakat masih butahuruf) selain memiliki pengetahuan Alkitab dan hal-hal gerejawi ala kadarnya, sehingga di jemaat-jemaat tertentu diselenggarakan juga Sekolah Penatua yang berlangsung beberapa bulan bagi sejumlah laki-laki dewasa yang terpanggil melayani (umumnya mereka berasal dari kalangan pemuka masyarakat atau pangituai ni huta). Bagi para perempuan yang berminat diselenggarakan juga serangkaian kursus (menyangkut kebersihan, kesehatan, kerapian, kerajinan tangan dan tulisbaca-hitung ala kadarnya, di samping pengetahuan agama). Di beberapa jemaat diselenggarakan juga latihan pertukangan sesuai dengan kebutuhan jemaat maupun masyarakat.
29 Tiga tahun sebelum Seminari Pansurnapitu dibuka, pada tahun 187477 sejumlah zendeling RMG menyelenggarakan pendidikan bagi calon pengerja-gereja pribumi dengan nama Sikola Mardalan-dalan. Disebut demikian karena siswanya ‘mengembara’ dari lokasi tempat tinggal zendeling yang satu ke lokasi lain: hari Senin di rumah Nommensen, Selasa di rumah Johannsesn, Rabu di rumah Mohri, dst. Cara ini dipandang sangat melelahkan siswa, sehingga dihentikan dan diganti dengan seminari yang lebih permanen.
38
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Memasuki babak kedua (1883-1914), persekolahan RMG mencapai puncak laju perkembangannya. Ada berbagai faktor penunjang, antara lain: perluasan wilayah kerja RMG (semula hanya di Sipirok-Angkola dan Silindung; pada periode ini meluas ke Toba, Samosir, Simalungun, Karo dan Dairi), pertambahan tenaga zendeling Eropa (di antaranya terdapat beberapa yang khusus menangani usaha pendidikan/persekolahan), pemantapan wawasan (teologis-misiologis maupun pedagogis), subsidi pemerintah, dan hasrat masyarakat yang semakin menggebu untuk bersekolah. Seiring dengan faktor-faktor penunjang itu, pada periode ini jumlah dan jenis sekolah pun bertambah dengan sangat pesat. Pada aras pendidikan dasar, sejajar dengan pertumbuhan jumlah jemaat, jumlah Sekolah Rakyat (SR) biasa bertumbuh hampir sepuluh kali lipat (lihat statistik di bawah). Selain SR biasa (3 tahun), ada SR khusus untuk Putri (Meisjesschool), Sekolah Anak Raja, dan Sekolah Dasar berbahasa Belanda (Hollands Inlandsche School, HIS). Pada aras sekolah lanjutan atau menengah (semuanya kejuruan) terdapat Seminari, Sekolah Industri (=Pertukangan), Kursus Perawat dan Bidan, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Tenun & Renda. Pertumbuhan kuantitatif itu juga diimbangi dengan pembenahan sistem pendidikan (mencakup kurikulum, metode mengajar, prosedur dan syarat masuk, penggalakan literatur, serta pembinaan dan peningkatan kualitas dan kecakapan guru). Memasuki babak ketiga (1915-1942), sekolah-sekolah asuhan RMG mengalami gejolak dan menempuh badai. Ada beberapa penyebab, antara lain: terobosan kultur modern
39
Luther dan Pendidikan
(yang di kalangan orang Batak melahirkan Gerakan Hamajuon30); gerakan kemandirian (yang membuat sejumlah pelayan dan warga menyempal dan mendirikan gereja baru); reorganisasi pendidikan oleh pemerintah (yang mengakibatkan pengetatan subsidi); krisis keuangan yang dialami RMG (akibat Perang Dunia I dan malaise); dan persaingan dengan misi Gereja Katolik Roma (yang juga gencar membuka sekolah). Di tengah turbulensi itu masih terlihat perkembangan kuantitatif, kendati tidak sepesat periode sebelumnya. Khusus dalam pendidikan perempuan terlihat kemajuan signifikan, a.l. pembukaan Meisjeskopschool (Sekolah Kepandaian Puteri), Sekolah Perawat & Bidan, dan Sekolah Bijbelvrouw. Sekolah berbahasa Belanda juga meningkat dengan dibukanya Sekolah Lanjutan berbahasa Belanda (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO). Tahun
Jumlah Jemaat (Induk & Cabang)
Jumlah Anggota Jmt
Sekolah Dasar Lanjutan
Guru
Murid
1867
7
115
7
-
-
120
1882
57
7.586
57
1
38
1.132
1898
172
37.156
183
1
182
6.880
1914
507
159.024
510
5
789
33.099
1938
758
416.206
646
5
1.110
55.481
Mengakhiri tinjauan umum ini, perlu dikemukakan sedikit catatan menyangkut hubungan zending dengan pemerintah
30 Di mata kalangan RMG (Batakmission), Gerakan Hamajuon ini lebih banyak membawa dampak negatif, misalnya munculnya sikap, pandangan dan perilaku yang menurut mereka bertentangan dengan ajaran Kristen. Di sisi lain gerakan ini menurut kalangan Batak Kristen tertentu justru merupakan ungkapan hasrat orang Batak untuk lebih maju lagi di segala bidang, yang dikekang oleh kalangan RMG yang pietis itu.
40
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
kolonial: ternyata pemerintah tidak selalu mendukung (termasuk memberi subsidi), melainkan sering kali justru menghambat, misalnya tidak mengizinkan pendidikan agama [Kristen] di sekolah-sekolah yang diberi subsidi. Padahal secara tidak langsung zending sudah membantu pemerintah, a.l. menyediakan tenaga terdidik untuk diangkat menjadi pegawai pemerintah. Namun di sisi lain harus juga dicatat bahwa pemerintah – secara sendiri maupun melalui zending – berusaha memajukan pendidikan masyarakat bumiputera, sehingga tuduhan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih banyak menindas dan kurang berusaha memajukan kecerdasan rakyat jajahannya tidak sepenuhnya benar. * * * Sekarang kita akan meninjau secara khusus beberapa sekolah Batakmission, yaitu dua sekolah guru (Seminari Sipoholon dan Seminari Narumonda) dan satu sekolah dasar berbahasa Belanda (HIS) di Tarutung. Ketiga sekolah ini dipilih, karena dalam banyak hal menggambarkan kesungguhan Batakmission menyelenggarakan persekolahan maupun permasalahan yang dihadapinya di bidang itu. Khusus kedua seminari ini dapat dipandang sebagai dapur sekaligus jantung pengembangan dan pembenahan sistem dan praktik pendidikan Batakmission. Seperti telah dikemukakan di atas, Batakmission telah memulai upaya mempersiapkan dan menyediakan tenaga guru sekolah sekaligus guru jemaat sejak 1868. Disadarinya bahwa kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada sistem pendidikan dan pembinaan guru. Seminari Pansur Napitu (18771900), betapa pun diselenggarakan dengan sungguh-sungguh
41
Luther dan Pendidikan
oleh guru-gurunya, terutama P.H. Johannsen, terbatas dalam banyak hal. Kehadiran J.H. Meerwaldt, zendeling khusus pendidikan, berasal dari Belanda tamatan Sekolah Guru di sana, mendorong Batakmission untuk membenahi sistem pendidikannya, yang dimulai dengan pendidikan guru-gurunya. Pembenahan dimulai di Seminari Pansur Napitu sejak Meerwaldt tiba dan bertugas di sana, dan dilanjutkan setelah seminari itu pindah ke tempat yang baru, yang jauh lebih baik, di Sipoholon sejak 1901. Pembenahan seminari ini mencakup sejumlah aspek, antara lain: (a) pengadaan sarana dan prasarana belajar yang memadai (ruang belajar dengan segala perlengkapannya, buku pelajaran, asrama, dsb.); (b) sistem seleksi calon siswa secermat mungkin; (c) kurikulum yang bertujuan “memantapkan dan melanjutkan perluasan Gereja Kristus di Tanah Batak”; dan (d) dan penempatan lulusan yang bersifat ikatan dinas. Pembenahan itu berlanjut ketika Batakmission membuka seminari kedua di Narumonda sejak 1907, kendati di antara kedua seminari itu ada semacam persaingan, baik di antara guru-gurunya (terutama antara Johannes Warneck dengan gaya Jermannya dan Meerwaldt dengan gaya Belandanya) maupun di antara masyarakat pendukungnya (Silindung dan Toba). Berbarengan dengan pembenahan sistem pendidikan guru di seminari, dilakukan juga pembenahan sistem pendidikan dasar, antara lain mengingat bahwa lulusan Sekolah Dasar inilah yang menjadi calon siswa seminari. Menurut Meerwaldt, kendati para calon siswa seminari itu adalah lulusan terbaik dari SR atau SD di kampung dan jemaat masing-masing, namun
42
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
sebagian besar tidak tahu apa-apa. Tetapi itu bukan salah mereka, melainkan karena kondisi SD itu sebagian besar buruk, baik gurunya, perlengkapannya, organisasi dan tatatertibnya, maupun kurikulum dan metode mengajarnya. Dengan kata lain pembenahan di seminari mesti berkait langsung dengan pembenahan pendidikan dasar. Untuk membenahi mutu SD dan mutu calon siswa seminari, ditempuh dua cara. Pertama, menyelenggarakan kelas persiapan atau Vorschule (bnd. yang di Seminari Barmen) bagi tamatan SD yang mau melanjut ke seminari. Kedua, menyelenggarakan Sekolah Latihan (Übungschule) sebagai sekolah contoh untuk semua SD, sekaligus tempat praktik siswa seminari (semacam Lab School di IKIP atau di Universitas Pendidikan pada masa kini). Khusus menyangkut pembenahan kurikulum seminari, sejak 1885 (masih di Pansur Napitu) sebenarnya sudah diupayakan peningkatan, baik dalam hal masa belajar (menjadi empat tahun), maupun jumlah dan bobot mata-mata pelajaran. Tetapi menurut Meerwaldt pembenahan itu belum memadai dan mendasar, karena belum sepenuhnya mengacu pada tujuan pendidikan, yakni menyiapkan tenaga guru yang berdwifungsi di sekolah dan gereja dalam rangka perwujudan Gereja Rakyat yang mandiri. Lagi pula, menurut dia, Johannsen menetapkan terlalu banyak mata pelajaran dan menggunakan metode menghafal secara mekanistik. Karena itu setelah Seminari Pansur Napitu pindah ke Sipoholon, selama beberapa tahun (1902-1908) dilakukan lagi beberapa kali pembenahan kurikulum berdasarkan tiga asas: (1) asas pendalaman kekristenan; (2) asas kemandirian; dan (3) asas peningkatan kultur (=kesejahteraan sosial-ekonomi). Lama belajar tetap
43
Luther dan Pendidikan
empat tahun; jumlah mata pelajaran dikurangi (sekaligus diseimbangkan antara mata-mata pelajaran umum dan keagamaan/gerejawi sesuai tuntutan pemerintah), tetapi bobotnya ditambah. Kurikulum baru itu berlaku baik di Seminari Sipoholon maupun di Seminari Narumonda (yang kemudian ditutup tahun 1919 dan dialihkan menjadi HIS). Selain pembenahan kurikulum, dilakukan juga berbagai upaya pembenahan dalam hal prosedur dan syarat masuk; peningkatan/pembinaan disiplin dan watak kristiani; dan penggalakan penambahan literatur, terutama buku pelajaran (baik terjemahan, saduran, maupun karangan guru dan lulusan seminari). Setelah siswa lulus dari seminari dan menjadi guru, dilakukan lagi berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan kecakapan mereka melalui serangkaian program, antara lain konferensi (sekaligus pembinaan dan penataran) secara berkala, sayembara menulis, dan ujian kecakapan. Guru-guru terbaik bahkan diberi kesempatan melanjutkan studi untuk menjadi pendeta. Semua itu pada gilirannya meningkatkan mutu pendidikan dan persekolahan di Tanah Batak. Khusus mengenai HIS (dan MULO), perlu dikemukakan beberapa catatan. Sekolah berbahasa Belanda ini diselenggarakan RMG/Batakmission karena tuntutan masyarakat akan adanya sekolah jenis ini sangat besar. Masyarakat menghendaki sekolah jenis ini untuk memudahkan anak-anak mereka diterima menjadi pegawai pemerintah ataupun swasta internasional (perkebunan dsb.); dengan kata lain: didorong oleh motif sosial-ekonomis sesuai dengan semangat dan gerakan Hamajuon yang berkobar sejak awal abad ke-20. Semula Batakmission enggan membuka sekolah ini, karena ia tidak
44
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
menyetujui semangat Hamajuon yang dinilainya sangat duniawi itu, dan kuatir bahwa anak-anak Batak Kristen akan tercabut dari lingkungannya (karena akan keluar dari Tanah Batak). Tetapi karena pemerintah membuka banyak HIS (selanjutnya MULO) yang bersifat religionslos (tidak mengajarkan agama), Batakmission akhirnya memenuhi tuntutan ini. Sampai akhir babak kedua (1914) baru ada dua HIS, yaitu di Sigompulon-Tarutung dan Sidikalang. Tetapi setelah itu dibuka beberapa lagi: Narumonda (1919, ex Seminari), Medan (1929), Pematang Siantar (1932), Sibolga (1934), Padang Sidempuan (1935), Simsim (1937), dan Sipirok (1938). Selain itu dibuka juga beberapa sekolah berbahasa Belanda lagi, a.l. MULO (di Tarutung 1927, lanjutan HIS), serta Schakelschool31 di Simorangkir (1931), Pematangsiantar (1931), dan Pematang Raya (1932). Sekolah-sekolah ini dilengkapi dengan internaat (asrama) yang memberlakukan disiplin yang ketat dan menjadi tempat pembinaan mentalspiritual. Walaupun uang sekolah dan biaya lain sangat tinggi – jauh lebih tinggi dari sekolah sejenis yang diselenggarakan pemerintah – hasrat masyarakat Kristen Batak tidak surut. Banyak orangtua rela menanggung derita (kurang makan, dsb.) dan menjual harta-benda asalkan anak-anak mereka diterima masuk ke sekolah ini. Kendati Batakmission mencela motif ‘duniawi’ para orangtua ini, toh kemudian mereka bergembira juga, karena ternyata banyak dari lulusan sekolah berbahasa
Schakelschool adalah sambungan (dua tahun lagi) dari Vervolgschool ataupun Standaardschool, yaitu SD 5 tahun, agar lulusannya setingkat dengan HIS dan bisa masuk MULO).
31
45
Luther dan Pendidikan
Belanda ini yang tetap terpuji dalam iman kristiani dan kesetiaan kepada Gereja. Banyak yang menjadi tokoh gereja dan persekutuan Kristen di perantauan. Pengamat tertentu juga menghargai hasrat masyarakat itu, karena itulah salah satu cara yang ampuh dan konkret untuk keluar dari kemiskinan, salah satu masalah sosial yang justru hendak ditanggulangi Batakmission juga melalui usaha pendidikannya. Keberlanjutan Sekolah-sekolah Zending Sejak 1940-an Pada zaman Jepang dan Revolusi/Perjuangan Kemerdekaan (1942-1949) sebagian besar sekolah-sekolah itu terlantar atau dialih-fungsikan. Khusus di Tanah Batak, kebanyakan orang Batak juga tidak sempat lagi bersekolah, karena kebanyakan terlibat dalam margurilla. Setelah pengakuan kedaulatan, yaitu pada masa Orde Lama (19501965) ada upaya untuk bangkit kembali. Tetapi gereja (baca: HKBP) tidak punya cukup personel maupun dana. Sejumlah sekolah yang dulunya sangat terkenal (misalnya HIS dan MULO di Tarutung dan Ambachtschool di Laguboti) diambil-alih oleh atau diserahkan kepada pemerintah, menjadi SMP, SMA dan STM Negeri. Ada juga yang diambil-alih oleh swasta, misalnya HIS di Narumonda-Porsea, yang menjadi SMP Karya. Yang tak kurang menyedihkan adalah sekolah-sekolah untuk puteri. Prinses Juliana Meisjeskopschool di Balige dan Meisjesschool di Laguboti (berdiri di dekat Sikola Bijbel-vrouw) yang termasyhur dan cantik itu, misalnya, setelah kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipertahankan sebagai Sekolah Kepandaian Puteri yang bermutu. Belum lagi sejumlah sekolah industri (pertukangan), a.l. di Sidikalang, dan sekolah
46
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
bidan a.l. di Nainggolan-Samosir, yang lenyap entah ke mana (mungkin beralih juga menjadi sekolah negeri). Syukurlah bahwa di tengah kemerosotan kualitas dan kuantitas pendidikan/ persekolahan itu ada perkembangan yang menggembirakan. Berkat bantuan dana dari Lutheran World Federation (LWF) – sebagai tindak-lanjut dari diterimanya HKBP menjadi anggota LWF – pada tahun 1954 berdiri Universitas HKBP Nommensen; dimulai dengan FKIP dan Fakultas Theologia di Pematangsiantar 1954, lalu disusul dengan Fakultas Ekonomi dan beberapa fakultas lain di Medan. Hingga 1960-an tamatan Universitas Nommensen – dari fakultas mana saja – terkenal kualitasnya; tidak kalah – bahkan dalam hal tertentu lebih unggul – dari USU. Tetapi memasuki dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seiring dengan kemelut yang terjadi di dalamnya, a.l. akibat masuknya orang-orang yang bermental kurang kristiani menjadi pemimpin universitas, kualitas universitas itu kian pudar. Seiring dengan itu semakin banyak orang Batak yang doyan dan berani menyandang gelar-gelar dan jabatan akademik (doktor, bahkan profesor) walaupun tidak pernah studi di perguruan tinggi. Akibatnya, kalau dulu Tanah Batak menduduki peringkat kedua terbaik di bidang pendidikan maka pada kurun waktu ini mungkin terpuruk menjadi salah satu daerah yang terbelakang, seiring dengan masuknya Tanah Batak sebagai bagian dari peta kemiskinan di Indonesia. Menyadari kemerosotan itu, mulai awal 1990-an didirikanlah beberapa sekolah menengah dan perguruan tinggi yang punya kualitas di atas rata-rata, a.l. SMA plus di SoposurungBalige (oleh T.B. Silalahi tahun 1992), SMA Negeri plus di
47
Luther dan Pendidikan
Matauli-Pandan-Sibolga (oleh Feisal Tanjung dan Akbar Tanjung tahun 1994), dan Politeknik Informatika Del di Sitoluama-Laguboti (oleh Luhut Panjaitan tahun 2001). Tetapi daya tampung yang terbatas dari sekolah-sekolah ini, demikian juga syarat masuk yang berat, membuat jumlah siswa yang dapat diterima sangat kecil dibanding jumlah seluruh anakanak Batak yang membutuhkan. Hal-hal yang Mendasar dan Relevan dari Pendidikan/ Persekolahan Zending Berdasarkan uraian di atas, terlihat banyak hal yang mendasar yang terdapat di dalam usaha pendidikan/ persekolahan zending, dan yang masih relevan hingga masa kini, yang dapat menjadi sumbangan berharga, baik bagi gereja dan umat Kristen Indonesia maupun bagi bangsa dan Negara Indonesia secara umum. Beberapa di antaranya adalah: (1) Kesatuan gereja dan sekolah. Ini dapat disejajarkan dengan keterpaduan isi Alkitab dan ajaran gereja dengan ilmu-ilmu sekuler; keduanya perlu diajarkan secara seimbang. (2) Perpaduan aspek dan kualitas intelektual (kecerdasan) dengan moral dan spiritual, yang dimulai sejak seleksi siswa sampai mereka selesai menempuh pendidikan. (3) Pembinaan watak (Charakterbildung) kristiani, termasuk pembentukan disiplin. Ini tidak hanya berlangsung di sekolah guru dan seminari), melainkan juga sudah sejak SD. (4) Kualitas guru. Melalui proses pendidikan yang ketat yang berlangsung di sejumlah sekolah dan seminari, dihasilkan
48
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
guru-guru yang berkualitas. Ini bida dibandingkan dengan produk sekolah guru dan seminari masa kini, yang sering memprihatinkan. (5) Erziehung zur Arbeit (pendidikan untuk [memberi kecakapan] bekerja. Pada masa zending hampir tidak ada lulusan sekolah mereka yang menjadi pengangguran, karena para lulusan itu tidak hanya dibekali dengan pengetahuan teoritis, melainkan juga berbagai ketrampilan praktis. (6) Kemandirian Gereja dan masyarakat. Karena sekolah menyatu dengan gereja, maka terlihat dampak ganda: ketika zending mengupayakan kemandirian Gereja melalui usaha pendidikannya, maka diusahakan dan dihasilkan juga masyarakat yang mandiri. (7) Profesionalisme. Zending mengusahakan pendidikan secara professional dan penuh kesungguhan, mulai dari perumusan visi dan misi, penyusunan strategi pengembangan (mencakup aspek geografis, personel, dsb.) hingga pelaksanaannya yang didasarkan pada pertimbangan dan perhitungan yang matang. Di samping itu masih cukup banyak nilai-nilai luhur yang diwariskan pendidikan zending, terutama ketika dipadukan dengan pendidikan [Batak] tradisional. Yang patut disebut antara lain adalah nilai-nilai ketuhanan/keagamaan/kerohanian, nilai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan (termasuk di dalamnya gotong-royong atau marsiadapari dan masiurupan), nilainilai budaya dan adat (termasuk penghormatan kepada orang tua), kerajinan, kerja keras, ketekunan (nunut si raja ni ompuna) dan keuletan (pantang menyerah, kesucian hidup,
49
Luther dan Pendidikan
kejujuran, penghargaan atas waktu, dan pekerjaan sebagai panggilan (Beruf, calling; bnd. Kej. 2:15 dan 2 Tes. 3:10). Hingga kini masih ada orang Kristen (termasuk Kristen-Batak) yang menganut serta mempraktikkannya. Masih cukup banyak dari mereka yang maju dalam karier dan usaha, termasuk menjadi kaya-raya dan meraih pangkat tinggi, karena memelihara dan memupuk nilai-nilai luhur tersebut. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, banyak dari nilai-nilai itu yang semakin tergerus dan kurang dihargai oleh orang Batak-Kristen, termasuk yang berpendidikan tinggi. Memang pada zaman dulu pun ada saja orang Batak yang menghalalkan segala cara untuk mencapai hamoraon dan hasangapon (bahkan juga hagabeon). Mestinya Kekristenan berhasil mengikis watak dan perilaku negatif yang ada pada para leluhur kita itu. Tetapi harus diakui bahwa Kekristenan, termasuk di Tanah Batak atau di kalangan orang Batak, tidak selalu berhasil mengikis watak dan perilaku negatif itu. Karena itu tak jarang kita melihat orang Kristen berpendidikan tinggi menjadi koruptor atau pelaku tindak kriminal lainnya. Sementara itu banyak pengacara Kristen yang hebat-hebat dan termasyhur – yang a.l. mewarisi nilai dan ketrampilan marpollung di partukkoan dari para leluhur – yang menjadi pembela para koruptor (maju tak gentar membela yang bayar). Melihat semua itu, ada baiknya kalau kita kembali menoleh dan bercermin pada warisan pendidikan zending, untuk kembali menghidupkan nilai-nilai luhur itu.
50
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
Situasi dan Kondisi Pendidikan Kristen di Indonesia Masa Kini Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya dikemukakan potret situasi dan kondisi Pendidikan Kristen di Indonesia pada masa kini. Tak dapat disangkal bahwa secara kuantitatif dan di beberapa daerah terlihat berbagai kemajuan di lingkungan pendidikan Kristen sejak Indonesia merdeka. Salah satu contoh yang monumental adalah berdirinya puluhan pergu-ruan tinggi Kristen. Hingga 2010 sekurang-kurangnya 40 perguruan tinggi Kristen Protestan yang bersifat umum (bukan perguruan teologi), di antaranya sekitar 20 berwujud universitas, mulai dari Universitas Kristen Indonesia di Jakarta (berdiri 1953), Universitas Nommensen di Medan dan Pematang Siantar (berdiri 1954), hingga Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (UKIT), UKIM di Ambon, UK Arta Wacana di Kupang, UKIP di Palangkaraya, UKIP di Sorong-Papua, UK Tana Toraja, Universitas Halmahera, UK Ottow-Geissler Jayapura, dsb. Ada juga yang tidak secara eksplisit menyebut diri universitas Kristen (misalnya Universitas Petra di Surabaya dan Universitas Pelita Harapan di Karawaci-Tangerang). Sebagian dari perguruan tinggi ini berada di bawah naungan gereja-gereja yang notabene merupakan produk karya zending, seperti halnya lebih dari 250 perguruan tinggi teologi Kristen Protestan, yang dicatat pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan - Departemen Agama RI.32 Sebagian besar dari 250-an perguruan teologi ini didirikan oleh gereja-gereja atau yayasan-yayasan yang beraliran Injili (Evangelical) dan Pentakostal, terutama dalam 30 tahun terakhir ini. Diukur dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah RI, banyak yang mutunya jauh di bawah standar minimal. Yang diselenggarakan oleh gereja-gereja ‘arus
32
51
Luther dan Pendidikan
Dalam hal mutu, ada dari Perguruan Tinggi Kristen (PTK) itu yang tidak kalah dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada umumnya, bahkan dengan banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN).33 Toh sebagian besar penyelenggara PTK itu mengaku belum puas, bahkan merasa ketinggalan, bila mereka membandingkan leading position yang dimiliki sekolah-sekolah Kristen pada zaman zending. Apalagi bila diperhadapkan dengan kenyataan, betapa sulitnya tamatan perguruan tinggi Kristen menperoleh kedudukan di dalam birokrasi pemerintahan (hal yang sebenarnya belakangan ini dialami oleh hampir semua sarjana Kristen lulusan perguruan tinggi mana pun). Bagi sebagian pembaca, mungkin fakta di atas menimbulkan pertanyaan bernada sinis, “kenapa tamatan perguruan tinggi di Indonesia berlomba menjadi birokrat?” Kalangan pendidikan Kristen, khususnya PTK, memang melihat perkembangan situasi di Indonesia akhir-akhir ini sebagai tantangan yang positif, agar tamatan PTK tidak bureaucraticoriented, melainkan entrepreneur-oriented. Idealnya memang
utama’, atau ‘tradisional’ (katakanlah sebagian besar dari anggota PGI) juga ada yang demikian. Semua ini ikut mengakibatkan citra buruk dari pendidikan Kristen Protestan di Indonesia. 33 Misalnya Universitas Pelita Harapan, yang baru berdiri pada awal 1990-an. Universitas ini dikelola secara profesional oleh sekelompok wiraswastawan (enterpreneur) muda Kristen (umumnya dari kalangan Evangelical). Dengan mengandalkan kredit bank sebesar hampir Rp.100 milyar, mereka membangun universitas tersebut (bersama TK, SD, SMP, SMU, yang biasa dikenal dengan istilah “sekolah unggulan”) bertaraf internasional, yang sangat mewah untuk ukuran Indonesia. Kalangan pendidikan Islam, a.l. Muhammadiyah, datang berkunjung dan mempelajari manajemen perguruan ini Toh hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan aktivis pendidikan Kristen sendiri, apakah pendidikan yang mewah seperti ini, yang hanya dapat menjangkau dan dinikmati kurang dari satu permil bangsa Indonesiaa, patut disebut pendidikan Kristen. 52
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
begitu, kendati kita juga mengingat bahwa dunia usaha di Indonesia sangat ditentukan oleh kebijakan politik. Namun demikian kita tidak boleh lupa, tamatan sekolah-sekolah zending pada masa lalu pun banyak yang sudah berorientasi birokratik. Kendati banyak zendeling mengecamnya, toh banyak yang tidak bisa menghalangi, atau malah bangga, karena pemerintah kolonial memang sangat membutuhkan mereka. Tetapi masalah lebih mendasar yang dihadapi Pendidikan Kristen di Indonesia adalah menyangkut Pendidikan Dasar dan Menengah.34 Tak dapat disangkal bahwa beberapa rumpun sekolah Kristen berkembang dalam hal jumlah maupun mutu, terutama yang ada di kota-kota besar; misalnya yang diasuh Yayasan Perguruan Methodist di Medan dan Palembang, Yayasan Badan Pendidikan Kristen Penabur (diselenggarakan Gereja Kristen Indonesia), dsb. Tetapi sebagian besar berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, terutama yang berada di daerah-daerah yang dulunya merupakan pusat karya zending (Tanah Batak, Nias, Timor, Maluku, Sulawesi Tengah, Papua, dsb.). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN No. 2/1989 dan UU Sisdiknas No. 20/2003) memang memberi Dalam buku Keputusan Kongres XIII Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) di Rantepao, 8-12 Oktober 1996, h. 183, diperlihatkan statistik jumlah sekolah-sekolah Kristn [Protestan] (termasuk guru dan murid) saat itu, mulai dari tingkat TK hingga SMA (SM Umum maupun SM Kejuruan), yang rata-rata hanya 2% dari keseluruhan sekolah di Indonesia. Dari segi persentase hal ini memperlihatkan kemunduran besar dibandingkan dengan keadaan pada zaman Hindia-Belanda, di mana sekolah-sekolah Kristen (yang didirikan zending/gereja ataupun organisasi Kristen independen) lebih banyak dari yang didirikan pemerintah. 34
53
Luther dan Pendidikan
peluang kepada pihak swasta, termasuk yang berciri agama, untuk berkiprah di bidang pendidikan. Tetapi di dalam praktiknya, sejak Indonesia merdeka, terutama pada dua dasawarsa terakhir ini, sangat banyak kendala yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan dasar hingga menengah Kristen, baik yang dikelola gereja maupun organisasi Kristen di luar gereja, yang notabene sebagian besar adalah pewaris usaha pendidikan zending. Di antaranya adalah: (1) Masalah Gedung: Seperti sudah dicatat di atas, sejak zaman Jepang banyak gedung sekolah zending/Kristen yang diambil pemerintah, yang hingga kini tidak dikembalikan, lalu dijadikan sekolah negeri/pemerintah. Sebagian menjadi demikian karena memang gereja setempat tidak mampu mengelolanya lebih lanjut, tetapi sebagian lagi karena memang pemerintah belum (atau tidak mau?) mengembalikan. (2) Masalah Guru: Pada zaman zending, sebagian besar guru sekolah zending mendapat subsidi gaji dari pemerintah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan ini masih berjalan, kendati gaji guru sangat kecil. Belakangan ini jumlah guru negeri yang ditempatkan di sekolah-sekolah Kristen sangat berkurang, sehingga banyak sekolah Kristen yang harus membayar penuh gaji gurunya. Hal ini terasa sangat berat, mengingat di mana-mana pemerintah mendirikan membiayai sepenuhnya SD, SMP, SM Umum dan SM Kejuruan Negeri. Hanya sekolah swasta yang bermodal kuatlah yang mampu bersaing dalam situasi seperti itu. Situasi ini semakin berat sejak pemerintah menghapus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), yang
54
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
sebelumya cukup banyak dikelola perguruan Kristen yang mendapat subsidi dari pemerintah. Karena itu banyak sekolah Kristen yang tidak berhasil memperoleh guru yang bermutu, baik yang dihasilkan oleh IKIP35 Negeri dan Swasta. (3) Masalah pelajaran agama: Baik di dalam UUSPN 1989 dan UU Sisdiknas 2003, maupun di dalan undang-undang lain, memang ada ketentuan yang mengharuskan pemberian pelajaran agama, mulai dari SD (bahkan TK) hingga Perguruan Tinggi; hal yang juga diperjuangkan zending pada masa lalu ketika berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang menganut asas netralitas. Tetapi ketentuan yang ada sekarang mengharuskan sekolah memberi pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa. Padahal sejak zaman zending sekolah Kristen memberi pelajaran agama Kristen kepada semua siswanya, karena hal itu dipandang sebagai salah satu pelaksanaan tugas pekabaran Injil. Sekolah-sekolah berciri agama lain pun sebenarnya menjalankan kebijakan sejenis. Dengan adanya ketentuan baru itu, sekolah-sekolah Kristen bergumul, apakah masih dapat mempertahankan jatidiri (identitas) dan ciri khasnya tanpa adanya mata pelajaran agama Kristen. (4) Kualitas pengabdian dan kesungguhan para pengelola: Tanpa menutup mata terhadap sikap paternalistik, superioritas, ataupun arogansi yang kadang
Sejak akhir 1990-an banyak yang sudah berubah menjadi Universitas Negeri (misalnya Universitas Negeri Jakarta) ataupun Universitas Pendidikan Negeri (misalnya Universitas Pendidikan Negeri Bandung).
