LOPE-LOPE A Simple Love Story
Banyak orang yang bilang kalo masa SMA adalah masa yang paling indah. Kenapa gitu? Aku juga nggak tau. Hmmm, tapi ada yang bilang karena saat itulah biasanya kita mulai mengenal apa itu cinta? Bisa jadi. Dan mungkin itu juga yang sedang aku alami saat ini. Ngeliat ke kelas sebelah saat jam pelajaran sedang berlangsung menjadi kebiasaanku sejak pertama kali masuk SMA satu bulan terakhir ini. Aku sama sekali nggak pernah merhatiin guru yang sedang menjelaskan di depan kelas. Beberapa kali aku bahkan pernah ditegur. Mulai dari teguran ringan, yaitu “dilempar” kata-kata peringatan, seperti: “Rama! Perhatikan ke depan!” “Rama! Kamu lihat apa di luar?!” “Rama! Tak’colok matamu ya??!!!” Sampai pada teguran berat, seperti dilempar penghapus papan, penggaris atau bangku guru (yang terakhir ini memang agak lebay sih, hehe). Di saatsaat seperti itu, aku ngebayangin andai aja aku punya insting spiderman, aku pasti selalu bisa menghindar dari lemparan para guru yang sedang marah. Yah, mirip-mirip kayak adegan menghindar ala film The Matrix dengan gerakan yang serba slow motion. Coba deh bayangin... Wuuiihhh! Keren yak? Padahal
aslinya nggak sekeren itu, paling banter reflekku mirip-mirip kayak Presiden Bush yang lagi menghindar saat dilempar sepatu. Eerrr... Sebagai anak kelas satu baru, aku memang termasuk sangat mengkhawatirkan. Saking seringnya aku ditegur sama guru di kelas, kayaknya aku tinggal tunggu waktu aja untuk dipanggil sama guru Bimbingan Konseling (semoga aja nggak kejadian). Nah! Sebelum ngelantur lebih jauh lagi. Kita kembali ke topik awal. Kenapa aku selalu ngeliat ke kelas sebelah saat jam pelajaran sedang berlangsung? Kenapa? Why? Why? Alasannya cuma satu, karena Nandya. Aku selalu pengin ngeliat Nandya. Cewek tercantik satu angkatan. Cantik banget. Saking cantiknya semua cowok pasti bakal naksir dia. Sampai-sampai aku yakin bahkan cowok homo sekalipun kalo ngeliat Nandya, pasti bakal tobat jadi suka cewek. Apalagi aku yang masih normal dan seratus persen suka perempuan. Menurut pengamatanku, bukan cuma aku aja yang suka sama Nandya. Cewek itu disukai sama hampir semua orang. Temen-temen cewek Nandya banyak yang kagum dan terpukau ngeliat sikap dan kecantikannya. Nandya memang selalu terlihat ramah dan tersenyum. Temen-temen cowoknya apalagi, hampir semuanya cuma bisa bengong sambil ngiler dengan muka mupeng. Nandya adalah tipe cewek yang bisa bikin hati cowok jadi cenat-cenut. 2
Ada salah satu temenku yang cowok sampai mimisan saking terpukaunya ngeliat Nandya. Aku juga baru tau kalo ngeliat cewek cantik bisa menyebabkan mimisan. Setelah aku tanya sendiri ke orangnya, ternyata temenku itu sedang lari saat dia ngeliat Nandya, sementara pandangannya terus terpaku pada cewek itu. Alhasil dia jadi nabrak tiang bendera dan mimisan. Aku sendiri adalah salah satu penggemar rahasia Nandya. Diem-diem saat pulang sekolah aku sering masuk ke kelas Nandya dan duduk di bangkunya. Aku juga suka ngeliat kolong meja milik Nandya. Di sana biasanya ada kertas-kertas ulangan yang tertinggal dan beberapa orak-orek yang ditulis oleh Nandya. Dari kebiasaanku itu, aku jadi tau kalo tulisan Nandya bagus banget. Rapi seperti diketik komputer dengan font Times New Roman dan gaya Italic pokoknya. Terus aku juga jadi tau kalo Nandya anak yang cerdas, terbukti dari setiap kertas ulangan yang tertinggal di kolong mejanya, hampir semuanya memperoleh nilai di atas delapan, bahkan ada yang sampai sepuluh. Aku makin kagum dengan cewek satu itu. Kebiasaanku untuk pergi ke kelas Nandya saat pulang sekolah juga membuatku merasa kenal lebih dekat dengan Nandya. Tapi tentunya Nandya sama sekali nggak kenal aku, walaupun hampir setiap hari aku selalu papasan dengannya di kantin. Yah! Apa lagi yang bisa aku harapin? Bukankah nasib seorang 3
