UNIVERSITAS INDONESIA
COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI DISTRES PSIKOLOGIS DI UNIVERSITAS INDONESIA Cognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students with Psychological Distress to Increase Social Skills at Universitas Indonesia
TESIS
EMMANUELA KIRANA SANGITAN 1006796191
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI DISTRES PSIKOLOGIS DI UNIVERSITAS INDONESIA Cognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students with Psychological Distress to Increase Social Skills at Universitas Indonesia
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
EMMANUELA KIRANA SANGITAN 1006796191
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI PEMINATAN PSIKOLOGI KLINIS DEWASA DEPOK, JUNI 2012
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia” adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Depok, 6 Juni 2012 Yang menyatakan
Emmanuela Kirana Sangitan (NPM 1006796191)
iii Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
LEMBAR PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh: Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: Emmanuela Kirana Sangitan : 1006796191 : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis Dewasa : Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi pada Program Peminatan Psikologi Klinis Dewasa, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, pada Kamis, tanggal 14 Juni 2012. DEWAN PENGUJI Pembimbing
: Sherly Saragih Turnip, S.Psi., M.Phil.
……...……………
Pembimbing
: Dra. Ina Saraswati, M.Si.
……...……………
Penguji
: Prof. Dr. Suprapti Sumarmo Markam
……...……………
Depok, Juni 2012 Disahkan oleh Ketua Program Studi Psikologi Profesi Fakultas Psikologi UI
Dekan Fakultas Psikologi UI
Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA., Ph.D. NIP. 19510327 197603 2 001
Dr. Wilman Dahlan Mansoer, M. Org. Psy NIP. 19490403 197603 1 002
iv Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Dedicated to Kinantan Sangitan and Widyastri Satria Thank you for always being there and knowing just what to do Thank you for knowing the words to say when I’m feeling way beyond blue Thank you for patiently listening to all my worries and stresses Thank you for caring enough to get me out of all my messes Thank you for being my constant support when I didn’t think I could cope Thank you for lifting my spirits and letting me know there is hope Thank you for being the BEST parents a daughter could ever wish for Words could never explain how I feel about you But I hope you know that I truly love you two! I love you with all my heart Today and forever more ~Unknown
v Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus, yang telah membimbing saya hingga tesis ini selesai. Pengerjaan tesis tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kepada: 1. Mamah
dan
Papi
serta
Sebastian
Gary
Sangitan,
my
personal
psychologist(s). Thank you for your understanding and love. Oh, and also the time and energy to massage my technology-muscles. 2. Yahya Prasetya, the Superman, for your unconditional love, patience, everything you do to make me happy and to cheer me up. 3. Momma Wulan Satria, Tatih Damayanti Satria, Oom Aditrisna Satria, Tante Venda Tanoloe, Kenneth Satria, dan Andrea Satria, the all-time-supporter. 4. Sherly Saragih Turnip, S.Psi., M.Phil. dan Dra. Ina Saraswati, M.Si sebagai pembimbing tesis yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dan mendukung dalam penulisan tesis hingga karya tulis ini selesai. Selain itu, terima kasih telah menenangkan dan meyakinkan saya saat cemas selama menyusun tesis. 5. Fitri Fausiah, S. Psi., M. Psi., dan Nathanael Sumampouw, M.Psi., sebagai tim dosen pembimbing payung penelitian Kesehatan Mental Mahasiswa UI, yang selalu menyemangati dan mendukung saya untuk menyelesaikan tesis dengan baik dan tepat waktu. 6. Para pembimbing kasus individual: Dra. Augustine R. Basri, M. Si., Adhityawarman Menaldi, M. Psi., Dra. Erida Rusli, M. Si., Dra. Sugiarti A. Musabiq, M. Kes., Dra. Yudiana Ratna Sari, M. Si., Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S., Dr. E. Kristi Poerwandari, M. Hum., dan Grace Kilis, M.Psi.. Beserta seluruh
dosen Klinis Dewasa Psikologi Universitas Indonesia, yang telah memberikan pendampingan selama 2 tahun ini, mulai dari kuliah, penanganan kasus individual, kasuistik, diskusi informal, dan telah bersedia memberikan waktu untuk konseling gratis. Terima kasih atas ilmu yang telah dibagi, bimbingannya selama ini, dan dukungan yang membuat saya yakin dapat menyelesaikan pendidikan profesi psikologi serta menjadi psikolog yang baik di kemudian hari.
vi Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
7. #KLD17: Ika Nurfitriani Listyanti, Della Karni, Ayuningdyah Sekararum, Dewi Ashuro Itouli Siregar, dan Bona Sardo H. Hutahaean; terima kasih sudah menjadi teman berpayungan dalam menyusun tesis ini. Mulai dari berkeringat mencari partisipan, bergantian menggunakan ruangan, sampai saling mendukung ketika mulai lelah dengan tuntutan akademis serta tekanan waktu. Juga kepada Citra, Mbak Dessy, Edo, Rini, Rena, Iin, Bombih, Tika, Kresna, Hanum, Decha, Rangga, Nia, Retha, Olav, Wita, Manik, Titis, Tiker, dan Vivi. Mereka “keluarga” baru saya yang saling mendukung satu sama lain. 25 orang hebat yang membuat hidup saya berwarna dan bermakna, dengan segala tipe kepribadian mereka. Terima kasih untuk dukungan, bantuan, kekonyolan, dan canda tawanya. 8. Mbak Minah dan Mas Somat, terima kasih atas bantuannya selama ini dan bersedia dipusingkan dengan urusan akademik juga penggunaan ruangan untuk kepentingan penelitian saya. Terima kasih pula kepada seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia atas bantuan langsung dan tidak langsung kepada saya. 9. DI, LA, dan DE, terima kasih atas kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian ini. 10. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendoakan saya namun tidak dapat disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih untuk kebaikannya. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yesus akan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Tesis ini tak lepas dari kekurangan, namun saya berharap tesis ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi siapapun yang tertarik untuk membahas topik serupa. Untuk berkorespondensi mengenai penelitian ini dapat melalui e-mail:
[email protected]. Depok, 6 Juni 2012
Emmanuela Kirana Sangitan
vii Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS (Hasil Karya Perorangan) Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis karya
: Emmanuela Kirana Sangitan : 1006796191 : Magister Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis Dewasa : Psikologi : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia” beserta perangkat yang ada, jika diperlukan. Dengan Persetujuan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk, mengalihmediakan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, serta memublikasikan tesis saya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya-benarnya secara sadar tanpa paksaan dari pihak manapun. Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 18 Juni 2012 Yang membuat pernyataan,
(Emmanuela Kirana Sangitan)
viii Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
ABSTRAK Nama Program Studi Judul Tesis
: Emmanuela Kirana Sangitan : Psikologi Profesi, Peminatan Psikologi Klinis Dewasa : Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa yang Mengalami Distres Psikologis di Universitas Indonesia
Latar Belakang Tingkat distres psikologis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) termasuk tinggi, sebesar 39%. Sebanyak 9,1% mahasiswa melaporkan masalah Social-Psychological Relations (SPR) menjadi masalah terberatnya. Masalah ini berkaitan dengan rendahnya keterampilan sosial. Keterampilan sosial yang rendah menjadi prediktor terhadap kemunculan distres psikologis. Keterampilan ini melibatkan persepsi dan evaluasi individu terhadap suatu situasi sosial, seperti merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan baik, evaluasi negatif terhadap diri sendiri tanpa bukti, dan takut akan penilaian negatif dari orang lain. Salah satu intervensi yang efektif adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT bertujuan untuk merestrukturisasi kognitif agar muncul respon yang lebih adaptif. Metode Penelitian randomized control trial ini dilakukan dengan one group before-andafter study design dan convenience sampling di UI Depok. Intervensi dengan CBT dilakukan sebanyak 6 sesi. Hasil Kedua partisipan mengalami peningkatan keterampilan sosial dan penurunan distres psikologis, diketahui dari perbaikan skor Social Skills Inventory (SSI), Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), dan evaluasi kualitatif. Kesimpulan CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada mahasiswa UI. Teknik yang dianggap membantu adalah penentuan tujuan, thought diary, pencarian bukti, pembuatan thought card, behavior experiment, dan teknik bernapas. Kata kunci: Cognitive behavior therapy, keterampilan sosial, distres psikologis, mahasiswa
ix Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
ABSTRACT Name Programme Judul Tesis
: Emmanuela Kirana Sangitan : Clinical Psychology : Cognitive Behavior Therapy for Undergraduate Students with Psychological Distress to Increase Social Skills at Universitas Indonesia
Background The psychological distress level of undergraduate students in Universitas Indonesia was considered high, with index of 39%. A number of 9.1% undergraduate students reported to experienced Social Psychological Relations problem as the main issue. This problem related to the low social skills. Low expertise in social skills was predicted as the main cause of psychological distress. This skills involving individual perception and evaluation to a certain social situations, such as self-perceived to be incompetent to build a good relationship, negative self-evaluation without proper evidence, and fear of negative evaluation from others. One of the effective intervention techniques to deal with this problem is Cognitive Behavior Therapy (CBT). The aim of CBT is cognitive restructuring, in order to create more adaptive responses. Method Randomized control trial was conducted with one group before-and-after study and also convenience sampling in Universitas Indonesia. The intervention was conducted in 6 sessions. Result Both participants reported that the social skills increased and the psychological distress reduced indicated by the improvement score in Social Skills Inventory (SSI), Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), and also qualitative evaluation. Conclusion CBT is an effective intervention to increase social skills and reduce psychological distress among undergraduate students at Universitas Indonesia. Techniques that are considered helpful were goal-setting thought diary, evidences seeking, thought card, behavior experiment, and breathing technique. Keywords: Cognitive behavior therapy, social skills, psychological distress, undergraduate students
x Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
DAFTAR ISI Halaman Judul ………………………………………………………………..…. ii Lembar pernyataan orisinalitas ……………………………………………….… iii Lembar pengesahan …………………………………………………….……….. iv Ucapan terima kasih ………………………………………………….…………. vi Halaman pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah...………...………….. viii Abstrak ……………………………………………………………………….………… ix Abstract …….………………………………………………………………….….…….. x Daftar isi ….……………………………………………………………………..……… xi Daftar gambar …………………………………………………………………..……… xv Daftar tabel ……………………………………………………………………………. xvi
BAB I PENDAHULUAN .………………………………………….………… 1 1.1. Latar Belakang …………………………………………………………… 1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………….……………….. 6 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………….………………… 6 1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………….………………. 6 1.5. Sistematika Penulisan ……………………………………......…………… 7 BAB II TINJAUAN TEORITIS ……………………………………………… 8 2.1. Keterampilan Sosial ……………………………………………………… 8 2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial …………………………………….. 8 2.1.2. Dimensi keterampilan sosial ………………………………………… 9 2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial…………..… 10 2.1.4. Dampak dari keterampilan sosial yang rendah …..………………… 12 2.2. Distres Psikologis .……………………………………………………… 13 2.2.1. Pengertian Distres Psikologis…..…………………………………… 13 2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis……………... 15 2.3. Cognitive Behavior Therapy (CBT)..…………………………………..…18 2.3.1. Pengertian CBT……………..………………………………………..18 2.3.2. Karakteristik CBT..…………………………………………………..19 2.3.3. Prinsip Dasar CBT..…………………….…………………………... 20
xi Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
2.3.4. Tujuan CBT………………………………………………………..... 22 2.3.5. Komponen-komponen dalam CBT…………………………………. 22 2.3.6. Tahap pelaksanaan………………………………………………….. 25 2.4. Mahasiswa……………………………………………………………….. 29 2.4.1. Pengertian Mahasiswa dan mahasiswa Universitas Indonesia..……..29 2.4.2. Tugas perkembangan mahasiswa…………………………………… 30 2.4.3. Masalah-masalah mahasiswa………..……………………………… 30 2.5. CBT sebagai intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa…………………………………………………………………33 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………… 35 3.1. Desain Penelitian………………………………………………………… 35 3.2. Permasalahan Penelitian…………………………………………………. 36 3.3. Partisipan Penelitian…………………………………………………….. 36 3.3.1. Kriteria Partisipan Penelitian……………………………………….. 36 3.3.2. Prosedur Pemilihan Partisipan……………………………………… 37 3.4. Metode Pelaksanaan Intervensi………………………………………… 39 3.5. Alat ukur penelitian…………………………………………………….. 42 3.5.1. Pengukuran Distres Psikologis……………………………………… 42 3.5.2. Pengukuran Permasalahan Mahasiswa……………………………... 43 3.5.3. Pengukuran Keterampilan Sosial…………………………………… 44 3.5.3.1. Administrasi dan Skoring SSI………………………………… 44 3.5.3.2. Uji Keterbacaan……………………………………………….. 46 3.5.4. Wawancara………………………………………………………….. 47 BAB IV HASIL PENGUKURAN AWAL…………………………………… 49 4.1. Proses dan Hasil Screening Partisipan…………………………………. 49 4.1.1. Proses Screening Partisipan………………………………………… 49 4.1.2. Hasil Screening Partisipan………………………………………….. 49 4.1.2.1. Keterampilan Sosial DI………………………………………. 51 4.1.2.2. Keterampilan Sosial LA……………………………………… 52 4.1.2.3. Keterampilan Sosial DE……………………………………… 54
xii Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
4.2. Partisipan Penelitian yang Mengikuti Intervensi……………………… 55 4.2.1. Data Partisipan I……………………………………………………. 56 4.2.1.1. Data Pribadi DI……………………………………………….. 56 4.2.1.2. Observasi Umum……………………………………………… 56 4.2.1.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 57 4.2.2. Data Partisipan II…………………………………………………… 60 4.2.2.1. Data Pribadi LA………………………………………………. 60 4.2.2.2. Observasi Umum……………………………………………… 61 4.2.2.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 62 4.2.3. Data Partisipan III………………………………………………….. 66 4.2.3.1. Data Pribadi DE………………………………………………. 66 4.2.3.2. Observasi Umum……………………………………………… 66 4.2.3.3. Gambaran Kasus……………………………………………… 67 BAB V HASIL INTERVENSI……………………………………………….. 71 5.1. Pemaparan Kasus DI……………………………………………………. 71 5.1.1. Observasi Terhadap DI…………………………………………….. 71 5.1.2. Proses Pelaksanaan Intervensi Terhadap DI……………………….. 73 5.1.3. Hasil Intervensi Terhadap DI ………………………………………. 81 5.1.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT……….. 81 5.1.3.2. Refleksi Subjektif DI Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi.................................................................................... 82 5.1.3.3. Evaluasi DI terhadap Intervensi………………………………. 82 5.2. Pemaparan Kasus LA…………………………………………………… 83 5.2.1. Observasi Terhadap LA…………………………………………….. 83 5.2.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap LA……………………….. 85 5.2.3. Hasil Intervensi Terhadap LA……………………………………… 92 5.2.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT……….. 92 5.2.3.2. Refleksi Subjektif LA Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi…………………………………………………….. 94 5.2.2.3. Evaluasi LA terhadap Intervensi…………………………….. 95
xiii Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
5.3. Pemaparan Kasus DE…………………………………………………... 95 5.3.1. Observasi Terhadap DE…………………………………………….. 95 5.3.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap DE……………………….. 96 5.3.3. Perkiraan Efektivitas Intervensi terhadap DE…………………….. 100 BAB VI DISKUSI……………………………………………………………. 102 6.1. Proses Pelaksanaan Intervensi…………………………………………….. 102 6.2. Hasil Pelaksanaan Intervensi…………………………………………….... 108 6.3. Evaluasi Keberhasilan Intervensi…………………………………………. 110 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….... 113 7.1. Kesimpulan…………………………………………………………….. 113 7.2. Saran……………………………………………………………………. 113 7.2.1. Saran Metodologis………………………………………………… 113 7.2.2. Saran Praktis………………………………………………………. 114 Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 115
xiv Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1.
Ilustrasi Desain Penelitian………………………………………. 36
Gambar 3.2 Alur Pemilihan Partisipan Penelitian…………………………….... 39
xv Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 2.1.
Tipe Masalah dan Jumlah Sesi CBT……………………………. 20
Tabel 3.1.
Cut-Off Point Tiap Dimensi Keterampilan Sosial……………… 46
Tabel 3.2.
Item Social Skills Inventory (SSI) yang Diubah………………... 46
Tabel 4.1.
Hasil Pretest DI, LA, DE………………………………………. 50
Tabel 5.1
Waktu Pelaksanaan Intervensi DI……………………………… 71
Tabel 5.2.
Pengukuran Kuantitatif DI……………………………………... 81
Tabel 5.3.
Waktu Pelaksanaan Intervensi LA……………………………... 83
Tabel 5.4.
Pengukuran Kuantitatif LA…………………………………….. 92
Tabel 5.5.
Waktu Pelaksanaan Intervensi DE……………………………... 95
xvi Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut Selye (dalam Sarafino, 2002), distress merupakan salah satu bentuk stres. Distress atau sering disebut dengan distres psikologis memiliki pengaruh buruk dan dapat membahayakan seseorang sehingga seringkali menimbulkan kerugian. Miller (2011) menyebutkan bahwa distres psikologis dapat mengganggu fungsi seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dampak terburuk dari distres psikologis adalah seseorang dapat mengalami depresi dan kecemasan (Nevid, Rathus & Greene, 2003). Hal ini juga mungkin terjadi pada mahasiswa (D'Zurilla & Sheedy, dalam Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Menurut Adlaf, et. al., Dyrbye, et. al., dan Roberts, et. al. (dalam Verger, dkk., 2009) tingkat distres psikologis pada mahasiswa lebih tinggi jika dibandingkan populasi pekerja dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Banyak hal yang dapat menyebabkan distres psikologis pada mahasiswa, antara lain tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, cara belajar baru, melatih kemandirian, persepsi mereka mengenai kewajiban sebagai mahasiswa dan tekanan dari lingkungan, keharusan untuk bertemu dengan banyak orang yang memiliki latar belakang berbeda-beda (Verger, dkk, 2009; Kobayashi, 2005). Lebih lanjut, tuntutan yang dihadapi mahasiswa dapat dibedakan menjadi tuntutan akademis dan tuntutan untuk menjalin hubungan sosial. Misra & Castillo (2004) menemukan berbagai macam tuntutan akademis yang memunculkan distres psikologis pada mahasiswa. Tuntutan tersebut adalah tekanan keluarga, kondisi finansial, kompetisi dengan teman, dan mengerjakan tugas kuliah, mengikuti ujian, persaingan untuk mendapatkan nilai baik, kewajiban untuk memahami pengetahuan baru dengan waktu terbatas, penyesuaian diri terhadap budaya universitas atau fakultas, dan dengan sistem pendidikan yang berbeda dari sekolah sebelumnya (Cheng, Leong, & Geist; Abouserie; Kohn & Frazer; Leong & Mallinckrodt; dalam Misra & Castillo, 2004) Tuntutan akademik lainnya berasal dari lingkungan kelas, bayangan akan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
2
kesuksesan karir dan masa depan, pengajar, dan kegiatan perkuliahan itu sendiri (Murphy, dalam Santrock, 2008). Dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa, diketahui bahwa mereka memiliki kebutuhan untuk berdiskusi dalam kelompok, mempresentasikan tugas di depan kelas, bertemu dengan narasumber, ikut dalam kegiatan kampus dengan harapan memperluas jaringan pertemanan, serta berinteraksi dengan teman kost. Tuntutan untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain seperti itu juga dapat memunculkan distres psikologis pada mahasiswa. Hal ini didukung oleh berbagai literatur yang menemukan bahwa mahasiswa juga dituntut untuk memiliki hubungan baik dengan teman kuliah, bekerja sama dalam kelompok, mengikuti kegiatan organisasi, unit kegiatan mahasiswa (UKM), dan menemukan pasangan yang potensial (Wright, dalam Ross, Niebling, & Heckert; Utama (2010), dan Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Jou & Fukada (2002) menyebutkan bahwa sebaiknya mahasiswa memiliki hubungan dan dukungan sosial yang sifatnya dua arah dan saling timbal balik. Kedua hal ini akan menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam menyesuaikan diri di dunia kuliah. Cohen & Wills (dalam Jou & Fukada, 2002) menemukan hasil bahwa hubungan sosial yang dimiliki seorang mahasiswa akan membuat mahasiswa tersebut jauh lebih sehat mental dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki hubungan sosial. Sebagai mahasiswa, memang ada tuntutan untuk menyeimbangkan antara tugas kuliah, tugas organisasi, dan kehidupan pribadi (Hall, Forrester, & Borsz, dalam Febrianty, 2011). Montgomery & Cote (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) juga menyatakan hal yang sama. Penting bagi seorang mahasiswa untuk mampu membangun hubungan sosial dan akademik yang kuat dengan teman sebaya dan para pengajar. Studi pada populasi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menemukan tingkat distres psikologis mahasiswa UI terbilang tinggi, yakni sebesar 39% (Utama, 2010). Lebih lanjut, dalam penelitiannya ditemukan sebanyak 9,1% mahasiswa UI melaporkan ranah masalah social-psychological relations (SPR – atau hubungan sosial-psikologis) menjadi masalah terberat bagi mereka. Masalah hubungan sosial-psikologis juga dialami oleh mahasiswa lainnya, meski bukan menjadi masalah yang terberat bagi mereka. Hal ini diperkuat dengan hasil
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
3
penelitian Ross, Niebling, & Heckert (1999), yakni pengaruh tuntutan untuk menjalin hubungan sosial lebih besar 4% dibandingkan dengan pengaruh tuntutan akademik dalam memunculkan distres psikologis pada mahasiswa. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tuntutan untuk menjalin hubungan sosial berasosiasi dengan tingkat distres psikologis pada mahasiswa UI. Mahasiswa yang memiliki distres psikologis tinggi juga memiliki masalah yang dirasa berat dalam hal menjalin hubungan sosial. Dalam memenuhi tuntutan untuk menjalin hubungan sosial, individu harus memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain (Segrin, 2001). Ia menyebutkan bahwa keterampilan sosial yang dimaksud antara lain dapat berkomunikasi dengan efektif, mengekspresikan diri di hadapan orang lain dengan tepat, memahami dan berempati dengan orang lain, dapat berbaur dengan orang lain, serta menjaga hubungan baik. Riggio (1986) menyebutnya dengan keterampilan untuk mengirimkan informasi ke orang lain (mengekspresikan diri) dan keterampilan untuk menerima informasi dari orang lain (sensitif). Brady (dalam Arrindell, dkk., 2005) menyatakan bahwa keterampilan sosial penting untuk mengembangkan dan menjaga hubungan sosial yang memuaskan. Jika seorang individu memiliki keterampilan sosial yang rendah, maka hal tersebut menjadi salah satu prediktor terhadap kemunculan distres psikologis dalam hubungan sosial yang dimilikinya (Segrin, 2001). Menurut Kessler, Stein, & Berglund, (dalam Arrindell, dkk., 2005), keterampilan sosial yang rendah dapat berupa inhibisi sosial, ketidakcakapan dalam bergaul, dan muncul perasaan takut saat berinteraksi dengan orang lain. Artinya, mahasiswa UI yang memiliki keterampilan sosial yang rendah dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain dan mengalami distres psikologis. Dari berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa sering kali seseorang merasa tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain karena keyakinan diri (belief) yang rendah. Keyakinan yang dimaksud menurut Clark & Wells dan Rapee & Heimberg (dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005) adalah keyakinan bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang rendah sehingga mengurangi kepercayaan diri saat berada dalam situasi sosial. Heinrichs, Gerlach, & Hofmann (2006) menyatakan tinggi rendahnya
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
4
keterampilan sosial yang dimiliki individu juga melibatkan persepsi dan evaluasi terhadap situasi sosial dimana mereka berada. Dalam penelitiannya, Hope, dkk. (2010) menemukan bahwa keyakinan dan persepsi yang sering muncul pada individu dengan keterampilan sosial yang rendah adalah merasa tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan baik, takut akan penilaian negatif dari orang lain, dan antisipasi terhadap situasi sosial yang dianggap menakutkan. Contoh keyakinan dan persepsi yang sering muncul adalah self-labeling, evaluasi negatif terhadap diri sendiri tanpa ada penilaian dari orang lain contohnya seperti “Saya tidak mampu bicara di depan umum dan saya pasti akan meracau jika melakukannya” dan “Pasti dia akan berpikir bahwa saya nampak sangat kikuk”. Keyakinan dan persepsi lainnya adalah past-memories, yaitu pikiran negatif mengenai pengalaman di masa lalu yang memunculkan kecemasan dan avoidance, yaitu segala pikiran yang berkaitan dengan penghindaran, pelarian, atau perilaku yang dianggap memunculkan rasa aman, seperti “Saya tidak pernah berhasil memulai pembicaraan dengan lawan jenis, sepertinya saya lebih baik menghindari kontak mata dengan dia”. Wells & Papageorgiou (dalam CartwrightHatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005) mengatakan perlu adanya intervensi untuk mengubah keyakinan dan persepsi yang merugikan ini sehingga individu dapat memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa baru, UI sudah melakukan intervensi di awal kuliah bagi seluruh mahasiswa baru yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial. Intervensi ini antara lain dorongan untuk mengikuti UKM, terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pelatihan klasikal tentang empati, cara berkomunikasi, bekerja dalam kelompok, dan sebagainya. Tujuannya adalah membantu seluruh mahasiswa baru mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan lingkungan universitas dan juga membantu mereka yang kesulitan untuk menjalin hubungan sosial. Namun pada kenyataannya, segala bentuk intervensi tersebut belumlah cukup untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa UI. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi distres psikologis pada mahasiswa UI dalam kurun waktu setahun menjadi 48,6% di 2011 dibandingkan dengan 39% di tahun 2010 (Maharani,
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
5
2011). Tidak adanya intervensi terhadap kognitif dan perilaku membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan intervensi dan ditangani secara individual. Salah satu intervensi yang efektif untuk mengatasi rendahnya keterampilan sosial pada mahasiswa adalah cognitive behavior therapy (CBT). CBT meyakini bahwa proses kognisi seperti pikiran, interpretasi, persepsi, dan keyakinan memiliki pengaruh terhadap respon, perilaku, dan emosi individu (Westbrook, Kennerley, & Kirk, 2007 dan Stallard, 2004). Menurut Bedell & Lennox (1997), CBT terbukti efektif untuk mengatasi berbagai macam masalah psikologis. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa CBT bekerja secara cepat dan dapat dipertanggungjawabkan meski dilakukan dalam waktu singkat. Terapi ini mempercayai bahwa setiap individu dapat mengubah dirinya menjadi lebih baik dengan mengatasi masalahnya sendiri (Bedell & Lennox, 1997). Pada mahasiswa yang merasa memiliki masalah dalam menjalin hubungan sosial, CBT menyasar pada keyakinan dan persepsi mereka mengenai keterampilan sosial yang dimilikinya. CBT fokus pada perilaku objektif dan pikiran, keyakinan serta perasaan mereka pada masa sekarang. Dengan kata lain, CBT dapat diterapkan untuk terapi individual yang berguna untuk meningkatkan keterampilan sosial seseorang. Tujuan terapi ini adalah mengubah proses kognitif sehingga dapat menampilkan respon yang lebih adaptif. Menurut Bedell & Lennox (1997), penanganan dengan CBT mencakup pengembangan kesadaran individu (self-awareness), kesadaran terhadap orang lain, cara menjalin komunikasi interpersonal, penyelesaian masalah yang dihadapinya, dan mencari strategi coping yang efektif. CBT akan membantu individu menyadari dan memahami proses berpikirnya dengan lebih baik sehingga meningkatkan keterampilan sosial. Aydin, Tekinsav-sütçü, & Sorias (2010) menyatakan bahwa CBT dapat membantu seseorang dalam mengenali hal-hal yang berkaitan dengan situasi sosial dan perilakunya. Dengan begitu, individu dapat mengubah penilaiannya dan melakukan restrukturisasi kognisi. CBT membutuhkan kemampuan berpikir yang lebih sistematis sehingga diperlukan kematangan kognitif individu (Stallard, 2004). Selama terapi individu dituntut untuk berpikir asbtrak, seperti mengembangkan perspektif baru atau memunculkan berbagai macam alternatif
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
6
dari masalah yang dialami. Dapat dikatakan bahwa terapi ini cocok untuk diterapkan pada mahasiswa. Menurut Fischer & Pruyne (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) mahasiswa memiliki kemampuan berpikir yang lebih kompleks karena pendidikan yang mereka peroleh di universitas. Kematangan kognisi memungkinkan mahasiswa untuk melakukan refleksi diri, mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah, lebih adaptif, lebih logis, dan mampu menyadari jalan pikirannya. Tujuan intervensi dengan CBT adalah mengubah persepsi atau keyakinan mahasiswa dan mengatasi distorsi kognisi yang merugikan sehingga mereka dapat memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Dengan demikian, mereka mampu memenuhi tuntutan atau kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial, sesuai dengan peran sebagai mahasiswa. Adanya hubungan sosial yang baik, seperti dengan pengajar atau teman kuliah, akan menurunkan distres psikologis seorang mahasiswa.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian Apakah Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia, yang diindikasikan dari perbaikan skor SSI dan HSCL-25 serta evaluasi kualitatif?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Cognitive Behavior Therapy (CBT) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia, dengan melihat perbaikan skor SSI dan HSCL-25 serta evaluasi kualitatif.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah membantu mahasiswa
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
7
Universitas Indonesia yang mengalami distres psikologis dalam meningkatkan keterampilan sosialnya.
1.5. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: -
Bab I. Pendahuluan: berisi latar belakang permasalahan serta tujuan dan manfaat diadakannya penelitian.
-
Bab II. Tinjauan teoritis: berisi teori mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
-
Bab III. Metode penelitian: berisi penjelasan mengenai sampel penelitian, alat ukur asesmen awal, dan tahapan penelitian.
-
Bab IV. Hasil pengukuran awal dan rancangan intervensi: berisi hasil asesmen awal melalui wawancara, observasi, alat tes, dan kesimpulan serta rancangan intervensi ataupun modul meliputi lama pelaksanaan dan tahapan pelaksanaan intervensi.
-
Bab V. Hasil intervensi: berisi penjelasan lengkap mengenai hasil pencatatan dan evaluasi kualitatif serta kuantitatif dari proses intervensi yang dilakukan.
-
Bab VI. Diskusi: berisi masukan atau pendapat mengenai hal-hal yang terjadi di luar perkiraan awal ataupun segala temuan selama proses intervensi.
-
Bab VII. Kesimpulan dan saran
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
8
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang digunakan dalam penelitian dan pelaksanaan intervensi. Teori yang digunakan adalah teori mengenai keterampilan sosial, faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial, dampak dari keterampilan sosial yang rendah, distres psikologis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang digunakan dalam penelitian ini, dan masalah-masalah yang dhadapi mahasiswa Universitas Indonesia.
2.1. Keterampilan Sosial 2.1.1. Pengertian Keterampilan Sosial Riggio dan Reichard (2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk mengekspresikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain, mampu “membaca” dan memahami berbagai macam situasi sosial, memiliki pengetahuan mengenai peran sosial, norma, dan peraturan, mampu menyelesaikan masalah interpersonal, serta mampu menjalani peran sosial. Sedangkan menurut Barreras (2008) keterampilan sosial merupakan keterampilan untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di lingkungan sosial. Dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan keterampilan untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di lingkungan sosial karena individu mampu untuk mengekspresikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain, mampu “membaca” dan memahami berbagai macam situasi sosial, memiliki pengetahuan mengenai peran sosial, norma, dan peraturan, mampu menyelesaikan masalah interpersonal, serta mampu menjalani peran sosial. Segrin (2001) menambahkan bahwa keterampilan sosial membuat seseorang mampu untuk terlibat dalam interaksi yang sesuai dan efektif dengan orang lain. Keterampilan ini diperlukan untuk berada dalam lingkungan sosial dan menjalankan aktivitas sehari-hari, seperti mempertahankan pekerjaan dan menjalin hubungan pertemanan (Iannaccone, Wienke, Cosden, 1991).