35
55
Luther dan Pendidikan
kala terlihat di kalangan zending pada masa lalu, harus diakui dengan jujur den penuh hormat bahwa sebagian besar dari mereka mengabdikan hidup mereka dengan sangat sungguh-sungguh. Singkat kata mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi profesionalisme. Di kalangan pendidikan Kristen Indonesia dewasa ini tentu kita masih dapat menemukan orang-orang seperti itu, dan kepada mereka patut disampaikan rasa hormat yang tulus. Namun tak dapat diingkari bahwa tidak sedikit pula yang berjiwa petualang, ataupun yang didorong motivasi mencari kehormatan atau keuntungan pribadi. Karena itu tidak jarang kita menemukan kasus penjualan aset pendidikan Kristen oleh pengurusnya, lalu hasilnya sebagian besar dibagi-bagi di antara mereka, padahal aset itu adalah peninggalan zending ataupun lembaga pendidikan Kristen pada zaman Belanda.36 * * * Tidak cukup ruang untuk mengungkapkan berbagai permasalahan lain yang dihadapi pendidikan Kristen di Indonesia pada semua tingkat. Namun di tengah semua kesulitan dan kemunduran itu, belakangan ini terlihat kesadaran dan tekad yang tinggi untuk memperbaiki serta meningkatkan citra pendidikan Kristen. Sehubungan dengan itu, untuk menutup tulisan ini, berikut ini dikutip pandangan Prof. H.A.R. Tilaar, seorang pakar pendidikan di Indonesia,
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penjualan aset Himpunan Sekolah-sekolah Kristen (HSK) dan Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK) di pertigaan Jalan Salemba dan Jalan Diponegoro Jakarta Pusat, kepada Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) yang dananya didukung oleh Bank Muammalat. 36
56
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
mewakili orang-orang yang peduli pada masa depan pendidikan Kristen di Indonesia, yang mencerminkan kesadaran dan tekad itu37: Pendidikan Kristen adalah batu penjuru dari Gereja Kristen. Di dalam pendidikan Kristen terjadi pertemuan antara generasi yang ada dan generasi yang akan datang. Kesinambungan suatu gereja di dalam masyarakat hanya dapat terjadi apabila gereja ditopang oleh pendidikan yang relevan dengan itu. Oleh sebab itu pendidikan Kristen haruslah merupakan salah satu kepedulian pokok dalam setiap gereja di Indonesia. UUSPN memberikan tempat yang wajar bagi hidupnya pendidikan swasta, termasuk pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja-gereja kita. Sesuai dengan gelombang globalisasi yang sedang melanda dunia ini, maka perkembangan pendidikan Kristen di Indonesia perlu mencari paradigmaparadigma baru. ... Kualitas sumber daya Manusia (SDM) Kristen Indonesia yang dihasilkan oleh pendidikan Kristen adalah manusia Kristen yang penuh toleransi dan yang mempunyai kemampuan istimewa, sehingga ia dapat memberikan pengabdian yang sebesar-besarnya untuk kebahagiaan bangsa dan masyarakat Indonesia. Kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya akan menentukan kualitas pelayanan yang ia sumbangkan bagi pembangunan bangsa. Oleh sebab itu pendidikan Kristen tidak ada selain pendidikan yang berkualitas. Masyarakat Indonesia telah lama mengenal kualitas tinggi yang ditampilkan oleh lembaga-lenbaga pendidikan Kristen. Citra ini harus terus menerus dipupuk, bahkan lebih ditingkat-
H.A.R. Tilaar, “Arah dan Pengembangan Pendidikan Kristen Menapak Abad XXI”, makalah pada Sarasehan (Seminar) Pendidikan Kristen yang diselenggarakan MPPK, 6 Mei 1997 di Jakarta.
37
57
Luther dan Pendidikan
kan, karena ia harus bersaing dengan proses perkembangan SDM dari kelompok-kelompok lain yang juga meaginginkan mutu SDM-nya yang tinggi. Pendidikan Kristen harus ditempatkan di dalam proses persaingan yang sehat. ... Pengembangan SDM Kristen di Indonesia tidak dapat berjalan dengan sendirinya; itu perlu didukung oleb suatu organisasi yang kuat, mantap, berwibawa, dan operasional. Organisasi pendidikan Kristen dewasa ini masih dinina-bobokan oleh mimpi masa lalu yang memberi halusinasi terhadap pendidikan Kristen dalam era globalisasi ini. Hak-hak istimewa yang pernah dinikmati oleh pendidikan Kristen yang dilekatkan pada kekuasaan kolonial telah lama berlalu, namun masih tetap hidup dalam pikiran sementara manusia Indonesia. Menghapuskan citra negatif itu tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Citra yang positif terhadap pendidikan Kristen hanya dapat berkembang apabila organisasi pelaksananya terus berkembang, terus belajar, dan mengetahui kekuatan-kekuatan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Kesadaran akan kekuatan-kekuatan sosial politik tersebut akan lebih memecut masyarakat dan individu Kristen untuk berprestasi lebih baik. Prestasi yang lebih baik akan dihasilkan di dalam suatu organisasi yang dinamis. Hanya organisasi yang kuat yang dapat menelorkan program yang sehat, kuat dan operasional. Kita belajar dari masa lalu dan masa kini, bahwa organisasi yang lemah dari pendidikan Kristen Indonesia merupakan lonceng kematian dari pendidikan Kristen itu sendiri, bahkan bagi masyarakat Kristen Indonesia di masa depan. ... Sekarang sudah tiba waktunya berbenah diri, mewujudkan organisasi yang kuat, yang dapat melaksanakan visi dan misi pendidikan Kristen di Indonesia di masa depan. Perwujudan visi dan misi 58
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini
tersebut akan lebih efisien bila kita mempunyai organisasi yang dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga ahli yang profesional. Organisasi modern ini hanya dapat berdiri dan beroperasi bila didukung oleh kekuatan-kekuatan dari bawah, yaitu masyarakat dan individu Kristen itu sendiri, yang terhimpun dalam gereja-gereja yang ada di Indonesia.
Dengan kutipan ini sekaligus hendak diungkapkan tanggungjawab dan kesediaan gereja dan masyarakat Kristen Indonesia untuk meneruskan usaha dan pelayanan pendidikan yang sudah dilakukan zending pada masa lalu, demi memenuhi tugas-panggilan yang Tuhan embankan padanya, dan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
59
Luther dan Pendidikan
Kepustakaan Terbatas: Aritonang, Jan S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Boneschansker, J. Het Nederlandsch Zendeling Genootschap in zijn eerste periode. Leeuwarden: Gerben Dykstra, 1987. End, Th. van den et al. (eds.), Twee Eeuwen Nederlandse Zending. Zoetermeer: Boekencentrum, 1997. Gangel e.a., Kenneth O. Christian Education: Its History and Philosophy. Chicago: Moody Press, 1983. Hutauruk, J.R. Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus. Sejarah 150 Tahun HKBP. Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2011. Kooiman, W.J. Martin Luther (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973. Kroeskamp, H. Early Schoolmasters in a Developing Country. Assen: Van Gorcum, 1974. Stoefler, Ernst. The Rise of Pietism. Leiden: E.J. Brill, 21971. ————————. German Pietism during the Eighteenth Century. Leiden: E.J. Brill, 1973. Wamea, Decky. Peranan Zending dalam Bidang Pendidikan 1855-1962. Manokwari: GKI Bethel Doom & Sasako Papua Publisher, 2010.
60
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas Pdt. Dr. H.R. Panjaitan, D.Min Pendahuluan Peradaban manusia semakin dimaknai, dihargai dan dihormati ketika orang mampu memahami bahwa peradaban itu adalah bagian yang melekat dalam diri setiap individu manusia. Peradaban adalah tata nilai (values order) dan tata laku (action order) dari setiap individu. Manusia bernilai, punya harkat martabat tergantung bagaimana dia menjunjung dan menegakkan nilai kemanusiaannya dalam perilaku atau tindakannya. Peradaban, tentu bermakna lebih luas dan lebih fokus individual dibanding dengan adat-budaya (culture) secara maknawi. Adat-budaya tentu berhubungan dengan norma, hukum atau aturan yang telah disepakati bersama menjadi acuan bagi seseorang dalam bertindak atau berperilaku berhubungan dengan (anggota) komunitas. Peradaban lebih pada nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh seseorang dan nilai itu dinyatakan dengan perilaku atau tindakan. Seseorang berpikir atau memunculkan sesuatu di dalam hatinya adalah berhubungan dengan peradabannya. Sesuatu yang dipikirkan atau yang muncul di dalam hati itu akan disosialisasikan kepada orang lain seturut dengan adat-
61
Luther dan Pendidikan
budaya yang dimiliki. Itu sekedar perbandingan pengertian tentang peradaban dengan adat-budaya. Peradaban yang menekankan tentang tata nilai dan tata laku itu akan semakin dipahami dan dimengerti ketika manusia semakin mempunyai kemampuan yang semakin tinggi secara kognitif intelektual. Karena, secara logika, bagaimanakah seseorang dapat memahami nilai kalau kemampuan intelektualnya belum sampai pada tingkat memahami nilai? Kemampuan intelektual untuk memahami nilai tentu diperoleh dari hasil didikan yaitu pengajaran dan pendidikan. Semakin tinggi hasil didikan yang diperoleh oleh seseorang maka semakin tinggi pula pemahamannya atas nilai sesuatu termasuk nilai kemanusiaan. Tentu ada kekecualian bagi mereka yang abnormal secara moral dan mental. Semakin tinggi pemahaman atas nilai kemanusiaan, maka semakin tinggi pulalah nilai, harkat dan martabat kemanusiaan. Semakin tinggi pemahaman-pemahaman seperti ini, maka akan semakin terbangunlah karakter-karakter kemanusiaan yang berorientasi kemanusiaan secara komprehensif, yaitu manusia seutuhnya dan alam sekitarnya. Sebaliknya, tanpa pemahaman sebagaimana disebutkan di atas, maka nilai, harkat dan martabat manusia akan runtuh. Masyarakat menjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya). Jaman menjadi jaman kekejian dan anti kemanusiaan. Saya illustrasikan dengan pengalaman-pengalaman sukusuku bangsa di sekitar kita. Ketika suku Batak belum terdidik atau belum mengenal sistim pendidikan modern, maka nilai kemanusiaan tidak mempunyai tempat. Perang dengan saling membunuh antara satu dengan lainnya sering terjadi. Untuk
62
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
memenangkan perang, maka orang berguru kepada datu atau dukun. Kemudian, datu atau dukun ini selanjutnya dinamai “orang pintar.” Kenyataannya, “orang pintar” ini bukan mempunyai tugas dan tanggungjawab agar anak-anak didiknya mempunyai karakter menghidupkan atau mengasihi, melainkan agar anak didiknya dapat memenangkan peperangan atau pertikaian. Nilai, harkat dan martabat perempuan tidak dihargai. Perempuan ada hanya untuk melahirkan anak. Kalau perempuan tidak melahirkan anak atau melahirkan anak tetapi tidak melahirkan anak laki-laki, maka perempuan itu dapat diganti atau ditambah. Perempuan diperjualbelikan untuk membayar hutang dan lainnya. Sudah barang tentu, bahwa didikan seperti ini tidak mengenal pembangunan “bangsa Batak” yang bersatu, berkarakter dan menghargai nilai kemanusiaan. Jaman “bangsa Batak” ketika itu, kemudian disebut dengan jaman kegelapan, di mana nilai, harkat dan martabat manusia tidak dihargai. Dari pemahaman di atas, maka pendidikanlah menjadi tiang utama atau soko guru dari pembangunan manusia seutuhnya, yang kemudian menjadi pembangunan masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan Informal. Pendidikan formal ditempuh dengan pendidikan terstruktur dan terprogram, sedangkan pendidikan informal adalah pemahaman yang berdasarkan pengalaman. Sudah barang tentu, bahwa pendidikan formallah yang berlaku secara umum atau global, terbuka dan menerobos batas-batas, sementara pendidikan informal berlaku secara lokal dan terbatas.
63
Luther dan Pendidikan
Terminologi Pendidikan Kata “pendidikan” awalnya dikenal dalam bahasa Yunani dengan paedagogeis yang terdiri dari dua kata yang disatukan yaitu paedos= anak; agogesaya=membimbing. Paedagogeis menjadi berarti memberi bimbingan atau tuntunan kepada anak. Orang yang memberi bimbingan atau tuntunan itu kemudian dinamai paedagogos. Paedagogos yang memberi bimbingan dan tuntunan kepada anak mempunyai tugas dan pertanggungjawaban yang penuh terhadap anak yang dibimbing, sebab paedagogos bukan hanya mengajari si anak dengan memberi pengetahuan dan informasi-informasi sehingga semakin dewasa dan mampu mandiri, tetapi juga bertanggungjawab untuk menjemput si anak dari rumah kemudian mengantarkannya kembali ke rumah. Kata itu kemudian diambilalih oleh bahasa Belanda menjadi paedagogiek. Kata dalam bahasa Inggris untuk pendidikan adalah education yang bersumber dari bahasa Latin yang berarti menggali hal-hal yang tersimpan di dalam diri dan jiwa si anak dengan memberikan tuntunan sehingga si anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik.1 Dalam kamus Bahasa Indonesia, pendidikan yaitu suatu pekerjaan mendidik yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada subjek didik hingga mampu mandiri, sehingga dapat menjadi motivator dalam pembangunan masyarakat.2 Dengan demikian, pendidikan lebih utama adalah tugas pendidik yang memberi tuntunan kepada anak didik. Pendidik 1. 2.
Amir Daiem Indrakusuma, Ilmu Pendidikan, Malang 1973 Kamus Besar Bahasa Indonesia
64
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
harus tahu betul segala sesuatu berhubungan dengan anak didiknya. Hal itu menjadi conditione sine quanon (kondisi yang tidak boleh tidak dipahami) sehingga pendidikan akan berhasil. Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.3 Latar Belakang Pendidikan di Gereja Latar Belakang Ibrani Tujuan pendidikan di dunia Ibrani ialah melatih manusia di dalam iman kepada Allah Yahweh, memahami dan menaati Hukum Perjanjian Lama dan aturan para nabi, serta taat pada tradisi. Pada jaman itu hukum telah terintegrasi ke dalam kehidupan orang Yahudi. Pengaruhnya dapat terlihat pada kehidupan fanatisme kebangsaan, hak orang asing, serta perlakuan di dalam masalah-masalah khusus seperti perceraian dan perjinahan. Kerajaan Israel merupakan pendukung utama pendidikan. Imam-imam suku Lewi, disamping sebagai pelayan di Bait suci, mereka juga ditetapkan sebagai pengajar rakyat (2Tawarikh 17:7-9). Salah satu alasan mengapa suku Lewi dibebaskan dari urusan pertanian dan militer adalah supaya
3.
Depdiknas RI, 2003 65
Luther dan Pendidikan
mereka dapat mengabdikan diri sepenuhnya untuk belajar dan berpikir. Allah menggunakan suku Lewi untuk menyampaikan kebenaran tentang diriNya kepada umatNya. Pertemuanpertemuan di sinagoge pada bagian besarnya adalah pengajaran dengan memakai metode interlogutory yaitu metode tanya-jawab (Band. Luk.4:16 dst). Pengajaran rumah-rumah juga merupakan kegiatan tradisional bagi setiap rumahtangga Yahudi. Ayah bertindak sebagai tutor bagi seluruh penghuni rumah. Rumah adalah pusat pengajaran di mana anak-anak diajar tentang hukum dan penerapannya di dalam hidup mereka sehari-hari. Fokus pendidikan Ibrani didasarkan pada ajaran: Allah yang Benar dan Hidup, bahwa segala kehidupan berasal dari Dia dan dikendalikan oleh Dia. Latar Belakang Yunani Yunani sebagai awal dan juga menjadi pusat ilmu filsafat mempunyai metode pendidikan tersendiri. Metode pendidikan Yunani melibatkan teori dan praktik. Sasaran pendidikan Yunani ialah menjadikan setiap individu menjadi seorang pribadi yang terampil dengan berpendidikan yang baik. Setiap anak didik diarahkan untuk berpikir bagi dirinya sendiri, hidup dengan karakter dan moral yang terpuji, serta menjadi warga Negara yang baik. Sekolah-sekolah Athena sangat menonjolkan metode pengajaran seperti ini. Sementara pendidikan dengan metode Sparta lebih menonjolkan sisi-sisi praktis, seperti persiapan menjadi abdi Negara yang baik dan menjadi militer yang handal. Pengajaran Sparta digabungkan dengan displin
66
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
yang tinggi serta kebebasan berdialog kemudian dinamai dengan pendidikan secara catechetical. Tokoh-tokoh pendidikan pertama Yunani adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Pendidikan Yunani, sebagaimana juga pendidikan Ibrani, menggabungkan pemahaman agama dengan pendidikan, namun fokus utamanya tetap pada manusia, yaitu mempergunakan pikiran dan latihan phisik.4 Sejarah Pendidikan di Sekolah Gereja Sejak awal berdirinya persekutuan gereja pada abad pertama, gereja sudah dimaksudkan menjadi agen pengajaran. Gereja mengkomunikasikan pengetahuan akan Allah yang disaksikan oleh Kitab Perjanjian Lama dan yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus. Sebelum naik ke sorga, Yesus memerintahkan kepada para murid supaya “mengajar bangsa-bangsa,” suatu pelayanan yang menjadi status confessionis/state of confession (menjadi suatu pengakuan tugas yang harus dilaksanakan) hingga masa maranatha (kedatangan Tuhan Yesus kembali). Hampir dua ribu tahun lamanya pendidikan sudah memainkan peranan penting dalam pelayanan gereja. Malahan dapat disebutkan bahwa adanya pendidikan di dalam gereja menjadi satu indikasi tentang pertumbuhan gereja. Pada awalnya, fokus pendidikan dalam gereja adalah “belajar Firman Allah.” Karena itu, orang yang disebut berpendidikan pada waktu itu ukurannya ialah kemampuan membaca dan memahami Firman Allah di dalam Alkitab.5 Orang-orang percaya
4. Robert E. Clark; Lin Johnson; Allyn K.Sloat (ed); Christian Education: Foundation for the the Future, Moody Press, Chicago 5. Robert E.Clark, ibid
67
Luther dan Pendidikan
meneliti Alkitab untuk melihat apakah yang didengar sesuai dan benar berdasarkan pengajaran Alkitab. Persfektif sejarah pendidikan di dalam gereja sangat vital untuk menolong para pendidik Kristen memahami warisan pengembangan pendidikan. Pemahaman itu memuat: Pertama, tinjauan sejarah menolong para pendidik - di dalam terang Firman Tuhan - untuk mengevaluasi: prinsip-prinsip, tujuan, kurikulum, dan metodologi pendidikan, pada masa lampau. Kedua, Sejarah menolong para pendidik untuk memahami pendidikan Kristen yang kontemporer sehingga dapat membantu mereka mengerti asal-usul dan alasan-alasan filosofis, curricula dan metodologi pendidikan masa kini. Ketiga, sejarah menyediakan pandangan pengembangan di masa depan bagi pendidikan Kristen. Sejarah diperlukan untuk menstimulasi kegiatan, sehingga dapat membangun dan menentukan arah ke masa depan. Demikian adanya sejarah pendidikan Kristen perlu dipahami sehingga pelaksanaan kegiatan pendidikan Kristen kini dan di masa depan tetap pada jalur yang benar yaitu pendidikan secara makro, memberi pemahaman akan kebenaran Firman Allah, yang menciptakan langit dan bumi dan segala isinya.6 Pendidikan di Sekolah Gereja Hingga Abad ke Empat Pada masa setelah rasul-rasul di mana gereja sudah mulai bertumbuh, maka materi pendidikan di dalam gereja dipusatkan pada pemeliharaan pengajaran Kristus dan ajaran rasul-rasul
William Bean Kennedy, Background Historical Understanding for Christian Education, N.Y. UTS 1980 p.1 6.
68
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
serta penyebarannya kepada orang lain. Kemudian, muncul perlawanan terhadap kekristenan, maka pemimpin gereja mengambilalih pengajaran di gereja. Hakekatnya tetap berfokus pada kebenaran yang disampaikan Yesus Kristus dan Rasul-rasul. Hingga abad ke empat, gereja menekankan teguhnya Kanon Perjanjian Baru, Pengakuan-pengakuan iman, dan disiplin gereja7. Robert Pazmino mengatakan: “Tiga unsur ini, yaitu Kanon Perjanjian Baru, Pengakuan-pengakuan Iman, dan Disiplin Gereja berfungsi untuk mempertahankan kesinambungan ajaran Kristen tanpa distorsi dari pengaruh pengajaran Hellenistik Romawi yaitu pengajaran yang berciri kebudayaan dan keagamaan yang pluralistik.”8 Pendidikan di sekolah gereja mula-mula itu memberi tekanan pada peran rumah tangga menjadi tempat utama pengajaran formal pada kebenaran Alkitab dan penerapannya dalam kehidupan orang percaya. Sekolah gereja mengadopsi sistim pendidikan yang catechumenal dan catechetical. Kata catechesim dan catechumen berasal dari kata Yunani yang berarti: mengajar atau memberi petunjuk. Metode catechetical mengikuti pendekatan Socratik. Metode itu mempergunakan cara tanya-jawab yang mendorong peserta didik untuk berpikir dan memberi alasan pada jawaban yang diberikan. Guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Inilah metode yang sangat lajim di dalam masyarakat Yunani. Sekolah catechumenal mengajar anak-anak dan orang dewasa para petobat baru dengan pengajaran tentang 7. Robert W. Pazmino, Foundational Issues in Christian Education, Grand Rapids, Baker 1988, p. 128 8. C.B. Eavey, History of Christian Education, Chicago, Moody Press, 1964
69
Luther dan Pendidikan
Perjanjian Lama, tentang Yesus Kristus dan Keselamatan, serta tentang ajaran-ajaran para rasul. Sekolah-sekolah dibuka (secara khusus) bagi orang dewasa yang baru bertobat sehingga mereka dibina dalam satu persekutuan Kristen yang mengajarkan kebenaran secara benar. Pengajaran dan pendidikan untuk para petobat baru diinformasikan oleh CB. Eavey: Periode persiapan membutuhkan dua atau tiga tahun. Ada tiga tahapan atau kelas catechumen. Pada saat tahap pertama dilakukan, mereka disebut pendengarpendengar karena mereka dilibatkan untuk mendengar pengajaran Kitab Suci dan khotbah-khotbah dalam gereja. Mereka menerima petunjuk dasar dari doktrindoktrin dasar dan hal-hal praktis dalam gereja. Mereka harus menunjukkan kebenaran melalui tingkah laku untuk menyatakan bahwa mereka telah layak memasuki kelas dua. Tahapan kedua disebut “kneelers” yaitu mereka yang mempraktekkan dan membiasakan berdoa dengan sujud setelah mendengar khotbah atau pendidikan. Mereka menerima pengajaran yang lebih tinggi dan pemahaman mereka harus dibuktikan dengan cara hidup yang menyatakan bahwa mereka sudah layak memasuki tahapan atau kelas ketiga, yaitu mereka yang disebut “ murid-murid terpilih.” Kepada mereka diajarkan doktrin yang lebih dalam, liturgy dan cara kehidupan Kristen yang lebih intensif sebagai persiapan menerima baptisan. Guru-guru pertama dalam sekolah ini adalah para bishop dan imam-imam, kemudian dilanjutkan oleh guru-guru khusus atau orang awam yang telah dipersiapkan untuk tugas tersebut. 9
Sekolah catechetical diperuntukkan bagi orang-orang terdidik pada waktu itu, yaitu mereka yang mencoba 9.
C.B. Eavey, Ibid
70
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
menggabungkan ajaran kekristenan dengan ajaran filsafat di dalam satu kebudayaan. Argumentasi sering melibatkan atau mendiskusikan superioritas ajaran kekristenan terhadap filsafat, sehingga kekristenan menjadi pilihan dasar kehidupan. Para pelayan gereja yang menjadi pemimpin gereja juga dilatih di sekolah ini. Sekolah-sekolah ini ada di Alexandria, Antiokhia, Edessa, Kaesarea, Nisibis, Jerusalem dan Kartage. Setelah sekolah ini berkembang maka muncullah lagi sekolah episkopal dan sekolah katedral. Sekolah catechetical yang paling terkenal adalah yang berada di Alexandria di mana Clemen dan Origenes sebagai guru dan pengelolanya.10 Menurut CB. Eavey, ada tiga ciri khas pengajaran dan pendidikan sekolah gereja hingga abad ke lima, yaitu: 1.
Mempertahankan ajaran kekristenan dengan cara pengajaran dari yang paling sederhana hingga pengajaran yang mampu menjawab kritikan filsafat.
2.
Melawan ajaran-ajaran palsu secara eksplisit
3.
Mengajarkan penafsiran Alkitab secara benar.11 Justinus Martyr (100–166 AD) seorang peserta didik
filsafat, meyakini bahwa ajaran Kristen adalah yang paling benar dari semua ajaran filsafat. Di dalam pengajarannya dia dengan sadar menggabungkan pikiran Kristen dengan filsafat kafir yang ada kesamaan (sebagaimana Paulus mengutip beberapa kata-kata pujangga Athena/KPR 17, 16 dst). Tertullianus (150-225 AD) penemu theologia gereja Barat. Dia tidak menerima seluruhnya pengajaran Justinus Martyr khususnya tentang filsafat kafir. Dia melihat bahwa ada 10. 11.
C.B. Eavey, Ibid C.B. Eavey, Ibid 71
Luther dan Pendidikan
bahaya dalam iman dan moralitas yang diungkapkan dengan puisi-puisi dan sastra serta filsafat kafir, oleh karena itu belajar tentang kafir harus dapat mendeteksi dan membuang ajaran yang salah. Ia melawan setiap usaha yang mencoba mengawinkan filsafat dengan ajaran kekristenan.12 Origenes (185–254) seorang penulis dan guru yang paling berpengaruh di masa perkembangan gereja mula-mula. Pengaruhnya terlihat di dalam upayanya untuk mengembangkan pengajaran doktrin kekristenan tetapi juga mengadopsi butir-butir pikiran filsafat kafir. Dia mengembangkan sistim allegoris dalam menafsirkan Alkitab dan upayanya memformulasi theologi sitematik yang dinamai dengan “De Principis.” Pemimpin-pemimpin lain seperti Eusebius (260 – 340), Athanasius (295 – 373), dan Chrysostomus (340 – 420) adalah tokoh-tokoh pemimpin gereja Timur. Athanasius adalah murid yang sangat brillian ketika dia masih belajar. Dia menerima didikan theologi di Sekolah Catechetical di Alexandria. Eusebius adalah bapa Sejarah Gereja yang menulis Ecclesiastical History yang cakupan bahasannya dari masa Rasul-rasul hingga tahun 324. Chrysostomus seorang expositor dan orator, berjuang menerapkan pendekatan penafsiran literal terhadap Alkitab. Pemimpin gereja Barat, Jerome menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Latin yang disebut Vulgata. Augustinus adalah pemimpin besar dalam gereja. Karya apologetikanya terhimpun dalam bukunya De Civitate Dei/City of God. Ia memberi tekanan tentang kebenaran bahwa manusia adalah mahluk berdosa yang membutuhkan keselamatan, yaitu keselamatan Earle E. Cairns, Christianity through the Centuries, Grand Rapids, Zondervan, 1954 p.161 12.
72
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
oleh anugerah Allah saja di dalam Yesus Kristus yang dianugerahkan menjadi Juruslamat dan yang diterima melalui iman saja.13 Intinya, pendidikan di sekolah gereja pada abad-abad permulaan dilakukan dalam skopus: 1.
Memelihara pengajaran Yesus Kristus dan ajaran Rasulrasul
2.
Dengan menghadapi sikap-sikap kekeliruan dan perlawanan, oleh para tokoh-tokoh pendidikan di sekolah gereja mereka dapat merumuskan Pengakuan Iman dan mendorong pelaksanaan pendidikan Kristen dilakukan secara proporsional.
3.
Mereka membangun suatu tehnik pendidikan yang menggabungkan pemahaman Kristen dengan budaya dan pemikiran masyarakat sekitar pada masa itu sehingga gereja tidak menjadi eksklusif.
4.
Kelas pelatihan untuk mengajarkan kebenaran Alkitabiah dimulai kepada mereka yang menghendaki persekutuan dengan gereja.
5.
Orang-orang yang masuk dalam tugas pelayanan diupayakan untuk menerima pendidikan setinggitingginya.14
13. 14.
Earle E. Cairns, Ibid p. 173 Earle E. Cairns, Ibid p. 186
73
Luther dan Pendidikan
Kondisi Pendidikan di Sekolah Gereja dari Abad 5 hingga 14 Dengan naiknya Konstantin Agung menjadi kaisar di Roma, dia memberi perhatian khusus kepada gereja dan agama Kristen, malahan menginstruksikan agar semua penduduk di wilayah kekaisarannya diharuskan memeluk agama Kristen. Agama penguasa menjadi agama bagi semua penduduk kekaisaran. Karena itu, rakyat dalam kelompok besar secara serentak masuk menjadi Kristen. Akibatnya, tidak ada lagi pengajaran terprogram seperti yang dilakukan sebelumnya bagi anggota gereja, yaitu pengajaran catechumenal sebagai persyaratan awal bagi anggota gereja yang baru masuk. Orang yang baru masuk menjadi anggota gereja umumnya hanya menerima pengajaran yang sangat sedikit melalui kebaktian dan lambang-lambang monumental seperti patung, jendela atau pintu yang dilukis dan symbol-simbol. Ada kelompok-kelompok kecil yang memisahkan diri, di mana mereka tertarik untuk pendisplinan rohani khususnya mereka yang terkait dengan monastisisme. Beberapa kelompok kecil memisahkan diri dari gereja induk dan membentuk denominasi mereka sendiri yang dinamai Bretheren of Common Life dan Waldenses.15 Setelah Konstantin Agung, kemudian kaisar di Roma berganti-ganti dari orang Kristen ke orang Kristen. Seiring dengan itu gereja melaksanakan pelayanan pengajaran dengan sangat memprihatinkan. Beberapa pemimpin gereja tidak dilatih dengan baik, sehingga hasilnya bagi jemaat sangat dirasakan.
15.
74
Earle E. Cairns, Ibid
p. 187
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
Peran dan tanggungjawab orangtua di rumah untuk mengajari anak telah dialihkan kepada gereja, sementara pengajaran di gereja sangat kurang. Sekolah-sekolah resmi seperti sekolah catechetical kemudian menjadi sekolah cathedral dan sekolahsekolah monastik hanya untuk mempersiapkan orang memasuki keimaman. Jabatan-jabatan bishop ditetapkan oleh kekaisaran, dan sekolah-sekolah diselenggarakan di gerejagereja besar yang disebut dengan sekolah katedral. CB. Eavey menyebut bahwa sekolah katedral menjadi induk dari sekolah tatabahasa. Sekolah tatabahasa adalah sekolah untuk tingkat dasar. Petunjuk sederhana saja yang diberikan di sekolah ini termasuk membaca, menulis, pelajaran musik, berhitung secara sederhana, pengamatan keagamaan dan petunjuk tingkah laku. Sekolah-sekolah dasar mempunyai murid laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh imam-imam paroki, sehinga sekolah ini dinamai sekolah paroki.16 Demikian kondisi sekolah gereja sampai lima ratus tahun setelah Konstantin. Abad ke Sembilan, sekolah monastik mulai ditingkatkan statusnya. Sekolah monastik ini telah menyajikan pendidikan tingkat tinggi dan juga mengajarkan disiplin hidup yang teratur. Universitas mulai sekitar tahun 1200. Universitas lahir sebagai kelanjutan sekolah katedral, di mana ada seorang guru besar yang diminta oleh beberapa anak didik dewasa untuk membimbing mereka. Earle Cairns mengatakan bahwa universitas pada abad 13 adalah sebuah serikat atau persatuan murid-murid atau guru-guru yang menyatakan satu
16.
