LOYALITAS BIROKRAT TERHADAP KEPALA DAERAH (STUDI KASUS PADA PASANGAN GUBERNUR JOKO WIDODO-BASUKI TJAHAJA PURNAMA DI PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA) Henov Iqbal Assidiq Lina Miftahul Jannah Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Otonomi Daerah di Indonesia memaksa kepala daerah untuk terus memperbaiki kualitas layanan pemerintah. Dalam upayanya melakukan pembenahan terkadang birokrat tidak mampu mengikuti ritme kerja kepala daerah dan menunjukkan kuragnya loyalitas. Hal ini membuat agenda pembenahan terhambat. Penelitian kualitatif ini menggambarkan loyalitas terhadap pasangan kepala daerah yang fenomenal, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait dan studi terhadap konsep-konsep terkait. Penelitian ini menemukan bahwa loyalitas terhadap kepala daerah menjadi optimal jika diberikan secara proporsional, tidak personal, dan berdasarkan keinginan untuk melakukan perubahan. Kata Kunci : Loyalitas; Birokrat; kepala daerah; ABSTRACT Regional autonomy in Indonesia forces district heads to keep improving public services quality. Alongside with improvement efforts, often times bureaucrat can’t keep up with distric head’s maneuver and show lack of loyalty. This qualitative research describes loyalty to the phenomenal district heads, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Data have been collected from in-depth interviews with related parties and reviewing related concepts. This research finds that loyalty to the distric head can reach optimalization when it given with proportional amount, impersonal, and based on will to make a changes. Keywords: Loyalty, Bureaucrat, distric head;
Pendahuluan Orde Reformasi telah membuat Indonesia yang sebelumnya menerapkan pemerintahan sentralistik berubah haluan menjadi desentralistik. Otonomi daerah dan demokratisasi merupakan dua hal yang secara gencar terjadi pada Orde Reformasi. Masyarakat Indonesia pada masa
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
otonomi daerah cenderung memiliki tuntutan layanan yang lebih tinggi terhadap pemerintah sebagai respon dari pembangunan ekonomi yang dilakukan pada masa Orde Baru. Dengan melakukan pembangunan ekonomi, artinya pemerintah secara langsung dituntut untuk membangun kualitas layanannya. Pertama, pembangunan dan industri akan membutuhkan lebih banyak kebijakan dan pelayanan administratif serta hukum yang menunjang dari pemerintah. Kedua, teknologiteknologi baru yang dikembangkan akan membutuhkan banyak modal dalam produksinya, yang hanya bisa disediakan oleh Bank negara yang memiliki peluang investasi terbaik. Terakhir, tuntutan layanan kesehatan sosial dan pendidikan untuk menunjang pembangunan. Kemudian, negara akan diasumsikan sebagai suatu organisme yang berkembang, merespon lingkungan yang juga berkembang dengan membuat keputusan dan kebijakan untuk kepentingan masyarakat (Karagiannis dan Madjd-Sadjadi, 2007: 39). Untuk menjawab tuntutan perbaikan kualitas layanan pada masa otonomi daerah dibutuhkan seorang kepala daerah yang memiliki komitmen politik yang kuat dan inovatif dalam merencanakan program-program pemerintah daerah. Berbicara tentang kebutuhan atas komitmen politik dan inovasi layanan oleh kepala daerah pada masa otonomi daerah, Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang sangat membutuhkan hal tersebut dalam proses pembangunannya. Sejak masa Orde Baru Provinsi DKI Jakarta sudah menjadi pusat dalam pembangunan yang dilakukan secara intensif, sehingga sampai saat ini tuntutan peningkatan kualitas layanan oleh masyarakat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Terlebih status DKI Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas layanan muncul disebabkan banyaknya masalah sebagai akibat dari proses pembangunan intensif pada masa Orde Baru hingga sekarang yang dirasakan oleh masyarakat Jakarta. Secara umum setidaknya ada 4 masalah yang dihadapi DKI Jakarta, yaitu kemacetan, banjir, premanisme dan anarkisme, serta urbanisasi (Infografis.kompas.com, 2012). Penanganan masalah banjir dan kemacetan dirasa sangat mendesak mengingat 1 Januari 2015 mendatang era perdagangan bebas di ASEAN akan diberlakukan. DKI Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan dan dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas mendatang. Banjir Jakarta bukan hanya merugikan pemerintah daerah DKI Jakarta, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan sosial ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
(Kemsos.go.id, 2014). Kebutuhan atas kepala daerah yang memberikan inovasi dalam layanan pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi tidak dapat dihindari guna tercapainya pembenahan dan pembangunan. Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (TP) merupakan salah satu pasangan calon kepala daerah yang mencoba menawarkan inovasi layanan pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Dalam rapat pleno penghitungan suara Pilkada Jakarta 2012 pasangan Joko Widodo-Basuki TP resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih 2012-2017 melalui pemilu putaran kedua dengan perolehan suara 53,82 persen (www.antaranews.com, 2012). Selama 15 bulan Joko WidodoBasuki TP menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, yaitu sejak pelantikan pada tahun 2012 hingga saat tulisan ini ditulis sudah memiliki beberapa program terobosan untuk meningkatkan kualitas layanan birokrasi bagi masyarakat. Budi (2013) memaparkan setidaknya terdapat lima program yang diterapkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, yaitu: a.
Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP)
b.
Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL)
c.
Normalisasi Waduk dan Relokasi Warga
d.
Lelang Jabatan Camat dan Lurah
e.
Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) dan Monorel
Untuk meningkatkan kualitas layanan dibidang perizinan Joko Widodo-Basuki TP membuat peraturan daerah mengenai Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaan, mulai dari tahap permohonan sampai ke terbitnya dokumen, dilaksanakan secara terpadu dengan sistem satu pintu di Provinsi DKI Jakarta (lipsus.kompas.com, 2013). Meskipun sudah bermodal komitmen yang kuat untuk pembenahan layanan pemerintah disertai dengan program-program yang inovatif, Joko Widodo-Basuki TP belum bisa dikatakan sukses dalam meningkatkan kualitas layanan birokrasi. Berdasarkan survey yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) persentase kepuasan warga DKI Jakarta menurun signifikan dari 68,3% pada Oktober 2013 menjadi 47,5% pada Januari 2014 terhadap kinerja Gubernur (Megapolitan.kompas.com, 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penanganan terhadap musibah
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
banjir dan banyaknya kendala pada penerapan program-program seperti KJS dan KJP menjadi salah satu kategori dalam penurunan tingkat kepuasan warga DKI terhadap Gubernurnya. Bersamaan dengan hal itu, kerap ditemukan ketidakpuasan Joko Widodo-Basuki TP pada para birokratnya sendiri saat menjalankan program-programnya. Terdapat indikasi bahwa kinerja kepala daerah baru yang belum optimal disebabkan oleh tidak mampunya birokrat DKI Jakarta untuk mengikuti ritme kerja kepala daerah. Gubernur DKI Joko Widodo mengaku geram atas banyaknya pegawai negeri sipil di SKPD Jakarta yang kinerjanya jauh dari harapan (Lipsus.kompas.com, 2013). Selain itu, baru terdapat 4 SKPD dari 43 SKPD yang melaporkan penerimaan dan penggunaan dana CSR sebagai bentuk kepatuhan terhadap instruksi Gubernur nomor 67 Tahun 2013 tentang CSR (www.merdeka.com, 2013). Terdapat indikasi adanya masalah kepatuhan pada birokrat DKI Jakarta. Untuk menertibkan birokratnya, selama setahun memimpin ibukota setidaknya beberapa kali Joko Widodo-Basuki TP melakukan bongkar pasang pejabat Eselon II. Joko Widodo mengaku akan terus melakukan mutasi serta rotasi Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) dan akan berhenti setelah mendapatkan pejabat yang kompeten dan berkualitas, serta dapat menjalankan visi dan misi yang diusungnya bersama Wagub Basuki TP. Pilihan untuk melakukan bongkar pasang pejabat adalah respon Joko Widodo-Basuki TP terhadap rendahnya kinerja birokrat, sehingga mereka ingin membentuk tim terbaik yang loyal dan mampu mengikuti ritme kerja mereka sebagai instrument untuk melakukan perbaikan kualitas layanan di pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terkait loyalitas, Zdaniuk (2000: 1) memaparkan bahwa loyalitas mengacu pada prilaku untuk bertahan dalam satu kelompok dan berbagi hasil kerja bersama, meskipun individu didalamnya bisa saja keluar dari kelompok untuk mendapatkan hasil yang lebih pada kelompok lain, namun mereka tetap bertahan dalam kelompok karena mereka menjadi benefit bagi anggota kelompok yang lain. Loyalitas juga terlihat ketika institusi mengalami penurunan performa tetapi individu didalamnya memilih bertahan dengan institusi tersebut (Bauer, 2010: 4). Kesertaan kerja dan memiliki ritme kerja yang sama mendapatkan penekanan dalam dua konsep loyalitas ini. Loyalitas birokrat yang telah terbangun dapat dilihat melalui tiga indikator (Pritchard, 2008: 2), yaitu: • Say, penekanan dalam variabel ini adalah kondisi yang membuat birokrat sampai merekomendasikan biro atau departemen tempat dirinya bekerja kepada relasi dan rekanannya sebagai tempat bekerja yang positif.
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
• Stay, penekanan dalam variabel ini adalah kondisi birokrat untuk bertahan dalam organisasi dan seberapa lama rencana yang mereka tetapkan untuk bekerja dalam birokrasi. Dan, • Strive, penekanan dalam variabel ini adalah determinasi dari birokrat untuk ,meraih pencapaian lebih dari sekedar baik dalam bekerja. Birokrat selalu bersiap untuk bergerak kearah yang lebih baik lagi dan lagi dalam panggilan kinerja untuk mencapai kesuksesan birokrasi. Ketika terdapat 26 pejabat eselon II di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dirotasi oleh Joko Widodo-Basuki TP, terdapat satu orang yang hasil kerjanya masih belum optimal dan merupakan masalah utama DKI namun belum dirotasi juga, yaitu Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Manggas Rudy Siahaan. Joko Widodo tidak mempermasalahkan Jakarta tetap dilanda banjir parah dan jalan berlubang yang menyebabkan macet, menurut Joko Widodo kesungguhan bekerja adalah alasan beliau mempertahankan Manggas Rudy Siahaan. Joko Widodo menyatakan bahwa, “Yang penting kerja dulu, bisa atau tidak itu urusan kedua”. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa pemimpin DKI Jakarta ini sangat memperhatikan loyalitas birokratnya dalam bekerja. Joko Widodo memberi penekanan bahwa bisa atau tidaknya birokratnya dalam menyelesaikan masalahnya bukan hal yang utama, kesertaan kerja dan komitmen birokrat mengikuti ritme kerja kepala daerah yang menjadi penekanan dalam konteks ini. Memiliki kepala daerah yang berkomitmen dengan program yang inovatif ternyata belum cukup untuk meningkatkan kualitas layanan pemerintah. Masalah yang muncul setelah adanya kepala daerah yang berkomitmen dan memiliki program-program inovatif justru ada pada kemampuan para birokrat untuk mengikuti ritme kerja kepala daerah. Menurut Tjokrowinoto dalam Yuliani (2003:9) atribut utama birokrasi adalah loyalitas dan kemampuan melaksanakan apa yang diperintahkan atasan. Loyalitas dibutuhkan untuk membuat kemajuan besar dalam organisasi (Souryal, 1999). Untuk meningkatkan kualitas layanan diperlukan loyalitas birokrat terhadap kepala daerahnya. Ketika loyalitas terbangun maka hal itu akan menjadi dasar bagi setiap tindakan yang diambil oleh birokrat dalam menjalankan tugasnya saat bekerja (Coughlan, 2005: 9). Melihat betapa pentingnya loyalitas dalam upaya melakukan pembenahan kualitas layanan pada Provinsi DKI Jakarta, maka pertanyaan penelitian yang akan peneliti coba ungkap
