LOVE WITH THE RAINBOW ~BLUE COLOR FROM THE RAINBOW~ *beberapa hari kemudian* Konflik yang kujalani bersama Alvin telah usai, dan semua situasi kembali normal. Mencoba mencari ketenangan kembali setelah sekian lama, aku kembali duduk di pinggir kolam ikan di kampus. Berusaha mencari inspirasi lagi, aku memandang keempat buku yang ditulis oleh The Rainbow. Aku sudah membaca buku milik Kevin yang bernama pena Akairo, yang isinya penuh sekali dengan kisah cinta yang romantis. Aku juga pada akhirnya berhasil membaca tuntas buku milik Alvin dengan nama pena Midoriro yang bercerita tentang aksi dan petualangan dalam dunia militer. Tinggal dua buku yang belum kubaca, yakni milik Aoiro dan Kiro. Setelah berpikir sejenak, aku pun mencoba membuka buku karangan ‘Aoiro’. Warna bukunya sangat cerah, yakni biru langit. Ah, pasti ini menceritakan tentang kisah anak-anak, atau mungkin kisah tentang sebuah percintaan di sekolah yang menggemaskan. Kyaaa, aku mungkin akan langsung jatuh cinta pada penulisnya! Apalagi, warna biru selalu menggambarkan ciri khas dari sebuah masa muda! Wah, belum membukanya saja sudah membuatku deg-degan! Pasti isinya menarik sekali! Lalu, aku pun membuka halaman pertama dari chapter pertama. Kemudian, kata-kata yang pertama kali kubaca adalah …. s-sebuah …. sebuah …. d-desahan….?! A …… A ………. A ……….. APA-APAAN NOVEL INIIIII?! JPRET! “Eh?” Seketika, aku merasakan sebuah sinar kamera di sampingku, lalu aku melirik pada orang yang sepertinya memotretku diam-diam tersebut. Ia ternyata adalah….. “AAAH! KAK REKSHA SI OTAK KOT—“ “Aku tidak berotak kotor.” Ya, ternyata dia adalah Kak Reksha Arnindito. Seniorku di angkatan ketiga dan KATANYA termasuk lelaki tertampan di angkatannya juga. Ditambah lagi, dia adalah penulis yang sudah menerbitkan lima buah buku. Dia juga … sainganku dalam mendapatkan beasiswa ke New York. Aku tidak percaya dia memotretku! Sambil melihat hasil tangkapannya di kamera, dia terlihat memasang wajah serius dan mendalami. Ah, lagipula untuk apa dia memotretku? Apa jangan-jangan aku mulai mendapatkan daya tarik tersendiri hingga— “Mungkin ini cocok….” “Eh?” apa maksudnya cocok? “Gadis yang terlihat polos tapi diam-diam membaca novel dewasa di tempat yang sepi. Ditambah lagi, dia terus memperhatikan kalimat desahan itu dengan serius. Sungguh …. luar biasa! Bisa menjadi tema yang penuh gairah!”
“Jangan sembarangan mendeskripsikan foto orang lain!! Dan kau tidak perlu membuat ekspresi dengan gaya seksi yang sama!!” “Tapi kau sendiri juga melakukannya. Dasar otak kotor.” “Aku tidak berotak kotor!! Tunggu, kau sendiri juga otak kot—“ “Aku tidak berotak kotor. Harus kubilang berapa kali? Aku melakukan semua ini sebagai referensi.” “Re-referensi apa yang kau maksud?” “Bukan urusanmu.” dia kemudian berjalan meninggalkanku, namun sebelum ia benar-benar pergi, dia pun berbalik dan bertanya padaku, “Kau…” “Hm?” “Begini, apa kau …. tertarik dengan fotografi?” “Iya!” “………….” “K-kenapa?” “Tidak ada. Aku pikir kau lebih pantas jadi sebaliknya…” “S-sebaliknya? Apa maksudmu, Kak Reksha?” “Reksha.” “Eh?” “Panggil aku Reksha. Aku benci formalitas. Aku selalu ingin memberitahumu, tapi selalu lupa.” “B-baiklah …. K-Kak Reksh—” “Sudah kubilang panggil aku Reksha, dasar tuli!” “O-oh! M-maaf Reksha!” Ia tersenyum, lalu kemudian pergi berlalu begitu saja bersama kameranya. Reksha, eh? Entah kenapa, aku merasa canggung jika memanggilnya Reksha begitu saja. Apalagi, kami jarang berbicara satu sama lain. Kenapa dia sebegitu bencinya pada formalitas? Apa dia enggan menjadi sosok yang disegani seperti senior? Kalau iya, bisa kusimpulkan itu salah satu sisi baik dari dirinya. Yah, lagipula aku dan Reksha hanya beda satu tahun, jadi kurasa bukan masalah. “Selain itu…” aku kembali memandang novel berwarna biru di tanganku ini. Dia memotretku ketika aku sedang syok dengan kalimat pertama chapter ini. Ah, memalukan sekali! Aku harus bisa membuatnya menghapus foto itu, atau dia akan menjadikannya bahan untuk mengancam diriku! Tapi….