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
9
2.1.2. Dimensi keterampilan sosial Dalam Riggio (1989) dan Riggio & Reichard (2008), keterampilan sosial memiliki enam dimensi yang diukur dengan Social Skills Inventory (SSI). Dimensi yang dimaksud yaitu: a. Emotional expressivity Keterampilan dalam berkomunikasi secara non-verbal, khususnya saat menyampaikan pesan emosional kepada orang lain. Dimensi ini menunjukkan keterampilan individu untuk mengekspresikan diri secara spontan dan sesuai, peka terhadap situasi emosional, serta mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan situasi interpersonal. Biasanya individu yang baik dalam mengekspresikan emosinya dianggap oleh orang lain sebagai individu yang ceria dan enerjik. Orang lain mudah untuk mengetahui apa yang sedang mereka rasakan karena individu tersebut sangat ekspresif. b. Emotional sensitivity Keterampilan dalam menerima dan memahami emosi serta sinyal nonverbal dari orang lain. Individu yang sensitif sangat memperhatikan sinyalsinyal emosional dan non-verbal pada orang lain. Mereka mampu menangkap sinyal emosional dengan tepat dan efisien saat berkomunikasi. c. Emotional control Keterampilan dalam mengatur dan meregulasi pesan emosional dan nonverbal
pada
diri
individu,
khususnya
saat
menyampaikan
atau
menyembunyikan emosi yang mereka dirasakan. Individu yang mampu mengatur emosinya, dapat mengekspresikan perasaannya dan menampikan isyarat emosional yang sesuai dengan lingkungan. Contohnya seperti tersenyum untuk menyembunyikan perasaan sedih saat di hadapan orang lain. d. Social expressivity Keterampilan dalam mengekspresikan diri secara verbal dan keterampilan dalam bergaul dengan orang lain saat berada di situasi sosial. Individu yang mendapatkan nilai tinggi dalam dimensi ini cenderung extrovert, ramah, dan suka berada di antara banyak orang. Hal ini terjadi karena
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
10
mereka mudah untuk memulai pembicaraan dengan orang lain. Mereka juga termasuk individu yang antusias, spontan, impulsif, dan senang menjadi pusat perhatian. e. Social sensitivity Keterampilan dalam menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain dan paham mengenai norma sosial dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan. Individu yang sensitif biasanya cenderung memperhatikan orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai norma dan aturan sosial, individu ini terkadang sangat mementingkan kesesuaian perilaku diri dan orang lain. Pada kasus-kasus tertentu, individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini biasanya sangat memperhatikan perilaku mereka sehingga dapat memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan ini yang akan menghambat pastisipasi mereka dalam interaksi sosial. Mereka khawatir dengan penilaian orang lain jika perilakunya dipersepsikan tidak sesuai dengan norma sosial. f. Social control Keterampilan dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi sosial. Individu yang baik dalam dimensi ini biasanya mampu beradaptasi di lingkungan sosial dan cukup percaya diri. Mereka juga mengetahui normanorma yang berlaku di lingkungannya. Dengan demikian, mereka mampu menjalankan berbagai macam peran sosial. Namun konsekuensinya jika individu terlalu mementingkan norma adalah mereka selalu menyesuaikan perilakunya sehingga sesuai dengan apa yang mereka anggap pantas dalam situasi sosial. Riggio (1986) menggunakan alat ukur Social Skills Inventory (SSI) untuk melihat keterampilan sosial pada mahasiswa. Oleh karena itu, alat ukur SSI yang akan digunakan untuk melihat keterampilan sosial pada mahasiswa UI.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial Keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial dipengaruhi oleh banyak faktor yang berhubungan dengan individu, respon orang lain, dan konteks sosial (Spence, 2003). Dalam menjalin hubungan sosial, perlu adanya respon verbal dan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
11
non-verbal yang mempengaruhi persepsi atau respon dari orang lain selama berinteraksi. Individu sebaiknya mampu untuk menyesuaikan respon non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, jarak sosial, gestur tertentu; dengan situasi sosial yang berbeda-beda. Sama halnya dengan respon verbal seperti
nada
suara,
volume,
kecepatan,
dan
kejelasan
berbicara
juga
mempengaruhi impresi dan bagaimana orang lain bereaksi terhadapnya. Faktorfaktor keterampilan pada tingkat mikro tersebut penting dalam menentukan keberhasilan seseorang menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Untuk faktor yang lebih makro, individu sebaiknya mampu untuk mengintegrasikan keterampilan mikro dalam strategi yang tepat untuk menghadapi tuntutan sosial. Contohnya seperti mampu memulai percakapan yang meliputi kemampuan mengidentifikasi waktu yang tepat untuk memulai percakapan, memilih topik pembicaraan, dan sebagainya. Ada banyak tuntutan sosial seperti meminta bantuan, menawarkan bantuan, menolak permintaan orang lain,
menanyakan
informasi,
mengajukan
permintaan
untuk
bergabung,
mengundang orang lain, dan masih banyak lagi. Menurut Spence (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial dan menentukan bagaimana individu berperilaku dalam hubungan sosial. Keterampilan sosial dipengaruhi oleh faktor kognitif, emosi, dan lingkungan. Faktor tersebut antara lain kemampuan untuk memahami reaksi atau respon orang lain saat terlibat dalam sebuah interaksi atau pembicaraan. Jika sudah memahami, maka individu sebaiknya mampu untuk mempersepsikan isyarat sosial dan bahasa tubuh orang lain. Jika individu tidak memilikinya, maka mereka akan memunculkan respon yang tidak sesuai dengan norma sosial. Individu diharapkan dapat memunculkan keterampilan sosial, artinya mereka harus memahami kapan harus menunda atau memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang sesuai. Selain kemunculan perilaku, diperlukan kemampuan untuk mengatur emosi. Jika seseorang mengalami kecemasan atau sedang merasa marah, maka mereka tidak akan mampu untuk memunculkan keterampilan sosial yang sesuai dengan lingkungannya. Kecemasan menjadi salah satu faktor yang menghambat kemunculan keterampilan sosial yang dimiliki individu.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
12
Faktor kognisi juga mempengaruhi keterampilan sosial, yakni distorsi kognisi dan gaya berpikir yang salah (unhelpful thinking style). Distorsi kognisi membuat individu memunculkan keterampilan sosial dan perilaku yang tidak sesuai karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan lingkungannya. Penelitian Lochman dan Dodge (dalam Spence, 2003) menemukan bahwa individu yang sedang marah biasanya memunculkan interpretasi yang salah mengenai perilaku orang lain dan akhirnya muncul respon agresif yang meningkatkan agresivitas. Selain itu, kecemasan sosial dapat membuat individu meragukan keterampilan sosial mereka sehingga mengganggu hubungan sosial yang dimilikinya. Kemunculan keterampilan sosial yang sesuai dengan lingkungan juga dipengaruhi oleh reaksi dari orang lain. Reaksi sosial ini akan menentukan bertahannya suatu perilaku. Contohnya seperti remaja yang bermasalah cenderung menampilkan perilaku sosial yang kurang baik karena mendapatkan dukungan kuat dari peer-nya. Selain itu, kemampuan menyelesaikan masalah interpersonal turut mempengaruhi kemampuan individu dalam memahami berbagai situasi sosial. Individu yang memahami adanya masalah dalam hubungan sosialnya, maka mereka mampu untuk mencari berbagai cara alternatif penyelesaian masalahnya. Akhirnya mereka juga mampu untuk membayangkan konsekuensi dari perilakunya.
2.1.4. Dampak dari keterampilan sosial yang rendah Sudah dikatakan di sub-bab sebelumnya bahwa keterampilan sosial penting dalam menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain. Jika individu mampu untuk berinteraksi dengan baik, maka mereka dapat memiliki hubungan yang berkualitas dan hubungan pertemanan yang berarti, serta emosi yang lebih stabil karena adanya dukungan sosial. Individu dengan keterampilan sosial yang baik biasanya lebih resisten dan memiliki resiliensi dalam menghadapi kejadiankejadian yang penuh tekanan, dapat memahami orang lain, berempati, menjalin komunikasi yang dinilai baik oleh orang lain, dan dapat menjalin hubungan yang harmonis (Segrin, 2001). Ia menambahkan bahwa biasanya mahasiswa memiliki keterampilan sosial yang sedang.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
13
Di sisi lain, rendahnya keterampilan seseorang akan membuat mereka mengalami masalah psikososial (Jones, Hobbs, & Hockenbury; Segrin; dan Wallace et al., dalam Segrin, 2001). Dari penelitian mereka, ditemukan keterampilan sosial yang rendah akan membuat individu memiliki resiko mengalami distres psikologis. Menurut Segrin (2001), individu dengan keterampilan sosial yang kurang baik juga cenderung mengalami masalah psikososial, tidak mampu berinteraksi dengan baik, dan lebih rentan mengalami distres psikologis. Distres yang dialami oleh individu dipengaruhi oleh ketiadaan dukungan sosial (Cole & Milstead; Riggio & Zimmerman, dalam Segrin 2001). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Lewinsohn (dalam Segrin, 2001) bahwa individu lebih rentan mengalami distres psikologis jika jarang mendapatkan reinforcement positif dari lingkungannya. Pada akhirnya individu tersebut tidak mampu memunculkan perilaku yang dianggap baik dan terkena dampak negatif dari perilakunya. Sprinthall & Collins (1995) juga menyatakan hal yang sama, yakni individu yang memiliki keterampilan sosial yang buruk akan mengalami masalah perilaku dalam lingkungannya. Mereka sulit untuk menjalin hubungan sosial dan mempertahankan hubungan tersebut. Lebih jauh, dampak terburuk dari keterampilan sosial yang rendah berasosiasi dengan munculnya kecemasan dan depresi (Christoff, Scott, Kelley, Schlundt, Baer, & Kelly; Platt, Spivack, Altman, Altman, & Peizer; Sarason & Sarason, dalam Hansen, Nangle, Meyer, 1998). Simtom yang muncul pada individu tersebut sepeti mood depresif, kepercayaan diri yang rendah, dan tidak memiliki harapan akan masa depannya (Sprinthall & Collins, 1995).
2.2. Distres Psikologis 2.2.1. Pengertian Distres Psikologis Stres adalah kondisi di mana seseorang merasa tidak mampu untuk memenuhi tuntutan pada situasi tertentu (baik dalam bentuk fisik atau psikologis) secara efektif (Lazarus & Folkman, dalam Sarafino, 2002). Nevid, Rathus, & Greene (2003) menyatakan bahwa stres digunakan untuk menunjukkan suatu
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
14
tekanan atau tuntutan yang dialami individu agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri. Stres dibagi oleh Selye (dalam Sarafino, 2002) menjadi 2 jenis berdasarkan pengaruhnya terhadap seseorang. Jenis stres yang pertama yaitu eustress, stres yang bermanfaat dan bersifat konstruktif. Ada kalanya stres baik bagi seseorang, yakni ketika tekanan dari lingkungan akan meningkatkan keberfungsian seseorang hingga mencapai titik terbaik. Kondisi ini yang dipercaya bahwa tidak semua stres berbahaya bagi kesehatan mental seseorang. Jenis stres yang kedua adalah distress atau sering disebut dengan distres psikologis. Distres psikologis memiliki pengaruh buruk bagi seseorang sehingga menimbulkan kerugian, antara lain menimbulkan masalah pada kesehatan mental seseorang. Myrowsky & Ross (2003) menyebut distress sebagai keadaan subjektif yang tidak menyenangkan. Lebih lanjut, Myrowsky & Ross (2003) menyatakan bahwa distres psikologis memiliki dua bentuk utama, yaitu depresi dan kecemasan. Hal ini diperkuat oleh Nevid, Rathus & Greene, (2003) bahwa dampak terburuk dari distres psikologis adalah membuat seseorang mengalami depresi dan cemas. Individu
yang mengalami
depresi
menunjukkan
perasaan
sedih,
tidak
bersemangat, merasa kesepian, tidak memiliki harapan, tidak berharga, mengharapkan kematian, memiliki masalah tidur, menangis, menganggap semua hal sulit, dan merasa tidak mampu untuk memulai sesuatu. Sedangkan individu yang mengalami kecemasan mengalami ketegangan, gelisah, khawatir, mudah marah, dan ketakutan (Myrowsky & Ross, 2003). Depresi dan kecemasan masing-masing memiliki dua bentuk, yaitu mood dan malaise (Myrowsky & Ross, 2003). Mood merujuk pada perasaan seperti sedih akibat depresi dan kekhawatiran terhadap kecemasan. Malaise (rasa tidak enak) merujuk pada kondisi tubuh, seperti lesu, bingung akibat depresi, gelisah, dan muncul penyakit-penyakit ringan (sakit kepala, sakit perut, pening) akibat cemas. Miller (2011) menyatakan bahwa distres psikologis dapat mengganggu fungsi seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Distres psikologis tidak bisa lepas dari kondisi kesehatan mental seseorang. Menurut Mirowsky & Ross (2003) distres psikologis dan kesehatan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
15
mental merupakan dua hal yang saling berkaitan. Mereka menemukan bahwa terdapat korelasi yang negatif antara distres psikologis dengan kesehatan mental. Hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut, jika individu memiliki nilai distres psikologis tinggi, maka nilai kesehatan mentalnya rendah. Begitu juga ketika nilai distres psikologis rendah, maka nilai kesehatan mental tinggi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Keyes et al. dan Wood & Joseph (dalam Fledderus, dkk., 2011) yang menemukan bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan kesehatan mental akan menurunkan distres psikologis pada individu. Selain itu, Korkeila et al. (dalam Verger, et. al, 2009), menyebutkan bahwa kemunculan distres psikologis menjadi indikator buruknya kesehatan mental seseorang. Dapat disimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental dapat diketahui dengan melihat kondisi distres psikologis seseorang.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis Matthews (2000) menyatakan bahwa distres dipengaruhi oleh faktor situasional atau lingkungan (seperti kejadian dalam hidup seseorang, kondisi fisiologis, kognitif, dan sosial) dan faktor intrapersonal (seperti trait kepribadian). Faktor-faktor yang mempengaruhi distres psikologis adalah sebagai berikut: a. Pengaruh fisiologis Berbagai penelitian yang melihat pengaruh fisiologis terhadap distres psikologis menemukan bahwa otak manusia turut mengatur dan memunculkan afek negatif. Sebuah penelitian pada individu dengan kasus parah menemukan ada bagian-bagian otak yang yang mempengaruhi distres psikologis, seperti kerusakan amygdala dan lobus frontalis dapat menimbulkan gangguan respon emosional dan juga kehilangan kontrol atas perilaku seseorang (Matthews, 2000). Pada akhirnya individu dengan kasus parah kesulitan untuk memunculkan emosi yang sesuai dengan lingkungannya. b. Pengaruh kognitif Bukti bahwa kognitif turut mempengaruhi distres psikologis berasal dari berbagai penelitian eksperimen. Dalam Matthews (2000), beberapa penelitian menemukan bahwa dampak psikologis ataupun fisiologis
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
16
dipengaruhi oleh kepercayaan dan harapan yang dimiliki seseorang terhadap penyebab distres psikologis. c. Pengaruh sosial Gangguan dalam hubungan sosial yang berkaitan dengan situasi duka, perselisihan dalam kehidupan perkawinan, dan konsidi tidak bekerja adalah salah satu faktor yang berpotensi memunculkan distres psikologis (Matthews, 2000). Sebaliknya, ketersediaan dukungan sosial dapat mengurangi distres psikologis yang dialami seseorang. d. Pengaruh kepribadian individu Trait kepribadian turut mempengaruhi distres psikologis yang dialami individu.
Eysenck
(dalam
Matthews,
2000)
menyatakan
bahwa
neuroticism dapat memprediksi kemunculan mood negatif seperti depresi dan kecemasan. Sebaliknya, faktor extraversion yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kemunculan afek positif, menunjukkan korelasi negatif dengan pengukuran distres psikologis.
Menurut Mirowsky dan Ross (2003), distres psikologis akan memiliki pengaruh yang berbeda-beda untuk tiap individu. Berikut ini merupakan beberapa kondisi yang mempengaruhi distres psikologis, yaitu: a. Status sosial ekonomi, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang (termasuk tingkat pendidikan, status kepegawaian atau memiliki pekerjaan, dan penghasilan), maka semakin rendah tingkat distres psikologis yang dialami individu tersebut. b. Status pernikahan juga mempengaruhi distres psikologis, didapatkan hasil bahwa individu yang sudah menikah cenderung tidak mengalami distres psikologis dibandingkan individu yang belum menikah. Individu yang tidak menikah sering merasa kesepian, hidupnya kurang teratur, dan tidak memiliki keterikatan yang menimbulkan rasa aman. Pernikahan membuat seseorang memiliki dukungan sosial yang berasal dari pasangannya. c. Gender, di mana perempuan lebih mudah mengalami distres psikologis dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peran gender dari lingkungan. Perempuan cenderung memiliki lebih banyak peran, seperti
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
17
mengurus rumah tangga, memperhatikan orang lain (keluarga, teman), terlebih jika perempuan tersebut memiliki pekerjaan. Banyaknya tuntutan seperti itu membuat perempuan lebih rentan mengalami distres psikologis. d. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup seseorang, semakin sering terjadi perubahan yang tidak diinginkan dalam kehidupan seseorang, semakin besar tingkat distres psikologis yang dialami individu tersebut. Hal ini sering ditemui, salah satunya pada mahasiswa. e. Usia Mirowsky & Ross (2003) menemukan bahwa individu di usia muda memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih tua. Penelitian ini juga menemukan bahwa individu yang berusia di bawah 30 tahun cenderung memiliki tingkat kecemasan dan kemarahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang lebih tua. Mahasiswa sendiri, berada dalam rentang usia antara 18 sampai 24 tahun, sehingga seharusnya tingkat distres psikologis tidak akan berbeda. f. Tuntutan peran dalam lingkungan Mirowsky & Ross (2003) menyebutkan bahwa tuntuan peran dalam lingkungan turut mempengaruhi tingkat distres psikologis seseorang. Istri yang harus bekerja dan sekaligus mengurus rumah tangga memiliki tingkat distres psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan suaminya. Masa kuliah merupakan masa yang dianggap memiliki banyak tuntutan. Menurut Verger, dkk. (2008) mahasiswa termasuk kelompok yang rentan mengalami distres psikologis karena mereka memiliki banyak tuntuan, seperti berkuliah dan menyesuaikan diri dengan status sosial mereka sebagai seorang mahasiswa.
Untuk mengukur distress psikologis, peneliti akan melihat simtom-simtom yang muncul, yaitu kecemasan dan depresi (Matthews, 2000). Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan alat ukur untuk melihat kecemasan dan depresi dengan menggunakan Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25).
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
18
2.3. Cognitive Behavior Therapy (CBT) 2.3.1. Pengertian CBT Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan intervensi psikologis yang bertujuan untuk menurunkan distres psikologis dan menghilangkan perilaku maladaptif dengan mengubah proses kognisi (Kaplan, dkk, dalam Stallard, 2004). Menurut Beck & Weishaar (2011) cara seseorang memberikan respon terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidupnya dipengaruhi oleh kognisi, afek, motivasi, dan perilaku mereka. Menurut Kendal (dalam Stallard, 2004), CBT memiliki asumsi bahwa afek dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh kognisi. CBT melihat bahwa adanya masalah psikologis disebabkan karena proses kognisi yang terdistorsi (Stallard, 2004). Beck & Weishaar (2011) juga menyatakan hal yang sama, respon-respon maladaptif disebabkan oleh persepsi dan interpretasi yang salah, serta kognisi individu yang disfungsional. Oleh karena itu, CBT merupakan intervensi terhadap kognisi dan perilaku, yang dapat mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. CBT dapat membetulkan kesalahan dan bias yang terjadi saat memproses informasi dan mengubah keyakinan utama (core belief) yang dapat memunculkan kesimpulan yang salah (Beck & Weishaar, 2011). Lebih lanjut, Beck & Weishaar (2011) menyatakan bahwa selama sesi terapi berlangsung, perlu adanya proses kolaborasi antara terapis dan klien untuk menguji keyakinan klien terhadap diri mereka sendiri, orang lain, atau lingkungannya. Menurut Spence & Donovan (dalam Stallard, 2004), CBT efektif untuk mengatasi masalah dalam hubungan interpersonal atau sosial. Adanya distorsi kognitif yang kemudian memunculkan pemikiran atau keyakinan yang salah terhadap sebuah situasi, seperti yang dialami oleh individu saat berada dalam situasi sosial. Penggunaan CBT didasari oleh beberapa alasan, antara lain: a. CBT dapat mengatasi berbagai macam masalah psikologis b. CBT fokus pada satu masalah spesifik c. Terapi yang efisien dalam waktu d. Adanya hubungan yang kolaboratif antara terapis dan klien
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
19
e. CBT mempercayai bahwa individu dapat menjadi terapis bagi dirinya sendiri.
Dalam bukunya, Bedell & Lennox (1997) menyatakan bahwa CBT efektif untuk mengatasi berbagai macam masalah psikologis, termasuk mengatasi rendahnya keterampilan sosial individu. Aydin, Tekinsav-sütçü, & Sorias (2010) menyatakan bahwa dengan CBT dapat dilakukan restrukturisasi kognisi sehingga membantu individu mengenali hal-hal yang berkaitan dengan situasi sosial dan perilaku mereka saat menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan CBT, individu dapat mengubah penilaian yang umumnya negatif dan disfungsional menjadi penilaian baru yang lebih sistematis dan adaptif.
2.3.2. Karakteristik CBT CBT memiliki beberapa hal yang sama dengan terapi lain, namun memiliki hal lain yang menjadikannya berbeda. Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007), ada beberapa karakteristik CBT, yaitu: a. Berstruktur dan partisipasi aktif CBT merupakan terapi berstruktur dan memfokuskan pada masalah yang dialami klien. CBT terdiri dari proses asesmen, perumusan masalah yang dialami klien saat ini, intervensi, monitoring, dan evaluasi (Stallard, 2004). Masalah ini harus diidentifikasi terlebih dahulu sehingga menjadi spesifik, dengan demikian dapat diselesaikan atau dikurangi. Terapis akan membantu
klien
untuk
mempertahankan
struktur
selama
terapi
berlangsung. b. Singkat CBT biasanya berlangsung singkat, sekitar 6-20 sesi untuk tiap masalah yang spesifik. Lamanya CBT berlangsung dipengaruhi oleh beban masalah yang dialami dan juga diri klien itu sendiri.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
20
Tipe masalah Masalah ringan (mild)
Jumlah sesi 6 sesi
Masalah ringan menuju sedang (mild to moderate)
6 – 12 sesi
Masalah sedang menuju berat (moderate to severe)
12 – 20 sesi
masalah berat dengan gangguan kepribadian
> 20 sesi
Tabel 2.1. Tipe Masalah dan Jumlah Sesi CBT
c. Stallard menambahkan bahwa CBT memiliki karakteristik lain, yaitu mengacu pada teori. CBT didasarkan pada pada model yang telah diuji secara empiris. Dengan demikian, hal ini menjadi alasan dan fokus dari pengunaan CBT. Dapat dikatakan bahwa CBT merupakan intervensi yang kohesif dan rasional, dan bukan hanya gabungan dari beberapa teknik.
2.3.3. Prinsip Dasar CBT Dalam CBT terdapat berbagai macam prinsip dasar, keyakinan terhadap individu, masalah individu, dan terapi yang menjadi pokok dari CBT (Westbrook, Kennerley, & Kirk, 2007). Prinsip-prinsip dasar dari CBT adalah: a. Prinsip kognitif Gagasan utama dari terapi yang berkaitan dengan kognitif adalah reaksi emosional dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh kognisi seseorang. Kognisi yang dimaksud adalah pikiran, keyakinan, dan interpretasi tentang dirinya sendiri atau situasi di mana mereka berada. Secara fundamental, kognisi mempengaruhi cara seseorang memaknai segala kejadian dalam hidup mereka. Kognisi membuat tiap orang memiliki pemaknaan dan reaksi emosi yang berbeda-beda terhadap peristiwa yang mereka alami. Menurut CBT, kognisi yang membuat interpretasi tiap individu berbeda. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan kognisi memunculkan emosi yang berbeda-beda. CBT mempercayai bahwa pendekatan ini dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan mengubah kognisinya mengenai apa yang mereka rasakan. (change their cognition change the way they feel)
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
21
b. Prinsip behavioral CBT
mempertimbangkan
perilaku
individu
penting
dalam
mempertahankan atau mengubah kondisi psikologis seseorang. CBT mempercayai bahwa perilaku berpengaruh kuat terhadap pikiran dan emosi seseorang. Oleh karena itu, mengubah perilaku individu merupakan cara yang sangat kuat dalam mengubah pikiran dan emosi orang tersebut. c. Prinsip kontinum CBT percaya bahwa lebih baik melihat masalah kesehatan mental sebagai sebuah proses normal yang berlebihan dibandingkan sebagai kondisi patologis. Dapat dikatakan bahwa masalah psikologis berada pada “ujung” kontinum dan bukan dalam dimensi yang berbeda. Hal ini berarti masalah psikologis dapat terjadi pada setiap orang dan teori CBT berlaku tidak hanya bagi klien namun juga bagi terapis. d. Prinsip here and now Terapi lain, seperti psikodinamika melihat simtom sebagai masalah psikologis. Proses perkembangan, motivasi yang tersembunyi, konflik yang terjadi tanpa disasari menjadi akar dari masalah yang akan ditangani dengan terapi psikodinamika. Sedangkan behavior therapy (BT) melihat simtom sebagai target utama dari terapi dan melihat bahwa simtom terjadi dari proses yang berlangsung sejak lama. CBT sendiri mewarisi pendekatan BT dengan memfokuskan pada kondisi saat ini. Dan yang menjadi perhatian utama adalah proses yang terjadi dalam mengurus masalah yang terjadi. e. Prinsip interaksi antar sistem Prinsip ini melihat masalah sebagai interaksi antara sistem yang ada pada individu dan dengan lingkungannya. Dalam CBT terdapat 4 sistem, yaitu kognisi, afek atau emosi, perilaku, dan fisiologis. Sistem-sistem ini saling berinteraksi dalam sebuah proses kompleks dan juga berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial, keluarga, budaya, dan ekonomi.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
22
2.3.4. Tujuan CBT Dalam bukunya, Stallard (2004) menyatakan tujuan CBT adalah meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), memfasilitasi pemahaman diri (self-understanding) agar menjadi lebih baik, dan memperbaiki kontrol diri (selfcontrol) dengan mengembangkan kognisi dan perilaku yang lebih tepat. Menurut Stallard (2004), CBT bertujuan untuk: a. Membantu klien mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang merugikan dirinya. Biasanya pemikiran dan keyakinan yang mereka miliki sifatnya negatif, salah (atau bias), dan cenderung mengkritik diri sendiri. Dalam CBT, klien akan melakukan pemantauan terhadap dirinya, pembelajaran, percobaan, dan pengujian terhadap pemikiran dan keyakinan yang ia miliki sehingga ada perubahan kognisi. Dengan demikian, perubahan kognisi menjadi lebih positif, seimbang, dan bermanfaat bagi klien. b. Identifikasi masalah kognitif dan perilaku yang dialami klien. Selain itu, terapis juga mengajarkan, menguji, mengevaluasi, dan mengkekalkan keterampilan untuk menyelesaikan masalahnya serta memunculkan perilaku baru pada diri klien. c. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat dan penyebab munculnya emosi negatif. Sesudah itu menggantinya dengan emosi yang lebih positif atau menyenangkan. d. Meyakinkan klien bahwa mereka mampu untuk menghadapi situasi baru ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai, karena memiliki kognisi dan perilaku yang lebih adaptif.
2.3.5. Komponen-komponen dalam CBT Menurut Stallard (2004), CBT dipengaruhi oleh berbagai komponen. Komponen spesifik dari intervensi ini ditentukan dari pembuatan formulasi masalah tiap klien. Oleh karena itu, CBT disusun sesuai dengan kebutuhan klien sehingga sifatnya tailor made dan membuat pelaksanaan CBT sangat fleksibel. Stallard (2004) mengemukakan 5 komponen dalam CBT, yaitu:
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
23
1. Formulasi dan psikoedukasi merupakan komponen dasar dari CBT. Komponen ini melibatkan memberikan edukasi mengenai hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku manusia. Seperti penentuan sebuah masalah dan mengidentifikasi seluruh respon yang muncul karena masalah tersebut. Setelah itu klien menentukan respon yang memiliki pengaruh terbesar. Psikoedukasi dapat berupa penjelasan dari terapis mengenai materi intervensi seperti CBT itu sendiri dan pemahamanan mengenai kemunculan sebuah masalah. 2. Kognisi a. Pemantauan pikiran (thought monitoring) untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis negatif dan keyakinan dasar (core belief) yang dimiliki klien. Dari komponen ini, selain dapat mengetahui pola pikir klien, terapis juga dapat mengidentifikasi situasi-situasi yang memunculkan emosi yang kuat pada klien atau kemunculan pikiran yang berisi kritik negatif terhadap diri. Pengenalan terhadap model AB-C pada saat psikoedukasi membuat klien mampu mengorganisasi informasi dan mengevaluasi pikiran mengenai dirinya, lingkungan, dan perilaku klien. b. Proses identifikasi distorsi dan defisit kognitif (identification of cognitive distortions and deficits) terjadi setelah klien melakukan pemantauan pikiran (thought monitoring). Proses ini membuat klien mampu untuk mengidentifikasi pikiran, asumsi, keyakinan yang terdistorsi, dan pola pikir yang tidak berguna. Akhirnya kesadaran klien akan penyebab kemunculan pikiran negatif akan meningkat, seperti berbagai macam unhelpful thinking style tipe mental filter, jumping to conclusion, personalisation, catastrophising, black and white thinking, magnification, dan sebagainya serta pengaruh pikiran negatif terhadap perasaan dan perilaku klien. c. Evaluasi pikiran (thought evaluation) dilakukan untuk menguji dan mengevaluasi kognisi klien, perubahan pola pikir klien, dan pembentukan cara berpikir yang lebih berguna dan adaptif. Seperti mencari informasi baru, berpikir dengan menggunakan perspektif lain,
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
24
dan mencari bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan awal (yang biasanya negatif dan merugikan klien). Dari proses ini, klien berusaha mengubah keyakinan atau pikiran negatifnya. Klien juga didukung oleh terapis untuk membentuk pikiran alternatif yang lebih baik, lebih fungsional dan seimbang (development of alternative cognitive processes). d. Terapis juga membantu klien mempelajari keterampilan kognitif yang baru (development of new cognitive skills) seperti mengevaluasi pikiran negatif dengan melakukan positive self-talk atau kalimatkalimat positif yang memotivasi klien, menulis diary mengenai hal-hal positif, dan terbiasa untuk mencari pikiran-pikiran alternatif yang dapat membantu mengatasi masalah. 3. Perilaku a. Penentuan tujuan (target setting) merupakan bagian dari intervensi CBT. Klien diminta untuk menentukan tujuan dari terapi yang disepakati bersama (goal planning) dan dapat diketahui jika ada perubahan. Penentuan tujuan ini tidak terlepas dari prinsip SMART (Specific / spesifik, Measurable / dapat diukur, Achievable / dapat diraih, Relevant / relevan, and Time Frame/ ada jangka waktu pencapaian). Klien dapat mencapai perubahan karena mempelajari keterampilan baru yang didapatkan dari tiap sesi. Untuk itu, klien diminta untuk mengerjakan tugas rumah yang diberikan terapis. Pencapaian target terapi akan dilihat kembali dan membuat klien paham progres dari terapi yang dijalaninya. b. Pada CBT dilakukan pencarian gaya berpikir klien dengan cara yang terstruktur, sehingga terapis bersama dengan klien dapat mengevaluasi dan menguji pikiran klien. Pengujian dilakukan dengan eksperimen perilaku (behavior experiments atau BE) untuk melihat apakah prediksi klien benar atau salah mengenai suatu hal / kejadian. BE dinilai sebagai strategi yang paling efektif untuk mendukung perubahan perilaku klien (Westbrook, Kennerly, & Kirk, 2007). Klien diminta untuk merancang kemunculan sebuah perilaku sehingga saat ia
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
25
melakukannya, klien dapat menemukan pikiran yang lebih positif dan adaptif, serta mengetahui bahwa pikirannya tidak selalu benar. 4. Emosi a. Umumnya CBT melibatkan psikoedukasi mengenai emosi (affective education) agar klien mampu mengidentifikasi dan membedakan emosi yang dirasakan (seperti marah dan sedih), serta mengidentifikasi sensasi fisik yang muncul (jantung berdebar, berkeringat dingin, atau sesak napas). b. Dengan pemantauan emosi (affective monitoring) klien mampu menghubungkan antara emosi, pikiran, dan perilaku, mampu mengenali intensitas emosi yang dirasakan, serta kesadaran akan perubahan yang terjadi pada diri klien. c. Pada pengaturan emosi (affective management), klien diajarkan untuk relaksasi sehingga dapat mengatasi masalah seperti kecemasan, fobia, dan stres pasca trauma. Klien diajarkan untuk melakukan relaksasi progresif atau mengatur napas sehingga membantu mereka mengatasi masalah. Jika klien semakin sadar akan pola emosinya, mereka mampu untuk
menyusun
strategi
untuk
tindakan
preventif
terhadap
kemunculan gejala fisik yang mengganggu. 5. Penguatan (reinforcement) dan rewards terhadap perilaku yang sesuai merupakan komponen penting dalam CBT. Penguatan dapat dilakukan klien secara kognitif seperti positive self-talk, secara material seperti hadiah, atau dengan aktivitas tertentu yang membuat klien merasa lebih baik atau jika sudah mencapai tujuan. Penguatan juga dapat diperoleh dari orang lain, terutama orang-orang terdekat, seperti dorongan untuk menjadi lebih baik atau pujian jika mampu memunculkan perilaku yang dianggap positif.