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
kali ini adalah ”bagaimana kondisi loyalitas birokrat terhadap kepala daerah pada studi kasus pasangan Gubernur Joko Widodo-Basuki TP di pemerintah Provinsi DKI Jakarta?” Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana kondisi loyalitas birokrat terhadap kepala daerah non petahana di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian murni. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan akademis. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan untuk menggambarkan tentang bagaimana loyalitas terhadap kepala daerah di pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan lebih detail. Berdasarkan dimensi waktu penelitian, penelitian ini termasuk dalam cross sectional research. Penelitian ini dilakukan dalam satu waktu tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk perbandingannya, yaitu dimulai dari bulan April sampai Juni 2014. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap para narasumber terkait, yaitu: Tabel Informan Pihak
Nama
Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta
1) Basuki Tjahaja Purnama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta
1) NF
Koalisi Masyarakat Pemerhati Jakarta Baru
1) Sugiyanto 2) Amir Hamzah
Akademisi
1) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA
Birokrat Provinsi DKI Jakarta
1) Asep Syarifuddin 2) Suhainti Harahap 3) BM 4) Ratna Ayu Komalawati 5) OG
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode successive approximation. Dengan metode analisis data ini peneliti berulang kali melakukan kajian dan pemahaman antara data empiris dengan konsep, teori, atau model, melakukan penyesuaian dan pemantapan antara teori dan data yang dikumpulkan setiap saat selama proses penelitian. Penelitian dimulai dengan pertanyaan penelitian dan kerangka kumpulan asumsi dan konsep. Peneliti kemudian menyelidiki data, memahami temuan-temuan di lapangan untuk melihat sejauh mana konsep yang digunakan sesuai dengan temuan-temuan tersebut sehingga melahirkan beragam data baru. Peneliti kemudian mengumpulkan temuan-temuan tambahan untuk menjelaskan permasalahanpermasalahan yang belum diketahui jawabannya pada proses penelitian ini, dan mengulang proses ini berkali-kali. Pada tiap prosesnya, teori atau konsep saling membentuk dengan temuan lapangan-temuan lapangan sampai menghasilkan hasil penelitian yang lebih akurat. Hasil dan Pembahasan Kondisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan kota yang secara konseptual lebih cocok dibandingkan dengan kota-kota seperti Tokyo, New York, Dubai, dan sejenisnya. Perbedaan yang terbentang lebar diantara Jakarta dengan kota-kota lain tersebut adalah ketertinggalan dalam tata kelola kota. Pihak birokrat Provisi DKI Jakarta juga berpendapat bahwa performa pemerintah DKI Jakarta dalam melakukan pelayanan bisa dibilang tertinggal untuk kelas kota megapolitan. Untuk mengejar ketertinggalan dan menciptakan kemajuan, sepertiga awal masa jabatan Joko WidodoBasuki TP lebih banyak berfokus pada pembenahan sistem internal birokrasinya. Pembangunan sistem internal dimulai dengan meningkatkan performa sistem e-budgeting, e-recruitment, dan sebagainya. Penyusunan payung hukum dalam bentuk peraturan daerah yang berkaitan dengan organisasi perangkat daerah dimana terdapat penggabungan dan perampingan juga mulai diproses. Tata laksana pelayanan pada street-level bureaucrats juga secara intensif dibenahi. Kantor Lurah dan Camat yang sering mendapat inspeksi mendadak oleh kepala daerah lambat laun mulai berbenah. Sistem pengaduan masyarakat secara online juga mulai diterapkan dengan menerapkan program LAPOR bekerja sama dengan UKP4. Pada program LAPOR, jika dalam waktu enam jam tidak mendapat tanggapan maka birokrat mendapatkan surat teguran.
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Selanjutnya salah satu faktor internal yang mendapatkan perhatian lebih dari kepala daerah adalah sumber daya aparatur yaitu para birokrat. Joko Widodo-Basuki TP memiliki intensi terhadap pembentukan tim birokrat terbaik dan semangat perubahan dalam aksinya. Dilandasi dengan keyakinan bahwa masih ada birokrat yang berkualitas di DKI Jakarta, Joko WidodoBasuki TP mulai melakukan penyusunan tim dari nol untuk mendapatkan tim terbaik. Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang tepat mengingat birokrat adalah aktor utama dalam melakukan pelayanan publik. Upaya yang dipilih oleh Joko Widodo-Basuki TP dalam menyusun tim birokrat dilakukan sesuai konsep Krause, Lewis, dan Douglas (2006), yaitu berdasarkan profesionalitas dan pertimbangan pemimpin. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme yang dilakukan untuk memilih tim, yaitu seleksi terbuka dan bongkar pasang pejabat. Seleksi terbuka dilakukan dengan maknisme profesional untuk mendapatkan birokrat terbaik pada “street-level bureaucrat” yang dilandaskan pada Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2013. Seleksi terbuka pertama kali dilakukan pada tingkat Camat dan Lurah yang banyak bersinggungan langsung dengan masyarakat dalam agenda rutinitas pelayanan publik. Sistem seleksi terbuka Lurah Camat yang merupakan program inovasi dari kepala daerah DKI Jakarta ini juga dilengkapi dengan indeks kepuasan masyarakat, sehingga evaluasi Lurah dan Camat dapat dilakukan lebih optimal. Hal ini menjadi pemicu bagi Lurah dan Camat untuk meningkatkan kinerja pelayanan. Joko Widodo-Basuki TP menyadari betul bahwa ujung tombak pelayanan berada pada Lurah dan Camat. Posisi sentral Lurah dan Camat dalam upaya peningkatan kualitas layanan pemerintah meskipun dalam struktur birokrasi hanya menempati birokrat tingkat bawah membuat dilakukannya seleksi terbuka pada jabatan ini. Berbeda dengan seleksi terbuka yang dilakukan pada “street-level bureaucrat”, bongkar pasang pejabat yang juga dilakukan untuk membentuk tim terbaik diterapkan lebih kepada birokrat tingkat atas dalam struktur birokrasi. Birokrat tingkat atas ini adalah birokrat yang lebih banyak bersinggungan kerja dengan kepala daerah dibandingkan masyarakat secara langsung seperti Kepala Dinas, atau Walikota/Bupati administrasi dan memiliki wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan yang melalui mekanisme seleksi terbuka dalam aspek pelayanan. Pada penerapannya bongkar pasang pejabat lebih banyak dilakukan atas dasar pertimbangan pribadi kepala daerah yang merupakan respon atas kurang puasnya kepala daerah terhadap kinerja birokrat. Kepala daerah berpendapat jika kinerja seorang birokrat kurang baik maka yang bersangkutan harus diganti dengan yang bisa lebih perform. Meskipun mungkin secara personal