C.B. Eavey, Ibid
p. 106 75
Luther dan Pendidikan
tujuan yang sama untuk mendapatkan perlindungan umum ketika mereka bekerja. Semua pelajar mengambil kursus seni, trivium menjadi gelar kesarjanaan dan quadrivium untuk gelar magister. Sekolah untuk tingkat yang lebih tinggi ada juga tersedia untuk bidang theologia, hukum dan kesehatan. Menghafal dan berpikir secara logik merupakan keahlian sekolah ini. Universitas yang penting dan terkenal pada abad itu ialah Universitas Paris dan Bologna.17 Skolastik muncul secara bersama-sama dengan munculnya universitas dan sekolah Introduksi Filsafat Aristoteles di dalam pendidikan di Barat. Skolastik dapat didefinisikan sebagai usaha untuk merasionalisasi theologia di dalam hal menggalang iman melalui akal. Iman dapat ditentukan dengan rasio, karena skolastik juga mempelajari Alkitab, Pengakuan Iman dan tulisan bapak-bapak Gereja.18 Pemimpin pendidikan di dalam gereja pada jaman itu ialah: Thomas Aquinas . Dia mengembangkan theologia sistematik yang hingga jaman sekarang diadopsi gereja Barat. Aquinas berkeyakinan bahwa akhir dari theologia adalah Allah, yaitu Dia (Thou) yang tidak dapat diselami oleh kekuatan akal, tetapi yang keberadaanNya dapat ditetapkan secara filosofis. 19 Thomas Aquinas menekankan, bahwa dalam pendidikan seorang guru harus berpengetahuan komprehensif, ahli dalam berkomunikasi, dan menyadari bahwa menjadi pengajar adalah satu panggilan di mana melaluinya umat
Earle E. Cairns, Ibid p. 261 Earle E. Cairns, Ibid p. 251 19. Kenneth O. Gangel and Warren S. Benson, Christian Education: Its History and Philosophy, Chicago, Moody Press, 1983, p. 113 17. 18.
76
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
manusia dilayani. Demikian dia meyakini bahwa seorang pelajar memiliki potensi yang aktip untuk memperoleh pengetahuan dari yang tidak diketahui sebelumnya dengan cara penemuanpenemuan hal-hal yang baru.20 Charlemagne. Dia berusaha membangun dan menghidupkan pendidikan dan meletakkan pekerjaan dasar untuk merevitalisasi pendidikan Eropah Barat. Dengan pertolongan Alcuin, dia menetapkan suatu rencana bahwa akan ada sekolah di setiap kota sehingga semua orang dapat menikmati pendidikan.21 Ada beberapa hal yang buruk dan yang baik dalam kondisi pendidikan sekolah gereja antara gereja mula-mula hingga awal masa Reformasi, yaitu:22 Yang Buruk
Yang Baik
1
Tidak ada kritikan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah gereja selama hampir seribu tahun.
Walaupun banyak orang buta huruf, tetapi ada beberapa gerakan untuk menyediakan pendidikan bagi masyarakat umum. Banyak sekolah-sekolah dibuka di Eropah seperti di Katedral, biara-biara dan sekolah-sekolah kota.
2.
Pengajaran dan pelatihan yang biasanya dilakukan oleh orangtua bagi anak-anaknya di rumah, pada jaman selama 1000 tahun ini tidak ditemukan lagi. Orangtua sudah melalaikan tanggungjawabnya dan mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak kepada gereja.
Tulisan-tulisan bapak-bapak gereja dikumpulkan, diperbanyak dan disebarluaskan
3
Banyak praktek korupsi dan pengabaian dipraktekkan oleh para pimpinan gereja pada waktu itu.
Skolastik sangat menekankan tempat dan peranan akal atau penemuan
Joan Ellen Duval, Thomas Aquinas: in A History of Religion Education, ed. By Elmer L. Towns, Grand Rapids, Baker 1975, p. 89 21. Joan Ellen Duval, Ibid 22. Kenneth O. Gangel and Warren S. Benson, Ibid p. 114 20.
77
Luther dan Pendidikan
Pendidikan pada masa Renaisance dan Reformasi Masa Renaisance dan Reformasi tidak secara langsung mempromosikan pendidikan Kristen, tetapi menolong “membangun panggung” bagi terjadinya reformasi. Pada masa itu, kehidupan beriman dan bergereja serta kehidupan masyarakat umum yang adalah warga gereja dipandang perlu untuk diperbaiki, diperbaharui dan diberi arah kehidupan yang benar. Karena itu, ajaran dan pengajaran gereja perlu dimurnikan, pemahaman dan perlakuan iman kepada Tuhan Yesus Kristus perlu dimurnikan. Gerakan renaissance salah satu upaya untuk merealisasi maksud itu dan secara khusus di bidang kemasyarakatan. Tujuan Renaisance adalah untuk menggali kembali budaya dan seni yang sudah tenggelam. Hal itu berkenaan dengan penemuan kembali literatur, seni Yunani dan Romawi klasik. Ide untuk kembali menggali keaslian masa lalu dibawa kepada orang-orang terpelajar, yaitu mereka yang telah mulai belajar Kitab Suci asli dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Tujuan pendidikan di dalam masa reformasi adalah mengajarkan Alkitab, belajar katekisasi,dan menetapkan prinsip-prinsip Firman Allah.23 Pokok-Pokok Pendidikan di Sekolah Lutheran Muncul dan hadirnya para reformator adalah untuk membawa kemurnian di tengah gereja dan masyarakat. Mereka bukan untuk mendirikan aliran atau sekte gereja yang baru, melainkan untuk memperbaharui dan memurnikan ajaran dan
23.
78
Robert W. Pazmino, Ibid
p. 132
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
penghayatan tentang iman gereja.24 Pada awal pergerakan reformasi, para reformator juga memakai sarana pendidikan untuk menyampaikan pergerakan mereka kepada masyarakat, sehingga para reformator pada jaman itu dipandang sebagai pendidik-pendidik yang mampu mengajar di segala bidang. Mereka menggunakan universitas untuk menyampaikan pengajaran-pengajaran mereka. Anak-anak diajar tentang iman melalui kelas katekisasi di dalam gereja dan di sekolahsekolah umum yang diadakan di fasilitas-fasilitas gereja. Secara lambat laun sekolah-sekolah ini menjadi sekolah-sekolah parochial. Kurikulum yang dipergunakan oleh gereja Lutheran sejak awal adalah Ketekismus Augsburg yang dibentuk dalam edisi Besar dan Kecil. Gereja reformasi lainnya memakai katekismus Heidelberg, Westminster, dan lain-lain. Katekismus-katekismus ini berisi seri pertanyaan dan jawaban tentang iman Kristen. Alkitab adalah sumber utama yang dipergunakan dan diajarkan dengan metode katekisasi. 25 Tujuan pendidikan menurut Martin Luther ialah melibatkan semua warga jemaat, khususnya kaum muda dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka dan bergembira akan Firman Tuhan Yesus Kristus yang memerdekakan mereka. Di samping itu, memperlengkapi mereka dengan sumber iman, kesadaran akan pengalaman berdosa, Firman tertulis yaitu Alkitab dan rupa-rupa kebudayaan, sehingga mereka mampu melayani sesama termasuk Earle E. Cairns, Ibid p. 204 Robert R. Bochlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Pendidikan agama Kristen dari Plato saqmpai I.G.Loyola, Jakarta BPK, 1994, p.342 24.
25.
79
Luther dan Pendidikan
masyarakat dan Negara serta mengambil bagian dan bertanggungjawab dalam persekutuan gereja.26 Martin Luther menekankan pada “keimamatan orang percaya” dan tanggungjawab pribadi, bahwa setiap orang Kristen perlu membaca dan belajar menulis jika mereka ingin belajar Alkitab. Dengan tuntunan Roh Kudus, anggota jemaat didorong untuk mengevaluasi apakah perkataan dan perbuatan itu sesuai dengan kebenaran Kitab Suci. Martin Luther menyarankan agar pemimpin-pemimpin masyarakat mendirikan sekolah untuk laki-laki dan perempuan di mana masalah kemanusiaan dan keagamaan dapat dipelajari. Pendidikan umum, pengajaran bahasa ibu dan melatih pelayanan yang berpendidikan merupakan ciri khas sekolah Lutheran pada masa reformasi.27 Strategi pelaksanaan pengajaran di gereja Lutheran pada masa reformasi dilaksanakan sebagai berikut:28 1.
Pengajaran di sekolah dasar dilaksanakan dengan bahasa murid-murid sendiri
2.
Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat sehari-hari
3.
Semua orang, kaya dan miskin didorong untuk ikut belajar sehingga mereka dapat membaca dan belajar Alkitab bagi diri mereka sendiri dan menjadi warga Negara yang baik.
4.
Mereka yang telah menjadi pelayan gereja adalah orangorang yang telah mendapat pendidikan yang baik karena
Robert R. Bochlke, Ibid p. 22 Robert R. Bochlke, Ibid p. 23 28. Uuras Saarnivaara, Phd; Th.D, Luther Discovers the Gospel, Concordia Publishing House, Saint Louis, 1950, p. xiii 26. 27.
80
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
mereka harus dapat mengajarkan Alkitab dengan hatihati dan jelas, dan mereka akan berperan sebagai pemimpin di tengah masyarakat. Peran orangtua dalam pengajaran anak Keberhasilan gereja mula-mula membentuk karakter dan hidup beriman komunitas Kristen adalah metode pengajaran rumah. Gereja mengajarkan untuk menaati metode pengajaran yang difirmankan oleh Tuhan Allah kepada Musa di Mesir. Tuhan berfirman: Kamu harus memegang ini sebagai ketetapan sampai selama-lamanya bagimu dan bagi anak-anakmu. Dan apabila kamu tiba di negeri yang akan diberikan Tuhan kepadamu, seperti yang difirmankanNya, maka kamu harus pelihara ibadah ini. Dan apabila anak-anakmu berkata kepadamu: Apakah artinya ibadahmu ini? Maka haruslah kamu berkata: Itulah korban Paskah bagi Tuhan yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir, ketika Ia menulahi orang Mesir, tetapi menyelamatkan rumah-rumah kita (Keluaran 12:2427).
Firman ini kemudian diingatkan oleh Musa kembali kepada umat Israel ketika umat itu telah mendekati tanah Kanaan yaitu negeri tujuan perjalanan mereka yang dipersiapkan Tuhan bagi mereka. Pengulangan firman ini kemudian menjadi nasehat perpisahan dari Musa kepada umat Israel ketika Musa telah mengakhiri perjalanannya menuntun umat Israel sebelum umat itu tiba di negeri perjanjian. Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan 81
Luther dan Pendidikan
kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu (Ulangan 6:4-9).
Di dalam Perjanjian Baru, indikasi pengajaran kepada anakanak oleh para orangtua di rumah juga banyak dinyatakan. Kisah Para Rasul (KPR) 16:1 menjelaskan bahwa Timoteus telah menjadi seorang yang percaya sebelum bertemu dengan Paulus. Kepercayaannya tentu diperoleh dari pengajaran oleh neneknya Lois dan ibunya Eunike (2 Tim. 1:5). “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal KItab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Tim. 3:15). Efesus 6:1–4 mengajar agar anak-anak menghormati orangtua di dalam Tuhan, karena hal itu merupakan perintah Tuhan. Perintah itu juga mengandung janji yaitu: supaya kamu berbahagia dan panjang umur di bumi. Juga menghimbau agar para bapa tidak membangkitkan amarah di dalam hati anakanaknya, tetapi mendidik mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan. Alkitab mendorong para orangtua untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya di rumah. Keluarga Kristen pada masa gereja mula-mula melakukannya dengan baik di tengah hujatan
82
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
dan propokasi orang-orang Yahudi. Dengan iman dan taat akan perintah Tuhan untuk mendidik dan mengajar anak-anak oleh orangtua, tidak sampai dua ratus limapuluh tahun gereja/ keluarga Kristen telah melahirkan seorang yang menjadi penguasa/kaisar di Roma, yang kemudian memerintahkan agar semua orang di wilayah kekaisarannya memeluk agama Kristen.29 Dalam menekankan perlunya pengajaran dan pendidikan di rumah yang dilakukan oleh orangtua, Martin Luther menghubungkan dan menekankannya kembali ketika menjelaskan titah: Hormatilah ayahmu dan ibumu. Dalam penjelasannya Martin Luther menekankan dua hal, yaitu:30 1.
Peran orangtua: “Oleh sebab itu, anak-anak harus dididik menghormati orangtuanya sebagai wakil Allah, dan harus diingat bahwa walaupun mereka mungkin orang rendah, miskin dan lemah, atau ada keganjilannya, mereka adalah ibu dan bapa mereka sendiri, yang diberikan Allah pada mereka” (art.108). “Marilah kita mendidik anak-anak kita untuk membasmi segala hal-hal lain dari hadapan kita, serta memberikan tempat utama pada titah ini” (art. 115).
2.
Kepada Anak: “Allah memerintah kita bukan hanya mengasihi orangtua kita tetapi juga menghormatinya.. .. Dengan demikian Ia membedakan orangtua di atas semua orang di dunia ini, dan menempatkan mereka hanya setingkat di bawahNya. Sebab menghormati ada lebih
Uuras Saarnivaara, Ph.D; Th.D, Ibid p.10 Katekismus Besar DR. Martin Luther, Gereja-gereja Sumatera Utara, 1980, p. 43 29. 30.
83
Luther dan Pendidikan
tinggi dari pada mengasihi. Menghormati bukan hanya mengasihi tetapi juga menjunjung tinggi, mematuhi, berkesopanan, ditujukan terhadap keagungan yang tersembunyi di dalam diri orangtua itu” (art. 105-107). Pendidikan dengan campur tangan Roh Kudus Pengajaran dan pendidikan di sekolah gereja akan berhasil guna dan berdampak luas apabila Roh Kudus turut campur tangan dalam pengajaran dan pendidikan itu. Roh Kudus adalah Roh Hikmat yang diutus oleh Allah untuk memberi pengertian dan pemahaman bagi mereka yang beriman dan menerima keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus ( Yoh.16, 8-11). Setiap orang yang dinaungi Roh Kudus akan berhikmat dan tahu segala sesuatu yang akan dilakukan di dalam Tuhan Yesus sehingga segala sesuatu itu bermakna keselamatan dan kekekalan. Roh Kudus memakai sarana manusia untuk mengajar. Orangtua dan guru pengajar dipakai oleh Roh Kudus untuk mengajar anak-anak. Roh Kudus adalah pribadi yang memampukan pribadi orangtua atau guru dan anak atau pelajar untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan kebenaran Allah bagi perkembangan bersama atau perkembangan individu. Dalam hal ini Roh Kudus membangun kerjasama yang bersifat personal (1 Tim. 4:13; 2Tim. 2:2; Tit. 1:9; Mat. 7:24; Ibr. 5: 12; Yak. 1:25). Roh Kudus mengungkapkan bahwa kita adalah pribadi-pribadi yang dibuat menurut gambar Allah. Ini artinya bahwa kita dilengkapi dengan intelektualitas, perasaan dan kehendak (Kej.1:26; Yakub 3:9). Meskipun manusia telah jatuh dan kehilangan kesucian, gambar Allah masih ada walaupun
84
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
sangat buram karena dosa. Bagi orang-orang percaya di dalam Kristus, Roh Kudus memperbaharui kebenaran dan kesucian manusia sesuai dengan gambar Kristus (Ef. 4:24). Hal itu disempurnakan melalui kelahiran kembali di dalam Dia (Yoh. 3:3+5-6; Tit. 3:5-6). Kristus mengerjakan kehidupan baru di antara kita sehingga kita bertumbuh lebih menyerupai Dia. Dalam hal ini Roh Kudus membangun perkembangan pribadi. Roh Kudus bekerja dalam kehidupan setiap individu. Namun Dia juga bekerja dalam kehidupan kelompok, kehidupan gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus sendiri sebagai Kepala. Kebangkitan gereja adalah kemuliaam sang Kepala (Ef. 1:20-23). Melalui Roh Kudus, Kristus memperlengkapi tubuhNya dengan karunia-karunia rohani serta kapasitaskapasitas untuk melayani sesama dengan berbagai fungsi di antara umat (1 Kor. 12:4-7; Ef. 4:7–13). Di dalam tubuh itu tak satupun anggotanya tanpa karunia. Demikian, tidak satupun anggota yang dapat berjalan sendiri, semuanya saling bergantung antara satu dengan yang lain (1 Kor. 12:14-26). Dalam hubungan antar pribadi yang kompleks seperti ini, maka hubungan itu bukan hanya antara satu guru dengan satu murid. Semua anggota tubuh Kristus dan pada waktu yang sama berperan sebagai pengajar dan sebagai pelajar. Semuanya harus berbagi dalam fungsi yang berimbang di bawah kendali Roh Kudus dan dengan karunia-karuniaNya bagi kesejahteraan seluruh “Tubuh” (1 Kor. 12:7; Ef. 4:12–16). Dalam hal ini Roh Kudus berperan untuk mengaktipkan komunikasi antar individu.
85
Luther dan Pendidikan
Aplikasi Pendidikan Yang Intelektual Spiritualitas Dalam Sekolah Gereja Lutheran Dewasa Ini Sinyalemen bahwa pendidikan di Indonesia kecenderungannya adalah untuk memperoleh gelar atau sekedar untuk prestige ada benarnya. Mengamati bahwa tingkat pendidikan Indonesia di tingkat dunia ada di bawah dari lebih separuh bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia tidak dapat bersaing secara Internasional. Tentu kondisi itu cukup memprihatinkan, sebab mempunyai dampak yang luas. Di tingkat Internasional, orang Indonesia tidak akan mendapat tempat sebagai tenaga ahli, tetapi hanya sebagai tenaga kerja. Di samping itu, lembaga-lembaga pendidikan Internasional akan menyerbu masuk ke Indonesia yang akhirnya akan menjadikan bangsa Indonesia terjajah secara intelektual. Persoalan pendidikan di negeri kita Indonesia ini sepertinya menghadapi kesulitan dan kerumitan. Semua system yang pernah diberlakukan seperti Ujian Nasional bagi orang yang mau menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah dan Seleksi Nasional Memasuki Perguruan Tinggi Negeri belum menyajikan jalan keluar untuk menuju kemajuan hasil pendidikan yang dapat bersaing secara Internasional. Banyaknya tamatan perguruan tinggi yang tidak memperoleh pekerjaan formal dan cenderung tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri menjadi indikasi bahwa pendidikannya belum dapat memberikan keterampilan yang dapat mandiri atau berkompetisi. Penghargaan-penghargaan yang diberikan pemerintah khususnya di bidang pengajaran sudah cenderung menciderai
86
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
gelar kesarjanaan. Atas nama sertifikasi, pemerintah kemudian menganugerahkan gelar Sarjana Pendidikan bagi guru yang berbasis Sekolah Pendidikan Guru setelah guru tersebut mengikuti pertemuan dua kali seminggu selama setahun. Sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah-sekolah yang dikelola gereja memasuki arena persaingan dengan harapan bahwa siswa dan mahasiswa akan banyak yang datang belajar, sehingga mencukupi biaya operasional dan memberi keuntungan bagi pengelola. Ketika para siswa dan mahasiswa memilih perguruan yang lebih “berkwalitas” dan cenderung “lebih murah” maka banyak sekolah swasta yang menghadapi kesulitan. Diharapkan bahwa sekolah-sekolah gereja bukan menambah rumitnya persaingan pengelolaan pendidikan di negeri ini, melainkan turut menyumbangkan kwalitas pendidikan yang dapat bersaing secara global. Pendidikan berkwalitas tentu membutuhkan biaya operasional tinggi sehingga dapat menghasilkan alumni-alumni yang mandiri dan bersaing. Untuk itu, gereja yang mengelola pendidikan tidak seharusnya membebankan semua biaya operasional kepada siswa atau mahasiswa. Guru atau pendidik tidak seharusnya ikut memikirkan biaya operasional sekolah supaya mereka dapat fokus memberikan pengajaran dan pendidikan yang berkwalitas. Ruang Lingkup Pengajaran dan Pendidikan di Sekolah Gereja Pengajaran dan Pendidikan yang berhasil guna bagi setiap anak didik adalah yang mengutamakan pendidikan kognitif, afektif dan spiritual. Itu berarti bahwa pengajaran dan
87
Luther dan Pendidikan
pendidikan itu mampu mengembangkan pengetahuan intelektual, kepedulian, pengabdian atau apresiasi dan berkarakter rohani. Kurikulum yang baik dan berorientasi masa depan akan dapat memenuhi tuntutan pengembangan kognitif dan afektif. Untuk memenuhi tuntutan pengajaran dan pendidikan yang berspiritualitas perlu memadukan tahapantahapan pengajaran dan pendidikan di bawah ini. Pengajaran dan pendidikan yang berfokus pada Tuhan Kita meyakini bahwa manusia diciptakan Tuhan berbeda dengan mahluk lain. Penciptaan manusia berbeda tentu dengan maksud berbeda pula. Manusia diciptakan supaya menjadi “teman sekerja” Allah, kemudian yang memberikan kemuliaan bagi Tuhan atas semua karya yang diperbuatNya. Di samping itu, manusia akan menikmati kebersamaannya dengan Tuhan selamanya. Pemilihan umat Tuhan juga mempunyai maksud tersendiri. Bahwa umat Tuhan dipilih “ untuk menjadi harta kesayanganKu sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Keluaran 19:5-6). Firman ini difirmankan Tuhan kepada Musa ketika di gunung Sinai untuk dikatakan kepada bangsa Israel. Kemudian firman itu diingatkan kembali oleh rasul Petrus untuk semua orang percaya kepada Tuhan Yesus dengan mengatakan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang
88
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib” (1Pet. 2:9). Manusia secara universal, karena diciptakan Tuhan secara berbeda, maka Tuhan
memberi hati nurani yang ingin
mengenal Allah secara benar dan yang rindu untuk memiliki hidup berbahagia dan berarti sebagai arti hidup yang sebenarnya. Pembaharuan dan perubahan hidup (transformasi hidup) diawali ketika seseorang telah menemukan dan mengerti arti hidupnya. Pengertian ini tidak akan didapat dari hasil pencarian pemuasan diri sendiri, namun dari hasil pembaharuan hidup yang disadari sebagai kasih karunia Tuhan dan didedikasikan untuk kebahagiaan sesama. Menemukan arti hidup bukan karena pemberian seorang guru, melainkan sebagai hasil pengalaman pribadi dengan Tuhan. Tentu, guru dan /atau orangtualah yang menuntun sehingga seseorang dapat mencapai titik tujuan pengalaman tersebut. Pengajar dan pendidik Kristen haruslah dapat mengalihkan mata anak didik sehingga memandang dan berpusat pada Tuhan yang adalah pusat kehidupannya.31 Tiga hal yang perlu dilakukan seorang pendidik untuk sampai ke tujuan itu, yaitu: 1.
Menuntun anak didik supaya melayani, memuliakan, dan menyembah Tuhan
2.
Melengkapi anak didik supaya memiliki hati seorang Hamba Tuhan melalui latihan keterampilan
Kenneth Scott Lotourette, A History of Christianity, New York Harper &Row, 1975.
31.
89
Luther dan Pendidikan
3.
Mendorong anak didik supaya bermakna bagi lingkungannya sehingga membuka pintu anugrah Tuhan bagi lingkungan si anak.
Memberi pengertian bagi anak didik bahwa mengikut Yesus adalah yang terbaik Yesus adalah Anak dari Allah Bapa, yang selalu dengardengaran kepada Allah Bapa dan selalu setia untuk melakukan kehendak Allah Bapa. Anak didik perlu meniru ketaatan Yesus untuk melakukan kehendak Allah Bapa. Anak didik perlu melakukan saat teduh untuk bersama dengan Tuhan, penyerahan total kepada kekuasaan dan lindungan Tuhan, sehingga Roh Kudus akan menuntunnya. Dalam hidup seharihari dan dalam hubungan dengan sesama, agar menjaga diri supaya tidak melakukan tindakan tercela yang tidak disukai oleh Tuhan Mengetahui Firman Tuhan dan kemauan melakukannya Firman Tuhan adalah penuntun untuk mengetahui prinsipprinsip hidup. Anak didik sangat perlu mengetahuinya. Karena itu, buatlah pelajaran tentang Firman Tuhan itu dengan sederhana sesuai dengan kemampuan anak didik untuk mengerti. Penjelasan-penjelasannya sederhana sehingga menimbulkan kesan bahwa melakukan Firman Tuhan itu tidak sulit.
90
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
Menuntun untuk melakukan penyembahan yang benar Gereja yang berdoa dan menyembah Allah di dalam roh dan kekudusan (Yoh. 4:24) akan memperoleh kuasa yang dapat mengubah keadaan. Penyembahan yang benar dan kudus tentu akan dapat dilakukan oleh peserta didik apabila guru memberikan pemahaman dan memperkenalkan Allah yang disembah itu secara benar. Pendidikan Kristen yang benar untuk mengajarkan arti penyembahan yang benar adalah apabila pelajaran dapat menanamkan kebiasaan untuk mencari wajah Tuhan dan menikmati hadiratNya. Belajar dan menyembah merupakan bagian dari proses belajar yang dihadirkan dalam ruang belajar. Evaluasi diri Agar dapat semakin dekat kepada tujuan pendidikan yang spiritual, maka guru pendidik dan peserta didik harus siap untuk menguji dan mengevaluasi setiap sisi kehidupan pribadi. Dengan evaluasi, setiap orang dapat menentukan sikap hidupnya atas panggilan Tuhan kepada dirinya dilandasi oleh Firman Tuhan yang sudah dipelajarinya serta dukungan sesama teman. Evaluasi diri hanya dapat dikatakan berhasil apabila yang kita inginkan dalam hidup kita diukur dan bersesuaian dengan Firman Tuhan. Karakter anak-anak didik Kristen Setelah pengajaran, maka karakter anak-anak didik akan terbentuk sesuai dengan makna pengajaran yaitu:
91
Luther dan Pendidikan
Mengingat dengan baik Salah satu target pengajaran bagi umat Yahudi adalah mengingat ketetapan Tuhan. Keluaran 12 dan Ulangan 6 menekankan agar setiap orang mengingat ketetapanketetapan Tuhan. Anak didik yang selalu ingat akan Firman Tuhan akan membuatnya selalu takut akan Tuhan. Dalam situasi masyarakat yang semakin kompleks, sering anak didik melupakan ketetapan Tuhan. Karena itu anak didik perlu selalu mendengar peringataan Tuhan akan semua kebaikan dan anugrahNya melalui persekutuan dan doa pribadi. Berpusat pada Tuhan Dengan Firman yang diberikan kepada umatNya, maka Tuhan sendirilah yang menjadi Pengajar bagi umatNya dan umatNya menjadi belajar. Tuhan Yesus memberi pelajaran supaya orang percaya setiap saat berpusat pada Tuhan yang memberi kehidupan (Khotbah di Bukit: Matius 5-7). Mengutamakan persekutuan Pengajaran dan pendidikan Kristen akan lebih sehat dan lebih kuat jika di dalamnya ada kehangatan persekutuan kasih. Persekutuan ini akan memberi pengenalan satu dengan yang lain dan memberi dukungan untuk perubahan sesuai dengan kehendak Tuhan. Persekutuan yang sehat akan menimbulkan rasa memiliki, ada model yang akan ditiru, saling meneguhkan, saling memacu semangat kerja serta memiliki pengharapanpengahrapan positip.
92
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
Rasa kagum dan misteri Pendidikan Kristen haruslah dilaksanakan dengan ketakjuban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh Tuhan. Karya Tuhan masih penuh misteri yang harus digali, dan semua karya itu menimbulkan rasa hormat dan situasi keindahan. Pendidikan Kristen diupayakan supaya tidak menimbulkan kebosanan. Keseimbangan antara dukungan dan tantangan Pendidikan Kristen sangat memperhatikan perubahan. Orang lebih cepat berubah jika berada di tengah lingkungan yang berubah. Perubahan terjadi apabila ada dukungan untuk perubahan. Guru dan otoritas sekolah Kristen harus selalu menciptakan perubahan di lingkungan sekolah dan di dalam ruangan kelas. Keterbukaan peserta didik untuk belajar akan muncul ketika menyadari bahwa di sekelilingnya ada nuansa perubahan, dank arena sekolah Kristen maka perubahan adalah perubahan yang semakin menggapai kebebasan dalam kebenaran. Otoritas sekolah dan guru-guru menciptakan suasana di mana Tuhan yang berkuasa dan berdaulat di lingkungan sekolah. Dengan memperbanyak doa dan penyembahan, guru telah menuntun peserta didik untuk menghormati Tuhan dan juga menunjukkan sikap menghargai sesama. Ketika semua orang di lingkungan sekolah merasa terhormat dan dihormati, maka minat belajar akan semakin baik dan tujuan pendidikan akan lebih pasti untuk dicapai. Komunitas Kristen mengharapkan sesuatu yang berbeda dan khas dari setiap sekolah gereja umumnya dan sekolah gereja Lutheran
93
Luther dan Pendidikan
khususnya, di antaranya ialah peserta didik yang mempunyai kepribadian yang baik, yang ditunjukkan dengan perilaku mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, rajin bekerja, displiner dan berkwalitas. Dijauhkanlah perasaan puas untuk sesuatu yang telah dicapai apalagi sikap ikut-ikutan dan meniru-niru sekolah umum yang lain. Selalulah berupaya menciptakan sesuatu yang baru untuk menuntun peserta didik menikmati pendidikan berkwalitas dan menikmati persekutuan dengan Tuhan. Kesimpulan Ilmu tanpa iman adalah gersang. Iman tanpa ilmu adalah angan-angan Pendidikan yang berkwalitas, yang mampu berkompetisi di semua ruang dan waktu, serta yang mampu mencipta dan mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia adalah dambaan atau yang diharapkan oleh semua orang. Kwalitas pendidikan hanya dapat diukur dengan kebenaran dan kreasi Tuhan. Karena itu, orang berilmu harus berdedikasi demi kemuliaan Tuhan dan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Pada jaman gereja mula-mula kondisi persekutuan masih sangat kental dan akrab. Menaati titah Tuhan, para orang tua yang aktip mengajar anak-anak di setiap rumahtangga merupakan sarana untuk menikmati kebersamaan dengan Tuhan dan menemukan arti hidup dan merajut cita-cita. Sebagaimana pengalaman umat Israel selama berada di padang gurun, orangtualah menjadi guru bagi setiap anak-anaknya. Orangtualah yang memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak
94
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas
melalui pengalaman dan segala sesuatu keajaiban yang telah diperbuat Tuhan bagi mereka. Hasil pendidikan akan dapat dibuktikan dengan apabila setiap peserta didik mampu menemukan arti hidup yang berfokus pada kebenaran dan kebebasan Tuhan. Ketika komunitas Kristen selama lebih seribu tahun sejak masa kejayaan kekristenan mulai abad ke lima hingga abad ke limabelas, melalaikan keterlibatan peran orangtua untuk mengajar dan mendidik anak-anaknya, maka pengenalan akan Tuhan semakin berkurang dan pemahaman akan arti hidup semakin berpusat pada akal pikiran. Pada masa reformasi, Martin Luther dan kawan-kawan menghidupkan kembali pengajaran dan pendidikan yang berbasis rumah tangga. Martin Luther, Johanes Calvin, Johanes Knox sepakat memahami bahwa peran orangtua dalam mengajar anak-anak sangatlah besar. Mempergunakan bahasa ibu di sekolah, menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa sehari-hari, mendorong semua orang untuk membaca dan mempelajari Alkitab, serta membina semua orang supaya menjadi warga Negara yang baik merupakan upaya-upaya awal yang dilakukan oleh para reformator ini. Masa sekarang, harus didukung bahwa setiap orangtua di keluarga Kristen berperan aktip mengajari dan mendidik anak-anaknya di rumah dan tidak hanya menyerahkan pengajaran dan pendidikan kepada pihak sekolah atau kepada guru-guru formal. Sementara itu, setiap sekolah gereja Lutheran berupaya untuk selalu menciptakan perubahan. Perubahan suasana lingkungan dan kelas dan perubahan metode penyampaian materi mengajar demi mencapai tingkat
95
Luther dan Pendidikan
kwalitas yang semakin baik dan berfokus pada anugerah Tuhan. Setiap peserta didik diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang berhubungan dengan Tuhan secara mandiri, yang berhati hamba Tuhan, yang menghormati orangtua dan memahami serta mengasihi sesama. Menggapai hasil pendidikan yang berkwalitas dan berdedikasi.
96
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan Ridwin Purba
Pendahuluan Indonesia menghadapi krisis multidimensi yang sangat parah. Korupsi yang merajalela baik berskala lokal maupun nasional melanda Indonesia dan menjadi tontonan keseluruh masyarakat Indonesia. Kejahatan: pembunuhan, permerkosaan, pencurian, perampokan semakin menjadi-jadi seolaholah dibiarkan karena tidak ada hukum yang tegas terhadap pelakunya. Tindakan kekerasan bermoduskan kepada agama begitu sering terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Geng motor yang menganggu ketertiban lalu lintas dan kadangkadang juga melakukan penyerangan terhadap masyarakat juga sangat mengganggu ketertiban masyarakat. Selain itu perkelahian antar kelompok masyarakat, tawuran antar pelajar memakan korban yang cukup banyak dan penyebaran obatobat terlarang yang merusak generasi muda di Negara ini, menambah daftar panjang peristiwa yang terus menerus meningkat hingga saat ini dan pelakunya juga bertambah dari hari ke hari. Kondisi-kondisi seperti ini memperlambat kemajuan pembangunan karakter generasi muda.
