LOVE WITH THE RAINBOW ~PROLOGUE~ Perkenalkan, namaku Rina, dan biasanya teman-temanku sering memanggilku Rin. Aku berjalan di pagi hari yang sejuk. Suara sepatu yang berjalan dengan terburu-buru, raungan sepeda motor, klakson mobil yang kesal terjebak macet, semuanya kudengar dengan jelas. Sungguh, aku merasa pagi hari sebenarnya bisa dinikmati dengan cara yang lebih tenang dibandingkan dengan semua kebisingan ini. Rasanya, aku ingin pindah kota saja. Terkadang, meski sepeda sudah diberi jalur sendiri, aku masih suka nyaris ditabrak motor yang seringkali ugalugalan sampai rela menerobos jalur khusus sepeda. Berkat kejadian itu, aku berhenti memakai sepeda dan sering mengawali aktivitasku dengan menaiki bus. Dan di sinilah aku, sedang berdesakkan dengan penumpang bus yang sangat padat. Perjalanan ke kampus setiap harinya selalu menjadi alasan besar kenapa aku selalu malas bangun pagi terutama saat ada kuliah pagi, dan dimulainya tepat jam tujuh! Serius, aku dan teman-temanku sering sekali mengeluh kalau kami bukan anak SMA lagi, jadi untuk apa memakai jadwal yang menurutku kepagian itu? Aku hari ini baru memulai tahun kedua di perkuliahan. Bisa dibilang, masih masa transisi. Masa-masa di mana aku akhirnya bebas dari ospek oleh para senior, dan menjadi senior baru! Jurusanku, Sastra Inggris, dikatakan selalu saja memiliki satu orang yang paling tampan di tiap angkatan. Teman-temanku bilang, ketampanan keempat orang tertampan di jurusanku itu mewakili bagaimana ciri khas angkatan mereka masingmasing. Ah, tapi alasanku memasuki Sastra Inggris bukanlah karena itu. Ya, tujuan, mimpi, dan cita-citaku selama ini adalah membuat debut novel, lalu pergi belajar sastra ke New York! Hehe, bisa dibilang mimpiku ini sangat besar, jadi aku tak terkejut kalau butuh waktu yang lama untuk mewujudkannya. Dan demi bisa pergi ke New York, serta menerbitkan novel, aku harus belajar banyak linguistik dan tata bahasa lainnya! Saat ujian penerimaan, aku mendaftar ke berbagai jurusan bahasa, dan entah kenapa untuk beberapa alasan, aku diterima di Sastra Inggris. Tak masalah buatku! Selama aku masih bisa mewujudkan mimpiku, aku akan selalu berusa— JPRET! “Eh?” aku menoleh ke belakangku di mana suara misterius tadi berasal. Saat aku menoleh, aku menemukan seorang lelaki berkacamata hitam, berkaos oblong putih dan berjaket hitam tengah memotret seorang gadis secara mendetail menggunakan kamera ponselnya tanpa izin! Hey, itu kriminal! Dia menepuk bahuku, dan jelas dia berusaha bicara padaku. Di tengah suasana bus yang padat dan sumpek itu, lelaki itu berkata, “Kau lihat gadis yang di depanmu?” “Hm?” pria itu menunjuk ke arah gadis di depanku yang tengah berpegangan pada salah satu kursi bus agar tidak terjatuh. Dia adalah gadis yang sedari tadi dipotret tanpa izin oleh pria ini. Dia menyuruhku melihatnya, lalu apa? Tanpa kusadari, pria berkacamata itu akhirnya mengatakan, “Tidakkah menurutmu … itu cukup … menarik?” “Menarik?” apa yang orang ini bicarakan? “Aku ingin sekali memotretnya lebih dekat lagi untuk referensi, tapi aku bisa dihajar massa saat ini juga.” “A-apa maksudmu? Referensi apa yang kaubicarakan?!”