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
ada kedekatan dengan kepala daerah, jika kinerjanya buruk tetap harus dirotasi. Pihak birokrat DKI Jakarta bagian Badan Kepegawaian Daerah mengatakan bahwa kewenangan memilih pejabat Esselon II merupakan kewenangan Gubernur dan Wakilnya, lalu ketika memutuskan biasanya berkonsultasi dengan Sekda. Pertimbangan-pertimbangan apa yang mempengaruhi bongkar pasang tidak diketahui oleh para birokratnya secara umum. Manuver bongkar pasang pejabat yang dilakukan kepala daerah atas dasar pertimbangan pribadi ini bukan berarti tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 68 poin 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN) menjelaskan bahwa birokrat dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pemimpin Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja. Undang-undang ini membuat bongkar pasang pejabat memiliki payung hukum yang jelas sehingga legal dilakukan. Dalam
melakukan
bongkar
pasang
pejabat
Joko
Widodo-Basuki
TP
jarang
mengklarifikasi kepada birokratnya kinerja seperti apa yang mempengaruhi pemindahan dan rotasi birokrat sehingga hal ini memberikan tekanan tersendiri dalam tubuh birokrasi. Para birokrat tidak memahami secara pasti apa yang menjadi kriteria kepala daerah dalam melakukan pemindahan sehingga birokrat sering merasa was-was. Strategi ini menjadikan fokus birokrat terpecah antara optimalisasi layanan pemerintah dan waspada terhadap bongkar pasang yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka. Para birokrat yang bekerja dibawah Joko Widodo-Basuki TP menjadi merasa was-was dirinya sewaktu-waktu masuk dalam daftar rotasi. Selain memiliki potensi peningkatan kinerja, bongkar pasang pejabat juga berpotensi membuat birokrat tidak optimal dalam menjalankan tugasnya karena terintimidasi secara psikologis. Respon birokrat yang muncul terhadap fenomena bongkar pasang pejabat ini bervariasi. Pihak birokrat DKI Jakarta yang mampu mengikuti manuver bongkar pasang kepala daerah memandang bahwa bongkar pasang pasti akan dihadapi oleh birokrat. Bongkar pasang pejabat adalah hal yang biasa dalam dinamika pemerintahan, terlebih birokrat sebagai aparatur sipil negara memang harus bersedia ditempatkan dimana saja. Birokrat yang tidak mampu mengikuti memutuskan tidak berada dalam barisan dengan mundur dari jabatan atau menolak tawaran promosi. Birokrat yang mundur menyebabkan pemerintah DKI panen PLT. Untuk PLT Sekda bahkan sudah lebih dari satu tahun belum ada perubahan sejak ditinggalkan oleh pejabat sebelumnya. Koalisi Masyarakat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR) yang merupakan salah satu
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
LSM yang aktif mengawasi jalannya pemerintahan Joko Widodo-Basuki TP juga memaparkan temuannya tentang seorang pejabat yang menolak tawaran promosi. Penolakan promosi oleh birokrat adalah kasus yang unik dalam birokrasi. Pasal 23 poin h UU-ASN mewajibkan birokrat untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk kesetiaan pada negara dan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Permasalahan ini menjadi indikasi awal absennya loyalitas terhadap kepala daerah dalam strategi pembenahan pemerintah DKI Jakarta. Disamping itu, terdapat juga respon yang unik pada birokrat namun masih dalam koridor mampu mengikuti ritme kerja kepala daerah, yaitu birokrat yang mengamankan posisinya dengan “berbaik-baik” kepada kepala daerah baru. Salah satu anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta menangkap fenomena ini dalam tugas pengawasannya terhadap kinerja pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terdapat kepala dinas yang tidak begitu baik dari segi kinerja namun karena pandai bermanis-manis dengan kepala daerah sehingga sampai saat penelitian ini dilakukan yang bersangkutan belu masuk daftar rotasi. Pada kategori ini, birokrat menjadi lebih fokus pada kewaspadaan takut sewaktu-waktu masuk dalam daftar rotasi, sehingga perhatian utama lebih mengarah pada bagaimana mengabdi pada kepala daerah secara personal yang memiliki wewenang rotasi dibanding meningkatan performa kinerjanya secara professional. Proses adaptasi birokrat DKI Jakarta terhadap mekanisme-mekanisme pembenahan internal yang dilakukan oleh Joko Widodo-Basuki TP selaku kepala daerah berdampak langsung pada belum optimalnya performa pemerintah DKI Jakarta. Output dari pembenahan sistem internal yang dilakukan belum sepenuhnya menjangkau permasalahan utama DKI Jakarta seperti kemacetan dan banjir. Sedikit banyak bongkar pasang pejabat dan seleksi terbuka yang direncanakan untuk optimalisasi kualitas layanan belum memperlihatkan output yang signifikan. Pihak birokrat DKI Jakarta juga mengakui kondisi ini dan mengungkapkan bahwa kepala daerah sudah mengingatkan bahwa tahun pertama pemerintahnnya akan babak belur karena masih berfokus pada pembenahan sistem internal birokrasi. Para birokrat DKI Jakarta telah diberikan arahan bahwa di awal masa jabatan Joko Widodo-Basuki TP mereka akan mengalami masa-masa pengorbanan yang cukup persisten guna mencapai tujuan pembenahan bersama. Pihak birokrat memaparkan bahwa adaptasi terhadap sistem baru yang dibangun menjadi tantangan tersendiri bagi para birokrat.