97
Luther dan Pendidikan
Fakta-fakta di atas menimbulkan begitu banyak pertanyaan dan kadang-kadang bisa menyalahkan dan menggugat pihak-pihak terkait, karena tidak tegas dan berhasil untuk bertindak. Kenapa penguasa Negara ini tidak tegas untuk menegakkan aturan dan peraturan menindak para pelanggar hukum? Ada apa dengan pendidikan kita saat ini? Mengapa sekolah-sekolah kita tidak mengajarkan ketrampilanketrampilan yang lebih terpusat pada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan untuk hidupnya? Bagaimana menjadi warga Negara yang baik? Bagaimana mengembangkan kemajuan yang ada pada anak didik? Bagaimana menjadi pegawai yang baik dan bertanggungjawab? Sejauh mana peranan lembagalembaga agama benar-benar mengarahkan masyarakat kepada hal-hal yang benar-benar menyejukkan tindakan mereka? Pentingnya Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mem-bimbing, mendampingi dan membantu manusia muda agar mampu secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan iman dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan kata lain pendidikan bertujuan
membantu siswa-siswi mencapai kematangan
pribadi sehingga siswa-siswi menjadi pribadi yang siap untuk hidup di dalam masyarakat. Namun tujuan ini sering menjadi kabur karena ditindih dan ditunggangi oleh tujuan-tujuan lain dari masyarakat yang tidak mau perduli dengan otonomi pendidikan. Mendidik bukan sekedar menjadikan anak terampil
98
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
secara praktis terhadap lingkungannya, tetapi mendidik juga berarti membantu anak didik untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya. Disinilah perlunya pendidikan moral yaitu upaya membantu perkembangan kognitif murid untuk memahami konsep keadilan yang semakin jernih dan matang sesuai dengan tahap-tahapnya. Praktek praksis pendidikan nasional kita begitu jauh meninggalkan dan menanggalkan gagasan dan cita-cita Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan yang memekarkan rasa sebagai dasar pembentukan manusia berwatak dewasa dan merdeka begitu jauh ditinggalkan. Akibatnya motto Bhineka Tunggal Ika yang menjadi formulasi realitas universal dalam visi yang berkeunggulan bahasa pribumi itupun terasa semakin hambar dalam realitas penghayatan kehidupan berbangsa dan bernegara kita belakangan ini Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan atau sekolah sebagai pendidikan adalah salah satu penyebab yang kerap sekali membuat anak murid menderita dan kehilangan masa kanakkanaknya. Pendidikan mestinya didasarkan kepada fakta masa lampau peserta didik, baik perorangan maupun sebagai bangsa. Peserta didik sebagai pribadi bukanlah suatu tabula rasa. Kurikulum kita menuntut terlalu banyak dari para siswa-siswi, bahkan menuntut hal-hal yang tidak terlalu perlu bagi mereka sehingga memberatkan mereka dan menjenuhkan. Kurikulum kita juga cendrung menggeneralisasikan para siswa, seakanakan mereka mempunyai dan minat yang sama. Siswa-siswi mempelajari yang belum tentu dengan bakatnya. Akibatnya siswa tidak menyukai pelajaran itu, menjadi muak dan tidak bersemangat.
99
Luther dan Pendidikan
Pengetahuan yang Merambah Minat Hanya segelintir guru matematika yang mencoba menunjukkan kepada siswanya bagaimana dalil-dalil matematika bisa membantu mereka dalam pemakaian logika sehari-hari dan akal sehat. Tidak banyak guru Bahasa Inggris yang benar-benar menanamkan kepada siswanya tentang penghargaan terhadap tata bahasa sebagai pintu gerbang menuju berpikir jenih. Sedikit sekali guru ilmu pengetahuan yang merasa perlu menunjukkan kepada siswa mereka bagaimana siswa bisa menerapkan apa yang dipelajari dari ruang kelas dari pada pemecahan masalah yang kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya siswa-siswi hanya mampu menyerap sesuatu dalam bentuk abstrak, tanpa pernah melakukannya dalam prakteknya. Keadaan saat ini memperlihatkan bahwa lulusan dari jenjang pendidikan kita masih mempunyai permasalahan pada rendahnya mutu lulusan terhadap dunia kerja. Untuk bidang kejuruan misalnya, banyak perusahaan yang memilih lulusan pendidikan umum dari pada pendidikan kejuruan. Tulisan ini bertujuan memerikan pendidikan untuk hidup yaitu suatu proses transformasi pendidikan yang menjelaskan pembelajaran dengan pengalaman hidup langsung. Penekanan berfokus pada relevansi ketika mengajarkan hal-hal yang dasariah dan mengajari anak-anak dalam seni hidup. Melalui pendidikan anak-anak dibantu untuk melihat seluruh kehidupan dalam rangka mewujudkan kemanusiaannya yang melebar menuju ruang tanpa batas dan masa depan yang lebih baik, bukan semata-mata hanya penimbunaan pengetahuan.
100
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
Pendidikan Berbasis Pengalaman Pendidikan yang diselenggarakan pada saat ini terlalu banyak mengarahkan siswa kepada teori, bahkan sekolahsekolah kejuruan juga lebih banyak memberikan ranah teori dari pada pengembangan pengalaman yang mereka terima selama proses belajar mengajar. Betapun penuhnya kepala anak didik karena dijejali dengan pembelajaran buku, pemahamannya mengenai segala sesutu dan mengenai kehidupan secara umum, sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemahaman aktual, apalagi pemahaman tentang diri. Dimanakah perbedaan antara tokoh-tokoh besar dan pengajar yang menjelaskan hidup dan penemuan-penemuan mereka kepada orang lain? Tokoh-tokoh besar yang sesungguhnya memusatkan perhatiaan pada realitas, namun para juru penerang mendapatkan pengetahuan dan sistemsistem kepercayaan mereka dari buku-buku tentang realitas. Para petunjuk jalan umat manusia mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pikiran, biasanya kebenaran mengenai sesuatu dan setia untuk mencapai tujuan-tujuan itu dengan sarana yang paling praktis untuk meraihnya. Mereka tidak sabar dengan sikap-sikap yang tampaknya menyatakan secara langsung bahwa cara dalam dirinya sendiri adalah suatu tujuan yaitu bahwa metode lebih penting daripada hasilnya dan tidak pernah ada kesimpulan yang final. Dengan demikian tetap dianggap sementara. Sedangkan bagi pengajar, teori begitu mengangumkan sehingga kerumitan penalaran dalam perumusannya sering menggantikan kebutuhan untuk sampai pada kesimpulan yang tetap apapun.
101
Luther dan Pendidikan
Untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi hidup secara realistis, pendidikan seharusnya mendorong siswasiswi untuk belajar dari hidup itu sendiri. Pendidikan harus berbasis pengalaman, bukan sekedar teoritis. Siswa-siswi harus diajari mengamati hasil dari serangkaian tindakan apapun dan tidak tergantung secara buta kepada pernyataan-pernyataan orang lain tentang hasil yang seharusnya dan oleh karenanya hasilnya akan demikian. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep The Four Pillars of Education yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. Siswasiswi tidak hanya mendengarkan uraian yang disampaikan oleh pengajar, tetapi siswa-siswa akan terdorong dan termotivasi untuk membangun ketrampilan dan bakat yang ada pada dirinya. Pada dasarnya anak suka berbuat, tetapi sering kita tidak melihatnya sebagai suatu dimensi penting dalam pendidikan. Perbuatan yang paling disenangi
oleh anak-anak adalah
bermain, meniru dan mencoba. Dengan demikian, mereka belajar berbuat bisa menghasilkan pelbagai kecerdasan yang maksimal. Keseimbangan antara Intelektualitas dan Perasaan Tindakan kekerasan selalu menunjukkan korelasi yang berbanding terbalik dengan kepekaan rasa. Makin peka rasa seseorang, berarti makin cerdas budinya, maka dorongan untuk berlaku kekerasanpun makin terkendali. Sebaliknya makin tumpul kepekaan rasa, berarti budinya semakin bebal, manakala kepekaan rasa sudah mati, kekerasan pun akan mudah tumbuh meledak menjadi anarkhi, malah kebiadaban.
102
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
Kadar intelektualitas berbanding lurus dengan kadar perasaan sehingga manusia menjadi pintar sekaligus arif, bijak, bukan menjadi pintar namun durjana. Idealnya setiap ilmu pengetahuan pada puncaknya seyogianya dapat membentuk manusia berwatak. Namun bukan mustahil yang terjadi intelek tinggi, tetapi kecerdasan perasaan/budi rendah sehingga yang bersangkutan tidak tumbuh sebagai manusia berwatak dewasa. Sifat-sifat umum manusia berwatak adalah berintegritas antar pikir, kata dan laku; jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggangrasa, penuh perhatian, belas kasih, adil, sabar, rajin, sederhana, taat hukum, berkepedulian, terhadap manusia lain, terbuka, mau perbedaan dan menghormati keragaman. Watak, memprasyaratkan pentingnya pengendalian diri justru berakar pada kemampuan mengolah perasaan secara cerdas. Olah perasaan akan mencapai hasil apabila didasari oleh dorongan kemauan yang kuat, sehingga tindak laku tetap berada dalam kendali pikiran yang sehat. Ada dua jenis pendidikan rasa. Yang pertama adalah pendidikan etis yaitu rasa religious, rasa sosial, rasa pribadi dan sebagainya. Pendidikan etis diartikan sebagai rasa cinta anak didik terhadap agama, rasa cinta nya terhadap hidup kemanusiaan, terhadap dirinya sendiri dan segala nilai-nilai hidup manusia sebagai mahluk yang luhur. Sedangkan yang kedua adalah pendidikan estetis yaitu untuk menghaluskan perasaan lewat penumbuhan rasa indah. Seni yang dianjurkan antara lain seni suara, musik, menggambar dengan garis, menggambar dengan warna, sandiwara, wayang, balet, sandiwara dan lainnya. Seni yang ditangkap dengan mata
103
Luther dan Pendidikan
merangsang pertumbuhan syaraf otak yang baik untuk kecerdsasan pikir, sedangkan seni yang ditangkap oleh telinga seperti nyanyian musik akan disimpan dalam kalbu hati sebagai pembentuk watak. Pendidikan Karakter Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai situasi, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual sosial, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik bagi hidupnya dan orang lain. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
104
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang utuh. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi. Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. “Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu “bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati
105
Luther dan Pendidikan
apakah telah memadai “wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaanperbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosiopolitis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Pendidikan karakter tidak hanya dilakukan dengan memberikan pendidikan di bidang keimanan. Pembentukan karakter harus dilakukan secara integratif di semua pelajaran.
106
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
Selain isi materi pembelajaran, metoda atau pola pembelajran pendidikan karakter akan sangat mempengaruhi pembentukan karakter siswa. Cara-cara pembelajaran yang demokratis, menarik, kreatif, dan inovatif akan sangat efektif dalam membentuk karakter dan watak siswa-siswi. Perlu ditekankan bahwa pembentukan karakter siswa-siswi adalah masalah pembentukan kecerdasan emosional, bukan untuk mendapatkan nilai yang tinggi, tatapi diarahkan kepada penguasaan emosi diri sendiri. Kecerdasan semacam inilah yang akan terwujud dalam kesabaran, keuletan, motivasi diri dan tangguh dalam menghadapi tantangan. Membangun Pluralisme Indonesia adalah negara yang sangat pluralis: agama, bahasa, budaya, etnis dan lain-lain dan masyarakat Indonesia sangat akrab dengan diktum Bhineka Tunggal Ika. Sayangnya diktum itu selama ini hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi lip service saja, tidak pernah diimplementasikan secara nyata. Akibatnya cita-cita luhur untuk mencapai masyarakat majemuk yang harmonis, dimana perbedaan dan keanekaan budaya mampu berfungsi sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran dan peradabannya, hingga saat ini masih menjadi impian saja. Sistem pendidikan di Indonesia yang diwariskan oleh Orde Baru cenderung memelihara dan meneruskan nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakat patriarkal, kelas menengah, dan budaya dominan. Sistem pendidikan seperti tidak mengapresiasi dan menyantuni pluralisme, melainkan justru menegasikannya sehingga ikut memper tajam segregasi sosial dan
107
Luther dan Pendidikan
mendorong ketegangan antar kelompok dan konflik sekretarian. Sangatlah mendesak dan strategis untuk segera merumuskan dan mengimplementasikan paradigma, pendekatan, dan metode pendidikan yang mampu menyantuni pluralisme sehingga ketegangan dan pertikaian antar kelompok dapat dikurangi. Sekolah mempunyai peran besar untuk membentuk karakter siswa-siswi yang dididiknya secara klasikal dan menjadi pelita yang menerangi bagi generasi penerus. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, tetapi sekolah berfungsi membentuk akhlak anak didik sehingga mereka menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Secara langsung maupun tidak langsung, sekolah mentransferkan budaya, seperti nilai-nilai, sikap, peran dan pola-pola perilaku. Sekolah harus mengajarkan kepada siswanya untuk menghargai barang milik orang lain, menghindari kekerasan dan mematuhi hukum. Salah satu tugas utama sekolah yang sangat strategi adalah menanamkan sikap toleran dan inklusif sehingga relasi antarkelompok yang majemuk dapat terjalin secara harmonis dan damai. Sikap toleran dan inklusif dalam menghadapi pluralisme harus dipandang sebagai salah satu indikator integral dari akhlak atau budi pekerti. Dalam rangka mewujudkan hubungan antar kelompok yang lebih harmonis adalah menghilangkan sterotip dan prasangka negatif terhadap kelompok lain. Perubahan paradigma dan pola pikir dalam menyikapi kemajemukan budaya dalam sistem pendidikan perlu disikapi.Wawasan pluralisme, inklusivisme, toleransi, dan nonsektarianisme perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto
108
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
kebangsaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, yang telah lama diingkari melalui uniformitas yang dipaksakan dalam dominasi sosial politik Orde Baru dan berlanjut hingga sekarang. Pendekatan yang bersifat sentralistik menafikan keunikan daerah yang kaya dengan khasanah kebudayaan dan kurang memberi ruang tumbuhnya apresiasi terhadap budaya lain. Nilai-nilai pluralisme dapat dibangun melalui rancangan kurikulum yang berbasis kepada lintas budaya dan muatan appresiasi dan toleransi terhadap budaya dan kelompok lain. Metode belajar mengajar alternatif dengan tujuan agar masyarakat memiliki sikap inklusif dan toleran
terhadap
kemajemukan perlu dikembangkan. Materi programnya berisi pengetahuan dan kompetensi interrelasi antar budaya yang menekankan pembelajaran untuk tinggal dan hidup bersama dengan orang yang berbeda budaya. Proses belajar mengajarnya dikembangkan dengan memanfaatkan potensi sosial yang ada pada masyarakat lokal setempat untuk mengembangkan kompetensi sosial anak didik sehingga anak didik mampu menciptakan dan memelihara harmoni dalam hubungan sosial dengan masyarakatnya. Guru yang kompeten harus mampu memberikan teladan kepada anak didik dalam menanamkan sikap toleransi pada anak didik dan mengakomodasi perbedaan. Tugas guru adalah menyadarkan para peserta didik akan prasangka-prasangka yang ada dalam diri mereka masingmasing, dan menanamkan dalam diri mereka benih-benih kemampuan untuk mengendalikan prasangka-prasangka tadi. Ini dapat dicapai dengan mengenali keindahan serta potensipotensi untuk hidup harmonis dan kreatif dalam masyarakat
109
Luther dan Pendidikan
yang pluralistik. Jadi, dasar yang dapat dipakai untuk melandasi pendidikan pluralisme adalah realitas objektif bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan keharusan mengelola keanekaragaman tersebut secara harmonis dan kreatif, sehingga keanekaragaman bangsa Indonesia menjadi sesuatu yang indah. Selanjutnya perlu dikembangkan program pertukaran budaya melalui sharing perasaan, pengalaman dan memori kolektif Membangun Keseimbangan Gender Ketidakadilan gender yang terjadi di sekolah sering kali tidak disadari oleh guru, orangtua, murid dan juga muridmurid sendiri. Para guru merasa bahwa mereka telah memperlakukan murid laki-laki dan perempuan secara adil. Guru tidak mengetahui dan memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang mereka pakai dan diwajibkan benar-benar adil gender dan apakah kurikulum yang dipakai benar-benar telah diberlakukan secara adil? Ketidaktahuan guru diakibatkan tidak adanya penelitian tentang buku pelajaran atau kurikulum pendidikan yang diterapkan di sekolah, kurangnya kepekaaan guru kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender dan guru tidak berani mendobrak kemapanan yang terjadi selama ini. Guru kurang memiliki pengalaman di dalam menanamkan nilai-nilai baru dalam hubungan heteroseksual, dalam pengasuhan anak di sekolah. Para guru tidak menyadari bahwa yang lebih banyak disuruh untuk mengerjakan soal matematika adalah anak laki-laki, yang banyak diseuruh menyanyi adalah murid perempuan. Guru tidak menyadari anak yang diam, tidak tunjuk tangan untuk menjawab pertanyaan adalah anak
110
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
perempuan walaupun mereka adalah anak yang cerdas. Itu disebabkan karena anak perempuan tidak diberi kebebasan di rumah untuk melakukan sesuatu dan hal itu membuat mereka merasa malu dan kurang berani untuk menyampaikan pendapat, anak perempuan yang tidak diberi kebebasan di rumah, anak perempuan yang selalu harus patuh dengan perintah orang tuanya sehingga kebiasaan terebut akan terbawa ke sekolah, sehingga mereka tidak berani mengajukan diri kalau tidak disuruh. Keadilan gender dapat diwujudkan melalui pendidikan di rumah, masyarakat dan juga sekolah. Peranan orang tua sangat menentukan apakah pendidikan yang diterapkan pada anak perempuan dan anak laki-laki sudah memperhatikan keadilan gender, apakah anak perempuan diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki, apakah anak perempuan mempunyai kontrol yang sama dengan anak laki-laki, bagaiman orang tua mengajari anak laki-lakinya atau perempuannya untuk berperan di sektor domestik secara seimbang. Domain pendidikan (sekolah) tidak boleh memperlihatkan pertimbangan mana yang pantas dikerjakan oleh anak lakilaki dan anak perempuan. Guru harus memperlakukan murid secara adil gender dan tidak ada diskriminasi yang merugikan bagi murid perempuan ataupun laki-laki. Revisi buku pelajaran yang belum berkeadilan gender perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan, kurikulum dan isi pelajaran. Dengan demikian pendidikan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengubah persepsi yang kurang benar terhadap sumber daya perempuan dan lali-laki. Dalam rangka meningkatkan
111
Luther dan Pendidikan
kesadaran dan kepekaan gender para guru diberikan pelatihan tentang perspektif gender dalam pendidikan. Guru yang Memiliki Hati Bagian ini diuraikan terakhir sekali pada tulisan ini, karena sebagian besar waktu siswa-siswi dihabiskan di sekolah melalui interaksi guru dengan siswa-siswi. Guru berdasarkan penelitian diyakini sebagai salah satu faktor yang akan menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan tehnologi serta internaliasi etika, kebudayaan, moral, dan keadilan gender. Di dalam undang-undang, guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat sangat perduli dan mengarahkan perhatiannya kepada guru. Guru harus mendidik dengan hati, artinya seorang pendidik dalam menyampaikan keilmuan harus memiliki keilkhlasan dan kecintaan serta mengedepankan sikap bersahabat, menyenangkan, empati, konsistensi terhadap komitmen, antusias, membangun team work, ramah, santun dan sabar. Mendidik dengan hati bukan hanya siap mengajarkan kepada anak, namun juga siap mendengar secara reflektif apa pun yang diucapkan anak. Memahami dan menghargai perasaannya serta menampakan bahwa kita benar-benar menyimak apa yang dikatakan, ulangi apa yang dia ucapkan, dan ekspresikan bahwa kita sedang memikirkan perasaannya, berikan respon
112
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
positif, berikan umpan balik dengan nasihat atau usulan yang membangun jiwanya. Kegiatan dan hasil pembelajaran di sekolah akan jauh berbeda antara pengajaran kognitif dan mendidik dengan hati. Pengajaran kognitif memberi dampak kepada sulitnya pelajaran diserap oleh murid. Seringkali kita melihat bahwa murid yang membenci guru matematika akan membenci pelajaran matematika. Murid yang membenci guru kimia akan membenci pelajaran kimia. Mendidik dengan hati memberikan suatu keyakinan kepada setiap murid, bahwa mereka mampu berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan yang terbaik. Kekuatan pancaran hati dari pendidik kepada murid berpengaruh terhadap utuhnya kesuksesan pendidikan. Dengan demikian pembelajaran yang bermakna, bukan melulu guru mengajari ilmu dan fakta (transfer ilmu semata) melainkan kerja hati yang merupakan kekayaan yang Allah berikan. Bahasa hati melebihi bahasa tubuh. Di dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pelatih yang mendorong siswanya menguasai ilmu pengetahuan dan memotivasi mereka untuk bekerja keras dan menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing, guru berfungsi sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakbraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa dan megeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan demikian, siswa-siswi diharapkan akan mampu mengembangkan potensi diri, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan tehnologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing
113
Luther dan Pendidikan
dalam masyarakat global. Dengan kata lain sebagai guru yang efektif, guru harus mengetahui apa yang akan diajarkan dan siapa yang diajar. Program sertifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkat kualitas guru tidak membuat guru berhenti mengembangkan dirinya. Guru harus membekali dirinya tentang pengetahuan tentang konteks pendidikan. Guru yang bertanggungjawab mestinya secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengembangan professional dan menunjukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus. Guru harus melibatkan diri ke dalam proses refleksi secara kritis terhadap paraktek-praktek peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran yang juga bisa dilakukan dengan kerjasama dengan guru yang lain. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas, kita dapat melihat bahwa pendidikan sangat penting di dalam kehidupan dan harus digagas untuk kehidupan manusia. Pada saat ini, begitu besar tantangan yang dihadapi oleh siswa-siswa segagai hasil pengembangan tehnologi informasi dan globalisasi dengan arus informasi dan keterbukaan yang hampir tidad batas. Pendidikan harus dipersiapkan secara terencana, terarah dan sistematis
dengan guru-guru yang memiliki hati untuk
membangun manusia yang trampil, siap dan kompeten di dalam dalam masyarakat. Dengan demikian, siswa-siswi menjadi manusia yang berkarater, menjunjung pluralisme, dan menghargai perbedaan gender.
114
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, M.A.W. 2004. Cahaya Hati dan Opera Manusia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2012. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Djokopranoto, Richardus. 2011. Filosofi Pendidikan Indonesia, Rangkaian Esei Masalah Pendidikan. Jakarta: Penerbit Obor. Drost, J. I. G. M. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik? Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. Hendricks, Howard G. 2012. Mengajar untuk Mengubah Hidup (terjemahan) .Yogjakarta: Yayasan Gloria. Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Sinduhunata (editor). 2000. Membuka Masa Depan AnakAnak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tilaar, H. A. R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan.Magelang: Indonesiatera. Tilaar, H.A.R. 2004. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia.. Jakarta: Grasindo.
115
Luther dan Pendidikan
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera Demi Kemajuan Para Siswa Sahat Gultom
Teknologi Pendidikan Merubah Cara Belajar Perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya teknologi informasi (TI). Teknologi informasi telah menjadi fasilitas utama bagi kegiatan berbagai sektor kehidupan dimana memberikan andil besar terhadap perubahan–perubahan yang mendasar pada struktur operasi dan manajemen organisasi, pendidikan, transportasi, kesehatan dan penelitian. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: 1. Dari pelatihan ke penampilan, 2. Dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, 3. Dari kertas ke “on line” atau saluran, 4. Fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, 116
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...
5. Dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Teknologi dan Hubungannya Dengan Metodologi Pembelajaran Kata teknologi sering dipahami oleh orang awam sebagai sesuatu yang berupa mesin atau hal-hal yang berkaitan dengan Permesinan, namun sesungguhnya teknologi pendidikan memiliki makna yang lebih luas, karena teknologi pendidikan merupakan perpaduan dari unsur manusia, mesin, ide, prosedur, dan pengelolaannya kemudian pengertian tersebut akan lebih jelas dengan pengertian bahwa pada hakikatnya teknologi adalah penerapan dari ilmu atau pengetahuan lain yang terorganisir ke dalam tugas-tugas praktis.
Keberadaan
teknologi harus dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari masalah, sebab teknologi lahir dan dikembangkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka lahirnya teknologi pendidikan timbul dari adanya permasalahan dalam pendidikan. Permasalahan pendidikan yang mencuat saat ini, meliputi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu/ kualitas, relevansi dan efisiensi pendidikan. Permasalahan serius yang masih dirasakan oleh pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah
117
Luther dan Pendidikan
masalah kualitas, tentu saja ini dapat di pecahkan melalui pendekatan teknologi pendidikan. Terdapat tiga prinsip dasar dalam teknologi pendidikan sebagai acuan dalam pengembangan dan pemanfaatannya, yaitu: Pendekatan sistem, Berorientasi pada siswa, dan Pemanfaatan sumber belajar. Prinsip pendekatan sistem berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran perlu desain/ perancangan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam merancang pembelajaran diperlukan langkah-langkah prosedural meliputi
proses: identifikasi masalah, analisis
keadaan, identifikasi tujuan, pengelolaan pembelajaran, penetapan metode, penetapan media evaluasi pembelajaran. Prinsip berorientasi pada siswa berarti bahwa dalam pembelajaran hendaknya memusatkan perhatiannya pada peserta didik dengan memperhatikan karakteristik, minat, potensi dari siswa. Prinsip pemanfaatan sumber belajar berarti dalam pembelajaran siswa hendaknya dapat memanfaatkan sumber belajar untuk mengakses pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkannya. Satu hal lagi lagi bahwa teknologi pendidikan adalah satu bidang yang menekankan pada aspek belajar siswa. Keberhasilan pembelajaran yang dilakukan dalam satu kegiatan pendidikan adalah bagaimana siswa dapat belajar, dengan cara mengidentifikasi, mengembangkan, mengorganisasi, serta menggunakan segala macam sumber belajar. Dengan demikian upaya pemecahan masalah dalam pendekatan teknologi pendidikan adalah dengan mendayagunakan sumber belajar. Hal ini sesuai dengan ditandai dengan pengubahan istilah dari teknologi pendidikan menjadi teknologi pembelajaran.
118
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...
Peran Teknologi Informasi Dalam Modernisasi Pendidikan Ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang terkait dengan modernisasi pendidikan: 1. Bagaimana kita belajar (how people learn); 2. Apa yang kita pelajari (what people learn); dan 3. Kapan dan dimana kita belajar (where and when people learn). Dengan mencermati jawaban atas ketiga pertanyaan ini dan potensi TI yang bisa dimanfaatkan seperti telah diuraikan sebelumnya, maka peran TI dalam moderninasi pendidikan dapat dirumuskan. Cara berinteraksi antara guru dengan siswa sangat menentukan model pembelajaran. Terkait dengan ini saat ini terjadi perubahan paradigma pembelajaran terkait dengan ketergantungan terhadap guru dan peran guru dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran seharusnya tidak 100% bergantung kepada guru lagi (instructor dependent) tetapi lebih banyak terpusat kepada siswa (student-centered learning atau instructor independent). Guru juga tidak lagi dijadikan satu-satunya rujukan semua pengetahuan tetapi lebih sebagai fasilitator atau konsultan. Peranan yang bisa dilakukan TI dalam model pembelajaran ini sangat jelas. Hadirnya e-learning dengan semua variasi tingkatannya telah memfasilitasi perubahan ini. Secara umum, e-learning dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang disampaikan melalui semua media elektronik termasuk, Internet, intranet, extranet, satelit, audio/video tape, TV interaktif, dan CD ROM. E-learning telah mendorong demokratisasi pengajaran dan proses pembelajaran dengan memberikan kendali yang lebih besar dalam pembelajaran kepada siswa. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional seperti termaktub dalam
119
Luther dan Pendidikan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Saat ini, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga telah memfasilitasi pemanfaatan e-learning sebagai substitusi proses pembelajaran konvensional.
Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 107/U/2001 dengan jelas membuka koridor untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh di mana e-learning dapat masuk memainkan peran. Apapun namanya, dalam era informasi, jarak fisik atau jarak geografis tidak lagi menjadi faktor dalam hubungan antar manusia atau antar Sekolah, sehingga jagad ini menjadi suatu dusun semesta atau “Global village”. Sehingga sering kita dengar istilah “jarak sudah mati” atau “distance is dead”. Di prediksi penggunaan “Computer-based Multimedia Communication (CMC)” yang bersifat sinkron dan asinkron makin lama makin nyata kebenarannya. Dari ramalan dan pandangan para cendikiawan dapat disimpulkan bahwa dengan masuknya pengaruh globalisasi, pendidikan masa mendatang akan lebih bersifat terbuka dan dua arah, beragam, multidisipliner, serta terkait pada produktivitas kerja “saat itu juga” dan kompetitif. Teknik pengajaran baru akan bersifat dua arah, kolaboratif, dan interdisipliner.
120
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...