Merasa bahwa orang ini adalah penguntit kelas kakap, maka aku langsung merebut ponselnya yang tengah menampakan foto gadis tadi yang sudah diambil. Aku harus segera menghapusnya demi kebaikan gadis itu! Namun, tiba-tiba bus berhenti di salah satu halte. Beberapa orang mulai turun secara tertib dari bus. Hanya saja, entah nasib sial apa yang menghampiriku, ada salah seorang penumpang bus yang berada di sampingku secara tidak sengaja melihat foto gadis itu yang tengah kugenggam. Kontan orang itu berteriak, “Waaah! Ada penguntit di sini! Kau tak boleh mengambil foto orang lain tanpa izin!’ “Hah?!” aku terbelalak karena pandangan semua orang tiba-tiba tertuju ke arahku, “B-bukan aku! Bukan aku yang mengambil—“ “Nona muda, lain kali hati-hati ya! Perempuan ini mengambil fotomu tanpa izin! Bagaimana kalau digunakan untuk hal yang tidak baik?!” Sementara itu, gadis yang sedari tadi kami bicarakan juga sepertinya bersiap untuk turun dari bus. Namun, karena merasa terpanggil oleh suara salah seorang penumpang, dia menoleh ke arahku—terutama pada ponsel yang sedang menampakan fotonya—dan dia reflek terbelalak. “Kyyaaa!!” dia pun dengan wajah merah padam langsung melihatku, “D-d-d-d-dasar penguntit lesbi!! Aku tak suka dengan hubungan sesama jenis!!” Dan dia turun begitu saja dari bus. Lalu kejadian itu berakhir dengan pandangan beberapa penumpang yang terlihat jijik kepadaku. Apa-apaan itu?! Seharusnya dia berterimakasih padaku! Aku sudah menyelamatkannya dari tindak kriminal! Karena aku tidak mau terlibat lagi, aku buru-buru memberikan kembali ponsel terkutuk itu pada pemiliknya lagi. “Pfft..” “Apa?!” aku menatap galak pada laki-laki di belakangku ini. Cih, dia kelihatan puas sekali! “Haha, tak kusangka malah kau yang dianggap penguntit.” “I-itu juga salahmu! Kalau kau tak melakukan apapun pada gadis itu, aku juga tak akan ikut campur!” “Ya seharusnya kau diam saja dan nikmati foto yang baru saja kuambil dari angle terbaik itu. Semua aman, ‘kan?” “Kau ini, dasar otak kot—“ “Ow, tunggu. Aku tak suka dibilang otak kotor, karena aku ini sebenarnya tidak sekotor itu.” Dan tanpa kami sadari, setelah melalui percakapan panjang dan melelahkan itu, kami tiba di halte, dan ternyata kami turun di tempat yang sama. Tak lama, aku melihat lelaki tadi pergi meninggalkan halte menuju ke kampusku. Oh, dia satu universitas denganku ya? Hm! Sebaiknya aku hindari dia mulai saat ini! Aku tak mau dicap sebagai lesbian lagi! “Hah…” tanpa kusadari, di awal pagi ini, aku sudah menghela nafas. Rasanya, aku lelah sekali. “Oh, pagi Rin!” “Hm?” seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh, dan langsung kukenali wajah dan suara itu. “Kita ke kelas bersama, ya?” “Tentu!”