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Hal terpenting dalam proses adaptasi ini adalah melihat apakah birokrat akan tetap mengikuti strategi-strategi pembenahan, yang berarti birokrat tetap loyal kepada kepala daerah ataukah birokrat memilih mangkir terhadap ritme kerja baru. Pada Pasal 23 poin a UU-ASN dijelaskan bahwa kesetiaan dan ketaatan birokrat diberikan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah. Sebagai bagian dari pemerintah yang sah sudah sepantasnya birokrat loyal terhadap kepala daerah, terlebih visi kepala daerah cenderung dekat dengan peningkatan kualitas layanan pemerintah. Kepala daerah yang memahami aturan main pemerintahan selanjutnya akan mengarahkan loyalitas kepada sistem sehingga kinerja birokrat menjadi professional. Paradigma Kepala daerah Provinsi DKI Jakarta Tentang Loyalitas Terhadap Kepala Daerah Dalam menghadapi tantangan pemerintahan, pasangan Gubernur Joko Widodo-Basuki TP memiliki pandangan sendiri mengenai loyalitas birokrat. Mereka lebih mengharapkan loyalitas hadir dalam bentuk peningkatan kinerja dalam ritme kerja pembenahan yang telah mereka tetapkan. Pandangan ini mengacu pada konsep dimensi ketiga kondisi loyalitas yang telah terbangun, yaitu strive (Pritchard, 2008:2). Pada dimensi strive dijelaskan bahwa adanya determinasi birokrat dalam meraih pencapaian kinerja yang lebih dan lebih, serta terus berkembang selama melakukan tugas-tugas dalam birokrasi guna mencapai tujuan bersama. Loyalitas dinilai lebih kedalam bentuk kinerja yang baik dalam birokrasi. Joko Widodo-Basuki TP tidak melihat loyalitas sebagai hubungan personal antar individu dalam birokrasi dengan menyebutnya sebagai konsep yang absurd. Joko Widodo menyampaikan bahwa kinerja merupakan hal utama dalam menilai birokratnya. Joko Widodo menilai Lurah dan Camat berdasarkan prestasi, kemampuan menyelesaikan masalah, integritas, dan kemampuan dalam bekerja. Bahkan dari penerapan sistem seleksi terbuka terdapat harapan Joko Widodo agar pengangkatan berdasarkan kepentingan pribadi kepala daerah dapat dihilangkan dengan adanya mekanisme ini. Basuki TP juga menyampaikan hal serupa, bahwa dengan diberlakukannya sistem lelang jabatan maka akan lebih mudah mengetahui potensi dan kinerja guru yang akan menjadi kepala sekolah, berbeda dengan mekanisme yang hanya diusulkan saja. Basuki TP juga menjelaskan bahwa penurunan Anas Effendi dari walikota Jakarta Barat juga atas dasar kinerja yang kurang memuaskan. Sikap Joko Widodo dan Basuki TP menunjukkan indikasi bahwa
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
dimensi strive secara eksplisit menjadi konsep loyalitas birokrat yang mereka butuhkan dalam melakukan pembenahan. Loyalitas terhadap kepala daerah yang lahir dari profesionalitas kerja seperti yang tertuang dalam dimensi strive akan melahirkan loyalitas yang proporsional sesuai kebutuhan birokrasi. Loyalitas yang terkait dengan kinerja dan bukan pada hubungan personal justru akan meningkatkan kualitas layanan pemerintahan. Loyalitas birokrat terhadap kepala daerah dilakukan pada area dimana kepala daerah berstatus sebagai kepala dari pemerintah yang sah, sehingga secara hukum loyalitas terbina berdasarkan sistem profesional bukan berdasarkan hubungan personal seperti dalam birokrasi patrimonial masa Orde Baru. Ketika melihat loyalitas sebagai kepatuhan birokrat dalam birokrasi untuk mengikuti prinsip-prinsip yang disosialisasikan oleh kepala daerah guna mengejar tujuan pembenahan, menjadi menarik untuk melihat respon birokrat DKI Jakarta terhadap prinsip dan paradigma loyalitas Joko Widodo-Basuki TP pada konteks peningkatan kualitas layanan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta guna mendapatkan gambaran loyalitas birokrat terhadap kepala daerah. Loyalitas Birokrat Terhadap Kepala Daerah di Provinsi DKI Jakarta Upaya pembenahan oleh Joko Widodo-Basuki TP yang dimulai dari sistem internal ternyata direspon dengan loyalitas yang cukup baik oleh birokrat. Loyalitas yang baik terlihat dari mesin birokrasi yang langsung bekerja secara solid dibawah komando kepala daerah. Pihak birokrat DKI Jakarta menyampaikan bahwa para birokrat solid bekerjasama mempersiapkan sistem-sistem baru yang diusung kepala daerah. Solidnya kinerja birokrat menunjukkan loyalitas birokrat terhadap arahan kepala daerah bisa dikatakan cukup baik. Pihak birokrat juga menjelaskan bahwa para birokrat mendukung upaya pembenahan yang dilakukan oleh kepala daerah mereka secara positif. Adanya seleksi terbuka yang dilakukan oleh Joko Widodo-Basuki TP ternyata direspon dengan baik oleh birokrat karena memberikan peluang yang sama dalam mendapatkan promosi jabatan. Dalam upaya membangun loyalitas, kepuasaan terhadap pekerjaan, penanaman komitmen terhadap birokrasi, dan promosi jabatan merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi loyalitas birokrat dalam karirnya (Shah, 2011). Faktor promosi jabatan di DKI Jakarta yang dilakukan dalam bentuk seleksi terbuka jabatan ternyata menarik minat tersendiri bagi birokrat DKI Jakarta. Pihak birokrat menyampaikan bahwa antusiasme terhadap seleksi terbuka terbilang tinggi, tidak ada penolakan, dan diikuti oleh banyak peserta.