Apakah Reksha mungin melakukan semua itu? Tidak, meski dia berotak kotor, aku yakin dia tak sejahat itu. Kukira, pemikiranku ini benar….. *esok harinya* … tapi ternyata……. “Ikut denganku sore ini, atau aku akan sebarkan fotomu yang kemarin.” “…………………….” Dia berdiri di depanku. Di depan kelasku. Disertai wajah kejamnya dan seringainya yang begitu menyebalkan dan menyeramkan. Jahat… KUTARIK KATA-KATAKU LAGI!! DIA JAHAT SEKALI!! “A-a-a-a-apa maksudmu?! Aku tidak mengerti!! Kenapa aku harus ikut bersamamu sore nanti?!” “Kenapa? Karena kau harus membantuku.” “Memangnya APA yang harus kubantu?! Dan kenapa harus AKU?!” “Karena kau perempuan berotak terkotor yang pernah kutemui.” “Apa?!” “Bersamamu, aku yakin bisa pergi ke New York dengan mudah. Hm hm.” Kenapa dia mengangguk penuh percaya diri begitu?! Lagipula, masih ada yang belum kuketahui, jadi aku memutuskan untuk bertanya, “Memangnya kau mau mengajakku ke mana sore ini?” Dia tersenyum, “Ke kamarku.” “………….” “Ke kamar—“ “KAU TIDAK PERLU MENGULANGINYA!!” “Aku takut kau tidak mendengarnya, karena setahuku kau tuli.” “Aku tidak tuli!” “Oh, benarkah? Berarti…” tiba-tiba Reksha mendekatiku, lalu berbisik di telingaku, “Suara sekecil ini pun …. masih bisa kau dengar?” “………!” oh tidak, aku bisa merasakan nafasnya di telingaku! Ah Tuhan, aku merasa jantungku berdegup kencang sekali! JPRET!
“Eh?” aku kaget saat ia tiba-tiba memotretku lagi. Namun kali ini dengan ponselnya. “Hm…” Reksha terlihat melihat gambarku dengan serius. Entah kenapa, tapi setiap habis memotret, dia selalu memasang wajah itu. Kupikir, dia akan memasang wajah kegirangan penuh hawa nafsu. Tapi …. dia berbeda dengan lelaki yang seperti itu. Apakah gambar itu benar-benar dia jadikan referensi untuk sesuatu yang sebenarnya baik? “He-hentikan melihat fotoku terus! Apalagi, itu pose yang memalukan!” “Kau ini punya berbagai ekspresi yang menarik…” “Eh?” “Tunjukkan lagi padaku semuanya sore ini.” “A-apa?!” “Akan kupastikan kau ikut bersamaku sore ini. Akan kutangkap kau bahkan jika kau melarikan diri ke luar negeri. Karena kau tahu?” Reksha membelai ujung rambutku, lalu menciumnya, “Mulai hari ini …. kau adalah milikku.” “…….!” “Baiklah.” Reksha akhirnya melepaskan rambutku dan kemudian pergi berlalu menuju kelasnya, “Sampai jumpa nanti sore!” “………..” Sedangkan aku hanya bisa berdiri di ambang pintu dan terus memegang dadaku yang berdegup semakin kencang. Kehangatan jemarinya di rambutku, serta nafas dan suaranya yang berat masih bisa kudengar jelas di telingaku. Ugh, sekarang aku akui, dia memang cocok jadi lelaki tertampan di angkatannya. Dia … sangat mempesona! *sore harinya* Aku dan Asmi baru saja selesai kuliah dan kami tengah asyik mengobrol sambil membereskan buku ke dalam tas. Seperti biasa, dengan wajah manisnya, Asmi berkata, “Mau jalan-jalan dulu? Kita masih punya banyak waktu sebelum malam hari.” “Hmm, ide bagus! Mungkin, kita bisa pergi karaoke, belanja, atau—“ “Atau …. pergi ke kamarku.” “…………!” aku merasakan genggaman tangan seseorang di bahuku dan juga mendengar suara yang familiar. Aku berbalik, dan mendapati Reksha tengah memandangku dengan tatapan kejinya. “Sudah kubilang, aku akan menangkapmu jika kau berusaha kabur…” Orang ini benar-benar serius!! Ah, kalau sudah begini, aku tak mungkin bisa menolaknya. Dia pasti tidak akan membiarkanku kabur. Entah kenapa, dia juga mungkin akan mengikutiku sampai ke rumah. Dengan berat hati, sambil menghela nafas, aku pun berkata pada Asmi, “Maaf. Sepertinya, kita jalan-jalan lain kali saja…”