Pria ini bernama Alvin Pranaja. Dia adalah teman satu angkatanku, dan dia orangnya sedikit moody. Terkadang dia ceria, dan terkadang dia sering diam dan muram. Kadang, ketika dia diam dan muram, aku tak pernah berani bertanya kenapa alasannya. Aku rasa, itu agak tidak sopan. Oh, dan dia juga salah satu mahasiswa dari angkatan kami yang konon katanya merupakan pria paling tampan. Aku jadi penasaran, tiga dari angkatan sisanya kira-kira siapa ya? Para senior pasti memiliki wajah lebih dewasa, dan aku tidak sabar seperti apa mahasiswa baru yang mulai belajar bersama dengan kami hari ini. Hari pertama kuliah, pasti sering sekali berdebar. Mengharapkan sebuah lembaran cerita baru yang indah. Tapi seingatku, semasa aku ospek dulu, aku tidak mengawalinya dengan hari yang indah. Kenapa? Karena aku terlambat dan datang ke kelas dengan berlumuran lumpur ulah pengendara motor yang ugal-ugalan saat aku naik sepeda. Aku harus ditertawakan senior dan teman-teman satu angkatan. Ah, hari itu memalukan sekali. “Hei.” “……” “Hei Rin!!” “Oh!” “Kenapa kau? Dari tadi melamun!” “Oh, m-maaf … aku … hanya sedang memikirkan bagaimana para mahasiswa baru di hari pertama mereka kuliah.” “Ah, jadi teringat masa lalu ya? Haha, tak terasa kita juga sekarang sudah senior!” “Kau benar. Targetmu tahun ini apa, Alvin?” “Target ya? Ah, sesungguhnya aku belum benar-benar memikirkan target tahun ini. Aku sendiri juga belum tahu, untuk tujuan apa aku memasuki Sastra Inggris.” “……” Mungkin, mungkin hanya perasaanku saja, tapi sekilas aku merasa Alvin agak muram saat mengatakannya. Ah, lagipula, dia memang moody. Dia pasti sensitif dengan pembicaraan seperti ini. Mungkin, sebaiknya aku tak bertanya lagi. “Ah, benar juga!” Alvin tiba-tiba berteriak. “A-ada apa?” kakiku yang hendak menaiki tangga kontan berhenti. “Aku harus mengembalikan buku yang kupinjam ke temanku di Sastra Jerman! Maaf! Kau duluan saja, nanti aku menyusul ke tempat pertemuan!” “O-oh .. baiklah..” Dan diakhiri dengan itu, Alvin berlari kencang menuju koridor jurusan Sastra Jerman. Ah, apa aku belum bilang? Hari ini ada pertemuan kelas kami bersama dosen wali. Kalau di SMA, bisa dibilang ini homeroom. Tapi karena kami tak suka disamakan dengan anak SMA, makanya kami menyebutnya pertemuan. Aku tahu kata ‘pertemuan’ itu cukup klise, dan bisa memberikan banyak arti. Karena itulah, kami lebih memilih kata ‘pertemuan’. “Anu, permisi!”
“Hm?” aku menoleh ke atas tangga, dan seorang laki-laki terlihat berdiri dengan bingung, “Ada apa?” “A-anu … kelas 1-A di mana ya?” “1-A? Err, bisa kau katakan nama ruangan persisnya?” “Oh, ruang 3B273!” “3B? ah, itu ada di lantai ini kok. Kebetulan, kelasku juga di lantai 3 ini.” “Oh, begitu. Terimakasih! Maaf merepotkan!” Lalu pria itupun pergi. Dia cukup sopan. Apa dia mahasiswa baru ya? Karena dia tidak tahu letak kelasnya sendiri. Oh iya, dia bilang ‘kan dia 1-A! Jelas dia mahasiswa baru! Hee, dia lumayan juga. Tunggu!! Apa yang kupikirkan?! Aku bisa terlambat ke kelas kalau melamun terus! Sebaiknya aku cepat! *kemudian* Akhirnya, aku berhasil sampai di kelas meski nyaris terlambat. Kelasnya dimulai lima menit lagi, dan kurasa aku masih ada waktu untuk mengambil nafas. “Pagi! Tidak biasanya kamu terlambat?” “Hai, Asmi!” Gadis ini adalah temanku. Namanya Asmi. Dia sangat ceria, dan dia juga feminim sekali. Banyak yang bilang, bahwa dia adalah perempuan tercantik dari angkatan kami. Banyak juga senior yang jatuh hati padanya. Bahkan, ada beberapa yang rela menyatakan cinta padanya, tapi dia tolak dengan alasan dia lebih suka berteman. Haha, alasan yang sungguh klasik. “Kau terlihat lelah, kau baik-baik saja?” tanya Asmi padaku. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit dihadang oleh mahasiswa baru yang bertanya kelasnya.” “Oh, seperti apa rupanya? Apa dia tampan?!” “Hmm, aku tak yakin, tapi menurutku dia lumayan…” “Cih, kau selalu memberikan pendapat yang tengah-tengah! Lumayan, lumayan, dan lumayan! Apa kau ini tak suka laki-laki?” “A-aku normal!!” “Whoa, reaksimu berlebihan sekali dari biasanya..” “Maaf … aku habis diejeki lesbi oleh seorang gadis di bus tadi…” “Hah?!” “Ugh, kumohon, aku tak mau mengingatnya lagi…” “Aneh sekali kau ini…” Di saat kami sedang mengobrol, tiba-tiba ada salah satu senior memasuki kelas kami. Dia terlihat menghampiri salah satu teman sekelasku yang bernama Kiki. Seniorku yang bertubuh tinggi ini sekarang duduk di tahun terakhir perkuliahan, namanya Aditya. Banyak yang suka memanggilnya Kak Adit, karena Aditya
terlalu panjang. Dan dia juga terlihat ramah, sosoknya seperti seorang Kakak bagi kami para adik kelas. Dan akibatnya, dia dinobatkan menjadi pria tertampan di angkatannya. Setelah ia selesai berbicara dengan Kiki, dia pun hendak meninggalkan kelas kami saat ia menyadari dosen wali sudah berdiri di depan pintu. Sayup-sayup, aku juga mendengar suara langkah kaki Alvin yang memasuki ruangan. Syukurlah, dia tepat waktu. Sebelum pergi, Kak Adit terlihat menatap kami semua dari depan kelas, lalu melambaikan tangannya sambil berjalan keluar. Akibatnya, suara ‘Kyaaaa!’ banyak sekali terdengar. Ah, sungguh …. aku tak habis pikir apa dia melakukannya karena dia sangat percaya diri dengan gelarnya, atau karena dia memang ‘prianya para wanita’. Tak lama kemudian, pertemuan—atau homeroom—dimulai, “Bapak akan memberikan beberapa informasi hangat yang baru datang dari jurusan pagi ini.” “Informasi hangat?” gumamku penasaran. “Jurusan sudah memutuskan bahwa beasiswa menuju New York sudah ada dan bisa diambil.” “Waaah!!” ini benar-benar informasi hangat!! “Tetapi, agar bisa mendapatkan beasiswa studi di New York ini, ada syarat yang dibutuhkan. Syaratnya adalah, dalam jangka waktu satu semester ini, kalian harus bisa menerbitkan sebuah novel sebagai bukti dari prestasi kalian semasa perkuliahan.” “Menerbitkan sebuah novel?!” “Genrenya bebas, apapun itu, yang penting novel terbaru. Dan tentu saja, saingan kalian tidak hanya teman-teman satu kelas kalian saja, tapi juga adik tingkat dan kakak tingkat kalian. Kakak tingkat yang lebih senior mungkin memiliki peluang lebih tinggi karena pengalaman, tapi kalian sebaiknya jangan mau kalah!” “Baik!” “Dan satu lagi, ada yang harus kalian perhatikan! Ini adalah empat saingan utama kalian demi mendapatkan beasiswa ke New York!” dosen pun mulai menunjukkan gambar dari empat orang lewat proyektor, “Pertama, adik tingkat kalian, sekaligus mahasiswa baru di jurusan kita. Namanya Kevin Andreas. Meski masih sangat muda, dia sudah menerbitkan dua buku semasa dia SMA. Jadi, pengalaman menulisnya pasti sudah memenuhi standar.” “Dia ‘kan yang tadi kutemui di tangga!! Jadi dia mahasiswa baru jurusanku!?” “Kedua, ada teman satu angkatan, serta teman satu kelas kalian di sini, Alvin Pranaja. Kau sudah menerbitkan tiga buku, apa aku benar?” “O-oh … benar…” Alvin terlihat agak gugup menjawabnya. Aku tak pernah tahu kalau Alvin ternyata berpengalaman menulis novel! “Selanjutnya, mahasiswa ketiga, bernama Reksha Arnindito. Dia adalah senior kalian di tingkat tiga, dan dia sudah menerbitkan lima buku sampai sekarang.” Aku terbelalak melihat wajah yang ingin kuhindari di layar proyektor. Si laki-laki berotak kotor yang tak mau dikatai otak kotor itu ternyata dari jurusanku?! Dan dia senior!! Dan dia sudah menerbitkan banyak buku!! Dan dia sekarang menjadi sainganku mendapatkan beasiswa ke New York! Aaakkk!!