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Antusiasme positif pada seleksi terbuka yang memberikan ruang lebih dalam promosi jabatan menjadi indikasi awal loyalitas birokrat terhadap kepala daerah berjalan proporsional. Indikasi loyalitas yang proporsional pada birokrat semakin kuat setelah pihak birokrat memaparkan bahwa terdapat indikasi birokrat DKI Jakarta tergerak untuk meningkatkan performa dengan mengikuti seleksi terbuka. Indikasi ini dapat dilihat dari semangat birokrat dalam mengikuti perubahanperubahan sistem internal yang berdampak kepada meningkatnya kualitas individu birokrat. Perilaku birokrat dalam merespon strategi seleksi terbuka menunjukkan adanya determinasi untuk memberikan yang terbaik dalam mengikuti program dan tujuan bersama. Perilaku serupa juga terjadi pada birokrat yang was-was dalam menghadapi bongkar pasang pejabat, mereka berusaha untuk mempertahankan jabatannya dengan mempertahankan kredibilitasnya dan meningkatkan prestasinya. Mereka berusaha untuk membuktikan. Perilaku semacam ini dapat dikategorikan sebagai loyalitas yang telah terbangun dalam dimensi strive, dimensi yang menjadi fokus pihak kepala daerah. Hasil dari determinasi yang membuat birokrat masuk dalam dimensi strive terlihat dalam bentuk kinerja yang membaik pada birokrat DKI Jakarta. Salah satu kasus yang ditemui adalah Effendi, Walikota Jakarta Selatan yang dirotasi ke Badan Arsip dan menunjukkan kinerja yang meningkat di Badan Arsip. Pada Badan Arsip Effendy memberikan inovasi-inovasi yang menyebabkan dirinya dirotasi kembali menjadi Walikota, namun di Jakarta Barat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem bongkar pasang pejabat berjalan cukup efektif. Kepemimpinan
dalam
birokrasi
memilki
dampak
terhadap
perilaku
loyalitas.
Kepemimpinan kepala daerah akan secara langsung mempengaruhi budaya kerja dalam birokrasi. Budaya kerja kemudian akan bergerak mempengaruhi persepsi dari birokrat yang kemudian persepsi ini akan mempengaruhi loyalitas (media.proquest.com, 2006). Pola kepemimpinan yang diusung Joko Widodo-Basuki TP ketika harus menghadapi birokratnya juga memicu terjadinya loyalitas birokrat terhadap kepala daerah. Basuki TP memiliki pemikiran bahwa birokratnya pada dasarnya baik dan berhak didengar ekspektasinya, sehingga dirinya berpendapat bahwa menjadi penting melakukan pendekatan ke birorkat yang kurang perform. Metode pendekatan personal ini diterapkan oleh Joko Widodo dan Basuki TP dalam kasus Lurah Mulyadi pada Kelurahan Warakas yang menolak adanya seleksi terbuka sampai akhirnya Mulyadi mau mengikuti seleksi terbuka dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Perilaku untuk mencoba memahami ekspektasi birokrat lebih dalam dan melakukan pendekatan personal termasuk satu dari 15 cara yang dapat
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
dilakukan pemimpin untuk membangun loyalitas melalui budaya organisasi (America”s Community Banker, 2008). Indikasi terjadinya loyalitas secara proporsional dari birokrat terhadap kepala daerah di pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan hanya terlihat dalam konteks seleksi terbuka yang terkait dengan dimensi strive, akan tetapi juga pada kepuasan kerja dan dimensi say. Dimensi say adalah indikator pertama bahwa loyalitas telah terbangun yang memberikan penekanan pada perilaku birokrat yang memiliki kebanggaan terhadap badan atau biro dimana dia bekerja sampai merekomendasikannya kepada relasi atau rekanan (Pritchard, 2008: 2). Dimensi say erat kaitannya pada kepuasan kerja yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi loyalitas birokrat dalam karirnya pada konsep Shah (2011). Pihak birokrat memberikan gambaran bahwa citra pemerintah DKI Jakarta pada masa Joko Widodo-Basuki TP lebih baik. Citra positif terbentuk dari komitmen kepala daerah yang terlihat oleh masyarakat. Meskipun secara umum permasalahan DKI Jakarta belum terselesaikan, namun komitmen pemerintah dirasa meningkat. Hal ini membuat masyarakat lebih mengapresiasi birokrat DKI Jakarta sehingga lahir rasa bangga dan kepuasan akan pekerjaan sekaligus menimbulkan rasa percaya diri ketika berkumpul dengan keluarga masing-masing. Kondisi ini kemudian membuat birokrat lebih loyal terhadap visi misi kepala daerah karena visi misi tersebut membawa peningkatan positif pada status sosial birokrat sebagai aparatur negara dimata relasinya sehingga dirinya puas terhadap pekerjaannya. Pada konteks loyalitas birokrat, ketika loyalitas terhadap kepala daerah terbangun maka hal itu akan menjadi dasar bagi setiap tindakan yang diambil oleh birokrat dalam menjalankan tugasnya saat bekerja (Coughlan, 2005: 9). Pola loyalitas ini menjadikan loyal terhadap visi-misi kepala daerah memilki dampak terhadap kualitas kesesuaian pola kerja birokrat dalam menjalankan tugasnya terhadap visi-misi kepala daerah dalam melakukan pembenahan. Dinamika Loyalitas Birokrat Loyalitas merupakan dimensi etika hubungan yang tidak dapat dilepaskan dari konflik loyalitas. Keberadaan loyalitas tidak dapat dilepaskan dari masalah ketiadaan loyalitas (Souryal, 1999: 9). Dinamika loyalitas yang terjadi pada birokrat DKI Jakarta adalah friksi antara motivasi pribadi yang teragresi oleh manuver kepala daerah yang dilakukan untuk pembenahan. Karena sifat dari loyalitas yang menekankan pada pengorbanan dibandingkan dengan insentif, maka motif insentif personal dari birokrat akan menjadi sumber masalah dalam birokrasi. Birokrat DKI
