DEAR FRIEND WITH LOVE
Catching Up Karin Loving someone who doesn’t love you back is such a hell on earth. Especially when you can’t even show your love for the sake of friendship. Oh, or maybe you need that friendship for the sake of your love? Whatever. All you can do is waiting him/her to love you back. All I can do is waiting him to love me back. Dan untuk perempuan berumur 25 tahun lebih dua bulan seperti aku, hal ini tentu bukan perkara mudah. No, bukan karena aku gak sabar 2
menunggu dia bisa cinta sama aku, tapi karena aku tinggal di Indonesia Raya yang penuh dengan tante-‐tante rese yang hobi menanyakan “kapan nikah” dan berujung dengan heboh menjodohkanku sana sini saat tahu aku single. Mereka selalu bilang, “jangan terlalu pilih-‐pilih!” Helloooo, beli dondong saja milih, apalagi cari suami. Duh. Lagipula kalau aku memang mau, aku yakin aku bisa mencari pasangan sendiri, jadi seharusnya para tante itu gak perlu repot-‐repot mencarikan jodoh untukku. Buktinya sekarang. Saat aku keluar dari mobil, sentuhan make up tipis di wajahku sudah cukup membuat pria-‐pria yang duduk di smoking area starbucks TIS Square memandangku dengan wajah mirip kucing kelaperan yang nemu ikan asin. Norak. AC dingin starbucks menerpa wajahku ketika aku membuka pintu masuk. Aroma kopi yang semerbak langsung memanjakan hidungku. Pandanganku tertuju ke sudut ruangan dimana ada seorang pria tampak serius di depan macbook pro-‐nya. Aku mendeketi pria itu sampai alisnya yang tebal, matanya yang teduh, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang seksi kini tampak jelas.
3
“Tuyul!” seru pria itu ketika melihatku sudah berdiri di hadapannya. Perkenalkan, my hunny bunny sugar pie, Rama. Rama Adrian, lengkapnya. My lovely love. But sadly, I’m not his love. I’m his forever best friend! Rama Seperti biasa, Karin muncul dengan bajunya yang aneh-‐aneh. Dia bilang, sebagai pemilik sebuah fashion line terkemuka di Jakarta, dia wajib tampil gaya dengan pakaian aneh-‐aneh supaya terlihat fashionable. Yeah, I have to admit sih, si Karin ini pakai baju seajaib apapun pasti tetap terlihat modis. Gue curiga karung beras pun kalau dia yang pakai akan terlihat keren. “Apa kabar lo? Sibuk banget sih kayaknya. BBM gue sampe jarang dibales gitu,” Karin langsung merepet ketika duduk di sofa depan gue. Yeah, kalau gak cecuitan –is this even a word?-‐ kayak burung, bukan Karin namanya. “Iya nih, stasiun TV gue lagi banyak project baru, 4
jadi sibuk gini gue.” Kepala Karin mengangguk-‐angguk seperti boneka per yang biasa dipasang di mobil. Gue yakin sih dia gak tertarik untuk mendengar lebih detail. Nonton TV saja dia jarang banget. Baginya iPad yang selalu terkoneksi dengan internet is more than enuff. She’s such a geek. “Eh, gue ada cerita!” kata gue setelah menyeruput double espresso gue yang sudah agak dingin karena kelamaan nunggu dia. “Apa?” “Gue lagi deket sama cewe!” As always, Karin langsung pasang muka males setiap gue cerita tentang cewe, “Siapa lagi korban lo kali ini?” tanyanya. “Gigi lo korban! Another wanita beruntung tau,” kata gue yang pastinya langsung disambut cibiran Karin, “Dia model. Gue ketemu di kantor.” “Model lagi? Halah, paling 3 bulan putus lagi.” 5
“Enggak. Kali ini beda. Dia baik banget!” Karin hanya memonyongkan bibirnya sambil memutar matanya. Ya ya ya, dia pasti sudah bosan mendengar cerita gue tentang perempuan A, perempuan B, perempuan C, dan seterusnya. Untung masih perempuan semuanya. “Namanya Astrida. Cantik banget,” Lanjut gue. “Astrida Irsyad?” “Iya! Lo kenal? Temen lo? Kok lo gak pernah cerita punya temen cakep gitu?” Karin menggelengkan kepalanya, “cuma pernah ketemu waktu gue nganter wardrobe ke Fame Magz. Waktu itu dia modelnya.” “Oh. Cantik banget ya si Cicit!” “Cicit? Panggilan kesayangan baru? Kayak tikus deh. Cicit Cicit Cicit.” Karin membuat mimik dongo sambil memutar kepalanya ke kanan dan kiri dengan mata melihat ke lantai seolah sedang memanggil tikus. Aneh banget memang sahabat 6
gue satu ini. Anyway, memang penting buat gue untuk selalu punya panggilan special ke cewe yang sedang jadi target gue. Alasannya simple: To be remembered, you have to do something different than others. Tapi entah kenapa Karin gak pernah bisa mengerti teori brilian gue yang satu ini. “Gila, gue mau mimisan tiap liat dia saking cantiknya,” kata gue tanpa mempedulikan Karin yang masih sibuk cari tikus di lantai. “Ah, lo sih kambing dibedakin juga cantik!” kata Karin asal. “Tuyul!” pengen gue lempar asbak si Karin ini. Tanpa rasa bersalah si tuyul satu ini malah asik cekikikan. Dia tahu gak sih gue lagi curhat serius? Eh, sepertinya ada yang beda dengan tawanya hari ini. Astaga, dia baru pasang kawat gigi. Well, dengan berat hati gue harus akui si sinting ini wajahnya jadi tambah imut dengan kawat gigi warna warni itu. Pasti setelah ini akan tambah banyak cowo yang antri jadi pacarnya. Should I 7
take the number as well? Cih. Gak sudi. Tapi dari sekian banyak cowo yang rela terjun ke jurang untuk jadi pacarnya, gue heran kenapa gak ada satupun yang dipilih. Setiap kali gue tanya tentang hal ini, jawabannya selalu sama: mau nunggu dudanya Prince William. Mimpi aja lo, Karina Larasati. Atau jangan-‐jangan dia sebetulnya lesbi? Kenapa baru sekarang gue kepikiran kemungkinan ini ya? Karin Again and again. Aku cuma jadi tempat sampah Rama cerita tentang para wanitanya yang gonta-‐ ganti itu. Dan dia antara sekian banyak perempuan yang pernah dia jadikan pacar, why is it never me? And look at me now. Sitting here, getting my heart broken, but still giving him my bestest smile.
8