2.3.6. Tahap pelaksanaan Menurut Beck & Weishaar (2011), pelaksanaan dapat CBT dibagi menjadi tiga sesi, yaitu:
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
26
a. Sesi inisial Tujuan dari sesi pertama ini adalah melakukan wawancara awal. Diharapkan dengan wawancara awal terapis dapat membangun relasi dengan klien dan memperoleh informasi penting tentang klien. Di wawancara awal, penting bagi terapis untuk bertanya mengenai perasaan dan pemikiran klien mengenai harapan dari terapi yang mereka ikuti. Klien juga diperbolehkan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang membuat mereka ingin mengikuti intervensi atau masalah yang dialami. Menurut Beck, Rush, dkk. (dalam Beck & Weishaar, 2011) diskusi mengenai harapan klien dapat membuat mereka lebih santai. Dari diskusi ini, terapis dapat menjelaskan hubungan antara kognisi dengan afek pada CBT dan membantu klien menyesuaikan diri dengan proses terapi. Salah satunya dengan membangun hubungan kolaboratif dan mengubah anggapan klien yang salah mengenai terapi, seperti mengira bahwa dalam terapi mereka akan diminta atau memperoleh instruksi dari terapis untuk melakukan hal-hal tertentu. Informasi yang diperlukan oleh terapis pada sesi pertama adalah diagnosis, sejarah munculnya keluhan, situasi kehidupan klien saat ini, masalah psikologis yang dialami, sikap klien terhadap terapi, dan motivasi untuk menjalani terapi. Di sesi pertama, terapis perlu merumuskan masalah yang dialami klien. Perumusan masalah dan pengumpulan informasi mengenai latar belakang klien dapat berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Hal terpenting adalah pada pertemuan pertama terapis harus fokus terhadap masalah yang spesifik dan dapat memberikan ketenangan atau kelegaan pada klien dengan cepat karena sudah diberikan kesempatan untuk bercerita kepada terapis. Dalam merumuskan masalah, terapis perlu menganalisa dua aspek yang terkait dengan masalah, yaitu aspek fungsional dan kognitif. Analisa fungsional dapat mengindentifikasi elemen masalah, seperti manifestasi dari masalah, di situasi seperti apa masalah biasanya muncul, frekuensi, intensitas, dan durasi kemunculan masalah, serta konsekuensi dari masalah yang dialami. Sedangkan analisa kognitif dapat mengindentifikasi
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
27
pemikiran dan gambaran yang muncul saat ada pencetus masalah yang sifatnya emosional. Termasuk bagaimana klien merasa mampu mengontrol kedua hal tersebut, bayangan mereka saat mengalami distres, dan kemungkinan munculnya respon saat masalah itu benar-benar terjadi. Pada sesi pertama ini, terapis diperbolehkan untuk lebih aktif. Selain itu, terapis juga dapat memberikan pekerjaan rumah kepada klien. Terapis biasanya mengarahkan klien untuk mengenali hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilakunya. Pada sesi selanjutnya, klienlah yang diharapkan menjadi lebih aktif. Salah satunya dengan menentukan sendiri pekerjaan rumah yang akan dikerjakan dan pemberian tugas lebih fokus pada menguji beberapa asumsi spesifik. Selama sesi-sesi awal, perlu dibuat daftar masalah yang dialami klien. Di dalam daftar ini terdapat simtom spesifik, perilaku, ataupun masalah yang sudah ada sejak lama. Setelah itu dibuat urutan prioritas dari masalah yang ada sehingga didapatkan masalah yang ingin diselesaikan terlebih dahulu. Penentuan ini berdasarkan pada tingkat keparahan atau distres yang dialami, kemungkinan penyelesaian masalah, keparahan simtom, dan lamanya masalah ini dialami oleh klien. Jika terapis dapat membantu klien menyelesaikan masalahnya di sesi-sesi awal, keberhasilan ini dapat memotivasi klien untuk membuat perubahan dalam hidupnya. b. Sesi pertengahan dan akhir Setelah melewati sesi-sesi awal, penekanan terapi berganti dari fokus pada simtom yang dialami klien menjadi pola berpikir klien. Hubungan antara pikiran, afek, dan perilaku akan ditunjukkan melalui pengujian pikiran-pikiran otomatis (automatic thoughts). Saat klien menyadari bahwa pikiran-pikirannya yang negatif mempengaruhi keberfungsiannya, maka mereka mempertimbangkan asumsi dasar mengenai hal yang memunculkan pikiran
tersebut.
Peneliti membantu
klien dengan
mengajukan berbagai pertanyaan sampai klien menemukan sendiri alasan mengapa ia berpikir seperti itu. Seringkali asumsi tersebut tidak disadari oleh klien dan muncul setelah klien menyadari tema dari pikiran-pikiran otomatis yang dimilikinya. Saat
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
28
pikiran-pikiran itu diketahui, maka asumsi dasar yang dimiliki klien dapat diintervensi. Setelah itu, asumsi tersebut akan dimodifikasi dengan menguji validitas, kesesuaian dengan hidup klien, dan fungsinya bagi mereka. Di sesi selanjutnya, klien yang akan bertanggung jawab untuk mengidentifikasi masalah, pencarian solusi, dan menentukan sendiri pekerjaan rumah. Terapis tidak lagi menjadi guru, melainkan menjadi penasehat saat klien mulai mampu menggunakan teknik kognitif dalam menyelesaikan masalahnya. Intensitas pertemuan pun semakin berkurang ketika klien tidak lagi tergantung pada terapis. Akan dilakukan terminasi ketika
tujuan
terapi
sudah
tercapai
dan
klien
merasa
mampu
mengaplikasikan keterampilan mereka dan perspektif yang baru dengan mandiri. c. Sesi penyelesaian terapi Di sesi awal, perlu adanya perjanjian mengenai perkiraan lama sesi akan dilakukan. Dengan demikian, klien memahami bahwa akan ada terminasi sesuai dengan perjanjian awal. Di akhir pertemuan, klien seharusnya sudah paham bahwa tujuan dari CBT adalah membuat mereka menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Dengan adanya daftar masalah, membuat klien tahu apa yang akan dicapai selama sesi terapi. Pengetahuan akan kemajuan atau keberhasilan dalam menyelesaikan masalah didapatkan dari observasi perilaku, memonitor diri sendiri, lapor diri, dan kuesioner. Selama sesi berlangsung, klien akan mengalami keberhasilan atau kegagalan atau kemunduran, seperti munculnya masalah yang sama di kemudian hari. Hal
ini menjadi kesempatan bagi klien untuk
mempraktekkan keterampilan mereka yang baru. Menjelang terminasi, klien diingatkan bahwa wajar jika terjadi kegagalan dan meyakinkan bahwa mereka seharusnya mampu mengatasi karena sudah pernah mengatasi masalah tersebut. Terapis akan menanyakan bagaimana klien menyelesaikan masalahnya selama sesi terapi. Terapis juga akan mengajak klien membayangkan tentang apa yang akan mereka lakukan jika
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
29
mengalami masalah yang sama di kemudian hari dan melihat bagaimana mereka mengatasi hal tersebut. Terminasi biasanya akan diikuti dengan satu atau dua sesi lanjutan, biasanya sebulan setelah terapi selesai. Sesi ini bertujuan untuk melihat pencapaian dan membantu klien menggunakan keterampilan barunya.
2.4. Mahasiswa Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu untuk menjelaskan mengenai karakteristik dari mahasiswa itu sendiri. Mulai dari pengertian, tahap perkembangan yang tengah dilaluinya, dan masalah yang dihadapi mahasiswa pada umumnya.
2.4.1. Pengertian Mahasiswa dan mahasiswa Universitas Indonesia Menurut Sarwono (dalam Utama, 2010) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia 18-30 tahun. Hassan & Sukra (dalam Utama, 2010) menyatakan bahwa mahasiswa adalah pelajar atau peserta didik yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, dan memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) adalah peserta didik yang terdaftar dan sedang mengikuti program pendidikan di Universitas Indonesia (Keputusan Rektor Universitas Indonesia, 2006). Lebih lanjut, mahasiswa UI diterima melalui berbagai macam jalur, yaitu jalur SIMAK-UI (Seleksi Masuk UI), UMB (Ujian Masuk Bersama), SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), KSDI (Kerjasama Daerah Industri), PPKB (Progam Pemerataan Kesempatan Belajar), dan jalur prestasi (dalam http://simak.ui.ac.id). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan individu yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, dan memiliki kemampuan yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dan memiliki batas usia antara 18-30 tahun. Sedangkan pengertian mahasiswa UI
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
30
sendiri adalah orang yang mengikuti pendidikan perguruan tinggi di Universitas Indonesia, yang diterima melalui jalur SIMAK-UI, UMB, SNMPTN, KSDI, PPKB, atau jalur prestasi. Mahasiswa UI memiliki beban kuliah sebanyak 144146 SKS dan dijadwalkan untuk berkuliah selama 8 – 12 semester (Keputusan Rektor Universitas Indonesia, 2004).
2.4.2. Tugas perkembangan mahasiswa Utama (2010) menyatakan bahwa mahasiswa S1 reguler di Universitas Indonesia mayoritas berada pada usia antara 18 – 24 tahun. Mengacu pada rentang usia, mahasiswa termasuk ke dalam tahap perkembangan dewasa muda (young adulthood) (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Individu diharapkan dapat menjalankan tugas-tugas perkembangan dengan baik, menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru, memenuhi harapan lingkungan, dan menjadi lebih mandiri.
2.4.3. Masalah-masalah mahasiswa Mooney & Gordon (dalam Utama, 2010) mengkategorikan masalahmasalah yang biasanya dihadapi mahasiswa menjadi 12 kelompok, yaitu: a. Kesehatan dan perkembangan fisik (health and physical development) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan kondisi tubuh, fisik dan kesehatan mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah kesehatan dan perkembangan fisik adalah tidak sekuat dan sesehat seperti yang diharapkan, memiliki bermacam-macam alergi, merasa ada tekanan dan nyeri pada kepala, secara bertahap berat badan menurun, serta kurang udara segar dan sinar matahari. b. Kondisi kehidupan dan keuangan (finances, living conditions, and employment) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan masalah keuangan dan pekerjaan yang umum dihadapi mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah kondisi keuangan dan pekerjaan adalah berhutang untuk kebutuhan perkuliahan, hidup pas-pasan, wisuda terancam karena kekurangan biaya, membutuhkan uang untuk pendidikan lanjutan, dan terlalu banyak masalah keuangan.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
31
c. Aktivitas sosial dan rekreasional (social and recreational activities) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan alokasi waktu untuk melakukan aktivitas sosial, hobi, dan waktu untuk diri sendiri. Contoh masalah dalam ranah aktivitas sosial dan rekreasional adalah tidak menjalani kehidupan yang bermakna, tidak menggunakan waktu luang dengan baik, ingin meningkatkan diri menjadi lebih berbudaya, ingin meningkatkan kemampuan berpikir, dan ingin mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri. d. Hubungan sosial–psikologis (social-psychological relations) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan masalah psikologis yang dihadapi mahasiswa ketika berada dalam lingkungan sosial. Contoh masalah dalam ranah hubungan sosial–psikologis adalah mendambakan kepribadian yang lebih menyenangkan, ingin lebih populer, cemas mengenai bagaimana kesan orang lain tentang diri, dan merasa tidak nyaman berada dengan orang lain. e. Hubungan psikologis individu (personal-psychological relations) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan kondisi psikologis diri seseorang. Contoh masalah dalam ranah hubungan psikologis individu adalah “moodiness”, perasaan sering berubah-ubah dengan cepat, galau, gagal pada banyak hal yang coba dilakukan, sangat mudah menyerah, bernasib buruk, dan kadang-kadang berharap tidak pernah dilahirkan. f. Seks dan pernikahan (courtship, sex, and marriage) Masalah dalam ranah ini berhubungan dengan kondisi seks dan pernikahan yang dihadapi mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah seks dan pernikahan adalah takut kehilangan seseorang yang dicintai, mencintai orang yang tidak mencintai saya, terlalu terhambat dalam hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas, takut menjalin hubungan yang mendalam dengan lawan jenis, dan bertanya-tanya apakah akan pernah menemukan pasangan yang cocok. g. Rumah dan keluarga (home and family) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan hubungan dengan orang tua dan kondisi keluarga. Contoh masalah dalam ranah rumah dan keluarga adalah
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
32
orangtua berpisah atau bercerai, orangtua mengalami masa sulit karena perpisahan atau perceraian, mencemaskan salah satu anggota keluarga, ayah atau ibu sudah meninggal, dan merasa tidak punya rumah. h. Moral dan agama (morals and religion) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan hubungan individu dengan Tuhan, agama, dan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan. Contoh masalah dalam ranah moral dan agama adalah berbeda dalam keyakinan agama dengan keluarga, gagal untuk melihat kaitan antara agama dan kehidupan, tidak tahu apa yang harus dipercaya tentang Tuhan, ilmu pengetahuan berkonflik dengan agama yang dianut, dan membutuhkan prinsip hidup. i. Penyesuaian diri di dunia kampus (adjusment to college world) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan persiapan individu memasuki dunia kuliah dan kondisi diri yang berhubungan dengan dunia perkuliahan. Contoh masalah dalam ranah penyesuaian diri di dunia kampus adalah melupakan hal-hal yang sudah dipelajari selama bersekolah, mendapat nilai-nilai rendah, lemah dalam karya tulis, lemah dalam mengeja atau tatabahasa, dan lambat dalam membaca. j. Pekerjaan dan pendidikan di masa datang (the future: vocational and educational) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan karir, pekerjaan, pendidikan masa depan, dan bagaimana usaha individu untuk mencapainya. Contoh masalah dalam ranah pekerjaan dan pendidikan di masa datang adalah tidak mampu memasuki jurusan yang dikehendaki, mengambil jurusan yang salah, ingin pindah ke universitas atau jurusan lain, menginginkan pengalaman paruh waktu dalam bidang yang digeluti, dan meragukan apakah pendidikan yang diikuti akan menyiapkan seseorang untuk bekerja. k. Kurikulum dan prosedur pengajaran (curriculum and teaching procedures) Masalah dalam ranah ini berkaitan dengan budaya kampus, kurikulum yang berlaku selama kuliah, sistem pengajaran, dan kondisi kampus. Contoh masalah dalam ranah kurikulum dan prosedur pengajaran adalah universitas atau tempat pendidikan tidak mempedulikan kebutuhan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
33
mahasiswa, kuliah-kuliah membosankan, terlalu banyak dosen yang kurang mampu mengajar, dan dosen-dosen kurang memahami bahan ajar. l. Permasalahan masa kini (Current Issues) Masalah dalam ranah ini merupakan masalah yang terkait dengan isu-isu terkini mahasiswa. Contoh masalah dalam ranah masalah ini adalah tidak dapat menghindari teman-teman yang menggunakan obat obat terlarang dan terlalu banyak clubbing.
2.5. CBT sebagai intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa Menurut Spence (2003), rendahnya keterampilan sosial akan membuat individu memiliki hubungan sosial yang kurang baik. Mathur, dkk. (1998) menyatakan individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah biasanya kesulitan untuk menjalin dan menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain. Selain itu, rendahnya keterampilan sosial berdampak pada penolakan dari kelompok, terisolasi dari lingkungan sosial, dan individu mengalami kesepian (Mathur, dkk., 1998). Bagi beberapa mahasiswa, masalah dalam hubungan sosial menjadi masalah utama yang memunculkan distres psikologis. Untuk meningkatkan keterampilan sosial, ada beberapa cara yang dapat digunakan, antara lain instruksi langsung dari terapis, modeling, bermain peran, dan latihan langsung. Namun berbagai intervensi tersebut memiliki tujuan agar mahasiswa menguasai keterampilan sosial yang dibutuhkan, seperti berani menyapa orang lain, memulai pembicaraan, memilih topik pembicaraan, meminta dan menawarkan bantuan, menolak permintaan orang lain, atau mengontrol rasa malu atau perasaan tidak mampu saat berada di situasi sosial. Terlebih pada mahasiswa, mereka diharapkan dapat bekerja sama dalam kelompok, tergabung dalam sebuah organisasi, menemukan pasangan (lawan jenis), dan membangun hubungan sosial serta akademik yang baik dengan teman sebaya atau para pengajar. Beberapa terapis mempercayai dengan penguasaan keterampilan tersebut, mahasiswa dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari. Beberapa literatur yang ditemukan menyebutkan rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan mereka
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
34
saat berada di situasi sosial. Hal ini diperkuat dengan pendapat Spence (2003), bahwa keterampilan sosial yang rendah dipengaruhi oleh adanya distorsi kognitif dan gaya berpikir yang salah. Menurut Wells & Papageorgiou (dalam CartwrightHatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005), intervensi yang dinilai sesuai untuk meningkatkan
keterampilan
sosial
adalah
intervensi
kognitif
dengan
menggunakan CBT. Spence (2003) juga menyatakan perlu adanya restrukturisasi kognitif bagi individu dengan keterampilan sosial yang rendah. Intervensi dengan CBT bertujuan mengubah persepsi atau keyakinan mahasiswa dan mengatasi distorsi kognisi yang merugikan sehingga mereka dapat memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Bedell & Lennox (1997) menambahkan bahwa CBT akan membantu mahasiswa menyadari dan memahami proses berpikirnya dengan lebih baik. Dengan demikian, intervensi ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
35
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang dilakukan pada pelaksanaan intervensi ini. Akan dijelaskan mengenai partisipan penelitian, desain penelitian, metode pelaksanaan intervensi, proses intervensi, analisis dalam intervensi, sampai alat ukur yang digunakan untuk melakukan pretest dan posttest.
3.1. Desain Penelitian Penelitian ini termasuk bagian dari payung penelitian kesehatan mental pada mahasiswa Universitas Indonesia. Payung penelitian terdiri dari 6 orang mahasiswa dengan 4 orang pembimbing. Secara umum, penelitian ini membantu mahasiswa yang mengalami distres psikologis. Sedangkan secara khusus penelitian ini melihat efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa Universitas Indonesia. Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, desain yang digunakan adalah one group before-and-after study design (Kumar, 1999). Peneliti akan melakukan pengukuran terhadap variabel partisipan di dua waktu yang berbeda, yakni awal dan akhir penelitian. Di antara awal dan akhir penelitian akan dilakukan intervensi kepada partisipan. Dalam penelitian ini, pengukuran terhadap tingkat distres psikologis menggunakan Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) dan pengukuran keterampilan sosial mahasiswa UI menggunakan Social Skills Inventory (SSI). Keduanya diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi dengan CBT. Hasil pretest dan post-test akan dibandingkan untuk melihat efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa Universitas Indonesia yang mengalami distres psikologis. Peneliti akan menghitung perubahan skor HSCL-25 dan SSI dari pretest dan posttest. Secara kuantitatif, CBT dapat dikatakan efektif jika di akhir intervensi tingkat distres partisipan akan menurun dan akan ada peningkatan keterampilan sosial. Secara kualitatif, efektivitas CBT akan diketahui dari metode wawancara informal yang tidak terstruktur dan observasi terhadap partisipan. Peneliti dapat
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
36
meminta partisipan untuk menentukan sendiri perubahan yang dirasakan setelah mengikuti intervensi selama 6 sesi.
Berikut ini merupakan ilustrasi desain penelitian yang akan dilakukan: O1
-
X
-
O2
Gambar 3.1. Ilustrasi desain Penelitian Keterangan: O1
: Pengukuran awal keterampilan sosial mahasiswa UI dengan SSI
X
: Intervensi terhadap keterampilan sosial dengan menggunakan CBT
O2
: Pengukuran akhir keterampilan sosial mahasiswa UI dengan SSI
3.2. Permasalahan Penelitian Apakah CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa yang mengalami distres psikologis di Universitas Indonesia, yang diindikasikan dari perbaikan skor SSI dan HSCL-25 serta evaluasi kualitatif?
3.3. Partisipan Penelitian 3.3.1. Kriteria Partisipan Penelitian Peneliti menetapkan beberapa kriteria untuk mendapatkan partisipan penelitian, yaitu: a. Laki-laki atau perempuan yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda, yang memiliki rentang usia 18- 25 tahun. b. Berkuliah di Universitas Indonesia dan berada dalam program pendidikan S1 c. Mengalami distres psikologis yang tinggi, yang ditunjukkan dengan skor tes Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) sebesar ≥ 1,75. d. Memiliki masalah dalam ranah Social-Psychological Relation ≥ 8 masalah (berdasarkan alat ukur Mooney Problems Check Lists / MPCL) e. Memiliki setidaknya satu dimensi keterampilan sosial yang kurang dan dimensi yang timpang jika dibandingkan dengan dimensi lain, yang diukur dengan alat Social Skills Inventory (SSI)
f. Bersedia mengikuti intervensi yang dilakukan peneliti sebanyak 6 sesi dan mengisi informed consent yang disediakan oleh peneliti.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
37
3.3.2. Prosedur Pemilihan Partisipan Teknik sampling yang digunakan peneliti adalah convenience sampling dengan mengakses lingkungan yang tersedia dan dapat dijangkau peneliti (Kerlinger & Lee, 2000). Peneliti menyebarkan informasi mengenai intervensi yang akan dijalankan melalui selebaran (flyer) ke sepuluh fakultas di Universitas Indonesia yang berada di kampus Depok. Fakultas tersebut adalah Fakultas Psikologi, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keperawatan, dan Fakultas Ilmu Komputer. Selain itu, peneliti juga menaruh pemberitahuan ini di Klinik Terpadu Psikologi, BKM, halte bus, dan kantin-kantin yang ada di beberapa fakultas. Penyebaran flyers dilakukan selama ± 10 hari (16 Maret – 26 Maret 2012) dan tidak ada waktu penyebaran tertentu. Penyebaran informasi mengenai intervensi yang akan dilakukan pada mahasiswa UI juga dilakukan melalui media elektronik, seperti Twitter dan Blackberry Messenger. Peneliti juga meminta bantuan kepada teman-teman mahasiswa UI dan anggota BEM tiap fakultas untuk menyebarluaskan informasi tersebut. Sejak penyebaran informasi, diperoleh 74 calon partisipan yang menyatakan berminat untuk mengikuti program intervensi. Mereka mendaftar kepada peneliti melalui pesan singkat (SMS). Peneliti menampung semua pendaftar dan melakukan pendataan identitas. Pendataan dilakukan dengan mengumpulkan nama, nomor telepon, jenis kelamin, usia, angkatan, dan asal fakultas calon partisipan. Sejak tanggal 23 Maret 2012, kelompok peneliti menghubungi mereka satu per satu untuk meminta konfirmasi kedatangan untuk mengikuti problem screening. Problem screening dilakukan pada tanggal 26 sampai dengan 28 Maret 2012. Tujuannya untuk mengidentifikasi kesesuaian karakteristik calon partisipan dan permasalahan yang ingin mereka atasi dengan program intervensi. Aktivitas ini dilakukan di empat ruang ekspan yang berada di gedung B Fakultas Psikologi UI. Mengingat penelitian ini termasuk dalam payung penelitian, peneliti mencari mahasiswa dengan keterampilan sosial yang rendah dan juga memiliki masalah self-esteem yang berkaitan dengan penyesuaian diri mahasiswa saat berkuliah. Mereka diberikan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
38
empat alat ukur agar proses pemilihan partisipan sesuai dengan kriteria penelitian, yaitu Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check Lists (MPCL), Social Skills Inventory (SSI), dan Self-Esteem Scales (SES). Setelah problem screening selesai dilakukan, peneliti bersama tim payung penelitian menentukan sejumlah mahasiswa yang memungkinkan untuk menjadi partisipan penelitian. Peneliti juga menentukan pemilihan calon partisipan secara kualitatif, yaitu dengan melihat keluhan yang ditulis di kuesioner. Sejumlah pendaftar yang tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian kemudian akan diberikan konseling dan buklet berisi tips praktis (self-help booklet) terkait dengan keterampilan sosial dan self-esteem sebagai pegangan. Beberapa pendaftar juga akan ditawarkan untuk dirujuk kepada mahasiswa Program Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa lain yang juga sedang menyusun tesis apabila permasalahannya sesuai dengan topik yang diteliti. Sebagian juga ditawarkan untuk dirujuk kepada psikolog. Setelah didapatkan hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif, peneliti menghubungi mahasiswa UI yang sesuai dengan kriteria penelitian untuk datang mengikuti pre-sesi. Dari pemilihan acak, terpilih 3 mahasiswa UI yang dapat mengikuti intervensi untuk keterampilan sosial dengan metode Cognitive Behavior Therapy sejumlah 3 orang. Peneliti mengundang ketiganya untuk mengikuti presesi agar peneliti dapat melakukan wawancara awal. Presesi dilakukan pada tanggal 3 dan 5 April 2012 di ruang ekspan B.015 yang berada di gedung B Fakultas Psikologi UI. Saat presesi, peneliti mewawancara dan melakukan observasi terhadap masalah yang disampaikan calon partisipan. Kepada tiga mahasiswa UI yang terpilih, disampaikan penjelasan singkat mengenai waktu pelaksanaan intervensi dan meminta persetujuan mereka untuk mengikuti intervensi. Setelah itu, peneliti menjelaskan tujuan intervensi dan gambaran umum dari intervensi yang akan dilakukan. Peneliti akan menanyakan kesediaan calon partisipan untuk mengikuti intervensi dan meminta mereka untuk mengisi informed consent. Berikut merupakan bagan alur pencarian partisipan penelitian:
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
39
Penyebaran flyers & media elektronik (selama 10 hari)
74 mahasiswa UI mendaftar via SMS
Problem screening (selama 3 hari)
Tidak terpilih: diberi konseling singkat dan booklet
Mengundang partisipan datang ke psikologi UI
Peneliti melihat kuesioner dan keluhan tertulis
Terpilih: 32 orang dalam payung penelitian
Dari pemilihan acak, untuk CBT: 3 partisipan
DI, LA, dan DE
Gambar 3.2 Alur Pemilihan Partisipan Penelitian
3.4. Metode Pelaksanaan Intervensi Intervensi dalam penelitian ini menggunakan teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT). Dalam CBT, peneliti menjadi terapis dan akan melakukan terapi individual kepada tiap partisipan terpilih. Peneliti menyusun modul intervensi dengan menggunakan teknik-teknik yang umum diterapkan pada CBT Pelaksanaan CBT akan dilakukan selama enam sesi, yang masing-masing berdurasi selama ± 90 sampai 120 menit. Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007), CBT dapat dilakukan dari 6 sesi untuk masalah ringan (mild) sampai lebih dari 20 sesi untuk masalah berat. Sesi CBT akan dilakukan sebanyak sekali dalam waktu satu minggu sehingga keseluruhan intervensi akan memakan waktu selama 6 minggu. Rancangan pelaksanaan intervensi pada penelitian ini akan dijabarkan secara umum dan secara spesifik. Secara umum, gambaran rancangan kegiatan dan tujuannya dalam setiap sesi adalah sebagai berikut: (Keterangan: rincian rancangan kegiatan dan modul lengkap terlampir)
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
40
Sesi Sesi 1
Tujuan Menjalin partisipan
Bentuk Kegiatan
rapport dan
dengan Psikoedukasi
mengenai
penjelasan keterampilan sosial dan CBT
mengenai intervensi Partisipan formulasi
paham
mengenai Psikoedukasi
masalah
yang macam
mengenai
respon,
berbagai
pengisian
tabel
dihadapi dan mengidentifikasi respon fisik, perilaku, dan pikiran, respon yang muncul
serta pengisian bagan formulasi masalah.
Partisipan menentukan tujuan
Pengisian daftar tujuan “My Goals”
tujuan dari intervensi dengan
dan penentuan mini goals untuk
prinsip SMART
mencapai
tujuan
ditentukan
utama
oleh
yang
partisipan.
Partisipan juga diminta menentukan skala pencapaian tujuan. Sesi 2
Partisipan
paham
mengenai Psikoedukasi mengenai hubungan
hubungan antara pikiran dan emosi dengan pikiran seseorang. perasaan
Partisipan mengisi emosi dan pikiran otomatis yang muncul dari kasus pribadi partisipan
Partisipan menemukenali dirasakan
mampu Psikoedukasi dengan memberikan emosi
yang daftar kata-kata yang menunjukkan berbagai
macam
emosi
dalam
bahasa Indonesia. Partisipan diminta mengisi respon emosi yang mungkin muncul dari contoh kasus Partisipan menyadari adanya Psikoedukasi pikiran otomatis
mengenai
pikiran
otomatis dan mengisi pikiran-pikiran otomatis yang mungkin muncul dari contoh kasus
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
41
Partisipan memahami model A- Psikoedukasi mengenai A-B-C dan mengisi lembar “Situasi, Pikiran,
B-C
atau Emosi?” Partisipan mampu
Pengisian
thought
diary
mengidentifikasi pikiran yang
mengidentifikasi core belief dengan
tidak berguna
melakukan
thought
dan
discovery
questions. Sesi 3
Partisipan
mampu Psikoedukasi
mengenai
gaya
mengidentifikasi gaya berpikir berpikir dengan pemberian daftar 10 yang salah dan yang tidak gaya berpikir yang tidak berguna. disadarinya
Partisipan menentukan gaya berpikir dengan mengisi thought diary.
Partisipan
paham
mengenai Psikoedukasi
mengenai
gaya
pengubahan perasaan negatif berpikir yang salah harus mencari dan mengubah gaya berpikir yang salah serta keyakinan yang dimilikinya Partisipan dapat melakukan
Pencarian
bukti-bukti
dengan
pencarian bukti-bukti untuk
mengisi lembar “My hot thoughts”
menantang pikiran (core belief)
Sesi 4
Partisipan dapat melakukan
Partisipan
dispute (uji validitas pikiran)
disputation yang diajukan peneliti
Partisipan mampu mengubah Meminta
menjawab
pendapat
pertanyaan
partisipan
pikirannya dengan mengganti mengenai cara berpikirnya yang pikiran yang salah dan yang negatif dan tidak adaptif. Peneliti merugikan dengan keyakinan mendorong partisipan untuk mencari (belief) yang baru, mendukung, balanced core belief, menilai ulang dan seimbang
emosi, dan keyakinan terhadap core belief di lembar “End Results”.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
42
Partisipan dapat mempercayai Psikoedukasi pikiran dan keyakinan baru
pengulangan
mengenai agar
efek dapat
mengaktivasi balanced core belief, salah
satunya
dengan
membuat
mengenai
behavior
thought card Mendorong partisipan untuk
Psikoedukasi
merancang behavior
experiments
experiments Sesi 5
Partisipan
mampu
menguji Partisipan menyusun rancangan BE
core belief melalui behavior di lembar “Behavior Experiments” experiment (BE) Sesi 6
Partisipan menyadari adanya Partisipan menentukan perubahan perubahan
yang terjadi dan melihat daftar “My Goals” di sesi pertama
Partisipan memahami cara
Psikoedukasi mengenai kemunduran
mempertahankan kebiasaan
dan meminta partisipan mengisi
baru dan penerimaan terhadap
lembar “Self-management plan”
kemunduran
3.5. Alat ukur penelitian Penelitian ini hanya menggunakan 3 dari 4 alat ukur, yaitu Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check Lists (MPCL), dan Social Skills Inventory (SSI). Peneliti juga melakukan wawancara informal kepada partisipan penelitian. Berikut penjelasan singkat mengenai alat ukur yang digunakan:
3.5.1. Pengukuran Distres Psikologis Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), merupakan alat ukur lapor diri (self report). HSCL-25 digunakan untuk mendeteksi simtom dari kecemasan dan depresi yang dialami individu dalam kurun waktu satu bulan terakhir. HSCL-25 terdiri dari 25 item, dengan 10 item untuk melihat simtom kecemasan dan 15 item untuk melihat simtom depresi (Ventevogel, dkk., 2007).
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
43
Seluruh pernyataan dalam alat ukur ini menggunakan skala Likert, dengan skala 1 sampai 4. Skala 1 menunjukkan bahwa simtom tersebut tidak mengganggu sama sekali, skala 2 dipilih jika simtom yang muncul sedikit mengganggu, skala 3 menunjukkan jika simtom tersebut agak mengganggu, dan terakhir skala 4 yang menyatakan bahwa gejala tersebut sangat mengganggu (Ventevogel, dkk., 2007). Skor dalam HSCL-25 dihitung dengan menjumlahkan skor yang didapat individu kemudian dibagi dengan jumlah item. Jika individu mendapat skor lebih dari atau sama dengan (≥) 1.75, maka individu tersebut dapat dikatakan mengalami distres psikologis (Ventevogel, dkk., 2007). HSCL-25 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi ke bahasa Indonesia. HSCL-25 pernah digunakan dalam penelitian terhadap mahasiswa UI pada tahun 2010 dan 2011.
3.5.2. Pengukuran Permasalahan mahasiswa Mooney Problem Check List (MPCL) bukanlah sebuah tes, melainkan sebuah daftar untuk membantu mahasiswa mengetahui masalah yang dialaminya. Alat ukur ini berisi berbagai masalah yang biasa dihadapi oleh siswa, baik itu siswa sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan mahasiswa. MPCL sering digunakan untuk konseling, panduan intervensi kelompok, survei, dan penelitian (Mclntyre, 1953). MPCL yang digunakan dalam penelitian ini adalah versi yang ditujukan untuk mahasiswa. Untuk mengisi MPCL, mahasiswa diminta untuk membaca setiap pernyataan. Setelah itu, mahasiswa diminta untuk melingkari masalah-masalah yang sedang mereka alami dan dianggap mengganggu mereka. Setelah selesai dengan daftar masalah, mahasiswa diminta menuliskan langsung masalah yang mereka hadapi. MPCL yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi ke bahasa Indonesia. MPCL tersebut pernah digunakan dalam penelitian terhadap mahasiswa UI pada tahun 2010 dan 2011. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mencantumkan 30 masalah dalam ranah Social Psychological Relationship yang berkaitan dengan masalah yang akan diintervensi. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah masalah dalam ranah ini dianggap mengganggu oleh mahasiswa.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
44
3.5.3. Pengukuran Keterampilan Sosial Social Skills Inventory (SSI) merupakan inventori untuk mengukur keterampilan dasar sosial. SSI terdiri dari 90 pernyataan yang meliputi 6 dimensi (Riggio, 1986). Dimensi-dimensi ini mengukur keterampilan sosial secara global, yaitu aspek emosional (nonverbal) dan sosial (verbal). Tiap aspek memiliki 3 dimensi yakni expressivity (ekspresi), sensitivity (sensitivitas), dan control (kontrol). Ekspresi mengacu pada keterampilan individu dalam berkomunikasi atau mengirimkan pesan kepada orang lain. Sensitivitas mengacu pada keterampilan untuk menerima dan menginterpretasi pesan dari orang lain. Terakhir adalah kontrol yang mengacu pada keterampilan individu dalam meregulasi dan mengatur proses komunikasi. SSI yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya, peneliti membeli kuesioner SSI dalam bahasa Inggris, sesudah itu mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, peneliti meminta bantuan kepada dua orang lain untuk memberikan expert judgment dan melakukan back-translating dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Peneliti kemudian melakukan uji keterbacaan kepada 10 mahasiswa Universitas Indonesia. Dengan adanya umpan balik, peneliti melakukan penyempurnaan SSI dengan membandingkan SSI yang pernah digunakan oleh Rizanti (2010) kepada populasi dewasa muda di Jakarta.