Fungsi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memilliki tiga fungsi utama yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu 1. Teknologi berfungsi sebagai alat (tools) dalam hal ini TIK digunakan sebagai alat bantu bagi pengguna atau siswa untuk membantu pembelajaran, misalnya dalam mengolah kata, mengolah angka, membuat unsur grafis, membuat database, membuat program administratif untuk siswa, guru dan staf, data kepegawaian, keuangan dan sebagainya. 2. Teknologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science). Dalam hal ini teknologi sebagai bagian dari disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh siswa. Misalnya teknologi komputer dipelajari oleh beberapa jurusan di perguruan tinggi seperti informatika, manajemen informasi, ilmu komputer. dalam pembelajaran di sekolah sesuai kurikulum 2006 terdapat mata pelajaran TIK sebagai ilmu pengetahuan yang harus dikuasai siswa semua kompetensinya. 3. Teknologi berfungsi sebagai bahan dan alat bantu untuk pembelajaran (literacy). dalam hal ini teknologi dimaknai sebagai bahan pembelajaran sekaligus sebagai alat bantu untuk menguasai sebuah kompetensi berbantuan komputer. Dalam hal ini komputer telah diprogram sedemikian rupa sehingga siswa dibimbing secara bertahap dengan menggunakan prinsip pembelajaran tuntas untuk menguasai kompetensi dalam hal ini posisi teknologi tidak ubahnya sebagai guru yang berfungsi sebagai: fasilitator, motivator, transmiter, dan evaluator. Peran dan fungsi teknologi informasi dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam manajemen dunia pendidikan, berdasar studi tentang tujuan pemanfaatan TI
121
Luther dan Pendidikan
ditemukan beberapa tujuan pemanfaatan TI, yaitu 1. Memperbaiki competitive positioning; 2. Meningkatkan brand image; 3. Meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran; 4. Meningkatkan kepuasan siswa; 5. Meningkatkan pendapatan; 6. Memperluas basis siswa; 7. Meningkatkan kualitas pelayanan; 8. Mengurangi biaya operasi; dan 9. Mengembangkan produk dan layanan baru. Karenanya, tidak mengherankan jika saat ini banyak institusi pendidikan di Indonesia yang berlomba-lomba berinvestasi dalam bidang TI untuk memenangkan persaingan yang semakin ketat. Maka dari itu untuk memenangkan pendidikan yang bermutu maka disolusikan untuk tiap tiap sekolah melakukan pemutakhiran atas Teknologi Informasi. Faktor-Faktor Pendukung Teknologi Informasi Dalam Pendidikan Teknologi informasi yang merupakan bahan pokok dari elearning itu sendiri berperan dalam menciptakan pelayanan yang cepat, akurat, teratur, akuntabel dan terpercaya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi teknologi informasi yaitu: 1. Infrastruktur 2. Sumber Daya Manusia 3. Kebijakan 4. Finansial, dan 5. Konten dan Aplikasi. Maksud dari faktor diatas adalah agar teknologi informasi dapat berkembang dengan pesat, pertama dibutuhkan infrastruktur yang memungkinkan akses informasi di manapun dengan kecepatan yang mencukupi. Kedua, faktor SDM menuntut ketersediaan human brain yang menguasai teknologi tinggi. Ketiga, faktor kebijakan menuntut adanya kebijakan berskala makro dan
122
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...
mikro yang berpihak pada pengembangan teknologi informasi jangka panjang. Keempat, faktor finansial membutuhkan adanya sikap positif dari bank dan lembaga keuangan lain maupun lembaga donor untuk menyokong Sekolah pada sisi teknologi informasi. Kelima, faktor konten dan aplikasi menuntut adanya informasi yang sampai pada orang, tempat, dan waktu yang tepat serta ketersediaan aplikasi untuk menyampaikan konten tersebut dengan nyaman pada penggunanya. E-learning yang merupakan salah satu produk teknologi informasi tentu juga memiliki faktor pendukung dalam terciptanya pendidikan yang bermutu, adapun faktor-faktor tersebut; Pertama, harus ada kebijakan sebagai payung yang antara lain mencakup sistem pembiayaan dan arah pengembangan. Kedua, pengembangan isi atau materi, misalnya kurikulum harus berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, nantinya yang dikembangkan tak sebatas operasional atau latihan penggunaan komputer. Ketiga, persiapan tenaga pengajar, dan terakhir, penyediaan perangkat kerasnya. Perkembangan Teknologi Informasi memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversity, dan yang lainnya lagi yang berbasis elektronika diramalkan bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang
123
Luther dan Pendidikan
memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia, maupun pengalaman pendidikan sebelumnya. Saya berpendapat bahwa pendidikan mendatang akan lebih ditentukan informasi interaktif, seperti CD-ROM Multimedia dan Internet dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan Video. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dalam bidang pendidikan, maka pada saat ini sudah dimungkinkan untuk diadakan belajar jarak jauh dengan menggunakan media internet untuk menghubungkan antara siswa dengan Gurunya, melihat nilai siswa secara online, mengecek keuangan, melihat jadwal mata pelajaran, mengirimkan berkas tugas yang diberikan guru dan sebagainya, semuanya itu sudah dapat dilakukan. Masalah Dan Hambatan Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Seperti teknologi lain yang telah hadir ke muka bumi ini, TI juga hadir dengan dialektika. Selain membawa banyak potensi manfaat, kehadiran TI juga dapat membawa masalah. Khususnya Internet, penyebaran informasi yang tidak mungkin terkendalikan telah membuka akses terhadap informasi yang tidak bermanfaat dan merusak moral. Karenanya, penyiapan etika siswa juga perlu dilakukan. Etika yang terinternalinasi dalam jiwa siswa adalah firewall terkuat dalam menghadang serangan informasi yang tidak berguna. Masalah lain yang muncul terkait asimetri akses; akses yang tidak merata. Hal ini akan menjadikan kesenjangan digital (digital divide) semakin lebar antara siswa atau sekolah dengan dukungan sumberdaya yang kuat dengan siswa atau sekolah dengan sumberdaya
124
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...
yang terbatas. Minimal, hal ini memberikan sinyal adanya kesenjangan digital antar kelompok dalam masyarakat, baik dikategorikan menurut lokasi geografis maupun tingkat ekonomi. Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 90% SMU dan 95% SMK telah memiliki komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10% SMK yang telah terhubungan dengan Internet. Secara keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa adopsi TI dalam dunia pendidikan di Indonesia masih rendah. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan a) Bagaimana seharusnya kita memandang TI, termasuk potensi apa yang ditawarkan oleh TI; dan b) bagaimana peran TI dalam modernisasi/reformasi pendidikan. Untuk masalah kesenjangan ini, semua pihak (e.g. pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dunia pendidikan, dan Pihak yang memiliki concern dengan dunia pendidikan) dapat mulai memikirkan program untuk meningkatkan dan memeratakan akses terhadap teknologi informasi di dunia pendidikan. Salah satu contoh adalah Program yang difasilitasi oleh Sekolah2000 dengan membagikan komputer layak pakai ke sekolah-sekolah adalah sebuah contoh menarik. Tentu saja program seperti ini harus diikuti dengan penyiapan infrastruktur lain seperti listrik dan telepon. Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan melek (literacy) TI juga pintu masuk lain yang perlu dipikirkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap potensi TI, yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan kesadaran (awareness). Tanpa awareness, pemanfaatan TI tidak optimal, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi sulit untuk berkelanjutan (sustainable). Dalam kaitan ini, program untuk
125
Luther dan Pendidikan
peningkatan awareness yang berkelanjutan seperti pendidikan berkelanjutan lewat berbagai media (e.g. pelatihan konvensional dan media massa) dan lomba website sekolah misalnya merupakan sebuah alternatif yang perlu dipikirkan. Akhir kata, lambat laun setiap sekolah akan dinilai kualitasnya dari penerapannya terhadap TIK. Sayangnya, pemerataan akan pengimplementasiannya untuk keseluruhan Sekolah di Indonesia masih menjadi persoalan yang tidak mudah dijawab.
126
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak Alida Nababan-Lbn. Tobing, MSc
I.
PENDAHULUAN Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pendidikan
Perempuan Gereja (PG) ialah kegiatan belajar-mengajar yang diselenggarakan oleh gereja dengan tujuan untuk mendewasakan iman, akal budi, pengetahuan dan keterampilan anggota jemaat perempuan agar semakin mampu menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Sejak datangnya missionaries ke tanah Batak sudah disadari bahwa pendidikan adalah jalan untuk memajukan seseorang. Oleh karena itulah tahun 1889 Nn. Hester Needhann dibantu Nn. Tora dan Nn. Domi (seorang pribumi) memulai pendidikan untuk anak perempuan di Mandailing yang saat itu masih sangat terbelakang. Pendidikan perempuan dilakukan oleh Zr Nieman yang melayani di Toba dan Zr Elfrieda Harder, beliau mulai dengan pengajaran Alkitab kepada perempuan di Laguboti tempat Sekolah Bibelvrouw sekarang ini. Kepada para perempuan itu mereka kemudian mengajarkan kebersihan, keterampilan mengurus rumah tangga di samping Firman Tuhan. Disamping itu sudah banyak juga perempuan batak yang telah bersekolah umum, yang disebut sekolah
127
Luther dan Pendidikan
Zending (Sekolah Dasar) dan kemudian mereka melanjutkan sekolahnya ke Sumatra Barat, Sumatra Timur dan Pulau Jawa; umumnya mereka ingin menjadi jadi guru dan perawat sesuai dengan kebutuhan waktu itu. Pendidikan bertujuan untuk memberdayakan seseorang. Konsep pendidikan pada zaman itu, bila sudah memperoleh pendidikan yang baik, seorang perempuan dapat mensejahterakan keluarga, merawat dan mendidik anaknya dengan baik. Ini berarti pendidikan kaum perempuan dapat mempengaruhi generasi penerus. Semakin baik pendidikan kaum perempuan, maka akan semakin terjamin kehidupan generasi mendatang. Sejak saat itu gereja memulai peran pendidikan dan pembinaan bagi kaum perempuan. Karena dengan demikian diharapkan perempuan mau dan mampu mengubah dirinya, keluarga dan masyarakat sesuai dengan tugas dan panggilan gereja. Oleh karena inti kegiatan pendidikan adalah belajar, maka pada pembahasan berikut, istilah kegiatan belajar atau pun pembinaan sering dipakai sebagai gambaran untuk menunjukkan bagian dari proses pendidikan itu. Tentunya kita tidak tinggal dalam sejarah atau proses pendidikan bagi kaum perempuan namun penulis juga menyarankan hal yang untuk mempercepat kemajuan serta mendorong melalui program-program untuk pendidikan Perempuan Gereja, khususnya.
128
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
II. IRAMA PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN GEREJA Secara umum bangsa Indonesia menikmati pendidikan yang terus membaik, tetapi kegiatan belajar-mengajar di gereja-gereja, mengalami irama. Artinya ada kalanya pada satu kurun waktu maju, namun kemudian hampir tidak bergerak atau berjalan di tempat seperti yang kita alami belakang ini. Antara tahun 1975-1984 Women’s desk di (LWF) Lutheran World Federation telah mengadakan latihan kepemimpinan untuk perempuan dari semua anggota LWF yang ada di Indonesia. Persekutuan Wanita Gereja Lutheran juga mengadakan Pertemuan Wanita di Sukabumi yang sudah mencakup utusanutusan perempuan dari seluruh gereja-gereja anggota LWF. Disitu peserta diberi kesadaran akan masalah dan keterbelakangan perempuan. Mereka bisa melihat bahwa gereja mencari keadilan, tetapi gereja sendiri ternyata belum menerima wanita menjadi anggota majelis, apalagi menjadi pendeta. Pertemuan ini dan pertemuan berikutnya menjadi ajang pertukaran pengalaman, tempat saling mendukung dan mencari cara membangunkan wanita agar turut berperan lebih banyak dalam gereja. Banyak pejabat gereja (tentu bapak-bapak) yang mengerti keterbelakangan yang dialami perempuan. Oleh karena itu mereka mendukung apa yang diperjuangkan wanita pada waktu itu. Akibatnya satu demi satu gereja mengamendemen Aturan dan Peraturan Gerejanya yang memungkinkan wanita di tahbiskan menjadi majelis dan pendeta. Tahun Wanita Internasional tahun 1975 oleh (PBB) mendorong Perempuan Gereja mengadakan banyak kegiatan-
129
Luther dan Pendidikan
kegiatan seperti latihan kepemimpinan dan pertemuan raya wanita gereja, secara regional, nasional dan internasional yang tujuannya membangunkan para perempuan gereja di seluruh dunia. Kemudian ada Dekade Oikumenis Gereja-gereja dalam bersolidaritas dengan wanita oleh DGD (Dewan GerejaGereja Sedunia) ini terjadi dari tahun 1988-1998. Temanya, perempuan gereja terpanggil untuk turut berpatisipasi bersama laki-laki dalam kehidupan gereja dan masyarakat untuk mengusahakan keadilan, perdamaian. dan keutuhan ciptaan yang kita sebut lingkungan hidup. Diserukan juga agar membaharui pemahaman tentang Firman Tuhan, bahwa Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan segambar dengan Dia (Kel l:27). Di samping pengaruh luar yang disebut di atas, intensitas program Pendidikan Perempuan Gereja tergantung pada pimpinan gereja pada satu periode termasuk pengurus seksi/ persekutuan perempuan. Bila mereka telah pernah mengikuti pertemuan/konsultasi bersama dengan tokoh-tokoh perjuangan perempuan dan telah medapat pencerahan baru secara teologis maka akan memperhatikan Pendidikan Perempuan Gereja. Perhatian bahkan keberpihakan Pimpinan suatu gereja akan perlunya memberdayakan perempuan adalah modal utama untuk mempromosikan perempuan serta program-programnya pada suatu gereja. Hal ini tidak hendak mengatakan bahwa perempuan tidak dapat berdiri sendiri untuk memajukan dirinya, namun rantai ketidakadilan yang selama ini dianggap sebagai yag sudah baku, harus diputuskan yaitu melalui pimpinan yang dapat melihat bahwa perempuan adalah tenan sekerja Yesus juga yang dapat bersama-sama dengan
130
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
laki-laki untuk menyelenggarakan pelayanan atau mendapatkan pendidikan. (Sebagai contoh bisa kita telusuri siapa pimpinan sewaktu diadakan perubahan Aturan dan Peraturan gereja kita masing-masing dan yang membuka kesempatan untuk perempuan menjadi pendeta. Waktu kepemimpinan siapa banyak program perempuan yang berbobot disetujui dan dilaksanakan? Dapat dipastikan bahwa pemimpin ini mengerti pentingnya pemberdayaan perempuan agar gereja Tuhan berkembang). Walaupun Gereja telah menerima perempuan turut dalam pelayanan Gereja, sebagai anggota majelis dan pendeta, namun Gereja mencakup pimpinan perempuan jemaat, bibelvrouw, diakones dan pimpinan Seksi Perempuan tidak berbuat banyak dalam peningkatan pembinaan perempuan sesuai dengan peningkatan permasalahan yang mereka alami sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari program Seksi Perempuan di jemaat, resort, distrik dan sinode, baik dari segi kwantitas atau pun kwalitas. Apalagi belakangan ini ada pembagian pelayanan dalam 3 bidang. Marturia Koinonia dan Diakonia. Bila dulu ada seksi pendidikan di dalam organisasi Seksi Perempuan maka belakangan telah terlebur dengan Pelayanan Koinonia Umum, sehingga kebutuhan khusus dan untuk mengejar keterbelakangan perempuan dari laki-laki tidak lagi terpenuhi. Apa lagi dengan maraknya program PESPARAWI maka “ternina bobolah” perempuan untuk mendukung acara ini. Lupa visi pembinaan untuk peningkatan peranan perempuan karena waktu, dana dan perhatian tertumpah untuk PESPARAWI tersebut.
131
Luther dan Pendidikan
Menyimak Pemahaman Alkitab yang hamper setiapminggu dilakukan oleh semua gereja kepada seksi perempuan, dinilai kurang efektif. Dalam kegiatan ini,perempuan hanya aktif sebagai pendengar dan sangat kurang untuk merespon apalagi menyumbangkan pikiran-pikirannya. Selayaknya kebaktian Minggu, demikian jugalah pemahaman Alkitab ini dilakukan, dimana perempuan mendengar apa yang disampaikan oleh sang pelayan, kemudian hamper-hampir tidak ada Tanya jawab. Selayaknya perteman-pertemuan seperti itu dapat menjadi tempat untuk saling berbagi dan menyapaikan usul-usul bahkan memikirkan banyak hal guna memperjuangkan kebutuhan perempuan. Belakangan ada kegiatan baru yang dinamai “WISATA ROHANI”. Tentu baik menambah cakrawala, tetapi hendaknya dibarengi dengan misi yang jelas dan persiapan yang baik. Wisata Rohani diadakan bukan sekedar anjangsana dan berakhir dengan shopping, namun tujuan sebenarnya adalah bagaimana kelompok perempuan belajar menghubungkan kehidupan sehari-harinya dan yang didapatkan selama berwisata dengan kehidupan spiritualitasnya. III. PROSES PENDIDIKAN DI GEREJA Untuk menggiatkan program pendidikan di gereja dan untuk memaksimalkan hasilnya, hal-hal berikut harus menjadi persyaratan: 1.
Komitmen Pimpinan Perencanaan dimulai dengan perolehan persetujuan dan dukungan pimpinan. Pimpinan harus ingat bahwa pendidikan/pembinaan adalah tugas utama gereja, yaitu
132
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
memperlengkapi warganya menjadi manusia yang seutuhnya (holistic). Komitment pimpinan tercermin dalam perencanaan tahunan dan lima tahunan. Gereja yang memperioritaskan pendidikan/pembinaan harus menyusun strategy termasuk menyiapkan dana serta Sumber Daya Manusia yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan program-program pendidikan. Bandingkan upaya gereja dengan upaya pemerintahan dalam pengalokasian dana untuk pendidikan di RAPBN dan tuntutan 30% jatah perempuan yang duduk di DPR. Jadi tanpa komitment pimpinan, program pendidikan tercecer dan asal-asalan. 2.
Identifikasi Kebutuhan Belajar Setiap gereja harus memiliki gambaran yang jelas mengenai apa saja kegiatan belajar yang dibutuhkan jemaat untuk setiap kategorial termasuk perempuan. Kebutuhan akan program belajar timbul dari masalahmasalah yang dihadapi masyarakat, gereja dan individu. Pemimpin harus bisa menganalisa masalah dan menentukan program pendidikan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah itu. Namun demikian, jemaat juga bisa menyatakan apa program yang mereka kehendaki. Agar gereja bisa mempunyai peta dari kebutuhan belajar, maka gereja dianjurkan secara berkala mengadakan survey. Berikut contoh questioner yang dapat dipakai gereja untuk menyusun rencana program pendidikan:
133
Luther dan Pendidikan
SURVEY KEBUTUHAN BELAJAR Nama : ___________ Umur : ___________ Alamat : ___________ I. Mohon beri tanda (“) bidang yang anda ingin pelajari bila ada peluang : (…) Kerohanian/teologia (...) Kepemimpinan (...) Administrasi keuangan (…) Keluarga sejahtera (…) Hobi/rekreasi (…) Kesehatan (…) Keterampilan kerja (…) Pertanian/pertamanan (…) Peternakan kecil-kecilan (…) Lansia yang sejahtera (…) Menulis/baca II. Sebutkan bidang lain yang belum dicantumkan diatas: … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … III. Mohon gambarkan lebih rinci/khusus, apa yang anda ingin pelajari lebih jauh: … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
3.
Perencanaan dan Proposal Untuk Program Pendidikan Tanpa perencanaan maka pelaksanaan, sasaran dan hasil pendidikan akan tidak jelas. Kelangsungan program pendidikan juga pasti tidak terjamin atau menjadi macat kalau tidak ada perencanaan. Sering sekali penanggungjawab program pendidikan menyepelekan peranan atau menghindari melakukan perencanaan karena tidak tahu
134
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
caranya atau tidak mau repot. Bila mau berhasil gereja harus memiliki pengetahuan dan kemampuan membuat rencana pendidikan. Disamping itu, sering terjadi gereja mempunyai dana tapi program pendidikan tidak diselenggarakan karena petugas terkait tidak terampil menyusun proposal yang menunjukkan perencanaan pendidikan. Berikut model perencanaan pelatihan menggambarkan langkah-langkah yang harus diikuti atau dipertimbangkan. Model ini bisa digunakan untuk kegiatan belajar yang lain dengan sedikit penyesuaian. Analisa Masalah
-Lihat penyebabnya
Tentukan Kebutuhan Latihan
Desain Program Latihan
-Uraikan perilaku hasil latihan
-Pelajari penyelesaian dengan latihan
Laksanakan Latihan
Evaluasi Latihan
Sempurnakan Latihan
Ringkasan dari uraian perencanaan satu program belajar bisa menjadi isi dari proposal. Tentunya dengan menambahkan penyelenggaranya. 4.
Identifikasi Sumber dan Sarana Belajar Gereja harus mengenal berbagai keahlian yang dimiliki oleh jemaatnya, untuk ini gereja bisa memanfaatkan sistem “talent bank” yang mengumpulkan nama anggota 135
Luther dan Pendidikan
jemaat yang mempunyai keahlian khusus yang disempurnakan secara berkala. SDM yang mempunyai keahlian didorong untuk berbagi pengetahuannya dengan jemaat lain dalam bentuk narasumber di program belajar/pembinaan. Disamping itu gereja boleh menginventarisasi apa yang sedang diminati komunitas, misalnya membuat kerajinan tas, bordir, budidaya ikan lele, pemeliharaan tanaman hias, hidroponik dan lain-lain. Kunjungan ke tempat-tempat tersebut dapat menjadi kegiatan belajar. Jadi tempat kegiatan belajar tidak terbatas di lingkungan gereja tetapi diseluruh komunitas seperti di sekolah, rumah, balai pertemuan bahkan rumah makan sebagai tempat belajar. 5.
Metoda dan Teknik Belajar Kita sudah sering mendengar agar kegiatan belajar bisa efektif, teknik belajar harus dapat mendorong peserta belajar aktif. Alasannya peserta adalah perempuan dewasa yang mempunyai pengalaman, dan pengalaman mereka harus bisa dihubungkan dengan materi pembelajaran. Jadi kalau memakai teknik yang monolog akan sulit bagi peserta untuk menghubungkan pengalaman dan pembelajaran mereka. Disamping itu, memakai teknik kuliah sering membosankan peserta dan akhirnya menghambat pencapaian hasil yang maksimal dan menurunkan minat belajar mereka. Berikut adalah gambaran teknik belajar yang sesuai dengan jenis pembelajaran:
136
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak Penekanan Pada Perubahan/Peningkatan Pengetahuan/info Pemahaman Ketrampilan Sikap
-
Nilai‐nilai Hobby
6.
Teknik Belajar yang Sesuai Kuliah, membaca buku, menonton tv/film, dialog, interview, Seminar, Ceramah, Diskusi Studi kasus, dramatisasi, role play, diskusi, dialog, games, observasi lapangan, problem solving-discussion, menonton film/tv Drill, peragaan, latihan, praktek syudi kasus, workshop Sharing, diskusi kelompok, role play, penyampaian kesaksian, t-group Tv, Kuliah, sermon, debat simposium, diskusi yang diarahkan, sharing pengalaman, role play, t-group Tv, demontrasi, film, gambar, sharing pengalaman, diskusi, kunjungan, exhibiton
Evaluasi Evaluasi merupakan hal penting juga dari pendidika. Evaluasi sangatlah penting untuk memaksimalkan hasil atau menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan. Jadi evaluasi bisa dilakukan pada akhir kegiatan atau ditengahtengah kegiatan oleh peserta maupun penyelenggara. Bagian yang dievaluasi mencakup pembelajaran dan penyelenggaraannya. Dari evaluasi dapat dinilai sejauhmana pendidikan tersebut berhasil guna. Selanjutnya, evaluasi merupakan alat ukur untuk melanjutkan program atau kegiatan. Dengan demikian hasil evaluasi dapat dipakai sebagai ukuran pembelajaran yang telah tercapai atau sebaliknya. Diharapkan untuk mencapai hasil maksimal dari suatu program atau kegiatan, evaluasi memunyai peranan penting dari seorang pimpinan untuk kelanjutan suatu proses pertumbuhan. Berbagai metode evaluasi dapat
137
Luther dan Pendidikan
dipakai untuk mengetahui pencapaian suatu program atau kegiatan. Salah satu bentuk metode evaluasi yang paling sederhana adalah dengan berbagi pengalaan kepada peserta atau melalui bahan tulisan yang dapat dijawab dengan memilih/melingkari jawaban. Di bawah ini adalah salah satu contoh bahan evalasi dengan elingkari jawaban: 1.
Pada pertemuan ini saya belajar: a. banyak sekali b. banyak c. sedikit d. tidak ada
2.
Secara umum pertemuan: a. bagus sekali b. bagus c. biasa d. buruk
3.
Saya pulang dengan perasaan: a. ingin tahu lebih banyak b. biasa saja c. kecewa d. frustasi
IV. SASARAN-SASARAN PENDIDIKAN Melalui program pendidikan Perempuan Gereja diharapkan terjadi proses pertumbuhan iman, intelektual dan pengalaman anggotanya agar menjadi manusia yang dewasa yang beriman dan kompeten, bertanggung jawab dan mempunyai
138
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
keperdulian terhadap sesama dan lingkungannya. Bukan pribadi yang ikut-ikutan. Maslow (1954)* mengatakan : “Pendidikan adalah proses yang menjadikan seseorang meningkat dari berorientasi fisik/ materi ke tingkat yang berorientasi aktualisasi diri”. Sebenarnya Perempuan Gereja sendirilah yang harus menyadari kebutuhan aktualisasi diri ini dan merekalah yang memprogramkan. Namun sayang program yang ada cenderung biasa kebidang kerohanian dan koor saja. Kedua bidang ini pun sering kurang mantap dan perlu dikaji, karena cara penyampaian yang kurang tepat. Ada satu kebiasaan persekutuan perempuan gereja yang perlu diubah, yakni mengikuti saja apa yang telah biasa diperbuat sebelumnya tanpa berfikir relevansi bahkan kebutuhan dari kegiatan tersebut. Maka jadilah program kerja tahunan PG dibuat dengan hanya menjiplak (mengcopy) yang sudah ada, paling-paling anggarannya dirubah sesuai dengan nilai uang yang semakin turun. Tidak
sempat
menanyakan ibu-ibu program apa yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi mereka, atau hal apa yang menarik bagi mereka untuk diangkat ke permukaan. Menyimak prioritas program Departemen Perempuan dan Anak PGI yang mem prioritaskan program pemberdayaan perempuan yang ditangani PGI sekarang ini antara lain: -
Melawan kekerasan (violence) dalam keluarga dan masyarakat
*A.H Maslow, Motivation and Personality, New York, Harper and Brothers, 1954 139
Luther dan Pendidikan
Mengusahakan kesehatan ibu dan anak, termasuk
-
kesehatan alat reproduksi dan pencegahan HIV/AIDS Di bidang ekonomi dengan mencegah perdagangan
-
perempuan (human trafficking) Mengusahakan perdamaian dengan lingkungan dengan
-
cara memperhatikan keadaan dan budaya setempat perlu dipertanyakan kembali kepada seluruh gereja-gereja di Indonesia, apakah program PG telah mengarah seperti yang diungkapkan oleh Departemen Perempuan dan Anak PGI ini, atau sebaliknya gereja-gereja tidak mengetahui program PGI ini sehingga program PG kembali kepada yang tradisional. Dibawah ini saya mencoba mengidentifikasi program perempuan gereja di Tanah Batak dibandingkan dengan program PG diperkotaan.
-
Gereja di Tanah Batak (Tradisional) Kerohanian dengan metode yang cenderung monolog Ketrampilan rumah tangga, seperti memasak, merajut/menyulam, menjahit Kepemimpinan Kesehatan Pertanian
-
-
-
140
Gereja di Perkotaan (Modern) Kerohanian dengan teknik yang bervariasi, tema yang dibutuhkan untuk digumuli dalam sinar Firman Tuhan Keterampilan rumah tangga, mengatur waktu, menu sehat Kepemimpinan Nutrisi, kesehatan, kebugaran dan kecantikan Pertamanan dan tanaman hias Management gereja Administrasi keuangan gereja dan keluarga Kemitraan laki-laki dan perempuan dalam keluarga, gereja dan masyarakat Pendidikan kategorial mencakup anak, remaja, pemuda dan lansia Hobby dan rekreasi Pencegahan kekerasan di rumah tangga b d
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak -
Pemberdayaan perempuan Kesadaran hak dan kewajiban perempuan Komunikasi Kredit union Ketrampilan kerja sesuai tuntutan pasar Pemeliharaan lingkungan
Kemajuan perempuan juga terlihat dari program-programnya di gereja. Benar bahwa kondisi daerah setempat perlu dipertimbangkan, namun dengan menggali dan menganalisa suatu masalah akan ditemukan suatu program yang relevan bagi anggota-anggotanya. Dengan demikian kemajuan setahap demi setahap akan kelihatan. V.
KEMITRAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Penulis merasa perlu secara khusus membicarakan
kemitraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena usaha untuk mencapai kemitraan ini adalah proses pendewasaan laki-laki dan perempuan. Bila ada laki-laki dan perempuan bekerjasama untuk mencapai kemitraan maka proses pendewasaan dan pemberdayaan akan lebih cepat tercapai dan hasilnya juga akan lebih besar. Dr. Astrid Susanto, ahli sosiologi dan komunikasi (19362010) pernah mengadakan penelitian terhadap petani orang Batak yang menggarap tanah di Sumatra bagian timur, beliau melihat bahwa kehidupan keluarga di tempat itu lebih sejahtera bila dibandingkan kehidupan rata-rata kehidupan keluarga di Tapanuli. Faktor pendorongnya yang utama adanya kerjasama yang baik antara suami dan istri di Sumatra Timur, sedang di Tapanuli laki-laki banyak menghabiskan waktunya ngobrol di 141
Luther dan Pendidikan
lapo dan di kegiatan adat sehingga kurang kerjasama suami isteri. Dalam membangun dan membina keluarga agar sejahtera melalui pembinaan perempuan gereja, perlu diingatkan agar jangan ada perbedaan agar dalam keluarga diperlakukan sama anak laki dan perempuan, misalnya jangan dibedakan laki-laki dan perempuan untuk kesempatan pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sering akibat adat dan tradisi gereja. Hendaknya kesempatan belajar untuk perempuan jangan dibatasi hanya untuk jurusan yang sesuai dengan peran ibu rumahtangga misalnya hanya sekolah yang bersifat memelihara, mendidik dan hias menghias hendaknya disiasati agar perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan dan jabatan. Dalam rapat Central Comunittee Dewan Gereja-gereja seDunia (DGD) dinyatakan bahwa tujuan pembinaan perempuan untuk sekarang dan waktu yang akan datang ialah; Membangun persekutuan perempuan dan laki-laki untuk pencapaian keadilan dan perdamaian/kesejahteraan, jadi tidak adil jika Perempuan Gereja hanya sebagai objek atau pelaksana, tanpa diikutsertakan dalam pengambil keputusan dan perencanaan. Itulah sebabnya program dewan gerejagereja sedunia (DGD) lebih memusatkan dan mengutamakan pada kemitraan laki-laki yang bersikap positif terhadap perempuan yang diutamakan. Seperti program penanggulangan penyakit AIDS, sedang Program latihan kepemimpinan menurut perempuan dari Eropah tidak menjadi prioritas lagi, karena sudah banyak perempuan menjadi pemimpin di gereja dan sudah barang tentu dalam penentuan kebijakan. Namun untuk Asia Afrika dan sebagian dari Amerika Latin masih
142
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
menganggapnya perlu karena kalau mau ikut dalam rapatrapat pengambilan keputusan supaya semakin terampil. Banyak juga laki-laki takut kehilangan “wibawa” kelakilakian akibat gerakan perempuan yang menuntut kesejajaran. Sedang wanita Gereja belajar dan semakin sadar dengan Firman yang ada tetulis di Kej 1:26-27, bahwa sejak semula Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Dia, laki-laki dan perempuan mereka diciptakan. Pengertian perempuan harus patuh kepada laki-laki seperti tertulis di Eph 5:22 perlu dikaji ulang, perlu dipahami juga Gal 3:28 bahwa tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan karena harkat kemanusiaannya sama-sama pewaris kerajaan Allah. VI. HAMBATAN Banyak hambatan dalam meningkatkan mutu dan jenis program pendidikan perempuan di gereja, diantaranya: 1.
Gereja masih belum banyak melayani kebutuhan perempuan dengan mengadakan berragam pendidikan (kegiatan belajar).
2.
Belum banyak usaha gereja untuk menyadarkan perempuan akan keterbelakangannya. Program penyadaran ternyata masih harus digalakkan agar perempuan mau memperjuangkan pengembangannya. Dengan demikian tidak tergantung kepada orang lain untuk memperoleh ilmu dan kemampuan.
3.
Secara umum kemampuan perempuan masih rendah sehingga mereka belum mampu membangkitkan dirinya dan melibatkan diri dalam tugas-tugas yang rumit termasuk pekerjaan menyangkut pengambilan keputusan.
143
Luther dan Pendidikan
4.
Banyak pemimpin gereja tidak rela membagi tugas dengan mitra perempuan sehingga tidak cukup suara memperjuangkan kepentingan perempuan termasuk program pendidikan, beasiswa, maupun mengikuti pertemuan-pertemuan yang bisa lebih memberdayakan seseorang.
5.
Gereja masih mempertahankan pemahaman yang kolot yang berasal dari Alkitab maupun dari adat batak yang kebetulan mirip dengan adat orang Yahudi lama.
6.
Perempuan tidak bebas mengikuti kegiatan pendidikan oleh karena beban tugas rumah tangga, terutama perempuan yang mempunyai tugas rangkap, bekerja untuk mencari nafkah.
7.
Sering dilupakan bahwa kemajuan perempuan merupakan kemajuan generasi berikutnya.
VI. BEBARAPA CONTOH KEMAJUAN Sebelum sampai kepada kesimpulan dan saran-saran, izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kemajuan yang telah dicapai oleh perempuan khususnya pelayan tahbisan. Setelah menunggu lebih dari 10 tahun sejak selesainya decade wanita (Women’s Decade 1988 – 1998) gereja-gereja Lutheran khususnya di Sumatera Utara mulai menunjukkan kemajuannya dimana beberapa pendeta perempuan mulai duduk dalam pengambilan keputusan di tingkat Distrik atau yang disebut dengan Praeses. Dan baru pada 2 tahun belakangan ini, muncul pendeta perempuan dibeberapa pengambilan keputusan yang disebut dengan Sekretaris Umum, baik tingkat Sinode, Regional maupun Denominasi.
144
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
Kemajuan ini tidak terlepas dari perjuangan panjang yang dilakukan oleh gereja bersama dengan perempuan yang berada di dalamnya. Kehadiran para perempuan pada badan pengambilan keputusan ini bukanlah semata-mata jatah yang diberikan, namun gereja telah menilai kemampuan perempuan itu sendiri. Kemampuan memimpin, menata/manage, kepekaan/ keperdulian lingkungan bahkan spiritual pendeta perempuan perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan sehingga pelayanannya dapat dirasakan lebih khas dari kepemimpinan sebelumnya. VI. KESIMPULAN DAN SARAN -
Melalui khotbah, penelahan Alkitab dan pembinaan lainnya hendaknya gereja membina warganya termasuk warga perempuan agar semakin dewasa dalam iman, semakin berhikmat tahu membedakan yang baik dan buruk sesuai dengan kehendak Allah, karena permulaan hikamat adalah takut akan Tuhan (Maz 111:10). Dalam mengajarkan firman Tuhan harus dibedakan mana ajaran Tuhan Yesus mana kebiasaan adat orang Yahudi yang hampir mirip dengan adat Batak.