“Hoo…” apa-apaan wajahmu itu Asmi?! Kau tidak serius menganggapku akan kencan dengannya, bukan?! “Baiklah, kalau begitu sampai ketemu besok ya, Rin!” “Tunggu, Asm—“ Tiba-tiba Asmi berbisik padaku, “Nanti malam, ceritakan semuanya di telepon ya! Hihi!” “Hah?!” “Bye byeee~” Lalu dia pergi begitu saja. Ugh, bagus. Sekarang Asmi juga salah paham. Aku kembali menghela nafas dan sekarang memandang wajah Reksha, “Jadi?” “Hm?” Reksha malah memandangku bingung. “Kita pergi sekarang?” “Ah, sebelum itu, temani aku belanja.” “Belanja?” *kemudian* Aku dan Reksha sampai di mini market. Awalnya, kukira dia akan belanja untuk bahan makan malam. Namun ternyata…. “Hmm, pose seperti ini mungkin bagus..” “JANGAN MEMBACA MAJALAH DEWASA DI TEMPAT UMUM!” Sungguh, orang ini keterlaluan sekali! Urat malu dia sudah putus! “Ah, ini.” tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya dari majalah, lalu menyerahkan keranjang belanjaan untukku. Di dalam keranjangnya juga sudah dia simpan sebuah daftar makanan dan bumbu dapur. “A-apa maksudnya ini?” tanyaku. “Tolong ya.” lalu ia membaca kembali. “Hah?!” Jadi dia memintaku menggantikannya belanja sementara dia asyik membaca majalah itu?! Grr, kurang ajar sekali orang ini! Sekarang aku mengerti kenapa dia mengajakku! Dia ingin menjadikanku pesuruhnya! Tidak salah lagi!! Ah, tapi mungkin lebih baik aku belanja saja, dan mencoba menjaga jarak darinya sementara daripada aku juga dicap orang aneh oleh pengunjung lain karena membaca majalah untuk dewasa di depan umum. Oke, ayo belanja! *setelah itu*
Aku dan Reksha akhirnya berhasil belanja dan membeli semua yang ada di daftar. Sekarang, kami sedang berjalan menuju rumah kos. Jika saja aku berjalan di samping dia yang sedang dalam mode normal, aku pasti terlihat seperti kekasihnya … tapi… KENAPA DIA HARUS BERJALAN SAMBIL MEMBACA MAJALAH DEWASA ITU?! Lagipula, dia terlihat sangat serius, sampai-sampai setiap orang yang melewati kami selalu mencoba memalingkan wajah mereka. Reksha, perhatikan lingkungan sekitarmu! “Oh, hey hey…” Reksha tiba-tiba berhenti berjalan lalu menepuk pundakku dan tetap tak mengalihkan pandangannya dari majalah. “A-apa?” aku agak ragu untuk menatapnya langsung. “Apa pose seperti ini mudah dilakukan dalam kehidupan nyata?” “Eh?!” aku tiba-tiba disodorkan pose seorang gadis dengan baju yang begitu seksi tepat di depan mataku dari majalah itu! “S-singkirkan itu!!” “Kenapa?” Aku buru-buru merebut majalah itu darinya, lalu menyimpannya di kantung belanjaan bagian terdalam, “Dengar, kau seharusnya tidak boleh membaca majalah seperti itu di tempat umum!” “Kenapa?” “Karena itu tidak baik!” “Kenapa?” “Eh? Y-ya, karena orang-orang di sekitar jadi tidak nyaman…” “Aku ‘kan laki-laki.” “Bukan itu masalahnya!” “Kau tidak normal.” “Kenapa jadi aku?!” “Sudahlah.” Reksha tiba-tiba mengambil kantung belanjaan yang sedari tadi kubawa, “Sebaiknya kita cepat.” “….” dia mengambil kantung yang berat pula. Membiarkanku membawa kantung yang lebih ringan. Ugh, dia ini sulit dimengerti. Sebenarnya baik atau jahat sih? *sesampainya di depan rumah kos* “Ayo masuk.” Reksha lalu berjalan masuk ke dalam sambil membukakan pintu untukku, “Silakan.” “Oh ... t-terimakasih..” sungguh, dia ini baik atau jahat sih? Tanpa pikir panjang, aku pun melepas sepatuku di pintu depan bersama Reksha. Lalu, kami pun berjalan menuju ruang tamu.