penggemar rahasia memang seperti ini? Bisa papasan aja aku udah seneng kok. Tapi terus terang aja, jauh di dalam lubuk hatiku, Aku pengin banget deket dengan Nandya. Pengin ngobrol lebih banyak. Pengin becanda-becanda... Tapi sejak pertama kali aku ngeliat Nandya, aku tau itu semua cuma khayalanku aja (dan bakal selamanya jadi khayalan). Nunduk. Aku ceritain dari awal deh gimana pertama kali aku suka sama Nandya! Waktu itu aku lagi dalam perjalanan mau ke sekolah. Aku seneng banget pas itu. Gimana nggak seneng? Aku berhasil masuk salah satu sekolah favorit di Kota Denpasar. Wow! Aku ngerasa bangga sekaligus bahagia banget. Itulah sebabnya aku senyum-senyum terus dan sesekali bersiul-siul sambil mengendarai motor bututku sepanjang perjalanan menuju SMA Negeri 3 Denpasar atau lebih sering disebut “Trisma”.1 Sambil senyum-senyum sendiri, aku menyapa setiap orang yang aku lewati di jalan.
juga
“Pagi, Pak!” “Pagi, Buk!” “Hai, Cantik!”
1
Trisma berasal dari kata “tri” dan “sma”, tri artinya tiga dan sma itu sekolah menengah atas.
4
Dan mereka yang aku sapa, semua pada bengong ngeliatin aku dengan tatapan: “Ini orang gila dari mana ya?”. Tapi aku nggak peduli. Yang penting aku dapat sekolah favorit gitu lho, pikirku. Bahkan cowok-cowok yang aku lewatin juga aku sapa. “Hai, Ganteng!”. Dan mereka memandangiku takut-takut dengan tatapan: “Ini homo dari mana ya?”. Sumpah! Aku jadi geli sendiri. Aku ke sekolah karena ada jadwal pengambilan barang-barang dan baju MOS. 2 Aku juga heran, seberapa banyak sih barang-barang MOS-nya, sampai-sampai harus diambil dua kali? Aku pun ngeluarin catatan barang-barang MOS-ku: Lipstik, daster selutut, bra, Celana dalam, longtorso, bikini, G-String... Lho?! SALAH DING!!! Itu catatan barang-barang pesenan pelanggan nyokap. Maklum nyokap ada bisnis di rumah dan aku suka bantu-bantu bisnis itu, jadi catatannya sering ketuker-tuker. Kalo betulan yang tadi itu barangbarang MOS-nya, para murid baru yang cowok pasti tampangnya bakal kayak bencong-bencong girang yang mangkal di GATSU. Sementara yang cewek bakal kayak tante-tante labil yang lagi horny. Iyuuuh...
2
MOS = Masa Orientasi Siswa
5
Aku merogoh kantongku satunya lagi, akhirnya catatanku yang asli ketemu. Barang-barang MOS yang harus diambil ternyata: Sepatu hitam polos, baju Depe3, baju olah raga, baju batik dan beberapa perlengkapan MOS lainnya yang semuanya ditaruh di dalam tas yang berisi logo Trisma. Semua barang itu sudah aku ambil kok minggu kemarin. Lalu barangbarang apa lagi yang masih kurang? Apa aku salah lihat jadwal? Nggak mungkin! Aku udah melototin hampir setengah hari pengumumannya, tanggal ngambil barang-barangnya juga udah aku pandangin seharian ampe mataku belekan. Jadi nggak mungkin salah! Setelah memarkir motor, aku langsung masuk ke dalam. Suasana sekolahku ini “pedalaman” banget, tapi bukan berarti orang-orangnya cuma pake koteka terus nari hula-hula sambil ngelilingin api unggun. Bukan! Maksudku menyebut “pedalaman” adalah karena memang lokasinya agak jauh dari jalan raya, selain itu suasana sekolah ini juga benar-benar alami dan segar. Guru-guru sampai pegawainya juga ramah-ramah, aku beruntung banget bisa sekolah disini, tenang sekali. Tempat yang cocok untuk menuntut ilmu. Mungkin tempat seperti ini yang
3
Depe maksudnya bukan Dewi Persik lho!!! Di Trisma ada yang disebut Baju Depe, yaitu Baju yang bertuliskan: “Datang dan pergi…” di bagian punggungnya, khas SMA Negeri 3 Denpasar. 6