3.5.3.1. Administrasi dan Skoring SSI Partisipan diminta untuk mengisi 90 item pernyataan, dengan skala 1 (“Sangat
Tidak
Menggambarkan
Diri
Saya”),
skala
2
(“Agak
Tidak
Menggambarkan Diri Saya”), skala 3 (“Agak Menggambarkan Diri Saya”), dan skala 4 (“Sangat Menggambarkan Diri Saya”). Dari pengisian SSI, akan didapatkan nilai total yang dapat memprediksikan keterampilan sosial seseorang. SSI yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari dua penelitian di Universitas Indonesia pada tahun 2010. Tiap dimensi ketrampilan sosial diwakili oleh 15 item yang disusun sedemikian rupa dalam alat ukur sehingga item-item yang mengukur dimensi yang sama saling berjarak 6 item dengan item yang mengukur dimensi yang lain.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
45
Misalnya saja item 2, 8, 14, 20, 26, 32, 38, dan seterusnya adalah item-item yang mengukur dimensi Emotional Sensitivity. Dari 90 item dalam SSI, terdapat 32 item yang di-skor secara reverse. Total skor SSI menunjukkan keterampilan sosial individu secara global. Secara umum, semakin tinggi skor total SSI individu, maka semakin baik pula keterampilan sosial individu tersebut. Selain skor global, peneliti melihat skor dari masing-masing dimensi. Menurut Riggio (1986), tiap dimensi dalam SSI saling terkait satu sama lain dan tidak
dapat
berdiri
sendiri.
Keterampilan
sosial
yang
dianggap
baik
direpresentasikan oleh skor yang seimbang pada tiap dimensi SSI. Jika ada salah satu dimensi yang skornya timpang dibandingkan dengan dimensi lain, maka keterampilan sosial individu tersebut tidak dapat dikatakan baik. Ketimpangan suatu dimensi ditetapkan dari selisih skor individu dengan skor rata-rata pada dimensi keterampilan sosial. Pada SSI yang digunakan dalam penelitian ini, dimensi yang timpang adalah dimensi yang memiliki perbedaan dengan standar deviasi sebanyak kurang atau lebih dari 6 angka. Angka dalam standar deviasi tersebut diperoleh dari hasil interpolasi dengan standar deviasi yang digunakan oleh Riggio (1986). Peneliti menggunakan standar deviasi yang terkecil untuk dapat membedakan individu dengan keterampilan sosial yang baik dan kurang baik. Dimensi yang timpang adalah dimensi yang memiliki skor di atas atau di bawah 6, dengan melihat nilai cut-off tiap dimensi keterampilan sosial. Misalnya seperti seorang individu memiliki dimensi emotional expressivity yang timpang karena memiliki skor 22. Dalam adaptasi alat ukur ini, peneliti hanya menggunakan 4 skala pilihan jawaban, untuk menghindari kecenderungan menjawab nilai tengah. Oleh karena itu, peneliti melakukan interpolasi skor dari 5 skala pada alat ukur yang belum diadaptasi milik Riggio (1986). Interpolasi dilakukan peneliti dengan menghitung nilai cut-off (terlampir) dari Riggio (1986), kemudian dikalikan dengan 0,8. Hasilnya adalah angka yang menjadi cut-off dengan 4 skala pilihan jawaban. Penentuan cut-off mengikuti norma berdasarkan jenis kelamin subjek.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
46
Dari interpolasi alat ukur, didapatkan nilai cut-off untuk tiap dimensi keterampilan sosial. Berikut ini merupakan nilai cut-off berdasarkan jenis kelamin: ASPEK
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
EE Emotional Expressivity ES Emotional Sensitivity EC Emotional Control SE Social Expressivity SS Social Sensitivity SC Social Control
29,05
30,25
30,37
30,79
31,57
29,14
26,21
24,90
29,11
31,37
34,00
31,12
TOTAL
199,68
187,88
Tabel 3.1. Cut-Off Point Tiap Dimensi Keterampilan Sosial
3.5.3.2. Uji Keterbacaan Dilakukan uji keterbacaan kuesioner SSI kepada mahasiswa UI. Peneliti meminta responden untuk memberikan umpan balik dan memberitahukan itemitem yang dirasakan sulit untuk dipahami. Dari hasil uji keterbacaan, dilakukan perbaikan dan berikut merupakan beberapa item SSI yang diubah: No
Pernyataan
Pernyataan yang diubah
2.
Saat orang lain berbicara, saya
Saat orang lain berbicara, saya juga
lebih
memperhatikan gerakannya selain
banyak
memperhatikan
gerakannya daripada mendengar-
mendengarkan omongannya
kan omongannya 9.
Seringkali sulit bagi saya untuk
Seringkali sulit bagi saya untuk
berekspresi “muka datar” saat
menampilkan ekspresi datar ketika
menyampaikan lelucon atau cerita
menceritakan lelucon atau cerita
lucu.
lucu.
17. Saya akan lebih memilih untuk
Saya akan lebih memilih untuk
berpartisipasi dalam diskusi politik
berpartisipasi dalam diskusi politik
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
47
daripada dan
hanya
memperhatikan
menganalisa
apa
yang
dikatakan partisipan 33. Saya
mampu
berekspresi
daripada hanya memperhatikan dan menganalisa apa yang dikatakan partisipan diskusi
untuk “muka
tetap datar”
Saya
mempertahankan
ekspresi datar meskipun teman-
meskipun teman-teman mencoba
teman
membuat
saya
mampu
mencoba
membuat
saya
tertawa
atau
tertawa atau tersenyum
saya
bisa
Saya bisa langsung mengetahui
mengetahui orang yang “tidak
seseorang yang „tidak tulus‟ begitu
tulus” pada saat saya bertemu
bertemu dengannya
tersenyum. 50. Secara
langsung
dengan orang tersebut. 55. Saya sering menyentuh teman saya ketika
sedang
berbicara
Saya sering menggunakan sentuhan saat berbicara dengan teman saya
dengannya. 68. Dengan memberikan
mudahnya pelukan
saya
Saya mudah untuk memeluk atau
atau
menyentuh orang lain agar mereka
sentuhan yang nyaman kepada
merasa nyaman di kala tertekan
orang yang sedang mengalami tekanan. 87. Dengan mudahnya saya mengubah
Saya
dapat
dengan
mudah
diri saya dari yang terlihat senang
mengubah-ubah diri saya tampak
menjadi sedih semenit kemudian.
senang dan sedih dalam waktu singkat.
Tabel 3.2. Item Social Skills Inventory (SSI) yang Diubah
3.5.4. Wawancara Saat melakukan screening, peneliti melakukan wawancara dengan tipe unstandardized non-structured interview di mana peneliti hanya memiliki panduan utama yang akan ditanyakan. Wawancara dengan tipe ini bersifat fleksibel karena peneliti tidak terpaku oleh aturan baku mengenai isi pertanyaan,
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
48
urutan bertanya, dan kalimat yang digunakan (Kerlinger & Lee, 2000). Panduan utama pertanyaan terdiri dari: 1. Latar belakang kehidupan partisipan Peneliti bertanya mengenai identitas diri, kondisi keluarga, hubungan partisipan dengan anggota keluarganya, pola asuh orang tua, hubungan interpersonal selama ini. 2. Riwayat keluhan partisipan Peneliti bertanya mengenai kondisi yang dirasakan mengganggu sehingga partisipan membutuhkan bantuan psikologis, perasaan partisipan, awal mula munculnya masalah, konsekuensi masalah, dan usaha partisipan mengatasi masalah tersebut
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
49
BAB IV HASIL PENGUKURAN AWAL
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penjabaran kasus yang terdiri dari proses screening yang dijalani klien, identitas, observasi umum, hasil pengukuran awal, dan analisa awal.
4.1. Proses dan Hasil Screening Partisipan 4.1.1. Proses Screening Partisipan Peneliti sudah menetapkan beberapa kriteria calon klien yang dapat mengikuti intervensi. Untuk menentukan kriteria, peneliti memberikan buklet yang berisi kuesioner. Calon klien mengisi 3 jenis kuesioner, yaitu Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25), Mooney Problem Check List (MPCL), dan Social Skills Inventory (SSI). Dari proses screening yang dilakukan oleh kelompok peneliti, didapatkan 3 mahasiswa yang terpilih secara acak untuk mengikuti intervensi dengan CBT, yaitu DI, LA, dan DE. Peneliti meminta ketiganya tersebut untuk datang mengikuti sesi sebelum intervensi dimulai (pre-sesi). Peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai hasil screening dan menginformasikan bahwa mereka terpilih untuk mengikuti intervensi. Setelah itu, ditanyakan kesediaan mereka untuk mengikuti intervensi. Sesudah DI, LA, dan DE menyatakan mereka setuju untuk mengikuti intervensi, peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai proses intervensi yang akan mereka ikuti dan meminta mereka menandatangani informed consent (terlampir). Setelah itu peneliti membuat janji temu dan menentukan tanggal pelaksanaan sesi pertama.
4.1.2. Hasil Screening Partisipan Dari kuesioner yang diisi ketiga partisipan, didapatkan skor kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Berikut merupakan hasil screening ketiga klien:
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
50
Aspek Pengukuran
Skor DI
Skor LA
Skor DE
3.24
2,76
2,32
14
20
9
231
210
208
Emotional expressivity
40
38
43
Emotional sensitivity
40
(30)
37
Emotional control
(23)
(26)
(29)
Social expressivity
44
29
26
Social sensitivity
48
48
42
Social control
36
39
(31)
Distres psikologis (dengan HSCL-25) Jumlah
masalah
Social
Psychological Relations (SPR) yang dimiliki (dengan MPCL) Total
skor
keterampilan
sosial
(dengan SSI)
Tabel 4.1. Hasil Pretest DI, LA, DE Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa ketiganya memiliki distres psikologis yang tinggi, karena melebihi angka 1,75. Dari ketiganya, nampak bahwa DI yang memiliki distres psikologis paling tinggi, baru kemudian diikuti oleh LA dan DE. Setelah itu, peneliti melihat aspek masalah Social-Psychological Relations (SPR), ketiganya merasa memiliki masalah dalam menjalin hubungan sosial karena memiliki masalah tersebut lebih dari 8 masalah. Selain melihat skor SPR, peneliti juga melihat keluhan yang mereka tuliskan pada bagian terakhir kuesioner. Ketiganya mengeluhkan kualitas hubungan sosial yang mereka miliki sebagai masalah yang mereka rasakan saat ini. Selain mempertimbangkan tingkat distres psikologis yang tinggi dan masalah SPR yang lebih dari 8, peneliti menghitung skor yang mereka dapatkan dari kuesioner SSI. Syarat mengikuti intervensi adalah ada salah satu aspek keterampilan sosial yang kurang dan ada dimensi yang mengalami ketimpangan. Penentuannya melihat dari tabel cut-off yang sudah ditentukan di bab III. DI memiliki skor rendah pada satu aspek, yaitu emotional control (EC). Sedangkan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
51
DE dan LA mendapatkan skor rendah pada dua aspek. DE mendapatkan skor rendah pada aspek emotional control (EC) dan social control (SC). LA mendapatkan skor rendah pada aspek emotional sensitivity (ES) dan emotional control (EC). Dengan skor di atas, ketiganya dapat mengikuti intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial. Berikut merupakan penjelasan mengenai keterampilan sosial yang dimiliki ketiga partisipan sehingga terpilih untuk mengikuti intervensi:
4.1.2.1. Keterampilan Sosial DI Dari pre-test, DI mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 231. Skor ini menunjukkan bahwa DI memiliki keterampilan sosial keseluruhan cukup baik dan belum termasuk defisit. Perlu diingat bahwa skor keterampilan sosial didapatkan dari keenam hal yang menjadi dimensi dari keterampilan sosial itu sendiri. Dari keenam dimensi dalam keterampilan sosial, dimensi emotional control merupakan dimensi yang memiliki skor paling rendah dan timpang. Sementara itu, dimensi social sensitivity merupakan dimensi yang memiliki skor paling tinggi. Dari tabel 4.1., dapat dilihat bahwa ada 5 dimensi yang timpang dan terdapat perbedaan skor yang cukup tinggi antara dimensi terrendah dengan dimensi tertinggi. Ketimpangan yang terjadi menunjukkan skor dimensi-dimensi yang dimiliki DI belum seimbang dan kurang baik. Oleh karena itu, DI dinyatakan layak untuk mengikuti intevensi. Dimensi emotional control dengan skor 23 menunjukkan DI sulit mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal pada dirinya. Ia mengalami kesulitan pada saat menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang ia alami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan DI antara lain sikap keras kepala, cenderung tidak mau mengalah, bersikap kekanak-kanakan, dan emosi negatif terlihat jika ia tidak menyukai seseorang. Dapat disimpulkan bahwa dimensi ini termasuk dimensi yang kurang baik dalam keterampilan sosial. Sementara itu, beberapa dimensi keterampilan sosial lainnya meski timpang namun termasuk baik. Perlu diperhatikan mengenai dimensi social sensitivity merupakan aspek yang memiliki nilai tertinggi. Meski tinggi, dimensi ini memiliki dampak yang
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
52
kurang baik bagi DI. Skor 48 menunjukkan DI sensitif sehingga mampu menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. Ia memahami norma sosial dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan dan cenderung memperhatikan penilaian dari orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai norma dan aturan sosial, DI menjadi individu yang mementingkan kesesuaian perilaku dirinya dengan lingkungan dimana ia berada. Skor yang tinggi membuat DI sangat memperhatikan perilakunya sehingga memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan inilah yang menghambat kemampuan DI dalam interaksi sosial sehingga memiliki masalah dalam menjalin hubungan sosial. Dari wawancara, DI menyampaikan keluhan bahwa cenderung khawatir dengan penilaian orang lain jika perilakunya dipersepsikan tidak sesuai dengan norma sosial. Menurut DI, ia memang sering merasa cemas mengenai pendapat orang lain tentang dirinya, ingin tampil sebagai individu yang lebih menyenangkan, merasa dibicarakan atau tidak disukai orang lain, dan akhirnya merasa rendah diri.
4.1.2.2. Keterampilan Sosial LA Dari hasil pre-test, LA mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 210. Skor ini menunjukkan LA memiliki keterampilan sosial keseluruhan di atas ratarata dan tidak termasuk defisit. Skor ini didapatkan dari keenam dimensi dalam keterampilan sosial yang dimiliki LA. Dari keenam dimensi, terdapat dimensi emotional control dan emotional sensitivity menjadi dimensi yang paling rendah karena di bawah cut-off point. Di sisi lain, social sensitivity merupakan dimensi yang memiliki skor paling tinggi. Dari tabel 4.1. di atas, terdapat 3 dimensi yang timpang, yaitu emotional expressivity, social sensitivity, dan social control. Selain itu, peneliti juga melihat perbedaan skor yang cukup tinggi antara dimensi terrendah dengan dimensi tertinggi. Oleh karena itu, LA dinyatakan layak untuk mengikuti intervensi. Dimensi emotional control yang rendah dengan skor 26 menunjukkan LA kesulitan untuk mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal pada dirinya. LA mengalami kesulitan saat akan menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang ia alami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan LA antara lain mudah
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
53
marah, orang lain dapat mengetahui jika LA sedang kesal, cara berbicaranya dianggap otoriter oleh orang lain, dan tidak mampu mengungkapkan emosi positif pada keluarganya. Dimensi kedua yang termasuk rendah adalah dimensi emotional sensitivity dengan skor 30. Skor ini menunjukkan keterampilan LA dalam menerima dan memahami emosi serta sinyal non-verbal dari orang lain di sekitarnya. LA termasuk individu yang kurang sensitif terhadap sinyal emosional dan non-verbal yang ditunjukkan oleh orang lain, sehingga kurang mampu menangkap sinyal emosional dengan tepat. Dengan keterampilan seperti itu, efisiensi saat menjalin hubungan sosial menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan keluhan LA dari wawancara yang sudah dilakukan antara lain adanya kesalahpahaman dengan teman-teman kuliahnya, merasa tidak disukai teman-temannya, dan berpikir bahwa para staf marah karena tidak membalas SMS-nya. Sementara itu, dimensi social sensitivity merupakan dimensi yang memiliki nilai tertinggi. Meski tinggi, dimensi ini tidak selalu bermanfaat bagi LA. Skor sebanyak 48 menunjukkan LA yang sensitif sehingga sangat mampu menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. LA memahami norma sosial dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan dan cenderung memperhatikan penilaian dari orang lain. Dengan adanya pengetahuan mengenai norma dan aturan sosial, ia sangat mementingkan kesesuaian perilaku diri dengan lingkungan dimana LA berada. Skor yang tinggi membuat LA sangat memperhatikan perilakunya sehingga memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan yang dimiliki ini menjadi penghambat dalam interaksi sosial. LA juga menyampaikan dalam wawancara, bahwa ia sangat memikirkan penilaian teman-teman, merasa ada teman-teman yang menjauhinya, merasa malu karena berusaha menjalin hubungan baik dengan adik, sungkan jika harus berbincang dengan ayahnya, merasa tidak memiliki kelebihan sehingga ia tidak percaya diri. Pada akhirnya, jika LA tidak percaya diri atau merasa malu, ia cenderung menghindari interaksi dengan orang lain agar tidak salah tingkah di depan lawan bicaranya. LA ingin menjadi orang yang lebih memperhatikan lingkungan dengan cara yang lebih positif, memiliki teman banyak dan dekat secara emosional.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
54
4.1.2.3. Keterampilan Sosial DE Dari hasil pre-test, DE mendapatkan skor keterampilan sosial sebesar 208. Skor ini menunjukkan DE memiliki keterampilan sosial keseluruhan yang cukup baik dan belum termasuk defisit. Skor total yang diperoleh DE didapatkan dari keenam hal yang menjadi dimensi dari keterampilan sosial. Dari 6 dimensi dalam keterampilan sosial, dimensi emotional control dan social control merupakan dimensi yang memiliki skor rendah (dibawah cut-off point) dibandingkan dengan dimensi lain. Sementara itu, ada dimensi emotional expressivity dan social sensitivity yang menjadi dimensi dengan skor tinggi dan termasuk timpang. Dari tabel 4.1, dapat dilihat bahwa ada 3 dimensi yang timpang dan terdapat perbedaan skor yang cukup tinggi antara dimensi terrendah dengan dimensi tertinggi. Terlihat bahwa ada ketidakseimbangan skor dimensi yang dimiliki DE. Oleh karena itu, DE dinyatakan layak untuk mengikuti intevensi. Dimensi emotional control dengan skor 29 merupakan dimensi yang memiliki skor terrendah namun tidak timpang. Skor pada dimensi ini menunjukkan DE yang kesulitan mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal pada dirinya. DE mengalami kesulitan pada saat menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang dialami. Perilaku yang nampak dan dikeluhkan DE adalah mudah kesal, orang lain mengertahui jika DE marah, sikap keras kepala, cenderung tidak mau mengalah, dan mudah tersakiti. Selain dimensi emotional control, ada dimensi social control yang termasuk dimensi yang kurang baik karena berada di bahwa cut-off point. Dimensi ini membuat DE kurang baik dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi sosial. Dari wawancara, DE merasa kurang mampu beradaptasi dengan cepat di berbagai situasi sosial sehingga membuatnya merasa kurang percaya diri. Akhirnya DE mengeluhkan masalah akibat merasa egois dan sering menampilkan sikap kekanak-kanakan. Nampaknya DE perlu waktu untuk memahami lingkungannya, setelah mampu menerima norma yang berlaku, barulah DE merasa nyaman di lingkungan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kedua dimensi tersebut termasuk dimensi yang kurang baik dalam keterampilan sosial yang dimiliki DE. Sementara itu, beberapa dimensi keterampilan sosial lainnya meski timpang namun termasuk baik.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
55
Peneliti merasa perlu memperhatikan dimensi emotional expressivity dan social sensitivity yang menjadi dimensi dengan nilai tertinggi. Meski keduanya memiliki skor tinggi, dimensi-dimensi tersebut memiliki dampak yang kurang baik bagi DE. Skor 43 untuk dimensi emotional expressivity dinilai DE mengganggu karena ia sangat ekspresif terutama untuk emosi-emosi negatif. Menurut DE, hal ini mengganggunya karena orang lain mudah mengetahui jika DE sedang kesal atau marah. Namun ekspresi DE hanya terbatas pada emosi negatif. Ia agak kesulitan untuk mengekspresikan emosi positif, terutama pada keluarga. Perpaduan antara dimensi emotional control yang rendah membuat DE merasa kesulitan untuk mengungkapkan emosi dengan baik dan sesuai dengan norma. Untuk dimensi social sensitivity, DE mendapatkan skor 42. Skor ini menunjukkan DE merupakan individu yang sensitif sehingga ia mampu menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain. DE berusaha menampilkan perilaku yang diterima lingkungan dan memperhatikan penilaian orang lain. Dengan kesadaran akan sifat-sifat diri yang negatif membuat DE mementingkan kesesuaian perilaku dirinya dengan lingkungan di mana ia berada. Skor tinggi pada dimensi social sensitivity membuat DE memperhatikan perilakunya hingga memunculkan kecemasan sosial. Kecemasan inilah yang menghambat kemampuan DE dalam interaksi sosial. Persepsi DE bahwa dirinya kurang mampu dalam mengendalikan emosi, menampilkan diri dalam situasi sosial, sangat ekspresif terutama menampilkan emosi negatif, dan mengalami kecemasan sosial, membuatnya memiliki masalah dalam menjalin hubungan sosial. Oleh karena itu, dengan adanya variasi skor pada keenam dimensi membuat DE layak mengikuti intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
4.2. Partisipan Penelitian yang Mengikuti Intervensi Berikut ini merupakan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti kepada ketiga partisipan penelitian sebelum mengikuti intervensi.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
56
4.2.1. Data Partisipan I 4.2.1.1. Data Pribadi DI Inisial nama lengkap
: DI
Usia
: 24
Jenis kelamin
: Perempuan
Domisili
: Depok dan Bogor
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir
: D3
Pekerjaan
: Mahasiswa
Angkatan
: 2009
Pelaksanaan wawancara awal
: 5 April 2012
4.2.1.2. Observasi Umum DI memiliki badan yang proporsional, dengan tinggi badan diperkirakan 155 cm dan berat badan sekitar 50 kg. DI berkulit sawo matang, menggunakan jilbab, dan pakaiannya selalu rapi. Saat datang ia selalu menggunakan pakaian yang senada, berjilbab rapi, dan menggunakan celana panjang. Ia berkacamata, selalu menggunakan sepatu, dan menggunakan jam tangan di tangan kirinya. Secara umum DI bersikap kooperatif dan selalu ada kontak mata dengan peneliti. Ia berbicara dengan suara yang cukup kencang, sangat lancar, dan dengan tempo agak cepat. Nampak bahwa DI memiliki dorongan untuk berbicara yang cukup besar namun dapat mengaturnya ketika peneliti membatasi bicaranya karena keterbatasan waktu. Seperti beberapa kali ia terkejut karena waktu sudah mendekati waktu kuliahnya, namun DI tetap saja bercerita dan nampak belum mau beranjak dari ruangan pemeriksaan. Nada bicaranya sesuai dengan apa yang dibicarakannya. Begitu juga dengan ekspresi emosi yang ditampilkan. Saat menceritakan kejadian yang menyedihkan, raut muka berubah menjadi sendu. Ketika menceritakan hal-hal yang menyenangkan seperti keluarganya, DI menjadi senang dan banyak tersenyum. Secara umum, DI sangat ekspresif dalam menampilkan emosinya.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
57
Cara DI bercerita terstruktur dan umumnya ia memberikan kesimpulan di akhir ceritanya. Penjelasannya membuat peneliti mudah memahami apa yang ingin disampaikannya. DI banyak menggunakan contoh-contoh kejadian dengan menggunakan
nama
peneliti
untuk
menggantikan
nama
teman
yang
diceritakannya. Sedari awal ia bertemu, DI cukup terbuka dan banyak menyampaikan cerita dalam hidupnya. DI membutuhkan waktu untuk memahami instruksi yang peneliti sampaikan. Beberapa kali DI melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas dan baru mengatakan bahwa ia bingung. Setelah instruksi disampaikan untuk kedua kalinya, barulah DI paham apa yang harus dikerjakannya. Saat mengerjakan tugas-tugas, ia cenderung diam dan menuliskan tugas-tugas dengan cepat. Ketika bingung, DI cenderung akan bercerita terlebih dahulu baru kemudian menuliskannya di kertas. Selama sesi berlangsung, beberapa kali DI melihat ponselnya yang bergetar. Setelah melihat isinya atau nama penelepon, ia segera menyimpan kembali ponselnya.
4.2.1.3. Gambaran Kasus DI merasa tidak memiliki kelebihan apapun meski menyadari bahwa memang tidak ada orang yang sempurna. Ia merasa dirinya biasa saja dan yakin bahwa memang begitu adanya. Menurutnya, bukti bahwa ia biasa saja adalah tidak ada prestasi sama sekali. DI memiliki teman dekat (RIS) yang berkuliah di psikologi, ia sering mengeluhkan bahwa dirinya tidak ada yang bisa dibanggakan. RIS sudah berulang kali menyatakan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan mengatakan bahwa kelebihan DI adalah dapat memasak. Menurut DI, memasak itu bukanlah menjadi hal yang bisa dibanggakan. Saat ini, DI merasa tidak memiliki teman karena ada masalah dengan teman-teman kuliahnya. Kondisi ini membuatnya merasa diomongin dan dijauhi. Menurut DI, teman-teman yang berbuat seperti itu seakan bermuka palsu karena di depannya mereka berlaku seperti tidak ada masalah apapun. Masalah ini muncul pada bulan Januari 2012. Sebagai bendahara kelas, ia melakukan laporan pertanggungjawaban di hadapan teman-teman sekelasnya. Beberapa orang teman perempuannya seakan memojokan DI karena merasa ia tidak terbuka dalam
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
58
memberikan laporan keuangan. Mereka menuduh DI melakukan hal yang tidak jujur saat menjadi bendahara. Tuduhan teman-temannya adalah DI yang menggunakan uang kas untuk kepentingan pribadinya. Sedangkan DI tidak melakukannya dan merasa ia tidak memerlukannya uang tersebut karena cukup secara finansial dan tidak pernah terpikir untuk berbuat curang. DI merasa banyak teman kuliah yang “menusuk dari belakang”. terutama teman-teman perempuan. DI merasa lebih mudah berteman dengan laki-laki yang lebih logis dan jarang menggunakan perasaan atau pake hati. DI pun merasa lebih nyaman berteman dengan laki-laki. Dengan partner skripsi pun DI merasa tidak dekat. Kebetulan teman ini juga berteman dengan kelompok perempuan yang mengajukan tuduhan terhadap DI. Di bulan Januari 2012, ia pun putus hubungan dengan sang pacar (AJ). Kebetulan pemutusan hubungan ini terjadi menjelang DI melaksanakan seminar skripsi. Saat itu perasaan DI sangat sedih dan marah serta merasa kehilangan dukungan dari orang terdekatnya 2 tahun belakangan. Pemutusan hubungan ini membuat DI merasa buruk. Ia sudah mencoba berkali-kali dan meyakinkan diri bahwa ia tidak seburuk itu, namun tetap saja pikiran itu muncul. Setelah putus, AJ seakan menghilang tanpa kabar selama 1 bulan. Ketidakjelasan alasan mengenai pemutusan membuat DI bingung dan yakin betul bahwa memang dirinya salah. Setelah putus, DI mendapatkan penjelasan dari sahabat AJ. Laki-laki ini menyampaikan kepada DI pendapat AJ tentang dirinya selama ini. Mendengar cerita itu membuat DI semakin terpukul dan merasa tidak percaya diri. Ia tidak tahu bahwa AJ selama ini mengeluhkan sifat-sifat buruknya kepada sahabatnya. DI semakin kecewa karena tahu bahwa AJ tidak pernah mau berterus terang dan memilih untuk menyimpan dendam serta kekesalan tanpa mau memberi tahu DI. Setelah 1 bulan menghilang, DI baru bisa bertemu AJ untuk menanyakan penyebab yang sebenarnya. DI merasa AJ tidak jujur dan alasan pemutusannya tidak masuk akal. AJ memutuskan DI karena merasa bahwa sifat-sifat DI sudah sangat sulit diubah dan tidak yakin dapat diubah oleh siapapun. Sejak pertemuan itu, DI merasa bahwa AJ seakan menghindarinya. DI pun selalu teringat bagaimana pernyataan AJ yang tidak cinta lagi terhadap DI. Ia tidak menyangka bahwa kedekatan dan komitmen untuk menikah dapat berubah begitu cepat.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
59
Meski mengalami berbagai macam kejadian yang tidak mengenakan, DI menyadari bahwa ia memiliki keluarga dan seorang sahabat yang memberikan dukungan sepenuhnya. Dukungan ini membuat DI merasa terbantu dan dapat menjaga “kewarasannya”. DI sadar bahwa ia merupakan orang yang spontan dan keras. Namun tidak galak, ia hanya agak sulit untuk bersikap lemah lembut seperti kebanyakan perempuan lainnya. Keraguan AJ akan perubahan sifat DI membuatnya merasa buruk. Selain itu, AJ juga menyampaikan kepada sahabatnya bahwa DI suka sekali mengatur, posesif, dan suka mengekang. Menurut DI, ia tidak tahu bahwa pacarnya terganggu dengan sifat yang suka mengatur dan terkesan posesif. DI beranggapan bahwa jika tidak ada keluhan, artinya tidak ada masalah. DI mengemukakan bahwa wajar jika dirinya meminta untuk diantarkan oleh pacar kemanapun untuk alasan keamanan. DI tidak menyangka bahwa ternyata kebiasaan itu membuat orang lain terganggu. Ia tahu bahwa dirinya kurang peka. Selama ini, jika ia melakukan kesalahan, AJ selalu berkata ia sudah memaafkan DI. Ia mempercayai pernyataan AJ dan menganggap dirinya sudah benar-benar dimaafkan. Anggapan tentang diri yang buruk ternyata tidak hanya dari pacar atau teman-temannya. Ayahnya pun sering menceritakan ulang kepada teman-teman atau keluarga besar bahwa DI dulu mahasiswa yang pemalas sehingga indeks prestasinya kurang bagus dan pernah hampir drop-out (DO) ketika menjalani D3nya di UI. DI kesal dengan perilaku ayahnya namun tidak bisa berbuat apapun. DI merasa malu kalau ayahnya menceritakan hal itu. Ia berusaha untuk membuktikan bahwa saat ini ketika menjalani S1 ia mendapatkan nilai yang cukup baik. Namun bukti bahwa DI sudah menjadi lebih rajin tidak disadari oleh sang ayah. Menurutnya sekarang ia sudah berubah, saat ini ia sudah berusaha namun terkadang muncul pikiran bahwa ia salah masuk jurusan kuliah. DI sering merasa bodoh karena sulit menghafal dan kurang mampu menghitung-hitung. Ia merasa tidak memiliki kelebihan apapun. DI sempat berpikir bahwa dirinya akan lebih baik jika masuk FISIP, namun lagi-lagi terhambat kemampuannya menghafal. Kedua orang tua juga sering membandingkan DI dengan sepupunya yang dianggap lebih hebat. Sepupunya saat ini sedang berkuliah di Kanada. Menurut
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
60
orang tua, DI tidak sepintar sepupunya. Lingkungan DI juga seakan tidak yakin dengan ilmu yang sedang dipelajarinya saat ini. Keraguan dan perbandingan dari lingkungannya membuat DI merasa tidak akan bisa menjadi baik. DI merasa cara pengasuhan kedua orang tuanya membuat DI merasa ia harus kuat dan dapat mengatasi masalahnya. DI tidak bercerita bahwa ia sedang menjalani intervensi psikologis karena takut dilarang orang tuanya, terutama oleh ayah. Hal-hal ini membuat DI putus harapan (“Mbak, aku ngerasa hopeless”). Saat ini DI memang masih mengharapkan dan membutuhkan dukungan untuk mengerjakan skripsinya. Ia ingin dipercaya orang lain mengenai kemampuannya, baik dalam bidang akademis ataupun kinerjanya. DI juga merasa bahwa ia termasuk orang yang tidak mampu mengontrol emosi. Orang lain dengan mudah mengetahui jika DI sedang marah atau kesal. Untuk mengatasi masalah ini, DI berlatih mengatur ekspresi wajah di depan cermin. Menurutnya, aktivitas ini melatihnya untuk menampilkan senyum yang baik. DI merasa sejak latihan tersenyum ia merasa lebih baik. Ia sadar bahwa jika diam maka wajahnya terlihat “jutek” dan DI berusaha mengubah itu. Namun berbagai kejadian yang ia alami membuat DI bersyukur karena menjadi lebih dekat dengan keluarga. Tadinya DI banyak menghabiskan waktu dengan pacar. Ia menjadi lebih rajin sholat dan di rumah bersama keluarga. Muncul keinginan untuk menjadi orang dengan kepribadian yang lebih menyenangkan.