Sesampainya di ruang tamu, aku melihat pemandang luar biasa. Aku melihat sosok yang aku kenal betul sedang duduk di sofa dengan wajah penuh rona merah dan membaca buku yang sama denganku kemarin. Orang itu adalah… “Kalau kau sudah tidak mampu ‘menahannya’ lagi, kenapa kau tidak mampir sebentar ke kamarmu untuk ‘melepaskannya’, Kevin?” sahut Reksha pada laki-laki yang berada di sofa itu. “K-K-K-Kak Reksha!!” Kevin terlihat sangat kaget, lalu ia buru-buru menutup novel itu, “T-t-t-ttidak! Ini tidak seperti yang kaupikirkan!!” “Sepertinya kau sangat menikmatinya. Maaf kalau aku mengganggu.” lalu Reksha pergi berlalu begitu saja ke dapur untuk menyimpan belanjaan tadi. “S-sudah kubilang ini tidak seperti yang kaupikirkan!” Kevin terlihat berusaha meyakinkan Reksha, namun ternyata tidak berhasil. Ugh, ditinggal berdua dengan Kevin dalam situasi ini jelas membuatku canggung. Menyadari wajah seriusku yang sedang berpikir, Kevin langsung berkata, “T-tolong jangan terlalu dipikirkan! A-aku tidak— “ “Oh, maaf!” wah, sepertinya dia canggung juga, “A-aku sudah tidak memikirkan kejadian itu!” “Benarkah? S-syukurlah. Oh iya, Yana hari ini tidak akan pulang, jadi sepertinya makan malam akan dibuatkan oleh KakAdit. Hihi, aku tidak sabar!” “Benar, Kak Adit memang juru masak rumah ini ya. Hahaha.” “Hmm, tapi mungkin aku juga harus membantu Kak Alvin membereskan meja makan sesudahnya. Ugh, jadi yang termuda di sini selalu membuatku jadi tukang disuruh-suruh.” “Haha, kadang aku masih tidak percaya bahwa aku bisa mengenal kalian semua yang merupakan orang-orang hebat. Bahkan pria seperti Reksha juga yang memang aneh.” “Apa kau bilang tadi? ‘Reksha’?!” “K-kenapa? Ada apa?” “Waaah … kau pasti telah menjadi orang yang spesial!” “A-apa maksudmu? Ya, setahuku Reksha memang tidak suka formalitas, tapi…” Benar juga, kalau dipikir lagi, kenapa Reksha tak menghentikan Kevin untuk memanggilnya dengan embel-embel ‘Kakak’ seperti kepadaku kemarin? “Aku pulaaaang—eh? Sepatu siapa ini?” “Oh…” aku mendengar suara yang aku kenal. Ketika orang itu masuk ke ruang tamu, aku langsung menyapanya, “Selamat datang, Alvin!” “Rin?” Alvin langsung kaget dan menghampiriku, “Apa yang kaulakukan di sini?” “Ah … hanya mampir … err, sebenarnya aku dipaksa juga datang ke sini oleh Reksha…” “Reksha? Kenapa? Tumben sekali…”
Hm? Perasaanku saja, atau Alvin juga tidak memanggilnya dengan nama ‘Kak Reksha’? Ugh, sebenarnya itu masalah tidak penting, tapi aku tidak tahu kenapa … hal itu menggangguku. “Hm?” Reksha akhirnya keluar dari dapur dan kembali ke ruang tamu, “Oh, kau sudah pulang, Alvin?” “Yup.” Alvin langsung menghadap Reksha, “Kenapa kau mengundang Rin ke sini?” “Aku ingin membawanya ke kamarku.” “Hah?! A-a-a-apa yang kaubicarakan? Kau mau apa di sana dengannya?!” “Kau ini cemburuan seperti biasanya.” “B-bukan itu maksudku!” “Aku hanya bersama dia sampai makan malam. Tidak akan lama. Kalau makanannya sudah siap, panggil saja aku ya. Ayo, Rin.” “Eh?” kaget karena namaku tiba-tiba dipanggil, aku langsung ditarik oleh Reksha menuju ke kamarnya sebelum sempat melancarkan protes. Bahkan Alvin dan Kevin hanya bisa terbelalak melihat kami berdua. *sesampainya