“Yang terakhir, pria yang baru saja meninggalkan kelas kita tadi. Senior kalian di angkatan tertua, Aditya Gallio. Dalam catatannya, dia sudah menerbitkan delapan buku hingga saat ini. Dan beberapa juga ada yang sudah mendapatkan penghargaan.” Whoa, mereka semua orang-orang yang hebat ternyata. Karena di samping mereka, kami semua belum pernah ada yang membuat debut sama sekali. Itu artinya, sebentar lagi kelas ini, ah tidak, bahkan koridor jurusan ini akan menjadi medan pertempuran bagi kami semua! Karena yang dipilih untuk berangkat tentu saja hanya satu orang. “Baiklah, pengumuman selanjutnya, adalah…” dan seterusnya, homeroom alias pertemuan itu berlanjut. *skip time* Sudah jam makan siang. Sebaiknya aku istirahat dulu di taman sambil menenangkan pikiranku. Asmi dan yang lain mengajakku ke kantin, tapi aku sedang tidak mood hari ini. Mendengar saingan untuk mendapatkan beasiswa itu sangat berat, serta syarat yang harus ditempuh juga sangat sulit, mana ada aku waktu untuk bermalas-malasan? Aku harus bisa! Kesempatan ini tak mungkin kubiarkan lari begitu saja! Karena tahun depan, mungkin program ke New York ini sudah tidak ada lagi dan diganti dengan tempat yang berbeda, bukan? Daripada aku sibuk makan di kantin, lebih baik aku belajar atau mencoba mencari inspirasi untuk membuat novel pertamaku. Aku pun memutuskan untuk duduk di pinggir kolam ikan sambil memperhatikan ikan yang berenang dengan santai. Setelah merasa tenang, aku membuka laptop dan memandangi layar dokumen yang masih kosong itu. Ah, mungkin menulis dengan perut kosong bukanlah ide yang bagus. Seharusnya aku ke kantin dulu tadi. Ah tidak! Aku sudah berjanji akan mulai berusaha! Oh, aku tahu! Mungkin aku bisa membaca salah satu novel yang diberikan kakakku sebagai sumber inspirasi. Aku pun mengambil empat novel dari dalam tasku. Semua novel ini adalah rekomendasi kakak yang seorang jurnalis. Jadi aku yakin, pilihannya pasti tepat! Dari keempat novel ini, semua pengarangnya memakai nama pena yang unik-unik. Seperti Akairo, Kiro, Midoriro dan Aoiro. Masing-masing artinya merah, kuning, hijau dan biru. Memangnya pelangi, hah?! Tapi, kenapa nama mereka semua seolah seperti terhubung satu sama lain seperti ini ya? Rasanya mereka seperti ingin menciptakan pelangi itu sendiri dengan karya mereka melalui novel. Seolah, mereka ingin memberitahukan pada pembacanya bahwa keempat nama pena ini tak bisa dipisahkan. Dan memikirkannya, aku jadi merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatiku. Pasti keempat orang ini bersaudara atau semacamnya. Karena kalau digabungkan seperti ini, mana mungkin menjadi warna dasar pelangi secara kebetulan, bukan? Melihat keempat novel di tanganku, aku pun memutuskan untuk membaca satu buku. Meski saat itu, aku tak pernah tahu bahwa ternyata itu akan menjadi permulaan dari kisah hidupku yang baru. Aku yang awalnya berpikir bahwa alasanku berada di dunia tulis menulis hanyalah untuk membuat debut, perlahan mulai berubah seiring dengan banyaknya pertemuan yang kualami. Bersambung…