4.2.2. Data Partisipan II 4.2.2.1. Data Pribadi LA Inisial nama lengkap
: LA
Usia
: 20 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Domisili
: Depok
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir
: SMA
Pekerjaan
: Mahasiswa
Angkatan
: 2010
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
61
Pelaksanaan wawancara awal
: 3 April 2012
4.2.2.2. Observasi Umum LA terlihat kecil dan kurus. Diperkirakan ia memiliki tinggi badan sekitar 150 cm dengan berat badan sekitar 45 kg. Ia berkulit sawo matang, menggunakan jilbab panjang, dan pakaiannya selalu rapih serta bersih. LA hampir selalu menggunakan rok panjang dan baju kaus berlengan panjang. Wajahnya terlihat bersih dan terawat. Ia menggunakan kacamata. Selama pertemuan, LA bersikap kooperatif dan sangat terbuka pada peneliti. LA sendiri mengemukakan hal ini dan ia sendiri terkejut bahwa ia dapat menceritakan hal-hal yang selama ini ia simpan sendiri. LA selalu menjalin kontak mata dengan peneliti dan juga sesekali memperhatikan materi yang peneliti berikan. Ia berbicara dengan jelas, suaranya cukup keras, dan temponya sedang. LA juga menjawab apa yang ditanyakan peneliti dan menanyakan langsung jika ia merasa bingung. LA menggunakan nama panggilannya sebagai kata ganti orang pertama. Ekspresi emosi LA sesuai, jika ia menceritakan hal yang lucu, LA tersenyum atau tertawa. Sama seperti ketika LA menceritakan kejadian yang tidak mengenakan atau yang membuatnya merasa tidak nyaman. Raut wajah LA menjadi sendu dan beberapa kali ia menitikan air mata, terutama saat bercerita mengenai hubungannya dengan keluarga. Nada bicaranya pun memelan. Dapat dikatakan bahwa LA cukup ekspresif dalam menampilkan emosinya. Ketika menceritakan hal-hal yang kurang menyenangkan, LA memainkan jati tangan, tissue, atau alat tulis yang sedang dipegangnya. Cara LA bercerita cukup runut dan jelas. LA sangat terbuka dan detil dalam menceritakan sesuatu. Hal ini membuat peneliti memahami apa yang disampaikannya. Ketika diminta untuk mengerjakan tugas, ia dengan cepat memahami
instruksi
yang
disampaikan
peneliti.
Sebelum
menulis,
ia
menceritakannya terlebih dahulu baru kemudian menuliskannya di kertas. Ia melakukannya dengan cepat dan dengan diam. Sepanjang sesi, nampak LA tidak mudah terdistraksi oleh suara-suara dari luar ruangan. Ia sesekali melihat ponselnya jika bergetar namun segera disimpannya kembali. Hal ini terjadi
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
62
menjelang ia berkuliah karena dicari oleh teman sekelasnya. Selain itu, LA tidak pernah melihat ponselnya.
4.2.2.3. Gambaran Kasus LA datang dengan keluhan bahwa ia tidak memiliki teman untuk membicarakan masalah-masalahnya dan juga tidak ada yang dapat diajak untuk melakukan aktivitas bersama-sama. Selain itu, LA merasa bahwa dirinya sulit untuk dekat dan menjalin hubungan yang lebih akrab dengan orang lain, terutama dengan laki-laki. Keluhan yang LA ungkapkan adalah merasa sulit untuk menjalin hubungan dekat. Hal ini mulai disadarinya sejak ia duduk di bangku SMA. Kebetulan LA pindah ke kota lain untuk melanjutkan SMA-nya. Di kota tersebut, ia tinggal di sebuah kost. LA tinggal berdua dengan teman sekamar selama kurang lebih 3 tahun. Namun hubungan mereka hanya sebatas teman sekamar dan tidak berkembang lebih dari itu. Dengan teman sekolah lainnya, LA juga merasa sulit untuk dekat. Usaha yang telah ia lakukan untuk menjalin kedekatan antara lain dengan ikut berkumpul. Saat duduk di kelas 3, LA merasa bahwa semakin ada jarak dengan teman-temannya. Sejak lulus SMA, LA tidak lagi menjalin hubungan dengan teman-teman sekolahnya dan teman sekamarnya. LA mengaku bahwa ia tidak pernah lagi menanyakan kabar satu sama lain semenjak lulus. Awalnya LA mengira bahwa hal ini terjadi karena ia pindah kota. Berbeda ketika ia di SMP, LA memiliki kelompok pertemanan yang sampai sekarang masih berhubungan. LA mengatakan bahwa ketika SMP ia memiliki teman yang aktif dalam mendekatkan teman-temannya. Oleh karena itu, LA merasa senang karena selalu diajak untuk berkumpul bersama. Semakin dewasa, LA menyadari bahwa saat SMA itu ia berubah menjadi sosok yang egois. LA hanya menghubungi teman sekolahnya saat membutuhkan mereka. Keluhan sulit untuk menjalin hubungan dekat terulang kembali ketika LA berkuliah. Ia mengaku bahwa dirinya lebih banyak menyendiri dan tidak memiliki teman dekat ataupun kelompok pertemanan seperti waktu di SMP. Ada kalanya LA merasa bahwa ia termasuk individu yang otoriter, terutama saat berorganisasi. Sejak SMA, LA tergabung dalam organisasi di
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
63
sekolahnya. Ketika itu sikap otoriternya mulai terlihat. Saat berkuliah, ia pun aktif dalam sebuah organisasi di fakultas. Pada semester 1 dan 2, di saat LA masih sama-sama menjadi pengurus organisasi tersebut, ia cukup mampu menjalin hubungan baik dengan beberapa temannya (ada 4 orang temannya). Namun sejak ia menjadi ketua departemen (kadep) di organisasi kemahasiswaan, ia merasa hubungan dengan keempat orang temannya semakin jauh. Menurutnya LA, dengan tugas dan kewajibannya sebagai kadep membuat dirinya menjadi sosok yang otoriter, seperti sulit untuk menerima masukan dari orang lain. Saat menjadi kadep, LA merasa dirinya tegas dan kebetulan sikapnya ini dipandang bagus oleh atasannya. Ia dianggap sebagai pemimpin perfeksionis oleh bawahannya. LA sendiri mengakui bahwa dirinya memang sering mengejar para stafnya dan terkesan mendesak mereka. Jika ada staf yang tidak melaksanakan tugasnya, maka LA menjadi “gregetan”. Ia akhirnya memikirkan tugas staf tersebut dan mengambil alih tugas mereka. LA tahu bahwa ada 2 macam respon dari stafnya, yaitu menghindar dan ada yang termotivasi. Bagi staf yang menghindar, LA berpendapat pasti mereka merasa sebal dengan dirinya karena selalu diingatkan (dibawelin) dan akhirnya merasa tidak dianggap oleh LA. Ia menyadari adanya perubahan dalam hubungannya dengan keempat teman itu, yakni semakin jarang pergi atau makan bersama. Perubahan frekuensi pertemuan ini yang disadari pertama kali oleh LA. Setelah menyadari hal ini, LA berusaha untuk kembali mendekatkan diri. Salah satunya dengan mencoba bergabung kembali dalam kelompok. Namun ketika LA berada dalam kelompok, ia merasa tidak memahami topik pembicaraan teman-temannya tersebut. Keadaan “ngga nyambung” ini membuat LA tidak nyaman berada di antara temantemannya. Jika begitu, LA merasa kesal dan memilih untuk menjauh. Tujuannya adalah mencegah mood yang memburuk dan menghindari ia berbicara ketus pada teman-temannya. LA khawatir jika temannya sakit hati karena mendengar ucapannya. LA sadar bahwa ketika ia marah orang-orang disekitarnya dengan mudah mengetahui hal ini. Ia pun mengaku bahwa dirinya termasuk orang yang mudah tersulut emosinya. Setiap kali terjadi masalah, penyelesaian yang paling sering dilakukannya LA adalah mendekati kembali teman-temannya. Ia merasa bahwa hubungannya
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
64
memang membaik namun ada perbedaan tidak seperti semula. LA merasa berjarak dengan teman-temannya. Ia mengeluhkan keadaan ini yang membuatnya ketinggalan informasi seperti informasi beasiswa, seminar, atau aktivitas di kampus, karena tidak ada teman yang memberi tahunya. Agar tak ketinggalan informasi atau agar lebih paham mengenai suatu mata kuliah, LA tidak malu untuk meminta agar diikutsertakan dalam kegiatan belajar kelompok. Hal ini terkadang membuatnya dongkol atau kesal dengan dirinya sendiri karena tidak ada yang mengajaknya sehingga ia terpaksa meminta. Menurut LA, ada pola pertemanan di kampusnya. Orang-orang yang memiliki kesamaan karakter akan berteman dan membentuk kelompok, baik untuk urusan akademis ataupun nonakademis. Dengan demikian, orang-orang seperti LA tidak mudah untuk mendapatkan kelompok kecuali mereka yang aktif mencari. Menurut LA, sifat egoisnya juga tidak berkurang saat berkuliah. Ia masih saja menghubungi teman-teman kuliahnya ketika ada keperluan tertentu. LA merasa beruntung bahwa ia menyadari hal ini. Ia pun melakukan usaha seperti mengirimkan pesan singkat hanya untuk menanyakan kabar atau sekadar ngobrol, namun menurut LA pada akhirnya pasti ia menyampaikan maksud atau keperluan tertentu. Hal ini membuat pembicaraan berlanjut mengenai kepentingan LA terhadap temannya itu. LA menyebut hubungan dengan teman seangkatannya “tidak sehat”. Namun selama ini LA menyatakan dirinya mampu menjalin hubungan baik dengan orang yang lebih tua. Dengan adik kelas, LA juga cukup mampu menjaga hubungan baik. Menurut pendapatnya, hal ini terjadi karena adik kelas tidak mengetahui sifat LA dan LA masih merasa mampu untuk mengontol mereka. Dengan adik kelasnya, LA merasa mampu untuk menjalin hubungan timbal balik, meski masih sebatas urusan akademik atau organisasi. Saat berkuliah, ia tinggal di sebuah kost. Selama hampir 2 tahun tinggal di kost tersebut, LA jarang bersosialisasi dengan teman-teman satu kost. Menurutnya dengan banyaknya tugas dan beban akademik membuatnya jarang keluar kamar. Tidak seperti yang lain, di mana mereka memiliki kebiasaan berkumpul di kamar salah satu penghuni saat malam hari. LA pernah mencoba bergabung beberapa kali, dari percobaan ini LA merasa aktivitas berkumpul bersama hanya membuang-buang waktunya. Banyak pembicaraan “ngalor ngidul” yang tidak
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
65
dimengertinya sehingga LA merasa lebih baik ia mengerjakan tugas di kamar. Setelah itu muncul perasaan bahwa dirinya bukan menjadi bagian dari kelompok. Meski di kost ada kakak kelasnya, LA merasa orang tersebut menghindari dirinya ketika di kampus. Ia menganggap bahwa kakak kelasnya sudah mengetahui diri LA yang sebenarnya sehingga memilih untuk menghindari LA. Menurut LA, masalah ini tidak mengganggu fungsinya di dunia akademis. Ia tetap dapat berkuliah dan dapat menjalankan perannya sebagai ketua kelas. Saat diberikan tanggung jawab atau pekerjaan, LA cukup yakin bahwa dirinya dapat melakukannya dengan baik. Salah satu contoh adalah dosen senang dan menganggap LA menjalankan tugasnya dengan baik sebagai ketua kelas. Selain sulit menjalin hubungan dengan teman, LA mengaku bahwa hubungannya tidak dekat dengan keluarganya (Bapak dan Mama). Dengan ibu, LA masih lebih sering mengobrol namun tidak membicarakan hal-hal yang mendalam. Pembicaraan hanya seputar kehidupan akademis saja. LA menangkap kesan bahwa ibu tidak mau berbagi cerita mengenai masalah dengan LA yang sudah dewasa. Dengan ayahnya, LA sangat jarang berbincang kecuali untuk masalah finansial. Selain itu, LA tidak pernah membicarakan hal-hal lain. LA mengaku ia segan dan malu ketika harus berbincang dengan ayahnya. Begitu juga hubungan LA dengan kedua adiknya. LA sangat jarang bercengkrama dengan adik-adiknya. Sampai saat ini, LA mengaku sudah terbiasa dengan pola asuh dan pola komunikasi yang tidak dekat secara emosional seperti itu. Dalam keluarga, LA merasa lebih mudah untuk menunjukkan emosi negatif, seperti marah dan sedih. LA selalu merasa malu saat ia menunjukkan emosi senang dan sayang kepada anggota keluarganya. Contohnya adalah LA jarang memberikan kado ulang tahun secara langsung, ia lebih memilih untuk menaruhnya saja di samping tempat tidur sehingga ia tidak perlu mengekspresikan emosi senang. Ia paham bahwa hal ini tidaklah buruk namun rasa malu yang menahan LA untuk memberikannya secara langsung. LA sebenarnya ingin menjalin komunikasi yang lebih dekat dengan kedua orang tua. Kebiasaan keluarga melakukan aktivitas bersama-sama seperti berpergian atau makan bersama tidak membuat komunikasi menjadi lebih hangat. Selama ini topik pembicaraan hanya seputar dunia akademis saja.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
66
Dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis, LA merasa dirinya bersikap lebih hati-hati. Saat ada laki-laki yang mengajak berkenalan atau berhubungan, LA merasa lebih mudah mengekspresikan emosinya lewat media dibandingkan secara langsung. Ia merasa bahwa dirinya secara otomatis menghindar ketika didekati karena dirinya merasa malu dan muncul ketakutan jika salah tingkah. Pada akhirnya LA menduga bahwa kesulitannya untuk berteman dekat disebabkan oleh sifatnya yang sulit untuk percaya dengan orang lain. Ia harus mengenal orang tersebut barulah dapat terbuka.
4.2.3. Data Partisipan III 4.2.3.1. Data Pribadi DE Inisial nama lengkap
: DE
Usia
: 19 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Domisili
: Ciputat
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir
: SMA
Pekerjaan
: Mahasiswa
Angkatan
: 2010
Pelaksanaan wawancara awal
: 5 April 2012
4.2.3.2. Observasi Umum DE terbilang kurus, dengan tinggi badan diperkirakan 160 cm dan berat badan sekitar 50 kg. Ia berkulit agak sawo matang dan selalu mengunakan pakaian yang santai namun bersih. Setiap mengikuti sesi, DE menggunakan kaus, celana jeans, dan membawa tas ransel. Ia beberapa kali menggunakan sepatu keds atau sepatu datar. Rambutnya yang panjang nampak selalu terurai berantakan dan ia membiarkan poninya menutupi setengah wajahnya. DE selalu bersikap kooperatif sepanjang sesi meski di awal-awal pertemuan ia belum mau bercerita banyak dan hanya menjawab apa yang ditanyakan peneliti. Selama pertemuan, selalu ada kontak mata dengan peneliti.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
67
DE berbicara dengan suara yang cukup kencang, cukup lancar, dan tempo bicaranya cepat. DE banyak cerita bila ditanya oleh peneliti. Ia paham kapan waktunya untuk bercerita dan kapan waktunya untuk mengerjakan tugas. Gaya bicara DE cukup sesuai, dari nada bicara dan juga ekspresi emosinya. Ketika DE menceritakan hal yang lucu, ia akan tersenyum atau tertawa lepas. Berbeda ketika ia
menceritakan
kejadian
yang
tidak
mengenakan.
Wajahnya
menjadi
menyedihkan, raut muka berubah menjadi agak lesu, dan nada bicaranya memelan. DE nampak cukup ekspresif dalam menampilkan emosinya. Beberapa kali ia menutup wajahnya, terutama jika ia malu saat bercerita kepada peneliti. Caranya bercerita tidak terlalu terstruktur namun peneliti masih dapat memahaminya karena penjelasan dari DE. Ia cukup terbuka dan detil mengenai apa yang diceritakannya. Penjelasan tersebut yang membuat peneliti mengerti ceritanya. Di sesi awal, DE banyak bercerita mengenai hubungannya dengan sahabat dan pacar. Ia jarang bercerita mengenai keluarganya. DE mudah memahami instruksi yang disampaikan peneliti. Saat mengerjakan tugas yang diberikan peneliti, DE mengerjakannya dengan cepat dan dalam diam. Sebelum menulis, ia memiringkan kertas baru kemudian menulis. Terkadang ia bercerita terlebih dahulu baru kemudian menuliskan kalimat singkat di kertas.
4.2.3.3. Gambaran Kasus DE merasa membatasi diri dan sulit untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. Saat ini, ia merasa terganggu dengan hal tersebut. DE mengaku bahwa ia kurang menyukai kelompok-kelompok pertemanan (peer group) yang ada di fakultasnya. Menurutnya ia tidak memiliki pikiran yang sejalan dengan mereka. Ia memiliki prinsip bahwa dalam berteman, bertemanlah dengan siapa saja dan jangan memilih-milih. Prinsip ini membuat DE memilih untuk diam dan cenderung pasif ketika ada pembuatan kelompok di kelas, ia tidak sibuk membentuk kelompok seperti yang dilakukan teman-temannya. Selama ini, jarang yang mengajak DE bergabung dengan kelompoknya. DE merasa bahwa teman-temannya meragukan kemampuannya di kuliah. Padahal di sisi lain, DE yakin dirinya cukup kompeten (“Kan aku cukup kompeten. Masih banyak yang dibawah aku padahal, tapi
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
68
mereka pasti dipilih untuk ikut kelompoknya”). Hal ini kerap kali terjadi sehingga DE sering mendapatkan kelompok “sisa”. Kelompok tersebut terdiri dari orangorang yang tidak mendapatkan kelompok atau tidak diajak sehingga otomatis menggabungkan diri menjadi sebuah kelompok. Awalnya DE selalu kesal jika masuk dalam kelompok “sisa” yang terkesan orang buangan. Muncul perasaan tidak dibutuhkan jika DE tidak mendapatkan kelompok. Namun ia memutuskan untuk menerima hal ini dan menghilangkan kekesalannya agar dapat menyelesaikan tugas bersama kelompok tersebut. Ia ingin membuktikan ke teman-teman lain bahwa kelompok “sisa” pun bisa bekerja dengan baik. Ada kalanya DE merasa bahwa kelompok yang dibentuk berdasarkan pertemanan tidak mampu menunjukkan performa yang baik. Sering kali kelompok tersebut tidak bekerja dengan serius karena banyak bercanda atau mengobrol, sehingga kurang efektif. DE mengaku dirinya lebih senang jika kelompok di kelas dibentuk oleh dosen. DE merasa bahwa kelompok otomatis terbentuk biasanya terdiri dari orang-orang yang sama setiap waktu karena memang berteman dekat di luar kuliah. DE menceritakan suatu kejadian yang membuatnya kesal. Suatu hari, ia sudah berkata pada sahabatnya (SH) bahwa jika nanti ada pembentukan kelompok, DE ingin satu kelompok dengan SH. Namun ketika kelompok sudah terbentuk, ternyata DE belum mendapatkan kelompok. SH lupa dan berpikir bahwa DE akan sekelompok dengan pacar DE. Sementara pacar DE mengira bahwa DE akan sekelompok dengan SH. Akhirnya DE tidak satu kelompok dengan siapapun dan kembali tergabung dalam kelompok sisa. Saat itu DE merasa sangat kesal dengan sang pacar dan SH. Ketika itu, ia merasa tersisihkan. DE merasa dirinya sangat ekspresif, jadi jika sedang mengalami emosi negatif, orang-orang di sekitarnya dapat langsung mengetahuinya. Menurut DE, ia merupakan individu yang mudah marah namun mudah reda juga. Ketika marah, DE merasa kesulitan untuk menahan emosi tersebut. Hal-hal yang memicu munculnya emosi tersebut adalah jika hal-hal yang berjalan tidak sesuai dengan rencananya, terutama jika disebabkan oleh orang lain. Menurutnya, ia selalu sudah menyiapkan segala sesuatunya sesuai dengan apa yang diinginkan. DE
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
69
menganggap dirinya seorang perencana. Jika rencana yang dibuatnya berubah karena orang lain, ia dengan mudah menjadi kesal dengan orang tersebut. Jika kesal atau marah, ia lebih suka menjauh. DE mengakui bahwa dirinya seorang yang cengeng. Jika ada masalah, maka ia tidak dapat menahan tangis. Biasanya ia menangis dengan teman lain dan beralasan bahwa terjadi suatu hal yang menyakitkan. DE enggan untuk menceritakan bahwa ia kesal dan sedih karena tidak dapat kelompok atau tidak ada yang mengajaknya. Menurut DE, alasan ini memalukan dan ia tidak ingin ada yang mengetahuinya. Selain sulit untuk dekat, DE merasa dirinya sulit untuk terbuka dengan orang-orang di dekatnya. Saat ini, ia hanya memiliki 1 sahabat (SH) yang dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama. Meski DE memiliki pacar yang dinilai paling dekat, ia tetap saja kurang terbuka kepadanya. Pacarnya pun sudah pernah menyampaikan keluhan bahwa DE nampak sangat tertutup dan enggan untuk berbagi cerita dengan pacarnya. DE merasa bahwa sifat tertutupnya merupakan hasil dari pola asuh orang tuanya. Ia merasa hubungan dengan orang tuanya tidak dekat dan merasa ada jarak di antara mereka. Dengan orang tua, DE jarang sekali berkomunikasi, kecuali untuk urusan finansial. Sedari dulu kedua orang tua bekerja dan DE terbiasa sendirian di rumah hanya ditemani pembantu rumah tangganya. Jika orang tua pulang, biasanya sudah larut malam sehingga memang mereka tidak terbiasa untuk bercerita. DE mengatakan bahwa kedua orang tua hanya bertanya urusan akademis. DE sendiri tidak suka jika orang tua bertanya mengenai hal tersebut karena sejak SD ia tidak memiliki masalah akademis. Akhirnya sifat DE yang tertutup dan sulit dekat tercermin dari perilakunya. DE mengaku ketika kuliah ia lebih senang duduk sendiri di barisan depan. Ia merasa tidak bermasalah jika harus duduk sendirian. Selain itu, DE menyadari bahwa ia sulit untuk berkonsentrasi sehingga memilih untuk duduk di depan agar tidak terganggu oleh teman-teman. DE menilai dirinya tidak dapat berbicara seperti perempuan pada umumnya, yaitu dengan lemah lembut dan dapat berbasa-basi. Saat ia berbicara, umumnya DE langsung menuju pada inti pembicaraan. Seperti DE yang jarang menawarkan bantuan dan memilih untuk langsung melakukannya. Kebiasaan ini
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
70
membuatnya kurang nyaman, ia ingin mencoba untuk berbasa-basi atau sekadar menanyakan kabar ke teman-temannya. Sejak dulu, DE terbiasa untuk berpikir negatif. Seperti ia langsung menuduh atau berprasangka buruk terhadap orang lain. Kebiasan ini membuat DE tidak nyaman sehingga saat ini ia sedang berusaha untuk mengubah diri. Ia sudah menuliskan secara mandiri perubahan aya yang akan dicapai. Salah satunya dengan mulai berpikir positif. DE mengaku bahwa ia sudah cukup baik dalam mencapai tujuannya, yaitu berusaha untuk berpikir positif terhadap semua keadaan ataupun kepada orang lain. Namun DE menyadari bahwa ia tetap menilai dirinya negatif. Ia merasa dirinya seorang yang pelupa, suka menunda, tidak seperti kebanyakan teman perempuannya, dan mudah marah.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
71
BAB V HASIL INTERVENSI
Pada bab lima, peneliti membahas mengenai proses pelaksanaan intervensi berdasarkan rancangan intervensi yang peneliti susun pada Bab 3. Penjelasan pada bab ini meliputi observasi terhadap partisipan selama mengikuti intervensi, proses pelaksanaan, dan pengukuran akhir setelah intervensi pada tiap partisipan.
5.1. Pemaparan Kasus DI 5.1.1. Observasi Terhadap DI Berikut ini merupakan tabel jadwal pelaksanaan intervensi dengan DI, yang meliputi jadwal pertemuan yang sudah dijanjikan dan realisasi waktu pelaksanaan intervensi. Intervensi
Jadwal Pelaksanaan
Realisasi Pelaksanaan
Pre-sesi
Kamis, 5 April 2012 13.30
Sesi 1 (90”)
Selasa, 10 April 2012 14.00
Sesi 2 (120”)
Selasa, 17 April 2012 13.00
Sesi 3 (120”)
Selasa, 24 April 2012 13.00
Sesi 4 (120”)
Rabu, 2 Mei 2012 09.00
Sesi 5 (90”)
Jumat, 11 Mei 2012 08.30
Sesi 6 (90”)
Rabu, 16 Mei 2012 08.00
Kamis, 5 April 2012 13.30 – 15.30 (120 menit) Selasa, 10 April 2012 14.30 – 16.00 (90 menit) Selasa, 17 April 2012 13.30 – 16.00 (150 menit) Selasa, 24 April 2012 13.40 – 17.00 (200 menit) Rabu, 2 Mei 2012 08.45 – 11.50 (185 menit) Jumat, 11 Mei 2012 08.50 – 10.30 (100 menit) Rabu, 16 Mei 2012 08.30 – 11.00 (150 menit)
Tabel 5.1. Waktu Pelaksanaan Intervensi DI
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
72
DI mampu mengikuti intervensi dengan cukup baik. Ia mengikuti proses intervensi sebanyak 6 kali hingga selesai. Secara umum, pelaksanaan sesi dengan DI berjalan sesuai dengan rencana awal meski ada beberapa sesi yang terpaksa diubah karena kepentingan akademis. Terlihat bahwa pada awalnya sesi berlangsung secara rutin, sesuai dengan perjanjian di presesi, yaitu setiap hari Selasa. Namun sejak sesi keempat, ada perubahan waktu karena menyesuaikan dengan waktu pengerjaan skripsi DI yang harus dilakukan di laboratorium. DI memilih untuk mengubah sesi menjadi hari Rabu tiap minggunya. Perubahan ini sudah disampaikan terlebih dahulu oleh DI kepada peneliti. Selama intervensi, DI cenderung tidak tepat waktu dan hanya memberitahukan alasan ketika ditanya peneliti melalui SMS. Ia terlambat pada sesi 1, 2, 3, 5, dan 6. Sedangkan DI datang lebih awal dari waktu perjanjian pada saat sesi 4. Pada sesi 1, DI datang terlambat karena masih menunggu teman bergantian menjaga laboratorium. Di sesi dua, alasan keterlambatannya adalah menunggu bis kuning yang tidak kunjung datang. Di sesi ketiga, DI memajukan waktu sesi karena harus bertemu dengan dosen pada pukul 16.00 di fakultasnya. Namun ia datang terlambat karena harus menunggu bis kuning. Pada sesi kelima dan keenam, intervensi mundur dari jadwal yang sudah ditentukan karena DI yang masih menunggu dijemput saudaranya. Waktu pelaksanaan sesi intervensi cenderung melewati rentang waktu pelaksanaan sesi (perkiraan peneliti 90-120 menit). Hal ini disebabkan DI yang banyak bercerita sehingga melewati batas waktu intervensi. Meski sudah diingatkan mengenai waktu yang terbatas, DI tetap bercerita dan meminta waktu kepada peneliti. Nampak bahwa DI senang berbicara dan membutuhkan waktu lebih lama dari yang sudah ditentukan. Ada kalanya DI perlu waktu lebih lama untuk memahami beberapa instruksi dari peneliti. Ia akan menanyakan kepada peneliti maksud dari instruksi atau meminta peneliti mengulang kembali instruksi tersebut. Begitu juga di beberapa sesi, ketika DI diminta mencari bukti-bukti yang menentang pikirannya. Secara umum, DI mampu mengikuti proses intervensi dengan baik karena mencapai tujuan-tujuan intervensi yang sudah ditetapkan peneliti. Selama intervensi, DI bersikap kooperatif, aktif, terjadi komunikasi yang
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
73
sifatnya 2 arah, mampu memahami penjelasan peneliti, dan bersedia mengerjakan lembar kerja sesuai instruksi.
5.1.2. Proses Pelaksanaan Intervensi Terhadap DI Sesi 1
Target Menjalin rapport
Pencapaian Sesi DI
merasa
nyaman
dengan
peneliti
dan
memanggil peneliti dengan nama. DI terbuka dalam bercerita. Penjelasan intervensi
DI
mengikuti
proses
dengan
baik
dan
menyatakan paham mengenai proses intervensi. Identifikasi masalah dan DI memerlukan waktu untuk respon yang muncul
menentukan
masalah karena merasa banyak masalah yang bobotnya sama. Akhirnya ia dapat memilih sebuah masalah spesifik yang akan ditangani. DI menceritakan mengenai beberapa penyebab munculnya masalah. DI bercerita terlebih dahulu baru kemudian menulis respon-respon yang muncul dari sebuah kejadian. DI menyatakan paham hubungan antara emosi, pikiran, dan perilaku.
Pembuatan masalah
formulasi Secara umum DI mengikuti proses dengan cukup baik dan mampu membuat formulasi masalah. Memang pada awalnya DI agak bingung menentukan kejadian spesifik. Nampak DI lebih mudah untuk bercerita terlebih dahulu daripada langsung menuliskannya. Begitu juga dengan penuliskan keempat aspek yang menjadi respon dari sebuah kejadian. DI awalnya agak bingung untuk menentukan penghayatannya, namun dengan bantuan peneliti DI berhasil dan mendapatkan tilikan.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
74
Penentuan tujuan dari DI menginginkan adanya perubahan dan paham intervensi
dengan mengenai prinsip SMART. Ia menuliskan 4
prinsip SMART
tujuan dan mengurutkannya dari tujuan yang paling ingin dicapai DI. Setelah itu, DI menentukan mini goals dari tujuan utama dan angka
dalam
skala
pencapaian
tujuannya.
Berikut tujuan DI dalam mengikuti intervensi: 1. Berpikiran positif (terutama tentang halhal di masa depan) 2. Mengendalikan emosi 3. Menjadi pribadi yang lebih baik Mini goals dari tujuan utama: 1. Tersenyum 2. Mulai berbicara lebih halus Analisa dan evaluasi peneliti: DI dapat mengikuti sesi pertama dengan baik walaupun membutuhkan waktu untuk memahami beberapa instruksi dalam sesi. DI dapat mencapai tujuantujuan yang diharapkan dari sesi pertama. DI merasa cemas saat memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya. Nampak bahwa masalah yang dimiliki DI berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berulang dan kejadian yang cukup berat di awal tahun 2012. Kejadian itu antara lain ayah yang mengulang-ulang kesalahan DI di depan orang lain, putus hubungan dengan pacar, pendapat mantan pacar tentang sifat DI yang buruk, dan tuduhan yang dikemukakan oleh beberapa orang teman kuliah DI terhadap kinerjanya sebagai bendahara kelas. DI memiliki keyakinan bahwa dirinya buruk dan menyatakan sulit untuk mengatasi keyakinan tersebut. Selama sesi, nampak DI memiliki tilikan meski peneliti beberapa kali mengulang instruksi dan memperjelas apa yang disampaikan. Peneliti menilai DI cukup sadar dan peka akan apa yang terjadi padanya, seperti mencari bantuan ketika merasa memiliki masalah berat dan respon yang ia alami ketika berada di suatu situasi.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
75
Sesi 2
Target
Pencapaian Sesi
Pembahasan
tugas DI tidak mengerjakan dan menolak ketika
rumah dan mini goals
peneliti meminta DI mengerjakan di awal sesi. Ia berpendapat dirinya sudah paham hanya dengan mengidentifikasi dalam pikirannya. Ia telah
mencapai
mini
goals
yang
sudah
ditetapkan. DI merasa senang ketika tujuan tersebut sudah berhasil dicapainya. Penjelasan
hubungan DI mengikuti proses dengan baik dan paham
emosi dan pikiran
akan hubungan antara emosi dan pikiran. DI paham bahwa emosi negatif yang muncul dipengaruhi oleh pikiran yang juga negatif saat berada pada situasi tertentu.
Affective
education DI mengikuti proses dengan baik dan cukup
sehingga
paham peka dengan emosinya. DI dapat membedakan
mengenai emosi Penjelasan
emosi-emosi pada contoh kasus.
mengenai DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
pikiran otomatis
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh kasus. Seperti pada worksheet 6.
Pengenalan
terhadap DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
model A-B-C
membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi. DI
dapat
mengidentifikasi
mana
yang
merupakan sebuah situasi, emosi (perasaan), atau
pikiran.