di kamar* Lagi-lagi, pemandangan luar biasa disuguhkan di depan mataku. Di dalam kamar Reksha yang tidak terlalu luas itu, aku melihat banyak sekali cetakan foto yang err …. cukup ‘sesuatu’ menggantung di langitlangit. Tidak, bahkan hampir di setiap tempat. Dia benar-benar stalker!! Orang ini menyeramkan!! Terlebih lagi, dia itu siapa sebenarnya?! Kenapa orang berotak kotor ini harus menjadi penulis yang hebat?! Aku jadi penasaran buku seperti apa yang ia tulis. Apa jangan-jangan, bukunya juga penuh dengan adegan tidak senonoh atau berisi banyak konten dewasa?! “U-um…” dengan segenap keberanianku, aku memutuskan untuk bertanya, “R-Reksha…” “Hn?” Reksha hanya merespon singkat sambil duduk di tepi kasurnya dan memainkan ponsel. “Kenapa ….. kau …. membutuhkan foto-foto ini?” bodoh!! Bukan itu yang mau aku tanyakan!! Ugh, gara-gara melihat semua foto ini, yang ada di pikiranku sepenuhnya jadi tentang foto juga! “Bukankah sudah kubilang? Untuk referensi.” “Y-ya … maksudku … referensi apa?” Reksha berdiri lalu berjalan menghampiriku. Kemudian, dia menunjukkan buku yang sama dengan yang akan kubaca kemarin. Oh, itu novel dewasa yang waktu itu. Tunggu …. jangan-jangan, “Aku menggunakannya untuk referensi … menulis.” KENAPA DUGAANKU HARUS TEPAT?! Tunggu, itu berarti, dia adalah … AOIRO?! Ah …. dia benar-benar pria berotak kotor sejati. Dia bahkan menulis novel khusus dewasa seperti ini. Kenapa aku harus terlibat dalam kehidupan orang ini? Ya, kuakui dia hebat karena bisa menerbitkan buku, dan dia juga terlihat serius dalam karyanya. Tapi kenapa ….. kenapa harus dalam hal seperti INI?!
“Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan, jadi biar kuluruskan. Aku tidak berotak kotor.” dia berkata dengan nada yang sangat datar dan cuek. Ugh, apa dia ini orangnya polos?! “K-kalau begitu …. kenapa kau menggunakan nama pena Aoiro?” “Kau gila ya? Sampai identitas asliku ketahuan, aku bisa dicap sebagai orang berotak kotor!” “KAU MEMANG BEROTAK KOT—“ “Tidak.” “Tapi—“ “Jangan samakan aku dengan kategori orang rendahan seperti itu!” Reksha tiba-tiba memojokanku di dinding dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya mengelus pipiku, “Sekali lagi kuperingatkan …. jangan pernah sebut aku ‘otak kotor’. Aku benar-benar jijik dengan manusia jenis itu…” “Eh?” wajah Reksha …. berubah. Auranya sangat dingin dan dia terlihat memandangku dengan tatapan penuh kebencian. “Dengar baik-baik, Rin. Alasanku mengajakmu ke kamarku, karena aku ingin mencoba pengalaman baru…” kali ini, tangannya berpindah dari pipi menuju leherku. “P-pengalaman … baru?” “Benar…” dia pun berbisik di telingaku, “Kuharap … kau tidak keberatan kalau kau merasakan pengalaman pertamamu bersamaku…” “P-pertama?!” “Kau sering mengatakan padaku bahwa aku ini adalah orang yang berotak kotor. Coba kauberitahukan padaku … ‘otak kotor’ itu seperti apa…?” “M-meskipun kau bilang begitu—“ “Apakah …. orang seperti itu akan melakukan …. ini?” “Eh?” Reksha tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku! Jarak kami semakin menipis, dan aku bisa merasakan nafasnya di wajahku. Gawat! Gawat! Gawat! Gawat! Apakah … dia akan … menciumku?! Bersambung…