-
Sangat perlu diadakan pembinaan untuk pimpinanpimpinan wanita, agar mereka sadar perlunya penyegaran visi mendorong wanita agar terus menerus mau belajar menambah pengetahuan pengalaman dan keterampilan dalam segala bidang. Dalam Hosea 4:6 tertulis bangsaku hancur karena kurang pengetahuan. atau dengan kata lain akan mengalami banyak permasalahan bila tidak mengutamakan pendidikan.
145
Luther dan Pendidikan
-
Latihan Kepemimpinan Perempuan Gereja perlu secara terus menerus diadakan, agar kesinambungan kepengurusan yang terampil terus terjadi dan tidak tersendatsendat.
-
Sedang Kaum Perempuan Gereja harus sadar dan mau belajar terus menerus kalau mau hidup sejahtera, tidak dibingungkan perkembangan jaman dan hidup seperti kodok dibawah tempurung menghadapi perubahanperubahan yang ada.
-
Hendaknya kesempatan untuk pendidikan jangan dibedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini sering akibat adat dan tradisi gereja. Jangan dibatasi kesempatan belajar hanya untuk jurusan yang sesuai dengan peran ibu rumah tangga misalnya untuk perempuan cukuplah sekolah yang memelihara, mendidik yang disebut peran domistik seperti menjadi guru, perawat dan sekolah kepandaian putri lainnya.
-
Sudah waktunya juga dalam PerekutuanPerempuan Gereja ada kursus untuk memperkenalkan pemakaian alatalat komunikasi sehingga ibu-ibu bisa menggali ilmu, misalnya dengan browsing internet dll.
-
Meningkatkan/melatih petugas lapangan untuk Kelompok Balita di satu-satu tempat agar ketidakmampuan orang tua mendidik anak balita yang dalam tahap “Masa Emas Perkembangan” dapat terisi demi perkembangan sehat dari anak-anak itu seterusnya. Terutama dimana belum ada atau belum cukup Pembinaan untuk Balita. Ini juga memungkinkan ibunya ada waktu untuk mengikuti kegiatan belajar.
146
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
-
Biro/Seksi Perempuan di kantor sinode masih diperlukan, agar program khusus untuk Perempuan Gereja dapat dengan baik direncanakan dan dilaksanakan.
VII.
PENUTUP Program pendidikan perempuan di Tanah Batak menurut
gambaran diatas masih sangat sederhana. Padahal melihat tantangan zaman, kebutuhan untuk pendidikan perempuan sangat besar. Harus ada gerakan yang kuat untuk menyelesaikan masalah ini. Oleh sebab itu gereja harus memusatkan programnya pada pendidikan/pembinaan perempuan karena tugas gereja yang utama adalah mendewasakan dan memberdayakan manusia (bandingkan Ephesus 6:10-20 yang menyatakan perlunya perlengkapan untuk menghadapi dunia yang penuh masalah). Pimpinan perlu mengadakan konsultasi para pakar pendidikan guna memajukan program pendidikan di gerejagereja sehingga gereja memiliki ilmu dan berbagai informasi terkait pembinaan, pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sebagai mitranya.
147
Luther dan Pendidikan
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan:
Perspektif Gender Asima Yanti Siahaan
I
PENDAHULUAN Pentingnya pendidikan serta keterkaitannya dengan
ketercapaian pembangunan telah lama disadari dan diimplementasikan dan menjadi kesepakatan internasional sebagaimana yang khususnya dinyatakan dalam Millenium Development Goals (MDGs), Dakar Framework for Education for All (EFA). Sejak 1990an masyarakat internasional semakin meyadari peranan sentral pendidikan dalam pembangunan dan MDGs dan menghasilkan gerakan Education For All (EFA) yang disetujui pada 1990 di Jomtien, Thailand. Gerakan universal untuk menutup kesenjangan dalam pendidikan telah diadopsi oleh pemerintah dan badan-badan kerjasama internasional memfokuskan pada strategi nasional dan global untuk mewujudkan kesenjangan dalam pendidikan ini. Pentingnya pendidikan dalam pembangunan suatu negara telah banyak diulas dan dijadikan sebagai prasyarat dan indikator pembangunan (World Bank 2002; UNDP 2006; UNESCO 2010; World Bank 2012). Badan-badan international dan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam MGDs telah menekankan dan merumuskan pendidikan sebagai tujuan dan
148
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
strategi pembangunan global yang harus diimplementasikan dalam proses pembangunan nasional negara-negara yang telah meratifikasi kespakatan ini. Pendidikan dipandang berkorelasi positif dengan pembangunan. Banyak studi yang membuktikan/menunjukkan kaitan antara pendidikan dan pendapat yang sering disebut sebagai “Kuznets effect” antara modal Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu pendidikan dengan pendapatan (Winegarden 1979; Gregorio and Lee 2002). Tingkat pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam modal manusia karena peningkatan pendidikan dan ketrampilan individu akan sama dengan peningkatan modal manusia (Becker 1975; Gallaway dan Bernasek 2004). Saling keterkaitan yang erat antar pendidikan dengan tujuan-tujuan lain pembangunan ditunjukkan oleh ESCAP (2007) dalam Survey Sosial, ekonomi di Asia dan Pasifik. Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, kesenjangan jender dalam pendidikan juga menimbulkan feminisasi kemiskinan, kematian ibu melahirkan, air dan sanitasi yang buruk, kerusakan lingkungan dan meningkatnya kekerasan. ESCAP memperkirakan hanya untuk wilayah Asia Pasifik, kesenjangan jender telah merugikan wilayah tersebut sebesar US$40 milyar per tahun yang diakibatkan oleh keterbatasan akses perempuan tehadap pekerjaan, US16-$30 milyar yang disebabkan oleh kesenjangan jender dalam pendidikan. Angka ini menunjukkan kerugian ini melebihi US$13 milyar yang diperkirakan dapat digunakan untuk kesetaraan jender. Demikian pula World Bank Report 2007 yang berjudul Gender Equality, Poverty and Economic Growth dengan menggunakan pengeluaran untuk konsumsi untuk
149
Luther dan Pendidikan
menunjukkan kesenjangan jender dalam 2 sumber kunci yaitu pendidikan dan kesehatan secara gamblang menunjukkan korelasi antara kemiskinan dengan kesenjangan gender yang meluas di negara2 sedang berkembang (Filmer, 1999; World Bank 2001; Strauss and Thomas, 1995). Secara global dinyatakan bahwa kesenjangan jender pada semua tingkatan pendidikan khususnya secara kuantitas dalam keikutsertaan perempuan dan laki2 dalam pendaftaran mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi telah tertutup (WDR 2012). Indonesia juga telah mencapai kinerja perkembangan yang baik dalam kesetaraan jender dalam ratio partisipasi pelajar yang terdaftar pada tingkat pendidikan dasar dan menengah dimana akibat penerapan program pemerintah wajib pendidikan dasar 9 tahun, hampir 98% anak perempuan mengikuti pendidikan dasar dan melanjutkan ke sekolah menengah atas (UNDP 2011). Laporan MDGs Indonesia 2012 secara lebih komprehensif menunjukkan kemajuan Indonesia yang cukup signifikan untuk target bidang pembangunan pendidikan. Rasio Angka Partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki pada tingkat SD/MI/Paket A telah mencapai 99,73, hampir menutup kesenjangan jender. Di tingkat SMP/ MTs/Paket B telah mencapai 101,99. Selain itu telah banyak perempuan yang mendapatkan akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Demikian juga untuk tingkat melek huruf perempuan usia 15-24 tahun yang hampir mendekati angka 100 persen. Namun kinerja pemerintah dalam pendidikan yang dinyatakan dalam statistik kuantitatif belum sepenuhnya dapat dijadikan indikator peningkatan mutu pendidikan bermutu.
150
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
Kajian mengenai strategi bangsa2 yang dilakukan oleh UN Office for the High Commitsioner of Human Rights (2010) mengenai pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan MDGs, menunjukkan tidak ada satu negarapun yang telah menetapkan aspek-aspek lain dari hak untuk pendidikan seperti: pendidikan dasar harus gratis, wajib dan memenuhi standar kualitas mutu tertentu. Fokus untuk mendesak ketercapaian MDG pendidikan dasar secara universal akses ke pendidikan dasar telah berhasil dengan mengorbankan kualitas pendidikan khususnya untuk anak perempuan (UNESCO 2010). Hal ini menunjukkan kurang-nya komitmen dan kesungguhan masyarakat internasional dan negara dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang telah disepakati dalam World Declaration on Education for All (EFA) sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Deklarasi Jomtien yang ke dua yang diadposi pada 2011. Kesenjangan jender dalam partisipasi pendaftaran telah tertutup di semua tingkatan pendidikan dasar, menengah dan tinggi bahkan di beberapa negara maju lebih banyak perempuan daripada laki-laki di perguruan tinggi (UNESCO 2010). Sta-tistik di Asia Tenggara menunjukkan tingkat partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi cukup baik yaitu sebesar 50% dan lebih. Namun indicator-indikator kuantitatif tidak memadai untuk menilai kinerja ketercapaian kesetaraan jender. Keseta-raan jender dalam pendidikan seharusnya juga menekankan pada indicator-indikator kualitatif khususnya yang berkaitan dengan agensi dan otonomi perempuan untuk peningkatan kualitas hidup.
151
Luther dan Pendidikan
Kesenjangan jender dalam pendidikan tinggi merupakan fokus utama dalam tulisan ini. Mengingat peran strategis pendidikan tinggi dalam kemajuan suatu bangsa khususnya dalam kualitas pembangunan melalui inovasi dan kecepatan mengantisipasi tuntutan globalisasi serta kesenjangan yang masih terus terjadi di pendidikan tinggi, maka sangat perlu untuk mengeksplorasi tantangan dan hambatan untuk kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Hambatanhambatan organisasional, institusional, pasar, kelembagaan dan rumahtangga saling berkait menimbulkan kompleksitas dalam mewujudkan kesetaraan jender di pendidikan tinggi. Tulisan ini lebih merupakan eksplorasi terhadap isu-isu jender dalam pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mempunyai peran strategis dalam pemberdayaan perempuan dan kesetaraan jender secara lebih strategis namun masih sangat sedikit dibahas dalam literatur mengenai jender dan pendidikan. Selain itu pemerintah dan badan-badan internasional masih kurang memperhatikan kebijakan untuk intervensi kesetaraan jender dibandingkan dengan yang telah dilakukan untuk pendidikan dasar dan menengah. Asumsi bahwa dunia akademis adalah dunia yang berbudaya egalitarian telah mengaburkan kenyataan bahwa institusi pendidikan tinggi juga dipengaruhi oleh budaya patriarkhal dalam masyarakat. Padahal seperti dalam proses lainnya, proses dan akitivitas dalam institusi pendidikan tinggi tidak selalu netral. Pengabaian dan asumsi bahwa lembaga pendidikan tinggi merupakan lembaga yang netral jender, yang ditandai dengan profesionalitas dan budaya akademik yang egalitarian, malah akan semakin mempersulit pengungkapan
152
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
ketidaksetaraan jender yang terjadi dalam pendidikan tinggi. Pengabaian ini juga akan mempertahankan ketidaksetaraan jender secara terselubung. Ketidaksetaraan pada pendidikan tinggi juga akan mempengaruhi dan menghasilkan kesenjangan dalam penikmatan hasil-hasil pembangunan seperti dalam kesenjangan gaji dan hak-hak pekerja perempuan, hak sosial budaya dan hak politik perempuan. Dengan menggunakan perspektif feminist post-strukturalis yang berfokus pada keterkaitan antara gender dengan kesenjangan dengan basis lain seperti etnis, agama, ekonomi, wilayah, dll, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan kemajemukan lokus dan fokus dalam memahami pengalaman perempuan yang berbeda dalam dunia akademik. Untuk itu tulisan ini juga menganalisis konsep dan implementasi kekuasaan dalam struktur dan praktek organisasional dan kelembagaan untuk mengungkapkan kompleksitas ketidaksetaraan jender dalam pendidikan tinggi. II. Pendidikan Tinggi dan Pembangunan: Perspektif Gender Survey yang dilakukan oleh Economist pada tahun 2005 menemukan bahwa universitas tetap merupakan salah satu mesin ekonomi berbasis pada pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan inovasi (AWID 2009). Akibat-akibat ketidaksetaraan jender dalam akses dan kelulusan pendidikan dasar dan menengah menjadi semakin nyata dalam akses ke pendidikan tinggi yang merupakan titik kulminasi permasalahan yang berakar pada dan mengakibatkan kemiskinan, diskriminasi
153
Luther dan Pendidikan
sosial yang selanjutnya akan mempengaruhi juga sebaliknya sistem pendidikan yang lebih rendah (EFA GMR 2009). Laporan Bank Dunia (2007) yang berjudul Gender Equality, Poverty and Economic Growth secara tegas menunjukkan bahwa investasi pada pendidikan dasar telah menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Asia Timur, lebih banyak perempuan yang terlibat dalam pasar tenaga kerja dan dengan demikian meningkatkan pendapatan mereka lebih lagi melalui pendidikan tinggi. Keterkaitan antara kesetaraan jender dengan produktivitas individu pada tingkat pembangunan mikro jelas namun pada tingkat makro keterkaitan ini lebih sulit untuk diwujudkan dan menghadapi lebih banyak tantangan. Pendidikan tinggi merupakan instrumen dalam pemberdayaan ekonomi perempuan yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Laporan Gender Gap berdasarkan data dari 114 negara menunjukkan korelasi yang positif antara meningkatnya kesetaraan jender dengan tingkat GNP yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan meningkatnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan pendapatan mereka akan menggerakan pertumbuhan ekonomi dalam skala yang lebih luas dan menghasilkan manfaat lainnya untuk kesehatan dan pendidikan keluarga mereka. Peranan pendidikan perempuan juga disebutkan sebagai salah satu faktor dalam menjelaskan kesenjangan pertumbuhan sekaligus kesenjangan regional di Asia. The World Bank Report on The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy menyatakan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi di Asia telah menutup kesenjangan jender dalam pendidikan lebih cepat dari negara2 lain dengan tingkat pendapatan perkapita
154
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
yang sama (World Bank 1993: 47). Studi yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 1993 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi di Negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Republic Korea, Singapore dan Thailand lebih berhasil dan lebih cepat daripada yang lainnya di Asia dalam menutup kesenjangan jender di pendidikan dasar dan menengah. Selanjutnya Klasen (1999 and 2002) dan Lagerlöf (2003) juga menemukan korelasi yang tinggi antara peningkatan jumlah tahun anak perempuan yang bersekolah dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu studi-studi yang lain menunjukkan kesenjangan jender dalam pendidikan memperlebar kesenjangan dalam tingkat pendapat-an secara umum (World Bank 1993; AWID 2009). Keterkaitan antara pendidikan dengan pembangunan tidak terbatas pada pertumbuhan saja (McMahon 2009.World Bank 1993:47; AWID 2009). Pendidikan merupakan komponen penting untuk kesempatan dan pemberdayaan perempuan dalam peningkatan kualitas hidup perempuan dan kontribusinya terhadap pembangunan. Sejumlah studi empiris menunjukkan pendidikan perempuan dapat meningkatkan gaji mereka dan manfaat pendidikan perempuan kepada keluarga dan masyarakat seringkali melebihi kontribusi kaum laki2 (King dan Hill 1993; Strauss dan Thomas 1995; World Bank 2001; Schultz 2002,). Peningkatan pendidikan perempuan meningkatkan kinerja pembangunan yang menggunakan Human Development Index (HDI) seperti dalam hal kesehatan, pendidikan dan kelangsungan hidup anak. Keterlibatan perempuan dalam pendidikan sangat mempengaruhi ketercapaian tujuan2 dalam MDGs. Kasus
155
Luther dan Pendidikan
tingginya tingkat gizi buruk di Asia Selatan disebutkan berkaitan dengan tingkat pendidikan perempuan yang rendah dan kecenderungan memiliki anak yang lebih banyak daripada perempuan di Asia Selatan lainnya (AWID 2009). Manfaat pendidikan untuk pembangunan dan pencapaian MDGs yang diberikan oleh perempuan melebihi yang diberikan laki-laki. Secara global, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan perempuan berhubungan erat dengan mening-katnya partisipasi dalam ekonomi, kematian anak yang rendah, nutrisi yang lebih baik dan pendidikan yang lebih tinggi untuk generasi selanjutnya (World Bank 1993:47). Studi pada beberapa negara secara lebih spesifik menunjukkan keterkaitan antara pendidikan tinggi dan kesetaraan jender dan pengaruhnya terhadap pembangunan sebagai berikut: •
Kesehatan yang lebih baik. Berdasarkan 13 studi di berbagai negara secara rata2 kesehatan seorang yang bergelar sarjana 8,4% lebih baik dari mereka yang hanya menamatkan pendidikan menengah. Semakin banyak masyarakat suatu negara yang terlibat dalam pendidikan tinggi, semakin besar tingkat kesehatan di negara tersebut.
•
Kesehatan Anak dan Pasangan yang lebih baik. Studistudi menunjukkan bahwa peningkatan jenjang pendidikan ke pendidikan tinggi juga meningkatkan kesehatan anak dari yang orangtuanya sarjana sebesar 8,7% dan kesehatan pasangannya (suami atau istri) sebesar 8.1% daripada anak yang orangtuanya berpendidikan lebih rendah.
156
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
•
Harapan hidup yang lebih baik. Seorang sarjana mempunyai usia hidup 4,5 tahun lebih lama dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah.
•
Pendidikan dan perkembangan kognitif anak yang lebih baik. Studi2 yang dilakukan juga menunjukkan anak dari mereka yang orangtuanya berpendidikan sarjana memiliki nilai test untuk membaca, matematika dan sains yang lebih tinggi +.796 dan lebih lama bersekolah dibandingkan dengan anak-anak yang orangtuanya berpendidkan lebih rendah.
•
Memperlambat pertumbuhan penduduk. Pendidikan perempuan di Indonesia telah membantu memperlambat pertumbuhan penduduk dan pelayanan pengendalian pednduduk di Indonesia lebih efektif. Perempuan yang tamat sekolah menengah atas rata2 memiliki .81 lebih sedikit anak dibandingakan dengan mereka yang berpendidikan sekolah dasar dan lebih sedikit lagi untuk perempuan dengan pendidikan tinggi. Pertumbuhan penduduk yang lebih lambat berarti peningkatan income per kapita seperti yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura.
•
Manajemen rumah tangga yang lebih efisien. Pengeluaran rumahtangga dengan pendidikan tinggi lebih efisien dan persentase pendapatan yang ditabung lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Sejalan dengan tingkat pendidikan anak yang lebih tinggi, rumahtangga melakukan investasi untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan keperluan anak dalam melanjutkan pendidikan
157
Luther dan Pendidikan
seperti untuk akomodasi, transport dan makan yang merupakan sumber pendint dalam meninkatkan tabungan tambahan bagi pembangunan suatu negara (McMahon 2009). Keterkaitan antara pendidikan perempuan tidak hanya terbatas pada pertumbuhan dan pembangnugan tetapi juga mencakup transformasi struktural dan institusional melalui peningkatan demokratisasi dan kinerja lembaga2 kemasyarakatan (masyarakat madani.) Pendidikan sangat penting untuk pertumbuhan, pembangunan dan transformasi sosial (demokratisasi, kesetaraan yang berbasis hak). Pendidikan merupakan katalisator untuk transformasi sosial yang sangat penting dalam proses realokasi pengaruh sosial dan kekuasaan. Pendidikan tinggi juga berperan penting dalam demokratisasi dan meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga kemasyarakatan. Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi akan berpartisipasi lebih tinggi dalam politik, lebih paham politik dan lebih terlibat dalam memberikan kontribusi untuk kegiatankegiatan sosial dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Kasus dari berbagai negara menunjukkan meningkatnya pendidikan perempuan juga meningkatkan perhatian dan desakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun negara dalam keterlibatan perempaun dalam politik. Dengan semakin meningkatnya pendidikan telah meningkatkan jumlah perempuan dalam parlemen di Albania hingga diatas 16%. Nepal
158
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
memliki persentase perempuan dalam parlemen untuk Asia Selatan yaitu hampir 33% (AWID 2009). III. Paradoks Jender dan Kesenjangan Baru dalam Pendidikan Tinggi Meningkatnya kesetaraan jender pada seluruh tingkat pendidikan secara kuantitatif ternyata diikuti oleh timbulnya paradoks dan kesenjangan jender baru di pendidikan tinggi. Uraian diatas telah menjelaskan peran penting institusi pendidikan tinggi dalam menstimulasi inovasi untuk pembangunan. Namun sangat disayangkan diskursus dan kebijakan dalam pendidikan tinggi kurang menaruh perhatian yang cukup terhadap isu2 kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Pengutamaan pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada argumen bahwa lebih bermanfaat dan adil untuk mendidik lebih banyak orang agar bisa membaca daripada mendahulukan mendidik segelintir orang dalam pendidikan tinggi (Subrahmanian 2002; Morley, 2005). Selain itu juga terdapat masalah keadilan dalam hal ini karena hanya sedikit orang yang punya akses untuk masuk perguruan tinggi yang biayanya lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan dasar. Dengan demikian argumentasi ini menganggap kurang adil apabila pemerintah lebih mendahulukan bantuan kepada segelintir orang yang lebih mampu ini dibandingkan dengan sejumlah lebih besar orang yang berasal dari kelompok kurang mampu untruk mendapat pendidikan dasar dan menegah. Pada periode penerapan program penyesuaian struktural (SAP) pada tahun 1980an, kebijakan pemerintah Afrika dalam pendidikan didasarkan pada pendekatan hierarki kebutuhan dimana
159
Luther dan Pendidikan
investasi untuk pendidikan dasar lebih diutamakan karena pendidikan tinggi dianggap sebagai suatu kemewahan yang tidak mendesak (Morley, 2005). Pendidikan dasar dan menengah merupakan hak yang mendasar dan menentukan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pendidikan tinggi. Di pihak lain perkembangan global yang ditandai oleh kompetisi, inovasi dan kecepatan serta kompleksitas sebagaimana yang telah terbukti menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi untuk pembangunan dalam perkembangan global ini. Indonesia telah menunjukkan kinerja yang semakin baik dalam pendidikan dasar dan menengah tetapi untuk pendidikan tinggi akses masyarakat sangat rendah khususnya bila dibandingkan dengan jumlah lulusan SMA/SMK. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi di Indonesia baru mencapai 26 % di tahun 2011. Hal ini menandakan bahwa ada 74 % sisinya dari lulusan SMA/SMK dan MA yang tidak dapat mengakses pendidikan tinggi (Laporan MDGs Indonesia 2012). Di Indonesia tersedia 75.000 tempat pada lembaga pendidikan tinggi untuk 450.000 calon mahasiswa yang mendaftar. Selain itu juga kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih perlu ditingkatkan mengingat 3 universitas terbaik di Indonesia secara global hanya mencapai ranking 201 sampai 451 hal ini sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya publikasi artikel jurnal. Posisi 2154 lembaga pendidikan tinggi swasta malah jauh leibh rendah dari lembaga pendidikan negeri. Dengan tidak bermaksud untuk mengorbankan pendidikan dasar dan menengah dengan memprioritaskan pendidikan tinggi, namun kenyataan diatas menuntut agar pendidikan
160
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
tinggi juga mendapat fokus yang seimbang dalam strategi pembangunan sehingga strategi pendidikan bukan sekedar strategis minimalis yang efektifitasnya dalam menjawab tantangan global sangat terbatas. Dalam perspektif jender, pendidikan pada semua tingkatan sangat penting dalam memberdayakan kaum perempuan tetapi peran perempuan dalam pendidikan tinggi menjadi semakin penting jika perempuan hendak mempengaruhi proses dan kebijakan yang lebih luas lagi. Pendidikan membuka kesadaran perempuan dan juga akan memperluas pilihan2 bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam akses, proses dan penikamatan hasil2 pembangunan. Pendidikan tinggi penting sebagai suatu strategi agar perempuan meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pemikir yang merdeka dan menjadikan mereka sebagai agen pembaharu dalam transformasi masyarakat dan global. Namun hingga sekarang kajian mengenai gender dan pendidikan juga strategi pembangunan lebih berfokus pada pendidikan dasar dan menengah dan mengabaikan peranan strategi pendidikan tinggi dalam meningkatkan kesetaraan jender. Khususnya di negara sedang berkembang perhatian lebih tertuju pada peningkatan pendidikan dasar. Literatur pendidikan di negara sedang berkembang ditandai oleh pendekatan yang netral gender (Morley, Unterhalter dan Gold 2003). Studi mengenai kesetaraan jender dan pendidikan tinggi sebagian besar berasal dari Negara-negara maju dengan tingkat perkonomian yang tinggi (Blackmore and Sachs 2001; Luke 2001; David, 2003). Terbatasnya studi mengenai jender dan pendidikan tinggi juga diikuti dengan ketiadaan indikator
161
Luther dan Pendidikan
jender dalam pendidikan tinggi yang mengakibatkan sulitnya untuk mengevaluasi kinerja kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi secara global terus meningkat secara kuantitatif. Kesenjangan jender dalam partisipasi pendaftaran telah tertutup di semua tingkatan pendidikan dasar, menengah dan tinggi bahkan di bebarapa negara maju lebih banyak perempuan daripada laki-laki di perguruan tinggi. Diseluruh dunia sekarang terdapat lebih banyak perempuan dalam pendidikan tinggi dengan peningkatan sebesar tujuh kali lipat sejak tahun 1970an (World Bank 2012). Secara keseluruhan di wilayah Asia rasio pertumbuhan partisipasi perempuan terus meningkat namun juga terdapat perbedaan rasio pertumbuhan diantara jenjang pendidikan dimana rasio keterlibatan anak perempuan di pendidikan dasar adalah sebesar 109%, menurun menjadi 48% untuk pendidkan menengah dan hanya 9% untuk pendidikan tinggi (UNESCO 2010). Berdasarkan statistik untuk Asia Tenggara dari tahun 1999-2007, Brunei, Malaysia, Filipina dan Thailand secara konsisten menunjukkan lebih dari 50% partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi yang lebih tinggi dari Asia Timur dan Pasifik (UNESCO 2009). Partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi di Indonesia lebih dari 50% namun berada dibawah Malaysia (Laporan MDGs Indonesia 2012). Untuk tingkat kelulusan paritas gender dibawah 1 menunjukkan dominasi laki2 dalam kelulusan di perguruan Tinggi di Indonesia bersama dengan Kamboja dan Laos. Sementara 50% dan lebih dari
162
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
jumlah lulusan perguruan tinggi keempat negara ASEAn ini adalah perempuan dimana Brunei dan Filipina mencapai 60% dan lebih menarik Myanmar pada tahun 2007, 70% lulusan PT nya adalah perempuan. Dengan demikian secara menyeluruh untuk ASEAN, tingkat kelulusan untuk strata 1 (S1) lebih banyak perempuan. Segregasi gender dalam pendidikan tinggi Segregasi jender dalam pemilihan disiplin ilmu dalam pendidikan tinggi masih sulit untuk dijembatani hingga kini. Hal ini jelas terurai apabila kita membandingkan berbagai laporan kinerja pendidikan di berbagai negara. Walaupun World Development Report (WDR) 2012 menyatakan bahwa kesenjangan jender dalam pendaftaran pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi
telah tertutup bahkan di beberapa
negara maju lebih banyak perempuan daripada laki-laki di perguruan tinggi namun juga menyatakan bahwa partisipasi jender yang setara dalam berbagai disiplin ilmu belum terwujud. Perempuan kurang terwakili dalam sains dan teknologi dan lebih banyak terkonsentrasi pada bidang-bidang/disiplin ilmu yang dianggap relevan dengan peran tradisional perempuan yaitu dalam seni, sosial, bahasa, pendidikan, keperawatan dan kedokterna (UNESCO 2002; WDR 2012, UNESCO 2010). Hal ini membuktikan masih kuatnya stereotype peran gender tradisional dalam mempengaruhi dan membentuk pemilihan disiplin ilmu yang berbeda diantara perempuan dan laki-laki. Pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan disiplin dimana kaum perempuan memilih jurusan yang dianggap merupakan ekstensi peran perempuan tradisional merupakan hak
163
Luther dan Pendidikan
perempuan dan bukan merupakan isu jender. Namun pemilihan ini jelas dipengaruhi oleh perspesi perempuan yang telah dikonstruksikan dengan sedemikan kuatnya sehingga perempuan menganggap tidak lazim atau malu dan akan mengalami kesulitan ketika memilih jurusan-jurusan yang dianggap maskulin seperti teknik dan sains di perguruan tinggi. Sejak GBHN tahun 1970an peran domestik perempuan ini telah diperkuat oleh kebijakan negara yang mengidolakan peran perempuan sebagai istri dan ibu sebagai konsekuensi kodrat dan martabat mereka yaitu untuk melayani keluarga. Pada masa Orde Baru kodrat dan martabat perempuan, peran ganda digunakan dalam kebijakan pembangunan. Negara mengidealisasi peran ganda perempuan dalam pembangunan sebagai istri dan ibu sebagai konsekuensi kodrat mereka dalam memelihara dan melayani keluarga. Peran ganda perempuan ini dipropagandakan sebagai peran penting perempuan dalam pembangunan adalah sebagai agne dalam mempertahankan norma dan nilai-nilai sosial. Idealisasi peran ganda ini terus direporduksi sebagi gambaran ideal perempuan Indonesia. Kebijakan-kebijakan pembanguan di Indonesia hingga sekarang sering menempatkan peran perempuan dalam pembangunan dibawah kategori masyarakat dimana kebutuhan perempuan dianggap selalu sama sama dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakaat secara umum sehingga kebutuhan perempuan khususnya yang berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka sebagai perempuan sering diabaikan. Pada institusi pendidikan tinggi, persepsi ini juga mengakibatkan diabaikannya fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan perempuan sehubungan dengan fungsi reproduksinya seperti
164
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
penitipan anak, tempat menyusui, dll. Asumsi bahwa tidak ada perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki yang berpartisipasi dalam pendidikan tinggi menngakibatkan tantangan bagi kaum perempuan. Perempuan yang terlibat dalam pendidikan tinggi juga membawa tugas dan tanggungjawab yang berhubungan dengan peran tradisionalnya sebagai perempuan ketika mereka berpartisipasi dalam pendidikan tinggi. Kebijakan-kebajikan pembangunan yang tidak sensitif jender hanya menekankan pada tanggungjawab perempuan namun meng-abaikan fasilitas yang dibutuhkan perempuan agar dapat berpartisipasi secara penuh dan setara dengan laki. Meningkatkan akses perempuan dalam pendidikan tinggi tanpa mem-berikan perhatian yang cukup atas ketersediaan fasilitas yang memadai untuk mendukung kebutuhan perempuan sama artinya dengan menambah beban perempuan dan menjadikan pilihan-pilihan perempuan menjadi semakin terbatas. Secara global partisipasi perempuan dalam pendidikan dan kesehatan melebihi laki-laki, seimbang dalam ilmu-ilmu sosial, bisnis dan hukum namun dalam teknik, pabrik, konsturksi dan sains partisipasi perempuan lebih rendah daripada lakilaki (WDR 2012). Di Negara-negara sedang berkembang kesenjangan gender dalam pendidikan bukan hanya dalam statistik jumlah tetapi juga terdapat segregasi jender dalam jurusan/disiplin ilmu yang dipilih. Bidang-bidang ‘maskulin’ seperti teknik, theologia, arsitektur didominasi oleh laki-laki dan perempuan lebih banyak di bidang yang dianggap ‘feminin’ seperti Pendidikan/Keguruan, Ilmu Sosial, Ekonomi, Bahasa/
165
Luther dan Pendidikan
Sastra (WDR 2012). Disiplin ilmu yang dianggap feminin ini dipadang sebagai ekstensi dari strereotype perempuan ideal dan sejalan dengan peran jender perempuan secara tradisional seperti memelihara anak dan tugastugas pemeliharaan dalam rumah tangga. Di Indonesia juga berlangsung segreagasi jender di perguruan tinggi dimana perempuan lebih mengambil disiplin ilmu yang berhubungan dengan peran tradisional jender sperti kependidikan, keperawaatan, kesehatan, dibandingkan dengan laki-laki yang lebih memilih teknik (JICA 2008). Laporan MDGs Indonesia (2012) menunjukkan mendominasi beberapa bidang ilmu khususnya humaniora dan yang berhubungan dengan kesehatan. Feminisasi Pendidikan tinggi? Kecenderungan yang menarik untuk dikaji dalam perkembangan dunia pendidikan adalah pertumbuhan jumlah perempuan dalam pendidikan tinggi yang secara global lebih tinggi dari partisipasi laki-laki. Yang menarik dalam laporan ini disebutkan terjadinya kesenjangan jender baru dimana jumlah laki-laki yang mendaftar di lembaga pendidikan semakin sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan (WDR 2012). Secara global jumlah perempuan yang mendaftar di perguruan tinggi lebih banyak tujuh kali lipat selama 3 dekade. Rasio kehadiran perempuan yang tertinggi pada pendidikan tinggi terdapat pada Republic of Korea, Japan and the Pacific Islands, yang diikuti oleh Thailand, China dan Filipin Philippines (UNESCO 2010). Sejak 1970 dan 2008 jumlah mahasiswi di Indonesia meningkat lebih dari tujuh kali lipat (dari 10.8 juta mendjadi
166
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
80.9 juta), sementara untuk laki2 pertambahan hanya sebesar empat kali lipat (UNESCO 2012). Disamping itu terdapat kecenderungan yang memperlihatkan bahwa angka partisipasi sekolah, angka kelulusan, maupun indeks prestasi siswa perempuan lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki, sebaliknya siswa yang meninggalkan sekolah (drop out) lebih banyak anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Telah terjadi kesenjangan baru yang muncul belakangan ini dimana di banyak negara pelajar laki-laki lebih tinggi tingkat putus sekolah dibandingkan perempuan. Di pihak lain pelajar perempuan berprestasi lebih baik dengan skor untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Data juga menunjukkan di banyak negara di Eropa Timur dan Asia Tengah lebih banyak laki-laki menderita penyakit dan perempouan berumur lebih panjang 9 tahun daripada laki-laki. Di beberapa daerah di Caribia remaja pria lebih cenderung rentan terhadap kekerasan dan kejahatan. Dalam sistem pendidikan tinggi di Eropa dan Karibia oleh karena jumlah pelajar perempuan lebih tinggi di pergururan tinggi mengakibatkan pelajar laki-laki menjadi semakin terkucil secara sosial (Morley 2005). Dengan demikian, ketidaksetaraan jender bukan hanya berdampak negatif terhadap perempuan tetapi juga laki2. Kesenjangan Jender dalam Pembangunan Kesetaraan jender dalam kuantitas partisipasi tercapai tetapi menariknya kurang berdampak positif terhadap kualitas hidup perempuan sebagaimana yang tergambar dalam ketercapaian MDGs dan berbagai indikator pembangunan seperti World Development Report dan Human Development
167
Luther dan Pendidikan
Report. Dalam banyak negara ketercapaian dalam pendidikan tinggi ternyata belum berhasil menutup kesenjangan di berbagai bidang lain. Tingkat partisipasi pendidikan dan melek juruf meningkat tetapi sosial status tetap rendah (AWID 2009, World Bank 2010, 2012, MDGs Report 2012). Terlepas dari perbedaan pertumbuhan ekonomi, kenyataan di berbagai negara menunjukkan pendidikan tinggi tidak menjamin perempuan mendapatkan posisi yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Kesenjangan dalam akses kesehatan, ekonomi dan partisipasi politik perempuan yang terus berlangusng tidak semata ditentukan oleh kesenjangan jender dalam pendidikan tetapi juga sangat dipengaruhi oleh etnisitas, tingkat penghasilan dan lokasi (World Bank 2012; MDG 2010). Pendidikan tinggi merupakan senjata yang strategis bagi kaum perempuan khususnya agar dapat memilih karier yang mereka sukai dan untuk mencapai posisi puncak baik pada posisi pemerintahan, politik dan sektor swasta. Namun segregasi dalam disiplin ilmu dan bias pasar ternyata juga telah mengakibatkan kesenjangan jender dalam upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan. Di Cina walaupun rata-rata lama bersekolah meningkat ternyata tetap terjadi peningkatan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, antar perempuan kota dan desa. Ketidaksetaraan dalam pendidikan memperlebar kesenjangan dalam tingkat pendapatan secara umum (Winegarden 1979; Gregorio and Lee 2002). Paradoks lainnya terlihat dari peningkatan rata2 lama bersekolah perempuan dibandingkan laki-laki dari 1,4 ke 6,1 tahun sementara laki-laki dari 6,7 ke 7,6 tahun (dari
168
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
tahun 1990 ke 2000), namun kesenjangan penghasilan antara perempuan dan laki-laki meningkat hingga 7,4% (AWID 2009). Kesejangan penghasilan antara perempuan dan laki-laki bukan hanya terjadi di Negara sedang berkembang tetapi juga dinegara maju. Penelitian komparatif di UK dan New Zealand tentang akademisi perempuan dalam pendidkan tinggi menunjukkan perempuan di perguruan tinggi di Inggris bekerja dalam posisi dan upah yang rendah, sementara, part-time, dan peneliti kontrak (Brooks 1997). Uraian diatas mengungkapkan adalah jauh lebih mudah menutup kesenjangan jender dalam akses ke pendidikan dibandingkan dengan kesenjangan jender dalam disiplin ilmu dan pekerjaan. Kesetaraan jender dalam disiplin ilmu, pekerjaan dan penghasilan menuntut perubahan secara simultan kebijakan negara teradap rumah tangga, pasar dan insitusi sekaligus. IV. Keterkaitan rumah tangga, pasar dan pendidikan tinggi Akses ke pendidikan tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor yang mencakup prestasi dalam pendidikan dasar dan menengah, kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi termasuk struktur uang kuliah, affirmative action dan program insentif/beasiswa bagi perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya serta lingkungan mahasiswa itu sendiri seperti jarak untuk dapat mengakses pendidikan tinggi, kualitas pendidikan. Namun keterkaitan jender dengan kesenjangan yang didasarkan pada basis ras, lokasi, etnisitas juga mempengaruhi kinerja dan kompleksitas dalam mewujudkan
169
Luther dan Pendidikan
kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Akumulasi kelemahan-kelemahan dan permasalahan dari keterkaitan ini juga terbawa kedalam pendidikan tinggi. Ketidaksetaraan jender merupakan cermin dari ketidak setraan struktur sosial yang lebih luas yang berakar pada keterkaitan berbagai faktor dari dalam individu, pasaar, masyarkat yang saling terkait. Secara umum penghambat kesetaraan jender di pendidkan tinggi dapat dikelompokkan atas faktor ekonomi sosial, kebudayaan, politik dan kelembagaan. Ketidaksetaraan jender dalam pendidikan tinggi tidak mungkin dapat diungkapan tanpa tanpa mengaitkannya dengan diskriminasi yang mengakibatkan hilangnya harga diri dan percaya diri perempuan dan beban domestik yang harus mereka tanggung ketika terlibat dalam pendidikan tinggi. Perspektif feminist poststrukturalis memberikan kontribusi yang besar untuk mengungkapkan kompleksitas ketidaksetaraan jender dalam pendidikan tinggi dengan berfokus pada keterkaitan antara jender dengan kesenjangan dengan basis lain seperti etnis, agama, ekonomi, wilayah, pasar, dll. Dengan demikian penting untuk menganalisis konsep dan implementasi kekuasaan dalam struktur dan praktek organisasional dan kelembagaan. Ketidaksetaraan jender dalam lembaga pendidikan tinggi berkaitan erat dengan ketidaksetaraan jender di keluarga, sekolah, tempat kerja dan situasi-situasi sosial yang kesemuanya ini berasal dari norma sosial, hukum, budaya, kebijakan publik dan diperkuat oleh faktor-faktor kelembagaan lainnya baik pada level rumahtangga maupun publik.