Seperti
cemas
dan
takut
merupakan emosi, serta “saya seharusnya tidak dimarahi” merupakan pikiran. Thought monitoring
DI mengikuti proses dengan baik dan dapat mengidentifikasi
A-B-C
berdasarkan
kasus
pribadinya, yakni saat ditinggalkan oleh mantan pacarnya. Kejadian ini memberikan dampak yang cukup hebat pada DI sehingga muncul emosi sedih dan memberikan angka 90 untuk
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
76
menunjukkan intensitas emosi sedih tersebut. Pencarian core belief
DI mengikuti proses dengan baik sehingga menemukan
core
belief
dari
pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief yang dimiliki DI adalah “Merasa dirinya buruk” dengan tingkat keyakinan 70 dari skala 0-100. DI menceritakan keyakinan ini hampir selalu muncul dalam hidupnya dengan memberikan contoh-contoh kejadian di masa lalu. Analisa dan evaluasi peneliti: DI dapat mengikuti sesi kedua dengan baik. Ia telah mencapai mini goals dalam usaha mencapai tujuan utama, mampu memahami hubungan emosi dan pikiran otomatis, serta dapat mengidentifikasi pikiran otomatis dan emosinya pada situasisituasi tertentu. Dalam sesi ini, DI berhasil menemukan core belief-nya dengan bantuan berbagai pertanyaan yang diajukan peneliti. Ia memahami bahwa keyakinan tersebut kerap kali muncul jika DI berada pada situasi tertentu. Sesi 3
Target Pembahasan
Pencapaian Sesi tugas DI tidak mengerjakan tugas karena ia sudah
rumah
paham mengenai A-B-C sehingga tidak merasa perlu menuliskannya meski sudah berjanji. Ia mau
mengerjakannya
ketika
peneliti
memberikan lembar thought diary kepadanya, namun DI menuliskan kejadian yang sama seperti di sesi sebelumnya. Identifikasi
unhelpful DI dapat mengidentifikasi unhelpful thinking
thinking style
styles
yang
sering
digunakannya,
yaitu
personalisation, labelling, dan magnification. Pencarian
bukti-bukti DI mudah mencari bukti-bukti pendukung core
(detective works)
belief. Namun DI membutuhkan waktu sangat lama untuk mencari bukti-bukti yang menentang core belief-nya (90 menit). DI merasa tidak
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
77
punya kelebihan dan sifat yang dimilikinya tidak lebih baik dibandingkan orang lain. Disputation
DI senang ketika menyadari dirinya memiliki kelebihan seperti apa yang sudah ditulisnya. Nampak DI sulit untuk mempercayai hal tersebut. DI merasa dirinya selama ini tidak pantas dipuji karena ajaran ayahnya. Menurut ayah DI, ia harus memperhatikan kritik orang lain dan tidak mengingat-ingat pujian dari orang lain. Saat
melakukan
disputation,
DI
merasa
keyakinan tersebut tidak realistis dan tidak selalu benar. Di akhir sesi, DI mengemukakan dirinya
tidak
seburuk
yang
ia
pikirkan
sebelumnya meski masih ada beberapa hal dalam dirinya yang perlu dibenahi atau diubah. Analisa dan evaluasi peneliti: DI membutuhkan waktu sangat lama untuk menemukan bukti yang berlawanan dengan core belief yang dimilikinya. Peneliti menilai DI kesulitan saat melakukan detective works meski pada akhirnya DI mencapai tujuan yang diharapkan peneliti. Peneliti menduga core belief tersebut sudah mengakar dan cukup kuat sehingga DI membutuhkan usaha keras untuk mengatasinya. Peneliti menilai disputation yang dilakukan DI cukup berhasil, karena DI sudah menyadari pikirannya yang tidak realistis dan tidak selalu benar. Sesi 4
Target Pembahasan rumah
Pencapaian Sesi tugas DI tidak mengerjakan tugas dan menolak ketika peneliti memintanya untuk mengerjakan saat itu juga. Ia merasa senang karena menyadari akan perubahan yang dialaminya dan sudah mampu mengatur pikirannya.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
78
Evaluasi
hasil DI menyatakan keheranan karena memiliki
disputation
pikiran yang tidak berguna dan tidak selalu benar.
Pembuatan
balanced DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
core belief
menentukan balanced core belief. DI mencapai tujuan yang diharapkan peneliti dengan adanya penurunan
intensitas
emosi
dan
tingkat
keyakinan DI terhadap pikiran awal yang negatif (core belief). Klien
mempercayai DI
balanced
core
dengan
mengikuti
proses
dengan
baik
dan
belief menentukan sebuah kalimat untuk dituliskan
membuat dalam thought card. DI menyatakan sudah
thought card
paham cara untuk mempercayai balanced core belief, yakni dengan pengulangan.
Perancangan
behavior DI menyatakan ingin menguji kebenaran dari
experiment
balanced core belief-nya, yaitu “I can be better because I can solve my weakness”. Caranya dengan
menyapa
atau
memanggil
teman-
temannya terlebih dahulu, terutama teman-teman yang pernah menuduh DI dan berbuat tidak enak pada DI. Analisa dan evaluasi peneliti: Peneliti merasa bahwa DI belum cukup mampu untuk mengerjakan tugas rumah (pengubahan kognitif) secara mandiri. Peneliti menduga DI masih memerlukan bantuan atau dukungan meski tidak dikemukakannya. DI merasa mengalami perubahan sejak sesi sebelumnya. Saat ini DI merasa lebih mampu untuk berpikir positif dengan menceritakan kejadian yang dialaminya. Pada sesi ini, DI nampak terokupasi pada sebuah topik yang kurang berhubungan dengan masalahnya. Ia sedang terokupasi mengenai seorang teman laki-laki yang sedang ditaksirnya. DI berulang kali bercerita mengenai bagaimana perasaannya terhadap teman tersebut, angan-angan DI seandainya ia dapat lebih dekat dengan temannya itu.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
79
DI paham mengenai aplikasi balanced core belief, yakni dengan pengulangan dan latihan langsung. Dengan demikian, dapat menguji kebenaran dari balanced core belief. Secara umum, DI telah mencapai tujuan yang diharapkan peneliti di sesi ini. Sesi 5
Target Review
materi
Pencapaian Sesi sesi DI merasa sulit untuk mempercayai balanced
sebelumnya
core belief, namun ia mampu untuk mengatur emosinya agar menjadi lebih positif. Thought card dirasakan membantunya mempertahankan keyakinan terhadap balanced core belief.
Affective management
DI mengikuti proses dengan baik dan mampu menentukan teknik bernapas yang membantu dirinya.
Pengujian core
balanced DI mengikuti proses dengan baik dan mampu
belief
perancangan
melalui merancang
behavior
experiment
(pada
behavior worksheet 13)
experiment Analisa dan evaluasi peneliti: DI merasa agak kesulitan dalam mempercayai balanced core belief (“I can be better, because I can solve my weakness”) namun mampu menemukan cara untuk mengatasinya. Ia menyadari adanya perubahan pada dirinya dan nampaknya lebih peka terhadap respon emosinya. DI juga mampu mengatur pikirannya dengan mencari pikiran yang lebih positif dan adaptif, salah satunya dengan bantuan thought card dan pembuatan positive self-talk. DI paham mengenai keuntungan dari teknik bernapas yang diajarkan peneliti jika ia mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Di sesi ini, ia nampaknya sudah memahami bagaimana cara untuk menguji keyakinan yang salah, dengan merancang BE yang harus direalisasikan. Sesi 6
Target Review
materi
sebelumnya
Pencapaian Sesi sesi DI merasa BE yang dilakukan berjalan cukup baik dan menyadari bahwa keyakinannya salah.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
80
Ia mampu untuk membuat kesimpulan dan balanced core belief. DI merasakan sendiri bagaimana pikirannya diuji dan menyadari kesalahan dalam pikirannya, serta keuntungan melakukan BE. Klien
menyadari DI merasa ada perubahan dan menyusun
pencapaian
dan pencapaiannya
perubahan pada dirinya
selama
sesi.
Ia
mampu
mengidentifikasi faktor-faktor pendukung serta penghambat terjadinya perubahan dalam dirinya.
Penentuan
rencana DI menyadari akan adanya kegagalan atau
untuk mempertahankan kemunduran dan mampu menentukan langkahkebiasaan
yang
lebih langkah preventif yang dirasakan berguna bagi
positif dan menyusun dirinya. langkah-langkah preventif Post-test
DI mengikuti proses dengan baik dan menyadari akan
adanya
perubahan
sejak
pengisian
kuesioner saat pre-test.
Evaluasi
DI
mengikuti
proses
dengan
baik
dan
memberikan umpan balik secara verbal, sesuai dengan apa yang diajukan peneliti. Analisa dan evaluasi peneliti: Dari intervensi yang dilakukan dan dari pencapaian tujuan sesi, peneliti menilai DI sudah semakin memahami dirinya dan cara mengontrol diri yang semakin baik. DI menyatakan dirinya sudah menerima kekurangan dan mampu menyadari kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. DI juga menyadari kemungkinan terjadinya kemunduran dan sudah tahu cara-cara untuk mencegah serta mengatasi kemunduran tersebut. Secara umum, DI merasa sangat terbantu dan merasakan sendiri adanya perubahan pada dirinya.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
81
5.1.3. Hasil Intervensi Terhadap DI 5.1.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT Pre-ttest
Post-test
Keterangan
Keterampilan sosial (SSI)
231
253
Membaik
Emotional expressivity
40
40
Tetap
Emotional sensitivity
40
46
Membaik
Emotional control
(23)
33
Membaik
Social expressivity
44
48
Membaik
Social sensitivity
48
40
Membaik
Social control
36
46
Membaik
3.24
1.68
Membaik
Aspek Pengukuran
Distres psikologis (HSCL-25)
Tabel 5.2. Pengukuran Kuantitatif DI Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Peneliti melihat efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan sosial dengan melihat dinamika perubahan skor pada keterampilan sosial, terutama dimensi emotional control dan social sensitivity, serta perubahan tingkat distres psikologis DI. Dengan adanya intervensi dengan CBT, skor dimensi emotional control membaik karena mengalami peningkatan dari skor 23 menjadi 33. Perubahan skor menunjukkan ada peningkatan keterampilan dalam mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal, seperti mulai sering berpikir positif sehingga emosi yang muncul tidak selalu negatif dan DI mampu untuk mencari alternatif pikiran yang lebih positif. Peningkatan ini juga membuat DI mampu untuk menyampaikan dan menyembunyikan emosi yang ia alami, salah satunya dengan berkurangnya frekuensi mengeluh. Selain itu, dimensi social sensitivity juga membaik karena terjadi penurunan dari 48 menjadi 40. Perubahan ini terlihat dari perilaku DI yang menyadari dirinya juga memiliki kelebihan dan ada orang lain yang memperhatikan sisi positifnya. Meski terjadi penurunan pada 1 dimensi, secara keseluruhan keenam dimensi menjadi lebih baik dan seimbang. Perubahan skor tiap dimensi membuat skor total keterampilan sosial DI berubah dari 231 menjadi 253. Selain meningkatnya skor total keterampilan sosial, terjadi penurunan distres
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
82
psikologis yang signifikan pada DI. Setelah ia mengikuti intervensi dengan CBT, terjadi penurunan tingkat distres psikologis dari 3.24 menjadi 1.68. Dengan tingkat distres psikologis seperti itu, artinya DI tidak lagi mengalami distres psikologis. Dari perubahan keterampilan sosial dan tingkat distres, dapat disimpulkan bahwa intervensi dengan CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada DI.
5.1.3.2. Refleksi Subjektif DI Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi DI berpendapat setelah menjalani intervensi selama 6 sesi, ia mengalami perubahan. Perubahan yang ia sadari antara lain merasa perilaku dan pola pikirnya menjadi lebih positif, lebih mampu mengatur emosinya, lebih menghargai diri sendiri, caranya melihat segala sesuatu lebih positif, menyadari bahwa pikiran negatifnya tidak selalu benar, merasa lebih baik, dan lebih jarang mengeluh. Di awal sesi, nampak DI lebih banyak mengeluh dan nuansa emosinya cenderung negatif (marah dan kesal). Ia masih terus beranggapan bahwa kejadiankejadian buruk di awal tahun merupakan kesalahannya dan orang-orang tidak menyukai dirinya. Namun di sesi-sesi akhir, DI merasa lebih baik dan menerima hal-hal positif yang dimilikinya. Ia juga merasa lebih percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain.
5.1.3.3. Evaluasi DI terhadap Intervensi Peneliti meminta DI memberikan umpan balik dan evaluasi dari intervensi yang sudah dijalaninya. Peneliti menanyakan 3 hal, yaitu umpan balik mengenai materi intervensi, program intervensi secara keseluruhan, dan evaluasi terhadap peneliti. Untuk materi intervensi, DI merasa materi yang disampaikan bagus sehingga ia mengetahui diri sendiri, pemulihan diri, dan bagaimana pencapaian target. DI merasa senang karena dapat menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan ataupun masalahnya. Umpan balik DI mengenai program intervensi adalah kebingungannya di awal sesi, karena tidak mendapatkan saran dari peneliti sementara DI berharap ia akan mendapatkan jawaban. Ia mengira intervensi yang akan dilakukan sama seperti konseling, di mana peneliti akan memberikan saran yang diminta DI.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
83
Peneliti yang selalu bertanya balik akhirnya membuat DI berpikir dan membantu DI menemukan hal-hal yang belum terlihat selama ini. Dengan pengajuan pertanyaan reflektif seperti itu, membuat DI berpikir dan menemukan sendiri jalan keluarnya, akhirnya ia tidak lagi bingung mengenai intervensi tersebut. DI juga merasa bahwa peneliti merupakan kunci untuk membuka pintu yang sulit. Evaluasi DI terhadap peneliti adalah sabar mendengarkan dirinya yang banyak berbicara, sangat pengertian, ramah, terbuka, dan mau membantunya. Ia juga merasa tidak dianggap sebagai subjek penelitian untuk pengerjaan tesis semata. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dirasakan jelas dan membantu.
5.2. Pemaparan Kasus LA 5.2.1. Observasi Terhadap LA Intervensi Pre-sesi
Jadwal Pelaksanaan Selasa, 3 April 2012 10.00
Sesi 1 (90”)
Selasa, 17 April 2012 08.00
Sesi 2 (120”)
Kamis, 26 April 2012 16.00
Sesi 3 (120”)
Senin, 30 April 2012 08.30
Sesi 4 (120”)
Kamis, 10 Mei 2012 16.30
Sesi 5 (90”)
Senin, 14 Mei 2012 08.00
Sesi 6 (90”)
Selasa, 22 Mei 2012 08.00
Realisasi Pelaksanaan Selasa, 3 April 2012 10.00 – 11.00 (60 menit) Selasa, 17 April 2012 08.30 – 10.00 (90 menit) Kamis, 26 April 2012 16.00 – 18.15 (135 menit) Senin, 30 April 2012 08.50 – 10.25 (95 menit) Kamis, 10 Mei 2012 16.45 – 18.50 (125 menit) Senin, 14 Mei 2012 08.30 – 10.15 (105 menit) Selasa, 22 Mei 2012 08.45 – 10.50 (125 menit)
Tabel 5.3. Waktu Pelaksanaan Intervensi LA
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
84
LA mampu mengikuti intervensi dengan cukup baik. LA mengikuti proses intervensi sebanyak 6 kali hingga selesai. Secara umum, pelaksanaan sesi sesuai dengan rencana awal meski ada sesi-sesi yang terpaksa diubah karena LA yang berhalangan datang. Terlihat bahwa pada awalnya sesi berlangsung secara rutin, sesuai dengan perjanjian di presesi, yaitu setiap hari Selasa. Selama mengikuti intervensi, LA cenderung tidak tepat waktu namun ia selalu memberitahu peneliti sebelum waktu perjanjian mengenai alasan keterlambatannya. LA datang terlambat pada sesi 1, 3, 4, 5, dan 6. LA pernah datang tepat waktu hanya pada sesi 2. Pada sesi 1, LA datang terlambat karena harus mengumpulkan tugas terlebih dahulu. Sesi 3 juga terlambat karena sarapan sebelum mengikuti sesi. Untuk sesi 4, LA terlambat karena baru saja sampai di kampus setelah kerja praktik. Di sesi kelima dan terakhir, sesi terlambat dimulai karena LA sarapan terlebih dahulu. Sejak sesi pertama, realisasi intervensi tidak selalu sesuai dengan perjanjian di presesi. LA sudah mengatakan sebelumnya kepada peneliti bahwa ia akan selalu datang namun menyesuaikan dengan jadwal latihan praktik di rumah sakit. Halangan ini membuat terjadinya perubahan jadwal sesi, seperti yang terjadi pada sesi kedua. LA memundurkan hari pertemuan yang semula hari Senin, namun karena LA mengalami nyeri haid sehingga sesi diundur menjadi hari Selasa. Pemberitahuan ini disampaikan LA kepada peneliti pada pagi hari sebelum waktu pertemuan. Namun pada hari Selasa, LA tidak dapat datang karena ada kegiatan di fakultasnya sehingga ia menundanya menjadi hari Rabu. Ketika hari Rabu, LA kembali tidak dapat datang mengikuti sesi karena perubahan jadwal kuliah oleh dosennya. Dengan demikian sesi baru bisa dilaksanakan pada hari Kamis setelah ia selesai kuliah. Waktu pelaksanaan sesi intervensi dengan LA cenderung melewati batas waktu yang sudah ditentukan meski tidak terlalu lama. Peneliti menduga bahwa LA membutuhkan waktu lebih lama untuk bercerita dan membicarakan hal-hal lain selama sesi namun tetap mengetahui batasan waktu tiap sesinya. Selama intervensi, LA hanya membutuhkan waktu lebih lama pada saat pencarian buktibukti yang menentang pikiran negatifnya.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
85
Secara umum LA dapat mengikuti proses intervensi dengan baik karena sudah mencapai tujuan-tujuan intervensi yang ditetapkan peneliti. Selama intervensi LA alur jalannya intervensi dengan baik, mengerjakan tugas rumah, mengisi lembar kerja sesuai dengan instruksi peneliti, bersikap aktif, dan sangat kooperatif.
5.2.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap LA Sesi 1
Target Menjalin rapport
Pencapaian Sesi LA merasa nyaman dengan peneliti dan terbuka kepada peneliti.
Penjelasan intervensi
LA
mengikuti
proses
dengan
baik
dan
mengajukan pertanyaan mengenai emosi dan hubungannya
dengan
kemunculan
pikiran-
pikiran tertentu. Identifikasi masalah dan LA langsung mendiskusikan masalahnya dengan respon yang muncul
peneliti dan memutuskan untuk mengatasi satu masalah yang paling membebaninya saat ini. Menurut LA, masalah-masalah yang dialaminya berkaitan
satu
sama
lain.
Saat
latihan
mengidentifikasi, LA mengaku lebih sering menyadari pikirannya terlebih dahulu baru kemudian respon lainnya. Secara umum, LA mampu mengidentifikasi respon-respon dan paham akan hubungan diantaranya. Pembuatan masalah
formulasi LA mengikuti proses dengan cukup baik dan mampu
membuat
formulasi
masalah.
Ia
menceritakan kejadiannya terlebih dahulu baru kemudian menuliskan. LA menuliskan berbagai respon dan mampu membuat penghayatan dengan cepat. Setelah itu, LA mendapatkan tilikan atas apa yang sebenarnya terjadi dan menyadari pikirannya tidak selalu benar.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
86
Penentuan tujuan dari LA memahami prinsip SMART dan menyatakan intervensi
dengan ingin
prinsip SMART
ada
perubahan
dalam
dirinya.
LA
menuliskan 4 tujuan dan mengurutkannya dari tujuan yang paling ingin dicapainya. Kemudian LA menyusun mini goals dari tujuan utama dan angka
dalam
skala
pencapaian
tujuannya.
Berikut tujuan LA dalam mengikuti intervensi: 1. Jadi orang yang ramah, ceria, care dengan lingkungannya 2. Punya teman banyak dan dekat 3. Bisa
mengungkapkan
emosi
positif
(terutama ke keluarga) 4. Bisa ngobrol dengan teman-teman yang tidak sesuai topik omongannya Mini goals dari tujuan utama: 1. Senyum dan menyapa orang-orang yang dikenal 2. Duduk ngobrol baik di kampus atau di kosan 3. Ngajak temen kos makan malam bareng 4. Ngajak temen berangkat minimal 1 minggu sekali LA menangis ketika menceritakan pencapaian tujuan yang dipersepsikan masih 0 (dari skala 0100). Analisa dan evaluasi peneliti: LA mengikuti sesi pertama dengan baik dan memiliki tilikan. LA bersedia terbuka dengan peneliti dengan menceritakan hal-hal yang sensitif. Secara umum, LA sudah mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dari sesi pertama. Masalah LA, yaitu sulit percaya dengan orang lain membuat LA merasa dirinya bukan pemimpin yang baik (delegasi tugas) dan bukan teman yang baik. Masalah ini membuat LA tidak memiliki teman dekat. Dengan keluarga, hubungan LA
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
87
tidak dekat secara emosional. Menurut peneliti, isu keluarga menjadi isu utama bagi LA dan menjadi topik yang sangat sensitif. Namun LA tidak banyak bercerita mengenai isu tersebut. Fokus LA pada hubungan sosial di lingkungan kampus. LA memiliki tilikan bahwa pikirannya tidak selalu benar. Ia termasuk individu yang peka dengan dirinya, LA mengetahui apa yang terjadi padanya. Sesi 2
Target
Pencapaian Sesi
Pembahasan
tugas LA mengerjakan tugas dan mendapatkan tilikan
rumah dan mini goals
bahwa pikirannya tidak selalu benar. LA juga menguji
pikirannya
dengan
menanyakan
langsung pada orang yang berhubungan dengan masalahnya. LA menyatakan sudah paham cara mengidentifikasi responnya. Ia senang ketika peneliti menyadarkannya bahwa LA sudah mencapai
semua
mini
goals
yang
sudah
ditetapkan. Penjelasan
hubungan LA mengikuti proses dengan baik dan paham
emosi dan pikiran
akan hubungan antara emosi dan pikiran. LA memberikan contoh kasus pribadinya untuk mengkonfirmasi pemahamannya akan materi sesi.
Affective
education LA mengikuti proses dengan baik dan peka
sehingga
paham terhadap emosinya. LA dapat membedakan
mengenai emosi Penjelasan
emosi-emosi pada contoh kasus.
mengenai LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
pikiran otomatis
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh kasus (seperti pada worksheet 6).
Pengenalan model A-B-C
terhadap DI mengikuti proses dengan baik dan mampu membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi. LA mengerjakan lembar kerja dengan baik dan berhasil mengidentifikasi mana yang merupakan sebuah situasi, emosi (perasaan), atau pikiran. Seperti marah dan panik merupakan emosi serta
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
88
duduk di kantin dan penyataan “mereka pasti menertawakan saya” merupakan sebuah situasi. Thought monitoring
DI mengikuti proses dengan baik dan dapat mengidentifikasi
A-B-C
berdasarkan
kasus
pribadinya, yaitu ketika persiapan sebuah acara belum
matang
menjelang
pelaksanaannya
(sementara LA yang menjadi penanggungjawab acara
tersebut).
Kejadian
ini
memberikan
dampak yang cukup hebat pada LA sehingga muncul stres dengan intensitas 70. Pencarian core belief
LA mengikuti proses dengan baik sehingga menemukan
core
belief
dari
pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief yang dimiliki LA adalah “Merasa dirinya buruk” dengan tingkat keyakinan 90 dari skala 0-100. LA baru menyadari bahwa keyakinan ini hampir selalu muncul. LA juga menyampaikan contohcontoh kejadian yang mendukung keyakinan tersebut. Analisa dan evaluasi peneliti: LA mengikuti sesi kedua dengan baik dan memiliki tilikan. Pencapaian LA pada sesi ini adalah mencapai mini goals dalam usahanya mencapai tujuan utama, sudah paham mengenai hubungan emosi dan pikiran otomatis, serta LA mampu mengidentifikasi pikiran otomatis dan emosinya pada situasi-situasi tertentu. DI sesi kedua, LA berhasil menemukan core belief dengan bantuan berbagai pertanyaan yang diajukan peneliti. LA baru menyadari bahwa keyakinan tersebut sangat kuat dan hampir selalu muncul. Sesi 3
Target Pembahasan rumah
Pencapaian Sesi tugas LA belum sempat mengerjakan tugas karena kesibukannya dan berjanji akan mengerjakannya untuk sesi berikutnya.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
89
Identifikasi
unhelpful LA mampu mengidentifikasi unhelpful thinking
thinking style
styles
yang
sering
digunakannya,
yaitu
personalisation dan labelling. LA mengaku ia sudah pernah menggunakan semua gaya berpikir namun 2 gaya tersebut yang paling sering digunakannya. Pencarian
bukti-bukti LA sangat mudah mendapatkan bukti-bukti
(detective works)
pendukung core belief. Namun LA mengaku tidak
bisa
menemukan
bukti-bukti
yang
menentang core belief-nya. LA merasa dirinya tidak cukup baik untuk menuliskan sifat positif atau kelebihan yang dimilikinya. LA cenderung mengabaikan dan menganggap remeh hal ini. Teknik bernapas untuk LA sudah tahu teknik bernapas dan memilih relaksasi
melakukan
teknik
bernapas
dibandingkan
dengan relaksasi progresif. Dengan mencoba LA semakin menyadari fungsi relaksasi dalam mengatasi gejala fisik yang mengganggunya Disputation
LA merasa pikirannya tidak realistis dan dirinya tidak seburuk itu. Ia senang ketika menyadari dirinya memiliki kelebihan seperti apa yang sudah ditulis di kertas. LA mendapatkan tilikan bahwa tidak ada keuntungan dari berpikir negatif.
Ia
terbiasa
memperhatikan
kritik
dibandingkan pujian dari orang lain. Analisa dan evaluasi peneliti: LA membutuhkan waktu untuk menemukan bukti yang berlawanan dengan core belief yang dimilikinya. Peneliti menilai LA mengalami kesulitan saat melakukan detective works. Akhirnya LA mampu mencari bukti yang menentang core belief dan mencapai tujuan yang diharapkan peneliti di sesi ini. Core belief LA sudah mengakar cukup lama dan pengaruhnya cukup kuat terhadap LA sehingga ia harus berusaha lebih keras untuk mengatasinya. Disputation yang dilakukannya
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
90
berhasil karena LA sedari awal sesi sudah menyadari bahwa pikirannya tidak selalu benar. Refleksi dari disputation membuat LA semakin yakin bahwa pikirannya tidak realistis. Sesi 4
Target Pembahasan
Pencapaian Sesi tugas LA mengerjakan tugas rumah, pencarian bukti
rumah
dirasakan sulit namun ia mampu melakukannya. Ia merasa senang karena keberhasilannya dan merasa lega karena menemukan sendiri hal positif dalam dirinya.
Evaluasi
hasil LA mengungkapkan bukti-bukti mendukung
disputation
core belief-nya tidak realistis.
Pembuatan
balanced LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
core belief
menentukan balanced core belief. Ia mencapai tujuan yang diharapkan peneliti dengan adanya penurunan
intensitas
emosi
dan
tingkat
keyakinan LA terhadap pikiran awal yang negatif (core belief). Klien
mempercayai LA mengikuti proses dengan baik dan dapat
balanced
core
dengan
belief menentukan sebuah kalimat untuk dituliskan
membuat dalam thought card.
thought card Perancangan
behavior LA ingin menguji kebenaran dari core belief lain
experiment
yang dimilikinya, yaitu kakak yang tidak baik. LA ingin menjadi tempat curhat dan teman bagi adik perempuannya.
Analisa dan evaluasi peneliti: Nampak LA memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik dan kooperatif selama intervensi. Ia mampu mengerjakan tugas rumah secara mandiri. LA sudah menyadari bahwa pikirannya tidak selalu benar dan menguntungkan dirinya. Ia mampu mengubah pikiran yang merugikan dengan mencari pikiran baru yang mendukung dan seimbang. Ia memahami pengulangan dan latihan langsung dapat
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
91
membantu dirinya mempercayai keyakinan baru. LA juga mampu menyusun BE sesuai dengan kemampuannya. Secara umum, LA telah mencapai tujuan yang diharapkan peneliti di sesi ini. Sesi 5
Target Review
materi
Pencapaian Sesi sesi LA
sebelumnya
masih
rancangan
kesulitan BE
yang
untuk
merealisasikan
dibuatnya
di
sesi
sebelumnya. Ia mau mencobanya ketika sesi berlangsung. Thought card dianggap membantu LA mengingat-ingat balanced core belief. Pengujian core
balanced LA mengikuti proses dengan baik dan mampu
belief
perancangan
melalui merancang
behavior
experiment
(pada
behavior worksheet 13).
experiment Analisa dan evaluasi peneliti: LA cukup mampu mempercayai balanced core belief (“Saya adalah orang yang tanggung jawab”). Namun ia memiliki core belief lain yang akan diujinya sehingga LA belum dapat membuat balanced core belief yang baru. LA merasa tertantang untuk membuktikan pikirannya. Ia cukup menyadari kemampuannya meski terkadang agak ragu pada awalnya. Peneliti merasa LA mampu mengatur pikiran sehingga dapat mengatasi keyakinan yang cenderung negatif. LA mampu menguji keyakinan yang salah, dengan merancang BE yang konkrit dan dapat direalisasikan. Sesi 6
Target Review
materi
sebelumnya
Pencapaian Sesi sesi LA merasa BE berjalan lancar dan menyadari pikirannya (prediksi) tidak selalu benar. Ia mampu membuat kesimpulan dan balanced core belief. Untuk BE berikutnya, LA lebih memilih untuk menuliskan prediksi positif sehingga ia berusaha untuk mencapainya.
Klien pencapaian
menyadari LA
merasa
ada
perubahan
dan
mampu
dan mengidentifikasi pencapaiannya selama ini. LA
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
92
perubahan pada dirinya
juga
dapat
penghambat
menentukan dan
faktor-faktor
pendukung
terjadinya
perubahan dalam dirinya. Penentuan
rencana LA memahami adanya kemungkinan terjadinya
untuk mempertahankan kemunduran kebiasaan
yang
atau
kegagalan,
ia
mampu
lebih menentukan langkah-langkah preventif yang
positif dan menyusun dirasakan membantu. langkah-langkah preventif Post-test
LA
mengikuti
menyadari
proses
akan
adanya
dengan
baik
perubahan
dan sejak
pengisian kuesioner saat pre-test. Evaluasi
LA
mengikuti
proses
dengan
baik.
Ia
memberikan umpan balik secara tertulis verbal, sesuai dengan apa yang diajukan peneliti. Analisa dan evaluasi peneliti: Peneliti menilai LA semakin memahami dirinya sendiri dan mampu mengidentifikasi kelebihan atau sifat-sifat positifnya. LA memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. LA mengerti bahwa akan ada kemungkinan terjadinya kemunduran atau kegagalan di masa depan dan sudah mengetahui langkah preventif yang dapat dilakukannya secara mandiri. Secara umum, LA merasa terbantu dan menyadari ada perubahan pada dirinya.
5.2.3. Hasil Intervensi Terhadap LA 5.2.3.1. Hasil Pengukuran Efektivitas Intervensi dengan CBT Pre-ttest
Post-test
Keterangan
Keterampilan sosial (SSI)
210
271
Membaik
Emotional expressivity
38
44
Membaik
Emotional sensitivity
(30)
43
Membaik
Emotional control
(26)
41
Membaik
Social expressivity
29
52
Membaik
Aspek Pengukuran
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
93
Social sensitivity
48
36
Membaik
Social control
39
55
Membaik
2.76
1.60
Membaik
Distres psikologis (HSCL-25)
Tabel 5.4. Pengukuran Kuantitatif LA Keterangan: (…) = dimensi yang kurang
Untuk mengetahui efektivitas CBT dalam meningkatkan keterampilan sosial, peneliti melihat bagaimana dinamika skor pada keterampilan sosial, terutama dimensi emotional control, emotional sensitivity, dan social sensitivity, serta perubahan tingkat distres psikologis pada LA. Setelah selesai mengikuti intervensi, terjadi perubahan berupa peningkatan ataupun penurunan skor di tiap dimensi. Pada dimensi emotional control, terjadi peningkatan skor dari 26 menjadi 41. Perubahan skor menunjukkan peningkatan keterampilan dalam mengatur dan meregulasi pesan emosional serta non-verbal, seperti mulai sering berpikir positif sehingga emosi yang muncul tidak selalu negatif dan ia juga dapat mencari pikiran alternatif yang lebih positif. Peningkatan ini membuat LA mampu untuk menyampaikan dan menyembunyikan emosi yang ia alami, salah satunya adalah menyampaikan pendapat dengan cara yang ia anggap lebih asertif dan mulai berusaha untuk menunjukkan perhatian kepada keluarganya. Peningkatan juga terjadi pada dimensi emotional sensitivity, terjadi peningkatan skor dari 30 menjadi 43. Perubahan skor pada dimensi ini menunjukkan peningkatan keterampilan dalam memahami emosi dan sinyal nonverbal dari orang lain, seperti mulai memperhatikan ekspresi emosi orang lain dan reaksi orang lain terhadap dirinya. Peningkatan ini membuat LA mampu untuk memahami ekspresi emosi dan sinyal non-verbal dari orang lain. Ia pun semakin mampu untuk membedakan mana emosi yang positif dan negatif. Sedangkan terjadi penurunan yang berdampak baik bagi LA. Dengan intervensi CBT, skor dimensi social sensitivity menurun, dari 48 menjadi 36. Perubahan ini terlihat dari perilaku LA yang menyadari dirinya juga memiliki kelebihan dan dirinya tidak selalu menjadi pihak yang bersalah jika ada kejadian negatif. Dengan adanya penurunan pada dimensi social sensitivity, hal ini tidak menurunkan skor total keterampilan sosial. Secara umum skor keterampilan sosial
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
94
LA justru meningkat karena ada lima dimensi lain yang mengalami peningkatan secara signifikan, menjadi lebih baik dan lebih seimbang. Dengan demikian, terdapat peningkatan skor keterampilan sosial LA dari 210 menjadi 271. Selain perubahan skor keterampilan sosial, terjadi penurunan distres psikologis yang signifikan pada LA. Pada pretest, didapatkan hasil bahwa LA mengalami distres psikologis dan dinyatakan layak untuk mengikuti intervensi. Setelah LA mengikuti intervensi sampai selesai, terjadi penurunan dari 2.76 menjadi 1.60 dan LA tidak lagi mengalami distres psikologis. Dari perubahan kedua aspek, dapat disimpulkan bahwa intervensi dengan CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada LA.