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Jakarta yang memiliki masalah loyalitas terhadap program dan strategi kepala daerah rata-rata disebabkan oleh motivasi pribadi ketimbang karena mempertahankan kepentingan bersama. Pihak birokrat memaparkan bahwa birokrat yang berada pada level top management yang merasa sudah nyaman dengan jabatan dan posisi saat ini akan cenderung mempertahankan posisinya. Fenomena ini dapat dilihat semisal pada kasus kepala dinas yang dimaksud oleh pihak DPRD DKI Jakarta yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Kepala dinas ini memiliki performa yang kurang baik namun belum masuk daftar rotasi karena pandai bermanis-manis dengan kepala daerah, meskipun belakangan mulai muncul wacana untuk merotasi yang bersangkutan karena dinilai kurang inovatif. Selain itu terdapat satu kasus pada tingkat Lurah yang berusaha mempertahankan posisi namun dengan gaya yang lebih keras. Lurah Warakas yang resisten terhadap manuver pembenahan kepala daerah karena yang bersangkutan sudah menduduki jabatan Lurah di Warakas namun harus bersaing lagi pada seleksi terbuka, akan tetapi pada akhirnya yang bersangkutan tetap patuh terhadap sistem setelah dilakukan pendekatan personal oleh kepala daerah. Mempertahankan jabatan merupakan intensi atau motif pribadi dari birokrat. Hal ini akan menghambat strategi pembenahan jika dipertahankan secara negatif, karena akan melahirkan loyalitas yang salah arah atau bahkan absennya loyalitas. Dipertahankan secara negatif dalam artian motivasi mempertahankan jabatan tidak dibarengi upaya peningkatan kualitas layanan oleh birokrat dan tidak menjaga loyalitas terhadap kepala daerah sebagai bagian dari pemerintahan yang sah. Pada Pasal 23 poin h UU-ASN dikatakan bahwa birokrat harus bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk kesetiaan pada negara dan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Artinya jika seseorang birokrat memiliki intensi untuk mempertahankan posisinya agar terhindar dari rotasi maka birokrat tersebut sudah memiliki motif untuk menentang UU-ASN ini. Birokrat yang terindikasi mencoba melakukan pendekatan individual terhadap kepala daerah guna mempertahankan posisi terbukti tidak menghasilkan kinerja yang optimal. Birokrat semacam ini dapat dikategorikan sebagai birokrat yang kurang berprinsip, karena garis hierarki tidak seharusnya menyebabkan birokrat bersikap loyal tanpa syarat kepada kepala daerah secara personal. Birokrat perlu mengedepankan etika pemerintahan dan menegakkan peraturan yang ada. Tindakan birokrat yang memilih untuk mengambil keuntungan dari kepercayaan yang diberikan dapat dikatakan sebagai tindakan oportunis (Rose, 2011: 21). Keuntungan yang
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
dimaksud berupa rasa aman karena tidak masuk dalam daftar rotasi. Ketika upaya mempertahankan jabatan ini melahirakan determinasi yang berakibat pada peningkatan kinerja maka cepat atau lambat birokrat akan masuk kedalam dimensi strive, akan tetapi jika berkembang menjadi loyalitas yang tidak proporsional justru akan masuk kedalam zona oportunis yang tentunya akan menghambat kinerja birokrasi. Menariknya fenomena mempertahankan posisi ini lebih banyak terjadi pada birokrat tingkat atas yang terkena imbas bongkar pasang pejabat dan seleksi terbuka, sedangkan terdapat dinamika yang berbeda pada birokrat tingkat staf. Loyalitas birokrat pada tingkat staf terbangun karena faktor kedua dari faktor-faktor yang yang mempengaruhi loyalitas birokrat dalam karirnya dalam konsep Shah (2011) yaitu penanaman komitmen pada organisasi. Pihak birokrat yang berada pada tingkat staf mengatakan bahwa bagi mereka siapapun pimpinannya sudah sepatutnya birokrat DKI Jakarta menghargai, menghormati dan mengikuti pimpinannya selama masih di koridor yang tidak menyimpang. Sudah menjadi kode etik yang ditanamkan kepada birokrat bahwa loyal terhadap kepala daerah adalah faktor mutlak sebagai bagian dari tugas aparatur. Perilaku birokrat tingkat staf terkait loyalitas terhadap kepala daerah juga dipengaruhi oleh insentif kerja. Pihak birokrat pada tingkat staf menyelesaikan pekerjaannya memang karena sudah menjadi tanggung jawab, tidak memandang siapa kepala daerahnya, dan yang terpenting kinerja itu nantinya menentukan tunjangan kinerja daerah tiap bulannya yang menjadi motivasi kerja mereka. Dalam diri birokrat sudah tertanam komitmen pada birokrasi, dimana jika mereka mengikuti prinsip-prinsip dan sistematika didalamnya maka terdapat konsekuesi seperti mematuhi kepala daerah dan mendapatkan tunjangan-tunjangan dari pekerjaannya itu. Pihak birokrat DKI Jakarta juga menyampaikan bahwa sejak awal mereka menerima hasil keputusan pemilu yang memenangkan Joko Widodo-Basuki TP sebagai kepala daerah. Loyalitas yang terbangun pada birokrat tingkat staf mengacu pada dimensi stay. Dimensi stay memberikan penekanan pada kondisi birokrat untuk bertahan dalam birokrasi dalam jangka waktu yang lama (Pritchard, 2008: 2). Para birokrat di tingkat ini memiliki kecenderungan untuk bertahan dalam birokrasi bahkan sampai masa pensiun, berbeda dengan pada tingkat sekda misalnya yang mengundurkan diri dengan alasan ingin masuk keranah politik dan lain sebagainya. Penanaman komitmen terhadap organisasi menariknya lebih tercermin pada tingkat staf. Adanya orientasi kepentingan dan kekuasaan pada birokrat tingkat atas memang akan mempengaruhi loyalitas birokrat tersebut. Hal ini yang membuat birokrat pada tingkat atas
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