170
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
Terlepas dari asumsi bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan status perempuan dalam rumah tangga dan keluarga, ternyata perempuan dengan pendidikan tinggi juga tetap mengalami tantangan yang berhubungan dengan persepsi yang kuat tentang peran perempuan tradisional yaitu dalam rumah tangga sebagai istri dan ibu. Banyak kasus yang menunjukka perempuan keluar dari sekplah karena pernikahan dini atau pekerjaan di pertanian (CEDAW 2010; MDG report Indonesia 2012). Di NTT persepsi sosial yang negatif terhadap anak perempuan telah membatasi akses mereka untuk pendidikan oleh karena reputasi dan ‘harga’ untuk menikah anak perempuan tersebut akan jatuh karena dianggap ‘tidak murni’ lagi. Disamping itu orangtua lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah. Keterkaitan antara berbagai faktor ini yang menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam pendidikan dengan jelas dinyatakan oleh “Fact Sheet: Girl’s Education in Indonesia” yang dikeluarkan oleh Unicef mengenai 6 hambatan dalam pendidikan perempuan di Indonesia: Buku teks yang bias akan gender: sterotype gender; peraturan pemerintah; kesadaran dan keahlian tentang gender yang kurang, pernikahan dini. Perempuan yang memilih untuk mengikuti pendidikan tinggi bukan tanpa resiko pribadi yang harus mereka hadapi karena sering menghadapi tantangan dari struktur sosial patriarkhal yang dominan. Banyak studi yang menunjukkan perempuan yang terlibat dalam pendidikan tinggi dan berkarier mengalami kesulitan untuk menikah karena kuatnya pandangan yang menganggap bahwa seorang istri dengan pendidikan tinggi tidak sesuai dengan persepsi istri yang ideal (Dahal et.al
171
Luther dan Pendidikan
2004; Faye 2010; Siahaan 2004; Lumumba 2006). Pandangan konvensional terhadap peran ideal perempuan ini memfokuskan peran utama perempuan dalam keluarga dan dengan posisi subordinat terhadap suami yang dianggap posisinya lebih tinggi dari perempuan. Perempuan dengan pendidikan tinggi dianggap dapat merupakan ancaman terhadap otoritas dan superioritas suami. Dengan demikian pendidikan tinggi dapat saja meningkatkan akses perempuan untuk bekerja dan berkarier tetapi juga sering menjadi hambatan sosial dan structural bagi mobilitas perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 139 orang perempuan yang bekerja sebagai tenaga akademik dan kepegawaian di Universitas Kristen HKBP Nommensen mengungkapkan adanya hubungan yang positif antara konflik peran ganda dengan stress kerja (Putri 2010). Walaupun faktor-faktor organisasional seperti ketidakjelasan peran tugas, banyaknya tuntutan kerja, gaji tidak mencukupi, waktu kerja tidak fleksibel, pimpinan tidak mendukung, tidak adanya kemungkinna untuk kenaikan jabatan serta fasilitas kerja tidak memadai mempengaruhi peningkatan stress sebesar 11,3%, namun 88,7% stress diakibatkan oleh faktor konflik peran ganda perempuan karena kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan keluarga, kerabat dan anak. Pendidikan tinggi sebagai institusi sosial merupakan instrumen yang mereproduksi struktur sosial. Nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat sangat mempengaruhi pendidikan tinggi dan sebaliknya pendidikan tinggi juga dapat digunakan untuk mereproduksi ketidaksetaraan jender dalam masyarakat dan dalam prosess pembangunan. Secara khusus untuk
172
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
pendidikan faktor mulai dari konteks politik, karakteristik masyarakat, keluarga, potensi mahasiswa, kualifikasi dosen, kurikulum , suasana kelembagaan sangat berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap terwujudnya kesetaraan jender dipendidikan tinggi. Bahkan pada kasus di Afrika selain dari kebijakan pemerintah, badan-badan kerjasama bilateral dan multilateral berperan besar dalam penddikan karena sangat mempengrauhi kebijakan dan agenda pembangunan dan implementasi kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kesetaraan jender di pendidikan tinggi (Bloch et al.1998; Fair 2003). MASKULINITAS PENDIDIKAN TINGGI Walaupun sebagaimana yang telah dinyatakan dalam berbagai laporan/studi menunjukkan kecenderungan feminisasi pendidikan tinggi, namun analisis yang didasarkan pada perspektif jender mengungkapkan berlangsungnya paradoks jender dimana pada saat yang bersamaan maskulinitas dalam pendidikan tinggi masih tetap bertahan. Sebagaimana dengan institusi lainnya, pendidikan juga dikonstruksi oleh bias jender dan diskriminasi. Kesadaran dan pemahaman akan kemungkinan diskriminasi/ketidaksetraan jender yang berakar di sistem pendidikan sangat penting. Studi di Negara-negara maju telah banyak mengungkapkan kompleksitas hambatanhambatan struktural, sikap dan psikologis untuk mewujudkan kesetaraan jender dalam institusi-institusi yang patriarkhal (David, 2003; Blackmore and Sachs 2001; De La Rey, 2001 and Luke 2001).
173
Luther dan Pendidikan
Peningkatan akses dan keterlibatan perempuan dalam pendidikan tinggi ternyata tidak diikuti dengan peningkatan representasi perempuan dalam kepemimpinan di perguruan tinggi. Sangat sedikit perempuan yang memimpin lembagalembaga sains atau perusahaan teknologi yang besar. Kepemimpinan dalam perguruan tinggi masih tetap didominasi oleh kaum laki2 (Singh 2008; Garland 2008; Times Higher Education 22 Maret 2012). Perempuan juga kurang terwakili dalam penelitian dan pengembangan (R&D) baik di lingkungan akademik, sektor publik atau perusahaan swasta. Secara global rata-rata perempuan hanya 29% dari jumlah peneliti dalam bidang ini (AWID 2009; UNESCO 2009; WDR 2012). Kesenjangan jender dalam kepemimpinan juga terjadi di Universitas Sumatera Utara dimana dari total: 1589 orang tenaga pendidik yang terdiri dari 857 orang laki-laki dan 732 orang perempuan. Dalam jabatan fungsional juga terjadi kesenjangan jender dimana untuk Guru Besar terdapat 91 orang laki-laki dan hanya 27 orang perempuan. Sementara untuk Asisten Ahli jumlah perempuan lebih banyak yaitu 122 orang dibandingkan dengan 87 orang pria. Juga dalam pendidikan S3 lebih banyak laki-laki yaitu 179 orang dan perempuan 107 orang. Segregasi jender dalam disiplin ilmu juga dapat dilihat dari lebih banyaknya tenaga pengajar perempuan pada fakultas-fakultas seperti FKM, Psikologi, Farmasi, Keperawatan, RS Pendidikan sementara untuk fakultas Teknik, FH, FMIPA hanya sedikit perempuan yang menjadi dosen. Di Amerika Serikat terjadi peningkatan peran perempuan dalam kepemimpinan di perguruan tinggi. Studi The American
174
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
College President (ACPS) pada 2007 menunjukkan meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi Rektor sebesar 23%. Demikian juga The Commonwealth Universities Yearbook untuk tahun 2008 melaporkan bahwa 23 dari 35 negara-negara Commonwealth keseluruhan universitasnya masih dipimpin oleh laki-laki (Singh 2008). Times Higher Education (22 Maret 2012) menyebutkan hanya 13% dari institusi pendidikan tinggi di Eropa yang dipimpin oleh perempuan, dan hanya 9% universitas riset yang dipimpin perempuan. Budaya akademik dan peran akademisi perempuan sangat mempengaruhi kesetaraan jender dalam institusi pendidikan tinggi. Secara historis institusi pendidikan tinggi di Eropah sangat bias jender dimana universitas diperuntukkan terutama untuk kaum laki-laki. Pada masa abad pertengahan gereja di Eropah sangat dominan sebagai menara gading dalam memproduksi pengetahuan yang merupakan fungsi pendidikan tinggi. Pada saat itu gereja sangat menentukan pendefinisian pendidikan dan tujuan2 sosial dari pendidikan tinggi, kurikulum, kriteria evalusi dan seleksi. Dalam dogma gereja tertentu pada saat itu perempuan dikucilkan dari forum intelektual, produksi pengentahuan dan pembuatan kebijakan (Assié, 1982). Namun seterlah Renaisans dan reformasi, institusi pendidikan tinggi banyak melakuan transformasi dalam usaha menghilangkan kesenjangan jender dalam bentuk keterkucilan perempuan dalam pendidikan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Council for Christian Colleges & Universities (CCCU) menunjukkan kesenjangan jender dalam kepemimpinan lembaga yang lebih tinggi dibandingkan dengan universitas/lembaga pendidikan tinggi
175
Luther dan Pendidikan
yang sekuler. Walaupun terdapat peningkatan hingga 23% perempuan sebagai rektor di lembaga pendidikan tinggi di Amerika Serikat sejak tahun 1990 namun hanya 5% dari rektor universitas yang berada dibawah CCCU adalah perempuan. Penelitain selanjutnya pada 2008 pada 108 anggota CCCU di Amerika Serikat menunjukkan 84% lembaga pendidikan tinggi ini tidak memiliki atau hanya memliki 1 perempuan sebagai wakil rektor (Longman & Anderson, 2010) walaupun lembaga2 ini berjuang untuk menciptakan nilai keberagaman dan kesetaraan dalan kehidupan akademis (Bryant, 2006; Harper, 2008). Selain dari kesenjangan dalam kepemimpinan, realitas bias jender yang terdapat dalam sikap dan komentar-komentar terhadap perempuan dalam universitas Kristen merupakan tantangan berat bagi perempuan. Respons yang didapat dalam survery mencerminkan polarisasi jender yang bias tehhadap perempuan Penelitian selanjutnya masih menunjukkan ketidaksetaraan jender yang terjadi dalam pendidikan tinggi Kristen di Amerika (Joeckel & Chesnes,2009). Perempuan dibayar lebih rendah dari laki-laki dan juga lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi lain. Akademisi perempuan yang mencoba meduduki jabatan-jabatan kepemimpinan dalam lembaga pendidikan tinggi ini menghadapi lebih banyak hambatan daripada yang laki-laki yang diantaranya: ketiadaan modle panutan, konservatisme teologi yang membatasi perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan pimpinjan, ketika pemimpin perempuan menggunakan gaya kepemimpinan kolaboratif sering disalah mengerti dan tidak dihormati, dan merasa
176
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
terasing dengan gaya kepemimpinan komando yang dilakukan oleh beberapa pimpinan laki-laki (Schreiner, 2002). Selain itu kepemimpinan perempuan sering dipandang negatif dan kurang efektif dibandingkan dengan laki2. Apabila perempuan menunjukkan gaya kepemimpinan yang direktif maka akan mendapat lebih banyak pandangan negatif dari perempuan maupun laki-laki dibandingkan apabila gaya kepemimpinan yang sama diterapkan oleh laki-laki (Eagly & others, 1995). Di kelas, seorang profesor perempuan yang bersikap ramah dan nurturing dipandang sebagai tidak berlaku seharusnya seperti seorang profesor oleh murid laki-laki. Sebaliknya jika kurang ramah maka oleh murid perempuan dianggap profesor tersebut tidak bersikap layaknya seorang perempuan dan juga tidak dihargai. Terdapat perbedaan antara akademisi perempuan dan laki-laki dalam pengajaran dan penelitian. Dosen perempuan lebih tertarik untuk mengajar, lebih banyak membimbing mahasiswa dibandingkan dengan melakukan penelitian, lebih cenderung menggunakan strategi pembelarjaran kolaboratif dan aktif dibandingkan dengan akdemisi laki-laki (Hall et als 2008). Penelitian juga menemukan kecenderungan laki-laki lebih mendapat akses untuk promosi dan jejaring diantara dosen laki-laki. Hal ini menunjukkan kuatnya budaya maskulinitas dan sulitnya menutup kesenjangan jender dalam kepemimpinan di institusi pendidikan tinggi. Kasus-kasus diatas menunujukkan maskulinitas yang dipengaruhi oleh budaya patriarkal dalam institusi pendidikan tinggi yang patriarkhal. Model komunitas akademik yang ideal ditandai oleh keadilan dan kesetaraan secara akademis. Namun
177
Luther dan Pendidikan
kenyataannya kampus sering sekali tidak egaliter (Ramazanoglu 1987). Secara karakter pendidikan tinggi sering dilaksanakan sesuai dengan sistem hierarkhis organisasi yang tidak konsisten dengan nilai-nilai demkoratik dan etika liberal yang dianut oleh negara maju di Barat. Karakter egalitarian dalam dunia akademisi dikelilingi oleh kompetisi karier akademik yang cenderung pro terhadap laki-laki. Terdapat mekanisme struktural dalam lingkungan akademik yang mereproduksi tatanan patriarkal yang mengkonstruksikan akademisi perempuan sebagai ancaman aktual dan potensial terhadap strutukr yang ada dan tatanan ini juga mensubordinasi akademisi perempuan. Mekanisme yang digunakan untuk mensubordinasi akademisi perempuan harus dipahami sebagai bentuk kekerasan yang dapat mengambil berbagai bentuk bukan saja secara fisik tetapi juga melalui penggunaan sarkasme, lelucon, penghinaan dan patronasi. Tantangan dalam transisi dari pendidikan tinggi ke akses pasar tenaga kerja Tantangan tidak hanya berhenti pada akses dan keterlibatan di pendidikan tinggi tetapi juga yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah tantangan/hambatan dalam transisi dari pendidikan ke pekerjaan. Ini sangat berat khususnya di Afrika dan Asia Selatan dimana partisipasi perempuan dalam pendidkan tinggi sangat rendah. Namun di Negara-negara maju seperti di Eropa dengan tingkat partisipasi perempuan yang sangat tinggi, bahkan melampaui kaum lelaki dalam pendidikan tinggi tetapi tetap mengalami tantangan/
178
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
hambatan dalam kesempatan pekerjaan profesional (AWID 2009, World Bank 2012, MDGs Report 2012). Perempuan khsusunya di Afrika dan Asia Selatan yang tertinggal dalam aksees mereka ke pendidikan tinggi sebagaimana juga rekan mereka di Eropa dan Negara-negara maju lainnya dimana perempuan telah memiliki gelar kesarjanaan yang tinggi bahkan terkadang melampui laki-laki, tetap mengalami tantangan untuk meningkatkan kesempatan profesionalisme mereka diakibatkan oleh tantangan-tantangan dalam transisi dari pendidikan tinggi ke pasar tenaga kerja/ pekerjaan (AWID 2009). Meingkatnya tingkat pendidikan tidak secara langsung berkatian dengan kesempatan ekonomi yang lebih besar bagi perempuan. Kecuali untuk kasus beberapa negara maju, secara global sebagian besar perempuan masih terlibat dalam pekerjaan yang rentan yang sering ditandai oleh rendahnya penghasilan, ketiadaan proteksi sosial, produktivitas rendah dan kondisi pekerjaan yang berbahaya (Noeleen Heyzer 2010). Intervensi pemerintah dan kebijakan-kebijakan lembaga pendidikan tinggi yang sensitif jender sangat dibutuhkan sebagai prasyarat untuk menutup kesenjangan jender dalam transisi dari pendidikan tinggi ke pasar. Segregasi dalam jenis disiplin ilmu ternyata telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam penghasilan dalam dunia kerja. Pentingnya menutup kesenjangan jender yang timul akibat segregasi dalam jenis pendidikan telah ditekankan oleh PBB dalam tema untuk International Women’s Day 2011 yaitu: Kesetaraan akses ke pendidikan, pelatihan, sains dan teknologi. Untuk meningkatkan kesempatanyang setara dalam
179
Luther dan Pendidikan
memperloleh pekerjaan yang layak sangat penting untuk menjembatani jurang dalam transisi pendidikan, sains dan teknologi dengan pasar tenaga kerja. Tantangan ini sangat mempengaruhi perempuan dalam pendidkan tinggi khususnya karena sangat terbatasnya kesempatan dan jejaring perempuan dalam pasar tenaga kerja dibandingkan laki-laki. Segregasi dalam pendidikan mengakibatkan segreasi dalam lapangan pekerjaan dan kesenjangan dalam penghasilan serta pembuatan keputusan. Seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang terlibat dalam pendidikan tinggi, semakin banyak perempuan yang terlibat dalam pasar tenaga kerja di seluruh dunia (UNESCO 2010). Partisipasi dalam akses dan kelulusan perempuan serta kontribusi perempuan untuk pembangunan lokal dan global meningkat tetapi perempuan tetap menjadi kelompok termiskin, bekerja di sektor informal dengan gaji yang lebih rendah dan tanpa proteksi. Laporan MDGs (2010) menunjukkan di Asia Selatan dan Afrika lebih dari 80% pekerja permepuan bekerja disektor tenaga kerja yang rawan yang dibayar rendah bahkan tidak dibayar dan tidak memiliki jaminan keamanan. Di Indonesia persepsi bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang dikuatkan dengan UU Perkawian telah mengakibatkan kesenjangan gaji antara permpuan dan lakilaki dimana perempuan mendapat gaji yang leibh rendah dibandingkan dengan laki-laki dan juga jenis pekerjaan yang mendapat gaji yang lebih rendah (Endang S Soesilowati and Zamroni Salim.2009). Di Indonesia rata-rata gaji bulanan perempuan adalah sekitar 76% dari gaji pekerja laki-laki.
180
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
Tingkat pendidkan ternyata tidak menentukan gaji tetapi gaji lebih ditentukan oleh bias jender mengenai tugas dan tanggungjawab serta peran tradisional perempuan dan lakilaki. Bahkan untuk tingkat pendidkan yuang sama pekerja permapiuna cenderung untuk menerima gaji yang lebih rendah yaitu sebesar 81% dari gaji pekerja laki-laki. Yang menarik berdasarkan data survey ketenagakerjaan yang dilakukan pada 2006-2008 rata-rata gaji perempuan sedikit meningkat dari 74% (2006) menjadi 77% (2008). Namun sangat disayangkan gaji pekerja perempuan dengan latar belakang pendidikan tinggi justru menurun dari 74% (2006) menjadi 67% (2007) walapun akhirnya meningkat menjadi 71% (2008). Walaupun peningkatan pendidikan telah meningkatkan akses perempuan ke posisi manajerial junior tetapi ternyata pendidikan semata tidak menjamin meningkatnya akses untuk posisi manajemen senior (Ariane Antal dan Dafna Izraeli 1993). Walaupun perempuan memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari laki-laki namun mereka tetap sangat sedikit yang menduduki posisi manajerial, khususnya di administrasi pemerintahan, perempuan menghadapi hambatan yang serius dalam mewujudkan mobiliitas keatas. Yang lebih menarik, ternyata perempuan dituntut untuk memiliki kualifikasi yang lebih tinggi daripada laki-laki untuk posisi yang sama (Wright and Crockett-Tellei 1994). Di Indonesia selama 3 dekade terdapat kecenderungan walaupun untuk jenis pekerjaan yang sama tetapi untuk perempuan dibutuhkan pendidkan yang lebih daripada lakilaki untuk tugas yang sama, walaupun perempuan memiliki pendidikan tinggi/ lebih terdidik dari laki-laki namun tetap
181
Luther dan Pendidikan
sangat seditkit pada posisi manajerial. Di pasar tenaga kerja Indonesia tingkat partisipasi perempuan yang tinggi di pasar tenaga kerja terkonsentrasi pada pekerjaan yang ditandai dengan produktivitas yang rendah, pekerjaan yang mendapat upah rendah (Crockett, 1989; Wright and Crockett-Tellei, 1994). Privatisasi pendidikan tinggi dan pengurangan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, krisis ekonomi telah mengakibatkan naiknya harga barang kebutuhan sehari-hari dan telah mengakibatkan lebih banyak kesulitan bagi kaum perempuan. Hal ini berkaitan erat dengan tugas-tugas domestik perempuan yang selama ini dianggap bertanggungjawab terhadap pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak. Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, struktur patriakhi dalam masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki telah mengakibatkan dikorbankannya pendidikan untuk perempuan. Berbeda dengan kebijakan pemerintah dalam menjalankan program wajib belajar 9 tahun telah berhasil menutup kesenjangan jender dalam kedua tingkatan pendidikan ini, pemerintah tidak melakukan intervensi yang sama untuk tingkat pendidikan tinggi. Dengan demikian privatisasi pendidikan yang disertai dengan ketiadaan kebijakan pemerintah untuk menutup kesenjangan jender pada pendidikan tinggi semakin meningkatkan kerentanan perempuan dalam pendidikan tinggi. Globalisasi dan liberasilsasi yang dipacu oleh pasar telah mempengaruhi kurikulum, pedagogi, manjamen pendidikan dan berfokus pada riset yang diatur oleh donor tidak dapa memberikan manfaat positif untuk mentuup kesenajangn jender
182
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
(Bennett, 2002 dalam AWID 2009). Privatisasi pendidikan di India semakin memperlebar jurang antara orang yang mampu membayar dangan yang tidak. Walalupun pemernitah menyelenggarakan pendidikan dasar gratis, tetapi meningkatnya sekolah swasta dengan kualitas yang lebih baik meningkatkan kesnjangna ini dalam perempuan (Subrahmanian 2002). Di Indonesia, pasar malah mendapat keuntungan dari dipertahankannya perempuuan sebagai pekerja dengan upah yang rendah. Lebih drastis lagi, pekerja-pekerja migran Indonesia dikirim tanpa dibekali dengan pemahaman mengenai hak mereka dan cara melindungi hak mereka. Tidak heran banyak TKI peremuan mengalami perkosaan, kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki, penyiksaan fisik dan trauma. Terlepas dari perbedaan tingkat pendapatan,segregasi ini terjadi secara global (WDR 2012). Dipertahankannya maskulinitas/segreasi dalam disiplin ilmu ini permasalahannya terletak pada sistem pendidikan yang diperkuat oleh normanorma jender dalam masyarakat dan pasar. Bias jender dalam lapangan pekerjaan yang dipengaruhi oleh sikap majikan terhadap bentuk keluarga dan pengasuhan anak. Secara global diketahui perbedaan jender telah mengakibatkan kesenjangan produktvitas dan gaji antara perempuan dan laki-laki. Untuk menghilangkan ketidaksetaraan jender ini sangat dibutuhkan transformasi dalam rumah tangga, pasar dan institusi. Struktur pasar yang bias jender dan pembuatan keputusan dalam rumah tangga menghambat efektifitas pendidikan dalam otonomi dan agensi perempuan. Penelitian
183
Luther dan Pendidikan
yang dilakukan dalam WDR (2010) menunjukkan bahwa tingakt partisipasi untuk akses ke pendaftaran dan partisipasi dalam pendidikan akan dapat diwujudkan dengan intervensi pemerintah dan investasi pendidikan untuk anak perempuan atau menghilangkan hambatan institusional atau meningkatkan pendapatan keluarga. Tetapi untuk kesetaraan jender dalam kualitas partisipasi dan outcome harus melakukan intervensi dan perubahan dalam rumah tangga, pendidikan, pasar sekaligus. Apabila ini dilakukan secara simultan maka akan lebih cepat terwujud kesetaraan jender dalam pendidikan. Rumahtangga Sebagai Lokasi Perjuangan Kesetaraan Jender? Relasi dalam rumah tangga merupakan level analisis yang penting dalam membahas kesetaraan jender pada lembaga pendidikan tinggi. Melalui interaksi diantara anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga merupakan tempat dimana jender secara terus menerus direproduksi (Mckie et al., 1995; Morgan, 1999; Sommerville, 2000). Marjinalitas perempuan dalam pembuatan keputusan di ruang publik merupakan konsekuensi lemahnya posisi perempuan dalam pembuatan keputusan dalam rumah tangga (Bhatta, 2001:25). Data Indoneisa menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan, semakin rendah persentase perempuan yang tidak meneruskan pendidikan akibat masalah keuangan, pekerjaan diluar rumah dan menjaga anak. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi persentase yang keluar dari pendidikan yang diakibatkan masalah perkawinan (EFA Indonesia 2008). Tingkat pendidikan ternyata tidak
184
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
berkorelasi positif dengan terjadinya KDRT. Menurut Komnas perempuan, terdapat 54.425 kasus kekerasa yang dilaporkan pada tahun 2008 dan 90% pelaku adalah suami atau anggota keluarga terdekat. Dalam iman Kristen pernikahan yang setara yang saling melayani (Efesus 5; 1 kor 7:1-7; Petrus 3:7). Dalam Galatia 3:28 jelas sekali disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah satu dalam Kristus. Pengenalan akan Kristus yang mendalam akan memampukan relasi yang setara melampui batas budaya, warisan etnis dan gender. Hanya dengan ini kita dapat me-mahami konsistensi pengajaran iman Kristen dalam memahami kesetaraan jender dan bagaimana melalui kesetaraan jender ini perempuan berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial. Otonomi dan Agensi sebagai tujuan utama dalam kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi Ketercapaian dalam pendidikan tinggi khususnya dapat membawa pada kesetaraan jender namun hambatan yang berasal dari insitusi, ideologi dan bias sosial sangat memperlambat proses. Kompleksitas keterkaitan berbagai faktor ini di lokus publik dan privat membutuhkan kombinasi strategi dan intervensi alternatif yang terintegrasi dengan pendekatanpendekata pemberdayaan perempuan. Kompleksitas keterkaitan berbagai faktor dalam mewujudkan kesetaraan jender di pendidikan tinggi mengharuskan strategi altenatif pemberdayaan perempuan dalam pendidikan tinggi. Untuk Negara-negara sedang berkembang startegi alternatif bekerja lebih efektif dalam memberdayakan
185
Luther dan Pendidikan
perempuan untuk kesetaraan jender dibandingakn dengan strategi-strategi konvensional yang diajukan oleh kaum Feminis liberal yang mengambil posisi yang menganggap laki-laki sebagai penindasan dan musuh secara konfrontasional (Wieringa, 1995; Rowlands, 1997; Scheyvens, 1998; Desai, 2000). Dalam masyarakat dengan sistem patriarkhal yang kuat argumentasi feminis yang konfrontasional akan dengan segera mendapat penolakan dari laki-laki dan pada saat yang bersamaan akan meningkatkan kerentanan dan kecemasan perempuan dalam menjembatani secara sosial peran jender tradisional (Marchand, 1995:64). Perempuan dalam Negara sedang berkembang secara strategis menggunakan peran jender sebagai pintu masuk dalam ruang public oleh karena hal ini dianggap dapat diterima secara budaya dan sosial dan sekaligus menghindarkan konflik dengan kaum laki-laki (Baden, 2000:30). Dalam pengalaman, pengamatan dan perbincangan sehari-hari dengan akademisi dan pegawai perempuan yang bekerja di berbagai institusi pendidikan tinggi strategi ini dominan digunakan. Bagaimanapun sibuknya seorang tenaga akademik dengan tugas-tugas dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian namun kebanyakan tetap melaksanakan peran tradisional. Dalam hal ini bantuan dari perempuan lain dalam keluarga seperti ipar, mertua dan pembantu sangat mempengaruhi dan mengurangi beban perempuan. Aliansi strategis dengan keluarga merupakan strategi perempuan yang efektif dalam menjalankan perannya dan peningkatan karier dalam dunia akademik. Masalah utama minimnya minat untuk melanjutakn studi lanjut ke luar daerah tempat tinggal disebabkan oleh faktor keluarga, dimana
186
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
perempuan dianggap tidak seharusnya meninggalkan keluarga untuk melanjutkan studi mereka karena tugas utama mereka adalah dalam rumah tangga. Pada umumnya setelah dibangun aliansi strategis dengan suami atau anggota keluarga maka perempuan akan lebih mudah menghadapai tantangan dari anggota keluarga luas atau pandangan negative dari anggota masyarakat. Dalam studinya mengenai strategi pemberdayaan perempuan di kepulauan Solomon, Scheyven (1998) mengunangkapkan bahwa apa yang disebutnya sebagai ‘subtle strategies’ (strategi yang non konfrontasional) dapat lebih efektif daripada yang konfrontasional oleh karena bukan saja menghindarkan konflik dengan laki-laki tetapi juga menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas dalam menghadapi struktur kekuasaan lokal dan relasi jender dalam ruamhtangga dan masyarakat yang bias jender dengan mengurangi ancaman yang berasal dari kekuatan lokal tersebut. Keterlibatan perempuan dalam organisasi dapat meningkatkan percaya diri mereka yang akan memampukan mereka untuk menjadikan sumbangan dan partisipasi mereka dihargai dan didukung oleh anggota masyarakat lainnya. Studi di Indonesia juga menemukan bahwa perempuan di Sumatera Utara menghadapi hambatan kultural, struktural, organisasional dan financial dalam keterlibatan mereka dalam kepemerintahan daerah. Untuk dapat dan diijinkan berorganisasi dalam organisasi perempuan, maka kaum perempuan menggunakan strategi alternative, yaitu ‘chilly sauce strategy’ dimana sebelum pergi beroganisasi keluar rumah mereka
187
Luther dan Pendidikan
menyediakan sambal dan lauk pauk untuk anggota keluarga mereka. Hasil dari strategi ini, suami mendukung dan ini menjadikan kaum plerempuan ini lebih percaya diri dalam berogransisasi dan mengurangi ancaman dan/atau tanggapan negative dari masyarakat sekitranya oleh karena kegiatn mereka didukung oleh suami. Bahkan lebih jauh, kelompok perempuan di Deli Serdang mulai dari keterlibatan dalam perwiridan meningkatkan kapasitas mereka dalam menganalisis situasi-situasi sosial yamg mereka hadapi sehari-hari dan terlibat dalam memonitor jalannya pemerintahan desa mereka secara efektif (Siahaan 2004). Dengan pengakuan terhadap peran penting perempuan dan keahlian kaum perempuan dalam komunitas akademis dan dalam masyarakat perempuan akan dapat berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam keseluruhan proses kehidupan akademik dan dalam kemasyarakatan dan politik. Kesetaraan jender dalam dunia pendidikan tinggi harus memperhatikan perempuan sebagai agen sosial yang aktif yang memiliki kapasitas untuk mendekonstruksi proses dan strutkur yang bias jender/ dominan maskulin di pendidikan tinggi. Agensi merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pilihan-pilihan dan mengambil tindakan yang berkatian dengan diri orang tersebut, situasinya dalam keluarga dan dalam ruang publik (World Bank 2012). Pendekatan agensi perempuan memandang perempuan sebagai subjek yang mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk kepentingan diri dan masyarakat daripada sekedar sebagai korban yang tidak berdaya. Dengan demikian agensi dapat dipahami adanya kemampuan individu
188
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
baik laki-laki maupun perempuan dan kelompok untuk membuat pilihan-pilihan yang efektif untuk mentransformasi pilihanpilihan ini menjadi hasil yang diinginkan. Dengan memahami agensi dalam proses kesetaraan jender kita dapat memahami secara mendalam dan kompre-hensif bagaimana hasil-hasil kesetaran jender terwujud dan mengapa proses2 ini setara atau tidak setara. Dalam hal ini iman Kristen secara tegas menyatakan tujuan dari pendidikan seharusnya mengarahkan umat manusia secara Alkitabiah kepada pengetahuan/ pemahaman tentang Tuhan, kemanusiaan dan ciptaan Tuhan, agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam keluarga, gereja, masyrakt untuk kemuliaan Tuhan dan pelanan kerjaan Kristus (2 Raja2 22:8-23:26; Malaeakhi 4:4-6; Matius 20:26-28). Kebenaran yang berakar pada Kekristenan menekankan fakta bahwa perempuan adalah merupakan agen moral dan sosial. Melalui hubungan pribadi dengan Kristus, perempuan mengalami transformasi yang memampukan mereka untuk menggunakan karunia dan potensi yang ada untuk transformasi dalam agama, politik dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan demikiaan, iman Kristen menyediakan dasar bagi strategi alternatif pemberdayaan perempuan oleh karena iman Kristen memandang kesetaraan jender sebagai saling melengkapi dan saling ketergantungan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dan bukan didasarkan pada individualisme sebagaimana yang ditekankan oleh feminis liberal. Iman Kristen mempertahankan kesetaraaan jender termasuk kesetaraan dalam hak-hak masyarakat dan tanggungjawab dalam pernikahan.