5.2.3.2. Refleksi Subjektif LA Terhadap Proses dan Keberhasilan Intervensi Setelah menjalani intervensi selama 6 sesi, LA merasa ada perubahan dalam dirinya. Perubahan yang LA sadari antara lain berkurangnya kebiasaan berpikir negatif, semakin sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya, merasa semakin mampu mengendalikan emosi, mengatur emosi marah, dan sikap otoriternya. Menurut LA, jika ada kejadian yang sama terjadi maka ia mampu untuk berpikir lebih positif, baik mengenai diri sendiri maupun orang lain. LA merasa belum mampu untuk mengekspresikan emosi positif kepada keluarganya secara langsung, namun setidaknya LA merasa ia sudah mau berusaha untuk menjalin komunikasi dengan keluarganya. Di sesi awal, LA sering menangis jika membicarakan kualitas hubungan sosial yang ia miliki, seperti hubungan dengan keluarga dan dengan teman kuliah. Emosi LA cenderung negatif jika ia menceritakan kedua hal ini. Ia juga merasa buruk dan cenderung menyalahkan diri sendiri jika ada kejadian-kejadian yang kurang mengenakan. Perubahan terlihat di sesi-sesi akhir, ia mengungkapkan dirinya sudah lebih mampu menilai diri sendiri dan menghargai apa yang ia miliki. Ia juga menyadari kelebihan yang dimilikinya. Dengan begitu, LA merasa semakin percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
95
5.2.2.3. Evaluasi LA terhadap Intervensi Peneliti meminta LA memberikan umpan balik dan evaluasi dari intervensi yang sudah dijalaninya. Peneliti menanyakan 3 hal, yaitu umpan balik mengenai materi intervensi, program intervensi secara keseluruhan, dan evaluasi terhadap peneliti. LA merasa lebih mudah untuk memberikan umpan balik secara tertulis. Menurut LA materi intervensi cukup menarik, menambah hal baru, membuatnya bersemangat dan termotivasi. Namun LA merasa materi akan lebih mudah jika bahasa yang digunakan dipermudah, seperti penggunaan istilah dengan bahasa Inggris. LA menilai program intervensi secara keseluruhan asyik, membuatnya semangat kalau mau intervensi, cukup ngena, membuatnya berintrospeksi, dan memberikan semangat bagi dirinya. Evaluasi LA terhadap peneliti adalah asik banget, cara menerangkan materi dan bicaranya jelas, dapat menciptakan suasana intervensi yang nyaman, tidak membuatnya canggung saat bercerita, dan sangat welcome. LA merasa bahwa peneliti bisa mendorongnya untuk mandiri dan berpikir kritis.
5.3. Pemaparan Kasus DE 5.3.1. Observasi Terhadap DE Intervensi
Jadwal Pelaksanaan
Realisasi Pelaksanaan
Pre-sesi
Kamis, 5 April 2012 12.00
Sesi 1 (90”)
Kamis, 12 April 2012 13.30
Sesi 2 (120”)
Kamis, 26 April 2012 13.30
Kamis, 5 April 2012 12.30 – 12.50 (20 menit) Kamis, 12 April 2012 13.30 – 15.10 (100 menit) Kamis, 26 April 2012 13.40-15.15 (95 menit)
Tabel 5.5. Waktu Pelaksanaan Intervensi DE
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
96
DE hanya mengikuti intervensi sampai sesi kedua. Dalam 2 sesi yang sudah dilewati, pelaksanaan selalu sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. DE selalu datang sesuai dengan waktu perjanjian kecuali untuk sesi kedua, namun ia tidak menyampaikan alasan keterlambatannya. Pelaksanaan sesi DE termasuk cepat dan berlangsung sesuai dengan rencana peneliti. Saat akan memasuki sesi kedua (Kamis, 19 April 2012), DE membatalkan kedatangannya di pagi hari karena ia harus mengikuti acara di jurusannya. Ketika ditanyakan mengenai kelanjutan sesi, DE berjanji akan mengabarkan namun tidak ada kabar selanjutnya. Pada tanggal 23 April 2012, peneliti memutuskan untuk menanyakan kembali beberapa hari sebelum waktu perjanjian dan tidak mendapatkan jawaban. Setelah itu, pada tanggal 25 April 2012 di siang hari, DE menanyakan apakah ia dapat mengikuti sesi sebelum pukul 16.00. Namun ketika peneliti bersedia, DE memilih untuk mengikuti sesi pada hari Kamis, 26 April 2012. Sesi kedua berjalan dengan lancar dan hubungan terapeutik tetap terjalin dengan baik. Memasuki sesi ketiga, pada pukul 14.00 (Kamis, 3 Mei 2012), DE membatalkan pertemuan karena ia harus bertemu dosennya bersamaan dengan waktu sesi intervensi. Peneliti pun menanyakan alternatif tanggal pertemuan berikutnya, namun sejak itu DE tidak pernah memberikan kabar apapun kepada peneliti. Peneliti akhirnya memutuskan untuk menghubungi DE kembali pada tanggal 10 Mei 2012 dan DE tetap tidak merespon atau memberikan kabar.
5.3.2. Proses Pelaksanaan Intervensi terhadap DE Sesi 1
Target Menjalin rapport
Pencapaian Sesi Rapport terjalin dengan baik. DE nyaman memanggil pemeriksa dengan “Kak” dan ia banyak bercerita mengenai aktivitasnya. DE lebih aktif selama sesi berlangsung dibandingkan dengan sesi sebelumnya.
Penjelasan intervensi
DE
mengikuti
proses
dengan
baik
dan
menyatakan sudah paham mengenai proses intervensi.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
97
Identifikasi masalah dan DE menceritakan masalah-masalah yang sudah respon yang muncul
disampaikannya
terlebih
dahulu
dan
mendiskusikannya dengan peneliti. DE dapat memilih
masalah
yang
dirasa
paling
membebaninya saat ini. DE mengemukakan masalah lain dapat diatasi jika masalah utama sudah
ditangani
terlebih
dahulu.
DE
menceritakan bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain dan baru kemudian menuliskan respon yang muncul. Ia menyatakan paham hubungan antara emosi, pikiran, dan perilaku. Pembuatan
formulasi DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
masalah
membuat formulasi masalah. DE agak bingung ketika menentukan respon fisik yang jarang dirasakannya sehingga DE tidak ingat. Mampu mendapatkan penghayatan atau keyakinan yang negatif dari proses ini.
Penentuan tujuan dari DE ingin ada perubahan dan paham mengenai intervensi prinsip SMART
dengan prinsip SMART yang disampaikan peneliti. DE menuliskan 3 tujuan dan mengurutkannya dari tujuan yang paling ingin dicapainya. Setelah itu, ia mampu menentukan mini goals dari tujuan utama dan angka dalam skala pencapaian tujuannya. Berikut tujuan DE dalam mengikuti intervensi: 1. Lebih diterima di lingkungan sosial 2. Lebih punya banyak teman dekat 3. Lebih bisa mengontrol emosi Mini goals dari tujuan utama adalah: 1. Menanyakan kabar 2. Duduk tidak menyendiri 3. Menawarkan bantuan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
98
Analisa dan evaluasi peneliti: DE mengikuti sesi pertama dengan baik dan dengan cepat memahami materi yang disampaikan atau instruksi peneliti selama sesi berlangsung. Ia telah mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dari sesi pertama. Masalah DE adalah sulit dekat dan terbuka kepada orang lain. Masalah ini mulai disadari DE saat berkuliah. DE jarang diajak untuk bergabung dalam sebuah kelompok di kelasnya. Akhirnya DE akan tergabung dengan kelompok “sisa”. Sikap DE yang dinilai negatif (seperti cenderung menjauh dan menghindar) membuat DE semakin jarang diajak berkelompok. DE juga merasa bahwa ia sulit untuk terbuka dengan orang lain. Pacar merupakan sosok yang paling dekat dengannya saat ini. DE hanya memiliki 1 sahabat perempuan namun ia tetap merasa sulit terbuka apa adanya. Hubungan DE dengan keluarga kurang dekat secara emosional. Selama sesi, DE memiliki tilikan dan cukup peka dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sesi 2
Target
Pencapaian Sesi
Pembahasan
tugas DE belum mengerjakan tugas rumah dan merasa
rumah dan mini goals
bingung
ketika
peneliti
meminta
DE
mengerjakan di awal sesi. DE mengemukakan sudah
paham
bagaimana
mengidentifikasi
respon-respon dan mendapatkan penghayatan dari apa yang terjadi. DE telah mencapai mini goals yang sudah ditetapkan dan merasa cukup senang karena terbiasa melakukan hal-hal yang positif. Penjelasan
hubungan DE mengikuti proses dengan baik dan paham
emosi dan pikiran
mengenai hubungan antara emosi dan pikiran. DE
mengemukakan
bahwa
ia
seringkali
menyadari emosinya terlebih dahulu jika ada suatu kejadian. Affective
education DE mengikuti proses dengan baik dan cukup
sehingga mengenai emosi
paham peka
dengan
emosinya
dan
emosinya. bagaimana
DE
menceritakan
pengaruh
emosi
tersebut padanya. DE mampu membedakan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
99
emosi-emosi pada contoh kasus, seperti dari sebuah kejadian kemudian ia mengidentifikasi emosi yang mungkin muncul. Penjelasan
mengenai DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
pikiran otomatis
mengidentifikasi pikiran otomatis pada contoh kasus (pada worksheet 6).
Pengenalan
terhadap DE mengikuti proses dengan baik dan mampu
model A-B-C
membedakan antara situasi, pikiran, dan emosi. DE
dapat
mengidentifikasi
mana
yang
merupakan sebuah situasi, emosi (perasaan), atau pikiran.
Seperti panik merupakan emosi dan
“akan terjadi sesuatu yang buruk pada diriku” merupakan pikiran. Thought monitoring
DE mengikuti proses dengan baik dan dapat mengidentifikasi
A-B-C
berdasarkan
kasus
pribadi, yakni saat sulit mendapatkan kelompok. Kejadian ini memberikan dampak yang cukup hebat padanya sehingga muncul emosi kecewa dan memberikan angka 85 untuk menunjukkan intensitas emosi tersebut. Pencarian core belief
DE mengikuti proses dengan baik sehingga menemukan
core
belief
dari
pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peneliti. Core belief yang dimiliki DE adalah “Merasa tidak dianggap oleh
lingkungan
sekitar”
dengan
tingkat
keyakinan 75 dari skala 0-100. Keyakinan ini tidak selalu muncul dan hanya terjadi di lingkungan akademis saja. DE menceritakan kejadian yang membuatnya memiliki keyakinan seperti itu. DE juga menyampaikan dugaannya terhadap alasan teman-teman sekelasnya tidak ada yang mengajak DE berkelompok.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
100
Analisa dan evaluasi peneliti: DE mengikuti sesi kedua dengan baik. DE mencapai mini goals yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam usaha mencapai tujuan utama, mampu memahami hubungan emosi dan pikiran otomatis, serta dapat mengidentifikasi pikiran otomatis dan emosinya pada situasi-situasi tertentu. Pada sesi kedua, DE berhasil mendapatkan core belief dengan bantuan berbagai pertanyaan yang diajukan peneliti. Menurut DE, core belief ini hanya muncul jika ia berada di lingkungan akademis (kuliah)
5.3.3. Perkiraan Efektivitas Intervensi terhadap DE Pengukuran efektivitas intervensi dengan CBT terhadap masalah DE tidak dapat dituntaskan karena DE hanya mengikuti sesi intervensi sampai sesi kedua. Dengan demikian, peneliti hanya mengevaluasi DE dari 3 pertemuan yang sudah dijalani, yaitu presesi, sesi 1, dan sesi2. Menurut peneliti, ada perubahan sikap DE sejak pre-sesi sampai pada sesi pertama. Saat presesi, DE belum terbuka sepenuhnya dan masih merasa belum mampu untuk menyelesaikan masalahnya serta cenderung membiarkan masalah itu ada. Keterbukaan dirasakan karena DE bersedia menceritakan hal-hal yang tidak pernah disampaikannya ke orang lain, menyampaikan ketakutanketakutannya dalam menjalin hubungan sosial, dan juga kekurangan yang ia miliki. Saat memasuki sesi pertama, topik pembicaraan DE lebih luas dan ia lebih banyak bercerita. DE juga nampak lebih aktif, salah satunya dengan mengajukan pertanyaan jika ada materi yang kurang dimengerti. Di sesi pertama, DE mampu mengidentifikasi masalah dan menentukan satu masalah yang paling membebani dirinya. Ia juga paham bahwa jika masalah utama terselesaikan, maka masalah lain dalam hubungan sosial juga dapat terselesaikan. Secara umum, DE mengikuti sesi intervensi dengan baik dan sesuai dengan harapan peneliti. Ia bersikap kooperatif, mendengarkan penjelasan mengenai materi psikoedukasi, menyatakan pemahamannya, bertanya balik atau mengkonfirmasi dengan apa yang ia ketahui mengenai materi, mengerjakan tugastugas sesuai yang diinstruksikan peneliti, dan lebih santai saat menjalani proses intervensi. Banyak emosi-emosi positif, seperti candaan yang dilontarkan dan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
101
ekspresi emosi yang menunjukkan ia merasa nyaman bercerita. Di sesi pertama, DE mengungkapkan bahwa ia senang dengan adanya intervensi yang membuat dirinya paham mengenai langkah-langkah dalam menyelesaikan masalahnya. Contohnya adalah pembuatan mini goals. Realisasi dan pencapaian mini goals membuat DE merasa senang.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
102
BAB VI DISKUSI
Pada bab ini, peneliti mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Peneliti akan mendiskusikan proses dan hasil penelitian. Setelah itu akan ada pembahasan dan evaluasi keberhasilan intervensi serta metodologi penelitian yang digunakan.
6.1. Proses Pelaksanaan Intervensi Secara umum, proses pelaksanaan intervensi sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan peneliti. Kedua partisipan mampu mengikuti proses intervensi yang dilakukan sebanyak 6 sesi intervensi dan berlangsung selama 6 minggu berturut-turut. Hal ini sesuai dengan pendapat Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007), CBT terbukti dapat dilakukan sebanyak 6 sesi untuk mengatasi masalah yang terbilang ringan (mild). Keduanya mengaku terbantu dengan adanya intervensi. Saat menjalani intervensi, kedua partisipan bersikap aktif dan kooperatif. Menurut Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007), dalam CBT memang dibutuhkan partisipasi aktif dari partisipan. Selama sesi berlangsung, keduanya selalu bersemangat dan antusias dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan peneliti. Mereka
juga
mengingat-ingat
materi
yang
disampaikan
peneliti
dan
mengaplikasikan pengetahuan baru yang diajarkan peneliti. Keduanya menjalani sesi dengan rutin, mengikuti alur rancangan intervensi yang ditetapkan peneliti, mengerjakan tugas rumah, dan mendengarkan penjelasan mengenai materi psikoedukasi. Efektivitas CBT diketahui dari evaluasi (post-test) dengan menggunakan Social Skills Inventory (SSI). Pada kedua partisipan terjadi peningkatan skor total dari keterampilan sosial. Dari keenam dimensi keterampilan sosial, terdapat lima dimensi yang mengalami peningkatan skor atau tetap dan terjadi penurunan pada satu dimensi. Perubahan ini sesuai dengan harapan peneliti dan membuat keterampilan sosial kedua partisipan membaik. Dengan intervensi, keenam dimensi menjadi lebih seimbang. Hal ini sesuai dengan pendapat Riggio (1986),
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
103
keterampilan sosial yang dianggap baik direpresentasikan oleh skor yang seimbang pada tiap dimensi SSI. Menurut Riggio (1989) dan Riggio & Reichard (2008), kemampuan individu untuk berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi di lingkungan sosial akan membaik. Perubahan yang juga terjadi pada kedua partisipan adalah penurunan tingkat distres psikologis. Sebelum mengikuti intervensi, mereka mengalami distres psikologis yang tinggi sehingga sudah mencapai taraf mengganggu. Tetapi setelah intervensi, penurunan distres psikologis pada kedua partisipan cukup signifikan dan kini mereka dapat dikatakan tidak mengalami distres psikologis tinggi. Perubahan ini terjadi karena CBT berhasil mengatasi masalah yang dimiliki partisipan karena rancangan intervensi yang sudah sesuai dengan masalah yang dihadapi. Hal ini merupakan alasan peneliti menggunakan CBT, karena CBT dapat mengatasi berbagai macam masalah psikologis dan fokus pada satu masalah spesifik (Stallard, 2004). Selain itu, rancangan intervensi yang disusun peneliti membuat partisipan mampu menemukenali masalah yang mereka alami. CBT membantu partisipan mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang merugikan dirinya. Dari proses ini, kedua partisipan mampu mengidentifikasi pemikiran dan keyakinan yang sifatnya negatif dan merugikan (core belief). Dengan CBT, mereka juga mampu untuk mengidentifikasi distorsi kognitif (cognitive distortions) yang dimilikinya. Menurut Spence (2003), distorsi kognisi memang membuat individu memunculkan keterampilan sosial dan perilaku yang tidak sesuai karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan lingkungannya. Proses identifikasi distorsi kognitif membuat partisipan mampu mengenali pola pikir yang tidak berguna (unhelpful thinking style) dalam kemunculan masalah mereka, yaitu tipe personalisation dan labelling. Dari proses identifikasi pikiran dan keyakinan (thought monitoring), kedua partisipan menyadari bahwa masalah yang sering mereka alami seperti kehilangan banyak teman, merasa tidak disukai orang lain, dan kesepian disebabkan oleh pikirannya sendiri. Keduanya menyadari bahwa mereka cenderung menyalahkan dan menganggap diri negatif jika tidak berhasil menjalin hubungan sosial dengan baik. Partisipan mampu menemukan keyakinan negatif (atau core belief) yang mereka miliki, yaitu merasa dirinya buruk. Pikiran yang dimiliki partisipan sesuai
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
104
dengan apa yang dinyatakan Hope, dkk. (2010). Hope, dkk.. Menurut mereka, keyakinan yang sering muncul pada individu dengan keterampilan sosial yang kurang baik adalah merasa tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan baik, takut akan penilaian negatif dari orang lain, memiliki evaluasi negatif terhadap diri sendiri tanpa ada penilaian dari orang lain atau bukti yang mendukung. Rancangan intervensi memungkinkan kedua partisipan untuk menguji berbagai macam pikiran negatif dengan mencari bukti-bukti yang menentang pikiran (core belief) tersebut. Dalam penelitian ini, keduanya berhasil mencari mencari bukti-bukti penentang sampai jumlah yang sudah ditetapkan, meski mereka membutuhkan waktu yang sangat lama. Pencarian bukti yang dilakukan kedua partisipan adalah mencari sejumlah hal atau sifat positif yang mereka miliki. Melihat partisipan yang membutuhkan waktu lama untuk mencari bukti, peneliti memberikan reinforcement kepada mereka. Menurut Stallard (2004), reinforcement merupakan komponen penting dalam CBT jika ingin memunculkan perilaku tertentu. Peneliti merasa dengan adanya dukungan (reinforcement) membuat partisipan semakin percaya diri saat menguji pikirannya dan menyadarkan partisipan bahwa mereka mampu mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan melakukan pencarian bukti, artinya tujuan CBT sudah tercapai. Partisipan dapat mengubah kognisi karena keduanya mampu untuk menguji dan mengevaluasi kognisinya, melakukan perubahan pola pikir, serta terjadi pembentukan cara berpikir yang lebih berguna, positif, dan adaptif. Menurut kedua partisipan, proses ini sangat membantu. Begitu juga dengan adanya ide untuk membuat thought card. Kartu tersebut menjadi pengingat jika keduanya sedang merasa sedih atau tidak berdaya. Dalam kartu tersebut berisi tulisan partisipan mengenai pikiran atau keyakinan yang baru dan lebih seimbang. Keduanya juga merasa behavior experiment (BE) sangat membantu menyadarkan bahwa pikirannya tidak selalu benar. Keberhasilan BE dalam rancangan penelitian ini membuktikan kebenaran dari pendapat Westbrook, Kennerly, & Kirk (2007). BE merupakan strategi yang paling efektif untuk mendukung perubahan perilaku individu.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
105
Dengan adanya pemahaman mengenai pikiran dan keberhasilan untuk mengubah kognisi, membuat kedua partisipan dapat mengembangkan persepsi yang berbeda mengenai keterampilan sosialnya. Awalnya partisipan berpikir bahwa mereka memiliki keterampilan sosial yang rendah. Keyakinan ini mengurangi kepercayaan diri partisipan saat berada dalam situasi sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Clark & Wells dan Rapee & Heimberg (dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005). Tinggi rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki individu juga melibatkan persepsi dan evaluasi terhadap situasi sosial dimana mereka berada (Heinrichs, Gerlach, & Hofmann, 2006). Selama sesi, peneliti banyak mengajukan pertanyaan reflektif (Socratic questioning). Menurut partisipan, pertanyaan yang diajukan membuat partisipan menemukan sendiri jawaban atas pertanyaannya dan menganggap peneliti hanya membantu membuka pintu yang sulit, dapat berintrospeksi dan berpikir kritis untuk membantu mengatasi masalahnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti memang membantu meski pada awalnya tidak mudah untuk dipahami partisipan. Perubahan kognisi juga terjadi karena tilikan yang dimiliki partisipan mengenai masalah dan penyebabnya. Dengan mengikuti intervensi, partisipan menjadi paham bahwa pikirannya yang harus diubah guna menyelesaikan masalah dalam hubungan sosial. Dalam CBT, partisipan diharapkan mampu berpikir lebih sistematis dan melakukan abstraksi, untuk itu diperlukan kematangan kognitif (Stallard, 2004). Kedua partisipan mampu untuk mendapatkan tilikan karena keduanya seorang mahasiswa.
Kematangan
kognisi
seorang mahasiswa
memungkinkan mereka melakukan refleksi diri, mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah, lebih adaptif, lebih logis, dan mampu menyadari jalan pikirannya. Dengan demikian, restrukturisasi kognisi dapat terlaksana pada kedua partisipan dan mereka berhasil mengubah pikirannya. Selain mengidentifikasi pikiran, rancangan intervensi yang disusun peneliti membuat partisipan lebih paham mengenai sifat dan penyebab munculnya emosi negatif. Peneliti juga berhasil mendukung partisipan untuk mengubahnya dengan emosi yang lebih positif atau menyenangkan. Psikoedukasi mengenai
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
106
emosi
(affective
education)
membantu
partisipan
mengidentifikasi
dan
membedakan emosi yang dirasakan serta serta mengidentifikasi sensasi fisik yang muncul. Setelah itu, adanya affective monitoring membuat partisipan mampu menghubungkan antara pikiran dan perilaku, menentukan intensitas emosi yang dirasakan, serta kesadaran akan perubahan yang terjadi pada diri mereka. Keberhasilan intervensi juga didukung dengan penyusunan materi psikoedukasi yang singkat dan lembar kerja yang membantu partisipan memahami masalahnya serta cara mengatasi masalah tersebut. Peneliti membuat lembar materi dan lembar kerja menarik dengan adanya warna atau gambar sehingga partisipan tertarik untuk membaca atau mengerjakannya. Dalam penelitian ini, peneliti juga mengenalkan cara-cara untuk mengatasi masalah dengan pendekatan CBT, salah satunya adalah teknik bernapas untuk menenangkan diri. Pemberian psikoedukasi atau cara-cara praktis ini disesuaikan dengan kebutuhan partisipan. Fleksibilitas dalam CBT yang bersifat tailor made yang membuat intervensi ini berhasil karena menyesuaikan dengan masalah dan kebutuhan partisipan. Partisipan akan mendapatkan intervensi yang diperlukan dan sesuai dengan kondisi mereka. Menurut peneliti, sesi yang sudah disusun sedemikian rupa turut berperan dalam keberhasilan intervensi. Dalam susunan sesi intervensi, sudah mencakup semua komponen utama dari CBT yang dikemukakan oleh Stallard (2004). Selama intervensi, adanya dukungan dari peneliti membuat partisipan merasa mampu untuk menghadapi situasi baru ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai, karena memiliki kognisi dan perilaku yang lebih adaptif. Kedua partisipan juga menjadi lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pengetahuan baru yang sudah diajarkan selama intervensi. Keberhasilan intervensi dalam meningkatkan keterampilan sosial juga dipengaruhi oleh motivasi internal yang dimiliki kedua partisipan. Mereka mengikuti intervensi dengan rutin meski ada sesi yang diundur. Keberhasilan intervensi dengan CBT juga diketahui dari sudut pandang subjektif tiap partisipan. Keduanya merasa ada perubahan positif pada dirinya, mulai dari perubahan cara berpikir (cognitive), perilaku (behavior), emosi dan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
107
fisiologis. Perubahan yang dirasakan DI terjadi karena ia mampu mencapai beberapa tujuannya, ada perubahan perilaku dan pola pikir menjadi lebih positif, sadar bahwa pikirannya tidak selalu benar, lebih menghargai dirinya sendiri. Dengan demikian, DI lebih percaya diri dalam mengaplikasikan balanced core belief yang ditemukan selama sesi, cenderung melihat segala sesuatu lebih positif dan menyeluruh, dan lebih jarang mengeluh. Sama seperti DI, LA juga merasa ada perubahan setelah mengikuti intervensi. LA merasa semakin mampu mencapai tujuannya, dapat mengetahui bahwa pikirannya tidak selalu benar sehingga muncul rasa bangga, menyadari dirinya memiliki kelebihan dan tidak selalu buruk sehingga muncul perasaan berharga, bersikap proaktif terhadap usahanya melakukan perubahan. Akhirnya LA cukup percaya diri dan optimis dalam mengaplikasikan balanced core belief yang ia temukan selama sesi. Perubahan ini membuat berkurangnya kebiasaan berpikir negatif, makin sering menghabiskan waktu dengan teman kuliah, merasa mampu untuk mengendalikan emosi negatif, mampu berpikir lebih positif (mengenai diri atau orang lain), dan bersedia untuk mendekati keluarga secara aktif serta mengekspresikan emosi positifnya kepada mereka. Intervensi efektif karena kedua partisipan berhasil mencapai semua target yang sudah ditetapkan peneliti sebelum memulai intervensi. Keduanya dapat mengubah persepsi atau keyakinan mereka yang merugikan sehingga dapat memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Keberhasilan ini membuat kedua partisipan mampu memperkirakan masalah apa yang akan terjadi di kemudian hari dan menentukan beberapa tindakan preventif yang dianggap membantu dari semua cara-cara yang diajarkan selama sesi. Selain
peningkatan
keterampilan
sosial,
intervensi
juga
berhasil
menurunkan distres psikologis secara signifikan pada kedua partisipan. Setelah intervensi selesai dilakukan, simtom-simtom kecemasan dan depresi pada partisipan berkurang. Akhirnya dengan berkurangnya simtom-simtom yang mengganggu, membuat distres psikologis menurun. Sebelumnya, kedua partisipan mengalami distres psikologis karena berbagai penyebab, antara lain beberapa kejadian yang tidak menyenangkan dan pengaruh tuntuan sosial.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
108
Menurut Hurlock (1990), individu yang memasuki masa dewasa muda, diharapkan mampu beradaptasi terhadap pola kehidupan yang baru dan menjalani peran sosial. Salah satu tugas perkembangan partisipan sebagai individu dewasa muda dan sekaligus mahasiswa adalah memiliki hubungan baik dengan teman kuliah, bekerja sama dalam kelompok, mengikuti kegiatan organisasi, dan menemukan pasangan (lawan jenis) yang potensial (Wright, dalam Ross, Niebling, & Heckert; Utama (2010), dan Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Selain itu, sebagai mahasiswa kedua partisipan diharapkan mampu membangun hubungan sosial dan akademik yang kuat dengan teman sebaya dan para pengajar (Montgomery & Cote, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Menurut peneliti, persepsi partisipan mengenai ketidakmampuan dalam menjalin hubungan sosial yang membuat mereka mengalami distres psikologis yang cukup tinggi. Dengan intervensi, mereka sudah mampu mencari pikiran alternatif yang lebih positif dan seimbang, sehingga tingkat distres psikologis pun mengalami penurunan. Selain hal-hal yang sudah di sebutkan di atas, keberhasilan intervensi tidak terlepas dari faktor eksternal, seperti lokasi pelaksanaan intervensi, kondisi ruangan, dan kinerja peneliti sendiri. Untuk lokasi, peneliti merasa pemilihan lokasi intervensi cukup strategis dan mudah diakses kedua partisipan yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Selain itu, ruangan yang digunakan untuk intervensi cukup baik dan mendukung kelancaran sesi. Pendingin ruangan membuat kedua partisipan merasa nyaman. Ruangan yang tertutup dan bertirai membuat jalannya sesi tidak terganggu oleh kehadiran orang lain dan suara-suara dari luar yang dapat mendistraksi partisipan. Tempat duduk juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada yang dapat melihat wajah partisipan karena partisipan duduk membelakangi pintu dan agak menjauh dari pintu. Dengan demikian, privasi dan kerahasiaan identitas partisipan tetap terjaga.
6.2. Hasil Pelaksanaan Intervensi Hasil penelitian menunjukkan CBT dapat mengatasi masalah partisipan. Dari pengukuran secara kuantitatif ataupun kualitatif, CBT terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial pada partisipan yang mengalami distres psikologis. Dalam penelitian ini, CBT dapat mengubah persepsi dan keyakinan
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
109
partisipan saat berada di situasi sosial. CBT bertujuan untuk mengidentifikasi adanya distorsi kognitif dan gaya berpikir yang salah. Efektivitas CBT sejalan dengan pendapat menurut Wells & Papageorgiou (dalam Cartwright-Hatton, Tschernitz, & Gomersall, 2005), bahwa intervensi yang dinilai sesuai untuk meningkatkan keterampilan sosial adalah intervensi kognitif dengan CBT. Pengubahan persepsi atau keyakinan partisipan dan usaha mengatasi distorsi kognisi yang merugikan membuat kedua partisipan memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Secara umum CBT mampu mengurangi kekhawatiran partisipan karena mereka sendiri sudah menyadari kelebihan yang dimiliki, sudah menerima diri mereka apa adanya, dan tidak lagi menilai diri mereka negatif. Hal ini berpengaruh pada membaiknya dimensi-dimensi dalam keterampilan sosial kedua partisipan. Dengan mengikuti intervensi, dimensi-dimensi pada keterampilan sosial menjadi lebih seimbang. CBT membuat partisipan mampu berinteraksi, beradaptasi, dan berfungsi dengan baik di lingkungan sosial karena mereka dapat mengekspresikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain, mampu “membaca” dan memahami berbagai macam situasi sosial, memiliki pengetahuan mengenai norma sosial, mampu menyelesaikan masalah interpersonal, dan dapat menjalankan peran sosial. Dengan meningkatnya kemampuan seperti itu, membuat partisipan mampu untuk terlibat dalam interaksi yang sesuai dan efektif dengan orang lain. Intervensi membuat partisipan semakin baik dalam menyampaikan pesan emosional kepada orang lain. Mereka mampu mengekspresikan diri secara spontan dan sesuai, semakin peka terhadap situasi emosional, dan mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan situasi interpersonal. Mereka semakin mampu menerima dan memahami emosi serta sinyal non-verbal dari orang lain. Partisipan mampu menangkap sinyal emosional dengan tepat dan efisien saat berkomunikasi. Intervensi juga meningkatkan keterampilan dalam mengatur dan meregulasi pesan emosional dan non-verbal, khususnya saat partisipan menyampaikan atau menyembunyikan emosi yang mereka dirasakan. Dengan keterampilan seperti itu, partisipan dapat mengekspresikan perasaannya dan menampikan isyarat emosional yang sesuai dengan lingkungan.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
110
Selain perubahan pada dimensi emosi, CBT juga membuat partisipan lebih baik dalam mengekspresikan diri secara verbal, menginterpretasi ekspresi verbal dari orang lain, dan paham mengenai norma sosial dalam menampilkan perilaku yang diterima lingkungan. Keduanya tetap mementingkan kesesuaian perilaku dirinya dengan orang lain, namun kecemasan sosial sudah berkurang. Kedua partisipan tidak lagi khawatir dengan penilaian orang lain. Mereka juga semakin baik dalam mengatur dan menampilkan diri dalam situasi sosial. Peningkatan kepercayaan diri turut mempengaruhi bagaimana kedua partisipan beradaptasi di lingkungan sosial. Dengan demikian, keduanya mampu menjalankan berbagai macam peran sosial. Menurut partisipan, hasil intervensi ini dipengaruhi oleh beberapa hal yang sifatnya subjektif. Bagi DI, faktor-faktor pendukung keberhasilan intervensi adalah keinginan kuat untuk berubah, memiliki orang-orang yang mendukung (termasuk peneliti), dan adanya kesempatan untuk mengikuti sesi terapi. DI merasa ia benar-benar ingin mengatasi masalahnya sehingga dapat menjadi seseorang yang lebih baik dan mampu menjalin hubungan yang menyenangkan. Ia juga merasa peneliti mendukung dan mau membantu dirinya untuk berubah. DI menganggap peneliti tidak hanya sekedar membantu untuk kepentingan pribadi peneliti (berkaitan dengan pengerjaan tesis). DI merasa kesempatan untuk mendaftarkan diri mengikuti intervensi merupakan faktor yang mendukung DI untuk berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan LA, ia merasa intervensi berhasil karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah sifatnya yang suka berinteraksi, jelas saat berbicara, memiliki fasilitas komunikasi dan ponsel yang dapat mengakses Twitter dan Facebook, dan niat serta usaha LA untuk berubah.