cenderung masuk dalam dimensi strive sedangkan birokrat pada tingkat staf cenderung masuk kedalam dimensi say dan stay. Penutup Berdasarkan analisis peneliti dalam penelitian kali ini, dapat disimpulkan bahwa loyalitas terhadap kepala daerah di pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dibagi kedalam tiga dimensi loyalitas. Loyalitas pada dimensi pertama yaitu say terbangun oleh citra positif pemerintah Provinsi DKI Jakarta oleh Joko Widodo-Basuki TP yang membuat birokrat memiliki kebanggaan dengan pekerjaannya. Loyalitas pada dimensi kedua yaitu stay terbangun oleh etika birokrat dalam birokrasi dan komitmen birokrat dalam menjalankan prinsip-prinsip birokrasi yang menempatkan loyalitas terhadp kepala daerah merupakan hal mutlak dalam birokrasi. Terakhir, loyalitas pada dimensi ketiga yaitu strive terbangun karena strategi-strategi perbaikan kualitas layanan yang dilakukan oleh Joko Widodo-Basuki TP mampu menimbulkan suasana positif yang memicu determinasi birokrat untuk meningkatkan kinerja. Berdasarkan ketiga dimensi tersebut loyalitas birokrat terhadap kepala daerah di pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat terbangun. Loyalitas birokrat yang terbangun berdasarkan tiga dimensi ini kemudian menjadikan kinerja yang positif di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hanya saja masih dalam tataran terbenahinya sistem internal secara bertahap dan belum terlihat secara umum oleh masyarakat. Permasalahan yang muncul dalam aspek loyalitas adalah intensi atau motif pribadi birokrat yang bersinggungan dengan manuver kepala daerah dalam melakukan pembenahan. Intensi pribadi ini misalnya keinginan untuk mempertahankan posisi yang dilakukan tidak pada koridor yang tepat. Loyalitas birokrat terhadap kepala daerah di pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada akhirnya menjadi konsep yang positif ketika diberikan secara proporsional dalam koridor sistem birokrasi, tidak bersifat personal, dan berdasarkan keinginan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Saran yang dapat diberikan peneliti setelah melakukan penelitian ini adalah, perlu adanya pemahaman bahwa loyalitas dalam organisasi publik seperti birorkrasi tidak boleh dilakukan dengan motif personal. Loyalitas harus dilakukan secara proporsional dan dilandaskan oleh hukum dan etika birokrasi yang sesuai. Penyebab loyalnya birokrat terhadap kepala daerah harus dilandaskan pada paradigma kepala daerah sebagai bagian dari pemerintahan yang sah bukan sebagai atasan secara individu. Karena sifatnya yang menuntut untuk memberikan kontribusi,
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
loyalitas terhadap kepala daerah akan menjadi baik ketika dilakukan tanpa ada intensi pribadi dan dilakukan secara proporsional.
Referensi America’s Community Bankers (2008). How To Build Loyalty. Washington: America’s Community Bankers. Ana Shofiana Syafitri. Joko Widodo Pangkas Birokrasi, Percepat Proses Perizinan di DKI. 19 Desember
2013.
ht://lipsus.kompas.com/gebrakan-Joko
Widodo-
Basuki/read/xml/2013/12/19/0648355/Joko Widodo.Pangkas.Birokrasi.Percepat.Proses.Perizinan.di.DKI Bauer, Nichole (2010). Sticking With It: How Loyalty Explains Political Party Identification. Spring: Y673 Conference Paper. Budi, Moh. Waspa Kusuma (2013). Kepemimpinan Kepala daerah Model Pendekatan Persuasif dan Dialogis. Metro: STISIPOL Dharma Wacana. Coughlan, Richard (2005). Employee Loyalty as Adherence to Shared Moral Values. University of Richmond. Deny Yuliansari. Resmi, Joko Widodo-Basuki TPPemenang Pilkada Jakarta. 29 September 2012. ht://www.antaranews.com/berita/335897/resmi-Joko
Widodo-Basuki-pemenang-
pilkada-jakarta Dina Berta. Q&A: Aboody: Great Leadership, positive work culture foster loyalty among employees.
27
Maret
2006.
ht://search.proquest.com/docview/229354835/E2EB7377575F4C42PQ/6?accounti d=17242 Fitri Prawitasari. LSN: Kepuasan Warga DKI Terhadap Kinerja Joko Widodo Menurun. 9 Februari
2014.
ht://megapolitan.kompas.com/read/2014/02/09/1335331/LSN.Kepuasan.Warga.D KI.terhadap.Kinerja.Joko Widodo.Menurun Karagiannis, Nikolaos, dan Zagros Madjd-Sadjadi (2007). Modern State Intervention in The Era of Globalisation. Cornwall: MPG Books Ltd. Krause, George A., David E. Lewis, dan James W. Douglas (2006). Political Appointment, Civil Service, System,and Bureaucratic Competence: Organizational Balancing and
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014
Execute Branch Revenue Forecasting The American States. American Journal of Political Science. Luhur.
Inilah
Masalah
Utama
DKI
Jakarta.
27
April
2012.
ht://infografis.kompas.com/read/2012/04/27/224049/Inilah.Masalah.Utama.DKI.Ja karta Nurul Julaikah. Dari 43, Baru 4 SKPD Pemprov DKI Yang Melaporkan Dana CSR. 15 Agustus 2013.
ht://www.merdeka.com/jakarta/dari-43-baru-4-skpd-pemprov-dki-yang-
melaporkan-dana-csr.html Pritchard, Kate (2008). Employee Engagement In The UK: Meeting The Challenge In The Public Sector. Bradford: Emerald Group Publishing. Republik Indonesia. (2014). Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Rose, David C. (2011). The Moral Foundation Of Economic Behavior. New York: Oxford University Press, Inc. Shah, Naimatullah (2011). Investigating Employee Career Commitment Factors In A Public Sector Organization Of Developing Country. Sindh: University Of Sindh. Souryal, Sam S. (1999). Personal Loyalty To Superiors In Criminal Justice Agencies. Academy of Criminal Justice Sciences. Yuliani, Sri (2003). Netralitas Birokrasi : Alat Politik Atau Profesionalisme ? Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret Zdaniuk, Bozena, dan John M. Levine (2000). Group Loyalty: Impact Of Members’ Identification And Contributions. University of Pittsburgh.
Loyalitas birokrat terhadap..., Henov Iqbal Assidiq, FISIP UI, 2014