189
Luther dan Pendidikan
Pengalaman universitas-universitas di Austria dalam melakukan perubahan untuk mengitegrasikan indicatorindikator dalam menentukan kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi sebagian besar merupakan hasil pekerjaan kaum perempuan. Dimulai sebagai gerakan aktivis feminis akar rumput pada masa kebangkitan gerakan feminis di akhir 1980an dan awal 1990an dan didukung oleh Sekretaris Negara untuk Urusan Perempuan, perempuan dalam institusi pendidikan tinggi mengubah nilai-nilai kultural dalam universitas yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Aktivis-aktivis perempuan ini menghadapi isu menatakelola manajemen dengan tujuan untuk memperkenalkan kesetaraan jender (Scully dan Segal 2002) dengan terlibat dalam mobilisasi mikro dalam mempertahankan usaha kolektif mereka dalam menata resiko karier dan misi mereka dan dalam mengevaluasi ketercapaian tujuan mereka yang saling berkaitan. Perempuan terlibat aktif dalam membongkar dan mengubah keterkucilan organisasional mereka dari akses terhandal sumber-daya, pengaruh, kesempatan berkarier dan kewenangan akademik. Belakangan ini di Eropa reformasi Adminisrasi Negara Baru (New Public Managemnt) telah didirikan di seluruh Eropah yang selanjutnya menginsisasi pergeseran dari tata kelola dan peraturan pemerintah dan peraturan pemerintah yanag kuat menjadi model manajerial dan meningkatnya otonomi. Kegiatan kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi telah dipandang seagai bagian dari manajmen universitas dan dengan demikian dapat juga dipengaruhi oleh proses profesionalisasi. Dengan demikian pendidikan harus dilihat
190
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
sebagai tujuan yang berhubungan dengan peningkatn otonomi, dan agensi untuk meningkatkan kualtias hidup. Perhatian yang hanya tertuju pada pengaruh pendidikan terhadap indikator pembangunan akan berakibat pada pengabaian untuk mengamati apakah jalur ini telah memberdayakan perempuan dalam arti peningkatan otonomi dan agensi untuk penignkatan kualitas kehidupan. Peran strategis pendidikan dalam meningkatkan otonomi perempuan dan agensi pada rumah tangga dan akses yang lebih baik ke pelayanan publik termasuk tenaga kerja mendapat tantatngan ideologi yang bias gender membentuk pasar tenaga kerja dan keluarga seringtidfak ditantang oleh lembaga dan proses pendidkan dimana kaum perempuan terlibat/berpartisipasi (Subrahmanian 2002). Agama merupakan hal yang sentral dalam pembangunan dan dapat menjadi pedang bermata dua terhadap kesetaraan jender: domestikasi dan pembebasan. Agama dapat saja menindas/mengancam kesetaraan jender dan kekerasan terhadap perempuan tetapi dapat juga menyediakan sumber/ lokasi stratejik bagi perjuangan kesetraan jender (Tomalin 2011). Penelitian mengenai Agama, Poltiik dan Kesetaraan Jender yang dilakukan oleh UNRISD telah menunjukkan tantangan terhadap kesetaraan jender bukan hanya berasal dari agenda fundamentalis agama tetapi njuga dari pihak yang memperalat isu2 hak perempuan untuk kepentingan politik.(UNRISD 2009; UNRISD 2011). Dalam perjalanan sejarah agama sering dan dapat digunakan untuk mengancam kesetaraan jender. Pimpinan agama sering menekankan dalam pengajaran bahwa tugas
191
Luther dan Pendidikan
utama perempuan adalah untuk patuh dan ketidakpatuhan akan mengakibatkan hukuman baik sosial bahkan sampai hukuman mati (Phillips 2009). Fundamentalisme agama terus meningkat secara global selama 10 tahun belakangan ini. Gerakan ini mendapat kekuatan untuk membentuk normanorma sosial, mempengaruhi lembaga internasional dan pembuat kebijakan dan menentukan peraturan/hukum dan kebijakan dalam wilayah moralitas dan otonomi tubuh. Perempuan merupakan target tertinggi dalam yang mendapat serangan verbal dan fisik dari fundametalis (AWID 2009; Casanova, Jos é. 2009.) Perempuan sebagai subjek dalam agama, sejarah dan politik berperan penting dalam reproduksi dan transformasi tradisi agama dan dalam memasukkan diskursus agma, sumbersumber dan praktek dalam politik kesetaraan jender. Agama dapat saja menindas/mengancam kesetaraan jender dan kekersan terhadap perempuan tetapi dapat juga menyediakan sumber/lokasi strategis bagi perjuangan kesetaraan jender (Tomalin 2011). Kekristenan telah sejak lama berperan dalam menggerakkan dan meningkatkan peranan perempuan dan kesetaraan jender. Peranan misionaris Kristen dalam menyediakan pendidikan untuk perempuan telah berlangsung lama bahkan pada masa dimana pendidikan untuk perempuan mendapat tantangan dari masyarakat. Misionaris Kristen telah lama menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Pada tahun 1869 misionaris Methodist missionary Isabella Thoburn mendirikan universitas/sekolah tinggi peremouan di India yang merupakan pertama di seluruh Asia. Sampai pada
192
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
1909 misionaris perempuan Amerika telah menjalankan 3,263 sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ditnegah-tengah prasangka sosial yang menentang pendidikan untuk perempuan pada permulaan abad ke 20 mayoirtas sekolah perempuan dan mempelopori pendidikan tinggi untuk perempuan di Jepang, Korea, China, dan daerah lain di Asia didirikan oleh para misionaris Kristen. Misionaris Kristen di Kerala India juga mendidik kaum perempuan yang membawa pada transformasi sosial di Kerala (Jothi 2011). Sampai pada tahun 1935 misionaris Kristen telah mengelola 57.000 sekolah dan lebih dari 100 perguruan tinggi diseluruh dunia ( Robert. 2009). Pendidikan digunakan sebagai alat evangelisasi sekaligus alat untuk membawa perubahan dan penghargaan/ kesadaran terhadap pentingnya pendidikan juga untuk perempuan, meningkatnya melek huruf, meningkatnya kesadaran sosial atas hak dan kewajiban untuk kebaikan masyarakat. Pentingnya pendidikan dalam perspektif Kristen adalah bahwa pendidikan harus tersedia/terbuka baik bagi perempuan maupun laki-laki agar dapat menikmati kebahgaiaan dari Tuhan. Ini memberikan dasar yang kuat bagi hak perempuan untuk terlibat dalam pemilihan umum. Mengarusutamakan Jender dalam Pendidikan Tinggi Keragaman dan kompleksitas faktor yang saling terkait dalam mempengaruhi ketercapaian kesetaraan jender tidak mungkin dapat diatasi dengan memberikan perhatian hanya pada starategi yang difokuskan kepada perempuan sebagai sumber permasalahan. Dengan demikian relasi jender pada rumahtangga, pasar dan pemerintahan seharusnya merupakan
193
Luther dan Pendidikan
fokus/strategi utama dalam merwujudkan kesetaraan jender sebagaimana yang dikemukakan oleh teori Gender dan Pembangunan (GAD) daripada hanya sekedar strategi pembangunan yang berfokus pada perempuan. Pendekatan GAD mengungkapkan keberagaman diantara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada hubungan/relasi sosial yang dikonstruksikan. Feminist post strukturalis dengan pendekatan GAD mengasumsi bahwa pembangunan tidak netral jender oleh karena ideologi jender ada dalam keseluruhan aspek kehidupan termasuk material (sosial ekonomi), lingkungan kerja, distribusi kekayaan, penghasilan dan sumber-sumber lain, pembuatan keputusan, kekuasaan politik (Kothari, 2002:44; Saunders, 2002). Akar persoalan ketidakssetaraan jender bukanlah berpusat semata pada perempuan tetapi diakibatkan oleh konstruksi relasi sosial antara peremouan dan laki2 yang mengakibatkan subordinasi perempuan. Pergeseran fokus dari perempuam ke relasi jender mencakup perpanjangan dari peran reproduksi (kesehatan, perencanaan keluarga dan pendidikan ke isu-isu makro seperti perencanaan ekonomi nasional, penyesuaian struktural dan hutan kerusakan lingkungan dan konservasi serta organisasi kemasyarakatan dan politik yang lebih bersifat umum daripada sektoral (Pearson and Jackson, 1998:5). Dengan demikian perwujudan pembangunan yang berkesetaraan jender men-syarat-kan transformasi radikal dari sistim sosial, ekonomi, insitutsi sosial dan politik dimana pembangunan dilaksananakan (McGee, 2002:100). Pengarusutamaan jender dimulai sejak pertengahan 1980an. Pendirian unit yang terpisah khusus untuk perempuan
194
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
dalam organisasi pemerintahan daerah cenderung untuk menciptakan lebih banyak ketegangan dan konflik daripada stategi pengarusutamaan jender (Corner, 1999; Goetz, 1997; Moser, 1993). Pengarusutamaan jender dalam pendidikan tinggi merupakan suatu strategi untuk menjadikan kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki terintegrasi dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pendidikan tinggi. Strategi ini lebih tepat dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan perempuan karena mencakup cara-cara bagaimana suara perempuan didengar dan mempengaruhi perumusan agenda pembangunan dan sekaligus sebagai alat untuk menjamin pembagian yang merata atas sumber yang tersedia. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan merupakan komponen penting dalam mewujudkan pembangunan yang berkesetaraan dan berkeadilan jender. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan dan kepemimpinan di pendidikan sangat penting untuk mentransformasi agenda dan proses akademis. Strategi kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi (Jahan, 1995:13) dapat dilakukan dengan: •
Peran proaktif perempuan dalam proses dan struktur pembuatan keputusan
•
Pengakuan dan perhatian atas kebutuhan perempuan dan laki2 di pendidikan tinggi
Pengakuan terhadap keragaman perempuan
Penekanan pada tujuan substantif dengan menghilangkan hambatan sosial, legal, kelembagaan
195
Luther dan Pendidikan
dan politik dalam prencanaan dan pelaksanaan kebijakan2 dan intervensi yang responsif jender.
Memberikan perhatian dan memperkuat agensi perempuan dalam pendidikan tinggi.
Pengarusutamaan jender merupakan suatu strategi peningkatan kesetaraan jender yang diterima secara global. Hal ini berarti pengarusutamaan jender merupakan suatu proses daripada suatu tujuan untuk menciptakan pengetahuan, kesadaran dan tanggungjawab untuk kesetaraan jender diantara seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan tinggi. Bukan merupakan strategi dan alat untuk mewujudkan kesetaraan jender dalam lembaga pendidikan tinggi melalu penyadaran/sensitisasi dan pendidikan pemangku peran bahwa biaya marjinalisasi perempuan dan ketidaksetaraan jender akan ditanggung oleh sector pendidikan sebagai suatu keseluruhan (dari pra/pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Pengarusutamaan jender dalam pendidikan tinggi mencakup penjaminan bahwa perspektif jender dan perhatian terhadap tujuan kesetaraan jender adalah sangat penting untuk semua kegiatan akademis baik dalam kebijakan pendidikan, kurikulum, penelitian, advokasi, alokasi sumber daya, fasilitas dan perencanaan, implementsi dan monitoring program pendidikan tinggi (UNESCO 2010 ). Di Asia strategi yang lebih banyak digunakan adalah dengan mendirikan PSW dan dibeberapa negara khususnya dalam masyarakat tradisional Muslim dan bebarapa negara bagian di India dan Korea mendirikan universitas dan lembaga pendidikan yang diperuntukkan khusus untuk kaum perempuan.
196
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
Walaupun pemisahan universitas khusus untuk perempuan ini dapat memberiakna akses, kesempatan dan ruang yang lebih luas kepada kaum perempaun untuk terlibat dan menentukan proses dan agneda dalam segala tingkatan dan proses administrasi, manajemen, akademik dan kepemimpinan. Nmaun universitas ini lebih banyak didirikan oleh swasta dan dapat lebih membatasi kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dan melakukan dekonstruksi/transformasi di lembaga pendidikan tinggi umum dimana perempuan dan lakilaki berinteraksi. (UNESCO 2010) Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 132 Tahun 2003, menunjukkan adanya dukungan politik pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan agar berperspektif jender. Di Indonesia IAIN/UINs Centre for Women Studies telah menekankan penggnan pendekatan jender dalm penneltian dan studi Islam dan juga merevisi kurikulum dan buku teks agar lebih sensitif jender. Namun keterbatasan pendanaan telah membatasi pengembangan inisitaif penelitian yang inovatif dan pengarusutamaan jender yang berlangsung di perguruan tinggi Islam (Kull, 2009). Pengarusutamaan jender telah menjadi isu dan strategi utama selama 30 tahun belakangna ini dalam pengeloaan pendidikan tinggin di negara2 Nordic. Universitas seperti di Norwegia lebih menekanan pada strategi bekerja dari dalam unviersitas untuk menangani kesetaraan jender dan pengarusutamaan jender. Equal Opportunities, sebuah organsiasi dalam universitas yang mencakup seluruh fakultas yang ada di perguruan tinggi, mempunyai agenda internal untuk menangani isu kesetaraan dan jender, keberagaman
197
Luther dan Pendidikan
etnis dan agama, akses dan partisipasi orang-orang infabel, perlakuan yang sama dalam hak terlepas dari umur atau identitas jender. Juga berkolaborasi dengan pihak luar universitas dalam mempromosikan dan mengadvokasi kesadaran dan kesetaraan jender. Menyadari kesetaraan gender sebagai suatu konsep yang multidimensional, Swedia mengembangkan indikator yang mencerminkan lebih dari representasi perempuan yaitu “4R Gender Analysis Tool” yang didasarkan pada respresentasi, sumber daya, hak dan realitas. Indikator-indikator kesetraan jender ini membantu manajemen universitas dalam mengimplementasi dan memonitor pengarusutamaan jender di universitas. Kewajiban untuk mengimplemntasikan pengarusutamaan jender di universitas2 di Jerman telah berlangusung lebih dari 10 tahun. Walaupun terdapat kebijakan bagaimana melakukan pengarusutamaan jender secara berhasil dalam penelitian, pendidikan dan adminisstrasi univeristas, disertai dengan komitemen formal untuk kesetaraan jender namun ditemukan keterbartasan aksi secara konstan menghambat ketercapaian tujuan-tujuan yang telah didefininisikan sebelumnya. Di Afrika unit-unit jender dengan berbagai program dan aktivitas termasuk pendidikan, penelitian dan fungsi-fungsi aktivisme telah dibentuk pada sebagian besar lembaga pendidikan tinggi (Bunyi 2003). Namun kebanyakan lembaga pendidikan tinggi di Afrika tidak memiliki kebijakan kesetaraan jender dan intervensi. Walaupun keberadaan perempuan sebagai model panutan sangat penting untuk menginisasi dan mengawsai pelaksanaan
198
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
jender, namun tugas ini tidak dapat dilaksanakan oleh beberapa orang tertentu saja. Pengalaman pengarusutamaan jender sebelumnya diungkapkan bahwa melatih beberapa orang kunci tidak dapat menyempurnakan pendekatan ini. Beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi kesetaraan jender dalam pendidkan tinggi: •
Isu dan proses kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi dalam keseluruhanaktivitas akademik yaitu dalam pendidikan, penelitian dan aktivitas universitas lainnya.
•
Hasil dan pewujudan kesetaraan jender hanya dapat dicapai apabila orang-orang dalam lembaga pendidikan tinggi diberdayakan untuk menangani isu-isu organisasi dan manajemen secara simultan.
•
Kesetaraan jender bukanlah merupakan kegiatan yang bersifat ad hoc tetapi merupakan proses yang berkelanjutan dan komrehensif. Seluruh stakeholders dalam lembaga pendidikan tinggi harus diberikan peningkatan pengethaun dan kapaistas dalam menyelenggarkan, merencanakan kesetaraan jender.
Penutup Kompleksitas dan kecepatan proses globalisasi ekonomi dipacu dan ditentukan oleh semakin meningkatnya proses yang didasarkan pada pengetahuan dan membutuhkan tenaga kerja/SDM yang terdidik yang mampu mengelola dan mengembangkan teknologi yang sesuai dengan tuntutan globalisasi dan pembangunan dan juga ilmu pengetahuan baru
199
Luther dan Pendidikan
untuk memerangi kemiskinan serta adaptas isu-isu yang baru muncul dan dikenali seperti perubahan iklim dan konsekuensinmya. Hal ini mengakibatkan partisipasi perempuan dalam teknologi dan sains sangat penting untuk kualitas partisipasi perempuan dan sumbangannya terhadap pembangunan dan arah kebijakan juga untuk pemberdayaan perempuan itu sendiri dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Untuk itu kualitas dan relevansi pendidikan melalui penyempurnaan kurikulum dan revisi buku-buku dan bahan ajar yang lebih jender sensitif sangat dibutuhkan. Perlu dikembangkan manajemen pendidikan tinggi yang sensitif dan responsif jender dengan merumuskan, mengimplementasikan dan menmonitor kebijakan yang bias jender. Peningkatan kapasitas lembaga pendidikan tinggi dalam merencanakan, merumuskan kebijakan, strategi dan program yang mendukung kesetaraan jender secara efisien dan efektif merupakan komponen yang strategis. Untuk mendapat dukungan meluas di kalangan akademis perlu ditingkatkan penelitian mengenai kesetaraan jender di perguruan tinggi. Untuk itu kesadaran seluruh staf pengajar/akademik tentang pentingnya dan kontribusi isu jender dalam seluruh bidan disiplin ilmu perlu dilaksanakan dengan intensif sehingga mereka menerapkannnya dalam proses pembelajaran dan juga penelitian. Pendidikan tinggi merupakan bidang yang luas dan kompleks sehingga pengarusutamaan jender dalam pendidikan tinggi membutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan perguruan tinggi dan aktivis yang diandalkan pada tingkatan yang berbeda dan beragam dalam universitas dan lembaganya.
200
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender
Kesadaran dan komitemen intelektual dan kedewasaan emosional diantara akademisi dan stakeholders sangat penting. Untuk itu perempuan dan kelompok pendukung serta pembuat keibjakan dalam univesriats dapat segala tingkatan termasuk di fakultas/progam studi harus saling mendukung dalam mentranformasi maskulinitas dalam pendidikan tinggi. Demokratisasi pendidikan tinggi untuk kesetaraan jender lebih daripada hanya sekedar meningkatkan jumlah perempuan yang terlibat dalam pendidikan tinggi dan posisi-posisi akademik senior dan adminitratif. Kesetaraan jender bukan hanya dalam partisipasi sebagi mahasiswa/dosen tetapi bagiman kaum perempuan juga mewarnai dunia akademis sehingga menjadi lebih sensitif jender dan dapat mengakomodasi dan merepresentasi serta advokasi pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan jender dan transformasi sosial. Akademisi perempuan mempunyai peran penting sebagai mentor dan model dalam kehidupan di pendidikan tinggi khususnya bagi mahasiswi yang diajarnya sehingga terbentuk identitas dan otonomi kaum mahasiswi tersebut. Penguatan agensi perempuan dalam mendekonstruksi struktur dan budaya maskulin dalam pendidikan tinggi selanjutnya akan juga dapat digunakan untuk melakukan transformasi sosial yang mempercepat terwujudnya peningkatan kualitas kehidupan baik perempuan maupun laki-laki.
201
Luther dan Pendidikan
BIODATA
Jan Sihar Aritonang lahir di Sibolga, Sumut, 22 Januari 1952. Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) sejak Mei 1977. Doctor of Theology dari SEAGST 1987 dan Ph.D. dari Universiteit Utrecht 2000. Dosen tetap di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta sejak 1988 (Ketua STT Jakarta periode 1995-1999 dan 2007-2011), dan salah seorang Ketua Persekutuan Gerejagereja di Indonesia (PGI) pada periode 2004-2009. Menulis sejumlah buku, a.l. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (penyederhanaan disertasi, 1988), Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (1995; 122012), dan Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004; 42010), Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas (2007; 32011), Garis Besar Sejarah Reformasi (2007), dan (bersama Karel Steenbrink cs) A History of Christianity in Indonesia (2008); di samping puluhan artikel di berbagai antologi (kumpulan karangan), jurnal, dan majalah. Diangkat dengan SK Menteri Pendidikan Nasional sebagai Guru Besar (Profesor) bidang Sejarah Gereja di STT Jakarta (2010). Pdt. Dr. Harry R.Panjaitan, D.Min. Tempat/Lahir : Sitorang-Tobasa/11 Januari 1953 Pendidikan : Sarjana Theologia dari STT-HKBP Pem. Siantar, 1979 Master of Ministry dari Trinity Theological College, Singapore 2003 Doctor of Ministry dari STII- Univ. Kristen Immanuel-Yogyakarta, 2008 Melayani : Pendeta Resort; Study non gelar 1 tahun (1983) di Luther Seminary, Adelaide-Australia; Praeses HKI Daerah I Simalungun 1986-1990; Sekretaris Jenderal HKI 1990 – 2000; Praeses HKI Daerah VI Sumatera Timur II di Medan 2010 sampai
202
BIODATA PENULIS
sekarang; Dosen part time di STT-SU/IAKPSU untuk program S1 dan S2 tahun 2008 sampai sekarang Istri : S.P. Br. Simanjuntak Anak : Tracy Majesty (Pr) Alvon Bernardo (Lk) Tabitha Frieda (Pr) Yudith Anastasya (Pr) Drs. Ridwin Purba, M.Div, M.Pd. Lahir di Pematangsiantar, 1 Nopember 1961. Bekerja sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Simalungun Pematangsiantar sejak tahun 1987. Aktif di bidang pendidikan khususnya mengenai pengajaran bahasa Inggris dan menjadi assessor dan instruktur sertifikasi guru sejak tahun 2007 hingga saat ini . Aktif dalam bidang kerohanian dan Sekretaris Ressort di GKPS Jl.Sudirman Siantar. Pernah mengikuti berbagai kegiatan nasional maupun internasional sebagai utusan pemuda GKPS. Saat ini beliau ditugaskan sebagai sekretaris pendidikan KN-LWF. Alida Nababan br Tobing MSc, Lahir di Balige 25 Januari 1936. Kini bertempat tinggal di Jl.Rasamala Jakarta Selatan. Ibu dari 3 orang anak dan 4 orang cucu. Gelar MSc didapatkan dari state University of Newyork (SUNY) USA. Pernah beberapa kali menjadi pembicara dan utusan pada konferensi atau pertemuan tingkat nasional maupun Internasional, misalnya Konsultasi LWF di Sri Lanka, Tokyo Jepang, Tomohon, Ambon, SUkabumi. Sebagai pelatih pada Latihan Kepemimpinan Gereja-gereja anggota LWF di Jawa dan Sumatera Utara. Sampai tahun 2002 sebagai penasehat di LSM Racham, yaitu satu komunitas perempuan untuk keadilan dan keamanan. Kini sebagai penasehat Wanita Gereja dan berencana menangani anak jalanan dan masalah narkoba. Sahat Gultom Lahir di Jakarta, 6 Maret 1971 menikah dengan Gloria Sinaga di HKBP. Saat ini bekerja sebagai pengusaha bidang IT dan elektrikal di Jakarta. Pengalaman selama 6 tahun di Singapura dan sebagai Sintua memberikan banyak waktu untuk ikut dalam pelayanan pemuda dan keluarga muda, baik di HKBP Singapore maupun di Johor Bahru dan Klang, Malaysia. Beberapa kali menjadi narasumber
203
Luther dan Pendidikan
pelatihan Pendeta dan Sintua untuk pengembangan soft-skill di HKBP dan beberapa gereja lain. Asima Yanti Siahaan Lahir di Medan 26 Januari 1964. Kini bekerja sebagai Head of International Affair Office dan sekaligus dosen di Universitas Sumatera Utara (USU). Gelar Sarjana didapatkan dari USU tahu 1987, sementara Magister didapatkan dari Monash University – Australia (1997) dan dilanjutkan dengan gelar PhD dari New Zealand (2004) dengan major Development Studies. Beasiswa lainnya adalah: Open Society Institute/Central European University/Soros Foundation, Hungary-Budapest. International Policy Fellow (2002/2003) University of British Columbia, Canada. Visiting scholar at the Centre for Southeast Asian Research at the Institute of Asian Research, UBC Canada (2003) Dikti (Indonesia Higher Education Department), Program Academic Recharging (2009). Visiting scholar at Massey University, New Zealand (October 2009 – January 2010) SIDA-ICLD. Good Governance and Decentralization: A Gender Perspective. Sweden. Fellow (2011/2012). Research yang sedang ditekuni yaitu · EastWest Centre – ICLD Sweden Regional Seminar on Decentralization and Good Governance With A Gender Perspective. Yogyakarta. May 18th – 27th · Global Policy Dialogue – Strengthen links to conquer challenges: Foreign partnerships in higher education for new opportunities in collaborative research and teaching. British Council. Jakarta. March 26-27. · Resource person on Ethics and Social Responsibility Workshop. Local Government of Pakpak Barat, North Sumatra. January 2012. · Resource person on Policy Study of Development Strategy With A Population Perspective: Social and Environment Sector. BKKBN North Sumatra (Population and National Family Planning Board of North Sumatra Province). Medan, North Sumatra. 20-22 February. Banyak menulis mengenai studi perempuan. Salah satu tulisan yang terbarunya adalah Decentralization and Women in Indonesia. Engendering Local Governance in North Sumatra (2012). Lambert Academic Publishing: Germany.
204