6.3. Evaluasi Keberhasilan Intervensi Berdasarkan evaluasi dan diskusi di atas, peneliti melihat seluruh target intervensi sudah dicapai oleh partisipan. Pencapaian ini hampir sama antara satu partisipan dengan partisipan lain. Kemampuan partisipan dalam mengubah pikiran dan perilaku membuat intervensi dengan CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
111
Nampaknya keberhasilan intervensi dipengaruhi oleh hubungan terapeutik yang terbangun sejak presesi. Dalam penelitian ini, presesi sengaja dilakukan untuk melakukan wawancara awal dan menjalin rapport. Saat presesi, peneliti memperoleh informasi penting tentang partisipan dan berdiskusi mengenai pendapat partisipan sehingga membuat mereka lebih santai untuk menjalani intervensi (Beck, Rush, dkk., dalam Beck & Weishaar, 2011). Ketika presesi, peneliti menanyakan latar belakang kehidupan partisipan yang meliputi identitas diri, kondisi keluarga, hubungan partisipan dengan anggota keluarganya, pola asuh orang tua, hubungan interpersonal selama ini. Setelah itu beralih ke wawancara mengenai riwayat keluhan dengan menanyakan kondisi yang dirasakan mengganggu sehingga partisipan membutuhkan bantuan psikologis, perasaan partisipan, awal mula munculnya masalah, konsekuensi masalah, dan usaha partisipan mengatasi masalah tersebut. Peneliti sendiri merasa bahwa keduanya merasa nyaman bercerita sejak presesi. Hal ini dibuktikan dengan kedua partisipan yang terbuka menceritakan masalahnya. Ada kemungkinan bahwa peneliti sebagai orang yang baru dikenal membuat kedua partisipan merasa aman jika menceritakan masalah dan kondisinya. Peneliti juga mementingkan kenyamanan partisipan saat mengikuti sesi. Peneliti menyediakan minum, makanan ringan seperti kue kering, dan tisu. Adanya benda-benda itu membuat partisipan menjadi santai dan nyaman ketika mereka membutuhkannya. Selama intervensi, terjadi hubungan kolaboratif antara peneliti dan kedua partisipan, yang sesuai dengan pendapat Westbrook, Kennerley, & Kirk (2007). Peneliti membagi pengetahuan mengenai cara-cara penyelesaian masalah yang efektif. Sementara partisipan menjadi pihak yang benar-benar memahami masalah yang berkaitan dengan keterampilan sosial. Ketika menggunakan CBT, memang perlu adanya hubungan terapeutik yang baik antara kedua belah pihak. Hubungan terapeutik ini yang memperbesar motivasi partisipan untuk mengikuti intervensi. Kebetulan kedua partisipan memiliki motivasi internal sehingga peneliti berperan dalam menjaga dan menjaga motivasi tersebut tetap ada. Kedua partisipan memiliki sikap proaktif, antara lain mengerjakan tugas rumah, mengaplikasikan keterampilan yang dipelajarinya, dan merealisasikan behavior experiment.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
112
Peneliti merasa fleksibilitas sebagai terapis juga turut mempengaruhi keberhasilan intervensi. Dalam memberikan intervensi, peneliti menyesuaikan rancangan intervensi dengan kebutuhan partisipan. Peneliti juga memberikan waktu lebih longgar kepada partisipan, dengan demikian mereka merasa nyaman bercerita dan bersedia mengikuti sesi sampai selesai. Fleksibilitas dari intervensi ini terlihat dari beberapa sesi yang melebihi waktu yang sudah ditetapkan. Pemberian waktu untuk bercerita ternyata membuat kedua partisipan merasa senang karena merasa diberi kesempatan bercerita serta tidak dianggap hanya sebagai subjek penelitian saja (subjek tesis). Partisipan mengungkapkan bahwa dengan pemberian waktu mereka dapat berpikir atau mengutarakan pemikirannya. Fleksibilitas juga nampak dari perubahan jadwal sesi dengan partisipan. Kemunduran jadwal terjadi karena partisipan yang berhalangan datang. Mereka terhambat oleh urusan akademis seperti mengikuti kuliah pengganti, jam kuliah dimajukan, harus bertemu dengan dosen, dan urusan non-akademis seperti mengalami nyeri haid dan harus memimpin sebuah rapat organisasi di fakultasnya. Intervensi yang fleksibel memungkinkan peneliti untuk mengajukan alternatif hari untuk pelaksanaan sesi, namun tetap menjaga agar jarak waktu antara sesi sebelum dan berikutnya tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Pengajuan waktu alternatif juga menyesuaikan dengan jadwal peneliti, agar tidak bentrok dengan waktu pertemuan dengan partisipan lain. Keberhasilan intervensi dilakukan tepat waktu juga dipengaruhi oleh peneliti yang selalu mengirimkan pesan singkat (SMS) sebagai pengingat untuk janji pertemuan sesi berikutnya. Meski intervensi berjalan dengan lancar, peneliti tetap merasa ada keterbatsan dalam menjalani intervensi. Peneliti merasa terbatas dalam mengontrol pengerjaan tugas rumah dan tidak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan masalah partisipan dari sudut pandang orang lain atau significant others yang dimiliki partisipan (alloanamnesa).
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
113
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa CBT efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial dan menurunkan distres psikologis pada mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Intervensi ini terbilang efektif dengan realisasi sebanyak 6 sesi sesuai dengan rencana awal penelitian. Penerapan CBT untuk mengatasi rendahnya keterampilan sosial dan tingginya tingkat distres psikologis mahasiswa UI memunculkan perubahan yang signifikan pada kedua partisipan.
7.2. Saran Dari evaluasi secara umum mengenai pelaksanaan intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial pada mahasiswa UI yang mengalami distres psikologis, ada beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti untuk meningkatkan kualitas program intervensi atau penelitian serupa di waktu mendatang. Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut:
7.2.1. Saran Metodologis a. Dalam intervensi, selain wawancara dengan klien, perlu dilakukan wawancara (alloanamnesa) dari significant others yang dimiliki klien. Tujuannya mendapatkan informasi dari perspektif lain yang berkaitan dengan masalah utama mereka. b. Jika masalah yang dimiliki klien sampai memunculkan respon fisik yang mengganggu, perlu adanya sesi khusus untuk relaksasi progresif. c. Perlu dilakukan follow-up mengenai perkembangan partisipan sesudah mengikuti sesi intervensi, seperti 1 bulan sesudah intervensi selesai dilakukan. d. Mengingat pelaksanaan sesi intervensi ada yang melewati perkiraan waktu, perlu dipertimbangkan mengenai pengurangan materi untuk tiap sesi dan menambah jumlah sesi pertemuan.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
114
e. Perlu di pertimbangkan mengenai penggunaan bahasa asing dalam proses intervensi, seperti bahasa Inggris, agar partisipan tidak kesulitan memahami apa yang disampaikan peneliti.
7.2.2. Saran Praktis a. Untuk merancang program intervensi dengan Cognitive Behavior Therapy, partisipan diberikan kesempatan untuk menjalani sesi konseling sebelum memulai sesi CBT. Tujuannya adalah memberikan waktu kepada partisipan untuk membahas masalah pribadinya secara menyeluruh dan masalah-masalah lain yang bukan merupakan masalah utama. b. Untuk mengetahui kondisi klien pasca intervensi, perlu dilakukan tahap follow-up. Jika klien mengalami kemunduran atau membutuhkan bantuan lebih lanjut, peneliti dapat memberikan langkah-langkah alternatif yang dapat dipilih klien. c. Adanya pengembangan program intervensi menjadi terapi kelompok dengan menggunakan CBT untuk sekelompok individu yang memiliki kesamaan masalah, seperti dalam satu universitas atau fakultas.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
115
DAFTAR PUSTAKA
Arrindell, W.A., Akkerman, A., van der Ende, J., Schreurs, P. J. G., Brugman, A., Stewart, R. E., Bouhuys, A.L., van Ooijen, N., Bridges, K. R., Sanderman, R. (2005). Normative studies with the Scale for Interpersonal Behaviour (SIB): III. Psychiatric inpatients. Personality and Individual Differences, vol. 38, 941–952 Aydin, A., Tekinsav-sütçü, S., & Sorias, O. (2010). Evaluation of the Effectiveness of a Cognitive-Behavioral Therapy Program for Alleviating the Symptoms of Social Anxiety in Adolescents. Turkish Journal of Psychiatry, 1-11. Barreras, R. B. (2008). An Experimental Analysis of the Treatment Validity of the Social Skills Deficit Model for At-Risk Adolescents. Disertasi. Riverside: Doctor of Philosophy University Of California. Beck, A. T. & Weishaar, M. E. (2011). Cognitive Therapy. Dalam Corsini, R. J. & Wedding, D. (editors). Current Psychotherapies, 9th ed. (hlm. 257-287). Canada: Brooks-Cole Bedell, J. & Lennox, S. S. (1997). Handbook for Communication and ProblemSolving Skills Training: A Cognitive-Behavioral Approach. New York: John Wiley & Sons, Inc. Cartwright-Hatton, S., Tschernitz, N., & Gomersall, H. (2005). Social anxiety in children: social skills deficit, or cognitive distortion? Behaviour Research and Therapy, vol. 43, 131–141. Febrianty, Aisyah Herni. (2011). Pengaruh Faktor Protektif dan Risiko Psychological Distress pada Mahasiswa Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Fledderus, M., Bohlmeijer, E. T., Pieterse, M. E., dan Schreurs, K. M. G. (2011). Acceptance and commitment therapy as guided self-help for psychological distress and positive mental health: a randomized controlled trial. Psychological Medicine, 42, 485–495.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
116
Hansen, D. J., Nangle, D. W., & Meyer, K. A. (1998). Enhancing the effectiveness of social skills interventions with adolescents. Education and Treatment of Children, 21 (4), 489-513. Heinrichs, N., Gerlach, A. L., & Hofmann, S. G. (2006). Social Skills Deficits. Dalam Hersen, M. (editor). Clinician's Handbook of Adult Behavioral Assessment (hlm. 235-252). London: Elsevier Inc. Hope, D. A., Burns, J. A., Hayes, S. A., Herbert, J. D., & Warner, M. D. (2010). Automatic Thoughts and Cognitive Restructuring in Cognitive Behavioral Group Therapy for Social Anxiety Disorder. Cognitive Therapy Restucturing (34), 1–12 Hurlock, E.B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima. Terj: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga http://simak.ui.ac.id. Jalur Masuk UI 2011/2012. Diaskes pada Maret 2012. Iannaccone, C. J., Wienke, W. D., & Cosden, M. A. (1991). Social Skills Instruction in Secondary Schools: Factors Effecting Its Implementation. The High School Journal, Vol. 75 (2), 111-118. Jou, Y. H. & Fukada, H. (2002). Stress, health, and reciprocity and sufficiency of social support: The case of university student in Japan. The Journal of Social Psychology, vol. 142 (3). 353-370 Keputusan Rektor Universitas Indonesia, nomor 478/SK/R/UI/2004, Tentang Evaluasi Keberhasilan Studi Mahasiswa Universitas Indonesia. Depok. Kerlinger, F & Lee, H B. (2000). Foundations of behavioral research 4th ed. USA: Harcourt College publishers Kitzrow, Martha Anne. (2003). The Mental Health Needs of Today’s College Students: Challenges and Recommendations. NASPA Journal, vol. 41 (1), 167-181. Kumar R. (1999). Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. Australia: Pearson Education
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
117
Kobayashi, Eriko. (2005). Perceived Parental Expectations Among Chinese American College Students: The Role of Perceived Discrepancy and Culture in Psychological Distress. Tesis. Philadelphia: Doctor of Philosophy The Pennsylvania State University. Maharani, Winda. (2011). Perbedaan Tingkat Psychological Distress pada Mahasiswa Universitas Indonesia yang Membutuhkan Pelayanan Badan Konsultasi Mahasiswa di Tahun 2010 dan 2011. Skripsi. Depok: Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Mathur, S. R., Kavale, K. A., Quinn, M. M., Forness, S. R., & Rutherford, R. B. (1998). Social Skills Interventions with Students with Emotional and Behavioral Problems: A Quantitative Synthesis of Single-Subject Research. Behavioral Disorders, 23(3), 193-201. Matthews, G. (2000). Distress. Dalam G. Fink (Ed.). Encyclopedia of stress (Vol. 1, pp. 723-729). San Diego, CA: Academic Press. Mclntyre, C. J. (1953). The Validity of the Mooney Problem Check List. The Journal of Applied Psychology, 37 (4), 270-272. Miller, J. L. (2011). The Relationship between Identity Development Processes and
Psychological
Distress
in
Emerging
Adulthood.
Disertasi.
Washington: Doctor of Philosophy The George Washington University. Mirowsky, J., & Ross, C. E. (2003). Social causes of psychological distress. New York: Aldine de Gruyter. Misra, Ranjita & Castillo, Linda G. (2004). Academic Stress Among College Students:
Comparison
of
American
and
International
Students.
International Journal of Stress Management, 11 (2), 132–148. Nevid, J. S., Rathus, S. A. & Greene. (2003). Psikologi abnormal edisi kelima jilid 1. (Terj. Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia). Jakarta: Erlangga. Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Duskin. (2007). Human Development (10th edition). New York: McGraw-Hill.
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
118
Riggio, R. E. (1986). Assessment of Basic Social Skills. Journal of Personality and Social Psychology, vol. 51 (3), 649-660. Riggio, R. E. & Reichard, R. J. (2008). The emotional and social intelligences of effective leadership: An emotional and social skill approach. Journal of Managerial Psychology, 23 (2), 169-185 Ross, S. E., Niebling, B. C., & Heckert, T. M. (1999). Sources of Stress Among College Students. College Student Journal, 33 (2), 312-318. Santrock, J. W. (2008). Life-span Development, 11th ed. New York: McGraw Hill. Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (4th ed.). New York: John Whey & Sons, Inc. Segrin, Chris. (2001). Social Skills and Negative Life Events: Testing the Deficit Stress Generation Hypothesis. Current Psychology, 20 (1), 19-35. Spence, Susan H. (2003). Social Skills Training with Children and Young People: Theory, Evidence, and Practice. Child and Adolescent Mental Health, 8 (2), 84-96. Sprinthall, N. A. & Collins, W. A. (1995). Adolescent Psychology: A Developmental View, 3rd ed. New York: McGraw-Hill, Inc. Stallard, Paul. (2004). Think Good – Feel Good: Cognitive Behaviour Therapy Workbook for Children and Young People. West Sussex: John Wiley & Sons Stallman, H. M. (2008). Prevalence of Psychological Distress in University Students Implication for Service Delivery. Australian Family Physician, 37, 673-677 Utama, B. (2010). Kesehatan Mental dan Masalah-Masalah Pada Mahasiswa S1 Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ventevogel, P., De Vries, G., Scholte, W. F., Shinwari, N. S., Nassery, H. F. R., van den Brink, W., & Olff, M. (2007). Properties of the Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) and the Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20)
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
119
as screening instruments used in primary care in Afghanistan. Soc Psychiatry Epidemiology, 42: 328–335 Verger, P., Combes, J. P., Kovess-Masfety, V., Choquet, M., Guagliardo, V., Rouillon, F. & Peretti-Wattel, P. (2009). Psychological distress in first year university students: socioeconomic and academic stressors, mastery and social support in young men and women. Social Psychology Epidemiology, 44, 643–650 Westbrook, D., Kennerley, H., & Kirk, J. (2007). An Introduction to Cognitive Behaviour Therapy: Skills and Applications. Los Angeles: SAGE Publications
Universitas Indonesia Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
LAMPIRAN
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) Mooney Problems Check Lists (MPCL) Social Skills Inventory (SSI) Pernyataan Persetujuan: Informed Consent Modul Sesi I Materi mengenai keterampilan sosial dan Cognitive Behavior Therapy Tabel SMART goal Lembar contoh kasus respon emosi Lembar daftar emosi dalam bahasa Indonesia Lembar contoh pikiran-pikiran otomatis Lembar Kerja o Worksheet 1: Respon fisik, perilaku, dan pikiran o Worksheet 2: Bagan formulasi masalah spesifik o Worksheet 3: My Goals o Worksheet 4: Main and Mini Goals o Worksheet 5: Lembar contoh kasus “emosi” o Worksheet 6: Lembar contoh “pikiran otomatis”, tabel pikiran dan perasaan pribadi o Worksheet 7: Lembar “Situasi, Pikiran, atau Emosi?” o Worksheet 8: Lembar “Thoughts diary” o Worksheet 9: Lembar “thoughts diary” dan “unhelpful thinking styles” o Worksheet 10: Lembar “My hot thoughts” o Worksheet 11: Lembar “End Results” o Worksheet 12: Lembar rancangan Behavior Experiment (langkah 1 dan 2) o Worksheet 13: Lembar “Behavior Experiments” o Worksheet 14: Lembar “Self-management plan” o Worksheet 15: Lembar “Feedback from you”
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25)
Petunjuk Pengisian Di bawah ini adalah daftar keluhan atau masalah yang kadang-kadang kita alami. Bacalah baik-baik setiap masalah dan cocokkan dengan keadaan Anda selama satu minggu terakhir sampai hari ini. Kemudian berikan penilaian seberapa mengganggu keluhan/masalah itu bagi Anda, dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang sesuai:
No
1.
Pernyataan
Tidak
Sedikit
Agak
Sangat
Sama
Meng-
Meng-
Meng-
Sekali
ganggu
ganggu
ganggu
Perasaan takut yang mendadak tanpa sebab
4.
Gugup atau berdebar-debar
10.
Perasaan gelisah sehingga Anda tidak dapat duduk tenang
21.
Perasaan seperti mau dijebak atau ditangkap
25.
Perasaan tidak berguna
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Mooney Problems Check Lists (MPCL)
Petunjuk Pengisian Bagian berikut ini bukanlah sebuah tes. Ini adalah daftar masalah-masalah yang sering dihadapi oleh mahasiswa. Bacalah daftar pernyataan berikut secara perlahan, dan jika pernyataan tersebut merupakan masalah yang Anda rasakan dan mengganggu Anda saat ini, lingkarilah kalimat itu, misalnya, “5. Merindukan seseorang di rumah/di kampung halaman”. Lakukanlah hal yang sama pada seluruh daftar pernyataan, lingkarilah pernyataan yang merupakan masalah (kesulitan, kekhawatiran) bagi Anda.
Bacalah daftar berikut secara perlahan, dan ketika Anda menemukan masalah yang Anda rasakan dan mengganggu Anda, lingkarilah kalimat tersebut.
1. Takut-takut atau pemalu 2. Mudah sekali menjadi tersipu malu 3. Tidak nyaman berada dengan orang lain 4. Tidak punya sahabat di kampus 5. Merindukan seseorang di rumah/di kampung halaman
41. Tidak menyukai seseorang 42. Tidak disukai oleh seseorang 43. Merasa bahwa tidak seorangpun memahami saya 44. Tidak ada orang yang dapat diajak membicarakan kesulitan kesulitan saya 45. Sukar bagi saya untuk membicarakan kesulitan-kesulitan saya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Social Skills Inventory (SSI) Inventori Gambaran Diri
Pada bagian ini terdapat 90 pernyataan tentang gambaran diri Anda. Di kolom jawaban di sebelah kanan, anda diminta untuk memberikan tanda (√) di kotak yang menurut anda paling menggambarkan diri Anda dalam setahun terakhir. Apabila pernyataan tersebut sangat menggambarkan diri anda silahkan mengisi kotak 4, bila pernyataannya sangat tidak menggambarkan diri anda, maka isilah kotak 1. Dalam survei ini tidak ada jawaban benar atau salah karena yang ingin diketahui adalah seberapa besar pernyataan berikut ini menggambarkan diri Anda. Penilaian dilakukan berdasarkan skala di bawah ini:
Keterangan: 1. Sangat Tidak Menggambarkan Diri Saya 2. Agak Tidak Menggambarkan Diri Saya 3. Agak Menggambarkan Diri Saya 4. Sangat Menggambarkan Diri Saya
No Pernyataan
1
2
3
11. Sumber utama kesenangan dan penderitaan saya adalah orang lain 22. Saya lebih memilih pekerjaan yang membutuhkan kerjasama dengan orang banyak 33. Saya mampu mempertahankan ekspresi datar meskipun teman-teman mencoba membuat saya tertawa atau tersenyum 44. Salah satu kesenangan terbesar dalam hidup saya adalah berada bersama dengan orang lain 55. Saya sering menggunakan sentuhan saat berbicara dengan teman saya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
4
Pernyataan Persetujuan Informed Consent
Dalam rangka pengumpulan data penelitian untuk penulisan tesis, Peneliti meminta kesediaan Saudara untuk menjadi Partisipan penelitian. Partisipan penelitian bersedia mengikuti program intervensi psikologis berupa Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang akan dilaksanakan setiap satu kali dalam seminggu sebanyak 6 (enam) pertemuan, masing-masing selama satu hingga satu setengah jam (60-90 menit) pada waktu dan tempat yang telah disepakati bersama. Partisipan penelitian juga bersedia mengisi kuesioner yang akan diberikan secara bertahap di awal program intervensi, di akhir program intervensi, dan satu minggu setelah program intervensi berakhir. Segala bentuk data yang diperoleh akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan penulisan Tesis Program Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Partisipan penelitian berhak mengajukan keberatan pada Peneliti jika ada hal-hal dalam penelitian yang tidak berkenan baginya. Selanjutnya masalah ini akan dicari solusinya berdasarkan kesepakatan bersama antara Partisipan penelitian dan Peneliti. Keikutsertaan Partisipan dalam penelitian ini bersifat sukarela dan Partisipan dapat mengundurkan diri kapan saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Dengan menandatangani lembar persetujuan ini berarti Partisipan penelitian menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian ini, dan telah memperoleh penjelasan dari Peneliti tentang tujuan penelitian dan jaminan kerahasiaan data partisipan.
Depok,
April 2012
Peneliti,
Emmanuela Kirana S., S.Psi. NPM: 1006796191
Partisipan Penelitian,
(
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
)
Modul Sesi I
Agenda Membangun rapor dengan klien dan menyepakati proses CBT
Psikoedukasi
Tujuan
Langkah-langkah
Alat bantu
Menjalin Peneliti menjelaskan gambaran Materi hubungan singkat mengenai: mengenai terapeutik dan Penjelasan singkat mengenai keterampilan klien paham keterampilan sosial (sebagai sosial berupa memahami handouts masalah yang akan ditangani) penjelasan Tujuan penelitian dan gambaran yang dapat mengenai disimpan umum CBT keterampilan oleh klien Penjelasan singkat mengenai sosial dan pelaksanaan CBT prosedur pelaksanaan terapi Identifikasi masalah Klien paham mengenai masalah yang dialami dan berbagai respon yang muncul
Peneliti mengajak klien menelaah lebih dalam mengenai suatu masalah spesifik dengan menanyakan beragam pertanyaan. Klien menuliskan respon yang muncul saat berada di sebuah situasi sosial yang menjadi masalahnya dengan mengisi tabel respon fisik, perilaku, dan kognisi (terlampir). - Respon lain yang juga muncul adalah respon fisik, terutama ketika mengalami kecemasan saat berada di situasi spesifik - Meminta klien menuliskan respon fisik yang muncul, seperti detak jantung, napas, tekanan darah, dan sensasi fisik lainnya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Tabel respon fisik, perilaku, pikiran Gambar bagan hubungan 3 respon Contoh kasus formulasi masalah
Goal planning
Formulasi masalah
Penjelasan bahwa seringkali individu menyadari emosinya dan mempengaruhi kognisi serta perilakunya Sesudah itu melihat bagan hubungan antara emosi, perilaku dan kognisi saat muncul suatu masalah (terlampir) Mengajak klien membuat bagan untuk memformulasikan masalah spesifik dan menyampaikan bahwa ini menjadi latihan untuk di rumah (terlampir) Menemukan maintaining process yang dimiliki klien
Lembar bagan formulasi masalah
Identifikasi keinginan klien dan kemungkinan adanya perubahan Menentukan tujuan CBT
Mengajak klien untuk menyadari bahwa mereka dapat membuat perubahan situasi dengan membuat dan mengembangkan tujuan. Menentukan apa yang menjadi keinginan klien (terlampir)
Tabel “My Goals”
Menentukan tujuan yang menjadi prioritas utama dan tujuan ini disesuaikan dengan kemampuan klien
Melihat daftar tujuan dan meminta klien menentukan tujuan yang ingin dicapai terlebih dahulu. Penyusunan bisa berdasarkan kemudahan dalam mencapai tujuan. Tujuan yang ingin dicapai sebaiknya fleksibel dan mudah disesuaikan dengan perubahan yang mungkin terjadi dan menggunakan prinsip SMART (terlampir) - Spesific: spesifik dan jelas - Measureable: dapat diukur dan bisa dinilai peningkatan atau penurunan - Achievable: dapat dicapai dan realistik - Relevant: relevan dengan
Tabel “My Goals” Tabel “SMART Goal” Kertas kerja Tabel tujuan jangka pendek dan panjang
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
keadaan saat ini - Time Frame: ada batas waktu untuk evaluasi pencapaian tujuan Penentuan skala pencapaian goal: X----------------------------------X 0 100 Belum tercapai
Sudah tercapai
Jika klien kesulitan untuk menentukan tujuan, dapat menggunakan miracle question. Klien juga dapat menuliskan keinginan, harapan, dan mimpi mereka. Klien dibantu untuk membuat tujuan jangka pendek untuk meraih tujuan jangka panjang dengan mengisi daftar tabel tujuan (dari tujuan utama, jangka waktu pencapaian tujuan utama, tujuan yang lebih kecil, dan jangka waktu pencapaian tujuan kecil) (terlampir) Penutup
Menyimpulkan tujuan terapi
Menutup sesi dan penyampaian tugas rumah pembuatan formulasi masalah Membuat janji temu untuk sesi berikutnya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Lembar bagan formulasi masalah
Worksheet 1 C O N T O H
Jantung berdegup kencang
Merasa cemas dan takut Merasa tidak aman dan sehingga ingin keluar dari terancam ruangan.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 2 Kejadian
Pikiran
Sensasi fisik
Perasaan
Perilaku
Penghayatan
(BAGAN FORMULASI MASALAH SPESIFIK)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 3
My GOALs
rank
1. 2. 3. 4. 5.
Worksheet 4 Main goal
Jangka waktu
Mini goal
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Jangka waktu
Worksheet 5 CONTOH KASUS Kamu ada di sebuah pesta ulang tahun si X dan X mengajak kamu berkenalan dengan Y. Saat kamu berbincang dengan Y, dia tidak melihat langsung ke arah kamu, tetapi lebih sering melihat di sekeliling ruangan. NO
PIKIRAN
EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
1
Wah, dia kurang ajar sekali yaa. Dia ngga mau liat saat gue ngomong! Gila yaa…
2
Dia pasti berpikir kalo gue itu ngga menarik dan pembicaraan gw ngebosenin. Ngga ada orang yang pengen ama gue.
Di suatu malam, kamu pulang ke rumah sehabis kuliah. Saat sampai rumah, kamu menyadari bahwa rumah dalam keadaan gelap dan semua lampu rumah tidak menyala. Ternyata pintu rumah juga dalam keadaan terbuka. Saat kamu masuk, rumah dalam keadaan gelap. Tiba-tiba terdengar “Surprise!!”, kemudian lampu menyala dan kamu melihat banyak teman dan keluarga berkumpul sambil membawa kue ulang tahun. NO
PIKIRAN
EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
1
Oh tidak! Gue ngga percaya kalo orang tua susah payah menyiapkan pesta ini. Semuanya melihat ke arah gue dan pakaian gue kucel banget. Rasanya gw pengen cepat-cepat pergi dari sini.
2
WOW! Gue lupa kalo hari ini ulang tahun gue.Baik sekali teman-teman dan keluarga gue. Gue merasa sangat diperhatikan dan seakan dianggap penting.
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 6 Kamu baru aja selesai menyiapkan makan malam buat beberapa orang teman. Tiba-tiba seorang teman menelepon dan mengatakan bahwa mereka tidak jadi datang karena ada urusan yang lebih penting. NO
PIKIRAN
EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
1
Kesal
2
Cemas
Kamu sedang berbelanja di Carrefour. Ketika melewati lorong kaleng makanan, kamu menjatuhkan beberapa kaleng sehingga terdengar bunyi kencang dan kaleng-kaleng itu menggelinding. Akhirnya beberapa orang melihat ke arah kamu dan terpaksa menghentikan kereta dorongnya. NO
PIKIRAN
EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
1
Malu
2
Senang
LATIHAN DENGAN KASUS PRIBADI PIKIRAN
EMOSI YANG MUNGKIN MUNCUL
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 7 Situasi, Pikiran, No
Contoh atau Emosi?
1
Gugup
2
Berbicara di telepon dengan seorang teman
3
Akan terjadi sesuatu yang buruk pada diriku
4
Duduk di kantin
5
Mereka pasti berpikir bahwa saya bodoh
6
Panik
7
Saya yakin ujian tadi akan mendapat nilai buruk
8
Cemas
9
Berbelanja kebutuhan bulanan untuk di kos
10
Takut
11
Mengingat pembicaraan dengan teman sekelas
12
Marah
13
Saya seharusnya tidak dimarahi
14
Berpikir mengenai arisan bulan depan
15
Mereka pasti akan menertawakan saya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 8 THOUGHTS DIARY A – Activating Events / Kejadian
B – Beliefs / Keyakinan - Tuliskan semua pikiran yang membuat A terhubung dengan C
Apa yang saya pikirkan? Apa yang saya katakan pada diri saya? Apa yang terlintas dipikiran saat itu?
- Tentukan yang paling membuat distres dan garis bawahi - Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
C – Consequences / Konsekuensi (perasaan, simtom fisik, perilaku) - Tuliskan semua perasaan yang muncul - Tuliskan simtom fisik dan perilaku kamu - Garisbawahi emosi yang paling sesuai dengan kejadian - Berikan nilai 0-100 untuk intensitas emosinya
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 9 THOUGHT DIARY A – Activating Events / Kejadian
B – Beliefs / Keyakinan - Tuliskan semua pikiran yang membuat A terhubung dengan C Apa yang saya pikirkan? Apa yang saya katakan pada diri saya? Apa yang terlintas dipikiran saat itu? - Tentukan yang paling membuat distres dan garis bawahi - Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
C – Consequences / Konsekuensi (perasaan, simtom fisik, perilaku) - Tuliskan semua perasaan yang muncul - Garisbawahi yang paling sesuai dengan kejadian - Berikan nilai 0-100 untuk intensitasnya
Unhelpful Thinking Styles
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 10 MY HOT THOUGHTS:
Bukti Nyata yang Mendukung
Bukti Nyata yang Bertentangan
My Hot Thoughts
dengan My Hot Thoughts
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 11
My Balanced thought
Re-rate Emotion (0-100)
Re-rate Hot Thoughts (0-100)
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Step I Core belief yang akan diuji
:
New or alternative Belief
:
step II Perkiraan aktivitas
:
Prediksi saya
:
Worksheet 12 Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Core belief yang akan diuji:
Aktivitas
Prediksi
Kejadian yang sebenarnya
Kesimpulan
Balanced core belief
Worksheet 13 Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 14
Self Management Plan Strategi yang membantu dan harus selalu dilatih (apakah itu relaksasi, thought diary, penentuan goal harian atau mingguan, dsb)
Automatic thoughts yang sering muncul
Unhelpful thinking style yang sering digunakan tanpa disadari
Balanced thought yang ditemukan
Situasi yang paling berpotensi menimbulkan masalah
Dukungan sosial yang dimiliki
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012
Worksheet 15
FEEDBACK FROM YOU 1. MATERI INTERVENSI
2. PROGRAM INTERVENSI
3. EVALUASI TERHADAP PENELITI
Cognitive behavior..., Emmanuela Kirana Sangitan, FPsi UI, 2012