digunakan oleh pertapa-pertapa lumutan jaman dulu untuk memperoleh kesaktian. Wuuuiiihhh… Serem ya? Suasana yang alami dan nyaman ini dulu katanya pernah didukung oleh sebuah tradisi yang baik, yaitu dilarang menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah. Menurut cerita yang beredar, katanya dulu kalo murid-murid di sini berangkat ke sekolah hampir semuanya memakai sepeda gayung. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi itu sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan, sekarang hampir semua murid membawa motor atau mobil. Kalo boleh milih, aku sendiri lebih setuju kalo kita naik sepeda gayung aja ke sekolah, selain sehat, kita juga bisa mengurangi polusi udara. Hmmm, tapi kasihan juga sih sama yang rumahnya jauh, bisa-bisa gempor gayung sepedanya, terus sampai di sekolah langsung koma. “Ram...” Seseorang menyapa dari ruang tata usaha. Rupanya si Fajar, tetanggaku yang sekarang bakal jadi kakak kelasku, dia udah kelas tiga dan aku tau katanya dia jadi ketua osis saat ini di Trisma. Wah! Aku bisa nanya-nanya masalah barang-barang MOS ke dia. “Ngapain ke sini, Ram?” Tanya Fajar. “Mau berenang, Jar...” “Kok nggak pake baju renang?” Tanya Fajar lagi, kali ini diikuti gelak tawa. “Beneran nih nanya, ngapain kok kamu ada di sini? Kamu dapat sekolah
7
di mana, Ram?” Fajar melanjutkan dengan wajah yang diserius-seriusin. “Aku mau ngambil perlengkapan MOS, sekalian ngeliat calon sekolah.” Jawabku. “Calon sekolah? Kamu sekolah di sini, Ram?” Fajar keliatan bingung. “Yap! Kamu heran kan aku bisa dapat sekolah favorit?” Aku berkata dengan bangga. “Eh, MOS-nya kapan sih dimulai, kamu kan ketua osis. Kamu pasti tau kan?” “Iyah, aku heran. Tapi aku lebih heran kok kamu masih ada disini?” “Maksudnya?” “MOS uda dimulai dari tadi pagi! Tuh lihat ke aula! Temen-temen kamu uda pada ngumpul!” Aku ngeliat ke aula. Dan bener, ada anak-anak murid baru memakai baju olah raga sedang duduk di aula. Sementara ada beberapa senior yang berpakaian panitia seperti Fajar sedang memberi ceramah di depan podium. “Mampus aku!!!” Seruku. “Kamu nggak baca jadwal, Ram?” Tanya Fajar prihatin. “Baca kok! Dan hari ini jadwal ngambil barangbarang MOS kan?!?!” Aku berusaha meyakinkan diri sendiri, padahal udah panik banget sebenernya.
8
“Nggak, sekarang jadwal MOS.” Fajar ikutan panik. “Tuh lihat jadwalnya sekali lagi!” Aku ngeliat ke dekat pintu masuk ruang tata usaha. Ternyata yang aku pelototin seharian ampe mataku belekan adalah jadwal selesainya pengambilan barang-barang sekaligus hari dimulainya MOS, yaitu hari ini. Sekali lagi, MAMPUS AKU!!! “Ram, gini aja. Kamu sekarang pulang, terus nanti sorenya baru datang lagi. Kalo sekarang kamu datang, kamu bakal diancurin sama panitia MOS! Sekarang ini aku memang ketua osis tapi aku juga nggak bisa bantu banyak Ram, soalnya nggak enak sama panitia yang lain.” Aku cuma bisa mengangguk kemudian keluar dari sekolah dengan linglung, bingung banget, nggak tau mesti gimana. Akhirnya aku mutusin untuk berhenti dan duduk di bawah pohon. Aku mengelap keringatku dan menutup mata dengan tangan. Seorang ibu-ibu lewat dan menjatuhkan uang seribu perak ke tanganku satunya lagi. Hello? Dikira aku pengemis apa??? Tapi aku tetep masukin ke kantong. Lumayan... Aku jadi penasaran, tampangku udah separah itu kah? Aku pun bercermin di kaca spion. Buset beneran! Tampangku kayak gembel frustasi saking paniknya. Gimana nggak panik coba? Barangbarang yang nanti harus aku bawa aja aku nggak tau!!! Aku memutar otakku, gimana caranya biar bisa 9
survive dari keadaan ini. Tapi semakin aku puter otakku, aku jadi semakin pusing. Iya iyah lah, otak diputer-puter siapa yang nggak pusing??? Akhirnya aku ada ide, aku teringat satu nama yang kira-kira bisa membantu, yaitu: “BULAN”. Bulan ini nama temenku di SMP, dia juga sekarang sekolah di Trisma. Saat itu acara MOS sepertinya sudah bubar, aku banyak ngeliat murid-murid baru berseliweran di warung-warung, mungkin sedang membeli barangbarang untuk perlengkapan MOS. Aku pun ke rumah Bulan yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Semakin dekat rumah Bulan, semakin banyak aku ngeliat murid-murid baru yang sedang berkumpul, sepertinya mereka membahas sesuatu. Aku bisa aja berhenti dan nanya ke mereka tentang tugas-tugas MOS, tapi selain nggak kenal, aku juga malu, aku kan udah nggak datang MOS pertama tadi. Aku perhatiin tampang-tampang mereka setelah melewati MOS pertama, hampir semua tampangnya seperti habis ngeliat setan atau kuntilanak. Aku jadi penasaran, tadi mereka diapain ya sama Osis dan panitia itu? Pasti disiksa, pikirku. Kalo tampang mereka aku bandingin dengan tampangku sendiri setelah NGGAK ikut MOS pertama karena salah jadwal. Mukaku pasti lebih mirip orang yang habis ngeliat nyokapnya setan atau bokapnya kuntilanak, walaupun aku nggak tau kayak gimana penampakan mereka, yang jelas pasti lebih serem. Oh God! Help
10
me please. Rasanya aku pengin terjun dari mall lantai lima saat ini juga. Begitu sampai aku langsung ngeliat Bulan baru aja datang, bahkan belum masuk ke dalam rumah. “Lan..” Panggilku. “Rama?” Cewek itu kelihatan heran menatapku dari bawah ke atas. “Lho? Kok nggak pake baju MOS? Cepet banget kamu ganti?” Tanya Bulan lagi. Aku pun menjelaskan semuanya. Bulan cuma menanggapi dengan geleng-geleng kepala, antara kasihan, sebel dan geregetan. “Terus sekarang gimana?” Tanya Bulan. “Nanti sore aku mau datang MOS, terserah deh mau diancurin kayak gimana sama panitia MOS-nya. Aku pasrah dan ikhlas.” Kataku. Bulan mengerutkan keningnya. “Ini, Ram... Catatan barang-barang yang mesti dibawa nanti. Inget pake baju olah raga ya! Jangan telat! Kamu kan biasanya telat melulu...” Aku ngambil selembar kertas yang disodorkan Bulan. Buset! Tulisannya kayak cakar gorila. “Lan, ini tulisan siapa? Kok ancur banget? Tulisan kamu kan rapi biasanya.” Tanyaku. “Tulisanku kok... Ya situasinya nggak memungkinkan untuk nulis rapi. Nanti kamu juga tau sendiri.” Kata Bulan sambil tersenyum. “Yaudah, aku pulang yah Lan.” “Hati-hati, Ram...” 11
Aku pun pulang, mengendarai motor bututku ke sebuah warung. Membeli beberapa barang yang ada di catatan yang tadi Bulan berikan, tentunya yang masih bisa terbaca. Saat semua barang-barang sudah lengkap aku menuju parkiran, meletakkan tas plastik belanjaanku, kemudian aku duduk di motor sambil menenangkan diri sejenak. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak datang menghampiriku dan menyerahkan uang seribu perak kepadaku. Aku dengan bingung mengambilnya. “Karcis parkirnya nggak usah, tolong bantu saya ngeluarin motor aja...” Kata bapak itu. Waduh! Parah nih... Bener-bener parah... Masa sekarang aku dikira tukang parkir? Tapi duitnya tetep aku masukin kantong. Lumayan... Aku pun membantu ngeluarin motor bapak itu, hitung-hitung nambah pahala, sapa tau MOS-ku jadi lancar. Aku kembali penasaran, tampangku sekarang udah lebih parah lagi pasti yak? Aku bercermin lagi di kaca spion. Wuuuuiiiihhh, kayak tukang parkir desperate yang gagal ngejar setoran. Dengan perlahan aku mengendarai motorku, berusaha menerima kenyataan pahit itu. Sampai di rumah aku siap-siap buat berangkat ke sekolah. Jam satu MOS-nya sudah dimulai. Aku udah pasrah aja. Pasrah... Sekali lagi pasrah... Ah!
12